Paraquat

32
BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Gulma adalah tumbuhan yang umum berada di lingkungan hidup manusia, dapat terlihat sadar atau tidak sadar, mampu menginfestasikan diri di sisi jalan, pagar-pagar rumah, saluran air, kolam, kebun dan taman, lahan penggembalaan, lahan pertanian, serta hutan. Gulma adalah bagian yang tidak terlepas dari dunia pertanian dan mempengaruhi penggunaan lahan, nilai ekonomi lahan, serta nilai estetika lahan. Pengendalian gulma merupakan suatu ha1 yang mutlak dilakukan untuk mempertahankan kesinambungan produksi pertanian karena gulma berkompetisi secara kuat dengan tanaman pokok dalam mendapatkan cahaya, air, hara, dan ruang hidup. Gulma juga mengganggu pemanenan dan proses pemeliharaan tanaman pokok seperti pemupukan, selain itu dapat menjadi inang bagi hama, penyakit, dan nematoda. Penggunaan herbisida merupakan metode pengendalian secara kimia yang menawarkan kemungkinan-kemungkinan untuk menghindari kerusakan fisik akibat pengendalian secara mekanis maupun manual, menekan biaya yang tinggi, mempersingkat waktu, dm penggunaan tenaga kerja yang lebih sedikit. Aldrich (1984), menyatakan bahwa herbisida memberikan kontribusi yang cukup besar dalam

Transcript of Paraquat

Page 1: Paraquat

BAB I

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Gulma adalah tumbuhan yang umum berada di lingkungan hidup manusia,

dapat terlihat sadar atau tidak sadar, mampu menginfestasikan diri di sisi jalan,

pagar-pagar rumah, saluran air, kolam, kebun dan taman, lahan penggembalaan,

lahan pertanian, serta hutan. Gulma adalah bagian yang tidak terlepas dari dunia

pertanian dan mempengaruhi penggunaan lahan, nilai ekonomi lahan, serta nilai

estetika lahan.

Pengendalian gulma merupakan suatu ha1 yang mutlak dilakukan untuk

mempertahankan kesinambungan produksi pertanian karena gulma berkompetisi

secara kuat dengan tanaman pokok dalam mendapatkan cahaya, air, hara, dan

ruang hidup. Gulma juga mengganggu pemanenan dan proses pemeliharaan

tanaman pokok seperti pemupukan, selain itu dapat menjadi inang bagi hama,

penyakit, dan nematoda.

Penggunaan herbisida merupakan metode pengendalian secara kimia yang

menawarkan kemungkinan-kemungkinan untuk menghindari kerusakan fisik

akibat pengendalian secara mekanis maupun manual, menekan biaya yang tinggi,

mempersingkat waktu, dm penggunaan tenaga kerja yang lebih sedikit. Aldrich

(1984), menyatakan bahwa herbisida memberikan kontribusi yang cukup besar

dalam rancangan budidaya pertanian dengan meminimumkan kehilangan hasil

akibat gulma, dalam suatu sistem produksi pertanian.

Paraquat (1,1-dimetil,4,4-bipiridilium) merupakan bahan aktif herbisida jenis

gramoxone, yang banyak digunakan di lahan pertanian. Paraquat diklasifikasikan

sebagai herbisida golongan piridin yang non selektif dan digunakan untuk

membunuh gulma yang diaplikasikan pra-tumbuh dan pasca-tumbuh. Herbisida

pra-tumbuh diberikan sebelum gulma dan tanaman tumbuh. Herbisida pasca-

tumbuh disemprotkan bila gulma dan tanaman sudah tumbuh bersama-sama. Pada

keadaan ini herbisida harus benar-benar selektif dalam arti kata dapat mematikan

gulma tetapi aman bagi tanaman budidaya.

Page 2: Paraquat

Penilaian resiko (risk assessment) lingkungan sangat mungkin untuk

mengasumsikan bahwa suatu perjalanan pemaparan adalah penting dan yang lain

tidak penting. Dalam makalah ini akan dibahas mengenai risk assessment paraquat

baik di lingkungan terestrial, akuatik maupun terhadap manusia.

Page 3: Paraquat

BAB II

KAJIAN TEORI

2.1 Struktur dan Sifat Paraquat

Paraquat telah disintesis pertama kali pada tahun 1882, tetapi

pemanfaatannya sebagai herbisida, baru dilakukan pada tahun 1955 oleh pusat

penelitian Jealott’s Hill ICI. Paraquat memiliki nama kimia 1,1-dimetil-4,4-

bipiridilium dan mempunyai nama lain paraquat dichloride, methyl viologen

dichloride, Crisquat, Dexuron, Esgram, Gramuron, Ortho Paraquat CL, Para-col,

Pillarxone, Tota-col, Toxer Total, PP148, Cyclone, Gramixel, Gramoxone,

Pathclear, AH 501.

