Pajak Internasional

61
BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Sekian tahun terakhir era globalisasi menjadi semakin nyata, arus investasi, perdagangan dan mobilitas sumbar daya manusia sudah tidak lagi mengenal batasbatas negara. Investasi internasional dianggap berperan penting dalam memberikan kontribusi perkembangan ekonomi suatu negara, terutama negara berkembang, sehingga tiap negara berlomba- lomba untuk menarik investasi asing ke negaranya. Di banyak negara, perdagangan internasional menjadi salah satu faktor utama untuk meningkatkan GDP (gross domestic product), yang menjadi salah satu indicator kemakmuran suatu negara. Sehingga berbagai cara ditempuh untuk mengatasi hambatan perdagangan internasional. Selain itu, liberalisasi berdampak pada mobilitas sumber daya manusia baik secara permanen maupun temporer. Setiap orang dapat mencari lapangan pekerjaan di negara lain dengan alasan mencari tingkat hidup yang lebih baik, kondisi kerja dan standar yang lebih tinggi dan alasanalasan lainnya. 1

description

Pajak Internasional

Transcript of Pajak Internasional

Page 1: Pajak Internasional

BAB I

PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang

Sekian tahun terakhir era globalisasi menjadi semakin nyata, arus investasi,

perdagangan dan mobilitas sumbar daya manusia sudah tidak lagi mengenal batasbatas

negara. Investasi internasional dianggap berperan penting dalam memberikan kontribusi

perkembangan ekonomi suatu negara, terutama negara berkembang, sehingga tiap negara

berlomba-lomba untuk menarik investasi asing ke negaranya. Di banyak negara,

perdagangan internasional menjadi salah satu faktor utama untuk meningkatkan GDP

(gross domestic product), yang menjadi salah satu indicator kemakmuran suatu negara.

Sehingga berbagai cara ditempuh untuk mengatasi hambatan perdagangan internasional.

Selain itu, liberalisasi berdampak pada mobilitas sumber daya manusia baik secara

permanen maupun temporer. Setiap orang dapat mencari lapangan pekerjaan di negara lain

dengan alasan mencari tingkat hidup yang lebih baik, kondisi kerja dan standar yang lebih

tinggi dan alasanalasan lainnya.

Perkembangan kegiatan ekonomi di era globalisasi yang telah melewati batas-batas

yurisdiksi negara, menimbulkan permasalahan tersendiri dari sisi perpajakan. Setiap negara

mempunyai kedaulatan dalam memajaki baik atas penduduk maupun bukan penduduk yang

ada di negaranya. Prinsip tersebut mempengaruhi perlakuan perpajakan terhadap subjek

maupun objek pajak luar negeri.

Globalisasi telah melahirkan perusahaan-perusahaan multi nasional, yang umumnya

memiliki dana besar. Mereka memainkan peranan penting dalam proses investasi dan

perdagangan internasional. Tidak dapat dihindari, perusahaan multinasional yang

mempunyai jangkauan luas lintas negara, harus berkompetisi dengan perusahaan lain.

Dengan dana besar yang dimiliki, mereka mempunyai pengaruh kuat dalam politik global.

1

Page 2: Pajak Internasional

Negara-negara sering kali menawarkan fasilitas untuk menarik investasi, seperti seperti

penurunan tarif pajak bahkan ada beberapa negara menawarkan tidak mengenakan pajak

sama sekali. Alternatif-alternatif yang ditawarkan oleh negara-negara tersebut tentu saja

tidak diabaikan oleh perusahaan yang memang berusaha melakukan efisiensi beban pajak.

Kondisi ini memunculkan apa yang disebut dengan pilihan rezim pemajakan (preferential

tax regime). Kebijakan suatu negara yang tidak mengenakan pajak atau mengenakan pajak

dengan sangat rendah sering disebut dengan istilah tax haven. Tentu saja keberadaan tax

haven country akan merugikan negara lain yang tidak menerapkan kebijakan yang sama.

Adanya tax haven country merupakan cikal bakal terjadinya praktik yang tidak sehat di

bidang perpajakan internasional, di antaranya transfer pricing, controlled foreign

corporation dan treaty shopping. Supaya praktek-praktek perpajakan ini tidak merugikan

penerimaan negara, tiap negara umumnya mempunyai seperangkat aturan untuk

menangkalnya.

Pajak Internasional pada dasarnya berdasarkan pada ketentuan pemajakan domestik

yang berlaku terhadap wajib pajak dalam negeri yang memperoleh penghasilan dari luar

negeri dan terhadap wajib pajak luar negeri yang memperoleh penghasilan dari Indonesia.

Selain pada ketentuan domestik, pajak internasional juga berdasarkan pada perjanjian

perpajakan dan praktek perpajakan global (Gunadi, 1997). Dengan kata lain pajak

internasional akan berbicara mengenai bagaimana pemajakan atas penghasilan orang asing

atau perusahaan (badan) asing yang diterima dari Indonesia dan bagaimana pemajakan atas

penghasilan orang atau perusahaan (badan) Indonesia atas penghasilan yang diterima dari

luar negeri, dengan berdasarkan UU domestik dan UU negara lain serta perjanjian

perpajakan (tax treaty).

2

Page 3: Pajak Internasional

BAB II

LANDASAN TEORI

II.1 Konsep Dasar Pajak Internasional

II.1.1 Pajak Internasional

Pajak Internasional menurut Sriadi (Kepala Seksi Perjanjian Perpajakan Eropa,

Kantor Pusat Direktorat Jenderal Pajak (DJP)) adalah kesepakatan perpajakan yang berlaku

di antara negara yang mempunyai Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B) dan

pelaksanaanya dilakukan dengan niat baik sesuai dengan Konvensi Wina (Pacta

Sunservanda).

Secara umum, ketentuan pajak internasional suatu negara meliputi 2 (dua) dimensi

luas yaitu:

a. Pemajakan terhadap wajib pajak dalam negeri (WPDN) atas penghasilan dari luar

negeri, dan

b. Pemajakan terhadap wajib pajak luar negri (WPLN) atas penghasilan dari dalam

negeri (domestik).

Hukum Pajak Internasional dalam arti sempit menurut Ottmar Buhler adalah

kaedah-kaedah norma hukum perselisihan yang didasarkan pada hukum antar bangsa

(hukum internasional), sedangkan hukum pajak internasional dalam arti luas adalah

kaedah-kaedah hukum antar bangsa ini ditambah peraturan nasional yang mempunyai

obyek hukum perselisihan khususnya tentang perpajakan.

Hukum Pajak Internasional menurut Adrianni adalah keseluruhan peraturan yang

mengatur tata tertib hukum dan yang mengatur soal penyedotan daya beli itu di masyarakat.

Hukum pajak internasional merupakan suatu kesatuan hukum yang mengupas persoalan

yang diatur dalam undang-undang (UU) nasional mengenai:

Pemajakan terhadap orang-orang Luar Negeri (LN)

3

Page 4: Pajak Internasional

Peraturan-peraturan nasional untuk menghindarkan pajak berganda

Traktat-traktat

Menurut negara-negara Anglo Sakson, hukum pajak internasional dibagi sebagai

berikut:

Hukum Pajak Nasional (National External Tax Law)

Hukum pajak nasional merupakan hukum pajak nasional yang memuat ketentuan-

ketentuan mengenai pengenaan pajak yang mempunyai daya kerja samppai diluar

batas-batas negara karena terdapat unsur-unsur asing, baik mengenai objeknya

(sumber ada di luar negeri) maupun mengenai subjeknya (subjek ada di luar negeri)

Hukum Pajak Luar Negeri (Foreign Tax Law)

Hukum pajak luar negeri adalah keseluruhan perundang-undangan dan peraturan

pajak dari negara-negara yang ada diseluruh dunia.

Hukum Pajak Internasional (Internasional Tax Law)

Hukum pajak internasional dalam arti sempit merupakan keseluruhan kaedah pajak

yang berdasarkan hukum antar negara seperti traktat-traktat, konvensi, dan lain

sebagainya, dan berdasarkan prinsip-prinsip hukum pajak yang telah lazim diterima

baik oleh negara-negara di dunia, mempunyai tujuan mengatur soal perpajakan

antara negara yang saling mempunyai kepentingan. Sedangkan dalam arti luas,

hukum pajak internasional adalah keseluruhan kaedah baik yang berdasrkan traktat-

traktat, konvensi-konvensi, dan prinsip hukum pajak yang diterima baik oleh

negara-negara didunia, maupun kaedah-kaedah nasional yang mempunyai sebagai

objeknya pengenaan pajak dalam mana dapat ditunjukkan adanya unsur-unsur

asing, hal mana mungkin dapat menimbulkan bentrokan hukum antara dua negara

atau lebih.

4

Page 5: Pajak Internasional

II.1.2 Sumber-Sumber Hukum Pajak Internasional

Sumber hukum pajak internasional terdiri dari:

a. Hukum pajak nasional yaitu peraturan pajak sepihak yang tidak ditujukan kepada

pihak lain.

b. Traktat yaitu perjanjian pajak dengan negara lain

Untuk menghindari pajak berganda

Untuk mengatur perlakuan fiscal terhadap orang asing

Untuk mengatur mengenai laba Badan Usaha Tetap (BUT)

Untuk memberantas penyelundupan pajak

c. Putusan Hakim (Nasional maupun Internasional)

Tujuan umum pajak internasional adalah untuk mengeliminasi gejala pajak ganda.

