Patofisiologi Asma Gerry

41
Patofisiologi ASMA PADA ANAK Oleh: Anugerah Afrianto 030.05.035 Pembimbing : Dr. Mas WishnuWardhana Sp.A Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak RSUD Bekasi Periode 3 September 2012 – 10 November 2012 i

description

patofisiologi asma bronkiale

Transcript of Patofisiologi Asma Gerry

PatofisiologiASMA PADA ANAK

Oleh:

Anugerah Afrianto030.05.035Pembimbing :

Dr. Mas WishnuWardhana Sp.A

Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak RSUD BekasiPeriode 3 September 2012 10 November 2012

Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti

Jakarta

2012ASMA PADA ANAKDefinisi

Dari waktu ke waktu definisi asma mengalami beberapa kali perubahan akibat berkembangnya pengetahuan dan pemahaman mengenai patologi, patofisiologi, dan genetik asma.(3)Pada tahun 1950, dalam simposium CIBA, asma didefinisikan sebagai penyakit yang ditandai oleh obstruksi saluran napas yang reversibel, yang dapat teratasi secara spontan atau dengan pengobatan.(3)Pada tahun 1975, WHO mengeluarkan suatu definisi asma, yaitu keadaan kronik yang ditandai oleh bronkospasme rekuren akibat penyempitan lumen saluran napas sebagai respon terhadap stimulus yang tidak menyebabkan penyempitan serupa pada banyak orang.(3)Defenisi terbaru yang dikeluarkan oleh Unit Kerja Koordinasi (UKK) Respirologi IDAI yang kemudian disempurnakan pada Pedoman Nasional Asma Anak (PNAA) pada tahun 2004 menyebutkan bahwa asma adalah mengi berulang dan/atau batuk persisten dengan karakteristik sebagai berikut; timbul secara episodik, cenderung pada malam / dini hari (nokturnal), musiman, setelah aktifitas fisik serta terdapat riwayat asma atau atopi lain pada pasien dan/atau keluarganya.(3)Epidemiologi

Berdasarkan laporan National Center for Health Statistics atau NCHS (2003), prevalensi serangan asma pada anak usia 0-17 tahun adalah 57 per 1000 anak (jumlah anak 4,2 juta) dan pada dewasa > 18 tahun, 38 per 1000 (jumlah dewasa 7,8 juta). Jumlah wanita yang mengalami serangan lebih banyak daripada lelaki. WHO memperkirakan terdapat sekitar 250.000 kematian akibat asma. Sedangkan berdasarkan laporan NCHS (2000) terdapat 4487 kematian akibat asma atau 1,6 per 100 ribu populasi.(2)Asma adalah penyakit kronik yang umum menyebabkan peningkatan angka kesakitan. Berdasarkan informasi yang didapatkan dari data statistik pusat nasional Amerika Serikat pada tahun1998, terdapat 8,65 juta anak-anak dilaporkan menderita asma dan 3,8 juta anak pernah mengalami episode serangan asma dalam waktu 12 bulan. Asma pada anak-anak di Amerika Serikat dianggap sebagai penyebab tersering adanya kunjungan ke Instalasi Gawat Darurat (867,000 kasus), rawat inap (166,000 kasus) dan tidak masuk sekolah (10.1 juta kasus) Walaupun asma tidak sering menyebabkan kematian, namun dilaporkan 164 kematian anak akibat asma pada tahun 1998.(5)

Etiologi dan Faktor Resiko

Etiologi asma masih belum jelas. Diduga yang memegang peranan utama ialah reaksi berlebihan dari trakea dan bronkus. Hiperreaktivitas bronkus itu belum diketahui dengan jelas penyebabnya. Diduga karena adanya hambatan sebagian sistem adrenergik, kurangnya enzim adeniskase dan meningginya tonus sistem parasimpatik. Kedaan demikian menyebabkan mudah terjadinya kelebihan tonus parasimpatik kalau ada rangsangan sehingga terjadi spasme bronkus.(4)Banyak faktor yang turut menentukan derajat reaktifitas atau iritabilitas tersebut. Secara umum faktor risiko asma dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu: .(1)1. Faktor genetik (1,2)

(a) Hiperreaktivitas

(b) Atopi/Alergi bronkus

(c) Faktor yang memodifikasi penyakit genetik

(d) Jenis Kelamin

(e) Usia

(f) Ras/Etnik

2. Faktor lingkungan (1,2)(a) Alergen didalam ruangan (tungau, debu rumah, kucing, alternaria/jamur)

(b) Alergen di luar ruangan (alternaria, tepung sari)

(c) Makanan (bahan penyedap, pengawet, pewarna makanan, kacang, makanan laut, susu sapi, telur)

(d) Obat-obatan tertentu (misalnya golongan aspirin, NSAID, beta-blocker dll)

(e) Bahan yang mengiritasi (misalnya parfum, household spray dll)(f) Ekspresi emosi berlebih(g) Asap rokok dari perokok aktif dan pasif(h) Polusi udara di luar dan di dalam ruangan(i) Exercise induced asthma, mereka yang kambuh asmanya ketika melakukan aktivitas tertentu(j) Perubahan cuaca(k) Infeksi respiratorikPatogenesis

