Paten Sebagai Kekayaan Perindustrian

34
BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG PEMIKIRAN Paten atau oktroi telah ada sejak abad XIV dan XV, contohnya di negara Italia dan Inggris. Tetapi sifat pemberian hak ini pada waktu itu bukan ditujukan atas suatu temuan atau invensi (uitvinding) namun diutamakan untuk menarik para ahli dari luar negeri agar dapat mengembangkan keahliannya. Jadi Paten atau oktroi itu bersifat sebagai semacam “izin menetap” bagi sang inventor atas keahlian dalam bidang tertentu dan ia boleh tinggal menetap. Jadi ada juga kesamaannya dengan penggunaan istilah Paten dewasa ini. Royaltinya, ia boleh tinggal di negara itu dengan perlakuan khusus karena dapat memberikan kontribusi positif bagi kemajuan negeri tersebut. Nanti pada abad XVI diadakan peraturan pemberian hak- hak Paten/oktroi terhadap hasil temuan (uitvinding) yaitu di negara-negara Venesia, Inggris, Belanda, lalu di Jerman, Australia dan lain sebagainya. Dengan perkembangan waktu dan kemajuan teknologi, terutama pada abad XX, pemberian Paten/oktroi bukan lagi suatu hadiah, melainkan pemberian hak atas suatu temuan, seperti yang terjadi di negara-negara Amerika 1

Transcript of Paten Sebagai Kekayaan Perindustrian

Page 1: Paten Sebagai Kekayaan Perindustrian

BAB IPENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG PEMIKIRAN

Paten atau oktroi telah ada sejak abad XIV dan XV, contohnya di negara Italia dan

Inggris. Tetapi sifat pemberian hak ini pada waktu itu bukan ditujukan atas suatu

temuan atau invensi (uitvinding) namun diutamakan untuk menarik para ahli dari

luar negeri agar dapat mengembangkan keahliannya. Jadi Paten atau oktroi itu

bersifat sebagai semacam “izin menetap” bagi sang inventor atas keahlian dalam

bidang tertentu dan ia boleh tinggal menetap. Jadi ada juga kesamaannya dengan

penggunaan istilah Paten dewasa ini. Royaltinya, ia boleh tinggal di negara itu

dengan perlakuan khusus karena dapat memberikan kontribusi positif bagi

kemajuan negeri tersebut.

Nanti pada abad XVI diadakan peraturan pemberian hak-hak Paten/oktroi terhadap

hasil temuan (uitvinding) yaitu di negara-negara Venesia, Inggris, Belanda, lalu di

Jerman, Australia dan lain sebagainya.

Dengan perkembangan waktu dan kemajuan teknologi, terutama pada abad XX,

pemberian Paten/oktroi bukan lagi suatu hadiah, melainkan pemberian hak atas

suatu temuan, seperti yang terjadi di negara-negara Amerika Utara dan Amerika

Selatan. Kemudian di Amerika Serikat terbentuk undang-undang Paten yang tegas

mengubah sifat pemberian hak Paten/oktroi itu. Lalu diikuti oleh negara-negara

seperti Inggris, Perancis, Belanda dan Rusia. Saat ini peraturan perundangan

lembaga Paten hampir meliputi semua negara termasuk kawasan Asia. 1

Di Indonesia pengaturan Paten ini sebelum keluarnya UU No. 6 Tahun 1989 yang

telah diperbaharui dengan UU No. 13 Tahun 1997 dan terakhir dengan UU No. 14

Tahun 2001 tentang Paten adalah berdasarkan Octroiwet 1910 hingga

dikeluarkannya pengumuman Menteri Kehakiman tertanggal 12 Agustus 1953 No.

J.S.5/41/4 tentang pendaftar sementara oktroi, dan Pengumuman Menteri

1 OK. Saidin, Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual, PT RajaGrafindo, Jakarta, 2003, hal. 228.

1

Page 2: Paten Sebagai Kekayaan Perindustrian

Kehakiman tertanggal 19 Oktober 1953 No. J.G.1/2/17 tentang permohonan

sementara oktroi dari luar negeri.

Mengenai pengertian Paten menurut Octroiwet 1910 adalah: “Paten ialah hak

khusus yang diberi kepada seseorang atas permohonannya kepada orang itu yang

menciptakan sebuah produk baru, dari cara kerja baru atau perbaikan baru dari

produk atau dari cara kerja baru”.2

Pengertian Paten menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia yang ditulis oleh

W.J.S. Poerwadarminta, menyebutkan: “Kata Paten berasal dari bahasa Eropa

(Paten/oktroi) yang mempunyai arti suatu surat perniagaan atau izin dari

pemerintah yang menyatakan bahwa orang atau perusahaan oleh membuat barang

pendapatannya sendiri (orang lain tidak boleh membuatnya)”.3

Pengertian Paten dalam pasal 1 angka 1 UU No. 14 Tahun 2001 tentang Paten,

menyebutkan bahwa: ”Paten adalah hak eksklusif yang diberikan oleh negara

kepada Inventor atas hasil invensinya di bidang teknologi, yang untuk selama

waktu tertentu melaksanakan sendiri invensinya tersebut atau memberikan

persetujuannya kepada pihak lain untuk melaksanakannya”.4

Dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa Paten adalah merupakan hak bagi

seseorang yang telah mendapat penemuan baru atau cara kerja baru dan

perbaikannya, yang kesemua istilah itu tercakup dalam satu kata, yakni ‘invensi’

dalam bidang teknologi yang diberikan oleh pemerintah, dan kepada pemegang

haknya diperkenankan untuk menggunakan sendiri atau atas izinnya mengalihkan

penggunaan hak itu kepada orang lain.

B. PERUMUSAN MASALAH

Oleh karena paten merupakan salah satu dari kekayaan intelektual di bidang

perindustrian, juga berdasarkan latar belakang tersebut di atas, penulis

2 Art. 1 Octrooiwet 1910, Nedeland, S. 1910-313.3 W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, PN. Balai Pustaka, Jakarta, 1976 hal. 1012.4 UU Perlindungan HAKI, Indonesia Legal Center Publishing, Jakarta, 2004, hal. 2.

