Paper Full Yasinta Pak Indra Pak Didit

9
STUDI FASIES FORMASI WUNGKAL-GAMPING JALUR GUNUNG GAJAH, DESA GUNUNG GAJAH, KECAMATAN BAYAT, KABUPATEN KLATEN, PROVINSI JAWA TENGAH Yasinta Dewi Setiawati 1 , Moch. Indra Novian 2 , Didit Hadi Barianto 3 1 Mahasiswa Jurusan Teknik Geologi, Fakultas Teknik, UGM, email: [email protected] 2 Dosen Jurusan Teknik Geologi, Fakultas Teknik, UGM, Jln. Grafika No.2 Yogyakarta 3 Dosen Jurusan Teknik Geologi, Fakultas Teknik, UGM, Jln. Grafika No.2 Yogyakarta SARI Formasi Wungkal Gamping merupakan formasi batuan sedimen tertua yang tersingkap di Pegunungan Selatan tepatnya di daerah Bayat. Informasi geologi mengenai formasi ini tidak terlalu banyak karena penyebaran singkapannya yang terbatas. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui fasies batuan yang dihasilkan dari pengukuran stratigrafi pada jalur penelitian terutama pada singkapan baru sebagai hasil penggalian lahan di Dusun Gunung Gajah. Pada penelitian ini dilakukan pengukuran stratigrafi dengan metode tongkat jacob untuk merekam karakteristik fasies meliputi geometri, litologi, struktur sedimen dan fosil di daerah penelitian. Hasilnya digambarkan dalam kolom litologi dengan skala 1:10 berdasarkan pembagian fasies batuan, sampel batuan petrografi dan paleontologi untuk menentukan lingkungan, umur, mekanisme dan dinamika sedimentasi daerah penelitian. Lokasi penelitian berada pada 3 jalur pengukuran di Desa Gunung Gajah tepatnya pada koordinat 9141627 mU dan 0464029 mT (bagian utara) hingga koordinat 9141546 mU dan 0463988 mT (bagian selatan), Kecamatan Bayat, Kabupaten Klaten, Provinsi Jawa Tengah. Pada jalur penelitian tersebut, terdapat 9 fasies, diantaranya fasies A, B, C, D, E, F, G, H, dan I. Berdasarkan 9 fasies kemudian dikelompokkan menjadi 5 asosiasi fasies, yaitu asosiasi fasies 1 pada lingkungan pengendapan proksimal slope-type fan delta, asosiasi fasies 2, 3, 4, dan 5 pada lingkungan pengendapan tidal flat. Umur pengendapan dimulai pada Eosen Awal (P8) hingga Eosen Tengah (P13). Batuan berumur Eosen Tengah (P10) menumpang di atas batuan Eosen Awal (P8) secara tidak selaras. Mekanisme sedimentasi pada bagian bawah Formasi Wungkal-Gamping yaitu debris flow dilanjutkan arus suspensi, lalu arus traksi yang dipengaruhi pasang surut dan gelombang air laut. Dinamika sedimentasi daerah penelitian diawali dengan fase pendangkalan pada kala P8. Selanjutnya, terjadi fase pendalaman pada P10 kemudian fase pendangkalan pada P11. Pada P12 awal terjadi pendalaman lalu pendangkalan hingga P13. Kata kunci : Formasi Wungkal-Gamping, umur, lingkungan pengendapan, mekanisme sedimentasi, dinamika sedimentasi ABSTRACT Wungkal-Gamping formation is the oldest sedimentary rock which exposes in the Southern Mountains precisely in the area of Bayat. There is only geological information about this formation because the limited outcrop deployment. This study aims to determine facies rocks based on the stratigraphy measurements on this latest line as result of the excavation on Gunung Gajah village. In this research, stratigraphy measurements is done by jacob stick method to record the facies characteristic include geometry, lithology, sedimentary structures, and fossils in study area. The results are described in measured stratigraphy coloumn with 1:10 scale, the dividing of facies rocks, petrography and paleontology samples to determine the environment, age, mechanism and dynamics of sedimentation area of research. Research area is located at the 3 line in Gunung Gajah village

Transcript of Paper Full Yasinta Pak Indra Pak Didit

Page 1: Paper Full Yasinta Pak Indra Pak Didit

STUDI FASIES FORMASI WUNGKAL-GAMPING

JALUR GUNUNG GAJAH, DESA GUNUNG GAJAH,

KECAMATAN BAYAT, KABUPATEN KLATEN,

PROVINSI JAWA TENGAH

Yasinta Dewi Setiawati

1, Moch. Indra Novian

2, Didit Hadi Barianto

3

1Mahasiswa Jurusan Teknik Geologi, Fakultas Teknik, UGM, email: [email protected]

