Paradigma Heddy

76
makalah pelatihan 2007 PARADIGMA, EPISTEMOLOGI DAN METODE ILMU SOSIAL-BUDAYA - SEBUAH PEMETAAN - .

description

teori

Transcript of Paradigma Heddy

Page 1: Paradigma Heddy

makalahpelatihan2007

PARADIGMA, EPISTEMOLOGI

DAN METODEILMU SOSIAL-BUDAYA

- SEBUAH PEMETAAN -

.

Heddy Shri Ahimsa-PutraAntropologi Budaya

Fakultas Ilmu BudayaUniversitas Gadjah Mada

Page 2: Paradigma Heddy

Makalah disampaikan dalam pelatihan “Metodologi Penelitian”, diselenggarakan oleh CRCS – UGM, di Yogyakarta,

12 Februari – 19 Maret 2007

PARADIGMA, EPISTEMOLOGI DAN METODEILMU SOSIAL-BUDAYA

- SEBUAH PEMETAAN -

Heddy Shri Ahimsa-PutraAntropologi Budaya

Fakultas Ilmu BudayaUniversitas Gadjah Mada

I. PENGANTAR

Sudah sering, bahkan sangat sering, kita mendengar istilah-istilah: “teori”, kerangka teori dan paradigma. Dalam berbagai forum diskusi, lokakarya dan seminar tentang metode penelitian, istilah-istilah tersebut tidak pernah lupa di-sebut. Namun demikian, tidak setiap orang yang pernah menggunakan istilah-istilah ini dalam diskusi ataupun tulisan-tulisannya dapat menjelaskan makna istilah-istilah tersebut dengan baik dan memuaskan. Bahkan dari pertemuan saya dengan banyak ilmuwan sosial-budaya, saya mendapat kesan bahwa me-reka umumnya tidak merasa perlu memahami arti istilah-istilah ini dengan baik, karena semua orang dianggap telah mengetahui maknanya.

Anggapan ini tentu saja banyak melesetnya, karena dalam kenyataannya masih banyak ilmuwan kita yang tidak memahami dan tidak berupaya mema-hami dengan lebih baik arti istilah-istilah tersebut. Memang ada orang yang berpendapat bahwa memberikan definisi-definisi yang jelas dan ketat pada isti-lah-istilah tertentu dalam kegiatan ilmiah dianggap tidak begitu penting, karena definisi dianggap dapat menghambat gerak atau aktivitas keilmuannya. Selain itu, ada pula yang berpendapat bahwa kemajuan ilmu pengetahuan tidak diten-tukan oleh jelasnya pengertian istilah-istilah yang digunakan. Dua pendapat ini jelas salah saya kira.

Bagaimanapun juga pendefinisian atas istilah-istilah tertentu, apalagi yang berasal dari bahasa asing (seperti teori, metodologi dan paradigma), tetaplah penting. Jika pendefinisian ini dirasakan terlalu sulit, maka minimal apa-apa yang terkandung dalam istilah-istilah tersebut harus kita ketahui. Artinya, kita harus mengetahui unsur-unsur yang terdapat dalam suatu istilah. Misalnya sa-ja, kalau kita merasa sangat kesulitan mendefinisikan atau mengatakan apa yang kita maksud sebagai teori, paling tidak kita harus mengetahui apa saja unsur-unsur yang terdapat dalam sebuah teori, sehingga kalau ada sesuatu

1

Page 3: Paradigma Heddy

yang disodorkan kepada kita, kita bisa mengatakan apakah yang disodorkan tersebut sebuah ‘teori’ atau bukan.

Sikap kebanyakan ilmuwan kita -terutama ilmuwan sosial-budaya-, yang cenderung menganggap definisi tidak begitu penting dan sulit menerima defi-nisi orang lain tanpa kemudian berusaha merumuskan definisinya sendiri, telah membuat proses pengembangan teori dan proses konseptualisasi dalam ilmu sosial-budaya di Indonesia berjalan begitu lambat. Definisi-definisi pada dasar-nya merupakan salah satu batu fondasi penting bagi perkembangan ilmu pe-ngetahuan. Akibat dari diabaikannya pendefinisian konsep-konsep penting da-lam ilmu sosial-budaya adalah tidak banyaknya perkembangan teoritis dan konseptual dunia ilmu pengetahuan di Indonesia terutama ilmu sosial-budaya.

Ini sangat berbeda dengan di dunia Barat, tempat ilmu pengetahuan sosial-budaya berkembang dengan pesat. Setiap konsep yang akan digunakan dalam penelitian selalu diupayakan pendefinisiannya agar dengan demikian dapat di-ketahui seperti apa wujudnya dalam realitas empiris atau dalam realitas kon-septual (dalam pikiran). Setiap definisi kemudian diuji ketepatannya, kemanfa-atannya untuk analisis, untuk memahami gejala yang dipelajari. Apabila ternya-ta konsep tersebut kurang bermanfaat, definisi akan diubah atau dipertajam, atau dimunculkan konsep lain yang dianggap akan lebih bermanfaat, lebih me-mungkinkan ilmuwan memahami gejala yang dipelajari. Hal semacam ini terli-hat jelas dalam perdebatan teoritis dan konseptual dalam tulisan-tulisan di ber-bagai jurnal ilmiah, serta dari munculnya kamus-kamus, ensiklopedi, yang isi-nya adalah penjelasan-penjelasan tentang makna berbagai macam konsep il-miah yang telah dikemukakan oleh para ilmuwan di masa-masa yang lalu, dan kalau mungkin hingga yang paling mutakhir.

Kemandegan perkembangan pemikiran di Indonesia tercermin dari sangat se-dikitnya -untuk tidak mengatakan tidak ada- perdebatan di kalangan ilmu-wan sosial-budaya tentang konsep-konsep yang mereka gunakan di berbagai jurnal ilmiah. Jurnal-jurnal umumnya hanya berisi hasil-hasil penelitian, yang walaupun mungkin bermanfaat untuk pemahaman masalah-masalah tertentu, namun sumbangan teoritisnya tidak pernah dipikirkan. Masing-masing ilmuwan tampak muncul dengan pemikirannya sendiri-sendiri dan tidak mengaitkannya dengan pemikiran ilmuwan yang lain. Tidak terlihat upaya-upaya untuk mem-pertanyakan kembali berbagai macam istilah atau konsep yang digunakan, ataupun meninjau lagi manfaatnya bagi analisis.

Sangat sedikitnya kamus-kamus ilmu sosial-budaya serta ensiklopedi ilmu-sosial-budaya merupakan petunjuk lain yang sangat dari lambatnya perkem-bangan pemikiran dalam ilmu-ilmu sosial-budaya di Indonesia. Sangat mungkin hal ini disebabkan oleh masih sangat sedikitnya ilmuwan sosial-budaya di Indo-nesia, sangat mungkin pula oleh ketidak-tahuan di kalangan mereka tentang dasar-dasar ilmu pengetahuan, tentang hakekat ilmu pengetahuan itu sendiri

2

Page 4: Paradigma Heddy

dan pertumbuhannya, serta tentang tujuan dan manfaat ilmu pengetahuan se-macam itu. Jika hal yang kedua yang terjadi, maka mungkin tidak akan terjadi pertumbuhan ilmu sosial-budaya yang evolutif, dari dalam, yang berasal dari kalangan ilmuwan sosial-budaya Indonesia sendiri.

Dalam tulisan ini saya menunjukkan bahwa pembicaraan mengenai metode-metode dalam penelitian ilmu sosial-budaya seharusnya -dan sebaiknya me-mang- dikaitkan dengan pembicaraan mengenai unsur-unsur lain dalam suatu paradigma. Sayangnya, hal semacam ini umumnya tidak terjadi. Banyak ilmu-wan sosial-budaya yang tidak mengetahui dengan baik dan sistematis keter-kaitan antar unsur-unsur dalam paradigma ini, sehingga penelitian dan pe-ngembangan ilmu sosial-budaya di Indonesia kemudian selalu mengekor pada perkembangan ilmu pengetahuan alam, dan cenderung mempertahankan ke-pengekoran tersebut.

II. TEORI, KERANGKA TEORI DAN PARADIGMA

Istilah ‘teori’ adalah istilah yang sangat biasa kita dengan sehari-hari, baik di lingkungan akademik maupun bukan. Biasanya orang mempertentangkan isti-lah ‘teori’ dengan ‘praktek’, sehingga seringkali kita mendengar orang berkata :”Ah... itu kan cuma teori. Prakteknya kan lain”. Teori di sini menjadi suatu hal yang “seharusnya”, “sebaiknya”, “seyogyanya”. Jadi adanya dalam angan-angan, bukan dalam kenyataan; sedang ‘praktek’ adalah apa yang sebenarnya terjadi, dilakukan atau diwujudkan. Oleh karena itu praktek adalah kenyataan-nya, bukan idealnya atau sebaiknya. Dalam pembicaraan kita di sini yang di-maksud dengan ‘teori’ bukanlah yang seperti itu, walaupun ‘teori’ tersebut me-mang masih berada dalam dunia angan-angan atau pemikiran.

a. Teori

Teori di sini diartikan sebagai suatu pernyataan, pendapat atau pandang-an tentang (a) hakekat suatu kenyataan atau suatu fakta, atau tentang (b) hubungan antara kenyataan atau fakta tersebut dengan kenyataan atau fakta yang lain, dan kebenaran pernyataan tersebut telah diuji melalui me-tode dan prosedur tertentu. Jika pengujian ini dilakukan melalui metode dan prosedur (atau cara dan tata-urut) ‘ilmiah’, maka teori tersebut dikatakan seba-gai teori yang ilmiah atau teori ilmu pengetahuan, sedang kalau pengujiannya dilakukan tidak dengan menggunakan dan mengikuti prosedur ‘ilmiah’ tadi, ma-ka teori tersebut akan dianggap sebagai teori yang ‘tidak ilmiah’ dan karenanya tidak harus diyakini kebenarannya.

Jadi, sebuah teori bisa merupakan pandangan tentang hakekat suatu ke-nyataan atau gejala, seperti misalnya “masyarakat”, “kebudayaan”, “kepribadi-an”, “kesenian”, “agama” atau gejala yang lain. Teori tentang masyarakat misal-

3

Page 5: Paradigma Heddy

nya memaparkan berbagai hal tentang masyarakat tersebut, seperti ciri-cirinya, unsur-unsurnya, sifat-sifatnya, dan sebagainya. Tujuan teori ini adalah untuk menuntun penelitian tentang masyarakat itu sendiri. Ketika penelitian mengenai masyarakat mulai dilakukan, para peneliti mungkin akan menemukan berbagai gejala sosial-budaya yang belum dibicarakan atau belum tercakup dalam teori masyarakat yang lama. Jika ini yang terjadi, teori masyarakat yang lama terse-but akan ditinjau kembali, kemudian diperbaiki atau ditinggalkan sama sekali. Di sini akan muncul sebuah teori “masyarakat” yang baru.

Banyak teori telah dikembangkan dalam ilmu sosial-budaya. Berdasarkan cakupannya, teori-teori ini dapat dibagi menjadi tiga, yakni teori-teori besar (grand theories), teori-teori menengah (middle range theories) dan teori-teori kecil (small theories). Teori-teori besar adalah teori-teori yang dianggap dapat menjelaskan gejala-gejala sosial-budaya tertentu di semua masyarakat atau kebudayaan, sehingga teori-teori semacam ini biasanya sangat abstrak. Teori-teori menengah diangap dapat menjelaskan gejala-gejala sosial-budaya pada sejumlah masyarakat yang relatif sejenis. Teori-teori ini lebih sempit cakupan-nya daripada teori-teori yang besar, namun di lain pihak juga terasa lebih kong-krit. Teori-teori kecil lebih sempit lagi cakupannya, namun juga paling jelas ke-terkaitannya dengan realitas empiris.

Teori-teori besar dalam ilmu sosial-budaya umumnya merupakan teori-teori mengenai “hakekat” dari kenyataan atau suatu gejala sosial-budaya tertentu, seperti misalnya teori tentang “masyarakat” dari Emile Durkheim, teori tentang “tindakan sosial” dari Talcott Parsons, teori kebudayaan dari E.B.Tylor, teori ke-pribadian dari Sigmund Freud, teori “masyarakat” dari Max Weber, teori tentang “mitos” dari Lévi-Strauss, dan sebagainya. Meskipun demikian, ada juga teori-teori tentang hakekat gejala sosial-budaya ini yang berada pada tingkat me-nengah (middle range), seperti misalnya teori tentang “agama” dari Clifford Geertz. Perbedaan antara teori-teori yang besar dan yang menengah di sini umumnya adalah pada cakupan dari teori-teori tersebut, dan ini biasanya terli-hat dari banyak sedikitnya data empiris yang digunakan untuk mendukung atau menguatkan teori yang dikemukakan.

Teori-teori jenis kedua, yang menyatakan hubungan antara kenyataan atau fakta tertentu dengan kenyataan atau fakta yang lain, dan kebenaran pernyataan tersebut telah diuji melalui metode dan prosedur tertentu, umumnya merupakan teori-teori dengan cakupan yang lebih sempit, yaitu yang middle range atau small. Meskipun demikian, grand theory jenis ini bukannya tidak ada. Sedikitnya grand theory untuk teori jenis ini memang dapat dime-ngerti karena pernyataan-pernyataan mengenai hubungan antargejala merupa-kan pernyataan mengenai gejala tertentu yang harus jelas acuannya pada tata-ran empiris. Untuk dapat menjadi sebuah teori yang besar, maka pernyataan tersebut harus dapat dibuktikan secara empiris pada banyak kasus. Inilah yang

4

Page 6: Paradigma Heddy

tidak selalu dapat dilakukan, karena adanya hambatan-hambatan tertentu, se-perti keterbatasan data, keterbatasan metode, atau keterbatasan konseptual.

Dalam ilmu-ilmu sosial-budaya, teori-teori kecil dan menengah merupakan jenis teori yang paling banyak dihasilkan, karena setiap penelitian yang dilaku-kan dengan baik -dalam arti menggunakan konsep-konsep yang jelas, metode yang tepat, analisis yang tepat- pasti akan menghasilkan suatu kesimpulan ter-tentu mengenai suatu kenyataan empiris. Kesimpulan tersebut -menurut defini-si di atas- sudah merupakan teori, karena merupakan kesimpulan tersebut me-nyatakan hubungan antara suatu gejala atau fakta dengan gejala atau fakta yang lain, dan pernyataan tersebut telah diuji kebenarannya secara empiris le-wat proses berfikir induktif dan deduktif.

Sebagai suatu hasil penelitian atau perenungan atas suatu gejala, sebuah teori tidak dapat berdiri sendiri. Dia merupakan suatu bagian dari sebuah ke-rangka berfikir tertentu, yang memiliki berbagai unsur di dalamnya. Kerangka berfikir inilah yang biasa disebut “kerangka teori” (theoretical framework).

b. Kerangka Teori

Jika kita menggunakan definisi “teori” seperti di atas, maka pengertian teori di sini tidak lagi sama dengan kerangka teori (theoretical framework), dan di sini saya tidak akan berbicara hanya tentang teori, tetapi tentang ‘kerangka teori’, karena kerangka teori memiliki pengertian yang lebih luas, serta lebih penting peranannya dalam dunia ilmu pengetahuan. Selain itu, istilah ini juga saya anggap lebih dapat menyatakan apa yang saya maksud. Kerangka teori saya definisikan di sini sebagai seperangkat pernyataan tentang hakekat, cara memandang, cara merumuskan, dan cara menjawab suatu persoalan dengan menggunakan cara dan tata-urut tertentu, yang akan dapat meng-hasilkan pernyataan tertentu tentang persoalan tersebut. Oleh karena ada kata ‘seperangkat’, maka istilah ‘kerangka’ menjadi lebih tepat, karena hal itu menunjukkan adanya lebih dari satu pernyataan di dalamnya, dan seperangkat pernyataan tersebut bukanlah pernyataan-pernyataan yang terlepas satu dari yang lain, tetapi sebaliknya, yaitu saling berkaitan, berhubungan secara logis, masuk akal, sehingga membentuk suatu kerangka tertentu.

Ada berbagai istilah yang digunakan oleh para ilmuwan untuk menyebut ‘ke-rangka teori’ ini. Di antaranya adalah: perspektif (perspective), sudut pandang (point of view), kerangka konseptual (conceptual framework), kerangka pemikir-an (frame of thinking), pendekatan (approach), kerangka analitis (analytical framework), aliran pemikiran (school of thought) dan yang kini populer adalah paradigma (paradigm). Istilah-istilah ini juga akan saya gunakan secara ber-gantian di sini, guna menghindarkan kebosanan.

5

Page 7: Paradigma Heddy

Mengapa kerangka teori saya pandang lebih penting daripada teori? Tidak lain adalah karena memang kerangka teori inilah yang berkembang dalam ilmu sosial-budaya. Ada banyak kerangka teori yang telah digunakan dan dikem-bangkan oleh para ilmuwan sosial-budaya untuk mempelajari gejala sosial-bu-daya, dan berbagai teori tentang gejala ini, pada dasarnya adalah bagian dari kerangka teori tersebut. Jadi suatu kerangka teori memang lebih luas daripada teori, sebagaimana terlihat dari definisi-definisi di atas.

c. Paradigma

Istilah yang sangat populer kini untuk menyebut „kerangka teori“ adalah pa-radigma. Istilah ini menjadi populer setelah Thomas Kuhn menggunakannya dalam bukunya The Structure of Scientific Revolutions (1945). Kuhn mengata-kan bahwa revolusi ilmu pengetahuan pada dasarnya adalah pergantian para-digma atau pergantian pola pikir, cara memandang, cara mendefinisikan suatu gejala atau suatu persoalan. Revolusi dalam ilmu pengetahuan pada dasarnya adalah penggantian paradigma lama oleh suatu paradigma baru yang dipan-dang dapat menjelaskan lebih banyak gejala atau dapat memberikan jawaban yang lebih tepat atau lebih menguntungkan atas pertanyaan yang dikemukakan Meskipun demikian, apa yang dikatakan oleh Kuhn sebagai penggantian para-digma sebenarnya lebih tepat digunakan dalam konteks ilmu-ilmu alam.