Sesuai namanya, paraquat memiliki rumus molekul [C12H14N2]2+ dengan

struktur sebagai berikut (Cremlyn, 1991: 254):

Gambar 1. Paraquat (Kation 1,1-dimetil,4,4-bipiridilium)

Paraquat atau kation 1,1-dimetil,4,4-bipiridilium juga tersedia sebagai

garam dibromida ataupun diklorida dengan rumus [C12H14N2] Br2 atau [C12H14N2]

Cl2. Senyawa ini berwujud padatan berwarna putih bersih dan sangat larut dalam

air (Rahway, 1983; Lestari, 2000: 5). Struktur kimia [C12H14N2] Cl2 adalah sebagai

berikut (IPCS INCHEM, 1984: 11):

Gambar 2. 1,1-dimetil,4,4-bipiridilium diklorida

Paraquat memiliki kemampuan menyerap sinar radiasi ultra violet pada

panjang gelombang maksimum l= 260 nm, yaitu sebagai akibat transisi elektronik

p pada ikatan rangkap terkonjugasi dalam gugus bipiridil. Paraquat tereduksi

berwarna biru dan menyerap sinar pada panjang gelombang l = 600 nm (Cunnif,

1990; 227).

Page 4: Paraquat

Tabel 1. Sifat Kimia dan Fisika Paraquat (European Commission, 2003: 8-9 )

Paraquat berbentuk kristal putih padat, higroskopis, warna merah tua dan

memiliki aroma amoniak yang menyengat. Paraquat dalam larutan, cepat

mengalami penguraian oleh sinar ultra violet sebagaimana telah terbukti bahwa

larutan kation 1,1-dimetil-4,4-dipiridilium klorida di tempat gelap selama tujuh

hari tidak mengalami pengurangan yang signifikan tetapi pada tempat yang terang

terjadi pengurangan hingga 85%. Ini disebabkan karena sinar ultra violet dari

matahari dapat membuka salah satu cincin piridin menghasilkan N-metil-4-

karboksipiridilium klorid dan selanjutnya menghasilkan metilamin hidroklorid

(Hassal, 1990; Lestari, 2000: 6).

Gambar 3. Degradasi fotokimia paraquat (IPCS INCHEM, 1984: 18)

Page 5: Paraquat

Paraquat memiliki efikasi yang cepat dan cukup besar terhadap berbagai

jenis gulma berdaun sempit. Namun efeknya terhadap gulma bersifat sementara,

sehingga memerlukan aplikasi yang rutin. Senyawa xenobiotik ini bersifat stabil

di lingkungan asam, dan bersifat labil di lingkungan dengan pH basa.

2.2 Risk Assessment Paraquat

Tingginya intensitas aplikasi dan jumlah herbisida yang diaplikasikan

menimbulkan kekhawatiran yang cukup beralasan mengenai bahaya pencemaran

yang berasal dari residu herbisida yang tertinggal di lingkungan, khususnya dalam

tanah dan air. Residu herbisida dalam tanah dan air dikhawatirkan akan

menimbulkan gangguan kesehatan bagi manusia dan hewan serta dapat

mengganggu pertumbuhan tanaman budidaya pada musim berikutnya.

Penggunaan herbisida paraquat memberikan manfaat bagi petani, yaitu

meningkatkan hasil produksi pertanian dengan mencegah hama. Di sisi lain,

herbisida juga memberikan dampak pencemaran lingkungan yang signifikan bagi

ekosistem, hal ini dikarenakan bahan aktif pestisda adalah POPS (Persisten

Organic Pollutans) (Laporan Status Lingkungan Hidup Indonesia, 2002: 7).

Penggunaan paraquat memiliki dampak yang cukup signifikan bagi

kerusakan lingkungan. Pencemaran tersebut menyebabkan gangguan pada

mikroorganisme tanah dan tanah kurang efisien karena bahan aktif herbisida

dijerap oleh tanah. Paraquat juga relatif stabil pada suhu, tekanan dan pH normal.

Hal ini memungkinkan paraquat lebih stabil di dalam tanah. Sifat paraquat juga

mudah larut dalam air, menjadikan paraquat sebagai senyawa yang mudah tercuci

oleh air hujan atau air irigasi, sehingga mencemari sistem perairan (Hartzler,

2002; Muktamar dkk, 2004: 12).

Melihat dampak yang ditimbulkan oleh paraquat terhadap lingkungan begitu

besar, maka perlu dilakukan risk assessment (penilaian resiko) lingkungan

terhadap paraquat baik di lingkungan terestrial, aquatik, maupun manusia.

Risk assessment terdiri dari empat tahap yaitu identifikasi bahan berbahaya

(hazard identification), penilaian atas dosis yang diberikan (dose-response

evaluation), analisis pemaparan (exposure assessment), dan karakterisasi resiko

(risk characterization).

Page 6: Paraquat

Hazard identification didefinisikan sebagai penetapan apakah suatu jenis

bahan kimia memberikan atau tidak memberikan atau tidak memberikan pengaruh

terhadap kesehatan. Penetapan suatu bahan dikategorikan berbahaya biasanya

melalui penelitian dalam kondisi terkendali pada dosis-dosis tertentu. Terkait

dengan jenis herbisida, bahan kimia berbahaya yang digunakan adalah paraquat.

Berkaitan dengan kajian resiko ekologis, pengaruh penyebaran paraquat atau

dampak bahan berbahaya terhadap organisme non-target dikelompokkan sebagai

bahaya potensial.

