Pajak UMKM-Suatu Tinjauan

7
PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 46 TAHUN 2013 : SUATU TINJAUAN Pemberlakuan Peraturan pemerintah nomor 46 tahun 2013 sudah berlangsung beberapa waktu lamanya. Tetapi pro dan kontra yang timbul dari penerapan peraturan ini tidak urung masih mengundang perdebatan baik dikalangan praktisi perpajakan maupun pelaku dunia usaha. Banyak pihak menyebut PP 46 Tahun 2013 ini sebagai bentuk perpajakan terhadap UKM, walaupun sikap pemerintah sendiri yang tidak pernah secara tegas menyebutkan aturan ini adalah aturan pelaksanaan perpajakan bagi UKM. DASAR PENERBITAN Dalam Konsideran PP 46 Tahun 2013 disebutkan bahwa penerbitan aturan ini adalah dalam rangka melaksanakan ketentuan Pasal 4 ayat 2 huruf e Pasal 17 (7) UU Nomor 36 tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan. Selengkapnya pasal 4 ayat 2 berbunyi sebagai berikut : Penghasilan di bawah ini dapat dikenai pajak bersifat final: a. penghasilan berupa bunga deposito dan tabungan lainnya, bunga obligasi dan surat utang negara, dan bunga simpanan yang dibayarkan oleh koperasi kepada anggota koperasi orang pribadi; b. penghasilan berupa hadiah undian; c. penghasilan dari transaksi saham dan sekuritas lainnya, transaksi derivatif yang diperdagangkan di bursa, dan transaksi penjualan saham atau pengalihan penyertaan modal pada perusahaan pasangannya yang diterima oleh perusahaan modal ventura; d. penghasilan dari transaksi pengalihan harta berupa tanah dan/atau bangunan, usaha jasa konstruksi, usaha real estate, dan persewaan tanah dan bangunan; dan e. penghasilan tertentu lainnya; Dasar penerbitan ini menjadi pertanyaan, mengingat selama ini pengertian penghasilan tertentu lainnya selalu diartikan mengacu kepada jenis penghasilannya, bukan kepada besarnya penghasilannya. Meskipun Indonesia sudah mengadopsi pengenaan PPh yang bersifat final

description

a review for Indonesian new SME Taxation rules

Transcript of Pajak UMKM-Suatu Tinjauan

Page 1: Pajak UMKM-Suatu Tinjauan

PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 46 TAHUN 2013 : SUATU TINJAUAN

Pemberlakuan Peraturan pemerintah nomor 46 tahun 2013 sudah berlangsung beberapa waktu lamanya. Tetapi pro dan kontra yang timbul dari penerapan peraturan ini tidak urung masih mengundang perdebatan baik dikalangan praktisi perpajakan maupun pelaku dunia usaha.

Banyak pihak menyebut PP 46 Tahun 2013 ini sebagai bentuk perpajakan terhadap UKM, walaupun sikap pemerintah sendiri yang tidak pernah secara tegas menyebutkan aturan ini adalah aturan pelaksanaan perpajakan bagi UKM.

DASAR PENERBITAN

Dalam Konsideran PP 46 Tahun 2013 disebutkan bahwa penerbitan aturan ini adalah dalam rangka melaksanakan ketentuan Pasal 4 ayat 2 huruf e Pasal 17 (7) UU Nomor 36 tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan.

Selengkapnya pasal 4 ayat 2 berbunyi sebagai berikut :

Penghasilan di bawah ini dapat dikenai pajak bersifat final: a. penghasilan berupa bunga deposito dan tabungan lainnya, bunga obligasi dan surat utang negara,

dan bunga simpanan yang dibayarkan oleh koperasi kepada anggota koperasi orang pribadi; b. penghasilan berupa hadiah undian;

c. penghasilan dari transaksi saham dan sekuritas lainnya, transaksi derivatif yang diperdagangkan di bursa, dan transaksi penjualan saham atau pengalihan penyertaan modal pada perusahaan pasangannya yang diterima oleh perusahaan modal ventura;

d. penghasilan dari transaksi pengalihan harta berupa tanah dan/atau bangunan, usaha jasa konstruksi, usaha real estate, dan persewaan tanah dan bangunan; dan

e. penghasilan tertentu lainnya;

Dasar penerbitan ini menjadi pertanyaan, mengingat selama ini pengertian penghasilan tertentu lainnya selalu diartikan mengacu kepada jenis penghasilannya, bukan kepada besarnya penghasilannya. Meskipun Indonesia sudah mengadopsi pengenaan PPh yang bersifat final sejak dilakukannya reformasi perpajakan pertama melalui Undang-undang nomor 7 tahun 1983, tetapi pengenaan PPh Final melalui pasal 4 ayat 2 baru dimulai melaui perubahan ketiga Undang undang pajak penghasilan melalui Undang-undang nomor 10 tahun 1994.

