Pancasila Sebagai Etika Politik

16

Click here to load reader

description

hukum

Transcript of Pancasila Sebagai Etika Politik

Page 1: Pancasila Sebagai Etika Politik

Pancasila Sebagai Etika Politik

A. Pengertian Etika Politik

1.Pengertian Etika

Menurut Bartens, sebenarnya terdapat tiga makna dari etika. Pertama, etika dipakai

dalam arti nilai-nilai dan norma-norma moral yang menjadi pegangan bagi seorang atau suatu

kelompok dalam mengatur tingkah lakunya (sistem nilai dalam hidup manusia perseorangan

atau hidup bermasyarakat). Kedua, etika dipakai dalam arti kumpulan asas dan nilai moral,

yang dimaksud disini adalah kode etik. Ketiga, etika dipakai dalam arti ilmu tentang yang

baik atau yang buruk (sama dengan filsafat moral).

Etika termasuk kelompok filsafat praktis yang membahas bagaimana manusia bersikap

terhadap segala sesuatu yang ada. Etika dibagi menjadi dua kelompok yaitu etika umum dan

etika khusus. Etika merupakan suatu pemikiran kritis dan mendasar tentang ajaran-ajaran dan

pandangan-pandangan moral. Etika adalah suatu ilmu yang membahas tentang bagaimana

dan mengapa kita mengikuti suatu ajaran moral tertentu atau bagaimana kita harus

mengambil sikap yang bertanggung jawab berhadapan dengan pelbagai ajaran moral (Suseno,

1987). Etika umum mempertanyakan prinsip-prinsip yang berlaku bagi setiap tindakan

manusia, sedangkan etika khusus membahas prinsip-prinsip itu dalam hubungannya dengan

pelbagai kehidupan manusia (Suseno, 1987). Etika khusus dibagi menjadi etika individual

yang membahas kewajiban manusia terhadap diri sendiri dan etika sosial yang membahas

kewajiban manusia terhadap manusia lain dalam hidup bermasyarakat, yang merupakan suatu

bagian terbesar dari etika khusus.

Etika berkaitan dengan berbagai masalah nilai karena etika pada pokoknya membicarakan

masalah-masalah yang berkaitan dengan predikat nilai “baik” dan “buruk” segala sesuatu.

Sebagai bahasan khusu etika membicarakan sifat-sifat yang menyebabkan orang dapat

disebut susila atau bijak. Kualitas-kualitas ini dinamakan kebajikan yang berlawanan dengan

kejahatan (tidak susila). Etika lebih banyak bersangkutan dengan prinsip-prinsip dasar

pembenaran dalam hubungan dengan tingkah laku manusia (Kattsoff, 1986). Atau dengan

kata lain etika berkaitan dengan dasar-dasar filosofis dalam hubungan dengan tingkah laku

manusia.

2. Pengertian Politik

Pengertian politik berasal dari kosa kata “politics” yang memiliki makna bermacam-

macam kegiatan dalam suatu sistem politik atau “negara” yang menyangkut proses tujuan

penentuan-penentuan tujuan dari sistem itu dan diikuti dengan pelaksanaan tujuan-tujuan itu.

Page 2: Pancasila Sebagai Etika Politik

Pengambilan keputusan atau “decisionsmaking” mengenai apakah yang menjadi tujuan dari

sistem politik itu yang menyangkut seleksi antara beberapa alternatif dan penyusunan skala

prioritas dari tujuan-tujuan yang dipilih tersebut.

Untuk pelaksanaan tujuan-tujuan itu perlu ditentukan kebijaksanaan-kebijaksanaan umum

atau public policies, yang menyangkut pengaturan dan pembagian atau distributions dari

sumber-sumber yang ada.  Untuk melakukan kebijaksanaan-kebijaksanaan itu diperlukan

suartu kekuasaan (power), dan kewenangan (authority) yang akan dipakai baik untuk

membina kerjasama maupun menyelesaikan konflik yang mungkin timbul dalam proses ini.

