PADA BALITA USIA 24-59 BULAN DI PROVINSI NUSA...
Transcript of PADA BALITA USIA 24-59 BULAN DI PROVINSI NUSA...
GAMBARAN FAKTOR-FAKTOR KEJADIAN STUNTING
PADA BALITA USIA 24-59 BULAN
DI PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT TAHUN 2010
(ANALISIS DATA SEKUNDER RISKESDAS 2010)
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat (SKM)
Disusun oleh:
SHELLA MONICA DALIMUNTHE
108101000024
PEMINATAN GIZI
PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2015 M/1437 H
i
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah
satu persyaratan memperoleh gelar srata 1 di Fakultas Kedokteran dan Ilmu
Kesahatan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan
sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Fakultas Kedokteran dan Ilmu
Kesahatan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau
merupakan jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi
yang berlaku di Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesahatan Universitas Islam
Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, Mei 2015
NIM. 108101000024
ii
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT
PEMINATAN GIZI
SKRIPSI, MEI 2015
Shella Monica Dalimunthe, NIM: 108101000024
Gambaran Faktor-Faktor Kejadian Stunting Pada Balita Usia 24-59 Bulan di
Provinsi Nusa Tenggara Barat Tahun 2010 (Analisis Data Sekunder Riskesdas
2010)
xiii+ 111 halaman + 18 tabel + 12 grafik + 2 bagan + 2 lampiran
ABSTRAK
Masalah gizi merupakan penyebab sepertiga kematian pada anak. Stunting menjadi indikator kunci dari kekurangan gizi kronis, seperti pertumbuhan yang
melambat, perkembangan otak tertinggal dan sebagai hasilnya anak-anak stunting lebih mungkin mempunyai daya tangkap yang rendah. Dari data Riskesdas 2010 beberapa
provinsi dengan jumlah kejadian balita stunting tertinggi menunjukkan bahwa kejadian balita stunting banyak terdapat pada rentang usia 24-59 bulan. Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) merupakan salah satu Provinsi yang memiliki prevalensi stunting diatas
prevalensi nasional. Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan pendekatan cross
sectional. Studi ini menggunakan data sekunder yaitu dengan menganalisis data dari penelitian Riskesdas 2010 di Provinsi NTB. Penelitian ini dilakukan pada bulan Maret 2013. Sampel dalam penelitian ini adalah sebanyak 388 balita berusia 24-59 bulan di
Provinsi NTB. Variabel independen yang diteliti dalam penelitian ini yaitu asupan energi balita, asupan protein balita, jenis kelamin, berat lahir balita, jumlah anggota
rumah tangga, pendidikan ibu, pendidikan ayah, pekerjaan ibu, pekerjaan ayah, wilayah tempat tinggal balita dan status ekonomi keluarga. Sedangkan variabel dependennya adalah kejadian stunting. Instrument yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuisioner
riskesdas. Data yang diperoleh kemudian dilakukan uji statistik dengan rumus chi square.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa balita yang mengalami stunting sebanyak
56.36%, sedangkan balita normal sebanyak 43.63%. Sebanyak 58.22% balita memiliki asupan energi kurang, sedangkan 41.77% lainnya memiliki asupan energi cukup.
51.70% balita memiliki asupan protein cukup dan sisanya masih memiliki asupan protein kurang. Sebanyak 51.59% balita berjenis kelamin perempuan, sisanya berjenis kelamin laki- laki. Balita lahir dengan BBLR sebanyak 8.62%, sedangkan sisanya lahir
dengan berat badan normal. Sebanyak 72.06% anak berasal dari keluarga besar, sisanya berasal dari keluarga kecil. Sebagian besar ibu balita berpendidikan rendah, hanya
sebanyak 33.13% yang berpendidikan tinggi. Ayah dengan pendidikan rendah sebanyak 71.51%, sisanya berpendidikan tinggi. Sebanyak 66.8% ibu balita merupakan ibu rumah tangga, sisanya berkerja. Sebanyak 97.03% ayah balita bekerja, sisanya tidak bekerja.
41.77% balita tinggal di daerah perkotaan, sisanya di pedesaan. Hanya sebesar 17.53%
iii
balita yang berasal dari keluarga berstatus ekonomi tinggi, sisanya berstatus ekonomi
rendah.
Kata kunci : gizi buruk, stunting, balita
Daftar bacaan : 90 (1985 - 2012)
iv
FACULTY OF MEDICINE AND HEALTH SCIENCES
DEPARTMENT OF PUBLIC HEALTH
SPECIALISATION NUTRITION
THESIS, MAY 2015.
Shella Monica Dalimunthe, NIM: 108101000024
Overview Determinants of Stunting in Toddlers age 24-59 Months in The Province
of West Nusa Tenggara Year 2010 (Secondary Data Analysis of Riskesdas 2010)
xiii + 111 pages + 17 tables + 12 charts + 2 schemas + 2 attachments
ABSTRACT
Nutritional problems are the cause of all deaths in children. Stunting be a key indicator of chronic malnutrition, such as slowed growth, brain development lags behind
and as a result of stunting children are more likely to have a low perception. From the data of Riskesdas 2010 several provinces with the highest incidence of stunting in toddlers showed that the incidence of stunting are happened mostly in the age range 24-
59 months. West Nusa Tenggara Province (NTB) is one province that has a prevalence of stunting above the national prevalence.
This research is a quantitative study with cross sectional approach. This study used secondary data analysis from the study of Riskedas 2010 in NTB Province. The research was conducted in March 2013. The sample that was used in this research is 388
toddlers aged 24-59 months in NTB Province. The independent variables examined in this study were toddler energy intake, toddler protein intake, sex, birth weight infants,
the number of household members, mother's education, father's education, mother's occupation, father's occupation, region of residence and family economic status. While the dependent variable was the incidence of stunting. The instrument used in this study
is a questionnaire of Riskesdas 2010. The data obtained was then performed in statistical tests with chi-square formula.
The results showed that toddlers who stunted are 56.36%, while the other 43.63% are normal. A total of 58.22% of the toddlers have less energy intake, while another 41.77% having sufficient energy intake. 51.70% of toddlers have enough protein
and the rest still has less protein intake. A total of 51.59% are female toddlers, while the remaining toddlers are male. Toddlers born with low birth weight are 8.62%, while the
rest were born with normal weight. A total of 72.06% of the children come from large families, the rest comes from a small family. Most of the toddler's mother was poorly educated, just as much as 33.13% with high education. Fathers with low education are
71.51%, the rest is highly educated. A total of 66.8% of toddlers’ mothers are housewives, and the remaining mothers are working. A total of 97.03% toddler's father
are working, the rest are unemployed. 41.77% of the toddlers living in urban areas, the
v
rest in the countryside. Only by 17.53% of toddlers who comes from a family with high
economic status, the rest are from low economic status.
Keywords : malnutrition, stunting, toddler
Reading lists : 90 (1985 - 2012)
vi
Judul Skripsi
GAMBARAN FAKTOR-FAKTOR KEJADIAN STUNTING PADA BALITA
USIA 24-59 BULAN DI PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT TAHUN 2010
(ANALISIS DATA SEKUNDER RISKESDAS 2010)
Telah diperiksa, disetujui, dan dipertahankan dihadapan Tim Penguji Skripsi Program
Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
Disusun Oleh:
SHELLA MONICA DALIMUNTHE
NIM. 108101000024
Jakarta, April 2015
Mengetahui
Pembimbing I Pembimbing II
Raihana Nadra Alkaff, SKM, MMA Ratri Ciptaningtyas, S.Sn.Kes
NIP. 19781216 200901 2005 NIP. 19840404 200912 2 007
vii
PANITIA SIDANG UJIAN SKRIPSI
PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGRISYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
Jakarta, April 2015
Mengetahui
Penguji I
Catur Rosidati, MKM
Penguji II
Narila Mutia Nasir, Ph.D
Penguji III
Hj. Farihah Sulasiah, MKM
viii
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
I. IDENTITAS PRIBADI
Nama : Shella Monica Dalimunthe
Tempat/Tgl Lahir : Jakarta, 10 Juni 1990
Jenis Kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Alamat : Jl. Kuningan No. 99B RT 05/RW 01 Cempaka Putih
Ciputat Timur, Tangerang Selatan, 15412.
No Telp / Hp : (021) 93827650/ 085697690476
Email : [email protected]
II. PENDIDIKAN
1995 – 1996 : TK Cressendo
1996 – 2002 : SD Negeri Situ Gintung 1
2002 – 2005 : SMP Negeri 178 Jakarta
2005 – 2008 : SMA Negeri 29 Jakarta
2008 – 2014 : Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
Fakultas Kedokteran dan Ilmu kesehatan, Program Studi
Kesehatan Masyarakat
ix
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr.wb
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan nikmat yang tak
terhinggackepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Kemudian
tak lupa shalawat serta salam penulis haturkan kepada junjungan kita Nabi Besar
Muhammad SAW, semoga kita semua mendapatkan syafa’at dan pertolongannya di
yaumil qiyamah nanti.
Skripsi dengan judul “Gambaran Faktor-faktor Kejadian Stunting Pada Balita
Usia 24-59 Bulan di Provinsi Nusa Tenggara Barat Tahun 2010 (Analisis Data Sekunder
Riskesdas 2010” ini disusun sebagai salah satu persyaratan untuk memperoleh gelar
Sarjana Kesehatan Masyarakat (SKM) pada program Studi Kesehatan Masyarakat,
Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan. Penyusunan skripsi ini tidak terlepas dari
bantuan, bimbingan, motivasi dan semangat dari banyak pihak. Oleh karena itu dalam
kesempatan kali ini penulis ingin menyampaikan ungkapan dan rasa terima kasih yang
tak terhingga ini kepada:
1. Mama dan Papa tercinta yang selalu memberikan segala dukungan, doa dan
perhatian kepada penulis sehingga skripsi ini dapat terselesaikan.
2. Bapak Prof. Dr. (hc). Dr. M.K. Tadjudin, Sp. And, selaku dekan Fakultas
Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta.
3. Ibu Ir. Febrianti, M.Si, selaku ketua Program Studi Kesehatan Masyarakat.
4. Ibu Catur Rosidati, SKM, MKM selaku Sekretaris Program Studi Kesehatan
Masyarakat.
5. Ibu Raihana Nadra Alkaff, SKM, MMA selaku dosen pembimbing I yang
telah dengan sabar memberikan ilmu, bimbingan, pengarahan, motivasi,
tuntunan dan meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan yang luar
biasa kepada penulis.sehingga skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik.
6. Ibu Ratri Ciptaningtyas, S.Sn.Kes, MHS selaku dosen pembimbing II yang
banyak meluangkan waktunya untuk berdiskusi dengan penulis dalam
menyelesaikan skripsi ini dan memberikan ilmu-ilmu baru, semoga Allah
SWT mencatat segala amal kebaikannya sebagai ibadah.
7. Ibu DR. Ela Laelasari, SKM, M.kes selaku dosen pembimbing akademik.
8. Para dosen program studi Kesehatan Masyarakat UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta yang telah membimbing serta memberikan ilmu yang bermanfaat
kepada penulis.
x
9. Bapak Ahmad Gozali dan Bapak Azib selaku bagian akademik, terima kasih
atas bantuannya dalam pembuatan surat-surat untuk penelitian ini.
10. Para Staf Balitbangkes Kementerian Kesehatan, terima kasih atas
kepercayaannya dalam memberikan data Riskesdas 2010 sehingga penulis
dapat menyusun skripsi ini.
11. Teman-teman seperjuangan–STOOPELTH 2008, kakak-kakak, serta adik-
adik kelasku yang selalu memberikan motivasi dan semangat kepada penulis.
12. Semua pihak yang telah membantu penulis dalam penulisan skripsi ini yang
tidak dapat disebutkan satu per satu. Terima kasih banyak.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini masih kurang dar i
sempurna, sehingga penulis sangat mengharapkan kritik dan saran demi kemajuan
dimasa yang akan datang. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak. Amin
Wassalamu’alaikum wr. wb.
Jakarta, Mei 2015
Shella Monica Dalimunthe
xi
DAFTAR ISI
LEMBAR PERNYATAAN ........................................................................................ i
ABSTRAK …………………………………………………………………………. ii ABSTRACT ……………………………………………………………………….. iv
PERYATAAN PERSETUJUAN ............................................................................... vi PANITIA SIDANG ..................................................................................................... vii DAFTAR RIWAYAT HIDUP ……………………………………………………. viii
KATA PENGANTAR …………………………………………………………….. ix DAFTAR ISI ………………………………………………………………………. xi
DAFTAR TABEL …………………………………………………………………. xiv DAFTAR GRAFIK ………………………………………………………………… xv DAFTAR BAGAN …………………………………………………………………. xvi
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang .................................................................................................. 1 1.2 Rumusan Masalah ............................................................................................. 6 1.3 Pertanyaan Penelitian ........................................................................................ 7
1.4 Tujuan Penelitian .............................................................................................. 8 1.4.1 Tujuan Umum .......................................................................................... 8
1.4.2 Tujuan Khusus ......................................................................................... 8 1.5 Manfaat Penelitian ............................................................................................ 8
1.5.1 Manfaat Teoritis ....................................................................................... 8
1.5.2 Manfaat Aplikatif ..................................................................................... 9 1.6 Ruang Lingkup ................................................................................................. 9
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Stunting Pada Balita ......................................................................................... 10
2.2 Penilaian Status Gizi ...………. ........................................................................ 18 2.2.1 Pengukurang Antropometri .................................................................... 18
2.2.1.1 Pengukuran Antropometri Pada Balita ………………………… 18 2.2.1.2 Parameter Antropometri ……………………………………….. 18 2.2.1.3 Indeks Antropometri …………………………………………... 19
2.2.2 Klasifikasi Status Gizi …………………………………………………. 22 2.3 Pengukuran Asupan Makanan .......................................................................... 23
2.3.1 24-hour food recall ................................................................................... 23 2.3.2 Food Frequency Questionnaire (FFQ) ..................................................... 26 2.3.3 Estimated Food Record ............................................................................ 28
2.3.4 Dietary History (Riwayat Konsumsi Makanan) ...................................... 29 2.4 Pertumbuhan dan Perkembangan Balita............................................................ 30
2.4.1 Pengertian Pertumbuhan dan Perkembangan .......................................... 30 2.5 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Stunting Pada Balita ................................ 31
2.5.1 Asupan Energi .......................................................................................... 31
xii
2.5.2 Asupan Protein ........................................................................................ 33
2.5.3 Jenis kelamin ......................................................................................... 34 2.5.4 Berat Lahir ............................................................................................... 35
2.5.5 Jumlah Anggota Rumah Tangga ……………………………………… 36 2.5.6 Pendidikan Ibu ……................................................................................ 38 2.5.7 Pendidikan Ayah ……………………………………………………… 40
2.5.8 Pekerjaan Ibu .......................................................................................... 41 2.5.9 Pekerjaan Ayah ……………………………………………………….. 42
2.5.10 Wilayah Tempat Tinggal ….................................................................. 43 2.5.11 Status Ekonomi Keluarga....................................................................... 45
2.6 Kerangka Teori ................................................................................................. 47
BAB III KERANGKA KONSEP, DEFINISI OPERASIONAL, HIPOTESIS
3.1 Kerangka Konsep .............................................................................................. 48 3.2 Definisi Operasional ......................................................................................... 50
BAB IV METODOLOGI PENELITIAN
4.1 Desain Penelitian .............................................................................................. 53
4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian ............................................................................ 53 4.3 Populasi dan Sampel ......................................................................................... 54
4.3.1 Populasi .................................................................................................... 54
4.3.2 Sampel ..................................................................................................... 54 4.4 Pengumpulan Data ............................................................................................ 56
4.4.1 Jenis dan Teknik Pengumpulan Data ....................................................... 56 4.4.2 Instrument Penelitian ............................................................................... 56 4.4.3 Asupan Energi dan Protein ……………………………………………. 57
4.4.4 Berat Lahir ……………………………………………………………. 58 4.4.5 Jenis Kelamin Balita ………………………………………………….. 58
4.4.6 Pendidikan Ayah dan Ibu (Orang Tua) ………………………………. 58 4.4.7 Status Bekerja Ayah dan Ibu (Orang Tua)……………………………. 59 4.4.8 Tingkat Ekonomi Keluarga …………………………………………… 60
4.4.9 Jumlah Anggota Keluarga …………………………………………….. 60 4.4.10 Wilayah Tempat Tinggal ……………………………………………. 61
4.5 Pengolahan Data ............................................................................................... 61 4.5.1 Pembersihan Data (Data Cleaning) ......................................................... 61 4.5.2 Transformasi Data/Recode ...................................................................... 61
4.6 Analisis Data ..................................................................................................... 62 4.6.1 Analisis Deskriptif (Univariat) ................................................................ 62
BAB V HASIL
5.1 Analisis Univariat …………………………………………………………... 63 5.1.1 Gambaran Kejadian Stunting Pada Balita Usia 24-59 Bulan di Provinsi
Nusa Tenggara Barat ………………………………………………………… 63
xiii
5.1.2 Gambaran Asupan Energi Pada Balita Usia 24-59 Bulan di Provinsi
Nusa Tenggara Barat ……………………………………………………….. 64 5.1.3 Gambaran Asupan Protein Pada Balita Usia 24-59 Bulan di Provinsi
Nusa Tenggara Barat ……………………………………………………….. 65 5.1.4 Gambaran Jenis Kelamin Balita Usia 24-59 Bulan di Provinsi Nusa
Tenggara Barat ……………………………………………………………… 67
5.1.5 Gambaran Berat Lahir Balita Usia 24-59 Bulan di Provinsi Nusa Tenggara Barat ……………………………………………………………… 68
5.1.6 Gambaran Jumlah Anggota Keluarga Balita Usia 24-59 Bulan di Provinsi Nusa Tenggara Barat ……………………………………………… 70
5.1.7 Gambaran Pendidikan Ibu Balita Usia 24-59 Bulan di Provinsi Nusa
Tenggara Barat ……………………………………………………………… 71 5.1.8 Gambaran Pendidikan Ayah Balita Usia 24-59 Bulan di Provinsi Nusa
Tenggara Barat ……………………………………………………………… 73 5.1.9 Gambaran Pekerjaan Ibu Balita Usia 24-59 Bulan di Provinsi Nusa
Tenggara Barat ……………………………………………………………… 74
5.1.10 Gambaran Pekerjaan Ayah Balita Usia 24-59 Bulan di Provinsi Nusa Tenggara Barat ……………………………………………………………… 76
5.1.11 Gambaran Wilayah Tempat Tinggal Balita Usia 24-59 Bulan di Provinsi Nusa Tenggara Barat ……………………………………………… 77
5.1.12 Gambaran Status Ekonomi Keluarga Balita Usia 24-59 Bulan di
Provinsi Nusa Tenggara Barat ……………………………………………… 79
BAB VI PEMBAHASAN
6.1 Keterbatasan Penelitian ……………………………………………………... 81 6.2 Gambaran Stunting Pada Balita ……………………………………………... 82
6.3 Gambaran Asupan Energi dengan Kejadian Stunting pada Balita ………….. 84 6.4 Gambaran Asupan Protein dengan Kejadian Stunting pada Balita …………. 87
6.5 Gambaran Jenis Kelamin dengan Kejadian Stunting pada Balita …………… 89 6.6 Gambaran Berat Lahir dengan Kejadian Stunting pada Balita ……………… 92 6.7 Gambaran Jumlah Anggota Rumah Tangga dengan Kejadian Stunting pada
Balita ………………………………………………………………………… 93 6.8 Gambaran Pendidikan Ibu dengan Kejadian Stunting pada Balita ………….. 95
6.9 Gambaran Pendidikan Ayah dengan Kejadian Stunting pada Balita ………… 98 6.10 Gambaran Pekerjaan Ibu dengan Kejadian Stunting pada Balita …………… 100 6.11 Gambaran Pekerjaan Ayah dengan Kejadian Stunting pada Balita…………. 102
6.12 Gambaran Wilayah Tempat Tinggal dengan Kejadian Stunting pada Balita.. 103 6.13 Gambaran Status Ekonomi Keluarga dengan Kejadian Stunting pada Balita... 105
BAB VII PENUTUP
7.1 Simpulan …………………………………………………………………….. 108
7.2 Saran ………………………………………………………………………… 109 DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................. 112
LAMPIRAN
xiv
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 Klasifikasi Penilaian Tingkat Kekurangan Gizi Anak-anak
dibawah Usia 5 Tahun …………………............................................ 13 Tabel 2.2 Klasifikasi Status Gizi …………………………………………….. 22
Tabel 3.1 Definisi Operasional ........................................................................... 50 Tabel 4.1 Daftar Variabel dan Kuisioner dalam Riskesdas 2010 ....................... 57 Tabel 4.2 Kode Variabel Pendidikan dalam Riskesdas 2010 …………........... 58
Tabel 4.3 Kode Variabel Pekerjaan dalam Riskesdas 2010 ………………… 59 Tabel 5.1 Gambaran Kejadian Stunting berdasarkan Asupan Energi pada
Balita Usia 24-59 Bulan di Provinsi Nusa Tenggara Barat Tahun 2010………………………………………………………………. 65
Tabel 5.2 Gambaran Kejadian stunting berdasarkan Asupan Protein pada
Balita Usia 24-59 Bulan di Provinsi Nusa Tenggara Barat Tahun 2010 ……………………………………………………………….. 67
Tabel 5.3 Gambaran Kejadian stunting berdasarkan Jenis Kelamin pada Balita Usia 24-59 Bulan di Provinsi Nusa Tenggara Barat Tahun 2010 ...... 68
Tabel 5.4 Gambaran Kejadian stunting berdasarkan Berat Lahir pada Balita
Usia 24-59 Bulan di Provinsi Nusa Tenggara Barat Tahun 2010 ….. 70 Tabel 5.5 Gambaran Kejadian stunting berdasarkan Jumlah Anggota Keluarga
pada Balita Usia 24-59 Bulan di Provinsi Nusa Tenggara Barat Tahun 2010 …………………………………………………............. 71
Tabel 5.6 Gambaran Kejadian stunting berdasarkan Pendidikan Ibu pada
Balita Usia 24-59 Bulan di Provinsi Nusa Tenggara Barat Tahun 2010 ……………………………………………………………….. 73
Table 5.7 Gambaran Kejadian stunting berdasarkan Pendidikan Ayah pada Balita Usia 24-59 Bulan di Provinsi Nusa Tenggara Barat Tahun 2010 …………………………………………………………............ 74
Tabel 5.8 Gambaran Kejadian stunting berdasarkan Pekerjaan Ibu pada Balita Usia 24-59 Bulan di Provinsi Nusa Tenggara Barat Tahun 2010 ...... 76
Tabel 5.9 Gambaran Kejadian stunting berdasarkan Pekerjaan Ayah pada Balita Usia 24-59 Bulan di Provinsi Nusa Tenggara Barat Tahun 2010 ………………………………………………………................ 77
Tabel 5.10 Gambaran Kejadian stunting berdasarkan Wilayah Tempat Tinggal pada Balita Usia 24-59 Bulan di Provinsi Nusa Tenggara Barat
Tahun 2010 …………………………………………………............. 79 Tabel 5.11 Gambaran Kejadian stunting berdasarkan Status Ekonomi Keluarga
pada Balita Usia 24-59 Bulan di Provinsi Nusa Tenggara Barat
Tahun 2010 …………………………………………………............. 80
xv
DAFTAR GRAFIK
Grafik 5.1 Gambaran Kejadian Stunting Pada Balita Usia 24-59 Bulan di
Provinsi Nusa Tenggara Barat Tahun 2010 ……………………....... 63
Grafik 5.2 Gambaran Asupan Energi Pada Balita Usia 24-59 Bulan di Provinsi
Nusa Tenggara Barat Tahun 2010 ………………………………...... 64
Grafik 5.3 Gambaran Asupan Protein Pada Balita Usia 24-59 Bulan di
Provinsi Nusa Tenggara Barat Tahun 2010 ………………………... 66
Grafik 5.4 Gambaran i Jenis Kelamin Pada Balita Usia 24-59 Bulan di
Provinsi Nusa Tenggara Barat Tahun 2010 ....................................... 67
Grafik 5.5 Gambaran Berat Lahir Pada Balita Usia 24-59 Bulan di Provinsi
Nusa Tenggara Barat Tahun 2010………………………………....... 69
Grafik 5.6 Gambaran Jumlah Anggota Keluarga Pada Balita Usia 24-59 Bulan
di Provinsi Nusa Tenggara Barat Tahun 2010 ……………………. 70
Grafik 5.7 Gambaran Pendidikan Ibu Pada Balita Usia 24-59 Bulan di
Provinsi Nusa Tenggara Barat Tahun 2010 ……………………....... 72
Grafik 5.8 Gambaran Pendidikan Ayah Pada Balita Usia 24-59 Bulan di
Provinsi Nusa Tenggara Barat Tahun 2010 ………………………... 73
Grafik 5.9 Gambaran Pekerjaan Ibu Pada Balita Usia 24-59 Bulan di Provinsi
Nusa Tenggara Barat Tahun 2010 ………………………………...... 75
Grafik 5.10 Gambaran Pekerjaan Ayah Pada Balita Usia 24-59 Bulan di
Provinsi Nusa Tenggara Barat Tahun 2010 ………………………... 76
Grafik 5.11 Gambaran Wilayah Tempat Tinggal Pada Balita Usia 24-59 Bulan
di Provinsi Nusa Tenggara Barat Tahun 2010 ……………………... 78
Grafik 5.12 Gambaran Wilayah Status Ekonomi Keluarga Pada Balita Usia 24-
59 Bulan di Provinsi Nusa Tenggara Barat Tahun 2010 ………….... 79
xvi
DAFTAR BAGAN
Bagan 2.1 Kerangka Teori …………………………………….. ..................... 47
Bagan 3.1 Kerangka Konsep ……………………………………………....... 49
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Masalah gizi merupakan penyebab sepertiga kematian pada anak. Berinvestasi
pada kesehatan anak, sama halnya dengan berinvestasi pada kemajuan suatu negara
(Hunt, 2001). Masa ketika anak berada di bawah umur lima tahun (balita) merupakan
masa kritis dari perkembangan dan pertumbuhan dalam siklus hidup manusia. Anak
mengalami pertumbuhan fisik yang paling pesat dan masa ini juga disebut masa emas
perkembangan otak. Oleh karena itu, baik buruknya status gizi balita akan berdampak
langsung pada pertumbuhan dan perkembangan kognitif dan psikomotoriknya (Boggin,
1999).
Bila dibandingkan dengan pertumbuhan berdasarkan standar WHO, adanya 178
juta anak di dunia yang terlalu pendek berdasarkan usia membuat stunting menjadi
indikator kunci dari kekurangan gizi kronis. Seperti pertumbuhan yang melambat,
perkembangan otak tertinggal dan sebagai hasilnya anak-anak stunting lebih mungkin
mempunyai daya tangkap yang rendah (WHO, 2011).
Kebanyakan kasus gangguan pertumbuhan terjadi pada masa-masa awal
kehidupan manusia (Brown and Begin, 1993 dalam Semba and Bloem, 2001). Pada
kenyataannya, terbukti bahwa hampir semua gangguan pertumbuhan anak di negara
berkembang terjadi pada dua hingga tiga tahun pertama kehidupan (De Onis and
blossner, 1997 dalam Semba and Bloem, 2001).
Pemberian makan yang tidak tepat mengakibatkan cukup banyak anak yang
menderita kurang gizi. Femomena gagal tumbuh atau growth faltering pada anak
2
Indonesia mulai terjadi pada usia 4-6 bulan ketika bayi yang diberikan makanan
tambahan dan terus memburuk hingga usia 18-24 bulan. Kekurangan gizi memberi
kontribusi dua pertiga kematian balita. Dua pertiga kematian tersebut terkait praktek
pemberian makanan yang tidak tepat pada bayi dan anak usia dini. (WHO/UNICEF,
2003).
Hingga saat ini, gizi kurang pada balita juga masih menjadi masalah kesehatan
masyarakat di berbagai negara, termasuk Indonesia. Beberapa masalah kekurangan gizi
pada balita dapat diketahui melalui beberapa indikator. Indikator tersebut diantaranya
berat kurang atau underweight jika dilihat dari berat badan menurut umur (BB/U),
pendek atau stunting jika dilihat dari tinggi badan menurut umur (TB/U) dan kurus atau
wasting jika dilihat dari berat badan menurut tinggi badan (BB/TB). Dalam hal ini, berat
kurang dan kurus merupakan dampak masalah kekurangan gizi yang bersifat akut,
sedangkan pendek merupakan manifestasi kekurangan gizi yang bersifat kronis
(Kementrian Kesehatan, 2010).
Stunting pada balita biasanya kurang disadari karena perbedaan tinggi badan
dengan anak usia normal kurang begitu terlihat. Stunting biasanya mulai terlihat ketika
anak memasuki masa pubertas atau masa remaja. Ini merupakan hal yang buruk karena
semakin terlambat disadari, maka semakin sulit pula untuk mengatas i stunting.
