Papiloma Nasal

44
BAB I PENDAHULUAN Papiloma hidung dan sinus paranasal merupakan neoplasma jinak epitel yang timbul dari mukosa Schneiderian, yang mempunyai kecenderungan tinggi berubah menjadi ganas. Hampir keseluruhan kasus papiloma hidung merupakan papiloma inverted dan fungiform. Para ahli belum mempunyai kesepakatan untuk menentukan penyebab pasti munculnya papiloma hidung dan sinus para nasalis, namun Human Papilloma Virus tipe 6 dan 11 diduga memiliki peran utama sebagai penyebab papiloma tersebut. 1 Jumlah kasus papiloma hidung sangat jarang, hanya berkisar 0,5-4% dari seluruh tumor hidung dan sinus paranasal. Insiden lebih banyak pada laki-laki dibanding perempuan dengan perbandingan 3:1. Tumbuhnya hampir menyerupai polip tetapi lebih padat dari polip nasi, biasanya bersifat unilateral. Sifat dari neoplasma ini tumbuhnya sangat cepat, mudah 1

description

ii

Transcript of Papiloma Nasal

BAB IPENDAHULUANPapiloma hidung dan sinus paranasal merupakan neoplasma jinak epitel yang timbul dari mukosa Schneiderian, yang mempunyai kecenderungan tinggi berubah menjadi ganas. Hampir keseluruhan kasus papiloma hidung merupakan papiloma inverted dan fungiform. Para ahli belum mempunyai kesepakatan untuk menentukan penyebab pasti munculnya papiloma hidung dan sinus para nasalis, namun Human Papilloma Virus tipe 6 dan 11 diduga memiliki peran utama sebagai penyebab papiloma tersebut. 1Jumlah kasus papiloma hidung sangat jarang, hanya berkisar 0,5-4% dari seluruh tumor hidung dan sinus paranasal. Insiden lebih banyak pada laki-laki dibanding perempuan dengan perbandingan 3:1. Tumbuhnya hampir menyerupai polip tetapi lebih padat dari polip nasi, biasanya bersifat unilateral. Sifat dari neoplasma ini tumbuhnya sangat cepat, mudah mendestruksi daerah sekitarnya sehingga dapat mengakibatkan kerusakan yang luas pada hidung dan sinus paranasal, untuk itu diperlukan deteksi dini dan komprehensif dalam penanganan papiloma hidung dan sinus paranasal. 2Referat ini bertujuan untuk mengkaji papiloma hidung dan sinus paranasal berdasarkan literatur yang ada untuk menambah wawasan dalam mendiagnosis dan penatalaksanaan papiloma hidung dan sinus paranasal. 3

BAB IITINJAUAN PUSTAKA1. Anatomi hidung dan sinus paranasal Kavum nasi berbentuk terowongan dari depan ke belakang, dipisahkan oleh septum nasi di bagian tengahnya menjadi kavum nasi kanan dan kiri. Pintu atau lubang masuk kavum nasi bagian depan disebut nares anterior dan lubang belakang disebut nares posterior (koana yang menghubungkan kavum nasi dengan nasofaring. Tiap kavum nasi mempunyai 4 buah dinding, yaitu dinding medial, lateral, inferior, dan superior. Dinding medial dibentuk oleh septum nasi. Septum nasi dibentuk oleh tulang dan tulang rawan. Dilapisi oleh perikondrium pada bagian tulang rawan dan periosteum pada bagian tulang, sedangkan di luarnya dilapisi juga dengan mukosa nasal. 4 Pada dinding lateral terdapat 4 buah konka yang terbesar dan letaknya paling bawah ialah konka inferior, kemudian yang lebih kecil ialah konka media, lebih kecil lagi ialah konka superior, sedangkan yang terkecil ialah konka suprema. Konka suprema ini biasanya rudimenter. Konka inferior merupakan tulang tersendiri yang melekat pada os maksila dan labirin etmoid, sedangkan konka media, superior dan suprema merupakan bagian dari labirin etmoid. Diantara konka-konka dan dinding lateral hidung terdapat rongga yang disebut meatus, yang terdiri dari meatus inferior, medius dan superior.4Sinus paranasal merupakan hasil pneumatisasi tulang-tulang kepala, sehingga terbentuk rongga didalam tulang. Ada empat sinus paranasal, mulai dari yang terbesar yaitu sinus maksila, sinus frontal, sinus etmoid, dan sinus sphenoid kanan dan kiri. Semua sinus mempunyai muara (ostium) ke dalam rongga hidung. Sinus maksila merupakan sinus paranasal terbesar dan bermuara ke hiatus semilunaris melalui infundibulum etmoid. Sinus frontal berdrenase melalui ostiumnya yang terletak di resesus frontal, yang berhubungan dengan infundibulum etmoid. Sinus etmoid anterior bermuara di meatus medius dan sinus etmoid posterior bermuara dimeatus superior. 4 Gambar 1. Anatomi hidung dan sinus paranasal2. Histologi hidung dan sinus paranasalRongga hidung dilapisi oleh mukosa yang secara histologik dan fungsional dibagi atas mukosa pernapasan (mukosa respiratori) dan mukosa penghidu (mukosa olfaktorius). Mukosa pernapasan terdapat pada sebagian besar rongga hidung dan permukaannya dilapisi oleh epitel cilliated pseudostratifield collumner epithelium dan diantaranya terdapat sel-sel goblet. Mukosa penghidu terdapat pada atap rongga hidung, konka superior dan sepertiga atas septum. Mukosa dilapisi oleh epitel pseudostratified collumner non ciliated epithelium. Epitelnya dibentuk oleh tiga macam sel, yaitu sel penunjang, sel basal dan reseptor penghidu. Daerah mukosa penghidu bewarna cokelat kekuningan.4Seperti pada mukosa hidung, didalam sinus juga terdapat mukosa bersilia dan palut lendir diatasnya. Di dalam sinus silia bergerak secara teratur untuk mengalirkan lendir menuju ostium alamiahnya mengikuti jalur-jalur yang sudah tertentu polanya.4

