Pandangan Agama Buddha Terhadap Euthanasia

download Pandangan Agama Buddha Terhadap Euthanasia

of 26

description

Pandangan Agama Buddha terhadap Euthanasia

Transcript of Pandangan Agama Buddha Terhadap Euthanasia

Pandangan Agama Buddha terhadap Euthanasia

Secara etimologi euthanasia terdiri dari dua kata yang berasal dari bahasa Yunani eu yang berarti baik dan thanatos yang berati kematian. Jadi secara harafiah euthanasia berarti mati yang layak atau mati yang baik (good death). Sedangkan berdasarkan makna yang tercantum dalam KBBI (2008:310) eutanasia adalah suatu tindakan mengakhiri kehidupan makhluk (manusia maupun hewan peliharaan) yang sakit berat atau luka parah dengan kematian yang tenang dan mudah atas dasar peri kemanusiaan. Euthanasia menjadi topik yang menimbulkan pro dan kontra sejak praktik ini dilakukan secara legal menurut undang-undang untuk pertama kali di Belanda, negara pertama di dunia yang telah secara hukum menyetujui euthanasia.Ada berbagai macam jenis euthanasia berdasarkan cara melakukannya serta alasan diberlakukan euthanasia itu sendiri, antara lain:1. Euthanasia sukarelaApabila si pasien itu sendiri yang meminta untuk diakhiri hidupnya.2. Euthanasia non-sukarelaApabila pesien tersebut tidak mengajukan permintaan atau menyetujui untuk diakhiri hidupnya.3. Involuntary EuthanasiaPada prinsipnya sama seperti euthanasia non-sukarela, tapi pada kasus ini, si pasien menunjukkan permintaan euthanasia lewat ekspresi.4. Assisted suicideAtau bisa dikatakan proses bunuh diri dengan bantuan suatu pihak. Seseorang memberi informasi atau petunjuk pada seseorang untuk mengakhiri hidupnya sendiri. Jika aksi ini dilakukan oleh dokter maka disebut juga, physician assisted suicide.5. Euthanasia dengan aksiDengan sengaja menyebabkan kematian seseorang dengan melakukan suatu aksi, salah satu contohnya adalah dengan melakukan suntik mati.6. Euthanasia dengan penghilanganDengan sengaja menyebabkan kematian seseorang dengan menghentikan semua perawatan khusus yang dibutuhkan seorang pasien. Tujuannya adalah agar pasien itu dapat dibiarkan meninggal secara wajar.

EuthanasiaOne of my favorite topics: Euthanasia.Euthanasia adalah pembunuhan dalam segi medis yang disengaja, dengan aksi atau dengan penghilangan suatu hak pengobatan yang seharusnya didapatkan oleh pasien, agar pasien tersebut dapat meninggal secara wajar. Kata kuncinya adalah disengaja, artinya jika aksi tersebut dilakukan dengan tidak sengaja, maka hal tersebut bukanlah euthanasia.Aksi ini dilakukan secara legal menurut undang-undang untuk pertama kali adalah di negara Belanda, negara pertama di dunia yang telah secara hukum menyetujui euthanasia. Meskipun begitu, aksi tersebut dilakukan dengan sangat hati-hati dan dengan berbagai perhitungan terlebih dahulu.Ada berbagai macam jenis euthanasia menurut cara melakukannya serta alasan diberlakukan euthanasia itu sendiri, anatara lain:1. Euthanasia sukarelaApabila si pasien itu sendiri yang meminta untuk diakhiri hidupnya.2. Euthanasia non-sukarelaApabila pesien tersebut tidak mengajukan permintaan atau menyetujui untuk diakhiri hidupnhnya.3. Involuntary EuthanasiaPada prinsipnya sama seperti euthanasia non-sukarela, tapi pada kasus ini, si pasien menunjukkan permintaan euthanasia lewat ekspresi.4. Assisted suicideAtau bisa dikatakan proses bunuh diri dengan bantuan suatu pihak. Seseorang memberi informasi atau petunjuk pada seseorang untuk mengakhiri hidupnya sendiri. Jika aksi ini dilakukan oleh dokter maka disebut juga, physician assisted suicide.5. Euthanasia dengan aksiDengan sengaja menyebabkan kematian seseorang dengan melakukan suatu aksi, salah satu contohnya adalah dengan melakukan suntik mati.6. Euthanasia dengan penghilanganDengan sengaja menyebabkan kematian seseorang dengan menghentikan semua perawatan khusus yang dibutuhkan seorang pasien. Tujuannya adalah agar pasien itu dapat dibiarkan meninggal secara wajar.Dari beberapa macam jenis euthanasia tersebut, masing-masing negara memiliki idealisme sendiri dalam hal melegalkan aksi euthanasia. Beberapa negara bahkan telah melegalkan aksi euthanasia dengan suntik mati, namun di negara-negara lain hal tersebut adalah melanggar hukum.

