PBL 12 Reg

52
Menegakkan Diagnosis Demam Tifoid Pada Manusia Regina Caecilia Setiawan NIM : 102012280 Kelompok C6 Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana Jakarta Barat Alamat Korespondensi : Jalan Terusan Arjuna Utara No.6, Jakarta Barat 11470 Email : [email protected] Abstrak Demam tifoid masih merupakan masalah kesehatan yang penting di negara berkembang. Gambaran klinis demam tifoid seringkali tidak spesifik sehingga dalam penegakan diagnosis diperlukan konfirmasi pemeriksaan laboratorium. Pemeriksaan penunjang ini meliputi pemeriksaan darah tepi, isolasi/biakan kuman, uji serologis dan identifikasi secara molekuler. Berbagai metode diagnostik baru untuk pengganti uji Widal dan kultur darah sebagai metode konvensional masih kontroversial dan memerlukan penelitian lebih lanjut. Beberapa metode diagnostik yang cepat, mudah dilakukan dan terjangkau harganya untuk negara berkembang dengan sensitivitas dan spesifisitas 1

description

hahaa

Transcript of PBL 12 Reg

Page 1: PBL 12 Reg

Menegakkan Diagnosis Demam Tifoid Pada Manusia

Regina Caecilia Setiawan

NIM : 102012280

Kelompok C6

Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana Jakarta Barat

Alamat Korespondensi : Jalan Terusan Arjuna Utara No.6, Jakarta Barat 11470

Email : [email protected]

Abstrak

Demam tifoid masih merupakan masalah kesehatan yang penting di negara

berkembang. Gambaran klinis demam tifoid seringkali tidak spesifik sehingga dalam

penegakan diagnosis diperlukan konfirmasi pemeriksaan laboratorium. Pemeriksaan

penunjang ini meliputi pemeriksaan darah tepi, isolasi/biakan kuman, uji serologis dan

identifikasi secara molekuler. Berbagai metode diagnostik baru untuk pengganti uji Widal

dan kultur darah sebagai metode konvensional masih kontroversial dan memerlukan

penelitian lebih lanjut. Beberapa metode diagnostik yang cepat, mudah dilakukan dan

terjangkau harganya untuk negara berkembang dengan sensitivitas dan spesifisitas yang

cukup baik, seperti uji TUBEX, Typhidot-M dan lain-lain mungkin dapat mulai dirintis

penggunaannya di Indonesia.

Abstract

Typhoid fever remains a significant health problem in developing countries. Clinical

picture of typhoid fever are often non-specific that the diagnosis requires confirmation with

laboratory tests. Investigations include peripheral blood examination, isolation / bacteria

culture, serological and molecular identification. A variety of new diagnostic methods for

replacement Widal test and blood culture as conventional methods are still controversial and

needs further study. Several diagnostic methods are fast, easy, and affordable for developing

1

Page 2: PBL 12 Reg

countries with sufficient sensitivity and good specificity, such as Tubex test, Typhidot-M and

others may be able to start pioneered its use in Indonesia.

Pendahuluan

Demam tifoid merupakan suatu penyakit infeksi sistemik yang disebabkan oleh

Salmonella typhi yang masih dijumpai secara luas di berbagai Negara berkembang termasuk

Indonesia, terutama terletak di daerah tropis dan subtropis. Penyakit ini merupakan masalah

kesehatan masyarakat yang penting karena penyebarannya berkaitan erat dengan urbanisasi,

kepadatan penduduk, kesehatan lingkungan, sumber air dan sanitasi yang buruk serta standar

higiene industri pengolahan makanan yang masih rendah. Beberapa faktor penyebab demam

tifoid masih terus menjadi masalah kesehatan penting di negara berkembang meliputi pula

keterlambatan penegakan diagnosis pasti. Gambaran klinis demam tifoid seringkali tidak

spesifik sehingga dalam penegakan diagnosis diperlukan konfirmasi pemeriksaan

laboratorium. Penegakan diagnosis demam tifoid saat ini dilakukan secara klinis dan melalui

pemeriksaan laboratorium. Demam tifoid ialah penyakit infeksi akut yang biasanya terdapat

pada saluran pencernaan (usus halus) dengan gejala demam satu minggu atau lebih disertai

gangguan pada saluran pencernaan dan dengan atau tanpa gangguan kesadaran. Demam tifoid

merupakan penyakit endemic di Indonesia. Penyakit ini termasuk penyakit menular yang

tercantum dalam Undang-undang nomor 6 tahun 1962 tentang wabah. Kelompok penyakit

menular ini merupakan penyakit yang mudah menular dan dapat menyerang banyak orang

sehingga dapat menimbulkan wabah.

Anamnesis

Seorang dokter harus melakukan wawancara yang seksama terhadap pasiennya atau

keluarga dekatnya mengenai masalah yang menyebabkan pasien mendatangi pusat pelayanan

kesehatan. Anamnesis adalah wawancara yang dapat mengarahkan masalah pasien ke

diagnosis penyakit tertentu. Anamnesis memiliki tujuan untuk menentukan diagnosis

kemungkinan sehingga membantu menentukan langkah pemeriksaan selanjutnya, termasuk

pemeriksaan fisik dan penunjang. Tehnik anamnesis yang baik disertai dengan empati

merupakan seni tersendiri dalam rangkaian pemeriksaan pasien secara keseluruhan dalam

usaha untuk membuka saluran komunikasi antara dokter dengan pasien. Empati mendorong

keinginan pasien agar sembuh karena rasa percaya kepada dokter.1

Buatlah catatan penting selama melakukan anamnesis sebelum dituliskan secara lebih

2

Page 3: PBL 12 Reg

baik didalam status pasien. Status adalah catatan medik pasien yang memuat semua catatan

mengenai penyakit pasien dan perjalanan penyakit pasien. Anamnesis dapat langsung

dilakukan terhadap pasien (auto-anamnesis) atau terhadap keluarganya atau pengantarnya

(alo-anamnesis) bila keadaan pasien tidak memungkinkan untuk diwawancarai. Dalam

melakukan anamnesis, tanyakanlah hal-hal yang logik mengenai penyakit pasien, dengarkan

dengan baik apa yang dikatakan pasien, jangan memotong pembicaraan pasien bila tidak

perlu. Selain melakukan wawancara (verbal), maka selama anamnesis juga harus

diperhatikan tingkah laku non verbal yang secara tidak sadar ditunjukkan oleh pasien.1

Anamnesis yang baik akan terdiri dari identitas, keluhan utama, riwayat penyakit

sekarang, riwayat penyakit dahulu, riwayat penyakit dalam keluarga, anamnesis susunan

sistem dan anamnesis pribadi (meliputi keadaan sosial ekonomi, budaya, kebiasaan, obat-

obatan, lingkungan). Pasien dengan sakit menahun, perlu dicatat pasang-surut kesehatannya,

termasuk obat-obatannya dan aktivitas sehari-harinya.1

Identitas meliputi nama lengkap pasien, umur atau tanggal lahir, jenis kelamin, nama

orang tua atau suami atau isteri atau penanggung jawab, alamat, pendidikan, pekerjaan, suku

bangsa dan agama. Keluhan utama adalah keluhan yang dirasakan pasien yang membawa

pasien pergi ke dokter yang ditambahkan keterangan waktu mulai keluhan itu dirasakan.

Riwayat perjalanan penyakit sekarang merupakan cerita yang kronologis, terinci dan jelas

mengenai keadaan kesehatan pasien sejak sebelum keluhan utama sampai pasien datang

berobat. Setelah semua data terkumpul, usahakan untuk membuat diagnosis sementara dan

diagnosis diferensial. Bila mungkin, singkirkan diagnosis diferensial, dengan menanyakan

tanda-tanda positif dan tanda-tanda negatif dari diagnosis yang paling mungkin. Riwayat

penyakit dahulu bertujuan untuk mengetahui kemungkinan hubungan antara penyakit yang

pernah diderita dengan penyakitnya sekarang.1

Riwayat penyakit keluarga merupakan bagian anamnesa yang penting untuk mencari

kemungkinan penyakit herediter atau penyakit infeksi. Riwayat pribadi meliputi data-data

sosial, ekonomi, pendidikan dan kebiasaan. Perlu ditanyakan pula apakah pasien mengalami

kesulitan dalam kehidupan sehari-hari seperti masalah keuangan, pekerjaan dan sebagainya.

Kebiasaan pasien yang juga harus ditanyakan adalah kebiasan merokok, minum alkohol,

termasuk penyalahgunaan obat-obat terlarang (narkoba). Pasien-pasien yang sering

melakukan perjalanan juga harus ditanyakan tujuan perjalanan yang telah dilakukan untuk

3

Page 4: PBL 12 Reg

mencari kemungkinan tertular penyakit infeksi tertentu di tempat tujuan perjalanannya. Yang

tidak kalah pentingnya adalah anamnesis mengenai lingkungan tempat tinggalnya, termasuk

keadaan rumahnya, sanitasi, sumber air minum, ventilasi, tempat pembuangan sampah dan

sebagainya.1

Dalam skenario kasus kali ini, didapatkan bahwa pasien mengeluh demam sejak 7

hari yang lalu, nyeri kepala, nyeri ulu hati, mual dan muntah 3 kali sehari. Demam sepanjang

hari dan lebih panas pada malam hari. Serta, belum BAB sejak 4 hari yang lalu dan terdapat

nyeri tekan pada region epigastrium. Selanjutnya, dokter mulai mengarahkan pertanyaan-

pertanyaan. Beberapa pertanyaan yang dapat dijadikan sebagai acuan untuk pasien tersebut,

ialah:

1. Bagaimana intensitas demamnya?

2. Demamnya saat kapan saja? Sepanjang hari dan memburuk pada sore-

malam hari ?

3. Adakah nyeri kepala, nyeri ulu hati, mual, muntah?

4. Kapan terakhir BAB? Fesesnya seperti apa?

5. Adakah perdarahan seperti mimisan, muntah darah, petekiae?

6. Adakah rasa kedinginan, menggigil?

7. Apakah pernah pergi ke daerah endemis tinggi malaria?

8. Apakah sebelumnya ada jajan sembarangan?

9. Bagaimana sanitasi lingkungan di sekitar tempat tinggal? Apakah bersih

atau tidak?

