PASANG-SURUT HUBUNGAN BUTON VOC: STUDI MASA …

153
PASANG-SURUT HUBUNGAN BUTON VOC: STUDI MASA SULTAN HIMAYATUDDIN MUHAMMAD SAIDI (1751-1752, DAN 1760-1763) SKRIPSI Diajukan kepada Fakultas Adab dan Humaniora untuk Memenuhi Syarat Mendapat Gelar Sarjana (S1) Humaniora (S.Hum) Disusun Oleh : Muliadin Iwan NIM : 1111022000004 JURUSAN SEJARAH DAN KEBUDAYAAN ISLAM FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1437 H/2016 M

Transcript of PASANG-SURUT HUBUNGAN BUTON VOC: STUDI MASA …

PASANG-SURUT HUBUNGAN BUTON – VOC: STUDI MASA SULTAN

HIMAYATUDDIN MUHAMMAD SAIDI

(1751-1752, DAN 1760-1763)

SKRIPSI

Diajukan kepada Fakultas Adab dan Humaniora

untuk Memenuhi Syarat Mendapat Gelar Sarjana (S1) Humaniora (S.Hum)

Disusun Oleh :

Muliadin Iwan

NIM : 1111022000004

JURUSAN SEJARAH DAN KEBUDAYAAN ISLAM

FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1437 H/2016 M

PASANG-SURUT HUBUNGAN BUTON – VOC: STUDI MASA SULTAN

HIMAYATUDDIN MUHAMMAD SAIDI

(1751-1752, DAN 1760-1763)

SKRIPSI

Diajukan kepada Fakultas Adab dan Humaniora

untuk Memenuhi Syarat Mendapat Gelar Sarjana (S1) Humaniora (S.Hum)

Oleh :

Muliadin Iwan

NIM : 1111022000004

Pembimbing :

Dr. H. Abdul Wahid Hasyim, M.A

NIP. 19560817 198603 1 006

JURUSAN SEJARAH DAN KEBUDAYAAN ISLAM

FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1437 H/2016 M

PENGESAHAN PANITIA UJIAN

Skripsi yang berjudul “PASANG-SURUT HUBUNGAN BUTON –

VOC: STUDI MASA SULTAN HIMAYATUDDIN MUHAMMAD SAIDI

(1751-1752, DAN 1760-1763)”, telah diujikan dalam sidang munaqosyah

Fakultas Adab dan Humaniora UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada 25 April

2016. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Sarjana Humaniora (S.Hum) pada program studi Sejarah dan Kebudayaan Islam.

Ciputat, 25 April 2016

Sidang Munaqosyah

Ketua Merangkap Anggota Sekretaris Merangkap Anggota

H. Nurhasan, M.A Shol i kat us Sa’ di yah,

M.Pd

NIP. 19690724 199703 1 001 NIP. 19750417 200501 2 007

Anggota

Penguji I Penguji II

Prof. Dr. H. Budi Sulistiono, M.Hum Dr. Saidun Derani, MA

NIP: 19541010 198803 1 001 NIP: 19570227 199203 1 001

Pembimbing

Dr. H. Abdul Wahid Hasyim, M.A

NIP. 19560817 198603 1 006

Jl. Ir. H. Juanda No. 95, Ciputat 15412, Jakarta, Indonesia Telp. (021) 7443329,

Fax. (021) 7493364

KEMENTERIAN AGAMA

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI(UIN)

SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA

SURAT PERNYATAAN

Saya yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama : Muliadin Iwan

NIM : 111102200004

Program Studi : Sejarah dan Kebudayaan Islam

Dengan ini menyatakan bahwa skripsi ini adalah hasil karya saya sendiri yang

merupakan hasil penelitian, pengolahan dan analisis saya sendiri serta bukan

merupakan replikasi maupun saduran dari hasil karya atau hasil penelitian orang

lain.

Apabila terbukti skripsi ini merupakan plagiat atau replikasi maka skripsi

dianggap gugur dan harus melakukan penelitian ulang untuk menyusun skripsi

baru dan kelulusan serta gelarnya dibatalkan.

Demikian pernyataan ini dibuat dengan segala akibat yang timbul dikemudian hari

menjadi tanggung jawab saya.

Jakarta, 22 April 2016

Muliadin Iwan

i

ABSTRAK

Skripsi ini berjudul “Pasang-Surut Hubungan Buton – VOC: Studi Masa

Sultan Himayatuddin Muhammad Saidi (1751-1752, dan 1760-1763)”. Skripsi ini

membahas mengenai dinamika hubungan Buton – VOC yang telah mengalami

pasang-surut sejak tahun 1613, tepatnya masa pemerintahan Sultan Dayanu

Ikhsanuddin atau La Elangi (1578-1615) sampai dengan masa pemerintahan

Sultan Himayatuddin Muhammad Saidi. Permasalahan utama yang ingin dijawab

dalam penelitian ini adalah mengenai pertentangan Sultan Himayatuddin

Muhammad Saidi terhadap VOC. Metode yang digunakan dalam penelitian ini

adalah metode historis yang bersifat deskriptif analitis, dengan pendekatan

politikologis yang menyoroti struktur kekuasaan, jenis kepemimpinan,

pertentangan kekuasaan dan lain sebagainya. Sumber data yang digunakan adalah

arsip, artikel, buku, jurnal, majalah, tesis dan disertasi. Teknik pengumpulan

sumber melalui beberapa tahapan, yaitu: heuristik, verifikasi, interpretasi, dan

historiografi.

Temuan penulis menunjukan, bahwa penyebab Sultan Himayatuddin

menentang VOC adalah semakin besarnya ruang intervensi VOC dalam persoalan

politik maupun ekonomi di Kesultanan Buton. Hal ini berdampak pada

memuncaknya ketegangan hubungan antargolongan bangsawan Buton serta

timbulnya ‘kekacauan’ dan kemelaratan di kalangan masyarakat Buton akibat

kebijakan ekstirpasi pohon rempah-rempah di seluruh wilayah Kesultanan Buton,

kebijakan pembatasan aktifitas berlayar dan berdagang orang-orang Buton dan

lain sebagainya. Dalam kontrak-kontrak juga telah menunjukan adanya pergeseran

kedudukan Buton – VOC yang awalnya menunjukan kedudukan yang setara

menjadi ke tahap ketundukkan yang menunjukan dominasi VOC. Pada tahapan

ini, Sultan Himayatuddin Muhammad Saidi telah menganggap VOC sebagai

ancaman baru terhadap eksistensi Kesultanan Buton, sehingga harus terus

dilawan.

Kata kunci: Buton, VOC, Kontrak, Pertentangan, Sultan Himayatuddin

Muhammad Saidi.

ii

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, berkat limpahan rahmat, karunia, taufik serta hidayah Allah

SWT penulis dapat menyelesaikan skripsi ini yang berjudul “Pasang-Surut

Hubungan Buton – VOC: Studi Masa Sultan Himayatuddin Muhammad Saidi

(1751-1752, dan 1760-1763)”. Meski dari segi teknis maupun kandungan isi

masih jauh dari kata sempurna dan memuaskan, penulis menyadari bahwa

selesainya skripsi ini bukan berdasarkan usaha penulis semata, melainkan ada

beberapa pihak yang sedikit banyaknya telah berkontribusi membantu penulis,

baik dalam bentuk moril maupun materil. Oleh karenanya, perkenankanlah

penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Prof. Dr. Dede Rosyada, MA.

2. Dekan Fakultas Adab dan Humaniora, Prof. Dr. Sukron Kamil, M.Ag.

3. Ketua Jurusan Sejarah dan Kebudayaan Islam (SKI), H. Nurhasan, M.A.,

yang tidak henti-hentinya mensupport dan motivasi seluruh mahasiswa SKI

untuk menyelesaikan studi tepat waktu.

4. Sekretaris Jurusan SKI, Sholikatus Sa'diyah, M.Pd., yang senantiasa

memberikan kemudahan dalam mengurusi administrasi.

5. Dosen pembimbing skripsi penulis, Dr. H. Abdul Wahid Hasyim, M.Ag.,

yang telah meluangkan banyak waktunya untuk membimbing penulis

hingga skripsi ini selesai. Termasuk dosen penguji skripsi (I dan II) Prof.

Dr. H. Budi Sulistiono, M.Hum., dan Dr. Saidun Derani, MA., yang telah

memberikan banyak masukan untuk perbaikan skripsi ini.

iii

6. Seluruh dosen Jurusan SKI UIN Syarif Hidayatullah yang telah mengisi

kekosongan jiwa kami (mahasiswa SKI) dengan ilmu yang bermamfaat.

7. Pimpinan dan seluruh staff pegawai Perpustakaan Utama (PU) dan

Perpustakaan Fakultas Adab dan Humaniora UIN Syarif Hidayatullah

Jakarta yang telah memberikan pelayanan dengan baik. Termasuk berbagai

instansi maupun pihak luar yang telah memfasilitasi penulis selama

melakukan penelusuran sumber, baik di Jakarta maupun di Buton.

8. Kedua orang tua penulis, La Iwan (ayah) dan Jalinal (ibu) yang selalu

konsisten dalam memperjuangkan penulis melaui hamparan doa yang

khusyu’ dan usaha yang maksimal. Juga kepada seluruh adik kandung

penulis: Munaf, Rahmah, Akhsan, Halimah, dan Nabil yang meskipun

cukup bandel tapi masih mau membantu penulis dalam banyak hal.

9. Seluruh keluarga penulis yang sekarang ada di Desa Nepa-Mekar maupun di

perantauan (Kakek, Nenek, Paman, Bibi dan lain sebagainya) yang tidak

sempat penulis sebutkan satu persatu namanya. Terkhusus buat Kak Safar

yang telah banyak mencurahkan pikiran, tenaga, dan materi kepada penulis

selama menempuh studi di Jakarta. Tak lupa pulah kepada Ust. Rasid

(Ocid), dan Ust. Ilyas yang telah banyak membantu penulis selama berada

di Jakarta.

10. Ust. Falah yang sudah bermurah hati meminjamkan hampir seluruh koleksi

bukunya yang relevan dengan kajian penulis serta memberikan banyak

kritikan dan masukan yang sangat berharga buat skripsi ini. Wahyu

Woliyono yang telah membantu penulis selama menelusuri sumber di

iv

Perpustakaan Universitas Indonesia (UI). Bapak Wawan (Ketua Media

Center Baubau), dan Bapak H. La Ode M. Razinuddin, S.E, M.Si (Dinas

Pariwisata Baubau) yang telah banyak mengarahkan dan menemani penulis

menelusuri sumber di kota Baubau.

11. Seluruh kawan-kawan di Kampus: Egi, Ucok, Ilham, Taqi, Rahmat, Habib,

Dirga, Ririn, Azizah, Eva, dan lain sebagainya yang telah meluangkan

banyak waktunya untuk berjumpa muka, pikiran, dan jiwa dengan penulis

guna mengkaji skripsi ini.

12. Seluruh kawan-kawan yang namanya tidak sempat penulis sebutkan satu

persatu mulai dari SKI angkatan 2011, Himpunan Pemuda Pelajar

Mahasiswa Indonesia Buton (HIPPMIB Bersatu – Jakarta), Dewan

Eksekutif Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah 2015, serta BJ-Community

yang tidak henti-hentinya mensupport dan memberikan kesempatan kepada

penulis untuk berproses.

Akhirnya, penulis hanya bisa berdoa agar semua amal dan itikad baik semua

pihak yang telah membantu penulisan skripsi ini mendapatkan balasan dari Allah

SWT. Amin ya Rabbal alamin. Sebagai penutup, penulis mengharapkan masukan

dan kritikan yang membangun untuk perbaikan skripsi ini kedepannya.

Jakarta, 28 April 2016

Muliadin Iwan

v

DAFTAR ISI

ABSTRAK ............................................................................................................ i

KATA PENGANTAR .......................................................................................... ii

DAFTAR ISI ......................................................................................................... v

BAB 1 : PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah ............................................................................. 1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ......................................................... 6

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ............................................................... 7

D. Tinjauan Pustaka ........................................................................................ 8

E. Metode Penelitian........................................................................................ 10

F. Sistematika Penulisan ................................................................................. 12

BAB II : PROFIL KESULTANAN BUTON

A. Asal-Usul Penamaan Buton/Wolio ............................................................ 14

B. Berdirinya Kerajaan Buton ......................................................................... 23

C. Transformasi Kerajaan Buton Menjadi Kesultanan ................................... 28

D. Wilayah Kekuasaan dan Struktur Pemerintahan Kesultanan Buton ........... 32

E. Kehidupan Masyarakat Buton Masa Kesultanan ........................................ 38

1. Asal-Usul Penduduk ............................................................................ 38

2. Kehidupan Ekonomi, Sosial dan Budaya ............................................ 43

2.1. Perdagangan Sebagai Sumber Kehidupan Perekonomian .......... 43

2.2. Sosial-Budaya ............................................................................. 47

BAB III : PASANG-SURUT HUBUNGAN BUTON – VOC (TAHUN 1613-

1751)

A. Kedatangan VOC dan Terbentuknya Persekutuan Abadi Buton - VOC .... 49

vi

B. Masa Keretakan Hubungan Buton – VOC ................................................. 62

C. Normalisasi Kembali Hubungan Buton – VOC ......................................... 66

D. Terbentuknya Aliansi Militer Buton – VOC .............................................. 69

BAB IV : HUBUNGAN BUTON – VOC MASA PEMERINTAHAN SULTAN

HIMAYATUDDIN MUHAMMAD SAIDI (TAHUN 1751-1752,

DAN 1760-1763)

A. Kondisi Internal Kesultanan Buton Masa Pemerintahan Sultan

Himayatuddin Muhammad Saidi ............................................................... 84

B. Konflik Buton - VOC ................................................................................. 89

1. Masa Sultan Himayatuddin Muhammad Saidi .................................... 89

2. Masa Sultan Hamim ............................................................................ 103

C. Dampak Konflik Buton – VOC Terhadap Kehidupan Masyarakat Buton.. 110

BAB IV : PENUTUP

A. Kesimpulan ................................................................................................ 113

B. Saran ........................................................................................................... 115

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 118

LAMPIRAN .......................................................................................................... 126

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Selama berabad-abad lamanya kerajaan-kerajaan di Nusantara menjalin

interaksi, komunikasi dan hubungan kerjasama. Menurut Budiono, suatu

hubungan dilakukan sebagai upaya untuk mengembangkan suatu kepentingan

bersama untuk mencapai kesejahteraan kerajaan demi tercapainya tingkat

kemakmuran pada kerajaan tersebut. Hubungan ini dapat berlangsung dalam

berbagai bidang, baik bidang politik, ekonomi, sosial-budaya dan lain

sebagainya.1 Hubungan dalam bidang politik menurut J. Keuning seringkali

memusatkan perhatian pada aspek keamanan, perang, persenjataan, aliansi dan

lain sebagainya. Demikian juga dalam bidang ekonomi dengan bertitik tolak pada

rasa saling bergantung secara ekonomis yang melahirkan hubungan antarbangsa.

Kondisi ketergantungan tersebut menyebabkan situasi politik dan ekonomi suatu

negara tidak dapat dipisahkan secara mutlak dari bangsa lainya, karenah

merupakan suatu arah dasar dari hubungan antarbangsa atau kerajaan.2

Kerajaan/Kesultanan Buton yang menurut cerita rakyat setempat didirikan

oleh pendatang dari Johor dan Sumatra3 telah lama menjalin kontak kekuasaan

dengan daerah atau kerajaan-kerajaan lain disekitarnya. Sebelum akhirnya

membangun hubungan kerjasama dengan bangsa-bangsa Eropa khususnya bangsa

1 Budiono Kusumohamidjojo, Hubungan Internasional-Kerangka Studi Analitik,

(Bandung: Bina Cipta, 1987), hal. 3. 2 J. Keuning, Sejarah Ambon Sampai pada Akhir Abad Ke-XII, (Jakarta: Bhatara, 1973),

hal. 45. 3 Para imigran itu terdiri dari Sipajonga, Simalui, Sitamananjo, dan Sijawangkati. Dalam

masyarakat Buton mereka biasa dikenal dengan sebutan “mia patamiana”, yang berarti “yang

empat orang”.

2

Belanda, Buton telah lebih awal membangun hubungan interaksi dan komunikasi

dengan kerajaan-kerajaan tetangganya, seperti Kerajaan Ternate, Gowa, Bone

serta beberapa kerajaan kecil lainnya di sekitar perairan Buton. Menurut Susanto

Zuhdi, terbentuknya hubungan Buton dengan beberapa kerajaan tersebut sebagai

upaya Buton untuk menjaga kelangsungan hidup kerajaan. Beberapa faktor yang

mendorong Buton dengan mudah berinteraksi dengan beberapa kerajaan tersebut

adalah budaya maritim masyarakat Buton, posisi strategis wilayah Kesultanan

Buton, serta kekayaan alam Kesultanan Buton.4

Meski beberapa kerajaan tersebut merupakan sahabat bagi Buton, tapi tak

jarang suatu waktu beberapa kerajaan tersebut dapat berbalik menjadi ancaman

bagi Buton, khususnya Kerajaan Ternate dan Gowa. Pada abad ke-16 dan ke-17,

kedua kerajaan ini tampil sebagai kerajaan Islam terkuat dan terbesar di kawasan

timur Nusantara.5 Kekuatan dan kebesaran Ternate pada masa itu ditandai dengan

keberhasilannya menaklukkan 72 pulau di bawah pemerintahan Sultan Babullah

(1570-1583) yang wilayah kekuasaannya terbentang luas dari Mindanao di utara

sampai Bima di selatan.6 Sementara kebesaran Gowa pada saat itu ditandai

dengan supremasinya terhadap Kerajaan Wajo, Soppeng, dan Bone di Sulawesi

Selatan serta beberapa kawasan lain di Nusa Tenggara bahkan Kalimantan.7

Sebagai kerajaan terbesar dan terkuat, Ternate dan Gowa selalu terlibat

aktif dalam kontestasi perebutan wilayah kekuasaan di berbagai kawasan timur

Nusantara. Ekspansi Gowa ke timur sering kali berbenturan dengan ekspansi

4 Susanto Zuhdi, dkk., Kerajaan Tradisional Sulawesi Tenggara: Kesultanan Buton,

(Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, 1996), hal. 63-64. 5 Abdul Rahim Yunus, Posisi Tasawuf Dalam Sistem Kekuasaan di Kesultanan Buton

Pada Abad Ke-19, (Jakarta: INIS, 1995), hal. 38 6 Paramita R. Abdurachman, Bunga angin Portugis di Nusantara: jejak-jejak kebudayaan

Portugis di Indonesia, (Jakarta: LIPI Press, 2008), hal. 99 7 Abdul Rasjid dan Restu Gunawan, Makassar Sebagai Kota Maritim, (Jakarta:

Departemen Pendidikan Nasional, 2000), hal. 35

3

Ternate ke barat dan selatan. Kedua pasukan kerajaan ini kerap kali berhadap-

hadapan di beberapa tempat, seperti di Sulawesi Utara dan Minahasa. Di bagian

timur mereka berhadap-hadapan di Banggai, di bagian tenggara bertemu di

Kepulauan Buton, di selatan berjumpa di Selayar, dan bahkan sampai di Bima.

Akibat kontestasi perebutan wilayah kekuasaan ini, semua kerajaan di kecil di

kawasan tersebut merasa teracam eksistensinya, khususnya Buton yang wilayah

kekuasaanya terletak diantara kedua kerajaan tersebut.

Sumber sejarah Buton mencatat, bahwa selama kurun abad ke-16 dan 17,

Buton selalu terombang ambing akibat pertarungan politik antara Ternate dan

Gowa yang kemudian melibatkan VOC. Pim Schoorl dalam bukunya yang

berjudul “Masyarakat, Sejarah dan Budaya Buton” menganalogikan posisi Buton

pada waktu itu seperti shuttle cock atau bola bulu yang dimainkan oleh Makassar,

Ternate, dan VOC, khususnya pada abad ke-17.8 Adapun sumber lokal Buton

“Ajonga Inda Malusa”9 menggambarkan Buton pada waktu itu seperti “perahu”

yang menghadap ke barat. Dalam posisinya sebagai “perahu”, Buton tentu saja

memiliki bagian yang disebut haluan (rope) dan buritan (wana). Dari kedua arah

itu, “perahu” Buton selalu menghadapi ancaman dan bahaya yang sewaktu-waktu

datang dari timur, yaitu Ternate dan Gowa dari barat.10

Seiring meningkatnya ancaman terhadap Buton baik yang disebabkan oleh

ekspansi perluasan wilayah Kerajaan Ternate, Gowa maupun kelompok bajak

laut, Buton harus mencari “Sahabat” yang kuat dan mampu melindungi

8 J.W. (Pim) Schoorl, Masyarakat, Sejarah dan Budaya Buton, (Jakarta: Djambatan,

2003), hal. 75 9 Anjonga Inda Malusa artinya pakaian yang tidak luntur. Naskah ini merupakan naskah

kabanti atau syair-syair yang dinyanyikan, yang ditulis oleh Haji Abdul Ganiu pada abad ke-19,

dan kemudian diterjemahkan oleh Sejarawan Buton Abdul Mulku Zahari tahun 1980-an. 10

Susanto Zuhdi, Sejarah Buton yang terabaikan: labu rope labu wana, hal. 87

4

kedaulatan Kesultanan Buton. Hasilnya, pada tahun 1613 telah tercetus kontrak

“Persekutuan Abadi” antara Buton dengan VOC, yang mana Buton diwakili oleh

Sultan Dayanu Ikhsanuddin atau La Elangi (memerintah: 1578-1615) dan VOC

oleh Apollonius Schotte. 11

Sepanjang sejarahnya, kontrak ini telah menghasilkan

berbagai intrik sosial politik baik dari dalam maupun luar pemerintahan

Kesultanan Buton. Dalam kontrak tersebut, kedua belah pihak baik Buton maupun

VOC sepakat untuk saling melindungi dan tidak saling menyerang, sebab musuh-

musuh Kesultanan Buton juga adalah musuh VOC. Hubungan kerjasama ini

berlangsung dalam politik dan ekonomi yang mencakup pembentukan aliansi

militer, dan perdagangan.

Dengan terbentuknya hubungan Buton – VOC yang semakin intens, Buton

tampil sebagai kerajaan yang cukup stabil di kawasan timur Nusantara, khususnya

perairan Sulawesi Tenggara. Hal ini berkat semakin kuatnya pertahanan Buton

berkat bantuan VOC, serta faktor jatuhnya Kerajaan Gowa tahun 1667 yang

kemudian disusul semakin menurunnya dominasi Ternate di kawasan timur

Nusantara akibat semakin meningkatnya pengaruh VOC di kawasan tersebut.

Dengan demikian, posisi Buton yang awalnya selalu terombang-ambing dalam

pertarungan politik antara Gowa dan Ternate telah berakhir, dan berubah menjadi

kerajaan yang stabil yang dalam ungkapan Haji Abdul Ganiu dikenal dengan

istilah “labu rope labu wana” atau “berlabuh haluan, berlabuh buritan”. Maksud

dari ungkapan ini adalah akhir dari proses panjang yang dialami Buton untuk

melepaskan diri dari ancaman Ternate dan Gowa. Dengan perkataan lain adalah

11

Husein A. Chalik dkk, Sejarah Perlawanan Terhadap Imperialisme dan Kolonialisme

di Daerah Sulawesi Tenggara, (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat

Sejarah dan Nilai Tradisional Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional,

1983/1984), hal. 11.

5

kondisi Buton yang sudah aman, ibarat perahu yang dengan tenang dapat

menempatkan sauhnya, baik yang di bagian buritan, maupun di haluan.12

Meskipun cukup besar mamfaat kerjasama antara Buton dengan VOC,

nampaknya tidak serta merta membuat semua Sultan Buton terpikat untuk

melanjutkan hubungan dengan VOC. Adalah Sultan Himayatuddin Muhammad

Saidi atau La Karambau yang memerintah tahun 1751-1752 sebagai Sultan Buton

ke-21, dan 1760-1763 sebagai Sultan Buton ke-23 yang berani memutus mata

rantai hubungan Buton – VOC yang telah dibentuk oleh para pendahulunya.

Semua kontrak Buton – VOC yang selama ini telah dianggap oleh semua

kalangan sebagai pusaka adat yang wajib dijaga, ditaati, dan dijalankan secara

maksimal nyatanya diputuskan dan dinyatakan tidak berlaku lagi oleh Sultan

Himayatuddin.

Akibat tindakan pertentangan Sultan Himayatuddin dengan VOC ini telah

membawa Buton ke dalam jurang konflik berupa perang raya antara Buton dengan

VOC yang berlangsung dari masanya hingga masa setelanya, khususnya pada

masa pemerintahan Sultan Sakiyuddin atau Hamim (memerintah: 1752-1759).

Ligtvoet dalam bukunya menulis“Onder deregesring van deze voerat gebaurde er

iest, waardoor Boeton later in ernstige verwikkelingen met de Compagnie

geraakte,”13

bahwa pada masa pemerintahan raja ini (Himayatuddin) terjadi

sesuatu yang membawa Kerajaan Buton ke dalam pertentangan yang keras dengan

VOC.

Jika mengacu pada kontrak awal antara Buton dengan VOC yang terbina

sebelum masa pemerintahan Sultan Himayatuddin, setiap sultan yang memerintah

12 Zuhdi, disertasi hal. 1-2. 13

Selengkapnya, lihat: A. Ligtvoet, Beschrijving en Geschiedenis van Boeton, BKI, 1878,

hal. 73.

6

di Kesultanan Buton patutnya wajib menjaga hubungan baik dengan VOC. Bagi

sebagian besar pembesar kerajaan, khususnya Dewan Sara’, sikap menentang

VOC adalah sikap yang patut dihindari, dan melanggarnya termasuk dalam

kategori penghianatan. Namun hal ini nampaknya tidak dihiraukan oleh Sultan

Himayatuddin yang selama pemerintahannya bahkan terus mengobarkan perang

terhadap VOC.

Kajian mengenai pasang-surut hubungan Buton – VOC pada umumnya,

dan Sultan Himayatuddin Muhammad Saidi pada khususnya masih sangat minim

dan sering kali terabaikan. Beberapa literatur lebih banyak menonjolkan Buton

dengan VOC sebagai sekutu abadi. Padahal jika dilihat lebih jauh, perjalanan

hubungan Buton – VOC telah mengalami pasang-surut. Dalam skripsi ini, penulis

ingin melihat lebih jauh dinamika hubungan Buton – VOC yang telah mengalami

pasang-surut, dengan fokus kajian pada masa pemerintahan Sultan Himayatuddin

Muhammad Saidi.

B. Pembatasan dan Rumusan Masalah

Hubungan Buton – VOC sesungguhnya mempunyai sejarah yang panjang.

Masa awal terbentuknya hubungan keduanya adalah sejak tercetusnya kontrak

persekutuan abadi La Elangi – Schotte tahun 1613, dan berakhir setelah runtuhnya

hegemoni Hindia – Belanda di Nusantara tahun 1942. Kajian penulis ini terbatas

sampai dengan pertengahan abad ke-18 dengan fokus kajian pada pertentangan

Sultan Himayatuddin Muhammad Saidi terhadap VOC (1751-1752, dan 1760-

1763).

Adapun rumusan permasalahannya adalah sebagai berikut:

7

1. Mengapa terjadi konflik antara Buton dengan VOC pada masa

pemerintahan Sultan Himayatuddin Muhammad Saidi?

2. Mengapa Sultan Himayatuddin Muhammad Saidi menentang VOC?

3. Bagaimanakah peran Sultan Himayatuddin dalam konflik Buton –

VOC masa pemerintahan Sultan Sakiyuddin atau Hamim?

4. Apa respon VOC terhadap pertentangan Sultan Himayatuddin

Muhammad Saidi?

5. Apa dampak konflik Buton – VOC terhadap masyarakat Buton?

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk memahami pertentangan dan konflik Buton

– VOC masa pemerintahan Sultan Himayatuddin Muhammad Saidi (1751-1752,

dan 1760-1763). Diharapkan penelitian ini mempunyai kegunaan:

1. Sebagai bahan informasi yang didedikasikan kepada masyarakat Buton

maupun masyarakat Indonesia secara umum.

2. Sebagai bahan bacaan bagi masyarakat khususnya kaum terpelajar,

guna menambah wawasan dan memperluas khazanah keilmuan.

3. Sebagai referensi untuk penulisan-penulisan selanjutnya.

D. Tinjauan Pustaka

Meskipun pembahasan mengenai judul penulis belum dilakukan secara

rinci oleh penulis-penulis sebelumnya, tetapi penulis menyadari, bahwa penulisan

skripsi ini tidak terlepas dari tulisan-tulisan sebelumnya yang diantaranya adalah:

8

Buku “Kerajaan Tradisional Sulawesi Tenggara: Kesultanan Buton” oleh

Susanto Zuhdi dkk, Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI 1996.

Dalam buku tersebut Zuhdi dkk menjelaskan mengenai dinamika eksistensi

Kesultanan Buton sebagai kerajaan tradisional. Ia melihat, bahwa pengaruh

intervensi VOC di Kesultanan Buton telah mengikis unsur-unsur tradisionalisme

Kesultanan Buton khususnya pada akhir abad ke-19 atau awal abad ke-20, dimana

kerajaan tradisional Buton sudah memudar dan keberadaan serta peran yang

dimainkan sudah sebagian besar telah ditentukan oleh pemerintah kolonial

Belanda. Demikianlah, meskipun banyak menyinggung hubungan Buton – VOC,

tetapi tulisan tersebut lebih menitik beratkan pada pengaruh intervensi VOC

terhadap eksistensi Buton sebagai kerajaan tradisional.

Buku “Sejarah Buton yang Terabaikan: Labu Rope Labu Wana” oleh

Susanto Zuhdi, Jakarta: Rajawali Pers, 2010. Dalam tulisan ini, Zuhdi

menggambarkan pola ketidakstabilan politik Kesultanan Buton akibat berbagai

ancaman, baik internal maupun eksternal. Zuhdi memperlihatkan Buton sebagai

wilayah pertarungan politik antara Gowa, Ternate dan VOC. Akibat pertarungan

politik tersebut, Buton harus memilih secara bergantian antara sekutu dan seteru,

termasuk dalam hal ini dengan VOC. Dalam kaitanya dengan Sultan

Himayatuddin Muhammad Saidi, Zuhdi memperlihatkan kondisi Buton pada

masanya yang sangat mengkhawatirkan, akibat petentanganya dengan VOC.

Meskipun demikian, penggambaran seputar Sultan Himayatuddin Muhammad

Saidi masih cukup umum, sehingga perluh pengkajian yang lebih mendalam.

Buku: Masyarakat, Sejarah dan Budaya Buton, oleh Dr. J.W. (Pim)

Schoorl, Jakarta – KITLV: Djambatan, 2003. Dalam tulisannya ini, Schoorl

9

menggambarkan masyarakat, sejarah, agama, budaya hingga kekuasaan

Kesultanan Buton. Schrool melihat semakin melemahnya peran yang dimainkan

Kesultanan Buton, seiring semakin menguatnya intervensi politik maupun

ekonomi VOC di Kesultanan Buton, khususnya pasca runtuhnya Kerajaan Gowa

tahun 1666. Meskipun demikian, Schrool dalam pembahasan mengenai tentang

hubungan Buton – VOC tersebut masih lemah, dikarenakan penggambaranya

mengenai hubungan Buton – VOC pasca runtuhnya Kerajaan Gowa 1666 sebagai

hubungan penjajah dengan daerah jajahan, dengan pernyataanya bahwa Buton

telah masuk dalam Pax Neerlandica.

Buku: Sejarah dan Adat fiy Darul Butuni (Buton) Jilid I, II dan III oleh

Abdul Mulku Zahari, Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1977.

Dalam karyanya ini, Zahari menulis tentang sejarah elit penguasa

Kerajaan/Kesultanan Buton, sejak Raja Buton pertama Wa Kaa Kaa hingga Sultan

Buton terakhir atau ke-38 La Ode Muhammad Falihi. Meskipun demikian,

penggambaran mengenai Sultan Himayatuddin Muhammad Saidi masih secara

general.

Buku: Sejarah Perlawanan Terhadap Imperialisme dan Kolonialisme di

Daerah Sulawesi Tenggara oleh Husein A. Chalik dkk, Jakarta: Departemen

Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional Proyek

Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional, 1983/1984. Tulisan ini

menggambarkan mengenai perjuangan masyarakat Sulawesi Tenggara dalam

menentang kolonialisme Hindia – Belanda di Sulawesi Tenggara, yang salah satu

pejuangnya adalah Sultan Himayatuddin Muhammad Saidi. Buku tersebut

menggambarkan nilai-nilai kepahlawanan Sultan Himayatuddin Saidi dalam

10

menentang hegemoni Belanda (VOC) di Kesultanan Buton. Meskipun demikian,

penggambaran Chalik dkk tentang Himayatuddin masih berdasarkan perspektif

masyarakat Sulawesi saja.

Demikianlah, beberapa buku yang penulis anggap relevan dengan tema

kajian penulis. Meski ada persamaan, namun dalam tulisan ini terdapat sisi yang

berbeda dengan tulisan-tulisan di atas. Dalam tulisan ini, penulis akan mencoba

menganalisis lebih dalam dan terperinci terkait pasang-surut hubungan Buton –

VOC khususnya pada masa pemerintahan Sultan Himayatuddin Muhammad

Saidi.

E. Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode historis yang bersifat deskriptif

analitis dengan pendekatan politikologis. Pendekatan politikologis Menurut

Sartono Kartodirdjo menyoroti struktur kekuasaan, jenis kepemimpinan, hierarki

sosial, pertentangan kekuasaan dan lain sebagainya.14

Tahapan yang ditempuh

dalam penelitian ini, yakni: heuristik, kritik sumber, interpretasi, dan historiografi.

Heuristik, yaitu kegiatan atau keterampilan dalam mencari, menemukan

dan mengumpulkan sumber-sumber sejarah.15

Kegiatan mencari dan

mengumpulkan sumber yang terkait dengan judul penulis dilakukan di berbagai

tempat seperti; Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,

Perpustakaan Fakultas Adab dan Humaniora UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,

Perpustakaan Nasional, Perpustakaan Universitas Indonesia (UI), Perpustakaan

14 Sartono Kartodirdjo, Pendekatan Ilmu Sosial Dalam Metodologi Sejarah, Jakarta:

Gramedia Pustaka Utama, 1992, hal. 4. 15

Imas Emalia, Historiografi Indonesia Sejak Masa Awal Sampai Kontemporer, (Jakarta:

UIN Jakarta Press, 2006), hal. 8.

11

Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan Jakarta, Arsip Nasional Republik

Indonesia (ANRI) Jakarta, Keraton Kesultanan Buton kota Baubau Sulawesi

Tenggara, Pusat Kebudayaan Wolio kota Baubau, dan Media Center Baubau. Dari

hasil penelusuran tersebut, penulis menemukan berbagai sumber yang meliputi

buku, artikel, jurnal dan arsip.

Setelah semua sumber terkumpul, tahapan berikutnya adalah kritik

sumber, yaitu kegiatan menyaring atau menyeleksi setiap sumber sejarah yang

berkaitan dengan Sultan Himayatuddin Muhammad Saidi. Kritik sumber ini

dilakukan melalui 2 tahapan, yaitu; kritik ekstern dan kritik intern. Kritik ekstern

dilakukan untuk menguji otentitas atau keaslian suatu sumber, yang meliputi

waktu penulisan, jenis kertas, penulisnya, dan lain sebagainya. Adapun kritik

intern untuk mendapatkan sumber yang memiliki tingkat validitas atau keakuratan

yang tinggi, khususnya terkait isi atau kandungan suatu sumber. Melalui tahapan

kritik inilah penulis menetapkan sumber yang dianggap kredibel terkait pokok

bahasan penulis, khususnya terkait dengan Sultan Himayatuddin Muhammad

Saidi.

Tahapan selanjutnya, yaitu Interpretasi (penafsiran). Pada tahapan ini

penulis menyimpulkan sejumlah sumber yang dapat dipercaya mengenai bahan-

bahan yang otentik. Melalui tahapan ini, penulis mencoba menghubungkan

beberapa sumber terkait informasi seputar Sultan Himayatuddin Muhammad

Saidi.

Setelah melalui beberapa tahapan tersebut, tahapan terakhir adalah

historiografi. Pada tahapan terakhir ini penulis menyajikan hasil penelitian sesuai

dengan ketentuan penelitian sejarah dan penulisan yang berlaku, sehingga dapat

12

memberikan gambaran yang jelas mengenai proses penelitian, sejak dari awal

(fase perencanaan) sampai terakhir (penarikan kesimpulan).

F. Sistematika Penulisan

Secara keseluruhan skripsi ini terdiri atas lima (5) bab yang tersusun

sebagai berikut:

BAB 1 Pendahuluan, yang berisikan tentang Latar Belakang Masalah,

Permasalahan, Tujuan dan Kegunaan Penelitian, Tinjauan Pustaka,

Metode Penelitian, dan Sistematika Penulisan

BAB II Profil Kesultanan Buton, berisi tentang Asal-Usul Penamaan

Buton/Wolio, Sejarah Berdirinya Kerajaan Buton, Transformasi Kerajaan

Buton Menjadi Kesultanan, Wilayah Kekuasaan dan Struktur

Pemerintahan Kesultanan Buton, Kehidupan Masyarakat Buton Masa

Kesultanan, yang meliputi Asal-Usul Penduduk, Kehidupan Ekonomi,

Sosial maupun kebudayaan.

BAB III Pasang-surut Hubungan Buton – VOC Hingga Pertengahan Abad Ke-18,

berisi tentang Sejarah Kedatangan VOC dan Terbentuknya Persekutuan

Abadi Buton – VOC, Masa Keretakan Hubungan Buton – VOC,

Normalisasi Kembali Hubungan Buton – VOC, dan Terbentuknya

Aliansi Militer Buton – VOC.

