Palliatife Care

27
BLOK 21 PALLIATIVE CARE DI SUSUN OLEH: Witri Dianavita G1A107051 PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER UNIVERSITAS JAMBI

Transcript of Palliatife Care

Page 1: Palliatife Care

BLOK 21

PALLIATIVE CARE

DI SUSUN OLEH:

Witri Dianavita

G1A107051

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER

UNIVERSITAS JAMBI

2010/2011

Page 2: Palliatife Care

PALLIATIFE CARE

I. PENDAHULUANA. KEBIJAKAN PERAWATAN PALIATIF

KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA

NOMOR : 812/Menkes/SK/VII/2007

Menimbang :

a. bahwa kasus penyakit yang belum dapat disembuhkan semakin meningkat

jumlahnya baik pada pasien dewasa maupun anak

b. bahwa dalam rangka meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan bagi pasien

dengan penyakit yang belum dapat disembuhkan selain dengan perawatan kuratif

dan rehabilitatif juga diperlukan perawatan paliatif bagi pasien dengan stadium

terminal

c. Bahwa sesuai dengan pertimbangan butir a dan b di atas, perlu adanya

Keputusan Menteri Kesehatan tentang Kebijakan Perawatan Paliatif.

Mengingat :

1. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan (Lembaran Negara Tahun 1992 Nomor 100, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3495);

2. Undang-undang Nomor 29 tahun 2004, tentang Praktik Kedokteran (Lembaran Negara Tahun 2004 Nomor 116, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4431);

3. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 159b/Menkes/Per/II/1988 tentang Rumah Sakit;

4. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 585/Menkes/Per/IX/1989 tentang Persetujuan Tindakan Medik;

5. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1045/Menkes/Per/XI/2006 tentang Pedoman Organisasi RS di Lingkungan Departemen Kesehatan;

6. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 0588/YM/RSKS/SK/VI/1992 tentang Proyek Panduan Pelaksanaan Paliatif dan Bebas Nyeri Kanker;

7. Surat Keputusan Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia Nomor 319/PB/A.4/88 tentang Informed Consent;

8. Surat Keputusan Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia Nomor 336/PB/A.4/88 tentang MATI.

Page 3: Palliatife Care

M E M U T U S K A N :

Menetapkan :

Kesatu : KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN TENTANG KEBIJAKAN PERAWATAN PALIATIF

Kedua :Keputusan Menteri Kesehatan mengenai Perawatan Paliatif sebagaimana dimaksud Diktum Kesatu sebagaimana tercantum dalam Lampiran I Keputusan ini.

Ketiga : Surat Persetujuan Tindakan Perawatan Paliatif sebagaimana tercantum dalam Lampiran II Keputusan ini

Keempat : Pembinaan dan pengawasan terhadap pelaksanaan keputusan ini dilakukan oleh Menteri Kesehatan, Dinas Kesehatan Propinsi, Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota sesuai dengan fungsi dan tugasnya masing-masing.

Kelima : Keputusan ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan;

Keenam : Apabila dikemudian hari terdapat kekeliruan dalam surat keputusan ini, akan dilakukan perbaikan-perbaikan sebagaimana mestinya.

B. Latar Belakang

Meningkatnya jumlah pasien dengan penyakit yang belum dapat disembuhkan baik pada dewasa dan anak seperti penyakit kanker, penyakit degeneratif, penyakit paru obstruktif kronis, cystic fibrosis, stroke, Parkinson, gagal jantung/heart failure, penyakit genetika dan penyakit infeksi seperti HIV/AIDS yang memerlukan perawatan paliatif, disamping kegiatan promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif. Namun saat ini, pelayanan kesehatan di Indonesia belum menyentuh kebutuhan pasien dengan penyakit yang sulit disembuhkan tersebut, terutama pada stadium lanjut dimana prioritas pelayanan tidak hanya pada penyembuhan tetapi juga perawatan agar mencapai kualitas hidup yang terbaik bagi pasien dan keluarganya.

Pada stadium lanjut, pasien dengan penyakit kronis tidak hanya mengalami berbagai masalah fisik seperti nyeri, sesak nafas, penurunan berat badan, gangguan aktivitas tetapi juga mengalami gangguan psikososial dan spiritual yang mempengaruhi kualitas hidup pasien dan keluarganya. Maka kebutuhan pasien pada stadium lanjut suatu penyakit tidak hanya pemenuhan/pengobatan gejala fisik, namun juga pentingnya dukungan terhadap kebutuhan psikologis, sosial dan spiritual yang dilakukan dengan pendekatan interdisiplin yang dikenal sebagai perawatan paliatif.

Page 4: Palliatife Care

Masyarakat menganggap perawatan paliatif hanya untuk pasien dalam kondisi terminal yang akan segera meninggal. Namun konsep baru perawatan paliatif menekankan pentingnya integrasi perawatan paliatif lebih dini agar masalah fisik, psikososial dan spiritual dapat diatasi dengan baik. Perawatan paliatif adalah pelayanan kesehatan yang bersifat holistik dan terintegrasi dengan melibatkan berbagai profesi dengan dasar falsafah bahwa setiap pasien berhak mendapatkan perawatan terbaik sampai akhir hayatnya.

Rumah sakit yang mampu memberikan pelayanan perawatan paliatif di Indonesia masih terbatas di 5 (lima) ibu kota propinsi yaitu Jakarta, Yogyakarta, Surabaya, Denpasar dan Makassar. Ditinjau dari besarnya kebutuhan dari pasien, jumlah dokter yang mampu memberikan pelayanan perawatan paliatif juga masih terbatas.