10. Riwayat penggunaan obat-obatan?

11. Riwayat penyakit dahulu?

12. Riwayat penyakit keluarga?

Pemeriksaan fisik

Pemeriksaan fisik mempunyai nilai yang sangat penting untuk memperkuat temuan-

temuan dalam anamnesis. Teknik pemeriksaan fisik meliputi pemeriksaan visual atau

pemeriksaan pandang (inspeksi), pemeriksaan raba (palpasi), pemeriksaan ketok (perkusi),

dan pemeriksaan dengar dengan menggunakan stetoskop (auskultasi). Sikap sopan santun dan

rasa hormat terhadap tubuh dan pribadi pasien yang sedang diperiksa harus diperhatikan

dengan baik oleh pemeriksa. Inspeksi dilakukan hanya dengan melihat tubuh pasien secara

4

Page 5: PBL 12 Reg

teliti dan menyeluruh untuk menemukan kelainan yang nampak jelas (misalnya benjolan,

bercak-bercak dsb) dan kelainan yang tersembunyi (misalnya pucat, fasikulasi). Palpasi

dilakukan dengan meraba tubuh pasien untuk mengetahui adana nyeri atau nyeri tekan.

Pemeriksaan dimulai dengan penekanan yang ringan dan lembut, lalu dilanjutkan dengan

penekanan yang lebih kuat. Perkusi dilakukan dengan mengketuk-ketuk tubuh pasien dan

membandingkan suara-suara yang terdengar di setiap daerah tubuh pasien. Terakhir,

auskultasi dilakukan dengan menggunakan alat bantu stetoskop untuk mendengarkan suara

seperti suara detakan jantung atau suara saat melakukan inspirasi/ekspirasi.2

Pemeriksaan yang dilakukan pada pemeriksaan fisik terutama adalah pemeriksaan

tanda-tanda vital. Pengkajian tanda vital meliputi pemeriksaan suhu, nadi, pernapasan, dan

tekanan darah adalah tanggung jawab dasar keperawatan dan merupakan metode yang

penting untuk memantau fungsi tubuh yang vital. Pengukuran yang perlu dilakukan adalah

pengukuran tekanan darah, frekuensi denyut nadi, dan frekuensi respirasi. Jika ada indikasi,

ukur juga suhu tubuh. Tanda-tanda vital memberi gambaran tentang fungsi organ-organ

spesifik terutama jantung dan paru-paru dan juga seluruh sistem tubuh. Pekerja kesehatan

mengobservasi tanda-tanda vital untuk membentuk pengukuran dasar, mengamati

kencederungan, mengidentifikasi masalah fisiologis dan memantau respons klien terhadap

terapi. Selama pengkajian fisik lengkap, dokter akan mengukur semua tanda-tanda vital

sekaligus, atau akan menggabungkan tanda vital ke dalam langkah pengkajian yang berbeda.

Karena hasil yang abnormal dapat memberi tahu Anda tentang masalah yang mungkin

timbul, Anda lebih baik melakukan pengukuran semua tanda vital di bagian awal.3,4

Nadi merupakan refleksi perifer dari kerja jantung dan penjalaran gelombang dari

proksimal (pangkal aorta) ke distal. Gelombang nadi tidak bersamaan dengan aliran darah

tetapi menjalar lebih cepat. Intensitas nadi berhubungan dengan karakteristik pembuluh darah

dan tekanan nadi. Kecepatan denyut nadi normal pada dewasa yang sehat berkisar dari 50-

100 denyut/menit. Kecepatan pernapasan dan polanya dikendalikan oleh kemosensor-

kemosensor dan otak. Untuk orang normal, peningkatan konsentrasi karbondioksida dan ion

hidrogen dalam darah merangsang peningkatan ventilasi. Pemeriksa harus waspada bahwa,

peningkatan kecepatan pernapasan involunter sering terjadi bila subjek menyadari bahwa

pernapasannya sedang diamati. Untuk alasan ini, penghitungan kecepatan pernapasan

dilakukan secara diam-diam. Kecepatan pernapasan normal adalah 12-18x/menit pada orang

dewasa. Sistem-sistem enzim mamalia dan juga manusia bekerja dengan baik pada satu

5

Page 6: PBL 12 Reg

rentang suhu yang sempit. Oleh karena itu suhu tubuh manusia berada pada keadaan yang

cukup konstan. Suhu tubuh fisiologis manusia rata-rata adalah 37oC. Tekanan darah diukur

dalam torr, singkatan dari torricelli, satuan tekanan yang sebelumnya dikenali sebagai

milimeter air-raksa. Tekanan darah normal pada kebanyakan orang dewasa sehat berkisar

antara 120/80. Pemeriksaan yang cukup penting untuk diagnosis pasien adalah pemeriksaan

abdomen. Yang dilakukan dengan inspeksi, auskultasi, dan perkusi pada abdomen. Palpasi

abdomen dengan lembut, kemudian lakukan palpasi yang dalam. Lakukan pemeriksaan hepar

dan lien dengan perkusi dan kemudian palpasi. Coba meraba kedua ginjal, dan lakukan pula

palpasi aorta serta pulsasinya. 4

Pada pemeriksaan fisik, pasien compos mentis dan didapatkan suhu badan yang

meningkat. Sifat demam adalah sepanjang hari dan lebih panas pada malam hari.

Suhu 38,6 oC

Tekanan darah 110/80 mmHg

Pernafasan 20 x / menit

Nadi 80 x / menit

Pada pemeriksaan abdomen terdapat nyeri tekan (+) di region epigastrium

Pemeriksaan penunjang

Pemeriksaan laboratorium untuk membantu menegakkan diagnosis demam tifoid

dibagi dalam empat kelompok, yaitu : pemeriksaan darah tepi, pemeriksaan bakteriologis

dengan isolasi dan biakan kuman, uji serologis, dan pemeriksaan kuman secara molekuler.5

1. Pemeriksaan darah tepi

Pada penderita demam tifoid bisa didapatkan anemia, jumlah leukosit normal, bisa

menurun atau meningkat, mungkin didapatkan trombositopenia dan hitung jenis biasanya

normal atau sedikit bergeser ke kiri, mungkin didapatkan aneosinofilia dan limfositosis

relatif, terutama pada fase lanjut. Umumnya, terjadi leukopenia sebanyak 45,3% dan yang

normal sebanyak 51,3%. Lekositosis hanya terjadi 3,4%. Leukopenia dapat terjadi karena

adanya perpindahan leukosit dari sirkulasi ke dinding pembuluh darah. Penelitian oleh

beberapa ilmuwan mendapatkan bahwa hitung jumlah dan jenis leukosit serta laju endap

darah tidak mempunyai nilai sensitivitas, spesifisitas dan nilai ramal yang cukup tinggi untuk

6

Page 7: PBL 12 Reg

dipakai dalam membedakan antara penderita demam tifoid atau bukan, akan tetapi adanya

leukopenia dan limfositosis relatif menjadi dugaan kuat diagnosis demam tifoid.6

Terjadinya trombositopenia (<150.000/mm3) dapat menjadi penanda akan terjadinya

infeksi tifoid derajat berat bahkan gangguan koagulasi intravaskular. Trombositopenia pada

demam tifoid dipengaruhi dari produksi trombosit yang terjadi di sumsung tulang belakang

mengalami penurunan ataupun terjadi peningkatan dari destruksi oleh sistem retikulo-endotel

atau akibat dari koagulasi intravaskular.6

2. Identifikasi kuman menggunakan metode isolasi / biakan (kultur)

Diagnosis pasti demam tifoid dapat ditegakkan bila ditemukan bakteri S. typhi dalam

biakan dari darah, urine, feses, sumsum tulang, cairan duodenum atau dari rose spots.

Berkaitan dengan patogenesis penyakit, maka bakteri akan lebih mudah ditemukan dalam

darah dan sumsum tulang pada awal penyakit, sedangkan pada stadium berikutnya di dalam

urine dan feses. Hasil biakan yang positif memastikan demam tifoid akan tetapi hasil negatif

tidak menyingkirkan demam tifoid, karena hasilnya tergantung pada beberapa faktor. Faktor-

faktor yang mempengaruhi hasil biakan meliputi jumlah darah yang diambil, perbandingan

volume darah dari media empedu, waktu pengambilan darah, terapi antibiotik, dan riwayat

vaksinasi.7

Volume 10-15 mL dianjurkan untuk anak besar, sedangkan pada anak kecil

dibutuhkan 2-4 mL. Sedangkan volume sumsum tulang yang dibutuhkan untuk kultur hanya

sekitar 0.5-1 mL. Bakteri dalam sumsum tulang ini juga lebih sedikit dipengaruhi oleh

antibiotika daripada bakteri dalam darah. Hal ini dapat menjelaskan teori bahwa kultur

sumsum tulang lebih tinggi hasil positifnya bila dibandingkan dengan darah walaupun

dengan volume sampel yang lebih sedikit dan sudah mendapatkan terapi antibiotika

sebelumnya. Media pembiakan yang direkomendasikan untuk S.typhi adalah media empedu

(gall) dari sapi dimana dikatakan media Gall ini dapat meningkatkan positivitas hasil karena

hanya S. typhi dan S. paratyphi yang dapat tumbuh pada media tersebut.8

Biakan darah terhadap Salmonella juga tergantung dari saat pengambilan pada

perjalanan penyakit. Beberapa peneliti melaporkan biakan darah positif 40-80% dari

penderita pada minggu pertama sakit dan positif 10-50% pada akhir minggu ketiga.9

Sensitivitasnya akan menurun pada sampel penderita yang telah mendapatkan antibiotika dan

meningkat sesuai dengan volume darah dan rasio darah dengan media kultur yang dipakai.