BAB IV Hubungan Buton – VOC Masa Pemerintahan Sultan Himayatuddin

Muhammad Saidi, berisi tentang Riwayat Hidup Sultan Himayatuddin

Muhammad Saidi, Kondisi Politik Buton Masa Pemerintahan Sultan

Himayatuddin Muhammad Saidi, Konflik Buton – VOC, yang meliputi

13

Masa Sultan Himayatuddin Muhammad Saidi dan Masa Sultan

Sakiyuddin atau Hamim, serta Dampak Konflik Buton – VOC Terhadap

Kehidupan Masyarakat Buton.

BAB V Penutup, berisi kesimpulan dan Saran

14

BAB II

PROFIL KESULTANAN BUTON

A. Asal-Usul Penamaan Buton/Wolio

Buton bukanlah istilah baru. Istilah Buton sudah dikenal sejak lama.

Sumber tertulis paling tua yang menyebut keberadaan Buton adalah naskah

Kakawin Negarakertagama yang ditulis oleh Mpu Prapanca pada tahun 1364.

Dalam naskah tersebut, Butun (Buton) bersama beberapa daerah lain, seperti

Makassar, Banggai, Selayar, Solor, Galiyao, Seram, dan pulau-pulau lainya

dibagian Timur dikatakan sebagai daerah vassal Majapahit.1 Naskah tersebut

berbunyi sebagai berikut:

“Ingkang sakasanusa Makasar Butun Banggawi Kuni Ggaliyao Mwang i

(ng) Salaya Sumba Solot Muar muwah tikang i Wandan Ambwan athawa

Maloko Ewaning ri Sran in Timur makadi ning angeka nusatutur.”2

Kata “Buton” yang dimaksud Prapanca dalam tulisan tersebut, bukanlah

sebuah nama suku, melainkan nama sebuah negeri, yakni negeri Buton,

sebagaimana halnya negeri Makassar, Banggawi (Banggai), Salaya (Selayar),

Sumba, Solot (Solor) dan lain sebagainya.3 Slamet Mulyana dalam tafsirnya

mengatakan, bahwa penggambaran Buton dalam naskah tersebut adalah sebagai

sebuah desa tempat tinggal para resi yang dilengkapi taman, lingga dan saluran

air. Rajanya bergelar Yang Mulia Mahaguru.4

1 R. H. Barnes, “The Majapahit Dependency Galiyao,” dalam Journal of the Humanities

and Social Sciences of Southeast Asia, Vol. 138, Issue 4, pages 407 – 412, 1982: hal. 407. 2 Muhammad Yamin, Gadjah Mada Pahlawan Persatuan Nusantara, (Jakarta: Balai

Pustaka, 1948), hal. 58. 3 Ahmad M. Sewang, Islamisasi Kerajaan gowa (Abad XVI sampai Abad VII), (Jakarta:

Yayasan Obor Indonesia, 2005), hal. 16. 4 Slamet Mulyana, Tafsir Sejarah Negara Kretagama, (Yogyakarta: LkiS, 2006), hal.

346.

15

Selain kitab Negarakertagama sebagai sumber sejarah pertama yang

menyebut nama Buton, seorang pelaut Portugal Tome Pires melalui sebuah

catatanya yang berjudul Suma Oriental juga menyebut nama Buton dengan

sebutan “Butum” ketika ia menceritakan pelayarannya di perairan Nusantara pada

tahun 1512-1515 M. Menurutnya, ia berangkat dari Sumatera ke Maluku melalui

Jawa, Makassar dan Buton.5 Informasi ini menunjukan bahwa saat itu Buton telah

dikenal oleh pelaut-pelaut yang melintasi perairan Nusantara, termasuk orang

Asing.

Adapun dalam sumber Ternate, Buton disebutkan sebagai salah satu

Kerajaan yang berdaulat, dimana pada tahun 1580 Kesultanan Ternate yang di

pimpin oleh Sultan Baabullah menyerang Kesultanan Buton dengan dalih

menyebarkan Agama Islam, namun sumber lokal Buton menyatakan bahwa ketika

Ternate datang masyarakat Buton telah menerima Islam.

Selain itu, dalam sumber manuskrip/naskah kuno Buton, kata Buton juga

dipakai oleh orang dahulu (Sultan, Pejabat Kesultanan) dalam menyatakan

keberadaanya dengan menisbatkan kata Arab di akhir namanya dengan kata “al-

Butuni” yang berarti orang Butun/Buton. Beberapa diantaranya, seperti

Muhammad Idrus Qaimuddin Ibn Badaruddin Al-Butuni, Abdul Khaliq bin

Abdullah al-Butuni dan lain sebagainya. Hal ini menunjukan bahwa orang Buton

terdahulu menyebut diri dan negerinya dengan sebutan Butun.6 Sementara dalam

5 Catatan Tome Pires ini merupakan karya yang monumental, khususnya dalam sejarah

perdagangan dan kelautan yang meliputi wilayah Timur Tengah, Nusantara, hingga Cina. Seperti

yang dikatakan oleh penyunting asli buku ini yang juga berkebangsaan Portugal Armando

Cortesao, bahwa karya Tome Pires ini sebagai catatan paling penting dan lengkap mengenai Timur

yang dibuat pada paruh awal abad XVI. Selangkapnya, lihat: Tome Pires, Suma Oriental:

Perjalanan Dari Laut Merah ke China & Buku Fransisco Rodrigues. Penerjemah Adrian Perkasa

dan Anggita Pramesti, (Yogyakarta: Penerbit Ombak, Edisi Revisi 2015), hal. 311. 6 Falah Sabirin, “Tarekat Sammaniyah di Kesultanan Buton: Kajian Naskah-Naskah

Buton,” (Tesis S2 Pasca Sarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011), hal. 55.

16

sumber Belanda, Buton disebut dengan Bouton atau Boeton. Hal ini dapat dilihat

dari kontrak-kontrak Buton – VOC. Oleh karenanya diduga orang Belanda-lah

yang menyebut dan mempopulerkan kata Buton sebagaimana yang dikenal

sekarang.7

Demikianlah mengenai penyebutan kata Buton yang beragam. Penulis

berkesimpulan, bahwa penyebutan kata Buton yang beragam di atas disesuaikan

dengan dialek bahasa tertentu. Untuk penggunaan kata Buton sendiri sebagaimana

yang kita kenal sekarang dimungkinkan untuk mempermudah pelafalan dan lebih

akrab di telinga.

Mengenai asal-usul penamaan Buton belum diketahui secara pasti dari

mana kata tersebut diambil. Namun, ada beberapa pandangan yang berkembang

hingga saat ini mengenai asal-usul penamaan Buton, yaitu:

Pertama, Istilah nama Buton diambil dari nama pohon yang banyak

tumbuh dipesisir pantai bagian selatan pulau tersebut, yakni Pohon Butun. Orang

Buton menyebutnya “Pohon Butu” yang dalam dunia ilmiah tumbuhan ini

dikenal dengan Baringtonia Asiatica. Orang Bugis dan Makassar menyebutnya

dengan istilah Butung dengan tambahan “ng” untuk kata yang berakhiran “n”.8

Kata tersebut diperkuat dengan adanya bukti nama tempat di Makassar – Sulawesi

Selatan, seperti Kampung Butun, Pasar Butun, dan Jalan Butun.9

7 Susanto Zuhdi, Sejarah Buton yang terabaikan: labu rope labu wana, (Jakarta: Rajawali

Pers, 2010), hal. 11 8 Abdul Rahim Yunus, Posisi Tasawuf Dalam Sistem Kekuasaan di Kesultanan Buton

Pada Abad Ke-19, (Jakarta: INIS, 1995), hal. 11. 9 Terbentuknya kampung, jalan maupun pasar Buton tidak terlepas dari keberadaan

orang-orang Buton disana. Cikal-bakal perkampungan ini telah dibentuk sejak abad ke-17 oleh

sisa-sisa pasukan Kesultanan Buton yang dikirim oleh Sultan La Simbata untuk membantu VOC

dalam perang Makassar tahun 1666. Pasca perang Makassar, sebagian pasukan yang berjumlah 50

orang ini kemudian memilih untuk hidup menetap di Makassar dan membentuk perkampungan

Butun sebagaimana yang kita kenal sekarang. Selengkapnya, lihat: Abdul Mulku Zahari, Sejarah

17

Kedua, Buton dianggap berasal dari bahasa Arab butn atau bathni atau

bathin yang berarti “perut” atau “kandungan”. Anggapan tersebut sebagaimana

yang terdapat dalam kabanti (syair yang dinyanyikan) yang berjudul Kanturuna

Mohelana10

yang kental dengan nuansa keislamanya. Dalam bait tersebut

berbunyi:

Tuamo si iaku kupatindamo

Ikompona incema uyincana

Kaapaaka upeelu butuuni

Kuma anaia butuuni kokompu

Metodikana inuncana kuruani

Itumo duka nabita akooni

Apaincana sababuna tana siy

Tuamo siy awwalina wolio

Inda kumandoa kupetula-tula’a keya

So kudingki awwalina tia siy

Taoakana akosaro butuuni

Ambo’orosimo pangkati kalangaana

Demikian itu saya bertanya minta

kejelasan

Di perut siapa engkau tampak/nyata

Karena engkau suka butuuni

Kuartikan butuuni “mengandung”

Yang terdapat dalam Qur’an

Disitulah pula nabi kita bersabda

Menyatakan sebabnya tanah ini

Demikian ini awalnya Wolio

Tidak selesai kuceritakan semua

Hanya kusinggung awalnya seperti ini

Sebabnya bernama butuuni

Menempati pangkatnya yang

tertinggi11

Menurut Syair di atas, nama Pulau Buton diambil dari kata dalam al-

Qur’an yang berarti mengandung. Dinamai demikian karena negeri Buton

diyakini mengandung banyak isi sebaimana halnya perut atau butun yang berisi

makanan.12

Menurut masyarakat setempat, “isi” dimaksud adalah berupa hikmah,

ilmu dan kekayaaan alam yang terpendam di dalamnya.

dan Adat fiy Darul Butuni (Buton) Jilid II, (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan,

1977), hal. 60-61. 10

Kanturuna Mohelana artinya “lampu bagi mereka yang berlayar” ditulis pada

pertengahan abad ke-19 oleh Anonim, berisi tamsil tentang pelayaran dalam menggambarkan

aturan-aturan etika; dan sarana juru bahasa yang berisi seperangkat aturan dan menjadi pedoman

bagi para jurubahasa dalam menjalankan tugasnya. Selengkapnya, lihat: La Malihu, “Buton dan

Tradisi Maritim: Kajian Sejarah Tentang Pelayaran Tradisional di Buton Timur,” (Tesis S2

Program Studi Ilmu Sejarah Universitas Indonesia (UI) tahun 1998), hal. 29. 11

Achadiati Ikram dkk, Katalog Naskah Buton Koleksi Abdul Mulku Zahari, (Jakarta:

Yayasan Obor Indonesia, 2001), hal. 2. 12

Yunus, Posisi Tasawuf, hal. 12.

18

Sementara mengenai siapa yang pertama kali memberikan nama Buton

belum diketahui secara pasti. Akan tetapi beberapa sumber mengindikasikan,

bahwa yang pertama kali memberi nama demikian adalah orang Melayu. Hal ini

sebagaimana diriwayatkan oleh La Ode Bosa, bahwa sebelum kerajaan Buton atau

Wolio berdiri ada beberapa perahu asing mendekat ke pantai dan menghampiri

sampan nelayan yang sedang mengail. Nelayan yang dihampiri dikejutkan oleh

suara teriakan dari arah iringan perahu tersebut. teriakan awak perahu tidak

dimengerti oleh nelayan itu. Namun hanya menduga kemungkinan menanyakan

tempat berlabuh yang aman, sehingga nelayan tersebut berteriak menjawab butu

kaina (berlabulah disini) menunjuk ke arah pantai yang banyak ditumbuhi

pepohonan. Ternyata pepohonan tersebut adalah jenis kayu butun, seperti yang

ada pada negeri mereka, karena diselimuti perasaan gembira mendapatkan tempat

berlabuh yang aman, para awak perahu tersebut berkali-kali melantunkan pantun

yang tidak dimengerti oleh sang nelayan, salah satu bait yang ditangkap oleh

nelayan tersebut adalah: “pulo butun kau ini” ketika salah seorang dari nelayan

tersebut menghampiri ingin mengetahui dari mana asal mereaka, salah satu

diantara mereka berkata “Melayu”.

Berawal dari peristiwa berlabuhnya perahu dari negeri Melayu tersebut,

muncullah tradisi yang dianut oleh penduduk setempat, yaitu apabila musim angin

kencang dan mengganas, maka penduduk setempat mengadakan selamatan di

pantai menirukan cara-cara awak perahu Melayu itu. Selamatan tersebut

kemudian dikenal dengan istilah haroana kaepa (upacara memohon pertolongan

arwah untuk mengusir segala bencana yang bersumber dari laut). Semenjak

kejadian itu, tempat ini (pantai yang banyak ditumbuhi pohon butun) oleh para

19

pelaut yang melintasi jalur tersebut dijadikan sebagai tempat berlindung dan

transit sementara ketika cuaca buruk, dan kemudian berlayar disaat cuaca teduh.

Karenah letaknya yang sangat strategis, maka lokasi ini oleh para pelaut dikenal

sebagai tempat aman untuk berlabuh pada cuaca buruk sehingga terkenallah pulau

ini dengan nama Butun.13

Anggapan di atas didukung oleh Abdul Rahim Yunus. Yunus

menghubungkan pemberian nama ini dengan riwayat yang diturunkan secara lisan

bahwa perkampungan Wolio yang merupakan pusat kesultanan didirikan oleh

imigran dari kawasan Malaka. Bahkan menurut Yunus, kata “butun” sendiri

sebagaimana jenis pohon, juga terdapat dalam bahasa Melayu. Namun, mengenai

asal-usul penamaan Buton, Yunus lebih condong pada kata butun yang diambil

dari nama pohon butun bukan dari bahasa Arab ataupun Melayu. Hal ini

dikarenakan didukung oleh data historis dan antropologis yang kuat. Data

historisnya adalah sebelum kedatangan Islam, Buton telah disebut dalam naskah

Kakawin Negarakartagama (1365), sementara Islam masuk di Buton pada

pertengahan abad ke-16. Oleh karenanya, menurut Yunus anggapan bahwa kata

Butun (Buton) berasal dari bahasa Arab tidak terlepas dari tradisi keberagaman

masyarakat Buton yang cenderung berafiliasi pada nilai-nilai sufistik khususnya

abad ke-19. Adapun data antropologisnya adalah adanya tradisi masyarakat

setempat yang menunjukan keterkaitan masyarakat Buton dengan pohon Butun.

Hal ini menunjukkan bahwa mereka telah akrab dengan jenis pohon tersebut

sehingga dapat dipastikan bahwa wilayah ini banyak ditumbuhi jenis tumbuhan

13

La Ode Abu Bakar, “Pemahaman Tentang Sejarah yang Bernama Wolio-Butuni,”

dalam Wolio Molagi, Edisi I, 1999, Kendari: Yayasan Wolio Molagi, hal. 24-26, dalam

Muhammad Alifuddin, Islam Buton: Interaksi Islam dengan Budaya Lokal, (Jakarta: Badan

Litbang dan Diklat Departemen Agama RI, 2007), hal. 31-32.

20

tersebut. Tidak mengherankan kemudian nama pulau tersebut dikenal dengan

pulau Butun atau Buton dalam istilah sekarang. 14

Hal yang sama juga dikemukakan oleh Muhammad Alifuddin, bahwa

pengertian Buton yang disandarkan pada jenis buah yang banyak tumbuh

diperairan Buton atau dengan kata lain mereka bersandar pada realitas empiris

yang di tunjang oleh bukti-bukti materil seperti pohon butun, maka pengertian

kedua umumnya diakitkan dengan hal-hal yang bersifat metafisis simbolis.15

Selain Buton, kata Wolio juga sering digunakan oleh penduduk setempat

untuk merujuk kerajaan yang sama. Tidak diketahui secara pasti darimana kata

Wolio berasal. Abdul Mulku Zahari berpendapat,bahwa kata Wolio kemungkinan

diambil dari bahasa setempat, yakni Welia yang artinya merintis. Ini dihubungkan

dengan kedatangan rombongan imigran yang berasal dari Johor yang dikenal

dengan sebutan Mia Patamiana (yang empat orang). Para imigran ini kemudian

menebas semak-belukar dan menebangi kayu-kayu untuk dijadikan pemukiman.

Kegiatan menebas atau menebang inilah yang dinamakan welia.16

Pendapat lain mengatakan bahwa Wolio berasal dari kata Waliyullah.

Pendapat ini didasarkan pada legenda setempat yang menceritakan tentang

kedatangan seorang musafir Arab yang diperintah Rasulullah Muhammad untuk

berlayar ke timur mendapatkan sebuah pulau yang sudah lama merindukan

kedatangan Islam. Setiba di pulau itu, musafir menaruh jubahnya di suatu tempat.

Maka jubah itu segera menjadi pusat perhatian penduduk. Untuk sekian lama

mereka mengintai jubah, siapakah gerangan pemiliknya. Sementara itu di cabang

pohon bertengger tujuh burung sambil beterbangan satu per satu menyuarakan

14

Yunus, Posisi tasawuf, hal. 13. 15

Alifuddin, Islam Buton, hal. 32. 16

Zahari, Sejarah dan Adat I, hal. 27.

21

“butuni”. Maka bersujudlah penduduk setempat setelah melihat si pemilik jubah

yang dianggap sebagai “waliyullah” (“pesuruh Allah”). Dari kata waliullah inilah

kemudian dikenal kata Wolio.17

Sementara menurut Hazirun Kudus, kata Wolio berasal dari kata Waliu

(Arab = wali). Untuk menguatkan pandanganya Hazirun berdalil dengan mengutip

sebuah dokumen sejarah yang terdapat dalam naskah Kakawin Negarakartagama

sebagaimana yang di kutip oleh Slamet Muljana. Dalam buku tersebut dinyatakan

bahwa Buton adalah salah satu dari bagian kekuasaan Majapahit dan merupakan

daerah keresian. Atas dasar pernyataan tersebut Hazirun berkesimpulan, bahwa

kata wolio memang berasal dari kata waliu yang berarti wali. Alasan ini

digunakan untuk menyebut bahwa Wolio adalah daerah para wali.18

Sementara

itu, beberapa pendapat lain menghubungkan kata “Wolio” dengan “Waliyu” yang

merupakan suatu kerajaan di Kecamatan Lasalimu yang dianggap sudah ada jauh

sebelum Kerajaan Wolio lahir.19

Demikianlah penamaan Buton dan Wolio yang beragam. Dalam penulisan

ini, penulis tidak punya kapasitas untuk mengklaim pendapat mana yang benar

atau salah. Akan tetapi jika merujuk pada pendapat yang lebih kuat, penulis lebih

sepakat jika kata Buton berasal dari nama tumbuhan (butun) dan kata Wolio dari

kata welia (menebas). Hal ini sebagaimana yang telah diuraikan sebelumnya,

bahwa pendapat ini lebih dapat dipertanggung jawabkan karena mempunyai data

historis yang kuat, jika dibandingkan dengan pendapat yang lain.

17

Susanto Zuhdi, “Labu Rope Labu Wana Sejarah Butun Abad XVII – XVIII,” (Disertasi

S3 Program Studi Ilmu Sejarah Universitas Indonesia, 1999), hal. 26, Yunus, Posisi tasawuf, hal.

14. 18

Alifuddin, Islam Buton, hal. 36. 19

Tony Rudyansjah, “Kaomu, Walaka dan Papara: Satu kajian mengenai Struktur Sosial

dan Ideologi Kekuasaaan di Kesultanan Wolio,” Berita Antropologi 52 (1997), hal. 45.

22

Demikian halnya sebagai sebuah negeri, Buton dan Wolio merupakan

nama yang kerap dipertukarkan untuk mengacu pada kerajaan atau kesultanan

yang sama. Padahal dalam arti tertentu keduanya berbeda. Rusdyansyah dalam

penelitianya tentang Buton mendefinisaikan Buton dalam empat pengertian.20

Pertama sebagai nama pulau, maka kata ini mengacu kepada satu pulau dengan

panjang sekitar 100 Km yang terletak di dalam kepulauan Jazirah Tenggara pulau

Sulawesi. Kedua sebagai nama untuk menyebut orang Buton, maka kata ini

mengacu kepada penduduk yang tinggal di Pulau Buton. Ketiga sebagai nama

sebuah kabupaten, yang terletak di bagian selatan garis khatulistiwa, memanjang

dari utara ke selatan di antara 4, 960– 6,25

0 Lintang Selatan, dan membentang dari

barat ke timur diantara 120,000 – 123,34

0 Bujur Timur. Keempat Buton adalah

istilah yang digunakan untuk mengacu kepada nama kesultanan yang pernah

hidup di Pulau Buton.21

Sementara Wolio dalam konteks masa lampau merupakan ibukota atau

pusat pemerintahan Kerajaan/Kesultanan Buton yang dikelilingi benteng. Di

Wolio inilah cikal-bakal berdirinya Kerajaan/Kesultanan Buton dimulai. Dalam

konteks masa kini, Wolio merupakan salah satu kecamatan yang ada di Kota Bau-

Bau. Di Wolio inilah terdapat berbagai peninggalan historis Kesultanan Buton

yang masih bisa disaksikan hingga sekarang, seperti benteng tua (terluas di

dunia), istana para sultan dan kuburanya, masjid tua, alat-alat kelengkapan

20

Satu hal yang dilupakan Tony adalah Buton sebagai nama selat. Selat Buton adalah

selat yang menghubungkan antara pulau Buton dan pulau Muna di provinsi Sulawesi Tenggara.

Kota pelabuhan utama di selat ini adalah Baubau yang terletak di pulau Buton. “Selat Buton,”

Diakses pada 10 November 2015 dari http://www.geographic.org/geographic_names/name.

php?uni=696309&fid=2494&c=indonesia, dan https://id.wikipedia.org/wiki/Selat_Buton. 21

Tony Rudyansjah, Kekuasaan, Sejarah, dan Tindakan: Sebuah Kajian Tentang

Lanskap Budaya, (Jakarta: Rajawali Pers, 2009), hal. 58, Zuhdi, Sejarah Buton yang terabaikan,

hal. 35.

23

kesultanan, arsip-arsip kesultanan, dan lain-lain.22

Dalam penulisan ini, penulis

lebih memilih menggunakan nama Kesultanan Buton daripada Wolio. Oleh

karenanya, yang akan menjadi pokok pembahasan dalam tulisan ini adalah Buton

sebagai nama kesultanan.

B. Berdirinya Kerajaan Buton

Secara umum sumber-sumber sejarah Buton menjelaskan, bahwa cikal-

bakal berdirinya Kerajaan Buton dirintis oleh empat kelompok imigran yang

diduga berasal dari negeri Johor.23

Mereka diperkirakan datang ke Buton pada

akhir abad ke-13 atau awal abad ke-14. Keempat kelompok ini dalam tradisi

masyarakat Buton dikenal dengan istilah Mia Patamiana (Mia = orang,

Patamiana = yang empat orang). Mereka terdiri dari Sipanjonga, Sijawangkati,

Simalui, dan Sitamanajo.

Kedatangan rombongan ini tidaklah bersamaan dan mendarat di tempat

yang berbeda-beda. Rombongan ini datang dalam dua jurusan, yang terdiri dari

dua kelompok. Menurut Susanto Zuhdi, kedatangan rombongan ini melalui jalur

yang umumnya digunakan oleh para pedagang Nusantara. Yang pertama

kelompok dari Sipanjonga mendarat di Kalampa dengan temanya Simalui.

Mereka masuk ke Buton melalui perairan Flores, ke perairan Buton Selatan

bagian Barat. dan yang kedua Sitamanajo dengan Sijawangkati mendarat di

Walalogusi (sekarang daerah Kapontori). Mereka masuk melaui perairan Buton

Utara bagian Barat kemudian menyusuri Selat Buton, masuk di daerah Buton

22

Yunus, Posisi tasawuf, hal. 15. 23

Truman Simanjuntak dkk (ed), Archaeology: Indonesian Perspective R.P. Soejono's

Festschrift, (Jakarta: LIPI Press, 2006), hal. 511

24

Tengah bagian Barat dan akhirnya memilih tempat pendaratanya di Welagusi.24

Pada waktu mendarat, Sipanjonga mengibarkan bendera pelambang kebesaranya.

Dimana bendera itu dikibarkan dikenal kemudian dengan “Sula”.25

Menurut La Ode Haziroen, kedua rombongan ini meninggalkan daerah

asalnya Johor karenah masalah-masalah politik dalam negeri di kerajaanya.

Mereka berangkat secara terpisah, bersama para pengikutnya masing-masing yang

akhirnya bertemu dalam pengembaraan, lalu mereka menetap bersama-sama di

Kalampa.26

Di tempat itulah mereka membangun tempat kediaman yang akhirnya

lambat laun menjadi sebuah kampung yang besar dan ramai.

Perkampungan mereka awalnya berada di tepi pantai sekitar kota Baubau,

kemudian ditinggalkan oleh penghuninya ke tempat yang lebih tinggi dan aman,

yakni sekitar 5 km ke arah barat. Perpindahan ini dilakukan untuk menghindari

serangan bajak laut yang pada saat itu seringkali menyerang daerah-daerah pantai

di kawasan perairan Sulawesi, khususnya Sulawesi Tenggara. Kawasan yang baru

itu kemudian diberi nama Welia (Wolio). Diberi nama demikian, karenah pada

saat mereka bermukim disitu, didapatinya tempat tersebut yang masih dipenuhi

hutan belukar, maka untuk dapat membangun tempat kediaman ditebasnya

belukar-belukar itu.27

Kegiatan menebas ini dinamakan welia. Oleh karenanya,

perkampungan tersebut kemudian dinamakan Wolio.28

24

Zuhdi, dkk., Kerajaan Tradisional Sulawesi Tenggara, hal. 12. 25

Bendera Sipanjonga inilah yang kemudian menjadi lambang kebesaran raja-raja Buton.

Oleh Sultan Muhammad Falihi Kaimuddin, bendera ini dinamai “Tombi Pagi”. Selengkapnya,

lihat: Zahari, Sejarah dan Adat I, hal. 26. 26

La Ode Haziroen, dalam Zuhdi, Kerajaan Tradisional, hal. 12. 27

Diriwayatkan bahwa pada waktu Sipanjonga dan teman-temanya menebas hutan

belukar di tempat itu didapati banyak pohon enau, terlebih di atas sebuah bukit yang bernama

“Rahantulu” yang kemudian mashur dengan “Lelemangura”. Salah seorang teman dari Sipanjonga

yang bernama Sijawangkati mendapat enau. Dengan diam-diam ia menyadap enau itu. Ketika

yang empunya enau bernama “Dungkucangia” yang kemudian dikenal dengan raja Tobe-Tobe

datang menyadap enaunya. Didapatinya enaunya sudah disadap orang. Setelah berulang kali ia

25

Perkampungan ini awalnya hanya terdiri dari dua kampung yaitu Gundu-

gundu yang dikepalai Sijawangkati dan Barangkatopa yang dikepalai oleh

Sitamanajo. Seiring bertambahnya penduduk, pada masa kemudian wilayah ini

berkembang menjadi empat perkampungan dengan dua kampung tambahan, yakni

Baluwu dikepalai oleh Sangariarana dan Peropa dikepalai oleh Betoambari.29

Dalam istilah setempat keempat kampung ini kemudian dikenal dengan istilah

patalimbona (empat kampung) dan setiap kampung dipimpin oleh seorang menteri

atau bonto.30

Seiring berjalanya waktu, keempat kampung tersebut kemudian semakin

berkembang menjadi sembilan kampung, dengan tambahan lima kampung baru,

yaitu Kampung Sambali, Melai, Gama, Wandailolo dan Rakia. Sembilan

kampung tersebut kemudian dikenal dengan istilah siolimbona.31

Selain beberapa kampung di atas, pada waktu itu di Pulau Buton juga telah

berdiri beberapa kerajaan kecil, yaitu: Tobe-Tobe, Kamaru, Wabula, Tondanga,

dan Batauga. Berkat jasa-jasa Dewan Patalimbona, kerajaan-kerajaan kecil dan

dapati enaunya telah disadap orang yang tidak diketahuinya, timbullah marahnya. Dipotonglah

sebatang kayu yang cukup besar. Melihat potongan kayu yang besar itu, timbul dalam pemikiranya

betapa besar dan kuat orang yang memotong kayu itu namun tidak menimbulkan rasa takut dalam

diri Sijawangkati. Untuk mengimbangi potongan kayu itu, dipotonglah rotan yang panjangnya satu

jengkal yang cukup besar, kemudian batang rotan itu disimpulnya. Karenah kekuatan simpulan

pada rotan itu hampir tidak kelihatan, kemudian diletakanya di atas bekas sadapan itu, keesokan

harinya, datang lagi Dungkungcangia menyadap enaunya, dilihatnya simpulan rotan yang

menakjubkan itu. Tentu orang yang menyadap enau saya ini adalah orang yang sakti dan mungkin

bukan manusia biasa. Suatu waktu secara kebetulan keduanya bertemu di tempat itu. Maka

terjadilah perkelahian yang sengit yang sama-sama kuat. Masing-masing tidak ada yang kalah.

Pada akhirnya karena keduanya sudah kepayahan, maka mereka sepakat untuk berdamai.

Bermufakatlah keduanya untuk hidup damai dan saling membantu dan bagi anak cucu mereka di

kemudian akan hidup di dalam alam persatuan dan kesatuan. Dengan adanya perdamaian

Sijawangkati dengan Dungkungcangia itu maka negeri Tobe-Tobe masuk dan bersatu dengan

Wolio. 28

Zahari, Sejarah dan Adat I, hal. 27. 29

Betoambari merupakan anak dari hasil perkawinan Sipanjonga dengan Sibaana

(saudara Simalui). Sementara Sangariarana merupakan anak dari hasil perkawinan Betoambari

dengan Wa Guntu (putri Raja Kamaru) 30

La Ode Rabani, Kota-kota Pantai di Sulawesi Tenggara: Perubahan dan

Kelangsunganya, (Yogyakarta: Ombak, 2010), hal. 51-52, Zahari, Sejarah dan Adat I, hal. 28-29. 31

La Ode Zaenu, Buton Dalam Sejarah Kebudayaan, (Surabaya: Suradipa, 1984), hal. 24.

26

sembilan kampung tersebut kemudian diintegrasikan dan disatukan dalam tatanan

sosial politik yang baru, yaitu Kerajaan Buton. Berdasarkan hasil musyawarah

dari menteri Betoambari dan menteri lainya, maka diangkatlah seorang kepala

dari negeri Wolio (Buton) untuk pertama kalinya yang bernama Raja Wa Kaa

Kaa.32

Mengenai asal-usul Wakaa-kaa33

dalam tradisi lisan menyebutkan, bahwa

putri Wa Kaa Kaa berasal dari Cina. Adapun mengenai motif kedatanganya di

Buton belum diketahui secara jelas. La Ode Manarfa berpendapat, bahwa dia

adalah putri Kubilai Khan, yang konon dikirim ke Persia untuk menjadi raja

menyusul jatuhnya Baghdad ke tangan Hulagu Khan pada tahun 1258. Dalam

perjalanan ke Baghdad putri Wa Kaa Kaa bersama rombongannya singgah di

Jawa. Karena Kerajaan Singosari waktu itu sedang kurang aman, maka Wa Kaa

Kaa di bawa ke Buton oleh Panglima Kao-Cing, yang memimpin perjalanan. Di

Buton, putri ini disambut hangat masyarakat setempat. Bahkan dia dijadikan raja

(ratu) oleh masyarakat tanah Semenanjung yang telah lebih dulu bermukim di

32

Zahari, Sejarah dan Adat I, hal. 33. 33

Dalam mitologi masyarakat Buton, Wa Kaa Kaa diyakini berasal dari dalam bulu

gading (bambu kuning) atau dikenal dengan “mobetena yi tombula” artinya yang muncul dari

bambu. Ceritanya demikian: suatu hari seorang pemburu rusa yang bernama “Sangia Langkuru”.

Pada suatu hari Sangia Langkuru pergi berburu rusa disertai oleh seekor anjingnya. Ketika Sangia

Langkuru berada di kali Bau-Bau yaitu di sekitar keraton sekarang maka ia jauh ketinggalan,

ditinggalkan oleh anjingnya. Anjing tersebut sudah berada di atas bukit Lelemangura dan sedang

menggong-gong seakan-akan sedang menyerang musuhnya. Karenah itu Sangia Langkuru berlari

mendapatkan anjingnya dan sampai di Bukit Lelemangura. Tetapi alangkah kecewanya Sangia

Langkuru karena bukanlah rusa yang sedang di serang oleh anjingnya, tetapi serumpun buluh

gading yang tumbuh di atas sebuah batu. Sedang ia tercengang menyaksikan yang demikian itu.

Maka iapun segera meninggalkan tempat itu dan mencari seorang ahli nujum untuk menerangkan

kepadanya peristiwa. Oleh ahli nujum diterangkan bahwa dalam buluh gading tersebut ada seorang

manusia. Kabar kejadian itu tersiarlah di kalangan penduduk diantaranya sampai ke telinga kepala

suku yaitu Betoambari menteri Peropa I dan anaknya serta anaknya Sangariana menteri Baluwu I.

rakyatnya pun banyak berdatangan di tempat itu menyaksikan kejadian yang aneh itu setelah

beberapa pemuka masyarakat dan kepala suku bermusyawarah maka diputuskanlah bahwa buluh

gadingitu akan di potong dan dibawah ke sebuah batu di muka halaman Masjid Keraton sekarang

untuk di belah supaya manusia yang di dalam bambu itu bisa dikeluarkan. Selengkapnya, lihat:

Zahari, Sejarah dan Adat I, hal. 33-34. Lihat pulah: La Ode Syukur, Hikayat Negeri Buton (Sastra

Sejarah), (Kendari: FKIP Unhalu, 2009), hal. 19-20.

27

pulau tersebut. Buton pada masa itu dikatakan telah berada di bawah kekuasaan

Majapahit. Putri Wa Kaa Kaa kemudian kawin dengan Sibatara, salah seorang

pangeran dari Majapahit yang sedang berada di Buton. Dari perkawinan ini lahir

seorang34

putri jelita yang diberi nama Bulawambona yang berarti bulan purnama.

Tak lama setelah melahirkan, Wa kaa Kaa kemudian meneruskan perjalanan ke

Baghdad. Namun, sebelum menuju Bagdad, ia terlebih dahulu singgah di Jawa

bersama suaminya Sibarata. Setelah kepergian Wa Kaa Kaa, tahta kepemimpinan

kemudian diserahkan kepada Bulawambona. Bulawambona inilah yang menjadi

leluhur para raja dan sultan Buton hingga sekarang.35

Setelah Bulawambona, raja

selanjutnya yang memerintah di Kerajaan Buton berturut-turut adalah Bataraguru,

Tuarade (Tuan Raden), Mulae, dan Lakilaponto yang merupakan raja terakhir

Kerajaan Buton, sekaligus Sultan Buton pertama.

Beranjak dari penjelasan di atas mengenai asal-usul berdirinya Kerajaan

Buton, penulis berkesimpulan bahwa Kerajaan Buton dibentuk oleh beberapa

kelompok besar. Pertama, kelompok Mia Patamiana yang berasal dari Melayu.

Kedua, kelompok asli masyarakat Buton, seperti kerajaan Tobe-Tobe, Kamaru,

Ambuau, dan lain-lain. Ketiga, kelompok yang berasal dari Cina (Wa Kaa Kaa),

dan keempat adalah kelompok yang berasal dari Jawa (Sibarata). Akan tetapi,

kelompok Mia Patamiana sebagai kelompok imigran asal Melayu mempunyai

34

Dalam naskah Silsilah Bangsawan Buton maupun Hikayat Negeri Buton, Wa Kaa Kaa

dan Sibarata mempunyai tujuh (7) orang anak, yang enam orang diantaranya kemudian pergi

meninggalkan tanah Buton bersama ayah dan ibunya menuju tanah Jawa. Mekipun demikian,

dalam naskah tersebut tidak disebutkan nama-nama keenam orang tersebut kecuali hanya

Bulawambona. Selengkapnya: La Niampe dan La Ode Syukur, Silsilah Bangsawan Buton

(Pengantar dan Suntingan Teks), (Kendari: FKIP Unhalu, 2009), hal. 81, lihat pulah: La Ode

Syukur, Hikayat Negeri Buton, hal. 36-37. 35

La Ode Manarfa, “Raja Buton Keturunan Cina.” Artikel diakses pada 23 September

2015 dari http://www.library.ohiou.edu/indopubs/1996/10/01/0029.html

28

kontribusi besar dalam menyatukan beberapa kelompok masyarakat tersebut ke

dalam satu tatanan sosial-politik baru, yaitu Kerajaan Buton.

C. Transformasi Kerajaan Buton Menjadi Kesultanan

Perkiraan jalur Islamisasi di Indonesia yang mengatakan mula-mula dari

Sumatera, kemudian ke Jawa, seterusnya ke Kalimantan, Sulawesi dan Maluku

perlu penelitian yang lebih cermat. Nampaknya rute penyebaran Islam ke

Indonesia bagian Timur cukup unik, terlebih mengenai masuknya Islam di

Sulawesi ataupun Buton secara khusus. Bukti-bukti sejarah menunjukkan bahwa

Ternate lebih dahulu menerima Islam (abad ke-15 M)36

, kemudian Buton

(pertengahan abad ke-16) dan Sulawesi Selatan (awal abad ke-17 M)37

.

36

Diperkirakan Islam masuk di Ternate disebarkan oleh para pedagang yang berasal dari

Arab, Persia, Gujarat, Melayu dan Jawa. Dalam catatan Tome Pires (1511) maupun Galvao (1540

– 1545) menjelaskan, bahwa masyarakat Ternate telah menerima Islam sejak tahun 1460 – 1463.