2

Page 3: Paten Sebagai Kekayaan Perindustrian

merumuskan masalah dalam penulisan ini adalah sebagai berikut: Bagaimanakah

Paten itu disebut sebagai kekayaan perindustrian.

C. TUJUAN PENULISAN

Adapun yang menjadi tujuan penulisan adalah:

1. Untuk mengetahui Paten sebagai benda immaterial.

2. Untuk mengetahui Paten adalah sebagai kekayaan perindustrian.

3. Untuk mengetahui Obyek dan subyek dari pada paten.

4. Untuk mengetahui sistem pendaftaran, pengalihan dan lisensi paten.

D. METODE PENULISAN

Metode penulisan yang digunakan dalam karya ilmiah ini adalah metode deskriptif.

Metode deskriptif adalah suatu metode yang digunakan untuk memecahkan

masalah yang ada pada waktu sekarang, dan pelaksanaannya tidak hanya sampai

pada pengumpulan dan penyusunan data, tetapi meliputi analisa dan intepretasi

data itu.

Data yang dipergunakan dalam penulisan ini adalah data sekunder atau data ayang

diperoleh dari hasil penelitian normative. Data-data yang terkumpul kemudian

dianalisis secara kualitatif untuk datang pada kesimpulan yang jelas dan tepat.

3

Page 4: Paten Sebagai Kekayaan Perindustrian

BAB IIPATEN SEBAGAI HAK KEKAYAAN PERINDUSTRIAN

A. Paten Sebagai Benda Immaterial

Paten adalah bagian dari hak kekayaan intelektual, yang termasuk dalam kategori

hak kekayaan perindustrian (Industrial Property Rights). Hak kekayaan intelektual

itu sendiri adalah merupakan bagian dari benda tidak berwujud (benda immateril).

Oleh karena adanya unsur daya cipta yang dikembangkan dari kemampuan berpikir

manusia untuk melahirkan sebuah karya, hingga akhirnya kata ‘intelektual’ itu

harus dilekatkan pada setiap temuan yang berasal dari kreativitas berpikir manusia

tersebut.

Konsekuensi lebih lanjut dari batasan Hak Atas Kekayaan Intelektual ini adalah

terpisahnya antara Hak Atas Kekayaan Intelektual itu sendiri dengan hasil material

yang menjadi bentuk jelmaannya (benda berwujud). Sebagai contoh, Hak Cipta

dalam ilmu pengetahuan (berupa Hak Atas Kekayaan Intelektual) dan hasil

material yang menjadi bentuk jelmaannya adalah buku, begitu pula temuan

(invensi) dalam bidang Paten (bagian Hak Atas Kekayaan Intelektual), dan hasil

benda materi yang menjadi bentuk jelmaan adalah minyak pelumas, misalnya. Jadi

yang dilindungi dalam kerangka Hak Atas Kekayaan Intelektual adalah haknya,

bukan jelmaan dari hak tersebut. Jelmaan dari hak tersebut dilindungi oleh hukum

benda dalam kategori benda materil (benda berwujud).

Dalam Undang-Undang/Hukum Perdata Jerman (1900) digunakan istilah sache

untuk menyebut barang atau benda berwujud. Sedangkan UU Perdata Austria

(1811) kata sache digunakan dalam arti yang sangat luas yaitu segala sesuatu yang

bukan personal dan dipergunakan oleh manusia.5

Dipergunakan istilah zaak dalam KUH Perdata Indonesia dan dipakai tidak hanya

menyebutkan barang yang berwujud saja (misalnya pasal 580), tetapi juga

5 Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, Hukum Perdata, Hukum Benda, Liberty, Yogyakarta, 1981, hal. 13-14.

4

Page 5: Paten Sebagai Kekayaan Perindustrian

dipergunakan untuk menyebutkan benda tidak berwujud yang sering pula

diterjemahkan menjadi hak. Dalam pasal 511 KUH Perdata menyebutkan beberapa

benda tak berwujud, yaitu bunga uang, perutangan dan penagihan sebagai benda

bergerak.

Menurut Prof. Dr. Sri Soedewi Masjchoen Sofwan: “Dalam sistem Hukum

Perdata, KUH Perdata menggunakan kata zaak dalam dua arti. Pertama dalam arti

barang yang berwujud, kedua dalam arti selain dari barang yang berwujud, yaitu

beberapa hak tertentu sebagai barang yang tak berwujud. Jadi pengertian dalam

KUH Perdata ini lebih luas dari pengertian “sache” dalam undang-undang perdata

Jerman. Tetapi lebih sempit daripada zaak dalam undang-undang perdata Austria.

Sebab menurut KUH Perdata Austria tidak semua hak dimasukkan dalam

pengertian zaak. Hak-hak atas barang immateriel (rechten op immateriale

goerderen) tidak termasuk zaak, misalnya hak oktroi (octroirecht), hak cap dagang

(merkentrecht), hak atas karangan (auteursrecht)”.6

Dalam KUH Perdata Indonesia hak-hak yang disebutkan terakhir oleh Prof. Sri

Soedewi itu adalah zaak namun tidak ditempatkan pengaturannya KUH Perdata

Indonesia. Hak-hak itu diatur di luar KUH Perdata sekalipun demikian rumusan

benda menurut Pasal 499 KUH Perdata, yaitu “tiap-tiap hak dan tiap-tiap barang

yang dapat menjadi obyek hak milik.”, sudah cukup alasan untuk menempatkan

HAKI ke dalam sistem hukum benda. Di negeri asal KUH Perdata Indonesia yaitu

Belanda dalam KUH Perdatanya yang baru hak-hak tersebut telah ditempatkan

dalam satu buku pada bab hukum benda.