2 Dosen Jurusan Teknik Geologi, Fakultas Teknik, UGM, Jln. Grafika No.2 Yogyakarta

3 Dosen Jurusan Teknik Geologi, Fakultas Teknik, UGM, Jln. Grafika No.2 Yogyakarta

SARI

Formasi Wungkal – Gamping merupakan formasi batuan sedimen tertua yang tersingkap di

Pegunungan Selatan tepatnya di daerah Bayat. Informasi geologi mengenai formasi ini tidak terlalu

banyak karena penyebaran singkapannya yang terbatas. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui

fasies batuan yang dihasilkan dari pengukuran stratigrafi pada jalur penelitian terutama pada

singkapan baru sebagai hasil penggalian lahan di Dusun Gunung Gajah. Pada penelitian ini

dilakukan pengukuran stratigrafi dengan metode tongkat jacob untuk merekam karakteristik fasies

meliputi geometri, litologi, struktur sedimen dan fosil di daerah penelitian. Hasilnya digambarkan

dalam kolom litologi dengan skala 1:10 berdasarkan pembagian fasies batuan, sampel batuan

petrografi dan paleontologi untuk menentukan lingkungan, umur, mekanisme dan dinamika

sedimentasi daerah penelitian. Lokasi penelitian berada pada 3 jalur pengukuran di Desa Gunung

Gajah tepatnya pada koordinat 9141627 mU dan 0464029 mT (bagian utara) hingga koordinat

9141546 mU dan 0463988 mT (bagian selatan), Kecamatan Bayat, Kabupaten Klaten, Provinsi Jawa

Tengah. Pada jalur penelitian tersebut, terdapat 9 fasies, diantaranya fasies A, B, C, D, E, F, G, H,

dan I. Berdasarkan 9 fasies kemudian dikelompokkan menjadi 5 asosiasi fasies, yaitu asosiasi fasies 1

pada lingkungan pengendapan proksimal slope-type fan delta, asosiasi fasies 2, 3, 4, dan 5 pada

lingkungan pengendapan tidal flat. Umur pengendapan dimulai pada Eosen Awal (P8) hingga Eosen

Tengah (P13). Batuan berumur Eosen Tengah (P10) menumpang di atas batuan Eosen Awal (P8)

secara tidak selaras. Mekanisme sedimentasi pada bagian bawah Formasi Wungkal-Gamping yaitu

debris flow dilanjutkan arus suspensi, lalu arus traksi yang dipengaruhi pasang surut dan gelombang

air laut. Dinamika sedimentasi daerah penelitian diawali dengan fase pendangkalan pada kala P8.

Selanjutnya, terjadi fase pendalaman pada P10 kemudian fase pendangkalan pada P11. Pada P12

awal terjadi pendalaman lalu pendangkalan hingga P13.

Kata kunci : Formasi Wungkal-Gamping, umur, lingkungan pengendapan, mekanisme sedimentasi,

dinamika sedimentasi

ABSTRACT

Wungkal-Gamping formation is the oldest sedimentary rock which exposes in the Southern

Mountains precisely in the area of Bayat. There is only geological information about this formation

because the limited outcrop deployment. This study aims to determine facies rocks based on the

stratigraphy measurements on this latest line as result of the excavation on Gunung Gajah village. In

this research, stratigraphy measurements is done by jacob stick method to record the facies

characteristic include geometry, lithology, sedimentary structures, and fossils in study area. The

results are described in measured stratigraphy coloumn with 1:10 scale, the dividing of facies rocks,

petrography and paleontology samples to determine the environment, age, mechanism and dynamics

of sedimentation area of research. Research area is located at the 3 line in Gunung Gajah village

Page 2: Paper Full Yasinta Pak Indra Pak Didit

precisely at coordinates 9141627 mU and 0464029 mT (North part) to 9141546 mU and 0463988 mT

(South part). There are 9 facies in the section of research which are A, B, C, D, E, F, G, H, and I.

These 9 facies are divided into 5 different facies associations, which are facies association 1 in

proximal of slope-type fan delta, facies associations 2, 3, 4 and 5 in tidal flat. The age deposition

begins in Early Eocene (P8) to Middle Eocene (P13). There is an erosional unconformity boundary

between Early Eocene (P8) to Middle Eocene (P10). Mechanism of sedimentation on the lower part of

Wungkal-Gamping formation is debris flow continued with suspension currents, and traction currents

influenced by tides and waves of sea water. In general, the dynamics of sedimentation starts with the

shallowing process at P8. Furthermore, it continued by the deeper process at P10 then shallowing

process at P11. At early P12 due the deeper process then shallowing process until P13.

Keywords : Wungkal-Gamping Formation, Age, depositional environtment, sedimentation

mechanism, dynamics sedimentation

PENDAHULUAN

Bayat merupakan suatu kecamatan yang

letaknya berada di Provinsi Jawa Tengah.

