paper Kebijakan Publik
-
Author
zetta-alvema-novita-sari -
Category
Documents
-
view
185 -
download
22
Embed Size (px)
description
Transcript of paper Kebijakan Publik

CHAPTER I
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Background Of The Country Choose (Latar Belakang Memilih New Zealand)
New Zealand (Selandia Baru) mendapat kemerdekaan dari Inggris pada tanggal
26 September 1907. Meskipun Statuta Westminster tahun 1931 menjamin persamaan
status seluruh anggota Persemakmuran, kebebasan kebijakan luar negeri Selandia
Baru dimulai pada tahun 1935, ketika pemerintah dari Partai buruh Membuat traktat
dan pertukaran perwakilan diplomatik. Di tahun 1943 pemerintah mengukuh layanan
tetap luar negerinya.
Di tahun 1947, Selandia Baru bergabung dengan Australia, Perancis, Inggris dan
Amerika Serikat untuk membentuk South Pasific Commission, sebuah badan
regional yang bertujuan untuk membantu peningkatan kesejahteraan kawasan
Pasifik. Selandia Baru pernah menjadi pemimpinnya. Di tahun 1971, Selandia Baru
bergabung dengan negara-negara merdeka di Pasifi Selatan untuk membentuk
South Pasific Forum (Saat ini dikenal dengan Pasific Island Forum), yang bertemu
setiap satu tahun sekali dalam tingkat “kepala pemerintahan”.
Perekonomian negara Selandia Baru bertumpu pada perdagangan hasil laut
sejak abad ke-19, ketika bangsa Eropa membuat koloni di pulau itu. Kebanyakan
dari infrastruktur negara dikembangkan dengan menggunakan modal dari luar
negeri. Barang-barang impor dan pinjaman luar negeri dibayar dari hasil ekspor
daging dan mentega beku. Pada awal tahun 1970-an Selandia Baru mengalami
kemerosotan perekonomian yang sangat drastis, keadaan ini disebabkan oleh
kenaikan harga minyak yang berakibat pada berkurangnya permintaan dunia
terhadap barang-barang primer Selandia Baru dan tersendatnya akses Selandia
Baru ke dalam pasar Inggris setelah terbentuknya Uni Eropa. Beberapa faktor lain
seperti krisis minyak juga turut mempengaruhi kelangsungan perekonomian
Selandia Baru yang selama beberapa periode sebelum tahun 1973 sempat mencapai
tingkat kehidupan standar seperti Australia dan Eropa barat. Akan tetapi seluruh
pencapaian tersebut kemudian tersendat berlarut-larut dalam krisis ekonomi. Di saat
standar hidup Selandia tertinggal dibelakang Australia dan Eropa Barat, negara ini
Efficiency Ratio Of Public Policy In New Zealand Page 1

kemudian pada tahun 1982 dalam survey yang dilakukan oleh Bank Dunia, berada
pada tingkat pendapatan per-kapita terendah diseluruh negara-negara berkembang.
Pada petengahan tahun 1980-an pemerintah berinisiatif membuat program untuk
melakukan perubahan struktur ekonomi untuk dapat bersaing di dalam pasar bebas,
akan tetapi perubahan ini tidak seluruhnya berhasil dalam upaya pemerintah
Selandia Baru untuk mengubah keadaan perekonomian menjadi lebih baik. Dalam
kenyataannya, beberapa sektor ekonomi tidak dapat bersaing dengan negara lain
yang tenaga kerjanya memiliki tingkat pendapatan yang lebih rendah. Industri
kendaraan bermotor dihapuskan, sementara itu banyak industri pakaian dan sepatu
yang memindahkan daerah operasional mereka ke negara yang tenaga kerjanya
lebih murah. Perubahan ini juga berakibat pada kehidupan sosial yang memicu
meningkatnya tingkat pengangguran di negara ini. Sejak tahun 1984, pemerintah
Selandia Baru berhasil melakukan restrukturisasi makroekonomi utama, yang
kemudian merubah negara ini dari negara yang sangat proteksionis menjadi negara
dengan ekonomi liberalis. Perubahan-perubahan ini dikenal sebagai Rogernomics
dan Ruthanasia, yang berasal dari nama dua menteri keuangannya Roger Douglas
dan Ruth Richardson.
Pertanian dan perkebunan sangatlah penting dalam kegiatan perekonomian
Selandia Baru, akan tetapi kegiatan agrikultur ini tidak mendapat subsidi dari
pemerintah karena perubahan sistem dan peraturan perekonomian pada tahun 1980-
an. Selain itu, ikan dan hasil laut lainnya merupakan salah satu hasil ekspor
Selandia Baru meskipun hasil dari sektor ini tidak terlalu mempengaruhi
perkembangan perekonomian negara. Hal yang paling penting dalam kegiatan
perekonomian dan merupakan pemberi kontribusi paling besar bagi berkembangnya
perekonomian Selandia Baru adalah bidang layanan jasa, layanan jasa ini sangat
berperan dalam peningkatan GDP dan pengurangan tingkat pengangguran di negara
ini. Layanan jasa ini mencakup bidang pariwisata, transportasi, pendidikan,
kesehatan, konsultan bisnis, dan juga dalam bidang perbankan.
Pariwisata merupakan salah satu komponen penting dalam bidang pelayanan
jasa ini, 10 persen dari pekerjaan yang ada di Selandia Baru ialah di bidang industri
pariwisata. Hasil tambangnya tidak besar, namun kaya dengan sumber alam hutan.
Industrinya terutama terdiri dari pengolahan produk pertanian, hutan dan
peternakan. Hasil-hasil ini kemudian diekspor. Industrialisasi pertanian di Selandia
Efficiency Ratio Of Public Policy In New Zealand Page 2

