Pangeran Antasari
-
Upload
mhd-akbar-muttaqin -
Category
Documents
-
view
95 -
download
0
Transcript of Pangeran Antasari
Pangeran Antasari
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Langsung ke: navigasi, cari
Pangeran Antasari
Panembahan Amiruddin Khalifatul Mukminin
Pangeran Antassarie
Gusti Inu Kartapati
Lukisan Pangeran Antasari menurut Perda
Kalsel
Masa
kekuasaan
14 Maret 1862 - 11 Oktober
1862
Pendahulu Sultan Hidayatullah Khalilullah
Pengganti Sultan Muhammad Seman
PasanganRatu Antasari
Nyai Fatimah
Wangsa Dinasti Banjarmasin
AyahPangeran Masud bin Pangeran
Amir
IbuGusti Khadijah binti Sultan
Sulaiman
Pangeran Antasari (lahir di Kayu Tangi, Kesultanan Banjar, 1797 [1] [2] atau 1809 [3] [4] [5] [6] –
meninggal di Bayan Begok, Hindia-Belanda, 11 Oktober 1862 pada umur 53 tahun)
adalah seorang Pahlawan Nasional Indonesia.
Ia adalah Sultan Banjar.[7] Pada 14 Maret 1862, beliau dinobatkan sebagai pimpinan
pemerintahan tertinggi di Kesultanan Banjar (Sultan Banjar) dengan menyandang gelar
Panembahan Amiruddin Khalifatul Mukminin dihadapan para kepala suku Dayak dan
adipati (gubernur) penguasa wilayah Dusun Atas, Kapuas dan Kahayan yaitu
Tumenggung Surapati/Tumenggung Yang Pati Jaya Raja.[8]
Daftar isi
1 Silsilah
2 Pewaris Kerajaan Banjar
3 Perlawanan terhadap Belanda
4 Meninggal dunia
5 Referensi
6 Pranala luar
Silsilah
Semasa muda nama beliau adalah Gusti Inu Kartapati.[9] Ibu Pangeran Antasari
adalah Gusti Hadijah binti Sultan Sulaiman. Ayah Pangeran Antasari adalah Pangeran
Masohut (Mas'ud) bin Pangeran Amir. Pangeran Amir adalah anak Sultan Muhammad
Aliuddin Aminullah yang gagal naik tahta pada tahun 1785. Ia diusir oleh walinya
sendiri, Pangeran Nata, yang dengan dukungan Belanda memaklumkan dirinya sebagai
Sultan Tahmidullah II [10] [11] [12] Pangeran Antasari memiliki 3 putera dan 8 puteri. [13]
Pangeran Antasari mempunyai adik perempuan yang bernama Ratu Antasari alias Ratu
Sultan Abdul Rahman yang menikah dengan Sultan Muda Abdurrahman bin Sultan
Adam tetapi meninggal lebih dulu setelah melahirkan calon pewaris kesultanan Banjar
yang diberi nama Rakhmatillah, yang juga meninggal semasa masih bayi.
Pewaris Kerajaan Banjar
Pangeran Antasari tidak hanya dianggap sebagai pemimpin Suku Banjar, beliau juga
merupakan pemimpin Suku Ngaju, Maanyan, Siang, Sihong, Kutai, Pasir, Murung,
Bakumpai dan beberapa suku lainya yang berdiam di kawasan dan pedalaman atau
sepanjang Sungai Barito.
Setelah Sultan Hidayatullah ditipu belanda dengan terlebih dahulu menyandera Ratu
Siti (Ibunda Pangeran Hidayatullah) dan kemudian diasingkan ke Cianjur, maka
perjuangan rakyat Banjar dilanjutkan pula oleh Pangeran Antasari.[14] Sebagai salah
satu pemimpin rakyat yang penuh dedikasi maupun sebagai sepupu dari pewaris
kesultanan Banjar. Untuk mengokohkan kedudukannya sebagai pemimpin perjuangan
umat Islam tertinggi di Banjar bagian utara (Muara Teweh dan sekitarnya), maka pada
tanggal 14 Maret 1862, bertepatan dengan 13 Ramadhan 1278 Hijriah, dimulai dengan
seruan:
“ Hidup untuk Allah dan Mati untuk Allah! ”
Seluruh rakyat, pejuang-pejuang, para alim ulama dan bangsawan-bangsawan Banjar;
dengan suara bulat mengangkat Pangeran Antasari menjadi "Panembahan Amiruddin
Khalifatul Mukminin", yaitu pemimpin pemerintahan, panglima perang dan pemuka
agama tertinggi.[2]
Tidak ada alasan lagi bagi Pangeran Antasari untuk berhenti berjuang, ia harus
menerima kedudukan yang dipercayakan oleh Pangeran Hidayatullah kepadanya dan
bertekad melaksanakan tugasnya dengan rasa tanggung jawab sepenuhnya kepada
Allah dan rakyat.
