Padmasana

22
PADMASANA 1.PENGERTIAN PADMASANA Kata Padmasana berasal dari Bahasa Kawi. Menurut Kamus Kawi-Indonesia yang disusun oleh Prof. Drs. S. Wojowasito (Penerbit CV Pengarang, Malang, 1977) terdiri dari dua kata yaitu: "Padma" yang artinya bunga teratai, atau bathin, atau pusat. Sedangkan "Sana" artinya sikap duduk, atau tuntunan, atau nasehat, atau perintah. Dengan demikian Padmasana adalah simbol yang menggambarkan kedudukan Hyang Widhi sebagai bunga teratai, atau dapat juga dikatakan bahwa Padmasana sebagai tuntunan batin atau pusat konsentrasi. Bunga teratai dipilih sebagai simbol yang tepat menggambarkan kesucian dan keagungan Hyang Widhi karena memenuhi unsur-unsur yaitu : a) Helai daun bunganya berjumlah delapan sesuai dengan jumlah manifestasi Hyang Widhi di arah delapan penjuru mata angin sebagai kedudukan Horizontal. MANIFESTASI MATA ANGIN Sangkara = Barat Laut (Wayabya) Wisnu = Utara (Uttara) Sumber : Dokumentasi Pribadi Oleh : AGUS YASA RAHAYU

description

PENGERTIAN PADMASANAKata Padmasana berasal dari Bahasa Kawi. "Padma" yang artinya bunga teratai, atau bathin, atau pusat. Sedangkan "Sana" artinya sikap duduk, atau tuntunan, atau nasehat, atau perintah. Dengan demikian Padmasana adalah simbol yang menggambarkan kedudukan Hyang Widhi sebagai bunga teratai, atau dapat juga dikatakan bahwa Padmasana sebagai tuntunan batin atau pusat konsentrasi.HIASAN PADMASANADi dasar bangunan ada Bhedawangnala, yaitu ukiran "mpas" (kura-kura besar) yang dililit dua ekor naga. Kura-kura adalah simbol dasar bhuvana dibayangkan sebagai api magma, sedangkan naga adalah simbol Basuki yaitu kekuatan yang mengikat alam semesta. Karena letaknya di bawah/ dasar bangunan maka simbol bhedawangnala dapat bermakna sebagai kekuatan bumi ciptaan Hyang Widhi yang perlu dijaga, dan dapat pula bermakna sebagai dasar kehidupan manusia yaitu energi yang senantiasa perlu ditumbuh kembangkan.BHEDAWANGNALADewa Wisnu yang mengendarai Garuda diletakkan di bagian tengah belakang, adalah simbol Hyang Widhi dalam manifestasi sebagai pemelihara.Angsa diletakkan di bagian atas belakang, adalah simbol Sanghyang Saraswati bermakna sebagai: pengetahuan, ketelitian, kewaspadaan, ketenangan dan kesucian.Acintya diletakkan di bagian atas depan, adalah simbol Hyang Widhi yang tidak dapat dilihat, dipikirkan wujudnya, di raba, namun vibrasinya dapat dirasakan.SINGHASANAPada bagian kepala (sari) terdapat singhasana yang diapit naga tatsaka yang terbuat dari paras yang diukir sesuai bentuknya. Pada belakangnya terdapat ulon yang bagian tengahnya terdapat ukiran lukisan Sang Hyang Acintya atau Sang Hyang Taya sebagai simbol perwujudan Ida Sang Hyang Widhi. Lukisan ini menggambarkan sikap tari dari dewa Siwa yang disebut dengan Siwa Natyaraja dalam menciptakan alam semesta.KARANG GAJAHHiasan lainnya dapat berupa karang gajah, karang boma, karang bun, karang paksi, dll. yang semuanya bermakna sebagai simbol keaneka ragaman alam semesta. Kesimpulan arti simbolis dari semua bentuk Padmasana adalah: Stana Hyang Widhi yang dengan kekuatan-Nya telah menciptakan manusia sebagai mahluk utama dan alam semesta sebagai pendukung kehidupan, senantiasa perlu dijaga kelanggengan hidupnya.FUNGSI PADMASANAFungsi utama Padmasana adalah sebagai tempat pemujaan Tuhan Yang Maha Esa. Di situlah Tuhan dipuja dalam fungsinya sebagai jiwa alam semesta (makrokosmos) dengan segala aspek kemahakuasaanya. Padmasana adalah niyasa atau simbol stana Hyang Widhi dengan berbagai sebutannya -- Sanghyang Siwa Raditya (dalam manifestasi yang terlihat/dirasakan manusia sebagai matahari atau surya) dan Sanghyang Tri Purusa (dalam tiga manifestasi yang manunggal yaitu sebagai Siwa, Sada Siwa dan Parama Siwa).BENTUK-BENTUK PADMA- Padma Anglayang- Padma Agung- Padmasana- Padmasari- Padma capahUPAKARA PADA PADMASANA- Suci- Daksina- Canang- Gebogan- Sodan tumpeng- Sayut pengambyan- Canang lengewangi- Perangkatan- Pengeresikan- Sayut pajegan- Canang sariSedangkan pada bagian bawah atau sor mempergunakan upakara seperti :- Suci- Sayut- Perascita- Sayut pajegan- Sodan tumpeng- Burat wangi- Canang tubungan- Teteh lamak- Sayut pengambyan yang berisi daging itik.

