Paten Sebagai Kekayaan Perindustrian
-
Upload
joke-punuhsingon -
Category
Documents
-
view
72 -
download
9
Transcript of Paten Sebagai Kekayaan Perindustrian
BAB IPENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG PEMIKIRAN
Paten atau oktroi telah ada sejak abad XIV dan XV, contohnya di negara Italia dan
Inggris. Tetapi sifat pemberian hak ini pada waktu itu bukan ditujukan atas suatu
temuan atau invensi (uitvinding) namun diutamakan untuk menarik para ahli dari
luar negeri agar dapat mengembangkan keahliannya. Jadi Paten atau oktroi itu
bersifat sebagai semacam “izin menetap” bagi sang inventor atas keahlian dalam
bidang tertentu dan ia boleh tinggal menetap. Jadi ada juga kesamaannya dengan
penggunaan istilah Paten dewasa ini. Royaltinya, ia boleh tinggal di negara itu
dengan perlakuan khusus karena dapat memberikan kontribusi positif bagi
kemajuan negeri tersebut.
Nanti pada abad XVI diadakan peraturan pemberian hak-hak Paten/oktroi terhadap
hasil temuan (uitvinding) yaitu di negara-negara Venesia, Inggris, Belanda, lalu di
Jerman, Australia dan lain sebagainya.
Dengan perkembangan waktu dan kemajuan teknologi, terutama pada abad XX,
pemberian Paten/oktroi bukan lagi suatu hadiah, melainkan pemberian hak atas
suatu temuan, seperti yang terjadi di negara-negara Amerika Utara dan Amerika
Selatan. Kemudian di Amerika Serikat terbentuk undang-undang Paten yang tegas
mengubah sifat pemberian hak Paten/oktroi itu. Lalu diikuti oleh negara-negara
seperti Inggris, Perancis, Belanda dan Rusia. Saat ini peraturan perundangan
lembaga Paten hampir meliputi semua negara termasuk kawasan Asia. 1
Di Indonesia pengaturan Paten ini sebelum keluarnya UU No. 6 Tahun 1989 yang
telah diperbaharui dengan UU No. 13 Tahun 1997 dan terakhir dengan UU No. 14
Tahun 2001 tentang Paten adalah berdasarkan Octroiwet 1910 hingga
dikeluarkannya pengumuman Menteri Kehakiman tertanggal 12 Agustus 1953 No.
J.S.5/41/4 tentang pendaftar sementara oktroi, dan Pengumuman Menteri
1 OK. Saidin, Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual, PT RajaGrafindo, Jakarta, 2003, hal. 228.
1
Kehakiman tertanggal 19 Oktober 1953 No. J.G.1/2/17 tentang permohonan
sementara oktroi dari luar negeri.
Mengenai pengertian Paten menurut Octroiwet 1910 adalah: “Paten ialah hak
khusus yang diberi kepada seseorang atas permohonannya kepada orang itu yang
menciptakan sebuah produk baru, dari cara kerja baru atau perbaikan baru dari
produk atau dari cara kerja baru”.2
Pengertian Paten menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia yang ditulis oleh
W.J.S. Poerwadarminta, menyebutkan: “Kata Paten berasal dari bahasa Eropa
(Paten/oktroi) yang mempunyai arti suatu surat perniagaan atau izin dari
pemerintah yang menyatakan bahwa orang atau perusahaan oleh membuat barang
pendapatannya sendiri (orang lain tidak boleh membuatnya)”.3
Pengertian Paten dalam pasal 1 angka 1 UU No. 14 Tahun 2001 tentang Paten,
menyebutkan bahwa: ”Paten adalah hak eksklusif yang diberikan oleh negara
kepada Inventor atas hasil invensinya di bidang teknologi, yang untuk selama
waktu tertentu melaksanakan sendiri invensinya tersebut atau memberikan
persetujuannya kepada pihak lain untuk melaksanakannya”.4
Dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa Paten adalah merupakan hak bagi
seseorang yang telah mendapat penemuan baru atau cara kerja baru dan
perbaikannya, yang kesemua istilah itu tercakup dalam satu kata, yakni ‘invensi’
dalam bidang teknologi yang diberikan oleh pemerintah, dan kepada pemegang
haknya diperkenankan untuk menggunakan sendiri atau atas izinnya mengalihkan
penggunaan hak itu kepada orang lain.
B. PERUMUSAN MASALAH
Oleh karena paten merupakan salah satu dari kekayaan intelektual di bidang
perindustrian, juga berdasarkan latar belakang tersebut di atas, penulis
2 Art. 1 Octrooiwet 1910, Nedeland, S. 1910-313.3 W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, PN. Balai Pustaka, Jakarta, 1976 hal. 1012.4 UU Perlindungan HAKI, Indonesia Legal Center Publishing, Jakarta, 2004, hal. 2.
2
merumuskan masalah dalam penulisan ini adalah sebagai berikut: Bagaimanakah
Paten itu disebut sebagai kekayaan perindustrian.
C. TUJUAN PENULISAN
Adapun yang menjadi tujuan penulisan adalah:
1. Untuk mengetahui Paten sebagai benda immaterial.
2. Untuk mengetahui Paten adalah sebagai kekayaan perindustrian.
3. Untuk mengetahui Obyek dan subyek dari pada paten.
4. Untuk mengetahui sistem pendaftaran, pengalihan dan lisensi paten.
D. METODE PENULISAN
Metode penulisan yang digunakan dalam karya ilmiah ini adalah metode deskriptif.