II.1.2.1 Sumber Hukum Pajak Internasional Indonesia

Sumber-sumber Hukum Pajak Intenasional terlalu luas jika ingin kita kaji, sehingga

dipersempit hanya terkait dengan Negara Indonesia, sumber-sumber hukum terebut antara

lain :

A. Kaedah Hukum Pajak Nasional/Inilaateral yang mengandung unsur asing, antara

lain :

a. Peraturan Perpajakan Nasional yang mengatur P3B (Pasal 32 A UU PPh)

tentang “Pemerintah berwenang untuk melakukan perjanjian dengan negara lain

dalam rangka penghindaran pajak berganda dan pencegahan pengelakan pajak.”;

b. Peraturan Perpajakan Nasional (Pasal 2 UU PPh) tentang : Subjek Pajak Luar

Negeri dan Bentunk Usaha Tetap (BUT);

c. Peraturan Perpajakan Nasional (Pasal 2 UU PPh) tentang: Tidak Termasuk

Subyek Pajak;

d. Peraturan Perpajakan Nasional (Pasal 5 ayat (2) UU PPh) tentang: Peraturan

Perpajakan Nasional (Pasal 3 UU PPh) tentang: Tidak Termasuk Subyek Pajak

5

Page 6: Pajak Internasional

Bentuk Peraturan Perpajakan Nasional (Pasal 3 UU PPh) tentang: Tidak

Termasuk Subjek Pajak Usaha Tetap;

e. Peraturan Perpajakan Nasional (Pasal 18 UU PPh) tentang: Hubungan Istimewa,

Billamana Terdapat Ketidakwajaran dalam Perpajakan;

f. Peraturan Perpajakan Nasional (Pasal 24 UU PPh) tentang: Kredit Pajak Luar

Negeri;

g. Peraturan Perpajakan Nasianal (Pasal 26 UU PPh) tentang: Pemotongan Pajak

atas Subjek Pajak Luar Negeri yang memperoleh penghasilan dari Indonesia.

B. Kaedah-kaedah yang berasal dari traktat:

a. Perjanjian bilateral;

b. Perjanjanjian ini diwujudkan dengan adanya Perjanjian Penghindaran Pajak

Berganda (P3B).

c. Perjanjian multirateral

Perjanjian ini seperti Konvensi Wina.

C. Keputusan Hakim Nasional atau Komisi Internasional tentang pajak-pajak

Internasional.

Hal ini dapat diwujudkan dengan adanya putusan pengadilan pajak yang

menyangkut tentang perpajakan Internasional, atau Keputusan Pengadilan

internasional Den Haag yang memuat soal-soal perpajakan.

Berdasarkan Pasal 32 A Undang-undng Pajak Penghasilan, pemerintah berwenang

untuk melakukan perjanjian dengan pemerintah negara lain dalam rangka penghindaran

Pajak Berganda dan pencegahan Pengelakan Pajak. Dalam penjelasannya, perjanjian ini

dimaksudkan dalam rangka peningkatan hubungan ekonomi dan perdagangan dengan

negara lain diperlukan suatu perangkat hukum yang berlaku khusus (lex-spesialis) yang

mengatur hak-hak pengenaan pajak dari masing-masing negara guna memberikan kepastian

hukum dan menghindarkan pengenaan pajak berganda serta pengelakan pajak. Adapun

6

Page 7: Pajak Internasional

bentuk dan meterinya mengacu pada Konvensi Internasional dan ketentuan lainnya serta

ketentuan perpajakan nasional masing-masing negara. Atas dasar tersebut maka Negara

Indonesia mengakui Konvensi Wina tahun 1961 (CD) dan 1963 (CC), dan tax treaty

berbagai negara.

Menurut Rochmat Soemitro, dalam Hukum Pajak Internasional mencakup juga

perjanjian bilateral perpajakan yang disebut dengan istilah “Traktat antar negara utuk

mengatur soal-soal perpajakan dan dalam mana dapat ditunjukan adanya unsur-unsur asing,

baik mengenai subyeknya maupun mengenai obyeknya.

Kekuasaan Negara itu tidak hanya menciptakan UU Pasal 23 ayat 2 UUD 1945,

namun kekuasaan ini juga tercemin dalam mana negara mempertahankan kedaulatan negara

dimana tidak ada Hukum Internasional mana atau oleh siapa yang dapat membatasi

wewneng ini.

Apabila negara kita tidak tunduk dan patuh terhadap hukum internasional, maka

negara kita akan diberikan sanksi secara bersama oleh negara yang mengikuti konvensi

tersebut, dalam hal demikian Indonesia akan dikucilkan dalam dunia internasional dan

berdampak terhadapperekonomian negara Indonesia secara keseluruhan, sehingga mau

tidak mau Indonesia harus turut serta menjalankan konvensi tersebut.

Di Indonesia, pajak internasional khususnya mengenai P3B diatur dalam Pasal 32A

UU Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan UU Nomor 36 Tahun

2008. Kedudukan P3B berdasarkan ketentuan ini adalah lex specialist terhadap Undang-

undang domestik. Dengan demikian, jika ada ketentuan dalam undang-undang domestik

bertentangan dengan ketentuan dalam P3B maka yang dimenangkan adalah ketentuan P3B.

Saat ini sudah ada sekitar 58 P3B Indonesia dengan negara lain yang sudah berlaku

efektif. Jumlah ini akan terus bertambah karena ada beberapa P3B lagi yang belum berlaku

efektif tetapi masih dalam proses perundingan, penandatanganan, ratifikasi atau proses

pemberlakuan. Beberapa ketentuan pelaksanaan terkait pelaksanaan atau penerapan P3B ini

adalah antara lain:

7

Page 8: Pajak Internasional

o PER-61/PJ./2009 tentang Tata Cara Penerapan Persetujuan Penghindaran Pajak

Berganda.

o PER-62/PJ./2009 tentang Pencegahan Penyalahgunaan Persetujuan Penghindaran

Pajak Berganda.

o PER-67/PJ./2009 tentang Tata Cara Pertukaran Informasi Berdasarkan P3B.

Dalam P3B OECD Model, ketentuan tentang pertukaran informasi dimuat dalam

Pasal 26. Sementara itu aturan internal di Indonesia untuk melakukan proses pertukaran

informasi diatur dalam SE-61/PJ/2009.

Sementara itu, proses pembentukan P3B seperti proses pendekatan, perundingan,

ratifikasi serta pemberlakuannya tunduk kepada UU No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian

Internasional.

II.1.3 Tujuan Kebijakan Perpajakan Internasional

Untuk memajukan perdagangan antar negara, mendorong laju investasi di masing-

masing negara, pemerintah berusaha untuk meminimalkan pajak yang menghambat

perdagangan dan investasi tersebut. Salah satu upaya untuk meminimalkan beban tersebut

adalah dengan melakukan penghindaraan pajak berganda internasional.

Adanya kebijakan pajak internasional dimaksudkan terutama untuk menghilangkan

pajak berganda (double tax). Pajak berganda ini timbul karena dua negara mengenakan

pajak atas penghasilan yang sama. Ketentuan-ketentuan dalam Perjanjian Penghindaran

Pajak Berganda (P3B) yang dimaksudkan untuk mencegah pengenaan pajak berganda ini

misalnya:

a. Adanya ketentuan untuk menyelesaikan kasus dual residence, di mana seseorang

atau badan diakui sebagai subjek pajak dalam negeri (resident tax person) oleh dua

negara yang berbeda.

b. Adanya ketentuan pembagian hak pemajakan dalam Pasal 6 sampai dengan Pasal 21

P3B untuk jenis-jenis penghasilan tertentu. Pembagian hak pemajakan ini ada yang

8

Page 9: Pajak Internasional

bersifat ekslusif diberikan hanya kepada satu negara dan ada juga yang berupa

pembatasan kepada suatu negara untuk mengenakan pajak.

c. Adanya ketentuan tentang Corresponding Adjustment terhadap lawan transaksi di

suatu negara dalam hal negara yang lain melakukan koreksi terhadap satu Wajib

Pajak yang melakukan transfer pricing.

d. Adanya ketentuan tentang Mutual Agreement Procedures (MAP) di mana jika satu

Wajib Pajak diperlakukan tidak sesuai dengan ketentuan P3B di negara lain maka

Wajib Pajak tersebut dapat meminta otoritas pajak untuk menyelesaikan masalahnya

melalui MAP ini.

Selain untuk mencegah pengenaan pajak berganda, P3B juga dimaksudkan untuk

mencegah terjadinya penghindaran pajak (tax avoidance) dan pengelakan pajak (tax

evasion). Jika tujuan-tujuan tersebut tercapai tentu saja pada akhirnya P3B dapat

menghilangkan hambatan dalam lalu lintas perdagangan, modal dan investasi antar negara

sehingga pada akhirnya dapat dicapai kesejahteraan suatu negara karena sumber daya

dialokasikan secara efisien.