Cara-cara yang dipakai dapat bersifat persuasi, dan jika perlu dilakukan suatu pemaksaan

(coercion). Tanpa adanya suatu paksaan kebijaksanaan ini hanya merupakan perumusan

keinginan belaka (statement of intents) yang tidak akan pernah terwujud. Secara operasional

bidang politik menyangkut konsep-konsep pokok yang berkaitan dengan negara (state),

kekuasaan (power), pengambilan keputusan (decisionsmaking), kebijaksanaan (policy),

pembagian (distributions) serta alokasi (allocation).

Politik selalu menyangkut tujuan-tujuan dari seluruh masyarakat (public goals), dan

bukan tujuan pribadi seseorang (privat goals). Selain itu politik menyangkut kegiatan

berbagai kelompok termasuk partai politik, lembaga masyarakat maupun perseorangan.

Dalam hubungan dengan etika politik pengertian politik harus dipahami dalam pengertian

yang luas yaitu menyangkut seluruh unsur yang membentuk suatu persekutuan hidup yang

disebut masyarakat negara.

3.   Etika Politik

Etika politik merupakan sebuah cabang dalam ilmu etika yang membahas hakikat

manusia sebagai makhluk yang berpolitik dan dasar-dasar norma yang dipakai dalam

kegiatan politik. Etika politik sangat penting karena mempertanyakan hakikat manusia

sebagai makhluk sosial dan mempertanyakan atas dasar apa sebuah norma digunakan untuk

mengontrol perilaku politik. Etika politik menelusuri batas-batas ilmu politik, kajian ideologi,

asas-asas dalam ilmu hukum, peraturan-peraturan ketatanegaraan, asumsi-asumsi, dan

postulat-postulat tentang masyarakat dan kondisi psikologis manusia sampai ke titik terdalam

dari manusia melalui pengamatan terhadap perilaku, sikap, keputusan, aksi, dan kebijakan

politik. Etika politik tidak menerima begitu saja sebuah norma yang melegitimasi kebijakan-

kebijakan yang melanggar konsep nilai intersubjektif (dan sekaligus nilai objektif juga) hasil

kesepakatan awal. Jadi, tugas utama etika politik sebagai metode kritis adalah memeriksa

legitimasi ideologi yang dipakai oleh kekuasaan dalam menjalankan wewenangnya. Namun

demikian, bukan berarti bahwa etika politik hanya dapat digunakan sebagai alat kritik. Etika

Page 3: Pancasila Sebagai Etika Politik

politik harus pula dikritisi. Oleh karena itu, etika politik harus terbuka terhadap kritik dan

ilmu-ilmu terapan.

Fungsi etika politik dalam masyarakat terbatas pada penyediaan alat-alat teoritis untuk

mempertanyakan serta menjelaskan legitimasi politik secara bertanggung jawab. Jadi, tidak

berdasarkan emosi, prasangka dan apriori, melainkan secara rasional objektif dan

argumentative. Etika politik tidak langsung mencampuri politik praktis. Tugas etika politik

membantu agar pembahasan masalah-masalah ideologis dapat dijalankan secara objektif.

Hukum dan kekuasaan Negara merupakan pembahasan utama etika politik. Hukum

sebagai lembaga penata masyarakat yang normatif, kekuasaan Negara sebagai lembaga

penata masyarakat yang efektif sesuai dengan struktur ganda kemampuan manusia (makhluk

individu dan sosial). Pokok permasalahan etika politik adalah legitimasi etis kekuasaan.

Sehingga penguasa memiliki kekuasaan dan masyarakat berhak untuk menuntut pertanggung

jawaban. Legitimasi etis mempersoalkan keabsahan kekuasaan politik dari segi norma-norma

moral. Legitimasi ini muncul dalam konteks bahwa setiap tindakan Negara baik legislatif

maupun eksekutif dapat dipertanyakan dari segi norma-norma moral. Moralitas kekuasaan

lebih banyak ditentukan oleh nilai-nilai yang diyakini kebenarannya oleh masyarakat.

