PARTISIPASI POLITIK JAMAAH RODJA PADA PILKADA...

98
PARTISIPASI POLITIK JAMAAH RODJA PADA PILKADA JAWA BARAT 2018 SKRIPSI Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.) Oleh: LESNIDA BOROTAN NIM : 11150450000001 PROGRAM STUDI HUKUM TATA NEGARA FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1440 H / 2019 M

Transcript of PARTISIPASI POLITIK JAMAAH RODJA PADA PILKADA...

  • PARTISIPASI POLITIK JAMAAH RODJA PADA

    PILKADA JAWA BARAT 2018

    SKRIPSI

    Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

    Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.)

    Oleh:

    LESNIDA BOROTAN

    NIM : 11150450000001

    PROGRAM STUDI HUKUM TATA NEGARA

    FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

    UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

    SYARIF HIDAYATULLAH

    JAKARTA

    1440 H / 2019 M

  • ABSTRAK

    Lesnida Borotan. NIM 11150450000001. Partisipasi Politik Jamaah Rodja

    Pada Pilkada Jawa Barat 2018. Program Studi Hukum Tata Negara (Siyasah),

    Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah

    Jakarta, 1440 H/2019 M. viii + 71 halaman + 27 lampiran.

    Penelitian ini menggunakan metode kualitatif-empiris. Penulis meneliti

    mengenai partisipasi politik jamaah Lembaga Dakwah Rodja dalam hal

    menggunakan hak pilihnya pada Pilkada Jawa Barat 2018 dan bagaimana jamaah

    Lembaga Dakwah Rodja memobilisasi sesama jamaah maupun jamaah lainnya

    dalam partisipasi politik pada Pilkada Jawa Barat 2018.

    Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa Lembaga Dakwah Rodja yang

    berpaham Salafi tetap menaati, menghormati dan mendengarkan pemerintah.

    Jamaah Lembaga Dakwah Rodja turut serta berpartisipasi politik pada momentum

    pesta demokrasi salah satunya ialah pada Pilkada Jawa Barat 2018. Penceramah

    maupun jamaah setia Lembaga Dakwah Rodja pun ikut berperan dalam

    menyerukan untuk menggunakan hak pilih yang di miliki setiap warga negara.

    Mobilisasi partisipasi politik yang dilakukan oleh penceramah ialah seruan dalam

    dakwah yang disampaikan oleh penceramah pada saat kajian agar mengikuti dan

    menaati perintah yang diserukan oleh pemimpin. Adapun mengenai bentuk

    mobilisasi yang dilakukan oleh jamaah Lembaga Dakwah Rodja kepada sesama

    jamaah ialah saling mengingatkan dan memberikan informasi yang baik mengenai

    pemilihan umum, terkhusus pada pembahasan peneliti yaitu Pilkada Jawa Barat

    2018, dan bentuk lain dari mobilisasi yang dilakukan oleh jamaah kepada orang

    terdekat mereka dengan menyarankan memilih pemimpin berkepribadian dan

    usungan partainya sesuai dengan syariat Islam.

    Adapun poin yang harus di garis bawahi bahwa Lembaga Dakwah Rodja

    tidak berafiliasi pada partai politik manapun, karena tujuan utama Lembaga

    Dakwah Rodja ini ialah mentauhidkan Allah SWT. Lembaga Dakwah Rodja yang

    berpaham Salafi, berdasarkan penelitian penulis ialah lembaga dakwah yang tidak

    bertentangan dengan sistem pemerintahan, mulai dari kajian yang diadakan dan

    kegiatan di luar keagamaan seperti kegiatan sosial dan lembaga pendidikan yang

    dimiliki oleh Lembaga Dakwah Rodja.

    Kata Kunci : Salafi, Rodja, Pilkada, Partisipasi Politik

    Pembimbing : Dr. Hj. Masyrofah, S.Ag., M.Si.

    Daftar Pustaka : 1982 s.d. 2016

  • ii

    KATA PENGANTAR

    Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT karena hanya

    dengan berkat dan rahmat-Nya, maka penulis dapat menyelesaikan Skripsi yang

    berjudul “Partisipasi Politik Jamaah Rodja Pada Pilkada Jawa Barat 2018” dengan

    baik. Skripsi ini disusun sebagai salah satu persyaratan untuk memperoleh gelar

    Strata Satu (S1) di Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

    Penulis menyadari bahwa tanpa bimbingan dan dukungan dari berbagai

    pihak, maka tidak akan dapat menyelesaikan skripsi ini. Oleh karena itu, penulis

    menyampaikan ucapan terima kasih dan penghormatan sebesar-besarnya kepada:

    1. Bapak Dr. H. Ahmad Tholabi Kharlie, SH., MA., MH. Dekan Fakultas

    Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

    2. Ibu Sri Hidayati, M.Ag, Ketua Program Studi Hukum Tata Negara (Siyasah)

    UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

    3. Ibu Dr. Hj. Masyrofah, S.Ag., M.Si., Sekretaris Program Studi Hukum Tata

    Negara (Siyasah) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Beliau juga selaku

    Dosen Pembimbing skripsi penulis yang telah memberikan arahan dari awal

    penulis memulai penelitian hingga proses penyelesaian skripsi ini.

    4. Bapak Ayang Utriza Yakin, S.Ag., DEA., PhD., selaku Dosen Mata Kuliah

    Logika dan Penalaran Hukum yang telah memberikan referensi-referensi

    mengenai skripsi penulis. Kesempatan dan tugas yang diberikan oleh beliau

    sewaktu semester II mengenai Lembaga Dakwah Rodja sangat membantu

    penulis menyelesaikan skripsi ini.

    5. Dosen-dosen Hukum Tata Negara, atas transfer ilmu yang telah diberikan.

    Semoga dengan ketulusan dan keikhlasan hati, ilmu yang diberikan

    merupakan bekal yang bermanfaat dan berharga bagi penulis.

    6. Seluruh Pihak Lembaga Dakwah Rodja dan Jamaah Lembaga Dakwah

    Rodja sekitar Cileungsi Jawa Barat, atas kesediaan waktunya untuk

    memberikan informasi mengenai data yang dibutuhkan oleh penulis.

  • iii

    7. Pihak Perpustakaan Utama maupun Perpustakaan Fakultas di UIN Syarif

    Hidayatullah Jakarta, atas pelayanannya sehingga mendapatkan akses yang

    mudah dalam mencari referensi dan informasi.

    8. Pihak KPU Kabupaten Bogor, atas kesediannya untuk memberikan data

    yang dibutuhkan oleh penulis dengan lengkap dan cepat.

    9. Orang tua dan keluarga tercinta, khususnya Ibu dan Adik penulis yang

    selalu memberikan doa, dukungan serta ketulusan cinta dan kasih yang tak

    terhingga.

    10. Kepada teman-teman Hukum Tata Negara (Siyasah) angkatan 2015, teman-

    teman Koperasi Mahasiswa khususnya Kopma Charity periode 2017, dan

    teman-teman kelompok bahagia Camaba.

    11. Teman-teman Kuliah Kerja Nyata (KKN) Electra 017, teman seperjuangan

    dalam pengabdian di Desa Blukbuk, Kronjo, Banten.

    12. Teman-teman terbaik penulis, Setya Fani, Indar Dewi, Ika Yulistiana, Fatma

    Agustina, Badriatul Munawaroh, Intan Adinda Putri, Pricillia Darmayanti,

    dan Navisah yang telah membantu penulis selama mengerjakan skripsi ini.

    13. Kepada seluruh keluarga UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang tak bisa

    penulis sebutkan satu persatu.

    Terima kasih atas segala bantuan yang telah diberikan oleh semua pihak,

    semoga bantuan yang diberikan mendapat pahala dari Allah SWT. Semoga skripsi

    ini bermanfaat bagi penulis khususnya dan bagi pembaca pada umumnya.

    Ciputat, 09 Agustus 2019

    08 Dzulhijjah 1440 H

    Lesnida Borotan

  • iv

    DAFTAR ISI

    LEMBAR PERSETUJUAN .......................................................................... ii

    LEMBAR PERNYATAAN ........................................................................... iii

    ABSTRAK ...................................................................................................... iv

    KATA PENGANTAR .................................................................................... v

    DAFTAR ISI ................................................................................................... vii

    BAB I PENDAHULUAN

    A. Latar Belakang ..................................................................................... 1

    B. Identifikasi, Rumusan, dan Pembatasan Masalah ................................ 6

    C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ............................................................ 7

    D. Review Studi Terdahulu ...................................................................... 8

    E. Metode Penelitian................................................................................. 9

    F. Sistematika Pembahasan ...................................................................... 11

    BAB II TEORI PARTISIPASI POLITIK, POLITIK ULAMA DAN

    PILKADA

    A. Teori Partisipasi Politik ........................................................................ 13

    1. Pengertian Partisipasi Politik ......................................................... 13

    2. Bentuk-Bentuk Partisipasi Politik .................................................. 13

    3. Faktor-Faktor Partisipasi Politik .................................................... 17

    B. Politik Ulama ....................................................................................... 22 1. Sejarah Awal dan Partisipasi Politik Islam di Indonesia ............... 24 2. Gerakan Islam di Indonesia ............................................................ 26

    C. Pilkada .................................................................................................. 32 1. Kelebihan Pilkada Langsung.......................................................... 33 2. Kelemahan Pilkada Langsung ........................................................ 34

    BAB III PAHAM SALAFI DAN DAKWAH POLITIK RODJA

    A. Awal Kehadiran Salafi ......................................................................... 38

    1. Kehadiran Salafi di Indonesia ........................................................ 41

    B. Profil Lembaga Dakwah Rodja ............................................................ 44

    C. Politik Dakwah Rodja .......................................................................... 46

    1. Kepemimpinan Perspektif Lembaga Dakwah Rodja ..................... 47

  • v

    D. Respon Lembaga Dakwah Rodja terhadap Pilkada ............................. 52

    BAB IV ANALISIS PANDANGAN POLITIK JAMAAH RODJA PADA

    PILKADA JAWA BARAT 2018

    A. Respon dan Mobilisasi Jamaah Rodja pada

    Pilkada Jawa Barat 2018 ...................................................................... 54

    B. Afiliasi antara Ideologi dan Partisipasi Politik

    Lembaga Dakwah Rodja ..................................................................... 62

    BAB V PENUTUP

    A. Kesimpulan .......................................................................................... 65

    B. Saran ..................................................................................................... 67

    DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 68

    LAMPIRAN-LAMPIRAN ............................................................................ 72

  • 1

    BAB I

    PENDAHULUAN

    A. Latar Belakang Masalah

    Radio Rodja maupun Rodja TV salah satu media dakwah Islam yang

    berkembang pesat pada saat ini. Lembaga Dakwah Rodja yang berpusat di Daerah

    Cileungsi, Jawa Barat ini tidak hanya eksis di kalangan masyarakat Cileungsi

    bahkan wilayah Jawa Barat saja, namun seluruh Indonesia. Hal ini dibuktikan

    dengan hadirnya jamaah dari berbagai daerah yang menghadiri kegiatan kajian

    keIslaman yang diadakan di Masjid al-Barkah tersebut.

    Media Lembaga Dakwah Rodja saat ini ialah melalui siaran radio, televisi,

    dan video streaming. Menyampaikan ajaran Islam Rahmatan Lil Alamin

    merupakan tujuan utama dari para pendiri Lembaga Dakwah Rodja. Saat ini

    Lembaga Dakwah Rodja pun memiliki yayasan yang diberi nama Yayasan

    Cahaya Sunnah, dan Radio Rodja merupakan nama yang dipakai mulai dari tahun

    2005 hingga saat ini guna untuk menyampaikan dakwah mereka. Rodja

    singakatan dari Radio Dakwah Ahlussunnah wal Jamaah, mulai mengudara untuk

    pertama kali pada Maret 2005.1 Ketika itu semua masih serba sederhana, alat

    pemancar dirakit sendiri, studio siaran memanfaatkan salah satu ruangan Masjid

    al-Barkah, serta radius jangkauan siarannya hanya sekitar 5 kilometer.2

    Sejarah berdirinya Lembaga Dakwah Rodja ini melalui wakaf tanah

    peninggalan orang tua Agus Hasannudin selaku Direktur Utama media Radio

    Rodja. Inisiator dibentuknya adalah pengurus Masjid al-Barkah yang gerah akan

    kajian keIslaman yang disampaikan masa kini. Untuk itu, dibangunlah Radio

    Rodja tersebut. Seiring perkembangan kemajuan yang dialami pada Radio Rodja,

    lembaga dakwah tersebut menyampaikan kajian keislamannya melalui saluran

    1Jay Akbar, Dakwah Salafi Via Radio Rodja, Tirto.id/ konten/2017/03/18/

    https://tirto.id/dakwah-salafi-via-radio-rodja-cKLk. 2Jay Akbar, Dakwah Salafi Via Radio Rodja, Tirto.id/ konten/2017/03/18/

    https://tirto.id/dakwah-salafi-via-radio-rodja-cKLk.

