LAPORAN KASUS DOKTER JAGA RUANGAN RS GRAND MEDISTRA - CHF fc IV ec CAD + CKD stage IV + DM type 2
Paper Kardio CHF Ec CAD
description
Transcript of Paper Kardio CHF Ec CAD
LAPORAN KASUS
GAGAL JANTUNG KONGESTIF KARENA PENYAKIT ARTERI KORONER
Disusun oleh:
Primanto Tantiono 100100124
Parastika Wisesa Dabungke 100100256
Pembimbing:
dr. Nora C Hutajulu Sp,JP (K)
DEPARTEMEN KARDIOLOGI & KEDOKTERAN VASKULAR
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
2 0 1 4
ii
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, yang telah memberikan
berkat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan kasus ini
dengan judul “Gagal Jantung Kongestif karena Penyakit Arteri Koroner”.
Penulisan laporan kasus ini adalah salah satu syarat untuk menyelesaikan
Kepaniteraan Klinik Senior Program Pendidikan Profesi Dokter di Departemen
Kardiologi & Kedokteran Vaskular, Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera
Utara.
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada dosen
pembimbing, dr. Nora C Hutajulu Sp.JP (K) yang telah meluangkan waktunya
dan memberikan banyak masukan dalam penyusunan laporan kasus ini sehingga
penulis dapat menyelesaikan tepat pada waktunya.
Penulis menyadari bahwa penulisan laporan kasus ini masih jauh dari
kesempurnaan, baik isi maupun susunan bahasanya, untuk itu penulis
mengharapkan saran dan kritik dari pembaca sebagai koreksi dalam penulisan
laporan kasus selanjutnya. Semoga makalah laporan kasus ini bermanfaat, akhir
kata penulis mengucapkan terima kasih.
Medan, 14 Oktober 2014
Penulis
iii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL..................................................................................... i
KATA PENGANTAR.................................................................................. ii
DAFTAR ISI................................................................................................. iii
BAB I PENDAHULUAN............................................................................. 1
1.1 Latar Belakang............................................................................. 1
1.2 Tujuan Penulisan......................................................................... 2
1.3 Manfaat Penulisan....................................................................... 2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA.................................................................. 3
2.1 Gagal Jantung Kongestif............................................................. 3
2.1.1 Definisi............................................................................... 3
2.1.2 Etiologi dan Faktor Risiko................................................. 4
2.1.3 Patofisiologi....................................................................... 5
2.1.4 Diagnosis............................................................................ 7
2.1.5 Tatalaksana......................................................................... 11
2.2 Penyakit Arteri Koroner.............................................................. 14
2.2.1 Definisi............................................................................... 14
2.2.2 Etiologi dan Faktor Risiko................................................. 15
2.2.3 Gagal Jantung karena Penyakit Jantung Hipertensi........... 16
2.2.4 Tatalaksana......................................................................... 17
BAB III LAPORAN KASUS....................................................................... 20
DISKUSI KASUS......................................................................................... 28
LAMPIRAN.................................................................................................. 30
DAFTAR PUSTAKA................................................................................... 33
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Penyakit kardiovaskular merupakan penyebab kematian paling sering di
seluruh belahan dunia. Sebelum tahun 1900, penyakit infeksi dan malnutrisi yang
menjadi penyebab utama kematian di seluruh dunia pada saat itu. Menurut
Framingham, 90% orang yang berumur di atas 55 tahun akan menderita hipertensi
selama masa hidupnya. Hal ini menggambarkan masalah kesehatan publik karena
hipertensi dapat meningkatkan terjadinya risiko penyakit kardiovaskular, seperti
penyakit jantung koroner, gagal jantung kongestif, dan penyakit arteri perifer1.
Gagal jantung adalah tahap akhir dari perjalanan penyakit jantung dan
merupakan penyebab morbiditas dan mortalitas pada pasien penyakit jantung.
Gagal Jantung adalah suatu keadaan dimana terjadi ketidakmampuan jantung
untuk memompakan darah dalam jumlah yang memadai untuk memenuhi
kebutuhan metabolisme tubuh atau kemampuan tersebut hanya dapat terjadi
dengan tekanan pengisian jantung yang tinggi, atau keduanya. Gagal jantung
kongestif adalah suatu keadaan gagal jantung kiri dalam jangka waktu yang lama
diikuti dengan gagal jantung kanan ataupun sebaliknya2.
Sampai saat ini prevalensi hipertensi di Indonesia berkisar antara 5 – 10%,
sejumlah 85 – 90% hipertensi tidak diketahui penyebabnya atau disebut juga
hipertensi primer (hipertensi esensial atau idiopatik), hanya sebagian kecil
penderita hipertensi yang diketahui penyebabnya (hipertensi sekunder)3.
Sementara Dalam Profil Kesehatan Indonesia tahun 2008, disebutkan
bahwa gagal jantung menyebabkan rata-rata 16,341 orang menjalani rawat inap di
sebuah rumah sakit di Indonesia, serta mempunyai persentase Case Fatality Rate
sebesar 13,42%, kedua tertinggi adalah infark miokard akut (13,49%). Hal ini
membuktikan bahwa gagal jantung termasuk dalam penyakit yang banyak diderita
oleh masyarakat dan menimbulkan penurunan kualitas hidup4.
.
2
1.2 Tujuan
Untuk menjelaskan definisi, etiopatologi, gejala dan tanda klinis,
penegakan diagnosis, serta penatalaksanaan yang tepat, cepat, dan akurat
mengenai “Gagal Jantung Kongestif” sehingga mendapatkan penanganan yang
benar, prognosis yang baik, dan keselamatan pasien terjamin.
1.3 Manfaat
Memberikan informasi kepada penulis dan pembaca tentang gagal jantung
kongestif secara lebih mendalam yang pada akhirnya dapat diterapkan dalam
praktik klinis.
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Gagal Jantung
2.1.1 Definisi
Gagal jantung adalah suatu kompleks klinis yang dihasilkan dari gangguan
struktural ataupun fungsional pada pengisian ventrikel atau ejeksi darah. Gagal
jantung muncul ketika jantung tidak mampu memompa darah pada tingkat yang
cukup untuk memenuhi kebutuhan metabolik tubuh (forward failure), atau hanya
mampu bila tekanan pengisian jantung yang tinggi abnormal (backward failure),
atau keduanya1. Pasien dengan gagal jantung memiliki gambaran seperti dibawah
ini:
- Gejala tipikal (sesak napas saat istirahat atau beraktivitas, mudah lelah,
edema kaki), dan
- Tanda tipikal (takikardia, takipnea, ronki basah basal, efusi pleura,
peningkatan tekanan jugular, edema perifer, hepatomegali), dan
- Bukti objektif abnormalitas struktural atau fungsional jantung saat istirahat
(kardiomegali, suara jantung ketiga, murmur jantung abnormalitas pada
gambaran echo seperti penurunan LVEF atau gangguan katup atau
gangguan struktural lain, peningkatan konsentrasi natriuretic peptide)5.
