Pasang Surut Islam Indonesia.pdf

22
Pasang Surut Islam Indonesia Kaleidoskop seabad (1900-1999) dinamika umat Islam Indonesia. Ajang muhasabah sekaligus pijakan menjayakan Islam di masa depan 17 Juli 1905 Al-Jamiat al-Khairiyah, yang lebih dikenal dengan nama Jamiat Khair, didirikan di Jakarta. Organisasi ini terbuka untuk setiap Muslim tanpa diskriminasi asal- usul, tetapi mayoritas anggota-anggotanya adalah orang keturunan Arab. Bidang yang digarap pertama kali adalah mendirikan sekolah dasar dan mengirimkan anak-anak muda ke Turki untuk melanjutkan pelajaran. Menurut Deliar Noer, ketika itu Jamiat Khair telah menjadi sebuah organisasi modern dalam masyarakat Islam. Organisasi mereka telah dilengkapi dengan anggaran dasar, daftar anggota yang tercatat serta rapat-rapat berkala. Sekolah yang mereka dirikan pun sudah menggunakan kelas-kelas, bangku, papan tulis serta dilengkapi dengan kurikulum. Pelajaran yang disampaikan pun tidak melulu ilmu agama, tetapi juga meliputi berhitung, sejarah dan ilmu bumi. Yang menarik, bahasa perantara di antara mereka adalah bahasa Indonesia atau bahasa Melayu, karena lingua franca di kalangan anak-anak Arab di Indonesia adalah bahasa Melayu atau bahasa daerah tempat mereka tinggal. Apalagi di sekolah itu juga ada murid- murid anak pribumi Indonesia. Bahasa Belanda tidak diajarkan, sebagai gantinya bahasa Inggris merupakan bahasa wajib. 16 Oktober 1905 berdiri Serikat Dagang Islam (SDI) yang diprakarsai oleh KH Samanhoeddi. Didirikan oleh para pedagang batik pribumi di Solo sebagai reaksi dari ulah para pedagang Tionghoa yang memandang rendah pedagang pribumi. 11 November 1912 SDI berubah menjadi Serikat Islam (SI) setelah Haji Oemar Said Tjokroaminoto, seorang berpendidikan pada jaman itu ikut bergabung dengan SDI atas ajakan H Samanhudi. Dalam kongresnya di Surabaya bulan Januari 1913 ditetapkan bahwa kegiatan SI bersifat menyeluruh untuk segenap pelosok tanah air. Perubahan nama itu juga berimplikasi pada perubahan titik tekan pada aktivitas SDI/SI dari ekonomi ke politik. Pada tahun itu juga Sarekat Islam adalah satu-satunya gerakan politik nasionalis Indonesia. Boedi Oetomo yang lahir tahun 1908 bukanlah gerakan politik dan bukan Indonesia melainkan hanya priyayi Jawa saja. Dalam waktu singkat SI menjadi gerakan politik terbesar di Indonesia dan menjadi sumber inspirasi buat gerakan- gerakan nasionalisme Indonesia sesudahnya. 18 November 1912 di Yogyakarta berdirilah salah satu organisasi sosial Islam yang terpenting di Indonesia hingga saat ini, yakni Muhammadiyah. Didirikan oleh KH Ahmad Dahlan atas saran yang diajukan murid-muridnya dan beberapa anggota Boedi Oetomo.

description

pasa

Transcript of Pasang Surut Islam Indonesia.pdf

Page 1: Pasang Surut Islam Indonesia.pdf

Pasang Surut Islam Indonesia

Kaleidoskop seabad (1900-1999) dinamika umat Islam Indonesia. Ajang muhasabah

sekaligus pijakan menjayakan Islam di masa depan

17 Juli 1905 Al-Jamiat al-Khairiyah, yang lebih dikenal dengan nama Jamiat Khair,

didirikan di Jakarta. Organisasi ini terbuka untuk setiap Muslim tanpa diskriminasi asal-

usul, tetapi mayoritas anggota-anggotanya adalah orang keturunan Arab. Bidang yang

digarap pertama kali adalah mendirikan sekolah dasar dan mengirimkan anak-anak muda

ke Turki untuk melanjutkan pelajaran.

Menurut Deliar Noer, ketika itu Jamiat Khair telah menjadi sebuah organisasi modern

dalam masyarakat Islam. Organisasi mereka telah dilengkapi dengan anggaran dasar,

daftar anggota yang tercatat serta rapat-rapat berkala. Sekolah yang mereka dirikan pun

sudah menggunakan kelas-kelas, bangku, papan tulis serta dilengkapi dengan kurikulum.

Pelajaran yang disampaikan pun tidak melulu ilmu agama, tetapi juga meliputi berhitung,

sejarah dan ilmu bumi.

Yang menarik, bahasa perantara di antara mereka adalah bahasa Indonesia atau bahasa

Melayu, karena lingua franca di kalangan anak-anak Arab di Indonesia adalah bahasa

Melayu atau bahasa daerah tempat mereka tinggal. Apalagi di sekolah itu juga ada murid-

murid anak pribumi Indonesia. Bahasa Belanda tidak diajarkan, sebagai gantinya bahasa

Inggris merupakan bahasa wajib.

16 Oktober 1905 berdiri Serikat Dagang Islam (SDI) yang diprakarsai oleh KH

Samanhoeddi. Didirikan oleh para pedagang batik pribumi di Solo sebagai reaksi dari

ulah para pedagang Tionghoa yang memandang rendah pedagang pribumi.

11 November 1912 SDI berubah menjadi Serikat Islam (SI) setelah Haji Oemar Said

Tjokroaminoto, seorang berpendidikan pada jaman itu ikut bergabung dengan SDI atas

ajakan H Samanhudi. Dalam kongresnya di Surabaya bulan Januari 1913 ditetapkan

bahwa kegiatan SI bersifat menyeluruh untuk segenap pelosok tanah air.

Perubahan nama itu juga berimplikasi pada perubahan titik tekan pada aktivitas SDI/SI

dari ekonomi ke politik. Pada tahun itu juga Sarekat Islam adalah satu-satunya gerakan

politik nasionalis Indonesia. Boedi Oetomo yang lahir tahun 1908 bukanlah gerakan

politik dan bukan Indonesia melainkan hanya priyayi Jawa saja. Dalam waktu singkat SI

menjadi gerakan politik terbesar di Indonesia dan menjadi sumber inspirasi buat gerakan-

gerakan nasionalisme Indonesia sesudahnya.

18 November 1912 di Yogyakarta berdirilah salah satu organisasi sosial Islam yang

terpenting di Indonesia hingga saat ini, yakni Muhammadiyah. Didirikan oleh KH

Ahmad Dahlan atas saran yang diajukan murid-muridnya dan beberapa anggota Boedi

Oetomo.

Page 2: Pasang Surut Islam Indonesia.pdf

Organisasi ini mempunyai maksud “menyebarkan pengajaran Kanjeng Nabi Muhammad

saw kepada penduduk bumiputera” dan “memajukan hal agama Islam kepada anggota-

anggotanya”. Muhammadiyah sangat gencar melakukan amar ma'ruf nahi munkar

terutama memberantas praktek-praktek keagamaan masyarakat saat itu yang menurut

Muhammadiyah penuh penyimpangan. Slogan mereka yang terkenal yaitu memberantas

TBC (tachayul, bid'ah, churafat).

Muhammadiyah juga lahir sebagai reaksi terhadap missi dan zending yang semakin

gencar setelah politik etis. Muhammadiyah lahir sebagai saingan missi dan zending

dengan menggunakan sarana-sarana yang sama seperti sekolah dan balai-balai kesehatan

yang kemudian menjadi rumah sakit Muhammadiyah.

11 Agustus 1915 di Jakarta berdiri organisasi Al Irsyad. Organisasi ini muncul karena

pada tahun-tahun sebelumnya sering terjadi pertentangan antara golongan sayid

(mengklaim sebagai keturunan Ali ra) dan bukan sayid antar sesama keturunan Arab

dalam tubuh Jamiat Khair. Mereka yang bukan sayid kemudian mendirikan Jam'iyat al-

Islam wal-Ersyad al-Arabia yang disingkat Al-Irsyad.

Para pendiri Al-Irsyad kebanyakan adalah pedagang. Tokoh yang sangat dihormati di

kalangan pendiri dan kerap dimintakan fatwanya adalah Syaikh Ahmad Soorkatti, ulama

asal Sudan yang datang ke Jakarta tahun 1911.

Al-Irsyad menekankan perhatian pada bidang pendidikan, terutama pada masyarakat

keturunan Arab, meski masyarakat pribumi Indonesia ada juga yang menjadi anggotanya.

Kemudian Al-Irsyad meluaskan perhatian mereka pada persoalan-persoalan komplek,

yang mencakup persoalan ummat Islam umumnya di Indonesia.

12 September 1923 di Bandung berdirilah organisasi modernis Islam Persatuan Islam

(Persis). Organisasi ini berdiri dalam sebuah kenduri pengajian tiga keluarga keturunan

Palembang yang sudah lama menetap di Bandung. Pelopornya adalah Haji Zamzam

(1894-1952) dan Haji Muhammad Yunus. Dalam Anggaran Dasarnya disebutkan,

bertujuan berusaha menyempurnakan kehidupan keagamaan berdasarkan ajaran agama

Islam dalam arti yang seluas-luasnya.

Kini seiring dengan waktu organisasi ini tidak lagi melakukan gebrakan yang bersifat

shock therapy tetapi cenderung ke arah low profile yang bersifat persuasif edukatif. Dua

orang anggotanya yang sangat terkenal adalah Ahmad Hasan —yang lebih dikenal

sebagai Hasan Bandung— dan Mohammad Natsir.

23 September 1925 berdiri Jong Islamieten Bond (JIB) di Jakarta. Sjamsuridjal

bersama Mohammad Roem dan Kasman Singodimedjo adalah pengurus dan aktivis Jong

Java. Tapi lantaran di organisasi itu aspirasi keislaman mereka tidak dikehendaki

sebagian anggota lain non-Muslim dan sekuler, maka Ketua Jong Java Sjamsuridjal

meletakkan jabatan, lalu bersama sahabatnya mendirikan JIB.

Page 3: Pasang Surut Islam Indonesia.pdf

JIB memiliki divisi perempuan yang bernama Jong Islamieten Bond Dames (JIBDA)

serta organisasi kepanduan bernama Nationaal Indonesische Padvinderij (Natipij) yang

dikomandani oleh Kasman Singodimedjo. JIB juga membentuk sebuah Lembaga Inti

(Kern Lichaam) yang anggotanya terdiri dari mereka yang telah banyak mengetahui

tentang Islam. Di antaranya yang menonjol adalah pemuda Mohammad Natsir. Dalam hal

publikasi JIB memiliki majalah organisasi bernama Het Lich (An Nuur).

Bersama sejumlah organisasi kepemudaan lain JIB berpartisipasi dalam penyelenggaraan

Kongres Pemuda II 27-28 Oktober 1928 di Jakarta yang menghasilkan Poetoesan

Congres Pemoeda-Pemoedi Indonesia atau terkenal kemudian dengan nama Sumpah

Pemuda.