7

Page 8: PBL 12 Reg

Bakteri dalam feses ditemukan meningkat dari minggu pertama (10-15%) hingga minggu

ketiga (75%) dan turun secara perlahan. Biakan urine positif setelah minggu pertama. Biakan

sumsum tulang mempunyai sensitivitas paling tinggi dengan hasil positif didapat pada 55-

67% kasus dan sering tetap positif selama perjalanan penyakit dan menghilang pada fase

penyembuhan. Metode ini terutama bermanfaat untuk penderita yang sudah pernah

mendapatkan terapi atau dengan kultur darah negatif sebelumnya.8,9

Kegagalan dalam isolasi/biakan dapat disebabkan oleh keterbatasan media yang

digunakan, adanya penggunaan antibiotika, jumlah bakteri yang sangat minimal dalam darah,

volume spesimen yang tidak mencukupi, dan waktu pengambilan spesimen yang tidak

tepat.4,12 Walaupun spesifisitasnya tinggi, pemeriksaan kultur mempunyai sensitivitas yang

rendah dan adanya kendala berupa lamanya waktu yang dibutuhkan (5-7 hari) serta peralatan

yang lebih canggih untuk identifikasi bakteri sehingga tidak praktis dan tidak tepat untuk

dipakai sebagai metode diagnosis baku dalam pelayanan penderita. 8,9

3. Identifikasi kuman menggunakan uji serologis

Uji serologis digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis demam tifoid

dengan mendeteksi antibodi spesifik terhadap komponen antigen S. typhi maupun mendeteksi

antigen itu sendiri. Volume darah yang diperlukan untuk uji serologis ini adalah 1-3 mL yang

diinokulasikan ke dalam tabung tanpa antikoagulan.4

Metode pemeriksaan serologis imunologis ini dikatakan mempunyai nilai penting

dalam proses diagnostik demam tifoid. Akan tetapi masih didapatkan adanya variasi yang

luas dalam sensitivitas dan spesifisitas pada deteksi antigen spesifik S. typhi oleh karena

tergantung pada jenis antigen, jenis spesimen yang diperiksa, teknik yang dipakai untuk

melacak antigen tersebut, jenis antibodi yang digunakan dalam uji (poliklonal atau

monoklonal) dan waktu pengambilan spesimen (stadium dini atau lanjut dalam perjalanan

penyakit). 5,8,9

Uji Widal

Uji Widal merupakan suatu metode serologi baku dan rutin digunakan

sejak tahun 1896. Prinsip uji Widal adalah memeriksa reaksi antara antibodi

aglutinin dalam serum penderita yang telah mengalami pengenceran berbeda-

beda terhadap antigen somatik (O) dan flagella (H) yang ditambahkan dalam

8

Page 9: PBL 12 Reg

jumlah yang sama sehingga terjadi aglutinasi. Pengenceran tertinggi yang

masih menimbulkan aglutinasi menunjukkan titer antibodi dalam serum.

Namun sensitivitasnya hanya 47-77% dan spesifisitas 50-92% , sehingga tes

Widal tidak selalu dapat dipakai untuk menegakkan diagnosa demam tifoid,

terutama di daerah endemik . 2,10,11

Teknik aglutinasi ini dapat dilakukan dengan menggunakan uji

hapusan (slide test) atau uji tabung (tube test). Uji hapusan dapat dilakukan

secara cepat dan digunakan dalam prosedur penapisan sedangkan uji tabung

membutuhkan teknik yang lebih rumit tetapi dapat digunakan untuk

konfirmasi hasil dari uji hapusan. Penderita demam tifoid akan membentuk

aglutinin O, aglutinin H, serta aglutinin Vi. Untuk menegakkan diagnosa

demam tifoid, kita menggunakan aglutinin O dan H. Proses pembentukkan

aglutinin terjadi pada akhir minggu pertama demam yang akan meningkat

nantinya dan mencapai puncak pada minggu keempat. Fase akut tifoid

ditandai dengan munculnya aglutinin O, kemudian aglutinin H. Sedangkan

pada penderita yang sudah sembuh , aglutinin O akan tetap terlihat setelah 4-6

bulan, dan aglutinin H akan menetap 9-12 bulan setelah sembuh. Maka dari

itu, tes Widal tidak bisa untuk menetapkan kesembuhan dari demam tifoid.11

Interpretasi dari uji Widal ini harus memperhatikan beberapa faktor

antara lain sensitivitas, spesifisitas, stadium penyakit; faktor penderita seperti

status imunitas dan status gizi yang dapat mempengaruhi pembentukan

antibodi; gambaran imunologis dari masyarakat setempat (daerah endemis

atau non-endemis); faktor antigen; teknik serta reagen yang digunakan.9,11

Kelemahan uji Widal yaitu rendahnya sensitivitas dan spesifisitas serta

sulitnya melakukan interpretasi hasil membatasi penggunaannya dalam

penatalaksanaan penderita demam tifoid akan tetapi hasil uji Widal yang

positif akan memperkuat dugaan pada tersangka penderita demam tifoid

(penanda infeksi). Saat ini walaupun telah digunakan secara luas di seluruh

dunia, manfaatnya masih diperdebatkan dan sulit dijadikan pegangan karena

belum ada kesepakatan akan nilai standar aglutinasi (cut-off point). Untuk

mencari standar titer uji Widal seharusnya ditentukan titer dasar (baseline

9

Page 10: PBL 12 Reg

titer) pada anak sehat di populasi dimana pada daerah endemis seperti

Indonesia akan didapatkan peningkatan titer antibodi O dan H pada anak-anak

sehat. Pada penderita demam tifoid dengan gejala klinis yang khas , reaksi

Widal dengan titer antibodi O 1/320 ataupun titer antibodi H 1/160 dapat

mendukung diagnosa demam tifoid.11

Tes TUBEX

Tes TUBEX merupakan tes aglutinasi kompetitif semi kuantitatif yang

sederhana dan cepat (kurang lebih 5 menit) dengan menggunakan partikel

yang berwarna untuk meningkatkan sensitivitas. Spesifisitas ditingkatkan

dengan menggunakan antigen O9 yang benar-benar spesifik yang hanya

ditemukan pada lipopolisakarida Salmonella serogrup D dan partikel magnetik

yang dilapisi oleh S. typhi. Tes ini sangat akurat dalam diagnosis infeksi akut

karena hanya mendeteksi adanya antibodi IgM dan tidak mendeteksi antibodi

IgG dalam waktu beberapa menit.12

Walaupun belum banyak penelitian yang menggunakan tes TUBEX®

ini, beberapa penelitian pendahuluan menyimpulkan bahwa tes ini mempunyai

sensitivitas dan spesifisitas yang lebih baik daripada uji Widal.4 Sensitivitas

dalam mendiagnosa demam tifoid adalah 78-100%, sedangkan spesifisitasnya 75-

94% terutama pada penderita tifoid dengan hasil kultur positif.12

Uji Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (ELISA)

Uji Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (ELISA) dipakai untuk

melacak antibodi IgG, IgM dan IgA terhadap antigen LPS O9, antibodi IgG

terhadap antigen flagella d (Hd) dan antibodi terhadap antigen Vi S. typhi. Uji

ELISA yang sering dipakai untuk mendeteksi adanya antigen S. typhi dalam

spesimen klinis adalah double antibody sandwich ELISA. Pada penderita yang

didapatkan S. typhi pada darahnya, uji ELISA pada sampel urine didapatkan

sensitivitas 65% pada satu kali pemeriksaan dan 95% pada pemeriksaan serial

serta spesifisitas 100%.13

Uji Typidot

Uji typhidot dapat mendeteksi antibody IgM dan IgG yang terdapat

pada protein membrane luar salmonella typhi. Hasil positif pada uji typhidot 10

Page 11: PBL 12 Reg

didapatkan 2-3 hari setelah infeksi. Tes ini dinyatakan positif apabila IgM dan

IgG atau IgM saja berubah warna menjadi lebih gelap . Negatif apabila tidak

terjadi perubahan warna.14

Uji Dipstik

Uji serologis dengan pemeriksaan dipstik dikembangkan di Belanda

dimana dapat mendeteksi antibodi IgM spesifik terhadap antigen LPS S. typhi

dengan menggunakan membran nitroselulosa yang mengandung antigen S.

typhi sebagai pita pendeteksi dan antibodi IgM anti-human immobilized

sebagai reagen kontrol. Pemeriksaan ini menggunakan komponen yang sudah

distabilkan, tidak memerlukan alat yang spesifik dan dapat digunakan di

tempat yang tidak mempunyai fasilitas laboratorium yang lengkap. 4,20 Uji ini

terbukti mudah dilakukan, hasilnya cepat dan dapat diandalkan dan mungkin

lebih besar manfaatnya pada penderita yang menunjukkan gambaran klinis

tifoid dengan hasil kultur negatif atau di tempat dimana penggunaan

antibiotika tinggi dan tidak tersedia perangkat pemeriksaan kultur secara

luas.15

4. Identifikasi kuman secara molekuler

Metode lain untuk identifikasi bakteri S. typhi yang akurat adalah mendeteksi DNA

(asam nukleat) gen flagellin bakteri S. typhi dalam darah dengan teknik hibridisasi asam

nukleat atau amplifikasi DNA dengan cara polymerase chain reaction (PCR) melalui

identifikasi antigen Vi yang spesifik untuk S. typhi.15

Penelitian oleh Haque dkk (1999) mendapatkan spesifisitas PCR sebesar 100%

dengan sensitivitas yang 10 kali lebih baik daripada penelitian sebelumnya dimana mampu

mendeteksi 1-5 bakteri/mL darah.24 Penelitian lain oleh Massi dkk (2003) mendapatkan

sensitivitas sebesar 63% bila dibandingkan dengan kultur darah (13.7%) dan uji Widal

(35.6%).15,16

Kendala yang sering dihadapi pada penggunaan metode PCR ini meliputi risiko

kontaminasi yang menyebabkan hasil positif palsu yang terjadi bila prosedur teknis tidak

dilakukan secara cermat, adanya bahan-bahan dalam spesimen yang bisa menghambat proses

PCR (hemoglobin dan heparin dalam spesimen darah serta bilirubin dan garam empedu

11

Page 12: PBL 12 Reg

dalam spesimen feses), biaya yang cukup tinggi dan teknis yang relatif rumit. Usaha untuk

melacak DNA dari spesimen klinis masih belum memberikan hasil yang memuaskan

sehingga saat ini penggunaannya masih terbatas dalam laboratorium penelitian. 15,16

Pemeriksaan penunjang lainnya

1. Pemeriksaan fungsi hepar

Peningkatan dari serum glutamic pyruvate transaminase (SGPT/ALT) dan

serum glutamic oxaloacetate transaminase (SGOT/AST) terjadi pada 68,3% dan

92,1%. Gangguan dari fungsi hepar dapat disebabkan beberapa factor antara lain

kerusakan akibat endotoksin, proses inflamasi, atau kerusakan mekanisme imun

sekunder pada penderita. Kadar albumin juga dapat diperiksakan, umumnya penderita

tifoid akan mengalami hipoalbuminemia (39,5%). Serta diikuti dengan proteinuria

(75,2%).10

Diagnosis banding

1. Demam Berdarah Dengue (DBD/DHF)

Demam Berdarah Dengue ialah salah satu jenis penyakit yang disebabkan oleh

virus dengue yang merupakan family virus flavivirus dari flaviviridae. Flavivirus

merupakan virus dengan diameter 30 nm terdiri dari asam ribonukleat rantai tunggal

dengan berat molekul 4x106. terdapat 4 serotipe virus yaitu DEN-1, DEN-2, DEN-3,

dan DEN-4, yang semuanya dapat menyebabkan demam berdarah dengue dan

ditularkan oleh nyamuk dari family Stegomyia. Nyamuk Aedes aegypti yang mengigit

pada siang hari diketahui berperan sebagai vektor utama. Nyamuk ini terutama

berkembang biak pada wadah penyimpanan air minum atau air mandi atau pun air

hujan yang tertampung. 17,18

Infeksi dengue sering ditemukan didaerah beriklim tropic dan subtropik.

