OZAENA

26
BAB I PENDAHULUAN Rinitis atrofi adalah penyakit infeksi hidung kronik, yang ditandai adanya atrofi progresif pada mukosa dan tulang konka dan pembentukan krusta. Secara klinis mukosa hidung menghasilkan sekret yang kental dan cepat mengering sehingga terbentuk krusta yang berbau busuk. 1,2,3,4,5,6,7,8,9 Penyakit ini sering ditemukan dikalangan masyarakat dengan tingkat sosial ekonomi rendah dan lingkungan yang buruk, serta di negara sedang berkembang. Beberapa kepustakaan menuliskan bahwa rinitis atrofi lebih sering mengenai wanita, terutama pada usia pubertas. 1,2,3,4,5,6,7 Gejala klinis rinitis atrofi biasanya berupa hidung tersumbat, gangguan penghidu (anosmia), napas berbau, epistaksis, hidung terasa kering dan sakit kepala. Tanda klinis adalah dijumpai rongga hidung yang dipenuhi krusta berwarna kuning kehijauan terutama pada dinding lateral hidung. 1,2,3,4,5,6,7 Etiologi mengenai penyakit rinitis atrofi ini masih dalam tahap penelitian, beberapa pathogen penting yang berhubungan dengan penyakit ini adalah Coccobacillus, Bacillus mucosus, Coccobacillus foetidus ozaenae, Diptheroid bacilli dan Klebsiella ozaenae. 1,2,3 MASYURIDA (0810070100103) 1

Transcript of OZAENA

Page 1: OZAENA

BAB I

PENDAHULUAN

Rinitis atrofi adalah penyakit infeksi hidung kronik, yang ditandai adanya atrofi progresif

pada mukosa dan tulang konka dan pembentukan krusta. Secara klinis mukosa hidung

menghasilkan sekret yang kental dan cepat mengering sehingga terbentuk krusta yang berbau

busuk.1,2,3,4,5,6,7,8,9

Penyakit ini sering ditemukan dikalangan masyarakat dengan tingkat sosial ekonomi

rendah dan lingkungan yang buruk, serta di negara sedang berkembang. Beberapa kepustakaan

menuliskan bahwa rinitis atrofi lebih sering mengenai wanita, terutama pada usia pubertas. 1,2,3,4,5,6,7

Gejala klinis rinitis atrofi biasanya berupa hidung tersumbat, gangguan penghidu

(anosmia), napas berbau, epistaksis, hidung terasa kering dan sakit kepala. Tanda klinis adalah

dijumpai rongga hidung yang dipenuhi krusta berwarna kuning kehijauan terutama pada

dinding lateral hidung.1,2,3,4,5,6,7

Etiologi mengenai penyakit rinitis atrofi ini masih dalam tahap penelitian, beberapa

pathogen penting yang berhubungan dengan penyakit ini adalah Coccobacillus, Bacillus

mucosus, Coccobacillus foetidus ozaenae, Diptheroid bacilli dan Klebsiella ozaenae. 1,2,3

Oleh karena etiologi yang belum pasti. Maka pengobatan belum ada yang baku.

Pengobatan ditujukan untuk menghilangkan faktor penyebab, selain menghilangkan gejalanya.

Pengobatan dapat diberikan secara konservatif atau jika tidak menolong dapat dilakukan

tindakan operasi.9

BAB IIMASYURIDA (0810070100103) 1

Page 2: OZAENA

ANATOMI DAN FISIOLOGI HIDUNG

2.1 ANATOMI HIDUNG

Gambar 1. Anatomi hidung20

Secara anatomi hidung dibagi atas hidung luar dan hidung dalam.1,6,7

HIDUNG LUAR

Hidung luar berbentuk piramid dengan bagian-bagiannya dari atas ke bawah, yaitu :

