Pandangan Behaviorists

23
Pandangan Behaviorists DALAM PEMEROLEHAN BAHASA Oleh Dra. G u s n a w a t y, M. Hum.

description

Sudah banyak penelitian yang dilakukan untuk mengetahui “Bagaimana manusia belajar bahasa?” Akan tetapi, bagaimana pun juga pertanyaan tersebut belum pernah terjawab secara memuaskan, dan tampaknya masih akan tetap menjadi pertanyaan yang menarik bagi ilmuan yang berkecimpung dalam dunia pengajaran bahasa dan ilmuan bahasa.

Transcript of Pandangan Behaviorists

Page 1: Pandangan Behaviorists

Pandangan Behaviorists

DALAM PEMEROLEHAN BAHASA

Oleh

Dra. G u s n a w a t y, M. Hum.

Fakultas SastraUniversitas Hasanuddin

2006/2007

Page 2: Pandangan Behaviorists

DAFTAR ISI

0.1 Bahasa...........................................................................................................................1

0.2 Proses Pemerolehan Bahasa..........................................................................................3

0.2.1 Proses Mengerti Bahasa.........................................................................................3

0.2.2 Bagaimana Belajar Bahasa....................................................................................5

0.3 Perspektif Behaviorist...................................................................................................5

0.4 Behaviorisme dan Pemerolehan Bahasa Pertama.........................................................7

0.5 Behaviorisme dan Pemerolehan Bahasa Kedua............................................................9

0.6 Evaluasi Behaviorisme dalam Pembelajarn Bahasa Kedua........................................10

References..............................................................................................................................13

(*) Gusnawaty, dosen Fakultas Sastra UNHAS Page ii

Page 3: Pandangan Behaviorists

Pandangan Behaviorists DALAM PEMEROLEHAN BAHASA*

0.1 Bahasa

Tak dapat dibayangkan bagaimana kehidupan manusia tanpa bahasa. Karena

bahasa adalah alat untuk berkomunikasi, alat untuk saling berbagi perasaan, pikiran,

kebutuhan dan lain sebagainya. Oleh karena itu, sejak abad 19 banyak ilmuan yang

tertarik untuk meneliti bagaimana manusia belajar bahasa. Faktor apa dan situasi

bagaimana yang mempengaruhi sehingga banyak orang yang sukses dalam belajar

bahasa-bahasa dan banyak pula yang gagal. Sebelum didiskusikan tentang hal-hal

yang berpengaruh pada pemerolehan bahasa, kita simak dahulu pendapat Halliday

tentang bahasa.

Halliday (1975), mengemukakan bahwa ‘language is a system of resources to

make meaning in context. System of resources terdiri atas apa yang beliau sebut

sebagai lexico-grammar, dan generic structure of texts. Arti dari yang pertama

merujuk pada kombinasi kata-kata yang sesuai dengan tatabahasa. Sedang yang

dimaksud dengan generic strucuture of texts adalah merujuk pada cara-cara tertentu

bagaimana teks entah tertulis atau lisan dipresentasikan dalam konteks.

Pada definisi di atas terimplikasikan juga bahwa ‘resources’ mencapai meta

functions yang diassosiasikan dengan semantik. Dengan demikian penutur bahasa

kadang dapat menciptakan makna yang pada umumnya hanya dapat dimengerti oleh

penuturnya sehingga tercapai komunikasi kedua belah pihak. Sebaliknya, menurut

Halliday, makna hanya dapat diperoleh melalui serangkaian kata-kata dan struktur

gramatikal. Kemudian, makna yang tercipta juga sangat tergantung pada konteks atau

lingkungan bahasa tersebut digunakan.

Dengan demikian, orang sudah dapat dikatakan menggunakan bahasa bila

mereka sudah saling mengerti satu sama lain walaupun bahasa yang digunakan

(*) Gusnawaty, dosen Fakultas Sastra UNHAS Page 1

Page 4: Pandangan Behaviorists

hanyalah satu atau dua kata. Karena menurut Halliday, struktur gramatikal sebuah

bahasa bukanlah sebuah set yang mesti dipatuhi, tetapi sebuah sumber aset (a set of

resources) dari pengguna bahasa untuk menyampaikan makna yang mereka inginkan

dalam situasinya.