Dalam kaitan dengan uraian di atas, Prof. Mahadi mengemukakan pandangannya:

“Bahwa buah pikiran, hasil otak manusia (menselijke idean, voortbrengselen van

de menselijke geest) dapat pula menjadi obyek hak absolut”.7

Walaupun buah pikiran bukan merupakan benda material (stoffelijk voorwerp), ia

juga bukan hak subyektif dalam bidang hukum kekayaan (noch een subyektief

vermogensrecht). Jadi ia tidak termasuk ke dalam rumusan benda dalam pasal 499

6 Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, Hukum Perdata, Hukum Benda, Liberty, Yogyakarta, 1981, hal. 14. 7 Mahadi, Hak Milik Immaterial, BPHN, 1985, hal. 4.

5

Page 6: Paten Sebagai Kekayaan Perindustrian

KUH Perdata dan oleh sebab itu pula ia tidak termasuk ke dalam rumusan hak

benda (zakelijk recht). Akan tetapi jika buah pikiran itu dapat diwujudkan dalam

bentuk benda nyata, maka buah pikiran itu dapat dilindungi sebagai hak kekayaan

intelektual, dan dengan demikian tercakup ke dalam pengertian benda menurut

pasal 499 KUH Perdata. Sekalipun Prof. Mahadi mempertanyakan, mengapa

digunakan istilah “Intellectual”, pada benda immaterial itu, sehingga kemudian

dijumpai istilah Intellectual Property Right. Prof. Mahadi mengakui tidak

mendapatkan keterangan lebih rinci mengenai asal-usul, kata atau istilah ini.

Untuk membedakannya dengan barang-barang material menurut pasal 499 KUH

Perdata, maka: Buah pikiran yang menjadi obyek hak absolut dan juga hak atas

buah pikiran dinamakan : Barang immaterial.

Menurut Pitlo sebagaimana diterjemahkan oleh Prof. Mahadi, sebagai berikut:

“Serupa seperti hak tagih, hak immaterial tidak mempunyai benda sebagai obyek.

Juga serupa seperti hak tagih , hak immaterial termasuk ke dalam “hak-hak” yang

disebut pasal 499 KUH Perdata. Oleh sebab itu hak immaterial itu sendiri bukan

benda, tapi hak atas buah pikiran adalah benda, sesuatu penemuan tak dapat kita

gadaikan, tapi hak oktroi dapat.; sero-sero dalam sesuatu Perseroan Terbatas dapat

kita alihkan dengan hak hasil; sero-sero itu dapat digadaikan. Aturan-aturan

tentang penyerahan, tentang penggadaian dan lain-lain hak-hak immaterial,

meskipun terdapat dalam undang-undang khusus, adalah bagian dari hukum benda.

Untuk hal-hal yang tidak diatur oleh Undang-Undang Khusus itu, harus kita

pergunakan aturan-aturan yang dibuat untuk benda”.8

Jadi semakin jelas bahwa jika mengacu pada Pitlo, hak milik intelektual termasuk

dalam cakupan pasal 499 KUH Perdata, ia termasuk benda, tepatnya benda tidak

berwujud.

B. Paten Sebagai Bagian Hak Kekayaan

Perindustrian

8 Mahadi, Hak Milik Immaterial, BPHN, 1985, hal. 4-5.

6

Page 7: Paten Sebagai Kekayaan Perindustrian

Hak kekayaan perindustrian (industrial property rights) merupakan bagaian dari

hak kekayaan intelektual (intellectual property rights). Termasuk ke dalam hak

atas kekayaan industrial ini adalah Paten, Merek, Desain Produk dan lain-lain (lihat

skema Hak Atas Kekayaan Intelektua lberikut ini):

SKEMA HAK ATAS KEKAYAAN INTELEKTUALMateri(Benda Berwujud) → Hak Cipta (Copy Rights)

Hak CiptaBENDA → Hak Yang Bersepadanan Dengan

Hak Cipta atau Hak TerkaitImmaterial HAKI(Benda Tidak → PatentBerwujud) → Utility Models

Hak Atas → Industrial DesaignsKekayaan → Trade SecretsPerindustrian → Trade Marks

→ Service Marks→ Trade Names or Commercial Names→ Appelation of Origin→ Indications of Origin→ Unfair Competition Protection→ New Varietas of Plants Protection→ Integrated Circuits

Paten merupakan suatu hak khusus berdasarkan Undang-Undang diberikan kepada

si pendapat/si penemu atau menurut hukum pihak yang berhak memperolehnya,

atas permintaannya yang diajukannya kepada pihak penguasa bagi temuan baru di

bidang teknologi, perbaikan atas temuan yang sudah ada, cara kerja baru, atau

menemukan suatu perbaikan baru dalam cara kerja, untuk selama jangka waktu

tertentu yang dapat diterapkan dalam bidang industri.

Hak itu bersifat eksklusif sebab inventor yang dapat menghasilkan invensi saja

yang dapat diberikan hak, namun ia dapat melaksanakan sendiri invensinya

tersebut atau memberi persetujuan kepada pihak lain untuk melaksanakannya,

misalnya melalui invensi.

Temuan baru, perbaikan atas temuan yang sudah ada, cara kerja baru atau

menemukan sesuatu perbaikan baru cara kerja, yang kesemuanya disebut invensi

harus mengandung langkah inventif (inventive step), yaitu langkah pemikiran

kreatif yang lebih maju dari hasil penemuan sebelumnya.

7

Page 8: Paten Sebagai Kekayaan Perindustrian

Kelemahan inventor Indonesia terletak pada ketidakmampuannya untuk melakukan

langkah inventif terhadap invensi yang sudah ada sebelumnya. Di Amerika Serikat

dan Jepang di Kantor Paten setiap hari dipenuhi oleh tenaga-tenaga ahli peneliti

untuk memperlajari formula paten yang telah ada dan mereka mencari langkah

inventif untuk dapat dilindungi menjadi paten baru. Jadi tidak mengherankan jika

dalam satu tahun ratusan bahkan ribuan paten baru terdaftar di kantor paten

mereka.9

Unsur teknologi dan industri mendapat tempat yang penting di sini. Invensi itu

haruslah dalam bidang teknologi dan dapat diterapkan dalam aktivitas industri,

baik itu industri otomotif, industri tekstil atau industri pariwisata.