4. Peran Pancasila sebagai Sumber Etika Politik di Indonesia

Pancasila sebagai dasar falsafah bangsa dan Negara yang merupakan satu kesatuan nilai

yang tidak dapat dipisah-pisahkan dengan masing-masing sila-silanya. Karena jika dilihat

satu persatu dari masing-masing sila itu dapat saja ditemukan dalam kehidupan berbangsa

yang lainnya. Namun, makna Pancasila terletak pada nilai-nilai dari masing-masing sila

sebagai satu kesatuan yang tak bias ditukar-balikan letak dan susunannya. Pancasila tidak

hanya merupakan sumber derivasi peraturan perundang-undangan, melainkan juga

merupakan sumber moralitas terutama dalam hubungannya dengan legitimasi kekuasaan,

hukum, serta kebijakan dalam penyelenggaraan negara. Untuk memahami dan mendalami

nilai nilai Pancasila dalam etika berpolitik itu semua terkandung dalam kelima sila Pancasila.

1.   Ketuhanan Yang Maha Esa

Sila pertama merupakan sumber nilai-nilai moral bagi kehidupan kebangsaan dan

kenegaraan. Berdasarkan sila pertama Negara Indonesia bukanlah negara teokrasi yang

mendasarkan kekuasaan negara pada legitimasi religius. Kekuasaan kepala negara tidak

bersifat mutlak berdasarkan legitimasi religius melainkan berdasarkan legitimasi hukum dan

demokrasi. Walaupun Negara Indonesia tidak mendasarkan pada legitimasi religius, namun

secara moralitas kehidupan negara harus sesuai dengan nilai-nilai yang berasal dari Tuhan

Page 4: Pancasila Sebagai Etika Politik

terutama hukum serta moral dalam kehidupan negara. Oleh karena itu asas sila pertama lebih

berkaitan dengan legitimasi moral.

2.   Kemanusiaan yang Adil dan Beradab

Sila kedua juga merupakan sumber nilai-nilai moralitas dalam kehidupan negara.

Bangsa Indonesia sebagai bagian dari umat manusia di dunia hidup secara bersama dalam

suatu wilayah tertentu, dengan suatu cita-cita serta prinsip hidup demi kesejahteraan bersama.

Manusia merupakan dasar kehidupan dan penyelenggaran negara. Oleh karena itu asas-asas

kemanusiaan adalah bersifat mutlak dalam kehidupan negara dan hukum. Dalam kehidupan

negara kemanusiaan harus mendapatkan jaminan hukum, maka hal inilah yang diistilahkan

dengan jaminan atas hak-hak dasar (asasi) manusia. Selain itu asas kemanusiaan juga harus

merupakan prinsip dasar moralitas dalam penyelenggaraan negara.

.3.   Persatuan Indonesia

Persatuan berati utuh dan tidak terpecah-pecah. Persatuan mengandung pengertian

bersatunya bermacam-macam corak yang beraneka ragam menjadi satu kebulatan. Sila ketiga

ini mencakup persatuan dalam arti ideologis, politik, ekonomi, sosial budaya, dan hankam.

Indonesia sebagai negara plural yang memiliki beraneka ragam corak tidak terbantahkan lagi

merupakan negara yang rawan konflik. Oleh karenanya diperlukan semangat persatuan

sehingga tidak muncul jurang pemisah antara satu golongan dengan golongan yang lain.

Dibutuhkan sikap saling menghargai dan menjunjung semangat persatuan demi keuthan

negara dan kebaikan besama. Oleh karena itu sila ketiga ini juga berkaitan dengan legitimasi

moral.

