(overmacht) over the

326
TESIS AKIBAT HUKUM KLAUSULA PERTELAAN DALAM KEADAAN MEMAKSA (OVERMACHT) TERHADAP KEPEMILIKAN SATUAN RUMAH SUSUN NI LUH PUTU LAKSMI PUSPITASARI PROGRAM MAGISTER KENOTARIATAN PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2013

Transcript of (overmacht) over the

Page 1: (overmacht) over the

TESIS

AKIBAT HUKUM KLAUSULA PERTELAAN DALAM

KEADAAN MEMAKSA (OVERMACHT) TERHADAP

KEPEMILIKAN SATUAN RUMAH SUSUN

NI LUH PUTU LAKSMI PUSPITASARI

PROGRAM MAGISTER KENOTARIATAN

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

2013

Page 2: (overmacht) over the

TESIS

AKIBAT HUKUM KLAUSULA PERTELAAN DALAM

KEADAAN MEMAKSA (OVERMACHT) TERHADAP

KEPEMILIKAN SATUAN RUMAH SUSUN

NI LUH PUTU LAKSMI PUSPITASARI

NIM.1192462015

PROGRAM MAGISTER KENOTARIATAN

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

2013

Page 3: (overmacht) over the

AKIBAT HUKUM KLAUSULA PERTELAAN DALAM

KEADAAN MEMAKSA (OVERMACHT) TERHADAP

KEPEMILIKAN SATUAN RUMAH SUSUN

Tesis ini untuk memperoleh Gelar Magister Kenotariatan

pada Program Pascasarjana Universitas Udayana

NI LUH PUTU LAKSMI PUSPITASARI

NIM.1192462015

PROGRAM MAGISTER KENOTARIATAN

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

2013

Page 4: (overmacht) over the

iii

LEMBAR PENGESAHAN

TESIS INI TELAH DISETUJUI

PADA TANGGAL DESEMBER 2013

PEMBIMBING I

(Prof.Dr.I Made Pasek Diantha,S.H.M.S)

NIP. 19461231 197403 1 025

PEMBIMBING II

(Dr.I.B.Wyasa Putra,S.H,M.H)

NIP.19620731 198803 1 003

Mengetahui,

Ketua Program Studi Magister Kenotariatan

Universitas Udayana

Prof.Dr.I Made Arya Utama,S.H,M.Hum

NIP.19650221 199003 1 005

Direktur Program Pascasarjana

Universitas Udayana

Prof.Dr.dr.A.A.Raka Sudewi, Sp.S. (K)

NIP.19590215 198510 2 001

Page 5: (overmacht) over the

iv

Tesis Ini Telah Diuji

Pada Tanggal: 12 Desember 2013

Panitia Penguji Tesis

Berdasarkan Surat Keputusan Rektor Universitas Udayana

Nomor: 3330/UN 14.4/HK/2013

Tanggal 10 Desember 2013

Ketua: Prof.Dr.I Made Pasek Diantha,S.H., MS

Anggota:

1. Dr. Ida Bagus Wyasa Putra,S.H., MH

2. Dr. Putu Gede Arya Sumerthayasa,S.H., MH

3. Dr. I Dewa Gede Palguna, SH., MH

4. Dr. Ni Ketut Sri Utari, SH., MH

Page 6: (overmacht) over the

v

PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT

Saya yang bertandatangan dibawah ini:

Nama : NI LUH PUTU LAKSMI PUSPITASARI

NIM : 1192462015

Program Studi : Magister Kenotariatan

Judul Tesis : Akibat Hukum Klausula Pertelaan dalam Keadaan

Memaksa (Overmacht) Terhadap Kepemilikan Satuan

Rumah Susun

Dengan ini menyatakan dengan sebenarnya bahwa karya ilmiah tesis ini bebas

dari plagiat. Apabila dikemudian hari karya ilmiah tesis ini terbukti plagiat, maka

saya bersedia menerima sankasi sesuai Peraturan Menteri Pendidikan Nasional

Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2010 dan peraturan perundang-undangan

yang berlaku.

Denpasar, Desember 2013

Yang Menyatakan,

Ni Luh Putu Laksmi Puspitasari

NIM. 1192462015

Page 7: (overmacht) over the

vi

UCAPAN TERIMA KASIH

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa (Ida Sang

Hyang Widhi Wasa), yang telah memberikan kekuatan lahir dan bathin kepada

Penulis sehingga dapat menyelesaikan penulisan Tesis ini. Adapun judul tesis ini

adalah: “AKIBAT HUKUM KLAUSULA PERTELAAN DALAM KEADAAN

MEMAKSA (OVERMACHT) TERHADAP KEPEMILIKAN SATUAN RUMAH

SUSUN”. Sesuai dengan inovasi dalam perkembangan bisnis property (Hak Milik

Atas Satuan Rumah Susun) yang semakin kompleks membutuhkan suatu inovasi

baru yang bisa mengakomodir segala permasalahan yang muncul. Begitu pula

dalam hal pengaturan tentang overmacht dan akibat hukumnya, hal ini

memberikan pengaruh yang amat sangat besar terhadap para pihak dalam

perjanjian rumah susun tersebut, karena alasan inilah penulis tertarik untuk

meneliti dan menulis hal tersebut.

Penulis menyadari bahwa Tesis ini, masih banyak terdapat kekurangan

dalam penulisannya, hal ini disebabkan karena masih terbatasnya lingkup

pengetahuan dan pengalaman yang penulis miliki. Oleh karena itu, penulis

mengharapkan kritik dan saran yang bersifat positif dan membangun untuk

penyempurnaan Tesis ini. Besar harapan Penulis semoga Tesis ini memenuhi

kriteria sebagai salah satu syarat untuk meraih Gelar Magister Kenotariatan pada

Program Pascasarjana Universitas Udayana.

Penulisan Tesis inipun tidak akan terwujud tanpa bantuan serta dukungan

dari para Pembimbing dan berbagai pihak. Untuk itu melalui tulisan ini, Penulis

ingin mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada Prof.Dr.I Made

Page 8: (overmacht) over the

vii

Pasek Diantha,S.H,M.S, selaku Pembimbing Utama dan terimakasih saya ucapkan

kepada Dr. Ida Bagus Wyasa Putra, S.H, M.H selaku Pembimbing Kedua yang

telah memberikan dorongan,semangat, bimbingan dan saran selama penulis

menyelesaikan Tesis ini.

Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada Prof.Dr.dr.Ketut Suastika

Sp.PD-KEMD, selaku Rektor Universitas Udayana beserta seluruh jajaran dan

staf atas kesempatan yang diberikan untuk mengikuti dan menyelesaikan studi

pada Program Pascasarjana Universitas Udayana. Terima kasih juga ditujukan

kepada Prof.Dr.dr.A.A. Raka Sudewi,Sp.S.(K), selaku Direktur Program Pascasarjana

Universitas Udayana. Tidak lupa penulis juga mengucapkan terimakasih yang

sebesar-besarnya kepada Prof. Dr. I Gusti Ngurah Wairocana, S.H, M.H, selaku

Dekan Fakultas Hukum Universitas Udayana atas ijin yang diberikan kepada

penulis untuk mengikuti Program Magister dan kepada Prof. Dr. I Made Arya

Utama, S.H,M.Hum, selaku Ketua Program Studi Magister Kenotariatan

Universitas Udayana.

Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada Bapak Dr. Putu Gede Arya

Sumerthayasa, S.H., MH, sebagai Penguji I, kemudian Bapak Dr. I Dewa Gede

Palguna, SH., MH, sebagai Penguji II, dan Ibu Dr. Ni Ketut Sri Utari, SH., MH,

sebagai Penguji III, yang telah meluangkan waktu untuk penulis dan memberikan

saran untuk penyempurnaan tesis iniTak lupa penulis juga mengucapkan

terimakasih kepada seluruh Bapak dan Ibu Dosen Pengajar di Program Studi

Magister Kenotariatan Program Pascasarjana Universitas Udayana yang telah

memberikan bimbingan dan ilmunya yang sangat berharga kepada para

Page 9: (overmacht) over the

viii

mahasiswa termasuk penulis, Bapak dan Ibu seluruh staf karyawan di Sekretariat

Magister Kenotariatan Universitas Udayana yang telah membantu penulis dalam

proses administrasi, Seluruh Staff Perpustakaan Program Magister Universitas

Udayana dan Fakultas Hukum Universitas Udayana yang telah memberikan

pinjaman buku-buku yang Penulis perlukan selama proses perkuliahan dan proses

penyusunan tesis ini.

Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Keluarga Tercinta, Papa

(Drs. I Wayan Sudana), Mama (Ni Luh Putu Juliastuti, S.H), serta Adikku

Terkasih (Made Hendra Satria Nugraha), karena telah memberikan dukungan

yang amat besar, begitu pengertian dengan keadaan Penulis yang selama ini

belum dapat dan belum memenuhi kewajiban dengan baik, semoga dengan

terselesaikannya Tesis ini membuka peluang bagi Penulis untuk memberikan

sesuatu yang terbaik bagi Keluarga Tercinta. Tidak luput juga kekuatan dan

dukungan yang amat besar, Penulis rasakan melalui setiap doa (harapan dan keluh

kesah) yang Penulis panjatkan kepada Leluhur (Almarhum Kakek dan Nenek),

dan sangat terasa doa itu didengarkan sehingga Penulis merasa lebih kuat untuk

menyelesaikan Tesis ini dan doa restu dari Leluhur itupun sangat berarti dalam

setiap langkah yang penulis lalui. Besar harapan Penulis untuk memberikan segala

sesuatu yang terbaik bagi Kakek dan Nenek (sudah almarhum), semoga dibukakan

jalan agar menjadi Cucu kebanggaan Kakek dan Nenek (sudah almarhum).

Keluarga Besar Mama dan Papa (Wak, Om, Tante, Saudara Sepupu), yang tidak

dapat Penulis sebutkan satu persatu, karena telah memberikan saran dan dukungan

Page 10: (overmacht) over the

ix

yang amat berarti bagi Penulis, selalu membimbing dan menuntun Penulis akan

arti penting meraih masa depan (kesuksesan).

Seluruh teman-teman Angkatan III Mandiri Magister Kenotariatan

Universitas Udayana yang telah membantu dan memberikan dorongan serta

semangat dalam penulisan Tesis ini kemudian tak lupa Penulis ucapkan

Terimakasih kepada senior-senior di Program Magister Kenotariatan yang dengan

senang hati memberikan saran dan informasi yang bermanfaat bagi Penulis selama

kegiatan perkuliahan berlangsung dan selama penyusunan tesis ini. Tidak lupa

penulis ucapkan terima kasih kepada para sahabat yang telah menguatkan hati

Penulis sehingga Penulis kembali bersemangat dan tenang dalam menyelesaikan

Tesis ini dan seluruh pihak yang namanya tidak bisa Penulis sebutkan satu per

satu yang telah banyak mendukung dalam proses pembuatan Tesis ini.

Sebagai akhir kata Penulis berharap semoga Tuhan Yang Maha Esa (Ida

Sang Hyang Widhi Wasa) selalu memberikan kebahagiaan dan kesejahteraan

kepada kita semua dan semoga Tesis ini bermanfaat bagi pengembangan ilmu

pengetahuan dan menambah kepustakaan di bidang Kenotariatan serta berguna

bagi masyarakat

Denpasar,16 Desember 2013

Penulis

Page 11: (overmacht) over the

x

ABSTRAK

AKIBAT HUKUM KLAUSULA PERTELAAN DALAM KEADAAN MEMAKSA (OVERMACHT) TERHADAP KEPEMILIKAN SATUAN

RUMAH SUSUN

Pertelaan dibuat oleh pelaku pembangunan rumah susun (developer), selanjutnya disebut developer), dengan memuat batas dan rincian yang jelas atas satuan dan bagian bersama dalam bentuk gambar dan uraian yang disahkan oleh instansi berwenang. Pertelaan mempunyai peranan yang amat penting sebagai dasar pengesahan “akta pemisahan rumah susun” dan landasan penerbitan sertipikat Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun (selanjutnya disebut HMSRS). Kepemilikan Satuan Rumah Susun (selanjutnya disebut SRS) bersifat perorangan dan terpisah dengan hak bersama, benda bersama dan tanah bersama, akan menjadi masalah krusial jika terhadap bangunan gedung rumah susun tersebut roboh (keadaan demikian dinamakan keadaan memaksa (overmacht), selanjutnya disebut overmacht). Pengaturan overmacht terhadap HMSRS belum diatur dalam UU Rumah Susun. Urgensi pengaturan overmacht sangat penting, untuk mengetahui sebatas mana lingkup pertanggungjawaban para pihak, sehingga tercipta keadilan berbasis kontrak. Untuk itu, perlu diteliti bagaimanakah akibat hukum klausul pertelaan dalam overmacht terhadap kepemilikan Atas Satuan Rumah Susun dan apakah kriteria overmacht dalam buku III KUHPerdata berlaku mutatis mutandis terhadap Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun.

Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif karena mengkaji norma kosong dalam UU Rumah Susun mengenai overmacht. Penelitian ini menggunakan pendekatan perundang-undangan, pendekatan konsep hukum, pendekatan kasus.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa akibat hukum klausul pertelaan dalam overmacht terhadap kepemilikan Atas Satuan Rumah Susun yaitu terhadap overmacht absolut, perjanjian batal demi hukum sehingga tidak perlu adanya pembayaran ganti rugi sedangkan terhadap overmacht relatif, tidak serta merta demi hukum mengakibatkan perikatan hapus, hanya menunda pelaksanaan perjanjian. Lingkup kriteria overmacht dalam Buku III KUHPerdata hanya bersifat terbatas, oleh karenanya, kriteria overmacht terhadap HMSRS juga berlaku secara mutatis-mutandis terhadap yurisprudensi, peraturan perundang-undangan serta kontrak-kontrak lainnya. Kriteria overmacht tersebut jangan digeneralisir namun diteliti lebih lanjut tergolong overmacht objektif ataukah subjektif. Terhadap overmacht objektif, berhubungn dengan musnahnya obyek perjanjian terjadi di luar kekuasaan pihak namun dari kuasa Tuhan. Terhadap overmacht relatif, berhubungan dengan adanya unsur kelalaian dalam melaksanakan hak dan kewajibannya dari salah satu pihak atau para pihak.

Kata kunci: Akibat Hukum, Klausula Pertelaan, Kepemilikan Rumah Susun, Keadaan Memaksa

Page 12: (overmacht) over the

xi

ABSTRACT

THE LEGAL RESULT OF HOUSING-COMPLEX DEVELOPMENT

IN THE EVENT OF FORCE MAJEURE (OVERMACHT) OVER THE

OWNERSHIP OF A STRATA TTLE

Housing-complex development made by developer of condominiums

(hereinafter is referred to as developer) is completed with the information of

borders and clear details of units and Joint parts in the form of house plan, which

have been legalized by an authorized institution. This information has a very

important role, which serves as foundations, in legalizing "act of determining the

separation of each unit of the condominiums" and for the issuance of the

certificate of the right of ownership of the unit of a condominium (hereinafter is

referred to as HMSRS). The ownership of a unit of a condominium (hereinafter is

referred to as SRS) is individual in nature and separated from the mutual rights,

objects, and land. It will be a crucial problem if the building structure is collapsed

whose condition is referred to as a forced majeure (overmacht). The regulation of

overmacht over HMSRS is not yet regulated in the Laws of Condominiums. The

urgency of the regulation of overmacht is thus very important in order to know the

scope of the responsibility of the related parties so that justice, based on the

contract, is created. To that end, it is necessary to identify the results of the laws

of housing-complex development related to overmacht by ownership of Strata

Title and the criteria of overmacht contained in Book III of Code of Civil Law are

mutatis mutandis applicable to the Strata Title.

This study is a normative legal research that examining Lacuna of Norm

in the Law of Condominiums. The study used legislation approaches, the legal

concept and case approaches.

The findings show that the outcome of the laws of housing-complex

development in the event of overmacht over HMSRS (absolute overmacht), the

agreement is canceled by law so that it is not necessary for the loss compensation.

For relative overmacht, it is not automatic by law in the cancellation of an

agreement; it only postpones the execution of the agreement. The scope of

overmacht contained in Book III of Code of Civil Law is only limited in nature,

therefore, the criterion of overmacht over HMSRS is mutatis-mutandis only

applicable to the jurisprudence, the legislations, and other contract agreements.

The criteria of overmacht should not be generalized but it must be analyzed

deeply as to whether it is classifiable as subjective or objective overmact. For

objective overmacht, it is related to the loss of the object agreement, which occurs

beyond the capacity of the parties involved but that of God. For relative

overmacht, it is related to carelessness in carrying out the rights and obligation of

one of the parties or the whole parties.

Key word: Legal result, law of housing-complex development, Ownership of

Strata Title, Force Majeure.

Page 13: (overmacht) over the

xii

RINGKASAN

Tesis ini menganalisis mengenai Akibat Hukum Klausul Pertelaan dalam

Keadaan Memaksa (Overmacht) terhadap Kepemilikan Atas Satuan Rumah

Susun.

Bab I menguraikan latar belakang permasalahan yaitu pertelaan dibuat

oleh pelaku pembangunan rumah susun (developer) memuat batas dan rincian

yang jelas atas satuan dan bagian bersama dalam bentuk gambar dan uraian yang

disahkan oleh instansi yang berwenang. Pertelaan ini menjadi dasar perhitungan

Nilai Perbandingan Proporsional serta mempunyai peranan yang amat penting

dalam pemenuhan syarat administrasi pembangunan rumah susun karena

pertelaan merupakan dasar untuk pengesahan “akta pemisahan rumah susun” dan

landasan bagi penerbitan sertipikat Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun.

Kepemilikan Satuan Rumah Susun adalah bersifat perorangan dan terpisah dengan

hak bersama, benda bersama dan tanah bersama, akan menjadi masalah yang

krusial jika terhadap bangunan gedung rumah susun tersebut roboh dan tidak

dapat dihuni oleh pemilik satuan rumah susun. Berkaitan dengan bangunan

gedung rumah susun yang roboh, keadaan demikian ini dinamakan keadaan

memaksa (overmacht),sedangkan overmacht terhadap HMSRS belum diatur

dalam UU Rumah Susun. Urgensi pengaturan overmacht sangat penting,

mengingat bisnis property kian pesat dan marak sehingga diperlukan pengkajian

terhadap overmacht tersebut, siapa yang akan bertanggungjawab, apa bentuk

pertanggungjawabannya dan sebatas mana lingkup pertanggungjawaban yang

dilakukan para pihak. Pengkajian tersebut dengan melakukan telaah terhadap

kajian yuridis atas HMSRS yang tersusun dalam sistem hukum tanah dan sistem

hukum benda nasional yang menjadi satu kesatuan dalam sistem hukum Nasional.

Page 14: (overmacht) over the

xiii

Tidak luput dari pengkajian yaitu mencermati perjanjian rumah susun secara

seksama. Dari telaah tersebut akan memperoleh suatu pemahaman yang sistematis

dan utuh sehubungan dengan akibat hukum dari overmacht terhadap klausul

pertelaan atas kepemilikan satuan rumah susun. Selain itu, diuraikan pula

mengenai rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, landasan

teoritis dan metode penelitian yang digunakan. Guna membahas permasalahan

pada penulisan tesis ini, penulis menggunakan teori hukum (teori hukum umum

maupun teori hukum khusus), konsep hukum dan asas hukum. Penggunaan Teori

Hukum, pada permasalahan pertama, penulis menggunakan teori keadilan

berbasis kontrak sebagai teori hukum umum, teori risiko tanggung gugat dalam

terjadi overmacht sebagai teori hukum khusus. Selanjutnya untuk permasalahan

kedua, penulis menggunakan Three Elements of Legal System Theory dari

Lawrence M. Friedmann sebagai teori hukum umum, teori tahap perjanjian, teori

korelasi dan teori hak milik sebagai teori hukum khusus. Penulisan ini juga

menggunakan konsep hukum sebagai penyelesaian dari permasalahan yang

dikemukakan. Konsep hukum yang digunakan dalam permasalahan pertama yaitu

konsep tanggung jawab/ganti rugi developer terhadap konsumen dalam hal

terjadinya overmacht. Permasalahan kedua menggunakan, konsep hak dan

kewajiban para pihak, serta untuk konsep overmacht, konsep Hak Milik Atas

Satuan Rumah Susun dan konsep pertelaan sama-sama diterapkan terhadap

permasalahan pertama maupun kedua. Selain itu, penulis juga menggunakan asas

hukum dalam mengkaji permasalahan dalam tesis ini. Asas hukum yang

digunakan dalam permasalahan pertama yaitu asas hukum kebendaan, asas hukum

tanah, dan asas proporsionalitas selanjutnya untuk menyelesaikan permasalahan

kedua penulis menggunakan asas hukum perjanjian, asas hukum perlindungan

konsumen, asas kepatutan serta asas kepastian hukum.

Page 15: (overmacht) over the

xiv

Bab II, menguraikan Tinjauan Umum tentang Kebendaan, Pertelaan, Hak

Milik Atas Satuan Rumah Susun, Overmacht dan Perjanjian Rumah Susun.

Tinjauan Umum ini dibedakan menjadi 3 (tiga) sub bab, yaitu Tinjauan Umum

tentang Kebendaan, Tinjauan Umum tentang Pertelaan dan Hak Milik Atas Satuan

Rumah Susun serta Tinjauan Umum tentang Overmacht dan Perjanjian Rumah

Susun. Pada sub bab Tinjauan Umum tentang Kebendaan diuraikan mengenai

Ruang lingkup Benda dan Hak Kebendaan serta Jenis-jenis Kebendaan dan Hak

Kebendaan. Pada sub bab Tinjauan Umum tentang Pertelaan dan Hak Milik Atas

Satuan Rumah Susun diuraikan mengenai Ruang Lingkup Pertelaan dan Ruang

Lingkup Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun. Pada sub bab Tinjauan Umum

tentang Overmacht dan Hukum Perjanjian Rumah Susun diuraikan mengenai

Pengertian dan Unsur-unsur Overmacht, Jenis-jenis overmacht, Jenis-Jenis

perikatan dan/atau perjanjian serta obyek dan subyek perikatan dan/atau

perjanjian.

Bab III, menguraikan tentang hasil penelitian dan pembahasan mengenai

Bagaimanakah akibat hukum klausula pertelaan dalam overmacht terhadap

kepemilikan Atas Satuan Rumah Susun yang diuraikan dalam 4 (empat) sub-bab,

yang masing-masing sub bab, diuraikan lagi menjadi beberapa sub-sub bab,

diantaranya: Sub bab Konsepsi Kepemilikan HMSRS dalam Sistem Hukum

Nasional yang penulis uraikan menjadi 2 (dua) sub-sub bab yaitu mengenai

Sistem Hukum Tanah Nasional dan Sistem Hukum Bangunan serta Sistem

Hukum Kebendaan Nasional. Sub bab Hubungan Hukum antara Obyek

kebendaan HMSRS, Tanah, dan Bangunan penulis uraikan menjadi 2 (dua) sub-

sub bab yaitu mengenai Penerapan Asas Hukum Tanah dan Hukum Bangunan

serta Penerapan Asas Hukum Kebendaan. Pada sub bab Arti penting Klausula

Pertelaan dalam Pengaturan Konsepsi HMSRS, penulis uraikan menjadi 2 (dua)

Page 16: (overmacht) over the

xv

sub bab yaitu mengenai klausula pertelaan sebagai syarat dalam pemisahan

HMSRS, Bentuk Penjabaran serta Penerapan Asas Proporsionalitas dan Keadilan

Berbasis Kontrak, penulis juga menguraikan Bentuk Pertanggungjawaban Para

Pihak dalam overmacht terhadap HMSRS, serta Pertanggungjawaban Developer

kepada Konsumen dalam tinjauan Aspek Hukum Perlindungan Konsumen.

Berkaitan dengan telaah tersebut, dalam pembahasan ini penulis menganalisis

melalui tiga (3) segi yaitu apakah klausula pertelaan tersebut ditujukan terhadap

klausula pertelaan yang tidak dilaksanakan secara keseluruhan ataukah

dilaksanakan hanya sebagian saja oleh para pihak developer maupun oleh pemilik

unit satuan rumah susun (konsumen), atau klausula pertelaan tersebut

dilaksanakan oleh para pihak namun karena keadaan tertentu diluar

kesalahan/kelalaian para pihak menyebabkan klausula pertelaan tidak dapat

dilaksanakan sepenuhnya. Keadaan tertentu diluar kesalahan/kelalaian para pihak

inilah dinamakan keadaan memaksa (overmacht). Agar mengetahui sebatas mana

tanggung jawab para pihak dalam hal terjadinya overmacht, lebih lanjut diteliti

overmacht apa yang menimpa para pihak, apakah Overmacht Absolute ataukah

Overmacht Relatif, selain itu untuk menunjang hasil penelitian ini agar menjadi

satu bahasan yang utuh maka penulis juga menelaah lebih lanjut dengan

mencemati objek kebendaan HMSRS berdasarkan Sistem Hukum Nasional

diantaranya melalui Sistem Hukum Kebendaan Nasional dengan mencermati,

tergolong jenis kebendaan apakah HMSRS ini, kemudian mencermati Sistem

Hukum Tanah Nasional, yaitu mengkaji secara spesifik apakah HMSRS termasuk

dalam kategori Hak Penguasaan atas Tanah dalam UUPA ataukah tergolong jenis

hak atas tanah yang berdiri sendiri, dengan kata lain HMSRS tidak termasuk

lingkup/cakupan dalam UUPA. Setelah penulis menganalis secara cermat dan

seksama menjadi satu kesatuan utuh maka hasil penelitian dalam Bab ini

Page 17: (overmacht) over the

xvi

menunjukkan bahwa Akibat Hukum Klausula Pertelaan dalam Overmacht

terhadap HMSRS, yaitu: terhadap overmacht absolute, perjanjian dinyatakan

Batal demi Hukum dari semula dianggap tidak pernah ada perikatan, dengan

beban pembuktian keadaan yang menyebabkan overmacht adalah keadaan yang

menyebabkan kehilangan benda obyek perjanjian karena kuasa Tuhan. Terhadap

overmacht relatif:tidak serta merta demi hukum mengakibatkan perikatan tersebut

hapus, hanya menunda pelaksanaan perjanjian dan bila keadaan overmacht

tersebut telah hilang maka perjanjian dapat dilaksanakan kembali, dengan beban

pembuktian, salah satu pihak dapat membuktikan bahwa pihak lainnya lalai dalam

melaksanakan hak dan kewajibannya.

