Padmasana
-
Upload
nusantara-knowledge -
Category
Documents
-
view
126 -
download
3
description
Transcript of Padmasana
PADMASANA
1. PENGERTIAN PADMASANA
Kata Padmasana berasal dari Bahasa
Kawi. Menurut Kamus Kawi-Indonesia yang
disusun oleh Prof. Drs. S. Wojowasito (Penerbit
CV Pengarang, Malang, 1977) terdiri dari dua
kata yaitu: "Padma" yang artinya bunga teratai,
atau bathin, atau pusat. Sedangkan "Sana"
artinya sikap duduk, atau tuntunan, atau
nasehat, atau perintah. Dengan demikian
Padmasana adalah simbol yang
menggambarkan kedudukan Hyang Widhi
sebagai bunga teratai, atau dapat juga
dikatakan bahwa Padmasana sebagai tuntunan
batin atau pusat konsentrasi. Bunga teratai dipilih sebagai simbol yang tepat
menggambarkan kesucian dan keagungan Hyang Widhi karena memenuhi
unsur-unsur yaitu :
a) Helai daun bunganya berjumlah delapan sesuai dengan jumlah
manifestasi Hyang Widhi di arah delapan penjuru mata angin sebagai
kedudukan Horizontal.
MANIFESTASI MATA ANGIN
Sangkara = Barat Laut (Wayabya)
Wisnu = Utara (Uttara)
Sambhu = Timur Laut (Airsanya)
Mahadewa = Barat (Pascima)
Ishwara = Timur (Purwa)
Rudra = Barat Daya (Nairity)
Brahma = Selatan (Daksina)
Sumber : Dokumentasi Pribadi
Oleh : AGUS YASA
Mahesora = Tenggara (Aghneya)
b) Puncak mahkota berupa sari bunga yang menggambarkan symbol
kedudukan Hyang Widhi secara vertikal dalam manifestasi sebagai: Siwa
(adasthasana/dasar), Sadasiwa (madyasana/tengah) dan Paramasiwa
(agrasana/puncak).
Paramasiwa agrasana & uarr;
sadasiwa madyasana ↑
Siwa adasthasana
c) Bunga teratai hidup di tiga alam yaitu tanah/lumpur disebut pertiwi, air
disebut apah, dan udara disebut akasa. Bunga teratai merupakan sarana
utama dalam upacara-upacara Panca Yadnya dan juga digunakan oleh
Pandita-Pandita ketika melakukan surya sewana. Padmasana merupakan
bangunan suci untuk men-stana-kan Ida Sanghyang Widhi sebagai
simbolis dan gambaran dari makrokosmos atau alam semesta (buana
agung). Bangunan suci ini dapat dijumpai hampir di seluruh bangunan
suci Hindu di Bali maupun di luar Bali -- dari Pura Kawitan, Kahyangan
Desa, Swagina, sampai Kahyangan Jagat. Bahkan, bangunan suci ini
ditempatkan sebagai pelinggih utama. DI Lontar "Dwijendra Tattwa"
disebut, pelinggih berbentuk Padmasana dikembangkan oleh Danghyang
Dwijendra, atau (nama lainnya) Danghyang Nirartha atau Pedanda Sakti
Wawu Rauh. Dia datang ke Bali pada tahun 1489 M pada periode
pemerintahan Dalem Waturenggong di Gelgel (1460-1550 M) dengan
tujuan untuk menyempurnakan kehidupan agama di Bali. Sebelum
kedatangannya, agama Hindu di Bali telah berkembang dengan baik.
penduduk memuja Hyang Widhi terbatas dalam kedudukan-Nya secara
horizontal. Ajaran itu diterima dari para maharsi yang datang ke Bali sejak
abad ke-8, seperti Rsi Markandeya, Mpu Kuturan, Danghyang
Siddimantra, Danghyang Manik Angkeran, Mpu Jiwaya, Mpu Gnijaya, Mpu
Sumeru, Mpu Ghana, dan Mpu Bharadah. Bentuk-bentuk pelinggih
sebagai simbol atau niyasa ketika itu hanya Meru Tumpang Tiga, Kemulan
Rong Tiga, Bebaturan, dan Gedong. Pura-pura di Bali pada saat itu tidak
ada yang memakai Padmasana, kondisi ini sampai sekarang masih
dijumpai terutama pada pura-pura kuno di Bali. Disebutkan, pada saat
memasuki Pulau Bali, Danghyang Dwijendra masuk ke dalam mulut naga
besar dan di dalamnya ia melihat bunga teratai sedang mekar tanpa sari.