Keadaan sarana pelayanan perawatan paliatif di Indonesia masih belum merata sedangkan pasien memiliki hak untuk mendapatkan pelayanan yang bermutu, komprehensif dan holistik, maka diperlukan kebijakan perawatan paliatif di Indonesia yang memberikan arah bagi sarana pelayanan kesehatan untuk menyelenggarakan pelayanan perawatan paliatif.

C. Pengertian Perawatan paliatif adalah pendekatan yang bertujuan memperbaiki kualitas hidup pasien dan

keluarga yang menghadapi masalah yang berhubungan dengan penyakit yang dapat mengancam jiwa, melalui pencegahan dan peniadaan melalui identifikasi dini dan penilaian yang tertib serta penanganan nyeri dan masalah-masalah lain, fisik, psikososial dan spiritual (sumber referensi WHO, 2002).

Kualitas hidup pasien adalah keadaan pasien yang dipersepsikan terhadap keadaan pasien sesuai konteks budaya dan sistem nilai yang dianutnya, termasuk tujuan hidup, harapan, dan niatnya.

Dimensi dari kualitas hidup menurut Jennifer J. Clinch, Deborah Dudgeeon dan Harvey Schipper (1999), adalah :

A. Gejala fisikB. Kemampuan fungsional (aktivitas)C. Kesejahteraan keluargaD. Spiritual

E. Fungsi sosialF. Kepuasan terhadap pengobatan (termasuk masalah keuangan)G. Orientasi masa depanH. Kehidupan seksual, termasuk gambaran terhadap diri sendiri

Page 5: Palliatife Care

I. Fungsi dalam bekerja Palliative home care adalah pelayanan perawatan paliatif yang dilakukan di rumah pasien, oleh

tenaga paliatif dan atau keluarga atas bimbingan/ pengawasan tenaga paliatif. Hospis adalah tempat dimana pasien dengan penyakit stadium terminal yang tidak dapat

dirawat di rumah namun tidak melakukan tindakan yang harus dilakukan di rumah sakit Pelayanan yang diberikan tidak seperti di rumah sakit, tetapi dapat memberikan pelayaan untuk mengendalikan gejala-gejala yang ada, dengan keadaan seperti di rumah pasien sendiri.

Sarana (fasilitas) kesehatan adalah tempat yang menyediakan layanan kesehatan secara medis bagi masyarakat.

Kompeten adalah keadaan kesehatan mental pasien sedemikian rupa sehingga mampu menerima dan memahami informasi yang diperlukan dan mampu membuat keputusan secara rasional berdasarkan informasi tersebut.

Selain mengurangi gejala-gejala yang muncul, perawatan paliatif juga memberikan dukungan dalam hal spiritual dan psikososial. Perawatan ini bisa dimulai saat diagnosis diumumkan sampai akhir hayat dari si pasien.

II. TUJUAN DAN SASARAN KEBIJAKAN

1. Tujuan kebijakan

Tujuan umum:

Sebagai payung hukum dan arahan bagi perawatan paliatif di Indonesia Tujuan khusus:

a) Terlaksananya perawatan paliatif yang bermutu sesuai standar yang berlaku di seluruh Indonesia

b) Tersusunnya pedoman-pedoman pelaksanaan/juklak perawatan paliatif.c) Tersedianya tenaga medis dan non medis yang terlatih.d) Tersedianya sarana dan prasarana yang diperlukan.

2. Sasaran kebijakan pelayanan paliatif

a) Seluruh pasien (dewasa dan anak) dan anggota keluarga, lingkungan yang memerlukan perawatan paliatif di mana pun pasien berada di seluruh Indonesia.

b) Pelaksana perawatan paliatif : dokter, perawat, tenaga kesehatan lainnya dan tenaga terkait lainnya.

3. Institusi-institusi terkait, misalnya:

a. Dinas kesehatan propinsi dan dinas kesehatan kabupaten/kotab. Rumah Sakit pemerintah dan swastac. Puskesmasd. Rumah perawatan/hospise. Fasilitas kesehatan pemerintah dan swasta lain.

III. LINGKUP KEGIATAN PALIATIF CARE

Page 6: Palliatife Care

1. Jenis kegiatan perawatan paliatif meliputi :

Penatalaksanaan nyeri. Penatalaksanaan keluhan fisik lain. Asuhan keperawatan Dukungan psikologis Dukungan sosial Dukungan kultural dan spiritual Dukungan persiapan dan selama masa dukacita (bereavement).

2. Perawatan paliatif dilakukan melalui rawat inap, rawat jalan, dan kunjungan/rawat rumah.

IV. ASPEK MEDIKOLEGAL DALAM PERAWATAN PALIATIF

1. Persetujuan tindakan medis/informed consent untuk pasien paliatif.

a. Pasien harus memahami pengertian, tujuan dan pelaksanaan perawatan paliatif b. Pelaksanaan informed consent atau persetujuan tindakan kedokteran pada dasarnya

dilakukan sebagaimana telah diatur dalam peraturan perundang-undangan. c. Meskipun pada umumnya hanya tindakan kedokteran (medis) yang membutuhkan

informed consent, tetapi pada perawatan paliatif sebaiknya setiap tindakan yang berisiko dilakukan informed consent.

d. Baik penerima informasi maupun pemberi persetujuan diutamakan pasien sendiri apabila ia masih kompeten, dengan saksi anggota keluarga terdekatnya. Waktu yang cukup agar diberikan kepada pasien untuk berkomunikasi dengan keluarga terdekatnya. Dalam hal pasien telah tidak kompeten, maka keluarga terdekatnya melakukannya atas nama pasien.

e. Tim perawatan paliatif sebaiknya mengusahakan untuk memperoleh pesan atau pernyataan pasien pada saat ia sedang kompeten tentang apa yang harus atau boleh atau tidak boleh dilakukan terhadapnya apabila kompetensinya kemudian menurun (advanced directive). Pesan dapat memuat secara eksplisit tindakan apa yang boleh atau tidak boleh dilakukan, atau dapat pula hanya menunjuk seseorang yang nantinya akan mewakilinya dalam membuat keputusan pada saat ia tidak kompeten. Pernyataan tersebut dibuat tertulis dan akan dijadikan panduan utama bagi tim perawatan paliatif.

f. Pada keadaan darurat, untuk kepentingan terbaik pasien, tim perawatan paliatif dapat melakukan tindakan kedokteran yang diperlukan, dan informasi dapat diberikan pada kesempatan pertama.