Dalam ilmu sosial-budaya saya berpendapat bahwa revolusi ilmu pengeta-huan tidak terjadi lewat penggantian paradigma, karena dalam ilmu-ilmu sosial budaya paradigma yang lama biasanya tidak sama sekali ditinggalkan walau-pun paradigma baru telah muncul. Revolusi ilmu pengetahuan dalam ilmu sosi-al-budaya terjadi ketika muncul paradigma baru yang mengungkap aspek-as-pek tertentu dari gejala sosial-budaya yang selama ini terabaikan. Dengan de-mikian pengembangan ilmu pengetahuan sosial-budaya adalah pengembang-an paradigma baru yang melengkapi paradigma lama,. Di sini paradigma lama dapat hidup berdampingan dengan paradigma baru, yang kemudian dikenal se-bagai „aliran“. Dengan munculnya paradigma baru -tanpa mematikan paradig-ma lama- para ilmuwan akan dapat memperoleh pemahaman yang lebih leng-kap, lebih komprehensif, lebih menyeluruh mengenai gejala yang diteliti.

Terlepas dari perbedaan pandangan di atas, saya setuju dengan pendapat Thomas Kuhn bahwa paradigma merupakan bagian terpenting dari ilmu penge-tahuan itu sendiri, sehingga hanya perubahan dan penambahan yang ada pa-da bidang itulah yang dapat dikatakan sebagai pengembangan ilmu pengeta-huan. Oleh karena itu, saya memilih menggunakan kata ‘paradigma’ untuk ‘ke-rangka teori’.

Meskipun Kuhn berbicara panjang lebar mengenai penggantian paradigma, namun ternyata dia sendiri tidak menjelaskan secara rinci apa yang dimaksud-

6

Page 8: Paradigma Heddy

nya sebagai paradigma. Saya kira ini merupakan akibat tidak langsung dari to-pik pembahasannya, yakni paradigma ilmu-ilmu alam. Ilmu pengetahuan yang menjadi topik pembicaraan Kuhn adalah ilmu pengetahuan alam. Dia tidak ba-nyak menyinggung ilmu-ilmu sosial-budaya. Ada kemungkinan dia merasa ti-dak perlu membedakannya, karena dua-duanya adalah ilmu pengetahuan. Ada kemungkinan pula dia tidak menganggap ilmu sosial-budaya sebaga „science“ karena status tersebut memang belum sepenuhnya tercapai.

Kelalaian Kuhn untuk menjelaskan secara rinci apa yang dimaksudnya se-bagai paradigm menyulitkan kita untuk menggunakannya sebagai konsep pen-ting guna memahami perkembangan dan mengembangkan ilmu-ilmu sosial-bu-daya. Sementara itu, tidak banyak ilmuwan sosial-budaya yang menggunakan perspektif Thomas Kuhn untuk memahami perkembangan-perkembangan teori dalam ilmu-ilmu sosial-budaya. Untuk mengatasi kesulitan ini saya mencoba di sini menguraikan apa yang saya maksud sebagai paradigma.

III. PARADIGMA DAN UNSUR-UNSURNYA

Sebuah perspektif dalam ilmu sosial-budaya biasanya dapat dibedakan satu sama lain atas dasar asumsi-asumsi atau anggapan-anggapan dasarnya ten-tang obyek yang diteliti, masalah-masalah yang ingin dijawab atau diselesai-kan, konsep-konsep, metode-metode serta teori-teori yang dihasilkannya. Pen-dapat yang dilontarkan oleh Cuff dan Payne (1980:3) ini merupakan pendapat yang dapat membawa kita kepada pemahaman tentang paradigma dalam ilmu sosial-budaya. Dalam pendapat ini tersirat pandangan bahwa sebuah perspek-tif atau pendekatan -Cuff dan Payne tidak menyebutnya sebagai „paradigma“- memiliki sejumlah unsur, di antaranya adalah: asumsi dasar (basic assumption -Cuff dan Payne menyebutnya „bedrock assumption“-, konsep, metode, perta-nyaan dan jawaban-jawaban yang diberikan.

Jika „perspektif“ adalah juga „paradigma“, maka unsur-unsur tersebut dapat dikatakan sebagai unsur-unsur paradigma. Meskipun demikian, menurut saya, pandangan Cuff dan Payne tentang unsur-unsur perspektif tersebut masih be-lum lengkap. Masih ada elemen lain yang juga selalu ada dalam sebuah para-digma ilmu sosial-budaya, namun belum tercakup di dalamnya. Selain itu, un-sur metode juga masih perlu dirinci lagi. Cuff dan Payne juga masih belum menjelaskan bagaimana kira-kira urut-urutan unsur-unsur tersebut dalam sebu-ah paradigma atau kerangka berfikir tertentu, sehingga posisi masing-masing unsur terhadap yang lain tidak kita ketahui. Lebih dari itu, Cuff dan Payne juga tidak selalu menjelaskan makna dari konse-konsep yang digunakannya secara rinci, sehingga kita tidak selalu dapat mengetahui dengan baik apa yang dimak-sudkannya.

7

Page 9: Paradigma Heddy

Di sini saya mencoba membangun sebuah pandangan atau “teori” menge-nai paradigma dan unsur-unsurnya, yang saya harapkan akan memudahkan kita untuk memahami apa itu paradigma, dan kemudian mengembangkan pa-radigma-paradigma baru atau elemen-elemen tertentu dari paradigma tersebut, terutama adalah elemen metode dan teori. Mengikuti alur pikir yang telah dibu-ka oleh Cuff dan Payne di atas, saya berpendapat bahwa unsur-unsur pokok sebuah paradigma ilmu sosial-budaya adalah: (1) Asumsi-asumsi dasar; (2) Model-model; (3) Konsep-konsep; (4) Metode-metode penelitian; (5) Meto-de-metode analisis; dan (6) Hasil-hasil analisis. Bisa juga ditambahkan di sini (7) masalah-masalah yang ingin diselesaikan, dijawab, atau pertanya-an-pertanyaan. Akan tetapi saya merasa ini kurang begitu perlu, sebab masa-lah-masalah yang ingin dijawab ini -yang kenyataannya berupa pertanyaan-pertanyaan atau hipotesa yang perlu diuji- biasanya merupakan wujud asumsi-asumsi dasar dalam bentuk pertanyaan. Jadi enam komponen tersebut saya ki-ra sudah sangat memadai untuk menjadi landasan dalam menentukan perbe-daan antara paradigma satu dengan yang lain dalam ilmu sosial-budaya.

Berikut ini adalah uraian mengenai komponen-komponen paradigma terse-but, yang menurut saya perlu diberikan, mengingat jarangnya pembicaraan ten-tang paradigma yang menyentuh komponen-komponen tersebut serta menje-laskannya dengan rinci.

1. Asumsi-asumsi/Anggapan-anggapan Dasar (Basic Assumptions)

Wacana ilmu sosial-budaya di Indonesia sangat jarang menyinggung ten-tang asumsi-asumsi dasar dalam penelitian atau hasil penelitian. Hal ini paling tidak menunjukkan bahwa (a) kita tidak menganggap penting elemen asumsi dasar dalam perbincangan mengenai teori-teori, atau (b) kita tidak mengetahui tentang adanya elemen asumsi dasar di balik teori-teori, atau (c) kita tidak me-ngetahui adanya hubungan penting antara teori dengan asumsi dasar, dalam sebuah kerangka pemikiran tertentu. Padahal, jika kita perhatikan wacana ilmu-ilmu sosial-budaya di Barat, bahkan juga wacana politik praktis mereka, elemen asumsi dasar selalu menjadi salah satu elemen yang paling awal ditelaah seca-ra kritis sebelum elemen-elemen yang lain, karena memang asumsi-asumsi ini-lah yang mendasari sebuah sudut pandang tertentu dan kemudian juga sejum-lah kebijakan dan langkah-langkah politis tertentu. Sudah saatnya kini kita lebih sadar tentang asumsi-asumsi dasar ini, dan kemudian berusaha bersikap kritis terhadapnya, agar dapat membangun sebuah paradigma baru.

Sikap kritis ini hanya dapat dilakukan bilamana kita telah mengetahui dengan baik apa asumsi dasar itu sendiri, seperti apa wujudnya, dan apa isinya. Hanya dengan pemahaman yang baik atas “hakekat” asumsi dasar kita kemudian da-pat mengetahui asumsi-asumsi kita sendiri, mengambil jarak terhadapnya, me-ngetahui kelemahan dan kekuatannya, dan kemudian membangun suatu ke-rangka berfikir baru atas dasar asumsi-asumsi yang berbeda.

8

Page 10: Paradigma Heddy

Asumsi atau anggapan dasar adalah pandangan-pandangan mengenai suatu hal (bisa benda, ilmu pengetahuan, tujuan sebuah disiplin, dan se-bagainya) yang tidak dipertanyakan lagi kebenarannya. Jadi, pandangan ini merupakan titik-tolak atau dasar bagi upaya memahami dan menjawab suatu persoalan, karena pandangan-pandangan tersebut kita anggap benar atau kita yakini kebenarannya. Anggapan-anggapan ini bisa lahir dari (a) perenungan-perenungan filosofis dan reflektif, bisa dari (b) penelitian-penelitian empiris yang canggih, bisa pula dari (c) pengamatan yang seksama. Jika asumsi ini berasal dari pandangan filosofis dan reflektif, pandangan ini biasanya lantas mirip dengan 'ideologi' si ilmuwan, dan ini tentu saja bersifat subyektif. Oleh ka-rena itu, muncul kini pendapat yang mengatakan bahwa tidak ada "obyektivi-tas" dalam ilmu sosi-al-budaya, sebab apa yang selama ini dianggap sebagai "obyektivitas" ternyata juga didasarkan pada asumsi-asumsi filosofis tertentu, yang tidak berbeda dengan 'ideologi'. Jadi, pandangan tentang obyektivitas da-lam ilmu sosial-budaya tersebut sebenarnya bersandar pada ideologi tertentu pula. Oleh karena itu tetap 'subyektif' juga.

Asumsi-asumsi dasar biasanya terlihat dengan jelas dalam rumusan-rumus-an tentang hakekat sesuatu atau definisi mengenai sesuatu, dan ini biasanya merupakan jawaban atas pertanyaan "Apa itu...?". Misalnya saja, "Apa itu ke-budayaan?"; "Apa itu masyarakat?"; "Apa itu karya sastra?", dan sebagainya. Dalam dunia ilmu pengetahuan definisi mengenai sesuatu inilah yang akan sangat menentukan langkah-langkah kegiatan ilmiah selanjutnya. Sebaliknya, tanpa definisi ini akan sulit bagi si ilmuwan untuk menentukan apakah kegiatan ilmiah yang dilakukannya telah berada pada jalur yang 'benar'. Di lain pihak pe-rumusan tentang hakekat tersebut juga berawal dari sejumlah asumsi-asumsi tertentu pula.

Dengan kata lain, asumsi-asumsi dasar merupakan fondasi dari sebuah disiplin atau bidang keilmuan, dan seperti halnya fondasi sebuah gedung yang tidak terlihat, demikian pula halnya dengan asumsi dasar. Asumsi-asumsi ini umumnya tidak dinyatakan secara eksplisit. Oleh karena itu, tidaklah terlalu mengherankan jika sebagian ilmuwan tidak mengetahui dengan baik berbagai asumsi dasar paradigma yang kebetulan digunakannya dalam memandang dan mempelajari suatu gejala sosial-budaya. Diskusi yang lebih eksplisit ten-tang asumsi dasar biasanya sudah berada pada tataran yang berbeda dengan diskusi tentang teori-teori yang dihasilkan oleh kajian-kajian yang bersandarkan pada asumsi-asumsi dasar tersebut.

Banyak di antara kita misalnya yang mengetahui teori evolusi masyarakat dan kebudayaan dari tokoh-tokoh seperti L.H.Morgan, H.Spencer, E.B.Tylor, H. Maine dan sebagainya, namun tidak banyak di antaranya yang mengetahui asumsi-asumsi dasar yang ada di balik berbagai macam teori tersebut. Hal ini mungkin karena di kalangan kita mempelajari berbagai teori ilmu sosial-budaya

9

Page 11: Paradigma Heddy

biasanya masih diartikan sebagai upaya mengetahui dan kemudian mengha-palkan berbagai teori atau pendapat yang dikemukakan oleh ilmuwan lain ten-tang suatu persoalan, dan tidak berusaha menukik lebih dalam, menuju ke ta-taran asumsi-asumsi dasarnya, yang lebih implisit. Memang, langkah ini lebih sulit dilakukan, karena di sini si ilmuwan lebih mengarahkan perhatiannya pada usaha mengetahui apa yang tersirat, daripada apa yang tersurat. Suatu kerangka teori dalam ilmu sosial-budaya biasanya mempunyai ba-nyak asumsi dasar. Akan tetapi, tidak semua asumsi dasar ini dikemukakan da-lam suatu kajian. Bahkan kadang-kadang malah tidak dipaparkan sama sekali, karena semua orang dianggap telah mengetahuinya. Ada pula ilmuwan yang melakukan ini dengan sengaja, karena bagi mereka menyatakan secara ekspli-sit asumsi-asumsi dasar tertentu yang dijadikan landasan kajian sama saja hal-nya dengan membukakan pintu kepada ilmuwan lain untuk melakukan kritik yang telak terhadap studi yang dilakukannya. Walaupun demikian, seorang ilmuwan yang kritis biasanya akan menelaah sebuah teori yang dilontarkan de-ngan pertama-tama memperhatikan secara teliti terlebih dahulu asumsi-asumsi dasar yang ada di balik teori yang dikemukakan. Jika ternyata asumsi-asumsi dasar ini dapat diterima kebenarannya, maka si kritikus ini akan mencoba men-cari kelemahan-kelemahan dari teori tersebut dengan memeriksa model-model-nya, konsep-konsepnya, dan kemudian komponen-komponen lain dari teori ter-sebut, sebelum akhirnya menyentuh teori itu sendiri.

Asumsi dasar tidak hanya ada dalam kerangka-kerangka teori yang berkem-bang dalam sebuah cabang keilmuan, tetapi juga ada dalam apa yang disebut sebagai 'kegiatan ilmiah' atau apapun yang menggunakan predikat 'ilmiah', se-perti misalnya 'cara berfikir ilmiah', 'tulisan ilmiah', 'karya ilmiah' dan sebagai-nya. Dalam paradigma-paradigma ilmu sosial-budaya, asumsi-asumsi dasar yang penting biasanya berkenaan dengan hakekat ilmu pengetahuan, hakekat ilmu sosial-budaya, dan hakekat gejala sosial-budaya.

Mengapa digunakan istilah ‘asumsi’, bukan ‘dalil’ atau ‘hukum’, jika memang kebenarannya sudah tidak dipertanyakan lagi? Karena tindakan ‘tidak lagi mempertanyakan kebenaran’ ini tidak berlaku untuk semua orang. Orang lain malah bisa sangat tidak setuju atau sangat mempertanyakan ‘kebenaran yang tidak dipertanyakan’ itu tadi. Jadi, kebenaran di situ dianggap bersifat relatif. Oleh karena itulah lebih tepat jika kebenaran yang relatif itu disebut sebagai ‘asumsi’, anggapan, saja, bukan dalil atau hukum.

2. Model-model (Models)

Seperti halnya asumsi dasar, wacana teoritis ilmu sosial-budaya di Indone-sia juga sangat jarang membicarakan tentang model, padahal unsur model sa-ngat penting dalam proses teorisasi, tidak hanya dalam ilmu sosial-budaya te-tapi juga dalam ilmu-ilmu alam. Kelangkaan pembahasan kritis kita tentang mo-del-model dalam ilmu-ilmu sosial-budaya menunjukkan kurang-pahamnya kita

10

Page 12: Paradigma Heddy

mengenai posisi model tersebut dalam teori-teori ilmu sosial-budaya, sebagai-mana halnya kekurang-pahaman kita mengenai asumsi dasar.

Model merupakan komponen ke dua yang terpenting setelah asumsi dasar, karena model merupakan perumpamaan, analogi, kiasan tentang gejala yang dipelajari, sehingga seringkali model juga menjadi seperti asumsi dasar. Meskipun demikian, model bukanlah asumsi dasar. Keduanya tetap harus dibe-dakan. Selain itu modelpun perlu dibedakan menjadi dua, yakni: (1) model uta-ma (primary model) dan model pembantu (secondary model). Dalam tahap ini pembicaraan akan difokuskan pada model utama.

Model utama merupakan model yang lebih dekat dengan asumsi dasar. Mo-del ini merupakan perumpamaan tentang gejala yang dipelajari dan menjadi pembimbing seorang peneliti dalam mempelajari gejala tersebut. Model ini bisa berupa kata-kata (uraian) maupun gambar, namun umumnya berupa uraian. Berbeda halnya dengan model pembantu yang selain umumnya berupa gam-bar, model ini juga biasa digunakan untuk memudahkan seorang ilmuwan men-jelaskan hasil analisisnya atau teorinya. Model ini bisa berupa diagram, skema, bagan atau sebuah gambar, yang akan membuat orang lebih mudah mengerti apa yang dijelaskan oleh seseorang. Jadi kalau model utama harus sudah ada sebelum seorang peneliti melakukan penelitiannya, model pembantu biasanya muncul dalam hasil analisis atau setelah penelitian dan analisis dilakukan.

Sebagai perumpamaan dari suatu gejala atau realita tertentu sebuah model bersifat menyederhanakan gejala itu sendiri. Artinya, tidak semua aspek, sifat atau unsur dari gejala tersebut ditampilkan dalam model. Seorang peneliti yang mengawali penelitiannya dengan mengatakan bahwa kebudayaan itu seperti organisma atau mahluk hidup, pada dasarnya telah menggunakan model or-ganisme dalam penelitiannya. Apakah kebudayaan itu organisme? Tentu saja bukan. Akan tetapi orang boleh saja mengumpamakannya seperti organisme, karena memang ada kenyataan-kenyataan yang dapat mendukung pemodelan seperti itu.

