PANDANGAN HIDUP TOKOH WASKA DALAM NASKAH DRAMA...

download PANDANGAN HIDUP TOKOH WASKA DALAM NASKAH DRAMA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24614/3/YUNITA... · jawab terhadap waktu jika ingin menjadi orang besar. ...

If you can't read please download the document

Transcript of PANDANGAN HIDUP TOKOH WASKA DALAM NASKAH DRAMA...

  • PANDANGAN HIDUP TOKOH WASKA DALAM NASKAH

    DRAMA UMANG-UMANG ATAWA ORKES MADUN II KARYA

    ARIFIN C. NOER DAN IMPLIKASINYA TERHADAP

    PEMBELAJARAN SASTRA DI SMA

    Skripsi

    Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan untuk Memenuhi

    Syarat Mencapai Gelar Sarjana Pendidikan (S.Pd)

    Oleh

    Yunita

    NIM. 109013000060

    JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA

    FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN

    UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

    JAKARTA

    1435 H/2014 M

  • LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING SKRIPSI

    PANDANGAN HIDUP TOKOH WASKA DALAM NASKAH

    DRAMA UMANG-UMANG ATAWA ORKES MADUN II KARYA

    ARIFIN C. NOER DAN IMPLIKASINYA TERHADAP

    PEMBELAJARAN SASTRA DI SMA

    Skripsi

    Diajukan Kepada Fakultas IlmuTarbiyah dan Keguruan

    Untuk Memenuhi Persyaratan Mencapai Gelar Sarjana Pendidikan (S.Pd)

    Oleh

    Yunita

    NIM. 109013000060

    Di bawah bimbingan

    Novi Diah Haryanti, M.Hum

    PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA

    INDONESIA FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN

    UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

    JAKARTA

    1435 H/2014 M

  • UJI REFERENSI

    Seluruh referensi yang digunakan dalam penulisan skripsi yang berjudul

    Pandangan Hidup Tokoh Waska dalam Naskah Drama Umang-umang Atawa

    Orkes Madun II dan Implikasinya terhadap Pembelajaran Sastra di SMA yang

    disusun oleh Yunita dengan NIM 109013000060 Program Studi Pendidikan

    Bahasa dan Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif

    Hidayatullah Jakarta, telah diuji kebenarannya oleh dosen pembimbing pada

    tanggal 10 Maret 2014.

    Jakarta, 11 Maret 2014

    Pembimbing

    Novi Diah Haryanti, M.Hum

  • KEMENTERIAN AGAMA

    FORM (FR)

    No. Dokumen : FITK-FR-AKD-089

    UIN JAKARTA Tgl. Terbit : 1 Maret 2010

    FITK No. Revisi: : 01 Jl. Ir. H. Juanda No 95 Ciputat 15412 Indonesia Hal : 1/1

    SURAT PERNYATAAN KARYA SENDIRI

    Saya yang bertanda tangan di bawah ini,

    N a m a : Yunita

    Tempat, Tgl Lahir : Tangerang, 07 Juni 1991

    NIM : 109013000060

    Jurusan : Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

    Judul Skripsi : Pandangan Hidup Tokoh Waska dalam Naskah

    Drama Umang-umang Atawa Orkes Madun II Karya

    Arifin C. Noer dan Implikasinya terhadap

    Pembelajaran Sastra

    Dosen Pembimbing : Novi Diah Haryanti, M.Hum.

    dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang saya buat benar-benar hasil karya sendiri

    dan saya bertanggung jawab secara akademis atas apa yang saya tulis.

    Pernyataan ini dibuat sebagai salah satu syarat menempuh Ujian Munaqasah.

    Jakarta, Maret 2014

    Mahasiswa Ybs.

    Materai 6000

    Yunita

    NIM. 109013000060

  • i

    ABSTRAK

    Yunita, (109013000060), Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra

    Indonesia, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, UIN Syarif Hidayatullah

    Jakarta. Judul skripsi Pandangan Hidup Tokoh Waska dalam Naskah

    Drama Umang-umang atawa Orkes Madun II dan Implikasinya terhadap

    Pembelajaran Sastra.

    Sastra merupakan bagian kehidupan yang ceritanya diangkat dari peristiwa

    nyata. Salah satu dari karya sastra adalah drama, suatu rekaan dunia kecil di atas

    panggung yang melakonkan setiap peristiwa.

    Tujuan penelitian ini adalah mendeskripsikan pandangan hidup seorang

    tokoh dalam naskah drama Umang-umang atawa Orkes Madun II karya Arifin C.

    Noer.

    Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode analisis

    deskriptif. Subjek penelitian ini, yaitu pandangan hidup tokoh Waska dalam

    naskah drama Umang-umang atawa Orkes Madun II karya Arifin C. Noer dan

    sebagai objek penelitian adalah naskah drama Umang-umang atawa Orkes Madun

    II yang berupa dialog-dialog. Tahapan analisis drama meliputi, pengumpulan

    dokumentasi kemudian dijabarkan dengan memberikan analisis.

    Hasil penelitian dapat penulis simpulkan bahwa pandangan hidup tokoh

    Waska dalam naskah drama Umang-umang atawa Orkes Madun II, meliputi:

    Pertama, ia menganggap bahwa di dunia ini tidak lagi diperlukannya cinta kasih,

    semua hal itu malah akan membuat lemah dan tidak bergairah dalam hidup.

    Kedua, pandangannya tentang penderitaan berubah, menurutnya, penderitaan

    adalah ketika ia menikah dan memilii keluarga. Perempuan yang mencintainya

    sepenuh hati dibiarkan menderita lantaran dibiarkannya, tetapi menurutnya,

    penderitaan adalah ketika ia bersama dengan perempuan itu. Ia menganggap

    semua impian besarnya akan gagal ketika ia memiliki cinta. Cinta itu simbol

    kelemahan baginya. Ketiga, pandangan Waska tentang tanggung jawab yang

    baginya itu kekokohan hidup, tanggung jawab yang ia miliki adalah tanggung

    jawab terhadap waktu jika ingin menjadi orang besar. Keempat adalah pandangan

    hidupnya tentang harapan. Harapan baginya adalah omong kosong. Berharap

    sama saja menjatuhkan harga diri ke dalam lubang ketakutan.

    Kata Kunci: Pandangan Hidup, Umang-umang Atawa Orkes Madun II,

    Pembelajaran Sastra

  • ii

    ABSTRACT

    Yunita, (109013000060) Educational Courses Indonesian Languange

    and literature. Tarbiyah Science and Teacher Faculty. UIN Syarif

    Hidayatullah Jakarta. Thesis Title The Worldview Waska in Umang-umang

    atawa Orkes Madun II Drama Script and their Implication with Literature

    Study.

    Literature is a part of life thats the real life who lift in their story. A part

    of thats is the Drama. The microcosm on the stage who act out each event.

    The purpose of this study was to describe the character wordiew in

    Umang-umang atawa Orkes Madun II Arifin C. Noer work.

    The method used in this study is descriptive analysed method. The subject

    of this study is the Worldview of Waska in Umang-umang atawa Orkes Madun II

    Arifin C. Noer work, and as the object in this Umang-umang atawa Orkes Madun

    II which consist of a dialog. The step to analyze this drama script including

    documentation collect and then described with the analysed.

    The result can the authors conclude that Waskas Worldiew in Umang-

    umang atawa Orkes Madun II, including: First, he regard that in this world he

    didnt needed sense of love, because thats all can make human weak and not

    exited to begin the live. Second, his Worldiew of suffer, changed. For him suffer

    is when he merried and choosed the family. He let the woman who love him

    disappear, because for him suffer is when he together with that woman, so his big

    dream can be continued when he throw out his sense of love. Third, for waska,

    the responsible of time is the requirement, because if someone can be a Big

    Man he must be responsible with the time. Fourth, his Wordview of hope. For

    him, hope is nonsense. Because when someone started to hoped, he can falling to

    the scared.

    Key Word: Wordview, Umang-umang Atawa Orkes Madun II, literature study.

  • iii

    KATA PENGANTAR

    Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah Swt yang telah

    menganugerahkan nikmat Iman dan Islam serta kekuatan, dan atas rahmat karunia

    serta hidayah-Nya, skripsi ini berhasil diselesaikan dengan baik. Shalawat

    bermutiarakan salam selalu tercurah kepada Nabi Muhammad Saw, keluarga,

    sahabat dan para pengikutnya yang senantiasa mengikuti jejak dan langkahnya

    hingga akhir zaman nanti.

    Tiada kata yang dapat penulis torehkan lagi, kecuali hanyalah ucapan

    terima kasih yang tiada terkira atas bimbingan, dorongan serta masukan-masukan

    positif untuk membantu penulis dalam pembuatan skripsi ini. Oleh karena itu,

    perkenankanlah penulis mengucapkan terima kasih kepada:

    1. Nurlena Rifai, M.A., Ph.D., Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan

    UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

    2. Dra. Mahmudah Fitriyah, ZA, MPd., Ketua Jurusan Pendidikan Bahasa

    dan Sastra Indonesia.

    3. Dra. Hindun, MPd., selaku sekertaris Jurusan Pendidikan Bahasa dan

    Sastra Indonesia.

    4. Novi Diah Haryanti, M.Hum., Pembimbing yang dengan sabar dan

    ikhlasnya telah memberi petunjuk, bimbingan, saran, masukan, dan

    pengarahannya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

    5. Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif

    Hidayatullah Jakarta, yang telah mendidik dan memberikan ilmu kepada

    penulis.

    6. Para staf perpustakaan, baik Perpustakaan Fakultas Tarbiyah dan

    Keguruan maupun Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

    yang telah membantu penulis dalam mencari referensi untuk

    menyelesaikan skripsi ini.

    7. Ibunda dan ayahanda tercinta Maisyuri Candra Dewi dan Uding Saputra,

    yang tak pernah letih merawat, mendoakan, mendukung, dan memberi

    motivasi serta bantuan moril maupun materil kepada penulis dengan tulus

    dan ikhlas. Skripsi ini sebagai bukti bakti penulis kepada Mama dan Papa.

  • iv

    8. Adik-adikku tercinta Faizal Alqorni dan Lutfiah Azizah yang selalu

    mendoakan dan mendorong penulis untuk tetap semangat menyelesaikan

    skripsi ini.

    9. Bohari Muslim yang selalu menemani hari-hari penulis dalam proses

    penulisan skripsi ini. Terima kasih kamu yang telah memberikan

    bimbingan, kasih sayang, serta semangat kepada penulis.

    10. Teman-teman kosant Sarbini, Kak Tanti, Hilda, Wiwi, Bebsy, Nina, Desi,

    dan Manda. Terima kasih selalu menemani kala suka maupun duka.

    Teman curhat dan keluh kesah. Teman bersama dalam segalanya. Dalam

    melewati hari-hari ini tidak akan berarti tanpa ocehan dan laku kalian.

    11. Sahabat-sahabatku tercinta di kampus, Hayatun, Rizki Dwi, Jelita, Bundo,

    Oi, Dewi, Syena yang telah memberikan kenang-kenangan berupa

    persahabatan. Menjalani kuliah bersama kalian sangat menyenangkan.

    12. Keluarga besar PBSI UIN 09, Pandawa dan Srikandi Sastra, Keluarga

    besar Teater Syahid, dan Majelis Kantiniyah. Kalian adalah sahabat

    sekaligus pengalaman terbaik yang tidak akan pernah penulis lupakan.

    Serta seluruh pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu, semoga

    bantuan, bimbingan, semangat, doa, dan dukungan yang diberikan pada penulis

    dibalas oleh Allah Swt. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa skripsi ini masih

    jauh dari kesempurnaan, semua itu dikarenakan keterbatasan pengalaman dan

    pengetahuan penulis. Oleh karena itu, penulis mengharapkan segala bentuk saran

    serta masukan yang membangun sebagai bahan perbaikan dari berbagai pihak.

    Akhir kata, semoga skripsi ini dapat bermanfaat, khususnya penulis dan umumnya

    bagi pembaca. Amin.

