P a g e - nurulfirmansyah.files.wordpress.com file(Direktur Perkumpulan Qbar, Padang) ABSTRAK ......

16

Transcript of P a g e - nurulfirmansyah.files.wordpress.com file(Direktur Perkumpulan Qbar, Padang) ABSTRAK ......

Page 1: P a g e - nurulfirmansyah.files.wordpress.com file(Direktur Perkumpulan Qbar, Padang) ABSTRAK ... dengan RUU Desa dan RUU Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat. Kata Kunci : Desa,
Page 2: P a g e - nurulfirmansyah.files.wordpress.com file(Direktur Perkumpulan Qbar, Padang) ABSTRAK ... dengan RUU Desa dan RUU Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat. Kata Kunci : Desa,

1

1 | P a g e

PENGAKUAN DESA ASAL USUL (MASYARAKAT HUKUM ADAT) SEBAGAI

SUBJEK HUKUM DALAM HUKUM NASIONAL

Oleh : Nurul Firmansyah., SH

(Direktur Perkumpulan Qbar, Padang)

ABSTRAK

Desa telah lama dikenal sebagai unit sosial - politik dan ekonomi masyarakat hukum adat di seluruh

Indonesia. Desa bertumbuh seiring-sejalan dengan perkembangan masyarakat hukum adat. Sebagai contoh,

Nagari di masyarakat adat Minangkabau. Nagari muncul dalam tahapan-tahapannya sebagai unit sosial

politik yang dimulai dari manaruko (pembukaan hutan), manaratak (persiapan lahan pertanian dan

pemukiman), dusun (pemukiman sederhana), koto (kumpulan pemukiman) dan Nagari (kumpulan koto-

koto). Nagari-nagari kemudian hidup dengan otonom atas wilayah dan susunan pemerintahannya. Kehadiran

organisasi supra struktur seperti kerajaan (kerajaan pagaruyung) dan Negara (Pemerintahan Hindia

Belanda) tidak mengurangi otonomi tersebut.

Desa memang hidup dari masa kemasa dalam serial kehidupan sosial politik bangsa Indonesia, baik sejak

masa Hindu-Buddha, Islam, Kolonial Belanda dan masa kemerdekaan. Pemerintah kolonial Belanda

menyadari hal itu, sehingga melalui Inlandse Gemeente Ordonansi tahun 1906 mengakui desa sebagai

rechtspersoon yang otonom dan punya legal standing (Wignjosoebroto, 2012).

Oleh sebab itu, memang beralasan kiranya, Pendiri Republik Indonesia (founding father) menyadari bahwa

desa sebagai “Roh” kehidupan berbangsa dan bernegara. Upaya itu telah dimulai sejak sidang-sidang Badan

Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), dan sidang-sidang Panitia Persiapan

Kemerdekaan Indonesia (PPKI), sebagaimana tercatat dalam risalah yang dirujuk (Sekretariat Negara

Republik Indonesia, 1995). Moh Yamin secara gamblang menyebutkan ; “… Kesanggupan dan kecakapan

Bangsa Indonesia dalam mengurus tata negara dan hak tanah yang semenjak beribu-ribu tahun menjadi dasar

negara dan rakyat murba, dapat diperhatikan pada susunan persekutuan hukum seperti 21.000 desa di Pulau

Jawa, 700 nagari di Minangkabau, susunan Negeri Sembilan di Malaya, begitu pula di Borneo, di tanah Bugis, di

Ambon, di Minahasa, dan lain-lain sebagainya. …” Hasilnya, pasal 18 UUD 1945 sebelum Amandemen adalah

dasar konstitusional pengakuan desa sekaligus hak – hak masyarakat hukum adat yang melekat terhadapnya

(baca : volksgemeenschappen ).

Pengakuan tidak bersyarat dan otomatis dalam konstitusi ini terputus sejak lahirnya UUPA tahun 1960

melalui persyaratan pengakuan hak-hak masyarakat hukum adat, yang kemudian diikuti dengan persyaratan

administratif pengakuan hak-hak masyarakat hukum adat dalam berbagai peraturan perundang-undangan

Page 3: P a g e - nurulfirmansyah.files.wordpress.com file(Direktur Perkumpulan Qbar, Padang) ABSTRAK ... dengan RUU Desa dan RUU Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat. Kata Kunci : Desa,

2

2 | P a g e

(Bahar, 2012). Kondisi ini diperparah lagi dengan intervensi berlebihan Negara terhadap desa melalui UU

Pemerintahan Desa tahun 1979 yang mereduksi desa sekedar administrasi pemerintahan dalam lingkungan

sentralistik (Zakaria, 2000). Hal-hal tersebut berdampak pada kaburnya desa / masyarakat hukum adat

sebagai subjek hukum yang mempunyai hak (Bahar, 2012). Akibatnya, berbagai tindakan-tindakan

perampasan hak-hak desa masif terjadi sampai saat ini, terutama terkait dengan hak ulayat dan sumber daya

alam.