Transcript of Padmasana

Page 1: Padmasana

PADMASANA

1. PENGERTIAN PADMASANA

Kata Padmasana berasal dari Bahasa

Kawi. Menurut Kamus Kawi-Indonesia yang

disusun oleh Prof. Drs. S. Wojowasito (Penerbit

CV Pengarang, Malang, 1977) terdiri dari dua

kata yaitu: "Padma" yang artinya bunga teratai,

atau bathin, atau pusat. Sedangkan "Sana"

artinya sikap duduk, atau tuntunan, atau

nasehat, atau perintah. Dengan demikian

Padmasana adalah simbol yang

menggambarkan kedudukan Hyang Widhi

sebagai bunga teratai, atau dapat juga

dikatakan bahwa Padmasana sebagai tuntunan

batin atau pusat konsentrasi. Bunga teratai dipilih sebagai simbol yang tepat

menggambarkan kesucian dan keagungan Hyang Widhi karena memenuhi

unsur-unsur yaitu :

a) Helai daun bunganya berjumlah delapan sesuai dengan jumlah

manifestasi Hyang Widhi di arah delapan penjuru mata angin sebagai

kedudukan Horizontal.

MANIFESTASI MATA ANGIN

Sangkara = Barat Laut (Wayabya)

Wisnu = Utara (Uttara)

Sambhu = Timur Laut (Airsanya)

Mahadewa = Barat (Pascima)

Ishwara = Timur (Purwa)

Rudra = Barat Daya (Nairity)

Brahma = Selatan (Daksina)

Sumber : Dokumentasi Pribadi

Oleh : AGUS YASA

Page 2: Padmasana

Mahesora = Tenggara (Aghneya)

b) Puncak mahkota berupa sari bunga yang menggambarkan symbol

kedudukan Hyang Widhi secara vertikal dalam manifestasi sebagai: Siwa

(adasthasana/dasar), Sadasiwa (madyasana/tengah) dan Paramasiwa

(agrasana/puncak).

Paramasiwa agrasana & uarr;

sadasiwa madyasana ↑

Siwa adasthasana

c) Bunga teratai hidup di tiga alam yaitu tanah/lumpur disebut pertiwi, air

disebut apah, dan udara disebut akasa. Bunga teratai merupakan sarana

utama dalam upacara-upacara Panca Yadnya dan juga digunakan oleh

Pandita-Pandita ketika melakukan surya sewana. Padmasana merupakan

bangunan suci untuk men-stana-kan Ida Sanghyang Widhi sebagai

simbolis dan gambaran dari makrokosmos atau alam semesta (buana

agung). Bangunan suci ini dapat dijumpai hampir di seluruh bangunan

suci Hindu di Bali maupun di luar Bali -- dari Pura Kawitan, Kahyangan

Desa, Swagina, sampai Kahyangan Jagat. Bahkan, bangunan suci ini

ditempatkan sebagai pelinggih utama. DI Lontar "Dwijendra Tattwa"

disebut, pelinggih berbentuk Padmasana dikembangkan oleh Danghyang

Dwijendra, atau (nama lainnya) Danghyang Nirartha atau Pedanda Sakti

Wawu Rauh. Dia datang ke Bali pada tahun 1489 M pada periode

pemerintahan Dalem Waturenggong di Gelgel (1460-1550 M) dengan

tujuan untuk menyempurnakan kehidupan agama di Bali. Sebelum

kedatangannya, agama Hindu di Bali telah berkembang dengan baik.