1. Pangkal hidung (bridge)

2. Batang hidung (dorsum nasi)

3. Puncak hidung (tip)

4. Ala nasi

5. Kolumela

6. Lubang hidung (nares anterior)

MASYURIDA (0810070100103) 2

Page 3: OZAENA

Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi oleh kulit,

jaringan ikat, dan beberapa otot kecil yang berfungsi untuk melebarkan atau menyempitkan

lubang hidung. Kerangka tulang terdiri dari 1,6,7:

1. Os nasal

2. Processus frontalis os maxilla

3. Processus nasalis os frontal

Gambar 2. Tulang rawan pada hidung luar.1

Sedangkan kerangka tulang rawan terdiri dari beberapa pasang tulang rawan yang terletak

di bagian bawah hidung, yaitu:

1. Sepasang kartilago nasalis lateralis superior

2. Sepasang kartilago nasalis lateralis inferior ( kartilago ala mayor)

3. Beberapa pasang kartilago ala minor

4. Tepi anterior kartilago septum.

HIDUNG DALAM

Kavum nasi berbentuk terowongan dari depan ke belakang yang dipisahkan oleh septum

nasi di bagian tengahnya menjadi kavum nasi kanan dan kiri. Lubang masuk kavum nasi bagian

depan disebut nares anterior dan lubang belakang disebut nares posterior (koana) yang

menghubungkan kavum nasi dengan nasofaring.

MASYURIDA (0810070100103) 3

Page 4: OZAENA

Bagian dari kavum nasi yang letaknya sesuai dengan ala nasi, tepat dibelakang nares

anterior disebut vestibulum. Vestibulum ini dilapisi oleh kulit yang mempunyai banyak kelenjar

sebasea dan rambut-rambut panjang disebut vibrise.1,6

Gambar 3. Dinding Lateral Hidung.1

Tiap kavum nasi mempunyai empat buah dinding, yaitu dinding medial, lateral, inferior

dan superior.

Dinding medial hidung adalah septum nasi. Septum nasi dibentuk oleh tulang dan tulang

rawan. Bagian tulang adalah :

1. Lamina perpendikularis os ethmoidalis

2. Os vomer

3. Krista nasalis os maxilla

4. Krista nasalis os palatina

Adapun bagian tulang rawan adalah :

1. Kartilago septum nasi ( lamina kuadrangularis)

2. Kolumela

MASYURIDA (0810070100103) 4

Page 5: OZAENA

Dinding lateral terdapat empat buah konka. Yang terbesar dan letaknya paling bawah

adalah konka inferior, yang lebih kecil adalah konka media dan yang lebih kecil lagi adalah

konka superior serta yang terkecil adalah konka suprema.1,7

Diantara konka-konka dan dinding lateral hidung terdapat rongga sempit yang disebut

meatus. Berdasarkan letak meatus, ada tiga meatus yaitu meatus inferior, medius dan superior.

Pada meatus inferior terdapat muara ( ostium) duktus nasolakrimalis. Pada meatus medius

terdapat muara sinus frontal, sinus maxilla dan sinus ethmoidalis anterior sedangkan pada

meatus superior terdapat muara sinus ethmoidalis posterior dan sinus sphenoidalis. 1,7

Dinding inferior merupakan dasar rongga hidung dan dibentuk oleh os maxilla dan os

palatum. Dinding superior sangat sempit dan dibentuk oleh lamina kribriformis yang

memisahkan rongga tengkorak dari rongga hidung. Lamina kribriformis ini merupakan lempeng

tulang yang berasal dari os ethmoidalis. Tulang ini berlubang-lubang dan tempat masukna

serabut-serabut saraf olfaktorius. 1,7

SUPLAI DARAH

Cabang sfenopalatina dari arteri maxillaris interna menyuplai konka, meatus dan

septum. Cabang ethmoidalis anterior dan posterior dari arteri oftalmika menyuplai sinus

frontalis dan ethmoidalis serta atap hidung. Sedangkan sinus maxilla diperdarahi oleh cabang

arteri labialis superior dan cabang infraorbitalis serta alveolaris dari arteri maxillaris interna. 1,7