  • 2

    udara gelombang radio dan televisi, yaitu Radio Rodja dan Rodja TV. Dakwah

    yang disampaikan melalui Radio Rodja dan Rodja TV membahas semua isu-isu

    kehidupan sosial dan dikaitkan dengan hukum-hukum Islam, seperti pembahasan

    mengenai demokrasi, pemimpin negara, LGBT, masalah keluarga, dan lain-lain.

    Mengenai partisipasi politik dalam konteks negara, partisipasi rakyat atau

    keterlibatan rakyat untuk mengerti, menyadari, mengkaji, dan memprotes suatu

    kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah atau bahkan turut serta dalam

    pemerintahan merupakan satu proses demokratisasi. Dengan partisipasi politik ini,

    rakyat sekaligus berperan sebagai subjek dalam menentukan arah masa depan

    negaranya. Semua negara mengakui bahwa demokrasi sebagai alat ukur dari

    keabsahan politik dalam penyelenggaraan negara. Kehendak rakyat adalah dasar

    utama dalam menyelenggarakan pemerintahan dan menjadi basis tegaknya sistem

    politik yang demokratis.3

    Ukuran bangsa yang baru beberapa tahun lepas dari sistem otoritarian,

    penyelenggaraan Pemilu 2004 yang terdiri dari pemilu legislatif dan pemilu

    presiden secara langsung yang berjalan tanpa tindakan kekerasan dan kekacauan

    menjadi prestasi bersejarah bagi bangsa Indonesia. Bola partisipasi demokrasi ini

    bergulir sangat cepat, sistem demokrasi Indonesia perlu mengakomodasi aspirasi

    rakyat dengan memberikan kesempatan pemilihan langsung di tingkat pusat dan

    daerah. Kehadiran demokrasi di tingkat lokal telah mendorong kualitas demokrasi

    negeri ini melangkah maju. Rancangan Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah

    diharapkan tetap mampu mengakomodasi kepentingan rakyat sebagai pemilik

    demokrasi Indonesia. Momentum pilkada idealnya juga dijadikan sebagai proses

    penguatan demokratisasi.4

    3 Sudijono Sastroatmodjo, Perilaku Politik, (Semarang: IKIP Semarang Press, 1995), h..

    74. 4 Ramlan Surbakti, Memahami Ilmu Politik, (Jakarta: Gramedia, 1992), h., 80.

  • 3

    Harapan besar mengenai implikasi Pilkada langsung adalah rakyat

    berharap dapat mengetahui dan memahami isi yang terkandung dalam undang-

    undang, sehingga dapat meningkatkan pengetahuan serta wawasan politik atau

    pendidikan politik yang lebih baik terutama lebih memperhatikan aspek-aspek

    hubungan antar susunan pemerintahan pusat dan pemerintah daerah. Implikasi

    lebih lanjut melalui pemahaman undang–undang tersebut akan membuat rakyat

    menjadi paham politik, membangun tingkat kesadaran dalam berpolitik, serta

    masyarakat lebih kreatif dalam memilih calon kepala daerah yang mempunyai

    pemikiran ingin membangun daerahnya untuk maju dan sejahtera serta pelayanan

    publik yang lebih baik.5

    Berbicara mengenai upaya penguatan demokratisasi di Indonesia, maka

    partisipasi politik seluruh lini masyarakat dalam pemilihan umum sangatlah

    penting. Tidak sedikit dari masyarakat yang memilih untuk tidak ikut

    berpartisipasi dalam kegiatan yang dianggap sebagai pesta demokrasi tersebut.

    Mereka biasanya disebut golongan putih (golput). Golput memutuskan untuk

    tidak memberikan suaranya dalam pemilu, baik untuk memilih partai, memilih

    anggota DPR, DPRD, dan Presiden, serta memilih kepala daerah melalui

    monemtum pilkada.

    Golput dinilai sebagai sikap apatis karena dianggap sebagai tindakan tidak

    peduli pada persoalan politik yang ada. Rosenberg menyebutkan tiga alasan

    adanya apatis.6 Pertama, bahwa individu memandang aktivitas politik merupakan

    ancaman terhadap beberapa aspek kehidupannya. Kedua, individu menganggap

    aktivitas politik merupakan kegiatan yang sia-sia belaka. Individu-individu

    beranggapan bahwa ia tidak akan mungkin dapat mengubah keadaan dan

    melakukan control politik. Ketiga, yaitu ketidakadaan pesaing politik. Hal itu

    karena pemikiran politik tidak menarik baginya dan menganggap bahwa politik

    hanya memberikan kepuasan sedikit dan tak langsung. Semakin tinggi jumlah

    5 Ramlan Surbakti, Memahami Ilmu Politik, h., 83.

    6Sudijono Sastroatmodjo, Perilaku Politik, h., 75.

  • 4

    masyarakat yang golput, berarti tingkat partisipasi masyarakat dalam pemilu

    semakin rendah.

    Surbakti menyebutkan bahwa dua variable penting yang memengaruhi

    tinggi rendahnya tingkat partisipasi politik masyarakat, yakni kesadaran politik

    dan kepercayaan politik terhadap pemerintah.7 Pertama, aspek kesadaran politik

    meliputi kesadaran hak dan kewajiban sebagai warga negara, baik hak-hak politik,

    ekonomi, maupun hak mendapat jaminan sosial dan hukum. Kedua, menyangkut

    bagaimanakah penilaian dan apresiasi masyarakat terhadap pemerintah. Jika

    mereka memandang pemerintah tidak dapat dipengaruhi dalam proses

    pengambilan keputusan politik, maka bagi mereka berpartisipasi secara aktif

    adalah hal yang sia-sia.8

    Sejarah politik Indonesia mencatat krisis partisipasi pada prinsipnya

    disebabkan oleh beberapa hal. Pertama, adanya logika formal yang menyatakan

    bahwa infrastruktur politik dibentuk tanpa melibatkan keikutsertaan rakyat,

    sehingga setiap kebijakan yang diambil oleh suprastruktur politik dirasakan

    kurang ada ikatan batin dengan sebagian rakyat. Kedua, setiap keputusan

    suprastruktur politik harus mengikat dan dipaksakan (enforcement). Hal itu karena

    adanya pengotakan dan aliran sempit (primordial, kesukuan, aliran agama

    tertentu, dan sebagainya) yang tidak mendapatkan respon wajar dari rakyat.

    Ketiga, apatis yang tumbuh dan seringkali disusul dengan manifestasi ekstern

    berupa separatisme dan demokrasi. Keempat, adanya volume tuntutan yang tidak

    mendapatkan wadah yang cukup dalam suprastruktur politik, sehingga banyak

    persoalan pembangunan untuk mengembangkan masyarakat menjadi terganggu.9

    Terdapat kelompok masyarakat yang memang non-partisipan, di mana

    ideologi dan tujuan politik mereka tidak dikaitkan kepada suatu partai politik

    tertentu. Mereka „menunggu‟ sampai ada suatu partai politik yang bisa

    menawarkan program kerja yang terbaik menurut mereka, sehingga partai

    7Sudijono Sastroatmodjo, Perilaku Politik, h., 91.

    8 Sudijono Sastroatmodjo, Perilaku Politik, h., 93.

    9 Meriam Budiarjo, Partisipasi dan Partai Politik, (Jakarta: Gramedia, 1982), h., 15.

  • 5

    tersebutlah yang akan mereka pilih. Otonomi pemilih menjadi sesuatu yang

    signifikan. Oleh karena itu, kembali kepada pandangan, pemikiran, dan perasaan

    (motivatif) masyarakat itu sendiri.10

    Berkenaan dengan uraian di atas, bahwa pandangan atau ideologi suatu

    kelompok juga sangat berpengaruh terhadap keberlangsungan demokrasi di

    Indonesia. Hal ini tentu bukan argumentasi baru bahkan salah satu fakta yang

    menarik adalah, Indonesia sebagai negara mayoritas penduduk Muslim pun tidak

    mutlak menjadikan Indonesia sebagai negara yang bersatu dan menjalankan

    negara dengan satu asas berlandaskan Islam. Selalu ada perbedaan yang mewarnai

    kehidupan bernegara dewasa ini, salah satu yang menjadi sorotan adalah paham

    Salafi Wahabi.

    Gerakan Wahabi atau sering dikenal dengan gerakan Salafi merupakan

    sebuah gerakan yang berbasis di Arab Saudi, lahir dan berkembang di sana sejak

    abad 18. Ciri khas dari pemikiran ini adalah mengajak untuk kembali kepada

    Islam yang sesuai dengan al-Salaf al-Shalih, Alquran, Sunnah Nabi, para Sahabat

    dan ajaran Ulama-ulama besar terdahulu.11

    Menurut paham Salafi, kita wajib

    kembali kepada Islam yang dipandang murni, sederhana, dan lurus yang diyakini

    dapat sepenuhnya kembali dengan mengimplementasikan perintah dan contoh

    nabi secara literal, dan dengan secara ketat menaati praktik.12

    Pengaruh pemikiran Salafi secara masif masuk ke Indonesia melalui peran

    Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) yang didirikan oleh Muhammad

    Natsir. Melalui dukungan dana dari Arab Saudi, lembaga ini banyak mengirimkan

    mahasiswa ke Timur Tengah untuk belajar Islam. Melalui dukungan dari Arab

    Saudi pula, DDII mendirikan Lembaga Ilmu Pengetahuan Islam dan Arab (LIPIA)

    tahun 1981 yang kurikulumnya mengikuti Universitas al-Imam Muhammad bin

    10

    Joan Nelson dan Samuel P. Huntington, Partisipasi Politik di Negara Berkembang,

    (Jakarta: Rineka Cipta), h., 25. 11

    Hasbi Aswar, “Politik Luar Negeri Arab Saudi Dan Ajaran Salafi-Wahabi di

    Indonesia”, Journal Of Islamic Studies And International Relations, I (Agustus, 2016), h., 16. 12

    Khaled Abou El Fadl, Sejarah Wahabi dan Salafi, (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta,

    2015) h., 15.

  • 6

    Suud al-Islamiyyah di Riyadh. Dari LIPIA inilah lahir kader-kader dakwah Salafi

    di Indonesia serta menjadi sarana diseminasi pemikiran Salafi melalui kitab-kitab

    yang dicetak serta dibagikan gratis oleh lembaga ini. Melalui LIPIA pula banyak

    mahasiswa yang setiap tahun dikirim ke Arab Saudi untuk belajar Islam.13

    Dalam penelitian penulis sebelumnya, yakni penelitian terhadap Lembaga

    Dakwah Rodja yang beralamat di Cileungsi, Kabupaten Bogor, Jawa Barat,

    terdapat satu fakta menarik dari hasil penelitian tersebut yang penting untuk

    dikaji lebih lanjut. Pada penelitian tersebut kami menemukan jawaban riset bahwa

    Lembaga Dakwah Rodja merupakan salah satu Lembaga Dakwah Islam berpaham

    Salafi sebagai ideologi dakwah mereka. Kebanyakan tokoh berpengaruh maupun

    ustadz dan jamaah secara tegas menentang sistem demokrasi di Indonesia. Hal ini

    kemudian penting untuk dikaji bersama sehingga afiliasi Ideologi terhadap

    partisipasi politik masyarakat dapat diukur.