Gagal jantung kongestif merupakan hasil dari berbagai jenis kerusakan
pada jantung. Etiologinya dapat dikelompokkan menjadi (1)gangguan
kontraktilitas ventrikel, (2) peningkatan afterload, atau (3) gangguan relaksasi dan
pengisian ventrikel. Namun saat ini gagal jantung lebih sering diklasifikasikan
menjadi 2 kategori, yaitu (1) gagal jantung dengan penurunan fraksi ejeksi
(HFrEF) dan (2) gagal jantung dengan fraksi ejeksi terpelihara (HFpEF)1.
1. Gagal jantung dengan penurunan fraksi ejeksi
Pada keadaan disfungsi sistolik, ventrikel yang terkena mengalami
penurunan kapasitas untuk mengejeksikan darah karena gangguan
kontraktilitas miokardium atau pressure overload. Kehilangan
4
kontraktilitas bisa berasal dari dektruksi miosit, fungsi miosit abnormal
atau fibrosis. Pressures overload mengganggu ejeksi ventrikel dengan
meningkatkan tahanan aliran yang signifikan1.
2. Gagal jantung dengan fraksi ejeksi terpelihara
Pasien dengan gagal jantung yang memiliki fraksi ejeksi yang baik
menunjukkan abnormalitas pada fungsi diastolik ventrikel: baik gangguan
dalam relaksasi diastolik awal (proses aktif yang tergantung energi),
peningkatan kekakuan dinding ventrikel (mekanisme pasif), atau
keduanya. Iskemia miokardium akut merupakan contoh kondisi hambatan
penghantaran energi sementara dan relaksasi diastolik. Sebaliknya,
pembesaran ventrikel kiri, fibrosis, atau kardiomiopati restriktif
menyebabkan dinding ventrikel kiri kaku secara kronis. Beberapa penyakit
perikardium (seperti tamponade jantung dan konstriksi perikardium),
memunculkan gaya dari luar yang membatasi pengisian ventrikel. Pasien
dengan disfungsi diastolik sering bermanifestasi sebagai tanda kongesti
vaskular karena tekanan diastolik yang meningkat ditransmisikan
retrograd ke vena pulmonal dan sistemik1.
2.1.2 Etiologi dan Faktor Risiko
Hipertensi dan penyakit arteri koroner merupakan penyebab gagal jantung
paling sering di negara maju, sedangkan di negara berkembang penyakit infeksi
merupakan penyebab lain yang juga penting. Nekrosis miokardium yang luas
dapat menyebabkan kegagalan pompa jantung. Infark kecil juga dapat
menyebabkan disfungsi kontraktilitas regional dan berefek remodeling dengan
hipertrofi miosit, apoptosis, dan deposisi matriks ekstrasel. Hipertensi jangka
panjang yang tidak diobati juga berhubungan dengan gagal jantung diastolik dan
sistolik, dan 75% pasien dengan gagal jantung memiliki hipertensi. Penurunan
sedang dari tekanan darah sistolik menurunkan mortalitas dan risiko gagal
jantung5.
Penyakit jantung katup, kardiomiopati, dan penyakit jantung kongenital
juga merupakan penyebab yang penting. Pasien dengan diabetes melitus memiliki
5
risiko empat kali lebih tinggi untuk mendapat gagal jantung dan kematian
dibanding yang tidak memiliki diabetes. Alkohol merupakan toksin miokardium
langsung dan merupakan penyebab gagal jantung yang reversibel. Tembakau dan
kokain meningkatkan risiko CAD (Coronary Artery Disease) yang dapat
menyebabkan gagal jantung5.
Agen kemoterapi seperti antrasiklin (doxorubicin, danorubicin) dan
trastuzumab juga meningkatkan risiko gagal jantung. Antrasiklin menggangu
fungsi ventrikel kiri melalui penghasilan reactive oxygen species, kerusakan
mitokondria, dan ini merupakan mekanisme yang dose-dependent5.
Hipertiroid dan hipotiroid keduanya dapat menjadi penyebab gagal jantung
yang reversibel. Peningkatan denyut jantung istirahat berhubungan dengan
mortalitas dan morbiditas pada populasi umum dan pasien dengan penyakit
kardiovaskular. Takikardia persisten baik ventrikular dan supraventrikular juga
menyebabkan gagal jantung (takikardiopati). Hipertensi arteri pulmonal
menyebabkan gagal ventrikel kanan. Jenis kelamin laki-laki, pendidikan rendah,
aktivitas fisik yang kurang, dan berat badan berlebih juga dikenali sebagai faktor
risiko gagal jantung5.
Obstructive sleep apnea juga berhubungan dengan hipertensi dan insidensi
tinggi gagal jantung. Pasien dengan sindroma metabolik (adiposit abdominal,
hipertrigliseridemia, HDL rendah, hipertensi dan hiperglikemia puasa) memiliki
risiko tinggi penyakit kardiovaskular dan gagal jantung. Infeksi HIV juga
merupakan penyebab penting disfungsi ventrikel kiri atau keduanya5.
2.1.3 Patofisiologi
Jantung yang sebelumnya normal dapat terkena penyebab akut (mis. Infark
miokard) atau kronis (mis. Hipertensi) dan menyebabkan gangguan kondisi
jantung. Hal ini mengaktivasi mekanisme kompensasi seperti peningkatan
preload, atau mekanisme Frank-Starling, melalui dilatasi ventrikel dan ekspansi
volume, vasokonstriksi perifer, retensi air dan natrium leh ginjal untuk
meningkatkan preload, dan munculnya sistem saraf adrenergik yang
meningkatkan denyut jantung dan fungsi kontraktilitas. Proses ini diatur terutama
6
oleh aktivasi berbagai neurohormonal sistem vasokonstriktor, termasuk RAAS,
sistem saraf adrenergik, dan pelepasan vasopresin-arginin non-osmotik. Mula-
mula, mekanisme ini menguntungkan dan adaptif, mempertahankan denyut
jantung, tekanan darah, dan cardiac output, dan menjaga perfusi ke jaringan. Pada
jangka panjang, hal ini menyebabkan gangguan pada sistem sinyal β-adrenergik
dan gangguan mobilisasi kalsium intraseluler, dengan akibat hipertrofi miosit
untuk menjaga tekanan dinding karena dilatasi jantung, apoptosis, proliferasi
fibroblas, dan akumulasi kolagen interstisial5.
Perubahan ukuran, bentuk dan fungsi pompa pada jantung menegaskan
suatu keadaan remodeling, yang menentukan gambaran klinis dari gagal jantung.
