Patogenesis Herpes Zoster 2a4

32
BAB I PENDAHULUAN Herpes zoster merupakan penyakit yang terjadi karena reaktivasi dari Varicella zoster virus (VZV) yang mengenai kulit dan mukosa dengan lesi berupa erupsi vesikular yang pada umumnya bersifat dermatomal dan unilateral. Infeksi primer VZV menyebabkan penyakit varisela. 1-5 Reaktivasi VZV yang berdiam di ganglion posterior terjadi secara sporadik disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain penekanan atau penurunan sistim imun tubuh, radiasi pada spinal, tumor pada ganglion, trauma lokal, manipulasi bedah pada spinal serta sinusitis frontalis sebagai faktor presipitasi pada herpes zoster oftalmikus. Namun yang paling penting adalah respon imun selular yang menurun terhadap VZV seiring dengan meningkatnya usia. 1-5 Hubungan antara herpes zoster dengan varisela pertama kali digambarkan oleh Bokay pada tahun 1888. Dimana dalam pengamatannya ditemukan varisela pada anak- anak setelah kontak dengan penderita herpes zoster. Herpes zoster biasanya terjadi pada individu yang pernah mengalami infeksi primer VZV sebelumnya. 5 Herpes zoster muncul di seluruh dunia secara sporadik tanpa dipengaruhi faktor musim. Berbeda dengan varisela yang insidennya meningkat saat musim hujan. Hal ini berhubungan dengan daya tahan virus terhadap panas, dimana VZV menjadi tidak aktif pada suhu 56-60 0 C dan jika ada kerusakan pada envelope virus. Faktor yang paling 1

Transcript of Patogenesis Herpes Zoster 2a4

Page 1: Patogenesis Herpes Zoster 2a4

BAB I

PENDAHULUAN

Herpes zoster merupakan penyakit yang terjadi karena reaktivasi dari

Varicella zoster virus (VZV) yang mengenai kulit dan mukosa dengan lesi berupa

erupsi vesikular yang pada umumnya bersifat dermatomal dan unilateral. Infeksi

primer VZV menyebabkan penyakit varisela.1-5

Reaktivasi VZV yang berdiam di ganglion posterior terjadi secara sporadik

disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain penekanan atau penurunan sistim imun

tubuh, radiasi pada spinal, tumor pada ganglion, trauma lokal, manipulasi bedah pada

spinal serta sinusitis frontalis sebagai faktor presipitasi pada herpes zoster oftalmikus.

Namun yang paling penting adalah respon imun selular yang menurun terhadap VZV

seiring dengan meningkatnya usia.1-5

Hubungan antara herpes zoster dengan varisela pertama kali digambarkan oleh

Bokay pada tahun 1888. Dimana dalam pengamatannya ditemukan varisela pada

anak-anak setelah kontak dengan penderita herpes zoster. Herpes zoster biasanya

terjadi pada individu yang pernah mengalami infeksi primer VZV sebelumnya.5

Herpes zoster muncul di seluruh dunia secara sporadik tanpa dipengaruhi

faktor musim. Berbeda dengan varisela yang insidennya meningkat saat musim hujan.

Hal ini berhubungan dengan daya tahan virus terhadap panas, dimana VZV menjadi

tidak aktif pada suhu 56-600 C dan jika ada kerusakan pada envelope virus. Faktor

yang paling berperan adalah usia tua serta imunitas tubuh. Usia tua meningkatkan

kemungkinan menderita herpes zoster serta menderita komplikasi yang lebih berat

dibandingkan dengan penderita usia muda.3,4,6,

1.1. Epidemiologi

Herpes zoster ditemukan pada lebih kurang 20% dewasa sehat dan lebih

kurang 50% pada orang dengan imunokompromais yang pernah terinfeksi VZV.

Kebanyakan kasus berumur lebih dari 45 tahun dan insidennya meningkat sesuai

dengan pertambahan usia. Insiden herpes zoster pada individu kurang dari 50 tahun

ratio insidennya 2,5/1000, pada individu lebih tua (60-79 tahun) adalah 6,5/1000,

sedangkan pada usia di atas 80 tahun meningkat menjadi 101/1000.6

Herpes zoster sangat jarang ditemukan pada anak-anak usia di bawah 10

tahun, dengan insiden 0,74 per 1000 anak. Adanya herpes zoster pada anak

1

Page 2: Patogenesis Herpes Zoster 2a4

disebabkan infeksi primer VZV selama tahun-tahun pertama kehidupan atau infeksi

intra uteri dari ibu selama kehamilan.6

Di Indonesia insiden kasus herpes zoster belum ada yang dipublikasikan. Data

dari Sub Bagian Dermatologi Umum Bagian Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin

FKUI / RSCM selama tahun 2000 tercatat sejumlah 122 pasien.4 Sedangkan insiden di

Poli Kulit RS dr M Djamil Padang tahun 2002 – 2006 berkisar lebih kurang 1,01%

dari total pasien baru. Dimana pada tahun 2002 sebanyak 95 kasus dari 9311 pasien