Sebelum melihat lebih jauh tentang paten ini, kita lihat dulu rumusan dalam hukum

positif Indonesia.

Paten dalam UU No. 14 Tahun 2001 tentang Paten, dirumuskan sebagai berikut:

1. Paten adalah hak eksklusif yang diberikan oleh negara kepada Inventor atas

hasil invensinya di bidang teknologi, yang untuk selama waktu tertentu

melaksanakan sendiri invensinya tersebut atau memberikan persetujuannya

kepada pihak lain untuk melaksanakannya.

2. Invensi adalah ide inventor yang dituangkan ke dalam suatu kegiatan

pemecahan masalah yang spesifik di bidang teknologi dapat berupa produk atau

proses, atau penyempurnaan dan pengembangan produk atau proses.

3. Inventor adalah seorang yang secara sendiri atau beberapa orang yang secara

bersama-sama melaksanakan ide yang dituangkan ke dalam kegiatan yang

menghasilkan invensi. 10

Yang dimaksud oleh pembuat undang-undang adalah haknya, yaitu berupa ide

yang lahir dari penemuan tersebut. Jadi bukan hasil dalam bentuk produk material,

9 OK Saidin, Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual, PT RajaGrafindo, Jakarta, 2003, hal. 227.10 Republik Indonesia, Lembaran Negara, Tahun 2001 No. 109, Undang-Undang No. 14/2001 tentang Paten, pasal 1 butir 1 dan 2.

8

Page 9: Paten Sebagai Kekayaan Perindustrian

bukan bendanya. Oleh karena itu, jika yang dimaksudkan itu adalah idenya, maka

pelaksanaan dari ide itu yang kemudian membuahkan hasil dalam bentuk benda

material. Ide itu sendiri adalah benda immateril yang lahir dari proses

intelektualitas manusia.

Karena itu dapat disimpulkan bahwa paten diberikan bagi invensi dalam bidang

teknologi dan teknologi yang pada dasarnya adalah berupa ide (immaterial) yang

dapat diterapkan dalam proses industri.

Teknologi pada dasarnya lahir dari karsa intelektual, sebagai karya intelektual

manusia. Karena kelahirannya telah melibatkan tenaga, waktu dan biaya

(berapapun besarnya misalnya dalam kegiatan penelitian), maka teknologi

memiliki nilai atau suatu yang bernilai ekonomi yang dapat menjadi obyek harta

kekayaan (property). Dalam ilmu hukum yang secara luas dianut oleh bangsa-

bangsa lain, hak atas daya pikir intelektual dalam bidang teknologi tersebut diakui

sebagai hak kekayaan yang sifatnya tidak berwujud. Hak seperti inilah yang

dikenal sebagai hak Paten.

Invensi yang dapat diberi Paten adalah sesuai Pasal 2 UU No. 14 Tahun 2001,

yakni:

(1) Paten diberikan untuk invensi yang baru dan mengandung langkah

inventif serta dapat diterapkan dalam industri.

(2) Suatu Invensi mangandung langkah inventif jika invensi tersebut bagi

seseorang yang mempunyai keahlian tertentu di bidang teknik merupakan hal

yang tidak dapat diduga sebelumnya.

(3) Penilaian bahwa suatu invensi merupakan hal yang tidak dapat diduga

sebelumnya harus dilakukan dengan memperhatikan keahlian yang ada pada

saat Pemohonan diajukan atau yang telah ada pada saat diajukan permohonan

pertama dalam hal Permohonan itu diajukan dengan Hak Prioritas.

Selanjutnya dalam pasal 3 dikatakan bahwa:

(1) Suatu Invensi dianggap baru jika pada Tanggal Penerimaan, invensi tersebut

tidak sama dengan teknologi yang diungkapkan sebelumnya.

9

Page 10: Paten Sebagai Kekayaan Perindustrian

(2) Teknologi yang diungkapkan sebelumnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

adalah teknologi yang telah diumumkan di Indonesia atau di luar Indonesia

dalam suatu tulisan, uraian lisan atau melalui peraga, atau dengan cara lain yang

memungkinkan seorang ahli untuk melaksanakan Invensi tersebut sebelum:

a. Tanggal penerimaan; atau

b. Tanggal prioritas.

(3) Teknologi yang diungkapkan sebelumnya sebagaimana dimaksud pasa ayat (1)

mencakup dokumen Permohonan yang diajukan di Indonesia yang

dipublikasikan pada atau setelah Tanggal Penerimaan yang pemeriksaan

substantifnya sedang dilakukan, tetapi Tanggal Penerimaan tersebut lebih awal

daripada Tanggal Penerimaan atau tanggal prioritas Permohonan.

C. Obyek dan Subyek Paten

1. Obyek Paten

Dalam bukunya ”Aneka Hak Milik Perindustrian”, R.M. Suryodiningrat

menuliskan: Sebagaimana berdasarkan UU Merek 1961 pasal 4 ayat 2 b ada

klasifikasi barang-barang untuk mana merek dipergunakan, maka demi

kepentingan pendaftaran Paten juga diadakan Persetujuan Internasional

Klasifikasi Subyek untuk Paten di Strasbourg tanggal 24 Maret 1971

(Strasbourg Agreement). Menurut persetujuan Strasbourg, obyek tersebut

dibagi dalam 8 seksi, dan 7 seksi diataranya masih terbagi dalam sub seksi,

sebagai berikut:

Seksi A – Kebutuhan manusia (human necessities)

Sub Seksi – agrarian (agriculture) bahan-bahan makanan dan tembakau

(foodstuffs and tobako);

– bahan-bahan makanan dan tembakau

(foodstuffs and tabaco);

– barang-barang perseorangan dan rumah tangga

(personal and domestic articles);

10

Page 11: Paten Sebagai Kekayaan Perindustrian

– kesehatan dan hiburan (healt and amusement)

Seksi B – Melaksanakan karya (performing operations)

Sub Seksi – memisahkan dan mencampurkan (separating and mixing);

– Pembentukan (shaping);

– Pencetakan (printing);

– Pengangkutan (transporting);

Seksi C – Kimia dan perlogaman (chemistry and metallurgy)

Sub Seksi – Kimia (chemistry)

– Perlogaman (metallurgy).