Metode deskriptif adalah suatu metode yang digunakan untuk memecahkan
masalah yang ada pada waktu sekarang, dan pelaksanaannya tidak hanya sampai
pada pengumpulan dan penyusunan data, tetapi meliputi analisa dan intepretasi
data itu.
Data yang dipergunakan dalam penulisan ini adalah data sekunder atau data ayang
diperoleh dari hasil penelitian normative. Data-data yang terkumpul kemudian
dianalisis secara kualitatif untuk datang pada kesimpulan yang jelas dan tepat.
3
BAB IIPATEN SEBAGAI HAK KEKAYAAN PERINDUSTRIAN
A. Paten Sebagai Benda Immaterial
Paten adalah bagian dari hak kekayaan intelektual, yang termasuk dalam kategori
hak kekayaan perindustrian (Industrial Property Rights). Hak kekayaan intelektual
itu sendiri adalah merupakan bagian dari benda tidak berwujud (benda immateril).
Oleh karena adanya unsur daya cipta yang dikembangkan dari kemampuan berpikir
manusia untuk melahirkan sebuah karya, hingga akhirnya kata ‘intelektual’ itu
harus dilekatkan pada setiap temuan yang berasal dari kreativitas berpikir manusia
tersebut.
Konsekuensi lebih lanjut dari batasan Hak Atas Kekayaan Intelektual ini adalah
terpisahnya antara Hak Atas Kekayaan Intelektual itu sendiri dengan hasil material
yang menjadi bentuk jelmaannya (benda berwujud). Sebagai contoh, Hak Cipta
dalam ilmu pengetahuan (berupa Hak Atas Kekayaan Intelektual) dan hasil
material yang menjadi bentuk jelmaannya adalah buku, begitu pula temuan
(invensi) dalam bidang Paten (bagian Hak Atas Kekayaan Intelektual), dan hasil
benda materi yang menjadi bentuk jelmaan adalah minyak pelumas, misalnya. Jadi
yang dilindungi dalam kerangka Hak Atas Kekayaan Intelektual adalah haknya,
bukan jelmaan dari hak tersebut. Jelmaan dari hak tersebut dilindungi oleh hukum
benda dalam kategori benda materil (benda berwujud).
Dalam Undang-Undang/Hukum Perdata Jerman (1900) digunakan istilah sache
untuk menyebut barang atau benda berwujud. Sedangkan UU Perdata Austria
(1811) kata sache digunakan dalam arti yang sangat luas yaitu segala sesuatu yang
bukan personal dan dipergunakan oleh manusia.5
Dipergunakan istilah zaak dalam KUH Perdata Indonesia dan dipakai tidak hanya
menyebutkan barang yang berwujud saja (misalnya pasal 580), tetapi juga
5 Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, Hukum Perdata, Hukum Benda, Liberty, Yogyakarta, 1981, hal. 13-14.
4
dipergunakan untuk menyebutkan benda tidak berwujud yang sering pula
diterjemahkan menjadi hak. Dalam pasal 511 KUH Perdata menyebutkan beberapa
benda tak berwujud, yaitu bunga uang, perutangan dan penagihan sebagai benda
bergerak.
Menurut Prof. Dr. Sri Soedewi Masjchoen Sofwan: “Dalam sistem Hukum
Perdata, KUH Perdata menggunakan kata zaak dalam dua arti. Pertama dalam arti
barang yang berwujud, kedua dalam arti selain dari barang yang berwujud, yaitu
beberapa hak tertentu sebagai barang yang tak berwujud. Jadi pengertian dalam
KUH Perdata ini lebih luas dari pengertian “sache” dalam undang-undang perdata
Jerman. Tetapi lebih sempit daripada zaak dalam undang-undang perdata Austria.
Sebab menurut KUH Perdata Austria tidak semua hak dimasukkan dalam
pengertian zaak. Hak-hak atas barang immateriel (rechten op immateriale
goerderen) tidak termasuk zaak, misalnya hak oktroi (octroirecht), hak cap dagang
(merkentrecht), hak atas karangan (auteursrecht)”.6
Dalam KUH Perdata Indonesia hak-hak yang disebutkan terakhir oleh Prof. Sri
Soedewi itu adalah zaak namun tidak ditempatkan pengaturannya KUH Perdata
Indonesia. Hak-hak itu diatur di luar KUH Perdata sekalipun demikian rumusan
benda menurut Pasal 499 KUH Perdata, yaitu “tiap-tiap hak dan tiap-tiap barang
yang dapat menjadi obyek hak milik.”, sudah cukup alasan untuk menempatkan
HAKI ke dalam sistem hukum benda. Di negeri asal KUH Perdata Indonesia yaitu
Belanda dalam KUH Perdatanya yang baru hak-hak tersebut telah ditempatkan
dalam satu buku pada bab hukum benda.
Dalam kaitan dengan uraian di atas, Prof. Mahadi mengemukakan pandangannya:
“Bahwa buah pikiran, hasil otak manusia (menselijke idean, voortbrengselen van
de menselijke geest) dapat pula menjadi obyek hak absolut”.7
Walaupun buah pikiran bukan merupakan benda material (stoffelijk voorwerp), ia
juga bukan hak subyektif dalam bidang hukum kekayaan (noch een subyektief
vermogensrecht). Jadi ia tidak termasuk ke dalam rumusan benda dalam pasal 499
6 Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, Hukum Perdata, Hukum Benda, Liberty, Yogyakarta, 1981, hal. 14. 7 Mahadi, Hak Milik Immaterial, BPHN, 1985, hal. 4.