2. Resusitasi/Tidak resusitasi pada pasien paliatif

Page 7: Palliatife Care

a. Keputusan dilakukan atau tidak dilakukannya tindakan resusitasi dapat dibuat oleh pasien yang kompeten atau oleh Tim Perawatan paliatif.

b. Informasi tentang hal ini sebaiknya telah diinformasikan pada saat pasien memasuki atau memulai perawatan paliatif.

c. Pasien yang kompeten memiliki hak untuk tidak menghendaki resusitasi, sepanjang informasi adekuat yang dibutuhkannya untuk membuat keputusan telah dipahaminya. Keputusan tersebut dapat diberikan dalam bentuk pesan (advanced directive) atau dalam informed consent menjelang ia kehilangan kompetensinya.

d. Keluarga terdekatnya pada dasarnya tidak boleh membuat keputusan tidak resusitasi, kecuali telah dipesankan dalam advanced directive tertulis. Namun demikian, dalam keadaan tertentu dan atas pertimbangan tertentu yang layak dan patut, permintaan tertulis oleh seluruh anggota keluarga terdekat dapat dimintakan penetapan pengadilan untuk pengesahannya.

e. Tim perawatan paliatif dapat membuat keputusan untuk tidak melakukan resusitasi sesuai dengan pedoman klinis di bidang ini, yaitu apabila pasien berada dalam tahap terminal dan tindakan resusitasi diketahui tidak akan menyembuhkan atau memperbaiki kualitas hidupnya berdasarkan bukti ilmiah pada saat tersebut.

3. Perawatan pasien paliatif di ICU

a. Pada dasarnya perawatan paliatif pasien di ICU mengikuti ketentuan-ketentuan umum yang berlaku sebagaimana diuraikan di atas.

b. Dalam menghadapi tahap terminal, Tim perawatan paliatif harus mengikuti pedoman penentuan kematian batang otak dan penghentian peralatan life-supporting.

4. Masalah medikolegal lainnya pada perawatan pasien paliatif

a. Tim Perawatan Paliatif bekerja berdasarkan kewenangan yang diberikan oleh Pimpinan Rumah Sakit, termasuk pada saat melakukan perawatan di rumah pasien.

b. Pada dasarnya tindakan yang bersifat kedokteran harus dikerjakan oleh tenaga medis, tetapi dengan pertimbangan yang memperhatikan keselamatan pasien tindakan-tindakan tertentu dapat didelegasikan kepada tenaga kesehatan non medis yang terlatih. Komunikasi antara pelaksana dengan pembuat kebijakan harus dipelihara.

V. SUMBER DAYA MANUSIA

1. Pelaksana perawatan paliatif adalah tenaga kesehatan, pekerja sosial, rohaniawan, keluarga,relawan.

2. Kriteria pelaksana perawatan paliatif adalah telah mengikuti pendidikan/pelatihan perawatan paliatif dan telah mendapat sertifikat.

3. Pelatihan

Page 8: Palliatife Care

a. Modul pelatihan : Penyusunan modul pelatihan dilakukan dengan kerjasama antara para pakar perawatan paliatif dengan Departemen Kesehatan (Badan Pembinaan dan Pengembangan Sumber Daya Manusia dan Direktorat Jenderal Bina Pelayanan Medik). Modul-modul tersebut terdiri dari modul untuk dokter, modul untuk perawat, modul untuk tenaga kesehatan lainnya, modul untuk tenaga non medis.

b. Pelatih : Pakar perawatan paliatif dari RS Pendidikan dan Fakultas Kedokteran.c. Sertifikasi : dari Departemen Kesehatan c.q Pusat Pelatihan dan Pendidikan

Badan PPSDM. Pada tahap pertama dilakukan sertifikasi pemutihan untuk pelaksana perawatan paliatif di 5 (lima) propinsi yaitu : Jakarta, Yogyakarta, Surabaya, Denpasar, Makasar. Pada tahap selanjutnya sertifikasi diberikan setelah mengikuti pelatihan.

4. Pendidikan

Pendidikan formal spesialis paliatif (ilmu kedokteran paliatif, ilmu keperawatan paliatif).

VI. TEMPAT DAN ORGANISASI PERAWATAN PALIATIF

1. Tempat untuk melakukan perawatan paliatif beragam, seperti:

a. Rumah sakit, untuk pasien yang harus mendapatkan perawatan dengan pengawasan ketat, tindakan khusus atau meemrlukan peralatan khusus.

b. Puskesmas, untuk pasien yang melakukan rawat jalan.c. Rumah singgah atau panti (hospis), untuk pasien yang tidak memerlukan

pengawasan ketat, tindakan atau peralatan khusus, tetapi belum dapat dirawat di rumah karena masih memerlukan pengawasan tenaga kesehatan.

d. Rumah Pasien, untuk pasien yang tidak memerlukan pengawasan ketat, tindakan atau peralatan khusus, serta keterampilan perawatan bisa dilakukan oleh anggota keluarga.