Perpajakan berganda internasional terjadi karena benturan antar klaim perpajakan.

Hal ini karena adanya prinsip perpajakan global untuk wajib pajak dalam negeri (global

principle) dimana penghasilan dari dalam luar negeri dan dalam negeri dikenakan pajak

oleh negara residen (negara domisili wajib pajak). Selain itu, terdapat pemajakan teritorial

(source principle) bagi wajib pajak luar negeri (WPLN) oleh negara sumber penghasilan

dimana penghasilan yang bersumber dari negara tersebut dikenakan pajak oleh negara

sumber. Hal ini membuat suatu penghasilan dikenakan pajak dua kali, pertama oleh negara

residen lalu oleh negara sumber. Bentokran klaim lebih diperparah bila terjadi dual residen,

dimana terdapat dua negara sama-sama mengklaim seorang subjek pajak sebagi wajib pajak

dalam negerinya yang menyebabkan ia terkena pemajakan global dua kali.

9

Page 10: Pajak Internasional

II.1.4 Prinsip-prinsip dalam Perpajakan Internasional

Doernberg (1989) menyebut 3 unsur prinsip-prinsip netralitas yang harus dipahami

dalam perpajakan internasional yang harus dipenuhi dalam kebijakan perpajakan

internasional:

1. Capital Export Neutrality (Netralitas Pasar Domestik)

Kemanapun kita berinvestasi, beban pajak yang dibayar haruslah sama. Sehingga

tidak ada bedanya bila kita berinvestasi di dalam atau luar negeri. Maka jangan

sampai bila berinvestasi di luar negeri, beban pajaknya lebih besar karena

menanggung pajak dari dua negara. Hal ini akan melandasi UU PPh Psl 24 yang

mengatur kredit pajak luar negeri.

2. Capital Import Neutrality (Netralitas Pasar Internasional)

Darimanapun investasi berasal, dikenakan pajak yang sama. Sehingga baik investor

dari dalam negeri atau luar negeri akan dikenakan tarif pajak yang sama bila

berinvestasi di suatu negara. Hal ini melandasi hak pemajakan yang sama denagn

Wajib Pajak Dalam Negeri (WPDN) terhadap permanent establishment (PE) atau

Badan Uasah Tetap (BUT) yang dapat berupa cabang perusahaan ataupun kegiatan

jasa yang melewati time-test dari peraturan yang berlaku.

3. National Neutrality

Setiap negara, mempunyai bagian pajak atas penghasilan yang sama. Sehingga bila

ada pajak luar negeri yang tidak bisa dikreditkan boleh dikurangkan sebagai biaya

pengurang laba.

II.2 Pemajakan Lintas Negara

Pemajakan berganda terjadi karena benturan antar klaim pemajakan. Hal ini karena

adanya prinsip pemajakan global untuk wajib pajak dalam negeri (global principle) dimana

penghasilan dari dalam luar negeri dan dalam negeri dikenakan pajak oleh negara residen

(negara domisili wajib pajak). Selain itu, terdapat pemajakan teritorial (source principle)

10

Page 11: Pajak Internasional

bagi wajib pajak luar negeri (WPLN) oleh negara sumber penghasilan dimana penghasilan

yang bersumber dari negara tersebut dikenakan pajak oleh negara sumber. Hal ini membuat

suatu penghasilan dikenakan pajak dua kali, pertama oleh negara residen lalu oleh negara

sumber Misalnya: PT A punya cabang di Jepang. Penghasilan cabang di jepang dikenakan

pajak oleh fiskus Jepang. Lalu di Indonesia penghasilan itu digabung dengan penghasilan

dalam negeri lalu dikalikan tarif pajak UU domestik Indonesia.

Bentokran klaim lebih diperparah bila terjadi dual residen, dimana terdapat dua

negara sama-sama mengklaim seorang subjek pajak sebagi wajib pajak dalam negerinya

yang menyebabkan ia terkena pemajakan global dua kali. Misalnya: Mr. A bekerja di

Indonesia lebih dari 183 hari namun setiap sabtu dan minggu ia pulang ke rumahnya di

Singapura. Mr. A dianggap WPDN oleh Indonesia dan juga Singapura sehingga untuk

wajib melapor dan membayar pajak untuk penghasilan globalnya pada Indonesia maupun

Singapura.

Dalam kaitan pembagian hak pemajakan ini, negara-negara yang melakukan

perjanjian perpajakan dibagi menjadi dua jenis. Pertama adalah negara sumber (source

country) yang merupakan negara di mana penghasilan yang merupakan objek pajak timbul.

Kedua adalah negara domisili (resident country) yaitu negara tempat subjek pajak

bertempat tinggal, berkedudukan atau berdomisili berdasarkan ketentuan perpajakan.

Baik negara sumber maupun negara domisili biasanya berhak untuk mengenakan

pajak berdasarkan undang-undang domestiknya. Pengenaan pajak oleh dua yurisdiksi

perpajakan terhadap satu jenis penghasilan inilah yang biasanya menimbulkan pengenaan

pajak berganda sehingga perlu diatur dalam suatu persetujuan antara negara sumber dan

negara domisili.

II.3 Konsep Juridical versus Economic Double Taxation

Dalam komentar atau Pasal 23 A dan 23 B model P3B OECD membedakan antara

pajak berganda yuridis (juridical double taxation) dengan pajak ganda ekonomis (economic

11

Page 12: Pajak Internasional

double taxation). Pajak berganda yuridis terjadi apabila atas penghasilan yang sama yang

diterima oleh orang yang sama dikenakan pajak oleh lebih dari satu negara, sedangkan

pajak berganda ekonomis terjadi apabila dua orang yang berbeda (secara hukum) dikenakan

pajak atas suatu penghasilan yang sama (atau identik).

Atas perbedaan tersebut Arnold dan McIntyre (2002) menyebutkan sebagai definisi

legal atas Pajak Berganda Internasional (sebutan lain dari PBI yuridis) dan konsep

ekonomis yang luas atas PBI. Berdasar definisi legal, pemajakan badan usaha (atau

perusahaan induk) oleh suatu Negara dan pemajakan atas pemegang saham (atau

perusahaan anak) oleh negara lain bukanlah suatu pajak berganda karena mereka

merupakan dua subjek hukum yang berbeda. Namun demikian, secara ekonomis PBI terjadi

dalam kasus badan dengan pemegang sahamnya karena mereka merupakan satu kesatuan

ekonomis. Pajak bergganda ekonomis dapat terjadi apabila penghasilan dikenakan pajak

pada persekutuan dan kepada sekutu, atau kepada lembaga wali amanat (trust) dan pemilik

manfaat manat (beneficiaries), dan pemajakan penghasilan pada keluarga dan anggota

keluarga.

Dalam komentar atas Pasal 23A dan 23B, model konvensi OECD menjelaskan

tentang PBI yuridis dan ekonomis. Sementara PBI yuridis terjadi apabila suatu penghasilan

(atau modal) yang sama dikenakan pajak di tangan orang (subjek) yang sama oleh lebih

dari satu Negara, PBI ekonomis timbul apabila dua orang yang (secara yuridis) berbeda

dikenakan pajak atas suatu penghasilan (atau modal maupun objek) yang sama (oleh lebih

dari satu negara). Dalam PBI yuridis tampak bahwa pemajakan oleh lebih dari satu negara

tersebut dilakukan terhadap satu subjek legal yang sama (legal identityof subject). Di pihak

lain, PBI ekonomis meliputi pemajakan atas objek yang sama terhadap legal subjek yang

berbeda, namun secara ekonomis identik atau setidaknya merupakan para wajib pajak yang

terdapat hubungan (economic identity of subject).

12

Page 13: Pajak Internasional

II.4 Prinsip Non Diskriminasi

Ketentuan non diskriminasi dimaksudkan untuk memberikan perlindungan di

bidang perpajakan bagi warga negara dari suatu negara treaty partner yang melakukan

kegiatan di negara treaty partner lainnya. Perlindungan yang dimaksud adalah warga

negara dari negara treaty partner lainnya dibandingkan warga negara di negara itu dalam

keadaan atau kondisi yang sama (the same circumstances).

Ketentuan non diskriminasi itu berlaku atas suatu bentuk usaha tetap dari

perusahaan yang adalah penduduk dari suatu negara treaty partner lainnya atau perusahaan

penanaman modal di negara itu yang modalnya sebagian atau seluruhnya dimiliki atau

dikuasai baik langsung maupun tidak langsung oleh penduduk dari negara yang disebutkan

pertama. Namun, ketentuan ini tidak mewajibkan negara treaty partner lainnya

memberikan keringanan (allowances), potongan (reliefs) ataupun pengurangan (deductions)

pengenaan pajak kepada warga negara atau penduduk dari negara yang disebutkan pertama

di atas.