(Hendricks, 2005 dalam Candra, 2011).
Berdasarkan hasil Riskesdas 2010, prevalensi balita pendek (stunting) secara
nasional adalah sebesar 35,6% yang berarti terjadi penurunan dari keadaan tahun 2007
dimana prevalensi kependekan sebesar 46,8%. Prevalensi kependekan sebesar 35,6%
3
terdiri dari 18,4% sangat pendek dan 17,1% pendek. Bila dibandingkan dengan keadaan
tahun 2007, prevalensi balita sangat pendek turun dari 18,8% pada tahun 2007 menjadi
18,5% pada tahun 2010. Sedangkan prevalensi pendek menurun dari 18,0% pada tahun
2007 menjadi 17.1% pada tahun 2010. Sebanyak 15 Provinsi memiliki prevalensi
kependekan di atas angka prevalensi nasional. Urutan ke 15 Provinsi tersebut dari yang
memiliki prevalensi tertinggi sampai terendah adalah: (1) Nusa Tenggara Timur, (2)
Papua Barat, (3) Nusa Tenggara Barat, (4) Sumatera Utara, (5) Sumatera Barat, (6)
Sumatera Selatan, (7) Gorontalo, (8) Kalimantan Barat, (9) Kalimantan Tengah, (10)
Aceh, (11) Sulawesi Selatan, (12) Sulawesi Tenggara, (13) Maluku, (14 ) Lampung, (15)
Sulawesi Tengah.
Berdasarkan usia balita, kejadian stunting banyak terdapat pada balita usia 24
hingga 59 bulan. Dari data Riskesdas 2010 beberapa provinsi dengan jumlah kejadian
balita stunting tertinggi menunjukkan bahwa kejadian balita stunting banyak terdapat
pada rentang usia tersebut. Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) juga merupakan salah
satu Provinsi yang memiliki prevalensi stunting diatas prevalensi nasional. Provinsi
NTB mengalami peningkatan angka stunting pada balita. Prevalensi balita sangat pendek
meningkat dari 23,8% pada tahun 2007 menjadi 27,8% pada tahun 2010. Sedangkan
prevalensi balita pendek pada tahun 2007 sebesar 19,9% menjadi 20,5% pada tahun
2010.
Gizi buruk kronis (stunting) tidak hanya disebabkan oleh satu faktor saja tetapi
disebabkan oleh banyak faktor, dimana faktor- faktor tersebut saling berhubungan satu
dengan lainnya, ada tiga faktor utama penyebab stunting yaitu asupan makanan yang
4
tidak seimbang (berkaitan dengan kandungan zat gizi dalam makanan yaitu karbohidrat,
protein, lemak, mineral, vitamin dan air), riwayat berat badan lahir rendah (BBLR), dan
riwayat penyakit.
Secara garis besar penyebab stunting dapat dikelompokkan kedalam 3 tingkatan
yaitu tingkat masyarakat, rumah tangga (keluarga), dan individu. Pada tingkat
masyarakat, sistem ekonomi; sistem pendidikan; sistem kesehatan dan sistem sanitasi
dan air bersih menjadi faktor penyebab kejadian stunting. Pada tingkat rumah tangga
(keluarga), kualitas dan kuantitas makanan yang tidak memadai; tingkat pendapatan;
jumlah dan struktur anggota keluarga; pola asuh makan anak yang tidak memadai;
pelayanan kesehatan dasar yang tidak memadai; dan sanitasi dan air bersih tidak
memadai menjadi faktor penyebab stunting, dimana faktor- faktor ini terjadi akibat faktor
pada tingkat masyarakat. Faktor penyebab yang terjadi di tingkat rumah tangga akan
mempengaruhi keadaan individu yaitu anak berumur dibawah 5 tahun dalam hal asupan
makanan menjadi tidak seimbang; berat badan lahir (BBLR); dan status kesehatan yang
buruk (Unicef framework).
Buruknya status gizi balita ini merupakan konsekuensi dari interaksi berbagai
faktor determinan yang berhubungan dengan akses pada pangan, kelayakan tempat
tinggal dan akses pelayanan kesehatan (Semba and Bloem, 2001). Penelitian
menunjukkan bahwa stunting berhubungan dengan tingkat pendidikan orangtua, berat
lahir, umur balita, jenis kelamin dan lokasi tempat tinggal. Selain itu, stunting pada
balita juga berhubungan dengan usia ibu, pendidikan ibu, dan tingkat pengeluaran (status
sosio-ekonomi) dalam rumah tangga (Semba et al., 2008).
5
Sedangkan menurut kerangka pikir UNICEF 1990, disamping faktor makanan,
faktor infeksi juga turut mempengaruhi. Ayaya SO (2004) dan Hautvast JL (2000) dalam
Ramli (2009) menyebutkan bahwa pada penelitian sebelumnya menunjukkan
Intelligence Quotient (IQ) yang rendah, tinggi badan ibu, jenis kelamin laki- laki, tingkat
pendidikan ayah dan ibu, kemiskinan, status sosioekonomi, tempat tinggal, perilaku
merawat anak (pemberian makan dan ASI yang kurang memadai), keyakinan budaya,
akses ke pelayanan kesehatan dan ekosistem lingkungan merupakan faktor- faktor yang
berasosiasi dengan kejadian stunting pada balita.
Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan data sekunder yaitu data balita
yang berada di Provinsi Nusa Tenggara Barat yang telah berhasil dikumpulkan oleh
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (Balitbangkes) yang dibantu oleh
sejumlah enumerator untuk setiap Kabupaten/Kota, seluruh penelitia Balitbangkes,
dosen Poltekkes, Jajaran Pemerintah Daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota, serta
Perguruan Tinggi pada bulan Juni sampai Juli 2010.
Masalah gizi merupakan masalah yang cukup serius di Indonesia. Banyak
penelitian mengenai masalah kesehatan dan gizi yang telah dilakukan, salah satunya
yaitu Riskesdas 2010. Namun hasil Riskesdas 2010 mengenai status gizi balita
khususnya faktor- faktor yang berhubungan dengan kasus stunting pada balita belum
dianalisis secara mendalam. Oleh karena itu penulis ingin memanfaatkan data sekunder
Riskesdas 2010 tersebut untuk melihat gambaran Faktor-faktor kejadian Stunting di
Provinsi Nusa Tenggara Barat. Akan tetapi keadaan data Riskesdas yang digunakan
6
untuk melakukan penelitian ini kurang begitu baik dalam segi kelengkapan data, karena
cukup banyak data yang missing.
Berdasarkan data yang terkumpul dari Riskesdas 2010, total balita yang berusia
24-59 bulan di Provinsi Nusa Tenggara Barat pada Tahun 2010 yaitu sebanyak 579
individu. Dari jumlah tersebut, untuk keperluan penelitian ini banyak data yang tidak
lengkap, misalnya dalam satu individu sampel, satu dan/atau beberapa variabel yang
dibutuhkan untuk penelitian ini tidak ada (missing) maka sampel tersebut tidak dapat
digunakan untuk penelitian. Dari total 579 individu tersebut, setelah dilakukan proses
cleaning data menjadi 338 individu. Sehingga seluruh individu tersebut digunakan
dalam penelitian ini.
Berdasarkan uraian tersebut diatas, penulis tertarik untuk meneliti gambaran
faktor- faktor kejadian stunting pada balita usia 24-59 bulan di provinsi NTB berdasarkan
hasil Riskesdas tahun 2010. Faktor-faktor yang diteliti yaitu: asupan energi, asupan
protein, jenis kelamin, berat lahir, jumlah anggota rumah tangga, pendidikian ibu,
pendidikan ayah, pekerjaan ibu, pekerjaan ayah, wilayah tempat tinggal dan status
ekonomi keluarga.
1.2 Rumusan Masalah
Nusa Tenggara Barat (NTB) masuk dalam urutan ke 3 yang memiliki kasus
stunting pada balita diatas prevalensi nasional. Stunting mengindikasi masalah kesehatan
masyarakat karena berhubungan dengan meningkatnya risiko morbiditas dan mortalitas,
penurunan perkembangan fungsi motorik dan mental serta mengurangi kapasitas fisik
7
(ACC/SCN 2000). Prevalensi balita sangat pendek di NTB meningkat dari 23.8% pada
tahun 2007 menjadi 27.8% pada tahun 2010. Sedangkan prevalensi balita pendek pada
tahun 2007 sebesar 19.9% menjadi 20.5% pada tahun 2010.
Kejadian stunting di provinsi Nusa Tenggara Barat masih tinggi dan faktor yang
berhubungan dengan kejadian stunting di Nusa Tenggara Barat pun banyak. Selain itu,
data konsumsi energi dan protein yang tersedia dalam Riskesdas 2010 hanya ada untuk
balita berusia 24-59 bulan. Pada umumnya balita berusia 24 bulan sudah sapih ASI. Hal
ini membuat konsumsi makanan balita benar-benar tergantung dari asupan energi dan
protein. Maka dari itu data asupan energi dan protein menjadi sangat penting dalam
penelitian ini. Oleh karena itu penulis ingin menganalisis gambaran faktor- faktor
kejadian stunting pada balita usia 24-59 bulan di Provinsi Nusa Tenggara Barat tahun
2010.
1.3 Pertanyaan Penelitian
1. Bagaimana gambaran kejadian stunting pada balita usia 24-59 bulan di Provinsi
Nusa Tenggara Barat?
2. Bagaimana gambaran balita stunting usia 24-59 bulan di Provinsi Nusa Tenggara
Barat berdasarkan asupan energi, asupan protein, jenis kelamin, berat lahir,
jumlah anggota rumah tangga, pendidikan ibu, pendidikan ayah, pekerjaan ibu,
pekerjaan ayah, wilayah tempat tinggal dan status ekonomi keluarga?
8
1.4 Tujuan Penelitian
1.4.1 Tujuan Umum
Diketahuinya gambaran faktor- faktor kejadian stunting pada balita
usia 24-59 bulan di Provinsi Nusa Tenggara Barat.
1.4.2 Tujuan Khusus
1. Diketahuinya gambaran kejadian stunting pada balita usia 24-59 bulan di
Provinsi Nusa Tenggara Barat.
2. Diketahuinya gambaran balita stunting usia 24-59 bulan berdasarkan
asupan energi, asupan protein, jenis kelamin, berat lahir, jumlah anggota
rumah tangga, pendidikan ibu, pendidikan ayah, pekerjaan ibu, pekerjaan
ayah, wilayah tempat tinggal dan status ekonomi keluarga.
1.5 Manfaat Penelitian
1.5.1 Manfaat Teoritis
1. Sebagai pengkayaan pengetahuan dan pengalaman praktis peneliti dibidang
penelitian kesehatan masyarakat.
2. Sebagai bahan untuk penelitian lanjutan oleh peneliti lain dalam topik yang
sama.
3. Sebagai tambahan referensi karya tulis yang berguna bagi masyarakat luas di
bidang kesehatan masyarakat.
9
1.5.2 Manfaat Aplikatif
Manfaat aplikatif dari penelitian ini adalah sebagai bahan masukan dalam
evaluasi kebijakan dan pengambilan keputusan terkait masalah gizi kurang pada
balita oleh pemerintah pusat Kementrian Kesehatan Republik Indonesia.
1.6 Ruang Lingkup
Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif mengenai gambaran faktor- faktor
kejadian stunting pada balita usia 24-59 di Provinsi Nusa Tenggara Barat, yang
dilakukan oleh mahasiswa Peminatan Gizi Program Studi Kesehatan Masyarakat
Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Hasil
penelitian ini dimaksudkan sebagai masukan yang berguna bagi pengambilan keputusan
dalam rangka pencarian solusi untuk menanggulangi kejadian stunting pada balita usia
24-59 bulan di Provinsi Nusa Tenggara Barat. Penelitian ini menggunakan desain cross
sectional study berdasarkan data hasil penelitian Riskesdas tahun 2010 yang pengolahan
datanya dilaksanakan pada bulan Maret tahun 2013.
10
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Stunting Pada Balita
Status gizi merupakan keadaan yang disebabkan oleh keseimbangan antara
jumlah asupan zat gizi dan jumlah yang dibutuhkan oleh tubuh untuk berbagai fungsi
biologis seperti pertumbuhan fisik, perkembangan, aktifitas dan pemeliharaan kesehatan
(Jahari, 2004). Status gizi merupakan salah satu faktor yang menentukan sumberdaya
manusia dan kualitas hidup. Untuk itu, program perbaikan gizi bertujuan untuk
meningkatkan mutu gizi konsumsi pangan, agar terjadi perbaikan status gizi masyarakat
(Muchtadi, 2002). Sedangkan menurut Almatsier (2003) status gizi adalah keadaan
tubuh sebagai akibat konsumsi makanan dan penggunaan gizi.
Kekurangan gizi terutama pada balita dapat menyebabkan meningkatnya risiko
kematian, terganggunya pertumbuhan fisik dan perkembangan mental serta kecerdasan.
Dampak kekurangan gizi bersifat permanen yang tidak dapat diperbaiki walaupun pada
usia berikutnya kebutuhan gizinya terpenuhi. Kondisi kesehatan dan status gizi pada saat
lahir dan balita sangat menentukan kondisi kesehatan pada masa usia sekolah dan remaja
(Depkes, 2007).
Masa balita merupakan proses pertumbuhan yang pesat dimana memerlukan
perhatian dan kasih sayang dari orang tua dan lingkungannya. Disamping itu balita
membutuhkan zat gizi yang seimbang agar status gizinya baik, serta proses pertumbuhan
tidak terhambat, karena balita merupakan kelompok umur yang paling sering menderita
akibat kekurangan gizi (Santoso & Lies, 2004). Masa balita dinyatakan sebagai masa
11
kritis dalam rangka mendapatkan sumberdaya manusia yang berkualitas, terlebih pada
periode 2 tahun pertama merupakan masa emas untuk pertumbuhan dan perkembangan
otak yang optimal, oleh karena itu pada masa ini perlu perhatian yang serius (Azwar,
2004).
Stunting merupakan keadaan tubuh yang pendek dan sangat pendek sehingga
mlampaui defisit -2 SD dibawah median panjang atau tinggi badan (Manary &
Solomons, 2009). Stunting dapat didiagnosis melalui indeks antropometrik tinggi badan
menurut umur yang mencerminkan pertumbuhan linier yang dicapai pada pra dan pasca
persalinan dengan indikasi kekurangan gizi jangka panjang, akibat dari gizi yang tidak
memadai dan atau kesehatan. Stunting merupakan pertumbuhan linear yang gagal untuk
mencapai potensi genetik sebagai akibat dari pola makan yang buruk dan penyakit
(ACC/SCN, 2000).
Stunting didefinisikan sebagai indikator status gizi TB/U sama dengan atau
kurang dari minus dua standar deviasi (-2 SD) di bawah rata-rata dari standar (WHO,
2006a). Ini adalah indikator kesehatan anak yang kekurangan gizi kronis yang
memberikan gambaran gizi pada masa lalu dan yang dipengaruhi lingkungan dan
keadaan sosial ekonomi. Di seluruh dunia, 178 juta anak berusia kurang dari lima tahun
(balita) menderita stunting dengan mayoritas di Asia Tengah Selatan dan sub-Sahara
Afrika. Stunting merupakan masalah kesehatan masyarakat utama di negara
berpendapatan rendah dan menengah karena hubungannya dengan peningkatan risiko
kematian selama masa kanak-kanak. Selain menyebabkan kematian pada masa kanak-
kanak, stunting juga mempengaruhi fisik dan fungsional dari tubuh (The Lancet, 2008).
12
Stunting dan serve stunting (selanjutnya hanya disebut sebagai “stunting ”)
pada balita merupakan salah satu masalah besar yang mengancam pengembangan
sumber daya manusia. Pada tahun 1995, diperkirakan angka stunting pada balita telah
mencapai lebih dari 208 juta dan 206 juta diantaranya berada di negara berkembang.
Lebih dari dua per tiga (72%) balita stunting berada di Asia. Pada saat ini, angka global
stunting pada balita adalah 178 juta (World Vision, 2009). Di Indonesia, tren data
stunting pada anak usia pra-sekolah cenderung tidak mengalami perubahan. Prevalensi
ini bahkan mengalami kenaikan sejak tahun 1990 (Atmarita, 2005)
Pada tahun 2003, 27,5% anak balita di Indonesia menderita kurus sedang dan
berat, atau hanya 10 poin persentase lebih rendah dari pada tahun 1989, dan hampir
setengahnya stunting . Anak yang menderita berat lahir rendah dan stunting pada
gilirannya tumbuh menjadi remaja dan orang dewasa kurang gizi, dengan demikian
mengabadikan siklus kekurangan gizi (Atmarita, 2005).
Tahun 2005, untuk semua negara-negara berkembang, yang diperkirakan 32%
(178 juta) anak-anak usia kurang dari 5 tahun memiliki skor TB/U dengan nilai Z Score
kurang -2 (WHO, 2006c; De Onis, M. et al. 2006). Prevalensi tertinggi dalam
subkawasan PBB adalah Afrika timur dan menengah masingmasing 50% dan 42%,
dengan jumlah terbanyak anak-anak dipengaruhi oleh stunting, 74 juta, tinggal di Asia
Tengah Selatan.
Prevalensi stunting di Asia tahun 2007 adalah 30.6 % (UNSCN, 2008). Di
negara berkembang 11,6 juta kematian anak di bawah usia lima tahun, diperkirakan 6,3
13
juta (54%) dari kematian anak-anak dikaitkan dengan gizi buruk, yang sebagian besar
disebabkan oleh kekurangan gizi (WHO, 1997).
Tabel 2.1
Klasifikasi Penilaian Tingkat Kekurangan Gizi
Anak-anak dibawah Usia 5 Tahun
No. Indikator Prevalensi Kekurangan Gizi
Rendah Sedang tinggi Sangat Tinggi
1 Stunting < 20 20 - 29 30 – 39 > 40
2 Underweight < 10 10 - 19 20 – 29 > 30
3 Wasting < 5 5 - 9 10 – 14 > 15
Sumber: WHO (1997)
Stunting merupakan hasil dari kekurangan gizi kronis, yang menghambat
pertumbuhan linier. Biasanya, pertumbuhan goyah dimulai pada sekitar usia enam bulan,
sebagai transisi makanan anak yang sering tidak memadai dalam jumlah dan kualitas,
dan peningkatan paparan dari lingkungan yang meningkatkan terkena penyakit.
Terganggunya pertumbuhan bayi dan anak-anak karena kurang memadainya asupan
makanan dan terjadinya penyakit infeksi berulang, yang mengak ibatkan berkurangnya
nafsu makan dan meningkatkan kebutuhan metabolik (Caufield et al, 2006).
Pertumbuhan panjang secara proporsional lebih lambat daripada berat badan.
Kekurangan tinggi badan cenderung terjadi lebih lambat dan pemulihan akan lebih
lambat, sedangkan kekurangan berat badan bisa cepat kembali dipulihkan. Oleh karena
14
itu, kekurangan berat badan adalah sebagai proses akut dan stunting adalah proses
kronis yang berlangsung dalam jangka waktu yang lama (Waterlow, 1992).
Stunting didiagnosis melalui pemeriksaan antropometrik. Stunting
menggambarkan keadaan gizi kurang yang sudah berjalan lama dan memerlukan waktu
bagi anak untuk berkembang serta pulih kembali. Sejumlah besar penelitian
memperlihatkan keterkaitan antara stunting dengan berat badan kurang yang sedang
atau berat, perkembangan motorik dan mental yang buruk dalam usia kanak-kanak dini,
serta prestasi kognitif dan prestasi sekolah yang buruk dalam usia kanak-kanak lanjut
(ACC/SCN, 2000).
Ada beberapa alasan mengapa stunting terjadi pada balita. Pada masa balita
kebutuhan gizi lebih besar, dalam kaitannya dengan berat badan, dibandingkan masa
remaja atau dewasa. Kebutuhan gizi yang tinggi untuk pertumbuhan yang pesat,
termasuk pertumbuhan pada masa remaja. Dengan demikian, kesempatan untuk terjadi
pertumbuhan yang gagal lebih besar pada balita, karena pertumbuhan lebih banyak
terjadi (Martorell et al, 1994). Gangguan pertumbuhan linier, atau stunting , terjadi
terutama dalam 2 sampai 3 tahun pertama kehidupan dan merupakan cerminan dari efek
interaksi antara kurangnya asupan energi dan asupan gizi serta infeksi.
Stunting pada anak-anak dikaitkan dengan kemiskinan yang pada akhirnya
terjadi tinggi dan berat badan yang kurang pada saat dewasa, mengurangi kebugaran otot
dan kemungkinan juga pada saat kehamilan yang meningkatkan kejadian berat lahir
rendah. Bukti menunjukkan bahwa anak-anak stunting juga lebih cenderung memiliki
pendidikan rendah, tetapi tidak jelas apakah ini langsung karena faktor gizi atau
15
pengaruh lingkungan. Stunting pada masa kecil mungkin memiliki dampak besar pada
produktivitas saat dewasa, meskipun ini adalah statistik yang sulit ditentukan (Poskitt,
2003).
Berat badan kurang yang sedang dan anak-anak yang bertubuh pendek juga
memperlihatkan perilaku yang berubah. Pada anak-anak kecil, perilaku ini meliputi
kerewelan serta frekuensi menangis yang meningkat, tingkat aktifitas yang lebih rendah,
berkomunikasi lebih jarang, ekspresi yang tidak begitu gembira serta cenderung untuk
berada didekat ibu serta menjadi lebih apatis (Henningham & McGregor, 2005).
Saat ini stunting pada anak merupakan salah satu indikator terbaik untuk
menilai kualitas modal manusia di masa mendatang. Kerusakan yang diderita pada awal
ke idupan, yang terkait dengan proses stunting , menyebabkan kerusakan permanen.
Keberhasilan tindakan yang berkelanjutan untuk mengentaskan kemiskinan dapat diukur
dengan kapasitas mereka untuk mengurangi prevalensi stunting pada anak-anak kurang
dari lima tahun. Berat lahir berkontribusi mengurangi pertumbuhan anak dalam dua
tahun pertama kehidupan, akan mengakibatkan stunting dalam dua tahun, yang akhirnya
tergambar pada tinggi badan saat dewasa. Peningkatan fungsi kognitif dan
perkembangan intelektual terkait dengan peningkatan berat lahir dan pengurangan dala m
stunting . Efek negatif berat lahir rendah pada pengembangan intelektual ditekankan
pada kelompok sosial ekonomi rendah, dan dapat diatasi dengan perbaikan lingkungan
(UNSCN, 2008).
Stunting pada masa kanak-kanak menyebabkan penurunan yang signifikan dari
ukuran tubuh dewasa, sebagai ditunjukkan oleh tindak lanjut dari bayi Guatemala yang
16
dua dekade sebelumnya, telah terdaftar dalam program suplementasi. Salah satu satu
konsekuensi utama dari ukuran tubuh dewasa dari masa kanak-kanak yang stunting
yaitu berkurangnya kapasitas kerja, yang pada akhirnya memiliki dampak pada
produktivitas ekonomi (WHO, 1997).
Pola pertumbuhan ini ditandai dengan berkembangnya bayi, dan dilanjutkan
dengan pertumbuhan selama remaja. Asupan makanan yang tidak memadai dalam 2
tahun pertama bertanggung jawab pada terjadinya stunting . Kurangnya proses menyusui,
menyapih dan praktik pemberian makanan, infeksi dan diare juga berkontribusi
(Eastwood, 2003).
Meskipun ada sedikit tindak lanjut penelitian sejak masa anak-anak hingga usia
dewasa, bukti substansial menunjukkan ada hubungan antara stunting dengan
kemampuan kognitif yang lambat atau kinerja sekolah pada anak-anak dari negara-
negara berpendapatan rendah dan menengah. Sebuah analisis data longitudinal dari
Filipina, Jamaika, Peru, dan Indonesia, bersama dengan data baru dari Brasil dan Afrika
Selatan, menunjukkan bahwa stunting antara usia 12-36 bulan usia diperkirakan
mengalami kinerja kognitif yang lebih rendah dan atau nilai yang dicapai di sekolah
rendah dalam masa anak-anak (Grantham-McGregor et al, 2007).
Di Cebu, Filipina stunting pada usia 2 tahun dikaitkan dengan tertundanya
masuk sekolah, sering terjadi pengulangan kelas dan tingginya angka putus sekolah,
tingkat kelulusan menurun di sekolah dasar dan menengah, dan kemampuan di sekolah
yang lebih rendah (Daniels & Adair, 2004).
17
Kegagalan pertumbuhan pada saat awal kehidupan akan menyebabkan tinggi
badan pada saat dewasa kurang kecuali ada kompensasi pertumbuhan (catch-up growth)
di masa anak-anak (Martorell et al., 1994). Hanya sebagian kecil dari kegagalan
pertumbuhan yang dapat dikompensasi, di Senegal, ketinggian pada saat dewasa hanya
sekitar 2 cm lebih pendek daripada standar meskipun stunting terjadi pada anak-anak
(Coly, A. N, et al 2006).
Tinggi badan dipengaruhi oleh faktor genetik dan lingkungan selama periode
pertumbuhan. Kegagalan pertumbuhan linier sebagian besar disebabkan pada periode
intrauterine dan beberapa tahun pertama kehidupan dan disebabkan oleh asupan yang
tidak memadai dan sering terjadi infeksi (Shrimpton et al, 2001). Tinggi badan ibu yang
pendek dan gizi ibu yang buruk berhubungan dengan peningkatan risiko kegagalan
pertumbuhan intrauterin (Black et al, 2008). Studi dari negara-negara berpendapatan
rendah dan menengah dilaporkan bahwa tinggi badan pada saat dewasa secara positif
terkait dengan panjang badan pada saat lahir. Peningkatan sebesar 1 cm panjang badan
pada saat lahir dikaitkan dengan peningkatan 0,7 -1 cm tinggi badan pada saat dewasa
(Gigante et al, 2009).
Hasil penelitian dari Bosch, Baqui & Ginneken (2008) mengatakan bahwa
resiko menjadi stunting pada saat remaja bagi anak-anak moderately stunting adalah
1,64 kali beresiko daripada anak-anak yang tidak stunting sedangkan resiko menjadi
stunting pada masa remaja bagi anak-anak severely stunting adalah 7,40 kali beresiko
daripada anak-anak yang tidak stunting .
18
2.2 Penilaian Status Gizi
2.2.1 Pengukuran Antropometri
Antropometri berasal dari kata antrophos dan metros. Antrophos memiliki
arti tubuh, sedangkan metros adalah ukuran. Secara umum antropometri adalah
ukuran tubuh manusia. Antropometri dalam pengertian adalah suatu sistem
pengukuran ukuran dan susunan tubuh dan bagian khusus tubuh (Potter & Perry,
2006). Ditinjau dari sudut pandang gizi, maka antropometri gizi berhubungan
dengan berbagai macam pengukuran dimensi tubuh dan komposisi tubuh dari
berbagai tingkat umur dan gizi. Antropometri secara umum digunakan untuk
melihat ketidakseimbangan asupan protein dan energi. Ketidakseimbangan ini
terlihat pada pola pertumbuhan fisik dan proporsi jaringan tubuh seperti lemak,
otot, dan jumlah air dalam tubuh.
2.2.1.1 Pengukuran Antropometri Pada Balita
Indikator ukuran antropometri digunakan sebagai kriteria utama
untuk menilai kecukupan asupan gizi dan pertumbuhan bayi dan ba lita.
2.2.1.2 Parameter Antropometri
Parameter antropometri merupakan dasar dari penilaian status gizi.
Kombinasi antara beberapa parameter disebut Indeks Antropometri. Di
Indonesia ukuran baku dalam negeri belum ada, maka untuk ukuran berat
badan (BB) dan tinggi badan (TB) digunakan baku HARVARD yang
disesuaikan untuk Indonesia (100% baku Indonesia = 50 persentil baku
19
Harvard) dan untuk lingkar lengan atas (LILA) digunakan baku
WOLANSKI.
2.2.1.3 Indeks Antropometri
Indeks Antropometri untuk Balita (anak usia 2-10 tahun):
1. Berat Badan Menurut Umur (BB/U)
Berat badan adalah salah satu parameter yang memberikan
gambaran massa tubuh. Massa tubuh sangat sensitif terhadap
perubahanperubahan yang mendadak, misalnya karena terserang
penyakit infeksi, menurunnya nafsu makan atau menurunnya
jumlah makanan jumlah makanan yang dikonsumsi. Dalam
keadaan normal, dimana keadaan kesehatan baik dan
keseimbangan antara konsumsi dan kebutuhan zat gizi terjamin,
maka berat badan berkembang mengikuti pertambahan umur.
Sebaliknya dalam keadaan abnormal, terdapat 2 kemungkinan
perkembangan berat badan yaitu dapat berkembang cepat atau
lebih lambat dari keadaan normal (Supariasa, 2002).
