PANDANGAN HIDUP TOKOH UTAMA DALAM...
Transcript of PANDANGAN HIDUP TOKOH UTAMA DALAM...
PANDANGAN HIDUP TOKOH UTAMA DALAM NOVEL
TARIAN BUMI KARYA OKA RUSMINI DAN IMPLIKASINYA
TERHADAP PEMBELAJARAN SASTRA DI SEKOLAH
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan untuk Syarat
Mencapai Gelar Sarjana Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia (S.Pd.)
Oleh
FETI INDAH MAILIAH
1113013000002
JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2018
i
ABSTRAK
Feti Indah Mailiah, 1113013000002, Pandangan Hidup Tokoh
Utama dalam Novel Tarian Bumi karya Oka Rusmini serta Implikasinya
terhadap Pembelajaran Sastra di Sekolah. Jurusan Pendidikan Bahasa dan
Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Pembimbing: Ahmad Bahtiar, M. Hum.
Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan pandangan hidup
tokoh utama yang terdapat dalam novel Tarian Bumi karya Oka Rusmini
serta implikasinya terhadap pembelajaran sastra di sekolah. Metode yang
digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif kualitatif. Subjek Penelitian
ini, yaitu pandangan hidup tokoh utama dalam novel Tarian Bumi karya Oka
Rusmini dan sebagai objek penelitian adalah novel Tarian Bumi. Hasil
penelitian ini menunjukkan bahwa pandangan hidup tokoh utama dalam
novel Tarian Bumi, meliputi: pandangan hidup yang berasal dari agama,
kebudayaan, dan hasil renungan. Pandangan hidup Telaga yang berasal dari
agama diikutinya dengan rasa keyakinan. Ia mempercayai hukum yang
berlaku di dalam agamanya dan melakukan berbagai ritual keagamaan.
Kemudian, pandangan hidup Telaga yang berasal dari kebudayaan, ia sangat
menghargai dan menjunjung kebudayaannya. Telaga melaksanakan ritual
khusus sesuai adat istiadat. Terakhir, pandangan hidup Telaga yang berasal
dari hasil renungan, yaitu ia berpendapat bahwa cinta dan kasih adalah
kebebasan memilih pendamping hidupnya sendiri bukan karena sistem kasta,
penderitaan baginya adalah hal yang biasa sebab ia selalu hidup di bawah
aturan yang memaksa, tanggung jawab baginya, yaitu ketika harus mengikuti
peraturan-peraturan oleh sistem untuk menjaga wibawa kebangsawanan,
maupun sebagai perempuan Sudra, dan pengharapan baginya, yaitu ketika
terlepas dari aturan-aturan yang ada di griya. Penelitian ini dapat
diimplikasikan dalam pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia di kelas XII
semester I pada kompetensi dasar menginterpretasi unsur intrinsik dan makna
teks dalam novel baik secara lisan maupun tulisan. Peserta didik mampu
menjadikan pandangan hidup tokoh utama sebagai sarana ekstrospeksi diri
dan inspirasi dalam menjalani kehidupan.
Kata Kunci: Tarian Bumi, Oka Rusmini, Pandangan Hidup, Perempuan,
Bali.
ii
ABSTRACT
Feti Indah Mailiah, 1113013000002, A Life viewpoind of the Main
Character in the Novel Tarian Bumi by Oka Rusmini and Its Implication
towards the Literature Learning at the School. Department of Indonesian
Language & Literature Education Faculty of Educational Sciences Syarif
Hidayatullah State Islamic University of Jakarta Advisor: Ahmad Bahtiar, M.
Hum.
This study aims to describe the viewpoint on life of the main character
of the novel that is entitled Tarian Bumi by Oka Rusmini and analyze its
implications toward literature learning in schools. In regards to that,
qualitative descriptive method is used. The subject of this study is the life
viewpoint of the main character in Tarian Bumi by Oka Rusmini and the
object of the study is the novel Tarian Bumi. The result of this study indicates
that the way of life of the main character in the novel Tarian Bumi, include:
life view of religion, culture, and reflections. Telaga’s life view of the religion
followed with a sense of conviction. She believed the law applicable in their
religion and perform various religious rituals. Then, Telaga's view of life that
comes from cultural. Telaga’s really appreciate and respect her culture.
Telaga’s carry out a special rituals appropriate customs. Recently, Telaga's
life view that comes from reflection. She argues that love and compassion is
the freedom of choosing a companion his own life not because the caste
system, suffering for her is normal because she always lives under the rule of
force, the responsibility for her, that is when to follow the rules by the system
to maintain the authority of the nobility, as well as the Sudra woman, and
hope for her, when in spite of the existing rules in Griya. This research can be
implicated in the learning of Indonesian language and literature in the first
semester of class XII on basic competencies interpreting the intrinsic
elements and meanings of texts in novels both orally and in writing. Students
be able to make shape’s life view as medium of self extrospection and
inspiration for undergoing their life.
Key words: Tarian Bumi, Oka Rusmini, View of Life, Women, Balinese
iii
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahi Rabbil Alamin, puji syukur ke hadirat Allah Swt yang telah
melimpahkan rahmat, taufik, dan hidayah-Nya, sehingga skripsi yang berjudul
“Pandangan Hidup Tokoh Utama dalam Novel Tarian Bumi Karya Oka
Rusmini dan Implikasinya terhadap Pembelajaran Sastra di Sekolah” pada
akhirnya dapat terselesaikan. Salawat dan salam semoga selalu tercurahkan kepada
Baginda Nabi Muhammad Saw, sebagai suri teladan kita. Skripsi ini di susun untuk
memenuhi salah satu syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana Pendidikan (S.Pd.)
pada Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Tarbiyah
dan Keguruan.
Selama proses pengerjaan skripsi, peneliti begitu banyak menemui lika-liku
yang mewarnai proses pengerjaan skripsi ini, dari beragamnya pilihan pembahasan
berkualitas untuk diteliti hingga pengubahan judul yang berulang-ulang kali. Hal
tersebut tidak menjadikan peneliti menyerah, melainkan menjadikannya motivasi
untuk segera menyelesaikan penyusunan skripsi ini. Untuk itu, dengan segala
kerendahan hati peneliti ucapkan terima kasih kepada:
1. Prof. Dr. Ahmad Thib Raya, M.A., selaku Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan
Keguruan;
2. Dr. Makyun Subuki, M. Hum., selaku Kepala Jurusan Pendidikan Bahasa dan
Sastra Indonesia;
3. Toto Edidarmo, M.A. selaku Sekretaris Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra
Indonesia;
4. Ahmad Bahtiar, M. Hum., selaku pembimbing peneliti yang selalu
memberikan arahan dengan ilmu yang meningkatkan pengetahuan peneliti.
Terima kasih atas arahan, bimbingan, motivasi yang telah Bapak berikan
selama ini;
iv
5. Bapak dan Ibu Dosen Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia,
yang selama ini telah membekali peneliti berbagai ilmu pengetahuan, terima
kasih untuk kesabaran dan kasih sayang yang tercurahkan selama ini;
6. Kedua orang tua tercinta, Mamahku Hj. Maimunah dan Ayahku H.
Muhammad Ali Syahdan. Pahlawan sejati yang selalu menjadi penyemangat
yang tiada henti mengalirkan doanya, orang yang telah banyak berkorban
dalam setiap perjalanan kehidupan penulis. Semoga Mamah dan Ayah selalu
dalam lindungan Allah dan selalu berbahagia;
7. Kakak-kakakku tercinta, Mirwan Eliza, Rizki Fardiansyah, dan Ade Nur
Fahmi serta tak pula kakak ipar tercinta, Umi Suhana, Widi Astuti, dan
Septania Harahap yang selalu memberi penyemangat. Tetaplah menjadi kakak
yang membanggakan dan memanjakan setiap waktu;
8. Seluruh mahasiswa PBSI angkatan 2013 yang selalu memberikan kisah-kasih
kebahagiaan setiap harinya selama proses pembelajaran;
9. Teman satu bimbingan yang senantiasa ada di sampingku, Windy Mulia
Jayanti;
10. Cintaku yang selalu ada dalam suka dan duka, selalu membantu penulis dalam
keadaan apapun teruntuk: Dini Latifah, Lisca Cahya Utami, Dwi Fitri Yanti,
Melda Hollidazia, Nurul Makiyah Abdiyah, Ferrara Feronica dan Sri Nita
Fauziah. Tak lupa juga sahabat yang selalu ada di kala gundah; Denok Ayu
Rahmatiah, Rizky Utami Novianti, Atthiya Prima Sari dan Putra Mulia yang
senantiasa menerima kegalauan penulis setiap saat dibutuhkan. Terima kasih
banyak tiada hingga pada kalian;
11. Kakak-Kakak dan adik serta teman seperjuangan yang senantiasa memberikan
dukungan kepada penulis, khususnya: Fikry Bermaki, M. Syakir Niamilah
Fiza, M. Ilhamul Qalbi, Annisa Rahayu, Tri Wibowo, dan Viqi Rifai yang
telah membantu penulis mendapatkan referensi serta tidak bosan memberikan
semangat kepada penulis untuk segera menyelesaikan penulisan skripsi ini;
v
12. Ukhti shaleha Riry Agnes Amalia, Fanny Widyanti, Inah Janatin, Annisa
Fadhilah, dan Tasya Nanda Chinita. Semoga kalian selalu ceria dan dilindungi
Allah Swt;
13. Teruntuk seseorang yang selalu ada dalam lubuk hati, yang menjadi motivasi
terbesar juga dalam menyelesaikan skripsi ini, yang senantiasa mendoakanku
tiada hingga. Aku merindukanmu.
Semoga semua bantuan doa, motivasi serta bimbingan yang telah diberikan
mendapatkan balasan dari Allah Swt. Selain itu, peneliti berharap skripsi ini dapat
memberi manfaat bagi semua pihak agar dapat membantu meningkatkan mutu
pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia.
Jakarta, September 2018
Peneliti
Feti Indah Mailiah
vi
DAFTAR ISI
ABSTRAK ........................................................................................................... i
ABSTRACT ......................................................................................................... ii
KATA PENGANTAR ......................................................................................... iii
DAFTAR ISI ........................................................................................................ vi
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ............................................................... 1
B. Identifikasi Masalah ...................................................................... 3
C. Pembatasan Masalah ..................................................................... 4
D. Rumusan Masalah ......................................................................... 4
E. Tujuan Penelitian ........................................................................... 4
F. Manfaat Penelitian ......................................................................... 5
G. Metodologi Penelitian .................................................................... 5
BAB II LANDASAN TEORETIS
A. Pengertian Pandangan Hidup ....................................................... 9
B. Hakikat Novel ................................................................................. 22
C. Unsur Intrinsik Novel .................................................................... 24
D. Pendekatan Objektif ...................................................................... 33
E. Pengajaran Sastra .......................................................................... 34
F. Penelitian Yang Relevan ............................................................... 36
BAB III PROFIL OKA RUSMINI
A. Biografi Oka Rusmini .................................................................... 39
B. Karya-karya Oka Rusmini ........................................................... 40
C. Pemikiran Oka Rusmini ................................................................ 41
D. Bali ................................................................................................... 43
vii
BAB IV TEMUAN DAN HASIL PENELITIAN
A. Analisis Struktural Novel Tarian Bumi ....................................... 47
1. Tema ........................................................................................... 47
2. Tokoh Dan Penokohan ............................................................. 48
3. Latar ........................................................................................... 63
4. Alur ............................................................................................. 70
5. Sudut Pandang .......................................................................... 77
6. Gaya Bahasa .............................................................................. 78
7. Amanat ....................................................................................... 80
B. Pandangan Hidup Tokoh Utama dalam Novel Tarian Bumi .... 82
C. Implikasi terhadap Pembelajaran Sastra di Sekolah ................. 96
BAB V PENUTUP
A. Simpulan........................................................................................100
B. Saran..............................................................................................101
DAFTAR PUSTAKA.........................................................................................103
LAMPIRAN-LAMPIRAN
1. Lampiran 1: RPP
2. Lampiran 2: Sinopsis Novel
LEMBAR UJI REFERENSI
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Manusia dan lingkungannya menjadi dua hal yang tidak bisa
dipisahkan. Lingkungan dapat membentuk karakter seorang pribadi
dalam bermasyarakat dan karakter seseorang merupakan manifestasi
dari lingkungan tempat ia tinggal. Artinya, karakter seseorang dapat
dilihat dari lingkungan tempat tinggalnya. Hal itu juga menunjukkan
bahwa lingkungan dan masyarakat yang tinggal di dalamnya memiliki
pengaruh satu sama lain. Lingkungan tidak hanya membentuk karakter
pribadi seseorang. Di samping itu, lingkungan menjadi tempat
terjadinya interaksi sosial antara masyarakat yang satu dengan yang
lainnya. Interaksi sosial antar masyarakat yang dibangun di dalam
lingkungan menjadi awal munculnya nilai-nilai dan aturan yang
kemudian mempengaruhi pandangan hidup seseorang.
Pandangan hidup itu sendiri tidak lahir begitu saja tanpa adanya
pengaruh dari lingkungan, melainkan muncul akibat pengalaman
pribadi seseorang. Jadi, pandangan hidup seseorang terhadap suatu hal
pasti berbeda karena pengalaman yang dimiliki pun berbeda. Begitu
pun dengan tingkah laku yang dihasilkan seseorang. Pandangan hidup
berpengaruh besar terhadap tingkah laku manusia. Seseorang bisa saja
bersikap sangat peduli atau bahkan tak acuh terhadap suatu peristiwa
atau keadaan karena ia memiliki pandangan hidup yang diyakininya.
Sebagaimana pandangan hidup yang tidak bisa muncul begitu
saja walaupun ia bersifat kodrati atau sudah ada sejak seorang itu lahir,
ia tetap membutuhkan proses agar pemikiran tersebut dapat diyakini
kebenarannya. Proses ini dapat dilakukan melalui berbagai macam
cara. Misalnya, melalui pencarian tehadap pengetahuan tentang hidup.
Semakin banyak pengetahuan yang dimiliki seseorang tentang suatu
2
hal yang menyangkut pemikirannya, maka akan semakin besar pula
keyakinan atas kebenaran pandangan hidup yang ia miliki.
Pengetahuan yang dapat memperkuat keyakinan seseorang akan
pandangan hidup yang ia miliki bisa datang dari mana saja, salah
satunya melalui karya sastra.
Karya sastra tidak saja dijadikan sebagai media hiburan bagi
perasaan atau pemikiran pembaca. Karya sastra diperkaya dengan
pesan-pesan moral yang tanpa disadari oleh pembaca bisa
mempengaruhi kehidupannya. Karya-karya Oka Rusmini menjadi
salah satu contoh karya yang sedikit banyaknya memberikan
sumbangsih bagi kehidupan bermasyarakat khususnya terhadap
pandangan hidup pembaca. Ia merupakan pengarang perempuan
Indonesia yang begitu gigih mendobrak kekakuan tradisi kasta pada
adat Bali dalam karya-karyanya. Ia mengungkap masalah-masalah
perempuan melalui tulisan-tulisannya yang begitu menggugah. Banyak
karyanya yang membicarakan tentang perempuan dan selalu dikaitkan
dengan hegemoni patriarki di dalam adat dan budaya.
Satu hal yang menarik dari Oka Rusmini, yaitu karya-karyanya
tidak terlepas dari pandangan-pandangan hidup tentang Bali bahkan
dalam novel Tarian Bumi yang menjadi objek penelitian peneliti secara
terbuka memaparkan kesadisan aturan-aturan yang dipakemkan, baik
pada masyarakat kelas paling atas (Brahmana) maupun kelas paling
bawah (Sudra). Jika dibandingkan dengan penulis-penulis perempuan
lain yang cenderung mengangkat tema feminisme secara umum, seperti
Ayu Utami, Djenar Maesa Ayu, Dewi Lestari, dan yang lainnya, Oka
Rusmini berusaha menawarkan nuansa yang berbeda dengan
mengangkat tema posisi perempuan dalam kebudayaan Bali,
khususnya pada keluarga Griya. Hal ini terlihat dalam beberapa
karyanya, seperti Tarian Bumi, Sagra, Patiwangi, dan Kenanga.
Novel Tarian Bumi ini sebenarnya tidak jauh berbeda dengan
novel Oka Rusmini yang lainnya, yaitu Kenanga. Kedua novel ini
3
menagngkat tema yang sama yairu posisi perempuan dalam
kebudayaan Bali. Akan tetapi, hal yang membuat peneliti tertarik
memilih Tarian Bumi sebagai objek penelitian dibandingkan dengan
Kenanga karena Tarian Bumi menyuguhkan gambaran perempuan Bali
yang cenderung masih kedaerahan dibandingkan dengan sosok
perempuan di novel Kenanga. Novel Kenanga memunculkan sosok
perempuan yang hadir di tengah kemodernan zaman yang bagi peneliti
suasana tersebut mudah dijumpai di dalam karya-karya lain saat ini.
Selain dapat dijadikan sebagai usaha untuk menemukan
pengetahuan terkait meyakinkan pandangan hidup seseorang, karya
sastra pun dapat dijadikan sebagai sarana pembelajaran karakter bagi
siswa. Saat ini, pembelajaran terkait karya sastra sudah tidak asing di
kalangan pelajar. Hal ini terkait pesan moral yang disajikan oleh setiap
karya sastra dapat memberikan pengaruh ke dalam perilaku siswa yang
membacanya. Guru sebagai tenaga kependidikan yang bertugas
membimbing dan mengarahkan siswa akan terbantu dengan masuknya
karya sastra ke dalam kurikulum sekolah.
Berdasarkan uraian di atas, peneliti tertarik untuk melakukan
penelitian dengan judul “Pandangan Hidup Tokoh Utama dalam Novel
Tarian Bumi Karya Oka Rusmini dan Implikasinya terhadap
Pembelajaran Sastra di Sekolah.”
B. Identifikasi Masalah
Bertolak dari latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas,
maka ada beberapa permasalahan yang dapat digali dari novel Tarian Bumi
karya Oka Rusmini, yaitu:
1. Rendahnya pemahaman pembaca mengenai hubungan nilai sosial dan
budaya yang terdapat dalam cerita
2. Peserta didik merasa kesulitan menafsirkan karakter dan pandangan
hidup tokoh yang diceritakan pengarang
4
3. Rendahnya pemahaman budaya daerah menjadi identitas diri
seseorang terutama pelajar
4. Penanaman nilai-nilai sikap terhadap peserta didik sebagai upaya
pembentukan karakter menjadi hal yang perlu diperhatikan oleh
pendidik di sekolah
C. Pembatasan Masalah
Berdasarkan permasalahan yang cukup kompleks dalam objek
penelitian, maka peneliti membatasi permasalahan yang akan diteliti
sehingga penelitian lebih terarah dan tidak menyimpang dari masalah yang
diterapkan. Peneliti lebih berfokus pada masalah pandangan hidup tokoh
utama yaitu Ida Ayu Telaga Pidada dalam novel Tarian Bumi karya Oka
Rusmini yang ditinjau melalui pandangan hidup dan diimpikasikan pada
pembelajaran sastra di sekolah.
D. Rumusan Masalah
Berdasarkan pembatasan masalah di atas, permasalahan dalam
penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut:
1) Bagaimana pandangan hidup tokoh utama dalam novel Tarian
Bumi karya Oka Rusmini
2) Bagaimana implikasi dari pandangan hidup tokoh utama dalam
novel Tarian Bumi karya Oka Rusmini terhadap pembelajaran
sastra di sekolah?
E. Tujuan Penelitian
Berdasarkan permasalahan yang telah dirumuskan, maka tujuan
penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Mendeskripsikan pandangan hidup tokoh utama dalam novel
Tarian Bumi
2. Mendeskripsikan pandangan hidup tokoh utama dalam novel
Tarian Bumi terhadap pembelajaran sastra di sekolah.
5
F. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoretis
Penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan dan
khazanah ilmu pengetahuan pembelajaran sastra Indonesia,
khususnya pandangan hidup serta adat dan budaya dalam novel
Tarian Bumi karya Oka Rusmini. Selain itu, pembahasan dalam
penelitian ini juga dapat menjadi acuan pembelajaran sastra di
sekolah.
2. Manfaat Praktis
Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat membantu
pembaca untuk lebih memahami struktur yang membangun novel
Tarian Bumi karya Oka Rusmini. Penelitian ini membantu
pembaca untuk memahami pandangan hidup serta nilai-nilai yang
terkandung dalam adat dan budaya dalam novel Tarian Bumi karya
Oka Rusmini. Selain itu, pembahasan novel ini sebagai acuan
dalam pembelajaran sastra di sekolah, khususnya memberikan
pemahaman terhadap siswa dari karya sastra, mencapai penerapan
dalam kehidupan sehari-hari.
G. Metodologi Penelitian
Metode penelitian merupakan alat, prosedur, dan teknik yang
dipilih dalam melaksanakan penelitian (dalam pengumpulan data).1
Metode penelitian yang yang dipakai peneliti adalah metode desktiptif
kualitatif dengan teknik content analysis atau analisi isi. Penelitian ini
mendeskripikan masalah, kemudian menganalisis, dan menafsirkan
data yang ada. Metode penelitian deskriptif adalah metode yang
bertujuan membuat deskripsi; maksudnya membuat gambaran, lukisan
secara sistematis, faktual dan akurat mengenai data, sifat-sifat serta
1
Fatimah Djajasudarma, Metode Linguistik-Ancangan Metode Penelitian dan
Kajian. (Bandung: PT Refika Aditama, 2006), h.4.
6
hubungan fenomena-fenomena yang diteliti.2 Pada penelitian ini,
penulis mendeskripsikan implikasi pembahasan novel Tarian Bumi
karya Oka Rusmini terhadap pembelajaran bahasa dan sastra di
sekolah.
1. Subjek dan Objek Penelitian
Subjek dari penelitian ini adalah pandangan hidup tokoh utama
dalam novel Tarian Bumi karya Oka Rusmini dan sebagai
objek penelitian adalah novel Tarian Bumi. Novel ini pertama
kali diterbitkan pada tahun 2000, cetakan pertama pada tahun
2007, tetapi novel yang digunakan oleh penulis merupakan
cetakan kedua pada tahun 2013 dan terdapat 182 halaman.
2. Tempat dan waktu penelitian
Tempat penelitian tidak terpaku terhadap suatu tempat,
penelitian yang dilakukan dengan mengkaji suatu teks atau
naskah dapat di mana saja sehingga setiap tempat bisa
dijadikan tempat penelitian. Adapun penelitian ini dilakukan
mulai Agustus 2017 sampai September 2018.
3. Bentuk dan strategi penelitian
Penelitian ini menggunakan teknik analisis deskriptif kualitatif
dengan metode analisis isi. Penelitian ini mendeskripsikan apa
yang menjadi masalah, menganalisis, dan menafsirkan data
yang didapatkan. Metode analisis isi yang digunakan dalam
menelaah isi dari suatu dokumen yaitu novel Tarian Bumi
karya Oka Rusmini.
4. Fokus penelitian
Fokus penelitian ini adalah mendeskripsikan pandangan hidup
tokoh utama dalam novel Tarian Bumi karya Oka Rusmini dan
implikasinya terhadap pembelajaran sastra di sekolah. Fokus
penelitian ini dilakukan agar penelitian lebih fokus dan terarah
sehingga dapat lebih mudah dipahami oleh pembaca.
2Ibid, h. 9.
7
5. Sumber data
Sumber data dalam penelitian ini dibedakan menjadi dua, yaitu
berupa data primer dan data sekunder. Sumber primer adalah
sumber data yang langsung memberikan data kepada
pengumpul data, sedangkan sekunder adalah sumber data yang
secara tidak langsung memberikan data kepada pengumpul
data. Sumber data primer dalam penelitian ini adalah novel
Tarian Bumi. Sedangkan sumber data sekunder dalam
penelitian ini adalah buku-buku serta tulisan yang berkaitan
dengan penelitian ini.
6. Teknik pengumpulan data
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini
adalah teknik pustaka, simak, dan catat. Teknik pustaka adalah
teknik penelitian yang menggunakan sumber-sumber data
tertulis untuk memperoleh data. Teknik simak dalam penelitian
ini berarti penulis sebagai instrumen yang melakukan
penyimakan secara cermat, terarah, dan teliti terhadap sumber
data primer. Hasil penyimakan tersebut dicatat sebagai sumber
data.
7. Instrumen penelitian
Instrumen penelitian adalah alat atau fasilitas yang digunakan
oleh penulis dalam mengumpulkan data agar pekerjaannya
lebih mudah dan hasilnya lebih baik, cermat, lengkap serta
sistematis sehingga lebih mudah diolah dalam penelitian itu
sendiri. Penelitian kualitatif sebagai human instrumen
berfungsi menetapkan fokus penelitian, memilih informan
sebagai sumber data, melakukan pengumpulan data, memilih
kualitas data, analisis data, menafsirkan data, dan membuat
kesimpulan data atas temuannya. Kegiatan yang dilakukan
penulis sehubungan dengan pengambilan data dari novel
Tarian Bumi, penulis bertindak sebagai pembaca yang aktif
8
membaca dan mengidentifikasi peristiwa-peristiwa yang
menyangkut sudut pandang tokoh.
8. Teknik analisis data
Teknik analisis data yang penulis gunakan dalam penelitian ini
adalah sebagai berikut.
a. Identifikasi
Setelah data terkumpul, penulis membaca secara kritis
dengan mengidentifikasi novel yang dijadikan data dalam
penelitian, dalam hal ini novel Tarian Bumi karya Oka
Rusmini.
b. Klasifikasi
Setelah diidentifikasi, data novel diseleksi dan diklasifikasi
sesuai hasil identifikasi, yaitu unsur intrinsik, pandangan
hidup tokoh utama lalu menghubungkannya dengan
pembelajaran sastra di sekolah.
c. Analisis
Teknik selanjutnya ialah analisis. Seluruh data yang
mengandung mengenai sudut pandang tokoh utama
dianalisis dan ditafsirkan secara keseluruhan.
d. Deskripsi
Dalam teknik ini hasil analisis disusun secara sistematis
sehingga memudahkan dalam mendeskripsikan pandangan
hidup tokoh utama yang terdapat dalam novel Tarian Bumi
karya Oka Rusmini.
9
BAB II
LANDASAN TEORETIS
A. Pandangan Hidup
Akal dan budi sebagai milik manusia ternyata membawa ciri
tersendiri akan diri manusia itu. Sebab akal dan budi mengakibatkan
manusia memiliki keunggulan dibandingkan makhluk lain. Satu diantara
keunggulan manusia tersebut ialah pandangan hidup.1 Manusia pasti
memiliki pandangan hidup walaupun entah bagaimanapun bentuknya.
Bagaimana kita memperlakukan pandangan hidup itu tergantung pada
orang yang bersangkutan. Ada yang memperlakukan pandangan hidup itu
sebagai sarana mencapai tujuan dan ada pula yang memperlakukan sebagai
penimbul kesejahteraan, ketentraman, dan sebagainya.2 Pandangan hidup
ini didasari dari pola dasar pemikiran manusia ketika melakukan sesuatu,
baik hal mencukupi kebutuhan hidup, bersekolah, bergaul terhadap teman,
dan lain sebagainya. Pola pemikiran ini menjadi tolok ukur manusia dalam
mengambil tindakan ataupun menilai sesuatu.
Pandangan hidup tidak terlepas dari masalah nilai dalam kehidupan
manusia pada umumnya. Oleh karena itu, pandangan hidup yang
sempurna yang merupakan wujud pertama kebudayaan tidak boleh
terlepas dari nilai budaya.3 Pandangan hidup manusia tentu berbeda-beda,
faktor lingkungan sangat berpengaruh dengan berkembangnya manusia itu
sendiri, jika lingkungan itu baik maka cara pandang manusia akan menjadi
semakin baik, maka sebaliknya jika lingkungan itu tidak baik maka
manusiapun juga tidak baik. Faktor lingkungan yang mempengaruhi di sini
bukan sekedar di mana ia tinggal, tetapi juga lingkungan bergaul dengan
teman. Faktor lingkungan itu memberikan manusia cara pandang dan
berpikir terhadap sesuatu yang akan menjadikannya semakin kuat ataupun
lemah.
1 Djoko Widagdho, Ilmu Budaya Dasar, (Jakarta: Bumi Aksara, 2008), h.141.
2 M. Habib Mustopo, Ilmu Budaya Dasar, (Surabaya: Usaha Nasional, 1989),
h.174. 3 Supartono, Ilmu Budaya Dasar, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2004), h.134.
10
Pandangan hidup memiliki banyak macam dan
ragamnya, akan tetapi pandangan hidup dapat
diklasifikasikan berdasarkan asalnya yaitu terdiri atas tiga
macam: (1) Pandangan hidup yang berasal dari agama yaitu
pandangan hidup yang mutlak kebenarannya; (2) Pandangan
hidup yang berupa ideologi yang disesuaikan dengan
kebudayaan dan norma yang terdapat pada negara tersebut;
(3) pandangan hidup hasil renungan yaitu pandangan hidup
yang relatif kebenarannya.4
Banyaknya macam dan ragam pandangan hidup yang telah
dipaparkan, peneliti sangat tertarik mengenai pandangan hidup. Dimana,
ketiga macam pandangan hidup ini mencakup isi dari novel Tarian Bumi.
Peneliti membatasi penelitian pada pandangan hidup agar lebih terfokus
dan terarah. Pembahasan penelitian ini meliputi pandangan hidup yang
berasal dari agama, pandangan hidup yang berupa kebudayaan dan
pandangan hidup hasil renungan yaitu cinta kasih, penderitaan, tanggung
jawab, dan harapan. Hal ini akan dideskripsikan melalui tokoh dalam
novel Tarian Bumi yaitu “Ida Ayu Telaga Pidada/Telaga“ sebagai tokoh
utama dalam novel ini.
1. Pandangan Hidup yang Berasal dari Agama
Setiap manusia memiliki keyakinan akan Tuhan yang
menciptakan seluruh alam semesta. Manusia memiliki berbagai
macam kepercayaan terhadap Tuhan yang di sembahnya. Agama
yang tersebar di Indonesia terdapat Islam, Kristen, Katolik, Hindu,
Buddha, dan Konghucu.