Sementara dalam sumber sejarah lisan setempat (oral history) menjelaskan, bahwa Islam telah

masuk di Maluku Utara pada abad ke-13 M, yang disebarkan oleh ulama-ulama yang berasal dari

Iraq yang datang ke daerah tersebut pada pertengahan abad ke-13 M. Ulama-ulama tersebut, yaitu;

Syaikh Mansur, Syaikh Ya’qub, Syaikh Amin, dan Syaikh Umar. Sementara dalam catatan

Kesultanan Ternate, Islam dikatakan masuk pada pertengahan Abad ke-13, tepatnya tahun 6

Muharram 643 H (5 Juni 1245 M) yang disebarkan oleh seorang keturunan Nabi Muhammad,

yang bernama Ja’far Shadik, yang kemudian menikah dengan putri raja (kolano) setempat bernama

Nur Sifa. Anak-anak mereka yang beragama Islam, kemudian menjadi pemimpin kolano-kolano

setempat. Kelompok-kelompok pemerintahan masyarakat tradisional yang semula terdiri dari

empat kolano dalam konfederasi Moloku Kie Raha (persekutuan empat kerajaan), yaitu Ternate,

Tidore, Bacan dan Jailolo kemudian beralih menjadi kesultanan. Ternate menjadi kerajaan pertama

yang menggunakan gelar sultan, dengan sultan pertamanya adalah Zainal Abidin (1486 – 1500).

Selengkapnya, lihat: R.Z. Leirissa dan Djuariah Latuconsina, Sejarah Kebudayaan Maluku,

(Jakarta: Direktorat Jenderal Kebudayaan, 1999), hal.14, Marwati Djoenoed dan Nugroho

Notosusanto, Sejarah nasional Indonesia III: Zaman pertumbuhan dan perkembangan kerajaan-

kerajaan Islam di Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 2008), hal. 75, M. Saleh Putuhena,

Historiografi haji Indonesia, (Yogyakarta: LKiS, 2007), hal. 24-25, hal. 99-101. 37

Penerimaan agama Islam di Sulawesi Selatan mula-mula oleh Kerajaan Luwu pada

tahun 1603 M, kemudian disusul oleh Kerajaan Gowa-Tallo pada tahun 1605 M. Islamisasi ini

dilakukan oleh tiga ulama besar yang berasal dari Minangkabau (Sumatera Barat), yang dalam

masyarakat setempat dikenal dengan Dato’Tallu (Makassar), atau Dato’Tellu (Bugis). Ketiga

ulama itu adalah; Dato’ri Bandang (namanya adalah Abdul Makmur dan panggilanya Khatib

Tunggal), Dato’ri Pattimang (Khatib Sulaiman alias Khatib Sulung), dan Dato’ri Tiro (Abdul

Jawab alias Khatib Bungsu). Baik sumber lokal maupun sumber luar menjelaskan, bahwa motif

kedatangan tiga ulama ini adalah untuk mengimbangi misionaris katolik, dimana para Missionaris

Kristen telah berusaha meluaskan pengaruhnya ke dalam istana Kerajaan Gowa. Selengkapnya,

lihat: Uka Tjandra Sasmita, Arkeologi Islam Nusantara, (Jakarta: Gramedia, 2009), hal. 27-28,

29

Sejauh menyangkut penerimaan Islam di Buton, semua sejarawan sepakat

bahwa peristiwa penerimaan Islam ini terjadi pada masa pemerintahan raja Buton

keenam sekaligus sultan Buton pertama, yaitu La Kilaponto atau Murhum. Akan

tetapi jika menyangkut kapan pertama kali Islam datang di Buton atau masyarakat

Buton bersentuhan dengan Islam nampaknya masih menjadi perdebatan di

kalangan Sejarawan.38

A.M Zahari memperkirakan Islam telah masuk ke Buton bahkan

masyarakat Buton telah melakukan konversi ke dalam Islam jauh sebelum raja

Buton keenam La Kilaponto memeluk dan mendeklarasikan Islam sebagai agama

resmi kerajaan. Namun menurutnya, Islam yang dianut oleh masyarakat sebelum

La Kilaponto masih secara sporadis, dimana pengaruh Hindu masih kuat dalam

masyarakat. Baru setelah konversinya La Kilaponto kedalam Islam sekaligus

diterimanya Islam sebagai agama resmi kerajaan, Islam kemudian dianut secara

mayoritas oleh masyarakat Buton.39

Diperkirakan Islam masuk di Buton pada abad ke-15, tepatnya pada masa

pemerintahan raja Buton kelima Mulae. Pada saat itu raja Mulae mengundang

seorang ulama bernama Sayyid Jamaluddin al-Kubra untuk datang di Buton. Di

Buton, ulama tersebut kemudian mengajak raja Mulae untuk memeluk Islam. Raja

Ahmad M. Sewang, Islamisasi Kerajaan Gowa: abad XVI sampai abad XVII, hal. 89-91. Andi

Rasdiyanah Amir (ed), Bugis-Makassar dalam Peta Islamisasi Indonesia, Makassar: IAIN

Alauddin, 1982, hal. 29-30. 38

Hal ini tentunya sudah menjadi permasalahan umum dalam menjelaskan kedatangan

Islam di Nusantara. Tiga permasalahan yang umumnya menjadi perdebatan mengenai kedatangan

Islam di Nusantara menurut Azyumardi Azra, yaitu mengenai tempat asal kedatangan, para

pembawanya dan waktu kedatanganya. Menurut Azra kebanyakan sejarawan hanya mampu

menjelaskan satu diantara tiga permasalahan tersebut. Selengkapnya, lihat: Azyumardi Azra,

Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad VVII & XVIII, (Jakarta: Kencana,

cet. III, 2007), hal. 2 39

Abdul Mulku Zahari, Islam di Buton, Sejarah dan Perkembangannya, 1982, hal. 45.

Lihat pulah: Muhammad Abdullah, “Manuskrip Keagamaan dan Islamisasi di Buton Abad 14-19”,

Sari 25 (2007) 107-117, hal. 109, Daniel Johnson, “Butonese Culture and the Gospel (a Case

Study),” Melanesian Journal of Theology 19 – 2 (2003), hal. 101.

30

yang kemudian tertarik dengan ajaran Islam dengan suka rela menyatakan

keislamanya.40

Meskipun demikian, pada saat itu Islam belum diterima secara

mayoritas oleh pejabat kerajaan maupun masyarakat Buton secara umum.

Mengenai informasi tersebut dijelaskan dalam manuskrip Wan

Muhammad Sagir yang memberitakan bahwa pada tahun 1412 M seorang ulama

Patani berada di Buton menyebarkan agama Islam di bagian timur pulau ini.

Hanya saja, waktu itu Islam belum diterima di Kerajaan Buton sebagai agama

kerajaan. Lebih kurang seratus tahun kemudian, dakwah Islam dilanjutkan oleh

Syeikh Abdul Wahid bin Syarif Sulaiman al-Fathani yang dikatakan datang dari

Johor.41

Beliau kemudian berhasil mengislamkan Raja Buton yang keenam La

Kilaponto sekitar tahun 948 H/ 1540 M.42

Mengenai kedatangan Syekh abdul Wahid di Buton diriwayatkan sebagai

berikut;

“Sekembali dari Ternate melalui Adonara menuju Johor, Syaikh Abdul

Wahid berpapasan dengan gurunya Imam Pasai bernama Ahmad bin Qois

al-Aydrus di Perairan Flores (dekat Pulau Batuatas). Sang guru

menugaskan muridnya untuk tidak segera kembali ke Johor malainkan

terlabih dahulu menuju ke utara, ke Negeri Buton. Berbeloklah perahu

yang ditumpangi Syekh Abdul Wahid ke utara dan berlabuh di Burangasi,

di Rampea bagian selatan Pulau Buton. Kehadiranya menimbulkan

kecurigaan penduduk sekitar pantai yang selalu bersiaga menghadapi

40

Bambang Budi Utomo dkk, Atlas Sejarah Indonesia Masa Islam, (Jakarta: Kharisma

Ilmu, 2012), hal. 183. 41

Melalui asal-usul beliau ada yang mengatakan dari Johor dan adapula yang mengatakan

dari Pattani. Pendapat dari Pattani dikatakan oleh Ahmadi. Selengkapnya, lihat: Abd. Rahman al-

Ahmadi, “Sejarah Hubungan Kelantan/Patani dengan Sulawesi Selatan”, hal. 70, dalam Yunus,

Posisi tasawuf, hal. 19. 42

Menurut La Ode Mizan, masuk Islamnya La Kilaponto setelah mendengar kabar bahwa

kerajaan-kerajaan di Jawa, Solor, dan Bone juga telah menerima Islam. Namun berdasarkan data

sejarah yang yang terdapat dalam berbagai literatur menunjukkan, bahwa Kerajaan Buton lebih

awal menerima Islam daripada Kerajaan Bone, sebagaimana yang penulis jelaskan sebelumnya.

Dengan demikian, pernyataan bahwa masuk Islamnya La Kilaponto karena mendengar dari

kerajaan tetangganya Bone tentu tidaklah tepat. Selengkapnya tentang pendapat La Ode Mizan: La

Ode Mizan, “Kort Overzicht van de Geschiedenis der Islam op Boeton en Moena,” dalam Yunus,

Posisi Tasawuf, hal. 19.

31

segala kemungkinan datangnya pasukan La Bolontio pemimpin bajak laut

dari Tobelo. Oleh karenanya, untuk sementara waktu mereka tidak

diperbolehkan mendarat”.43

Sementara dalam tradisi lokal yang dihimpun oleh Abu Bakar, peristiwa

itu dikisahkan demikian:

“ketika fajar menyingsing dan manakala matahari akan tenggelam,

seseorang diantara mereka meraung-raung di atas perahunya, lalu

berbanjarlah orang-orang, sedang di muka berdiri seorang kemudian

membungkuk, menundukkan kepalanya di atas papan geladak perahu dan

diakhiri dengan menengok ke kanan dan ke kiri lalu bersalam-salaman.

Melihat perilaku yang dianggap aneh itu, penduduk setempat kemudian

melaporkan kepada raja. Mendengar laporan mengenai peristiwa itu Raja

Buton justru memerintahkan agar mereka dibawah ke istana. Raja secara

langsung menyatakan keinginanya untuk mengikuti ajaran dari pendatang

itu”.44

Demikianlah sekilas mengenai proses Islamisasi di Buton. Meskipun data

konkrit mengenai penerimaan Islam di Buton terjadi pada masa Sultan Murhum,

namun pernyataan bahwa masyarakat Buton telah lebih awal mengenal Islam

bahkan telah melakukan konversi ke dalam Islam jauh sebelum diterimanya Islam

sebagai agama kerajaan bisa dikatakan cukup rasional. Hal ini sebagaimana yang

dikemukakan oleh Muhammad Alifuddin maupun Miftah Arifin, bahwa faktor

budaya maritim masyarakat Buton serta letak geografis Kerajaan Buton yang

berada ditengah-tengah lalu lintas pelayaran dan pernigaan Nusantara

memungkinkanya untuk melakukan interaksi dengan para pedagang Muslim.45

Dengan konversinya La Kilaponto ke dalam agama Islam dan diterimanya

Islam sebagai agama resmi kerajaan telah menandai beralihnya sistem

43

Zuhdi, Sejarah Buton yang terabaikan, hal. 100. 44

Pendapat La Ode Abu bakar, dalam Zuhdi, Sejarah Buton yang terabaikan, hal. 101. 45

Alifuddin, Islam Buton, hal. 90. Lihat pulah: Miftah Arifin, Wujudiyah di Nusantara

Kontinuitas dan Perubahan, (Yogyakarta: STAIN Jember Press, 2015), hal. 280-281.

32

pemerintahan Buton dari Kerajaan menjadi Kesultanan. Meskipun demikian,

menurut Abd Rahim Yunus penerimaan Islam di Buton pada masa Raja La

Kilaponto masih pada tahap terbentuknya suatu komunitas pemeluk yang bertolak

dari pengakuan iman dan menyadari ada “batas” antara dunia kini yang haqq dan

dunia lama yang batil. Pengaruh Islam yang lebih jauh terjadi nanti setelah

kesultanan ini memasuki abad ke-17, tepatnya pada masa pemerintahan Sultan

Sultan Dayyanu Ihsanuddin atau La Elangi (1597-1631). Ia merupakan peletak

Undang-Undang Kerajaan, yang disebut dengan “Martabat Tujuh”. Disebut

demikian karena berisi ajaran “Martabat Tujuh”, suatu ajaran yang dikenal dalam

dunia tasawuf.46

Beranjak dari pemaparan di atas tentang proses Islamisasi di Kesultanan

Buton, penulis berkesimpulan bahwa proses Islamisasi di Kesultanan Buton

melalui tiga tahapan, yaitu; pertama adalah tahap kedatangan Islam yang

diperkirakan awal abad ke-15 atau masa pemerintahan raja Mulae. Tahapan kedua

adalah tahap penerimaan Islam, yang terjadi pada masa pemerintahan La

Kilaponto atau Murhum, dan tahap ketiga adalah tahap implementasi ajaran Islam

dalam sistem pemerintahan Kesultanan Buton yang terjadi pada masa Sultan

Dayanu Iksanuddin.

D. Wilayah Kekuasaan dan Struktur Pemerintahan Kesultanan Buton

Membahas kaitan antara keadaan geografi dengan wilayah kekuasaan

suatu kerajaan di Indonesia, pada masa lampau dengan sumber lokal tidaklah

mudah. Sumber lokal tidak menerangkan batas-batas kekuasaan secara jelas.

46

Yunus, Posisi Tasawuf, hal. 20.

33

Susanto Zuhdi dalam menjelaskan wilayah kekuasaan Kesultanan Buton

berlandaskan sumber lokal, yaitu Ajonga dan Kanturuna. Dalam sumber tersebut

wilayah kekuasaan Kesultanan Buton dihubungkan dengan penduduk.47

Menurut

Zuhdi, membahas wilayah kekuasaan kerajaan maritim seperti Buton tidak

berguna tanpa penduduk yang mendiaminya.

Zuhdi menguraikan tahap-tahap perkembangan wilayah kekuasaan

Kesultanan Buton melalui proses bertambahnya/perkembangan rakyat (papara).

Pertambahan penduduk di mulai dengan kedatangan kelompok Pertama, yakni

papara yang dibawa oleh La Kilaponto kemudian ditetapkan oleh sara (undang-

undang kerajaan). Rakyat yang dibawa La Kilaponto ini disebut rakyat pertama

Kesultanan Buton. Rakyat ini secara umum dibawa oleh La Kilaponto dari

Bombawanulu dan Lakudo dua daerah di Muna bagian selatan.

Tahap perkembangan kedua adalah rakyat pusaka yang disebut talubirana,

yaitu golongan ketiga dalam masyarakat Buton. Mereka berasal dari daerah yang

ditaklukkan atau budak belian atau penduduk di sebuah negeri yang terhukum.

Dalam perkembangan terakhir, pertambahan penduduk berasal dari siolipuna

sebagai kategori ketiga. Siolipuna harfiah “kampung yang sembilan”, yang secara

sukarela bergabung dengan Kesultanan Wolio. Kesembilan kampung itu adalah

Peropa, Baluwu, Tobe-Tobe, Gundu-Gundu, Kadatua, Rakia, Gama, Wandailolo

47

Penduduk yang dimaksud Zuhdi adalah golongan papara, kaomu, walaka, dan batua

(budak). Papara merupakan orang yang mendiami komunitas yang disebut kadie, suatu wilayah

hukum yang kecil dalam tata negara tradisional. Papara merupakan “orang jauh” atau “orang yang

tidak diketahui asal-usulnya”. Kaomu dan walaka mempunyai nenek moyang yang sama, yakni

“yang empat orang” (Mia Patamiana) yang dianggap pendiri Kerajaan Buton yang dalam tradisi

lokal mereka dikatakan datang dari Johor. Lapis keempat adalah batua atau budak. Mulanya batua

berasal dari golongan papara juga karena tidak mampu membayar utang atau melanggar adat,

maka mereka ditetapkan sebagai budak. Kantinale adalah budak yang asalnya dari orang merdeka

kemudian ditempatkan di suatu kampung tertentu. Adapun paraka adalah orang yang dirampas

dari tangan musuh. Selengkapnya, lihat: Tony Rudyansjah, “Kaomu, Walaka dan Papara: Satu

kajian mengenai Struktur Sosial dan Ideologi Kekuasaaan di Kesultanan Wolio,” dalam Berita

Antropologi 52 (1997), hal. 42.

34

dan Barangkatopa. Perluasan wilayah bertambah lagi dengan masuknya empat

kampung, yaitu Lapandewa, Wabula, Mawasangka dan Watumotobe. Kemudian

masuk lagi empat kerajaan vassal ke dalam wilayah kekuasaan Buton, yang terdiri

dari Muna bagian selatan, yaitu Lakudo dan Mawasangka. Kemudian Kaledupa

yang merupakan gugus kepulauan Tukang Besi dan Kalesusu terletak di bagian

utara Pulau Buton. Demikianlah menurut Zuhdi kerajaan tradisional seperti

Buton, konsep tentang wilayah dapat dipahami tidak dalam arti ruang, tetapi yang

terpenting adalah rakyat atau dalam hal ini papara.48

Luas wilayah kekuasaan Kesultanan Buton dapat diketahui melalui catatan

Ligtvoet, Sekretaris Urusan Dalam Negeri Hindia Belanda di Makassar. Ketika

berkunjung di Buton pada tahun 1873, ia mencatat bahwa wilayah kekuasaan

Kesultanan Buton meliputi gugusan kepulauan di kawasan bagian tenggara

Jazirah Sulawesi Tenggara, yang terdiri atas:

a. Pulau Buton, yaitu sebuah pulau yang terletak di sebelah tenggara Jazirah

Sulawesi Tenggara yang dibatasi oleh Selat Buton;

b. Pulau Muna atau Woena, yang disebut dalam dokumen Belanda dengan

Pancano, yaitu sebuah pulau yang terletak di antara Pulau Buton dan

Jazirah Sulawesi Tenggara;

c. Pulau Kabaena, sebuah pulau yang terletak di sebelah barat Pulau Muna

atau di sebelah selatan Jazirah Sulawesi Tenggara;

d. Sejumlah pulau-pulau kecil di dekat Pulau Buton dan Muna. Pulau-pulau

ini adalah Pulau Tiworo, Tikola, Tobeya Besar dan Tobeya Kecil yang

terletak di Selat Tiworo; Pulau Makassar atau Liwotu yang terletak di

48

Zuhdi, dkk., Kerajaan Tradisional Sulawesi Tenggara, hal.79-81.

35

Selat Buton; Pulau Kadatua, Masiring dan Siompu yang terletak di sebelah

barat-daya Pulau Buton; Pulau Talaga Besar dan Talaga Kecil yang

terletak di sebelah selatan Pulau Buton;

e. Sejumlah pulau yang berjejer di sebelah tenggara Pulau Buton yang

dikenal dengan Kepulauan Tukang Besi yang terdiri atas Pulau Wangi-

Wangi, Kaledupa, Tomia dan Binongko;

f. Poleang dan Rumbia yang terletak di daratan Jazirah Sulawesi bagian

Tenggara, berhadapan dengan Pulau Kabaena;

g. Pulau Wawoni yang terletak di sebelah utara Pulau Buton;

h. Selain itu masih terdapat sejumlah gugusan pulau-pulau kecil yang terletak

di sela-sela pulau-pulau tersebut di atas yang kurang populer namanya dan

tidak tampak di peta yang merupakan wilayah kekuasaan Kesultanan

Buton.49

Dengan wilayah kekuasaan seperti tersebut di atas maka dapat ditentukan

bahwa batas-batas Kerajaan/Kesultanan Buton adalah:

- Di Utara berbatasan dengan Kerajaan Luwu, Laiwui dan Pulau Wawoni

yang merupakan daerah pengaruh Kerajaan Ternate;

- Sebelah Timur berbatasan dengan Laut Banda/Selat Maluku;

- Sebelah Selatan berbatasan dengan Laut Flores;

- Sebelah Barat berbatasan dengan Laut Bone.

Dengan demikian, wilayah Kesultanan Buton tersebut terletak pada

121,400 Bujur Timur dan 124,50

0 Bujur Timur serta 4,2

0 Lintang Selatan dan 6,20

0

Lintang Selatan.50

49

Albertus Ligtvoet, Beschrijving en Geschiedenis van Boeton, BKI, 1878, hal. 1-5. 50

Zuhdi, dkk., Kerajaan Tradisional Sulawesi Tenggara, hal. 6.

36

Dengan bertambah luasnya wilayah kekuasaan Kesultanan Buton yang

mencakup hampir seluruh pulau-pulau di selatan Sulawesi Tenggara, maka

wilayah pemerintahan kerajaan tersebut dapat dibedakan atas:

a) Wilayah inti. Wilayah inti atau biasa disebut sebagai “Sarana Walio”, di

wilayah ini didiami oleh Sultan, Badan Sarana Wolio, semua staf khusus

pemerintahan. Wilayah Inti terbagi atas dua jenis, yaitu wilayah Bonto dan

wilayah bobato. Wilayah Bonto yaitu wilayah-wilayah yang diperintah

oleh kaum Walaka yang berjumlah tiga puluh negeri yang disebut kadie.

Ketiga puluh Kadie ini berasal dari pengembangan wilayah Bonto yang

empat (Mia Patamiana) pada awal kemunculan Kerajaan Buton. Para

Bonto (tiga puluh orang) mempunyai tugas-tugas khusus di pusat kerajaan.

Sedang wilayah bobato adalah pengembangan dari Sembilan kampung

yang menjadi 40 kadie masing-masing dikepalai seorang lakina (penguasa

kadie). Lakina (Bobato) mempunyai tugas dalam mempertahankan dan

menjaga keamanan kerajaan baik dari dalam maupun dari luar. Kadie-

kadie tersebut akhirnya berjumlah 72 kadie. Mereka ini adalah dari

turunan Kaomu (bangsawan). Masing-masing kadie disamping kepalanya

(Bonto/Lakina) mempunyai dewan pemerintahan sendiri yang disebut

Sarana Kadie. Secara keseluruhan jenis jabatan Sarana Kadie itu adalah

Bonto, Pangalasa, Kaosa, Tunggu, Parabela, Anakamia, Wati. Daerah

dari wilayah inti yang tujuh puluh kadi ini meliputi Pulau Buton kecuali

Kalisusu dan Pulau Muna bagian selatan.

b) Wilayah Moronene terdiri dari Pulau Kabaena, Poleang, dan Rumbia, dan

merupakan penopang ekonomi utama bagi kerajaan Buton. Ketiga daerah

37

ini merupakan daerah yang diperintah langsung secara adat (de jure) tetapi

tidak langsung dalam pemerintahan. Kepala daerah di Kabaena di sebut

Sapati, sedang di Poleang, dan Rumbia disebut Mokole. Kedua wilayah ini

berada di bawah pimpinan Bontona Wandailalo dan Bontona Somba

marusu.

c) Wilayah Barata berarti cadik (perahu), yaitu daerah yang dianggap dan

diharapkan dapat menjaga keamanan dan kestabilan kerajaan dari

kekuasaan asing atau serangan dari kerajaan-kerajaan lain. Adapun

wilayah Barata tersebut adalah Barata Muna, pusatnya di Raha, Barata

Tiworo pusatnya di Pulau Tiworo, Barata Kulingsusu pusatnya di pesisir

timur bagian utara pulau Buton, dan Barata Kaledupa pusatnya di pulau

Kaledupa. Semua daerah ini merupakan wilayah otonom karenan

mempunyai struktur pemerintahan sendiri, yang mirip dengan sistem

pemerintahan pusat. Masing-masing wilayah di pimpin oleh seorang Raja.

Di bawah raja terdapat pejabat-pejabat yang strukturnya berbeda antara

satu dengan yang lainya. Sebagai pejabat tinggi mereka, selain raja, Muna

mempunyai dua kapitan laut dan dua bonto ogena (menteri besar), Tiworo

mempunyai sapati, Kalingsusu mempunyai kanepulu, Kaledupa

mempunyai dua bonto ogena.51

Berdasarkan undang-undang kerajaan yang dibuat pada masa Sultan

Muhammad ‘Aidrus (1834-1861), dipahami bahwa jabatan-jabatan yang ada

dalam struktur pemerintahan Kesultanan Buton adalah: sultan, sapati, kanepulu,

kapitan laut (matanayo dan sukanayo), lakina Sorawolio, 72 menteri, 31

51

B. Bhurhanuddin dkk, Sejarah Kebangkitan Nasional Daerah Sulawesi Tenggara, hal.

17-18, Zuhdi, dkk., Kerajaan Tradisional Sulawesi Tenggara, hal. 8.

38

diantaranya bergelar bonto, 41 bergelar bobato, 9 dari 31 bonto disebut

siolimbona dan 9 dari 41 bobato disebut siolipuna, bonto ogena atau menteri

besar. Menurut Zahari, struktur pemerintahan tersebut diwarisi dari masa Sultan

Dayanu Ihsanuddin (1597-1631), kecuali jabatan lakina sorawolio, karena jabatan

ini diadakan oleh Sultan Saparagau (1645-1647). Selain itu, jumlah 31 jabatan

bonto dan 41 bobato adalah jumlah yang tidak tetap, tetapi mengalami perubahan

sesuai perkembangan wilayah yang dikuasai.52

E. Kehidupan Masyarakat Buton Masa Kesultanan

1. Asal-Usul Penduduk

Penyebutan Buton sebagai hal yang umum sebagai sebuah kelompok

sosial sebenarnya tidak tepat, karena Penduduk yang tinggal di dalam wilayah

Buton memiliki heteroginas entisitas. Berbagai suku yang berkumpul tidak lain

dari ramainya aktifitas perdagangan di Buton. Mereka terdiri dari berbagai etnis,

bahasa dan adat istiadat. Namun secara garis besar penduduk Buton ini dapat

diklasifikasikan menjadi lima kelompok besar, yaitu orang Moronene yang

mendiami Poleang dan Rumbia, orang Muna yang mendiami Pulau Muna53

,

penduduk yang mendiami Pulau Kabaena, dan Orang yang mendiami wilayah

Kepulauan Tukang Besi.

Berlandaskan pada deskripsi Sarasin, kelompok penduduk Buton dapat

dikatakan sebagai perkembangan dari Proto-Melayu (Melayu Tua) dan Deutro-

52

Zahari, Sejarah dan Adat I, hal. 106-132. 53

Dewasa ini, orang Muna menolak menyebut diri mereka sebagai Orang Buton. Orang

Muna yang tinggal di Pulau Muna menyebut diri mereka sebagai orang tomuna, mereka asli dari

Kabupaten Muna. Jika dilihat dari ciri-ciri fisiknya, mereka ini lebih mirip rumpun orang Ambon

atau orang Nusa Tenggara atau percampuran diantara keduanya. Selengkapnya, lihat: Kimi Batoa,

Sejarah Kerajaan Daerah Muna, (Raha: Jaya Press Raha, 1991), hal. 3.

39

Melayu (Melayu Muda). Sarasin menjelaskan, bahwa hampir seluruh penduduk

bangsa Indonesia kini (kecuali Papua dan sekitarnya) merupakan perkembangan

kedua bangsa tersebut yang berasal dari Cina Selatan (sekarang Propinsi

Yunan).54

Kedatangan bangsa ini secara bergelombang, diawali bangsa Proto-

Melayu sekitar 1500 SM dan kemudian Deutro-Melayu sekitar 300 SM. Mereka

datang melalui dua rute; jalan barat dan jalan timur. Jalan barat adalah dari Yunan

kemudian berangkat ke Indocina dan Siam menuju Malaysia, kemudian ke

Sumatera dan selanjutnya menyebar ke wilayah Indonesia lain, termasuk di

Sulawesi. Sementara jalan timur adalah dari Yunan kemudian ke Formosa

(Taiwan) dan diteruskan ke Jepang kemudian Kepulauan Filipina dan kemudian

masuk ke Sulawesi dan tersebar ke seluruh Indonesia termasuk di Buton.55

Lebih rinci dijelaskan Zuhdi, bahwa penyebaran penduduk di Sulawesi

Tengah, Timur dan Tenggara dimulai dari sentral gelombang penyebaranya di

sekitar danau Metana di Sulawesi Tengah. Gelombang penyebaran tersebut boleh

jadi akibat peperangan antarsuku dan penyakit menular yang mewabah. Penduduk

yang menyebar ke arah selatan secara berangsur-angsur, dengan melalui sungai

Lasolo dan Konawe Eha di Jazirah Sulawesi Tenggara dan terus melalui

pelayaran-pelayaran lokal yang membawa suku-suku Tolaki, Moronene, Buton

dan Muna ke daerah-daerah tempat tinggal mereka sekarang ini.56

Deskripsi diatas tentunya dapat dihubungkan dengan anggapan masyarakat

Buton sendiri, bahwa asal-usul nenek moyang mereka yakni dari Bugis,

54

Bernard Hubertus Maria Vlekke, Nusantara: Sejarah Indonesia, (Jakarta: Gramedia,

2008), hal. 10. 55

Profil Propinsi Republik Indonesia: Sulawesi Tenggara, (Jakarta: Yayasan Bhakti

Wawasan Nusantara, 1992), hal. 10 56

Zuhdi, dkk., Kerajaan Tradisional Sulawesi Tenggara, hal. 9, La Ode Sirajudin

Djarudju, “Naskah dan Sejarah Kerajaan Buton dan Muna,” dalam Yusran Darmawan, ed., Naskah

Buton Naskah Dunia, (Bau-Bau: Respect, 2009), hal. 113.

40

Makassar, maupun Toraja.57

Begitupun dengan cerita-cerita rakyat yang tentunya

didukung oleh data sejarah, yang mengisahkan asal-usul nenek moyang mereka

dari Melayu, khususnya masyarakat Wolio yang merupakan turunan dari empat

orang tokoh (Mia Patamiana). Meskipun demikian, sebelum kedatangan

kedatangan kelompok tersebut diatas telah berdiam suku-suku bangsa lainya

merupakan penduduk asli atau unsur dari Proto-Melayu. Mereka itu adalah orang

Katobengke, orang Waara di Buton, orang Labora di Muna dan orang Moronene

dan Toare di daratan Sulawesi Tenggara.

Penduduk Buton kini memiliki sebutan-sebutan yang beragam. Orang

wolio di kota Bau-Bau menyebut penduduk yang tinggal di sepanjang pantai

dekat kota Bau-bau sebagai orang Pancana58

yang awalnya berasal dari penduduk

Lakudo dan Bombonawulu di bagian selatan pulau Muna yang menjadi hamba

dari Murhum, sehingga, dalam tradisi Wolio bahwa orang pancana itu dibawah

oleh Raja Murhum dari Pulau Muna ketika ia menjadi Raja Buton. Disamping itu,

ada juga orang Bajo atau Wajo dalam istilah Wolio, yang pemukimanya tersebar,

baik diperairan sekitar Buton maupun berada di Pasar Wajo (yang sekarang

menjadi satu Kecamatan di dalam Kabupaten Buton). Di dalam masa kesultanan,

orang Bajo ini bertugas menyediakan pemasokan ikan bagi keperluan keluarga

Sultan dan pejabat tinggi kesultanan lainya. Selain itu, orang Bajo juga tersebar di

pulau-pulau lain di Buton. Mereka mendiami wilayah pantai di Pulau Kabaena,

Poleang, Muna Timur, Kepulauan Tukang Besi terutama di Kaledupa dan Tiworo.

57

Adapun penduduk Toraja menurut Vlekke berasal dari turunan Proto-Melayu.

Selengkapnya, lihat: B.H.M. Vlekke, Nusantara: Sejarah Indonesia, hal. 10. Lihat pulah:

Rudyansjah, Kekuasaan Sejarah dan Tindakan, hal. 90. 58

Pancana secara harfiah berarti “Daerah caplokan”. orang Katobengke yang juga tinggal

di sepanjang pantai dekat keraton Wolio, juga sering disebut oleh orang Wolio dengan istilah

orang Pancana.

41

Selain itu mereka juga terdapat di Pasar Wajo di bagian selatan Buton. Mengenai

keberadaan orang Bajo ini bukanlah suatu kebetulan. Mereka tampaknya

mempunyai peran tersendiri bagi Kesultanan Buton. Pada salah satu pintu

sebanyak 12 di benteng keraton Buton terdapat nama Lawana Wajo (Lawa =

pintu, na = nya), sedang wajo adalah Bajo. Jadi itu dapat berarti “pintu orang

Bajo”. Pintu yang dijaga atau bagi keperluan keluar masuknya orang Bajo ke

keraton. Dalam konteks ini dapatlah dipahami jika diaspora maupun interaksi

pelayaran orang Buton menjelajah ke bagian-bagian dari kepulauan ini.59

Kemudian ada orang Cia-Cia atau Wabula60

yang bermukim dibagian

paling selatan dari pulau Buton, diyakini oleh orang wolio berasal dari Cina, dan

secara fisik mereka memang memiliki raut muka dan kulit seperti orang Cina.

Dalam tradisi wolio mereka dihubungkan dengan Dungkung Cangia yang berasal

dari tentara armada Cina yang terdampar di Nusantara dan kemudian tinggal di

pulau Buton. Mereka mengatakan bahwa penduduk Wabula ini merupakan

keturunan dari putri Cina yang dibawa oleh panglima Dungkung Cangia dalam

rombonganya. Pada zaman dulu, orang Wabula ini ditakuti sebagai perompak

yang ulung, karena mereka memiliki benteng pertahanan yang kokoh disepanjang

perkampungan mereka di pantai timur Buton.61

Selanjutnya, di Pulau Buton ada komunitas yang juga dianggap berasal

dari Jawa. Dalam tradisi lisan Wolio, mereka dianggap sebagai pengikut patih

Gajah Mada dari Majapahit yang datang dan kemudian menetap di Pulau Buton.

Sampai sekarang kita masih dapat menemukan desa dengan nama ini di Pulau

59

Rusdiyansyah, Kekuasaan, Sejarah, dan Tindakan, hal. 91. 60

Wa Bula berasal dari 2 kata, yakni Wa adalah sebutan untuk menyebut wanita dalam

bahasa Wolio dan Bula berarti Putih. 61

Rudyansjah, Kekuasaan, Sejarah, dan Tindakan, hal. 92.

42

Buton, yakni Desa Majapahit di Kecamatan Batauga. Disamping Batauga,

pemukiman orang Majapahit dinyatakan berada juga di Kamaru, tepatnya

disebuah Gunung yang bernama Kambubuna Majapai.

Munculnya pemukiman Jawa atau majapahit sesungguhnya tidak terlalu

mengherankan, mengingat bahwa Batauga dan Kamaru di pulau Buton merupakan

dua pelabuhan penting di Buton saat itu. Broersma (1930) pernah mengemukakan

dugaan bahwa pada saat itu, jika pembesar Majapahit hendak berlayar menuju ke

Ternate, selalu menggunakan pelabuhan Batauga pada saat mau kembali ke Jawa.

Untuk keperluan jalur pelayaran ke Ternate yang bersifat cukup permanen itu

sudah pasti dibutuhkan adanya sekelompok orang Majapahit yang di tempatkan

dan tinggal di kedua pelabuhan tersebut. Salah satu yang menarik dalam kaitan ini

adalah dihikayatkanya dalam tradisi yang berkembang di wilayah Sulawesi

Selatan dan Tengah bahwa salah satu musuh di laut yang diperangi oleh

Sawerigading disifatkan sebagai Jawa Wolio.62

Lebih lanjut mengenai keanekaragaman penduduk yang ada di Buton

dapat di kemukakan lagi mengenai orang Lolibo di kecamatan GU yang pada

zaman dahulu ditakuti orang kampong dalam wilayah Kesultanan Wolio sebagai

perompak yang banyak mengganggu pemukiman penduduk setempat yang

berdiam di sepanjang pantai. Perompak lain yang ditakuti adalah orang Tobelo di

kepulauan Maluku.

Orang Laporo dan orang Kaongkeongkea adalah komunitas penduduk

yang juga ada di Pulau Buton.63

Percampuran antara suku-suku bangsa tersebut

dan suku-suku lainya yang mungkin singgah disana dalam pelayaran-pelayaran

62

Ibid., hal. 93. 63

Ibid., hal. 94.

43

mereka, telah membentuk orang-orang Buton sekarang ini dengan beraneka ciri

fisik dan antropologisnya. Orang-orang Kaledupa dan Tomia misalnya memiliki

ciri-ciri Kaukasia yang masih dominan. Mereka memiliki bentuk kepala yang

memanjang, wajah oval dengan dagu yang menggantung agak ke depan, hidung

mancung, mata bulat, rambut ikal dan tinggi badan yang lumayan. Sementara

orang Wolio terutama keluarga Keraton Wolio, lebih menampakkan ciri-ciri

Deutro-Melayu dan Mongoloid. Diantaranya kulit kuning, mata ada yang sipit ada

yang bulat, rambut kejur (lurus), tinggi sedang, bentuk wajah bulat dan bulat telur.

Disamping kedua ciri itu, orang Buton maupun penduduk Kesultanan Buton

memiliki beberapa kesamaan dengan penduduk atau orang-orang di Sulawesi

Tenggara, Sulawesi Tengah bahkan Sulawesi Selatan. Mereka adalah orang-orang

yang kreatif dan penuh fitalitas, ulet dan pemberani dengan jalinan kekerabatan

yang kuat dan akrab. Kekerabatan itu diperkuat lagi dengan komunikasi antara

penduduk yang tersebar di berbagai pulau dengan menggunakan satu lingua

franca atau bahasa pengantar, yaitu “Bahasa Wolio”. Padahal di daerah eks

Kesultanan Buton itu dewasa ini, dikenal beberapa bahasa dengan dialek-dialek

yang berbeda diantaranya, bahasa Muna (Wuna), Bahasa Wolio (Buton), Bahasa

Pancana, Bahasa Cia-Cia dan Bahasa Suai.64

2. Kehidupan Ekonomi, Sosial dan Budaya

2.1. Perdagangan Sebagai Sumber Kehidupan Perekonomian

Keadaan alam di Buton pada umumnya tidak subur karena sebagian besar

wilayahnya terdiri dari batu karang. Yang dapat tumbuh di wilayah ini adalah

64

Zuhdi, dkk., Kerajaan Tradisional Sulawesi Tenggara, hal. 11.