Dan sejak dimulainya pengenaan PPh final berdasarkan Pasal 4 ayat 2 tersebut, selalu merujuk ke jenis penghasilan tertentu bukan penghasilan dengan jumlah tertentu.

ASPEK MEMBERIKAN KEMUDAHAN

Page 2: Pajak UMKM-Suatu Tinjauan

Dalam salah satu konsideran PP 46 Tahun 2013 tersebut disebutkan bahwa pertimbangan dikeluarkannya aturan tersebut adalah :

“untuk memberikan kemudahan kepada Wajib Pajak Orang Pribadi dan Badan yang memiliki peredaran tertentu, perlu memberikan perlakuan tersendiri ketentuan mengenai penghitungan , penyetoran, dan pelaporan Pajak Penghasilan yang terutang”

Dalam perhitungan pajaknya memang Wajib Pajak dimudahkan dimana, dalam perhitungan pajaknya Wajib pajak tidak perlu lagi melakukan rekonsiliasi fiskal dalam mengitung kewajiban perpajakannya.

Hanya saja yang perlu diingat adalah, pengenaan PPh Final ini bukan berarti meniadakan kewajiban untuk menyelenggarakan pembukuan dan menyampaikan laporan keuangan.

Berbeda dengan Wajib Pajak Orang Pribadi yang dibebaskan dari kewajiban melakukan pembukuan dikarenakan menghitung Pajaknya dengan menggunakan Norma Penghitungan penghasilan Netto berdasarkan Pasal 14 ayat 2 Undang-undang Pajak Penghasilan, Wajib Pajak yang dikenakan PPh Final berdasarkan PP 46 tetap harus melakukan pembukuan sesuai dengan Pasal 28 ayat 1 UU KUP.

Menariknya penerapan PP 46 ini secara tidak langsung merengut hak Wajib Pajak Orang pribadi yang melakukan usaha, yang sebelumnya dapat menghitung pajaknya dengan menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Netto yang notabene dibebaskan dari kewajiban melakukan pembukuan dan hanya diwajibkan melakukan pencatatan menjadi wajib melakukan pembukuan.

Sebagai perbandingan Austria tidak mewajibakan Wajib Pajak yang tidak berbentuk badan hukum dengan peredaran usaha sampai dengan $519.960 menyampaikan laporan keuangan (hanya melaporkan pendapatan dan biaya). Untuk Perusahaan di Jerman sampai dengan peredaran usaha tertentu dapat menggunakan pembukuan berdasarkan Basis Kas, dalam menghitung kewajiban perpajakannya [1]

Untuk itu perlu dipahami bahwa “simplified tax system” tidak melulu terletak pada simplified tax calculation, tetapi secara utuh harus dipahami sebagai upaya mereduksi cost of compliance bagi wajib pajak, yang meliputi banyak aspek salah satunya termasuk juga penyederhanaan sistem pembukuan dan dokumen dokumen yang dipersyaratkan.

.

PP 46 Tahun 2013 sebagai pelaksanaan PRESUMPTIVE TAX

Istilah Presumptive Tax mencakup sejumlah prosedur dimana dasar pengenaan pajak yang diinginkan (langsung maupun tidak langsung) tidak dihitung , melainkan dihitung melalui indikator sederhana yang lain yang lebih mudah diukur dari dasar pengenaan pajak itu sendiri. [2]

Presumptive tax sendiri umumnya diterapkan dalam kondisi dimana pembayar pajak di suatu negara didominasi oleh wajib pajak yang tergolong dalam kriteria “hard to tax”. Di negara-negara ini, sebagian besar pembayar pajak tidak memiliki transparansi keuangan yang memungkinkan pemajakan yang

Page 3: Pajak UMKM-Suatu Tinjauan

efektif oleh pemerintah. Sehingga pemerintah memperkirakan atau mengasumsikan jumlah pendapatan yang harus dikenakan pajak. [3]

Kriteria “hard to tax” sendiri antara lain :

1. Jumlah Wajib Pajaknya sangat besar sehingga sangat tidak mungkin bagi otoritas pajak untuk melakukan pengawasan terhadap semua wajib pajak tersebut.