Asma merupakan penyakit obstruksi jalan nafas yang reversibel dan ditandai oleh serangan batuk, mengi dan dispnea pada individu dengan jalan nafas hiperreaktif. Tidak semua asma memiliki dasar alergi, dan tidak semua orang dengan penyakit atopik mengidap asma. Asma mungkin bermula pada semua usia tetapi paling sering muncul pertama kali dalam 5 tahun pertama kehidupan. Mereka yang asmanya muncul dalam 2 dekade pertama kehidupan lebih besar kemungkinannya mengidap asma yang diperantarai oleh IgE dan memiliki penyakit atopi terkait lainnya, terutama rinitis alergika dan dermatitis atopik.(6)Langkah pertama terbentuknya respon imun adalah aktivasi limfosit T oleh antigen yang dipresentasikan oleh sel-sel aksesori, yaitu suatu proses yang melibatkan molekul Major Histocompability Complex atau MHC (MHC kelas II pada sel T CD4+ dan MHC kelas I pada sel T CD8+). Sel dendritik merupakan Antigen Precenting Cells (APC) utama pada saluran respiratori. Sel dendritik terbentuk dari prekursornya di dalam sumsum tulang, lalu membentuk jaringan yang luas dan sel-selnya saling berhubungan di dalam epitel saluran respiratori. Kemudian, sel-sel tersebut bermigrasi menuju kumpulan sel-sel limfoid di bawah pengaruh GM-CSF, yaitu sitokin yang terbentuk oleh aktivasi sel epitel, fibroblas, sel T, makrofag, dan sel mast. Setelah antigen ditangkap, sel dendritik pindah menuju daerah yang banyak mengandung limfosit. Di tempat ini, dengan pengaruh sitokin-sitokin lainnya, sel dendritik menjadi matang sebagai APC yang efektif.(6)Reaksi fase cepat pada asma dihasilkan oleh aktivasi sel-sel yang sensitif terhadap alergen Ig-E spesifik, terutama sel mast dan makrofag. Pada pasien dengan komponen alergi yang kuat terhadap timbulnya asma, basofil juga ikut berperan. Reaksi fase lambat pada asma timbul beberapa jam lebih lambat dibanding fase awal. Meliputi pengerakan dan aktivasi dari sel-sel eosinofil, sel T, basofil, netrofil, dan makrofag. Juga terdapat retensi selektif sel T pada saluran respiratori, ekspresi molekul adhesi, dan pelepasan newly generated mediator. Sel T pada saluran respiratori yang teraktivasi oleh antigen, akan mengalami polarisasi ke arah Th2, selanjutnya dalam 2 sampai 4 jam pertama fase lambat terjadi transkripsi dan transaksi gen, serta produksi mediator pro inflamasi, seperti IL2, IL5, dan GM-CSF untuk pengerahan dan aktivasi sel-sel inflamasi. Hal ini terus menerus terjadi, sehingga reaksi fase lambat semakin lama semakin kuat(6).

Pada remodeling saluran respiratori, terjadi serangkaian proses yang menyebabkan deposisi jaringan penyambung dan mengubah struktur saluran respiratori melalui proses dediferensiasi, migrasi, diferensiasi, dan maturasi struktur sel. Kombinsai antara kerusakan sel epitel, perbaikan epitel yang berlanjut, ketidakseimbangan Matriks Metalloproteinase (MMP) dan Tissue Inhibitor of Metalloproteinase (TIMP), produksi berlebih faktor pertumbuhan profibrotik atau Transforming Growth Factors (TGF-), dan proliferasi serta diferensiasi fibroblas menjadi miofibroblas diyakini merupakan proses yang penting dalam remodelling. Miofibroblas yang teraktivasi akan memproduksi faktor-faktor pertumbuhan, kemokin, dan sitokin yang menyebabkan proliferasi sel-sel otot polos saluran respiratori dan meningkatkan permeabilitas mikrovaskular, menambah vaskularisasi, neovaskularisasi, dan jaringan saraf. Peningkatan deposisi matriks molekul termasuk kompleks proteoglikan pada dinding saluran respiratori dapat diamati pada pasien yang meninggal akibat asma. Hal tersebut secara langsung berhubungan dengan lamanya penyakit.(6)

Gambar 1. Patogenesis Asma

Hipertrofi dan hiperplasia otot polos saluran respiratori serta sel goblet dan kelenjar submukosa terjadi pada bronkus pasien asma, terutama yang kronik dan berat. Secara keseluruhan, saluran respiratori pasien asma, memperlihatkan perubahan struktur saluran respiratori yang bervariasi dan dapat menyebabkan penebalan dinding saluran respiratori. Remodeling juga merupakan hal penting pada patogenesis hiperaktivitas saluran respiratori yang non spesifik, terutama pada pasien yang sembuh dalam waktu lama (lebih dari 1-2 tahun) atau yang tidak sembuh sempurna setelah terapi inhalasi kortikosteroid(8).

