Patofisiologi PJR Print.doc

31
Patofisiologi PENYAKIT JANTUNG REMATIK Oleh: Galuh Maharani Sukma 030.06.099 Pembimbing : Dr. Charles Antoni Silalahi Sp.A Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak RSUD Bekasi Periode 12 November 2012 – 19 Januari 2013 Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti i

Transcript of Patofisiologi PJR Print.doc

Page 1: Patofisiologi PJR Print.doc

Patofisiologi

PENYAKIT JANTUNG REMATIK

Oleh:

Galuh Maharani Sukma

030.06.099

Pembimbing :

Dr. Charles Antoni Silalahi Sp.A

Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak RSUD Bekasi

Periode 12 November 2012 – 19 Januari 2013

Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti

Jakarta

2012

i

Page 2: Patofisiologi PJR Print.doc

LEMBAR PENGESAHAN

Dengan hormat ,

Makalah patofisiologi pada kepaniteraan klinik Ilmu Kesehatan Anak RSUD Bekasi periode 12 November 2012 – 19 Januari 2013 dengan judul “Penyakit Jantung Rematik” yang disusun oleh :

Nama : Galuh Maharani Sukma

NIM : 030.06.099

Telah disetujui dan diterima hasil penyusunannya oleh Yth :

Pembimbing :

Dr. Charles Antoni Silalahi, Sp.

Menyetujui ,

( Dr. Charles A. Silalahi, Sp.A )

Page 3: Patofisiologi PJR Print.doc

BAB I

PENDAHULUAN

Demam rematik merupakan suatu penyakit inflamasi sistemik non supuratif yang

digolongkan pada kelainan vaskular kolagen atau kelainan jaringan ikat. Proses rematik ini

merupakan reaksi peradangan yang dapat mengenai banyak organ tubuh terutama jantung,

sendi dan sistem saraf pusat. Demam rematik akut adalah sinonim dari demam rematik

dengan penekanan akut, sedangkan yang dimasuk demam rematik inaktif adalah pasien-

pasien dengan demam rematik tanpa tanda-tanda radang. 1,2,3,4

Penyakit demam rematik dan gejala sisanya, yaitu penyakit jantung rematik,

merupakan jenis penyakit jantung didapat yang paling banyak dijumpai pada populasi anak-

anak dan dewasa muda. Puncak insiden demam rematik terdapat pada kelompok 5-15 tahun;

penyakit ini jarang dijumpai pada anak dibawah usia 4 tahun dan penduduk di atas 50 tahun.

Prevalensi demam rematik atau penyakit jantung rematik yang diperoleh dan penelitian WHO

mulai tahun 1984 di 16 negara sedang berkembang di Afrika, Amerika Latin, Timur Jauh,

Asia Tenggara dan Pasifik Barat berkisar 0,1 sampai 12,6 per 1.000 anak sekolah, dengan

prevalensi rata-rata sebesar 2,2 per 1.000 anak sekolah.4

Dalam laporan WHO Expert Consultation Geneva, 29 Oktober–1 November 2001

yang diterbitkan tahun 2004 angka mortalitas untuk PJR 0,5 per 100.000 penduduk di Negara

maju hingga 8,2 per 100.000 penduduk di negara berkembang di daerah Asia Tenggara

diperkirakan 7,6 per 100.000 penduduk. Diperkirakan sekitar 2.000-332.000 penduduk yang

meninggal diseluruh dunia akibat penyakit tersebut.5

Prevalensi demam rematik di Indonesia belum diketahui secara pasti, meskipun

beberapa penelitian yang pernah dilakukan menunjukkan bahwa prevalensi penyakit jantung

rematik berkisar antara 0,3 sampai 0,8 per 1.000 anak sekolah. Dengan demikian, secara kasar

dapat diperkirakan bahwa prevalensi demam rematik di Indonesia pasti lebih tinggi dari

angka tersebut, mengingat penyakit jantung rematik merupakan akibat dari demam rematik.6

Page 4: Patofisiologi PJR Print.doc

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 DEMAM REMATIK AKUT

2.1.1 Etiologi

Demam rematik akut disebabkan oleh respon imunologis yang terjadi sebagai sekuel

dari infeksi streptokokus grup A pada faring tetapi bukan pada kulit. Tingkat serangan demam

rematik akut setelah infeksi streptokokus bervariasi tergantung derajat infeksinya, yaitu 0,3

sampai 3 persen. Faktor predisposisi yang penting meliputi riwayat keluarga yang menderita

demam rematik, status sosial ekonomi rendah (kemiskinan, sanitasi yang buruk), dan usia

antara 6 sampai 15 tahun (dengan puncak insidensi pada usia 8 tahun).7

2.1.2. Patologi

Lesi peradangan dapat ditemukan di berbagai bagian tubuh, terutama pada jantung,

otak, sendi dan kulit. Karditis akibat rematik sering disebut sebagai pankarditis, dengan

miokarditis sebagai bagian yang paling utama. Saat ini, diketahui bahwa komponen katup

yang mungkin sama atau lebih penting dibandingkan keterlibatan otot jantung maupun

pericardium. Pada miokarditis rematik, kontraktilitas miokard jarang mengalami kerusakan

dan kadar troponin serum tidak mengalami peningkatan. Pada penyakit jantung rematik tidak

