partai_politik

download partai_politik

If you can't read please download the document

description

partai politik

Transcript of partai_politik

PELIPUTAN MEDIA TELEVISI DALAM PENCITRAAN PARTAI POLITIK MENJELANG PEMILIHAN UMUM 2014October 31, 2013 | | Lecturers Journals | 0 PELIPUTAN MEDIA TELEVISI DALAM PENCITRAAN PARTAI POLITIK MENJELANG PEMILIHAN UMUM 2014(Rahmat Edi Irawan, Yusa Djuyandi, dan Marta Sanjaya)Universitas Bina Nusantara ABSTRAK Pengaruh media dalam kehidupan politik sangat besar, media mempunyai kemampuan untuk mempengaruhi opini publik dan perilaku masyarakat, karenanya keberadaan media massa bagi partai politik menjadi sesuatu yang sangat strategis dan teramat penting. Sebagai media yang paling banyak dikonsumsi di Indonesia, televisi punya pengaruh paling besar terhadap masyarakat, termasuk membentuk opini masyarakat terhadap partai politik. Dalam melakukan penelitian ini, peneliti menggunakan teori agenda setting dan analisis frame. Sedangkan metode penelitian yang digunakan adalah metode kualitatif, melalui penggunaan data primer (observasi dan wawancara) serta data sekunder (media dan dokumen-dokumen). Hasil penelitian menunjukkan bahwa partai politik menyadari bahwa televisi masih menjadi media yang paling efektif di dalam proses penyampaian pesan politik, termasuk di dalam melakukan pencitraan. Cara yang digunakan partai dalam melakukan pencitraan selain dengan kerjasama dan kreatifitas, adalah juga dengan mengatur dan memaksa agenda setting pemberitaan stasiun televisi. Salah satu yang kini menjadi sorotan dan diperkirakan akan menjadi masalah dalam demokrasi di Indonesia, adalah masalah penguasaan kepemilikan beberapa stasiun televisi nasional oleh elite partai politik. Kesimpulan penelitian ini adalah Televisi masih dianggap sebagai media massa yang paling efektif dalam menyampaikan pesan, tidak terkecuali pesan politik yang selalu disampaikan oleh partai politik. Akan tetapi masalah kepemilikan beberapa stasiun televisi oleh unsur pimpinan partai politik yang akan bertanding di pemilu mendatang, menjadi permasalahan tersendiri dalam pesta demokrasi tahun 2014 nanti. Kata Kunci: Media Televisi, Partai Politik, dan Pectiraan. PENDAHULUAN Sikap masyarakat terhadap partai politik saat ini khususnya terhadap kemunculan partai politik baru tidak semeriah pada saat arus reformasi baru dibuka, bahkan banyak kritik keras dan serius yang kemudian muncul terhadap partai politik karena dianggap banyak memberikan permasalahan ketimbang solusi untuk memecahkan persoalan bangsa. Partai politik terkadang bertindak dengan lantang untuk dan atas nama kepentingan rakyat, tetapi dalam kenyataannya di lapangan justru berjuang untuk kepentingan kelompoknya sendiri. Mengelola persoalan berupa kepercayaan masyarakat bukan tugas yang sederhana dan mudah. Mempublikasikan dan mensosialisasikan nilai-nilai serta citra partai membutuhkan penanganan yang khusus mengingat bahwa parpol memiliki dinamika yang tidak mudah diduga. Oleh sebab itulah, keberadaan media massa bagi partai politik menjadi sesuatu yang sangat strategis dan teramat penting. Kebutuhan akan eksistensi media dalam mempertahankan dan menjaga kesinambungan hubungan yang saling menguntungkan antara parpol dan masyarakat sangat relevan dengan kepentingan parpol agar memperoleh dukungan masyarakat secara lebih berkelanjutan.Pengaruh media dalam kehidupan politik sangatlah besar, media mempunyai kemampuan yang cukup besar untuk mempengaruhi opini publik dan perilaku masyarakat. Cakupan yang luas dalam masyarakat membuat media massa dianggap sebagai salah satu cara yang efektif dalam pembentukan image partai. Sebuah informasi yang dihasilkan oleh media massa, khususnya yang berkaitan dengan sebuah parpol, setidaknya mempunyai fungsi untuk membentuk citra partai politik kepada khalayak.Dalam karya klasiknya Walter Lippmann menyebutkan bahwa berita media merupakan sumber utama yang membentuk alam pikir kita terhadap persoalan-persoalan publik yang lebih luas yang berada di luar jangkauan, pandangan dan pikiran kebanyakan warga negara biasa. Apa yang kita ketahui tentang dunia itulah apa yang media sampaikan kepada kita.1 Bahkan, apa yang menjadi agenda utama media secara sangat kuat mempengaruhi agenda utama publik. Ringkasnya, apa yang dianggap penting oleh media menjadi penting pulabagi publik.2 Dalam beberapa tahun ini pandangan masyarakat terhadap partai poltik menunjukkan adanya penurunan kepercayaan yang signifikan, seperti halnya yang menimpa partai demokrat, dimana pemberitaan di media terkait kader Partai Demokrat yang disebut-sebut dalam sejumlah kasus dugaan korupsi mengakibatkan popularitas partai ini semakin terjun bebas.3Urgensi atau keutamaan dalam penelitian ini adalah terletak pada peranan media televisi dalam mencitrakan partai politik dengan tetap 1 W alter Lippmann, Public opinion. New York: Macmillan, 1922, h.29.2 Lihat lebih dalam pembahasan tentang ini dalam tulisan Maxwell McCombs, the Agenda-Setting of the MassMedia in the Shaping of Public Opinion. tt.3 http://www.sindonews.com/read/2012/01/24/435/562620/demokrat-gerah-jadi-pembicaraan-di-publik berlandaskan kepada fungsi media massa yaitu bagaimana media televisi memberikan informasi kepada khalayak tentang aktvitas partai politik dalam menjalankan peranannya sebagai organisasi yang mewadahi kepentingan rakyat. Sebagai media yang paling banyak dikonsumsi di Indonesia, maka televisi punya pengaruh paling besar dalam memberikan informasi kepada khalayak atau masyarakatnya. Selain itu, sebagai media audio visual, televisi punya kekuatan yang sangat besar dalam mempengaruhi penontonnya, terutama dalam menyampaikan pesannya kepada khalayak. Maka tidak heran, televisi banyak dilirik banyak pihak yang ingin produknya dikenal atau meningkatkan citra produknya di kalangan masyarakat.Kondisi yang sama juga terjadi di kalangan partai politik yang merasa perlu memperbaiki citranya untuk meningkatkan daya jual partai politik tersebut di kalangan masyarakat. Apalagi menjelang pemilu 2014, semua parpol tentu berupaya untuk meraih pemilih sebanyak mungkin. Upaya tersebut tentu juga harus didukung pencitraan partai politik tersebut di benak masyarakat. Selain kerja politik selama lima tahun terakhir, menjelang pemilu nanti, parpol juga merasa perlu untuk meingkatkan citranya di kalangan masyarakat melalui media. Dan pasti, media televisi yang paling banyak dikonsumsi masyarakat, menjadi pilihan yang paling banyak dipilih. Dengan bantuan pencitraan di televisi, maka partai politik berupaya meningkatkan citra baiknya di kalangan masyarakat, sehingga menjadi pilihan utama masyarakat di pemilu mendatang.Meski demikian, pencitraan partai politik melalui iklan televisi juga bukan hal yang murah. Sebagai gambaran, pertama diungkapkan peneliti Istiyani Pratiwi, uang yang paling banyak digelontorkan partai politik dan para calon adalah untuk beriklan di televisi. Sebagai gambaran, di tahun 2009 harga iklan di televisi swasta nasional yang ditayangkan pada jam-jam prime time di program unggulan, tarifnya antara Rp 6 juta Rp 10 juta. Ini