Gambar 2. Histologi Hidung

3. Fisiologi hidung dan sinus paranasalBerdasarkan teori struktural, teori evolusioner dan teori fungsional, fungsi fisiologis hidung dan sinus paranasal adalah: 4

a. Fungsi respirasiUdara masuk ke hidung menuju nares anterior, lalu naik keatas setinggi konka media kemudian turun kebawah kearah nasofaring. Udara yang dihirup akan mengalami humidifikasi oleh palut lendir. Suhu udara yang melalui hidung diatur sehingga berkisar 37C oleh banyaknya pembuluh darah dibawah epitel dan adanya permukaan konka dan septum yang luas. Partikel debu, virus, bakteri dan jamur yang terhirup akan disaring dihidung oleh: rambut (vibrissae) pada vestibulum nasi, silia, palut lendir yang kemudian akan dikeluarkan dengan refleks bersin. b. Fungsi penghidu Hidung bekerja sebagai indra penghidu dan pencecap dengan adanya mukosa olfaktorius pada atap rongga hidung, konka superior dan sepertiga bagian atas septum. Fungsi pencecap adalah untuk mambedakan rasa manis yang berasal dari berbagai macam bahan seperti jeruk, pisang dan cokelat. Juga membedakan rasa asam yang berasal dari cuka dan asam jawa.c. Fungsi fonetikSumbatan hidung akan menyebabkan resonansi berkurang atau hilang, sehingga terdengar suara sengau (rinolalia). Hidung membantu proses pembentukan kata-kata. Pada pembentukan konsonan nasal (m, n, ng) rongga mulut tertutup dan hidung terbuka, palatum mole turun untuk aliran udara.

d. Refleks nasalMukosa hidung merupakan reseptor refleks yang berhubungan dengan saluran cerna, kardiovaskuler dan pernapasan. Iritasi mukosa hidung akan menyebabkan refleks bersin dan napas terhenti. Refleks bau tertentu akan menyebabkan sekresi kelanjar liur, lambung dan pankreas.Fungsi sinus paranasal antara lain:a. Sebagai pengatur kondisi udara Sinus berfungsi sebagai ruang tambahan untuk memanaskan dan mengatur kelembaban udara inspirasi. Volume pertukaran udara dalam ventilasi sinus kurang lebih 1/1000 volume sinus pada tiap kali bernapas, sehingga dibutuhkan beberapa jam untuk pertukaran udara total dalam sinus. Dan mukosa sinus tidak memiliki vaskularisasi dan kelanjar yang sebanyak mukosa hidung.b. Sebagai penahan suhuSinus paranasal berfungsi sebagai penahan panas, melindungi orbita dan fosa serebri dan suhu rongga hidung yang berubah-ubah. c. Membantu keseimbangan kepalaSinus membantu keseimbangan kepala karena mengurangi berat tulang muka. Namun hal ini tidak terlalu bermakna.

d. Membantu produksi mukusMukus yang dihasilkan berjumlah kecil dibanding mukus dari rongga hidung, namun efektif untuk membersihkan partikel yang turut masuk dengan udara inspirasi karena mukus ini keluar dari meatus medius, tempat yang paling strategis.4. Papiloma nasala. Definisi Papiloma nasal merupakan suatu tumor jinak layaknya suatu adenoma, yang secara makroskopis mirip dengan polip namun lebih vaskuler, padat dan tidak mengkilap. Tumor ini berasal dari epitel mukosa saluran pernafasan bersilia yang merupakan derivat dari ektoderm yang melapisi rongga hidung dan sinus paranasal disebut dengan membran Schneiderian. Meskipun merupakan suatu tumor jinak, namun beberapa dari tumor jinak nasal bersifat mudah kambuh atau secara klinis bersifat ganas karena tumbuh agresif mendestruksi tulang, misalnya papiloma inverted. 4b. EpidemiologiTumor hidung dan sinus paranasal pada umumnya jarang ditemukan, baik yang jinak maupun yang ganas. Di Indonesia dan luar negeri, keganasan pada nasal hanya sekitar 1% dari keganasan seluruh tubuh atau 3% dari seluruh keganasan di kepala dan leher. Data DEPKES RI tahun 2003 menyebutkan bahwa penyakit hidung dan sinus merupakan urutan ke 25 dari 50 pola penyakit utama atau sekitar 102.817 penderita rawat jalan di rumah sakit. 4c. Etiologi Penyebab papiloma sinonasal hingga sekarang masih kontroversi dan belum sepenuhnya dipahami. Beberapa pendapat mengatakan lesi ini merupakan suatu neoplasma, namun beberapa pendapat juga mengatakan bahwa papiloma ini merupakan suatu hiperplasia reaktif akibat adanya stimulasi dari alergi, infeksi kronik bakteri dan virus terutama Human Papilloma Virus tipe 11, dan rokok. Panelitian genetik menunjukkan papiloma tipe inverted melibatkan cell monoclonal yang mana adanya kemungkinan lesi ini dapat merupakan neoplasma dan merupakan hasil pertumbuhan sel transformasi residual. 5 d. Klasifikasi papiloma nasalAda tiga jenis papilloma yang timbul dari membran Schneiderian yaitu: a). Papiloma fungiform (exophytic); b). Papiloma inverted, c). Papiloma cylindrical (oncocytic).