Alasan Dilakukan EuthanasiaEuthanasia adalah sebuah aksi pencabutan nyawa seseorang. Karena itu dilakukannya aksi tersebut harus didukung dengan alasan yang kuat. Dari beberapa survey negara dan penyaringan sumber, berikut adalah tiga alasan utama mengapa euthanasia itu bisa dilakukan:1. Rasa Sakit yang Tidak TertahankanMungkin argumen terbesar dalam konflik euthanasia adalah jika si pasien tersebut mengalami rasa sakit yang amat besar. Namun pada zaman ini, penemuan semakin gencar untuk mengatasi rasa sakit tersebut, yang secara langsung menyebabkan presentase terjadinya assisted suicide berkurang.Euthanasia memang sekilas merupakan jawaban dari stress yang disebabkan oleh rasa sakit yang semakin menjadi. Namun ada juga yang dinamakan drugged state atau suatu saat dimana kita tak merasakan rasa sakit apapun karena pengaruh obat.Karena itulah kita bisa menyimpulkan bahwa sebenarnya tidak ada rasa sakit yang tidak terkendali, namun beberapa pendapat menyatakan bahwa hal tersebut memang bisa dilakukan dengan mengirim seseorang ke keadaan tanpa rasa sakit, tapi mereka tetap harus di-euthanasia-kan karena cara tersebut tidak terpuji.Hampir semua rasa sakit bisa dihilangkan, adapun yang sudah sebegitu parah bisa dikurang jika perawatan yang dibutuhkan tersedia dengan baik. Tapi euthanasia bukalah jawaban dari skandal tersebut. Solusi terbaik untuk masalah ini adalah dengan meningkatkan mutu para profesional medis dan dengan menginformasikan pada setiap pasien, apa saja hak-hak mereka sebagai seorang pasien.Meskipun begitu, beberapa dokter tidak dibekali dengan pain management atau cara medis menghilangkan rasa sakit, sehingga mereka tidak tahu bagaimana harus bertindak apabila seorang pasien mengalami rasa sakit yang luar biasa. Jika hal ini terjadi, hendaklah pasien tersebut mencari doketr lain. Dengan catatan dokter tersebut haruslah seseorang yang akan mengontrol rasa sakit itu, bukan yang akan membunuh sang pasien. Ada banyak spesialis yang sudah dibekali dengan keahlian tersebut yang tidak hanya dapat mengontrol rasa sakit fisik seseorang, namun juga dapat mengatasi depresi dan penderitaan mental yang biasanya mengiringi rasa sakit luar biasa tersebut.2. Hak untuk Melakukan Bunuh DiriMungkin hal kedua bagi para pro-euthanasia adalah jika kita mengangkat hal paling dasar dari semuanya, yaitu hak. Tapi jika kita teliti lebih dalam, yang kita bicarakan di sini bukanlah memberi hak untuk seseorang yang dibunuh, tetapi memberikan hak pada orang yang melakukan pembunuhan tersebut. Dengan kata lain, euthanasia bukanlah hak seseorang untuk mati, tetapi hak untuk membunuh.Euthanasia bukanlah memberikan seseorang hak untuk mengakhiri hidupnya, tapi sebaliknya, ini adalah persoalan mengubah hukum agar dokter, kerabat, atau orang lain dapat dengan sengaja mengakhiri hidup seseorang.Manusia memang punya hak untuk bunuh diri, hal seperti itu tidak melanggar hukum. Bunuh diri adalah suatu tragedi, aksi sendiri. Euthanasia bukanlah aksi pribadi, melainkan membiarkan seseorang memfasilitasi kematian orang lain. Ini bisa mengarah ke suatu tindakan penyiksaan pada akhirnya.3. Haruskah Seseorang Dipaksa untuk Hidup?Jawabannya adalah tidak. Bahkan tidak ada hukum atau etika medis yang menyatakan bahwa apapun akan dilakukan untuk mempertahankan pasien tetap hidup. Desakan, melawan permintaan pasien, menunda kematian dengan alasan hukum dan sebagainya juga bisa dinilai kejam dan tidak berperikemanusiaan. Saat itulah perawatan lebih lanjut menjadi tindakan yang tanpa rasa kasihan, tidak bijak, atau tidak terdengar sebagai perilaku medis.Hal yang harus dilakukan adalah dengan menyediakan perawatan di rumah, bantuan dukungan emosional dan spiritual bagi pasien dan membiarkan sang pasien merasa nyaman dengan sisa waktunya.Sejarah Euthanasia Sekitar tahun 400 sebelum Masehi, sebuah sumpah yang terkenal dengan sebutan The Hippocratic Oath yang dinyatakan oleh seorang Fisikawan Hipokratis Yunani, dengan jelas mengatakan:Saya tidak akan memberikan obat mematikan pada siapapun, atau menyarankan hal tersebut pada siapapun.- The Hippocratic OathSekitar abad ke-14 sampai abad ke-20, Hukum Adat Inggris yang dipetik oleh Mahkamah Agung Amerika tahun 1997 dalam pidatonya:Lebih jelasnya, selama lebih dari 700 tahun, orang Hukum Adat Amerika Utara telah menghukum atau tidak menyetujui aksi bunuh diri individual ataupun dibantu. Chief Justice RehnquistTahun 1920, terbitnya buku berjudul Permitting the Destruction of Life not Worthy of Life. Dalam buku ini, Alfred Hoche, M.D., Dosen Psikologi dari Universtas Freiburg, dan Karl Binding, Dosen Hukum dari Universitas Leipzig, memperdebatkan bahwa seorang pasien yang meminta untuk diakhiri hidupnya harus, dibawah pengawasan ketat, dapat memperolehnya dari seorang pekerja medis. Buku ini men-support euthanasia non-sukarela yang dilakukan oleh Nazi JermanTahun 1935, The Euthanasia Society of England, atau Kelompok Euthanasia Inggris, dibentuk sebagai langkah menyetujui euthanasia.Tahun 1939, Nazi Jerman memberlakukan euthanasia secara non-sukarela. Hal ini akan dibahas pada bab selanjutnya.Tahun 1955, Belanda sebagai negara pertama yang mengeluarkan Undang-Undang yang menyetujui euthanasia, dan diikuti oleh Australia yang melegalkannya di tahun yang sama.Setelah dua negara itu mengeluarkan undang-undang yang sah tentang euthanasia, beberapa negara masih menganggapnya sebagai konflik, namun ada juga yang ikut mengeluarkan undang-undang yang sama. Hal ini akan dibahas lebih lanjut di bab berikutnya.Bagaimana Ilmu Pengetahuan Mendefinisikan KematianSebuah teori yang berbahaya jika kematian dianggap sesuatu yang ambigu. Dan jika suatu telaah massa membuktikan bahwa euthanasia bukanlah musuh masyarakat, melainkan sesuatu yang dapat menyelamatkan seseorang dari penderitaan yang amat sangat.Menurut penelitian terakhir yang dilakukan oleh Dr. James Dubois dari Universitas Saint Louis dan Tracy Schmidt dari Intermountain Donor Service, hampir 84% dari seluruh warga Amerika setuju dengan pendapat bahwa seseorang dapat dikatakan mati apabila yang membuatnya tetap bernafas adalah obat-obatan dan mesin medis, dan 60% setuju dengan pernyataan bahwa seseorang dapat mati meskipun jantungnya masih berdetak. Dari survey tersebut, 70% dari antaranya berasal dari golongan beragama.Konsep medis dari kematian otak telah berkembang di Amerika Serikat pada tahun 1968 bersamaan dengan revolusi dari penelitian tentang transplantasi organ tubuh. Seperti dijelaskan oleh M.L. Tina Stevens dalam Bioetik Amerika (2000), semakin maraknya kasus transplantasi organ sebenarnya diawali dari penyumbangan besar secara medis untuk penelitian Biomedis federal sebelum Perang Dunia ke-II. Hasil dari semua itu datang seiring dengan berkembangnya teknologi medis seperti sistem respirasi mekanis, dan genetic screening, semuanya mendatangkan efek pada bentuk obat-obat modern, meningkatkan pertanyaan-pertanyaan baru tentang hidup dan mati baik untuk pasien maupun dokter.Transplantasi adalah contoh klasik dari investigasi therapeutic, begitu kata Thomas Starzl, seorang ahli bedah transplantasi. Apa yang dilakukan dalam transplantasi jaman dulu kadang-kadang terbilang bodoh tapi tidak hina. Yang mendorong para perintis bedah transplantasi ini adalah satu keinginan untuk tidak meninggalkan satu tempat pun untuk eksperimen yang tidak dicoba.Pada awalnya, bedah transplantasi tidak berhasil dengan tujuannya untuk memindahkan organ tubuh dari pasien yang telah meninggal ke pasien yang masih hidup. Tapi beberapa dokter percaya mereka bisa mendapatkan organ yang bisa ditransplantasi dari orang mati suri, yang masih dikatakan hidup sampai waktu tertentu dalam standar medis. Kematian otak, menawarakan solusi yang memungkinkan. Juga menyebabkan sebuah perubahan dalam pemikiran tentang hukum kematian.Nazi Euthanasia Pada bulan Oktober tahun 1939, ditengah-tengah kekacauan Perang Dunia ke-II, Hitler memerintahkan ke seluruh wilayah jajahannya untuk membunuh orang-orang yang menderita sakit atau cacat.Dengan kode Aktion T 4, program Nazi Euthanasia adalah untuk menghilangkan keberadaan orang-orang yang tidak pantas untuk hidup lagi. Pada awalnya hanya difokuskan pada bayi yang baru lahir dan anak-anak yang masih sangat kecil. Para dokter dan ibu rumah tangga diperintahkan untuk mendaftarkan anak-anak dibawah tiga tahun kepada pemerintah Jerman. Kemudian, keputusan untuk membiarkan anak tersebut hidup atau tidak diambil oleh tiga ahlis medis tanpa pemeriksaan maupun memperhatikan hasil kesehatan anak tersebut.Tiap ahli medis menambah tanda (+) dengan pensil merah atau tanda (-) dengan pensil biru di setiap lembar kasus para anak-anak tersebut. Tanda (+) merah berarti keputusan untuk membunuh anak tersebut, dan tanda (-) biru berarti keputusan untuk membiarkannya hidup. Jika tiga tanda (+) merah telah dikeluarkan, maka anak tersebut akan dikirim ke Departemen Khusus Anak di mana mereka akan menerima kematian dengan suntik mati atau dengan cara dibiarkan mati kelaparan.Program Nazi Euthanasia akhirnya berkembang dengan menyertakan anak-anak yang lebih tua yang memiliki cacat juga para orang dewasa. Putusan Hitler pada bulan Oktober 1939, menyatakan pemberian hak untuk para ahli medis tertentu untuk memberikan euthanasia pada orang-orang yang tidak dapat disembuhkan lagi. Putusan tersebut disebarkan ke seluruh rumah sakit dan tempat medis lainnya.Sejumlah enam tempat pembunuhan telah ditentukan, termasuk sebuah gedung klinik psikiatri yang terkenal di Hadamar. Di Bradenburg, tempat yang dulunya adalah sebuah penjara, dirubah menjadi tempat pembunuhan di mana Nazi melakukan eksperimen pertamanya dengan gas beracun. Di dalamnya terdapat kamar gas yang terhubung dengan pipa karbon monoksida beracun yang akan menewaskan orang di dalamnya.Pasien-pasien yang akan menerima euthanasia dibius terlebih dahulu sebelum ditelanjangi dan dimasukkan ke dalam kamar gas. Setiap tempat pembunuhan tersebut dilengkapi dengan krematorium di mana mayat-mayat dari kamar gas akan dibuang. Pihak keluarga akhirnya datang dan mengambil sendiri tubuh anggota keluarganya yang sudah tak bernyawa.Sebagai hasilnya, pada tanggal 23 Agustus, Hitler menghentikan Aktion T 4, yang telah mengambil nyawa ratusan ribu orang. Namun bagaimanapun juga, program Nazi euthanasia secara diam-diam terus berlanjut, tapi bukan dengan menggunakan gas beracun, melainkan dengan menggunakan obat-obat dan dibiarkan kelaparan.Tempat-tempat pembunuhan tersebut akhirnya dijadikan sebagai tempat eksperimen bagi para ahli medis. Mereka menggunakan keahlian dan pengetahuan mereka untuk membangun tempat pembunuhan baru di Auschwitz, Treblinka dan tempat-tempat pusat jajahan dengan tujuan untuk menghabisi seluruh orang Yahudi yang ada di Eropa. Sebagai contoh, di negara Polandia, salah satu negara yang paling merasakan penderitaan saat kedatangan Nazi Jerman. Negara tersebut pada awalnya memiliki sekitar 700.000 penduduknya yang merupakan orang Yahudi. Namun setelah Nazi datang, dan melakukan pendudukan besar-besaran, jumlah orang Yahudi di sana yang bertahan hanya sekitar 10.000 orang.Euthanasia Sama dengan AborsiDari sudut pandang etika, euthanasia dan aborsi menghadapi kesulitan yang sama. Suatu prinsip etika yang sangat mendasar ialah kita harus menghormati kehidupan manusia. Bahkan kita harus menghormatinya dengan mutlak. Tidak pernah boleh kita mengorbankan manusia kepada suatu tujuan lain.Dalam etika, prinsip ini sudah lama dirumuskan sebagai kesucian kehidupan (the sanctity of life). Kehidupan manusia adalah suci karena mempunyai nilai absolut, karena itu di mana-mana harus selalu dihormati. Jika kita dengan konsekuen mengakui kehidupan manusia sebagai suci, menjadi sulit untuk membenarkan eksperimentasi laboratorium dengan embrio muda, meski usianya baru beberapa hari, dan menjadi sulit pula untuk menerima praktik euthanasia dan aborsi, yang dengan sengaja mengakhiri kehidupan manusia. Prinsip kesucian kehidupan ini bukan saja menandai suatu tradisi etika yang sudah lama, tetapi dalam salah satu bentuk dicantumkan juga dalam sistem hukum beberapa negara.Dalam diskusi-diskusi tentang masalah euthanasia dan aborsi, kini prinsip kesucian kehidupan mulai dikritik. Nama-nama yang terkenal di antara kritisi itu adalah Peter Singer dan Helga Kuhse, dan etikawan terkemuka di Australia. Mereka berpendapat, faham kesucian kehidupan berasal dari suasana pemikiran moral Kristen dan karena itu tidak boleh diberlakukan untuk semua orang. Di tengah berlangsungnya sekularisasi kini, pengaruh agama Kristen sebagai pegangan moral makin berkurang dan makin banyak orang menempuh alur pemikiran moral yang lain.Dalam bukunya Practical Ethics (edisi ke-2, 1993, hlm 173) Peter Singer menandaskan, the doctrine of the sanctity of human life is a product of Christianity. Perhaps it is now possible to think about these issues without assumsing the Christian moral framework that has, for so long, prevented any fundamental reassessment. Peter Singer sendiri menerapkan pendapat ini bukan saja atas masalah euthanasia dan aborsi, namun juga dalam anggapannya yang amat kontroversial tentang kemungkinan mengakhiri kehidupan bayi cacat berat yang baru lahir. Dengan demikian ia memperluas diskusi tentang masalah aborsi sampai ke infanticide (pembunuhan anak kecil), yang dalam masyarakat pra-Kristen-Yunani Kuno dan kekaisaran Roma, umpamanya-memang sering dipraktikkan.Dalam tulisan ini tentu tidak mungkin membahas topik ini sampai tuntas. Kita akan membatasi diri pada beberapa catatan saja.Pertama, benar agama Kristen merasa dirinya tertarik dengan pengertian kesucian kehidupan. Dan hal itu tidak berlaku untuk agama Kristen saja tetapi untuk agama umumnya dan khususnya untuk ketiga agama Ibrahimik: Jahudi-Kristiani-Islam. Mengapa begitu? Karena agama-agama ini mempunyai konsepsi jelas tentang kehidupan yang diciptakan Tuhan dan kedudukan istimewa manusia di antara makhluk-makhluk hidup yang lain. Tidak bisa dipungkiri, pandangan agama amat cocok dengan kesucian kehidupan.Kedua, barangkali benar agama juga ikut menciptakan faham kesucian kehidupan ini, dan membantu memperkuat posisinya dalam pandangan moral. Tetapi dalam hal ini kontribusi agama tidak bisa dipisahkan dari pengaruh-pengaruh lain. Kemungkinan besar, agama memberi kontribusi juga dalam penolakan lembaga perbudakan, dalam pengembangan hak asasi manusia dan demokrasi, dan dalam banyak hal lain lagi. Pandangan moral kita kini di bidang sosial-politik merupakan buah perkembangan panjang, di mana antara lain agama berperanan juga.Ketiga dan terpenting, rupanya khusus dalam etika profesi medis pengertian kesucian kehidupan mempunyai akar lebih mendalam daripada agama Kristen saja. Pengertian ini sudah terbentuk sejak permulaan pertama etika profesi medis, yaitu Sumpah Hippokrates. Hippokrates (abad ke-5/ke-4 SM) yang dijuluki bapak ilmu kedokteran bukan saja memberi dasar ilmiah kepada profesi kedokteran, namun juga menyediakan pandangan moral yang teguh bagi profesi ini. Melalui Sumpah Hippokrates ia membuat profesi medis menjadi profesi pertama yang memiliki suatu ethos khusus. Dalam Sumpah Hippokrates ada tiga kalimat pendek, Aku tidak akan memberikan obat yang mematikan kepada siapa pun bila orang memintanya, dan juga tidak akan menyarankan hal serupa itu. Demikian juga aku tidak akan memberikan kepada seorang wanita sarana abortif (pesson phthoron). Dalam kemurnian dan kesucian akan kujaga kehidupan dan seniku.Tiga kalimat pendek ini bisa dilihat sebagai awal tradisi anti-euthanasia dan anti-aborsi dalam ethos profesi medis. Euthanasia dalam arti kini tentu belum lama dikenal. Tetapi larangan untuk memberi racun telah mengembangkan tradisi anti-pembunuhan dalam profesi kedokteran. Menurut hakikatnya, profesi ini harus memperjuangkan kehidupan dan tidak pernah memihak kematian. Sebaliknya, praktik aborsi sudah dikenal sepanjang sejarah. Dalam masyarakat Yunani kuno sekitar Hippokrates aborsi malah diterima sebagai hal lumrah. Tetapi, sejak Hippokrates profesi medis mengembangkan suatu sikap anti-aborsi yang berlangsung terus sampai zaman modern.Faham kesucian kehidupan itu sendiri belum ditemukan dalam sumpah Hippokrates. Tetapi, bila kalimat ketiga tadi langsung boleh dikaitkan dengan kalimat pertama dan kedua, maka kemurnian dan kesucian profesi medis itu berhubungan dengan hormat atas kehidupan yang diperintahkan kalimat pertama dan kedua. Kalau begitu, kesucian kehidupan adalah faham yang mudah bisa muncul.Ada tanda-tanda lain lagi yang menunjukkan kuatnya tradisi kesucian kehidupan. Jika anjing kita sakit dan tidak bisa disembuhkan, tanpa ragu-ragu kita menganggap lebih baik membunuhnya. Hal itu sudah dipraktikkan. Yang baru hanya bahwa kini kita memakai jasa dokter hewan. Hewan kita bunuh untuk membebaskannya dari penderitaan. Tetapi, kalau manusia, biar pun penderitaannya besar, menurut penilaian umum cara ini tidak boleh dipakai. Perbedaan ini cukup mencolok dan berlaku secara universal. Bagi manusia tidak ada mercy killing seperti bagi hewan. Memang benar, dalam sejarah ditemukan beberapa pengecualian.Contoh dikenal adalah beberapa kelompok Eskimo yang mempunyai kebiasaan membunuh orang tua, jika mereka mulai menginjak usia tua dan memperlihatkan gejala kelemahan atau penyakit. Tetapi dalam seluruh peradaban manusia contoh-contoh seperti itu sedikit sekali dan sering dapat dimengerti karena alasan khusus. Misalnya, Eskimo yang disebut tadi mempunyai kepercayaan, keadaan manusia di alam baka sama seperti saat ia meninggal. Karena itu justru dinilai tidak manusiawi, bila penyakit mereka dibiarkan berkembang sampai kondisinya parah.Pengecualian serupa itu tidak menghindari kesimpulan bahwa hormat untuk kehidupan manusia bersifat universal. Bahkan rasa hormat itu melampaui batas kematian, karena jenazah manusia selalu dikuburkan. Hewan membiarkan saja bangkai temannya yang mati dalam alam terbuka, tetapi manusia tidak begitu. Para antropolog melaporkan, manusia sudah menguburkan sesamanya setidaknya sejak 100.000 tahun lalu (Neandertaler). Bukankah kebiasaan ini menandakan rasa hormat terhadap manusia melalui jenazah yang merupakan peninggalannya? Serentak juga kubur menjadi tanda peringatan akan manusia yang unik ini.Semua itu tidak berarti, di pinggiran kehidupan tidak bisa timbul dilema-dilema besar. Dan mungkin jalan keluar yang tepat adalah aborsi atau suntikan mematikan. Tetapi motivasinya tidak pernah karena kehidupan muda atau kehidupan sekarat itu tidak bermakna. Mungkin masih bisa diterima, bila dilakukan dengan rasa enggan, sebagai tindakan tak terelakkan. Seandainya tersedia alternatif lebih baik, dokter tidak akan melakukannya. Dengan demikian kehormatan untuk kehidupan tetap dipertahankan. Tetapi jika prinsip ini ditinggalkan, kita menghancurkan kebudayaan kita sendiri.Penutup:Cara pandang sebagai orang Kristen?Pemikiran yang timbul mengenai euthanasia, menurut Robert H. Williams, disebabkan oleh dua hal, yaitu :1. Manusia diberi kemampuan Tuhan untuk berpikir.2. Manusia mempunyai kemampuan mental dan emosi untuk membuat keputusan dan menggunakannya seefektif mungkin.Kelahiran dan kematian merupakan hak dari Tuhan sehingga tidak ada seorangpun di dunia ini yang mempunyai hak untuk memperpanjang atau memperpendek umurnya sendiri. Pernyataan ini menurut ahli ahli agama secara tegas melarang tindakan euthanasia, apapun alasannya. Dokter bisa dikategorikan melakukan dosa besar dan melawan kehendak Tuhan, yaitu memperpendek umur.Orang yang menghendaki euthanasia, walaupun dengan penuh penderitaan bahkan kadang kadang dalam keadaan sekarat dapat dikategorikan putus asa, dan putus asa tidak berkenan dihadapan Tuhan. Tapi putusan hakim dalam pidana mati pada seseorang yang segar bugar, dan tentunya sangat tidak ingin mati, dan tidak dalam penderitaan apalagi sekarat, tidak pernah dikaitkan dengan pernyataan agama yang satu ini.Aspek lain dari pernyataan memperpanjang umur, sebenarnya bila dikaitkan dengan usaha medis bisa menimbulkan masalah lain. Mengapa orang harus ke dokter dan berobat untuk mengatasi penyakitnya, kalau memang umur mutlak di tangan Tuhan, kalau belum waktunya, tidak akan mati. Kalau seseorang berupaya mengobati penyakitnya maka dapat pula diartikan sebagai upaya memperpanjang umur atau menunda proses kematian.Jadi upaya medispun dapat dipermasalahkan sebagai melawan kehendak Tuhan. Dalam hal hal seperti ini manusia sering menggunakan standar ganda. Hal hal yang menurutnya baik, tidak perlu melihat pada hukum hukum yang ada, atau bahkan mencarikan dalil lain yang bisa mendukung pendapatnya, tapi pada saat manusia merasa bahwa hal tersebut kurang cocok dengan hatinya, maka dikeluarkanlah berbagai dalil untuk menopangnya.