hanya terjadi kerusakan pada daun katup akibat timbulnya vegetasi pada permukaannya,

namun seluruh katup mitral mengalami kerusakan (dengan pelebaran annulus dan tertariknya

korda tendineae).7,8

Katup mitral merupakan katup yang paling sering dan paling berat mengalami

kerusakan dibandingkan dengan katup aorta dan lebih jarang pada katup trikuspid dan

pulmonalis. Badan Aschoff yang ditemukan pada otot jantung atrium merupakan salah satu

tanda khas pada demam rematik. Badan Aschoff terdiri dari lesi-lesi peradangan yang disertai

dengan pembengkakan, serat kolagen yang berfragmen, dan perubahan jaringan penyambung,

yang saat ini dianggap sebagai sel miokardium yang mengalami nekrosis.7

Page 5: Patofisiologi PJR Print.doc

Gambar 2.1

2.1.3. Manifestasi Klinis

Demam rematik akut didiagnosis dengan menggunakan kriteria Jones. Kriteria

tersebut dibagi menjadi tiga bagian : (1) lima gejala mayor, (2) empat gejala minor, dan (3)

bukti pemeriksaan yang mendukung adanya infeksi streptokokus grup A.5,7,8 Lihat tabel 2.1.

Gejala Mayor

Karditis

Poliartritis

Khorea

Eritema marginatum

Nodul subkutan

Gejala Minor

Temuan klinis :

Riwayat demam rematik atau penyakit jantung rematik

Arthralgia

Demam

Temuan laboratorium:

Peningkatan reaktan fase akut ( laju pengendapan

eritrosit, protein C-reaktif)

Pemanjangan interval PR

Bukti yang mendukung

adanya infeksi

streptokokus grup A

Kultur tenggorok atau pemeriksaan antigen streptokokus

hasilnya (+)

Peningkatan titer antibodi streptokokus

Tabel.2.1 Kriteria Jones

Page 6: Patofisiologi PJR Print.doc

\

Kriteria Mayor

1. Karditis merupakan manifestasi klinik demam rematik yang paling berat karena

merupakan satu-satunya manifestasi yang dapat mengakibatkan kematian penderita

pada fase akut dan dapat menyebabkan kelainan katup sehingga terjadi penyakit

jantung rematik. Diagnosis karditis rematik dapat ditegakkan secara klinik

berdasarkan adanya salah satu tanda berikut: (a) bising baru atau perubahan sifat

bising organik, (b) kardiomegali, (c) perikarditis, dan gagal jantung kongestif.

Bising jantung merupakan manifestasi karditis rematik yang seringkali muncul

pertama kali, sementara tanda dan gejala perikarditis serta gagal jantung kongestif

biasanya baru timbul pada keadaan yang lebih berat. 5

2. Poliartritis, ditandai oleh adanya nyeri, pembengkakan, kemerahan, teraba panas,

dan keterbatasan gerak aktif pada dua sendi atau lebih. Artritis pada demam rematik

paling sering mengenai sendi-sendi besar anggota gerak bawah. Kelainan ini hanya

berlangsung beberapa hari sampai seminggu pada satu sendi dan kemudian

berpindah, sehingga dapat ditemukan artritis yang saling tumpang tindih pada

beberapa sendi pada waktu yang sama; sementara tanda-tanda radang mereda pada

satu sendi, sendi yang lain mulai terlibat. Perlu diingat bahwa artritis yang hanya

mengenai satu sendi (monoartritis) tidak dapat dijadikan sebagai suatu criteria

mayor. Selain itu, agar dapat digunakan sebagai suatu kriteria mayor, poliartritis

harus disertai sekurang-kurangnya dua kriteria minor, seperti demam dan kenaikan

laju endap darah, serta harus didukung oleh adanya titer ASTO atau antibodi anti

Streptokokus lainnya yang tinggi.5

3. Korea secara khas ditandai oleh adanya gerakan tidak disadari dan tidak bertujuan

yang berlangsung cepat dan umumnya bersifat bilateral, meskipun dapat juga hanya

mengenai satu sisi tubuh. Manifestasi demam rematik ini lazim disertai kelemahan

otot dan ketidakstabilan emosi. Korea jarang dijumpai pada penderita di bawah usia

3 tahun atau setelah masa pubertas dan lazim terjadi pada perempuan. Korea

Sydenham merupakan satu-satunya tanda mayor yang sedemikian penting sehingga

dapat dianggap sebagai pertanda adanya demam rematik meskipun tidak ditemukan

kriteria yang lain. Korea merupakan manifestasi demam rematik yang muncul

secara lambat, sehingga tanda dan gejala lain kemungkinan sudah tidak ditemukan

lagi pada saat korea mulai timbul.5,7

4. Eritema marginatum merupakan wujud kelainan kulit yang khas pada demam

rematik dan tampak sebagai makula yang berwarna merah, pucat di bagian tengah,

tidak terasa gatal, berbentuk bulat atau dengan tepi yang bergelombang dan meluas

Page 7: Patofisiologi PJR Print.doc

secara sentrifugal. Eritema marginatum juga dikenal sebagai eritema anulare

rematikum dan terutama timbul di daerah badan, pantat, anggota gerak bagian

proksimal, tetapi tidak pernah ditemukan di daerah wajah. Kelainan ini dapat

bersifat sementara atau menetap, berpindah-pindah dari satu bagian tubuh ke bagian

tubuh yang lain, dapat dicetuskan oleh pemberian panas, dan memucat jika ditekan.