Agama Hindu merupakan urutan keempat terbesar di
Indonesia. Salah satu wilayah terbesar yang menganut agama
Hindu yaitu di Bali. Dalam kehidupan keagamaan orang yang
beragama Hindu berkeyakinan bahwa mereka diciptakan oleh Ida
Sang Hyang Widhi Wasa (Tuhan Yang Maha Esa) yang disebut
bermacam-macam misalnya: Sanghyang Widhi, Sanghyang
4 Mustopo, Op. Cit., h.173.
11
Tunggal, Sanghyang Tuduh, Sanghyang Paramakawi dan
sebagainya. Manifestasi daripada Ida Sanghyang Widhi disebut
Dewa atau Bhatara.5 Orang Hindu percaya akan adanya satu
Tuhan, dalam bentuk konsep Trimurti yang Esa, Trimurti ini
mempunyai tiga wujud atau manifestasi, ialah wujud Brahmana
yang menciptakan, wujud Wisnu yang melindungi serta
memelihara, dan wujud Siwa yang melebur segala yang ada.6
Tempat melakukan ibadah di Bali pada umumnya di sebut
Pura. Tempat ibadah ini berupa sekomplek bangunan-bangunan
suci yang sifatnya berbeda-beda. Ada yang bersifat umum artinya
untuk setiap golongan Pura Besakih, ada yang berhubungan
dengan kelompok sosial yaitu Pura desa (kajangan tiga), ada yang
berhubungan dengan organisasi dan kumpulan-kumpulan khusus
seperti Subak dan Seka, kumpulan tari-tarian merupakan tempat
pemujaan leluhur dari klen-klen besar. Adapun tempat pemujaan
leluhur dan klen kecil serta keluarga-luas adalah tempat-tempat
sajian rumah yang di sebut Sanggah.7 Sanggah juga disebut
tunggun karang, yaitu penunggu pekarangan. Jadi, sejenis tentara
yang menjaga rumah.8 Demikian di Bali itu ada beribu-ribu Pura
dan Sanggah, masing-masing mempunyai hari perayaannya sendiri
yang telah ditentukan oleh sistem tanggalnya sendiri.
Kepercayaan Agama Hindu yang terpenting adalah
kepercayaan yang disebut Panca Sradha, yaitu lima keyakinan
pokok yang mencakup yaitu: percaya akan adanya satu tuhan Ida
Sang Hyang Widhi; percaya terhadap adanya konsep atman (roh
abadi); percaya tentang Punarbhawa (kelahiran kembali dari jiwa);
percaya terhadap hukum Karma Phala (adanya buah dari setiap
5 I Wayan Widia, Isi dan Kelengkapan Rumah Tangga Traditional di Daerah
Bali. (Bali: Depdikbut 1983-1984), h. 78. 6 Koentjaraningrat, Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. (Jakarta: Djambatan
1971), h. 299. 7 Ibid., h. 300.
8 Putu Setia, Bali Menggugat. (Jakarta: PT Gramedia 2014), h. 48.
12
perbuatan); dan percaya akan adanya Moksa (kebebasan jiwa dari
lingkaran kelahiran kembali). Pengaruh kepercayaan dan beragama
ini tampak dalam konsepsi dan aktivitas upacara yang muncul
dalam frekuensi yang tinggi terhadap masyarakat Bali baik berupa
upacara yang dilaksanakan oleh kelompok kerabat maupun
komunitas. Keseluruhan jenis upacara di Bali digolongkan kedalam
lima macam yang disebut Panca Yadnya, yaitu:9
1) Manusia Yadnya, upacara yang meliputi perjalanan hidup
manusia menyangkut daur hidup dari masa kanak-kanak
sampai dewasa.
2) Pitra Yadnya, upacara yang ditujukan kepada roh-roh
leluhur, meliputi upacara kematian sampai pada upacara
penyucian roh leluhur.
3) Dewa Yadnya, merupakan upacara-upacara pada pura
maupun keluarga, yang dtitujukan kepada para dewa
sebagai manifestasi Hyang Widhi.
4) Rsi Yadnya, merupakan upacara yang berhubungan orang
suci yang berjasa dalam pembinaan agama Hindu.
5) Bhuta Yadnya, meliputi upacara yang ditujukan kepada
Bhuta kala yaitu roh-roh di sekitar manusia yang dapat
mengganggu.
2. Pandangan Hidup yang Berasal dari Kebudayaan
Kata kebudayaan berasal dari kata Budh dalam bahasa
Sanskerta yang berarti akal, kemudian menjadi kata Budhi
(tunggal) atau Budhaya (majemuk), sehingga kebudayaan diartikan
sebagai hasil pemikiran atau akal manusia.10
Malinowski
sebagaimana dikutip oleh Supartono dalam bukunya Ilmu Budaya
Dasar menyatakan bahwa kebudayaan pada prinsipnya
9 I Wayan Ardika, dkk. Sejarah Bali dari Prasejarah Hingga Modern. (Bali:
Udayana University Press 2013), h. 332-333. 10
Supartono, Op. Cit., h. 30.
13
berdasarkan atas berbagai sistem kebutuhan manusia. Tiap tingkat
kebutuhan itu menghadirkan corak budaya yang khas.11
Menurut
KBBI Kebudayaan adalah hasil kegiatan dan penciptaan batin (akal
budi) manusia seperti kepercayaan, kesenian, dan adat istiadat.
Indonesia memiliki banyak macam kebudayaan, salah satunya
adalah kebudayaan Bali. Kebudayaan Bali merupakan cara hidup
yang dilakukan oleh masyarakat Bali yang terus berkembang dan
diwariskan secara turun-temurun. Kebudayaan Bali terlihat dari
segi keseniannya yang kental, kedudukan status sosial, adat istiadat
serta kepercayaannya.
Kedudukan status sosial, baik individu maupun kelompok,
bagi masyarakat Bali selalu melahirkan sumber-sumber
ketegangan. Sikap hati-hati orang Bali untuk memenuhi
pencapaian kedudukan sosialnya, sangat erat kaitannya dengan
jaring kekerabatan yang mereka bangun di atas darah keturunan,
yang pada akhirnya memolakan sebuah arena persaingan, entah
dengan kerabat sendiri maupun orang lain.12
Struktur sosial
masyarakat Bali terdapat berbagai sistem yaitu diantaranya sistem
Wangsa. Istilah bangsa (Wangsa) mempunyai arti umum “ras”,
“keluarga” atau “kerabat”. Mereka adalah golongan orang-orang
yang idealnya diduga berasal dari kelahiran nenek moyang laki-
laki.13
Sistem pelapisan sosial masyarakat Bali yang mayoritas
menganut Hindu disebut Wangsa. Di dalam Sistem Wangsa ada
satu keturunan yang dipandang lebih tinggi dan ada yang lebih
rendah. Demikian pula kelompok-kelompok yang mendapatkan
11
Ibid., h. 31. 12
I Nyoman Yoga Segara, Perkawinan Nyerod Kontestasi, Negosiasi, dan
Komodifikasi di atas Mozaik Kebudayaan Bali, (Jakarta: PT Saadah Pustaka Mandiri,
2015), h. 64. 13
Ibid., h. 66.
14
hak-hak istimewa terutama dalam pergaulan adat. 14
Struktur
masyarakat Bali dibagi empat kelompok strata yang dikenal
dengan catur wangsa. Catur wangsa sebagai pengelompokan
masyarakat Bali terdiri atas kelompok atau golongan brahmana
wangsa, ksatrya wangsa, weisya wangsa dan sudra wangsa (jaba
wangsa). Tiga strata pertama termasuk dalam golongan Tri wangsa
dan golongan sudra wangsa sering disebut jaba wangsa. Keempat
wangsa ini menunjukan adanya perbedaan strata secara tradisional
yang didasarkan atas keturunan.15
Kata Wangsa berubah atau sengaja diubah pengertiannya
menjadi kasta, mengikuti sistem yang berlaku di India, dengan
memasukkan kelas sudra sebagai kelas terbawah, hina dan tidak
berkualitas.16
Sistem kemasyarakatan berdasarkan kasta ini terjadi
pemilahan struktur sosial yang sangat tajam antara kasta yang lebih
tinggi dengan kasta yang lebih rendah.
Masyarakat Bali, setiap tahap kehidupannya akan menandai
dengan sebuah ritual khusus. Mulai dari bayi dalam kandungan 5-7
bulan (magedong-gedongan), bayi lahir, usia 12 hari (ngerorasin),
usia 42 hari (macolongan), 3 bulan (nyambutin), 6 bulan (otonan),
akil balig (menek daha), potong gigi (mapandes atau masangih),
menikah (pawiwahan), hingga mati (ngaben), dan hal lain
sebagainya terlebih untuk masalah perkawinan menjadi paling
sentral dalam siklus kehidupan orang Bali.17
Sistem perkawinan
dalam adat Bali, biasanya untuk menjaga kehormatan keluarga,
umumnya orang tua pihak perempuan akan turut campur dalam
memilihkan calon suami anaknya.
14
Ibid., 15
I Nyoman Budiana, Perkawinan Beda Wangsa dalam Masyarakat Bali.
(Yogyakarta: Graha Ilmu 2009), h. 8. 16
Segara, Op. Cit., h. 66. 17
Ibid., h. 73.
15
Sistem perkawinan yang dianut masyarakat Bali memiliki
berbagai macam bentuk perkawinan yaitu perkawinan biasa,
perkawinan nyeburin, perkawinan padagelahang. Masyarakat Bali
juga mempunyai larangan untuk menikah beda wangsa,
dikarenakan masyarakat Bali percaya akan adanya petaka atau
kesialan jika menikah dengan berbeda wangsa. Perempuan tri
wangsa yang menikah dengan laki-laki yang tidak sewangsa
disebut nyerod.
Nyerod berasal dari asal kata serod yang diartikan „jatuh‟,
„terjatuh‟ atau „lepas dari pegangan‟. Dalam praktiknya, istilah
nyerod hanya diperuntukkan bagi perempuan tri wangsa yang
menikah tidak dengan laki-laki sewangsa. Adapun dua bentuk
perkawinan yang dilarang oleh tri wangsa itu adalah asu pundung
dan alangkahi karang hulu. Asu pundung artinya menggendong
anjing, sebuah metafora yang menyamakan laki-laki dari wangsa
ksatria, wesya, dan jaba yang dianggap lancang menikahi
perempuan dari brahmana yang berderajat lebih tinggi, sehingga
perkawinan beda wangsa ini analog dengan perempuan yang
seperti menggendong anjing. Alangkahi karang hulu artinya
melangkahi kepala orang yang derajatnya lebih tinggi. Misalnya,
laki-laki berwangsa wesya yang menikahi perempuan ksatria, atau
laki-laki jaba menikahi perempuan ksatria dan wesya, terlebih
brahmana dianggap telah melangkahi kepala orang yang lebih
tinggi.18
Masyarakat Bali yang berani melakukan nyerod juga harus
berani melakukan upacara patiwangi agar menyetarakan wangsa.
Pasangan yang melakukan nyerod sama-sama memiliki ketakutan
yang sangat besar untuk mengarungi perkawinan. Untuk membuat
mereka tenang, dan dalam suasana batin yang damai, maka
patiwangi diperlukan dengan cara membunuh terlebih dahulu
18
Ibid., h. 9-10.
16
wangsa perempuan agar setelah menikah statusnya menjadi
sederajad dengan suaminya, sehingga sederajat pula kondisi
kejiwaan mereka, karena tidak ada yang merasa lebih tinggi atau
rendah.19
Jika tidak melangsungkan upacara patiwangi, status
wangsa mereka berdua dalam satu rumah dikatakan tidak imbang.
Istrinya yang trah brahmana sebagai lambang surya masih tetap
panas membakar isi rumah tangga. Maka untuk membuat sinar
surya tidak panas lagi, harus diadakan upacara patiwangi.
3. Pandangan Hidup yang Berasal dari Hasil Renungan
a. Cinta dan Kasih
Cinta kasih bersumber pada unsur rasa, yang
merupakan ungkapan perasaan, didukung oleh unsur karsa,
yang dapat berupa tingkah laku dan dipertimbangkan dengan
akal yang menimbulkan tanggung jawab.20
Menurut KBBI,
cinta adalah perasaan yang mendalam atau amat suka sekali,
sedangkan kasih yaitu rasa sayang.
Cinta dan kasih adalah kebutuhan kodrati manusia yang
merupakan bagian yang tidak dapat diabaikan dalam kehidupan
manusia.21
Cinta dan kasih nalurinya dapat terjalin pada orang
tua, anak, lawan jenis, teman, dan lainnya. Pemberian cinta dan
kasih yang sempurna bukanlah hanya mencinta pada satu arah
saja melainkan dua arah atau sama-sama mencintai, jadi bukan
salah satu saja yang mencinta. Karena pada dasarnya setiap
orang membutuhkan kebutuhan untuk mencinta dan dicintai.
Cinta adalah sikap, sesuatu orientasi watak yang
menentukan hubungan pribadi dengan dunia keseluruhan,
bukan menuju sesuatu objek cinta. Jika seseorang pribadi
19
Ibid., h. 115. 20
Lies Sudibyo, dkk. Ilmu Sosial Budaya Dasar. (Yogyakarta: C.V Andi
OFFSET, 2013), h. 39. 21
Ibid., h. 41.
17
hanya mencintai pribadi lain dan acuh tak acuh terhadap
sesamanya yang lain, cintanya bukanlah cinta, tetapi ikatan
simbolik atau egoisme yang diperluas.22
Cinta kasih adalah
ungkapan perasaan yang diwujudkan dengan tingkah laku,
seperti dengan kata-kata atau pernyataan, dengan tulisan,
dengan gerak, atau media lainnya.23
Menyatakan cinta adalah
suatu orientasi yang menunjukkan pada segalanya dan bukan
kepada salah satu hal saja. Hal itu tidak berarti bahwa tidak ada
perbedaan diantara tipe-tipe cinta berdasarkan obyeknya.24
Ungkapan perasaan cinta dan kasih itu dapat ditujukan
kepada lawan jenis, orang tua, anak, teman dan lainnya.
Misalnya mengungkapkan dengan kata-kata yaitu “aku cinta
padamu, terima kasih mencintaiku dengan tulus, aku teramat
menyayangimu nak, atau tidurlah anakku sayang.” Ungkapan
dengan tulisan misalnya surat cinta, hal ini dapat dilakukan
dengan lawan jenis, ataupun antara ibu dan anak. Ungkapan
dengan gerak atau tingkah laku, misalnya pelukan, ciuman,
mencium tangan, dan merangkul. Ungkapan dengan media
misalnya hadiah berupa barang, bunga, dan sebagainya.
b. Penderitaan
Manusia selain memiliki perasaan cinta dan kasih, juga
memiliki perasaan yang tidak menyenangkan seperti sakit hati,
hal ini dikarenakan manusia memiliki akal pikiran dan
perasaan. Perasaan yang tidak menyenangkan ini berupa
hilangnya tujuan hidup, tidak memiliki pekerjaan, rendah diri,
gagal dalam meraih cita-cita, cinta yang tak sampai dan
lainnya. Perasaan hal seperti ini yaitu perasaan derita atau
penderitaan. Dalam buku Djoko Tri Prasetya dalam Tanya
22
Mustopo, Op. Cit., h.77. 23
Sudibyo. Loc. Cit. 24
Mustopo, Loc. Cit.
18
Jawab Ilmu Budaya Dasar menyatakan, bahwa “kata derita
berasal dari kata bahasa Sansekerta “dhra” artinya menahan
atau menanggung. Derita artinya menanggung atau merasakan
sesuatu yang tidak menyenangkan.”25
Penderitaan adalah beban
fisik atau jiwa manusia yang dapat menekan diri manusia.26
Abraham Maslow sebagaimana dikutip Lies Sudibyo dkk,
dalam Ilmu Sosial Budaya Dasar menyatakan sebagai berikut.
Keinginan pemenuhan kebutuhan dalam
diri manusia terkadang tidak sesuai dengan
kemampuan dirinya. Ketidaksesuaian ini manusia
akan menghadapi penderitaan. Penderitaan
manusia dapat bersumber pada jasmaniah,
disebabkan manusia tidak dapat makan, sakit
karena penderitaan yang bersumber pada
kejiwaan disebabkan tidak terpenuhinya
kebutuhan kejiwaan, misalnya frustasi kegagalan
cita-cita, kejemuan hidup, kekecewaan.
Penderitaan yang bersumber pada orang lain
(sosial) disebabkan manusia mengalami hambatan
kegagalan hubungan sosial antara manusia.
Misalnya keterasingan, penindasan, ancaman
sosial.27
Penderitaan disimpulkan yaitu perasaan yang tidak
menyenangkan yang dialami manusia dalam keadaan yang
tidak diduga-duga. Penderitaan yang dialami manusia
bersumber pada jasmaniah, kejiwaan, dan orang lain. Hal ini
biasanya dialami manusia dalam kelangsungan hidupnya
seperti kesengsaraan, rasa sakit, tertekan, tersiksa, keluh kesah,
kejemuan hidup dan lain sebagainya.
25
Djoko Tri Prasetya, dkk, Tanya Jawab Ilmu Budaya Dasar. (Jakarta: PT
Rineka Cipta, 2000), h. 49. 26
Sudibyo. Op. Cit., h.120. 27
Ibid., h.123.
19
c. Tanggung Jawab
Manusia memiliki pandangan tentang tanggung jawab
dan harapan. Manusia yang merupakan makhluk Tuhan dan
makhluk individu, juga merupakan makhluk sosial, yang
berada dalam ruang lingkup bermasyarakat. Manusia sebagai
makhluk individual harus bertanggung jawab terhadap dirinya
(keseimbangan jasmani dan rohani). Dalam interaksi sosial,
kehidupan manusia dibebani tanggung jawab, memiliki hak dan
kewajiban, dituntut pengabdian dan pengorbanan.
Djoko Tri Prasetya dalam Tanya Jawab Ilmu Budaya
Dasar menyatakan bahwa tanggung jawab adalah kesadaran
manusia akan tingkah laku atau perbuatannya yang disengaja
maupun yang tidak disengaja. Tanggung jawab juga berarti
berbuat sebagai perwujudan kesadaran atau kewajibannya.28
Manusia pada hakikatnya makhluk yang bertanggung jawab,
karena manusia selain merupakan makhluk individual dan
individual sosial, juga merupakan makhluk Tuhan yang
memiliki tuntunan yang besar untuk bertanggung jawab
mengingat ia memberi sejumlah peranan dalam konteks
individual dan sosial. Lies Sudibyo dkk, dalam bukunya Ilmu
Sosial Budaya Dasar menyatakan bahwa terdapat definisi lain
dalam kasus bahasa inggris.
Tanggung jawab atau Responsibility =
having the character of a free moral agen capable
of determining one's own acts; capable of
deterred by consideration of sanction or
consequences. Definisi tersebut memberikan
pengertian yang dititik beratkan pada: (a) Harus
ada kesanggupan untuk menetapkan sikap
terhadap sesuatu perbuatan (b) Harus ada
kesanggupan untuk memikul resiko dari sesuatu
perbuatan.29
28
Prasetya. Op. Cit., h.79. 29
Sudibyo. Op. Cit., h.104.
20
WJS. Poerwodarminto sebagaimana dikutip oleh Lies
Sudibyo dkk, menyatakan bahwa “tanggung jawab adalah
suatu yang menjadi kewajiban (keharusan) untuk dilaksanakan,
dibahas dan sebagainya.”30
Manusia yang bertanggung jawab
adalah manusia yang dapat menyatakan diri sendiri bahwa itu
baik dalam arti menurut norma umum, sebab baik menurut
seseorang belum tentu baik menurut pendapat orang lain atau
apa yang dikatakan baik menurut pendapat dirinya ternyata
ditolak oleh orang lain.31
Sebagai makhluk sosial, sejatinya manusia dapat
menilai dan dinilai untuk memilah dan menyadari apakah
perbuatan yang dilakukan baik dan benar atau tidak baik dan
salah. Hal seperti ini maka dilakukannya berbagai macam
pertimbangan agar manusia dapat menyadari akibat atau
dampak dari suatu perbuatan yang dilakukan. Karena tanggung
jawab merupakan ciri-ciri manusia yang beradab.
d. Harapan
Setiap manusia yang bernyawa pasti memiliki harapan
dan cita-cita dalam kehidupannya. Perbuatan dan tindakan yang
dilakukan manusia semata-mata mengharap akan adanya
sesuatu yang didapatkan dari jerih payah atau tindakan
tersebut. Misal, bekerja agar dapat menghidupi anggota
keluarga, mendapatkan uang, ingin menjadi guru, dokter dan
lain sebagainya. Menurut KBBI harapan adalah keinginan
untuk dijadikan kenyataan. Harapan adalah keinginan yang
timbul dari diri manusia berupa cita-cita yang dilakukannya
30
Ibid., h. 103. 31
Mustopo, Op. Cit., h.191-192.
21
dalam perbuatan dan tindakan. Jika manusia tidak memiliki
harapan dan cita-cita lagi, maka manusia itu mati dalam hidup.
Manusia yang mempunyai cita-cita dan harapan dalam
hidupnya, berarti ia ingin hidup dengan segala kesadaran
membina hidupnya agar selalu meningkat martabatnya. Istilah
psikologis hal itu disebut „merealiasikan diri self relazation
artinya manusia berusaha mengembangkan dirinya, sehingga
hidupnya selalu meningkat dan lebih baik serta dapat
membantu memperkaya lingkungannya. 32
Harapan itu biasanya sesuai dengan pengetahuan,
pengalaman, lingkungan hidup dan kemampuan.33
Harapan
berasal dari kata harap, artinya keinginan supaya sesuatu
terjadi.34
Sedangkan harapan itu sendiri mempunyai makna
sesuatu yang terkandung dalam hati setiap orang yang
datangnya merupakan karunia Tuhan, yang sifatnya terpatri dan
sukar dilukiskan yang mempunyai harapan atau keinginan itu
hati. Putus harapan berarti putus asa. 35
Selama masih hidup,
semua orang selalu memiliki perasaan berharap. Harapan tidak
mungkin mengandung arti negatif. Abraham Maslow
sebagaimana dikutip oleh Djoko Tri Prasetya dalam bukunya
Tanya Jawab Ilmu Budaya Dasar menyatakan sebagai berikut.
Kebutuhan manusia menjadi lima macam.
Lima macam kebutuhan itu merupakan lima
harapan manusia. (1) Harapan untuk memperoleh
kelangsungan hidup (survival). (2) Harapan untuk
memperoleh keamanan (safety). (3) Harapan
untuk memiliki hak dan kewajiban untuk
mencintai dan dicintai (beloving and love). (4)
Harapan memperoleh status atau untuk diterima
atau diakui lingkungan. (5) Harapan untuk
32
Sudibyo. Op. Cit., h.159. 33
Mustopo, Op. Cit., h.223. 34
Prasetya, Op. Cit., h.100. 35
Mustopo, Op. Cit., h.224.
22
memperoleh perwujudan dan cita-cita (self
actualization).36
Harapan harus berdasarkan dengan kepercayaan, baik
kepercayaan pada diri sendiri maupun kepercayaan kepada
Tuhan. Agar harapannya terwujud, maka selain berusaha
dengan sungguh-sungguh, manusia tak lepas atau tidak boleh
bosan berdoa. Hal ini disebabkan karena antara harapan dan
kepercayaan itu tidak dapat dipisahkan. Harapan dan
kepercayaan itu adalah bagian diri dari manusia.37
Selain
berusaha dalam menggapai harapan atau cita-cita, manusia
tidak luput meminta dan berdoa pada Tuhannya agar harapan
dan cita-cita dapat terwujudkan. Manusia yang hidup
mempunyai harapan dan tidak bisa dipisahkan dalam
kepercayaan untuk dapat menggapai impiannya.
B. Hakikat Novel
Istilah roman sebagai suatu bentuk prosa yang terdapat di
Indonesia. Sejak zaman penjajahan Belanda istilah tersebut dipakai
sebagai terjemahan bahasa Indonesia untuk istilah asing novel. Kemudian
perkembangan zaman menyebabkan pemakaian istilah roman tersisih oleh
istilah populer di tanah air yaitu novel. 38
Kata novel berasal dari bahasa
latin novellus yang diturunkan pula dari kata noveis yang berarti “baru”.
Dikatakan baru karena jika dibandingkan dengan jenis-jenis sastra lainnya
seperti puisi, drama, dan lain-lain maka jenis novel ini muncul
kemudian.39
Sebagai genre sastra termuda, novel ternyata telah banyak
36
Prasetya, Op. Cit., h.101. 37
Mustopo, Op. Cit., h.223. 38
Putu Arya Tirtawirya, Apresiasi Puisi dan Prosa, (Flores: Nusa Indah, 1983),
h.101.
39
Henry Guntur Tarigan, Prinsip-prinsip Dasar Sastra, (Bandung: Penerbit
Angkasa, 1993), h.164.
23
menarik perhatian dan minat banyak kalangan.40
Abrams dalam Burhan
menyatakan bahwa,
Sebutan novel dalam bahasa Inggris—dan inilah yang
kemudian masuk ke Indonesia—berasal dari bahasa Italia
novella (yang dalam bahasa Jerman: novelle). Secara harfiah
novella berarti „sebuah barang baru yang kecil‟, dan
kemudian diartikan sebagai „cerita pendek dalam bentuk
prosa.41
Istilah novella dan novelle mengandung pengertian yang sama
dengan istilah Indonesia „novelet‟ (Inggris novelette), yang berarti sebuah
karya prosa fiksi yang panjangnya cukupan, tidak terlalu panjang, namun
juga tidak telalu pendek.42
Novel menyajikan cerita dan peristiwa yang
kompleks, sehingga ketika membaca novel tidak jarang pembaca seolah-
olah menjadi bagian dalam cerita. Cerita, bila diperbedakan dengan
wacana, mengacu kepada peristiwa-peristiwa dan situasi-situasi yang
dimunculkan oleh sebuah teks naratif. Bila dipertentangkan dengan alur,
cerita mengacu kepada peristiwa-peristiwa dalam urutan yang
kronologis.43
Novel bersifat naratif, artinya ia lebih bersifat “bercerita”
daripada “memperagakan.44
Berbeda dengan drama yang menjadikan teks
sebagai sebuah aksi untuk dipertunjukan atau diperagakan.
Seseorang membaca cerita rekaan dengan berbagai macam
motivasi. Kebanyakan orang membacanya sebagai pengisi waktu saja.45
Membaca sebuah novel, untuk sebagian (besar) orang hanya ingin
menikmati cerita yang disuguhkan. Mereka hanya akan mendapat kesan
pertama secara umum dan samar tentang plot dan bagian cerita tertentu
40 Furqonul Aziez dan Abdul Hasim, Menganalisis Fiksi Sebuah Pengantar,
(Bogor: Ghalia Indonesia, 2010), h.1. 41
Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi, (Yogyakarta: Universitas
Gadjah Mada University Press, 2013) , h. 11-12.
42
Ibid., h. 12.
43
Sugihastuti, Teori Apresiasi Sastra, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011), h.
134.
44
Furqonul Aziez dan Abdul Hasim, Op.Cit. h. 3.
45
Panuti Sudjiman, Memahami Cerita Rekaan, (Jakarta: Pustaka Jaya, 1991), h.
12.
24
yang menarik.46
Sebenarnya, jika membaca sebuah teks sastra akan
mendapatkan pembelajaran yang terkandung di dalamnya tidak hanya
sekadar membaca karyanya saja, melainkan pemikiran yang kritis
sehingga pembaca mendapatkan wawasan dan pengalaman baru setelah
membaca.
Novel adalah cerita mengenai salah satu episode dalam kehidupan
manusia, suatu kejadian yang luar biasa dalam kehidupan itu, sebuah krisis
yang memungkinkan terjadinya perubahan nasib manusia.47
Kisah atau
cerita yang disajikan dalam novel, tak jarang merupakan cuplikan dari
kehidupan nyata. Oleh karena itu, tidak heran jika ada pembaca yang
terbawa suasana oleh cerita yang ada di dalam novel.
Berbagai pemaparan tentang novel di atas bisa disimpulkan bahwa
novel adalah sebuah karya sastra yang di dalamnya mengandung kejadian
atau peristiwa dalam kehidupan manusia, kemudian mengalami perubahan
nasib atau dapat dikatakan bahwa pengarang novel mengambil inspirasi
sesuai dengan gambaran kehidupan untuk kemudian dituangkannya ke
dalam bentuk novel. Selain itu, novel juga menyajikan cerita dan peristiwa
yang kompleks dengan adanya unsur tema, tokoh, alur, latar dan
sebagainya sehingga pembaca seolah-olah menjadi bagian dalam cerita.
Bagi pembaca novel harus menjadi pembaca yang kritis, agar
mendapatkan manfaat dan hiburan secara utuh setelah membacanya.
Peristiwa yang terdapat dalam novel akan lebih bermanfaat apabila untuk
dijadikan pembelajaran dan mengaplikasinya dalam kehidupan dan
menularkan kepada orang lain.
C. Unsur Intrinsik Novel
Unsur intrinsik adalah unsur yang turut membangun karya sastra
itu sendiri. Kepaduan antar berbagai unsur intrinsik inilah yang
menyebabkan novel hadir sebagai karya sastra, unsur yang secara faktual
46 Nurgiyantoro, Op.Cit., h. 14.
47
Antilan Purba, Sastra Indonesia Kontemporer, (Yogyakarta: Graha Ilmu,
2012), h. 63.
25
dijumpai jika seseorang membaca karya sastra.48
Jakob Sumardjo dan
Saini KM sebagaimana dikutip oleh Endah Tri Priyatni, mengungkapkan
unsur intrinsik prosa fiksi meliputi: alur, tema, tokoh dan ponokohan,
suasana latar, sudut pandang dan gaya. 49
Dengan unsur intrinsik inilah
novel dapat terwujud. Berikut pemaparan dari unsur-unsur yang
membangun novel adalah:
1. Tema
Tema adalah gagasan (makna) dasar umum yang menopang
sebuah karya sastra sebagai struktur semantis dan bersifat abstrak yang
secara berulang-ulang dimunculkan lewat motif-motif dan biasanya
dilakukan secara implisit.50
Mursal Esten dalam bukunya mengatakan
bahwa tema adalah sesuatu yang menjadi pikiran, sesuatu yang
menjadi persoalan yang diungkapkan dalam sebuah cipta sastra.51
Tema biasanya berkaitan dengan pengalaman kehidupan manusia yang
dipaparkan dalam bentuk pertistiwa yang dialami oleh tokoh dalam
novel. Pada dasarnnya tema merupakan ide pengarang yang mendasari
terbentuknya sebuah cerita. Tema adalah makna yang dikandung oleh
sebuah cerita.52
Makna yang terdapat di dalam sebuah karya sastra,
tidak secara langsung dijelaskan oleh pengarang, melainkan pembaca
harus mengkritisi karya sastra sehingga dapat mendeskripsikan tema
yang terkandung dalam karya sastra.
