Patologi Sistem Imun-Hipersensitivitas

19
Patologi Sistem Imun Reaksi Hipersensitivitas Imunitas atau kekebalan adalah sistem pada organisme yang bekerja melindungi tubuh terhadap pengaruh biologis luar dengan mengidentifikasi dan membunuh patogen serta sel tumor, sehingga tubuh bebas patogen dan aktivitas dapat berlangsung dengan baik. Selain dapat menghindarkan tubuh diserang patogen, imunitas juga dapat menyebabkan penyakit, diantaranya hipersensitivitas dan autoimun. Hipersensitivitas adalah respon imun yang merusak jaringan tubuh sendiri. Reaksi hipersensitivitas terbagi menjadi empat tipe berdasarkan mekanisme dan lama waktu reaksi hipersensitif, yaitu reaksi hipersensitivitas tipe I, tipe II, tipe III, dan tipe IV.. Hipersensitivitas Tipe I (Hipersensitivitas Tipe Cepat Atau Anafilataksis) Reaksi hipersensitivitas tipe I merupakan reaksi alergi yang terjadi karena terpapar antigen spesifik yang dikenal sebagai alergen. Dapat terpapar dengan cara ditelan, dihirup, disuntik, ataupun kontak langsung. Perbedaan antara respon imun normal dan hipersensitivitas tipe I adalah adanya sekresi IgE yang dihasilkan oleh sel plasma. Antibodi ini akan berikatan dengan respetor Fc pada permukaan jaringan sel mast dan basofil. Sel mast dan basofil yang dilapisi oleh IgE akan tersensitisasi (fase sensitisasi). Karena sel B memerlukan waktu untuk menghasilkan IgE, maka pada kontak pertama, tidak terjadi apa-apa. Waktu yang diperlukan bervariasi dari 15-30 menit hingga 10-20 jam. Adanya alergen pada kontak pertama menstimulasi sel B untuk memproduksi antibodi, yaitu IgE. IgE kemudian masuk ke aliran darah dan berikatan dengan reseptor di sel mastosit dan basofil sehingga sel mastosit atau basofil menjadi tersensitisasi. Pada saat kontak ulang dengan alergen, maka alergen akan berikatan dengan IgE yang berikatan dengan antibody di sel mastosit atau basofil dan menyebabkan terjadinya granulasi. Degranulasi menyebakan pelepasan mediator inflamasi primer dan sekunder. Mediator primer menyebabkan eosinofil dan neutrofil serta menstimulasi terjadinya urtikaria, vasodilatasi, meningkatnya permiabilitas vaskular, Sedangkan mediator sekunder menyebakan menyebakan peningkatan 2

Transcript of Patologi Sistem Imun-Hipersensitivitas

Page 1: Patologi Sistem Imun-Hipersensitivitas

Patologi Sistem Imun

Reaksi Hipersensitivitas

Imunitas atau kekebalan adalah sistem pada organisme yang bekerja

melindungi tubuh terhadap pengaruh biologis luar dengan mengidentifikasi dan

membunuh patogen serta sel tumor, sehingga tubuh bebas patogen dan aktivitas dapat

berlangsung dengan baik.

Selain dapat menghindarkan tubuh diserang patogen, imunitas juga dapat

menyebabkan penyakit, diantaranya hipersensitivitas dan autoimun. Hipersensitivitas

adalah respon imun yang merusak jaringan tubuh sendiri. Reaksi hipersensitivitas

terbagi menjadi empat tipe berdasarkan mekanisme dan lama waktu reaksi

hipersensitif, yaitu reaksi hipersensitivitas tipe I, tipe II, tipe III, dan tipe IV..

Hipersensitivitas Tipe I (Hipersensitivitas Tipe Cepat Atau Anafilataksis)

Reaksi hipersensitivitas tipe I merupakan reaksi alergi yang terjadi karena

terpapar antigen spesifik yang dikenal sebagai alergen. Dapat terpapar dengan cara

ditelan, dihirup, disuntik, ataupun kontak langsung. Perbedaan antara respon imun

normal dan hipersensitivitas tipe I adalah adanya sekresi IgE yang dihasilkan oleh sel

plasma. Antibodi ini akan berikatan dengan respetor Fc pada permukaan jaringan sel

mast dan basofil. Sel mast dan basofil yang dilapisi oleh IgE akan tersensitisasi (fase

sensitisasi). Karena sel B memerlukan waktu untuk menghasilkan IgE, maka pada

kontak pertama, tidak terjadi apa-apa. Waktu yang diperlukan bervariasi dari 15-30

menit hingga 10-20 jam.

Adanya alergen pada kontak pertama menstimulasi sel B untuk memproduksi

antibodi, yaitu IgE. IgE kemudian masuk ke aliran darah dan berikatan dengan

reseptor di sel mastosit dan basofil sehingga sel mastosit atau basofil menjadi

tersensitisasi. Pada saat kontak ulang dengan alergen, maka alergen akan berikatan

dengan IgE yang berikatan dengan antibody di sel mastosit atau basofil dan

menyebabkan terjadinya granulasi. Degranulasi menyebakan pelepasan mediator

inflamasi primer dan sekunder. Mediator primer menyebabkan eosinofil dan neutrofil

serta menstimulasi terjadinya urtikaria, vasodilatasi, meningkatnya permiabilitas

vaskular, Sedangkan mediator sekunder menyebakan menyebakan peningkatan

2

Page 2: Patologi Sistem Imun-Hipersensitivitas

pelepasan metabolit asam arakidonat (prostaglandin dan leukotrien) and protein

(sitokin and enzim).