Daerah ini merupakan laboratorium geologi

yang menggambarkan litologi secara lengkap

di Pulau Jawa. Mulai dari batuan tertua hingga

muda tersingkap baik di daerah ini, sehingga

banyak penelitian yang dilakukan di daerah ini

untuk mengetahui informasi geologi baik

sejarah stratigrafi maupun tektonik dari Pulau

Jawa. Formasi Wungkal-Gamping adalah

batuan sedimen tertua penyusun zona

Pegunungan Selatan bagian barat yang

tersingkap di daerah Bayat (Bothe, 1929).

Pada Desa Gunung Gajah, Kecamatan Bayat,

Kabupaten Klaten, Provinsi Jawa Tengah,

terdapat singkapan baru sebagai hasil

penggalian lahan tepatnya pada pada koordinat

9141627 mU dan 0464029 mT (bagian utara)

hingga koordinat 9141546 mU dan 0463988

mT (bagian selatan) yang termasuk dalam

Formasi Wungkal-Gamping (Gambar 1).

Diskusi dari sejarah sedimentasi pada

singkapan di daerah ini diharapkan dapat

menambah informasi geologi mengenai

Formasi Wungkal-Gamping yang memiliki

penyebaran secara terbatas.

METODE PENELITIAN

Penelitian dilaksanakan untuk

mengetahui secara rinci informasi geologi

berupa susunan batuan dan posisi stratigrafi

Formasi Wungkal-Gamping dengan tujuan

mengetahui umur, lingkungan pengendapan,

mekanisme dan dinamika sedimentasi yang

terjadi. Metode penelitian yang digunakan

adalah pembuatan penampang stratigrafi

terukur dengan tongkat Jacob berskala 1:10

dan analisis petrografi maupun analisis

paleontologi.

FORMASI WUNGKAL-GAMPING

Formasi Wungkal-Gamping diendapkan

sebagai unit sedimen tertua terbentuk di atas

batuan malihan secara tidak selaras. Bothe

(1929) mengelompokkan batuan yang berumur

Eocene di Perbukitan Jiwo menjadi dua

kelompok. Batuan tersebut terdiri dari

batugamping dan napal. Di bagian barat

Perbukitan Jiwo, yaitu lereng Gunung Cakaran

tersingkap batupasir kuarsa dan konglomerat

kuarsa yang dianggap sebagai bagian bawah

dari lapisan berumur Eocene. Selanjutnya, dua

kelompok batuan berumur Eocene itu

dinamakan Gunung Wungkal dan Gunung

Gamping. Kelompok Gunung Wungkal

dicirikan oleh yellowish sandstone serta batuan

karbonat yaitu batugamping dan napal yang

mengadung foraminifera besar berupa Assilina

spira, Nummulites javanus, Orthophragmina

sowerbyi, dan Nummulites bagelensis.

Kelompok lapisan Wungkal merupakan bagian

awal hingga tengah dari Middle Eocene

menurut Bothe (1933) dalam Sumarso dan

Ismoyowati (1975). Pada bagian atasnya

kelompok Gunung Gamping melapisi

kelompok Gunung Wungkal yang dicirikan

oleh napal kebiru – biruan dan batugamping

yang tersingkap hanya di sisi tenggara dan

utara Dowo. Kelompok ini mengandung

foraminifera besar berupa Orthophragmina

javana, O. dispansa, O. omphalus, Nummulites

bagelensis, dan N. pengaronensis sehingga

dinyatakan memiliki umur akhir Middle

Eocene hingga Late Eocene. Selain itu juga

terdapat batupasir, napal pasiran,

batulempung, dan lensa batugamping pada

formasi ini. Karakteristik batuan yang banyak

mengandung foraminifera besar menunjukkan

lingkungan pengendapan berupa laut dangkal.

Page 3: Paper Full Yasinta Pak Indra Pak Didit

Sumarso dan Ismoyowati (1975)

menyebutkan formasi ini memiliki ketebalan

120 m yang tersingkap di sekitar Dusun

Padasan. Sekuen batuan pada formasi ini

memiliki pola bergradasi ke atas dengan

kehadiran foraminifera plangtonik yang

semakin melimpah di bagian atas. Berdasarkan

hal ini maka disimpulkan bahwa formasi

Eocene ini memiliki kondisi transgresi.

Gambar 1. Peta RBI daerah penelitian berada

pada lembar Cawas (Bakosurtanal, 2000) dengan

modifikasi. Garis biru adalah jalur penelitian.