Makalah ini mencoba menelaah posisi hukum desa sebagai subjek hukum dengan hak-haknya yang melekat

dalam konstitusi dan peraturan perundang-undangan. Metode kajian yang digunakan adalah Yuridis

Normatif dengan menelaah norma-norma peraturan perundang-undangan yang terkait dengan kajian ini

secara sistematis dan logis. Secara teoritis, kajian ini diharapkan berguna bagi penguatan konsep hak-hak

desa / masyarakat hukum adat dalam hukum nasional, dan selanjutnya, secara praktis juga diharapkan bisa

menyumbang masukan dalam proses legislasi pengakuan hak-hak masyarakat hukum adat terutama terkait

dengan RUU Desa dan RUU Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat.

Kata Kunci : Desa, Pengakuan hak-hak masyarakat hukum adat

A. Pendahuluan

Jaminan hukum terhadap masyarakat hukum adat sebagai subjek hukum yang

mempunyai hak asal-usul adalah bentuk perlindungan hukum terhadap keberadaan hak-

hak masyarakat hukum adat. Berbagai persoalan-persoalan pelanggaran hak-hak

masyarakat hukum adat selama ini terkait dengan reduksi otonomi masyarakat hukum

adat dan hak asal usulnya oleh hukum nasional.

Perubahan pasal 18 UUD 1945 berpengaruh besar terhadap kedudukan masyarakat

hukum adat sebagai subjek hukum yang diakui oleh UUD 1945. Perubahan tersebut

berakibat pada pengakuan masyarakat hukum adat dengan hak asal usulnya harus melalui

rezim hukum pemerintah daerah. Pengakuan tersebut adalah penyerahan kewenangan

pemerintah daerah yang otonom kepada persekutuan masyarakat hukum adat melalui

Peraturan Daerah. Artinya, pengakuan kewenangan-kewenangan masyarakat hukum adat,

baik yang berdimensi hukum publik maupun hukum privat adalah hasil keputusan politik

pemerintah daerah.

Di lapangan, dampak ketidakpastian hak asal usul masyarakat hukum adat terlihat

dari maraknya berbagai konflik agraria. Banyak sekali contoh kasus dapat dikemukakan,

mulai dari “sabang sampai merauke”, seperti kasus tanah Hanock Obe Ohee di Papua, Kasus

Page 4: P a g e - nurulfirmansyah.files.wordpress.com file(Direktur Perkumpulan Qbar, Padang) ABSTRAK ... dengan RUU Desa dan RUU Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat. Kata Kunci : Desa,

3

3 | P a g e

tanah perkebunan di Lampung, Kasus tanah perkebunan di Pasaman Barat, Provinsi

Sumatera Barat dan lain-lain (Kurniawarman 2007 :10).

Makalah ini mencoba untuk melacak kembali posisi masyarakat hukum adat sebagai

subjek hukum dan hak asal usulnya dalam hukum nasional. Harapannya, makalah ini dapat

memberi gambaran awal posisi masyarakat hukum adat sebagai subjek hukum dan melihat

peluang-peluang untuk memperkuat pengakuan hak-hak masyarakat hukum adat dalam

hukum nasional.

B. Konsep Masyarakat Hukum Adat

Pengertian mendalam tentang masyarakat hukum adat perlu dihayati pada dua faktor,

yaitu : teritorial dan genealogis yang menjadi dasar pembentukan dan kesinambungan

hidup masyarakat hukum adat (Syahmunir, 2005 : 6). Selanjutnya, pengertian tentang

masyarakat hukum adat disampaikan oleh Kurniawarman mengutip Ter Haar yang

mengemukakan :

Persekutuan itu dapat diartikan sebagai kelompok manusia yang teratur, bersifat tetap

dengan mempunyai kekuasaan tersendiri berupa benda (kekayaan) baik yang kelihatan

maupun yang tidak kelihatan. Tidak ada seorangpun dari mereka yang mempunyai

pikiran untuk membubarkan kelompok tersebut. Di situlah terdapat hukum adatsebagai

endapan dari kenyataan social yang didukung dan dipelihara oleh dan dalam keputusan

pemegang kekuasaan atau penghulu rakyat dan rapat yang dijatuhkan atas sesuatu

tindakan hukum atau atas suatu perselisihan (beslisingenleer). Menurutnya, masyarakat

hukum itu terbentuk baik karena faktor teritorial (daerah) maupun faktor genealogis

(keturunan), (Kurniawarman, 2006 : 43).

Masyarakat hukum adat secara territorial adalah persekutuan hukum yang terikat oleh

teritorial. Sebagaimana dijelaskan oleh syahmunir, bahwa :

Sarjana hukum adat, baik itu Ter Haar, Soepomo dan lainnya berpendapat Desa di Jawa,

Madura dan Bali merupakan contoh dari struktur masyarakat hukum adat yang

berdasarkan teritorial, khususnya Dorpsgemeenschap (….). Desa dalam pengetian

masyarakat hukum adat secara territorial ini adalah kesatuan hukum sebagai tempat

Page 5: P a g e - nurulfirmansyah.files.wordpress.com file(Direktur Perkumpulan Qbar, Padang) ABSTRAK ... dengan RUU Desa dan RUU Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat. Kata Kunci : Desa,

4

4 | P a g e

tinggal suatu masyarakat yang berkuasa mengadakan pemerintahan sendiri (Syahmunir,

2005 : 6)—autonom.