Seksi D – Pertekstilan dan perkertasan (textile and paper).

Sub Seksi – pertekstilan dan bahan-bahan yang mudah melentur dan sejenis

(textile and flexible materials and ather-wise provided for)

– perkertasan (paper)

Seksi E – Konstruksi tetap (fixed constructions).

Sub Seksi – pembangunan gedung (building)

– pertambangan (mining)

Seksi F – Permesinan (mechanical engineering)

Sub Seksi – Mesin-mesin dan pompa-pompa (engines and pumps);

– pembuatan mesin pada umumnya (engineering in general);

– penerangan dan pemanasan (lighting and heating).

Seksi G – Fisika (Phisics)

Sub Seksi – intrumentalia (instruments);

– kenukliran (nucleonics).

Seksi H – Perlistrikan (electricity).11

Sesuai dengan kutipan diatas, nampak jelas bahwa cakupan Paten itu begitu

luas, sejalan dengan luasnya cakrawala daya pikir manusia. Kreasi apa saja

yang dilahirkan oleh manusia dapat menjadi obyek Paten sepanjang temuan itu

dalam bidang teknologi dan dapat diterapkan dalam bidang industri termasuk

pengembangannya.

11 R.M. Suryodiningrat, Aneka Hak Milik Perindustrian, Tarsito, Bandung, 1981, hal. 49-50.

11

Page 12: Paten Sebagai Kekayaan Perindustrian

Dengan demikian pula tidak tertutup kemungkinan obyek paten ini akan

berkembang sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dan

kemampuan intelektual manusia.

2. Subyek Paten

Mengenai subyek Paten pasal 10 Undang-undang Paten No. 14 Tahun 2001

menyebutkan:

(1). Yang berhak memperoleh Paten adalah inventor atau yang menerima lebih

lanjut hak inventor yang bersangkutan.

(2). Jika suatu invensi dihasilkan oleh beberapa orang secara bersama-sama,

hak atas invensi tersebut dimiliki secara bersama-sama oleh para inventor

yang bersangkutan.

Dalam Pasal 11 Undang-undang No. 14 Tahun 2001 disebutkan: “Kecuali

terbukti lain, yang dianggap sebagai inventor adalah seseorang atau beberapa

orang yang untuk pertama kali dinyatakan sebagai inventor dalam

permohonan”.

Selanjutnya dalam Pasal 12 Undang-undang Paten No. 14 Tahun 2001

disebutkan:

(1). Pihak yang berhak memperoleh Paten atas suatu invensi yang dihasilkan

dalam suatu hubungan kerja adalah pihak yang memberikan pekerjaan

tersebut, kecuali diperjanjikan lain.

(2). Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) juga berlaku terhadap

invensi yang dihasilkan baik oleh karyawan maupun pekerja yang

menggunakan data/atau sarana tersedia dalam pekerjaan sekalipun

perjanjian tersebut tidak mengharuskannya untuk menhasilkan invensi.

(3). Inventor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) berhak

mendapatkan imbalan yang layak dengan memperhatikan manfaat ekonomi

yang diperoleh dari invensi tersebut.

(4). Imbalan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat dibayarkan:

12

Page 13: Paten Sebagai Kekayaan Perindustrian

a. dalam jumlah tertentu dan sekaligus;

b. presentase;

c. gabungan antara jumlah tertentu dan sekaligus dengan hadiah atau bonus;

atau

e. bentuk lain yang disepakati para pihak, yang besarnya ditetapkan oleh

pihak-pihak yang bersangkutan.

(5). Dalam hal tidak terdapat kesesuaian mengenai cara perhitungan dan

penetapan besarnya imbalan, keputusan untuk itu diberikan oleh

Pengadilan Niaga.

(6). Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) sama

sekali tidak menghapuskan hak inventor untuk tetap dicantumkan namanya

dalam Sertifikat Paten.

Dari ketentuan diatas dapat dijelaskan bahwa ketentuan ini memberi penegasan

bahwa hanya inventor, atau yang menerima lebih lanjut hak inventor yang

bersangkutan, yang berhak memperoleh Paten atas invensi yang bersangkutan.

Penerimaan lebih lanjut hak inventor tersebut dapat terjadi karena pewarisan,

hibah, wasiat atau perjanjian, sebagaimana diatur oleh undang-undang ini.

D. Sistem Pendaftaran dan Pengalihan Paten

1. Sistem Pendaftaran Paten

Ada dua sistem pendaftaran Paten yang dikenal di dunia yaitu: sistem registrasi

dan sistem ujian.

Manurut sistem registrasi setiap permohonan pendaftaran Paten diberi Paten

oleh kantor Paten secara otomatis. Spesifikasi dari permohonan tersebut hanya

memuat uraian dan monopoli yang diminta dan tidak diberi penjelasan secara

rinci. Karenanya batas-batas monopili tidak dapat diketahui sampai pada saat

timbul sengketa yang yang dikemukakan di sidang pengadilan yang untuk

pertama kali akan menetapkan luasnya monopoli yang diperbolehkan. Itu pula

13

Page 14: Paten Sebagai Kekayaan Perindustrian

sebabnya Paten-Paten yang terdaftar menurut sistem registrasi tanpa

penyelidikan dan pemeriksaan lebih dahulu dianggap bernilai rendah atau

Paten-Paten yang memiliki status lemah.