Indikator BB/U memberikan indikasi masalah gizi secara
UMUM. Indikator ini tidak memberikan indikasi tentang masalah
gizi yang sifatnya kronis ataupun akut karena berat badan
berkorelasi positif dengan umur dan tinggi badan. Dengan kata
lain, berat badan yang rendah dapat disebabkan karena anaknya
20
pendek (kronis) atau karena diare atau penyakit infeksi lain (akut)
(Kemenkes RI, 2010).
2. Tinggi Badan Menurut Umur (TB/U)
Tinggi badan merupakan antropometri yang
menggambarkan keadaan pertumbuhan skeletal. Pada keadaan
normal, tinggi badan tumbuh seiring dengan pertambahan umur.
Pertumbuhan tinggi badan tidak seperti berat badan, relatif kurang
sensitif terhadap masalah kekurangan gizi dalam waktu pendek.
Pengaruh defisiensi zat gizi terhadap tinggi badan akan nampak
dalam waktu yang relatif lama (Supariasa, 2002).
Indikator TB/U memberikan indikasi masalah gizi yang
sifatnya kronis sebagai akibat dari keadaan yang berlangsung
lama, misalnya: kemiskinan, perilaku hidup sehat dan pola
asuh/pemberian makan yang kurang baik dari sejak anak
dilahirkan yang mengakibatkan anak menjadi pendek (Kemenkes
RI, 2010)
3. Berat Badan Menurut Tinggi Badan (BB/TB)
Berat badan memiliki hubungan yang linier dengan tinggi
badan. Dalam keadaan normal, perkembangan berat badan akan
searah dengan pertumbuhan berat badan dengan kecepatan
tertentu. Indeks BB/TB merupakan indikator yang baik untuk
21
menilai status gizi saat ini (Supariasa, 2002). Dari berbagai jenis
indeks tersebut, untuk menginterpretasikan dibutuhkan ambang
batas, penentuan ambang batas diperlukan kesepakatan para ahli
gizi. Ambang batas dapat disajikan kedalam 3 cara yaitu persen
terhadap median, persentil, dan standar deviasi unit.
Indikator BB/TB dan IMT/U memberikan indikasi
masalah gizi yang sifatnya akut sebagai akibat dari peristiwa yang
terjadi dalam waktu yang tidak lama (singkat), misalnya: terjadi
wabah penyakit dan kekurangan makan (kelaparan) yang
mengakibatkan anak menjadi kurus. Disamping untuk identifikasi
masalah kekurusan dan indikator BB/TB dan IMT/U dapat juga
memberikan indikasi kegemukan. Masalah kekurusan dan
kegemukan pada usia dini dapat berakibat pada rentannya
terhadap berbagai penyakit degeneratif pada usia dewasa (Teori
Barker) (Kemenkes RI, 2010).
4. Lingkar Lengan Atas Menurut Umur (LLA/U)
Menurut data baku WHO-NCHS indeks BB/U, TB/U dan
BB/TB disajikan dalan dua versi yakni persentil (persentile) dan
skor simpang baku (standar deviation score = Z). Menurut
Waterlow, et al, gizi anak-anak dinegara-negara yang populasinya
relative baik (well-nourished), sebaiknya digunakan “presentil”,
22
sedangkan dinegara untuk anak-anak yang populasinya relative
kurang (under nourished) lebih baik menggunakan skor simpang
baku (SSB) sebagai persen terhadap median baku rujukan
(Djumadias Abunaim,1990).
Pengukuran Skor Simpang Baku (Z-score) dapat diperoleh dengan
mengurangi Nilai Induvidual Subjek (NIS) dengan Nilai Median Baku Rujukan
(NMBR) pada umur yang bersangkutan, hasilnya dibagi dengan Nilai Simpang
Baku Rujukan (NSBR). Atau dengan menggunakan rumus :
2.2.2 Klasifikasi Status Gizi
Klasifikasi Status Gizi dijelaskan dalam tabel berikut ini:
Tabel 2.2 Klasifikasi Status Gizi
INDEKS STATUS GIZI Z Score
Berat Badan menurut Umur
(BB/U)
Gizi Buruk < -3 SD
Gizi Kurang ≥ -3 SD sampai dengan < -2 SD
Gizi Baik ≥ -2 SD sampai dengan ≤ -2 SD
Gizi Lebih > 2 SD
Tinggi Badan menurut Umur Sangat Pendek < -3 SD
Z-score = (NIS-NMBR) / NSBR
23
(TB/U) Pendek ≥ -3 SD sampai dengan < -2 SD
Normal ≥ -2 SD
Berat Badan menurut Tinggi
Badan (BB/TB)
Sangat Kurus < -3 SD
Kurus ≥ -3 SD sampai dengan < -2 SD
Normal ≥ -2 SD sampai dengan ≤ -2 SD
Gemuk > 2 SD
Gabungan Indikator BB/U
dan TB/U
Pendek-Kurus TB/U < -2 SD dan BB/TB < -2 SD
Pendek-Normal TB/U < -2 SD dan BB/TB antara -2
SD hingga 2 SD
Pendek-Gemuk TB/U < -2 SD dan BB/TB > 2 SD
TB Normal-Kurus TB/U ≥ -2 SD dan BB/TB < -2 SD
Sumber: Kementrian Kesehatan, 2010.
2.3 Pengukuran Asupan Makan
2.3.1 24-hour food recall
Prinsip metode recall 24 jam dilakukan dengan mencatata jenis
dan jumlah bahan makanan yang dikonsumsi pada periode 24 jam yang
lalu. Dalam metode ini, respoden, ibu atau pengasuh (bila anak masih
kecil) disuruh menceritakan semua yang dimakan dan diminum selama
24 jam yang lalu (kemarin). Biasanya dimulai sejak ia bangun pagi
kemarin sampai dia istirahat tidur malam harinya, atau dapat juga dimulai
24
dari waktu saat dilakukan wawancara mundur kebelakang sampai 24 jam
penuh (Supariasa, 2001).
Pada metode ini subjek atau responden diwawancarai oleh
petugas yang sebelumnya sudah dilatih untuk melakukan wawancara
food recall. Hasil wawancara ini dapat menggambarkan konsumsi
makanan yang sebenarnya oleh subjek tersebut (Gibson, 2005).
Meskipun demikian, sekali wawancara saja tidak cukup untuk
menggambarkan konsumsi makanan subjek. Oleh karena itu, pada
metode food recall diperlukan beberapa kali wawancara pada hari yang
berbeda untuk dapat mengetahui objektivitas konsumsi makanan subjek
(Gibson, 2005). Hari yang dipilih untuk melakukan food recall juga
seharusnya tidak berurutan, jika hal tersebut memingkinkan. Pada
memperkirakan konsumsi individu dalam jangka panjang, misalnya
tahunan, food recall juga sebaiknya dilakukan beberapa kali pada musim
yang berbeda (Bearon et al. 1979; Basiotis et al., 2002 dalam Gibson,
2005). Jika tidak memungkinkan untuk mengulang food recall,
setidaknya harus dilakukan pengulangan pada 5-15% subsampel untuk
memberikan gambaran konsumsi populasi yang valid (Gibson, 2005).
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa minimal 2 kali recall 24 jam
tanpa berturut-turut, dapat menghasilkan gambaran asupan zat gizi lebih
optimal dan memberikan variasi yang lebih besar tentang intake harian
individu (Sanjur, 1997 dalam Supariasa, 2001).
25
Food recall dilakukan dengan cara meminta subjek untuk
menyebutkan makanan dan minuman apa saja yang telah dikonsumsi
selama 24 jam sebelum dilakukan wawancara. Dalam hal ini, subjek
diminta untuk menggambarkan informasi secara detail mengenai
kuantitas, cara memasak, bahkan memperkirakan makanan dan minuman
yang dikonsumsi, jika memungkinkan (Gibson and Ferguson, 1999 dalam
Gibson, 2005).
Hal penting yang perlu diketahui bahwa dengan recall 24 jam
data yang diperoleh cenderung bersifat kualitatif. Oleh karena itu, untuk
mendapatkan data kuantitatif, maka jumlah konsumsi makanan indivdu
ditanyakan secara teliti dengan menngunakan alat Ukuran Rumah Tangga
(URT) seperti sendok, gelas, piring, dan lain- lain atau ukuran lainnya
yang biasa dipergunakan sehari-hari (Supariasa, 2001). Akan tetapi, akan
lebih baik lagi jika petugas menggunakan food models untuk mengkur
kuantitas konsumsi subjek (Gibson and Ferguson, 1999 dalam Gibson,
2005).
Terdapat keuntungan dan kerugian dalam penggunaan metode ini.
keuntungan recall 24 hour diantaranya adalah beban responden ringan,
biaya murah, mudah, cepat dalam pelaksaaan dan cocok digunakan untuk
responden yang buta huruf, dapat memberikan gambaran nyata yang
benar-benar dikonsumsi ndividu sehingga dapat dihitung intake zat gizi
sehari (Supariasa, 2001).
26
Kerugiannya, metode ini sangat bergantung pada ingatan
responden, sehingga hasil selanjutnya akan kurang baik jika digunakan
untuk responden dari kalangan orang lanjut usia dan anak-anak. Selain itu,
adanya kesalahan responden dalam memperkirakan porsi makanan juga
sering terjadi, tetapi hal ini dapat diminimalisasikan dengan
menggunakan food model untuk membantu responden (Gibson, 1993).
Disamping itu kekurangan lain dari metode recall 24 jam adalah tidak
dapat menggambarkan asupan makanan sehari-hari jika hanya dilakukan
recall satu hari, adanya the flat slope syndrome yaitu kecenderungan bagi
responden yang kurus untuk melaporkan konsumsinya lebih banyak (over
estimate) dan responden yang gemuk cenderung lapornkan konsumsinya
lebih sedikit (under estimate) (Supariasa, 2001).
2.3.2 Food Frequency Questionnaire (FFQ)
Metode FFQ pada awalnya digunakan untuk memperoleh
informasi deskriptif secara kualitatif mengenai pola konsumsi makanan.
Dengan adaya pengembangan bentuk kuesioner untuk memperkirakan
porsi makanan, metode ini telah menjadi semi-kualitatif (Gibson, 2005).
Metode ini dilakukan dengan menilai frekuensi makanan atau kelompok
makanan tertentu yang dikonsumsi selama periode waktu yang spesifik,
misalnya harian, mingguan, bulanan atau tahunan (Gibson, 1993).
27
Penilaian dengan metode FFQ dilakukan dengan menggunakan
kuesioner. Kuesioner terdiri atas 2 komponen yaitu daftar makanan dan
satu set jawaban kategori frekuensi konsumsi makanan. Daftar makanan
berisi daftar makanan tertentu atau daftar kelompok makanan, atau
makanan yang dikonsumsi khusus pada waktu-waktu tertentu (Anderson,
1986 dalam Gibson, 1993).
Keuntungan metode ini adalah tingkat respon yang tinggi dan
beban responden rendah, cepat, relatif tidak mahal dan dapat menilai
kebiasaan konsumsi makanan. Selain itu, metode ini juga dapat dilakukan
oleh hasil yang terstandarisasi (howarth, 1990 dalam Gibson, 1993).
Dengan metode ini responden juga dapat melakukannya sendiri tanpa
bantuan dari petugas, petugas yang bertugas tidak membutuhkan latihan
khusus. Metode ini juga dapat membantu untuk menjelaskan hubungan
antara penyakit dan kebiasaan makan (Supariasa, 2001).
Disamping kelebihan-kelebihan diatas, terdapat juga beberapa
kekurangan yaitu metode ini tidak dapat untuk menghitung intake zat gizi
sehari, sulit untuk emengembangkan kuesioner pengumpulan data. Selain
itu metode ini juga cukup menjemukan bagi pewawancara. Responden
juga harus jujur dan mempunyai motivasi yang tinggi, serta perlu
membuat percobaan pendahuluan untuk menentukan jenis bahan
makanan yang akan masuk dalam daftar kuesioner (Supariasa, 2001).
28
2.3.3 Estimated Food Record
Pada metode ini, responden diminta untuk mencatat semua jenis
makanan dan minuman, termasuk snack yang dikonsumsi dengan
mengunakan ukuran rumah tangga, selama periode yang telah ditentukan.
Informasi detil mengenai makanan dan minuman yang dikonsumi
(termasuk nama merek), serta metode persiapan dan pengolahan makanan
juga harus dicatata. Jika memungkinkan, pencatatan mengenai bahan
mentah yang digunakan untuk pembuatan makanan, serta hasil akhirnya
(ketika sudah matang) juga dilakukan (Dufour et al, 1999 dalam Gibson,
2005).
Perkiraan ukuran atau porsi makanan dapat dilakukan oleh
responden dengan menggunakan ukuran rumah tangga (misalnya, satu
cangkir, satu sendok makan, satu mangkok dan sebagainya). Jumlah hari
dalam pelaksaan food record bervariasi, tergantung dari tujuan studi yang
dilakukan.
Langkah- langkah pelaksanaan food record yaitu: (1) Responden
mencatat makanan yang dikonsumsi dalam URT atau gram (nama
masakan, cara persiapan dan pemasakan dalam makanan), (2) Petugas
memperkirakan/estimasi URT ke dalam ukuran berat (gram) untuk bahan
makanan yang dikonsumsi tadi, (3) Menganalisis bahan makanan
kedalam zat gizi dengan DKBM, (4) Membandingkannya dengan AKG
(Supariasa, 2001).
29
2.3.4 Dietary History (Riwayat Konsumsi Makanan)
Metode ini bersifat kualitatif karena memberikan gambaran pola
konsumsi berdasarkan pengamatan dalam waktu yang cukup lama, bisa 1
minggu, 1 bulan atau 1 tahun (Supariasa, 2001). Tujuan metode dietary
history atau riwayat konsumsi makanan adalah untuk mendapatkan
informasi retrospektif atas makanan yang biasa dikonsumsi oleh
seseorang dalam periode waktu yang bervariasi. Periode waktu yang
dimaksud dapat mencakup bulan sebelumnya, 6 bulan sebelumnya atau
terkadang bahkan tahun sebelumnya (Challmer et al, 1985 dalam Gibson,
1993). Riwayat konsumsi makanan biasanya dilaksanakan dalam durasi
waktu kurang lebih 1,5-2 jam (Gibson, 1993).
Metode ini terdiri dari tiga komponen, yaitu (1) Wawancara
(termasuk recall 24 hour), yang mengumpulkan data tentang apa saja
yang dimakan responden selama 24 jam terakhir dan mendapatkan
gambaran umum pola asupan makanan, (2) Penggunaan dari sejumlah
bahan makanan dengan memberikan daftar (check list) yang sudah
disiapkan, untuk mengklarifikasi jenis dan jumlah makanan pada recall
24 hour, (3) Pencatatan konsumsi selama 2-3 hari sebagai cek ulang
(Burke, 1947 dalam Supariasa, 2001).
Terdapat keuntungan dan kerugian dalam menggunakan metode
ini. keuntungan metode ini adalah dapat diperolehnya gambaran atau
informasi konsumsi makanan sehari-hari dengan beban respoden yang
30
relatif lebih rendah daripada metode food record. Sedangkan kerugian
dari metode ini yaitu, metode ini sangat bergantung pada ingatan
responden dan kemampuan responden dalam mengingat porsi makanan
dengan benar, sehingga merode ini kurang cocok dipakai untuk usia
dibawah 14 tahun (Cameron and Van Staveren, 1988 dalam Gibson,
1993).
2.4 Pertumbuhan dan Perkembangan Balita
2.4.1 Pengertian Pertumbuhan dan Perkembangan
Pertumbuhan (growth) berkaitan dengan perubahan dalam besar, jumlah,
ukuran dan fungsi tingkat sel, organ maupun individu, yang diukur dengan
ukuran berat (gram, pound, kilogram), ukuran panjang (cm, meter), umur tulang
dan keseimbangan metabolic (retensi kalsium dan nitrogen tubuh). Menurut
Jelliffe D.B (1989) dalam Supariasa (2001) pertumbuhan adalah peningkatan
secara bertahap dari tubuh, organ dan jaringan dari masa konsepsi sampai remaja.
Perkembangan (development) adalah bertambahnya kemampuan (skill)
dalam struktur dan fungsi tubuh yang lebih kompleks dalam pola yang teratur
dan dapat diramalkan sebagai hasil proses pematangan. Ada pula yang
mendefenisikan bahwa perkembangan adalah penampilan kemampuan (skill)
yang diakibatkan oleh kematangan sistem saraf pusat, khususnya di otak.
Mengukur perkembangan tidak dapat dengan menggunakan antropometri, tetapi
pada anak yang sehat perkembangan searah (parallel) dengan pertumbuhannya.
31
Perkembangan meyangkur adanya proses diferensiasi dari sel-sel tubuh,
jaringan tubuh, organ-organ dan sistem organ yang berkembang sedemikian rupa
sehingga masing-masing dapat memenuhi fungsi didalamnya termasuk pula
perkembangan emosi, intelektual dan tingkah laku sebagai hasil interaksi dangan
lingkungannya.
Pertumbuhan yang optimal sangat dipengaruhi oleh potensi biologisnya.
Tingkat pencapaian fungsi bologis seseorang merupakan hasil interaksi berbagai
faktor yang saling berkaitan yaitu: faktor genetic, lingkungan “bio-fisiko-
psikososial”, dan perilaku. prose situ sangat kompleks dan unik, dan hasil
akhirnya berbeda-beda dan memberikan ciri pada setiap anak.
2.5 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Stunting pada Balita
2.5.1 Asupan Energi
Pemilihan dan konsumsi makanan yang baik akan berpengaruh pada
terpenuhinya kebutuhan gizi sehari-hari untuk menjalankan dan menjaga fungsi
normal tubuh. Sebaliknya, jika makanan yang dipilih dan dikonsumsi tidak
sesuai (baik kualitas maupun kuantitasnya), maka tubuh akan kekurangan zat-zat
gizi esensial tertentu (Almatsier, 2001).
Secara garis besar, fungsi makanan bagi tubuh terbagi menjadi tiga
fungsi,yaitu member energi (zat pembakar), pertumbuhan dan pemeliharaan
jaringan tubuh (zat pembangun), dan mengatur proses tubuh (zat pengatur).
Sebagai sumber energi, karbohidrat, protein dan lemak menghasilkan energi yang
diperlukan tubuh untuk melakukan aktivitas. Ketiga zat gizi ini terdapat dalam
32
jumlah yang paling banyak dalam bahan pangan yang kita konsumsi sehari-hari.
Sebagai zat pengatur, makanan diperlukan tubuh untuk membentuk sel-sel baru,
memelihara dan mengganti sel-sel yang rusak. Zat pembangi tersebut adalah
protein, mineral dan air. Selain sebagai zat pembangun, protein, mineral dan air
juga berfungsi sebagai zat pengatur. Dalam hal ini, protein mengatur
keseimbangan air dalam sel. Protein juga membentuk antibody untuk menjaga
daya tahan tubuh dari infeksi dan bahan-bahan asing yang masuk kedalam tubuh
(Almatsier, 2001).
Langkah awal dalam mengevaluasi kegagalan pertumbuhan yang terjadi
pada anak adalah dengan mengevaluasi kecukupan energi dan nutrisi yang ada
pada makanan yang dikonsumsi. Asupan makanan akan berpengaruh terhadap
status gizi. Status gizi akan optimal jika tubuh memperoleh cukup zat-zat gizi
yang diperlukan, sehingga memungkinkan pertumbuhan fisik dan otak serta
perkembangan psikomotorik secara optimal (Almatsier, 2001).
Anjuran jumlah asupan energi dalam setiap tahapan umur tidaklah sama,
sehingga asupan yang diperlukan balita usia dua dan empat tahun akan berbeda.
Kebutuhan energi bagi anak ditentukan oleh ukuran dan komposisi tubuh,
aktivitas fisik, dan tingkat pertumbuhan. Angka kecukupan gizi yang dianjurkan
(AKG) energi untuk balita usia 24-47 bulan adalah 1000 kkal/hari, sedangkan
AKG balita usia 48-59 bulan adalah 1550 kkal/hari (WNPG VIII, 2004). Adapun
batasan minimal asupan energi per hari adalah 70% dari AKG (Kementerian
Kesehatan, 2010).
33
2.5.2 Asupan Protein
Protein berfungsi sebagai penyedia energi, tetapi juga memiliki fungsi
esensial lainnya untuk menjamin pertumbuhan normal (Pipes, 1985). Sebagai
sumber energi, protein menyediakan 4 kkal energi per 1 gram protein, sama
dengan karbohidrat. Protein terdiri atas asam amino esensial dan non-esensial,
yang memiliki fungsi berbeda-beda. Protein mengatur kerja enzim dalam tubuh,
sehingga protein juga berfungsi sebagai zat pengatur. Asam amino esensial
merupakan asam amino yang tidak dapat dihasilkan sendiri oleh tubuh sehingga
harus diperoleh dari makanan (luar tubuh). Asam amino non-sesensial adalah
asam amino yang dapat di produksi sendiri oleh tubuh. Meskipun demikian,
produksi asam amino non-esensial bergantung pada ketersediaan asam amino
esensial dalam tubuh (Almatsier, 2001).
Protein merupakan bagian kedua terbesar setelah air. Kira-kira sperlima
komposisi tubuh terdiri atas protein dan separuhnya tersebar di otot, sperlima di
tulang dan tulang rawan, sepersepuluh di kulit dan sisanya terdapat di jaringa lain
dan cairan tubuh. Protein berperan sebagai prekusor sebagian besar koenzim,
hormone, asam nukleat dan molekul-molekul yag esesial bagi kehidupan. Protein
juga berperan sebagai pemelihara netralitas tubuh (sebagai buffer), pembentuk
antibody, mengangkut zat-zat gizi, serta pembentuk ikatan- ikatan esensial tubuh,
misalnya hormone. Oleh karena itu, protein memiliki fungsi yang khas dan tidak
dapat digantikan oleh zat lain (Almatsier, 2001).
34
Anjuran jumlah asupan protein tidak sama untuk tiap tahapan umur.
Angka kecukupan gizi yang dianjurkan (AKG) protein balita us ia 48-59 bulan
adalah 39 gram/hari (WNPG VIII, 2004). Adapun batasan minimal asupan protei
perhari adalah 80% dari AKG (Kementerian Kesehatan, 2010). Jika asupan
protein tidak mencukupi, maka perumbuhan linear balita akan terhambat
meskipun kebutuhan energinya tercukupi (Pipes, 1985).
2.5.3 Jenis Kelamin
Jenis kelamin menentukan besarnya kebutuhan gizi bagi seseorang
sehingga terdapat keterkaitan antara status gizi dan jenis kelamin (Apriadji,
1986). Perbedaan besarnya kebutuhan gizi tersebut dipengaruhi karena adanya
perbedaan komposisi tubuh antara laki- laki dan perempuan. Perempuan memiliki
lebih banyak jaringan lemak dan jaringan otot lebih sedikit daripada laki- laki.
Secara metabolic, otot lebih aktif jika dibandingkan dengan lemak, sehingga
secara proporsional otot akan memerlukan energi lebih tinggi daipada lemak.
Dengan demikian, laki- laki dan perempuan dengan tinggi badan, berat badan dan
umur yang sama memiliki komposisis tubuh yang berbeda, sehingga kebutuhan
energi dan gizinya juga akan berbeda (Almatsier, 2001).
Faktor budaya juga dapat mempengaruhi status gizi pada anak laki- laki
dan perempuan. Pada beberapa kelompok masyarakat, perempuan dan anak
perempuan mendapat prioritas yang lebih rendah dibandingkan laki- laki dan anak
laki- laki dalam pengaturan konsumsi pangan. Hal tersebut mengakibatkan
35
perempuan dan anak perempuan merupakan anggota keluarga yang rentan
terhadap pembagian pangan yang tidak merata. Bahkan, pada beberapa kasus,
mereka memperoleh pangan yang disisakan setelah angota keluarga prima makan
(Soehardjo, 1989).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa presentase gizi kurang pada balita
perempuan lebih tinggi (17,9%) dibandingkan dengan balita laki- laki (13.8%)
(Suyadi, 2009). Penelitian lain menunjukkan bahwa presentasi kejadian stunting
pada balita laki- laki lebih besar daripada kejadian stunting pada perempuan. Hal
ini boleh jadi disebabkan karena balita laki- laki pada umumnya lebih aktif
daripada balita perempuan. Balita laki- laki pada umumnya lebih aktif bermain di
luar rumah, seperti berlarian, sehingga mereka lebih mudah bersentuhan dengan
lingkungan yang kotor dan menghabiskan energi yang lebih banyak, sementara
asupan energinya terbatas (Martianto DKK, 2008).
2.5.4 Berat Lahir
Berat lahir dapat dikategorikan menjadi dua, yaitu rendah dan normal.
Disebut dengan berat lahir rendah (BBLR) jika berat lahirnya < 2500 gram
(Kementrian Kesehatan, 2010). Dampak BBLR akan berlangsung antar generasi.
Seorang anak yang mengalami BBLR kelak juga akan mengalami deficit
pertumbuhan (ukuran antropometri yang kurang) di masa dewasanya. Bagi
perempuan yang lahir BBLR, besar risikonya bahwa kelak ia juga akan menjadi
ibu yang stunted sehingga berisiko melahirkan bayi yang BBLR seperti dirinya
36
pula. Bayi yang dilahirkan BBLR tersebut akan kembali menjadi perempuan
dewasa yang juga stunted, dan begitu seterusnya (Semba dan Bloem, 2001).
Di Negara maju, tinggi badan balita sangat dipengaruhi oleh berat lahir.
Mereka yang memiliki berat lahir rendah tumbuh menjadi anak-anak yang lebih
pendek (Binkin NJ, 1988 dalam Huy ND, 2009). Besarnya perbedaan ini adalah
sama pada Negara maju dan berkembang, dengan mereka yang lahir dengan
berat lahir rendah (BBLR) menjdi lebih pendek sekitar 5 cm ketika berusia 17
hingga 19 tahun (Moartorell R, 1998 dalam Huy ND, 2009).
2.5.5 Jumlah Anggota Rumah Tangga
Anggota keluarga adalah semua orang yang biasanya bertempat tinggal di
suatu keluarga, baik berada di rumah pada saat pencacahan maupun sementara
tidak ada. Anggota keluarga yang telah bepergian 6 bulan atau lebih, dan anggota
keluarga yang bepergian kurang dari 6 bulan tetapi bertujuan pindah atau akan
meninggalkan rumah 6 bulan atau lebih, tidak dianggap anggota keluarga. Orang
yang telah tinggal di suatu keluarga 6 bulan atau lebih, atau yang telah tinggal di
suatu keluarga kurang dari 6 bulan tetapi berniat menetap di keluarga tersebut,
dianggap sebagai anggota keluarga (BPS, 2004).
Berdasarkan kategori BKKBN (1998), keluarga dengan anggota kurang
dari 4 orang termasuk kategori keluarga kecil, yang kemudian dikenal sebagai
Norma Keluarga Kecil Bahagia Sejahtera (NKKBS). Keluarga dengan anggota
lebih dari 4 orang dikategorikan sebagai keluarga besar. Kesejahteraan anak yang
37
tinggal pada keluarga kecil relatif akan lebih terjamin dibandingkan keluarga
besar, sebaliknya semakin banyak jumlah anggota keluarga pemenuhan
kebutuhan keluarga cenderung lebih sulit, termasuk dalam pemenuhan kebutuhan
pangan dan gizi keluarga (Hastuti 1989).
Banyaknya anggota keluarga akan mempengaruhi konsumsi pangan.
Suhardjo (2003) mengatakan bahwa ada hubungan sangat nyata antara besar
keluarga dan kurang gizi pada masing-masing keluarga. Jumlah anggota keluarga
yang semakin besar tanpa diimbangi dengan meningkatnya pendapatan akan
menyebabkan pendistribusian konsumsi pangan akan semakin tidak merata.
Pangan yang tersedia untuk suatu keluarga besar, mungkin hanya cukup untuk
keluarga yang besarnya setengah dari keluarga tersebut. Keadaan yang demikian
tidak cukup untuk mencegah timbulnya gangguan gizi pada keluarga besar.
Anak yang terlalu banyak selain menyulitkan dalam mengurusnya juga
kurang bisa menciptakan suasana tenang didalam rumah. Lingkungan keluarga
yang selalu ribut akan mempengaruhi ketenangan jiwa, dan ini secara langsung
akan menurunkan nafsu makan anggota keluarga lain yang terlalu peka terhadap
suasana yang kurang mengenakan, dan jika pendapatan keluarga hanya pas-pasan
sedangkan jumlah anggota keluarga banyak maka pemerataan dan kecukupan
makanan didalam keluarga kurang terjamin, maka keluarga ini bisa disebut
keluarga rawan, karena kebutuhan gizinya hampir tidak pernah tercukupi dengan
demikian penyakitpun terus mengintai (Apriadji, 1996).
38
Rumah tangga yang mempunyai anggota keluarga besar berisiko
mengalami kelaparan 4 kali lebih besar dibandingkan dengan rumah tangga yang
anggotanya kecil. Selain itu berisiko juga mengalami kurang gizi sebanyak 5 kali
lebih besar dari keluarga yang mempunyai anggota keluarga kecil (Berg, 1986
dalam Suyadi, 2009).