2. Organisasi perawatan paliatif, menurut tempat pelayanan/sarana kesehatannya adalah :a. Kelompok Perawatan Paliatif dibentuk di tingkat puskesmas.b. Unit Perawatan Paliatif dibentuk di rumah sakit kelas D, kelas C dan kelas B non

pendidikan.c. Instalasi Perawatan Paliatif dibentuk di Rumah sakit kelas B Pendidikan dan kelas

A.d. Tata kerja organisasi perawatan paliatif bersifat koordinatif dan melibatkan

semua unsur terkait.

VII. PEMBINAAN DAN PENGAWASAN

Page 9: Palliatife Care

Pembinaan dan pengawasan dilakukan melalui sistem berjenjang dengan melibatkan perhimpunan profesi/keseminatan terkait. Pembinaan dan pengawasan tertinggi dilakukan oleh Departemen Kesehatan.

VIII. PENGEMBANGAN DAN PENINGKATAN MUTU PERAWATAN PALIATIF

Untuk pengembangan dan peningkatan mutu perawatan paliatif diperlukan :

a. Pemenuhan sarana, prasarana dan peralatan kesehatan dan non kesehatan.b. Pendidikan dan pelatihan yang berkelanjutan/Continuing Professional

Development untuk perawatan paliatif (SDM) untuk jumlah, jenis dan kualitas pelayanan.

c. Menjalankan program keselamatan pasien/patient safety.

IX. PENDANAAN

Pendanaan yang diperlukan untuk:

a. pengembangan sarana dan prasaranab. peningkatan kualitas SDM/pelatihanc. pembinaan dan pengawasand. peningkatan mutu pelayanan.

Sumber pendanaan dapat dibebankan pada APBN/APBD dan sumber-sumber lain yang tidak mengikat. Untuk perawatan pasien miskin dan PNS dapat dimasukan dalam skema Askeskin dan Askes.

Menurut dr. Maria A. Witjaksono, dokter Palliative Care Rumah Sakit Kanker Dharmais, Jakarta, prinsip-prinsip perawatan paliatif adalah sebagai berikut:

1. Menghargai setiap kehidupan.

2. Menganggap kematian sebagai proses yang normal.

3. Tidak mempercepat atau menunda kematian.

4. Menghargai keinginan pasien dalam mengambil keputusan.

5. Menghilangkan nyeri dan keluhan lain yang menganggu.

6. Mengintegrasikan aspek psikologis, sosial, dan spiritual dalam perawatan pasien dan keluarga.

Page 10: Palliatife Care

7. Menghindari tindakan medis yang sia-sia.

8. Memberikan dukungan yang diperlukan agar pasien tetap aktif sesuai dengan kondisinya sampai akhir hayat.

9. Memberikan dukungan kepada keluarga dalam masa duka cita.

Di Indonesia perawatan paliatif baru dimulai pada tanggal 19 Februari 1992 di RS Dr. Soetomo (Surabaya), disusul RS Cipto Mangunkusumo (Jakarta), RS Kanker Dharmais (Jakarta), RS Wahidin Sudirohusodo (Makassar), RS Dr. Sardjito (Yogyakarta), dan RS Sanglah (Denpasar).

Di RS Dr. Soetomo perawatan paliatif dilakukan oleh Pusat Pengembangan Paliatif dan Bebas Nyeri. Pelayanan yang diberikan meliputi rawat jalan, rawat inap (konsultatif), rawat rumah, day care, dan respite care.

Pengertian rawat jalan dan rawat inap sudah cukup jelas. Rawat rumah (home care) dilakukan dengan melakukan kunjungan ke rumah-rumah penderita, terutama yang karena alasan-alasan tertentu tidak dapat datang ke rumah sakit. Kunjungan dilakukan oleh tim yang terdiri atas dokter paliatif, psikiater, perawat, dan relawan, untuk memantau dan memberikan solusi atas masalah-masalah yang dialami penderita kanker dan keluarganya, bukan hanya menyangkut masalah medis/biologis, tetapi juga masalah psikis, sosial, dan spiritual.

Day care merupakan layanan untuk tindakan medis yang tidak memerlukan rawat inap, misalnya perawatan luka, kemoterapi, dsb. Sedang respite care merupakan layanan yang bersifat psikologis. Di sini penderita maupun keluarganya dapat berkonsultasi dengan psikolog atau psikiater, bersosialisasi dengan penderita kanker lain, mengikuti terapi musik, atau sekedar bersantai dan beristirahat. Bisa juga menitipkan penderita kanker (selama jam kerja), jika pendamping atau keluarga yang merawatnya ada keperluan lain.

Menurut Prof. R. Sunaryadi Tejawinata dr., SpTHT (K), FAAO, PGD.Pall.Med (ECU) –Kepala Pusat Pengembangan Paliatif & Bebas Nyeri RSU Dr. Soetomo periode 1992-2006– salah satu aspek penting dalam perawatan paliatif adalah kasih, kepedulian, ketulusan, dan rasa syukur. Begitu pentingnya aspek ini, sampai melebihi pentingnya penanganan nyeri yang mutlak harus dilakukan dalam perawatan paliatif.