hanya untuk satu kali tayang durasi 30 detik. Ya, cuma 30 detik. Jika tayangan satu menit, berarti mencapai 12 juta 20 juta rupiah.Lebih lanjut, jika rata-rata biaya beriklan secara masif di sebuah stasiun TV per harinya adalah Rp 500 juta, maka per bulan adalah Rp 15 milyar. Bisa dibayangkan berapa biaya yang harus dikeluarkan seorang figur yang wajahnya selalu ada di jam-jam prime time, yang dalam sehari bisa muncul 5 sampai 10 kali. Sekjen P3I (Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia) Irfan Ramli menyampaikan, pada Pemilu 2004, belanja iklan parpol secara total (saat itu diikuti 24 parpol) on gross menyentuh angka Rp 3 triliun.Berdasarkan jumlah erputaran uang pada pemilu 2009 secara total bisa mencapai lebih dari Rp 5 triliun, karena jumlah parpol lebih banyak. Hingga akhir2008, Nielsen Company Indonesia mencatat belanja iklan politik dan pemerintah mencapai Rp 2,2 triliun atau naik 66 %. Sedangkan pada 2007 hanya mencapai Rp 1,3 triliun. Belanja iklan politik dan pemerintah mendominasi koran dan televisi. Tapi, belanja paling besar ada di koran, yang mencapai Rp 1,3 triliun atau meningkat 73 persen dibanding tahun 2007 yang sebanyak Rp 758 miliar. Sedangkan iklan televisi hanya Rp 862 miliar atau meningkat 58 persen dari belanja 2007 yang sebanyak Rp 545 miliar. Biaya ratusan milyar rupiah tersebut habis hanya dalam beberapa bulan saja. Jadi bisa dibayangkan dalam satu tahun berapa biaya yang dikeluarkan oleh seorang calon pemimpin di negeri ini. Biaya yang dikeluarkan oleh lima orang calon saja, bisa mencapai satu trilyunrupiah. Semakin mendekati momentum pemilu legislatif, Pilkada atau Pilpres, semakin banyak partai politik dan calon kepala daerah, caleg dan capres menggelontorkan dana mereka untuk membuat iklan politik. Data yang didapatkan Istiyani, menjelang Pemilu 2009, Partai Golkar menempati posisi teratas dengan belanja iklan Rp 185,2 miliar, dengan sekitar 15 ribu spot iklan. Lalu, Partai Demokrat Rp 123 miliar dalam 11 ribu spot, dan Partai Gerindra Rp66,7 miliar lewat 4 ribu spot iklan. Tentu saja melihat mahalnya pembelian iklan tersebut, maka partai politik kita juga mencoba cara lain, dengan menghadirkan dirinya di tengah televisi, yaitu melalui sebuah berita. Untuk itu, secara kreatif mereka membuat atau mengangkat issu-issu yang strategis, supaya selalu ada dalam pemberitaan. Memang cara tersebut, tidak menjamin bahwa mereka akan terus ada di tayangan televisi, disbanding dengan iklan yang pasti tayang, selama tetap membayar. Pencitraan partai politik lewat pemberitaan televisi juga dianggap sebagai langkah yang lebih cerdas, terutama untuk menggaet pemilih-pemilih di perkotaan yang relative lebih berpendidikan.Namun cara lain yang terbilang lebih superior adalah penguasaan media sendiri oleh politisi atau partai politik tertentu. Kondisi ini sebenarnya bukan hal yang baru dalam kancah perpolitikan di Indonesia, namun akan lebih terlihat dengan dimilikinya beberapa stasiun televisi nasional oleh beberapa konglomerat yang juga adalah tokoh politik atau ketua umum partai politik tertentu. Dengan penguasaan media yang seperti itu, maka dijamin aktifitas yang dilakukan partai politik akan cukup terekspose di stasiun televisi yang dikuasainya.Untuk melihat itu semua, maka perlu sebuah adanya pengkajian mengenai bagaimana peranan media televisi dalam pencitraan partai politik berdasarkan telaah normatif atas peranan media televisi. Dengan demikian, akan terlihat bagaimana televisi memegang peran yang cukup kuat bagi parpol untuk mencapai tujuannya dalam pemilu 2014 mendatang. Penelitian ini pada intinya adalah melihat bagaimana strategi yang dilakukan partai politik untuk melakukan pencitraan melalui media televisi menjelang pemilu tahun 2014 mendatang. TINJAUAN PUSTAKA 1. Penelitian Sebelumnya Penelitian tentang penggunaan media televisi untuk pencitraan politik bukanlah sesuatu yang baru. Tingginya konsumsi penggunaan televisi dibanding media massa lainnya, membuat masalah penggunaan televisi untuk memperbaiki citra politik menjadi sebuah kajian yang menarik untuk terus diamati. Di Amerika Serikat misalnya, studi tentang kemenangan Presiden John F. Kennedy atas lawannya Richard Nixon di tahun 1960, selalu dikaitkan dengan keberhasilan sang presiden mempopulerkan dirinya melalui televisi. Dalam bukunya Media Impact, yang terbit pada tahun 2010, pakar komunikasi Shirley Biagi, menyatakan bahwa berita-berita di televisi dan penampilan Kennedy pada saat debat kampanye berlangsung melalui televisi, telah membuat jutaan rakyat Amerika Serikat berbondong-bondong datang ke tempat pemungutan suara untuk memberikan pilihan mereka pada Kennedy.Saat ini, hampir tidak ada, pencitraan partai politik atau tokoh politik yang akan mengikuti sebuah pemilihan jabatan politik yang tidak menggunakan media televisi. Karenanya, makin banyak kajian-kajian yang berkaitan dengan hal tersebut dilakukan banyak pakar komunikasi politik. Werner J Severin dan James W. Tankard Jr dalam bukunya Teori Komunikasi, Sejarah, Metode dan Terapan di Dalam Media Massa, yang terbit pada tahun 2008, menyatakan bahwa dampak dan manfaat media massa sudah sangat menjadi perhatian yang luas di kalangan peneliti media massa. Tidak heran banyak teori-teori yang lahir dari pemanfaatan media massa, terutama televisi untuk pencitraan partai politik maupun tokoh politik, seperti teori agenda setting, yang sudah dikenal luas hingga saat ini.Di Indonesia, riset tentang pemanfaat media televisi untuk pencitraan partai politik atau tokoh politik juga sudah menjadi kajian riset tersendiri. Meski hanya menyorot makna interaksi politik yang khas diperlihatkan anggota DPR, penelitian Lely Arriane yang akhirnya dibukukan dengan judul Komunikasi Politik, Politisi dan Pencitraan di Panggung Politik yang terbit pada tahun 2010, juga mengangkat bagaimana keterlibatan televisi amat diperhitungkan para politisi untuk meningkatkan citra politiknya. Dalam buku yang diambil dari disertasinya ini, Lely menyorot bahwa akan sangat berbeda penampilan seorang politisi, ketika ada kamera dengan pada saat tidak ada kamera televisi. Hal itu jelas menunjukkan bahwa, kehadiran media televisi amat diperhitungkan untuk meningkatkan citra politisi tersebut.Masih dalam kajian yang sama, Adman Nursal, secara tajam melihat pencitraan dalam sebuah langkah politik sudah menjadi kewajiban bagi seorang yang ingin terjun dalam jabatan politik publik. Dalam penelitian yang juga telah dibukukan dengan judul Political Marketing pada tahun 2004, Adman Nursal melihat bahwa penggunaan media televisi sudah amat luas dan harus diperhitungkan oleh para politisi untuk meraih dukungan dari masyarakat. Bahkan Nursal, secara spesifik, melihat perlunya strategi yang tepat dalam penggunaan media telavisi, sehingga punya dampak positif yang kuat untuk dapat sukses dalam sebuah pemilihan jabatan politik publik tertentu tersebut.Secara umum, hasil penelitian tentang media dan pemilu baik pada tahun 2004 maupun 2009 juga telah dibukukan dengan judul Media dan Pemilu 2004 dan Media dan Pemilu 2009 memuat banyak penelitian