    B. Identifikasi, Pembatasan dan Perumusan Masalah

    1. Identifikasi Masalah

    Adapun identifikasi masalah yang penulis dapatkan dalam penelitian

    ini antara lain:

    a. Adanya ideologi yang diikuti Lembaga Dakwah Rodja yang

    bersebrangan dengan Demokrasi Pancasila.

    b. Materi Lembaga Dakwah Rodja rentan dapat mempengaruhi jamaah

    untuk tidak berpartisipasi politik pada Pilkada Jawa Barat 2018.

    c. Afiliasi antara ideologi Lembaga Dakwah Rodja dan Partisipasi Politik

    jamaah pada Pemilihan Umum Kepala Daerah.

    2. Pembatasan Masalah

    Berdasarkan latar belakang permasalahan di atas, masalah ini hanya

    dibatasi pada jamaah Lembaga Dakwah Rodja yang berada di Cileungsi dan

    13

    Abdurrahman Wahid, Ilusi Negara Islam: Ekspansi Gerakan Islam Transnasional di

    Indonesia, (Jakarta: The Wahid Institute, 2009), h., 78.

  • 7

    penduduk yang bertempat tinggal di sekitar Lembaga Dakwah Rodja

    mengenai partisipasi politik jamaah Rodja yaitu menggunakan hak pilihnya

    pada Pilkada Jawa Barat 2018.

    3. Rumusan Masalah

    Berdasarkan latar belakang yang sudah penulis uraikan diatas, maka

    dapat disimpulkan rumusan masalah yang akan penulis kaji dalam penelitian

    ini:

    a. Bagaimana partisipasi jamaah Lembaga Dakwah Rodja dalam memilih

    Kepala Daerah pada Pilkada Jawa Barat 2018?

    b. Bagaimana bentuk mobilisasi jamaah Lembaga Dakwah Rodja terhadap

    sesama jamaah atau di luarnya dalam memilih Kepala Daerah pada

    Pilkada Jawa Barat 2018?

    C. Tujuan Dan Manfaat Penelitian

    1. Tujuan Penelitian

    Dalam penelitian ini penulis memiliki tujuan, diantaranya:

    a. Mengetahui partisipasi politik jamaah Lembaga Dakwah Rodja dalam

    memilih Kepala Daerah pada Pilkada Jawa Barat 2018.

    b. Mengetahui bentuk mobilisasi jamaah Lembaga Dakwah Rodja terhadap

    sesama jamaah atau di luarnya untuk memilih Kepala Daerah pada

    Pilkada Jawa Barat 2018.

    2. Manfaat Penelitian

    Adapun manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut:

    a. Secara akademik, penelitian ini memberikan wawasan kepada penulis

    mengenai pandangan politik dan partisipasi politik Jamaah Lembaga

    Dakwah Rodja yang menganut aliran Salafi pada sistem Demokrasi ini.

    b. Secara teoritis, penelitian ini akan menambah inventarisasi kekayaan

    intelektual di lingkungan akademik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

    umumnya serta Fakultas Syariah dan Hukum khususnya melalui

  • 8

    penelitian penulis mengenai partisipasi politik jamaah Rodja pada

    Pilkada Jawa Barat 2018.

    c. Secara praktis, penelitian ini memberikan informasi mengenai afiliasi

    politik Lembaga Dakwah Rodja terkhusus pada Pilkada Jawa Barat 2018.

    D. Review Studi Terdahulu

    Dalam rangka mendukung penelitian ini, peneliti telah berusaha

    melakukan penelusuran terhadap berbagai karya-karya ilmiah baik berupa buku,

    jurnal dan sebagainya yang mempunyai relevansi dengan penelitian ini. Adapun

    hasil penelusuran yang peneliti dapatkan, antara lain:

    Ayang Utriza Yakin, Salafi Dakwah And The Dissemination Of Islamic

    Puritanism In Indonesia: A Case Study Of The Radio Rodja, dalam Jurnal

    Ulumuna. Dalam Jurnal tersebut, fokus peneliti yaitu mengenai ajaran- ajaran

    Islam yang disampaikan oleh para penceramah atau dai Salafi di Radio Rodja,

    meskipun pendengar media dakwah Radio Rodja ini tidak hanya untuk penganut

    aliran Salafi namun Muslim pada umumnya, serta membahas pandangan hukum

    Islam yang disampaikan oleh penceramah di Radio Rodja tersebut.

    Muhammad Samih Rozin, Fatmawati, Manajemen Dakwah Program

    Kisah Menawan Sang Teladan Di Radio Rodja 75,6 AM Bogor, dalam Jurnal

    Darussalam: Jurnal Pendidikan, Komunikasi dan Pemikiran Hukum Islam. Dalam

    Jurnal tersebut, fokus pembahasan peneliti yaitu program- program yang diadakan

    oleh Radio Rodja dan Rodja TV, salah satunya program kisah menawan sang

    teladan sebagai program dakwah untuk anak-anak dan keluarga yang dibawakan

    oleh ustadz atau penceramah yang dikemas dengan bahasa menarik dan mudah di

    pahami.

    Rashada Diana, Partisipasi Politik Muslimah dalam Pandangan Yusuf

    Qardhawi, dalam Jurnal Tsaqafah. Dalam jurnal tersebut, fokus pembahasan

    peneliti mengenai peran yang bisa dilakukan Muslimah dalam ranah politik

    menurut pandangan Yusuf Qardhawi.

  • 9

    Adeni mahasiswa Konsentrasi Dakwah Dan Komunikasi Sekolah Pasca

    Sarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, yang berjudul Institusi Televisi

    Keislaman: Studi Atas Rodja TV Sebagai Media Islam Salafi. Pembahasan pada

    tesis tersebut mengenai pengaruh media dalam mengonstruksikan budaya-budaya

    Salafi di Indonesia melalui tayangan-tayangannya.

    Jaenal Abidin mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum, yang berjudul

    Islam Politik Dalam Realitas: Studi Partisipasi Politik Masyarakat Muslim

    Kecamatan Cikupa Kabupaten Tangerang. Pembahasan pada skripsi tersebut

    mengenai partispasi politik masyarakat Muslim dalam sistem demokrasi modern

    dan kaitannya dengan nilai- nilai islam.

    Dari paparan di atas, terlihat penelitian yang menyinggung mengenai

    partipasi politik Muslim pada sistem pemerintahan demokrasi, dan mengenai

    gerakan umat Islam terhadap kehidupan berpolitik. Namun yang menjadi

    pembeda penelitian ini dengan penelitian sebelumnya adalah penulis akan

    meneliti mengenai partispasi politik jamaah Lembaga Dakwah Rodja pada

    Pilkada Jawa Barat 2018 serta bagaimana jamaah Lembaga Dakwah Rodja dalam

    memobilisasi antar jamaah atau masyarakat lainnya pada Pilkada Jawa Barat

    2018.

    E. Metode Penelitian

    1. Jenis dan Pendekatan Penelitian

    Dalam penelitian ini, penulis menggunakan jenis penelitian kualitatif.

    Penelitian Kualitatif menggunakan data yang dinyatakan secara verbal dan

    kualifikasinya bersifat teoritis, data sebagai bukti dalam menguji kebenaran

    atau ketidakbenaran hipotesis, tidak diolah melalui perhitungan matematik

    dengan berbagai rumus statistika, dan pengolahan data dilakukan secara

    rasional dengan menggunakan pola berfikir tertentu menurut hukum logika.14

    Sesuai dengan pendapat Hadari Nawawi tersebut, data- data penelitian ini

    akan didapatkan oleh penulis melalui lisan maupun tulisan.

    14

    H. Handari Nawawi, Metode Penelitian Bidang Sosial, h., 35.

  • 10

    Kemudian, pendekatan yang penulis gunakan dalam penelitian ini

    ialah studi kasus. Pendekatan melalui studi kasus ini bertujuan untuk

    menemukan jawaban bagaimana partisipasi politik jamaah Rodja pada

    Pilkada Jawa Barat 2018.

    2. Sumber dan Teknik Pengumpulan Data

    Dalam penelitian ini sumber yang digunakan oleh penulis ialah

    sumber data primer dan sumber data sekunder. Sumber data primer

    didapatkan melalui wawancara langsung kepada jamaah Lembaga Dakwah

    Rodja. Adapun sumber data sekunder didapatkan melalui semua bahan yang

    memberikan penjelasan dari data primer berupa tulisan-tulisan baik dalam

    bentuk buku, jurnal, artikel ataupun informasi melalui internet.

    Teknik pengumpulan data yang digunakan oleh penulis ialah teknik

    komunikasi langsung kepada jamaah Lembaga Dakwah Rodja. Adapun untuk

    melengkapi penelitian ini, penulis juga menggunakan teknik dokumenter

    melalui sumber data sekunder yang berhubungan dengan penelitian ini.

    Teknik pengumpulan data melalui wawancara merupakan proses percakapan

    yang berbentuk tanya jawab dengan tatap muka, wawancara adalah proses

    pengumpulan data untuk suatu penelitian.15

    3. Teknik Analisa Data

    Dalam penelitian ini penulis menggunakan teknik analisisa data

    kualitatif, hasil data-data yang dilakukan dari proses wawancara maupun

    studi dokumenter tersebut kemudian hasilnya dikumpulkan untuk reduksi

    data, setelah itu display data. Pada akhirnya penulis dapat memperoleh

    kesimpulan dari sumber data tersebut.

    4. Teknik Penulisan

    Pada skripsi ini, penulis menggunakan teknik penulisan skripsi yang

    mengacu pada Pedoman Penulisan Skripsi Tahun 2017 Fakultas Syariah dan

    Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Buku ini

    15

    Moh.Nazir, Metode Penelitian, (Ghalia Indonesia: Jakarta, 2009, Cet. 7), h.,.194

  • 11

    diterbitkan oleh Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah

    Jakarta.

    F. Sistematika Pembahasan

    Untuk mendapatkan gambaran jelas mengenai materi yang menjadi pokok

    penulisan skripsi dan untuk memudahkan para pembaca dalam mempelajari tata

    urutan penulisan ini, maka penulis menyusun sistematika penulisan ini sebagai

    berikut

    BAB I Pendahuluan. Pada bab ini dibahas Latar Belakang, Identifikasi,

    Rumusan, dan Pembatasan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penelitian, Review

    Studi Terdahulu, Metode Penelitian, serta Sistematika Pembahasan.

    BAB II Landasan Teori. Pada bab ini dijelaskan mengenai Pengertian

    Partisipasi Politik, Politik Ulama dan Pilkada.

    BAB III Dakwah Rodja. Pada bab ini dijelaskan mengenai Paham Salafi,

    Profil Lembaga Dakwah Rodja, Pandangan Jamaah Lembaga Dakwah Rodja

    Terhadap sistem Demokrasi di Indonesia, dan Partisipasi Politik Jamaah

    Lembaga Dakwah Rodja Pada Pilkada Jawa Barat 2018.

    BAB IV Analisis Pandangan Politik Jamaah Rodja Pada Pilkada Jawa

    Barat 2018. Pada bab ini dijelaskan mengenai Respon Jamaah Lembaga Dakwah

    Rodja terhadap sistem Demokrasi dan Afiliasi Antara Ideologi dan Partisipasi

    Politik Jamaah Lembaga Dakwah Rodja Pada Pilkada Jawa Barat 2018.

    BAB V Penutup. Pada bab ini dirumuskan kesimpulan sebagai jawaban

    dari rumusan masalah pada bab I dan diakhiri dengan saran sebagai masukan

    penelitian ini.