Gejala asma, yaitu batuk sesak dengan mengi merupakan akibat dari obstruksi bronkus yang didasari oleh inflamsai kronik dan hiperaktivitas bronkus(1).

Inhalasi alergen akan mengaktifkan sel mast intralumen, makrofag alveolar, nervus vagus dan mungkin juga epitel saluran nafas. Peregangan vagal menyebabkan refleks bronkus, sedangkan mediator inflamasi yang dilepaskan oleh sel mast dan makrofag akan membuat epitel jalan nafas lebih permeabel dan memudahkan alergen masuk ke dalam submukosa sehingga memperbesar reaksi yang terjadi(1).

Gambar 2. Proses imunologis spesifik dan non-spesifik

Mediator inflamasi secara langsung maupun tidak langsung menyebabkan serangan asma, melalui sel efektor sekunder seperti eusinofil, netrofil, trombosit dan limfosit. Sel-sel inflamasi ni juga mengeluarkan mediator yang kuat seperti leukotrien, tromboksan, Platelet Activating Factors (PAF) dan protein sititoksis memperkuat reaksi asma. Keadaan ini menyebabkan inflamasi yang akhirnya menimbulkan hiperaktivitas bronkus(1).

Patofisiologi Asma

Obstruksi saluran respiratori

Penyempitan saluran nafas yang terjadi pada pasien asma dapat disebabkan oleh banyak faktor. Penyebab utamanya adalah kontraksi otot polos bronkial yang diprovokasi mediator agonis yang dikeluarkan oleh sel inflamasi seperti histamin, triptase, prostaglandin D2, dan leukotrien C4 yang dikeluarkan oleh sel mast, neuropeptidase yang dikeluarkan oleh saraf aferen lokal dan asetilkolin yang berasal dari saraf eferen post ganglionik. Akibat yang ditimbulkan dari kontraksi otot polos saluran nafas adalah hiperplasia kronik dari otot polos, pembuluh darah, serta terjadi deposisi matriks pada saluran nafas. Namun,dapat juga timbul pada keadaan dimana saluran nafas dipenuhi sekret yang banyak, tebal dan lengket pengendapan protein plasma yang keluar dari mikrovaskularisasi bronkial dan debris seluler.(7)Secara garis besar, semua gangguan fungsi pada asma ditimbulkan oleh penyempitan saluran respiratori, yang mempengaruhi seluruh struktur pohon trakeobronkial. Salah satu mekanisme adaptasi terhadap penyempitan saluran nafas adalah kecenderungan untuk bernafas dengan hiperventilasi untuk mendapatkan volume yang lebih besar, yang kemudian dapat menimbulkan hiperinflasi toraks. Perubahan ini meningkatkan kerja pernafasan agar tetap dapat mengalirkan udara pernafasan melalui jalur yang sempit dengan rendahnya compliance pada kedua paru. Inflasi toraks berlebihan mengakibatkan otot diafragma dan interkostal, secara mekanik, mengalami kesulitan bekerja sehingga kerjanya menjadi tidak optimal . Peningkatan usaha bernafas dan penurunan kerja otot menyebabkan timbulnya kelelahan dan gagal nafas.(7)

Gambar 3. Bronkus Normal dan Bronkus Asmatik

Hiperaktivitas saluran respiratori

Mekanisme terhadap reaktivitas yang berlebihan bronkus yang menyebabkan penyempitan saluran napas sampai saat ini tidak diketahui, namun dapat berhubungan dengan perubahan otot polos saluran nafas yang terjadi sekunder serta berpengaruh terhadap kontraktilitas ataupun fenotipnya. Sebagai tambahan, inflamasi pada dinding saluran nafas yang terjadi akibat kontraksi otot polos tersebut.(7)Saluran respiratori dikatakan hiperreaktif atau hiperresponsif jika pada pemberian histamin dan metakolin dengan konsentrasi kurang 8g% didapatkan penurunan Forced Expiration Volume (FEV1) 20% yang merupakan kharakteristik asma, dan juga dapat dijumpai pada penyakit yang lainnya seperti Chronic Obstruction Pulmonary Disease (COPD), fibrosis kistik dan rhinitis alergi. Stimulus seperti olahraga, udara dingin, ataupun adenosin, tidak memiliki pengaruh langsung terhadap otot polos saluran nafas (tidak seperti histamin dan metakolin). Stimulus tersebut akan merangsang sel mast, ujung serabut dan sel lain yang terdapat disaluran nafas untuk mengeluarkan mediatornya. (7)Otot polos saluran respiratori