44

jenis tanaman umbi-umbian dan jagung. Oleh karenahnya, perdagangan laut

menjadi urat nadi ekonomi Buton. Selain karena wilayahnya yang memang

kepulauan, kondisi itu juga dimungkinkan karena letak geografis Buton di tengah

lalu lintas pelayaran dan perniagaan Nusantara timur.65

Dokumen barat

menjelaskan bahwa Buton terletak di titik strategis pada rute dari Jawa dan

Makassar ke Maluku, pusat produksi rempah-rempah Indonesia, yaitu:

1) Jalur Makassar – (selat) Tiworo – Wawonii – Bungku (Tombuku) –

Banggai – Ternate, dengan kemungkinan singgah di Selayar, Sinjai,

Kabaena, Poleang/Rumbia, Tinaggea, Moramo Kendari.

2) Jalur Makassar – Bau-Bau – Lohia, Muna – Wawonii – seterusnya

Bungku, Banggai, Ternate.

3) Jalu Makassar – Bau-Bau – Wakatobi (P.P.Tukang Besi) – Buru –

Ambon – Banda.66

Bagi masyarakat Buton, pelayaran dan perniagaan tidak hanya terbatas di

Sulawesi Tenggara, tetapi juga sampai ke negeri Cina dan sebagai bukti terdapat

suatu tempat di Kepulauan Natuna yang bernama Tanjung Buton. Di tempat inilah

pera pelayar Buton yang akan berlayar ke daratan Asia singgah berpangkalan

sementara sebelum melanjutkan pelayarannya yang sampai ke Cina dengan

membawa barang dagangan berupa kopra, damar, hasil laut dan kulit, sebaliknya

barang dagangan dibawa pulang berbagai jenis dan ukuran keramik Cina, dan

barang-barang tekstil.

65

Abdul Rahman Hamid, Spirit Bahari Orang Buton, (Makassar: Rayhan Intermedia,

2010), hal. 81. 66

La Malihu, “Buton dan Tradisi Maritim,” hal. 21, Burhanuddin, dkk., Sejarah

Kebangkitan Nasional Daerah Sulawesi Tenggara, (Jakarta: Departemen Pendidikan dan

Kebudayaan, 1978/1979), hal. 50.

45

Pada masa itu, dalam bidang pelayaran dan perdagangan, Buton

disandingkan dengan Bugis dan Makassar. Tiga kekuatan ini biasa dikenal dengan

sebutan BBM (Bugis-Buton-Makassar). Ketiga etnis pelayar itu menjelajahi

seluruh wilayah pantai Sulawesi Tenggara dan segenap pelabuhan Nusantara

bahkan sampai ke Mancanegara. Ketiga etnik itu memiliki peran yang cukup

besar dalam pelayaran niaga di Kawasan Timur Indonesia dan membuka jaringan

kekerabatan antaretnik.

Sejak abad ke-10 sampai abad ke-13 masyarakat Buton telah mempunyai

hubungan dagang dengan Cina, Campa, dan Borneo (Kalimantan). Perdagangan

keramik pada abad ke-10 melalui perairan timur Sulawesi terus ke selatan di Selat

Tiworo menuju Sulawesi Selatan. Para pelayar niaga etnis Buton ikut ambil

bagian dalam pelayaran ke negeri Cina melalui jalur Buton, Selat Malaka, Laut

Cina Selatan dan berlabuh di Pelabuhan Kanton, Shanghai (Cina). Setelah tinggal

selama 4-6 bulan menunggu perubahan angin, selanjutnya mereka kembali

melalui jalur utara dari Cina, Kepulauan Jepang, Kepulauan Filipina, laut

Sulawesi, Kepulauan Maluku, pesisir timur Sulawesi akhirnya sampai kembali ke

Buton.67

Dalam dunia pelayaran dan perdagangan, orang Buton memegang peranan

penting sebagai pengangkut barang dapat anak buah kapal, termasuk pendayung

yang cekatan. Ada dua akibat dalam gerak orang Buton di perairan Riau dan Selat

Karimata; diukirnya nama Buton pada tempat atau daerah tertentu dan komunitas

orang Buton di pesisir pulau-pulau kecil. Adapun nama yang melekat pada suatu

67

Anwar,“Pelayaran Niaga Orang Buton pada Abad XX”. Jurnal Pendidikan dan

Kebudayaan. No. 027, tahun ke-6 November 2000, hal. 694-710.

46

tempat seperti pada pulau Buton, pelabuhan Buton di Siak, dan pangkalan Buton

di Sukadana Kalimantan Barat.

Sejauh pengamatan singkat, nama-nama Buton hanya mengingatkan

bahwa dahulu pernah ada kegiatan orang Buton yang umumnya pembawa barang

dengan perahu. Sedangkan jenis kedua meskipun tidak disebut sebagai nama

tempat, orang Buton banyak mengambil peran sebagai nelayan, buruh atau

pekerja di tingkat bawah di pulau-pulau di perairan Riau. Sebut misalnya

masyarakat pesisir di kawal Gunung Kijang yang berpenduduk orang berasal dari

Buton.

Gejala lain yang menarik mengenai penyebaran orang-orang dari perairan

Selat Malaka dan Riau. Tome Pires mencampuradukkan pedagang Bugis yang

datang dari Makassar dengan orang Bajo yang ia katakan sebagai bajak laut.

Tampaknya ada pengaruh setelah Malaka berada di bawah Portugis terhadap

pengembaraan orang Bajo. Meskipun hidup terpencar, dan terkesan tertutup,

sesungguhnya mereka berinteraksi luas. Mereka sangat aktif dalam kegiatan

perdagangan berbagai jenis barang yang diperlukan bagi pasar-pasar antarbangsa,

baik produk-produk laut (induk mutiara, kerang laut, kulit penyu) maupun hasil

yang digali dari pantai tempat mereka tinggal atau yang mereka kunjungi, seperti

akar-akar pohon hutan pantai, madu, sarang burung.68

Dalam negeri Buton sendiri saat itu telah berkembang sebuah sistem

perpajakan sebagai sumber pendapatan kerajaan. Jabatan yang berwenang

memungut pajak di daerah kecil adalah tunggu weti. Dalam perkembangnya,

kemudian terjadi perubahan, dan jabatan ini ditingkatkan statusnya menjadi Bonto

68

Christian Pelras, The Bugis: The People of Southeast Asia and the Pasific, (Oxford:

Blackwell, 1996), hal. 17.

47

Ogena. Dengan perubahan ini, maka Bonto Ogena tidak hanya berwenang dalam

urusan perpajakan, tetapi juga sebagai kepala Siolimbona (lembaga legislatif saat

itu). Sebagai alat tukar dalam aktifitas ekonomi, Buton telah memiliki mata uang

yang disebut Kampua. Panjang Kampua adalah 17,5 cm, dan lebarnya 8 cm,

terbuat dari kapas, dipintal menjadi benang kemudian ditenun menjadi kain secara

tradisional.69

2.2. Sosial Budaya

Sebagai kerajaan Islam yang tumbuh dari hasil transmisi ajaran Islam di

Nusantara, maka kerajaan Buton juga sangat dipengaruhi oleh model kebudayaan

Islam yang berkembang di Nusantara, terutama dari tradisi tulis-menulis. Bahkan,

dari peninggalan tertulis yang ada, naskah peninggalan Buton jauh lebih banyak

dibanding naskah Ternate, negeri darimana Islam di Buton berasal. Peninggalan

naskah Buton sangat berarti untuk mengungkap sejarah negeri ini, dan dari segi

lain, keberadaan naskah-naskah ini menunjukkan bahwa kebudayaan Buton telah

berkembang dengan baik. Naskah-naskah tersebut mencakup bidang hukum,

sejarah, silsilah, upacara dan adat, obat-obatan, dan lain sebagainya.70

Setelah kedatangan Islam, kehidupan sosial budaya masyarakat Buton-pun

kian berubah karenah makin menguatnya pengaruh Islam, hal ini terjadi setelah

beralihnya kerajaan Buton menjai kesultanan. Sebagaimana yang terdapat dalam

falsafah hidup masyarakat Buton, yaitu:

69

Melayu Online, “Kerajaan Buton.” Artikel diakses pada 20 September 2015 dari

http://melayuonline.com/ind/history/dig/329/kerajaan-buton 70

Periode awal tradisi tulis menulis di Kesultanan Buton dimulai pada masa pemerintahan

Sultan Dayanu Ikhsanuddin atau La Elangi yang dimulai dengan penyusunan Undang-Undang

Dasar Kesultanan Buton yang disebut dengan Martabat Tujuh. Selengkapnya, lihat: Sabirin,

Tarekat Sammaniyah Di Kesultanan Buton, hal. 13, Hasaruddin dan Andi Tenri Machmud,

“Peranan Sultan Dalam Pengembangan Tradisi Tulis di Kesultanan Buton.” Majalah Jumantara,

Vol. 3 No. 2 – Oktober 2012, hal. 92.

48

- Yinda Yindamo Arata Somanamo Karo (korbankan harta demi

keselamatan diri),

- Yinda Yindamo Karo Somanamo Lipu (korbankan diri demi

keselamatan negeri)

- Yinda Yindamo Lipu Somanamo Sara (korbankan negeri demi

keselamatan pemerintah)

- Yinda Yindamo Sara Somanamo Agama (korbankan pemerintah demi

keselamatan Agama.

49

BAB III

PASANG-SURUT HUBUNGAN BUTON – VOC (TAHUN 1613-1751)

A. Kedatangan VOC di Buton dan Terbentuknya Persekutuan Abadi

Belanda tiba pertama kali di Kepulauan Nusantara untuk melakukan

perdagangan pada tahun 1596. Sebelum datang dan berdagang langsung di

Nusantara, Belanda aktif sebagai pedagang perantara untuk memasarkan rempah-

rempah di Eropa. Barang-barang itu didatangkan oleh Portugis ke Lisboa dari

Asia kemudian dijual pada pedagang-pedagang Belanda. Perdagangan itu

berlangsung sampai tahun 1580, yaitu ketika Portugal dan Spanyol berhasil

dipersatukan. Belanda yang sudah sejak lama bermusuhan dengan Spanyol merasa

dirugikan dengan penyatuan ini, sehingga Belanda mengambil keputusan untuk

bisa sampai ke daerah rempah-rempah Asia. orang-orang Portugis berusaha

merahasiakan rincian-rincian jalur pelayaranya, tetapi Jan Huygen van

Linschoten, seorang Belanda yang bekerja pada mereka, mengetahui rahasia itu.

Pada tahun 1595-1596, Linschoten menerbitkan bukunya yang berjudul

“Itenerarium naer Oost ofte Potugaels Indien” atau Catatan Perjalanan ke Timur

atau Hindia Portugis. Buku ini memuat peta dan deskripsi tentang penemuan-

penemuan Portugis dalam perjalananya ke Timur. Dengan bantuan buku tersebut,

orang-orang Belanda tidak hanya mengetahui kekayaan Asia yang melimpah ruah,

tetapi juga persoalan-persoalan yang dihadapi oleh orang-orang Portugis disana.

Oleh karenah itu, orang-orang Belanda menyempurnakan konstruksi kapal dan

persenjataan mereka, untuk menyaingi orang-orang Portugis, Spanyol, Inggris

maupun pedagang-pedagang lain di Asia.

50

Pada tahun 1595, pedagang-pedagang Belanda yang berada dibawah

pimpinan Cornelis de Hotman berangkat menuju Kepulauan Nusantara melalui

Tanjung Harapan, Afrika Selatan dan tiba pertama kali di Pelabuhan Banten1 pada

tahun 1596. Berbeda dengan bangsa Portugis yang motif kedatanganya untuk

mendapatkan kekayaan (gold), melakukan petualangan (glory) dan menyebarkan

agama Kristen (gospel).2 Motif kedatangan pedagang Belanda ini awalnya lebih

kepada motif ekonomi, yakni melakukan perdagangan dan mendapatkan rempah-

rempah dengan harga murah.3

Pada awal kedatangannya pedagang-pedagang Belanda ini mendapatkan

sambutan positif dari penguasa dan rakyat Banten sehingga Belanda dapat

berdagang dengan baik di Banten. Keadaan menjadi berubah ketika pedagang

Belanda mulai menunjukkan keserakahan dan sifat sewenang-wenangnya,

sehingga menimbulkan kebencian rakyat Banten yang berujung pada pengusiran

mereka dari tanah Banten.4

De Houtman meninggalkan Banten dan berlayar ke timur dengan

menyusuri pantai utara Pulau Jawa, sambil melakukan banyak penghinaan dan

menyebabkan kerugian besar di setiap pelabuhan yang dikunjunginya. Di Sidayu,

dia kehilangan dua belas anak buahnya yang tewas dalam suatu serangan yang

dilakukan oleh orang-orang Jawa. Di lepas pantai Madura, orang-orang Belanda

1 Pada abad 16-17 Masehi Banten merupakan salah satu kota pusat perdagangan rempah-

rempah yang sejajar dengan wilayah bawah angin lainya seperti Pegu, Ayutthaya, Pnomphenh,

Hoi An (Foifo), Melaka, Patani, Brunei, Pasai, Aceh, Jepara, Gresik, dan Makassar. Selengkapnya,

lihat: Anthony Reid, Asia Tenggara Dalam Kurun Niaga 1450-1680: Jaringan Perdagangan

Global Jilid 2 (terj.), (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, cet.2, 2011), hal. 3. 2 Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, ed., Sejarah Nasional

Indonesia III, Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Sejarah dan Nilai

Tradisional Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional, 1981/1982), hal. 31. 3 John Ball, Indonesian Legal History 1602-1848, (Sydney: Oughtershaw Press, 1982),

hal. 1. 4 M. Junaedi Al-Anshori, Sejarah Nasional Indonesia: Masa Prasejarah Sampai Masa

Proklamasi Kemerdekaan, (Jakarta: PT. Aksara Panaitan), hal. 66.

51

itu membunuh seorang penguasa lokal pada waktu orang tersebut mendayung

perahunya mendekati kapal Belanda untuk berbicara dengan mereka. Akhirnya

pada tahun 1597, sisa-sisa ekspedisi itu kembali ke negeri Belanda dengan

membawa cukup banyak rempah-rempah di atas kapal mereka untuk menunjukan

bahwa mereka mendapatkan keuntungan.5

Setahun kemudian (tahun 1598), 22 kapal milik lima perusahaan yang

berbeda mengadakan pelayaran, dan 14 diantaranya akhirnya kembali. Armada

yang berada di bawah pimpinan Jacob van Neck-lah yang pertama tiba di

“kepulauan rempah” Maluku pada bulan Maret 1599, dimana rombongan diterima

dengan baik; kapal-kapalnya kembali ke Belanda pada tahun 1599-1600 dengan

mengangkut cukup banyak rempah-rempah yang menghasilkan keuntungan 400

persen. Dengan diperolehnya banyak keuntungan dari sebagian besar pelayaran

pada tahun 1598 itu, maka pada tahun 1601 empat belas buah ekspedisi yang

berbeda diberangkatkan dari Belanda.

Kuatnya persaingan diantara para pedagang Belanda maupun dengan

pedagang bangsa lain, seperti Spanyol, Portugis, Inggris bahkan juga dengan

Prancis, dan terlebih pula dengan para pedagang Melayu, Bugis, India dan Cina,6

Sehingga tahun 1598 parlemen Belanda (staten generaal) mengajukan sebuah

usulan supaya perseroan-perseroan milik Belanda sebaiknya menggabungkan

kepentingan mereka ke dalam suatu kesatuan. Akhirnya, pada tanggal 20 Maret

1602, perseroan-perseroan Belanda yang saling bersaing itu bergabung

membentuk Perserikatan Maskapai Hindia Timur, VOC (Vereenigde Oost

5 M. C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Moderen 1200-2008, (Jakarta: Serambi, 2008), hal.

50. 6 Denys Lombard, Nusa Jawa: Silang Budaya, Kajian Sejarah Terpadu Bagian I: Batas-

batas Pembaratan, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, cet.II 2010), hal. 61.

52

Indische Compagnie). Kepentingan-kepentingan yang bersaing itu diwakili oleh

sistem majelis (kamer) untuk masing-masing dari enam wilayah di negeri

Belanda. Setiap majelis mempunyai sejumlah direktur yang telah disetujui, yang

seluruhnya berjumlah tujuh belas orang dan disebut sebagai Heeren XVII (Tuan-

tuan Tujuh Belas).

Sebagai wakil dari Kerajaan Belanda, maka VOC mendapatkan berbagai

hak istimewa (octroi) sebagaimana layaknya suatu pemerintahan negara. Hak-hak

tersebut adalah; hak mengadakan perjanjian dengan negara lain, hak untuk

memerintah daerah-daerah di luar Belanda, hak mendirikan badan-badan

pengadilan, hak membentuk tentara dan mendirikan benteng, hak untuk

mengeluarkan dan mengedarkan mata uang.7 Dilain pihak, VOC mempunyai

kewajiban yang harus dipenuhi terhadap pemerintah Kerajaan Belanda, yaitu;

bertanggung jawab kepada Staten Generaal (Parlemen Belanda), dan kewajiban

membantu pemerintah dengan uang dan angkatan perang apabila terjadi perang

antara Kerajaan Belanda dengan bangsa lain.

Pada tahun 1602, VOC mulai membuka kantor perwakilanya di beberapa

daerah di Nusantara seperti Banten (1602), Makassar (1603), dan juga beberapa

daerah lain. Pada tahun 1613 sejumlah kapal dagang VOC yang berada dibawah

komando Apolonius Scotte tiba di Buton, dan singgah pertama kali di Pelabuhan

Bau-Bau.8 Sejak awal kedatanganya, VOC melihat bahwa pelayaran antara

Batavia sebagai pusat pemerintahan VOC dengan Maluku sebagai pusat penghasil

rempah-rempah masih memakan waktu banyak. Karena itu, diperlukan

7 G. Moedjanto, Indonesia Abad ke-20, Jilid 1, (Yogyakarta: Kanisius, 1988), hal.16.

8 J.W. (Pim) Schoorl, Masyarakat, Sejarah dan Budaya Buton, (Jakarta: Djambatan,

2003), hal. 19.

53

pelabuhan-pelabuhan persinggahan.9 Buton yang letak geografisnya sangat

strategis dalam jalur lalu lintas pelayaran dan perniagaan Nusantara pada saat itu

mulai memikat hati pedagang VOC. Oleh karenanya, pada kesempatan tersebut

Scotte kemudian melakukan kunjungan di istana Kesultanan Buton untuk

menawarkan hubungan kerjasama.10

Lain halnya dengan daerah lain seperti

Banten, Makassar dan lain sebagainya, yang tampaknya cukup was-was dengan

kehadiran dan tawaran kerjasama yang dilakukan VOC terhadap mereka. Di

Buton justru kedatangan dan tawaran kerjasama dari VOC ini langsung

mendapatkan sambutan hangat dari para pembesar kerajaan, khususnya Sultan

Dayanu Ikhsanuddin atau La Elangi. Berlandaskan dari berbagai sumber,

setidaknya hal ini dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu;

Pertama, faktor internal, yaitu adanya kepentingan pribadi Sultan La

Elangi, dimana kehadiran VOC ini dianggap dapat memperkuat posisinya sebagai

sultan, sehingga kedepanya tahta kepemimpinan dapat diwariskan juga kepada

anak cucunya. Kedua, faktor eksternal, yaitu adanya keinginan sultan untuk

mewujudkan Buton sebagai imperium besar yang relatif stabil dan aman

khususnya di kawasan Sulawesi Tenggara. Sebagaimana diketahui bahwa letak

geografis Kesultanan Buton yang berada di tengah-tengah lalu lintas pelayaran

dan perniagaan Nusantara menjadikanya sebagai kawasan yang relatif tidak aman

dari berbagai ancaman, baik ancaman bajak laut, Kerajaan Ternate di timur,

maupun Gowa di barat.

9 Ahmad M. Sewang, Islamisasi Kerajaan Gowa (Abad XVI sampai Abad XVII), Jakarta:

Yayasan Obor Indonesia, 2005), hal. 62. 10

J.W. (Pim) Schroorl, “Power, Ideologi and Change In The Early State Of Buton,”

dalam G.J. Schutte, ed., State and Trade In The Indonesian Archipelago, (Leiden: KITLV Press),

hal. 17.

54

Tercatat sejak abad ke-15, kelompok bajak laut yang dikatakan berasal

dari Tobelo kerap kali melakukan aksi perompakkan di sejumlah pesisir pantai

wilayah Kesultanan Buton.11

Kehadiran orang-orang Tobelo ini dikaitkan dengan

ekspedisi maritim Kesultanan Ternate dan Tidore yang saat itu sedang gencar-

gencarnya melakukan ekspansi ke berbagai kawasan timur Nusantara, termasuk

dalam hal ini Buton. Ekspedisi ini dilakukan bersama bangsa-bangsa yang lain,

seperti orang-orang Galela, Maba, Weda, Patani, dan suku-suku bangsa lainya.12

Pangkalan bajak laut Tobelo ini terletak di daerah yang sekarang disebut

Labuan Tobelo (persinggahan Tobelo), yang sekarang terletak di Kecamatan

Wakorumba Utara, Kabupaten Buton Utara. Pimpinan kelompok tersebut dikenal

dalam masyarakat Buton dengan sebutan La Bolontio. Ia mempunyai ciri-ciri fisik

antara lain; berbadan tinggi dan kekar, berkulit hitam pekat, berambut ikal, dan

bermata satu, serta dikenal dengan karakternya yang kejam dan bengis. Kehadiran

kelompok bajak laut ini sesungguhnya sangat meresahkan masyarakat Buton

sebab mereka kerap kali menebar ancaman teror.13

Tak heran kemudian banyak

masyarakat Buton yang sebelumnya tinggal di daerah pesisir kemudian

menyingkir ke daerah-daerah pedalaman utamanya daerah pegunungan untuk

mencari perlindungan.

Dikatakan bahwa pada saat itu Buton yang berada di bawah pemerintahan

raja kelima Mulae sangat kewalahan dalam menghalau pergerakan bajak laut ini.

Oleh karenanya, raja kemudian mengadakan sayembara untuk menumpas

11

Abdul Rahman Hamid, Sejarah Maritim Indonesia, (Yogyakarta: Penerbit Ombak,

2013), hal. 213-214, 12

Adrian B. Lapian, Orang Laut Bajak Laut Raja Laut; Sejarah Kawasan Laut Sulawesi

Abad XIX, hal. 183. 13

Abdul Mulku Zahari, Sejarah dan Adat Fiy Darul Butuni I, (Jakarta: Departemen

Pendidikan dan Kebudayaan, 1977), hal. 47-48, Hamid, Sejarah Maritim Indonesia, hal. 208.

55

kelompok bajak laut ini. Akhirnya berkat jasa La Kilaponto yang dibantu pasukan

Kerajaan Buton, dan Raja Selayar Opu Manjawari, kelompok bajak laut ini

berhasil ditumpas termasuk La Bolontio yang tewas di tangan La Kilaponto dalam

sebuah pertempuran di Pantai Boneatiro atau sekarang terletak di depan Selat

Kapontori. Atas jasanya ini, La Kilaponto kemudian dinikahkan dengan putri Raja

Mulae dan diangkat menjadi Raja Buton keenam menggantikan Mulae.14

Selain gangguan dan ancaman bajak laut Tobelo, Kesultanan Ternate di

Timur dan Gowa di barat juga menjadi ancaman nyata bagi eksistensi Kesultanan

Buton. Hal ini terutama setelah tampilnya Ternate dan Gowa sebagai kekuatan

baru yang terpandang kuat dan besar pada abad ke-16 dan ke-17. Dibawah

pemerintahan Sultan Baabullah (1570-1583) Ternate tampil sebagai kerajaan

Islam terkuat dan terbesar di kawasan timur Nusantara, di samping Aceh dan

Demak yang menguasai wilayah barat dan tengah Nusantara kala itu. Semenjak

naik tahta pada tahun 1570, Sultan Babullah langsung mengkoordinasikan seluruh

armada Kerajaan Ternate untuk mengusir bangsa Portugis di Maluku sebagai

balasan atas pembunuhan ayahnya Sultan Khairun (memerintah 1535-1570).

Disamping itu, hal ini dilakukan Sultan Baabullah untuk membendung laju

kristenisasi di Maluku serta untuk menyebarkan agama Islam di seluruh kawasan

timur Nusantara.15

Selain itu, sebagai penghasil rempah-rempah terbesar, Ternate

selalu berusaha untuk mengontrol, mengamankan, serta menguasai jalur-jalur

penting dalam pelayaran dan perdagangan di kawasan timur Nusantara, khususnya

Buton.

14

Zahari, Sejarah dan Adat Fiy Darul Butuni I, hal. 49. 15

Muridan Widjojo, Pemberontakan Nuku (Persekutuan Lintas Budaya di Maluku –

Papua Sekitar 1780-1810, (Depok: Komunitas Bambu, 2013), hal. 14-17.

56

Dengan didukung oleh kekuatan armada yang menurut Paramita R.

Abdurachman mencapai 130.000 personil, Ternate berhasil mengusir bangsa

Portugis di Maluku, serta mampuh mengkonsolidasikan wilayah kekuasaannya

yang mencakup 72 pulau besar maupun kecil yang membentang luas dari

Mindanao di utara sampai Bima di selatan.16

Menurut Abdul Rahim Hamid,

keberhasilan Ternate ini didukung oleh aspek geografis dan penduduknya.

Kondisi wilayahnya yang sebagian besar laut, tersedianya sejumlah jenis armada

laut (berukuran besar dan kecil), dan kebijakan penguasanya terhadap laut dalam

kegiatan pelayaran dan perdagangan maritim menjadikan Ternate tumbuh dan

berkembang sebagai kekuatan bercorak maritim. Produksi hasil bumi Maluku,

khususnya cengkeh dan pala, yang dikenal luas di pasaran dunia, dimanfaatkan

dengan baik oleh para penguasa di Maluku untuk membangun negerinya. Dengan

surplus perdagangan maritim dan kendali politik terhadap negeri dan kerajaan-

kerajaan kecil di Maluku, Kesultanan Ternate dan Tidore mampu tampil sebagai

kekuatan politik yang unggul, dengan fokus perhatian pada sektor kelautan. Hal

ini didukung pulah oleh keberadaan dan peran pelaut pribumi terutama orang

Tobelo dari Halmahera dan orang Papua dari Kepualauan Raja Ampat menjadikan

Ternate sebagai kekuatan yang sangat sulit ditandingi pada waktu itu, khususnya

di kawasan timur Nusantara.17

Pada tahun 1580 angkatan perang Kesultanan Ternate yang berada di

bawah pimpinan Sultan Baabullah bersama Calapaya menyerang Kesultanan

16

Paramita R. Abdurachman, Bunga angin Portugis di Nusantara: Jejak-jejak

Kebudayaan Portugis di Indonesia, (Jakarta: LIPI Press, 2008), hal. 99. 17

Hamid, Sejarah Maritim Indonesia, hal. 219-220.

57

Buton dengan dalih untuk menyebarkan agama Islam.18

Dalam serangan ini,

Ternate berhasil menganeksasi wilayah Tiworo, dan kemudian Wolio yang

merupakan ibukota Kesultanan Buton. Sejak saat itulah kedudukan Buton telah

berada di bawah pengaruh kekuasaan Ternate.19

Meskipun demikian, tampilnya

Kerajaan Gowa sebagai kerajaan terbesar di kawasan barat juga menjadi ancaman

bagi kekuasaan Ternate, termasuk dalam hal ini Buton.

Tampilnya Gowa sebagai kerajaan terbesar pada waktu itu setelah

keberhasilanya menaklukkan kerajaan-kerajaan di Sulawesi Selatan, seperti;

Wajo, Soppeng dan Bone.20

Adalah Sultan Alauddin (memerintah 1593 – 1639)

yang menjadi aktor keberhasilan Gowa dalam melakukan ekspansi ke berbagai

kawasan. Pada masa pemerintahanya, Sultan Alaudin mengirimkan armada

perangnya dalam jumlah besar ke luar wilayah Sulawesi untuk menyebarkan

Islam serta memperkuat pengaruhnya di Nusantara. Ekspansi Gowa ke timur ini

kemudian berhadapan dengan ekspansi Kerajaan Ternate ke barat dan selatan.

Kedua pasukan kerajaan itu berhadap-hadapan di beberapa tempat, yaitu di

Sulawesi Utara dan Minahasa. Dibagian timur mereka berhadap-hadapan di

Banggai, di bagian tenggara bertemu di Kepulauan Buton, di selatan berjumpa di

Selayar, dan bahkan sampai di Bima. Kedua kerajaan itu akhirnya mengadakan

kesepakatan pada tahun 1607 untuk mengakhiri pertikaian, dan akhirnya

18

Keterangan mengenai tahun tersebut ditunjang dengan tulisan Ligtvoet, yang

menjelaskan bahwa “Het eerste, dat ons omtrent de geschiedenis Van Boeton bekendis, is de

verovering van dat rijk en den invoering van den Islam aldaar door de vorst van Ternate

Baabullah in 1580, enz.” Selengkapnya, lihat: 19

Susanto Zuhdi, Sejarah Buton yang Terabaikan: Labu Rope Labu Wana, (Jakarta:

Rajawali Pers, 2010), hal. 115. 20

Abdul Rasjid dan Restu Gunawan, Makassar Sebagai Kota Maritim, (Jakarta:

Departemen Pendidikan Nasional, 2000), hal. 35.

58

ditetapkan bahwa Selayar berada di bawah pengaruh Gowa, sedangkan Buton

berada di bawah pengaruh Ternate.21

Demikianlah, sejak saat itu Kesultanan Buton selalu terombang ambing

oleh pertarungan politik Kerajaan Ternate dan Gowa. Oleh karenanya, dengan

kehadiran dan tawaran kerjasama dari VOC seolah membawa angin segar bagi

Buton. Kerjasama dengan VOC ini dianggap Buton dapat meminimalisir dan

mencegah berbagai macam ancaman yang suatu waktu datang, baik dari dalam

(internal) maupun dari luar (eksternal).22

Sementara bagi VOC, Buton dibutuhkan

untuk membantunya dalam menghadapi musuh-musuhnya, khususnya Portugis,

Gowa, Ternate dan lain sebagainya. VOC pun menganggap kerjasama dengan

Buton ini sebagai langkah awal untuk mendapatkan pijakan politik dalam

mendukung kelancaran pelayaran dan perdagangannya dengan Maluku.23

Menganggap hubungan kerjasama ini mewakili kepentingan kedua belah

pihak, maka diadakanlah kesepakatan melalui kontrak “Persekutuan Abadi”

antara Buton – VOC, yang mana Buton diwakili oleh Sultan La Elangi, sementara

VOC diwakili oleh Schot. Kontrak La Elangi – Scotte ini dikenal dengan nama

“janji baana”, atau “kontrak pertama”. Adapun bunyi kontrak tersebut adalah

sebagai berikut:

a. Pihak Appolonius Schot:

1. Memberikan bantuan dan perlindungan kepada Kerajaan Buton bila

mendapat serangan dari kerajaan lain ataupun pertentangan yang

terjadi di dalam Kerajaan Buton. Untuk itu, akan dibangun dua buah

21

Zuhdi, Sejarah Buton yang terabaikan, hal. 148. 22

Abdul Rahim Yunus, Posisi Tasawuf Dalam Sistem Kekuasaan Di Kesultanan Buton

Pada Abad Ke – 19, (Jakarta: INIS, 1995), hal. 44. 23

Susanto Zuhdi dkk, Kerajaan Tradisional Sulawesi Tenggara: Kesultanan Buton,

(Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, 1996), hal. 97.

59

kubu pertahanan yang diwakili oleh beberapa orang Belanda yang

dipersenjatai dengan empat buah meriam.

2. Tidak mengganggu dan menyulitkan rakyat Buton beserta rajanya dan

pembesar kerajaan di dalam kepercayaannya atau jelasnya agamanya.

3. Berjanji secepat-cepatnya menjadi penengah pada raja Makassar, agar

mau meniadakan semua permusuhan terhadap Buton

4. Mendesak raja Ternate agar memberikan peringatan kepada warganya

yang datang di Buton dalam berbagai urusan kerajaan untuk tidak

mempersulit Kerajaan Buton dan dalam setiap utusan diberikan surat

keterangan yang jelas disertai dengan cap kerajaan yang resmi.

5. Pemasukan uang logam VOC yang berlaku pula di dalam Kerajaan

Buton sebagai mata uang yang sama nilainya dengan uang kerajaan

sendiri.

b. Pihak La Elangi:

1. Memerangi musuh-musuh Kerajaan Ternate dan juga VOC;

2. Memberikan tentara bantuan kepada VOC bila nanti berangkat ke

Solor sesudah perjanjian ini selesai ditandatangani, dengan tumpangan

di atas kora-kora;

3. Pengawasan penetapan harga atas kebutuhan bahan pokok sehari-hari

yang dimufakati supaya dipegang teguh;

4. Tidak menjalin hubungan perdagangan serta tidak mengizinkan

bangsa lain berdagang atau berlalu-lalang di dalam wilayah Kerajaan

Buton, jika hal ini merugikan orang-orang Belanda;

60

5. Orang-orang Belanda boleh berdagang dimana-mana tanpa dipungut

upeti atau bea. Mereka juga boleh menanam tanaman, asal raja diberi

tahu;

6. Raja berjanji selanjutnya akan menyuruh warganya menanam padi

untuk kebutuhan di Maluku;

7. Tentara VOC dapat mengawini perempuan asal kaula Kerajaan Buton

yang tidak ada sangkutanya dalam arti ada ikatan nikahnya dan atas

kemauanya bersama dan perempuan itu menurut agama suaminya;

8. Demikian pula pembelian budak oleh VOC dengan ketentuan bahwa

pelarian budak dari salah satu pihak harus dikembalikan kepada

pemiliknya;

9. Kontrak perjanjian ini juga dimaksudkan dengan perdamaian dan

persahabatan dengan Banda, kecuali bila pecah perang antara VOC

dengan orang-orang Banda, maka semua orang Buton yang tinggal di

Banda dipanggil kembali.24

Untuk mengukuhkan kontrak itu, pada bulan Agustus 1613 Gubernur

Jenderal Pieter Both berkunjung ke Buton untuk membubuhkan tanda tangannya.

Dalam kesempatan itu, masih ditambahkan pula beberapa kesepakatan baru antara

Pieter Both dan Sultan La Elangi.25

Tambahan isi kontrak yang dibuat oleh Pieter

Both tersebut dikenal dengan “janji ruaanguna” atau “kontrak yang kedua”.

Pasal tambahan dalam kontrak tersebut berbunyi;

1. Bila Sultan wafat, maka sebagai calon penggantinya yang pertama

adalah Kamaruddin dan kedua Syamsuddin;

24

Zahari, Sejarah dan Adat I, hal. 69, Schoorl, Masyarakat, Sejarah dan Budaya Buton,

hal. 20. 25

Zuhdi, Sejarah Buton yang terabaikan, hal. 187.

61

2. Semua bangsa Asing seperti Spanyol dan Portugis seta yang lain dapat

bebas berada di Buton bila mendapat persetujuan pihak; inipun terbatas

pada keadaan yang luar biasa seperti dibutuhkan tenaganya dan lain-

lain;

3. Dimana musuh biasa membawa barang dengan perahu dari Surabaya

dibongkar di Makassar, dengan pemberitahuan dari Sultan Buton dan

atas hasil pemeriksaan VOC perahu itu dapat dirampas beserta seluruh

muatanya. Dan barang-barang yang disita itu sebagian diserahkan

kepada Raja Buton dan sebagian sisanya kepada VOC.26

Demikianlah, selama pemerintahan Sultan La Elangi telah terjadi dua kali

penutupan kontrak persahabatan dengan VOC. Secara keseluruhan isi kontrak di

atas merupakan konsensi yang tidak seimbang dalam hubungan kepentingan

antara kerajaan Buton dan VOC. VOC lebih untung dibandingkan dengan apa

yang diperoleh Buton dari VOC. Namun bagi Buton tampaknya bukan konsesi

materi yang penting, melainkan memperolah jaminan perlindungan keamanan dari

VOC untuk menghadapi bangsa-bangsa asing dan khususnya Gowa dan Ternate,

itulah yang paling hakiki. Yang lain adalah soal kebiasaan, dalam hal menjalankan

ajaran agama, dimana VOC menyatakan tidak akan melakukan campur tangan.27

Keberhasilan VOC menjalin persekutuan dengan Buton ini dianggap

sebagai langkah taktis dalam mengalahkan dua pesaing utamanya yang juga

berusaha menanamkan pengaruhnya di Kesultanan Buton, yaitu Gowa dan

Ternate. Disini penulis melihat, pendekatan diplomatis yang dilakukan VOC lebih

26

Tambahan kontrak perjanjian ini menurut Zahari hanya ditanda tangani oleh Pieter

Both. Adapun naskah asli perjanjian tambahan ini tidak ditemukan, yang mana diperkirakan hilang

bersama karamnya kapal tumpangan Pieter Both di pantai Mauritius tahun 1614, yang hendak

kembali ke negeri Belanda. Zahari, Sejarah dan Adat I, hal. 69. 27

Zuhdi, Sejarah Buton yang terabaikan, hal. 186.

62

efektif untuk merangkul Buton sebagai sekutunya, dibandingkan Ternate maupun

Gowa yang kerap kali menggunakan pendekatan kekerasan.