penduduk memuja Hyang Widhi terbatas dalam kedudukan-Nya secara

horizontal. Ajaran itu diterima dari para maharsi yang datang ke Bali sejak

abad ke-8, seperti Rsi Markandeya, Mpu Kuturan, Danghyang

Siddimantra, Danghyang Manik Angkeran, Mpu Jiwaya, Mpu Gnijaya, Mpu

Sumeru, Mpu Ghana, dan Mpu Bharadah. Bentuk-bentuk pelinggih

sebagai simbol atau niyasa ketika itu hanya Meru Tumpang Tiga, Kemulan

Rong Tiga, Bebaturan, dan Gedong. Pura-pura di Bali pada saat itu tidak

Page 3: Padmasana

ada yang memakai Padmasana, kondisi ini sampai sekarang masih

dijumpai terutama pada pura-pura kuno di Bali. Disebutkan, pada saat

memasuki Pulau Bali, Danghyang Dwijendra masuk ke dalam mulut naga

besar dan di dalamnya ia melihat bunga teratai sedang mekar tanpa sari.

Hal ini menggambarkan, naga itu adalah Naga Anantabhoga yang

merupakan simbol dari Pulau Bali.

Agama Hindu sudah berkembang di Bali dengan baik tetapi

pemujaan hanya ditujukan kepada dewa-dewa sebagai manifestasi Ida

Sanghyang Widhi. Dewa-dewa inilah yang disimbolkan sebagai daun

bunga teratai yang mekar tanpa sari.

Danghyang Nirartha lalu menganjurkan penduduk Bali menambah bentuk

pelinggih berupa Padmasana, menyempurnakan simbol (niyasa) yang

mewujudkan Hyang Widhi secara lengkap ditinjau dari segi konsep

horisontal maupun vertikal. Sehingga, pembangunan Padmasana dapat

menjernihkan kekaburan yang terjadi secara fisik bangunan antara

pelinggih pemujaan untuk Hyang Widhi dan pelinggih untuk roh suci

leluhur yang terjadi saat itu. Sehingga kini, Padmasana dapat dijumpai di

seluruh pura di Bali maupun luar Bali sebagai bangunan pelinggih utama.

Dalam Lontar "Padma Bhuana", Mpu Kuturan menyatakan bahwa

Bali sebagai Padma Bhuwana. Bunga teratai (padma) dijadikan simbol

alam semesta stana Hyang Widhi yang sebenarnya. Dalam Lontar "Dasa

Nama Bunga" disebut, bunga teratai adalah rajanya bunga (Raja Kesuma)

karena hidup di tiga alam -- akarnya menancap di lumpur, batangnya di

air, sedangkan daun dan bunganya di atas air (udara). Karenanya, bunga

ini adalah simbol Tri Loka atau Tri Bhuwana Stana Hyang Widhi Wasa dan

bunga daunnya yang berlapis-lapis sebagai perlambang dari sembilan

arah penjuru mata angin alam semesta (I Ketut Wiana, 2004).

Posisi padmasana adalah sikap duduk bersila dengan kedua telapak

kaki dilipat ke atas, sehingga tampak seperti posisi yang berbentuk

lingkaran. Mungkin ini tidak sesuai dengan apa yang terlihat di lapangan,

bahkan pada bagian puncak Padmasana tampak berbentuk singhasana

Page 4: Padmasana

berbentuk kursi persegi empat. Hal ini akan terjawab kalau orang

memperhatikan pesimpen pancadatu atau pedagingan yang ditanamkan

di dasar, di madya, maupun di puncak dari Padmasana (Cudamani, 1998).

Isi pedagingan pesimpen itu, terutama pedagingan puncak yang

berbentuk padma terbuat dari emas, diletakkan paling atas di atas

singhasana yang berbentuk kursi persegi empat ini. Karena ditanam,

meskipun terletak di puncak, benda itu tidak terlihat dari luar. Rupanya

pedagingan berbentuk padma dari emas inilah yang memberi nama

bangunan itu sehingga bernama Padmasana. Dewa-dewa dan Ida Sang

Hyang Widi bertahta di atasnya. Simbol dari Padmasana menggambarkan

tingkatan alam yaitu Tri Loka (bhur, bwah dan swah).

Hal ini terlihat dari Bhedawang Nala dengan dua naga

(Anantabhoga dan Basuki) melambangkan alam bawah (bhur loka),

badannya (padma termasuk singhasana) melambangkan atmosfer bumi

(bwah loka). Sedangkan swah loka tidak dilukiskan dalam wujud

bangunan tetapi di dalam pesimpen pedagingan yang berwujud padma

dan di dalam puja yang dilukiskan dengan "Om Padmasana ya namah dan

Om Dewa Pratistha ya namah."

