pamflet hep b

15
ARTIKEL KOLISISTEKTOMI Diajukan kepada Yth: dr. Suharno, Sp.PD Disusun oleh : Himatun Istijabah G4A014011 Firda Sofia G4A014016 Annisaa Auliyaa G4A014054

description

hep b

Transcript of pamflet hep b

Page 1: pamflet hep b

ARTIKEL

KOLISISTEKTOMI

Diajukan kepada Yth:

dr. Suharno, Sp.PD

Disusun oleh :

Himatun Istijabah G4A014011

Firda Sofia G4A014016

Annisaa Auliyaa G4A014054

SMF ILMU PENYAKIT DALAMRSUD PROF. DR. MARGONO SOEKARJO

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN

PURWOKERTO

2015

Page 2: pamflet hep b

A. KOLELITIASIS

1. Definisi

Kolelitiasis adalah penyakit batu empedu yang dapat ditemukan di dalam

kandung empedu atau di dalam saluran empedu, atau pada kedua-duanya. Sebagian

besar batu empedu, terutama batu kolesterol, terbentuk di dalam kandung empedu

(Sjamsuhidajat, 2005).

2. Epidemiologi

Di negara barat, batu empedu mengenai 10% orang dewasa. Angka

prevalensi orang dewasa lebih tinggi di negara Amerika Latin (20% hingga 40%) dan

rendah di negara Asia (3% hingga 4%). Tiap tahun 500.000 kasus baru dari batu

empedu ditemukan di Amerika Serikat. Kasus tersebut sebagian besar didapatkan di

atas usia pubertas, sedangkan pada anak-anak jarang. Insiden kolelitiasis atau batu

kandung empedu di Amerika Serikat diperkirakan 20 juta orang yaitu 5 juta pria dan

15 juta wanita. Pada pemeriksaan autopsy di Amerika, batu kandung empedu

ditemukan pada 20% wanita dan 8% pria. Pada pemeriksaan autopsy di Chicago,

ditemukan 6,3% yang menderita kolelitiasis. Sekitar 20% dari penduduk negeri

Belanda mengidap penyakit batu empedu yang bergejala atau yang tidak. Persentase

penduduk yang mengidap penyakit batu empedu pada penduduk Negro Masai ialah

15-50 %. Pada orang-orang Indian Pima di Amerika Utara, frekuensi batu empedu

adalah 80%. Di Indonesia, kolelitiasis baru mendapatkan perhatian di klinis,

sementara publikasi penelitian batu empedu masih terbatas. Sebagian besar pasien

dengan batu empedu tidak mempunyai keluhan (Lesmana, 2006). Faktor risiko Faktor

risiko yang dapat meyebabkan kolelitiasis, yaitu usia, jenis kelamin, berat badan

(BMI), makanan serta aktivitas fisik.

3. Tipe Batu Empedu

Terdapat tiga tipe batu empedu, yaitu (Lesmana, 2006):

a. Batu Empedu Kolesterol

Batu kolesterol mengandung paling sedikit 70% kolesterol, dan sisanya

adalah kalsium karbonat, kalsium palmitit, dan kalsium bilirubinat. Bentuknya

lebih bervariasi dibandingkan bentuk batu pigmen. Terbentuknya hampir selalu di

dalam kandung empedu, dapat berupa soliter atau multipel. Permukaannya

mungkin licin atau multifaset, bulat, berduri, dan ada yang seperti buah murbei

(Sjamsuhidajat, 2005). Batu Kolesterol terjadi kerena konsentrasi kolesterol di

dalam cairan empedu tinggi. Ini akibat dari kolesterol di dalam darah cukup tinggi.