Baru sudah terealisasi. Komoditi pertanian terutama adalah gandum dan buah-
buahan. Bahan pangan tak swasembada, perlu diimpor dari Australia. Usaha
peternakannya yang sangat maju merupakan dasar perekonomian. Produk susu dan
daging adalah produk ekspor yang paling utama. Volume ekspor bulu domba
Selandia Baru menempati urutan pertama di dunia, dengan mencapai 25 persen.
Selandia Baru juga kaya dengan hasil perikanan, dan merupakan zona ekonomi
khusus nomor empat di dunia. Lingkungannya segar, iklimnya nyaman,
pemandangannya indah, dan obyek pariwisatanya tersebar di seluruh negeri.
Target ekonomi pemerintah saat ini terpusat pada upaya untuk mendapatkan
perjanjian perdagangan bebas dan pembangunan “pengetahuan ekonomi”. Di tahun
2004, pemerintah Selandia Baru mulai mendiskusikan perjanjian perdagangan bebas
dengan China. Selain itu, tantangan yang dihadapi oleh Selandia Baru adalah defisit
akun yang mencapai 8,2 % dari GDP, lambatnya perkembangan di sektor ekspor
non-komoditas dan perkembangan produktivitas buruh.
Dari uraian diatas Selandia baru merupakan Negara kecil yang sangat
berpotensial sekali. Mereka bisa memakmurkan rakyatnya dengan caranya sendiri.
Bahkan menjadi contoh bagi Negara-negara lain di dunia. Maka dari itu penulis
memilih Selandia baru sebagai Negara dalam pembuatan paper ini.
1.2 Background Of The Case Study Choose (Latar Belakang Memilih Welfare State
(Kebijakan Kesejahteraan Sosial))
Kesejahteraan sosial adalah kondisi sejahtera dari suatu masyarakat.
Kesejahteraan sosial meliputi kesehatan, keadaan ekonomi, kebahagiaan, dan
kualitas hidup rakyat. Kesejahteraan sosial sebagai sistem yang terorganisasi dari
pelayanan-pelayanan dan lembaga-lembaga sosial, yang dirancang untuk mrmbantu
individu-individu dan kelompok-kelompok agar mencapai tingkat hidup dan
kesehatan yang memuaskan. Maksudnya agar tercipta hubungan-hubungan
personal dan sosial yang memberi kesempatan kepada individu-individu
pengembangan kemampuan-kemampuan mereka seluas-luasnya dan meningkatkan
kesejahteraan mereka sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan masyarakat.
Kesejahteraan sosial dapat mencakup semua bentuk intervensi sosial yang
Efficiency Ratio Of Public Policy In New Zealand Page 3

mempunyai suatu perhatian utama dan langsung pada usaha peningkatan
kesejahteraan individu dan masyarakat sebagai keseluruhan. Kesejahteraan sosial
mencakup penyediaan pertolongan dan proses-proses yang secara langsung
berkenaan dengan penyembuhan dan pencegahan masalah-masalah sosial,
pengembangan sumber daya manusia, dan perbaikan kualitas hidup itu meliputi
pelayanan-pelayanan sosial bagi individu-individu dan keluarga-keluarga juga
usaha-usaha untuk memperkuat atau memperbaiki lembaga-lembaga sosial.
Welfare policy atau welfare state merupakan suatu bentuk kebijakan public
dimana pemerintahan berperan menyediakan jaminan kesejahteraan social ekonomi
bagi masyarakat kurang mampu. Negara kesejahteraan sangat erat kaitannya
dengan kebijakan social (social policy) yang di banyak Negara mencakup strategi
dan upaya- upaya pemerintah dalam meningkatkan kesejahteraan warganya,
terutama melalui perlindungan social (sosial protection) yang mencakup jaminan
social (naik berbentuk bantuan social dan asuransi sosial), maupun jaarrngan
penngaman social (social safety nets).
Dalam negara kesejahteraan, pemecahan masalah kesejahteraan sosial,
seperti kemiskinan, pengangguran, ketimpangan dan ketelantaran tidak dilakukan
melalui proyek-proyek sosial parsial yang berjangka pendek. Melainkan diatasi
secara terpadu oleh program-program jaminan sosial (social security), seperti
pelayanan sosial, rehabilitasi sosial, serta berbagai tunjangan pendidikan,
kesehatan, hari tua, dan pengangguran.
Negara kesejahteraan pertama-tama dipraktekkan di Eropa dan AS pada abad 19
yang ditujukan untuk mengubah kapitalisme menjadi lebih manusiawi
(compassionate capitalism). Dengan sistem ini, negara bertugas melindungi
golongan lemah dalam masyarakat dari gilasan mesin kapitalisme.
Hingga saat ini, negara kesejahteraan masih dianut oleh negara maju dan
berkembang. Dilihat dari besarnya anggaran negara untuk jaminan sosial, sistem ini
dapat diurutkan ke dalam empat model, yakni:
Pertama, model universal yang dianut oleh negara-negara Skandinavia, seperti
Swedia, Norwegia, Denmark dan Finlandia. Dalam model ini, pemerintah
menyediakan jaminan sosial kepada semua warga negara secara melembaga dan
merata. Anggaran negara untuk program sosial mencapai lebih dari 60% dari total
belanja negara.
Efficiency Ratio Of Public Policy In New Zealand Page 4

Kedua, model institusional yang dianut oleh Jerman dan Austria. Seperti model
pertama, jaminan sosial dilaksanakan secara melembaga dan luas. Akan tetapi
kontribusi terhadap berbagai skim jaminan sosial berasal dari tiga pihak (payroll
contributions), yakni pemerintah, dunia usaha dan pekerja (buruh).
Ketiga, model residual yang dianut oleh AS, Inggris, Australia dan Selandia
Baru. Jaminan sosial dari pemerintah lebih diutamakan kepada kelompok lemah,
seperti orang miskin, cacat dan penganggur. Pemerintah menyerahkan sebagian
perannya kepada organisasi sosial dan LSM melalui pemberian subsidi bagi
pelayanan sosial dan rehabilitasi sosial “swasta”.
Keempat, model minimal yang dianut oleh gugus negara-negara latin (Prancis,
Spanyol, Yunani, Portugis, Itali, Chile, Brazil) dan Asia (Korea Selatan, Filipina,
Srilanka). Anggaran negara untuk program sosial sangat kecil, di bawah 10 persen
dari total pengeluaran negara. Jaminan sosial dari pemerintah diberikan secara
sporadis, temporer dan minimal yang umumnya hanya diberikan kepada pegawai
negeri dan swasta yang mampu mengiur.
Selandia Baru memang tidak menganut model ideal negara kesejahteraan
seperti di negara-negara Skandinavia. Tetapi, penerapan negara kesejahteraan di
negara ini terbilang maju diantara negara lain yang menganut model residual. Yang
unik, sistem ini tidak berdiri sendiri, melainkan terintegrasi dengan strategi ekonomi
kapitalisme. Sistem jaminan sosial, pelayanan sosial dan bantuan sosial (income
support), misalnya, merupakan bagian dari strategi ekonomi neo liberal dan
kebijakan sosial yang terus dikembangkan selama bertahun-tahun.
1.3 Main Case Study (Kasus Utama yang Akan Dibahas)
Proses perumusan kebijakan sosial dapat dikelompokkan dalam 3 tahap,
yaitu: Tahap Identifikasi, tahap implementasi dan tahap evaluasi. Setiap tahap terdiri
dari beberapa tahapan yang saling terkait.
Identifikasi Masalah dan Kebutuhan Tahap pertama dalam perumusan
kebijakan sosial adalah mengumpul-kan data mengenai permasalahan sosial yang
dialami masyarakat dan mengidentifikasi kebutuhan-kebutuhan masyarakat yang
belum terpenuhi (unmet needs). Analisis Masalah dan Kebutuhan Tahap berikutnya
adalah mengolah, memilah dan memilih data mengenai masalah dan kebutuhan
masyarakat yang selanjutnya dianalisis dan ditransformasikan ke dalam laporan
yang terorganisasi. Informasi yang perlu diketahui antara lain: apa penyebab
Efficiency Ratio Of Public Policy In New Zealand Page 5