Peneliti tersebut mungkin sekali telah menyaksikan bangunan candi-candi Borobudur dan Prambanan yang begitu menarik, indah dan mengagumkan. Dia bisa saja beranggapan bahwa bangunan-bangunan seperti itu tidak mungkin dibuat oleh mereka yang sistem pengetahuannya relatif sederhana. Bangunan-bangunan tersebut tentu merupakan hasil karya sebuah masyarakat yang te-ngah berada dalam puncak kejayaannya, karena tidak ada bangunan lain yang lebih megah daripada bangunan-bangunan tersebut. Namun kini, di mana ma-syarakat pembuat candi-candi tersebut? Apakah orang-orang Jawa yang kini tinggal di sekitar candi Borobudur dan Prambanan adalah keturunan para pem-buat candi tersebut? Kalau ya, mengapa mereka tidak memelihara candi-candi yang indah tersebut, dan malah membiarkannya rusak dan dirusak? Mengapa mereka tidak dapat memberikan bantuan ketrampilan

11

Page 13: Paradigma Heddy

ataupun pengetahuan ketika para ahli arkeologi bermaksud merestorasinya? Mengapa mereka tidak memiliki pengetahuan tentang candi-candi itu sama sekali? Bukankah itu berar-ti bahwa peradaban masyarakat pembuat candi-candi megah tersebut telah pu-nah? Jika demikian, peradaban atau kebudayaan tentunya mengalami perkem-bangan yang makin lama makin kompleks, namun akhirnya hancur juga. Oleh karena itu, kebudayaan juga bisa dikatakan seperti mahluk hidup atau organ-isme, karena suatu organisme umumnya akan berkembang, tumbuh dan kemu-dian mati atau punah. Di sini si peneliti sampai pada model organisme tentang kebudayaan setelah dia melakukan pengamatan dan merenungkan hasil peng-amatan tersebut. Selanjutnya, model organisme ini dapat dijadikannya model untuk mempelajari kebudayaan-kebudayaan lain, di luar kebudayaan penghasil candi-candi Borobudur dan Prambanan.

Jadi sebuah model muncul karena adanya persamaan-persamaan tertentu antara fenomena satu dengan fenomena yang lain. Perbedaan pada penekan-an atas persamaan-persamaan inilah yang kemudian membuat ilmuwan yang satu menggunakan model yang berbeda dengan ilmuwan yang lain. Persama-an-persamaan ini pula yang kemudian membimbing seorang ilmuwan ke arah model tertentu, yang berarti ke arah penjelasan tertentu tentang gejala yang di-pelajari. Pada saat yang sama, sebuah model berarti juga membelokkan si il-muwan dari penjelasan yang lain. Oleh karena itu, sebuah model bisa dikata-kan membimbing, tetapi bisa pula ‘menyesatkan’. Oleh karena itu pula tidak ada model yang salah atau paling benar. Semua model benar belaka. Yang membedakannya adalah produktivitasnya. Artinya, implikasi-implikasi teoritis dan metodologis apa yang bakal lahir dari penggunaan model tertentu dalam mempelajari suatu gejala. Sebuah model yang banyak menghasilkan im-plikasi teoritis dan metodologis merupakan sebuah model yang produktif. Mes-kipun demikian, seorang ilmuwan bisa saja memilih sebuah model yang tidak begitu produktif, karena dianggap dapat memberikan pemahaman baru atas gejala yang dipelajari. Biasanya produktivitas sebuah model tidak dapat diten-tukan dari awal, karena dalam perkembangan selanjutnya ilmuwan-ilmuwan la-in mungkin saja akan dapat merumuskan pertanyaan-pertanyaan baru yang tak terduga berdasarkan atas model tersebut.

Mengapa dalam ilmu sosial-budaya ilmuwan perlu menggunakan model uta-ma? Oleh karena secara empiris gejala sosial-budaya merupakan gejala yang sangat kompleks. Tidak mungkin rasanya memahami gejala ini dalam realitas-nya yang kompleks. Oleh karena itu diperlukan adanya model-model, perumpa-maan-perumpamaan yang berfungsi menyederhanakan kompleksitas tersebut, agar keseluruhan gejala dapat dirangkum, dapat diketahui unsur-unsurnya, ser-ta saling keterkaitan antar unsur-unsur tersebut, atau gejala tersebut dapat ke-mudian dipelajari dengan cara tertentu.

12

Page 14: Paradigma Heddy

Sebuah model biasanya dapat ditemukan dalam pernyataan-pernyataan yang bersifat mengumpamakan. Dalam buku-buku atau artikel tentang evolusi masyarakat dan kebudayaan misalnya, sering kita temukan pernyataan :”ma-syarakat itu seperti organisme”; “kebudayaan itu seperti organisme”; sedang dalam buku atau artikel strukturalisme kita akan banyak menemukan pernyata-an “kebudayaan itu seperti bahasa”, dan sebagainya.

3. Konsep-konsep (Concepts)

Dibandingkan dengan pengetahuan mengenai asumsi dasar dan model, pe-ngetahuan ilmuwan sosial-budaya Indonesia mengenai konsep memang lebih baik. Mereka umumnya tahu apa yang dimaksud dengan konsep, walaupun ti-dak selalu dapat mendefinisikannya dengan baik. Mereka juga tahu tentang pentingnya konsep-konsep dalam penelitian, akan tetapi hal ini tidak selalu dii-ringi dengan kemampuan untuk memberikan batasan atau definisi mengenai konsep-konsep yang mereka gunakan dalam penelitian, karena biasanya me-reka (a) kurang mampu membayangkan bagaimana wujud konsep tertentu itu sendiri dalam kenyataan empiris, ditambah dengan (b) kurang mampu meng-gunakan bahasa Indonesia tulis dengan baik. Akibatnya, batasan-batasan kon-sep penting yang mereka gunakan dalam penelitian kurang sesuai dengan rea-litas empirisnya, atau sama sekali tidak jelas maknanya.

Para ilmuwan sosial-budaya Indonesia umumnya sudah mengenal istilah konsep, dan mungkin telah menggunakannya berulangkali, tetapi belum tentu mereka semua mengetahui maknanya dengan baik atau dapat menjelaskannya kepada orang lain. Dalam ilmu sosial-budaya, konsep juga dimaknai berbeda-beda. Di sini secara sederhana saya mendefinisikan konsep sebagai istilah-istilah atau kata-kata yang diberi makna tertentu sehingga membuatnya dapat digunakan untuk memahami, menafsirkan, menganalisis dan men-jelaskan peristiwa atau gejala sosial-budaya yang dipelajari.

Apa contoh dari konsep ini? Banyak sekali dalam ilmu sosial-budaya. Misal-nya: masyarakat, kebudayaan, pendidikan, sekolah, konflik, sukubangsa, dan sebagainya. Kamus antropologi, kamus sosiologi, dan sejenisnya, merupakan kumpulan penjelasan konsep-konsep yang dipandang penting dalam kajian an-tropologi dan sosiologi. Banyak istilah-istilah di situ merupakan istilah yang kita gunakan dalam kehidupan sehari-hari. Meskipun demikian belum tentu kita me-ngetahui makna istilah-istilah tersebut dengan baik, bahkan tidak sedikit yang salah dalam menggunakannya, terutama jika istilah tersebut berasal dari baha-sa asing.

Sekedar contoh misalnya, konsep ‘kebudayaan’. Istilah ini begitu biasa kita dengar. Demikian juga istilah ‘pariwisata’. Akan tetapi, tahukah kita makna isti-

13

Page 15: Paradigma Heddy

lah-istilah tersebut dengan baik? Dapatkah kita menjelaskannya kepada orang lain dengan cara yang cukup mudah? Walaupun di negeri kita sudah ada Ke-mentrian Kebudayaan dan Pariwisata, saya sama sekali tidak yakin bahwa pejabat-pejabat yang ada di situ mengetahui dengan baik makna ‘kebudayaan’ dan ‘pariwisata’, sehingga mereka selalu dapat menerangkan kepada orang yang bertanya tentang ‘kebudayaan’ dan ‘pariwisata’, walaupun tugas mereka adalah mengelola dan mengatasi masalah-masalah kebudayaan dan pariwisa-ta di negeri ini, atau mengembangkan kebudayaan dan pariwisata.

Istilah-istilah seperti: masyarakat, sosialisasi, enkulturasi, integrasi sosial, konflik, dan sebagainya merupakan konsep-konsep. Oleh karena kebanyakan istilah-istilah ini dalam kehidupan sehari-hari tidak jelas maknanya (terbukti banyak orang tidak dapat menjelaskannya dengan baik kalau ditanya), maka para ilmuwan sosial-budaya kemudian berusaha merumuskan makna istilah-is-tilah tersebut, agar istilah-istilah tersebut kemudian dapat digunakan untuk me-mahami dan menjelaskan peristiwa dan gejala sosial-budaya. Hal ini memang perlu dilakukan karena seorang ilmuwan tidak bekerja sendirian. Kerja ilmiah, kerja membangun sebuah perangkat pengetahuan ‘yang ilmiah’ adalah sebuah kerja sosial, kerja kolektif. Kerja kolektif dengan tujuan tertentu ini hanya akan dapat tercapai bilamana mereka yang terlibat di dalamnya menggunakan ‘satu bahasa’. ‘Satu bahasa’, bahasa ilmu pengetahuan, atau bahasa ilmiah, hanya dapat terwujud bilamana komunitas ilmuwan sepakat atas makna-makna yang diberikan kepada istilah-istilah tertentu.

Ketika sebuah istilah diberi makna tertentu oleh seorang ilmuwan yang ke-betulan membutuhkan istilah tersebut untuk dapat menjelaskan sebuah gejala, pada saat itulah istilah tersebut -berdasarkan definisi di atas- menjadi ‘konsep’. Sebagai contoh adalah kata ‘kebudayaan’. Pada mulanya istilah kebudayaan adalah istilah sehari-hari, yang kemudian diberi definisi oleh orang-orang ter-tentu, di antaranya adalah Ki Hadjar Dewantoro. Kemudian beberapa orang la-in memberikan definisi baru, di antaranya adalah Koentjaraningrat. Semenjak itu, kata ‘kebudayaan’ menjadi sebuah konsep yang penting dalam dunia ilmu pengetahuan, terutama ilmu sosial-budaya, khususnya lagi dalam antropologi.

Konsep menduduki posisi yang sangat penting dalam dunia ilmiah. Boleh di-katakan segala sesuatunya di situ didasarkan pada konsep-konsep. Jika demi-kian, mengapa posisi ‘konsep’ di sini tidak di tempat yang pertama? Mengapa justru berada di tempat setelah asumsi dan model? Oleh karena konsep adalah pikiran-pikiran, pandangan-pandangan dari manusia yang bisa diwujudkan, di-nyatakan, sementara asumsi dan model adalah pikiran, pandangan, pendapat, gagasan, ide, yang belum tentu dapat dinyatakan secara eskplisit, dan dalam kehidupan manusia pandangan, gagasan, pendapat yang tidak dapat dinyata-kan selalu muncul lebih dulu. Berapa banyak orang bisa berkomunikasi dengan lancar satu sama lain tetapi ternyata tidak tahu secara persis apa yang sedang dikomunikasikan ketika mereka ditanya. Hal ini menunjukkan bahwa yang ter-

14

Page 16: Paradigma Heddy

sembunyi, yang implicit, mendahului yang eksplisit, yang dapat dinyatakan. Oleh karena itulah, konsep sebagai perwujudan dari sesuatu yang semula ter-sembunyi, yang tacit (termasuk di sini asumsi dan model), ditempatkan setelah asumsi dan model.

Sehubungan dengan persoalan eksplisit dan implisit ini pula, maka asumsi dan model yang kita gunakan sebaiknya juga eskplisit, atau minimal kita dapat menyatakanya, memaparkannya, menjelaskannya, kepada orang lain ketika di-minta, sebab dalam kegiatan ilmiah keeksplisitan ini suatu saat pasti dibutuh-kan, apalagi jika pendapat atau temuan kita ternyata mengundang perdebatan dengan ilmuwan-ilmuwan lain. Dalam situasi seperti ini biasanya pemahaman yang mendalam atas asumsi-asumsi dan model-model yang ada dalam diri sendiri maupun yang dimiliki oleh orang lain menjadi sangat diperlukan. Pema-haman seperti ini akan menjadi sulit bilamana asumsi dan model di situ masih terus bersifat implisit.

Sebuah konsep dalam ilmu sosial-budaya bisa diberi definisi atau batasan berbagai macam. Dalam hal ini perlu diingat bahwa tidak ada definisi yang paling benar, karena setiap konsep dapat diberi definisi dari sudut pandang tertentu, dengan cara tertentu. Yang perlu diperhatikan adalah apakah definisi sebuah konsep memungkinkan peneliti mempelajari, memahami dan menjelas-kan gejala yang diteliti dengan baik. Oleh karena itu, sebelum merumuskan se-buah definisi seyogyanya peneliti melakukan kajian pustaka yang cukup kom-prehensif agar dapat memperoleh berbagai definisi yang telah dibuat oleh para ilmuwan lain berkenaan dengan konsep-konsep yang akan digunakan dalam penelitiannya.

Jika dari kajian pustakan ini kemudian diketahui bahwa definisi-definisi kon-sep yang telah dikemukakan ternyata tidak ada yang dipandang sesuai atau cocok maka peneliti seyogyanya dapat membuat definisi sendiri yang lebih se-suai. Sebelum pendefinisian ini dilakukan ada baiknya juga peneliti mengemu-kakan berbagai kritik atau kelemahan atas definisi-definisi yang sudah ada, yang membuatnya tidak dapat menggunakan definisi-definisi tersebut. Uraian ini akan menjadi semacam dasar atau alasan teoritis untuk merumuskan sebu-ah definisi baru yang lebih sesuai. Bilamana ini dapat dilakukan hal itu berarti bahwa peneliti telah melakukan pembaharuan konseptual dalam studi menge-nai gejala-gejala sosial-budaya tertentu.

4. Metode-metode Penelitian (Methods of Research)

Berkenaan dengan metode penelitian ini umumnya kita mengenal pembeda-an antara ‘metode penelitian kuantitatif’ dan ‘metode penelitian kualitatif’. Mes-kipun demikian banyak sekali mahasiswa dan sarjana ilmu sosial-budaya yang mempunyai pengertian kurang lengkap tentang ‘metode penelitian’ ini, sehing-ga ketika mereka ditanya “di mana letak kualitatifnya dan kuantitatifnya sebuah

15

Page 17: Paradigma Heddy

metode?”, mereka tidak dapat menjawab. Selain itu, banyak juga ilmuwan sosi-al-budaya yang hanya mengetahui satu jenis metode saja, yaitu yang kuantita-tif, sehingga semua masalah selalu diteliti dengan menggunakan metode yang sama, padahal sebenarnya tidak demikian. Lebih jelek lagi, karena tidak me-ngetahui jenis metode peneletian yang lain, metode penelitian itulah (yang ku-antitatif) yang kemudian dianggap sebagai satu-satunya metode penelitian yang ilmiah.

Sayangnya lagi, satu-satunya metode penelitian yang dianggap benar ini-pun tidak dikuasai dengan baik. Masih banyak sarjana ilmu sosial-budaya kita yang belum dapat membuat kuesioner dengan runtut, sistematis, dan terarah, sesuai dengan masalah yang diteliti, serta tidak mengandung pertanyaan-per-tanyaan yang ‘etnosentris’. Akibatnya, kita bisa membayangkannya sendiri. Oleh karena itu, sebelum membicarakan tentang metode penelitian ini kita bi-carakan terlebih dulu konsep-konsep yang ada di sini, agar maknanya kita ke-tahui dengan baik.

Pertama, yang dimaksud dengan ‘penelitian’ di sini harus diartikan sebagai ‘pengumpulan data’. Oleh karena itu, metode penelitian kualitatif dan kuanti-tatif tidak lain adalah metode atau cara guna memperoleh, mengumpulkan, data kualitatif dan data kuantitatif. Jadi yang bersifat ‘kuantitatif’ atau ‘ku-alitatif’ bukanlah metodenya, tetapi datanya. Selanjutnya, sifat data ini juga sangat menentukan cara kita untuk mendapatkannya. Untuk itu kita perlu tahu ciri-ciri penting yang ada pada masing-masing data. Dilihat dari sudut pandang ini, maka sebenarnya tidak ada pemisahan dan tidak perlu ada pemisahan yang sangat tegas dan kaku antara “penelitian kualitatif” dan ‘penelitian kuanti-tatif”, sebagaimana sering dikatakan oleh sebagian ilmuwan sosial-budaya yang kurang memahami tentang metode-metode penelitian.

Yang penting dalam suatu penelitian adalah bagaimana dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan yang dikemukakan dengan memuaskan, dengan meya-kinkan, dan ini sangat tergantung pada data yang dikemukakan. Data ini bisa berupa data kuantitatif, data kualitatif atau kedua-duanya. Sebelum kita membi-carakan tentang jenis-jenis data dan cara mendapatkannya, ada baiknya kita pahami dengan baik terlebih dulu makna dari : realita, fakta dan data. Apa yang dimaksud dengan ‘realita’(kenyataan), fakta dan data? Tiga konsep ini sangat perlu diketahui maknanya serta dimensi-dimensinya, agar kita tidak mengalami kesulitan dalam menggunakannya untuk penelitian.

a. Realita, Fakta dan Data.

Apa yang dimaksud dengan ‘realita’ atau kenyataan? Secara sederhana ‘ke-nyataan dapat didefinisikan sebagai “segala sesuatu yang dianggap ada”. Kata ‘dianggap’ di sini menduduki posisi penting, sebab kata tersebut mencerminkan relativitas. Artinya, apa yang “ada” bagi seseorang belum tentu “ada” bagi

16

Page 18: Paradigma Heddy

yang lain, karena masing-masing memiliki pandangan yang berbeda tentang suatu hal. “Ada” di sini tidak harus bersifat empiris, atau dapat diketahui lewat pancaindera, sebab banyak hal-hal yang kita anggap ada tanpa kita pernah mengalaminya secara empiris. “Ada” di sini juga bisa berarti ada di dunia, di jagad raya ini, baik secara empiris maupun dalam pikiran kita.