5
KUH Perdata dan oleh sebab itu pula ia tidak termasuk ke dalam rumusan hak
benda (zakelijk recht). Akan tetapi jika buah pikiran itu dapat diwujudkan dalam
bentuk benda nyata, maka buah pikiran itu dapat dilindungi sebagai hak kekayaan
intelektual, dan dengan demikian tercakup ke dalam pengertian benda menurut
pasal 499 KUH Perdata. Sekalipun Prof. Mahadi mempertanyakan, mengapa
digunakan istilah “Intellectual”, pada benda immaterial itu, sehingga kemudian
dijumpai istilah Intellectual Property Right. Prof. Mahadi mengakui tidak
mendapatkan keterangan lebih rinci mengenai asal-usul, kata atau istilah ini.
Untuk membedakannya dengan barang-barang material menurut pasal 499 KUH
Perdata, maka: Buah pikiran yang menjadi obyek hak absolut dan juga hak atas
buah pikiran dinamakan : Barang immaterial.
Menurut Pitlo sebagaimana diterjemahkan oleh Prof. Mahadi, sebagai berikut:
“Serupa seperti hak tagih, hak immaterial tidak mempunyai benda sebagai obyek.
Juga serupa seperti hak tagih , hak immaterial termasuk ke dalam “hak-hak” yang
disebut pasal 499 KUH Perdata. Oleh sebab itu hak immaterial itu sendiri bukan
benda, tapi hak atas buah pikiran adalah benda, sesuatu penemuan tak dapat kita
gadaikan, tapi hak oktroi dapat.; sero-sero dalam sesuatu Perseroan Terbatas dapat
kita alihkan dengan hak hasil; sero-sero itu dapat digadaikan. Aturan-aturan
tentang penyerahan, tentang penggadaian dan lain-lain hak-hak immaterial,
meskipun terdapat dalam undang-undang khusus, adalah bagian dari hukum benda.
Untuk hal-hal yang tidak diatur oleh Undang-Undang Khusus itu, harus kita
pergunakan aturan-aturan yang dibuat untuk benda”.8
Jadi semakin jelas bahwa jika mengacu pada Pitlo, hak milik intelektual termasuk
dalam cakupan pasal 499 KUH Perdata, ia termasuk benda, tepatnya benda tidak
berwujud.
B. Paten Sebagai Bagian Hak Kekayaan
Perindustrian
8 Mahadi, Hak Milik Immaterial, BPHN, 1985, hal. 4-5.
6
Hak kekayaan perindustrian (industrial property rights) merupakan bagaian dari
hak kekayaan intelektual (intellectual property rights). Termasuk ke dalam hak
atas kekayaan industrial ini adalah Paten, Merek, Desain Produk dan lain-lain (lihat
skema Hak Atas Kekayaan Intelektua lberikut ini):
SKEMA HAK ATAS KEKAYAAN INTELEKTUALMateri(Benda Berwujud) → Hak Cipta (Copy Rights)
Hak CiptaBENDA → Hak Yang Bersepadanan Dengan
Hak Cipta atau Hak TerkaitImmaterial HAKI(Benda Tidak → PatentBerwujud) → Utility Models
Hak Atas → Industrial DesaignsKekayaan → Trade SecretsPerindustrian → Trade Marks
→ Service Marks→ Trade Names or Commercial Names→ Appelation of Origin→ Indications of Origin→ Unfair Competition Protection→ New Varietas of Plants Protection→ Integrated Circuits
Paten merupakan suatu hak khusus berdasarkan Undang-Undang diberikan kepada
si pendapat/si penemu atau menurut hukum pihak yang berhak memperolehnya,
atas permintaannya yang diajukannya kepada pihak penguasa bagi temuan baru di
bidang teknologi, perbaikan atas temuan yang sudah ada, cara kerja baru, atau
menemukan suatu perbaikan baru dalam cara kerja, untuk selama jangka waktu
tertentu yang dapat diterapkan dalam bidang industri.
Hak itu bersifat eksklusif sebab inventor yang dapat menghasilkan invensi saja
yang dapat diberikan hak, namun ia dapat melaksanakan sendiri invensinya
tersebut atau memberi persetujuan kepada pihak lain untuk melaksanakannya,
misalnya melalui invensi.
Temuan baru, perbaikan atas temuan yang sudah ada, cara kerja baru atau
menemukan sesuatu perbaikan baru cara kerja, yang kesemuanya disebut invensi
harus mengandung langkah inventif (inventive step), yaitu langkah pemikiran
kreatif yang lebih maju dari hasil penemuan sebelumnya.
7
Kelemahan inventor Indonesia terletak pada ketidakmampuannya untuk melakukan
langkah inventif terhadap invensi yang sudah ada sebelumnya. Di Amerika Serikat
dan Jepang di Kantor Paten setiap hari dipenuhi oleh tenaga-tenaga ahli peneliti
untuk memperlajari formula paten yang telah ada dan mereka mencari langkah
inventif untuk dapat dilindungi menjadi paten baru. Jadi tidak mengherankan jika
dalam satu tahun ratusan bahkan ribuan paten baru terdaftar di kantor paten
mereka.9
Unsur teknologi dan industri mendapat tempat yang penting di sini. Invensi itu
haruslah dalam bidang teknologi dan dapat diterapkan dalam aktivitas industri,
baik itu industri otomotif, industri tekstil atau industri pariwisata.
Sebelum melihat lebih jauh tentang paten ini, kita lihat dulu rumusan dalam hukum
positif Indonesia.
Paten dalam UU No. 14 Tahun 2001 tentang Paten, dirumuskan sebagai berikut:
1. Paten adalah hak eksklusif yang diberikan oleh negara kepada Inventor atas
hasil invensinya di bidang teknologi, yang untuk selama waktu tertentu
melaksanakan sendiri invensinya tersebut atau memberikan persetujuannya
kepada pihak lain untuk melaksanakannya.