Sebagai perusahaan yang berorientasi laba, sudah tentu suatu perusahaan domestik

maupun perusahaan multinasional berusaha meminimalkan beban pajak dengan cara

memanfaatkan kelemahan sistem ketentuan pajak dari suatu negara. Di banyak negara,

skema penghindaran pajak dapat dibedakan menjadi:

1. Penghindaran pajak yang diperkenankan (acceptable tax avoidance).

2. Penghindaran pajak yang tidak diperkenankan (unacceptable tax avoidance).

Antara suatu negara dengan negara lain bisa jadi saling berbeda pandangannya

tentang skema apa saja yang dapat dikategorikan sebagai acceptable tax avoidance atau

unacceptable tax avoidance. Dengan demikian, bisa saja suatu skema penghindaran pajak

tertentu di suatu negara dikatakan sebagai penghindaran pajak yang tidak diperkenankan,

tetapi di negara lain dikatakan sebagai penghindaran pajak yang diperkenankan. Istilah lain

yang sering dipergunakan untuk menyatakan penghindaran pajak yang tidak diperkenankan

13

Page 14: Pajak Internasional

adalah aggressive tax planning dan istilah untuk penghindaran pajak yang diperkenankan

adalah defensive tax planning.

Dalam buku-buku perpajakan, istilah tax avoidance biasanya diartikan “sebagai

suatu skema transaksi yang ditujukan untuk meminimalkan beban pajak dengan

memanfaatkan kelemahan-kelemahan (loophole) ketentuan perpajakan suatu negara.”

Dengan demikian, banyak ahli pajak menyatakan skema tersebut sah-sah saja (legal) karena

tidak melanggar ketentuan perpajakan. Lebih lanjut,  The Asprey Comittee of Australia,

seperti yang dikutip oleh Indrayagus Slamet menyatakan bahwa tax avoidance umumnya

menyangkut perbuatan yang masih dalam koridor hukum tapi tidak berdasarkan ”bonafide

dan adequate consideration”, atau berlawanan dengan maksud dari pembuat undang-undang

(the intention of parliament).

Tax planning adalah “upaya Wajib Pajak untuk meminimalkan pajak yang terutang

melalui skema yang memang telah jelas diatur dalam peraturan perundang-undangan

perpajakan dan sifatnya tidak menimbulkan dispute antara Wajib Pajak dan otoritas pajak.

Sedangkan tax evasion diartikan sebagai suatu skema memperkecil pajak yang

terutang dengan cara melanggar ketentuan perpajakan (illegal) seperti dengan cara tidak

melaporkan sebagian penjualan atau memperbesar biaya dengan cara fiktif.

Berkaitan dengan tax avoidance, pertanyaan yang layak kita ajukan adalah apakah

suatu skema transaksi yang tujuannya semata-mata untuk penghindaran pajak (tidak ada

tujuan  bisnisnya) dengan cara memanfaatkan kelemahan ketentuan perpajakan yang ada

dapat dibenarkan? Dalam konteks perpajakan internasional, ada berbagai skema yang biasa

dilakukan oleh PMA untuk melakukan penghematan pajak yaitu dengan skema seperti (i)

transfer pricing, (ii) thin capitalization, (iii) treaty shopping, dan (iv) controlled foreign

corporation (CFC).

Pada umumnya dalam melakukan penghematan pajak tersebut, Wajib Pajak dapat

menjalankan dalam bentuk:

1. Substantive tax planning, yang terdiri atas:

14

Page 15: Pajak Internasional

a. Memindahkan subjek pajak (transfer of tax subject) ke negara-negara yang

dikategorikan sebagai tax haven atau negara yang memberikan perlakuan pajak

khusus (keringanan pajak) atas suatu jenis penghasilan.

b. Memindahkan objek pajak (transfer of tax subject) ke negara-negara yang

dikategorikan sebagai tax haven atau negara yang memberikan perlakuan pajak

khusus (keringanan pajak) atas suatu jenis penghasilan.

c. Memindahkan subjek pajak dan objek pajak (transfer of tax subject and of tax

object) ke negara-negara yang dikategorikan sebagai tax haven atau negara

yang memberikan perlakuan pajak khusus (keringanan pajak) atas suatu jenis

penghasilan.

2. Formal tax planning

Melakukan penghindaran pajak dengan cara tetap mempertahankan substansi

ekonomi dari suatu transaksi dengan cara memilih berbagai bentuk formal jenis

transaksi yang memberikan beban pajak yang paling rendah.

II.5 Konsep Anti Tax Avoidance

Dalam menghadapi skema-skema unacceptable tax avoidance atau aggressive tax

planning seperti tersebut di atas, umumnya suatu negara menerbitkan ketentuan

pencegahan penghindaran pajak yang diatur dalam peraturan perundang-undangan

perpajakan sebagai berikut ini:

1. Specific Anti Avoidance Rule (SAAR), yaitu ketentuan anti penghindaran pajak atas

transaksi seperti (i) transfer pricing, (ii) thin capitalization, (iii) treaty shopping,

dan (iv) controlled foreign corporation (CFC).

2. General Anti Avoidance Rule (GAAR), yaitu ketentuan anti penghindaran pajak

untuk mencegah transaksi yang semata-mata dilakukan oleh Wajib Pajak yang

semata-mata untuk tujuan penghindaran pajak atau transaksi yang tidak mempunyai

substansi  bisnis.

15

Page 16: Pajak Internasional

Di banyak negara, seperti di Israel dan Kanada, telah membuat suatu ketentuan untuk

menangkal praktik unacceptable tax avoidance atau aggressive tax planning yang

dilakukan oleh Wajib Pajak. Hal ini disebabkan karena tax planning yang dilakukan oleh

Wajib Pajak tidak bersifat defensive tax planning lagi tetapi sudah semakin offensive yaitu

dengan membuat suatu transaksi semu yang pada dasarnya tidak ada tujuan bisnisnya atau

membuat suatu entitas usaha di negara-negara yang dikategorikan sebagai tax haven

country. Di Australia, skema-skema yang dapat dikategorikan sebagai aggressive tax

planning oleh Australian Taxation Office (ATO) adalah sebagai berikut:

1. Transaksi yang dibuat semata-mata untuk tujuan menghindari pajak. Dengan kata

lain transaksi tersebut tidak mempunyai tujuan bisnis, kalaupun ada tujuan bisnisnya

tetapi sangat tidak signifikan.

2. Berusaha untuk mendapatkan fasiltas pajak yang sebenarnya fasilitas pajak tersebut

tidak ditujukan kepadanya.

3. Membuat transaksi yang berputar-putar yang akhirnya transaksi tersebut akan

kembali lagi kepadanya (round-robin flow of funds).

4. Penggelelembungan nilai aset untuk mendapatkan biaya penyusutan yang besar di

masa yang akan datang.

5. Memanfaatkan suatu entitas usaha di mana penghasilan yang diterima oleh entitas

usaha tersebut dikecualikan sebagai objek pajak.

6. Transaksi bisnis yang melibatkan negara-negara yang dikategorikan sebagai tax

haven countries.

Bagaimana dengan Indonesia?

Dalam peraturan perundang-undangan perpajakan kita yang berlaku saat ini, belum

ada definisi yang jelas mengenai tax planning, agresive tax planning, acceptable tax

avoidance dan unacceptable tax avoidance. Dengan demikian, dalam praktiknya sering

menimbulkan penafsiran yang berbeda antara Wajib Pajak dan aparat pajak. Wajib Pajak

16

Page 17: Pajak Internasional

dan aparat pajak tentu akan memberikan penafsiran sendiri-sendiri yang menguntungkan

mereka, sehingga menimbulkan ketidakpastian hokum.

Dari sudut pandang Wajib Pajak, tentu akan berpendapat bahwa sepanjang skema

penghindaran pajak yang mereka lakukan tidak dilarang dalam peraturan perundang-

undangan perpajakan tentu sah-sah saja (legal). Hal ini dimaksudkan untuk memberikan

kepastian hokum bagi Wajib Pajak. Akan tetapi, di sisi lain, pemerintah tentu juga

berkepentingan bahwa jangan sampai suatu ketentuan perpajakan disalahgunakan oleh

Wajib Pajak untuk semata-mata tujuan penghindaran pajak yang akan merugikan

penerimaan Negara. Oleh karena itu, untuk kepastian hokum baik bagi Wajib Pajak

maupun bagi pemerintah, ketentuan tax planning, tax avoidance, dan anti tax avoidance

yang berupa Specific Anti Avoidance Rule (SAAR) maupun General Anti Avoidance Rule

(GAAR) harus diatur secara jelas dan rinci dalam ketentuan peraturan perundang-undangan

perpajakan, baik untuk ketentuan formalnya yaitu terkait dengan sanksi, maupun dalam

ketentuan materialnya.