Sebuah contoh penerapan dari pendapat di atas dapat dilihat percakapan yang

terjadi antara Tukang Becak dengan Tourist di bawah ini (ini contoh nyata dari

Makassar)

Situasi: Seorang tourist meminta izin pada tukang becak untuk mencoba

mengendarai becak.

Tourist : Could you let me to ride your pedicab (pointing the pedicab)?

Becak driver : Oh, becak mister?

Tourist : No, let me t r y y o u r… (dia mencoba menjelaskan dengan

gerakan, menujuk pada tempat duduk becak, kemudian menunjuk

pada pantatnya beberapa kali) You sit inside (dia menunjuk ke

dalam becak, tempat duduk), and I ride it (tangannya membuat

gerakan seakan-akan mengayuh)

Becak driver : (mulai mengerti) Yes, yes, mister! (kemudian dia masuk duduk di

dalam becak).

Tourist : (Dia mencoba mengendarai becak)

Contoh di atas memperlihatkan bahwa bahasa terbagi atas dua sistem, yakni

aspek verbal dan non-verbal. Mereka saling dukung-mendukung dalam

menyampaikan makna bahasa. Pada kasus di atas, Tukang Becak, sebenarnya, tidak

dapat menggunakan bahasa Inggris, tetapi dia dapat mengerti si Tourist karena

dukungan sistem non-verbal. Di samping itu, konteks pelaksanaan tuturan juga sangat

mendukung terjadinya saling pengertian, karena mereka melakukan transaksi di

samping becak.

Pada contoh yang telah diberikan di atas, si Tukang Becak tidak memiliki

lexico-grammar bahasa Inggris sebagai sumber untuk berkomunikasi dengan si

Tourist, tetapi dia memiliki generic structures of texts, walaupun sumber pengetahuan

tersebut masih sangat universal, karena bersumber dari pengetahuan bahasa ibunya.

Sehingga dia dapat mengerti maksud si tourist. Contoh yang lain, kita kadang-kadang

(*) Gusnawaty, dosen Fakultas Sastra UNHAS Page 2

Page 5: Pandangan Behaviorists

mendengar lelucon yang sangat menggelitik bila disampaikan dalam bahasa ibunya,

dan membuat pendengarnya tertawa terpingkal-pingkal secara spontan. Tetapi di lain

waktu, lelucon yang sama gagal mecapainya tujuannya jika diceritakan dengan

bahasa yang berbeda. Mengapa demikian? Hal itu disebabkan karena cerita tersebut

dikeluarkan dari konteks budayanya.

0.2 Proses Pemerolehan Bahasa.

0.2.1 Proses Mengerti Bahasa.

Sudah banyak penelitian yang dilakukan untuk mengetahui “Bagaimana manusia

belajar bahasa?” Akan tetapi, bagaimana pun juga pertanyaan tersebut belum pernah

terjawab secara memuaskan, dan tampaknya masih akan tetap menjadi pertanyaan

yang menarik bagi ilmuan yang berkecimpung dalam dunia pengajaran bahasa dan

ilmuan bahasa.

Seperti yang telah digambarkan di atas bahwa bahasa bukan hanyalah sekedar

kata-kata dan penghapalan kata-kata. Kita juga harus tahu bagaimana cara

menggunakannya; dalam konteks bagaimana sebuah kata cocok diucapkan, siapa

pendengarnya, siapa penuturnya, dan lain sebagainya. Jika sebuah bahasa hanyalah

kata-kata dan kombinasi kata-kata, maka mempelajari bahasa mungkin akan lebih

gampang, karena orang hanya membutuhkan kamus dwi-lilngual atau multi-lingual,

mereka sudah dapat bercakap. Atau mereka juga dapat menggunakan a shortcut atau

jalan pintas, dengan cara bertanya pada komputer untuk menerjemahkan bahasa

target. Jika bahasa hanyalah sekumpulan kata-kata dan kombinasi kata-kata maka

komputer tidak akan membuat terjemahan yang sulit dimengerti dan kadang-kadang

terkesan lucu.