2. Invensi adalah ide inventor yang dituangkan ke dalam suatu kegiatan
pemecahan masalah yang spesifik di bidang teknologi dapat berupa produk atau
proses, atau penyempurnaan dan pengembangan produk atau proses.
3. Inventor adalah seorang yang secara sendiri atau beberapa orang yang secara
bersama-sama melaksanakan ide yang dituangkan ke dalam kegiatan yang
menghasilkan invensi. 10
Yang dimaksud oleh pembuat undang-undang adalah haknya, yaitu berupa ide
yang lahir dari penemuan tersebut. Jadi bukan hasil dalam bentuk produk material,
9 OK Saidin, Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual, PT RajaGrafindo, Jakarta, 2003, hal. 227.10 Republik Indonesia, Lembaran Negara, Tahun 2001 No. 109, Undang-Undang No. 14/2001 tentang Paten, pasal 1 butir 1 dan 2.
8
bukan bendanya. Oleh karena itu, jika yang dimaksudkan itu adalah idenya, maka
pelaksanaan dari ide itu yang kemudian membuahkan hasil dalam bentuk benda
material. Ide itu sendiri adalah benda immateril yang lahir dari proses
intelektualitas manusia.
Karena itu dapat disimpulkan bahwa paten diberikan bagi invensi dalam bidang
teknologi dan teknologi yang pada dasarnya adalah berupa ide (immaterial) yang
dapat diterapkan dalam proses industri.
Teknologi pada dasarnya lahir dari karsa intelektual, sebagai karya intelektual
manusia. Karena kelahirannya telah melibatkan tenaga, waktu dan biaya
(berapapun besarnya misalnya dalam kegiatan penelitian), maka teknologi
memiliki nilai atau suatu yang bernilai ekonomi yang dapat menjadi obyek harta
kekayaan (property). Dalam ilmu hukum yang secara luas dianut oleh bangsa-
bangsa lain, hak atas daya pikir intelektual dalam bidang teknologi tersebut diakui
sebagai hak kekayaan yang sifatnya tidak berwujud. Hak seperti inilah yang
dikenal sebagai hak Paten.
Invensi yang dapat diberi Paten adalah sesuai Pasal 2 UU No. 14 Tahun 2001,
yakni:
(1) Paten diberikan untuk invensi yang baru dan mengandung langkah
inventif serta dapat diterapkan dalam industri.
(2) Suatu Invensi mangandung langkah inventif jika invensi tersebut bagi
seseorang yang mempunyai keahlian tertentu di bidang teknik merupakan hal
yang tidak dapat diduga sebelumnya.
(3) Penilaian bahwa suatu invensi merupakan hal yang tidak dapat diduga
sebelumnya harus dilakukan dengan memperhatikan keahlian yang ada pada
saat Pemohonan diajukan atau yang telah ada pada saat diajukan permohonan
pertama dalam hal Permohonan itu diajukan dengan Hak Prioritas.
Selanjutnya dalam pasal 3 dikatakan bahwa:
(1) Suatu Invensi dianggap baru jika pada Tanggal Penerimaan, invensi tersebut
tidak sama dengan teknologi yang diungkapkan sebelumnya.
9
(2) Teknologi yang diungkapkan sebelumnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
adalah teknologi yang telah diumumkan di Indonesia atau di luar Indonesia
dalam suatu tulisan, uraian lisan atau melalui peraga, atau dengan cara lain yang
memungkinkan seorang ahli untuk melaksanakan Invensi tersebut sebelum:
a. Tanggal penerimaan; atau
b. Tanggal prioritas.
(3) Teknologi yang diungkapkan sebelumnya sebagaimana dimaksud pasa ayat (1)
mencakup dokumen Permohonan yang diajukan di Indonesia yang
dipublikasikan pada atau setelah Tanggal Penerimaan yang pemeriksaan
substantifnya sedang dilakukan, tetapi Tanggal Penerimaan tersebut lebih awal
daripada Tanggal Penerimaan atau tanggal prioritas Permohonan.
C. Obyek dan Subyek Paten
1. Obyek Paten
Dalam bukunya ”Aneka Hak Milik Perindustrian”, R.M. Suryodiningrat
menuliskan: Sebagaimana berdasarkan UU Merek 1961 pasal 4 ayat 2 b ada
klasifikasi barang-barang untuk mana merek dipergunakan, maka demi
kepentingan pendaftaran Paten juga diadakan Persetujuan Internasional
Klasifikasi Subyek untuk Paten di Strasbourg tanggal 24 Maret 1971
(Strasbourg Agreement). Menurut persetujuan Strasbourg, obyek tersebut
dibagi dalam 8 seksi, dan 7 seksi diataranya masih terbagi dalam sub seksi,
sebagai berikut:
Seksi A – Kebutuhan manusia (human necessities)
Sub Seksi – agrarian (agriculture) bahan-bahan makanan dan tembakau
(foodstuffs and tobako);
– bahan-bahan makanan dan tembakau
(foodstuffs and tabaco);
– barang-barang perseorangan dan rumah tangga
(personal and domestic articles);
10
– kesehatan dan hiburan (healt and amusement)
Seksi B – Melaksanakan karya (performing operations)
Sub Seksi – memisahkan dan mencampurkan (separating and mixing);
– Pembentukan (shaping);
– Pencetakan (printing);
– Pengangkutan (transporting);
Seksi C – Kimia dan perlogaman (chemistry and metallurgy)
Sub Seksi – Kimia (chemistry)
– Perlogaman (metallurgy).