Balita yang mengalami stunting lebih banyak terdapat pada keluarga
yang jumlah anaknya ≥ 3 orang, jika dibandingkan dengan keluarga yang jumlah
anaknya < 3 orang. Meskipun demikian, tidak terdapat hubungan yang bermakna
antara jumlah anak dengan kejadian stunting pada balita (Neldawati, 2006).
2.5.6 Pendidikan Ibu
Menurut Depdiknas (2001), pendidikan adalah proses pengubahan sikap
dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan
manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan.
Tingkat pendidikan orang tua sangat mempengaruhi pertumbuhan anak
balita. tingkat pendidikan akan mempengaruhi konsumsi pangan melalui cara
pemilihan bahan pangan (Hidayat, 1989 dalam Suyadi, 2009). Orang yang
memiliki pendidikan yang lebih tinggi akan cenderung memilih bahan makanan
yang lebih baik dalam kualitas maupun kuantitas. Semakin tinggi pendidikan
orang tua maka semakin baik juga status gizi anaknya (Soekirman, 1985 dalam
Suyadi, 2009).
39
Orang yang mempunyai pendidikan tinggi akan memberikan respon yang
lebih rasional dibandingkan mereka yang berpendidikan rendah atau mereka
yang tdak bependidikan. Semakin tinggi pendidikan seseorang, maka semakin
mudah seseorang dalam menerima serta mengambangkan pengetahuan dan
teknologi yang dapat meningkatkan produktivitas dan kesejahteraan keluarganya
(Hapsari, 2001 dalam Suyadi, 2009).
Wanita atau ibu dengan pendidikan reandah atau tidak berpendidikan
biasanya memiliki lebih banyak anak daripada mereka yang berpendidikan tinggi.
Mereka yang berpendidikan rendah pada umumnya sulit untuk memahami
dampak negatif dari mempunyai banyak anak (Baliwati, Khomsan, dan Dwiriani,
2004 dalam Hidayah 2010).
Rendahnya pengetahuan dan pendidikan orangtua khususnya ibu,
merupakan faktor penyebab penting terjadinya KEP. Hal ini karena danya kaitan
antara peran ibu dalam mengurus rumah tangga khususnya anak-anaknya.
Tingkat pendidikan dan pengetahuan ibu sangat mempengaruhi tingkat
kemampuan ibu dalam mengelola sumber daya kelurga, untuk mendapatkan
kecukupan bahan makanan yang dibutuhkan serta sejauh mana sarana pelayanan
kesehatan gigi dan sanitasi lingkungan yang tersedia, dimanfatkan dengan
sebaik-baiknya untuk kesehatan keluarga (Depekes, 1997). Selain itu rendahnya
pendidikan ibu dapat menyebabkan rendahnya pemahaman ibu terhadap apa
yang dibutuhkan demi perkembangan optimal anak.
40
Masyarakat dengan tingkat pendidikan yang rendah akan lebih baik
mempertahankan tradisi-tradisi yang berhubungan dengan makanan, sehingga
sulit menerima informasi baru bidang gizi. Tingkat pendidikan ikut menentukan
atau mempengaruhi mudah tidaknya seseorang menerima suatu pengetahuan,
semakin tinggi pendidikan maka seseorang akan lebih mudah menerima
informasi- informasi gizi. Dengan pendidikan gizi tersebut diharapkan tercipta
pola kebiasaan makan yang baik dan sehat, sehingga dapat mengetahui
kandungan gizi, sanitasi dan pengetahuan yang terkait dengan pola makan
lainnya (Soehardjo,1989).
Tingkat pendidikan ayah dan ibu merupakan determinan yang kuat
terhadap kejadian stunting pada anak di Indonesia dan Bangladesh (Semba RD,
2008 dalam Rahayu, 2011). Pada anak yang berasal dari ibu dengan tingkat
pendidikan tinggi memiliki tinggi badan 0,5 cm lebih tinggi dibandingkan
dengan anak yang memiliki ibu dengan tingkat pendidikan rendah6. Berdasarkan
penelitian Norliani et al., tingkat pendidikan ayah dan ibu mempunyai risiko 2,1
dan 3,4 kali lebih besar memiliki anak yang stunted pada usia sekolah (Norliani,
2005 dalam Rahayu, 2011).
2.5.7 Pendidikan Ayah
Tingkat pendidikan ayah yang tinggi akan meningkatkan status ekonomi
rumah tangga, hal ini karena tingkat pendidikan ayah erat kaitannya dengan
perolehan lapangan kerja dan penghasilan yang lebih besar sehingga akan
41
meningkatkan daya beli rumah tanga untuk mencukupi makanan bagi anggota
keluarganya (Hidayat, 1980 dalam Suyadi 2009).
Tingkat pendidikan ayah dan ibu merupakan determinan yang kuat
terhadap kejadian stunting pada anak di Indonesia dan Bangladesh (Semba RD,
2008 dalam Rahayu, 2011). Pada anak yang berasal dari ibu dengan tingkat
pendidikan tinggi memiliki tinggi badan 0,5 cm lebih tinggi dibandingkan
dengan anak yang memiliki ibu dengan tingkat pendidikan rendah6. Berdasarkan
penelitian Norliani et al., tingkat pendidikan ayah dan ibu mempunyai risiko 2,1
dan 3,4 kali lebih besar memiliki anak yang stunted pada usia sekolah (Norliani,
2005 dalam Rahayu, 2011).
2.5.8 Pekerjaan Ibu
Menurut Djaeni (2000), pekerjaan adalah mata pencaharian apa yang
dijadikan pokok kehidupan, sesuatu yang dilakukan untuk mendapatkan nafkah.
Lamanya seseorang bekerja sehari-hari pada umumnya 6-8 jam (sisa 16-18 jam)
dipergunakan untuk kehidupan dalam keluarga, masyarakat, istirahat, tidur, dan
lain- lain. Dalam seminggu, seseorang biasanya dapat bekerja dengan baik selama
40-50 jam. Ini dapat dibuat 5-6 hari kerja dalam seminggu, sesuai dengan pasal
12 ayat 1 Undang-undang tenaga kerja No. 14 Tahun 1986.
Bertambah luasnya lapangan kerja, semakin mendorong banyaknya kaum
wanita yang bekerja terutama di sektor swasta. Di satu sisi hal ini berdampak
positif bagi pertambahan pendapatan, namun di sisi lain berdampak negatif
42
terhadap pembinaan dan pemeliharaan anak. (Mulyati, 1990 dalam Hermansyah,
2010). Pengaruh ibu yang bekerja terhadap hubungan antara ibu dan anaknya
sebagian besar sangat bergantung pada usia anak dan waktu ibu kapan mulai
bekerja. Ibu- ibu yang bekerja dari pagi hingga sore tidak memiliki waktu yang
cukup bagi anak-anak dan keluarga (Hurlock, 1999 dalam Suyadi, 2009).
Dalam keluarga peran ibu sangatlah penting yaitu sebagai pengasuh anak
dan pengatur konsumsi pangan anggota keluarga, juga berperan dalam usaha
perbaikan gizi keluarga terutama untuk meningkatkan status gizi bayi dan anak.
Para ibu yang setelah melahirkan bayinya kemudian langsung bekerja dan harus
meninggalkan bayinya dari pagi sampai sore akan membuat bayi tersebut tidak
mendapatkan ASI. Sedangkan pemberian pengganti ASI maupun makanan
tambahan tidak dilakukan dengan semestinya. Hal ini menyebabkan asupan gizi
pada bayinya menjadi buruk dan bisa berdampak pada status gizi bayinya
(Pudjiadi, 2000 dalam Suyadi, 2009).
2.5.9 Pekerjaan Ayah
Menurut Djaeni (2000), pekerjaan adalah mata pencaharian apa yang
dijadikan pokok kehidupan, sesuatu yang dilakukan untuk mendapatkan nafkah.
Lamanya seseorang bekerja sehari-hari pada umumnya 6-8 jam (sisa 16-18 jam)
dipergunakan untuk kehidupan dalam keluarga, masyarakat, istirahat, tidur, dan
lain- lain. Dalam seminggu, seseorang biasanya dapat bekerja dengan baik selama
43
40-50 jam. Ini dapat dibuat 5-6 hari kerja dalam seminggu, sesuai dengan pasal
12 ayat 1 Undang-undang tenaga kerja No. 14 Tahun 1986.
Penelitian Hatril (2001) menunjukkan kecenderungan bahwa ayah yang
bekerja dalam kategori swasta mempunyai pola konsumsi makanan keluarga
yang lebih baik dibandingkan dengan ayah yang bekerja sebagai buruh. Hasil uji
statistiknya pun menunjukkan hubungan yang bermakna antara keduanya. Begitu
pula dengan penelitian Alibbirwin (2002) menemukan hubungan yang bermakna
antara pekerjaan ayah dengan status gizi balita. dikatakan banwa ayah yang
ekerja sebagai buruh memiliki risiko lebih besar mempunyai balita kurang gizi
dibandingkan dengan baliya yang ayahnya bekerja wiraswasta.
Proporsi ayah yang bekerja dalam kategori PNS/Swasta cenderung
mempunyai status gizi baik dibandingkan ayah dengan pekerjaan lainnya
(Sukmadewi, 2003 dalam Suyadi, 2009). Hal ini di dukung oleh penelitian Sihadi
(1999) dalam Suyadi (2009) yang menyatakan bahwa ayah yang bekerja sebagai
buruh memiliki balita dengan proporsi status gizi buruk terbesar yaitu sebesar
53%.
2.5. 10 Wilayah Tempat Tinggal
Definisi perkotaan adalah suatu tempat dengan 1) kepadatan
penduduknya lebih dibandingkan dengan kondisi pada umumnya, 2) mata
pencaharian utama penduduknya bukan merupakan aktifitas ekonomi
primer/pertanian, dan 3) tempatnya merupakan pusat budaya, administrasi atau
44
pusat kegiatan ekonomi wilayah sekitarnya (Daldjoeni, 2003 dalam Humyrah
2009 dan Ratih 2011). Menurut Komsiah (2007), wilayah pedesaan ditandai
dengan sebagian besar penduduknya memiliki mata pencaharian di bidang
pertanian.
Menurut Depkes (2008), tempat tinggal adalah lokasi rumah seseorang
yang dibedakan menjadi perkotaan dan pedesaan. Untuk menentukan suatu
kelurahan termasuk daerah perkotaan atau pedesaan, digunakan suatu indikator
komposit (indikator gabungan) yang skor atau nilainya didasarkan pada variabel,
yaitu: kepadatan penduduk, presentase rumah tangga pertanian dan akses fasilitas
umum (BPS, 2007).
Letak suatu tempat dapat berpengaruh terhadap perilaku konsumsi
individu. Sebagai contoh, seorang petani yang tinggal di desa dan dekat dengan
areal pertanian akan lebih mudah dalam mendapatkan bahan makanan segar dan
alami, seperti buah dan sayur. Namun, seseorang yang tinggal di daerah
perkotaan akan lebih sedikit akses untuk mendapatkan bahan makanan segar
tersebut karena di daerah perkotaan lebih banyak tersedia berbagai makanan
cepat saji. Walaupun tidak menutup kemungkinan, terdapar penduduk perkotaan
yang mengkonsumsi buah dan sayur (suhardjo, 2006).
Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) merupakan provinsi yang memiliki
prevalensi stunting paling tinggi untuk wilayah pedesaan pada tahun 1999-2002
yaitu mencapai 48.2%. Pada tahun 2000 dan 2001 untuk wilayah perkotaan,
45
Makasar merupakan kota dengan prevalensi stunting tertinggi, masing masing
mencapai 43,1% dan 42,6% (Atmarita, 2004).
2.5.11 Status Ekonomi Keluarga
Besarnya pendapatan yang diperoleh atau diterima rumah tangga dapat
menggambarkan kesejahteraan suatu masyarakat. Namun demikian, data
pendapatan yang akurat sulit diperoleh, sehingga dilakukan pendekatan melalui
pengeluaran rumah tangga. Pengeluaran rumah tangga dapat dibedakan
menurut pengeluaran makanan dan bukan makanan, dimana menggambarkan
bagaimana penduduk mengalokasikan kebutuhan rumah tangganya. Pengeluaran
untuk konsumsi makanan dan bukan makanan berkaitan erat dengan tingkat
pendapatan masyarakat. Di Negara yang sedang berkembang, pemenuhan
kebutuhan makanan masih menjadi prioritas utama, dikarenakan untuk
memenuhi kebutuhan gizi.
Masalah gizi merupakan masalah yang multidimensional karena
dipengaruhi oleh banyak faktor yang saling terkait. Faktor ekonomi (Pendapatan)
misalnya, akan terkait dengan kemampuan seseorang dalam memenuhi
kebutuhan pangannya sehingga akan terkait pula dengan status gizi secara tidak
langsung (Soehardjo, 1989). Setidaknya, keluarga dengan pendapatan yang
minim akan kurang menjamin ketersediaan jumlah dan keanekaragaman
makanan, skarena dengan uang yang terbatas itu biasanya keluarga tersebut tidak
dapat mempunyai banyak pilihan (Apriadji, 1986).
46
Hartoyo et al. (2000) mengatakan bahwa keluarga terutama ibu dengan
pendapatan rendah biasanya memiliki rasa percaya diri yang kurang dan
memiliki akses terbatas untuk berpartisipasi pada pelayanan kesehatan dan gizi
seperti posyandu, Bina Keluarga Balita dan Puskesmas. Oleh karena itu, mereka
memiliki risiko yang lebih tinggi untuk memiliki anak yang kurang gizi. Akan
tetapi, pada keluarga dengan ekonomi lebih tinggi, tingginya pendapatan tidak
menjamin bahwa makanan yang dikonsumsi keluarga lebih baik dan beragam.
Jumlah pengeluaran yang lebih banyak untuk makanan tidak menjamin bahwa
kualitas makanan yang dikonsumsi lebih baik dan lebih beragam. Terkadang
perbedaannya terletak pada harga makanan yang lebih mahal (Soehardjo, 1989).
Anak-anak yang berasal dari keluarga dengan status ekonomi rendah
mengkonsumsi makanan dalam jumlah yang lebih sedikit daripada anak-anak
dari keluarga dengan status ekonomi lebih baik. Dengan demikian, mereka pun
mengkonsumsi energi dan zat gizi dalam jumlah yang lebih lebih sedkit. Studi
mengenai ststus gizi menunjukkan bahwa anak-anak dari keluarga yang kurang
mampu memiliki berat badan dan tinggi badan yang lebih rendah dibandingkan
anak-anak yang ekonominya baik. Dalam hasil studi, ditemukan bahwa
perbedaan tinggi badan lebih besar daripada perbedaan berat badan. Studi juga
menunjukkan bahwa anak-anak yang hidup di daerah yang mengalami
kekurangan suplai makanan memiliki tinggi badan yang lebih rendah daripada
mereka yang tinggal di daerah yang memiliki suplai makanan cukup (Pipes,1985).
47
2.6 Kerangka Teori
Berdasarkan uraian teori tersebut diatas, banyak faktor yang mempengaruhi
stunting pada balita baik secara langsung maupun tidak langsung, maka kerangka teori
yang digunakan dalam penelitian ini yaitu sebagai berikut:
Bagan 2.1 Kerangka Teori
Sumber: Modifikasi UNICEF (1990), United Nation ACC/SCN & IFPRI (2000), World
Bank (2007), Mbuya et al. (2010), dan Anisa (2012).
Kemiskinan, Ketahanan Pangan dan Gizi, Pendidikan,
Kesehatan, Kependudukan, Status Kerja Ayah
Stunting
Pola Asuh
Asupan Makanan Status Infeksi
Ketersediaan dan Pola
Konsumsi Rumah Tangga
Pelayanan Kesehatan dan
Kesehatan Lingkungan
Daya Beli, Akses Pangan, Akses Informasi, Akses Pelayanan,
Wilayah Tempat Tinggal, Status Kerja Ibu
Pembangunan Ekonomi, Sosial,dan Politik
BBLR
Jenis Kelamin, Jumlah Anggota
Keluarga, Jarak Kelahiran
48
BAB III
KERANGKA KONSEP, DEFINISI OPERASIONAL
3.1 Kerangka Konsep
Kerangka konsep merupakan pedoman untuk penelitian dan menunjukkan
hubungan antara variabel independen dan dependen, dimana masing-masing variabel
tersebut sudah dapat dioperasionalkan dan diukur oleh peneliti. Beberapa faktor yang
dapat memepengaruhi stunting dapat dilihat pada kerangka teori yang terdapat pada Bab
II.
Variabel independen yang akan diteliti dalam penelitian ini yaitu asupan energi
balita, asupan protein balita, jenis kelamin, berat lahir balita, jumlah anggota rumah
tangga, pendidikan ibu, pendidikan ayah, pekerjaan ibu, pekerjaan ayah, wilayah tempat
tinggal balita dan status ekonomi keluarga. Sedangkan variabel dependennya adalah
kejadian stunting pada balita usia 24-59 bulan di Provinsi Nusa Tenggara Barat.
Dari kerangka teori yang telah disebutkan ada beberapa variabel yang tidak
dimasukkan kedalam kerangka konsep. Variabel-variabel tersebut adalah status infeksi,
pelayanan kesehatan dan kesehatan lingkungan. Variabel status infeksi tidak
dimasukkan kedalam kerangka konsep karena dalam Riskesdas 2010 ini faktor infeksi
yang diteliti yaitu infeksi malaria. Infeksi malaria kurang terlalu berpengaruh langsung
terhadap kejadian stunting. Namun untuk menghindari terjadinya bias, maka dalam
penelitian ini dilakukan kriteria eksklusi. Subjek sampel yang pernah mengalami malaria
dalam satu tahun terakhir tidak dimasukkan kedalam penelitian.
Variabel pelayanan kesehatan dan kesehatan lingkungan tidak dimasukkan
karena berdasarkan data Profil Kesehatan Provinsi Nusa Tenggara Barat tahun 2010
49
pelayanan dan fasilitas kesehatan dan kesehatan lingkungan di Provinsi NTB sudah
tergolong cukup baik.
Kerangka Konsep yang digunakan dalam penelitian ini adalah stunting pada
balita usia 24-59 bulan di Provinsi Nusa Tenggara Barat berdasarkan variabel-variabel
berikut ini:
Bagan 3.1 Kerangka Konsep
Status Stunting
Asupan Energi
Asupan Protein
Jenis Kelamin
Berat Lahir
Jumlah Anggota Rumah Tangga
Pendidikan Ibu
Pekerjaan Ayah
Pendidikan Ayah
Pekerjaan Ibu
Status Ekonomi Keluarga
Wilayah Tempat Tinggal
50
3.2 Definisi Operasional
Tabel 3.1: Definisi Operasional
Definisi operasional
No Variabel Definisi Operasional
Cara ukur Alat ukur Hasil ukur Skala ukur
1. Stunting pada balita
Tinggi balita menurut umur
(TB/U) kurang dari -2 SD
sehingga lebih pendek daripada tinggi
yang seharusnya.
Stunting dan severe stunting di gabung
dalam kategori stunting.
Dihitung dengan
mengunakan WHO Anthro
Kuesioner: RKD 10.
IND TP/PB: Blok X, 2b
Umur: Blok 1V, Kolom 7
0 = stunting, gabungan
antara stunting dan
sever stunting (< -2SD HAZ)
1= normal ( > -2 SD
HAZ)
Ordinal
2 . Asupan
Energi
Konsumsi
energi total dalam
kkal/hari, kemudian dibandingkan
dengan Angka Kecukupan Gizi (AKG)
yang dianjurkan.
Berdasarkan
data pada kuesioner.
Data diperoleh melalui 24-hour recall.
Kuisioner:
RKD10, IND, Blok
IX
0 = Redah,
jika < 70% AKG
1= Cukup, Jika ≥ 70% AKG
Ordinal
3. Asupan
Protein
Konsumsi
protein dalam gram/hari,
kemudian dibandingkan dengan Angka
kecukupan Gizi (AKG)
yang dianjurkan.
Berdasarkan
data pada kuesioner.
Data diperoleh melalui 24-hour recall.
Kuisioner:
RKD 10. IND, Blok
IX
0 = Rendah,
jika < 80% AKG
1 = Cukup, Jika ≥ 80% AKG
ordinal
4. Berat Lahir Berat badan Berdasarkan Kuesioner: 0 = BBLR ordinal
51
balita pada saat dilahirkan yang diukur
menggunakan tinbangan
pada data kuesioner
RKD 10.RT, Blok VIII, Ea05
jika BB <2500 gram 1 = Normal
jika BB ≥2500 gram
5. Jenis
Kelamin Balita
Jenis kelamin
belita
Berdasarkan
data pada kuesioner
Kuesioner:
RKD 10.RT, Blok IV Kolom 4
0 =
Perempuan 1 = Laki- laki
Nominal
6. Pendidikan
Ibu
Tingkat
pendidikan tertinggi yang
pernah dicapai ibu balita
Berdasarkan
data pada kuesioner
Kuesioner:
RKD10. RT, Blok IV
Kolom 8
0 = Rendah,
jika tamat SLTP ke
kebawah 1 = Tinggi, jika tamat
SLTA ke atas
Ordinal
7. Pendidikan Ayah
Tingkat pendidikan
tertinggi yang pernah dicapai ayah balita
Berdasarkan data pada
kuesioner
Kuesioner: RKD10. RT,
Blok IV Kolom 8
0 = Rendah, jika tamat
SLTP ke kebawah 1 = Tinggi,
jika tamat SLTA ke atas
Ordinal
8. Pekerjaan
Ibu
Pekerjaan yang
menggunakan waktu
terbanyak responden, atau pekerjaan
yang memberikan
penghasilan terbesar
Berdasarkan
data pada kuesioner
Kuesioner:
RKD10. RT, Blok IV
Kolom 9
0 = Bekerja
1 = Tidak Bekerja
Ordinal
9. Pekerjaan Ayah
Pekerjaan yang menggunakan
waktu terbanyak
responden, atau pekerjaan yang
memberikan penghasilan
terbesar
Berdasarkan data pada
kuesioner
Kuesioner: RKD10. RT,
Blok IV Kolom 9
0 = Tidak bekerja
1 = Bekerja
Ordinal
10 Status Gambaran Berdasarkan Kuesioner: 0 = Rendah, Ordinal
52
Ekonomi Keluarga
staus ekonomi keluarga balita yang
dikelompokkan berdasarkan
jumlah pengeluaran per kapita per
hari
data pada kuesioner, diukur melalui
jumlah pengeluaran
per kapita per hari
RKD10.RT, Blok VIIB
jika kuintil 1, 2, dan 3 1 = Tinggi,
jika termasuk kuintil 4 dan
5
11 Jumlah Anggota
Rumah Tangga
Jumlah anggota dalam
1 rumah tangga
Berdasarkan data pada
kuesioner
Kuesioner: RKD10. RT,
Blok IV Kolom 2
0 = Besar : > 4 orang
1 = Kecil: < 4 orang
Ordinal
12 Wilayah Tempat
Tinggal
Daerah kediaman
balita dan keluarga
selama ini
Berdasarkan data pada
kuisioner
Kuisioner: RKD.10.RT
0= Pedesaan 1 = Perkotaan
Nominal
53
BAB IV
METODOLOGI PENELITIAN
4.1 Desain Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan desain studi cross
sectional. Pengumpulan data dan informasi serta pengukuran antara variabel independen
dan dependen dilakukan pada waktu yang sama. Desain studi cross sectional ini cocok
digunakan untuk menganalisis subjek penelitian dalam jumlah besar karena mudah
dilaksanakan, sederhana, ekonomis dalam hal waktu dan hasilnya dapat diperoleh
dengan cepat (Notoatmodjo, 2005).
4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan data sekunder dari hasil Riskesdas
2010 yang dilakukan oleh Kementerian Kesehatan RI bagian Jaringan Informasi dan
Publikasi Penelitian (JIPP) di Provinsi Nusa Tenggara Barat. Data Riskesdas yang
digunakan untuk melakukan penelitian ini diperoleh dari Badan Litbankes Kementrian
Kesehatan RI pada bulan Oktober 2012 dengan cara mengirimkan proposal penelitan
kepada pihak Litbakes Kementrian Kesehatan RI. Setelah memperoleh data yang
diperlukan kemudian dilakukan cleaning data. Kemudian pengolahan data dilakukan
pada bulan Maret 2013 dan hasil pengolahan data tersebut dipresentasikan pada seminar
proposal skripsi pada bulan April 2013.
54
4.3 Populasi dan Sampel
4.3.1 Populasi
Populasi dalam penelitian ini adalah jumlah balita di Propinsi
Nusa Tengga Barat Tahun 2010, yaitu sebanyak 496.994 orang (BPS,
2010). Adapun sampel dari penelitian ini adalah balita usia 24-59 bulan
yang berada di daerah perkotaan dan pedesaan Provinsi Nusa Tenggara
Barat.
4.3.2 Sampel
Sampel Riskesdas 2010 diambil dari Kabupaten/Kota yang
tersebar di 33 provinsi di Indonesia. Populasi dalam Riskesdas 2010
adalah seluruh rumah tangga di seluruh wilayah Indonesia. Dari setiap
Kabupaten/Kota yang masuk dalam kerangka sampel Kabupaten/Kota
diambil sejumah blok sensus pada proporsional terhadap jumlah rumah
tangga di Kabupaten/Kota tersebut.
Jumlah data yang tersedia untuk balita usia 24-59 bulan di
Provinsi Nusa Tenggara Barat adalah sebanyak 579 individu. Dan
setelah dilakukan proses cleaning data menjadi 338 individu.
Berdasarkan kerangka teori, faktor infeksi juga mempengaruhi
terjadinya kejadian stunting. Dalam penelitian Riskesdas 2010 ini, faktor
infeksi yang di teliti yaitu infeksi malaria. Dan untuk menghindari
terjadinya bias, maka dilakukan kriteria eksklusi. Sampel yang pernah
55
mengalami infeksi malaria dalam satu tahun terakhir di keluarkan dari
penelitian ini.
Untuk kepentingan analisis penelitian, perhitungan sampel
minimal yang digunakan yaitu estimasi proporsi dengan presisi relatif
(Ariawan, 1998) sebagai berikut:
n = Z2 1-α/2 (1-P)
ε2P
Keterangan : n = Jumlah sampel penelitian
P = Proporsi balita stunting; P = 0, 753 (Wiyogowati, 2012)
Z1-α/2 = Derajat kemaknaan
ε = Presisi relatif
Karena penelitian ini menggunakan data sekunder, sample yang
digunakan dalam penelitian ini disesuaikan dengan jumlah data yang
tersedia. Setelah melakukan proses cleaning data, data yang dapat
digunakan untuk penelitian ini adalah 338 individu. Dengan
menggunakan perhitungan rumus diatas, maka didapatkan nilai α yang
digunakan untuk mendapatkan jumlah sampel 338 adalah 10%, dan nilai
ε adalah 5% (0.05).
56
4.4 Pengumpulan Data
4.4.1 Jenis dan Teknik Pengumpulan Data
Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah data sekunder
Riskesdas 2010, diperoleh dalam bentuk electronic file. Data yang di
peroleh dan dianalisis yaitu data asupan energi, asupan protein, jenis
kelamin balita berat lahir, jumlah anggota keluarga, pendidikan ibu,
pendidikan ayah, pekerjaan ibu, pekerjaan ayah, wilayah tempat tinggal,
status ekonomi keluarga,. Pengumpulan data Riskesdas 2010 dilakukan
pada tahun 2010 di setiap blok sampel (BS) yang telah di tentukan.
4.4.2 Instrument Penelitian
Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuisioner
Riskesdas yang digunakan untuk mengumpulkan data gambaran faktor-
faktor kejadian stunting pada balita usia 24-59 bulan di Provinsi Nusa
Teggara Barat Tahun 2010. Dalam penelitian ini variabel indipenden
meliputi variabel data konsumsi energi, konsumsi protein, berat lahir,
jumlah anggota keluarga, jenis kelamin, tingkat pendidikan ibu, tingkat
pendidikan ayah, pekerjaan ibu, pekerjaan ayah, wilayah tempat tinggal
dan status ekonomi keluarga. Adapun daftar variabel dan keterangan
kuesioner yang digunakan dalam penelitian ini dapat dilihat pada tabel 4.1
berikut.