  • 12

    BAB II

    TEORI PARTISIPASI POLITIK, POLITIK ULAMA DAN PILKADA

    A. Teori Partisipasi Politik

    1. Pengertian Partisipasi Politik

    Dalam negara demokrasi yang menjunjung tinggi nilai-nilai

    kebebasan dan hak asasi manusia, partisipasi politik merupakan aspek

    yang sangat penting dan menandakan modernisasi politik. Dikatakan oleh

    Huntington dan Nelson dalam bukunya yang berjudul Partisipasi Politik di

    Negara Berkembang, bahwa partisipasi politik ialah sebagai kegiatan

    warga negara preman (private citizen) yang bertujuan memengaruhi

    pengambilan keputusan oleh pemerintah.1

    Adapun pengertian lain dari Meriam Budiarjo yang berpendapat,

    bahwa partisipasi politik merupakan kegiatan seseorang atau kelompok

    orang untuk ikut serta secara aktif dalam kehidupan politik yaitu dengan

    jalan memilih pemimpin negara secara langsung atau tidak langsung

    memengaruhi kebijaksanaan pemerintah (public policy).2

    Ramlan Subakti mengatakan bahwa partisipasi politik tindakan-

    tindakan yang berusaha memengaruhi kebijaksanaan pemerintah, terlepas

    apakah itu legal atau tidak. Protes-protes, demonstrasi, kekerasan bahkan

    bentuk kekerasan pemberontakan untuk memengaruhi kebijakan

    pemerintah dapat disebut juga partisipasi politik. Dalam hal itu partisipasi

    politik ialah keterlibatan warga negara biasa dalam menentukan segala

    keputusan yang menyangkut atau memengaruhi hidupnya.3

    2. Bentuk- Bentuk Partisipasi Politik

    Partisipasi politik sebagai suatu kegiatan, dapat dibedakan menjadi

    partisipasi politik aktif dan partisipasi politik pasif.

    1 Samuel P. Huntington dan Joan M. Nelson, Partisipasi Politik di Negara Berkembang,

    (Jakarta: Rineka Cipta, 1994), h., 6.

    2 Meriam Budiarjo, Partisipasi dan Partai Politik, (Jakarta: Gramedia, 1982), h., 1.

    3 Ramlan Surbakti, Memahami Ilmu Politik, (Jakarta: Gramedia, 1992), h., 140.

  • 13

    Partisipasi politik aktif mencakupi kegiatan warga negara

    mengajukan usul mengenai suatu kebijakan umum, mengajukan alternatif

    kebijakan umum yang berbeda dengan kebijakan pemerintah,

    mengajukan kritik dan saran perbaikan untuk meluruskan kebijaksanaan,

    membayar pajak, dan ikut serta dalam kegiatan pemilihan pimpinan

    pemerintahan. Partisipasi politik pasif mencakup kegiatan menaati

    peraturan atau perintah, menerima dan melaksanakan begitu saja setiap

    keputusan pemerintah.4

    Dari pendapat Surbakti mengenai bentuk partisipasi politik, dapat

    dikatakan bahwa terdapat dua golongan masyarakat, yakni partisipasi

    politik aktif yang mengikuti proses pembuatan sampai hasil dari politik

    itu, dan partisipasi politik pasif yang hanya menerima hasil dari politik

    itu saja.

    Samuel P. Huntington dan Joan Nelson membagi bentuk- bentuk

    partisipasi politik menjadi lima bentuk, diantaranya:5 pertama, kegiatan

    pemilihan, yaitu kegiatan pemberian suara dalam pemilihan umum,

    mencari dana partai, menjadi tim sukses, mencari dukungan bagi calon

    legislatif atau eksekutif, atau tindakan lain yang berusaha memengaruhi

    hasil pemilu. Kedua, lobi yaitu upaya perseorangan atau kelompok

    menghubungi pimpinan politik dengan maksud memengaruhi keputusan

    mereka tentang suatu isu. Ketiga, kegiatan organisasi yaitu partisipasi

    individu ke dalam organisasi, baik selaku anggota maupun pimpinannya,

    untuk memengaruhi pengambilan keputusan oleh pemerintah. Keempat,

    Contacting yaitu individu atau kelompk dalam membangun jaringan

    dengan pejabat pemerintah untuk memengaruhi keputusan mereka.

    Kelima, tindakan kekerasan (violence) yaitu tindakan individu atau

    kelompok untuk memengaruhi keputusan pemerintah dengan cara

    4 Ramlan Surbakti, Memahami Ilmu Politik, h., 142.

    5 Muslim Mufti dan Ahmad Syamsir, Pembangunan Politik, (Bandung: Pustaka Setia,

    2016, Cet. Pertama), h., 21.

  • 14

    menciptakan kerugian fisik manusia atau harta benda, termasuk huru-

    hara, teror, kudeta, pembunuhan politik (assassination), revolusi, dan

    pemberontakan.

    Milbrath dan Goel mengelompokkan partispasi politik menjadi

    empat kelompok, yaitu kelompok apatis, kelompok spektator, kelompok

    gladiator, dan kelompok pengkritik.6 Patisipasi politik kelompok apatis,

    sekumpulan orang yang menarik diri dari proses politik. Apatis dalam

    Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai acuh tak acuh; tidak

    peduli; kita tidak boleh bersikap terhadap usaha pembangunan

    pemerintah. Ciri-ciri kelompok apatis diantaranya ketidakmampuan

    untuk mengakui tanggungjawab pribadi, untuk menyelidiki, atau untuk

    menerima emosi dan perasaan sendiri, yaitu perasaan samar-samar dan

    tak dapat dipahami, rasa susah, tidak aman dan merasa terancam,

    menerima secara mutlak tanpa tantangan otoritas nilai-nilai

    konvensional, membentuk suatu pola yang cocok dengan diri sendiri,

    yang dalam situasi klinis disebut kepasifan.7

    Partisipasi politik kelompok spektator, sekumpulan orang yang

    setidaknya pernah ikut dalam pemilihan umum. Spektator dalam Kamus

    Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai penonton. Partisipasi politik

    kelompok gladiator, sekumpulan orang yang secara aktif terlibat dalam

    proses politik, yakni sebagai komunikator dengan tugas khusus

    mengadakan kontak tatap muka, aktivis partai dan pekerja kampanye,

    serta aktivis masyarakat. Gladiator dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia

    diartikan sebagai orang yang membuat upah, biasanya tawanan atau

    budak-budak, dengan berkelahi di depan penonton atau di arena.

    6 Samuel P. Huntington dan Joan M. Nelson, Partisipasi Politik di Negara Berkembang,

    h., 43.

    7 Samuel P. Huntington dan Joan M. Nelson, Partisipasi Politik di Negara Berkembang,

    h., 43.

  • 15

    Partisipasi politik kelompok pengkritik, sekumpulan orang yang

    berpartisipasi dalam bentuk yang tidak konvensional.8

    Thomas M. Magstadt menyebutkan bahwa bentuk-bentuk

    partisipasi politik, yaitu:9 opini publik, gagasan dan pandangan yang

    diekspresikan oleh para pembayar pajak dan konstituen Pemilu. Opini

    publik yang kuat dapat mendorong para legislator ataupun eksekutif

    politik untuk mengubah pandangannya terhadap suatu isu. Polling, upaya

    pengukuran opini publik dan memengaruhinya. Melalui polling,

    partisipasi politik pada warga negara menemui manifestasinya. Dalam

    polling terdapat beragam konsep, yaitu straw polls, random sampling,

    stratified sampling, eit polling, dan tracking polls.

    Rosenberg mengungkapkan terdapat tiga alasan adanya partisipasi

    politik, di antaranya:10

    Alasan pertama, bahwa individu memandang

    aktivitas politik merupakan ancaman terhadap beberapa aspek

    kehidupannya. Ia beranggapan bahwa mengikuti kegiatan politik dapat

    merusak hubungan sosial dengan lawannya dan dengan pekerjaannya

    karena kedekatannya dengan partai-partai politik tertentu. Anggapan lain

    bahwa aktivitas politiknya dapat merusak kehormatan dirinya dengan

    jalan mengungkapkan kebodohan sendiri, ketidakseimbangan dan

    ketidakmampuan. Untuk itu ketidakaktifan lebih cocok daripada

    keaktifan.

    Alasan kedua, bahwa individu memandang aktivitas politik

    merupakan kegiatan yang sia-sia belaka. Individu-individu beranggapan

    bahwa ia tidak akan mungkin dapat mengubah keadaan dan melakukan

    8 Samuel P. Huntington dan Joan M. Nelson, Partisipasi Politik di Negara Berkembang,

    h., 43.

    9 Muslim Mufti dan Ahmad Syamsir, Pembangunan Politik, h., 22.

    10

    Samuel P. Huntington dan Joan M. Nelson, Partisipasi Politik di Negara Berkembang, h., 46.

  • 16

    kontrol politik. Dalam pandangan individu terdapat jarak yang dalam

    antara cita-cita dan realitasnya yang tak ada seorang pun yang dapat

    menjembataninya.

    Alasan ketiga, bahwa individu beranggapan ketidakadaan pesaing

    politik. Hal itu didasarkan atas pemikiran bahwa buah pikiran politik itu

    tidak menarik baginya dan menganggap bahwa politik hanyalah

    memberikan kepuasaan sedikit dan tak langsung. Dengan kata lain,

    partisipasi politik baginya bukanlah hal yang layak untuk memenuhi

    kebutuhan pribadinya.

    Bentuk-bentuk partisipasi politik berdasarkan kehidupan

    statifikasi sosial menurut Goel dan Olsen, terbagi menjadi enam lapisan,

    yaitu pemimpin politik, aktivitas politik, komunikator (orang yang

    menerima dan menyampaikan ide-ide, sikap, dan informasi politik

    lainnya pada orang lain), warga negara marginal (orang yang sedikit

    melakukan kontak dengan sistem politik), dan orang-orang yang

    terisolasi (orang yang jarang melakukan partisipasi politik).11

    Bentuk- bentuk partisipasi politik berdasarkan jumlah pelakunya

    dikategorikan menjadi dua, yaitu partisipasi Individual dan Partisipasi

    Kolektif.12

    Partispasi Individual berwujud kegiatan seperti menulis surat

    yang berisi tuntutan atau keluhan kepada pemerintah. Partisipasi Kolektif

    ialah kegiatan warga negara secara serentak dimaksudkan untuk

    mempengaruhi penguasa seperti kegiatan dalam pemilihan umum.

    3. Faktor-Faktor Partisipasi Politik

    Perubahan sosial dalam masyarakat dapat memengaruhi

    partisipasi politik. Meningkatnya partisipasi politik dipengaruhi oleh

    beberapa hal, salah satunya oleh Wimer yang menyebutkan paling tidak

    11

    Sudijono Sastroatmodjo, Perilaku Politik, (Semarang: IKIP Semarang Press, 1995), h.,

    77.

    12

    Sudijono Sastroatmodjo, Perilaku Politik, h., 77.

  • 17

    terdapat lima faktor.13

    Faktor pertama, modernisasi. Modernisasi di

    semua bidang berimplikasi pada komersialisasi pertanian, industrialisasi,

    meningkatnya arus urbanisasi, peningkatan kemampuan baca tulis,

    perbaikan pendidikan dan pengembangan media massa serta media

    komunikasi secara lebih luas. Kemajuan itu berakibat pada partisipasi

    warga untuk ikut serta memengaruhi kebijakan dan menuntut

    keikutsertaan dalam kekuasaan politik sebagai bentuk kesadarannya

    bahwa mereka pun dapat memengaruhi nasibnya sendiri.

    Faktor kedua, terjadinya perubahan struktur kelas sosial.

    Perubahan struktur kelas itu sebagai akibat dari terbentuknya kelas

    mengengah dan pekerja baru yang makin luas dalam era industrialisasi

    dan modernisasi. Dari hal itu muncul persoalan yaitu siapa yang berhak

    ikut serta dalam pembuatan keputusan politik yang akhirnya membawa

    perubahan dalam pola partisipasi politik.14

    Faktor ketiga, pengaruh kaum intelektual dan meningkatnya

    komunitas media massa. Ide-ide baru seperti nasionalisme, liberalisme,

    dan egaliterisme membangkitkan tuntuntan untuk berpartisipasi dalam

    pengambilan keputusan. Hal itu berimplikasi pada tuntutan rakyat dalam

    ikut serta menentukan dan memengaruhi kebijakan pemerintah.15

    Faktor keempat, konflik di antara pemimpin politik. Pemimpin

    politik yang bersaing merebutkan kekuasaan untuk mencapai

    kemenangan dilakukan dengan cara mencari dukungan massa. Dalam

    konteks ini mereka beranggapan adalah sah apabila yang mereka lakukan

    demi kepentingan rakyat dan dalam upaya memperjuangkan ide-ide

    partisipasi massa. Implikasinya adalah munculnya tuntutan terhadap

    13

    Mochtar Mas‟oed dan Colin Mac. Andrew, Perbandingan Sistem Politik, (Yogyakarta:

    Gajah Mada University Press, 2008), h., 42-43.