II.6 Bentuk Usaha Tetap (BUT)

II.6.1 Pengertian Bentuk Usaha Tetap (BUT)

Berdasarkan UU No. 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan (PPh) pasal 2 ayat

(5), Bentuk usaha tetap adalah bentuk usaha yang dipergunakan oleh orang pribadi yang

tidak bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di Indonesia tidak lebih

dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, dan

badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia untuk menjalankan

usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia, yang dapat berupa:

o Tempat kedudukan manajemen;

o Cabang perusahaan;

o Kantor perwakilan;

o Gedung kantor;

17

Page 18: Pajak Internasional

o Pabrik;

o bengkel;

o Gudang;

o Ruang untuk promosi dan penjualan;

o Pertambangan dan penggalian sumber alam;

o Wilayah kerja pertambangan minyak dan gas bumi;

o Perikanan, peternakan, pertanian, perkebunan,atau kehutanan;

o Proyek konstruksi, instalasi, atau proyek perakitan;

o Pemberian jasa dalam bentuk apa pun oleh pegawai atau orang lain, sepanjang

dilakukan lebih dari 60 (enam puluh) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan;

o Orang atau badan yang bertindak selaku agen yang kedudukannya tidak bebas;

o Agen atau pegawai dari perusahan asuransi yang tidak didirikan dan tidak bertempat

kedudukan di Indonesia yang menerima premi asuransi atau menanggung risiko di

Indonesia; dan

o Komputer, agen elektronik, atau peralatan otomatis yang dimiliki, disewa, atau

digunakan oleh penyelenggara transaksi elektronik untuk menjalankan kegiatan

usaha melalui internet.

Salah satu contoh BUT: Perusahaan Cina yang memenangkan tender pembangunan

PLTU maka untuk membangun PLTU tersebut, perusahaan dari Cina mendirikan

BUT yang akan beroperasi selama pembangunan PLTU tersebut. Setelah proyek

tersebut selesai maka BUT tersebut bubar dan mengajukan penghapusan NPWP.

II.6.2 Pajak Penghasilan BUT

Berdasarkan UU PPh pasal 2 ayat (1a), Subjek Pajak/Wajib Pajak luar negeri yang

menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui BUT di Indonesia, pemenuhan

kewajiban perpajakannya dipersamakan dengan pemenuhan kewajiban perpajakan Wajib

18

Page 19: Pajak Internasional

Pajak badan dalam negeri sebagaimana diatur dalam Undang-Undang PPh dan Undang-

Undang No. 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP).

A. Penghasilan Objek Pajak BUT

Obyek pajak BUT berdasarkan pasal 5 ayat (1) UU PPh dikategorikan dalam tiga

jenis, yaitu:

a. Attribution Income

Penghasilan dari usaha atau kegiatan BUT tersebut dan dari harta yang dimiliki atau

dikuasai.

b. Force of Attraction Income

Penghasilan kantor pusat dari usaha atau kegiatan, penjualan barang, atau

pemberian jasa di Indonesia yang sejenis dengan yang dijalankan atau yang

dilakukan oleh BUT di Indonesia.

Contoh:

Kantor pusat sebuah bank di luar negeri yang mempunyai BUT di Indonesia

memberikan pinjaman langsung kepada nasabah di Indonesia tanpa melalui BUT

nya. Bunga pinjaman yang diterima kantor pusat nya dianggap sebagai penghasilan

BUT.

Kantor Pusat perusahaan di luar negeri yang memproduksi mobil menjual langsung

mobil hasil produksinya kepada konsumen di Indonesia tanpa melalui BUT nya.

Kegiatan BUT di Indonesia juga menjual produk yang sama. Keuntungan yang

diterima oleh kantor pusat nya dianggap sebagai penghasilan BUT nya.

c. Effectively Connected Income

Penghasilan berdasarkan Pasal 26 yang diterima atau diperoleh kantor pusat,

sepanjang terdapat hubungan efektif antara BUT dengan harta atau kegiatan yang

memberikan penghasilan dimaksud.

Contoh: JZ Ltd menutup perjanjian lisensi dengan PT. Alfa untuk penggunaan merk

dagang JZ Ltd. Atas lisensi tersebut, JZ Ltd menerima royalty dari PT. Alfa.

19

Page 20: Pajak Internasional

Sehubungan dengan perjanjian lisesnsi tersebut, JZ Ltd juga memberikan jasa

teknik (technical assistant) kepada PT. Alfa melalui BUT nya yang berada di

Indonesia. Penggunaan merk dagang JZ Ltd oleh PT. Alfa mempunyai hubungan

efektif dengan BUT JZ Ltd karenanya penghasilan JZ Ltd berupa royalty

diperlakukan sebagai penghasilan BUT nya di Indonesia.

B. Biaya/ Pengurang Penghasilan BUT

Berdasarkan pasal 6 ayat (1) seperti halnya wajib pajak badan dalam negeri, bentuk

usaha tetap dapat mengurangkan biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara

penghasilan, termasuk :

a. biaya yang secara langsung atau tidak langsung berkaitan dengan kegiatan usaha,

antara lain:

1. biaya pembelian bahan;

2. biaya berkenaan dengan pekerjaan atau jasa termasuk upah, gaji, honorarium,

bonus, gratifikasi, dan tunjangan yang diberikan dalam bentuk uang;

3. bunga, sewa, dan royalti;

4. biaya perjalanan;

5. biaya pengolahan limbah;

6. premi asuransi;

7. biaya promosi dan penjualan yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan

Menteri Keuangan;

8. biaya administrasi; dan

9. pajak kecuali Pajak Penghasilan.

b. penyusutan atas pengeluaran untuk memperoleh harta berwujud dan amortisasi atas

pengeluaran untuk memperoleh hak dan atas biaya lain yang mempunyai masa

manfaat lebih dari 1 (satu) tahun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 dan Pasal

11A;

20

Page 21: Pajak Internasional

c. iuran kepada dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri

Keuangan;

d. kerugian karena penjualan atau pengalihan harta yang dimiliki dan digunakan dalam

perusahaan atau yang dimiliki untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara

penghasilan;

e. kerugian selisih kurs mata uang asing;

f. biaya penelitian dan pengembangan perusahaan yang dilakukan di Indonesia;

g. biaya beasiswa, magang, dan pelatihan;

h. piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih dengan syarat :

1. telah dibebankan sebagai biaya dalam laporan laba rugi komersial;

2. Wajib Pajak harus menyerahkan daftar piutang yang tidak dapat ditagih kepada

Direktorat Jenderal Pajak; dan

3. telah diserahkan perkara penagihannya kepada Pengadilan Negeri atau instansi

pemerintah yang menangani piutang negara; atau adanya perjanjian tertulis

mengenai penghapusan piutang/ pembebasan utang antara kreditur dan debitur

yang bersangkutan; atau telah dipublikasikan dalam penerbitan umum atau

khusus; atau adanya pengakuan dari debitur bahwa utangnya telah dihapuskan

untuk jumlah utang tertentu.

4. syarat sebagaimana dimaksud pada angka 3 tidak berlaku untuk penghapusan

piutang tak tertagih debitur kecil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1)

huruf k yang pelaksanaannya diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan

Peraturan Menteri Keuangan

i. sumbangan dalam rangka penanggulangan bencana nasional yang ketentuannya

diatur dengan Peraturan Pemerintah;

j. sumbangan dalam rangka penelitian dan pengembangan yang dilakukan di

Indonesia yang ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah

21

Page 22: Pajak Internasional

k. biaya pembangunan infrastruktur sosial yang ketentuannya diatur dengan Peraturan

Pemerintah;

l. sumbangan fasilitas pendidikan yang ketentuannya diatur dengan Peraturan

Pemerintah; dan

m. sumbangan dalam rangka pembinaan olahraga yang ketentuannya diatur dengan

Peraturan Pemerintah.

Namun ada yang membuat BUT berbeda dengan Subjek Pajak badan dalam negeri

yaitu bahwa selain diperbolehkan untuk mengurangkan biaya-biaya di atas, berdasarkan

Pasal 5 ayat (2) UU PPh, BUT juga diperbolehkan untuk mengurangkan biaya-biaya yang

berkenaan dengan:

a. penghasilan kantor pusat dari usaha atau kegiatan, penjualan barang, atau pemberian

jasa di Indonesia yang sejenis dengan yang dijalankan atau yang dilakukan oleh

BUT di Indonesia;

Contoh

Suatu perusahaan konsultan di luar negeri mempunyai BUT di Indonesia. Apabila

kantor pusat perusahaan konsultan tersebut memberikan jasa konsultasi secara

langsung di Indonesia yang sama dengan jenis jasa yang dilakukan oleh BUT-nya di

Indonesia, penghasilan kantor pusat tersebut akan dianggap sebagai penghasilan

BUT yang ada di Indonesia. Karena penghasilan kantor pusat tersebut dianggap

sebagai penghasilan BUT yang ada di Indonesia, biaya-biaya kantor pusat yang

terkait dengan penghasilan tersebut dapat dikurangkan juga oleh BUT di Indonesia.

b. penghasilan sebagaimana tersebut dalam Pasal 26 UU PPh yang diterima atau

diperoleh kantor pusat, sepanjang terdapat hubungan efektif antara BUT dengan

harta atau kegiatan yang memberikan penghasilan dimaksud.