Membunuh bisa dilakukan secara legal. Itulah euthanasia, pembuhuhan legal yang sampai kini masih jadi kontroversi. Pembunuhan legal ini pun ada beragam jenisnya.Secara umum, kematian adalah suatu topik yang sangat ditakuti oleh publik. Hal demikian tidak terjadi di dalam dunia kedokteran atau kesehatan. Dalam konteks kesehatan modern, kematian tidaklah selalu menjadi sesuatu yang datang secara tiba-tiba. Kematian dapat dilegalisir menjadi sesuatu yang definit dan dapat dipastikan tanggal kejadiannya. Euthanasia memungkinkan hal tersebut terjadi.Euthanasia adalah tindakan mengakhiri hidup seorang individu secara tidak menyakitkan, ketika tindakan tersebut dapat dikatakan sebagai bantuan untuk meringankan penderitaan dari individu yang akan mengakhiri hidupnya.Ada empat metode euthanasia: Euthanasia sukarela: ini dilakukan oleh individu yang secara sadar menginginkan kematian. Euthanasia non sukarela: ini terjadi ketika individu tidak mampu untuk menyetujui karena faktor umur, ketidak mampuan fisik dan mental. Sebagai contoh dari kasus ini adalah menghentikan bantuan makanan dan minuman untuk pasien yang berada di dalam keadaan vegetatif (koma). Euthanasia tidak sukarela: ini terjadi ketika pasien yang sedang sekarat dapat ditanyakan persetujuan, namun hal ini tidak dilakukan. Kasus serupa dapat terjadi ketika permintaan untuk melanjutkan perawatan ditolak. Bantuan bunuh diri: ini sering diklasifikasikan sebagai salah satu bentuk euthanasia. Hal ini terjadi ketika seorang individu diberikan informasi dan wacana untuk membunuh dirinya sendiri. Pihak ketiga dapat dilibatkan, namun tidak harus hadir dalam aksi bunuh diri tersebut. Jika dokter terlibat dalam euthanasia tipe ini, biasanya disebut sebagai bunuh diri atas pertolongan dokter. Di Amerika Serikat, kasus ini pernah dilakukan oleh dr. Jack Kevorkian.Euthanasia dapat menjadi aktif atau pasif: Euthanasia aktif menjabarkan kasus ketika suatu tindakan dilakukan dengan tujuan untuk menimbulkan kematian. Contoh dari kasus ini adalah memberikan suntik mati. Hal ini ilegal di Britania Raya dan Indonesia. Euthanasia pasif menjabarkan kasus ketika kematian diakibatkan oleh penghentian tindakan medis. Contoh dari kasus ini adalah penghentian pemberian nutrisi, air, dan ventilator.Ada kasus ketika meningkatkan dosis pengurang rasa sakit, seperti pemberian Morfin, dapat memperpendek umur pasien. Namun pemberian morfin tidak dimaksukan untuk menimbulkan kematian, sehingga dipandang secara moral berbeda. Kasus ini juga dapat dilihat dari perspektif falsafah efek ganda. Prinsip ini berasal dari filsafat moral Immanuel Kant, yang juga dipopulerkan oleh Gereja Katholik. Falsafah efek ganda menekankan bahwa suatu efek tindakan tidak akan bisa diterima secara moral ketika ia terjadi secara sengaja, namun tindakan itu akan diterima jika tidak disengaja.Argumen Pro EuthanasiaKelompok pro euthanasia, yang termasuk juga beberapa orang difabel, berkonsentrasi untuk mempopulerkan euthanasia dan bantuan bunuh diri. Mereka menekankan bahwa pengambilan keputusan untuk euthanasia adalah otonomi individu. Jika seseorang memiliki penyakit yang tidak dapat disembuhkan atau berada dalam kesakitan yang tak tertahankan, mereka harus diberikan kehormatan untuk memilih cara dan waktu kematian mereka dengan bantuan yang diperlukan. Mereka mengklaim bahwa perbaikan teknologi kedokteran merupakan cara untuk meningkatkan jumlah pasien yang sekarat tetap hidup. Dalam beberapa kasus, perpanjangan umur ini melawan kehendak mereka.Mereka yang mengadvokasikan euthanasia non sukarela, seperti Peter Singer, berargumentasi bahwa peradaban manusia berada dalam periode ketika ide tradisional seperti kesucian hidup telah dijungkir balikkan oleh praktek kedokteran baru yang dapat menjaga pasien tetap hidup dengan bantuan instrumen. Dia berargumen bahwa dalam kasus kerusakan otak permanen, ada kehilangan sifat kemanusian pada pasien tersebut, seperti kesadaran, komunikasi, menikmati hidup, dan seterusnya. Mempertahankan hidup pasien dianggap tidak berguna, karena kehidupan seperti ini adalah kehidupan tanpa kualitas atau status moral.Falsafah Utilitarian Singer menekankan bahwa tidak ada perbedaan moral antara membunuh dan mengizinkan kematian terjadi. Jika konsekuensinya adalah kematian, maka tidak menjadi masalah jika itu dibantu dokter, bahkan lebih disukai jika kematian terjadi dengan cepat dan bebas rasa sakit.Oposisi terhadap EuthanasiaBanyak argumen anti euthanasia bermula dari proposisi, baik secara religius atau sekuler, bahwa setiap kehidupan manusia memiliki nilai intrinsik dan mengambil hidup seseorang dalam kondisi normal adalah suatu kesalahan. Advokator hak-hak orang difabel menekankan bahwa jika euthanasia dilegalisasi, maka hal ini akan memaksa beberapa orang difabel untuk menggunakannya karena ketiadaan dukungan sosial, kemiskinan, kurangnya perawatan kesehatan, diskriminasi sosial, dan depresi. Orang difabel sering lebih mudah dihasut dengan provokasi euthanasia, dan informed consent akan menjadi formalitas belaka dalam kasus ini. Beberapa orang akan merasa bahwa mereka adalah beban yang harus dihadapi dengan solusi yang jelas. Secara umum, argumen anti euthanasia adalah kita harus mendukung orang untuk hidup, bukan menciptakan struktur yang mengizinkan mereka untuk mati.Disadur dari:Wellcome Trust. 2004. Disability & Bioethics Resource Pack. Euthanasia. V1.0Referensi tambahan: Shannon, Thomas (Diterjemahkan K.Bertens). 1995. Pengantar Bioetika. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Karo-Karo, Andre. 1987. Etika Suatu Pengantar. Penerbit Erlangga. Jakarta. Situs web Riset Euthanasia. http://www.euthanasia.com/ Situs web Peter Singer. http://www.princeton.edu/~psinger/Sumber gambar:http://2.bp.blogspot.com