Pada penderita asma ditemukan pemendekan dari panjang otot bronkus. Kelainan ini disebabkan oleh perubahan pada aparatus kontraktil pada bagian elastisitas jaringan otot polos atau pada matriks ektraselularnya. Peningkatan kontraktilitas otot pada pasien asma berhubungan dengan peningkatan kecepatan pemendekan otot. Sebagai tambahan, terdapat bukti bahwa perubahan pda struktur filamen kontraktilitas atau plastisitas dari sel otot polos dapat menjadi etiologi hiperaktivitas saluran nafas yang terjadi secara kronik.(7)Peran dari pergerakan aliran udara pernafasan dapat diketahui melalui hipotesis pertubed equilibrium, yang mengatakan bahwa otot polos saluran nafas mengalami kekakuan bila dalam waktu yang lama tidak direnggangkan sampai pada tahap akhir, yang merupakan fase terlambat, dan menyebabkan penyempitan saluran nafas yang menetap atau persisten. Kekakuan dari daya kontraksi, yang timbul sekunder terhadap inflamasi saluran nafas, kemudian menyebabkan timbulnya edema adventsial dan lepasnya ikatan dari tekanan rekoil elastis.(7)Mediator inflamasi yang dilepaskan oleh sel mast, seperti triptase dan protein kationik eosinofil, dikatakan dapat meningkatkan respon otot polos untuk berkontraksi, sama seperti mediator inflamasi yang lainnya seperti histamin. Keadaan inflamasi ini dapat memberikan efek ke otot polos secara langsung ataupun sekunder terhadap geometri saluran nafas.(7)Hipersekresi mukus

Hiperplasia kelenjar submukosa dan sel goblet sering kali ditemukan pada saluran nafas pasien asma dan penampakan remodeling saluran nafas merupakan karakteristik asma kronis. Obstruksi yang luas akibat penumpukan mukus saluran nafas hampir selalu ditemukan pada asma yang fatal dan menjadi penyebab ostruksi saluran nafas yang persisiten pada serangan asma berat yang tidak mengalami perbaikan dengan bronkodilator.(7)Sekresi mukus pada saluran nafas pasien asma tidak hanya berupa peningkatan volume saja tetapi juga perbedaan pada viskoelastisitas. Penebalan dan perlengketan dari sekret tidak hanya sekedar penambahan produksi musin saja tetapi terdapat juga penumpukan sel epitel, pengendapan albumin yang bersal datri mikrovaskularisasi bronkial, eosinofil, dan DNA yang berasal dari sel inflamasi yang mengalami lisis.(7)Hipersekresi mukus merefleksikan dua mekanisme patofisiologi yaitu mekanisme terhadap sekresi sel yang mengalami metaplasia dan hiperplasia dan mekanisme patofisologi hingga terjadi sekresi sel granulasi. Degranulasi sel Goblet yang dicetuskan oleh stimulus lingkungan, diperkirakan terjadi karena adanya pelepasan neuropeptidase lokal atau aktivitas jalur refleks kolinergik. Kemungkinan besar yang lebih penting adalah degranulasi yang diprovokasi oleh mediator inflamasi, dengan aktivitas perangsang sekret, seperti neutrofil elastase, kimase sel mast, leukotrien, histamin, produk neutrofil non-protease.(7)

Diagnosis

Kelompok anak yang patut diduga asma adalah anak yang menunjukkan batruk dan/atau mengi yang timbul secara episodik, cenderung pada malam atau dini hari (nokturnal), musiman, setelah aktivitas fisik, serta adanya riwayat asma dan/atau atopi pada pasien atau keluarga.(3)Sehubungan dengan kesulitan mendiagnosis asma pada anak kecil, dan bertambahnya umur khususnya diatas umur tiga tahun, diagnosis asma menjadi lebih definitive. Untuk anak yang sudah sudah besar (>6 tahun) pemeriksaan faal paru sebaiknya dilakukan. Uji fungsi paru yang sederhana dengan peak flow meter, atau yang lebih lengkap dengan spirometer. Uji provokasi bronkus dengan histamine, metakolin, gerak badan (exercise), udara kering dan dingin,atau dengan salin hipertonis sangat menunjang diagnosis.pemeriksaan ini berguna untuk mendukung diagnosis asma anak melalui 3 cara yaitu didapatkannya.(3)1. Variabilitas pada PFR atau FEV 1 lebih dari 20%

2. Kenaikan 20% pada PFR atau FEV1 setelah pemberian inhalasi bronkodilator.

3. Penurunan 20% pada PFR atau FEV1 setelah provokasi bronkus.

Diagnosis asma pada bayi dan anak kecil (di bawah usia 5 tahun) hanya merupakan diagnosis klinis (penilaian hanya berdasarkan gejala dan pemeriksaan fisik dan respon terhadap pengobatan). Pada kelompok usia ini tes fungsi paru ataupemeriksaan untuk mengetahui adanya hiperresponsivitas saluran napas tidak mungkin dilakukan dalam praktek sehari-hari. Tidak jarang asma pada anak didiagnosis sebagai bentuk varian bronkitis sehingga mendapatkan pengobatan yang tidak tepat dan tidak efektif, yaitu berupa pemberian antibiotika dan obat batuk.(3)Anamnesis