Mediator Primer :

- Histamine :Meningkatnya permiabilitas pembuluh darah dan kontraksi otot polos

- Serotonin :Meningkatnya permiabilitas pembuluh darah dan kontraksi otot polos

- ECF-A :Kemotaksis eosinofil

- NCF-A :Kemotaksis eosinofil

- proteases :Sekresi mucus, degradasi jaringan penghubung

− Mediator Sekunder :

- Leukotrienes :Meningkatnya permiabilitas pembuluh darah dan kontraksi otot polos

- Prostaglandins :Vasodilatasi pembuluh darah, aktivasi platelet, kontaksi otot polos

- Bradykinin :Meningkatnya permiabilitas pembuluh darah dan kontraksi otot polos

- Cytokines :Aktivasi sel endothelium, penarikan eosinofil

Gambar 1. Mekanisme Reaksi hipersensitivitas Tipe I

3

Page 3: Patologi Sistem Imun-Hipersensitivitas

Reaksi ini dapat diperkuat dengan adanya PAF (Platelet Activator Factor),

yang menyebabkan agregasi platelet dan pelepasan histamin, heparin, dan amina

vasoaktif. Eosinofil dapat melepaskan berbagai enzim hidrolitik yang dapat

menyebabkan kematian sel, serta mengontrol pelepasan arylsulphatase, histaminase,

phospholipase-D dan prostaglandin-E, walaupun belum diketahui peran pasti dari

eosinofil.

Karakteristik dari IgE adalah kelabilannya bila terpapar panas dan

kemampuannya untuk menempel pada sel mast dan basofil. Hal ini dapat dilihat

bawha walaupun waktu paruh IgE adalah 2,5 hari, sel mast dan basofil dapat

tersensitisasi selama lebih dari 12 minggu karena tersensitisasi atopic serum yang

mengandung IgE.

Faktor pemicu reaksi alergi :

Defisiensi sel T

Penurunan jumlah sel T diasosiasikan dengan peningkatan dari jumlah serum

IgE pada penyakit Eczema. Juga ada perbedaan jumlah sel T pada bayi yang

disusui dengan ASI dan dengan susu bubuk.

Mediator feedback

Menurut penelitian, inhibisi reseptor H2 oleh pelepasan enzim lisosom dan

aktivasi penahan sel T oleh histamine akan meningkatkan jumlah IgE

Faktor lingkungan

Polutan seperti SO2, NO, asap kendaraan dapat meningkatkan permeabilitas

mukosa sehingga meningkatkan pemasukkan antigen dan respos IgE

Dampak yang muncul akibat hipersensitivitas tipe 1 ada 2, yaitu :

1. Anafilatoksis lokal ( alergi atopik )

Terjadi karena adanya alergen yang masuk ke tubuh dan gejalanya tergantung

dari tipe alergen yang masuk, misalnya :

a. batuk, mata berair, bersin karena alergen masuk ke saluran respirasi

(alergi rhinitis) yang mengindikasikan aksi dari sel mast. Alergen

biasanya berupa : pollen, bulu binatangm debu, spora.

b. Terakumulasinya mucus di alveolus paru-paru dan kontraksi oto polos

kontraksi yang mempersempit jalan udara ke paru-paru sehingga

4

Page 4: Patologi Sistem Imun-Hipersensitivitas

menjadi sesak, seperti pada penderita asma. Gejala ini dapat menjadi

fatal bila pengobatan tertunda terlalu lama

c. Kulit memerah atau pucat, gatal (urticaria) karena alergi makanan.

Makanan yang biasanya membuat alergi adalah gandum, kacang tanah,

kacang kedelai, susu sapi, telur, makanan laut

2. Anafilatoksis sistemik

Dampak ini disebabkan karena pemaparan alergen yang menyebabkan respon

dari sel mast yang banyak dan cepat, sehingga mediator-mediator inflamasi

dilepaskan dalam jumlah yang banyak. Gejalanya berupa sulit bernafas karena

kontraksi otot polos yang menyebabkan tertutupnya bronkus paru-paru,

dilatasi arteriol sehingga tekanan darah menurun dan meningkatnya

permeabilitas pembuluh darah sehingga cairan tubuh keluar ke jaringan.

Gejala ini dapat menyebabkan kematian dengan hitungan menit karena

tekanan darah turun drastis dan pembuluh darah collapse (shock anafilatoksis).

Alergen dapat biasanya berupa penisilin, antisera, dan racun serangga dari

lebah

Usaha penanganan dan pengobatan apabila terserang reaksi hipersensitivitas tipe I

adalah sebagai berikut :

1. anafilatoksis lokal

a. menghindari alergen dan makanan yang dapat menyebabkan alergi

b. Bila alergen sulit dihindari (seperti pollen, debu, spora, dll) dapat

digunakan antihistamin untuk menghambat pelepasan histamine dari

sel mastosit., seperti Chromolyn sodium menghambat degranulasi sel

mast, kemungkinan dengan menghambat influks Ca2+. Bila terjadi

sesak nafas pengobatan dapat berupa bronkoditalor (leukotriene

receptor blockers,seperti Singulair, Accolate) yang dapat merelaksasi

otot bronkus dan ekspektoran yang dapat mengeluarkan mucus

c. Injeksi alergen secara berulang dapar dosis tertentu secara subkutan

dengan harapan pembentukan IgG meningkat sehingga mampu

mengeliminasi alergen sebelum alergen berikatan dengan IgE pada sel

mast. Proses ini disebut desensitisasi atau hiposensitisasi.