Bahasa lebih dari sekedar kata-kata dan membutuhkan rasa untuk mengertinya.

Oleh karena itu, pelajar bahasa yang akan belajar bahasa harus memasukkan faktor

sosial dalam proses pembelajarannya. Mereka harus belajar “Bagaimana cara

menggunakannya” sebab makna bahasa bergantung dari siapa pembicaranya, siapa

pendengarnya, kapan terjadinya, dalam konteks bagaimana, apa topiknya, dan lain

(*) Gusnawaty, dosen Fakultas Sastra UNHAS Page 3

Page 6: Pandangan Behaviorists

sebagainya. Halliday mengklasifikasikan faktor-faktor sosial ini dalam bahasa

sebagai Field, Tenor, dan Mode. Field merujuk pada aktifitas, atau topik yang

menjadi pembicaraan; Tenor merujuk pada hubungan antara pembicara dan

pendengar; dan Tenor adalah cara penyampaian maksud entah melalui media tulisan

(seperti surat, SMS, dan lain sebagainya) dan lisan (seperti percakapan antar semuka,

telepon, atau chatting).

Sebagai contoh, pembicaraan yang konteksnya di dalam ruangan kelas.

guru : (masuk kelas dan mengeluh ) Panas ya ? (sambil kipas-kipas

kepanasan)

murid : (sebagai reaksi atas tuturan guru, salah seorang murid berdiri dan

membuka jendela)

Pada kasus di atas yang menjadi:

Field : pembicaraan tentang temperature yang panas dalam ruangan

Tenor : hubungan guru dan murid (tanpa perlu disuruh secara langsung

mereka sudah mengerti maksud tuturan gurunya, yakni minta

dibuka jendela) Pada pembicaraan di atas sama sekali tidak ada

kalimat perintah yang meminta murid membuka jendela.

Mode : lisan

Contoh lain, sepasang kekasih duduk memadu kasih di bawah pohon rindang

yang suasananya sejuk karena sore hari.

Pria : “Panas ya, hari ini?”

Wanita : “Saya yakin, kamu pasti belum mandi deh”

Pada contoh ini yang menjadi:

Field : pembicaraan tentang temperature yang panas diluar ruangan

dalam hal ini di bawah pohon yang rindang.

Tenor : hubungan sepasang kekasih, tak ada perasaan subordinasi, si

wanita tidak merasa kepanasan karena sudah mandi sebelum

datang ke tempat tersebut. Sementara dia juga tahu kebiasaan

(*) Gusnawaty, dosen Fakultas Sastra UNHAS Page 4

Page 7: Pandangan Behaviorists

kekasihnya yang malas mandi. Sehingga dia tahu makna implisit

dari tuturan yang didengarnya.

Mode : Lisan

Contoh yang lain dari segi mode, misalnya seorang mahasiswa yang akan

meminta uang pembayaran kepada orang tuanya. Bagaimana dan apa yang akan

dikatakannya bila dia menulis surat? Bagaimana pula dia mengatakan bila

menyatakan maksud yang sama melalui telepon atau kah SMS?

Apa makna yang dapat kita petik dari contoh-contoh di atas? Jika bahasa tidak

berhubungan dengan konteksnya, maka satu tuturan yang sama pasti akan

memperoleh respons yang sama pula, tetapi kenyataannya tidaklah demikian, satu

tuturan yang sama bentuknya dapat memperoleh respons yang berbeda-beda

tergantung dari field, tenor, dan mode yang telah dikemukakan di atas.

0.2.2 Bagaimana Belajar Bahasa

Para ahli psikologi dan linguistik modern tertarik mengetahui bagaimana manusia

belajar bahasa mulai timbul pada abad ke dua puluh. Oleh karena itu pengaruh awal

terhadap teori pemerolehan bahasa datang dari kedua disiplin ini. Perkembangan paralel

pada kedua disiplin ini terlihat menerapkan pendekatan ilmiah terhadap hubungan antara

pikiran manusia dan bahasanya. Pendekatan tradisional terhadap pemerolehan bahasa

selanjutnya cenderung berorientasi psikologis, dan secara luas dikenal sebagai

pendekatan psikolinguistik.