Indonesia termasuk daerah beriklim tropic, dan sampai sekarang merupakan daerah

endemis infeksi dengue. Demam dengue ini sudah menjadi masalah kesehatan selama

45 tahun sejak tahun 1968. Kasus DBD meningkat seiring waktu menjadi 32 propinsi

(97%) dan 382 kota/ kabupaten ( 77%) pada tahun 2009. Peningkatan ini dipengaruhi

oleh perpindahan penduduk, perubahan iklim, kepadatan penduduk, dan sanitasi

lingkungan yang buruk. 17

12

Page 13: PBL 12 Reg

Perjalanan klinis terkadang sulit dibedakan dengan penyakit-penyakit yang

disebabkan oleh bakteri dan virus lainnya. Pada DBD, penderita akan melalui 3 fase :

fase demam, fase kritis, dan fase penyembuhan. Pasien akan mengalami demam tinggi

dan tiba- tiba berlangsung 2-7 hari. Demam yang berlangsung lebih dari 10 hari

mungkin tidak disebabkan oleh dengue. Demam disertai kemerahan pada wajah,

eritema, myalgia, atralgia, nyeri retroorbital, sakit kepala, dan eksantem. Karena pada

awal demam, DBD sulit dibedakan dengan demam lainnya. Maka dengan

pemeriksaan tourniquet yang positif akan menguatkan dugaan kerah DBD . Demam

dapat mencapai 39,4-41,1o C. Bercak khas pada penderita demam dengue dapat

bersifat makulopapular ataupun makular saja dan tersebar di daerah muka, toraks, dan

permukaan tubuh lainnya. Bercak ini umumnya baru akan muncul pada hari ketiga

dan bertahan selama 2-3 hari. Lalu, pada masa kritis, pasien akan merasakan tidak

demam dan dapat terjadi rembesan plasma ( plasma leakage) sehingga dapat

menimbulkan syok bila dehidrasi dan tidak ditangani dengan baik. Biasanya pada fase

kritis, pasien akan mengeluh timbulnya gejala warning sign, seperti nyeri perut,

vomitus yang berat, akumulasi cairan, pendarahan mukosa, kesadaran menurun,

peningkatan hematocrit, dan trombositopenia yang cepat. Pada masa demam, DBD

dapat didiagnosis banding dengan demam tifoid, leptospirosis, dan malaria 19,20

2. Malaria

Malaria merupakan penyakit yang muncul pada daerah tropis yang

membahayakan nyawa yang disebabkan oleh infeksi protozoa bernama Plasmodium

yang ditransmisikan oleh nyamuk Anopheles sp. betina. Plasmodium termasuk dalam

famili plasmodidale. Selain menginfeksi manusia juga menginfeksi binatang seperti

golongan burung, reptil dan mamalia. malaria Plasmodium ini pada manusia

menginfeksi eritrosit dan mengalami pembiakan aseksual di jaringan hati dan eritrosit.

Pembiakan seksual terjadi pada tubuh nyamuk. Malaria memiliki masa periodisitas

demamnya pada siang hari. Malaria yang sudah dikenal sejak lama, merupakan salah

satu jenis penyakit yang potensial menyebabkan kematian. Malaria terutama ditandai

dengan gejala klinis yang khas, yaitu berupa demam yang naik turun secara teratur

disertai dengan menggigil, walaupun terkadang malaria disertai dengan gejala-gejala

lain yang lebih bervariasi.21

13

Page 14: PBL 12 Reg

Malaria mempunyai gambaran karakteristik (trias malaria) yaitu demam

periodik, anemia dan splenomegali. Ciri khas demam malaria adalah periodisitasnya

Keluhan prodormal dapat terjadi sebelum terjadinya demam yaitu berupa kelesuan,

malaise, vomitus, sakit kepala, nyeri sendi dan tulang, demam ringan , anoreksia, dan

menggigil.22

Masa tunas intrinsik pada malaria adalah waktu antara sporozoit masuk dalam

badan hospes sampai timbulnya gejala demam (first attact), tergantung pada spesies

parasit (terpendek untuk P. falciparum dan terpanjang untuk P.malariae), beratnya

infeksi dan pada pengobatan sebelumnya atau pada derajat resistensi hospes. Pada

infeksi malaria, demam secara periodik berhubungan dengan waktu pecahnya

sejumlah skizon matang dan keluarnya merozoit yang masuk dalam aliran darah

(sporulasi). Pada malaria vivax, falciparum dan ovale skizon setiap kelompok menjadi

matang setiap 48 jam sehingga periode demamnya bersifat tersiana. Pada malaria

kuartana yang disebabkan oleh plasmodium malariae, hal ini terjadi dalam 72 jam.23

Tiap serangan terdiri atas beberapa serangan demam yang timbulnya secara

periodik, bersamaan dengan sporulasi. Berat infeksi pada seseorang ditentukan

dengan hitung parasit (parasite count) pada sediaan darah. Demam biasanya bersifat

intermitten (febris intermitten) yaitu memiliki periodisitas suhu normal, dapat juga

remitten yang tidak ada periodisitas suhu normal (febris remitens) atau terus menerus

(febris continua).23

Serangan demam yang khas terdiri atas beberapa stadium :

a) Stadium menggigil dimulai dengan perasaan dingin sekali, sehingga

menggigil. Stadium ini berlangsung antara 15 menit sampai 1 jam.

b) Stadium puncak demam ditandai dengan suhu naik sampai 41°C (106°F) atau

lebih. Stadium ini berlangsung selama 2-6 jam.

c) Stadium sudoris dimulai dengan penderita berkeringat banyak. Suhu turun

dengan cepat. Penderita biasanya dapat tidur nyenyak dan waktu bangun,

merasa lemah tetapi sehat. Stadium ini berlangsung 2 sampai 4 jam.

Serangan demam yang khas ini sering dimulai pada siang hari dan

berlangsung 8-12 jam. Setelah itu terjadi stadium apireksia yaitu tidak adanya demam

selama beberapa hari. Lamanya serangan demam ini untuk setiap spesies malaria

tidak sama. Gejala infeksi yang ditimbulkan kembali setelah serangan pertama disebut

relaps. Relaps dapat bersifat jangka pendek, yang timbul karena parasit dalam darah

14

Page 15: PBL 12 Reg

(daur eritrosit) menjadi banyak. Demam timbul lagi dalam waktu 8 minggu setelah

serangan pertama hilang. Bisa juga relaps jangka panjang yang timbul karena parasit

daur eksoeritrosit dari hati biasanya, masuk dalam darah dan menjadi banyak,

sehingga demam timbul lagi dalam waktu 24 minggu atau lebih setelah serangan

pertama hilang.23

Splenomegali atau pembesaran limpa merupakan gejala khas terutama pada

malaria yang menahun. Perubahan limpa biasanya disebabkan oleh kongesti, tetapi

kemudian limpa berubah warna menjadi hitam, karena pigmen yang ditimbun dalam

eritrosit yang mengandung kapiler dan sinusoid. Eritrosit yang tampaknya normal dan

yang mengandung parasit dan butir-butir hemozoin tampak dalam histiosit di pulpa

dan sel epitel sinusoid. Pigmen tampak bebas atau dalam sel fagosit raksasa. Terjadi

hiperplasia, sinus melebar dan kadang-kadang trombus dalam kapiler dan fokus

nekrosis tampak dalam pulpa limpa. Pada malaria menahun jaringan ikat bertambah

tebal, sehingga limpa menjadi keras.23

Pada malaria dapat terjadi anemia. Derajat anemia tergantung pada spesies

parasit yang menyebabkannya. Anemia terutama tampak jelas pada malaria

falsiparum dengan penghancuran eritrosit yang cepat dan hebat dan juga pada malaria

menahun. Pada serangan akut kadar hemoglobin turun secara mendadak.23

Anemia disebabkan beberapa faktor :

a) Penghancuran eritrosit yang mengandung parasit dan yang tidak mengandung

parasit terjadi di dalam limpa, dalam hal ini faktor auto imun memegang

peran.

b) Reduced survival time, maksudnya eritrosit normal yang tidak mengandung

parasit tidak dapat hidup lama.

c) Diseritropoesis yakni gangguan dalam pembentukan eritrosit karena depresi

eritropoesis dalam sumsum tulang.

3. Leptospirosis

Leptospirosis disebabkan oleh genus Leptospira, famili treponematacae, suatu

mikroorganisme Spirochaeta. Secara sederhana, genus Leptospira terdiri atas dua

spesies : Leptospira interrogans yang patogen dan Leptospira biflexa yang non

patogen. Spesies L. interrogans dibagi menjadi beberapa serogrup dan serogrup ini

dibagi menjadi banyak serovar menurut komposisi antigennya. Saat ini telah

ditemukan lebih dari 250 serovar yang tergabung dalam 23 serogrup. Menurut

15

Page 16: PBL 12 Reg

beberapa peneliti, yang tersering menginfeksi manusia adalah L. icterohaemorrhagiae

dengan reservoir tikus, L. canicola dengan reservoir anjing, dan L. pomona dengan

reservoir sapi dan babi.24

Leptospirosis tersebar di seluruh dunia, disemua benua kecuali benua

Antartika, namun terbanyak didapati didaerah tropis. Leptospira bisa terdapat pada

binatang piaraan seperti anjing, babi, lembu, kuda, kucing, marmut atau binatang-

binatang pengerat lainnya seperti tikus, tupai, musang, kelelawar, dan lain sebagainya.

Di dalam tubuh binatang tersebut, leptospira hidup di dalam ginjal. Tikus merupakan

vektor yang utama dari L. icterohaemorrhagica penyebab leptospirosis pada manusia.