Hal ini menggambarkan, naga itu adalah Naga Anantabhoga yang
merupakan simbol dari Pulau Bali.
Agama Hindu sudah berkembang di Bali dengan baik tetapi
pemujaan hanya ditujukan kepada dewa-dewa sebagai manifestasi Ida
Sanghyang Widhi. Dewa-dewa inilah yang disimbolkan sebagai daun
bunga teratai yang mekar tanpa sari.
Danghyang Nirartha lalu menganjurkan penduduk Bali menambah bentuk
pelinggih berupa Padmasana, menyempurnakan simbol (niyasa) yang
mewujudkan Hyang Widhi secara lengkap ditinjau dari segi konsep
horisontal maupun vertikal. Sehingga, pembangunan Padmasana dapat
menjernihkan kekaburan yang terjadi secara fisik bangunan antara
pelinggih pemujaan untuk Hyang Widhi dan pelinggih untuk roh suci
leluhur yang terjadi saat itu. Sehingga kini, Padmasana dapat dijumpai di
seluruh pura di Bali maupun luar Bali sebagai bangunan pelinggih utama.
Dalam Lontar "Padma Bhuana", Mpu Kuturan menyatakan bahwa
Bali sebagai Padma Bhuwana. Bunga teratai (padma) dijadikan simbol
alam semesta stana Hyang Widhi yang sebenarnya. Dalam Lontar "Dasa
Nama Bunga" disebut, bunga teratai adalah rajanya bunga (Raja Kesuma)
karena hidup di tiga alam -- akarnya menancap di lumpur, batangnya di
air, sedangkan daun dan bunganya di atas air (udara). Karenanya, bunga
ini adalah simbol Tri Loka atau Tri Bhuwana Stana Hyang Widhi Wasa dan
bunga daunnya yang berlapis-lapis sebagai perlambang dari sembilan
arah penjuru mata angin alam semesta (I Ketut Wiana, 2004).
Posisi padmasana adalah sikap duduk bersila dengan kedua telapak
kaki dilipat ke atas, sehingga tampak seperti posisi yang berbentuk
lingkaran. Mungkin ini tidak sesuai dengan apa yang terlihat di lapangan,
bahkan pada bagian puncak Padmasana tampak berbentuk singhasana
berbentuk kursi persegi empat. Hal ini akan terjawab kalau orang
memperhatikan pesimpen pancadatu atau pedagingan yang ditanamkan
di dasar, di madya, maupun di puncak dari Padmasana (Cudamani, 1998).
Isi pedagingan pesimpen itu, terutama pedagingan puncak yang
berbentuk padma terbuat dari emas, diletakkan paling atas di atas
singhasana yang berbentuk kursi persegi empat ini. Karena ditanam,
meskipun terletak di puncak, benda itu tidak terlihat dari luar. Rupanya
pedagingan berbentuk padma dari emas inilah yang memberi nama
bangunan itu sehingga bernama Padmasana. Dewa-dewa dan Ida Sang
Hyang Widi bertahta di atasnya. Simbol dari Padmasana menggambarkan
tingkatan alam yaitu Tri Loka (bhur, bwah dan swah).
Hal ini terlihat dari Bhedawang Nala dengan dua naga
(Anantabhoga dan Basuki) melambangkan alam bawah (bhur loka),
badannya (padma termasuk singhasana) melambangkan atmosfer bumi
(bwah loka). Sedangkan swah loka tidak dilukiskan dalam wujud
bangunan tetapi di dalam pesimpen pedagingan yang berwujud padma
dan di dalam puja yang dilukiskan dengan "Om Padmasana ya namah dan
Om Dewa Pratistha ya namah."
