p1 gj

15
Proses Miksi Mikturisi adalah proses pengosongan kandung kemih setelah terisi dengan urin. Mikturisi melibatkan dua tahap utama: Pertama, kandung kemih terisi secara progresif hingga tegangan pada dindingnya meningkat melampaui nilai ambang batas; keadaan ini akan mencetuskan tahap kedua, yaitu adanya refleks saraf (refleks mikturisi) yang akan mengosongkan kandungan kemih atau jika gagal setidaknya akan menyebabkan keinginan berkemih yang disadari. Meskipun refleks mikturisi adalah refleks medulla spinalis yang bersifat autonom, refleks ini dapat dihambat atau difasilitasi oleh pusat-pusat di korteks serebri atau batang otak. Proses miksi dimulai dari adanya distensi vesika urinaria oleh urin yang meransang stretch receptors yang terdapat pada dinding vesika urinaria. Jumlah urin sebanyak 250 cc atau 200-300 ml sudah cukup untuk memberikan ransangan tersebut. Akibatnya, akan terjadi refleks gerakan kontraksi dinding vesika urinaria. Pada saat yang sama terjadi relaksasi sfingter interna dan sfingter eksterna. Sfingter interna yang menahan leher kandung kemih dan uretra posterior untuk mengosongkan urin dan mencegah pengosongan

description

OK

Transcript of p1 gj

Proses MiksiMikturisi adalah proses pengosongan kandung kemih setelah terisi dengan urin. Mikturisi melibatkan dua tahap utama: Pertama, kandung kemih terisi secara progresif hingga tegangan pada dindingnya meningkat melampaui nilai ambang batas; keadaan ini akan mencetuskan tahap kedua, yaitu adanya refleks saraf (refleks mikturisi) yang akan mengosongkan kandungan kemih atau jika gagal setidaknya akan menyebabkan keinginan berkemih yang disadari. Meskipun refleks mikturisi adalah refleks medulla spinalis yang bersifat autonom, refleks ini dapat dihambat atau difasilitasi oleh pusat-pusat di korteks serebri atau batang otak.Proses miksi dimulai dari adanya distensi vesika urinaria oleh urin yang meransang stretch receptors yang terdapat pada dinding vesika urinaria. Jumlah urin sebanyak 250 cc atau 200-300 ml sudah cukup untuk memberikan ransangan tersebut. Akibatnya, akan terjadi refleks gerakan kontraksi dinding vesika urinaria. Pada saat yang sama terjadi relaksasi sfingter interna dan sfingter eksterna. Sfingter interna yang menahan leher kandung kemih dan uretra posterior untuk mengosongkan urin dan mencegah pengosongan kandung kemih hingga tekanan pada bagian utama kandung kemih meningkat melampaui nilai ambang. Akhirnya terjadi pengosongan kandung kemih. Stimulus, baik yang relaksasi, dihantarkan melalui serabut saraf parasimpatis. Sfingter eksterna bekerja secara volunter yang dapat mencegah atau menghentikan miksi sesuai keinginan. Ini terjadi apabila tidak ada gangguan atau kerusakan pada saraf yang mempersarafi proses miksi.Refleks mikturisi adalah refleks medulla spinalis yang bersifat autonom, refleks ini dapat dihambat atau difasilitasi oleh pusat-pusat di korteks serebri atau batang otak. Refleks mikturisi merupakan penyebab dasar berkemih, tetapi biasanya pusat yang lebih tinggi yang akan menlakukan kendali akhir untuk proses mikturisi sebagai berikut:1. Pusat yang lebih tinggi menjaga agar refleks mikturisi tetap terhambat sebagian, kecuali bila mikturisi diinginkan.2. Pusat yang lebih tinggi dapat mencegah mikturisi, bahkan jika terjadi refleks mikturisi, dengan cara sfingter kandung kemih eksterna terus-menerus melakukan kontraksi tonik hingga saat yang tepat datang dengan sendirinya.3. Jika waktu berkemih tiba, pusat kortikal dapat memfasilitasi pusat mikturisi sakral untuk membantu memulai refleks mikturisi dan pada saat yang sama menghambat sfingter eksterna sehingga pengeluaran urin dapat terjadi.Pengeluaran urin secara volunter biasanya dimulai dengan cara berikut: Mula-mula, orang tersebut secara volunter mengkontraksikan otot perutnya, yang akan meningkatkan tekanan di dalam kandung kemih dan memungkinkan utin tambahan memasuki leher kandung kemih dan uretra posterior dalam keadaan di bawah tekanan, sehingga meregangkan dindingnya. Hal ini memicu reseptor regang, yang mencetuskan refleks mikturisi dan secara bersamaan menghambat sfinter uretra eksterna. Biasanya, seluruh urin akan dikeluarkan, dan menyisakan tidak lebih dari 5-10 mililiter urin di dalam kandung kemih.Daftar PustakaGuyton, Arthur C. Buku ajar fisiologi kedokteran. Edisi 11. Jakarta : EGC; 2008.p. 328-333.Klirens GinjalGFR (Glomerular Filtration Rate) merupakan kecepatan filtrasi oleh glomerulus. Klirens keratinin (CCr) adalah kecepatan glomerulus untuk membersihkan kreatinin dari dala darah. Biasanya GFR dan klirens keratinin sulit diukur secara langsung sehingga digunakan beberapa persamaan untuk menilainya. Persamaan yang paling sering digunakan adalah persamaan Cockcroft-Gault:CCr = (140-Usia) X Berat badan X (gender correction faktor wanita 0,85 dan pria 1)Serum Keratinin X 72