ASOSIASI FASIES DAN BIOZONASI

Pengukuran stratigrafi pada daerah

penelitian dilakukan di jalur Gunung Gajah,

Desa Gunung Gajah dengan 3 jalur. Hasil dari

pengambilan data lapangan didapatkan data

urutan fasies secara vertikal pada daerah

penelitian. Daerah penelitian terbagi menjadi 9

fasies batuan, yaitu fasies A (breksi polimik),

B (batulanau karbonatan lentikuler), C

(perselingan batupasir ber-allochem berbentuk

lensa dengan batulumpur ber-allochem), D

(perselingan batugamping allochem pasiran

laminasi dengan batulanau karbonatan), E

(perselingan batupasir ber-mikrit laminasi

dengan batulumpur ber-mikrit lentikuler), F

(batupasir karbonatan flaser), G (batulanau

karbonatan laminasi), H (perulangan gradasi

batupasir ber-mikrit dengan sisipan

batulempung karbonatan), dan I (perulangan

gradasi batupasir kerikilan dan batulempung)

(gambar 2). Pembagian fasies-fasies tersebut

dilakukan berdasarkan parameter fasies dari

Selley (1985) yaitu geometri, litologi, struktur

sedimen, dan fosil. Ke-9 fasies tersebut

kemudian dikelompokkan menjadi 5 asosiasi

fasies yang secara genetik berhubungan dan

mencirikan suatu lingkungan pengendapan

yang sama.

Asosiasi fasies 1 terdiri dari Fasies A

dengan ketebalan 1,6 meter. Asosiasi ini

merupakan breksi polimik yang tersusun atas

fragmen sekis mika, batugamping, dan

foraminifera besar. Pada asosiasi fasies ini

diambil contoh batuan untuk analisa

paleontologi pada matriks breksi di jalur 1

dengan nomor GB 38 dan pada fragmen

batugamping dengan nomor GB 56 di jalur 2.

Berdasarkan fosil foraminifera plangtonik

contoh GB 56 diketahui umurnya adalah

Eosen Awal (P8) (Blow, 1969) dengan

lingkungan yang ditunjukkan kehadiran

foraminifera bentonik pada neritik tengah-

neritik luar (20-200 m). Lingkungan

pengendapan dari asosiasi fasies 1 adalah

lingkungan proximal slope-type fan delta

(Basset, 2004).

Asosiasi fasies 2 terdiri dari Fasies B

dan G dengan tebal keseluruhan adalah 2,5

meter. Struktur sedimen lentikuler

mengindikasikan arus suspensi yang terjadi

dipengaruhi oleh pasang surut air laut dan

gelombang. Struktur laminasi pada batulanau

karbonatan terbentuk akibat arus traksi.

Berdasarkan tekstur sedimen, struktur

sedimen, data paleontologi, serta mekanisme

sedimentasi yang ada diinterpretasikan

lingkungan pengendapan dari asosiasi fasies 1

ini adalah pada lingkungan upper tidal flat

(after Klein, 1997 dalam Boggs, 2006).

Asosiasi fasies 3 terdiri dari Fasies C,

Fasies D, Fasies E, dan Fasies H dengan tebal

keseluruhan adalah 22,6 meter. Asosiasi fasies

3 didominasi oleh sedimen berukuran butir

pasir dengan selingan sedimen berukuran butir

lanau hingga lempung. Secara umum struktur

sedimen keempat fasies pada asosiasi ini

antara lain laminasi, lentikuler, flaser, gradasi

normal, load cast, ripple mark, silang siur

planar. Hal ini mengindikasikan bahwa proses

sedimentasi yang bekerja pada asosiasi fasies

ini yaitu arus traksi dengan periode

pengendapan cepat terutama pada Fasies C.

Arus traksi ini dipengaruhi oleh pasang surut

dan gelombang air laut. Asosiasi fasies ini

terbentuk pada lingkungan pengendapan

middle tidal flat (after Klein, 1997 dalam

Boggs, 2006).

Asosiasi fasies 4 terdiri dari Fasies F

dengan tebal keseluruhan adalah 6,7 meter.

Asosiasi fasies ini tersusun atas material

Page 4: Paper Full Yasinta Pak Indra Pak Didit

sedimen berukuran pasir halus secara

dominan. Struktur sedimen yang tampak pada

fasies ini antara lain berlapis, laminasi, flaser,

silang siur planar. Struktur berlapis dan

laminasi pada batupasir karbonatan terbentuk

akibat arus traksi dengan energi pengendapan

tinggi berdasarkan kandungan foraminifera

besar seperti Assilina dan Nummulites.

Asosiasi fasies ini terbentuk pada lingkungan

pengendapan lower tidal flat (after Klein,

1997 dalam Boggs, 2006).

Asosiasi fasies 5 terdiri dari Fasies I

dengan tebal keseluruhan adalah 9,7 meter.

Asosiasi fasies 5 didominasi oleh sedimen

berukuran butir pasir sangat halus dengan

selingan lempung. Secara umum struktur

sedimen pada asosiasi fasies ini antara lain

laminasi, lentikuler, flaser, gradasi normal,

load cast, ripple mark, silang siur planar. Hal

ini mengindikasikan bahwa proses sedimentasi

yang bekerja pada asosiasi fasies ini yaitu arus

traksi dengan periode pengendapan cepat dan

dipengaruhi pasang surut dan gelombang air

laut. Asosiasi fasies ini terbentuk pada

lingkungan pengendapan middle tidal flat

(after Klein, 1997 dalam Boggs, 2006).