a. Papiloma fungiform (exophytic)Papiloma Schneiderian bentuk fungiform merupakan 50% penyebab papiloma sinonasal. Papiloma ini melibatkan septum nasal, namun pada penelitian 20% dari 142 kasus menunjukkan pertumbuhan tumor di dinding lateral nasalis, sinus maxilaris, ataupun nasofaring. Papiloma fungiform sering didiagnosis banding dengan suatu karsinoma. Papiloma fungiform dikenal juga sebagai papiloma skuamosa yang mana menunjukkan pola pertumbuhan esofitik dan pertumbuhan yang cepat serta banyaknya variasi tipe epitel. Pada pemeriksaan mikrobiologi, ditemukan adanya hubungan dengan infeksi Human Papilloma Virus tipe 6 dan 11. 3Papiloma sinonasal umumnya hampir selalu bersifat unilateral. Umumnya pasien dengan penyakit ini memberikan keluhan adanya obstruksi unilateral nasal ataupun epistaksis dan massa memberikan gambaran bewarna merah muda atau merah tua, nodul dengan tampakan seperti kutil. Gambaran klinis yang khas pada papiloma ini menunjukkan adanya massa pada septum nasal dan lebih banyak diderita pada laki-laki dibandingkan pada perempuan denganrentan umur 20-50 tahun. 3,6

Gambar 3. Makrokopik papiloma fungiform

Papiloma fungiform memiliki gambaran histo patologi seperti papiloma skuamosa mulut meskipun epitel yang menutupi nodul adalah epitel startifikatum skuamosum tanpa keratinisasi. Kadang ditemukan epitelium respiratori atau epitelium transisional (antara epitel skoamosa dan respiratori) pada lesi ini. Lesi ini juga mengeluarkan mukus yang dihasilkan oleh sel goblet dan intraepitelial mikrositik. Jaringan ikat pokok terdiri dari jaringan fibrous halus dengan komponen inflamasi yang minimal. 6

Gambar 4. Histologi papiloma fungiform

Penanganan papiloma fungiform berbasis pada pembedahan eksisi komplit yang merupakan terapi utama. Pada beberapa penilitian menunjukkan lesi ini bersifat minimal yaitu hanya < 0,5% dari 214 kasus memiliki potensial bertransformasi menjadi keganasan. 6b. Papiloma Inverted Papiloma inverted merupakan tumor jinak yang berasal dari pseudostratified ciliated columnar epithelium regio sinonasal. Merupakan 50-75% penyebab papiloma sinonasal, umumnya tumbuh di dinding lateral rongga hidung kebanyakan pada meatus media, jarang dari septum nasi ataupun sinus paranasal. Pertama kali dideskripsikan pada tahun 1854 oleh Ward. 7Tumor ini masih jarang ditemukan 0,5%-4% dari seluruh tumor hidung dan sinus paranasal, menyerupai polip tetapi lebih padat bila dibandingkan polip nasi, biasanya bersifat unilateral, secara histologi jinak tapi berkemampuan untuk tumbuh cepat dan bertendensi menjadi keganasan 10-15%. Umumnya terjadi pada orang dewasa umur 40-70 tahun. Pada laki-laki cenderung lebih banyak dari perempuan dengan perbandingan 4 : 1. 7,8Sampai saat ini penyebab yang pasti dari papiloma ini belum diketahui. Faktor-faktor yang diduga berpengaruh seperti alergi, sinusitis kronis, terpapar zat karsinogen dan infeksi virus. Sinusitis paranasal banyak ditemukan pada pasien dengan papiloma inverted, dan beberapa peneliti menyimpulkan bahwa sinusitis tersebut disebabkan oleh tumor yang mengobtruksi sinus dan bukan sebaliknya. Keberadaan human papiloma virus (HPV) telah dibuktikan pada beberapa laporan dengan frekuensi yang berbeda. Respler et al, menemukan DNA HPV 11 pada 2 orang pasien mereka. Weber et al, menemukan DNA HPV pada 16 dari 21 pasien mereka.Weiner et al, menemukan DNA HPV 6 dan HPV 11 sebanyak 6,8 % dari 69 kasus. 8,9Lesi ini umumnya muncul dari dinding lateral kavum nasal atau sinus para nasal, kadang dari antrum. Gejala klinis yang dapat timbul yaitu obstruksi nasal unilateral disertai keluhan nyeri, epistaksis, cairan hidung yang purulen atau ditemukannya deformitas lokal. Sedangkan lesi papiloma menunjukkan gambaran berwarna merah muda atau merah tua, kenyal, polipoid atau pertumbuhan bernodul. Multipel lesi dapat juga ditemukan. Inverted papiloma berbentuk irregular, biasanya berdarah jika disentuh, mengisi penuh kavum nasi, berlanjut dari vestibulum ke nasofaring. Septum nasi biasanya terdorong kontralateral. 5