Ni Nyoman Karmini mengungkapkan bahwa, pembaca cerita
(novel) tidak semata-mata mencari dan menikmati kehebatan cerita.53
Tema sebagai pengikat terbentuknya karya sastra tidak serta merta
ditunjukkan. Ia haruslah dipahami dan ditafsirkan melalui cerita dan
48 Ni Nyoman Karmini, Teori Pengkajian Fiksi, (Bali: Pustaka Laras, 2011), h.
14.
49
Endah Tri Priyatni, Membaca dengan Ancangan Literasi Kritis, (Jakarta:
Bumi Aksara, 2010), h. 109. 50
Nurgiyantoro, Op. Cit., h. 115. 51
Esten, Kesusastraan Pengantar Teori dan Sejarah, (Bandung: Angkasa,
2013), h. 20.
52
Nurgiyantoro, Op. Cit., h. 114.
53
Karmini, Op. Cit., h. 44.
26
data-data (baca: unsur-unsur pembangun cerita) yang lain dan itu
merupakan kegiatan yang sering tidak mudah dilakukan.54
Pembaca
seharusnya menangkap isi cerita dengan utuh, dengan melihat unsur-
unsur yang membangun cerita, ataupun dari bahasa yang dipergunakan
pengarang dalam karyanya.
2. Tokoh dan Penokohan
Sudjiman sebagaimana dikutip oleh Melani Budianta, dkk
mengungkapkan bahwa, tokoh adalah individu rekaan yang mengalami
peristiwa atau berlakuan dalam berbagai peristiwa dalam cerita.55
Tokoh pada umumnya berwujud manusia, tetapi dapat juga berwujud
binatang atau benda yang diinsankan.56
Pemunculan karakter tokoh
atau mengekspresikan karakter tokoh, pada umumnya pengarang akan
menampilkannya dengan berbagai macam cara, dan pada dasarnya,
terdapat dua cara dalam memunculkan karakter tokoh, yaitu metode
secara langsung (telling) dan metode secara tidak langsung
(showing).57
Penokohan merupakan cara pengarang untuk
menyampaikan watak tokoh kepada pembaca. Penokohan dapat
mengungkapkan makna niatan si pengarang sebagai pencipta tokoh.58
Tokoh adalah figur yang dikenai dan sekaligus mengenai
tindakan psikologi. Dia adalah eksekutor dalam sastra. Jutaan rasa
akan hadir lewat tokoh. Dalam sebuah novel tokoh memegang peranan
yang sangat penting, namun tak lepas dari itu, tokoh dalam novel
memegang peranan yang berbeda-beda. Ada tokoh yang penting ada
pula tokoh tambahan.59
54 Ibid., h. 113-114.
55 Melani Budianta, dkk. Membaca Sastra Pengantar Memahami Sastra untuk
Perguruan Tinggi, (Malang: Indonesia Tera, 2002), h. 86.
56
Sudjiman, Op. Cit. h. 16. 57
Albertine Minderop, Metode Karakterisasi Telaah Fiksi, (Jakarta: Yayasan
Obor Indonesia, 2005), h. 95.
58
Sudjiman, Op.Cit., h. 28. 59
Aminuddin, Pengantar Apresiasi Karya Sastra, (Bandung: Sinar Baru, 1987),
h. 79.
27
Perwatakan adalah kualitas nalar dan perasaan para tokoh di
dalam suatu karya fiksi yang dapat mencakup tidak saja tingkah laku
atau tabiat kebiasaan, tetapi juga penampilan.60
Tokoh cerita
menempati posisi strategis sebagai pembawa dan penyampai pesan,
amanat, moral atau sesuatu yang sengaja ingin disampaikan kepada
pembaca.61
Tokoh-tokoh yang hadir dalam novel tentulah digambarkan
berbeda satu sama lain, perbedaan tersebut menjadi ritme yang
disajikan dalam sebuah karya demi terciptanya ceritanya yang
diharapkan. Tokoh dalam cerita fiksi dapat dibedakan ke dalam
beberapa jenis penamaan berdasarkan sudut pandang penamaan itu
dilakukan sebagai berikut :
1) Tokoh utama dan tokoh tambahan
Tokoh utama adalah tokoh yang diutamakan
penceritaannya dalam cerita bersangkutan.62
Ia merupakan
tokoh yang paling banyak diceritakan, baik sebagai pelaku
kejadian maupun yang dikenai kejadian, karena tokoh utama
paling banyak diceritakan dan selalu berhubungan dengan
tokoh-tokoh lain, ia sangat menentukan perkembangan plot
secara keseluruhan.63
Selain tokoh utama, ada juga tokoh utama
tambahan yang berperan penting terhadap tokoh utama. Tokoh
utama tambahan dapat mempengaruhi perkembangan plot, dan
bahkan menemukan jati diri tokoh utama tersebut. Kemudian
terdapat tokoh tambahan yaitu tokoh yang ditampilkan sekali
atau beberapa kali dalam cerita, dan itupun dalam porsi
penceritaan yang relatif pendek dalam cerita.64
2) Tokoh protagonis dan tokoh antagonis
60 Minderop, Op.Cit., h. 95.
61
Nurgiyantoro, Op.Cit., h. 249.
62
Karmini, Op. Cit. 23. 63
Nurgiyantoro, Op.Cit., h. 259.
64
Karmini, Op. Cit. 23.
28
Altendernd dan Lewis sebagaimana dikutip oleh
Nurgiyantoro mengungkapkan bahwa, tokoh protagonis adalah
tokoh yang dikagumi, tokoh yang mengejawantahkan norma-
norma, nilai-nilai yang ideal, tokoh yang diberi simpati dan
empati, tokoh yang menampilkan sesuatu yang sesuai dengan
pandangan dan harapan sebagai pembaca.65
Tokoh Protagonis
merupakan tokoh yang mewakili pembaca untuk berprilaku
sesuai dengan harapan-harapan dalam kehidupan nyata pada
umumnya.66
Sebuah fiksi harus mengandung konflik,
ketegangan khususnya konflik ketegangan yang dialami oleh
tokoh protagonis. Tokoh yang menjadi penyebab terjadinya
konflik disebut tokoh antagonis. Tokoh antagonis adalah tokoh
yang beroposisi dengan tokoh protagonis secara langsung
ataupun tidak langsung, bersifat fisik maupun batin.67
Tokoh dan penokohan adalah salah satu unsur yang
terpenting dalam cerita, tokoh dalam cerita yang membawa
amanat atau sudut pandang pengarang yang ini disampaikan
oleh pembaca. Hal ini merupakan amanat yang mengandung
nilai norma positif, kritikan terhadap sesuatu untuk dijadikan
pembelajaran bagi pembaca dan dapat memahami cara pandang
pengarang kemudian pembaca memberikan penilaian terhadap
sistem tersebut atau terpengaruhi begitu saja dengan cara
berpikir pengarang yang disampaikan melalui tokoh.
3. Latar
Abrams sebagaimana dikutip oleh Burhan Nurgiyantoro
menyatakan bahwa, latar atau setting disebut juga sebagai landasan
tumpu, menunjuk pada pengertian tempat, hubungan waktu sejarah,
dan lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa-peristiwa yang
65 Ibid., h.24.
66
Ibid. 67
Nurgiyantoro, Op.Cit., h. 261.
29
diceritakan.68
Latar yakni segala keterangan mengenai waktu, ruang,
dan suasana terjadinya lakuan dalam karya sastra.69
Leo Hamalian dan
frederick R. Karell sebagaimana dikutip oleh Wahyudi Siswanto dalam
bukunya Pengantar Teori Sastra, menyatakan sebagai berikut.
Latar cerita dalam karya fiksi bukan hanya berupa
tempat, waktu, peristiwa suasana, serta benda-benda alam
lingkungan tertentu, tetapi juga dapat berupa suasana
yang berhubungan dengan sikap, jalan pikiran,
prasangka, maupun gaya hidup suatu masyarakat dalam
menanggapi suatu problema tertentu.70
Latar memberikan pijakan cerita secara konkret dan jelas. Hal
ini penting untuk memberikan kesan realistis kepada pembaca,
menciptakan suasana tertentu yang seolah-olah sungguh-sungguh ada
dan terjadi.71
Jacob Sumardjo dalam Priyatna juga berpendapat, bahwa
setting tidak hanya berupa tempat atau lokal saja, tetapi juga mencakup
suatu daerah dengan watak kehidupannya. Hal ini senada dengan
pendapat Stephen Minot yang menyatakan bahwa latar memuat: 1)
latar waktu, 2) latar alam/geografi, 3) latar sosial.72
Dari pemaparan di atas bahwa latar tidak hanya mencakup
tempat, waktu, dan suasana saja, melainkan latar alam atau kondisi
geografis dan latar sosial. Latar dalam cerita sangat berpengaruh
terhadap imajinasi pembaca sehingga pembaca seperti masuk dalam
cerita. Latar juga menjadikan cerita menjadi lebih jelas dan terarah.
4. Alur
Alur disebut juga dengan jalan cerita atau plot. Abrams
sebagaimana dikutip Burhan Nurgiyantoro mengemukakan bahwa alur
atau plot merupakan struktur peristiwa-peristiwa, yaitu sebagaimana yang
terlihat dalam pengurutan dan penyajian berbagai peristiwa tersebut untuk
68 Ibid., h.302.
69
Budianta, dkk. Op.Cit. h. 86.
70
Wahyudi Siswanto, Pengantar Teori Sastra, (Jakarta: Grasindo, 2008), h. 149. 71
Nurgiyantoro, Op. Cit. h. 303
72
Priyatni, Op. Cit. h. 112.
30
mencapai efek artistik dan emosional tertentu.73
Adanya alur
menyebabkan “isi-cerita” lantas mengalir secara teratur, segala peristiwa
merentet secara runtut tidak kacau-balau.74
Brooks sebagaimana dikutip
Tarigan mengungkapkan bahwa, alur atau plot adalah struktur gerak yang
terdapat dalam fiksi atau drama.75
Memahami sebuah karya khususnya novel, maka pembaca
dituntut untuk memahami setiap peristiwa yang disajikan. Peristiwa-
peristiwa ini sanagt berkaitan dengan alur karena alur titik utama yang
mendasari peristiwa dalam cerita tersebut. Robert Stanton dalam bukunya
menyatakan bahwa, secara umum alur merupakan rangkaian peristiwa-
peristiwa dalam sebuah cerita.76
Plot merupakan unsur penting bahkan ada
yang menganggap unsur terpenting di antara berbagai unsur fiksi.77
Alur
atau plot adalah rangkaian kejadian atau peristiwa dalam cerita yang
disusun sebagai sebuah interelasi fungsional yang sekaligus menandai
urutan dalam keseluruhan fiksi.78
Alur adalah urutan peristiwa dalam sebuah cerita yang memiliki
beberapa tahapan dalam penyajian cerita. Aminuddin sebagaimana dikutip
oleh Wahyudi Siswanto membedakan beberapa tahapan peristiwa yaitu (1)
pengenalan adalah tahap peristiwa dalam suatau cerita rekaan atau drama
yang memperkenalkan tokoh-tokoh atau latar cerita. (2) konflik atau
tikaian adalah ketegangan atau pertentangan antara dua kepentingan atau
kekuatan di dalam cerita rekaan atau drama. (3) komplikasi atau rumitan
adalah bagian tengah alur cerita rekaan atau drama yang mengembangkan
tikaian. (4) klimaks adalah bagian alur cerita rekaan atau drama yang
melukiskan puncak ketegangan, terutama dipandang dari segi tanggapan
emosiaonal pembaca. (5) krisis adalah bagian alur yang mengawali
73
Nurgiyantoro, Op. Cit. h. 167-168
74
Tirtawirya, Op. Cit., h.80.
75
Tarigan, Op. Cit., h. 126.
76
Robert Stanton, Teori Pengkajian Fiksi Robert Stanton, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2012), h. 26.
77
Karmini, Op. Cit. h. 52. 78
Ibid., h. 53.
31
penyelesaian. (6) leraian adalah bagian struktur alur sesudah tercapainya
klimaks (7) selesaian adalah tahapan akhir suatu cerita rekaan atau
drama.79
5. Sudut Pandang
Istilah sudut pandang yang dalam bahasa inggris point of view atau
viewpoint mengandung arti suatu hubungan dimana si pencerita berdiri,
dalam hubungan dengan ceritanya, yakni suatu sudut pandang dimana
peristiwa diceritakan.80
Sudut pandang atau titik pandang adalah tempat
sastrawan memandang cerita, dari tempat itulah sastrawan bercerita
tentang tokoh, peristiwa, tempat, waktu dengan gayanya sendiri.81
Sudut
pandang pada dasarnya merupakan strategi, teknik, siasat yang sengaja
dipilih pengarang untuk menungkapkan gagasan dan ceritanya untuk
menampilkan pandangan hidup dan tafsirannya terhadap kehidupan yang
semua ini disalurkan melalui sudut pandang tokoh.82
Sudut pandang dibedakan dengan sebutan: (1) narator
bertindak sebagai tokoh dalam cerita, yang meliputi: sebagai
tokoh utama yang menceritakan ceritanya; dan sebagai tokoh
minor yang menceritakan kisah tokoh utama; (2) narator
bertindak bukan sebagai tokoh dalam cerita, yang meliputi:
pengarang sebagai orang ketiga yang mengisahkan cerita dan
menyusupi pikiran serta perasaan tokoh utama, dan
pengarang dalam menceritakan cerita itu hanya sebagai
peninjau saja.83
Dengan teknik (baca: sudut pandang) yang dipilih pengarang
diharapkan pembaca dapat memahami gagasan-gagasan yang dituangkan
pengarang dalam karyanya. Oleh karena itu menjadi tugas penting bagi
pengarang untuk memilih sudut pandang yang efektif dan
menggunakannya secara kreatif agar ceritanya tersampaikan secara utuh.84
Jadi dapat dikatakan, pengarang dapat menjadi salah satu tokoh ataupun
79
Siswanto, Op. Cit., h. 159-160. 80
Minderop, Op. Cit., 89.
81
Siswanto, Op. Cit., h. 151. 82
Minderop, Op. Cit., 88.
83
Karmini, Op. Cit. h. 70.
84
Nurgiyantoro, Op. Cit. h. 339.
32
tidak dalam karya fiksi, hal ini berkaitan dengan sudut pandang yang
dipilih pengarang dalam karya fiksi yang ditulisnya karena akan menjadi
penentu mengenai sudut pandang dalam karya fiksi tersebut.
6. Gaya Bahasa
Gaya atau gaya khususnya gaya bahasa dikenal dalam retorika
dengan istilah style. Kata style diturunkan dari kata stilus, yaitu semacam
alat untuk menulis pada lempengan lilin. Kelak pada waktu penekanan
dititikberatkan pada keahlian untuk menulis indah maka style lalu berubah
menjadi kemampuan dan keahlian untuk menulis atau mempergunakan
kata-kata secara indah.85
Dalam karya sastra istilah gaya mengandung
pengertian cara seorang pengarang menyampaikan gagasannya dengan
menggunakan media bahasa yang indah dan harmonis serta mampu
menuansakan makna dan suasana yang dapat menyentuh daya intelektual
dan emosi pembaca.86
Bahasa merupakan sarana pengungkapan sastra untuk memperoleh
efektivitas pengungkapan, bahasa dalam sastra disiasati, dimanipulasi, dan
didayagunakan secermat mungkin sehingga berbeda dengan bahasa
nonsastra. Pada umumnya bahasa yang ada dalam karya sastra berbeda
dengan bahasa nonsastra. Bahasa sastra mungkin dicirikan sebagai bahasa
yang mengandung unsur emotif dan bersifat konotatif. Sebaliknya bahasa
nonsastra bersifat ilmiah, denotatif dan rasional.87
Gaya bahasa
berdasarkan struktur kalimat dimaksud dengan struktur kalimat bagaimana
tempat sebuah unsur kalimat yang dipentingkan dalam kalimat tersebut.
Ada beberapa macam struktur kalimat yaitu periodik, kendur, dan kalimat
berimbang. Dari ketiga struktur kalimat tersebut maka dapat diperoleh
gaya bahasa sebagai berikut; klimaks, antiklimaks, paralelisme, dan
repetisi.88
85
Gorys Keraf, Diksi dan Gaya Bahasa, (Jakarta: PT, Gramedia Pustaka Utama,
2006), hlm.112.
86
Aminuddin, Op.Cit. 72. 87
Esten, Op.Cit., h. 273. 88
Keraf, Op.Cit., h. 124.
33
Selain itu, Gaya bahasa mencakup berbagai figur bahasa antara lain
metafor, simile, antitesis, hiperbola, dan paradoks. Pada umumnya gaya
bahasa adalah semacam bahasa yang bermula dari bahasa yang biasa
digunakan dalam gaya tradisional dan literal untuk menjelaskan orang atau
objek. Dengan menggunakan gaya bahasa, pemaparan imajinatif menjadi
lebih segar dan berkesan.89
Bahasa dapat menciptakan suasana yang tepat
bagi berbagai macam adegan baik itu romatis, menegangkan,
mengharukan dan lain sebagainya. Bahasa yang digunakan oleh pengarang
dalam sebuah karya menjadi kunci terbentuknya cerita yang berkualitas
karena bahasa merupakan hal yang mencirikan dari suatu karya.
7. Amanat
Amanat dalam karya sastra dikenal sebagai pesan yang hendak
disampaikan pengarang. Pesan tersebut beragam jenisnya antara lain pesan
tentang moral, pendidikan, keagamaan, dan lain sebagainya. Amanat
adalah gagasan yang mendasari karya sastra; pesan yang ingin
disampaikan pengarang kepada pembaca atau pendengar.90
Secara umum
moral itu mengenai perbuatan, sikap, kewajiban, akhlak, dan budi pekerti.
Biasanya, karya sastra senantiasa memasukan pesan moral yang
berhubungan dengan sifat kemanusiaan, memperjuangkan hak, dan
matrabat manusia. Menurut peneliti, amanat yang ingin disampaikan oleh
pengarang kepada pembaca merupakan salah satu motivasi bagi
pengarang untuk pembaca agar dapat memaknai pesan yang disampaikan
oleh pengarang dan mendapatkan pembelajaran untuk kehidupan.
D. Pendekatan Objektif
Pendekatan objektif merupakan pendekatan yang terpenting sebab
pendekatan apapun yang dilakukan pada dasarnya bertumpu atas karya
sastra itu sendiri.91
Pendekatan objektif menitikberatkan kepada isi karya
89
Minderop, Op.Cit., h. 51.
90
Siswanto, Op. Cit., h. 162. 91
Nyoman Kutha Ratna, Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2013), h. 73.
34
sastra meliputi unsur intrinsik yaitu tema, penokohan, alur, latar, sudut
pandang dan sebagainya.
Pendekatan yang dilihat dari eksistensi sastra itu sendiri
berdasarkan konvensi sastra yang berlaku. Konvensi tersebut misalnya
kebulatan makna, diksi, rima, struktur kalimat, tema, plot, setting, karakter
dan sebagainya. Penilaian yang diberikan dilihat dari sejauhmana kekuatan
atau nilai karya sastra tersebut berdasarkan keharmonisan semua unsur-
unsur pembentuknya.92
Hal-hal yang di luar karya sastra walaupun masih
ada hubungan dengan sastra dianggap tidak perlu dicantumkan dalam
analisis, karena patokan pendekatan objektif ini sudah sangat jelas maka
seringkali juga disebut pendekatan struktural.
E. Pengajaran Sastra
Pengajaran sastra di sekolah masuk dalam kategori pembelajaran
bahasa Indonesia. Peserta didik dikenali sastra melalui karya-karya dalam
bentuk bahan bacaan seperti novel, puisi, drama dan sebagainya. Hal ini
agar peserta didik mendapatkan pengalaman baru setelah membaca dan
mempelajari karya sastra, melalui pengalaman yang didapatkannya maka
akan terbangun karakter-karakter yang berkualitas sesuai dengan tujuan
pendidikan.
Dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 39 ayat (2)
menyebutkan pendidik merupakan tenaga profesional yang
bertugas merencanakan dan melaksanakan proses
pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan
pembimbingan dan pelatihan, serta melakukan penelitian dan
pengabdian kepada masyarakat.93
Pendidikan haruslah terarah dan terencana untuk mewujudkan
suasana belajar yang efektif, efesien, dan menyenangkan. Kegiatan
92
Zainuddin Fananie, Telaah Sastra, (Surakarta: Muhammadiyah University
Press, 2001), h. 112.
93
Hamzah B. UNO, Mengelola Kecerdasan Dalam Pembelajaran, (Jakarta: PT,
Bumi Aksara, 2009), h. 25.
35
pembelajaran didukung dengan adanya ketekunan spiritual keagamaan,
pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia serta
keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat bangsa dan negara.
Karakter memberikan gambaran tentang suatu bangsa, sebagai
penanda, penciri sekaligus pembeda suatu bangsa dengan bangsa lainnya.
Karakter memberikan arahan tentang bagaimana bangsa itu menapaki dan
melewati suatu jaman dan mengantarkannya pada suatu drajat tertentu.94
Karakter merupakan sesuatu yang ada dalam diri yang merupakan dasar
bagi orang tersebut untuk berperilaku dalam kehidupan sehari-hari,
karakter merujuk pada penerapan tindakan atau tingkah laku positif
peserta didik di lingkungan masyarakat. Sekolah adalah tempat kedua
dimana peserta didik selain mendapatkan ilmu pendidikan juga dapat
membangun karakter dalam diri peserta didik masing-masing, sehingga
terciptanya pribadi yang diharapkan dan diandalkan bagi bagi kehidupan
bermasyarakat dan bernegara.
Selain sebagai pembangun karakter, pembelajaran sastra juga
merangsang peserta didik untuk berpikir kritis melalui peristiwa yang
disajikan. Tujuan pembelajaran sastra disekolah dapat memperkaya
pengalaman siswa dan menjadikannya lebih tanggap alam sekitar dan
lingkungan.95
Pembelajaran sastra terintegrasi dalam empat keterampilan
berbahasa (mendengarkan, berbicara, membaca, dan menulis). Integrasi
materi sastra dalam keterampilan ini tujuannya agar para peserta didik
memiliki pengalaman berapresiasi sastra secara langsung.96
Mempelajari tentang sastra peserta didik akan belajar tentang
apresiasi sastra, hal ini merupakan tujuan pengajaran sastra di sekolah agar
dapat memberikan kesempatan pada peserta didik untuk memperoleh
pengalaman sastra, sehingga sasaran akhirnya dalam wujud pembinaan
94 Akh. Muwafik Saleh, Membangun Karakter dengan Hati Nurani, (Jakarta:
Penerbit Erlangga, 2012), h. 1. 95
Ahmad Bahtiar, Apresiasi dan Kreasi Sastra, h. 1. http://googleschollar.com
diunduh pada 10 November 2017 pukul 14.38 WIB. 96
Emzir, Teori dan Pengajaran Sastra, (Jakarta: PT, RajaGrafindo Persada,
2016), h. 255.
36
apresiasi sastra dapat tercapai.97
Apresiasi terhadap karya sastra
menjadikan peserta didik menambah ilmu pengetahuan serta wawasan dan
menjadi pribadi yang lebih perasa terhadap manusia maupun lingkungan
sekitar dan mempertajam perasaan sehingga mampu mengambil tindakan
sesuai nalar dan pengetahuannya. Selain itu, dengan apresiasi peserta didik
juga akan belajar untuk menghargai, dan memberikan penilaiannya
terhadap hal yang ada disekitarnya. Karena secara tidak langsung nilai-
nilai yang terkandung di dalam karya sastra akan membentuk kepribadian
peserta didik.
Dalam pengajaran sastra yang membahas jenis prosa tahap-tahap
yang bisa diacu yaitu pendahuluan, penyajian, diskusi, dan pengukuhan.98
Pendahuluan merupakan tahap awal, dimana guru sudah berencana dan
memilah bahan bacaan yang akan diapresiasikan. Langkah selanjutnya
penyajian yaitu guru mengajak siswa membaca bahan bacaan, setelah
membaca guru bertanya apakah peserta didik memahami novel tersebut
(dalam segi bahasanya, budaya maupun lainnya) setelah itu guru mengajak
untuk menentukan jumlah tokoh dalam novel. Langkah selanjutnya guru
mengajak para peserta didik untuk berdiskusi. Guru berperan menanyakan
kesan dan perasaan peserta didik tentang cerita, perasaan terhadap tokoh,
relevansi novel terhadap kehidupan sehari-hari, dan memberi komentar
terkait kemampuan pengarang dalam mengolah cerita. Kemudian yang
terakhir adalah tahap pengukuhan dimana guru memberikan tugas, misal
refleksi dari peserta didik terhadap novel.
Setiap karya sastra menghadirkan „sesuatu‟ dan kerap menyajikan
banyak hal yang apabila dihayati benar-benar akan semakin menambah
pengetahuan orang yang menghayatinya.99
Hal ini terjadi karena sastra
melekat dengan segala aspek kehidupan manusia sehingga siapapun yang
membacanya, secara tidak langsung akan memahami cerita kehidupan
97
Ibid., h. 225. 98
Ibid.
99
B. Rahmanto., Metode Pengajaran Sastra, (Yogyakarta: Kanisius, 1988), h.
17.
37
yang dilukiskan. Pengajaran sastra diberikan kepada peserta didik untuk
menanamkan dan menumbuhkan hal-hal yang positif terhadap realita
kehidupan yang ada di lingkungan sosial. Sebab sastra menyuguhkan
berbagai nilai kehidupan, sehingga peserta didik dapat memahami,
menghormati, dan menemukan jalan keluar atas permasalahan sosial
karena secara sadar maupun tidak sadar, hal tersebut tentu saja akan
dilakukan peserta didik sesuai dengan karakter yang terbangun dalam diri
peserta didik masing-masing.
F. Penelitian Relevan
Penelitian yang relevan dengan penelitian ini jumlahnya terbilang
banyak. Akan tetapi, peneliti hanya mencantumkan beberapa diantaranya.
Pertama, penelitian yang dilakukan oleh Intan Nuraini dengan judul
“Potret Perempuan dalam Novel Tarian Bumi Karya Oka Rusmini.”100
Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia. Penelitian ini
mendeskripsikan kehidupan tokoh-tokoh perempuan di dalam novel
Tarian Bumi.
Kedua, penelitian yang dilakukan oleh Meliana Ade Kusumawati
dengan judul “Pertentangan Kasta dalam Kebudayaan Bali Kajian
Hegomoni dalam Novel Tarian Bumi Karya Oka Rusmini.”101
Mahasiswa
jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia, Universitas Negeri Semarang.
Penelitian ini mendeskripsikan praktik hegemoni kasta Brahmana terhadap
Sudra pada novel Tarian Bumi.
Ketiga, penelitian yang dilakukan oleh Rany Mandrastuty dengan
judul “Novel Tarian Bumi Karya Oka Rusmini: Kajian Feminisme”.102
100 Intan Nuraini, Potret Perempuan dalam Novel Tarian Bumi Karya Oka
Rusmini. (Jakarta: Skripsi, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia,
2007) 101
Meliana Ade Kusumawati, Pertentangan Kasta dalam Kebudayaan Bali
Kajian Hegomoni dalam Novel Tarian Bumi Karya Oka Rusmini. (Semarang: Skripsi,
Universitas Negeri Semarang, 2011) 102
Rany Mandrastuty, Novel Tarian Bumi Karya Oka Rusmini: Kajian
Feminisme. (Surakarta: Skripsi, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas
Sebelas Maret, 2010)
38
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sebelas Maret
Surakarta. Penelitian ini mendeskripsikan perjuangan tokoh perempuan
dalam mewujudkan feminisme dalam novel Tarian Bumi.
Keempat, penelitian yang dilakukan oleh Dyah Erta Damayanti
dengan judul “Novel Tarian Bumi Karya Oka Rusmini: Analisis Sosiologi
Sastra Ian Watt” .103
Mahasiswa Universitas Gadjah Mada. Penelitian ini
mendeskripsikan konteks sosial pengarang yang berkaitan dengan latar
belakang penciptaan novel dan problematika sosial sebagai cermin
masyarakat.
Kelima, artikel yang ditulis dalam jurnal Caraka, Vol.1, No.1, edisi
Desember 2014 oleh Tukur Novitasari dan Rusdian Noor Dermawan
dengan judul “Manusia Bali dalam Novel Tarian Bumi Karya Oka
Rusmini: Tinjauan Antropologi Sastra” .104
Penelitian ini mendeskripsikan
manusia Bali dengan segala kekayaan budaya.
Berdasarkan uraian di atas, terlihat persamaan dan perbedaan
antara penelitian yang dilakukan oleh para peneliti sebelumnya dengan
penelitian yang dilakukan oleh peneliti. Persamaan terletak pada objek
penelitian, yaitu novel karya Oka Rusmini. Sedangkan, perbedaannya
terletak pada subjek penelitian. Kebanyakan dari mereka mengangkat
perihal gender, kajian hegomoni, kajian feminisme, sosiologi sastra,
antropologi sastra dan nilai budaya. Sementara subjek penelitian yang
dilakukan oleh peneliti, yaitu tentang pandangan hidup tokoh utama.
103
Dyah Erta Damayanti, Novel Tarian Bumi Karya Oka Rusmini: Analisis
Sosiologi Sastra Ian Watt, (Yogyakarta: Skripsi, Program Studi Sastra Indonesia UGM,
Universitas Gadjah Mada, 2014) 104
Tukur Novitasari dan Rusdian Noor Dermawan, “Manusia Bali dalam Novel
Tarian Bumi Karya Oka Rusmini: Tinjauan Antropologi Sastra”, Jurnal Caraka, Vol. 1,
no.1, 2014.