    14

    Mochtar Mas‟oed dan Colin Mac. Andrew, Perbandingan Sistem Politik, h., 42-43.

    15

    Mochtar Mas‟oed dan Colin Mac. Andrew, Perbandingan Sistem Politik, h., 42-43.

  • 18

    rakyat, baik hak asasi manusia, keterbukaan, demokratisasi, maupun isu-

    isu kebebasan pers.16

    Faktor kelima, keterlibatan pemerintah yang semakin luas dalam

    urusan sosial, ekonomi, dan kebudayaan. Meluasnya ruang lingkup

    aktivitas pemerintah ini seringkali merangsang tumbuhnya tuntutan-

    tuntutan yang terorganisasi untuk ikut serta dalam memengaruhi

    pembuatan keputusan politik.17

    Surbakti menyatakan dua variabel penting yang memengaruhi

    tinggi-rendahnya partisipasi politik seseorang, yakni kesadaran politik

    seseorang dan kepercayaan politik terhadap pemerintah.18

    Aspek politik

    kesadaran seseorang meliputi kesadaran terhadap hak dan kewajibannya

    sebagai warga negara baik hak-hak politik, hak ekonomi maupun hak-

    hak mendapat jaminan sosial dan hukum. Kesadaran warga negara

    terhadap kewajibannya dalam sistem politik, kehidupan sosial dan

    kewajiban lain ikut memberikan pengaruh terhadap tinggi-rendahnya

    seseorang dalam politik.

    Adapun tokoh lain, Milbrath memberikan empat alasan

    bervariasinya partisipasi politik seseorang. Pertama, berkenaan dengan

    penerimaan perangsang politik. Menurut Milbrath keterbukaan dan

    kepekaan seseorang terhadap perangsang politik melalui kontak-kontak

    pribadi, organisasi dan melalui media massa akan memberikan pengaruh

    bagi keikutsertaan seseorang dalam kegiatan politik.19

    Kedua, pengetahuan, sikap, nilai-nilai dan pengalaman seseorang

    juga faktor yang memengaruhi partisipasi politik. Seorang individu akan

    16

    Mochtar Mas‟oed dan Colin Mac. Andrew, Perbandingan Sistem Politik, h., 42-43.

    17

    Mochtar Mas‟oed dan Colin Mac. Andrew, Perbandingan Sistem Politik, h., 42-43.

    18

    Sudijono Sastroatmodjo, Perilaku Politik, h., 91.

    19

    Sudijono Sastroatmodjo, Perilaku Politik, h., 92-92.

  • 19

    merasa mampu memecahkan permasalahan politik yang ada, apabila ia

    cukup memiliki informasi dan bahan-bahan mengenai permasalahan

    tersebut yang diperolehnya dari perangsang politik yang diterimanya.

    Sebaliknya orang yang merasa tidak memiliki informasi tentang

    permasalahan tersebut akan cenderung memilih diam dan merasa tidak

    memiliki kemampuan untuk menyumbangkan pemikiran dalam

    mengatasi masalah politik itu.

    Ketiga, status ekonomi, karakter suku, usia, jenis kelamin, dan

    keyakinan faktor sosial tersebut juga dapat memengaruhi partisipasi

    politik seseorang. Faktor-faktor sosial tersebut itulah yang memiliki

    pengaruh yang relatif cukup besar terhadap partisipasinya.20

    Keempat, sifat dan sistem partai tempat seorang individu itu

    hidup merupakan faktor yang memengaruhi partisipasi politik. Hal itu

    menyangkut sistem politik dan sistem kepartaian yang terdapat

    dilingkungan politiknya. Seseorang yang hidup dalam negara-negara

    demokratis partai-partai politiknya cenderung mencari dukungan massa

    dan memperjuangkan kepentingan massa.

    Kelima, perbedaan regional yang dapat memengaruhi partisipasi

    politik. Perbedaan regional ini merupakan aspek lingkungan yang

    berpengaruh terhadap perbedaan watak dan tingkah laku individu.

    Dengan perubahan regional yang dapat mendorong perbedaan perilaku

    politik dan partisipasi politik seseorang.

    Dinamika partisipasi politik di Indonesia dipengaruhi oleh kondisi

    politik, sistem politik, struktur politik, dan kematangan perilaku politik

    rakyat yang menjadi bagian penting dari bentuk partisipasi politik. Pada

    masa demokrasi konstitusional dan demokrasi liberal, partisipasi politik

    masyarakat di Indonesia sangat tinggi. Partisipasi politik itu tidak muncul

    dengan sendirinya, ada faktor- faktor yang memengaruhinya. Terdapat

    20

    Sudijono Sastroatmodjo, Perilaku Politik, h., 92-92.

  • 20

    lima faktor yang mendorong partisipasi politik masyarakat di Indonesia,

    diantaranya kebebasan berkompetisi di segala bidang, adanya kenyataan

    berpolitik secara luas dan terbuka, adanya keleluasaan untuk

    mengorganisasi diri sehingga organisasi masyarakat dan partai dapat

    aktif, adanya penyebaran sumber daya politik di kalangan masyarakat

    yang berupa kekayaan dalam masyarakat, dan adanya distribusi

    kekuasaan di kalangan masyarakat sehingga tercipta suatu perimbangan

    kekuatan.21

    Partsipasi politik masyarakat masa itu tumbuh sebagai refleksi

    atas sistem politik yang ada. Sistem demokrasi liberal membuka

    kemungkinan yang sangat besar dan bebas bagi terjadinya persaingan

    bebas dalam seluruh aspek kehidupan, termasuk dalam bidang politik.

    Masyarakat merupakan elemen yang reaktif terhadap setiap perubahan

    keadaan sosial-politik yang terjadi. Adanya kebebasan berpolitik yang

    luas dan terbuka memungkinkan munculnya banyak partai politik yang

    menyuarakan kepentingan kelompok masyarakat dan tidak menutup

    kemungkinan menyuarakan kepentingan pribadinya. Sistem multipartai

    yang ada menandakan dinamika politik masyarakat, namun dilain sisi

    karena relatif belum dewasanya kesadaran politik rakyat dan sistem

    politik, maka menyebabkan instabilitas politik.22

    Pada masa demokrasi terpimpin faktor-faktor yang ada

    sebelumnya hampir tidak dapat ditemukan, hal itu nampak sekali pada

    praktek-praktek politiknya.23

    Hal ini dipengaruhi adanya kepemimpinan

    yang bermaksud mengarahkan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan

    bernegara bagi seluruh rakyat Indonesia. Situasi pada masa demokrasi

    21

    Kartini Kartono, Pemimpin dan Kepemimpinan, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006), h., 55.

    22

    Kartini Kartono, Pemimpin dan Kepemimpinan, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,

    2006), h., 56.

    23

    Kartini Kartono, Pemimpin dan Kepemimpinan, h., 59.

  • 21

    terpimpin mendorong kearah monopoli dan sentralisasi kekuasaan

    sehingga distribusi kekuasaan tidak merata pada seluruh masyarakat.

    Sistem politik yang terjadi pada saat itu memungkinkan bagi kedua belah

    pihak yakni, orang-orang yang segaris untuk terus berkembang dalam

    sistem politik, sedangkan orang-orang yang tidak segaris menjadi tersisih

    dalam sistem itu. Dikarenakan hal tersebut, pada masa ini partisipasi

    politik masyarakat di Indonesia sangat rendah.

    Munculnya masa orde yang membangun sistem politik dan

    tatanan kelembagaan secara konstitusional berdasarkan pancasila dan

    UUD 1945, memiliki pengaruh terhadap partisipasi politik rakyat.

    Pembangunan nasional yang dibentukpun di hadapkan pada pencapaian

    suatu pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi dengan tuntutan

    pemerataan yang seimbang. Upaya meningkatkan partisipasi masyarakat

    dalam pembangunan nampak di perbesar seperti dalam program keluarga

    berencana, program transmigrasi, proses pemberantasan buta huruf,

    proyek pengetasan kemiskinan, dan lain- lain. Semua itu hanya dapat

    tercapai dengan sarana meningkatkan partisipasi aktif masyarakat.

    B. Politik Ulama

    Dalam sejarahnya, komunitas epistemik Islam berusaha sekuat

    tenaga untuk mengadopsi aparatus, metode-metode, dan kurikulum

    pendidikan modern sebagai sarana untuk merevitalisasi ajaran-ajaran dan

    daya tahan Islam. Upaya ini lalu melahirkan apa yang disebut sebagai sistem

    pendidikan madrasah di mana aparatus dan metode-metode modern

    diperkenalkan dan mata pelajaran agama diajarkan secara berdampingan

    dengan mata pelajaran sekular. Hal inilah melahirkan sejenis “inteligensia

    klerikus” yang dikenal dengan sebutan Ulama-Intelek „ulama yang melek

    pengetahuan modern‟.24

    24

    Yudi Latif, Menjadi Indonesia: 13 Abad Eksistensi Islam di Bumi Nusantara, (Jakarta:

    Mizan, 2006, Cet. Pertama), h., 544.

  • 22

    Penetapan Pancasila sebagai satu-satunya asas bermasyarakat,

    berbangsa, dan bernegara jelas mempunyai arti fundamental bagi

    kemantapan kehidupan demokrasi di Indonesia, yang salah satunya manifes

    dalam kerukunan hidup antar pemeluk agama. Sistem demokrasi ini

    bertujuan untuk menyamakan derajat dan kedudukan warga negara di muka

    Undang-Undang, dengan tidak memandang asal usul, agama, jenis kelamin,

    dan bahasa ibu. Sedangkan tiap agama tentu lebih cenderung untuk mencari

    perbedaan atas dasar hal tersebut, minimal perbedaan agama dan

    keyakinan.25

    Semua agama mengajarkan nilai persamaan, keadilan, kedaulatan

    individu, dan sebagainya. Agama pun memiliki penafsiran-penafsiran untuk

    memperjelas rumusan-rumusan normatif dari nilai-nilai yang didapatnya.

    Secara sosiologis, semua agama dapat mendorong demokratisasi, namun

    karena kepentingan eksistensialnya agama dapat pula mendorong

    otoritarianisme, bahkan pada tingkat-tingkat tertentu agama bersedia

    menjual diri bekerja sama dengan kekuatan-kekuatan anti demokrasi dan

    otoritarian.26

    Setiap Muslim yang sadar benar bahwa ia adalah anggota ummat itu

    sendiri, identitasnya sebagai Muslim banyak ditentukan keterikatan

    spiritualnya dengan persaudaraan universal. Secara teori, ummat ini percaya

    bahwa ajaran Islam itu meliputi seluruh dimensi kemanusiaan. Dengan

    demikian, apa yang disebut masalah sekuler dimata seorang Muslim tidak

    dapat dilepaskan dari persoalan imannya. Untuk itu, cita-cita kekuasaan

    (politik) menyatu dengan wawasan moral sebagai pancaran dari iman

    25

    Hairus Salim HS, ICMI Negara dan Demokratisasi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,

    1995, Cet. Pertama), h., 11.

    26

    Hairus Salim HS, ICMI Negara dan Demokratisasi, h., 12.