Oleh Chairul Anwar diperkuat lagi, bahwa ;

Masyarakat hukum adat yang merupakan persekutuan hukum yang terikat oleh daerah

(teritorial) sebagai unsur pokok tali pengikat persekutuan hukum tersebut, seperti di

Jawa, sedangkan persekutuan hukum yang terikat oleh daerah (teritorial) sekaligus

genealogi, seperti di minangkabau (nagari) (….). Dan juga terdapat persekutuan hukum

yang hanya terikat oleh geneologis saja yang tentunya sangat sukar untuk menentukan

batas-batas kediamannya (Chairul Anwar, 1997 : 8).

Sedangkan, persekutuan hukum yang terikat pada teritorial dan genelogis salah

satunya terlihat pada contoh masyarakat hukum adat minangkabau (Nagari). Nagari

terbentuk dari tatanan masyarakat berdasarkan garis keturunan genelogis matrilineal.

Tatanan tersebut dimulai dari paruik yang merupakan keluarga luas yang terdiri dari

beberapa keluarga inti, pengembangan paruik-paruik yang menjadi kaum dan gabungan

dari kaum-kaum akan menjadi suku (Kurniawarman, 2012 : 41). Suku merupakan ikatan

pertalian darah (genelogis) yang tidak mesti terikat, dan dibatasi oleh teritorial.

Masyarakat hukum adat minangkabau mempunyai empat (4) suku utama, yaitu ; Koto,

Piliang, Bodi, dan Caniago (Kurniawarman, 2012 : 41). Himpunan beberapa suku akan

membentuk satu nagari dalam bentuk satuan organisasi pemukinan. Pembentukan

tersebut menunjukkan adanya ikatan territorial yang mengikat semua anggota dari

beberapa suku dan suku hanya menunjukkan adanya ikatan genealogis (Kurniawarman,

2012 : 42).

Selanjutnya, Kurniawarman menyebutkan dengan mengutip Soerjono Soerkanto dan

Taneko (1986 : 107108) yang mengemukakan pendapat Hazairin bahwa:

Masyarakat hukum adat, seperti desa di jawa, marga di Sumatera Selatan, nagari di

Minangkabau, Kuria di Tapanuli, Wanua di Sulawesi Selatan adalah kesatuan-kesatuan

masyarakat yang mempunyai kelengkapan-kelengkapan untuk sanggup berdiri sendiri.

Page 6: P a g e - nurulfirmansyah.files.wordpress.com file(Direktur Perkumpulan Qbar, Padang) ABSTRAK ... dengan RUU Desa dan RUU Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat. Kata Kunci : Desa,

5

5 | P a g e

Mereka mempunyai kesatuan hukum, kesatuan penguasa dan kesatuan lingkungan

hidup berdasarkan hak bersama atas tanah dan air bagi semua anggotanya

(Kurniawarman, 2006 : 43).

Namun kenyataannya, masyarakat hukum adat tidak sepenuhnya otonom setelah

bersinggungan dengan Negara. Reduksi otonomi masyarakat hukum adat tersebut oleh

Kurniawarman dinyatakan sebagai :

Secara faktual kondisi ini membuat setiap persekutuan hukum adat

(Rechtsgemeenschappen) menjadi tidak sepenuhnya otonom seperti sebelumnya. Secara

teori, menurut Moore, dalam perspektif hukum dan perubahan sosial (Law and Social

Change) gambaran ketidakmutlakan autonomi suatu kelompok itu disebut dengan

istilah semi-autonomous social field (Kurniawarman, 2007 : 4).

Kondisi diatas adalah konsekuensi dari peleburan masyarakat hukum adat dalam entitas

Negara, sehingga masyarakat hukum adat berada pada kondisi semi-autonom terhadap

negara (Kurniawarman, 2007 : 4). Peleburan yang mengakibatkan berkurangnya autonomi

masyarakat hukum adat berlaku bagi entitas yang terikat pokok secara territorial seperti di

jawa, terikat secara genelogis dan terikat secara genelogis – territorial seperti di nagari.

Proses itu telah dimulai sejak pemerintahan kolonial Belanda sampai dengan zaman

kemerdekaan hari ini.

Selanjutnya, untuk melacak bagaimana persekutuan-persekutuan masyarakat hukum

adat tersebut dalam kerangka negera Indonesia, maka dilihat dalam penyusunan UUD

1945. Dalam penyusunan tersebut, pendiri bangsa mempunyai perhatian khusus terhadap

persekutuan-persekutuan masyarakat hukum adat. Perhatian tersebut kemudian

dicurahkan dalam pasal 18 UUD 1945 yang dijelaskan dengan sebutan susunan asli1

masyarakat hukum adat sebagai bagian dari Negara dan penyelenggara Negara.