tentang penggunaan media pada masa pemilihan umum tersebut. Beberapa penelitiannya juga menyangkut bagaimana media televisi mengangkat citra konstestan pemilu, baik partai politik maupun para politisi. Buku yang ditulis oleh Lukas Luwarso dkk ini banyak menyorot secara kritis, bagaimana media berperan dalam mengangkat citra partai politik atau politisi pada pemilu di era reformasi tersebut. Kajian kritis ini bahkan telah membuka bahwa, selain punya dampak positif, banyak dampak negatif akibat penggunaan media, terutama televisi yang amat massif dalam pencitraan partai politik atau politisi tersebut. Penggunaan media massa, terutama televisi bagia kegiatan politik tetap akan menjadi kajian yang menarik, karena di masa mendatang, akan makin banyak aktifitas tersebut dilakukan. Meski sekarang mulai berkembang aktifitas sosial media, namun penggunaan televisi, baik tidak berbayar maupun televisi berbayar, akan tetap menjadi media utama kunci sukses seseorang dalam sebuah pemilihan politik. Seperti yang dikatakan pakar komunikasi politik, Jallaludin Rahmat dalam pengantar buku Dan Nimmo, Komunikasi Politik yang terbitt pada tahun 2004, menyatakan bahwa pesan politik melalui media massa, terutama televisi, akan berperan penting dalam pembahasan kajian pencitraan politik, baik di Indonesia maupun di dunia. 2. Kerangka Teoritis Teori utama yang digunakan dalam penelitian ini, terutama yang menyangkut isi pemberitaan adalah teori agenda setting yang dikemukakan oleh Maxwell E. Combs dan Donald Shaw pada tahun 1972. Menurut keduanya, dalam agenda setting akan terlihat bahwa dalam memilh dan menampilkan berita, editor, staf dan penyiar memainkan peranan yang peting dalam membentuk realitas politik. Pembaca sebenarnya tidak hanya disodorkan tentang sebuah issu tertentu, tetapi pembaca juga diikat dalam issu-issu tersebut sesuai dengan yang diinginkan oleh media. Media massa menentukan issu mana yang penting, media mengatur agenda dan berita yang akan diberikan kepada pembaca atau penontonnya. (Stanley J. Baran dan Dennis K Davies; 2010, hal354-355) Jika dikaitkan dengan penelitian ini, maka jelas bahwa pencitraan partai politik yang dilakukan melalui pemberitaan yang ada di media televisi, merupakan langkah strategis untuk bisa menjadikan partai politik yang bersangkutan masuk dalam issu-issu strategis seperti yang diberitakan oleh media. Artinya, semakin banyak ditampilkan berita-berita bagus tentang suatu partai politik akan semakin dekat partai-partai politik tersebut pada para pemilihanya. Permasalahannya adalah tinggal bagaimana mengemas issu atau aktifitas partai politik hingga dibicarakan atau menjadi agenda setting dari media massa. Hal tersebut menjadi lebih mudah, jika partai politik tersebut punya akses kepemilikan pada media massa, termasuk stasiun televisi nasional. Teori lainnya yang juga digunakan dalam penelitian, ini terutama menyangkut iklan adalah teori analisis frame yang dikemukakan oleh Erving Goffman pada tahun 1974. Goffman menganggap iklan sebagai hyperritualized representation dari tindakan sosial. Hal itu terjadi karena menurutnya, iklan hanya menampilkan bagian-bagian tertentu saja yang sudah diedit hingga hanya menampilkan tindakan yang paling bermakna saja. Teori dari Goffman ini akan memberikan sebuah cara yang menarik dalam mengukur bagaimana media massa secara detail akan mendorong dan menguatkan budaya publik yang dominan. (Stanley J. Baran dan Dennis K. Davis, 2010, halaman 394-395)Jika dikaitkan dengan penelitian ini maka akan terlihat bahwa melalui iklan politik yang ditayangkan di stasiun televisi nasional akan mendorong atau menggiring opini publik seperti apa yang partai diinginkan partai politik yang membuat atau menanyangkan iklan politik tersebut. Bagi partai politik yang punya modal besar atau punya akses terhadap kepemilikan stasiun televisi, tentu punya kesempatan yang lebih besar untuk menggiring opini atau sikap penonton terhadap citra partai politik mereka. Bukan tidak mungkin, juga secara signifikan akan meningkatkan popularitas atau elektabilitas partai politik tersebut.Sementara teori lainnya yang juga digunakan dalam penelitian ini adalah teori pencitraan politik yang dikemukakan oleh Dan Nimmo pada tahun 2004. Dan menyatakan bahwa pencitraan politik itu seperti kapstok, yang sebenarnya bukan menyajikan realitas politik yang sebenarnya. Menurut Dan, realitas politik bukanlah seseuatu yang kita alami sekarang, karena apa yang kita alami sekarang sudah melalui kegiatan simbolik yang disampaikan melalui kegiatan simbolik. Apalagi, jika dikaitkan dengan media massa, maka kegiatan simbolik tersebut adalah sebenanya hanya merupakan aktifitas yang tertangkap dan diangkat oleh media massa saja. (Dan Nimmo, 2004, halaman 114-115)Jika dikaitkan dengan penelitian ini maka akan terlihat bahwa media massa televisi adalah media yang amat tepat untuk melakukan pencitraan politik seperti yang dilakukan partai-partai politik menjelang pemilu tahun 2014 mendatang. Melalui isi pemberitaan dan melalui iklan yang ditayangkan stasiun televisi nasional, yang sebagian dimiliki oleh partai politik tersebut juga, mereka dapat menampilkan sebuah realitas politik yang kemungkinan bukan sebenarnya, yang merupakan langkah awal mereka untuk melakukan pencitraan partai politik mereka, untuk meningkatkan elektabilitasnya dalam pemilu tahun 2014 mendatang. METODE PENELITIAN Berdasarkan karakteristik penelitian yang bertujuan untuk menjawab pertanyaan penelitian tentang deskripsi perananan media massa, khususnya televisi, dalam pencitraan partai politik pada tahapan awal Pemilu 2014 melalui teknik observasi dan wawancara mendalam maka penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif. 1. Sumber Data Sumber data ini terbagi menjadi dua jenis sumber data yaitu sumber data primer dan sekunder. Data primer merupakan data yang diperoleh secara langsung melalui observasi di lapangan dan wawancara dengan informan. Data sekunder yang dijaring adalah melalui studi dokumentasi, yaitu data yang diperoleh melalui dokumentasi yang relevan dengan penelitian ini.Sebagai tuntutan penelitian kualitatif, data primer dikumpulkan melalui observasi berdasarkan kegiatan-kegiatan dan peristiwa di lapangan. Bersamaan dengan observasi, data primer dilengkapi dengan hasil wawancara mendalam dengan informan yang dipilih berdasarkan posisi atau status sosialnya yang relevan dengan masalah yang diteliti.Melalui informan, diharapkan dapat diperoleh informasi kualitatif dengan deskripsi yang penuh arti. Pertimbangan pemilihan informan ini juga didasarkan pada subjek dan objek penelitian yang benar-benar menguasai masalah, memiliki data yang lengkap dan akurat serta bersedia memberikan data dengan jujur dan objektif. Informan yang dipilih dalam penellitian ini adalah beberapa politisi dari empat partai politik pememang pemilu tahun 2009, yaitu Partai Demokrat, Partai Golongan Karya (Partai Golkar), Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Partai Kesejahteraan Sosial (PKS) dan sebuah partai politik baru yaitu Partai Nasional Demokrat (Partai Nasdem).Sementara