2. HIASAN PADMASANA

Pada penjelasan ini, saya mengambil obyek Pelinggih Padmasana yang

terdapat di Pura Desa lan Puseh Desa Adat Dalung, kecamatan Kuta

Utara. Pada bangunan pelinggih Padmasana ini, kita dapat mengetahui

pembagian-pembagian tingkatan serta detai-detail atau ornament-

ornament yang terdapat pada pelinggih Padmasana ini seperti :

a) Di dasar bangunan ada Bhedawangnala, yaitu ukiran "mpas" (kura-kura

besar) yang dililit dua ekor naga. Kura-kura adalah simbol dasar bhuvana

dibayangkan sebagai api magma, sedangkan naga adalah simbol Basuki

yaitu kekuatan yang mengikat alam semesta. Bhedawangnala adalah

Bahasa Kawi, di mana “bheda" artinya: lain, kelompok, selisih;

sedangkan "wang" artinya: peluang, kesempatan; dan "nala" artinya: api.

Page 5: Padmasana

Jadi bhedawangnala artinya: suatu kelompok (kesatuan) yang

meluangkan adanya api. Api di sini bisa dalam arti nyata sebagai dapur

magma inti bumi, dapat juga dalam arti simbol lain yaitu energi kekuatan

hidup. Karena letaknya di bawah/ dasar bangunan maka simbol

bhedawangnala dapat bermakna sebagai kekuatan bumi ciptaan Hyang

Widhi yang perlu dijaga, dan dapat pula bermakna sebagai dasar

kehidupan manusia yaitu energi yang senantiasa perlu ditumbuh

kembangkan.

b) Dewa Wisnu yang mengendarai Garuda diletakkan di bagian tengah

belakang, adalah simbol Hyang Widhi dalam manifestasi sebagai

pemelihara.

NAGA BASUKI

BHEDAWANGNALA

PATUNG GARUDA WISNU

Sumber : Dokumentasi Pribadi

Sumber : Dokumentasi Pribadi

Page 6: Padmasana

c) Angsa diletakkan di bagian atas belakang,

adalah simbol Sanghyang Saraswati

bermakna sebagai: pengetahuan, ketelitian,

kewaspadaan, ketenangan dan kesucian.

d) Acintya diletakkan di bagian atas depan, adalah simbol Hyang Widhi yang

tidak dapat dilihat, dipikirkan wujudnya, di raba, namun vibrasinya dapat

dirasakan.

e) Pada bagian kepala (sari) terdapat singhasana yang diapit naga tatsaka

yang terbuat dari paras yang diukir sesuai bentuknya. Pada belakangnya

terdapat ulon yang bagian tengahnya terdapat ukiran lukisan Sang Hyang

Acintya atau Sang Hyang Taya sebagai simbol perwujudan Ida Sang

PATUNG ANGSA

SIMBOL ACINTYA

Sumber : Dokumentasi Pribadi

Sumber : Dokumentasi Pribadi

Page 7: Padmasana

Hyang Widhi. Lukisan ini menggambarkan

sikap tari dari dewa Siwa yang disebut dengan

Siwa Natyaraja dalam menciptakan alam

semesta.

f) Hiasan lainnya dapat berupa karang gajah, karang boma, karang bun,

karang paksi, dll. yang semuanya bermakna sebagai simbol keaneka

ragaman alam semesta. Kesimpulan arti simbolis dari semua bentuk

Padmasana adalah: Stana Hyang Widhi yang dengan kekuatan-Nya telah

menciptakan manusia sebagai mahluk utama dan alam semesta sebagai

pendukung kehidupan, senantiasa perlu dijaga kelanggengan hidupnya.

BAGIAN KEPALA ATAU SARI DARI PADMASANA

Sumber : Dokumentasi Pribadi

Page 8: Padmasana

3. FUNGSI PADMASANA

Fungsi utama Padmasana adalah sebagai tempat pemujaan Tuhan

Yang Maha Esa. Di situlah Tuhan dipuja dalam fungsinya sebagai jiwa alam

semesta (makrokosmos) dengan segala aspek kemahakuasaanya.