31 Januari 1926 di Surabaya, didirikanlah organisasi keislaman yang berbasis massa

pesantren dengan pemikiran yang tradisionalis, yaitu Nahdlatul Ulama (kebangkitan

ulama).

Pada masa itu perkembangan paham keagamaan di dalam negeri sering timbul

pertentangan pendapat antara kaum tradisionalis dengan kaum modernis Islam. Pada saat

kongres Al Islam (IV dan V), yang diselenggarakan di Yogyakarta dan Bandung untuk

mencari input dalam menghadapi kongres Islam di Makkah, aspirasi kalangan pesantren

sama sekali tidak tertampung. Karena materi usulan yang disampaikan KHA Wahab

Hasbullah itu tidak masuk dalam agenda kongres Al-Islam di Indonesia, akhirnya atas

prakarsa beliau pula para ulama pesantren mendirikan “Komite Hijaz”. Komite ini

dibentuk bertujuan untuk menyampaikan aspirasi ulama pesantren kepada penguasa Arab

Saudi agar tradisi bermadzhab tetap diberi kebebasan. Misi komite ini berhasil dan diterima oleh penguasa Arab Saudi, Ibnu Saud. Setelah berhasil misinya, komite ini

hendak membubarkan diri, namun KH Hasyim Asy'ari mencegahnya, justru

menyarankan momentum ini dijadikan sebagai awal kebangkitan ulama. Maka, atas saran

beliaulah pada tanggal 31 Januari 1926, di Surabaya didirikanlah organisasi Nahdlatul

Ulama (NU).

21 September 1937 berdiri Majelis Islam A'la Indonesia (MIAI), yang merupakan

federasi organisasi sosial Islam se-Indonesia. Para tokoh gerakan Islam ini adalah KH

Mas Mansur dari Muhammadiyah, KH Muhammad Dahlan dan KHA Wahab Hasbullah

dari NU serta Wondoamiseno dari SI. Tujuan utama organisasi ini adalah sebagai tempat

bermusyawarah dan saling mengenal yang diharapkan dapat mewujudkan pergerakan

Islam lahir maupun batin, mempererat persatuan kaum muslimin di dunia dan khususnya

di Indonesia.

Umumnya pembentukan MIAI ini disambut dengan baik oleh organisasi-organisasi Islam

di Indonesia. Jumlah anggotanya pun bertambah, dari 7 organisasi pada tahun 1937

menjadi 21 organisasi pada tahun 1941. Kongres Al-Islam pertama yang diadakan oleh

MIAI diselenggarakan di Surabaya tanggal 26 Feburari sampai 1 Maret 1938.

Pada bulan Oktober 1943, MIAI berganti nama menjadi Majelis Sjuro Muslimin

Indonesia (Masjumi).

Page 4: Pasang Surut Islam Indonesia.pdf

9 April 1945 Jepang membentuk Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan

Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) sebagai realisasi janji Jepang untuk memberikan

kemerdekaan kepada Indonesia. Dari 68 anggota, hanya 15 orang saja yang benar-benar

mewakili aspirasi politik golongan Islam, seperti KH Mas Masjkur, KH Wachid Hasjim,

Ki Bagus Hadikusumo, Abdul Kahar Mudzakkir dan H Agus Salim. Dalam kelompok ini

pihak Islam modernis dan Islam konservatif bersatu memperjuangkan dasar negara Islam.

Sebagian besar anggota BPUPKI adalah dari kalangan nasionalis sekuler yang tegas-

tegas menolak Islam sebagai dasar negara. Mereka terdiri dari antara lain Radjiman

Wediodiningrat, Soekarno, Mohammad Hatta, Muhammad Yamin serta Prof Supomo.

Terjadi perdebatan seru antara kedua kelompok ini. Tetapi akhirnya kelompok Islam

mengalah setelah dicapai kompromi dalam bentuk Piagam Jakarta pada tanggal 22 Juni

1945.

17 Agustus 1945 Soekarno dan Mohammad Hatta memproklamasikan kemerdekaan

Indonesia di Jalan Pegangsaan Timur No. 56 Jakarta. Keesokan harinya Panitia Persiapan

Kemerdekaan Indonesia (PPKI) memilih Soekarno dan Mohammad Hatta sebagai

Presiden dan Wakil Presiden RI pertama serta mengesahkan Undang-undang Dasar

Negara RI.

14 November 1945 Presiden Soekarno mengangkat Sjahrir sebagai Perdana Menteri

(PM) pertama kabinet parlementer. Meski bertentangan dengan UUD yang hanya

memuat aturan kabinet presidensiil, praktek tersebut dijalankan dengan alasan untuk

memudahkan perundingan dengan Belanda.

3 November 1945 atas saran Badan Pekerja KNIP, Wakil Presiden Mohammad Hatta

mengeluarkan Maklumat Pemerintah No X yang mengijinkan dan mendorong rakyat

mendirikan partai-partai politik. Maklumat ini disambut banyak pihak, termasuk

kalangan Islam.

8 November 1945 menyambut Maklumat Wakil Presiden, para tokoh Madjelis Sjuro

Muslimin Indonesia (Masjumi) di Yogyakarta bersepakat mendirikan sebuah partai yang

mewadahi segenap kekuatan Islam, bernama Partai Politik Islam Indonesia Masjumi yang

selanjutnya populer dengan nama Partai Masjumi.

7-8 November 1945 berlangsung Kongres Ummat Islam I di Yogyakarta yang

menghasilkan kesepakatan pembentukan satu-satunya partai politik Islam di Indonesia,

bernama Partai Masjumi. Ketua pertamanya Dr Soekiman. Dalam anggaran dasarnya

tertulis jelas tujuan partai ini: “terlaksananya ajaran dan hukum Islam di dalam kehidupan

orang seorang, masyarakat dan negara Republik Indonesia, menuju keridhaan Ilahi.”

Status sebagai satu-satunya partai politik Islam di Indonesia mulai rontok ketika pada

bulan Juli 1945 unsur PSII meninggalkan Masjumi dan menyatakan dirinya kembali

sebagai partai politik independen, kemudian disusul oleh Nahdhatul Ulama yang melalui

kongresnya di Palembang tahun 1952 mengubah dirinya dari sebuah gerakan sosial

keagamaan menjadi partai politik yang berdiri sendiri.

Page 5: Pasang Surut Islam Indonesia.pdf

5 Februari 1947 Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) didirikan di Yogyakarta, oleh

beberapa tokoh Islam yang diprakasai oleh Lafran Pane. Lafran dan kawan-kawannya

melihat betapa perlunya memberi nafas keislaman bagi mahasiswa-mahasiswa Muslim,

agar mahasiswa kelak tidak menjadi intelektual yang jauh dari agama. Sejak itu HMI

menyebar di berbagai kampus di tanah air. HMI sempat menjadi organisasi pemuda

sangat berpengaruh ketika bersama organisasi mahasiswa dan pelajar lain berperan

sebagai gerakan oposisi terhadap pemerintahan Soekarno yang saat itu sangat dekat

dengan PKI.

19 Desember 1948 Atas amanat Presiden dan Wakil Presiden dari Yogyakarta,

Sjafrudin Prawiranegara membentuk pemerintah darurat yang kemudian disebut

Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) di Bukittinggi, serta membentuk

kabinet sementara. Tokoh Partai Masjumi ini sendiri menjabat sebagai ketua kabinet

merangkap sebagai Menteri Pertahanan, Penerangan dan Urusan Luar Negeri. Sjafrudin

Prawiranegara dibantu oleh enam orang anggota kabinet dari berbagai partai.

Pemerintahannya ini berakhir tanggal 13 Juli 1949 setelah Soekarno dan Hatta

dibebaskan Belanda.

14 Desember 1949 dilakukan pertemuan untuk permusyawaratan federal di Jalan

Pegangsaan 56 Jakarta yang dihadiri perwakilan Pemerintah RI dan Pemerintah Negara-

negara atau Daerah untuk menandatangani Konstitusi Republik Indonesia Serikat (RIS).

Keesokan harinya dilakukan pemilihan Presiden RIS yang kembali memilih Soekarno

serta Perdana Menteri RIS Mohammad Hatta. RIS hanya berusia beberapa bulan. RIS

bubar dan Indonesia kembali kepada bentuk negara kesatuan setelah tercapai Piagam

Persetujuan tanggal 19 Mei 1950 setelah sebelumnya Natsir mengajukan mosi integral di

parlemen.

7 Agustus 1949 di Malangbong, Tasikmalaya, sekali lagi secara resmi Sekarmaji

Marijan Kartosuwirjo memproklamasikan berdirinya Negara Islam Indonesia (NII).

Gerakan ini kemudian menyebar ke berbagai wilayah di Indonesia, terutama Aceh,

Kalimantan Selatan dan Sulawesi Selatan.

Oktober 1950 terjadi pemberontakan di Kalimantan yang dipimpin oleh Ibnu Hadjar

alias Haderi bin Umar, seorang bekas Letda TNI, yang menyatakan sebagai bagian dari

DI di bawah pimpinan Kartosuwirjo. Gerakan ini berhasil dipadamkan pada akhir tahun

1959 dengan ditangkapnya Ibnu Hadjar.

Januari 1952 Abdul Qahar Muzakkar juga menyatakan daerah Sulawesi Selatan

merupakan bagian dari NII yang dipimpin SM Kartosuwirjo. Sebelumnya, pada bulan

Agustus 1951 ia dan pasukannya telah lari ke wilayah pegunungan untuk melancarkan

perlawanan terbuka kepada TNI dan pemerintah Soekarno. Gerakan perlawanan ini baru

terhenti setelah Qahar diberitakan telah mati ditembak TNI pada bulan Februari 1965.

April l952 NU menyatakan keluar dari Partai Masyumi dan menjadi parpol tersendiri.

Keluarnya NU ini karena perebutan kursi Menteri Agama antara kelompok

Page 6: Pasang Surut Islam Indonesia.pdf

Muhammadiyah dan NU. Adanya pelbagai kritik terhadap kebijaksanaan Wahid Hasyim

menyebabkan terpilihnya pemimpin Muhammadiyah Faqih Usman sebagai Menteri

Agama, sedangkan kalangan NU tetap menuntut jabatan ini untuk Wahid Hasyim.

20 September 1953 juga terjadi perlawanan DI/TII di Aceh, di bawah pimpinan

Tengku Daud Beureueh. Perlawanan ini diawali dengan pernyataan Daud Beureueh

bahwa Aceh merupakan bagian dari NII di bawah pimpinan SM Kartosuwirjo.

Perlawanan ini baru dapat dipadamkan dengan dilakukannya Musyawarah Kerukunan

Rakyat Aceh pada bulan Desember 1962.

29 September 1955 sebanyak 39 juta rakyat Indonesia datang ke tempat pemungutan

suara untuk memilih anggota DPR dalam pemilihan umum multipartai pertama di

Indonesia. Disusul pada tanggal 15 Desember 1955 dilakukan pemilihan umum untuk

memilih anggota-anggota Konstituante (lembaga pembuat konstitusi).