Bab IV, Menguraikan tentang hasil penelitian dan pembahasan mengenai

Kriteria overmacht dalam buku III KUHPerdata berlaku mutatis mutandis

terhadap Kepemilikan Satuan Rumah Susun, yang diuraikan dalam 3 (tiga) sub

bab kemudian sub bab tersebut diuraikan lagi menjadi beberapa sub-sub bab,

diantaranya sub bab Konvergensi Penjabaran dan Penerapan Sistem Hukum

Benda dan Sistem Hukum Perikatan menguraikan tentang Sistem Hukum Benda

dalam kajian Obyek Kebendaan Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun dan Sistem

Hukum Perikatan dalam Kaitan Hak Kepemilikan Satuan Rumah Susun. Pada sub

bab Lingkup Kriteria Overmacht, menguraikan tentang Kriteria Overmacht dalam

Buku III KUHPerdata, Kriteria overmacht berdasarkan Doktrin dan Yurisprudensi

serta Kriteria Overmacht dalam Peraturan Perundang-undangan dan Kontrak-

kontrak lainnya. Pada sub bab Urgensi Pengaturan Overmacht di Masa Datang

menguraikan tentang Penerapan Asas-asas Hukum Perjanjian, Penerapan asas

kepatutan serta Penerapan Asas Hukum Perlindungan Konsumen dan Asas

Kepastian Hukum. Dalam pembahasan ini penulis melakukan telaah secara

seksama terhadap tiga (3) aspek hukum yaitu aspek hukum benda, aspek hukum

Page 18: (overmacht) over the

xvii

perjanjian dan aspek hukum perlindungan konsumen. Telaah tersebut, disatu sisi

hukum benda menguasai kepemilikan HMSRS, karena HMSRS tersebut

berkenaan dengan jenis penggolongaan kebendaan yang merupakan jenis

kebendaan baru yaitu benda tetap berwujud yang terdaftar sehingga pengaruh

hukum benda sangat krusial dalam penanganan overmacht terhadap HMSRS,

disisi lain Hukum Perikatan juga memegang peran penting dalam kepemilikan

HMSRS karena adanya hubungan hak dan kewajiban terhadap para pihak dalam

mengadakan pengikatan terlebih-lebih dicantumkan dalam klausula pertelaan,

PPJB dan AJB HMSRS. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kriteria

Overmacht terhadap HMSRS juga berlaku secara mutatis-mutandis terhadap

kriteria overmacht dalam Yurisprudensi, Peraturan perundang-undangan lainnya

serta Kontrak-kontrak lainnya.

Bab V, sebagai bab penutup dari penulisan ini menguraikan mengenai

simpulan dan saran. Adapun simpulan dari penelitian ini, akibat hukum Klausul

Pertelaan dalam hal terjadinya overmacht terhadap Kepemilikan Satuan Rumah

Susun, yaitu: Terhadap Overmacht Absolut: Perjanjian dinyatakan Batal demi

Hukum dari semula dianggap tidak pernah ada perikatan, sehingga mengakibatkan

debitur tidak perlu membayar ganti rugi, asalkan para pihak dapat membuktikan

bahwa keadaan yang menyebabkan overmacht tersebut adalah keadaan di luar

kekuasaan pihak yaitu kehilangan benda obyek perjanjian yang disebabkan dari

kuasa Tuhan.Terhadap Overmacht Relatif: Tidak serta merta demi hukum

mengakibatkan perikatan tersebut hapus, melainkan hanya menunda pelaksanaan

pemenuhan prestasi dan bila keadaan overmacht tersebut telah hilang maka

kreditur dapat menuntut kembali pemenuhan prestasi, asalkan para pihak dapat

membuktikan bahwa pihak lainnya lalai dalam melaksanakan hak dan

kewajibannya. Berdasarkan kriteria-kriteria overmacht dalam Buku III

Page 19: (overmacht) over the

xviii

KUHPerdata yang hanya bersifat terbatas saja maka selain terhadap kriteria

overmacht dalam buku III KUHPerdata, kriteria Overmacht terhadap Hak Milik

Atas Satuan Rumah Susun juga dapat diterapkan/berlaku secara mutatis-mutandis

terhadap kriteria overmacht dalam Yurisprudensi, Peraturan perundang-undangan

lainnya serta Kontrak-kontrak lainnya, dengan mencermati substansi objek

kebendaan HMSRS dan relevansinya terhadap perjanjian rumah susun.

Saran yang dapat penulis kemukakan terhadap kedua permasalahan pokok

yang dikaji dalam penelitian tesis ini adalah pada prinsipnya, Pertelaan dan Akta

Pemisahan dibuat dan ditetapkan oleh Penyelenggara Pembangunan Rumah Susun

(Pengembang/ Developer), namun demikian agar tidak menimbulkan sengketa di

kemudian hari, disarankan kepada Kantor Pertanahan terlebih dahulu melakukan

pengecekan secara uji petik terhadap beberapa unit Satuan Rumah Susun untuk

mendapatkan luas lot dan selanjutnya diadakan kesesuaian antara data-data

mengenai bagian bersama, benda bersama sehingga luas unit satuan rumah susun

yang tercantum dalam draft pertelaan dan akta pemisahan sebanding dengan

kondisi fisik di lapangan dalam rangka memperoleh besaran imbangan NPP,

sehingga adanya transparansi dalam menetapkan Rincian Pertelaan. Setelah

mendapat kesesuaian data rincian pertelaan, disarankan pula kepada Kantor

Pertanahan agar memberikan arahan draft pertelaan dan akta pemisahan, sehingga

tidak adanya penetapan bentuk draft pertelaan dan akta pemisahan secara sepihak

oleh Penyelenggara Pembangunan Rumah Susun (pengembang/Developer)

sekaligus mencegah adanya itikad buruk dari Penyelenggara Pembangunan

Rumah Susun (pengembang/ Developer). Kepada Pemerintah Pusat dan/atau

Pemerintah Daerah sebelum menetapkan SK Pengesahan Pertelaan sepatutnya

melakukan telaah secara seksama dan cermat terhadap rincian pertelaan, lampiran

persyaratan administratif dan teknis dalam pembangunan rumah susun serta akta

Page 20: (overmacht) over the

xix

pemisahan dan ada baiknya juga selain diadakan Rapat Koordinasi terhadap

instansi berwenang, Pemerintahan Pusat dan/atau Pemerintah Daerah dalam

melakukan pengesahan Pertelaan juga mengadakan Rapat dengan Pihak

Pengembang dan Pemilik Unit Satuan Rumah Susun agar tercipta transparansi

didalam proses Pengesahan Pertelaan. Kepada Instansi berwenang dan pejabat

berwenang sebelum mengeluarkan Izin terkait, Izin Laik Huni, sebaiknya

melakukan pengecekan secara cermat terhadap uji kelayakan bangunan,

kesesuaian konstruksi bangunan meliputi Rancang Bangun, Arsitektur Bangunan,

Intensitas Bangunan terhadap kesesuaian perbandingan dengan Koefisien Dasar

Bangunan, Koefisien Lantai Bangunan dan Koefisien Benda Bersama agar tahan

terhadap risiko bencana. Untuk mendukung bisnis properti dalam hal ini

Kepemilikan Satuan Rumah Susun serta dalam hubungannya dengan

perlindungan pemilikan Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun, disarankan kepada

pembuat kebijakan perihal pengaturan konsepsi Hak Milik Atas Satuan Rumah

Susun sebaiknya dipisahkan dari Undang-undang Rumah Susun dan dibuatkan

Undang-undang tersendiri yaitu Undang-undang Pertelaan yang khusus mengatur

mengenai Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun karena Undang-undang Rumah

Susun menggabungkan konsepsi pengaturan. Disarankan pula dalam

pembentukan Undang-undang Pertelaan dicantumkan pengaturan mengenai

overmacht, meskipun memang dicantumkan atau tidaknya overmacht dalam

perjanjian tergantung atas kesepakatan para pihak namun untuk memberikan

perlindungan dan kepastian hukum terhadap kepemilikan Hak Milik Atas Satuan

Rumah Susun dan demi terwujudnya keadilan berbasis kontrak, sepatutnya

overmacht diatur dalam bentuk Undang-undang.

Page 21: (overmacht) over the

xx

DAFTAR ISI

SAMPUL DALAM ....................................................................................... i

PRASYARAT GELAR ................................................................................ ii

LEMBAR PENGESAHAN ......................................................................... iii

PENETAPAN PANITIA PENGUJI …………………………………....... iv

PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT ......................................................... v

UCAPAN TERIMAKASIH......................................................................... vi

ABSTRAK .................................................................................................... x

ABSTRACT ................................................................................................... xi

RINGKASAN ............................................................................................... xii

DAFTAR ISI ................................................................................................. xx

DAFTAR SINGKATAN .............................................................................. xxv

DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................ xxvii

BAB I PENDAHULUAN ....................................................................... 1

1.1 Latar Belakang Masalah ...................................................... 1

1.2 Rumusan Masalah ............................................................... 11

1.3 Tujuan Penelitian ................................................................. 12

1.3.1 Tujuan Umum .......................................................... 12

1.3.2 Tujuan Khusus ......................................................... 12

1.4 Manfaat Penulisan ............................................................... 12

1.4.1 Manfaat Teoritis ...................................................... 12

1.4.2 Manfaat Praktis ........................................................ 13

Page 22: (overmacht) over the

xxi

1.5 Landasan Teoritis ................................................................ 14

1.5.1 Teori Hukum ........................................................... 14

1.5.1.1 Teori Hukum Umum ................................ 14

1.5.1.1.a. Three Element of Legal System

Theory ....................................... 14

1.5.1.1.b. Teori Keadilan .......................... 14

1.5.1.2 Teori Hukum Khusus ............................... 16

1.5.1.2.a. Teori Korelasi .......................... 16

1.5.1.2.b. Teori Tahap Penyusunan

Kontrak .................................... 17

1.5.1.2.c. Teori Pertanggungjawaban

Risiko Tanggung Gugat dalam

overmacht ............................... 17

1.5.1.2.d. Terjadinya Hak Milik ............... 18

1.5.2 Konsep Hukum ........................................................ 19

1.5.2.1 Konsep Pertelaan dan Konsep Hak Milik

Atas Satuan Rumah Susun ....................... 20

1.5.2.2 Konsep Hak dan Kewajiban Para Pihak .. 23

1.5.2.3 Konsep Overmacht ................................... 27

1.5.2.4 Konsep Tanggungjawab Developer/Ganti

Rugi Terhadap Konsumen Dalam Hal

Terjadinya Overmacht ............................. 31

1.5.3 Asas Hukum ............................................................ 34

1.5.3.1 Asas Hukum Perjanjian ............................ 34

1.5.3.2 Asas Perlindungan Konsumen ................. 36

1.5.3.3 Asas Proporsionalitas ............................... 36

1.5.3.4 Asas Kepatutan ........................................ 37

Page 23: (overmacht) over the

xxii

1.5.3.5 Asas Hukum Tanah .................................. 38

1.5.3.6 Asas Hukum Kebendaan .......................... 39

1.6 Metode Penelitian ................................................................ 41

1.6.1 Jenis Penelitian ........................................................ 42

1.6.2 Jenis Pendekatan ...................................................... 42

1.6.3 Sumber Bahan Hukum ............................................ 44

1.6.4 Teknik Pengumpulan Bahan Hukum ...................... 45

1.6.5 Teknik Analisis Bahan Hukum ............................... 45

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HAK KEBENDAAN,

PERTELAAN, HAK MILIK ATAS SATUAN RUMAH

SUSUN, OVERMACHT DAN PERJANJIAN RUMAH

SUSUN ......................................................................................... 48

2.1 Tinjauan Umum tentang Hak Kebendaan ........................... 48

2.1.1 Ruang Lingkup Benda dan Hak Kebendaan ........... 48

2.1.2 Jenis-jenis Kebendaan dan Hak Kebendaan ............ 53

2.2. Tinjauan Umum tentang Pertelaan dan Hak Milik Atas

Satuan Rumah Susun ........................................................... 70

2.2.1 Ruang Lingkup Pertelaan ........................................ 70

2.2.2 Ruang Lingkup Hak Milik Atas Satuan Rumah

Susun ....................................................................... 74

2.3. Tinjauan tentang Overmacht dan Hukum Perjanjian

Rumah Susun ....................................................................... 76