(1,02%), tahun 2003 sebanyak 89 kasus dari 9512 pasien (0,93%), tahun 2004

sebanyak 80 kasus dari 9032 pasien (0,88%), tahun 2005 sebanyak 105 kasus dari

9353 pasien (1,12%) dan tahun 2006 sebanyak 98 kasus dari 9380 pasien (1,14%).7

1.2. Gejala klinis

Gejala prodormal

Manifestasi klinis herpes zoster didahului dengan gejala prodormal diawali

dengan nyeri pada daerah lesi. Keadaan ini berlangsung 1 – 4 hari sebelum erupsi

kulit. Nyeri bersifat segmental sesuai dermatom bervariasi secara intermiten. Kadang-

kadang subjektifnya berupa rasa gatal, kesemutan, panas, pedih bahkan sampai rasa

ditusuk- tusuk. Gejala umum berupa malaise, sefalgia, nausea yang mana keadaan ini

hilang setelah erupsi kulit muncul.1-4

Erupsi kulit

Kemudian diikuti dengan erupsi kulit pada daerah yang nyeri tersebut. Lesi

awal berupa makula eritem dan papula eritem yang dalam 12 - 24 jam menjadi vesikel

berkelompok terletak pada satu sisi (unilateral) dan dapat berkembang menjadi pustul

dalam 3 hari. Lesi akan mengering dan menjadi krusta dalam 7 – 10 hari. Krusta

biasanya bertahan selama 2 – 3 minggu kemudian mengelupas. Pada individu normal,

lesi baru tetap muncul dalam 1 – 4 hari. Lesi lebih berat dan bertahan lebih lama pada

penderita usia tua dan lebih ringan serta lebih singkat pada anak-anak.1-4

Ciri khas herpes zoster adalah lesi yang berlokasi dan terdistribusi hampir

selalu unilateral, tidak melewati garis tengah tubuh dan biasanya terbatas pada daerah

yang dipersarafi oleh ganglion sensorik.1-4

1.3. Variasi klinis

Secara klinis manifestasi herpes zoster antara lain :

2

Page 3: Patogenesis Herpes Zoster 2a4

Zoster sine herpete : Adanya nyeri dermatom yang jelas tanpa disertai dengan

erupsi kulit. Hal ini disebabkan gagalnya penyebaran VZV ke kulit saat fase

reaktivasi.4,5,8,9

Herpes zoster abortif : Perjalanan penyakit sangat singkat disertai dengan

kelainan kulit yang sangat ringan.4,5,8,9

Herpes zoster oftalmikus : Herpes zoster yang menyerang ganglion oftalmikus

yang merupakan cabang I nervus trigeminal. Bila mengenai anak cabang

nervus nasosiliaris dapat menimbulkan kelainan pada mata yang bisa berupa

konjungtivitis, keratitis, uveitis anterior, iridosiklitis bahkan panoftalmitis.4,5,8,9

Sindrom Ramsay Hunt : Herpes zoster pada liang telinga eksterna atau

membran timpani, terdapat paralisis fasialis, gangguan lakrimasi, gangguan

mengecap pada 2/3 bagian depan lidah, tinitus, vertigo dan tuli. Pada keadaan

ini virus menyerang nervus fasialis dan nervus auditorius.4,5,8,9

Herpes zoster generalisata atau diseminata : Lesi utama disertai penyebaran

vesikel-vesikel soliter pada tubuh.4,5,8,9

Herpes zoster pada pasien imunokompromais : Lesi cukup berat bisa multi

dermatom, ditemukan bula hemoragik, nyeri hebat, dapat mengenai organ

dalam dengan gejala prodormal hebat dan erupsi kulit yang berlangsung lebih

lama.10

1.4. Komplikasi

Komplikasi herpes zoster secara garis besar bisa dikelompokan pada

komplikasi di kulit, organ viseral dan neurologik.3,9

Infeksi sekunder oleh bakteri memperlambat proses penyembuhan. Pada

erupsi kulit yang disertai infeksi sekunder dapat meninggalkan bekas berupa jaringan

parut, dan pada penderita dengan bakat keloid dapat terjadi keloid. Pada keadaan

dengan gangguan imunitas dapat terjadi herpes zoster dengan lesi kulit yang luas yang

dikenal dengan herpes zoster diseminata.3,4,9

Komplikasi terhadap organ viseral yang sering dijumpai adalah pneumonitis,

hepatitis, pericarditis dan lain-lain. Sedangkan komplikasi neurologik yang paling

sering ditemui adalah neuralgia paska herpetik (NPH), meningoensefalitis, myelitis

transversa, komplikasi pada mata berupa keratitis akut, skleritis, uveitis, glaukoma

sekunder, ptosis, korioretinitis, neuritis optika dan parese otot penggerak bola

mata.3,4,5,9

3

Page 4: Patogenesis Herpes Zoster 2a4

Pada NPH nyeri menetap 1 - 3 bulan atau lebih sesudah lesi herpes

menyembuh. Terjadinya NPH ini sangat erat hubungannya dengan umur penderita

saat timbulnya herpes zoster. NPH menimbulkan gejala nyeri hebat yang kadang sulit

diatasi sampai berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun sesudah herpes zoster

menghilang. Hal ini disebabkan karena kerusakan neuron yang terjadi pada fase akut

menjadi permanen karena daya regenerasi sel neuron yang rendah.3,8,11

Tabel 1 : Komplikasi herpes zoster

Sumber : sesuai asli dari kepustakaan no 3

1.5. Pengobatan

Untuk gejala ringan pengobatan cukup dengan analgetik, seperti asam

mefenamat 3x500mg / hari, parasetamol 3x500mg / hari yang dikombinasikan dengan

kodein 3x10mg / hari atau dengan tramadol 3x50mg / hari. Kodein merupakan

analgetik yang bekerja secara sentral di susunan saraf pusat untuk memperkuat efek

analgetik parasetamol yang bekerja di perifer.5

Pada lesi luas dan berat selain analgetik juga diberikan antivirus seperti

asiklovir oral 5x800mg / hari selama 7 hari, atau valasiklovir oral 3x1000mg / hari

selama 5-7 hari, atau alternatif lain famsiklovir oral 3x250mg / hari. Terapi antivirus

memberikan hasil optimal jika diberikan pada 3 hari pertama sejak erupsi kulit

muncul.5

Pada keadaan yang disertai keterlibatan organ-organ viseral diberikan

asiklovir intravena 10mg/kgBB 3x / hari selama 5-10 hari. Asiklovir dilarutkan dalam