Pemilu saat itu dimenangkan empat partai besar PNI (20%), Partai Masyumi (20,9%),

Partai NU (18,4 %) dan PKI (16,4%). Hasil bersihnya, partai-partai Islam memperoleh

kurang dari 45% suara.

Pelantikan anggota DPR dilakukan pada tanggal 20 Maret 1956 sedangkan pelantikan

anggota Konstituante pada tanggal 10 November 1956. Persidangan dalam Konstituante

berjalan sangat alot, terutama berkaitan dengan dasar negara. Dari beberapa kali

pemungutan suara dalam sidang Konstituante 52% menghendaki dasar negara Pancasila

dan 48% menghendaki negara Islam. Karena kedua belah pihak tidak dapat mencapai 2/3

suara sidang tidak berhasil mencapai kata putus hingga Soekarno mengumumkan Dekrit

Presiden tiga tahun kemudian (5 Juli 1959).

15 Februari 1958 Letnan Kolonel Achmad Husein memaklumkan berdirinya

Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) berikut pembentukan kabinetnya

dengan Sjafruddin Prawiranegara sebagai perdana menteri. Pemerintahan baru ini

mendapat dukungan dari tokoh kharismatis Partai Masjumi Mohammad Natsir dan

Burhanuddin Harahap serta tokoh PSI Sumitro Djojohadikusumo. Berdirinya

pemerintahan tandingan ini didorong oleh masalah otonomi dan serta perimbangan

keuangan antara Pusat dan Daerah yang dinilai tidak adil.

Dua hari kemudian Komandan Daerah Militer Sulawesi Utara dan Tengah Letnan

Kolonel DJ Somba menyatakan putus hubungan dengan Pemerintah Pusat dan

mendukung sepenuhnya PRRI. Gerakan ini dikenal dengan nama Piagam Perjuangan

Semesta (Permesta). Dan Permesta pun menyerah pada pemerintah pusat pada 29 Mei

1961.

5 Juli 1959 atas desakan Pangab Jenderal AH Nasution, Presiden Soekarno

mencetuskan Dekrit Presiden. Isi dekrit itu adalah membubarkan Konstituante, kembali

ke UUD 1945 dan pembentukan MPRS.

Page 7: Pasang Surut Islam Indonesia.pdf

Dekrit tersebut diterima kalangan Islam, karena pemerintah Soekarno menyatakan

kembali ke UUD 1945 yang menggunakan semangat Piagam Jakarta.

17 Agustus 1960 Partai Masjumi terpaksa membubarkan diri setelah mendapat tekanan

dari pemerintahan Soekarno, Soekarno kemudian mengeluarkan Kepres No 200/1960

yang meresmikan pembubaran itu. Pembubaran ini dilatarbelakangi penolakan partai ini

terhadap konsep kabinet berkaki empat (PNI, Masjumi, NU dan PKI) serta menentang

ajaran Soekarno tentang Nasakom.

Pertentangan itu juga diperparah oleh penolakan tokoh-tokoh Partai Masjumi terhadap

kebijakan politik Soekarno memberlakukan Demokrasi Terpimpin serta ketidaksukaan

Soekarno terhadap sejumlah pimpinan Partai Masjumi yang terlibat PRRI. Menyusul

pembubaran Partai Masjumi banyak tokoh Islam yang ditangkap dan dipenjara oleh

rezim Soekarno. Di antara mereka adalah M Natsir, Sjafruddin Prawiranegara,

Burhanuddin Harahap, As'at, Prawoto Mangkusasmito, Muhammad Roem, Isa Anshary,

EZ Muttaqien, Junan Nasution, Kasman Singodimedjo serta Hamka. Sebagian

dijebloskan ke penjara karena fitnah PKI.

30 September 1965 terjadi peristiwa dramatis pembunuhan dan penculikan sejumlah

perwira tinggi TNI AD yang dilakukan oleh kelompok yang menamakan dirinya Gerakan

30 September (G3OS). Belakangan diketahui G30S didalangi oleh Partai Komunis

Indonesia (PKI). Aksi itu mendapat kecaman dan kutukan dari banyak kalangan. Tangal

8 Oktober 1965 sebanyak 500 ribu massa bersama 46 orpol dan ormas mengadakan demo

besar di Taman Suropati Jakarta, menuntut pembubaran PKI. Tercatat di antara yang

demo PII, HMI, Pemuda Ansor, NU, Muhammadiyah, Perti, Pemuda Muslim, Front

Katolik serta GMKI.

25 Oktober 1965 berbagai organisasi mahasiswa anti PKI membentuk wadah

Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI). Kemudian diikuti kalangan pelajar dengan

membentuk Kesatuan Aksi Pelajar Indonesia (KAPI), kalangan pemuda dengan Kesatuan

Aksi Pemuda Pelajar Indonesia (KAPPI) dan sejumlah kesatuan aksi lainnya.

10 Januari 1966 dengan dipelopori KAMI dan KAPPI, kesatuan-kesatuan aksi yang

tergabung dalam Front Pancasila memenuhi halaman gedung DPR-GR, mengajukan tiga

tuntutan yang kemudian dikenal sebagai Tri Tuntutan Rakyat (Tritura), yang isinya:

pembubaran PKI, retool kabinet dan penurunan harga.

12 Maret 1966, dengan berbekal Surat Perintah 11 Maret, Pangkopkamtib Letjend

Soeharto menetapkan pembubaran dan pelarangan PKI serta berbagai underbouwnya.

20 Juli - 5 Juli 1966 berlangsung SU MPRS IV. Di antara ketetapannya menegaskan

pembubaran PKI serta meminta kepada Presiden Soekarno melengkapi laporan

pertanggungjawabannya yang berjudul Nawaksara yang dipandang tidak memenuhi

harapan rakyat karena tidak memuat secara jelas kebijakan Presiden mengenai peristiwa

G30S beserta epilognya.

Page 8: Pasang Surut Islam Indonesia.pdf

7 - 12 Maret 1967 MPRS mengadakan Sidang Istimewa di Jakarta. Salah satu

keputusannya adalah mencabut kekuasaan Presiden Soekarno dan mengangkat Jenderal

Soeharto sebagai Pejabat Presiden hingga dipilihnya Presiden oleh MPR hasil pemilihan

umum. Soeharto dikukuhkan sebagai Presiden pada SU MPR ke-V tanggal 21-30 Maret

1968 di Jakarta.

20 Februari 1967 berdiri Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) di Jakarta.

Organisasi ini didirikan oleh para mantan aktivis Partai Masyumi seperti Moh Natsir,

Anwar Harjono, Mohammad Roem dan Prawoto Mangkusasmito, dengan tujuan

menggiatkan dan meningkatkan mutu dakwah Islamiyah di Indonesia. Dalam

merealisasikan tujuannya, organisasi ini banyak mengirimkan dai ke berbagai pelosok

tanah air, hingga ke daerah terpencil seperti Mentawai dan Irian Jaya. Belakangan juga

turut mengirimkan da'i ke daerah transmigrasi untuk mengimbangi gerakan kristenisasi.

2 Januari 1974 UU No 1/1974 tentang Perkawinan disahkan Presiden RI setelah

disetujui oleh DPR. Sebelumnya RUU yang diajukan sejak bulan Juli 1973 ini sempat

ditolak oleh kalangan Islam, karena dinilai sebagian isinya bertentangan dengan syariat

agama. Dalam RUU itu tercantum pasal yang mensahkan perkawinan melalui kantor

catatan sipil, meski tidak berlandaskan syariat agama. RUU itu juga membolehkan

perkawinan pasangan yang berbeda agama. RUU kontan ditolak oleh berbagai ormas

Islam, berupa demonstrasi penolakan RUU yang konsepnya dirancang CSIS itu.

Puncaknya adalah pendudukan ruang sidang DPR oleh sekitar 500 orang pemuda Muslim

yang terdiri dari GPI, IPM, IPNU, PII, dan lain-lain yang tergabung dalam wadah Badan

Kontak Generasi Pelajar Islam. Menghadapi tolakan keras dari ummat Islam itu akhirnya

dalam sidang DPR, wakil pemerintah bersedia menghapus pasal-pasal yang dianggap

kontroversial.

15 Januari 1974 di Jakarta terjadi demonstrasi besar pertama kali yang dilakukan

mahasiswa terhadap pemerintahan Soeharto. Bermula dari demonstrasi yang menuntut

dominasi Jepang, berbuntut pada kerusuhan massal di ibukota negara yang dikenal

dengan nama Peristiwa Lima Belas Januari (Malari).

26 Juli 1975 Majelis Ulama Indonesia (MUI) didirikan di Jakarta oleh 53 orang ulama

dan aktivis dari berbagai ormas Islam, seperti antara lain Muhammadiyah, NU, Al Irsyad

Al Washilyah dan Al-Ittihadiyah. Terpilih sebagai Ketua Umum pertama Prof HAMKA.

Salah satu fungsi penting yang diemban organisasi ini adalah memberi fatwa dan nasihat

mengenai masalah keagamaan dan kemasyarakatan kepada pemerintah dan ummat Islam

sebagai amar ma'ruf nahi munkar.

Di awal berdirinya, saat dipimpin ulama kharismatik Buya Hamka, MUI bisa

menempatkan diri sebagai organisasi independen dan berwibawa serta menjadi alat

kontrol efektif terhadap pemerintah. Hingga sempat menimbulkan hubungan tak

harmonis dengan pemerintah Soeharto, terutama berkaitan dengan dikeluarkannya fatwa

larangan mengikuti perayaan Natal bagi umat Islam. Buntutnya, Buya Hamka terpaksa

mundur dari jabatannya.

Page 9: Pasang Surut Islam Indonesia.pdf

Era sesudah itu, MUI relatif dekat dengan pemerintah. Bahkan terkesan menjadi corong

pemerintah dalam mensosialisasikan kebijakan-kebijakan nasional seperti kebijakan

keluarga berencana (KB) dan ekspor kodok.

Setelah kasus isu lemak babi di tahun 1988 yang meresahkan masyarakat, MUI pada 6

Januari 1989 mendirikan Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan dan Kosmetik

(LPPOM). MUI juga kemudian memprakarsai berdirinya Bank Muamalat Indonesia

(BMI) yang diresmikan di Istana Bogor pada tanggal 30 Oktober 1991.

22 Maret 1978 MPR mensahkan Tap MPR No.II/MPR/1978 tentang Pedoman

Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4), meski Fraksi Persatuan Pembangun (FPP)

sangat berkeberatan dan sempat melakukan walk out saat dilakukan voting. Sikap PPP ini

membuat berang Pemerintah, sehingga Presiden Soeharto menuduh aksi itu sebagai bukti

keraguan PPP terhadap kebenaran Pancasila. Selanjutnya Soeharto menginstruksikan

ABRI agar waspada kepada pihak-pihak yang meragukan kebenaran Pancasila. Sejak itu

Pemerintah gencar mensosialisasikan P4 melalui pelajaran PMP dan penataran-penataran.

Reaksi keras terhadap P4 dan PMP datang dari tokoh-tokoh Muslim, karena dalam

implementasinya mengarah pada gagasan sinkretis yang bertentangan dengan aqidah

Islam. Buahnya, sejumlah tokoh Islam seperti Abdul Qadir Djaelani dan Tony Ardi

dipenjara dengan tuduhan subversif/makar.