    Jakarta, 11 Maret 2014

    Yunita

  • v

    DAFTAR ISI

    ABSTRAK ......................................................................................................... i

    ABSTRACT ....................................................................................................... ii

    KATA PENGANTAR ....................................................................................... iii

    DAFTAR ISI ...................................................................................................... v

    BAB I PENDAHULUAN .......................................................................... 1

    A. Latar Belakang........................................................................... 1

    B. Identifikasi Masalah .................................................................. 5

    C. Pembatasan Masalah ................................................................. 6

    D. Rumusan Masalah ..................................................................... 6

    E. Tujuan Penelitian ....................................................................... 7

    F. Manfaat Penelitian ..................................................................... 7

    G. Metodologi Penelitian ............................................................... 7

    BAB II KAJIAN TEORETIS

    A. Hakikat Pandangan Hidup ......................................................... 10

    B. Hakikat Drama........................................................................... 15

    C. Unsur Intrinsik Drama ............................................................... 22

    D. Unsur Ekstrinsik Drama ............................................................ 29

    E. Drama sebagai Media Pembelajaran ......................................... 30

    F. Penelitian yang Relevan ............................................................ 31

    BAB III BIOGRAFI PENGARANG

    A. Biografi Pengarang .................................................................... 34

    B. Sinopsis ..................................................................................... 38

    C. Tentang Caturlogi Orkes Madun dan Arti Kata Umang-umang 40

  • vi

    BAB IV ANALISIS DATA: PANDANGAN HIDUP TOKOH WASKA

    DALAM NASKAH DRAMA UMANG-UMANG ATAWA

    ORKES MADUN II KARYA ARIFIN C. NOER

    A. Unsur Intrinsik Naskah Drama Umang-umang Atawa Orkes

    Madun II karya Arifin C. Noer. ................................................. 42

    B. Pandangan Hidup Tokoh Waska ............................................... 73

    C. Implikasi Naskah Drama terhadap Pembelajaran Sastra ........... 82

    BAB V PENUTUP

    A. Simpulan .................................................................................... 86

    B. Saran .......................................................................................... 87

    DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 88

    LAMPIRAN

  • 1

    BAB I

    PENDAHULUAN

    A. Latar Belakang Masalah

    Karya sastra pada umumnya tidak pernah melepaskan diri dalam

    hubungannya dengan kehidupan masyarakat. Karya sastra menampilkan

    permasalahan-permasalahan yang terdapat dalam kehidupan manusia yang

    berkaitan dengan makna dari situasi sosial dan historis dalam kehidupan

    manusia. Karya sastra bukan sekedar aspek permasalahan masyarakat yang

    sederhana. Ia merupakan lembaga sosial yang menggunakan bahasa sebagai

    media, sedangkan bahasa itu sendiri adalah ciptaan sosial. Oleh karena itu,

    dapat digambarkan bahwa sastra menampilkan gambaran kehidupan yang erat

    kaitannya dengan kenyataan yang ada dalam kehidupan sosial.

    Salah satu jenis karya sastra ialah drama, ia merupakan karya fiksi yang

    bentuk fisiknya berupa dialog. Sama seperti karya sastra pada umumnya, kisah

    di dalam drama diangkat dari kehidupan nyata. Kehidupan yang tidak terlepas

    dari semua keadaan yang sudah nyata adanya, seperti belajar, berteman,

    berkeluarga dan banyak lagi yang lainnya. Di dalam drama, semua itu

    disajikan secara detail oleh pengarang melalui perilaku tokoh.

    Drama ditulis untuk dipentaskan, dengan demikian ia memang

    direncanakan untuk dihadapkan kepada penonton. Dalam situasi semacam itu,

    maka ada unsur penting yang harus dipenuhi, yakni keabadian tema dan

    kehangatan masalah sosial yang mendasari gagasannya dan yang sekaligus

    merupakan perhatian khalayak pada masanya. Tanpa itu drama tidak akan

    mendapatkan tempat dalam masyarakat.1 Demikianlah, tema dalam drama dan

    tentunya dalam situasi apapun tema dalam drama selalu erat kaitannya dengan

    perubahan sosial yang penting.

    Drama dikelompokkan ke dalam karya sastra karena media yang

    dipergunakan untuk menyampaikan gagasan atau pikiran pengarangnya adalah

    1 Sapardi Djoko Damono, Antologi Drama Indonesia, (Jakarta, The Henry Luce

    Foundation, Inc, 2006), h. xii-xv

  • 2

    bahasa. Bahasa yang digunakan sangat bermacam-macam dan dapat

    memberikan potret-potret kehidupan masyarakat sehari-hari, baik itu yang

    tercermin dari prilaku tokoh atau lingkungan sosial yang ada dalam

    masyarakat. Hal ini merupakan wujud pengalaman dan pengetahuan sekaligus

    imajinasi yang dimiliki oleh pengarang yang kemudian dikemas dengan ribuan

    kata-kata yang puitis. Pelibatan pengalaman inilah yang melatar belakangi

    terciptanya karya tersebut.

    Naskah drama adalah salah satu karya sastra yang dipilih Arifin C. Noer

    sebagai proses kreatifnya. Banyak naskah yang kemudian digarapnya sendiri

    menjadi sebuah pementasan. Beralih dari itu, penelitian ini tidak menekankan

    pada pementasan, tetapi pada karya itu sendiri. Naskah drama yang berbeda

    dari karya sastra yang lain, merupakan kumpulan dialog yang berderet, bertek-

    tok, dan berirama keseharian. Namun demikian, naskah drama adalah bagian

    dari karya sastra yang mengandung unsur kesenian yang utuh.

    Dalam penelitian ini, naskah drama Arifin yang diteliti adalah Umang-

    umang Atawa Orkes Madun II. Umang-umang adalah sebuah kelompok atau

    organisasi yang dipimpin oleh seorang pensiunan pelaut. Organisasi ini

    mempunyai kebiasaan meludahi sebagai cerminan bahwa meludahi adalah

    penghargaan tertinggi di kelompok tersebut. Kelompok ini sama sekali

    berbeda dengan kelompok yang lain. Mereka adalah komplotan manusia yang

    mencari tempat bagi kemiskinan, untuk memberontak dan merampok semesta.

    Umang-umang Atawa Orkes Madun II mengisahkan tentang seorang

    pemimpin perampok yang arogan dan sangat disegani, bernama Waska. Ia dan

    komplotannya kerap kali melakukan aksi-aksi perampokan hingga disaat suatu

    rencana perampokan besar akan dilakukannya, Waska menderita penyakit

    aneh yang membuat semua anggotanya bingung dan sedih memikirkannya.

    Ranggong dan Borok merupakan kaki tangan yang setia bagi Waska, mereka

    berusaha mencari ramuan agar penyakit yang diderita pemimpinnya itu

    lenyap. Akhirnya, mereka mendapatkan ramuan dadar bayi dari dukun sakti,

    yang kemudian langsung mereka berikan kepada Waska. Efeknya, dengan

    meminum ramuan itu, Waska dan kedua anak buahnya tidak dapat mati.

  • 3

    Naskah drama Umang-umang Atawa Orkes Madun II sering

    dihubungkan dengan rekaman kehidupan kelam masyarakat miskin di negeri

    ini pada masa lampau, sekarang, atau kelak di masa depan, di mana kejahatan

    kerap timbul karena keterpaksaan. Hidup enggan, mati tak mau! Pilihan untuk

    menjadi manusia jahat yang mengingkari hati nurani merupakan satu-satunya

    jalan untuk bertahan hidup meskipun pilihan itu diselingi nafsu dan kepuasan.

    Tuhan pun akhirnya memberikan sebuah hukuman kepada komplotan

    perampok itu melalui pemimpinnya karena gaung kejahatan yang

    diteriakkannya. Tidak hanya itu, kisah percintaan Waska dengan mucikari

    bernama Bigayah disuguhkan secara liar dan vulgar dalam naskah lakon ini.

    Tetapi, kisah cinta dan kejayaan Waska makin meredup seperti api dalam

    lampion, termakan waktu dan juga kekekalan hidupnya bersama kaki

    tangannya yang setia. Upaya waska, Ranggong, dan Borok untuk membunuh

    diri ditampilkan dalam beberapa adegan menjelang akhir cerita, kemudian hal

    itu menjadi kesia-siaan, sebab melawan hukum alam seperti kematian sama

    artinya dengan melawan kehendak Tuhan dan itu adalah harga mati yang tidak

    bisa ditawar-tawar lagi.

    Sebagai pekerja seni, Arifin C Noer memberi sumbangan yang besar

    bagi perkembangan seni peran di Indonesia. Karya-karya tulisnya berupa

    naskah drama yang kemudian disutradarainya dan dipentaskan oleh Teater

    Ketjil yang dipimpinnya, membuktikan kedudukannya sebagai salah satu

    pencetus bentuk teater modern. Sebagai penulis naskah dan sutradara teater,

    Arifin merupakan fenomena yang menarik dalam khasanah perkembangan

    teater modern Indonesia. Selain giat mengembangkan apa-apa yang

    disebutnya teater eksperimental, Arifin juga menjadikan kekayaan teater

    tradisi Indonesia sebagai sumber kreativitas. Hal ini diakui oleh banyak

    pengamat yang mengatakan bahwa teater Arifin adalah teater modern

    Indonesia yang meng- Indonesia.

    Di berbagai daerah, terutama di Jawa, mulai tampak kecenderungan

    untuk menggunakan bahasa daerah dan memanfaatkan anasir teater tradisional

  • 4

    sebagai bahan untuk pengembangannya.2 Ini jelas merupakan kecenderungan

    yang perlu mendapat perhatian terutama karena bahasa lisan yang beredar di

    beberapa masyarakat bukanlah bahasa Indonesia yang baku dan bahwa

    sebagian besar masyarakat di daerah masih lebih akrab dengan bahasa ibunya

    meskipun dalam wujud yang oleh beberapa kalangan bisa saja dianggap

    sebagai bahasa yang sudah rusak sebagai akibat dari adanya pengaruh timbal

    balik dengan bahasa Indonesia. Hal ini tidak perlu diresahkan sebab pada

    dasarnya drama menampilkan dialog yang tentunya bersumber pada bahasa

    lisan yang dalam perkembangan bahasa kita tidak ada yang disebut baku.

    Dengan bahasa semacam itulah masalah yang berakar dalam-dalam

    pada masyarakat tertentu bisa ditangkap intinya untuk kemudian diangkat ke

    pentas dan selanjutnya dipergunakan sebagai salah satu bahan bagi masyarakat

    yang lebih luas untuk mempertimbangkan kembali konvensi moral dan sosial

    yang selama ini menjadi keyakinan orang ramai. Dengan cara demikianlah

    maka drama memiliki fungsi yang nyata dalam masyarakat. Fungsi yang nyata

    di sini adalah pandangan masyarakat tentang kesenian drama sebagai cara

    untuk menikmatinya. Sedangkan yang akan dibahas dalam penelitian ini

    pandangan tidak tertuju pada masyarakat saja, melainkan kepada tokoh-tokoh

    yang berdialog di dalam sebuah naskah drama. Pandangan itu meliputi; dalam

    hal ini hanya berbatas pada naskah drama Umang-umang Atawa Orkes Madun

    II karya Arifin C. Noer, yaitu pandangan tentang masalah-masalah tertentu,

    misalnya pandangan tentang masalah sosial yang terjadi di masyarakat,

    pandangan tentang ideologi tokoh, dan pandangan terhadap agama/keyakinan.

    Sudah kita ketahui sebelumnya, bahwa drama lahir dari kehidupan

    sosial masyarakat. Dalam penelitian ini, naskah drama yang digarap

    menggambarkan keadaan sosial yang carut-marut serta jauh dari kehidupan

    yang layak. Namun demikian, pembahasan dalam penelitian ini berkaitan

    dengan pengajaran sastra di sekolah. Pengajaran ini dimaksudkan agar siswa

    dapat memperoleh pengalaman sastra dan pengetahuan sastra. Salah satu

    upaya dalam mencapai tujuan pengajaran sastra yaitu, pengetahuan sastra

    2Ibid

  • 5

    yang diajarkan kepada siswa hendaknya berangkat dari suatu penghayatan atas

    suatu karya sastra yang konkret. Hal ini dimaksudkan agar pengalaman sastra

    yang diajarkan pada siswa melekat dan berakar kuat.