1 Dalam terminologi Pasal 18 UUD 1945 (sebelum Amandemen), susunan asli terdiri dari dua bentuk : (1)

Zelfbesturende landschappen yaitu kerajaan-kerajaan, dan (2) volksgemeenschappen, yaitu : desa atau nama lain

seperti nagari, marga, dusun dan lain-lain. Susunan asli dalam makalah ini memfokuskan pada konteks desa atau

nama lain dalam konsep UUD 1945 (selanjutnya lihat, Yando Zakaria, (2012) makalah : Menggagas Arah Kebijakan

Page 7: P a g e - nurulfirmansyah.files.wordpress.com file(Direktur Perkumpulan Qbar, Padang) ABSTRAK ... dengan RUU Desa dan RUU Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat. Kata Kunci : Desa,

6

6 | P a g e

Susunan asli masyarakat hukum adat tersebut adalah desa atau nama lain yang dalam

konsep UUD 1945 disebut dengan volksgemeenschappen. Desa atau nama lain merupakan

susunan asli masyarakat hukum adat yang terikat secara territorial, genelogis dan

territorial genelogis seperti yang dibahas sebelumnya. Untuk melihat kedudukan desa atau

nama lain dalam UUD 1945 berikut akan dibahas dibawah ini.

C. Masyarakat Hukum Adat, Susunan Asli dan Desa dalam UUD 1945.

Memang, hubungan masyarakat hukum adat dengan Negara menjadi isu sentral

kualitas autonomi masyarakat hukum adat terutama terhadap wilayahnya (hak ulayat),

yaitu susunan asli yang bernama desa, nagari, marga dan nama-nama lainnya. Oleh sebab

itu, UUD 1945 yang lahir dari buah pikir pendiri bangsa memperhatikan secara serius

hubungan Negara dengan susunan-susunan asli masyarakat hukum adat tersebut. Saldi

Isra menulis, bahwa Soepomo dalam Rapat Besar BPUPK tanggal 14 Juli 1945 menyatakan :

….Jadi rancangan undang-undang dasar memberi kemungkinan untuk mengadakan

pembagian daerah Indonesia dalam daerah-daerah yang besar dan untuk membagi

daerah-daerah besar itu atas daerah-daerah yang kecil. Dengan memandang dan

mengingat “dasar permusyawaratan,” artinya bagaimana bentuknya pemerintah daerah,

pemerintahan itu harus berdasarkan atas musyawarah, jadi misalnya dengan

mengadakan Dewan Perwakilan Daerah. Hak asal usul dalam daerah yang bersifat

istimewa harus diperhatikan juga. Daerah-daerah yang bersifat istimewa itu ialah

pertama daerah Kerajaan (Kooti), baik Djawa maupun diluar Djawa, daerah-daerah yang

dalam bahasa Belanda dinamakan Zelfbesturende landschappen. Kedua, daerah-daerah

kecil yang mempunyai susunan asli, ialah dorfgemeinschaften, daerah-daerah kecil yang

mempunyai susunan rakyat asli seperti desa di jawa, negeri di Minangkabau, dusun dan

marga di Palembang, Huta di Tapanuli, Gampong di Aceh. Maksud panitia ialah

hendaknya adanya daerah-daerah istimewa tadi. Ialah daerah kerajaan (Zelfbesturende

dan Regulasi tentang Desa yang Menyembuhkan Indonesia, Disampaikan pada Simposium Konsolidasi Jaringan

Advokasi RUU Desa yang diselenggarakan oleh Pengembangan Pembaruan Desa.

Page 8: P a g e - nurulfirmansyah.files.wordpress.com file(Direktur Perkumpulan Qbar, Padang) ABSTRAK ... dengan RUU Desa dan RUU Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat. Kata Kunci : Desa,

7

7 | P a g e

landschappen) dan desa-desa itu menghormati dan memperbaiki susunan aslinya (Saldi

Isra, 2012 :3).

Selanjutnya, pendapat Soepomo tersebut menjadi dasar pembentukan penjelasan pasal

18 UUD 1945 (sebelum amandemen) yang menyebutkan ;

I. Oleh karena Negara Indonesia itu suatu een heidsstaat, maka Indonesia tak akan

mempunyai daerah didalam lingkungannya yang bersifat staat juga. Daerah

Indonesia akan dibagi dalam daerah propinsi dan daerah propinsi akan dibagi pula

dalam daerah yang lebih kecil.

Didaerah-daerah yang bersifat autonom (streek dan Locale reschtgemeenschappen)

atau bersifat daerah administrasi belaka, semuanya menurut aturan yang akan

ditetapkan dengan undang-undang. Didaerah-daerah yang bersifat autonom akan

diadakan badan perwakilan daerah, oleh karena di daerahpun pemerintahan akan

bersendi atas dasar permusyawaratan.

II. Dalam teritoir Negara Indonesia terdapat lebih kurang 250 “Zelfbesturende

landschappen” dan “Volksgemeenschappen”. Seperti desa di Jawa dan Bali, negeri di

Minangkabau, dusun dan marga di Palembang dan sebagainya. Daerah – daerah ini

mempunyai susunan asli dan oleh karenanya dapat dianggap sebagai daerah yang

bersifat istimewa. Negara Republik Indonesia menghormati kedudukan daerah-

daerah istimewa tersebut dan segala peraturan Negara yang mengenai daerah itu

akan mengingati hak-hak asal usul daerah tersebut.