masalah dan apa kebutuhan masyarakat? Dampak apa yang mungkin timbul apabila
masalah tidak dipecahkan dan kebutuhan tidak dipenuhi? Siapa dan kelompok mana
yang terkena masalah? Penginformasian Rencana Kebijakan: Berdasarkan laporan
hasil analisis disusunlah rencana kebijakan. Rencana ini kemudian disampaikan
kepada berbagai sub-sistem masyarakat yang terkait dengan isu-isu kebijakan
sosial untuk memperoleh masukan dan tanggapan. Rencana ini dapat pula diajukan
kepada lembaga-lembaga perwakilan rakyat untuk dibahas dan disetujui.
Perumusan masalah merupakan langkah awal dalam pembuatan suatu
kebijakan publik. Menurut William N. Dunn suatu perumusan masalah dapat
memasok pengetahuan yang relevan dengan kebijakan yang mempersoalkan
asumsi-asumsi yang mendasari definisi masalah dan memasuki proses pembuatan
kebijakan melalui penyusunan agenda (agenda setting) (Dunn, 2003: 26). Hal
tersebut menyimpulkan bahwa kebijakan publik dibuat dikarenakan adanya masalah
publik yang terjadi, sehingga permasalahan tersebut dapat diantisipasi dan
mencapai tujuan yang diharapkan.
Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa langkah awal dari
pembuatan kebijakan publik adalah perumusan kebijakan publik dengan menyusun
setiap permasalahan publik yang terjadi seperti suatu agenda.
Merumuskan masalah dapat dikatakan tidaklah mudah karena sifat dari
masalah publik bersifat kompleks. Oleh sebab itu lebih baik dalam merumuskan
masalah mengetahui lebih dulu karakteristik permasalahannya.
Suatu masalah tidak dapat berdiri sendiri oleh sebab itu, selalu ada
keterkaitan antara masalah yang satu dengan yang lain. Sehingga dari hal tersebut
mengharuskan dalam analisis kebijakan untuk menggunakan pendekatan holistik
dalam memecahkan masalah dan dapat mengetahui akar dari permasalahan
tersebut. Masalah kebijakan haruslah bersifat subyektif, dimana masalah tersebut
merupakan hasil dari pemikiran dalam lingkungan tertentu. Ketiga, yaitu suatu
fenomena yang dianggap sebagai masalah karena adanya keinginan manusia untuk
mengubah situasi. Keempat, suatu masalah kebijakan solusinya dapat berubah-
ubah. Maksudnya adalah kebijakan yang sama untuk masalah yang sama belum
tentu solusinya sama, karena mungkin dari waktunya yang berbeda atau
lingkungannya yang berbeda.
Efficiency Ratio Of Public Policy In New Zealand Page 6

1.3.1 Implementasi Kebijakan
Program kebijakan yang telah diambil sebagai alternatif pemecahan masalah
harus diimplementasikan, yakni dilaksanakan oleh badan-badan administrasi
maupun agen-agen pemerintah di tingkat bawah.
Implementasi berkaitan dengan berbagai kegiatan yang diarahkan untuk
merealisasikan program, dimana pada posisi ini eksekutif mengatur cara untuk
mengorganisir. Seorang eksekutif mampu mengatur secara efektif dan efisien
sumber daya, unit-unit dan teknik yang dapat mendukung pelaksanaan program,
serta melakukan interpretasi terhadap perencanaan yang telah dibuat, dan petunjuk
yang dapat diikuti dengan mudah bagi relisasi program yang dilaksanakan. Dunn
mengistilahkan implementasi dengan lebih khusus dengan menyebutnya
implementasi kebijakan (policy implemtation) adalah pelaksanaan pengendalian
aksi-aksi kebijakan di dalam kurun waktu tertentu.
Pengertian di atas dapat disimpulakn bahwa implementasi kebijakan
merupakan pelaksanaan dari pengendalian aksi kebijakan dalam kurun waktu
tertentu.
Implementasi kebijakan berkaitan dengan cara agar kebijakan dapat
mencapai tujuan. Kebijakan publik tersebut diimplementasikan melalui bentuk
program-program serta melalui turunan. Turunan yang dimaksud adalah dengan
melalui proyek intervensi dan kegiatan intervensi. Menurut Darwin terdapat
beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam persiapan proses implementasi yang
perlu dilakukan, setidaknya terdapat empat hal penting dalam proses implementasi
kebijakan, yaitu pendayagunaan sumber, pelibatan orang atau sekelompok orang
dalam implementasi, interpretasi, manajemen program, dan penyediaan layanan dan
manfaat pada publik.
Tahap Evaluasi Kebijakan kesejahteraan sosial di Selandia Baru meliputi :
Evaluasi dan Tindak Lanjut: Evaluasi dilakukan baik terhadap proses maupun hasil
implementasi kebijakan. Penilaian terhadap proses kebijakan difokuskan pada
tahapan perumusan kebijakan, terutama untuk melihat keterpaduan antar tahapan,
serta sejauhmana program dan pelayanan sosial mengikuti garis kebijakan yang
telah ditetapkan. Penilaian terhadap hasil dilakukan untuk melihat pengaruh atau
dampak kebijakan, sejauh mana kebijakan mampu mengurangi atau mengatasi
Efficiency Ratio Of Public Policy In New Zealand Page 7

