PASSAPU SA’DAN-TORAJA
Embed Size (px)
Transcript of PASSAPU SA’DAN-TORAJA

422
PROSIDING SEMINAR NASIONAL LP2M UNM - 2019 “Peran Penelitian dalam Menunjang Percepatan Pembangunan Berkelanjutan di Indonesia”
ISBN: 978-623-7496-14-4
PASSAPU SA’DAN-TORAJA
Karta Jayadi dan Dian Cahyadi Universitas Negeri Makassar
Abstrak. Penelitian ini ditujukan mengidentifikasi artefak hasil kebudayaan pada masyarakat dalam lingkup etnis
Bugis-Makassar-Toraja terkait asal-usul, ragam bentuk, ciri khas (alat identifikasi) yang terbentuk dari hasil karsa
produk kebudayaan tak benda. Khususnya pada etnik Sa’dan-Toraja. Identifikasi produk kebudayaan ini ditujukan
untuk membuat batasan-batasan perimeter kebudyaan sebagai penciri. Metode membangun identitas ini ditujukan
sebagai bentuk pertanggungjawaban komunitas adat terhadap bentukan karakter sifat dan sikap anggota komunitas
kebudayaannya terhadap komunitas kebudayaan sekitarnya. Secara sosiologi merupakan bentuk iklusi-eksklusi kebudayaan bagi komunitas-komunitas kebudayaan pada entitas suku/etnis Bugis-Makassar-Toraja. Dimana karakter-
karakter tersebut merupakan pengejewantahaan dari konsepsi nilai-nilai filosofi dan falsafah kebudayaan etnis Bugis-
Makassar-Toraja yang terangkum dalam “Pangadereng”. Tujuan khusus penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi
bentuk ‘Passapu’ pada etnis Sa’dan-Toraja yang dikenal dengan berbagai ragam penamaan dan bentuknya, dengan memaparkan perbedaan-perbedaan dan tinjauan aspek-aspek dan unsur-unsur pembentuknya (Tinjauan
antropologi/Sosiologi Seni) Hasil identifikasi penelitian ini diharapkan akan menjadi materi rujukan keilmuan pada
hasil kebudayaan tak benda suku Makassar.
Kata Kunci: Passapu, Identitas Adat, Kebudayaan Tak Benda, Antropologi/Sosiologi Seni.
Abstract. This study aims to identify artifacts of cultural products in the community within the ethnic scope of Bugis-Makassar-Toraja related to the origin, variety of forms, characteristics (identification tools) formed from the
results of intangible cultural products. Especially in Sa'dan-Toraja ethnicity. The identification of cultural products is
intended to make the perimeter boundaries of culture as a characteristic. This method of constructing identity is
intended as a form of accountability for the indigenous community towards the formation of the character characteristics and attitudes of members of the cultural community towards the surrounding cultural community.
Sociologically it is a form of cultural exclusions for cultural communities in the Bugis-Makassar-Toraja ethnic entity.
Where these characters are manifestations of the conception of philosophical values and cultural philosophies of
Bugis-Makassar-Toraja ethnicity summarized in "Pangadereng". The specific purpose of this study is to identify the form of 'Passapu' in the Sa'dan-Toraja ethnic group, which is known for its various names and forms, by describing
the differences and reviewing the aspects and their constituent elements (Anthropological / Art Sociological Review)
Results identification of this research is expected to be a scientific reference material on the intangible cultural results
of the Makassar tribe.
Keywords: Passapu, Traditional Identity, Intangible Culture, Anthropology / Sociology of Art
PENDAHULUAN
Salah satu kebudayaan Sulawesi Selatan yang
bersifat tradisional dan memiliki keistimewaan
tersendiri adalah busana adat. Di Sulawesi Selatan
terdapat 3 suku bangsa, yaitu suku Bugis,
Makassar, dan Sa’dan-Toraja. Sa’dan_Toraja
merupakan fokus lokasi penelitian ini. Definisi
Sa’dan-Toraja merupakan penyebutan
kewilayahan adat dari kelompok etnis Toraja yang
tersebar di tengah-tengah pulau Sulawesi.
Sebagaimana dikemukakan oleh Noy-Palm;
[Toraja is a collective name for all
people who inhabit the mountains of
Southwest- and Central-Sulawesi. These
mountain dwe11ers, however, exhibit
differences among themselves in
language and culture which formerly
prompted sorting them into West-,
South- and Eastor Central-Toraja. The
name Toraja (without any prefix) is used
by the Buginese and the Makassarese,
and above all by the inhabitants of
Luwu', to denote the Sa'dan-Toraja.
According to Adriani (see N. Adriani
and A. C. Kruyt, De Bare'e sprekende
Toradja, lIl, 1914: 1-2; see also Adriani
1930), the name comes from the
Buginese To-ri-a;a, The People of the
Interior, The People of the Highlands (to
means man or people; it is a contraction
of tau which has the same denotation).]
(Noy-Palm, 1979 )
Penelitian ini fokus untuk meneliti tentang
Passapu dalam lingkungan adat Sa’dan-Toraja.
Passapu merupakan hiasan kepala lelaki Bugis-
Makassar yang popular di gunakan pada kegiatan-
kegiatan seremonial terutama pada kegiatan atraksi
adat di Sulawesi Selatan. Passapu juga disebut
sebagai ‘Patonro’’ di Makassar yang menunjukkan
identitas khas bagi masyarakat etnis Bugis
Makassar selain Songkok Recca/Songkok
Nibiring/Songkok Guru/Songkok To Bone.
Passapu, Patonro’ penyebutan bagi hiasan kepala
yang kebiasaannya diguna pakai oleh lelaki Bugis-

423
PROSIDING SEMINAR NASIONAL LP2M UNM - 2019 “Peran Penelitian dalam Menunjang Percepatan Pembangunan Berkelanjutan di Indonesia”
ISBN: 978-623-7496-14-4
Makassar pada kegiatan-kegiatan resmi bersifat
seremonial tradisi atau kegiatan seremonial adat
istiadat. Masyarakat Bugis-Makassar terdapat
berbagai ragam jenis Passapu yang model dan
bentuknya disesuaikan dengan status atau
kedudukan sosial atau fungsi simbolik penggunaan
Passapu.
Nilai keindahan (aesthetic values) dalam
berbusana tradisi bagi masyarakat merupakan
bagian dari tatakrama. Busana tradisional
memiliki aturan tersendiri dalam pemakaiannya.
Penataan pemakaian busana dilakukan demikian
dengan maksud untuk mengangkat kualitas
kehidupan bermasyarakat. Hal ini didasarkan
karena masyarakat tradisi memiliki pandangan
atau norma dan etika tersendiri dalam berbusana
dan selalu diajarkan setiap keluarga kepada
anak-anaknya. (Suciati, 2008)
Busana tradisional Indonesia umumnya
berasal dari bentuk dasar busana bungkus,
bentuk kutang, bentuk kaftan dan bentuk celana.