Fakta seringkali disamakan dengan ‘kenyataan’. Akan tetapi kalau kita me-lakukan ini timbul pertanyaan: mengapa kita harus menggunakan dua kata yang berbeda untuk mengatakan hal yang sama? Jika ada dua kata yang ber-beda maka keduanya harus menunjuk dua hal yang berbeda. Bahkan apa yang kita sebut synonym pada dasarnya tidak dapat menunjuk kepada dua hal yang persis sama. Ada pengertian-pengertian tertentu yang terdapat pada satu kata tidak kita temukan pada synonimnya. Jadi, fakta harus kita bedakan dengan ‘realita’atau kenyataan.

Fakta di sini kita definisikan sebagai pernyataan tentang realita, tentang kenyataan. Seseorang yang menceriterakan suatu kejadian pada dasarnya adalah orang yang sedang mengemukakan fakta-fakta, mengemukakan per-nyataan-pernyataan tentang suatu kenyataan. Oleh karena itu, suatu fakta se-lalu bersifat “subyektif”, dalam arti bahwa fakta tersebut selalu dihasilkan le-wat sudut pandang orang tertentu. Suatu kenyataan yang sama dapat saja di-kemukakan dengan cara-cara yang berbeda. Ini terlihat jelas dalam berbagai macam berita mengenai suatu kejadian yang dimuat oleh berbagai suratkabar yang berbeda. Walaupun peristiwanya sama, namun berita mengenai peristiwa ini tidak akan pernah persis bisa sama. Di lain pihak suatu fakta juga dapat di-katakan sebagai “obyektif” karena selalu didasarkan pada suatu kenyataan. Pernyataan yang tidak didasarkan pada suatu kenyataan tidak dapat dikatakan sebagai fakta. Dia lebih tepat disebut sebagai ‘karangan’ atau hasil dari sebuah khayalan, hasil imajinasi.

Fakta ini dapat menjadi data, tetapi tidak semua fakta adalah data. Apa yang dimaksud dengan data? Data di sini dikatakan sebagai fakta yang rele-van, yang berkaitan secara logis dengan (a) masalah yang ingin dijawab atau masalah penelitian, dan dengan (b) kerangka teori atau paradigma yang digunakan untuk menjawab masalah tersebut. Jadi, data adalah fakta yang telah dipilih, diseleksi, berdasarkan atas relevansinya.

Sebuah buku atau suratkabar memuat banyak sekali fakta. Ada fakta ten-tang pemilu, tentang pengeboman, tentang demo mahasiswa, tentang hasil lomba, tentang perayaan kemerdekaan, dan sebagainya. Akan tetapi tidak se-mua fakta tersebut akan menjadi data kita apabila kita melakukan penelitian. Kalau kita meneliti tentang perkembangan sistem politik di Indonesia, maka fakta-fakta dalam suratkabar yang dapat menjadi data kita adalah fakta-fakta mengenai peristiwa-peristiwa politik, tentang otonomi daerah, tentang partai po-litik, dan sebagainya. Meskipun demikian, fakta-fakta inipun belum tentu semu-

17

Page 19: Paradigma Heddy

anya akan menjadi data kita, karena kita menggunakan kerangka teori atau pa-radigma tertentu, dan se-tiap paradigma memerlukan data yang agak ataupun sangat berbeda dengan da-ta yang diperlukan oleh paradigma yang lain.

Uraian di atas dapat digambarkan dengan skema pada halaman berikut.

Skema 1. Posisi dan Relasi antara Realita, Fakta dan Data

Data Fakta Fakta Data Data ^ ^ ^ ^ ^ | | | | |

relevan tidak tidak relevan relevan relevan relevan ^ ^ ^ ^ ^ | | | | |

Fakta 1 Fakta 2 Fakta 3 Fakta 4 Fakta 5 ^ ^ ^ ^ ^ | | | | |

Individu 1 Individu 2 Individu 3 Individu 4 Individu 5 ^ ^ ^ ^ ^ | | | | | -------------------------------------------------------------------------- ^ |

Realita (kenyataan)empiris dan non-empiris

b. Data Kualitatif

Data yang dibutuhkan dalam suatu penelitian bisa berupa data kualitatif atau data kuantitatif, atau kedua-duanya, dan sebuah penelitian bisa saja me-merlukan dan memanfaatkan dua jenis data ini untuk menjawab masalah-ma-salahnya. Data kuantitatif dikumpulkan dengan cara yang berbeda dengan data kualitatif. Oleh karena ciri dan sifatnya yang berbeda maka analisis terhadap data ini juga berbeda. Sebelumnya perlu diketahui lebih dulu apa yang dimak-sud dengan data kuantitatif dan data kualitatif.

Data kuantitatif adalah kumpulan simbol -bisa berupa pernyataan, huruf atau angka- yang menunjukkan suatu jumlah (quantity) atau besaran dari suatu gejala, seperti misalnya jumlah penduduk, jumlah laki dan perempuan, jumlah

18

Page 20: Paradigma Heddy

anak sekolah, jumlah rumah, jumlah tempat ibadah, luas sebuah kelurahan, jumlah padi yang dipanen, dalamnya sebuah sumur, dan sebagainya. Data kuantitatif dapat diperoleh dari kantor statistik atau kantor pemerintah (kabupa-ten, kecamatan, kelurahan, dst.) atau dari penghitungan butir-butir tertentu yang ada dalam kuesioner (daftar pertanyaan) yang diedarkan dalam suatu pe-nelitian, atau dari pernyataan informan.

Data kualitatif tidak berupa angka tetapi berupa pernyataan-pernyataan mengenai isi, sifat, ciri, keadaan, dari sesuatu atau gejala, atau pernyataan me-ngenai hubungan-hubungan antara sesuatu dengan sesuatu yang lain. Sesua-tu ini bisa berupa benda-benda fisik, pola-pola perilaku, atau gagasan-gagas-an, nilai-nilai, norma-norma, bisa pula peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam suatu masyarakat

Dari berbagai penelitian sosial-budaya yang telah dilakukan, saya menemu-kan bahwa data kualitatif ini biasanya mengenai antara lain: (1) nilai-nilai, nor-ma-norma, aturan-aturan; (2) kategori-kategori sosial dan budaya; (3) ceritera (4) percakapan; (5) pola-pola perilaku dan interaksi sosial; (6) organisasi sosial; (7) lingkungan fisik.

Nilai-nilai, norma-norma, aturan-aturan. Nilai, norma, aturan merupakan hal-hal yang tidak dapat kita amati ataupun dengar, namun dapat kita lihat per-wujudannya dalam perilaku warga masyarakat sehari-hari. Nilai, norma, aturan ini dapat kita abstraksikan atau kita ketahui dari pola-pola perilaku dan tindakan yang dapat kita amati. Akan tetapi hasil abstraksi bisa dan sangat mungkin tidak sama dengan nilai, norma dan aturan yang sebenarnya diikuti oleh para pelaku, karena abstraksi ini berasal dari tafsir kita atas perilaku-perilaku yang kita lihat.

Untuk dapat mengetahui nilai, norma dan aturan yang diikuti oleh orang-orang yang kita teliti dengan “tepat”, adalah dengan bertanya kepada orang-orang itu sendiri, dengan melakukan wawancara. Meskipun ada kemungkinan bahwa apa yang dikatakan kepada kita bukanlah yang sebenarnya ada dalam pikiran dan perasaan mereka, akan tetapi biasanya kita percaya saja dengan apa yang dikatakan orang lain kepada kita.

Kategori sosial dan budaya. Data kualitatif mengenai kategori sosial dan budaya adalah pernyataan-pernyataan mengenai jenis-jenis status, peran, dan jenis-jenis benda atau barang yang dikenal. Pegawai, mahasiswa, petani, guru, petugas KB, ninik-mamak, ulama, dsb, adalah kategori-kategori sosial, sedang sawah, ladang, kebun, rumah, pondok, rumah gadang, surau, dsb, adalah kate-gori-kategori budaya. Dalam hal ini kategori budaya setahu saya lebih banyak jumlahnya daripada kategori sosial. Data kualitatif kategori sosial selain akan menyebutkan kategori-kategori tersebut biasanya juga akan berisi keterangan lebih lanjut mengenai kategori-kategori itu.

19

Page 21: Paradigma Heddy

Misalnya saja, istilah kyai dan santri. Dua istilah ini menunjukkan kategori sosial, dan data kualitatif mengenai dua kategori sosial ini akan mendeskripsi-kan kategori-kategori tersebut. Data kualitatif tentang ‘santri’ bisa seperti beri-kut. “Santri adalah istilah yang biasa digunakan di berbagai pondok pesantren untuk menunjuk mereka yang berada di pesantren tersebut untuk mempelajari kitab-kitab agama di bawah bimbingan seorang ustadz (guru) atau seorang kyai. Di banyak pesantren biasanya dikenal dua jenis santri, yakni yang tinggal (mondok) di pesantren dan mereka yang pulang kembali ke rumah setelah pe-lajaran membaca kitab selesai”.

Dalam penelitian di desa kita selain kita akan menemui kategori-kategori so-sial dan budaya yang sudah umum, kita juga akan menemukan kategori-ka-tegori yang khas, yang mungkin hanya ditemui pada masyarakat setempat. Misalnya saja, di Sumatra Barat kita akan menemukan kategori ninik-mamak, urang sumando, dukun baranak, dan sebagainya selain kategori-kategori yang biasa kita temui seperti pedagang, pegawai, petani dsb.

Ceritera. Ceritera ini bisa mengenai banyak hal, sehingga kita menyebutnya sebagai legenda, mitos, sejarah, dsb. Berbagai ceritera ini sangat penting da-lam konteks masalah penelitian tertentu, sehingga tujuan penelitian antara lain adalah mendapatkan ceritera-ceritera semacam ini. Ceritera-ceritera ini tidak harus terasa masuk akal menurut kita. Masuk akal atau tidaknya sebuah cerite-ra terkait erat dengan hal-hal lain dalam kebudayaan.

Ada banyak macam ceritera dapat kita temukan dalam penelitian. Ada ceri-tera mengenai tokoh-tokoh tertentu yang pernah ada di daerah tersebut, entah itu mengenai kehebatannya, kebaikannya atau kejelekan-kejelekannya. Ada ceritera mengenai peristiwa dibukanya daerah tersebut menjadi sebuah desa atau tempat pemukiman. Ada juga ceritera mengenai mahluk-mahluk halus yang dianggap ada di situ. Berbagai macam ceritera ini oleh peneliti biasanya kemudian dikelompok-kelompokkan berdasarkan ats kesamaan-kesamaan ciri-ciri tertentu dalam ceritera tersebut, sehingga ada yang dikelompokkan dalam kategori legenda, sejarah, atau mitos.

Berbagai macam ceritera ini sebenarnya merupakan data kebudayaan sua-tu masyarakat, namun tidak semua data ini relevan untuk sebuah penelitian. Oleh karena itu, seorang peneliti juga harus dapat menentukan ceritera-ceritera yang mana yang dianggap relevan atau dapat memberikan sumbangan terten-tu terhadap usahanya menjawab pertanyaan-pertanyaan yang telah dirumus-kannya.

Percakapan. Catatan mengenai sebuah atau beberapa percakapan yang terjadi di lapangan juga merupakan data kualitatif yang penting untuk penelitian tertentu. Kalau data sebelumnya hampir semuanya diperoleh lewat pengamat-

20

Page 22: Paradigma Heddy

an atau wawancara, data percakapan ini diperoleh lewat metode ‘mendengar-kan’. Ini sebenarnya merupakan sebuah metode yang telah sangat banyak di-gunakan, namun sangat sedikit ditulis. Demikian juga dengan hasilnya, sehing-ga data kualitatif yang berasal dari percakapan ini biasanya sampai pada su-dah dalam bentuk pernyataan-pernyataan yang merupakan abstraksi-abstraksi dari peneliti dari data percakapan yang diperolehnya.

Data berupa percakapan biasanya lebih banyak ditampilkan para peneliti bahasa yang data utamanya memang percakapan. Meskipun demikian kini be-beberapa ilmuwan sosial-budaya yang menggunakan paradigma tertentu da-lam penelitian mereka -misalnya etnosains dan etnometodologi- sangat banyak memerlukan data percakapan ini. Analisis yang dilakukan para ilmuwan sosial-budaya ini berbeda dengan analisis para ahli bahasa, karena lebih ditujukan untuk mengungkapkan sisi sosial-budaya dari fenomene percakapan yang ter-jadi.

Pola-pola perilaku dan interaksi sosial. Data kualitatif mengenai perilaku biasanya menggambarkan kegiatan-kegiatan tertentu atau pola-pola perilaku tertentu. Misalnya saja perilaku dalam matapencaharian. Data kualitatifnya bisa seperti berikut. “Pada pagi hari, setelah kegiatan sholat pagi (sholat subuh) di masjid selesai, sebelum matahari terbit beberapa petani tampak memanggul cangkul menuju daerah persawahan di luar desa untuk mengolah tanah mere-ka. Bulan itu adalah bulan mulainya turun hujan setelah musim kemarau yang berlangsung sekitar 4 bulan. Setelah hujan turun beberapa kali dalam seming-gu terakhir, yang menandakan datangnya musim penghujan, para petani di desa Sibolangit biasanya mulai mempersiapkan lahan yang akan mereka ta-nami dengan padi”.

Pola-pola perilaku ini merupakan hasil abstraksi peneliti atas perilaku satu atau banyak individu yang muncul berulang kali dengan tingkat kemiripan yang besar. Pola-pola perilaku ini bisa diamati setiap hari dan ada pada setiap bi-dang kehidupan, mulai dari pagi sampai malam. Di pagi hari kita menemukan misalnya pola-pola perilaku orang mempersiapkan diri untuk melakukan aktivi-tas hari itu, mulai dari buang air, masak air, mandi, berpakaian, makan pagi dan pergi ke tempat bekerja atau sekolah. Pola-pola perilaku pagi hari akan berbeda dengan pola perilaku di siang, sore dan malam hari, dan pola-pola pe-rilaku sangat perlu kita deskripsikan, karena mungkin menjadi fokus penelitian kita.

Organisasi Sosial. Dalam organisasi sosial ini tercakup hal-hal seperti pe-lapisan sosial, kelompok-kelompok sosial, golongan sosial, struktur sosial, struktur pemerintahan, organisasi pemerintahan, sistem kekerabatan dsb. Ka-lau penelitian kita mengenai sistem kekerabatan misalnya, maka data kualitatif-nya akan berupa deskripsi tentang pola tempat tinggal setelah menikah, pola pernikahan, pola pewarisan nama keluarga, harta, rumah, tanah, istilah-istilah

21

Page 23: Paradigma Heddy

kekerabatan, interaksi antarkerabat, dsb. Data kualitatif tersebut akan berupa seperti berikut. “Dalam masyarakat Minangkabau di Sungai Puar, seorang laki-laki mempunyai kewajiban terlibat dalam proses pendewasaan anak-anak dari saudara perempuannya atau kemenakan-kemenakannya. Posisi dia di situ adalah sebagai mamak dan ini tidak jauh berbeda dengan kedudukan seorang ayah dalam keluarga-keluarga batih. Oleh karena itu, hubungan paman-keme-nakan dalam masyarakat Sungai Puar merupakan hubungan yang sangat pen-ting”.

Uraian seperti di atas pada dasarnya berawal dari pengamatan atas realitas empiris berupa perilaku-perilaku dan interaksi sosial di kalangan warga suatu komunitas atau masyarakat atau merupakan hasil dari wawancara dengan mereka. Abstraksi berupa pernyataan bahwa posisi seseorang adalah sebagai mamak merupakan hasil dari pengamatan atas berbagai interaksi antara sese-orang dengan orang lain, atau hasil interpretasi atas pernyataan-pernyataan yang diberikan oleh informan mengenai hak dan kewajiban seorang laki-laki dalam masyarakatnya.

Lingkungan fisik. Data kualitatif mengenai lingkungan fisik ini juga perlu di-kemukakan dalam hasil penelitian mengenai sebuah desa. Di sini peneliti menggambarkan hal-hal yang ada dalam lingkungan fisik sebuah masyarakat. Deskripsi ini bisa sebagai berikut. “Sungai Puar adalah nama sebuah desa yang terletak di lereng gunung Merapi di Sumatra Barat. Letaknya yang cukup tinggi di atas permukaan laut (+ 500 m di atas permukaan laut) membuat dae-rah ini cukup sejuk udaranya sepanjang hari, dan sangat dingin di malam hari, terutama pada musim kemarau. Meskipun terletak di lereng, namun sebagian besar daerah Sunga Puar ternyata berupa tanah datar dan termasuk tanah yang subur”.

Banyak sekali unsur-unsur lingkungan yang dapat dideskripsikan, namun di sini peneliti juga harus dapat menentukan informasi mengenai unsur lingkung-an yang mana yang diperkirakan relevan atau ada hubungannya dengan masa-lah yang ditelitinya. Unsur-unsur lingkungan yang relevan inilah yang kemudian perlu dipaparkan dengan cukup rinci untuk membantu orang lain memahami atau mengetahui keterkaitannya dengan masalah- masalah yang diteliti.

Berbagai jenis data kualitatif tersebut di atas mungkin masih dapat ditambah lagi jika memang ada data kualitatif yang tidak dapat dimasukkan dalam salah satu kategori di atas. Namun, sebelum menambahkan jenis data yang baru ha-rus diperhatikan juga, apakah jenis data tersebut memang betul-betuk tidak da-pat dimasukkan ke dalam salah satu jenis data yang ada di situ, agar tidak ter-jadi tumpang-tindih dalam klasifikasi jenis data kualitatif, yang kemudian dapat mengakibatkan kebingungan.