0.3 Perspektif Behaviorist

Aliran yang kita bahas dalam makalah kecil ini adalah aliran behaviorisme. Inilah

teori yang dominan dalam ilmu psikologi pada tahun 1940-an dan 1950-an. Teori ini

penting untuk diketahui sebab banyak pendidik bersandar pada prinsip-prinsip teori

ini dalam pengajaran bahasa sampai hari ini. Struktural atau pendekatan audiolingual

adalah salah satu pendekatan yang paling dominan dan lama berpengaruh pada

pendekatan pengajaran bahasa-bahasa baru. Seperti pengajaran bahasa Inggris

sebagai bahasa kedua atau bahasa asing

(*) Gusnawaty, dosen Fakultas Sastra UNHAS Page 5

Page 8: Pandangan Behaviorists

Behaviorisme adalah teori pengajaran yang dapat diterapkan dalam belajar apa

saja seperti bahasa dan matematika. Teori ini mencoba mengerti bagaimana manusia

belajar sesuatu dengan penggunaan pendekatan ilmiah dari observasi empiris. Para

ahli psikologis behavioris akan tiba pada kesimpulan mereka dengan

memperhatikan/meneliti tingkah laku: merekam observasi mereka, mencatat reaksi,

memberikan reward/punishement, demikian berulang-ulang sampai kemudian mereka

menemukan dan menggambarkan pola-pola yang mereka dapat generalisasikan.

Teori pendekatan ini, bagaimana pun juga, memerlukan observasi yang dapat

dilakukan dalam kondisi yang terkontrol, seperti laboratorium. Hal ini dimaksudkan

untuk memastikan bahwa faktor-faktor atau variabel-variabel yang dapat

mempengaruhi tingkah laku subjek yang sedang diteliti terbatas. Karena kalau tidak

demikian akan sangat sulit untuk menentukan faktor-faktor yang memperngaruhinya.

Para ahli psikologis behavioris di jaman dulu pada umumnya meneliti tingkah laku

binatang di laboratorium. Kemudian menemukan teori berdasarkan penemuan

mereka terhadap perlakukan yang mereka lakukan terhadap binatang-binatang

tersebut. Para ahli yang terkenal dalam penelitiannya adalah B.F Skinner (1904-

1990), yang meneliti tingkah laku tikus; Ivan Pavlov (1849-1936) yang meneliti

anjingnya: bagaimana anjing mengeluarkan air liur setiap kali mendengar lonceng;

John Watson (1878-1958), yang terinspirasi oleh Pavlov kemudian meneliti binatang

dan tingkah laku anak. Kunci dari teori ini adalah tingkah laku yang diberikan hadiah

akan berulang sedangkan yang diberikan hukuman akan hilang dan kemudian tingkah

laku tersebut akan menjadi suatu kebiasaan.

Ketika psikologi behaviorisme berkembang di Amerika, dalam waktu yang

bersamaan strukturalisme juga berkembang dan dikenal luas dalam linguistik

Amerika. Aliran ini disebut sebagai strukturalisme Amerika. Pemimpin dan yang

paling berpengaruh di sini adalah Leonard Bloomfield (1887-1949). Bukunya yang

berpengaruh adalah Language dan diterbitkan 1933, memberikan dasar bagi

penelitian ilmiah terhadap pembelajaran bahasa, hal yang serupa juga terjadi pada

teori behaviorisme psikologi.

Cara Strukturalis Amerika memerikan bahasa adalah dengan cara mengumpulkan

sebanyak-banyaknya tuturan bahasa yang akan mereka teliti. Kemudian mereka

(*) Gusnawaty, dosen Fakultas Sastra UNHAS Page 6

Page 9: Pandangan Behaviorists

memperhatikan/mempelajari/meneliti data dari korpus untuk memunculkan pola yang

konsisten, seperti misalnya sistem bunyi dan sintaksis atau struktur kalimat. Dalam

hal ini mereka akan memproduksi sejumlah tuturan berdasarkan pola yang mereka

temukan. Dengan demikian mereka menciptakan tuturan dari pola-pola tuturan dari

penuturnya. Demikilah penekanan umum atas observasi empiris dari behaviorisme,

yang sekaitan dengan psikologi. Dan bentuk-bentuk pola-pola bahasa, yang sekaitan

dengan linguistik

0.4 Behaviorisme dan Pemerolehan Bahasa PertamaJika Anda percaya bahwa manusia pada umumnya dipengaruhi oleh ransangan

(stimulus) dan reaksi (respons), kebiasaan (habit), kondisi (conditioning), penguatan