Tanda mayor demam rematik ini hanya ditemukan pada kasus yang berat.5

5. Nodulus subkutan pada umumnya hanya dijumpai pada kasus yang berat dan

terdapat di daerah ekstensor persendian, pada kulit kepala serta kolumna

vertebralis. Nodul ini berupa massa yang padat, tidak terasa nyeri, mudah

digerakkan dari kulit di atasnya, dengan diameter dan beberapa milimeter sampai

sekitar 2 cm. Tanda ini pada umumnya tidak akan ditemukan jika tidak terdapat

karditis.5,7

Gambar 2.3 Nodul Subkutan

Gambar 2.4 Manifestasi klinis demam rematik akut

Page 8: Patofisiologi PJR Print.doc

Kriteria Minor

1. Riwayat demam rematik sebelumnya dapat digunakan sebagai salah satu kriteria

minor apabila tercatat dengan baik sebagai suatu diagnosis yang didasarkan pada

kriteria obyektif yang sama. Akan tetapi, riwayat demam rematik atau penyakit

jantung rematik inaktif yang pernah diidap seorang penderita seringkali tidak

tercatat secara baik sehingga sulit dipastikan kebenarannya, atau bahkan tidak

terdiagnosis.5,7

2. Artralgia adalah rasa nyeri pada satu sendi atau lebih tanpa disertai peradangan

atau keterbatasan gerak sendi. Gejala minor ini harus dibedakan dengan nyeri pada

otot atau jaringan periartikular lainnya, atau dengan nyeri sendi malam hari yang

lazim terjadi pada anak-anak normal. Artralgia tidak dapat digunakan sebagai

kriteria minor apabila poliartritis sudah dipakai sebagai kriteria mayor.5

3. Demam pada demam rematik biasanya ringan, meskipun adakalanya mencapai

39°C, terutama jika terdapat karditis. Manifestasi ini lazim berlangsung sebagai

suatu demam derajat ringan selama beberapa minggu. Demam merupakan pertanda

infeksi yang tidak spesifik, dan karena dapat dijumpai pada begitu banyak penyakit

lain, kriteria minor ini tidak memiliki arti diagnosis banding yang bermakna.5

4. Peningkatan kadar reaktan fase akut berupa kenaikan laju endap darah, kadar

protein C reaktif, serta leukositosis merupakan indikator nonspesifik dan

peradangan atau infeksi. Ketiga tanda reaksi fase akut ini hampir selalu ditemukan

pada demam rematik, kecuali jika korea merupakan satu-satunya manifestasi mayor

yang ditemukan. Perlu diingat bahwa laju endap darah juga meningkat pada kasus

anemia dan gagal jantung kongestif. Adapun protein C reaktif tidak meningkat pada

anemia, akan tetapi mengalami kenaikan pada gagal jantung kongestif. Laju endap

darah dan kadar protein C reaktif dapat meningkat pada semua kasus infeksi,

namun apabila protein C reaktif tidak bertambah, maka kemungkinan adanya

infeksi Streptokokus akut dapat dipertanyakan. 5,8

5. Interval P-R yang memanjang biasanya menunjukkan adanya keterlambatan

abnormal sistem konduksi pada nodus atrioventrikel dan meskipun sering dijumpai

pada demam rematik, perubahan gambaran EKG ini tidak spesifik untuk demam

rematik. Selain itu, interval P-R yang memanjang juga bukan merupakan pertanda

yang memadai akan adanya karditis rematik.5,7

Bukti yang mendukung

Titer antistreptolisin O (ASTO) merupakan pemeriksaan diagnostik standar untuk

demam rematik, sebagai salah satu bukti yang mendukung adanya infeksi Streptokokus. Titer

ASTO dianggap meningkat apabila mencapai 250 unit Todd pada orang dewasa atau 333 unit

Page 9: Patofisiologi PJR Print.doc

Todd pada anak-anak di atas usia 5 tahun, dan dapat dijumpai pada sekitar 70% sampai 80%

kasus demam rematik akut.5

Infeksi Streptokokus juga dapat dibuktikan dengan melakukan biakan usapan

tenggorokan. Biakan positif pada sekitar 50% kasus demam rematik akut. Bagaimanapun,

biakan yang negatif tidak dapat mengesampingkan kemungkinan adanya infeksi Streptokokus

akut.5

2.1.4. Diagnosis

Demam rematik akut didiagnosis berdasarkan kriteria Jones dimana didapatkan

minimal dua gejala mayor atau satu gejala mayor dan dua gejala minor, ditambah adanya

bukti pemeriksaan yang menunjukkan adanya infeksi streptokokus. Dua gejala mayor selalu

lebih kuat dibandingkan satu gejala mayor dengan dua gejala minor. Arthralgia atau

pemanjangan interval PR tidak dapat digunakan sebagai gejala minor ketika menggunakan

karditis dan arthritis sebagai gejala mayor. Tidak adanya bukti yang mendukung adanya

infeksi streptokokus grup A merupakan peringatan bahwa demam rematik akut mungkin tidak

terjadi pada pasien (kecuali bila ditemukan adanya khorea). Murmur innocent (Still’s) sering

salah interpretasi sebagai murmur dari regurgitasi katup mitral (MR) dan oleh karenanya

merupakan penyebab yang sering dari kesalahan diagnosis dari demam rematik akut.

