PATOFISIOLOGI KETOASIDOSIS DIABETIK

18
TUGAS UJIAN KOMPRE PATOFISIOLOGI DAN TATALAKSANA KAD DAN HHNK Diajukan kepada Yth : dr. Suharno, Sp.PD Disusun oleh : Rusman Shiddiq G1A211004 UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN

Transcript of PATOFISIOLOGI KETOASIDOSIS DIABETIK

Page 1: PATOFISIOLOGI  KETOASIDOSIS  DIABETIK

TUGAS UJIAN KOMPRE

PATOFISIOLOGI DAN TATALAKSANA KAD DAN HHNK

Diajukan kepada Yth :

dr. Suharno, Sp.PD

Disusun oleh :

Rusman Shiddiq G1A211004

UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMANFAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU-ILMU KESEHATAN

JURUSAN KEDOKTERANSMF ILMU PENYAKIT DALAM

RSUD PROF. DR. MARGONO SOEKARJOPURWOKERTO

2011

Page 2: PATOFISIOLOGI  KETOASIDOSIS  DIABETIK

KETOASIDOSIS DIABETIK (KAD)

PATOFISIOLOGI KETOASIDOSIS DIABETIK

Ketoasidosis diabetik (KAD) merupakan suatu keadaan dimana terdapat defisiensi

insulin absolut dan peningkatan hormon kontra regulator (glukagon, katekolamin, kortisol,

dan hormon pertumbuhan), sehingga semua keadaan tersebut menyebabkan produksi glukosa

hati meningkat dan utililisasi glukosa oleh sel tubuh menurun, dengan hasil akhir

hiperglikemi.

Akibat dari defisiensi insulin absolut, pasien mengalami: (1) hiperglikemi dan

glukosuria berat, (2) penurunan lipogenesis, (3) peningkatan lipolisis dan peningkatan

oksidasi asam lemak bebas disertai pembentukan benda keton (asetoasetat, hidroksibutirat,

dan aseton). Peningkatan keton dalam plasma mengakibatkan ketosis. Peningkatan produksi

keton meningkatkan beban ion hidrogen dan asidosis metabolik. Glukosuria dan ketonuria

akan menyebabkan diuresis osmotik yang menimbulkan kehilangan air dan elektrolit seperti

sodium, potassium, kalsium, magnesium, fosfat dan klorida. Akibat dari kehilangan air yang

banyak (poliuria) akan menimbulkan uremia prarenal dan syok hipovolemi. Asidosis

metabolik yang hebat sebagian akan dikompensasi oleh tubuh dengan peningkatan pelepasan

CO2 ke luar tubuh melalui peningkatan ventilasi yang dalam (pernafasan kussmaul). Akibat

dari asidosis metabolik dan penurunan penggunaan oksigen otak, pasien akan mengalami

koma sampai meninggal. Muntah biasanya sering terjadi akibat dari asidosis metabolik

dengan perangsangan pusat muntah di otak sehingga akan mempercepat kehilangan air dan

elektrolit.

SUPLEMEN

Peranan utama insulin dalam metabolisme karbohidrat, lipid dan protein dapat dipahami

paling jelas dengan memeriksa berbagai akibat defisiensi insulin pada manusia. Manifestasi

utama penyakit diabetes melitus adalah hiperglikemia, yang terjadi akibat (1) berkurangnya

jumlah glukosa yang masuk ke dalam sel; 2) berkurangnya penggunaan glukosa oleh pelbagai

jaringan; 3) peningkatan produksi glukosa (glukoneogenesis) oleh hati. Masingmasing

peristiwa ini akan dibicarakan lebih rinci sebagai berikut:

Poluria, polidipsia dan penurunan berat badan sekalipun asupan kalorinya memadai,

merupakan gejala utama defisiensi insulin. Pada manusia normal kadar glukosa plasma jarang

melampaui 120 mg / dL, kendati kadar yang jauh lebih tinggi selalu dijumpai pada pasien