27 Maret 1980 dalam Pembukaan Rapim ABRI di Pakanbaru serta dalam Perayaan

HUT Kopassandha di Jakarta tanggal 16 April 1980, mulai mengeluarkan gagasan

perlunya pemberlakukan asas tunggal Pancasila bagi seluruh kekuatan sosial politik,

sekaligus mengajak ABRI meningkatkan kewaspadaan terhadap para pemimpin PPP.

17 Maret 1982 Dirjen Dikdasmen Prof Soedardji Darmoyuwono mengeluarkan Surat

Keputusan bernomor 052/C/Kep/D.82 tentang pakaian seragam sekolah, yang melarang

penggunan kerudung atau jilbab bagi siswi Muslimah. Akibatnya, tidak sedikit siswi

yang dikeluarkan dari sekolah karena aturan ini, hingga berbuntut gugatan siswa ke

pengadilan terhadap pemerintah.

12 September 1984 terjadi peristiwa berdarah yang kemudian disebut Peristiwa

Tanjung Priok, di bagian utara kota Jakarta. Peristiwa ini menelan korban jiwa sekitar

400 orang ummat Islam, termasuk pimpinannya bernama Amir Biki, yang dibantai secara

keji dengan menggunakan senjata otomatis oleh pihak militer. Peristiwa ini terjadi akibat

gejolak politik yang sengaja direkayasa oleh pemerintah untuk menyudutkan ummat

Islam dan membuat citra ummat Islam terkesan radikal. Bertindak sebagai

Pangab/Pangkopkamtib ketika itu Jenderal Leonardus Benjamin Moerdani (Benny

Moerdani) dan sebagai Pangdam Jaya Mayjend Try Soetrisno. Kedua tokoh ini sampai

sekarang masih melenggang-kangkung, tak terjamah pengadilan.

Lanjutan dari peristiwa ini banyak tokoh Islam ditangkap dan dipenjara dengan tuduhan

subversif, antara lain AM Fatwa, Ir Sanusi, Letjend HR Dharsono, Syarifin Maloko,

Abdul Qadir Djaelani, Abu Oesmany Al-Hamidy serta Rahmat Basuki.

Page 10: Pasang Surut Islam Indonesia.pdf

8-12 Desember 1984 Nahdhatul Ulama (NU) menyelenggarakan Muktamar NU ke-27

di Pondok Pesantren Salafiyah Syafi'iyah Situbondo yang salah satu keputusan

pentingnya menerima Pancasila sebagai asas tunggal organisasi tersebut. Abdurrahman

Wahid terpilih sebagai Ketua Umum PB NU yang baru pada muktamar kali itu.

Keputusan penting lainnya adalah pernyataan kembali ke Khitthah 1926, kembali sebagai

organisasi sosial keagamaan dan tidak terlibat politik praktis serta memutuskan hubungan

dengan semua partai politik. Yang terkena pukulan telak keputusan itu adalah PPP yang

kelahirannya merupakan fusi dari empat partai Islam termasuk Partai NU. Karena sejak

itu NU putus hubungan dengan PPP dan anggota NU bebas bergabung dengan partai

manapun. Dalam rapat komisi muktamar itu, dari 36 anggotanya hanya ada 2 orang yang

mendukung penerimaan asas tunggal Pancasila. Tetapi penolakan itu kandas dalam rapat

pleno muktamar. Demikian juga Muhammdiyah dalam Muktamar di Surakarta menerima

azas Pancasila.

24 Maret - 1 April 1986 berlangsung pembukaan Kongres HMI ke-16 di Padang.

Berbeda dengan saat Kongres HMI ke-15 di Medan yang berhasil menolak

pemberlakukan Pancasila sebagai asas tunggal organisasi itu, pada kongres ini HMI

memilih Saleh Khalid sebagai ketua umun dan terpaksa menerima Pancasila sebagai asas

tunggal organisasinya demi menjaga kelangsungan hidupnya.

Sebelum kongres ke-16 berlangsung sudah ada lima cabang HMI yang menolak

pemberlakuan asas tunggal tersebut dengan membentuk Majelis Penyelamat Organisasi

(MPO) HMI pada tanggal 15 Maret 1986 di Jakarta. Tetapi kelompok ini tidak mendapat

ijin untuk turut serta dalam kongres di Padang. Menanggapi keputusan kongres tersebut,

MPO HMI membuat pengurus PB HMI tandingan di bawah kepemimpinan Eggy

Sudjana pada tanggal 17 April 1986 di Yogyakarta. Selanjutnya, HMI yang menerima

asas tunggal disebut HMI Dipo (diambil dari nama Jalan Diponegoro, tempat sekretariat

mereka) dan yang menolak asas tunggal disebut HMI MPO.

10 Desember 1987 keluar vonis dari Menteri Dalam Negeri berupa SK Mendagri No

120/1987 yang berisi pelarangan aktivitas Pelajar Islam Indonesia (PII) lantaran ormas

pelajar itu menolak mengganti asas organisasinya dari asas Islam menjadi asas tunggal

Pancasila sampai tenggat waktu 17 Juni 1987. Sejak itu PII menjadi organisasi terlarang

yang bergerak di bawah tanah.

23 Mei 1988 Pemerintah dalam hal ini Mendikbud Fuad Hasan mengajukan RUU

Pendidikan Nasional (RUU PN) yang pasal-pasalnya merugikan kepentingan pendidikan

Islam, antara lain karena RUU ini tidak mengakui dasar kebebasan untuk mendirikan dan

menyelenggarakan lembaga-lembaga pendidikan swasta, termasuk lembaga pendidikan

keagamaan. Dalam RUU ini juga tidak diatur kewajiban penyelenggaraan pendidikan

agama di sekolah-sekolah, sesuai agama yang dianut anak didik.

Reaksi pertama disampaikan oleh Badan Kerjasama Pondok Pesantren (BKSPP) Jawa

Barat yang menolak RUU tersebut. Akhirnya RUU itu berhasil disetujui setelah

dilakukan koreksi sesuai aspirasi masyarakat.

Page 11: Pasang Surut Islam Indonesia.pdf

1989 adalah tahun dimulainya Operasi Jaring Merah oleh di Aceh untuk menumpas aksi

pemberontakan Gerakan Aceh Merdeka (GAM), sekaligus dimulainya Aceh sebagai

daerah operasi militer (DOM).

Sejak itu ribuan pasukan TNI tambahan diterjunkan di Bumi Rencong ini untuk

memerangi GAM. Aksi militer yang kejam dan melanggar HAM dari kedua belah pihak

telah menghasilkan banyak korban rakyat sipil yang tidak bersalah.

Upaya penyelidikan Komnas HAM yang dipimpin Baharuddin Lopa di tahun 1998

menghasilkan data temuan sementara 871 orang tewas di tempat kejadian perkara (TKP)

karena tindak kekerasan, 387 orang hilang kemudian ditemukan mati, 550 orang hilang

tak diketemukan lagi, 368 orang cedera karena penyiksaan, 120 korban dibakar rumahnya

serta 102 orang perempuan diperkosa akibat pelaksaan DOM selama sembilan tahun

(1989-1998). Banyak pihak percaya, korban sesungguhnya dua atau kali lipat dari temuan

itu.

7 Desember 1990 Sekitar 500 orang pakar dan cendekiawan berkumpul di Universitas

Brawijaya, Malang, menghadiri Simposium Nasional Cendekiawan Muslim dengan tema

“Membangun Masyarakat Indonesia Abad 21”. Puncak dari acara itu adalah terbentuk

Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia (ICMI) dengan Menristek Prof BJ Habibie

sebagai Ketua Umumnya.

Kehadiran ormas ini yang menandakan berakhirnya rasa curiga dan permusuhan

pemerintah Soeharto kepada ummat Islam kemudian melahirkan pro dan kontra di tengah

masyarakat. Kalangan Islam yang selama ini dimusuhi oleh Pemerintah, tentu saja

mendukung berdirinya ICMI, karena dengan begitu usaha dakwah ummat Islam dapat

lebih leluasa bergerak. Dalam usaha mentransformasikan missinya, ICMI mendirikan

lembaga kajian bernama Center for Information and Development Studies (CIDES),

koran harian Republika, Yayasan Orbit, dan Pusat Inkubasi Usaha Kecil (Pinbuk).

29 Maret 1998 Sekitar 200 pimpinan lembaga dakwah kampus (LDK) se-Indoneia

seusai mengikuti acara forum silaturahmi LDK ke-10 di Universitas Muhammadiyah

Malang Jawa Timur mencetuskan Deklarasi Malang sebagai tanda kelahiran Kesatuan

Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI). Fahri Hamzah dari UI terpilih sebagai

ketua umumnya yang pertama.

Beberapa hari sesudahnya KAMMI melakukan gebrakan pertama dengan menggelar

Rapat Akbar Mahasiswa dan Rakyat di halaman Masjid Al Azhar Jakarta, menghadirkan

sekitar 20 ribu mahasiswa, pelajar, buruh, pedagang, dan ibu-ibu rumah tangga, menuntut

pemerintahan Soeharto segera melakukan reformasi sesuai tuntutan mahasiswa.

20 Mei 1998 bertepatan dengan hari kebangkitan nasional, di Istana Negara Presiden

Soeharto menyatakan mengundurkan diri dari jabatannya setelah berbulan-bulan didemo

mahasiswa dan diultimatum oleh Pimpinan MPR. Pada hari yang sama Wakil Presiden

BJ Habibie dilantik menjadi Presiden RI ke-3, menggantikan Soekarno.

Page 12: Pasang Surut Islam Indonesia.pdf

Beberapa hari sebelumnya ribuan mahasiswa berhasil menduduki gedung DPR/MPR.

26 Juni 1998 Prof Deliar Noer mendeklarasikan berdirinya Partai Ummat Islam (PUI)

sebagai partai pertama yang berasaskan Islam. Sesudah itu menyusul berdiri pula 12

partai Islam lainnya seperti Partai Bulan Bintang (PBB) tanggal 26 Juli 1998, Partai

Keadilan (PK) tanggal 9 Agustus 1998, Partai Nahdhatul Ummat (PNU) tanggal 16

Agustus 1998 dan Partai Kebangkitan Ummat (PKU) 25 Oktober 1998.

Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang di masa pemerintahan Soeharto dipaksa

berasastunggal Pancasila, pada muktamarnya yang terakhir kembali kepada asas Islam

dan kembali menggunakan lambang Ka'bah.

PB NU memilih tidak mendirikan partai Islam, tetapi mendeklarasikan partai berasaskan

Pancasila bernama Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Begitu pula Muhammadiyah

memilih tidak mendirikan partai, tetapi mengijinkan ketua umum Dr Amien Rais sebagai

Ketua Umum partai berasaskan Pancasila bernama Partai Amanat Nasional (PAN).

10 November 1998 berlangsung Sidang Istimewa MPR. Salah satu putusan

terpentingnya adalah pencabutan Ketetapan MPR No II/MPR/1978 tentang P4 serta

pencabutan Pancasila sebagai asas tunggal orsospol dan ormas.