Vena-vena membentuk suatu pleksus kavernosus yang rapat dibawah membrana

mukosa. Pleksus ini terlihat nyata diatas konka media dan inferior serta bagian bawah septum

yang membentuk jaringan erektil. Drainase vena terutama melalui vena oftalmika, facialis

anterior dan sfenopalatina. 1,7

MASYURIDA (0810070100103) 5

Page 6: OZAENA

Gambar 4. Suplai darah pada hidung.1

PERSYARAFAN

Yang terlihat langsung adalah nervus olfaktorius untuk penghidu, divisi oftalmikus dan

maxillaris dari saraf trigeminus untuk impuls afferen sensorik lainnya. Syaraf facialis untuk

gerakan otot-otot pernafasan pada hidung luar dan sistem syaraf otonom. Kemudian ganglion

sfenopalatina, guna mengontrol diameter vena dan arteri hidung dan juga produksi mukus yang

dapat mengubah pengaturan hantaran, suhu dan kelembapan aliran udara.1,3

Gambar 5. Persarafan hidung.20

MASYURIDA (0810070100103) 6

Page 7: OZAENA

2.2 FISIOLOGI HIDUNG

Berdasarkan teori struktural, evolusioner dan fungsional adapun fungsi fisiologis hidung

dan sinus paranasal adalah :

1. Fungsi respirasi untuk mengatur kondisi udara, penyaring udara, humidifikasi,

penyeimbang dalam pertukaran tekanan dan mekanisme imunologik lokal.

2. Fungsi penghidu karena terdapat mukosa olfaktorius dan reservoir udara untuk

menampung stimulus penghidu.

3. Fungsi fonetik yang berguna untuk resonansi udara, membantu proses bicara dan

mencegah hantaran suara sendiri melalui konduksi tulang.

4. Fungsi statik dan mekanik untuk meringankan beban kepala, proteksi terhadap trauma

dan pelindung panas.

5. Refleks nasal seoerti iritasi mukosa hidung akan menyebabkan refleks bersin dan nafas

berhenti. 1,7

Gambar 6. Bagian – bagian hidung20

BAB III

MASYURIDA (0810070100103) 7

Page 8: OZAENA

PEMBAHASAN

3.1 DEFINISI

Rinitis atrofi adalah penyakit hidung kronik yang ditandai dengan atrofi progresif dari

mukosa dan tulang konka disertai adanya sekret kental yang cepat mengering dan

pembentukan krusta yang berbau busuk. Rinitis atrofi disebut juga rinitis sika, rinitis krustosa

atau ozaena. 1,4,5,6,7,9,10,13,14,

Gambar 7. Rinitis Atrofi pada pemeriksaan hidung.13

3.2 EPIDEMIOLOGI

Rinitis atrofi merupakan penyakit yang sering ditemukan pada masyarakat dengan

tingkat sosial ekonomi rendah dengan status higiene yang buruk dinegara yang sedang

berkembang, terutama didaerah subtropis yang bersuhu panas seperti Asia, Afrika, Eropa

Timur, dan Mediterania. Penyakit ini lebih sering mengenai wanita dengan perbandingan 3:1

dan pada usia berkisar dari 15-39 tahun terutama usia pubertas. 1,4,5,6,7,9,10,13,14,15

3.3 ETIOLOGI

MASYURIDA (0810070100103) 8

Page 9: OZAENA

Etiologi rinitis atrofi sampai sekarang belum dapat diterangkan dengan memuaskan.

Akan tetapi terdapat beberapa teori yang dikemukakan, antara lain :

1. Infeksi kronik spesifik

Terutama kuman Klebsiella ozaena. Kuman ini menghentikan aktifitas silia normal pada

mukosa hidung manusia. Kuman lain adalah Stafilokokus, Streptokokus, Kokobasilus,

Pseudomonas aeruginosa, Bacillus mucosus, Diphteroid bacili, Cocobacillus foetidus

ozaena.