Page 3: pamflet hep b

Jika kolesterol dalam kantong empedu tinggi, pengendapan akan terjadi dan lama

kelamaan menjadi batu. Penyebab lain adalah pengosongan cairan empedu di

dalam kantong empedu kurang sempurna, masih adanya sisa-sisa cairan empedu di

dalam kantong setelah proses pemompaan empedu sehingga terjadi pengendapan

(Girsang, 2013).

b. Batu Empedu Pigmen

Penampilan batu kalsium bilirubinat yang disebut juga batu lumpur atau

batu pigmen, tidak banyak bervariasi. Sering ditemukan berbentuk tidak teratur,

kecilkecil, dapat berjumlah banyak, warnanya bervariasi antara coklat, kemerahan,

sampai hitam, dan berbentuk seperti lumpur atau tanah yang rapuh. Batu pigmen

terjadi karena bilirubin tak terkonjugasi di saluran empedu (yang sukar larut dalam

air), pengendapan garam bilirubin kalsium dan akibat penyakit infeksi (Girsang,

2013).

c. Batu Empedu Campuran

Batu ini adalah jenis yang paling banyak dijumpai (±80%) dan terdiri atas

kolesterol, pigmen empedu, dan berbagai garam kalsium. Biasanya berganda dan

sedikit mengandung kalsium sehingga bersifat radioopaque (Sjamsuhidajat, 2005).

4. Patogenesis

Empedu adalah satu-satunya jalur yang signifikan untuk mengeluarkan

kelebihan kolesterol dari tubuh, baik sebagai kolesterol bebas maupun sebagai garam

empedu. Hati berperan sebagai metabolisme lemak. Kira-kira 80% kolesterol yang

disintesis dalam hati diubah menjadi garam empedu, yang sebaliknya kemudian

disekresikan kembali ke dalam empedu, sisanya diangkut dalam lipoprotein, dibawa

oleh darah ke semua sel jaringan tubuh. Kolesterol bersifat tidak larut air dan dibuat

menjadi larut air melalui agregasi garam empedu dan lesitin yang dikeluarkan

bersama-sama ke dalam empedu. Jika konsentrasi kolesterol melebihi kapasitas

solubilisasi empedu (supersaturasi), kolesterol tidak lagi mampu berada dalam

keadaan terdispersi sehingga menggumpal menjadi kristal-kristal kolesterol

monohidrat yang padat (Robbins, 2007).

Etiologi batu empedu masih belum diketahui sempurna. Sejumlah

penyelidikan menunjukkan bahwa hati penderita batu kolesterol mensekresi empedu

yang sangat jenuh dengan kolesterol. Batu empedu kolesterol dapat terjadi karena

tingginya kalori dan pemasukan lemak. Konsumsi lemak yang berlebihan akan

menyebabkan penumpukan di dalam tubuh sehingga sel-sel hati dipaksa bekerja keras

Page 4: pamflet hep b

untuk menghasilkan cairan empedu. Kolesterol yang berlebihan ini mengendap dalam

kandung empedu dengan cara yang belum dimengerti sepenuhnya (Price&Lorraine,

2006). Patogenesis batu berpigmen didasarkan pada adanya bilirubin tak terkonjugasi

di saluran empedu (yang sukar larut dalam air), dan pengendapan garam bilirubin

kalsium.

5. Manifestasi Klinis

Batu empedu tidak menyebabkan keluhan penderita selama batu tidak masuk

ke dalam duktus sistikus atau duktus koledokus. Bilamana batu itu masuk ke dalam

ujung duktus sistikus barulah dapat menyebabkan keluhan penderita. Apabila batu itu

kecil, ada kemungkinan batu dengan mudah dapat melewati duktus koledokus dan

masuk ke duodenum. Batu empedu mungkin tidak menimbulkan gejala selama

berpuluh tahun. Gejala yang dapat terjadi diantaranya nyeri saluran empedu yang

cenderung hebat, baik menetap maupun seperti kolik bilier (nyeri kolik yang berat

pada perut atas bagian kanan) jika ductus sistikus tersumbat oleh batu, sehingga

timbul rasa sakit perut yang berat dan menjalar ke punggung atau bahu. Mual dan

muntah sering kali berkaitan dengan serangan kolik biliaris. Sekali serangan kolik

biliaris dimulai, serangan ini cenderung makin meningkat frekuensi dan intensitasnya.

Gejala yang lain seperti demam, nyeri seluruh permukaan perut, perut terasa melilit,

perut terasa kembung, dan lain-lain (Lesmana, 2006).