Seksi D – Pertekstilan dan perkertasan (textile and paper).
Sub Seksi – pertekstilan dan bahan-bahan yang mudah melentur dan sejenis
(textile and flexible materials and ather-wise provided for)
– perkertasan (paper)
Seksi E – Konstruksi tetap (fixed constructions).
Sub Seksi – pembangunan gedung (building)
– pertambangan (mining)
Seksi F – Permesinan (mechanical engineering)
Sub Seksi – Mesin-mesin dan pompa-pompa (engines and pumps);
– pembuatan mesin pada umumnya (engineering in general);
– penerangan dan pemanasan (lighting and heating).
Seksi G – Fisika (Phisics)
Sub Seksi – intrumentalia (instruments);
– kenukliran (nucleonics).
Seksi H – Perlistrikan (electricity).11
Sesuai dengan kutipan diatas, nampak jelas bahwa cakupan Paten itu begitu
luas, sejalan dengan luasnya cakrawala daya pikir manusia. Kreasi apa saja
yang dilahirkan oleh manusia dapat menjadi obyek Paten sepanjang temuan itu
dalam bidang teknologi dan dapat diterapkan dalam bidang industri termasuk
pengembangannya.
11 R.M. Suryodiningrat, Aneka Hak Milik Perindustrian, Tarsito, Bandung, 1981, hal. 49-50.
11
Dengan demikian pula tidak tertutup kemungkinan obyek paten ini akan
berkembang sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dan
kemampuan intelektual manusia.
2. Subyek Paten
Mengenai subyek Paten pasal 10 Undang-undang Paten No. 14 Tahun 2001
menyebutkan:
(1). Yang berhak memperoleh Paten adalah inventor atau yang menerima lebih
lanjut hak inventor yang bersangkutan.
(2). Jika suatu invensi dihasilkan oleh beberapa orang secara bersama-sama,
hak atas invensi tersebut dimiliki secara bersama-sama oleh para inventor
yang bersangkutan.
Dalam Pasal 11 Undang-undang No. 14 Tahun 2001 disebutkan: “Kecuali
terbukti lain, yang dianggap sebagai inventor adalah seseorang atau beberapa
orang yang untuk pertama kali dinyatakan sebagai inventor dalam
permohonan”.
Selanjutnya dalam Pasal 12 Undang-undang Paten No. 14 Tahun 2001
disebutkan:
(1). Pihak yang berhak memperoleh Paten atas suatu invensi yang dihasilkan
dalam suatu hubungan kerja adalah pihak yang memberikan pekerjaan
tersebut, kecuali diperjanjikan lain.
(2). Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) juga berlaku terhadap
invensi yang dihasilkan baik oleh karyawan maupun pekerja yang
menggunakan data/atau sarana tersedia dalam pekerjaan sekalipun
perjanjian tersebut tidak mengharuskannya untuk menhasilkan invensi.
(3). Inventor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) berhak
mendapatkan imbalan yang layak dengan memperhatikan manfaat ekonomi
yang diperoleh dari invensi tersebut.
(4). Imbalan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat dibayarkan:
12
a. dalam jumlah tertentu dan sekaligus;
b. presentase;
c. gabungan antara jumlah tertentu dan sekaligus dengan hadiah atau bonus;
atau
e. bentuk lain yang disepakati para pihak, yang besarnya ditetapkan oleh
pihak-pihak yang bersangkutan.
(5). Dalam hal tidak terdapat kesesuaian mengenai cara perhitungan dan
penetapan besarnya imbalan, keputusan untuk itu diberikan oleh
Pengadilan Niaga.
(6). Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) sama
sekali tidak menghapuskan hak inventor untuk tetap dicantumkan namanya
dalam Sertifikat Paten.
Dari ketentuan diatas dapat dijelaskan bahwa ketentuan ini memberi penegasan
bahwa hanya inventor, atau yang menerima lebih lanjut hak inventor yang
bersangkutan, yang berhak memperoleh Paten atas invensi yang bersangkutan.
Penerimaan lebih lanjut hak inventor tersebut dapat terjadi karena pewarisan,
hibah, wasiat atau perjanjian, sebagaimana diatur oleh undang-undang ini.
D. Sistem Pendaftaran dan Pengalihan Paten
1. Sistem Pendaftaran Paten
Ada dua sistem pendaftaran Paten yang dikenal di dunia yaitu: sistem registrasi
dan sistem ujian.
Manurut sistem registrasi setiap permohonan pendaftaran Paten diberi Paten
oleh kantor Paten secara otomatis. Spesifikasi dari permohonan tersebut hanya
memuat uraian dan monopoli yang diminta dan tidak diberi penjelasan secara
rinci. Karenanya batas-batas monopili tidak dapat diketahui sampai pada saat
timbul sengketa yang yang dikemukakan di sidang pengadilan yang untuk
pertama kali akan menetapkan luasnya monopoli yang diperbolehkan. Itu pula
13
sebabnya Paten-Paten yang terdaftar menurut sistem registrasi tanpa
penyelidikan dan pemeriksaan lebih dahulu dianggap bernilai rendah atau
Paten-Paten yang memiliki status lemah.
Jumlah negara-negara yang menganut sistem tersebut sedikit sekali, antara lain
Belgia, Afrika Selatan dan Perancis.