2. Defisiensi Fe

3. Defisiensi vit.A

4. Sinusitis kronik

5. Ketidakseimbangan hormon estrogen

6. Penyakit kolagen yang termasuk penyakit autoimun

7. Faktor herediter, yaitu diturunkan secara autosomal dominan

8. Trauma karena kecelakaan atau iatrogenik, yaitu efek lanjut dari pembedahan

9. Terapi radiasi pada hidung dan sinus paranasal, umumnya segera merusak pembuluh

darah dan kelenjar penghasil mukus. 3,4,5,6,7,10,12,13,15,18,19.

3.4 PATOLOGI DAN PATOGENESIS

Beberapa penulis menyatakan adanya metaplasia epitel kolumnar bersilia menjadi

epitel skuamous atau atrofi dan fibrosis dari tunika propria. Terdapat pengurangan kelenjar

alveolar baik dalam jumlah maupun ukuran dan adanya endarteritis dan periarteritis pada

arteriol terminal. Oleh karena itu, secara patologi rinitis atrofi dibagi menjadi dua tipe :

1. Tipe 1

Merupakan tipe paling sering (50-80 %) dari semua kasus. Dikarakteristikkan dengan

adanya endarteritis dan periarteritis pada arteriol terminal akibat infeksi kronis akan

menyebabkan berkurangnya aliran darah ke mukosa, juga akan ditemui infiltrasi sel

bulat di submukosa. Pasien akan membaik dengan efek vasodilator dari terapi estrogen.

2. Tipe II

MASYURIDA (0810070100103) 9

Page 10: OZAENA

Tipe ini terdapat pada 20-50% kasus dimana terdapat vasodilatasi dari kapiler sel

endotel dari kapiler yang berdilatasi mempunyai sitoplasma yang lebih dari normal

dimana menunjukkan reaksi alkaline phosphatase yang positif pada proses reabsorbsi

tulang. Pada tipe ini tidak dapat diterapi dengan estrogen karena akan malah

memperburuk. 12,13,15,18

Metaplasia sel epitel torak bersilia menjadi epitel gepeng tak bersilia, akan

menyebabkan hilangnya kemampuan pembersihan debris hidung. Akibatnya, kelenjar mukosa

mengalami atrofi bahkan bisa menghilang, terbentuknya fibrosis epitel yang luas, fungsi

surfaktan akan menjadi abnormal. Derfisiensi surfaktan merupakan penyebab utama

menurunya ketahanan hidup terhadap infeksi.8,9,10,11,12

Fungsi surfaktan yang abnormal berpengaruh terhadap frekuensi gerakan silia sehingga

akan membuat menumpuknya lender. Semakin tipis epitel (atrofi konka) akan membuat rongga

hidung semakin membesar, maka akan terjadi kekeringan serta pembentukan krusta lalu iritasi

mukosa semakin meluas. 8,9,10,11,12

Jika suplai darah tidak adekuat, maka akan terjadi nekrosis sel dan jaringan, mengalami

proses pembusukan apabila bercampur dengan toksin dari mikroorganisme akan menghasilkan

pus kehijauan yang berbau busuk yang mongering dengan cepat yang disebut krusta. Krusta

merupakan medium yang sangat baik untuk pertumbuhan kuman. Jika krusta terlepas akan

menyebabkan epistaksis. Selain atrofi dari mukosa, juga bisa terjadi atrofi dari mukosa

olfaktoria yang bisa menyebabkan penderita mengalami hiposmia atau anosmia. 8,9,10,11,12

3.5 GEJALA DAN TANDA KLINIS

Gejala klinis yang sering dikeluhkan oleh penderita rhinitis atrofi adalah hidung

tersumbat, gangguan penghidu (anosmia), sakit kepala, hidung terasa kering, adanya secret

MASYURIDA (0810070100103) 10

Page 11: OZAENA

hijau kental serta krusta (kerak) berwarna kuning kehijauan atau kadang-kadang berwarna

hitam dan berbau busuk.