masalah. Berdasarkan evaluasi ini, dirumuskanlah kelebihan dan kekurangan
kebijakan yang akan dijadikan masukan bagi penyempurnaan kebijakan berikutnya
atau permusan kebijakan baru.
Penerapan negara kesejahteraan di Selandia Baru dimulai sejak tahun 1930,
ketika negara ini mengalami krisis ekonomi luar biasa. Saat itu tingkat
pengangguran sangat tinggi, kerusuhan memuncak dan kemiskinan menyebar di
mana-mana. Kemudian sejarah mencatat, negara ini keluar dari krisis dan menjadi
negara adil-makmur berkat keberanian Michael Joseph Savage, pemimpin partai
buruh yang kemudian menjadi perdana menteri tahun 1935, menerapkan negara
kesejahteraan yang masih dianut hingga kini. Sebagaimana diabadikan oleh Baset,
Sinclair dan Stenson (1995:171): “The main achievement of Savage’s government
was to improve the lives of ordinary families. They did this so completely that New
Zealanders changed their ideas about what an average level of comfort and security
should be.”
Liberalisasi ekonomi dan mekanisme pasar bebas yang menghasilkan
pertumbuhan ekonomi tidak mengurangi peran negara dalam pembangunan
kesejahteraan sosial. Sebagai contoh, sejak tahun 1980 Selandia Baru menjalankan
privatisasi dan restrukturisasi organisasi pemerintahan. Namun negara ini tetap
memiliki lembaga setingkat departemen (ministry of social welfare) yang mengatur
urusan sosial.
Anggaran untuk jaminan dan pelayanan sosial juga cukup besar, mencapai
36% dari seluruh total pengeluaran negara, melebihi anggaran untuk pendidikan,
kesehatan maupun Hankam (Donald T. Brash, 1998). Setiap orang dapat
memperoleh jaminan hari tua tanpa membedakan apakah ia pegawai negeri atau
swasta. Orang cacat dan penganggur selain menerima social benefit sekitar NZ$400
setiap dua minggu (fortnightly), juga memperoleh pelatihan dalam pusat-pusat
rehabilitasi sosial yang profesional.
Efficiency Ratio Of Public Policy In New Zealand Page 8

CHAPTER II
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Brief Overview Of Policy Theory (Sekilas Tentang Teori Kesejahteraan Sosial)
2.1.1 Defenisi Kesejahteraan Sosial
Kesejahteraan sosial dalam artian yang sangat luas mencakup berbagai
tindakan yang dilakukan manusia untuk mencapai tingkat kehidupan masyarakat
yang baik.
Walter A. Friedlander, mengutarakan bahwa konsep dan istilah
kesejahteraan sosial dalam pengertian program yang ilmiah baru saja
dikembangkan sehubungan dengan masalah sosial dari pada masyarakat kita yang
industrial. Kemiskinan, kesehatan yang buruk, penderitaan dan disorganisasi sosial
telah ada dalam sejarah kehidupan umat manusia, namun masyarakat yang
industrial dari abad ke 19 dan 20 ini menghadapi begitu banyak masalah social
sehingga lembaga-lembaga insani yang sama seperti keluarga, ketetanggaan,
gereja, dan masyarakat setempat tidak mampu lagi mengatasinya secara memadai.
Berikut ini beberapa defenisi yang menjelaskan arti kesejahteraan sosial, W.A
Friedlander mendefenisikan: “Kesejahteraan sosial adalah sistem yang terorganisir
dari usaha-usaha dan lembaga-lembaga sosial yang ditujukan untuk membantu
individu maupun kelompok dalam mencapai standar hidup dan kesehatan yang
memuaskan serta untuk mencapai relasi perseorangan dan sosial yang dapat
Efficiency Ratio Of Public Policy In New Zealand Page 9

memungkinkan mereka mengembangkan kemampuan-kemampuannya secara
penuh untuk mempertinggi kesejahteraan mereka selaras dengan kebutuhan-
kebutuhan keluarga dan masyarakat”.
Defenisi di atas menjelaskan:
1. Konsep kesejahteraan sosial sebagai suatu sistem atau “organized system” yang
berintikan lembaga-lembaga dan pelayanan sosial.
2. Tujuan sistem tersebut adalah untuk mencapai tingkat kehidupan yang sejahtera
dalam arti tingkat kebutuhan pokok seperti sandang, pangan, papan, kesehatan dan
juga relasi-relasi sosial dengan lingkungannya.
3. Tujuan tersebut dapat dicapai dengan cara, meningkatkan “kemampuan individu”
baik dalam memecahkan masalahnya maupun dalam memenuhi kebutuhannya.
Dalam Kamus Ilmu Kesejahteraan Sosial disebutkan pula :
“Kesejahteraan Sosial merupakan keadaan sejahtera yang meliputi keadaan
jasmaniah, rohaniah dan sosial tertentu saja. Bonnum Commune atau Kesejahteraan
sosial adalah kesejahteraan yang menyangkut keseluruhan syarat,sosial yang
memungkinkan dan mempermudah manusia dalam memperkembangkan
kepribadiannya secara sempurna”
2.2 Policy Proces (Proses Kebijakan)
Suatu kebijakan itu tidak lahir dengan sendirinya, akan tetapi memerlukan
proses yang tidak sederhana, proses kebijakan publik meliputi beberapa hal
berikut :
a. Identifikasi masalah kebijakan (identification of policy problem)
Identifikasi masalah dapat dilakukan melalui identifikasi apa yang menjadi tuntutan
(demands) atas tindakan pemerintah.
b. Penyusunan agenda (agenda setting) Merupakan aktifitas memfokuskan perhatian
pada pejabat publik dan media massa atas keputusan apa yang akan diputuskan
terhadap masalah publik tertentu.
c. Perumusan kebijakan (policy formulation)
Merupakan suatu tahapan pengusulan rumusan kebijakan melalui inisiasi dan
penyusunan usulan kebijkan melalui organisasi perencanaan kebijkan, kelompok
kepentingan, birokrasi pemerintah, presiden dan lembaga legislatif.
d. Pengesahan kebijakan (legitimating of policies)
Melalui tindakan politik oleh partai politik, kelompok penekan, presiden, kongres.
Efficiency Ratio Of Public Policy In New Zealand Page 10