Perlawanan terhadap Belanda
Lanting Kotamara semacam panser terapung di sungai Barito dalam pertempuran
dengan Kapal Celebes dekat pulau Kanamit, Barito Utara
Perang Banjar pecah saat Pangeran Antasari dengan 300 prajuritnya menyerang
tambang batu bara milik Belanda di Pengaron tanggal 25 April 1859. Selanjutnya
peperangan demi peperangan dipkomandoi Pangeran antasari di seluruh wilayah
Kerajaan Banjar. Dengan dibantu para panglima dan pengikutnya yang setia, Pangeran
Antasari menyerang pos-pos Belanda di Martapura, Hulu Sungai, Riam Kanan, Tanah
Laut, Tabalong, sepanjang sungai Barito sampai ke Puruk Cahu.[15]
Pertempuran yang berkecamuk makin sengit antara pasukan Khalifatul Mukminin
dengan pasukan Belanda, berlangsung terus di berbagai medan. Pasukan Belanda
yang ditopang oleh bala bantuan dari Batavia dan persenjataan modern, akhirnya
berhasil mendesak terus pasukan Khalifah. Dan akhirnya Khalifah memindahkan pusat
benteng pertahanannya di Muara Teweh.
Berkali-kali Belanda membujuk Pangeran Antasari untuk menyerah, namun beliau tetap
pada pendirinnya. Ini tergambar pada suratnya yang ditujukan untuk Letnan Kolonel
Gustave Verspijck di Banjarmasin tertanggal 20 Juli 1861.
“ ...dengan tegas kami terangkan kepada tuan: Kami tidak setuju terhadap
usul minta ampun dan kami berjuang terus menuntut hak pusaka
(kemerdekaan)... ”
Dalam peperangan, belanda pernah menawarkan hadiah kepada siapa pun yang
mampu menangkap dan membunuh Pangeran Antasari dengan imbalan 10.000 gulden.
Namun sampai perang selesai tidak seorangpun mau menerima tawaran ini.[16] Orang-
orang yang tidak mendapat pengampunan dari pemerintah Kolonial Hindia Belanda:[17]
1. Antasari dengan anak-anaknya
2. Demang Lehman
3. Amin Oellah
4. Soero Patty dengan anak-anaknya
5. Kiai Djaya Lalana
6. Goseti Kassan dengan anak-anaknya
Meninggal dunia
Monumen Perang Banjar yang dibangun pemerintah Hindia Belanda untuk mengenang
tentaranya yang tewas.
Setelah berjuang di tengah-tengah rakyat, Pangeran Antasari kemudian wafat di
tengah-tengah pasukannya tanpa pernah menyerah, tertangkap, apalagi tertipu oleh
bujuk rayu Belanda pada tanggal 11 Oktober 1862 di Tanah Kampung Bayan Begok,
Sampirang, dalam usia lebih kurang 75 tahun. Menjelang wafatnya, beliau terkena sakit
paru-paru dan cacar yang dideritanya setelah terjadinya pertempuran di bawah kaki
Bukit Bagantung, Tundakan.[18] Perjuangannya dilanjutkan oleh puteranya yang
bernama Muhammad Seman.[19]
Setelah terkubur selama lebih kurang 91 tahun di daerah hulu sungai Barito, atas
keinginan rakyat Banjar dan persetujuan keluarga, pada tanggal 11 November 1958
dilakukan pengangkatan kerangka Pangeran Antasari. Yang masih utuh adalah tulang
tengkorak, tempurung lutut dan beberapa helai rambut. Kemudian kerangka ini
dimakamkan kembali Taman Makam Perang Banjar, Kelurahan Surgi Mufti,
Banjarmasin.