Berdasarkan pasal 18 tersebut. Saldi Isra menjelaskan susunan Negara Republik Indonesia

dalam tiga bentuk, yaitu :

1. Daerah yang berstatus daerah otonom, yang terdiri dari propinsi dan

kabupaten/kota.

2. Daerah yang berstatus daerah administratif.

Page 9: P a g e - nurulfirmansyah.files.wordpress.com file(Direktur Perkumpulan Qbar, Padang) ABSTRAK ... dengan RUU Desa dan RUU Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat. Kata Kunci : Desa,

8

8 | P a g e

3. Daerah yang berstatus sebagai daerah istimewa, seperti negeri di Minangkabau,

dusun dan marga di Palembang, kerajaan seperti di Yogyakarta, dan lain-lain (Saldi

Isra, 2012 : 5).

Daerah istimewa seperti yang disebutkan diatas, melekat hak asal usul, dibagi atas dua

bentuk, yaitu : pertama, kerajaan-kerajan atau Zelfbesturende landschappen dan kedua,

Desa / nama lainnya / susunan asli / Volksgemenschappen. Volksgemenschappen atau Desa

atau nama lainnya dalam pengertian pasal 18 inilah yang disebut juga dengan susunan asli

masyarakat hukum adat, baik yang terikat secara territorial, genelogis dan territorial

genelogis dalam pengertian konstitusionalnya.

Sejak amandemen UUD 1945 yang juga merubah pasal 18 berimplikasi pada

kedudukan Desa dan atau susunan asli masyarakat hukum adat. Susunan asli masyarakat

hukum adat tidak lagi diakui secara jelas pada pasal 18 hasil perubahan tersebut. Saldi Isra

menyebutkan bahwa perubahan pasal 18 UUD 1945 berakibat pada :

1. Ketentuan pasal 18 B ayat (2) UUD dihubungkan dengan Pasal 18B ayat (2) UUD

1945 dapat dipahami bahwa keberadaan masyarakat adat diakui secara

konstitusional, namun eksistensi daerah-daerah yang mempunyai susunan asli

yang dihuni masyarakat hukum adat tidak mendapatkan jaminan. Atau dengan kata

lain : subjeknya diakui, namun daerah tempat tinggalnya tidak mendapatkan

pengakuan.

2. Pengaturan tentang masyarakat hukum adat masuk dalam rezim pemerintahan

daerah, namun kedudukan masyarakat hukum adat dengan susunan asli yang

mempunyai hak asal usul dalam penyelenggaran Negara tidak lagi diakui.

3. Pengakuan konstitusi terhadap masyarakat hukum adat sebagai subjek bersyarat

pada pasal 18B ayat 2, yaitu “sepanjang masih hidup,” “sesuai dengan

perkembangan masyarakat,” dan “prinsip Negara kesatuan.”

Page 10: P a g e - nurulfirmansyah.files.wordpress.com file(Direktur Perkumpulan Qbar, Padang) ABSTRAK ... dengan RUU Desa dan RUU Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat. Kata Kunci : Desa,

9

9 | P a g e

D. Masyarakat Hukum Adat Sebagai Subjek Hukum

Pengakuan masyarakat hukum adat dalam Pasal 18 B ayat (2) UUD 1945 tidak

otomatis menyelesaikan persoalan masyarakat hukum adat sebagai subjek hukum, baik

dalam ranah hukum publik maupun dalam ranah hukum privat yang mempunyai hak-hak

tradisional / hak asal usul, terutama hak-hak masyarakat hukum adat atas wilayahnya

(Hak ulayat). Pentingnya membahas masyarakat hukum adat sebagai subjek hukum terkait

dengan jaminan hukum terhadap hak-hak masyarakat hukum adat, sehingga terlindungi

secara hukum. Adapun Masyarakat hukum adat dalam konteks subjek hukum adalah

sebagai Badan Hukum2 yang merupakan Persekutuan hukum yang terbentuk karena

perkembangan faktor-faktor sosial dan politik dalam sejarah (Gemeenschap), bukan Badan

Hukum dalam artian perhimpunan yang dibentuk dengan sengaja dan sukarela oleh orang-

orang bermaksud untuk memperkuat kedudukan ekonomis mereka,atau kegiatan-

kegiatan lain (verenigingen). Masyarakat hukum adat sebagai badan hukum mempunyai

kewenangan / hak dalam dimensi hukum publik maupun dimensi hukum privat.

1. Masyarakat Hukum Adat sebagai Badan Hukum Dalam Dimensi Hukum Publik

Bagian ini akan membahas posisi hukum masyarakat hukum adat sebagai Badan

Hukum yang mempunyai hak (kewenangan) publik (kemudian disebut Badan Hukum

Publik). Pengakuan hukum masyarakat hukum adat sebagai Badan Hukum Publik terkait

dalam pasal 18 UUD 1945. Dalam pasal 18 UUD 1945 sebelum perubahan, jelas bahwa

susunan asli masyarakat hukum adat dalam bentuk desa, nagari atau nama lain

mempunyai kewenangan publik berdasarkan hak asal usul yang bersifat istimewa,

termasuk kewenangannya terhadap wilayah dan sumber daya alam yang terkandung

didalamnya.