data sekunder dalam penelitian ini terutama adalah isi pemberitaan program berita di 3 stasiun televisi nasional, yaitu Metro Hari Ini di Metro TV, Redaksi Sore di Trans7 dan Kabar Petang di TV One, selama 3 bulan, yaitu sejak awal Agustus hingga akhir November lalu. Pemilihan ketiga stasiun televisi nasional tersebut berdasarkan afiliasi kepemilikan stasiun televisi tersebut terhadap partai politik yang akan bertarung di pemilu tahun 2014 mendatang. Metro TV adalah stasiun televisi yang didirikan Surya Paloh dan sebagian besar sahamnya dimiliki konglomerat Harry Tanusoedibyo, yang saat keduanya adalah pimpinan di Partai Nasdem. Sementara TV One adalah satsiun televisi yang dimiliki keluarga Bakrie, di mana Abrurizal Bakrie yang tertua dari Dinasti Bakrie saat ini menjadi Ketua Umum Partai Golkar dan sudah digadang- gadang menjadi calon presiden dari Partai Golkar di pemilihan presiden mendatang. Sementara, Trans7 adalah stasiun televisi milik pengusaha Chairul Tanjung, yang sampai saat ini dianggap netral atau tidak mewakili partai politik tertentu.Selain isi pemberitaan, data sekunder lainnya dalam pemberitaan ini adalah jumlah tayangan iklan politik dari lima partai politik tersebut di atas yang ditayangkan di ketiga stasiun televisi tersebut, selama periode waktu yang juga sama, Agustus hingga November 2012.. Terakhir, data sekunder lainnya yang juga digunakan dalam penelitian ini adalah dokumen resmi dari kelima partai politik tersebut di atas, data-data statistik, pedoman umum, hasil studi dari berbagai literatur dan penelitian-penelitian terdahulu yang relevan dengan tema penelitian untuk mempertajam kredibilitas penelitian. 2. Teknik Pengumpulan Data Adapun alat bantu yang digunakan dalam penelitian ini berupa daftar wawancara sebagai uraian lebih lanjut dari pertanyaan penelitian, pedoman observasi, dan dokumentasi. Teknik ini dipilih untuk memberi kemudahan dalam kegiatan penelitian tidak dimaksudkan untuk membatasi tingkat fleksibilitas peneliti sebagai instrumen di lapangan.Wawancara dilakukan terhadap pengurus partai politik di tingkat pusat. Observasi dan dokumentasi dilakukan terhadap berbagai kegiatan yang terkait dengan peranan media televisi dalam pencitraan partai politik. Analisis dokumentasi lainnya dilakukan terhadap berbagai dokumen yang terkait dengan penelitian ini.Lebih lanjut, proses pengumpulan data pada penelitian ini disesuaikan dengan jenis penelitian. Data yang dihimpun dalam penelitian ini, yaitu berupa kata-kata, tindakan, dokumen, situasi, dan peristiwa yang dapat diobservasi. Sumber data yang dimaksud adalah kata-kata diperoleh secara langsung atau tidak langsung melalui observasi dan wawancara dan dokumen berupa catatan kegiatan yang tersimpan dalam dokumentasi. 3. Prosedur Penelitian Prosedur penelitian mengenai kebijakan perintisan dilakukan melalui beberapa tahap yaitu :(1) Tahap pralapangan yaitu kegiatan menyusun rancangan penelitian, penentuan lokasi, pengurusan perizinan, penjajakan atau penilaian kondisi lapangan, penentuan informan, penyiapan perlengkapan penelitian serta persiapan diri peneliti untuk beradaptasi dengan objek penelitian.(2) Pengolahan data dilakukan melalui pemrosesan dan pengolahan data dilakukan dengan menelaah seluruh data yang tersedia dari berbagai sumber (wawancara, pengamatan, studi/dokumen) kemudian dibuat abstraksi yaitu membuat rangkuman inti, proses dan pernyataan yang diperlukan dijaga sehingga tetap didalamnya guna penghalusan pencatatan data. Kedua dengan melakukan kategorisasi yaitu menyusun kategori atas dasar pilihan, intuisi, pendapat atau kriteria tertentu terhadap data yang diperoleh. Selanjutnya menempatkan data pada ketegori masing-masing.Tahap analisis data dimulai sejak memasuki lapangan untuk melakukan penelitian. Analisa data adalah proses penyusunan data agar dapat ditafsirkan (Nasution 1996: 126). Menyusun data dilakukan dengan menggolongkan data kedalam pola, tema atau kategori sehingga dapat memberi makna pada analisis, menjelaskan pola atau kategori dan mencari hubungan antara berbagai konsep yang mencerminkan perspektif atau pandangan peneliti dan bukan kebenaran. Untuk menganalisis data maka dilakukan proses mengatur urutan data, mengorganisasikan kedalam suatu pola, kategori dan satuan uraian dasar (Moleong, 2001). Dalam proses ini data disederhanakan sehingga lebih mudah dibaca dan diinterpretasikan sehingga mampu menggali informasi yang lebih luas, mendetail, dan mendalam. Data yang berwujud kata-kata dan bukan rangkaian angka dikumpulkan melalui observasi, wawancara, dokumen, dan pita rekaman. HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Hasil Penelitian Sebagai informasi awal dari hasil penelitian ini adalah gambaran bagaimana gambaran awal dari isi berita yang disajikan dari tiga stasiun televisi tentang isi pemberitaan dan iklan politik yang mereka tayangkan sepanjang periode waktu Agustus hingga November 2012. Pada stasiun televisi Metro TV, tercatat dari 2025 item berita yang ditayangkan Metro Hari Ini, terdapat sekitar164 berita tentang Partai Nasional Demokrat, diikuti 142 item berita tentang Partai Demokrat, lalu 95 iitem berita Golkar, 82 item berita PDIP dan 24 berita PKS. Jumlah tersebut menunjukkan betapa banyaknya durasi yang digunakan untuk Partai Nasdem, yang kebetulan pemilik stasiun televisi tersebut, Surya Paloh merupakan orang di balik layar Partai Nasdem. Hal itu terlihat dari sebagian bsar berita Nasdem yang muncul berisi acara seremonial pembentukan Partai Nasdem dan organisasi sayapnya di berbagai dearah. Sementara tingginya berita tentang Partai Demokrat lebih banyak diisi tentang terungkkapnya kasus sual yang dilakukan para politisi dari partai tersebut. Selain pengaruh dalam isi berita, Metro TV juga menerima dan menayangkan iklan Partai Nasdem yang cukup banyak, yaitu sebanyak 110 spot iklan dalam periode waktu Agustus hingga November 2012 lalu.Sementara, saingan Metro TV baik sebagai televisi berita maupun dari sisi kepemilikannya, yaitu TV One, tercatat menayangkan 1712 item pada program Kabar Petang. Dari jumlah tersebut, item berita tentang Partai Golkar sebanyak 102 item, disusul Partai Demokrat 95 item, 72 item tentang PDIP dan masing-masing 30 item berita tentang PKS dan Nasdem. Banyaknya item berita tentang Golkar pasti disebabkan kepemilikan stasiun televisi tersebut yang sepenuhnya dimiliki keluarga Bakrie, yang dipimpin Abrurizal Bakrie, yang juga merupakan Ketua Umum Partai Golkar dan calon presiden dari partai tersebut untuk pemilu tahun 2014 mendatang. Sebagian besar item berita tentang Golkar memang merupakan berbagai hal yang dilakukan Aburizal Bakrie dalam kapasitasnya sebagai Ketua Umum Golkar dan calon presiden dari parpol tersebut. Sementara untuk item berita tentang Partai Demokrat, sama seperti di pemberitaan Metro TV juga lebih banyak diisi dengan berita kasus suap yang dilakukan pengurus partai yang didirikan Presiden SBY tersebut. Berbanding sama dengan isi pemberitaan, TV One juga tercatat menayangkan 82 iklan politik Partai Golkar dan Aburizal Bakrie dalam berbagai versi sepanjang kurun