Contoh:

X Inc. mengadakan perjanjian lisensi dengan PT Y untuk mempergunakan merek

dagang X Inc. Atas penggunaan hak tersebut X Inc. menerima imbalan berupa

22

Page 23: Pajak Internasional

royalti dari PT Y. Sehubungan dengan perjanjian tersebut, X Inc. juga memberikan

jasa manajemen kepada PT Y melalui BUT-nya di Indonesia. Dalam hal demikian,

penggunaan merek dagang oleh PT Y mempunyai hubungan efektif dengan BUT di

Indonesia, dan oleh karena itu penghasilan X Inc. yang berupa royalti tersebut

diperlakukan sebagai penghasilan BUT. Karena penghasilan X Inc. berupa royalti

dianggap sebagai penghasilan BUT-nya, biaya-biaya X Inc. yang terkait dengan

penghasilan royalti tersebut dapat dikurangkan juga oleh BUT di Indonesia

c. biaya administrasi kantor pusat yang diperbolehkan untuk dibebankan adalah biaya

yang berkaitan dengan usaha atau kegiatan bentuk usaha tetap, yang besarnya

ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak.

d. Berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-62/PJ./1995, biaya

administrasi kantor pusat yang diperbolehkan untuk dikurangkan dari penghasilan

bruto yang diterima atau diperoleh suatu BUT di Indonesia adalah biaya

administrasi yang dikeluarkan oleh kantor pusat yang berkaitan dan dalam rangka

untuk menunjang usaha atau kegiatan BUT yang bersangkutan untuk mendapatkan,

menagih, dan memelihara penghasilan. Besarnya biaya administrasi kantor pusat

yang diperbolehkan untuk dikurangkan dari penghasilan bruto di Indonesia

sebagaimana dimaksud di atas setinggi-tingginya adalah sebanding dengan besarnya

peredaran usaha atau kegiatan BUT di Indonesia terhadap seluruh peredaran usaha

atau kegiatan perusahaan di seluruh dunia. Atau, batas tersebut dapat

diformulasikan sebagai berikut:

(Peredaran usaha BUT di Indonesia/ Peredaran usaha perusahaan di seluruh

dunia) x Biaya administrasi kantor pusat

Seperti halnya Wajib Pajak badan dalam negeri, untuk menentukan besarnya

Penghasilan Kena Pajak BUT, berdasarkan pasal 9 ayat (1) UU PPh tidak boleh

dikurangkan:

23

Page 24: Pajak Internasional

a. pembagian laba dengan nama dan dalam bentuk apapun seperti dividen, termasuk

dividen yang dibayarkan oleh perusahaan asuransi kepada pemegang polis, dan

pembagian sisa hasil usaha koperasi;

b. biaya yang dibebankan atau dikeluarkan untuk kepentingan pribadi pemegang

saham, sekutu, atau anggota;

c. pembentukan atau pemupukan dana cadangan, kecuali:

1. cadangan piutang tak tertagih untuk usaha bank dan badan usaha lain yang

menyalurkan kredit, sewa guna usaha dengan hak opsi, perusahaan pembiayaan

konsumen, dan perusahaan anjak piutang;

2. cadangan untuk usaha asuransi termasuk cadangan bantuan sosial yang dibentuk

oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial;

3. cadangan penjaminan untuk Lembaga Penjamin Simpanan;

4. cadangan biaya reklamasi untuk usaha pertambangan;

5. cadangan biaya penanaman kembali untuk usaha kehutanan; dan

6. cadangan biaya penutupan dan pemeliharaan tempat pembuangan limbah

industri untuk usaha pengolahan limbah industri,

yang ketentuan dan syarat-syaratnya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan

Menteri Keuangan;

d. premi asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan

asuransi bea siswa, yang dibayar oleh Wajib Pajak orang pribadi, kecuali jika

dibayar oleh pemberi kerja dan premi tersebut dihitung sebagai penghasilan bagi

Wajib Pajak yang bersangkutan;

e. penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diberikan

dalam bentuk natura dan kenikmatan, kecuali penyediaan makanan dan minuman

bagi seluruh pegawai serta penggantian atau imbalan dalam bentuk natura dan

kenikmatan di daerah tertentu dan yang berkaitan dengan pelaksanaan pekerjaan

yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan;

24

Page 25: Pajak Internasional

f. jumlah yang melebihi kewajaran yang dibayarkan kepada pemegang saham atau

kepada pihak yang mempunyai hubungan istimewa sebagai imbalan sehubungan

dengan pekerjaan yang dilakukan;

g. harta yang dihibahkan, bantuan atau sumbangan, dan warisan sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf a dan huruf b, kecuali sumbangan

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf i sampai dengan huruf m serta

zakat yang diterima oleh badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk

atau disahkan oleh pemerintah atau sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib bagi

pemeluk agama yang diakui di Indonesia, yang diterima oleh lembaga keagamaan

yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah, yang ketentuannya diatur dengan atau

berdasarkan Peraturan Pemerintah;

h. Pajak Penghasilan;

i. biaya yang dibebankan atau dikeluarkan untuk kepentingan pribadi Wajib Pajak

atau orang yang menjadi tanggungannya;

j. gaji yang dibayarkan kepada anggota persekutuan, firma, atau perseroan komanditer

yang modalnya tidak terbagi atas saham;

k. sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan kenaikan serta sanksi pidana berupa

denda yang berkenaan dengan pelaksanaan perundang-undangan di bidang

perpajakan.

Yang membedakan BUT dari Subjek Pajak badan dalam negeri adalah bahwa selain

tidak diperbolehkan mengurangkan biaya-biaya di atas, berdasarkan Pasal 5 ayat (3) huruf c

UU PPh, BUT juga tidak diperbolehkan mengurangkan pembayaran kepada kantor pusat

dalam bentuk:

a. royalti atau imbalan lainnya sehubungan penggunaan harta, paten, atau hakhak

lainnya;

b. imbalan sehubungan dengan jasa manajemen dan jasa lainnya;

c. bunga, kecuali bunga yang berkenaan dengan usaha perbankan;

25

Page 26: Pajak Internasional

Konsisten dengan perlakuan ini, maka menurut UU PPh pembayaran dalam bentuk tersebut

di atas yang diterima atau diperoleh dari kantor pusat tidak dianggap sebagai Obyek Pajak,

kecuali bunga yang berkenaan dengan usaha perbankan.

C. Kegiatan yang Bukan termasuk BUT

Kegiatan yang tidak dianggap Bentuk Usaha Tetap adalah sebagai berikut:

a. Penggunaan fasilitas-fasilitas semata-mata dengan maksud untuk menyimpan atau

memamerkan barang-barang atau barang dagangan milik perusahaan.

Contoh: PT So Far ltd. merupakan perusahaan dari Australia menyewa tempat

sebagai show room untuk barang dagangan.

b. Pengurusan suatu persediaan barang-barang atau barang dagangan milik perusahaan

semata-mata dengan maksud untuk disimpan atau dipamerkan.

Contoh: PT Li Xio dari China akan melakukan pameran produknya di Indonesia,

dalam rangka kegiatan tersebut PT Li Xio menyewa tempat dan menggunakan jasa

event organizer dari Indonesia untuk mengurusi pameran tersebut.

c. Pengurusan suatu persediaan barang-barang atau barang dagangan milik perusahaan

semata-mata dengan maksud untuk diolah oleh perusahaan lain.

Contoh: PT ABC merupakan perusahaan milik Singapura yang menyewa gudang di

Indonesia, PT ABC mengimpor sejumlah bahan baku dari perusahaan induk yang

ada di Singapura dan disimpan digudang yang ada di Indonesia, bahan baku tersebut

akan diserahkan kepada PT DEF yang berkedudukan di Jakarta untuk diolah

kembali.

d. Pengurusan suatu tempat tertentu semata-mata dengan maksud untuk pembelian

barang-barang atau barang dagangan atau untuk mengumpulkan keterangan bagi

keperluan perusahaan.

Contoh: PT Andalucia dari Spanyol mempunyai sebuah gudang penyimpanan di

Jakarta untuk menyimpan barang dagangan berupa barang kerajinan dari bambu

26

Page 27: Pajak Internasional

yang dibeli dari pengrajin Sukabumi. Barang – barang tersebut akan dikirimkan ke

Spanyol untuk diperdagangkan.

e. Pengurusan suatu tempat tertentu semata-mata dengan maksud untuk kegiatan-

kegiatan yang bersifat persiapan atau penunjang bagi perusahaan.

f. Pengurusan suatu tempat usaha tertentu semata-mata dengan maksud untuk setiap

kegiatan kegiatan gabungan dari yang disebut dalam sub-ayat (a) sampai (e), asal

saja keseluruhan kegiatan di tempat usaha tertentu itu bersifat persiapan atau

penunjang.

g. Sebuah perusahaan dari satu Negara pihak pada persetujuan tidak akan dianggap

mempunyai suatu BUT di Negara Pihak pada persetujuan lainnya semata-mata

karena perusahaan itu menjalankan usaha di negara lain tersebut melalui makelar,

komisioner umum atau agen lainnya yang berdiri sendiri, sepanjang mereka

bertindak dalam rangka usahanya yang lazim. Walaupun demikian, bilamana

kegiatan agen seluruhnya atau hampir seluruhnya dilakukan atas nama perusahaan

itu, ia tidak akan dianggap sebagai agen yang berdiri sendiri.