Konsekuensi dari perubahan struktur ini adalah penurunan stroke veolume,
peningkatan tahanan perifer, dan munculnya tanda dan gejala kongesti dan
hipoperfusi jaringan. Pada akhirnya, pada kasus yang tidak ditangani, kaheksia
jantung akan muncul karena aktivasi sitokin proinflamasi, seperti tumournecrosis
factor alpha dan interleukin-2, yang berakibat pada kematian sel jantung.
Misfolded protein yang sering pada patofisiologi penyakit neurodegeneratif seperi
Parkonson dan Alzheimer, juga dijumpai berperan pada patologi hipertrofi
jantung, yang menyebabkan dugaan bahwa proteotoksisitas adalah kunci dari
progresivitas gagal jantung. Selain menyebabkan kerusakan miokard lebih lanjut,
aktivasi sistem neurohormonal vasokonstriktor juga memiliki efek yang merusak
oergan lain seperti ginjal hati, otot, usus, dan paru, dan membuat “lingkaran
setan”, yang bertanggung jawab terhadap berbagai gambaran klinis gagal jantung,
termasuk ketidakstabilan listrik jantung5.
Gagal jantung dapat menyebabkan gagal ginjal (sindroma kardiorenal) dan
kebalikannya juga dapat terjadi (sindroma renokardiak), dan ketidaknormalan
fungsi hati (albumin bilirubin, aminotransferase, dan alkalin posfatase) juga sering
terlihat pada pasien kronis khususnya gagal jantung akut, dan berhubungan
dengan prognosis yang buruk. Baik gagal jantung sistolik dan diastolik dapat
terjadi, dan penurunan LVEF <55% sebagaimana perburukan fungsi diastolik
ventrikel kiri adalah secara bebas berhubungan dengan peningkatan mortalitas.
Sebagai tambahan karena menjadi petanda peningkatan risiko karena
7
berhubungan dengan hipertensi, diabetes melitus, iskemia dan penurunan fungsi
sistolik, fungsi diastolik juga dapat menjadi kontributor langsung terhadap akibat
buruk dengan membatasi cadangan cardiac output, mempercepat aktivasi
neuroendokrin, dan mendukung inaktivitas fisik. Hipertrofi ventrikel kanan
meramalkan peningkatan risiko gagal jantung yang biasanya diakibatkan oleh
disfungsi ventrikel kiri5.
2.1.4 Diagnosis
2.1.4.1 Anamnesis
Manifestasi paling menonjol dari gagal ventrikel kiri adalah dispnea saat
beraktivitas. Hal ini disebabkan karena terjadinya edema pada paru, yang
menghasilkan penurunan kemampuan pengembangan paru sehingga
meningkatkan usaha napas untuk memindahkan sejumlah volume udara yang
sama. Selain itu, kelebihan cairan di interstisial menekan dinding bronkial dan
alveoli, meningkatkan tahanan aliran udara dan membutuhkan usaha yang lebih
besar untuk respirasi. Pasien gagal jantung juga dapat mengalami sesak napas
tanpa adanya kongesti paru, karena penurunan aliran darah meningkatkan kerja
otot pernapasan dan akumulasi asam laktat juga berkontribusi untuk sensasi ini1.
Gagal jantung awalnya menyebabkan sesak saat beraktivtias, namun
disfungsi yang lebih besar menyebabkan sesak saat istirahat. Manifestasi lain dari
output yang rendah adalah penurunan status mental karena penuruna perfusi
serebral dan gangguan urin output harian karena penurunan perfusi renal.
Akhirnya sering meningkatkan frekuensi diuresis malam hari (nokturnal). Karena
ketika posisi supinasi, aliran darah didistribusikan kembali ke ginjal,
meningkatkan perfusi renal dan diuresis. Penurunan perfusi otot skelet
menyebabkan fatigue dan kelemahan. Manifestasi lain termasuk orthopnea,
paroxysmal nocturnal dyspnea (PND), dan batuk malam1.
Pada gagal jantung kanan, peningkatan tekanan vena sistemik
menyebabkan ketidaknyamanan abdominal karena hati menjadi membesar dan
kapsulnya teregang. Anoreksia dan nausea juga terjadi karena edema pada traktus
8
gastrointestinal. Edema perifer khususnya pergelangan kaki dan kaki juga
menunjukkan peningkatan tekanan hidrostatik vena1.
Gejala gagal jantung umumnya diklasifikasikan berdasarkan derajat berat
yang dibuat oleh New York Heart Association (NYHA). Sistem terbaru dari
American Heart Association mengklasifikasikan berdasarkan tingkat temporal
course, yang menunjukkan sekuens tipikal manifestasi gagal jantung pada praktik
klinis.
Klasifikasi Fungsional NYHA
kelas I Pasien dengan penyakit jantung tetapi tidak mengalami keterbatasan
aktivitas fisik. Aktivitas fisik biasa tidak menyebabkan fatigue, palpitasi, dispnea,
atau nyeri angina.
in.
Kelas II Pasien dengan penyakit jantung yang mengalami sedikit keterbatasan
dalam aktivitas fisik. Nyaman saat istirahat, tetapi aktivitas fisik biasa
menyebabkan fatigue, palpitasi, dispnea, atau nyeri angina. Dengan pembatasan
aktivitas, pasien tetap dapat menjalani kehidupan sosial normal.
Kelas III Pasien dengan penyakit jantung mengalami pembatasan aktivitas fisik
yang jelas. Nyaman saat istirahat, tetapi aktivitas yang lebih ringan dari aktivitas
biasa menyebabkan fatigue, palpitasi, dispnea, atau nyeri angina. Pasien tidak
dapat mengerjakan pekerjaan rumah.
Kelas IV Pasien dengan penyakit jantung mengalami ketidakmampuan untuk
melakukan kativitas fisik tanpa gejala. Dispnea atau nyeri angina dapat muncul,
bahkan saat istirahat. Nyaman saat istirahat, tetapi aktivitas fisik yang lebih ringan
dari biasa menyebabkan fatigue, palpitasi, dispnea, atau nyeri angina. Pasien
tidak mampu dan hampir selalu berada di tempat tidur atau kursi5.
Tabel 2.1 Klasifikasi ACC/AHA
American College of Cardiology/American Heart Association Stages of Heart Failure
9
Stage Definisi Deskripsi Pasien
A Risiko tinggi mengalami gagal jantung
Hipertensi
Penyakit arteri koroner
Diabetes mellitus
Riwayat keluarga dengan kardiomiopati
B Gagal jantung asimtomatik
Riwayat MI
Hipertrofi LV atau disfungsi sistolik
Penyakit katup asimtomatik
C Gagal jantung simtomatik
Penyakit struktur jantung diketahui
Pemendekan napas dan fatigue
Penurunan toleransi aktivitas
D Gagal jantung refrakter-tahap akhir
Gejala yang jelas saat istirahat meskipun mendapat terapi medis maksimal (mis. Pasien yang berulang kali di rawat di RS atau tidak aman bila keluar dari RS tanpa intervensi khusus)
Sumber: 6
2.1.4.2 Pemeriksaan Fisik
Tanda fisik dari gagal jantung tergantung keparahan dan kronisitas dari
kondisi dan dapat dibagi menjadi yang berhubungan engan disfungsi kiri atau
kanan. Pasien dengan gangguan ringan mungkin muncul. Bagaimanapun, pasien
dengan gagal jantung kronis menunjukkan kaheksia. Pada gagal jantung kiri
dekompentsata, pasien terlihat “kehitaman” karena penurunan cardiac output dan
berkeringat karena peningkatan aktivitas simpatis, dan ekstremitas dingin karena
vaskonstriksi arteri perifer. Takipnea juga sering. Sinus takikardi sebagai akibat
peningkatkan sistem simpatis. Pulsus alternans muncul sebagai tanda disfungsi
ventrikel berat1.