Murmur dari MR merupakan tipe regurgitan sistolik (berawal dari bunyi jantung I) sedangkan

murmur innocent merupakan murmur dengan nada rendah dan tipe ejeksi.7

Pengecualian dari kriteria Jones meliputi tiga keadaan berikut ini:

1. Khorea mungkin timbul sebagai satu-satunya gejala klinis dari demam rematik.

2. Karditis indolen mungkin satu-satunya gejala klinis pada pasien yang datang ke

tenaga medis setelah berbulan-bulan dari onset serangan demam rematik.

3. Kadang-kadang, pasien dengan demam rematik rekuren mungkin tidak memenuhi

kriteria Jones.

2.1.5. Diagnosis Banding

Arthritis reumatoid juvenile sering didiagnosis sebagai demam rematik akut. Temuan

klinis yang mengarah ke arthritis reumatoid juvenile antara lain : keterlibatan dari sendi-sendi

kecil di perifer, sendi-sendi besar terkena secara simetris tanpa adanya arthritis yang

berpindah, kepucatan pada sendi yang terkena, tidak ada bukti infeksi streptokokus,

Page 10: Patofisiologi PJR Print.doc

perjalanan penyakit yang lebih indolen, dan tidak adanya respon awal terhadap terapi salisilat

selama 24 sampai 48 jam.7

Penyakit vaskular kolagen (systemic lupus erythematosus ; SLE, penyakit jaringan

penyambung campuran); arthritis yang reaktif, termasuk arthritis poststreptococcal; serum

sickness; dan infeksius arthritis (seperti gonokokus), kadang-kadang perlu dibedakan.7

Infeksi virus yang disertai arthritis akut (rubella, parvovirus, virus hepatitis B,

herpesvirus, enterovirus) lebih sering terjadi pada orang dewasa. Penyakit-penyakit

hematologi seperti anemia sel sabit dan leukemia, dianjurkan untuk tetap dipikirkan sebagai

diagnosis banding. 7

Hanya karditis yang dapat menyebabkan kerusakan permanen pada jantung. Tanda

klinis ringan dari karditis menghilang secara cepat dalam jangka waktu mingguan, tetapi pada

pasien dengan karditis berat baru hilang setelah 2-6 bulan. Khorea secara bertahap berkurang

setelah 6 sampai 7 bulan atau lebih lama dan biasanya tidak menimbulkan sekuel neurologis

yang permanen.7

2.1.6. Penatalaksanaan

Ketika demam rematik akut ditemukan secara anamnesis dan pemeriksaan fisik,

selanjutnya dilakukan pemeriksaan laboratorium antara lain : pemeriksaan darah lengkap,

reaktan fase akut (LED, protein C-reaktif), kultur tenggorok, titer anti streptolisin O (dan titer

antibodi kedua, terutama pada pasien dengan khorea), foto Rontgen, dan elektrokardiografi.

Konsultasi ke ahli jantung diindikasikan untuk menjelaskan apakah terjadi kerusakan pada

jantung : pemeriksaan ekhokardiografi dua dimensi dan Doppler yang biasa dilakukan.5,7

Penisilin benzathine G 0,6 sampai 1,2 juta unit disuntikkan secara intramuskular,

diberikan untuk eradikasi streptokokus. Pada pasien yang mempunyai alergi penisilin, dapat

diberikan eritromisin dengan dosis 40 mg/kgBB perhari dalam dua sampai empat dosis

selama 10 hari. Terapi anti-inflamasi atau supresi dengan salisilat atau steroid tidak boleh

diberikan sampai ditegakkannya diagnosis pasti.

Ketika diagnosis demam rematik akut ditegakkan, diperlukan edukasi kepada pasien

dan orang tuanya tentang perlunya pemakaian antibiotik secara berkelanjutan untuk

mencegah infeksi streptokokus berikutnya. Adanya keterlibatan jantung, diperlukan

pemberian profilaksis untuk menangani endokarditis infektif.5,7,9

Page 11: Patofisiologi PJR Print.doc

Jangka waktu tirah baring bergantung pada tipe dan keparahan dari gejala dan

berkisar dari seminggu (untuk arthritis) hingga beberapa minggu untuk karditis berat. Tirah

baring diikuti periode untuk ambulasi di dalam rumah dengan durasi bervariasi sebelum anak

diperbolehkan untuk kembali ke sekolah. Aktivitas bebas diperbolehkan bila laju endap darah

sudah kembali ke normal, kecuali pada anak dengan kerusakan jantung yang cukup berat.

Untuk lebih jelasnya lihat pada tabel 2.2 5,7

Hanya arthritisCarditis

ringan*

Karditis

sedang**

Karditis

berat***

Tirah baring

1-2 minggu 3-4 minggu 4-6 minggu

Selama masih

adanya gagal

jantung

kongestif

Ambulasi indoor 1-2 minggu 3-4 minggu 4-6 minggu 2-3 bulan

* kardiomegali diragukan

** kardiomegali ringan

*** kardiomegali yang nyata atau gagal jantung

Tabel 2.2 Durasi tirah baring dan ambulasi indoor

Terapi dengan agen anti inflamasi harus dimulai sedini mungkin saat demam rematik

akut sudah didiagnosis. Untuk karditis ringan hingga sedang, penggunaan aspirin saja sebagai

anti inflamasi direkomendasikan dengan dosis 90-100 mg/kgBB perhari yang dibagi dalam 4

sampai 6 dosis. Kadar salisilat yang adekuat di dalam darah adalah sekitar 20-25 mg/100 mL.