B. Masa Keretakan Hubungan Buton – VOC

Setelah Sultan La Elangi wafat, ia kemudian digantikan oleh Sultan Abdul

Wahhab atau La Balawo (1617-1619) yang tidak lain adalah anak dari Sultan La

Elangi. Karakter kepemimpinan Sultan La Balawo yang dianggap lemah dan tidak

mampu meneruskan kebijakan ayahnya Sultan La Elangi, sehingga ia diturunkan

dari tahta pada tahun 1619.28

Karena terjadinya kekosongan kekuasaan di

Kesultanan Buton selama sebelas tahun, maka diangkatlah La Buke sebagai sultan

dengan gelar Sultan Gafurul Wadudu. Pada masa pemerintahan Sultan Gafurul

(1632-1645), hubungan Buton – VOC berlangsung kurang baik.29

Bahkan

menurut Schrool, hubungan Buton – VOC pada masa Sultan Gafurul

memperlihatkan titik terendah.30

Berbagai isi kontrak sebelumnya tidak dapat diteruskan pada masa

pemerintahan Sultan Gafurul. Hal ini disebabkan kegagalan VOC dalam

melindungi Buton dari serangan Kerajaan Gowa yang dipimpin oleh Sultan

Alauddin pada Pada tahun 1624, sehingga pada tahun 1634 Buton telah menjadi

daerah taklukan Kerajaan Gowa.31

Masuknya Buton ke dalam wilayah pengaruh

Kerajaan Gowa membawa dampak negatif terhadap hubungan Buton – VOC,

dikarenakan Buton ikut membantu Gowa dalam melakukan perlawanan terhadap

28

Ibid., hal. 200. 29

Zahari, Sejarah dan Adat II, hal. 155. 30

Schrool, Masyarakat, Sejarah dan Budaya Buton, hal. 32. 31

Ahmad Massiara Daeng Rapi, Menyingkap tabir sejarah budaya di Sulawesi Selatan,

(Makassar: Lembaga Penelitian & Pelestarian Sejarah dan Budaya Sulawesi Selatan Tomanurung,

Yayasan Bhinneka Tunggal Ika, 1988), hal. 56.

63

VOC.32

Zuhdi mencatat beberapa peristiwa penyerangan terhadap VOC yang

menyebabkan keretakan hubungan Buton – VOC yang kemudian berujung pada

konflik, yaitu:

Pertama, adanya perlawanan Kakiali33

yang mendapat bantuan orang

Makassar dan orang Buton di Wowoni, Hitu terhadap VOC pada tahun 1634.

Peristiwa yang akhirnya dapat di tumpas itu, terdapat tiga puluh orang Buton

pendukung perlawanan. Kedua, peristiwa penyerangan kapal VOC bernama

“Batavia” pada 30 Maret 1634. Peristiwa penyerangan itu dilakukan oleh dua

ratus sampai tiga ratus orang Makassar di Pelabuhan Bau-Bau. Ketiga, peristiwa

perampokan dan pembunuhan awak perahu (fluit) Velzean pada Januari 1635,

yang terdampar di Pulau Wowoni. Keempat, pada tahun 1636 kapal (jacht) Sasker

Douwensen milik VOC dirampok dan dibakar di Pelabuhan Buton. Pemiliknya

beserta enam orang lainya dibunuh penduduk berdasarkan perintah sultan.

Sementara itu, janda Jansen dan delapan orang pengikutnya di tawan di Buton.34

Akibat beberapa peristiwa di atas, hubungan Buton dengan VOC menjadi

retak. Pada tanggal 13 Juni 1637, Pejabat Gubernur VOC Van Diemen datang di

Buton. Kedatanganya untuk bertemu dan meminta pertanggung jawaban Sultan

Buton berupa ganti rugi atas perompakan dan pembunuhan awak kapal VOC. Van

Diemen memberikan dua pilihan kepada Sultan, membayar ganti rugi atau kota

Buton akan diserang dan dibakar secara terus-menerus sampai tuntutan tersebut

32

Yunus, Posisi Tasawuf, hal. 44. Lihat pulah: Sewang, Islamisasi Kerajaan Gowa, hal.

64-66. 33

Kakiali berasal dari Hitu dan perna menjadi salah satu murid Sunan Giri (Wali Songo)

di Jawa. Semasa hidup, ia telah berkontribusi besar dalam memimpin masyarakat Hitu untuk

melakukan perlawanan terhadap VOC Maluku. Selengkapnya, lihat: Ricklefs, Sejarah Indonesia

Moderen, hal. 124. 34

Zuhdi, Sejarah Buton yang terabaikan, hal. 200-201.

64

terpenuhi. Namun beratnya tuntutan tersebut membuat Sultan tidak dapat secara

langsung melakukan pembayaran ganti rugi.35

Mendengar pernyataan tersebut, Van Diemen menganggapnya sebagai

tindakan permusuhan Buton terhadap VOC. Van Diemen yang sudah siap siaga

bersama pasukanya di perairan Buton dengan segera melancarkan agresi militer

terhadap Buton dengan melepaskan 10 sampai 12 kali tembakan yang diarahkan

ke prajurit Buton di pantai. Adapun kapal Bommel yang merupakan kapal terbesar

kedua dalam armada itu menembakkan meriam sebanyak tiga kali. Sementara itu

pasukan Buton yang berjumlah 600 orang yang juga terdapat orang-orang

Makassar telah bersiap dipesisir Buton. Akhirnya, pertempuranpun tak dapat

terhindarkan.

Pada tanggal 15 Juni, Van Diemen berhasil memukul mundur seluruh

pasukan Buton serta memusnahkan semua yang masih tersisa di pesisir pantai

kota Buton. Akhirnya, pada tanggal 16 Juni pasukan Van Diemen mengarahkan

serangan ke jantung ibukota Kesultanan Buton di Wolio. Akan tetapi kuatnya

benteng pertahanan Kesultanan Buton tidak mampu ditembus oleh pasukan VOC.

Akhirnya, pada tanggal 18 Juni 1637, armada VOC yang merasa putus asa

memilih meninggalkan pelabuhan Buton menuju Batavia melaui pelabuhan

Makassar.36

Setahun kemudian, tepatnya pada tanggal 21 Januari 1638, 12 armada

VOC yang berasal dari Batavia tiba kembali dan berlabuh di sebelah barat kota

Buton dengan tujuan untuk menggempur Kesultanan Buton. Kali ini VOC tiba

dengan jumlah pasukan yang lebih besar, yakni sebanyak 1.200 sampai 1.650

35

Schoorl, Masyarakat, Sejarah dan Budaya Buton, hal. 32. 36

Ibid., hal. 33.

65

orang dibawah komando E. Antonio Coen. Dengan jumlah pasukan yang begitu

besar, Coen menyerang dan berhasil melululantakkan wilayah pesisir kota Buton.

Semua yang ditemukan di pantai dirusak dan dibakar. Dalam catatan Coen,

sejumlah barang-barang yang dibakar dan dihancurkan tersebut meliputi: pohon

nyiur, pohon buah-buahan, perahu, alat penangkap ikan, rumah dan seluruh

desa.37

Setelah berhasil menggempur wilayah pesisir Kota Buton, Coen dan

pasukanya kemudian mengarahkan seranganya ke jantung pertahanan Kesultanan

Buton, yaitu Wolio. Mereka berusaha dengan sekuat tenaga untuk dapat

menerobos masuk benteng. Akan tetapi, kuatnya pertahanan benteng Kesultanan

Buton membuat Coen dan pasukanya kewalahan. Akhirnya, mereka memutuskan

untuk menghentikan serangan.

Karena ekspedisi militernya selalu menuai kegagalan, VOC pun akhirnya

menemui sekutunya Sultan Mandarsyah (Ternate) untuk menjadi penengah dalam

penyelesai permasalahannya dengan Buton. Karena Ternate yang saat itu juga

bersahabat dengan Buton, maka Sultan Mandarsyah mengususulkan agar

penyelesaian permasalahan ini ditempuh secara damai. Usul inipun akhirnya

diterima oleh kedua pihak (Buton dan VOC). Pada tahun 1643, diutuslah

perwakilan VOC Komandan Jacob Jacobsen van der Muelen untuk bertemu

Sultan Buton dalam rangka penyelesaian permasalahan ini. Sayangnya, Jacob

tidak mampu menyelesaikan tugas ini hingga tahun 1644. Oleh karenanya, hingga

masa akhir pemerintahan Sultan La Buke, penyelesaian hubungan Buton – VOC

tidak menemui titik temu.38

Kegagalan normalisasi hubungan kedua negara

37

Ibid., hal. 36. 38

Zuhdi, Sejarah Buton yang terabaikan, hal. 201.

66

tersebut menurut penulis dimungkinkan juga oleh kuatnya pengaruh Makassar di

Buton.

C. Normalisasi Kembali Hubungan Buton – VOC

Setelah Sultan La Buke turun tahta pada tahun 1645, ia digantikan oleh

Saparagau (1645-1646). Pada masa pemerintahan Sultan Saparagau, usaha

normalisasi hubungan Buton – VOC mulai dilakukan. Usaha ini dilakukan dengan

penandatanganan kontrak antara Buton dengan VOC yang dikenal dengan “janji

taluanguna” atau “kontrak yang ketiga”. Kontrak ini diwakili oleh La Cila yang

merupakan komandan tentara bantuan Buton dalam menumpas pemberontakan

Kakiali di gunung Wawani Hitu.39

Isi kontrak ini tidak bertentangan dengan

kontrak La Elangi – Schoot.40

Setelah Sultan Saparagau wafat tahun 1645, ia kemudian digantikan oleh

La Cila atau yang bergelar Sultan Mardan Ali.41

Pada masa pemerintahan Sultan

Mardan Ali (1647 – 1654), telah terjadi pemulihan hubungan antara Buton dengan

VOC melalui perantara Ternate. Berbagai ganti rugi yang selama ini menjadi

tuntutan VOC telah dilunasi oleh sultan. Dengan demikian, VOC menyatakan

kesediaanya untuk berdamai dengan Buton.42

Pada Maret 1650, kapal VOC yang sementara dalam pelayaran menuju

Ternate karam di Sagori dekat Kabaena. Kapal tersebut masing-masing adalah: de

Tijger, Bergen op Zoon, Aagte Kerk, de Luipard, dan de Juffer. Barang-barang

dan penumpang kapal yang berjumlah 581 orang dapat tertolong. Sebagian dari

39

Zahari, Sejarah dan Adat II, hal. 15. 40

Penulis tidak menemukan isi ataupun redaksi dari kontrak ini dalam berbagai

sumber/literatur. 41

Zahari, Sejarah dan Adat II, hal. 18. 42

Schoorl, Masyarakat, Sejarah dan Budaya Buton, hal. 39.

67

barang-barang itu dimuat kembali dalam kapal “Concordia” yang berangkat

Ternate serta sisanya dan penumpang kapal 581 orang itu ditinggalkan sementara

di Buton. Para ningrat Buton meminta kepada Sultan Ali agar para awak itu

dibunuh dan barang-barangnya diambil sebagai hasil rampasan. Akan tetapi,

sultan tidak menuruti nasehat mereka, dan sebaliknya memberi pertolongan

kepada pelaut VOC yang karam itu.43

Atas jasa sultan ini, pada bulan Agustus 1650, Gubernur Amboina, de

Flaming, dalam sebuah perjalanan ke Batavia terlebih dahulu singgah di Bau-Bau

dan bernegosiasi dengan Sultan Buton. Dalam pembicaraan itu de Flaming

memberikan apresiasinya terhadap jasa sultan Mardan Ali yang telah

menyelamatkan kapal-kapal VOC yang karam di Sagori. De Flaming sendiri

menyatakan melanjutkan hubungan persahabatan keduanya.44

Untuk

mengukuhkan hubungan ini, pada tahun 1651 dilakukan pembaharuan kontrak

persahabatan antara Buton dengan VOC. Buton diwakili oleh Sultan Mardan Ali

dan VOC oleh Gubernur Jenderal Amboina de Flaming. Kontrak ini disebut

dengan “janji pataaguna” atau “kontrak yang keempat”.45

Sebagai realisasi dari kontrak ini, baik Buton maupun VOC saling

membantu dalam berbagai hal. Zahari mecatat beberapa kali VOC memberikan

bantuan kepada Buton selama masa pemerintahan Mardan Ali, yaitu: memberikan

bantuan pengawal kepada Sultan Mardan Ali yang totalnya berjumlah 13 orang

disertai obat pasang 100 pond. Pembangunan 2 buah loji sebagai benteng

pertahanan pantai di tepi kali Bau-Bau. Penempatan Sultan Mandarsyah (Sultan

43

Horst H. Liebner, “Sebuah Manuskrip Belanda Mengenai Kemalangan Armada VOC di

Pulau Kabaena, Mac-Mei 1650,” Jurnal Seri 25 (2007), hal. 54, Zahari, Sejarah dan Adat II, hal.

27. 44

Schroorl, Masyarakat, Sejarah dan Budaya Buton, hal. 40. 45

Zahari, Sejarah dan Adat Fiy Darul Butuni (Buton) II, hal. 24.

68

Ternate) dan pasukanya untuk menentramkan keadaan internal Kesultanan Buton.

Sementara bantuan Buton kepada VOC adalah penyelamatan awak dan

penumpang kapal VOC yang karam Pulau Sagori, memberikan bantuan pasukan

dalam menumpas pemberontakan di Pulau Ambulau, serta mengirimkan tentara

bantuan ke Amboina.46

De Flaming sendiri dalam perjalananya baik dari Ternate

ke Jakarta atau dari Jakarta ke Ternate selalu menyempatkan diri untuk singgah

terlebih dahulu di Buton.47

Meskipun hubungan Buton – VOC masa sultan Mardan Ali berlangsung

sangat harmonis, akan tetapi sikap Mardan Ali yang sering kali melanggar adat,

agama dan melakukan kontrak sepihak dengan VOC telah membawa

kekhawatiran bagi masyarakat Buton khususnya dewan syarat kerajaan. Akhirnya

melalui musyawarah panjang, dewan syarat memutuskan agar Sultan Mardan Ali

dipecat dari jabatanya sebagai sultan, dan dijatuhi hukuman mati. Namun,

eksekusi mati terhadap Sultan Mardan Ali bukanlah langkah mudah, mengingat

kuatnya dukungan sultan. Oleh karenanya, Dewan Syarah kerajaan mengusung

taktik dengan menyingkirkan orang-orang terdekat sultan yang dianggap sebagai

penghalang, diantaranya Kapitaraja atau Gogoli Mbela-Mbela yang tidak lain

adalah paman Ali sendiri. Kemudian disusul pembunuhan terhadap 13 orang VOC

yang ditempatkan oleh de Flaming sebagai pengawal Ali. Dengan disingkirkanya

pasukan-pasukan Sultan ini, eksekusi mati terhadap sultan pun dapat dilaksanakan

46

Ibid., hal. 23-30. 47

Tercatat, jumlah kunjungan de Flaming di Buton pada masa Sultan Mardan Ali (La

Cila) adalah sebanyak tujuh kali, yaitu pada Agustus 1650, Desember 1650, tahun 1651, 1652,

Oktober 1653, Oktober 1654, dan Desember 1654. Terkhusus pada bulan Desember 1654, ketika

de Flaming berkunjung di Buton ia mendapati Sultan Mardan Ali sudah dipecat dari jabatanya.

Zahari, Ibid., hal. 28.

69

tanpa menuai kesulitan. Eksekusi mati ini sendiri dilakukan di sebuah pulau di

muka Bau-Bau, yang sekarang dikenal dengan Pulau Makassar.

Keputusan yang diambil Dewan Syarah kerajaan ini rupanya mendapatkan

reaksi keras dari VOC. Berselang beberapa waktu setelah peristiwa ini, pasukan

VOC di bawah komando de Flaming tiba di Buton dan melakukan serangan

mendadak, dimana dalam seranganya pasukan VOC berhasil menghancurkan satu

diantara loji yang menjadi tempat penyimpanan mesiu bersama alat persenjataan

perang lainya. Penyerangan VOC ini dilakukan dengan kekuatan 23 orang

Belanda dan 12 orang Ternate. Namun, atas permintaan pihak Buton kepada de

Flamming untuk berunding terlebih dahulu, pada akhirnya kedua belah pihak

sepakat untuk kembali berdamai dan bersahabat.48

D. Terbentuknya Aliansi Militer Buton – VOC

Aliansi militer merupakan sebuah koalisi negara-negara yang

mengkoordinasikan tindakan mereka untuk sejumlah tujuan tertentu. Menurut

Joseph Nye, aliansi militer merupakan bentuk kesepakatan formal maupun

informal yang dibentuk oleh beberapa negara dalam hal pertahanan keamanan

(security issues) dengan tujuan melindungi diri dari ancaman kekuatan lain.49

Bagi

Buton dan VOC, pembentukan aliansi militer dilakukan sebagai usaha untuk

melindungi kepentingan masing-masing dari ancaman kekuatan kekuasaan lain,

seperti bajak laut, Kerajaan Ternate, dan Gowa.

Pembentukan aliansi militer antara Buton dengan VOC telah terjalin sejak

tercetusnya kotrak pertama antara Buton dengan VOC masa pemerintahan Sultan

48

Zahari, Sejarah dan Adat Fiy Darul Butuni (Buton) II, hal. 29-30. 49

Joseph Nye, Understanding International Conflict, (New York: Pearson Longman,

2009), hal. 289.

70

Dayanu Ikhsanuddin. Dalam salah satu pasal kontrak tersebut dinyatakan bahwa

musuh ataupun sahabat VOC dan Ternate juga menjadi musuh ataupun sahabat

Buton. Oleh karenanya, sesaat setelah kontrak tersebut VOC melakukan

pembangunan 2 buah loji di Buton sebagai benteng pertahanan.50

Kemudian pada

tahun 1613 koalisi pasukan Buton, VOC dan Ternate bekerjasama dalam

mengusir pasukan Portugis di Solor.51

Hal inipun berlangsung pada masa

pemerintahan Sultan Saparagau, dimana saat itu Buton mengirimkan tentara

bantuannya kepada VOC dibawah komando La Cila untuk menumpas

pemberontakan Kakiali di gunung Wawani Hitu.52

Pada masa pemerintahan Sultan Mardan Ali tepatnya tahun 1652 Buton,

VOC, dan Ternate melakukan kerjasama dalam menumpas pemberontakan

Sangaji Motir dan pasukanya di Pulau Ambulau. Kemudian disusul penumpasan

pemberontakan Majira yang dibantu Kerajaan Gowa di Amboina tahun 1655.53

Sebagai bentuk penghargaan VOC terhadap Buton, VOC kemudian memberikan

bantuan pasukan keamanan kepada Sultan Mardan Ali, berupa 13 orang Belanda

disertai pembangunan 2 buah loji untuk memperkuat benteng pertahanan

Kesultanan Buton di tepi pantai kali Baubau. Selain itu, untuk menentramkan

keadaan internal Kesultanan Buton, VOC menempatkan Sultan Mandarsyah

(Ternate) dan pasukanya di Kesultanan Buton.

50

Mengenai pembangunan benteng tersebut, Pieter Both sangat takjup dengan rupa

benteng yang indah, kokoh dan megah. Berikut pernyataan Both; “Dua benteng kecil atas

permintaan raja dibuat begitu sempurna dari batu yang tersusun dan karya seindah ini belum

pernah saya lihat; dan benteng itu ditunjang oleh balok-balok keras yang sangat kuat serta

diatasnya masing-masing terdapat dua potong besi”. Schrool, Masyarakat, Sejarah dan Budaya

Buton, hal. 22. 51

Abdul Mulku Zahari, Sejarah dan Adat Fiy Darul Butuni (Buton) I, hal. 68. 52

Ibid., hal. 15. 53

Ibid., hal. 23-30.

71

Pada bulan April 1655 Kerajaan Tiworo yang merupakan vassal Kerajaan

Buton kembali mendapatkan serangan dari Gowa yang dalam jangka waktu yang

relatif singkat, Tiworo dapat ditaklukkan. Berlanjut setelah serangan tersebut,

jantung pertahanan Kesultanan Buton di Wolio mendapatkan serangan dahsyat

dari Kerajaan Gowa yang dipimpin lansung oleh Sultan Hasanuddin.54

Hanya

dalam jangka waktu 2 bulan, seluruh wilayah Kesultanan Buton telah berhasil

ditaklukkan oleh Kerajaan Gowa.55

Susanto Zuhdi melihat serangan Gowa ini

sebagai usaha untuk menguasai Buton yang merupakan jalur penghubung dalam

pelayaran dan perniagaan di Nusantara.56

Sementara Sagimun M.D melihat

serangan Gowa ini sebagai usaha untuk menyerang dan menghancurkan sejumlah

armada VOC diseluruh perairan Buton, serta menarik Buton sebagai sekutunya.57

Peristiwa taklukknya Buton ini ternyata segera terdengar VOC. VOC yang

sejak lama membangun persekutuan dengan Buton langsung mengirimkan

delegasinya ke Buton untuk menyelidiki peristiwa ini. Pada tahun 17 September

1655 de Flaming tiba di Buton, yang kemudian berangkat ke Makassar untuk

54

Sultan Hasanuddin merupakan Sultan Gowa yang ke – 6. Ia terkenal sebagai sultan yang paling

tangguh dan terkenal paling gigi dalam melakukan perlawanan terhadap VOC. Tak heran

kemudian Kompeni Belanda menjulukinya “de haantjes van het Oesten” yang berarti “Ayam

Jantan (jago) dari Timur.” Selengkapnya, lihat: Sagimun M.D, Sultan Hasanuddin Menentang

VOC, (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Proyek Buku Terpadu, 1985), hal. 146. 55

Rasjid dan Gunawan, Makassar Sebagai Kota Maritim, hal. 44, Zahari, Sejarah dan

Adat II, hal. 33. 56

Zuhdi, dkk., Kerajaan Tradisional Sulawesi Tenggara, hal. 71 57

Tampak adanya perbedaan pendapat antara Zuhdi dan Sagimun. Zuhdi melihat motif

serangan Gowa di Buton lebih kepada motif ekonomi dan kekuasaan, sementara Sagimun lebih

pada motif balas dendam Gowa kepada VOC. Penulis sendiri tidak mendikotomikan antara

pendapat keduanya. Bagi penulis, pandangan keduanya cukup relevan. Sebagaimana telah

dijelaskan sebelumnya, bahwa letak geografis Kesultanan Buton yang berada di tengah-tengah

lalu-lintas pelayaran dan perniagaan Nusantara menjadikanya sebagai tempat yang sangat

menguntungkan dari segi ekonomis sehingga banyak kekuatan asing selalu mencoba menguasai

Kesultanan Buton, baik melalui jalan konfrontasi maupun diplomasi. Adapun motif balas dendam

Kerajaan Gowa terhadap VOC berakar dari sikap benci rakyat Gowa terhadap sikap sewenang-

wenang VOC yang kerap kali memaksakan hak monopolinya di Kerajaan Gowa. Oleh karenanya,

masyarakat Gowa selalu melakukan pertentangan terhadap VOC. Sagimun M.D, Sultan

Hasanuddin Menentang VOC, (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Proyek Buku

Terpadu, 1985), hal. 125.

72

menyelesaikan persoalan Buton dengan Gowa. Pada tanggal 28 Desember 1655

telah tercapai kesepakatan antara Gubernur Amboina Van der Beek dengan

Kerajaan Gowa. Akan tetapi, perjanjian ini berulang kali dilanggar oleh kedua

belah pihak, baik Makassar maupun VOC yang berujung pada perang antara VOC

dengan Gowa tanggal 6 Juni 1660, sehingga Benteng Panakkukang jatuh di

tangan VOC. Atas kekalahan ini, Kerajaan Gowa terpaksa harus menandatangani

perjanjian baru dengan VOC Pada tanggal 29 Juli 1660,58

yang mana dalam salah

satu pasal perjanjian tersebut, Gowa diharuskan untuk tidak lagi melakukan

intervensi serta menarik kembali pasukanya dari Buton.59

Kembalinya Buton ke dalam pangkuan VOC menginisiasi Buton maupun

VOC untuk kembali membangun persekutuan yang lebih besar antara Buton,

VOC, Ternate maupun Bone untuk membangun persekutuan militer yang lebih

besar, dan ini khususnya pada masa pemerintahan Sultan Malik Sirullah (La

Awu). Hal ini tentunya dilakukan sebagai usaha untuk membendung laju ekspansi

Kerajaan Gowa di sejumlah wilayah Kesultanan Buton maupun wilayah Indonesia

Timur secara umum.

Terbentuknya persekutuan militer yang lebih besar tersebut nyatanya tidak

juga membuat Buton serta-merta aman dari bayang-bayang ekspansi Kerajaan

Gowa. Tepat beberapa saat pasca lengsernya Sultan La Awu, khususnya pada

masa pemerintahan Sultan Aidil Rakhim, Buton kembali mendapatkan serangan

besar-besaran dari Kerajaan Gowa. Peristiwa ini terjadi pada tanggal 23 Oktober

1666,60

dimana Gowa yang dibantu oleh Kerajaan Luwu, Sumbawa, Bima, dan

58

Mukhlis P dkk, Sejarah Kebudayaan Sulawesi, (Jakarta: Direktorat Jenderal

Kebudayaan, 1995), hal. 112. 59

Sagimun, Sultan Hasanuddin Menentang VOC, hal. 140. 60

Zuhdi, dkk., Kerajaan Tradisional Sulawesi Tenggara, hal. 73.

73

Wajo memberangkatkan pasukan penyerangnya dibawah kesatuan armada yang

berkekuatan 20.000 orang lengkap dengan persenjataanya. Dalam berbagai

literatur menjelaskan, bahwa serangan Gowa kali ini merupakan serangan terbesar

sepanjang sejarah peperangan Kerajaan Gowa. Dilakukanya serangan Gowa ini

setelah Sultan Hasanuddin mengetahui, bahwa Aru Palakka61

dan pengikutnya

yang merupakan buronan politik Kerajaan Gowa melarikan diri, bersembunyi, dan

mendapatkan suaka politik dari Sultan Buton.

Armada Gowa ini dipimpin oleh Karaeng Bontomarannu, seorang putra

bangsawan Makassar. Adapun pasukan bantuan dari Bone di pimpin oleh Arung

Amali, dan dari Soppeng berada dibawah pimpinan La Tenri Tuppa to-Walenae

Arung Ujung-pulu.62

Setelah Karaeng Bontomarannu berada di Buton, pasukan

dibagi menjadi dua rombongan. Rombongan pertama mendarat di Kalisusu bagian

timur Buton, yang dipimpin oleh La Tenrituppa to Walanae Arung Ujung Pulu

dan pimpinan pasukan dikordinasikan oleh “Daeng Mangaga”. Sedang

rombongan kedua mendarat di bagian Barat (Selat Buton) dipimpin langsung oleh

Karaeng Bontomarannu.

Pada akhir tahun 1666 perang antara Buton dengan Gowa pun pecah.

Benteng Keraton Buton yang menjadi basis pertahanan akhir Kesultanan Buton

61

Aru Palakka ini bukanlah nama aslinya, melainkan sebuah gelar yang artinya Raja

Palakka. Nama kecilnya adalah La Tenritata Towappatunru, yang artinya tidak dapat dibatasi

kemauanya dan orang yang menundukkan. Nama panggilanya adalah Daeng Serang. Semasa

menjalani pengasingan di Gowa, ia mendapatkan gelar “Datu Mario Riwawo”, yang tidak lain

adalah pemberian ibunya (We Tenri Sui Datu Mario Riwano). Sementara di kalangan masyarakat

Bone, ia masyhur dengan gelar “Malampee Gemmekna Petta Torisompae”, yang artinya yang

panjang rambutnya dan raja yang disembah. Ia merupakan sultan Bone ke-16 dengan gelar Sultan

Saaduddin (memerintah: 1672-1696). Ia memilih hijrah ke Buton 1660 bersama pasukanya

dikarenakan tidak ingin tunduk terhadap Kerajaan Gowa. Ia tinggal di Buton selama tiga tahun

sebelum akhirnya hijrah ke Batavia tahun 1663 dengan maksud meminta bantuan VOC untuk

melawan Kerajaan Gowa. Selengkapnya, lihat: A. Sultan Kasim, Aru Palakka Dalam Perjuangan

Kemerdekaan Kerajaan Bone, (Makassar: CV. Walanae, 2002), hal. 68-69, dan hal. 73-91 62

Zahari, Sejarah dan Adat Fiy Darul Bututni (Buton) II, hal.

74

sangat kewalahan menghadapi gempuran pasukan Gowa yang begitu dahsyat.

Namun, peristiwa penyerangan Gowa ini segera diketahui oleh Kompeni di

Batavia (Jakarta). Pada tanggal 24 November 1666, angkatan perang gabungan

Kompeni Belanda yang berada dibawah pimpinan Speelman berangkat dari

Batavia menuju Sulawesi untuk membantu Kesultanan Buton. Kekuatan armada

ini terdiri dari 21 kapal perang dengan 600 tentara Belanda dan beberapa orang

tentara Bugis dan Ambon dibawah komando Aru Palakka dan Kapten Jonker yang

berasal dari Ambon.63

Mengenai hal ini, Stapel menulis sebagai berikut;

“behalve het scheepsvolk bevonden zich aan boord bijna 600 Nederlandse

soldaten, benevens de Boegineszen an Amboneszen die bodden

deelgenemen an de expeditie naar de Weskust. Tot de “auto niteiten”

behoorden, be halve Speelman, Cok Maximillan de Jong, benoemd

kommandeur van Ternate, de secundepersoon. Dankaert van der Straten

Kapitain Christian Poleman, de Boeginese vorsten w.o. vooral Radja

Palacca en Radja Soppeng, benavens de Ambonese Kapitain Jonker”.64

(Kecuali awak kapal maka di atas kapal juga terdapat hampir 600 orang

serdadu Belanda beserta orang Bugis dan Ambon yang ikut ambil bagian

pada ekspedisi ini. diantara para pejabat terdapat selain Speelman juga

Maximilian de Jong, yang diangkat sebagai keamanan di Ternate dan

petugas wakilnya Dankaert van Straten, Kapten Christian Poleman, raja-

raja Bugis diantaranya Raja Palakka dan Raja Soppeng, juga orang

Ambon, Kapten Jonker)65

Pada tanggal 17 Desember 1666 angkatan perang Bone dan Kompeni tiba

di perairan Somba Opu dan berlabuh di depan pulau Tanakeke. Kedatangan

armada Kompeni ini membuat khawatir Sultan Hasanuddin. Oleh karenanya,

Sultan Hasanuddin melalui utusanya mengajak Kompeni untuk berunding terlebih

dahulu, bahkan sultan berusaha membujuk dengan menawarkan sejumlah uang

63

Vlekke, Nusantara Sejarah Indonesia, hal. 189. 64

F.W. Stapel, Het Bongaais Verdrag, (U.M. Groningen: Den Haag, 1922), hal. 98. 65

Kasim, Aru Palakka, hal. 103-104.

75

dan emas dengan harapan agar VOC tidak menyerang Kerajaan Gowa. Akan

tetapi, usaha itu sia-sia karena keputusan Speelman dan Aru Palakka untuk

menyerang Gowa sudah bulat. Speelman kemudian melepaskan tiga kali

tembakan meriam dan mengibarkan bendera merah sebagai pernyataan perang

terhadap Gowa.66

Adapun yang menjadi fokus pertama serangan ini adalah

membebaskan Buton dari kepungan pasukan Kerajaan Gowa.67

Pada tanggal 21 Desember 1666, armada Speelman berangkat menuju

Buton. Dalam perjalananya, armada Speelman dan Aru Palakka

membumihanguskan setiap perkampungan orang-orang Makassar yang

dijumpainya. Bahkan 10 perkampungan yang berada di pinggir pantai di Teluk

Langkiang yang selama ini menjadi lumbung padi Kerajaan Gowa tak luput dari

amukan pasukan Speelman dan Aru Palakka. Atas peristiwa ini, pihak Kerajaan

Gowa mengalami tekanan psikologis yang hebat, dan sebaliknya membangkitkan

semangat juang bagi Bone.68

Pada tanggal 1 Januari 1667 armada Speelman dan Aru Palakka tiba di

Perairan Bau-Bau. Kedatangan pasukan Speelman dan Aru Palakka ini membawa

angin segar bagi Buton yang nyaris frustasi akibat gempuran dahsyat armada

Kerajaan Gowa selama 38 hari.69

Armada Aru Palakka dan Speelman yang sejak

kedatanganya kemudian langsung melakukan serangan terhadap pos-pos induk

pasukan Gowa pimpinan Karaeng Bontomarannu dan berhasil merebut dua pos

pengawal laskar Gowa. Pada tanggal 2 Januari 1667, Aru Palakka menerobos

66

Kasim, Aru Palakka, hal. 106. 67

Vlekke, Nusantara Sejarah Indonesia, hal. 189. 68

Kasim, Aru Palakka, hal. 108. 69

Penulis berasumsi, kalau saja Buton tidak mendapatkan bantuan militer dari VOC dan

Aru Palakka, kemungkinan besar Buton akan menyerah untuk menghindari resiko ancaman

kelaparan dan rasa takut yang mencekam di lingkungan istana maupun di kalangan masyarakat.

76

garis belakang front pertempuran untuk melakukan kontak dengan Sultan Buton.

job description serangan bersama antara Buton, Speelman dan Aru Palakka

menetapkan, bahwa sebagian laskar Buton mempertahankan Kota Wolio, dan

sebagian harus menggabungkan diri dengan Aru Palakka dan Speelman untuk

bersama-sama menyerang armada perang Gowa. Pasukan tempur Aru Palakka

dan Speelman menyerang dari arah barat dan selatan. Sementara pasukan Buton

menyerang dari arah timur dengan dukungan tembakan meriam dari benteng Kota

Wolio. Dengan formasi serang seperti itu, armada pasukan Gowa berhasil

dikepung.70

Dalam keadaan kewalahan dan terjepit, sekitar 300 pasukan Karaeng

Bontomarannu, khususnya yang terdiri dari orang-orang Bugis, Bone dan

Soppeng akhirnya membelot ke kubu Aru Palakka, sehingga kekuatan militer

Karaeng Bontomarannu di medan perang menjadi lumpuh.71

Akibatnya, banyak

korban jiwa berjatuhan dari kubu Gowa. Sementara armada gabungan Buton,

Speelman dan Aru Palakka yang didukung jumlah pasukan yang mencapai 5.000

orang berhasil memenangkan pertempuran ini, meskipun juga banyak menelan

korban jiwa.72

Akan tetapi, sebagai pihak yang kalah Gowa lebih rugi

dibandingkan pasukan gabungan Buton, Speelman dan Aru Palakka. besarnya

jumlah kerugian tersebut dilukiskan dalam Tijdshift Voor Nederlandsche Indie,

oleh Dr. W.R. Van Hoenell Zolt Bommel, jah. Nomonen soon 1875. De

70

Ibid., hal.109. 71

Membelotnya pasukan Karaeng Bontomarannu tersebut kemungkinan karena dua hal.

pertama, adanya keputusasaan, oleh karena bertambah kuatnya pasukan Buton. sehingga, bagi

mereka tak ada lagi pilihan, selain bergabung dengan Aru Palakka atau mati. Kedua, kemungkinan

hal ini dilakukan setelah mereka mengetahui bahwa dalam peristiwa tersebut ada Aru Palakka

yang merupakan pimpinan perjuangan Kerajaan Bone. 72

Zuhdi, Sejarah Buton Yang Terabaikan, hal. 73.

77

Levenschiedenis van Aru Palakka, yang sudah diterjemahkan oleh M.D. Sagimun

sebagai berikut;

“…bahwa akibat pertempuran laut itu pihak Gowa mengalami kerugian;

300 buah perahu perang dihancurkan, 86 buah perahu dirampas Aru

Palakka, 10 buah perahu besar dirampas oleh Belanda, 30 buah perahu

kecil, 2 jung perang, 5000 orang Soppeng menggabungkan diri, 5500

orang Makassar ditawan dan ditempatkan disebuah pulau kecil di teluk

Bau-Bau tanpa diberi makan, 400 orang laki-laki dan perempuan dijadikan

budak.”73

Data tersebut menunjukan betapa besarnya kerugian yang diderita oleh

pihak Gowa, baik dalam bentuk riil maupun materil. Atas kekalahan ini, Gowa

kemudian diharuskan melepaskan berbagai daerah kekuasaanya, seperti Bone dan

Soppeng termasuk menghentikan intervensi politiknya di Kesultanan Buton.

Dilain pihak, keberhasilan Speelman membantu Buton ini diikuti oleh

adanya penandatangan kontrak antara Buton yang diwakili oleh Sultan La

Simbata dengan VOC yang diwakili Speelman, pada tanggal 31 Januari 1667, di

atas kapal “Thertolen” sebuah kapal pemburu dari VOC. Pokok kontrak tersebut

adalah di seluruh Kepulauan Tukang Besi terutama di Kaledupa dan Wangi-

Wangi, dinyatakan semua pohon cengkeh dan pala harus ditebang dan sekaligus

dimusnahkan di bawah pengawasan VOC. Atas gantinya, VOC membayar kepada

Buton setiap tahun 100 ringgit sebagai pengganti kerugian yang di Buton dikenal

dengan namanya “timpu pala” artinya potong pala. Kontrak La Simbata-

Speelman ini dikenal dengan “janji limaanguna” artinya “kontrak yang kelima.74

Kontrak ini kemudian dilanjutkan dengan kontrak pada tanggal 25 Juni 1667 di

atas kapal Thoff van Zeeland yang disaksikan oleh Sultan Ternate Mandar Syah.

73

Sagimun, “Naskah laporan lengkap adegan pahlawan Sultan Hasanuddin,” Tim Peneliti

Museum Sejarah Tugu Nasional, hal. 42, dalam Kasim, Aru Palakka, hal. 112. 74

Zahari, Sejarah dan Adat II, hal. 53

78

Ketentuan dalam kontrak ini seluruhnya sesuai dengan apa yang sudah

dirundingkan pada tanggal 31 Januari 1667 dan perbedaanya hanya penempatan

perwakilan VOC yang tetap tinggal di Buton.75

Kontrak tersebut secara

keseluruhan berbunyi sebagai berikut:

1. Semua pohon cengkeh dan pala yang terdapat di Kesultanan Buton

harus ditebang dan diusnahkan, khususnya di Kepulauan Tukang Besi,

Wangi-Wangi, Kaledupa dan Binongko. VOC kemudian membayar

kepada Buton tiap tahun 100 ringgit sebagai ganti rugi dan akan berlaku

pada akhir tahun 1667.