Eutanasia (Bahasa Yunani: eu yang artinya "baik", dan thanatos yang berarti kematian) adalah praktik pencabutan kehidupan manusia atau hewan melalui cara yang dianggap tidak menimbulkan rasa sakit atau menimbulkan rasa sakit yang minimal, biasanya dilakukan dengan cara memberikan suntikan yang mematikan.Aturan hukum mengenai masalah ini berbeda-beda di tiap negara dan seringkali berubah seiring dengan perubahan norma-norma budaya maupun ketersediaan perawatan atau tindakan medis. Di beberapa negara, eutanasia dianggap legal, sedangkan di negara-negara lainnya dianggap melanggar hukum. Oleh karena sensitifnya isu ini, pembatasan dan prosedur yang ketat selalu diterapkan tanpa memandang status hukumnya.Menurut istilah Kedokteran : Eutahanasia berarti tindakan agar kesakitan atau penderitaan yang dialami seseorang yang akan meninggal diperingan.Mempercepat kematian seseorang yang ada dalam kesakitan dan penderitaan hebat menjelang kematiannya. B. Kategori Euthasania Euthanasia ditinjau dari Pemberian Izin :1. Eutanasia di luar kemauan pasienSuatu tindakan eutanasia yang bertentangan dengan keinginan si pasien untuk tetap hidup. Tindakan eutanasia semacam ini dapat disamakan dengan pembunuhan, dan pelakunya dapat dikenakan ancaman tindakan pidana.2. Eutanasia secara tidak sukarelaEutanasia semacam ini adalah yang seringkali menjadi bahan perdebatan dan dianggap sebagai suatu tindakan yang keliru oleh siapapun juga. Hal ini terjadi apabila seseorang yang tidak berkompeten atau tidak berhak untuk mengambil suatu keputusan misalnya statusnya hanyalah seorang wali dari si pasien. Namun disisi lain, si pasien sendiri tidak memungkinkan untuk memberikan ijin dikarenakan kondisinya, misalnya sipasien koma atau tidak sadar.3. Eutanasia secara sukarelaDilakukan atas persetujuan si pasien sendiri, namun hal ini juga masih merupakan hal kontroversial. Beberapa Negara memberikan ijin untuk eutanasia tipe yang ketiga ini, misalnya Belanda, namun beberapa yang lain menganggapnya sebagai tindakan bunuh diri yang dibantu, sehingga tetap melanggar hukum.