4.   Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/

Perwakilan

Negara adalah berasal dari rakyat dan segala kebijaksanaan dan kekuasaan yang

dilakukan senantiasa untuk rakyat. Oleh karena itu rakyat merupakan asal muasal kekuasaan

negara. Dalam pelaksanaan dan penyelenggaraan negara segala kebijaksanaan, kekuasaan

serta kewenangan harus dikembalikan kepada rakyat sebagai pendukung pokok negara. Maka

dalam pelaksanaan politik praktis, hal-hal yang menyangkut kekuasaan legislatif, eksekutif

serta yudikatif, konsep pengambilan keputusan, pengawasan serta partisipasi harus

berdasarkan legitimasi dari rakyat, atau dengan kata lain harus memiliki “legitimasi

demokratis”.

5.   Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia

Page 5: Pancasila Sebagai Etika Politik

Dalam penyelenggaraan negara harus berdasarkan legitimasi hukum yaitu prinsip

“legalitas”. Negara Indonesia adalah negara hukum, oleh karena itu keadilan dalam hidup

bersama (keadilan sosial) merupakan tujuan dalam kehidupan negara. Dalam

penyelenggaraan negara, segala kebijakan, kekuasaan, kewenangan serta pembagian

senatiasa harus berdasarkan hukum yang berlaku. Pelanggaran atas prinsip-prinsip keadilan

dalam kehidupan kenegaraan akan menimbulkan ketidakseimbangan dalam kehidupan

negara.

Pola pikir untuk membangun kehidupan berpolitik yang murni dan jernih mutlak

dilakukan sesuai dengan kelima sila yang telah dijabarkan diatas. Yang mana dalam

berpolitik harus bertumpu pada Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang Adil dan

Beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam

Permusyarawatan/Perwakilan dan dengan penuh Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat

Indonesia tanpa pandang bulu. Etika politik Pancasila dapat digunakan sebagai alat untuk

menelaah perilaku politik Negara, terutama sebagai metode kritis untuk memutuskan benar

atau slaah sebuah kebijakan dan tindakan pemerintah dengan cara menelaah kesesuaian dan

tindakan pemerintah itu dengan makna sila-sila Pancasila.

Etika politik harus direalisasikan oleh setiap individu yang ikut terlibat secara konkrit

dalam pelaksanaan pemerintahan negara. Para pejabat eksekutif, legislatif, yudikatif, para

pelaksana dan penegak hukum harus menyadari bahwa legitimasi hukum dan legitimasi

demokratis juga harus berdasarkan pada legitimasi moral. Nilai-nilai Pancasila mutlak harus

dimiliki oleh setiap penguasa yang berkuasa mengatur pemerintahan, agar tidak

menyebabkan berbagai penyimpangan seperti yang sering terjadi dewasa ini. Seperti tindak

pidana korupsi, kolusi dan nepotisme, penyuapan, pembunuhan, terorisme, dan

penyalahgunaan narkotika sampai perselingkuhan dikalangan elit politik yang menjadi

momok masyarakat.

Dalam penerapan etika politik Pancasila di Indonesia tentunya mempunyai beberapa

kendala-kendala, yaitu :

a.       Etika politik terjebak menjadi sebuah ideologi sendiri. Ketika seseorang mengkritik

sebuah ideologi, ia pasti akan mencari kelemahan-kelemahan dan kekurangannya, baik secara

konseptual maupun praksis. Hingga muncul sebuah keyakinan bahwa etika politik menjadi

satu-satunya cara yang efektif dan efisien dalam mengkritik ideologi, sehingga etika politik

menjadi sebuah ideologi tersendiri.

b.      Pancasila merupakan sebuah sistem filsafat yang lebih lengkap disbanding etika politik

Pancasila, sehingga kritik apa pun yang ditujukan kepada Pancasila oleh etika politik

Page 6: Pancasila Sebagai Etika Politik

Pancasila tidak mungkin berangkat dari Pancasila sendiri karena kritik itu tidak akan

membuahkan apa-apa.