Pada mulanya sistem pendaftaran Paten yang banyak dipakai adalah sistem
registrasi, namun karena jumlah permohonan semakin bertambah, maka
beberapa sistem registrasi lambat laun berubah menjadi sistem ujian (examining
sistem). Dengan pertimbangan bahwa Paten seharusnya lebih jelas menyatakan
monopoli yang dituntut dan selayaknya sejauh mungkin monopoli-monopoli
yang tidak dapat dipertanggungjawabkan tidak akan diberi Paten. Sebuah syarat
telah ditetapkan bahwa semua spesifikasi Paten harus meliputi “claim-claim”
yang dengan jelas menerangkan monopoli yang akan dipertahankan, sehingga
pihak lain secara mudah dapat mengetahui mana yang dilarang oleh monopoli
dan mana yang tidak dilarang.
Fungsi kantor-kantor Paten dalam suatu negara dengan sistem ujian adalah
lebih luas daripada dalam negara-negara yang menganut sisten registrasi.
Dengan sistem ujian, seluruh instansi terkait diwajibkan untuk menguji setiap
permohonan pendaftaran dan bila perlu mendesak pemohon agar mengadakan
perubahan (amendement) sebelum hak atas Paten tersebut diberikan. Pada
umumnya ada tiga unsur (kriteria) pokok yang diuji, yaitu:
a. invensi harus memenuhi syarat-syarat untuk diberi hak atas
Paten menurut Undang-Undang Paten,
b. invensi baru harus mengandung sifat kebaruan,
c. invensi harus mengandung unsur menemukan sesuatu yang
bersifat kemajuan (invention step) dari apa yang telah diketahui.
Dalam berbagai literatur ditemukan pula uraian-uraian dan istilah-istilah lain
mengenai sistem pendaftaran Paten yaitu:
14
1. Sistem Konstitutif
Menurut sistem ini, invensi terlebih dahulu diselidiki terutama tentang
langkah inventif serta kebaruannya, kalau ternyata benar barulah kemudian
penemuan itu diberi hak Paten. negara-negara yang menganut sistem ini
mula-mula, Amerika Serikat dan Inggris.
Pada stelsel konstitutif yang menjadi titik beratnya adalah hak atas Paten
diberikan atas dasar pendaftaran setelah melalui tahapan permohonan dan
pemeriksaan. Sistem ini disebut juga sistem ujian (examination sistem).
2. Sistem Deklaratif
Menurut sistem ini praktis semua permintaan Paten yang menenuhi syarat
yang telah ditetapkan dan tidak bertentangan dengan ketertiban umum,
kesusilaan dan undang-undang diberikan hak Paten dengan tidak diselidiki
kebaruan invensi tersebut dan kalau ternyata tidak terdapat unsur kebaruan,
maka ini akan dijadikan alasan pembatalan hak Paten melalui pengadilan.
Jadi semua permohonan Paten diterima. Kalau ada pihak lain keberatan
dapat mengajukan gugatan pengadilan. negara dalam hal ini hanya
“memberi persangkaan atau anggapan” bahwa si pendaftar itu adalah
pemilik hak atas Paten, jika ada pihak lain yang dapat membuktikan
sebaliknya, maka hak yang telah diberikan itu gugur (batal) dan pihak
terakhir yang dapat membuktikan menjadi pemegang hak. negara-negara
yang menganut sistem ini adalah Belgia, Perancis sebelum Perang Dunia II.
Dalam sistem deklaratif pendaftaran hanya memberi dugaan saja menurut
undang-undang bahwa orang yang mendaftarkan Patennya itu adalah orang
yang berhak dari Paten yang didaftarkan. Sedang pada sistem konstitutif,
bahwa hak atas invensi dalam bidang Paten baru terbit karena pendaftaran
yang telah mempunya kekuatan.
15
Pada sistem konstitutif dikenal dua cara sistem pemeriksaan yaitu sistem
pemeriksaan ditunda (defered examination sistem) dan sistem pemeriksaan
langsung (prompt examination sistem).
Undang-Undang Paten No. 14 Tahun 2001 menggunakan sistem pemriksaan
yang ditunda. Pemilihan sistem pemeriksaan ditunda ini karena sistem ini
mengikutsertakan masyarakat dalam proses pemeriksaan Paten dan dapat
dikatakan sistem ini lebih demokratis. Sistem ini melonggarkan tekanan
berupa beban pemeriksaan yang sangat besar pada Kantor Paten.
Adapun syarat-syarat administratif yang harus dipenuhi untuk mengajukan
permintaan Paten dapat dilihat dalam Pasal 24 UU No. 14 Tahun 2001, yang
berbunyi sebagai berikut:
(1) Permohonan diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia kepada
Direktorat Jenderal.
(2) Permohonan harus memuat:
a. tanggal, bulan dan tahun permohonan;
b. alamat lengkap dan alamat jelas pemohon;
c. nama lengkap dan kewarganegaraan inventor;
d. nama dan alamat lengkap kuasa apabila permohonan diajukan
melalui kuasa;
e. surat kuasa khusus, dalam hal permohonan diajukan oleh kuasa;
f. pernyataan permohonan untuk dapat diberi Paten;
g. judul invensi;
h. klaim yang terkandung dalam invensi;
i. deskripsi tentang invensi yang secara lengkap memuat keterangan
tentang cara pelaksanakan invensi;
j. gambar yang disebutkan dalam deskripsi yang diperlukan untuk
memperjelas invensi; dan
k. abstraksi invensi.
(3) Ketentuan lebih lanjut tentang tata cara pengajuan permohonan diatur
dengan Peraturan Pemerintah.