Jumlah negara-negara yang menganut sistem tersebut sedikit sekali, antara lain

Belgia, Afrika Selatan dan Perancis.

Pada mulanya sistem pendaftaran Paten yang banyak dipakai adalah sistem

registrasi, namun karena jumlah permohonan semakin bertambah, maka

beberapa sistem registrasi lambat laun berubah menjadi sistem ujian (examining

sistem). Dengan pertimbangan bahwa Paten seharusnya lebih jelas menyatakan

monopoli yang dituntut dan selayaknya sejauh mungkin monopoli-monopoli

yang tidak dapat dipertanggungjawabkan tidak akan diberi Paten. Sebuah syarat

telah ditetapkan bahwa semua spesifikasi Paten harus meliputi “claim-claim”

yang dengan jelas menerangkan monopoli yang akan dipertahankan, sehingga

pihak lain secara mudah dapat mengetahui mana yang dilarang oleh monopoli

dan mana yang tidak dilarang.

Fungsi kantor-kantor Paten dalam suatu negara dengan sistem ujian adalah

lebih luas daripada dalam negara-negara yang menganut sisten registrasi.

Dengan sistem ujian, seluruh instansi terkait diwajibkan untuk menguji setiap

permohonan pendaftaran dan bila perlu mendesak pemohon agar mengadakan

perubahan (amendement) sebelum hak atas Paten tersebut diberikan. Pada

umumnya ada tiga unsur (kriteria) pokok yang diuji, yaitu:

a. invensi harus memenuhi syarat-syarat untuk diberi hak atas

Paten menurut Undang-Undang Paten,

b. invensi baru harus mengandung sifat kebaruan,

c. invensi harus mengandung unsur menemukan sesuatu yang

bersifat kemajuan (invention step) dari apa yang telah diketahui.

Dalam berbagai literatur ditemukan pula uraian-uraian dan istilah-istilah lain

mengenai sistem pendaftaran Paten yaitu:

14

Page 15: Paten Sebagai Kekayaan Perindustrian

1. Sistem Konstitutif

Menurut sistem ini, invensi terlebih dahulu diselidiki terutama tentang

langkah inventif serta kebaruannya, kalau ternyata benar barulah kemudian

penemuan itu diberi hak Paten. negara-negara yang menganut sistem ini

mula-mula, Amerika Serikat dan Inggris.

Pada stelsel konstitutif yang menjadi titik beratnya adalah hak atas Paten

diberikan atas dasar pendaftaran setelah melalui tahapan permohonan dan

pemeriksaan. Sistem ini disebut juga sistem ujian (examination sistem).

2. Sistem Deklaratif

Menurut sistem ini praktis semua permintaan Paten yang menenuhi syarat

yang telah ditetapkan dan tidak bertentangan dengan ketertiban umum,

kesusilaan dan undang-undang diberikan hak Paten dengan tidak diselidiki

kebaruan invensi tersebut dan kalau ternyata tidak terdapat unsur kebaruan,

maka ini akan dijadikan alasan pembatalan hak Paten melalui pengadilan.

Jadi semua permohonan Paten diterima. Kalau ada pihak lain keberatan

dapat mengajukan gugatan pengadilan. negara dalam hal ini hanya

“memberi persangkaan atau anggapan” bahwa si pendaftar itu adalah

pemilik hak atas Paten, jika ada pihak lain yang dapat membuktikan

sebaliknya, maka hak yang telah diberikan itu gugur (batal) dan pihak

terakhir yang dapat membuktikan menjadi pemegang hak. negara-negara

yang menganut sistem ini adalah Belgia, Perancis sebelum Perang Dunia II.

Dalam sistem deklaratif pendaftaran hanya memberi dugaan saja menurut

undang-undang bahwa orang yang mendaftarkan Patennya itu adalah orang

yang berhak dari Paten yang didaftarkan. Sedang pada sistem konstitutif,

bahwa hak atas invensi dalam bidang Paten baru terbit karena pendaftaran

yang telah mempunya kekuatan.

15

Page 16: Paten Sebagai Kekayaan Perindustrian

Pada sistem konstitutif dikenal dua cara sistem pemeriksaan yaitu sistem

pemeriksaan ditunda (defered examination sistem) dan sistem pemeriksaan

langsung (prompt examination sistem).

Undang-Undang Paten No. 14 Tahun 2001 menggunakan sistem pemriksaan

yang ditunda. Pemilihan sistem pemeriksaan ditunda ini karena sistem ini

mengikutsertakan masyarakat dalam proses pemeriksaan Paten dan dapat

dikatakan sistem ini lebih demokratis. Sistem ini melonggarkan tekanan

berupa beban pemeriksaan yang sangat besar pada Kantor Paten.

Adapun syarat-syarat administratif yang harus dipenuhi untuk mengajukan

permintaan Paten dapat dilihat dalam Pasal 24 UU No. 14 Tahun 2001, yang

berbunyi sebagai berikut:

(1) Permohonan diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia kepada

Direktorat Jenderal.

(2) Permohonan harus memuat:

a. tanggal, bulan dan tahun permohonan;

b. alamat lengkap dan alamat jelas pemohon;

c. nama lengkap dan kewarganegaraan inventor;

d. nama dan alamat lengkap kuasa apabila permohonan diajukan

melalui kuasa;

e. surat kuasa khusus, dalam hal permohonan diajukan oleh kuasa;

f. pernyataan permohonan untuk dapat diberi Paten;

g. judul invensi;

h. klaim yang terkandung dalam invensi;

i. deskripsi tentang invensi yang secara lengkap memuat keterangan

tentang cara pelaksanakan invensi;

j. gambar yang disebutkan dalam deskripsi yang diperlukan untuk

memperjelas invensi; dan

k. abstraksi invensi.

(3) Ketentuan lebih lanjut tentang tata cara pengajuan permohonan diatur

dengan Peraturan Pemerintah.