waktu tiga bulan tersebut.Terakhir, stasiun Trans7 yang tidak berafiliasi dengan partai politik manapun, tercatat menayangkan 1008 item berita di Redaksi Sore sepanjang periode waktu Agustus hingga November mendatang. Dari jumlah tersebut, tercatat 42 item berita tentang Partai Demokrat, 20 item berita tentang PDIP, 18 item berita Partai Golkar, 15 item berita PKS dan 5 item berita tentang Partai Nasdem. Catatan tersebut menunjukkan tidak terlalu dominannya berita tentang partai politik di tayangan program berita di Trans7. Jumlah terbesar ada di Partai Demokrat, yang sebagian besar isinya memang tentang kejahatan korupsi yang dilakukan politisi partai tersebut.Melihat data isi pemberitaan media maupun iklan televisi yang menjadi salah satu alat untuk melakukan pencitraan bagi partai politik tersebut, informan yang berasal dari Partai Demokrat, PKS, dan PDI Perjuangan menyadari bahwa peranan dan keberadaan televisi saat ini khususnya dalam bidang politik sangat besar, banyak pengaruh politik yang diberikan media televisi. Bahkan seorang informan mengungapkan bahwa Televisi dapat menjadi alat untuk membantu pencitraan partai politik, terutama partai politik yang baru. Bentuk pencitraan tersebut bermacam-macam, bisa melalui iklan dan diskusi sehingga memberikangambaran kepada masyarakat.4 Sebagaimana dikatakan Kabid Humas DPP PKS bahwa Penetrasi televisi mencapai 100%, televisi paling tinggi pengaruhnya di masyarakat dan karenanya kekuatan televisi bisa mengganti mesin politik, misal dalam Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada). Meskipun saat ini mulai bermunculan berbagai media alternatif dengan tekologi yang lebih modern seperti internet, namun televisi masih dianggap sebagai media massa yang paling efisien dan berpengaruh di masyarakat. Berita dan informasi yang disebarkan oleh televisi lebih cepat sampai ke masyarakat.Saat ini banyak pemberitaan tentang partai politik di berbagai media, termasuk televisi, yang cenderung menyudutkan sehingga berpengaruh negatif terhadap citra partai politik. Persepsi masyarakat terhadap partai akibatpemberitaan tersebut adalah Parpol tidak lebih dari sekedar sekumpulan orang 4 Hasil wawancara dengan Dr. Nicodemus R. Toun (Partai Demokrat). yang haus akan kekuasaan, kekayaan materi, dan parpol tidak perduli terhadap nasib rakyat. Banyak parpol juga dianggap memanfaatkan kesempatan untuk meraup keuntungan dari kader-kader mereka di eksekutif dan legislatif sehingga muncul potensi korupsi.Terkait dengan berbagai pemberitaan yang cenderung menyudutkan tersebut, seluruh informan menganggap bahwa pemberitaan media massa saat ini cenderung kebablasan dan tidak objektif sehingga merugikan. Bahkan muncul adagium di media bad news is a good news. Media saat ini memiliki kecendrungan untuk mencari hal yang menarik untuk dipublikasikan karena menyangkut juga rating yang terkait dengan industri media yang bertujuanmencari keuntungan, jadi bukan lagi ideologis.5 Peranan televisi dalam membentuk opini masyarakat dirasakan betul oleh seluruh informan dari kalangan partai politik, televisi memberikan masyarakat pandangan langsung terhadap fenomena politik yang mereka lihat bahkan dengan perkembangan teknlogi yang ada saat ini masyarakat dapat langsung menyampaikan pandangan politik mereka di televisi.Anggota DPP Partai Demokrat merasakan bahwa pemberitaan tentang Partai Demokrat di berbagai televisi merugikan demokrat. Seperti dengan adanya pemberitaan kasus korupsi yang melibatkan anggota partai demokrat, padahal media harus memisahkan antara oknum dengan partai. PKS dan PDIP meskipun menganggap bahwa pemberitaan media televisi tidak dianggap merugikan mereka, tetapi ada beberapa kasus pemberitaan yang dianggap misleading.PKS misalnya, banyak melihat salah persepsi wartawan dalam menangkap maksud sebuah pernyataan Seperti Fachri Hamzah pernah mengungkapkan Bubarkan saja KPK, padahal maksudnya adalah kalau kinerja KPK selama ini tidak maksimal, tidak bisa mengungkap kasus besar dan lebih menghabiskan anggaran maka untuk apa dipertahankan. Pernyataan itu juga maksudnya agar KPK termotivasi untuk bekerja lebih keras. Ketika muncul berita bubarkan KPK akhirnya ada opini bahwa anggota PKS tidak mendukung pemberantasan korupsi, padahal maksud bukan seperti itu. Ada kasus lain yang diekspos oleh media seperti PKS anggota koalisi yang nakal dan harusdikeluarkan oleh koalisi. 5 Hasil wawancara dengan Nicodemus (Partai Demokrat), Mardani (PKS), dan Meiliana (PDI-P).PDI-P juga pernah merasakan dari pemberitaan televisi yang misleading yaitu waktu tahun 2004 ketika ada kasus Ibu Megawati dan Susilo Bambang Yudhoyono. Bapak Taufik Kiemas bilang SBY seperti anak-anak, oleh media berita tersebut diangkat berlebihan seolah-olah SBY di dzolimi akhirnya masyarakat menilai negatif kepemimpinan Ibu Mega dan Pak Taufik.Ada beberapa hal yang dilakukan partai politik untuk menanggapi atau menyikapi pemberitaan media di masyarakat, khususnya jika terkait dengan citra partai. Partai Demokrat akan menjadikan berita tersebut sebagai catatan dan evaluasi internal partai, namun disisi lain juga menghimbau kepada media televisi agar lebih menjalankan fungsi utamanya sebagai alat pendidikan dan sosialisasi politik, dan bukan menjadi corong kekuasaan atau kepentingan politik kelompok tertentu sebab televisi harus netral. Dalam beberapa hal PKS dan PDI Perjuangan juga melakukan evaluasi internal klarifikasi terhadap pemberitaan televisi jika berita tersebut dianggap tidak sesuai dengan fakta, menjelaskanmasalah yang sebenarnya kepada media.6 Sementara itu, Ketua Umum DPP Partai Nasdem, Patrice Rio Capella, menyangkal pihaknya menafaatkan Metro TV untuk menjadi corong partai yang dipimpinannya. Meski dimiliki oleh Surya Palon dan Harry Tanosoedibjo, redaksi Metro TV adalah independen, yang tidak bisa didikte dalam pemberitaannya. Lebih lanjut Rio juga mengatakan bahwa iklan Partai Nasdem yang ditayangkan Metro TV adalah iklan yang harga spot penayangannya sama dengan harga iklan komersial biasa. Menututnya, hal yang sama juga bisa dilakukan partai politik lainnya, karena Metro TV tidak menutup dan memasang harga tinggi bagi iklan partai politik lainnya yang akan ditayangkan oleh partai politik lainnya. Artinya, tidak ada keistimewaan dan perlakukan Metro TV terhadap partai politik-partai politik manapun, termasuk Partai Nasdem.Partai Demokrat, Partai Keadilan Sejahtera, dan PDI Perjuangan pada prinsipnya selalu menjalin komunikasi yang baik dengan berbagai media termasuk media televisi. Akan tetapi mereka tidak melakukan komunikasi politik secara khusus, sebab mereka menyadari bahwa media harus netral, objektif danprofesional.7 Berbagai cara yang dilakukan oleh partai politik untuk menjalin 6 Hasil wawancara dengan Nicodemus (Partai Demokrat), Mardani (PKS), dan Meiliana (PDI-P).7 Ibid. komunikasi yang baik dengan media diantaranya melalui kunjungan, diskusi, family gathering, tanding futsal, dan lain sebagainya. Partai Demokrat dan PDI Perjungan menganggap ada media televisi yang menjadi corong bagi kekuasaan kelompok kepentingan tertentu, diantaranya