Euthanasia ditinjau dari Segi TujuannyaDitinjau dari segi tujuannya, eutanasia juga dibedakan menjadi 3 (Wikipedia, 2010), yaitu:1. Eutanasia berdasarkan belas kasihan (mercy killing): Eutanasia jenis ini, dilakukan atas dasar rasa kasihan kepada sang pasien, umumnya eutanasia jenis ini dilakukan kepada pasien yang menderita rasa sakit yang amat sangat dalam penyakitnya, sehingga membuat orang-orang disekitarnya menjadi tidak tega dan memutuskan untuk melakukan eutanasia.2. Eutanasia hewan: Sesuai dengan namanya, eutanasia jenis ini, khusu dilakukan kepada hewan, biasanya beberapa hewan peliharaan yang sudah tua dan menderita sakit berkepanjangan, membuat si pemilik tidak tega dan memutuskan untuk melakukan eutanasia. Pada kasusyang lain, beberapa kepercayaan percaya bahwa, saat seseorang meninggal, maka barang-barang kesayangannya harus diikutkan ke dalam kubur, termasuk hewan-hewan kesayangannya, sehingga sebelum hewan tersebut dikuburkan umumya mereka di suntik mati terlebih dahulu.3. Eutanasia berdasarkan bantuan dokter: Adalah bentuk lain daripada eutanasia agresif secara sukarela. Dilakukan atas persetujuan sang pasien sendiri. Euthanasia ditinjau dari Sudut Cara Pelaksanaan1. Eutanasia agresifDisebut juga eutanasia aktif, adalah suatu tindakan secara sengaja yang dilakukan oleh dokter atau tenaga kesehatan lainnya untuk mempersingkat atau mengakhiri hidup seorang pasien. Eutanasia agresif dapat dilakukan dengan pemberian suatu senyawa yang mematikan, baik secara oral maupun melalui suntikan. Salah satu contoh senyawa mematikan tersebut adalah tablet sianida.2. Eutanasia non agresifKadang juga disebut eutanasia otomatis (autoeuthanasia) digolongkan sebagai eutanasia negatif, yaitu kondisi dimana seorang pasien menolak secara tegas dan dengan sadar untuk menerima perawatan medis meskipun mengetahui bahwa penolakannya akan memperpendek atau mengakhiri hidupnya. Penolakan tersebut diajukan secara resmi dengan membuat sebuah "codicil" (pernyataan tertulis tangan). Eutanasia non agresif pada dasarnya adalah suatu praktik eutanasia pasif atas permintaan pasien yang bersangkutan.3. Eutanasia pasif Dapat juga dikategorikan sebagai tindakan eutanasia negatif yang tidak menggunakan alat-alat atau langkah-langkah aktif untuk mengakhiri kehidupan seorang pasien. Eutanasia pasif dilakukan dengan memberhentikan pemberian bantuan medis yang dapat memperpanjang hidup pasien secara sengaja. Beberapa contohnya adalah dengan tidak memberikan bantuan oksigen bagi pasien yang mengalami kesulitan dalam pernapasan, tidak memberikan antibiotika kepada penderita pneumonia berat, meniadakan tindakan operasi yang seharusnya dilakukan guna memperpanjang hidup pasien, ataupun pemberian obat penghilang rasa sakit seperti morfin yang disadari justru akan mengakibatkan kematian. Tindakan eutanasia pasif seringkali dilakukan secara terselubung oleh kebanyakan rumah sakit.Penyalahgunaan eutanasia pasif bisa dilakukan oleh tenaga medis maupun pihak keluarga yang menghendaki kematian seseorang, misalnya akibat keputusasaan keluarga karena ketidaksanggupan menanggung beban biaya pengobatan. Pada beberapa kasus keluarga pasien yang tidak mungkin membayar biaya pengobatan, akan ada permintaan dari pihak rumah sakit untuk membuat "pernyataan pulang paksa". Meskipun akhirnya meninggal, pasien diharapkan meninggal secara alamiah sebagai upaya defensif medis.C. Jenis-jenis EuthanasiaJenis Euthanasia ada 2 :1. Euthanasia aktif adalah : suatu tindakan mempercepat proses kematian, baik dengan memberikan suntikan maupun melepaskan alat-alat pembantu medika, seperti : melepaskan saluran zat asam, melepas alat pemacu jantung dan lain-lain. Yang termasuk tindakan mempercepat proses kematian disini adalah : jika kondisi pasien, berdasarkan ukuran dan pengalaman medis masih menunjukkan adanya harapan hidup. Tanda-tanda kehidupan masih terdapat pada penderita ketika tindakan itu dilakukan.2. Euthanasia pasif adalah : suatu tindakan membiarkan pasien/penderita yang dalam keadaan tidak sadar (comma), karena berdasarkan pengamalan maupun ukuran medis sudah tidak ada harapan hidup, atau tanda-tanda kehidupan tidak terdapat lagi padanya, mungkin karena salah satu organ pentingnya sudah rusak atau lemah seperti : bocornya pembuluh darah yang menghubungkan ke otak (stroke) akibat tekanan darah terlalu tinggi, tidak berfungsinyajantung.D. Metode Euthasinia Euthanasia sukarela: ini dilakukan oleh individu yang secara sadar menginginkan kematian. Euthanasia non sukarela: ini terjadi ketika individu tidak mampu untuk menyetujui karena faktor umur, ketidak mampuan fisik dan mental. Sebagai contoh dari kasus ini adalah menghentikan bantuan makanan dan minuman untuk pasien yang berada di dalam keadaan vegetatif (koma). Euthanasia tidak sukarela: ini terjadi ketika pasien yang sedang sekarat dapat ditanyakan persetujuan, namun hal ini tidak dilakukan. Kasus serupa dapat terjadi ketika permintaan untuk melanjutkan perawatan ditolak. Bantuan bunuh diri: ini sering diklasifikasikan sebagai salah satu bentuk euthanasia. Hal ini terjadi ketika seorang individu diberikan informasi dan wacana untuk membunuh dirinya sendiri. Pihak ketiga dapat dilibatkan, namun tidak harus hadir dalam aksi bunuh diri tersebut. Jika dokter terlibat dalam euthanasia tipe ini, biasanya disebut sebagai bunuh diri atas pertolongan dokter. Di Amerika Serikat, kasus ini pernah dilakukan oleh dr. Jack Kevorkian.E. Alasan Euthanisia