2. Anafilatoksis sistemik

5

Page 5: Patologi Sistem Imun-Hipersensitivitas

Pengobatan harus dilakukan dengan cepat dengan menyuntikan epinefrin

(meningkatkan tekanan darah) atau antihistamin (memblok pelepasan

histamine) secara intravena.

Untuk mengetahui hal-hal yang dapat menginduksi reaksi alergi pada

seseorang dapat dilakukan tes kulit. Tes kulit dapat dilakukan untuk mengidentifikasi

penyebab alergi. Test dilakukan dengan menginokulasi potensial alergen dan setelah

diinkubasi dalam kondisi sesuai (biasanya 24 jam) bila terjadi benjolan merah

menunjukkan respon positif. Respon terhadap alergen diukur untuk mengetahui

tingkat keparahan reaksi alergi yang ditimbulkan. Ilustrasi mengenai tes kulit dapat

dilihat pada gambar berikut :

Tes kulit untuk mengidentifiasi

allergen. Allergen tuberculin (A)

diinjeksikan secara subkutan. Bila terjadi

merah dan bengkak(B) berarti positif. Ukuran

dari respon diukur untuk

memperkirakan seberapa parah

alergi.(C) Pictures courtesy of

the Center for Disease Control and

Prevention.

Gambar 2. Tes Kulit Terhadap Alergen

Tidak semua respon positif ditunjukkan dengan respon atopik (merah dan

bengkak). Oleh karena itu, biasanya dilakukan pengukuran jumlah Ig E dengan

modification of enzyme immunoassay (ELISA) setelah penyuntikan alergen

Hipersensitivitas Tipe II

(Reaksi Sitotoksik Yang Memerlukan Bantuan Antibodi)

Penggolongan reaksi hipersensitivitas semula didasarkan atas perbedaan

mekanisme kerusakan jaringan yang diakibatkannya. Baik reaksi tipe II maupun

reaksi tipe III melibatkan IgG dan IgM. Perbedaannya adalah bahwa pada reaksi tipe

II antibodi ditujukan kepada antigen yang terdapat pada permukaan sel atau jaringan

6

Page 6: Patologi Sistem Imun-Hipersensitivitas

tertentu, sedangkan pada reaksi tipe III antibodi ditujukan kepada antigen yang

terlarut dalam serum. Jadi pada reaksi tipe II, antibodi dalam serum bereaksi dengan

antigen yang berada pada permukaan suatu sel atau yang merupakan komponen

membran sel tertentu yang menampilkan antigen bersangkutan.

Seringkali suatu substansi berupa mikroba dan molekul-molekul kecil lain

atau hapten, melekat pada permukaan sel dan bersifat sebagai antigen. Pada umumnya

antibodi yang ditujukan kepada antigen permukaan sel bersifat patogenik, karena

kompleks antigen-antibodi pada permukaan sel sasaran akan dihancurkan oleh sel

efektor, misalnya oleh makrofag maupun oleh neutrofil dan monosit, atau limfosit T-

sitotoksik dan sel NK sehingga ada kemungkinan menyebabkan kerusakan sel itu

sendiri. Pada keadaan ini sulit membedakan antara reaksi imun yang normal dengan

reaksi hipersensitivitas.

Pada hipersensitivitas tipe II, mekanisme reaksinya adalah sebagai berikut :

Gambar 3. Mekanisme yang terlibat dalam reaksi hipersensitivitas tipe II

Antibodi yang ditujukan kepada antigen permukaan sel atau jaringan

berinteraksi dengan komplemen dan berbagai jenis sel efektor untuk merusak sel

sasaran. Setelah antibodi melekat pada permukaan sel, antibodi akan mengikat dan

mengaktivasi komponen C1 komplemen. Konsekuensinya adalah:

a. Fragmen komplemen (C3a dan C5a) yang dihasilkan oleh aktivasi komplemen

akan menarik makrofag dan PMN ke tempat tersebut, sekaligus menstimulasi sel

mastosit dan basofil untuk memproduksi molekul yang menarik dan mengaktivasi

sel efektor lain. Fagositosis terjadi dengan cara merusak patogen dalam

fagolisosom oleh kombinasi metabolit radikal, ion, enzim dan perubahan pH. Jika

target terlalu besar maka lisosom dieksositosis.

7

Page 7: Patologi Sistem Imun-Hipersensitivitas

b. Aktivasi jalur klasik komplemen mengakibatkan deposisi C3b, C3bi, dan C3d

pada membran sel sasaran. Sensitisasi sel target untuk interaksi dengan sel efektor

(makrofag, neutrofil) yang membawa reseptor untuk aktivasi komplemen. C3b

berikatan dengan sel target membentuk ikatan kovalen setelah putusnya ikatan

tiolester internal oleh C3 konvertase. C3b diinaktivasi oleh faktor I dan enzim

serum, C3d berikatan dengan sel target secara kovalen. C3b dan C3d dapat beraksi

sebagai struktur pengenalan untuk sel yang memiliki reseptor komplemen.