Secara klinis, Sutomo dan Samsudin membagi rhinitis atrofi dalam tiga tingkatan, yaitu :

1. Tingkat 1

Atrofi mukosa hidung, mkosa tampak kemerahan dan berlendir, krusta sedikit.

2. Tingkat II

Atrofi mukosa hidung semakin jelas, mukosa makin kering, warna makin pudar,

krusta banyak, keluhan anosmia belum jelas.

3. Tingkat III

Atrofi berat mukosa dan tulang sehingga konka tampak sebagai garis, rongga hidung

tampak lebar sekali, dapat ditemukan krusta di nasofaring, terdapat anosmia yang

jelas. 3,4,5,6,7,10,12,13,15,18,19.

3.6 DIAGNOSIS DAN PEMERIKSAAN PENUNJANG

Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan klinis dengan menggunakan

rinoskopi anterior serta pemeriksaan penunjang seperti pemeriksaan darah rutin, foto rontgen

dan CT scan sinus paranasal, pemeriksaan Fe serum, uji mantoux dan foto thoraks PA apabila

rhinitis atrofi diduga berhubungan dengan tuberculosis, pemeriksaan histopatologi dan test

serologi untuk menyingkirkan sifilis.1,7,9,16.

Pada CT scan sinus paranasal, hilangnya Kompleks Osteo Meatal (KOM) akibat destruksi

bulla ethmoid dan processus uncinatus, hipoplasia dari sinus maxillaries, pembesaran dari

rongga hidung dengan destruksi dari dinding lateral hidung dan destruksi tulang konka inferior

dan konka media.8,16

3.7 DIAGNOSIS BANDING

Diagnosis Banding rhinitis atrofi adalah sebagai berikut :

1. Rhinitis kronik tuberculosis

MASYURIDA (0810070100103) 11

Page 12: OZAENA

Tuberculosis pada hidung berbentuk noduler atau ulkus, terutama mengenai tulang

rawan septum dan dapat mengakibatkan perforasi. Pada pemeriksan klinis terdapat

sekret mukopurulen dan krusta sehingga menimbulkan keluhan hidung tersumbat.

Diagnosis ditegakkan dengan ditemukannya Basil Tahan Asam (BTA) pada sekret hidung.

2. Rhinitis kronik lepra

Penyebab rhinitis lepra adalah Mycobacterium leprae. Lesi pada hidung sering terlihat

pada penyakit ini. Pasien mengeluhkan hidung tersumbat oleh karena pembentukan

krusta serta adanya bercak darah. Mukosa hidung pucat. Apabila infeksi berlanjut dapat

menyebabkan perforasi septum.

3. Rhinitis kronik sifilis

Penyebab rhinitis sifilis adalah kumah Treponema pallidum. Pada rhinitis kronik sifilis

yang primer dan sekunder gejalanya hanya adanya bercak pada mukosa. Sedangkan

pada rhinitis kronik tersier dapat ditemukan ulkus yang mengenai septum nasi dan

dapat mengakibatkan perforasi septum. Pada pemeriksaan klinis didapati sekret

mukopurulen yang berbau dan krusta. Diagnosis pasti ditegakkan dengan pemeriksaan

mikrobiologik dan biopsi.5

3.8 KOMPLIKASI

Komplikasi rhinitis atrofi dapat berupa :