Adanya hak moral bagi setiap orang untuk mati terhormat, maka seseorang mempunyai hak memilih cara kematiannya Tindakan belas kasihan pada seseorang yang sakit, meringankan penderitaan sesama adalah tindakan kebajikan Tindakan belas kasihan pada keluarga pasien Mengurangi beban ekonomi

F. Dampak Euthanisia

Sudut pandang Pasien mudah putus asa karena tidak ingin dan tidak memiliki semangat untuk berjuang melawan penyakitnya. Sudut pandang Keluarga Pasien aspek kemanusiaan dan ekonomi

G. Aspek Euthanisia1. Aspek Hukum Undang undang yang tertulis dalam KUHP Pidana hanya melihat dari dokter sebagai pelaku utama euthanasia, khususnya euthanasia aktif dan dianggap sebagai suatu pembunuhan berencana, atau dengan sengaja menghilangkan nyawa seseorang. Sehingga dalam aspek hukum, dokter selalu pada pihak yang dipersalahkan dalam tindakan euthanasia, tanpa melihat latar belakang dilakukannya euthanasia tersebut. Tidak perduli apakah tindakan tersebut atas permintaan pasien itu sendiri atau keluarganya, untuk mengurangi penderitaan pasien dalam keadaan sekarat atau rasa sakit yang sangat hebat yang belum diketahui pengobatannya. 2. Aspek Hak Asasi Hak asasi manusia selalu dikaitkan dengan hak hidup, damai dan sebagainya. Tapi tidak tercantum dengan jelas adanya hak seseorang untuk mati. Mati sepertinya justru dihubungkan dengan pelanggaran hak asasi manusia. Hal ini terbukti dari aspek hukum euthanasia yang cenderung menyalahkan tenaga medis dalam euthanasia. Sebetulnya dengan dianutnya hak untuk hidup layak dan sebagainya, secara tidak langsung seharusnya terbersit adanya hak untuk mati, apabila dipakai untuk menghindarkan diri dari segala ketidak nyamanan atau lebih tegas lagi dari segala penderitaan yang hebat. 3. Aspek Ilmu Pengetahuan Pengetahuan kedokteran dapat memperkirakan kemungkinan keberhasilan upaya tindakan medis untuk mencapai kesembuhan atau pengurangan penderitaan pasien. Apabila secara ilmu kedokteran hampir tidak ada kemungkinan untuk mendapatkan kesembuhan ataupun pengurangan penderitaan. Segala upaya yang dilakukan akan sia sia, bahkan sebaliknya dapat dituduhkan suatu kebohongan, karena di samping tidak membawa kepada kesembuhan, keluarga yang lain akan terseret dalam pengurasan dana. 4. Aspek AgamaKelahiran dan kematian merupakan hak dari Tuhan sehingga tidak ada seorangpun di dunia ini yang mempunyai hak untuk memperpanjang atau memperpendek umurnya sendiri. Pernyataan ini menurut ahli ahli agama secara tegas melarang tindakan euthanasia, apapun alasannya. Dokter bisa dikategorikan melakukan dosa besar dan melawan kehendak Tuhan yaitu memperpendek umur. Orang yang menghendaki euthanasia, walaupun dengan penuh penderitaan bahkan kadang kadang dalam keadaan sekarat dapat dikategorikan putus asa, dan putus asa tidak berkenan dihadapan Tuhan.H. Contoh Kasus EuthanasiaKasus Hasan Kusuma - IndonesiaSebuah permohonan untuk melakukan eutanasia pada tanggal 22 Oktober 2004 telah diajukan oleh seorang suami bernama Hassan Kusuma karena tidak tega menyaksikan istrinya yang bernama Agian Isna Nauli, 33 tahun, tergolek koma selama 2 bulan dan disamping itu ketidakmampuan untuk menanggung beban biaya perawatan merupakan suatu alasan pula. Permohonan untuk melakukan eutanasia ini diajukan ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Kasus ini merupakan salah satu contoh bentuk eutanasia yang diluar keinginan pasien. Permohonan ini akhirnya ditolak oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, dan setelah menjalani perawatan intensif maka kondisi terakhir pasien (7 Januari 2005) telah mengalami kemajuan dalam pemulihan kesehatannya.

BAB IIIPENUTUP

KesimpulanEuthanasia adalah suatu tindakan yang di lakukan oleh seorang tenaga medis untuk mengakhiri hidup seseorang yang di rawatnya untuk memperingan beban hidupnya yang mendapatkan persetujuan dari keluarga.

Saran Ketika sakit disarankan untuk mendapatkan perawatan medis yang diperlukan dengan tidak melupakan usaha lain diantaranya meminta kepada Sang Pencipta dan usaha untuk sembuh.

DAFTAR PUSTAKAEuthanasia. (Online). (http://kamusbahasaindonesia.org/eutanasia, diakses 24 Oktober 2010)Euthanasia. (Online). (http://id.wikipedia.org/wiki/Eutanasia diakses 24 Oktober 2010)Franson, J.C. 2004. Chapter 5 Euthanasia.(Online), (http://www.nwhc.usgs.gov. diakses 29 Oktober 2010).Shannon, Thomas (Diterjemahkan K.Bertens). 1995. Pengantar Bioetika. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.Karo-Karo, Andre. 1987. Euthanasia. Penerbit Erlangga. Jakarta.

Euthanasia Dilihat dari Sudut Pandang Agama Buddha

A. Latar Belakang Masalah

Sering kali kita mendengar dari media cetak maupun elektronik banyaknya orang melakukan bunuh diri. Bunuh diri hampir terjadi diseluruh dunia termasuk Indonesia. Latar belakang bunuh diri sangat beragam sebabnya, dan sebagian bunuh diri karena putus cinta, gagal ujuan, usaha bangkrut, sakit yang tak kunjung sembuh, tekanan ekonomi, terlilit hutang dan sebagainya. Dari contoh tersebut dapat kita ambil kesimpulan bahwa penyebab bunuh diri adalah kegagalan, yaitu gagal mencapai apa yang mereka inginkan.Cara-cara bunuh diri pun beragam caranya, ada yang gantung diri, minum racun, memotong urat nadi, suntik mati, dan lain-lain. Dalam hal ini penulis membatasi pembahasan tentang cara-cara bunuh diri khususnya bunuh diri yang dilakukan dengan bantuan orang lain atau dokter. Praktik bunuh diri semacam ini sering disebut euthanasia. Sebagian orang ada yang berpandangan bahwa kematian lebih baik dari pada hidup menanggung penderitaan dan kesedihan. Euthanasia terjadi biasanya karena pasien yang sakit tidak kunjung sembuh dari penyakinya sedangkan biaya untuk berobat tidak ada. Dalam dunia kedoteran kata Euthanesia atau kematian yang disengaja tidaklah asing, bahkan praktik semacam ini telah banyak terjadi. Kenyataan yang ada Euthanesia telah sering terjadi didunia kedokteran, hal ini terbukti bahwa dilaporkan oleh The Medical Journal Of Australia bahwa hasil survai rahasia terhapat 30.000 dokter Australia, telah terjadi 37.000 kematian akibat euthanesia. (Jo, 2000 : 191). Praktik euthanesia sebenarnya tidak lain dengan tindakan membunuh. Sesusungguhnya manusia tidak berhak mengakhiri kehidupan dirinya dan orang lain. Dari latar belakang tersebut penulis akan melihat secara ilmiah bagamana euthanasia dilihat dari sudut pandang agama buddha.B. Pengertian EuthanasiaIstilah euthanasia berasal dari bahasa yunani, yaitu yaitu terdiri dari dua kata: Eu yang berarti baik, dan Thanatos yang berarti mati. (Derek, Aan 1986 : 3). Jadi maksud mati disini yaitu kematian secara baik. Orang romawi tidak menunggu sampai mereka sakit, setiap saat mereka dapat mengambil keputusan untuk mati, sekali pun dalam masa puncak, sehingga mereka hanya akan memiliki kenangan yang indah tentang kehidupan. (Jo, 2000 : 192). Berbagai alasan kemanusiaan untuk melakukan tindakan euthanasia akhirnya sebagian negara barat ada yang mengesahkan/menglegalkan tindakan euthanasia tersebut. Di Indonesia sendiri euthanasia tidak dibenarkan, baik secara hukum maupun secara agama. Dokter yang melakukan euthanasia dapat dikenakan tuduhan direncanakan. Sedangkan pembunuhan yang direncanakan dapat dikenakan hukuman pidana pembunuhan yang diatur dalam hukum Pidana pasal 340 yaitu:Barang siapa dengan sengaja dan dengan rencana terlebih dahulu merampas nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan berencana, dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu, paling lama dua tahun. (Andi Hamzah, 2004 : 134)