Pangeran Antasari telah dianugerahi gelar sebagai Pahlawan Nasional dan
Kemerdekaan oleh pemerintah Republik Indonesia berdasarkan SK No. 06/TK/1968 di
Jakarta, tertanggal 27 Maret 1968.[20] Nama Antasari diabadikan pada Korem
101/Antasari dan julukan untuk Kalimantan Selatan yaitu Bumi Antasari. Kemudian
untuk lebih mengenalkan P. Antasari kepada masyarakat nasional, Pemerintah melalui
Bank Indonesia (BI) telah mencetak dan mengabadikan nama dan gambar Pangeran
Antasari dalam uang kertas nominal Rp 2.000
Sebelumnya:
Hidayatullah II
Sultan Banjar
1862
Digantikan oleh:
Muhammad Seman
Referensi
Perang Sabil Versus Perang Salib, Oleh Abdul Qodir Jaelani. Penerbit Yayasan
Pengkajian Islam Madinah al-Munawarah 1420 H/ 1999 M.
Van Rees WA . 1865. De Bandjarmasinsche Krijg van 1859-1863, Arnhem:
Thieme.
M. Gazali Usman, Kerajaan Banjar: Sejarah Perkembangan Politik, Ekonomi,
Perdagangan dan Agama Islam, Banjarmasin: Lambung Mangkurat Press, 1994.
R. L. de Haes, Eenige opmerkingen over het werk getiteld: de Bandjermasinsche
Krijg van 1859 tot 1863, D. Noothoven Van Goor, 1866
1. ̂ (Indonesia) Kisah Heroik Pahlawan Nasional Terpopuler. Galangpress Group.
ISBN 6028620106.ISBN 978-602-8620-10-9
2. ^ a b (Indonesia) Arya Ajisaka, Mengenal Pahlawan Indonesia, Kawan Pustaka,
2004, ISBN 979-3034-70-X, 9789793034706
3. ̂ (Indonesia) Wahana Ips Iimu Pengetahuan Sosial. Yudhistira Ghalia
Indonesia. ISBN 9797467139.ISBN 978-979-746-713-5
4. ̂ (Indonesia) Sudarmanto, J. B. (2007). Jejak-jejak pahlawan: perekat kesatuan
bangsa Indonesia. Grasindo. hlm. 159. ISBN 9797597164.ISBN 978-979-759-
716-0
5. ̂ Helius Sjamsuddin; Antasari, Balai Pustaka, 1982
6. ̂ (Indonesia) Iskandar, Salman. 99 Tokoh Muslim Indonesia. PT Mizan Publika.
ISBN 9797526828.ISBN 978-979-752-682-5
7. ̂ Regnal Chronologies Southeast Asia: the Islands
8. ̂ (Indonesia) Basuni, Ahmad (1986). Pangeran Antasari: pahlawan
kemerdekaan nasional dari Kalimantan. Bina Ilmu. hlm. 57.
9. ̂ (Indonesia) (1971)Artha, Artum. Pangeran Antasari Gusti Inu Kartapati.
10. ̂ (Indonesia) Sudrajat, A Suryana (2006). Tapak-tapak pejuang: dari reformis ke
revisionis (Seri khazanah kearifan). Erlangga. hlm. 19. ISBN 9797816109.ISBN
978-979-781-610-0
11. ̂ (Indonesia) Komandoko, Gamal (2006). Kisah 124 pahlawan & pejuang
Nusantara. Pustaka Widyatama. hlm. 54. ISBN 9796610906.ISBN 978-979-661-
090-7
12. ̂ (Belanda) (1899)De Indische gids 21 (ed. 1). hlm. 277.
13. ̂ (Belanda) Rutte, J. M. C. E. Le (1863). Episode uit den Banjermasingschen
oorlog. A.W. Sythoff.