(reinforcement), atau hadiah (rewards), dan hukuman (punishment), maka Anda

adalah seorang behahavioris entah Anda menyadarinya atau tidak. Bagi behavioris,

belajar adalah berhubungan dengan pemerolehan kebiasaan, yakni belajar sesuatu

berarti membuatnya menjadi kebiasaan. Kunci dari pembelajaran adalah imitasi, dan

kondisi melalui penguatan. Penguatan itu dapat positif (dalam bentuk hadiah) dapat

juga negatif (dalam bentuk hukuman).

Proses pembentukan kebiasaan atau pembelajaran diperoleh dengan cara inductive

– yakni pembiasaan itu diperoleh dengan cara tanpa instruksi eksplisit. Skinner

menyebutnya sebagai kondisi pelaksanaan (operant conditioning). Beginilah contoh

pelaksanaannya dalam pemerolehan bahasa:

Seorang anak kecil mendengar kata “bola” beberapa kali dari pengasuhnya.

Aksi ini disebut ransangan. Dan sebagai reaksi, si anak menirunya dengan

menyebut pula “bola”. Tingkah laku si anak meniru menyebut “bola” disebut

operant.

Pengasuh memberikan bola tersebut untuk bermain. Sehingga anak tersebut

memperoleh hadiah dari pengucapannya yang telah mengucapkan kata

“bola”. Ini adalah contoh dari penguatan positif, dalam hal ini karena si anak

mengucapkan kata yang benar. Jika seandainya si anak mengucapkan,

umpamanya, “pola” maka pengasuhnya tidak akan memberikan bola. Dengan

tidak memberikan bola berarti terjadi penguatan negatif.

(*) Gusnawaty, dosen Fakultas Sastra UNHAS Page 7

Page 10: Pandangan Behaviorists

Karena hadiah atau penguatan positif maka si anak teransang dan berani

menucapkan kata “bola” lagi, dan lagi si anak diberikan bola untuk bermain.

Sehingga pada akhirnya si anak mengassosiasikan objek tersebut dengan kata

“bola”

Proses berulang hingga pengucapan kata dan assosiasinya (“bola”) menjadi

suatu kebiasaan. Anak, kemudian, belajar kata “bola” dan maknanya.

Sebaliknya, jika dia mengucapkan kata “pola”, penguatan negatif akan

membuat dia tidak mengucapkannya lagi – dengan demikian tidak akan

terbentuk suatu kebiasaan (sebagai pilihan, Anda dapat menjelaskan bahwa

kata “pola” tidak punya hubungan dengan benda tersebut yang disebut “bola”)

Singkatnya, gambar di bawah ini dapat memperlihatkan proses pemerolehan bahasa

menurut ahli behaviorisme.

Gambar : Kondisi pelaksanaan behavioris

Penting untuk dikemukakan bahwa ada tiga asumsi pemerolehan bahasa menurut

behaviorist adalah pertama manusia ketika baru lahir seperti kertas kosong atau dalam

bahasa Latin disebut sebagai tabula rasa. Dengan kata lain, faktor penting dalam

pembelajaran adalah faktor lingkungan, dan anak-anak belajar dari lingkungannya.

Dalam hubungannya dengan pemerolehan bahasa, anak-anak mendengar bahasa dan

respons dari lingkungannya sehingga proses pembelajaran terjadi.