Dose-response evaluation adalah penetapan berkaitan antara besarnya

pemaparan yang terjadi dan kemungkinan timbulnya efek merugikan. Banyak

bahan hanya akan menimbulkan efek yang merugikan hanya jika berada dalam

konsentrasi tinggi, misalnya beberapa inhibitor proteinase, sehingga

dikelompokkan memiliki tingkat bahaya rendah. Sebaliknya beberapa jenis

herbisida sudah menyebabkan gangguan kesehatan pada dosis yang rendah.

Exposure assessment adalah penetapan besarnya paparan oleh bahan

toksik dalam kondisi tertentu. Pemaparan paraquat terhadap spesies non-target

terkait dengan kajian resiko ekologis, sedangkan pemaparan terhadap manusia

dikategorikan sebagai kajian resiko terhadap kesehatan.

Risk characterization mempertimbangkan semua hal di atas. Selain itu

karakterisasi resiko memerlukan juga kajian kuantitatif mengenai kemungkinan

munculnya pengaruh buruk pada kondisi pemaparan tertentu misalnya satu di

antara 10.000 orang akan terganggu kesehatannya pada kondisi tersebut.

2.3 Potensi Resiko Paraquat

2.3.1 Potensi Resiko terhadap Tanaman

Paraquat merupakan salah satu herbisida yang penggunaannya begitu

luas. Paraquat merupakan herbisida kontak non selektif yang diaplikasikan ke

tanaman yang berhijau daun atau berklorofil. Paraquat membunuh jaringan

hijau tanaman dengan cepat pada kondisi intensitas cahaya yang tinggi karena

toksisitas paraquat tergantung pada fotosintesis (Anderson, 1977). Molekul

berbisida yang telah mengalami penetrasi ke dalam daun atau bagian

tumbuhan yang hijau, apabila terkena sinar matahari akan menghasilkan

Page 7: Paraquat

hidrogen peroksida (H2O2) yang lcemudian merusak membran sel

(Tjitrosoedirdjo, Utomo dan Wiroatmodjo, 1984).

Paraquat merusak jaringan hijau tanaman, namun akan berubah dengan

cepat menjadi tidak aktif apabila kontak dengan tanah, karena adanya reaksi

antara muatan kation ganda pada paraquat dan muatan negatif dari mineral

liat yang menyebabkan ikatan kompleks tidak aktif. Paraquat mudah

diencerkan dan dicampur dengan herbisida lain karena kompatibilitasnya

tinggi (Tomlin, 1994).

Aktifitas dan reaksi kimia paraquat tergantung pada kationnya dan tidak

dipengaruhi sifat gabungan anion. Bagian aktif paraquat adalah garam

dikloridanya, dan tempat aksi terjadi pada kloroplas. Ion herbisida direduksi

melalui proses fotosintesis menjadi radikal stabil dan mengalami auto-

oksidasi membentuk ion bypiridilium serta H2O2 (LeBaron dan Gressel,

1982).

Penggunaan herbisida paraquat akan mempengaruhi proses fotosintesis,

yaitu menyebabkan aliran elektron ke NADP+ pada sistem cahaya I terhenti.

Paraquat bertindak sebagai penerima elektron kemudian mereaksikannya

dengan oksigen membentuk superoksida yang dapat merusak komponen lipid

dan membran kloroplas.

Penggunaan paraquat yang semakin meningkat dalam jangka panjang

dapat mengganggu keseimbangan ekosistem oleh karena keberadaan

residunya di dalam tanah. Keberadaan residu paraquat dalam tanah akan

terserap oleh tanaman melalui perakarannya sehingga jaringan tanaman akan

menjadi rusak dan akhirnya tanaman bisa mati kekeringan.

2.3.2 Potensi Resiko terhadap Tanah

Herbisida yang diaplikasikan untuk mengendalikan gulma, baik aplikasi

pratumbuh maupun pascatumbuh, sebagian akan diserap gulma atau tanaman,

sebagian akan hilang menguap, dan sebagian lagi akan tertinggal dalam

tanah, atau yang sering kita sebut sebagai residu herbisida. Herbisida yang

tertinggal ini sebagian akan diurai oleh mikroba tanah sedangkan sebagiannya

lagi akan bergerak secara horizontal melalui aliran permukaan ataupun secara

vertikal ke lapisan tanah yang lebih dalam, bahkan sampai air bawah tanah.

Page 8: Paraquat

Perilaku herbisida dalam tanah sangat ditentukan oleh berbagai faktor

termasuk proses yang terjadi di dalam tanah dan karakteristik herbisida.

Beberapa hal yang mempengaruhi perilaku herbisida yang diaplikasikan

diantaranya adalah proses penguapan, metode aplikasi, formulasi herbisida,

jenis tanah dan tanaman, kelarutan herbisida, adsorpsi oleh tanah dan

tanaman, persistensi dan kondisi iklim (Waldron, 2003).

Menurut Zimdahl (1993) dan Waldron (2003) tanah yang tinggi

kandungan bahan organik dan liatnya mengadsorpsi herbisida lebih besar

daripada tanah berpasir sehingga dibutuhkan konsentrasi herbisida yang lebih

tinggi untuk mendapatkan aktivitas herbisida yang sama. Paraquat (1,1-

dimetil-4,4-bipiridin) merupakan bahan aktif beberapa jenis herbisida yang

banyak digunakan di lahan pertanian.