2. HIASAN PADMASANA
Pada penjelasan ini, saya mengambil obyek Pelinggih Padmasana yang
terdapat di Pura Desa lan Puseh Desa Adat Dalung, kecamatan Kuta
Utara. Pada bangunan pelinggih Padmasana ini, kita dapat mengetahui
pembagian-pembagian tingkatan serta detai-detail atau ornament-
ornament yang terdapat pada pelinggih Padmasana ini seperti :
a) Di dasar bangunan ada Bhedawangnala, yaitu ukiran "mpas" (kura-kura
besar) yang dililit dua ekor naga. Kura-kura adalah simbol dasar bhuvana
dibayangkan sebagai api magma, sedangkan naga adalah simbol Basuki
yaitu kekuatan yang mengikat alam semesta. Bhedawangnala adalah
Bahasa Kawi, di mana “bheda" artinya: lain, kelompok, selisih;
sedangkan "wang" artinya: peluang, kesempatan; dan "nala" artinya: api.
Jadi bhedawangnala artinya: suatu kelompok (kesatuan) yang
meluangkan adanya api. Api di sini bisa dalam arti nyata sebagai dapur
magma inti bumi, dapat juga dalam arti simbol lain yaitu energi kekuatan
hidup. Karena letaknya di bawah/ dasar bangunan maka simbol
bhedawangnala dapat bermakna sebagai kekuatan bumi ciptaan Hyang
Widhi yang perlu dijaga, dan dapat pula bermakna sebagai dasar
kehidupan manusia yaitu energi yang senantiasa perlu ditumbuh
kembangkan.
b) Dewa Wisnu yang mengendarai Garuda diletakkan di bagian tengah
belakang, adalah simbol Hyang Widhi dalam manifestasi sebagai
pemelihara.
NAGA BASUKI
BHEDAWANGNALA
PATUNG GARUDA WISNU
Sumber : Dokumentasi Pribadi
Sumber : Dokumentasi Pribadi
c) Angsa diletakkan di bagian atas belakang,
adalah simbol Sanghyang Saraswati
bermakna sebagai: pengetahuan, ketelitian,
kewaspadaan, ketenangan dan kesucian.
d) Acintya diletakkan di bagian atas depan, adalah simbol Hyang Widhi yang
tidak dapat dilihat, dipikirkan wujudnya, di raba, namun vibrasinya dapat
dirasakan.
e) Pada bagian kepala (sari) terdapat singhasana yang diapit naga tatsaka
yang terbuat dari paras yang diukir sesuai bentuknya. Pada belakangnya
terdapat ulon yang bagian tengahnya terdapat ukiran lukisan Sang Hyang
Acintya atau Sang Hyang Taya sebagai simbol perwujudan Ida Sang
PATUNG ANGSA
SIMBOL ACINTYA
Sumber : Dokumentasi Pribadi
Sumber : Dokumentasi Pribadi
Hyang Widhi. Lukisan ini menggambarkan
sikap tari dari dewa Siwa yang disebut dengan
Siwa Natyaraja dalam menciptakan alam
semesta.
f) Hiasan lainnya dapat berupa karang gajah, karang boma, karang bun,
karang paksi, dll. yang semuanya bermakna sebagai simbol keaneka
ragaman alam semesta. Kesimpulan arti simbolis dari semua bentuk
Padmasana adalah: Stana Hyang Widhi yang dengan kekuatan-Nya telah
menciptakan manusia sebagai mahluk utama dan alam semesta sebagai
pendukung kehidupan, senantiasa perlu dijaga kelanggengan hidupnya.
BAGIAN KEPALA ATAU SARI DARI PADMASANA
Sumber : Dokumentasi Pribadi
3. FUNGSI PADMASANA
Fungsi utama Padmasana adalah sebagai tempat pemujaan Tuhan
Yang Maha Esa. Di situlah Tuhan dipuja dalam fungsinya sebagai jiwa alam
semesta (makrokosmos) dengan segala aspek kemahakuasaanya.
Padmasana adalah niyasa atau simbol stana Hyang Widhi dengan berbagai
sebutannya -- Sanghyang Siwa Raditya (dalam manifestasi yang
terlihat/dirasakan manusia sebagai matahari atau surya) dan Sanghyang Tri
Purusa (dalam tiga manifestasi yang manunggal yaitu sebagai Siwa, Sada
Siwa dan Parama Siwa). Di Pura Besakih ada Padmasana berjejer tiga, di situ
di-stana-kan Parama Siwa (tengah), Sadasiwa (kanan) dan Sang Hyang Siwa
(kiri).Memperhatikan makna niyasa tersebut, jelaslah bahwa makna
Padmasana adalah niyasa yang digunakan Hindu dari sekte Siwa Sidhanta
karena sentral manifestasi Hyang Widhi yang menjadi pujaan utama adalah
sebagai Siwa. Danghyang Nirartha yang mengembangkan bentuk niyasa
Padmasana adalah pandita dari kelompok Hindu sekte Siwa Sidhanta.