    Selain membahas masalah sosial dan pandangan hidup di lingkungan

    naskah dan masyarakat, pendidikan pun berperan aktif sebagai penyalur serta

    sarana untuk masyarakat mendapatkan pengetahuan. Pendidikan adalah

    sebuah wadah untuk menampung kebutaan-kebutaan pada masyarakat tentang

    kehidupan. Pendidikan juga menjadi pemersatu beragam bahasa yang ada di

    Indonesia menjadi satu bahasa saja, yaitu bahasa Indonesia. Pendidikan di sini,

    berkaitan dengan pengajaran sastra, karena sastra merupakan hasil karya seni

    yang cenderung angkuh karena mau mengungkapkan segalanya secara utuh.

    Namun, tanpa membaca sastra manusia tidak bisa berkaca diri untuk

    mengungkapkan kenyataan. Pengajaran sastra bukanlah semata-mata produk

    khayalan, tetapi juga hasil produk pengalaman dan berpikir. Dalam dunia

    pendidikan, sekolah adalah tempat utama untuk mendapatkan pengalaman

    serta berpikir yang kreatif dan inovatif, maka dari itu, penulis mengangkat

    judul PANDANGAN HIDUP TOKOH WASKA DALAM NASKAH

    DRAMA UMANG-UMANG ATAWA ORKES MADUN II KARYA ARIFIN

    C. NOER DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PEMBELAJARAN

    SASTRA DI SMA.

    B. Identifikasi Masalah

    Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan, maka masalah yang

    dapat diidentifikasi adalah sebagai berikut:

    1. Kurangnya minat baca peserta didik terhadap karya sastra terutama naskah

    drama.

    2. Kurangnya sarana dan prasarana di sekolah untuk meningkatkan

    kreativitas peserta didik terhadap pembelajaran drama, padahal, Umang-

    umang Atawa Orkes Madun II relevan dengan dunia pendidikan karena

    mengandung nilai sosial, moral, dan pandangan hidup, sehingga dapat

    diimplikasikan dalam pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia.

  • 6

    3. Kurangnya perhatian peserta didik dalam mengkaji unsur intrinsik naskah

    terutama pada pengkajian tokoh dan hal yang berkaitan dengan tokoh.

    Misalnya, kepribadian tokoh, pandangan hidup tokoh, dan pandangan-

    pandangan tentang masalah tertentu.

    4. Kurangnya apresiasi masyarakat luas tentang drama sebagai bahan

    pertimbangan dalam memperkenalkan nilai edukasi kepada anak-anak.

    5. Kurangnya kesempatan dalam mempelajari drama menjadikan kurangnya

    minat peserta didik dalam mempelajari drama.

    C. Pembatasan Masalah

    Pembatasan masalah bertujuan membatasi banyaknya masalah yang

    muncul dalam penelitian ini. Pembatasan masalah juga dapat mempermudah

    peneliti agar objek yang diteliti lebih spesifik dan mendalam. Dalam naskah

    drama Umang-umang Atawa Orkes Madun II terdapat banyak permasalahan,

    maka dari itu, penulis membatasi dan memfokuskan penelitian pada:

    1. Unsur intrinsik naskah drama Umang-umang Atawa Orkes Madun II karya

    Arifin C. Noer.

    2. Pandangan hidup tokoh Waska dalam naskah drama Umang-umang Atawa

    Orkes Madun II karya Arifin C. Noer.

    3. Implikasi naskah drama Umang-umang Atawa Orkes Madun II terhadap

    pembelajaran sastra di SMA.

    D. Rumusan Masalah

    Berdasarkan latar belakang permasalahan dan pembatasan masalah

    penelitian seperti telah dikemukakan di atas, masalah penelitian dapat

    dirumuskan sebagai berikut.

    1. Bagaimana unsur intrinsik naskah drama Umang-umang Atawa Orkes

    Madun II karya Arifin C. Noer?

    2. Bagaimana pandangan hidup tokoh Waska dalam naskah drama Umang-

    umang Atawa Orkes Madun II karya Arifin C. Noer?

  • 7

    3. Bagaimana implikasi naskah drama Umang-umang Atawa Orkes Madun II

    Karya Arifin C. Noer terhadap pembelajaran sastra di SMA?

    E. Tujuan Penelitian

    Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian ini adalah

    sebagai berikut:

    1. Mendeskripsikan unsur-unsur intrinsik naskah drama Umang-umang

    Atawa Orkes Madun II karya Arifin C. Noer.

    2. Mendeskripsikan Pandangan Hidup Tokoh Waska dalam Naskah Drama

    Umang-umang Atawa Orkes Madun II karya Arifin C. Noer.

    3. Mendeskripsikan implikasi naskah drama Umang-umang Atawa Orkes

    Madun II karya Arifin C. Noer. terhadap pembelajaran sastra di SMA.

    F. Manfaat Penelitian

    Drama merupakan mata rantai yang langsung menghubungkan sastra

    dengan kehidupan kemanusiaan. Manusia tidak terlepas dari bidang keilmuan

    dan seni berperan. Maka dari itu, penelitian ini diharapkan dapat memberikan

    kontribusi yang bagus dan positif pada khazanah keilmuan dalam bidang

    sastra, khususnya pengetahuan tentang pandangan hidup yang terdapat dalam

    naskah drama Umang-umang Atawa Orkes Madun II karya Arifin C. Noer.

    Penelitian ini juga diharapkan dapat bermanfaat dalam memberikan wawasan

    yang lebih terhadap pembaca, penulis, dan pecinta sastra. Khususnya dalam

    dunia pendidikan, penelitian ini memberikan manfaat secara teoretis dalam

    mengkaji metode-metode pengajaran sastra, yaitu pada pengajaran drama,

    karena pengajaran drama merupakan kajian tentang aspek-aspek dan masalah-

    masalah kehidupan masyarakat dari sudut literer dan estetika.

    G. Metodologi Penelitian

    1. Tempat dan Waktu Penelitian

    Penelitian ini bersifat deskriptif analisis dengan objek kajian berupa

    naskah drama, yaitu naskah drama Umang-umang Atawa Orkes Madun II

  • 8

    karya Arifin C Noer. Tempat yang digunakan dalam penelitian tidak

    terikat pada satu tempat, karena objek yang dikaji berupa naskah (teks)

    karya sastra yaitu naskah drama. Adapun waktu penelitian dimulai pada

    September 2013.

    2. Bentuk dan Strategi Penelitian

    Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah

    metode deskriptif analisis dan studi kepustakaan. Pendekatan yang

    dilakukan adalah secara intrinsik (yaitu pendekatan melalui isi karya sastra

    itu sendiri), dan ekstrinsik (pendekatan melalui faktor luar yang

    mempengaruhi karya sastra).

    Metode desktiptif analitik dilakukan dengan cara mendeskripsikan

    fakta-fakta yang kemudian disusul dengan analis.3 Secara etimologis,

    deskripsi dan analisis berarti menguraikan. Meskipun demikian, analisis

    yang berasal dari bahasa Yunani, analyein (ana= atas, lyein = lepas,

    urai), tidak diberikan arti tambahan, tidak semata-mata menguraikan,

    melainkan juga memberikan pemahaman dan penjelasan secukupnya.

    Metode gabungan yang lain, misalnya deskriptif komparatif, metode

    dengan cara menguraikan dan membandingkan, dan metode deskriptif

    induktif, metode dengan cara menguraikan yang diikuti dengan

    pemahaman dari dalam ke luar.

    Kemudian pendekatan intrinsik atau pendekatan melalui isi karya

    sastra itu sendiri yang disebut pendekatan objektif. Pendekatan objektif

    merupakan pendekatan yang terpenting sebab pendekatan apa pun yang

    dilakukan pada dasarnya bertumpu atas karya sastra itu sendiri.4 Secara

    histori pendekatan ini dapat ditelusuri pada zaman Aristoteles dengan

    pertimbangan bahwa sebuah tragedi terdiri atas unsur-unsur kesatuan,

    keseluruhan, kebulatan, dan keterjalinan. Pendekatan objektif dengan

    3 Nyoman Kutha Ratna, Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra, (Yogyakarta,

    Pustaka Pelajar, 2007), h. 53. 4 Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi, (Yogyakarta: Gajah Mada Press, 1995),h.

    73.

  • 9

    demikian memusatkan perhatian semata-mata pada unsur-unsur yang

    dikenal dengan analisis intrinsik.5

    3. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data

    Teknik pengumpulan data yang digunakan penulis adalah teknik

    membaca dan mencatat, mengingat objek kajian dalam penelitian ini

    adalah sebuah teks, yaitu berupa naskah drama Umangiumang Atawa

    Orkes Madun II karya Arifin C Noer. Adapun langkah-langkah

    pengumpulan datanya dikelompokkan berdasarkan kriteria yang telah

    ditentukan sebagai berikut:

    a. Mengadakan studi kepustakaan untuk pengumpulan bahan.

    Langkah awal penelitian ini adalah membaca beberapa pustaka

    yang berhubungan dengan objek penelitian untuk mendapatkan

    bahan;

    b. Membaca naskah drama Umang-umang Atawa Orkes Madun II

    untuk menganalisis keterjalinan antarunsur intrinsik dalam drama

    tersebut;

    c. Membaca naskah drama Umang-umang Atawa Orkes Madun II

    untuk menganalisis pandangan tokoh Waska terhadap kehidupan

    yang ada dalam naskah drama tersebut;

    d. Menyimpulkan hasil analisis yang didasarkan pada analisis data

    secara keseluruhan.

    5 Kutha Ratna, Op,cit., h. 73

  • 10

    BAB II

    TINJAUAN TEORITIS

    Bab ini berisi tentang kajian kepustakaan yang didasarkan pada teori-teori

    yang relevan, yang menyangkut pembahasan dalam penelitian ini. Teori-teori di

    sini tentang pandangan hidup, naskah drama serta unsur intrinsiknya, implikasi

    naskah terhadap pembelajaran sastra, dan juga penelitian yang relevan.

    A. Hakikat Pandangan Hidup

    Pemikiran merupakan hal yang mendasar ketika kita ingin atau akan

    melakukan sesuatu, baik dalam hal berteman, memenuhi kebutuhan hidup,

    bahkan mencari nafkah. Pada umumnya, sesuatu yang kita pikirkan akan

    menjadi tolok ukur yang membatasi kita dalam memandang atau menilai

    sesuatu. Pemikiran lahir ketika kita berusaha mengeja kemudian mengenal

    dan menjadikannya suatu pandangan terhadap hal yang ada dan terjadi di

    lingkungan sekitar kita. Hal tersebut tentu saja tidak selalu kebaikan, kadang

    sesuatu yang baik menjadi tidak baik di mata kita, sedangkan yang tidak baik

    senantiasa membuat kita merasa nyaman.

    Sebagai makhluk yang beraktivitas baik fisik maupun psikologis,

    manusia memiliki kecenderungan untuk beradaptasi dengan lingkungan di

    mana tempat ia tinggal. Lingkungan sekitar kita sangat berpengaruh terhadap

    pola pikir dan cara kita memandang sesuatu. Pandangan-pandangan itu yang

    akan membuat kita kuat terhadap sesuatu bahkan lemah terhadap sesuatu

    yang lain. Manusia pasti memiliki pandangan hidup walau bagaimanapun

    bentuknya. Bagaimana kita memperlakukan pandangan hidup itu tergantung

    pada orang yang bersangkutan. Ada yang memperlakukan pandangan hidup

    sebagai sarana mencapai tujuan, dan ada pula yang memperlakukan sebagai

    penimbul kesejahteraan, ketentraman, dan sebagainya.