19 Januari 1999 tepat di hari raya Idul Fitri tahun lalu, di saat kaum Muslim Ambon

sedang beristirahat usai bersilaturahmi dengan sanak famili, mendadak warga Muslim di

daerah Batu Merah diserbu warga Nasrani bersenjata parang panjang dan panah berapi.

Ratusan rumah, pasar, pertokoan dan sarana pendidikan musnah terbakar. Ratusan nyawa

melayang, puluhan ribu penduduk mengungsi. Sejak itu kerusuhan menjalar ke seantero

pula Ambon. Bahkan kemudian menjalar pula ke pulau-pulau di sekitarnya. Senjata yang

digunakan pun sudah berupa senapan mesin dan bom rakitan. Meski Gus Dur dan

Megawati telah berkunjung ke sana bulan silam, kerusahan masih belum berhenti juga.

(Irfan S. Awwas )

Negara Islam Indonesia telah diproklamirkan oleh As-Syahid Sekarmadji Maridjan

Kartosoewirjo pada tanggal 7 Agustus 1949. Dimana bunyi proklamasi Negara Islam

Indonesia adalah sebagai berikut :

PROKLAMASI

Berdirinya

Negara Islam Indonesia

Bismillahirrahmanirrahim

Dengan Nama Allah Yang Maha Pemurah, Maha Pengasih

Ashhadu alla ilaha illallah, wa ashhadu anna Muhammadarrasulullah

Kami, Ummat Islam Bangsa Indonesia

MENYATAKAN :

Page 13: Pasang Surut Islam Indonesia.pdf

BERDIRINYA

NEGARA ISLAM INDONESIA

Maka Hukum yang berlaku atas Negara Islam Indonesia itu, ialah : HUKUM

ISLAM.

Allahu Akbar ! Allahu Akbar ! Allahu Akbar !

Atas nama Ummat Islam Bangsa Indonesia

IMAM NEGARA ISLAM INDONESIA

ttd

S.M. KARTOSOEWIRJO

Madinah - Indonesia,

12 Syawal 1368 / 7 Agustus 1949.

Tanggal 7 agustus 1949 adalah bertepatan dengan Bung Hatta pergi ke Belanda untuk

mengadakan perundingan Meja Bundar, yang berakhir dengan kekecewaan. Dimana hasil

perundingan tersebut adalah Irian Barat tidak dimasukkan kedalam penyerahan

kedaulatan Indonesia, lapangan ekonomi masih dipegang oleh kapitalis barat.

Negara Islam Indonesia diproklamirkan di daerah yang dikuasai oleh Tentara Belanda,

yaitu daerah Jawa Barat yang ditinggalkan oleh TNI (Tentara Nasional Indonesia) ke

Jogya. Sebab daerah de-facto R.I. pada saat itu hanya terdiri dari Yogyakarta dan kurang

lebih 7 Kabupaten saja ( menurut fakta-fakta perundingan/kompromis dengan Kerajaan

Belanda; perjanjian Linggarjati tahun 1947 hasilnya de-facto R.I. tinggal pulau Jawa dan

Madura, sedang perjanjian Renville pada tahun 1948, de-facto R.I. adalah hanya terdiri

dari Yogyakarta). Seluruh kepulauan Indonesia termasuk Jawa Barat kesemuanya masih

dikuasai oleh Kerajaan Belanda. Jadi tidaklah benar kalau ada yang mengatakan bahwa

Negara Islam Indonesia didirikan dan diproklamirkan didalam negara Republik Indonesia.

Negara Islam Indonesia didirikan di daerah yang masih dikuasai oleh Kerajaan Belanda.

Negara Islam Indonesia dengan organisasinya Darul Islam dan tentaranya yang dikenal

dengan nama Tentara Islam Indonesia dihantam habis-habisan oleh Regim Soekarno

yang didukung oleh partai komunis Indonesia(PKI). Sedangkan Masyumi (Majelis syura

muslimin Indonesia) tidak ikut menghantam, hanya tidak mendukung, walaupun

organisasi Darul Islam yang pada mulanya bernama Majlis Islam adalah organisasi

dibawah Masyumi yang kemudian memisahkan diri. Seorang tokoh besar dari Masyumi

almarhum M Isa Anshary pada tahun 1951 menyatakan bahwa "Tidak ada seorang

muslimpun, bangsa apa dan dimana juga dia berada yang tidak bercita-cita Darul Islam.

Hanya orang yang sudah bejad moral, iman dan Islam-nya, yang tidak menyetujui

berdirinya Negara Islam Indonesia. Hanya jalan dan cara memperjuangkan idiologi itu

terdapat persimpangan dan perbedaan. Jalan bersimpang jauh. Yang satu berjuang dalam

batas-batas hukum, secara legal dan parlementer, itulah Masyumi. Yang lain berjuang

Page 14: Pasang Surut Islam Indonesia.pdf

dengan alat senjata, mendirikan negara dalam negara, itulah Darul Islam" (majalah

Hikmah, 1951).

Ketika Masyumi memegang pemerintahan, M Natsir mengirimkan surat kepada SM

Kartosoewirjo untuk mengajak beliau dan kawan-kawan yang ada di gunung untuk

kembali berjuang dalam batas-batas hukum negara yang ada. Namun M Natsir mendapat

jawaban dari SM Kartosoewirjo "Barangkali saudara belum menerima proklamasi

kami"(majalah Hikmah, 1951).

Setelah Imam Negara Islam Indonesia S.M. Kartosoewirjo tertangkap dan dijatuhi

hukuman mati pada tahun 1962 regim Soekarno dengan dibantu oleh PKI yang

diteruskan oleh regim Soeharto dengan ABRI-nya telah membungkam Negara Islam

Indonesia sampai sekarang dengan pola yang sama. Pola tersebut adalah dengan cara

menugaskan bawahannya untuk melakukan pengrusakan, setelah melakukan

pengrusakkan bawahan tersebut "bernyanyi" bahwa dia adalah anggota kelompok Islam

tertentu. Atau melakukan pengrusakan dengan menggunakan atribut Islam. Menurut

salah seorang kapten yang kini masih hidup, dan mungkin saksi hidup yang lainnya pun

masih banyak, bahwa ada perbedaan antara DI pengrusak dan DI Kartosuwiryo yakni

attribut yang dipergunakan oleh DI pengrusak (buatan Sukarno) berwarna merah

sedangkan DI Kartosuwiryo adalah hijau. Sebenarnya Negara Islam Indonesia masih ada

dan tetap ada, walaupun sebagian anggota-anggota Darul Islam sudah pada meninggal,

namun ide Negara Islam Indonesia masih tetap bersinar di muka bumi Indonesia*.*

Memahami kembali Sejarah Darul Islam di Indonesia

Mengungkapkan sejarah perjuangan Darul Islam di Indonesia, sama pentingnya dengan mengungkapkan kebenaran. Sebab perjalanan sejarah gerakan ini telah banyak dimanipulasi, bahkan berusaha ditutup-tutupi oleh penguasa. Rezim orde lama dan kemudian orde baru, mengalami sukses besar dalam membohongi serta menyesatkan kaum muslimin khususnya, dan bangsa Indonesia umumnya dalam memahami sejarah masa lalu negeri ini.

Selama ini kita telah tertipu membaca buku-buku sejarah serta berbagai publikasi sejarah perjuangan umat Islam diIndonesia.Sukses besar yang diperoleh dua rezim penguasa di Indonesia dalam mendistorsi sejarah Darul Islam, adalah munculnya trauma politik di kalangan umat Islam. Hampir seluruh kaum muslimin di negeri ini, memiliki semangat untuk memperjuangkan agamanya, bahkan seringkali terjadi hiruk pikuk di ruang diskusi maupun seminar untuk hal tersebut. Tetapi begitu tiba-tiba memasuki pembicaraan menyangkut perlunya mendirikan Negara Islam, kita akanmenyaksikan segera setelah itu mereka akan menghindar dan bungkam seribu bahasa.

Di masa akhir-akhir ini, bahkan semakin banyak tokoh-tokoh Islam yang menampakkan ketakutannya terhadap persoalan Negara Islam. Mantan Ketua Umum PBNU, K.H. Abdurrahman Wahid misalnya, secara terus terang bahkan mengatakan : "Musuh utama saya adalah Islam kanan, yaitu mereka yang menghendaki Indonesia berdasarkan Islam dan menginginkan berlakunya syari'at Islam". (Republika, 22 September 1998, hal. 2 kolom 5). Selanjutnya ia katakan : "Kita akan menerapkan sekularisme, tanpa mengatakan hal itu sekularisme".

Page 15: Pasang Surut Islam Indonesia.pdf

Salah satu partai berasas Islam yang lahir di era reformasi ini, malah tidak bisa menyembunyikan ketakutannya sekalipun dibungkus dalam retorika melalui slogan gagah: "Kita tidak memerlukan negara Islam. Yang penting adalah negara yang Islami". Bahkan, dalam suatu pidato politik, presiden partai tersebut mengatakan: "Bagi kita tidak masalah, apakah pemimpin itu muslim atau bukan, yang penting dia mampu mengaplikasikan nilai-nilai universal seperti kejujuran dan keadilan".

Demikian besar ketakutan kaum muslimin terhadap issu negara Islam, melebihi ketakutan orang-orang kafir dan sekuler, sampai-sampai mereka tidak menyadari bahwa segala isme (faham) atau pun Ideologi di dunia ini berjuang meraih kekuasaan untuk mendirikan negara berdasarkan isme atau ideologi yang dianutnya.

Selama 32 tahun berkuasanya rezim Soeharto, sosialisasi tentang Negara Islam Indonesia seakan terhenti. Oleh karena itu adanya bedah buku atau pun terbitnya buku-buku yang mengungkapkan manipulasi sejarah ini, merupakan perbuatan luhur dalam meluruskan distorsi sejarah yang selama bertahun-tahun menjadi bagian dari khazanah sejarah bangsa.

Sejak berdirinya Republik Indonesia, rakyat negeri umumnya, telah ditipu oleh penguasa, hingga saat sekarang. Umat Islam yang menduduki jumlah mayoritas telah disesatkan pemahaman sejarah perjuangan Islam itu sendiri. Sudah seharusnya, di masa reformasi ini, umat Islam menyadari bahwa di Indonesia pernah ada suatu gerakan anak bangsa yang berusaha membangun supremasi Islam, yaitu Negara Islam Indonesia yang berhasil diproklamasikan, 7 Agustus 1949, dan berhasil mempertahankan eksistensinya hingga 13 tahun lamanya (1949-1962). Namun rezim yang berkuasa telah memanipulasi sejarah tersebut dengan seenaknya, sehingga umat Islam sendiri tidak mengenal dengan jelas sejarah masa lalunya.

Sekarmaji Marijan Kartosuwiryo, adalah sebuah nama yang cukup problematis dan kontroversial di negara Indonesia, dari dulu hingga saat ini. Bahwa dia dikenal sebagai pemberontak, harus kita luruskan.Bukan saja demi membetulkan fakta sejarah yang keliru atau sengaja dikelirukan, tetapi juga supaya kezaliman sejarah tidak terus berlanjut terhadap seorang tokoh yang seharusnya dihormati.