100cc NaCl 0,9% dan diberikan dengan tetes selama 1 jam.5

4

Page 5: Patogenesis Herpes Zoster 2a4

Pada penderita HIV/AIDS merupakan penyulit pada herpes zoster ini karena

terdapat gangguan imunologis, diberikan foscarnet intravena 60mg/kgBB / hari setiap

8 jam selama 14-21 hari.5

Kortikosteroid sistemik diindikasikan pada penderita sindrom Ramsay Hunt.

Dosis kortikosteroid yang digunakan adalah 40-60mg / hari. Penggunaan

kortikosteroid dapat dipertimbangkan pada herpes zoster yang disertai dengan nyeri

hebat dengan tujuan menghambat inflamasi yang terjadi pada ganglion sensorik

sehingga dapat mengurangi lamanya nyeri pada fase akut, tetapi penggunaan

kortikosteroid pada keadaan ini masih diperdebatkan.5

1.6. Latar belakangy

Di dalam tinjauan kepustakaan ini akan dibahas mengenai Varicella zoster

virus dan patogenesis herpes zoster. Hal ini didasari data epidemilogi tampak bahwa

insiden herpes zoster yang masih tinggi yaitu sekitar 20% dari individu dewasa yang

pernah terinfeksi VZV dan semakin meningkat dengan pertambahan usia. Seiring

dengan bertambahnya angka harapan hidup akan berakibat meningkatnya insiden

herpes zoster.

Terdapatnya berbagai variasi klinis herpes zoster, diharapkan dengan

memahami patogenesis penyakit tersebut dapat membantu dalam penegakan diagnosis

sehingga dapat memberikan penatalaksanaan yang tepat. Komplikasi yang muncul

selama perjalanan penyakit seperti NPH yang merupakan komplikasi yang paling

sering ditemui juga menjadi dasar penulisan refrat ini, diharapkan dengan lebih

memahami patogenesisnya dapat memberikan pemahaman tentang pengobatan yang

tepat terhadap berbagai komplikasi yang timbul.

BAB II

HUMAN HERPES VIRUS

5

Page 6: Patogenesis Herpes Zoster 2a4

2.1. Klasifikasi

Varicella zoster virus adalah 1 dari 8 vrus dalam famili Herpesviridae yang

menyerang manusia, dikenal dengan human Herpes virus (HHV). Famili

Herpesviridae ini dibedakan lagi atas 3 sub-famili yaitu Alfaherpesvirus,

Betaherpesvirus dan Gammaherpesvirus. Pembagian ini berdasarkan kepada properti

biologis, seperti kemampuan menjadi laten pada sel-sel tertentu dan manifestasi klinis

yang ditimbulkan. Akan tetapi saat ini sudah ditetapkan pembagian virus berdasarkan

kepada kandungan gen dan kemiripan susunan gen tersebut.12,13

Tabel 2. Klasifikasi virus Herpes

Sumber : sesuai asli dari kepustakaan no 13

Varicella zoster virus termasuk dalam subfamili Alfaherpesvirus dengan

karakteristik siklus reproduksi relatif singkat, penyebaran sel yang cepat,

kemampuannya menetap sebagai infeksi primer laten di ganglion sensorik.

Alfaherpesvirus ini dibagi menjadi 2 genus, yaitu genus Varicellovirus dan

Simplexvirus. Varicella zoster virus termasuk dalam kelompok genus Varicellovirus

yang hanya menginfeksi manusia.12-17

Saat ini sudah ditetapkan juga pembagian virus berdasarkan kandungan gen

dan kemiripan susunan gen tersebut. Gen virus herpes mempunyai kestabilan genetik

dengan sedikit perbedaan nukleotida dari isolasi virus dari penderita yang sama.

Varicella zoster virus memperlihatkan variasi nukleotida yang paling sedikit

dibanding virus herpes lainnya, dengan estimasi sekitar 0,05%-0,06%. Tampak bahwa

6

Page 7: Patogenesis Herpes Zoster 2a4

variasi nukleotioda ini 10 kali lebih rendah dibanding HSV, HHV8, CMV, dan PRV

dengan estimasi 0,32-0,81%, 1,5-2%, 2,5% dan 2-3%. Dari perbandingan tersebut

terlihat bahwa VZV mempunyai varian yang lebih sedikit dibanding HHV

lainnya.12,13,14

Meskipun VZV mempunyai kehomogenan genome, strain VZV masih bisa

dibedakan melalui analisis terhadap berbagai tipe mutasi yang terjadi pada susunan

genetik virus tersebut. Pembedaan tersebut dilakukan dengan berbagai cara, seperti

analisis terhadap restriction fragmen length polymorphisms (RFLPs), komposisi

variabel repeat region dan identifikasi single nukleotida polymorphisms (SNPs).12,13

Saat ini dikenal 3 tipe genotip utama VZV, yaitu yang sudah bisa diketahui

susunan genetiknya secara lengkap, seperti strain European Dumas, strain Japanese