Page 3: PATOFISIOLOGI  KETOASIDOSIS  DIABETIK

defisiensi kerja insulin. Setelah kadar tertentu glukosa plasma dicapai (pada manusia

umumnya > 180 mg/dl), taraf maksimal reabsorbsi glukosa pada tubulus renalis akan

dilampaui, dan gula akan diekskresikan ke dalam urin (glikouria). Volume urin meningkat

akibat terjadinya diuersis osmotik dan kehilangan air yang bersifat obligatorik pada saat yang

bersamaan (poliuria), kejadian ini selanjutnya akan menimbulkan dehidrasi

(hiperosmolaritas), tubuh akan segera memberikan sinyal kepusat rangsangan haus di

hipotalamusa akibat dari poliuria dan dehidrasi sehingga gejala yang ditimbulkan yaitu

banyak minum (polidipsia). Glikosuria menyebabkan kehilangan kalori yang cukup besar

(4,1 kal bagi setiap gram karbohidrat yang diekskresikan keluar), kehilangan ini, kalau

ditambah lagi dengan deplesi jaringan otot dan adiposa, akan mengakibatkan penurunan berat

badan yang hebat sehingga tubuh akan mengkompensasi dengan merangsang pusat lapar di

otak dengan peningkatan selera makan (polifagia).

Sintesis protein akan menurun dalam keadaan tanpa insulin dan keadaan ini sebagian

terjadi akibat berkurangnya pengangkutan asam amino ke dalam otot (asam amino berfungsi

sebagai substrat glukoneogenik). Jadi, orang yang kekurangan insulin berada dalam

keseimbangan nitrogen yang negatif. Kerja antiinsulin hilang seperti halnya efek lipogenik

yang dimilikinya; dengan demikian kadar asam lemak plasma akan meninggi. Kalau

kemampuan hati untuk mengaoksidasi asam lemak terlampaui, maka senyawa asam β

hidroksibutirat dan asam asetoasetat akan bertumpuk (ketosis). Mula mula penderita dapat

mengimbangi pengumpulan asam organik ini dengan meningkatan pengeluaran CO2 lewat

sistem respirasi, namun bila keadaan ini tidak dikendalikan dengan peningkatan insulin, maka

akan terjadi asidosi metabolik dan pasien akan meninggal dalam keadaan koma diabetik.

Efek insulin pada penggunaan glukosa

Insulin mempengaruhi penggunaan glukosa intrasel lewat sejumlah cara. Pada orang

yang normal, sekitar separuh dari glukosa yang dimakannya akan diubah menjadi energi

lewat lintasan glikolisis dan sekitar separuh lagi disimpan sebagai lemak atau glikogen.

Glikolisis akan menurun dalam keadaan tanpa insulin, dan proses anabolik glikogenesis serta

lipogenesis akan terhalang.

Sebenarnya, hanya 5% dari jumlah glukosa yang dikonsumsi, diubah menjadi lemak

pada penderita diabetes yang kekurangan hormon insulin. Hormon insulin meningkatkan

glikolisis hepatik dengan menaikkan aktivitas dan jumlah beberapa enzim yang penting

termasuk glukokinase, fosfofruktokinase dan piruvat kinase. Bertambahnya glikolisis akan

meningkatkan penggunaan glukosa dan dengan demikian secara tidak langsung menurunkan

pelepasan glukosa ke dalam plasma. Insulin juga menurunkan aktivitas glukosa 6-fosfatase,

Page 4: PATOFISIOLOGI  KETOASIDOSIS  DIABETIK

yaitu suatu enzim yang ditemukan dalam hati tetapi tidak terdapat pada otot. Karena glukosa

6 fosfat tidak dapat keluar dari membran plasma, kerja insulin ini mengakibatkan retensi

glukosa dalam sel hati.