Umur pengendapan batuan di daerah

penelitian ditentukan berdasarkan keterdapatan

foraminifera kecil yang disusun dalam

biozonasi di 3 jalur pengukuran stratigrafi.

Dari ketiga jalur tersebut diperoleh pembagian

zonasi foraminifera kecil sebagai berikut:

1. Jalur 1 (tebing barat bagian utara)

Jalur ini terbagi menjadi 4 biozonasi (Tabel

1) meliputi zona kisaran Turborotalia

pseudomayeri – Globigerinatheka

subconglobata subconglobata, zona selang

Globigerinatheka subconglobata

subconglobata – Truncorotaloides

cerroazulensis pomeroli, zona selang

Truncorotaloides cerroazulensis pomeroli

– Truncorotaloides cerroazulensis

cerroazulensis, dan zona kisaran

Truncorotaloides cerroazulensis

cerroazulensis. Dari pembagian zona yang

disebandingkan dengan biozonasi yang

disusun oleh Blow menghasilkan kisaran

umur antara P10 (zona Subbotina frontosa

frontosa / Globorotalia (Turborotalia)

pseudomayeri) hingga P13 (zona

Globigerapsis beckmanni).

2. Jalur 2 (tebing barat bagian selatan)

Jalur ini terbagi menjadi 4 biozonasi (Tabel

2) meliputi zona kisaran Morozovella

formosa formosa, Zona kisaran

Globigerinatheka subconglobata

subconglobata – Turborotalia

cerroazulensis pomeroli, Zona selang

Turborotalia cerroazulensis pomeroli –

Turborotalia cerroazulensis cerroazulensis,

dan Zona kisaran Turborotalia

cerroazulensis cerroazulensis. Dari

pembagian zona yang disebandingkan

dengan biozonasi yang disusun oleh Blow

menghasilkan kisaran umur antara P8 (zona

Globorotalia (Morozovella) aragonensis/

Globorotalia (Morozovella) formosa)

hingga P13 (zona Globigerapsis

beckmanni). Fosil-fosil yang terdapat pada

jalur pengukuran ini tidak ada yang

mencirikan zona P9 dan P10 sehingga

terdapat perloncatan umur dari P8 hingga

P11 (nonconformity).

3. Jalur 3 (tebing timur)

Keterdapatan foraminifera kecil hanya

melimpah di batuan bagian bawah (tua)

pada jalur ini sehingga hanya terdapat 1

biozonasi (Tabel 3) yaitu zona kisaran

Turborotalia cerroazulensis cerroazulensis.

Zona ini dapat disebandingkan dengan

dengan biozonasi yang disusun oleh Blow

pada kisaran umur P13 (zona Globigerapsis

beckmanni).

Biozonasi pada masing-masing jalur

pengukuran stratigrafi mencirikan kisaran

umur pengendapan tertentu. Berdasarkan

kisaran umur pengendapan maka log litologi

yang didapat dari setiap jalur pengukuran

stratigrafi dapat dikorelasikan (gambar 2). Hal

ini bertujuan untuk mengetahui perkembangan

fasies secara lateral pada kisaran umur yang

sama. Hasil korelasi yang didapat di daerah

penelitian berdasarkan kesamaan umur batuan

dapat dimanfaatkan untuk mengetahui

penyebaran fasies secara lateral. Penyebaran

fasies tersebut kemudian dapat dipetakan

sesuai lintasan jalur pengukuran stratigrafi dan

titik pengamatan tambahan di lapangan seperti

pada gambar 4.

Page 5: Paper Full Yasinta Pak Indra Pak Didit

Gambar 2. Korelasi jalur pengukuran stratigrafi 1, 2, dan 3

DISKUSI

Sejarah geologi daerah penelitian

dimulai dari terjadinya proses tektonik yang

menyebabkan basement di daerah penelitian

terangkat sebelum Eosen Awal kemudian

mengalami erosi. Ekspresi struktur geologi

akibat tektonik ini tidak ditemukan di daerah

penelitian. Hasil erosi berupa breksi yang

mengandung fragmen batuan metamorf

dibawa oleh aliran sungai dan diendapkan di

lingkungan transisi. Pada kala Eosen Awal

(sebelum P8) terjadi fase rifting diikuti dengan

pembentukan batugamping di lingkungan laut

dangkal (Gambar 3a). Breksi dan batugamping

tersebut tidak tersingkap di daerah penelitian.

Pada P8 muka air laut relatif turun

menyebabkan breksi dan batugamping tersebut

tererosi. Hasil erosinya membentuk endapan

slope-type fan delta dimana daerah penelitian

berada pada bagian proksimal (Gambar 3b).