Sedangkan Padmasari dan Padmacapah dapat ditempatkan menyendiri yang
berfungsi sebagai pengayatan atau penyawangan.
4. BENTUK-BENTUK PADMA
Dilihat dari bentuk bangunannya, Padma dibedakan menjadi lima jenis
yaitu:
a) Padma Anglayang
KARANG GAJAH
Sumber : Dokumentasi Pribadi
Memakai dasar bhedawangnala, bertingkat tujuh dan di puncaknya ada
tiga ruang. Digunakan selain sebagai niyasa stana Sanghyang Siwa Raditya
atau Sanghyang Tripurusa, juga sebagai niyasa stana Trimurti.
b) Padma Agung
Memakai dasar bhedawangnala, bertingkat lima dan di puncaknya ada
dua ruang. Digunakan selain sebagai niyasa stana Sanghyang Siwa Raditya
atau Sanghyang Tripurusa, juga sebagai niyasa Ardanareswari yaitu
kekuatan/ kesaktian Hyang Widhi sebagi pencipta segala yang berbeda
misalnya: lelaki perempuan, siang-malam, kiri (pengiwa) – kanan
(penengen), dst.
c) Padmasana
Memakai bhedawangnala, bertingkat lima dan di puncaknya ada satu
ruang. Digunakan selain sebagai niyasa stana Sanghyang Siwa Raditya atau
Sanghyang Tripurusa, juga sebagai niyasa Sanghyang Tunggal yaitu Hyang
Widhi Yang Maha Esa.
d) Padmasari
Tidak memakai dasar bhedawangnala, bertingkat tiga dan di puncaknya
ada satu ruang. Digunakan hanya untuk niyasa stana Sanghyang Siwa
Raditya atau Sanghyang Tripurusa.
e) Padma capah
Tidak memakai dasar bhedawangnala, bertingkat dua dan di puncaknya
ada satu ruang. Digunakan untuk niyasa stana Hyang Widhi dalam
manifestasi sebagai Baruna (Dewa lautan) Pemilihan bentuk kelima jenis
Padmasana itu berdasar pertimbangan kemampuan penyungsung
melaksanakan upacara, baik ketika mendirikannya maupun pada setiap hari
piodalannya. Oleh karena itu dipertimbangkan juga jumlah penyungsungnya.
Makin banyak penyungsungnya makin "utama" bentuk padmasana, sesuai
dengan urutan di atas.
5. LETAK PADMASANA
Berdasarkan atas data yang saya dapatkan di lapangan, maka dapat dijelaskan bahwa Letak Padmasana menurut arah mata angin (pengider-ider bhuwana) ada sembilan macam yaitu:
KLASIFIKASI BANGUNAN PADMA
NO. NAMA PADMA LETAK ORIENTASI1 Padma Kencana Timur (Purwa) Barat (Pascima)
2 Padmasana Selatan (Daksina) Utara (Uttara)
3 Padmasari Barat (Pascima) Timur (Purwa)
4 Padma Lingga Utara (Uttara) Selatan (Daksina)
5 Padma Asta Sedhana Tenggara (Agneya) Barat Laut (Wayabya)
6 Padma Noja Barat Daya (Nairity) Timur Laut (Airsaniya)
7 Padma Karo Barat Laut (Wayabya) Tenggara (Agneya)
8 Padma Saji Timur Laut (Airsanya) Barat Daya (Nairity)
9 Padma Kurung Tengah-Tengah Pura (Madya)
Pintu Keluar/ Masuk (Pemedal)
Sumber : www.google.com
Pemilihan letak Padmasana berdasar pertimbangan letak Pura
dan konsep "hulu - teben".
Dalam membangun Padmasana, jika memakai Timur sebagai hulu,
tidak masalah karena di mana-mana arah timur selalu sama. Tetapi jika
memakai Gunung sebagai hulu maka ada perbedaan hulu teben. Misalnya :
- Di daerah Den Bukit (Buleleng) di mana hulunya (Gunung) adalah arah
selatan maka sesuai letaknya dibangun Padmasana.