Dalam otot skeletal, insulin meningkatkan aliran masuk glukosa lewat pengangkut

dan juga menaikkan kadar enzim heksokinase II yang melakukan fosforilasi pada glukosa

serta memulai metabolisme glukosa. Insulin merangsang lipogenesis dalam jaringan adiposa

dengan 1) menyediakan asetil KoA dan NADPH yang diperlukan bagi sintesis asam lemak,

2) mempertahankan kadar normal enzim asetil Ko-A karboksilase, yang mengkatalisasi

konversi asetil-KoA menjadi malonil-KOA, dan 3) menyediakan gliserol yang terlibat dalam

sintesis triasilgliserol. Pada keadaan defisiensi insulin, semua ini akan menurun, dengan

demikian, lipogenesis juga akan menurun. Sebab lain yang menimbulkan penurunan

lipogensis pada defisiensi insulin adalah pelepasan asam lemak dalam jumlah besar akibat

pengaruh beberapa hormon yang tidak dilawan oleh insulin, pelepasan asam lemak ini akan

menimbulkan hambatan umpan balik terhadap proses sintesisnya sendiri lewat penghambatan

enzim asetil KoA karboksilase.

Dengan demikian efek netto insulin terhadap lemak bersifat anabolik. Kerja akhir

insulin terhadap penggunaan glukosa melibatkan proses anabolik lainnya. Dalam hati dan

otot, insulin meransang konversi glukosa menjadi glukosa 6-fosfat (masing-masing dengan

kerja enzim gluokinase dan heksokinase II), yang kemudian mengalami isomerisasi menjadi

glukosa I-fosafat dan disatukan kedalam glikogen oleh enzim glikogen sintase yang

aktifitasnya dirangsang oleh insulin. Kerja ini bersifat ganda dan tidak langsung. Insulin

menurunkan kadar cAMP dengan mengaktifkan fosfodiesterase. Karena fosforilasi yang

tergantung pada cAMP meniadakan keaktifan enzim glikogensintase, kadar nukleotida yang

rendah ini memungkinkan enzim tersebut untuk tetap berada dalam bentuk aktif. Insulin juga

mengaktifkan enzim fosfatase yang melaksanakan reaksi defoforilasi glikogensintetase

sehingga mengakibatkan aktivasi enzim ini. Akhirnya, insulin menghambat fosforilase

dengan suatu mekanisme yang melibatkan cAMP dan fosfatase, dan hal ini mengurangi

pembebasan glukosa dari glikogen. Efek netto insulin terhadap metabolisme glikogen, juga

bersifat anabolik.

Efek insulin terhadap glukoneogenesis

Kerja insulin terhadap pengangkutan glukosa, glikolisis dan glikogenesis terjadi

dalam waktu beberapa detik atau beberapa menit, karena semua peristiwa ini terutama

melibatkan akitavsi atau inaktivasi enzim lewat reaksi fosforilasi atau defosforilasi. Efek

yang berlangsung lebih lama terhadap glukosa plasma meliputi inhibisi glukoneogenesis oleh

Page 5: PATOFISIOLOGI  KETOASIDOSIS  DIABETIK

insulin. Pembentukan glukosa dari prekursor nonkarbohidrat melibatkan serangkaian tahap

enzimatik yang banyak diantranya dirangsang oleh preparat α serta β adrenergik, yaitu

angiotensin II dan vasopresin. Insulin menghambat tahap yang sama ini. Enzim

glukoneogenik yang menjadi kunci di dalam hati adalah phosfoenolpiruvat karboksikinase

(PEPCK, phosphoenol pyruvat carboxykinase) yang mengubah oksaloasetat menjadi

phosfoenolpiruvat. Insulin menurunkan jumlah enzim ini dengan menghambat secara selektif

transkirpsi gen yang mengkode mRAN bagi PPCK.

Efek insulin terhadap metabolisme glukosa

Kerja lipogenik insulin telah dibicarakan dalam konteks mengenai penggunaan

glukosa. Insulin juga merupakan inhibitor kuat proses lipolisis dalam hati serta jaringan

adiposa dan dengan demikian memiliki efek anabolik tak langsung. Hal ini sebagian

disebabkan oleh kemampuan insulin untuk menurunkan kadar cAMP (yang dalam jaringan

ini ditingkatkan oleh homon lipolitik glukagon dan epinefrin) tetapi juga oleh kenyataan

bahwa insulin juga menghambat aktivitas enzim lipase. Inhibisi ini disebabkan oleh akitvasi