  • 23

    seorang Muslim. Dengan demikian, politik tidak dapat dipisahkan dari

    ajaran etik yang bersumber dari wahyu.27

    Dalam konteks Islam Indonesia, sumbangan para cendikiawan

    terutama pada rumusan tentang hubungan “agama” dan “negara”, tentang

    “ideologi” dan tentang “hubungan agama-agama” dalam proses bernegara

    dan bangsa. Berbeda dengan para pemimpin dan cendikiawan Muslim

    sebelumnya yang mencitakan berdirinya “negara Islam” dengan Islam

    sebagai ideologi alternatifnya, para cendikiawan neo-modernis ini menolak

    cita-cita itu. Bagi para cendikiawan, Islam tak pernah menganjurkan suatu

    negara Islam formal, yang ada hanyalah suatu tuntutan agar nilai-nilai dasar

    Islam diterapkan secara konsisten. Selain itu, Islam juga tidak memiliki

    suatu bentuk pemerintahan yang definitif, sehingga pemaksaan

    diterapkannya Islam sebagai tatanan tunggal penyelenggaraan negara secara

    konseptual tidak beralasan.28

    Menurut A. Syafii Maarif, ada dua kelompok besar ummat Islam

    Indonesia. Pertama, mereka yang dapat dimasukkan pada kategori ummat

    yang percaya kepada Islam sebagai suatu cara dan pandangan hidup yang

    lengkap dan sempurna. Bagi mereka tidak ada kegiatan hidup betapa pun

    kecilnya yang lepas dari sorotan imannya. Kedua, mereka yang

    dikategorikan ummat yang tidak menghiraukan parktek-praktek dan

    upacara-upacara keagamaan dan membatasi ini semua umumnya pada hal-

    hal yang berkaitan dengan tahap-tahap yang terpenting dalam kehidupan,

    atau golongan yang dikenal dengan sebutan nasionalis sekuler.29

    27

    A. Syafii Maarif, Islam dan Politik di Indonesia, (Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga

    Press, 1988, Cet. Pertama), h., 12.

    28

    Hairus Salim HS, ICMI Negara dan Demokratisasi, h., 13.

    29

    A. Syafii Maarif, Islam dan Politik di Indonesia, h., 13.

  • 24

    1. Sejarah Awal dan Aspirasi Politik Islam di Indonesia

    Profesor Johns dalam kutipan buku karangan Zamakhsyari

    Dhofier mengatakan bahwa, lembaga-lembaga pesantren yang paling

    menetukan watak keIslaman dari kerajaan-kerajaan Islam, dan yang

    memegang peranan paling penting bagi penyebaran Islam sampai ke

    pelosok-pelosok. Dari lembaga-lembaga pesantren itulah asal-usul

    sejumlah manuskrip tentang pengajaran Islam di Asia Tenggara yang

    tersedia secara terbatas dikumpulkan oleh pengembara-pengembara

    pertama dari perusahaan perusahaan dagang Belanda dan Inggris sejak

    akhir abad ke-16. Untuk dapat betul-betul memahami sejarah Islamisasi

    di wilayah ini, kita harus mulai mempelajari lembaga-lembaga pesantren

    tersebut, karena lembaga-lembaga inilah yang menjadi anak panah

    penyebaran Islam di wilayah ini.30

    Tujuan pendidikan yang diterapkan oleh pesantren tidak semata-

    mata hanya untuk memperkaya pengetahuan para santri dengan

    penjelasan yang diajarkan, namun lebih dari itu untuk meninggikan

    moral, mempertinggi semangat, menghargai nilai-nilai spiritual dan

    kemanusiaan, mengajarkan sikap, dan perilaku yang jujur. Dalam

    pesantren terdapat elemen-elemen yang sangat berpengaruh dalam

    perkembangannya yaitu pondok, masjid, pengajaran kitab- kitab islam

    klasik, santri, dan kyai.

    Pada masa penjajahan Belanda, penderitaan dan keresahan rakyat

    meluas. Oleh karena itu, para kyai ataupun ulama menghimpun rakyat

    dan menghubungi para pesantren. Setelah itu pada masa penjajahan

    Jepang, penderitaan dan keresahan rakyat lebih mendalam. Jepang

    mempunyai tujuan untuk menipponkan Indonesia, Jepang ingin

    menghilangkan kebangsaan Indonesia menjadi Nippon. Untuk

    mempercepat usaha itu segala cara ditempuh, diantaranya membersihkan

    kebudayaan Barat dan kebudayaan Islam diganti dengan kebudayaan

    30

    Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren: Studi Tentang Pandangan Hidup Kyai,

    (Jakarta: LP3ES, 1984, Cet. Tiga), h., 17-18.

  • 25

    Jepang, mengubah sistem pendidikan, membentuk barisan pemuda,

    memobilisasi pemimpin Islam, dan membentuk organisasi baru.31

    Kebanyakan kyai di Jawa beranggapan bahwa suatu pesantren

    dapat diibaratkan sebagai suatu kerajaan kecil, di mana kyai merupakan

    sumber mutlak dari kekuasaan dan kewenangan (power and authority).

    Meskipun kebanyakan kyai di Jawa tinggal di daerah pedesaan, mereka

    merupakan bagian kelompok elite dalam struktur sosial, politik, dan

    ekonomi masyarakat Jawa. Sebab sebagai suatu kelompok, para Kyai

    yang memiliki pengaruh yang amat kuat di masyarakat Jawa merupakan

    kekuatan penting dalam kehidupan politik Indonesia.32

    Dalam melaksanakan tugasnya sebagai pengajar dan penganjur

    Islam (preacher) dengan baik, mereka perlu memahami kehidupan

    politik. Para kyai yang memimpin pesantren besar telah berhasil

    memperluas pengaruh mereka di seluruh wilayah Indonesia, dan sebagai

    hasilnya para Kyai diterima sebagai bagian dari elite nasional. Sejak

    Indonesia merdeka banyak diantara mereka yang diangkat menjadi

    menteri, anggota parlemen, duta besar, dan pejabat- pejabat tinggi

    pemerintahan.

    2. Gerakan Islam di Indonesia

    Pada masa awal Islamisasi Nusantara, sultan dibantu oleh ulama

    yang menjadi penasihatnya menggunakan agama sebagai sarana untuk

    memperkuat diri dalam menghadapi pihak-pihak atau kerajaan yang

    bukan Islam, terutama yang mengancam kehidupan politik, ekonomi,

    (perdagangan), dan keagamaan.33

    Keterlibatan para ulama dalam politik hampir sama tuanya

    dengan sejarah peradaban Islam. Hal ini disebabkan Islam sebagai

    31

    Musyrifah Sunanto, Sejarah Peradaban Islam Indonesia, (Depok: Rajawali Pers, 2017,

    Cet. Enam), h., 36-39.

    32

    Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren: Studi Tentang Pandangan Hidup Kyai,

    (Jakarta: LP3ES, 1984, Cet. Tiga), h., 56.

    33

    Musyrifah Sunanto, Sejarah Peradaban Islam Indonesia, h., 28.

  • 26

    sebuah agama tidak hanya mengajarkan tata cara ibadah untuk

    kepentingan akhirat belaka, tetapi juga mengajarkan tata cara

    bermuamalah dan berinteraksi sosial dalam urusan dunia.

    Gerakan yang dilakukan oleh seseorang tentunya untuk

    mendapatkan tujuan yang diinginkan. Dalam Islam pun, terdapat

    berbagai macam gerakan-gerakan ummat yang dibentuk dan dilakukan.

    Tujuan gerakan islam yang dilakukan sebagai bentuk perjuangan untuk

    mewujudkan perubahan yang terjadi di masyarakat dengan metode

    meraih kekuasaan dan penerapan hukum-hukum Islam sebagai pengganti

    sistem-sistem yang sedang eksis saat ini. adapun tujuan lain berjuang

    melakukan perbaikan individu-individu, penyebaran ibadah dan

    keterikatan individual terhadap hukum-hukum Islam; tanpa bertujuan

    mengubah masyarakat sebagai suatu keseluruhan; juga tanpa beraktivitas

    mewujudkan perubahan mendasar di tengah-tengah masyarakat, yakni

    perubahan sistem dan perundang-undangan yang ditetapkan atas manusia

    saat ini.34

    Harakah dan jamaah dakwah Islam yang tegak di Dunia Islam

    pada saat ini, baik yang terdahulu maupun yang belakangan, banyak

    jumlahnya, dengan tujuan yang beragam.

    Di Indonesia sendiri, pasca orde baru mengakibatkan mendorong

    gerakan mobilisasi massa secara transparan di ruang publik karena

    kesempatan politik semakin terbuka. Pengaruh ini dapat dilihat dengan

    semakin menguatnya identitas dan gerakan kelompok keagamaan, dalam

    perkembangan gerakan sosial keagamaan tersebut terdapat tiga aspek

    yang menonjol, diantaranya orientasi politik, orientasi keagamaan yang

    kuat, dan orientasi kebangkitan kultur rakyat Indonesia.35

    Dalam hal gerakan keagamaan, dapat dibuktikan bahwa gerakan-

    gerakan keagamaan pernah ada di Indonesia khususnya di Jawa pada

    abad ke 19 dan ke 20. Berbagai macam pergolakan keagamaan pun

    34

    Abu Za‟rur, Seputar Gerakan Islam, (Bogor: Al Azhar Press, 2016, Cet. Lima), h., 117.

    35

    Alwi Shihab, Membendung Arus: Muhammadiyah dan Kritstenisasi, (Bandung: Mizan,

    2002), h., 94.

  • 27

    sering dijumpai berkaitan dengan perubahan sosial dengan hal-hal yang

    menyertainya, termasuk di dalamnya keresahan sosial, mobilitas, dan

    pertikaian. Gerakan Islam yang berkembang di Indonesia dapat di

    kategorikan ke dalam 4 golongan. Gerakan Islam Fundamentalis,

    kelompok yang menolak nilai-nilai demokrasi dan kultur barat, mereka

    menginginkan negara autoritarian dan murni untuk melaksanakan hukum

    dan nilai-nilai moral Islam, tetapi mau menggunakan teknologi modern

    untuk mencapai tujuan mereka. Gerakan Islam Traditionalis, kelompok

    yang menginginkan masyarakat konservatif, curiga terhadap modernitas,

    inovasi dan perubahan. Gerakan Islam Modernis, kelompok yang

    menginginkan agar dunia Islam menjadi bagian dari modernitas global,

    mereka ingin memordernisir Islam agar sejalan dengan zaman. Gerakan

    Islam Sekularis, kelompok yang menginginkan dunia Islam menerima

    pemisahan urusan agama dengan negara, sebagaimana yang terjadi pada

    demokrasi industri barat, di mana agama di posisikan sebagai urusan

    pribadi.36

    a. Gerakan Fundamentalis Islam

    Fundamentalisme Islam bukanlah wajah baru,

    sebagaimana gerakan Muhammad bin „Abdul Wahab dengan

    kaum wahabiyahnya bisa dikatakan sebagai gerakan

    fundamentalisme Islam pertama yang berdampak panjang dan

    luas. Gelombang gerakan ini berdampak luas terhadap gerakan

    pembaharuan Islam di dunia Islam seperti di India muncul nama

    Syekh Waliyullah dan Syekh Ahmad Syahid hingga gerakan-

    gerakan Padri yang dilancarkan Yuanku Nan Tuo dan murid-

    muridnya di Indonesia.37

    36

    Hamid Fahmy Zarkasyi, “Liberalisasi Pemikiran Islam: Gerakan Bersama Missionaris,

    Orientalis dan Kolonialis”, Jurnal Tsaqafah, V, 1 (2009), h., 24-25.

    37

    Kunawi Basyir, “Menimbang Kembali Konsep dan Gerakan Fundamentalisme Islam di

    Indonesia”, Jurnal al-Tahrir, XIV, 1 (2014), h., 28.

  • 28

    Gerakan tersebut pada umumnya muncul secara orisinal

    dari dunia Islam, sehingga secara terminologis bahwa

    fundamentalisme diidentikan dengan kelompok Islam

    tradisionalis yang secara historis juga disebut kelompok

    konservatif. Akan tetapi pada perkembangan selanjutnya, terjadi

    pergeseran makna dan nilai karena doktrin terpenting yang

    memunculkan fundamentalisme sebagai fenomena keagamaan

    adalah jihad yang seringkali salah dipahami dan pada akhirnya

    menimbulkan makna negatif, karena jihad identik dengan

    kekerasan dan terorisme.