    Pandangan hidup banyak sekali macam dan

    ragamnya. Akan tetapi pandangan hidup dapat

    diklasifikasikan berdasarkan asalnya, yaitu terdiri atas

    tiga macam: (1) Pandangan hidup yang berasal dari

    agama yaitu pandangan hidup yang mutlak

    kebenarannya, (2) pandangan hidup yang berupa

  • 11

    ideologi yang disesuaikan dengan kebudayaan dan

    norma yang terdapat di negara tersebut, (3) pandangan

    hidup hasil renungan, yaitu pandangan hidup yang relatif

    kebenarannya.1

    Pandangan hidup banyak macamnya, akan tetapi penulis membatasi

    pandangan hidup tokoh dalam naskah drama ini hanya pada pandangan hidup

    hasil renungan, yaitu pandangan hidup yang relatif kebenarannya. Oleh

    karena itu, pembahasan yang dilakukan meliputi pandangan hidup tentang

    cinta kasih kepada sesama manusia, pandangan hidup tentang penderitaan,

    tanggung jawab, dan harapan. Semua itu akan penulis deskripsikan melalui

    karakter tokoh Waska, pemeran utama dalam naskah drama ini.

    Penulis membatasi penelitian ini hanya pada pandangan hidup hasil

    renungan yang relatif kebenarannya saja, karena pandangan hidup yang

    berkaitan dengan ke-Tuhan-an dan juga tentang kenegaraan tidak tersurat

    dalam naskah ini.

    Tokoh dalam drama adalah manusia yang mengisi panggung, yang

    bermain serta mempunyai masalah-masalah sosial di lingkungannya. Ia juga

    merupakan manusia yang berpikir kemudian bertindak. Semuanya disajikan

    melalui dialog serta pengadeganan di atas panggung. Biasanya, masalah-

    masalah yang ditemui adalah masalah-masalah sosial yang telah menghantui

    manusia sejak adanya peradaban manusia karena dianggap sebagai

    pengganggu kesejahteraan hidup mereka sehingga merangsang warga

    masyarakat untuk mengidentifikasi, menganalisa, memahami, dan

    memikirkan cara-cara untuk mengatasinya.2

    Manusia demi kelangsungan hidupnya harus mengadakan kerja sama

    dengan sesama manusia. Ada yang berdasarkan ikatan perkawinan,

    berdasarkan kesamaan profesi, dan lain sebagainya. Manusia dalam

    kehidupannya memiliki tiga fungsi, pertama sebagai makhluk Tuhan, kedua

    sebagai individu, dan ketiga sebagai makhluk sosial. Dari ketiga hal itu,

    manusia harus memulai peradaban yang baik, yaitu di mana sebagai makhluk

    individu harus memenuhi kebutuhan pribadinya. Menurut Koentjaraningrat,

    peradaban ialah bagian-bagian kebudayaan yang halus dan indah seperti

    1 M. Habib Mustopo, Ilmu Budaya Dasar, (Surabaya: Usaha Nasional: 1988), h. 173 2 Drs. Lies Sudibyo, dkk. Ilmu Sosial Budaya Dasar. (Yogyakarta: C.V Andi OFFSET,

    2013), h. 3

  • 12

    kesenian.3 Oleh sebab itu, dalam menjalani kehidupan ini, manusia haruslah

    berhati-hati dan memiliki rasa keindahan. Akan tetapi, yang ditampilkan

    dalam naskah ini adalah keadaan yang sebaliknya. Lakon yang bermain

    adalah kelompok manusia yang memiliki kesamaan nasib, yaitu nasib

    terbuang. Terbuang dari kebiasaan-kebiasaan yang seharusnya dijalani oleh

    manusia pada umumnya, karena drama juga kadang-kadang mencemoohkan

    sepenuhnya pada tindakan amoral masyarakat.4

    1. Pandangan Hidup Tentang Cinta Kasih

    Menurut KBBI, cinta adalah rasa sangat suka (kepada) atau rasa sayang

    (kepada), ataupun rasa sangat kasih atau sangat tertarik hatinya. Sedangkan

    kata kasih, artinya perasaan sayang atau cinta (kepada) atau menaruh belas

    kasihan. Cinta kasih adalah ungkapan perasaan yang diwujudkan dengan

    tingkah laku, seperti dengan kata-kata atau pernyataan, dengan tulisan,

    dengan gerak, atau dengan media lainnya.5 Ungkapan itu dapat ditujukan

    kepada lawan jenis, orang tua, teman, dan lainnya. Misalnya ungkapan

    dengan kata-kata, yaitu, aku cinta kamu, aku sayang kamu, atau terimakasih

    telah menyayangiku setulusnya. Ungkapan dengan tingkah laku, misalnya

    pelukan, ciuman, menjabat tangan, dan rangkulan. Ungkapan dengan media

    misalnya dengan memberikan setangkai bunga, hadiah, dan sebagainya.

    Setiap manusia membutuhkan cinta kasih antarsesamanya, karena cinta

    kasih adalah kebutuhan kodrati manusia yang merupakan bagian yang tidak

    dapat diabaikan dalam kehidupan manusia .6 Namun demikian, soal

    pemberian cinta kasih yang sempurna bukanlah yang hanya datang dari satu

    arah, misalnya dari orang tua saja, tetapi juga sebaliknya, dari anak ke orang

    3 Dr. Elly M. Setiadi, dkk, Ilmu Sosial dan Budaya Dasar edisi kedua (Bandung: Prenada

    Media Group, 2007), h. 45 4 Dr. Suwardi Endraswara, Teori Pengkajian Sosiologi Sastra (Yogyakarta: UNY Press,

    2012), h. 52 5 Lies Soedibyo, Op,cit., h. 41 6Ibid, h. 42

  • 13

    tuanya (to give and to take), jadi, cinta kasih baru terasa apabila ada dua

    pihak yang sama-sama saling menerima sekaligus juga saling member.7

    2. Pandangan Hidup Tentang Penderitaan

    Selain memiliki serta mengalami rasa cinta kasih, manusia juga

    memiliki atau juga pernah mengalami perasaan yang tidak menyenangkan

    seperti sakit hati, siksaan, dan rasa tidak enak, itu semua terjadi karena

    manusia memiliki perasaan dan pikiran. Rasa tidak enak ini kadang bersarang

    di dalam lingkungan kehidupan manusia, kadang juga di dalam hati atau

    dalam pikiran. Rasa tidak menyenangkan ini bisa berupa tidak mendapat

    pekerjaan, terasing, gagal dalam tujuan hidup, tidak memiliki cinta dan

    sebagainya. Perasaan-perasaan di atas adalah perasaan derita atau

    penderitaan. Penderitaan dari kata derita yang berasal dari bahasa Sansekerta

    dhra artinya menahan atau mengannggung.8 Biasanya, yang termasuk

    penderitaan ialah keluh kesah, kesengsaraan, kelapran, kekenyangan,

    kepanasan, daln lain-lain. Penderitaan adalah beban fisik atau jiwa manusia

    yang dapat menekan diri manusia.9 Penderitaan biasanya berupa rasa tidak

    menyenangkan yang sedang dialami oleh manusia dalam keadaan yang tidak

    diduga-duga. Penderitaan bersifat manusiawi, ia merupakan hal yang wajib

    kita alami.

    Koneksi antara perilaku manusia di dunia nyata dan kinerja sosial yang

    dramatis adalah dua hal yang saling terkait. Realitas dunia dan aktivitas

    sosial, hampir selalu ditampilkan dalam drama. Seakan-akan, drama juga

    memuat konvensi sebagai dokumen sosial. Ketika drama membangun gedung

    khusus untuk ritual dan pertunjukan dalam berbagai jenis, dari proses

    peradilan untuk bercinta, ketika kita menetapkan adegan dan berdandan atau

    dalam bentuk gaun yang diturunkan sedikit jelas konvensi ini ada kemiripan

    7 Drs. Supartono Widyosiswoyo,M.M., Ilmu Budaya Dasar. (Bogor: Ghalia Indonesia,

    1992), h. 50 8 Drs. Djoko Widagdho, dkk., Ilmu Budaya Dasar. (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2008), h.

    81 9 Lis Soedibyo, Op,cid., h. 120

  • 14

    dengan kehidupan sosial.10

    Hingga sampai sekarang saya pahami, drama jelas

    merupakan sebuah interpretasi perilaku sosial sehari-hari dan tindakan

    konsekuensial yang ditawarkan secara estetis.

    3. Pandangan Hidup Tentang Tanggung Jawab

    Setelah rasa cinta kasih dan penderitaan, manusia juga memiliki

    pandangan tentang tanggung jawab dan harapan. Sebagai manusia yang

    normal, tentulah mempunyai tanggung jawab dan harapan dalam hidupnya.

    Hidup manusia di samping sebagai makhluk Tuhan dan makhluk individu,

    juga merupakan makhluk sosial, hidup dalam lingkungan masyarakat. Di

    dalam interaksi sosial manusia diberi tanggung jawab, di samping ia memiliki

    hak juga memiliki kewajiban, dituntut adanya pengabdian dan pengorbanan.

    Sebagai makhluk sosial yang beradab dan berbudaya manusia menilai

    dan dinilai. Oleh karena itu, untuk mengerti dan menyadari bahwa perbuatan

    yang dilakukannya itu baik atau tidak baik, maka dilakukan pertimbangan-

    pertimbangan. Tanggung jawab adalah ciri manusia beradab. Dengan

    demikian tanggung jawab berfungsi menyadari akibat baik buruknya

    perbuatan yang dilakukan manusia. Menurut Suyadi MP, tanggung jawab

    adalah kesadaran manusia akan tingkah laku atau perbuatannya yang

    disengaja maupun yang tidak disengaja, tanggung jawab juga berarti berbuat

    sebagai perwujudan kesadaran akan kewajibannya.11

    Apabila dikaji, tanggung jawab itu adalah kewajiban atau beban yang

    harus dipikul atau dipenuhi sebagai akibat dari perbuatan pihak yang berbuat,

    atau akibat dan perbuatan pihak lain, atau sebagai pengabdian, pengorbanan

    pihak lain.12

    Manusia adalah makhluk hidup ciptaan Tuhan dengan

    segala fungsi dan potensinya yang tunduk kepada aturan

    hukum alam, mengalami kelahiran, pertumbuhan,

    perkembangan, dan mati, dan seterusnya, serta terkait serta

    berinteraksi dengan alam dan lingkungannya dalam

    10 Suwardi, Op,cit., h. 52-53 11 Lies Soedibyo, Op,cit., h. 103 12Ibid, h. 102

  • 15

    sebuah hubungan timbal balik baik itu positif, maupun

    negatif.13

    4. Pandangan Hidup Tentang Harapan Sebagai manusia, selama ia masih hidup, pastilah memiliki perasaan

    berharap. Perbuatan atau tindakan yang mengandung motif, merupakan

    tindakan yang mempunyai pengharapan, artinya bahwa tindakan-tindakan itu

    ditujukan pada satu titik sasaran akhir, yaitu sebagai hasil imbalan atau upah

    dari jerih payah yang telah dilaklukannya.

    Menurut KBBI, harapan adalah keinginan untuk dijadikan kenyataan.

    Oleh karena itu, harapan adalah keinginan yang timbul dalam diri manusia

    berupa cita-cita atau keinginan yang akan dicapainya lewat perbuatan serta

    tindakan. Tindakan dan perbuatan itu bisa bersifat pisitif dan negatif.

    Bekerja dan belajar tanpa mengenal lelah adalah wujud pengekspresian

    untuk mewujudkan harapan. Harapan-harapan itu meliputi: harapan untuk

    memperoleh kelangsungan hidup, memperoleh keamanan, untuk memiliki

    hak dan kewajiban untuk mencintai dan dicintai, memperoleh status atau

    untuk diterima atau diakui di lingkungannya, dan harapan untuk memperoleh

    perwujudan dan cita-cita14

    .