- Sebaliknya di selatan "bukit" (Gunung) mulai dari Pancasari ke Bali selatan
di mana hulunya adalah arah utara maka sesuai letaknya dibangun Padma
lingga.
- Di daerah Karangasem bagian timur di mana hulunya (Gunung) ada di
bagian barat, maka sesuai letaknya dibangun Padma sari. Demikian
seterusnya. Pemilihan letak Padmasana juga ditentukan oleh lokasi tanah
pekarangan, misalnya untuk perumahan di kota-kota besar di mana sulit
memilih letak tanah sesuai dengan konsep hulu - teben seperti di Bali,
maka jika membangun Padmasana silahkan memilih alternatif yang terbaik
di antara kesembilan jenis lokasi seperti tersebut di atas.
6. MEMILIH LOKASI PADMASANA
Bila ingin membangun Padmasana untuk penyungsungan jagat artinya
yang permanen dan akan digunakan selamanya serta untuk kepentingan
rekan sedharma dalam jumlah besar, perlu memperhatikan pemilihan lokasi
yang tepat dengan aturan-aturan yang sudah ditetapkan dalam Lontar
Keputusan Sanghyang Anala, lontar mana ditulis berdasarkan wahyu yang
diterima oleh Bhagawan Wiswakarma. Selain untuk membangun Padmasana,
aturan ini juga dapat berlaku untuk membangun Pura, Sanggah Pamerajan,
dan perumahan. Pilihlah lokasi yang baik dan hindari sedapat mungkin lokasi
yang tidak menguntungkan seperti pelemahan hala dan karang kebaya-
baya. Apabila keadaan memaksa, lakukan usaha-usaha pangupahayu agar
terhindar dari pengaruh buruk yang ditimbulkan oleh kekurang sempurnaan
keadaan lokasi.
7. PEMBAGIAN HALAMAN PADMASANA
Untuk Pura yang besar menggunakan pembagian halaman menjadi
tiga yaitu:
1 Utama Mandala
2 Madya Mandala
3 Nista Mandala.
Ketiga Mandala itu merupakan satu kesatuan, artinya tidak terpisah-
pisah, dan tetap berbentuk segi empat; tidak boleh hanya utama mandala
saja yang persegi empat, tetapi madya mandala dan nista mandala
berbentuk lain.
Konsep Tri Mandala Konsep Sanga
Mandala
U UN UM UU
N M U + M MN MM MU
N NN NM NU
Sumbu Ritual Sumbu Bumi Orientasi Total
Utama mandala adalah bagian yang paling sakral terletak paling hulu,
menggunakan ukuran Asta Bumi.
Madya Mandala adalah bagian tengah, menggunakan ukuran Asta
Bumi yang sama dengan utama Mandala.
Nista Mandala adalah bagian teben, boleh menggunakan ukuran yang
tidak sama dengan utama dan nista mandala hanya saja lebar
halaman tetap harus sama.
Di Utama mandala dibangun pelinggih-pelinggih utama. Di madya
mandala dibangun sarana-sarana penunjang misalnya bale gong,
perantenan (dapur suci), bale kulkul, bale pesandekan (tempat menata
banten), bale pesamuan (untuk rapat-rapat), dll. Di nista mandala ada
pelinggih Lebuh yaitu stana Bhatara Baruna, dan halaman ini dapat
digunakan untuk keperluan lain misalnya parkir, penjual makanan, dll. Batas
antara nista mandala dengan madya mandala adalah Candi Bentar dan
batas antara madya mandala dengan utama mandala adalah Gelung Kori,
sedangkan nista mandala tidak diberi pagar atau batas dan langsung
berhadapan dengan jalan.