Asumsi berikutnya adalah manusia itu dianggap bereaksi terhadap lingkungannya

kurang lebih sama dengan binatang. Hal ini dapat dilihat dari penelitian-penelitian yang

(*) Gusnawaty, dosen Fakultas Sastra UNHAS Page 8

“stimulasi” IMITASI(RESPONS)

Penghargaan (penguatan) Diulang-ulang penguatan diulang…. PEMBIASAAN = BELAJAR

Pencelaan (hukuman) Tak ada pengulangan STOP TIDAK BELAJAR

Page 11: Pandangan Behaviorists

dilakukan oleh Behaviorist seperti Skinner (1904-1990), yang meneliti tingkah laku tikus;

Ivan Pavlov (1849-1936) yang meneliti anjingnya: bagaimana anjing mengeluarkan air

liur setiap kali mendengar lonceng; John Watson (1878-1958), yang terinspirasi oleh

Pavlov kemudian meneliti binatang dan tingkah laku anak. Hasil dari penelitian-

penelitian tersebut membuat mereka merumuskan teori terhadap tingkah laku manusia.

Terakhir, kaum behaviorists berdasarkan pada teori strukturalists Amerika dalam

memandang bahasa, yakni bahasa tersusun secara konsisten dalam suatu pola formal.

Oleh karena itu, belajar bahasa berarti kemampuan memproduksi pola-pola formal ini

secara benar dalam suatu pembentukan kebiasaan.

0.5 Behaviorisme dan Pemerolehan Bahasa Kedua

Kaum behaviorisme percaya bahwa manusia belajar bahasa baru sama prinsipnya

dengan anak-anak belajar bahasa pertama, yakni dengan cara pembentukan kebiasaan

melalui hukuman (pencelaan) dan hadiah (penghargaan). Akan tetapi, mereka

menyadari bahwa pemerolehan bahasa kedua, secara logika, tidak sama dengan

bahasa pertama. Orang yang belajar bahasa kedua tidak lagi tabula rasa. Bahasa

pertama yang telah dipelajari sudah menjadi kebiasaan. Bila bahasa baru yang akan

dipelajari mirip secara struktur dengan bahasa pertama tidak akan menjadi soal.

Sebaliknya, bila berbeda maka di sinilah akan timbul persoalan yakni pemindahan

struktur bahasa pertama dan interferensi (L1 transfer and interference). Misalnya,

orang Indonesia belajar bahasa Inggris, biasanya selalu mengalami kesulitan dalam

menempatkan ajektiva karena posisi ajektiva dalam bahasa Indonesia terletak sesudah

nomina sedang dalam bahasa Inggris sebelum nomina. “love story” atau “story love”

biasanya jadi pertanyaan bagi penutur Indonesia.

Berdasarkan prinsip umum di atas, behavioris menyarankan bahwa dalam

pembelajaran bahasa kedua, bahan ajar disusun dalam suatu bagian-bagian kecil

sehingga dapat terbentuk pembiasaan bahasa yang baik. Misalnya, Good

(morning/afernoon/night/etc). He (plays/works/sleeps/goes/etc.) at (7 oc’lock/half

past eight/etc).

Tujuan pembelajaran bagi pelajar adalah membentuk suatu pola bahasa menjadi

kebiasaan mekanis melalui imitasi dan pengulangan. Guru memegang peranan

(*) Gusnawaty, dosen Fakultas Sastra UNHAS Page 9

Page 12: Pandangan Behaviorists

penting dalam hal ini karena menyediakan stimulasi yang diperlukan dengan

menyajikan model bahasa. Pelajar kemudian bereaksi dengan mengulang atau

mengganti vocabulary yang disediakan guru. Setelah itu, guru memberikan penguatan

dengan memberikan penghargaan bila pelajar mengulang atau membentuk kalimat

dengan benar. Sebaliknya, guru mencela (hukuman) bila pelajar melakukan

kesalahan. Ketika guru sudah yakin bahwa pelajar sudah dapat memproduksi pola

dengan benar, maka dia kemudian memberikan latihan-latihan lebih lanjut sehingga

pelajar mampu memproduksi kalimat-kalimat berdasarkan pola tidak hanya benar tapi

juga otomatis. Cara pembelajaran seperti ini dikenal dengan pola 3 P yakni

presentation, practice, and production. Pembelajaran yang diset dengan

menggunakan pola ini biasanya disebut menggunakan Audiolingual Approach.