2.3.1 Pengertian dan Unsur-unsur Overmacht ................. 76

2.3.2 Jenis-jenis Overmacht ............................................. 80

2.3.3 Jenis-Jenis Perikatan dan/atau Perjanjian ............... 82

2.3.4 Obyek dan Subyek Perikatan dan/atau Perjanjian ... 93

Page 24: (overmacht) over the

xxiii

BAB III AKIBAT HUKUM KLAUSULA PERTELAAN DALAM

KEADAAN MEMAKSA (OVERMACHT) TERHADAP

KEPEMILIKAN SATUAN RUMAH SUSUN

3.1 Konsepsi Kepemilikan Hak Milik Atas Satuan Rumah

Susun dalam Sistem Hukum Nasional ................................ 103

3.1.1 Sistem Hukum Tanah Nasional dan Sistem Hukum

Bangunan ................................................................. 109

3.1.2 Sistem Hukum Kebendaan Nasional ....................... 113

3.2 Hubungan Hukum antara Obyek kebendaan Hak Milik

Atas Satuan Rumah Susun, Tanah, dan Bangunan ............ 115

3.2.1 Penerapan Asas Hukum Tanah dan Hukum

Bangunan ................................................................. 116

3.2.2 Penerapan Asas Hukum Kebendaan ........................ 124

3.3 Arti penting Klausula Pertelaan dalam Pengaturan

Konsepsi Hak Milik atas Satuan Rumah Susun .................. 132

3.3.1 Klausula Pertelaan sebagai Syarat dalam

Pemisahan Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun ... 132

3.3.2 Bentuk Penjabaran dan Penerapan Asas

Proporsionalitas dan Keadilan Berbasis Kontrak .... 139

3.4 Bentuk Pertanggungjawaban Para Pihak dalam hal

terjadinya Overmacht terhadap Kepemilikan Satuan

Rumah Susun ....................................................................... 148

3.4.1 Akibat Hukum Overmacht dari Segi Buku III

KUHPerdata dan Doktrin ........................................ 148

3.4.2 Akibat Overmacht Berdasarkan Yurisprudensi ....... 158

3.4.3 Akibat Overmacht Menurut Peraturan Perundang-

undangan dan Kontrak ............................................. 159

3.4.4 Akibat Overmacht dari Segi Pertanggungjawaban

Developer Kepada Konsumen Berdasarkan Aspek

Hukum Perlindungan Konsumen ............................ 162

Page 25: (overmacht) over the

xxiv

BAB IV KRITERIA OVERMACHT TERHADAP KEPEMILIKAN

SATUAN RUMAH SUSUN ..................................................... 171

4.1. Konvergensi Penjabaran dan Penerapan Sistem Hukum

Benda dan Hukum Perikatan .............................................. 171

4.1.1 Sistem Hukum Benda dalam kajian Obyek

Kebendaan Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun .. 171

4.1.2 Sistem Hukum Perikatan dalam Kaitan Hak

Kepemilikan Atas Satuan Rumah Susun ................. 173

4.2 Lingkup Kriteria Overmacht ............................................... 177

4.2.1 Kriteria Overmacht dalam Buku III KUHPerdata ... 177

4.2.2 Kriteria Overmacht Berdasarkan Doktrin dan

Yurisprudensi .......................................................... 183

4.2.3 Kriteria Overmacht dalam Peraturan Perundang-

undangan dan Kontrak-kontrak lainnya .................. 189

4.3 Urgensi Pengaturan Overmacht di Masa Datang ............... 207

4.3.1 Penerapan Asas-asas Hukum Perjanjian ................. 207

4.3.2 Penerapan Asas Kepatutan ...................................... 220

4.3.3 Penerapan Asas Hukum Perlindungan Konsumen

dan Asas Kepastian Hukum..................................... 222

BAB V PENUTUP ................................................................................... 237

5.1 Simpulan .............................................................................. 237

5.2 Saran-Saran ......................................................................... 238

DAFTAR PUSTAKA ………………………………………………. 240

LAMPIRAN-LAMPIRAN

Page 26: (overmacht) over the

xxv

DAFTAR SINGKATAN

AJB : Akta Jual Beli

GS : Gambar Situasi

HGB : Hak Guna Bangunan

HGU : Hak Guna Usaha

HMSRS : Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun

ILH : Izin Layak Huni

IMB : Izin Mendirikan Bangunam

Ka BPN : Kepala Badan Pertanahan Nasional

KB : Koefisien Bagian Bersama

KDB : Koefisien Dasar Bangunan

Kepmenpera : Keputusan Menteri Perumahan Rakyat

KLB : Koefisien Lantai Bangunan

KP SRS : Kredit Pemilikan Satuan Rumah Susun

KUHD : Kitab Undang-undang Hukum Dagang

KUHPerdata : Kitab Undang-undang Hukum Perdata

NPP : Nilai Perbandingan Proporsional

Permendagri : Peraturan Menteri Dalam Negeri

PICC : Principles of International Commercial Contracts

PPAT : Pejabat Pembuat Akta Tanah

PPJB : Perjanjian Perikatan Jual Beli

PPRS : Perhimpunan Penghuni Rumah Susun

SHM SRS : Sertipikat Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun

Page 27: (overmacht) over the

xxvi

SIPPT : Surat Izin Penunjukkan dan Penggunaan Tanah

SPP : Survey Pengukuran dan Pemetaan

SRS : Satuan Rumah Susun

SU : Surat Ukur

UU NRI Tahun 1945 : Undang-undang Dasar Negara Kesatuan Republik

Indonesia Tahun 1945

UU LPM PUTS : Undang-undang Larangan Praktek Monopoli dan

Persaingan Usaha Tidak sehat

UUPA : Undang-undang Pokok Agraria

UUPK : Undang-undang Perlindungan Konsumen

Page 28: (overmacht) over the

xxvii

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 : Contoh Surat Permohonan Pengesahan Pertelaan

Lampiran 2 : A. Contoh Berita Acara Penelitian Pertelaan Rumah Susun

B. Contoh Berita Acara Pemeriksaan Fisik Rumah Susun

Lampiran 3 : Contoh Surat Pengantar SK Pengesahan kepada

Bupati/Walikota/Gubernur untuk DKI Jakarta

Lampiran 4 : Contoh Draft SK Pengesahan

Lampiran 5 : Contoh Gambar Denah Satuan Rumah Susun

Lampiran 6 : Tata Urutan Penyusunan Halaman Gambar Pertelaan

A. Keterangan Muka Peta dan Bidang Gambar Pertelaan

B. Contoh Gambar Pertelaan Rumah Susun yang menunjukkan

Satuan Lingkungan

C. Contoh Gambar Pertelaan Rumah Susun yang menunjukkan

Tanah Bersama

D. Contoh Gambar Pertelaan Rumah Susun yang menunjukkan

Bagian Perseorangan dan Bagian Bersama

E. Denah Bangunan Lantai

F. Denah Satuan Rumah Susun

Lampiran 7 : Contoh Uraian Pertelaan Rumah Susun

Lampiran 8 : Anggaran Dasar Perhimpunan Penghuni Rumah Susun

Lampiran 9 : Daftar Isian dalam Pendaftaran Hak Milik Atas Satuan Rumah

susun

Lampiran 10 : Bagan Alur Proses Sertipikasi Satuan Rumah Susun

Lampiran 11 : Peraturan Kepala BPN Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2010

tentang Standar Pelayanan dan Pengaturan Pertanahan berkaitan

dengan Pendaftaran, Peralihan dan Balik Nama terhadap

kepemilikan Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun.

Lampiran 12 : Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 2 Tahun 1989 tentang

Pedoman Pengisian Akta Pemisahan Rumah Susun.

Lampiran 13 : Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 4 Tahun 1989 tentang

Bentuk dan Tata cara pembuatan Buku Tanah serta penerbitan

Sertifikat Hak Milik Atas Satuan

A. Akta Pemisahan Rumah Susun

B. Gambar Denah

Lampiran 14 : Contoh Draft Akta Jual Beli Satuan Rumah Susun

Lampiran 15 : Contoh Buku Tanah (Sertipikat) Hak Milik Atas Satuan Rumah

Susun

Page 29: (overmacht) over the

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Klausula Pertelaan merupakan persyaratan administratif dalam

pembangunan rumah susun yang wajib dibuat oleh pelaku pembangunan rumah

susun (developer) dengan memuat batas dan rincian yang jelas atas satuan dan

bagian bersama dalam bentuk gambar dan uraian yang disahkan oleh instansi

berwenang. Pertelaan mempunyai peran penting sebagai dasar pengesahan “akta

pemisahan rumah susun” dan landasan penerbitan sertipikat Hak Milik Atas

Satuan Rumah Susun (selanjutnya disebut HMSRS).

Pembangunan rumah susun merupakan kebutuhan utama atau primer

manusia akan terpenuhinya perumahan atau pemukiman. Secara implisit,

kebutuhan tersebut diamanatkan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar

Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya ditulis UUD NRI

Tahun 1945) yang menegaskan bahwa :

Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintahan Negara

Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah

darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum,

mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia

yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial,

maka disusunlah kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu

Undang-undang Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu

susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan

berdasar kepada Ketuhanan yang Maha Esa, Kemanusiaan yang Adil dan

Beradab, Persatuan Indonesia, dan Kerakyatan yang Dipimpin oleh

Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, serta dengan

mewujudkan suatu Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia.

Page 30: (overmacht) over the

2

Ditegaskan pula dalam UUD NRI Tahun 1945 Pasal 28 H ayat (1) bahwa

"Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal dan

mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat". Rumusan ini menyiratkan

bahwa salah satu unsur pokok kesejahteraan rakyat adalah terpenuhinya

kebutuhan akan perumahan, yang merupakan kebutuhan dasar bagi setiap Warga

Negara Indonesia. Bertolak dari uraian tersebut, untuk peningkatan daya guna dan

hasil guna tanah bagi pembangunan perumahan dan pemukiman, serta

meningkatkan efektivitas penggunaan tanah terutama pada lingkungan atau daerah

yang padat penduduknya, maka dilakukan penataan atas tanah, dan mulai

terpikirkan untuk melakukan pembangunan suatu bangunan yang digunakan untuk

hunian dengan bangunan tersebut dapat digunakan secara bersama-sama dengan

masyarakat lainnya, sehingga terbentuklah adanya rumah susun.1

Pembangunan rumah susun merupakan salah satu alternatif untuk

memecahkan masalah kebutuhan pemukiman dan perumahan pada lokasi yang

padat dan tanah yang tersedia sangat terbatas sehingga perlu dikembangkan

pembangunan perumahan dan pemukiman dalam bentuk rumah susun yang

lengkap, seimbang, dan serasi dengan lingkungannya.2 Rumah susun adalah

bangunan gedung bertingkat yang dibangun dalam suatu lingkungan, yang terbagi

dalam bagian-bagian yang distrukturkan secara fungsional dalam arah horizontal

maupun vertikal dan merupakan satuan-satuan yang masing-masing dapat dimiliki

dan digunakan secara terpisah, terutama untuk tempat hunian, yang dilengkapi

1Adrian Sutedi, 2010, Hukum Rumah Susun dan Apartemen, Cet.I, Sinar

Grafika, Jakarta, (selanjutnya disebut Adrian Sutedi I) hal. 162. 2Arie S. Hutagalung, 2007, Condominium dan Permasalahannya, Badan

Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, hal.2.

Page 31: (overmacht) over the

3

dengan bagian bersama, benda-benda bersama dan tanah bersama. Melalui

pembangunan rumah susun, optimalisasi penggunaan tanah secara vertikal sampai

beberapa tingkat akan lebih efektif daripada optimalisasi penggunaan secara

horizontal.3

Landasan Hukum dari Pembangunan Rumah Susun adalah Undang-

undang Nomor 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun bagi penyelenggaraan

pembangunan rumah susun di Indonesia, serta adanya tiga Peraturan Menteri

Dalam Negeri (selanjutnya disebut Permendagri) yaitu Permendagri Nomor 14

Tahun 1975, tentang Pendaftaran Hak-Hak Atas Tanah Kepunyaan Bersama dan

Pemilikan Bagian-bagian Bangunan Yang Ada Diatasnya Serta Penerbitan

Sertifikatnya, Permendagri Nomor 14 Tahun 1977 tentang Penyelenggaraan Tata

Usaha Pendaftaran Tanah Mengenai Hak Atas Tanah yang Dipunyai Bersama dan

Pemilikan Bagian-bagian Bangunan yang Ada Diatasnya, serta Permendagri

Nomor 10 Tahun 1983 tentang Tata Cara Permohonan dan Pemberian Izin

Penerbitan Sertifikat Hak Atas Tanah Kepunyaan Bersama yang Disertai dengan

Pemilikan Secara Terpisah Bagian-bagian pada Bangunan Bertingkat. Selain

ketentuan tersebut, ada ketentuan lain yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun

1998 tentang Rumah Susun yang telah diundangkan pada tanggal 26 April 1988.

Pada tanggal 31 Desember 1985 diundangkan Undang-undang Nomor 16 Tahun

1985 tentang Rumah Susun. Dalam kepustakaan hukum undang-undang tersebut

disebut Undang-undang Kondominium Indonesia.4

3Ridwan Halim, 2000, Sendi-Sendi Hukum Hak Milik, Kondominium,

Rumah Susun Dan Sari-Sari Hukum Benda, Puncak Karna, Jakarta, hal.299. 4Boedi Harsono, 1990, Hukum Agraria Indonesia Himpunan Peraturan-

Peraturan Hukum Tanah, Djambatan, Jakarta (selanjutnya disebut Boedi Harsono

I), hal. 340.