Padmasana adalah niyasa atau simbol stana Hyang Widhi dengan berbagai

sebutannya -- Sanghyang Siwa Raditya (dalam manifestasi yang

terlihat/dirasakan manusia sebagai matahari atau surya) dan Sanghyang Tri

Purusa (dalam tiga manifestasi yang manunggal yaitu sebagai Siwa, Sada

Siwa dan Parama Siwa). Di Pura Besakih ada Padmasana berjejer tiga, di situ

di-stana-kan Parama Siwa (tengah), Sadasiwa (kanan) dan Sang Hyang Siwa

(kiri).Memperhatikan makna niyasa tersebut, jelaslah bahwa makna

Padmasana adalah niyasa yang digunakan Hindu dari sekte Siwa Sidhanta

karena sentral manifestasi Hyang Widhi yang menjadi pujaan utama adalah

sebagai Siwa. Danghyang Nirartha yang mengembangkan bentuk niyasa

Padmasana adalah pandita dari kelompok Hindu sekte Siwa Sidhanta.

Sedangkan Padmasari dan Padmacapah dapat ditempatkan menyendiri yang

berfungsi sebagai pengayatan atau penyawangan.

4. BENTUK-BENTUK PADMA

Dilihat dari bentuk bangunannya, Padma dibedakan menjadi lima jenis

yaitu:

a) Padma Anglayang

KARANG GAJAH

Sumber : Dokumentasi Pribadi

Page 9: Padmasana

Memakai dasar bhedawangnala, bertingkat tujuh dan di puncaknya ada

tiga ruang. Digunakan selain sebagai niyasa stana Sanghyang Siwa Raditya

atau Sanghyang Tripurusa, juga sebagai niyasa stana Trimurti.

b) Padma Agung

Memakai dasar bhedawangnala, bertingkat lima dan di puncaknya ada

dua ruang. Digunakan selain sebagai niyasa stana Sanghyang Siwa Raditya

atau Sanghyang Tripurusa, juga sebagai niyasa Ardanareswari yaitu

kekuatan/ kesaktian Hyang Widhi sebagi pencipta segala yang berbeda

misalnya: lelaki perempuan, siang-malam, kiri (pengiwa) – kanan

(penengen), dst.

c) Padmasana

Memakai bhedawangnala, bertingkat lima dan di puncaknya ada satu

ruang. Digunakan selain sebagai niyasa stana Sanghyang Siwa Raditya atau

Sanghyang Tripurusa, juga sebagai niyasa Sanghyang Tunggal yaitu Hyang

Widhi Yang Maha Esa.

d) Padmasari

Tidak memakai dasar bhedawangnala, bertingkat tiga dan di puncaknya

ada satu ruang. Digunakan hanya untuk niyasa stana Sanghyang Siwa

Raditya atau Sanghyang Tripurusa.

e) Padma capah

Tidak memakai dasar bhedawangnala, bertingkat dua dan di puncaknya

ada satu ruang. Digunakan untuk niyasa stana Hyang Widhi dalam

manifestasi sebagai Baruna (Dewa lautan) Pemilihan bentuk kelima jenis

Padmasana itu berdasar pertimbangan kemampuan penyungsung

melaksanakan upacara, baik ketika mendirikannya maupun pada setiap hari

piodalannya. Oleh karena itu dipertimbangkan juga jumlah penyungsungnya.

Page 10: Padmasana

Makin banyak penyungsungnya makin "utama" bentuk padmasana, sesuai

dengan urutan di atas.

5. LETAK PADMASANA

Berdasarkan atas data yang saya dapatkan di lapangan, maka dapat dijelaskan bahwa Letak Padmasana menurut arah mata angin (pengider-ider bhuwana) ada sembilan macam yaitu:

KLASIFIKASI BANGUNAN PADMA

NO. NAMA PADMA LETAK ORIENTASI1 Padma Kencana Timur (Purwa) Barat (Pascima)

2 Padmasana Selatan (Daksina) Utara (Uttara)

3 Padmasari Barat (Pascima) Timur (Purwa)

4 Padma Lingga Utara (Uttara) Selatan (Daksina)

5 Padma Asta Sedhana Tenggara (Agneya) Barat Laut (Wayabya)

6 Padma Noja Barat Daya (Nairity) Timur Laut (Airsaniya)

7 Padma Karo Barat Laut (Wayabya) Tenggara (Agneya)

8 Padma Saji Timur Laut (Airsanya) Barat Daya (Nairity)

9 Padma Kurung Tengah-Tengah Pura (Madya)

Pintu Keluar/ Masuk (Pemedal)

Sumber : www.google.com

Page 11: Padmasana

Pemilihan letak Padmasana berdasar pertimbangan letak Pura

dan konsep "hulu - teben".