6. Pemeriksaan Penunjang

a. Pemeriksaan laboratorium

Batu kandung empedu yang asimptomatik, umumnya tidak menunjukkan

kelainan laboratorik. Kenaikan ringan bilirubin serum terjadi akibat penekanan

duktus koledokus oleh batu, dan penjalaran radang ke dinding yang tertekan

tersebut (Sjamsuhidajat, 2005).

b. Pemeriksaan Ultrasonografi (USG)

USG ini merupakan pemeriksaan standard, yang sangat baik untuk menegakkan

diagnosa kolelitiasis. Kebenaran dari USG ini dapat mencapai 95% di tangan ahli

radiologi (Girsang, 2013).

c. Magnetic Resonance Cholangiopancreatography (MRCP)

MRCP adala teknik pencitraan dengan gema magnet tanpa menggunakan

zat kontras, instrumen dan radiasi ion. Pada MRCP, saluran empedu akan terlihat

sebagai struktur yang terang karena mempunyai intensitas sinyal tinggi, sedangkan

Page 5: pamflet hep b

batu saluran empedu akan terlihat sebagai intensitas sinyal rendah yang dikelilingi

dengan intensitas sinyal tinggi (Lesmana, 2006).

d. CT scaning

Pemeriksaan dengan CT Scanning dilakukan bila batu berada di dalam saluran

empedu (Girsang, 2013).

7. Penatalaksanaan

a. Penatalaksanaan Non-Bedah

1) Ursodeoxycholic acid (UDCA)

UDCA merupakan obat pelarut batu empedu. Cara kerjadari UDCA yaitu

melarutkan batu empedu dengan cara menurunkan kejenuhan kolesterol asam

empedu di dalam kandung empedu dengan jalan meningkatkan pengeluaran

asam empedu dari hepar dan mengurangi pengeluaran kolesterol di hepar.

Syarat menggunakan UDCA adalah (Cahyono, 2014):

a) Diameter batu kolesterol <15 mm

b) Jumlah <3 buah

c) Fungsi kontraksi kandung empedu baik dan tidak terdapat sumbatan di

duktus sistikus

2) Extracorporeal shock wave lithotripsy (ESWL)

ESWL adalah terapi pemecahan batu dengan gelombang suara. ESWL dapat

dilakukan apabila memenuhi semua persyaratan di bawah ini (Cahyono,

2014):

a) Dilakukan bersama pemberian UDCA atau ursodiol,

b) Batu empedu menimbulkan keluhan bagi pasien, berjumlah tunggal dan

tidak mengalami kalsifikasi, dan

c) Pasien menolak operasi atau terdapat kontraindikasi operasi.

b. Penatalaksanaan Bedah

1) Kolesistektomi Terbuka

Operasi ini merupakan standar terbaik untuk penanganan pasien dengan

kolelitiasis simtomatik. Indikasi yang paling umum untuk kolesistektomi

adalah kolik biliaris rekuren, diikuti oleh kolesistitis akut (Schwartz et al.,

2000).

2) Kolesistektomi Laparoskopik

Kolesistektomi laparoskopik telah menjadi prosedur baku untuk pengangkatan

batu kandung empedu simtomatik. Kelebihan yang diperoleh pasien dengan

Page 6: pamflet hep b

teknik ini meliputi luka operasi kecil (2-10 mm) sehingga nyeri pasca bedah

minimal. Delapan puluh sampai sembilan puluh persen batu empedu di Inggris

dibuang dengan cara ini. Kandung empedu diangkat melalui selang yang

dimasukkan lewat sayatan kecil di dinding perut. Indikasi pembedahan batu

kandung empedu adalah bila simptomatik, adanya keluhan bilier yang

mengganggu atau semakin sering atau berat. Indikasi lain adalah yang

menandakan stadium lanjut, atau kandung empedu dengan batu besar,

berdiameter lebih dari 2 cm, sebab lebih sering menimbulkan kolesistitis akut

dibanding dengan batu yang lebih kecil (Schwartz et al., 2000).