57
Tabel 4.1
Daftar variabel dan kuisioner dalam riskesdas 2010
No Variabel Keterangan kuisioner
1. Asupan energi Kuesioner RKD10 ZP
2. Asupan protein Kuesioner RKD10 ZC
3. Berat lahir Kuesioner RKD10 B10A1B
4. Jenis kelamin balita Kuesioner RKD10 B4K4
5. Pendidikan ibu Kuesioner RKD10 B4K8 (ibu)
6. Pendidikan ayah Kuisioner RKD10 B4k8 (ayah)
7. Status bekerja ibu Kuisioner RKD10 B4K9 (ibu)
8. Status bekerja Ayah Kuisioner RKD10 B4K9 (ayah)
9. Tingkat ekonomi keluarga Kuisioner RKD10 B7.B. K25
10. Jumlah anggota keluarga Kuesioner RKD10 B2R2
11. Wilayah Tempat Tinggal Kuesioner RKD10 B1R5
Sumber : Depkes RI, 2011
Keterangan: B= Blok K= Kolom H=Kode Kuisioner Anggota Rumah Tangga
4.4.3 Asupan Energi dan Protein
Pada Riskesdas 2010, Asupan energi dan protein diperoleh dari recall 24 jam
sebelum dilakukan wawancara. Asupan energi dan protein dibandingkan dengan
Angka Kecukupan Gizi (AKG) 2004. Asupan dikategorikan kurang jika energi
58
<70% AKG dan protein <80% AKG dan cukup jika energi > 70% AKG dan
protein >80% AKG (WKNPG, 2004).
4.4.4 Berat Lahir
Pada Riskesdas 2010, berat lahir diperoleh dari hasil wawancara kepada
orang tua balita apakah balita tersebut ditimbang ketika baru lahir atau tidak.
Jika ya, maka ditanyakan berapa berat badan balita tersebut ketika lahir.
4.4.5 Jenis Kelamin Balita
Data variabel jenis kelamin balita diperoleh dengan melakukan
wawancara kepada orangtua balita.
4.4.6 Pendidikan Ayah dan Ibu (Orang Tua)
Pada Riskedas 2010, pendidikan orang tua, yaitu ayah dan ibu ditanyakan
kepada orang tua balita yaitu sampai saat Riskesdas dilakukan. Jawaban
responden diisi sesuai dengan kode jawaban, yaitu:
Tabel 4.2
Kode Variabel Pendidikan dalam Riskesdas 2010
Kode Keterangan
1 Tidak pernah sekolah, termasuk di dalamnya adalah yang belum sekolah karena belum mencapai usia sekolah.
2 Tidak tamat SD, termasuk tidak tamat Madrasah Ibtidaiyah (MI).
3 Tamat SD, termasuk tamat Madrasah Ibtidaiyah/ Paket A dan
tidak tamat SLTP/ MTs.
4 Tamat SLTP, termasuk tamat Madrasah Tsanawiyah (MTs)/ Paket B dan tidak tamat SLTA/ MA.
5 Tamat SLTA, termasuk tamat Madrasah Aliyah (MA)/ Paket C.
6 Tamat D1, D2, D3
59
7 Tamat Perguruan Tinggi, termasuk tamat Strata-1, Strata-2 dan Strata-3.
Sumber: Depkes, 2010
4.4.7 Status Bekerja Ayah dan Ibu (Orang Tua)
Pada Riskesdas 2010, variabel pekerjaan ditanyakan kepada ibu dan ayah
balita yaitu dengan menanyakan pekerjaan utama responden, yaitu adalah
pekerjaan yang menggunakan waktu terbanyak responden atau pekerjaan yang
memberikan penghasilan terbesar. Setelah itu, jawaban responden diisi sesuai
dengan kode jawaban, yaitu:
Tabel 4.3
Kode Variabel Pekerjaan dalam Riskesdas 2010
Kode Keterangan
1 Tidak bekerja, termasuk sedang mencari pekerjaan, mempersiapkan
suatu usaha, atau sudah mempunyai pekerjaan tetapi belum mulai bekerja.
2 Sekolah, yaitu kegiatan bersekolah di sekolah formal baik pada pendidikan dasar, pendidikan menengah atau pendidikan tinggi yang
di bawah pengawasan Depdiknas, Departemen lain maupun swasta.
3 TNI/Polri, bekerja di pemerintahan sebagai angkatan darat, angkatan laut, angkatan udara dan kepolisian.
4 Pegawai Negeri Sipil (PNS), bekerja di pemerintahan sebagai
pegawai negeri sipil. Pegawai swasta yaitu pekerja yang bekerja pada perusahaan swasta.
5 Wiraswasta/pedagang, yaitu orang yang melakukan usaha dengan
modal sendiri atau berdagang baik sebagai pedagang besar atau eceran. Pelayanan jasa, orang yang bekerja secara mandiri dan mendapatkan imbalan atas pekerjaannya. Misalnya jasa transportasi seperti sopir taksi, ojek.
6 Petani, yaitu pemilik atau pengolah lahan pertanian, perkebunan
yang diolah sendiri atau dibantu oleh buruh tani.
7 Nelayan, orang yang melakukan penangkapan dan atau pengumpulan hasil laut (misalnya ikan).
8 Buruh, yaitu pekerja yang mendapat upah dalam mengolah
pekerjaan orang lain (buruh tani, buruh bangunan, buruh angkat angkut, buruh pekerja).
9 Lainnya, apabila tidak termasuk dalam kode 1 s.d 8 Sumber: Depkes, 2010
60
4.4.8 Tingkat Ekonomi Keluarga
Pada Riskesdas (2010), Tingkat ekonomi keluarga ditentukan
berdasarkan pengeluaran rumah tangga yang terdiri dari pengeluaran pangan dan
non pangan dalam rumah tangga digolongkan menjadi beberapa tingkatan berupa
5 kuintil yang telah ditetapkan oleh Badan Pusat Statistik Nasional.
4.4.9 Jumlah Anggota Keluarga
Pada Riskesdas 2010 jumlah anggota keluarga dihitung berdasarkan
banyaknya Anggota Rumah Tangga (ART) yang bertempat tinggal di rumah
tangga (RT) tersebut, baik yang berada di rumah tangga pada waktu pencacahan
maupun sementara tidak ada (termasuk kepala rumah tangga). ART yang telah
bepergian 6 bulan atau lebih, dan ART yang bepergian kurang dari 6 bulan tetapi
dengan tujuan pindah/akan meninggalkan rumah tangga 6 bulan atau lebih tidak
termasuk sebagai ART. Orang yang telah tinggal di rumah tangga 6 bulan atau
lebih atau yang telah tinggal di rumah tangga kurang dari 6 bulan tetapi berniat
tinggal di rumah tangga tersebut 6 bulan atau lebih termasuk sebagai ART.
Pembantu rumah tangga, sopir, tukang kebun yang tinggal dan makan di rumah
majikannya dianggap sebagai ART majikannya.
Pada penelitian ini data variabel jumlah anggota keluarga dikategorikan
menjadi dua yaitu keluarga besar (> 4 orang) dan keluarga kecil (< 4 orang)
(BKKBN, 1998 dalam Hastuti, 2010).
61
4.4.10 Wilayah Tempat Tinggal
Pada Riskesdas 2010 variabel wilayah tempat tinggal ditentukan
berdasarkan wilayah tempat tinggal sampel pada saat Riskesdas dilakukan.
4.5 Pengolahan Data
Pengolahan data dilakukan menggunakan program komputerisasi statistik dengan
melalui beberapa tahapan sebagai berikut:
4.5.1 Pembersihan Data (Data Cleaning)
Cleaning (pembersihan data) merupakan kegiatan pengecekan kembali
data yang sudah dimasukkan apakah ada kesalahan atau tidak (Najmah,
2011).
Setelah menerima data berupa SPSS dari Puslitbangkes, kemudian
dilakukan pengecekan kelengkapan data untuk melihat ada tidaknya data
yang missing. Ternyata setelah dilakukan proses cleaning data, banyak data
yang diperlukan untuk penelitian ini yang missing. Dari 579 data yang
tersedia, 241 diantaranya missing. Sehingga data yang tidak lengkap atau
missing tersebut tidak digunakan sebagai sample dalam penelitian ini.
4.5.2 Transformasi Data/Recode
Setelah dilakukan pembersihan data, maka dilakukan transformasi data
berupa pengkodean ulang/recode terhadap variabel sesuai dengan kebutuhan
62
penelitian. Hal ini bertujuan untuk mengklasifikasikan data yang diperoleh
sesuai dengan tujuan penelitian.
4.6 Analisis Data
4.6.1 Analisis Deskriptif (Univariat)
Pada penelitian ini analisis data yang digunakan adalah analisis univariat.
Analisis ini digunakan untuk mendapatkan gambaran distribusi frekuensi
masing-masing variabel penelitian yaitu variabel asupan energi, asupan
protein, berat lahir, jumlah anggota keluarga, jenis kelamin, tingkat
pendidikan ibu, tingkat pendidikan ayah, pekerjaan ibu, pekerjaan ayah,
wilayah tempat tinggal dan status ekonomi keluarga. Kemudian data tersebut
diolah secara deskriptif dan disajikan dalam bentuk grafik dan tabel
frekuensi untuk menentukan jumlah dan presentase masing-masing variabel.
63
BAB V
HASIL
5.1 Analisis Univariat
Pada analisis univariat ini ditampilkan distribusi frekuensi dari masing-
masing variabel yang diteliti, baik variabel dependen maupun independen.
Selanjutnya hasil analisis univariat akan dijelaskan pada sub-bab berikut ini:
5.1.1 Gambaran Kejadian Stunting Pada Balita Usia 24-59 Bulan di
Provinsi Nusa Tenggara Barat
Berdasarkan penelitian yang dilakukan didapatkan sebaran
kejadian stunting pada balita usia 24-59 bulan di Provinsi Nusa Tenggara
Barat adalah sebagai berikut:
Grafik 5.1
Gambaran Kejadian Stunting Pada Balita Usia 24-59 Bulan
di Provinsi Nusa Tenggara Barat Tahun 2010
Berdasarkan grafik diatas dapat diketahui bahwa balita usia 24-59
bulan di provinsi NTB yang mengalami stunting adalah sebanyak 56.36%.
64
Dengan kata lain, di Provinsi NTB balita usia 24-59 bulan yang
mengalami stunting lebih banyak daripada balita normal.
5.1.2 Gambaran Asupan Energi Pada Balita Usia 24-59 Bulan di Provinsi
Nusa Tenggara Barat
Berdasarkan penelitian yang dilakukan didapatkan sebaran asupan
energi pada balita usia 24-59 bulan di Provinsi Nusa Tenggara Barat
adalah sebagai berikut:
Grafik 5.2
Gambaran Asupan Energi Pada Balita Usia 24-59 Bulan
di Provinsi Nusa Tenggara Barat Tahun 2010
Berdasarkan grafik diatas, jumlah balita yang memiliki asupan
energi rendah atau dibawah AKG di Provinsi NTB adalah sebesar 58.22%.
Hal ini dapat disimpulkan bahwa di Provinsi NTB masih banyak balita
yang kurang asupan energinya, yaitu lebih dari 50% balita.
Berdasarkan hasil analisis statistik diketahui jumlah balita usia
24-59 bulan di Provinsi NTB dengan asupan energi rendah dan
mengalami stunting sebesar 55.3%. Sedangkan balita dengan asupan
65
energi cukup dan mengalami stunting sebesar 57.84%. Persentase tersebut
dapat dilihat pada tabel berikut ini:
Tabel 5.1
Gambaran Kejadian Stunting berdasarkan Asupan Energi
pada Balita Usia 24-59 Bulan di Provinsi Nusa Tenggara Barat Tahun 2010
Asupan
energi
Status stunting
Stunting Normal Total
N % N % N %
Rendah 108 55.3 88 44.7 196 100
Cukup 82 57.84 60 42.16 142 100
5.1.3 Gambaran Asupan Protein Pada Balita Usia 24-59 Bulan di Provinsi
Nusa Tenggara Barat
Berdasarkan penelitian yang dilakukan didapatkan sebaran asupan
protein pada balita usia 24-59 bulan di Provinsi Nusa Tenggara Barat
adalah sebagai berikut:
66
Grafik 5.3
Gambaran Asupan Protein Pada Balita Usia 24-59 Bulan
di Provinsi Nusa Tenggara Barat Tahun 2010
Berdasarkan grafik diatas dapat diketahui bahwa balita yang
memiliki asupan protein cukup di Provinsi NTB yaitu sebesar 51.70%.
Hal ini dapat disimpulkan bahwa asupan protein pada balita di Provinsi
NTB sudah cukup baik karena jumlah balita yang memiliki asupan
protein yang cukup lebih dari 50%.
Berdasarkan hasil analisis statistik diketahui jumlah balita usia 24-
59 bulan di Provinsi NTB dengan asupan protein rendah dan mengalami
stunting sebesar 60.2%. Sedangkan balita dengan asupan protein cukup
dan mengalami stunting sebesar 52.77%. Persentase tersebut dapat dilihat
dalam tabel berikut ini:
67
Tabel 5.2
Gambaran Kejadian Stunting berdasarkan Asupan Protein
pada Balita Usia 24-59 Bulan di Provinsi Nusa Tenggara Barat Tahun 2010
Asupan
Protein
Status stunting
Stunting Normal Total
N % N % N %
Rendah 98 60.2 65 39.8 163 100
Cukup 92 52.77 83 47.23 175 100
5.1.4 Gambaran Jenis Kelamin Balita Usia 24-59 Bulan di Provinsi Nusa
Tenggara Barat
Berdasarkan penelitian yang dilakukan, sebaran balita usia 24-59
bulan berdasarkan jenis kelamin di Provinsi NTB adalah sebagai berikut:
Grafik 5.4
Gambaran Jenis Kelamin Balita Usia 24-59 Bulan
di Provinsi Nusa Tenggara Barat Tahun 2010
Berdasarkan grafik diatas dapat diketahui bahwa jumlah balita
perempuan di Provinsi NTB yaitu sebanyak 51.59% dan jumlah balita
68
laki- laki adalah 48.40%. Maka dapat disimpulkan bahwa jumlah balita
perempuan usia 24-59 bulan di Provinsi NTB lebih banyak daripada
jumlah balita laki- laki.
Berdasarkan hasil analisis statistik diketahui jumlah balita usia 24-
59 bulan di Provinsi NTB yang berjenis kelamin perempuan dan
mengalami stunting sebanyak 56.63%. Sedangkan balita laki- laki dan
mengalami stunting sebanyak 56.08%. Persentase tersebut dapat dilihat
dalam tabel berikut ini:
Tabel 5.3
Gambaran Kejadian Stunting berdasarkan Jenis Kelamin
pada Balita Usia 24-59 Bulan di Provinsi Nusa Tenggara Barat Tahun 2010
Jenis
Kelamin
Balita
Status stunting
Stunting Normal Total
N % N % N %
Perempuan 98 56.63 76 43.37 174 100
Laki- laki 92 56.08 72 43.92 164 100
5.1.5 Gambaran Berat Lahir Balita Usia 24-59 Bulan di Provinsi Nusa
Tenggara Barat
Berdasarkan penilitian yang dilakukan sebaran balita usia 24-59
bulan di Provinsi NTB berdasarkan berat lahir adalah sebagai berikut:
69
Grafik 5.5
Gambaran Berat Lahir Balita Usia 24-59 Bulan
di Provinsi Nusa Tenggara Barat Tahun 2010
Berdasarkan grafik diatas dapat diketahui bahwa hanya sedikit
balita yang lahir dalam keadaan BBLR, yaitu sebesar 8.62%. Hal ini
dapat disimpulkan bahwa kejadian BBLR di Provinsi NTB kecil, karena
lebih dari 90% balita disana lahir dengan berat badan yang normal atau
lebih dari 2500 gram.
Berdasarkan hasil analisis statistik diketahui jumlah balita usia 24-
59 bulan di Provinsi NTB dengan BBLR dan mengalami stunting sebesar
51.63%. Sedangkan balita dengan berat badan lahir normal dan
mengalami stunting sebesar 56.81%. Persentase tersebut dapat dilihat
dalam tabel berikut ini:
70
Tabel 5.4
Gambaran Kejadian Stunting berdasarkan Berat Lahir
pada Balita Usia 24-59 Bulan di Provinsi Nusa Tenggara Barat Tahun 2010
Berat Lahir
Balita
Status stunting
Stunting Normal Total
N % N % N %
BBLR 15 51.63 14 48.37 29 100
Normal 175 56.81 134 43.19 309 100
5.1.6 Gambaran Jumlah Anggota Keluarga Balita Usia 24-59 Bulan di
Provinsi Nusa Tenggara Barat
Berdasarkan penilitian yang dilakukan sebaran jumlah anggota
keluarga balita usia 24-59 bulan di Provinsi NTB adalah sebagai berikut:
Grafik 5.6
Gambaran Jumlah Anggota Keluarga Balita Usia 24-59 Bulan
di Provinsi Nusa Tenggara Barat Tahun 2010
Berdasarkan grafik diatas balita usia 24-59 bulan di Provinsi NTB
yang memiliki jumlah anggota keluarga besar (> 4 orang dalam satu
keluarga) adalah sebesar 72.06%. Dengan kata lain, dapat disimpulkan
71
bahwa sebagian besar penduduk di Provinsi NTB merupakan keluarga
besar yang memiliki lebih dari samadengan 4 orang dalam satu keluarga.
Berdasarkan hasil analisis statistik diketahui jumlah balita usia 24-
59 bulan di Provinsi NTB yang memiliki kelurga dengan jumlah besar
dan mengalami stunting sebesar 53.24%. Sedangkan balita dengan
kelurga yang berjumlah sedikit (kecil) dan mengalami stunting sebesar
64.40%. Persentase tersebut dapat dilihat pada tabel berikut ini:
Tabel 5.5
Gambaran Kejadian Stunting berdasarkan Jumlah Anggota Keluarga
pada Balita Usia 24-59 Bulan di Provinsi Nusa Tenggara Barat Tahun 2010
Jumlah
Anggota
Keluarga
Status stunting
Stunting Normal Total
N % N % N %
Besar 129 53.24 114 46.76 243 100
Kecil 61 64.4 34 35.6 95 100
5.1.7 Gambaran Pendidikan Ibu Balita Usia 24-59 Bulan di Provinsi Nusa
Tenggara Barat
Berdasarkan penelitian yang dilakukan, sebaran pendidikan ibu
dari balita usia 24-59 bulan di Provinsi NTB adalah sebagai berikut:
72
Grafik 5.7
Gambaran Pendidikan Ibu Balita Usia 24-59 Bulan
di Provinsi Nusa Tenggara Barat Tahun 2010
Berdasarkan grafik diatas dapat diketahui bahwa ibu dari balita
usia 24-59 bulan di Provinsi NTB yang berpendidikan rendah yaitu
sebesar 66.86%. Hal ini dapat disimpulkan bahwa sebagian besar ibu dari
balita di Provinsi NTB masih berpendidikan rendah.
Berdasarkan hasil analisis statistik diketahui jumlah balita usia 24-
59 bulan di Provinsi NTB dengan pendidikan ibu rendah dan mengalami
stunting sebesar 60.64%. Sedangkan balita dengan ibu berpendidikan
tinggi dan mengalami stunting sebesar 47.73%. Persentase tersebut dapat
dilihat pada tabel berikut:
73
Tabel 5.6
Gambaran Kejadian Stunting berdasarkan Pendidikan Ibu
pada Balita Usia 24-59 Bulan di Provinsi Nusa Tenggara Barat Tahun 2010
Pendidikan
Ibu
Status stunting
Stunting Normal Total
N % N % N %
Rendah 136 60.64 89 39.36 225 100
Tinggi 54 47.73 59 52.27 113 100
5.1.8 Gambaran Pendidikan Ayah Balita Usia 24-59 Bulan di Provinsi
Nusa Tenggara Barat
Berdasarkan penelitian yang dilakukan, sebaran pendidikan Ayah
dari balita usia 24-59 bulan di Provinsi NTB adalah sebagai berikut:
Grafik 5.8
Gambaran Pendidikan Ayah Balita Usia 24-59 Bulan
di Provinsi Nusa Tenggara Barat Tahun 2010
Berdasarkan grafik diatas dapat diketahui bahwa ayah dari balita
usia 24-59 bulan di Provinsi NTB yang berpendidikan rendah yaitu
74
sebesar 71.51%. Hal ini dapat disimpulkan bahwa sebagian besar ayah
dari balita di Provinsi NTB masih berpendidikan rendah.
Berdasarkan hasil analisis statistik diketahui jumlah balita usia 24-
59 bulan di Provinsi NTB yang memiliki ayah berpendidikan rendah dan
mengalami stunting sebesar 58.7%. Sedangkan balita yang memiliki ayah
berpendidikan tinggi dan mengalami stunting sebesar 50.84%. Persentase
tersebut dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 5.7
Gambaran Kejadian Stunting berdasarkan Pendidikan Ayah
pada Balita Usia 24-59 Bulan di Provinsi Nusa Tenggara Barat Tahun 2010
Pendidikan
Ayah
Status stunting
Stunting Normal Total
N % N % N %
Rendah 141 58.7 100 41.3 241 100
Tinggi 49 50.48 48 49.52 97 100
5.1.9 Gambaran Pekerjaan Ibu Balita Usia 24-59 Bulan di Provinsi Nusa
Tenggara Barat
Berdasarkan penelitian yang dilakukan, sebaran pekerjaan ibu dari
balita usia 24-59 bulan di Provinsi NTB adalah sebagai berikut:
75
Grafik 5.9
Gambaran Pekerjaan Ibu Balita Usia 24-59 Bulan
di Provinsi Nusa Tenggara Barat Tahun 2010
Berdasarkan grafik diatas dapat diketahui bahwa jumlah ibu dari
balita usia 24-59 bulan di Provinsi NTB yang tidak bekerja sebanyak
66.8%. Maka dapat disimpulkan bahwa jumlah ibu balita usia 24-59
bulan di Provinsi NTB yang tidak bekerja lebih banyak dari pada yang
bekerja, yaitu lebih dari 60% ibu.
Berdasarkan hasil analisis statistik diketahui jumlah balita usia 24-
59 bulan di Provinsi NTB yang memiliki ibu bekerja dan mengalami
stunting sebesar 60.37%. Sedangkan balita yang memiliki ibu tidak
bekerja dan mengalami stunting sebesar 54.70%. Persentase tersebut
dapat dilihat dalam tabel berikut ini:
76
Tabel 5.8
Gambaran Kejadian Stunting berdasarkan Pekerjaan Ibu
pada Balita Usia 24-59 Bulan di Provinsi Nusa Tenggara Barat Tahun 2010
Pekerjaan
Ibu
Status stunting
Stunting Normal Total
N % N % N %
Bekerja 68 60.37 45 39.63 113 100
Tidak
Bekerja
122 54.37 103 45.63 225 100
5.1.10 Gambaran Pekerjaan Ayah Balita Usia 24-59 Bulan di Provinsi Nusa
Tenggara Barat
Berdasarkan penelitian yang dilakukan, sebaran pekerjaan ayah
dari balita usia 24-59 bulan di Provinsi NTB adalah sebagai berikut:
Grafik 5.10
Gambaran Pekerjaan Ayah Balita Usia 24-59 Bulan
di Provinsi Nusa Tenggara Barat Tahun 2010
77
Berdasarkan grafik diatas dapat diketahui bahwa jumlah ayah dari
balita usia 24-59 bulan di Provinsi NTB yang bekerja sebesar 97.03%.
Maka dapat disimpulkan bahwa hampir seluruh ayah dari balita usia 24-
59 bulan di Provinsi NTB bekerja.
Berdasarkan hasil statistik diketahui jumlah balita usia 24-59
bulan di Provinsi NTB yang memiliki ayah tidak bekerja dan mengalami
stunting sebesar 50.43%. Sedangkan balita yang memiliki ayah bekerja
dan mengalami stunting sebesar 56.54%. Persentase tersebut dapat dilihat
pada tabel berikut:
Tabel 5.9
Gambaran Kejadian Stunting berdasarkan Pekerjaan Ayah
pada Balita Usia 24-59 Bulan di Provinsi Nusa Tenggara Barat Tahun 2010
Pekerjaan
Ayah
Kejadian stunting
Stunting Normal Total
N % N % N %
Tidak Bekerja 5 50.43 5 49.57 10 100
Bekerja 185 56.54 143 43.46 328 100
5.1.11 Gambaran Wilayah Tempat Tinggal Balita Usia 24-59 Bulan di
Provinsi Nusa Tenggara Barat
Berdasarkan penelitian yang dilakukan, sebaran wilayah tempat
tinggal dari balita usia 24-59 bulan di Provinsi NTB adalah sebagai
berikut:
78
Grafik 5.11
Gambaran Wilayah Tempat Tinggal Balita Usia 24-59 Bulan
di Provinsi Nusa Tenggara Barat Tahun 2010
Berdasarkan grafik diatas dapat diketahui bahwa balita usia 24-
59 bulan di Provinsi NTB yang tinggal di daerah pedesaan sebesar
58.22%. Maka dapat disimpulkan bahwa balita yang tinggal di daerah
pedesaan lebih banyak daripada yang tinggal di daerah perkotaan.
Berdasarkan hasil statistik diketahui jumlah balita usia 24-59
bulan di Provinsi NTB yang tinggal di desa dan mengalami stunting
sebesar 58.85%. Sedangkan balita yang tinggal di kota dan mengalami
stunting sebesar 52.6%. Persentase tersebut dapat dilihat pada tabel
berikut:
79
Tabel 5.10
Gambaran Kejadian Stunting berdasarkan Wilayah Tempat Tinggal
pada Balita Usia 24-59 Bulan di Provinsi Nusa Tenggara Barat Tahun 2010
Wilayah
Tempat
Tinggal
Status stunting
Stunting Normal Total
N % N % N %
Desa 117 58.85 82 41.15 199 100
Kota 73 52.6 66 47.4 139 100
5.1.12 Gambaran Status Ekonomi Keluarga Balita Usia 24-59 Bulan di
Provinsi Nusa Tenggara Barat
Berdasarkan penelitian yang dilakukan, sebaran status ekonomi
dari keluarga balita usia 24-59 bulan di Provinsi NTB adalah sebagai
berikut:
Grafik 5.12
Gambaran Status Ekonomi Keluarga Balita Usia 24-59 Bulan
di Provinsi Nusa Tenggara Barat Tahun 2010
80
Berdasarkan grafik diatas dapat diketahui bahwa 82.46% keluarga
dari balita usia 24-59 bulan di Provinsi NTB merupakan keluarga
berstatus ekonomi rendah. Dengan kata lain, sebagian besar keluarga
balita merupakan kelompok masyarakat yang kurang mampu.
Berdasarkan hasil uji statistik diketahui jumlah balita usia 24-59
bulan di Provinsi NTB dengan status ekonomi keluarga rendah dan
mengalami stunting sebesar 60.19%. Sedangkan balita dengan status
ekonomi keluarga tinggi dan mengalami stunting sebesar 38.34%.
Persentase tersebut dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 5.11
Gambaran Kejadian Stunting berdasarkan Status Ekonomi Keluarga
pada Balita Usia 24-59 Bulan di Provinsi Nusa Tenggara Barat Tahun 2010
Status
Ekonomi
Keluarga
Status stunting
Stunting Normal Total
N % N % N %
Rendah 167 60.19 111 39.81 278 100
Tinggi 23 38.34 37 61.66 60 100
81
BAB VI
PEMBAHASAN
6.1 Keterbatasan Penelitian
Dalam penelitian ini terdapat beberapa keterbatasan yang dimiliki yaitu
penelitian ini menggunakan data sekunder Riskesdas 2010, dimana penelitian tersebut
tidak di disain secara langsung untuk meneliti masalah gizi namun di disain secara
langsung untuk meneliti masalah kesehatan yang diarahkan untuk mengevaluasi
indikator Millenium Development Goals (MDGs), sehingga variabel yang digunakan
dalam penelitian ini terbatas hanya pada data sekunder tersebut. Hal ini berarti data
tersebut tidak dirancang untuk menjawab pertanyaan penelitian ini. Sebagai akibatnya,
beberapa variabel yang diperlukan dan diduga berhubungan dengan Kejadian Stunting
pada balita tidak bisa diteliti seperti seperti pengetahuan gizi ibu, ketersediaaan bahan
makanan, sosial budaya, daya beli dan penyakit infeksi.
Data Riskesdas yang digunakan untuk melakukan penelitian ini kurang begitu
baik dalam segi kelengkapan data, karena cukup banyak data yang missing. Dari total
579 data yang tersedia hanya 338 data yang valid untuk dijadikan sampel dalam
penelitian ini.
Data konsumsi makanan yaitu asupan energi balita hanya berdasarkan hasil
recall 1 x 24 jam. Menurut Gibson (2005) konsumsi makanan sebaiknya dilakukan 3 x
24 jam dengan tujuan untuk menangkap variasi dalam jenis dan jumlah konsumsi
makanan. Tingkat pendapatan keluarga dihitung berdasarkan jumlah pengeluaran rumah
tangga sehari yang dinyatakan dalam kuintil 1 sampai 5. Angka dalam rupiah untuk
82
kuintil-kuintil tersebut tidak bisa didapatkan oleh penulis karena data tersebut tidak ada
dalam data Riskesdas 2010.
6.2 Gambaran Stunting pada Balita
Stunting merupakan keadaan tubuh pendek dan sangat pendek hingga melampaui
defisit -2 SD di bawah median panjang atau tinggi badan (Manary & Solomons, 2009).