    B. Hakikat Drama

    1. Pengertian Drama dan Naskah Drama

    Drama adalah salah satu bentuk genre sastra. Kata drama berasal

    dari bahasa Yunani Dramoi yang artinya berbuat, bertindak, bereaksi, dan

    menirukan.15

    Drama atau sandiwara adalah seni yang mengungkapkan

    pikiran atau perasaan orang dengan mempergunakan laku jasmani, dan

    ucapan kata-kata.16

    Ini maksudnya adalah drama merupakan bagian dari

    13 Elly, Op,cit., h. 178 14 Djoko Widagdho, Op,cit., h.187 15 Sihabudi, dkk, Bahasa Indonesia 2 edisi pertama (Surabaya: Amanah Pustaka, 2009),

    h. 7 16 Rendra, Seni Drama Untuk Remaja, (Jakarta: PT Dunia Pustaka Jaya, 1993), h. 97

  • 16

    seni yang tidak hanya berkumpul dalam imaji seseorang, melainkan

    dipertontonkan di hadapan orang banyak/penonton.

    Drama adalah sebuah genre sastra yang penampilan fisiknya

    memperlihatkan secara verbal adanya dialogue atau cakapan di antara

    tokoh-tokoh yang ada. Selain didominasi oleh cakapan yang langsung itu,

    lazimnya sebuah karya drama juga memperlihatkan adanya semacam

    petunjuk pemanggungan yang akan memberikan gambaran tentang

    suasana, lokasi, atau apa yang dilakukan oleh tokoh.17

    Drama, yaitu kisah hidup dan kehidupan manusia

    yang diceritakan atau diproyeksikan di atas pentas

    sebagai suatu bentuk kwalitet komunikasi, situasi,

    aksi, (dan segala apa yang terlihat dalam pentas baik

    secara obyektip maupun subyektip) yang

    menimbulkan perhatian, kehebatan, keterenyuhan, dan

    ketegangan perasaan pada pendengar atau

    penontonnya di mana konflik sikap dan sifat manusia

    sebagai tulang punggungnya.18

    Drama, like poetry and fiction, is an art of

    wordsmainly words of dialogue. People talking is

    the basic dramatic situation. Drama is distinguished

    from the other forms of literature by performability

    and by the objectivity that performability implies.19

    Dilihat dari beberapa pengertian drama di atas, drama memiliki dua

    dimensi, yaitu drama sebagai teks sastra dan drama sebagai seni

    pertunjukan atau seni lakon. Drama sebagai seni pertunjukan atau seni

    lakon adalah perpaduan yang harmonis antara sekian banyak seni yang

    mewujudkan suatu kisah kehidupan di atas pentas. Pertunjukan drama

    haruslah indah dan menjelma menjadi kenikmatan yang diterima oleh

    pikiran penontonnya. Naskah drama akan senantiasa berada di dalam

    pikiran pembaca saja jika tidak dipentaskan. Akan tetapi, jika naskah

    drama itu sudah berada di tangan seorang sutradara, pastilah kita akan

    melihat potret kehidupan yang ada di sekitar kita. Sedangkan sebagai genre

    17 Melani Budianta, dkk, Membaca Sastra (Magelang: Indonesia Tera, 2006), h. 95 18 Adhy Asmara dr, Apresiasi Drama, (Yogyakarta: C.V. Nur Cahaya, 1979), h. 12 19 Nine plays, Modern Drama, (Oslo: Uversity Of Oslo), h. ix

  • 17

    sastra, drama ditulis dengan menggunakan bahasa yang memikat dan

    elegan. Drama dapat ditulis oleh pengarangnya dengan menggunakan

    bahasa yang puitis.

    Adapun para ahli yang memberikan definisi

    kata drama, yaitu: Aris Toteles Mendefinisikan

    drama sebagai tiruan manusia dalam gerak-gerik.

    Menurut Balthazar Verhagen, drama adalah

    kesenian yang melukiskan sikap dan sifat manusia

    dengan gerak. Moulton mendefinisikannya sebagai

    kehidupan yang dilukiskan dengan gerak.

    Ferdinand Brunetierre mendefinisikan drama

    sebagai kehendak manusia yang diungkapkan

    dengan action. Sedangkan Alvin B. Kernan

    menjelaskan bahwa drama berasal dari kata

    dramyang berarti berbuat (to do) atau (to act).20

    Menurut John E. Dietrich, drama adalah suatu ceritera dalam

    bentuk dialog (antawacana) tentang konflik (pertentangan) manusia,

    diproyeksikan dengan ucapan dan perbuatan dari sebuah panggung kepada

    penonton.21

    Dengan kata lain drama merupakan bentuk yang paling

    kongkrit yang secara artistik dapat menceritakan kembali situasi

    kemanusiaan, dan hubungan kemanusiaan.22

    Sebagai istilah drama dan teater ini datang atau kita pinjam dari

    khazanah kebudayaan Barat. Secara lebih khusus, asal kedua istilah ini

    adalah dari kebudayaan atau tradisi bersastra di Yunani yang pada

    awalnya, baik drama maupun teater muncul dari rangkaian upacara

    keagamaan, suatu ritual pemujaan terhadap para dewa.23

    Pada masa awal

    pertumbuhannya di Barat, sebagai bentuk upacara agama, drama

    dilaksanakan di lapangan terbuka. Para penonton duduk melingkar atau

    membentuk setengah lingkaran, sedangkan upacara dilakukan di tengah

    20 Drs. Hasanuddin, M.Hum, Drama Karya dalam Dua Dimensi, (Bandung: Angkasa,

    1996), h. 2 21 R.H. Prasmadji, B.A, Teknik Menyutradarai Drama Konvensional, (Jakarta: Balai

    Pustaka: 1984), h. 10 22 Rizanur Gani, Pengajaran Sastra Indonesia, (Jakarta: Departemen pendidikan dan

    kebudayaan: 1988), h. 253 23 Melani, Op,cit., h. 99

  • 18

    lingkaran tersebut. sementara pada teater di Yunani khususnya, tempat

    penonton berada membentuk setengah lingkaran yang semakin besar

    radiusnya, semakin tinggi tempat duduk penonton bersangkutan.24

    Perkembangan drama, pada gilirannya kemudian memperlihatkan

    adanya pergeseran dari ritual keagamaan menuju kepada suatu eratoria,

    suatu seni berbicara yang mempertimbangkan intonasi untuk mendapatkan

    efektivitas komunikasi.25

    Dari oratoria ini, kemudian perkembangan

    memperlihatkan adanya dua kecenderungan besar. Di satu pihak, ada

    kecenderungan eratoria yang sarat dengan musik sebagai elemen

    utamanya, yang hingga kini kita kenal dengan teater, dan dipihak lain

    muncul pula bentuk eratoria yang hanya mengandalkan cakapan atau

    dialog sebagai elemen utama seperti yang kini kita kenal sebagai naskah

    drama.

    Naskah berasal dari bahasa Inggris manuskrip dan bahasa Prancis

    manuscript, karangan yang ditulis tangan atau diketik, yang dipergunakan

    sebagai dasar untuk mencetaknya".26

    Naskah pada umumnya adalah

    sebuah tulisan tangan yang dibukukan, yang bercerita tentang kehidupan

    yang sangat lengkap dan panjang. Sedangkan naskah drama adalah

    kumpulan dialog serta terdapat alur pemanggungan di dalamnya. Naskah

    drama juga bisa diartikan sebagai rentetan tanya jawab antar lakon/peran

    yang dibalut dengan bahasa keseharian. Walaupun semua karya sastra

    sudah dipentaskan di kepala pembacanya, tetapi tetap saja naskah drama

    yang ditulis dalam bentuk dialog memiliki kemungkinan akan dipentaskan.

    Naskah drama juga sama halnya dengan prosa dan novel, memiliki konflik

    dan unsur intrinsik yang sama. Hanya saja naskah drama berbentuk dialog

    dan merupakan bahan dasar sebuah pementasan. Tidak akan sempurna

    sebuah naskah drama apabila tidak dipentaskan.

    24Ibid, h. 99 25Ibid, h. 100 26 Hasanuddin M. Hum, Ensiklopedi Sastra Indonesia, (Bandung: Penerbit Titian Ilmu

    Bandung, 2004)

  • 19

    Naskah drama adalah suatu cerita drama dalam bentuk antawacana

    (dialog) atau dalam bentuk tanya jawab antarpelaku.27

    Naskah drama

    sangat beragam coraknya, ada naskah drama yang ringan, berbobot, dan

    ada pula yang rumit, naskah drama yang berbobot (baik) adalah naskah

    yang bersifat naratif dan konflik karakter, karena mudah dimengerti baik

    sebagai karya sastra maupun sebagai seni pertunjukan.28

    Suatu naskah

    drama yang baik adalah naskah yang memiliki persyaratan nilai dramatik

    dan teatrikal, yaitu tidak mengandung masalah yang atau pertanyaan yang

    sulit ditemukan jawabannya, dialognya menggunakan bahasa keseharian,

    dan tema yang diungkapkan menyangkut soal kehidupan. Naskah yang

    rumit yaitu naskah yang alur ceritanya sulit ditangkap, temanya anti tema,

    plotnya anti plot, sehingga jika dipentaskan, penonton harus membacanya

    terlebih dahulu. Bagaimanapun naskah drama adalah ciptaan manusia yang

    harus mengandung keindahan dan hakikatnya tersimpul dalam suatu

    perpaduan yang harmonis antara kehidupan perasaan yang indah yang

    ditulis oleh seniman. Sebagai karya sastra ia menjelma dalam kata-kata,

    sedangkan dalam pertunjukan ia menjelma dalam perpaduan yang

    harmonis antara sekian banyak seni yang mewujudkan suatu kisah

    kehidupan di atas pentas.

    Sifat-sifat naskah yaitu: (1) estetis, mencerminkan

    dan memupuk rasa keindahan, (2) etis, membimbing

    kea rah peradaban dan kesusilaan bangsa dan manusia,

    (3) edukatif, membawa ke arah kemajuan (bersifat

    mendidik), (4) konsultif, memberikan penerangan dan

    penyuluhan atas problema dalam masyarakat, (5)

    rekreatif, memberikan hiburan kepada publik atau

    penonton.29

    2. Karakteristik Drama dan Bagian Pembantu Drama

    Pada umumnya, drama memiliki dua dimensi, yaitu drama sebagai

    karya sastra yang memiliki unsur cerita dan juga sebagai seni pertunjukan

    27 R.H. prasmadji, B.A, Op,cit., h. 17 28 Tuti Mutia, Religiusitas naskah drama Kapai-KapaiKarya Arifin C. Noer, Skripsi,

    tidak dipublikasikan, 2012, h. 15 29Ibid, h. 16

  • 20

    yang tidak terlepas dari seni lakon dan seni teater. Biarpun kedua aspek

    tersebut terpisah, yang satu berupa naskah dan yang satu lagi berupa

    pementasan, tetapi keduanya merupakan satu kesatuan yang tidak dapat

    terpisah. Naskah drama ditulis dengan memperhatikan segi

    pemanggungan, sedangkan pementasan tidak terlepas dari alur naskah itu

    sendiri.

    Drama memiliki jenis berdasarkan temanya, yaitu drama tragedi atau

    duka cerita, yaitu drama yang penuh dengan kesedihan, kemalangan. Hal

    ini disebabkan pelaku utama dari awal cerita sampai akhir pertunjukan

    senantiasa kandas dalam melawan nasibnya yang buruk. Contoh lakon

    drama tragedi yang buruk adalah Kapai-kapai karya Arifin C. Noer.30

    Komedi atau suka cerita yaitu drama penggeli hati. Di mana isinya penuh

    dengan sindiran atau kecaman terhadap orang-orang atau suatu keadaan

    pelaku yang dilebih-lebihkan, drama tragedi dan komedi, yaitu drama yang

    penuh dengan kesedihan, tetapi juga hal-hal yang mengembirakan-

    menggelikan hati, opera, yaitu drama yang berisikan nyanyian dan musik

    pada sebagian besar penampilannya, operette, yaitu drama jenis opera tapi

    yang lebih pendek, tableau, drama tanpa kata-kata dari si pelaku, mirip

    pantomim, dagelan, yaitu suatu pementasan cerita yang sudah dipenuhi

    unsur-unsur lawakan/badutan, drama minikata, yaitu drama yang pada saat

    dipentaskannya boleh dikatakan hampir tidak menggunakan dialog sama

    sekali, dan sendratari, seni drama tari, tanpa dialog dari pemainnya. Dilihat

    dari jenis drama yang telah dipaparkan, Umang-umang Atawa Orkes

    Madun II ini termasuk ke dalam drama jenis tragedi atau duka cerita.