Ditemukan juga ronki basah pada pemeriksaan auskultasi paru, terutama di
dasar paru, dimana tekanan hidrostatik paling besar; bagaimanapun, kongesti paru
yang lebih berat berhubungan dengan ditemukaanya ronki sampai lapagan paru
yang lebih tinggi. Karena peningkatkan tekanan pengisian ventrikel kiri
menyebabkan peningkatan tekakan vaskular paru, komponen paru dari suaru
jantung dua sering lebih keras dari normal1.
10
Pada gagal jantung kanan, berbagai gambaran fisik dapat muncul.
Mungkin ditemukan dorongan ventrikel kanan parasternal, pembesaran ventrikel
kanan, atau gallop S3 atau S4 sisi kanan. Peningkatan tekanan vena sistemik
karena gagal jantung kanan dimanifestasikan dengan distensi vena jugular serta
pembesaran hati. Edema berakumulasi pada bagian tubuh dimulai dari
pergelangan kaki dan kaki, dan presakral pada pasien yang di tempat tidur. Efusi
pleura juga dialami baik gagal jantung kanan maupun kiri. Ditandai dengan
perkusi yang beda pada paru posterior dasar1.
2.1.4.3 Pemeriksaan Penunjang
A. Foto Dada
Peran utama dari foto dada adalah untuk menyingkirkan penyebab dispnea
lain, seperti efusi pleura, pneumothorax, karsinoma paru, atau pneumonia. Edema
paru mendukung diagnosis gagal jantung. CTR dapat mengidentifikasi gagal
jantung sebagai penyebab sesak napas6.
B. Elektrokardiogram
EKG digunakan untuk mendeteksi aritmia, dan dapat menyediakan bukti
untuk menduga infark sebelumnya atau hipertrofi ventrikel6.
C. Ekokardiografi
Ekokardiografi transtorakal merupakan metode yang simpel, aman dan
efektif unruk menilai struktur dan fungsi jantung6.
D. Magnetic Resonance Imaging
Magnetic resonance imaging menyediakan gambaran resolusi tinggi untuk
gambaran struktur jantung dan fungsi ventrikel. Fungsi katup dapat dinilai,
walaupun dengan realibitas yang lebih kecil daripada gambaran struktur dan
fungsi miokard6.
E. Cardiac Catheterization
Kateter jantung memperbolhekan perkiraan tekanan intrakardiak,
perkiraan cardiac output, deteksi gangguan katup, jumlah LVEF, dan deteksi
CAD epikardial6.
11
2.1.4.4 Kriteria Framingham
Kriteria Framingham untuk penegakan diagnosa CHF (2 Kriteria mayor
atau 1 kriteria mayor + 2 kriteria minor).
Kriteria mayor :
a) Paroxymal Nocturnal Dypsnoe
b) Bendungan vena sentral
c) Peningkatan TVJ
d) Ronki paru
e) Bunyi gantung S3 Gallop
f) Refluks hepatojugular
g) Edema paru
h) Kardiomegali
Kriteria minor :
a) Batuk malam hari
b) Dypnoe d’effort
c) Edema ekstremitas
d) Takikardi
e) Hepatomegali
f) Efusi pleura
g) Penurunan kapasitas vital paru 1/3 dari normal
2.1.5 Tatalaksana
2.1.5.1 Non-farmakologis
Pasien dengan gagal jantung harus ditangani dengan manajemen
multidisiplin untuk menurunkan risiko rawat inap. Latihan aerobik reguler
bermanfaat untuk pasien gagal jantung yang stabil, nondekompensata melalui
berbagai mekanisme seperti pengaturan protein jantung dan mencegah kematian
sel prematur. Pembatasan garam biasanya disarankan, khususnya pasien dengan
12
stage C dan D, walaupun masih butuh data yang mendukung tingkat intake
garam5.
Pembatasan cairan hingga 1,5-2 liter perhari juga disarankan pada pasien
dengan gejala berat dan hiponatermia. Penurunan berat badan biasanya disarankan
pada pasien dengan penyakit arteri koroner. Alkohol memiliki efek toksisitas
langsung pada jantung. Kehamilan membawa risiko tinggi pada gagal jantung.
Kontrasepsi dengan kombinasi kontrasepsi hormonal merupakan kontraindikasi
karena menyebabkan retensi cairan dan meningkatkan risiko trombosis. Pasien
dengan diabetes harus ditangani secara tepat untuk mengontrol tekanan darah,
lemak dan glikemik5.
2.1.5.2 Farmakologis
Penyekat beta dan ACE-inhibitor atau Angiotensin Receptor Blocker
merupakan tatalaksana awal untuk gagal jantung. Angiotensin-converting enzyme
inhibitors (ACEI) memiki banyak aksi pleiotropik, termasuk perbaikan fungsi
endotel, antiproliferatif pada sel otot polos, dan efek antitrombtik. Pasien dengan
gagal jantung mengalami peningkatan kadar Angiotensin II dan merupakan
prognostik yang buruk untuk gagal jantung5.
Angiotensin receptor blockers (ARB) terikat secara kompetitif pada
receptor AT1. ARB menurunkan mortalitas pada gagal jantung dan sama
efektifnya dengan ACE-I pada uji klinis random5.
Beta blockers meningkatkan kadar reseptor S-1, upregulate β-1 receptor
density, menumpulkan mekanisme kerja norepineferin, dan menurunkan produksi
sitokin yang mengganggu termasuk TNF-alfa5.
Mineralocorticoid receptor antagonists (MRA) merupakan antialdosteron
yang berguna untuk mencegah retensi cairan dan natirum serta fibrosis
miokardium. Diuretik loop, seperti furosemid, merupakan terapi yang secara cepat
dapat menghasilkan perbaikan gejala. Tetapi, jangan diberikan tunggal pada gagal
jantung, karena tidak mencegah progresivitas penyakit atau menjaga stabilitas
klinis. Pada pasien yang resisten diuretik, thiazide dapat ditambahkan sebagai
kombinasi5.
13
Digoxin masih memiliki peran pada pasien dengan gagal jantung sistolik
dan dengan penyakit penyerta fibrilasi atrial5.