Kaftan menurut Arifa (Arifah, 2003, hal. 81)
merupakan busana bagian atas seperti blouse
yang memiliki belahan pada bagian muka,
sedangkan menurut Oxford Advanced Learner’s
Dictionary (Dictionary, 2000, hal. 704) “kaftan
also caf-tan is a long loose piece of clothing,
usually with a belt at the waist, worn by men in
Arab countries, and a woman’s long loose dress
with long wide sleeves”. Salah satu bentuk busana
bungkus yang merupakan milineris adalah tutup
kepala. Milineris merupakan benda-benda yang
melengkapi busana dan berguna langsung bagi
pemakainya, seperti alas kaki, tas, topi, ikat
pinggang, kaus kaki, sarung tangan, selendang atau
kain bahu (scarf, syawl dan stola), sedangkan
aksesoris adalah benda-benda yang menambah
keindahan bagi pemakainya di antaranya cincin
dan gelang, giwang dan anting, serta kalung.
Kedua jenis pelengkap busana ini dipakai
wanita dan pria dengan berbagai bentuk, warna,
model dan tentunya berbagai kesempatan
berbusana. (Suciati, 2008)
Tutup kepala (head cover/Head-Dressed)
merupakan bagian dari kelengkapan berbusana
baik busana tradisional maupun busana moderen.
Secara umum busana tradisional Indonesia untuk
pria menggunakan tutup kepala sebagai salah satu
pelengkap dalam berbusana, baik berbentuk topi
maupun ikat kepala. Tutup kepala yang berbentuk
ikat kepala, merupakan salah satu jenis tutup
kepala yang terbuat dari kain. Tutup kepala di
Indonesia memiliki kekhasan pada setiap daerah
baik dari segi bentuk maupun bahan
pembuatannya.
KAJIAN LITERATUR
Busana Khas
Busana tradisional Indonesia umumnya
berasal dari bentuk dasar busana bungkus,
bentuk kutang, bentuk kaftan dan bentuk celana.
Kaftan menurut Arifa (Arifah, 2003, hal. 81)
merupakan busana bagian atas seperti blouse
yang memiliki belahan pada bagian muka,
sedangkan menurut Oxford Advanced Learner’s
Dictionary (Dictionary, 2000, hal. 704) “kaftan
also caf-tan is a long loose piece of clothing,
usually with a belt at the waist, worn by men in
Arab countries, and a woman’s long loose dress
with long wide sleeves”. Salah satu bentuk busana
bungkus yang merupakan milineris adalah tutup
kepala. Milineris merupakan benda-benda yang
melengkapi busana dan berguna langsung bagi
pemakainya, seperti alas kaki, tas, topi, ikat
pinggang, kaus kaki, sarung tangan, selendang atau
kain bahu (scarf, syawl dan stola), sedangkan
aksesoris adalah benda-benda yang menambah
keindahan bagi pemakainya di antaranya cincin
dan gelang, giwang dan anting, serta kalung.
Kedua jenis pelengkap busana ini dipakai
wanita dan pria dengan berbagai bentuk, warna,
model dan tentunya berbagai kesempatan
berbusana. (Suciati, 2008)
Perkembangan busana tradisional dari waktu
ke waktu selalu mengalami perkembangan
walaupun dapat terjadi secara lambat.
Perkembangan busana tradisional Indonesia tidak
terlepas dari perkembangan trend mode yang
terjadi di masyarakat. Bermacam-macam model,
warna dan jenis tekstil yang digunakan dalam
perkembangan busana tradisional dapat saja terjadi
namun bentuk dasar busana tradisional selalu
tergambar dalam perkembangannya.
Passapu
Secara umum, ‘Passapu’ sebagai salah satu
produk kebudayaan etnis Bugis-Makassar-Toraja.
Bahkan produk artefak sejenis ‘Passapu’ juga juga
dimiliki kebudayaan etnis lainnya di nusantara,
seperti; Jawa, Sunda, Melayu, NTT, NTB, Maluku
dsb, oleh masyarakat nusantara juga disebutkan
dengan perujukan nama pada setiap daerah.
Sesungguhnya terdapat perbedaan secara mendasar
berdasarkan aspek penamaan/penyebutan namun
hampir memiliki kemiripan fungsi pada aspek
simbolisnya.
Passapu atau Pattonro yang lebih dikenal
oleh orang Makassar menjadi ciri identitas yang
sangat dikenal oleh masyarakat Nusantara. Hal ini
disebabkan oleh pencitraan yang kuat melalui figur
sosok pahlawan Nasional yakni Sultan Hasanuddin
yang sangat dikenal dengan penggunaan Pattonro
berwarna merahnya. Pattonro juga menjadi lebih
populer oleh penggunaan seniman-seniman

424
PROSIDING SEMINAR NASIONAL LP2M UNM - 2019 “Peran Penelitian dalam Menunjang Percepatan Pembangunan Berkelanjutan di Indonesia”
ISBN: 978-623-7496-14-4
pertunjukan seni tradisi yang identikal dicitrakan
melalui seni pertunjukan seni Ganrang Bulo,
A’raga, dan seni pertunjukan lainnya. Sehingga
model-model Passapu lainnya tidak begitu
dikenal di khalayak nusantara.
Penyebutan nama Passapu dikenal bagi
masyarakat adat Sa’dan-Toraja yang hingga saat
ini masih lestari penggunaannya di berbagai
kegiatan ritual Aluk yang dilaksanakan oleh
masyarakat Toraja. Passapu kemudian menjadi
piranti busana adat yang mengemuka digunakan
hingga ke acara-acara resmi pemerintahaan seperti
penyambutan tamu penting pemerintahaan yang
melakukan kunjungan di Kabupaten Tana Toraja
dan Kabupaten Toraja Utara.
METODE PNELITIAN
Penelitian ini terkait dengan masalah
kebudayaan dan estetika tentang pakaian adat baju
Bodo. Untuk mendeskripsikan dan menganalisa
“Perbandingan Pakaian Adat Baju Bodo Sulawesi
Selatan”, menggunakan pendekatan kebudayaan,
estetika dan komparatif. Penelitian ini
menggunakan metode kualitatif yang dinyatakan
untuk menghasilkan data deskriptif berupa kata-
kata tertulis ataupun lisan dari orang-orang dalam
perilaku yang dapat diamati (Moleong, 2001, hal.
3).
Pengumpulkan data dilakukan dengan kajian
pustaka, observasi/wawancara langsung dan
dokumentasi. Implikasi dari penelitian ini adalah
sebagai upaya untuk memberikan pemahaman
terhadap pembaca khususnya tentang ragam
Passapu di Sulawesi Selatan. Hasil penelitian ini
juga merekomendasikan agar hasil penelitian ini
ditindaklanjuti oleh akademisi yang tertarik
dengan penelitian sejenis. Hal tersebut
dimaksudkan agar terjadi perkembangan penelitian
kedepannya.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Passapu Sebagai Bagian Busana Tradisional
Busana tradisional sangat sulit mengalami
perubahan karena dipercayai masyarakat sebagai
suatu sistem aturan yang harus dipegang dan
dilestarikan, bahkan telah membentuk pola
perilaku dan menjadi kebiasaan. Menurut Soerjono
Soekanto (1975 : 254-255) seperti dikutif Arifah,
beliau mengemukakan : “Setiap pola masyarakat
membentuk adat atau kebiasaan yang merupakan
pola-pola perilaku bagi anggota masyarakat dalam
memenuhi kebutuhankebutuhan pokoknya… adat
atau kebiasaan yang mencakup bidang …. cara-
cara berpakaian yang tertentu telah terbiasa
sedemikian rupa sehingga sukar untuk diubah”.