Beliau juga menyatakan, pada penderita kanker yang tidak mungkin tersembuhkan lagi, perawatan paliatif pada dasarnya adalah upaya untuk mempersiapkan awal kehidupan baru

Page 11: Palliatife Care

(akhirat) yang berkualitas. Tidak ada bedanya dengan perawatan kandungan yang dilakukan seorang calon ibu, yang sejak awal kehamilannya rutin memeriksakan diri untuk memastikan kesehatannya dan tumbuh kembang calon bayinya, agar dapat melewati proses kelahiran dengan sehat dan selamat, selanjutnya dalam kehidupan barunya sebagai manusia si bayi dapat tumbuh menjadi manusia yang sehat dan berkualitas.

Sedang bagi penderita kanker stadium dini, perawatan paliatif merupakan pendamping pengobatan medis. Meningkatnya kualitas kehidupan pasien karena perawatan paliatif diharapkan akan membantu proses penyembuhan kanker secara keseluruhan.

Perawatan paliatif telah didefinisikan oleh World Health Organization (WHO) sebagai "perawatan total pasien yang aktif dari penyakit ini tidak responsif terhadap pengobatan kuratif sakit. Pengawasan, gejala lain, dan dari, sosial dan spiritual masalah psikologis, sangat penting. Tujuan perawatan paliatif adalah pencapaian kualitas terbaik hidup bagi pasien dan keluarga mereka. "

Cara lain untuk melihat perawatan paliatif adalah konsep "kematian yang baik," bebas dari rasa sakit dihindari dan penderitaan bagi pasien dan keluarga pasien. Pada pandangan pertama, definisi ini tampaknya memiliki sedikit hubungannya dengan perawatan akut disampaikan dalam pengaturan seperti gawat darurat Bahkan, sementara sampai dengan 60% dari pasien meninggal di rumah di Amerika Serikat, dilaporkan sedikitnya 35% dari pasien ingin mati di rumah. Akibatnya, banyak pasien yang sakit parah hadir untuk departemen darurat. Mereka dapat melakukannya ketika kematian sudah dekat, untuk pengobatan penyakit akut ditumpangkan pada penyakit yang ada mereka, atau untuk mengontrol gejala, terutama rasa sakitArtikel ini berfokus pada kontrol gejala.

Gejala dan Patofisiologi

Nyeri adalah gejala yang paling umum untuk pasien yang menerima perawatan paliatif. patofisiologi bervariasi dengan lokasi anatomi rasa sakit dan proses penyakit yang Dalam sebuah studi besar pasien dengan kanker yang dalam perawatan paliatif, sekitar 55% dari nyeri somatik pada asal, dan sisanya hampir sama dibagi antara dan neuropati menyebabkan visceral.

Sebagai contoh, pasien dengan kanker lanjut bisa merasakan sakit kepala karena tekanan intrakranial meningkat dari massa tumor atau dari peradangan. nyeri tulang adalah sumber yang paling umum sakit kanker dan dapat terjadi dengan baik kegiatan osteoblastik atau osteolitik. sakit tulang dapat berasal langsung dari tulang (invasi langsung dengan microfracture, distorsi periosteum) atau dari kompresi akar saraf atau kejang otot di daerah

Page 12: Palliatife Care

lesi. fraktur patologis Mayor dapat terjadi pada lokasi tumor primer atau metastasis. Nyeri perut pada pasien dengan kanker dapat disebabkan oleh massa organ padat menyebabkan distensi kapsul.. Asites atau massa tumor dapat menyebabkan distensi perut tidak nyaman dan sembelit adalah umum.Nyeri dada yang paling sering karena invasi tumor tulang atau struktur nyeri sensitif lainnya. Patofisiologi nyeri pada pasien yang tidak memiliki kanker dan berada dalam perawatan paliatif adalah fungsi dari sifat khusus dan lokasi anatomi proses penyakit yang mendasarinya.

Sesak napas pada pasien dalam perawatan paliatif sangat umum dengan kanker paru-paru atau lanjutan gagal jantung kongestif . Enam puluh lima persen pasien dengan kanker paru-paru dan hampir semua pasien dengan dispnea gagal jantung pengalaman.

Pada pasien dengan kanker paru-paru, mendasari penyakit paru obstruktif kronik (PPOK), yang dapat menyebabkan dispnea, sering hadir. Lebih penyebab khusus meliputi efusi pleura , efusi perikardial atau tamponade, sindrom vena cava superior , emboli paru , dan pneumonia . Selain itu pengembangan penyakit, pasien dengan gagal jantung juga mungkin memiliki efusi pleura dan efusi perikardial atau tamponade. Masing-masing dapat menyebabkan peningkatan dyspnea. Berat anemia merupakan penyebab dispnea, tetapi anemia kronis mungkin sangat ditoleransi dengan baik pada populasi ini.

Gejala gastrointestinal juga umum dalam populasi perawatan paliatif. Anoreksia, mual, dan muntah adalah gejala umum pada akhir kehidupan, terjadi di 62% dari pasien kanker sakit tersembuhkan. Mual dan muntah juga sering terjadi pada penyakit terminal lain seperti gagal jantung kongestif , stadium akhir penyakit ginjal , dan AIDS .

Etiologi yang paling sering dikutip pada pasien dengan kanker kelainan kimia (misalnya, metabolik, infeksi obat,) di 33%, gangguan pengosongan lambung pada 44%, dan menyebabkan visceral (misalnya, obstruksi usus, GI berdarah, radang usus, sembelit) dalam 31 %. Sebuah studi dari 40 pasien di unit perawatan paliatif diidentifikasi 59 etiologi reversibel untuk gejala GI, dengan obat (51%) dan sembelit (19%) menyajikan paling umum. [2] Hypercalcemia merupakan penyebab sembelit yang umum pada pasien dengan kanker Mulut kering adalah gejala mengganggu yang mungkin sering obat terkait.