Dosis ini dilanjutkan selama 4 sampai 8 minggu, tergantung pada respon klinis. Setelah

perbaikan, terapi dikurangi secara bertahap selama 4-6 minggu selagi monitor reaktan fase

akut. 7

Untuk arthritis, terapi aspirin dilanjutkan selama 2 minggu dan dikurangi secara

bertahap selama lebih dari 2 sampai 3 minggu. Adanya perbaikan gejala sendi dengan

Page 12: Patofisiologi PJR Print.doc

pemberian aspirin merupakan bukti yang mendukung arthritis pada demam rematik akut.

Pemberian prednisone ( 2 mg/kgBB perhari dalam 4 dosis untuk 2 sampai 6 minggu )

diindikasikan hanya pada kasus karditis berat. 5,7

Penanganan gagal jantung kongestif meliputi istirahat total dengan posisi setengah

duduk (orthopneic) dan pemberian oksigen. Prednison untuk karditis berat dengan onset akut.

Digoksin digunakan dengan hati-hati, dimulai dengan setengah dosis rekomendasi biasa,

karena beberapa pasien dengan karditis rematik sangat sensitif terhadap pemberian digitalis.

Furosemid dengan dosis 1 mg/kgBB setiap 6 sampai 12 jam, jika terdapat indikasi. 7

Penanganan khorea Sydenham dilakukan dengan mengurangi stres fisik dan

emosional. Terapi medikamentosa antara lain pemberian benzatin penisilin G 1,2 juta unit,

sebagai awalan eradikasi streptokokus dan juga setiap 28 hari untuk pencegahan rekurensi,

seperti pada pasien dengan gejala rematik lainnya. Tanpa profilaksis sekitar 25% pasien

dengan khorea (tanpa adanya karditis) berkembang menjadi penyakit katup jantung rematik

pada follow-up 20 tahun berikutnya. Pada kasus yang berat, obat-obatan berikut dapat

diberikan : fenobarbital (15-30 mg setiap 6-8 jam), haloperidol (dimulai dengan dosis 0,5 mg

dan ditingkatkan setiap 8 jam sampai 2 mg setiap 8 jam), asam valproat, klorpromazine,

diazepam, atau steroid.5,7

2.1.7. Prognosis

Ada maupun tidak adanya kerusakan jantung permanen menentukan prognosis.

Perkembangan penyakit jantung sebagai akibat demam rematik akut diperngaruhi oleh tiga

faktor, yaitu:

1. Keadaan jantung pada saat memulai pengobatan. Lebih parahnya kerusakan jantung

pada saat pasien pertama datang, menunjukkan lebih besarnya kemungkinan insiden

penyakit jantung residual.

2. Kekambuhan dari demam rematik : Keparahan dari kerusakan katup meningkat pada

setiap kekambuhan.

3. Penyembuhan dari kerusakan jantung : terbukti bahwa kelainan jantung pada

serangan awal dapat menghilang pada 10-25% pasien. Penyakit katup sering

membaik ketika diikuti dengan terapi profilaksis. 7

2.1.8. Pencegahan

Page 13: Patofisiologi PJR Print.doc

a. Pencegahan primer

Pencegahan primer dari demam rematik dimungkinkan dengan terapi penisilin selama

10 hari untuk faringitis karena streptokokus. Namun, 30% pasien berkembang menjadi

subklinis faringitis dan oleh karena itu tidak berobat lebih lanjut. Sementara itu, 30% pasien

lainnya berkembang menjadi demam rematik akut tanpa keluhan dan tanda klinis faringitis

streptokokus.7,8,9

b. Pencegahan sekunder

Pasien dengan riwayat demam rematik, termasuk dengan gejala khorea dan pada

pasien dengan tidak adanya bukti pemeriksaan yang menunjukkan pasien menderita demam

remati akut harus diberikan profilaksis. Sebaiknya, pasien menerima profilaksis dalam jangka

waktu tidak terbatas. Lihat tabel 2.3 7

Kategori Durasi

Demam rematik tanpa karditis Minimal selama 5 tahun atau sampai usia 21

tahun, yang mana lebih lama

Demam rematik dengan karditis tetapi tanpa

penyakit jantung residual (tidak ada kelainan

katup)

Minimal 10 tahun atau hingga dewasa, yang

mana lebih lama

Demam rematik dengan karditis dan penyakit

jantung residual (kelainan katup persisten)