(Arifah, 2003)
Perubahan sosial yang terjadi membawa
perubahan pada seluruh segi kehidupan, maka
muncullah masyarakat terorganisir dengan segala
bentuk peraturan. Ikatan kerjasama kemudian
menciptakan pembagian kerja dan pada akhirnya
timbul kepandaian tertentu seperti membuat
kerajinan tangan sebagai perhiasan seperti gelang
dan kalung, menenun pakaian dari bahan tekstil
dan membuat periuk belanga.
Ketentuan atau tata cara berbusana pada
masyarakat Sulawesi Selatan telah diatur dalam
sebuah kitab suci yaitu Patuntung atau tuntunan
yang merupakan pedoman dalam menjalankan
kaidah kerohanian. Selain itu kitab suci tersebut
berisi mantera untuk pengobatan, mandi dan
pernikahan. Kitab suci tersebut berasal dari
warisan kepercayaan asli yaitu animisme dan
dinamisme sebagai sistem religi dan agama serta
kepercayan yang benar yang terbagi ke dalam
Toani Tolotang (Sidrap), Patuntung (Kajang) dan
Aluk Todolo (Sa’dan-Toraja).
Adaptasi ekonomi juga memperlihatkan
perbedaan, seperti semi nomaden yang berpindah-
pindah, menanam padi, nelayan, pedagang dan
industri rumah tangga. Struktur masyarakat
ditandai oleh adanya perbedaan secara vertikal
antara lapisan atas dan lapisan bawah yang cukup
tajam, sedang struktur politik tradisional terdapat
mulai dari anak suku sampai pada kerajaan.
Namun demikian masyarakat mengembangkan
kepercayaan bahwa mereka berasal dari satu
keturunan yaitu dari Dinasti Sawerigading yang
didukung mitos yang hidup dalam masyarakat.
Busana dikembangkan manusia bukan
semata-mata terdorong kebutuhan biologis untuk
melindungi tubuh, tetapi juga terdorong oleh
kebutuhan budaya. Seandainya budaya itu
dikembangkan oleh manusia hanya terdorong oleh
kebutuhan biologis saja maka wujud dan ragamnya
tidak sebanyak sekarang ini. Busana juga
dikembangkan untuk memenuhi kebutuhan
budaya, adat istiadat serta pandangan hidup yang
beragam.
Busana tradisional dapat menunjukkan
tingkatan budaya masyarakat diwilayah tertentu.
Busana adat hanya dipakai pada hari-hari tertentu
atau upacara-upacara adat, karena umumnya
kurang praktis, seperti yang dikemukakan
Soekanto, (1975, hal. 250) “….., orang-orang
Indonesia dewasa ini, pada umumnya memakai
pakaian yang bercorak Barat,….. karena lebih
praktis. Jarang yang memakai pakaian tradisional,
kecuali pada kesempatan-kesempatan tertentu”.
Busana tidak dapat melepaskan diri dari estetika,
karena manusia pada umumnya senang melihat
sesuatu yang serasi dan indah. Untuk
berpenampilan serasi dan indah dibutuhkan
penerapan nilai-nilai estetis dalam berbusana.
(Hariana, 2010)

425
PROSIDING SEMINAR NASIONAL LP2M UNM - 2019 “Peran Penelitian dalam Menunjang Percepatan Pembangunan Berkelanjutan di Indonesia”
ISBN: 978-623-7496-14-4
Menurut Sachari, Budaya Rupa, (2005, hal.
119) bahwa: Pendekatan estetik dapat dilakukan
atas dua sisi, (1) Pendekatan melalui filsafat seni
dan (2) Pendekatan melalui kritik seni. Dalam
kajian filsafat seni, objek desain dapat diamati
sebagai sesuatu yang mengandung makna
simbolik, makna sosial, makna budaya, makna
keindahan, makna ekonomi, makna penyadaran,
ataupun makna religius. Sedangkan dalam kajian
kritik seni, objek amatan cenderung diamati
sebagai objek yang mengandung dimensi kritis,
seperti dinamika gaya, teknik pengungkapan, tema
berkarya, ideologi estetik, pengaruh terhadap gaya
hidup, hubungan dengan perilaku, dan berbagai hal
yang sementara ini memiliki dampak terhadap
lingkungannya. (Hariana, 2010)
Budaya merupakan suatu kebiasaan yang
mengandung nilai-nilai yang fundamental yang
diwariskan dari generasi ke generasi. Warisan
tersebut harus dijaga agar tidak luntur atau hilang
sehingga dapat dipelajari dan dilestarikan oleh
generasi berikutnya. Budaya tersebut dari banyak
unsur yang rumit, termasuk sistem agama dan
politik, adat istiadat, dan lain sebagainya. Budaya
adalah suatu pola hidup menyeluruh. Budaya
bersifat abstrak dan luas, banyak kegiatan sosial.
Dalam adat kebudayaan tersebut terdapat
juga hal-hal yang berkaitan dengan hukum. Adat
istiadat merupakan salah satu perekat sosial dalam
kehidupan berbangsa, khususnya dalam kehidupan
masyarakat yang heterogen. Indonesia terdiri atas
suku bangsa dengan adat istiadat masing-masing
yang berusaha dipadukan dalam konsep Negara
“Bhineka Tunggal Ika”, yaitu konsep kesatuan
dalam keanekaragaman.
Beberapa suku dengan poulasi terbesar
seperti suku Jawa, Sunda, Bali, Minangkabau,
Melayu, Deli, Ambon, Aceh, Papua, Bugis,
Makassar dan berpuluh-puluh dengan populasi
relative kecil lainnya, telah dikenal adat istiadatnya
yang spesifik dengan karakternya masing-masing.
Sistem pelaksanaan adat yang berbeda antara satu
suku kekayaan budaya bangsa tak ternilai dan
patut untuk dipertahankan sebagai bagian dari
sistem budaya nasional.
Kedudukan Passapu bagi Masyarakat Sa’dan-
Toraja
Suku Bugis, Makassar, dan Toraja
merupakan tiga suku utama yang mendiami
Sulawesi Selatan. Selain itu terdapat juga suku
kecil dan masyarakat lokal dengan bahasa dan
dialeknya masing-masing (diluar empat bahasa
daerah utama) yaitu Massenrenpulu (Enrekang),
Selayar, Luwu, Kajang dan Balangnipa. Suku
tersebut kecuali suku Toraja yang mayoritas
Kristen dan masih kuat menganut adat
“Alu’Tolodo” yaitu adat turun temurun yang
cenderung animisme, maka hampir semua suku
lainnya menganut Agama Islam. Di daerah
pedesaan terdapat beberapa kelompok masyarakat
yang masih memegang tradisi yang ditinggalkan
oleh para leluhurnya. (Rahman, 2016)
Etnis/suku Bugis-Makassar-Toraja-Mandar
merupakan entitas pembentuk kebudayaan di
Sulawesi Selatan di samping entitas etnis
pendatang lainnya seperti Melayu, Arab, Jawa
yang menambah warna homogen pada kebudayaan
Sulawesi Selatan saat ini. Ke-empatnya memiliki
kaitan kekerabatan sangat erat dan saling
mempengaruhi aspek produk kebudayaan setiap
sukunya. Terkhusus hubungan relasi
kekerabatannya dengan suku Bugis yang sangat
lebur, sehingga secara umum (nasional) banyak
yang belum menyadari perbedaan keduanya.