22

Page 24: Paradigma Heddy

Uraian di atas dapat digambarkan seperti pada halaman berikut.

c. Metode Penelitian : Kuantitatif dan Kualitatif

Metode adalah cara, sedang penelitian adalah kegiatan mengumpulkan data. Jadi metode penelitian adalah cara-cara yang digunakan untuk mengum-pulkan data. Jadi menurut asal katanya, “metodologi penelitian” adalah ilmu tenSkema 2. Data Kuantitatif dan Kualitatif

- luas (wilayah, kampung, sawah, dsb.) | |--- Kuantitatif -------- |- jumlah (penduduk, bangunan, koperasi, dsb.) | | | - berat (hasil panen, badan, dsb.) | |Data --- | - nilai, pandangan hidup, norma, aturan | |- kategori sosial-budaya | |- ceritera |--- Kualitatif -------- |- percakapan |- pola perilaku dan interaksi sosial |- organisasi sosial - lingkungan fisik

tang cara-cara mengumpulkan data, termasuk di dalamnya jenis-jenis data. Ada berbagai cara untuk mengumpulkan data dalam suatu penelitian, dan cara mana yang akan digunakan tergantung pada jenis data yang diperlukan. Cara dan kegiatan untuk mengumpulkan data kualitatif tidak akan bisa sama dengan kegiatan mengumpulkan data kuantitatif. Atas dasar jenis data yang diperlukan inilah muncul kemudian berbagai metode pengumpulan data.

Sebagaimana dikatakan oleh tokoh filsafat Fenomenologi, Edmund Husserl, bahwa metode dalam suatu cabang ilmu pengetahuan ditentukan oleh subject matternya, maka dengan sendirinya metode penelitian dalam ilmu-ilmu sosial-budaya tidak akan bisa persis sama dengan metode penelitian dalam ilmu-ilmu alam (natural sciences) walaupun jenis data yang diperlukan adalah sama, yakni kuantitatif dan kualitatif.

Berdasarkan atas jenis datanya metode penelitian ilmu sosial-budaya deng-an sendirinya hanya dapat dibedakan menjadi (a) metode penelitian kuantitatif atau metode pengumpulan data kuantitatif, dan (b) metode penelitian kualitatif atau metode pengumpulan data kualitatif. Dalam masing-masing metode pene-litian ini terdapat sejumlah metode penelitian lagi, yang penggunaannya biasa-

23

Page 25: Paradigma Heddy

nya didasarkan atas pertimbangan-pertimbangan praktis, yakni ketersediaan waktu, biaya dan tenaga.

Dalam metode pengumpulan data kuantitatif, yang selanjutnya kita sebut metode penelitian kuantitatif, terdapat misalnya (a) metode kajian pustaka; (b) metode survei dan (c) metode angket. Dalam metode penelitian kualitatif terda-pat (a) metode kajian pustaka; (b) metode pengamatan; (c) metode pengamat-an berpartisipasi (participant observation); (d) metode wawancara sambil lalu; (e) metode wawancara mendalam, dan (f) metode mendengarkan.

d. Alat Bantu Penelitian dan Asisten Peneliti

Sewaktu melakukan pengumpulan data peneliti tidak selalu dapat merekam semua yang dilihat, didengar dan dialaminya dalam ingatannya, sehingga dia memerlukan alat-alat bantu untuk merekam berbagai hal tersebut, seperti mi-salnya kamera, tape-recorder, video, dan buku catatan. Tanpa alat-alat bantu ini peneliti akan sangat mudah kehilangan datanya ketika dia tidak lagi berada di lapangan. Dengan alat-alat perekam ini data yang telah dikumpulkan sewak-tu di lapangan dapat dilihat, dibaca dan dianalisis kembali berkali-kali.

Meskipun demikian, masing-masing alat bantu ini juga memiliki kekurangan disamping berbagai kelebihannya, ketika digunakan dalam penelitian. Penggu-naan kamera dan video misalnya sangat menguntungkan untuk merekam ke-giatan-kegiatan sosial, berbagai peristiwa di lapangan atau kondisi fisik di tem-pat penelitian. Namun, alat ini bagi peneliti tertentu mungkin dianggap masih mahal. Demikian juga tape-recorder. Sementara buku catatan jauh lebih murah akan tetapi pemakaiannya di lapangan seringkali cukup mengganggu proses wawancara.

Peneliti seringkali juga tidak dapat bekerja sendiri dalam mengumpulkan da-tanya. Untuk itu dia seringkali membutuhkan satu atau beberapa asisten pene-liti. Asisten peneliti dapat diambil dari kalangan peneliti atau mahasiswa, bisa pula dari kalangan warga masyarakat yang diteliti. Yang penting di sini adalah bahwa asisten peneliti harus betul-betul memahami tujuan penelitian dan data yang diperlukan, sehingga dia tidak melakukan kesalahan dalam pengumpulan datanya.

Masing-masing asisten peneliti juga memiliki kelebihan dan kekurangannya. Peneliti yang diambil dari kalangan warga yang diteliti biasanya dapat membe-rikan data yang rinci mengenai masyarakatnya atau mengenai hal-hal yang re-levan dengan masalah penelitian karena mereka, namun mereka perlu diberi penjelasan yang lebih banyak mengenai proses penelitian dan data yang ingin diperoleh. Selain itu, tidak jarang -karena ketidak-tahuan mereka tentang kegi-atan penelitian- norma-norma keilmuan kurang dapat mereka jaga.

24

Page 26: Paradigma Heddy

Sementara itu, asisten peneliti yang diambil dari kalangan peneliti biasanya lebih mudah memahami masalah-masalah yang diteliti dan proses pengumpul-an datanya, namun mereka tidak selalu dapat memberikan data yang rinci, ka-rena posisi mereka sebagai orang luar. Mereka juga tidak banyak tahu isyu yang beredar dalam masyarakat yang diteliti, yang seringkali merupakan data yang sangat penting, tetapi relatif sulit diperoleh, kecuali jika mereka tinggal cu-kup lama di lapangan. Selain itu, para asisten ini juga tidak selalu menguasai bahasa lokal, yang sangat perlu dikuasai untuk mendapatkan informasi yang akurat dari warga yang diteliti.

5. Metode-metode Analisis (Methods of Analysis)

Sebagaimana halnya metode penelitian, metode analisis kualitatif dan metode analisis kuantitatif harus diartikan sebagai metode menganalisis data kualitatif dan metode menganalisis data kuantitatif. Pertanyaannya kemudian adalah: bagaimana metode analisis data kuantitatif dan bagaimana pula metode analisis data kualitatif. Saya tidak akan membicarakan analisis da-ta kuantitatif karena itu bukan tugas saya di sini, dan setahu saya itu sudah ba-nyak diajarkan dalam kuliah-kuliah. Sebagian besar kuliah metode penelitian di Indonesia setahu saya adalah kuliah tentang metode pengumpulan dan anali-sis data kuantitatif. Yang akan saya bicarakan adalah analisis data kualitatif.

Penggunaan metode analisis tertentu sangat ditentukan oleh masalah pene-litian dan kerangka teori atau paradigma yang digunakan, dan dalam hal ini bimbingan dari kerangka teori sangat penting, sehingga dalam analisis kualitatif hubungan antara kerangka teori (asumsi, model, dan konsep-konsep) dengan metode analisis terasa lebih erat, lebih kuat, daripada dalam penelitian yang menggunakan banyak data kuantitatif. Selain itu, paradigma yang digunakan juga harus dapat tercermin dalam hasil analisis yang diberikan. Eratnya hu-bungan antara metode analisis dengan asumsi, model dan konsep yang digu-nakan ini membuat metode analisisnya juga disebut dengan nama yang agak sama dengan nama paradigma.

Beberapa metode analisis tersebut adalah: (1) analisis evolusional; (2) ana-lisis historis-diffusional; (3) historis-kausal; (4) analisis historis-materialis; (5) analisis komparatif-korelasional; (6) analisis komparatif fungsional (7) analisis fungsional; (8) analisis fungsional-struktural; (9) analisis fungsional ekologis; (10) analisis struktural; (11) analisis interpretif/simbolik/hermeneutik; (12) anali-sis fenomenologis-etnosaintifik; (13) analisis fenomenologis etnometodologis; (14) analisis fenomenologis-konstruksionis; (15) analisis post-modernistis. Itu-lah beberapa jenis metode analisis yang dapat saya identifikasi sampai saat ini, dan itu adanya terutama dalam antropologi budaya. Analisis-analisis tersebut sedikit banyak mencerminkan paradigma yang melingkupi analisis-analisis itu sendiri.

25

Page 27: Paradigma Heddy

Dalam kenyataannya berbagai kategori analisis tersebut seringkali menca-kup beberapa bentuk analisis lagi yang lebih spesifik. Misalnya saja analisis evolusional. Analisis evolusional ini dapat dibedakan menjadi: (a) analisis evo-lusional unilinier; (b) analisis evolusional universal; (c) analisis evolusional eko-logis; (d) analisis evolusional differensial. Masing-masing analisis ditujukan un-tuk mengungkapkan aspek, bentuk dan pola evolusi yang berbeda. Analisis evolusional ekologis misalnya lebih mengarahkan perhatian pada evolusi yang terjadi karena adanya interaksi manusia dengan lingkungan, sedang analisis evolusional differensial lebih ditujukan untuk memperlihatkan adanya perbeda-an-perbedaan dalam kecepatan berevolusinya unsur-unsur budaya tertentu.

Berkenaan dengan metode analisis ini yang paling perlu diperhatikan adalah tujuan akhir dari suatu kerja analisis. Kita harus selalu bertanya: analisis ini di-tujukan untuk memberikan hasil seperti apa? Hasil ini harus merupakan jawab-an atas pertanyaan penelitian yang kita kemukakan. Oleh karena itu, dengan memperhatikan secara seksama pertanyaan penelitian yang kita kemukakan sebenarnya kita sudah dapat menentukan sejak awal metode analisis seperti apa yang akan lakukan atau kita perlukan.

Metode analisis data pada dasarnya adalah cara-cara untuk memilah-milah, mengelompokkan data -kualitatif maupun kuantitatif- agar kemudian dapat dite-tapkan relasi-relasi tertentu antara kategori data yang satu dengan data yang lain. Mengelompokkan data kuantitatif memerlukan siasat atau cara yang ber-beda dengan mengelompokkan data kualitatif, karena sifat dan ciri data terse-but memang berbeda. Metode analisis data kuantitatif sudah banyak dibicara-kan, sehingga tidak perlu dijelaskan lagi di sini. Tidak demikian halnya dengan metode analisis data kualitatif.

Metode analisis data kualitatif pada dasarnya sangat memerlukan kemam-puan untuk menemukan persamaan-persamaan dan perbedaan di antara data kualitatif, dan ini hanya dapat dilakukan apabila konsep-konsep teoritis yang digunakan didefinisikan dengan baik. Persamaan dan perbedaan ini tidak be-gitu mudah ditemukan, namun bilamana pada saat pengumpulannya data ini sudah dikelompokkan terlebih dahulu hal itu akan mempermudah analisis lebih lanjut. Sebagai contoh misalnya, data mengenai sistem kepercayaan. Data ku-alitatif yang terkumpul hanya akan memadai untuk analisis bilamana definisi sistem kepercayaan ini sedemikian rupa sehingga dapat mencakup berbagai gejala empiris yang tergolong dalam „sistem kepercayaan“. Definisi sistem ini paling tidak harus dapat merangkum kegiatan rituil, upacara, mitos-mitos, serta pandangan-pandangan mengenai dunia supernatural. Tanpa definisi semacam ini data yang terkumpul tidak akan lengkap.

Meskipun ada berbagai macam jenis metode analisis, namun secara umum kita dapat mengatakan bahwa tujuan akhir analisis adalah menetapkan hu-bungan-hubungan antara suatu variable/gejala/unsur tertentu dengan va-

26

Page 28: Paradigma Heddy

riable/gejala/unsur yang lain, dan menetapkan jenis hubungan yang ada di situ. Dengan demikian kita dapat menilai sendiri apakah analisis yang dilaku-kan telah mencapai hasil yang diinginkan.

Analisis evolusional. Ini adalah cara menganalisis data dengan menggu-nakan perspektif evolusional. Di sini data kualitatif maupun kuantitatif dikemu-kakan dan ditafsir dari sudut pandang tertentu sehingga akan dapat menguat-kan atau mendukung pernyataan-pernyataan tentang evolusi -yakni proses per-kembangan yang relatif lambat dari sebuah sistem atau gejala, dalam waktu yang relatif lama, menuju sebuah sistem yang relatif lebih kompleks- dari gejala atau sistem yang diteliti.

Di sini peneliti mengelompokkan data mengenai gejala kebudayaan tertentu –sistem teknologi misalnya- berdasarkan atas kompleksitasnya, dan kemudian menyusunnya sedemikian rupa sehingga gejala kebudayaan yang diteliti men-jadi terlihat telah mengalami evolusi, mengalami perkembangan menuju gejala yang lebih kompleks. Selanjutnya alur perkembangan ini juga dapat dibagi menjadi beberapa tahap di mana masing-masing tahap memperlihatkan sifat, ciri atau kualitas sistem yang berbeda.

Analisis historis-diffusional. Analisis ini ditujukan untuk dapat menghasil-kan pernyataan-pernyataan mengenai penyebaran unsur-unsur budaya atau gejala-gejala sosial-budaya tertentu dalam kurun waktu tertentu. Data kualitatif dan kuantitatif di sini dikemukakan dan ditafsir dari perspektif tertentu sedemiki-an rupa sehingga dapat mendukung pernyataan-pernyataan mengenai penye-baran unsur-unsur kebudayaan dalam ruang atau kawasan dan kurun waktu tertentu.

Di sini peneliti mengelompokkan unsur-unsur kebudayaan tertentu atau ge-jala-gejala sosial-budaya tertentu menurut wilayah geografis atau tempat di-temukannya unsur-unsur atau gejala-gejala social-budaya tersebut, dan kemu-dian mencoba menentukan persamaan dan perbedaan di antara unsur-unsur atau gejala-gejala tersebut. Dengan memperhatikan ciri-ciri dan kompleksitas-nya, peneliti kemudian menentukan kelompok unsur-unsur atau gejala mana yang lebih tua atau lebih dulu muncul. Jika ini dapat diketahui, maka kemudian ditarik kesimpulan bahwa unsur-unsur atau gejala-gejala kebudayaan tersebut telah menyebar dari kawasan A menuju kawasan B misalnya.

Analisis historis-kausal. Analisis ini bertujuan untuk merumuskan hubung-an sebab-akibat antara suatu variabel dengan variabel yang lain. Variabel ini bisa berupa gejala social-budaya tertentu, kemiskinan misalnya, atau kekeras-an massal, atau berupa unsur-unsur budaya tertentu, ritual misalnya, atau sis-tem kekerabatan, matapencaharian, system kesehatan, atau yang lain.

27

Page 29: Paradigma Heddy

Di sini peneliti lebih dulu menentukan variabel atau unsur budaya yang ingin dijelaskan secara historis-kausal, dan kemudian menelusuri sejarah atau pro-ses munculnya variabel tersebut. Data kualitatif yang terkumpul ditafsirkan dari sudut pandang tertentu sehingga akan membawa peneliti kepada suatu kesim-pulan tertentu atau akan dapat mendukung pernyataan mengenai hubungan sebab-akibat antara gejala satu dengan gejala yang lain. Analisis historis-kau-sal merupakan salah satu analisis yang paling banyak dilakukan di kalangan ilmuwan sosial-budaya di Indonesia, walaupun mungkin banyak di antaranya yang melakukannya tanpa sepenuhnya sadar akan jenis analisis yang mereka kerjakan tersebut.

Analisis historis-materialis. Analisis ini ditujukan untuk menghasilkan per-nyataan-pernyataan yang menunjukkan hubungan kausal atau kondisional an-tara suatu gejala social-budaya dengan gejala atau kondisi material tertentu. Data kualitatif di sini sebagian besar merupakan data mengenai kondisi-kondisi material dari masyarakat atau kebudayaan yang diteliti. Yang dimaksud dengan kondisi material di sini tidak lain adalah kondisi fisik, yang mencakup antara lain: lingkungan alam dan peralatan atau teknologi. Lingkungan alam menca-kup antara lain sumber-sumber daya yang mendukung kehidupan masyarakat di situ.

Data kualitatif di sini ditafsirkan dan disusun sedemikian rupa sehingga da-pat mendukung atau menguatkan pernyataan mengenai hubungan kausal an-tara kondisi-kondisi material tertentu dengan hadirnya atau munculnya gejala-gejala sosial-budaya tertentu. Kondisi-kondisi material ini secara diakronis, his-toris, ditempatkan mendahului gejala-gejala social-budaya yang ingin dijelas-kan.

Analisis komparatif-korelasional. Analisis komparatif atau perbandingan di sini ditujukan untuk menentukan korelasi-korelasi antara unsur-unsur budaya tertentu dengan unsur-unsur budaya yang lain, misalnya saja korelasi antara sistem matapencaharian dengan pola kekerabatan tertentu. Agar korelasi ini tidak terlihat seperti kebetulan, tetapi lebih dekat pada „hukum“ atau „dalil“, ma-ka digunakan studi perbandingan, studi komparatif, yang luas, yang melibatkan banyak kebudayaan.

Data kualitatif di sini sebagian besar mengenai unsur-unsur kebudayaan yang akan dibandingkan. Di sini peneliti menyatukan kebudayaan-kebudayaan yang memiliki persamaan-persamaan pada unsur-unsur budaya tertentunya dalam satu kelompok, sehingga dihasilkan suatu tipologisasi atau pengelom-pokan yang didasarkan pada tipe-tipe atau corak-corak budaya tertentu. Tipe-tipe budaya tertentu kemudian dikorelasikan dengan kehadiran unsur-unsur budaya tertentu di dalamnya.