Frekuensi

Karena sifat terfragmentasi perawatan kesehatan di Amerika Serikat, mengukur jumlah pasien dalam perawatan paliatif adalah sulit. Perkiraan saat ini pasien yang menerima tunjangan Medicare untuk perawatan rumah sakit dan paliatif lebih dari 500.000. Perkiraan lain adalah

Page 13: Palliatife Care

bahwa, pada tahun 2000, sekitar 20% dari pasien yang sekarat di Amerika Serikat menerima perawatan rumah sakit.

Di Inggris, pada tahun 2005-2006, sekitar 65.000 pasien baru yang terdaftar dalam program perawatan paliatif. Menurut satu perkiraan, sekitar 70% kematian di negara maju didahului oleh kondisi yang mati diprediksi di masa mendatang.

Morbiditas dan Mortalitas

Kanker adalah diagnosis yang paling umum di antara pasien dalam perawatan paliatif. Kriteria kelayakan tradisional untuk perawatan rumah sakit di Amerika Serikat mencakup estimasi umur 6 bulan atau kurang; ini mencerminkan dominasi pasien dengan kanker yang berada dalam perawatan paliatif. Namun, umur mungkin lebih mudah untuk menentukan kanker daripada penyakit tertentu terminal lain seperti PPOK, gagal jantung kongestif (CHF), demensia parah, dan stroke. Banyak pasien hanya meminta perawatan paliatif di awal perjalanan penyakit, fatal disembuhkan. Pasien-pasien ini dapat bertahan selama bertahun-tahun daripada 6 bulan atau kurang.

Ras dan Etnis

Sebuah studi 2006 dari populasi California menemukan bahwa pandangan tentang pasien hak untuk mati bervariasi secara signifikan oleh etnis, dengan kulit putih jauh lebih bersedia untuk memungkinkan orang yang dicintai untuk mati daripada kelompok etnis lain termasuk Afrika Amerika, Asia, dan Latin. Setelah pasien atau keluarganya permintaan hanya paliatif, perawatan medis tidak berbeda dengan etnis. Perbedaan juga mungkin ada dalam cara yang kelompok budaya mengekspresikan rasa sakit, dan dokter harus mempertimbangkan ini.

Sebuah artikel menurut Smith et al menyediakan diskusi komprehensif mengenai masalah budaya bahwa dokter harus sadar ketika merawat pasien-pasien dari warisan Latino. Termasuk

Page 14: Palliatife Care

berbagai rekomendasi tentang cara efektif memanfaatkan juru bahasa dan strategi universal untuk komunikasi kesehatan pasien.

Sejarah

Pasien dalam perawatan paliatif sudah membawa diagnosis penyakit terminal. Fokus dari pertemuan ini adalah karena itu berbeda dibandingkan dengan pasien lain dalam pengaturan perawatan akut. gejala baru yang mungkin menunjukkan proses penyakit baru harus dicari jika diperlukan. Seringkali meskipun, fokus dari kunjungan secara eksplisit untuk menghilangkan gejala lama yang progresif atau kurang terkontrol. pasien riwayat Konsultasi medis dan merawat dokter, bila tersedia, sering berharga dalam mempelajari rincian gejala sebelumnya, tes diagnostik, dan pengobatan.

Dengan pengecualian dari rasa sakit, ada konkordansi miskin antara kuesioner gejala sebagai selesai oleh pasien dan sejarah dokter seperti yang tercatat dalam rekam medis. [5] Oleh karena itu sering tepat untuk bertanya khusus tentang gejala-gejala lain seperti anoreksia, inkontinensia, gastrointestinal gejala, gejala pernafasan, atau tingkat berfungsi, dalam rangka untuk terbaik mengidentifikasi kebutuhan pasien.

Fisik

Pemeriksaan fisik untuk pasien dalam perawatan paliatif harus didasarkan pada pengetahuan yang sudah ada sebelumnya gejala penyakit dan penyajian. Seperti sejarah, tujuan utama adalah untuk menentukan apakah suatu kondisi, baru akut membutuhkan evaluasi lebih lanjut dan manajemen hadir atau untuk memverifikasi bahwa suatu kondisi yang sudah ada yang membutuhkan perawatan lebih lanjut gejala bertanggung jawab atas keluhan presentasi

Penyebab

Alasan paling umum untuk memasukkan perawatan paliatif adalah kanker lanjut. Menurut Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit, di Amerika Serikat, situs utama yang paling umum sebagai penyebab kematian kanker adalah (dalam urutan) paru-paru, usus besar-rektum, payudara, dan pankreas. penyakit lain yang biasa mengarah ke paliatif perawatan HIV / AIDS , gagal jantung kongestif, penyakit paru obstruktif kronik, gagal ginjal, gagal hati , demensia, dan stroke.

Laboratorium Studi

Page 15: Palliatife Care

tudi laboratorium didikte oleh kecurigaan penyakit akut spesifik yang akan memerlukan pengobatan jika ditemukan. Banyak pasien mungkin memiliki probabilitas pretest tinggi penyakit namun tidak memerlukan pengujian. Sebagai contoh, sering akan bermanfaat sedikit untuk mengkonfirmasi tingkat serum kreatinin pada pasien dalam perawatan paliatif yang memiliki stadium akhir penyakit ginjal dan menyajikan dengan keluhan yang tidak berhubungan seperti infeksi jaringan lunak kecil.

Studi Imaging

Seperti penelitian laboratorium, pencitraan harus disediakan untuk identifikasi kondisi yang akan berubah pengobatan saat ini. Sebagai contoh, hanya mendokumentasikan temuan terkenal seperti massa paru pada pasien dengan kanker paru-paru yang memiliki gejala yang tidak terkait dengan dada tidak diperlukan. Sebaliknya, pasien dengan batuk dan demam mungkin memerlukan suatu radiograf dada asalkan dia akan berharap pengobatan antibiotik untuk pneumonia, jika ditemukan.