Makassar termasuk dalam rumpun deutro-melayu.
Selain etnis Bugis, Mandar, dan Sa’dan-Toraja,
etnis Bugis-Makassar-Sa’dan-
Toraja merupakan kelompok etnik dengan wilayah
asal Sulawesi Selatan. Penciri utama kelompok
etnik ini adalah bahasa dan adat-istiadat, sehingga
pendatang-pendatang Melayu dan Minangkabau
yang pergi merantau ke Sulawesi (Kerajaan Gowa-
Tallo sejak abad ke-15 sebagai tenaga administrasi
dan pedagang, dimana entitas etnis tersebut telah
terakulturasi, juga dikategorikan sebagai orang
Bugis. (PaEni, 2008)
Begitu pula dalam entitas etnis Sa’dan Toraja
itu sendiri yang terbangun dari relasi-relasi
kekerabatan antar sub-entitas yang kemudian
mengkoloni membentuk rangkuman entitas yang
kemudian dikenal sebagai etnis Sa’dan-Toraja.
Entitas etnis ini membangun sistem dalam
komunitasnya dengan membangun struktur sistim
strata yang tentunya memiliki pengaruh pada
kebudayaannya. Struktur dan stratifikasi sosial
yang berlaku di masyarakat Sa’dan-Toraja
biasanya berdasarkan garis keturunan, kekayaan,
usia, dan pekerjaan.
Sebelumnya, khususnya pada masa pra-
kolonial, ada tiga strata sosial pada masyarakat
Toraja yakni, aristokrat (puang atau parengnge),
orang biasa/awam (to buda), dan budak (kaunan).
Status yang ditentukan oleh kelahiran, meski
sebenarnya seseorang itu sukses secara finansial
atau bahkan gagal beberapa orang diperbolehkan
menerobos rintangan sosial ini. Ini tentu saja
berbeda dengan sistem dan struktur sosial pada
masyarakat modern saat ini. Tetapi pada umumnya
dalam masyarakat suku toraja dikenal ada empat
strata sosial yang disebut Tana’, strata yang
dimaksud antara lain:
a. Tana’ Bulawan : lapisan sosial golongan
bangsawan tinggi.
b. Tana’ Bassi : lapisan sosial golongan
bangsawan menengah.

426
PROSIDING SEMINAR NASIONAL LP2M UNM - 2019 “Peran Penelitian dalam Menunjang Percepatan Pembangunan Berkelanjutan di Indonesia”
ISBN: 978-623-7496-14-4
c. Tana’ Karurung : lapisan sosial
golongan rakyat biasa/rakyat merdeka.
d. Tana’ Kua-kua : lapisan sosial
golongan hamba/budak. \
Sementara secara fungsional, klasifikasi
kepemimpinan dalam masyarakat Toraja adalah
sebagai berikut:
a. Toparengnge’: Kelompok ini berfungsi
sebagai penasehat dan pemelihara
keyakinan Aluk Todolo. Di setiap desa
memiliki 4 sampai 8 orang toparengnge’
b. Tobara’: Kelompok ini adalah asisten
Toparengnge’. Fungsi mereka adalah
memelihara kebiasaan (adat) dan tradisi
lama keyakinan Aluk Todolo. Biasanya
mereka terdiri dari 2 orang atau bahkan
lebih di setiap desa.
c. Tominaa: Kelompok ini adalah pemimpin
adat dan agama. Mereka pemimpin setiap
upacara-upacara adat dan acara kematian,
dan pesta syukuran. Mereka tidak
menerima bayaran atas kewajiban
mereka. Mereka juga termasuk orang
yang rendah hati.
d. Ambe’ tondok: Kelas ini adalah
pemimpin kampung. Seorang Ambe’
Tondok bisa juga dipilih sebagai kepala
kampung. Ambe’ Tondok dipilih oleh para
pemimpin sosial informal. Mereka terdiri
dari beberapa orang di suatu kampug.
e. Tobulo dia’pa: Kelas ini merupakan kelas
terendah dalam masyarakat Toraja secara
fungsional. Mereka tidak memiliki hak
atau kekuasaan, tetapi pada saat
bersamaan mereka diwajibkan
melaksanakan praktek ajaran Aluk Todolo
dan menaati perintah keempat kelas di
atas.
Sistem sosial yang berkembang di Sa’dan-
Toraja turut mempengaruhi tipe kepemimpinan
dan otoritas tradisional di daerah ini. Bahkan
sampai kini otoritas tradisonal ini coba
dipertahankan dengan berbagai cara. Misalnya
dengan berafiliasi kepada organisasi sosial
tertentu, mempertegas kembali fungsi-fungsi adat,
dan bahkan pengembalian fungsi lembang seperti
sebelumnya. (Lambe’, 2013)
Fokus kajian ini adalah untuk menggali dan
menemu-kenali identitas-identitas pembentuk
kebudayaan Passapu pada etnis Sa’dan-Toraja,
yakni ‘Passapu’ sebagai salah satu produk artefak
hasil kebudayaan. Secara umum, ‘Passapu’
sebagai salah satu produk kebudayaan etnis
Sa’dan-Toraja sangat dikenal luas dengan
kekhasan bentuknya. Hal ini terekam hingga saat
ini melalui ragam aktivitas ritual Aluk To Dolo
yang terus dilestarikan hingga saat ini.
Di Sulawesi Selatan, selain di Sa’dan-Toraja,
penggunaan Passapu atau Pattonro yang juga
lebih dikenal umum tetap dilestarikan oleh orang
Makassar, dan Kajang selain Sa’dan-Toraja dan
menjadi ciri identitas yang dikenal luas oleh
masyarakat Nusantara. Hal ini disebabkan oleh
pencitraan yang kuat melalui figur sosok pahlawan
Nasional yakni Sultan Hasanuddin. Juga populer
digunakan oleh seniman-seniman pertunjukan seni
tradisi yang identikal dicitrakan melalui seni
pertunjukan seni.
Gambar 1. Passapu Randanan, khas Sa’dan-
Balusu, Toraja Utara. Presiden ke-6 RI Soesilo
Bambang Yoedoyono dan Presiden ke-7 RI Joko
Widodo dianugerahkan Passapu Randanan
sebagai Tokoh Pemangku Adat Kehormatan
Tertinggi adat Sa’dan-Toraja.