28

Page 30: Paradigma Heddy

Analisis komparatif-fungsional. Analisis komparatif ini ditujukan untuk mencapai suatu generalisasi mengenai fungsi-fungsi dari unsur atau gejala so-sial-budaya tertentu atau mengenai hubungan fungsional antara suatu unsur budaya dengan unsur budaya yang lain. Misalnya saja mengenai fungsi sistem kekerabatan dalam kehidupan manusia. Berbagai data kualitatif mengenai sis-tem kekerabatan dari berbagai kebudayaan akan dibandingkan untuk dapat di-peroleh gambaran mengenai fungsi sistem tersebut dalam kebudayaan. Misal-nya saja data mengenai perkawinan dan berbagai fungsinya; data mengenai kehidupan keluarga dan fungsinya; data mengenai pewarisan harta dan fungsi-nya, dan sebagainya.

Melalui perbandingan yang seksama dari berbagai macam unsur sistem ke-kerabatan dan fungsinya dalam kebudayaan akan dapat diperoleh suatu gam-baran umum, suatu generalisasi, mengenai fungsi-fungsi sistem kekerabatan dalam kehidupan manusia. Selain itu, juga akan dapat diperoleh gambaran me-ngenai variasi-variasi fungsi sistem kekerabatan tersebut dalam berbagai suku-bangsa yang berbeda corak kebudayaannya. Variasi-variasi ini merupakan fungsi-fungsi khusus dari suatu sistem kekerabatan dalam suatu kebudayaan.

Analisis fungsional. Analisis ini ditujukan untuk menghasilkan pernyataan-pernyataan yang memperlihatkan hubungan fungsional antara suatu unsur sosial-budaya atau gejala tertentu dengan unsur sosial-budaya atau gejala yang lain dalam suatu kebudayaan. Berbeda dengan analisis komparatif fung-sional, hasil dari analisis fungsional ini tidak diharuskan atau ditujukan sebagai suatu generalisasi. Pernyataan relasi fungsional yang dihasilkan bisa saja ber-sifat sangat khusus, yang berlaku hanya pada masyarakat atau kebudayaan yang diteliti.

Pernyataan fungsional ini biasanya hanya akan dianggap cukup meyakin-kan bilamana peneliti juga memaparkan data mengenai gejala atau unsur bu-daya yang bersangkutan dengan cukup baik, dan disertai dengan beberapa contoh kongkrit, yang memperlihatkan relasi fungsional tersebut. Oleh karena itu, dalam analisis ini data kualitatif memainkan peran yang sangat penting.

Analisis fungsional-struktural. Analisis fungsional-struktural pada dasar-nya sama dengan analisis fungsional. Bedanya adalah bahwa dalam analisis ini peneliti berupaya untuk bisa menunjukkan relasi fungsional antara suatu unsur budaya atau gejala sosial-budaya tertentu dengan struktur sosial yang ada dalam suatu masyarakat. Di sini peneliti memberikan penekanan pada struktur sosial. Oleh karena itu deskripsi mengenai struktur sosial ini tidak kalah pentingnya dengan deskripsi atau pernyataan mengenai relasi fungsional itu sendiri.

Seperti halnya dalam analisis fungsional, data kualitatif berupa contoh-con-toh kasus yang kongkrit memainkan peran yang penting untuk meyakinkan

29

Page 31: Paradigma Heddy

pembaca akan adanya relasi fungsional antara unsur budaya atau gejala so-sial-budaya yang dimaksud dengan struktur sosial di situ.

Analisis fungsional-ekologis. Analisis ini ditujukan untuk menghasilkan pernyataan-pernyataan yang memperlihatkan hubungan fungsional antara sua-tu unsur budaya atau suatu gejala sosial-budaya tertentu dengan lingkungan alam di mana unsur atau gejala tersebut berada. Misalnya hubungan fungsio-nal antara suatu pola bercocok-tanam dengan keseimbangan ekologis yang ada di sebuah kawasan. Pada umumnya di sini peneliti berusaha untuk mem-perlihatkan bahwa unsur budaya atau gejala sosial-budaya tersebut memberi-kan sumbangan terhadap proses pelestarian atau perusakan lingkungan alam di sekitarnya.

Pernyataan-pernyataan yang memperlihatkan hubungan fungsional ekologis ini seringkali juga didukung dengan data kuantitatif, sehingga penelitian fungsi-onal ekologis ini biasanya menampilkan dua macam data, kualitatif dan kuan-titatif. Tanpa dukungan data kuantitatif pernyataan-pernyataan kualitatif yang disodorkan seringkali dianggap kurang beitu meyakinkan. Hal semacam ini se-dikit-banyak disebabkan juga oleh model ilmu alam yang ada di balik penelitian semacam ini.

Analisis struktural. Tujuan utama analisis ini adalah untuk dapat mengha-silkan model-model yang dapat menjelaskan berbagai unsur budaya dalam satu atau beberapa kebudayaan sekaligus, baik itu dengan menunjukkan ada-nya relasi-relasi transformasional di antara unsur atau kebudayaan yang diana-lisis, maupun tidak. Relasi transformasional terlihat manakala berbagai unsur budaya dalam satu atau beberapa kebudayaan memperlihatkan pola-pola ter-tentu yang dapat dilihat sebagai saling bertransformasi.

Model-model ini biasanya diwujudkan dalam rupa skema-skema yang mem-perlihatkan relasi di antara konsep-konsep -yang merupakan abstraksi dari re-alitas empiris yang dipelajari-, yang memungkinkan peneliti atau ilmuwan geja-la-gejala yang dipelajari dengan lebih baik, dengan lebih utuh, lebih menyelu-ruh. Dengan menggunakan model ini berbagai macam gejala yang semula ti-dak terlihat berhubungan lantas dapat dilihat keterhubungannya. Tentu saja ke-terhubungan ini tidak pada tataran empiris, tetapi pada tataran konseptual, ta-taran kognisi, tataran pemikiran. Oleh karena itulah, hubungan yang dihasilkan dari analisis struktural ini merupakan hubungan-hubungan logis.

Analisis interpretif/hermeneutis. Analisis hermeneutis dilakukan untuk da-pat menghasilkan sebuah tafsir baru, sebuah interpretasi baru atas gejala yang dipelajari. Kebenaran dari sebuah tafsir di sini merupakan suatu kebenaran lo-gis, karena sebuah tafsir dihasilkan oleh suatu kerangka berfikir tertentu. Kebe-naran sebuah tafsir adalah kelogisannya, kemasuk-akalannya, dan ini ditentu-kan oleh kemampuan peneliti untuk menunjukkan relasi-relasi tertentu antara

30

Page 32: Paradigma Heddy

konsep yang digunakan dengan data yang ditampilkan dan tafsir yang dikemu-kakan.

Dalam hal ini ketidak-sesuaian konsep dengan data yang diberikan, sedikit-nya atau buruknya kualitas yang disajikan, akan sangat berpengaruh pada kua-litas tafsir yang dihasilkan. Konsep yang kurang sesuai dengan data, data yang kurang lengkap, akan membuat tafsir yang dikemukakan terasa sangat „sub-yektif“, atau mengada-ada, atau sama sekali tidak meyakinkan. Sebaliknya, konsep yang sangat mendukung pengumpulan data, data yang relatif lengkap dan rinci, akan membuat tafsir yang disodorkan menjadi terasa begitu meyakin-kan.

Analisis fenomenologis-etnosaintifik. Analisis ini ditujukan untuk membu-at peneliti mampu mengungkap atau mendeskripsikan kesadaran sosial, kesa-daran kolektif dari suatu komunitas atau masyarakat, yang merupakan etno-sains dari komunitas tersebut. Unsur dasar atau elementer dari suatu kesadar-an atau pengetahuan kolektif pada dasarnya adalah kategori-kategori dan rela-si-relasi. Oleh karena itu, suatu analisis fenomenologis-etnosaintifik ditujukan terutama untuk dapat menghasilkan deskripsi berupa kategori-kategori dan re-lasi-relasi di antara kategori-kategori tersebut.

Secara keseluruhan deskripsi berbagai kategori ini -baik kategori sosial maupun kategori budaya- akan memperlihatkan suatu sistem klasifikasi yang diasumsikan bersifat sosial atau kolektif, yang berarti dimiliki oleh sejumlah warga masyarakat atau komunitas yang diteliti. Sistem klasifikasi atau kategori-kategori dan relasi di antaranya juga dianggap sebagai salah satu sistem yang menjadi acuan atau pembimbing warga masyarakat yang diteliti dalam mewu-judkan berbagai perilaku dan interaksi sosial mereka.

Analisis fenomenologis-etnometodologis. Analisis etnometodologis ditu-jukan terutama untuk mengetahui metodologi yang digunakan oleh individu-in-dividu yang diteliti -yang diasumsikan mewakili individu pada umumnya- dalam interaksi sosial mereka, yang kemudian menghasilkan sebuah sistem sosial yang terstruktur. Data utama dari penelitian ini adalah percakapan-percakapan, karena lewat percakapan inilah berbagai hal yang implisit -namun bukan hasil spekulasi atau tebak-menebak peneliti- terlihat dengan cukup jelas. Analisis atas data semacam ini juga dapat menghindarkan peneliti dari tuduhan melaku-kan tebak-tebakan atau spekulasi, karena kesimpulan yang ditarik kemudian terlihat ada dasarnya atau didasarkan atas sejumlah data tertentu.

Kemampuan peneliti untuk menunjukkan hal-hal yang implisit ada di balik merupakan hal yang penting dalam analisis ini. Di sini peneliti juga melakukan tafsir atas data yang tersedia, namun penafsiran ini diarahkan untuk menghasil-kan sejumlah pernyataan berupa aturan-aturan atau metodologi interaksi sosial yang ada di balik berbagai interaksi sosial yang terjadi.

31

Page 33: Paradigma Heddy

Analisis fenomenologis-konstruksionis. Analisis ini dimaksudkan untuk dapat menghasilkan uraian mengenai bagaimana suatu pemahaman atau pe-maknaan kolektif tertentu dapat memperoleh sifatnya yang kolektif. Data utama yang dianalisis di sini adalah data kualitatif berupa percakapan-percakapan. Suatu pemahaman atau pemaknaan dikatakan bersifat kolektif bilamana pema-haman tersebut terlihat terwujud dalam banyak perilaku individu dalam suatu masyarakat. Oleh karena itu, keberadaan sebuah pemahaman yang bersifat kolektif akan terlihat dari berbagai perilaku dan interaksi sosial dalam masyara-kat.

Pemahaman kolektif tersebut tentu tidak muncul begitu saja, karena setiap pemahaman pada dasarnya berawal dari seorang individu, atau bersifat indivi-dual. Analisis fenomenologis-konstruksionis ditujukan untuk mengetahui dan mendeskripsikan hal-hal serta cara kerja seperti apa yang membuat suatu pe-mahaman yang pada awalnya bersifat individual tersebut kemudian dapat ber-sifat sosial atau kolektif.

Analisis post-modernistis. Analisis ini ditujukan untuk mengungkapkan motivasi-motivasi politis yang ada di balik setiap kegiatan, praktek atau aktivitas representasional atau aktivitas merepresentasikan, menampilkan sesuatu, se-perti misalnya penulisan sebuah buku, pementasan sebuah kesenian, pemuat-an sebuah foto, pembuatan dan pemutaran sebuah film, dan sebagainya. Ana-lisis ini sangat dekat dengan analisis hermeneutis, karena sangat mengandal-kan kemampuan peneliti untuk memberikan tafsirannya atas data yang terse-dia. Perbedaannya adalah pada penekanannya.

Penekanan analisis post-modernistis adalah pada membangun tafsir berupa motivasi-motivasi yang dianggap ada di balik setiap kegiatan representasi. Apakah motivasi ini memang betul-betul ada pada diri pelaku atau tidak, itu bukanlah persoalan utama, karena kebenaran hasil analisis semacam ini lebih terletak pada kemampuan peneliti untuk meyakinkan pembacanya tentang adanya relasi motivasional semacam itu di antara data dengan kesimpulannya.

Selain itu, analisis juga ditujukan untuk dapat mengetahui siasat-siasat re-presentasi yang digunakan, termasuk di dalamnya media representasinya. De-ngan analisis ini sedikit banyak akan diketahui effek yang akan dicapai dari strategi dan media representasi tersebut.

6. Hasil Analisis/Teori (Results of Analysis/Theory).

Apabila kita dapat melakukan analisis atas data yang tersedia dengan baik dan tepat, maka tentu akan ada hasil dari analisis tersebut, yang dapat dikata-kan sebagai “kesimpulan” kita. Hasil analisis ini harus menyatakan relasi-re-lasi antarvariabel, antarunsur atau antargejala yang kita teliti. Jika hasil

32

Page 34: Paradigma Heddy

analisis kita tidak berhasil mencapai ini maka hal itu bisa berarti tiga hal. Perta-ma, data yang kita analisis mengandung beberapa kesalahan mendasar. Ke-dua, analisis kita salah arah. Ketiga, analisis kita masih kurang mendalam, dan ini mungkin juga disebabkan oleh kurangnya data yang kita miliki.

Hasil analisis yang berupa pernyataan-pernyataan tentang hubungan antarvariabel atau antargejala inilah yang kemudian biasa disebut sebagai “teori”. Kalau cakupan (scope) penelitian kita luas, data yang kita analisis ber-asal dari banyak masyarakat dan kebudayaan, dan teori yang kita kemukakan dapat memberikan penjelasan yang berlaku umum, universal, melampaui ba-tas-batas ruang dan waktu, maka dia akan disebut sebagai teori besar (grand theory). Kalau teori tersebut hanya kita tujukan untuk menjelaskan gejala-gejala tertentu yang agak umum, namun tidak cukup universal, maka dia lebih tepat disebut sebagai teori menengah (middle-range theory). Bilamana teori yang ki-ta sodorkan hanya berlaku untuk gejala-gejala yang kita teliti saja, yang terjadi hanya dalam masyarakat dan kebudayaan yang kita teliti, maka dia lebih tepat disebut teori kecil (small theory). Di sini pernyataan tentang hubungan antarva-riabel tersebut kecil atau terbatas cakupannya.

Jadi, setiap penelitian yang dilakukan dengan baik dan benar pada dasar-nya pasti akan menghasilkan satu atau beberapa teori. Sebuah tesis master yang dihasilkan dari sebuah penelitian yang dikerjakan secara baik dan benar juga akan dapat menghasilkan ‘teori’ tertentu. Hanya mungkin di sini cakupan teori tersebut relatif kecil dibandingkan dengan cakupan dari teori yang ada da-lam sebuah disertasi misalnya.

Setelah kita menganalisis berbagai data yang telah kita peroleh dengan menggunakan metode-metode tertentu kita akan memperoleh suatu kesimpul-an tertentu, suatu pendapat tertentu, dan inilah yang seringkali juga disebut sebagai ‘teori’. Di sini biasanya kita mengemukakan pendapat kita berkenaan dengan suatu gejala. Pendapat ini bisa berupa pernyataan-pernyataan yang menunjukkan relasi antara suatu variable dengan variable yang lain, atau per-nyataan yang menunjukkan “hakekat” (the nature), keadaan dari gejala yang ki-ta teliti. Jadi setiap penelitian yang baik pada dasarnya pasti akan dapat meng-hasilkan sebuah teori baru atau menguatkan teori tertentu yang sudah ada.

Ciri, sifat atau karakter dari teori ini sama antara teori satu dengan yang lain, yang berbeda adalah cakupannya, sehingga dikenal istilah grand theory, mid-dle-range theory dan small theories. Grand theory atau teori besar adalah te-ori yang penjelasannya dapat mencakup banyak gejala, dan karena itu biasa-nya juga lebih abstrak daripada dua jenis teori yang lain. Middle-range theory atau teori menengah adalah teori-teori yang cakupan penjelasannya lebih sem-pit daripada teori besar, namun karena itu terasa lebih “membumi”, lebih kong-krit. Small theory atau teori-teori kecil adalah penjelasan-penjelasan mengenai gejala-gejala yang diteliti dengan cakupan yang lebih sempit lagi daripada teori

33

Page 35: Paradigma Heddy

menengah. Teori-teori kecil inilah yang boleh dikatakan paling membumi, pa-ling dapat menjelaskan sejumlah gejala empiris dengan ketepatan yang tinggi, karena dihasilkan “secara langsung” dari data yang diperoleh. Teori-teori sema-cam inilah yang biasanya terdapat dalam disertasi, tesis, skripsi dan hasil pe-nelitian tertentu.

Atas dasar uraian di atas kita dapat menggambarkan urutan atau jenjang unsur-unsur paradigma seperti berikut.

Hasil Analisis (Teori)^|

Metode Analisis^|

Metode Penelitian^|

Konsep-konsep^|

Model-model^|

Asumsi-asumsi Dasar

Skema ini disusun dengan anggapan bahwa dalam sebuah paradigma un-sur ‘asumsi dasar’ merupakan dasar dari unsur-unsur yang lain, dan sudah ada sebelum adanya unsur-unsur yang lain. Oleh karena itu, asumsi-asumsi dasar ditempatkan paling bawah. Hasil analisis merupakan unsur yang terakhir muncul dalam sebuah paradigma, sehingga unsur ini ditempatkan di atas.

Sebaliknya, bilamana kita mengatakan bahwa unsur-unsur paradigma ditu-runkan dari asumsi-asumsi dasar, maka skema yang akan kita peroleh adalah sebagai berikut (lihat hal. berikut). Skema ini juga disusun atas dasar tingkat keabstrakan dan keimplisitan dari unsur-unsur paradigma.

Asumsi-asumsi Dasar|v

Model-model|v

Konsep-konsep|v

34

Page 36: Paradigma Heddy

Metode Penelitian|v

Metode Analisis|v

Hasil Analisis (Teori)

Asumsi-asumsi dasar dapat dikatakan sebagai unsur-unsur paradigma yang paling abstrak, paling implisit dan karena itu biasanya juga paling tidak disadari. Oleh karena itu berada di tempat yang teratas. Model-model merupakan unsur paradigma yang sudah lebih jelas atau agak kongkrit dibanding dengan asumsi-asumsi dasar, walaupun tingkat keabstrakan dan keimplisitannya se-ringkali sama dengan asumsi dasar, namun unsur ini lebih sederhana diban-ding asumsi dasar. Konsep-konsep merupakan unsur paradigma yang sudah kongkrit, karena dalam setiap penelitian makna konsep-konsep ini sudah harus dipaparkan dengan jelas. Jadi, konsep-konsep ini sudah tidak lagi bersifat im-plisit atau tersembunyi sebagaimana halnya asumsi dan model. Konsep-kon-sep ini sudah bersifat eksplisit dan disadari, diketahui, walaupun tidak selalu di-mengerti dengan baik segala implikasinya.