Dalam membangun Padmasana, jika memakai Timur sebagai hulu,

tidak masalah karena di mana-mana arah timur selalu sama. Tetapi jika

memakai Gunung sebagai hulu maka ada perbedaan hulu teben. Misalnya :

- Di daerah Den Bukit (Buleleng) di mana hulunya (Gunung) adalah arah

selatan maka sesuai letaknya dibangun Padmasana.

- Sebaliknya di selatan "bukit" (Gunung) mulai dari Pancasari ke Bali selatan

di mana hulunya adalah arah utara maka sesuai letaknya dibangun Padma

lingga.

- Di daerah Karangasem bagian timur di mana hulunya (Gunung) ada di

bagian barat, maka sesuai letaknya dibangun Padma sari. Demikian

seterusnya. Pemilihan letak Padmasana juga ditentukan oleh lokasi tanah

pekarangan, misalnya untuk perumahan di kota-kota besar di mana sulit

memilih letak tanah sesuai dengan konsep hulu - teben seperti di Bali,

maka jika membangun Padmasana silahkan memilih alternatif yang terbaik

di antara kesembilan jenis lokasi seperti tersebut di atas.

6. MEMILIH LOKASI PADMASANA

Bila ingin membangun Padmasana untuk penyungsungan jagat artinya

yang permanen dan akan digunakan selamanya serta untuk kepentingan

rekan sedharma dalam jumlah besar, perlu memperhatikan pemilihan lokasi

yang tepat dengan aturan-aturan yang sudah ditetapkan dalam Lontar

Keputusan Sanghyang Anala, lontar mana ditulis berdasarkan wahyu yang

diterima oleh Bhagawan Wiswakarma. Selain untuk membangun Padmasana,

aturan ini juga dapat berlaku untuk membangun Pura, Sanggah Pamerajan,

dan perumahan. Pilihlah lokasi yang baik dan hindari sedapat mungkin lokasi

yang tidak menguntungkan seperti pelemahan hala dan karang kebaya-

Page 12: Padmasana

baya. Apabila keadaan memaksa, lakukan usaha-usaha pangupahayu agar

terhindar dari pengaruh buruk yang ditimbulkan oleh kekurang sempurnaan

keadaan lokasi.

7. PEMBAGIAN HALAMAN PADMASANA

Untuk Pura yang besar menggunakan pembagian halaman menjadi

tiga yaitu:

1 Utama Mandala

2 Madya Mandala

3 Nista Mandala.

Ketiga Mandala itu merupakan satu kesatuan, artinya tidak terpisah-

pisah, dan tetap berbentuk segi empat; tidak boleh hanya utama mandala

saja yang persegi empat, tetapi madya mandala dan nista mandala

berbentuk lain.

Konsep Tri Mandala Konsep Sanga

Mandala

U UN UM UU

N M U + M MN MM MU

N NN NM NU

Sumbu Ritual Sumbu Bumi Orientasi Total

Utama mandala adalah bagian yang paling sakral terletak paling hulu,

menggunakan ukuran Asta Bumi.

Page 13: Padmasana

Madya Mandala adalah bagian tengah, menggunakan ukuran Asta

Bumi yang sama dengan utama Mandala.

Nista Mandala adalah bagian teben, boleh menggunakan ukuran yang

tidak sama dengan utama dan nista mandala hanya saja lebar

halaman tetap harus sama.

Di Utama mandala dibangun pelinggih-pelinggih utama. Di madya

mandala dibangun sarana-sarana penunjang misalnya bale gong,

perantenan (dapur suci), bale kulkul, bale pesandekan (tempat menata

banten), bale pesamuan (untuk rapat-rapat), dll. Di nista mandala ada

pelinggih Lebuh yaitu stana Bhatara Baruna, dan halaman ini dapat

digunakan untuk keperluan lain misalnya parkir, penjual makanan, dll. Batas

antara nista mandala dengan madya mandala adalah Candi Bentar dan

batas antara madya mandala dengan utama mandala adalah Gelung Kori,

sedangkan nista mandala tidak diberi pagar atau batas dan langsung

berhadapan dengan jalan.