Sesungguhnya Passapu dalam tradisi
penggunaannya bagi masyarakat adat di Sa’dan-
Toraja sangat sarat dengan makna dan
perlambangan, baik personafikasi pribadi hingga
terkait perlambangan strata dalam kebudayaan
aslinya yang di atur dalam Aluk Pamali (ajaran
tentang aturan dan batasan-batasan tuntunan
hidup).
Hilangnya pengetahuan terkait Passapu di
Sulawesi Selatan sendiri menjadi kabur dan
tergeser oleh wujud kebudayaan lainnya yang
kemudian mewarnai kebudayaan di Sulawesi
Selatan sejak memasuki abad modern. Hal ini
terkait dengan ciri manusia Bugis-Makassar yang
dikenal sangat dinamis dan homogen terhadap
perubahan dan perkembangan jaman. Sehingga
tradisi menggunakan Passapu kemudian menjadi

427
PROSIDING SEMINAR NASIONAL LP2M UNM - 2019 “Peran Penelitian dalam Menunjang Percepatan Pembangunan Berkelanjutan di Indonesia”
ISBN: 978-623-7496-14-4
langka dan cenderung hilang dari aspek filosofi
dan falsafahnya. Hal ini tentu saja berdampak
tercerabutnya akar jati diri warisan kebudayaan
asli masyarakat di Sulawesi Selatan.
Passapu bagi masyarakat adat di Sa’dan-
Toraja memiliki kedudukan yang sangat vital
terhadap setiap individu dalam komunitas adatnya.
Sangat sarat dengan fungsi perlambangan dan
fungsi filosofis. Kedudukan seseorang dapat
terlihat dari aksesoris yang digunakannya dalam
pelaksanaan Aluk dan dikehidupan sehari-hari.
Sebagaimana dikatakan oleh Margaretha Dani
Bulo Pong Labba (95); “...Ten ia komi disanga to
batik tandi sapui ulunna” artinya “...anda tidak
akan dikenali sebagai keturunan bangsawan jika
tidak menutupi kepala”. Lebih lanjut “...saba
disanga nasang komi to batik lako manarang na
kina’a” artinya “...sebab itulah kalian dikatakan
sebagai seorang keturunan bangsawan tak lain
pandai nan bijaksana”, “...pa’sapu ri pallawanna
gau siturusan” artinya “...passapu menjadi pagar
(fungsi kontrol) segala perbuatan”. Pernyataan
M.D. Bulo Pong Labba sebagai salah seorang
keturunan penguasa adat tertinggi dalam
lingkungan adat Aluk Sanda Pitunna-Tallu
Loloqna-Appa O’toqna di Sa’dan-Balusu diperkuat
dengan pernyataan ibu Beatrix Bulo Pong Labba
(87) selaku budayawati kebudayaan Sa’dan-
Toraja, bahwa “kedudukan seorang bangsawan
mestilah senantiasa terjaga segala tindak
tanduknya, Passapu adalah salah satu bentuk
pagar dirinya sebagai pengingat dan kontrol diri
dihadapan Aluk yang dijadikan panduan hidup.
Passapu sebagai bagian tak terpisahkan
dalam tatanan berbusana di Sa’dan-Toraja
digunakan sehari-hari
Ornamen Motif Passapu Sa’dan-Toraja
Passapu bagi masyarakat Sa’dan Toraja adalah
identitas yang hingga saat ini masih lestari
digunakan dengan fungsi dan tujuan simbolik.
Passapu Sa’dan Toraja menggunakan kain persegi
empat dengan panjang sedepa (dari ujung jari
kanan melintang hingga bahu sebelah kiri).
Menggunakan kain batik khas Sa’dan-Toraja
yang umum disebut kain Ma’a/Mawa, ditengahnya
terdapat bahagian putih/kuning berbentuk persegi
sebagai pusat. Motif kain Ma’a/Mawa Passapu
memiliki motif;
a. Pa’ Todi, motif ini dipakai pada bentuk
Passapu Kapuangan/Sanrima, Randanan,
Tallu Siloloq, Pa’lindo Para dan Pa’sossoran
Renge’. Di tengah Passapu terdapat warna
putih polos persegi empat. Jika dilipat warna
putih tersebut di letakkan pada bagian depan
(dahi). Bermakna filosofi bahwa pemakainya
merupakan pemimpin, penata adat, pengurus
adat yang diharapkan dapat memikirkan dan
mempertimbangkan dengan bijaksana segala
keputusan dan arahan hidup (Pa’tanggaran
melo)
b. Pa’Tombang; motif ini dipakai pada bentuk
Passapu Pekapuangan/Pangngulu Kada, dan
Pattalo/Pattala. Di tengah Passapu terdapat
warna putih polos persegi empat. Jika dilipat
warna putih tersebut di letakkan pada bagian
belakang. Bermakna filosofi bahwa
pemakainya diharapkan dapat menjadi
pengayom, suri teladan, senantiasa
memikirkan dan mempertimbangkan orang-
orang dibelakang mereka dengan bijaksana
segala keputusan dan arahan hidup
(Pa’tanggaran melo)
c. Motif kain Ma’a/Mawa biasa tanpa persegi
putih di tengah boleh digunakan untuk seluruh
kalangan dengan model Pa’lindo Para,
Pa’lindo Banua, Pattali, dan sabagainya.
Model-Model Passapu Sa’dan-Toraja.
Penggunaan model Passapu digunakan
berdasarkan fungsi simbolik, seperti berikut di
bawah ini;
a. Passapu Pantiti’/Kadeataan, model Passapu
ini sudah tidak eksis lagi saat ini atau sudah
sangat jarang digunakan. Umumnya
penggunaan simbolisasinya yang umum
digunakan saat ini digunakan oleh wanita
yakni dengan penggunaan Pa’sapi’/Manik
Tata. Namun untuk mengetahui bentuknya
dapat dilihat dari bentuk pada Panggulu
Gayang Bulawan Manurung atau grip keris-
keris emas pusaka di tiap-tiap Tongkonan.

428
PROSIDING SEMINAR NASIONAL LP2M UNM - 2019 “Peran Penelitian dalam Menunjang Percepatan Pembangunan Berkelanjutan di Indonesia”
ISBN: 978-623-7496-14-4
Gambar 2. Gambaran Passapu
Pantiti’/Kadeataan tercermin dari bentuk
yang terdapat pada hulu gayaman Gayang
Bula’an (Pusaka-Pusaka Keris Emas)
yang menjadi simbol kebangsawanan
tertinggi di Toraja yang umumnya
diwarisi oleh Tongkonan-Tongkonan
Sokkong Bayu dan Tongkonan-
Tongkonan Layuk di Sa’dan-Toraja.
Sumber: Ganjawulung, 2007, diakses
12/10/2019.
http://www.vikingsword.com/vb/showthr
ead.php?t=12969&page=2
Muh. Saleh Husain, 2019 (Kanan)
Simbolisme penggunaan Pa’sapi’ tidak hanya diperuntukan oleh wanita sebagai pelengkap busana adat Sa’dan-Toraja, juga digunakan oleh kaum laki-laki bangsawan tinggi. Termasuk penggunaan Sokkong Bayu. Sebagaimana pada gambar di bawah ini penggunaan Pa’sapi’ sebagai simbol wanita bangsawan tertinggi di Sa’dan-Toraja yang diatur berdasarkan derajat kebangsawanan.