Herbisida paraquat merupakan bagian dari kelompok senyawa

bioresisten yang sulit terdegradasi secara biologis dan relatif stabil pada suhu,

tekanan dan pH normal. Hal ini memungkinkan paraquat teradsorpsi sangat

kuat oleh partikel tanah yang menyebabkan senyawa ini dapat bertahan lama

di dalam tanah (Sastroutomo, 1992). Paraquat diketahui sebagai senyawa

yang sangat toksik, dan keberadaannya di dala tanah sebesar 20 ppm mampu

menghambat perkembangan dan aktivitas bakteri Azotobacter dan Rhizobium

yang berperan dalam fiksasi nitrogen (Martani, dkk. 2001).

Herbisida Paraquat bila terdisosiasi akan membentuk kation dalam

larutan tanah dan akan difiksasi oleh pertukaran kation pada muatan negatif

permukaan koloid tanah. Sebagai herbisida kationik, paraquat akan terionisasi

sempurna dalam larutan tanah membentuk kation divalen dengan muatan

positif terdistribusi di sekeliling molekul, dan paraquat akan segera

teradsorpsi dan menjadi tidak aktif ketika kontak dengan koloid tanah

(Muktamar, dkk. 2003). Koloid mineral dan organik tanah adalah komponen

aktif tanah yang mempunyai peranan sangat penting dalam proses adsorpsi

dan desorpsi herbisida di dalam tanah dan lingkungan. Ikatan Paraquat yang

terdisosiasi dengan koloid berbentuk ikatan kovalen sehingga fiksasi residu

herbisida ini sangat kuat, sehingga menjadi tidak aktif di dalam tanah.

Paraquat dapat masuk dalam ikatan antar lapisan kristal liat sehingga sangat

Page 9: Paraquat

kuat difiksasi secara kovalen. Afinitas mineral tanah terhadap paraquat sangat

tinggi pada konsentrasi paraquat rendah, tetapi dengan semakin tinggi

konsentrasinya di dalam tanah dimana kapasitas adsorpsinya telah terjenuhi

maka paraquat akan terkonsentrasi pada larutan tanah.

Tingginya konsentrasi paraquat dalam larutan tanah, apabila datang

hujan, paraquat akan terbawah oleh aliran perkolasi ke dalam tubuh tanah dan

masuk ke dalam sistem drainase sehingga dapat mencemari lingkungan.

Adsorpsi herbisida oleh partikel tanah akan menyebabkan herbisida tersebut

tidak efektif dalam mengendalikan gulma dan bila akumulasinya di dalam

tanah tinggi, maka hal ini merupakan suatu residu yang dapat mencemari

lingkungan.

Muktamar et al. (2004) menyimpulkan bahwa kapasitas adsorpsi

maksimum bahan organik tanah terhadap paraquat adalah 7.14 cmol kg -1

sedangkan koefisien afinitasnya adalah 9,66, yang mengindikasikan bahwa

aplikasi paraquat >7,14 cmol kg-1 berpotensi menimbulkan pencemaran

terhadap lingkungan.

2.3.3 Potensi Resiko di Perairan

Air hujan dapat melarutkan pestisida yang tertahan dalam permukaan

tajuk tanaman, cabang dan ranting, selanjutnya mengalir ke permukaan tanah.

Melalui peristiwa infiltrasi, larutan pestisida tersebut dapat masuk ke dalam

tanah, dan/atau terbawa aliran permukaan, yang selanjutnya masuk ke dalam

sungai atau badan air lainnya, dan menyebabkan terjadinya penurunan

kualitas air.

Sifat paraquat yang sangat mudah larut dalam air menjadikan paraquat

sebagai senyawa yang berpotensi untuk tercuci oleh air hujan maupun air

irigasi sehingga mencemari sistem perairan (surface and ground water)

(Hartzler, 2002).

Earnest (1971) memberikan paraquat pada kolam (empang) dengan

konsentrasi awal 1,14 ppm, ditemukan spesies Chara dan Spirogyra di

dalamnya dengan konsentrasi paraquat 300 dan 1300 ppm. Residu di dalam

air tidak terdeteksi setelah 16 hari, dan jumlah paraquat dalam lumpur adalah

1,13 ppm setelah 3 jam, dan 3,25 ppm setelah 99 hari.

Page 10: Paraquat

Penggunaan paraquat sebagai herbisida air telah dikaji oleh Calderbank

(1970). Konsentrasi 1 ppm di perairan menyebabkan terakumulasi di

tanaman, tetapi berkurang menjadi 0,1 ppm setelah 4-7 hari. Pada kondisi

tersebut tidak membahayakan bagi ikan atau tidak menyebabkan akumulasi,

tetapi kematian dapat terjadi jika herbisida menyebabkan konsentrasi oksigen

di perairan berkurang.