Batuan yang terendapkan pertama kali di

daerah penelitian yaitu breksi polimik (FA)

termasuk asosiasi fasies 1 (AF 1). Breksi

polimik tersebut mengandung fragmen sekis

mika, batugamping, foraminifera besar berupa

Nummulites, dan matriks berupa batulanau

karbonatan yang menumpang tidak selaras di

atas basement. Mekanisme pembentukan

breksi polimik yaitu debris flow dengan

batimetri berada pada neritik tengah.

Pada kala Eosen Tengah (P9) asosiasi

fasies 1 terangkat akibat penurunan muka air

laut relatif di daerah penelitian sehingga breksi

polimik tersingkap ke permukaan dan tererosi.

Pada kala Eosen Tengah (P10) muka air laut

relatif naik menciptakan ruang akomodasi

kembali sehingga terendapkan AF 2 lalu AF 3

(Gambar 3c). Perubahan eustasi menyebabkan

adanya bidang erosional menyudut (angular

unconformity) antara AF 1 dengan AF 2. AF 2

yang terbentuk pada kala ini dimulai dengan

pengendapan batulanau lentikuler (FB) pada

sublingkungan lower tidal flat. Suplai sedimen

pada saat pembentukan FB kurang melimpah

dalam kondisi ruang akomodasi yang cukup

besar. Mekanisme sedimentasi yang terjadi

yaitu arus suspensi dan mendapat pengaruh

dari pasang surut dan gelombang air laut.

Sumber material fasies ini berasal dari

campuran sedimen asal darat hasil erosi pada

batuan metamorf, batuan beku plutonik, dan

batuan vulkanik yang telah tertransport jauh

dari sumbernya berdasarkan ukuran butirnya

serta komponen karbonat insitu. Pada

pertengahan P10 ruang akomodasi yang tetap

mengalami pertambahan suplai sedimen

sehingga terbentuk AF 3 pada lingkungan

pengendapan middle tidal flat dimulai dengan

pengendapan perselingan batupasir ber-

allochem berbentuk lensa dengan batulumpur

ber-allochem (FC). Suksesi Fasies C

menunjukan pola fining upward. Hal ini

menunjukkan suplai sedimen berkurang pada

P10. Batimetri dari foraminifera bentonik yaitu

neritik tengah sehingga disimpulkan muka air

laut relatif tidak berubah pada kala ini.

Mekanisme sedimentasi pada saat itu berupa

arus traksi dengan energi pengendapan yang

tinggi. Sumber material pada asosiasi fasies ini

yaitu campuran antara hasil erosi pada batuan

metamorf, batuan beku, batuan vulkanik dan

material karbonatan insitu.

Page 6: Paper Full Yasinta Pak Indra Pak Didit

Gambar 3. Sejarah sedimentasi daerah penelitian. Kotak merah adalah daerah penelitian.

Pada kala Eosen Tengah (P11) jumlah

suplai sedimen kembali melimpah diikuti

dengan penambahan ruang akomodasi akibat

naiknya muka air laut relatif. Hal ini

menyebabkan pembentukan perselingan

batugamping allochem pasiran laminasi

dengan batulanau karbonatan (FD) dengan

lingkungan pengendapan yang sama yaitu

middle tidal flat (Gambar 3d). FD terendapkan

di bagian utara daerah penelitian sedangkan

pada bagian selatan terendapkan FC.

Berdasarkan tekstur batuan pada kedua fasies

tersebut dapat disimpulkan bahwa bagian utara

merupakan bagian ke arah laut sedangkan

bagian selatan ke arah darat. Suplai sedimen

terus menerus mengalami pertambahan jumlah

menghasilkan suksesi fasies coarsening

upward. Mekanisme sedimentasi yang bekerja

berupa arus traksi dipengaruhi oleh pasang

surut dan gelombang air laut. Sumber material

pada Fasies C dan D tidak berbeda dengan

fasies sebelumnya. Pada akhir P11

terendapkan berupa perselingan batupasir ber-

mikrit laminasi dengan batulumpur ber-mikrit

lentikuler (FE) dengan komposisi yang sedikit

berbeda dengan fasies sebelumnya di bagian

utara daerah penelitian. FE memiliki

kandungan kuarsa vulkanik yang semakin

melimpah daripada fasies sebelumnya.

Ruang akomodasi semakin besar akibat

kenaikan muka air laut relatif diikuti dengan

jumlah suplai sedimen yang bertambah

(gambar 3e) sehingga pada kala Eosen Tengah

(P12) terendapkan AF 4 pada lingkungan

upper tidal flat di bagian utara daerah

penelitian. Fasies yang terbentuk pada kondisi

ini yaitu batupasir karbonatan flaser (FF).

Mekanisme sedimentasi pada fasies ini berupa

arus traksi dengan energi pengendapan yang

tinggi berdasarkan kandungan genus

foraminifera besarnya yaitu Assilina,

Nummulites, Discocyclina, dan Pellatispira.