Perbedaan antara laki-laki dan wanita hanya pada
penggunaan Passapu saja yang tidak digunakan
oleh wanita. Untuk wanita dibuatkan dari anyaman
menyerupai songkok dan pada bagian belakang
dibuat anyaman berbentuk segitiga menyerupai
muka rumah tongkonan (bentuk ini lazim
digunakan oleh penari-penari saat ini.
Adapun gambaran bentuk tersebut dapat
dilihat pada gambar berikut dibawah ini.
Gambar 3. Jenis Pa’sapu
Pantiti’/Kadeataan (To
Manurung/Manurunnge) yang
menggunakan simbolisme Pa’sapi’ yang
diikatkan melingkar di Sokko Ulu yang
digunakan oleh wanita (kiri-tengah) dan
pada Passapu yang digunakan oleh laki-
laki bangsawan keturunan To
Manurung/Manurunnge (ilustrasi tengah
dan kanan). Ilustrasi Passapu Pantiti’
yang dulu digunakan di Kapuangan
Sa’dan (kiri bawah) dan Kapuangan
Balusu (tengah bawah). Penggunaan
Passapu Pantiti’ yang diaplikasikan pada
Tau-Tau pada salah satu keturunan di
wilayah Kapuangan Sa’dan (To’ Nangka)
dengan dua susun Pa’sapi’ pada lilitan
Passapu Parengngenya.(Kanan bawah)
Sumber: Pia Sa’dan (kiri dan tengah atas),
Dian Cahyadi (ilustrasi tengah atas, kiri
bawah dan tengah bawah) Wilcox, 1949-
49 (kanan bawah)
b. Passapu Kapuangan/Sanrima, model
Passapu ini serupa dengan Passapu model
Pa’tallu Siloloq dengan ketiga ujung kain
tegak berdiri perbedaan hanya pada Passapu
Kapuangan/Sanrima dilengkapi dengan
penggunaan Pa’sapi’ sebanyak 1 hingga 3
susun sebagai simbolisme bangsawan
tertinggi dan memegang jabatan adat tertinggi
pula. Passapu jenis ini hanya digunakan oleh
para keturunan pewaris adat Aluk Sanda Pitu.
Untuk penggunaan khusus pada kegiatan
ritual-ritual atau seremoni, menggunakan
aksesoris Pa’sapi’ sebanyak tiga susun.
Pa’sapi’ digunakan sebagai simbol “Tata”
atau pranata kepemimpinan dan

429
PROSIDING SEMINAR NASIONAL LP2M UNM - 2019 “Peran Penelitian dalam Menunjang Percepatan Pembangunan Berkelanjutan di Indonesia”
ISBN: 978-623-7496-14-4
kebangsawanan tinggi (Sanrima). Namun
untuk penggunaan sehari-hari Beberapa
pendapat juga mengatakan hanya boleh
digunakan oleh keturunan To Manurung
maupun garis Manurung. Namun dalam
praktiknya sangat sedikit yang menggunakan
Passapu jenis ini. Termasuk dari kalangan
keturunan To Manurung pewaris ”Aluk Tallu
Loloqna – Appa O’toqna” saat ini.
(Wawancara: Ibu Beatrix Bulo, Desember
2006).
Gambar 4. Passapu Kapuangan/Sanrima.
c. Passapu Randanan, model Passapu ini hanya
digunakan oleh pemimpin masyarakat adat
penganut Aluk Sanda Pituna (baca: Toraja
Utara saat ini). Menyerupai Passapu Tallu
Siloloq/Lolokna, namun ujung tertinggi pada
bagian tengah ditappikan/ditekuk kebelakang
dan diselipkan masuk sehingga membentuk
lengkungan menyerupai atap Tongkonan.
Sehingga terlihat empat puncak atau ujung
kain menghadap/menjulang ke atas. Kain
Ma’a (batik) yang digunakan adalah dengan
kain yang memiliki bidang kosong berbentuk
segi empat pada bagian tengah. Umumnya
berwarna putih, kuning, merah). Ornamen
sesuai Tongkonan pemakai. Umumnya
menggunakan ornamen corak Pa’Barana,
Pa’bare Allo, Pa’Kapu Baka, Pa’To
Rongkong, Pa’Karua..(Wawancara: Ibu
Beatrix Bulo, Desember 2006)
Gambar 5. Passapu Randanan, khas
Sa’dan-Balusu, Toraja Utara. Presiden ke-
6 RI Soesilo Bambang Yoedoyono (kiri)
dan Presiden ke-7 RI Joko Widodo
(kanan) dianugerahkan Passapu
Randanan sebagai Tokoh Pemangku
Adat Kehormatan Tertinggi adat Sa’dan-
Toraja.
Ilustrasi arah tiga ujung kain Passapu
Randanan (tengah bawah)
Para pejabat tinggi menggunakan
Passapu Randanan (bawah)
Sumber: dari berbagai sumber daring.
Gambar 6. Keturunan
penguasa/bangsawan tinggi menggunakan
model Passapu Randanan dengan balutan
Pa’Sapi’ di kedua lengan pada acara
Rambu Soloq di Tongkonan To’ Barana’.
Sumber: https://gramho.com/ (kiri)
d. Passapu Pa’tallu Siloloq, bentuknya dengan
ketiga ujung kain/sudut kain tegak berdiri.
Bentuk ini juga termasuk hanya digunakan
untuk kalangan strata tertinggi dalam tatanan
budaya dan masyarakat adat Sa’dan Toraja.
Kain Ma’a (batik) yang digunakan adalah
dengan kain yang memiliki bidang kosong
berbentuk segi empat pada bagian tengah.
Umumnya berwarna putih, kuning, merah).
Umumnya menggunakan ornamen corak

430
PROSIDING SEMINAR NASIONAL LP2M UNM - 2019 “Peran Penelitian dalam Menunjang Percepatan Pembangunan Berkelanjutan di Indonesia”
ISBN: 978-623-7496-14-4
Pa’Barana, Pa’bare Allo, Pa’Kapu Baka,
Pa’To Rongkong, Pa’Karua. (Pong Barumbun
dari garis keturunan Ne’ Reba Sarungallo,
2017)
Gambar 7. Passapu Pa’tallu Siloloq
dengan ketiga ujung kain tegak berdiri.
e. Pa’lindo Para, bentuknya pada bagian depan
berbentuk piramida atau lindo banua (muka
rumah/fasad). Digunakan untuk generasi
Tongkonan atau orang-orang yang tinggal di
Tongkonan tapi tidak memiliki jabatan adat.