Page 32: (overmacht) over the

4

Dengan berlakunya Undang-undang Rumah Susun, berbagai masalah

hukum yang sebelum itu dipertentangkan dan diragukan pemecahannya mendapat

jawaban yang pasti. Undang-Undang ini mengatur hal- hal yang bersifat pokok

saja, sedangkan ketentuan pelaksanaannya diatur lebih lanjut dalam peraturan

pemerintah dan/atau peraturan perundang-undangan yang lain. Sampai saat ini

peraturan perundang-undangan yang dimaksud yang telah ada yaitu Peraturan

Pemerintah Nomor 4 Tahun 1988 tentang Rumah Susun (selanjutnya disebut PP

Rumah Susun), Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 2 Tahun

1989 (selanjutnya disebut Peraturan Ka BPN Nomor 2 Tahun 1989) tentang

Bentuk dan Tatacara Pengisian serta Pendaftaran Akta Pemisahan Rumah Susun

dan Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 4 Tahun 1989

(selanjutnya disebut Peraturan Ka BPN Nomor 4 Tahun 1989) tentang Bentuk dan

Tata Cara Pembuatan Buku Tanah serta Penerbitan Sertipikat Hak Milik Atas

Satuan Rumah Susun.

Proses penerbitan sertipikat Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun, terlebih

dahulu harus memenuhi syarat administratif yaitu melalui pengesahan akta

pemisahan rumah susun dan pertelaan merupakan salah satu syarat untuk

pengesahannya sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 2 Peraturan Ka BPN Nomor

2 Tahun 1989. Perihal Klausula pertelaan sebelumnya telah ditegaskan dalam

Pasal 31 PP Rumah Susun, pada intinya menegaskan bahwa Developer sebagai

penyelenggara pembangunan rumah susun wajib meminta pengesahan pertelaan

yang menunjukkan batas yang jelas dari masing-masing satuan rumah susun,

bagian bersama, benda bersama dan tanah bersama beserta uraian nilai

Page 33: (overmacht) over the

5

perbandingan proporsionalnya. Pertelaan ini memuat mengenai Gambar dan

Uraian Pertelaan, Nilai Perbandingan Proporsional (selanjutnya disebut NPP)

yang berisi mengenai hak dan kewajiban para pihak serta sistem perhitungan NPP

berdasar Nilai Jual Pertama dan Luas Satuan Rumah Susun.5

Mencermati uraian diatas, maka pembangunan rumah susun harus

memenuhi persyaratan teknis dan administratif karena pembangunan rumah

susun lebih berat dengan spesifikasi rumah susun yang memiliki bentuk dan

keadaan khusus yang berbeda dari perumahan biasa (landed house) serta

merupakan gedung bertingkat yang akan dihuni oleh banyak orang sehingga perlu

dijamin keamanan, keselamatan dan kenikmatan dalam penghuniannya.6

Dalam perkembangannya, Undang-undang Nomor 16 Tahun 1985 tersebut

sudah tidak sesuai dengan perkembangan hukum, kebutuhan setiap orang dalam

penghunian, kepemilikan, dan pemanfaatan rumah susun. Karena sumirnya

pengaturan tentang rumah susun maka lahirlah Undang-undang baru tentang

Rumah Susun yakni Undang-undang Nomor 20 Tahun 2011. Setelah disahkannya

Undang-undang Nomor 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun (selanjutnya

disebut UU Rumah Susun) ini ternyata menuai kritik dari praktisi hukum di

bidang properti.

UU Rumah Susun ini seakan mencampuradukkan konsep kondominium

dan strata title dalam kepemilikan rumah susun. Padahal, dua konsep ini berbeda

secara konstruksi yuridis. Kondominium itu menyangkut kepemilikan bersama

termasuk tanah, sedangkan strata title adalah kepemilikan bersama tak termasuk

5Pasal 31 PP 4 Tahun 1988 Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun

1988 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3372. 6 Arie S.Hutagalung, op.cit, hal.33-34.

Page 34: (overmacht) over the

6

tanah yaitu konsep hunian vertikal maupun horizontal di mana hak kepemilikan

atas suatu ruang dalam gedung bertingkat dibagi-bagi untuk beberapa pihak.

Diterbitkannya UU Rumah Susun ini juga memberikan peluang untuk dibuatnya

klausula pertelaan sebelum bangunan itu selesai, yang pada dasarnya klausula

pertelaan tersebut dibuat setelah bangunan selesai. Dari sisi pengembang

perumahan, ini sangat merugikan karena pengembang perumahan hanya

memenuhi kewajiban mereka.

Persyaratan pembangunan rumah susun ditegaskan dalam Pasal 28-30

mengenai persyaratan administratif dan Pasal 35-36 berkaitan dengan persyaratan

teknis. Sehubungan dengan hal tersebut, dalam melakukan pembangunan rumah

susun, pelaku pembangunan harus memenuhi ketentuan administratif yaitu

persyaratan izin usaha dari perusahaan pembangunan perumahan, meliputi:

1) Status hak atas tanah dan izin mendirikan bangunan (selanjutnya cukup

ditulis IMB)

2) Izin Layak Huni (selanjutnya cukup ditulis ILH)

Pelaku pembangunan harus membangun rumah susun dan lingkungannya

sesuai dengan rencana fungsi dan pemanfaatannya, harus mendapatkan

izin dari bupati/walikota. Khusus untuk Provinsi DKI Jakarta, rencana

fungsi dan pemanfaatan mendapatkan izin Gubernur

3). Permohonan ILH yang diajukan oleh pelaku pembangunan dengan

melampirkan persyaratan sebagaimana diatur dalam Pasal 29 ayat (4) UU

Rumah Susun yaitu :

a. sertifikat hak atas tanah;

b. surat keterangan rencana kabupaten/kota;

c. gambar rencana tapak;

d. gambar rencana arsitektur yang memuat denah, tampak, dan

potongan rumah susun yang menunjukkan dengan jelas batasan

secara vertikal dan horizontal dari sarusun;

e. gambar rencana struktur beserta perhitungannya;

f. gambar rencana yang menunjukkan dengan jelas bagian bersama,

benda bersama, dan tanah bersama; dan

g. gambar rencana utilitas umum dan instalasi beserta

perlengkapannya.

Page 35: (overmacht) over the

7

4). Adanya Klausula Pertelaan dan Akta Pemisahan

Pelaku pembangunan setelah mendapatkan ILH dan IMB wajib meminta

pengesahan dari pemerintah daerah tentang pertelaan yang menunjukkan

batas yang jelas dari setiap sarusun, bagian bersama, benda bersama, dan

tanah bersama berserta uraian NPP.7

Mengenai persyaratan teknis pembangunan rumah susun8, sebagaimana

ditegaskan dalam Pasal 35 UU Rumah Susun, terdiri atas:

a. tata bangunan yang meliputi persyaratan peruntukan lokasi serta

intensitas dan arsitektur bangunan; dan

b. keandalan bangunan yang meliputi persyaratan keselamatan,

kesehatan, kenyamanan, dan kemudahan.

Pemilikan Satuan Rumah Susun (selanjutnya ditulis SRS) adalah bersifat

perorangan dan terpisah dengan hak bersama, benda bersama dan tanah bersama.

Akan menjadi masalah yang krusial jika terhadap bangunan gedung rumah susun

tersebut roboh atau terbakar dan tidak dapat dihuni oleh pemilik atau penghuni

satuan rumah susun. Berkaitan dengan bangunan gedung rumah susun yang roboh

atau terbakar, keadaan demikian ini dinamakan keadaan memaksa (overmacht).

Selanjutnya dalam penulisan ini cukup ditulis overmacht. Overmacht diatur dalam

buku III KUHPerdata, dalam pelaksanaannya, Buku III KUHPerdata ini bersifat

7UU Rumah Susun Pasal 28-30, Lembaran Negara Republik Indonesia

Tahun 2011 Nomor 108, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor

5252. 8Persyaratan teknis pembangunan rumah susun yaitu persyaratan yang

berkaitan dengan sruktur bangunan, keamanan dan keselamatan bangunan,

kesehatan lingkungan, kenyamanan dan lain-lain yang berhubungan dengan

rancang bangun, termasuk kelengkapan prasarana dan fasilitas lingkungan. (Vide

Pasal 24 huruf b UU Rumah Susun).

Page 36: (overmacht) over the

8

anvullenrecht (pelengkap). Overmacht diatur dalam Buku III bagian VII tentang

Musnahnya barang yang terutang (Pasal 1444 dan 1445 KUHPerdata).

Mengacu dan menilik uraian serta substansi dari aturan-aturan hukum

yang telah dijabarkan diatas, dapat diungkapkan bahwa masalah mendasar dari

penelitian ini yaitu adanya norma kosong dalam UU Rumah Susun berkaitan

dengan overmacht. Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya, secara eksplisit,

pengaturan overmacht telah dirumuskan dalam Buku III KUHPerdata bagian VII

tentang musnahnya barang yang terutang (Pasal 1444 dan 1445 KUHPerdata).

Berdasarkan konsepsi dasar pengaturan overmacht ini maka muncullah dasar

pemikiran penulis untuk mengkaji secara mendalam kriteria dari overmacht yang

tercantum dalam Buku III KUHPerdata, yang pada hakikatnya bersifat aanvullend

recht akankah berlaku secara mutatis mutandis dalam penyelesaian overmacht

dalam rumah susun dengan mencermati substansi obyek kebendaan dari rumah

susun itu sendiri. Menjadi permasalahan, di sisi lain kebendaan ini bersifat

dwingend recht sebagaimana diatur dalam Buku II KUHPerdata. Telaah lebih

lanjut terhadap kriteria dari overmacht, tentunya akan memberi akibat hukum

terhadap klausula pertelaan dalam kepemilikan atas satuan rumah susun yang

memiliki peranan yang teramat penting sebagai syarat pemisahan rumah susun.9

Penulis selain mencermati substansi obyek kebendaan rumah susun dalam

sistem hukum benda nasional, hal yang begitu penting pula untuk dicermati lebih

lanjut dalam kepemilikan atas SRS yaitu berkenaan dengan sistem hukum tanah

9 Syarat pemisahan rumah susun tersebut sebagaimana ditegaskan dalam

Pasal 31 PP Rumah Susun jo Pasal 2 Peraturan Ka BPN Nomor 2 Tahun 1989 jo

Pasal 25 ayat (1) UU Rumah Susun.

Page 37: (overmacht) over the

9

nasional dan dari aspek perlindungan terhadap konsumen akibat dari adanya

overmacht tersebut. Hal ini menjadi konstruksi pemikiran dari penulis, oleh sebab

Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun itu termasuk klasifikasi kebendaan apa

dalam sistem hukum benda nasional dan dalam sistem hukum tanah nasional,

apakah termasuk jenis tanah yang tergolong dalam Undang-undang Nomor 5

Tahun 1960 tentang tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria yang lebih

dikenal dengan Undang-undang Pokok Agraria (selanjutnya disebut UUPA). Dari

pemikiran tersebut akan memperoleh suatu pemahaman yang sistematis dan utuh

sehubungan dengan akibat hukum dari overmacht terhadap klausul pertelaan atas

kepemilikan satuan rumah susun.

Bertolak pada konstruksi pemikiran diatas, sejalan dengan perkembangan

masyarakat yang semakin kompleks membutuhkan suatu inovasi baru yang bisa

mengakomodir segala permasalahan yang muncul. Begitu pula dalam hal

pengaturan tentang overmacht juga mengalami perkembangan. Masyarakat tentu

saja dapat menerima perkembangan overmacht sesuai dengan proporsinya

masing-masing asalkan tidak bertentangan dengan ketertiban umum, kepatutan

dan kesusilaan. Dari latar belakang masalah tersebut, maka penulis tertarik untuk

menulis proposal tesis dengan judul: Akibat Hukum Klausula Pertelaan dalam

Keadaan Memaksa (Overmacht) terhadap Kepemilikan Satuan Rumah

Susun. Keaslian Penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan karena sebelumnya

tidak ada yang melakukan penelitian terhadap tulisan ini, hanya saja ada beberapa

penelitian yang bersinggungan dengan penelitian ini, yaitu:

Page 38: (overmacht) over the

10

A) Penelitian tesis atas nama Desy Eka Widyantari, Mahasiswi Pascasarjana

Univeritas Udayana, Magister Hukum, Program Studi Ilmu Hukum Tahun

Penelitian; 2012, dengan judul penelitian: "Mekanisme Penerbitan Akta

Pemisahan Rumah Susun Sebagai Alas Hak Lahirnya SHM SARUSUN/

SKGB Berikut Peralihan dan Pembebanannya", dan rumusan masalah sebagai

berikut:

1. Bagaimanakah akibat hukumnya bila dalam pembangunan rumah susun

pada tahap selanjutnya mengalami perubahan rencana bangun yang

mengakibatkan perubahan terhadap nilai perbandingan proporsional Akta

Pemisahan Rumah Susun?

2. Apakah Satuan Rumah susun (Sarusun) dan Sertifikat Hak Milik Atas

Satuan Rumah Susun (SHM Sarusun)/Sertifikat Kepemilikan Bangunan

Gedung Satuan Rumah Susun (SKBG Sarusun) dapat dijadikan jaminan

kredit dan bagaimana penerapan roya parsial dalam kredit konstruksi

rumah susun?

B) Penelitian Tesis atas nama Elmaliza (087011041 / MKn), Tahun Penelitian

2010, Program Studi Magister Kenotariatan Pascasarjana Universitas

Sumatera Utara, dengan judul: "Kepemilikan Terhadap Tanah Pertapakan dan

Bangunan Rumah Susun yang dikuasai dengan Sistem Strata Title" dan

rumusan masalahnya sebagai berikut:

1. Bagaimana dasar hukum (payung hukum) kepemilikan rumah susun

dengan sistem strata title di Indonesia?