39
BAB III
PROFIL OKA RUSMINI
A. Biografi Pengarang
Oka Rusmini lebih suka melepas gelar Ida Ayu dan hanya
menuliskan nama Oka Rusmini pada sajak-sajaknya. Nama lengkap
Ida Ayu Oka Rusmini kelahiran 11 Juli 1967, mempunyai keturunan
wangsa Brahmana, dimana wangsa tertinggi di kalangan masyarakat
Bali. Tetapi, Oka Rusmini lebih suka berbaur dengan rakyat biasa,
nongkrong bersama para penyair Bali, bahkan jalan-jalan di pasar dan
makan di kaki lima. Oka Rusmini lulusan dari Fakultas Sastra
Universitas Udayana yang pernah dijuluki oleh Umbu Landu Paranggi
sebagai salah satu penyair Bali terbaik pada masa itu. Selain menyair,
ia juga menulis novel dan cerpen, serta redaktur khusus Mingguan
Prima, Bali Post. Kini, Oka Rusmini tinggal di Jln. Nusakembangan,
Denpasar, Bali.1
Oka Rusmini selain dikenal sebagai novelis, ia juga penyair
dan cerpenis. Oka Rusmini pada cetakan novel pertama Tarian Bumi,
ia membuat sampul depan novel seorang penari bali dengan berwajah
Oka Rusmini sendiri, seakan hendak mewartakan bahwa protagonis
novel ini, Telaga Si Penari, adalah proyeksi dirinya sendiri. Novel ini
sebelum dibukukan pernah dimuat sebagai feuiletton di Republika pada
1997. Sebuah cerita yang berpusat pada tokoh Telaga. Ia penari yang
lahir dari ibu sudra dan ayah brahmana. Ia dihormati sebagai bagian
dari kalangan bangsawan. Namun, harkatnya diruntuhkan : lewat
sebuah upacara, ia menjadi perempuan sudra hanya karena mencintai
seseorang. 2
Novel Tarian Bumi karangan Oka Rusmini mengungkap dunia
batin perempuan Bali, di dalamnya terdapat kebimbangan antara
1 “Sajak-sajak dari Sang Ida Ayu, Republika”, 12 Juni 1994,h.13
2 “Bimbang Hati Perempuan Bali”, Detak, 14 Agustus 2000,h.23
40
pemberontakan terhadap tradisi dan sikap pasrah menerima segala
paksa. Karya sastra yang lahir dari penulis Bali memang sudah banyak
tetapi umumnya ditulis oleh lelaki. Begitu pula tentang Bali,
bacaannya terbilang banyak, tetapi kebanyakan disusun oleh orang
luar. Berbeda dengan Oka Rusmini yang notabennya adalah asli orang
Bali. Hal ini yang menjadi alasan untuk menyambut novel karangan
Oka Rusmini dengan penuh suka cita. Hal lainnya merupakan kesatuan
yang utuh karena Oka pasti sudah sangat paham betul dan mengalami
bagaimana lika-liku dalam pergolakan budaya bali itu sendiri.3
B. Karya-karya Oka Rusmini
Tarian Bumi (2000) merupakan buku kedua Oka Rusmini
setelah buku pertamanya Monolog Pohon (1997) yang berupa kumpulan
puisi. Selanjutnya, karya-karya yang lain, baik berbentuk puisi ataupun
prosa terus mengalir. Beberapa di antaranya bahkan mendapat
penghargaan sebagai yang terbaik. Seperti cerita pendeknya Putu
Menolong Tuhan, terpilih sebagai cerpen terbaik Majalah Femina
(1998). Cerita pendeknya Pemahat Abad, terpilih sebagai cerpen terbaik
Majalah Sastra Horison (1999-2000). Selain itu, pada tahun 2002, Oka
Rusmini menerima penghargaan puisi terbaik dari Jurnal Puisi.
Pada tahun 2003, Pusat Bahasa Departemen Pendidikan
Nasional Indonesia memilihnya sebagai penerima Penghargaan Penulisan
Karya Sastra atas novelnya Tarian Bumi. Pada tahun 2012, ia menerima
Penghargaan Sastra Badan Pen
gembangan dan Pembinaan Bahasa untuk novel Tempurung,
sekaligus penghargaan S.E.A Write Award (2012) di Bangkok Thailand.
Ia juga diundang ke berbagai forum sastra nasional dan internasional, di
antaranya: Festival Sastra Winternachten di Den Haag dan Amsterdam,
Belanda, sekaligus hadis sebagai penulis tamu di Universitas Hamburg,
Jerman (2003), serta Singapore Writer Festival (2011). Bukunya yang
3 Ibid, h.23
41
telah terbit: Monolog Pohon (1997), Tarian Bumi (2000), Sagra (2001),
Kenanga (2003), Patiwangi (2003), Warna Kita (2007), Erdentanz
(novel Tarian Bumi edisi bahasa Jerman, 2007). Pandora (2008),
Tempurung (2010), Earth Dance (novel Tarian Bumi edisi Bahasa
Inggris, 2011), dan Akar Pule (2012) 4
Oka Rusmini juga mendapatkan kesempatan atas karyanya yang
diterbitkan dalam bahasa Inggris. Terdapat sepuluh orang cerpenis Bali
yang ikut dibukukan karyanya dan hanya empat orang yang hadir dalam
peuncuran yaitu, Ida Ayu Oka Rusmini, Gde Aryantha Soetama, AA Mas
Ruscitadewi, dan Windhu Sancaya. Penerbitan cerpen-cerpen karya
cerpenis Bali dalam edisi bahasa inggris ini merupakan yang pertama
kalinya.5
C. Pemikiran Oka Rusmini
Perihal perempuan (Bali), Oka Rusmini menuliskan pada
bukunya tentang konteks sosial pengarang yang berkaitan dengan latar
belakang penciptaan novel dan problematika sosial sebagai cermin
masyarakat. Tarian Bumi tidak bisa terlepas dari konteks sosial
pengarang, Oka Rusmini memandang keagamaan dan adat istiadat dari
suatu budaya merupakan hal yang mutlak melekat dan tidak bisa
dipisahkan pada masyarakat. Dalam Tarian Bumi, Oka Rusmini
mencoba mendobrak hal-hal yang dianggap tidak mungkin untuk
dilakukan misal sesorang dari kasta terendah sudra ingin memiliki
kasta yang paling tinggi brahmana.
Novel Tarian Bumi juga menyajikan berbagai lukisan
etnografis. Misalnya, dilukiskan bagaimana seorang sudra mesti
menyapa seorang brahmana, atau seorang brahmana harus
4 Oka Rusmini, Tarian Bumi, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2013), h.
177. 5 Karya Cerpenis Bali Diterbitkan dalam Bahasa Inggris, Republika, 2
September 1996,h.17.
42
memperlakukan seorang sudra. Pembaca juga dapat mencari tau apa
itu griya juga pura dan bagaimana keadaan di dalamnya. Orang Bali
pada aneka tari dan ragam upacara tentu memiliki arti tersendiri.6
Novel dan kumpulan cerpennya berlatar sosial dan budaya
Bali. Dalam Tarian Bumi dengan berani Oka Rusmini
mempertanyakan dan tidak setuju dengan sistem sosial masyarakat
Bali yang tidak adil terhadap perempuan Bali. Karena perlawanannya
itu, ia dikucilkan oleh keluarga dan teman-temannya. Akan tetapi, oleh
sebagian orang novel dan kumpulan cerpennya itu dianggap sebagai
wacana kebebasan dan pembebasan perempuan.
Hidup dan dibesarkan di sebuah keluarga Bali yang benar-
benar paham arti menjadi orang Bali juga mampu memperkuat
kekhasan dalam setiap novelnya, termasuk Tarian Bumi. Novel ini
juga merupakan bentuk “marah-marahnya” seorang Oka Rusmini
terhadap pakem yang ditakdirkan padanya.
Mungkin tanpa terasa semua pengalaman itu
menetes dalam karya-karya saya. Tentu pengalaman
hidup saya tak semuanya menarik. Dengan
membenturkannya pada permasalahan lain yang
dialami orang, diskusi dengan sahabat-sahabat kreatif,
membuat karya-karya saya mungkin terlihat hidup,
mungkin juga terlihat sakit,.7
Dengan kultur Bali yang kuat, apalagi tumbuh dalam
lingkungan kehidupan Griya yang menuntut prilaku tertib, sopan, dan
beradab memutuskan seorang Oka Rusmini dewasa untuk
menanggalkan gelar Ida Ayu yang disandangnya sejak lahir (sebagai
keturunan Brahmana). Oka merasa tidak pantas menyandang gelar
tersebut. Hal itu juga dilakukannya sebagai bentuk protesnya terhadap
ketidakadilan yang menimpa kaum perempuan di lingkungan Griya,
termasuk dirinya. Sementara, pemberontakannya kian semakin nyata
6 Op.Cit, h.13
7 Wayan Sunarta, Oka Rusmini, Pendobrak Tabu dari Bali, tersedia dalam
http://www.journalbali.com/women/oka-rusmini-pendobrak-tabu-dari-bali.html, diunduh
pada tanggal 15 Agustus 2017 pukul 15.30 WIB.
43
ketika Oka memutuskan untuk menerima lamaran dan menikah dengan
penyair Bagus Arif Prasetyo yang ditentang oleh ayah dan keluarga
besar Griya (karena berbeda agama).
D. Bali
Masyarakat Bali sebagian besar menganut agama Hindu,
walaupun beberapa sebagian orang yang menganut agama Islam,
Kristen, dan Katolik. Biasanya kaum minoritas ini terbagi dalam
daerah pedalaman terpencil dan beberapa kota. Dalam kehidupan
keagamaan orang yang beragama Hindu berkeyakinan bahwa mereka
diciptakan oleh Ida Sang Hyang Widhi Wasa (Tuhan Yang Maha Esa)
yang disebut bermacam-macam misalnya: Sanghyang Widhi,
Sanghyang Tunggal, Sanghyang Tuduh, dan sebagainya. Manifestasi
daripada Ida Sanghyang Widhi disebut Dewa atau Bhatara.8 Orang
Hindu percaya akan adanya satu Tuhan dalam bentuk konsep Trimurti
yang Esa, Trimurti ini mempunyai tiga wujud atau manifestasi, ialah
wujud Brahmana, wujud Wisnu, dan wujud Siwa.9
Sistem pelapisan sosial masyarakat Bali
dianggap amat unik sekaligus rumit, karena pelapisan
itu tidak dibangun di atas bangunan yang memiliki
pondasi yang sama. Struktur lapisan sosial
masyarakat Bali terpetakan secara berlapis-lapis,
muatan ideologi yang dibawanya juga berimplikasi
langsung terhadap hampir seluruh aspek kehidupan
orang Bali.10
Dalam kehidupan kesehariannya, perilaku masyarakat Bali
juga mendasarkan pada nilai-nilai agama Hindu yaitu menekan adanya
keharmonisan dan keseimbangan hidup antara manusia dengan
8 I Wayan Widia, Isi dan Kelengkapan Rumah Tangga Traditional di Daerah
Bali. (Bali: Depdikbut 1983-1984), h. 78. 9 Koentjaraningrat, Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. (Jakarta: Djambatan
1971), h. 299. 10
I Nyoman Yoga Segara, Perkawinan Nyerod Kontestasi, Negosiasi, dan
Komodifikasi di atas Mozaik Kebudayaan Bali, (Jakarta: PT Saadah Pustaka Mandiri,
2015), h. 65.
44
manusia, manusia dengan sang Pencipta, dan manusia dengan
lingkungannya. Prinsip ini terinternalisasi dalam struktur sosial
masyarakat Bali dan menjadi pandangan hidup masyarakat Bali.11
Peranan budaya dalam masyarakat Bali juga sangat kuat mulai dari
sejak lahir sampai meninggal dunia. Kekuatan keagamaan dan budaya
bersatu sangat kuat dalam setiap sisi kehidupan masyarakatnya.
Tempat melakukan ibadah di Bali pada umumnya di sebut
Pura. Tempat ibadah ini berupa sekomplek bangunan-bangunan suci
yang sifatnya berbeda-beda. Ada yang bersifat umum artinya untuk
setiap golongan Pura Besakih, ada yang berhubungan dengan
kelompok sosial yaitu Pura desa (kajangan tiga), ada yang
berhubungan dengan organisasi dan kumpulan-kumpulan khusus
seperti Subak dan Seka, kumpulan tari-tarian merupakan tempat
pemujaan leluhur dari klen-klen besar. Adapun tempat pemujaan
leluhur dan klen kecil serta keluarga-luas adalah tempat-tempat sajian
rumah yang di sebut Sanggah. Demikian di Bali itu ada beribu-ribu
Pura dan Sanggah, masing-masing mempunyai hari perayaannya
sendiri yang telah ditentukan oleh sistem tanggalnya sendiri. 12
Tarian di Bali, jika dilihat dari segi fungsinya tari-tarian Bali
dapat diklasifikasikan dalam tari Wali, tari Bebali dan tari Balih-
balihan. Tari wali yaitu tarian yang dilakukan di pura-pura dan
ditempat-tempat yang berhubungan dengan upacara keagamaan dan
pada umumnya tidak memakai lakon. Jenis tariannya antara lain; tari
Rejang, Pendet, Sang Hyang, dan Baris upacara. Selanjutnya, tari
Bebali berfungsi sebagai pengiring upacara di pura-pura ataupun di
luar pura, dan pada umumnya memakai lakon. Tari yang digolongkan
dalam seni tari Bebali yaitu seni pewayangan (termasuk wayang wong
dan wayang parwa), Topeng, Jauk, Gambuh, Barong, serta beberapa
seni tari lainnya. Kemudian, tari Balih-balihan adalah istilah untuk
11
I Made Sumada, “Peranan Kearifan Lokal Bali dalam Perspektif Kebijakan
Publik”, Jurnal Ilmu Politik dan Komunikasi, Vol. VII, no.1, 2017, h. 118. 12
Koentjaraningrat, Op. Cit., h. 300.
45
menyebutkan seni tari sekuler di Bali. Tari Balih-balihan yaitu segala
seni tari yang mempunyai fungsi sebagai seni serius dan seni hiburan
yang mempunyai unsur dan dasar dari seni tari yang luhur, namun
tidak tergolong dari Wali. Contohnya tarian; Legong keraton, Kebyar,
Joged, dan Janger.13
Struktur sosial masyarakat Bali terdapat berbagai sistem yaitu
diantaranya sistem Wangsa. Istilah bangsa (Wangsa) mempunyai arti
umum “ras”, “keluarga” atau “kerabat”. Di dalam Sistem Wangsa ada
satu keturunan yang dipandang lebih tinggi dan ada yang lebih rendah.
Demikian pula kelompok-kelompok yang mendapatkan hak-hak
istimewa terutama dalam pergaulan adat. 14
Kata Wangsa berubah atau
sengaja diubah pengertiannya menjadi kasta, mengikuti sistem yang
berlaku di India, dengan memasukkan kelas sudra sebagai kelas
terbawah, hina dan tidak berkualitas.15
Sistem kemasyarakatan
berdasarkan kasta ini terjadi pemilahan struktur sosial yang sangat
tajam antara kasta yang lebih tinggi dengan kasta yang lebih rendah.
Masyarakat Bali, setiap tahap kehidupannya akan menandai
dengan sebuah ritual khusus. Seperti; bayi dalam kandungan 5-7 bulan
(magedong-gedongan), bayi lahir, usia 12 hari (ngerorasin), akil balig
(menek daha), potong gigi (mapandes atau masangih), menikah
(pawiwahan), hingga mati (ngaben), dan hal lain sebagainya terlebih
untuk masalah perkawinan menjadi paling sentral dalam siklus
kehidupan orang Bali.16
Sistem perkawinan dalam adat Bali, biasanya
untuk menjaga kehormatan keluarga, umumnya orang tua pihak
perempuan akan turut campur dalam memilihkan calon suami
anaknya.
13
Veny Iryanti, “Tari Bali: Sebuah Telaah Historis (Bali Dance: A Historical
Research)”, Jurnal Pengetahuan dan Pemikiran Seni, Vol. 1, no.2, 2000, h. 82-87. 14
Segara, Op. Cit., h. 66. 15
Ibid., 16
Ibid., h. 73.
46
Sistem perkawinan yang dianut masyarakat Bali memiliki
berbagai macam bentuk perkawinan yaitu perkawinan biasa,
perkawinan nyeburin, perkawinan padagelahang . Masyarakat Bali
juga mempunyai larangan untuk menikah beda wangsa, dikarenakan
masyarakat Bali percaya akan adanya petaka atau kesialan jika
menikah dengan berbeda wangsa. Perempuan tri wangsa yang
menikah dengan laki-laki yang tidak sewangsa disebut nyerod.
Masyarakat Bali yang berani melakukan nyerod juga harus
berani melakukan upacara patiwangi agar menyetarakan wangsa.
Pasangan yang melakukan nyerod sama-sama memiliki ketakutan yang
sangat besar untuk mengarungi perkawinan. Untuk membuat mereka
tenang, dan dalam suasana batin yang damai, maka patiwangi
diperlukan dengan cara membunuh terlebih dahulu wangsa perempuan
agar setelah menikah statusnya menjadi setara dengan suaminya,
sehingga sederajat pula kondisi kejiwaan mereka, karena tidak ada
yang merasa lebih tinggi atau rendah.17
Jika tidak melangsungkan
upacara patiwangi, status wangsa mereka berdua dalam satu rumah
dikatakan tidak imbang. Istrinya yang trah brahmana sebagai lambang
surya masih tetap panas membakar isi rumah tangga. Maka untuk
membuat sinar surya tidak panas lagi, harus diadakan upacara
patiwangi.
17
Ibid., h. 115.
47
BAB IV
TEMUAN DAN HASIL PENELITIAN
A. Analisis Struktural Novel Tarian Bumi
1. Tema
Makna suatu persoalan pokok dalam sebuah cerita atau
kisahan ialah tema. Tema tidak dapat dipisahkan dari
permasalahan kehidupan yang direkam oleh karya sastra, karena
masalah dalam karya sastra merupakan sarana untuk membangun
sebuah tema. Tema adalah sesuatu yang menjadi pikiran, sesuatu
yang menjadi persoalan yang diungkapkan dalam sesbuah cipta
sastra.1
Tema yang terkandung dalam novel Tarian Bumi adalah
permasalahan nasib perempuan Bali di kalangan sistem sosial Bali
yang berbasis pada kasta dan tradisi. Hal ini yang terjadi di Bali
dan sampai saat ini masih tersimpan rapat (adat dan kasta). Dibalik
keindahan pulaunya, ternyata banyak tersingkap perjalanan berat
manusia-manusia Bali.
Luar biasa lihat! Ketika ketika perempuan itu
menari seluruh mata seperti melahap tubuhnya.
Alangkah beruntungnya perempuan itu. Sudah
bangsawan, kaya, cantik lagi. Dewa-dewa benar-
benar pilih kasih! Seorang perempuan berkata sedikit
sinis. Bau iri melukis matanya yang tajam dan sangat
tidak bersahabat itu.2
Kutipan tersebut menjelaskan mengenai pandangan
masyarakat Bali terhadap kalangan kasta brahmana, di mana kasta
ini paling tertinggi di antara kasta-kasta lainnya. Budaya Bali
menjadikannya seorang perempuan harus mengikuti pakemnya
untuk menjadi seorang penari. Penari perempuan dalam novel ini
1 Mursal Esten, Kesusastraan pengantar Teori dan Sejarah, (Bandung: Angkasa,
2013), h. 20. 2 Oka Rusmini, Tarian Bumi, (Jakarta: PT, Gramedia Pustaka, 2013), h. 4-5
48
dilukiskan dalam tokoh Telaga di mana ia sering melakukan tarian
Oleg yaitu sebuah tari tentang merakit sebuah percintaan dan Joged
sebagai tari pergaulan. Pandangan masyarakat Bali terhadap tokoh
Telaga ini sangat sempurna karena kecantikan parasnya, hingga
terlahir dari kasta Brahmana sehingga para dewa memberinya
taksu. Telaga menjadi tumpuan ibunya agar impian ibunda dapat
terwujud pada Telaga.
Tugeg harus menjadi perempuan paling cantik
di griya ini. Tugeg adalah harapan Meme. Pada tugeg,
meme menyerahkan hidup. Makanya, tugeg harus
bisa jaga diri. Tugeg harus...3
Kutipan di atas menunjukan betapa besarnya pengharapan
ibunda Telaga terhadapnya, ia harus memiliki tanggung jawab
didalamnya atau hal yang harus diwujudkan oleh Telaga, agar tidak
menerima penderitaan yang dahulu ia rasakan sebagai perempuan
sudra. Baginya hal ini sangat penting karena menyangkut impian
dan keturunannya dalam kasta brahmana.
2. Tokoh Dan Penokohan
a. Tokoh Utama
Ida Ayu Telaga Pidada
Tokoh utama dalam novel Tarian Bumi adalah Ida
Ayu Telaga Pidada (Telaga). Dilihat dari segi fisiologis,
tokoh Telaga diceritakan sebagai perempuan yang berparas
cantik. Hal ini dibuktikan pada kutipan berikut.
... Luar biasa. Lihat! Ketika
perempuan itu menari seluruh mata seperti
melahap tubuhnya. Alangkah beruntungnya
perempuan itu. Sudah bangsawan, kaya,
cantik lagi. Dewa benar-benar pilih kasih!4
3 Ibid., h. 10.
4 Oka Rusmini, Op.Cit., h. 4-5.
49
Kau tetap cantik, Dayu, dalam kondisi
apapun. Sekarang kecantikanmu makin
sempurna. Tubuhmu lebih indah...5
Kutipan tersebut menunjukkan bahwa Telaga
memiliki paras cantik dan tubuh yang indah. Dilihat dari
segi sosiologis, Telaga merupakan keturunan bangsawan
yang terlahir dari kasta Brahmana. Kasta tersebut
merupakan kedudukan tertinggi dalam sistem kasta di Bali.
Masyarakat Bali sangat menjunjung tinggi orang yang
berasal dari kasta Brahmana, begitupun dengan kaum
Brahmana itu sendiri, mereka akan merasa bangga dan
berkuasa. Kasta Brahmana memiliki banyak aturan/pakem
bagi masyarakatnya. Terlihat dalam kutipan berikut.
Tugeg. Kelak kau harus menikah
dengan laki-laki yang memakai nama depan
Ida Bagus. Kau harus tanam dalam-dalam
pesanku ini. Sekarang kau bukan anak kecil
lagi. Kau tidak bisa bermain bola lagi. Kau
harus mulai belajar menjadi perempuan
keturunan Brahmana. Menghafal sesaji, juga
harus tahu bagaimana mengukir janur untuk
upacara. Pegang kata-kataku Tugeg. Kau
mengerti? Suara perempuan itu lebih mirip
paksaan daripada sebuah nasihat.6
Dunia itu juga telah memberi Telaga
kekuasaan yang besar. Anak perempuan tidak
boleh duduk sembarangan, kata neneknya,
seraya memukul paha Telaga.7
Kutipan di atas menunjukkan tradisi yang harus
dipatuhi oleh Telaga. Telaga dituntut untuk mematuhi
aturan-aturan yang ada di Griya. Padahal, ia sangat
membenci aturan-aturan yang ada di Griya. Dilihat dari
segi psikologis, Telaga tidak pernah memiliki perasaan
5 Oka Rusmini, Op.Cit., h.166.
6 Oka Rusmini, Op.Cit., h. 67.
7 Ibid., h. 65.
50
bangga akan kebangsawanannya. Selain itu, tak jarang ia
menuruti keinginan Ibunya dengan terpaksa.
Jangan membuat Meme kecewa.
Tiang tidak pernah mengecewakan Meme.
Meme sendiri yang sering melebih-lebihkan
persoalan.
Ada apa denganmu, Tugeg? Tidak inginkah
Tugeg membuat Meme senang?
Telaga diam. Kalau ibunya sudah berkata
dengan penuh rasa iba dan memelas seperti
itu, Telaga merasa percuma berbicara panjang
dengan perempuan itu8
Telaga seringkali mengalah dengan Ibunya. Ia
dibesarkan oleh Ibu dan Nenek yang penuh dengan tuntutan
sehingga Telaga tumbuh sebagai pribadi yang
mengharapkan suatu kebebasan. Salah satu bentuk
pemberontakan Telaga akan Ibunya dibuktikan ketika ia
akhirnya memutuskan untuk menikah dengan laki-laki
berkasta Sudra.
Telaga mulai membuka bajunya. Dia
hanya menggenakan kain sebatas dada.
Seorang pemangku mengucapkan mantra-
mantra. Kaki perempuan tua itu diletrakan
pada kepala Telaga, tepat di ubun-ubun. Air
dan bunga menyatu. Kali ini, Telaga
merasakan air dan bunga tidak bersahabat
dengannya. Air menusuk-nusuk tubuhnya,
bunga-bunga mengorek lebih dalam lukanya.
Sebuah upacara harus dilakukan demi
ketenangan keluarganya...9
Kutipan tersebut menunjukkan keadaan psikologis
Telaga saat ia melangsungkan upacara Patiwangi, upacara
meninggalkan kebangsawanan. Ia tampak menerima segala
yang sudah dan akan terjadi pada hidupnya sejak ia
8 Oka Rusmini, Op.Cit., h.109.
9 Ibid., h. 174-175.
51
memutuskan untuk menikah dengan laki-laki Sudra.
Padahal, tidak mudah bagi seorang berkasta Brahmana
bersedia untuk turun kasta seperti yang dilakukan oleh
Telaga. Ia harus menerima konsekuensi yang datang tidak
hanya dari keluarga, tetapi lingkungannya.
Berdasarkan uraian di atas, Telaga termasuk tokoh
bulat dan berkembang, di karenakan memiliki watak dan
tingkah laku bermacam-macam bahkan kemungkinan
bertentangan dan sulit diduga, sehingga mengalami
perkembangan dari awal cerita, pertengahan, hingga akhir
sesuai dengan tuntutan cerita secara keseluruhan. seperti
pada kutipan berikut.
Telaga sangat berharap, kelak bocah
ini mampu memberinya tempat. Telaga juga
berharap anak perempuannya akan menjelma
menjadi penari tercantik di desa ini. Penari
yang memiliki seluruh kecantikan dewa tari.10
Kutipan tersebut menunjukkan bahwa Telaga
memiliki pengharapan besar terhadap anak perempuannya
agar mereka mendapatkan kehidupan yang lebih baik.
Sementara, konsekuensi menikah dengan laki-laki Sudra
seharusnya sudah benar-benar ia terima yaitu penghidupan
yang tidak lebih baik dibandingkan jika ia menikah dengan
laki-laki kasta Brahmana.
b. Tokoh Utama Tambahan
1) Luh Sekar/Jero Kenanga
Secara fisiologis Luh Sekar digambarkan sebagai
wanita yang cantik dan disukai banyak lelaki serta memiliki
10
Ibid., h. 174-175.
52
tubuh indah yang layak untuk menjadi seorang penari. Hal
ini dibuktikan pada kutipan berikut.
Dengarkan aku! Kau cantik, Sekar.
Sangat cantik! Kau pandai menari. Aku akan
memberi tahu bahwa seorang laki-laki
brahmana sering menanyakan dirimu...11
Aku tahu, kau juga tahu, orang-orang
tua di desa ini paham bahwa tubuhku tubuh
penari. Mereka tidak buta bahwa aku bisa
mengangkat nama desa ini.12
Kutipan di atas menjelaskan bagaimana fisik Luh
Sekar yang cantik serta memiliki tubuh seorang penari.
Dilihat dari segi sosiologisnya, Luh Sekar berasal dari kasta
sudra. Kasta tersebut merupakan kedudukan terendah
dalam sistem kasta di Bali. Akan tetapi, Luh Sekar sangat
mengagungakan nilai-nilai kebangsawanan, menunjukan
bahwa ia tidak menerima dari kalangan tersebut. Luh Sekar
selalu menolak cinta dari lelaki sudra, karena ingin
memperbaiki kehidupannya dengan menikah dengan lelaki
bangsawan yang bersal dari golongan brahmana. Terlihat
dalam kutipan berikut.
Apapun yang akan terjadi dengan
hidupku, aku harus menjadi seorang rabi,
seorang istri bangsawan. Kalau aku tak
menemukan laki-laki itu, aku tak akan pernah
menikah!13
Aku capek menjadi perempuan miskin,
Luh. Tidak ada orang yang menghargaiku.
Ayahku terlibat kegiatan politik, sampai kini
tak jelas hidup atau matikah dia. Orang-orang
mengucilkan aku.14
11 Ibid., h. 23. 12 Ibid., h. 28. 13 Ibid., h. 22. 14 Ibid.,
53
Kutipan di atas menunjukan bahwa Luh Sekar ingin
menaikan kelas sosialnya dengan cara menikahi seorang
lelaki bangsawan/brahmana. Dari segi psikologis, Luh
Sekar merupakan sosok perempuan yang sangat ambisisus
dan pantang menyerah untuk menggapai keiinginannya. Ia
sangat menginginkan menjadi bagian dari keluarga
bangsawan agar dapat dihargai, karena baginya menjadi
seoarang bangsawan dapat mengubah hidupnya menjadi
lebih baik dan mendapatkan kebahagiaan. Terlihat dalam
kutipan berikut.
Aku layak menjadi perempuan
terhormat. Kau harus yakin bahwa
keinginanku akan terkabul. Kalau kau yakin,
dewa-dewa pasti akan menolong kita. Ayo
Kenten, konsentrasilah. Demi aku. Aku capek
jadi orang melarat. Aku capek melihat
keluargaku tidak dapat tempat di masyarakat
ini. Aku capek tersisih.15
Luh Sekar bangga diangkat sebagai
keluarga besar griya. Dia merasa dengan
menjadi keluarga besar griya derajatnya lebih
tinggi dibanding perempuan-perempuan sudra
yang lain.16
Kutipan di atas menjelaskan sosok Luh Sekar yang
sangat ambisisus dan pantang menyerah untuk menjadi
bagian dari keluarga bangsawan agar dapat dihargai dan
tidak dipandang sebelah mata. Luh sekar juga memiliki
watak yang egois dan keras kepala. Terlihat dalam kutipan
berikut.
Luh Sekar bagi Telaga adalah
perempuan yang sangat keras kepala.
Keinginannya adalah harga mati. Tidak ada
orang yang bisa membelokkannya.17
15 Ibid., h. 40. 16 Ibid., h. 21. 17 Ibid., h. 110.
54
Kutipan di atas menjelaskan watak Luh Sekar yang
keras dan tidak mau mengalah karena keinginannya harus
terpenuhi. Berdasarkan uraian di atas, Luh Sekar termasuk
tokoh berkembang, di karenakan mengalami perkembangan
dari awal cerita, pertengahan, hingga akhir sesuai dengan
tuntutan cerita secara keseluruhan.
2) Ida Ayu Sagra Pidada
Ida Ayu Sagra Pidada merupakan nenek Telaga.
Dilihat dari segi fisiologis Ida Ayu Sagra Pidada
digambarkan perempuan yang cantik, selalu bersikap
lembut dan tidak sombong. Hal ini dibuktikan pada kutipan
berikut.
Kata orang-orang griya, dulu nenek
adalah perempuan tercantik di desa. Tutur
bahasa nenek lembut dan penuh penghargaan
terhadap sesama. Dia tidak sombong...18
Dilihat dari segi sosiologisnya, Ida Ayu Sagra
Pidada terlahir dari keluarga bangsawan. Sejak kecil ia
tinggal di griya yang penuh dengan kemewahan dan apapun
yang dimintanya selalu terpenuhi. Terlihat dalam kutipan
berikut.