D. Tarif Pajak Bentuk Usaha Tetap

Seperti halnya wajib pajak badan dalam negeri, tarif pajak yang diterapkan atas

penghasilan kena pajak bagi BUT, dalam pasal 17 ayat (1 huruf a) adalah sebesar 28%.

Berdasarkan pasal 17 ayat (2a) Tarif tersebut menjadi 25% yang mulai berlaku sejak tahun

pajak 2010.

Namun demikian ada perbedaan dengan wajib pajak badan dalam negeri,

berdasarkan pasal 26 ayat (4) UU PPh Penghasilan Kena Pajak sesudah dikurangi pajak

dari suatu BUT akan dikenakan pajak tambahan (branch profit tax) sebesar 20%, kecuali

apabila penghasilan tersebut ditanamkan kembali di Indonesia dan memenuhi persyaratan-

persyaratan yang ditetapkan dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor

257/PMK.03/2008, yaitu :

27

Page 28: Pajak Internasional

a. Penanaman kembali dilakukan atas seluruh penghasilan kena pajak setelah

dikurangi Pajak Penghasilan dalam bentuk penyertaan modal pada perusahaan yang

baru didirikan dan berkedudukan di Indonesia sebagai pendiri atau peserta pendiri;

b. Perusahaan baru yang didirikan dan berkedudukan di Indonesia sebagaimana

dimaksud pada huruf a, harus secara aktif melakukan kegiatan usaha sesuai dengan

akta pendiriannya, paling lama 1 (satu) tahun sejak perusahaan tersebut didirikan;

c. Penanaman kembali dilakukan dalam tahun pajak berjalan atau paling lama tahun

pajak berikutnya dari tahun pajak diterima atau diperolehnya penghasilan tersebut;

dan

d. Tidak melakukan pengalihan atas penanaman kembali tersebut paling singkat dalam

jangka waktu 2 (dua) tahun sesudah perusahaan baru tersebut telah berproduksi

komersial

UU No. 36 Tahun 2008

o Tarif Pasal 17

Tahun Tarif

2009 28%

2010 25%

o Tarif Pasal 26 ayat (4)

Tarif 20% dari sisa laba setelah pajak.

II.7 Penanaman Modal Asing (PMA)

A. Pajak Penghasilan Perusahaan PMA

Penanaman Modal di Indonesia diatur dengan Undang-Undang Nomor 25 tahun

2007 tentang Penanaman Modal. Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan

28

Page 29: Pajak Internasional

Penanaman Modal Asing adalah kegiatan menanam modal untuk melakukan usaha di

wilayah Republik Indonesia yang dilakukan oleh penanam modal asing, baik menggunakan

modal asing sepenuhnya maupun yang berpatungan dengan penanam modal dalam negeri

(Pasal 1 Undang-Undang Nomor 25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal).

Perusahaan berbentuk PT sebagai Penanaman Modal Asing di Indonesia, ditetapkan

sebagai Wajib Pajak Badan dalam negeri dan laba serta penghasilan-penghasilan tertentu

diatur dalam UU No.36 Tahun 2008. Mengingat bentuk hukum dari perusahaan penanaman

modal asing adalah perseroan terbatas, maka dari sudut pandang perpajakan status subjek

pajak perusahaan PMA adalah sebagai subjek pajak badan dalam negeri, sehingga

ketentuan terkait dengan pemajakan untuk wajib pajak badan dalam negeri sepenuhnya

berlaku untuk perusahaan PMA.

B. Tarif PPh Badan

Dalam menghitung tarif untuk wajib pajak badan dalam negeri, terdapat tiga macam

tarif, yaitu:

a. Tarif pasal 17 ayat (1) huruf b

Tarif pasal 17 ayat (1) huruf b untuk Wajib Pajak badan dalam negeri adalah

sebesar 28% (dua puluh delapan persen). Tarif tersebut berdasar pasal 17 ayat (2a)

menjadi 25% (dua puluh lima persen) yang mulai berlaku sejak tahun pajak 2010.

Contoh:

Pada tahun 2014 Jumlah Penghasilan Kena Pajak PT ABC sebesar Rp

1.250.000.000,00

Pajak Penghasilan terutang:

25% x Rp1.250.000.000,00 = Rp 312.500.000,00

b. Tarif pasal 17 ayat (2b)

Wajib Pajak badan dalam negeri yang berbentuk perseroan terbuka yang paling

sedikit 40% (empat puluh persen) dari jumlah keseluruhan saham yang disetor

29

Page 30: Pajak Internasional

diperdagangkan di bursa efek di Indonesia dan memenuhi persyaratan tertentu

lainnya dapat memperoleh tarif sebesar 5% (lima persen) lebih rendah daripada tarif

sebagaimana dimaksud pada pasal 17 ayat (1) huruf b dan ayat (2a) UU PPh yang

diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah.

Contoh:

Jumlah Penghasilan Kena Pajak PT XYZ Tbk dalam tahun pajak 2014 Rp

1.250.000.000,00

Pajak Penghasilan yang terutang = (25% - 5%) x Rp1.250.000.000,00 = Rp

250.000.000,00.

c. Tarif pasal 31E

Wajib Pajak badan dalam negeri dengan peredaran bruto sampai dengan Rp

50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah) mendapat fasilitas berupa

pengurangan tarif sebesar 50% (lima puluh persen) dari tarif sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 17 ayat (1) huruf b dan ayat (2a) yang dikenakan atas Penghasilan Kena

Pajak dari bagian peredaran bruto sampai dengan Rp 4.800.000.000,00 (empat

miliar delapan ratus juta rupiah).

II.8 Multinasional Coorporation (MNC)

Perusahaan Multinational Coorporation (MNC) adalah sebuah perusahaan

internasional atau transnasional yang berkantor pusat di satu negara tetapi kantor cabang di

berbagai negara maju dan berkembang. Contohnya termasuk Dunkin Donuts, Coca-Cola,

Blackberry, Levi’s Jeans, Kentucky Fried Chicken (KFC), LG, dll. Sebuah perusahaan akan

menjadi perusahaan multinasional berdasarkan keuntungan untuk mendirikan produksi dan

kegiatan lainnya di lokasi asing. Perusahaan mengglobalisasikan kegiatan mereka baik

untuk memasok pasar dalam negeri-negara mereka, dan untuk melayani pasar luar negeri

secara langsung. Menjaga kegiatan asing dalam struktur perusahaan memungkinkan

30

Page 31: Pajak Internasional

perusahaan menghindari biaya yang melekat oleh perantara, dengan entitas yang terpisah

sambil memanfaatkan pengetahuan perusahaan mereka sendiri.

31

Page 32: Pajak Internasional

BAB III

PEMBAHASAN

III.1 Bentuk Usaha Tetap

PT. XYZ merupakan perusahaan yang didirikan di Amerika Serikat yang bergerak

dalam bidang manufaktur dan penjualan alat-alat kedokteran.

Pada bulan Juni 2010, PT XYZ mendirikan sebuah representative office di Jakarta

yang dimaksudkan untuk menyediakan brosur dan display barang-barang hasil produksi

perusahaan sebagi contoh bagi calon konsumen. Apabila ada calon konsumen yang

berminat untuk membeli produk perusahaan, dapat menghubungi salah satu distributor

resmi perusahaan di Indonesia. PT. XYZ melakukan penjualan di Indonesia melalui

beberapa distributor misalnya PT. ABC dan PT. DEF dan berhasil mendapatkan penjualan

sebesar Rp. 80 Miliyar.

Melihat besarnya penjualan perusahaan di Indonesia, manajemen PT. XYZ

memutuskan untuk mengubah menjadi cabang perusahaan. Pada bulan Juli 2011

perusahaan mengirim dua orang karyawan untuk mempersiapkan pembukaan cabang baru.

Kedua karyawan tersebut berada di Indonesia sampai bulan Desember 2011. Penjualan

tahun 2011 sebesar Rp. 65 Miliar.

Pada awal tahun 2012, PT XYZ resmi membuka cabang di Indonesia dengan hasil

operasi pada tahun 2012:

o Penjualan Rp. 300.000.000.000

o Harga Pokok Penjualan Rp. 100.000.000.000

o Biaya Umum dan Administrasi Rp. 90.000.000.000

32

Page 33: Pajak Internasional

Menyangkut biaya umum dan administrasi diketahui:

o Didalam biaya umum dan administrasi terdapat gaji dua orang pegawai kantor pusat

yang mengawasi pendirian perusahaan dan operasi perusahaan pada tahun pertama.

Gaji kedua karyawan tersebut adalah sebesar Rp. 50.000.000.000.

o Terdapat pembayaran bunga kepada kantor pusat atas sejumlah dana yang

dipinjamkan kepada PT. XYZ di Indonesia. Besarnya pembayaran bunga adalah Rp.