Berdasarakan staging AHA, terapi pada gagal jantung diklasifikasikan sebagai
berikut:
Stage A
Stage awal yang mengedepankan prevensi dengan pengendalian faktor risiko
seperti hipertensi, lipid, obesitas, diabetes melitus, penggunaan rokok, dan
agen kardiotoksik. Selain itu juga dilakukan screening untuk deteksi awal
kelainan jantung yang asimtomatik.
Stage B
- Pada semua pasien dengan riwayat infark miokard dan penurunan ejection
fraction, diberikan ACE-inhibitor. Pada pasien yang intoleran terhadap
ACE-inhibitor dapat diganti dengan angiotensin receptor blockers
(ARBs).
- Pasien juga diberikan beta-blocker jika terdapat riwayat infark miokard
dan penurunan ejection fraction.
Stage C
- Pasien dengan gagal jantung harus menerima edukasi spesifik antara lain:
monitor gejala, fluktuasi berat badan, pembatasan konsumsi sodium,
mengonsumsi obat-obatan teratur, dan fisik selalu aktif. Pasien juga
membutuhkan dukungan sosial. Bagi pasien dengan gangguan nafas,
diberikan continuous positive airway pressure (CPAP).
- Medikamentosa yang diberikan pada stage C sama dengan regimen yang
diberikan pada stage A dan B.
- Diuretik direkomendasikan pada pasien yang retensi cairan, kecuali ada
kontraindikasi.
- Rekomendasi obat tambahan antara lain:
o Aldosterone receptor antagonist: direkomendasikan pada pasien
dengan NYHA kelas II-IV.dan yang mempunyai left ventricel
ejection fraction (LVEF) < 35%.
o Hydralazine dan Isosorbide Dinirate
14
o Digoxin
o Antikoagulan untuk yang beresiko stroke kardioembolik
o Statin
o Asam lemak omega-3
- Obat-obat yang dapat membahayakan pasien gagal jantung antara lain:
o Suplemen nutrisi dan terapi hormonal
o Agen aritmia
o Calcium channel blockers
o Thiazolidinediones
Stage D
- Pengobatan farmakologis bersifat tidak menolong bahkan memperburuk
kondisi pasien. Penatalaksanaan non farmakologis (seperti transplantasi
jantung, implantable cardioverter-defribilator (ICD).
2.2 Penyakit Jantung Hipertensi
2.2.1 Definisi
Tekanan darah didefinisikan sebagai gaya yang digunakan untuk
mendesak dinding pembuluh darah oleh darah di sirkulasi. Evaluasi hipertensi
berdasarkan pada pengukuran tekanan darah ulangan7.
Penyakit jantung hipertensi merupakan kumpulan abnormalitas, termasuk
pembesaran ventrikel kiri, disfungsi diastolik dan sistolik, manifestasi klisnisnya
termasuk aritmia dan gejala gagal jantung. Paradigma klasik penyakit hipertensi
adalah penebalan dinding ventrikel kiri sebagai mekanisme kompensasi untuk
menurunkan tekanan dinding8.
Peningkatan tekanan darah diketahui berhubungan dengan peningkatan
risiko kardiovaskular. Tekanan darah harus dipertahankan konstan agar perfusi
dapat tercapai pada semua organ. Peningkatan tekanan darah sistolik berkembang
secara bertahap dan sering bersamaan dengan penyakit lain seperti dislipidemia,
resistensi insulin, dan obesitas abdominal. Peningkatan tekanan sistolik
menghasilkan respon hipertrofik di lapisan otot polos arteri, menurunkan diameter
15
lumen pembuluh darah. Hasilnya adalah peningkatan afterload yang berkontribusi
terhadap pertumbuhan otot jantung sebagai adaptasi, karena jantung
membutuhkan pompa lebih untuk melawan tahanan yang tinggi. Mekanisme
kompensasi ini lama kelamaan menjadi maladaptif, meningkatkan risiko
kerusakan target organ seperti pada endotel vaskular, otak, dan ginjal, serta
penyakit kardiovaskular7.
Tabel 2.2 Klasifikasi tekanan darah menurut JNC VII
Tipe Tekanan
Darah
Sistolik (mmHg) Diastolik (mmHg)
Normal <120 dan <80
Prehipertensi 120-139 atau 80-89
Hipertensi stage I 140-159 atau 90-99
Hipertensi stage II ≥160 atau ≥100
2.2.2 Etiologi dan Faktor Risiko
Etiologi penyakit jantung hipertensi merupakan kompleks berbagai faktor
hemodinamik, struktural, selular, dan molekular yang saling mempengaruhi.
Faktor-faktor ini berperan dalam perkembangan hipertensi dan komplikasinya;
bagaimanapun, peningkatan tekanan darah sendiri dapat memodulasi faktor-faktor
ini9.
Obesitas dikaitkan dengan hipertensi dan pembesaran ventrikel kiri pada
berbagai studi epidemiologis, dimana 50% pasien obese memiliki beberapa
derajat hipertensi dan 60-70% pasien hipertensi mengalami obesitas9.
Keadaan prediabetes juga merupakan faktor risiko terjadinya penyakit
jantung hipertensi. Prediabetes dikategorikan bila kadar gula puasa berkisar 110–
125 mg/dL, atau OGTT sebesar 140–199 mg/dL, atau HbA1c 5.7–6.4%5.
Metabolik sindrom sebagai faktor risiko penyakit jantung hipertensi, dan
dinyatakan bila terpenuhi 3 dari 5 faktor risiko: obesitas abdomen, TD
>130/85mmHg, glukosa puasa borderline atau abnormal, HDL rendah, dan
trigliserida tinggi5.
16
Riwayat keluarga dengan penyakit kardiovaskular prematur (laki-laki <55
tahun, wanita <65 tahun). Jenis kelamin pria >55 tahun dan wanita >65 tahun juga
menjadi faktor risiko penyakit jantung hipertensi.5
2.2.3 Gagal Jantung karena Penyakit Jantung Hipertensi
Gagal jantung menujukkan fase akhir dari banyak penyakit jantung yang
berbeda ataupun berbeda etiologi. Ketika ventrikel menjadi hipertrofi dan kaku,
pengisiannya menjadi abnormal dan gagal relaksasi secara komplit. Perubahan
kronis ini mempengaruhi indvidu sehingga terkena disfungsi diastolik tetapi ini
masih bersifat asimtomatik, sampai benar-benar progresif menjadi simtomatik7.