Nilai normal Klirens keratinin pada wanita berkisar antara 75-115 ml/min/1.73 m2 dan laki-laki antara 95-145 ml/min/1.73 m2.Nilai normal klirens salah satunya digunakan dalam menentukan derajat penyakit ginjal kronis, yaitu sebagai berikut:1. Kerusakan ginjal dengan GFR yang normal atau baru sedikit menurun (GFR > 90)2. Kerusakan ginjal dengan penurunan GFR ringan (GFR 60-89)3. Kerusakan ginjal dengan penurunan GFR sedang (GFR 30-59)4. Kerusakan ginjal dengan penurunan GFR berat (GFR 15-29)5. Penyakit ginjal stadium akhir (GFR < 15) yang memmerlukan cuci darah atau cangkok ginjal.Sumber: Hartono A. Tanya jawab seputar penykit ginjal kronis: rawat ginjal cegah cuci darah. Yogyakarta: Kanisius; 2008. p. 29.Komponen Yang Berperan Dalam Pembentukan UrinMekanisme kerja hormon pengatur air dan elektrolit (aktivasi deaktivasi)Agar fungsi sel normal maka volume dan osmolalitas sel (konsentasi zat terlarut per liter cairan intasel harus dipertahankan dalam rentang yang sempit. Parameter ini sebagian diatur oleh faktor-faktor yang menentukan gradient konsentrasi zat terlarut melintasi membrane plasma sel. Faktor tersebut adalah difusi pasif air dan sebagian zat terlarut menembus membran sel dan transport aktif ion oleh pompa yang mengunakan energi yang terletak di dalam membran sel. Volume osmolaritas sel yang konstans juga sampai tahap tertentu ditentukan oleh osmolaritas CES, yang sebagian ditentukan oleh ADH yang bekerja pada tubulus ginjal untuk mengatur ekskresi air bebas-zat terlarut ke dalam urin.Apabila pemeliharaan konsentrasi zat terlarut CES normal (osmolaritas) bergantung pada mekanisme endokrin ini, volume darah dalam kompartemen vaskular (volume plasma) akan sangat berfluktuasi sepanjang hari karena asupan sehari-hari air dan zat terlarut kita bersifat episodik. Akibat sifat fluktuatif ini, volume darah yang relatif konstan tersebut harus dijaga, tentu saja oleh banyak proses regulatorik. Faktor yang berperan mempertahankan hal tersebut, selain ADH pada dasarnya juga bersifat endokrin. Faktor tersebut adalah sistem renin-angiotensin-aldosteron (SRAA) dan ANP. Efek utama hormon regulatorik tersebut adalah mempertahankan volume darah melalui efek pada metabolism air dan natrium oleh ginjal, yang menentukan jumlah natrium dan air di ruang ekstrasel.Tabel 1. Hormon yang mengatur keseimbangan natrium dan air