Antibodi dapat juga bereaksi dengan sel yang memiliki reseptor Fc (makrofag,

eosinofil, neutrofil, sel K)

c. Aktivasi jalur klasik dan jalur litik menghasilkan C5b-9 yang merupakan

Membrane Attack Complex (MAC) yang kemudian menancap pada membran sel.

Sel-sel efektor, yaitu makrofag, neutrofil, eosinofil dan sel NK, berikatan pada

kompleks antibodi melalui reseptor Fc atau berikatan dengan komponen komplemen

yang melekat pada permukaan sel tersebut. Pengikatan antibodi pada reseptor Fc

merangsang fagosit untuk memproduksi lebih banyak leukotrien dan prostaglandin

yang merupakan molekul-molekul yang berperan pada respon inflamasi. Sel-sel

efektor yang telah terikat kuat pada membran sel sasaran menjadi teraktivasi dan

akhirnya dapat menghancurkan sel sasaran.

Isotip antibodi yang berbeda-beda mempunyai kemampuan yang tidak sama

dalam menginduksi reaksi ini, bergantung pada kemampuan masing-masing untuk

mengikat C1q atau kemampuan berinteraksi dengan reseptor Fc pada permukaan sel

sasaran. Fragmen-fragmen komplemen atau IgG dapat bertindak sebagai opsonin

yang melapisi permukaan sel pejamu atau mikroorganisme, dan fagosit akan menelan

partikel-partikel yang diopsonisasi. Dengan meningkatkan aktivitas lisosom dan

kemampuan makrofag untuk memproduksi ROI (reactive oxygen intermediates)

misalnya superoksida, opsonin tersebut bukan saja meningkatkan kemampuan fagosit

untuk menghancurkan pathogen, tetapi juga meningkatkan kemampuannya untuk

merusak sel atau jaringan sasaran. Mekanisme pengrusakan jaringan sel sasaran oleh

sel-sel efektor pada reaksi hiprsensitivitas tipe II, merefleksikan cara sel-sel itu

menyingkirkan patogen dalam keadaan normal.

Antibodi juga memperantarai hipersensitivitas dengan cara cross linking sel K

pada jaringan sasaran. Sel K terutama terdapat dalam populasi limfosit besar

bergranula (large granular lymphocytes ). Sel ini mengikat antibodi pada reseptor Fc

8

Page 8: Patologi Sistem Imun-Hipersensitivitas

berafinitas tinggi yang terdapat pada permukaan selnya. Dari uraian tersebut jelas

bahwa reseptor Fc berfungsi sebagai jembatan antara sel efektor dengan sel sasaran.

Mekanisme sitolisis oleh sel efektor sebenarnya menggambarkan fungsi sel

efektor dalam keadaan normal bila menghadapi kuman patogen. Sebagian besar

kuman patogen di fagositosis dan dibunuh intralisosom, tetapi hal ini tidak mungkin

dilakukan terhadap sel sasaran yang berukuran besar. Karena itu pada keadaan ini,

fagosit atau sel efektor lain melepaskan mediator-mediator tertentu ke sekitarnya,

misalnya protease dan kolagenase yan mampu merusak sel sasaran. Mekanisme

sitolisis dengan bantuan antibodi yang dikenal sebagai ADCC bermanfaat untuk

membantu sel sitotoksik menghancurkan sel sasaran yang berukuran terlalu besar

untuk difagositosis. Selai itu mekanisme sitolisis dengan bantun anti bodi bermanfaat

untuk menghancurkan sel patologis, misalnya sel tumor, terutama apabila antibodi

yang terbentuk justru melindungi permukaan sel sasaran dari serangan sel T sitotoksik

secara langsung. Tetapi apabila immunoglobulin itu melapisi sel tubuh (self)

kemudian menyebabkan reaksi ADCC, maka sitolisis dalam hal ini merugikan.

Kepekaan berbagai jenis sel sasaran terhadap aksi pengrusakan oleh sel efektor

maupun oleh aktivasi komplemen berbeda-beda tergantung pada jumlah antigen pada

permukan sel sasaran, dan daya tahan sel sasaran terhadap pengrusakan. Sebagai

contoh: eritrosit mungkin dapat dihancurkan hanya oleh reaksi C5 pada satu tempat di

permukaan sel, tetapi untuk merusak sel berinti diperlukan interaksi pada banyak

tempat.

Contoh reaksi hipersensitivitas tipe II adalah kerusakan pada eritrosit seperti

yang terlihat pada reaksi transfusi, hemolytic disease of the newborn (HDN) akibat

ketidaksesuaian faktor resus (Rhesus incompatibility), dan anemia hemolitik akibat

obat serta kerusakan jaringan pada penolakan jaringan transplantasi hiperakut akibat

interaksi dengan antibodi yang telah ada sebelunya pada resipien. Reaksi terhadap

trombosit dapat menyebabkan trombositopenia sedangkan reaksi terhadap neutrofil

dan limfosit dihubungkan dengan lupus eritematosus sistemik (SLE).

a. Kerusakan pada eritrosit

Transfusi eritrosit kepada resipien yang mengandung antibodi terhadap

eritrosit yang ditransfusikan dapat menimbulkan reaksi transfusi. Jenis reaksi

tergantung pada kelas dan jumlah antibodi yang terlibat. Antibodi terhadap

eritrosit sistem ABO biasanya terdiri atas antibodi kelas IgM. Antibodi

9

Page 9: Patologi Sistem Imun-Hipersensitivitas

golongan ini menimbulkan aglutinasi, aktivasi komplemen dan hemolisis

intravaskular. Sistem golongan darah yang lain menimbulkan pembentukan

antibody kelas IgG dan pada umumnya IgG akan melapisi eritrosit kemudian

menimbulkan reaksi tipe II. Mekanisme reaksi transfusi adalah

menghancurkan sel darah merah asing oleh sistem komplemen yang

distimulasi oleh IgG. Hal ini dapat menyebabkan hemoglobinuria.