    Sebagai naskah lakon atau naskah yang akan dipentaskan, drama

    memiliki beberapa bagian pembantu, antara lain: (1) Babak, merupakan

    bagian terbesar dalam sebuah lakon drama. Lakon itu sendiri bisa saja

    hanya terdiri dari satu, dua, tiga, atau empat babak dan mungkin pula

    lebih. 31

    Dalam lakon Umang-umang Atawa Orkes Madun II ini terdiri

    30 Adhy asmara, Op,cit., h. 50 31Ibid, h. 46

  • 21

    dari 3 babak dan 76 halaman. Dan di setiap babaknya ditandai dengan

    bunyi lonceng. Bagian pertama. Lonceng dua kal.32

    (2) Adegan, adalah

    bagian dalam babak lakon drama. Sebuah adegan hanya akan

    menggambarkan satu suasana yang merupakan rangkaian dari rentetan

    suasana-suasana yang terdapat dalam pembabakan lakon drama tersebut.

    Rombongan waska makin banyak muncul tak beraturan untuk kemudian

    menyebar dan menyelinap menjauhi pentas.33

    (3) Prolog, kata

    pendahuluan dalam suatu lakon drama sebagai pengantar tentang suatu

    lakon yang akan disajikan nanti kepada penonton. Dalam naskah drama

    ini, tidak terdapat prolog, tetapi langsung diawali dengan bunyi lonceng

    dan adegan. Mungkin jika dipentaskan, prolog akan dibuat oleh seorang

    sutradara. (4) Dialog atau percakapan, tapi akan lebih tepat kalau disebut

    wawankata karena antara tokoh-tokoh dalam lakon drama satu sama

    lainnya adalah lawan untuk kata-kata yang dilemparkan oleh masing-

    masing tokoh itu sendiri.

    Waska : Borok!!

    Borok : Gua di kuburan cina, Waska34

    (5) Monolog, adalah percakapan seorang pelaku (aktor) dengan dirinya

    sendiri.35

    Waska: Aku pernah mengharap, tapi

    aku tidak pernah mendapat. Aku

    pernah memilih, tapi aku ditolak, selalu

    ditolak. Kemiskinan telah

    menodongku, kelaparan telah

    menodongku dan aku tak rela

    dicincang oleh kemiskinan dan

    kelaparan, maka kutodongkan

    kekayaan dan makanan.36

    32 Arifin C. Noer, Umang-umang atawa Orkes Madun II, tidak dipublikasikan, h. 1 33Ibid, h. 1 34Ibid, h. 3 35 Adhy asmara, Op,cit., h. 48 36 Arifin, Op,cit., h. 24

  • 22

    C. Unsur Intrinsik Drama

    Drama naskah disebut juga sastra lakon.37

    Sebagai salah satu bentuk

    karya sastra, maka drama tidak terlepas dari unsur intrinsik sebuah karya

    seperti pada roman maupun puisi. Kesenian drama, meskipun merupakan seni

    yang otonom, tetapi ia juga merupakan gabungan dari unsur-unsur kesenian

    lain; seperti karya sastra dalam penulisan lakonnya, seni peran atau seni laku

    yang dikenal lebih lanjut dengan mimik atau pantomimik, seni deklamasi dan

    kadang-kadang ditambah pula dengan seni musik, seni suara, seni tari. Daya

    tarik lainnya dengan adanya seni arsitek teater yang mempunyai ciri-ciri yang

    khas. Tetapi dari kesemuanya itu, unsur yang paling pokok dalam seni drama,

    yaitu, pemain (lakon dalam pertunjukan), panggung (tempat pertunjukan), dan

    penonton. Apabila salah satu di antara ketiga tersebut tidak ada, maka drama

    tidak dikatakan sebagai seni pertunjukan.

    Sebagai prosa, khususnya, pada karya drama pun dapat dijumpai pula

    adanya elemen-elemen tokoh, alur, dan kerangka situasi cerita yang saling

    menunjang satu dengan lainnya.38

    Sebagai pembaca karya sastra, khususnya

    drama, tugas kita tidaklah habis hanya dengan membaca saja, akan tetapi ada

    hal-hal yang harus kita ketahui atau kita pelajari, misalnya, bagaimana cerita

    itu tercipta atau apa yang terkandung di dalam karya sastra tersebut. Untuk itu,

    kita perlu mengkajinya, karena hal-hal tersebut tidak disampaikan secara

    eksplisit oleh pengarang.

    1. Tema

    Hal pertama yang harus kita ketahui dalam sebuah karya drama adalah

    tema. Tema merupakan gagasan dasar umum yang menopang sebuah karya

    sastra dan yang terkandung di dalam teks sebagai struktur semantis dan yang

    menyangkut persamaan-persamaan atau perbedaan.39

    Setiap karya sastra,

    37 Herman J Waluyo, Drama: Teori dan Pengajarannya, (Yogyakarta: Hanindita Graha

    Widia, 2001), h. 6 38 Melani, Op,cit., h. 106 39 Burhan, Teori Pengkajian Fiksi, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2005), h.

    68

  • 23

    termasuk drama pasti memiliki tema yang merupakan gagasan umum dari

    keseluruhan cerita, tema itu sendiri membicarakan tentang ide pokok atau hal

    yang mendasari isi cerita. Tema tidak disampaikan langsung oleh pengarang

    kepada pembaca, akan tetapi ia hadir secara implisit melalui isi cerita.

    Tema merupakan struktur dalam dari sebuah karya sastra.40

    Dalam

    drama, tema akan dikembangkan melalui alur dramatik dalam plot oleh tokoh-

    tokoh dengan perwatakan yang memungkinkan konflik dan diformulasikan

    dalam bentuk dialog. Dialog tersebut yang merunutkan tema dari para

    lakon/naskah. Semakin kuat, lengkap, dan mendalam pengalaman jiwa

    pengarangnya akan semakin kuat tema yang dikemukakan.41

    Tema yang

    kuat, lengkap, dan mendalam biasanya lahir karena pengarang berada dalam

    suasana jiwa yang luar biasa. Suasana di mana ia menjadi lakon dalam

    naskah/pementasannya. Konflik batin di dalam sebuah naskah drama haruslah

    benar-benar dihayati oleh pengarang, karena dengan tema semacam itu,

    pembaca akan lebih mudah dan cepat menangkap dan menafsirkan tema yang

    dimaksud oleh pengarang.

    2. Plot/Alur

    Plot merupakan unsur utama pembangun karya drama. Plot atau alur

    sebuah cerita ini sangat penting tujuannya karena untuk melihat

    kesinambungan antara masing-masing penyajian peristiwa dalam karya sastra.

    Stanton mengemukakan bahwa plot adalah cerita yang berisi urutan kejadian,

    namun tiap kejadian itu hanya dihubungkan secara sebab akibat, peristiwa

    yang satu disebabkan atau menyebabkan terjadinya peristiwa yang lain.42

    Plot ini sendiri merupakan kegiatan dalam memilih cerita, misalnya di tahap

    awal itu dinamakan pengenalan, jadi setiap cerita terdapat bagiannya yang

    sudah disusun secara apik dan indah oleh pengarang. Tahapan di dalam plot

    berfungsi untuk mengetahui urutan waktu penceritaan sebagaimana tahapan

    awal di dalam sebuah karya berisikan tentang informasi penting yang

    40 Herman, Op,cit., h.26 41Ibid, h. 24 42 Burhan, Op,cit., h. 113

  • 24

    berkaitan dengan peristiwa-peristiwa pada tahap selanjutnya. Biasanya, tahap

    pertama disebut tahap pengenalan. Pada tahap ini pengarang memperkenalkan

    tokoh-tokoh dramanya dengan watak masing-masing. Pada tahap kedua, alur

    peristiwa yang terjadi di dalam sebuah karya biasanya ditandai dengan adanya

    konflik antarpelaku yang merupakan bagian paling menegangkan di dalam

    sebuah karya. biasanya konflik di sini tidak terlalu serius, hanya pertikaian

    awal antarpelaku atau masalah yang dialami oleh para lakon. Dari tahap

    pengenalan sebelumnya, sekarang sudah lebih mendalam karena adanya

    pertikaian.

    Kemudian tahap ketiga yang merupakan tahap klimaks atau titik puncak

    cerita. biasanya, konflik yang meningkat itu akan meningkat terus sampai

    mencapai titik gawat dari sebuah cerita. Pengarang yang pintar memanjakan

    pembaca, pasti akan dibuat geregetan karena keingintahuan pembaca terhadap

    akhir cerita yang dibaca. Akhirnya, tahap ini disebut tahap peleraian yang

    menampilkan adegan klimaks suatu karya. Di mana dalam tahap ini konflik

    sudah mereda atau menurun. Tokoh-tokoh yang memanaskan situasi atau

    meruncingkan konflik telah mati atau menemukan jalan pemecahan. Dalam

    naskah drama Arifin C. Noer, biasanya akhir dalam ceritanya membutuhkan

    penjelasan akhir seperti cerita dalam wayang. Akan tetapi dalam naskah drama

    yang dibahas ini, akhir ceritanya menggantung karena merupakan naskah

    caturlogi yang berkesinambungan dengan naskah-naskah yang lainnya.

    Naskah drama Umang-umang ini merupakan serial kedua dari caturlogi Orkes

    Madun, maka dari itu akhir ceritanya tidak ada penjelasan.

    3. Tokoh dan Penokohan

    Berbicara tentang plot dan unsur lainnya, tokoh dan penokohan di

    dalam sebuah karya tidaklah boleh terlupakan, hal ini sangat penting karena

    tanpa adanya tokoh (pemain) di dalam sebuah karya, maka tidak akan ada

    yang mencipta peristiwa dan tidak akan ada konflik dalam peristiwa tersebut.

    Seperti yang dikatakan oleh Waluyu, mengemukakan penokohan ialah cara

    pengarang menampilkan tokoh-tokohnya, watak tokoh-tokoh, dan bagaimana

  • 25

    ia menggambarkan watak tokoh-tokoh itu.43

    Tokoh di dalam sebuah cerita

    haruslah jelas dan memiliki karakter yang kuat untuk membangun cerita dan

    menciptakan suasana yang merujuk pada sifat dan sikap para tokoh sehingga

    dapat ditafsirkan oleh pembaca. Tokoh menurut Abrams, adalah orang-

    (orang) yang ditampilkan dalam suatu karya naratif, atau drama, yang oleh

    pembaca ditafsirkan memiliki kualitas moral dan kecenderungan tertentu

    seperti yang diekspresikan dalam ucapan dan apa yang dilakukan dalam

    tindakan.44

    Tokoh memanglah ciptaan pengarang dari imajinasinya, tapi

    tokoh merupakan seseorang yang hidup secara wajar sebagaimana ia

    menjalani kehidupan ini. Berlaku baik, memiliki moral yang bagus, dan

    merencanakan berbagai hal selayaknya manusia yang memiliki kehidupan dan

    kebiasaan.

    Tokoh atau penokohan erat kaitannya dengan perwatakan. Di dalam

    sebuah drama, watak tokoh disajikan melalui dialog-dialog yang dilontarkan

    oleh para lakon. Biasanya, hal itu berhubungan dengan nama, jenis kelamin,

    tipe fisik, jabatan, dan keadaan jiwanya. Pada naskah drama Arifin ini, tokoh-

    tokoh disajikan lewat sutradara yang memainkan dramanya sendiri yaitu

    sebagai tokoh utama. Ia sangat jelas menggambarkan keadaan fisik serta

    kejiwaan tokoh tersebut. Dalam wayang kulit atau wayang orang, tokoh-

    tokohnya sudah memiliki watak yang khas, yang didukung pula dengan gerak-

    gerik, suara, panjang pendeknya dialog, jenis kalimat, dan ungkapan yang

    digunakan.45

    Ciri khas naskah drama Arifin adalah dalam tokohnya ia

    menyisipkan tokoh wayang sebagai pusat cerita atau malah membalikkan

    watak yang sebenarnya dimiliki wayang menjadi berbeda di tangannya. Akan

    tetapi tetap saja ia tidak terlepas oleh ketradisionalan dalam karyanya.