1. Perforasi septum

2. Faringitis

3. Sinusitis

4. Miasis hidung.5

BAB IV

PENATALAKSANAAN

MASYURIDA (0810070100103) 12

Page 13: OZAENA

Pada rhinitis atrofi terdapat dua macam pentalaksanaan, yaitu secara konservatif dan

pembedahan. Penatalaksanaan ini bertujuan untuk menghilangkan faktor etiologi dan

meminimalisir terbentuknya krusta atau menghilangkan gejala.3,4

a. Konservatif

1. Antibiotik spektrum luas sesuai uji resistensi kuman dengan dosis adekuat

sampai tanda-tanda infeksi hilang. Qizilbash dan Darf melaporkan hasil yang baik

pada pengobatan dengan Rifampisin oral 600 mg satu kali sehari selama 12

minggu.

2. Obat cuci hidung, untuk membersihkan rongga hidung dari krusta dan sekret

serta menghilangkan bau, antara lain :

Betadine solution dalam 100 ml air hangat, atau campuran

NaCl

NH4Cl

NaHCO3 aaa 9

Aqua ad 300 cc

1 sendok makan dicampur 9 sendok makan air hangat.

Larutan garam dapur

Campuran :

Na bikarbonat 28,4 g

MASYURIDA (0810070100103) 13

Page 14: OZAENA

Na dibonat 28,4 g

NaCl 56,7 g

Dicampur 9 sendok makan air hangat. Larutan dihirup ke dalam rongga

hidung dan dikeluarkan lagi dengan menghembuskan kuat-kuat melalui

hidung dan air yang masuk ke nasofaring dikeluarkan melalui mulut.

Dilakukan dua kali sehari.

3. Obat tetes hidung

Setelah krusta diangkat, diberi antara lain : glukosa 25% dalam gliserin untuk

membasahi mukosa, estradiol dalam minyak Arachis 10.000 u/ml, kamisetin anti

ozaena solution dan streptomisin 1 g + NaCl 30 ml diberikan tiga kali sehari,

masing-masing 3 tetes.

4. Vitamin A 3 x 10.000 u selama 2 minggu

5. Preparat Fe

6. Bila ada sinusitis, diobati hingga tuntas.

Sinha, Sardana dan Rjvanshi melaporkan ekstrak plasenta manusia secara sistemik

memberikan 80 % perbaikan dalam 2 tahun dan injeksi ekstrak plasenta submukosa intranasal

memberikan 93,3 % perbaikan pada periode yang sama. Ini membantu regenerasi epitel dan

jaringan kelenjar.3,4

b. Pembedahan

Pada kebanyakan kasus meskipun dengan terapi konservatif yang maksimal, pasien akan

selalu mengeluhkan krusta yang terbentuk dan bau dari rongga hidung yang muncul meskipun

MASYURIDA (0810070100103) 14

Page 15: OZAENA

seringkali melakukan terapi lanjutan. Untuk mencegah pasien bergantung pada terapi

medikamentosa sepanjang hidupnya perlu dilakukan terapi pembedahan

Secara umum terapi pembedahan terdiri dari 3 kategori antara lain : denervasi, reduksi

volume rongga hidung dan penutupan nasal. Tujuan terapi pembedahan adalah untuk

menyempitkan rongga hidung yang lapang, mengurangi pengeringan dan pembentukan krusta,

regenerasi mukosa hidung dan meningkatkan vaskularisasi dari kavum nasi.

Beberapa teknik pembedahan yang dilakukan :

1. Young’s Operation

Prosedur ini adalah penutupan total salah satu rongga hidung dengan flap.

Tujuan operasi ini untuk mencegah efek kekeringan, mengurangi krusta dan

membuat mukosa dibawahnya tumbuh kembali. Tekanan negative yang timbul

pada lubang hidung yang tertutup menyebabkan vasodilatasi dari pembuluh

darah di sekitarnya. Teknik ini dilakukan dengan menaikkan flap intranasal 1 cm

dari cephalic ke lingkaran ala nasi. Flap ini akan menutup lubang hidung tepat di

tengahnya.