Dalam tubuh tikus, leptospira akan menetap dan membentuk koloni serta berkembang

biak di dalam epitel tubulus ginjal tikus dan secara terus menerus dan ikut mengalir

dalam filtrat urine. Penyakit ini bersifat musiman, di daerah beriklim sedang masa

puncak insidens dijumpai pada musim panas dan musim gugur, karena temperatur

adalah faktor yang mempengaruhi kelangsungan hidup leptospira, sedangkan didaerah

tropis insidens tertinggi terjadi selama musim hujan.24 Manusia biasanya merupakan

hospes akhir, penularan antar manusia sangat langka. Sebagian besar kasus terjadi

pada laki-laki dewasa muda. Kontak tidak langsung dengan hewan terinfeksi, melalui

air atau tanah yang tercemar urin terinfeksi, merupakan sebab yang lebih sering

terjadi pada manusia, bila dibandingkan dengan kontak langsung.25

International Leptospirosis Society menyatakan Indonesia sebagai negara

dengan insidens leptospirosis tinggi dan peringkat ketiga di dunia untuk mortalitas. Di

Indonesia Leptospirosis ditemukan di DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, DI

Yogyakarta, Lampung, Sumatera Selatan, Bengkulu, Riau, Sumatera Barat, Sumatera

Utara, Bali, NTB, Sulawesi Selatan, Sulawesi Utara, Kalimantan Timur, dan

Kalimantan Barat. Pada kejadian banjir besar di Jakarta tahun 2002, dilaporkan lebih

dari seratus kasus leptospirosis dengan 20 kematian. Manifestasi klinik pada

leptospirosis berkaitan dengan penyakit febril/dengan gejala demam umum dan tidak

cukup khas untuk menegakkan diagnosis. Secara khas penyakit ini bersifat bifasik,

dengan fase leptospiremik yang diikuti fase leptospirurik/imun. Tiga sistem organ

yang paling sering terkena adalah susunan saraf pusat, ginjal, dan hati.25

16

Page 17: PBL 12 Reg

Fase leptospiraemia ini ditandai dengan adanya leptospira di dalam darah dan

cairan serebrospinal, berlangsung secara tiba-tiba dengan gejala awal sakit kepala

biasanya di frontal, rasa sakit pada otot yang hebat terutama pada paha, betis dan

pinggang disertai nyeri tekan. Mialgia dapat diikuti dengan hiperestesi (peningkatan

sensitivitas dengan menstimulus reseptor) kulit, demam tinggi yang disertai

menggigil, juga didapati mual dengan atau tanpa muntah disertai mencret, bahkan

pada sekitar 25% kasus disertai penurunan kesadaran. Pada pemeriksaan keadaan

sakit berat, bradikardi relatif, dan ikterus (50%). Pada hari ke 3-4 dapat dijumpai

adanya konjungtiva suffusion dan fotofobia. Pada kulit dapat dijumpai rash yang

berbentuk makular, makulopapular atau urtikaria. Kadang-kadang dijumpai

splenomegali, hepatomegali, serta limfadenopati. Fase ini berlangsung 4-7 hari. Jika

cepat ditangani pasien akan membaik, suhu akan kembali normal, penyembuhan

organ-organ yang terlibat dan fungsinya kembali normal 3-6 minggu setelah onset.

Pada keadaan sakit yang lebih berat demam turun setelah 7 hari diikuti oleh bebas

demam selama 1 -3 hari, setelah itu terjadi demam kembali. Keadaan ini disebut fase

kedua atau fase imun.24,25

Fase imun ini ditandai dengan peningkatan titer antibodi, dapat timbul demam

yang mencapai suhu 40° C disertai menggigil dan kelemahan umum. Terdapat rasa

sakit yang menyeluruh pada leher, perut dan otot-otot kaki terutama otot betis.

Terdapat perdarahan berupa epistaksis, gejala kerusakan pada ginjal dan hati, uremia,

ikterik. Perdarahan paling jelas terlihat pada fase ikterik, purpura, petechiae,

epistaksis, perdarahan gusi merupakan manifestasi perdarahan yang paling sering.

Conjunctiva injection dan conjungtival suffusion dengan ikterus merupakan tanda

patognomosis untuk leptospirosis. Terjadinya meningitis merupakan tanda pada fase

ini, walaupun hanya 50% gejala dan tanda meningitis. Tanda- tanda meningeal dapat

menetap dalam beberapa minggu, tetapi biasanya menghilang setelah 1-2 hari. Pada

fase ini leptospira dapat dijumpai dalam urin.24,25

4. Infeksi Saluran Kemih (ISK)

Infeksi saluran kemih adalah infeksi yang terjadi di sepanjang saluran kemih,

termasuk ginjal itu sendiri, akibat proliferasi suatu mikroorganisme. Infeksi saluran

kemih dapat terjadi karena adanya infeksi di saluran bagian atas, seperti pielonefritis.

Atau dari bagian bawah seperti sistisis atau prostatitis pada laki-laki. Sebagian besar

17

Page 18: PBL 12 Reg

infeksi saluran kemih disebabkan oleh bakteri, tetapi jamur dan virus juga dapat

menjadi penyebabnya. Infeksi bakteri yang paling sering disebabkan oleh E. coli,

suatu kontaminan tinja yang sering ditemukan didaerah anus. Infeksi saluran kemih

sering terjadi pada wanita. Salah satu penyebabnya adalah uretra wanita yang lebih

pendek sehingga bakteri lebih mudah mendapatkan akses ke kandung kemih. Uretra

yang lebih pendek meningkatkan kemungkinan mikroorganisme yang menempel pada

lubang uretra selama berhubungan kelamin memiliki akses ke kandung kemih. Faktor

lain yang berperan meningkatkan infeksi saluran kemih pada wanita adalah

kecenderungan untuk menahan membuang urine. Infeksi saluran kemih juga dapat

terjadi pada pria , meskipun jarang terjadi. Biasanya terjadi pada pria dengan usia

lanjut, dikarenakan hyperplasia prostat jinak atau prostatitis. Pemasangan kateter yang

tidak benar juga dapat menyebabkan infeksi salurana kemih.26

Gambaran klinis infeksi saluran kemih akut antara lain nyeri pada saat

berkemih terutama pada sistisis, peningkatan frekuensi berkemih, dapat terjadi nyeri

punggung bawah atau suprapubis terutama pada pielonefritis, demam menggigil,

kurang nafsu makan, vomitus, nyeri pinggang, dan mual. Pada keadaan kornis, dapat

terjadi hipertensi dan akhirnya menimbulkan gagal ginjal.26

Diagnosis kerja: Demam Tifoid

Diagnosis ditegakkan dengan melakukan pemeriksaan-pemeriksaan penunjang yang

telah dijelaskan diatas. Berdasarkan kasus yang ada, kemungkinan besar yang dialami oleh

pasien tersebut ialah demam tifoid.

Etiologi

Salmonella adalah genus yang termasuk famili Enterobakteriasiae dan berisi tiga

spesies : S. typhi, S. choleraesuis dan S.enteritidis. Dua spesies pertama masing-masing

mempunyai satu serotip, tetapi S. enteritidis berisi lebih dari 1800 serotip yang berbeda. Agar

tidak repot, serotip kadang-kadang secara artifisial diidentifikasi seakan-akan mereka spesies

Salmonella (misal, S. typhimurium).27

Genus Salmonella terdiri lebih dari 2600 serovar/serotype. Berdasarkan rekomendasi

dari WHO, genus Salmonella dibagi menjadi 2 spesies yaitu S.enterica dan S. bongori.

Spesies S.enterica terdiri dari 6 subspesies yang didasarkan pada perbedaan karakter/reaksi

biokimiawi dan sifat-sifat genomiknya. Subspesies I adalah serovar yang dapat menyebabkan

penyakit pada manusia dan hewan-hewan berdarah panas (contoh: serotype typhi dan

18

Page 19: PBL 12 Reg

paratyphi). Salmonella diklasifikasikan menjadi serovar berdasarkan perbedaan susunan

antigen somatik (O) atau lipopolisakarida dan antigen protein flagella (H). Antigen lain

adalah polisakarida kapsul virulen (Vi) ada pada S. typhi dan jarang ditemukan pada strain S.

paratyphi C (S. hirschfeldii).27

Pada umumnya infeksi Salmonella pada hospes terjadi karena pengaruh factor

kemampuan adaptasi serovar Salmonella pada tipe hospesnya. Berdasarkan pada factor

tersebut terdapat 3 kelompok serovar penyebab penyakit pada manusia dan atau hewan.

Kelompok I merupakan serovar S. enterica yang bersifat patogen dan menyebabkan penyakit

hanya pada manusia atau primate tingkat tinggi seperti S. typhi, S. paratyphi A,B, dan C.

Kelompok ini merupakan agen penyebab demam tifoid dan paratifoid.27

Salmonella sp. adalah bakteri batang lurus, gram negatif, tidak berspora, bergerak

dengan flagel peritrik, berukuran 2-4 μm x 0.5-0,8 μm. Salmonella sp. tumbuh cepat dalam

media yang sederhana, hampir tidak pernah memfermentasi laktosa dan sukrosa, membentuk

asam dan kadang gas dari glukosa dan manosa, biasanya memproduksi hidrogen sulfide atau

H2S. Salmonella sp. tahan hidup dalam air yang dibekukan dalam waktu yang lama, bakteri

ini resisten terhadap bahan kimia tertentu (misalnya hijau brillian, sodium tetrathionat,

sodium deoxycholate) yang menghambat pertumbuhan bakteri enterik lain.28

Organisme Salmonella tumbuh secara aerobik dan mampu tumbuh secara anaerobik

fakultatif. Mereka resisten terhadap banyak agen fisik tetapi dapat dibunuh dengan

pemanasan sampai 130oF (54,4oC) selama 1 jam atau 140oF (60oC) selama 15 menit. Mereka

tetap dapat hidup pada suhu sekeliling atau suhu yang rendah selama beberapa hari dan dapat

bertahan hidup selama berminggu-minggu dalam sampah, bahan makanan kering, agen

farmakeutika dan bahan tinja.24

Gambar 1. Salmonella typhi 1

Epidemiologi

Demam tifoid merupakan salah satu penyakit infeksi yang tersebar di seluruh dunia,

dan menjadi endemis terutama di kawasan Asia, Afrika, dan Amerika Selatan. Infeksi