Nenek, perempuan yang luar biasa
keras. Dia adalah seorang putri bangsawan
kaya. Sejak kecil nenek selalu bahagia.
Apapun yang dimintanya selalu terpenuhi.
Ayah nenek seorang pendeta yang mempunyai
banyak sisia, orang-orang yang setia dan
hormat pada griya. Otomatis sejak masa
mudanya nenek mempunyai kedudukan yang
lebih tinggi dan terhormat dibanding
perempuan-perempuan lain di griya.19
18
Ibid., h. 18. 19
Ibid., h. 14.
55
Dari segi psikologisnya, Ida Ayu Sagra Pidada
merupakan orang yang menghormati cinta, karena cinta
merupakan sesuatu yang sakral baginya. Ia juga sangat
menjunjung tinggi adat dan mengagungkan darah
kebangsawanannya. Terlihat dalam kutipan berikut.
Tuniangmu adalah perempuan paling
lugu. Baginya cinta itu sangat sakral. Dia juga
sangat mengagungkan nilai-nilai
kebangsawanan. Memang, dari luar dia
terlihat sangat sopan pada orang-orang di luar
griya tetapi tuniangmu sangat kukuh.
Kebangsawanan harus tetap dipertahankan
sesuai dengan tradisi yang diwarisi dari orang-
orang tua kita.20
Berdasarkan uraian di atas, nenek Telaga termasuk
tokoh tokoh berkembang, di karenakan mengalami
perkembangan, di mana ia memiliki watak dan tingkah laku
yang mengalami perubahan watak dalam cerita. seperti
pada kutipan berikut.
Tuniangmu adalah perempuan paling
lugu. Baginya cinta itu sangat sakral. Dia juga
sangat mengagungkan nilai-nilai
kebangsawananan.21
Kutipan di atas diperkuat lagi ketika nenek berubah
pikiran bahwa nilai kebangsawaanan tidak menjadi hal
yang begitu penting. Melainkan, memilih seorang lelaki
yang dicintai. Terlihat dalam kutipan berikut.
kelak, kalau kau jatuh cinta pada
seorang laki-laki, kau harus mengumpulkan
beratus-ratus pertanyaan yang kau simpan.22
Jangan pernah menikah hanya
kebutuhan atau dipaksa oleh sistem.
20
Ibid., h. 19. 21
Ibid., 22
Ibid., h. 17
56
Menikahlah kau dengan laki-laki yang mampu
memberimu ketenangan, cinta, dan kasih.23
3) Luh Kambren
Luh Kambren adalah seorang guru tari Telaga yang
merupakan guru terbaik dan termahal di desa. Secara
fisiologis Luh Kambren seorang perempuan cantik yang
bermata tajam dan memiliki senyum yang dingin. Terlihat
dalam kutipan berikut.
...Tidakkah para dewa tari takut
melihat matanya yang begitu mengerikan?
Mata itu sangat menantang. Biji matanya
mirip pisau yang sangat runcing dan selalu
siap melukai orang-orang yang tidak disukai.
Senyumannya juga dingin. Seolah perempuan
tua yang tetap terlihat cantik itu tidak pernah
takut menghadapi apapun.24
Kutipan di atas menunjukan karakter fisik Luh
Kambren yang bermata tajam dan memiliki senyum yang
dingin. Jika dilihat dari sosiologis, Luh Kambren berasal
dari kasta sudra. Ia sosok perempuan yang menjunjung adat
Bali dan sangat menyukai kesenian tari, hingga ia menjadi
guru tari, serta menyerahkan hidupnya untuk menari.
Terlihat dalam kutipan berikut.
Tugeg, tugeg harus catat kata-kata
tiang ini. Bagi perempuan Bali bekerja adalah
membuat sesaji, sembahyang dan menari
untuk upacara. Itu yang membuat kesenian ini
tetap bertahan.25
Hidupku hanya untuk menari! Itulah
kata-kata Kambren. Kata-kata yang selalu
diingat Telaga.26
23
Ibid., h. 18. 24
Ibid., h. 76. 25
Ibid., h. 92. 26
Ibid., h. 94.
57
Kutipan di atas menjelaskan bahwa sosok Luh
Kambren merupakan orang yang sangat menjunjung tinggi
dan patuh terhadap adat dan budayanya. Terlebih dengan
tarian yang sangat dijaga oleh Kambren, karena baginya
tarian merupakan penginggalan pradaban yang tak ternilai.
Secara psikologis Luh Kambren, perempuan yang kesepian,
ia tidak pernah menikah walau banyak lelaki yang ingin
bersamanya. Konon, Luh Kambren pernah menolak
lamaran raja untuk dijadikan selir. Terlihat pada kutipan
berikut.
Orang-orang sering heran, alangkah
beraninya perempuan itu menolak keinginan
raja. Mereka juga heran Kambren menolak
hidup mapan. Kenapa? Bukankah dengan
menjadi seorang selir kehidupannya akan
terjamin? Memiliki tanah berhektar-hektar,
rumah besar, juga anak yang diakui
kebangsawanannya oleh orang banyak.
Bukankah itu sebuah prestasi untuk
perempuan miskin seperti dirinya?27
Kutipan di atas menunjukan bahwa Luh Kambren,
bukan perempuan yang ingin terhormat, mapan, dan dapat
menaikan kelasnya dengan cara menikahi raja. Baginya
kebahagiaan tidak terukur dengan hal materi belaka, tetapi
mengenai akan adanya cinta dan kasih yang sesungguhnya.
Kambren mencintai seorang lelaki asal Prancis, tetapi lelaki
itu suka sesama jenis, hingga akhirnya cintanya masih
terkubur dalam-dalam. Terlihat dalam Kutipan berikut.
Pelukis itu memang gila. Dan yang
membuat Kambren bergidik lahi, ada rekaman
video yang mempertontonkan adegan Jean
Paupiere tengah bercinta dengan laki-laki
Jerman itu secara rakus dan liar.28
27
Ibid., 28
Ibid., h. 102.
58
Anehnya, Tugeg, tiang tetap
mencintainya. Sampai hari ini. Sampai tiang
sudah berumur. Sering tiang bertanya pada
Hyang Widhi, sudah gilakah tiang?29
Kutipan di atas menjelaskan Dengan mengalami
kehidupan yang kekurangan membuat Kambren sosok yang
dingin dan enggan menjadi guru tari untuk para wisatawan
asing, wawancara, dan lain sebagainya karena merasa
dimanfaatkan saja tanpa adanya timbal balik untuk dirinya.
Jero Kenanga memang sangat tepat memilih Kambren
sebagai guru tari Telaga, bagaimana tidak keyakinannya
bahwa taksu yang dimiliki Kambren akan diberikan pada
Telaga itu terwujud.
c. Tokoh Tambahan
Tokoh tambahan dalam novel Tarian Bumi karya Oka
Rusmini yaitu Ida Bagus Tugur (kakek Telaga), Ida Bagus
Ngurah Pidada (ayah Telaga), Luh Dalem (ibu Luh Sekar),
Kerta dan Kerti (adil Luh Sekar), Luh Kenten (sahabat Luh
Sekar), Ida Bagus Ketu Pidada (orang yang dituakan di Griya),
Wayan Sasmitha (suami Telaga), Luh Gumbreg (ibu Wayan),
Luh Sadri (adik Wayan), dan Luh Sari (anak Telaga). Namun,
peneliti hanya akan menganalisis beberapa dari tokoh-tokoh
tersebut.
1) Wayan Sasmitha
Wayan Sasmitha adalah suami Telaga, dilihat dari
fisiologisnya, ia merupakan seorang lelaki yang tampan,
memiliki mata yang bulat, rambut yang gondrong,
tubuhnya gagah, dan banyak dikagumi para perempuan
terutama kalangan dayu (Ida Ayu).
29
Ibid.,
59
Wayan sudah datang dari Jepang.
Rambut Wayan gondrong. Hampir satu tahun
di Jepang, laki-laki itu makin terlihat dewasa.
Kau tahu Telaga, Wayan sudah datang. Dia
makin gagah. Tubuhnya makin membuat
tiang menggigil. Matanya yang bulat semakin
terlihat menarik.30
Seluruh dayu di sini sering
menceritakan Wayan dan mengagumi seluruh
yang dia miliki dalam tubuhnya.31
Jika dilihat dari segi sosiologisnya, Wayan adalah
seorang lelaki sudra. Sejak kecil ia dididik menjadi hamba.
Untungnya Wayan sangat dekat dengan Ida Bagus Ketu
Pidada lelaki yang dituakan di griya. Jadi tidak ada yang
berani merendahkannya. Terlihat dalam kutipan berikut.
Wayan adalah kesayangan Ketu, lelaki
sepuh griya. Jadi tidak ada orang griya yang
berani menyuruh atau berkata kasar. Itulah
yang menyebabkan wujud kehambaan Wayan
berbeda dengan para sudra lainnya.32
Dia sudah kuanggap sebagai anak
angkatku. Tak seorang pun boleh
mengganggunya. Dia ada di griya ini untuk
membantu sekaligus belajar melukis. Anak itu
snagat berbakat! Suara Ketu terdengar mirip
perintah.33
Dilihat dari segi psikologisnya, Wayan merupakan
seorang lelaki yang berani, karena ia mampu menanggung
segala resiko setelah keputusannya untuk menikahi Telaga.
Menurut masyarakat Bali, seorang perempuan yang berasal
dari kasta brahmana tidak boleh menikahi lelaki sudra,
sebab akan mendatangkan kesialan. Istilah Nyerod yaitu
perempuan yang menikahi lelaki tidak sewangsa. Terlihat
pada kutipan berikut.
30 Ibid., h. 128-129. 31 Ibid., h. 131. 32 Ibid., h. 113. 33 Ibid.,
60
Tiang tidak menyesali atau memaki
perasaan tiang. Ini pilihan. Tiang harus berani
melakukan untuk diri tiang sendiri. Tiang
sadar ini tidak pantas, tetapi perasaan tiang
tidak bisa tiang bohongi. Menjadi manusia
yang utuh harus berani bertanggung jawab
pada dirinya sendiri.34
Akan sial jadinya bila Wayan
mengambil Telaga sebagai istri. Perempuan
sudra itu percaya pada mitos bahwa
perempuan brahmana adalah surya, matahari
yang menerangi gelap. Kalau matahari itu
dicuri bisakah dibayangkan akibatnya?35
Kutipan di atas menjelaskan bagaimana sistem
kastalah yang membuat percintaan mereka semakin rumit.
Tetapi dengan keyakinan dan keberanian, Wayan mampu
memperjuangkan hingga sampai pada pernikahan.
Masyarakat Bali mengungkapkan pernikahan perempuan
brahmana terhadap lelaki sudra ini disebut juga pernikahan
nyerod yaitu pernikahan yang tidak sewangsa.
2) Luh Gumbreg
Luh Gumbreg adalah ibu dari Wayan Sasmitha.
Dilihat dari segi fisiologis, Luh Gumbreg seorang
perempuan yang bertinggi besar dan membuat jeje uli, ia
tinggal di gubug dan hidupnya sangat sederhana. Terlihat
pada kutipan berikut.
Wayan hidup dengan ibunya, seorang
perempuan yang bertubuh tinggi besar. Dia
membiayai sekolah Wayan dengan berjualan
jeje uli, kue yang terbuat dari ketan.36
34 Ibid., h. 135. 35
Ibid., h. 137. 36
Ibid., h. 110.
61
Dari segi psikologis, Luh Gumbreg sangat seorang
yang sangat menjunjung tinggi adat, ia percaya pernikahan
Telaga dengan Wayan akan mendapat kesialan.
Seorang laki-laki sudra dilarang
meminang perempuan brahmana. Akan sial
jadinya bila Wayan mengambil Telaga
sebagai istri. Perempuan sudra itu percaya
pada mitos bahwa perempuan brahmana
adalah surya, matahari yang menerangi gelap.
Kalau matahari itu dicuri bisakah dibayangkan
akibatnya?37
Wayan! Di mana otakmu. Kau akan
mengambil junjunganmu sendiri? Orang yang
seharusnya kita lindungi dan hormati.
Keluarga kita hidup dari keluarga griya.
Mereka yang menolong keluarga ini agar bisa
tetap makan. Apa dosaku sehingga punya
anak setolol kamu!38
Kutipan di atas menjelaskan bahwa Luh Gumbreg
sangat menentang adanya pernikahan. Baginya menikah
dengan Telaga sebuah kebodohan dan menambah beban
besar Wayan sebagai tulang punggung keluarga karena
harus menghidupi ibu dan adiknya ditambah dengan lagi
dengan Telaga. Hal ini semakin memuncak ketika Wayan
meninggal.
Berkali-kali tiang berkata, menikah
dengan perempuan Ida Ayu pasti
mendatangkan kesialan. Sekarang anakku
mati! Wayan tidak pernah mau mengerti. Ini
bukan cerita dongeng. Ini kebenaran. Kalau
sudah begini jadinya aku harus bicara apa
lagi! Luh Gumbreg memukul dadanya.
Menatap Telaga dengan tajam.39
37
Ibid., h. 137. 38
Ibid. 39
Ibid., h. 152.
62
Kutipan ini menjelaskan bagaimana peristiwa yang
terjadi menjadi klimaks dengan kematian Wayan. Hal ini
membuat Telaga terpukul ia hanya bisa menangis dan
mendekap Luh Sari anak semata wayangnya. Telaga tidak
menyangka Wayan meninggalkannya begitu cepat. Lelaki
yang mengajarkan arti perempuan dalam hidupnya.
3) Luh Sari
Luh Sari merupakan buah hati dari Ida Ayu Telaga
Pidada dan Wayan Sasmitha. Secara fisiologis Luh Sari
digambarkan seorang perempuan bermata bulat, tubuhnya
halus, pipinya yang gembul, dan hidunya yang bangir.
Terlihat pada kutipan berikut.
Dia lahir. Seorang perempuan.
Matanya benar-benar melambangkan mata
perempuan Bali: bulat dan sangat tajam.
Tubuhnya yang halus.pasti menjadi penari
terbaik.40
Bocah tujuh tahun ini benar-benar
menggemaskan. Rasanya, Telaga ingin
mencubit pipinya yang gembul dengan keras,
lalu menarik hidung bangirnya sampai
merah.41
Jika dilihat dari segi sosiologisnya, Luh Sari terlahir
dari kasta sudra, ia merasakan kehidupan yang kurang baik,
biaya sekolahnya pula dibiayai oleh kakek Telaga dalam
bentuk beasiswa. Kekeklah yang sering memberinya
hadiah. Terlihat dalam kutipan berikut.
Meme, laki-laki itu yang sering
memberi Sari hadiah. Sari berbisik ketika Ida
Bagus Tugur, kakek Telaga, muncul dengan
pakaian adat menyaksikan cucunya
melakukan upacara.42
40
Ibid., h. 151. 41
Ibid., h. 2. 42
Ibid., h. 2.
63
Dilihat dari segi psikologis, sebagai anak-anak Luh
Sari sudah merasakan kehidupan tidak begitu baik, terlebih
ia sering melihat ibunya menderita. Hal ini membuat Luh
Sari sering muncul impian untuk keluar dari kesulitan yang
sering kali ia hadapi.
Sari akan belajar dengan baik, Meme.
Kalau Sari besar nanti, kita tinggalkan Odah.
Meme bisa hidup dengan Sari. Sari bisa
membuatkan meme rumah yang bagus. Ada
tamannya, meme bisa menanam bunga-bunga
sampai muntah.43
Telaga memiliki pengharapan sebagai seorang ibu
terhadap anaknya, yang mungkin peristiwa yang dialami
Telaga akan di rasakan oleh Luh Sari yaitu sebagai seorang
penari terkenal dalam desa.
Telaga sangat berharap, kelak bocah
ini mampu memberinya tempat. Telaga juga
berharap anak perempuannya akan menjelma
menjadi penari tercantik di desa ini. Penari
yang memiliki seluruh kecantikan dewa tari.44
3. Latar
a. Latar Tempat
Pada novel Tarian Bumi latar keseluruhan terjadinya
peristiwa yaitu di Bali (rumah, pura, griya, dan tempat lainnya).
Hal ini dapat dilihat dari banyaknya dialog yang diucapkan
para tokoh mengenai Bali, nama-nama kota di Bali, dan bahasa
Bali yang digunakan oleh tokoh-tokoh dalam novel Tarian
Bumi.
Perempuan Bali itu, Luh, perempuan yang
tidak terbiasa mengeluarkan keluhan. Mereka
43
Ibid., h. 3. 44
Ibid., h. 3.
64
lebih memilih berpeluh. Hanya dengan cara itu
mereka sadar dan tahu bahwa mereka masih
hidup, dan harus tetap hidup. Keringat mereka
adalah api. Dari keringat itulah asap dapur bisa
tetap terjaga....”45
Sekarang tugeg bukan anak-anak lagi.
Tugeg tidak boleh memakai celana pendek. Kalau
tugeg ingin keluar, pakailah kain dan harus rapi.
Jangan ngawur. Jaga wibawa Meme di depan
orang-orang Griya. Walaupun Meme bukan Ida
Ayu, Meme yakin anak Meme lebih Ida Ayu dari
berpuluh bahkan beratus Ida Ayu.46
Pada kutipan di atas terlihat jelas Oka Rusmini
memasukan bahasa yang sangat kental tentang Bali. Selain
bahasa, Oka juga menggambarkan latar tempat yaitu di pura
sebagai tempat ibadah bagi umat Hindu. Terlihat dalam kutipan
berikut.
Kamu jangan bicara ngawur, Sekar. Ini di
Pura, aku takut para dewa mendengar
pernyataanmu.47
Suasana pura semakin menggelisahkan.
Sesaji sudah berada di hadapan Telaga.
Mertuanya duduk di atas balai bambu. Hari
semakin gelap bau daun beringin keras
menghantam hidung Telaga.48
Kutipan di atas menjelaskan bahwa pura adalah tempat
yang sakral. Tokoh Telaga menganggap pura adalah tempat
ibadah yang sakral, suasana pura yang dahulu ia rasai, kini
semakin keruh dan asing baginya. Dalam novel ini, juga
menggambarkan bahwa cerita ini terjadi di Bali. Hal ini terlihat
dalam kutipan berikut.
Ini kenyataannya. Tiang tidak pernah
ingin jadi sejarah. Atau dicatat sebagai manusia
yang kehidupannya mampu memberi sinar di
45
Ibid., h. 25. 46
Ibid., h. 49. 47
Ibid., h. 22. 48
Ibid., h. 174.
65
tanah Bali ini. Tidak. Tiang tidak memerlukan
itu.49
Novel ini pun menceritakan kegiatan-kegiatan para
tokoh di griya. Griya adalah tempat tinggal bagi masyarakat
Bali kasta brahmana yang merupakan kelompok sosial paling
tinggi dalam tatanan masyarakat Bali dan Sanggah, yaitu Pura
keluarga yang biasa digunakan untuk tempat ibadah kalangan
sudra. Hal ini dapat kita lihat dari beberapa kutipan berikut:
Sari tunggu Meme di pura. Meme ingin
bicara dengan orang itu. Telaga berbisik pada Sari
agar keluar dari griya.50
Perempuan itu juga tidak bisa
bersembahyang di Sanggah, Pura keluarga. Dia
juga tidak bisa memakan buah-buahan yang telah
dipersembahkan untuk leluhur keluarganya.51
b. Latar Waktu
Pada novel Tarian Bumi ini, Oka Rusmini
menggunakan penunjuk waktu tidak tentu. Oka Rusmini
cenderung menggunakan kata-kata suatu hari, seminggu
kemudian, malam, pagi, siang, senja, dan sebagainya.
Siang Luh." Sebuah suara yang sangat
dikenalnya menyapa.52
Kutipan di atas menerangkan siang hari di Bali yang
diutarakan oleh Jean Paupiere kepada Kambren. Pada
keterangan waktu pagi hari juga terlihat dalam kutipan berikut.
Alangkah mujurnya makhluk bernama
laki-laki. Setiap pagi para perempuan perjualan di
pasar, tubuh mereka dijilati matahari. Hitam dan
berbau. Tubuh itu akan keriput. Dan lelaki dengan
bebasnya memilih perempuan-perempuan baru
untuk mengalirkan limbah laki-lakinya.53
49 Ibid., h. 106. 50
Ibid., h. 172. 51 Ibid., h. 55. 52
Ibid., h. 100. 53
Ibid., h. 35.
66
Kutipan di atas menerangkan waktu pagi hari di Bali
yang memaparkan bagaimana kondisi perempuan yang harus
membanting tulang dan lelaki yang hanya enak-enakan saja.
Suatu hari Sekar datang malam-malam ke
biliknya. Wajah perempuan itu terlihat lembab.
Dia menubruk Kenten, dan memeluk tubuh
perempuan yang berbeda usia lima tahun itu erat-
erat. Sekar menangis sepuasnya.54
Suatu hari karena harus ikut ujian di
sekolah, sekar tidak bisa ikut ibunya menjual babi
ke pasar Kumbasari.55
Kutipan di atas memakai kata suatu hari dan kutipan
pertama juga menerangkan waktu malam hari di bilik Luh
Kenten untuk meluapkan perasaannya. Selanjutnya kutipan
yang menunjukan waktu seminggu yaitu:
Seminggu setelah bercerita panjang Luh
Kembren mati.56
Latar waktu juga terjadi pada tanggal 30 September,
ketika anak perempuan Telaga lahir yaitu Luh Sari dalam
kutipan:
30 September. Telaga mendapatkan
sebuah permainan baru. Dia lahir. Seorang
perempuan. Matanya benar-benar melambangkan
mata perempuan Bali; bulat dan sangat tajam.
Tubuhnya begitu halus. Dia pasti menjadi penari
terbaik dia akan menari di pura-pura.57
a. Latar Sosial
Dalam novel Tarian Bumi menceritakan struktur sosial
masyarakat Bali yang terbagi atas kasta-kasta. Konflik yang
terjadi dalam Tarian Bumi disebabkan oleh perbedaan latar
belakang tokoh yang mengakibatkan adanya perbenturan
kelompok sosial berdasarkan pembagian kasta di Bali.
54
Ibid., h. 36-37. 55
Ibid., h. 47. 56
Ibid., h. 104. 57
Ibid., h. 36-37
67
Luh Sekar tidak boleh menyentuh mayat
ibunya sendiri. Dia juga tidak boleh memandikan
dan menyembah tubuh kaku itu. Sebagai keluarga
griya, Luh Sekar duduk di tempat yang tinggi
sehingga bisa menyaksikan jalannya upacara
dengan lengkap.58
Kutipan di atas menerangkan bahwa adanya sistem
kasta menjadikan seseorang harus mengikuti dan tunduk pada
pakem-pakemnya. Nampak jelas ketika Luh Sekar tidak bisa
menyentuh mayat ibunya sendri karena ia sudah beralih pada
kasta Brahmana. Keadaan masyarakat Bali digambarkan dalam
novel ini bagaimana susahnya menjadi seorang wanita yang
harus berjuang menghidupi anak dan suaminya, karena laki-
laki hanya sosok yang menyandarkan kehidupannya pada
istrinya. Terlihat pada kutipan berikut:
Tidak. Aku hanya tidak senang gunjingan
laki-laki yang duduk santai di kedai kopi setiap
pagi. Sementara aku harus kerja keras, kaki
mereka terangkat di kursi. Tubuh mereka hanya
tertutup kain yang lusuh. Para laki-laki itu, aku
yakin belum mandi. Aneh sekali tingkah mereka.
Setiap hari dari pagi sampai siang hanya duduk
dan mengobrol.59
Bahkan kudengar laki-laki yang sering
mencubit pantatku istrinya dua. Laki-laki tukang
kawin. Padahal dia tidak punya pekerjaan yang
bisa menopang keluarganya.60
b. Latar Suasana
Latar suasana menceritakan bagaimana kondisi tokoh
atau sekitar kejadian yang terdapat di dalam sebuah cerita.
Dalam novel ini latar suasana yang digambarkan Oka Rusmini
yaitu tentang kebudayaan Bali, di mana adat dan sistem
perkastaan masih sangat dijunjung dan berlaku di Bali. Suasana
58
Ibid., h. 63. 59
Ibid., h. 31. 60
Ibid., h. 32.
68
yang muncul dengan adanya kebudayaan yaitu suasana sedih,
tegang, tenang, gelisah, dan senang. Latar suasana dapat
dibuktikan dalam kutipan-kutipan berikut:
Hanya suara tangis Ibu yang terdengar
dari pintu samping. Tangisan seorang perempuan
sudra, perempuan yang tidak bisa berbuat apa-apa
ketika harus berhadapan dengan perempuan
senior.61
Sambil menuruti perintah Nenek, Ibu
hanya bisa menatap dengan perasaan yang tidak
pernah Telaga mengerti. Tatapan Ibu terlihat
aneh, penuh keprihatinan. Sering juga mata Ibu
terlihat kosong. Dalam kondisi seperti itu, hanya
suara Nenek yang terdengar keras memaki-maki
dan terus-menerus mengutuk.62
Kutipan di atas sebagai contoh adanya suasana sedih
yang dialami tokoh dalam novel ini. Dalam kutipan ini
menceritakan bagaimana sosok seorang perempuan Sudra yang
berpindah kasta di perlakukan sama saja, walaupun sudah
berpindah kasta Brahmana, ia tetap rendah di mata perempuan
Brahmana seutuhnya. Latar susana menegangkan juga terlihat
dalam kutipan berikut:
Ketika Telaga dan Wayan meminta restu
kepada Luh Gumbreng (Ibu Wayan) dan seketika
itu pula Luh Gumbreng marah.63
Wayan! Di mana otakmu. Kau akan
mengambil junjunganmu sendiri? Orang yang
seharusnya kita lindungi dan hormati. Keluarga
kita hidup dari keluarga Griya. Mereka yang
menolong keluarga ini agar bisa tetap makan. Apa
dosaku sehingga punya anak setolol kamu!64
Kutipan di atas contoh adanya suasana menegangkan
yang dialami tokoh dalam novel ini. Dalam kutipan ini
menceritakan bagaimana Wayan dan Telaga memberanikan diri
61
Ibid., h. 12. 62
Ibid., h. 13. 63
Ibid., h. 136. 64
Ibid., h. 137.
69
berbicara pada Luh Gumbreg (Ibu Wayan) untuk menikah.
Seketika saja Ibu Wayan sangat marah dan suasana menjadi
menegangkan. Latar susana tenang juga terdapat dalam novel
ini, terlihat dalam kutipan berikut:
Telaga ingin bicara dengan perempuan tua
yang melahirkan Ayah. Bicara dari hati ke hati.65
Perempuan tua itu menarik napas, lalu
menyentuh rambut cucu satu-satunya. Sekarang
kau sudah besar, Telaga. Aku selalu berdoa agar
nasibmu bisa lebih baik daripada nasibku.66
Kutipan di atas contoh adanya suasana tenang yang
dialami tokoh dalam novel ini. Dalam kutipan ini menceritakan
bagaimana sosok Nenek digambarkan lemah lembut pada
cucunya, serta memberikan nasihat, harapan, dan doa untuk
kehidupan Telaga. Latar susana gelisah juga terdapat dalam
novel ini, terlihat dalam kutipan berikut:
Kenapa kau diam? Sekar menatap Kenten
sungguh-sungguh, berharap Kenten membantu
untuk melepaskan busana tarinya. Tangan Kenten
gemetar. Untuk pertama kalinya dia akan
menyaksikan tubuh Luh Sekar telanjang.67
Tubuh Sekar berdiri Tegak. Hanya lampu
templok menerangi tubuhnya. Suasana jadi
semakin menggelisahkan ketika angin sesekali
menggoyangkan nyala api lampu. Luh Kenten
bergetar memunguti satu demi satu busana itu.68
Kutipan di atas merupakan contoh adanya suasana
menggelisahkan yang terjadi dan dialami tokoh dalam novel
ini. Dalam kutipan ini menceritakan obsesi Luh Sekar ingin
menjadi penari yang paling cantik membuatnya menunjukan
kemolekan tubuhnya pada Kenten agar sahabatnya itu
mengakui bahwa dia yang paling cantik. Tetapi Sekar tidak
65
Ibid., h. 15. 66
Ibid., h. 17. 67
Ibid., h. 42. 68
Ibid.
70
tahu bahwa Kenten memang sejak dahulu berkeinginan untuk
melihat tubuhnya. Latar susana senang juga terdapat dalam
novel ini, terlihat dalam kutipan berikut:
Kau masih tetap cantik. Suara Putu Sarma
terdengar pelan ketika kebetulan mereka bertemu
di dapur. Telaga diam. Entah mengapa, dia justru
bahagia masih ada laki-laki yang bisa melihatnya
sebagai perempuan.69
Kutipan di atas merupakan contoh adanya suasana
senang yang dialami Telaga. Dalam kutipan ini Telaga sangat
bahagia atas pujian yang didapatkannya dari Putu Sarma. Ia
merasa terlahir kembali menjadi sosok perempuan hingga
kalimat itu selalu diingatnya.
4. Alur
Alur yang digunakan dalam novel Tarian Bumi ini adalah
alur campuran. Pada awal cerita dibuka dengan kisah masa kini,
lalu kemudian Telaga menyibak tabir misteri masa lalu yang
menjadi inti permasalahan cerita, setelah itu diakhiri dengan
kehidupan telaga di masa kini.
a. Tahap Pengenalan
Tahap yang terutama berisi pelukisan dan pengenalan
situasi latar dan tokoh-tokoh cerita. Misalkan dalam novel
Tarian Bumi Karya Oka Rusmini ini adalah novel yang
bercerita tentang kehidupan masyarakat Bali di mana sangat
kental dengan nilai-nilai adat dan juga sistem kasta. Tokoh-
tokoh yang digambarkannya adalah Luh Sekar (Jero Kenanga),
Ida Ayu Telaga Pidada, Luh Sari, Wayan Sasmitha, Ida Ayu
Sagra Pidada, Ida Bagus Ngurah Pidada, dan Ida Bagus Tugur.
Karena dia seorang puteri Brahmana,
maka para dewa memberinya taksu, kekuatan
69
Ibid., h. 156.