Oka Vaccine dan Parental virus.12,13

Keunikan VZV dibanding HHV lainnya adalah kemampuan untuk menyebar

melalui inhalasi partikel virus yang terdapat di udara. Penyebaran VZV melalui

inhalasi berdasarkan fakta bahwa VZV mempunyai kestabilan biologik untuk

bertahan di lingkungan luar. Berdasarkan proses penyebaran ini, varicella zoster virus

menginfeksi mukosa traktus respiratorius bagian atas. Varicella zoster virus ini hanya

dapat bereplikasi di sel neuron, sel-sel kulit dan mukosa, dan perifer blood

mononucleus cells (PBMCs) yang dikenal sebagai sel host.12,13,16,17

2.2. Struktur virus

Seperti semua famili herpes virus, Varicella zoster virus merupakan virus

dengan DNA rantai ganda. Varicella zoster virus merupakan virus terkecil dalam

kelompok human Herpes virus. Genome virus ditutupi oleh nucleocapsid yaitu

membran yang membungkus inti sel virus yang berbentuk ikosahedral dengan ukuran

80-120 nm yang terdiri dari 162 kapsomer yang isometrik. Lapisan luar disebut lipid

envelope merupakan suatu lapisan lipid bilayer dan glikoprotein. Glikoprotein yang

terdapat pada VZV adalah glikoprotein B, C, D, E, H, I, L dan M (gB, gC, gD, gE,

gH, gI, gL dan gM). Glikoprotein ini mempunyai peranan penting pada proses

masuknya virus ke sel host, pembentukan virion, penyebaran virus dari sel host ke sel

host lainnya dan berfungsi sebagai target respon imun sel host. Antara lipid envelope

dan nucleocapsid terdapat tegumen, suatu amorfik yang kaya protein yang berfungsi

dalam memulai dan mengontrol transkripsi gen virus.13

Gambar 1 : Struktur Varicella Zoster Virus

7

Page 8: Patogenesis Herpes Zoster 2a4

Sumber : sesuai asli dari kepustakaan no 13

2.3. Multiplikasi virus

Sama dengan virus lainnya, proses multiplikasi VZV terjadi di dalam sel host.

Proses multiplikasi VZV dimulai dengan invasi, pembentukan virus, dan penyebaran

virus ke sel host lain yang belum terinfeksi.13

Invasi

Proses invasi dimulai dengan :

Masuknya virus

Masuknya virus kedalam sel host dimulai dengan perlengketan antara

envelope virus dengan membran sel host. Perlengketan ini dilakukan dengan interaksi

antara mannose 6 phosphat (M6P); suatu molekul di bagian luar envelope virus

dengan heparan sulphate, yaitu suatu proteoglycan yang terdapat di permukaan

membran sel host yang berfungsi sebagai reseptor terhadap virus.13

Kemudian dilanjutkan dengan fusi membran sel host dengan envelope virus

yang terjadi melalui interaksi residu mannose 6 phosphate yang terdapat di

ektodomain virus pada permukaan envelope virus dengan reseptor mannosa 6

phosphate (heparan sulfat) di permukaan sel host. Glikprotein virus yang berperanan

dalam proses perlengketan ini adalah gB, gC dan gD.12-16

Proses selanjutnya berupa penetrasi virus yang terjadi dengan masuknya

protein tegumen virus ke dalam sitosol sel host. Kemudian tegumen ini menuju

nukleus sel host, dilanjutkan pembukaan nucleocapsid sehingga terjadi fusi gen DNA

8

Page 9: Patogenesis Herpes Zoster 2a4

virus ke nukleus sel host. Saat fusi tersebut protein-protein yang terdapat dalam

tegumen berikatan dengan DNA virus.12-16

Gambar 2 : Proses perlengketan virus

Sumber : sesuai asli dari kepustakaan no 16

Sintesis protein

Setelah gen virus berada dalam nukleus sel host, ekspresi gen virus ini

dikontrol oleh berbagai protein dalam tegumen yang berikatan dengan DNA virus.

Sintesis protein VZV ini terdiri dari tahapan yaitu ; ekspresi gen immediate early (IE)

yang menghasilkan protein yang berfungsi dalam regulator dan mengaktivasi proses

transkripsi. Salah satu gen terpenting sebagai regulator dalam proses transkripsi

adalah gen IE62. Gen IE62 berfungsi dalam mensinergiskan protein virus dan protein

sel host pada awal proses transkripsi. Gen IE lainnya adalah IE61 yang berfungsi

menekan proses aktivasi transkripsi DNA virus ketika virus memasuki tahapan

9

Page 10: Patogenesis Herpes Zoster 2a4

berikutnya (replikasi DNA virus), dan IE17 dengan fungsi “host shut-off”, yaitu gen

yang berperanan terjadinya kematian sel host setelah terinfeksi VZV.12,13,16

Proses selanjutnya adalah sintesis early (E) protein. Dimana di sintesis

protein-protein seperti DNA helicase / primase, DNA polymerase, dan rantai tunggal

DNA, merupakan protein-protein yang berperanan dalam replikasi DNA virus.12,13,16

Tahap yang ketiga adalah sintesis late (L) protein. Merupakan protein-protein

yang dibutuhkan dalam pembentukan struktur virion (virus imatur yang belum

infeksius) seperti protein nucleocapsid dan glikoprotein virus M, L, I dan E.12,13,16