0.6 Evaluasi Behaviorisme dalam Pembelajarn

Bahasa Kedua

Mungkin Anda familiar dengan pendekatan ini dalam pembelajaran bahasa. Atau

mungkin Anda menggunakannya saat ini, atau di masa yang lalu. Hal tersebut tidak

mengherankan sebab pendekatan ini sangat berpengaruh dalam dunia pembelajaran

bahasa di seluruh dunia. Adapun spesifikasi-spesifikasi dari pendekatan ini adalah

sebagai berikut.

Pendekatan audiolingual sangat praktis. Sebuah metode mudah bagi guru untuk

belajar secara cepat sebab langkah-langkahnya sangat sederhana dan dapat diduga:

mengemukakan pola-pola bahasa, melatihnya, kemudian mengulangnya. Juga mudah

menulis buku-buku latihan sehingga guru dapat menggunakannya secara mekanis.

Guru tidak perlu cemas terhadap hal-hal yang tidak diharapkan muncul selama

pembelajaran karena setiap sessi pembelajaran akan terstruktur dengan baik. Guru

juga, dengan demikian, dapat mengajarkannya walau tidak menguasai bahasa target

dengan baik.

Singkatnya, teori behavioris telah menawarkan pada guru-guru bahasa suatu

pendekatan sistematis dan praktis dalam pengajarannya. Yang lebih penting lagi, teori

(*) Gusnawaty, dosen Fakultas Sastra UNHAS Page 10

Page 13: Pandangan Behaviorists

ini menawarkan fondasi penjelasan psikologis bagaimana manusia belajar bahasa.

Pembelajaran tidak hanya melulu berdasarkan intuisi dan pengalaman.

Teori ini juga berfokus pada hal-hal yang dapat diobservasi dengan penekanan

pada lingkungan di mana guru dan orang tua memegang peranan penting dalam

penerapan kondisi pembelajaran sehingga memunculkan/mengembangkan semangat

belajar. Misalnya seorang anak berjalan bersama ibunya dan melewati sebuah gedung

yang memiliki atap unik ciri khas sebuah masjid. Si anak kemudian bertanya: “Ibu,

itu apa namanya?” “Itu masjid namanya, sayang” jawab si ibu. Kemudian si anak

terangsang bertanya lebih lanjut, “Apa itu masjid, bu?”. “Tempat orang berdoa dan

sholat bagi orang yang beragama Islam” Jawab si Ibu. Bandingkan bila jawaban ibu

atas pertanyaan yang sama menjawab “Itu kan hanya sebuah gedung biasa. Kenapa

sih tanya-tanya?”

Terakhir, dalam ide penguatan positif dan penguatan negatif pembelajaran bahasa

sebagai suatu alat pembentukan tingkah laku manusia, behaviorisme

memperkenalkan pentingnya motivasi dan feedback dalam pembelajaran. Walaupun

ini adalah sesuatu issu yang kompleks tetapi behaviorist memahami bahwa

penguatan adalah sesuatu yang berharga dan pembelajaran tidak dapat berjalan tanpa

adanya motivasi dan feedback.

Di antara spesifikasi-spesifikasi yang telah dikemukakan di atas, muncul beberapa

pertanyaan sehubungan dengan asumsi yang telah dikemukakannya seperti berikut.

i. kepercayaan bahwa manusia memulai hidup sebagai

tabula rasa. Kita melihat dalam kehidupan sehari-hari dan belajar dari

hasil penelitian bahwa manusia itu memiliki kemampuan dasar dalam

belajar tentang dunia dan bagaimana melakukan sesuatu. Contohnya,

manusia memiliki kemampuan mengerti dan memproduksi bahasa

walaupun bahasa tersebut belum pernah di dengarnya.

ii. Penekanannya bahwa manusia mirip dengan binatang

banyak mengundang perdebatan. Manusia memiliki akal (misalnya:

membuat alasan-alasan) dan dapat membuat pilihan-pilihan.

Selanjutnya, manusia tidak bereaksi secara mekanis terhadap

ransangan seperti ahli-ahli behavioris katakan.

(*) Gusnawaty, dosen Fakultas Sastra UNHAS Page 11

Page 14: Pandangan Behaviorists

iii. Hanya mengajarkan pola-pola bahasa yang dapat

diobservasi dan gagal menjelaskan bagaimana makna berhubungan

dengan bahasa.