fosfatase yang melakukan reaksi defosforilasi dan dengan demikian meniadakan keaktifan

enzim lipase atau enzim protein kinase yang bergantung pada cAMP. Karena itu, insulin

menurunkan kadar asam lemak bebas yang berbeda. Hal ini turut menghasilkan kerja insulin

terhadap metabolisme karbohidrat, mengingat asam lemak menghambat glikolisis pada

beberapa tahap dan menstimulasi glukoneogeneis. Jadi, pengaturan metabolik tidak dapat

dibicarakan dalam konteks suatu hormon atau metabolit yang tunggal. Proses pengaturan

merupakan proses yang kompleks dimana aliran suatu lintasan tertentu terjadi akibat interaksi

sejumlah hormon dan metabolit.

Pada pasien defisiensi insulin akan terjadi peningkatan aktifitas enzim lipase yang

mengakibatkan penggalakan lipolisis dan peningkatan konsentrasi asam lemak bebas dalam

plasma serta hati. Kadar glukon juga meningkat pada pasien ini dan hal ini menggiatkan

pelepasan asam lemak bebas. Glukagon melawan sebagian besar kerja insulin, dan keadaan

metabolisme pada diri seorang penderita diabetes merupakan pencerminan kadar relatif

glukagon dan insulin. Sebagian asam lemak bebas dimetabolisasi menjadi asetil KoA daan

kemudian menjadi CO2 dn H2O lewat siklus asam sitrat.

PRINSIP TATALAKSANA KAD

Prinsip-prinsip pengelolaan KAD adalah:

1. Pasien harus dirawat di ruang perawatan intensif

2. Penggantian cairan dan garam yang hilang

Page 6: PATOFISIOLOGI  KETOASIDOSIS  DIABETIK

3. Menekan lipolisis sel lemak dan menekan glukoneogenesis sel hati dengan pemberian

insulin

4. Mengatasi faktor pencetus KAD

5. Mengembalikan keadaan fisiologi normal dan menyadari pentingnya pemantauan serta

penyesuaian pengobatan

Pengobatan KAD tidak terlalu rumit. Ada 6 hal yang harus diberikan; % diantaranya ialah:

cairan, garam, insulin, kalium, dan glukosa. Sedangkan terakhir tetapi sangat menentukan

adalah asuhan keperawatan.

Cairan

Untuk mengatasi dehidrasi digunakan larutan garam fisiologis. Berdasarkan perkiraan

hilangnya cairan pada KAD mencapai 100 ml/kgBB, maka pada jam pertama diberikan 1-2

liter, dan jam kedua diberikan 1 liter.

Insulin

Terapi insulin harus segera dimulai sesaat setelah diagnosis KAD dan rehidrasi yang

memadai. Pemberian insulin akan menurunkan kadar hormon glukagon, sehingga dapat

menekan produksi benda keton di hati, pelepasan asam lemak bebas dari jaringan lemak,

pelepasan asam amino dari jaringan otot dan meningkatkan utilisasi glukosa oleh jaringan.

Pemberian insulin intravena paling umum digunakan. Insulin intramuskular adalah alternatif

bila pompa infus tidak tersedia atau bila akses vena mengalami kesulitan.

Efek kerja insulin terjadi dalam beberapa menit setelah insulin diberikan dengan

reseptor. Kemudian reseptor yang telah berikatan akan mengalami internalisasi dan insulin

akan mengalami destruksi. Dalam keadaan jormon kontraregulator masih tinggi dalam darah,

dan untuk mencegah terjadinya lipolisis dan ketogenesis, pemberian insulin tidak boleh

dihentikan tiba-tiba dan perlu dilanjutkan beberapa jam setelah koreksi hiperglikemia

tercapai. Bersamaan dengan pemberian larutan mengandung glukosa untuk mencegah

hipoglikemia. Kesalahan yang sering terjadi ialah penghentian drip insulin lebih awal

sebelum klirens benda keton darah cukup adekuat tanpa konversi ke insulin kerja panjang.