2 Badan hukum dalam ilmu hukum adalah entitas pembawa hak dan yang tak berjiwa dapat melakukan sebagai

pembawa hak manusia, misalnya : dapat melakukan persetujuan-persetujuan, memiliki kekayaan yang sama sekali

terlepas dari kekayaan anggotanya, (Kansil, 2002 : 86). Selanjutnya, Kansil juga menyebutkan jenis-jenis Badan

hukum, yaitu Badan Hukum Publik seperti Negara sampai dengan Desa dan Badan Hukum Privat yang Badan

Hukum Privat Eropa dan Badan Hukum Privat Indonesia (Kansil, 2002 : 86).

Page 11: P a g e - nurulfirmansyah.files.wordpress.com file(Direktur Perkumpulan Qbar, Padang) ABSTRAK ... dengan RUU Desa dan RUU Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat. Kata Kunci : Desa,

10

10 | P a g e

Namun, sejak Perubahan Pasal 18 UUD 1945 berakibat pada kaburnya posisi hukum

masyarakat hukum adat sebagai Badan Hukum Publik dalam penyelenggaran Negara yang

mempunyai hak asal usul, karena : (1) hanya mengenal pembagian wilayah Negara dalam

daerah-daerah propinsi dan daerah propinsi di bagi dalam daerah-daerah kabupaten

dalam asas otonomi daerah dan (2) tidak mengenal lagi wilayah susunan asli masyarakat

hukum adat yang mempunyai hak asal usul (Saldi Isra, 2012 : 13). Walaupun demikian,

Pasal 18 B Ayat 2 hasil perubahan, sebagaimana disebutkan oleh Saldi Isra menjelaskan:

Pengakuan hak-hak masyarakat hukum adat dengan hak-hak tradisionalnya dalam Pasal

18 B Ayat 2 merupakan pengakuan atas ikatan bathin dan ikatan kebendaan antara

masyarakat hukum adat dengan wilayahnya. Berdasarkan ikatan tersebut, masyarakat

hukum adat mempunyai hak atas penetapan wilayah dan batas wilayahnya. Namun hak

tradisional itu tidak otomatis bisa dilaksanakan karena tidak ada lagi pengakuan

wilayah berdasarkan susunan asli masyarakat hukum adat dalam Pasal 18 dan wilayah

masyarakat hukum adat tersebut masuk dalam rezim pemerintahan daerah (Saldi Isra,

2012 : 13-14).

Artinya, Pasal 18 hasil perubahan mengakui masyarakat hukum sebagai Subjek Hukum,

khususnya Badan Hukum publik yang juga mempunyai hak-hak dan kewenangan atas

wilayah melalui Undang-Undang dalam rezim hukum pemerintah daerah.

Bila ditelusuri lebih lanjut dalam rezim hukum pemerintah daerah. Terdapat peluang

pengakuan masyarakat hukum adat sebagai badan hukum publik, yaitu dalam PP 72/2005

tentang Desa (Kurniawarman, 2007 : 12), selanjutnya Kurniawarman menjelaskan :

Penjelasan pasal 7 huruf a dab b, memberikan uraian tentang apa yang dimaksud

dengan hak asal usul desa, yaitu hak untuk mengatur dan mengurus kepentingan

masyarakat setempat sesuai dengan asal usul, adat istiadat yang berlaku dan tidak

bertentangan dengan peraturan perundang-undangan seperti subak, jogoboyo, jogotirto,

sasi, mapalus, kaolatan, kajaroan, dan lain-lain (…) … pelaksanaan hak asal usul oleh

desa dilaksanakan dengan terlebih dahulu diidentifikasi hak asal usul yang hidup di desa

tersebut. Selanjutnya ditetapkan melalui Peraturan Daerah ditingkat kabupaten / kota,

Page 12: P a g e - nurulfirmansyah.files.wordpress.com file(Direktur Perkumpulan Qbar, Padang) ABSTRAK ... dengan RUU Desa dan RUU Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat. Kata Kunci : Desa,

11

11 | P a g e

adapun jenis-jenis kewenangan yang diserahkan ke desa, seperti kewenangan dibidang

pertanian, pertambangan dan energy, kehutanan dan perkebunan, perindustrian dan

perdagangan, perkoperasian, ketenagakerjaan, kesehatan, pendidikan dan kebudayaan,

social, pekerjaan umum, perhubungan, lingkungan hidup, perikanan, politik dalam

negeri dan administrasi publik, otonomi desa, perimbangan keuangan, tugas

pembantuan, pariwisata, pertanahan, kependudukan, kesatuan bangsa dan

perlindungan masyarakat, perencanaan, penerangan/informasi dan komunikasi

(Kurniawarman, 2007 : 14).