16
2. Pengalihan Paten
Prinsip ideal perlindungan Paten adalah sama dengan perlindungan Hak Atas
Kekayaan Intelektual lainnya sepanjang kesemuanya bermaksud untuk
melindungi seseorang yang menemukan sesuatu agar supaya buah pikiran dan
pekerjaannya tidak dipergunakan begitu saja oleh orang lain dan menikmati
hasilnya dengan melupakan jeri payah mereka yang telah bekerja keras, berpikir
dan mengeluarkan biaya untuk mendapatkannya. Jika dibandingkan antara hak
cipta dengan Paten, perdebatan antara keduanya adalah wujud hak cipta oleh
hukum dalam prinsipnya diakui sejak saat semula, dan hukum hanya mengatur
dalam hal perlindungannya. Sedangkan Paten adalah hak yang diberikan oleh
negara kepada seseorang yang menemukan sesuatu hal (invensi) dalam bidang
teknologi yang dapat diterapkan dalam bidang industri, terhadap satu-satunya
orang (eksklusif) yang menemukannya melalui buah pikiran atau buah
pekerjaan, dan orang lain dilarang mempergunakannya, kecuali atas izinnya.
Oleh karena itu, lahirnya Paten tergantung dari pemberian negara. Dalam hal ini
Wirjono Projodikoro menulis: “Perkataan Oktroi atau Paten berarti juga suatu
privilege, suatu pemberian instimnewa, seolah-oleh hak yang diberikan itu
bukan hak azasi, sedangkan sebetulnya hak ini adalah hak azasi, tidak berbeda
dari hak cipta”.
Dalam pandangannya ini benar jika dilihat dari bentuknya tidak ada perbedaan
yang mendasar antara Paten dengan hak cipta. Sebab dalam Paten terkandung
pula unsur hak cipta. Kedua-duanya mengandung unsur temuan (invensi) yang
semula merujuk pada ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan itu sendiri
dilindungi melalui hak cipta. JIka diklasifikasikan lebih lanjut sebenarnya Paten
itu dapat dikatakan sebagai bagian dari hak cipta atau hak cipta dalam arti
sempit. Tetapi karena hak cipta sudah dibatasi hanya berupa temuan dalam
bidang ilmu pengetahuan, seni, dan sastra dan dibatasi pula hanya sepanjang
untuk mengumumkan atau memperbanyak hak tersebut, maka ada juga
perbedaannya dengan Paten. Paten membatasi dirinya hanya sepanjang
komposisi temuannya, cara serta proses. Misalnya berapa presentase kadar zat-
17
zat kimia tertentu untuk sebuah produk obat batuk dan itu akan
membedakannya dengan obat batuk yang lain. Demikian juga misalnya untuk
satu produk minyak pelumas. Komposisi zat-zat kimia dalam produk Pertamina
dengan merek Mesran (hak merek) itu berbeda dengan minyak pelumas produk
British Petrolium dengan merek BP. Perbedaan pada komposisi itu adalah
Paten. Tetapi perbedaan komposisi tidak dilakukan begitu saja. Itu dilakukan
berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tertentu, melalui penelitian-penelitian.
Temuan penelitian itu adalah hak cipta yaitu berupa temuan dalam bidang ilmu
pengetahuan. Itu sebabnya untuk mengobati berbagai jenis batuk tidak dapat
digunakan untuk semua jenis obat batuk. Batuk kering, batuk berdahak, batuk
disebabkan masuk angina itu berbeda jenis obat batuk yang digunakan,
tergantung pada komposisi zat kimia yang terkandung didalamnya. Oleh karena
itu landasan ilmu pengetahuan untuk satu produk itu adalah hak cipta,
sedangkan komposisi dalam satu produk itu adalah hak Paten, jika kemudian
temuan itu diberi merek, misalnya Laserin, OBB, Benadril maka yang terakhir
ini disebut hak merek. Ini kalau kita ambil contohnya produk obat-obatan. Akan
tetapi Paten juga meliputi invensi bidang teknologi otomotif, pesawat terbang,
peralatan rumah tangga. tekstil, konstruksi dan lain-lain.
3. Lisensi Paten
Dalam praktek permintaan Paten di Indonesia secara kuantitatif dapat dijelaskan
bahwa permintaan Paten hanya sedkit yang berasal dari dalam negeri, selainnya
jumlah terbesar berasal dari luar negeri. Ini menunjukkan bahwa kemampuan
orang Indonesia untuk menghasilkan penemuan baru yang dapat diperoleh hak
Paten belum memperlihatkan angka yang menggembirakan. Dalam hal
demikian, Perjanjian Lisensi menjadi sangat penting artinya. Masuknya Paten
dan lahirnya berbagai perjanjian Lisensi merupakan konsekuensi logis dari
diundangkannya undang-undang paten. Lebih dari itu merupakan bagian dari
globalisasi perekonomian dunia. negara Indonesia yang berambisi menjadi
negara industri sudah seharusnya melakukan perjanjian Lisensi ini semaksimal
mungkin. Dalam UU Paten No. 14 Tahun 2001, Perjanjian Lisensi diatur
dalam Pasal 69 s.d Pasal 73, yakni: pasal 69:
18
(1) Pemegang Paten berhak memberikan Lisensi kepada pihak lain
berdasarkan perjanjian Lisensi untuk melaksanakan perbuatan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 16.
(2) Kecuali jika diperjanjikan lain, lingkup sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) meliputi semua perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16,
berlangsung selama jangka waktu Lisensi diberikan dan berlaku untuk
seluruh wilayah negara Repbublik Indonesia.
Dalam pasal 70 berbunyi: Kecuali diperjanjikan lain, pemegang Paten tetap
boleh melaksanakan sendiri atau memberikan Lisensi kepada pihak ketiga
lainnya untuk melaksanakan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16.