Gambar 4. Reaksi Transfusi

Hal serupa terjadi pada HDN (Hemolytic Disease oh the Newborn) dimana

immunoglobulin anti-D-IgG yang berasal dari ibu menembus plasenta masuk

ke adalam sirkulasi darah janin dan melapisi permukaan eritrosit janin

kemudian mencetuskan reaksi hipersensitivitask antibodi tipe II. HDN terjadi

apabila seorang ibu Rh (-) mengandung janin Rh (+). Sensitisasi pada ibu

umumnya terjadi saat persalinan pertama, karena itu HDN umumnya tidak

timbul pada bayi pertama. Baru pada kehamilan berikutnya limfosit ibu akan

membentuk anti-D-IgG yang dapat menembus plasenta dan mengadakan

interaksi dengan faktor Rh pada permukaan eritrosit janin. Penanganannya

adalah dengan anti-Rh antibodi (Rhogam).

10

Page 10: Patologi Sistem Imun-Hipersensitivitas

Gambar 5. Mekanisme HDN

Anemia Hemolitik Autoimun juga dapat dianggap reaksi hipersensitivitas

tipe II karena eritrosit yang dilapisi autoantibody lebih cepat dihancurkan oleh

fagosit. Hal yang sama terjadi pada anemia hemolitik, agranulositosis atau

purpura trombositopenia akibat obat. Pada kasus-kasus ini obat melekat pada

permukaan sel bersangkutan menyusun kompleks antigen yang dapat memicu

pembentukkan antibodi. Kompleks antigen-antibodi selanjutnya merangsang

reaksi hipersensitivitas tipe II.

b. Reaksi karena Obat

Reaksi hipersensitivitas terhadap obat dapat timbul dalam berbagai bentuk:

1. Obat melekat pada eritrosit kemudian dibentuk antibodi terhadap

obat. Dalam hal ini baik obat maupun antibodi harus ada untuk

menyebabkan reaksi.

2. Kompleks imun yang terdiri atas obat dan antibodimelekat pada

permukaan eritrosit. Kerusakan sel terjadi akibat lisis oleh

komplemen yang diaktivasi oleh kompleks antigen-antibodi

tersebut.

3. Obat menyebabkan reaksi alergi dan autoantibodi ditujukan kepada

antigen eritrosit sendiri.

Obat tampaknya membentuk suatu kompleks antigenik dengan permukaan

suatu elemen yang ada pada darah, dan merangsang pembentukan antibodi

yang bersifat sitotoksik bagi kompleks obat-sel itu. Bila obat dihentikan

kepekaan itu akan hilang tidak lama kemudian. Sebagai contoh mekanisme ini

11

Page 11: Patologi Sistem Imun-Hipersensitivitas

telah ditentukan pada anemia hemolitik yang kadang-kadang dihubungkan

dengan pemakaian terus-menerus klorpromazin atau fenasetin, pada

agranulositosis yang dihubungkan dengan pemakaian amidopirin atau

quinidine dan pada keadaan klasik purpura trombositopenia yang mungkin

disebabkan oleh sedormid, serum segar yang diambil dari penderita dapat

melisiskan trombosit, sedang tanpa sedormid hal ini tidak akan terjadi;

pemanasan sebelumnya pada suhu 56oC selama 30 menit akan menjadikan

komplemen tidak aktif dan menghilangkan efek tersebut.

Selain reaksi tipe II, reaksi hipersensitivitas terhadap obat dapat timbul

sebagai reaksi anafilaktik apabila melibatkan IgE, reaksi tipe III bila obat

berinteraksi dengan protein, atau reaksi tipe IV pada obat yang digunakan

topikal.

c. Kerusakan pada Leukosit dan Platelet

Hal ini terjadi karena adanya autoantibodi untuk neutrofil dan limfosit,

contohnya pada Lupus (SLE). Autoantibodi pada platelet terjadi 70% dari

kasus purpura trombositopenia idiopatik yaitu kelainan dimana terjadi

peningkatan pembuangan platelet dari sirkulasi. Autoantibodi pada fosfolipid

dapat mencegah penutupan luka. Trombositopenia juga dapat diinduksi oleh

obat.

d. Kerusakan jaringan transplantasi

Reaksi penolakan jaringan transplantasi secara hiperakut mungkin terjadi

apabila resipien sebelumnya pernah terpapar pada antigen jaringan

transplantasi tersebut sehingga sudah ada sensitisasi sebelumnya dan resipien

telah mengandung antibodi terhadap antigen jaringan transplantasi

bersangkutan. Reaksi hiperakut dapat terjadi dalam waktu singkat, yaitu

beberapa menit hingga 48 jam setelah tindakan transplantasi selesai. Antibodi

yang terdapat dalam darah resipien dapat segera bereaksi dengan antigen yang

terdapat pada permukaan jaringan transplantasi. Reaksi yang paling hebat

disebabkan antibodi sistem ABO karena banyak jaringan mengandung antigen

ABO. Kerusakan terjadi karena antibodi dan aktivasi komplemen dalam

pembuluh darah yang menyebabkan rekruitmen dan aktivasi neutrofil dan

12

Page 12: Patologi Sistem Imun-Hipersensitivitas

trombosit. Mungkin juga antibodi yang terlibat adalah antibodi terhadap

antigen MHC kelas I, bila sebelumnya resipien pernah terpapar pada jaringan

transplantasi yang tidak sesuai (inkompatibel).