Metro TV dan TV One. Menurut kedua informan dari partai tersebut pemberitaan kedua stasiun televisi tersebut tidak objektif, karena menjadi corong kekuasaan kelompok tertentu. Sedangkan yang masih objektif ada RCTI, SCTV, Indosiar,ANTV, dan Trans TV atau TV Tujuh.8 Sedangkan PKS berdasarkan penilaian internal masih menganggap seluruh media televisi bersifat objektif dan belum ada yang konspiratif.9 Hal yang sama juga diungkapkan oleh Lalu Mara Satria Wangsa, yang menganggap bahwa semua pemberitaan televisi saat ini masih bersikap adil dan tidak memihak. Meski begitu, Lalu memberikan catatan tersendiri terhadap Metro TV yang sering dianggap berat sebelah ketika memberitakan tentang Golkar dan Abrurizal Bakrie. Metro TV lebih sering memberitakan berita yang jelek terhadap apa yang dilakukan Aburizal Bakrie dan Golkar, seperti yang terlihat dalam kasus Lumpur Lapindo, dimana stasiun televisi tersebut sangat getol menyalahkan keluarga Bakrie sebagai penyebab terjadinya danau lumpur tersebut. Bahkan menganggap tidak ada satupun yang dilakukan Bakrie untuk menanggulangi permasalahan akibat bencana alam tersebut.Menanggapi semakin menurunnya citra partai politik di mata masyarakat sebagai akibat dari adanya pemberitaan media televisi, informan dari Partai Demokrat dan PDI Perjuangan melihat hal ini sebagai akibat dari pemberitaan yang terus menerus memojokan dan tidak objektif sehingga masyarakat menganggap partai politik sebagai lembaga yang korup. Lebih lanjut informan dari Partai Demokrat mengatakan Harus dapat dipisahkan antara oknum anggota dengan partai sebagai organisasi.Sedangkan Kepala Bidang Humas DPP PKS menganggap menurunnya citra partai lebih disebabkan partai sampai dengan saat ini belum bisa memuaskan masyarakat. Apa yang diberitakan media bahwa partai merupakan sarang penyamun merupakan hal yang harus dijadikan bahan intropeksi diri.Bahwa partai juga saat ini belum memuaskan masyarakat. Meskipun PKS 8 Hasil wawancara dengan Nicodemus (Partai Demokrat) dan Meiliana (PDI-P).9 Hasil wawancara dengan Mardani (PKS). mendapatkan dampak negatif dari pemberitaan media namun bukan berarti PKS melakukan kompromi dengan media untuk memberitakan hal positif yang bohong. Tidak ada dalam program kita untuk melakukan kompromi politik denganmedia untuk membohongi masyarakat dengan berita-berita bohong.10 Meskipun pemberitaan media televisi saat ini cenderung menyudutkan namun Partai Demokrat dan PDI Perjuangan tidak mempunyai sarana media lain untuk mengimbangi berita yang ada. Akan tetapi ada keinginan untuk membuat sebuah stasiun televisi, namun kendalanya adalah soal dana.Sedangkan PKS lebih memanfaatkan media internal seperti website PKS, buku dan bulletin yang diterbitkan oleh DPP, DPW dan DPD untuk mengimbangi pemberitaan media massa. PKS juga saat ini sudah mulai merintis media radio lokal di beberapa daerah namun tidak secara khusus untuk PKS.Dalam menciptakan iklim politik yang demokratis, pola hubungan dan komunikasi antara stasiun televisi dengan partai harus berimbang, saling menghormati, mendukung dalam hal yang positif, serta bergerak sesuai dengan jalur dan ketentuannya masing-masing. Media tidak boleh memberitakan dan memvonis sesuatu yang belum tentu benar, dan karenanya undang-undang persdan media harus dipatuhi.11 2. Pembahasan Televisi merupakan salah satu media massa yang memiliki peran penting dalam penyebarluasan informasi, pendidikan, dan hiburan bagi masyarakat, saat ini jangkauan siaran televisi semakin luas dan hampir seluruh masyarakat dapat melihat berbagai macam program atau tayangan televisi hal ini tidak lain karena adanya perkembangan teknologi. Meningkatnya kebutuhan masyarakat terhadap peran atau fungsi televisi juga menjadi alasan bahwa saat ini hampir seluruh masyarakat memiliki televisi. Salah satu kebutuhan masyarakat di negara demokratis adalah tercukupinya segala informasi dalam bidang politik yang mencakup tentang segala aktivitas pemerintahan, dan karenanya televisi perlu memenuhi kebutuhan tersebut.Menurut Mc Quail (2011: 46) salah satu hal yang terkait dengan peranan media massa adalah dimensi politik, televisi diharapkan dapat menggunakan 10 Ibid11 Hasil wawancara dengan Nicodemus (Partai Demokrat), Mardani (PKS), dan Meiliana (PDI-P). kemampuan informatif mereka untuk mendukung proses demokratis dan melayani kebutuhan publik. Tugas demokratik pers, termasuk media televisi, dalam memberikan informasi politik sangat diakui, informasi politik yang disampaikan kepada masyarakat dapat berupa kontrol politik terhadap kekuasaan maupun pendidikan politik. Sebagian kalangan partai politik di Indonesia pun menyadari bahwa peranan dan keberadaan televisi saat ini khususnya dalam bidang politik sangat besar, banyak pengaruh politik yang diberikan media televisi.Media massa termasuk televisi terkadang dipuji karena kegunaannya di bidang pendidikan dan kebudayaan, namun juga ditakuti karena pengaruhnya yang mengganggu. Media massa menurut Mc Quail (2011: 59) memiliki kemampuan untuk mengubah kecendrungan opini publik, seperti protes dan demo politik yang rusuh atau bahkan menurunnya demokrasi dan meningkatnya apatisme politik. Karena kemampuannya itulah media massa terkadang mendapat perhatian dari para pelaku politik dan pemerintahan, baik yang negatif dengan adanya kontrol dan kritik terhadap media maupun perilaku positif dengan adanya pemanfaatan terhadap media massa.Apabila melihat kepada munculnya apatisme politik masyarakat terhadap partai politik maka hal tersebut tidak dapat dilepaskan juga dari adanya peran media massa dalam memberikan berbagai macam informasi tentang kelemahan atau keburukan partai politik termasuk para anggotanya, karena itu terkadang partai politik melihat media massa, khususnya televisi, sebagai sesuatu yang negatif. Peranan media televisi dalam membentuk opini masyarakat dirasakan betul oleh seluruh informan dari kalangan partai politik, dimana menurut para informan bahwa televisi memberikan masyarakat pandangan langsung terhadap fenomena politik yang mereka lihat bahkan dengan perkembangan teknlogi yang ada saat ini masyarakat dapat langsung menyampaikan pandangan politikmereka di televisi.12 Banyak pemberitaan media televisi yang terkadang dapat dianggap cenderung menyudutkan partai politik sehingga pada akhirnya merubah persepsi masyarakat terhadap partai politik, dan yang paling buruk adalah munculnyaapatisme politik masyarakat. Berbagai pemberitaan tentang perilaku korup dan 12 Ibid. tidak bermoral sebagian anggota partai di Dewan Perwakilan Rakyat telah mendorong asumsi publik bahwa partai politik tidak lebih dari sekedar sekumpulan orang yang hanya mengincar kekuasaan, kekayaan materi, dan tidak perduli terhadap nasib rakyat kecil. Banyak partai politik juga dianggap memanfaatkan kesempatan ketika berkuasa untuk meraup keuntungan sehingga muncul potensi korupsi.Terkait dengan dampak berbagai pemberitaan yang cenderung menyudutkan tersebut, seluruh informan menganggap bahwa pemberitaan media massa saat ini cenderung kebablasan dan tidak objektif sehingga merugikan. Bahkan muncul