500.000.000

Perhitungan:

Biaya Umum dan Administrasi yang boleh dikurangkan:

Rp. 90.000.000.000

Rp. 500.000.000

Rp. 89.500.000.000

Penjualan Rp. 300.000.000.000

HPP (Rp. 100.000.000.000)

Biaya Umum dan Administrasi (Rp. 89.500.000.000)

Penghasilan Kena Pajak (PKP) Rp. 110.500.000.000

PPh Terutang berdasarkan pasal 17:

25% x Rp. 110.500.000.000 Rp. 27.625.000.000 -

PKP setelah Pajak Rp. 82.875.000.000

PPh Pasal 26:

20% x Rp. 82.875.000.000 = Rp. 16.575.000.000

Pada tahun 2010 sampai 2011, PT XYZ belum memiliki BUT di Indonesia sehingga tidak

ada perhitungan PPh terhadap BUT.

33

Page 34: Pajak Internasional

III.2 Penanaman Modal Asing

Contoh 1:

Peredaran bruto PT Y dalam tahun pajak 2014 sebesar Rp 4.500.000.000 (empat miliar

lima ratus juta rupiah) dengan Penghasilan Kena Pajak sebesar Rp 500.000.000 (lima ratus

juta rupiah).

Penghitungan pajak yang terutang:

Seluruh Penghasilan Kena Pajak yang diperoleh dari peredaran bruto tersebut dikenai tarif

sebesar 50% (lima puluh persen) dari tarif Pajak Penghasilan badan yang berlaku karena

jumlah peredaran bruto PT Y tidak melebihi Rp 4.800.000.000,00 (empat miliar delapan

ratus juta rupiah).

Pajak Penghasilan yang terutang:

(50% x 25%) x Rp 500.000.000 = Rp 62.500.000

Contoh 2:

Peredaran bruto PT X dalam tahun pajak 2014 sebesar Rp 30.000.000.000 (tiga puluh

miliar rupiah) dengan Penghasilan Kena Pajak sebesar Rp 3.000.000.000 (tiga miliar

rupiah).

Penghitungan Pajak Penghasilan yang terutang :

1. Jumlah Penghasilan Kena Pajak dari bagian peredaran bruto yang memperoleh

fasilitas :

(Rp 4.800.000.000 : Rp 30.000.000.000) x Rp 3.000.000.000 = Rp 480.000.000

2. Jumlah Penghasilan Kena Pajak dari bagian peredaran bruto yang tidak memperoleh

fasilitas:

Rp 3.000.000.000 – Rp 480.000.000 = Rp 2.520.000.000

34

Page 35: Pajak Internasional

Pajak Penghasilan yang terutang:

(50% x 25%) x Rp480.000.000 = Rp 60.000.000

25% x Rp2.520.000.000 = Rp 630.000.000 (+)

Jumlah Pajak Penghasilan yang terutang = Rp 690.000.000

III.3 Simulasi Kasus Pajak Internasional

Wajib pajak A yang berkedudukan di Negara P yang mengenakan pajak

penghasilan dengan tarif 25% mendapat penghasilan dari Negara Q sebesar 100.000.000

yang telah dikenakan pajak sebesar 30%, sedangkan penghasilan domestic adalah

200.000.000, berapakah pajak terutangnya ?

Penghasilan domestik (Negara P) 200.000.000

Penghasilan Luar Negeri (Negara Q) 100.000.000

Penghasilan global 300.000.000

Pajak terutang (300.000.000 x 25%) 75.000.000

Eksemsi pajak

100.000.000 – 75.000.000 (25.000.000)

Pajak Penghasilan kurang bayar 50.000.000

Jika, misalnya, dari operasi di Negara Q tersebut diperoleh kerugian sebesar 50,

maka penghitungan pajaknya adalah sbb. :

Penghasilan domestik (Negara P) 200.000.000

Rugi Penghasilan Luar Negeri (Negara Q) (50.000.000)

Penghasilan global 150.000.000

Pajak Penghasilan kurang bayar:

25% x 150.000,00037.500.000

35

Page 36: Pajak Internasional

Dengan demikian, apabila kegiatan diluar negeri mendapat kerugian sebagai

konsekuansi dari sistem pemajakan global, kerugian tersebut sepertinya dapat mengurangi

penghasilan kena pajak domestic. Namun secara berkesinambungan pengurangan tersebut

harus dipulihkan/diganti kembali (recaptured) pada periode berikutnya apabila memperoleh

laba. Kalau misalnya, dalam contoh tersebut, pada tahun berikutnya dari operasi di Negara

Q didapat laba 150.000,000, di samping laba domestic 250.000.000, maka penghitungan

pajak terutangnya, sbb :

Penghasilan domestik (Negara P) 250.000.000

Penghasilan Luar Negeri (Negara Q) 150.000.000

Penghasilan global 400.000.000

Pajak terutang (400.000.000 x 25%) 100.000.000

Eksemsi pajak

Penghasilan luar negeri 150.000.000

Perhitungan rugi laba tahun lalu (50.000.000)

Basis penghitungan eksemsi 100.000.000

Eksemsi pajak 100.000.000 x 25% (25.000.000)

Pajak Penghasilan kurang bayar 75.000.000

36

Page 37: Pajak Internasional

BAB IV

PENUTUP

IV.1 Simpulan

Ruang lingkup pajak internasional meliputi aturan pajak internasional yang sudah

ada dalam UU Pajak Indonesia, aturan perpajakan yang ada di UU Pajak Negara lain yang

bersinggungan serta persetujuan penghindaran pajak (tax treaty) yang telah dibuat

Indonesia dengan negara lain

BUT adalah bentuk usaha yang dipergunakan oleh orang pribadi yang tidak

bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di Indonesia tidak lebih dari 183

(seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, dan badan yang

tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia untuk menjalankan usaha atau

melakukan kegiatan di Indonesia. Objek pajak BUT berdasarkan pasal 5 ayat (1) UU PPh

dikategorikan dalam 3 jenis (a) Attribution Income yaitu penghasilan dari usaha atau

kegiatan bentuk usaha tetap tersebut dan dari harta yang dimiliki atau dikuasai; (b) Force of

Attraction Income yaitu penghasilan kantor pusat dari usaha atau kegiatan, penjualan

barang, atau pemberian jasa di Indonesia yang sejenis dengan yang dijalankan atau yang

dilakukan oleh bentuk usaha tetap di Indonesia;(c) Effectively Connected Income yaitu

penghasilan sebagaimana tersebut dalam Pasal 26 yang diterima atau diperoleh kantor

pusat. Berdasarkan pasal 26 ayat (4) UU PPh Penghasilan Kena Pajak sesudah dikurangi

pajak dari suatu BUT akan dikenakan pajak tambahan (branch profit tax) sebesar 20%,

kecuali apabila penghasilan tersebut ditanamkan kembali di Indonesia dan memenuhi

persyaratan-persyaratan tertentu

Perusahaan penanaman modal asing (PMA) adalah perusahaan yang melakukan

kegiatan menanam modal untuk melakukan usaha di wilayah negara Republik Indonesia

yang dilakukan oleh penanam modal asing, baik yang menggunakan modal asing

37

Page 38: Pajak Internasional

sepenuhnya maupun yang berpatungan dengan penanam modal dalam negeri. Perlakuan

perpajakan perusahaan PMA diperlakukan sama dengan badan dalam negeri. Berdasarkan

pasal 31 A UU PPh Wajib Pajak yang melakukan penanaman modal di bidang-bidang

usaha tertentu dan/atau di daerah-daerah tertentu yang mendapat prioritas tinggi dalam

skala nasional dapat diberikan fasilitas perpajakan berupa pengurangan penghasilan neto

sebesar 30% (tiga puluh persen) dari jumlah Penanaman Modal, dibebankan selama 6

(enam) tahun masing-masing sebesar 5% (lima persen) per tahun, penyusutan dan

amortisasi yang dipercepat dan kompensasi kerugian yang lebih lama dari 5 (lima) tahun.

38

Page 39: Pajak Internasional

DAFTAR PUSTAKA

Kurniawan, Anang Muay. 2010. Pajak Internasional. Jakarta: Sekolah Tinggi Akuntansi

Negara.

Kesit, Bambang. . Modul Perpajakan Internasional. bambangkesit.wordpress.com

https://www.academia.edu/9080744/

B_Ba_ab_b_1_1_PENGERTIAN_PAJAK_INTERNASIONAL

https://www.academia.edu/12058795/bentuk_usaha_tetap

https://www.academia.edu/4870433/Penanaman_Modal_Asing_di_Indonesia

https://www.academia.edu/6185118/Bab-x-pma-baru

http://finance.detik.com/read/2008/04/01/112003/916492/9/kewajiban-pajak-perusahaan-

pma

https://www.scribd.com/doc/87814949/BENTUK-USAHA-TETAP

https://www.scribd.com/doc/257413516/PERTEMUAN-13-pajak-internasional

http://www.ortax.org/ortax/?mod=aturan&page=show&id=13430

https://www.scribd.com/doc/32926159/8-MENGHITUNG-PAJAK-PENHASILAN

https://www.academia.edu/5773693/Pengertian_MNC

http://hukum.unsrat.ac.id/uu/uu_1_67.htm

https://www.google.co.id/url?

sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=1&cad=rja&uact=8&ved=0CBwQFjAA

&url=http%3A%2F%2Fwww.pajak.go.id%2Fsites%2Fdefault%2Ffiles%2FUU-

KUP-001-13-UU%2520KUP%25202013-

39