Gambar 2.1 Mekanisme gagal jantung karena penyakit jantung hipertensi
Awalnya, pergeseran ke arah peningkatan tekanan diastolik-volume
overload meningkatkan tekanan end-diastolic, tekanan atrium kiri dan tekanan
pulmo-kapiler dan stroke volume yang besar, tetapi dengan berjalannya waktu,
mekanisme ini akan gagal. Kemudian pengisian ventrikel kiri semakin memburuk,
menghasilkan pengisian yang tidak adekuat meskipun tekanan diastolik
meningkat. Hal ini menurunkan volume end-diastolic, dimana menurunkan stroke
volume, menyebabkan kongesti paru. Lebih lagi, karena akumulasi berlanjut pada
matriks ekstraseluler, kekakuan jantung, dan resistensi vaskular, disfungsi
17
diastolik memburuk dan berkembang menjadi penurunan sistolik yang jelas,
sehingga cardiac output menurun7.
Mekanisme kompensasi di jantung dan ginjal berhubungan dengan
overaktivitas sistem saraf simpatis dan stimulasi berlebihan RAAS. Sistem ini
memberi dukungan inotropik pada jantung yang gagal, meningkatkan stroke
volume dan vasokonstriksi perifer dalam usaha untuk mempertahankan mean
arterial pressure. Namun, perubahan-perubahan ini merupakan gangguan
terhadap homeotasis cardiocirculatory selama tahap akhir penyakit10.
Gagal jantung terutama dikarakteristikan secara klinis dengan overload
cairan karena tekanan pengisian dan paroxysmal nocturnal dyspnea dan ortopnea
(pemendekan nafas) dengan fatigue yang nyata dan batuk. Gejala yang terbaik
mengidentifikasi gagal jantung adalah distensi vena jugular, takikardia,
pembengkakan pergelangan kaki, kaki dan area abdomen (asites). Peningkatan
level natiruretic peptida, yang disebut brain natriuretic peptide (BNP) dan N-
terminal pro-BNP, dapat digunakan sebagai alat diagnosis untuk membedakan
gagal jantung dari gejala-gejala yang mirip gagal jantung7.
2.2.4 Tatalaksana Penyakit Jantung Hipertensi
2.2.4.1 Modifikasi Gaya Hidup
Berdasarkan data, target tekanan darah <150/80mmHg pada pasien >80
tahun, dengan tujuan menurunkan risiko gagal jantung kongestif sebesar 64%.
Berbagai strategi penatalaksanaan termasuk:
- Modifikasi diet
- Latihan aerobik teratur
- Menurunkan berat badan
- Farmakoterapi
A. Modifikasi Diet
Studi menunjukkan bahwa diet dan gaya hidup sehat, dikombinasikan
dengan pengobatan medis dapat menurunkan tekanan darah dan menurunkan
gejala gagal jantung. Diet sehat jantung merupakan bagian dari profilaksis
18
sekunder pada pasien dengan penyakit arteri koroner dan profilaksis utama pada
pasien dengan risiko tinggi penyakit ini. Rekomendasi diet spesifik termasuk diet
rendah natirum, tinggi kalium (pada pasien dengan fungsi ginjal normal), kaya
buah-buahan segar dan sayur, rendah kolesterol, dan rendah konsumsi alkohol11.
B. Latihan fisik
Latihan aerobik reguler dinamis, seperti berjalan, berlari, berenang, atau
bersepeda, ditunjukkan dapat menurunkan tekanan darah dan memperbaiki
kardiovaskular. Hal itu juga memiliki efek kardiovaskular yang menyenangkan,
memperbaiki fungsi endotel, vasodilatasi perifer, menurunkan denyut jantung
istirahat, memperbaiki variabilitas denyut jantung, dan menurunkan level
katekolamin plasma.
C. Penurunan berat badan
Studi menunjukkan bahwa menurunkan berat badan merupakan salah satu
cara yang efektif untuk menurunkan tekanan darah. Tekanan darah 5-20mmHg
menurun setiap penurunan berat badan 10 kg. Penurunan berat badan reguler (1
kg perminggu) disarankan pada pasien. Intervensi farmakologis untuk
menurunkan berat badan dapat digunakan dengan perhatian penuh.
2.2.4.2 Terapi Farmakologis
Terapi hipertensi dan penyakit jantung hipertensi dapat termasuk beberapa
kelas antihipertensi dibawah ini:
- Diuretik thiazid
- Beta-blocker dan kombinasi alpha-beta blocker
- Penyekat channel kalsium
- Angiotensin-converting enzyme (ACE) inhibitors
- Angiotension-receptor blockers (ARBs)
- Vasodilator langusng- seperti hidralazin
Kebanyakan pasien membutuhkan 2 atau lebih obat antihipertensi untuk
mencapai tekanan darah target; ketika tekanan darah lebih dari 20/10mmHg dari
target, pertimbangan untuk memberikan inisial terapi 2 obat.
19
A. Diuretik thiazid
Diuretik thiazid diberikan pada sebagian pasien dengan hipertensi tanpa
komplikasi, baik tunggal ataupun kombinais dengan obat dari kelas lain.
B. Penyekat channel kalsium
Penyekat channel kalsium efektif untuk hipertensi pada pasien lanjut usia9.
C. ACE inhibitors dan ARBs
ACE inhibitor adalah piliha pertama pada pasien dengan diabetes dan/atau
disfungsi ventrikel. ARBs merupakan alternatif, khususnya untuk pasien yang
mengalami efek samping ACE-inhibitor9.
D. Beta-blockers
Beta-blocker merupakan obat pilihan pertama pada pasien dengn gagal
jantung karena disfungsi sistolik ventrikel kanan, pasien dengan penyakit jantung
iskemik dengan atau tanpa riwayat infark miokard, dan pasien dengan
tirotoksikosis12.
E. Agen antihipertensi lain
Penggunaan obat intravena diberikan pada pasien dengan hipertensi
emergensi, termasuk nitoprudis, labetalol, hydralazine, enalapril, dan beta blocker.
Beberapa bukti juga menyatakan bahwa agonis PPAR-γ memperbaiki stres
oksidatif dan menyebabkan perbaikan pada remodeling jantung yang disebabkan
hipertensi sistemik pada overload tekanan miokardium dan LVH kronis9.
Protokol terapi terkini mengindikasikan penggunaan asetaminofen sebagai
analgesik lini pertama pada pasien dengan penyakit arteri koroner9.
20
BAB III
LAPORAN KASUS
l. DATA PRIBADI
Nama : Tn. Wilson marbun
Umur : 42 Tahun
Jenis kelamin : Laki - laki
Status : Menikah
Pekerjaan : Wiraswasta
Agama : Kristen
Suku : Batak
Alamat : Siulak Hosa Kec. Palipi Kab. Samosir Toba Samosir
Tanggal masuk di CVCU : -
Tanggal masuk di RIC : 18 September 2014
No. Rekam Medik : 00616629
II. ANAMNESE
KU : Sesak napas
Telaah :
- Hal ini dialami oleh OS sejak 6 bulan yang lalu dan memberat dalam 7
hari terakhir ini. OS mengatakan sesak nafas apabila berjalan kurang lebih
50 meter, riwayat terbangun tengah malam karena sesak nafas dijumpai
dan menggunakan 2-3 bantal untuk mengatasi sesak nafas pada saat
berbaring. Kaki bengkak dijumpai pada OS dan mengobatinya dengan cara
dipijat namun keluhan ini tidak berkurang.