Seorang anak dikatakan menderita serangan asma apabila didapatkan gejala batuk dan/atau mengi yang memburuk dengan progresif. Selain keluhan batuk dijumpai sesak nafas dari ringan sampai berat. Pada serangan asma gejala yang timbul bergantung pada derajat serangannya. Pada serangan ringan, gejala yang timbul tidak terlalu berat. Pasien masih lancar berbicara dan aktifitasnya tidak terganggu. Pada serangan sedang, gejala bertambah berat anak sulit mengungkapkan kalimat. Pada serangan asma berat, gejala sesak dan sianosis dapat dijumpai, pasien berbicara terputus-putus saat mengucapkan kata-kata.(8)

Pemeriksaan fisik

Pada pemeriksaan fisik umumnya tidak ditemukan kelaianan saat pasien tidak mengalami serangan. Pada sebagian kecil pasien yang derajat asmanya lebih berat dapat dijumpai mengi di luar serangan. .(8)Gejala dan serangan asma pada anak tergantung pada derajat serangannya. Pada serangan ringan anak masih aktif, dapat berbicara lancar, tidak dijumpai adanya retraksi baik di sela iga maupun epigastrium. Frekuensi nafas masih dalam batas normal. Pada serangan sedang dan berat dapat dijumpai adanya wheezing terutama pada saat ekspirasi, retraksi, dan peningkatan frekuensi nafas dan denyut nadi bahkan dapat dijumpai sianosis. Berbagai tanda atau manifestasi alergi, seperti dermatitis atopi dapat ditemukan.(8)Dasar penyakit ini adalah hiperaktivitas bronkus akibat adanya inflamasi kronik saluran respiratorik. Akibatnya timbul hipersekresi lender, udem dinding bronkus dan konstriksi otot polos bronkus. Ketiga mekanisme patologi diatas mengakibatkan timbulnya gejala batuk, pada auskultasi dapat terdengar ronkhi basah kasar dan mengi. Pada saat serangan dapat dijumpai anak yang sesak dengan komponen ekspiratori yang lebih menonjol.(8)Pemeriksaan Penunjang

Pada serangan asma berat, pemeriksaan penunjang yang diperlukan adalah analisis gas darah (AGD) dan foto rontgen thoraks proyeksi antero-posterior. Pada AGD dapat dijumpai adanya peningkatan PCO2 dan rendahnya PO2 (hipoksemia). Pemeriksaan penunjang lain yang diperlukan adalah uji fungsi paru bila kondisi memungkinkan. Pada pemeriksaan ini dapat ditemukan adanya penurunan FEV1 yang mencapai 1 kali/ minggu, menggunakan agonis-2 kerja pendek setiap hari (FEV1 60-80% predicted atau PEF 60-80% nilai terbaik individu, variabilitas PEV atau FEV1>30%)

4. Persisten berat

Gejala terjadi setiap hari, serangan sering terjadi, gejala asma nokturnal sering terjadi (FEV1 60% predicted atau PEF 60% nilai terbaik individu, variabilitas PEV atau FEV1>30%)

Pembagian derajat asma menurut Pedoman Nasional Asma Anak (PNAA) 2004 membagi asma menjadi 3 derajat penyakit yaitu sebagai berikut:(3)Tabel 1. Klasifikasi derajat asma anak menurut PNAA (3)Parameter klinis

Kebutuhan obat,

dan faal paruAsma episodic jarang

(asma ringan)Asma episodic sering

(asma sedang)Asma persisten

(asma berat)

1.Frekuensi serangan3-4x /1tahun1x/bulan1/bulan

2.Lama serangan80%PEF/FEV1 60-80%PEF/FEV1 < 60%

Variabilitas 20-30%

9.Variabilitas faal paru

(bila ada serangan)20%30%50%

2.7.1 Eksaserbasi (serangan) Asma

Eksaserbasi (serangan) asma adalah episode perburukan gejala-gejala asma secara progresif. Gejala yang dimaksud adalah sesak napas, batuk, mengi, dada rasa tertekan, atau berbagai kombinasi gejala tersebut. Pada umumnya eksaserbasi disertai distres pernapasan. Serangan asma ditandai oleh penurunan PEF atau FEV. Pengukuran ini lebih dapat dipercaya daripada penilaian berdasarkan gejala. Sebaliknya. Derajat gejala lebih sensitif untuk menunjukkan awal terjadinya eksaserbasi karena memberatnya gejala biasanya mendahului perburukan PEF. Derajat serangan asma bervariasi mulai dari ringan sampai berat yang mengancam jiwa. Perburukan dapat terjadi dalam beberapa menit, jam, atau hari. Serangan akut biasanya timbul akibat pajanan terhadap faktor pencetus (paling sering infeksi virus atau allergen), sedangkan serangan berupa perburukan yang bertahap mencerminkan kegagalan pengelolaan jangka panjang penyakit. Penilai derajat serangan asma dapat dilihat pada tabel berikut: (3)Tabel 2. Penilaian Derajat Serangan Asma(3)Parameter klinis,

Fungsi paru,

LaboraturiumRingan Sedang

BeratAncaman

henti napas

Sesak (breathless)Berjalan

Bayi :

Menangis kerasBerbicara

Bayi :