16

Page 17: Paten Sebagai Kekayaan Perindustrian

2. Pengalihan Paten

Prinsip ideal perlindungan Paten adalah sama dengan perlindungan Hak Atas

Kekayaan Intelektual lainnya sepanjang kesemuanya bermaksud untuk

melindungi seseorang yang menemukan sesuatu agar supaya buah pikiran dan

pekerjaannya tidak dipergunakan begitu saja oleh orang lain dan menikmati

hasilnya dengan melupakan jeri payah mereka yang telah bekerja keras, berpikir

dan mengeluarkan biaya untuk mendapatkannya. Jika dibandingkan antara hak

cipta dengan Paten, perdebatan antara keduanya adalah wujud hak cipta oleh

hukum dalam prinsipnya diakui sejak saat semula, dan hukum hanya mengatur

dalam hal perlindungannya. Sedangkan Paten adalah hak yang diberikan oleh

negara kepada seseorang yang menemukan sesuatu hal (invensi) dalam bidang

teknologi yang dapat diterapkan dalam bidang industri, terhadap satu-satunya

orang (eksklusif) yang menemukannya melalui buah pikiran atau buah

pekerjaan, dan orang lain dilarang mempergunakannya, kecuali atas izinnya.

Oleh karena itu, lahirnya Paten tergantung dari pemberian negara. Dalam hal ini

Wirjono Projodikoro menulis: “Perkataan Oktroi atau Paten berarti juga suatu

privilege, suatu pemberian instimnewa, seolah-oleh hak yang diberikan itu

bukan hak azasi, sedangkan sebetulnya hak ini adalah hak azasi, tidak berbeda

dari hak cipta”.

Dalam pandangannya ini benar jika dilihat dari bentuknya tidak ada perbedaan

yang mendasar antara Paten dengan hak cipta. Sebab dalam Paten terkandung

pula unsur hak cipta. Kedua-duanya mengandung unsur temuan (invensi) yang

semula merujuk pada ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan itu sendiri

dilindungi melalui hak cipta. JIka diklasifikasikan lebih lanjut sebenarnya Paten

itu dapat dikatakan sebagai bagian dari hak cipta atau hak cipta dalam arti

sempit. Tetapi karena hak cipta sudah dibatasi hanya berupa temuan dalam

bidang ilmu pengetahuan, seni, dan sastra dan dibatasi pula hanya sepanjang

untuk mengumumkan atau memperbanyak hak tersebut, maka ada juga

perbedaannya dengan Paten. Paten membatasi dirinya hanya sepanjang

komposisi temuannya, cara serta proses. Misalnya berapa presentase kadar zat-

17

Page 18: Paten Sebagai Kekayaan Perindustrian

zat kimia tertentu untuk sebuah produk obat batuk dan itu akan

membedakannya dengan obat batuk yang lain. Demikian juga misalnya untuk

satu produk minyak pelumas. Komposisi zat-zat kimia dalam produk Pertamina

dengan merek Mesran (hak merek) itu berbeda dengan minyak pelumas produk

British Petrolium dengan merek BP. Perbedaan pada komposisi itu adalah

Paten. Tetapi perbedaan komposisi tidak dilakukan begitu saja. Itu dilakukan

berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tertentu, melalui penelitian-penelitian.

Temuan penelitian itu adalah hak cipta yaitu berupa temuan dalam bidang ilmu

pengetahuan. Itu sebabnya untuk mengobati berbagai jenis batuk tidak dapat

digunakan untuk semua jenis obat batuk. Batuk kering, batuk berdahak, batuk

disebabkan masuk angina itu berbeda jenis obat batuk yang digunakan,

tergantung pada komposisi zat kimia yang terkandung didalamnya. Oleh karena

itu landasan ilmu pengetahuan untuk satu produk itu adalah hak cipta,

sedangkan komposisi dalam satu produk itu adalah hak Paten, jika kemudian

temuan itu diberi merek, misalnya Laserin, OBB, Benadril maka yang terakhir

ini disebut hak merek. Ini kalau kita ambil contohnya produk obat-obatan. Akan

tetapi Paten juga meliputi invensi bidang teknologi otomotif, pesawat terbang,

peralatan rumah tangga. tekstil, konstruksi dan lain-lain.

3. Lisensi Paten

Dalam praktek permintaan Paten di Indonesia secara kuantitatif dapat dijelaskan

bahwa permintaan Paten hanya sedkit yang berasal dari dalam negeri, selainnya

jumlah terbesar berasal dari luar negeri. Ini menunjukkan bahwa kemampuan

orang Indonesia untuk menghasilkan penemuan baru yang dapat diperoleh hak

Paten belum memperlihatkan angka yang menggembirakan. Dalam hal

demikian, Perjanjian Lisensi menjadi sangat penting artinya. Masuknya Paten

dan lahirnya berbagai perjanjian Lisensi merupakan konsekuensi logis dari

diundangkannya undang-undang paten. Lebih dari itu merupakan bagian dari

globalisasi perekonomian dunia. negara Indonesia yang berambisi menjadi

negara industri sudah seharusnya melakukan perjanjian Lisensi ini semaksimal

mungkin. Dalam UU Paten No. 14 Tahun 2001, Perjanjian Lisensi diatur

dalam Pasal 69 s.d Pasal 73, yakni: pasal 69:

18

Page 19: Paten Sebagai Kekayaan Perindustrian

(1) Pemegang Paten berhak memberikan Lisensi kepada pihak lain

berdasarkan perjanjian Lisensi untuk melaksanakan perbuatan sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 16.

(2) Kecuali jika diperjanjikan lain, lingkup sebagaimana dimaksud pada ayat

(1) meliputi semua perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16,

berlangsung selama jangka waktu Lisensi diberikan dan berlaku untuk

seluruh wilayah negara Repbublik Indonesia.

Dalam pasal 70 berbunyi: Kecuali diperjanjikan lain, pemegang Paten tetap

boleh melaksanakan sendiri atau memberikan Lisensi kepada pihak ketiga

lainnya untuk melaksanakan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16.