Pengakuan masyarakat hukum adat sebagai badan hukum publik, memang tidak

sekuat sebelum perubahan pasal 18 UUD 1945. Pengakuan masyarakat hukum adat

sebagai badan hukum publik itu kini terikat oleh kemauan politik pemerintah daerah untuk

mengakui hak-hak asal usul tersebut melalui Peraturan Daerah. Kondisi tersebut terkait

dengan pengakuan masyarakat hukum adat sebagai badan hukum publik yang

menjalankan penyelenggaraan Negara sebagai penyerahan kewenangan pemerintah

daerah kepada desa dalam rezim otonomi daerah, bukan pada pengakuan konstitusional

yang utuh terhadap susunan asli masyarakat hukum adat / desa berdasarkan hak asal usul.

2. Masyarakat Hukum Adat sebagai Badan Hukum Dalam Dimensi Hukum Privat

Masyarakat hukum adat selain mempunyai kewenangan publik, juga melekat

kewenangan-kewenangan yang bersifat keperdataan (privat), yaitu kewenangan untuk

mengadakan perjanjian dengan pihak ketiga tentang pemanfaatan bagian-bagian dari

ulayat (Kurniawarman, 2005 : 414). Kewenangan Badan Hukum Masyarakat hukum adat

dalam dimensi hukum privat terkait erat tersebut dengan hak atas tanah (Hak Ulayat).

Pengakuan masyarakat hukum adat sebagai Badan Hukum Privat ini terkait hak Pertuanan

(Beschikkingsrecht) atau tanah komunal dalam Pasal 3 UUPA. Hak pertuanan ini tidak

dijelaskan secara rinci oleh UUPA namun merujuk pada kepustakaan adat. Oleh Ter Haar,

yang dikutip oleh Kurniawarman menyebutkan bahwa :

Page 13: P a g e - nurulfirmansyah.files.wordpress.com file(Direktur Perkumpulan Qbar, Padang) ABSTRAK ... dengan RUU Desa dan RUU Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat. Kata Kunci : Desa,

12

12 | P a g e

Sebagai badan hukum (Persekutuan Hukum); masyarakat hukum adat memiliki

kewenangan terhadap tanah ulayat (Beschikkingsrecht) dapat dibagi dua ; pertama,

berlakunya kedalam, bahwa masyarakat atau anggota-anggotanya berwenang

menggunakan hak pertuanan itu dengan jalan memungut hasil tanah beserta binatang-

binatang dan tanaman-tanaman yang terdapat diwilayah kekuasaannya, kedua,

kewenangan yang berlaku keluar. Bahwa orang luar dari masyarakat yang bersangkutan

boleh memungut hasil pertuanannya, setelah mendapat izin dari persekutuan

bersangkutan, orang luar tersebut juga harus membayar uang pengakuan di muka, serta

uang penggantian kebelakang. Hak yang diberikan itu adalah hak menikmati hasil

(genotrecht) dan itu hanya berlaku sekali panen.

Dalam hal berlaku kedalam, setiap anggota masyarakat hukum adat sebagai individu

(natuurlijk person) diperbolehkan mendapatkan hak atas sebagian tanah komunal (tanah

ulayat) (Kurniawarman, 2012 : 18)—hubungan hukum antara anggota masyarakat hukum

adat dengan tanahnya kemudian disebut hak privat. Hubungan hak privat dan tanah

komunal dalam persekutuan hukum masayarakat hukum adat digambarkan oleh Herman

Soesangobeng yang dikutip oleh Kurniawarman sebagai berikut :

Ketika proses pemilikan tanah menurut hukum adat, yang terjadi pada saat hubungan

hak atas tanah mulai dijalin, pengaruh kewenangan masyarakat hukum adat masih kuat

dan penuh, tetapi setelah intensitas penggunaan tanah berlangsung cukup lama,

kewenangan subyek hak (individu) menjadi lebih kuat dan pada saat bersamaan

kewenangan masyarakat hukum adat menjadi semakin lemah, sekalipun tidak lenyap

sama sekali.

Dalam hal berlaku keluar, Kurniawarman dengan merujuk pada Van Vollenhoven

menyebutkan :

Pemberian izin pemanfaatan oleh “orang asing” diluar persekutuan hukum mesti

membayar uang pengakuan (recognitie) dan hak ulayat tersebut tidak dapat dilepaskan

walaupun dimanfaatkan oleh “orang asing” diluar persekutuan hukum. Jika dilepaskan

Page 14: P a g e - nurulfirmansyah.files.wordpress.com file(Direktur Perkumpulan Qbar, Padang) ABSTRAK ... dengan RUU Desa dan RUU Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat. Kata Kunci : Desa,

13

13 | P a g e

sementara untuk orang asing dan berakibat kerugian, maka orang asing tersebut harus

membayar ganti kerugian kepada persekutuan hukum yang memiliki tanah

(Kurniawarman, 2012 :18).