Replikasi DNA

Replikasi DNA virus terjadi dalam nukleus dimulai dengan terjadinya jarak

antara rantai-rantai DNA virus, sehingga rantai DNA terpisah. Pemisahan ini

disebabkan oleh suatu binding protein yang dikenal dengan Ul9 ori. Kemudian

dilanjutkan dengan pemutusan rantai DNA tersebut yang disebabkan adanya komplek

enzim polimerase / Ul42. Proses selanjutnya adalah pembentukan rantai DNA virus

yang baru melalui mekanisme perputaran lingkaran rantai DNA. Dimana rantai DNA

berubah bentuk menjadi lingkaran yang berputar dan menghasilkan satu rantai DNA

baru pada setiap satu kali putarannya.13,16

Pembentukan virus

Pembentukan nucleocapsid

Primer nucleocapsid dibentuk di dalam nukleus sel host dimana pada fase ini

nucleocapsid masih bersifat imatur. Selanjutnya nucleocapsid primer melewati

membran nukleus sel host. Komponen glikoprotein virus yang terdapat pada membran

nukleus sel host berperanan saat transisi nucleocapsid primer dari nukleus ke

sitoplasma melewati membran tersebut.13,16

Pembentukan virion

Proses selanjutnya adalah pembentukan envelope virus primer terjadi di

sitoplasma sel host yang diproses retikulum endoplasma, sesudah envelope

membungkus nucleocapsid virion baru tersebut melewati sitoplasma sel untuk keluar

dari retikulum endoplasma melalui trans-Golgi network (TGN). Dalam TGN terjadi

re-envelope virion sehingga virion menjadi matur dan infeksius.13,16

Pelepasan virion dari sel

Infeksius virion dengan bantuan TGN mengalami fusi dengan membran sel

host dan keluar dari sel host.13,16

10

Page 11: Patogenesis Herpes Zoster 2a4

Gambar 3 : Pembentukan virion

Sumber : sesuai asli dari kepustakaan no 16

Penyebaran virus ke sel

Varicella zoster virus bisa dengan cepat menyebar ke 3 tipe sel, yaitu sel

epidermal kulit, sel mononukleus darah perifer dan sel neuron sensorik untuk

bereplikasi. Di sel epidermal kulit replikasi virus menimbulkan lesi vesikuler herpes

zoster. Sel mono nukleus darah perifer juga berperan sebagai transpor VZV ke sel

epidermal kulit. Sel neuron sensorik juga berfungsi sebagai tempat infeksi laten

VZV.12-16

Pada sel host yang setipe penyebaran terjadi dengan cara fusi antara sel-sel

yang terinfeksi virus dengan sel-sel di sekitarnya yang belum terinfeksi. Pada kulit

manusia terdapat respon imun alami dan respon imun didapat yang mengontrol

penyebaran virus dari sel yang sudah terinfeksi ke sel belum terinfeksi.12,13

Bukti keterlibatan respon imun alami tampak dari ditemukannya keratinosit

dan sel Langerhans dan adanya sel raksasa berinti banyak pada lesi infeksi virus

Varicella zoster. Keterlibatan antibodi dalam melawan infeksi VZV didasari adanya

11

Page 12: Patogenesis Herpes Zoster 2a4

glikoprotein virus yang menjadi antigen pada permukaan membran sel host. Adanya

glikoprotein tersebut karena telah terjadi fusi antara membran sel virus dengan

membran sel host saat proses perlengketan di awal infeksi VZV. Glikoprotein yang

berperanan ditemukan pada membran sel host antara lain glikoprotein H, L, B dan E

(gH, gL, gB, gE). Bagaimana persisnya keempat glikoprotein ini menyebabkan

terjadinya fusi antara sel host masih belum diketahui. Penelitian terhadap glikoprotein

E memperlihatkan bahwa protein ini mempunyai cadherin E (suatu domain ekstra

seluler) yang berfungsi sebagai protein adhesi terhadap sel host yang sudah terinfeksi

dan yang belum terinfeksi.12,13,16

.

BAB III

PATOGENESIS HERPES ZOSTER

Pada sebagian besar individu satu kali infeksi VZV biasanya memberikan

perlindungan seumur hidup terhadap infeksi ulang VZV dari luar. Tetapi sudah

diketahui bahwa infeksi ulang dapat terjadi baik klinis atau sub-klinis; yang diketahui

dengan peningkatan titer antibodi VZV setelah terpapar sumber infeksi.3,6

12

Page 13: Patogenesis Herpes Zoster 2a4

Hal ini biasa dijumpai pada orang dewasa yang sudah pernah menderita

varisela, tetapi mempunyai kontak serumah dengan penderita varisela. Salah satu

penelitian mengatakan infeksi ulang VZV ditemukan 64% asimtomatik pada individu

imunokompeten, yang ditandai dengan peningkatan antibodi VZV sampai 4 kali lipat.

Infeksi ulang dengan gejala klinis varisela ditemukan sekitar 13% pada kelompok

imunokompeten dan 19% pada kelompok imunokompromais.6,8

Faktor-faktor yang diduga memungkinkan timbulnya infeksi ulang dengan

gejala klinis adalah : (1) usia muda (kurang dari 12 bulan), (2) infeksi primer yang

terlalu ringan sehingga tidak bisa memproduksi respon sel memori yang adekuat

untuk melawan infeksi berikutnya, (3) faktor genetik, yang didasari pada

ditemukannya 45% individu dengan infeksi ulang dengan gejala klinis mempunyai 1

atau lebih anggota keluarga yang pernah menderita varisela berulang.6,8

Herpes zoster tidak bisa dipisahkan dengan infeksi primernya yaitu varisela.

Untuk lebih memahami patogenesis herpes zoster ini juga dibicarakan perjalanan

penyakit yang dimulai dari munculnya varisela.