Reaksi ini terjadi pada transplantasi yang mengalami revaskularisasi

segera setelah transplantasi, misalnya transplantasi ginjal. Dalam waktu 1 jam

setelah revaskularisasi tampak infiltrasi neutrofil secara ekstensif dan disusul

oleh kerusakan pembuluh darah glomerulus dan pendarahan. Deposit trombus

terdapat dalam arteriol dan jaringan transplantasi mengalami kerusakan

irreversibel. Faktor utama yang berperan dalam kerusakan jaringan adalah

neutrofil dan trombosit yang berinteraksi dengan sel-sel melalui reseptor Fc,

C3b dan C3d. Sel-sel itu melepaskan berbagai mediator, misalnya

superoksida, enzim dan vasoactive amine, sehingga terjadi peningkatan

permeabilitas kapiler dan kerusakan jaringan setempat.

Untuk penyakit akibat hipersensitivitas tipe II ini tidak ada obatnya, karena

patogenesisnya adalah antibodi tubuhnya sendiri. Usaha penanganan yang dilakukan

untuk penderita reaksi hipersensitivitas tipe II hanya bertujuan mengendalikan gejala

saja.

Hipersensitivitas Tipe III ( Reaksi Kompleks Imun )

Kompleks imun terbentuk setiap kali antibody bertemu dengan antigen, tetapi

dalam keadaan normal pada umumnya kompleks ini segera disingkirkan secara efektif

oleh jaringan retikuloendotel, tetapi ada kalanya pembentukan kompleks imun

menyebabkan reaksi hipersensitivitas.

Keadaan imunopatologik akibat pembentukan kompleks imun dalam garis besar

dapat digolongkan menjadi 3 golongan, yaitu :

1) Dampak kombinasi infeksi kronis yang ringan dengan respons antibody

yang lemah, menimbulakn pembentukan kompleks imun kronis yang dapat

mengendap di berbagai jaringan.

2) Komplikasi dari penyakit autoimun dengan pembentukan autoantibodi

secara terus menerus yang berikatan dengan jaringan self.

3) Kompleks imun terbentuk pada permukaan tubuh, misalnya dalam paru –

paru, akibat terhirupnya antigen secara berulang kali.

13

Page 13: Patologi Sistem Imun-Hipersensitivitas

Pemaparan pada antigen dalam jangka panjang dapat merangsang

pembentukan antibody yang umumnya tergolong IgG dan bukan IgE seperti halnya

pada reaksi hipersensitivitas tipe I. Pada reaksi hipersensitivitas tpe III, antibodi

bereaksi dengan antigen bersangkutan membentuk kompleks antigen antibodi yang

akan menimbulkan reaksi inflamasi. Aktivasi sistem komplemen, menyebabkan

pelepasan berbagai mediator oleh mastosit. Selanjutnya terjadi vasodilatasi dan

akumulasi PMN yang menghancurkan kompleks. Dilain pihak proses itu juga

merangsang PMN sehingga sel–sel tersebut melepaskan isi granula berupa enzim

proteolitik diantaranya proteinase, kolegenase, dan enzim pembentuk kinin. Apabila

kompleks antigen-antibodi itu mengendap dijaringan, proses diatas bersama–sama

dengan aktivasi komplemen dapat sekaligus merusak jaringan sekitar kompleks.

Reaksi ini dapat terjadi saat terdapat banyak kapiler twisty (glomeruli ginjal, kapiler

persendian).

Gambar 6. Reaksi Hipersensitivitas Tipe III

Manifestasi klinik akibat pembentukan kompleks imun in vivo bukan saja

bergantung pada jumlah absolute antigen dan antibody, tetapi juga bergantung pada

perbandingan relatif antara kadar antigen dengan antibodi. Dalam suasana antibodi

berlebihan atau bila kadar antigen hanya relatif sedikit lebih tinggi dari antibodi,

14

Page 14: Patologi Sistem Imun-Hipersensitivitas

kompleks imun yang terbentuk cepat mengendap sehingga reaksi yang

ditimbulkannya adalah kelainan setempat infiltrasi hebat dari sel – sel PMN, agregasi

trombosit dan vasodilatasi yang kemudian menimbulkan eritema dan edema. Reaksi

ini disebut Reaksi Arthus.

Agregasi trombosit dapat meningkatkan penglepasan vasoactive-amine atau

mungkin juga menimbulkan mikrotumbus yang berakibat iskemia local. Dalam

suasana antigen yang berlebih, kompleks yang terbentuk adalah kompleks yang larut

dan beredar dalam sirkulasi serum sickness atau terperangkap di berbagai jaringan

diseluruh tubuh dan menimbulkan reaksi inflamasi setempat seperti pada glomerulo-

nefritis dan arthritis. Tempat pengendapan kompleks yang berbeda dapat

memunculkan manifestasi klinis yang berbeda pula.