Page 39: (overmacht) over the

11

2. Bagaimana hak kepemilikan tanah dan bangunan atas rumah susun

menurut sistem pertanahan di Indonesia?

3. Bagaimana tanggungjawab para pemilik satuan rumah susun dengan

sistem strata title dalam pemeliharaan hak atas tanah dan bangunan serta

fasilitas rumah susun?

C) Penelitian Tesis yang ditulis oleh Muchairani, mahasiswi Magister

Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dengan rumusan

masalah sebagai berikut:

1) Hak-hak atas tanah apa saja yang dapat dipergunakan penyelenggara

pembangunan rumah susun untuk membangun rumah susun?

2) Apakah Undang-Undang Rumah Susun menganut asas pelekatan atau asas

pemisahan horizontal?

Beranjak dari paparan permasalahan yang diteliti oleh peneliti sebelumnya,

dapat dicermati adanya perbedaan yang sangat mendasar dari penelitian ini, maka

dengan demikian penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan keasliannya secara

ilmiah.

1.2 Rumusan Masalah

Bertitik tolak dari latar belakang masalah, sebagaimana dikemukakan

diatas maka dapat dirumuskan 2 (dua) permasalahan pokok yaitu sebagai berikut:

1) Bagaimanakah akibat hukum klausula pertelaan terhadap kepemilikan

Satuan Rumah Susun dalam keadaan overmacht?

Page 40: (overmacht) over the

12

2) Apakah kriteria overmacht dalam Buku III KUHPerdata berlaku mutatis

mutandis terhadap keadaan overmacht dalam kepemilikan Satuan Rumah

Susun?

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan Umum

Secara umum, penulisan ini bertujuan untuk pengembangan ilmu hukum

terkait dengan paradigma science as a process (ilmu sebagai proses) yaitu untuk

pengembangan ilmu hukum dalam bidang pertanahan (Agraria) dan bidang

property terhadap Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun.

1.3.2 Tujuan Khusus

Tujuan khusus pada dasarnya berkaitan dengan permasalahan yang diteliti.

Tujuan khusus dalam penulisan ini yaitu:

1) Untuk menganalisis dan mengetahui akibat hukum klausul pertelaan dalam

overmacht terhadap Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun

2) Untuk menganalisis dan mengetahui kriteria dari overmacht dalam Buku

III KUHPerdata berlaku mutatis mutandis terhadap keadaan overmacht

dalam kepemilikan Satuan Rumah Susun.

1.4. Manfaat Penelitian

1.4.1 Manfaat Teoritis

Secara teoritis, penulisan ini, diharapkan dapat menambah khazanah

pengetahuan di bidang hukum pertanahan (agraria) dan bidang property (rumah

susun) mengenai akibat hukum klausul pertelaan dalam hal terjadinya overmacht

terhadap Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun.

Page 41: (overmacht) over the

13

1.4.2 Manfaat Praktis

Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat

kepada pemerintah (pusat dan/atau daerah), developer (pengembang) dan

masyarakat dalam memberikan kepastian hukum siapa yang bertanggung jawab

atas keadaan overmacht, selain itu juga penulisan ini memberikan manfaat bagi

penulis serta bagi pembuat kebijakan, yang diuraikan sebagai berikut:

1. Bagi developer, adanya keterbukaan bagi masyarakat dalam pembuatan

klausul pertelaan terhadap Hak Milik atas Satuan Rumah Susun;

2. Bagi pemilik unit satuan rumah susun, dalam keadaan overmacht terhadap

kepemilikan satuan rumah susun, akan memberikan perlindungan hukum

dan menjamin kepastian hukum dalam kepemilikan satuan rumah susun;

3. Bagi Penulis, untuk menambah wawasan di bidang hukum pertanahan

(agraria) dan bidang property (rumah susun) mengenai klausul pertelaan

serta dapat memahami kriteria overmacht terhadap obyek kebendaan

rumah susun tersebut, sehingga penulis dapat mengkaji secara mendalam

mengenai akibat hukum klausul pertelaan dalam hal terjadi overmacht

terhadap Hak Milik atas satuan Rumah Susun;

4. Bagi pembuat kebijakan, maka diharapkan agar ketentuan UU Rumah

Susun ditinjau kembali dan pengaturannya lebih dipertegas mengenai

kriteria overmacht terhadap Hak Milik atas Satuan Rumah Susun.

Page 42: (overmacht) over the

14

1.5 Landasan Teoritis

1.5.1 Teori Hukum

1.5.1.1 Teori Hukum Umum

1.5.1.1.a Three Elements of Legal System Theory

Membahas permasalahan pertama, peneliti menggunakan Three Elements

of Legal System Theory dari Lawrence M. Friedmann. Menurut Lawrence M.

Friedmann, dengan teorinya tersebut mengajarkan, hukum itu harus dipersepsikan

sebagai suatu sistem, artinya hukum itu bukan anasir tunggal melainkan

eksistensinya mesti didukung oleh beberapa unsur yang saling mempengaruhi.

Unsur dimaksud, menurutnya, adalah: “legal structure (struktur hukum)”, “legal

substance (substansi hukum)”, dan “legal culture (budaya hukum)”.10

Mencermati Three Elements of Legal System Theory dari Friedmann dalam

membahas permasalahan pertama mengacu pada substansi hukumnya. Friedmann,

menjelaskan substansi hukum adalah "the actual rules, norms, and behavior

pattern of people inside the system"11

(yakni pada aturan-aturan dalam sistem

hukum tersebut, norma-norma termasuk pola perilaku manusia didalam sistem).

1.5.1.1.b Teori Keadilan

Tujuan Negara Indonesia yaitu kesejahteraan (welfare state) dan

kesejahteraan dapat dinikmati jika keadilan sudah diperoleh.12

Berbicara

mengenai keadilan terdapat makna yang beragam dari berbagai kalangan. Suatu

10

Lawrence M. Friedmann, 1985, American Law, W.W.Norton & Company

New York-London, hal.5. 11

Ibid, hal.6. 12

Dominikus Rato, 2010, Filsafat Hukum: Mencari, Menemukan dan

Memahami Hukum, Laksbang Justitia, Surabaya, hal.70.

Page 43: (overmacht) over the

15

gejala tertentu disebut keadilan bukan merupakan tugas definisi keadilan

melainkan dengan bantuan teori keadilan.

Salah satu diantara teori keadilan yang dimaksud antara lain teori keadilan

dari Aristoteles yang berdasar pada prinsip persamaan, keadilan terlaksana

terhadap hal-hal yang sama diperlakukan sama dan hal-hal yang tidak sama

diperlakukan secara tidak sama secara proporsionalitas (justice consist in treating

equals equally and unequals unequally in proportion to their inequality).13

Aristoteles membedakan keadilan menjadi:

(1). Keadilan universal (umum) yaitu keadilan yang terbentuk bersamaan

dengan perumusan hukum;

(2). Keadilan partikular diidentikkan dengan kejujuran (fairness atau

equalitas). Keadilan partikular ini dibedakan menjadi:

a. Keadilan distributif adalah keadilan proporsional;

b. Keadilan rektifikatoris disebut juga keadilan remedial,

keadilan korektif ataupun keadilan kompensatoris yaitu

keadilan didalam hubungan hukum antarpersona pada suatu

transaksi bisnis atau kontrak yang didalamnya termuat

pengertian equalitas.14

Sejalan dengan pendapat Aristoteles, Thomas Aquinas mengemukakan

definisi keadilan yaitu "justita est constans et perpetua voluntas jus suum cuique

tribuendi" (keadilan adalah kecendrungan yang tetap dan kekal untuk memberikan

kepada setiap orang apa yang menjadi haknya).15

Aquinas membedakan antara

keadilan dalam arti umum (iustitia generalis) atau keadilan legal (iustitia legalis)

dengan keadilan khusus. Aquinas menyatakan keadilan universal sebagai iustitia

13

Aristoteles dalam E. Sumaryono, 2002, Etika Hukum Relevansi Teori

Hukum Kodrat Thomas Aquinas, Kanisius, Yogyakarta, hal.256. 14

Ibid.

15Bahder Johan Nasution, 2011, Negara Hukum dan Hak Asasi Manusia,

Mandar Maju, Bandung (selanjutnya disebut Bahder Johan Nasution II), hal 104.

Page 44: (overmacht) over the

16

ad alterum yakni hubungan antara individu dengan masyarakat secara keseluruhan

(ordo partium ad totum).16

Sedangkan keadilan dalam arti khusus berlaku dalam

dua cara yaitu:

(1). Keadilan komutatif (iustitia commutativa)

Hubungan yang mengatur hubungan timbal balik diantara individu

yang satu dengan individu lainnya.

(2). Keadilan distributif (iustitia distributiva)

Mengatur hubungan antara masyarakat secara keseluruhan dengan

setiap individu (ordo totius ad partes) yaitu keadilan dalam

memberikan kepada seseorang secara sebanding atau secara

proporsionalitas dengan apa yang seharusnya ia terima (praeter

proportionem dignitas ipsius).17

Teori lainnya mengenai keadilan yang relevan dalam menganalisis

permasalahan pertama pada penulisan ini yaitu teori yang dikemukakan oleh John

Rawls, dengan membangun teori keadilan berbasis kontrak, dalam artian bahwa

suatu teori keadilan yang memadai harus dibentuk dengan pendekatan kontrak,

dimana asas-asas yang dipilih merupakan kesepakatan bersama secara bebas.

Melalui pendekatan kontrak maka teori keadilan mampu menjamin pelaksanaan

hak dan sekaligus mendistribusikan kewajiban secara adil bagi semua orang.18

1.5.1.2 Teori Hukum Khusus

1.5.1.2.a. Teori Korelasi

Teori ini menyatakan selalu ada hubungan timbal-balik antara hak dan

kewajiban. Teori korelasi ini dianut oleh pengikut utilitarianisme. Mereka

berpendapat tentang hak dalam arti sesungguhnya, jika ada korelasi dan terhadap

16

E.Sumaryono, op.cit, hal.256. 17

E.Sumaryono, op.cit, hal.257. 18

Andre Ata Ujan, 1999, Keadilan dan Demokrasi (Telaah Filsafat Politik

John Rawls), Kanisius, Yogyakarta, hal.21.

Page 45: (overmacht) over the

17

hak yang tidak ada kewajiban yang sesuai dengannya tidak pantas disebut hak.

Berikut pandangan dari teori korelasi:

1). Dipandang dari segi kewajiban

Terhadap teori korelasi ini, diakui bahwa memang terdapat hubungan

timbal-balik antara hak dan kewajiban, tetapi tidak dapat dikatakan

bahwa hubungan itu mutlak tanpa pengecualian.

John Stuart Mill memberikan pembedaan yang begitu menarik antara

duties of perfect obligation (kewajiban sempurna) dan duties of

imperfect obligation (kewajiban tidak sempurna). Kewajiban sempurna

selalu berkaitan dengan hak orang lain sedangkan kewajiban tidak

sempurna tidak berkaitan dengan hak orang lain.

2). Dipandang dari segi hak.

Hubungan korelasi antara hak dan kewajiban paling jelas terlihat dalam

kasus hak-hak khusus. Dalam hal ini setiap seseorang mempunyai hak

terhadap orang lain, maka orang lain tersebut mempunyai kewajiban

terhadap seseorang.19

1.5.1.2.b Teori Tahap Penyusunan Kontrak

Menurut Van Dunne, tahap-tahap yang harus diperhatikan dalam

penyusunan kontrak, yaitu:

a) Tahap pracontractual merupakan tahapan awal dimana terjadi

penawaran dan penerimaan diantara para pihak;

b) Tahap contractual merupakan keseluruhan hubungan hukum antara

para pihak sesuai dengan kesepakatan;

c) Tahap post contractual yaitu tahap pelaksanaan kontrak yang

mengikat para pihak serta menimbulkan akibat hukum.20

1.5.1.2.c Teori Pertanggungjawaban Risiko Tanggung Gugat dalam

terjadinya Overmacht

Terdapat beberapa teori menurut Agus Yudha Hernoko untuk membahas

risiko tanggung gugat dalam terjadi overmacht yang mencoba memberikan

argumentasi masing-masing, meliputi:

19

K.Bertens, 2004, Etika, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, hal.193. 20

Salim H.S, 2009, Hukum Kontrak: Teori dan Teknik Penyusunan

Kontrak, Cet.6, Sinar Grafika, Jakarta (selanjutnya disebut Salim H.S I), hal.4.

Page 46: (overmacht) over the

18

1. Teori Objektif yang bertitik tolak dari asumsi bahwa prestasi tidak

mungkin bagi setiap orang, artinya ketidakmungkinan mutlak bagi

setiap orang (vide Pasal 1444 KUHPerdata).

2. Teori Subjektif bertitik tolak dari asumsi bahwa prestasi tidak mungkin

bagi debitor yang bersangkutan, terkait dengan ketidakmungkinan

relatif (dengan mengingat keadaan pribadi atau subjek debitor).

J.F. Houwing dengan Teori Usahanya (Inspanningsleer theorie)

merupakan pendukung teori subjektif. Teori ini beranjak dari pemikiran

bahwa overmacht mulai di mana kesalahan berhenti artinya debitor

harus dihukum membayar ganti rugi apabila tidak dapat membuktikan

bahwa, ia telah melakukan segala sesuatu yang menjadi kewajibannya

berdasar pada pendapat dalam lalu lintas masyarakat dan/atau makna

yang wajar dari kontrak tersebut.