1. Hormon AntidiuretikADH juga disebut vasopressin arginin (AVP) adalah suatu peptide yang memiliki 9 asam amino dengan sebuah jembatan di sulfide. Hormon ini disintesis sebagai prohormon di neuron hipotalamus yang badan selnya terletak di nukleus supraoptikus dan paraventrikularis. Gen untuk ADH juga mengkode neurofisin II, suatu protein pengangkut yang menyalurkan ADH ke bawah melalui akson yang berakhir di hipofisis posterior tempat penyimpanan ADH.Pengeluaran ADH dari vesikel penyimpanannya di neurohipofisis (hipofisis posterior, pars nervosa), diatur terutama oleh osmolaritas plasma (konsentrasi zat terlarut yang secara osmotis aktif dalam milimol/kg air plasma). Set point rerata untuk osmolaritas plasma yang normal adalah 282 mmol/kg dengan batas normal plus-minus 1,8%. Apabila osmolaritas plasma meningkat meningkat melebihi ambang osmotik kritis sebesar 287 mmol/kg, pengeluaran ADH meningkat cepat. Pengeluaran ini merupakan konsekuensi aktifitas osmoreseptor yang terletak di membran sel neuron supraoptikus dan paraventrikularis hipotalamus dan mungkin juga di sel sistem arteri karotis. Osmostat ini mampu mendeteksi peningkatan sekecil 3-5% di atas osmolaritas plasma patokan, terutama apabila kecepatan peningkatannya tinggi (>2% per jam).Faktor hemodinamik juga cukup berpengaruh pada pengeluaran ADH. Penurunan tekanan darah arteri rerata dan/atau volume plasma efektif sekecil 10% dapat dideteksi oleh reseptor peka-tekanan (baroreseptor) yang terletak di sel atrium kiri jantung dan dengan tingkat yang lebih rendah, sinus karotikus. Melalui suatu jalur aferen polisinaps, implus saraf yang dihasilkan akibat penurunan regangan baroreseptor tersebut mempengaruhi neuron di nukleus supraoprikus dan paraventrikularis hipotalamus untuk mengeluarkan ADH.Efek biologis utama ADH adalah meningkatkan resorpsi air bebas dari urin di salam lumen bagian distal tubulus ginjal ke dalam sel tubulus. ADH berkaitan dengan reseptor spesifik V2 di membran nonluminal (basolateral) sel tersebut, menyebabkan pengatifan adenilat siklase, yang membentuk cAMP. cAMP mengaktifkan protein kinase A, yang kemudian melakukan osmolaritas terhadapt protein yang merangsang ekspresi gen untuk akuaporin-2 (suatu angota family protein serupa yang membentuk saluran air). Akuaporin-2 bermigrasi ke membrane luminal sel tubulus, menembusnya dan membentuk pori atau saluran tempat air secara bebas berdifusi ked lam sel tubulus. Air kemudian mengalir melalui saluran di membrane plasma menuju ke salam ruangan interstisium. Akihirnya air masuk kembali ke dalam darah.