Meskipun demikian, pengendapan setempat juga dapat menimbulkan reaksi

inflamasi sistemik seperti:

1. Demam, nyeri, malaise

2. Gatal, edema

3. Pengurangan komplemen di dalam darah

4. Glomerulonephritis (ginjal)

5. Arthritis (persendian)

6. Rheumatik penyakit jantung

Faktor-faktor yang mempengaruhi reaksi hipersensitivitas tipe III antara lain :

A. Ukuran kompleks imun

Untuk menimbulkan kerusakan atau penyakit, kompleks imun harus mempunyai

ukuran yang sesuai. Kompleks imun berukuran besar biasanya dapat disingkirkan

oleh hepar dalam waktu beberapa menit, tetapi kompleks imun berukuran kecil

dapat beredar dalam sirkulasi untuk beberapa waktu. Ada dugaan bahwa efek

genetic yang memudahkan produksi antibody dengan afinitas rendah dapat

menyebabkan pembentukan kompleks imun berukuran kecil, sehingga individu

bersangkutan mudah menerima penyakit kompleks imun.

B. Kelas imunoglobulin

Pembersihan (clearance) kompleks imun juga dipengaruhi oleh kelas

immunoglobulin yang membentuk kompleks. Kompleks IgG mudah melekat pada

eritrosit dan dikeluarkan secara perlahan–lahan dari sirkulasi, tetapi tidak demkian

halnya dengan IgA yang tidak mudah melekat pada eritrosit dan dapat

15

Page 15: Patologi Sistem Imun-Hipersensitivitas

disingkirkan cepat dari sirkulasi, dengan kemungkinan pengendapan dalam

berbagai jaringan misalnya ginjal, paru-paru, dan otak.

C. Aktivasi Komplemen

Salah satu factor penting lain yang turut menentukan manifestasi klinik adalah

berfungsinya aktivasi komplemen melalui jalur klasik. Aktivasi komplemen

melalui jalur klasik dapat mencegah penegendapan kompleks imun karena C3b

yang terbentuk dapat menghambat pembentukan kompleks yang besar. Kompleks

yang terikat pada C3b akan melekat pada eritrosit melalui reseptor C3b, lalu

dibawa ke hepar mana kompleks itu dihancurkan oleh makrofag. Bila system ini

terganggu, misalnya pada defisiensi komplemen, maka kompleks diatas akan

membentuk kompleks yang berukuran besar dan memungkinkan ia terperangkap

diberbagai jaringan atau organ. Telah diketahui bahwa kompleks imun yang

paling merusak apabila ia mengendap atau terperangkap dalam jaringan.

D. Permeabilitas pembuluh darah

Yang paling penting dalam kompleks imun adalah peningkatan permeabilitas

vaskular. Peningkatan permeabilitas vascular dapat disebabkan oleh berbagai

faktor, diantaranya oleh peningkatan pelepasan vasoactive amine. Semua hal yang

berkaitan dengan penglepasan substansi ini harus dipertimbangkan, misalnya

komplemen, mastosit, basofil, dan trombosit yang dapat memberikan

kontribusinya pada peningkatan permeabilitas vascular.

E. Proses hemodinamik

Pengendapan kompleks imun paling mudah terjadi di tempat-tempat dengan

tekanan darah tinggi dan ada turbulensi. Banyak kompleks imun mengnedap

dalam glomerulus dimana tekanan darah meningkat hingga 4 kali dan dalam

dinding percabangan arteri dan ditempat-tempat terjadinya filtrasi, seperti pada

pleksus choroids dimana tempat turbelensi.

F. Afinitas antigen pada jaringan

Ada beberapa jenis kompleks imun yang memilih mengendap di tempat – tempat

tertentu, misalnya untuk SLE, sasaran pengendapan kompleks imun adalah ginjal.

Pada arthritis rheumatoid kompleks imun lebih suka mengendap dalam sendi dan

walaupun selalu ada kompleks imun dalam sirkulasi, ia tidak mengendap di ginjal.

Hal ini ditentukan oleh afinitas antigen terhadap organ tetentu.

Prekursor umum reaksi hipersensitivitas tipe III antara lain :

16

Page 16: Patologi Sistem Imun-Hipersensitivitas

1. Sensitisasi sel B dengan sejumlah besar antigen disajikan dalam waktu lama

2. Infusi intravena obat antigenik

3. Injeksi sejumlah besar obat antigenik (tidak cepat dibersihkan)

4. Sejumlah besar infeksi (contoh, Streptococcus, dengan demam rematik)

5. Autoantigen yang tidak dapat dihindari (contoh., systemic lupus erythematosis

-SLE) : sistem imun mengenali DNA sendiri sebagai senyawa asing dan

membuat anti-nuclear antibodies (ANA); kompleks Ag/Ab terdeposit pada

dinding pembuluh (vasculitis) pada:

− Persendian dan otot mengakibatkan arthritis and myalgia

− Ginjal

− Pembuluh kutan pada wajah menimbulkan topeng merah serigala

(Canis lupus)

− Perikardium, pleura menimbulkan nyeri dada

Pengobatan dan penanganan penderita reaksi hipersensitivitas tipe III antara lain :

1. Obat anti-inflamasi\antihistamin

2. Menghindari sejumlah besar antigen dan berhati-hati terhadap immunisasi dan

antitoksin.