    Azyumardi Azra berpendapat bahwa fundamentalisme

    Islam merupakan bentuk ekstrem dari gejala revivalisme. Jika

    revivalisme dalam bentuk intensifikasi keIslaman lebih

    berorientasi ke dalam karena sering bersifat individual, maka pada

    fundamentalisme intensifikasi itu juga diarahkan ke luar. Oleh

    karena itu, intensifikasi itu dapat berupa sekedar peningkatan

    attachment pribadi terhadap Islam dan mengandung dimensi

    esoteris, fundamentalisme menjelma dalam komitmen yang tinggi

    tidak hanya untuk mentransformasi kehidupan individual, tetapi

    sekaligus kehidupan komunal dan sosial. Dengan demikian,

    fundamentalisme Islam juga sering bersifat eksoteris yang sangat

    menekankan batas-batas kebolehan dan keharaman berdasarkan

    fiqh.38

    Gerakan Fundamentalis Islam ini mengalami

    perkembangan orientasi gerakannya yang semula berorientasi

    pada wilayah ideologi (fundamentalisme klasik) berkembang

    menjadi gerakan yang berorientasi pada politik dan sosial budaya

    (fundamentalis kontemporer). Walaupun demikian

    fundamentalisme Islam kontemporer muncul sebagai reaksi

    38

    Azyumardi Azra, Pergolakan Politik Islam: Dari Fundamentalisme, Modernisme

    hingga Post-Modernisme, (Jakarta: Paramadina, 1996), h., 107.

  • 29

    terhadap akibat-akibat yang ditimbulkan oleh modernisme dan

    sekularisme dalam kehidupan politik dan keagamaan.

    Salah satu karakteristik dari gerakan Fundamentalis Islam

    ialah pendekatannya yang literer terhadap sumber Islam, menolak

    pemahaman yang bercorak hermeneutik, kontekstual dan

    historikal, serta model pemikiran mereka sekaligus menjadi

    bagian dan pembentukan identitas kelompok yang dipakai

    bersama-sama dengan identitas lain.

    Fundamentalisme Klasik (Fundamentalisme Tradisional)

    dicirikan oleh kuatnya eran ulama atau oligarki klerikal dalam

    membuat penafsiran terhadap Islam, terutama kaum Syiah.

    Fundamentalisme Modern (Fundamentalis neo- liberalisme)

    dicirikan oleh orientasi yang kuat kepada politik dengan

    menjadikan Islam sebagai ideologi. Fundamentalisme modern

    tidak dipimpin oleh ulama, tetapi oleh intelektual sekuler yang

    secara terbuka mengklaim sebagai pemikir religius.39

    Di Indonesia, orientasi dan kelompok fundamentalis ini

    berusaha menguasai masyarakat melalui tindakan sosial, gerakan

    mereka jauh dari kesan revolusioner atau kekerasan. Walaupun

    watak revolusi hilang, simbol-simbol Islam merembus ke

    masyarakat dan diskursus politik Islam. Mundurnya

    fundamentalisme Islam dari politik dibarengi dengan

    meningkatnya Islam sebagai fenomena sosial dan moral.

    Fundamentalisme berusaha dengan apa yang diyakini oleh kaum

    fundamentalis, jika masyarakat Islam didasarkan pada kebaikan

    anggota-anggotanya. Kelompok ini bisa ditemukan pada kaum

    fundamentalis seperti Hizbut-Tahrir Indonesia (HTI), orientasi

    gerakan HTI adalah membangun negara Islam trans-nasional di

    Indonesia di bawah kepemimpinan tunggal khalifah Islamiyah.

    39

    Kunawi Basyir, “Menimbang Kembali Konsep dan Gerakan Fundamentalisme Islam di

    Indonesia”, h., 34-35.

  • 30

    Sedangkan fundamentalis yang radikal bisa ditemukan seperti

    gerakan Front Pembela Islam (FPI) dan Laskar Jihad, orientasi

    radikalisme Islam ini lebih mengarah pada penerapan syariah

    pada tingkat masyarakat, bukan negara. Dengan demikian, baik

    HTI, FPI dan Laskar Jihad memiliki kesamaan dalam orientasi

    politik dan sama-sama menolak sekularisasi serta demokrasi.40

    b. Gerakan Modernis Islam

    Sejak tahun 1990 telah terjadi gelombang besar perubahan

    pendekatan Islam politik ke pendekatan Islam kultural dalam

    memperjuangkan aspirasi umat Islam. Banyak terjadi perubahan

    dan pergeseran wacana keagamaan yang dulunya sangat tekstual-

    formalistik menjadi substansial transformatif. Pendekatan ayat

    suci al-Quran dan Sunah agar mempunyai dimensi transformatif.

    Jika dulu khazanah Islam dikenal modernis dan tradisional, maka

    sekarang jauh lebih berkembang.41

    Haji Ahmad Sanusi seorang tokoh pendiri Al-Ittihadiyyah

    Islamiyah (AII) yang juga dikenal dengan Persatuan Oemat Islam

    Indonesia (POII), tipe pemikiran Haji Ahmad Sanusi ini ialah

    modernis-kulturalis. Ia menyatakan bahwa kriteria modernis

    diantaranya memanfaatkan pendekatan-pendekatan yang

    digunakan oleh kalangan Islam modern, seperti kembali kepada

    al-Quran dan Sunah, menerima gagasan terbukanya pintu ijtihad,

    mengkritik tradisi yang dianggap tidak sejalan dengan ajaran

    Islam yang otentik. Ia juga menggunakan pendekatan modern

    40

    Kunawi Basyir, “Menimbang Kembali Konsep dan Gerakan Fundamentalisme Islam di

    Indonesia”, h., 41-42.

    41

    Zuly Qodir, Islam Liberal: Varian-Varian Liberalisme Islam di Indonesia 1991-2002,

    (Yoyakarta: Lkis Yogyakarta, 2010, Cet. Pertama), h., 188.

  • 31

    dalam melakukan dakwah agama dengan cara mendirikan sekolah

    formal dan menerbitkan majalah.42

    c. Gerakan Tradisionalis Islam

    Pada prinsipnya kaum tradisionalis yakin bahwa

    kebudayaan, pemikiran, dan kebudayaan modern adalah buruk,

    karena tidak berasaskan prinsip keagamaan dan keruhanian.

    Dimensi sosial adalah dimensi kedua, sedangkan individual

    adalah yang utama atau hakikat ada di dalam diri. Ulama

    tradisionalis tidak mau melakukan adaptasi dan kompromi

    termasuk menerima kemajuan IPTEK, politik maupun budaya

    yang berasal dari Barat. Ulama tradisionalis lebih cenderung

    kembali ke masa lalu dalam usaha mencari jawaban Islam

    terhadap tantangan masa kini.43

    Dalam perkembangan selanjutnya, kelompok tradisionalis

    Islam tidak hanya ditunjukan kepada mereka yang berpegang

    teguh kepada Alquran dan Sunnah saja tetapi juga kepada produk-

    produk pemikir (hasil ijtihad) para ulama yang dianggap unggul

    dan kokoh dalam berbagai bidang keilmuan. Pemikiran para

    ulama dalam berbagai bidang yang pada hakikatnya merupakan

    hasil penalaran terhadap Alquran dan Sunnah tersebut harus

    dipegang teguh dan tidak boleh diubah. Dengan demikian,

    kelompok tradisionalis Islam tidak lagi membedakan antara ajaran

    yang terdapat dalam Alquran dan Sunnah dengan ajaran yang

    merupakan hasil pemahaman terhadap keduanya.44

    42

    Yayan Suryana, Tradisionalisme dan Modernisme Islam di Indonesia: Kajian atas

    Pemikiran Keagamaan Haji Ahmad Sanusi 1889-1950, (Yogyakarta: Gapura Publishing, 2012), h.,

    207-208.

    43

    Mambaul Ngadimah, Keberagaman Islam Indonesia, (Ponorogo, 2008), h., 270.

    44

    Abuddin Nata, Peta Keberagaman Pemikiran Islam di Indonesia, (Jakarta: Raja

    Grafindo Persada, 2001), h., 142.

  • 32

    C. Pilkada

    Brian Eno,“Demokrasi itu sangat mudah hilang. Supaya tidak hilang,

    setiap orang hendaknya terlibat dalam proses demokrasi”. Pilkada

    merupakan bagian dari implementasi demokrasi. Sebagai warga negara yang

    baik, kita semua memiliki tanggung jawab untuk menyukseskannya dengan

    cara ikut memilih, mengawasi dan memantau, serta menjaga stabilitas

    keamanan. Pilkada langsung pertama kali diselenggarakan pada bulan Juni

    2005 dengan dasar hukum Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang

    Pemerintahan Daerah.45

    Pilkada sebagai salah satu bentuk demokrasi menempati peran penting

    dalam regenerasi kepemimpinan dan pembangunan daerah. Sebab pemimpin

    daerah masing-masing yang akan menentukan kebijakan untuk menciptakan

    daerah masing-masing menjadi lebih baik.

    Keterlibatan rakyat secara langsung dalam menentukan atau memilih

    pemimpinnya sangat penting dalam perwujudan good governance karena

    selain rakyat mengetahui kapasitas calon pemimpin, juga memperkuat aspek

    akuntabilitas dan tranparansi.

    1. Kelebihan Pilkada Langsung

    Pentingnya Pilkada secara langsung merupakan upaya untuk

    membuat keselarasan pola dan prosedur dengan pemilihan pejabat

    eksekutif di atas dan di bawahnya, yaitu Pemilihan pasangan Presiden

    dan Wakilnya (Pilpres) tahap pertama yang telah di laksanakan secara

    langsung pada 5 Juli 2004, dan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) yang

    telah dilaksanakan sejak lama.46

    45

    Tjahjo Kumolo, Politik Hukum Pilkada Serentak, (Jakarta: Epose, 2015, Cet. Pertama),

    h., 33.

    46

    Agus Riewanto, Ensiklopedia Pemilu: Analisis Kritis Instropektif Pemilu 2004 Menuju

    Agenda Pemilu 2009, (Wonogiri: el-SAB, 2007, Cet. Pertama), h., 177.

  • 33

    Sisi positif dari pelaksanaan Pilkada langsung oleh rakyat ini,

    diantaranya:47

    a) Kepala daerah yang terpilih melalui pemilihan langsung akan

    mendapat mandat dan dukungan yang lebih riil dari rakyat

    sebagai wujud kontrak sosial antara pemilih dengan tokoh yang

    dipilih.

    b) Pilkada secara langsung otomatis akan dapat menghindari

    terjadinya intrik-intrik politik dalam proses pemilihan, apalagi

    dengan sistem perwakilan yang multi partai, di mana intrik

    politik akan mudah terjadi.

    c) Pilkada secara langsung akan dapat menjadi mekanisme

    rekrutmen politik atas calon pemimpin bangsa.

    2. Kelemahan Pilkada Langsung

    Masalah-masalah yang dihadapi dapat beragam diantaranya yang

    disebutkan oleh Rahmat Hollyson MZ dan Sri Sundari yaitu, masalah

    kesalahan dalam akurasi daftar pemilih tetap, masalah dalam penggunaan

    anggaran dan fasilitas negara terutama oleh incumbent, praktik kampanye

    negatif, masih banyak pelanggaran terhadap netralitas bagi Pegawai

    Negeri Sipil, Praktik politik uang, mencuri start kampanye, manipulasi

    hasil perhitungan suara, terbatasnya jumlah saksi-saksi, keterpihakan

    KPUD dan atau Bawaslu kepada salah satu calon, serta sosialisasi

    pemerintah dan KPUD yang belum maksimal.48

    a) Akurasi Daftar Pemilih Tetap, permasalahan yang sering kali

    muncul mengenai DPT ini yaitu terdapat pemilih yang tidak

    terdaftar dalam DPT. Konsekuensi dari masalah ini

    47

    Agus Riewanto, Ensiklopedia Pemilu: Analisis Kritis Instropektif Pemilu 2004 Menuju

    Agenda Pemilu 2009, h., 179-180. 48

    Rahmat Hollyson MZ dan Sri Sundari, PILKADA: Penuh Euforia, Miskin Makna,

    (Jakarta: Bestari, 2015, Cet. Pertama), h., 36-45.