Prosedur

prosedur umum pada pasien dalam perawatan paliatif termasuk clysis cairan subkutan atau intravena untuk dehidrasi, Thoracentesis untuk efusi pleural bergejala, paracentesis untuk ascites bergejala, dan penempatan kateter urin untuk tujuan higienis atau untuk memperbaiki obstruksi. Satu studi yang dilaporkan pada kolaborasi dokter spesialis darurat dan perawatan paliatif dalam melaksanakan sonographically paracentesis dibimbing di rumah.

Nasogastrik (NG) tabung dapat digunakan sementara untuk menambah asupan oral. Namun, mereka tidak nyaman dan secara signifikan meningkatkan risiko aspirasi. When patients desire artificial nutrition, arrangements for a semipermanent type of feeding tube, such as a percutaneous endoscopic gastrotomy (PEG) tube, may be considered. Ketika keinginan pasien gizi buatan, pengaturan untuk jenis semipermanen memberi makan tabung, seperti gastrotomy endoskopi perkutan (PEG) tabung, dapat dipertimbangkan. Sebuah tabung NG bisa menjadi jembatan jangka pendek yang dapat diterima untuk solusi jangka panjang. Sebuah kateter Foley dapat digunakan sebagai pengganti jangka pendek untuk penggantian tabung gastrotomy diekstrusi atau diblokir membutuhkan.

Departemen Perawatan Darurat - Manajemen Sakit

Page 16: Palliatife Care

Perawatan untuk pasien dalam pengaturan perawatan paliatif akut terutama berkaitan dengan gejala lega. Kadang-kadang, perlakuan khusus ditujukan untuk kondisi akut adalah tepat. Untuk situasi ini, bagian lain dari teks atau referensi lain harus dikonsultasikan. Bagian ini berfokus pada strategi pengobatan untuk rasa sakit, gejala yang paling umum pada pasien yang menerima perawatan paliatif. Nyeri adalah gejala yang paling umum dari pasien dengan kanker yang berada dalam perawatan paliatif dan mencari perawatan akut. pasien lainnya dalam perawatan paliatif juga mungkin mengalami rasa sakit terus menerus atau intermiten, dan prinsip-prinsip perlakuan yang sama.WHO telah disebarluaskan 3-langkah "tangga" menguraikan pendekatan untuk mengobati nyeri pada pasien dengan kanker. Meskipun tidak secara khusus diformulasikan untuk jenis lain dari pasien dalam perawatan paliatif, skema ini jelas berlaku. According to the WHO : Menurut WHO:

Jika rasa sakit terjadi, harus ada pemberian oral segera obat dalam urutan sebagai berikut: nonopioids (aspirin dan acetaminophen), kemudian, jika perlu, ringan opioid (kodein), kemudian opioid yang kuat (seperti morfin), sampai pasien bebas dari rasa sakit. Untuk menenangkan rasa takut dan kecemasan, obat tambahan - "adjuvant" - harus digunakan. " Untuk menjaga kebebasan dari rasa sakit, obat harus diberikan "oleh jam", daripada "on demand." Pendekatan tiga langkah administrasi obat yang tepat dalam dosis yang tepat pada waktu yang tepat murah dan 80-90% efektif. intervensi bedah pada saraf yang tepat dapat memberikan bantuan nyeri lebih lanjut jika obat tidak sepenuhnya efektif.

Pendekatan tangga telah dipertanyakan tetapi umumnya dianggap sebagai alat yang berharga dalam membimbing pengobatan sakit kanker kronis. Prinsip dasar dari pemesanan opioid untuk nyeri yang tidak dapat berhasil diobati dengan nonopioids, dan melanjutkan perawatan nonopioid bila mungkin, adalah penting bagi penderita kanker dan pasien tanpa kanker yang berada dalam pengaturan perawatan paliatif. Untuk deskripsi tangga, lihat WHO nyeri tangga lega .

Kursus waktu nyeri dapat terus-menerus, intermiten, atau sakit terobosan Dalam sebuah penelitian, 48% pasien dengan kanker mengalami nyeri terus menerus, dengan 75% mengalami nyeri terobosan pada beberapa waktu. 52% mengalami nyeri intermiten lainnya. tidak diobati rasa sakit terus menerus juga sama dengan penelitian sering melaporkan penyimpangan dari pedoman berbasis bukti untuk pengobatan. Sebuah jenis tertentu sakit

Page 17: Palliatife Care

kronis tidak diobati dikenal sebagai akhir dari sakit-dosis. Setiap jenis memerlukan pendekatan terapi yang agak berbeda dan, oleh karena itu, bisa membedakan mereka adalah penting.

Pasien dalam perawatan paliatif dapat hadir dengan nyeri kronis ke pengaturan perawatan akut pada awal perjalanan penyakit mereka. Dalam situasi itu, seperti yang disarankan oleh WHO tangga, nonopioids atau opioid ringan adalah pengobatan yang paling tepat farmakologis gejala. Perlakuan awal rasa sakit yang memerlukan opioid harus dengan persiapan short-acting/rapid-onset. Lebih umum, pasien datang dengan nyeri kronis yang tidak cukup terkontrol dan sudah menerima obat sakit narkotika. Dalam keadaan itu, akhir-sakit-dosis perlu dibedakan dari rasa sakit terobosan.