Namun demikian, bukan berarti etika politik Pancasila tidak mampu menjadi alat atau

cara menelaah sebuah Pancasila. Kendala pertama dapat diatasi dengan cara membuka lebar-

lebar pintu etika politik Pancasila terhadap kritik dan koreksi dari manapun, sehingga ia tidak

terjebak pada lingkaran itu. Kendala kedua dapat diatasi dengan menunjukkan kritik kepada

tingkatan praksis Pancasila terlebih dahulu, kemudian secara bertahap merunut kepada

pemahaman yang lebih umum hingga ontologi Pancasila menggunakan prinsip-prinsip norma

moral.

B. Legitimasi Kekuasaan.

Kekuasaan dapat diartikan sebagai kemampuan seseorang untuk mempengaruhi

tingkah laku orang lain sehingga orang lain menjadi sesuai dengan yang diinginkan oleh

orang yang memiliki kekuasaan tersebut. Namun dalam mempelajari kehidupan politik,

kekuasaan tidak hanya sebagai kemampuan untuk mempengaruhi orang lain akan tetapi juga

dipandang sebagai kemampuan untuk mempengaruhi proses pembuatan kebijaksanaan yang

mengikat seluruh anggota masyarakat. Suatu kekuasaan akan memunculkan sebuah

kewenangan. Laswell dan Kaplan menyatakan bahwa wewenang (authority) merupakan

sebuah kekuasaan formal, atau dengan kata lain wewenang merupakan kekuasaan yang

memiliki keabsahan atau legitimasi.

Kewenangan seseorang belum lengkap jika seseorang belum mendapatkan legitimasi.

Legitimasi merupakan penerimaan dan pengakuan masyarakat terhadap hak moral pemimpin

untuk memerintah, membuat, dan melaksanakan keputusan politik.  Secara garis besar

legitimasi merupakan hubungan antara pemimpin dengan yang dipimpin, hubungan itu lebih

ditentukan oleh yang dipimpin karena penerimaan dan pengakuan atas kewenangan hanya

berasal dari yang diperintah.

Secara umum alasan utama mengapa legitimasi menjadi penting bagi pemimpin

pemerintahan. Pertama, legitimasi akan mendatangkan kestabilan politik dari kemungkinan-

kemungkinan untuk perubahan sosial. Pengakuan dan dukungan masyarakat terhadap pihak

yang berwenang akan menciptakan pemerintahan yang stabil sehingga pemerintah dapat

membuat dan melaksanakan keputusan yang menguntungkan masyarakat umum. Pemerintah

Page 7: Pancasila Sebagai Etika Politik

yang memiliki legitimasi akan lebih mudah mengatasi permasalahan daripada pemerintah

yang kurang mendapatkan legitimasi.

Adanya pengakuan seseorang terhadap keunggulan orang lain pada hakekatnya

menunjukkan adanya keabsahan atas keunggulan yang dimiliki fihak yang disebut

belakangan. Pengakuan tersebut murni diperlukan karena tanpa adanya pengakuan tersebut,

maka keunggulan yang dimiliki seseorang tidak mempunyai makna apapun. Menurut

Gaetano Mosca, pengakuan terhadap keberadaan elit yang dapat dinyatakan sebagai suatu

legitimasi ini diistilahkan sebagai suatu ‘political formula’ yang maksudnya adalah

terdapatnya suatu keyakinan yang menunjukkan mengapa ‘the rullers’ dipatuhi

kepemimpinannya.

Sehubungan dengan hal tersebut di atas, Max Weber menyatakan pendapatnya bahwa

terdapat tiga macam ‘legitimate domination’ yang menunjukkan dalam kondisi seperti apa

sehingga seseorang atau sekelompok orang mampu mendominasi sejumlah besar orang

lainnya. Ketiga macam legitimate domination tersebut adalah: (a) traditional domination, (b)

charismatic domination, dan (c) legal-rational domination.

a.      Traditional Domination (Dominasi Tradisional)

Dominasi ini mendasarkan pada tradisi yang ada dan berlaku di tengah-tengah

masyarakat yang bersangkutan. Dengan demikian legitimasi yang diperoleh elit tentu saja

didasarkan pada tradisi yang ada dan berlaku. Dalam dominasi tradisional dapat diketemukan

massa dengan kepercayaan yang mapan terhadap kesucian tradisi yang ada. Sehingga pada

gilirannya individu-individu yang terpilih sebagai pemimpin yang berkuasa bukan dilihat dari

kharisma atau kemampuan yang dimilikinya, tetapi semata-mata atas dasar kesepakatan

bersama anggota-anggota masyarakat yang sudah mentradisi.