- Riwayat darah tinggi dijumpai pada OS sejak kurang lebih 2 tahun yang
lalu dengan tekanan darah sistol tertinggi 180 mmHg, namun OS tidak
21
meminum obat untuk mengontrol tekanan darahnya. OS juga mengatakan
sering nyeri tengkuk dan pusing.
- Riwayat merokok selama kurang lebih 20 tahun dengan pemakaian 1
bungkus perhari namun OS sudah berhenti merokok sekitar 6 bulan ini
- Riwayat nyeri dada tidak dijumpai. Riwayat jantung berdebar-debar juga
tidak dijumpai. Batuk tidak dijumpai. Mual dan muntah juga tidak
dijumpai
- Riwayat sakit gula disangkal..
- Riwayat keluarga yang mengalami hal yang sama tidak dijumpai.
- Resiko PJK : Ex smoker, hipertensi
RPT : Hipertensi
RPO : Tidak jelas
RPK : Tidak Jelas
lll. PEMERIKSAAN FISIK
SP : Sensorium: CM, TD: 140/80 mmHg, HR : 72 x/i, regular, RR : 26 x/i
Kepala : Mata : konjungtiva palpebra : anemis: (-/-), ikterik: (-/-), pupil : isokor,
diameter : 3mm
Hidung, telinga, mulut : Dalam Batas Normal
Leher : struma membesar : (-), posisi trakea : medial, TVJ : R+2 cmH2O.
Cor : S1S2 (+) reg, murmur (-), gallop (-)
SP : Vesikuler
ST : Ronkhi basah basal (+/+)
Abdomen : Soepel, peristaltik normal
Hati, lien, ginjal : tidak teraba
Extremitas : Akral hangat, edema pretibial minimal (+/+)
IV. HASIL PEMERIKSAAN
1. LABORATORIUM (18.09.2014)
Darah rutin
HB 11.00g%
HT 30,70% ERI 3,38 x 106/mm3
LEUKO 12,79 x 103/mm3
TROMBOSIT 314 x 103/mm3
22
Hitung jenis:
Neutrofil 75,60 % Limfosit 14,00 % Monosit 8,80% Eosinofil 1.50 % Basofil 0.100%
Fungsi Ginjal :Ureum 37,90 mg/dLCreatinine 0.49 mg/dL
Elektrolit :Na : 136 Cl : 109 K: 3.4
2. EKG
Intepretasi rekaman EKG:
Sinus ritme; QRS axis: normoaxis; QRS rate: 93x/i; P wave: N; P duration:
0,08s; PR interval: 0,14s; QRS duration: 0,10s; ST-T changes: ST depresi
dan T inversi di I, AVL, V5, V6; LVH voltage: (+); VES: (-)
Kesan EKG:
Sinus ritme + Iskemia lateral + LVH
3. FOTO TORAKS
Intepretasi foto toraks:
CTR : 70% Segmen pulmonal : N
Segmen aorta : menonjol Pinggang jantung : N
Apex : downward Infiltrat : -
Corakan paru : N
Kesan foto toraks:
Kardiomegali, aorta dilatasi dan elongasi
4. EKOKARDIOGRAFI
23
Kesimpulan:
1. Fungsi sistolik LV menurun: EF = 28%
Fungsi diastolik LV terganggu: E/N<1 (abnormal relaksasi)
Wall motion: akinetik septal, hipokinetik segmen lainnya
2. Katup-katup: AR moderate, TR mild
3. Dimensi ruang jantung: LVH eksentrik
4. Kontraktilitas RV baik, TAPSE 18
DIAGNOSA KARDIOLOGIS :
1. Fungsional : CHF fc.III ec HHD
2. Anatomis : Miokardium
3. Etiologis : Hipertensi
DIAGNOSA : CHF fc.III ec. HHD
TERAPI
Supportif :
- Tirah baring
- O2 2 Liter
- IVFD NaCl 0,9% 10 gtt/I (mikro)
Medikamentosa
- Inj. Furosemide 20 mg/12jam/hari
- Captopril 3x12,5 mg
- Alprazolam 1x0,5 mg
- Bisoprolol 1x2,5 mg
RENCANA
- Darah rutin
- Urinalisa
- Foto toraks PA
24
- Echocardiography
25
FOLLOW UP
Hari/
Tanggal
Subjektif Objektif Assessment Planning
18.09.2014 Sesak napas, Sens : CM
TD : 140/80 mmHg
HR : 72 x/i
RR : 24 x/i
Kepala : mata : anemis -/-, ikterik-/-
Leher : TVJ : R+2cmH2O
Toraks : S1S2 (N), murmur (-)
Pulmo : SP : vesikuler
ST : ronki basah basal +/+
Abd. : soepel, Hati, Lien, Renal : tidak teraba
Ekst: akral hangat, edema pretibial : +/+
CHF Fc III ec. HHD
Ht Stage I
- Bed rest SF
- IVFD D5% 10 gtt/I micro
- Inj. Furosemide 20 mg/12 jam
- Captopril 3x12,5 mg
- Alprazolam 1x0,5 mg
- Bisoprolol 1x2,5 mg
19.09.2014 Sesak napas ↓
Sens : CM CHF Fc.II-III ec. HHD - Bed rest SF
26
TD : 150/80 mmHg
HR : 72 x/i
RR : 20 x/i
Kepala : mata : anemis -/-, ikterik-/-
Leher : TVJ : R+2cm H2O
Toraks : cor : S1S2 (N), murmur (-)
Pulmo : SP : vesikuler
ST : ronki basah basal +/+
Abd. : soepel, Hati, Lien, Renal : tidak teraba
Ekst: akral hangat, edema pretibial : -/-
- IVFD D5% 10 gtt/I micro
- Inj. Furosemide 20 mg/12 jam
- Captopril 3x12,5 mg
- Alprazolam 1x0,5 mg
- Bisoprolol 1x2,5 mg
20.09.2014 Sesak napas ↓
Sens : CM
TD : 150/80 mmHg
HR : 98 x/i
RR : 20 x/i
Kepala : mata : anemis -/-, ikterik-/-
Leher : TVJ : R+2cm H2O
CHF Fc.II-III ec. HHD - Bed rest SF
- IVFD D5% 10 gtt/I micro
- Inj. Furosemide 20 mg/12 jam
- Captopril 3x12,5 mg
- Alprazolam 1x0,5 mg
27
Toraks : cor : S1S2 (N), murmur (-)
Pulmo : SP : vesikuler
ST : ronki basah basal +/+ ↓
Abd. : soepel, Hati, Lien, Renal : tidak teraba
Ekst: akral hangat, edema pretibial : -
- Bisoprolol 1x2,5 mg
- Spironolacton 1x25 mg
21.09.2014 Sesak napas (-)
Sens : CM
TD : 140/80 mmHg
HR : 76 x/i
RR : 18 x/i
Kepala : mata : anemis -/-, ikterik-/-
Leher : TVJ : R+2cmH2O
Toraks : cor : S1S2 (N), murmur (-)
Pulmo : SP : vesikuler
ST : ronki basah basal -/-
Abd. : soepel, Hati, Lien, Renal : tidak teraba
Ekst: akral hangat, edema pretibial : +/+ ↓
CHF Fc.II ec. HHD
Ht Stage I
- Bed rest SF
- IVFD D5% 10 gtt/I micro
- Inj. Furosemide 20 mg/12 jam
- Captopril 3x12,5 mg