3.1. Patogenesis varisela

3.1.1. Infeksi primer Varicella zoster virus

Infeksi primer VZV 90% terjadi pada anak-anak berusia kurang dari 10 tahun

dan 5% pada usia di atas 15 tahun. Pada anak imunokompetan gejala klinis biasanya

ringan, dapat sembuh sendiri dan jarang terjadi komplikasi. Pada sebagian individu,

infeksi VZV tidak menimbulkan gejala klinis.6,8

Manusia akan terinfeksi oleh VZV ketika virus berkontak dengan mukosa

traktus respiratorius bagian atas atau konjungtiva. Varicella zoster virus tersebut bisa

berasal dari sekret mukosa traktus respiratorius bagian atas, cairan vesikel penderita

varisela atau cairan vesikel penderita herpes zoster. Dari mukosa traktus respiratorius

bagian atas VZV menuju kelenjar limfe regional dan mengalami replikasi pertama.6,8

3.1.2. Viremia primer

Di kelenjar limfe regional virus mengalami replikasi pertama di sel-sel

mononukleus darah perifer / PBMCs, diikuti dengan fase viremia primer dimana VZV

dalam jumlah yang sedikit menyebar melalui aliran limfe dan darah ke seluruh bagian

tubuh untuk selanjutnya mengalami replikasi kedua di liver, limfa atau sel

mononukleus dalam jumlah yang lebih banyak. Masa inkubasi ini biasanya

berlangsung selama 2 minggu. Adanya DNA VZV di PBMCs pasien imunokompeten

13

Page 14: Patogenesis Herpes Zoster 2a4

dengan varisela sudah dibuktikan dengan metode PCR setelah 24-72 jam munculnya

lesi kulit. Pada pasien imunokompeten perkiraan jumlah PBMCs yang terinfeksi VZV

sekitar 0,01% - 0,001%.6,8,12

Varicella zoster virus dimusnahkan oleh sel sistim retikuloendotelial, yang

merupakan tempat utama replikasi virus selama masa inkubasi. Infeksi virus dihambat

sebagian oleh mekanisme pertahanan tubuh alami dan respon imun didapat yang

timbul.8,12

Pada sebagian besar individu replikasi virus tidak dapat diatasi oleh sistim

pertahanan tubuh yang belum berkembang. Sehingga terjadi viremia sekunder dalam

jumlah virus yang lebih banyak.6,12

Gambar 4 : Skema viremia primer

Sumber : sesuai asli dari kepustakaan no 12

3.1.3. Viremia sekunder

Viremia sekunder terjadi setelah virus yang bertambah banyak dan menyebar

ke seluruh tubuh dan menimbulkan gejala demam dan malaise. Pada viremia

sekunder virus terutama menyebar ke kulit, mukosa dan neuron ganglion dorsalis

untuk menjadi infeksi laten. Varicella zoster virus dibawa ke kulit oleh sel

mononukleus darah perifer yang sudah terinfeksi VZV sebelum muncul lesi di kulit.

Di kulit VZV mengalami replikasi pada sel endotel kapiler, fibroblas, epitel kulit dan

14

Page 15: Patogenesis Herpes Zoster 2a4

menimbulkan vaskulitis di pembuluh darah kecil, degenerasi sel-sel epitel kulit yang

bermanifestasi sebagai lesi varisela.6,12

Respon imun alami dan didapat menghambat berlanjutnya viremia sekunder

ini, sehingga menghambat berkembangnya lesi di kulit, timbulnya varisela yang luas

dan varisela pada organ viseral seperti paru yang dikenal dengan varisela pneumonia.

Respon imun seluler yang berperan dalam menghambat penyebaran VZV adalah

natural killer cells, dengan cara membunuh sel yang terinfeksi oleh VZV. Terjadinya

komplikasi varisela mencerminkan gagalnya sistim imun dalam menghentikan

replikasi dan penyebaran virus.6,8,10,11,12

Gambar 5 : Skema viremia sekunder

Sumber : sesuai asli dari kepustakaan no 12

3.2. Patogenesis herpes zoster

3.2.1. Infeksi laten Varicella zoster virus

Selama penyembuhan varisela, Varicella zoster virus menjadi laten di nervus

kranialis seperti nervus trigeminal, fasialis dan di serabut ganglion posterior medula

spinalis. Pada sebagian besar individu virus ini menjadi laten seumur hidup.

Perjalanan virus ke ganglion sensoris diduga dengan cara hematogenik, transport

neuronal retrograde atau keduanya. Selama infeksi laten di serabut ganglion posterior

15

Page 16: Patogenesis Herpes Zoster 2a4

ini tidak menimbulkan apoptosis sel saraf, karena pada infeksi laten tidak terjadi

inflamasi sehingga tidak merusak sel-sel neuron.18-20

Pada fase laten ini VZV tidak infeksius dan sebagian besar ekspresi gen VZV

tidak ditemukan pada sel neuron dari ganglion dorsalis yang merupakan tempat

infeksi laten VZV. Sehingga virus tidak bisa dideteksi dan dibersihkan oleh sistim

imun. Sistim imun yang berperan dalam mempertahankan keadaan laten ini adalah

sistim imun seluler. Hal ini terbukti dengan tingginya insiden herpes zoster pada

pasien HIV dengan jumlah CD4 menurun dibandingkan insiden pada individu dengan

status imun yang baik.13,19

Hanya beberapa material genetik VZV yang diekspresikan di ganglion

posteriror. Gen-gen yang biasa ditemukan pada fase ini adalah gen 21, 29, 62, dan 63.

Gen-gen tersebut umumnya ditemukan dalam sitoplasma neuron ganglion dorsalis.