14. ̂ (Indonesia) SEJARAH Untuk SMP dan MTs Penerbit Grasindo ISBN
979025198X, 9789790251984
15. ̂ (Indonesia) Sejarah Indonesia Modern 1200–2008. Penerbit Serambi.
ISBN 9790241151.ISBN 978-979-024-115-2
16. ̂ (Indonesia) Saleh, Mohamad Idwar; Sri Sutjiatiningsih (1993). Pangeran
Antasari. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Jenderal
Kebudayaan, Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, Proyek Inventarisasi dan
Dokumentasi Sejarah Nasional.
17. ̂ (Belanda) de Heere, G. A. N. Scheltema (1863). Staatsblad van Nederlandisch
Indië. Ter Drukkerij van A. D. Schinkel. hlm. 118.
18. ̂ (Indonesia) 100 Pahlawan Nusantara: Mengenal Dan Meneladani Para
Pahlawan Melalui Kisah Perjuangan Mereka Dalam Mewujudkan Dan
Mempertahankan Kemerdekaan Indonesia. AgroMedia. hlm. 6.
ISBN 6028526347.ISBN 978-602-8526-34-0
19. ̂ (Indonesia) IPS : - Jilid 5 . ESIS. hlm. 70. ISBN 9797346013.ISBN 978-979-
734-601-0
20. ̂ (Indonesia) Pahlawan Indonesia. Niaga Swadaya. hlm. 12. ISBN 979-1481-60-
1.ISBN 978-979-1481-60-1
Pranala luar
Minggu, 24 Januari 2010
Pangeran Antasari Pahlawan Nasional (1809-1862)
Pemerintah Republik Indonesia berdasarkan Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia
Nomor 06/TK/Tahun 1968 tanggal 27 Maret 1968 menganugerahi Pangeran Antasari gelar
Pahlawan Kemerdekaan.
Pangeran Antasari lahir dalam tahun 1809, ayahnya bernama Pangeran Mas’ud dan ibunya
bernama Gusti Hadijah puteri Sultan Sulaiman. Ia adalah keluarga Kesultanan Banjarmasin,
tetapi hidup dan dibesarkan di luar lingkungan istana, yakni di Antasan Senor, Martapura.
Kericuhan-kericuhan yang terjadi khususnya dalam kalangan penguasa kesultanan, menjadikan
cicit dari Sultan Aminullah ini tersisih, walaupun ia sebenarnya pewaris pula atas tahta
Kesultanan Banjar.
Kericuhan terjadi ketika Sultan Aminullah wafat dalam tahun1761. Ia meninggalkan tiga orang
putera yang masih kecil, dan karena itu saudara Sultan Aminullah, yang bernama Pangeran
Natanegara diangkat menjadi wali. Dua orang putera Sultan Amunullah meninggal, dan yang
seorang lagi yaitu Pangeran Amir pergi ke Pasir. Sesudah itu Pangeran Natannegara
menubatkan diri menjadi Sultan Sulaiman Saidullah.
Tahun 1787 Pangeran Amir melancarkan pemberontakan untuk mengambil tahtanya kembali
dengan kekuatan 3000 orang Bugis. Sultan Sulaiman Saidullah untuk mengatasinya meminta
bantuan Belanda. Pasukan Belanda di bawah pimpinan Kapten Hoffman berhasil mematahkan
perlawanan Pangeran Amir. Dalam suatu pertempuran pada tanggal 14 Mei 1787 Pangeran
Amir tertangkap, dan bulan Juni ia dikirim ke Batavia untuk selanjutnya di buang ke Ceylon
(sekarang Srilangka). Salah seorang puteranya bernama Pangeran Mas’ud, yaitu ayah dari
Pangeran Antasari.
Belanda menarik keuntungan dari kericuhan itu. Sebagai imbalan jasa memadamkan
“pemberontakan” Pangeran Amir, maka ditandatanganilah antara pihak Belanda dan penguasa
Kesultanan Banjar sebuah tractaat dan Acta van Afstand pada tanggal 13 Agustus 1787.
Dengan demikian berarti Sultan Sulaiman Saidullah terpaksa mengurangi kekuasaan,
mengurangi kedaulatan Kesultanan Banjar. Ia dan keturunannya masih berhak menyandang
gelar-gelar sultan dan memerintah wilayah kesultanan, tetapi hanya sebagai pinjaman (vazal)
dari Belanda.