3. Teori Risiko dari J.L.L. Wery, beranjak dari pemikiran bahwa

overmacht mulai diterima di mana risiko berhenti, artinya debitor harus

dihukum membayar ganti rugi apabila tidak dapat membuktikan bahwa

terhalangnya pelaksanaan prestasi timbul dari keadaan yang selayaknya

ia tidak bertanggung gugat. Dengan kata lain, meskipun debitor tidak

bersalah, debitor memikul risiko tanggung gugat. Teori ini

menimbulkan teori ambil-alih risiko (Gevaarzetting Theorie)

merupakan contoh dari teori risiko, bahwa di sini debitor telah

mengambil risiko untuk pemenuhan prestasi tersebut.21

1.5.1.2.d. Teori Hak Milik

Menurut Rasjidi, hak milik adalah hubungan seseorang dengan suatu

benda yang membentuk hak pemilikan terhadap benda tersebut, sehingga

hubungan antara subyek dan benda yang memberikan wewenang kepada subyek

untuk mempertahankan benda tersebut dari tuntutan pihak lain. 22

Dari pernyataan

tersebut, maka terdapat beberapa teori hak milik untuk mempertahankannya,

yaitu:

(1) Teori Hukum Alam (Natural Law Theories)

Ajaran Hugo Groutius dan Samuel Pufendorf dipandang sebagai teori

hukum alam yang tertua mengenai milik, dikatakan bahwa pada

21

Agus Yudha Hernoko, 2011, Hukum Perjanjian:Asas Proporsionalitas

dalam Kontrak Komersil, Cet.II, Kencana Predana Media Group, Jakarta, hal.245. 22

Rasjidi dalam Darji Darmodiharjo dan Shidarta, 2008, Pokok-Pokok

Filsafat Hukum: Apa dan Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia, Gramedia

Pustaka Utama, Jakarta, hal. 186.

Page 47: (overmacht) over the

19

awalnya semua benda adalah res nullius23

, kemudian atas suatu

persetujuan, perjanjian timbal-balik lahirlah penguasaan individu.

(2) Teori Metafisik (Metaphysical Theories)

Teori ini dikemukakan oleh Immanuel Kant, memberikan gagasan

mengenai suatu benda adalah kepunyaannya, dalam artian hak milik

adalah hak mutlak yang tidak dapat diganggu-gugat. Teori ini

menekankan pada unsur pendakuan dan perjanjian.

(3) Teori Sejarah (Historical Theories)

Teori sejarah didasarkan pada prinsip Von-Savigny bahwa semua hak

milik berdasar atas kepunyaan yang dirugikan oleh daluarsa.

(4) Teori Positif (Positive Theories)

Teori positif mengenai milik ini dikemukakan oleh Spencer bahwa

suatu hukum kebebasan yang dideduksi yang dibenarkan atas dasar

fakta dalam masyarakat primitif, yang nantinya akan berkembang

sesuai dengan perkembangan peradaban.

(5) Teori Psikologis (Psychological Theories)

Mendasarkan pada insting manusia untuk menguasai benda-benda

dalam alam milik pribadi.

(6) Teori Sosiologis (Sociological Theories)

Mendasarkan pada pendapat mengenai adanya interaksi dari

kepentingan-kepentingan dalam masyarakat. Teori sosiologis

dibedakan atas:

a). Teori Sosiologis Psychologis yaitu mencari dasar milik didalam

suatu insting kehendak untuk memperoleh harta benda dan atas

dasar itu memandang hak milik sebagai suatu perkembangan

sosial atau lembaga sosial.

b). Teori Sosiologis Positif, menunjukkan terjadinya sosialisasi

dalam hak milik, tidak berarti bahwa hak milik berubah menjadi

hak kolektif tetapi hak milik sebagai fungsi sosial.

c). Teori Sosiologis Utilitis menjelaskan dan membenarkan milik

sebagai suatu lembaga yang menjamin tercapainya kepentingan

dan sebagai usaha untuk pembangunan masyarakat.24

1.5.2 Konsep Hukum

Konsep hukum yang digunakan dalam permasalahan pertama yaitu

konsep tanggung jawab developer terhadap konsumen dalam hal terjadinya

23

Res nullius yaitu barang yang pemiliknya tidak diketahui (Lihat

L.Sumartini, et.al, 1999, Penyusunan Kamus Hukum Umum Bahasa Belanda-

Bahasa Indonesia, Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman

RI, Jakarta, hal.126). 24

Roescou Pound dalam Aslan Noor, 2006, Konsep Hak Milik atas Tanah

Bagi Bangsa Indonesia Ditinjau dari Ajaran Hak Asasi Manusia, Mandar Maju,

Bandung , hal.47-57.

Page 48: (overmacht) over the

20

overmacht. Permasalahan kedua menggunakan, konsep hak dan kewajiban para

pihak, serta untuk konsep overmacht, konsep Hak Milik Atas Satuan Rumah

Susun dan konsep pertelaan sama-sama diterapkan terhadap permasalahan

pertama maupun kedua, berikut uraiannya:

1.5.2.1. Konsep Pertelaan dan Konsep Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun

Konsep bangunan rumah susun bangunan bertingkat, yang dapat dihuni

bersama, dimana satu-satuan dari unit dalam bangunan dimaksud dapat dimiliki

secara terpisah yang dibangun baik secara horizontal maupun secara vertikal yang

tujuan peruntukan utamanya digunakan secara terpisah sebagai tempat hunian,

yang mempunyai sarana penghubung ke jalan umum.25

HMSRS adalah Hak Milik

Atas Satuan Rumah Susun yang bersifat perseorangan dan terpisah, meliputi hak

atas bagian bersama, benda bersama, dan tanah bersama, yang semuanya

merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dengan satuan yang bersangkutan

yang terdiri atas kepemilikan perseorangan dan kepemilikan bersama.

Sistem pemilikan atas suatu gedung bertingkat dapat dibagi menjadi 2

(dua) yaitu :

1. Pemilikan tunggal (single ownership);

Pemilikan tunggal dilihat dari pemilikan tanah tempat gedung

bertingkat itu berdiri sehingga pemegang sertifikat juga merupakan

pemilik gedung.

2. Pemilikan bersama (joint ownership).

Adapun sistem pemilikan bersama dibagi dua dengan melihat adanya

atau tidaknya ikatan hukum yang lebih dulu ada diantara pemilik

gedung bertingkat itu, yaitu sebagai berikut:

a. Pemilik bersama yang terikat, yaitu adanya ikatan hukum lebih

dahulu antara pemilik. Dasar pengaturannya Permendagri No. 14

Tahun 1975.

25

Vide Pasal 1 angka 3 UU Rumah Susun.

Page 49: (overmacht) over the

21

b. Pemilikan bersama yang bebas, yaitu antara para pemilik tidak ada

hubungan hukum lebih dahulu selain hak bersama menjadi pemilik

untuk dipergunakan bersama. Dasar pengaturannya UURS juncto

PP No. 4 Tahun 1988 tentang rumah susun. Sistem pemilikan

bersama yang bebas inilah yang dikenal sebagai condominium.26

Sesuai dengan konsep diatas, maka UU Rumah Susun telah merumuskan jenis

kepemilikan perorangan dan pemilikan bersama satu kesatuan jenis pemilikan

yang baru yang disebut Hak Milik atas Satuan Rumah Susun. Dengan demikian,

kepemilikan hak atas tanah pada Sarusun di dalam kerangka hukum benda

mengacu kepada sistem kondominium sebagaimana yang diatur dalam buku II

KUHPerdata, dimana terdapat pemilikan individual atas Sarusun yang merupakan

hak penghuni, disamping itu terdapat hak kepemilikan bersama atas tanah dimana

bangunan tersebut terletak (common areas) dan hak milik bersama atas sarana-

sarana bangunan (common elements). 27

Berikut gambaran dari bagian kepemilikan perseorangan dan kepemilikan

bersama atas Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun:

Gambar 1: Sistem Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun sesuai dengan UU

Rumah Susun yang penulis kutip dari Buku Panduan Pendaftaran Hak Milik

Atas Satuan Rumah Susun, Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia

Tahun 2009, Jakarta.

26

Imam Kuswahyono, 2004, Hukum Rumah Susun, Bayumedia Publishing, Malang, hal. 12.

27Ibid.

Page 50: (overmacht) over the

22

Pelaku pembangunan wajib memisahkan rumah susun atas satuan rumah

susun, bagian bersama, benda bersama dan tanah bersama, pemisahan ini

memberikan kejelasan atas :

a. Batas satuan rumah susun yang dapat digunakan secara terpisah untuk

setiap pemilik.

b. Batas dan uraian atas bagian bersama dan benda bersama yang menjadi

hak setiap satuan rumah susun, dan

c. Batas dan uraian tanah bersama dan besarnya bagian yang menjadi hak

setiap satuan rumah susun.28

Pemisahan atas satuan rumah susun wajib dituangkan dalam Gambar dan

Uraian Pertelaan, yang dapat diuraikan sebagai berikut:

1) Gambar Pertelaan, yaitu gambar yang memperlihatkan batas-batas

kepemilikan perseorangan maupun kebersamaan yang distrukturkan

secara vertikal maupun horizontal yang merupakan satu kesatuan

fungsi dalam kegunaannya, yang mengandung nilai perbandingan

proposional (NPP).

2) Uraian Pertelaan

Uraian Pertelaan adalah penjelasan secara deskriptif dari gambar

pertelaan mengenai kepemilikan perseorangan dan kepemilikan

bersamayang dilengkapi dengan spesifikasi teknis yang mengandung

nilai perbandingan proporsional (NPP) yang perhitungannya

dilakukan oleh penyelenggara pembangunan dan disahkan oleh

Bupati/Walikota dan khusus untuk wilayah DKI Jakarta disahkan oleh

Gubernur.29

Berdasar uraian diatas, maka jelas Pertelaan memiliki peranan yang

penting sebagai salah satu syarat untuk pengesahan Akta Pemisahan Rumah

Susun sebelum diterbitkannya Sertipikat Hak Milik atas Satuan Rumah Susun.

Proses tersebut dapat digambarkan sebagai berikut:

28

Vide Pasal 25 UU Rumah Susun. 29

Vide Pasal 26 UU Rumah Susun.

Page 51: (overmacht) over the

23

Bagan 1.1. Prosedur Penerbitan Sertipikat HMSRS

Sumber: UU Rumah Susun dan PP Rumah Susun yang diolah dan penulis

kutip Buku Panduan Pendaftaran Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun,

Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Tahun 2009, Jakarta.

1.5.2.2. Konsep hak dan kewajiban para pihak

Hak merupakan terjemahan dari bahasa Latin, digunakan istilah “ius”,

“right” dalam bahasa Inggris, dalam bahasa Perancis istilah hak merupakan

terjemahan dari “droit” sedang dalam bahasa Belanda, istilah hak sama dengan

istilah hukum yaitu “recht”30

, yaitu apa yang dimiliki atau melekat pada diri

seseorang. Keadilan atau iustitia akan terbentuk jika seseorang menerima apa

yang seharusnya ia miliki atau melekat pada dirinya.31

30

C.S.T Kansil, 1986, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia,

Balai Pustaka, Jakarta, hal.120. 31

E.Sumaryono, op.cit, hal.161.

Page 52: (overmacht) over the

24

Hak merupakan seperangkat kewenangan yang diperoleh seseorang baik

berupa hak yang melekat sejak ia lahir sampai meninggal. Hukum melindungi

kepentingan seseorang dengan cara mengalokasikan suatu kewenangan seseorang

dan kekuasaan kepadanya untuk bertindak memenuhi kepentingannya secara

terukur. Kekuasaan yang demikian itulah yang disebut sebagai hak. Jadi, tidak

semua kewenangan masyarakat itu dikatakan sebagai hak, hanya kewenangan

yang diberikan oleh hukum kepada seseorang dikatakan sebagai hak.32

Lili Rasjidi mengatakan bahwa hak sama halnya dengan kesalahan dan

kewajiban, bersifat moral dan hukum. Dari segi moral, hak merupakan suatu

kepentingan yang diakui dan dan diatur oleh ketentuan moral. Dari segi hukum,

hak merupakan kepentingan yang diakui dan dilindungi oleh suatu peraturan

perundang-undangan.33

Selain itu, pengertian hak dapat dijumpai juga dalam teori

mengenai hakekat hak (teori kehendak dan teori kepentingan) yang telah

diuraikan sebelumnya. Paton dan Meijers berpendapat bahwa esensi hak bukanlah

kekuasaan yang dijamin oleh hukum melainkan kekuasaan yang dijamin hukum

untuk memenuhi suatu kepentingan. Selanjutnya, oleh K.Bertens, hak dikatakan

sebagai klaim yang sah atau klaim yang dapat dibenarkan, dibuat oleh orang atau

kelompok yang satu terhadap yang lain atau terhadap masyarakat. Hal ini berarti

bahwa orang yang mempunyai hak bisa saja menuntut bahwa orang lain akan

32

Zainuddin Ali, 2008, Filsafat Hukum, Cet.II, Sinar Grafika, Jakarta,

hal.81. Bandingkan pula dengan L.J.Van Apeldoorn, Inleiding tot de Studie van

het Nederlandse Recht, diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Oetarid

Sadino, 2005, Pengantar Ilmu Hukum, Cet. 31, Pradnya Paramita, Jakarta,

hal.160. 33

Lili Rasjidi dalam Abdul Rachmad Budiono, 2005, Pengantar Ilmu

Hukum, Cet.I, Banyumedia, Malang, hal.72.