2. Penghasilan wajib pajak tersebut rendah, cenderung di bawah garis kemiskinan.3. Kondisi bisnis yang mereka jalani, tidak mengharuskan mereka untuk melakukan pembukuan.4. Pada umumnya mereka menjual ke pembeli akhir, sehingga mekanisme “withholding tax” untuk

pemungutan pajaknya menjadi tidak efektif.5. Secara singkat, akibat kondisi di atas mebuat mereka sangat mudah untuk menyembunyikan

penghasilannya. [4]

Dengan melihat ketentuan dari PP 46 Tahun 2013 dapat disimpulkan bahwa salah satu tujuan Pemberlakuannya adalah untuk menyasar wajib-pajak yang tergolong kriteria “hard to tax” tadi, hal ini senada dengan pernyataan Dirjen Pajak yang menyebutkan bahwa baru 10% UKM yang membayar pajak [5] dan sulitnya untuk memajaki UKM. [6]

Tetapi semangat untuk memajaki wajib pajak yang tergolong kriteria “hard to tax” tadi menjadi agak bias apabila kita lihat pengecualian dalam pasal 2 ayat 3 PP 46 tersebut yang berbunyi :

Tidak term asuk Waj ib Pajak orang pribadi sebagaim ana dimaksud pada ayat ( 2) adalah Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiat an usaha perdagangan dan/ atau jasa yang dalam usahanya:

a. menggunakan sarana atau prasarana yang dapat dibongkar pasang, baik yang menetap maupun tidak menetap; dan

b. menggunakan sebagian atau seluruh tempat untuk kepentingan umum yang tidak diperunt ukkan bagi tempat usaha atau berjualan.

PP 46 sendiri tidak menjelaskan secara spesifik kenapa wajib pajak tersebut dikecualikan, dan apakah kewajiban pajak mereka dibebaskan atau tidak, tetapi melihat sifat usahanya yang informal terkesan pemerintah tidak ingin membebani mereka dengan pengenaan PPh Final ini.Yang cukup mengherankan dalam aturan pelaksanaan PP 46 ini melalui peraturan Menteri Keuangan nomor PMK-107/PMK.11/2013 tanggal 6 Agustus 2013 dalam pasal 12 ayat 2 disebutkan bahwa kewajiban perpajakan bagi pedagang pedagang informal tadi dilaksanakan melalui mekanisme tarif umum Pajak Penghasilan.

Jadi jika tujuan penerapan PP 46 adalah untuk menyasar wajib pajak yang termasuk kriteria “hard to tax” tadi, mengapa justru pedagang sektor informal yang notabene merupakan wajib pajak yang paling sulit untuk dipajaki malah dikenakan mekanisme perpajakan sesuai dengan mekanisme umum yang sangat tidak mungkin untuk mereka penuhi.

Page 4: Pajak UMKM-Suatu Tinjauan

PP 46 sebagai Sumber Penerimaan Pajak Baru.

Pemerintah dalam beberapa pernyataan menegaskan bahwa tujuan pengenaan PP 46 ini bukan semata-mata untuk peningkatan penerimaan pajak, tetapi juga untuk mengedepankan aspek keadilan dalam pengenaan pajak. [7]

Jumlah UKM di Indonesia jauh melebihi negara-negara lainnya. UKM di Indonesia mencapai 99% dari usaha yang ada di Indonesia, dan menyerap 97% dari keseluruhan tenaga kerja tetapi hanya memberikan 57% nilai tambah. [8]

Melihat data di atas tergambar dengan jelas adanya suatu potensi pajak yang selama ini belum tergali.

Dalam Survey terhadap negara-negara OECD tentang motivasi penerapan presumptive tax, jawaban terbagi menjadi dua kategori besar:

1. Tujuan penerapan untuk penyederhanaan pembukuan dan pelaporan pajak (simplification motive).

2. Meningkatkan kepatuhan Pajak dan perpajakan yang lebih adil (revenue motive).

Motivasi tersebut tergambar pula dalam aturan pengecualian terhadap wajib pajak yang menjadi subyek pemajakan, dimana di negara-negara dengan kriteria pertama Wajib Pajak dapat memilih untuk melaksanakan kewajiban perpajakannya dengan mekanisme umum, sedangkan dalam negara-negara dengan kriteria kedua, aturan pemajakan tersebut tidak bersifat opsional. [9]

PP 46 Tahun 2013 sendiri tidak memberikan opsi bagi Wajib Pajak untuk memilih mekanisme umum Pajak Penghasilan dalam penghitungan pajaknya, semua Wajib pajak yang menjadi Subyek pengenaan PP 46 baik dia orang pribadi, PMDN bahkan PMA sekalipun dapat dikenakan PPh Final melalui mekanisme ini, pengecualian Bentuk Usaha tetap dari aturan ini lebih didasarkan pada adanya Perjanjian Penghindaran pajak berganda yang melarang pengenaan Presumptive Tax kepada non resident.