Dalam agam buddha terdapat tiga jenis nafsu keinginan (tanha) yaitu, keinginan untuk memuaskan nafsu inra (kama tanha), keinginan untuk hidup terus (bhava tanha) dan keinginan untuk mengakhiri hidup (vibhava tanha). Bunih diri adalah salah satu dari nafsu keinginan (tanha), yaitu vibhava tanha. Keinginan ini muncul karena ia melihat bahwa kehidupan ini dengan pandangan pesimis artinya semua yang dijalani membuatnya kecewa dan tidak pernah memuaskan, hingga akhirnya ia memiliki pandangan bahwa hidup semua masalah dapat diselesaikan dengan kematian. Dalam dhamma dijelaskan bahwa kematian bukan akhir dari penderitaan, namun kematian adalah bentuk dari penderitaan. Dengan demikian bahwa menyelesaikan masalah dengan bunuh diri adalah suatu indakan yang salah. Euthanasia adalah tindakan dokter melepas pasien atau mengangkat tangan sehubungan ketidakmampuannya menyembuhkan jenis penyakit yang diderita pasien.(Buddha Dhamma Kontekstual, 2000). Tindakan semacam ini semakin banyak dilakukan dengan seizin pasien atau keluarga pasien. Tindakan euthanasia banyak dilakukan karena penyakit yang diderita pasien tidak mungkin lagi untuk disembuhkan dan keterbatasan biaya yang dimiliki keluarga adalah hal yang melatar belakangi tindakan euthanasia. Namun seperti yang terjadi pada pasien

C. Pandangan Agama Buddha mengenai EuthanasiaSesuai dengan yang dijelaskan di atas bahwa euthanasia juga tindakan yang dilakukan dengan permintaan pasien. Dengan demikian tindakan semacam ini juga disebut sebagai bunuh diri. Dalam Engglish Pali Dictionary, kata bunuh diri diartikan sebagai Attavada, attagatha(Buddhadatta, 1995 : 515). Dalam ajaran buddha dijelaskan bahwa kita hendaknya dapat melaksanakan sila dengan baik, karena melaksanakan sila dapar terlahir di alam bahagia. Sang Buddha menjelaskan bahwa:.....Bagi orang yang melaksanakan sila (kebajikan moral) akan mendapat pahala dan kekayaan akan bertambah besar. Orang yang rajin mengerjakan apa yang harus dikerjakan, berkelakuan baik dan memiliki keyakinan yang kuat, tidak berbuat hal-hal yang memalukan dalam masyaraka, apakah dia dari golongan kesatrya, para Brahmana, perumah tangga atau pun pertapa. Jika mereka meninggal, mereka akan meninggal dengan tenang dan pada saat kehancuran tubuh mereka setelah kematian, mereka akan terlahir kembali dalam keadaan bahagia di alam surga (suggati). (Tim Penterjemah 1979 : 16-17).

Umat awam melaksanakan sila jumlahnya lima sila, isi sila yang pertama adalah menghindari membunuh makhluk hidup. Suatu perbuatan dapat dikatakan sebagai pembunuhan apabila memenuhi liam syarat yaitu:1. ada makhluk hidup lain (pamo)2. mengetahi bahwa makhluk itu hidup (panasannita)3. berniat untuk membunuh (vadhakacittam)4. melakukan usaha untuk membunuh (upakamo)5. makhluk iti mati melalui usahanya (tena maranam). (Teja S.M. Rashid, 1997 : 31-32).

Euthanasia bila dilihat dari sudut pandang agama buddha berarti termasuk dalam pembunuhan manusia, walaupun pasien sendiri yang menghendaki untuk dibunuh. Euthanasia adalah pembunuhan yang dilakukan dengan kehendak (cethana). Euthanasia juga termasuk dalam tindakan bunuh diri, Sang Buddha menetapkan tindakan membunuh manusia dan bunuh diri adalah termasik pelanggaran parajika. dalam Vinaya pitaka III, dijelaskan bahwa: Bhikkhu siapapun yang dengan sengaja membunuh seorang manusia atau menganjurkan seseorang untuk bunuh diri, termasuk orang yang terkalahkan dan tidak lagi dalam pesamuan (dipecat dari sangha). (Horner, 1970 ).

Sang Buddha menetapkan peraturan tersebut berkenaan dengan sejumlah bhikkhu yang merasa cemas, menderita, muak, dan jijik dengan badan jasmani. Kejemuan dan kebosanan inilah yang menyebabkan para bhikkhu melakukan bunuh diri atau minta kepada orang lain untuk membunuh. akibat dari melakukan pembunuhan akan terlahir dialam menderita dan apabila terlahir sebagai manusia maka akan terlahir dengan usia yang tidak panjang. Dalam Majjhima Nikaya, dijelaskan bahwa:seorang wanita atau pria yang membunuh mekhluk hidup, kejam dan gemar memukul serta membunuh tanpa belas kasihan kepada smakhluk hidup, akibat perbuatan yang dilakukannya itu dapat membawanya ke alam-alam rndah atau neraka yang penuh dengan kesedihan dan penderitaan. Apabila terlahir kembali sebagai manusia, di mana saja ia akan bertumimbal lahir, maka umurnya tidaklah akan panjang.. (Majjhima Nikaya 135).

Pandangan umum ada yang mengatakan bahwa kematian seorang bayi adalah kematian yang suci, karena bayi tersebut belum melakukan perbuatan jahat. Namun berbeda dengan pandangan agama Buddha yang mengenal adanya hukum kelahiran kembali, artinya manusia hidup tidak hanya sekarang ini. Dengan demikian bahwa kematian seorang bayi berarti buah kamma dari kehidupan yang lampau, sehingga bayi tersebut memiliki umur pendek. Seperti yang dijelaskan di atas bahwa umur pendek adalah akibat dari melakuakn pembunuhan terhadap makhluk hidup. Jan Sanjivaputta menjelaskan, terdapat enam cara atau usaha melakukan pembunuhan yaitu:1. Pembunuhan yang dilakukan oleh diri sendiri2. dengan menyuruh orang lain3. dengan mengunakan senjata4. dengan membuat perangkap yang permanen5. dengan mengunakan ilmu perdukunan6. dengan mengunakan kemampuan batin. (Manggala, 2002)

Uraian tersebut di atas menjelaskan bahwa, suatau tindakan dapat dikatakan sebagai pembunuhan bukan hanya yang dilakukan oleh diri sendiri tetapi juga pembunuhan yang dilakukan dengan cara-cara tersebut di atas.Agama Buddha adalah agama yang mengajarkan cinta kasih (metta), yaitu cinta kasih yang universal kepada semua makhluk termasuk pada diri sendiri. Euthanasia adalah tindakan yang salah yaitu merugikan diri sendiri dan orang lain. bagaimana kita dapat memancarkan cinta kasih kita kepada semua makhluk jika kita memiliki rasa cinta kepada diri sendiri. Sang Buddha memiliki cinta kasih yang universal, dalam Digha Nikaya, Brahmajala Sutta, dijelaskan bahwa Tidak membunuh makhluk hidup, Samana Gotama menjauhkan diri dari membunuh, ia telah membuang alat pemukul dan pedang, ia malu melakukan kekerasan karana cinta kasih, kasih sayang, dan kebaikan hatinya kepada semua makhluk. (Tim Penterjemah, 1992 : 4). Sang Buddha sangat mencintai kehidupan, beliau telah menghindari untuk tidak membunuh makhluk. Demikian kita hendaknya meneladani sifat-sifat Sang Buddha untuk tidak melakukan tidakan membunuh makhluk. Demikian juga kita hendaknya untuk tidak melakukan membunuh diri sendiri. Kehidupan adalalah tidak pasti, tetapi kematian adalah pasti. (Lanny Angawati, 1999 : 144). Kematian adalah suatu proses yang pasti akan datang pada setiap makhlukn tanpa kita memintanya, jadi salah jika kita mempercepat datangnya kematian dengan jalan bunuh diri. Sebab-sebab kematian dalam agama Buddha ada empat macam yaitu:1. Ayukkhaya-marana, kematian yang disebabkan oleh habisnya usia,2. Kammakaya-marana, kematian yang disebabkan oleh habisnya kamma3. Ubhayakkaya-marana, kematian yang disebabkan oleh habisnya kamma dan usia,4. Upacchedaka-marana, kematian yang disebabkan oleh gangguan yang lain, sedangkan usia dan kamma belum habis. (Panjika, 1994 : 141)