Gambaran makroskopis papiloma inverted mirip seperti polip tetapi lebih padat dan permukaan bergerombol, dengan warna bervariasi dari merah muda sampai agak pucat, lebih banyak jaringan vaskularnya dari polip. Papiloma inverted merupakan bentuk kelainan yang ditandai dengan epitel yang hiperplastik terlihat membalik (inverted) dan terdapat pertumbuhan yang endofitik ke stroma di bawahnya. Sel epitel ini berlapis-lapis (5-30 lapis) dan bervariasi, terdiri dari sel skuamosa, sel transisional, dan sel kolumnar (mungkin ketiganya ada dalam satu lesi), bercampur dengan mucocytes (sel goblet) dan kista musin intraepitel. 10 Gambar 5. Histologi papiloma inverted

Terdapat berbagai macam penatalaksanaan pada lesi tumor jinak, mulai dari terapi medikamentosa, radioterapi dan terapi operasi. Namun pada inverted papilloma dianjurkan hanya terapi pembedahan. Terdapat tiga tujuan operasi papiloma inverted, yaitu 1). dapat membuka dengan cukup sehingga dapat mereseksi tumor keseluruhan, 2). operasi menghasilkan lapangan pandang yang baik sehingga memudahkan pengawasan pada kavitas pasca operasi, 3). meminimalisir deformitas kosmetik dan ketidak mampuan fungsional. Prinsip pengobatan adalah pengangkatan tumor secara keseluruhan, tanpa meninggalkan sisa, mengingat tumor ini cenderung kambuh. Sebagai pilihan pengobatan utama adalah pengangkatan tumor dan eksisi dengan pendekatan rinotomi lateral atau degloving bila massa tumor ada di traktus sinonasal dan dengan mastoidektomi untuk massa tumor di telinga tengah dan kavum mastoid.4,10,11Terapi papiloma inverted adalah tindakan bedah. Eksisi komplit penting untuk mencegah rekuren. Angka rekuren yang tinggi terjadi pada eksisi tidak komplit dari tumor, reseksi secara endoskopi dapat dipertimbangkan untuk mengurangi komplikasi pendekatan eksternal. Pendekatan degloving atau rinotomi lateral yang dikombinasi dengan medial maksilektomi sangat menurunkan angka rekurensi. 11c. Papiloma cylindrical (oncocytic)Papiloma cylindrical merupakan penyebab kasus papiloma terjarang, hanya sekitar 7% kasus papiloma sinonasal, lesinya dianggap memiliki kesamaan dengan papiloma inverted karena kemiripan secara klinik dan gambaran histopatologis serta kemiripan rendahnya hubungan dengan human papilloma virus. Papiloma ini cenderung terkena pada orang dewasa yaitu 20-50 tahun dan dominan terjadi pada laki-laki dengan predileksi pada antrum maxilaris, dinding lateral kavum nasal dan sinus etmoidalis. Gejala yang ditimbulkan adalah adanya obstruksi nasal unilateral, epistasksis, dan adanya gambaran beefy-red atau masa bewarna cokelat dengan permukaan multinodular. 5Pada pemeriksaan mikroskopik menunjukkan adanya dua jenis pertumbuhan jaringan endophytic dan exophytic. Permukaan papilar memiliki jaringan konektif fibrovaskular yang di lapisi oleh epitel berlapis kolumner dengan nukleus yang kecil dan gelap, kadang bergranular, sitoplasma. Epitelial lesi ini mirip dengan jaringan kanker. Kadang terdapat silia, mucin,dan neutrofil pada permukaan lesi. 5,6