B. Kolesistektomi

a. Definisi

Suatu tindakan operasi pengangkatan kantong empedu dengan cara invasive

minimal melalui endoskopik (laparoskopik)

b. Indikasi

Penderita dengan simtomatik batu empedu yang telah dibuktikan secara

imaging diagnostic terutama melalui USG abdomen

Penderita kolesterolosis simtomatik yang telah dibuktikan melalui USG

abdomen

Adenomyomatosis kantung empedu simtomatik

c. Kontra indikasi absolut

Peritonitis

Obstruksi usus

Koagulopati yang tidak terkontrol

Hernia diafragmatik yang besar

Penyakit Paru obstruktif berat dan penyakit jantung kongestif berat

d. Kontra indikasi relatif (tergantung keahlian operator)

Sirosis hepatis

Riwayat operasi abdomen dengan adhesi

Kolesistitis akut

Gangrene dan empyema gall bladder

Biliary enteric fistula

Kehamilan

Page 7: pamflet hep b

Ventriculoperitoneal shunt

e. Teknik Operasi

1. Penderita dalam posisi supine dan dalam narkose.

2. Desinfeksi pada dada bagian bawah dan seluruh abdomen.

3. Dilakukan insisi lengkung di bawah umbilikus sepanjang 20 mm, insisi

diperdalam secara tajam dan tumpul sampai tampak linea alba.

4. Linea alba dipegang dengan klem dan diangkat, dibuat incisi vertikal

sepanjang 10 mm.

5. Dengan trokar peritoneum ditembus dan dimasukkan port lalu dimasukkan

CO2 ke dalam kavum abdomen untuk menimbulkan pneumoperitoneum

sehingga abdomen cembung.

6. Melalui port umbilikal dimasukkan videoscope ke dalam cavum abdomen.

7. Tiga buah trocart dimasukkan dengan memperhatikan secara langsung tempat

penetrasi intra abdomen.

Trocart I → dimasukkan di epigastrium ± 5 cm di bawah procesus

xyphoideus dengan penetrasi intraabdomen di sebelah kanan

ligamentum falciforme

Trocart II → dimasukkan pada kwadaran kanan atas abdomen beberapa

cm di bawah costa terbawah pada linea midclavicula.

Trocart III → dimasukkan pada kuadran kanan atas setinggi umbilikus di

sebelah lateral dari trocart kedua

8. Posisi pasien diubah menjadi Anti Trendelenburg ringan (10-15°) dan sedikit

miring ke kiri.

9. Gall bladder dipegang dengan grasper/forcep dari port lateral (4), kemudian

didorong ke arah superior dan dipertahankan pada posisi ini.

Page 8: pamflet hep b

Gambar Tempat Port Laparoskopik

10.Infundibulum dipegang dengan grasper dari port medial (3) dan ditraksi ke

arah caudal.  Disecting forceps dimasukkan dari port epigastrium (2) dan

jaringan di sekitar duktus sistikus dan arteri sistika disisihkan sampai kedua

struktur tersebut tampak jelas.

11.A. Sistika dijepit dengan metal clip di bagian distal dan dua buah metal klip di

bagian proksimal kemudian dipotong.

12.Duktus sistikus yang telah terlihat jelas dijepit dengan metal clip sedekat

mungkin dengan kandung empedu.  Duktus sistikus bagian proksimal dijepit

dengan dua buah metal clip dan dipotong.  (hati-hati jangan menarik

infundibulum keras, dapat menjepit duktus koledokus)

13.Videoscope dikeluarkan dari port umbilikus dan dipindah ke port epigastric.

14.Kantong empedu dibebaskan dengan menarik dengan grasping forceps dari

porte umbilikalis.

f. Mortalitas

Mortalitas pasca kolesistektomi laparoskopik 0,1%

Page 9: pamflet hep b

g. Perawatan pasca bedah

Pasca bedah penderita dirawat di ruangan  3-4 hari, diobservasi komplikasi seperti nyeri

pasca operasi, gangguan motilitas usus.  Setelah pasase usus baik penderita bisa mulai

diet per oral.

h. Follow – up

Terutama ditujukan terhadap tanda-tanda kebocoran empedu, peritonitis, dan perdarahan.