Metode penelitian dan metode analisis merupakan tahap-tahap pewujudan dari asumsi-asumsi dasar, model dan konsep yang digunakan. Metode-metode ini pelaksanaannya didasarkan pada apa-apa yang ada dalam asumsi dasar, model dan konsep. Dengan kata lain metode-metode ini merupakan tahap pe-laksanaan penelitian yang dibimbing oleh unsur-unsur paradigma sebelumnya. Penelitian dengan menggunakan konsep-konsep tertentu akan memerlukan metode yang berbeda dengan penelitian yang menggunakan konsep-konsep yang lain.

Hasil analisis merupakan unsur yang terakhir muncul setelah dilakukannya analisis atas data yang dikumpulkan dengan menggunakan metode-metode tertentu. Hasil analisis ini juga dinyatakan secara eksplisit, dan karena itu pula terasa sangat kongkrit. Oleh karena itu pula, tempatnya berada di paling ba-wah.

IV. MASALAH PENELITIAN, ASUMSI DASAR DAN MODEL

Pertanyaan yang muncul setelah melihat paparan di atas adalah adakah ka-itannya itu semua dengan masalah penelitian? Kalau ada, di mana terletak ke-terkaitan tersebut? Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, masalah pene-litian sebenarnya secara implisit terkait dengan asumsi-asumsi dasar dan mo-del yang dianut oleh seorang peneliti. Benarkah demikian?

35

Page 37: Paradigma Heddy

Ada berbagai pendapat mengenai makna „masalah penelitian“, demikian pula dalam menyatakannya. Ada yang menggunakan istilah „masalah peneliti-an“, ada yang menggunakan „permasalahan penelitian“, ada juga yang meng-gunakan istilah „pertanyaan penelitian“. Akan tetapi, itu semua sebenarnya ti-dak sangat penting. Yang jelas suatu penelitian selalu berawal dari suatu kebu-tuhan, keperluan, untuk (a) memperoleh jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tertentu, atau keinginan (b) membuktikan kebenaran dugaan-dugaan atau per-nyataan-pernyataan tertentu secara empiris. Penelitian untuk memenuhi kebutuhan pertama selalu berawal dari sejum-lah pertanyaan (questions) mengenai gejala-gejala tertentu yang dianggap menarik, aneh, asing, menggelisahkan, menakutkan, merugikan, dan seterus-nya, sedang penelitian kedua selalu berawal dari sejumlah pernyataan yang masih perlu dan ingin dibuktikan kebenarannya (hypothesis) atau hipote-sa. Oleh karena itu dalam setiap penelitian harus ada pertanyaan-pertanyaan yang ingin dijawab, dan/atau hipotesa-hipotesa yang ingin dibuktikan. Peneliti-an yang berawal dari beberapa pertanyaan tidak perlu lagi menggunakan hipo-tesa, demikian pula penelitian yang berawal dari sejumlah hipotesa, tidak perlu lagi menggunakan pertanyaan-pertanyaan. Meskipun demikian, kalau suatu penelitian dimaksudkan untuk menjawab pertanyaan sekaligus menjawab hipo-tesa hal itu juga tidak dilarang, tetapi ini mungkin justru malah akan membe-ratkan penelitinya.

Pada dasarnya setiap pertanyaan atau hipotesa secara implisit menyimpan asumsi-asumsi dasar berkenaan dengan gejala yang diteliti, tujuan meneliti, ilmu pengetahuan, dan sebagainya. Jika kita perhatikan dan analisis dengan seksama pertanyaan-pertanyaan atau hipotesa-hipotesa yang kita rumuskan, maka kita akan dapat menemukan asumsi-asumsi dasar yang -sadar atau ti-dak- kita anut, yang membimbing atau mengarahkan kita dalam kita bertanya dan membuat hipotesa. Telaah yang lebih seksama juga akan memungkinkan kita mengetahui model-model atau perumpamaan-perumpamaan apa yang kita gunakan dalam dalam kita mempelajari suatu gejala sosial-budaya tertentu.

1. Pertanyaan Penelitian

Penelitian yang berawal dari pertanyaan-pertanyaan biasanya pasti meng-gunakan satu atau beberapa kata tanya yang ada dalam suatu bahasa, seperti misalnya: apa, siapa, mengapa, dimana, bagaimana, kapan, dan sebagainya. Beberapa pertanyaan dianggap tidak menarik dan tidak layak untuk dicari ja-wabannya lewat penelitian bilamana jawabannya dianggap akan mudah dicari atau sudah dapat ditebak sebelumnya.

Sebuah penelitian dianggap akan banyak manfaatnya bilamana dapat mem-berikan keterangan atau jawaban yang tidak biasa, yang baru, atas pertanya-an-pertanyaan mengenai hal-hal yang dipandang penting dalam suatu masya-rakat. Ini terlihat misalnya di Indonesia pada masa-masa terjadinya konflik me-

36

Page 38: Paradigma Heddy

luas dalam masyarakat. Berbagai penelitian yang dianggap akan dapat mem-berikan keterangan yang penting, menarik, bermanfaat, berkenaan dengan ber-bagai konflik yang terjadi akan mudah untuk mendapatkan dukungan dana dari berbagai departemen pemerintah.

Tidak semua orang dapat menyatakan pertanyaan dengan bahasa yang ba-ik atau dengan menggunakan kata-kata yang tepat, namun bahasa yang baik, kata-kata yang tepat, konsep yang jelas maknanya, merupakan syarat-syarat pokok dalam penelitian. Tanpa itu semua pertanyaan-pertanyaan penelitian akan menjadi membingungkan, dan ini membuat penelitian tidak terarah atau tidak dapat dilakukan sama sekali. Dalam merumuskan pertanyaan-pertanyaan penelitian juga harus diperhatikan apakah pertanyaan-pertanyaan tersebut pa-da akhirnya akan dapat dijawab dan untuk menjawabnya diperlukan yang se-perti apa, serta bagaimana data tersebut dapat dikumpulkan

Pendeknya beberapa hal yang perlu diperhatikan oleh peneliti dalam meru-muskan pertanyaan-pertanyaan penelitian antara lain adalah: (a) penggunaan kata-kata yang tepat; (b) penggunaan bahasa yang baik; (c) bisa-tidaknya per-tanyaan tersebut dijawab; (d) jenis data yang diperlukan untuk menjawabnya; (e) bisa-tidaknya data diperoleh untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan.

Pertanyaan-pertanyaan penelitian biasanya menyimpan di dalamnya asum-si-asumsi dan model-model mengenai gejala yang akan atau sedang dipelajari. Sebagai contoh misalnya, kalau kita mengemukakan pertanyaan-pertanyaan berikut:

- Faktor-faktor apa yang menyebabkan penduduk melakukan migrasi besar-be- saran dari Jawa?

- Bagaimana proses munculnya sistem politik berupa kerajaan dalam suatu masyarakat?

- Bagaimana terjadinya konflik antarsuku di Kalimantan Barat?

- Apa yang membuat masyarakat di daerah X kurang menyukai musik?

Pola-pola pertanyaan-pertanyaan seperti itu merupakan pola-pola pertanyaan yang paling sering muncul dalam berbagai penelitian. Hal ini menunjukkan bah-wa kerangka pemikiran atau paradigma yang digunakan dalam berbagai pene-litian sebenarnya tidak banyak bedanya satu dengan yang lain, bahkan sama. Pertanyaan-pertanyaan ini mencerminkan asumsi-asumsi dasar yang sama, dan ini dapat diketahui dengan mudah jika kita dapat membayangkan atau memperkirakan jawaban-jawaban seperti apa yang akan diberikan nantinya.

37

Page 39: Paradigma Heddy

Misalnya saja, empat pertanyaan di atas dapat dijawab dengan mengemu-kakan berbagai faktor yang menyebabkan gejala yang diteliti terjadi, entah itu migrasi besar-besaran dari Jawa, munculnya kerajaan, konflik antarsuku, atau ketidak-sukaan pada musik. Biasanya inilah yang terjadi dalam banyak peneli-tian. Walaupun rumusan pertanyaan berbeda, namun pola jawabannya ternya-ta sama. Ini menunjukkan bahwa pola pikir peneliti-penelitinya juga sama.

Jika pola jawaban yang diberikan mengacu pada sebab-sebab atau faktor-faktor penyebab terjadinya suatu fenomena, maka paradigma yang digunakan sebenarnya adalah “kausal-historis”. Sadar atau tidak para peneliti di situ ber-asumsi bahwa gejala-gejala sosial-budaya yang diteliti berhubungan secara ka-usal, atau berada dalam relasi sebab-akibat (cause and effect relationship) dan ini berarti hubungan tersebut juga bersifat diakronis, dan itu berarti juga histo-ris, karena dalam kerangka berfikir yang kausalistis, cause (sebab) mendahului effect (akibat). Lebih lanjut, kerangka berfikir sebab-akibat ini juga menunjuk-kan adanya asumsi pada peneliti bahwa gejala-gejala sosial-budaya sama de-ngan gejala-gejala alam, dan ini berarti bahwa peneliti menggunakan model atau analogi dari ilmu alam. Gejala sosial budaya di sini diumpamakan seperti gejala alam.

Dalam pertanyaan penelitian juga terkandung konsep-konsep penting untuk penelitian. Pada pertanyaan-pertanyaan penelitian di atas misalnya terdapat konsep-konsep seperti: faktor penyebab; migrasi; sistem politik; kerajaan; kon-flik antarsuku; menyukai; musik, dan sebagainya. Konsep-konsep ini umumnya merupakan istilah-istilah sehari-hari dan sering sekali digunakan. Meskipun de-mikian maknanya tidak selalu jelas, dan orang dapat memberikan makna yang berbeda pada satu konsep tertentu. Oleh karena itu peneliti harus mengemuka-kan makna atau definisi konsep tersebut agar peneliti lain mengetahui apa se-benarnya makna yang dianut oleh peneliti, sehingga tidak terjadi perdebatan yang tidak perlu.

Dari uraian ini kita dapat mengatakan bahwa dalam praktek penelitian peru-musan pertanyaan-pertanyaan yang akan dijawab dalam suatu penelitian me-rupakan tahap yang paling penting. Di sini peneliti harus sadar dan memahami betul-betul pentingnya konsep-konsep yang digunakannya dalam pertanyaan, asumsi-asumsi dan model yang dianutnya, yang tersembunyi di balik pertanya-an-pertanyaan yang dibuatnya. Selanjutnya peneliti juga harus dapat memba-yangkan seperti apa jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang dikemukakan-nya, data yang akan diperlukannya untuk sampai pada jawaban seperti itu, dan metode apa yang akan digunakannya untuk mendapatkan data tersebut.

2. Hipotesa

Sebagaimana halnya dengan pertanyaan, hipotesis sebenarnya juga sudah menyimpan sejumlah asumsi dasar dan model tertentu, dan dibandingkan

38

Page 40: Paradigma Heddy

dengan pertanyaan, hipotesis ini lebih jelas memperlihatkan asumsi dan model tersebut. Oleh karena itu, kita akan lebih mudah mengenali asumsi dasar dan model dibalik sebuah hipotesis daripada asumsi dasar dan model di balik se-buah pertanyaan.

Salah satu pandangan yang cukup umum di Indonesia, namun menurut he-mat saya agak keliru, mengenai hipotesis dan kaitannya dengan penelitian adalah bahwa penelitian yang berangkat dari satu atau beberapa hipotesa ha-rus atau selalu memerlukan data kuantitatif. Pandangan ini tidak selalu benar. Apakah suatu penelitian memerlukan data kuantitatif atau kualitatif tidak selalu ada kaitannya dengan ada tidaknya hipotesa. Banyak sekali penelitian yang berawal dari sejumlah hipotesa namun ternyata sama sekali tidak mengguna-kan data kuantitatif untuk membuktikan hipotesa tersebut. Jenis penelitian dan data yang diperlukan lebih ditentukan oleh rumusan hipotesa itu sendiri, dan bukan oleh ada-tidaknya hipotesa.

Seperti halnya pertanyaan penelitian, hipotesa pada dasarnya juga sudah menyimpan asumsi-asumsi dasar, model dan konsep-konsep. Jika demikian, di mana tempat pertanyaan penelitian jika kita akan menempatkannya dalam hi-rarkhi unsur-unsur paradigma di atas? Oleh karena asumsi dasar dan model merupakan elemen-elemen yang mendasari sebuah paradigma, dan tidak se-lalu eksplisit, sedang konsep-konsep merupakan unsur paradigma yang ekspli-sit namun belum tersusun dalam suatu kerangka berfikir tertentu, sementara pertanyaan penelitian adalah rangkaian konsep-konsep yang menyiratkan ang-gapan dasar dan model tertentu, maka pertanyaan penelitian tentunya lebih te-at ditempatkan di antara konsep-konsep dan metode penelitian. Posisi perta-nyaan penelitian yang mendahului metode penelitian juga tepat karena metode penelitian baru dapat ditentukan setelah pertanyaan penelitian dirumuskan terlebih dahulu.

Susunan unsur-unsur paradigma tersebut adalah sebagai berikut.

Asumsi-asumsi Dasar|

Model-model||

Pertanyaan Penelitian /Hipotesa

|Konsep-konsep

|Metode Penelitian

|Metode Analisis

|

39

Page 41: Paradigma Heddy

Hasil Analisis (Teori)

Dalam hipotesa juga terdapat berbagai macam konsep penting yang kemu-dia harus didefinisikan dengan baik. Definisi-definisi seringkali disebut sebagai definisi operasional, dan upaya untuk merumuskannya disebut operasionali-sasi definisi. Pendefinisian konsep-konsep yang ada dalam hipotesa harus di-lakukan sedemikian rupa sehingga definisi tersebut kemudian dapat diwujud-kan, dioperasionalkan, menjadi sejumlah pertanyaan-pertanyaan yang kemudi-an disusun menjadi sebuah kuesioner, atau menjadi sejumlah konsep-konsep yang lebih jelas acuannya pada realitas empiris. Dengan begitu data yang di-perlukan untuk membuktikan wujud konsep tersebut dalam kenyataan empiris dapat diketahui, dan metode pengumpulannya dapat ditentukan.

Dengan demikian perumusan hipotesa -seperti halnya perumusan pertanya-an penelitian- juga menduduki posisi sangat penting dalam penelitian. Dalam hal ini seorang peneliti dapat memilih apakah dia akan memulai penelitiannya dari sejumlah pertanyaan atau dari sejumlah hipotesa. Bisa saja dia memulai dari dua-duanya, namun hal itu tidak begitu dianjurkan, karena hanya akan membebani diri peneliti sendiri.

V. PARADIGMA, EPISTEMOLOGI DAN JENIS PENELITIAN

Atas dasar paparan di atas kita bisa mengemukakan beberapa pendapat berikut. Pertama, bahwa suatu paradigma merupakan suatu perangkat konsep yang digunakan untuk memandang, mempelajari dan menjelaskan gejala-geja-la empiris. Konsep-konsep ini sebagian berupa atau memuat asumsi-asumsi dasar, model, istilah-istilah tertentu, metode penelitian, metode analisis dan ha-sil analisis.

Kedua, asumsi dasar merupakan unsur paradigma yang mendasari unsur-unsur lainnya. Kehadirannya mendahului unsur-unsur paradigma yang lain. Da-lam asumsi-asumsi dasar inilah terkandung pandangan-pandangan filosofis da-ri suatu paradigma. Pandangan-pandangan filosofis inilah yang biasa disebut “epistemologi”.

Ketiga, berbagai jenis metode penelitian sebenarnya merupakan bagian dari sebuah paradigma. Suatu metode penelitian tidak dapat berdiri sendiri terlepas dari unsur paradigma yang lain. Oleh karena itu, nama suatu metode penelitian sebenarnya harus sesuai dengan nama paradigmanya. Dengan demikian, istilah “penelitian kualitatif” dan “penelitian kuantitatif” sebenarnya kurang tepat, kecuali jika “penelitian” di situ diartikan sebagai “pengumpulan data”. Sebagai bagian dari sebuah paradigma, nama sebuah kegiatan penelitian akan lebih te-pat jika disebut sebagai penelitian evolusioner, penelitian difusi, penelitian

40

Page 42: Paradigma Heddy

struktural, penelitian fungsional, penelitian fenomenologis, penelitian interpretif, dan seterusnya.

Oleh karena landasan dari sebuah paradigma adalah asumsi-asumsi dasar yang berupa pandangan-pandangan filosofis, yang disebut „epistemologi“ ma-ka pemahaman yang baik dan tepat mengenai epistemologi yang ada dalam ilmu-ilmu sosial-budaya ini menjadi sangat penting untuk penelitian masalah-masalah sosial-budaya.

1. Epistemologi dan Paradigma Ilmu Sosial-Budaya (Antropologi)

Apa yang dimaksud dengan epistemologi? Secara sederhana epistemologi dapat didefinisikan sebagai teori tentang pengetahuan (theory of knowledge). Dalam epistemologi dibicarakan antara lain asal-usul pengetahuan, sumber pe-ngetahuan, kriteria pengetahuan, dan sebagainya, serta perbedaan-perbedaan antara pengetahuan dan ilmu pengetahuan (science).

Epistemologi atau epistemology berasal dari kata episteme, “pengetahuan” dan logos, ilmu pengetahuan, sehingga secara harafiah ‘epistemologi’ dapat di-artikan sebagai ‘ilmu tentang pengetahuan’ atau ‘teori tentang pengetahuan’. Epistemologi juga diartikan sebagai “the philosophical examination of human knowledge” (Cornman, 1973: 517), atau “telaah filosofis atas pengetahuan ma-nusia”, atau “that branch of philosophy which studies the source, limits, me-thods, and validity of knowledge” (The World University Encyclopedia, vol.4 , 1965), yaitu “cabang filsafat yang mempelajari sumber, batas-batas, metode dan validitas pengetahuan”. Dengan demikian telaah epistemologi pada dasar-nya merupakan telaah yang lebih filosofis sifatnya.