Tidak ada ujung kain yang ke atas atau ke
bawah. Kain Ma’a (batik) yang digunakan
kain dengan motif biasa atau umum dan tanpa
acuan ornamen. (Pong Barumbun dari garis
keturunan Ne’ Reba Sarungallo, 2017)
Gambar 8. Passapu Pa’lindo Para
Sumber: Albert Grubauer, 1911 (kiri);
https://gramho.com (kanan)
f. Passapu Kapa’rengngesan/Pangngulu Kada,
berbentuk menyerupai Suso’ (siput) condong
ke arah belakang dengan satu ujung kain
menghadap ke atas menyerupai daun. Di kiri
sebagai simbol jabatan adat dan di kanan
sebagai simbol To Batiq
Kaparengesan/Panggulu Kada. Pemasangan
kain segi tiga dilipat satu-dua-tiga, dimulai
dengan menmpatkan bagian tengah pada
bagian belakang kepala (bertolak belakang
dengan teknik pasang Passapu Pa’Tallu
Siloloq) kemudian dililit melingkari kepala
bergantian dengan satu ujung kain dijepit
oleh kain yang ujungnya akan diselipkan
menghadap ke atas. (Wawancara: Ibu Beatrix
Bulo, Desember 2006)
Gambar 9. Pong Tiku (kiri) dan Pong
Maramba (kanan). Keduanya adalah
penguasa adat wilayah/lili’ tana di
Pangala dan di Rantepao. Keduanya
menggunakan Passapu
Kapa’rengngesan/Pangngulu Kada.
Sumber: Dian Cahyadi (foto kiri); Albert
Grubauer, 1911 (foto kanan)
g. Pa’sossoran Rengnge’ (Pengkalossoran),
bentuk yakni kedua ujung passapu
menghadap ke bawah di pelipis kiri dan
kanan pemakai dan tidak ada ujung kain yang
menghadap ke atas. Passapu jenis ini
digunakan oleh pejabat, pendoa/imam. Kain
Ma’a/Mawa’ (batik) yang digunakan adalah
dengan kain yang memiliki bidang kosong
berbentuk segi empat pada bagian tengah.
Umumnya berwarna putih, kuning, merah).

431
PROSIDING SEMINAR NASIONAL LP2M UNM - 2019 “Peran Penelitian dalam Menunjang Percepatan Pembangunan Berkelanjutan di Indonesia”
ISBN: 978-623-7496-14-4
Ornamen yang digunakan umum dan boleh
dengan ornamen sesuai sifat tingkatan asal
Tongkonan pemakai ataupun menggunakan
ornamen batik dari luar, batik Jawa misalnya.
(Pong Barumbun dari garis keturunan Ne’
Reba Sarungallo, 2017)
Gambar10. Passapu Pengkalossoran
Sumber: Nurul, 2017.
h. Pattalli, bentuknya (Passapu) digulung sekira
4 jari lalu dililit di atas kepala dan
disimpulkan seperti menyimpul tali pada
umum (disimporro’), digunakan oleh para
pekerja adat atau pekerja pemerintahan.
Tidak ada ujung Passapu yang naik maupun
turun. (Pong Barumbun dari garis keturunan
Ne’ Reba Sarungallo, 2017)
Gambar11. Passapu Pattalli
Sumber: Albert Grubauer, 1911.
i. Passapu Panggau/Ponggawa, bentuknya
berbentuk menyerupai Passapu Pa’sossoran
Rengnge’ namun terdapat satu ujung kain
mengarah ke arah samping atau melintang
pada lapisan paling bawah atau awal
memutarkan lilitan kain di kepala hingga
ujung kain lainnya diselipkan masuk ke
dalam lipatan lilitan kain. Passapu ini hanya
digunakan oleh pimpinan pasukan perang (To
Barani/Pa’barani/Pa’takin). Kain yang
digunakan umumnya hanya berwarna hitam
tanpa ornamen ragam hias. Pada prakteknya
banyak yang menggunakan kain bercorak
umum atau tanpa pakem ornamen.
(Wawancara: Ibu Beatrix Bulo, Desember
2006)
Gambar 12. Panglima perang Pong
Maramba (kiri), model Panglima Perang
(kanan)
Sumber: Albert Grubauer, 1911 (kiri);
Asdem tindoki, 2018 (kanan)
j. Passapu Pattalo/Pattala, bentuknya
menyerupai lilitan Passapu Tallu Siloloq.
Namun ujung segitiganya ditegakkan berdiri
pada bagian belakang kepala dengan ketiga
ujung kain menjulang ke atas. Umum
digunakan oleh bangsawan tinggi bagi pewaris
kepenguasaan wilayah adat tinggi, baik
Kapuangan maupun
Kaparengngesan/Pangngulu Kada. Bedanya
bagi Kaparengngesan dengan dua ujung
menjulang dan Pangngulu Kada’ hanya satu
ujung saja atau hanya pada bagian tengah saja.
(Wawancara: Ibu Beatrix Bulo, Desember
2006)
Gambar 13. Passapu Pattalo/Pattala.
Sumber: Albert Grubauer, 1911(foto kiri);
Leven (1906-1941) (foto kanan)
k. Passapu Beke, sesungguhnya model ini tidak
dapat dikategorikan sekapada kelompok model
Passapu. Namun narasumber termasuk
mengkalsifikasikannya. Hal ini di dasarkan
pada kategori jenis penutup kepala berbahan
kain dan merujukkan pula pada penggunaan
kain Ma’a/Mawa sebagai bahan utamanya
pula. Beke adalah penutup kepala yang
digunakan oleh beberapa ketua komunitas adat,
pinata Aluk To Dolo, panglima perang, prajurit

432
PROSIDING SEMINAR NASIONAL LP2M UNM - 2019 “Peran Penelitian dalam Menunjang Percepatan Pembangunan Berkelanjutan di Indonesia”
ISBN: 978-623-7496-14-4
perang. Hingga saat ini penggunaan Beke
identik digunakan oleh para To
Ma’randing/Paranding. Juga digunakan oleh
pinata Aluk To Dolo dalam ritual-ritual mistis
memanggil roh-roh dari alam gaib, seperti pada
ritual Manganda. Yakni sebuah ritual
memanggil pasukan-pasukan gaib yang
ditujukan untuk mengawal mengiring
keamanan sebuah ritual dari ancaman mahluk
gaib lainnya. Pelantikan pemimpin adat,
pendirian Tongkonan baru, panen, dsb.
Gambar 14. Penggunaan Beke oleh
Pinata/Imam Adat Aluk To Dolo (Head of
Priest) (kiri), Pa’Manganda (kanan).
Sumber: Marét, R. de. 1937.; Claire Holt,
1938.
A. Fungsi Praktis Passapu Sa’dan-Toraja.
Pada masyarakat biasa, Passapu selain
berfungsi untuk menutupi rambut dan
melindungi kepala, juga berfungsi sebagai
senjata dan alat tangkis untuk membela diri bila
tiba-tiba terjadi penyerangan. Selain itu
berfungsi sebagai alat untuk menyimpan,
membawa barang dan pengikat.