e. Implementasi kebijakan (policy implementation)
Dilakukan melalui birokrasi, anggaran publik, dan aktivitas agen eksekutif yang
terorganisasi.
f. Evaluasi kebijakan (policy evaluation)
Dilakukan oleh lembaga pemerintah sendiri, konsultan di luar pemerintah, pers dan
masyarakat (publik).
Tahap-tahap kebijakan publik menurut William Dunn yaitu:
a. Penyusunan Agenda
Para pejabat yang dipilih dan diangkat menempatkan masalah pada agenda publik.
Sebelumnya masalah-masalah ini berkompetisi terlebih dahulu untuk dapat masuk
ke dalam agenda kebijakan. Pada akhirnya, beberapa masalah masuk keagenda
kebijakan para perumus kebijakan. Pada tahap ini suatu masalah mugkin
tidak disentuh sama sekali, sementara masalah yang lain ditetapkan menjadi fokus
pembahasan, atau ada pula masalah karena alasanalasan tertentu ditunda untuk
waktu yang lama.
b. Formulasi Kebijakan
Masalah yang telah masuk keagenda kebijakan kemudian dibahas oleh para
pembuat kebijakan. Masalah-masalah tadi didefinisikan untuk kemudian dicari
pemecahan masalah terbaik. Pemecahan masalah tersebut berasal dari berbagai
alternatif atau pilihan kebijakan (policy alternatives/policy options) yang ada. Sama
halnya dengan perjuangan suatu masalah untuk masuk ke dalam agenda kebijakan,
pada tahap perumusan kebijakan masing-masing alternatif bersaing untuk dapat
dipilih sebagai kebijakan yang diambil untuk memecahkan masalah. Pada tahap ini,
masing-masing aktor akan “bermain” untuk mengusulkan pemecahan masalah
terbaik.
c. Adopsi kebijakan
Dari sekian banyak alternatif kebijakan yang ditawarkan oleh para perumus
kebijakan, pada akhirnya salah satu dari alternatif kebijakan tersebut diadopsi
dengan dukungan dari mayoritas legislatif, konsensus antara direktur lembaga atau
keputusan peradilan.
d. Implementasi kebijakan
Suatu program kebijakan hanya akan menjadi catatan-catatan elite, jika program
tersebut tidak di implementasikan. Oleh karena itu, keputusan program kebijakan
Efficiency Ratio Of Public Policy In New Zealand Page 11

yang telah diambil sebagai alternatif pemecahan masalah harus diimplementasikan,
yakni dilaksanakan oleh badan-badan administrasi maupun agen-agen pemerintah
di tingkat bawah. Kebijakan yang telah diambil dilaksanakan oleh unit-unit
administrasi yang memobilisasikan sumber daya finansial dan manusia. Pada tahap
implementasi ini berbagai kepentingan bersaing
e. Evaluasi kebijakan
Pada tahap ini kebijakan yang telah dijalankan akan dinilai atau dievaluasi, untuk
melihat sejauh mana kebijakan yang dibuat telah mampu memecahkan masalah.
Kebijakan publik pada dasarnya dibuat untuk meraih dampak yang diinginkan.
Dalam hal ini, memecahkan masalah yang dihadapi masyarakat. Oleh karena
itu, ditentukanlah ukuran-ukuran atau kriteria-kriteria yang menjadi dasar untuk
menilai apakah kebijakan publik telah meraih dampak yang diinginkan.
2.3 Efficiency Ratio Of Policy (Effisensi Rasio Kebijakan)
Efektivitas dan efisiensi sangatlah berhubungan. Efisiensi (efficiency)
berkenaan dengan jumlah usaha yang diperlukan untuk menghasilkan tingkat
efektivitas tertentu. Efisiensi yang merupakan sinonim dari rasionalitas ekonomi,
adalah merupakan hubungan antara efektivitas dan usaha, yang terakhir umumnya
diukur dari ongkos moneter. Efisiensi biasanya ditentukan melalui perhitungan
biaya per unit produk atau layanan. Kebijakan yang mencapai efektivitas tertinggi
dengan biaya terkecil dinamakan efisien.
Apabila sasaran yang ingin dicapai oleh suatu kebijakan publik ternyata
sangat sederhana sedangkan biaya yang dikeluarkan melalui proses kebijakan
terlampau besar dibandingkan dengan hasil yang dicapai. Ini berarti kegiatan
kebijakan telah melakukan pemborosan dan tidak layak untuk dilaksanakan.
2.4 Analysis (Analisis)
2.4.1 Efektivitas
Efektivitas berasal dari kata efektif yang mengandung pengertian dicapainya
keberhasilan dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Efektivitas disebut juga
hasil guna. Efektivitas selalu terkait dengan hubungan antara hasil yang diharapkan
dengan hasil yang sesungguhnya dicapai. Seperti yang dikemukakan oleh Arthur G.
Gedeian dkk dalam bukunya Organization Theory and Design yang mendefinisikan
efektivitas adalah That is, the greater the extent it which an organization`s goals are
Efficiency Ratio Of Public Policy In New Zealand Page 12

met or surpassed, the greater its effectiveness (Semakin besar pencapaian tujuan-
tujuan organisasi semakin besar efektivitas) (Gedeian, 1991:61).
Berdasarkan pendapat di atas, bahwa apabila pencapaian tujuan-tujuan
daripada organisasi semakin besar, maka semakin besar pula efektivitasnya.
Pengertian tersebut dapat disimpulkan adanya pencapaian tujuan yang besar
daripada organisasi, maka makin besar pula hasil yang akan dicapai dari tujuan-
tujuan tersebut. William N. Dunn dalam bukunya yang berjudul Pengantar Analisis
Kebijakan Publik: Edisi Kedua, menyatakan bahwa:
“Efektivitas (effectiveness) berkenaan dengan apakah suatu alternative
mencapai hasil (akibat) yang diharapkan, atau mencapai tujuan dari diadakannya
tindakan. Yang secara dekat berhubungan dengan rasionalitas teknis, selalu diukur
dari unit produk atau layanan atau nilai moneternya” (Dunn, 2003:429).
Apabila setelah pelaksanaan kegiatan kebijakan publik ternyata dampaknya
tidak mampu memecahkan permasalahan yang tengah dihadapi masyarakat, maka
dapat dikatakan bahwa suatu kegiatan kebijakan tersebut telah gagal, tetapi
adakalanya suatu kebijakan publik hasilnya tidak langsung efektif dalam jangka
pendek, akan tetapi setelah melalui proses tertentu. Menurut pendapat Mahmudi
dalam bukunya Manajemen Kinerja Sektor Publik mendefinisikan efektivitas
merupakan hubungan antara output dengan tujuan, semakin besar kontribusi
(sumbangan) output terhadap pencapaian tujuan, maka semakin efektif organisasi,
program atau kegiatan” (Mahmudi, 2005:92). Ditinjau dari segi pengertian efektivitas
usaha tersebut, maka dapat diartikan bahwa efektivitas adalah sejauhmana dapat
mencapai tujuan pada waktu yang tepat dalam pelaksanaan tugas pokok, kualitas
produk yang dihasilkan dan perkembangan. Pendapat lain juga dinyatakan oleh
Susanto, yaitu: “efektivitas merupakan daya pesan untuk mempengaruhi atau
tingkat kemampuan pesan-pesan untuk mempengaruhi” (Susanto, 1975:156).
Berdasarkan definisi tersebut, peneliti beranggapan bahwa efektivitas bisa tercipta
jika pesan yang disampaikan dapat mempengaruhi khalayak yang diterpanya.
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa ukuran daripada
efektivitas diharuskan adanya suatu perbandingan antara masukan dan keluaran.
Ukuran daripada efektivitas mesti adanya tingkat kepuasan dan adanya penciptaan
hubungan kerja yang kondusif serta intensitas yang tinggi. Artinya ukuran daripada
Efficiency Ratio Of Public Policy In New Zealand Page 13