Terobosan nyeri diuraikan sebagai suatu eksaserbasi nyeri akut dalam pengaturan rasa sakit kronis. Sebuah peristiwa pengendapan tertentu, seperti batuk pada pasien dengan metastasis tulang rusuk, mungkin terjadi, atau mungkin terjadi tanpa tergesa-gesa diidentifikasi. Terobosan nyeri lebih baik diobati dengan narkotika short-acting sebagai obat "penyelamatan". Akhir-sakit-dosis didiagnosis dengan perjalanan waktu karakteristik. Hal ini terjadi cukup diprediksi sebelum dosis berikutnya dijadwalkan analgesik. Akhir-sakit-dosis diperlakukan dengan meningkatkan frekuensi dosis atau beralih ke narkotika lagi-akting.

Ketika nyeri bantuan dari long-acting opioid tidak memadai, pendekatan utama adalah untuk meningkatkan dosis. Opioid tidak memiliki efek langit-langit dan, karenanya, tidak ada dosis spesifik maksimum, berapa pun jumlah pasien menerima. Dosis yang benar adalah dosis diperlukan untuk menghilangkan rasa sakit. Takut kecanduan atau depresi pernafasan tidak tepat dalam pengaturan ini. Kadang-kadang, bukan hanya meningkatkan dosis, berpindah dari satu persiapan opioid yang lain adalah wajar. Efek samping mungkin berbeda dengan persiapan yang berbeda, dan lintas-toleransi tidak lengkap. Ketika berpindah, mulai obat baru di 50% (atau lebih) dari dosis equianalgesic diterbitkan. Kurang dari dosis ini akan hampir pasti tidak memadai.

efek samping opioid dapat diantisipasi dan diobati profilaktik. Mual dan muntah yang umum di beberapa hari pertama setelah memulai pengobatan. sebuah antiemetik seperti metoclopramide atau antagonis serotonin sering efektif dan harus diresepkan untuk minggu pertama atau lebih pengobatan narkotika.

Page 18: Palliatife Care

Dalam keadaan tertentu, jenis tertentu nyeri dapat ditargetkan dengan terapi yang relatif spesifik. Mekanisme nyeri spesifik bervariasi dan, dalam beberapa kasus, belum dipahami dengan baik.

Selain pengobatan farmakologis rasa sakit, perawatan nonpharmacologic tersedia. Radiasi, ablasi frekuensi radio, atau operasi dapat digunakan untuk mengobati tumor di daerah tertentu yang menyebabkan rasa sakit. modalitas fisik seperti belat atau aplikasi panas atau dingin dapat digunakan. aplikasi Dingin dengan paket es, gel packs, dan semprotan pendingin mengurangi konduksi saraf, kejang otot, peradangan, dan edema. pijat Es, di mana jaringan kulit di atasnya tender digosok dengan balok es, menghasilkan analgesia setelah beberapa menit. Tidak ada studi terkontrol dingin-analgesia diinduksi untuk pengobatan sakit kanker telah selesai. Dingin harus dihindari pada jaringan iskemik dan diiradiasi.

Pemanasan telah lama digunakan untuk meringankan otot, tulang, dan nyeri sendi. Efek analgesik panas adalah karena sebagian aliran darah meningkat dan juga menurun kekakuan sendi. Heat also induces mental relaxation and relieves stress. Panas juga menyebabkan relaksasi mental dan mengurangi stres. Hot pack, bantalan pemanas, atau mandi air panas meningkatkan aliran darah kulit dan mengendurkan otot dan ligamen.

pengobatan psikologis mungkin memainkan peran jangka panjang. Dalam ED, pengakuan peran kecemasan dan depresi dapat menyebabkan rujukan ke penyedia layanan kesehatan mental atau untuk pengobatan farmakologis dengan anxiolytics atau antidepresan. Baik kecemasan dan depresi dapat menurunkan ambang nyeri dan meningkatkan persyaratan opioid. Anxiolytics bisa menjadi tambahan yang sangat penting dalam mencapai mengontrol nyeri akut, dan anxiolytics atau antidepresan mungkin memainkan peran lebih besar dalam pengelolaan rasa sakit kronis.

Ada juga teknik intervensi yang efektif untuk menghilangkan rasa sakit.blok Neurolytic dari sumbu simpatik dapat digunakan untuk menghilangkan rasa sakit mendalam dalam rongga perut atau dada. Implan perangkat, seperti kateter epidural atau intratekal, yang bermanfaat bagi pasien yang tinggi dosis opioid ketika efek samping yang melemahkan. Perangkat ini memberikan analgesia yang menargetkan daerah yang dipilih, tergantung pada lokasi ujung kateter. Perangkat ini memungkinkan penurunan yang signifikan dalam jumlah opioid diperlukanBeberapa penulis menganggap teknik intervensi sebagai "Langkah keempat" pada tangga WHO.

Page 19: Palliatife Care

REFERENSI

www.palliative-surabaya.com/.../buku_pkb_vi-bagian308082008.pdf

http://rumahkanker.com/paliatif/perawatanpaliatif/24-perawatan-paliatif-apa-sih

http://rumahkanker.com/paliatif/relawan/22-peran-relawan-dalam-perawatan-paliatif

http://bataviase.co.id/node/174618

http://doktersyhura.wordpress.com/sistem-kesehatan/perawatan-paliatif-palliative-care/

www.belbuk.com/perawatan-paliatif-suportif-bebas-nyeri-pada-kanker-p-20419.html -

KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA

Page 20: Palliatife Care

emedicine.medscape.com/article/1407757-overview

en.wikipedia.org/wiki/Palliative_care

palliativechronicle.blogspot.com/.../ehealth-for-consumers-emedicine.html