Kekurangan teknik ini adalah sulitnya membuat flap oleh karena flap mudah

robek atau timbulnya parut yang dapat menyebabkan stenosis vestibulum.

2. Modified Young’s Operation

Modifikasi teknik ini dilakukan oleh El Kholy. Prinsip teknik ini adalah menutup lubang

hidung dengan meninggalkan 3 mm daerah yang terbuka.

3. Launtenschlager Operation

MASYURIDA (0810070100103) 15

Page 16: OZAENA

Prinsip teknik ini dengan memobilisasi dinding medial antru dan bagian dari

ethmoidalis, kemudian dipindahkan ke lubang hidung.

Pada operasi ini, antrum maxilla dibuka dengan operasi Caldwell Luc. Dinding

medial antrum dimobilisasi kea rah medial dengan membuat potongan

berbentuk U dengan menggunakan bor, mukosa kavum nasi yang menjadi tipis

ini dijaga agar tidak sampai rusak. Kemudian tulang antrum medial dengan konka

inferior diluksasi ke arah medial dengan bertumpu pada area ethmoidalis.

4. Implantasi Submukosa

Implantasi submukosa dengan tulang rawan, tulang, dermofit, bahan sintesis seperti

Teflon, campuran triosite dan fibrin glue.

5. Wittmack’s Operation

Transplantasi duktus parotis ke dalam sinus maxilla dengan tujuan membasahi mukosa

hidung.1,3,4,5,6

PROGNOSIS

MASYURIDA (0810070100103) 16

Page 17: OZAENA

Bila pengobatan konservatif adekuat yang cukup lama tidak menunjukkan perbaikan,

pasien dirujuk untuk dilakukan operasi penutupan lubang hidung. Prinsipnya mengistirahatkan

mukosa hidung pada nares anterior atau koana sehingga menjadi normal kembali selama 2

tahun atau dapat dilakukan implantasi untuk menyempitkan rongga hidung. Dengan operasi

diharapkan terjadi perbaikan mukosa dan keadaan penyakitnya. Rhinitis atrofi dapat menetap

bertahun-tahun dan ada kemungkinan untuk sembuh spontan pada usia pertengahan. 4,11,14

BAB V

MASYURIDA (0810070100103) 17

Page 18: OZAENA

KESIMPULAN

Rhinitis atrofi (ozaena) adalah penyakit infeksi hidung kronik, yang ditandai adanya

atrofi progresif pada mukosa dan tulang konka disertai pembentukan krusta.

Etiologi dan pathogenesis rhinitis atrofi sampai sekarang belum dapat diterangkan

dengan memuaskan. Beberapa pathogen penting yang berhubungan dengan penyakit ini

adalah Coccobacillus, Bacillus mucosus, Coccobacillus foetidus ozaenae, Diptheroid bacilli dan

Klebsiella ozaenae.

Apabila rhinitis atrofi tidak ditangani dengan cepat akan menimbulkan komplikasi,

seperti perforasi septum, faringitis, sinusitis dan miasis hidung.

Penatalaksanaan ditujukan untuk menghilangkan faktor penyebab dan untuk

mengurangi gejala. Penatalaksanaan dari rhinitis atrofi diberikan secara konservatif atau

pembedahan, tergantung keadaan penyakit dan beberapa faktor lain, seperti keadaan umum

pasien, reaksi pasien terhadap pengobatan dan lain-lain.

Rhinitis atrifi juga dapat menimbulkan komplikasi seperti :

1. Perforasi septum

2. Faringitis

3. Sinusitis

4. Miasis hidung.

Rhinitis atrofi dapat menetap bertahun-tahun dan ada kemungkinan untuk sembuh

spontan pada usia pertengahan.

DAFTAR PUSTAKA

MASYURIDA (0810070100103) 18

Page 19: OZAENA

1. Hilger PA. Hidung : Anatomi dan Fisiologi Terapan. Dalam : BOIES (ed), Buku Ajar

Penyakit THT. Edisi ke 6. Alih Bahasa : Wijaya. Jakarta : EGC, 1997 ; 173-222.