Gambar 6. Papiloma Oncocytic

Penatalaksaaan papiloma ini sama dengan penatalaksanaan pada pailoma inverted, namun potensial kekambuhan dan transformasi malignansi lebih rendah dibandingkan papiloma inverted. 6e. Pemeriksaan penunjang 12 Histopatologi Merupakan pemeriksaan gold standart pada kasus yang dicurigai suatu tumor. Pada papilona nasal, menunjukkan gambaran histopatologi yang berbeda dari epitelial. Plain Film (foto polos)Tes pencitraan ini tidak disarankan digunakan untuk mendiagnosa tumor pada rongga hidung ataupun sinus paranasal, teteapi mungkin dapat dilakukan untuk sejumlah alasan baik sebelum dan setelah tumor terdiagnosis, termasuk:a. Membantu mencari tahu seberapa jauh tumor ataupun kanker menyebarb. Mambantu menentukan apakah pengobatan telah efektifc. Untuk mencari tahu tanda-tanda kekambuhan setelah pengobatan sebelumnya.Pemeriksaan pencitraan dari sinus dapat membantu menunjukkan jika sinus tidak diisi oleh udara yang dapat dicurigai adanya massa ataupun cairan akibat proses inflamasi. Namun CT-Scan dapat memberikan gambaran lebih detail tentang anatomi sinus. CT-ScanGambaran CT sebagian besar adalah non-spesifik, menunjukkan massa jaringan lunak dengan beberapa peningkatan kepadatan jaringan. Lokasi massa adalah salah satu dari sedikit petunjuk ke arah diagnosis yang benar. Hal ini berguna tidak hanya dalam menunjukkan diagnosis, tetapi juga untuk membantu perencanaan bedah, sebagai lokasi asal tumor menentukan tingkat operasi yang dibutuhkan. Pada papiloma inverted, sebagai massa penyebab adanya resorbsi tulang dan kehancuran tulang dapat ditemukan melalui pemeriksaan ini, dengan pola yang sama dengan yang terlihat pada pasien dengan karsinoma sel skuamosa. MRI (Magnetic Resonance Image)MRI scan menggunakan gelombang radio dan magnet yang kuat bukan sinar-x. Energi dari gelombang radio yang diserap dan kemudian dirilis dalam pola yang dibentuk oleh jenis jaringan dan oleh penyakit tertentu. Baik CT dan MRI membantu mengidentifikasi tumor rongga hidung dan sinus paranasal dan karakteristik mereka. CT scan dapat memberitahu jika tumor tumbuh ke dalam tulang, tetapi MRI lebih baik mengevaluasi jenis dan ukuran tumor tersebut. Namun pada kanker nasalis dan sinus paranasal, keduanya dapat digunakan untuk mengetahui apakah kanker telah menyebar ke kelenjar getah bening di leher.

Gambar 7. Pemeriksaan MRI pada papiloma inverted

f. PengobatanTindakan bedah yang akan dipilih dapat diputuskan dengan adanya sistem staging dari Krouse yang berdasarkan temuan radiologi dan endoskopi preoperasi. Selain itu empat kelompok ini dimaksudkan untuk memprediksi prognosis, dan perluasan tumor. Pembagiannya terdiri dari : 1. Tumor terbatas pada satu sisi kavum nasi tanpa perluasan ke sinus paranasal. 2. Tumor melibatkan dinding medial dan superior sinus maksila dengan atau tanpa keterlibatan kavum nasi. Jika menenai kavum nasi, sinus etmoid juga terlibat. 3. Tumor meluas ke inferior, posterior, anterior atau dinding lateral sinus maksila, sinus frontal atau sinus spenoid 4. Tumor perluasan ke ekstrasinonasal atau tumor berubah ganas. 11Sistem ini secara primer berdasarkan lokasi dan perluasan dari inverted papilloma. Kategori ini sangat menolong pada perencanaan pendekatan bedah. Inverted papiloma kelompok (1) dapat diangkat secara endoskopik tanpa reseksi tulang. Inverted papiloma pada kelompok (2) pendekatan masih secara endoskopik dengan mereseksi stuktur tulang. Pada pasien dengan keterlibatan sinus frontal atau kelompok (3) endoskopi masih bisa dipakai jika visualisasi memungkinkan, pendekatan maksilektomi medial bisa digunakan. Pada kelompok (4) direkomendasikan open surgical untuk mendapatkan maksimal eksposur. 13 Rinotomi Lateral Myers dan Thawley menganjurkan rinotomi lateral pada dinding samping hidung diikuti dengan pengangkatan dengan hati-hati semua mukosa lainnya yang ada pada ipsilateral sinus paranasal. Sessions, Larson dan Pope menganjurkan cara rinotomi lateral yang dilanjutkan dengan etmoidektomi dan maksilekstomi medial untuk mengangkat tumor-tumor yang terlokalisir di hidung, baik jinak maupun ganas. Teknik rinotomi lateral telah mengalami beberapa modifikasi. Moore, membuat insisi di samping hidung setinggi kantus medial sampai ke ala nasi, diteruskan sampai ke dasar kolumela, bila insisi Moure dilanjutkan ke bawah melalui sulkus infranasal dan mendorong bibir atas disebut insisi Weber. Bila insisi Weber ini diperluas sampai dibawah kelopak mata disebut insisi Weber-Ferguson. Insisi dapat diteruskan sampai bersambung dengan insisi gingivobukal.14,15

Gambar 8. Insisi rinotomi lateral Moore( bala lateral rhinotomy)