  • 34

    mengakibatkan pemilih tidak bisa menggunakan hak suaranya

    dalam pesta demokrasi.49

    b) Penggunaan Wewenang, Anggaran, dan Fasilitas Negara.

    Wewenang dan kekuasaan yang melekat pada incumbent

    berpotensi besar digunakan untuk kepentingan-kepentingan

    incumbent dalam memenangnkan pemilihan. Bentuk

    pelanggaran penggunaan anggaran negara salah satunya ialah

    penggunaan anggaran perjalanan dinas untuk kepentingan

    kampanye (terselubung) ataupun pencitraan.50

    c) Netralitas Pegawai Negeri Sipil, dengan adanya netralitas PNS

    maka sangat mungkin kualitas pelaksanaan Pilkada akan

    semakin baik.51

    d) Kampanye Negatif, persaingan tidak sehat yang dilakukan

    pasangan calon Kepala Daerah dapat mempengaruhi masalah-

    masalah yang besar dalam masyarakat. Kegiatan kampanye

    negatif atau balck campaign ini mempunyai kemampuan khusus

    untuk memutarbalikkan fakta, merekayasa suatu kasus atau

    peristiwa yang pada akhirnya mampu membakar emosi.52

    e) Politik Uang, kecurangan-kecurangan seperti ini semestinya

    perlu mendapatkan penanganan yang khusus dan serius oleh

    penyelenggara dan pengawas Pilkada, serta medapat dukungan

    dari seluruh lapisan masyarakat. Keterlibatan rakyat secara

    langsung dalam Pilkada diharapkan salah satunya agar dapat

    49

    Rahmat Hollyson MZ dan Sri Sundari, PILKADA: Penuh Euforia, Miskin Makna, h., 36-45.

    50

    Rahmat Hollyson MZ dan Sri Sundari, PILKADA: Penuh Euforia, Miskin Makna, h., 36-45.

    51

    Rahmat Hollyson MZ dan Sri Sundari, PILKADA: Penuh Euforia, Miskin Makna, h., 36-45.

    52

    Rahmat Hollyson MZ dan Sri Sundari, PILKADA: Penuh Euforia, Miskin Makna, h., 36-45.

  • 35

    mengurangi praktik politik uang yang marak pada saat pesta

    demokrasi ini berlangsung.53

    f) Mencuri Start Kampanye, kasus mencuri start kampanye dalam

    Pilkada salah satunya ialah pemilihan gubernur Jawa Barat yang

    dilaksanakan pada tanggal 24 Februari 2013. Calon Kepala

    Daerah, Ahmad Heriawan membuat iklan layanan masyarakat

    yang diiklankan sebelum pelaksanaan Pilkada. Menurut Ahmad

    Heriawan, iklan layanan tersebut dianggap sebagai bentuk

    sosialisasi program pemerintah kepada masyarakat Jawa Barat.

    Namun disisi lain, sebagian orang beranggapan bahwa aktivitas

    tersebut merupakan salah satu bentuk curi start kampanye.54

    g) Manipulasi perhitungan suara, bentuk kecurangan sebelum

    Pilkada misalnya dengan tidak menyampaikan undangan kepada

    pemilih dengan tujuan agar yang bersangkutan tidak dapat

    memberikan suaranya pada saat pemilihan. Kecurangan lainnya

    adalah pemilih tidak terdaftar dalam DPT, sehingga yang

    bersangkutan tidak dapat ikut serta pada saat Pilkada.

    Sedangkan bentuk kecurangan setelah perhitungan suara adalah

    mengubah hasil perhitungan suara (dokumen C1).55

    h) Terbatasnya jumlah saksi-saksi, keterbatasan pasangan calon

    dalam menghadirkan saksi-saksi di seluruh tempat pemungutan

    suara (TPS) menjadi peluang untuk melakukan kecurangan.

    Kehadiran saksi di TPS guna untuk meminimalisir praktik

    manipulasi hasil Pilkada.56

    53

    Rahmat Hollyson MZ dan Sri Sundari, PILKADA: Penuh Euforia, Miskin Makna, h., 36-49.

    54 Rahmat Hollyson MZ dan Sri Sundari, PILKADA: Penuh Euforia, Miskin Makna, h.,

    36-49.

    55

    Rahmat Hollyson MZ dan Sri Sundari, PILKADA: Penuh Euforia, Miskin Makna, h., 36-49.

    56

    Rahmat Hollyson MZ dan Sri Sundari, PILKADA: Penuh Euforia, Miskin Makna, h., 36-49.

  • 36

    i) Keberpihakan KPUD dan atau BAWASLU kepada salah satu

    calon. Profesionalitas KPU diuji pada saat anggota KPU berasal

    dari unsur pemerintah dan partai politik. Namun sebagai

    ketidakpuasan terhadap kinerja KPU ini, maka komposisi

    keanggotaanya diubah, yaitu berasal dari non partisan.57

    j) Sosialisasi Pemerintah dan KPUD yang belum maksimal.

    Sosialisasi penyelenggaraan pemilihan umum ini bertujuan agar

    masyarakat memahami setiap tahapan-tahapan dalam proses

    Pilkada. Masyrakat diharapkan mengerti dan memahami

    sehingga mampu mengikuti setiap proses dengan baik dan

    benar. Kegiatan sosialisasi ini juga sebagai alat kontrol agar

    tidak terjadi kecurangan-kecurangan dalam pelaksanaan pesta

    demokrasi Pilkada ini.58

    Dengan demikian, pesta demokrasi yang melibatkan partisipasi

    politik masyarakat ini pasti memiliki kelebihan dan kelemahan,

    probabilitas untuk mendapatkan pemimpin yang sesuai adalah harapan

    nyata masyarakat dari pelaksanaan pesta demokrasi ini.

    57

    Rahmat Hollyson MZ dan Sri Sundari, PILKADA: Penuh Euforia, Miskin Makna, h., 36-49.

    58 Rahmat Hollyson MZ dan Sri Sundari, PILKADA: Penuh Euforia, Miskin Makna, h.,

    36-49.

  • 37

    BAB III

    PAHAM SALAFI DAN DAKWAH POLITIK RODJA

    A. Awal Kehadiran Salafi

    Hadirnya istilah Salafi untuk pertama kalinya ialah di Mesir, setelah

    usainya penjajahan Inggris. Tepatya saat kehadiran gerakan pembaharu Islam

    (al- ishlah ad-dini) yang dipimpin oleh Jamaluddin al-Afghani dan muridnya

    yaitu Muhammad Abduh pada akhir abad ke-19 Masehi. Tujuan utamanya

    ialah unuk menumbuhkan rasa patriotisme dan fanatik yang tinggi terhadap

    perjuangan umat Islam saat itu, di samping dalam rangka membendung

    pengaruh sekularisme, penjajahan, dan hegemoni barat atas dunia Islam.

    Muhammad Abduh mengenalkan istilah Salafi.1 Sejumlah orang bahkan

    menisbahkan asal-usul keyakinan Salafi ini kepada Ibn Taimiyyah dan

    muridnya yang bernama Ibn Qayyim al-Jawziyyah.2

    Salafisme gelar yang diberikan kepada seseorang yang mengikuti

    paham Salafi ini. Istilah Salaf dari sisi masa bermakna mereka hanya para

    Sahabat, sebagaimana ditegaskan oleh Imam al-Qalsani, “Salafus Shalih

    adalah generasi pertama yang matang keilmuannya, karena mengikuti

    petunjuk Nabi Muhammad SAW dan memelihara Sunnahnya, dan mereka

    dipilih oleh Allah SWT untuk mendampingi Nabi Muhammad SAW dan

    menegakkan agama-Nya.3 Dalam konteks Islam, pendahulu itu merujuk pada

    periode Nabi Muhammad SAW, para Sahabat dan Tabi‟in dan Tabi‟ut

    Tabi‟in. Salafisme ini menyeru untuk kembali pada konsep yang sangat dasar

    dan fundamental di dalam Islam, bahwa umat Islam seharusnya mengikuti

    1Syaikh Idahram, Sejarah Berdarah Sekte Salafi Wahabi, (Yogyakarta: Pustaka

    Pesantren, 2011, Cet. Sembilan), h., 29.

    2Khaled Abou El Fadl, Sejarah Wahabi & Salafi: Mengerti Jejak Lahir dan Kebangkitan

    di Era Kita, (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2005, Cet. Pertama), h., 59.

    3Zainal Abidin bin Syamsudin, Membedah Akar Fitnah Wahabi: Reformasi, Klarifikasi

    Bukan Konspirasi, (Jakarta: Pustaka Imam Bonjol, 2013, Cet. Pertama), h., 2.

  • 38

    preseden-preseden Nabi Muhammad SAW dan para sahabatnya yang

    mendapat petunjuk (al- Salaf al- Shalih).4

    Adapun pendapat yang kuat tentang makna Salaf dari sisi masa

    mecakup generasi ketiga pertama yaitu Sahabat, Tabi‟in dan Tabi‟ut Tabi‟in

    berdasarkan sabda Rasulullah SAW:

    ُر النَّاِس قَ ْرِن ُُثَّ الَِّذْيَن يَ ُلْو نَ ُهْم ُُثَّ الَِّذْيَن يَ ُلْو نَ ُهمْ )رواه البخاري( َخي ْ

    “Sebaik- baik generasi ialah generasi pada masaku, kemudian orang-

    orang sesudahnya dan orang- orang sesudahnya lagi.” )HR. Imam

    Bukhari).

    Para Salafisme menegaskan bahwa dalam menghadapi semua

    persoalan umat Islam seharusnya kembali pada sumber tekstual asli yaitu

    Alquran dan Sunnah. Dalam melakukannya, umat Islam harus

    menginterpretasikan sumber-sumber asli itu berdasarkan kebutuhan dan

    tuntutan modern tanpa harus terikat mutlak pada produk penafsiran generasi

    Muslim awal. Para ilmuwan Salafi ialah orang-orang yang suka memadukan

    sejumlah pendapat, mereka cenderung terlibat dalam praktek yang dikenal

    dengan istilah talfiq yaitu memadukan beragam opini dari masa lalu demi

    memunculkan pendekatan baru terhadap permasalahan-permasalahan yang

    hadir. Oleh karena itu, Salafisme tidak serta merta anti Barat. Sebenarnya,

    para pendiri paham Salafi inipun berupaya untuk mengungkapkan keserupaan

    antara teks-teks mendasar Islam dan pranata-pranata kontemporer seperti

    demokrasi, konstitusionalisme, atau sosialisme dan berusaha untuk

    menjustifikasi paradigma negara-bangsa modern di dalam Islam.5

    Menurut Sayyid Hasan al-Saqqaf, kaum Salafi yang ada pada saat ini

    ialah para pengikut Ibn Taimiyyah dan mazhab ulama Ahmad Bin Hambal

    yang berpegang pada paham tasjim di berbagai negara di luar Arab Saudi.

    4Khaled Abou El Fadl, Sejarah Wahabi & Salafi: Mengerti Jejak Lahir dan Kebangkitan

    di Era Kita, h., 60.

    5 Khaled Abou El Fadl, Sejarah Wahabi & Salafi: Mengerti Jejak Lahir dan Kebangkitan

    di Era Kita, h., 63.

  • 39

    Mereka semua menjadikan Ibn Taimiyyah sebagai imam, rujukan, dan

    pimpinannya. Kaum Wahabi tidak menyebut mereka sebagai kaum Wahabi,

    karena istilah ini sudah menjadi aib. Intinya, istilah Salafi dan Wahabi adalah

    nama untuk kelompok yang sama.6

    Adapun pendapat Zainal Abidin bin Syamsudin,Lc dalam bukunya,

    Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin ditanya “Apakah masih ada

    paham Salafi pada masa sekarang?”, Beliau menjawab, “ya”, Kami katakan

    bahwa paham Salafi secara ideologi masih ada, meskipun secara masa sudah

    tidak ada, karena generasi Salaf secara masa sudah berlalu, namun Salafisme

    secara keyakinan dan pengamalan dalam realita kehidupan masih tetap ada.

    Mereka juga bisa disebut Salaf bagi generasi yang datang berikutnya. Karena

    Salafi menjadi istilah yang sah untuk disematkan pada setiap orang yang