Sehubungan dengan hal-hal di atas, behaviorisme tidak menaruh perhatian pada

pelajar sebagai individual dan sebagai anggota masyarakat. Oleh karena itu, walaupun

pendekatan ini digunakan dalam pembelajaran, teori ini gagal menjelaskan mengapa ada

yang sukses dan ada yang gagal dalam belajar bahasa.

Sehubungan dengan proses pembelajaran, ahli behaviorists hanya memperhatikan

apa yang tampak dan mengabaikan hal-hal yang berlangsung dalam pikiran. Padahal,

kita secara fundamental percaya bahwa belajar melibatkan pikiran, dan perasaan;

melibatkan proses kognitif dan mental. Bahkan proses internal merupakan hal-hal yang

esensial dalam pembelajaran.

Sehubungan dengan hal-hal yang telah dikemukan di atas, implikasi teori

behaviorisme dalam pembelajaran bahasa melahirkan akibat negatif seperti berikut.

i. Pendekatan ini akan melahirkan pelajar pasif karena pelajar hanya

bereaksi terhadap instruksi guru. Mereka tidak terangsang untuk

berpikir tentang bahasa, mengembangkan strategi sendiri dalam belajar

secara efektif, dan bertanggungjawab secara penuh terhadap model

pembelajarannya.

ii. Tidak melahirkan kreatifitas penggunaan bahasa karena pelajar hanya

berfokus pada bahasa yang dikontrol guru. Selajutnya, penekanan yang

sifatnya selalu mengoreksi bentuk salah akan mengecilkan hati pelajar

untuk mengambil resiko kesalahan dalam belajar.

iii. Karena sedikit perhatian terhadap makna, maka pelajar tidak tertolong

untuk menggunakan bahasa dalam berkomunikasi secara nyata dimana

makna merupakan hal yang penting. Selanjutnya, pelajar akan jadi

pemalu dalam menggunakan bahasanya.

iv. Tidak ada tempat untuk berkomunikasi secara nyata antara pelajar

dengan pelajar; antara pelajar dan guru.

Demikianlah ulasan singkat terhadap teori behaviorisme, cara menerapkan, dan

evaluasi terhadap penggunaannya dalam kelas pembelajaran bahasa. Mungkin hal-hal

(*) Gusnawaty, dosen Fakultas Sastra UNHAS Page 12

Page 15: Pandangan Behaviorists

yang dikemukakan dalam makalah ini dapat menjadi masukan berharga sebagai bahan

pertimbangan dalam pembelajaran.

References

Benedict Lin, 2004. Language Acquisition: Social and Psychological Dimensions. RELC Singapore.

Brian Tomlinson and Hitomi Masuhara, 2004. Developing Language Course Materials. RELC Portfolio Series 11.

Doff, Addrian and Cristopher Jones. 1999. Language In Use. For Beginner. Cambridge University Press.

Ellis, R. 1985. Understanding Second Language Acquisition. Oxford: Oxford University Press.

Hadfield, Jill. 1999. Beginners’ Communication Games. Longman

Kevin Wheldall and Ted Glynn, 1989. Effective Classroom Learning: Theory and Practice. Basil Blackwell Inc.

Krashen D. Stephen and Tracy D. Terrel. 1983. The Natural Approach: Language Acquisition in the Classroom. Pergamon Press: Oxford, New York, Toronto, Sydney, Paris, Frankfurt. Alemany Press: San Fransisco.

Lightbown, P.M. and Spada, N. 1993. How Languages are learned. Oxford: Oxford University Press.

-------------, Patsky M., and Nina Spada. 2000. How Languages are Learned. Revised Edition. Oxford.

McNaughton, S. S., Glynn, T. and Robinson, V. (1987). Pause, Prompt and Praise: Effective tutoring for remedial reading. Birmingham: Positive Products.

-----------------------

(*) Gusnawaty, dosen Fakultas Sastra UNHAS Page 13

Page 16: Pandangan Behaviorists

(*) Gusnawaty, dosen Fakultas Sastra UNHAS Page 14