adagium di media bad news is a good news. Media saat ini memiliki kecendrungan untuk mencari hal yang menarik untuk dipublikasikan karena menyangkut juga rating yang terkait dengan industri media yang bertujuan mencari keuntungan, jadi bukan lagi ideologis.13Jika halnya pandangan para informan yang menyebutkan bahwa media saat ini sudah terkait dengan industri dan bertujuan lebih mencari keuntungan daripada memunculkan sisi ideologis media maka hal tersebut menurut peneliti merupakan sebuah kemunduran bagi perkembangan media massa. Bahwasanya media massa memang membutuhkan dana atau ongkos untuk operasionalnya, namun hal tersebut tidak bisa dilakukan dengan membuat penulisan berita yang dramatis dan sensasional hanya untuk mendapatkan rating atau porsi perhatian yang besar dari penonton sehingga berdampak pada besarnya penghasilan iklan. Connell (1998) sebagaimana dikutip oleh McQuail (2011: 34) mengungkapkan bahwa media massa semacam itu adalah dangkal dan tidak bertanggungjawab.Media televisi terkadang dianggap dapat memberikan dampak negatif bagi partai politik, namun hal tersebut tidak menyurutkan beberapa partai politik untuk tetap menjalin komunikasi yang baik dan profesional dengan media televisi. Dari apa yang peneliti amati dilapangan bahwa diantaranya keduanya tetap memiliki keterikatan hubungan yang tidak bisa dilepaskan begitu saja, sebagaimana contohnya iklan dan kampanye partai politik di media televisi tidak hanya dapat dilihat dari sisi kepentingan partai saja tetapi juga dapat dilihat darisisi kepentingan media televisi, sebab media massa saat ini dapat dikatakan 13 Ibid. sebagai sebuah industri, dimana menurut McQuail (2011: 34) perusahaan semacam ini pada dasarnya bersifat komersial.Berbagai macam bentuk atau pola kerjasama dan komunikasi yang dilakukan partai politik dengan media televisi, diantaranya dilakukan melalui kegiatan formal seperti kunjungan dan diskusi, serta kegiatan non-formal seperti tanding futsal, family gathering, dan lain sebagainya. Hal tersebut menunjukkan bahwa pada dasarnya partai politik dan media televisi tetap saling membutuhkan sehingga perlu ada komunikasi.Kerjasama dan komunikasi antara media televisi dengan partai politik dianggap tidak hanya sebagai salah satu cara yang efektif dan efisien dalam meminimalisir persepsi negatif masyarakat terhadap partai politik, tetapi juga dalam menaikan citra partai atau popularitas kader partai. Adalah dalam Pilkada DKI Jakarta sebagaimana diungkapkan oleh informan di atas bahwa sosok Joko Widodo (Jokowi) dapat diangkat karena media. Peranan media dalam mempopulerkan Jokowi sebagai Walikota Solo dan kader PDI Perjuangan yang sederhana dan merakyat, pada akhirnya dapat mendorong Jokowi menjadi Gubernur DKI Jakarta terpilih di Tahun 2012.14Televisi juga dapat menjadi alat untuk membantu pencitraan partai politik, terutama partai politik yang baru. Bentuk pencitraan tersebut bermacam-macam, bisa melalui iklan dan diskusi sehingga memberikan gambaran kepada masyarakat. Terkait tentang bentuk pencitraan politik melalui televisi peneliti melihat bahwa pemberitaan juga merupakan iklan, yang dapat dianggap sebagai iklan non-konvensional, karena tidak dikhususkan tayang dalam kurun waktu tertentu dan tidak langsung menunjukan kepada atribut tertentu, sedangkan iklan-iklan pada umumnya ditayangkan pada kurun waktu tertentu dan lebih langsung menonjolkan atribut atau simbol. Untuk membuat suatu pemberitaan yang baik maka diperlukan juga komunikasi yang baik.Tidak dapat dipungkiri bahwa keberadaan media massa tidak dapat dilepaskan dari peranan dan fungsinya dalam bidang sosial dan politik, karena penetrasinya yang begitu luas maka banyak media televisi telah dilirik oleh beberapa partai politik untuk digunakan sebagai alat melakukan sosialisasipolitik. 14 Hasil wawancara dengan Meiliana (PDI-P) Meskipun saat ini mulai bermunculan berbagai media alternatif dengan tekologi yang lebih modern seperti internet, namun televisi masih dianggap sebagai media massa yang paling efisien dan berpengaruh di masyarakat. Berita dan informasi yang disebarkan oleh televisi lebih cepat sampai ke masyarakat.Strategi komunikasi yang tepat memang harus dilakukan oleh partai politik untuk menyiasati agar aktivitas dan pencitraan partai politik mereka tetap menjadi agenda setting dalam isi pemberitaan yang dilakukan media massa, terutama televisi. Sebab, jika hanya mengandalkan upaya membayar iklan politik di televisi, pasti membutuhkan dana yang tidak sedikit. Terbukti, selama tahapan awal pemilu 2014, tercatat hanya Partai Golkar dan Partai Nasdem yang menayangkan iklan politik mereka di televisi. Iklan politik kedua partai politik tersebut juga hanya tayang di TV One dan Metro TV, yang kepemilikannya ada di tangan pimpinan kedua partai politik tersebut di atas. Dengan demikian, kemungkinan tidak membayar atau mendapatkan harga yang jauh dari rate normal, dapat dilakukan kedua partai politik tersebut, saat menayangkan iklan politik mereka di kedua stasiun televisi tersebut. Suatu hal, yang dibantah oleh Ketua Umum Partai Nasdem, Rio Capella.Penetrasi televisi yang begitu luas jangkauannya dan juga efisien menjadi pertimbangan bagi beberapa partai politik dengan modal yang besar untuk merapat ke media atau bahkan secara tersembunyi memiliki media televisi itu sendiri, sedangkan bagi sebagian partai politik lainnya hanya bisa memanfaatkan televisi untuk kegiatan-kegiatan tertentu seperti pemilihan umum atau pemilihan kepala daerah. Akan tetapi kepemilikian media televisi oleh partai politik atau tokoh politik dari sebuah partai dapat memunculkan adanya potensi ketidaknetralan atau tidak independennya media, baik dari sisi pemberitaan yang kemungkinan akan condong ke arah kebijakan salah satu partai ataupun yang selalu menyerang dan mencari kesalahan partai politik lainnya.Terkait dengan hal tersebut di atas dua orang informan, yaitu dari Partai Demokrat dan PDI Perjungan menganggap ada media televisi yang menjadi corong bagi kekuasaan kelompok kepentingan tertentu, diantaranya Metro TV dan TV One. Menurut kedua informan dari partai tersebut pemberitaan kedua stasiun televisi tersebut tidak objektif, karena menjadi corong kekuasaan kelompok tertentu. Sedangkan yang masih objektif ada RCTI, SCTV, Indosiar, ANTV, dan Trans TV atau TV Tujuh.15Memang hal tersebut dibantah oleh pengurus Partai Nasdem dan Partai Golkar, yang merasa tidak melakukan intervensi dalam kebijakan redaksional yang ada di stasiun televisi Mero TV dan TV One, yang kepemilikannya memang dikuasai unsur pimpinan dari kedua partai politik tersebut di atas. Namun, bantahan kedua pengurus partai politik tersebut ternyata tidak sesuai dengan realita yang terjadi. Pada kedua stasiun televisi tersebut, data menunjukkan banyaknya item berita tentang partai politik yang berafiliasi dengan kedua stasiun televisi tersebut. Porsi yang demikian besar itu masih ditambahkan dengan adanya kecenderungan berita yang selalu menonjolkan kebaikan atau keberhasilan partai politik atau pimpinan partai politik yang dekat dengan pemilik kedua stasiun televisi