Kericuhan terjadi lagi dalam masa pemerintahan Sultan Adam Alwasyiqubillah putera Sultan
Sulaiman. Selagi masih bertahta, ia mengangkat anaknya , Pangeran Abdurrahman , sebagai
Sultan Muda atau Putera Mahkota. Pada tahun 1852 Sultan Muda Abdurrahman meninggal
dunia, yang meninggalkan dua orang anak, yaitu Pangeran Hidayatullah anak dari perkawinan
dengan Ratu Siti, dan Pangeran Tamjidillah anak dari perkawinan dengan Nyai Aminah.
Keduanya merasa berhak atas tahta kesultanan. Di samping itu ada lagi pihak ketiga yang juga
merasa berhak, yaitu Prabu Anom, putera Sultan Adam Alwasyiqubillah, adik Pangeran
Abdurrahman. Sebenarnya Pangeran Hidayatullah yang paling berhak atas tahta kesultanan.
Sekali lagi Belanda ikut campur tangan. Mereka menggunakan sebagai alasan campur
tangannya, karena investasinya yng sudah ditanamkan dalam pertambangan batu bara “Oranye
Nassau” di Pengaron, dan “Julia Hermina” di Banyu Ireng. Kedua tambang ini mendatangkan
hasil yang cukup banyak. Karena itu Belanda memerlukan sultan yang dapat mereka
kendalikan.
Sultan Adam Alwasyiqubillah meninggal dunia dalam tahun1857. Belanda lalu mengangkat
Pangeran Tamjidillah sebagai penggantinya, sedangkan Pangeran Hidayatullah diangkat
sebagai mangkubumi. Para bangsawan, ulama, dan rakyat tidak menyukai terhadap
pengangkatan Pangeran Tamjidillah sebagai Sultan.
Keresahan rakyat tampak jelas dengan timbulnya perlawanan di daerah pedalaman, yaitu:
Di Banua Lima (Negara, Alabio, Sungai Banar, Amuntai dan Kalua) dipimpin oleh Tumenggung
Jalil.
Di Muning dibawah pimpinan Aling yang telah menobatkan dirinya menjadi sultan dengan nama
Penembahan Muda. Anaknya yang bernama Sambang diangkat dan bergelar Sultan Kuning.
Anak perempuannya Saranti diberi gelar Puteri Junjung Buih. Nama kampungnya diganti
menjadi Tambai Makkah.
Di daerah Batang Hamandit, Gunung Madang, dipimpin Tumenggung Antaluddin.
Di Tanah Laut dan Hulu Sungai dipimpin oleh Demang Lehman.
Di Kapuas Kahayan dibawah pimpinan Tumenggung Surapati.
Gerakan-gerakan rakyat itu pada hakekatnya menghendaki agar yang bertahta di Kesultanan
Banjar adalah Pangeran Hidayatullah. Sebenarnya Pangeran Hidayatullah yang berhak menjadi
Sultan, sesuai pula dengan harapan rakyat Banjar, yang dipekuat pula dengan Surat Wasiat
Sultan Adam Alwasyiqubillah. Isi Surat Wasiat itu sebagai berikut:
Sultan Adam memberi kepada Pangeran Hidayat gelar Sultan Hidayatullah Khalilullah.
Mengangkat menjadi penguasa agama serta mewariskan semua tanah kesultanan, semua alat
senjata kesultanan, alat pusaka dan padang-padang perburuan.
Apabila Sultan Adam wafat, maka penggantinya ialah Pangean Hidayat, dan hendaknya
memerintah rakyat dengan penuh keadilan dan mengikuti perintah agama.
Memerintahkan kepada seluruh rakyat Kesultanan Banjar supaya mentaati hal ini dan jika perlu
mempertahankan dengan kekerasan.
Memerintahkan kepada semua pangeran, menteri, orang besar kesultanan, ulama dan tetuha
kampung supaya mematuhi ketentuan ini, apabila dilanggar Sultan Adam menjatuhkan
kutuknya.