Dari penjelasan di atas berarti Euthanasia atau tidnakan bunuh diri, termasuk dalam kriteria yang keempat yaitu Upacchedaka-marana, artinya kematian suatu makhluk karena gangguan lain bukan karena habisnya usia dan kamma. D. Akibat Euthanasia (bunuh diri)Untuk pelaku bunih diri dapat terbebas dari jelaratan hukum karena mereka meninggal, namun bagi mereka yang membantu melakukan tindakan euthanasia dapat dijerat oleh hukum. Manusia yang melakukan bunuh diri dapat terbebas dari jeratan hukum tetapi, mereka tidak akan terbebas dari kamma yang telah dilakukannya. Tidak ada makhluk apapun yang dapat menghindari akibat dari perbuatan yang mereka lakukan. Dalam Dhammapada dijelasklan bahwa: Tidak di langit, di tengah lautan, di celah-celah gunug, atau di manapun ditemukan suatu tempat bagi seseorang untuk dapat menyembunyikan diri dari akibat perbuatan jahatnya. (Tim Penterjemah, 2002 : 54). Pandangan Agama Buddha terhadap EutanasiaDewasa ini perkembangan pengetahuan dan teknologi semakin merajalela. Hal ini ditunjukan mulai dengan muculnya sistem ilmiah atau sains-sains baru yang di kembangkan oleh para ilmuwan. Salah satu dari banyaknya hal hal baru yang ditemukan atau dibahas dalam ilmu pengetahuan yaitu tentang eutanasia. Secara etimologi euthanasia terdiri dari dua kata yang berasal dari bahasa Yunani eu yang berarti baik dan thanatos yang berati kematian. Jadi secara harafiah euthanasia berarti mati yang layak atau mati yang baik (good death). Sedangkan berdasarkan makna yang tercantum dalam KBBI (2008: 310) eutanasia adalah suatu tindakan mengakhiri kehidupan seseorang yang sakit berat atau luka parah dengan kematian yang tenang dan mudah atas dasar peri kemanusiaan. Eutanasia sendiri merupakan hasil dari penemuan baru di bidang ilmu kedokteran yang kini masih menjadi dilematik dalam kehidupan manusia. Khususnya dari segi agama eutanasia ini menjadi suatu hal sangat serius untuk dibicarakan. Hal tersebut dikarenakan adanya ketidaksesuaian praktik eutanasia dengan nilai-nilai moral yang diajarkan dalam sebuah agama. Hampir sebagian besar agama melarang keras atau dengan tegas menolak tentang adanya praktek eutanasia itu sendiri yang karena mereka melihat dari paham tentang kuasa Ilahi, bahhwa hidup dan kematian suatu makhluk termasuk manusia sudah diatur oleh Tuhan Yang Maha Kuasa. Manusia tidak berhak samasekali tentang penentuan kematian seseorang. Dari permasalahan itulah yang akhirnya mendorong penulis untuk membahas bagaimana permasalahan eutanasia tersebut dilihat dari pandangan agama Buddha, yang sudah jelas tidak mengenal tentang adanya paham causa prima atau Tuhan sebagai sumber segalanya.Setiap Agama tentunya memiliki suatu ajaran yang digunakan dalam melihat sebuah permasalahan seperti halnya permasalah eutanasia. Agama Buddha sendiri juga tidak lepas dengan adanya suatu hal atau ajaran yang dapat dijadikan sebagai acuan dalam menyelesaikan sebuah permasalahan. Dalam Digha Nikaya, Mahaparinibbana Sutta,. Sang Buddha mengatakan bahwa ajaran beliau terdiri dari dhamma dan vinaya..dimana hal tersebut merupakan hal yang harus dijadikan acuan oleh agama Buddha dalam melaksanakan kehidupan di dunia termasuk dalam hal memandang sebuah permasalahan. Jika kita meneliti dari kasus eutanasia yang banyak terjadi adalah atas dasar alasan ekonomi, karena pihak keluarga tidak mempunyai uang yang cukup untuk merawat orang yang sedang menderita penyakit yang parah yang kemungkinan untuk sembuh sangat kecil, terkadang juga dari permintaan pasien yang ingin di eutanasia. Selain alasan ekonomi, eutanasia dilakukan juga atas dasar belas kasihan tentang derita yang dialami oleh pasien. Sebagai umat Buddha tentunya kita diajarkan untuk sebanyak munkin untuk melakukan kebaikan dalam hal ini adalah selalu berwelas asih seperti yang sudah diajarkan oleh Buddha dalam brahma vihara. Dalam dhamma juga terdapat ajaran tentang hukum karma yang juga menyangkut tentang kematian dalam suatu makhluk. Sepertihalnya kasus eutanasia sendiri bahwa kematian seseorang yang terjadi karena eutanasia juga tidak lepas dengan adanya sebab karma lampau yang berbuah pada seorang pasien atau korban eutanasia tersebut. Hal ini memungkinkan bahwa praktik eutanasia memang tidak bertentangan jika dilihat dari sudut pandang dhamma tentang hukum karma yang diterima oleh si korban, akan tetapi seperti yang sudah saya sebutkan di atas bahwa agama Buddha tidak melihat sebuah permasalahan dari satu sisi saja akan tetapi juga harus memperhatikan ajaran vinaya atau sila yang juga merupakan kesatuan dari ajaran Buddha.Dari sudut pandang nilai kemoralan atau sila, euthanasia dapat dikategorikan dalam kasus pembunuhan manusia, dan juga termasuk dalam tindakan bunuh diri (Attavada), karena pasien sendiri yang menghendaki untuk dibunuh. Euthanasia adalah pembunuhan yang dilakukan dengan kehendak (cethana). Hal ini sangat bertentangan dengan ajaran Pancasila buddhis yaitu sila yang pertama adalah menghindari membunuh makhluk hidup. Dimana perbuatan tersebut dapat dikatakan sebagai pembunuhan apabila memenuhi lima syarat yaitu:1. Adanya makhluk hidup lain (pano)2. Mengetahi bahwa makhluk itu hidup (panasannita)3. Berniat untuk membunuh (vadhakacittam)4. Melakukan usaha untuk membunuh (upakamo)5. Makhluk itu mati melalui usahanya (tena maranam).

Dari penjelasan sila pertama ini jelas bahwa eutanasia dapat dikategorikan dalam kasus pelanggaran sila pertama dalam pancasila buddhis. Sedangkan dalam peraturan bhikkhu tindakan membunuh manusia dan bunuh diri adalah termasuk pelanggaran parajika atau pelanggaran berat. Dimana hal ini dijelaskan dalam Vinaya pitaka III, yang dijelaskan bahwa seorang bhikkhu yang dengan sengaja melakukan pembunuhan atau menganjurkan seseorang untuk bunuh diri akan dikeluarkan dari pasamuan sangha.Agama Buddha menanggapi masalah euthanasia antara setuju dan tidak setuju. Akan tetapi penjelasan di atas dapat diambil kesimpulan bahwa dalam sudut sudut pandang Buddhis, kasus eutanasia seharusnya tidak boleh dilakukan karena merupakan suatu pembunuhan yang menyebabkan karma buruk. Begitupula dengan seorang pasien yang ingin melakukan euthanasia maka akan menambah karma buruknya sendiri karena ia menyuruh seseorang untuk membunuh dan ia melakukan bunuh diri. Alasan tidak boleh dilakukannya eutanasia adalah kita sebagai umat Buddha tidak boleh membunuh, adanya kemungkinan untuk sembuh bagi orang yang menderita penyakit maupun orang yang sedang dalam keadaan koma. Sang Buddha sendiri juga pernah mengatakan dalam salah satu sutta bahwa barang siapa yang dengan tekun dan dengan rasa bakti merawat orang yang sedang sakit sama halnya mereka telah merawat Buddha. Dapat dikatakan bahwa eutanasia bukanlah satu-satunya jalan untuk menyelesaiakn permasalahan hidup dijaman modern ini. Maka sudah seharusnya kita sebagai umat buddha dapat mengambil keputusan dengan cara yang bijaksana, tidak hanya melihat dari satu sudut pandang kebenaran akan tetapi juga harus mempertimbangkan dengan bijaksana melalui berbagi sudut pandang kebenaran. Referensi:Tim Penyusun. 2003. Materi Kuliah Agama Buddha Untuk Perguruan Tinggi Agama Buddha (Kitab Suci Vinaya Pitaka). Jakarta: CV Dewi Kalyana Abadi.http;//id.wikipedia.org/wiki/Eutanasia (diakses pada tanggal 05 Februari 2013)