2. Pedagang-pedagang yang biasa datang di Buton seperti dari Batavia,

Jawa, Patani, Johor dan Palembang boleh diterima di Buton asal tetap

hidup berdamai dengan VOC dan Ternate. Pedagang-pedagang yang

berasal dari Makassar termasuk orang dari Kerajaan Gowa tidak

diperbolehkan apabila tidak dengan surat keterangan dan cap dari VOC

di Makassar.

3. Utusan-utusan dari bangsa tersebut boleh diterima di Buton, tetapi tidak

boleh mengadakan kontrak tanpa sepengetahuan dan persetujuan VOC

dan Ternate.

4. Bila VOC berada di dalam perang dengan sebuah negeri, maka negeri

itu juga menjadi musuh dari Kerajaan Buton dan memberikan bantuan

kepada VOC serta tidak boleh melakukan kontrak tersendiri, kecuali

VOC yang melakukanya.

75

Ibid., hal. 55.

79

5. Utusan musuh-musuh VOC harus ditangkap dan diserahkan kepada

VOC.

6. Bahwa seorang raja baru tidak akan dikukuhkan tanpa persetujuan VOC

dan Ternate, dan tanpa mengucapkan sumpah akan menjaga kontrak ini.

juga petinggi-petinggi kerajaan, tanpa persetujuan VOC dan Ternate

tidak boleh diganti, sedangkan petinggi kerajaan baru yang akan

diangkat, juga harus mengucapkan sumpah demikian.

7. Bahwa Raja Buton tetap boleh mengirimkan kapal dagang ke Batavia,

Ambon, Ternate, serta ke tanah orang Bugis, selama ia dilindungi oleh

VOC. Dengan Makassar tidak boleh begitu saja, tanpa lisensi VOC

diadakan hubungan dagang.

8. Bahwa jika VOC lebih baik demikian, demi memastikan penetapan

kontrak, mereka boleh menuntut agar tokoh-tokoh terkemuka, selama

dianggap perluh, diharuskan tinggal di Batavia.

9. Bahwa dimana mereka dianggap perlu, VOC boleh menyuruh

membangun kubu-kubu yang cocok, dan raja harus menyediakan bahan

bangunan serta tenaga untuk membangun kubu bersangkutan.

10. Bahwa orang Belanda dan petugas-petugas VOC yang lain yang

menyingkir ke Buton dan untuk memeluk agama Islam, harus langsung

diserahkan; menyembunyikan mereka akan dihukum berat.

11. Orang-orang Buton yang melakukan perbuatan yang tidak patut

terhadap orang-orang VOC dapat ditahan dan diserahkan kepada VOC

untuk diadili dan dihukum sesuai dengan tingkat kesalahanya.76

76

Schoorl, Masyarakat, Sejarah dan Budaya Buton, hal. 61- 63, Zahari, Sejarah dan Adat

II, hal. 55-57.

80

Setelah kontrak di atas, VOC kemudian menempatkan 1 detasemen tentara

Belanda yang terdiri dari 4 orang di pulau-pulau Tukang Besi untuk mengawasi

penebangan pohon cengkeh dan pala. Petugas ini di Buton disebut “Kometer yang

keempat”.77

Penempatan serdadu VOC di Buton ini sebagai realisasi dari kontrak

Sultan La Simbata dan Speelman di atas.

Setelah pasukan gabungan Buton, Speelman dan Aru Palakka berhasil

mengalahkan pasukan Gowa di perairan Buton, misi selanjutnya adalah

melakukan serangan besar-besaran yang diarahkan di benteng-benteng pertahanan

Kerajaan Gowa, yang meliputi; Benteng Panakkukang, Benteng Barombong,

Benteng Galesong, dan terakhir adalah Benteng Somba Opu yang merupakan

jantung pertahanan akhir sekaligus ibu kota Kerajaan Gowa. Ketiga belah pihak

menyadari, bahwa untuk mengalahkan Kerajaan Gowa bukanlah perkara mudah,

mengingat kuatnya pertahanan Kerajaan Gowa. Untuk itu, dibentuklah aliansi

militer yang lebih kuat, dengan mengajak Ternate untuk terlibat dalam ekspedisi

militer ini.78

Sebelum melakukan serangan ke Gowa, baik Speelman, Buton,

Ternate dan Aru Palakka terlebih dahulu menyusun strategi dan mengumpulkan

pasukanya masing-masing di Buton.

Speelman dengan bantuan dari Ternate, Tidore, dan Bacan kemudian

mendaratkan pasukanya di Buton pada tanggal 19 Juni 1667. Disaat yang sama,

Aru Palakka memberangkatkan pasukanya terlebih dahulu menuju Bone dengan

kekuatan 2.000 pasukan di bawah pimpinan Arung Bila dan Arung Kaju untuk

meminta bantuan pasukan tambahan dari Bone dan Soppeng. Kemudian berselang

77

Zahari, Sejarah dan Adat II, hal. 53. 78

Kasim, Aru Palakka, hal.115.

81

beberapa hari, pasukan Speelman diberangkatkan dari Buton menuju Makassar

dan tiba terlebih dahulu di Bantaeng pada tanggal 3 Juli 1667.79

Pada tanggal 21 Juli 1667, Buton mengirimkan armada perangnya untuk

membantu Speelman dan sekutunya di Makassar, dengan kekuatan 24 perahu

dengan pasukan 1.000 personil, dan kemudian tiba di Makassar pada tanggal 27

Juli 1667.80

Setelah itu, menyusul pasukan Aru Palakka yang berkekuatan 10.000

pasukan yang terdiri dari pasukan Bantaeng 1.000 orang dan kemudian Bone

7.000 orang.81

Pada tanggal 4 Agustus 1667, pasukan gabungan ini kemudian

melakukan serangan dan berhasil merebut Benteng Galesong pada tanggal 22

Agustus 1667. Berselang beberapa waktu setelah serangan ini, datang pula

pasukan bantuan dari Soppeng sebanyak 5.000 orang di bawah komando Arung

Pancana dan dari Luwu 20.000 pasukan di bawah komando Daeng Pabila.

Sementara pada tanggal 2 September 1667, tiba pula pasukan bantuan dari

Ternate sebanyak 28 buah kapal perang. Dengan jumlah pasukan yang besar ini,

dengan mudah mereka menghancurkan Benteng Barombong pada tanggal 26

September 1667, kemudian menyusul Benteng Panakkukang dan Sombaopu pada

tanggal 7 November 1667.82

Dengan perang yang memakan waktu sekitar 4 (empat) bulan ini, akhirnya

Kerajaan Gowa yang dibantu sebagian kecil pasukan Portugis dan Denmark

kemudian harus mengakui kekalahanya.83

Dengan terpaksa Gowa harus

menandatangani perjanjian perdamaian di Bungaya yang dikenal dengan

79

Ibid., hal. 122-123. 80

Ibid., hal. 124. 81

Abdurrazak Daeng Patunru, dkk., Sejarah Gowa, (Makassar: Yayasan Kebudayaan

Sulawesi Selatan dan Tenggara, 1993), hal. 180. 82

Ibid., hal. 182. 83

Vlekke, Nusantara Sejarah Indonesia, hal. 190.

82

perjanjian Bungaya pada tanggal 18 November 1667. Perjanjian ini berisi perintah

VOC agar semua pasukan Makassar dengan segala peralatanya, perahu, senjata,

mesiu, mas dan perak serta lain-lainya dengan tidak ada pengecualian diserahkan

kepada Speelman sebagai pihak yang menang dalam perang. VOC juga telah

menjadi penguasa tunggal atas Makassar dan sekutu-sekutunya serta memiliki hak

monopoli perdagangan di Makassar.84

Terkait Buton, Gowa diharuskan menarik

pasukanya dari Buton.85

Raja Gowa bersama orang-orang besarnya menyatakan

kesediaanya untuk mengembalikan semua orang-orang Buton yang dalam perang

terakhir diculik oleh pasukan Makassar dan dibawa serta dari Buton ke

Makassar.86

Demikianlah hubungan Buton – VOC masa sultan La Simbata yang

dipenuhi oleh kontrak-kontrak dengan VOC. Zahari mencatat La Simbata sebagai

Sultan Buton yang memiliki catatan terbayak sepanjang pemerintahanya dengan

melakukan enam kali penandatanganan kontrak dengan VOC.87

Setelah La Simbata melepaskan jabatanya, ia kemudian digantikan oleh La

Tangkaraja atau dikenal dengan gelar Sultan Kaimuddin (1669-1680). Pada masa

Sultan La Tangkaraja, hubungan Buton – VOC berjalan normal. Kontrak

sebelumya antara La Simbata-Speelman dapat dijalankan dengan baik pada masa

Sultan La Tangkaraja. Hal ini terlihat ketika pada tahun 1667 VOC menempatkan

detasemen tentaranya di Buton untuk pengawasan dan penyelidikan lebih lanjut

pohon cengkeh dan pala di Kepulauan Tukang Besi untuk pertama kalinya.

84

Adrian B. Lapian, ed., Indonesia Dalam Arus Sejarah (Masa Pergerakan Kebangsaan),

(Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, Bekerjasama dengan Kementerian Pendidikan dan

Kebudayaan Republik Indonesia, ), hal. 10, G. J. Resink, Bukan 350 Tahun Dijajah, (Depok:

Komunitas Bambu, 2013), hal. 42-44. 85

Zahari, Sejarah dan Adat II, hal. 52. 86

Ibid., hal. 60. 87

Zahari, Sejarah dan Adat II, hal. 61, Zuhdi, Sejarah Buton Yang Terabaikan, hal. 191,

83

Untuk memudahkan langkah ini, Buton kerap kali memberikan bantuan

perahu tumpangan kepada VOC dalam memberikan pengawasan di Kepulauan

Tukang Besi maupun di Kaledupa dan Wangi-Wangi. Hal ini berlangsung hingga

masa Sultan Lang kariri atau Sultan Sakyuddin Duurul Aalam yang merupakan

Sultan Kesembilan belas, yang memerintah dari tahun 1712-1750. Pada tahun

1733 atau awal 1734, Gubernur “Sautijn” dari VOC meminta persetujuan Buton

untuk dapat memasukkan kayu jati kepada VOC tiap tahun, tetapi hal ini hanya

hanya berjalan beberapa kali saja. Kemudian dalam perang Gowa – VOC yang

dikenal dengan peristiwa Karaeng Bonto Langkassa, atas permintaan dari VOC

Buton juga mengirim bantuan.88

Demikianlah, hubungan Buton – VOC dari masa

Sultan La Tangkaraja (sultan kesebelas) hingga masa Sultan Lang Kariri (Sultan

kesembilan belas).

Demikianlah sekilas hubungan Buton – VOC yang berlangsung dari masa

Sultan La Elangi atau Dayanu Ikhsanuddin yang merupakan Sultan Buton

keempat hingga masa Sultan Lang Kariri atau Sultan Sakiuddin Duurul Aalam,

yang merupakan Sultan Buton kesembilan belas. Dalam kurun waktu tersebut,

hubungan Buton – VOC telah mengalami pasang-surut. Pasang-surut hubungan

Buton-VOC ini dapat dilihat dari adanya konflik dan diplomasi.

88

Zahari, Sejarah dan Adat II, hal. 91

84

BAB IV

HUBUNGAN BUTON – VOC MASA PEMERINTAHAN

SULTAN HIMAYATUDDIN MUHAMMAD SAIDI

(TAHUN 1751-1752, DAN 1760-1763)

A. Kondisi Internal Kesultanan Buton Masa Pemerintahan Sultan

Himayatuddin Muhammad Saidi

Sultan Himayatuddin Muhammad Saidi Ibnu Sultani Liyauddin Ismail

Muhammad Sayidi atau biasa disingkat Himayatuddin adalah Sultan Buton yang

ke-20 (1751-1752) dan ke-23 (1760-1763). Ia lahir di Wolio (Buton) sekitar tahun

1690-an, dan meninggal di puncak gunung Siontapina (Lasalimu Selatan) pada

tahun 1776 dalam usianya yang ±86 tahun.1 Nama kiasannya adalah La

2

Karambau, yang berarti kerbau. Diberi nama demikian karena konon ia dikenal

sebagai orang yang sangat kuat, berperawakan tinggi dan besar, layaknya kerbau.

Kelak saat memimpin perang gerilya melawan VOC, Himayatuddin kemudian

masyhur dengan sebutan Oputa Mosabuna I Koo atau Oputa yi Koo, yang berarti

sultan yang tinggal di hutan.

Himayatuddin merupakan keturunan bangsawan Kaomu golongan

Tanailandu, yaitu golongan bangsawan yang merupakan keturunan atau keluarga

Sultan Buton keempat Dayanu Ikhsanuddin atau La Elangi.3 Ayahnya La Umati

1 La Ode Abdul Munafi dan Andi Tenri, Dinamika Tanah Wolio, Sejarah, Kontinuitas,

dan Perubahan, (Makassar: Fahmis Pustaka, 2014), hal. 13. 2 Dalam bahasa Wolio dan Muna, bentuk “La” diartikan sebagai bentuk nomina (kata

benda) yang merujuk pada jenis kelamin laki-laki. Sementara kata “Wa” merujuk pada jenis

kelamin perempuan. 3 Selain Tanailandu, dua golongan bangsawan Kaomu lainya adalah Tapi-Tapi dan

Kumbewaha. Tapi-Tapi merupakan cabang Kaomu dari keluarga La Singa, sedangkan

Kumbewaha dari golongan keluarga La Bula. Ketiga cabang Kaomu ini dikenal dengan

“Kamboru-mboru Talupalena”, yang secara harfiah berarti “Tiga Tiang Penyangga”. Pembagian

85

atau Liyauddin Ismail merupakan Sultan Buton ketiga belas. Adapun kakeknya

Gogoli Mbela-Mbela4 berasal dari Sangia La Balawa La Sinuru, bersaudara

dengan Sultan Buton kedelapan Mardan Ali atau La Cila yang tidak lain adalah

putra Sultan Dayanu Ikhsanuddin atau La Elangi. Pada masa pemerintahan Sultan

Mardan Ali, Gogoli Mbela-Mbela menjabat sebagai Kapitaraja, namun kemudian

disingkirkan dan dihukum mati di pulau Mbela-Mbela atas perintah Sultan

Mardan Ali sendiri. Sementara nenek Himayatuddin Sangia Labalawa pernah

memimpin pasukan Buton ke Amboina bersama La Cila pada masa pemerintahan

Sultan Gafurul Wadudu atau La Buke, dan kembali pada masa pemerintahan

Sultan Saparagau.5

Mengenai nama ibu Himayatuddin tidak diketahui secara pasti, baik dari

sumber lisan maupun tulisan. Yang jelas Himayatuddin mempunyai tiga orang

saudara kandung, yaitu; (1) La Ibi atau Sultan Nasraruddin (1709 – 1711), yang

juga dikenal dengan sebutan La Woelangke, Mosabuna I Lawangke dan Oputa

golongan Kaomu ini terjadi pada masa pemerintahan Sultan Dayanu Ikhsanuddin melalui

kesepakatan yang dilakukanya dengan Sapati La Singa dan Kenepulu La Bula, dan didukung oleh

Gubernur Jenderal Pieter Both (VOC). Tujuan pembagian golongan bangsawan ini dengan

harapan agar kelak jabatan sultan dapat dijabat oleh anak cucu La Elangi. Adapun golongan Tapi-

Tapi hanya berhak menduduki jabatan Sapati, sementara Kumbewaha menduduki jabatan

Kenepulu. Meskipun demikian, perkembangan selanjutnya jabatan sultan tidak hanya dijabat oleh

golongan Tanailandu saja, tetapi juga oleh golongan Tapi-Tapi dan Kumbewaha, yang proses

pemilihanya dilakukan oleh Dewan Siolimbona (lembaga legislatif). 4 Gogoli Mbela-Mbela ini bukanlah nama aslinya. Gogoli sendiri berarti lilit, sedangkan

Mbela-Mbela merujuk pada nama pulau, yaitu pulau Mbela-Mbela. Penyebutan yang demikian

karena ia wafat dihukum mati dengan cara lehernya dililitkan tali di Pulau Mbela-Mbela.

Keputusan hukuman mati ini berdasarkan perintah Sultan Mardan Ali karena Gogoli Mbela-Mbela

dituduh melakukan tindakan yang dianggap mengancam kedudukan Sultan Mardan Ali. Namun

dibalik semua itu, ternyata hanya sebuah taktik yang diusung Dewan Syarah Kesultanan Buton

untuk menyingkirkan Sultan Mardan Ali dari kedudukanya, yang salah satu cara untuk

memuluskan langkah tersebut adalah dengan menyingkirkan orang terkuat Sultan Mardan Ali,

yaitu Gogoli Mbela-Mbela. Selengkapnya, lihat: Abdul Mulku Zahari, Sejarah dan Adat fiy Darul

Butuni (Buton) II, (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1977), hal. 19-20. 5 Ibid., hal. 70.

86

Momambelana. (2) Permaisuri Sultan Buton kedelapan belas La Tumparasi, dan

(3) Wa Ode Tumada.6

Sejak kecil Himayatuddin sudah memperlihatkan tanda-tandanya sebagai

orang besar. Keberhasilannya menjalani pendidikan agama, bela diri, ilmu

pemerintahan dan kepemimpinan yang berlangsung di lingkungan keluarga,

masyarakat, maupun keraton telah menjadikannya sebagai pemuda yang tangguh

dan berjiwa kesatria. Dalam pergaulan sehari-hari, ia dikenal dengan tutur kata

dan tegur sapanya yang ramah dan santun sehingga membuatnya begitu disenangi,

dihormati, dan disegani oleh kawan-kawan maupun lawan-lawannya. Hal ini

pulalah yang menurut Zahari membuat Himayatuddin memiliki banyak teman.

Dalam hal belajar, Himayatuddin dikenal sebagai orang yang cerdas dan

ulet, sehingga ia selalu tampil lebih unggul dan dominan dari teman-temannya,

baik dari segi fisik maupun pengetahuan. Hal inilah yang kemudian mengundang

banyak simpati dari kalangan masyarakat, khususnya kalangan orang tua. Mereka

meramalkan, bahwa kelak Himayatuddin akan menjadi orang besar, yang akan

mempunyai kedudukan tinggi dalam kesultanan. Demikianlah ramalan orang tua

yang kemudian dijawab oleh sejarah setelah diangkatnya Himayatuddin sebagai

Sultan Buton yang ke-20 dan ke-23.7

Himayatuddin menikah dengan putri Sultan Lang Kariri bernama Balu I

Koo8. Dari hasil pernikahan ini, ia dikaruniai tiga orang anak, yaitu: (1) La Ode

6 Ibid., hal. 83.

7 Ibid.,hal. 116.

8 Ini bukanlah nama aslinya. Nama aslinya tidak ditemukan dalam silsilah juga dalam

bahan lisan dari kalangan orang tua, selain dengan nama pengganti tersebut. Umumnya dalam

sejarah Buton terlebih orang-orang besar kerajaan lagi keramat tidak disebut-sebut dengan

namanya yang sebenarnya menlainkan nama jabatan atau nama pengganti lainya. “Balu I Koo” itu

sendiri artinya janda di hutan, yaitu sebagai gelar yang ditujukan kepadanya sebagai janda dari

Sultan Himayatuddin yang tinggal dan menetap di hutan, tepatnya di Gunung Siontapina. Zahari,

Ibid., hal. 91.

87

Harikiama, (2) La Ode Pepago, dan (3) Wa Ode Wakato. Sayangnya, Wa Ode

Wakato yang merupakan putri bungsu Himayatuddin yang saat itu sedang dalam

buaian menjadi tawanan VOC bersama cucunya Wa Ode Kamali ketika terjadi

perang antara Buton – VOC pada masa pemerintahan Sultan Sakiyudin. Keduanya

kemudian dikenal dengan nama “i-lingkaakana walanda” artinya “yang dibawa

pergi oleh Belanda”.

Himayatuddin pertama kali terjun dalam dunia politik Kesultanan Buton

ketika menjabat Lakina Kambowa sebagai jabatan kepala wilayah pemerintahan

bawahan, dan kemudian diangkat menjadi Kapitalau Matanayo (Panglima

Pertahanan Keamanan Wilayah Timur). Selama menjalani penugasannya sebagai

Kapitalao Matanayo, ia berhasil mengkoordinasikan pembangunan benteng-

benteng pertahanan dihampir seluruh wilayah Kesultanan Buton. Atas berbagai

prestasi dan kecakapannya dalam memimpin, Himayatuddin akhirnya diangkat

menjadi Sultan Buton yang ke-20, menggantikan bapak mertuanya Sultan Lang

Kariri. Diriwayatkan oleh Lam Bia Ma Hadia dan La Adi Ma Faoka melalui

Zahari, bahwa diangkatnya Himayatuddin sebagai sultan berdasarkan

rekomendasi dari Sultan Lang Kariri kepada anak-anaknya, khususnya Hamim

agar mendahulukan Himayatuddin sebagai sultan.9 Hal tersebut dilakukan Lang

Kariri sebagai bentuk penghormatan dan kasih sayangnya terhadap Himayatuddin,

berkat pribadi maupun prestasinya yang gemilang.

Himayatuddin naik tahta pada 1750 sebagai Sultan Buton ke-20

menggantikan Sultan Saqiuddin Duurul Alam (Lang Kariri/Oputa Sangia).

Sebelum menjadi sultan, ia menjabat Kapitalau Matanaeo (Panglima Kawasan

9 Ibid., hal. 94.

88

Timur) yang selama penugasannya berhasil mengkoordinasikan pembangunan

benteng-benteng pertahanan dihampir seluruh wilayah Kesultanan Buton. Dari 37

orang Sultan Buton yang memerintah selama 38 masa pemerintahan yang

berlangsung ±4 abad (1541-1960), Himayatuddinlah satu-satunya sultan yang

menjabat dua kali, yaitu sebagai Sultan Buton ke-20, dan ke-23 (1751-1752, dan

1760-1763). Ciri menonjol dalam dua masa pemerintahannya bahkan setelah tidak

menjabat lagi sebagai sultan hingga wafatnya adalah rentetan konflik dan perang

yang dikobarkannya melawan VOC.

Sebelum masa pemerintahan Sultan Himayatuddin Muhammad Saidi,

Buton kerap dilanda konflik antargolongan bangsawan. Konflik yang terjadi

dalam Kesultanan Buton umumnya disebabkan oleh persaingan tiga golongan

bangsawan Kaomu, yaitu Tanailandu, Tapi-Tapi, dan Kumbewaha. Masing-

masing golongan ini merasa berhak untuk menempatkan golongannya pada

jabatan-jabatan strategis dalam kesultanan, khususnya jabatan sultan. Selain itu,

pertikaian tersebut didasari juga oleh perbedaan paham tasawuf yang kemudian

berkembang di Buton, khususnya elit penguasa, yakni wujudiyyah seperti

tercermin di dalam ajaran “martabat tujuh” yang sangat berpengaruh bagi

Kesultanan Buton. Pertikaian ini sering kali menyulut konflik-konflik pribadi

yang sangat mendalam dan akhirnya terpolarisasi menjadi pertentangan yang

diikuti oleh rakyat dengan keberpihakan pada golongan-golongan tertentu dengan

menggunakan cara-cara kekerasan yang berakhir dengan terjadinya pertumpahan

darah. Keadaaan seperti ini sering kali terjadi dalam Kesultanan Buton.10

10

Susanto Zuhdi, dkk., Kerajaan Tradisional Sulawesi Tenggara: Kesultanan Buton,

(Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, 1996), hal. 95.

89

Pada masa pemerintahan Sultan Himayatuddin, konflik-konflik internal

lebih bisa diatasi, dan menjadikan Buton lebih stabil.11

Akan tetapi, tantangan

terbesar justru datang dari luar, yaitu VOC. Hal ini disebabkan oleh pertentangan

yang dilakukan oleh sultan Himayatuddin, yang dianggap VOC sebagai

pembangkang. Pada masanya pula, kekuatan internal Kesultanan Buton terpecah

menjadi dua, yaitu kalangan moderat yang menghendaki menjalankan ultimatum

VOC secara bertahap, dan penganut garis keras (pengikut Himayatuddin) yang

menentang VOC.

B. Konflik Buton – VOC

1. Masa Sultan Himayatuddin Muhammad Saidi

Sepanjang abad ke-17 hingga ke-18 telah terjadi banyak pergolakan dan

konflik antara penguasa lokal Nusantara dengan VOC.12

Beberapa kerajaan yang

meskipun pada awalnya mempunyai kontak hubungan yang harmonis dengan

VOC mulai bersikap kritis. Dalam tahapan yang lebih ekstrim, mereka

menganggap perlunya melakukan perlawanan terhadap VOC. Menurut Saleh

Putuhena, lahirnya pertentangan atau perlawanan terhadap VOC umumnya

disebabkan oleh kepentingan ekonomi dan eksistensi kerajaan/kesultanan yang

semakin terancam dikarenakan monopoli perdagangan VOC terhadap rempah-

rempah serta intervensi VOC dalam soal politik kesultanan.13

Di Buton, reaksi-reaksi berupa pertentangan atau perlawanan terhadap

VOC menurut sumber sejarah lisan sesungguhnya telah dimulai sejak awal

11

Zuhdi, dkk., Kerajaan Tradisional, hal. 93. 12

A. Kardiyat Wiharyanto, Sejarah Indonesia Madya abad XVI-XIX, (Yogyakarta:

Universitas Sanata Dharma, 2006), hal. 56. 13

M. Saleh Putuhena, Historiografi Haji di Indonesia, (Yogyakarta: LkiS, 2007), hal.

262.

90

kehadiran VOC di Buton tahun 1613. Timbulnya perlawanan tersebut karena

adanya anggapan bahwa dibalik kehadiran dan tawaran kerjasama VOC terdapat

niat mencari keuntungan politik dan ekonomi semata. Namun jika dipresentase

masih lebih banyak yang setuju menerima kerjasama tersebut karena alasan

besarnya ancaman eksternal khususnya yang berasal dari Ternate dan Gowa

sehingga tidak ada pilihan lain selain bekerjasama dengan VOC.14

Meskipun demikian, jika ditelusuri lebih jauh khususnya berdasarkan pada

sumber-sumber sejarah tertulis, sangat sulit untuk menemukan sumber data yang

dapat menjelaskan apakah memang terjadi pertentangan-pertentangan masyarakat

maupun pejabat Kesultanan Buton pada fase awal. Kecuali pada masa

pemerintahan Sultan Aidil Rakhim atau La Simbata (1664-1669), di mana mulai

muncul sejumlah reaksi-reaksi keras berupa pertentangan-pertentangan terhadap

VOC baik berupa gerakan-gerakan dan tindakan-tindakan protes hingga

perlawanan secara fisik. Perlawanan ini berlangsung terus menerus, dan mencapai

puncaknya pada masa pemerintahan Sultan Himayatuddin Muhammad Saidi.

Pangkal yang menjadi permasalahan adalah perubahan kedudukan Buton dengan

VOC dalam kontrak La Simbata – Speelman tahun 1667 yang semula berdasar

pada kesetaraan yang menyatakan sebagai “satu kesatuan” menjadi ke tahap

ketundukan dan dominasi VOC15

yang dalam ungkapan Cense dikenal dengan

istilah ‘saya bicara, anda setuju’ atau ‘musuh kami adalah musuh anda’.16

14

Zuhdi, dkk., Kerajaan Tradisional hal. 110. 15

Ibid.,hal.111. 16

Saya yang dimaksud Cense merujuk pada VOC, sedangkan Anda merujuk pada

kerajaan-kerajaan lokal. Ungkapan di atas adalah tentang keharusan bagi kerajaan-kerajaan lokal

untuk tunduk dan patuh terhadap VOC. Di Buton sebagaimana yang terdapat dalam kontrak tahun

1667 terdapat keharusan untuk melakukan ekstirpasi pohon rempah-rempah, membatasi pelayaran

dan perdagangan orang-orang Buton, dan lain sebagainya. Selengkapnya, lihat: Cense,

“Aantekeningen,” hal. 48, dalam G. J. Resink, Bukan 350 Tahun Dijajah, (Depok: Komunitas

Bambu, 2013), hal. 32-33.

91

Sebagaimana diketahui, bahwa pada awalnya kontrak-kontrak Buton –

VOC hanya mengatur hak dan kewajiban kedua belah pihak untuk saling

membantu dalam memerangi musuh-musuh bersama, memasok barang-barang

yang menjadi kebutuhan bersama, dan lain sebagainya. Namun dalam

perkembangan selanjutnya, kontrak-kontrak tersebut telah mengalami pergeseran,

di mana terdapat beberapa pasal tambahan yang menunjukan besarnya ruang

intervensi VOC dalam urusan internal Kesultanan Buton. Beberapa pasal

tambahan yang dimaksud meliputi perintah ekstirpasi pohon rempah-rempah atau

timpu pala di seluruh wilayah Kesultanan Buton, pembatasan aktifitas berlayar

dan berdagang orang-orang Buton, pembatasan kapal-kapal dagang yang datang

di Buton, dan sebagainya.17

Selain itu, dalam setiap pergantian pejabat kesultanan

pun harus berdasarkan persetujuan VOC dan Ternate. Mengenai bagian isi

kontrak yang menyatakan perintah ekstirpasi pohon rempah-rempah, terdapat

dalam pasal satu (1), yang berbunyi sebagai berikut:

“Alle onder zijn gezag staande Toekangbësi eilanden, voornamelijk op

Kaledoepa en Wantji-wantji (Wangi-wangi), en voorts op alle andere

eilanden, al behoorden die niet tot de Toekang-bësi eilanden, ook op

Binongko, ten overstaan van door de Compagnie daartoe te zenden

personen alle nagel en notenmuskaatboomen te zullen doen omvellen en

uitroeien, welke uitroeiing jaarlijks zou herhaald worden. Hiervoor zou de

Compagnie hem jaarlijks, te beginnen met het einde van 1667, honderd

rijksdaalders uitbetalen, als zijnde dit het bedrag, dat hij, volgens zijn

verklaring, jaarlijks van die boomen getrokken had.”

“Semua yang berada di Kepulauan Tukang Besi terlebih Kaledupa dan

Wangi-Wangi dan semua pulau apapun namanya meski tidak dibilang

berada di Kepulauan Tukang Besi juga Binongko akan dipotong dan

dimusnahkan dihadapan VOC semua pohon cengkeh dan pala, yang akan

dimulai akhir tahun 1667, dengan pembayaran ganti rugi 100 ringgit setiap

tahun.”

17

Munafi dan Andi Tenri, Dinamika Tanah Wolio, hal. 14

92

Terkait pergantian pejabat kerajaan terdapat dalam pasal tujuh (7), yang

berbunyi sebagai berikut:

“Bij overlijden van den koning moeten de rijksraden daarvan zoo spoedig

mogelijk kennis geven aan den koning van Ternate en de Compagnie, die

alsdan gecommitteerden zullen zenden om met de rijksgrooten een

opvolger te verkiezen. Deze opvolger moet, alvorens als vorst te worden

bevestigt, den koning van Ternate en de Compagnie trouw zweren, waarna

de rijksgrooten het hem moeten doen. De rijksgrooten mogen nimmer hun

vorst afzetten zonder toestemming van Ternate en de Compagnie, gelijk de

koning en rijksgrooten den goegoegoe (sapati) of andere hooge beambten.

Ook niet ontslaan mogen, maar de tegen hen gerezen klagten ter keunis

van den koning van Ternade en de Compagnie moeten brengen, die alsdan

in overeenstemming met hen daarin zullen beschikken. Terwijl alle nieuw

aangestelde rijksgrooten, van hoogen zoowel als van lagen rang, het

kontrakt moeten bezweren. Zoo de koning dit kontrakt overtreedt, mogen

de koning van Ternate en de Compagnie in overleg met de rijksgrooten

van Boeton hem afzetten, en een ander in zijn plaats verkiezen.”

“Bila raja wafat, orang-orang besar kerajaan segera memberitahukannya

kepada raja Ternate dan VOC, di mana keduanya akan mengirim

penguasanya untuk bersama-sama dengan orang-orang besar Kerajaan

Buton memilih penggantinya raja yang baru. Raja yang baru ini sebelum

diangkat, lebih dahulu menyatakan setia kepada Ternate dan VOC yang

dinyatakan dihadapan orang-orang besar kerajaannya. Orang-orang besar

kerajaan tidak boleh menurunkan rajanya dari tahta kedudukannya tanpa

melalui pemberitahuan kepada Ternate dan VOC. Juga orang-orang besar

kerajaan tidak boleh dilepaskan tetapi lebih dahulu memberitahukan

kesalahan dan perbuatannya yang menjadi sebab kelepasannya kepada

Ternate dan VOC yang selanjutnya bersama-sama mengambil keputusan.

Semua orang-orang besar kerajaan yang baru diangkat maupun pejabat

rendahan harus sebelumnya diangkat menyatakan kepatuhannya atas

kontrak perjanjian ini. Bila raja melanggar kontrak ini raja Ternate dan

VOC bersama-sama dengan orang-orang besar Kerajaan Buton

melepaskan raja yang dimaksud itu kemudian mengangkat

penggantinya.”18

Meski cukup besar ruang intervensi VOC di dalam internal Kesultanan

Buton, VOC menyatakan masih mengakui kedaulatan Kesultanan Buton,

meskipun pada hakekatnya pengakuan yang dimaksud adalah pengakuan atas

18

Isi kontrak Berbahasa Belanda diambil dari tulisan A. Ligtvoet sementara

terjemahannya diambil dari tulisan Zahari. Selengkapnya mengenai kontrak tersebut, lihat: A.

Ligtvoet, “Beschrijving en Geschiedenis van Boeton,” BKI, 1878, hal. 57-60, Zahari, Sejarah dan

Adat II, hal. 55-59.

93

kedaulatan tunggal sultan. Mengenai pengakuan VOC tersebut sebagaimana

diungkapkan oleh Zuhdi terdapat dalam pasal sebelas (11) kontrak tersebut, yang

berbunyi:”… aller wegen op de landen onder het Bouton gebied, daar zij het komt

goet te vinden…in dien se komen onder de Butonse jurisdictie, sullen ter stont

gevat en in verseeckeringe gestelt…”. Bagi pembesar Kesultanan Buton,

penambahan beberapa pasal dalam kontrak di atas merupakan ancaman nyata bagi

kedaulatan Kesultanan Buton. Terlebih lagi dalam intervensinya VOC melibatkan

Ternate yang selama ini dianggap Buton sebagai ancaman eksternal yang berasal

dari arah timur. Oleh karenanya, kontrak tersebut menimbulkan pertentangan-

pertentangan setidaknya diantara para pembesar Kesultanan Buton sendiri antara

pihak yang setuju dengan yang tidak setuju dengan kontrak tersebut. Sumber

sejarah Buton menggambarkan apiknya pertentangan terhadap kontrak tersebut

yang hingga proses pembahasan dan penandatanganannya pun memakan waktu

sampai dengan dua puluh hari. Berikut bunyinya:

“Syahdan perkara perjanjian di dalam cara Walanda seperti di dalam cara

Melayu syahdan antara raja Butun dengan Kumpeni apa yang dua puluh

hari ini sudah bermufakat dihadapan raja Ternate karena dia punya masuk

berantang juga disitu syahdan bunyinya seperti bagimana dibawah ini

boleh mengetahui dan lagi di dalam ini atawa tidak menaruh perjanjian

dengan Ternate karena di dalam bicara kami kepada lima hari bulan April

di dalam ini tahun sudah tertulis.”19

Meski terdapat pertentangan-pertentangan, kontrak tersebut akhirnya dapat

disetujui dan ditandatangani juga pada tanggal 25 Juni 1667 di atas kapal Thoff

van Zeeland yang disaksikan oleh Sultan Ternate Mandarsyah yang didampingi

oleh kapitan lautnya bernama Rinti.20

Adanya ancaman VOC dan terdapatnya

19

Zahari, “Janjia I Walanda,” dalam Susanto Zuhdi, “Labu Rope Labu Wana Sejarah

Butun Abad XVII – XVIII,” (Disertasi S3 Program Studi Ilmu Sejarah Universitas Indonesia

Tahun 1999), hal. 20 Zahari, Sejarah dan adat II, hal. 58.

94

pengakuan kedaulatan Sultan Buton menjadi alasan utama diterimanya kontrak

tersebut, meskipun dalam perkembangannya isi kontrak tersebut khususnya yang

berkaitan dengan pergantian penguasa Buton tidak sepenuhnya dijalankan oleh

penguasa Buton. Hal inilah yang kemudian menjadi salah satu alasan VOC

menyerang Kesultanan Buton tahun 1755 karena tidak mentaati dan menjalankan

kontrak tahun 1667.“Men zal niet slipt letten op het bepaalde in art.7 van het

contract met Bouton van met 25 Juni 1667, maar men radt de hoofden aan niet zo

lichtvaardig hun koning door en ander te vervangen.”21

Meskipun demikian,

ditandatanganinya kontrak tersebut semakin memperjelas status ikatan dan

kedudukan Buton dengan VOC. VOC menjadi schut en beschermheer, pelindung

Buton. Sejak saat itu, dalam kaitannya dengan pengendalian cengkeh dan pala

serta perpolitikan lokal, VOC memiliki dasar ‘legal’ untuk berurusan dengan para

sultan Buton sesuai kepentingan terbaik VOC. Di atas kertas, paling sedikit

produksi cengkeh dan pala yang berada di bawah kekuasaan Buton dapat diatur

dan dimusnahkan sepenuhnya. Sisanya adalah mengontrol dan memaksa kerajaan

ini untuk mentaati kontrak:“…Terwijl alle nieuw aangestelde rijksgrooten, van

hoogen zoowel als van lagen rang, het kontrakt moeten bezweren. Zoo de koning

dit kontrakt overtreedt, mogen de koning van Ternate en de Compagnie in overleg

met de rijksgrooten van Boeton hem afzetten, en een ander in zijn plaats

verkiezen…”.22

Perombakan isi kontrak Buton – VOC di atas erat kaitannya dengan

kekalahan Gowa dalam perang di perairan Buton Januari 1667.23

VOC yang

akhirnya merasa keluar sebagai pemenang dalam pertarungan perebutan hegemoni

21 Zuhdi, “Labu Rope Labu Wana.,”hal. 151. 22

Ligtvoet, “Beschrijving en Geschiedenis van Boeton,” hal. 60. 23

Zuhdi, “Labu Rope Labu Wana,” hal. 143.