Gambar 9. Insisi rinotomi lateral Weber-Fergusson 15Setelah kulit diinsisi dan periosteum dilepaskan dari tulang muka, dilakukan osteotomi untuk mengangkat tulang hidung. Mukosa hidung dipotong sepanjang pinggir aperture piriformis sehingga pyramid hidung bisa ditarik ke sisi yang berlawanan. Semua kasus-kasus yang ditemui bersama karsinoma sel skuamosa telah ditanggulangi dengan cara seperti di atas tanpa terjadi kekambuhan kembali tumor tersebut dan didapat hasil yang cukup baik mengenai aspek kosmetik dan fungsionalnya. 14 Degloving Teknik pembedahan degloving yang digunakan ada 2 jenis yaitu: I. Menurut Conley dan Price serta Magnila: Pada prinsipnya dibuat 4 macam insisi yaitu: 1. Insisi sublabial seperti pada operasi Caldwell luc, mulai dari tuberositas maksila satu sisi sampai tuberositas maksila sisi lainnya. Insisi diteruskan sampai mencapai periosteum dan jaringan lunak muka dilepaskan dari dinding depan maksila sampai mencapai foramen infraorbita. Saraf dan pembuluh darah infra orbita dipertahankan. 2. Dilakukan insisi transfiksi yang akan memisahkan tulang rawan septum dengan kolumela. 3. Insisi interkartilago pada kedua sisi, sehingga memisahkan jaringan lunak hidung dengan kartilago lateral atas hidung. Periosteum di atas tulang dilepaskan ke lateral sejauh mungkin dan juga ke superior sampai mencapai pangkal hidung. 4. Insisi sekeliling apertura piriformis pada kedua sisi 16 Gambar 10. Teknik Degloving A. Insisi Sublabial, B. Insisi, C. Insisi interkartilago, D. Degloving komplit 16

II. Cara Pavolainen dan Malmberg 1. Dilakukan insisi sublabial bilateral seperti cara Conley. 2. Mukosa hidung hanya diinsisi sepanjang bagian bawah apertura piriformis. 3. Dilakukan osteotomi lateral pada kedua sisi, yang juga memotong mukosa hidung sampai mencapai sutura naso frontal. 4. Tulang rawan septum bersama mukosa yang menutupinya digunting mulai dari spina nasalis anterior ke atas sampai mencapai sutura nasofrontal, yaitu pada batas atas osteotomi sejajar dengan arah osteotomi Maksilektomi Medial Pemotongan tulang untuk masilektomi medial adalah dengan memotong sepanjang tulang hidung dari apertura piriformis ke glabella beberapa milimeter anterior dari alur nasomaksilaris. Potongan horisontal dibuat tepat di bawah glabella diarahkan menuju posterior frontoethmoid suture line. Potongan antero posterior dibuat sepanjang garis jahitan fronto ethmoidal. Potongan obliq dasar orbita dari tepi medial orbita ke foramen infraorbital diperluas ke arah postero medial untuk bergabung dengan potongan fronto etmoid di wilayah ethmoid.

Gambar 11. Daerah kuning menunjukkan daerah reseksi tulang pada masilektomi medial Endoskopi 10Sejak diperkenalkan oleh Messerklinger, Stammberger dan Kennedy, endoskopi telah banyak mengalami evolusi oleh para Rhinologist untuk melakukan pendekatan bedah hidung dan sinus paranasal. Setelah lebih dari 20 tahun, saat sekarang ini penggunaan endoskopi tidak hanya terbatas pada radang sinus paranasal tetapi juga digunakan untuk terapi pada berbagai patologi sinonasal. Dengan adanya endoskopik nasal, dengan pencahayaan yang kuat, resolusi yang tinggi dan sudut visualisasi, bersamaan dengan kemajuan pada tomografi komputer dan pencitraan magnetik resonansi dapat menuntun kearah identifikasi yang akurat, penentuan lokasi yang baik, dan keberhasilan reseksi lesi intranasal. Reseksi endoskopik dapat meliputi spenoetmoidektomi total, meatotomi yang luas, reseksi konka media dan visualisasi sinus frontal. Keuntungan pendekatan secara endoskopik transnasal dibanding maksilektomi medial adalah sangat kecil terbentuknya skar eksternal sehingga deformitas kosmetik dapat ditiadakan, mengurangi waktu rawat di rumah sakit, mengurangi kehilangan darah pada saat operasi dan perluasan dari tumor dapat ditentukan dengan visualisasi secara langsung, sehingga menghasilkan reseksi secara utuh yang lebih baik. Manipulasi yang hati-hati terhadap massa tumor dapat menuntun operator untuk menentukan asal tumor dari dinding lateral hidung. Setelah uncinektomi, dinding medial sinus maksila dapat diidentifikasi. Jika mukosa antrum terlihat massa tumor, konka inferior dilepaskan bersama dinding medial sinus maksila sampai ke dasar hidung. Backbitting dan sitebitting dapat digunakan pada saat ini. Pada tahap ini seluruh antrum maksila dapat divisualisasi secara lengkap. Apabila tumor telah meluas ke sinus etmoid dan spenoid, dapat dilakukan etmoidektomi total dan spenoidektomi. Hal yang sama dilakukan pada sinus frontal jika mukosanya juga ikut terlibat. Prosedur Caldwell-Luc kadang dibutuhkan untuk mendapatkan akses ke seluruh antrum maksila pada kasus yang melibatkan seluruh mukosa sinus maksila. Apabila pada CT Scan terlihat adanya area hyperostosis, operator disarankan untuk menggunakan bor diamond untuk menipiskan tulang di area ini. Daerah hyperostosis ini berhubungan dengan tempat berasal tumor. Pada endoskopi maksilektomi medial, reseksi dilakukan pada seluruh dinding lateral hidung. Campuran lidokain dan epinefrin disuntikkan pada daerah konka media, dinding meatus inferior dan dinding meatus media dan garis nasomaksila untuk hemostasis. Batas superior ditentukan setelah reseksi anterior dan posterior etmoid ke batas sphenoid dan perlengketan konka media ke dinding lateral hidung dipisahkan. Arteri etmoid di ekspos untuk landmark reseksi yang meluas ke superior. Pada kasus tumor yang meluas ke fovea atau ke orbita, arteri etmoid dipotong dan dipisahkan. Konka media dieksisi dari perlengketannya di superior untuk menghindari cedera lamina kribriformis. Insisi dibuat dari bagian anterior meatus inferior ke dinding posterior sinus maksila. Batas anterior diperluas dari perlengketan konka media ke batas anterior dari bagian anterior meatus media termasuk konka media, prosesus unsinatus dan kanalis nasolakrimalis. Dinding lateral dipisahkan ke medial dan diseksi diangkat dari sinus maksila sampai ke arteri spenopalatina yang telah diligasi. Tumor kemudian di buang secara en bloc. Mukosa etmoid posterior yang tersisa di buang untuk batas kontrol. Reseksi dapat dimodifikasi tergantung dari perluasan tumor.