Dalam dominasi tradisional ini hubungan yang terjadi antara elit dan massa tidak jarang

merupakan sebuah hubungan yang lebih bernuansa personal. Kesempatan massa untuk

direkrut sebagai staf administrasi dilihat berdasarkan pada pertimbangan loyalitas pribadi

bukan berdasarkan kemampuan yang dimiliki. Hal ini menunjukkan bahwa massa

mempunyai kesetian yang tinggi terhadap penguasa, dan sebaliknya penguasa juga

mempunyai kewajiban untuk memenuhi segala kebutuhan massa. Akan tetapi walaupun

terdapat ikatan yang sangat kuat antara massa dan elit penguasa, masih saja terdapat

Page 8: Pancasila Sebagai Etika Politik

keleluasaan bagi penguasa secara pribadi mempergunakan otoritasnya sesuai dengan

kehendaknya.

b.      Charismatic Domination (Dominasi Karismatik)

Merupakan dominasi yang mendasarkan pada kharisma yang melekat pada diri seseorang.

Perihal kharisma, Weber memberi pengertian sebagai “suatu sifat tertentu dari suatu

kepribadian seorang individu berdasarkan mana orang itu dianggap luar biasa dan

diperlakukan sebagai seseorang yang mempunyai sifat unggul atau paling sedikit dengan

kekuatan-kekuatan yang khas dan luar biasa”. Elit atau penguasa yang kemunculannya

didasarkan pada kharisma yang dimiliki, pada umumnya akan berupaya menunjukkan bukti

tentang keelitannya dengan cara menunjukkan kemampuannya untuk melakukan hal-hal yang

tidak mampu dilakukan oleh orang awam, pada umumnya merupakan hal-hal yang bersifat

ajaib. Semakin mampu seorang individu menunjukkan bukti-bukti yang hebat dan relatif

langka, maka akan semakin tinggi pula legitimasi yang akan diperolehnya sebagai elit yang

berkuasa.

c.       Legal-Rational Domination

Dominasi ini pada hakekatnya didasarkan pada kesepakatan anggota masyarakat terhadap

seperangkat peraturan yang diundangkan secara resmi. Individu yang berperan sebagai elit di

masyarakat yang memberlakukan dominasi tipe ini diakui keberadaanya atas kemampuan

yang dimilikinya dan persyaratan menurut peraturan yang berlaku. Demikian pula dengan

seleksi bagi individu-individu yang dapat menduduki posisi elit ini juga diatur secara tegas

oleh peraturan yang secara resmi berlaku. Persyaratan-persyaratan yang diajukan untuk

menduduki posisi tertentu belum tentu sama dengan posisi lain yang dibutuhkan, karena

semakin tinggi posisi yang dituju, persyaratan yang harus dipenuhi juga semakin tinggi pula

begitu pula dengan kemampuan yang dimiliki juga harus semakin besar. Sebagai akibat dari

kesepakatan-kesepakatan tersebut, maka individu-individu yang tidak memiliki kemampuan

akan sulit untuk dapat menduduki posisi tertentu sebagai elit. Hanya individu-individu yang

mempunyai kemampuan dan dipandang telah memenuhi persyaratan yang bisa mendapatkan

legitimasi.

Page 9: Pancasila Sebagai Etika Politik

Tipe-tipe legitimasi sebagaimana dipaparkan diatas, pada tataran realita masyarakat

biasanya tidak berjalan sendiri-sendiri, artinya dimungkinkan lebih dari satu tipe legitimasi

diterapkan di suatu masyarakat.