Komposisi pada FF lebih didominasi oleh

material karbonatan insitu daripada komponen

silisiklastik. Material silisiklastik pada fasies

ini berasal dari rombakan batuan metamorf,

batuan beku plutonik yang mengandung

plagioklas dan batuan vulkanik yang

mengandung kuarsa vulkanik. Kelimpahan

kuarsa plutonik lebih dominan daripada kuarsa

vulkanik. Pada bagian selatan daerah

penelitian semakin dekat dengan darat

sehingga terbentuk AF 2 pada lingkungan

upper tidal flat. Fasies yang terbentuk yaitu

batulanau karbonatan laminasi (FG). Material

Page 7: Paper Full Yasinta Pak Indra Pak Didit

silisiklastik pada Fasies G lebih dominan

daripada material karbonatannya.

Lingkungannya yang dipengaruhi arus pasang

surut tinggi menghasilkan butiran sedimen

berukuran lanau-lempung. Selanjutnya

penambahan ruang akomodasi dan jumlah

suplai sedimen pada akhir P12 menghasilkan

perulangan gradasi batupasir ber-mikrit

dengan sisipan batulempung karbonatan (FH)

pada lingkungan middle tidal flat. Mekanisme

sedimentasi Fasies H dibentuk oleh arus traksi

dengan pengaruh pasang surut dan gelombang

air laut serta energi pengendapan yang tinggi

menyebabkan fasies ini tersusun atas butiran-

butiran clean sand.

Pada kala P13 jumlah suplai sedimen

meningkat pada ruang akomodasi bertambah

besar akibat kenaikan muka air laut relatif

(gambar 3f). Hal ini menyebabkan

pembentukan FG di lingkungan lower tidal flat

pada bagian utara dan FD di lingkungan

middle tidal flat pada bagian selatan. Lalu,

muka air laut relatif mengalami puncak dengan

suplai sedimen yang melimpah menghasilkan

FF pada lingkungan upper tidal flat di bagian

selatan. Sumber material pada fasies-fasies ini

memiliki provenance yang sama dengan fasies

sebelumnya, namun kelimpahan kuarsa

vulkanik lebih banyak daripada kuarsa

plutonik pada fasies sebelumnya. Berdasarkan

tekstur fasies yang terbentuk diketahui bahwa

pada kala ini daerah penelitian bagian utara

lebih dekat dengan darat sedangkan daerah

penelitian bagian selatan lebih dekat dengan

laut.

Pada pertengahan P13 ruang akomodasi

menjadi lebih kecil akibat penurunan muka air

laut relatif (gambar 3g). Hal ini diikuti dengan

penurunan jumlah suplai sedimen sehingga

terbentuk FH kembali di bagian barat daerah

penelitian. Selanjutnya terjadi perubahan

sumber material sedimen menghasilkan

pengendapan perulangan gradasi batupasir

kerikilan dan batulempung (FI) pada

lingkungan pengendapan middle tidal flat di

atas FH (gambar 3h). FI terbentuk secara

selaras dan lebih dangkal dari fasies

sebelumnya. Hal ini dapat disimpulkan

berdasarkan sumber material penyusun FI

seluruhnya berasal dari rombakan batuan asal

darat yang sangat melimpah yaitu batuan

metamorf, batuan beku plutonik, dan batuan

vulkanik yang sangat berbeda dengan fasies

sebelumnya. Komposisi kuarsa vulkanik

semakin melimpah pada FI bagian atas.

Mekanisme yang terbentuk pada fasies ini

berupa arus traksi dengan energi tinggi serta

dipengaruhi oleh pasang surut dan gelombang

air laut. Berdasarkan fasies-fasies yang

terbentuk di daerah penelitian dapat

disimpulkan bahwa garis pantai di sekitar

daerah penelitian memanjang barat-timur dan

melengkung ke arah utara di bagian timur

sehingga material sedimen di bagian timur

lebih didominasi oleh material silisiklastik.

KESIMPULAN

Berdasarkan analisis keseluruhan data

pada daerah penelitian didapatkan beberapa

kesimpulan diantaranya yaitu:

1. Daerah penelitian terbagi menjadi 9 fasies

yang dapat dikelompokkan menjadi 5

asosiasi fasies, yaitu asosiasi fasies 1 (FA)

pada lingkungan proximal slope-type fan

delta, asosiasi fasies 2 (FB dan FG) dengan

lingkungan pengendapan lower tidal flat,

asosiasi fasies 3 (FC, FD, FE, FG, FH)

pada lingkungan middle tidal flat, asosiasi

fasies 4 (FF) pada lingkungan upper tidal

flat, dan asosiasi fasies 5 (FI) pada

lingkungan middle tidal flat.

2. Fasies yang terbentuk di daerah penelitian

termasuk dalam Formasi Wungkal-

Gamping dengan kisaran umur Eosen Awal

(P8) hingga Eosen Tengah (P13).