g. KomplikasiPapiloma inverted sangat memungkinkan menimbulkan komplikasi. Komplikasi inverted papilloma adalah terjadinya perdarahan dan malignansi dari papiloma tersebut. Komplikasi dapat terjadi setelah reseksi bedah sinonasal papiloma. Komplikasi yang paling serius adalah yang berhubungan dengan orbita. Blepharitis, diplopia, dan dacryocystitis intermiten telah dilaporkan pada pasien dengan rinotomi lateral dan masilektomi medial. Ektropion terjadi secara sekunder akibat jaringan parut yang menarik ke bawah kelopak mata bawah. Kebocoran CSF dapat terjadi jika dasar tenggorok terkena selama operasi. 10Komplikasi lambat yang dapat terjadi adalah crusting, infeksi, fistula nasokutaneus, stenosis vestibular, dan nasal-valve collapse. Komplikasi yang paling umum setelah prosedur degloving adalah stenosis vestibular. Fistula oroantral, intermiten parestesia, dan crusting yang berkepanjangan juga dapat terjadi. Reseksi endoskopik menimbulkan risiko yang sama dari setiap operasi endoskopi sinus. Potensi komplikasi termasuk kebocoran CSF, komplikasi orbital (hematoma orbita atau periorbita, diplopia, cedera pada saraf optik, cedera pada otot ekstraokular, epiphora), perdarahan, infeksi, dan sinekia. 10

h. PrognosisPada beberapa kasus, 22% - 42% kasus papiloma fungiform dapat mengalami kekambuhan pada tempat yang telah mengalami pembedahan terutama pada eksisi yang tidak utuh yang masih menyisakan sedikit epitelium. Pada umumnya prognosis kurang baik pada papiloma inverted. Banyak sekali faktor yang mempengaruhi prognosis keganasan nasal dan sinus paranasal, cara tepat dan akurat. Faktor-faktor tersebut seperti perbedaan diagnosis histologi, asal tumor primer, perluasan tumor, pengobatan yang diberikan sebelumnya, status batas sayatan, terapi adjuvan yang diberikan, status imunologis, lamanya follow up. Walaupun demikian, pengobatan yang agresif secara multimodalitas akan memberikan hasil yang terbaik dalam mengontrol tumor primer dan akan meningkatkan angka ketahanan hidup 5 tahun sebesar 75% untuk seluruh stadium tumor. Sedangkan pada papiloma oncocytic, prognosis bergantung pada tipe histologik, kejauhan invasi, dan stadium tumor. Jika pembedahan tidak adekuat, 25-35% kasus akan mengalami kekambuhan dalam waktu 5 tahun. 5,6

BAB IIIKESIMPULANPapiloma nasal merupakan suatu tumor jinak layaknya suatu adenoma, yang secara makroskopis mirip dengan polip namun lebih vaskuler, padat dan tidak mengkilap. Di Indonesia dan luar negeri, keganasan pada nasal hanya sekitar 1% dari keganasan seluruh tubuh atau 3% dari seluruh keganasan di kepala dan leher. Penyebab papiloma sinonasal hingga sekarang masih kontroversi dan belum sepenuhnya dipahami. Beberapa pendapat mengatakan lesi ini merupakan suatu neoplasma, namun beberapa pendapat juga mengatakan bahwa pailoma ini merupakan suatu hiperplasia reaktif akibat adanya stimulasi dari alergi, infeksi kronik bakteri dan virus terutama Human Papilloma Virus tipe 11, dan rokok.Papiloma kavum nasalis dibagi dalam tiga kategori dasar berdasarkan lokasi dan karakterisik tumor tersebut. Papiloma fungiform (exophytic) dan papiloma inverted, dan yang ketiga adalah papiloma cylindrical (oncocytic) yang kasusnya sangat jarang. Pertumbuhan tipe papiloma fungiform melibatkan kavum nasalis anterior dan septum. Kebanyakan papiloma inverted muncul dari arah dinding lateral kavum nasal dan menunjukkan angka kekambuhan yang tinggi. Tumor ini dapat berubah menjadi ganas, oleh karena itu penatalaksanaan tumor ini adalah dengan mereseksi seluruh jaringan tumor.