E. Kesimpulan

1. Pengakuan hukum terhadap masyarakat hukum adat sebagai Badan Hukum Publik

terkait dengan konsep susunan asli dalam bentuk desa, nagari, marga dan atau

nama lainnya dalam pasal 18 UUD 1945 sebelum perubahan. Di sini masyarakat

hukum adat adalah badan hukum publik yang mempunyai kewenangan

penyelenggaraan Negara dalam kerangka Negara kesatuan Republik Indonesia

dengan menjalankaman hak asal usulnya yang bersifat istimewa, seperti ;

menentukan sendiri sistem pemerintahan desa, nagari atau nama lain berdasarkan

hak asal usul, menentukan wilayah persekutuan hukumnya dan lain-lain.

2. Sejak perubahan Pasal 18 UUD 1945, posisi hukum masyarakat hukum adat sebagai

Badan Hukum Publik menjadi kabur karena tidak lagi dikenal susunan asli

berdasarkan hak asal usul, terutama terkait wilayah persekutuan hukum adat.

Kewenangan-kewenangan publik masyarakat hukum adat berada dalam kerangka

hukum pemerintah daerah yang diserahkan Pemerintah Daerah ke desa sehingga

otonomi desa berdasarkan hak asal usul tidak lagi sekuat sebelum perubahan pasal

18 UUD 1945.

3. Kewenangan – kewenangan masyarakat hukum adat sebagai Badan Hukum dalam

dimensi hukum privat terkait dengan penguasaan atas tanah (hak ulayat).

Masyarakat hukum adat mempunyai kekuasaan penuh atas tanahnya sebagai bagian

dari kekayaan masyarakat hukum adat yang melekat. Penguasaan itu bersifat

komunal dan dapat di serahkan pada individu-individu dari anggota persekutuan

hukum untuk digunakan. Pengguanaan tanah ulayat oleh “orang asing” / subjek

hukum diluar persekutuan hukum melalui mekanisme pengakuan (recognitie)

dengan tidak menghilangkan hak ulayat tersebut atau pelepasan sementara.

Page 15: P a g e - nurulfirmansyah.files.wordpress.com file(Direktur Perkumpulan Qbar, Padang) ABSTRAK ... dengan RUU Desa dan RUU Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat. Kata Kunci : Desa,

14

14 | P a g e

F. Saran

Untuk memperkuat masyarakat hukum adat sebagai subjek hukum yang mempunyai

hak dalam hukum nasional adalah melalui “pengakuan”. “Pengakuan” tersebut secara

konstruksi hukum nasional hanya bisa dilakukan dalam rezim hukum pemerintah daerah,

yaitu melalui Peraturan Daerah dengan mengembalikan lagi susunan asli / desa / nagari /

nama lain yang mempunyai hak asal usul, termasuk hak atas tanah (wilayah) sehingga

terdapat kepastian atau jaminan hak-hak masyarakat hukum adat, baik yang bersifat

dimensi hukum publik, maupun yang lebih berdimensi hukum privat.

Daftar Pustaka

Anwar, Chairul, 1997, ”Hukum adat Indonesia, meninjau hukum adat minangkabau,” Rineka Cipta,

Jakarta

Harsono, Boedi, 2003, ” Hukum Agraria Indoensia : Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok

Agraria, Isi dan Pelaksanaannya,” Djambatan, Jakarta.

Hutagalung, Arie, 2005, ”Tebaran Pemikiran Seputar Masalah Hukum Tanah,” Lembaga

Pemberdayaan Hukum Indonesia, Jakarta

Isra, Saldi, 2012, ” Makalah : Perubahan Pasal 18 UUD 1945 : Otonomi Daerah, Otonomi Desa dan

Keberadaan Masyarakat Adat,” Disampaikan dalam Simposium Masyarakat Adat di Epistema

Institute, Jakarta.

Kansil,C.S.T, 2002, ”Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia : Jilid I,” Balai Pustaka,

Jakarta

Kurniawarman, 2006, “Ganggam Bauntuak Menjadi Hak Milik : Penyimpangan Hak Atas Tanah di

Sumatera Barat, Andalas University Press, Padang

Kurniawarman, 2007, “ Nasib Tenurial Data Atas Kawasan Hutan : Tumpang Tindih Klaim Data dan

Negara pada Aras Lokal di Sumatera Barat,” HuMa, Jakarta.

Kurniawarman (ed), 2012, “ Studi Kebijakan : Penguatan Tenurial Masyarakat Dalam Penguasaan

Hutan,” World Agroforestry Centre, Bogor

Soemarman, Anto, 2003, “ Hukum Adat : Perspektif Sekarang dan Mendatang,” Adi Cipta,

Yogyakarta

Syahmunir, 2005,” Eksistensi tanah ulayat dalam perundang-undangan di Indonesia,” Pusat

pengkajian Islam dan Minangkabau, Padang

Page 16: P a g e - nurulfirmansyah.files.wordpress.com file(Direktur Perkumpulan Qbar, Padang) ABSTRAK ... dengan RUU Desa dan RUU Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat. Kata Kunci : Desa,

15

15 | P a g e

Zakaria, Yando, 2012, “Makalah : Menggagas Arah Kebijakan dan Regulasi tentang Desa yang

Menyembuhkan Indonesia,” disampaikan Simposium Konsolidasi Advokasi RUU Desa,

Yogyakarta