Kadang-kadang juga ditemukan di sel-sel satelit ganglion seperti sel Schwann dan

astrosit. Berbeda pada fase reaktivasi, gen-gen tersebut terdapat di dalam nukleus sel

neuron yang terinfeksi VZV. Gen 63 berfungsi sebagai protein yang menekan

apoptosis neuron selama fase laten. Gen 62 berfungsi sebagai regulator transkripsi

ketika gen tersebut berada di dalam nukleus pada fase reaktivasi. Tidak adanya gen-

gen regulator transkripsi lainnya menyebabkan tidak terjadi replikasi VZV selama

fase laten.13,19

Dari penelitian kuantitatif PCR mengindikasikan sangat sedikit jumlah gen

VZV, yaitu sekitar 6-31 per 100.000 sel ganglion yang terinfeksi laten. Pengetahuan

mengenai gen mana yang diekspresikan selama fase laten penting untuk berbagai

alasan. Dengan diketahuinya berbagai fungsi gen VZV diharapkan dapat lebih

memahami proses yang terjadi pada fase laten ini. Ekspresi gen VZV tersebut dapat

digunakan sebagai dasar terapi antivirus dalam mencegah terjadinya reaktivasi virus,

dan selanjutnya dapat mengidentifikasi secara spesifik enzim-enzim yang dapat

menghambat reaktivasi VZV, seperti enzim anti-sense oligonukleotidase dapat

menghambat reaktivasi virus laten dan kemungkinan pengembangan vaksin melawan

protein VZV.13,19

Komponen genetik VZV terdapat ekstrakromosomal dalam bentuk yang tidak

infeksius. Hal ini berbeda dengan retrovirus, dimana komponen genetiknya terdapat di

DNA sel host. Sebagian besar penelitian memperlihatkan bahwa komponen DNA

virus berada di dalam sitoplasma sel neuron serabut saraf baik nervus trigeminal

16

Page 17: Patogenesis Herpes Zoster 2a4

ataupun di neuron serabut ganglion posterior. Pada infeksi ini ditemukan sedikit

perubahan morfologi tanpa disertai peradangan pada neuron-neuron tersebut.13,19

3.2.2. Reaktivasi Varicella zoster virus

Reaktivasi VZV bisa terjadi secara spontan atau mengikuti berbagai faktor

pencetus, seperti infeksi, imunosupresi, trauma, radiasi dan keganasan. Selama fase

klinis aktivasi terjadi berbagai perubahan patologik pada serabut ganglion. Perubahan

utama adalah nekrosis dari sel-sel neuron baik sebagian maupun keseluruhan

ganglion. Perubahan lain adalah infiltrasi limfosit dan hemoragik pada sel-sel

neuron.3,14,15,18

Gambar 6 : Varisela, fase laten dan reaktivasi

Sumber : sesuai asli dari kepustakaan no 3

Proses patologik tersebut pada akhirnya akan menyebabkan terjadinya

neuralgia. VZV kemudian menyebar secara sentrifugal ke saraf sensorik dan

menyebabkan neuritis. Virus yang terdapat pada ujung saraf sensorik menyebar di

kulit menimbulkan kelompok-kelompok vesikel herpes zoster. Biasanya keadaan ini

berada pada satu unilateral dermatom.3,18,19

Pada keadaan reaktivasi didahului dengan keberadaan komponen genetik virus

yang sebelumnya berada di sitoplasma neuron selama fase laten, mencapai nukleus

dan mengaktifkan proses replikasi virus, kemudian memproduksi virus yang

infeksius. Virus tersebut kemudian keluar dari sel neuron ganglion posterior ke saraf

17

Page 18: Patogenesis Herpes Zoster 2a4

sensorik, dan mencapai kulit menginfeksi sel-sel epitel kulit dan menimbulkan lesi

herpes zoster.13,19,20

Pada keadaan reaktivasi ini, VZV menstimulasi respon imun yang mampu

mencegah reaktivasi pada ganglion lainnya dan reaktivasi klinis berikutnya. Sehingga

herpes zoster hanya menyerang satu dermatom dan muncul hanya sekali seumur

hidup.13,18,19

Gambar 7 : Dermatom kulit

Sumber : sesuai asli dari kepustakaan no 20

Reaktivasi bisa menghasilkan klinis herpes zoster yang generalisata hal ini

disebabkan karena gagalnya sistem imun menghamabat perkembangan lesi herpes

yang terjadi. Keadaan ini biasanya ditemui pada pasien-pasien imunokompromais

seperti penderita HIV, pasien yang mendapat pengobatan dengan imunosupresan atau

sitostatik.21

Hal ini bertolak belakang dengan variasi klinis herpes zoster lainnya seperti

pada zoster sine herpete dimana klinis hanya berupa rasa nyeri pada dermatom yang

terkena tanpa disertai munculnya erupsi kulit. Pada keadaan tersebut sistim imun

dapat mencegah penyebaran virus ke kulit saat reaktivasi sehingga lesi kulit tidak

muncul. Herpes zoster abortif dimana klinis yang muncul sangat ringan dan

18

Page 19: Patogenesis Herpes Zoster 2a4

berlangsung sebentar disebabkan sistim imun dapat menekan perkembangan lebih

lanjut virus sehingga tidak menimbulkan lesi yang lebih berat.21

3.2.3 Patogenesis nyeri pada herpes zoster dan neuralgia paska herpetik

Nyeri merupakan keluhan yang dirasakan penderita herpes zoster. Khususnya

pada pasien tua, nyeri yang terdistribusi pada saraf sensorik bisa menetap sampai