Semasa Orla berkuasa (1947-1949) yang merupakan puncaknya perjuangan Negara Islam Indonesia, SM. Kartosuwiryo memang dikenal sebagai pemberontak. Tetapi fakta yang sebenarnya adalah, Kartosuwiryo sesungguhnya tokoh penyelamat bagi bangsa Indonesia, lebih dari apa yang dilakukan oleh Soekarno dan tokoh tokoh nasionalis lainnya. Pada waktu Soekarno bersama tentara Republik pindah ke Yogyakarta sebagai akibat dari perjanjian Renville, yang menyebutkan bahwa wilayah Indonesia hanya tinggal Yogya dan sekitamya saja, dan wilayah yang masih tersisa itu pun, dipersengketakan antara Belanda dan Indonesia, sehingga pada waktu itu nyaris Negara Kesatuan Republik Indonesia sudah tidak ada lagi. Dan yang ada hanyalah negara-negara serikat, baik yang sudah terbentuk, atau pun yang masih dalam proses melengkapi syarat-syarat kenegaraan. Seperti Jawa Barat, ketika itu dianjurkan oleh Belanda supaya membentuk Negara Pasundan, namun belum terbentuk sama sekali, karena belum adanya kelengkapan kenegaraan.

Ketika segala peristiwa yang telah disebutkan di atas, menggelayuti atmosfir politik Nusantara, pada saat itu Indonesia dalam keadaan vacuum of power. Pada saat itulah, Soekarno memerintahkan semua pasukan untuk pindah ke Yogyakarta berdasarkan perjanjian Renville. Guna memberi legitimasi Islami, dan untuk rnenipu umat Islam Indonesia dalam memindahkan pasukan ke Yogya, Soekarno telah memanipuiasi terminologi al-Qur'an dengan menggunakan

Page 16: Pasang Surut Islam Indonesia.pdf

istilah "Hijrah" untuk menyebut pindahnya pasukan Republik, sehingga nampak Islami dan tidak terkesan melarikan diri. Namun S.M. Kartosuwiryo dengan pasukannya tidak mudah tertipu, dan menolak untuk pindah ke Yogya. Bahkan bersama pasukannya, ia berusaha mempertahankan wilayah jawa Barat, dan menamakan Soekarno dan pasukannya sebagai pasukan liar yang kabur dari medan perang.

Jauh sebelum kemerdekaan, yaitu pada tahun 1930-an, istilah"hijrah" sudah pernah diperkenalkan, dan dipergunakan.sebagai metode perjuangan modern yang brillian oleh S.M. Kartosuwiryo, berdasarkan tafsirnya terhadap sirah Nabawiyah. Ketika itu, pada tahun 1934 telah muncul dua metode perjuangan yaitu cooperatif dan non cooperatif. Metode non cooperatif, artinya tidak mau masuk ke dalam parlemen dan bekerja sama dengan pemerintah Belanda namun bersifat pasif, tidak berusaha menghadapi penguasa yang ada. Metode ini sebenamya dipengaruhi oleh politik SWADESI, politik Mahatma Gandhi dari India. Lalu muncullah S.M. Kartosuwiryo dengan metode Hijrah, sebuah metode yang berusaha membentuk komunitas sendiri, tanpa kerjasama dan aktif, berusaha untuk melawan kekuatan penjajah.

Akan tetapi, pada waktu itu, metode ini dikecam keras oleh Agus Salim, karena menganggap S.M. Kartosuwiryo menerapkan metode hijrah ini di dalam suatu masyarakat yang belum melek politik. Sehingga ia kemudian berusaha menanamkan politik dan metode hijrah itu kepada anggota PSII pada khususnya. Dengan harapan setelah memahami politik, mereka mau menggunakan metode ini, karena paham politik sangat penting. Namun, Agus Salim menolaknya, karena ia tidak setuju dengan politik tersebut. Menurutnya rakyat atau anggota partai hanyalah boleh mengetahui masalah mekanisme organisasi tanpa mengetahui konstelasi politik yang sedang berlangsung, dan hanya elit pemimpin saja yang boleh mengetahui. Sedangkan "hijrah" adalah berusaha menarik diri dari perdebatan politik, kemudian berusaha membentuk barisan tersendiri dan berusaha dengan kekuatansendiri untuk mengantisipasi sistem perjuangan yang tidak cukup progresif dan tidak Islami. Faktor inilah yang menjadi awal perpecahan PSII, yaitu melahirkan PSII Hijrah yang memakai metode hijrah dan PSII Penyadar yang dipimpin Agus Salim.

Walaupun metode Hijrah, bagi sebagian tokoh politik saat itu, terlihat mustahil untuk digunakan sebagai metode perjuangan, namun ternyata dapat berjalan efektif pada tahun 1949 dengan terbentuknya Negara Islam Indonesia yang diproklamasikan dibawah bendera Bismillahirrahmaniirrahim. Sehingga pantaslah, jika kita tidak memperhatikan rangkaian sejarah sebelumnya secara seksama, memunculkan anggapan bahwa berdirinya Negara Islam Indonesia berarti adanya negara di dalam negara, karena Proklamasi RI pada tahun 1945 telah lebih dahulu dilakukan.

Namun sebenamya jika kita memahami sejarah secara benar dan adil, maka kedudukan Negara Islam Indonesia dan RI adalah negara dengan negara. Karena negara RI hanya tinggal wilayah Yogyakarta waktu itu, sementara Negara Islam Indonesia berada di Jawa Barat dan mengalami ekspansi (pemekaran) wilayah. Daerah Jawa Tengah, Kalimantan Selatan, Sulawesi Selatan dan Aceh mendukung berdirinya Negara Islam Indonesia. Dan dukungan itu bukan hanya berupa pernyataan atau retorika belaka, tapi ikut bergabung secara revolusional. Barangkakali benar, bahwa Negara Islam Indonesia adalah satu-satunya gerakan rakyat yang disambut demikian meriah di beberapa daerah di indonesia.

Melihat sambutan yang gemilang hangat dari saudara muslim lainnya, maka rezim Soekarno berusaha untuk menghambat tegaknya Negara Islam Indonesia bersama A.H. Nasuion, seorang tokoh militer beragama Islam yang dibanggakan hingga sekarang, tetapi ternyata mempumyai kontribusi yang negatif dalam perkembangan Negara Islam Indonesia. Dia bersama Soekarno berusaha menutupi segala hal yang memungkinkan S.M. Kartosuwiryo dan Negara lslam Indonesia kembali

Page 17: Pasang Surut Islam Indonesia.pdf

terangkat dalam masyarakat, seperti penyembunyian tempat eksekusi dan makam mujahid Islam tersebut.

Nampaklah sekarang bahwa sebenarnya penguasa Orla dan Orba, telah melakukan kejahatan politik dan sejarah sekaligus, yang dosanya sangat besar yang rasanya sulit untuk dimaafkan. Mungkin bisa diumpamakan, hampir sama dengan dosa syirik dalam pengertian agama, yang merupakan dosa terbesar dalam Islam. Karena prilaku politik yang mereka pertontonkan, telah menyesatkan masyarakat dalam memahami sejarah perjuangan Islam di Indonesia dengan sebenarnya. Berbagai rekayasa politik untuk memanipulasi sejarah telah dilakukan sampai hal yang sekecil-kecilnya mengenai perjuangan serta pribadi S.M. Kartosuwiryo. Seperti pengubahan data keluarganya, tanggal dan tahun lahirnya. Semua itu ditujukan agar SMK dan Negara Islam Indonesia jauh dari ingatan masyarakat.

Sekalipun demikian, S.M. Kartosuwiryo tidak berusaha membalas tindakan dzalim pemerintah RI. Pernah suatu ketika Mahkamah Agung (Mahadper) menawarkan untuk mengajukan permohonan grasi (pengampunan) kepada presiden Soekarno, supaya hukuman mati yang telah dijatuhkan kepadanya dibatalkan, namun dengan sikap ksatria ia menjawab," Saya tidak akan pernah meminta ampun kepada manusia yang bernama Soekarno".

Kenyataan ini pun telah dimanipulasi. Menurut Holk H. Dengel dalam bukunya berbahasa Jerman, dan dalam terjemahan Indonesia berjudul: "Darul Islam dan Kartosuwiryo, Angan-angan yang gagal", mengakui bahwa telah terjadi manipulasi data sejarah berkenaan dengan sikap Kartosuwiryo menghadapi tawaran grasi tersebut. Tokoh sekaliber Kartosuwiryo tidak mungkin minta maaf, namun ketika kita baca dalam terjemahannya yang diterbitkan oleh Sinar Harapan telah diubah sebaliknya, bahwa Kartosuwiryo meminta ampun kepada Soekamo, dan kita tahu Sinar Harapan adalah bagian dari kekuatan Kristen yang bahu -membahu dengan penguasa sekuler dalam mendistorsi sejarah Islam.

Dalam majalah Tempo 1983, pernah dimuat kisah seorang petugas eksekusi S.M. Kartosuwiryo, yang menggambarkan sikap ketidak pedulian Kartosuwiryo atas keputusan yang ditetapkan Mahadper RI kepadanya. Ia mengatakan bahwa 3 hari sebelum hukuman mati dilaksanakan, Kartosuwiryo tertidur nyenyak, padahal petugas eksekusinya tidak bisa tidur sejak 3 hari sebelum pelaksanaan hukuman mati. Dari sinilah akhimya diketahui kemudian dimana pusara Kartosuwiryo berada, yaitu di pulau Seribu.

Usaha untuk mengungkapkan manipulasi sejarah adalah sangat berat. Satu di antara fakta sejarah yang dimanipulasi, adalah untuk mengungkap kebenaran tuduhan teks proklamasi dan UUD Negara Islam Indonesia adalah jiplakan dari proklamasi Soekarno-Hatta. Yang sebenamya terjadi justru kebalikannya. Ketika Hiroshima dan Nagasaki di bom (6 - 9 Mei 1945) S.M. Kartosuwiryo sudah tahu melalui berita radio, sehingga ia berusaha memanfaatkan peluang ini untuk sosialisasi proklamasi Negara Islam Indonesia. Ia datang ke Jakarta bersama pasukan Hisbullah dan mengumpulkan massa guna mensosialisasikan kemungkinan berdirinya Negara Islam Indonesia, dan rancangan konsep proklamasi Negara Islam lndonesia kepada masyarakat. Sebagai seorang tokoh nasional yang pernah ditawari sebagai menteri pertahanan muda yang kemudian ditolaknya, melakukan hal ini tentu bukan perkara sulit. Salah satu di antara massa yang hadir dalam pertemuan tersebut adalah Sukarni dan Ahmad Subarjo.