Minimal 10 tahun sejak episode terakhir dan

minimal sampai usia 40 tahun, kadang-

kadang selama seumur hidup

Tabel 2.3 Durasi profilaksis untuk demam rematik

2.2 PENYAKIT JANTUNG REMATIK

Page 14: Patofisiologi PJR Print.doc

2.2.1 Definisi

Penyakit jantung reumatik (Reumatic Heart Disease) merupakan penyakit jantung

didapat yang sering ditemukan pada anak. Penyakit jantung reumatik merupakan kelainan

katup jantung yang menetap akibat demam reumatik akut sebelumnya, terutama mengenai

katup mitral (75%), aorta (25%), jarang mengenai katup trikuspid, dan tidak pernah

menyerang katup pulmonal. Penyakit jantung reumatik dapat menimbulkan stenosis atau

insufisiensi atau keduanya. 5,8

Terkenanya katup dan endokardium adalah manifestasi paling penting dari demam

rematik. Lesi pada katup berawal dari verrucae kecil yang terdiri dari fibrin dan sel-sel darah

di sepanjang perbatasan dari satu atau lebih katup jantung. Katup mitral paling sering terkena,

selanjutnya diikuti oleh katup aorta; manifestasi ke jantung-kanan jarang ditemukan. Sejalan

dengan berkurangnya peradangan, verrucae akan menghilang dan meninggalkan jaringan

parut. Dengan serangan berulang dari demam rematik, verrucae baru terbentuk di bekas

tempat tumbuhnya verrucae sebelumnya dan endokardium mural dan korda tendinea menjadi

terkena.8

Gambar 2.5 Vegetasi pada katup jantung

2.2.2 Patofisiologi

Demam reumatik merupakan kelanjutan dari infeksi faring yang disebabkan

Streptokokus beta hemolitik grup A. Reaksi autoimun terhadap infeksi Streptokokus secara

hipotetif akan menyebabkan kerusakan jaringan atau manifestasi demam reumatik, sebagai

berikut (1) Streptokokus grup A akan menyebabkan infeksi pada faring, (2) antigen

Streptokokus akan menyebabkan pembentukan antibodi pada hospes yang hiperimun, (3)

antibodi akan bereaksi dengan antigen Streptokokus, dan dengan jaringan hospes yang secara

antigenik sama seperti Streptokokus ( dengan kata lain antibodi tidak dapat membedakan

antara antigen Streptokokus dengan antigen jaringan jantung), (4) autoantibodi tesebut

bereaksi dengan jaringan hospes sehingga mengakibatkan kerusakan jaringan. 5

Page 15: Patofisiologi PJR Print.doc

Gambar 2.3 Patofisiologi penyakit jantung rematik

Adapun kerusakan jaringan ini akan menyebabkan peradangan pada lapisan jantung

khususnya mengenai endotel katup, yang mengakibatkan pembengkakan daun katup dan erosi

pinggir daun katup. Hal ini mengakibatkan tidak sempurnanya daun katup mitral menutup

pada saat sistolik sehingga mengakibatkan penurunan suplai darah ke aorta dan aliran darah

balik dari ventrikel kiri ke atrium kiri, hal ini mengakibatkan penurunan curah sekuncup

ventrikel sehingga jantung berkompensasi dengan dilatasi ventrikel kiri, peningkatan

kontraksi miokardium, hipertrofi dinding ventrikel dan dinding atrium sehingga terjadi

penurunan kemampuan atrium kiri untuk memompa darah hal ini mengakibatkan kongesti

vena pulmonalis dan darah kembali ke paru-paru mengakibatkan terjadi edema intertisial

paru, hipertensi arteri pulmonalis, hipertensi ventrikel kanan sehingga dapat mengakibatkan

gagal jantung kanan.5,7

2.2.3 Pola Kelainan Katup

1. Insufisiensi mitral

Insufisiensi mitral merupakan akibat dari perubahan struktural yang biasanya meliputi

kehilangan beberapa komponen katup dan pemendekan serta penebalan korda tendineae.

Page 16: Patofisiologi PJR Print.doc

Selama demam rematik akut dengan karditis berat, gagal jantung disebabkan oleh kombinasi

dari insufisiensi mitral yang berpasangan dengan peradangan pada perikardium, miokardium,

endokardium dan epikardium. Oleh karena tingginya volume pengisian dan proses

peradangan, ventrikel kiri mengalami pembesaran. Atrium kiri berdilatasi saat darah yang

mengalami regurgitasi ke dalam atrium. Peningkatan tekanan atrium kiri menyebabkan

kongesti pulmonalis dan gejala gagal jantung kiri. 8,10

Perbaikan spontan biasanya terjadi sejalan dengan waktu, bahkan pada pasien dengan

insufisensi mitral yang keadaannya berat pada saat onset. Lebih dari separuh pasien dengan

insufisiensi mitral akut tidak lagi mempunyai murmur mitral setelah 1 tahun. Pada pasien

dengan insufisiensi mitral kronik yang berat, tekanan arteri pulmonalis meningkat, ventrikel

kanan dan atrium membesar, dan berkembang menjadi gagal jantung kanan. Insufisiensi

mitral berat dapat berakibat gagal jantung yang dicetuskan oleh proses rematik yang

progresif, onset dari fibrilasi atrium, atau endokarditis infekstif. 8,9

2. Stenosis Mitral

Stenosis mitral pada penyakit jantung rematik disebabkan adanya fibrosis pada cincin

mitral, adhesi komisura, dan kontraktur dari katup, korda dan muskulus papilaris. Stenosis

mitral yang signifikan menyebabkan peningkatan tekanan dan pembesaran serta hipertrofi