8. ASTA KOSALA DAN ASTA BUMI
Yang dimaksud dengan Asta Kosala adalah aturan tentang bentuk-
bentuk niyasa (simbol) pelinggih, yaitu ukuran panjang, lebar, tinggi, pepalih
(tingkatan) dan hiasan. Yang dimaksud dengan Asta Bumi adalah aturan
tentang luas halaman Pura, pembagian ruang halaman, dan jarak antar
pelinggih. Aturan tentang Asta Kosala dan Asta Bumi ditulis oleh Pendeta:
Bhagawan Wiswakarma dan Bhagawan Panyarikan. Uraian mengenai Asta
Kosala khusus untuk bangunan Padmasana telah dikemukakan pada bab:
Hiasan Padmasana, Bentuk-bentuk Padmasana dan Letak Padmasana. Asta
Bumi menyangkut pembuatan Pura atau Sanggah Pamerajan adalah sebagai
berikut:
1. Tujuan Asta Bumi
a Memperoleh kesejahteraan dan kedamaian atas lindungan Hyang Widhi
b Mendapat vibrasi kesucian
c Menguatkan bhakti kepada Hyang Widhi
2. Luas Halaman
a Memanjang dari Timur ke Barat ukuran yang baik adalah:
- Panjang dalam satuan depa (bentangan tangan lurus dari kiri ke
kanan dari pimpinan/ klian/ Jro Mangku atau orang suci lainnya):
2,3,4,5,6,7,11,12,14,15,19.
- Lebar dalam ukuran depa: 1,2,3,4,5,6,7,11,12,14,15.
- Alternatif total luas dalam depa: 2x1,3x2, 4x3, 5x4, 6x5, 7x6, 11x7,
12x11, 14x12, 15x14, 19x15.
b Memanjang dari Utara ke Selatan ukuran yang baik adalah:
- Panjang dalam ukuran depa: 4,5,6,13,18.
- Lebar dalam ukuran depa: 5,6,13.
- Alternatif total luas dalam depa: 6x5, 13x6, 18x13
Jika halaman sangat luas, misalnya untuk membangun Padmasana
kepentingan orang banyak seperti Pura Jagatnatha, dll. boleh menggunakan
kelipatan dari alternatif yang tertinggi. Kelipatan itu: 3 kali, 5 kali, 7 kali, 9
kali dan 11 kali. Misalnya :
untuk halaman yang memanjang dari Timur ke Barat, alternative luas
maksimum dalam kelipatan adalah: 3x(19x15), 5x(19x15), 7x(19x15),
9x(19x15), 11x(19x15).
Untuk yang memanjang dari Utara ke Selatan, alternatif luas
maksimum
dalam kelipatan adalah: 3x(18x13), 5x(18x13), 7x(18x13), 9x(18x13),
11x(18x13).
9. HULU – TEBEN
Filsafat hulu - teben timbul karena manusia sulit membayangkan
Hyang Widhi, kemudian "menganggap" Hyang Widhi seperti organ tubuh
manusia yang mempunyai unsur-unsur kepala, badan dan kaki. Perhatikan
gambar simbol Acintya. Kepala dikatakan sebagai hulu, badan sebagai
madya dan kaki sebagai teben. Yang utama selalu berada di hulu. Konsep ini
membawa tatanan kehidupan "skala" (nyata) dan "niskala" (tidak nyata),
misalnya dalam aturan-aturan membangun Pura. Adanya bagian yang
sangat sakral disebut sebagai "utama mandala", bagian yang kurang sakral
disebut sebagai "madya mandala" dan bagian yang tidak sakral disebut
sebagai "nista mandala".
Hulu - Teben memakai dua acuan yaitu Timur sebagai hulu dan Barat
sebagai teben, atau Gunung sebagai hulu dan Laut sebagai teben. Timur
sebagai hulu karena di timurlah matahari terbit. Matahari dalam pandangan
Hindu adalah sumber energi yang menghidupi semua mahluk, sedangkan
Gunung sebagai hulu karena berfungsi sebagai pengikat awan yang turun
menjadi hujan kemudian ditampung dalam humus hutan yang merupakan
sumber mata air kehidupan. Tiada kehidupan tanpa air. "Hulu" artinya arah
yang utama, sedangkan "teben" artinya hilir atau arah berlawanan dengan
hulu. Sebagaimana telah diuraikan terdahulu, ada dua patokan mengenai
hulu yaitu :
1. Arah Timur, dan
2. Arah "Kaja"
Mengenai arah Timur bisa diketahui dengan tepat dengan
menggunakan kompas. Arah kaja adalah letak gunung atau bukit. Cara
menentukan lokasi Pura adalah menetapkan dengan tegas arah hulu, artinya
jika memilih timur sebagai hulu agar benar-benar timur yang tepat, jangan
melenceng ke timur laut atau tenggara. Jika memilih kaja sebagai hulu,
selain melihat gunung atau bukit juga perhatikan kompas. Misalnya jika
gunung berada di utara maka hulu agar benar-benar di arah utara sesuai
kompas, jangan sampai melenceng ke arah timur laut atau barat laut,
demikian seterusnya. Pemilihan arah hulu yang tepat sesuai dengan mata
angin akan memudahkan membangun pelinggih-pelinggih dan memudahkan
pelaksanaan upacara dan arah pemujaan.