Mengetahui banyaknya dukungan terhadap sosialisasi ini, mereka menculik Soekarno-Hatta ke Rengasdengklok agar mempercepat proklamasi RI sehingga Negara Islam Indonesia tidak jadi tegak. Bahkan dalam bukunya, Holk H. Dengel menyebutkan tanggal 14 Agustus 1945 Negara Islam Indonesia telah di proklamirkan, tetapi yang sebenarnya baru sosialisasi saja. Ketika di Rengasdengklok Soekamo menanyakan kepada Ahmad Soebardjo, sebagaimana ditulis Mr. Ahmad Soebardjo dalam bukunya "Lahirnya Republik Indonesia".

Page 18: Pasang Surut Islam Indonesia.pdf

Pertanyaan Soekarno itu adalah: "Masih ingatkah saudara, teks dari bab Pembukaan Undang-Undang Dasar kita ?" "Ya saya ingat, saya menjawab,"Tetapi tidak lengkap seluruhnya". "Tidak mengapa," Soekarno bilang, "Kita hanya memerlukan kalimat-kalimat yang menyangkut Proklamasi dan bukan seluruh teksnya". Soekarno kemudian mengambil secarik kertas dan menuliskan sesuai dengan apa yang saya ucapkan sebagai berikut : "Kami rakyat Indonesia dengan ini menyatakan kemerdekaan".

Jika kesaksian Ahmad Soebardjo ini benar, jelas tidak masuk akal, karena kita tahu bahwa UUD 1945 baru disahkan dan disetujui tanggal 18 Agustus 1945 setelah proklamasi. Sehingga pertanyaan yang benar semestinya adalah, "Masih ingatkah saudara akan sosialisasi proklamasi Negara Islam Indonesia?" Maka wajarlah jika naskah Proklamasi RI yang asli terdapat banyak coretan. Jelaslah bahwa ternyata Soekarno-Hatta yang menjiplak konsep naskah proklamasi Negara Islam Indonesia, dan bukan sebaliknya. Memang sedikit sejarawan yang mengetahui mengenai kebenaran sejarah ini. Di antara yang sedikit itu adalah Ahmad Mansyur Suryanegara, beliau pernah mengatakan bahwa S.M. Kartosuwiryo pernah datang ke Jakarta pada awal Agustus 1945 bersama pasukan Hizbullah dan Sabilillah.

"Sebenarnya, sebelum hari-hari menjelang proklamasi RI tanggal 17 Agustus 1945, Kartosuwiryo telah lebih dahulu menebar aroma deklarasi kemerdekaan Islam, ketika kedatangannya pada awal bulan Agustus setelah mengetahui bahwa perseteruan antara Jepang dan Amerika memuncak dan menjadi bumerang bagi Jepang. Ia datang ke Jakarta bersama dengan beberapa orang pasukan laskar Hisbullah, dan segera bertemu dengan beberapa elit pergerakan atau kaum nasionalis untuk memperbincangkan peluang yang mesti diambil guna mengakhiri dan sekaligus mengubah determinisme sejarah rakyat Indonesia. Untuk memahami mengapa pada tanggal 16 Agustus pagi Hatta dan Soekamo tidak dapat ditemukan di Jakarta, kiranya Historical enquiry berikut ini perlu diajukan : Mengapa Soekarno dan Hatta mesti menghindar begitu jauh ke Rengasdengklok padahal Jepang memang sangat menyetujui persiapan kemerdekaan Indonesia? Mengapa ketika Soebardjo ditanya Soekarno, apakah kamu ingat pembukaan Piagam Jakarta ? Mengapa jawaban yang diberikan dimulai dengan kami bangsa Indonesia ...? Bukankah itu sesungguhnya adalah rancangan Proklamasi yang sudah dipersiapkan Kartosuwiryo pada tanggal 13 dan 14 Agustus 1945 kepada mereka ? Pada malam harinya mereka telah dibawa oleh para pemimpin pemuda, yaitu Soekarni dan Ahmad Soebardjo, ke garnisun PETA di Rengasdengklok, sebuah kota kecil yang terletak di sebelah barat kota Karawang, dengan dalih melindungi mereka bilamana meletus suatu pemberontakan PETA dan HEIHO. Ternyata tidak terjadi suatu pemberontakan pun, sehingga Soekamo dan Hatta segera menyadari bahwa kejadian ini merupakan suatu usaha memaksa mereka supaya menyatakan kemerdekaan di luar rencana pihak Jepang, tujuan ini mereka tolak. Laksamana Maida mengirim kabar bahwa jika mereka dikembalikan dengan selamat maka dia dapat mengatur agar pihak Jepang tidak menghiraukan bilamana kemerdekaan dicanangkan. Mereka mempersiapkan naskah proklamasi hanya berdasarkan ingatan tentang konsep proklamasi Islam yang dipersiapkan SM. Kartosuwiryo pada awal bulan Agustus 1945. Maka, seingat Soekarni dan Ahmad Soebardjo, naskah itu didasarkan pada bayang-bayang konsep proklamasi dari S.M. Kartosuwiryo, bukan pada konsep pembukaan UUD 1945 yang dibuat oleh BPUPKI atau PPKI." (Al Chaidar, Pengantar Pemikiran Politik Proklamator Negara Isalam Indonesia S.M. Kartosoewirjo, hal. 65, Pen. Darul Falah, Jakarta).

Demikianlah, berbagai manipulasi sejarah yang ditimpakan kepada Darul Islam dan pemimpinnya, sedikit demi sedikit mulai tersibak, sehingga dengan ini diharapkan dapat membuka cakrawala berfikir dan membangun kesadaran historis para pembaca. Lebih dari itu, upaya mengungkap manipulasi sejarah Negara Islam Indonesia yang dilakukan semasa orla dan orba oleh para sejarawan merupakan suatu keberanian yang patut didukung, supaya pembaca mendapatkan informasi yang berimbang dari apa yang selama ini berkembang luas.

Page 19: Pasang Surut Islam Indonesia.pdf

Kami bersyukur kepada Allah Malikurrahman atas antusiame generasi muda Islam dalam menerima informasi yang benar dan obyektif mengenai sejarah perjuangan menegakkan Negara Islam dan berlakunya syari'at Islam di negeri ini. Semoga Allah memberi hidayah dan kekuatan kepada kita semua, sehingga perjuangan menjadikan hukum Allah sebagai satu-satunya sumber dari segala sumber hukum dalam kehidupan berbangsa dan bernegara segera terwujud di Indonesia yang, menurut sensus adalah negara yang penduduknya mayoritas beragama Islam. Amin, Ya Arhamar Rahimin !

Simak Pula Sekilas tentang Darul

Kartosoewirjo ?

Tokoh yang satu ini, menurut berbagai pandangan masyarakat bangsa Indonesia saat ini adalah seorang pemberontak. Citranya sebagai "pemberontak", terlihat ketika dirinya berusaha menjadikan negara Indonesia menjadi sebuah Negara Islam. Namun sangatlah aneh, perjuangan yang dilakukannya itu justru mendapat sambutan yang luar biasa dari daerah-daerah lain di Indonesia, seperti di Jawa Tengah, di Sulawesi Selatan, di Kalimantan, dan di Aceh.

Timbul satu pertanyaan, benarkah dia itu penjahat perang sebagaimana yang dinyatakan oleh pemerintah? Atau mungkin ini sebuah penilaian yang sangat subjektif dari pemerintah yang ingin berusaha melanggengkan kekuasaan tiraninya terhadap rakyat Indonesia. Sehingga diketahui, pemerintah sendiri ketika selesai menjatuhkan vonis hukuman mati terhadapnya, tidak memberitahukan sedikit pun keterangan kepada pihak keluarganya di mana pusaranya berada.

Siapa S.M. Kartosoewirjo?

Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo demikian nama lengkap dari Kartosoewirjo, dilahirkan 7 Januari 1907 di Cepu, sebuah kota kecil antara Blora dan Bojonegoro yang menjadi daerah perbatasan Jawa Timur dengan Jawa Tengah. Kota Cepu ini menjadi tempat di mana budaya Jawa bagian timur dan bagian tengah bertemu dalam suatu garis budaya yang unik.

Ayahnya, yang bernama Kartosoewirjo, bekerja sebagai mantri pada kantor yang mengkoordinasikan para penjual candu di kota kecil Pamotan, dekat Rembang. Pada masa itu mantri candu sederajat dengan jabatan Sekretaris Distrik. Dalam posisi inilah, ayah Kartosoewirjo mempunyai kedudukan yang cukup penting sebagai seorang pribumi saat itu, menimbulkan pengaruh yang sangat besar terhadap pembentukan garis sejarah anaknya. Kartosoewirjo pun kemudian mengikuti tali pengaruh ini hingga pada usia remajanya.

Dengan kedudukan istimewa orang tuanya serta makin mapannya "gerakan pencerahan Indonesia" ketika itu, Kartosoewirjo dibesarkan dan berkembang. Ia terasuh di bawah sistem rasional Barat yang mulai dicangkokkan Belanda di tanah jajahan Hindia. Suasana politis ini juga mewarnai pola asuh orang tuanya yang berusaha menghidupkan suasana kehidupan keluarga yang liberal. Masing-masing anggota keluarganya mengembangkan visi dan arah pemikirannya ke berbagai orientasi. Ia mempunyai seorang kakak perempuan yang tinggal di Surakarta pada tahun 50-an yang hidup dengan penuh keguyuban, dan seorang kakak laki-laki yang memimpin Serikat Buruh Kereta Api pada tahun 20-an, ketika di Indonesia terbentuk berbagai Serikat Buruh.

Pada tahun 1911, saat para aktivis ramai-ramai mendirikan organisasi, saat itu Kartosoewirjo berusia enam tahun dan masuk Sekolah ISTK (Inlandsche School der Tweede Klasse) atau Sekolah "kelas dua" untuk kaum Bumiputra di Pamotan. Empat tahun kemudian, ia melanjutkan

Page 20: Pasang Surut Islam Indonesia.pdf

sekolah ke HIS (Hollandsch-Inlandsche School) di Rembang. Tahun 1919 ketika orang tuanya pindah ke Bojonegoro, mereka memasukkan Kartosoewirjo ke sekolah ELS (Europeesche Lagere School). Bagi seorang putra "pribumi", HIS dan ELS merupakan sekolah elite. Hanya dengan kecerdasan dan bakat yang khusus yang dimiliki Kartosoewirjo maka dia bisa masuk sekolah yang direncanakan sebagai lembaga pendidikan untuk orang Eropa dan kalangan masyarakat Indo-Eropa.

Semasa remajanya di Bojonegoro inilah Kartosoewirjo mendapatkan pendidikan agama dari seorang tokoh bernama Notodihardjo yang menjadi "guru" agamanya. Dia adalah tokoh Islam modern yang mengikuti Muhammadiyah. Tidak berlebihan ketika itu, Notodihardjo sendiri kemudian menanamkan banyak aspek kemodernan Islam ke dalam alam pikir Kartosoewirjo. Pemikiran-pemikirannya sangat mempengaruhi bagaimana Kartosoewirjo bersikap dalam merespon ajaran-ajaran agama Islam. Dalam masa-masa yang bisa kita sebut sebagai the formative age-nya.