H.P.Rickman (19 ) mengatakan bahwa epistemologi pada dasarnya membi-carakan tentang: (a) “what principles and presuppositions are involved in know-ing something” (prinsip-prinsip dan presuposisi-presuposisi seperti apa yang terlibat ketika orang mengetahui sesuatu); (b) “how these may very according to the subject of inquiry” (bagaimana variasi berbagai prinsip dan presuposisi tersebut sejalan dengan variasi subyek telaahnya) serta apa implikasinya ter-hadap metode-metode yang ada dalam pendekatan yang digunakan; (c) kon-sep-konsep umum yang mengacu pada gejala yang dipelajari atau pada gejala-gejala yang ada dalam kehidupan manusia; (d) bagaimana mengaitkan kon-sep-konsep umum yang penting ini satu sama lain dengan cara yang sistema-tis.

Untuk apa kita memperhatikan elemen-elemen yang ada dalam pembicara-an tentang epistemologi? Agar kita dapat membahas berbagai macam episte-mologi yang ada dalam ilmu sosial-budaya dengan cara yang sistematis, leng-kap dan konsisten. Tanpa pengetahuan mengenai hal-hal yang dibicarakan da-lam epistemologi, pembicaraan tentang berbagai epistemologi ilmu sosial-bu-

41

Page 43: Paradigma Heddy

daya bisa berkembang tidak beraturan, dan tidak konsisten, sehingga pembaca akan sulit memahami berbagai epistemologi tersebut.

Sebagai landasan filosofis dari sebuah paradigma, epistemologi tentu juga ada beberapa macam, dan karena tingkatnya yang paling abstrak, maka sebu-ah epistemologi juga dapat menghasilkan beberapa paradigma yang berbeda. Oleh karena itu peta paradigma yang berkembang dalam kajian sosial-budaya tidak sama dengan peta epistemologinya.

Secara garis besar epistemologi dalam ilmu social-budaya dapat dikelom-pokkan menjadi : (1) Positivisme; (2) Historisisme; (3) Fenomenologi; (4) Her-meneutik; (5) Semiotik (Strukturalisme); (6) Materialisme (Budaya dan Historis) dan (7) Post-Modernisme.

Klasifikasi epistemologi yang ada di balik paradigma-paradigma ilmu-ilmu sosial-budaya di atas berbeda dengan jenis-jenis paradigma yang tumbuh dari berbagai macam epistemologi tersebut. Sampai saat ini, setahu saya berbagai paradigma yang telah muncul dalam kajian-kajian sosial-budaya adalah seba-gai berikut.

1. Paradigma Evolusionisme 2. Paradigma Diffusionisme 3. Paradigma (Partikularisme) Historis 4. Paradigma Fungsionalisme 5. Paradigma Fungsionalisme Struktural 6. Paradigma Analisis Variabel 7. Paradigma Cross-Cultural 8. Paradigma Kepribadian dan Kebudayaan 9. Paradigma Strukturalisme (Levi-Strauss)10. Paradigma Tafsiriah11. Paradigma Materialisme Budaya12. Paradigma Materialisme Historis13. Paradigma Perubahan14. Paradigma Etnosains15. Paradigma Etnometodologi16. Paradigma Fenomenologi Sosial17. Paradigma Post-Modernisme

Untuk memudahkan melihat keterkaitan antara pandangan-pandangan filo-sofis yang abstrak dengan berbagai jenis paradigma yang ada, berikut ini saya paparkan secara garis besar (belum komplit) jenis-jenis epistemologi dengan paradigma-paradigma yang bersumber pada epistemologi tersebut.

1. Positivisme : (1) Paradigma Evolusionisme (2) Paradigma Fungsionalisme

42

Page 44: Paradigma Heddy

(3) Paradigma Fungsionalisme-Struktural (4) Paradigma Analisis Variabel (5) Paradigma Cross-Cultural

2. Historisisme : (6) Paradigma Diffusionisme (7) Paradigma (Partikularisme) Historis (8) Paradigma Perubahan

3. Fenomenologi : (9) Paradigma Fenomenologis (Etnosains) (10) Paradigma Etnometodologi (11) Paradigma Fenomenologi Sosial (Konstruksionis)

4. Hermeneutik : (12) Paradigma Kepribadian Kebudayaan (13) Paradigma Tafsiriah

5. Semiotik : (14) Paradigma Strukturalisme (Lévi-Strauss)

6. Materialisme : (15) Paradigma Materialisme Historis (16) Paradigma Materialisme Budaya

7. Post-Modernisme : (17) Paradigma Post-Modernisme

Gambaran di atas hanyalah sebuah contoh kasar dari keterkaitan antara pandangan filosofis dengan paradigma-paradigma yang ada dalam ilmu-ilmu sosial-budaya, terutama dalam disiplin antropologi, sosiologi, politik, dan seba-gainya, yang perhatian utamanya adalah gejala-gejala sosial-budaya.

2. Jenis Penelitian : Paradigma, Epistemologi dan Lain-lain

Jika paradigma adalah sebuah kerangka pemikiran yang mencakup di da-lamnya metode penelitian, dan jika epistemologi merupakan dasar filosofis dari sebuah paradigma maka dengan sendirinya penelitian-penelitian yang ada da-lam ilmu-ilmu sosial-budaya dapat kita golongkan menurut paradigma atau me-nurut epistemologinya. Menurut paradigmanya maka jenis penelitian paling se-dikit ada tujuh belas (17), yakni:

--- (1) Penelitian Evolusionistis --- (2) Penelitian Diffusionistis --- (3) Penelitian (Partikularisme) Historis --- (4) Penelitian Fungsionalistis --- (5) Penelitian Fungsionalistis-Struktural --- (6) Penelitian Analisis Variabel Penelitian --- (7) Penelitian Cross-Cultural (Komparatif) Sosial- --------------- (8) Penelitian Kepribadian dan Kebudayaan Budaya --- (9) Penelitian Struktural (Semiotis)

43

Page 45: Paradigma Heddy

--- (10) Penelitian Tafsiriah/Interpretif (Hermeneutis) --- (11) Penelitian Materialisme Budaya --- (12) Penelitian Materialisme Historis --- (13) Penelitian Perubahan --- (14) Penelitian Etnosains (Fenomenologis) --- (15) Penelitian Etnometodologis --- (16) Penelitian Sosial Fenomenologis --- (17) Penelitian Post-Modernistis

Berdasarkan epistemologinya, berbagai penelitian dapat dikelompokkan menjadi:

(1) Penelitian Positivistik (2) Penelitian Historis (3) Penelitian Fenomenologis Penelitian ------------------ (4) Penelitian HermeneutisSosial-Budaya (5) Penelitian Struktural (Semiotis) (6) Penelitian Materialistis (Budaya dan Historis) (7) Penelitian Post-Modernistis

Selain menurut paradigma dan epistemologinya berbagai penelitian sosial-budaya juga dapat dibedakan menurut : (a) fokus kajian atau unit analisisnya dan (b) sifat penelitian. Pembedaan jenis penelitian atas dasar hal-hal inilah yang biasa dipaparkan dalam buku-buku metode penelitian.

Berdasarkan atas fokus kajian atau unit analisisnya penelitian sosial-budaya dapat dibedakan menjadi: (a) penelitian tentang perilaku; (b) penelitian tentang kebudayaan; (c) penelitian tentang sejarah individu; (d) penelitian tentang kelu-arga; (e) penelitian tentang komunitas; (f) penelitian tentang negara dan (g) pe-nelitian tentang wilayah.

Penelitian perilaku (behavioral research) Penelitian sejarah individu (life-history research) Penelitian keluarga (family studies) Penelitian komunitas (community studies) Penelitian negara (country studies) Penelitian wilayah (area studies) Penelitian kebudayaan (cultural research)

Berdasarkan atas sifatnya, penelitian sosial-budaya dapat dibedakan menja-di : (a) penelitian dasar (basic research); (b) penelitian terapan (applied re-search); (c) penelitian menjelajah (exploratory research); (d) penelitian menje-laskan (explanatory research)

44

Page 46: Paradigma Heddy

Selain penelitian-penelitian seperti di atas, juga masih ada jenis-jenis pene-litian lain yang diberi nama menurut topiknya, menurut tujuannya, seperti misal-nya: riset kebijakan (policy research); kaji tindak (action research), dan seba-gainya. Meskipun demikian, berbagai jenis penelitian dengan berbagai nama ini sebenarnya menggunakan salah satu paradigma atau epistemologi yang telah disebutkan di atas. Oleh karena suatu penelitian selalu berada dalam sebuah kerangka berfikir ilmiah tertentu, berbagai jenis penelitian yang tidak dibedakan menurut paradigma atau epistemologinya tersebut menurut hemat saya tidak terlalu penting untuk diperhatikan.

VI. PENUTUP

Dalam tulisan ini saya mencoba memaparkan pandangan saya mengenai paradigma dengan unsur-unsurnya. Sebagai sebuah kerangka pemikiran, se-buah paradigma terdiri dari sejumlah unsur, yakni: asumsi-asumsi dasar, model pertanyaan penelitian, konsep-konsep, metode penelitian, metode analisis dan hasil analisis (teori). Berbagai unsur ini saling berhubungan secara logis, se-hingga perubahan pada salah satu unsurnya akan menuntut perubahan pada yang lain. Seperti misalnya perubahan-perubahan pada asumsi dasar bisa menuntut adanya perubahan pada model, pertanyaan, konsep dan metode-me-tode, yang akhirnya juga akan sampai pada hasilnya.

Asumsi-asumsi dasar dan model biasanya merupakan unsur-unsur yang im-plisit atau tersembunyi dalam banyak penelitian. Meskipun demikian, hal itu ti-dak berarti bahwa keduanya tidak perlu diketahui, sebab keduanya mendasari unsur-unsur paradigma yang lain. Pemahaman mengenai asumsi dasar dan model ini sangat penting, agar kita dapat bersikap kritis dan terbuka terhadap setiap paradigma, termasuk paradigma yang kita gunakan sendiri. Sekaligus untuk dapat mengetahui kekuatan dan kelemahan setiap paradigma.

Berdasarkan atas pandangan tersebut, berbagai paradigma dalam ilmu-ilmu sosial-budaya, terutama dalam antropologi sosial-budaya dapat dikelompokkan ke dalam tujuh belas (17) jenis paradigma. Meskipun demikian, sejumlah para-digma memiliki kesamaan-kesamaan tertentu pada asumsi-asumsi dasarnya. Sebagai bagian yang padat dengan asumsi filosofis, maka asumsi-asumsi da-sar dapat dikatakan sebagai elemen epistemologis paradigma tersebut. Klasi-fikasi secara epistemologis menghasilkan peta yang berbeda mengenai para-digma-paradigma ilmu-ilmu sosial-budaya. Ada tujuh pandangan epistemologis yang mendasari berbagai paradigma dalam ilmu-ilmu sosial budaya, yakni: po-sitivisme, historisisme, fenomenologi, strukturalisme, hermeneutik, materialis-me, dan post-modernisme.

Oleh karena metode penelitian merupakan elemen dari sebuah paradigma, dan didasarkan pada epistemologi tertentu, maka dengan sendirinya berbagai jenis penelitian juga dapat dikelompokkan menurut paradigmanya atau menu-

45

Page 47: Paradigma Heddy

rut epistemologinya. Namun demikian, dalam banyak buku metode penelitian sosial-budaya, berbagai macam bentuk penelitian biasanya dikelompokkan me-nurut jenis data yang dikumpulkan (kualitatif dan kuantitatif), menurut obyek pe-nelitian (life-history, community, area, country, dsb), menurut tujuannya (basic, applied, action), dan sebagainya.

Perlu dicatat lebih lanjut bahwa berbagai pandangan yang telah dipaparkan di sini tidak harus diterima sebagai pandangan yang paling benar. Sebaliknya pandangan-pandangan tersebut harus dapat dipertanyakan kembali kelogisan dan kemanfaatannya bagi setiap penelitian sosial-budaya. Jika memang kelo-gisannya dapat diterima, dan kemanfaatannya memang terbukti, maka panda-ngan-pandangan yang dipaparkan di sini dengan sendirinya perlu diterima atau diakui sebagai pandangan yang saat ini dianggap paling masuk akal dan ber-manfaat, yang berarti juga yang paling baik.

DAFTAR PUSTAKA

Ahimsa-Putra, H.S. 1985 “Etnosains dan Etnometodologi: Sebuah Perbandingan”. Masyarakat Indone- sia Thn.XII No.2: 103-133

1997 “Antropologi Koentjaraningrat: Sebuah Tafsir Epistemologis” dalam Koentjara- ningrat dan Antropologi di Indonesia, E.K.M.Masinambow (ed.). Jakarta: AAI dan Yayasan Obor Indonesia.

Anonim 1965 “Epistemology”. The World University Encyclopedia vol.4: 1764-1765.

Bauman, Z. 1978 Hermeneutics and Social Science. New York: Columbia University Press.

Bryant, C.G.A. 1985 Positivism in Social Theory and Research. New York: St.Martin’s Press.

Carus, P. 1973 “Positivism”. Encyclopedia Americana vol.22: 421-422.

Cassirer, E. 1945 An Essay on Man. Cambridge, Mass.: Yale University Press

Cohen, R. 1970 “Generalization in Ethnology” dalam A Handbook of Method in Cultural Anthro- pology, R.Naroll dan R.Cohen (eds.). New York: Columbia University Press

Cornman, J.W. 1973 „Epistemology“. Encylopedia Americana vol.10: 517-522.

46

Page 48: Paradigma Heddy

Dreitzel, H.P. 1970 “Introduction” dalam Recent Sociology no.2, H.P.Dreitzel (ed.). New York: MacMillan.

Filmer, P. et al. 1972 New Directions in Sociological Theory. London: Collier-MacMillan

Firth, R. 1973 “Empiricism”. Encyclopedia Americana vol.10: 315-316.

Geertz, 1973 The Interpretation of Cultures. New York: Basic Books

Geuijen, K. et al 1995 Post-Modernism and Anthropology. Assen: Van Gorcum.

Hirsch, Jr., E.D. 1976 The Aims of Interpretation. Chicago: Chicago University Press.

Jorgensen, J.G. 1974 “Cross-Cultural Comparisons”. Annual Review of Anthropology 8: 309-332.

Keat, R. dan J.Urry 1975 Social Theory as Science. London: Routledge and Kegan Paul.

Koentjaraningrat 1990 Pengantar Ilmu Antropologi. Edisi Baru. Jakarta: Rineka Cipta.

Lane, M. 1970 “Introduction” dalam Introduction to Structuralism, M.Lane (ed.). New York: Basic Books.

Lastrucci, C. 1967 The Scientific Approach. Cambridge: Schenkman Books.

Leiter, K. 1980 A Primer on Ethnomethodology. Oxford: Oxford University Press.

Levi-Strauss, C. 1963 Structural Anthropology. New York: Basic Books.

1973 Structural Anthropology 2. New York: Penguin Books.

Lewis, C.I. 1929 Mind and the World Order: Outline of a Theory of Knowledge. New York : Dover.

Moustakas, C. 1994 Phenomenological Research Methods. London: Sage

47

Page 49: Paradigma Heddy

Nagel, E. 1961 The Structure of Science: Problems in the Logic of Scientific Explanation London: Routledge and Kegan Paul.

Naroll, R. 1970 “Epistemology” dalam A Handbook of Method in Cultural Anthropology, R.Na- roll dan R.Cohen (eds.). New York: Columbia University Press.

Phillipson, M. 1972 “Phenomenological Philosophy and Sociology” dalam New Directions in Socio- logical Theory, P.Filmer et al. London: Collier Mac-Millan.

Rickman, H.P. 1967 Understanding and the Human Studies. London: Heinemann

Rossi, I. 1974 “Structuralism as Scientific Method” dalam The Unconscious in Culture, I.Rossi (ed.). New York: E.P.Dutton.

Silverman, D. 1972a “Introductory Comments” dalam New Directions in Sociological Theory, P.Filmer et al. London: Collier MacMillan.

1972b “Methodology and Meaning” dalam New Directions in Sociological Theory, P.Filmer et al. London: Collier MacMillan.

1972c “Some Neglected Questions about Social Reality” dalam New Directions in Sociological Theory, P.Filmer et al. London: Collier MacMillan.

Strasser, S. 1963 Studies in Phenomenology and the Human Sciences. Atlantic Highlands, N.J.: Humanities Press.

Vermeulen, C.J.J. dan A. de Ruijter 1975 “Dominant Epistemological Presuppositions in the Use of the Cross-Cultural Survey Method”. Current Anthropology 16

ooooo

48

Page 50: Paradigma Heddy

DAFTAR ISI

I. PENGANTAR………………………………………………………………..1

II. TEORI, KERANGKA TEORI DAN PARADIGMA…..…………………3

III. PARADIGMA DAN UNSUR-UNSURNYA……………………………...5 1. Asumsi-asumsi Dasar……………………………………………….. ….5 2. Model-model……..………………………………………………………..7 3. Konsep-konsep…………………………………………………………...9 4. Metode Penelitian………………………………………………………..11 5. Metode Analisis…………………………………………………………..21 6. Hasil Analisis……………………………………………………………..28 7. Susunan Unsur-unsur Paradigma……………………………………..29

IV. MASALAH PENELITIAN, ASUMSI DASAR DAN MODEL………….31 1. Pertanyaan Penelitian…………………………………………………..32 2. Hipotesa………………………………………………………………….34

V. PARADIGMA, EPISTEMOLOGI DAN JENIS. PENELITIAN……….36 1. Epistemologi dan Paradigma Ilmu Sosial-Budaya (Antropologi)…..37 2. Jenis Penelitian: Paradigma, Epistemologi dan Lain-lain…………..39

VI. PENUTUP…………………………………………………………………..41

DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………………..41

49

Page 51: Paradigma Heddy

ooooo

50