Ketentuan-ketentuan Lisensi akan sangat berperan penting dalam pembangunan
industri selama kemampuan bangsa Indonesia untuk menghasilkan penemuan
baru yang berhak untuk diberikan paten belum memadai. Dalam Pasal 73
disebutkan bahwa Ketentuan lebih lanjut mengenai Perjanjian Lisensi diatur
dengan peraturan Pemerintah. Dalam hal ini timbul pertanyaan: Peraturan
Pemerintah tentang Lisensi yang bagaimanakah yang akan ditetapkan oleh
Pemerintah ? Bagaimanakah perlindungan terhadap pihak-pihak industri dalam
negeri (yang akan menjadi penerima Lisensi) dan konsumennya ?
Bagaimanakah alih teknologi dilaksanakan, dan apakah terdapat sanksi-sanksi ?
Yang jelas peraturan tersebut harus dapat melindungi bangsa Indonesia
yangdalam banyak hal akan bertindak sebagai penerima Lisensi, namun tidak
menghambat pertumbuhan ekonomi bangsa Indonesia dalam persaingannya
dengan bangsa-bangsa lain. Terutama pada era persaingan bebas, pasca GATT
(General Agreement on Tariff and Trade) saat ini karena kecenderungan selama
ini para investor asing memilih negara lain yang lebih menjamin hak atas
temuannya untuk tempat menanam investasinya. Jika segi ini tidak
diperhatikan, justru investasi yang ada sekarang akan mereka larikan ke negara
lain yang lebih memiliki kepastian dalam perlindungan hukum.
Pasal 71 menyatakan:
19
(1) Perjanjian lisensi tidak boleh memuat ketentuan, baik langsung maupun
tidak langsung, yang dapat merugikan perekonomian Indonesia atau memuat
pembatasan dalam menguasai dan mengembangkan teknologi pada
umumnya dan yang berkaitan dengan invensi yang diberi paten tersebut
pada khususnya.
(2) Permohonan pencatatan Lisensi yang memuat ketentuan sebagiman
dimaksud pada ayat (1) harus ditolak oleh Direktorat Jenderal .
Dari Pasal 71 ayat (1), dapat dilihat ada larangan, yaitu:
a. Perjanjian Lisensi yang membawa akibat yang merugikan perekonomian
Indonesia.
b. Perjanjian Lisensi yang dilarang memuat ketentuan pembatasan-pembatasan
yang menghambat kemampuan bangsa Indonesia dalam menguasai dan
mengembangkan teknologi pada umumnya dan yang berkaitan dengan yang
diberi paten tersebut pada khususnya.
Di Jepang, setiap perjanjian Internasional harus memberitahukan Kosei Torihiki
Iinkai/Fair Trade Commisson. Pasal 6 dan 33 UU Anti Monopoli Jepang
mewajibkan pendaftaran lisensi agar dapat diketahui apakah perjanjian tersebut
mengandung monopoli atau tidak. Selain itu dengan mendaftarkan, akan dapat
diketahui bentuk atau macam teknologi serta royalti yang dikeluarkan. Jadi di
Jepang satu badan yang turut berperan dalam pendaftaran perjanjian Lisensi
yaitu sebagai Bank Teknologi.
Dalam Pasal 72 UU Paten No. 14 Tahun 2001, berbunyi:
(1) Perjanjian Lisensi harus dicatat dan diumumkan dengan dikenai biaya.
(2) Dalam hal Perjanjian Lisensi tidak dicatat di Direktorat Jenderal
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Perjanjian Lisensi tersebut tidak
mempunyai akibat hukum terhadap pihak ketiga.
BAB IIIKESIMPULAN DAN SARAN
A. KESIMPULAN
20
Paten adalah hak eksklusif yang diberikan oleh negara kepada Inventor atas hasil
invensinya di bidang teknologi, yang untuk selama waktu tertentu melaksanakan
sendiri invensinya tersebut atau memberikan persetujuannya kepada pihak lain
untuk melaksanakannya.
Paten adalah bagian dari hak kekayaan intelektual, yang termasuk dalam kategori
hak kekayaan perindustrian (Industrial Property Rights). Hak kekayaan intelektual
itu sendiri adalah merupakan bagian dari benda tidak berwujud (benda immateril).
Paten adalah hak yang diberikan terhadap buah pikiran yang dapat diwujudkan
dalam bentuk benda nyata, dan buah pikiran itu yang dapat dilindungi sebagai hak
kekayaan intelektual.
B. SARAN
Berdasarkan uraian di atas maka penulis memberikan saran kepada para inventor
untuk dapat meminta hak paten kepada negara agar setiap temuannya di bidang
teknologi itu dapat lindungi oleh undang-undang, dan agar tidak disalahgunakan
oleh orang-orang yang tidak bertanggungjawab atas temuan yang sudah dilakukan
dengan bersusah payah itu.
DAFTAR PUSTAKA
1. OK. Saidin, Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual, PT
RajaGrafindo, Jakarta, 2003.
21
2. Octrooiwet 1910, Nedeland, S. 1910.
3. W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia,
PN. Balai Pustaka, Jakarta, 1976.
4. UU Perlindungan HAKI, Indonesia Legal Center Publishing,
Jakarta, 2004.
5. Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, Hukum Perdata, Hukum
Benda, Liberty, Yogyakarta, 1981.
6. Mahadi, Hak Milik Immaterial, BPHN, 1985.
7. Republik Indonesia, Lembaran Negara, Tahun 2001 No.
109, Undang-Undang No. 14/2001 tentang Paten.
8. R.M. Suryodiningrat, Aneka Hak Milik Perindustrian,
Tarsito, Bandung, 1981.
22