8. ASTA KOSALA DAN ASTA BUMI

Yang dimaksud dengan Asta Kosala adalah aturan tentang bentuk-

bentuk niyasa (simbol) pelinggih, yaitu ukuran panjang, lebar, tinggi, pepalih

(tingkatan) dan hiasan. Yang dimaksud dengan Asta Bumi adalah aturan

tentang luas halaman Pura, pembagian ruang halaman, dan jarak antar

pelinggih. Aturan tentang Asta Kosala dan Asta Bumi ditulis oleh Pendeta:

Bhagawan Wiswakarma dan Bhagawan Panyarikan. Uraian mengenai Asta

Kosala khusus untuk bangunan Padmasana telah dikemukakan pada bab:

Hiasan Padmasana, Bentuk-bentuk Padmasana dan Letak Padmasana. Asta

Bumi menyangkut pembuatan Pura atau Sanggah Pamerajan adalah sebagai

berikut:

1. Tujuan Asta Bumi

a Memperoleh kesejahteraan dan kedamaian atas lindungan Hyang Widhi

b Mendapat vibrasi kesucian

Page 14: Padmasana

c Menguatkan bhakti kepada Hyang Widhi

2. Luas Halaman

a Memanjang dari Timur ke Barat ukuran yang baik adalah:

- Panjang dalam satuan depa (bentangan tangan lurus dari kiri ke

kanan dari pimpinan/ klian/ Jro Mangku atau orang suci lainnya):

2,3,4,5,6,7,11,12,14,15,19.

- Lebar dalam ukuran depa: 1,2,3,4,5,6,7,11,12,14,15.

- Alternatif total luas dalam depa: 2x1,3x2, 4x3, 5x4, 6x5, 7x6, 11x7,

12x11, 14x12, 15x14, 19x15.

b Memanjang dari Utara ke Selatan ukuran yang baik adalah:

- Panjang dalam ukuran depa: 4,5,6,13,18.

- Lebar dalam ukuran depa: 5,6,13.

- Alternatif total luas dalam depa: 6x5, 13x6, 18x13

Jika halaman sangat luas, misalnya untuk membangun Padmasana

kepentingan orang banyak seperti Pura Jagatnatha, dll. boleh menggunakan

kelipatan dari alternatif yang tertinggi. Kelipatan itu: 3 kali, 5 kali, 7 kali, 9

kali dan 11 kali. Misalnya :

untuk halaman yang memanjang dari Timur ke Barat, alternative luas

maksimum dalam kelipatan adalah: 3x(19x15), 5x(19x15), 7x(19x15),

9x(19x15), 11x(19x15).

Untuk yang memanjang dari Utara ke Selatan, alternatif luas

maksimum

dalam kelipatan adalah: 3x(18x13), 5x(18x13), 7x(18x13), 9x(18x13),

11x(18x13).

9. HULU – TEBEN

Filsafat hulu - teben timbul karena manusia sulit membayangkan

Hyang Widhi, kemudian "menganggap" Hyang Widhi seperti organ tubuh

manusia yang mempunyai unsur-unsur kepala, badan dan kaki. Perhatikan

gambar simbol Acintya. Kepala dikatakan sebagai hulu, badan sebagai

Page 15: Padmasana

madya dan kaki sebagai teben. Yang utama selalu berada di hulu. Konsep ini

membawa tatanan kehidupan "skala" (nyata) dan "niskala" (tidak nyata),

misalnya dalam aturan-aturan membangun Pura. Adanya bagian yang

sangat sakral disebut sebagai "utama mandala", bagian yang kurang sakral

disebut sebagai "madya mandala" dan bagian yang tidak sakral disebut

sebagai "nista mandala".

Hulu - Teben memakai dua acuan yaitu Timur sebagai hulu dan Barat

sebagai teben, atau Gunung sebagai hulu dan Laut sebagai teben. Timur

sebagai hulu karena di timurlah matahari terbit. Matahari dalam pandangan

Hindu adalah sumber energi yang menghidupi semua mahluk, sedangkan

Gunung sebagai hulu karena berfungsi sebagai pengikat awan yang turun

menjadi hujan kemudian ditampung dalam humus hutan yang merupakan

sumber mata air kehidupan. Tiada kehidupan tanpa air. "Hulu" artinya arah

yang utama, sedangkan "teben" artinya hilir atau arah berlawanan dengan

hulu. Sebagaimana telah diuraikan terdahulu, ada dua patokan mengenai

hulu yaitu :

1. Arah Timur, dan

2. Arah "Kaja"

Mengenai arah Timur bisa diketahui dengan tepat dengan

menggunakan kompas. Arah kaja adalah letak gunung atau bukit. Cara

menentukan lokasi Pura adalah menetapkan dengan tegas arah hulu, artinya

jika memilih timur sebagai hulu agar benar-benar timur yang tepat, jangan

melenceng ke timur laut atau tenggara. Jika memilih kaja sebagai hulu,

selain melihat gunung atau bukit juga perhatikan kompas. Misalnya jika

gunung berada di utara maka hulu agar benar-benar di arah utara sesuai

kompas, jangan sampai melenceng ke arah timur laut atau barat laut,

demikian seterusnya. Pemilihan arah hulu yang tepat sesuai dengan mata

angin akan memudahkan membangun pelinggih-pelinggih dan memudahkan

pelaksanaan upacara dan arah pemujaan.