beberapa minggu, bulan, bahkan tahun setelah lesi kulit sembuh. Nyeri kronis yang

menetap ini disebut neuralgia paska herpetik, didefinisikan dengan nyeri yang

menetap setelah lesi kulit sembuh atau yang menetap lebih dari 4 minggu, tanpa

melihat derajat perbaikan.3,6,21,22

Tidak seperti nyeri yang menyertai kerusakan jaringan akut dimana pada NPH

tidak ditemukan kelainan biologik. Nyeri pada herpes merupakan hasil dari aktifitas

jaras spinotalamikus dan pontin hipotalamik. Nyeri ini adalah suatu bentuk nyeri

neuropati yang disebabkan oleh kerusakan pada sistim saraf. Sensasi nyeri tersebut

merupakan hasil dari proses komplek sensorik pada level tertinggi di susunan saraf

pusat.23

Dari pemeriksaan neuropatologi ditemukan adanya inflamasi akut oleh herpes

zoster yang maksimal pada serabut ganglion posterior. Inflamasi akut ini

menyebabkan nyeri pada suatu dermatom kemudian meluas ke perifer sepanjang saraf

sensorik dan kadang-kadang ke bagian proksimal saraf sensorik dan motorik dari

dermatom yang terkena. Replikasi VZV di sel neuron ganglion posterior

menimbulkan inflamasi dan kerusakan pada sel tersebut, sehingga terjadi peningkatan

sensitifitas dan respon yang berlebihan pada nosireseptor / reseptor taktil yang dikenal

dengan sensitisasi perifer. Pada proses inflamasi ini terjadi pelepasan sitokin-sitokin

yang ikut memperberat kerusakan neuron. Nyeri pada herpes tidak disebabkan oleh

kuatnya rangsangan pada reseptor sensorik, tetapi disebabkan oleh gangguan fungsi

transmisi pada serat saraf sensorik setelah rangsangan taktil pada nosireseptor di

kulit.21-23

Meskipun sensitisasi perifer penting pada mekanisme terjadinya nyeri pada

herpes zoster, masih tidak bisa dijelaskan kenapa area kulit yang mengalami

hipersensitifitas hanya terjadi di dermatom yang terkena, seperti allodynia atau

hiperalgesia yang merupakan hasil dari sensitisasi sentral, yaitu perubahan yang

terjadi pada kornu posterior medula spinalis sebagai konsekuensi rangsangan pada

nosireseptor. Kerusakan akson sensorik karena herpes zoster menimbulkan gangguan

19

Page 20: Patogenesis Herpes Zoster 2a4

impuls yang menyebabkan depolarisasi terus-menerus pada medula spinalis

menimbulkan respon yang berlebihan pada kornu posterior medula spinalis terhadap

semua rangsangan (wind up mechanism). 21,23

Gangguan fungsi saraf yang berkepanjangan pada kornu posterior medula

spinalis juga disebabkan karena pada saat depolarisasi, kalsium masuk ke sel neuron.

Masuknya kalsium diinduksi rangsangan glutamat atau aspartat terhadap reseptor N-

metil-d-asam glutamat / aspartat yang terjadi ketika sel neuron yang rusak di kornu

posterior menghantarkan impuls. Glutamat atau aspartat merupakan neurotransmiter

yang dikeluarkan oleh sel neuron yang rusak akibat proses peradangan.24 Akibat

gangguan fungsi pada kornu posterior medula spinalis terjadi sensitisasi sentral

temporer bahkan permanen meskipun tidak ada rangsangan taktil pada nosireseptor.23

Berbagai perubahan patologik bisa menyebabkan nyeri berkepanjangan yang

susah dikontrol setelah herpes zoster. Tahapan respon yang menyebabkan nyeri

sesudah terjadinya kerusakan saraf terjadi sangat cepat. Pelepasan neurotransmiter

timbul dalam beberapa detik setelah kerusakan saraf. Hipersensitifitas dan sensitisasi

sel neuron terjadi dalam beberapa menit, remodeling sel-sel neuron terjadi dalam

beberapa jam, responstruktural terjadi dalam beberapa hari atau dalam beberapa

bulan. Hal ini berarti setiap usaha pengobatan bisa mengurangi kerusakan saraf lebih

lanjut selama dilakukan pada fase akut.23

BAB IV

KESIMPULAN

Varicella zoster virus bisa berasal dari sekret mukosa traktus respiratorius bagian

atas, cairan vesikel penderita varisela atau cairan vesikel penderita herpes zoster.

Varicella zoster virus dari luar yang berkontak dengan mukosa traktus

respiratorius bagian atas kemudian ke kelenjar getah bening regional.

20

Page 21: Patogenesis Herpes Zoster 2a4

Di kelenjar getah bening regional VZV mengalami replikasi pertama dan

kemudian mengalami viremia primer dalam jumlah yang sedikit menyebar ke

liver dan limfa.

Di liver dan limfa VZV mengalami replikasi ke dua dalam jumlah yang lebih

banyak mengalami viremia sekunder ke kulit muncul lesi varisela dan akhirnya ke

ganglion posterior atau saraf kranialis menjadi laten.

Selama fase laten VZV tidak mengalami replikasi.

Reaktivasi terjadi saat penurunan sistem imun menyebabkan replikasi VZV di

ganglion posterior atau saraf kranialis yang berakibat peradangan dan

menimbulkan nyeri herpes zoster, virus menyebar ke kulit membentuk lesi herpes

zoster.

Nyeri pada herpes zoster disebabkan terjadinya sensitisasi perifer dan sentral pada

saraf sensorik.

21