71
dari dalam yang tidak bisa dilihat mata
telanjang. Luar biasa. Lihat! Ketika
perempuan itu menari seluruh mata seperti
melahap tubuhnya. Alangkah beruntungnya
perempuan itu. Sudah bangsawan, kaya,
cantik lagi. Dewa-dewa benar-benar pilih
kasih!70
Kutipan di atas menggambarkan adanya nilai-nilai
budaya dan sistem kasta yang sangat diagungkan oleh
masyarakat Bali. Kemudian tokoh yang digambarkannya yaitu
Luh Sekar (Jero Kenanga) terlihat pada kutipan:
Pintu rumah tertutup rapat. Hanya
suara tangis Ibu yang terdengar dari pintu
samping. Tangisan seorang perempuan Sudra,
perempuan yang tidak bisa berbuat apa-apa
ketika harus berhadapan dengan seorang
perempuan senior, perempuan yang telah
lebih banyak tahu arti hidup. Perempuan yang
lebih dulu menjalani hidup! Ibu hanya seorang
perempuan junior. Tidak tahu apa-apa. Tidak
juga memahami nilai-nilai kebangsawanan.71
Selanjutnya penggambaran tokoh secara fisiologis,
sosiologis, dan psikologis dilanjut pada Ida Ayu Sagra Pidada
dan Ida Bagus Ngurah Pidada, terlihat pada kutipan:
Perempuan senior itu adalah seorang
perempuan tua yang memiliki keagungan
tinggi, karena dalam tubuhnya dewa-dewa
telah memercikkan keagungan, kecantikan,
dan keanggunan. Perempuan tua itu juga telah
melahirkan seorang laki-laki yang ditunjuk
oleh hidup untuk memiliki ibu. Laki-laki yang
memiliki Ibu adalah laki-laki paling aneh. Dia
bisa berbulan-bulan tidak pulang. Kalau
dirumah, kerjaannya hanya matajen, adu
ayam, atau duduk-duduk dekat perempatan
bersama para berandalan munum tuak,
minuman keras. Laki-laki itu juga sering
70
Ibid., h. 4. 71
Ibid., h. 12.
72
membuat ulah yang sangat memalukan nenek,
ibunya sendiri72
Kutipan di atas merupakan ilustrasi pengenalan awal
sebagai pembentukan karakter tokoh-tokoh, agar pembaca
dapat merasakan dan terbawa suasana pada tahapan cerita
selanjutnya, di mana tahapan pemunculan konfik
dimunculkan.
b. Tahap Pemunculan Konflik
Masalah-masalah dan peristiwa-peristiwa yang
memasang terjadinya konflik mulai dimunculkan. Dalam
novel Tarian Bumi ini konflik yang muncul ini berawal dari
ketidaksukaan (kesirikan) Sadri terhadap Telaga karna Telaga
adalah seorang putri bangsawan yang sangat cantik. Dan juga
konflik antara Ida Ayu Sagra Pidada (Nenek Telaga) yang
tidak menerima kehadiran Sekar (menantunya) dan dia selalu
merendahkan derajat Sekar yang seorang sudra.
Ya. Sadri memang sering iri pada
Telaga, karena perempuan itu memiliki
seluruh kecantikan para perempuan di desa73
Hyang Widhi, kenapa aku tak bisa
membuang kebencian pada perempuan di atas
panggung itu? Kenapa? Padahal perempuan di
atas panggung itu telah memberi banyak
kemudahan bagi keluargaku. 74
Kutipan di atas menjelaskan awal dari pemunculan
konfik, diawali dari sikap iri Luh Sadri terhadap Telaga
kemudian konfik berlanjut antara Ida Ayu Sagra Pidada
(Nenek Telaga) dengan Jero Kenanga (Ibu Telaga) terlihat
pada kutipan:
72
Ibid. 73
Ibid., h. 6. 74
Ibid.
73
Sambil menuruti perintah Nenek, Ibu
hanya bisa menatap dengan perasaan yang
tidak pernah Telaga mengerti. Tatapan ibu
terlihat aneh, penuh keprihatinan. Sering juga
mata ibu terlihat kososng. Dalam kondisi
seperti itu, hanya suara Nenek yang terdengar
keras memaki-maki dan terus-menerus
mengutuk. Kau tak pernah bisa memberi
kebahagiaan pada anakku, Kenanga! Suara
Nenek terdengar getir dan amat menusuk. Ibu
hanya bisa menelan tangisnya dalam-dalam.75
c. Tahap Peningkatan Konflik/Rumitan
Konflik yang telah dimunculkan pada tahap
sebelumnya semakin berkembang dan telah dikembangkan.
Konflik yang meningkat terjadi pada saat Wayan dan Telaga
meminta restu kepada Luh Gumbreg (Ibu Wayan) untuk
menikah, tetapi Luh Gumbreng sangat tidak setuju dan sangat
marah, dia tidak ingin memiliki menantu seorang Ida Ayu
Telaga Pidada.
Kau sadar siapa dirimu, Wayan? Kau
sudah berpikir apa terjadinya kalau kau
menikah dengan Dayu Telaga? Ada ada
dengan dirimu! Kau anak laki-laki satu-
satunya milik Meme. Jangan buat masalah
dengan orang-orang griya. Tugeg, pikirkan
lagi keputusan ini.76
Wayan! Di mana otakmu. Kau akan
mengambil junjunganmu sendiri? Orang yang
seharusnya kita lindungi dan hormati.
Keluarga kita hidup dari keluarga griya.
Mereka yang menolong keluarga ini agar bisa
tetap makan. Apa dosaku sehingga punya
anak setolol kamu!77
Kutipan di atas sangat menjelaskan kekecewaan Luh
Gumbreg terhadap anaknya. Karena baginya jika anaknya
75
Ibid., h. 13. 76
Ibid., h. 136. 77
Ibid., h. 137.
74
menikah dengan seorang bangsawan hanya akan mandapatkan
cemoohan dari masyarakat dan akan mendatangkan bencana
dan kesialan.
d. Tahap Klimaks
Konflik atau pertentangan yang terjadi kepada para
tokoh mencapai titik puncak. Konflik puncak ini terjadi setelah
Telaga menikah dengan Wayan. Hidup Telaga memang sudah
sangat berubah, dia rela meninggalkan kehidupan mewahnya
hanya untuk menikah dengan Wayan, terlebih lagi dia harus
tinggal bersama mertua dan adik iparnya (Luh Sadri). Kedua
wanita itu sangat tidak menyukai Telaga, setiap hari Telaga
harus menerima cemoohan dan perlakuan yang tidak baik
kepada dirinya.
Hidup Telaga jadi berubah total.
Bangun pagi-pagi tidak ada pelayan yang
menyiapkan segelas susu dan roti bakar. Yang
ada hanya segelas air putih. Itu pun air putih
kemarin. Telaga meneguknya. Matanya
sedikit berair.78
Kutipan di atas menjelaskan tentang perpindahan
kehidupan Telaga yang sangat jauh berbeda, ia merelakan
segala kemewahan fasilitas di Griya untuk mencari
kebahagiannya, walaupun tetap harus menderita, tapi
setidaknya ada rasa kepuasan batin karena telah berani
memutuskan untuk memilih jalan bahagianya. Penderitaan
terus menghantamnya dengan kedua perempuan yang seatap
dengannya yaitu ibu mertuanya dan adik iparnya.
78
Ibid., h. 146.
75
Di sini tidak ada orang yang bisa
menyiapkan makanan untukmu. Suara
mertuanya terdengar ketus.79
Jangan terlalu banyak kayu bakarnya!
Suara Gumbreg terdengar memekik. Untuk
apa kayu sebanyak itu?80
Kau tidak pernah masuk dapur. Kau
mau masak? Masak apa! Sadri tertawa keras.81
Biasanya, kalau orang menikah dengan
anak orang kaya pasti bahagia. Perkawinan
Bli kelihatan tidak bahagia. Bli masih
mengandalkan lukisannya untuk mena nggung
dua perempuan. Sekarang beban Bli makin
parah. Ada seorang perempuan lagi yang
harus diberi makan. Suara sadri sengaja
dikeraskan.82
Kutipan tersebut sekaligus menggambarkan penderitaan
yang terus menghantam Telaga setelah menikah. Ia yang
terbiasa dengan kemewahan, kini harus bisa menerima keadaan
yang berbeda termasuk diasingkan oleh ibu mertua dan adik
iparnya.
e. Tahap Leraian
Pada tahap leraian ini merupakan bagian struktur alur
sesudah tercapainya klimaks terlihat pada saat Telaga datang
ke rumahnya untuk meminta izin kepada ibu dan kakeknya
untuk pamit kepada leluhur di griya untuk menjalani proses
upacara Patiwangi, tetapi ibunya menolak bertemu
dengannya.
Meme, bicaralah pada tiang! Telaga
mengetuk pintu kamarnya. Tidak ada suara.
Perempuan itu benar-benar perempuan keras
kepala. Telaga terus berteriak.83
79
Ibid. 80 Ibid. 81 Ibid., h. 147. 82 Ibid., h. 148. 83 Ibid., h. 173.
76
Meme, tiang ingin pamit. Tiang
percaya Meme mendengar kata-kata tiang.
Masih tidak ada suara.84
Kutipan di atas, menunjukan keangkuhan ibu Telaga, ia
bersikeras tidak mau melakukan upacara itu. Ia merasa
pencapaiannya pada Telaga selama ini tidak terujudkan. Malah
anak sematawayangnya itu kembali menyandang gelar kasta
yang dahulu ia perjuangkan untuk melepasnya.
f. Tahap Penyelesaian
Pada tahap ini yaitu tahap dari penyelesaian cerita.
Tergambar pada saat Telaga berbicara kepada ibunya
mengenai pilihan hidupnya yang tidak sama sekali disesalinya.
Terima kasih, Meme. Meme, harus
tahu, tiang tidak menyesal menjadi istri
Wayan. Yang tiang sesalkan, begitu banyak
orang yang merasa lebih bangsawan daripada
bangsawan yang sesungguhnya. Telaga
menjauh85
Kutipan di atas menunjukan bahwa Telaga tetap teguh
dalam pilihan dan pendiriannya. Karena baginya kebahagiaan
bukan hanya perihal materi saja. Melainkan, sesuatu yang
tidak bernilai terkadang membuatnya tentram.
Aku tidak pernah meminta peran
sebagai Ida Ayu Pidada. Kalaupun hidup terus
memaksaku memainkan peran itu, aku harus
menjadi lakon yang baik. Dan hidup harus
bertanggung jawab atas permainan
gemilangku sebagai Telaga.86
Kutipan di atas menjelaskan bahwa peran apapun yang
ditanggungnya haruslah baik dan bertanggungjawab baik
84 Ibid., h. 174. 85 Ibid,. 86 Ibid., h. 175.
77
dalam kasta Brahmana maupun Sudra. Upacara Patiwangi
telah selesai ia menjadi perempuan yang baru terlahir kembali
yaitu sebagai Perempuan Sudra yang seutuhnya.
5. Sudut Pandang
Sudut pandang adalah bagaimana cara sebuah cerita
dikisahkan atau pandangan yang dipergunakan pengarang sebagai
sarana untuk menyajikan tokoh, tindakan, latar, dan berbagai
peristiwa yang membentuk cerita dalam sebuah karya fiksi kepada
pembaca. Dalam novel Tarian Bumi ini, sudut pandang yang
digunakan adalah sudut pandang orang ketiga maha tahu (narator
luar). Narator ini menceritakan peristiwa-peristiwa yang terjadi di
luar maupun pada tokoh utama (Telaga). Sudut pandang yang
digunakan Oka Rusmini dapat ditemui di berbagai peristiwa/isi
cerita seperti kutipan berikut:
Bagi Telaga, dialah lelaki idiot yang
harus dipanggil dengan nama yang sangat
agung, Aji, ayah. Menjijikan sekali! Lelaki
yang tidak bisa bersikap! Lelaki yang hanya
bisa membanggakan kelakiannya. Bagaimana
mungkin dia bisa dipercaya? Ketololannyalah
yang membuat seorang perempuan kecil
bernama Ida Ayu Telaga Pidada menyesal
harus memanggil lelaki itu dengan panggilan
terhormat.87
Tidak ada baju, tidak ada sepatu, kue
atau permen. Tidak juga uang. Luh Sekar
melihat Ibunya dibopong orang-orang sedesa.
Tubuh perempuan itu berlumuran darah. Luh
Sekar menjerit-jerit88
87
Ibid., h. 11. 88
Ibid., h. 47.
78
Kedua kutipan di atas menjadi contoh bahwa Oka Rusmini
menggunakan sudut pandang orang ketiga maha tahu, karena
terlihat amat jelas bahwa penulis seolah-olah mengetahui perasaan,
pemikiran dan tindakan yang dilakukan oleh tokoh, baik itu
Telaga, Luh Sekar dan tokoh-tokoh lainnya. Pemikiran tokoh yang
dimunculkan itu melalui sudut pandang Oka Rusmini sebagai
penulis. Penggunaan sudut pandang orang ketiga yang dipilih oleh
Oka Rusmini bertujuan agar pembaca memahami keseluruhan isi
cerita secara utuh dan Oka menyajikannya dengan sangat jelas dan
mendetail. Sajian yang dimaksud yaitu dialog, pemikiran, tindakan,
suasana, dan lain sebagainya.
6. Gaya Bahasa
Bahasa merupakan sarana pengungkapan sastra. Untuk
memperoleh efektivitas pengungkapan, bahasa dalam sastra
disiasati, dimanipulasi, dan didayagunakan secermat mungkin
sehingga berbeda dengan bahasa nonsastra. Pada umumnya bahasa
yang ada dalam karya sastra berbeda dengan bahasa nonsastra.
Bahasa sastra mungkin dicirikan sebagai bahasa yang mengandung
unsur emotif dan bersifat konotatif. Sebaliknya bahasa nonsastra
bersifat ilmiah, denotatif dan rasional.89
Gaya Bahasa yang
disajikan dalam novel ini adalah bahasa sehari-hari tetapi dalam
novel ini juga sering ditemukan istilah-istilah dalam bahasa Bali
yang disisipkan oleh Oka Rusmini. Hal ini tergambar dalam
kutipan berikut:
Sekarang Tugeg bukan anak-anak lagi.
Tugeg tidak boleh memakai celana pendek. Kalau
Tugeg ingin keluar, pakailah kain dan harus rapi.
Jangan ngawur. Jaga wibawa Meme di depan
orang-orang Griya. Walaupun Meme bukan
89
Mursal Esten, Op.Cit., h. 273.
79
seorang Ida Ayu, Meme yakin anak Meme lebih
Ida Ayu dari berpuluh bahkan beratus Ida Ayu.90
Meme, ini tiang. Hari ini tiang sudah
pamit pada leluhur. Hari ini juga tiang akan
menanggalkan nama Ida Ayu. Tiang akan jadi
perempuan Sudra yang utuh. Meme, bicaralah
pada tiang!91
Kutipan di atas menerangkan bahwa bahasa yang
digunakan mudah dimengerti dan merupakan bahasa sehari-hari
yang disisipkan bahasa daerah Bali, walaupun Oka Rusmini
banyak menggunakan bahasa daerah Bali, ia mencantumkan
keterangan/arti dari kata-kata tersebut.
Oka Rusmini juga menggunakan gaya bahasa repetisi yaitu
perulangan bunyi, suku kata, kata atau bagian kalimat yang
dianggap penting untuk memberi tekanan dalam sebuah konteks
yang sesuai.92
Selain gaya bahasa repetisi, dalam kutipan ini juga
terdapat gaya bahasa hiperbol yaitu gaya bahasa yang mengandung
suatu pernyataan yang berlebihan, dengan membesar-besarkan
sesuatu hal.93
yaitu terlihat dalam kutipan berikut:
Jaga wibawa Meme di depan orang-orang
Griya. Walaupun Meme bukan seorang Ida Ayu,
Meme yakin anak Meme lebih Ida Ayu dari
berpuluh bahkan beratus Ida Ayu.94
Kutipan di atas terdapat gaya bahasa repetisi yaitu terdapat
pada pengulangan suku kata atau bagian yang dianggap penting
yaitu pada kata ‘Ida Ayu’ karena kata ini memberikan penekanan
dalam sebuah kalimat tersebut. Selain repetisi terdapat gaya bahasa
hiperbol yaitu pada kata ‘berpuluh bahkan beratus’ kata ini
90
Oka Rusmini, Op.Cit., h. 68-69 91
Oka Rusmini, Op.Cit., h. 173. 92
Gorys Keraf, Diksi dan Gaya Bahasa, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama,
2006), hlm.127. 93
Ibid., h. 135. 94
Oka Rusmini, Op.Cit., h. 68-69
80
memberikan penekanan yang berlebihan untuk menjelaskan kata
‘Ida Ayu’.
Gaya bahasa lain yang digunakan Oka sebagai penulis yaitu
klimaks. Gaya bahasa klimaks ini diturunkan dari kalimat yang
bersifat periodik. Klimaks merupakan gaya bahasa yang
mengandung urutan-urutan pikiran yang setiap kali semakin
meningkat kepentingannya dari gagasan-gagasan sebelumnya.95
Terlihat dalam kutipan berikut:
Apa untungnya laki-laki itu untukmu? Kau
harus berani menjawabnya. Kau harus yakin
dengan kesimpulan-kesimpulan yang kau
munculkan sendiri. Setelah itu, endapkan!
Biarkan jawaban-jawaban dari ratusan
pertanyaanmu itu menuasai otakmu. Jangan
pernah menikah hanya karena kebutuhan atau
dipaksa oleh sistem. Menikahlah kau dengan laki-
laki yang mampu memberimu ketenangan, cinta,
dan kasih. Yakinkan dirimu bahwa kau
memerlukan laki-laki itu dalam hidupmu. Kalau
kau tak yakin jangan coba-coba mengambil
resiko.96
Kutipan di atas terdapat gaya bahasa klimaks yaitu terdapat
pada kata-kata yang beruntutan yang semakin meningkat
kepentingannya dari gagasan-gagasan sebelumnya. Pada kata-kata
ini awal runtutan sembelum menjelaskan kepentingannya ‘Apa
untungnya laki-laki itu untukmu? Kau harus berani menjawabnya.
Kau harus yakin dengan kesimpulan-kesimpulan yang kau
munculkan sendiri’ sedangkan tingkat kepentingannya dapat dilihat
pada kata-kata ‘Jangan pernah menikah hanya karena kebutuhan
atau dipaksa oleh sistem. Menikahlah kau dengan laki-laki yang
mampu memberimu ketenangan, cinta, dan kasih. Yakinkan dirimu
bahwa kau memerlukan laki-laki itu dalam hidupmu.’ Kutipan ini
95
Gorys Keraf, Op.Cit., h. 124 96
Oka Rusmini, Op.Cit., h. 17-18.
81
menjelaskan gaya bahasa klimaks karena menunjukan kata-kata
yang beruntutan yang semakin meningkat maksud kepentingannya
dari gagasan-gagasan sebelumnya.
7. Amanat
Amanat atau moral merupakan sesuatu yang ingin
disampaikan oleh pengarang kepada pembaca merupakan makna
yang terkandung dalam sebuah karya.97
Secara umum moral itu
mengenai perbuatan sikap, kewajiban, dan budi pekerti. Biasanya
karya sastra, senantiasa menawarkan pesan moral yang
berhubungan dengan sifat-sifat luhur kemanusiaan,
memperjuangkan hak, dan matrabat manusia. Novel Tarian Bumi
karya Oka Rusmini yaitu memasuki ranah ajaran moral. Bahwa
untuk mencapai suatu keinginan haruslah di ikuti dengan usaha
yang sungguh-sungguh dan pantang menyerah. Tampak dalam
kutipan berikut:
Aku ingin sembahyang, Kenten. Bicara
pada para dewa agar mereka tahu aku sungguh-
sungguh ingin menjadi penari joged. Aku ingin
mengangkat sekehe joged ini. Aku ingin para
dewa berbicara dengan tetua desa ini bahwa aku
pantas menjadi penari.98
Ya! Ayo ganti baju. Aku sudah siapkan
perlengkapan sembahyang. Kita harus berada di
pura tengah malam ini. Besok pagi-pagi kita
pulang99
Dalam novel ini nampak perbedaan hak antara kaum laki-
laki dan perempuan di Bali yang seharusnya di tiadakan.
Perempuan Bali adalah perempuan pekerja keras yang patuh pada
adat dan setia pada keluarga. Pengarang memberikan pesan lewat
novel ini mengajak para perempuan untuk bangkit dan berusaha
97
Mursal Esten, Op.Cit., h. 320. 98
Oka Rusmini, Op.Cit., h. 39. 99 Ibid., h. 38.
82
lebih maju dalam memperjuangkan hidup demi mendapatkan
kebahagiaanya, karena perempuan memiliki hak yang sama dengan
laki-laki untuk dihormati, dihargai, dan merasakan
kebahagiaannya.
Pada hakikatnya, setiap karya sastra berfungsi dan bersifat
mendidik, menambah pengetahuan, serta menghIbur. Kesemuanya
dapat didapatkan setelah membaca dan meresapi pesan-pesan
moral yang didapat setelah membaca suatu karya sastra. Dalam
kaitannya dengan novel Tarian Bumi, kesemuanya dapat
didapatkan setelah kita membaca keseluruhan novelnya.
Pengetahuan lain tentang sisi lain Bali tergambar jelas di novel ini,
dimulai dari kehidupan masyarakatnya, kasta, adat yang mengikat,
serta proses-proses yang membelit di dalamnya, serta pesan moral
yang amat ditekankan oleh pengarang, sangatlah jelas terlihat di
dalam novel, seperti terlihat dalam kutipan-kutipan berikut:
Hidup ini begitu dahsyat. Begitu banyak
hal-hal yang mengejutkan. Seringkali hidup
seperti mengejar Meme dengan ganasnya. Hidup
juga sering menjebak Meme. Rasanya Meme
sering main kucing-kucingan dengan hidup
Meme. Itu indahnya. Itu kesenian paling tinggi
dalam peradaban manusia100
Sering sekali Sekar bertanya pada Sang
Hidup, dosa apa sesungguhnya yang telah
diperbuat perempuan ini hingga tak ada habis-
habisnya kesialan dan penderitaan melingkari
hari-harinya. Anehnya dia tetap tabah. Tetap
pasrah 101
…Yang tiang sesalkan, begitu banyak
orang yang merasa lebih bangsawan daripada
bangsawan yang sesungguhnya102
B. Pandangan Hidup Tokoh Utama dalam Novel Tarian Bumi
1. Pandangan Hidup yang Berasal dari Agama
100 Ibid., h. 81. 101 Ibid., h. 57. 102 Ibid., h. 147.
83
Pandangan hidup agama Telaga dapat dilihat melalui
beberapa hal. Hal tersebut diantaranya adalah ritual, tarian
persembahan, dan pembelian peralatan upacara. Terlihat dalam
kutipan berikut.
Pada saat menari seluruh semesta memberi
restu pada Telaga. Hanya pada tubuh Telaga para
dewa mau kompromi.103
Menjadi penari itu harus siap berbakti
kepada para dewa. Menari harus mampu
berdialog dengan jiwa.104
Tak ada perempuan bangsawan yang bisa
menghormati dirinya selain Telaga. Perempuan
itu sering membeli alat-alat upacara untuk
kepentingan Griya.105
Kepercayaan agama Hindu yang terpenting yaitu Panca
Sradha. Pertama, percaya akan adanya satu tuhan Ida Sang Hyang
Widhi atau nama lainnya Sang Hyang Hidup. Terlihat dalam
kutipan berikut.
Sayang sekali Sang Hyang Hidup sangat
berkuasa. Dia juga tidak bisa dirayu ataupun
diajak berkolusi. Aturan aturan yang ditetapkan-
Nya sangat kaku. Tidak bisa dibelokan atau
dimiringkan sedikit saja.106
Kutipan di atas menjelaskan bahwa Telaga benar-benar
mengetahui kuasa Tuhan yang tidak bisa diubah aturannya. Hal ini
membuktikan telaga meyakini Tuhannya yaitu Sang Hyang Hidup.
Kedua, percaya akan adanya konsep atman (roh abadi), tidak
ditampakkan dalam tokoh Telaga. Ketiga, percaya tentang
Punarbhawa (kelahiran kembali dari jiwa), orang Bali percaya
adanya kelahiran kembali dari jiwa, yang sering kita kenal dengan
103 Ibid., h. 4. 104 Ibid., h. 75. 105 Ibid., h. 6. 106 Ibid., h. 4.
84
sebutan reinkarnasi. Namun, kepercayaan itu tidak dinampakkan
oleh Telaga di dalam novel ini.
Keempat, percaya akan adanya hukum Karma Phala
(adanya buah dari setiap perbuatan), yaitu perbuatan yang
dilakukan seseorang di dunia. Hal ini ditemukan pada Telaga saat
ia menikah dengan Wayan. Terlihat dalam kutipan berikut.
Seorang laki-laki sudra dilarang
meminang perempuan Brahmana. Akan sial
jadinya bila Wayan mengambil Telaga sebagai
istri.107
Berkali-kali tiang berkata, menikah
dengan perempuan Ida Ayu pasti mendatangkan
kesialan. sekarang anakku mati! Wayan tidak mau
pernah mengerti. Ini bukan cerita dongeng. Ini
kebenaran.108
Kutipan di atas menjelaskan bahwa Karma Phala yang
didapatkan Telaga adalah hasil dari perkawinan nyerod bersama
Wayan. Perkawinan nyerod sangat dilarang dalam adat Bali karena
mereka percaya akan datangnya suatu karma atau musibah yang
akan menimpa. Kelima, percaya akan adanya Moksa (kebebasan
jiwa dari lingkaran kelahiran kembali). Peneliti tidak dapat
mencantumkan kutipan terkait Panca Sradha kelima ini sebab
Telaga tidak menunjukkan rasa percaya dengan adanya Moksa.
Sebagaimana sudah dijelaskan di dalam bab II bahwa
pengaruh kepercayaan dan beragama ini tampak dalam konsepsi
dan aktivitas upacara yang muncul dalam frekuensi yang tinggi
terhadap masyarakat Bali, baik berupa upacara yang dilaksanakan
oleh kelompok kerabat maupun komunitas. Telaga melaksanakan
beberapa upacara yang digolongkan ke dalam Panca Yadnya, yaitu
Manusia Yadnya dan Pitra Yadnya.
107 Ibid., h. 137. 108 Ibid., h. 152.
85
Upacara Manusia Yadnya yang dilakukan oleh Telaga
adalah upacara menek kelih, yaitu upacara pembaptisan lahirnya
seorang gadis baru. Upacara tersebut dilaksanakan pada saat
Telaga sudah haid.
Saat Telaga makin dewasa, terlebih
setelah menjalani upacara menek kelih, sebuah
upacara pembaptisan lahirnya seorang gadis baru,
Telaga harus melepaskan kulit kanak-kanaknya.
Kulit yang sangat dia cintai.109
Upacara selanjutnya yang dilakukan oleh Telaga adalah
Pitra Yadnya. Upacara tersebut berupa upacara Ngaben (upacara
kematian).
Upacara Ngaben berjalan sederhana.
Beberapa keluarga griya datang. Juga kakek.
Telaga sempat menatap laki-laki itu.110
Berdasarkan uraian tersebut, pandangan hidup Telaga
terhadap agama diikutinya dengan rasa keyakinan. Ia menjadi
pengikut yang baik dalam agama Hindu yang dianut sebagaimana
ia sering melakukan berbagai macam upacara adat.
2. Pandangan Hidup yang Berasal dari Kebudayaan
Budaya merupakan hal yang tidak pernah lepas dari
masyarakat. Begitu pula dengan Telaga sebagai masyarakat Bali.
Telaga terlahir dari kasta tertinggi yaitu golongan brahmana
wangsa. Kata Wangsa, kini diubah pengertiannya menjadi kasta.
terlihat dalam kutipan berikut.
Karena dia seorang puri Brahmana, maka
para dewa memberinya taksu.111
109 Ibid., h. 64-65. 110 Ibid., h. 153. 111 Ibid., h. 4.
86
Kutipan di atas menunjukan Telaga yang terlahir dari
golongan brahmana. Sebagai masyarakat Bali, setiap tahap
kehidupannya akan menandai dengan sebuah ritual khusus. Dalam
tokoh Telaga, ia menjalankan ritual khusus yaitu upacara menek
kelih, sebuah upacara pembaptisan lahirnya seorang gadis baru. Di
mana, ia harus minggalkan masa kanak-kanak. Terlihat dalam
kutipan berikut.
Saat Telaga makin dewasa, terlebih
setelah menjalani upacara menek kelih, sebuah
upacara pembaptisan lahirnya seorang gadis baru,
Telaga harus melepaskan kulit kanak-kanaknya.
Kulit yang sangat dia cintai.112
Selain upacara menek kelih, Telaga juga menjalankan
upacara kematian yaitu ngaben, pada saat Wayan meninggal dunia.
Terlihat dalam kutipan berikut.
Upacara Ngaben berjalan sederhana.
Beberapa keluarga griya datang. Juga kakek.
Telaga sempat menatap laki-laki itu.113
Kutipan di atas menunjukan bahwa Telaga mengikuti
runtutan pakem-pakem yang terdapat dalam adat Bali. Dalam adat
Bali, perkawinan menjadi hal yang sentral. Sistem perkawinan ini
biasanya untuk menjaga kehormatan keluarga, umumnya orang tua
pihak perempuan akan turut campur dalam memilihkan calon
suami anaknya. Hal ini juga terjadi pada kehidupan Telaga.
Terlihat dalam kutipan berikut.
Kali ini dia harus berani melawan, karena
ibunya sangat memaksa agar Telaga mau keluar
dengan laki-lakiitu.114
Telaga benar-benar lelah menghadapi
ibunya. Suatu hari dia undang Ida Bagus Adnyana
112 Ibid., h. 64-65. 113 Ibid., h. 153. 114 Ibid., h. 123.
87
untuk datang, dan membiarkan laki-laki itu masuk
langsung ke kamar Telaga.115
Perempuan itu tidak pernah sadar. Dia
selalu mendapat stok laki-laki yang berbeda.
Begitu banyak modelnya. Dan kenanga selalu
mampu menyeret mereka semua ke dalam
rumah.116
Kutipan di atas menjelaskan bahwa sistem perkawinan ini
sangat penting bagi masyarakat Bali guna mempertahankan
kehormatan keluarga dan menjaga kelas sosial yang mereka
duduki. Sebagaimana diketahui Telaga adalah golongan brahmana,
maka ibunya tidak ingin Telaga sampai melepas gelar Ida Ayu jika
menikah dengan kalangan lainnya.
Masyarakat Bali mempunyai larangan untuk menikah
berbeda wangsa, dikarenakan masyarakat Bali percaya akan
adanya petaka atau kesialan jika menikah dengan berbeda wangsa.