Stunting dan serve stunting (selanjutnya hanya disebut sebagai stunting) pada balita
merupakan salah satu masalah besar yang mengancam pengembangan sumber daya
manusia. Pada tahun 1995, diperkirakan angka stunting pada balita telah mencapai lebih
dari 208 juta dan 206 juta diantaranya berada di negara berkembang. Lebih dari dua per
tiga (72%) balita stunting berada di Asia. Pada saat ini, angka global stunting pada balita
adalah 178 juta (World Vision, 2009).
Kejadian stunting pada balita diukur dengan menggunakan klasifikasi status gizi
berdasarkan indikator tinggi badan menurut umur WHO 2005. Stunting mencerminkan
suatu proses kegagalan dalam mencapai pertumbuhan linier yang pontensial sebagai
akibat adanya status kesehatan atau status gizi.
Pertumbuhan linier atau tinggi badan dipengaruhi oleh faktor genetik, faktor
lingkungan, dan kondisi medis. Perkembangan dari stunting merupakan proses bertahap
yang bersifat kronis, termasuk gizi buruk dan penyakit infeksi, selama periode
pertumbuhan linier. Hal ini sering dimulai pada saat janin masih berada dalam
kandungan dan meluas melalui dua tahun pertama. Stunting pada masa kanak-kanak
sangat erat kaitannya dengan kemiskinan. Tanpa perubahan lingkungan, stunting dapat
83
menyebabkan penurunan pertumbuhan permanen. Dengan demikian, anak-anak yang
mengalami stunting pada awal kehidupan seringkali lebih pendek pada masa kanak-
kanak dan dewasa dibanding rekannya yang punya pertumbuhan awal yang memadai
(Darity, 2008).
Berdasarkan data Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) prevalensi balita
gizi buruk dari tahun 1989 sampai tahun 1995 meningkat tajam yaitu 6.3% pada tahun
1989 menjadi 11.6% pada tahun 1995, lalu cenderung fluktuatif sampai dengan tahun
2003. Berdasarkan survey gizi dan kesehatan HKI tahun 1999-2001 prevalensi balita
stunting dari tahun 1999-2002 di wilayah pedesaan di delapan provinsi masih berkisar
antara 30-40% begitu juga dengan prevalensi balita stunting di wilayah kumuh
perkotaan di empat kota menunjukan prevalensi balita stunting tergolong tinggi berkisar
antara 27-40%.
Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) merupakan provinsi yang memiliki
prevalensi stunting paling tinggi untuk wilayah pedesaan pada tahun 1999-2002 yaitu
mencapai 48.2%. Pada tahun 2000 dan 2001 untuk wilayah perkotaan, Makasar
merupakan kota dengan prevalensi stunting tertinggi, masing masing mencapai 43,1%
dan 42,6% (Atmarita, 2004).
Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) juga merupakan salah satu Provinsi yang
memiliki prevalensi stunting diatas prevalensi nasional. Provinsi NTB mengalami
peningkatan angka stunting pada balita sebesar 4.06% dari tahun 2007 ke tahun 2010.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan, sebanyak 56.36% balita usia 24-59 bulan di
Provinsi NTB pada tahun 2010 mengalami stunting.
84
Menurut Kemenkes RI (2010) bila dibandingkan dengan batas non public health
problem menurut WHO, angka ini masih diatas ambang batas (cut off) yang disepakati
secara universal. Apabila masalah stunting diatas 20% maka merupakan masalah
kesehatan masyarakat.
6.3 Gambaran Asupan Energi dengan Kejadian Stunting pada Balita
Dari hasil analisis univariat yang dilakukan diketahui bahwa balita dengan
asupan energi rendah sebanyak 196 anak (58.22%). Sedangkan balita dengan asupan
energi cukup sebanyak 142 anak (41.77%). Dengan kata lain, ada lebih dari 50% balita
usia 24-59 bulan di Provinsi NTB yang mengkonsumsi energi kurang dari AKG.
Penelitian yang dilakukan Fitri (2012) mengenai stunting di Sumatera juga menunjukkan
bahwa 50.5% balita memiliki konsumsi energi rendah.
Makanan adalah hal yang terpenting dalam kehidupan terutama untuk
pertumbuhan. Tanpa asupan makanan dan nutrisi yang cukup, suatu organisme tidak
bisa tumbuh dan berkembang secara normal (Robert, 1999 dalam Lupiana, 2010).
Tingkat kesehatan biasanya dipengaruhi oleh asupan makanan yang masuk
kedalam tubuh seseorang, jika asupan gizi yang masuk dalam komposisi yang baik maka
gizi seseorang juga akan baik. Namun jika yang terjadi adalah yang sebaliknya maka
tubuh akan kekurangan zat gizi atau biasa disebut malnutrition. Masalah tersebut
disebabkan oleh kekurangan atau ketidakseimbangan antara energi dan protein yang
masuk dalam tubuh (Notoatmodjo, 1989).
85
Anjuran jumlah asupan energi dalam setiap tahapan umur tidaklah sama,
sehingga asupan yang diperlukan balita usia dua dan empat tahun akan berbeda.
Kebutuhan energi bagi anak ditentukan oleh ukuran dan komposisi tubuh, aktivitas fisik,
dan tingkat pertumbuhan. Angka kecukupan gizi yang dianjurkan (AKG) energi untuk
balita usia 24-47 bulan adalah 1000 kkal/hari, sedangkan AKG balita usia 48-59 bulan
adalah 1550 kkal/hari (WNPG VIII, 2004). Adapun batasan minimal asupan energi per
hari adalah 70% dari AKG (Kementerian Kesehatan, 2010).
Kegagalan tumbuh (stunting) dihasilkan dari kurangnya asupan gizi merupakan
faktor risiko yang paling besar dalam menentukan perkembangan anak (Wachs, 2008).
Kekurangan gizi mempengaruhi sejumlah besar anak-anak di negara berkembang.
Kekurangan gizi akibat dari berbagai faktor, sering terkait buruknya kualitas makanan,
asupan makanan tidak cukup dan penyakit infeksi (El Sayed et al, 2001).
Meskipun jumlah balita dengan asupan energi kurang jumlahnya lebih banyak
dibandingkan balita dengan jumlah balita dengan asupan energi cukup, ternyata jumlah
balita yang menjadi stunting lebih banyak ditemukan pada balita yang awalnya
mengkonsumsi energi cukup. Ada sebanyak 57.85% balita yang mengkonsumsi energi
cukup namun pada akhirnya menjadi stunting. Hal ini dapat disebabkan karena stunting
merupakan akibat dari kekurangan gizi dalam jangka waktu yang lama atau kronis.
Meskipun secara umum anak balita dengan asupan energi kurang di Provinsi NTB tahun
2010 lebih tinggi, belum tentu seluruh balita tersebut mengalami stunting. Karena ada
kemungkinan sebelum pengambilan data Riskesdas 2010 ini dilakukan, balita-balita
tersebut sebenarnya sudah mengkonsumsi energi yang cukup atau sesuai dengan AKG.
86
Oleh sebab itu meskipun pada saat pengambilan data Riskesdas ini dilakukan tercatat
bahwa balita tersebut mengkonsumsi energi dalam jumlah kurang, tetapi balita tersebut
tidak mengalami stunting. Begitu pula sebaliknya, balita yang tercatat mengkonsumsi
jumlah energi sesuai AKG pada saat pengambilan data Riskesdas ini belum tentu pada
masa sebelumnya selalu mengkonsumsi energi sesuai AKG. Oleh sebab itu meskipun
pada data Riskesdas tercatat bahwa balita tersebut telah mengkonsumsi energi sesuai
dengan AKG tidak menutup kemungkinan bahwa balita tersebut dapat mengalami
stunting.
Masyarakat Sasak di Pulau Lombok, Nusa Tenggara Barat memiliki tradisi
Berayan Mangan, yaitu tradisi makan bersama yang telah dilakukan sejak dahulu kala.
Biasanya tradisi Berayan Mangan ini dilakukan oleh anak-anak pada saat makan siang
dan anak-anak tersebut ditemani oleh ibu mereka. Tujuannya yaitu untuk meningkatkan
selera dan nafsu makan pada anak.
Berayan Mangan ini dilakukan secara spontan. Seorang anak akan membawa
sepiring nasi yang sudah dilengkapi dengan lauk pauk. Kemudian bersama teman dan
saudara serta kerabat lainnya berkumpul di salah satu rumah tetangga. Terkadang lauk
pauk bisa saling tukar ataupun saling mencicipi.
Tradisi ini merupakan salah satu kebiasaan yang cukup baik guna untuk
mengurangi tingkat gizi buruk pada anak. Jika tradisi ini terus dikembangkan dan
dikombinasikan dengan adanya penyuluhan mengenai informasi gizi untuk anak,
mungkin gizi buruk di NTB dapat ditanggulangi. Penyuluhan informasi gizi ditujukan
agar ibu dapat menyajikan makanan yang bergizi untuk anak-anaknya. Sehingga pada
87
saat kegiatan Berayan Mangan ini dilakukan, lauk-pauk yang dibawa anak-anak tersebut
adalah lauk-pauk yang sehat dan bergizi, meskipun bukan lauk-pauk yang mahal dan
mewah. Dengan demikian selain meningkatnya nafsu makan anak, anak pun diharapkan
mendapatkan asupan gizi yang sesuai dengan AKG.
Karena stunting merupakan akibat dari kekurangan gizi kronis, jika tradisi
Berayan Mangan ini dilakukan terus menerus maka diharapkan prevalensi kejadian
stunting di masa yang akan datang pun dapat menurun.
6.4 Gambaran Asupan Protein dengan Kejadian Stunting pada Balita
Dari hasil analisis yang dilakukan menunjukkan bahwa proporsi kejadian
stunting pada balita yang cukup asupan protein lebih tinggi dibandingkan dengan yang
mengkonsumsi kurang protein. Yaitu sebesar 51.70% balita memiliki asupan protein
cukup dan sebesar 48.29% lainnya memiliki konsumsi asupan protein kurang dari AKG.
Hal ini dapat disimpulkan bahwa konsumsi protein pada balita di Provinsi NTB tahun
2010 sudah cukup baik.
Penelitian dengan hasil sejalan dikemukakan oleh Theron et al (2006) yang
menyebutkan bahwa anak-anak stunting di wilayah perkotaan memiliki asupan protein
yang cukup bila dibandingkan dengan anak-anak stunting yang berada di pedesaan.
Protein berfungsi sebagai penyedia energi, tetapi juga memiliki fungsi esensial
lainnya untuk menjamin pertumbuhan normal (Pipes, 1985). Sebagai sumber energi,
protein menyediakan 4 kkal energi per 1 gram protein, sama dengan karbohidrat.
88
Protein merupakan faktor utama dalam jaringan tubuh. Protein membangun,
memelihara dan memulihkan jaringan di tubuh seperti otot dan organ. Saat anak tumbuh
dan berkembang, protein adalah zat gizi yang sangat diperlukan untuk memberikan
pertumbuhan yang optimal. Asupan protein harus terdiri sekitar 10% sampai 20% dari
asupan energi harian (Sharlin & Edelstein, 2011).
Protein merupakan bagian kedua terbesar setelah air. Kira-kira seperlima
komposisi tubuh terdiri atas protein dan separuhnya tersebar di otot, seperlima di tulang
dan tulang rawan, sepersepuluh di kulit dan sisanya terdapat di jaringa lain dan cairan
tubuh. Protein berperan sebagai prekusor sebagian besar koenzim, hormone, asam
nukleat dan molekul-molekul yag esesial bagi kehidupan. Protein juga berperan sebagai
pemelihara netralitas tubuh (sebagai buffer), pembentuk antibody, mengangkut zat-zat
gizi, serta pembentuk ikatan- ikatan esensial tubuh, misalnya hormone. Oleh karena itu,
protein memiliki fungsi yang khas dan tidak dapat digantikan oleh zat lain (Almatsier,
2001).
Peningkatan asupan protein diperlukan bayi dan anak-anak stunting yang perlu
tumbuh dalam rangka mengejar ketinggalan. Kekurangan gizi selama tahun pertama
kehidupan, baik hasil dari lingkungan maupun karena kondisi seperti malabsorpsi atau
cystic fibrosis. Peningkatan kebutuhan protein untuk mengejar pertumbuhan secara
proporsional lebih besar dari pengingkatan energi dan tergantung pada usia dan
kecepatan pertumbuhan (Lawson, 2005).
Tetapi meskipun jumlah balita yang mengkonsumsi protein sesuai dengan AKG
lebih banyak dibandingkan dengan jumlah balita dengan konsumsi protein rendah, tidak
89
menutup kemungkinan balita tersebut terbebas dari stunting. Karena berdasarkan hasil
perhitungan statistik didapatkan hanya 83 dari 175 balita dengan konsumsi protein
memiliki pertumbuhan normal. 92 balita lainnya (52.77%) mengalami stunting
meskipun konsumsi proteinnya sudah sesuai dengan AKG.
Sama halnya dengan asupan energi, banyaknya kejadian stunting yang justru
ditemukan pada anak-anak yang memiliki asupan protein cukup dikarenakan adanya
faktor waktu yang mempegaruhi sampai akhirnya seorang anak dapat menjadi stunting.
Protein berfungsi sebagai pengangkut zat-zat gizi. Jika seorang anak dengan asupan
energy cukup namun asupan proteinnya sangat kurang, maka zat-zat gizi yang lain pun
tidak dapat diangkut keseluruh tubuh. Sehingga menyebabkan kekurangan gizi dan bila
kejadian ini terus menerus terjadi maka terjadilah stunting. Oleh karena itu baik asupan
energy maupun protein, keduanya sangat penting dalam proses tumbuh kembang anak.
6.5 Gambaran Jenis Kelamin dengan Kejadian Stunting pada Balita
Dari hasil analisis yang dilakukan, jumlah balita perempuan di Provinsi NTB
Tahun 2010 sebagian besar berjenis kelamin perempuan, yaitu sebanyak 174 balita
(51.59%). Sedangkan sebanyak 164 balita (48.40%) berjenis kelamin laki- laki. Dari 174
balita perempuan yang ada, terdapat 98 orang balita (56.63% ) mengalami stunting.
Meskipun demikian kejadian stunting pada laki- laki di Provinsi NTB juga terbilang
cukup tinggi, yaitu sebanyak 56.08% dari 164 balita yang ada mengalami stunting.
Jenis kelamin menentukan besarnya kebutuhan gizi bagi seseorang sehingga
terdapat keterkaitan antara status gizi dan jenis kelamin (Apriadji, 1986). Perbedaan
90
besarnya kebutuhan gizi tersebut dipengaruhi karena adanya perbedaan komposisi tubuh
antara laki- laki dan perempuan.
Faktor budaya juga dapat mempengaruhi status gizi pada anak laki- laki dan
perempuan. Pada beberapa kelompok masyarakat, perempuan dan anak perempuan
mendapat prioritas yang lebih rendah dibandingkan laki- laki dan anak laki- laki dalam
pengaturan konsumsi pangan. Hal tersebut mengakibatkan perempuan dan anak
perempuan merupakan anggota keluarga yang rentan terhadap pembagian pangan yang
tidak merata (Soehardjo, 1989).
Penelitian yang dilakukan oleh Nasikhah (2012) menunjukkan bahwa kejadian
stunting pada balita usia 24-36 bulan di Kecamatan Semarang Timur lebih banyak
dialami oleh balita perempuan (64.5%) daripada balita laki- laki (35.5%). Hasil
penelitian lain juga menunjukkan bahwa presentase gizi kurang pada balita perempuan
lebih tinggi (17,9%) dibandingkan dengan balita laki- laki (13.8%) (Suraedi, 2004).
Sedangkan sebuah studi meta analisis di 10 negara Sub-Saharan Afrika
menunjukkan bahwa prevalensi stunting pada anak (0-59 bulan) laki- laki lebih tinggi
(40%) dibandingkan dengan anak perempuan (36%) (Wamani H et al., 2007). Sejalan
dengan penelitian tersebut penelitian yang dilakukan di wilayah Maluku Utara pada anak
usia 0-59 bulan juga menunjukkan anak laki- laki memiliko risiko lebih tinggi (OR=16)
untuk mengalami stunting dibandingkan dengan anak perempuan (Ramli et al., 2009).
Penelitian serupa yang dilakukan di Zimbabwe juga menunjukkan bahwa prevalensi
stunting pada balita laki- laki lebih tinggi (36%) daripada anak perempuan (30%). Rosha
91
et al (2012) menunjukkan bahwa anak perempuan memiliki efek protektif atau risiko
lebih rendah 29% terhadap stunting dibandingkan dengan anak laki- laki.
Perempuan memiliki lebih banyak jaringan lemak dan jaringan otot lebih sedikit
daripada laki- laki. Secara metabolik, otot lebih aktif jika dibandingkan dengan lemak,
sehingga secara proporsional otot akan memerlukan energi lebih tinggi daripada lemak.
Dengan demikian, laki- laki dan perempuan dengan tinggi badan, berat badan dan umur
yang sama memiliki komposisis tubuh yang berbeda, sehingga kebutuhan energi dan
gizinya juga akan berbeda (Almatsier, 2001).
Pada tahun pertama kehidupan, laki- laki lebih rentan mengalami malnutrisi
daripada perempuan. Hal ini disebabkan karena ukuran tubuh laki- laki yang besar
dimana membutuhkan asupan energi lebih besar pula sehingga bila asupan makanan
tidak terpenuhi dan kondisi tersebut terjadi dalam jangka waktu yang lama dapat
meningkatkan gangguan pertumbuhan (Grehwin M et al., 2004). Namun pada tahun
kedua kehidupan perempuan lebih berisiko menjadi stunting. Hal ini terkait dengan pola
asuh orang tua dalam memberikan makan pada anak dimana dalam kondisi lingkungan
dan gizi yang baik, pola pertumbuhan anak laki- laki lebih baik daripada perempuan. Di
Filipina, laki- laki lebih dulu dikenalkan makanan pendamping dimana makanan yang
diberikan kaya akan protein yang penting dalam proses pertumbuhan. Sedangkan
perempuan lebih banyak diberikan sayuran (Adair et al, 1997).
Baik laki- laki maupun perempuan memiliki probabilitas untuk menjadi stunting.
Namun dengan pola asuh yang baik sebenarnya stunting dapat dicegah. Di Provinsi NTB
ini meskipun jumlah balita perempuan lebih banyak dibandingkan jumlah balita laki- laki,
92
proporsi balita yang mengalami stunting hampir sama, yaitu lebih dari 56%. Hal ini
mungkin dapat disebabkan karena pola asuh orang tua balita di Provinsi NTB kurang
baik pada balita laki- laki dan perempuan.
6.6 Gambaran Berat Lahir dengan Kejadian Stunting pada Balita
Dari hasil analisis univariat yang dilakukan menunjukkan adanya perbedaan
proporsi antara balita BBLR dengan balita normal, yaitu sebanyak 8.62% balita
mengalami BBLR dan 91.37% sisanya lahir dengan berat badan normal. Namun
demikian, lebih dari 56% balita yang tadinya lahir dengan berat badan normal pada
akhirnya juga menjadi stunting.
Berat lahir merupakan indikator untuk kelangsungan hidup, pertumbuhan,
kesehatan jangka panjang dan pengembangan psikososial dan juga mencerminkan secara
mendasar kualitas perkembangan intra uterin dan pemeliharaan kesehatan mencakup
pelayanan kesehatan yang diterima oleh ibu selama kehamilannya (Awwal et al, 2004).
Berat bayi pada saat dilahirkan juga menjadi indikator potensial untuk pertumbuhan bayi,
respon terhadap rangsangan lingkungan, dan untuk bayi bertahan hidup (Schanler, 2003).
Berat lahir dapat dikategorikan menjadi dua, yaitu rendah dan normal. Disebut berat
lahir rendah (BBLR) jika berat lahirnya <2500 gram (Kementrian Kesehatan, 2010).
Bayi dengan BBLR memiliki risiko 10 kali untuk mengalami kematian neonatal
dibandingkan dengan bayi lahir dengan berat badan 3000 sampai 3500 gram (Schanler,
2003).
93
Penelitian yang dilakukan oleh Fitri (2012) menunjukkan balita dengan BBLR
memiliki risiko menjadi stunting sebesar 1.7 kali dibandingkan dengan balita yang
memiliki berat lahir normal. Penelitian yang dilakukan di Zimbabwe oleh Mbuya et al.
(2010) juga menunjukkan bahwa bayi dengan berat lahir <2500 gram mengalami
stunting dengan prosentase 41.4%.
Stunting merupakan keadaan kurang gizi kronis dimana diperlukan waktu yang
lama untuk menjadi stunting. BBLR memang menjadi faktor penting dalam kejadian
stunting. Namun besar pula kemungkinan balita yang lahir dengan berat badan normal
untuk menjadi stunting. Karena selain faktor berat lahir, stunting juga dipengaruhi oleh
faktor asupan makanan. Balita yang lahir tanpa BBLR jika pada proses pertumbuhannya
kurang asupan energi dan protein maka hal ini dapat pula menyebabkan seorang balita
yang tadinya normal menjadi stunting.
6.7 Gambaran Jumlah Anggota Rumah Tangga dengan Kejadian Stunting pada
Balita
Hasil analisis menunjukkan bahwa proporsi kejadian stunting lebih banyak
ditemukan pada balita dengan jumlah anggota keluarga besar (> 4 orang). Sebanyak
72.06% balita usia 24-59 bulan di Provinsi NTB berasal dari keluarga dengan jumlah
anggota keluraga lebih dari 4 orang. Namun demikian, hanya 53.24% balita dengan
jumlah anggota keluarga banyak yang mengalami stunting. Sedangkan sebanyak 64.4%
balita yang berasal dari keluarga yang jumlah anggota keluarganya sedikit mengalami
stunting. Dapat dikatakan bahwa jumlah balita yang memiliki jumlah saudara yang
tidak terlalu banyak justru mengalami stunting lebih tinggi.
94
Jumlah anggota keluarga merupakan salah satu faktor yang berpengaruh pada
pola pertumbuhan anak dan balita dalam satu keluarga. Jumlah anggota keluarga yang
semakin besar tanpa diimbangi dengan meningkatnya pendapatan akan menyebabkan
pendistribusian konsumsi pangan akan semakin tidak merata. Pangan yang tersedia
untuk suatu keluarga besar, mungkin hanya cukup untuk keluarga yang besarnya
setengah dari keluarga tersebut. Keadaan yang demikian tidak cukup untuk mencegah
timbulnya gangguan gizi pada keluarga besar (Suhardjo, 2003).
Menurut Hong (2007) prevalensi anak-anak stunting sama dari urutan kelahiran
pertama sampai ketiga, tetapi secara signifikan lebih tinggi pada anak keempat. Hal ini
karena urutan kelahiran berkolerasi dengan usia anak, dan kompetisi untuk makanan
cenderung lebih besar di rumah tangga dengan anak yang lebih banyak.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Nasikhah (2012), menunjukkan sebanyak
64.5% balita dari keluarga dengan jumlah anggota keluarga kecil/sedikit mengalami
stunting.
Balita yang memiliki jumlah saudara yang lebih sedikit belum tentu terbebas dari
stunting. Karena bisa jadi faktor pembagian makanan yang kurang adil dapat juga
mengakibatkan balita tersebut mendapatkan jumlah makanan yang kurang, sehingga
asupan gizinya pun kurang. Pola asuh keluarga yang salah seperti membiasakan anak
yang lebih tua mendapatkan jumlah makanan atau asupan gizi yang lebih banyak
dibandingkan anak yang lebih muda (balita) dapat juga menjadi salah satu faktor yang
mempengaruhi tingginya jumlah kejadian stunting pada balita yang justru berasal dari
keluarga kecil.
95
6.8 Gambaran Pendidikan Ibu dengan Kejadian Stunting pada Balita
Dari hasil penelitian yang dilakukan menunjukkan bahwa 66.86% ibu
berpendidikan rendah. Hanya sebanyak 113 ibu (31.13%) yang berpendidikan tinggi.
Dan dari 66.68% ibu yang berpendidikan rendah tersebut 60.64% diantaranya meimiliki
balita stunting.
Pendidikan adalah suatu proses penyampaian bahan, materi pendidikan kepada
sasaran pendidikan guna perubahan tingkah laku. Hasil pendidikan orang dewasa adalah
perubahan kemampuan, penampilan atau perilakunya. Sehingga dapat dikatakan bahwa
makin tinggi tingkat pendidikan, maka makin banyak pengalaman atau informasi yang
diperoleh (Notoatmodjo, 2007).
Tingkat pendidikan ayah dan ibu merupakan determinan yang kuat terhadap
kejadian stunting pada anak di Indonesia dan Bangladesh (Semba et al., 2008). Pada
anak yang berasal dari ibu dengan tingkat pendidikan tinggi memiliki tinggi badan 0.5
cm lebih tinggi dibandingkan dengan anak yang memiliki ibu dengan tingkat pendidikan
rendah. Berdasarkan penelitian Norliani et al. (2005) tingkat pendidikan ayah dain ibu
memiliki risiko 2.1 dan 3.4 kali lebih besar memiliki anak yang stunted pada usia
sekolah.
Tinggi rendahnya pendidikan ibu erat kaitannya dengan tingkat pengetahuan
terhadap perawatan kesehatan, proses kehamilan dan pasca persalinan, serta kesadaran
terhadap kesehatan dan gizi anak-anak dan keluarganya. Tingkat pendidikan turut pula
menentukan mudah tidaknya seseorang menyerap dan memahami pengetahuan gizi yang
mereka peroleh. Pendidikan diperlukan agar seseorang lebih tanggap terhadap adanya
96
masalah gizi didalam keluarga dan bisa mengambil tindakan secepatnya (Suhardjo,
2003).
Penelitian yang dilakukan di Zimbabwe oleh Mbuya et al. (2010) menunjukkan
Ibu dengan pendidikan rendah (no education dan primary school) memiliki anak yang
stunting.
Khumaidi (1989) mengemukakan bahwa pengetahuan ibu tentang memilih bahan
makanan yang bernilai gizi baik dan tentang cara memperlakukan bahan pangan dalam
pengolahan sangat mempengaruhi status gizi balita.
Tingkat pendidikan dan intelegensi ibu yang tinggi dapat bertindak sebagai
faktor protektif yang mengurangi keadaan gizi kurang dalam awal usia anak-anak
terhadap perkembangan anak. Sebaliknya, kondisi gizi yang sama cenderung
menimbulkan efek yang lebih buruk terhadap perkembangan anak jika ibunya buta huruf
atau mempunyai pendidikan yang rendah (Gibney JM, 2009).
Studi yang dilakukan di negara berkembang mengidentifikasi tingkat pendidikan
ibu berhubungan dengan pertumbuhan fisik dari anak. Salah satu jalur potensial
melibatkan hubungan antara pendidikan ibu meningkat dan masukan yang lebih besar
oleh ibu tentang keputusan alokasi sumber daya kelurga (Becker et al., 2006). Karena
ibu lebih cenderung untuk mengalokasikan sumber daya keluarga dalam cara-cara
mempromosikan gizi anak mereka. Tingkat pendidikan dapat meningkatkan keputusan
ibu membuat kekuasaan, yang meningkatkan gizi anak, kesehatan dan akhirnya
pertumbuhan fisik mereka (Wachs, 2008).
97
Ibu yang berpendidikan rendah biasanya sulit menerima hal-hal baru, sehingga
merupakan kendala besar untuk meningkatkan kesehatan keluarganya. Ibu dengan
pendidikan yang rendah sulit memahami pengetahuan gizi yang penting untuk
keluarganya. Jadi meskipun diberikan prevensi berupa penyuluhan tentang pendidikan
gizi, biasanya para ibu tersebut tetap tidak mengikuti saran yang diberikan oleh kader
kesehatan maupun tenaga kesehatan.
Selain itu ibu dengan pendidikan rendah cenderung tidak memiliki wawasan
yang luas dan cenderung berpikir kolot. Hal ini disebabkan karena para ibu ini sulit
untuk beradaptasi dengan kemajuan pengetahuan dan teknologi. Mereka cenderung lebih
percaya kepada cerita yang mereka dengar dari orang tua atau para tetua yang berada di
lingkungan tempat tinggal mereka, yang belum tentu baik untuk kesehatan balita mereka
dibandingkan dengan pengetahuan gizi yang sudah terbukti kebenarannya.
Ibu yang memiliki pendidikan tinggi lebih sedikit dipengaruhi oleh praktek-
praktek tradisional yang merugikan kualitas dan kuantitas makanan untuk dikonsumsi
keluarga setiap harinya (Schultz et.al, 1984 dalam Ichwanudin,2002).
Sedangkan pada ibu dengan pendidikan tinggi, mereka jauh lebih terbuka
terhadap perkembangan pengetahuan dan teknologi yang ada. Hal ini menyebabkan para
ibu berpendidikan tinggi lebih mudah menerima informasi- informasi baru mengenai gizi
dan kesehatan dari berbagai sumber.