tersebut. Dengan demikian, rasanya adanya tudingan yang menyatakan bahwa Metro TV dan TV One memiliki kecenderungan menyajikan berita yang memihak salah satu konstestan pemilu mendatang, dapat dibenarkan adanya.Dalam menciptakan iklim politik yang demokratis, pola hubungan dan komunikasi antara stasiun televisi dengan partai harus berimbang, saling menghormati, mendukung dalam hal yang positif, serta bergerak sesuai dengan jalur dan ketentuannya masing-masing. Media tidak boleh memberitakan dan memvonis sesuatu yang belum tentu benar, dan karenanya undang-undang persdan media harus dipatuhi.16 SIMPULAN Pemanfaatan media televisi dalam pencitraan partai politik sudah menjadi bahan kajian menarik, terutama dalam setiap penyelengaraan pemilihan, termasuk pada tahapan awal pemilu tahun 2014. Televisi masih dianggap sebagai media massa yang paling efektif dalam menyampaikan pesan, tidak terkecuali pesan politik yang selalu disampaikan oleh partai politik, terutama dalam kapasitas mereka sebagai konstentan pemilihan umum. Meski sudahbanyak alternative media massa lainnya, termasuk media sosial yang kian ramai 15 Hasil wawancara dengan Nicodemus (Partai Demokrat) dan Meiliana (PDI-P).16 Hasil wawancara dengan Nicodemus (Partai Demokrat), Mardani (PKS), dan Meiliana (PDI-P). digunakan dewasa ini, pemanfaatan televisi untuk pencitraan partai politik pada saat penyelenggaraan pemilu, tetap dianggap paling signifikan.Meski demikian, untuk bisa masuk dalam isi pemberitaan atau menjadi bagian dalam agenda setting redaksi pemberitaan stasiun televisi, tentu tidak mudah bagi setiap partai politik. Apalagi, jika menginginkan issu pemberitaan yang diangkat memberikan kontribusi positif dalam pencitraan partai politik yang bersangkutan. Perlu strategi tersendiri dan kreatifitas yang tinggi dari setiap partai politik untuk dapat mewujudkan hal tersebut. Kerjasama dan komunikasi yang intensif wajib dilakukan partai politik dengan redaksi pemberitaan stasiun televisi. Bahkan, keunikan dalam setiap melakukan kegiatan politik, perlu dilakukan agar dapat terekspose media, termasuk televisi.Langkah tersebut di atas mutlak dilakukan, mengingat cara lain untuk meningkatkan pencitraan partai politik melalui iklan di televisi, terbilang berbiaya mahal. Pilihan menayangkan iklan partai politik memang belum banyak dilakukan para peserta pemilu di tahapan awal pemilu 2014. Waktu pencoblosan suara yang dianggap masih lama, menjadi dasar pertimbangan, langkah memasang iklan televisi yang tidak murah itu, tidak menjadi pilihan utama. Jikapun ada pemasangan iklan oleh beberapa partai politik, seperti Partai Golkar dan Partai Nasdem, disebabkan stasiun televisi seperti TV One dan Metro TV yang menayangkan iklan kedua partai tersebut, dimiliki unsur pimpinan Partai Golkar dan Partai Nasdem.Memang, masalah kepemilikan beberapa stasiun televisi oleh unsur pimpinan partai politik yang akan bertanding di pemilu mendatang, menjadi permasalahan tersendiri dalam pesta demokrasi tahun 2014 nanti. Saat ini saja, sudah ada tudingan dan kecaman karena tidak berimbangnya pemberitaan yang dilakukan TV One dalam pemberitaannya tentang Partai Golkar dan pencalonan Ketua Umum Partai Golkar, Aburizal Bakrie sebagai presiden di pemilu mendatang yang juga pemilik Group Bakrie yang menguasai saham TV One. Begitu pula dengan pemberitaan Metro TV yang amat besar untuk aktifitas yang dilakukan Partai Nasdem maupun unsur pimpinan partai tersebut, Surya Paloh dan Harry Tanoesudibjo, yang juga menjadi pemilik Metro TV. Penguasaan media oleh politisi sudah menjadi strategi lain yang dilakukan dalam pencitraan partai politik dewasa ini. Pencitraan partai politik melalui media televisi pada tahapan lanjutan pemilu tahun 2014, tentu akan semakin marak dan beragam. Bukan tidak mungkin, kegiatan tersebut akan menyebabkan timbulnya ketegangan atau konflik di antara partai politik peserta pemilu. Selain itu, persaingan tersebut bukan tidak mungkin juga akan merugikan masyarakat atau penonton, terutama dalam kenyamanan mereka mendapatkan informasi dan hiburan dari televisi. Tentu, permasalahan itu, kian menarik untuk diamati dan dilakukan penelitiannya di tahun-tahun mendatang, sebagai langkah lanjut dari penelitian yang dilakukan saat ini. DAFTAR PUSTAKA BukuArriane, Lely. 2010. Komunikasi Politik, Politisi dan Pencitraan di Panggung Politik. Bandung: Widya Padjajaran. Baran, J. Stanley & Dennis K. Davis. 2010. Teori Komunikasi Massa; Dasar,Pergolakan dan Masa Depan. Jakarta: Salemba Humanika. Biagi, Shirley, Media/Impact. 2010. Jakarta: Penerbit Salemba Humanika. Bungin, Burhan. 2008. Penelitian Kualitatif, Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan Publik dan Ilmu Sosial Lainnya. Jakarta: Kencana. Creswell, John. Research Design; Qualitative dan Quantitative Approaches, 2001. Jakarta: UI Press. Denzin, Noorman K & Yvonna S. Lincoln. 2009. Handbook of Qualitative Reasearch. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Lippmann, Walter. 1922. Public opinion. New York: Macmillan. Luwarso, Lukas, dkk. 2004. Media dan Pemilu 2004. Jakarta: SEAPA.McQuail, Denis. 2011. Teori Komunikasi Massa (Buku 1). Jakarta: Salemba Humanika. Moleong, Lexy J. 2007. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.Mufid, Muhamad. 2007. Komunikasi & Regulasi Penyiaran. Jakarta: Kencana. Mulyana, Deddy & Solatun. 2007. Metode Penelitian Komunikasi. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Severin, Werner J. & James W. Tankard 2008. Teori Komunikasi, Sejarah Metode dan Terapan di Dalam Mediia Massa. Jakarta: Kencana. Vivian, John. 2008. Teori Komunikasi. Jakarta, Kencana.West, Richard & Lynn H Turner. 2008. Pengantar Teori Komunikasi 1. Jakarta: Salemba Humanika. West, Richard & Lynn H Turner. 2008. Pengantar Teori Komunikasi 2. Jakarta: Penerbit Salemba Humanika. Artikel McCombs, Maxwell. The Agenda-Setting of the Mass Media in the Shaping of Public Opinion. University of Texas at Austin. RIWAYAT PENULIS 1. Rahmat Edi Irawan, S.Pd., M.Ikom. Pekerjaan: Dosen Jurusan Marketing Communication Universitas Bina Nusantara untuk mata kuliah Broadcasting dan Praktisi Penyiaran di salah satu stasiun televise swasta nasional.Pendidikan: S1 Jurusan Pendidikan Sejarah IKIP Jakarta, dan S2 Ilmu Komunikasi Universitas Mercu Buana Jakarta. 2. Yusa Djuyandi, S.IP., M.Si. Pekerjaan: Dosen Jurusan Ilmu Komunikasi (marketing communication) Universitas Bina Nusantara, Peneliti di Lembaga Studi Pertahanan dan Studi Strategis Indonesia (Lesperssi), dan Anggota Kajian Strategis IKA Universitas Padjadjaran.Pendidikan: S1 dari Jurusan Ilmu Pemerintahan, Universitas Padjadjaran; S2 dari Jurusan Ilmu Politik Universitas Padjadjaran. 3. Marta Sanjaya, S.IP., M.Si. Pekerjaan: Dosen Jurusan Marketing Communication untuk mata kuliah Politik dan Public Relation serta Praktisi PR di salah satu perusahaan swasta di Jakarta.Pendidikan; S1 Ilmu Politik Universitas Nasional dan S2 Ilmu Politik Universitas Nasional.http://marcomm.binus.ac.id/lecturers-journals/peliputan-media-televisi-dalam-pencitraan-partai-politik-menjelang-pemilihan-umum-2014/