Hal ini yang dilakukan oleh Telaga ketika menikah dengan Wayan.
Telaga sebagai perempuan tri wangsa yang menikah dengan laki-
laki yang tidak sewangsa. Terlihat dalam kutipan berikut.
Seorang laki-laki sudra dilarang
meminang perempuan brahmana. Akan sila
jadinya bila wayan mengambil Telaga sebagai
istri.117
Berkali-kali tiang berkata, menikah
dengan perempuan Ida Ayu pasti mendatangkan
kesialan.118
Kutipan di atas menjelaskan bahwa karma atau mitos yang
dipercayai masyarakat Bali terbukti dengan menunjukan kematian
Wayan setelah menikah dengan Telaga. Maka, pernikahan berbeda
wangsa seperti ini sangat dilarang keras oleh masyarakat Bali.
115 Ibid., h. 122. 116 Ibid., h. 153. 117 Ibid., h. 137. 118 Ibid., h. 152.
88
Perkawinan ini sering disebut perkawinan Nyerod. Istilah nyerod
hanya diperuntukkan bagi perempuan tri wangsa yang menikah
tidak dengan laki-laki sewangsa.
Masyarakat Bali yang berani melakukan nyerod juga harus
berani melakukan upacara patiwangi. Telaga melakukan upacara
patiwangi ketika Wayan telah tiada. Upacara ini dilakukan untuk
menyetarakan wangsa. Terlihat dalam kutipan berikut.
Dulu, ketika kau dikawini anak tiang, kau
belum pamit ke griya. Kau juga belum melakukan
upacara patiwangi. Aku ingin kau melakukan
semua itu. Demi keluarga ini!119
Upacara patiwangi yang dijalankan oleh Telaga, bertujuan
untuk membunuh gelar Ida Ayu agar statusnya menjadi sederajad
dengan suaminya yaitu menjadi perempuan sudra. Istrinya yang
trah brahmana sebagai lambang surya masih tetap panas
membakar isi rumah tangga. Maka untuk membuat sinar surya
tidak panas lagi, harus diadakan upacara patiwangi. Ini yang
terlihat pada kutipan berikut.
Patiwangi. Pati berarti mati, wangi berarti
keharuman. kali ini Telaga harus membunuh
nama Ida Ayu yang telah dibelikan hidup
padanya. nama Itu tidak boleh dipakai lagi. Tidak
pantas. Hanya membawa kesialan bagi orang
lain.120
Berdasarkan uraian tersebut, Telaga sangat menghargai dan
menjunjung kebudayaannya terlihat ia setia akan pakem-pakem
dari kebudayaannya tersebut. Nampak jelas pada saat ia mengikuti
upacara-upacara, mulai dari upacara menek kelih, ngaben, dan
patiwangi.
3. Pandangan Hidup yang Berasal dari Hasil Renungan
119 Ibid., h. 164. 120 Ibid., h. 172.
89
a. Cinta dan Kasih
Telaga sangat membenci aturan-aturan yang ada di
Griya, Ia menginginkan kebebasan dan kebahagiaan dengan
pilihan hidupnya sendiri. Telaga menyelam dalam kehidupan
ibunya, neneknya, dan Luh Kambren (guru tari) hingga
mendapatkan sebuah pemahaman pada dirinya untuk memiliki
kebebasan dan cinta kasih itu sendiri. Karena yang ia rasakan
kurangnya rasa cinta kasih yang diberikan, melainkan
pengekangan dari ibu dan neneknya yang ingin menjadikan
Telaga perempuan Brahmana yang seutuhnya.
Jangan kau bawa cucuku ke rumahmu.
Cucuku seorang Brahmana, bukan sudra.
Bagaimana kau ini! Kalau sering kau bawa pulang
ke rumahmu, cucuku tidak akan memiliki sinar
kebangsawanan. Kau mengerti, Kenanga!121
Kau adalah harapan Meme, Tugeg. Kelak
kau harus menikah dengan laki-laki yang
memakai nama depan Ida Bagus. Kau harus
tanam dalam-dalam pesanku ini. Sekarang kau
bukan anak kecil lagi. Kau tidak bisa bermain
bola lagi. Kau harus mulai belajar menjadi
perempuan keturunan Brahmana. Menghapal
beragam sesaji, juga harus tahu bagaimana
mengukir janur untuk upacara. Pegang kata-
kataku ini, Tugeg. Kau mengerti? Suara
perempuan itu lebih mirip paksaan daripada
sebuah nasihat.122
Kutipan di atas merupakan penggambaran atuaran-
aturan atau pakem dari sebuah sistem yang selalu mengelilingi
telaga. Terlebih ketika ibunya sudah membicarakan sebuah
nasihat, pengharapan atau lebih tepatnya paksaan bagi Telaga.
Pada tokoh Telaga, Ibu, dan Nenek memiliki pandangan cinta
dan kasih yang berbeda, menurut Telaga cinta dan kasih yaitu
kebebasan, mencintai seorang laki-laki idaman untuk
121 Ibid., h. 61. 122 Ibid., h. 67.
90
dinikahinya, bukan menikah karena sistem. Sedangkan
pandangan cinta kasih dari ibu untuk Telaga menjadikannya
perempuan kebangsawanan yang utuh, memilihkan sorang laki-
laki bangsawan. Tetapi berbeda dengan neneknya, menurutnya
Telaga harus bisa memilih lelaki yang ia yakini dengan
segenap hati serta terdapat keuntungan di dalamnya.
Apa untungnya laki-laki itu untukmu? Kau
harus berani menjawabnya. Kau harus yakin
dengan kesimpulan-kesimpulan yang kau
munculkan sendiri. Setelah itu, endapkan!
Biarkan jawaban-jawaban dari ratusan
pertanyaanmu itu menguasai otakmu. Jangan
pernah menikahinya hanya karena kebutuhan atau
dipaksa oleh sistem.123
Cinta dan kasih merupakan kebutuhan kodrati manusia,
cinta dan kasih tidak dapat dipisahkan dalam kehidupan
manusia. Pada awalnya pandangan hidup Telaga mengenai
cinta dan kasih masih dipendam dalam dirinya.
Bagi telaga, cintanya yang dalam pada
Wayan hanya untuk dirinya sendiri. Perasaan itu
terlalu menguasai dirinya. Setiap kali kerinduan
mengintip, Telaga hanya bisa menutup wajahnya
dengan bantal.menangis sepuasnya!124
...Impian yang tiang simpan berpuluh
tahun. Sakit rasanya menyimpan terlalu lama.
Kau tahu perasaan tiang, Wayan? Ya. Sejak dulu.
Mereka berdua terdiam. Wayan menggenggam
tangan Telaga erat-erat.125
Telaga selalu takut untuk menunjukan keinginannya,
karena terlingkari oleh sebuah pakem dan sistem. Tapi,
akhirnya ia membulatkan tekad dengan meyakini cinta kasih
dan kebahagiaan yang selama ini ia impikan harus
diperjuangkan.
123 Ibid., h. 17-18. 124 Ibid., h. 133. 125 Ibid., h. 136.
91
b. Penderitaan
Pandangan hidup tentang penderitaan bagi Telaga
adalah makanan sehari-harinya. Bagaimana tidak, di rumahnya
(Griya) maupun di rumah Wayan Sasmitha (suaminya) ia
merasakan penderitaan yang cukup kompleks. Telaga amat
sering memenuhi undangan-undangan Griya, jika pergi
memenuhi undangan, ibunya yang selalu otoriter terhadapnya.
Kebenaran hanya terlihat pada kaca matannya sendiri.
Sudah Tugeg siapkan baju untuk melihat
upacara perkawinan di griya Sanur? Coba Meme
lihat, harus serasi. Perempuan itu menatap mata
telaga serius. Kenapa Tugeg hanya diam saja?
Tidak bisakah Tiang memilih baju sendiri? Selera
Tugeg sering buruk! Meme... Jangan membantah.
Dengar kata-kata Meme.126
Telaga mulai menyalakan api tungku.
Asapnya memenuhi dapur yang menghitam itu.
Kuku Telaga yang runcing mulai dibalut warna
hitam. Di mana-mana hitam. Panci, atap dapur.
Telaga menggigil. Jangan terlalu banyak kayu
bakarnya! Suara Gumbreg terdengar memekik.127
Penderitaan yang dialami Telaga membuatnya semakin
kuat dalam menghadapi kehidupan. Baginya inilah jalan
kehidupan yang ia ambil, menderita memang tapi ia bahagia
bersama laki-laki satu-satunya yang amat ia cintai yaitu
Wayan.
Telaga ketika kawin dan hidup sebagai
perempuan sudra untuk pertama kalinya. Wayan
hanya bisa membelikan kebaya dan kain yang
kasar. Telaga benar-benar melatih diri untuk
menanggalkan seluruh busana
kebangsawanannya. Semua untuk cinta. Untuk
126 Ibid., h. 108. 127 Ibid., h. 146.
92
perhatian, untuk kasih sayang yang tidak pernah
dia dapatkan dari laki-laki.128
Kutipan di atas sangat jelas dan gamblang menceritakan
betapa pahitnya penderitaan yang dialami Telaga, tetapi semua
sirna ketika Telaga melihat Wayan, karena pengorbanan yang
ia ambil semata-mata hanya untuk cinta. Tetapi rupanya
penderitaan tidak hanya sampai titik itu saja, beban dan
penderitaan bertambah ketika Wayan mati.
Telaga tidak pernah mengerti, tubuh
Wayan yang begitu kuat ternyata rapuh. Kata
dokter, Wayan memiliki kelainan jantung sejak
kanak-kanak. Wayan mati di studio lukisnya.
Telaga bahkan tidak tahu jam berapa laki-laki itu
sekarat. Karena bila Wayan masuk studio, Telaga
dan seluruh penghuni rumah ini tahu diri, tidak
ingin mengganggunya melukis. Cat-cat
berserakan. Tubuh Wayan beku. Telaga menjerit.
Gelas kopinya tumpah. Dalam keadaan mati,
tubuh laki-laki terlihat sinis.129
Orang selama ini selalu beranggapan,
Wayan mati karena kawin dengan seorang Ida
Ayu! Telaga terus menghibur dirinya sendiri.
Setahun. Dua tahun. Tiga tahun. Telaga selalu
berusaha semangat pada dirinya sendiri.130
Kutipan di atas sangat jelas memaparkan bagaimana
penderitaan yang dialami oleh Telaga sangat kompleks.
Baginya kehilangan Wayan seperti kehilangan semestanya, ia
harus menanggung bebannya karena itu adalah pilihannya ia
sadar itu. Hanya Luh Sari putri semata wayangnya yang
membuat Telaga tetap ingin berjuang untuk hidup.
Telaga mengahadapi beban hidupnya dan cara
menyikapi telaga terhadap beban yang dipikulnya yaitu terlihat
pada kutipan berikut:
128 Ibid., h. 149. 129 Ibid., h. 153. 130 Ibid., h. 155.
93
Telaga terus menghibur dirinya sendiri.
Setahun. Dua tahun. Tiga tahun. Telaga selalu
berusaha memberi semangat pada dirinya sendiri.
Menenangkan kelaparan wujud perempuannya.
Kelaparan yang paling parah. Kelaparan wujud
perempuannya itu sering membuat Telaga merasa
tubuhnya hampir pecah.131
Kutipan di atas memaparkan tentang cara Telaga
menyikapi penderitaan yang dialaminya dengan cara
memberikan dorongan serta semangat untuk dirinya sendiri
karena baginya yang tersulit adalah ketika ia sadar
membutuhkan tubuh laki-laki untuk menenangkannya. Telaga
menerima segala beban dan penderitaan yang ia alami, karena
itu adalah pilihannya.
c. Tanggung Jawab
Manusia sebagai makhluk individual harus bertanggung
jawab terhadap dirinya baik jasmani maupun rohani. Dalam
kehidupan, manusia dibebani tanggung jawab untuk memiliki
hak dan kewajiban serta dituntut pengabdian dan pengorbanan.
Tokoh utama yang diperankan oleh Telaga menggambarkan
dirinya dibebani tanggung jawab yang sangat besar dalam
kewajibannya sebagai seorang keturunan bangsawan terbukti
pada kutipan:
Anak perempuan tidak boleh duduk
sembarangan, kata neneknya, seraya memukul
paha Telaga.132
Sekarang kau bukan anak kecil lagi. Kau
tidak bisa bermain bola lagi. Kau harus memulai
belajar menjadi perempuan brahmana.
Menghapal beragam sesaji, juga harus tahu
bagaimana mengukir janur untuk upacara. Pegang
kata-kataku ini, Tugeg. Kau mengerti?133
131 Ibid. 132 Ibid., h. 65. 133 Ibid., h. 67.
94
Kalau tugeg ingin keluar, pakailah kain
dan harus rapi. Jangan ngawur. Jaga wibawa
Meme di depan orang-orang griya. Walaupun
Meme bukan seorang Ida Ayu, Meme yakin anak
meme lebih Ida Ayu dari berpuluh bahkan beratus
Ida Ayu.134
Peristiwa yang dialaminya membuatnya semakin sadar
memikul beban yang berat sebagai seorang Ida Ayu Telaga
Pidada, perempuan keturunan brahmana yang harus mengikuti
pakem dari sebuah sistem kasta. Belum lagi tuntutan untuk
menjadi seorang penari.
Jadilah perempuan tercantik diseluruh
bumi ini, Tugeg. Kau harus mampu. Setiap hari
hanya itu doa Meme. Untuk ambisi yang satu ini
ibunya mendatangkan guru tari. Telaga harus
belajar menari setiap sore hari.135
Kutipan ini menjelaskan bahwa hak dan kewajiban
yang dituntut dengan pengabdian dan pengorbanan telah
dilakoninya selama menjadi perempuan bangsawan, ditambah
lagi ketika ia memutuskan untuk menikah dengan Wayan,
tanggung jawab dan pengorbanan yang ia ambil begitu besar.
Telaga tahu, di depan orang griya dia
tidak boleh gegabah. Sekarang ini derajatnya
sudah tidak sama lagi dengan mereka. Kakek
akan menjadi omongan orang kalau sampai
kelihatan berbaik hati pada Telaga. Akan
merendahkan nama griya, martabat dan entah apa
lagi.136
Dengan berbagai macam peristiwa yang dialaminya
membuat Telaga tetap ingin berjuang hidup terlebih ketika
melihat anak yang dititipkan Wayan padanya. Ia seperti
mempunyai semangat yang baru.
134 Ibid., h. 68-69. 135 Ibid., h. 75. 136 Ibid., h. 154.
95
Telaga menarik napas, hanya bocah inilah
yang membuatnya tetap ingin hidup. Luh Sari
terus meloncat-loncat kegirangan. Tawa segarnya
membuat Telaga dibawa ke alam yang
membuatnya hanyut.137
Kutipan diatas menggambarkan bahwa Luh Sari adalah
sumber hidup bagi Telaga. Tanggung jawab yang dipikul
Telaga membuatnya sedikit ringan dengan melihat senyum dari
bibir Luh Sari. Ia adalah satu-satunya kekuatan bagi Telaga
untuk mengarungi kehidupan.
d. Harapan
Setiap manusia yang bernyawa pasti memiliki harapan
dan cita-cita dalam kehidupannya. Pengharapan yaitu
keinginan yang timbul dari diri manusia berupa cita-cita yang
dilakukannya dalam perbuatan dan tindakan. Telaga selalu
ingin terlepas dari aturan-aturan yang ada di griya. Ia
menginginkan kebebasan dan kebahagiaan dengan pilihan
hidupnya sendiri. Untuk pertama kalinya ada harapan untuk
terlepas dalam belenggu-belenggu beban yang ditanggungnya
terutama paksaan ibunya dalam segi aspek apapun serta aturan
di griya dengan dimulainya percintaan Telaga dengan Wayan
Sasmitha.
Tiang harus berani melakukan untuk diri
tiang sendiri. Tiang sadar ini tidak pantas, tetapi
perasaan tiang tidak bisa tiang bohongi. Menjadi
manusia yang utuh harus berani bertanggung
jawab pada dirinya sendiri. Tugeg jangan
menangis. Wayan menyentuh pipi Telaga. Tiang
takut. Tiang juga takut dengan diri tiang sendiri.
Kita akan hadapi ini, tugeg. Tugeg harus yakin.
Tiang percaya tugeg mengerti apa yang ingin
tiang katakan. Saat ini tiang tidak bisa berjanji
apa-apa. Tetapi tiang akan berusaha mewujudkan
137 Ibid., h. 2.
96
impian ini. Impian yang tiang simpan terlalu
lama. Kau tahu perasaan tiang, Wayan? Ya. Sejak
dulu.138
Kutipan di atas sangat jelas menggambarkan Wayan
memberikan pengharapan pada Telaga. Hal ini membuat telaga
semakin membulatkan tekad untuk mengarungi niatnya untuk
memilih kekasih yang ia cintai sejak kanak-kanak itu. Sampai
akhirnya Telaga memilih menikah dengan Wayan dan
meninggalkan semua kemewahan serta kebangsawanannya.
Perkawinan itu berlangsung. Hidup Telaga
jadi berubah total. Bangun pagi-pagi tidak ada
pelayan yang menyiapkan segelas susu dan roti
bakar. Yang ada hanya segelas air putih. Itupun
air putih kemarin. Telaga meneguknya. Matanya
sedikit berair.139
Kutipan di atas menjelaskan harapan yang diinginkan
Telaga telah terwujudkan dengan adanya perkawinan
membuatnya bebas dari sistem kebangsawaan. Tetapi
membuatnya memasuki fase penderitaan yang berbeda dalam
kalangan brahmana Telaga selalu dilayani dan semua
kebutuhanya terpenuhi tetapi dalam kalangan sudra, Telaga
bukan lagi puteri keturunan brahmana, ia hanya seorang wanita
yang sudah tidak memiliki apa-apa terkecuali rasa cinta dan
kasih untuk Wayan. Hidup telaga mulai kembali berbinar
ketika buah hatinya lahir yaitu Luh Sari, padanya Telaga
menaruh harapan besar.
Telaga sangat berharap, kelak bocah ini
mampu memberinya tempat. Telaga juga berharap
anak perempuannya akan menjelma menjadi
penari tercantik di desa ini. Penari yang memiliki
seluruh kecantikan dewa tari.140
138 Ibid., h. 135-136 139 Ibid., h. 146. 140 Ibid., h. 2-3.
97
Kutipan di atas menunjukan betapa besarnya Telaga
menaruh harapan besar untuk Luh Sari sebagai tumpuan
kepulangannya nanti. Ia telah mengajarkan Luh Sari
menghadapi kesulitan-kesulitan hidup, yang seharusnya bisa
dijaga oleh Telaga dengan baik dan tidak merasakan
penderitaan. Telaga terus menghujat dan meyalahkan dirinya.
Ia sangat berharap pada Luh Sari agar memiliki kehidupan
yang layak dan menjelma sebagai penari tercantik di desa
seperti dahulu Telaga.
C. Implikasi Terhadap Pembelajaran Sastra di Sekolah
Pembelajaran bahasa dan sastra tingkat SMA pada kurikulum
2013 berusaha meningkatkan kemampuan literasi peserta didik melalui
kegiatan membaca karya sastra. Sebagaimana tercantum di dalam
silabus yang dikeluarkan oleh Kementrian Pendidikan dan
Kebudayaan, peserta didik kelas XII diharapkan mampu meningkatkan
kemampuan literasinya dengan memiliki kompetensi dasar
menginterpretasikan unsur intrinsik dan makna teks dalam novel baik
secara lisan maupun tulisan.
Peserta didik dikenalkan sastra melalui karya-karya dalam
bentuk bahan bacaan, seperti novel dengan teknik pembacaan
menyeluruh. Hal ini bertujuan untuk mendapatkan pemaknaan yang
mendalam dan pengalaman baru setelah membaca karya sastra.
Melalui pengalaman tersebut maka akan terbangun karakter-karakter
yang berkualitas sesuai dengan tujuan pendidikan. Salah satu novel
yang dapat digunakan sebagai bahan ajar terkait pembelajaran sastra
dalam menemukan makna teks yaitu novel Oka Rusmini yang berjudul
Tarian Bumi. Novel ini mengisahkan perjalanan sosok perempuan
yang berjuang untuk kebebasan dari belenggu kebudayaan, adat
istiadat, serta peraturan-peraturan yang ada dalam sistem kastanya.
98
Peserta didik tidak hanya diharapkan mampu menambah wawasan
mengenai kebudayaan Bali, tetapi juga mampu menjadikan pandangan
hidup tokoh utama sebagai inspirasi dalam kehidupan sehari-hari.
Di dalam kelas, proses pembelajaran disampaikan
menggunakan metode pembelajaran. Hal ini bertujuan agar kegiatan
belajar mengajar berjalan secara efektif dan efisien. Metode
pembelajaran yang dapat digunakan dalam pembelajaran terkait unsur
intrinsik dan makna teks dalam novel adalah metode ceramah, diskusi,
tanya jawab, dan penugasan. Pembelajaran mengenai materi ini dapat
disampaikan selama 2 jam pelajaran. Sebelum guru memasuki
pembelajaran terkait materi ini, peserta didik sudah lebih dahulu
diminta untuk membaca secara keseluruhan novel Tarian Bumi.
Pembelajaran dapat dimulai dengan menggunakan metode
tanya jawab. Guru menanyakan terkait hasil bacaan peserta didik.
Pertanyaan yang disampaikan perihal garis besar cerita dari novel
tersebut. Selain itu, guru juga menanyakan kepada siswa mengenai
kosa kata yang sulit dimengerti dan membutuhkan penjelasan dari
guru. Hal ini dikarenakan novel Tarian Bumi adalah novel yang
mengangkat tema kebudayaan masyarakat Bali yang di dalamnya
banyak menggunakan bahasa daerah Bali. Selanjutnya, guru
menampilkan power point terkait teori unsur intrinsik novel. Setelah
itu, guru membagi peserta didik ke dalam beberapa kelompok. Metode
berikutnya adalah metode diskusi. Peserta didik sesuai dengan
kelompoknya diminta untuk menganalisis unsur intrinsik dari novel
Tarian Bumi. Analisis peserta didik dituangkan ke dalam lembar soal
yang sudah disiapkan oleh guru. Analisis yang dibuat oleh peserta
didik haruslah analisis yang disertakan bukti konkret dari novel
tersebut. Setelah selesai berdiskusi, perwakilan dari setiap kelompok
diminta untuk menyajikan hasil diskusi mereka di depan kelas.
Kemudian, guru memberikan klarifikasi terkait hasil kerja peserta
99
didik. Peserta didik mencocokan jawaban mereka dengan jawaban
yang diberikan oleh guru.
Pembelajaran dilanjutkan dengan metode ceramah kembali
oleh guru. Sebelum peserta didik diminta untuk menganalisis
pandangan hidup tokoh, guru kembali menampilkan power point
terkait teori pandangan hidup. Guru menampilkan hakikat dan jenis
dari pandangan hidup seseorang melalui power point tersebut.
Berdasarkan hasil analisis unsur intrinsik novel, khususnya terkait
tokoh utama, peserta didik diminta melanjutkan analisisnya untuk
mencari pandangan hidup yang dimiliki tokoh utama novel tersebut.
Peserta didik diharapkan mendapatkan manfaat yang lebih dari
sekadar menganalisis unsur intrinsik novel dengan menganalisis
pandangan hidup tokoh utamanya. Bagi peserta didik khususnya
mereka yang sudah duduk di bangku sekolah menengah atas, mereka
sudah memiliki pandangan hidup terhadap suatu hal tanpa mereka
sadari. Melalui proses analisis pandangan hidup tokoh cerita di dalam
novel, peserta didik akan memahami hakikat pandangan hidup itu
sendiri.
Selanjutnya, peserta didik kembali diminta untuk
mempresentasikan hasil diskusi mereka terkait penugasan kedua, yaitu
menganalisis pandangan hidup tokoh utama dalam novel Tarian Bumi.
Analisis peserta didik terkait pandangan hidup dikerjakan dengan cara
mengelompokkan peristiwa-peristiwa yang dialami tokoh utama ke
dalam jenis pandangan hidup yang sudah dijelaskan oleh guru saat
menayangkan power point teori pandangan hidup.
Guru menilai ketepatan jawaban setiap kelompok dan bersama
siswa menyimpulkan hasil analisis peserta didik secara keseluruhan.
Guru tidak hanya memberikan jawaban yang benar terkait penugasan,
tetapi juga membimbing peserta didik untuk mengidentifikasi
pandangan hidup tokoh yang mengandung nilai-nilai yang baik dan
100
kurang baik bagi kehidupan sehari-hari. Guru berperan menanyakan
kesan dan perasaan peserta didik selama pembelajaran berlangsung.
Secara keseluruhan, pembelajaran ini dapat memberikan kesan
terhadap peserta didik bahwa mempelajari karya sastra tidak hanya
sebatas membaca dan mengerti ceritanya saja. Akan tetapi, dapat
memaknai teksnya agar bermanfaat bagi diri peserta didik. Dengan
demikian, peserta didik dapat lebih mengerti mengenai konsep
pandangan hidup seseorang secara lebih dalam.
100
BAB V
PENUTUP
A. Simpulan
Berdasarkan hasil analisis mengenai pendangan hidup tokoh
utama dalam novel Tarian Bumi terdapat beberapa simpulan sebagai
berikut:
1. Telaga memiliki pandangan hidup yang berasal dari agama,
kebudayaan, dan hasil renungan. Pertama, pandangan hidup Telaga
yang berasal dari agama diikutinya dengan rasa keyakinan. Ia
menjadi pengikut yang baik dalam agama Hindu yang dianut
sebagaimana ia sering melakukan berbagai macam upacara adat.
Kedua, pandangan hidup Telaga yang berasal dari kebudayaan. Ia
sangat menghargai dan menjunjung kebudayaannya, selalu
mematuhi aturan, serta tradisi kebudayaannya. Hal ini tampak jelas
pada saat ia mengikuti upacara-upacara, mulai dari upacara Menek
Kelih, Ngaben, dan Patiwangi.
Ketiga, pandangan hidup Telaga yang berasal dari hasil renungan.
Ia berpendapat bahwa cinta dan kasih adalah kebebasan mencintai
seorang laki-laki idaman untuk dinikahi, bukan menikah karena
sistem. Penderitaan bagi Telaga adalah hal yang biasa sudah ia
terima. Tanggung jawab baginya, yaitu ketika ia harus mengikuti
peraturan-peraturan oleh sistem untuk menjaga wibawa
kebangsawanan, maupun sebagai perempuan Sudra. Harapan
baginya, yaitu ketika terlepas dari aturan-aturan yang ada di griya.
Telaga sangat menginginkan kebebasan dan kebahagiaan dengan
pilihan hidupnya sendiri.
101
2. Pembahasan mengenai pandangan hidup dalam novel Tarian Bumi
karya Oka Rusmini dapat diimplikasikan dalam pembelajaran
sastra di sekolah, terutama sekolah menengah atas (SMA) pada
kelas XII semester 1 dalam pembelajaran kurikulum K-13. Peserta
didik memiliki kompetensi dasar menginterpretasikan unsur
intrinsik dan makna teks dalam novel baik secara lisan maupun
tulisan dengan pembacaan menyeluruh. Novel ini diharapkan tidak
hanya dijadikan bahan bacaan oleh peserta didik saja, tetapi juga
dapat memberikan inspirasi dan sebagai sarana ekstrospeksi diri
melaui pandangan hidup tokoh di dalam cerita. Berdasarkan
diskusi mengenai temuan-temuan peserta didik yang didapatkan
dalam novel, guru sebagai fasilitator diharapkan mampu
mengarahkan peserta didik memperoleh manfaat dari pembacaan
karya sastra yang terdapat dalam novel Tarian Bumi sehingga
dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.
B. Saran
Berdasarkan simpulan di atas, terdapat beberapa saran yang
hendak penulis sampaikan mengenai penelitian ini, diantaranya adalah
sebagai berikut:
1. Kegiatan menganalisis sebuah karya sastra sangat membutuhkan
ketelitian dengan memperhatikan penemuan unsur-unsur intrinsik
maupun ekstrinsik.
2. Penulis sangat mengharapkan penelitian ini dapat bermanfaat bagi
dunia pendidikan sastra maupun lainnya. Oleh karena itu,
kemampuan guru dalam menyampaikan bahan materi ajar secara
jelas, menarik, dan rinci sangat diperlukan agar peserta didik tidak
merasa jenuh dan bosan dalam membaca maupun menganalisis
karya sastra.
3. Pendidik harus mampu mengajak peserta didik untuk mengenal
dan menelaah lebih jauh tentang unsur-unsur yang terkandung
102
dalam novel, tidak hanya unsur intrinsiknya saja melainkan unsur
ekstrinsiknya. Hal ini dimaksudkan agar para peserta didik
mendapatkan wawasan yang lebih luas lagi di luar teks sastra.
Selain itu, pendidik diharapkan mampu untuk mengimplikasikan
penelitian terhadap pembelajaran sastra, mulai dari spiritual,
afektif, serta sosial.
103
DAFTAR PUSTAKA
Aminuddin. Pengantar Apresiasi Karya Sastra. Bandung: C.V. Sinar
Baru. 1987.
Ardika, I Wayan dkk., Sejarah Bali dari Prasejarah Hingga Modern. Bali:
Udayana University Press. 2013.
Aziez, Furqonul dan Abdul Hasim. Menganalisis Fiksi Sebuah Pengantar.
Bogor: Ghalia Indonesia. 2010.
Bahtiar, Ahmad. Apresiasi dan Kreasi Sastra. (http://googleschoolar.com)
diunduh pada 10 November 2017, pukul 14.38 WIB.
Budiana, I Nyoman. Perkawinan Beda Wangsa dalam Masyarakat Bali.
Yogyakarta: Graha Ilmu. 2009.
Budianta, Melani dkk,. Membaca Sastra Pengantar Memahami Sastra
untuk Perguruan Tinggi. Malang: Indonesia Tera. 2002.
----------------------------, Bimbang Hati Perempuan Bali. Detak. 14
Agustus 2000.
Damayanti, Dyah Erta. “Novel Tarian Bumi Karya Oka Rusmini: Analisis
Sosiologi Sastra Ian Watt.” Yogyakarta: Skripsi, Program Studi
Sastra Indonesia UGM, Universitas Gadjah Mada. 2014.
Djajasudarma, Fatimah. Metode Linguistik-Ancangan Metode Penelitian
dan Kajian. Bandung: PT Refika Aditama. 2006.