    4. Dialog

    Ciri khas suatu drama adalah naskah yang berbentuk percakapan atau

    dialog. Ragam bahasa dalam dialog antar tokoh merupakan ragam lisan yang

    43 Nani Tuloli, Teori Fiksi, (Gorontalo: Nurul Jannah, 2000), h. 30 44 Burhan, Op,cit., h. 165 45 Herman, Op,cit., h. 14

  • 26

    komunikatif. Untuk mengetahui sifat dan sikap seorang tokoh, dalam karya

    drama, kita mengetahuinya lewat dialog-dialog yang berfungsi sebagai tuturan

    dari tokoh satu ke tokoh lainnya. Di dalam dialog terdapat informasi tentang

    cerita, atau ide-ide, bahkan hal-hal yang bersifat pandangan hidup. Dialog

    dalam drama haruslah ragam bahasa tutur karena jika pembicaraan sepasang

    kekasih tidaklah harus menggunakan kelengkapan bahasa. Dialognya haruslah

    akrab dan intim, jika kalimatnya lengkap, maka dialog antarkekasih tersebut

    tidak akan hidup.

    Dialog merupakan kumpulan tanya-jawab antarpelaku yang berfungsi

    menciptakan peristiwa di dalam karya drama. Salah satu hal yang

    membedakan karya drama dengan karya yang lainnya yaitu, bahwa karya

    drama berbentuk dialog. Dialog melancarkan cerita atau lakon, mencerminkan

    pikiran tokoh cerita, mengungkapkan watak para tokoh cerita, dan dialog juga

    berfungsi menggerakan cerita dan melihat watak atau kepribadian tokoh

    cerita. Biasanya pada awal cerita dialog-dialog yang disajikan adalah dialog

    yang panjang, karena sebagai penjelasan tentang tokoh-tokoh yang dimaikan.

    Dialog juga harus bersifat estetis, artinya memiliki keindahan bahasa.46

    Hal

    ini disebabkan karena kenyataan yang ditampilkan di pentas harus lebih indah

    dari kenyataan yang benar-benar terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Dalam

    naskah drama umang-umang yang akan dibahas ini pun memiliki keindahan

    dialog yang disajikan, karena naskah drama juga merupakan keperluan

    pementasan dan juga merupakan karya sastra. Maka dari itu, bahasa yang

    digunakan haruslah mengandung keindahan bahasa dan tetap saja

    mengandung unsur bahasa lisan atau bahasa keseharian.

    Seorang pengarang drama yang sudah berpengalaman tentulah akan

    mampu memadukan unsur estetis dan unsur komunikatif itu. Arifin C. Noer

    adalah salah satu pengarang yang memadukan unsur kecapakan tersebut,

    karena pada saat mencipta karya drama, pengarang yang berasal dari pentas

    seni ini akan membayangkan kemungkinan pementasan.

    46Ibid, h. 21

  • 27

    5. Latar/Setting

    Selain berbentuk dialog, drama juga tidak terlepas oleh latar atau

    setting yang disebut juga sebagai landas tumpu, menyaran pada pengertian

    tempat, hubungan waktu, dan lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa-

    peristiwa yang diceritakan.47

    Latar termasuk bagian penting di dalam sebuah

    karya drama, karena dari situ pembaca akan mengetahui kejadian apa dan

    kapan peristiwa itu terjadi. Jika di dalam pementasan, latar berperan untuk

    memudahkan pemain sekaligus sutradara untuk merealisasikan kegiatannya di

    panggung. Membaca sebuah karya drama, tentu saja kita dihadapkan pada

    tempat atau lokasi-lokasi kejadian serta waktu kejadian peristiwa, misalnya,

    nama kota, nama jalan, desa, pagi, sore, malam, dan lain-lain yang menandai

    jalannya alur cerita.

    Menurut Sudjiman, unsur yang membangun latar dapat dikatakan

    bahwa segala keterangan, petunjuk, pengacuan, yang berkaitan dengan

    waktu, ruang, dan suasana terjadinya peristiwa dalam suatu karya sastra.48

    Latar dalam karya sastra tidak benar-benar disajikan pengarang secara jelas

    dan gamblang, melainkan mereka bersifat eksplisit, seperti kepercayaan,

    kebudayaan, adat istiadat, dan sebagainya. Begitu juga pada latar waktunya

    tidak dijelaskan dengan angka, tetapi disajikan lewat peristiwa yang sedang

    terjadi pada saat itu. Ini dimaksudkan agar pembaca tidak hanya terfokus pada

    karya drama itu saja, tetapi menelusuri lebih dalam lagi apa yang terjadi dan

    apa yang dimiliki oleh latar yang membawa peristiwa itu terjadi.

    Latar dapat dibedakan ke dalam tiga unsur pokok, yaitu tempat, waktu,

    dan sosial.49

    Latar tempat menyaran pada lokasi terjadinya peristiwa yang

    diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Penggunaan latar tempat dengan nama-

    nama tertentu haruslah mencerminkan, atau paling tidak tak bertentangan

    dengan sifat dan keadaan geografis tempat yang bersangkutan. Latar waktu

    berhubungan dengan masalah kapan terjadinya peristiwa-peristiwa yang

    diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Kejelasan waktu dalam karya drama

    47Burhan, Op,cit., h. 216 48 Nani Tuloli, Op,Cit., h. 52 49 Burhan, Op,cit., h. 227

  • 28

    biasanya ditandai keadaan sosial di suatu daerah tertentu, keadaan yang

    sedang hangat dibicarakan bahkan dialami oleh sebagian masyarakat. Latar

    sosial menyaran pada hal-hal yang berhubungan dengan perilaku kehidupan

    sosial masyarakat di suatu tempat yang diceritakan dalam karya fiksi.50

    Bagi

    pembaca, latar sosial disajikan oleh pengarang lewat status sosial tokoh,

    kebiasaan hidup, adat istiadat, pandangan hidup, tradisi, cara berpikir, cara

    bertindak, dan juga keyakinan.

    6. Amanat

    Di setiap karya sastra, ada hal-hal yang mengilhami kita atau hal yang

    harus kita ambil dan kita perbaiki untuk kehidupan kita. Sebut saja itu adalah

    upah kita setelah beberapa waktu membacanya bahkan mementaskannya

    (untuk karya drama). Hal itu, dalam karya fiksi disebut amanat. Amanat

    sendiri lahir ketika kita sudah selesai membaca, mengkaji, bahkan

    mementaskannya. Ia berisi pesan yang ingin disampaikan pengarang kepada

    pembaca lewat tulisannya.

    Amanat dalam sebuah drama akan lebih mudah dihayati, jika drama itu

    dipentaskan. Amanat biasanya memberikan manfaat dalam kehidupan secara

    praktis. Ia merupakan pesan dari pengarang yang memerlukan penafsiran

    sebagai bentuk bahwa kita mampu memetik manfaatnya. Setiap pembaca

    berbeda-beda menafsirkan makna karya itu bagi dirinya, dan semuanya

    cenderung dibenarkan. Misalnya seperti kisah wayang yang diambil dari

    Mahabarata biasanya memberikan amanat bahwa kebaikan akan mengalahkan

    kejahatan. Amanat tersebut merupakan perang bagi diri sendiri yang sebagai

    manusia memiliki sisi baik dan sisi jahat. Begitulah drama yang dipentaskan

    memang sangatlah lekat dengan kehidupan kita.

    Dalam naskah drama diperlukan juga petunjuk teknis, yang sering pula

    disebut teks samping.51

    Teks samping ini memberikan petunjuk teknis

    tentang tokoh, waktu, suasana pentas, musik, keluar masuknya aktor atau

    50Ibid, h. 233 51 Herman, Op,cit., h. 29

  • 29

    aktris, keras lemahnya dialog, dan sebagainya. Teks samping ini biasanya

    ditulis dengan tulisan yang berbeda dari dialog, biasanya ditulis miring atau

    huruf kapital semua. Dalam naskah drama Umang-umang ini, teks samping

    ditulis dengan hurup kapital. Teks samping sangat berguna untuk memberikan

    petunjuk kepada pemain jika naskah drama ini dipentaskan, dan juga kepada

    pembaca jika tidak dipentaskan. Untuk keperluan pementasan, teks samping

    memberikan petunjuk kapan aktor harus diam, jeda antarkedua pemain, suara

    berbisik, keadaan pemain seperti batuk, dan sebagainya. Di dalam naskah itu

    dijelaskan secara jelas dan gamblang, yang berbeda hanya di dalam naskah

    drama hal itu ditulis, sedangkan dalam pementasan teks samping berupa

    panduan atau bisa disebut bukan dialog.

    D. Unsur Ekstrinsik Drama

    Unsur ekstrinsik merupakan unsur yang berada di luar karya sastra,

    tetapi secara tidak langsung, ia memengaruhi terciptanya sebuah karya lewat

    latar belakang sosial pengarang. Ekstrinsik ialah unsur-unsur pengaruh luar

    (eksplanasi) dan unsur lahiriah yang terdapat dalam karya sastra itu.52

    Menurut Welleck dan Warren, bagian yang termasuk unsur ekstrinsik karya

    sastra adalah keadaan subjektivitas individu pengarang yang memiliki sikap,

    keyakinan, dan pandangan hidup yang kesemuanya itu akan mempengaruhi

    karya sastra yang ditulisnya.53

    Misalnya karya Arifin ini, ia memasukan

    unsur Cirebon lewat nama-nama tokoh dalam naskahnya. Unsur ekstrinsik

    berikutnya adalah keadaan psikologi, baik yang berupa psikologi pengarang

    (yang mencakup proses kreatifnya), psikologi pembaca, maupun penerapan

    prinsip psikologi dalam karya.54

    Misalnya keadaan psikologis pengarang

    memengaruhi keadaan tema, bahasa, serta alur cerita dalam karyanya.

    52 P. Suparman Natawijaya, Apresiasi Sastra dan Budaya, (Jakarta: PT Interma, 1982),

    h. 101 53 Burhan, Op,cit., h. 24 54Ibid, h. 24

  • 30

    E. Drama sebagai Media Pembelajaran

    Pengajaran drama di sekolah dapat diklasifikasikan ke dalam dua

    golongan, yaitu: (1) pengajaran teks drama yang termasuk sastra, dan (2)

    pementasan drama yang termasuk bidang teater.55

    Media pembelajaran secara

    umum adalah alat bantu proses belajar-mengajar yang digunakan untuk

    merangsang pikiran, perasaan, perhatian, serta keterampilan siswa sehingga

    terjadinya proses pembelajaran.

    Sebagai media pembelajaran, drama dapat dikategorikan sebagai

    pembelajaran teori drama dan pembelajaran apresiasi drama.Masing-masing

    pembelajaran ini terdiri atas dua jenis, yaitu teori tentang teks naskah drama

    dan apresiasi pementasan drama. Dalam apresiasi itulah, naskah maupun

    pementasan adalah hal penting karena teori termasuk dalam kawasan kognitif,

    dan apresiasi dalam kawasan afektif. Untuk meningkatkan daya apresiasi

    siswa, maka langkah yang ditempuh adalah meningkatkan kemampuan

    membaca karya sastra, dalam hal ini adalah naskah drama. Hal ini

    dimaksudkan agar siswa memiliki pengetahuan luas tentang sastra, seni, dan

    budaya yang terkandung di dalam drama (baik dalam segi pementasan dan

    teori serta karya).