19

Page 20: PBL 12 Reg

Salmonella typhi tetap menjadi salah satu masalah kesehatan terutama di Negara

berkembang. Berdasarkan data tahun 2000, di dunia terdapat episode tifoid sebesar 2,16 juta

yang menyebabkan angka mortalitas tertinggi yakni 90%.29 Infeksi S.typhi ditransmisikan

secara orofekal maka erat kaitannya dengan kualitas air bersih serta sanitasi buruk. Populasi

di Asia Tenggara yang umumnya terkena adalah usia kurang dari 5 tahun dengan resiko

tinggi terjadinya komplikasi dan rawat inap. Prevalensi dari demam tifoid berdasarkan data

dari Communicable Disease Centre ( CDC) dilaporkan sebesar 358-810 per 100.000 populasi

dengan 64% diantaranya terjadi pada usia 3-19 tahun.30

Di Jakarta, demam tifoid merupakan penyebab kedua dari terjadinya gastroenteritis

dengan tingkat mortalitas tinggi. Tingkat mortalitas sebesar 3,1-10,4% diantara penderita

demam tifoid yang rawat inap. Salah satu studi survailans dilakukan di 5 negara Asia,

termasuk Indonesia dan Indonesia mendapatkan peringkat kedua dengan angka insiden

tertinggi setelah India.30

Setelah infeksi nyata atau subklinis, beberapa individu terus menyimpan salmonella di

dalam jaringan selama waktu yang tidak tentu (carrier chronic sehat). Tiga persen individu

yang sembuh dari tifoid menjadi carrier permanen, mempunyai organisme di dalam kantung

empedu, saluran empedu atau kadang-kadang di dalam usus atau saluran kemih. Sumber-

sumber infeksi yang penting adalah air yang berkontaminasi dengan feses sering

menimbulkan epidemic yang luas, susu dan produk susu apabila pasteurisasi tidak adekuat,

kerang, telur beku atau dikeringkan, daging dan produk daging serta hewan peliharaan seperti

anjing, kucing, kura-kura, dll.28

Patofisiologis dan Patogenesis

Masuknya kuman Salmonella thypi dan Salmonella parathypi ke dalam tubuh

manusia terjadi melalui makan yang terkontaminasi kuman. Sebagian kuman dimusnahkan

dalam lambung, sebagian lolos masuk ke dalam usus dan selanjutnya berkembang biak. Bila

respon imunitas humoral mukosa (IgA) usus kurang baik maka kuman akan menembus sel-

sel epitel (terutama sel M) selanjutnya ke lamina propia. Di lamina propia kuman

berkembang biak dan difagosit oleh sel-sel fagosit terutama makrofag dan selanjutnya dibawa

ke plaque Peyeri ileum distal dan kemudian ke kelenjar getah bening mesenterika.

Selanjutnya melalui duktus torasikus kuman yang terdapat di dalam makrofag ini masuk ke

dalam sirkulasi darah (mengakibatkan bakterimia pertama yang asimptomatik) dan menyebar

ke seluruh organ retikuloendotelial tubuh terutama hati dan limfa. Di organ-organ ini kuman

20

Page 21: PBL 12 Reg

meninggalkan sel-sel fagosit dan kemudian berkembang biak di luar sel atau ruang sinusoid

dan selanjutnya masuk ke dalam sirkulasi darah lagi mengakibatkan bakterimia yang kedua

kalinya dengan disertainya tanda-tanda dan gejala penyakit infeksi sistemik.24

Gambar 2. Bakteriemi pertama dan diikuti bakteriemi kedua2

Di dalam hati, kuman masuk ke dalam kandung empedu, berkembang biak dan

bersama cairan empedu dieksresikan secara intermittent ke dalam lumen usus. Sebagian

kuman dikeluarkan melalui feses dan sebagian masuk lagi ke dalam sirkulasi setelah

menembus usus. Proses yang sama terulang kembali, berhubung makrofag yang telah

teraktivasi dan hiperaktif maka saat fagositosis kuman Salmonella terjadi pelepasan beberapa

mediator inflamasi yang selanjutnya akan menimbulkan gejala reaksi inflamasi sistemik

seperti demam, malaise, myalgia, sakit kepala, sakit perut, instabilitas vascular, gangguan

mental dan koagulasi.24

Di dalam plaque Peyeri makrofag hiperaktif menimbulkan reaksi hyperplasia jaringan

(S.thypi intra makrofag menginduksi reaksi hipersensitivitas tipe lamban, hyperplasia

jaringan dan nekrosis organ). Perdarahan saluran cerna dapat terjadi akibat erosi pembuluh

darah sekitar plaque Peyeri yang sedang mengalami nekrosis dan hyperplasia akibat

akumulasi sel-sel mononuclear di dinding usus. Proses patologis jaringan limfoid ini dapat

berkembang hingga ke lapisan otot, serosa usus dan dapat mengakibatkan perforasi.

Endotoksin dapat menempel di reseptor sel endotel kapiler dengan akibat adanya komplikasi

seperti gangguan neuropsikiatrik, kardiovaskular, pernapasan, dan gangguan organ lain.24

Manifestasi klinik

Masa tunas demam tifoid berlangsung antara 10-14 hari. Gejala-gejala klinis yang

timbul sangat bervariasi dari yang ringan sampai yang berat, dari yang asimtomatik hingga

21

Page 22: PBL 12 Reg

gambaran penyakit yang khas disertai komplikasi hingga kematian. Biasanya jika gejala khas

itu yang tampak, diagnosis kerja pun bisa langsung ditegakkan. Gejala- gejala demam tifoid

adalah sebagai berikut.21

Minggu Pertama (awal terinfeksi)

Setelah melewati masa inkubasi 10-14 hari, gejala penyakit itu pada awalnya sama

dengan penyakit infeksi akut yang lain, seperti demam tinggi yang berpanjangan yaitu

setinggi 39ºC hingga 40ºC, sakit kepala, pusing, pegal-pegal, anoreksia, mual,

muntah,batuk, dengan nadi antara 80-100 kali permenit, denyut lemah, pernapasan

semakin cepat , perut kembung dan merasa tak enak,sedangkan diare dan sembelit silih

berganti. Pada akhir minggu pertama, diare lebih sering terjadi. Khas lidah pada penderita

adalah kotor di tengah. Epistaksis dapat dialami oleh penderita sedangkan tenggorokan

terasa kering dan beradang. Jika penderita ke dokter pada periode tersebut, akan

menemukan demam dengan gejala-gejala di atas yang bisa saja terjadi pada penyakit-

penyakit lain juga. Ruam kulit (rash) umumnya terjadi pada hari ketujuh dan terbatas

pada abdomen disalah satu sisi dan tidak merata, bercak-bercak ros (roseola) berlangsung

3-5 hari, kemudian hilang dengan sempurna. Roseola terjadi terutama pada penderita

golongan kulit putih yaitu berupa makula merah tua ukuran 2-4 mm, berkelompok, timbul

paling sering pada kulit perut, lengan atas atau dada bagian bawah, kelihatan memucat

bila ditekan. Limpa menjadi teraba dan abdomen mengalami distensi.21

Minggu Kedua

Jika pada minggu pertama, suhu tubuh berangsur-angsur meningkat setiap hari, yang

biasanya menurun pada pagi hari kemudian meningkat pada sore atau malam hari. Karena

itu, pada minggu kedua suhu tubuh penderita terus menerus dalam keadaan tinggi

(demam). Suhu badan yang tinggi, dengan penurunan sedikit pada pagi hari berlangsung.

Terjadi perlambatan relatif nadi penderita. Yang semestinya nadi meningkat bersama

dengan peningkatan suhu, saat ini relatif nadi lebih lambat dibandingkan peningkatan

suhu tubuh. Gejala toksemia semakin berat yang ditandai dengan keadaan penderita yang

mengalami delirium. Nadi semakin cepat sedangkan tekanan darah menurun,sedangkan

diare menjadi lebih sering yang kadang-kadang berwarna gelap akibat terjadi perdarahan.

Pembesaran hati dan limpa. Perut kembung dan sering berbunyi.21

Minggu Ketiga dan keempat

Suhu tubuh berangsung-angsur turun dan normal kembali di akhir minggu. Hal itu jika

terjadi tanpa komplikasi atau berhasil diobati. Bila keadaan membaik, gejala-gejala akan

22

Page 23: PBL 12 Reg

berkurang dan temperatur mulai turun. Meskipun demikian justru pada saat ini

komplikasi perdarahan dan perforasi cenderung untuk terjadi, akibat lepasnya kerak dari

ulkus. Jika keadaan makin memburuk, dimana toksemia memberat dengan terjadinya

tanda-tanda khas berupa delirium atau stupor, otot-otot bergerak terus, inkontinensia alvi

dan inkontinensia urin. Meteorisme dan timpani masih terjadi, juga tekanan abdomen

sangat meningkat diikuti dengan nyeri perut.21

Relaps

Pada mereka yang mendapatkan infeksi ringan dengan demikian juga hanya

menghasilkan kekebalan yang lemah, kekambuhan dapat terjadi dan berlangsung dalam

waktu yang pendek. Kekambuhan dapat lebih ringan dari serangan primer tetapi dapat

menimbulkan gejala lebih berat daripada infeksi primer tersebut. Sepuluh persen dari

demam tifoid yang tidak diobati akan mengakibatkan timbulnya relaps.24

Komplikasi

Sebagai suatu penyakit sistemik maka hampir semua organ utama tubuh dapat

diserang dan berbagai komplikasi serius dapat terjadi. Beberapa komplikasi yang dapat

terjadi pada demam tifoid yaitu:21,24

Komplikasi intestinal

- Perdarahan intestinal

Pada plaque Peyeri usus yang terinfeksi (terutama ileum terminalis) dapat terbentuk

suatu luka berbentuk lonjong dan memanjang terhadap sumbu usus. Bila luka

menembus lumen usus dan mengenai pembuluh darah maka terjadi perdarahan.