98
6.9 Gambaran Pendidikan Ayah dengan Kejadian Stunting pada Balita
Dari analisis yang dilakukan, sebanyak 71.51% balita memiliki ayah pendidikan
rendah. Sedangkan 28.48% sisanya memiliki ayah berpendidikan tinggi. Jumlah balita
dengan ayah berpendidikan rendah dan mengalami stunting pun tinggi, yaitu sebanyak
58.7%.
Pendidikan sebagai upaya mencerdaskan kehidupan bangsa dan sekaligus
meningkatkan kualitas hidup penduduk, sangat erat hubungannya dengan derajat
kesehatan masyarakat. Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang maka semakin besar
pula akses terhadap informasi termasuk informasi kesehatan. Salah satu indikator pokok
kualitas pendidikan formal adalah jumlah penduduk yang berpendidikan tinggi. Di
Provinsi NTB sendiri, jumlah penduduk baik laki- laki ataupun perempuan yang
berpendidikan rendah masih terbilang cukup tinggi.
Berdasarkan Indikator Kesejahteraan Rakyat, data Susenas Tahun 2010 Provinsi
NTB yang dikutip dari Profil Provinsi NTB Tahun 2010, sebanyak 15.08% penduduk
NTB pada tahun 2010 tidak pernah sekolah. Penduduk tidak tamat SD meningkat dari
23.69% pada tahun 2009 menjadi 26.93% pada tahun 2010. Penduduk lulus SD/MI
menurun dari 25.76% pada tahun 2009 menjadi 24.31% pada tahun 2010. Jumlah
penduduk yang lulus SLTP/MTs pun mengalami penurunan dari 15.60% pada tahun
2009 menjadi 14.49% pada tahun 2010. Begitu pula penduduk yang lulus SLTA/MA
dan Diploma. Penduduk lulus SLTA/MA menurun dari 15.27% pada tahun 2009
menjadi 14.95% pada tahun 2010. Hanya sebanyak 1.23% penduduk yang berhasil
melanjutkan sampai tingkat Diploma, itu pun mengalami penurunan dari tahun
99
sebelumnya yang mencapai 1.47%. Penduduk yang dapat mencapai tingkat Perguruan
Tinggi meningkat dari 2.73% pada tahun 2009 menjadi 3.04 pada tahun 2010.
Hal ini dapat disimpulkan bahwa jumlah penduduk berpendidikan rendah (tidak
mencapai wajib belajar 9 tahun) pada tahun 2010 semakin meningkat dan jumlah
penduduk dengan pendidikan tinggi semakin berkurang. Meskipun jumlah penduduk
yang dapat melanjutkan ke tingkat perguruan tinggi meningkat, namun jumlah penduduk
berpendidikan rendah tetap lebih banyak.
Penelitian yang dilakukan oleh Rahayu (2011) menunjukkan bahwa 2.8% balita
dengan ayah berpendidikan rendah mengalami stunting. Penelitian ini juga sejalan
dengan penelitian yang dilakukan di Bangladesh dan Filipina yang menyatakan bahwa
pendidikan ayah lebih berpengaruh terhadap kejadian stunting daripada pendidikan ibu.
Peranan ayah sebagai pemimpin di rumah tangga akan mempunyai kewenangan lebih
besar dibandingkan ibu dalam pengambilan segala keputusan yang berkaitan dengan
keluarga termasuk dalam bidang kesehatan. Dalam hal ini peranan ibu dalam keluarga
lebih kepada mengaplikasikan keputusan yang telah dibuat oleh ayah (Allen LH &
Gillespie SR, 2001).
Penelitian Semba et al. menunjukkan bahwa di Indonesia pendidikan ayah yang
tinggi sangat terkait dengan pola pengasuhan anak, penggunaan jamban tertutup,
imunisasi anak, pemberian kapsul vitamin A, penggunaan garam beryodium dan
pemanfaatan pelayanan kesehatan.
Status pendidikan ayah dan ibu sama pentingnya dalam suatu keluarga. Jika ibu
berpendidikan rendah namun ayah berpendidikan tinggi, ayah dapat memberikan andil
100
terhadap status gizi keluarganya. Ayah yang berpendidikan tinggi dapat memberikan
masukan kepada istri mereka mengenai bahan makanan yang baik untuk pertumbuhan
dan perkembangan keluarga mereka. Dalam kasus ini dapat disimpulkan jumlah ayah
berpendidikan rendah lebih banyak dari pada jumlah ayah balita yang berpendidikan
tinggi. Jumlah balita stunting pun lebih banyak ditemukan pada balita yang memiliki
ayah dengan status pendidikan rendah, yaitu sebanyak 58.7%.
Tugas pokok seorang ayah adalah sebagai pencari nafkah dalam kerluarga.
Tingkat pendidikan ayah dapat juga mempengaruhi pekerjaan ayah, yang pada akhirnya
akan mempengaruhi income keluarga. Ayah dengan pendidikan tinggi cenderung
memiliki pekerjaan dengan penghasilan yang lebih baik. Sehingga pemasukan keluarga
untuk dialokasikan dalam pembelian bahan makanan pun lebih tinggi. Selain itu ayah
dengan pendidikan tinggi cenderung menggunakan uang mereka lebih bijaksana.
Misalnya seperti tidak menghabiskan uang untuk membeli rokok dan lebih memilih
menggunakan uang tersebut untuk membeli bahan makanan bergizi untuk keluarga.
6.10 Gambaran Pekerjaan Ibu dengan Kejadian Stunting pada Balita
Dari hasil analisis yang dilakukan menunjukkan bahwa sebagian besar ibu balita
usia 24-59 bulan di Provinsi NTB tahun 2010 tidak bekerja, yaitu sebesar 66.80%.
Sedangkan ibu balita yang bekerja hanya sebesar 33.13% . Jumlah balita yang
mengalami stunting jauh lebih banyak ditemukan pada ibu yang bekerja, yaitu sebanyak
68 dari 113 anak (60.37%). Dengan kata lain, ibu yang tidak bekerja cenderung
memiliki anak tidak stunting.
101
Dalam keluarga peran ibu sangatlah penting yaitu sebagai pengasuh anak dan
pengatur konsumsi pangan anggota keluarga, juga berperan dalam usaha perbaikan gizi
keluarga terutama untuk meningkatkan status gizi bayi dan anak.
Pengaruh ibu yang bekerja terhadap hubungan antara ibu dan anaknya sebagian
besar sangat bergantung pada usia anak dan waktu ibu kapan mulai bekerja. Ibu- ibu
yang bekerja dari pagi hingga sore tidak memiliki waktu yang cukup bagi anak-anak dan
keluarga (Hurlock, 1999 dalam Suyadi, 2009).
Perhatian terhadap pemberian makan pada anak yang kurang dapat menyebabkan
anak menderita kurang gizi, selanjutnya berpengaruh buruk terhadap tumbuh kembang
anak dan perkembangan otak mereka. Beban kerja yang berat pada ibu yang melakukan
peran ganda dan beragam akan dapat mempengaruhi status kesehatan ibu dan status gizi
balitanya (Mulyati, 1990 dalam Hermansyah, 2010). Hal ini menyebabkan asupan gizi
pada balitanya menjadi buruk dan bisa berdampak pada status gizi balita tersebut
(Pudjiadi, 2000 dalam Suyadi, 2009).
Sebagian besar ibu balita di Provinsi NTB merupakan ibu rumah tangga atau
tidak bekerja. Ibu rumah tangga memiliki waktu yang lebih banyak untuk menjaga anak-
anak mereka dirumah. Sedangkan pada ibu yang bekerja, ibu tidak memiliki waktu yang
cukup untuk mengurus anak. Sehingga ibu kurang dapat memperhatikan asupan gizi
yang baik untuk anak dan keluarga mereka. Ibu harus keluar rumah pagi hari dan pulang
ke rumah sudah dalam keadaan lelah sehabis bekerja, sehingga waktu untuk anak pun
berkurang. Ibu yang bekerja biasanya memiliki pola asuh yang buruk. Biasanya mereka
menyerahkan balita mereka kepada pembatu rumah tangga atau nenek balita untuk
102
menjaga balita tersebut selama ibu bekerja. Oleh karena itu jumlah balita stunting lebih
banyak ditemukan pada ibu yang bekerja.
6.11 Gambaran Pekerjaan Ayah dengan Kejadian Stunting pada Balita
Hasil analisis menunjukkan hanya 2.96% ayah balita yang tidak bekerja. 97.03%
lainnya berkerja. Dapat disimpulkan sebagian besar ayah balita bekerja. Namun
meskipun hampir seluruh ayah balita bekerja, bukan berati balita mereka terbebas dari
stunting. Ternyata 56.54% balita dengan ayah bekerja tersebut justru mengalami
stunting.
Ayah memiliki peran yang sangat penting dalam keluarga. Sebagai kepala
keluarga, pekerjaan dan penghasilan ayah sangat mempengaruhi daya beli suatu
keluarga. Penelitian Hatril (2001) menunjukkan kecenderungan bahwa ayah yang
bekerja dalam kategori swasta mempunyai pola konsumsi makanan keluarga yang lebih
baik dibandingkan dengan ayah yang bekerja sebagai buruh. Hasil uji statistiknya pun
menunjukkan hubungan yang bermakna antara keduanya.
Penelitian Alibbirwin (2002) mengatakan ayah yang bekerja sebagai buruh
memiliki risiko lebih besar mempunyai balita kurang gizi dibandingkan dengan balita
yang ayahnya bekerja wiraswasta.
Keadaan sosial ekonomi antara lain dapat digambarkan dengan ketersediaan
lapangan pekerjaan bagi masyarakat. Berdasarkan data BPS Provinsi NTB tahun 2010
yang dikutip dari Profil Provinsi NTB Tahun 2010 diketahui bahwa sebanyak 47%
penduduk NTB berusia diatas 10 tahun bekerja dalam bidang pertanian.
103
Kebanyakan hasil pertanian tersebut untuk konsumsi rumah tangga sehingga
pendapatan dari pertanian masih terbilang cukup rendah. Oleh karena itu meskipun
sebagian besar ayah balita bekerja tetapi balita-balita tersebut tetap mengalami stunting.
6.12 Gambaran Wilayah Tempat Tinggal dengan Kejadian Stunting pada Balita
Hasil analisis menunjukkan 58.22% balita tinggal di pedesaan. Sedangkan
41.77% lainnya tinggal di daerah perkotaan. Sebagian besar balita yang mengalami
stunting (58.85%) juga tinggal di daerah pedesaan.
Definisi perkotaan adalah suatu tempat dengan 1) kepadatan penduduknya lebih
dibandingkan dengan kondisi pada umumnya, 2) mata pencaharian utama penduduknya
bukan merupakan aktifitas ekonomi primer/pertanian, dan 3) tempatnya merupakan
pusat budaya, administrasi atau pusat kegiatan ekonomi wilayah sekitarnya (Daldjoeni,
2003 dalam Humyrah 2009 dan Ratih 2011). Menurut Komsiah (2007), wilayah
pedesaan ditandai dengan sebagian besar penduduknya memiliki mata pencaharian di
bidang pertanian.
Letak suatu tempat dapat berpengaruh terhadap perilaku konsumsi individu.
Sebagai contoh, seorang petani yang tinggal di desa dan dekat dengan areal pertanian
akan lebih mudah dalam mendapatkan bahan makanan segar dan alami, seperti buah dan
sayur. Namun, seseorang yang tinggal di daerah perkotaan akan lebih sedikit akses
untuk mendapatkan bahan makanan segar tersebut karena di daerah perkotaan lebih
banyak tersedia berbagai makanan cepat saji. Walaupun tidak menutup kemungkinan,
terdapar penduduk perkotaan yang mengkonsumsi buah dan sayur (Suhardjo, 2006).
104
Penelitian yang dilakukan di daerah miskin di Jawa Tengah dan Jawa Timur oleh
Rosha et al (2012) mengemukakan bahwa anak yang tinggal di wilayah kota memiliki
efek protektif atau risiko lebih rendah 32% terhadap stunting dibandingkan dengan anak
yang tinggal di pedesaan. Fenomena ini diduga karena wilayah kota adalah tempat
dimana terbukanya lapangan pekerjaan yang lebih beragam sehingga orangtua lebih
mudah mendapatkan pekerjaan dengan gaji yang lebih tinggi dari pekerjaan di desa. Hal
ini memungkinkan kebutuhan gizi dan makanan anak sehingga terhindar dari stunting.
Penelitian serupa yang dilakukan oleh Kanjilal et al (2010) menemukan bahwa
stunting diamati lebih tinggi diantara anak orang miskin di daerah pedesaan. Anak-anak
perkotaan secara signifikan lebih kecil kemungkinannya dari anak-anak pedesaan utuk
menjadi stunting. Mbuya et al. (2010) dalam penelitiannya di Zimbabwe
mengemukakan bahwa balita yang tingal di daerah pedesaan berisiko 2.3 kali untuk
mengalami stunting dibandingkan dengan balita yang tingal di perkotaan.
Dalam penelitian ini sebagian besar balita usia 24-59 bulan di Provinsi NTB
tinggal di pedesaan. Selain sulitnya lapangan pekerjaan di daerah pedesaan yang
mengakibatkan daya beli keluarga rendah, sulitnya mendapatkan pelayanan kesehatan
pun menjadi salah satu faktor yang menyebabkan status gizi balita di daerah pedesaan
lebih rendah dibandingkan dengan perkotaan.
Selain itu orang-orang di daerah pedesaan biasanya memiliki pola pikir yang
tidak open-minded. Sebagian besar masyarakat di pedesaan lebih mempercayai
perkataan orang-orang dahulu atau tetua desa yang belum tentu benar faktanya
dibandingkan dengan informasi- informasi baru yang sudah teruji kebenarannya. Selain
105
sulitnya mendapatkan pelayanan kesehatan, informasi kesehatan pun menjadi sulit untuk
sampaikan kepada mereka, karena mereka cenderung membantah dan tetap menjalani
apa yang mereka percaya berdasarkan leluhur mereka. Hal ini akan mempengaruhi pola
asuh balita. Orang-orang di pedesaan sering memberikan makanan yang tidak sesuai
dengan usia balita. Seperti memberikan pisang kepada anak bayi yang usianya belum
cukup. Kebiasaan-kebiasaan ini dapat mempengaruhi masalah gizi balita yang pada
akhirnya mengakibatkan stunting.
6.13 Gambaran Status Ekonomi Keluarga dengan Kejadian Stunting pada Balita
Dari hasil penelitian yang dilakukan dapat terlihat bahwa 82.46% balita berasal
dari keluarga dengan status ekonomi rendah. Hanya sebesar 17.53% balita yang berasal
dari keluarga dengan status ekonomi tinggi. Sebanyak 167 dari 278 balita (60.19%)
dengan status ekonomi keluarga rendah mengalami stunting.
Status ekonomi keluarga salah satunya dapat dilihat dari pendapatan suatu
keluarga. Pendapatan keluarga merupakan salah satu faktor yang menentukan konsumsi
keluarga. Makin rendah pendapatan keluarga, makin besar peluang keluarga tersebut
mempunyai balita yang berstatus gizi kurang. Bayi dan anak-anak balita adalah
kelompok yang sangat sensitif terhadap kualitas konsumsi pangan keluarga (Tabor,dkk,
2000 dalam Ichawanuddin, 2002).
Rendahnya pendapatan orang-orang miskin dan lemahnya daya beli
memungkinkan untuk mengatasi kebiasaan makan dengan cara-cara tertentu yang
106
menghalangi perbaikan gizi yang efektif terutama untuk anak-anak mereka (Suhardjo,
1989 dalam Nuraeni 2008).
Pendapatan merupakan faktor yang paling menentukan tentang kuantitas dan
kualitas makanan. Kekuarga dengan status ekonomi kurang baik (keluarga dengan
pendapatan rendah) akan mengalami kesulitan dalam memperolah bahan makanan
bergizi. Sulitnya kondisi ekonomi keluarga membuat balita yang berasal dari keluarga
yang kurang mampu tidak mendapatkan asupan gizi yang sesuai dengan kebutuhan
tubuhnya. Hal ini disebabkan kurangnya daya beli keluarga akan bahan makanan yang
bervariasi. Oleh karena itu banyak balita yang berasal dari keluarga miskin yang
mengalami masalah kurang gizi seperti stunting. Keluarga dengan pendapatan yang
minim akan kurang menjamin ketersediaan jumlah dan keanekaragaman makanan,
skarena dengan uang yang terbatas itu biasanya keluarga tersebut tidak dapat
mempunyai banyak pilihan (Apriadji, 1986)
Status ekonomi rendah berkaitan erat dengan banyaknya jumlah penduduk
miskin di suatu daerah. Berdasarkan data BPS Provinsi NTB untuk jumlah penduduk
miskin yang dikutip dari Profil Provinsi NTB Tahun 2010, diketahui bahwa jumlah
penduduk miskin di Provinsi NTB pada tahun 2010 berjumlah lebih dari 900.000 jiwa
(971.800 jiwa).
Penelitian sejalan yang dilakukan oleh Nasikhah (2010) menunjukkan bahwa
balita dengan status ekonomi keluarga rendah berisiko untuk mengalami stunting
sebesar 3.91 kali.
107
Anak-anak yang berasal dari keluarga dengan status ekonomi rendah
mengkonsumsi makanan dalam jumlah yang lebih sedikit daripada anak-anak dari
keluarga dengan status ekonomi lebih baik. Dengan demikian, mereka pun
mengkonsumsi energi dan zat gizi dalam jumlah yang lebih lebih sedkit. Studi mengenai
ststus gizi menunjukkan bahwa anak-anak dari keluarga yang kurang mampu memiliki
berat badan dan tinggi badan yang lebih rendah dibandingkan anak-anak yang
ekonominya baik. Dalam hasil studi, ditemukan bahwa perbedaan tinggi badan lebih
besar daripada perbedaan berat badan. Studi juga menunjukkan bahwa anak-anak yang
hidup di daerah yang mengalami kekurangan suplai makanan memiliki tinggi badan
yang lebih rendah daripada mereka yang tinggal di daerah yang memiliki suplai
makanan cukup (Pipes,1985)
Selain itu Hartoyo et al. (2000) mengatakan bahwa keluarga terutama ibu dengan
pendapatan rendah biasanya memiliki rasa percaya diri yang kurang dan memiliki akses
terbatas untuk berpartisipasi pada pelayanan kesehatan dan gizi seperti posyandu, Bina
Keluarga Balita dan Puskesmas.
Status ekonomi rendah yang terjadi di Provinsi NTB dapat disebabkan karena
sebagian besar penduduknya bekerja sebagai petani yang berpenghasilan rendah. Karena
penghasilan yang rendah itu maka daya beli keluarga pun kurang. Sebagai akibatnya ibu
tidak bisa memberikan gizi yang cukup untuk balita mereka. Jika hal ini terjadi secara
terus-menerus dalam waktu yang lama maka balita mereka berisiko mengalami stunting.
108
BAB VII
PENUTUP
7.1 Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan tentang faktor penyebab
stunting pada balita usia 24-59 bulan di Provinsi Nusa Tenggara Barat
menurut data Riskesdas 2010, diperoleh kesimpulan sebagai berikut:
1. Jumlah balita berusia 24-59 bulan di Provinsi NTB yang mengalami
stunting lebih banyak daripada balita normal.
2. Balita usia 24-59 bulan di Provinsi NTB yang memiliki asupan
energy kurang jumlahnya lebih banyak dibandingkan balita yang
memiliki asupan energi cukup. Hampir seluruh balita dengan asupan
energi kurang tersebut mengalami stunting.
3. Asupan protein pada balita di Provinsi NTB sudah cukup baik. Balita
dengan konsumsi protein cukup jumlahnya lebih banyak
dibandingkan balita dengan konsumsi protein kurang.
4. Balita berusia 24-59 bulan di Provinsi NTB sebagian besar berjenis
kelamin perempuan.
5. Sebagian besar balita lahir degan berat lahir normal. Hanya sebagian
kecil yang lahir dengan BBLR. Meskipun hampir seluruh balita lahir
dengan berat badan normal, lebih dari setengah populasi balita yang
lahir dengan berat badan normal tersebut mengalami stunting.
6. Sebagian besar balita berasal dari keluarga besar (memiliki jumlah
anggota rumah tangga > 4 orang), sedangkan sisanya berasal dari
109
keluarga kecil. Namun lebih dari setengah populasi balita yang
berasal dari keluarga kecil tersebut justru mengalami stunting.
7. Sebagian besar ibu balita di Provinsi NTB berpendidikan rendah.
8. Ayah balita yang berpendidikan rendah juga lebih banyak daripada
yang berpendidikan tinggi.
9. Sebagian besar ibu balita merupakan ibu rumah tangga (tidak bekerja),
sedangkan yang lainnya bekerja.
10. Hampir seluruh ayah balita di Provinsi NTB bekerja, hanya sebagian
kecil yang tidak bekerja. Namun, meskipun hampir seluruh ayah
balita bekerja, lebih dari setengah populasi anak yang memiliki ayah
bekerja mengalami stunting.
11. Balita yang tinggal di daerah pedesaan jumlahnya lebih banyak
dibandingkan balita yang tinggal di daerah perkotaan.
12. Hampir seluruh balita berusia 24-59 bulan di Provinsi NTB berasal
dari keluarga berstatus ekonomi rendah. Hanya sebagian kecil yang
berasal dari kerluaga berstatus ekonomi tinggi.
7.2 Saran
A. Bagi Balitbang Kemenkes
1) Dalam pelaksanaan Riskesdas selanjutnya sebaiknya untuk data konsumsi
makan dilakukan pengukuran dengan metode recall 3x24 jam, bukan
110
1x24 jam dengan tujuan untuk menangkap variasi dalam jenis dan jumlah
konsumsi makanan.
B. Bagi Dinas Kesehatan Provinsi Nusa Tenggara Barat
1) Optimalisasi fungsi Puskesmas melalui pemberian penyuluhan secara
rutin disertai dengan pemberian pamflet mengenai pengetahuan gizi dan
pola asuh anak yang baik kepada para orang tua, terutama ibu agar
pemahaman mereka mengenai pentingnya asupan gizi pada balita
meningkat.
2) Meningkatkan fungsi Posyandu untuk menghidupkan kembali tradisi
masyarakat Lombok yaitu Berayan Mangan (budaya makan bersama),
untuk meningkatkan nafsu makan anak sehingga kemungkinan untuk
terjadinya gizi buruk atau gizi kurang dapat diatasi segera. Kegiatan
Berayan ini dapat diperkenalkan kepada warga yang belum terlalu
familiar dengan kegiatan tersebut dengan cara memberikan informasi
pada saat pemberian makanan tambahan di posyandu. Pada saat kegiatan
Berayan, diselipkan juga sosialisasi mengenai gizi seimbang.
C. Bagi Peneliti Selanjutnya
Agar meneliti variabel-variabel yang tidak diteliti dalam penelitian ini
seperti pengetahuan gizi ibu, ketersediaan bahan makanan, sosial budaya,
daya beli, penyakit infeksi, pelayanan dan fasilitas kesehatan, dan
111
kesehatan lingkungan, karena secara teori variabel tersebut berhubungan
dengan kejadian stunting pada balita di Provinsi Nusa Tenggara Barat.
112
DAFTAR PUSTAKA
ACC/SCN & International Food Policy Research Institude (IFPRI). 2000. 4th Report on
the World Nutrition Situation, Nutrition Throughout the Life Cycle.
Adair, et al. 1997. Age Specific Determinants of Stunting in Filipino Children. The
Journal of Nutrition. P. 172
Alibbirwin. 2001. Karakteristik Keluarga Yang Berhubungan Dengan Status Gizi
Kurang Pada Balita Yang Berkunjung Ke Posyandu Di Desa Bojong Baru
Kecamatan Bojong Gede Kabupaten Bogor. Skripsi. FKM-UI. Depok
Allen, L.H & Gillespie, S.R. 2001. What Works? A Review of The Efficacy and
Effectiveness of Nutrition Intervensions. Manila. ABD.
Anisa, Paramitha. 2012. Faktor-fakror yang Berhubungan dengan Kejadian Stunting
pada Balita Usia 25-60 Bulan di Kelurahan Kalibaru Depok Tahun 2012.
Skripsi. FKM-UI. Depok
Apriadji, Wield Harry. 1986. Gizi Keluarga. Jakarta: PT Penebar Swadaya.
Ariawan, Irwan. 1998. Besar dan Metode Sample pada Penelitian Kesehatan. Depok:
Universitas Indonesia.
Almatsier, Sunita. 2001. Prinsip dasar ilmu gizi. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Atmarita. 2004. Analisis Situasi Gizi dan Kesehatan Masyarakat. Makalah disajikan
pada Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VIII, Jakarta 17-19 Mei 2004.
113
Atmarita. 2005. Nutrition problems in Indonesia. Paper presented in an Integrated
International Seminar and Workshop Lifestyle-Related Disease, Gajah Mada
University.
Awwal, et al. 2004. Nutrition the Foundation of Health and Development. Massline
Printers 1/15. Humayun Road, Mohammadpur, Dhaka.
Azwar, A. 2004. Kecenderungan Masalah Gizi dan Tantangan di Masa Datang.
www.gizi.net
Becker, S., et al. 2006. Husbands’ and Wives’ Reports of Women’s Decision Making
Power in Western Guatemala and Their Effects on Preventive Health Behaviours.
Social Science and Medicine. 62: P. 2313-2326.
Bhutta, Z.A et al. 2008. Maternal and Child Undernutrition: What works? Interventions
for Maternal and Child Undernutrition and Survival. 371. www.thelancet.com
Black et al. 2008. Maternal And Child Undernutrition: Global And Regional Exposures
And Health Consequences. The Lancet Series. www.thelancet.com
Boggin, Barry. 1999. Patterns of Human Growth (2nd ed). Cambridge: Cambride
University Press.
Bosch A, B , Baqui, A. H. & Ginneken, J. K .2008. Early-life Determinants of Stunted
Adolescent Girls and Boys in Matlab, Bangladesh. International Centre For
Diarrhoeal Disease Research, Bangladesh. 2 : 189- 199
BPS.2007. Statistik Kesejahteraan Rakyat 2007. Jakarta: BPS.
Candra, Aryu et al. 2011. Risk Factors of Stunting among 1-2 Years Old Children in
Semarang City. Semarang: Media Medika Indonesiana.
114
Caufield, et al. 2006. Disease Control Priorities in Developing Countries 2nd Edition
(Stunting. Wasting and Micronutrient Deficiency Disorder Chapter 28). Jamison
et al. (Ed). World Bank, Washington DC.
Coly, A. N, et al. 2006. Preschool Stunting, Adolescent Migration, Catch-Up Growth,
And Adult Height In Young Senegalese Men And Women Of Rural Origin. The
Journal of Nutrition, Community and International Nutrition136 : 2412–20.
Darity, W.A. 2008. Stunted Growth. International Encylopedia of The Social Sciences,
2nd Edition. USA: Detroit Macmillan References.
Depkes RI. 2009. Sistem Kesehatan Nasional, Jakarta: Depkes.
Djaeni, Ahmad. 2000. Ilmu Gizi untuk Mahasiswa dan Profesi. Jakarta: Dian Rakyat.
Eastwood, M. 2003. Principle of Human Nutrition Second Edition. Blackwell Science
Ltd, a Blackwell Publishing Company.
El Sayed, et al. 2001. Malnutrition Among Pre School Children in Alexandria, Egypt.
Journal Health Popular Nutrition. Center for Health and Population Research. 4:
275-280.
Fitri. 2012. Berat Lahir Sebagai Faktor Dominan Terjadinya Stunting Pada Balita (12-
59 Bulan) Di Sumatera (Analisis Data Riskesdas 20120). Depok: Tesis, FKM-UI.
Gibney JM, et.al. 2008. Public Helath Nutrition. (Andri Hartono; Penerjemah). Jakarta:
EGC.
Gibson, Rosalind S. 1993. Nutritional assessment: A laboratory manual. Oxford:
Oxford University Press.
115
Gibson, Rosalind S. 2005. Principles of nutritional assessment (2nd ed.). Oxford:
Oxford University Press.
Gigante et al. 2009. Epidemiology Of Early And Late Growth In Height, Leg And Trunk
Length: Findings From A Birth Cohort Of Brazilian Males. European Journal of
Clinical Nutrition : 375-381.
Gizi Buruk Balita di NTB Karena Pola Asuh http://lomboknews.com/2011/03/02/gizi-
buruk-balita-di-ntb-karena-pola-asuh/
Gershwin M, et al. 2004. Handbook of Nutrition and Immunity. New Jersey: Humana
Press. P.71-85
Grantham-McGregor S. et al. 2007. Developmental Pontential In The First 5 Years For
Child In Developing Countries. Lancet; 369: 60–70.
Hatril. 2001. Faktor-faktor yang berhubungan dengan Asupan Energi dan Protein Pada
Balita dari Keluarga Miskin di Kabupaten Karawang Propinsi Jawa Barat
Tahun 1999 (Analisis Data Sekunder). Skripsi UI. Depok
Henningham, H. B. & McGregor, S. G. 2009. Gizi Kesehatan Masyarakat, Gizi dan
Perkembangan Anak. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Terjemahan Public
Health Nutrition, Editor. Gibney, M.J, Margetts, B.M., Kearney, J.M. & Arab, L
Blackwell Publishing Ltd, Oxford.