Emzir. Teori dan Pengajaran Sastra. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
2016.
Esten, Mursal. Kesusastraan Pengantar Teori dan Sejarah. Bandung:
Angkasa. 2013.
Iryanti, Veny. “Tari Bali: Sebuah Telaah Historis (Bali Dance: A
Historical Research)”, Jurnal Pengetahuan dan Pemikiran Seni,
2000.
Karmini, Ni Nyoman. Teori Pengkajian Fiksi. Bali: Pustaka Laras. 2011.
Keraf, Gorys. Diksi dan Gaya Bahasa. Jakarta: PT, Gramedia Pustaka
Utama. 2006.
Koentjaraningrat. Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta:
Djambatan. 1971.
104
Kusumawati, Meliana Ade. “Pertentangan Kasta dalam Kebudayaan Bali
Kajian Hegomoni dalam Novel Tarian Bumi Karya Oka Rusmini.”
Semarang: Skripsi, Universitas Negeri Semarang. 2011.
----------------, Karya Cerpenis Bali Diterbitkan dalam Bahasa Inggris.
Republika. 2 September 1996.
Mandrastuty, Rany. “Novel Tarian Bumi Karya Oka Rusmini: Kajian
Feminisme.” Surakarta: Skripsi, Fakultas Keguruan dan Ilmu
Pendidikan, Universitas Sebelas Maret. 2010.
Minderop, Albertine. Metode Karakterisasi Telaah Fiksi. Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia. 2005.
Mustopo, M. Habib. Ilmu Budaya Dasar. Surabaya: Usaha Nasional.
1989.
Novitasari, Tukur dan Rusdian Noor Dermawan. “Manusia Bali dalam
Novel Tarian Bumi Karya Oka Rusmini: Tinjauan Antropologi
Sastra”, Jurnal Caraka, 2014.
Nuraini, Intan. “Potret Perempuan dalam Novel Tarian Bumi Karya Oka
Rusmini.” Jakarta: Skripsi. Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya.
Universitas Indonesia. 2007.
Nurgiyantoro, Burhan. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gajah Mada
University Press. 2005.
Prasetya, Djoko Tri dkk,. Tanya Jawab Ilmu Budaya Dasar. Jakarta: PT
Rineka Cipta. 2000.
Priyatni, Endah Tri. Membaca dengan Ancangan Literasi Kritis. Jakarta:
Bumi Aksara. 2010.
Purba, Antilan. Sastra Indonesia Kontemporer. Yogyakarta: Graha Ilmu.
2012.
Rahmanto, B. Metode Pengajaran Sastra. Yogyakarta: Kanisius. 1988.
Rusmini, Oka. Tarian Bumi, Jakarta. PT,Gramedia Pustaka Utama. 2013.
Saleh, Akh. Muwafik. Membangun Karakter dengan Hati Nurani. Jakarta:
Penerbit Erlangga. 2012.
Segara, I Nyoman Yoga. Perkawinan Nyerod Kontestasi, Negosiasi, dan
Komodifikasi di atas Mozaik Kebudayaan Bali, Jakarta: PT Saadah
Pustaka Mandiri. 2015.
Setia, Putu. Bali Menggugat. Jakarta: PT Gramedia. 2014.
Siswanto, Wahyudi. Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Grasindo. 2008.
105
Sudibyo, Lies dkk., Ilmu Sosial Budaya Dasar. Yogyakarta: C.V Andi
OFFSET. 2013.
Sudjiman, Panuti. Memahami Cerita Rekaan. Jakarta: Pustaka Jaya. 1991.
Sugihastuti. Teori Apresiasi Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2011.
Sumada, I Made. “Peranan Kearifan Lokal Bali dalam Perspektif
Kebijakan Publik”, Jurnal Ilmu Politik dan Komunikasi. 2017.
Sunarta, Wayan. Oka Rusmini, Pendobrak Tabu dari Bali.
http://www.journalbali.com/women/oka-rusmini-pendobrak-tabu-
dari-bali.html, diunduh pada 15 Agustus 2017 pukul 15.30 WIB.
Supartono. Ilmu Budaya Dasar. Bogor: Ghalia Indonesia. 2004.
Stanton, Robert. Teori Pengkajian Fiksi Robert Stanton. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar. 2012.
--------------------, Sajak-sajak dari Sang Ida Ayu. Republika. 12 Juni 1994.
Tarigan, Henry Guntur. Prinsip-prinsip Dasar Sastra. Bandung: Penerbit
Angkasa. 1993.
Tirtawirya, Putu Arya. Apresiasi Puisi dan Prosa. Flores: Nusa Indah.
1983.
UNO, Hamzah B. Mengelola Kecerdasan Dalam Pembelajaran. Jakarta:
PT, Bumi Aksara. 2009.
Widagdho, Djoko. Ilmu Budaya Dasar. Jakarta: Bumi Aksara. 2008.
Widia, I Wayan. Isi dan Kelengkapan Rumah Tangga Traditional di
Daerah Bali. Bali: Depdikbut. 1983-1984.
Lampiran 1
RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN (RPP)
Instansi : MAN 4 Jakarta
Mata Pelajaran : Bahasa dan Sastra Indonesia
Kelas / Semester : XII/ I (Dua belas/semester ganjil)
Alokasi Waktu : 2 x 45 menit (1 x pertemuan)
A. Kompetensi Isi (KI)
KI.1 : Menghargai dan menghayati ajaran agama yang dianutnya.
KI.2 : Menghargai dan menghayati perilaku jujur, disiplin, tanggung jawab,
peduli (toleransi, gotong royong), santun, percaya diri, dalam
berinteraksi secara efektif dengan lingkungan sosial dan alam dalam
jangkauan pergaulan dan keberadaannya
KI.3: Memahami dan menerapkan pengetahuan (faktual, konseptual, dan
prosedural) berdasarkan rasa ingin tahunya tentang ilmu pengetahuan,
teknologi, seni budaya terkait fenomena dan kejadian tampak mata.
KI.4 : Mengolah, menyaji, dan menalar dalam ranah konkret (menggunakan,
mengurai, merangkai, memodifikasi, dan membuat) dan ranah abstrak
(menulis, membaca, menghitung, menggambar dan mengarang) sesuai
dengan yang dipelajari di sekolah dan sumber lain yang sama dalam
sudut pandang/teori.
B. Kompetensi Dasar
4.3. Menginterpretasi unsur intrinsik dan makna teks dalam novel baik secara
lisan maupun tulisan.
C. Tujuan Pembelajaran
1. Peserta didik mampu menentukan unsur instrinsik yang terkandung
dalam novel (tema, alur, latar, tokoh dan penokohan, sudut
pandang, gaya bahasa, dan amanat) yang disajikan.
2. Peserta didik mampu memahami menginterpretasikan makna teks
yang terkandung di dalam novel.
3. Peserta didik mampu mengaitkan nilai-nilai positif yang berhubungan
dengan pandangan hidup tokoh utama yang terkandung dalam novel
untuk dijadikan pembelajaran dan diterapkan dalam kehidupan sehari-
hari.
D. Materi Pembelajaran
1. Unsur Intrinsik
Unsur Intrinsik adalah unsur yang membangun karya sastra dari
dalam. Unsur Intrinsik terbagi menjadi:
a. Tema adalah gagasan atau pemikiran penulis yang dikembangkan
dalam bentuk tulisan.
b. Alur adalah jalan cerita. Alur dibagi menjadi tiga yaitu: alur maju, alur
mundur, dan alur campuran. Adapun tahapan alur dibagi menjadi
beberapa bagian, yaitu:
1. Tahap pengenalan : Bagian awal dalam sebuah sajian cerita
2. Tahapan Konflik : Bagian awal munculnya permasalahan
dalam sajian cerita.
3. Tahapan komplikasi : Bagian cerita yang mengembangkan
konflik.
4. Tahapan Klimaks : Bagian yang meukiskan puncak
ketegangan.
5. Tahapan Krisis : Bagian yang mengawali penyelesaian.
6. Tahapan Leraian : Bagian tahapan sebelum cerita benar-benar
tuntas.
7. Tahapan selesaian : Bagian paling akhir dalam sebuah cerita.
c. Latar adalah tempat, waktu, dan suasana terjadi peristiwa dalam cerita.
d. Tokoh adalah pelaku dalam cerita.
e. Penokohan adalah sifat atau watak pelaku dalam cerita.
f. Sudut pandang adalah cara pengarang menyampaikan cerita kepada
pembaca.
g. Gaya bahasa adalah style atau ciri khas pengunaan bahasa yang dipilih
oleh penulis.
h. Amanat adalah pesan yang hendak disampaikan oleh penulis kepada
pembaca melalui tulisannya.
E. Metode Pembelajaran
a. Metode: Tanya jawab, Ceramah, Penugasan dan diskusi.
F. Media dan Sumber Belajar
Media:
a. Novel Tarian Bumi
b. PowerPoint (teori unsur intrinsik novel)
Sumber Belajar:
a. Buku guru/Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan,-- Edisi Revisi
Jakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, 2016.
b. Buku peserta didik/Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan,-- Jakarta:
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, 2014.
c. Amaliah Putri. Bahasa Indonesia untuk SMA/MA Kelas XII. Kurikulum
2013. Cetakan pertama (Jakarta: Quadropro). 2014.
d. Novel Tarian Bumi Karya Oka Rusmini, Cetakan Gramedia Pustaka, tahun
2013.
F. Kegiatan Pembelajaran
Kegiatan Deskripsi Kegiatan Alokasi Waktu
Pendahuluan Guru meminta salah satu peserta didik 10 menit
untuk memimpin doa menurut agama dan
keyakinan masing-masing (untuk
mengawali kegiatan pembelajaran).
Guru menanyakan kabar, memeriksa
kehadiran, dan membantu peserta didik
menyiapkan diri menerima pelajaran.
Guru mengajak peserta didik mengulas
materi yang telah dibahas sebelumnya
terkait pengertian novel dan sejarah novel
Guru menjelaskan tujuan pembelajaran
atau kompetensi yang akan dicapai.
Guru menyampaikan garis besar cakupan
materi dan penjelasan tentang kegiatan
yang akan dilakukan peserta didik untuk
menyelesaikan latihan-latihan dan tugas
pembelajaran.
Inti
Mengamati
a. Peserta didik memperhatikan powerpoint
terkait materi unsur intrinsik novel.
b. Peserta didik dibagi menjadi beberapa
kelompok sesuai dengan jumlah.
c. Peserta didik ditugaskan untuk saling
bertukar pikiran berkenaan dengan hasil
bacaannya yakni novel Tarian Bumi
Menanya
a. Peserta didik diminta menyebutkan
macam-macam unsur intrinsik yang
terdapat dalam novel.
b. Peserta didik diminta untuk menyebutkan
pengertian dari setiap butir unsur
65 menit
intrinsik dengan menggunakan bahasa
sendiri.
Mengeksplorasikan
a. Peserta didik diberi waktu untuk
mendata unsur intrinsik yang mereka
temukan dalam novel Tarian Bumi,
dibuktikan dengan kutipan .
Mengasosiasikan
a. Peserta didik secara kelompok
mendiskusikan unsur intrinsik yang
ditemukan dalam novel Tarian Bumi.
b. Peserta didik secara kelompok
mendiskusikan relevansi pada
pandangan hidup dalam novel Tarian
Bumi, untuk diterapkan dalam kehidupan
sehari-hari.
Mengomunikasikan
a. Perwakilan peserta didik diminta untuk
menyampaikan hasil kerja kelompoknya
di depan kelas secara bergantian dan
mengumpulkan hasil kerja kelompok
kepada guru.
Penutup
a. Guru menyimpulkan dan memberikan
klarifikasi terkait hasil pengamatan
peserta didik.
b. Guru memberikan umpan balik atas hasil
pengamatan peserta didik.
c. Secara bersama-sama guru dan peserta
didik menyimpulkan pembelajaran yang
telah dilaksanakan.
15 menit
d. Guru meminta salah satu perserta didik
untuk memimpin doa penutup untuk
mengakhiri kegiatan pembelajaran.
G. Penilaian
1. Teknik Penilaian
a. Penilaian sikap : Teknik jurnal
b. Penilaian pengetahuan : Tes tertulis
2. Instrumen Peniliaian
a. Teknik jurnal
Jurnal Pengembangan Sikap Sosial
Nama Sekolah : MAN 4 Jakarta
Kelas/ Semester : XII/1
Tahun Pelajaran : 2017/2018
No. Nama Peserta Didik Catatan Penilaian Ket.
b. Tes tertulis
Diskusikanlah beberapa hal berikut dengan teman kelompokmu!
1. Tentukanlah setiap butir unsur intrinsik yang terdapat dalam novel
Tarian Bumi, sertakan kutipan yang membuktikannya!
No. Unsur Intrinsik Pernyataan Bukti Kutipan
1 Tema
2 Alur
3 Latar
4 Tokoh dan Penokohan
5 Sudut Pandang
6 Gaya Bahasa
7 Amanat
2. Tentukan minimal 3 pandangan hidup yang dapat dijadikan
pembelajaran dam kehidupan sehari-hari, yang dapat kamu dan
teman kelompokmu temukan dari dalam novel Tarian Bumi.
Catatlah oleh sekretaris kelompokmu, kemudian presentasikan dan
kumpulkan!
Catatan:
Kunci jawaban soal no.2 ini bersifat tentatif, bergantung
kepada pilihan pandangan hidup pilihan peserta didik. Oleh
karena itu, guru harus teliti ketika mengoreksi hasil kerja
peserta didik.
Kunci Jawaban Tes Tertulis No.1:
No. Unsur
Intrinsik
Pernyataan Bukti Kutipan
1 Tema Pandangan hidup
perempuan Bali yang
sampai saat ini masih
tersimpan rapat (adat
dan kasta).
“Luar biasa lihat!
Ketika ketika
perempuan itu
menari seluruh mata
seperti melahap
tubuhnya. Alangkah
beruntungnya
perempuan itu.
Sudah bangsawan,
kaya, cantik lagi.
Dewa-dewa benar-
benar pilih kasih!
Seorang perempuan
berkata sedikit sinis.
Bau iri melukis
matanya yang tajam
dan sangat tidak
bersahabat itu.1
2 Alur Campuran Pengenalan:
Karena dia seorang puteri
Brahmana, maka para
dewa memberinya taksu,
kekuatan dari dalam yang
tidak bisa dilihat mata
telanjang. Luar biasa.
Lihat! Ketika perempuan
itu menari seluruh mata
seperti melahap tubuhnya.
Alangkah beruntungnya
perempuan itu. Sudah
bangsawan, kaya, cantik
lagi. Dewa-dewa benar-
benar pilih kasih!2
Konflik:
Ya. Sadri memang
sering iri pada
Telaga, karena
perempuan itu
memiliki seluruh
kecantikan para
perempuan di desa3
Komplikasi:
Wayan! Di mana
1 Oka Rusmini, Tarian Bumi, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka, 2013), h. 4-5
2 Ibid., h. 4.
3 Ibid., h. 6.
otakmu. Kau akan
mengambil
junjunganmu
sendiri? Orang yang
seharusnya kita
lindungi dan
hormati. Keluarga
kita hidup dari
keluarga griya.
Mereka yang
menolong keluarga
ini agar bisa tetap
makan. Apa dosaku
sehingga punya anak
setolol kamu!4
Klimaks:
Hidup Telaga jadi
berubah total.
Bangun pagi-pagi
tidak ada pelayan
yang menyiapkan
segelas susu dan roti
bakar. Yang ada
hanya segelas air
putih. Itu pun air
putih kemarin.
Telaga meneguknya.
Matanya sedikit
berair.5
Leraian:
Meme, bicaralah pada
tiang! Telaga mengetuk
pintu kamarnya. Tidak ada
suara. Perempuan itu
4 Ibid., h. 137.
5 Ibid., h. 146.
benar-benar perempuan
keras kepala. Telaga terus
berteriak.6
Selesaian:
Aku tidak pernah meminta
peran sebagai Ida Ayu
Pidada. Kalaupun hidup
terus memaksaku
memainkan peran itu, aku
harus menjadi lakon yang
baik. Dan hidup harus
bertanggung jawab atas
permainan gemilangku
sebagai Telaga.7
3 Latar Tempat:
- Griya
- Pura
- Sanggah
- Rumah Wayan
Waktu
- Pagi Hari
- Siang Hari
- Malam Hari
- 30 September
Suasana:
- Sedih
Pura:
Suasana pura semakin
menggelisahkan. Sesaji
sudah berada di hadapan
Telaga. Mertuanya duduk
di atas balai bambu. Hari
semakin gelap bau daun
beringin keras
menghantam hidung
Telaga.8
(Catatan: Guru hanya
mencantumkan satu
6 Ibid., h. 173.
7 Ibid., h. 175.
8 Ibid., h. 174.
- Menegangkan
- Tenang
- Gelisah
- Senang
contoh kutipan untuk
jawaban latar, jawaban
kutipan untuk latar
lainnya disesuaikan
dengan jawaban peserta
didik)
4 Tokoh dan
Penokohan
- Telaga (cantik,
pandai menari, kuat
pendirian, dan tidak
mudah putus asa,)
- Luh Sekar/Jero
Kenanga (cantik,
ambisius, dan
pandai menari)
- Ida Ayu Sagra
Pidada/Nenek
Telaga (tegas, lemah
lembut, penyayang,
dan
bertanggungjawab)
- Luh Kambren
(pendirian kuat,
tegas, penyayang,
dan pandai menari)
- Luh Sadri
(mempunyai sikap
iri dan membenci)
Telaga:
Suasana pura
semakin
menggelisahkan.
Sesaji sudah berada
di hadapan Telaga.
Mertuanya duduk di
atas balai bambu.
Hari semakin gelap
bau daun beringin
keras menghantam
hidung Telaga.9
(Catatan: Guru hanya
mencantumkan satu
contoh kutipan untuk
jawaban Tokoh dan
penokohan, jawaban
kutipan untuk tokoh dan
penokohan lainnya
disesuaikan dengan
jawaban peserta didik)
9 Ibid., h. 174.
5 Sudut Pandang Sudut pandang orang
ketiga mahatahu
Bagi Telaga, dialah
lelaki idiot yang
harus dipanggil
dengan nama yang
sangat agung, Aji,
ayah. Menjijikan
sekali! Lelaki yang
tidak bisa bersikap!
Lelaki yang hanya
bisa membanggakan
kelakiannya.
Bagaimana mungkin
dia bisa dipercaya?
Ketololannyalah
yang membuat
seorang perempuan
kecil bernama Ida
Ayu Telaga Pidada
menyesal harus
memanggil lelaki itu
dengan panggilan
terhormat.10
6 Gaya Bahasa Bahasa yang digunakan
sederhana dan mudah
dipahami, walaupun
terdapat bahasa daerah
Bali. Penulis
menggunakan beberapa
gaya bahasa untuk
menyampaikan sesuatu.
Gaya bahasa yang
digunakan antara lain:
- Repetisi
Repetisi dan hiperbol
ada dalam kutipan yang
sama;
Jaga wibawa Meme
di depan orang-orang
Griya. Walaupun
Meme bukan seorang
Ida Ayu, Meme
yakin anak Meme
lebih Ida Ayu dari
berpuluh bahkan
beratus Ida Ayu.11
10
Ibid., h. 11. 11
Ibid., h. 68-69
- Hiperbol
7 Amanat Novel ini memasuki
ranah ajaran moral.
Bahwa untuk mencapai
suatu keinginan
haruslah di ikuti dengan
usaha yang sungguh-
sungguh dan pantang
menyerah. Semangat
bekerja keras, dan tidak
mudah putus asa
menjadi butir penting
untuk dapat
mempertahankan diri di
tengah kehidupan dan
arus zaman yang
berubah setiap waktu.
Aku ingin
sembahyang,
Kenten. Bicara pada
para dewa agar
mereka tahu aku
sungguh-sungguh
ingin menjadi penari
joged. Aku ingin
mengangkat sekehe
joged ini. Aku ingin
para dewa berbicara
dengan tetua desa ini
bahwa aku pantas
menjadi penari.12
3. Rubrik Penilaian
Menentukan Unsur Inrtrinsik dan Pandangan Hidup
untuk dijadikan Pembelajaran
Skor
Mentukan tema yang terdapat dalam novel 10
Mentukan alur yang terdapat dalam novel 10
Mentukan latar yang terdapat dalam novel 10
Mentukan tokoh dan penokohan yang terdapat dalam novel 10
Mentukan sudut pandang yang terdapat dalam cerita novel 10
12
Ibid., h. 39.
Mentukan Gaya bahasa yang terdapat dalam cerita novel 10
Mentukan amanat yang terdapat dalam novel 10
Menentukan pandangan hidup yang yang dapat dijadikan
pembelajaran dalam kehidupan sehari-hari dari dalam novel
30
Total Nilai 100
Jakarta, Januari
2018
Mengetahui,
Kepala Sekolah Guru Mata Pelajaran
Feti Indah Mailiah
NIP. - NIM. 1113013000002
Lampiran 2
Sinopsis Novel Tarian Bumi
Kisah Tarian Bumi diawali dengan percakapan antara Telaga
dengan putrinya, Luh Sari. Kemudian dalam alur cerita Telaga mulai
flashback tentang kehidupan sebelumnya. Telaga merupakan seorang
anak perempuan yang mengalir padanya darah bangsawan (Brahmana)
yang sangat disegani oleh masyarakat Bali pada masa itu. Ia
merupakan seorang penari yang terkenal dan sangat piawai menari
Oleg. Ia juga mempunyai seorang teman perempuan bernama Luh
Sadri, seorang sudra yang juga merupakan seorang penari tetapi
ditabiatkan sebagai orang yang selalu iri kepada Telaga, walaupun
Telaga selalu bersikap baik padanya dan keluarganya. Sebagaimana
keturunan brahmana lainnya, ia bergelar Ida Ayu, sebuah gelar
kebangsawanan bagi perempuan Bali. Nama lengkapnya adalah Ida
Ayu Telaga Pidada.
Ibu Telaga adalah seorang keturunan sudra, yang bernama Luh
Sekar. Ibu Telaga ini dahulu sangat ambisius untuk menjadi wanita
brahmana karena ia sangat ingin keluar dari kemiskinan hidup, dan
ingin menjadi seseorang yang dihormati dan disegani, tidak ingin
dianggap remeh lagi oleh masyarakat sekitar. Luh Sekar mengambil
jalan tercepat dalam menaikan kelasnya yaitu dengan cara menjadi
seorang penari yang tercantik dan tersohor agar bisa memikat dan
menikahi seorang lelaki dari kalangan brahmana. Menikah dengan
laki-laki brahmana adalah suatu pencapaian terbesarnya. Ia seorang
perempuan sudra di mana jika ingin naik kelas kalangan brahmana
maka harus dipersunting dengan lelaki brahmana.
Perjuangan Luh Sekar untuk meraih kasta Brahmana bukanlah
perjuangan yang mudah. Luh Sekar si penari yang tersohor di desa
ingin mencoba menaikan kelasnya. Ia ingin mengubah nasib
kehidupannya dengan mengubah derajat kemanusiaannya di mata
masyarakat. Ia menceritakan kepada Luh Kenten agar mencarikan
untuknya seorang Ida Bagus. Apapun akan ia lakukan demi
mendapatkannya. Selain penari yang piawai, ia memiliki paras dan
tubuh yang cantik, jadi tidak sulit untuk memikat lelaki Brahmana.
Obsesi Luh Sekar terwujud kemudian ia disunting oleh seorang laki-
laki Brahmana bernama Ida Bagus Ngurah Pidada. Luh Kenten yang
diam-diam menyukai pesona tubuh sahabatnya, meminta imbalan agar
sebelum upacara perkawinan Luh Sekar dengan Ida Bagus Ngurah
Pidada, ia ingin tidur bersama Luh Sekar dan Luh Sekar
menyanggupinya.
Kemudian, Luh Sekar diberi gelar kebangsawannya dengan
mengganti nama Jero Kenanga. Luh Sekar memasuki hidup baru.
Mengubah namanya dan mengubah kehidupannya. Ternyata bukan hal
mudah menyesuaikan diri dalam Griya (sebutan rumah bagi kalangan
Brahmana) di masa-masa awal, Luh Sekar tidak mendapatkan cinta
dari suaminya, yang didapatkannya adalah derajat yang tinggi,
kekayaan dan gaya hidup yang berubah dari sebelumnya. Penderitaan
dan pandangan miring tentang keluarganya sudah terhapus. Jero
Kenanga puas mendaptkan hal itu meski ia tidak mendapatkan cinta
yang tulus dari suaminya yaitu Ida Bagus Ngurah Pidada karena,
suami yang merubah kehidupannya itu ternyata adalah seorang lelaki
penuh nafsu terhadap perempuan.
Kehidupan di Griya adalah kehidupan yang penuh aturan dan
miskin kebebasan, aturan adat yang begitu kuat dan mengikat. Dalam
hal ini Jero Kenanga harus berhadapan dengan mertuanya yang murni
seorang Brahmana. Otoritas sang mertua terus beranjut sampai Telaga
lahir. Sebagai anak yang terlahir dari keluarga Brahmana, jelas Telaga
dibesarkan dengan beragam tata krama dan aturan keagamaan. Telaga
banyak belajar tentang makna kehidupan dari dua orang terdekatnya
yang masing-masing memiliki latar belakang yang berbeda. Aroma
hidup Luh Sekar (Jero Kenanga) dan neneknya akan membayangi
Telaga dalam mengarungi hidup. Selain dari kedua wanita itu, Telaga
juga banyak belajar mengenai kehidupan dari guru tarinya, Luh
Kumbren. Luh Kumbren adalah simbol idealisme penari Bali tulen
yang tak hiraukan zaman. Hidupnya hanya untuk menari, karena ia
yakin mendapat taksu yaitu kekuatan supranatural dari dewa tari untuk
hidup sebagai penari.
Pada dasarnya kehidupan Telaga di Griya juga menderita,
walau fasilitas yang sangat lengkap tapi baginya ia sangat terkekang
oleh aturan-aturan ibu dan neneknya. Ia merasa tidak bebas
berpendapat terlebih jujur akan hal-hal yang ingin di lakukan, hingga
dalam memilih pakaian sajapun harus menurut apa kata ibunya. Ketika
dewasa, Telaga mulai muncul di hatinya rasa cinta. Rasa cinta kepada
seorang laki-laki Sudra, Wayan Sasmitha. Wayan laki-laki yang
memiliki pesona bagi para gadis desa. Berbagai macam pertentangan
terjadi disini. Di mana pertentangan perkawinan antara kalangan
Brahmana dan Sudra sangat tidak disetujui oleh pakem kebudayaan
Bali. Tetapi perasaan Telaga yang sulit untuk dibendung lagi. Ia ingin
merasakan kebebasan untuk memilih jalan hidupnya. Hingga akhirnya
Telaga memilih jalannya untuk hidup bersama Wayan Sasmitha.
Telaga merasa telah siap dengan berbagai konsekuensinya, yaitu
melepas gelar kebangsawanannya dan akan hidup sebagai perempuan
Sudra.
Meskipun banyak rintangan dan penderitaan yang dialami oleh
Telaga, dari mulai ibu mertua yang dari awal tidak menyetujui
pernikahan Telaga dengan Wayan, hingga Telaga sudah menjadi istri
Wayan ia selalu bersikap kasar dan memarahinya. Ditambah lagi
dengan adik ipar yang angkuh dan tidak peduli terhadapnya.
Penderitaan dan bebannya bertambah ketika Wayan suaminya
meninggal. Tetapi Telaga selalu meyakini dirinya bahwa tidak akan
menyesalkan atas pilihan hidupnya dan tetap tegar menjalani
pilihannya walau berat dan pahit ia harus kuat, tujuan hidupnya adalah
anak sematawayangnya yaitu demi masa depan Luh Sari. Karena
menurut Telaga, “Kebahagiaan itu sulit digambarkan. Juga tidak bisa
diucapkan. Kadang-kadang sesuatu yang tidak bernilai bisa membuat
kita tentram, lalu beberapa detik kemudian tenggut lagi. Tiang tidak
tahu bagaimana merasakan kebahagiaan itu sendiri. Terlalu mahal.”1
1 Op.Cit, h.170
PROFIL PENULIS
Feti Indah Mailiah dipanggil dengan sapaan Feti,
lahir di Jakarta, pada tanggal 14 September 1995
merupakan anak keempat dari empat bersaudara,
satu-satunya anak perempuan dari pasangan H.
Muhammad Ali Syahdan dan Hj. Maimunah.
Penulis pernah menempuh pendidikan formal di TK
Nurul Mutaalimin, MI Nurul Mutaalimin, MTS N
13 Jakarta, MAN 4 Jakarta, kemudian melanjutkan
studi di Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta jurusan Pendidikan Bahasa dan
Sastra Indonesia.
Penulis adalah seorang wanita yang memilki hobi bernyanyi. Pada awalnya penulis
enggan menunjukan suara dan memendam saja, tetapi karena dorongan teman-teman
untuk ikut audisi menyanyikan puisi yang diadakan di kelas akhirnya penulis
mengiyakan dan terpilih menjadi vokalis dari grup Nada Renjana. Alhamdulillah
grup kami sering mengisi kegiatan seminar jurusan, lomba dan acara-acara besar
sastra yang dibuat jurusan. Selain bernyanyi, penulis juga gemar memasak dan merias
wajah teman-teman dalam rangka kegiatan wisuda, walau tak terlalu mahir tapi teman
percaya dan suka. Selama menjadi mahasiswa di UIN Jakarta penulis mendapatkan
banyak pengalaman antara lain; Menjadi divisi keagamaan HMJ PBSI pada tahun
2014, menjadi pengisi suara dalam Teater El-Na’ma pada pementasan Petruk dan
Hilangnya Jimat Kalimasada yang dipentaskan di Gelanggang Remaja Bulungan
Jakarta pada tahun 2016, pernah menjadi bagian dari UKM HIKMA dan PSM
walaupun memang tidak aktif, tetapi pengalaman itu sangat melekat dan berharga
bagi penulis banyak ilmu yang didapatkan. Selain itu, hal yang paling berkesan bagi
penulis adalah ketika penulis melakukan pementasan drama Operet Doel Kotjek yang
dipentaskan di Aula Student Centre pada tahun 2016. Karena penulis merasakan
kenikmatan dalam kegiatan perkuliahan dan latihan drama di mana keduanya
bercampur menjadi kesatuan yang utuh luar biasa bersama teman-teman PBSI
seperjuangan sehingga kami menjadi erat dan kompak. Terima kasih kepada teman-
teman seperjuangan yang telah menjadi warna dalam hidupku.