Tujuan pemberian insulin bukan hanya untuk mencapai kadar glukosa normal, tetapi untuk

mengatasi keadaan ketonemia.

Gunakan human insulin yang dapt larut, misalnya Actrapid. Tidak dibutuhkan

pemberian bolus awal. Berikan insulin 0,1 unit/kg/jam, sesuaikan lagi pemberian infus insulin

sampai dapat menurunkan glukosa darah 4-5 mmol/jam. Cara yang cocok adalah memberikan

larutan salin normal 49,5 ml dan 50 unit insulin menggunakan syringe pump dan konektor Y.

Jangan tambahkan insulin ke dalam kantong cairan. Bila petugas di bangsal tidak bisa

Page 7: PATOFISIOLOGI  KETOASIDOSIS  DIABETIK

menggunakan pompa infus, insulin dapat diberikan i.m 0,05 unit/kg/jam. Bila kadar glukosa

darah turun sampai 15 mol/L beri insulin subkutan 4 jam pertama, kemudian 6 jam,

selanjutnya tiga kali per hari sebelum makan bila diet ringan dapat ditoleransi.

Kalium

Pada awal KAD biasanya kadar ion K serum meningkat. Hiperkalemia yang fatal sangat

jarang dan bila terjadi harus segera diatasi dengan pemberian bikarbonat. Bila pada

elektrokardiogram ditemukan gelombang T yang tinggi, pemberian cairan dan insulin dapat

segera mengatasi keadaan hiperkalemia tersebut. Perlu menjadi perhatian adalah terjadinya

hipokalemia yang dapat fatal selama pengobatan KAD. Ion kalium terutama terdapat

intraselular. Pada keadaan KAD, ion K bergerak ke luar sel dan selanjutnya dikeluarkan

melalui urin. Total defisit K yang terjadi selama KAD diperkirakan mencapai 3-5

mEq/KgBB. Hasil kalium serum dan keluaran urin yang adekuat harus diperhatikan sebelum

memberikan terpai.

Glukosa

Setelah rehidrasi awal 2 jam pertama, biasanya kadar glukosa darah akan turun. Selanjutnya

dengan pemberian insulin diharapkan terjadi penurunan kadar glukosa sekitar 60 mg%/jam.

Bila kadar glukosa darah mencapai <200 mg% maka dapat dimulai infus mengandung

glukosa. Perlu ditekankan disini bahwa tujuan terapi KAD bukan untuk menormalkan kadar

glukosa tetapi untuk menekan ketogenesis.

Pengobatan umum

Disamping hal tersebut di atas pengobatan umumtak kalah penting. Pengobatan umum KAD

terdiri atas: 1) antibiotik yang adekuat, 2) oksigen 10 L/menit, 3) heparin bila ada DIC atau

bila hiperosmolar (>380 mOsm/l).

Pemantauan

Pemantauan merupakan bagian yang terpenting dalam pengobatan KAD mengingat

penyesuaian terapi perlu dilakukan selama berlangsung. Untuk itu perlu dilaksanakan

pemeriksaan: 1) kadar glukosa darah tiap jam dengan alat glukometer, 2) elektrolit tiap 6 jam

selama 24 jam selanjutnya tergantung keadaan, 3) analisis gas darah bila pH<7 waktu masuk

periksa setiap 6 jam sampai pH >7,1, selanjutnya setiap hari sampai stabil, 4) tekanan darah,

nadi, frekuensi pernapasan dan temperatur setiap jam, 5) keadaan hidrasi, balans cairan, 6)

waspada terhadap kemungkinan DIC.

Page 8: PATOFISIOLOGI  KETOASIDOSIS  DIABETIK

HIPEROSMOLAR HIPERGLIKEMIK NON KETOTIK (HHNK)

PATOFIOLOGI HHNK

Faktor yang memulai timbulnya HHNK adalam diuresis glukosuria. Glukosuria

mengakibatkan kegagalan pada kemampuan ginjal dalam mengkonsentrasikan urin, yang

akan semakin memperberat derajat kehilangan air. Pada keadaan normal, ginjal berfungsi

mengeliminasi glukosa di atas ambang batas tertentu. Namun demikian, penurunan volume

intravaskular atau penyakit ginjal yang telah ada sebelumnya akan menurunkan laju filtrasi

glomerular, menyebabkan kadar glukosa meningkat. Hilangnya air yang lebih banyak

dibandingkan natrium menyebabkan keadaan hiperosmolar. Insulin yang ada tidak cukup

untuk menurunkan kadar glukosa darah, terutama jika terdapat resistensi insulin.