Pada mulanya gerakan-gerakan itu berdiri sendiri-sendiri. Di berbagai tempat, di kampung-
kampung, mereka mempengaruhi rakyat dan di sana-sini mengganggu ketenteraman. Baru
kemudian gerakan-gerakan itu dapat dipersatukan oleh Pangeran Antasari yang waktu itu
sudah berusia 50 tahun.
Sampai saat itu nama Pangeran Antasari hampir-hampir tidak dikenal. Ia tidak memiliki
kekayaan yang memungkinkan untuk hidup layak sebagai seorang pangeran, sedang ia merasa
prihatin menyaksikan Kesultanan Banjar yang recuh dan semakin besarnya pengaruh Belanda
di Banua Banjar. Terbuka kesempatan bagi Pangeran Antasari ketika di pedalaman Banjar
timbul gerakan-gerakan rakyat
Pangeran Hidayatullah dalam kedudukannya sebagai mangkubumi mengutus 3 orang untuk
menyelidiki gerakan-gerakan rakyat yang sedang bergolak. Salah seorang dari utusan itu
adalah pamannya sendiri, yaitu Pangeran Antasari. Maka terbukalah kesempatan bagi
Pangeran Antasari untuk menghubungi pemimpin-pemimpin gerakan rakyat yang siap
mengadakan perlawanan, bahkan ia berhasil memperoleh kepercayaan rakyat dan dipilih
sebagai pemimpin perlawanan. Cita-cita mereka memang sesuai dengan sikap dan pendirian
Antasari.
Oleh karena itu ia dan keluarganya diam-diam meninggalkan kediamannya di Antasan Senor
Martapura dan menyatukan diri dengan kaum perlawanan di pedalaman. Puteranya yang
bernama Gusti Penembahan Muhammad Said, dikawinkan dengan Saranti, puteri Penembahan
Aling, tokoh yang berpengaruh di kalangan mereka.
Pangeran Antasari berhasil mempersatukan gerakan rakyat yang dipimpin oleh Penembahan
Aling di Muning dengan gerakan rakyat yang dipimpin oleh Tumenggung Jalil di Benua Lima.
Wilayah perlawanan bertambah luas, meliputi Tanah Dusun Atas, Tabanio dan Kuala Kapuas,
serta Tanah Bumbu. Semuanya menjadi satu front di bawah pimpinan Pangeran Antasari untuk
menentang Belanda dan kekuasaannya yang menggunakan Sultan Tamjidillah.
Pengaruh Pangeran Antasari menjadi makin luas, juga di kalangan alim ulama Banjar yang
sebagian besar bersedia ikut menempuh jalan kekerasan. Pada permulaannya ia berhasil
menghimpun sebanyak 6.000 orang lasykar.
Serangan pertama dilakukan pada tanggal 28 April 1859. Dengan serangan itu maka
meletuslah Perang Banjar. Pagi-pagi buta 300 orang lasykar yang dipimpin langsung oleh
Pangeran Antasari menyerang tambang batu bara dan benteng Belanda di Pengaron.
Pertempuran berlangsung hingga pukul 14.00 siang. Baik pihak Pangeran Antasari mapun
pihak Belanda berjatuhan korban.
Pengaron dikepung rakyat lasykar Antasari. Komandan Beeckman sangat hawatir karena
persediaan makanan sudah menipis. Ia segera mengirim kurir, tetapi kurir itu dapat dibunuh
oleh lasykar. Keadaan di luar tambang dan benteng Belanda di Pengaron dapat dikuasai
lasykar Pangeran Antasari. Dua puluh orang bersenjata parang menyelinap ke dalam pos dan
benteng tambang batu bara Oranje Nassau Pengaron, tetapi diketahui musuh, dan semuanya
gugur terbunuh. Dokter Belanda di dalam lokasi itu diamuk dan dibunuh oleh orang hukuman .
Pangeran Antasari sebagai pimpinan lasykar perlawanan mengirim surat kepada Beeckman
agar ia menyerah.