2.3.4 Potensi Resiko terhadap Manusia

Herbisida paraquat memberikan efek toksik yang berbeda tergantung

bagaimana zat tersebut masuk ke dalam tubuh manusia. Beberapa di

antaranya, yaitu:

a. Oral

Merupakan jalan masuknya zat yang paling sering yang didasari adanya

tujuan bunuh diri. Tertelannya paraquat juga dapat terjadi secara

kebetulan atau dari masuknya butiran semprotan ke dalam faring,

namun biasanya tidak menimbulkan keracunan secara sistemik.

b. Inhalasi

Belum ada kasus keracunan sistemik yang dilaporkan dari paraquat

akibat inhalasi droplet paraquat yang ada di udara walaupun pada

penilitian pada hewan menunjukkan tingginya keracunan melalui

inhalasi. Efek toksik melalui inhalasi melalui semprotan biasanya hanya

berupa iritasi pada saluran pernapasan atas akibat deposit paraquat pada

daerah tersebut.

c. Kulit

Kulit normal yang intak merupakan barier yang baik mencegah absorbsi

dan keracunan sistemik. Namun, jika terjadi kontak yang lama dan lesi

kulit yang luas, keracunan sistemik dapat terjadi dan dapat

menyebabkan keracunan yang berat sampai kematian. Kontak yang

lama dan trauma dapat memperburuk kerusakan kulit, namun ini

terbilang jarang.

Page 11: Paraquat

d. Mata

Konsentrat paraquat yang terpercik dapat menyebabkan iritasi mata

yang berat yang jika tidak diobati dapat menyebabkan erosi atau ulkus

dari kornea dan epitel konjungtiva. Inflamasi tersebut berkembang lebih

dari 24 jam dan ulserasi yang terjadi menjadi faktor resiko infeksi

sekunder. Jika diberikan pengobatan yang adekuat, penyembuhan

biasanya sempurna walaupun memakan waktu yang lama.

e. Parenteral

Keracunan sistemik jarang terjadi pada kasus akibat injeksi subkutan,

intraperitonial, dan intravena dari paraquat.

2.3.4.1 Farmakokinetik

Penelitian pada tikus dan anjing menunjukkan absorpsi paraquat yang

cepat tetapi tidak sempurna melalui traktus gastrointestinal khususnya

lambung, kira-kira kurang dari 5% diabsorpsi. Informasi absorpsi paraquat

melalui lambung pada manusia belum ada, tetapi bisa diasumsikan hal itu

dapat disamakan, namun masih perlu penilitian untuk mendukung hal

tersebut. Absorpsi melalui kulit yang tidak intak dapat terjadi, namun terbatas

hanya sekitar 0,3% dari dosis terapan.

Paraquat yang terabsorpsi didistribusikan ke semua organ dan jaringan

melalui aliran darah. Paru-paru merupakan organ selektif tempat

terkumpulnya paraquat dari plasma melalui suatu proses energi. House et al

(1990) menemukan bahwa waktu paruh paraquat sekitar 5 – 84 jam. Paraquat

tidak dimetabolisme tetapi direduksi menjadi radikal bebas yang tidak stabil,

yang kemudian mengalami reoksidasi untuik membentuk kation dan

menghasilkan anion superoksid.

Penelitian pada hewan menunjukkan paraquat diekskresi secara cepat

oleh ginjal. Sekitar 80-90% diekskresi dalam waktu 6 jam dan hampir 100%

dalam 24 jam. Paraquat dapat menyebabkan nekrosis tubular akut yang dapat

memperlambat ekskresi lebih dari 10-20 hari.

Page 12: Paraquat

2.3.4.2 Patofisiologi

Ketika masuk dalam tubuh per oral dalam dosis yang adekuat, paraquat

mempunyai efek terhadap traktus gastrointestinal, ginjal, hepar, jantung, dan

organ lainnya. Paru-paru merupakan target organ utama dari paraquat dan

efek toksik yang dihasilkan dapat menyebabkan kematian walaupun toksisitas

melalui inhalasi terbilang jarang.

Mekanisme utama yang terjadi ialah paraquat menimbulkan stres

oksidatif melalui siklus redoks (reduksi oksidasi) sehingga membentuk

radikal bebas yang dapat menyebabkan kerusakan pada jaringan. Radikal

bebas merupakan suatu kelompok bahan kimia baik berupa atom atau

molekul dengan reaksi jangka pendek yang memiliki satu atau lebih elektron

bebas. Atom atau molekul dengan elektron bebas ini dapat digunakan untuk

menghasilkan tenaga dan beberapa fungsi fisiologis di dalam tubuh. Namun

oleh karena mempunyai tenaga yang sangat tinggi, zat ini juga dapat merusak

jaringan normal apabila jumlahnya terlalu banyak. Radikal bebas yang terdiri

atas unsur oksigen dikenal sebagai kelompok oksigen reaktif (reactive oxigen

species / ROS), seperti anion superoksida (O2-).

Telah ditemukan bukti bahwa reaksi redoks merupakan reaksi utama

yang bertanggung jawab terhadap toksisitas paraquat. Kation paraquat dapat

direduksi oleh NADPH-dependent mikrosomal flavoprotein reductase

menjadi bentuk radikal tereduksi. Kemudian bereaksi dengan molekul

oksigen membentuk kation paraquat dan ion superoksida (O2-). Paraquat

berlanjut ke dalam siklus dari bentuk teroksidasi ke bentuk tereduksi dengan

elektron dan oksigen. Paraquat menyebabkan kematian sel melalui lipid

peroksidase atau deplesi NADPH, seperti yang terjadi pada paru-paru.

Brian J. Day (1999) dalam salah satu jurnalnya menggambarkan

bagaimana toksisitas paraquat juga melibatkan nitrc oxide synthase (NOS).