95

dengan Gowa mencoba menekan Kesultanan Buton melalui kontrak-kontrak yang

isinya lebih banyak menguntungkan pihak VOC.24

Tidak hanya Buton, beberapa

kerajaan lain pun mempunyai kewajiban yang sama untuk menandatangani

kontrak. Gowa sebagai kerajaan yang kalah perang di perairan Buton yang

kemudian disusul dengan kekalahannya secara menyeluruh dalam perang di

perairan Makassar November 1667 dipaksa menandatangani perjanjian Bongaya

tahun 1667 sebagai bentuk pengukuhan kekuasaan VOC atas daerah tersebut.25

Kerajaan Tidore yang ditinggalkan sekutunya Spanyol yang kalah perang dengan

VOC pun dipaksa menandatangani kontrak 29 Maret 1667 yang isinya kurang

lebih sama dengan Buton, seperti perintah ekstirpasi seluruh tanaman rempah-

rempah, larangan berdagang dengan pihak asing, larangan pergantian penguasa

tanpa persetujuan VOC, dan lain sebagainya.26

Demikian halnya dengan Ternate

yang kemudian menandatangani kontrak tahun 1683 yang juga menandai

pengukuhan kekuasaan VOC di daerah tersebut.27

Sejak saat itu, seluruh aktifitas

ekonomi maupun politik beberapa kerajaan tersebut telah jatuh di tangan VOC.

Sejak menurunnya pengaruh Ternate di kawasan timur Nusantara, semua hal yang

berkaitan dengan urusan internal Kesultanan Buton pun telah berada di bawah

kendali VOC. Dalam hal pemberhentian atau pengangkatan pembesar Kesultanan

Buton misalnya, tidak wajib lagi ditujukan kepada Ternate, tetapi langsung

kepada VOC. Berikut pernyataan VOC:

24

Ibid., hal. 144. 25

Adrian B. Lapian, ed., Indonesia Dalam Arus Sejarah (Masa Pergerakan Kebangsaan),

(Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, Bekerjasama dengan Kementerian Pendidikan dan

Kebudayaan Republik Indonesia), hal. 10. 26

Marwati Djoenoed dan Nugroho Notosusanto, ed., Sejarah nasional Indonesia III:

Zaman pertumbuhan dan perkembangan kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia, Jakarta: Balai

Pustaka, 2008), hal. 34. 27

Muridan Widjojo, Pemberontakan Nuku, Persekutuan Lintas Budaya di Maluku-Papua

Sekitar 1780-1810, (Depok: Komunitas Bambu, 2013), hal. 31-36.

96

“Perkara perjanjian apabila mangkat atawa mengeluarkan raja atawa

menaikkan raja hendaklah dengan seyogyanya memberi khabar kepada

Kompeni (VOC) ke Betawi atawa ke Mangkasar meminta komenter yang

akan mengadap melekatkan malu atas pilihnya segala menteri-menteri dan

bobato itu adanya”.28

Jika ditelusuri lebih jauh, pemaksaan dominasi VOC di Buton dengan

wilayah lain mengikuti jalur yang berbeda. Di Makassar, struktur kekuasaan

tradisional serta organisasi perdagangan dan perpolitikan lokal hampir seluruhnya

dimusnahkan oleh VOC. Terlebih lagi di Banda, di mana struktur kekuasaan

tradisional serta organisasi perdagangan dimusnahkan seluruhnya. Sehingga

dalam perkembangannya, tidak perluh lagi dibuat traktat atau perundingan dengan

pemimpin lokal. Banda menjadi ‘koloni perkebunan’ dalam konteks kata menurut

orang Amerika. Di Ambon, VOC menerapkan pemerintahan langsung kepada

Pribumi. Awalnya sulit dan berdarah-darah, namun setelah pertarungan 60 tahun,

akhirnya daerah tersebut dapat ditenangkan.29

Di Buton, kekuasaan VOC

diterapkan melalui para Sultan, kepada mereka VOC mendiktekan arahan-

arahannya. Taktik utama adalah mengarahkan sultan yang berkuasa dan

mengontrol suksesinya. Namun sampai dengan akhir abad ke-19, VOC yang

dikemudian hari berganti menjadi pemerintah Hindia-Belanda tidak pernah

berhasil sepenuhnya dalam mengontrol dan mengendalikan Kesultanan Buton

melalui kontrak-kontraknya. Baru setelah diadakanya perjanjanjian antara Sultan

Muhammad Asyikin-Brugman pada tahun 1906 kekuasaan Kesultanan Buton

sepenuhnya telah berada di bawah kendali pemerintah kolonial Hindia-Belanda.

Tidak terkecuali dengan perintah ekstirpasi pohon rempah-rempah yang memang

sejak ditandatanganinya kontrak tahun 1667 telah diterapkan sepenuhnya.

28

Zuhdi, “Labu Rope Labu Wana,” hal. 137. 29 Widjojo, Pemberontakan Nuku., hal. 37.

97

Tidak diragukan lagi bahwa kesuksesan VOC dalam menerapkan

monopoli dan ekstirpasi pohon rempah-rempah di seluruh wilayah Kesultanan

Buton terjadi dengan korban kemerdekaan dan kesejahteraan komunitas-

komunitas Pribumi. Oleh karenanya, muncul kerusuhan-kerusuhan yang

dilakukan oleh rakyat. Terkhusus masyarakat Kepulauan Tukang Besi yang sejak

awal diberlakukannya kebijakan ekstirpasi rempah-rempah serta pembatasan

perdagangan dengan daerah lain masa pemerintahan Sultan La Simbata telah

memunculkan reaksi perlawanan. Masyarakat yang telah sekian lama

menggantungkan kehidupannya pada pelayaran dan perdagangan rempah-rempah

dengan daerah lain, merasa sangat dirugikan dan menderita akibat kebijakan ini.

Oleh karenanya, mereka secara mati-matian menentang pemberlakuan kontrak

tersebut. Namun, perlawanan masyarakat yang masih sporadis dan tidak didukung

perlengkapan sebagaimana VOC, berhasil ditumpas VOC tanpa kesulitan.

Berdasarkan laporan VOC, semenjak awal abad ke-18 kondisi dibanyak

kawasan Buton sudah mulai tenang. Perlawanan-perlawanan masyarakat sudah

dapat dipadamkan. Pada tahun 1718 dilaporkan tidak terdapat lagi pohon pala dan

cengkeh. Adapun sekitar 500 orang penduduk Kepulauan Tukang Besi telah

mengungsi ke pulau Kalao dekat Selayar. Di pengungsian sebanyak kira-kira 160

orang Tomea malah bertambah buruk keadaanya, karena mereka diberlakukan

sebagai “barang” rampasan, diperebutkan oleh orang-orang disana.30

Kondisi kehidupan masyarakat Buton yang kian memburuk, serta konflik

dalam internal Kesultanan Buton yang berkepanjangan ternyata tidak luput dari

pengamatan Sultan Himayatuddin yang naik tahta tahun 1751. Sebagai seorang

30

Ibid., 147.

98

mantan Kapitalau Matanaeo (Panglima Kawasan Timur), Sultan Himayatuddin

sedari awal telah turut menyaksikan sendiri bagaimana buruknya kondisi

kehidupan masyarakat Buton akibat intervensi VOC melalui kontrak tahun 1667.

Ia melihat banyaknya masyarakat Buton yang semakin melarat kehidupannya

akibat kehilangan mata pencahariannya. Ditambah lagi pasal kontrak yang

menyatakan agar setiap pergantian pejabat kerajaan harus berdasarkan izin atau

persetujuan VOC telah berimbas pada semakin memanasnya konflik

antargolongan bangsawan Buton yang selama ini berkecamuk. Jika dulu konflik

di dalam internal Kesultanan Buton karena perbedaan paham tasawuf, dan

perebutan kekuasaan antargolongan bagsawan, maka dengan kontrak tahun 1667,

konflik di dalam internal Buton telah meluas kepada konflik antara golongan yang

setuju dan kontra terhadap VOC. Oleh karenanya, kontrak tersebut kemudian

diputuskan oleh Himayatuddin dan dianggap tidak berlaku lagi pada masa

pemerintahannya.31

Bagi Himayatuddin, diberlakukannya kontrak tersebut

merupakan upaya sistematis VOC meluluhlantakkan sendi-sendi perekonomian

Kesultanan Buton, serta bentuk penghinaan atas bangsanya.32

Pasca diputuskannya kontrak tersebut, Himayatuddin mulai

memberlakukan kebijakan baru, seperti pemberhentian ekstirpasi pohon rempah-

rempah di seluruh wilayah Kesultanan Buton, serta diterapkannya wajib pajak

bagi semua kapal asing yang singgah ataupun berdagang di Buton, termasuk

dalam hal ini VOC. Pada tahun 1752, sebuah kapal dagang VOC “Rust en Werk”

yang melakukan persinggahan di Pelabuhan Baubau ditahan untuk beberapa

31

Tamburaka, dkk., Sejarah Sulawesi Tenggara, hal. 85. 32

Zahari, Sejarah dan Adat II, hal. 116.

99

waktu lamanya lantaran menolak untuk membayar pajak.33

Namun tak berselang

beberapa lama peristiwa naas menimpa kapal tersebut, di mana semua barang

berharga kapal dirampok, sementara awak kapal dibunuh dan ditawan oleh

seorang tahanan politik VOC Frans Frans dan pengikutnya yang melarikan diri

dari penjara Bulukumba tanggal 1 November 1750 dan tinggal di Buton dibawah

perlindungan sultan. Pasca peristiwa tersebut, Frans dan para pengikutnya

kemudian melarikan diri ke Kabaena dan membangun benteng pertahanan

disana.34

Tidak diketahui secara pasti bagaimana Frans dan para pengikutnya bisa

berhasil melakukan perompakan di tengah para Syahbandar Buton yang sedang

berjaga di pelabuhan. Sejumlah sumber menyebutkan keberhasilan tersebut berkat

dukungan Sultan Himayatuddin yang selama ini selalu menunjukan

permusuhannya terhadap VOC.35

Atas tragedi yang menimpa kapal VOC tersebut, petinggi VOC di

Makasar menimpakan kesalahan terhadap Buton. Sultan Himayatuddin dianggap

sebagai orang yang paling bertanggungjawab karena membiarkan penyerangan

atau setidaknya tidak memberi perlindungan terhadap kapal VOC sebagaimana

kesepakatan kontrak tahun 1667.36

Namun bagi Sultan Himayatuddin, peristiwa

tersebut hanyalah persoalan intern sesama orang Belanda dan tidak ada kaitannya

dengan Buton.37

Melihat tidak adanya tindakan penyelesaian dari pihak Buton,

33

Para awak kapal ini menolak membayar pajak lantaran menganggap kebijakan tersebut

bertentangan dengan kontrak-kontrak Buton – VOC sebelumnya yang menyatakan kebebasan

kapal-kapal dagang VOC untuk berlayar, berdagang, ataupun singgah di berbagai pelabuhan di

Kesultanan Buton tanpa dikenakan biaya. 34

Zahari, Sejarah dan Adat II, hal. 118. 35

E. B. Kielstra, “Het Sultanaat van Boeton: Onze Eeuw,” artikel diakses pada 24 Mei

2016 dari http://www.dbnl.org/tekst/_onz001190801_01/_onz001190801_01_0079.php 36

Munafi dan Andi Tenri, Dinamika Tanah Wolio, hal. 15. 37

Chalik, Sejarah Perlawanan, hal. 14.

100

VOC mengancam akan melakukan serangan ke Buton tanpa pemberitahuan

terlebih dahulu.

Mengutip tulisan Chalik, nampaknya Sultan Himayatuddin sendiri

menyakini konsekuensi dari tindakan pertentangannya terhadap VOC, yaitu akan

adanya serangan VOC. Oleh karenanya, Sultan Himayatuddin mulai

mempersiapkan berbagai tindakan antisipasi terhadap serangan VOC, seperti

memerintahkan seluruh aparat kerajaan untuk membangun dan memperkuat

benteng-benteng pertahanan yang ada di seluruh Kadie (wilayah), membangun

benteng pertahanan alternatif di sebelah tenggara Benteng Keraton Buton sekitar 6

km di atas puncak bukit Wakausua, memerintahkan seluruh rakyat untuk

mempersiapkan dan mengumpulkan senjata api, mesiu dan peluru.38

Meski tindakan Sultan Himayatuddin tersebut dianggap baik dan didukung

sepenuhnya oleh rakyat, tetapi nyatanya tidak mendapatkan restu dari Dewan

Sara’ kerajaan. Dewan Sara’ menganggap tindakan perlawanan yang dilakukan

oleh Sultan Himayatuddin tersebut hanya akan menyeret Buton ke dalam konflik

besar dengan VOC. Untuk menghindari hal ini, para pembesar kerajaan kemudian

membahas jalan keluar terbaik untuk mengatasi kesulitan. Maka diputuskanlah

agar Sultan Himayatuddin segera diturunkan dari tahtanya, dan kemudian secara

resmi digantikan oleh Hamim atau Sultan Sakiyuddin pada tahun 1752.39

Tepat beberapa bulan setelah pemakzulan Himayatuddin, pasukan VOC

dibawah komando Onderkoopman Johan Benelius tiba di Buton pada tahun 1753,

dengan kapal “Kaaskooper” dan “Carolina” untuk mengambil penyelesaian atas

peristiwa kapal Rust en Werk serta menangkap Frans dan pengikutnya. Dalam

38

Ibid., hal. 15. 39

Rustam Tamburaka, Sejarah Sulawesi Tenggara, hal. 84.

101

ekspedisi militer Bonelius ini, turut serta para pembesar tentara VOC Kapten

Artilerie “Jan Babtiste de Morquit” dan Letnan Laut “Laurens Moutepen”.

Tentara bantuan turut mengawal adalah dari orang-orang Melayu yang berdiam di

Ujung Pandang dan berada dibawah pimpinan Abdul Kadir sedangkan dari

Tanette dan Bima berada langsung dibawah komando Jan Baptiste.

Beruntunglah pada waktu kedatangan armada VOC Sultan Himayatuddin

telah dimakzulkan. Jika tidak, maka perang antara Buton dengan VOC tidak akan

terhindarkan. Oleh karenanya, berkat tindakan cepat yang diambil oleh Dewan

Sara’ kerajaan untuk memberhentikan Himayatuddin, Buton dapat terhindar dari

perang besar dengan VOC. VOC hanya meminta Buton untuk memberikan ganti

rugi terkait kerugian yang dialaminya atas penyerangan kapal Rust en Werk.

Terkait Himayatuddin, Dewan Sara’ kerajaan menjelaskan kepada Bonelius

tentang sebab-sebab pemakzulannya yang utama yaitu karena tidak mematuhi lagi

kontrak 25 Juni 1667.40

Demikianlah, sekitar hubungan Buton – VOC masa pertama pemerintahan

Sultan Himayatuddin Muhammad Saidi. Meski tidak terjadi kontak dan konflik

langsung dengan VOC, akan tetapi setelah Himayatuddin kembali naik tahta

menggantikan Sultan La Seha tahun 1760, ia tetap menunjukkan konsistensi tidak

mau tunduk kepada VOC. Tuntutan ganti kerugian VOC, baik terhadap kapal

Rust en Werk maupun biaya perangnya di Buton tidak diindahkan. Berkali-kali

surat maupun perutusan VOC dikirim ke Buton membujuk Himayatuddin

memulihkan hubungan diplomatik, akan tetapi sultan malah menjawab dengan

mengobarkan api peperangan.

40

Zahari, Sejarah dan Adat II, hal. 120-121.

102

Penulis sendiri tidak menemukan dokumen primer untuk menjabarkan

lebih luas terkait hubungan Buton – VOC masa Sultan Himayatuddin yang kedua

ini (1760-1763), melainkan hanya melalui sumber-sumber sekunder yang itupun

hanya berisi gambaran umum, bahwa hubungan Buton – VOC yang kedua ini

lagi-lagi diwarnai konflik dan pertentangan dengan VOC.41

Oleh karena sikap

pertentanganya dengan VOC, Himayatuddin kemudian kembali dimakzulkan dari

jabatanya tahun 1763. Himayatuddin kemudian digantikan oleh Sultan Kaimuddin

atau La Jampi.

Pasca dimakzulkan dari jabatannya, Himayatuddin berusaha

mengorganisir masyarakat Buton untuk melakukan perang gerilya terhadap VOC

yang ia sebut sebagai jihad fisabilillah. Pesisir timur dan selatan pantai Buton

sering kali dikuasai pasukan gerilyanya yang kerap melakukan serangan

mendadak terhadap kapal-kapal VOC. Atas peristiwa ini, VOC kemudian

mengirimkan pasukan untuk melakukan pengejaran dan menumpas pergerakan

Himayatuddin dan pasukannya. Pasukan VOC ini berhasil memukul mundur

pasukan Himayatuddin hingga 20 km dari keraton Buton. Akan tetapi, pasukan

VOC selalu menuai kegagalan tatkala berusaha menangkap Himayatuddin. Tidak

sedikit dari pasukan VOC ini yang tewas akibat sulitnya medan yang ditempuh.

Sisa pasukan VOC ini kemudian mengundurkan diri dan kembali ke kapal yang

berlabuh di pelabuhan Kamaru. Demikianlah penjelasan tentang perlawanan

Sultan Himayatuddin dan pasukannya, yang kemudian memilih hidup dan

41

Ibid., hal. 156.

103

bertahan dalam perang gerilya di puncak gunung Siontapina hingga akhir

hayatnya.42

2. Masa Sultan Hamim

Sebagaimana yang dijelaskan sebelumnya, bahwa pemakzulan

Himayatuddin dari jabatannya sebagai taktik yang dilakukan oleh Dewan Sara’

kerajaan untuk mencegah terjadinya konflik atau perang raya dengan VOC. Oleh

karenanya, diangkatnya Hamim yang bergelar Sultan Sakiyuddin dengan harapan

mampu memperbaiki hubungan Buton – VOC. Akan tetapi, pada kenyataannya

lengsernya Himayatuddin tidaklah mengubah keadaan bahkan semakin

mengarahkan Buton ke dalam konflik besar dengan VOC. Hal ini dikarenakan

besarnya pengaruh Himayatuddin dalam pemerintahan Sultan Sakiyuddin. Zahari

mencatat, bahwa pada masa pemerintahan Sultan Sakiyuddin, Himayatuddin

selalu berusaha untuk mempengaruhi Sultan Hamim untuk tidak tunduk kepada

VOC. Dalam menjalankan pemerintahannya, Sultan Hamim banyak mendapat

bahan-bahan pemikiran dari Himayatuddin. Dalam persoalan keamanan,

Himayatuddin memegang posisi yang sangat menentukan sebagai penasehat

Sultan Sakiyuddin.43

Baru beberapa saat Sultan Sakiyuddin naik tahta, VOC segera

menyodorkan dua perjanjian. Pertama, mengenai pengukuhan terhadap kontrak

tahun 1667, dan yang kedua berisi tentang pembayaran ganti rugi kapal Rust en

42

Zuhdi, dkk., Kerajaan Tradisional, hal. 114-115. 43

Zahari, Sejarah dan Adat II, hal. 119-120.

104

Werk dengan 1.000 orang budak.44

Tentang permintaan VOC tersebut, berikut

bunyinya:

“… dan lagi itu kontrak yang telah dipersumpahkan oleh utusan Buton itu

dan lagi ada suatu surat perjanjian yang Kompeni minta budak kepada

tanah Buton dari hal kapal yang bernama “Rust en Werk” yang diamuk di

Buton.”

Sultan Buton sendiri sudah merespon permintaan VOC tersebut, dan

memberi kabar mengenai kesanggupan membayar budak dan mengukuhkan

kontrak. Tidak hanya itu, sultan juga telah mengirim utusan ke Batavia (Jakarta),

setelah adanya hubungan surat-menyurat yang berlangsung sebanyak tiga kali.

Tentang hal tersebut, sumber VOC mencatat sebagai berikut:

“bersama-sama dengan surat itu sebagaimana lagi tanah Buton telah sudah

menyahut dan memberitahu kepada Kompeni di dalam dia ampunya surat

yang tersurat pada lima belas hari jumadilawal tahun seribu delapan puluh

tahun (15 Jumadilawal 1080) akan mengatakan kami telah sudah

menerima itu kontrak kemudiannya lagi telah sudah ia berulang-ulang tiga

kali berkirim-kiriman surat dengan tuan Gurnadur di sini, maka baharu ia

menyuruh utusan pergi ke Betawi dari hal itu”.45

Meskipun demikian, Sultan Sakiyuddin tidak begitu saja menuruti

keinginan VOC. Nampaknya disinilah dilihat bagaimana besarnya peran

Himayatuddin dalam pemerintahan Sultan Sakiyuddin. Chalik menulis bahwa

Sultan Sakiyuddin menganggap setiap tindakan Himayatuddin adalah benar.

Setiap sumbangan pemikiran Himayatuddin dianggap Sakiyuddin sebagai

pedoman dalam perjuangan melepaskan diri dari ikatan kontrak yang tampak

kukuh dan merugikan Buton, sehingga perjuangan Himayatuddin harus diteruskan

44

Mengenai naskah asli kontrak tersebut tidak ditemukan dalam berbagai sumber. Namun

dalam catatan Ligtvoet maupun Zahari, kontrak tersebut pada intinya berisi tentang ganti rugi

kapal “Rust en Werk” dengan 1.000 orang budak. Selengkapnya, lihat: Ligtvoet, Beschijving en

Geschiedenis, hal. 76, Zahari, Sejarah dan Adat II, hal. 121. 45 Zuhdi, “Labu Rope Labu Wana,” hal. 51-52.

105

demi kebesaran dan kehormatan kerajaan.46

Tentang pernyataan Chalik akan

tindakan Sultan Sakiyuddin yang tidak menjalankan kontrak bisa dikuatkan

dengan laporan seorang mata-mata VOC yang yang dikirim di Buton pada bulan

Januari 1755 yang benama Petzol. Petzol melaporkan bahwa penebangan cengkeh

dan pala tidak dilakukan sebagaimana mestinya karena masih adanya tempat

cengkeh dan pala yang disembunyikan. Selain itu, tampak pulah keengganan

Buton dalam memberikan bantuan Detasemen VOC yang mengawasi penebangan

cengkeh dan pala serta perdagangan gelap. Lebih dari itu Petzol menyatakan,

tampak olehnya sewaktu berada di Buton adanya tanda-tanda persiapan perang

dari Kesultanan Buton.

Tentang keterangan dari Petzol di atas semakin meyakinkan VOC tentang

besarnya peran Himayatuddin dalam pemerintahan Sultan Sakiyuddin. Terlebih

lagi muncul laporan tentang kontrak perjanjian ganti rugi kapal “Rust en Werk”

yang berupa pengiriman 1.000 orang budak hanya ditebus dengan 80 orang, yang

itupun sebagian besar adalah anak-anak dan orang tua yang sudah renta dan sakit-

sakitan. Mengenai rincian 80 budak yang dikirim Buton itu terdiri dari 26 budak

laki-laki dan 20 budak perempuan yang sudah sangat tua, 24 budak anak laki, dan

10 anak perempuan. Hal ini dianggap VOC sangat merugikan karena menambah

beban pembiayaan yang harus dikeluarkan VOC. Bagi VOC, semua tindakan

tersebut merupakan bentuk pelecehan dan penghinaan terhadap VOC.47

Akan

sikap Buton itu, VOC menganggapnya di luar kebiasaan. Hal tersebut tampak

dalam ungkapan VOC berikut ini

46

Chalik, dkk., Sejarah Perlawanan, hal. 47

Zahari, Sejarah dan Adat II, hal. 122.

106

“Maka kepada pikir kira-kira kami sekalian adapun Raja Buton dan segala

wazir-wazir menteri-menterinya itu waktu tiada ia melakukan adat

biasanya…maka kami katakan tiada sekali-kali kamu ketahui pekerjaan itu

adanya.” 48

Melihat kenyataan ini, VOC melihat tidak adanya kesungguhan Buton

untuk menyelesaikan persoalan. Atas tindakan tersebut, rencana serangan VOC di

Buton tidak dapat ditangguhkan lagi.

Pada tanggal 31 Januari 1755, sejumlah kapal dan pasukan dipersiapkan

oleh VOC dibawah komando tertinggi Kapten Johan Casper Rijsweber tiba di

Bontain dengan kapal pemburu Adriana dari Ujung Pandang (Makassar). Di

dalam kesatuan itu terdapatlah kapal-kapal: Saamslag dan Ouwerkerk, dan

beberapa kapal kecil yang dikenal dengan nama “Chaloepen”, masing-masing

adalah de Meerma, het Fortun, dan de Arnoldna. Kapal Saamslag dan Ouwerkerk

memuat tentara bantuan dari Jawa yang turut mengambil bagian dalam

penyerangan Buton.49

Pada tanggal 19 Februari 1755 Rijsweber berangkat meninggalkan

Bulukumba menuju Buton dengan kesatuan armada yang besar, terdiri dari kapal-

kapal; Huis te Mapad, de Paarl (Chaloep), Gligis (Pancallangas), Triston

(Pancallangas), Ouwerkerk, de Meermin (Chaloep), het Fortuin (Chaloep), de

Arnoldina (Chaloep).50

Adapun jumlah pasukan VOC yang dikirim ke Buton

dalam ekspedisi ini mencapai 152 orang dengan rincian; 4 sersan, 4 kopral, 4

penabuh tambur dan peniup trompet serta 140 serdadu.51

48

Zuhdi, Sejarah Buton yang terabaikan, hal. 215. 49

Zahari, Sejarah dan Adat II, hal. 123-124. 50

Ibid., hal. 124. 51

Jumlah ini berdasarkan catatan Rijsweber yang ditandatanganinya di Bulukumba tahun

1755 pasca penyerangannya di Buton. Dikutip dari Zahari, Sejarah dan Adat II, hal. 216.

107

Dalam pelayaran itu, kapal de Paarl dan Gligis tiba lebih awal di Buton,

sedangkan yang lainya baru tiba pada tanggal 23 Februari 1755 pukul 16.00 sore

di perairan Bau-Bau. Di benteng Wolio berkibar bendera Belanda. Begitu jangkar

dilepaskan, VOC seperti biasanya memberikan tembakan penghormatan

(saluutschoten), tetapi tidak mendapatkan balasan dari darat. Hal ini menimbulkan

kecurigaan dari pihak VOC, terlebih lagi di benteng pesisir sampai perbukitan

telah dipasang pagar runcing terbuat dari batang pohon kelapa.

Sementara dari pihak Kesultanan Buton juga mulai curiga terhadap

kedatangan VOC dengan armada yang begitu besar. Penasaran dengan hal ini,

Sultan Hamim mengutus beberapa orang juru bahasa untuk menanyakan maksud

kedatangan kapal-kapal perang VOC tersebut. Namun, kedatangan juru bahasa

tersebut segera diketahui oleh pihak VOC. Berbagai perlengkapan perang seperti

meriam, amunisi, senjata dan berbagai perlengkapan perang lainya disembunyikan

oleh VOC agar maksud penyerangan tersebut tidak diketahui oleh pihak Buton.

Dalam keteranganya kepada juru bahasa tersebut, Rijsweber menyatakan

bahwa maksud kedatangan mereka hanyalah untuk mengambil air minum karena

kehabisan selama dalam perjalanan menuju Maluku. Dalam kesempatan yang

sama, Rijsweber menyampaikan salam hormat VOC kepada sultan dan orang-

orang besar kerajaannya dan mengirimkan hadiah untuk sultan. Setelah juru

bahasa kembali, Rijsweber naik ke darat dengan berpakaian sebagai matros kapal,

dan pergi melihat kekuatan pertahanan Buton di benteng untuk menyelidiki

kekuatan yang ada pada pihak Buton. Di dalam keraton tampak oleh Rijsweber

banyak rakyat yang berkumpul lengkap dengan persenjataan. Ligtvoet (1887)

menulis, jumlah pasukan ini lebih dari 5000 orang yang berada dibawah komando

108

Himayatuddin. Akan tetapi, Rijsweber melihat tidak ada persenjataan yang luar

biasa. Melihat kenyataan ini, Rijsweber kembali ke kapal untuk mengatur strategi

penyerangan.52

Tengah malam pukul 12.00 Rijsweber memerintahkan pasukanya untuk

melakukan pendaratan dan tepat pada pukul 15.30 semuanya sudah berada dalam

barisan, satu demi satu pasukan menuju benteng Keraton yang menjadi tempat

pertahanan dan ibu kota kerajaan. Setibanya pada kaki lereng bukit dekat pintu

gerbang benteng, Rijsweber membagi pasukanya dalam dua jurusan di mana

masing-masing diperintahkan masuk melalui pintu gerbang yang telah ditentukan

yaitu di “lawana Lanto” dan Wandailolo (lawana Labunta).53

Tepat pukul 06.00 pagi pasukan VOC telah berada di depan pintu gerbang

yang telah dijanjikan dan tinggal menunggu pintu-pintu terbuka untuk memulai

gerakan penyerbuan. Begitu pintu-pintu terbuka oleh petugas penjaga pintu

gerbang, pasukan VOC segera menyerbu dengan melepaskan tembakan-

tembakan. Penjaga pintu gerbang yang bersenjatakan keris, tombak, badik, dan

parang tidak dapat berbuat banyak. Mereka kemudian ditawan oleh pasukan VOC.

Tak jauh dari pintu gerbang, pasukan VOC kemudian mendapatkan serangan

balasan dari Kapitalao yang berpangkal dari dalam tempat kediamanya dengan

melepaskan tembakan, yang disusul dengan tembakan dari rumah-rumah di

sekitarnya, sehingga disana sini kedengaran letusan-letusan. Perkelahian terjadi

dimana-mana di dalam benteng. Rumah-rumah terbakar, sementara ratap tangis

dari pada anak-anak yang berteriak mengharapkan pertolongan dan orang tua laki-

laki maupun perempuan berlari mencari keselamatanya. Kuatnya pertempuran

52

Ibid., hal. 125. 53

Zuhdi, Sejarah Buton yang terabaikan, hal. 216.

109

dari Kapitalao dan pasukanya akhirnya dapat dipukul mundul oleh pasukan VOC.

Kapitalao sendiri kemudian gugur dalam peristiwa ini. Sisa pasukan Kapitalao

yang masih bertahan kemudian berhasil ditawan dan sebagian lain melarikan diri.

Di tempat lain, Bontogena dan Sapati yang melakukan perlawanan gugur

setelah di tembak oleh VOC. Kurangnya kordinasi dan persenjataan yang tidak

seimbang, membuat VOC dengan mudah mematahkan perlawanan Buton.

Pasukan VOC kemudian menuju istana kediaman Himayatuddin dengan maksud

menangkapnya hidup atau mati. Meletuslah pertempuran antara pasukan VOC

dengan Himayatuddin di pendopo istana Himayatuddin. Perlawanan

Himayatuddin dan pasukanya sangat kuat, sehingga mampu menewaskan banyak

pasukan VOC. Menurut orang tua, pada saat itu Himayatuddin telah

mempertunjukkan keperkasaanya. Sekali ia mengayunkan kerisnya dua tiga orang

pasukan VOC jatuh tersungkur di atas tanah. Meskipun demikian, kekuatan

persenjataan yang tidak seimbang membuat Himayatuddin dan pasukanya

kemudian dapat dipukul mundur oleh VOC. Beberapa orang pengawal istana yang

berusaha menyelamatkan keluarga istana yang telah terkurung musuh terpaksa

menjadi korban peluru pasukan VOC. Selain itu, Beberapa keluarga

Himayatuddin terdiri dari anaknya Wa Ode Wakato dan cucunya Wa Ode Kamili

yang sementara dalam buaian tidak berhasil diselamatkan dan menjadi tawanan

VOC.54

Sementara Sultan Hamim mengambil kesempatan menyelamatkan diri

bersama permaisuri dan anggota keluarganya, serta dokumen-dokumen kerajaan

yang penting, alat kelengkapan kebesaran sultan menuju ke kampung Sorawolio

yang seterusnya dari kampung ini ke Kaesabu.55

54

Chalik, dkk., Sejarah Perlawanan, hal.18. 55

Zahari, Sejarah dan Adat II, hal. 127.

110

Dengan dipukul mundurnya pasukan Buton ini, KompeniVOC kemudian

berhasil menguasai benteng Keraton Buton. beberapa hari setelah penyerangan

ini, kapal het Huis te Mapad dan Ouwerkerk meneruskan perjalananya ke Maluku

sedangkan Rijsweber dengan kapal-kapalnya yang lain tinggal di Buton beberapa

bulan lamanya untuk mengantisipasi adanya serangan balasan dari Buton. Baru

pada tanggal 6 Mei 1755, Rijsweber dan pasukanya kemudian meninggalkan

Buton menuju Ujung Pandang dan tiba disana pada tanggal 11 Mei 1755.56

C. Dampak Konflik Buton – VOC Terhadap Kesultanan Buton

Setiap konflik yang dimanifestasikan dalam realitas perang umumnya

membawa dampak negatif. Sebagaimana yang terjadi di Buton, di mana konflik

yang terjadi antara Buton dengan VOC pada masa pemerintahan Sultan

Himayatuddin Muhammad Saidi hingga masa Sultan Sakiuddin telah membawa

dampak kerugian yang besar bagi kedua belah pihak.

Kapten de Jong dalam memorinya, mencatat jumlah pasukan VOC yang

tewas dalam konflik tersebut adalah 9 orang, korban luka-luka 36 orang, serta 39

orang lainya dinyatakan hilang. Sementara itu, total anggaran yang terkuras akibat

ekspedisi ini adalah 108,19½ rijksdaalders. 57

Meskipun demikian, Buton sebagai

pihak yang kalah dalam perang tersebut nampaknya lebih banyak menderita

kerugian. Kerugian ini bukan hanya pada tataran yang sifatnya meteri, tetapi juga

non-materi. Zahari mencatat beberapa pembesar Kesultanan Buton yang tewas

dan ditawan dalam perang tersebut, yaitu: Sapati (perdana menteri), Kapitalao

(kapiten laut), Bontogena (menteri besar), Lakina Labalawa, Yarona Rakia,

56

Ibid., hal. 128. 57

Memorie Kapten de Jong, dalam Abdul Mulku Zahari, Sejarah dan Adat II, hal. 128.

111

Lakina Tondanga, Sabandara, I-ngapa (ditawan), Wa Ode Wakato (ditawan), Wa

Ode Kamali (ditawan). Jumlah ini tentunya belum termasuk rakyat biasa yang

jumlahnya jauh lebih besar.

Selain tewasnya beberapa pembesar kerajaan serta masyarakat

sebagaimana yang disebutkan Zahari di atas, konflik Buton – VOC ini telah

menghancurkan infrastruktur kerajaan, perekonomian masyarakat, serta membawa

trauma yang berkepanjangan bagi masyarakat Buton. Peristiwa tersebut telah

menjadi bagian dari memori kolektif masyarakat Buton yang hingga saat ini

dikenal sebagai Zamani Kaherumua Walanda atau zaman huru-hara Belanda. Hal

ini sebagaimana yang dikisahkan oleh Abdul Ghaniyu dalam syair Anjonga, yang

berbunyi sebagai berikut:

Inda urangoya tongko bungana

Walanda

Apopasiki sabara manusia

Sumbere sumbere apeelo palaisa

Apoboli-boli indaa pataku taku

Hengga anana miarakana abolia

Inuncana koo makaa pokawa-pokawa

Mokokampana akoana irumpu

Momapiyna soa kolemo itana

Bontogena samia tee sapati

Tee samia kapitalao amate

Tee sakia miya bari momatena

Tee torakona incana sayeyo siytu

Laki Wolio yumane tee bawine

Tee malingu sabara mangga nana

Aposa lapa soomo arataana

Mobinasana inda teyi poolina

Tidak kamu dengar waktu keributan

Belanda

Berhamburan semua manusia

Masing-masing mencari perlindungan

Tercerai-berai tunggang-langgang

Sampai anak istrinya ditinggalkan

Di dalam hutan baru bertemu satu sama

lain

Yang hamil beranak di rerumputan

Yang sakit tidur saja di tanah

Menteri besar dan sapati

Dan seorang kapitalao mati

Dan sekian banyak rakyat yang korban

Dan yang ditangkap dalam sehari itu

Raja Wolio laki-laki dan permaisuri

Dan segala anggota keluarganya

Semua tinggal hanyalah hartanya

Yang binasa tak ada yang didapatnya58

58

Abdul Ghaniyu, Anjonga Inda Malusa, hal. 107, dalam Zahari, Sejarah dan Adat II,

hal.126.

112

Begitu dahsyatnya peristiwa di atas, hingga penggambarannya pun

menurut Susanto Zuhdi seperti kiamat saja.59

Besarnya dampak yang ditimbulkan

peristiwa konflik Buton – VOC di atas, nampaknya telah menjadi pembelajaran

dan patokan bagi sultan-sultan Buton selanjutnya agar terus membina hubungan

baik dengan VOC. Hal ini setidaknya dapat dilihat dari beberapa bait syair

Kanturuna Mohelana (Lampu Bagi yang Berlayar) yang ditulis oleh Anonim,

berikut:

Pengkenisiya kafaka baabaana

Kontaratina sazamani-sazamani

Tontomayeka adati tee fe eli

Malinguaka kambotu imuruhumu

Kahormati noombo bali-baliy

Osiytumo betao imalapeyaka

Osytumo kainawana polipu

Teguhkan perjanjian awal

Kontraknya masing-masing zaman

Camkan betul adat dan perilaku

Segala keputusan di zamannya Murhum

Penghormatan jangan sampai berubah

Itulah untuk kebaikan

Itulah penenang lampunya negeri.

Syair di atas setidaknya mengingatkan kepada orang Buton khususnya

para penguasa agar meneguhkan kembali perjanjian dengan VOC, sebagaimana

yang telah dilakukan oleh sultan-sultan terdahulu. Adapun setiap kontrak yang

telah dibuat harus selalu dijaga, ditaati, dan dijalankan secara konsisten demi

keselamatan negeri Buton dari berbagai rongrongan kekuatan asing.