Page 16: Padmasana

10. BENTUK HALAMAN PADMASANA

Bentuk halaman pura adalah persegi empat sesuai dengan ukuran

Asta Bumi sebagaimana diuraikan terdahulu. Jangan membuat halaman pura

tidak persegi empat misalnya ukuran panjang atau lebar di sisi kanan - kiri

berbeda, sehingga membentuk halaman seperti trapesium, segi tiga,

lingkaran, dll. Hal ini berkaitan dengan tatanan pemujaan dan pelaksanaan

upacara, misalnya pengaturan meletakkan umbul-umbul, penjor, dan Asta

kosala.

11. PEMEDAL PADMASANA

Pemedal adalah gerbang, baik berupa candi bentar maupun gelung

kori. Cara menetapkan pemedal sebagai berikut:

1. Ukur lebar halaman dengan tali.

2. Panjang tali itu dibagi tiga.

3. Sepertiga ukuran tali dari arah teben adalah "as" pemedal Dari as ini

ditetapkan lebarnya gerbang apakah setengah depa atau satu depa,

tergantung dari besar dan tingginya bangunan candi bentar dan gelung

kori.

Yang dimaksud dengan teben dalam ukuran pemedal ini adalah arah yang

bertentangan dengan hulu dari garis halaman pemedal. Misalnya hulu

halaman Pura ada di Timur, maka teben dalam menetapkan gerbang tadi

adalah utara, kecuali di utara ada gunung maka tebennya selatan, demikian

seterusnya. Penetapan gerbang candi bentar dan gelung kori ini penting

untuk menentukan letak pelinggih sesuai dengan asta kosala.

12. JARAK ANTAR PELINGGIH

Sesuai dengan Asta Bumi, jarak antar pelinggih yang satu dengan yang

lain dapat menggunakan ukuran satu "depa", kelipatan satu depa, telung

tapak nyirang", atau kelipatan telung tapak nyirang. Pengertian "depa"

sudah dikemukakan di depan, yaitu jarak bentangan tangan lurus dari ujung

Page 17: Padmasana

jari tangan kiri ke ujung jari tangan kanan. Yang dimaksud dengan "telung

tampak nyirang" adalah jarak dari susunan rapat tiga tapak kaki kanan dan

kiri (dua kanan dan satu kiri) ditambah satu tapak kaki kiri dalam posisi

melintang. Baik depa maupun tapak yang digunakan adalah dari orang yang

dituakan dalam kelompok "penyungsung" (pemuja) Pura. Jarak antar

pelinggih dapat juga menggunakan kombinasi dari depa dan tapak,

tergantung dari harmonisasi letak pelinggih dan luas halaman yang tersedia.

Jarak antar pelinggih juga mencakup jarak dari tembok batas ke pelinggih-

pelinggih. Ketentuan-ketentuan jarak itu juga tidak selalu konsisten,

misalnya jarak antar pelinggih menggunakan tapak, sedangkan jarak ke

"Piasan" dan Pemedal (gerbang) menggunakan depa. Ketentuan ini juga

berlaku bagi bangunan dan pelinggih di Madya Mandala.

13. UPAKARA PADA BANGUNAN PADMASANA

Pada bangunan Padmasana, upakara yang biasanya dihaturkan pada

saat upacara Piodalan atau pujawali adalah sebagai berikut :

Suci

Daksina

Canang

Gebogan

Sodan tumpeng

Sayut pengambyan

Canang lengewangi

Perangkatan

Pengeresikan

Sayut pajegan

Canang sari

Sedangkan pada bagian bawah atau sor mempergunakan upakara seperti :

Suci

Sayut

Perascita

Page 18: Padmasana

Sayut pajegan

Sodan tumpeng

Burat wangi

Canang tubungan

Teteh lamak

Sayut pengambyan yang berisi daging itik.