atrium kiri, hipertensi vena pulmonalis, peningkatan rersistensi vaskuler di paru, serta

hipertensi pulmonal. Terjadi dilatasi serta hipertrofi atrium dan ventrikel kanan yang

kemudian diikuti gagal jantung kanan.8

3. Insufisiensi Aorta

Pada insufisiensi aorta akibat proses rematik kronik dan sklerosis katup aorta

menyebabkan distorsi dan retraksi dari daun katup. Regurgitasi dari darah menyebabkan

volume overload dengan dilatasi dan hipertrofi ventrikel kiri. Kombinasi insufisiensi mitral

dengan insufisiensi aorta lebih sering terjadi daripada insufisiensi aorta saja. Tekanan darah

sistolik meningkat, sedangkan tekanan diastolik semakin rendah. Pada insufisiensi aorta berat,

jantung membesar dengan apeks ventrikel kiri terangkat.Murmur timbul segera bersamaan

dengan bunyi jantung kedua dan berlanjut hingga akhir diastolik. Murmur tipe ejeksi sistolik

sering terdengar karena adanya peningkatan stroke volume. 8

4. Kelainan Katup Trikuspid

Page 17: Patofisiologi PJR Print.doc

Kelainan katup trikuspid sangat jarang terjadi setelah demam rematik akut.

Insufisiensi trikuspid lebih sering timbul sekunder akibat dilatasi ventrikel kanan. Gejala

klinis yang disebabkan oleh insufisiensi trikuspid meliputi pulsasi vena jugularis yang jelas

terlihat, pulsasi sistolik dari hepar, dan murmur holosistolik yang meningkat selama inspirasi. 8,10

5. Kelainan Katup Pulmonal

Insufisiensi pulmonal sering timbul pada hipertensi pulmonal dan merupakan temuan

terakhir pada kasus stenosis mitral berat. Murmur Graham Steell hampir sama dengan

insufisiensi aorta, tetapi tanda-tanda arteri perifer tidak ditemukan. Diagnosis pasti

dikonfirmasi oleh pemeriksaan ekhokardiografi dua dimensi serta Doppler.8

2.2.4 Penatalaksanaan Operatif

a. Mitral stenosis

—Prinsip dasar pengelolaan adalah melebarkan lubang katup mitral yang menyempit, tetapi

indikasi intervensi ini hanya untuk penderita kelas fungsional III ke atas. Intervensi dapat

bersifat bedah (valvulotomi, rekonstruksi aparat sub valvular, kommisurotomi atau

penggantian katup.8

b.  Insufisiensi Mitral

Penentuan waktu yang tepat untuk melakukan pembedahan katup pada penderita

insufisiensi mitral masih banyak diperdebatkan. Namun kebanyakan ahli sepakat bahwa

tindakan bedah hendaknya dilakukan sebelum timbul disfungsi ventrikel kiri. Jika mobilitas

katup masih baik, mungkin bisa dilakukan perbaikan katup (valvuloplasti, anuloplasti). Bila

daun katup kaku dan terdapat kalsifikasi mungkin diperlukan penggantian katup (mitral valve

replacement). Katup biologik (bioprotese) digunakan terutama digunakan untuk anak

dibawah umur 20 tahun, wanita muda yang masih menginginkan kehamilan dan penderita

dengan kontra indiksi pemakaian obat-obat antikoagulan. Katup mekanik misalnya Byork

Shiley, St.Judge dan lain-lain, digunakan untuk penderita lainnya dan diperlukan antikoagulan

untuk selamanya.5,8

c.  Stenosis Aorta

Page 18: Patofisiologi PJR Print.doc

Pasien dengan gejala-gejala akibat stenosis aorta membutuhkan tindakan operatif.

Pasien tanpa gejala membutuhkan penanganan yang sangat hati-hati serta follow up untuk

menentukan kapan tindakan bedah dilakukan. Penanganan stenosis dengan pelebaran katup

aorta memakai balon mai diteliti. Pasien-pasien yang dipilih adalah pasien yang tidak

memungkinkan dilakukan penggantian katup karena usia, adanya penyakit lain yang berat,

atau menunjukkan gejala yang berat. Pasien-pasien dengan gradien sistolik 75 mmHg harus

dioperasi walaupun tanpa gejala. Pasien tanpa gejala tetapi perbedaan tekanan sistolik kurang

dari 75 mmhg harus dikontrol setiap 6 bulan. Tindakan operatif harus dilaksanakan bila

pasien menunjukkan gejala terjadi pembesaran jantung, peningkatan tekanan sistolik aorta

yang diukur denagn teknik Doppler. Pada pasien muda bisa dilakukan valvulotomi aorta

sedangkan pada pasien tua membutuhkan penggantian katup. Risiko operasi valvulotomi

sangat kecil, 2% pada penggantian katup dan risiko meningkat menjadi 4% bila disertai bedah

pintas koroner. Pada pembesaran jantung dengan gagal jantung, risiko naik jadi 4 sampai 8%.