NOS adalah enzim yang memproduksi NO dan molekul lainnya dengan

mengkatalisis oksigen dan NADPH. Teori saat ini menjelaskan NO bereaksi

dengan O2- yang terbentuk dari paraquat untuk menghasilkan toksin

peroxynitrit. Dan dari hasil penelitiannya menunjukkan bahwa NOS

merupakan diaforase paraquat dan toksisitas berupa senyawa aktif redoks

Page 13: Paraquat

melibatkan penurunan aktivitas NO. Diaforase adalah suatu kelas enzim yang

memindahkan elektron dari NADH atau NADPH ke molekul seperti

tetrazolium, quinon, dan paraquat. Biasanya diaforase paraquat merupakan

enzim oksidoreduktase yang terdiri dari flavin dan menggunakan NADH atau

NADPH sebagai elektron donor. Pada umumnya enzim diaforase yang dapat

bereaksi redoks dengan paraquat adalah sitokrom P450 reduktase.

Edema paru akut dan kerusakan paru-paru dini dapat terjadi dalam

beberapa jam akibat paparan akut yang berat. Kerusakan lanjut berupa

fibrosis paru, penyebab kematian, yang kebanyakan terjadi 7-14 hari setelah

paparan. Pada pasien yang terpapar dalam konsentrasi yang sangat tinggi,

beberapa di antaranya meninggal lebih cepat (sekitar 48 jam) akibat

kegagalan sirkulasi.

Baik pneumatosit tipe I maupun tipe II bergerak ke daerah akumulasi

paraquat. Biotrasnformasi dari paraquat di dalam sel-sel tersebut

menyebabkan produksi radikal bebas sehingga terjadi peroksidase lipid dan

kerusakan sel. Cairan protein hemoragik dan leukosit menginfiltrasi alveolus,

setelah terjadi proliferasi fibroblast yang cepat. Terjadi penurunan progresif

pada tekanan parsial oksigen arteri dan kapasitas difusi CO2. Kerusakan berat

pada pertukaran gas tersebut menyebabkan proliferasi yang cepat dari

jaringan ikat fibrous di dalam alveolus dan pada akhirnya kematian akibat

asfiksia dan anoksia jaringan.

Paraquat juga bersifat neurotoksik. Paraquat secara struktural

menyerupai neurotoksikan dopaminergik, yaitu 1-methyl-4-phenyl-1,2,3,6-

tetrahydropyridine (MPTP). Akhirnya telah disadari bahwa paraquat dapat

menjadi faktor etiologi dari penyakit Parkinson.

Yang, Wonsuk (2005) pada penelitiannya mendapatkan adanya

hubungan antara toksistas paraquat terhadap dopaminergik akibat dari proses

stres oksidatif dan disfungsi proteasomal. Dari disertasinya dikemukakan

beberapa bukti dan kesimpulan yang mendukung hal tersebut, di antaranya:

a. Paraquat meningkatkan konsentrasi ROS pada sel saraf yang diteliti

(SY5Y5)

b. Paraquat menghambat aktivitas glutathione peroksidase.

Page 14: Paraquat

c. Paraquat menurunkan potensial transmembran mitokondria (MTP).

d. Paraquat menyebabkan peningkatan malondialdehyde (MDA) yang

mengindikasikan kerusakan oksidatif pada komponen sel yang diteliti.

e. Paraquat menurunkan aktivitas proteasomal, aktivitas mitokondria, dan

tingkat ATP intrasel, yang mengindikasikan disfungsi mitokondria disertai

aktivasi jalur apoptosis.

Kerusakan pada tubulus proksimal ginjal sering bersifat reversibel

dibandingkan kerusakan yang terjadi pada jaringan paru-paru. Namun,

rusaknya fungsi ginjal menjadi penting sebagai penentu pengeluaran racun

dari paraquat. Sel tubulus normal secara aktif mengekskresi paraquat melalui

urin, secara efisien membersihkan racun dari dalam darah. Keracunan diquat

secara khas menyebabkan kerusakan yang lebih berat dibandingkan paraquat.

Nekrosis lokal dari miokardium dan otot rangka adalah kelainan utama

akibat keracunan dibandingkan jaringan otot lainnya, dan secara khas terjadi

sebagai fase kedua. Keracunan paraquat yang lama memberi efek toksik pada

otot lurik dan otot polos berupa miopati akibat degenerasi fiber otot tipe I.

Pernah dilaporkan keracunan melalui proses pencernaan menyebabkan edema

cerebral dan kerusakan pada otak.

2.3.4.3 Toksisitas

Gejala klinis yang timbul bergantung pada dosis atau konsentrasi racun

yang pada akhirnya menjadi dasar prognosis dari kasus keracunan paraquat:

Dosis rendah, yaitu < 20 mg/kg BB (7,5 ml dalam konsentrasi 20%) tidak

memberikan gejala atau hanya gejala gastrointestinal yang muncul

seperti muntah atau diare.

Dosis sedang, yaitu 20-40 mg/kg BB (7,5-15 ml dalam konsentrasi 20%)

menyebabkan fibrosis jaringan paru yang masif dan bermanifestasi

sebagai sesak napas yang progresif yang dapat menyebabkan kematian

antara 2-4 minggu setelah masuknya racun. Gangguan ginjal dan hati

dapat ditemukan. Sesak napas dapat muncul setelah beberapa hari pada

beberapa kasus berat. Fungsi ginjal biasanya dapat kembali ke normal.