2. Colman R, Somogyi R. Basic Anatomi Review. In : Toronto Notes. First Edition. McGraw-

Hill Medical, 2008 ; OT3.

3. Lee KJ. Atrophic rhinitis (ozena). Dalam : Essential Otolaryngology. Head and Neck

Surgery. Eighth Edition. 2013; 705.

4. Ballantyne j, et.al. Athropic Rhinitis. In : Scott-Brown’s Disease of The Ear, Nose and

Throat. Fourth Edition. London : Buterworths Publisher, 1979 ; 175-180.

5. Bhargava KB, et.al. Athropic Rhinitis. In : A Short Textbook Of E.N.T. Diseases. For

Students and Practitioners. Mumbai : Fifth Edition, 1986 ; 190-191.

6. Soetjipto D, dkk. Sumbatan Hidung. Dalam : Buku Ajar Ilmu Penyakit Telinga Hidung

Tenggorok. Edisi ke 6. Jakarta : FKUI, 2007 ; 118-141.

7. Soetjipto D, Mangunkusumo E. Hidung. Dalam : Buku Ajar Ilmu Penyakit Telinga Hidung

Tenggorok. Edisi ke 5. Jakarta : FKUI, 2001 ; 91-95, 113.

8. Balasubramanian T. Athropic Rhinitis. 2010. Available from : http://Athropic-rhinitis-by-

drbalu.htm/ (accessed 4 December 2013 ).

9. Maqbool M. Chronic Rhinitis. In : Tetxtbook Of Ear, Nose and Throat Diseases. Sixth

Edition. New Delhi :EMCA House, 1993 ; 264-266

10. Cowan A, Ryan W. Athropic Rhinitis. Grand Rounds Presentation, UTMB, Dept. of

Otolaryngology, 2005. Available from : http://Athropic%20Rhinitis.html/ (Accessed 4

December 2013).

11. Dokumentasi Berita Sains (2008-2013). Rhinitis Atrofi. Available from :

http://www.kesimpulan.com/2009/05/rinitis-atrofi.html?m=0 ( accessed 4 December

2013 ).

MASYURIDA (0810070100103) 19

Page 20: OZAENA

12. Becker W, et.al. Athropic Rhinitis and Ozaena. In : Ear, Nose and Throat Diseases. A

pocket Reference. Second Edition. New York : Georg Thieme Verlag, 1994 ; 218-219.

13. Hawke M, et.al. The Nose. In : Diagnostic Handbook of Otorhinolaryngology. First

Edition. 1997 ; 114.

14. Kerr GA. Athropic Rhinitis. In : Scott-Brown’s Otolaryngology. Sixth Edition. Oxford :

Butterworth-Heinemann, 1997 ; 4/8/26 – 4/8/27.

15. Colman BH. Diseases of the nose, throat and ear. A handbook for students and

practitioners. London. 1987 ; 39-40.

16. Wishart G. The Disease Ozaena. The Canadian Medical, Toronto. Available from :

http://pubmedcentralcanada.ca/articlerender.cgi?accid=PMC1585203

17. Groves J, et.al. A synopsis of Otolaryngology. Fourth Edition. Bristol. Wright. 1985; 193-

194.

18. Colman BH. Athropic Rhinitis. In : Disease of The Nose, Throat and ear, and Head and

Neck. Fourteenth Edition. Oxford : ELBS, 1996 ; 24-27.

19. Surgery Door ; Athropic Rhinitis Symptoms, Diagnosis and Treatment. Available from :

http://Athropic-Rhinitis-symptoms,diagnosis&treatment.html (accessed 4 December

2013).

20. http://www.google.com/search?hl=anatomi+hidung .

MASYURIDA (0810070100103) 20