Menurut Charles Andrain terdapat lima obyek dalam sistem politik yang memerlukan

legitimasi agar suatu sistem politik tetap berlangsung dan fungsional, yaitu : masyarakat

(komunitas) politik, hukum, lembaga politik, pemimpin politik, dan kebijakan.

Yang dimaksud dengan legitimasi terhadap komunitas politik adalah kesediaan para

anggota masyarakat dari berbagai kelompok yang berbeda latar belakang untuk membentuk

suatu komunitas. Apabila komunitas tersebut melakukan berbagai perlawanan dan ingin

membentuk masyarakat baru (separatisme) maka legitimasi terhadap komunitas politik

dianggap masih sangat rendah. Sehingga legitimasi terhadap hukum, lembaga politik,

pemimpin politik dan kebijakan politik juga dianggap rendah.

Kurangnya dukungan terhadap komunitas politik akan menyebabkan masalah dalam

penciptaan identitas masyarakat atau disebut juga krisis identitas. Sedangkan kurangnya

dukungan terhadap hukum yang berlaku maka masyarakat akan mengalami krisis konstitusi.

Manakala dukungan terhadap lembaga politik semakin menurun maka akan terjadi krisis

kelembagaan. Krisis kepemimpinan akan terjadi pada masyarakat yang tidak mempercayai

legitimasi para pemimpin politik, sehingga mempengaruhi kebijakan pemimpin yang

menimbulkan krisis kebijakan. Dengan demikian sistem politik akan menghadapi krisis

legitimasi.

Krisis legitimasi dapat terjadi karena beberapa prinsip, yaitu :

1. kewenangan beralih pada prinsip yang lain, artinya kewenangan yang selama ini

digunakan tidak lagi diakui oleh masyarakat, masyarakat telah menemukan prinsip

kewenangan yang dianggap lebih baik, sehingga pemimpin yang mendasari diri

dengan kewenangan yang lama tidak akan mendapatkan dukungan lagi dari

masyarakat.

2. Terjadi persaingan yang tajam dan tidak sehat diantara elit yang berkuasa, sehingga

terjadi perpecahan dalam tubuh pemerintahan.

Page 10: Pancasila Sebagai Etika Politik

3. Pemerintah tidak dapat memenuhi janjinya sehingga menimbulkan keresahan dan

kekecewaan di masyarakat dan berimbas pada memudarnya dukungan kepada

pemerintah.

4. Sosialisasi kewenangan mengalami perubahan.

C. Legitimasi Moral Dalam Kekuasaan   

Legitimasi etis mempersoalkan keabsahan kekuasaan politik dari norma-norma moral.

Legitimasi ini muncul dalam konteks bahwa setiap tindakan Negara baik dari legislatif

maupun dari eksekutif dapat dipertanyakan dari norma-norma moral, tujuannya yaitu agar

kekuasaan itu mengarahkan kekuasaan ke pemakaian kebijakan dan cara-cara yang semakin

sesuai dengan tuntutan kemanusiaan yang adil dan beradab. Moralitas kekuasaan lebih

banyak diten

tukan oleh nilai-nilai yang diyakini kebenarannya oleh masyarakat. Apabila masyarakatnya

adalah masyarakat yang religius, maka ukuran apakah penguasa itu memiliki etika politik

atau tidak tidak lepas dari moral agama yang dianut oleh masyarakatnya.

Page 11: Pancasila Sebagai Etika Politik

http://weloveblitar.blogspot.com/2013/03/pancasila-sebagai-sumber-etika-politik.html

https://ayurinii.wordpress.com/2013/03/01/2/

https://rowlandpasaribu.files.wordpress.com/2012/10/bab-04-pancasila-sebagai-etika-politik.pdf

http://bluean9el.wordpress.com/2011/11/22/legitimasi-kekuasaan/

http://abaslahontohe.blogspot.com/2013/10/legitimasi-kekuasaan-dan-moral-kekuasaan.html