Algoritma Batu Empedu

i. Komplikasi

Ikterik yang terjadi setelah tindakan kolesistektomi dapat menjadi manifestasi

awal dari kelalaian dalam operasi dan membutuhkan diagnosis yang teliti serta intervensi

terapeutik. Obstruksi billier pasca kolisistektomi laparoskopik yang dapat menyebabkan

ikterik paling sering disebabkan oleh adanya batu yang tertahan di dalam duktus komunis

atau kelalaian dalam prosedur operasi, misalnya saat melakukan prosedur transeksi atau

clipping pada duktus hepatikus kommunis atau duktus billiaris (Mansour&Stabile, 2000).

Biloma sebagai salah satu komplikasi dari kolisistektomi juga dapat

menyebabkan obstruksi bilier ekstrahepatik . Penekanan pada duktus biliaris

ekstrahepatik yang disebabkan oleh adanya biloma meningkatkan tekanan pada sistem

bilier yang lebih proksimal, sehingga terjadi kebocoran cairan empedu dari percabangan

duktus intrahepatik bahkan dapat menyebabkan kompresi duktus (Mansour&Stabile,

2000).

Page 10: pamflet hep b

DAFTAR PUSTAKA

Dulucq, J. L., 2005, Tips and Techniques in Laparoscopic Surgery, Springer, 1-243.

Girsang, J. H. 2013. Karakteristik Penderita Kolelitiasis Yang Dirawat Inap di Rumah Sakit Santa Elisabeth Medan Pada Tahun 2010-2011. Skripsi. USU Institutional Repository.

Haris, H. W., 2008, Surgery Basic Science and Clinical Evidence, Biliery System, Springer,

47: 911-943.

Lesmana, L. 2006. Penyakit Batu Empedu. Edisi 4. Pusat Penerbitan Departemen Ilmu

Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia: Jakarta.

Leo, J., Filipovic, G., Krementsova, J., Norblad, R., and Söderholm, M., 2006, Open

Cholecystectomy for All Patients in the Era of Laparoscopic Surgery – A Prospective

Cohort Study, BMC Surger, 6:1471-82.

MacFadyen, V., 2004, Laparoscopic Surgery of the Abdomen, Bruce, 71:115.

Mansour, A. Y., Stabile. B. E. 2000. Extrahepatic Biliary Obstruction Due to Post-

Laparoscopic Cholecystectomy Biloma. Journal of the Society of Laparoscopic

Surgeons. 4: 167 – 171.

Price, S & Lorraine, M. 2006. Patofisiologi, Konsep Klinis Proses-proses Penyakit. Volume

1. Edisi 6. EGC: Jakarta.

Robbins, K. 2007. Buku Ajar Patologi. Volume 2. Edisi 7. EGC: Jakarta.

Schietroma, M., Cartel, F., Franchi, L., Mazzotta, C., Sozio, A., et al., 2004, A comparison of

Serum Interleukin-6 Concentrations in Patients Treated by Colecystectomy via

Laparotomy or Laparoscopy, Hepato-gastroenterology, 51:1595-99.

Schwartz, et al. 2000. Intisari Prinsip-Prinsip Ilmu Bedah. EGC: Jakarta.

Scott-Conner, C. E.H., 2006, The SAGES Manual Fundamentals of

Laparoscopy,Thoracoscopy, and GI Endoscopy, Springer, 5-6.

Sjamsuhidajat, R. 2005. Buku Ajar Ilmu Bedah.Edisi 2. EGC: Jakarta.

Soper, N. J., Swanstrom, L. L, and Eubanks, W.S., 2004, Mastery of Endoscopy and

Laparoscopic Surgery, Lippincott Williams & Wilkins, 2-5.

Tayeb, M., Raza, S. A., Khan, M. R., and Azami, R., 2005, Conversion from Laparoscopic to

Open Cholecystectomy: Multivariate analysis of preoperative risk factors, 51:17-20.

Whelan, R. L., 2006, The SAGES Manual Perioperative Care in Minimally Invasive Surgery,

Springer, 69-71.