Tangis pendek

& lemah

Kesulitan

menetek dan

makanIstirahat

Bayi :

Tidak mau

minum /

makan

PosisiBisa berbaringLebih suka

DudukDuduk

bertopang

lengan

BicaraKalimatPenggal kalimatKata-kata

KesadaranMungkin

irritableBiasanya

irritableBiasanya

Irritablekebingungan

SianosisTidak adaTidak adaAdaNyata

WheezingSedang, sering

hanya pada akhir

ekspirasiNyaring,

Sepanjang

ekspirasi

inspirasiSangat

nyaring,

Terdengar

tanpa

stateskopSulit /

Tidak terdengar

Penggunaan otot

Bantu respiratorikBiasanya tidakBiasanya yaYaGerakan paradox

Torako-

Abdominal

RetraksiDangkal,

Retraksi

InterkostaSedang,

ditambah

Retraksi

suprasternalDalam,

ditambah

Napas cuping

HidungDangkal/

Hilang

Frekuensi napasTakipnuTakipnuTakipnuBradipnu

Pedoman nilai baku frekuensi napas pada anak sadar:

Usia frekuensi napas normal

60%

>80%Nilai terbaik)

40-60%

60-80%60 mmHg< 60 mmHg

PaCO2 10 tahun : 0,9 mg/kgBB/Jam

Efek samping obat ini adalah mual, muntah, sakit kepala. Pada konsentrasi yang lebih tinggi dapat timbul kejang, takikardi dan aritmia.(9)

2. Anticholinergics

Obat yang digunakan adalah Ipratropium Bromida. Kombinasi dengan nebulisasi 2 agonist menghasilkan efek bronkodilatasi yang lebih baik. Dosis anjuran 0, 1 cc/kgBB, nebulisasi tiap 4 jam.(9)Obat ini dapat juga diberikan dalam larutan 0,025 % dengan dosis : untuk usia diatas 6 tahun 8 20 tetes; usia kecil 6 tahun 4 10 tetes. Efek sampingnya adalah kekeringan atau rasa tidak enak dimulut. Antikolinergik inhalasi tidak direkomendasikan pada terapi asma jangka panjang pada anak.(9)3. Kortikosteroid

Kortikosteroid sistemik terutama diberikan pada keadaan:(9) Terapi inisial inhalasi 2 agonist kerja cepat gagal mencapai perbaikan yang cukup lama.

Serangan asma tetap terjadi meski pasien telah menggunakan kortikosteroid hirupan sebagai kontroler.

Serangan ringan yang mempunyai riwayat serangan berat sebelumnya.

Kortikosteroid sistemik memerlukan waktu paling sedikit 4 jam untuk mencapai perbaikan klinis, efek maksimum dicapai dalan waktu 12 24 jam. Preparat oral yang di pakai adalah prednisone, prednisolon, atau triamsinolon dengan dosis 1 2 mg/kgBB/hari diberikan 2 3 kali sehari selama 3 5 kali sehari.(9)Kortikosteroid tidak secara langsung berefek sebagai bronkodilator. Obat ini bekerja sekaligus menghambat produksi sitokin dan kemokin, menghambat sintesis eikosainoid, menghambat peningkatan basofil, eosinofil dan leukosit lain di jaringan paru dan menurunkan permeabilitas vascular.(11)

Metilprednisolon merupakan pilihan utama karena kemampuan penetrasi kejaringan paru lebih baik, efek anti inflamasi lebih besar, dan efek mineralokortikoid minimal. Dosis metilprednisolon IV yang dianjurkan adalah 1 mg/kgBB setiap 4 sampai 6 jam. Dosis Hidrokortison IV 4 mg/kgBB tiap 4 6 jam. Dosis dexamethasone bolus IV 0,5 1 mg/kgBB dilanjtkan 1 mg/kgBB/hari setiap 6 8 jam.(9)Obat obat Pengontrol (3,10)Obat obat asma pengontrol pada anak anak termasuk inhalasi dan sistemik glukokortikoid, leukotrien modifiers, long acting inhaled 2-agonist, theofilin, cromones, dan long acting oral 2-agonist.

1. Inhalasi glukokortikosteroid

Glukokortikosteroid inhalasi merupakan obat pengontrol yang paling efektif dan direkomendasikan untuk penderita asma semua umur. Intervensi awal dengan penggunaan inhalasi budesonide berhubungan dengan perbaikan dalam pengontrolan asma dan mengurangi penggunaan obat-obat tambahan. Terapi pemeliharaan dengan inhalasi glukokortikosteroid ini mampu mengontrol gejala-gejala asma, mengurangi frekuensi dari eksaserbasi akut dan jumlah rawatan di rumah sakit, meningkatkan kualitas hidup, fungsi paru dan hiperresponsif bronkial, dan mengurangi bronkokonstriksi yang diinduksi latihan.