DAFTAR PUSTAKA

1. Vogl J, Balzer, Mack M, Steger W. Differential Diagnosis in Head and Neck Imaging. Germany: Thieme. 1998: 145-146.2. Thapa, Narmaya. Diagnosis and Treatment of Sionasal Inverted Papilloma. Nepalese Journal of ENT Head and Neck Surgery: Volume 1, No.1. 2010.3. Barnes L, Eveson JW, Reichart P, et all. Pathology and Genetic of Tumours of Head and Neck Tumours WHO Classification of Tumours. France: Lyon IARC Press. 2003: 144-145.4. Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J, et all. Buku ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorokan Kepala & Leher. Jakarta: FK UI. 2007: 118-122; 145-149; 178-180. 5. Angela, Chi, Douglas D. Oral and Maxillofacial Pathology Third Edition. USA: Saunders Elsevier. 2009: 362-363; 368-370.6. Pilch Ben. Head and Neck Surgical Pathology. USA: Lippincott Williams & Wilkins. 2001: 108-112.7. Carrau RL, Khidr A, Hillson EM, et all. The impact of Laryngopharyngeal Reflux on Patient reported Quality of life. USA: Laryngoscope. 2004: 114 (4): 670-674.8. Lalwani, AK. Anatomi and Physiology of the Ear In Current Diagnosis & Treatment Otolarinology Head and Neck Surgery. 2nd Ed.New York: Thieme. 2007: 310-489.9. Kim, Lyong Hong, Hee Lee, et all. Inverted Papilloma of the Nasal Cavity and Paranasal Sinuses: A Korean Multicenter Study. The American Laryngological, Rhinological and Otological Society, Inc. 2012: 122 (3): 487-494.10. Sadeghi, Nader. 2015. Sinonasal Papillomas. Available at http://emedicine.medscape.com/article/862677-overview#showall. 11. Baruah P, Deka C. Endoscopic Management of Inverted Papillomas of the Nose and Paranasal Sinus, In : Ear, Nose, Throat Journal. 2003: 82 (4): 317-320.12. Lee DK, Chung SK, Dhong HJ, et all. Focal hyperrotosis on CT of sinonasal inverted papilloma as a predicator of tumor origin. ANJR Am J Neuroradiol: PubMed citation. 2007: 28 (4): 618-621.13. Octiza, Ricki, Bestari JB. Ekstirpasi Papiloma Inverted dengan Pendekatan Endoskopik. Bagian Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala Leher: FK Universitas Andalas. 2011: 1-12.14. Balasubramanian T. 2012. Rhinotomy Lateral. Available at http://www.drtbalu.com/lateral_rhino.html. 15. Osborne JE, Clayton M, Fenwick D. The Leeds Modified Weber-Fergusson Incision. The Journal of Laryngology and Otology. USA: National Institutes of Health. 2011: 101 (5): 465-466.16. Conley J, Sachs ME, Rabuzzi DD, et all. Degloving Approach for Total Excision of Inverted Papilloma. Laryngoscope. USA: National Institutes of Health. 1984: 94 (12): 1595-1598.AlgoritmaPapilloma Nasalis

Anamnesis:1. Hidung tersumbat unilateral2. Epistaksis3. Rhinorea purulen4. Benjolan dihidung5. Nyeri Pemeriksaan Fisik:1. Massa polipoid, bernodul2. Massa tumbuh di meatus (media)3. Bewarna merah muda merah tua4. Massa kenyal5. Deformitas tulang +Pemeriksaan Penunjang:1. Histo patologi2. Foto polos3. CT-scan4. MRIPemeriksaan Fisik:1. Massa papilari/polipoid2. Massa tumbuh di antrum media, dinding lateral kavum nasal, sinus etmoidalis3. Bewarna merah beefy-red atau kecoklatanCylindrical (oncocytic)Fungiform (exophytic)Pemeriksaan Fisik:1. Massa seperti kutil bernodul-nodul2. Massa tumbuh di septum nasal3. Bewarna merah muda merah tuaAnamnesis:1. Hidung tersumbat unilateral2. Epistaksis3. Rhinorea 4. Benjolan dihidungAnamnesis:1. Hidung tersumbat unilateral2. Epistaksis3. Rhinorea4. Benjolan dihidungPapilloma invertedKlasifikasi:

Penanganan Pembedahan:1. Rinotomi Lateral2. Degloving3. Maksilektomi Medial 4. Endoskopi

23