Selanjutnya bila tukak menembus dinding usus maka perforasi dapat terjadi. Selain

karena faktor luka, perdarahan juga dapat terjadi karena gangguan koagulasi darah

(KID) atau gabungan kedua factor. Sekitar 25% penderita demam tifoid dapat

mengalami perdarahan minor yang tidak membutuhkan transfuse darah. Perdarahan

hebat dapat terjadi hingga penderita mengalami syok. Secara klinis perdarahan akut

darurat bedah dapat ditegakkan bila terdapat perdarahan sebanyak 5ml/kgBB/jam

dengan factor hemostatis dalam batas normal. Jika penanganan terlambat, mortalitas

cukup tinggi sekitar 10-32%, bahkan ada yang melaporkan sampai 80%. Bila

transfuse yang diberikan tidak mengimbangi perdarahan yang terjadi maka tindakan

bedah perlu dipertimbangkan.21,24

- Perforasi usus

23

Page 24: PBL 12 Reg

Terjadi sekitar 3% dari penderita yang dirawat. Biasanya timbul pada minggu ketiga

namun dapat pula terjadi pada minggu pertama. Selain gejala umum demam tifoid

yang biasa terjadi maka penderita demam tifoid dengan perforasi mengeluh dengan

nyeri perut yang hebat terutama di daeraha kuadran kanan bawah yang kemudian

menyebar ke seluruh perut dan disertai dengan tanda-tanda ileus. Bising usus

melemah pada 50% penderita dan pekak hati terkadang tidak ditemukan karena

adanya udara bebas di abdomen. Tanda-tanda perforasi lain adalah nadi cepat,

tekanan darah turun dan bahkan dapat syok. Leukositosis dengan pergeseran ke kiri

dapat menyokong adanya perforasi. Bila pada gambaran foto polos abdomen (BNO/3)

ditemuka udara pada rongga peritoneum atau subdiafragma kanan maka hal ini

merupakan nilai yang cukup menentukkan terdapatnya perforasi usus pada demam

tifoid. Beberapa factor yang dapat meningkatkan kejadian adalah perforasi adalah

umur (biasanya berumur 20-30 tahun), lama demam, modalitas pengobatan, beratnya

penyakit dan mobilitas penderita. Antibiotic diberikan secara selektif bukan hanya

untuk mengobati kuman S.thypi tetapi juga untuk mengatasi kuman yang bersifat

fakultatif dan anaerob pada flora usus. Umumnya diberikan antibiotic spectrum luas

dengan kombinasi kloramfenikol dan ampisilin intravena. Untuk kontaminasi usus

dapat diberikan gentamisin/metronidazole. Cairan harus diberikan dalam jumlah yang

cukup serta penderita dipuasakan dan dipasang nasogastric tube. Transfuse darah

dapat diberikan bila terdapat kehilangan darah akibat perdarahan intestinal.21,24

Komplikasi ekstra-intestinal21,24

- Komplikasi kardiovaskular : gagal sirkulasi perifer, miokarditis, tromboflebitis

Miokarditis terjadi pada 1-5% penderita demam tifoid sedangkan kelainan

elektrokardiografi dapat terjadi 10-15% penderita. Pasien dengan miokarditis

biasanya tanpa gejal kardiovaskular atau dapat berupa keluhan sakit dada , gagal

jantung kongestif, aritmia, atau syok kardiogenik. Sedangkan pericarditis sangat

jarang terjadi. Kerusakan miokardium disebabkan oleh S.thypi dan miokarditis

merupakan penyebab kematian utama.

- Komplikasi darah: anemia hemolitik, trombositopenia, KID, thrombosis.

Trombositopenia saja sering kita jumpai, hal ini mungkin terjadi karena menurunnya

trombosit di sumsum tulang selama proses infeksi atau meningkatnya dekstruksi

trombosit di system retikuloendotelial. Obat-obatan juga memegang peranan penting.

Penyebab KID demam tifoid belumlah jelas. Hal-hal yang sering dikemukakan

24

Page 25: PBL 12 Reg

adalah endotoksin mengaktifkan beberapa system biologic, koagulasi dan fibrinolysis.

Pelepasan kini, prostaglandin dan histamine menyebabkan vasokonstriksi dan

kerusakan endotel pembuluh darah dan selanjutnya mengakibatkan perangsangan

mekanisme koagulasi, baik KID kompensata maupun dekompensata. Bila terjadi KID

dekompensata dapat diberikan transfuse darah, substitusi trombosit atau factor

koagulasi bahkan heparin meskipun ada pla yang tidak sependapat tentang manfaat

pemberian heparin pada demam tifoid.

- Komplikasi paru : pneumonia, empyema, pleuritis

- Komplikasi hepatobilier : hepatitis, kolesitisis

Pembengkakan hati ringan sampai sedang dijumpai 50% kasus dengan demam tifoid

lebih banyak dijumpai karena S.thypi daripada S.parathypi. untuk membedakan

apakah hepatitis ini karena tifoid , virus, malaria atau amuba maka perlu diperhatikan

kelainan fisik, parameter laboratorium dan perlu histopatologik hati. Pada demam

tifoid kenaikan enzim transaminase tidak relevan dengan kenaikan serum bilirubin

(untuk membedakan dengan hepatitis oleh karena virus). Hepatitis tifosa dapat terjadi

pada pasien dengan malnutrisi dan system imun yang kurang.

- Komplikasi ginjal : glomerulonephritis, pielonefritis, perinefritis

- Komplikasi neuropsikiatrik/tifoid toksik

Terkadang gejala demam tifoid diikuti suatu sindrom klinis berupa gangguan atau

penurunan kesadaran akut (kesadaran berkabut, apatis, delirium, somnolen, spoor atau

koma) dengan atau disertai kelainan neuroogis lainnya dan dalam pemeriksaan cairan

otak masih dalam batas normal. Diduga factor social ekonomi buruk, tingkat

pendidikan yang rendah, ras, kebangsaan, iklim, nutris, kebudayaan, dan kepercayaan

yang terbelakang ikut mempermudah terjadinya hal tersebut dan meningkatkan angka

kematian.

Penatalaksaan

Trilogy penatalaksanaan demam tifoid adalah:24,31

- Istirahat dan perawatan

Tirah baring dan perawatan professional bertujuan untuk mencegah komplikasi. Tirah

baring dengan perawatan sepenuhnya di tempat seperti makan, minum, mandi, buang

air kecil dan buang air besar akan membantu dan mempercepat masa penyembuhan.

Dalam perawatan perlu sekalidijaga kebersihan tempat tidur, pakaian dan

25

Page 26: PBL 12 Reg

perlengkapan yang dipakai. Posisi pasien perlu diawasi untuk mencegah decubitus

dan pneumonia ortostatik serta hygiene perorangan tetap perlu diperhatikan dan

dijaga.24,31

- Diet dan terapi penunjang (simtomatik dan suportif)

Diet merupakan hal yang cukup penting dalam proses penyembuhan penyakit demam

tifoid karena makanan yang kurang akan menurunkan keadaan umum dan gizi

penderita akan semakin turun serta proses penyembuhan akan menjadi lama. Di masa

lampau penderita demam tifoid diberi diet bubur saring kemudian ditingkatkan

menjadi bubur kasar dan akhirnya diberikan nasi yang perubahan diet tersebut

disesuaikan dengan kesembuhan pasien. Pemberian bubur saring tersbut ditujukan

untuk menghindari komplikasi perdarahan saluran cerna atau perforasi usus. Hal ini

disebabkan ada pendapat bahwa usus harus diistirahatkan. Beberapa peneliti

menunjukkan bahwa pemberian makanan padat yaitu nasi dengn lauk rendah selolusa

dapat diberikan dengan aman kepada pasien tifoid. 24,31

- Pemberian antimikroba

o Kloramfenikol

Di Indonesia kloramfenikol masih merupakan obat pilihan utama untuk mengobati

demam tifoid. Dosis yang diberikan adalah 4 x 500 mg per hari dapat diberikan

secara per oral atau intravena. Diberikan sampai dengan 7 hari bebas panas.

Penyuntikan intramuskular tidak dianjurkan oleh karena hidrolisis ester ini tidak

dapat diramalkan dan tempat suntikan terasa nyeri. Dari pengalaman penggunaan

obat ini dapat menurunkan demam rata rata 2 hari. Penulis lain menyebutkan

penurunan demam dapat terjadi rata rata setelah hari ke-5.

o Tiamfenikol

Dosis dan efektivitas tiamfenikol pada demam tifoid hampir sama dengan

kloramfenikol, akan tetapi komplikasi hematologi seperti kemungkinan anemia

aplastik lebih rendah dibandingkan dengan kloramfenikol. Dosis tiamfenikol

adalah 4 x 500 mg, demam rat rata menurun pada hari ke-5 sampai ke-6.

o Kotrimoksazol

Efektivitas obat inidilaporkan hampir sama dengan kloramfenikol. Dosis untuk

orang dewasa adalah 2 x 2 tablet ( 1 tablet mengandung sulfametoksazol 400 mg

dan 80 mg trimetoprin ) diberikan selama 2 minggu.

o Ampisilin dan amoksisilin26

Page 27: PBL 12 Reg

Kemampuan obat ini untuk menurunkan demam lebih rendah dibandingkan

dengan kloramfenikol, dosis yang dianjurkan berkisar antara 50-150 mg/kgBB

dan digunakan selama 2 minggu.

o Sefalosporin Generasi Ketiga

Hingga saat ini golongan sofalosporin generasi ke 3 yang terbukti efektif untuk

demam tifoid adalah seftriakson, dosis yang dianjurkan adalah 3-4 gram dalam

dekstrosa 100 cc diberikan selama ½ jam perinfus sekali sehari, diberikan selama

3 hingga 5 hari.

o Golongan fluorokuinolon

Golongan ini beberapa jenis bahan sediaan dan atruan pemberiannya :

Norfloksasin dosis 2 x 400 mg/hari selama 14 hari.

Siprofloksasin dosis 2 x 500 mg/hari selama 6 hari.

Ofloksasin dosis 2 x 400 mg/ hari selama 7 hari

Pefloksasin dosis 400 mg/ hari selama 7 hari

Fleroksasin 400 mg/hari selama 7 hari

Demam pada umumnya mengalami lisis pada hari ke-3 atau menjelang hari ke-4.

Hasil penurunan demam lebih sedikit lambar pada penggunaan norfloksasin yang

merupakan fluorokuinolon pertama yang memiliki bioavailabilitas tidak sebaik

fluorokuinolon yang dikembangkan kemudian.

o Kombinasi obat Antimikroba

Kombinasi 2 obat antibiotik atau lebih diindikasikan hanya pada keadaan tertentu

saja antara lain toksik tifoid, peritonitis atau perforasi, serta syok septik, yang

pernah terbukti ditemukan dua macam organisme dalam kultur darah selain

kuman Salmonella.

o Kortikosteroid

Penggunaan steroid hanya diindikasikan pada toksik tifoid atau demam tifoid

mengalami syok septik dengan dosis 3 x 5 mg.24,31

Promosi dan Preventif

Tindakan preventif sebagai upaya pencegahan penularan dan peledakan kasus luar

biasa ( KLB ) demam tifoid mencakup banyak aspek, mulai dari segi kuman Salmonella typhi

sebagai agen penyakit dan faktor penjamu ( host ) serta faktor lingkungan.24

Secara garis besar ada 3 strategi pokok untuk memutuskan transmisi tifoid, yaitu

27

Page 28: PBL 12 Reg

1. Identifikasi dan eradikasi Salmonella typhi baik pada kasus demam tifoid maupun

kasus karier tifoid

Tindakan identifikasi atau penyaringan pengidap kuman S. typhi ini cukup

sulit dan memerlukan biaya cukup besar baik ditinjau daripribadi maupun skala

nasional. Cara pelaksanaanya dapat secara aktif yaitu mendatangi sasaran maupun

pasif menunggu bila ada penerimaan pegawai di suatu instansi atau swasta. Sasaran

aktif lebih diutamakan pada populasi tertentu seperti pengelola sarana makanan dan

minuman baik tingkat usaha rumah tangga, restoran, hotel sampai pabrik beserta

distributornya. Sasaran lainnya adalah yang terkait dengan pelayanan masyarakat,

yaitu petugas kesehatan, guru, petugas kebersihan, pengelola sarana umum lainnya.