Glukokortikosteroid dapat mencegah penebalan lamina retikularis, mencegah terjadinya neoangiogenesis, dan mencegah atau mengurangi terjadinya down regulation receptor 2 agonist. Dosis yang dapat digunakan sampai 400ug/hari (respire anak). Efek samping berupa gangguan pertumbuhan, katarak, gangguan sistem saraf pusat, dan gangguan pada gigi dan mulut.

2. Leukotriene Receptor Antagonist (LTRA)

Secara hipotesis obat ini dikombinasikan dengan steroid hirupan dan mungkin hasilnya lebih baik. Sayangnya, belum ada percobaan jangka panjang yang membandingkannya dengan steroid hirupan + LABA. Keuntungan memakai LTRA adalah sebagai berikut :

LTRA dapat melengkapi kerja steroid hirupan dalam menekan cystenil leukotriane; Mempunyai efek bronkodilator dan perlindungan terhadap bronkokonstriktor; Mencegah early asma reaction dan late asthma reaction

Dapat diberikan per oral, bahkan montelukast hanya diberikan sekali per hari., penggunaannya aman, dan tidak mengganggu fungsi hati; sayangnya preparat montelukast ini belum ada di Indonesia; Mungkin juga mempunyai efek menjaga integritas epitel, yaitu dengan meningkatkan kerja epithel growth factor (EGF) dan menekan transforming growth factor (TGF) sehingga dapat mengendalikan terjadinya fibrosis, hyperplasia, dan hipertrofi otot polos, serta diharapkan mencegah perubahan fungsi otot polos menjadi organ pro-inflamator.Ada 2 preparat LTRA :

a. Montelukast

Preparat ini belum ada di Indonesia dan harganya mahal. Dosis per oral 1 kali sehari.(respiro anak) Dosis pada anak usia 2-5 tahun adalah 4 mg qhs. (gina)

b. Zafirlukast

Preparat ini terdapat di Indonesia, digunakan untuk anak usia > 7 tahun dengan dosis 10 mg 2 kali sehari.

Leukotrin memberikan manfaat klinis yang baik pada berbagai tingkat keparahan asma dengan menekan produksi cystenil leukotrine. Efek samping obat dapat mengganggu fungsi hati (meningkatkan transaminase) sehingga perlu pemantauan fungsi hati.

3. Long acting 2 Agonist (LABA)Preparat inhalasi yang digunakan adalah salmeterol dan formoterol. Pemberian ICS 400ug dengan tambahan LABA lebih baik dilihat dari frekuensi serangan, FEV1 pagi dan sore, penggunaan steroid oral,, menurunnya hiperreaktivitas dan airway remodeling. Kombinasi ICS dan LABA sudah ada dalam 1 paket, yaitu kombinasi fluticasone propionate dan salmeterol (Seretide), budesonide dan formoterol (Symbicort). Seretide dalam MDI sedangkan Symbicort dalam DPI. Kombinasi ini mempermudah penggunaan obat dan meningkatkan kepatuhan memakai obat.

4. Teofilin lepas lambatTeofilin efektif sebagai monoterapi atau diberikan bersama kortikosteroid yang bertujuan untuk mengontrol asma dan mengurangi dosis pemeliharaan glukokortikosteroid. Tapi efikasi teofilin lebih rendah daripada glukokortikosteroid inhalasi dosis rendah.

Efek samping berupa anoreksia, mual, muntah, dan sakit kepala, stimulasi ringan SSP, palpitasi, takikardi, aritmia, sakit perut, diare, dan jarang, perdarahan lambung. Efek samping muncul pada dosis lebih dari 10mg/kgBB/hari, oleh karena itu terapi dimulai pada dosis inisial 5mg/kgBB/hari dan secara bertahap diingkatkan sampai 10mg/kgBB/hari.

2.7.4 Terapi Suportif (9)a. Terapi oksigen

Oksigen diberikan pada serangan sedang dan berat melalui kanula hidung, masker atau headbox. Perlu dilakukan pemantauan saturasi oksigen, sebaiknya diukur dengan pulse oxymetry (nilai normal > 95%).

b. Campuran Helium dan oksigen

Inhalasi Helioks (80% helium dan 20% oksigen) selama 15 menit sebagai tambahan pemberian oksigen (dengan kanula hidung), bersama dengan nebulisasi salbutamol dan metilprednisolon IV, secara bermakna menurunkan pulsus paradoksus, meningkatkan peakflow dan mengurangi sesak. Campuran helium dan oksigen dapat memperbaiki oksigenasi karena helium bersifat ringan sehingga dapat mengubah aliran turbulen menjadi laminar dan menyebabkan oksigen lebih mudah mencapai alveoli.

c. Terapi cairan

Dehidrasi dapat terjadi pada serangan asma berat karena kurang adekuatnya asupan cairan, peningkatan insensible water loss, takipnea serta efek diuretic teofilin. Pemberian cairan harus hati-hati kareana pada asma berat terjadi peningkatan sekresi Antidiuretik Hormone (ADH) yan memudahkan terjadinya retensi cairan dan tekanan pleura negatif tinggi pada puncak inspirasi yang memudahkan terjadinya edema paru. Jumlah cairan yang diberikan adalah 1-1,5 kali kebutuhan rumatan.