Dosis besar, yaitu > 40 mg/kg BB (> 15 ml dalam konsentrasi 20%)

menyebabkan kerusakan multi organ, tetapi lebih progresif. Sering

Page 15: Paraquat

disertai tanda khas berupa ulkus pada orofaring. Gejala gastrointestinal

sama seperti pada konsumsi racun dengan dosis yang lebih rendah namun

gejalanya lebih berat akibat dehidrasi. Gagal ginjal, aritmia jantung,

koma, kejang, perforasi oesofagus, dan koma kemudian diakhiri dengan

kematian yang dapat terjadi dalam 24-48 jam akibat gagal multi organ.

Tertelannya paraquat dengan dosis yang sedang (20-40 mg/kg BB) dapat

menyebabkan kelainan morbiditas yang terdiri dari 3 tingkat, yaitu:

a. Stage I : 1-5 hari. Efek korosif lokal seperti hemoptisis, ulserasi

membran mukosa, mual, diare, dan oligouria.

b. Stage II : dalam 2-8 hari didapatkan tanda-tanda kerusakan hati,

ginjal, dan jantung berupa ikterus, demam, takikardi, miokarditis,

gangguan pernapasan, sianosis, peningkatan BUN, kreatinin, alkali

fosfatase, bilirubin, dan rendahnya protrombin.

c. Stage III : dalam 3-14 hari terjadi fibrosis paru. Batuk, dispnea,

takipnea, edema, efusi pleura, atelektasis, penurunan tekanan O2

arteri yang menunjukkan hipoksemia, peningkatan gradien tekanan

O2 alveoli, dan kegagalan pernapasan.

Dari beberapa penelitian yang telah dilakukan sebelumnya, didapatkan

kesimpulan besar dosis dan toksiknya pada manusia.

a. Estimasi dosis yang dapat diterima untuk manusia sekitar 0-0,005 mg ion

paraquat/kg BB

b. Estimasi dosis gejala akut 0,006 mg/kg BB

c. Estimasi insiden mortalitas dari keracu nan paraquat sekitar 33-50%.

Waktu merupakan faktor penting dalam menentukan seberapa besar

konsentrasi letal. Sebagai contoh, konsentrasi 100 g/L dalam 4 jam setelah

masuknya racun, mengindikasikan 70% kesempatan hidup, tetapi pada 20

jam mengindikasikan < 10% kesempatan hidup.

2.3.4.4 Gejala Klinis

Gejala yang timbul bergantung pada jalur masuk paparan dan

konsentrasi paraquat dalam tipa produknya. Pada kasus tertelannya paraquat

yang masif, dapat bermanifestasi muntah, nyeri abdomen, diare, gagal ginjal

Page 16: Paraquat

dan hati, serta gagal jantung yang berkembang pada 24 jam pertama. Kadang-

kadang diakhiri dengan kematian akibat gagal jantung akut.

Gejala dan tanda dini dari keracunan melalui melalui pencernaan di

antaranya rasa terbakar pada mulut, kerongkongan, dada, perut atas, akibat

dari efek korosif paraquat terhadap mukosa. Diare yang kadang-kadang

dengan darah juga dapat terjadi. Muntah dan diare dapat berujung

hipovolemia. Pusing, sakit kepala, demam, mialgia, letargi, dan koma adalah

contoh lain dari gejala sistemik dan susunan saraf pusat (SSP). Pankreatitis

dapat menyebabkan nyeri abdomen berat. Proteinuria, hematuri, pyuria, dan

azotemia menunjukkan adanya kerusakan ginjal. Oligouria atau anuria

mengindikasikan adanya nekrosis tubular akut.

Oleh karena ginjal merupakan organ yang mengeliminasi paraquat dari

jaringan tubuh, gagal ginjal dapat terjadi akibat terbentuknya konsentrasi

tinggi, termasuk paru-paru. Kelainan patologik ini dapat terjadi dalam

beberapa jam pertama setela masuknya paraquat yang melalui pencernaan.

Asidosis metabolik dan hiperkalemia dapat terjadi akibat gagal ginjal.

Sebelum diberikan terapi untuk membatasi absorbsi dan efeknya, terjadi suatu

reaksi dari konsentrasi tersebut pada jaringan paru-paru. Hal ini menjadi

alasan mengapa metode terapi untuk mengeliminasi paraquat beberapa jam

setelah tertelan dapat menurunkan angka mortalitas.

Batuk, sesak napas, dan takipnea biasanya muncul 2-4 hari setelah

tertelannya paraquat, tetapi dapat muncul setelah 14 hari. Sianosis secara

progresif dan sesak napas menunjukkan adanya gangguan pertukaran oksigen

pada paru yang rusak. Pada beberapa kasus, batuk berdahak adalah awal dan

manifestasi terpenting dari kerusakan paru akibat paraquat.