Hipersensitivitas tipe IV (Delayed hypersensitivity)

Reaksi tipe ini tidak seperti 3 tipe lainnya, dimana reaksi ini dimediasi oleh

antibodi, tetapi dimediasi oleh efektor sel T yang spesifik terhadap antigen.

Memerlukan waktu sekitar 2-3 hari untuk berkembang.

Type Reaction

time

Clinical

appearance Histology Antigen and site

Contact 48-72 hr eczema

lymphocytes,

followed by

macrophages;

edema of

epidermis

epidermal (

organic

chemicals, poison

ivy, heavy

metals, etc.)

17

Page 17: Patologi Sistem Imun-Hipersensitivitas

Tuberculin 48-72 hr local

induration

lymphocytes,

monocytes,

macrophages

intradermal

(tuberculin,

lepromin, etc.)

Granuloma 21-28

days hardening

macrophages,

epitheloid and

giant cells,

fibrosis

persistent antigen

or foreign body

presence

(tuberculosis,

leprosy, etc.)

persensitivitas Tipe III

lper CD4+ mengenali antigen yang

aupun tipe 2. sel penyaji antigen dalam

IL-12 (bekerja menstimulasi proliferasi

ensekresi IL-2 dan interferon γ, untuk

ini akan memediasi respon imun. Sel T

akrofag memproduksi

enzim hidrolitik, sehingga dengan adanya pa an membentuk sel

raksasa

Gambar 7. Mekanisme Reaksi Hi

Sel T sitotoksik CD8+ dan sel T he

membentuk kompleks dengan MHC tipe 1 at

reaksi ini adalah makrofag, yang mensekresi

dari sel T CD4+). Sel T CD4+ ini akan m

menginduksi pelepasan sitokin tipe 1. Sitokin

CD8+ yang aktif akan menghancurkan sel target, sedangkan m

thogen intraselular, ak

multinukleus.

Reaksi ini dapat terjadi karena :

rusaknya sel atau jaringan akibat penyakit tertentu, seperti TBC, lepra, cacar

air, candidiasis, histoplasmosis

reaksi akibat pengujian pada kulit

kontak dengan tanaman penyebab dermatitis, contohnya poison ivy

18

Page 18: Patologi Sistem Imun-Hipersensitivitas

diabetes tipe 1 dimana CTL menghancurkan sel penghasil insulin

sklerosis ganda dimana simfosit T dan makrofag mensekresikan sitokin untuk

menghancurkan lapisan myelin pada serabut saraf neuron

adanya reaksi penolakan pada proses transplantasi organ sebagai akibat dari

upresan seperti syklosporin A atau FK-506

(T r nsplantasi

or n it T dengan

m

kortik

kerusakan CTL dari sel pendonor atau sel penerima

Pengobatan menggunakan imunos

ac olimus) dilakukan untuk menahan reaksi penolakan pada proses tra

ga . Kedua obat ini menghalangi proliferasi dan diferensiasi limfos

enghambat proses transkripsi IL-2. pengobatan dapat pula menggunakan

osteroid.

Comparison of Different Types of hypersensitivity

characteristic type-I

(anaphylactic)

type-II

(cytotoxic)

type-III

(immune

complex)

type-IV (delayed type)

Antibody IgE IgG, IgM IgG, IgM None

Antigen

exogenous cell surface Soluble tissues & organs

Response time 15-30 minutes minutes-hours 3-8 hours 48-72 hours

Appearance weal & flare lysis and necrosis erythema and

ede sis

erythema and

induration

Histology eosinophil

an

complement

com d

neutrophils

monocytes and

lymphocytes

Transferred

Examples

allergic

asthma, hay fetalis,

nephritis

SLE, farm g tube

i

ma, necro

plement anbasophils and tibody and

with antibody Antibody Antibody T-cells

fever

erythroblastosis

Goodpasture's

er's lun

disease

rculin test, poison

vy, granuloma

19

Page 19: Patologi Sistem Imun-Hipersensitivitas

Pustaka Boedina, Siti. Imunologi : Diagnosis dan Prosedur Laboratorium. Edisi 3, 1996.

Roitt, Ivan, Jonathan Brostoff, David Male.1989. Immunology. Second ed. Ney York:

Harper&Row Publishers Inc. Bab 19 – bab 22.

http://en.wikiped hyperse y

http://www.cehs.siu.edu/fix/medm

http://www.maxanim.com/immunology/IgE%20Mediated%20(Type%20I)%20Hyper

sensitivity/IgE%20Mediated%20(Type%20I)%20Hypersensitivity.htm

icro.med.sc.edu/ghaffar/hyper00.htm

http://w ogle&rid=imm.section.1756

sp?did=767

/unit2/bacpath

Fakultas kedokteran UI

ia.org/wiki/ nsitivit

icro/hyper.htm

http://pathm

http://student.ccbcmd.edu/courses/bio141/lecguide/unit5/hypersensitivity/type4/type4.

html

http://www.eyepathologist.com/disease.asp?IDNUM=331580

ww.ncbi.nlm.nih.gov/books/bv.fcgi?indexed=go

http://www.virtualbloodcentre.com/diseases.a

http://student.ccbcmd.edu/courses/bio141/lecguide

20