Tidak seperti pasien dengan KAD, pasien HHNK tidak mengalami ketoasidosis,

namun tidak diketahui dengan jelas alasannya. Faktor yang diduga ikut berpengaruh adalah

keterbatasan ketogenesis karena keadaan hiperosmolar, kadar asam lemak bebas yang rendah

untuk ketogenesis, ketersediaan insulin yang cukup untuk menghambat ketogenesis namun

tidak cukup untuk mencegah hiperglikemi, dan resistensi hati terhadap glukagon.

Tidak tercukupinya kebutuhan insulin menyebabkan timbulnya hiperglikemi.

Penurunan pemakaian glukosa oleh jaringan perifer termasuk oleh sel otot dan sel lemak,

ketidakmampuan menyimpan glukosa sebagai glikogen pada otot dan hati, dan menstimulasi

glukagon pada sel hati untuk glukoneogenesis mengakibatkan semakin naiknya kadar glukosa

darah. Pada keadaan dimana insulin tidak mencukupi, maka besarnya kenaikan kadar glukosa

darah juga tergantung dari status hidrasi dan masukan karbohidrat oral.

Hiperglikemi mengakibakan timbulnya diuresis osmotik, dan mengakibatkan

menurunnya cairan tubuh total. Dalam ruang vaskular, dimana glukoneogenesis dan masukan

makanan terus menambah glukosa, kehilangan cairan akan semakin mengakibatkan

hiperglikemia dan hilangnya volume sirkulasi. Hiperglikemi dan peningkatan konsentrasi

protein plasma yang mengikuti hilangnya cairan intravaskular menyebabkan keadaan

hiperosmolar. Keadaan hiperosmolar ini memicu sekresi hormon anti diuretik. Keadaan

hiperosmolar ini juga akan memicu timbulnya rasa haus.

Adanya keadaan hiperglikemia dan hiperosmolar ini jika kehilangan cairan tidak

dikompensasi dengan masukan cairan oral makan akan timbul dehidrasi dan kemudian

hipovolemia. Hipovolemia akan mengakibatkan hipotensi dan nantinya akan menyebabkan

gangguan pada perfusi jaringan. Keadaan koma merupakan suatu stadium terakhir dari proses

Page 9: PATOFISIOLOGI  KETOASIDOSIS  DIABETIK

hiperglikemik ini, dimana telah timbul ganguan elektrolit berat dalam kaitannya dengan

hipotensi.

Gambar 1. Patofisiologi HHNK dan KAD

TATALAKSANA HHNK

Penatalaksanaannya serupa dengan KAD, hanya cairan yang diberikan adalah cairan

hipotonis (1/2 N, 2A). Pemantauan kadar glukosa darah harus lebih ketat, dan pemberian

insulin harus lebih cermat dan hati-hati. Respon penurunan kadar glukosa darah lebih baik.

Penatalaksanaan HHNK memerlukan monitoring yang lebih ketat terhadap kondisi dan

responnya terhadap terapi yang diberikan. Pasien-pasien tersebut harus dirawat, dan sebagian

besar dari pasien-pasien tersebut sebaiknya di rawat di ruang rawat intensif atau intermediate.

Penatalaksanaan HHNK yaitu dengan pemberian oksigen 10 L/menit dan meliputi lima

pendekatan: 1) rehidrasi intravena yang agresif, 2) penggantian elektrolit, 3) pemberian

insulin intravena, 4) diagnosis dan manajemen faktor pencetus dan penyakit penyerta, 5)

pencegahan.