59

Zuhdi, Sejarah Buton yang terabaikan, hal. 217.

113

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Buton merupakan salah satu kerajaan tertua yang paling awal dan paling

banyak menjalin hubungan kerjasama dengan VOC. Hubungan keduanya telah

terbentuk sejak dicetuskannya kontrak persekutuan abadi La Elangi (Buton) –

Schotte (VOC) tahun 1613, dan berakhir seiring runtuhnya hegemoni Hindia –

Belanda di Nusantara tahun 1942. Bagi Buton, terbentuknya hubungan ini adalah

untuk menjaga kestabilan eksistensi kerajaan dari berbagai ancaman, baik yang

berasal dari internal seperti konflik antargolongan bangsawan, maupun eksternal

seperti ancaman bajak laut, Kerajaan Ternate, maupun Gowa. Adapun bagi VOC,

terbentuknya hubungan ini untuk mengamankan pelayaran dan perdagangannya

dengan pusat rempah-rempah di Maluku, serta untuk mengalahkan pesaing-

pesaingnya, seperti Kerajaan Gowa, Portugis, Spanyol, dan lain sebagainya.

Rentang panjang hubungan Buton – VOC tidak selalu berjalan harmonis.

Sejak masa pemerintahan Sultan Dayanu Ikhsanuddin atau La Elangi sampai

dengan masa pemerintahan Sultan Himayatuddin Muhammad Saidi atau La

Karambau, hubungan Buton – VOC telah mengalami pasang-surut. Masa

meningkatnya hubungan keduanya terlihat dari adanya berbagai macam kerjasama

dalam bidang politik dan ekonomi, melalui pembentukan aliansi militer dan

perdagangan. Sedangkan masa surut hubungan keduanya terlihat dari adanya

rentetan konflik dan perang. Pada masa pemerintahan Sultan La Buke, hubungan

Buton – VOC mengalami keretakan. Hal ini disebabkan masuknya Buton ke

114

dalam wilayah pengaruh Kerajaan Gowa, sehingga kontrak-kontrak Buton – VOC

tidak dapat dijalankan sebagaimana mestinya. Demikian halnya dengan masa

pemerintahan Sultan Himayatuddin Muhammad Saidi, di mana hubungan Buton –

VOC mengalami keretakan akibat pertentangannya dengan VOC. Bedasarkan

hasil kajian penulis menunjukan bahwa, penyebab Sultan Himayatuddin

menentang VOC adalah:

1. Pandangan Sultan Himayatuddin Muhammad Saidi terhadap VOC yang

dianggapnya sebagai ancaman baru bagi eksistensi Kesultanan Buton. Hal

ini terjadi setelah berakhirnya ancaman Kerajaan Gowa tahun 1667, yang

diikuti dengan menurunnya pengaruh Kerajaan Ternate di kawasan timur

Nusantara.

2. Faktor terjadinya pergeseran kedudukan Buton – VOC dalam setiap

kontrak yang awalnya menunjukan kedudukan yang setara menjadi ke

tahap ketundukkan yang menunjukan dominasi VOC.

3. Dampak buruk intervensi VOC dalam persoalan politik maupun ekonomi

di Kesultanan Buton, seperti memuncaknya ketegangan hubungan

antargolongan bangsawan Buton, serta timbulnya banyak „kekacauan‟ dan

kemelaratan di kalangan masyarakat Buton akibat kebijakan ekstirpasi

pohon rempah-rempah di seluruh wilayah Kesultanan Buton, pembatasan

aktivitas berlayar dan berdagang orang-orang Buton, dan lain sebagainya.

Akibat pertentangan Sultan Himayatuddin tersebut, hubungan Buton –

VOC mengalami keretakan, dan puncaknya adalah terjadinya konflik raya antara

antara Buton dengan VOC pada masa pemerintahan Sultan Sakiyuddin atau

Hamim. Konflik tersebut membawa dampak negatif khususnya bagi Buton. Selain

115

menelan korban jiwa, konflik tersebut telah menghancurkan infrastruktur

kerajaan, perekonomian masyarakat, serta membawa trauma yang berkepanjangan

bagi masyarakat Buton. Hingga saat ini peristiwa tersebut dikenal sebagai Zamani

Kaherumua Walanda atau zaman huru-hara Belanda. Besarnya dampak yang

ditimbulkan peristiwa konflik Buton – VOC di atas kemudian dijadikan

pembelajaran atau patokan bagi sultan-sultan Buton selanjutnya untuk terus

membina hubungan baik dengan VOC atau kemudian Belanda.

B. SARAN

Kajian ini dilakukan dalam rangka menggiatkan kajian kesejarahan Buton

yang nampaknya masih terabaikan dalam panggung sejarah Nasional. Dalam

berbagai literatur kesejarahan khususnya Sejarah Nasional Indonesia (SNI) yang

sebagaimana kita ketahui, Buton belum mendapatkan tempat sama sekali

sebagaimana kerajaan-kerajaan lain di Nusantara. Padahal Buton sebagai salah

satu kerajaan Islam tertua juga ikut mewarnai perjalanan sejarah bangsa

Indonesia.

Keterabaian Buton dalam panggung sejarah Nasional juga membuatnya

seolah tenggelam dalam ingatan banyak orang. Hingga saat ini jika kebanyakan

orang mendengar kata Buton, yang terlintas dibenak mereka adalah aspal. Ya bagi

mereka Buton tidak lebih dari penghasil semata. Padahal jika coba dikaji lebih

mendalam, Buton mempunyai kekayaan yang tidak ternilai harganya, yaitu

kekayaan sejarah. Orang-orang yang mengidentikkan Buton dengan aspal

sebenarnya tidak bisa dipersalahkan juga, toh itulah yang mereka baca dalam

buku-buku pelajaran sekolah. Sudah menjadi tugas kitalah sebagai kalangan

116

akademisi, untuk meluruskan mindset banyak orang Indonesia, melalui

rekonstrusi sejarah Indonesia yang objektif dan tidak diskriminatif.

Selain diidentikkan dengan penghasil aspal, Buton juga diidentikan

sebagai sekutu abadi VOC. Ini merupakan fakta yang penulis sendiri pernah

dengar dalam sebuah seminar di salah satu kampus di Jakarta, yang membahas

tentang “Indonesia masa kolonial.” Salah satu pemateri menyebutkan salah satu

kerajaan di Nusantara yang hingga runtuhnya dikatakan sebagai sekutu abadi

Belanda yaitu Buton. Beranjak dari seminar tersebutlah, sehingga penulis ingin

mencari data dan fakta apakah memang Buton dengan Belanda merupakan sekutu

abadi? Dan melalui hasil kajian inilah, penulis menemukan, bahwa tidak

selamanya hubungan Buton – VOC berjalan harmonis, atau tidak semua sultan

Buton menginginkan persekutuan dengan VOC. Adalah Sultan Himayatuddin

Muhammad Saidi yang selama hidupnya menentang VOC, yang berujung pada

memburuknya hubungan Buton VOC.

Meskipun demikian, penulis sendiri yang didasari kesadaran tinggi

mengakui bahwa masih terdapat banyak kekurangan dalam karya ini akibat

terkendala oleh banyak aspek, mulai dari minimnya sumber, biaya penelitian,

waktu penelitian serta rentang waktu kajian yang terlalu tua sehingga sangat sulit

untuk mencari dan menemukan sumber-sumber historis yang sezaman. Adapun

sumber yang sezaman mungkin hanya akan ditemukan melalui catatan-catatan

Kolonial yang rupanya banyak tersimpan di Perpustakaan Leiden. Hal inilah yang

kemudian memaksa penulis untuk menggunakan atau mengandalkan sumber-

sumber sekunder, meskipun dalam penulisan sejarah yang diprioritaskan adalah

sumber-sumber primer.

117

Penulis menyarankan kepada penulis-penulis selanjutnya yang mengkaji

hubungan Buton – VOC khususnya masa Sultan Himayatuddin Muhammad Saidi

untuk membantu menyempurnahkan tulisan ini yang meskipun melalui metode

dan pendekatan yang berbeda. Salah satu yang belum mampu penulis jawab

secara maksimal dalam penelitian ini adalah apakah pertentangan yang dilakukan

olehh Sultan Himayatuddin Muhammad Saidi dijiwai oleh semangat

keagamaannya? Demikianlah penulis kembali menginginkan kontribusi dari

penulis-penulis selanjutnya untuk membantu menjawab pertanyaan tersebut.

Wallahu’alam Bishawwab.

118

DAFTAR PUSTAKA

BUKU

Abdurachman, Paramita R. Bunga angin Portugis di Nusantara: jejak-jejak

kebudayaan Portugis di Indonesia, Jakarta: LIPI Press, 2008.

Al-Anshori, M. Junaedi. Sejarah Nasional Indonesia: Masa Prasejarah Sampai

Masa Proklamasi Kemerdekaan, Jakarta: Aksara Panaitan, 2010.

Alifuddin, Muhammad. Islam Buton: Interaksi Islam dengan Budaya Lokal,

Jakarta: Badan Litbang dan Diklat Departemen Agama RI, 2007.

Amir, Andi Rasdiyanah (ed). Bugis-Makassar dalam Peta Islamisasi

Indonesia, Makassar: IAIN Alauddin, 1982.

Arifin, Miftah. Wujudiyah di Nusantara Kontinuitas dan Perubahan,

Yogyakarta: STAIN Jember Press, 2015.

Azra, Azyumardi. Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara

Abad VVII & XVIII, Jakarta: Kencana, 2007.

Ball, John. Indonesian Legal History 1602-1848, Sydney: Oughtershaw Press,

1982.

Batoa, Kimi. Sejarah Kerajaan Daerah Muna, Raha: Jaya Press, 1991.

B. Bhurhanuddin dkk. Sejarah Kebangkitan Nasional Daerah Sulawesi

Tenggara, Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1978.

Chalik, Husein dkk. Sejarah Perlawanan Terhadap Imperialisme dan

Kolonialisme di Daerah Sulawesi Tenggara, Jakarta: Departemen

Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional

Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional, 1983.

119

Darmawan, M. Yusran (ed). Menyibak Kabut di Keraton Buton (Bau-Bau:

Past, Present, and Future), Bau-Bau: Respect, 2008.

………...……….…… (ed). Naskah Buton Naskah Dunia, Baubau: Respect, 2009.

Djoenoed, Marwati dan Nugroho Notosusanto (ed). Sejarah nasional

Indonesia III: Zaman pertumbuhan dan perkembangan kerajaan-kerajaan

Islam di Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 2008.

G. Moedjanto. Indonesia Abad ke-20, Jilid 1, Yogyakarta: Kanisius, 1988.

Hamid, Abd Rahman. Spirit Bahari Orang Buton, Makassar: Rayhan

Intermedia, 2010.

…………………….…. Sejarah Maritim Indonesia,Yogyakarta: Penerbit

Ombak, 2013.

Ikram, Achadiati dkk. Katalog Naskah Buton Koleksi Abdul Mulku Zahari,

Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2001.

J. Keuning. Sejarah Ambon Sampai pada Akhir Abad Ke-XII, Jakarta:

Bhatara, 1973.

Kasim, Sultan. Aru Palakka Dalam Perjuangan Kemerdekaan Kerajaan Bone,

Makassar: CV. Walanae, 2002.

Kusumohamidjojo, Budiono. Hubungan Internasional-Kerangka Studi

Analitik, Bandung: Bina Cipta, 1987.

Lapian, Adrian B. Orang Laut, Bajak Laut, Raja Laut: Sejarah Kawasan Laut

Sulawesi Abad XIX, Jakarta: Komunitas Bambu, 2011.

…..………. dkk (ed). Indonesia Dalam Arus Sejarah (Masa Pergerakan

Kebangsaan), Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, Bekerjasama dengan

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, 2013.

120

Leirissa, R.Z. dan Djuariah Latuconsina. Sejarah Kebudayaan Maluku,

Jakarta: Direktorat Jenderal Kebudayaan, 1999.

Lombard, Denys. Nusa Jawa: Silang Budaya, Kajian Sejarah Terpadu Bagian I:

Batas-batas Pembaratan, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2010.

M. D, Sagimun. Sultan Hasanuddin Menentang VOC, Jakarta: Departemen

Pendidikan dan Kebudayaan Proyek Buku Terpadu, 1985.

Mukhlis P dkk. Sejarah Kebudayaan Sulawesi, Jakarta: Direktorat Jenderal

Kebudayaan, 1995.

Mulyana, Slamet. Tafsir Sejarah Negara Kretagama, Yogyakarta: LkiS, 2006.

Munafi, La Ode Abdul dan Andi Tenri. Dinamika Tanah Wolio: Sejarah,

Kontinuitas, dan Perubahan, Makassar: Fahmis Pustaka, 2014.

Niampe, La dan La Ode Syukur. Silsilah Bangsawan Buton (Pengantar dan

Suntingan Teks), Kendari: FKIP Unhalu, 2009.

Nye, Joseph. Understanding International Conflict, New York: Pearson

Longman, 2009.

Patunru, Abdurrazak Daeng dkk. Sejarah Gowa, Makassar: Yayasan

Kebudayaan Sulawesi Selatan dan Tenggara, 1993.

Pelras, Christian. The Bugis: The People of Southeast Asia and the Pasific,

Oxford: Blackwell, 1996.

Perkasa, Adrian dan Anggita Pramesti. Suma Oriental: Perjalanan Dari Laut

Merah ke China & Buku Fransisco Rodrigues, Yogyakarta: Penerbit

Ombak, 2015.

Putuhena, M. Saleh. Historiografi haji Indonesia, Yogyakarta: LkiS, 2007.

Profil Propinsi Republik Indonesia: Sulawesi Tenggara, Jakarta: Yayasan Bhakti

Wawasan Nusantara, 1992.

121

Rabani, La Ode. Kota-kota Pantai di Sulawesi Tenggara: Perubahan dan

Kelangsunganya, Yogyakarta: Ombak, 2010.

Rapi, Ahmad Massiara Daeng. Menyingkap tabir sejarah budaya di

Sulawesi Selatan, Makassar: Lembaga Penelitian & Pelestarian Sejarah

dan Budaya Sulawesi Selatan Tomanurung, Yayasan Bhinneka Tunggal

Ika, 1988.

Rasyid, Abdul. Cerita rakyat Buton dan Muna di Sulawesi Tenggara.

Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1998.

Rasjid, Abdul dan Restu Gunawan. Makassar Sebagai Kota Maritim,

Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional, 2000.

Reid, Anthony. Asia Tenggara Dalam Kurun Niaga 1450-1680: Jaringan

Perdagangan Global Jilid 2 (terj.), Jakarta: Yayasan Pustaka Obor

Indonesia, 2011.

Resink, G. J. Bukan 350 Tahun Dijajah, Depok: Komunitas Bambu, 2013.

Ricklefs, M. C. Sejarah Indonesia Moderen 1200 – 2008, Jakarta: Serambi, 2008.

Rudyansjah, Tony. Kekuasaan, Sejarah, dan Tindakan: Sebuah Kajian

Tentang Lanskap Budaya, Jakarta: Rajawali Pers, 2009.

Sasmita, Uka Tjandra. Arkeologi Islam Nusantara, Jakarta: Gramedia, 2009.

Schoorl, J.W. Pim. Masyarakat, Sejarah dan Budaya Buton, Jakarta:

Djambatan, 2003.

Schutte, G.J (ed). State and Trade In The Indonesian Archipelago, Leiden:

KITLV Press.

Sewang, Ahmad M. Islamisasi Kerajaan gowa (Abad XVI sampai Abad VII),

Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2005.

122

Simanjuntak, Truman (ed). Archaeology: Indonesian Perspective R.P.

Soejono's Festschrift, Jakarta: LIPI Press, 2006.

Syukur, La Ode. Hikayat Negeri Buton (Sastra Sejarah), Kendari: FKIP

Unhalu, 2009.

Tamburaka, Rustam. Sejarah Sulawesi Tenggara dan 40 Tahun Sultra

Membangun, 2003.

Utomo, Bambang Budi dkk. Atlas Sejarah Indonesia Masa Islam, Jakarta:

Kharisma Ilmu, 2012.

Vlekke, Bernard Hubertus Maria. Nusantara: Sejarah Indonesia. Jakarta:

Gramedia, 2008.

Widjojo, Muridjan. Pemberontakan Nuku: Persekutuan Lintas Budaya di

Maluku-Papua Sekitar 1780-1810, Jakarta: Komunitas Bambu, 2013.

Wiharyanto, A. Kardiyat. Sejarah Indonesia Madya abad XVI-XIX,

Yogyakarta: Universitas Sanata Dharma, 2006.

Yamin, Muhammad. Gadjah Mada Pahlawan Persatuan Nusantara,

Jakarta: Balai Pustaka, 1948.

Yunus, Abdul Rahim. Posisi Tasawuf Dalam Sistem Kekuasaan di Kesultanan

Buton Pada Abad Ke-19, Jakarta: INIS, 1995, 1995.

Zaenu, La Ode. Buton Dalam Sejarah Kebudayaan, Surabaya: Suradipa, 1984.

Zahari, Abdul Mulku. Sejarah dan Adat fiy Darul Butuni (Buton) Jilid I, II,

dan III, Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1977.

Zuhdi, Susanto dkk. Kerajaan Tradisional Sulawesi Tenggara: Kesultanan

Buton, Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, 1996.

123

…………………… Sejarah Buton yang terabaikan: labu rope labu wana,

Jakarta: Rajawali Pers, 2010.

ANRI Jakarta

Heeres, J. E. Corpus Diplomaticum: Verzameeling van Politieke Contracten

en Verdere Verdragen door de Nederlanders in het Oosten Gesloten, van

Privilegebrieven, aan hen Verleen 1596-1650 (eerste deel), Leiden:

KITLV, 1907.

Makasser Bijlagen Resolutien No. 74, 1770-1774.

Roever, Arend de & Bea Brommer, Grote Atlas de Verenigde Oost-Indische

Compagnie, Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI), tt.

ARTIKEL

Kielstra, E. B, “Het Sultanaat van Boeton: Onze Eeuw,” diakses pada 24 Mei

2016 dari http://www.dbnl.org/tekst/_onz001190801_01/_onz001190801_

01_0079.php

Manarfa, La Ode, “Raja Buton Keturunan Cina,” diakses pada 23 September 2015

dari http://www.library.ohiou.edu/indopubs/1996/10/01/0029.html

“Kerajaan Buton,” diakses pada 20 September 2015 dari http://melayuonline.com

/ind/history/dig/329/kerajaan-buton

124

JURNAL

Abdullah, Muhammad, “Manuskrip Keagamaan dan Islamisasi di Buton Abad

14-19,” Dalam Sari, International Journal of Malay World Studies No. 25,

2007.

Anwar, “Pelayaran Niaga Orang Buton pada Abad XX”. Dalam Jurnal

Pendidikan dan Kebudayaan. No. 027, Tahun ke-6 November 2000.

Barnes, R. H. “The Majapahit Dependency Galiyao,” dalam Journal of the

Humanities and Social Sciences of Southeast Asia, Vol. 138, Issue 4,

pages 407-412, 1982.

Johnson, Daniel, “Butonese Culture and the Gospel (a Case Study),” Dalam

Melanesian Journal of Theology 19 – 2 (2003).

Liebner, Horst H, “Sebuah Manuskrip Belanda Mengenai Kemalangan Armada

VOC di Pulau Kabaena, Mac-Mei 1650,” Dalam Sari, International

Journal of Malay World Studies No. 25, 2007.

Ligtvoet, Albertus, “Beschrijving en Geschiedenis van Boeton,” BKI, 1878.

Rudyansjah, Tony, “Kaomu, Walaka dan Papara: Satu kajian mengenai

Struktur Sosial dan Ideologi Kekuasaaan di Kesultanan Wolio”, dalam

Jurnal Berita Antropologi 52, tahun 1997.

Suryadi, “Surat-surat Sultan Buton, Dayyan Asraruddin dan Kaimuddin I,”

Koleksi Universiteitsbibliotheek Leiden, Belanda, dalam Jurnal

Humaniora Volume 19 No. 3 Oktober 2007.

125

MAJALAH

Hasaruddin dan Andi Tenri Machmud, “Peranan Sultan Dalam

Pengembangan Tradisi Tulis di Kesultanan Buton,” Dalam Majalah

Jumantara, Vol. 3 No. 2 – Oktober 2012.

TESIS DAN DISERTASI

Malihu, La, “Buton dan Tradisi Maritim: Kajian Sejarah Tentang Pelayaran

Tradisional di Buton Timur,” Tesis S2 Program Studi Ilmu Sejarah

Universitas Indonesia, 1998.

Rudyansyah, Tony, “Landskap Budaya Kekuasaan Pada Masyarakat Buton Satu

Kajian Mengenai Historisitas dan Tindakan,” Disertasi S3 Antropologi

Universitas Indonesia, 2008.

Sabirin, Falah, “Tarekat Sammaniyah di Kesultanan Buton: Kajian Naskah-

Naskah Buton,” Tesis S2 Pasca Sarjana UIN Syarif Hidayatullah

Jakarta, 2011.

Zuhdi, Susanto, “Labu Rope Labu Wana Sejarah Butun Abad XVII – XVIII,”

Disertasi S3 Program Studi Ilmu Sejarah Universitas Indonesia, 1999.

126

LAMPIRAN-LAMPIRAN

Lampiran 1

1.1. Letak Kesultanan Buton dilihat dalam peta Nasional (Indonesia)

(Sumber: dokumen pribadi penulis)

1.2. Peta wilayah kekuasaan Kesultanan Buton tahun 1878

(Sumber: A. Ligtvoet, Beschrijving en Geschiedenis van Boeton, BKI, 1878)

127

Lampiran 2

2.1 Skema kawasan Benteng Keraton Buton dekade 1920-an.

(Sumber: Novesty Noor Azizu, dkk.,“Pelestarian Kawasan Benteng Keraton

Buton,” dalam Jurnal Tata Kota dan Daerah Volume 3, Nomor 1, Juli 2011)

128

Lampiran 3

3.1. Peta pertempuran Sultan Himayatuddin Muhammad Saidi dalam melawan

VOC (1751-1763)

(Sumber: Koleksi Susanto Zuhdi)

129

Lampiran 4

4.1. Sultan Himayatuddin Muhammad Saidi (Oputa yi Koo)1

(Sumber foto: Media Center keraton Buton, Baubau)

4.2. Makam Sultan Himayatuddin

Muhammad Saidi di puncak gunung

Siontapina

(Sumber foto: Media Center keraton

Buton, Baubau)

4.3. Makam Sultan Himayatuddin

Muhammad Saidi setelah dipindahkan

di bukit Lele Mangura, Wolio.

(Sumber foto: Media Center keraton

Buton, Baubau)

1 Foto di atas masih diperdebatkan oleh para Sejarawan. Ada yang meyakini bahwa foto

tersebut adalah Sultan Himayatuddin, namun sebagian lainya masih meragukan. Adapun mengenai

makam Sultan Himayatuddin dapat dijumpai di tiga tempat, yaitu di puncak gunung Siontapina,

Lawele, dan di bukit Lele Mangura, Wolio.

130

Lampiran 5

5.1. Ilustrasi mengenai kedatangan VOC di Baubau (Buton) tahun 1613,

dibuat oleh Johannes Vingboons (1665-1670).

(Sumber foto: Arend de Roever dan Bea Brommer, Grote Atlas de Verenigde

Oost-Indische Compagnie, Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI), tt.)

5.2. Meriam dan Jangkar peninggalan VOC di Kepulauan Besi

(Sumber foto: KITLV-Media)

131

5.3. Meriam VOC di Keraton Buton (Wolio)

5.4. Meriam Portugis di Keraton Buton (Wolio)

5.5. Sejumlah meriam yang ditempatkan di berbagai sudut Benteng

Keraton Buton (Wolio) dalam posisi menghadap ke laut

(Sumber foto: KITLV-Media)

132

Lampiran 6

6.1. Benteng Keraton Buton, Wolio

(Sumber foto: Google)

133

Lampiran 7

7.1. Sebuah senjata dan topi Sultan Buton

(Sumber foto: KITLV-Media)

7.2. Malige (Istana) Sultan Buton 7.3. Masjid Agung Kesultanan Buton

(Sumber foto: Google) (Sumber foto: Google)

134

7.4. Longa-Longa, Bendera Kesultanan Buton

(Sumber foto: Google dan Media Center Baubau)

7.5. Kampua, uang kertas Kesultanan Buton

(Sumber foto: Koleksi Museum Bank Indonesia, diakses melalui

http://inaguide.com/listings/bank-indonesia-museum/)

135

Lampiran 8

Daftar Raja-Raja dan Sultan-Sultan Buton

Raja-Raja Buton:

Nama

1 Wa Kaa Kaa

2 Bulawambona

3 Bataraguru

4 Tuarade (Tuan Raden)

5 Mulae

6 La Kilaponto

Sultan-Sultan Buton:

Nama Gelar Kesultanan Masa

Jabatan

Aliran Bangsawan

1 La Kilaponto/

Timbang-

Timbangan

Qaimuddin

Khalifatul

Khamis/Murhum

1491-1537

-

2 La Tumparasi Qaimuddin 1545-1552 -

3 La Sangaji Qaimuddin 1566-1570 -

4 La Elangi Dayanu Ikhsanuddin 1578-1615 Tanailandu ke-1

5 La Balawo Abdul Wahab 1617-1619 Tanailandu ke-2

6 La Buke Gafurul Wadudu 1632-1645 Kumbewaha ke-1

7 La Saparagau - 1645-1646 Tanailandu ke-3

8 La Cila Mardan Ali 1647-1654 Tanailandu ke-4

9 La Awu Malik Sirullah 1654-1664 Tanailandu ke-5

10 La Simbata Aidil Rakhim 1664-1669 Tanailandu ke-6

11 La Tangkaraja Kaimudin 1669-1680 Tanailandu ke-7

12 La Tumpamana Zainuddin 1680-1689 Tanailandu ke-8

13 La Umati Liyaudin Ismail 1689-1697 Tanailandu ke-9

14 La Dini Syaifuddin 1697-1704 Kumbewaha ke-2

15 La Rabaenga Syaiful Rijaali 1704

(7 hari)

Tapi-Tapi ke-1

16 La Sadaha Syamsuddin 1704-1709 Tanailandu ke-10

17 La Ibi Nasraruddin 1709-1711 Tanailandu ke-11

18 La Tumparasi Muluhiruddin Abdul

Rasyid

1711-1712 Tanailandu ke-12

19 La Ngkariry Sakiyuddin Daarul

Alam

1712-1750 Kumbewaha ke-3

20 La Karambau Himayatuddin

Muhammad Saidi

1751-1752 Tanailandu ke-13

21 La Hamim Sakiyuddin 1752-1759 Kumbewaha ke-4

22 La Seha Rafiuddin 1759-1760 Kumbewaha ke-5

23 La Karambau Himayatuddin

Muhammad Saidi

1760-1763 Tanailandu ke-13

136

24 La Jampi Kaimuddin 1763-1788 Kumbewaha ke-6

25 La Masalumu Alimuddin 1788-1791 Tapi-Tapi ke-2

26 La Kopuru Muhyiuddin Abdul

Ghafur

1791-1799 Tanailandu ke-14

27 La Badaru Dayanu Asraruddin 1799-1822 Kumbewaha ke-7

28 La Dani Muhammad

Anharuddin

1822-1823 Tapi-Tapi ke-3

29 Muhammad

Idrus

Kaimuddin I 1824-1851 Kumbewaha ke-8

30 Muhammad Isa Kaimuddin II 1851-1871 Kumbewaha ke-9

31 Muhammad

Salihi

Kaimuddin III 1871-1885 Kumbewaha ke-10

32 Muhammad

Umar

Kaimuddin IV 1885-1904 Tanailandu ke-15

33 Muhammad

Asyikin

Adilil Rakhiym 1906-1911 Tapi-Tapi ke-4

34 Muhammad

Husein

Bayanu Ikhsanu

Kaimuddin

1914

(3 bulan)

Tanailandu ke-16

35 Muhammad Ali Muhammad Ali

Kaimuddin

1918-1921 Tapi-Tapi ke-5

36 Muhammad

Saifu

Muhammad Syafiul

Anaami

1922-1924 Kumbewaha ke-11

37 Muhammad

Hamidi

Muhammad Hamidi

Kaimuddin

1928-1937 Kumbewaha ke-12

38 Muhammad

Falihi

Muhammad Falihi

Kaimuddin

1938-1960 Kumbewaha ke-13

Sumber: Abdul Mulku Zahari, Sejarah dan Adat fiy Darul Butuni (Buton) Jilid I,

II, dan III, Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1977.

137

Lampiran 9

138

Lampiran 10

10.1. Kontrak La Elangi (Buton) – Schotte (VOC) Tahun 1613

Art.1

De onderzaten en het land van den koning te helpen beschermen tegen alle andere

natiën, waartoe hij twee door de Boetonneezen op het strand te bouwen bolwerken

voorloopig met vier stukken geschut bewapenen en met eenige Hollanders tot

bediening van dat geschut bezetten zou

Art.2

Zijn tusschenkomst bij den koning van Makassar te verleenen, om dezen te doen

afzien van alle vijandelijkheden tegen Boeton

Art.3

Den koning en zijn onderdanen niet in de uitoefening van hun godsdienst en

bestuur te bemoeielijken

Art.4

Den koning van Ternate te verzoeken om te beletten, dat zijn onderdanen den

koning van Boeton en zijn onderdanen overlast aandeden, en om zijn zaken met

den koning van Boeton behoorlijk te behandelen, hetzij met gevolmachtigde

gezanten of door brieven, voorzien van het koninklijk zegel, daar somtijds zijn

naam en gezag misbruikt waven

Art.5

Koperen munt aan te voeren

Terwijl de koning van Boeton van zijn kant aannam:

Art.1

Defensieven oorlog te voeren tegen de vijanden van den koning van Ternate, met

wien hij in vriendschap en eenigheid zou blijven leven, en tegen alle vijanden van

de Hollanders,

Art.2

De Hollanders in den op handen zijnden tocht naar Solor met welbemande

korrakorra's bij te staan,

Art.3

Aan geen andere natie eenigen handel of bedrijf ten nadeele van de Hollanders toe

te staan, maar aan hen als beschermers van het rijk de voorkeur te geven,

139

Art.4

De prijzen van de koopmanschappen en levensmiddelen, die het land voortbracht,

te bepalen en te handhaven,

Art.5

Van de Hollanders geen tollen te heffen en hun den vrijen handel in zijn geheele

gebied toe te staan,

Art.6

Den rijstbouw in te voeren, voornamelijk met het oog op de behoefte aan dat

artikel in de Molukken,

Art.7

Toe te laten, dat de soldaten of andere personen, die zich van wege de Hollanders

in Boeton mochten ophouden, met vrije vrouwen in het huwelijk traden, en dat

deze vrouwen het christelijk geloof aannamen,

Art.8

Hun evenzoo het koopen van slaven toe te staan, met bepaling dat weggeloopen

slaven van wederszijden zouden worden teruggegeven,

Art.9

Van dit kontrakt mededeeling te doen aan de Bandaneezen, hen tot het sluiten van

vrede en bondgenootschap te vermanen, en, zoo zij met de Hollanders in oorlog

geraakten, zijn broeder en alle Boetonneezen, die zich op Banda bevonden, van

daar terug te roepen.

Sumber: A. Ligtvoet, Beschrijving en Geschiedenis van Boeton, BKI, 1878. J. E.

Heeres, Corpus Diplomaticum: Verzameeling van Politieke Contracten en

Verdere Verdragen door de Nederlanders in het Oosten Gesloten, van

Privilegebrieven, aan hen Verleen 1596-1650 (eerste deel), (Leiden: KITLV,

1907).

140

10.2. Kontrak La Simbata (Buton) – Speelman (VOC) 31 Januari 1667

Het op 31 Januari 1667 Tusschen den Admiraal Speelman en den

Koning van Boeton Gekontrakteerde

Art.1

Alle onder zijn gezag staande Toekangbësi eilanden, voornamelijk op Kaledoepa

en Wantji-wantji (Wangi-wangi), en voorts op alle andere eilanden, al behoorden

die niet tot de Toekang-bësi eilanden, ook op Binongko, ten overstaan van door de

Compagnie daartoe te zenden personen alle nagel en notenmuskaatboomen te

zullen doen omvellen en uitroeien, welke uitroeiing jaarlijks zou herhaald worden.

Hiervoor zou de Compagnie hem jaarlijks, te beginnen met het einde van 1667,

honderd rijksdaalders uitbetalen, als zijnde dit het bedrag, dat hij, volgens zijn

verklaring, jaarlijks van die boomen getrokken had.

Art.2

Ook op geen andere landen van den koning, zoowel die reeds onder hem staan, als

die hij later wellicht zal verkrijgen, mogen nagel of notenboomen wassen, maar

moeten die boomen steeds worden uitgeroeid.

Art.3

Zoodanige inlanders als gewoon zijn, hier met rijst en andere eetbare waren te

komen, zooals die van Batavia, de kust van Java, Patani, Djohor en Palembang,

mogen, zoolang zij met de Compagnie en den koning van Ternate in vrede zijn,

op Boeton ten handel worden toegelaten: maar de Makassaren, zelfs als zij in

vrede met de Compagnie leven, alleen dan, wanneer zij voorzien zijn van een pas

van het opperhoofd te Makassar.

Art.4

Gezanten van naburige, met de Compagnie en den koning van Ternate in vrede

levende vorsten, mogen op Boeton worden ontvangen; maar er mag niets met hen

besloten worden, dan na verkregen toe & temming van de Compagnie en den

vorst van Ternate, aan wie ook van de aankomst van zulke gezanten en hun

verlangen dadelijk kennis moet worden gegeven; maar van de Makassaren mogen

zelfs in vredestijd geen gezanten of brieven ontvangen woiden.

Art.5

Wanneer de Compagnie met eenige van die natiën in vijandschap geraakt, moeten

de koning en zijn grooten zich ook tot hun vijanden verklaren, de Compagnie

tegen hen bijstaan, en mogen zij geen afzonderlijke vredes-onderhandelingen met

hen aanknoopen, noch eenig verbond met hen sluiten, hetgeen de Compagnie van

haar kant evenmin zal doen.

Art.6

Gezanten van vijanden moeten gevangen genomen of aan de Compagnie

overgeleverd worden; maar uit hoofde van den grooten afstand tusschen Boeton

141

en de naaste Compagnie's vestiging moeten zoodanige gezanten op Boeton in

verzekerde bewaring gehouden worden tot er gelegenheid bestaat om hen over te

leveren.

Art.7

Bij overlijden van den koning moeten de rijksraden daarvan zoo spoedig mogelijk

kennis geven aan den koning van Ternate en de Compagnie, die alsdan

gecommitteerden zullen zenden om met de rijksgrooten een opvolger te verkiezen.

Deze opvolger moet, alvorens als vorst te worden bevestigt, den koning van

Ternate en de Compagnie trouw zweren, waarna de rijksgrooten het hem moeten

doen. De rijksgrooten mogen nimmer hun vorst afzetten zonder toestemming van

Ternate en de Compagnie, gelijk de koning en rijksgrooten den goegoegoe

(sapati) of andere hooge beambten. Ook niet ontslaan mogen, maar de tegen hen

gerezen klagten ter keunis van den koning van Ternade en de Compagnie moeten

brengen, die alsdan in overeenstemming met hen daarin zullen beschikken.

Terwijl alle nieuw aangestelde rijksgrooten, van hoogen zoowel als van lagen

rang, het kontrakt moeten bezweren. Zoo de koning dit kontrakt overtreedt,

mogen de koning van Ternate en de Compagnie in overleg met de rijksgrooten

van Boeton hem afzetten, en een ander in zijn plaats verkiezen.

Art.8

De koning van Boeton mag gezanten zenden naar Batavia, Amboina en Ternate,

en ook naar het land der Boegies, zoolang zij onder de bescherming van de

Compagnie blijven; maar niet zonder toestemming van de Compagnie naar

Makassar (Gowa), zelfs in vredestijd.

Art.9

De Compagnie kan tot meerdere verzekering van het kontrakt personen van

aanzien als gijzelaars vorderen, en zoolang in het kasteel te Ternate of te Batavia

aanhouden, als noodig is; deze gijzelaars zullen echter niet in hun geloof

belemmerd worden.

Art.10

De Compagnie mag overal in het gebied van Boeton, waar zij het zal goedvinden,

versterkingen oprigten, waartoe de koning door het leveren van materialen en

arbeidsvolk zal medewerken, ook zal zij zulke versterkingen weder mogen

intrekken.

Art.11

Europeesche of inlandsche Compagnie's dienaren, vrijburgers, Mardijkers, slaven

of andere onderdanen van de Compagnie, die om eenige misdaad of boos opzet de

vlucht nemen, zullen, zoo zij in het gebied van Boeton komen, terstond gevat en

bij de eerste gelegenheid aan de Compagnie uitgeleverd worden, en

Boetonneezen, die zoodanige personen verborgen houden, zullen daarvoor

gestraft worden.

142

Art.12

Overloopers, die het christelijk geloof afzweren, en den Islam willem omhelzen,

moeten aan de Compagnie worden overgeleverd, en door haar wederkeerig aan

den koning de Boetonneezen, die overloopen en het christendom willen om-

helzen.

Art.13

Boetonneezen die dienaren of onderdanen van de Compagnie beleedigen, of op

een andere wijze jegens hen misdrijven, mogen door haar officieren in de ijzers

gesloten worden, waarvan echter dadelijk kennis zal worden gegeven aan den

koning, die daarna de zaak door gecommitteerden zal doen onderzoeken, en de

schuldigen straffen zal. daarentegen mogen ook dienaren en onderdanen van de

Compagnie, die Boetonneezen benadeelen of jegens hen misdrijven, gearresteerd

worden; maar dadelijk daarna moeten zij aan de Compagnie worden overgeleverd,

die hen naar bevinding van zaken straffen zal.