Traktus gastrointestinal adalah tempat pertama atau keracunan fase I ke

permukaan mukosa melalui proses pencernaan dari zat tersebut. Keracunan

ini bermanifestasi sebagai edema dan nyeri akibat ulseratif pada mulut,

faring, oesofagus, lambung, dan usus. Pada derajat yang lebih tinggi,

keracunan gastrointestinal yang lain berupa kerusakan sel-sel hati yang

menyebabkan peningkatan bilirubin dan enzim hati seperti AST, ALT, dan

LDH. Beberapa penelitian menjelaskan tentang fenomena toksisitas pada hati

Page 17: Paraquat

ini dan pada tahun 1977 oleh Cagen dan Gibson menemukan bahwa paraquat

tidak bersifat hepatotoksik pada jenis tikus tertentu.

Gejala pada kulit biasanya terjadi pada pekerja tani akibat keracunan

paraquat. Khususnya dalam bentuk konsentrat, paraquat menyebabkan

kerusakan lokal pada jaringan yang terpapar dengan zat tersebut. Kerusakan

lokal pada kulit berupa dermatitis kontak. Kontak yang lama akan

menyebabkan eritema, vesikel, erosi dan ulkus, dan perubahan pada kuku.

Walaupun absorbsi melalui kulit lambat, kulit yang erosif akan mempertinggi

tingkat absorbsinya.

Keracunan fatal dilaporkan telah terjadi akibat kontaminasi paraquat

yang lama, tetapi hal ini terjadi hanya pada kulit yang tidak intak. Kontak

yang lama pada kulit akan menimbulkan pengikisan atau ulserasi, yang cukup

untuk mempermudah absorpsi ke sistemik. Kontak racun pada kuku dapat

menyebabkan bintik putih atau pada kasusu berat dapat terjadi atrofi kuku.

Sebagai tambahan, beberapa pekerja tani dapat terpapar melalui inhalasi

semprotan dengan gejala perdarahan hidung akibat kerusakan lokal. Namun,

paparan melalui inhalasi tidak menyebabkan keracunan sistemik karena

penguapan dan konsentrasi yang rendah dari paraquat. Kontaminasi pada

mata menyebabkan konjungtivitis berat dan kadang-kadang berlanjut ke

kelainan kornea.

Page 18: Paraquat

KESIMPULAN

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa herbisida paraquat dalam

dosis kecil akan memberikan dampak pencemaran terhadap lingkungan baik di

lingkungan terestrial, aquatik, maupun manusia. Dengan demikian penggunaan

herbisida paraquat sebagai pemberantas gulma perlu dibatasi penggunaannya

karena efeknya yang sangat toksik. Jika penggunaan herbisida ini ini tidak sesuai

peraturan yang ditetapkan, bahkan hanya ingin mendapatan keuntungan semata,

maka efek negatiflah yang justru menjadi perhatian bagi kita semua, terutama bagi

para konsumen yang akan mengonsumsinya.

Page 19: Paraquat

DAFTAR PUSTAKA

Aldrich, R.J. (1984). Weed Crop Ecology : Principles in Weed Management. Breeton Publisher.

Anderson, W.P. (1977). Weed Science : Principles. USA:West Publishing, Co.

Calderbank, A. (1970). Fate of paraquat in water. Outlook Agr., 6:128-130.

Cunnif, P. 1990. Official Methods of Analysis of AOAC International. Virginia.

Cremilin, R. J.W. (1991). Agrochemical: Preparation And Mode of Action. Canada:John Willey & Sons, Inc.

LeBaron, H.M. and J. Gressel. (1982). Herbicide Resistance in Plants. New York: John Wiley and Sons.

Lestari, S.W. (2000). Optimasi Metode Analisis Kuantitatif dan Penerapannya pada Studi Desorpsi 1,1- Dimetil 4,4-Bipiridilium Dalam Tanah Gambut.Skripsi. Yogyakarta: Universitas Gajahmada Yogyakarta.

IPCS INCHEM. (1984). Paraquat and Diquat. Geneva: World Health Orgnization.

Muktamar, Z., Sukisno, dan N. Setyowati. (2004). Adsorpsi dan desorpsi herbisida paraquat pada Histosol. J. Agrotrop. IX(1): 1-7.

Santosa, Dwi Andreas. (2000). Analisis Resiko Lingkungan Tanaman Transgenik. Jurnal Ilmu Tanah dan Lingkungan, Vol. 3 (2) : 32-33.

Sastroutomo. (1992). Pestisida, Dasar-dasar dan Dampak Penggunaannya. Cetakan Pertama. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Tjitrosoedirdjo, S., I.H. Utomo dan J.Wiroatmodjo. (1984). Pengelolaan Gulma di Perkebunan. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Tomlin, C. (1994). The Pesticide Manual. 10th Edition. United Kingdom: British Crop Protection Publication.

Yang, Wonsuk. The Bipyridyl Herbicide Paraquat-Induced Toxicity In Human Neuroblastoma SH-S5Y5 Cells: Relevance To Dopaminergic Pathogenesis. Diakses pada tanggal 7 Mei 2012, di http://txspace.tamu.edu/bitstream/1969.pdf

Zimdahl, R.L. (1980). Weed crop Competition. USA: I.P.P.C. Oregon.

Page 20: Paraquat

Tugas Toksikologi Lingkungan

RISK ASSESSMENT HERBISIDA PARAQUAT

DISUSUN OLEH:

NURHAYATI 03594

PROGRAM STUDI KIMIA

JURUSAN ILMU KIMIA PASCA SARJANA

UNIVERSITAS GADJAH MADA

2012