efektivitas adalah adanya keadaan rasa saling memiliki dengan tingkatan yang
tinggi.
Sehubungan dengan hal-hal yang dikemukakan di atas, maka ukuran
efektivitas merupakan suatu standar akan terpenuhinya mengenai sasaran dan
tujuan yang akan dicapai. Selain itu, menunjukan pada tingkat sejauh mana
organisasi, program atau melaksanakan fungsi-fungsinya secara optimal.
2.4.2 Kecukupan
Kecukupan dalam kebijakan publik dapat dikatakan tujuan yang telah
dicapai sudah dirasakan mencukupi dalam berbagai hal. William N. Dunn
mengemukakan bahwa kecukupan (adequacy) berkenaan dengan seberapa jauh
suatu tingkat efektivitas memuaskan kebutuhan, nilai, atau kesempatan yang
menumbuhkan adanya masalah (Dunn, 2003:430). Dari pengertian di atas dapat
disimpulkan bahwa kecukupan masih berhubungan dengan efektivitas dengan
mengukur atau memprediksi seberapa jauh alternatif yang ada dapat memuaskan
kebutuhan, nilai atau kesempatan dalam menyelesaikan masalah yang terjadi.
Hal ini, dalam kriteria kecukupan menekankan pada kuatnya hubungan antara
alternatif kebijakan dan hasil yang diharapkan.
Sebelum suatu produk kebijakan disahkan dan dilaksanakan harus ada
analisis kesesuaian metoda yang akan dilaksanakan dengan sasaran yang akan
dicapai, apakah caranya sudah benar atau menyalahi aturan atau teknis
pelaksanaannya yang benar.
2.4.3 Perataan
Perataan dalam kebijakan publik dapat dikatakan mempunyai arti dengan
keadilan yang diberikan dan diperoleh sasaran kebijakan publik. William N. Dunn
menyatakan bahwa kriteria kesamaan (equity) erat berhubungan dengan rasionalitas
legal dan sosial dan menunjuk pada distribusi akibat dan usaha antara kelompok-
kelompok yang berbeda dalam masyarakat (Dunn, 2003:434). Kebijakan yang
berorientasi pada perataan adalah kebijakan yang akibatnya atau usaha secara adil
didistribusikan. Suatu program tertentu mungkin dapat efektif, efisien, dan
mencukupi apabila biaya-manfaat merata. Kunci dari perataan yaitu keadilan atau
kewajaran.
Seberapa jauh suatu kebijakan dapat memaksimalkan kesejahteraan sosial dapat
dicari melalui beberapa cara, yaitu:
Efficiency Ratio Of Public Policy In New Zealand Page 14

Memaksimalkan kesejahteraan individu. Analis dapat berusaha untuk
memaksimalkan kesejahteraan individu secara simultan. Hal ini menuntut agar
peringkat preferensi transitif tunggal dikonstruksikan berdasarkan nilai semua
individu.
Peningkatan kesejahteraan sebagian orang dan pada saat yang sama
melindungi posisi orang-orang yang dirugikan (worst off). Pendekatan ini
didasarkan pada kriteria Pareto yang menyatakan bahwa suatu keadaan sosial
dikatakan lebih baik dari yang lainnya jika paling tidak ada satu orang yang
diuntungkan dan tidak ada satu orangpun yang dirugikan. Pareto ortimum adalah
suatu keadaan sosial dimana tidak mungkin membuat satu orang diuntungkan
(better off) tanpa membuat yang lain dirugikan (worse off).
Memaksimalkan kesejahteraan bersih. Di sini analisis berusaha
meningkatkan kesejahteraan bersih tetapi mengasumsikan bahwa perolehan yang
dihasilkan dapat digunakan untuk mengganti bagian yang hilang. Pendekatan ini
didasarkan pada kriteria Kaldor-Hicks: Suatu keadaan sosial lebih baik dari yang
lainnya jika terdapat perolehan bersih dalam efisiensi dan jika mereka yang
memperoleh dapat menggantikan mereka yang kehilangan. Untuk tujuan praktis
kriteria yang tidak mensyaratkan bahwa yang kehilangan secara nyata memperoleh
kompensasi ini, mengabaikan isu perataan.
Memaksimalkan kesejahteraan redistributif. Di sini analis berusaha
memaksimalkan manfaat redistributif untuk kelompok-kelompok yang terpilih,
misalnya mereka yang secara rasial tertekan, miskin atau sakit. Salah satu kriteria
redistributif dirumuskan oleh filosof John Rawls: Suatu situasi sosial dikatakan
lebih baik dari lainnya jika menghasilkan pencapaian kesejahteraan anggota-
anggota masyarakat yang dirugikan (worst off).
(Dunn, 2003: 435-436)
Pelaksanaan kebijakan haruslah bersifat adil dalam arti semua sektor dan
dari segi lapisan masyarakat harus sama-sama dapat menikmati hasil kebijakan.
Karena pelayanan publik merupakan pelayanan dari birokrasi untuk masyarakat
dalam memenuhi kegiatan masyarakat baik secara langsung maupun tidak
langsung. Pelayanan publik sendiri menghasilkan jasa publik.
2.4.5 Responsivitas
Efficiency Ratio Of Public Policy In New Zealand Page 15

Responsivitas dalam kebijakan publik dapat diartikan sebagai respon dari
suatu aktivitas. Yang berarti tanggapan sasaran kebijakan publik atas penerapan
suatu kebijakan. Menurut William N. Dunn menyatakan bahwa responsivitas
(responsiveness) berkenaan dengan seberapa jauh suatu kebijakan dapat
memuaskan kebutuhan, preferensi, atau nilai kelompok-kelompok masyarakat
tertentu (Dunn, 2003:437). Suatu keberhasilan kebijakan dapat dilihat melalui
tanggapan masyarakat yang menanggapi pelaksanaan setelah terlebih dahulu
memprediksi pengaruh yang akan terjadi jika suatu kebijakan akan dilaksanakan,
juga tanggapan masyarakat setelah dampak kebijakan sudah mulai dapat dirasakan
dalam bentuk yang positif berupa dukungan ataupun wujud yang negatif berupa
penolakan.
Dunn pun mengemukakan bahwa:
“Kriteria responsivitas adalah penting karena analisis yang dapat memuaskan
semua kriteria lainnya (efektivitas, efisiensi, kecukupan, kesamaan) masih gagal jika
belum menanggapi kebutuhan aktual dari kelompok yang semestinya diuntungkan
dari adanya suatu kebijakan” (Dunn, 2003:437).
Oleh karena itu, kriteria responsivitas cerminan nyata kebutuhan, preferensi, dan
nilai dari kelompok-kelompok tertentu terhadap kriteria efektivitas, efisiensi,
kecukupan, dan kesamaan.
2.4.6 Ketepatan
Ketepatan merujuk pada nilai atau harga dari tujuan program dan pada
kuatnya asumsi yang melandasi tujuan-tujuan tersebut. Artinya ketepatan dapat diisi
oleh indikator keberhasilan kebijakan lainnya (bila ada). Misalnya dampak lain yang
tidak mampu diprediksi sebelumnya baik dampak tak terduga secara positif maupun
negatif atau dimungkinkan alternatif lain yang dirasakan lebih baik dari suatu
pelaksanaan kebijakan sehingga kebijakan bisa lebih dapat bergerak secara lebih
dinamis
2.5 Matrix
Policy Matrix
N
o
Content Condition Conclution
Efficiency Ratio Of Public Policy In New Zealand Page 16