Dalam keadaan semacam ini pemerintah Belanda menganggap berbahaya terhadap pangeran
Antasari sehingga dianggap pemberontak yang dikenai premie atau harga kepala 10.000
gulden untuk menangkapnya hidup atau mati. Demikian pula terhadap Pangeran Hidayatullah
yang kemudian menggabung dengan Pangeran Antasari. Hal ini dilakukan Belanda setelah
dihapuskannya Kerajaan Banjar oleh Belanda pada tanggal 11 Juni 1860.
Di dalam bulan suci Ramadhan 1278 H (Maret 1862) para alim ulama dan pemimpin rakyat di
Barito, Sihong, Teweh serta kepala-kepala suku Dayak Kapuas Kahayan berkumpul di Dusun
Hulu untuk menobatkan Pangeran Antasari menjadi Penembahan Amiruddin Khalifatul
Mukminin, pemimpin tertinggi agama. Dengan demikian, dalam pengertian rakyat, kedaulatan
daerah Banjar dipegang oleh Pangeran Antasari. Kekuasaan dan kedaulatan dilaksanakan
sesuai dengan keadaan perang yang masih berkobar.
Belanda masih berusaha untuk berdamai dengan Pangeran Antasari dan bersedia memberi
pengampunan. Tetapi Pangeran Antasari sadar, bahwa itu hanya tipu muslihat Belanda saja.
Pangeran Antasari menolak ajakan Belanda dengan mengirim surat kepada gezaghebber
(Kepala Daerah/penguasa) di Marabahan (Bakumpai). Isinya ialah penolakan pengampunan
yang diajukan Belanda kepada Pangeran Antasari. Ia tidak percaya kepada janji-janji yang
diberikan Belanda dan menganggapnya sebagai tipu muslihat belaka.
Pangeran Antasari sebagai Panembahan Amiruddin Khalifatul Mukminin hanya memberi satu
jaminan untuk perdamaian, yaitu diserahkannya Kesultanan Banjarmasin, sedangkan Belanda
hanya diizinkan untuk menarik pajak. Kalau syarat tersebut tidak dipenuhi, maka Pangeran
Antasari memilh jalan meneruskan peperangan.
Ternyata Pangeran Antasari benar-benar menunjukkan jiwa kepahlawanan. Beliau selalu
berkata. “Haram Manyarah, Waja Sampai Kaputing”, maksudnya haram hukumnya menyerah
kepada musuh, tak tergoyahkan, ulet, tabah sampai akhir. Perkataan ini diamanatkan pula
kepada keturunan beliau.
Waktu itu Pangean Antasari sudah tidak muda lagi, usianya sudah lebih lima puluh tahun.
Dengan penuh kesadaran dan keyakinan ia memimpin gerakan melawan pemerintah Belanda
di Kalimantan Selatan dan Tengah. Ia mempunyai kekuatan pribadi dan keluhuran budi yang
menjadi tenaga pendorong mengapa ia hidup mempertahankan pendiriannya tanpa pernah
mundur setapakpun untuk berkompromi dengan lawan sampai akhir hayatnya.
Pangeran Antasari telah membuktikan memiliki keahlian dalam siasat perang gerilya serta
mampu memimpin pasukan di daerah-daerah yang luas lagi sukar didiami manusia. Ia adalah
pemimpin yang ulet, tabah dan berwibawa, serta memiliki kekuatan batin untuk mengikat para
pengikutnya kepada tujuan yang mulia.
Pangeran Antasari seorang pemimpin yang tidak mementingkan diri sendiri. Pada saat para
bangsawan yang berkuasa dalam Kesultanan Banjarmasin secara sistemetik dikuasai dan
dipecah belah Belanda dengan memanfaatkan situasi dan kondisi Kesultanan Banjar itu
sendiri., maka Pangeran Antasari mengangkat senjata dengan semboyannya yang pantang
mundur itu.
Sementra itu wabah penyakit melanda daerah pedalaman . Pangeran Antasari jatuh sakit.
Dalam keadaan sakit parah ia diangkut ke pegunungan Dusun Hulu. Akhirnya wafat di Bayan
Pegog, Hulu Teweh, pada tanggal 11 Oktober 1862. Kemudian di masa Indonesia merdeka,
kerangka tulang belulang beliau dipindahkan dan dimakamkan kembali di Kompleks Makam
Pahlawan Perang Banjar, jalan Masdjid Jami di Banjarmasin, pada tanggal 11 November 1958.