10. BENTUK HALAMAN PADMASANA
Bentuk halaman pura adalah persegi empat sesuai dengan ukuran
Asta Bumi sebagaimana diuraikan terdahulu. Jangan membuat halaman pura
tidak persegi empat misalnya ukuran panjang atau lebar di sisi kanan - kiri
berbeda, sehingga membentuk halaman seperti trapesium, segi tiga,
lingkaran, dll. Hal ini berkaitan dengan tatanan pemujaan dan pelaksanaan
upacara, misalnya pengaturan meletakkan umbul-umbul, penjor, dan Asta
kosala.
11. PEMEDAL PADMASANA
Pemedal adalah gerbang, baik berupa candi bentar maupun gelung
kori. Cara menetapkan pemedal sebagai berikut:
1. Ukur lebar halaman dengan tali.
2. Panjang tali itu dibagi tiga.
3. Sepertiga ukuran tali dari arah teben adalah "as" pemedal Dari as ini
ditetapkan lebarnya gerbang apakah setengah depa atau satu depa,
tergantung dari besar dan tingginya bangunan candi bentar dan gelung
kori.
Yang dimaksud dengan teben dalam ukuran pemedal ini adalah arah yang
bertentangan dengan hulu dari garis halaman pemedal. Misalnya hulu
halaman Pura ada di Timur, maka teben dalam menetapkan gerbang tadi
adalah utara, kecuali di utara ada gunung maka tebennya selatan, demikian
seterusnya. Penetapan gerbang candi bentar dan gelung kori ini penting
untuk menentukan letak pelinggih sesuai dengan asta kosala.
12. JARAK ANTAR PELINGGIH
Sesuai dengan Asta Bumi, jarak antar pelinggih yang satu dengan yang
lain dapat menggunakan ukuran satu "depa", kelipatan satu depa, telung
tapak nyirang", atau kelipatan telung tapak nyirang. Pengertian "depa"
sudah dikemukakan di depan, yaitu jarak bentangan tangan lurus dari ujung
jari tangan kiri ke ujung jari tangan kanan. Yang dimaksud dengan "telung
tampak nyirang" adalah jarak dari susunan rapat tiga tapak kaki kanan dan
kiri (dua kanan dan satu kiri) ditambah satu tapak kaki kiri dalam posisi
melintang. Baik depa maupun tapak yang digunakan adalah dari orang yang
dituakan dalam kelompok "penyungsung" (pemuja) Pura. Jarak antar
pelinggih dapat juga menggunakan kombinasi dari depa dan tapak,
tergantung dari harmonisasi letak pelinggih dan luas halaman yang tersedia.
Jarak antar pelinggih juga mencakup jarak dari tembok batas ke pelinggih-
pelinggih. Ketentuan-ketentuan jarak itu juga tidak selalu konsisten,
misalnya jarak antar pelinggih menggunakan tapak, sedangkan jarak ke
"Piasan" dan Pemedal (gerbang) menggunakan depa. Ketentuan ini juga
berlaku bagi bangunan dan pelinggih di Madya Mandala.
13. UPAKARA PADA BANGUNAN PADMASANA
Pada bangunan Padmasana, upakara yang biasanya dihaturkan pada
saat upacara Piodalan atau pujawali adalah sebagai berikut :
Suci
Daksina
Canang
Gebogan
Sodan tumpeng
Sayut pengambyan
Canang lengewangi
Perangkatan
Pengeresikan
Sayut pajegan
Canang sari
Sedangkan pada bagian bawah atau sor mempergunakan upakara seperti :
Suci
Sayut
Perascita
Sayut pajegan
Sodan tumpeng
Burat wangi
Canang tubungan
Teteh lamak
Sayut pengambyan yang berisi daging itik.