Hermansyah. 2010. Faktor-faktor yang berhubungan dengan asupan zat gizi (energi dan
protein) Balita di wilayah kera puskesmas kelurahan kelapa dua Jakarta barat
tahun 2010. Jakarta: Skripsi FKIK UIN.
116
Hidayah, Nor Rofika. 2011. Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Kejadian
Stunting pada Balita Usia 24-59 Bulan di Provinsi Nusa Tenggara Timur Tahun
2010 (analisis Riskesdas 2010). Depok: Skripsi, FKM-UI.
Hong, R. 2007. Effect of Economic Inequality on Chronic Childhood Undernutrition in
Ghana. Public Health Nutrition, P. 371-378.
Hunt, J.M. 2001. Investing in children: Child protection and economic growth. Social
protection in Asia and the Pasific, Asian Development Bank. 20 Mei 2012.
www.adb.org/documents/books/social_protection/chapter_16.pdf
Ichwanuddin. 2002. Analisis stratifikasi pemodelan risiko BBLR terhadap kejadian KEP
pada anak usia 3-12 bulan di Kecamatan Tanjung Sari Kabupaten Sumedang
Propinsi Jawa Barat 2007. Depok: Tesis. FKM-UI.
Jahari, B.A. 2004. Penilaian Status Gizi Berdasarkan Antropometri. Puslitbang Gizi dan
Makanan. Depkes RI.
Kanjilal et al. 2010. Nutrition Status of Children in India: Household Socio Economic
Condition as The Contextual Determinant. International Journal for Equality in
Health. Biomed Central Ltd. 9:19
Kementrian Kesehatan. 2010. Laporan Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas)
Indonesia Tahun 2010. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia.
Khumaidi. 1989. Gizi Masyarakat. Bogor: Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi.
Institut Pertanian Bogor.
Lawson, M. 2005. Encylopedia of Human Nutrition (Nutritional Requirement).
Caballero, B., Allen, L., & Prentice, A (Ed). Elsevier Academic Press.
117
Lupiana, Mindo. 2010. Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Kurang Energi dan
Protein pada Bayi di Provinsi Lampung Tahun 2007 (Analisis Data Riskesdas
2007). Depok: Tesis FKM-UI.
Manary, M.J. & Solomons, N.W. 2009. Gizi Kesehatan Masyarakat, Gizi dan
Perkembangan Anak. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Terjemahan Public
Health Nutrition, Editor. Gibney, M.J, Margaretts, B.M., Kearney, J.M. & Arab,
L Blackwell Publishing Ltd, Oxford.
Martorell, R. et al. 1994. Reversibility of Stunting: Epidemiological Findings in
Children From Developing Countries.
Mbuya, Mduduzi N.N, et al. 2010. Biological, Social, and Environmental Determinants
of Low Birth Weight and Stunting among Infants and Young Children in
Zimbabwe. Zimbabwe: Zimbabwe Working Papers.
Muchtadi, D. 2002. Gizi untuk Bayi. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
Nasikhah, Roudhotun. 2012. Faktor Risiko Kejadian Stunting Pada Balita Usia 24-36
Bulan di Kecamatan Semarang Timur. Semarang: Artikel Penelitian FK
Universitas Diponegoro.
Norliani, et al. 2005. Tingkat Sosial Ekonomi, Tinggi Badan Orang Tua dan Panjang
Badan Lahir dengan Tingi Badan Anak Baru Masuk Sekolah. BKM. XXI: 04:
133-139
Notoatmodjo, Soekidjo. 1989. Dasar-dasar Pendidikan dan PelatihanI. Jakarta: Badan
Penerbit Kesehatan Masyarakat. Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas
Indonesia.
118
Notoatmodjo, Soekidjo. 2005. Metodelogi Penelitian Kesehatan edisi Revisi. Jakarta:
Rieneka Cipta
Notoatmodjo, Soekidjo. 2007. Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku. Jakarta: Rineka
Cipta.
Nuraeni. 2008. Hubungan antara asupan energi, protein dan faktor lain dengan status
gizi baduta ( 0-23 Bulan ) di wilayah kerja puskesmas Depok Jaya tahun 2008.
Depok: Skripsi. FKM UI.
Pipes, L. Peggy. 1985. Nutrition in infancy and childhood. Missouri: Times
Mirror/Mosby College Publishing.
Poskitt, E. 2003. Nutrition in Childhood dalam Nutrition in Early Life Editor: Morgan
J.B & Dickerson, J W. T. John Wiley & Son Ltd. England.
Profil Dinas Kesehatan Provinsi Nusa Tenggara Barat Tahun 2010.
Rahayu, Leni Sri. 2011. Hubungan Pendidikan Orang Tua dengan Perubahan Status
Stunting dari usia 6-12 Bulan ke Usia 3-4 Tahun. Jakarta: Skripsi, Universitas
Muhammadiyah Prof. Dr. Hamka
Ramli et al. 2009. Prevalence and Risk Factors for Stunting and Severe Stunting Among
Under-fives in North Maluku Province of Indonesia. Biomed Central (BMC)
Pediatrics. P. 9:64
Rosha, Bunga Ch., et al. 2012. Analisis Determinan Stunting Anak 0-23 Bulan Pada
Daerah Miskin di Jawa Tengah dan Jawa Timur 2012. Panel Gizi Makan 2912,
35(1): 34-41.
119
Schanler, R.J. 2003. The Low Birth Weight Infant. Nutrition in Pediatrics Basic Schience
and Clinical Applications. Walker, W.A., Watkins, J. B & Duggan, C. (Ed).
London: BC Decker Inc.
SDKI. 2007. Angka Kematian Ibu dan Bayi. Dalam
http://kalteng.bkkbn.go.id/ViewArtikel.aspx?ArtikelID=41
Semba, Richard D. and Martin W. Bloem. 2001. Nutrition and health in developing
countries. New Jersey: Humana Press.
Semba, et al. 2008. Effect Parental Formal Education on Risk of Child Stunting in
Indonesia and Bangladesh: A Cross Sectional Study. 371: P. 322-328.
www.thelancet.com
Sharlin, J & Edelstein, S. 2011. Essentials of Life Cycle Nutrition. LLC: Jones and
Bartlett Publisher.
Shrimpton, R et al. 2001. Worldwide Timing of Growth Faltering: Implications for
Nutritional Interventions. American Academi of Pediatric.
Soehardjo. 1989. Sosio budaya gizi. Bogor: IPB PAU Pangan dan Gizi.
Suhardjo. 2003. Perencanaan Pangan dan Gizi. Jakarta: Bumi Aksara.
Supariasa, I Dewa Nyoman. 2001. Penilaian Status Gizi. Jakarta: EGC
Suraedi, Ahmad. 2004. Status Gizi Balita di Kecamatan Rawamerta Kabupaten
Karawang dan Hubungannya dengan Karekteristik Keluarga dan Karakteristil
Balita Tahun 2004. Depok: Skripsi, FKM-UI.
120
Suyadi, Edwin Saputra. 2009. Kejadian KEP Balita dan Faktor yang Berhubungan Di
Wilayah Kelurahan Pancoran Mas Depok Tahun 2009. Depok: Skripsi, FKM-UI
The Lancet. 2008. The Lancet’s Series Maternal and Child Undernutrition, Executive
Summary. www.thelancet.com
Theron et al. 2006. Inadequate Dietary Intake Is Not the Cause of Stunting Amongst
Young Children Living in An Informal Settlement in Gauteng and Rural Limpopo
Province in South Africa: The Nutrigro Study. Public Health Nutrition.
Unicef Framework
http://motherchildnutrition.org/malnutrition/about-malnutrition/underlying-causes-
of-malnutrition.html
UNSCN. 2008. 6th Report on the World Nutrition Situation. Geneva: SCN.
Wachs, T.D. 2008. Mechanism Linking Parental Education and Stunting. The Lancet
371: 280.
Wamani H, at al. 2007. Boys Are More Stunded Than Girls in Sub-Saharan Africa: meta
analysis of 16 demographic and Health Surveys. BMC pediatrics. p:7-17.
Waterlow, J.C. 1992. Protein Energy Malnutrition. Edward Arnorld, A Division of
Hodder & Stoughton, London.
Website Resmi Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Barat: Bukan Karena Tak Makan
http://www.ntbprov.go.id/baca.php?berita=101
WNPG. 2004. Angka Kecukupan Gizi dan Angka Label Gizi. Jakarta: Widyakarya
Nasional Pangan dan Gizi.
121
WHO. 1997. WHO Global Databese on Child Growth and Malnutrition. Geneva.
WHO. 2006a. WHO Child Growth Standards. Geneva
WHO. 2010. World Health Report 2010.
WHO. 2011. Nutrition: Complementary Feeding.
http://www.who.int/nutrition/topics/complementary_feeding/en/index.html
WHO. 2011. 10 Facts on Nutrition
http://www.who.int/features/factfiles/nutrition/en/index.html
WHO/UNICEF. 2003. Feeding and Nutrition of Infants and Young Children. WHO
Regional Publications, European Series, No. 87, P. 17.
World Vision. 2009. Stunted Development: Q&A .
https://worldvision.org.nz/lendahand/sg_response.aspx
LAMPIRAN
OUTPUT UNIVARIAT
___ ____ ____ ____ ____ (R)
/__ / ____/ / ____/
___/ / /___/ / /___/ 12.0 Copyright 1985-2011 StataCorp LP
Statistics/Data Analysis StataCorp
4905 Lakeway Drive
Special Edition College Station, Texas 77845 USA
800-STATA-PC http://www.stata.com
979-696-4600 [email protected]
979-696-4601 (fax)
Single-user Stata network perpetual license:
Serial number: 93611859953
Licensed to: STATAforAll
STATA
Notes:
1. (/v# option or -set maxvar-) 5000 maximum variables
. use "D:\skripSHIT\data riskesdas\new\stunting_ntb.dta", clear
. set memory 500m
set memory ignored.
Memory no longer needs to be set in modern Statas; memory adjustments are
performed on
the fly automatically.
. svyset b1r7 [pweight=weind], strata(b1r1) vce(linearized) singleunit(missing)
pweight: weind
VCE: linearized
Single unit: missing
Strata 1: b1r1
SU 1: b1r7
FPC 1: <zero>
. svydescribe
Survey: Describing stage 1 sampling units
pweight: weind
VCE: linearized
Single unit: missing
Strata 1: b1r1
SU 1: b1r7
FPC 1: <zero>
#Obs per Unit
----------------------------
Stratum #Units #Obs min mean max
-------- -------- -------- -------- -------- --------
52 61 338 1 5.5 14
-------- -------- -------- -------- -------- --------
1 61 338 1 5.5 14
. svy:proportion bb_lahir jk pend_ayah pend_ibu kerja_ibu kerja_ayah stat_eko
anngota_rt tmp
> t_tinggal energi2 protein2
(running proportion on estimation sample)
Survey: Proportion estimation
Number of strata = 1 Number of obs = 338
Number of PSUs = 61 Population size = 271153
Design df = 60
_prop_4: jk = laki-laki
_prop_10: kerja_ibu = tidak bekerja
_prop_11: kerja_ayah = tidak bekerja
_prop_15: anngota_rt = > 4 orang
_prop_16: anngota_rt = <= 4
--------------------------------------------------------------
| Linearized
| Proportion Std. Err. [95% Conf. Interval]
-------------+------------------------------------------------
bb_lahir |
bblr | .0862244 .0155119 .055196 .1172528
normal | .9137756 .0155119 .8827472 .944804
-------------+------------------------------------------------
jk |
perempuan | .5159965 .0304088 .4551698 .5768232
_prop_4 | .4840035 .0304088 .4231768 .5448302
-------------+------------------------------------------------
pend_ayah |
rendah | .7151903 .029167 .6568477 .773533
tinggi | .2848097 .029167 .226467 .3431523
-------------+------------------------------------------------
pend_ibu |
rendah | .668652 .0364137 .5958138 .7414902
tinggi | .331348 .0364137 .2585098 .4041862
-------------+------------------------------------------------
kerja_ibu |
bekerja | .3313517 .0307021 .2699383 .392765
_prop_10 | .6686483 .0307021 .607235 .7300617
-------------+------------------------------------------------
kerja_ayah |
_prop_11 | .0296032 .0111387 .0073225 .051884
bekerja | .9703968 .0111387 .948116 .9926775
-------------+------------------------------------------------
stat_eko |
rendah | .8246636 .0301022 .7644503 .8848769
tinggi | .1753364 .0301022 .1151231 .2355497
-------------+------------------------------------------------
tmpt_tinggal |
desa | .6016456 .069245 .4631349 .7401562
kota | .3983544 .069245 .2598438 .5368651
-------------+------------------------------------------------
energi2 |
rendah | .582258 .0388115 .5046234 .6598926
cukup | .417742 .0388115 .3401074 .4953766
-------------+------------------------------------------------
protein2 |
rendah | .4829856 .0348812 .4132129 .5527583
cukup | .5170144 .0348812 .4472417 .5867871
--------------------------------------------------------------
jml_kel |
besar | .7206005 .0269424 .6667077 .7744934
kecil | .2793995 .0269424 .2255066 .3332923
OUTPUT CROSSTAB
___ ____ ____ ____ ____ (R)
/__ / ____/ / ____/
___/ / /___/ / /___/ 12.0 Copyright 1985-2011 StataCorp LP
Statistics/Data Analysis StataCorp
4905 Lakeway Drive
Special Edition College Station, Texas 77845 USA
800-STATA-PC http://www.stata.com
979-696-4600 [email protected]
979-696-4601 (fax)
Single-user Stata network perpetual license:
Serial number: 93611859953
Licensed to: STATAforAll
STATA
Notes:
1. (/v# option or -set maxvar-) 5000 maximum variables
. use "D:\skripSHIT\data riskesdas\new\stunting_ntb_new_edit.dta", clear
. svyset b1r7 [pweight=weind], strata(b1r1) vce(linearized) singleunit(missing)
pweight: weind
VCE: linearized
Single unit: missing
Strata 1: b1r1
SU 1: b1r7
FPC 1: <zero>
. svydescribe
Survey: Describing stage 1 sampling units
pweight: weind
VCE: linearized
Single unit: missing
Strata 1: b1r1
SU 1: b1r7
FPC 1: <zero>
#Obs per Unit
----------------------------
Stratum #Units #Obs min mean max
-------- -------- -------- -------- -------- --------
52 61 338 1 5.5 14
-------- -------- -------- -------- -------- --------
1 61 338 1 5.5 14
. svy:tabulate energi2 stat_stunting, obs row percent
(running tabulate on estimation sample)
Number of strata = 1 Number of obs = 338
Number of PSUs = 61 Population size = 271153
Design df = 60
----------------------------------------
| status stunting
energi2 | stunting normal Total
----------+-----------------------------
rendah | 55.3 44.7 100
| 108 88 196
|
cukup | 57.84 42.16 100
| 82 60 142
|
Total | 56.36 43.64 100
| 190 148 338
----------------------------------------
Key: row percentages
number of observations
Pearson:
Uncorrected chi2(1) = 0.2154
Design-based F(1, 60) = 0.1807 P = 0.6723
. svy:tabulate protein2 stat_stunting, obs row percent
(running tabulate on estimation sample)
Number of strata = 1 Number of obs = 338
Number of PSUs = 61 Population size = 271153
Design df = 60
----------------------------------------
| status stunting
protein2 | stunting normal Total
----------+-----------------------------
rendah | 60.2 39.8 100
| 98 65 163
|
cukup | 52.77 47.23 100
| 92 83 175
|
Total | 56.36 43.64 100
| 190 148 338
----------------------------------------
Key: row percentages
number of observations
Pearson:
Uncorrected chi2(1) = 1.8966
Design-based F(1, 60) = 1.9191 P = 0.1711
. svy:tabulate jk stat_stunting, obs row percent
(running tabulate on estimation sample)
Number of strata = 1 Number of obs = 338
Number of PSUs = 61 Population size = 271153
Design df = 60
----------------------------------------
jenis |
kelamin | status stunting
balita | stunting normal Total
----------+-----------------------------
perempua | 56.63 43.37 100
| 98 76 174
|
laki-lak | 56.08 43.92 100
| 92 72 164
|
Total | 56.36 43.64 100
| 190 148 338
----------------------------------------
Key: row percentages
number of observations
Pearson:
Uncorrected chi2(1) = 0.0103
Design-based F(1, 60) = 0.0091 P = 0.9243
. svy:tabulate bb_lahir stat_stunting, obs row percent
(running tabulate on estimation sample)
Number of strata = 1 Number of obs = 338
Number of PSUs = 61 Population size = 271153
Design df = 60
----------------------------------------
| status stunting
bb lahir | stunting normal Total
----------+-----------------------------
bblr | 51.63 48.37 100
| 15 14 29
|
normal | 56.81 43.19 100
| 175 134 309
|
Total | 56.36 43.64 100
| 190 148 338
----------------------------------------
Key: row percentages
number of observations
Pearson:
Uncorrected chi2(1) = 0.2902
Design-based F(1, 60) = 0.3653 P = 0.5479
. svy:tabulate jml_kel stat_stunting, obs row percent
(running tabulate on estimation sample)
Number of strata = 1 Number of obs = 338
Number of PSUs = 61 Population size = 271153
Design df = 60
----------------------------------------
jumlah |
anggota | status stunting
keluarga | stunting normal Total
----------+-----------------------------
besar | 53.24 46.76 100
| 129 114 243
|
kecil | 64.4 35.6 100
| 61 34 95
|
Total | 56.36 43.64 100
| 190 148 338
----------------------------------------
Key: row percentages
number of observations
Pearson:
Uncorrected chi2(1) = 3.4412
Design-based F(1, 60) = 3.2231 P = 0.0776
. svy:tabulate pend_ibu stat_stunting, obs row percent
(running tabulate on estimation sample)
Number of strata = 1 Number of obs = 338
Number of PSUs = 61 Population size = 271153
Design df = 60
----------------------------------------
pendidika | status stunting
n ibu | stunting normal Total
----------+-----------------------------
rendah | 60.64 39.36 100
| 136 89 225
|
tinggi | 47.73 52.27 100
| 54 59 113
|
Total | 56.36 43.64 100
| 190 148 338
----------------------------------------
Key: row percentages
number of observations
Pearson:
Uncorrected chi2(1) = 5.0691
Design-based F(1, 60) = 4.5296 P = 0.0374
. svy:tabulate pend_ayah stat_stunting, obs row percent
(running tabulate on estimation sample)
Number of strata = 1 Number of obs = 338
Number of PSUs = 61 Population size = 271153
Design df = 60
----------------------------------------
pendidika | status stunting
n ayah | stunting normal Total
----------+-----------------------------
rendah | 58.7 41.3 100
| 141 100 241
|
tinggi | 50.48 49.52 100
| 49 48 97
|
Total | 56.36 43.64 100
| 190 148 338
----------------------------------------
Key: row percentages
number of observations
Pearson:
Uncorrected chi2(1) = 1.8934
Design-based F(1, 60) = 1.7270 P = 0.1938
. svy:tabulate kerja_ibu stat_stunting, obs row percent
(running tabulate on estimation sample)
Number of strata = 1 Number of obs = 338
Number of PSUs = 61 Population size = 271153
Design df = 60
----------------------------------------
pekerjaan | status stunting
ibu | stunting normal Total
----------+-----------------------------
bekerja | 60.37 39.63 100
| 68 45 113
|
tidak be | 54.37 45.63 100
| 122 103 225
|
Total | 56.36 43.64 100
| 190 148 338
----------------------------------------
Key: row percentages
number of observations
Pearson:
Uncorrected chi2(1) = 1.0975
Design-based F(1, 60) = 1.0282 P = 0.3147
. svy:tabulate kerja_ayah stat_stunting, obs row percent
(running tabulate on estimation sample)
Number of strata = 1 Number of obs = 338
Number of PSUs = 61 Population size = 271153
Design df = 60
----------------------------------------
pekerjaan | status stunting
ayah | stunting normal Total
----------+-----------------------------
tidak be | 50.43 49.57 100
| 5 5 10
|
bekerja | 56.54 43.46 100
| 185 143 328
|
Total | 56.36 43.64 100
| 190 148 338
----------------------------------------
Key: row percentages
number of observations
Pearson:
Uncorrected chi2(1) = 0.1475
Design-based F(1, 60) = 0.1826 P = 0.6707
. svy:tabulate tmpt_tinggal stat_stunting, obs row percent
(running tabulate on estimation sample)
Number of strata = 1 Number of obs = 338
Number of PSUs = 61 Population size = 271153
Design df = 60
----------------------------------------
tempat | status stunting
tinggal | stunting normal Total
----------+-----------------------------
desa | 58.85 41.15 100
| 117 82 199
|
kota | 52.6 47.4 100
| 73 66 139
|
Total | 56.36 43.64 100
| 190 148 338
----------------------------------------
Key: row percentages
number of observations
Pearson:
Uncorrected chi2(1) = 1.2872
Design-based F(1, 60) = 1.0199 P = 0.3166
. svy:tabulate stat_eko stat_stunting, obs row percent
(running tabulate on estimation sample)
Number of strata = 1 Number of obs = 338
Number of PSUs = 61 Population size = 271153
Design df = 60
----------------------------------------
status | status stunting
ekonomi | stunting normal Total
----------+-----------------------------
rendah | 60.19 39.81 100
| 167 111 278
|
tinggi | 38.34 61.66 100
| 23 37 60
|
Total | 56.36 43.64 100
| 190 148 338
----------------------------------------
Key: row percentages
number of observations
Pearson:
Uncorrected chi2(1) = 9.4927
Design-based F(1, 60) = 11.6513 P = 0.0012
OUTPUT OR
. svy:logit stat_stunting energi2, or
(running logit on estimation sample)
Survey: Logistic regression
Number of strata = 1 Number of obs = 338
Number of PSUs = 61 Population size = 271153
Design df = 60
F( 1, 60) = 0.18
Prob > F = 0.6723
-------------------------------------------------------------------------------
| Linearized
stat_stunting | Odds Ratio Std. Err. t P>|t| [95% Conf. Interval]
--------------+----------------------------------------------------------------
energi2 | .9018032 .2193071 -0.43 0.672 .5544348 1.466807
_cons | .8083223 .1152807 -1.49 0.141 .6077015 1.075174
-------------------------------------------------------------------------------
. svy:logit stat_stunting protein2,or
(running logit on estimation sample)
Survey: Logistic regression
Number of strata = 1 Number of obs = 338
Number of PSUs = 61 Population size = 271153
Design df = 60
F( 1, 60) = 1.92
Prob > F = 0.1715
-------------------------------------------------------------------------------
| Linearized
stat_stunting | Odds Ratio Std. Err. t P>|t| [95% Conf. Interval]
--------------+----------------------------------------------------------------
protein2 | 1.354006 .2965137 1.38 0.172 .8737355 2.098269
_cons | .6610184 .0992085 -2.76 0.008 .4895901 .8924718
-------------------------------------------------------------------------------
. svy:logit stat_stunting jk,or
(running logit on estimation sample)
Survey: Logistic regression
Number of strata = 1 Number of obs = 338
Number of PSUs = 61 Population size = 271153
Design df = 60
F( 1, 60) = 0.01
Prob > F = 0.9243
-------------------------------------------------------------------------------
| Linearized
stat_stunting | Odds Ratio Std. Err. t P>|t| [95% Conf. Interval]
--------------+----------------------------------------------------------------
jk | 1.022577 .2391366 0.10 0.924 .6405311 1.632494
_cons | .7659666 .1309547 -1.56 0.124 .5441117 1.07828
-------------------------------------------------------------------------------
. svy:logit stat_stunting bb_lahir,or
(running logit on estimation sample)
Survey: Logistic regression
Number of strata = 1 Number of obs = 338
Number of PSUs = 61 Population size = 271153
Design df = 60
F( 1, 60) = 0.36
Prob > F = 0.5484
-------------------------------------------------------------------------------
| Linearized
stat_stunting | Odds Ratio Std. Err. t P>|t| [95% Conf. Interval]
--------------+----------------------------------------------------------------
bb_lahir | .811584 .2807356 -0.60 0.548 .4062884 1.621184
_cons | .9368735 .2957396 -0.21 0.837 .4982597 1.761596
-------------------------------------------------------------------------------
. svy:logit stat_stunting jml_kel,or
(running logit on estimation sample)
Survey: Logistic regression
Number of strata = 1 Number of obs = 338
Number of PSUs = 61 Population size = 271153
Design df = 60
F( 1, 60) = 3.20
Prob > F = 0.0787
-------------------------------------------------------------------------------
| Linearized
stat_stunting | Odds Ratio Std. Err. t P>|t| [95% Conf. Interval]
--------------+----------------------------------------------------------------
jml_kel | .6296032 .1628711 -1.79 0.079 .3752662 1.056317
_cons | .8781287 .123809 -0.92 0.360 .6623324 1.164234
-------------------------------------------------------------------------------
. svy: logit stat_stunting pend_ibu,or
(running logit on estimation sample)
Survey: Logistic regression
Number of strata = 1 Number of obs = 338
Number of PSUs = 61 Population size = 271153
Design df = 60
F( 1, 60) = 4.50
Prob > F = 0.0381
-------------------------------------------------------------------------------
| Linearized
stat_stunting | Odds Ratio Std. Err. t P>|t| [95% Conf. Interval]
--------------+----------------------------------------------------------------
pend_ibu | 1.686711 .4158943 2.12 0.038 1.030006 2.762114
_cons | .64919 .0832395 -3.37 0.001 .5023244 .838995
-------------------------------------------------------------------------------
. svy: logit stat_stunting pend_ayah,or
(running logit on estimation sample)
Survey: Logistic regression
Number of strata = 1 Number of obs = 338
Number of PSUs = 61 Population size = 271153
Design df = 60
F( 1, 60) = 1.72
Prob > F = 0.1946
-------------------------------------------------------------------------------
| Linearized
stat_stunting | Odds Ratio Std. Err. t P>|t| [95% Conf. Interval]
--------------+----------------------------------------------------------------
pend_ayah | 1.394525 .3535305 1.31 0.195 .8398366 2.31557
_cons | .7034961 .0838071 -2.95 0.004 .5543344 .8927948
-------------------------------------------------------------------------------
. svy: logit stat_stunting kerja_ibu,or
(running logit on estimation sample)
Survey: Logistic regression
Number of strata = 1 Number of obs = 338
Number of PSUs = 61 Population size = 271153
Design df = 60
F( 1, 60) = 1.03
Prob > F = 0.3151
-------------------------------------------------------------------------------
| Linearized
stat_stunting | Odds Ratio Std. Err. t P>|t| [95% Conf. Interval]
--------------+----------------------------------------------------------------
kerja_ibu | 1.278668 .3102547 1.01 0.315 .7869968 2.077508
_cons | .6563185 .1505518 -1.84 0.071 .4148019 1.038457
-------------------------------------------------------------------------------
. svy: logit stat_stunting kerja_ayah,or
(running logit on estimation sample)
Survey: Logistic regression
Number of strata = 1 Number of obs = 338
Number of PSUs = 61 Population size = 271153
Design df = 60
F( 1, 60) = 0.18
Prob > F = 0.6714
-------------------------------------------------------------------------------
| Linearized
stat_stunting | Odds Ratio Std. Err. t P>|t| [95% Conf. Interval]
--------------+----------------------------------------------------------------
kerja_ayah | .7819456 .4511339 -0.43 0.671 .2465927 2.47955
_cons | .9829546 .5732299 -0.03 0.977 .3061419 3.156052
-------------------------------------------------------------------------------
. svy: logit stat_stunting tmpt_tinggal, or
(running logit on estimation sample)
Survey: Logistic regression
Number of strata = 1 Number of obs = 338
Number of PSUs = 61 Population size = 271153
Design df = 60
F( 1, 60) = 1.02
Prob > F = 0.3170
-------------------------------------------------------------------------------
| Linearized
stat_stunting | Odds Ratio Std. Err. t P>|t| [95% Conf. Interval]
--------------+----------------------------------------------------------------
tmpt_tinggal | 1.288836 .3240765 1.01 0.317 .7793983 2.131258
_cons | .6992126 .0986564 -2.54 0.014 .5272738 .927219
-------------------------------------------------------------------------------
. svy: logit stat_stunting stat_eko,or
(running logit on estimation sample)
Survey: Logistic regression
Number of strata = 1 Number of obs = 338
Number of PSUs = 61 Population size = 271153
Design df = 60
F( 1, 60) = 11.23
Prob > F = 0.0014
-------------------------------------------------------------------------------
| Linearized
stat_stunting | Odds Ratio Std. Err. t P>|t| [95% Conf. Interval]
--------------+----------------------------------------------------------------
stat_eko | 2.432261 .64514 3.35 0.001 1.430832 4.134581
_cons | .6613297 .0805403 -3.40 0.001 .5183473 .843753
-------------------------------------------------------------------------------