Pada tahun 1923, setelah menamatkan sekolah di ELS, Kartosoewirjo pergi ke Surabaya melanjutkan studinya pada Nederlandsch Indische Artsen School (NIAS), Sekolah Kedokteran Belanda untuk Pribumi. Pada saat kuliah inilah (l926) ia terlibat dengan banyak aktivitas organisasi pergerakan nasionalisme Indonesia di Surabaya.

Selama kuliah Kartosoewirjo mulai berkenalan dengan pemikiran-pemikiran Islam. Ia mulai "mengaji" secara serius. Saking seriusnya, ia kemudian begitu "terasuki" oleh shibghatullah sehingga ia kemudian menjadi Islam minded. Semua aktivitasnya kemudian hanya untuk mempelajari Islam semata dan berbuat untuk Islam saja. Dia pun kemudian sering meninggalkan aktivitas kuliah dan menjadi tidak begitu peduli dengan ilmu-ilmu yang diajarkan oleh sekolah Belanda, tentunya setelah ia mengkaji dan membaca banyak buku-buku dari berbagai disiplin ilmu, dari kedokteran hingga ilmu-ilmu sosial dan politik.

Dengan modal ilmu-ilmu pengetahuan yang tidak sedikit itu, ditambah ia juga memasuki organisasi politik Sjarikat Islam di bawah pimpinan Haji Oemar Said Tjokroaminoto. Pemikiran-pemikiran Tjokroaminoto banyak mempengaruhi sikap, tindakan dan orientasi Kartosuwirjo. Maka setahun kemudian, dia dikeluarkan dari sekolah karena dituduh menjadi aktivis politik, dan didapati memiliki sejumlah buku sosialis dan komunis yang diperoleh dari pamannya yaitu Marko Kartodikromo, seorang wartawan dan sastrawan yang cukup terkenal pada zamannya. Sekolah tempat ia menimba ilmu tidak berani menuduhnya karena "terasuki" ilmu-ilmu Islam, melainkan dituduh "komunis" karena memang ideologi ini sering dipandang sebagai ideologi yang akan membahayakan. Padahal ideologi Islamlah yang sangat berbahaya bagi penguasa yang zhalim. Tidaklah mengherankan, kalau Kartosuwirjo nantinya tumbuh menjadi pribadi yang memiliki kesadaran politik sekaligus memiliki integritas keislaman yang tinggi. Ia adalah seorang ulama besar, bahkan kalau kita baca tulisan-tulisannya, kita pasti akan mengakuinya sebagai seorang ulama terbesar di Asia Tenggara.

Aktivitas Kartosoewirjo

Semenjak tahun 1923, dia sudah aktif dalam gerakan kepemudaan, di antaranya gerakan pemuda Jong Java. Kemudian pada tahun 1925, ketika anggota-anggota Jong Java yang lebih mengutamakan cita-cita keislamannya mendirikan Jong Islamieten Bond (JIB). Kartosoewirjo pun pindah ke organisasi ini karena sikap pemihakannya kepada agamanya. Melalui dua organisasi inilah kemudian membawa dia menjadi salah satu pelaku sejarah gerakan pemuda yang sangat terkenal, "Sumpah Pemuda".

Selain bertugas sebagai sekretaris umum PSIHT (Partij Sjarikat Islam Hindia Timur), Kartosoewirjo pun bekerja sebagai wartawan di koran harian Fadjar Asia. Semula ia sebagai korektor, kemudian diangkat menjadi reporter. Pada tahun 1929, dalam usianya yang relatif

Page 21: Pasang Surut Islam Indonesia.pdf

muda sekitar 22 tahun, Kartosoewirjo telah menjadi redaktur harian Fadjar Asia. Dalam kapasitasnya sebagai redaktur, mulailah dia menerbitkan berbagai artikel yang isinya banyak sekali kritikan-kritikan, baik kepada penguasa pribumi maupun penjajah Belanda.

Ketika dalam perjalanan tugasnya itu dia pergi ke Malangbong. Di sana bertemu dengan pemimpin PSIHT setempat yang terkenal bernama Ajengan Ardiwisastera. Di sana pulalah dia berkenalan dengan Siti Dewi Kalsum putri Ajengan Ardiwisastera, yang kemudian dinikahinya pada bulan April tahun 1929. Perkawinan yang sakinah ini kemudian dikarunia dua belas anak, tiga yang terakhir lahir di hutan-hutan belantara Jawa Barat. Begitu banyaknya pengalaman telah menghantarkan dirinya sebagai aktor intelektual dalam kancah pergerakan nasional.

Pada tahun 1943, ketika Jepang berkuasa di Indonesia, Kartosoewirjo kembali aktif di bidang politik, yang sempat terhenti. Dia masuk sebuah organisasi kesejahteraan dari MIAI (Madjlis Islam 'Alaa Indonesia) di bawah pimpinan Wondoamiseno, sekaligus menjadi sekretaris dalam Majelis Baitul-Mal pada organisasi tersebut.

Dalam masa pendudukan Jepang ini, dia pun memfungsikan kembali lembaga Suffah yang pernah dia bentuk. Namun kali ini lebih banyak memberikan pendidikan kemiliteran karena saat itu Jepang telah membuka pendidikan militernya. Kemudian siswa yang menerima latihan kemiliteran di Institut Suffah itu akhirnya memasuki salah satu organisasi gerilya Islam yang utama sesudah perang, Hizbullah dan Sabilillah, yang nantinya menjadi inti Tentara Islam Indonesia di Jawa Barat.

Pada bulan Agustus 1945 menjelang berakhirnya kekuasaan Jepang di Indonesia, Kartosoewirjo yang disertai tentara Hizbullah berada di Jakarta. Dia juga telah mengetahui kekalahan Jepang dari sekutu, bahkan dia mempunyai rencana: kinilah saatnya rakyat Indonesia, khususnya umat Islam, merebut kemerdekaannya dari tangan penjajah. Sesungguhnya dia telah memproklamasikan kemerdekaan pada bulan Agustus 1945. Tetapi proklamasinya ditarik kembali sesudah ada pernyataan kemerdekaan oleh Soekarno dan Mohammad Hatta. Untuk sementara waktu dia tetap loyal kepada Republik dan menerima dasar "sekuler"-nya.

Namun sejak kemerdekaan RI diproklamasikan (17 Agustus 1945), kaum nasionalis sekulerlah yang memegang tampuk kekuasaan negara dan berusaha menerapkan prinsip-prinsip kenegaraan modern yang sekuler. Semenjak itu kalangan nasionalis Islam tersingkir secara sistematis dan hingga akhir 70-an kalangan Islam berada di luar negara. Dari sinilah dimulainya pertentangan serius antara kalangan Islam dan kaum nasionalis sekuler. Karena kaum nasionalis sekuler mulai secara efektif memegang kekuasaan negara, maka pertentangan ini untuk selanjutnya dapat disebut sebagai pertentangan antara Islam dan negara.

Situasi yang kacau akibat agresi militer kedua Belanda, apalagi dengan ditandatanganinya perjanjian Renville antara pemerintah Republik dengan Belanda. Di mana pada perjanjian tersebut berisi antara lain gencatan senjata dan pengakuan garis demarkasi van Mook. Sementara pemerintah RI harus mengakui kedaulatan Belanda atas Indonesia, maka menjadi pil pahit bagi Republik. Tempat-tempat penting yang strategis bagi pasukannya di daerah-daerah yang dikuasai pasukan Belanda harus dikosongkan, dan semua pasukan harus ditarik mundur --atau "kabur" dalam istilah orang-orang DI-- ke Jawa Tengah. Karena persetujuan ini, Tentara Republik resmi dalam Jawa Barat, Divisi Siliwangi, mematuhi ketentuan-ketentuannya. Soekarno menyebut "kaburnya" TNI ini dengan memakai istilah Islam, "hijrah". Dengan sebutan ini dia menipu jutaan rakyat Muslim. Namun berbeda dengan pasukan gerilyawan Hizbullah dan Sabilillah, bagian yang cukup besar dari kedua organisasi gerilya Jawa Barat, menolak untuk mematuhinya. Hizbullah dan Sabilillah lebih tahu apa makna "hijrah" itu.

Pada tahun 1949 Indonesia mengalami suatu perubahan politik besar-besaran. Pada saat Jawa Barat mengalami kekosongan kekuasaan, maka ketika itu terjadilah sebuah proklamasi Negara

Page 22: Pasang Surut Islam Indonesia.pdf

Islam di Nusantara, sebuah negeri al-Jumhuriyah Indonesia yang kelak kemudian dikenal sebagai ad-Daulatul Islamiyah atau Darul Islam atau Negara Islam Indonesia yang lebih dikenal oleh masyarakat sebagai DI/TII. DI/TII di dalam sejarah Indonesia sering disebut para pengamat yang fobi dengan Negara Islam sebagai "Islam muncul dalam wajah yang tegang." Bahkan, peristiwa ini dimanipulasi sebagai sebuah "pemberontakan". Kalaupun peristiwa ini disebut sebagai sebuah "pemberontakan", maka ia bukanlah sebuah pemberontakan biasa. Ia merupakan sebuah perjuangan suci anti-kezhaliman yang terbesar di dunia di awal abad ke-20 ini. "Pemberontakan" bersenjata yang sempat menguras habis logistik angkatan perang Republik Indonesia ini bukanlah pemberontakan kecil, bukan pula pemberontakan yang bersifat regional, bukan "pemberontakan" yang muncul karena sakit hati atau kekecewaan politik lainnya, melainkan karena sebuah "cita-cita", sebuah "mimpi" yang diilhami oleh ajaran-ajaran Islam yang lurus.

Akhirnya, perjuangan panjang Kartosoewirjo selama 13 tahun pupus setelah Kartosoewirjo sendiri tertangkap. Pengadilan Mahadper, 16 Agustur l962, menyatakan bahwa perjuangan suci Kartosoewirjo dalam menegakkan Negara Islam Indonesia itu adalah sebuah "pemberontakan". Hukuman mati kemudian diberikan kepada mujahid Kartosoewirjo.

Tentang kisah wafatnya Kartosoewirjo, ternyata Soekarno dan A.H. Nasution cukup menyadari bahwa Kartosoewirjo adalah tokoh besar yang bahkan jika wafat pun akan terus dirindukan umat. Maka mereka dengan segala konspirasinya, didukung Umar Wirahadikusuma, berusaha menyembunyikan rencana jahat mereka ketika mengeksekusi Imam Negara Islam ini.

Sekalipun jasad beliau telah tiada dan tidak diketahui di mana pusaranya berada karena alasan-alasan tertentu dari pemerintahan Soekarno, tapi jiwa dan perjuangannya akan tetap hidup sepanjang masa. Sejarah Indonesia telah mencatat walaupun dimanipulasi dan sekarang bertambah lagi dengan darah mujahid Asy-syahid S.M. Kartosoewirjo. HARI INI KAMI MENGHORMATIMU, BESOK KAMI BERSAMAMU! Insya Allah. Itulah makna dari firman Allah: "Dan janganlah kamu mengatakan terhadap orang-orang yang gugur di jalan Allah (bahwa mereka itu mati); bahkan sebenarnya mereka itu hidup, tetapi kamu tidak menyadarinya". (QS. 2:154).

(Al Chaidar, penulis buku Kartosoewirjo)