Gambar 1. Sekresi dan kerja ADH dihasilkan oleh neuron di hipotalamus dan disimpan terikat ke neurofisin (NPII) di hopofisis posterior. ADH disintesis dan dikeluarkan sebagai respons terhadap peningkatan konsentrasi natrium dan penurunan volume plasma. ADH berikatan dengan reseptor di permukaan sel, merangsang pengaktifan protein kinase A (PKA). PKA melakukan fosforilasi berbagai protein yang merangsang sintesis akuaporin, suatu protein yang membentuk saluran di membran tubulus ginjal. Air, yang diserap melalui saluran ini, masuk ke dalam darah.2. Sistem Renin-Angiotensin-Aldosteron (SRAA)SRAA adalah penentuan utama kestabilan volume dan osmolalitas CES, garis tengah lumen pembuluh darah, serta tingkat perfusi jaringan. Jenjang enzim (renin)- hormon peptide (angiotensin II)- hormon steroid (aldosteron) ini melaksanakan fungsi penting tersebut melalui kapasitas spesifiknya mendeteksi dan melawan ekspansi atau kontraksi kompartemen natrium dan air di salam tubuh.Fisiologi homeostatis SRAA yang kompleks dapat secara singkat diringkas mengunakan kontraksi volume akut sebagai prangsangnya. Apabila seseorang pasien muntah terus-menerus selama berjam-jam dan tidak dapat minum, volume CES mengalami kontraksi atau berkurang secara akut. Akibatnya tekanan perfusi pada anterior aferen yang terletak proksimal dari kedua berkas kapiler glomerulus ginjal turun. Sel jukstagomerulus yang terletak di dinding anterior tersebut merasakan penurunan regangan elastik pada dinding pembuluh darah dan akibatnya mengeluarkan enzim renin ke dalam darah kepiler glomerulus. Hati membentuk dan mengeluarkan polipeptida angiotensinogen (substrat renin). Renin melakukan angiotensinogen untuk menghasilkan suatu dekapeptida, angiotensin I (AI) di dalam ginjal. Angiotensin I yang tidak memiliki efek biologis intrinsik, bekerja sebagai substrat untuk enzim pengkonversi-angiotensin (angiotensin-converting enzyme, ACE) yang melakukan pemutusan dua asam amino dari AI (terutama di paru), untuk membentuk suatu oktapeptida, angiotensin II (AII).AII memiliki beberapa efek yang berperan memperbaiki volume CES yang berkurang. Salah satu efek AII adalah meningkatkan pembentukan dan sekresi aldosteron oleh sel glomerulosa adrenal. AII dapat diubah menjadi angiotensin III (AIII), suatu heptapeptida yang memiliki kemampuan setara merangsang pengeluaran aldosteron adrenal dan, seperti AII menghambat sekresi renin. Aldosteron, suatu minerokortikoid kuat yang dihasilkan oleh korteks adrenal, menyebabkan reabsorpsi natrium dan air oleh bagian distal tubulus ginjal (serta kolon distal serta kelenjar keringat dan liur), yang bekerja untuk memperbaiki volume CES yang berkurang. Kedua, AII menyebabkan peningkatan reabsorpsi Na+ dan air di tubulus ginjal secara langsung. Ketiga, AII memiliki efek vasokontriksi langsung yang kuat pada pembuluh resistensi di dalam tubuh, sehingga jaringan vascular berkontaksi untuk mengakomodasi kontaksi volume akibat muntah tersebut akibatnya tekanan darah dan perfusi jaringan dipertahankan. AII juga mengaktifkan sistem saraf adrenergic sehingga terjadi pengeluaran norepinefrin, yang juga menyebabkan vasokontriksi dan mengkompensasi setiap kecenderungan hipotensi dan hipoperfusi yang ditimbulkan oleh muntah-muntah. Akhirnya, AII yang dikeluarkan di dalam SSP merangsang rasa haus dan mendorong pasien minum sehingga volume CES yang berkurang dapat diganti.Apabila gangguan terhadapt volume CES tubuh adalah penambahan berlebihan, maka aktifitas SRAA akan tertekan karena volume CES akan menyebabkan siyal regangan berlebihan pada sel jukstaglomerulus penghasil renin di ginjal, dan pengeluaran renin akan menrun akibatnya kadar AII dan aldosteron dalam darah juga berkurang sehingga terjadi vasodilatasi dalam peningkatan eksresi natrium dan air ke dalam urin (serta tinja, keringat, dan liur) yang semuanya membantu memulihkan volume CES yang meningkat tersebut.3. ANP (Atrial Natriuretic Peptide)ANP adalah suatu peptide yang terdiri dari 28 asam amino (atriopeptin I) dengan sebuah jembatan disulfida sistein-ke-sistein. Zat ini disintesis dan disimpan sebagai praprohormon yang terdiri dari 126 asam amino oleh kardiosit di atrium kanan (dan mungkin kiri) dan disekresikan sebgai suatu dimer inaktif.Ginjal adalah sasaran utama ANP walaupun hormone ini juga bekerja pada arteri reistensi perifer. DI ginjal, ANP meningkatkan tonus glomerulus arterior eferen (yang keluar) sementara menurunkan tonus arterior glomerulus aferen (yang masuk). Hal ini menyebabkan tekanan filtrasi glomerulus bermakna meingkatkan aliran darah ginjal. Efek ini menyebabkan peningkatan ekskresi natrium dalam urin yang relative encer dalam jumlah besar. Eksresi natrium juga ditingkatkan melalui efek supresif ANP pada sekresi renin dari sel jukstaglomerulus ginjal.Daftar Pustaka:Marks, Dawn B., Allan D. Marks, dan Collen M. Smith. Biokimia kedokteran dasar: sebuah pendekatan klinis. Jakarta: EGC; 2000. p. 696-703.