2.7.5 Cara Pemberian Obat(10)UMURALAT INHALASI

< 2 tahunNebuliser, Aerochamber, babyhaler

2-4 tahunNebuliser, Aerochamber, babyhaler

Alat Hirupan (MDI/ Metered Dose Inhaler) dengan alat perenggang (spacer)

5-8 tahunNebuliser

MDI dengan spacer

Alat hirupan bubuk (Spinhaler, Diskhaler, Rotahaler, Turbuhaler)

>8 tahunNebuliser

MDI (metered dose inhaler)

Alat Hirupan Bubuk

Autohaler

Pemakaian alat perenggang (spacer) mengurangu deposisi obat dalam mulut (orofaring), jadi mengurangi jumlah obat yang akan tertelan sehingga mengurangi efek sistemik. Sebaliknya, deposisi dalamm paru lebih baik sehingga didapat efek terapeutik yang lebih baik. Obat hirupan dalam bentuk bubuk kering (Spinhaler, Diskhaler, Rotahaler, Turbuhaler) memerlukan inspirasi yang kuat. Umumnya bentuk ini dianjurkan untuk anak usia sekolah. Sebagian alat bantu yaitu Spacer (Volumatic, Nebuhaler, Aerochamber, Babyhaler, Autohaler) dapat dimodifikasi dengan menggunakan bekas gelas atau botol minuman atau menggunakan botol susu dengan dot susu yang telah dipotong untuk anak kecil dan bayi.

Prevensi dan Intervensi Dini (10) Pengendalian lingkungan : menghindarkan anak dari asap rokok, tidak memelihara hewan berbulu, memperbaiki ventilasi ruangan, mengurangi kelembaban kamar untuk anak yang sensitif terhadap debu rumah dan tungau. Pemberian ASI ekslusif minimal 4 bulan Menghindari makanan berpotensi alergenDAFTAR PUSTAKA1. Direktorat Jenderal PP & PL, Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman Pengendalian Penyakit Asma. Departemen Kesehatan RI ;2007; 1-45.

2. Kartasasmita CB. Epidemiologi Asma Anak. dalam: Rahajoe NN, Supriyatno B, Setyanto DB, penyunting. Buku Ajar Respirologi Anak. edisi pertama. Jakarta : Badan Penerbit IDAI ; 2010. h.71-83.

3. Nataprawira HMD. Diagnosis Asma Anak. dalam: Rahajoe NN, Supriyatno B, Setyanto DB, penyunting. Buku Ajar Respirologi Anak. edisi pertama. Jakarta : Badan Penerbit IDAI ; 2008. h.105-18.

4. Hassan R, Husein Alatas, dkk. ASMA. Buku Kuliah Ilmu Kesehatan Anak jilid 3. Jakarta: Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia ; 1985. h.1203-28.5. Nelson Textbook of Pediatrics : Childhood Asthma. Elsevier Science (USA);2003.

6. Supriyatno B, Wahyudin B. Patogenesis dan Patofisiologi Asma Anak. dalam: Rahajoe NN, Supriyatno B, Setyanto DB, penyunting. Buku Ajar Respirologi Anak. edisi pertama. Jakarta : Badan Penerbit IDAI ; 2008. h.85-96.

7. S Makmuri M. Patofisologi Asma Anak. dalam: Rahajoe NN, Supriyatno B, Setyanto DB, penyunting. Buku Ajar Respirologi Anak. edisi pertama. Jakarta : Badan Penerbit IDAI ; 2008. h.98-104.

8. Pusponegoro HD, Hadinegoto SRS, Firmanda D, Pujiadi AH,Kosem MS, Rusmil K, dkk, penyunting. Standar Pelayanan Medis Kesehatan Anak. Jakarta : Badan Penerbit IDAI; 2005.

9. Supriyatno B, S Makmuri M. Serangan Asma Akut. dalam: Rahajoe NN, Supriyatno B, Setyanto DB, penyunting. Buku Ajar Respirologi Anak. edisi pertama. Jakarta : Badan Penerbit IDAI ; 2008. h.120-32.

10. Rahajoe N. Tatalaksana Jangka Panjang Asma Anak. dalam: Rahajoe NN, Supriyatno B, Setyanto DB, penyunting. Buku Ajar Respirologi Anak. edisi pertama. Jakarta : Badan Penerbit IDAI ; 2008. h.134-46.

11. Suherman SK. Ascobat P. Adrenokortikotropin, Adrenokortikosteroid, Analog Sintetik dan Antagonisnya. dalam: Gunawan SG, penyunting. Farmakologi dan Terapi. Edisi 5. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. 2008. h. 496-500.

12. Rahajoe N, Supriyatno B, Setyanto DB. Pedoman Nasional Asma Anak. Jakarta: UKK Pulmonologi PP IDAI; 2009.Gejala

Faktor Risiko

Hiperaktivitas Bronkus

Obstruksi Bronkus

Faktor Risiko

Faktor Risiko

Inflamasi

25