2. Pencegahan transmisi langsung dari pasien terinfeksi S. typhi akut maupun

karier

Kegiatan ini dilakukan di rumah sakit, klinik maupun di rumah dan

lingkungan sekitar orang yang telah diketahui terinfeksi S. typhi.

3. Proteksi pada orang yang berisiko terinfeksi.

Sarana proteksi pada populasi ini dilakukan dengan cara vaksinasi tifoid di

daerah endemik maupun hiperendemik. Sasaran vaksinasi tergantung daerahnya

endemis dan non-endemis, tingkat resiko tertularnya yaitu berdasarkan tingkat

hubungan perorangan dan jumlah frekuensinya, serta golongan individu berisiko,

yaitu golongan immunokompromais maupun golongan rentan.24

Di Indonesia telah ada 3 jenis vaksin tifoid, yaitu :

a) Vaksin oral Ty 21 a Vivotif Berna. Vaksin ini tersedia dalam kapsul yang

diminum selang sehari dalam 1 minggu satu jam sebelum makan. Vaksin ini

kontraindikasi pada wanita hamil, ibu menyusui, demam, sedang

mengkonsumsi antibiotik . Lama proteksi 5 tahun.

b) Vaksin parenteral sel utuh : Typa Bio Farma. Dikenal 2 jenis vaksin yakni, K

vaccine (Acetone in activated) dan L vaccine (Heat in activated-Phenol

preserved). Dosis untuk dewasa 0,5 ml, anak 6 – 12 tahun 0,25 ml dan anak 1

– 5 tahun 0,1 ml yang diberikan 2 dosis dengan interval 4 minggu. Efek

samping adalah demam, nyeri kepala, lesu, bengkak dan nyeri pada tempat

suntikan. Kontraindikasi demam,hamil dan riwayat demam pada pemberian

pertama.

28

Page 29: PBL 12 Reg

c) Vaksin polisakarida Typhim Vi Aventis Pasteur Merrieux. Vaksin diberikan

secara intramuscular dan booster setiap 3 tahun.

Tingkat preventif berdasarkan lokasi daerah, yaitu :

Daerah non endemik. Tanpa kejadian outbreak atau epidemi

Sanitasi air dan kebersihan lingkungan

Penyaringan pengelola pembuatan/ distributor/ penjualan makanan minuman

Pencarian dan pengobatan kasus tifoid karier

Bila ada kejadian epidemik tifoid

Pencarian dan eliminasi sumber penularan

Pemeriksaan air minum dan mandi-cuci-kakus

Penyuluhan higiene dan sanitasi pada populasi umum daerah tersebut

Daerah endemik

Memasyarakatkan pengelolaan bahan makanan dan minuman yang memenuhi

standar prosedur kesehatan ( perebusan > 57°C, iodisasi, dan klorinisasi )

Pengunjung ke daerah ini harus minum air yang telah melalui pendidihan,

menjauhi makanan segar (sayur/buah )

Vaksinasi secara menyeluruh pada masyarakat setempat maupun pengunjung.24

Prognosis

Umumnya prognosis tifus abdominalis (demam tifoid) baik, asal penderita cepat

berobat. Prognosis menjadi kurang baik bila terdapat gejala klinis yang berat seperti :

kesadaran menurun sekali, koma atau delirium. Selain itu keadaan gizi penderita yang buruk

(malnutrisi energi protein) juga memperburuk prognosis. Sebanyak 3-5% penderita akan

menjadi carrier.32

Kesimpulan

Jadi, pasien tersebut menderita demam tifoid. Demam tifoid disebabkan oleh kuman

Salmonella thpyi yang dapat masuk ke dalam tubuh kita melalui makanan atau minuman

yang sudah terkontaminasi kuman tersebut. Maka diperlukan penatalaksanaan yang tepat

pada penderita demam tifoid.

29

Page 30: PBL 12 Reg

Daftar Pustaka :

1. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S, editor. Buku ajar ilmu

penyakit dalam. Jakarta: InternaPublishing; 2009.h.25-7; 31-3; 2807-11.

2. Gleadle J. At a glance: anamnesis dan pemeriksaan fisik. Jakarta: Erlangga;

2003.h.10-20.

3. Willms JL, Schneiderman H, Algranati PS. Diagnosis fisik: evaluasi diagnosis dan

fungsi di bangsal. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2005.h.30-2; 277-82;

310-3.

4. Bickley LS. Buku ajar pemeriksaan fisik dan riwayat kesehatan bates. Edisi ke-8.

Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2009.h.11-2.

5. Tumbelaka AR. Tata laksana terkini demam tifoid pada anak. Simposium Infeksi –

Pediatri Tropik dan Gawat Darurat pada Anak. IDAI Cabang Jawa Timur. Malang :

IDAI Jawa Timur, 2005, hal.37-50.

6. Pawitro UE, Noorvitry M, Darmowandowo W. Demam Tifoid. Dalam : Soegijanto S,

Ed. Ilmu Penyakit Anak : Diagnosa dan Penatalaksanaan, edisi 1. Jakarta : Salemba

Medika, 2002:1-43.

7. Tumbelaka AR. Tata laksana terkini demam tifoid pada anak. Simposium Infeksi –

Pediatri Tropik dan Gawat Darurat pada Anak. IDAI Cabang Jawa Timur. Malang :

IDAI Jawa Timur, 2005, hal.37-50.

8. Diagnosis of typhoid fever. Dalam : Background document : The diagnosis, treatment

and prevention of typhoid fever. World Health Organization, 2003;7-18.

9. Parry CM. Typhoid fever. N Engl J Med 2002;347(22):1770-82.

10. Bhutta ZA. Current concepts in the diagnosis and treatment of typhoid fever.

BMJ,2006 Jul 8: 333(7558); p.78-82

11. Kalra SP, Naithani N, Mehta SR, Swamy AJ. Current trends in the management of

typhoid fever. MJAFI 2003;59:130-5.

12. Rahman M, Siddique AK, Tam FC, Sharmin S, Rashid H, Iqbal A, et al. Rapid

detection of early typhoid fever in endemic community children by the TUBEX 09-

antibody test. DIagn Microbiol Infect Dis. 2007 Jul:58(3); p. 275-81

13. Fadeel MA, Crump JA, Mahoney FJ, Nakhla IA, Mansour AM, Reyad B, et al. Rapid

diagnosis of typhoid fever by enzyme-linked immunosorbent assay detection of

30

Page 31: PBL 12 Reg

Salmonella serotype typhi antigens in urine. Am J Trop Med Hyg 2004;70(3):323-8.

[Abstract]

14. Naheed A, Ram PK, Brooks WA, Mintz ED, Hossain MA, Parsons MM, et al.

Clinical value of Tubex and Typhidot rapid diagnostic tests for typhoid fever in an

urban community clinic in Bangladesh. Diagn Microbiol Infect Dis. 2008 Aug;

61(4):381-6

15. Hatta M, Goris MG. Simple dipstick assay for the detection of Salmonella typhi-

specific IgM antibodies and the evolution of the immune response in patients with

typhoid fever. Am J Trop Med Hyg 2002;66(4):416-21.

16. Massi MN, Shirakawa T, Gotoh A, Bishnu A, Hatta M, Kawabata M. Rapid diagnosis

of typhoid fever by PCR assay using one pair of primers from flagellin gene of

Salmonella typhi. J Infect Chemother 2003;9(3):233-7.

17. .Kemenkes RI. Demam berdarah dengue. Buletin Jendela Epidemiologi, 2010. Vol 2;

hal 1-15

18. Noisakran S, Perng GC. Alternate hypothesis on the pathogenesis of dengue

hemorrhagic fever in dengue virus infection, Exp Biol Med, 2008:233; p. 401

19. WHO. Hand Book For Clinical Management of Dengue, 2012; p. 1-83

20. Wahab AS, editor. Ilmu kesehatan anak nelson. Jakarta: EGC; 2004.h.1132-4.1139-

41.

21. Mandal BK, Wilkins EGL, Dunbar EM, Mayon-White RT. Lecture notes: penyakit

infeksi. Jakarta: Penerbit Erlangga; 2008. h.3-6

22. Mehta PN. Pediatric malaria. Medscape 2012 May 17. Available from URL:

http://emedicine.medscape.com/article/998942-overview#aw2aab6b2b2aa

23. Djaenudin , Agoes R. Parasitologi kedokteran ditinjau dari organ tubuh yang diserang.

Jakarta : EGC, 2005; hal 215-6

24. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S, editor. Buku ajar ilmu

penyakit dalam. Jakarta: Interna Publishing; 2009.h.25-7; 31-3; 2807-11

25. Muliawan SY. Bakteri spiral patogen. Jakarta: Penerbit Erlangga; 2008.h.78-9.

26. Corwin E. Buku saku patofisiologi. Jakarta: EGC, 2007; hal 718-20

27. Pietro M, Duncan M. Salmonella infection : clinical, immunological, and molecular

aspects. USA : Cambridge University Press, 2006; p. 2-3

31

Page 32: PBL 12 Reg

28. Jawetz, et al. Mikrobiologi kedokteran Jawetz, Melnick, & Adelberg. Ed 23. Jakarta :

EGC, 2005; hal 243-7

29. Ochiai RL, Acosta CJ, DAnovaro-Holliday MC, Baiqing D, Bhattacharya SK, Agtini

MD, et al. A study of typhoid fever in five Asian countries: disease burden and

implications for controls. Bull World Health Organ, 2008 Apr: 86 (4); p.260-8

30. Moehario LH. The molecular epidemiology of Salmonella Typhi across Indonesia

reveals bacterial migration. J Infect Dev Ctries, 2009:3(8);p 579-84

31. Davey D. At a glance: medicine. Jakarta:Erlangga; 2003.p.298-9

32. Cahyono JB. Vaksinasi cara ampuh cegah penyakit infeksi. Kanisius: Erlangga;

2010.p.143-4

Daftar Gambar :

1. http://www.microbeworld.org/component/jlibrary/?view=article&id=7778

2. http://ramzashiddiq.blogspot.com/2011_02_01_archive.html

32