1 Agenda setting Fact & real Well setted
2 Policy
Formulating
Proactive Well
formulated
3 Policy
Coordinanting
Easy
coordinating
Well
coordinated
4 Policy
Implementing
Easy
implementing
Well
implemente
d
5 Policy Output &
Outcome
Problem solving Well
conditioned
6 Policy Burdening Belong to the
people
Free
7 Policy
Responsives
Quick response Well
responsive
8 Policy Efficiency Efficiency Well
efficiened
9 Policy Effectives Acceptable by
people
Well
effectived
1
0
Policy Quickly Good policy Well policed
Efficiency Ratio Of Public Policy In New Zealand Page 17

BAB III
PENUTUP
3.1 Fact Finding (Temuan Menarik)
Selandia Baru menganut model Kesejateraan sosian residual. Jaminan sosial
dari pemerintah lebih diutamakan kepada kelompok lemah, seperti orang miskin,
cacat dan penganggur. Pemerintah menyerahkan sebagian perannya kepada
organisasi sosial dan LSM melalui pemberian subsidi bagi pelayanan sosial dan
rehabilitasi sosial “swasta”.
Selandia Baru memang tidak menganut model ideal negara kesejahteraan
seperti di negara-negara Skandinavia. Tetapi, penerapan negara kesejahteraan di
negara ini terbilang maju diantara negara lain yang menganut model residual. Yang
unik, sistem ini tidak berdiri sendiri, melainkan terintegrasi dengan strategi ekonomi
kapitalisme. Sistem jaminan sosial, pelayanan sosial dan bantuan sosial (income
support), misalnya, merupakan bagian dari strategi ekonomi neo liberal dan
kebijakan sosial yang terus dikembangkan selama bertahun-tahun.
3.2 Conclution (Kesimpulan)
Proses perumusan kebijakan sosial dapat dikelompokkan dalam 3 tahap,
yaitu: Tahap Identifikasi, tahap implementasi dan tahap evaluasi. Setiap tahap terdiri
dari beberapa tahapan yang saling terkait.
Ukuran efektivitas Kebijakan sosial di New Zealand merupakan suatu standar
akan terpenuhinya mengenai sasaran dan tujuan yang akan dicapai. Selain itu,
menunjukan pada tingkat sejauh mana organisasi, program atau melaksanakan
fungsi-fungsinya secara optimal.
3.3 Recommendation (Rekomendasi)
Perumusan dan pelaksanaan kebijakan sosial di New Zealand sudah berjalan
secar baik. Dalam perumusan kebijakan pemerintah melibatkan masyarakat dan
kebijakan tersebut juga diterima baik oleh masyarakat. Sehingga masyarakat tidak
mampu di New Zealand sangat sedikit sekali karena pemerintah berrhasil
menjalankan kebijakan tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Efficiency Ratio Of Public Policy In New Zealand Page 18

Arthur G. Gedeian.1991.Organization Theory and Design.
William N. Dunn.2003.Pengantar Analisis Kebijakan Publik.
Aditya Teguh. 2012.Negara Kesejahteraan dan Pembangunan Kesejahteraan Sosial,
(Online) http://blogs.unpad.ac.id/ , diakses pada hari Senin 26 Maret 2012 pukul
13.00 WIB
Anonym.2012.Out Of Date Background New Zealand. (Online)
http://www.state.gov/ , diakses pada hari Senin 26 Maret 2012 pukul 13.15 WIB
Anonim.2012. gambar Tempat wisata di New Zealand. (Online)
http://www.google.com, diakses pada hari Senin 2 April 2012 pukul 13.00 WIB
Mohammed Ijal.2011.Welfare State. (Online) http://ijalmohammed.blogspot.com/ ,
diakses pada hari Selasa 27 Maret 2012 pukul 15.00 WIB
Nando.2008.Diplomasi politik Luar Negeri Selandia Baru. (Online)
http://newzeanando.wordpress.com/ , diakses pada hari Rabu 28 Maret 2012 pukul
10.00 WIB
Suharto Edi. Welfare State dan Pembangunan Kesejahteraan Sosial. (Online)
http://www.policy.hu/ , diakses pada hari Kamis 29 Maret 2012 pukul 10.00 WIB
Microsoft ® Encarta ® 2009. © 1993-2008 Microsoft Corporation. All rights reserved
LAMPIRAN
DAFTAR TABEL
Efficiency Ratio Of Public Policy In New Zealand Page 19

New Zealand Facts and Figures
Basic Facts
Official name New Zealand
Capital Wellington
Area 270,534 sq km
104,454 sq mi
People
Population 4,154,311 (2008 estimate)
Population growth
Population growth rate 0.91 percent (2008 estimate)
Projected population in 2025 4,672,537 (2025 estimate)
Projected population in 2050 4,842,397 (2050 estimate)
Population density 16 persons per sq km (2008 estimate)
40 persons per sq mi (2008 estimate)
Efficiency Ratio Of Public Policy In New Zealand Page 20

Urban/rural distribution
Share urban 86 percent (2005 estimate)
Share rural 14 percent (2005 estimate)
Largest cities, with population
Auckland 404,658 (2006)
Wellington 370,100 (2005 estimate)
Christchurch 367,800 (2005 estimate)
Hamilton 185,100 (2005 estimate)
Dunedin 114,800 (2005 estimate)
Ethnic groups
European 75 percent
Maori 15 percent
Efficiency Ratio Of Public Policy In New Zealand Page 21