    Mempelajari naskah drama, dapat memperkaya kemampuan membaca

    dan memahami jalan cerita, tema, masalah tentang masyarakat, dan juga

    melalui dialog-dialog pelakunya, siswa juga belajar tentang bahasa lisan dan

    kemampuan tampil percaya diri di depan kelas.Pengajaran drama juga dapat

    melatih keterampilan berbahasa siswa, yaitu menyimak, berbicara, membaca,

    dan menulis. Siswa akan menyimak naskah yang dibacakan oleh siswa lainnya

    yang kemudian ia menganalisis naskah tersebut menjadi tulisan yang

    kemudian membacakan juga hasil analisisnya di depan kelas.Drama sangat

    penting bagi bagi pendidikan karena dapat mengungkapkan lebih banyak

    tentang kemanusiaan dalam segala kekompekan dan konflik-konfliknya itulah

    yang membentuk pembelajaran drama. Drama tidak hanya cermin

    55 Herman, Op,cit., h. 156

  • 31

    lingkungan, tetapi juga membantu kita untuk menanggulanginya,

    menumbuhkan rasa simpati, imajinasi, dan pengertian.56

    Drama yang baik diajarkan di sekolah harus

    memiliki tujuan-tujuan khusus, yaitu: (1)

    pengembangan kenikmatan dan keterampilan membaca

    dan menafsirkan drama, dan memperkenalkan siswa

    dengan sejumlah karya yang signifikan. (2) pengenalan

    tradisi drama dan dan peranannya dalam sejarah

    kemanusiaan. (3) pengembangan dasar dan citrarasa

    terhadap drama, film, dan televise. (4) perangsangan

    perhatian terhadap permainan drama dari penunjangan

    selera masyarakat. (5) peningkatan pengertian siswa

    tentang pentingnya drama sebagai sumber pemekaran

    kawasan terhadap masalah-masalah pribadi dan

    sosial.57

    Apabila tujuan-tujuan di atas dapat dilaksanakan dengan baik, maka

    drama mendapat tempat di dalam kurikulum, sehingga keterampilan-

    keterampilan drama dapat dikembangkan dalam bentuk proses belajar-

    mengajar yang terpola.

    F. Penelitian yang Relevan

    Adapun penelitian yang relevan ini dilakukan untuk menghindari hal-

    hal yang tidak diinginkan seperti menyontek karya orang lain dan sebagainya.

    Untuk menhindari hal-hal tersebut, akan penulis paparkan tentang perbedaan

    di antara masing-masing judul dan masalah yang dibahas.

    Skripsi yang berjudul Religiusitas Naskah Drama Kapai-Kapai Karya

    Arifin C. Noer dan Implikasinya terhadap Pembelajaran Drama karya Tuti

    Mutia ini adalah skripsi Mahasiswa Universitas Islam Negeri Syarif

    Hidayatullah Jakarta Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia pada

    tahun 2013. Mendeskripsikan tentang nilai-nilai religi yang terkandung dalam

    naskah tersebut. Hasil penelitiannya meliputi: Pertama, religiusitas otentik

    atau religiusitas secara langsung, yaitu penuntutan ke arah yang lebih baik,

    dalam hal ini adalah sikap tolong-menolong, kesungguhan, kepasrahan, dan

    56 Rizanur Gani, Op,cit., h. 258 57Ibid, h. 260

  • 32

    ketakwaan. Kedua, religiusitas agamis atau religiusitas tidak langsung dalam

    menanggapi Tuhan, manusia melewati jalur agama tertentu yang bersifat

    formal dan resmi (bukan syariat): Itikadiyah, amaliyah. Naskah drama Kapai-

    kapai karya Arifin C. Noer merupakan naskah yang religiusitas yang

    religiusitas yang ditampilkan melalui tokoh utama dan kakek sebagai tokoh

    tambahan. Nilai religi yang disampaikan pengarang dapat dijadikan sebagai

    media pembelajaran yang sesuai dan mendidik.58

    Persamaan yang terdapat

    dalam skripsi ini adalah sama-sama meneliti naskah drama dan pengarangnya

    yang sama. Sedangkan perbedaannya adalah objek yang dikajinya.

    Semiotika dalam Naskah Drama Umang-umang Karya Arifin C. Noer

    oleh Soediro Satoto. Mahasiswa Universitas Indonesia pada tahun 1997 ini,

    penelitiannya berisi tentang semiotik karya, yaitu mengkaji simbol-simbol

    yang terdapat dalam naskah drama. Persamaan pada penelitian ini, yaitu sama-

    sama meneliti judul naskah drama dan pengarang yang sama. Sedangkan

    perbedaannya terdapat pada hasil kajiannya.

    Watak dan Perilaku Tokoh Jumena Martawangsa Dalam Naskah

    Drama Sumur Tanpa Dasar Karya Arifin C. Noer. Skripsi ini ditulis oleh

    Muhammad Imam Turmudji, seorang mahasiswa Fakultas Bahasa dan Sastra

    di Universitas Semarang pada tahun 2003. Tujuan dalam penelitian ini

    mendeskripsikan watak dan perilaku tokoh Jumena dan fungsi tokoh Jumena

    sebagai pemantik konflik. Hasil penelitiannya menunjukkan berbagai macam

    watak dan perilaku tokoh Jumena dan fungsi tokoh Jumena sebagai pemantik

    konflik damlam naskah drama Sumur Tanpa Dasar karya Arifin C. Noer.

    Persamaan pada penelitian ini yaitu sama-sama meneliti naskah drama dari

    pengarang yang sama. Sedangkan perbedaan pada penelitian ini adalah naskah

    yang dikaji dan hasil kajiannya.59

    Berdasarkan penelitian sebelumnya yang penulis paparkan di atas, skripsi

    berjudul Pandangan Hidup Tokoh Waska dalam Naskah Drama Umang-

    umang atawa Orkes Madun II ini belum pernah ada yang menggunakan judul

    58 Tuti Mutia, h. i 59http://journal.unnes.ac.id/sju/indexphp/jsi/article/iew/2390, diunduh pada 10 Maret

    20014 pukul 20.00

    http://journal.unnes.ac.id/sju/indexphp/jsi/article/iew/2390

  • 33

    yang sama. Oleh karena itu, peneliti mengangkat judul tersebut sebagai syarat

    untuk mendapatkan gelar Sarjana.

  • 34

    BAB III

    BIOGRAFI

    Bab ini berisi tentang riwayat hidup Arifin C. Noer, seorang sineas dan juga

    seorang dramawan yang karya tulisnya menjadi objek penelitian penulis dalam

    pembuatan skripsi.

    A. Biografi Pengarang

    Arifin C. Noer adalah anak kedua dari Mohammad Adnan, seorang

    tukang sate di daerah Cirebon. Arifin sudah memulai kiprahnya dalam dunia

    seni sejak masih SMP. Ia menamatkan SD di Taman Siswa Cirebon, kemudian

    melanjutkan ke SMP Muhammadiyah Cirebon. Namun demikian, ketika

    SMA, ia masuk SMA jurnalistik di Solo. Ia melanjutkan perguruan tingginya

    di Fakultas Sosial Politik di Universitas Cokroaminoto, Yogyakarta dan

    International Writing Program di Universitas Lowa, Amerika Serikat.1

    Arifin, mulai mengenal dunia sastra serta teater saat masih duduk di

    bangku SMP. Pada masa itulah karya-karya puisinya ia kirimkan ke majalah

    yang terbit di Cirebon dan Bandung, honornya ia belikan buku cerita, baik

    dalam maupun luar negeri. Sejak kecil ia memang gemar membaca,

    khususnya buku anak-anak terbitan Balai Pustaka 1950-an. Baik fiksi-ilmiah

    maupun petualangan Karl May. Tetapi yang paling digemarinya adalah buku

    biografi orang-orang besar. Karena, banyak pelajaran yang bisa dipetik dari

    pengalaman serta kerja keras mereka. Hal itu kemudian sangat mempengaruhi

    filsafat hidupnya untuk gemar bekerja dan berpikir keras.

    Selama aktif di sekolah, ia sempat menjadi pemimpin umum majalah

    sekolah dengan sekretarisnya Nani Wijaya (aktris sekaligus istri almarhum

    Misbach Yusa Biran). Di luar sekolah, ia selalu melakukan aktivis di RRI

    Cirebon. Di situ ia bergaul dengan para seniman Cirebon antara lain Mus

    Mualim, Indra Soeradi, dan kemudian Titik Puspa. Di RRI ia mengasuh ruang

    puisi serta membuat sandiwara-sandiwara radio. Pada usia 16 tahun, tepatnya

    1 Yayat, Hendrayana, Umang-umang Arifin Impian-impian Kemelaratan. (Bandung:

    Pikiran Rakyat, 1976), h. 5

  • 35

    saat kelas II SMP, pada 1957, Arifin menciptakan naskah sandiwaranya yang

    pertama berjudul Dekaden57, disusul naskah keduanya yang ia tulis saat

    duduk di kelas III SMP: Dunia yang Retak.

    Menurut Indra Soeradi, aktor dan seniman Cirebon yang menemukan

    sekaligus guru N. Riantiarno (Teater Koma), suatu kali pada 1960-an, oleh

    Arifin ia pernah diminta membaca beberapa naskah sandiwaranya antara

    lain, Tengul, Sumur Tanpa Dasar dan Kasir Kita. Ia tidak mengira bahwa

    berpuluh tahun kemudian, naskah-naskah tersebut menjadi cikal bakal

    bangkitnya teater Indonesia Baru.2

    Menginjak bangku SMA, Arifin merasa kecintaannya terhadap kesenian

    semakin memuncak. Ia menjadi penanggung jawab kolom kesenian di koran

    setempat, menjadi juri dalam pelbagai lomba kesenian, pembicara dalam

    pertemuan peminat teater se-Cirebon, menerjemahkan naskah berat Komedi

    Manusia karya William Sarojan, bahkan sempat menjadi juara dua Bintang

    Radio se-Cirebon untuk jenis seriosa. Dan, pada usia SMA, Arifin telah

    menciptakan naskah monolog Jangan Lupakan Saya.

    Akibat kesibukannya dalam aktivitas kesenian, ia tak hanya dikeluarkan

    dari sekolah tetapi juga telah membuat amarah Bapaknya. Apalagi, saat Arifin

    memutuskan untuk menjadi seniman saja dan bertekad mau pergi ke Jakarta.

    Akibatnya, ia kemudian dikirim ke pesantren Djamsaren di Solo, dan

    meneruskan sekolahnya ke SMA Jurnalistik, Solo. Di pesantren itulah lahir

    naskah Aminah yang menurut Arifin, merupakan naskah dewasanya yang

    pertama. Naskah itu kemudian populer pada 1960-an, karena banyak

    dipentaskan oleh grup-grup drama di Jawa.

    Tidak hanya dalam dunia teater, Arifin paggilan pria berkepala botak

    yang dilahirkan 10 Maret 1941 di Cirebon ini, adalah juga seorang sineas

    (orang yang ahli tata cara pembuatan film) yang lengkap. Dia bukan hanya

    bisa menyutradarai, tetapi pandai pula menulis cerita dan dijadikan skenario.

    Arifin sendiri menulis cerita dan skenario dalam film Bibir Mer, dan langsung

    2 Dendy Sugono, Enskiklopedia Sastra Indonesia Modern, (Bandung : PT Remaja

    Rosdakarya, 2009), 34-36

  • 36

    menjadi sutradara, maka apa yang ingin disampaikan ke penonton bisa

    diterima secara utuh. Kelancaran bertutur, dan menyelesaikan konflik yang

    tidak bertele-tele menjadi ciri khas dan sekaligus kekuatan film-film Arifin.

    Untuk sampai ke Bibir Mer, Arifin telah melakukan perjalanan panjang. Dia

    giat mementaskan sandiwara sejak tahun 1957. Pertama kali, waktu itu dia

    menulis dan sekaligus sebagai sutradara pementasan berjudul Dunia yang

    Retak. Tiga tahun kemudian melanjutkan sekolah ke Solo, sampai di sana

    bergabung dalam Himpunan Peminat Sastra Surakarta (HPSS), sambil

    mencanangkan hari puisi.

    Kreativitasnya dibidang penulisan puisi dan drama makin berkembang

    sejak pindah ke Yogyakarta. Ditahun 1960, dia bergabung dengan WS Rendra

    dalam lingkungan Drama Jogya, dan kemudian ia masuk Teater Muslim

    pimpinan Mohammad di Ponegoro. Di situlah, lahir drama Nenek Tercinta,

    pemenang pertama sayembara penulisan lakon Teater Muslim. Karyanya yang

    lain adalah Mega-mega, pemenan