Cairan

Langkah pertama dan terpenting dalam penatalaksanaan HHNK adalah penggantian

cairan yang agresif, dimana sebaiknya dimulai dengan mempertimbangkan perkiraan defisit

cairan (biasanya 100 sampai 200 mL perkg, atau total rat-rata 9 L). Penggunaan cairan

Page 10: PATOFISIOLOGI  KETOASIDOSIS  DIABETIK

isotonik akan dapat menyebabkan overload cairan dan cairan hipotonik mungkin dapat

mengkoreksi defisit cairan terlalu cepat dan potensial menyebabkan kematian dan lisis mielin

difus. Sehingga pada awalnya sebaiknya diberikan 1 L normal saline per jam. Jika pasiennya

mengalami syok hipovolemi, mungkin dibutuhkan plasma ekspander.

Elektrolit

Kehilangan kalium tubuh total seringkali tidak diketahui dengan pasti, karena kadar

kalium dalam tubuh dapat normal atau tinggi. Kadar kalium yang sebenarnya akan terlihat

ketika diberikan insulin, karena ini akan mengakibatkan kalium serum masuk ke dalam sel.

Kadar elektrolit harus dipantau terus menerus dan irama jantung pasien juga harus dimonitor.

Jika kadar kalium awal <3,3 mEq/L, pemberian insulin ditunda dan diberikan kalium (2/3

kalium klorida dan 1/3 kalium fosfat sampai tercapai kadar kalium setidaknya 3,3 mEq/L).

Jika kadar kalium lebih besar dari 5 mEq/L, sebaiknya kadar kalium harus diturunkan sampai

di bawah 5,0 mEq/L dan sebaiknya kadar kalium perlu dimonitor tiap 2 jam. Jika kadar awal

kalium antara 3,3-5 mEq/L, maka 20-30 mEq kalium harus diberikan dalam tiap liter cairan

intravena yang diberikan (2/3 kalium klorida dan 1/3 kalium fosfat) untuk mempertahankan

kadar kalium antara 4 mEq/L dan 5 mEq/L.

Insulin

Hal yang penting dalam pemberian insulin adalah perlunya pemberian cairan yang

adekuat terlebih dahulu. Jika insulin diberikan sebelum pemberian cairan, maka cairan akan

berpindah ke intrasel dan berpotensi menyebabkan perburukan hipotensi, kolaps vaskular,

atau kematian. Insulin sebaiknya diberikan dengan bolus awal 0,15U/kgBB secara intravena,

dan diikuti dengan drip 0,1 U/kgBB per jam sampai kadar glukosa darah turun antara 250

mg/dL sampai 300 mg/dL. Jika kadar glukosa darah tidak turun 50-70 mg/dl per jam, dosis

yang diberikan dapat ditingkatkan. Ketika kadar glukosa darah sudah mencapai dibawah 300

mg/dL, sebaiknya diberikan dekstrose secara intravena dan dosis insulin dititrasi secara

sliding scale sampai pulihnya kesadaran dan keadaan hiperosmolar.

Page 11: PATOFISIOLOGI  KETOASIDOSIS  DIABETIK

Gambar 2. Alur tatalaksana KAD dan HHNK

Page 12: PATOFISIOLOGI  KETOASIDOSIS  DIABETIK

DAFTAR PUSTAKA

Chiasson et al. 2003. Diagnosis and treatment of diabetic ketoacidosis and the hyperglycemic

hyperosmolar state. CMAJ, vol 7, hh 859-866.

Price, S dan Wilson, L. 2005. Patofisiologi: konsep klinis proses-proses penyakit edisi 6.

Jakarta: EGC, 1268

Soewondo, P. 2007. Ketoasidosis diabetik. Buku ajar ilmu penyakit dalam jilid III edisi IV.

Jakarta: Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK UI, 1874-1877

Soewondo, P. 2007. Koma hiperosmolar hiperglikemik non ketotik. Buku ajar ilmu penyakit

dalam jilid III edisi IV. Jakarta: Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK UI, 1878-

1880

Syahputra. 2003. Ketoasidosis diabetik. Diakses dari: http://repository.usu.ac.id. Diakses

pada tanggal 13 Oktober 2011