Pacific Islander 5 percent
Other (including Asian) 5 percent
Languages
English (official), Maori (official), Polynesian languages
Religious affiliations
Protestant 24 percent
Anglican 21 percent
Roman Catholic 13 percent
Buddhist 1 percent
Nonreligious 13 percent
Other (including Jewish and Hindu) 28 percent
Efficiency Ratio Of Public Policy In New Zealand Page 22

Health and Education
Life expectancy
Total 79.1 years (2008 estimate)
Female 82.2 years (2008 estimate)
Male 76.1 years (2008 estimate)
Infant mortality rate 6 deaths per 1,000 live births (2008
estimate)
Population per physician 449 people (2004)
Population per hospital bed 164 people (2002)
Literacy rate
Total 99 percent (1995)
Female Not available
Male Not available
Efficiency Ratio Of Public Policy In New Zealand Page 23

Education expenditure as a share of gross
national product (GNP)
7.1 percent (2002-2003)
Number of years of compulsory schooling 12 years (2002-2003)
Number of students per teacher, primary
school
18 students per teacher (2002-2003)
Government
Form of government Parliamentary democracy
Head of state Governor-general, representing the
British monarch
Head of government Prime minister
Legislature Unicameral legislature
House of Representatives: 120
members
Voting qualifications Universal at age 18
Constitution
No written constitution; political system closely modeled on that of the United
Efficiency Ratio Of Public Policy In New Zealand Page 24

Kingdom.
Highest court Court of Appeal
Armed forces Army, Navy, Air Force
Total number of military personnel 8,660 (2004)
Military expenditures as a share of gross
domestic product (GDP)
1.5 percent (2003)
First-level political divisions 12 regions and 4 unitary authorities
Economy
Gross domestic product (GDP, in U.S.$) $105 billion (2006)
GDP per capita (U.S.$) $24,977 (2006)
GDP by economic sector
Agriculture, forestry, fishing 9.4 percent (2001)
Industry 24.9 percent (2001)
Services 65.7 percent (2001)
Efficiency Ratio Of Public Policy In New Zealand Page 25

Employment
Number of workers 2,219,464 (2006)
Workforce share of economic sector
Agriculture, forestry, fishing 7 percent (2005)
Industry 22 percent (2005)
Services 71 percent (2005)
Unemployment rate 3.9 percent (2004)
National budget (U.S.$)
Total revenue $41.35 billion (2006)
Total expenditure $35.23 billion (2006)
Efficiency Ratio Of Public Policy In New Zealand Page 26

Monetary unit
1 New Zealand dollar ($NZ), consisting of 100 cents
Agriculture
Wool, barley, wheat, maize, oats, fruits and vegetables, livestock
Mining
Coal, petroleum and natural gas, gold, iron ore, bentonite, silica sand
Manufacturing
Meat and dairy products, paper and paper products, chemicals, metal products,
machinery, clothing, lumber, motor vehicles, electrical machinery, refined
petroleum, printed materials
Major exports
Dairy products, wool, fish, meat, fruit and vegetables
Major imports
Manufactured goods, heavy machinery, petroleum, chemicals, iron and steel, plastic
materials, textiles
Major trade partners for exports
Australia, United States, Japan, United Kingdom, and South Korea
Efficiency Ratio Of Public Policy In New Zealand Page 27

Major trade partners for imports
Australia, United States, Japan, China, and Germany
Energy, Communications, and Transportation
Electricity production
Electricity from thermal sources 31.06 percent (2003 estimate)
Electricity from hydroelectric sources 59.14 percent (2003 estimate)
Electricity from nuclear sources 0 percent (2003 estimate)
Electricity from geothermal, solar, and wind
sources
9.79 percent (2003 estimate)
Number of radios per 1,000 people 997 (1997)
Number of telephones per 1,000 people 422 (2005)
Number of televisions per 1,000 people 541 (2000 estimate)
Number of Internet hosts per 10,000 people 1,183 (2003)
Daily newspaper circulation per 1,000 people 362 (2000)
Efficiency Ratio Of Public Policy In New Zealand Page 28

Number of motor vehicles per 1,000 people 701 (2004)
Paved road as a share of total roads 64 percent (2003)
Sources
Basic Facts and People sections
Area data are from the statistical bureaus of individual countries. Population,
population growth rate, and population projections are from the United States
Census Bureau, International Programs Center, International Data Base (IDB)
(www.census.gov). Urban and rural population data are from the Food and
Agriculture Organization (FAO) of the United Nations (UN), FAOSTAT database
(www.fao.org). Largest cities population data and political divisions data are from
the statistical bureaus of individual countries. Ethnic divisions and religion data are
largely from the latest Central Intelligence Agency (CIA) World Factbook and from
various country censuses and reports. Language data are largely from the
Ethnologue, Languages of the World, Summer Institute of Linguistics International
(www.sil.org).
Health and Education section
Life expectancy and infant mortality data are from the United States Census Bureau,
International Programs Center, International database (IDB) (www.census.gov).
Population per physician and population per hospital bed data are from the World
Health Organization (WHO) (www.who.int). Education data are from the United
Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO) database
(www.unesco.org).
Government section
Government, independence, legislature, constitution, highest court, and voting
qualifications data are largely from various government Web sites, the latest Europa
World Yearbook, and the latest Central Intelligence Agency (CIA) World Factbook.
Efficiency Ratio Of Public Policy In New Zealand Page 29

The armed forces data is from Military Balance.
Economy section
Gross domestic product (GDP), GDP per capita, GDP by economic sectors,
employment, and national budget data are from the World Bank database
(www.worldbank.org). Monetary unit, agriculture, mining, manufacturing, exports,
imports, and major trade partner information is from the statistical bureaus of
individual countries, latest Europa World Yearbook, and various United Nations and
International Monetary Fund (IMF) publications.
Energy, Communication, and Transportation section
Electricity information is from the Energy Information Administration (EIA) database
(www.eia.doe.gov). Radio, telephone, television, and newspaper information is from
the United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO)
database (www.unesco.org). Internet hosts, motor vehicles, and road data are from
the World Bank database (www.worldbank.org).
Note
Figures may not total 100 percent due to rounding.
.
Efficiency Ratio Of Public Policy In New Zealand Page 30

DAFTAR GAMBAR
Panorama alam di New Zealand
Salah satu tempat wisata di
New Zealand
Efficiency Ratio Of Public Policy In New Zealand Page 31

Pertanian dan Peternakan di New Zealand
Salah satu hasil pertanian yang menjadi ciri
khas dari New Zealand yaitu buah Kiwi.
Hasil Peternakan yang paling terkenal di
New Zealand adalah daging sapi, domba
dan Susu sapi.
Efficiency Ratio Of Public Policy In New Zealand Page 32