B. Fungsi Estetis Passapu Sa’dan-Toraja.
Passapu dapat memperindah
penampilan laki-laki, penambah wibawa dan
menjadi unsur pelengkap berbusana yang serasi
pada pria-pria di Sa’dan-Toraja. (Noy-Palm,
1979 )
C. Fungsi Simbolis Passapu Sa’dan-Toraja.
Nilai simbolis pada Passapu misalnya
ada beberapa jenis bentuk Passapu yang hanya
dipergunakan untuk kalangan tertentu atau
kesempatan tertentu yang dipakai berdasarkan
status atau kepentingan tertentu pemakainya.
Untuk beberapa kasus namun dalam
praktiknya saat ini sudah jarang ditemui yakni
digunakan sebagai bahasa pengambilan
keputusan, kesepakatan. Seperti contoh dalam
hal bertransaksi dengan cara menutupkan
passapu tangan kedua orang yang saling
berjabat tangan pada saat bertransaksi
menentukan harga jual kerbau atau babi di
pasar. Caranya dengan cara saling colekan
garis di telapak tangan lawan (kode garis dan
titik). Kesemuanya tentunya dengan harga
bulat/utuh atau setengah (tanda titik untuk
setengah dan satu garis untuk utuh) mirip kode
morse. Jika terjadi kesepakatan maka pihak
yang setuju mengakhiri dengan jabatan tangan
erat.
Dalam hal pengambilan keputusan
seorang pengambil keputusan akan
menegakkan ujung kain bagia tengahnya dan
menjatuhkan ke arah kanan jika si pengambil
keputusan sepakat dan ke arah kiri jika tidak
sepakat, dan diarahkan ke belakang jika
memberikan isyarat untuk meminta masa untuk
berpikir.
Penggunaan Pa’Sapi’ sebagai
aksesoris pelengkap bersifat penegasan
simbolik terkait derajat status penggunanya,
yakni;dua hingga tiga susun untuk golongan
Tana’ Bula’an/Bulawan, dan satu susun untuk
golongan Tana’ Bassi.
Passapu menjadi simbol mawas diri,
kecakapan, kepandaian, keberanian, kejujuran,
ketegasan, kehormatan, kebijaksanaan,
integritas diri bagi oran Sa’dan-Toraja.
KESIMPULAN
Passapu bagi kebudayaan di sebagian
besar kebudayaan di Sulawesi Selatan khususnya
di kebudayaan Sa’dan-Toraja memiliki kedudukan
khusus sebagai peruntukan per orangan maupun
komunal dalam komunitas, pranata secara simbolik
dalam komunitas setiap masyarakat adat yang
terbagi-bagi pada sub-komunitasnya lagi. Juga
memiliki fungsi-fungsi estetis, praktis dengan
segala manifestasinya. Penggunaan pada masa lalu
tentunya tidak digunakan oleh sembarang orang
dan hanya digunakan oleh orang-orang dari
kelompok pranata dari Tana’ Bulawan, Tana
Bassi, Tana Karurung (umumnya dipilih sebagai
pekerja adat).
Kedudukan Passapu bagi masyarakat
Sa’dan_Toraja sangat vital sehingga hampir
diseluruh aspek kehidupan hingga ritual-ritual Aluk
To Dolo menjadi syarat dan pranata inti.
Saat ini penggunaan Passapu di Sa’dan-
Toraja hanya digunakan untuk keperluan ritual,
acara penyambutan tamu pemerintahan, pesta
pernikahan saja. Keadaan ini tentunya masih dapat
dikatakan belum punah secara eksistensi, namun
telah punah secara esensi pemaknaan maupun
simboliknya.
[ “...Ten ia komi disanga to batik tandi
sapui ulunna” artinya “...anda tidak akan dikenali
sebagai keturunan bangsawan jika tidak menutupi
kepala”. Lebih lanjut “...saba disanga nasang komi
to batik lako manarang na kina’a” artinya

433
PROSIDING SEMINAR NASIONAL LP2M UNM - 2019 “Peran Penelitian dalam Menunjang Percepatan Pembangunan Berkelanjutan di Indonesia”
ISBN: 978-623-7496-14-4
“...sebab itulah kalian dikatakan sebagai seorang
keturunan bangsawan tak lain pandai nan
bijaksana”, “...pa’sapu ri pallawanna gau
siturusan” artinya “...passapu menjadi pagar
(fungsi kontrol) segala perbuatan”]. Margaretha
Dani Bulo Pong Labba (95).
ACKNOWLEDGEMENT
Terima kasih kepada Rektor UNM beserta
jajarannya, Ketua Pasca Sarjana UNM beserta
jajarannya atas kesempatan pembiayaan PNBP
Pasca Sarjana kepada kami, Ketua LP2M UNM
beserta jajarannya, serta seluruh pihak yang telah
berkontribusi dalam penelitian ini. Serta kolega
dosen di UNM. Terima kasih-Kurre Sumanga’.
In Memoriam narasumber Ibu Margaretha Dani
Bulo Pong Labba (1916-2016)
REFERENSI
Alkaisar. (2017). KOMUNIKASI ANTARBUDAYA
PADA TARIAN PA’BITTE PASSAPU
DI TANAH ADAT AMMATOA
KECAMATAN KAJANG KABUPATEN
BULUKUMBA. MAKASSAR:
FAKULTAS DAKWAH DAN
KOMUNIKASI UIN ALAUDDIN .
Arifah. (2003). Teori Desain Busana. Bandung:
Yapemdo.
Dictionary, O. A. (2000). Oxford Advanced
Learner’s Dictionary .
Hariana. (2010). TINJAUAN PAKAIAN ADAT
SULAWESI SELATAN (Studi
Komparatif Baju Bodo Suku Bugis-
Makassar-Mandar). Buletin Sibermas
Vol. 4 No. 4 , 76-95.
Lambe’, S. F. (2013). Pertunjukan tari Pa’randing
pada upacara Rambu Solo’ Kecamatan
Rembon Lembang Batusura’ Kabupaten
Tana Toraja. (skripsi). Makassar: Fak.
Seni dan Desain. UNM.
Moleong, L. J. (2001). Metodelogi Peneliti
Kualitatif. Bandung: Remaja Rosda
Karya.
Noy-Palm, H. (1979 ). The Sa’dan-Toraja: A Study
of Their Social Life and Religion.
Netherlands: THE HAGUE -
MARTINUS NIJHOFF .
PaEni, M. (2008, 12 24). Melayu-Bugis-Melayu
dalam Arus Balik Sejarah. Jurnal ATL
(Jurnal Pengetahuan dan Komunikasi
Peneliti dan Pemerhati Tradisi Lisan)
No. 1, Vol.1, Edisi IV.
Rahman. (2016). Sumber Sistem Kewarisan Desa
Tanah Towa ditinjau dari Hukum Islam.
Makassar: Fakultas Syariah dan Hukum.
Sachari, A. (2005). Pengantar Metodologi
Penelitian Budaya Rupa. Jakarta:
Erlangga.
Soekanto, S. (1975). Sosiologi Suatu Pengantar.
Jakarta: Yayasan Penerbit Universitas
Indonesia.
Suciati. (2008). Karakteristik Iket Sunda di
Bandung dan Sumedang Periode Tahun
1968-2006. ITB Journal Visual Art &
Design., Vol. 2, No. 3, , 237-260 .