Sekarang makamnya diberi nama Makam Pahlawan Nasional Pangeran Antasari.
Dengan wafatnya Pangeran Antasari rakyat kehilangan pemimpin yang berani, cerdas,
tangguh, cerdik, dan alim. Meskipun demikian semangat Antasari tetap berkobar-kobar. Rakyat
Banjar tidak tenggelam kesedihannya, kedudukan Pangeran Antasari segera digantikan oleh
putra-putranya, yaitu Pangeran Muhammad Seman menjadi sultan. Sementara saudara
Muhammad Seman, yaitu Pangeran Panembahan Muhammad Said sebagai mangkubumi.
Pusat pemerintahan berpindah-pindah karena senantiasa dikejar-kejar Belanda. Semula
berpusat di Dusun Hulu dengan kedudukan di Muara Teweh, kemudian di Kapuas Kahayan
dengan pertahanannya di dekat Sungai Patangan. Paling akhir di Baras Kuning di mulut Sungai
Manawing.
Tidak hanya keturunan Pangeran Antasari yang melanjutkan perlawanan, tetapi juga rakyat
Banjar, seperti Tumenggung Surapati sampai meninggal tidak pernah menyerahkan diri kepada
Belanda. Demang Lehman yang tertangkap melalui penghianatan tahun 1864, air mukanya tak
berubah dan urat muka tak bergerak menaiki tiang gantungan, yang menunjukkan ketabahan
hati. Selesai digantung kepalanya di potong Belanda. Jalil gugur karena luka dalam
pertempuran. Kuburnya ditemukan Belanda dan dibongkar sedang kepalanya di potong.
Penghulu Rasyid dari Benua Lawas, pemimpin golonagn agama, sangat terkenal dengan
gerakan “Baratib Baamal”, bertempur dengan gagah berani. Pada tahun 1864 menderita luka-
luka dalam pertempuran, lalu berusaha menyembunyikan diri. Namun kaki tangan Belanda
selalu membuntutinya. Penghianat tersebut dapat membunuhnya, kemudian memotong
lehernya dan menyerahkan kepala Penghulu Rasyid kepada Belanda untuk mendapakan
hadiah. Nasib yang sama juga dialami oleh Haji Buyasin, pejuang yang bersama-sama Demang
Lehman melawan penjajah Belanda di Tanah Laut. Pada tahun 1866 beliau dibunuh oleh
seorang kaki tangan Belanda, dan mayatnya diserahkan kepada Belanda di Banjarmasin.
Demikian pula pejuang-pejuang lainnya seperti Tumenggng Antaluddin, Tumenggung
Cakrawati, Bukhari dan Kawan-kawan. Banyak sekali kalau dibeberkan satu persatu.
Tumenggung Cakrawati gugur, lalu digantikan oleh isterinya yang memakai namanya. Bukhari
dan kawan-kawan gugur melawan Belanda dalam Amuk Hantarukung, di ujung abad ke 19.
Pada tahun 1905 tanggal 1 Januari Sultan Muhammad Seman gugur. Sesudah itu boleh
dikatakan pelawanan secara fisik tidak begitu memusingkan Belanda lagi. Perlawanan yang
dilakukan oleh Ratu Zaleha dan Gusti Muhammad Arsyad sebagai keturunan langsung
Pangeran Antasari tidak berhasil menguasai keadaan. Perang Banjar yang apinya mulai
dinyalakan Pangeran Antasari tanggal 28 April 1859 boleh dikatakan telah padam. Meskipun
demikian semangat kejuangan yang diwariskan Pangeran Antasari, beserta para pejuang
lainnya terus menyala, selalu mendorong langkah perjuangan hingga Indonesia Merdeka,
memelihara serta melestarikannya melalui pembangunan nasional. (Sumber: Naskah
Peringatan Wafatnya Pahlawan Nasional Pangeran Antasari tgl. 11 Oktober 1985).
Diposkan oleh Ramli Nawawi di 02.10
Tidak ada komentar:
Poskan Komentar
Posting Lebih Baru Posting Lama Beranda
Langganan: Poskan Komentar (Atom)