- Alprazolam 1x0,5 mg
- Bisoprolol 1x2,5 mg
28
22.09.2014 Sesak napas (-)
Sens : CM
TD : 130/80 mmHg
HR : 76 x/i
RR : 18 x/i
Kepala : mata : anemis -/-, ikterik-/-
Leher : TVJ : R+2cmH2O
Toraks : cor : S1S2 (N), murmur (-)
Pulmo : SP : vesikuler
ST : ronki basah basal -/-
Abd. : soepel, Hati, Lien, Renal : tidak teraba
Ekst: akral hangat, edema pretibial : +/+ ↓
- - Bed rest SF
- IVFD D5% 10 gtt/I micro
- Inj. Furosemide 20 mg/12 jam
- Captopril 3x12,5 mg
- Alprazolam 1x0,5 mg
- Bisoprolol 1x2,5 mg
29
DISKUSI KASUS
CHF
1. Anamnesis
Hal yang dikeluhkan pasien:
Pasien dengan gagal jantung kongestif paling sering datang dengan
keluhan sesak nafas (dyspnea) terutama saat beraktifitas fisik. Keluhan lain yang
sering dikeluhkan pasien adalah orthopnea. Pasien biasanya tidur menggunakan
2-3 bantal sebagai ganjalan untuk mengurangi sesak nafasnya. Keluhan sesak
nafas yang lain adalah paroksismal nokturnal dispnea (PND), yaitu suatu keadaan
dimana pasien tiba-tiba terbangun saat tengah malam karena sesak nafas.
Bendungan pada sistem vena menyebabkan terjadinya manifestasi edema
perifer. Akibat adanya hepatomegali, kadang-kadang pasien mengeluhkan rasa
tidak nyaman pada abdomen bagian kanan atas.
Pada pasien:
Sejak 6 bulan yang lalu dan memberat dalam 7 hari terakhir ini. OS mengatakan
sesak nafas apabila berjalan kurang lebih 50 meter, riwayat terbangun tengah
malam karena sesak nafas dijumpai dan menggunakan 2-3 bantal untuk mengatasi
sesak nafas pada saat berbaring. Kaki bengkak dijumpai pada OS dan
mengobatinya dengan cara dipijat namun keluhan ini tidak berkurang.
2. Pemeriksaan fisik
Pada pemeriksaan fisik, sering dijumpai edema perifer, takipnea, ronki
basah, kardiomegali, peningkatan tekanan vena jugularis, dan hepatomegali.
Pada pasien:
Pada pasien, RR 24x/i, S1S2 (+) reg, , murmur (-), gallop (-), suara pernapasan
vesikuler, suara tambahan ronkhi basah basal pada kedua lapangan paru, abomen
soepel, hepar, lien, ginjal tidak teraba, edema pretibial dijumpai.
3. Elektrokardiografi
Pada CHF, gambaran EKG bisa menunjukkan gambaran hipertrofi
ventrikel.
30
Pada pasien:
Ditemukan LVH yang merupakan gambaran hipertropi ventrikel kiri.
4. Ekokardiografi
Pada ekokardiografi didapatkan dimensi ruang jantung membesar (LVH),
penurunan fungsi sistolik diastolik.
Pada pasien:
Pada pasien dijumpai LVH dan penurunan fungsi sistolik dan diastolik
31
LAMPIRAN
1. EKG IGD
32
2. Foto Toraks
33
3. Echocardiography
34
DAFTAR PUSTAKA
1. Lilly, L.S., Williams, G.H., Zamani, P., 2007. Hypertension. In. Lilly, L.S.,
ed. Pathophysiology of Heart Disease. 4th ed. Philadelpia: Lippincott Williams
& Wilkins, 311-328.
2. American Heart Association, 2010. Evaluation and Management of Chronic
Heart Failure in the Adult. Available from :
http://circ.ahajournals.org/content/104/24/2996.full.pdf [Accessed 19
September 2014]
3. Panggabean, M.M., 2006. Penyakit Jantung Hipertensi. Dalam Sudoyo, A.W.,
Setiyohadi, B., Alwi, I., Simadibrata, K., Setiadi, S., eds. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam Jilid 3. Edisi IV. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu
Penyakit Dalam FK UI, 1639.
4. Majid. A. 2010. Analisis Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian
Rawat Inap Ulang Pasien Gagal Jantung Kongestif di Rumah Sakit
Yogyakarta Tahun 2010. Available from : http://lontar.ui.ac.id/file?
file=digital/20281141-T%20Abdul%20Majid.pdf [Accessed 19 September
2014]
5. Katritsis DG, Gersh BJ, Camm AJ, 2013. Clinical Cardiology: Current
Practice Guidelines. London: Oxford University Press, 267-317.
6. Walsh RA, Simon DI, Fooster V, Poole-Wilson P, 2008. Hurst’s The Heart
12 edition. New York: McGraw Hill, 881-943.
7. Biala A, 2011. Molecular Mechanisms of Hypertension-induced Heart
Failure: Experimental studies with special emphasis on local renin-
angiotensin system, cardiac metabolism and levosimendan. Institute of
Biomedicine: University of Helsinki, Helsinki, 13-42.
8. Drazner MH, 2011. The Progression of Hypertensive Heart Disease.
Circulation, 123: 327-334.
9. Riaz K, 2013. Hypertensive Heart Disease. Available at
http://emedicine.medscape.com/article/62449-overview [Accessed at
September, 23 2014].
35
10. Lapi F AL, Yin H, Nessim SJ, Suissa S, 2013. Concurrent use of diuretics,
angiotensin converting enzyme inhibitors, and angiotensin receptor blockers
with non-steroidal anti-inflammatory drugs and risk of acute kidney injury:
Nested case-control study. BMJ , 346 :e8525.
11. Xin X, et al., 2001. Effects of alcohol reduction on blood pressure: a meta-
analysis of randomized controlled trials. Hypertension, 38 : 1112–1117.
12. Bangalore S, et al., 2008. Relation of beta blocker-induced heart rate
lowering and cardioprotection in hypertension. J Am Coll Cardiol, 52 : 1482–
1489.