Pada pasien muda yang tidak bisa dilakukan valvulotomi penggantian katup perlu dilakukan

memakai katup sintetis. Keuntungan katup jaringan ini adalah kemungkinan tromboemboli

jarang, tidak diperlukan antikoagulan, dan perburukan biasanya lebih lambat bila

dibandingkan dengan memakai katup sintetis.5

d. Insufisiensi Aorta

Pilihan untuk katup buatan ditentukan berdasarkan umur, kebutuhan, kontra indikasi

untuk koagulan, serta lamanya umur katup. Penderita dengan katup jaringan, baik porsin atau

miokardial mungkin tidak membutuhkan penggunaan antikoagulan jangka panjang. Risiko

operasi kurang lebih 2% pada penderita insufisiensi kronik sedang dengan arteri koroner

normal. Sedangkan risiko operasi pada penderita insufisiensi berta dengan gagal jantung, dan

pada penderita penyakit arteri, bervariasi antara 4  sampai 10%. Penderita dengan katup

buatan mekanis harus mendapat terapi antikoagulan jangka panjang.5,7

2.2.5 Prognosis

Demam rematik tidak akan kambuh bila infeksi Streptokokus diatasi. Prognosis

sangat baik bila karditis sembuh pada permulaan serangan akut demam rematik. Selama 5

tahun pertama perjalanan penyakit demam rematik dan penyakit jantung rematik tidak

membaik bila bising organik katup tidak menghilang. Prognosis memburuk bila gejala

karditisnya lebih berat, dan ternyata demam rematik akut dengan payah jantung akan sembuh

Page 19: Patofisiologi PJR Print.doc

30% pada 5 tahun pertama dan 40% setelah 10 tahun. Dari data penyembuhan ini akan

bertambah bila pengobatan pencegahan sekunder dilakukan secara baik. 5

BAB III

PENUTUP

Page 20: Patofisiologi PJR Print.doc

3.1 KESIMPULAN

Demam rematik merupakan suatu penyakit inflamasi sistemik non supuratif yang

digolongkan pada kelainan vaskular kolagen atau kelainan jaringan ikat. Proses rematik ini

merupakan reaksi peradangan yang dapat mengenai banyak organ tubuh terutama jantung,

sendi dan sistem saraf pusat. Penyakit demam rematik dan gejala sisanya, yaitu penyakit

jantung rematik, merupakan jenis penyakit jantung didapat yang paling banyak dijumpai pada

populasi anak-anak dan dewasa muda.

Pada penyakit jantung rematik tidak hanya terjadi kerusakan pada daun katup akibat

timbulnya vegetasi pada permukaannya, namun seluruh katup mitral mengalami kerusakan

(dengan pelebaran annulus dan tertariknya korda tendineae). Katup mitral merupakan katup

yang paling sering dan paling berat mengalami kerusakan dibandingkan dengan katup aorta

dan lebih jarang pada katup trikuspid dan pulmonalis.

Demam rematik akut didiagnosis berdasarkan kriteria Jones dimana didapatkan

minimal dua gejala mayor atau satu gejala mayor dan dua gejala minor, ditambah adanya

bukti pemeriksaan yang menunjukkan adanya infeksi streptokokus. Dua gejala mayor selalu

lebih kuat dibandingkan satu gejala mayor dengan dua gejala minor.

Penatalaksanaan pada demam rematik maupun penyakit jantung rematik antara lain

tirah baring, eradikasi streptokokus, pemberian obat anti-inflamasi, pencegahan primer dan

sekunder serta tindakan operatif pada kelainan katup.

DAFTAR PUSTAKA

1. Affandi MB. Demam Rematik dan Penyakit Jantung Rematik: Diagnosis,

penatalaksanaan dan gambaran klinik pada pemeriksaan pertama di RSCM Bagian

1K Anak, Jakarta 1978-1981. Maj Kes Mas 1986; XVI (4): 240-48.

Page 21: Patofisiologi PJR Print.doc

2. Wahab AS. Penanganan Demam Rematik pada Anak. Berita Kedokteran Masyarakat

1989; V (5): 196-203

3. World Health Organization. WHO program for the prevention of rheumatic

fever/rheumatic heart disease in 16 developing countries: report from Phase 1(1986-

90). Bull WHO 1992; 70(2): 213-18

4. Koshi G, Benjamin V, Chenan G. Rheumatic fever and rheumatic heart disease in

rural South Indian children. Bull WHO 1981; 59 (4): 599-603

5. Stollerman GH. Rheumatic Fever. In: Braunwald, E. etal (eds). Harrison's Principles

of Internal Medicine. 16th. ed. Hamburg. McGraw-Hill Book. 2005 : 1977-79

6. Soeroso S dkk. Tinjauan Prevalensi Demam Rematik dan Penyakit Jantung Rematik

pada Anak di Indonesia. Dalam: Sastrosubroto H. dkk (ed). Naskah Lengkap

Simposium dan Seminar Kardiologi Anak. Semarang. 27 September 1986: 1-11

7. Park M. Pediatric Cardiology for Practicioners. 5th ed. Philadelphia: Mosby Elsevier.

2008

8. Kliegman R, Behrman R, Jenson H. Rheumatic Heart Disease in Nelson Textbook of

Pediatric. 18th ed. Philadelphia: Saunders Elsevier. 2007. p.1961-63

9. Markum A.H. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak Jilid 1. Jakarta : FKUI, 2002. 599-

613.

10. Price, Sylvia Anderson and Lorraine McCarty Wilson. 2005. Patofisiologi Konsep

Klinis Proses-proses penyakit. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC. p. 613-27