Ketentuan-ketentuan Lisensi akan sangat berperan penting dalam pembangunan

industri selama kemampuan bangsa Indonesia untuk menghasilkan penemuan

baru yang berhak untuk diberikan paten belum memadai. Dalam Pasal 73

disebutkan bahwa Ketentuan lebih lanjut mengenai Perjanjian Lisensi diatur

dengan peraturan Pemerintah. Dalam hal ini timbul pertanyaan: Peraturan

Pemerintah tentang Lisensi yang bagaimanakah yang akan ditetapkan oleh

Pemerintah ? Bagaimanakah perlindungan terhadap pihak-pihak industri dalam

negeri (yang akan menjadi penerima Lisensi) dan konsumennya ?

Bagaimanakah alih teknologi dilaksanakan, dan apakah terdapat sanksi-sanksi ?

Yang jelas peraturan tersebut harus dapat melindungi bangsa Indonesia

yangdalam banyak hal akan bertindak sebagai penerima Lisensi, namun tidak

menghambat pertumbuhan ekonomi bangsa Indonesia dalam persaingannya

dengan bangsa-bangsa lain. Terutama pada era persaingan bebas, pasca GATT

(General Agreement on Tariff and Trade) saat ini karena kecenderungan selama

ini para investor asing memilih negara lain yang lebih menjamin hak atas

temuannya untuk tempat menanam investasinya. Jika segi ini tidak

diperhatikan, justru investasi yang ada sekarang akan mereka larikan ke negara

lain yang lebih memiliki kepastian dalam perlindungan hukum.

Pasal 71 menyatakan:

19

Page 20: Paten Sebagai Kekayaan Perindustrian

(1) Perjanjian lisensi tidak boleh memuat ketentuan, baik langsung maupun

tidak langsung, yang dapat merugikan perekonomian Indonesia atau memuat

pembatasan dalam menguasai dan mengembangkan teknologi pada

umumnya dan yang berkaitan dengan invensi yang diberi paten tersebut

pada khususnya.

(2) Permohonan pencatatan Lisensi yang memuat ketentuan sebagiman

dimaksud pada ayat (1) harus ditolak oleh Direktorat Jenderal .

Dari Pasal 71 ayat (1), dapat dilihat ada larangan, yaitu:

a. Perjanjian Lisensi yang membawa akibat yang merugikan perekonomian

Indonesia.

b. Perjanjian Lisensi yang dilarang memuat ketentuan pembatasan-pembatasan

yang menghambat kemampuan bangsa Indonesia dalam menguasai dan

mengembangkan teknologi pada umumnya dan yang berkaitan dengan yang

diberi paten tersebut pada khususnya.

Di Jepang, setiap perjanjian Internasional harus memberitahukan Kosei Torihiki

Iinkai/Fair Trade Commisson. Pasal 6 dan 33 UU Anti Monopoli Jepang

mewajibkan pendaftaran lisensi agar dapat diketahui apakah perjanjian tersebut

mengandung monopoli atau tidak. Selain itu dengan mendaftarkan, akan dapat

diketahui bentuk atau macam teknologi serta royalti yang dikeluarkan. Jadi di

Jepang satu badan yang turut berperan dalam pendaftaran perjanjian Lisensi

yaitu sebagai Bank Teknologi.

Dalam Pasal 72 UU Paten No. 14 Tahun 2001, berbunyi:

(1) Perjanjian Lisensi harus dicatat dan diumumkan dengan dikenai biaya.

(2) Dalam hal Perjanjian Lisensi tidak dicatat di Direktorat Jenderal

sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Perjanjian Lisensi tersebut tidak

mempunyai akibat hukum terhadap pihak ketiga.

BAB IIIKESIMPULAN DAN SARAN

A. KESIMPULAN

20

Page 21: Paten Sebagai Kekayaan Perindustrian

Paten adalah hak eksklusif yang diberikan oleh negara kepada Inventor atas hasil

invensinya di bidang teknologi, yang untuk selama waktu tertentu melaksanakan

sendiri invensinya tersebut atau memberikan persetujuannya kepada pihak lain

untuk melaksanakannya.

Paten adalah bagian dari hak kekayaan intelektual, yang termasuk dalam kategori

hak kekayaan perindustrian (Industrial Property Rights). Hak kekayaan intelektual

itu sendiri adalah merupakan bagian dari benda tidak berwujud (benda immateril).

Paten adalah hak yang diberikan terhadap buah pikiran yang dapat diwujudkan

dalam bentuk benda nyata, dan buah pikiran itu yang dapat dilindungi sebagai hak

kekayaan intelektual.

B. SARAN

Berdasarkan uraian di atas maka penulis memberikan saran kepada para inventor

untuk dapat meminta hak paten kepada negara agar setiap temuannya di bidang

teknologi itu dapat lindungi oleh undang-undang, dan agar tidak disalahgunakan

oleh orang-orang yang tidak bertanggungjawab atas temuan yang sudah dilakukan

dengan bersusah payah itu.

DAFTAR PUSTAKA

1. OK. Saidin, Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual, PT

RajaGrafindo, Jakarta, 2003.

21

Page 22: Paten Sebagai Kekayaan Perindustrian

2. Octrooiwet 1910, Nedeland, S. 1910.

3. W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia,

PN. Balai Pustaka, Jakarta, 1976.

4. UU Perlindungan HAKI, Indonesia Legal Center Publishing,

Jakarta, 2004.

5. Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, Hukum Perdata, Hukum

Benda, Liberty, Yogyakarta, 1981.

6. Mahadi, Hak Milik Immaterial, BPHN, 1985.

7. Republik Indonesia, Lembaran Negara, Tahun 2001 No.

109, Undang-Undang No. 14/2001 tentang Paten.

8. R.M. Suryodiningrat, Aneka Hak Milik Perindustrian,

Tarsito, Bandung, 1981.

22