3. Secara umum batuan yang terbentuk di

daerah peneltian berada pada lingkungan

pengendapan transisi atau tidal flat dengan

pengaruh pasang surut dan gelombang air

laut. Batuan tertuanya terendapkan pada

lingkungan fan delta.

4. Mekanisme sedimentasi pembentuk fasies

di daerah penelitian pada bagian tertua

terbentuk oleh debris flow kemudian

dilanjutkan dengan arus suspensi lalu

semakin muda berubah menjadi arus traksi

yang dipengaruhi oleh pasang surut dan

gelombang air laut.

5. Dinamika sedimentasi daerah penelitian

diawali dengan fase pendangkalan pada P8.

Selanjutnya, terjadi pendalaman pada P10

lalu pendangkalan pada P11. Pada P12

awal terjadi pendalaman lalu pendangkalan

hingga P13. Fase pendangkalan terjadi

ketika ruang akomodasi bertambah besar

sebagai akibat naiknya muka air laut relatif

diikuti dengan penambahan suplai sedimen

sedangkan pendalaman disebabkan suplai

sedimen yang berkurang ketika ruang

akomodasi bertambah besar.

Page 8: Paper Full Yasinta Pak Indra Pak Didit

UCAPAN TERIMA KASIH

Penulis mengucapkan terima kasih

kepada Jurusan Teknik Geologi UGM atas

bantuan yang diberikan. Apresiasi tertinggi

diberikan kepada Dr, Didit Hadi Barianto,

S.T., M.Si. dan Moch. Indra Novian, M.Eng.

yang telah memberikan masukan dalam

penyusunan tulisan ini.

DAFTAR PUSTAKA

Bakosurtanal, 2000, Peta Rupa Bumi Digital

Indonesia Lembar Cawas, Skala

1:25.000, Bogor

Bassett, K.N., Orlowski, R., 2004, New

Zealand Journal of Geology &

Geophysics, Pahau Terrane Type

Locality: Fan delta in an accretionary

prism trench-slope basin, Vol. 47,

University of Canterbury Private Bag,

New Zealand, p. 603–623

Bolli, H.M., Saunders, J. B., Perch-Nielsen,

K., 1985, Plankton Stratigraphy,

Cambridge University Press,

Cambridge, 596 p.

Bothe, A, Ch, D., 1929, Djiwo Hills and

Southern Range, 4th Pacific Science

Congress, Bandung, 14p.

Boggs, Sam, Jr., 2006, Principles of

Sedimentology and Stratigrafi, 4th Ed.,

Merill Publishing Company, Colombus,

662 p.

Brasier, M. D., 1980, Microfossils, George

Allen & Unwin Ltd, London, 168 p.

Folk, 1968, Petrology of Sedimentary Rocks,

Hempill’s Drawer M. University Station,

Austin, Texas, 170 p.

Klein, G. deV, 1980, Sandstones depositional

Models For Exploration For Fossil

Fuels, CEPCO Division Burgess

Publishing Company, New York,149 p.

Nichols, Gary, 2009, Sedimentology and

Stratigraphy, Wiley-BlackWell, United

Kingdom, 397 p.

Pettijohn, F. J., 1975, Sedimentary Rocks,

Harper&Row Publishers, New York,

718p.

Postuma, J. A., 1971, Manual of Planktonic

Foraminifera, Elsevier Publishing

Company, Amsterdam, London, New

York, 420 p.

Pringgoprawiro, H., Kapid, R., 2000, Seri

Mikrofosil; Foraminifera, ITB press,

Bandung, 98 p.

Selley, R. C., 1985, Ancient Sedimentary

Environtment, Cornell University Press,

New York, 317 p.

Sumarso, dan Ismoyowati, T., 1975,

Contribution to The Stratigraphy of The

Jiwo Hills and Their Southern

Surroundings (Central Java),

Proceedings IPA 4th Annual Convention,

Jakarta, pp. 19 – 26

Sumosusastro, S., 1956, A Contribution to the

Geology of the Eastern Djiwo Hills and

The Southern Range in Central Java,

Majalah Pengetahuan Alam Indonesia,

Bandung, pp. 115 – 133

Toha, B., Purtyasti, R., Sriyono, Soetoto,

Rahardjo, W., Subagyo, P., 1994,

Geologi Daerah Pegunungan Selatan,

Suatu Kontribusi, Fakultas Teknik,

Universitas Gadjah Mada, pp. 19 – 37

Tucker, M. E., 1991, Sedimentary Petrology –

An Introduction to The Origin of

Sedimentary Rocks, 2nd

ed., Blackwell

Scientific Publication, Oxford, 260 p.

Walker, R. G., James, N. P., 1992, Facies

Model Response to Sea Level Change,

Geological Association of Canada 454

p.

Page 9: Paper Full Yasinta Pak Indra Pak Didit

Gambar 4. Peta Fasies daerah penelitian berdasarkan pengukuran stratigrafi pada 3 jalur.