Sebenarnya sekalipun yang mejadi motivasi penerapan Peraturan Pemerintah No.46 tahun 2013 ini adalah Penerimaan Pajak, hal tersebut sah-sah saja. Tetapi pemerintah perlu lebih selektif dalam menetapkan kriteria Wajib Pajak yang dikenakan pajak berdasarkan aturan ini untuk menghindari wajib pajak dengan kriteria “higher Income” dan wajib pajak yang dapat menyelenggarakan pembukuan. Opsi untuk memilih untuk tidak dikenakan Pajak penghasilan berdsarkan aturan ini, harus tetap dibuka.

KESIMPULAN

Page 5: Pajak UMKM-Suatu Tinjauan

Bahwa Peraturan pemerintah Nomor. 46 tahun 2013 dapat disimpulkan sebagai salah satu sarana Pemerintah untuk memberikan simplifikasi pemajakan dan menjangkau wajib pajak yang tergolong dalam kelompok “hard to tax”, dan juga sebagai sarana penggalian potensi pajak yang selama ini belum tergarap.

Tetapi sayangnya masih terdapat kelemahan dalam terutama dalam hal dasar hukum penerbitan peraturan tersebut, dan juga mengenai kriteria Wajib pajak yang dijadikan sasaran pengenaan. Untuk itu masih diperlukan upaya-upaya penyempuraan terhadap peraturan terkait sehingga lebih tepat sasaran dan simplifikasi sistem pemajakan yang dituju dapat dicapai..

Dan yang perlu diingat, bahwa Presumptive Tax dapat memberikan disinsentive mengingat cara penghitungannya yang tidak langsung, dan dapat pula membuat pelaku UKM untuk enggan berkembang diatas batasan yang disyaratkan dan menghitung pajaknya melalui mekanisme umum, baik melalui cara yang legal maupun penghindaran pajak.

Selain itu sebaiknya aturan ini bersifat opsional sehingga memberikan opsi bagi UKM yang mampu untuk melakukan penghitungan pajak melalui mekanisme umum, sehingga tujuan penerapan PP 46 yang mendorong pengusaha UKM naik kelas sebagaimana disampaikan Menteri Keuangan [10] tidak malah membuat Wajib Pajak yang sudah naik kelas menjadi turun kelas.

[1] OECD, SME Tax Compliance and Simplification, 2007 [2] Ehtisham Ahmad & Nicholas Stern, The Theory and Practice of Tax Reform in Developing

Countries 276 (1991)[3] Sona Gandhi, Presumtive Direc Taxes, Worldbank[4] Victor Thuronyi, Presumptive Taxation of the Hard to Tax, 28 April 2003[5] Vivanews. “Dirjen Pajak : Baru 10% UKM yang Bayar Pajak,” 6 November 2013, dapat diakses

pada http://bisnis.news.viva.co.id/news/read/456555-dirjen-pajak--baru-10-persen-ukm-yang-bayar-pajak.

[6] Jurnal parlemen. “Dirjen Pajak; Sulit Tarik Pajak dari UKM,” 21 November 2013, dapat diakses pada http://www.jurnalparlemen.com/view/6923/dirjen-pajak-sulit-tarik-pajak-dari-ukm.html.

[7] Detik Finance. “Dirjen Pajak: Saya Tak Cari Uang di UKM, Tapi Keadilan,” 15 November 2013, dapat diakses di http://finance.detik.com/read/2013/11/15/170048/2414438/4/dirjen-pajak-saya-tak-cari-uang-di-ukm-tapi-keadilan.

[8] Annabelle Mourougane, “Promoting SME Development in Indonesia” ,OECD, 2012. [9] Alfons J Weichenrieder, “Survey On The Taxation Of Small and Medium-Sized Enterprises”,

OECD, 2007.[10] Indonesia Finance Today, “Pajak UKM Dorong Sektor Usaha Kecil dan Menengah Naik Kelas,”

dapat diakses pada http://www.indonesiafinancetoday.com/read/47241/Pajak-UKM-Dorong-Sektor-Usaha-Kecil-dan-Menengah-Naik-Kelas

Page 6: Pajak UMKM-Suatu Tinjauan