Page 53: (overmacht) over the

25

memenuhi dan menghormati hak itu.34

Sesuatu menjadi hak, apabila dapat

menuntut agar sesuatu itu diberikan kepada pemilik hak dan apabila orang lain

wajib memberikan apa yang dituntut tersebut.35

Thomas Aquinas menyatakan, hak pada dasarnya merupakan akibat

keberlakuan hukum. Jika hukum berlaku, maka dalam keberlakuannya terkandung

keharusan (necessitas) bagi subyek untuk menaatinya dengan maksud untuk

mewujudkan kebaikan umum yakni hak tidak hanya mengandung unsur

perlindungan dan kepentingan tetapi juga mengandung unsur keharusan yang

diterapkan pada kehendak secara bebas. Jika hukum memaksakan keharusan

moral untuk melakukan secara bebas, maka terdapat kekuatan moral dalam

melakukan hal tersebut. Oleh Thomas Aquinas kekuatan moral inilah disebut

sebagai hak.36

Mencermati uraian diatas mengenai pengertian hak dari para ahli hukum,

ciri-ciri yang melekat pada hak dan unsur-unsur dari hak maka dapat dipahami

bahwa hak adalah kepentingan yang dilindungi oleh hukum, dan tetap dapat

dipertahankan. Oleh karenanya, setiap hak yang melekat pada seseorang wajib

untuk dihormati/dilindungi, jika merasa kepentingannya dirugikan maka

seseorang yang dirugikan tersebut berhak untuk mengajukan tuntutan. Sehingga

dapat dipahami bahwa hak dan kewajiban mempunyai hubungan yang sangat erat.

Kewajiban merupakan hal yang mutlak dibutuhkan oleh seseorang yang ingin

haknya terpenuhi. Seseorang dapat menuntut haknya apabila ia telah

34

K.Bertens, loc.cit. 35

Muhamad Erwin, Filsafat Hukum:Refleksi Kritis terhadap Hukum, 2011,

Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal.241-242. 36

E.Sumaryono, op.cit, hal.237.

Page 54: (overmacht) over the

26

menyelesaikan kewajibannya. Kewajiban adalah bentuk pasif dari tanggung

jawab. Sesuatu yang dilakukan karena tanggung jawab adalah kewajiban. Hak dan

kewajiban dari para pihak tersebut, dapat diuraikan sebagai berikut:

1. Hak dan kewajiban Pemilik SRS A. Hak Pemilik SRS

Sudah dengan sendirinya pemilik SRS berhak untuk menghuni SRS yang dimilikinya serta menggunakan bagian-bagian bersama, tanah bersama dan benda-benda bersama, masing-masing sesuai dengan peruntukannya;

Ia juga berhak untuk menyewakan SRS yang dimilikinya kepada pihak lain yang akan menjadi penghuni, asalkan tidak melebihi jangka waktu berlakunya hak atas tanah bersama yang bersangkutan;

Ia juga berhak untuk menunjuk HMSRS yang dimilikinya sebagai jaminan kredit membebaninya dengan Hak Tanggungan;

HMSRS dapat beralih karena pewarisan; Juga dapat dipindahkan kepada pihak lain melalui jual-beli, tukar

menukar, hibah, pemasukan dalam perusahaan atau legaat. B. Kewajiban Pemilik SRS

Para pemilik SRS berkewajiban membentuk Perhimpunan Penghuni yang bertugas mengurus kepentingan bersama para pemilik SRS dan penghuninya yang bersangkutan dengan pemilikan dan penghuniannya agar terselenggara kehidupan bersama yang tertib dan aman dalam lingkungan yang sehat dan serasi

Pembiayaan kegiatan perhimpunan penghuni dan Badan Pengelola ditanggung bersama oleh para pemilik SRS dan para penghuni, masing-masing sebesar imbangan menurut nilai perbandingan proporsionalnya;

Jika jangka waktu hak atas tanah bersama berakhir, para pemilik SRS berkewajiban untuk bersama-sama mengajukan permohonan perpanjangan jangka waktu atau pembaharuan Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai yang bersangkutan.

37

2. Hak dan kewajiban developer Hak Developer: Developer dapat memindahkan hak dan kewajiban dalam pengikatan jual-beli tersebut kepada pihak lain melalui pemberitahuan tertulis kepada pembeli. Kewajiban Developer:

a. Melampirkan detail dan spesifikasi bangunan. b. Tanggal selesainya pembangunan dan tanggal penyerahan unit

apartemen yang bersangkutan akan diberitahukan oleh developer kepada pemesan/pembeli.

37

Boedi Harsono, 2008, Hukum Agraria Indonesia: Sejarah Pembentukan

Undang-Undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, Jilid 1, Hukum Tanah

Nasional, Cet. XII, Djambatan, Jakarta (selanjutnya disebut Boedi Harsono II),

hal.362-363.

Page 55: (overmacht) over the

27

c. Menjadi tanggung jawab developer untuk menyelesaikan pembangunan dan memperbaiki kerusakan yang terjadi dalam jangka 14 hari setelah tanggal ditandatangani Berita Acara Serah Terima, dengan ketentuan bahwa: 1) tanggung jawab developer tersebut dibatasi oleh desain dan

spesifikasi unit apartemen, dan 2) kerusakan-kerusakan yang terjadi bukan disebabkan oleh

kesalahan developer. d. Developer atau pihak yang ditunjuk oleh developer akan menjadi

pengelola sementara Apartement Tower sebelum terbentuk Perhimpunan Penghuni dan menunjuk pengelola setelah perhimpunan penghuni terbentuk.

e. Developer akan mengasuransikan pekerjaan pembangunan tersebut selama berlangsungnya pembangunan.

f. Jika terjadinya force majeur (keadaan kahar) yang di luar kemampuan para pihak selama berlangsungnya pembangunan, developer dan pembeli akan mempertimbangkan penyelesaiannya sebaik-baiknya, dengan dasar pertimbangan utama adalah dapat diselesaikan pekerjaan pembangunan unit apartemen.

g. Developer atas biaya pembeli, akan menyiapkan akta jual-beli Hak Milik Atas Unit Apartemen bersama-sama dengan pembeli. Akta ditandatangani pembeli dihadapan Notaris/PPAT yang berwenang yang kemudian akan mengurus agar pembeli dapat memperoleh Sertifikat Hak Milik Atas Tanah Satuan Rumah Susun atas namanya sendiri dari Kantor Badan Pertanahan setempat.

h. Jika developer tidak dapat menyelesaikan pembangunan unit apartemen pada tanggal yang telah ditentukan, developer diberi kesempatan menyelesaikan pembangunan tersebut dalam jangka waktu 120 hari. Jika tidak terlaksana dalam jangka waktu tersebut, maka kepada pembeli akan dibayar denda setiap bulannya oleh developer.

38

1.5.2.3. Konsep Overmacht

Konsep overmacht ditemukan dalam KUHPerdata pada pasal-pasal

berikut ini:

Pasal 1244 KUH Perdata Jika ada alasan untuk itu si berhutang harus dihukum mengganti biaya,

rugi dan bunga, bila ia tidak membuktikan, bahwa hal tidak dilaksanakan

atau tidak pada waktu yang tepat dilaksanakannya perjanjian itu,

disebabkan karena suatu hal yang tak terduga, pun tak dapat

dipertanggungjawabkan padanya, kesemuanya itu pun jika itikad buruk

tidak ada pada pihaknya.

38

Keputusan Menteri Perumahan Rakyat Nomor 11/KPTS/1995 tentang

Pedoman Perikatan Jual-Beli Satuan Rumah Susun.

Page 56: (overmacht) over the

28

Pasal 1245 KUH Perdata

Tidaklah biaya, rugi dan bunga harus digan tinya, apabila karena keadaan

memaksa (overmacht) atau karena suatu keadaan yang tidak disengaja, si

berutang berhalangan memberikan atau berbuat sesuatu yang diwajibkan,

atau karena hal-hal yang sama telah melakukan perbuatan yang terlarang.

Pasal 1444 KUH Perdata

(1) Jika barang tertentu yang menjadi pokok perjanjian musnah, tak dapat

diperdagangkan, atau hilang, hingga sama sekali tidak diketahui

apakah barang itu masih ada, maka hapuslah perikatannya, asal barang

itu musnah atau hilang di luar kesalahan si berutang dan sebelum ia

lalai menyerahkannya.

(2) Bahkan meskipun si berutang lalai menyerahkan suatu barang,

sedangkan ia tidak telah menanggung terhadap kejadian-kejadian yang

tidak terduga, perikatan tetap hapus jika barang itu akan musnah juga

dengan cara yang sama di tangannya si berpiutang seandainya sudah

diserahkan kepadanya.

(3) Si berutang diwajibkan membuktikan kejadian yang tidak terduga,

yang dimajukannya itu.

(4) Dengan cara bagaimanapun suatu barang yang telah dicuri, musnah

atau hilang, hilangnya barang itu tidak sekali-kali membebaskan orang

yang mencuri barang dari kewajibannya mengganti harganya.

Pasal 1445 KUH Perdata Jika barang yang terutang, di luar salahnya si berutang musnah, tidak dapat

lagi diperdagangkan, atau hilang, maka si berutang, jika ia mempunyai

hak-hak atau tuntutan-tuntutan ganti rugi mengenai barang tersebut,

diwajibkan memberikan hak-hak dan tuntutan-tuntutan tersebut kepada

orang yang mengutangkan kepadanya.

Alinea pertama Pasal 1444 ini mencerminkan tunduknya perjanjian kepada

ketentuan tentang overmacht yang diluar kendali para pihak dan tidak

membebaskan pihak yang mempunyai kewajiban untuk tetap memberi

penggantian kepada pihak yang berhak, sebagaimana dinyatakan pada Pasal 1445

KUH Perdata. Overmacht yang diatur dalam Pasal 1244, Pasal 1245, Pasal 1444

dan Pasal 1445 KUH Perdata tersebut, diartikan secara berbeda oleh para ahli

hukum kontrak, antara lain:

Page 57: (overmacht) over the

29

Munir Fuady mengungkapkan pendapatnya tentang overmacht, yaitu

suatu keadaan yang menghalangi seseorang untuk melaksanakan prestasinya

karena keadaan yang tidak diduga pada saat dibuatnya perjanjian, keadaan

tersebut tidak dapat dipertanggungjawabkan kepada kreditor karena keadaan

debitur tidak dalam keadaan beritikad buruk.39

R. Subekti menyatakan untuk

dapat dikatakan suatu overmacht, selain keadaan itu di luar kekuasaannya si

debitur dan memaksa, keadaan yang telah timbul itu juga harus berupa keadaan

yang tidak dapat diketahui pada waktu perjanjian itu dibuat, setidak-tidaknya tidak

dipikul risikonya oleh si debitur.40

Merujuk pasal-pasal dalam KUHPerdata dan pendapat hukum kontrak,

dapat disimpulkan bahwa pengertian overmacht adalah suatu keadaan di mana

salah satu pihak dalam suatu perikatan tidak dapat memenuhi seluruh atau

sebagian kewajibannya sesuai apa yang diperjanjikan, disebabkan adanya suatu

peristiwa di luar kendali salah satu pihak yang tidak dapat diketahui atau tidak

dapat diduga akan terjadi pada waktu membuat perikatan, di mana pihak yang

tidak memenuhi kewajibannya ini tidak dapat dipersalahkan dan tidak harus

menanggung risiko. Risiko adalah suatu ajaran tentang siapakah yang harus

menanggung ganti rugi apabila debitur tidak memenuhi prestasi dalam keadaan

overmacht41

. Kewajiban menanggung kerugian tersebut sebagai akibat dari suatu

peristiwa atau kejadian yang menimpa objek perjanjian dan bukan karena

39

Munir Fuady, 2007, Hukum Kontrak (dari Sudut Pandang Hukum Bisnis) Buku Pertama, Citra Aditya Bakti, Bandung (selanjutnya disebut Munir Fuady I), hal.113.

40R.Subekti, 2001, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Cet.29, Intermassa,

Jakarta (selanjutnya disebut Subekti I), hal.l50. 41

Salim H.S, 2009, Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW), Cet.6, Sinar

Grafika, Jakarta (selanjutnya disebut Salim H.S II), hal.185.

Page 58: (overmacht) over the

30

kesalahan dari salah satu pihak/diluar kesalahan para pihak.42

Dalam hal diluar

kesalahan ini, sudah pasti bahwa apabila ingkar janji terjadi karena kesalahan

debitur, maka ganti rugi ditanggung gugat oleh debitur tersebut, tetapi lain halnya

apabila tidak dipenuhinya suatu prestasi adalah diluar kesalahan debitur dalam hal

ini terjadinya overmacht dan karena ini tidak dapat dipertanggungjawabkan

kepada debitur. Dengan ajaran risiko inilah dapat diselesaikannya masalah

bagaimana caranya membayar ganti rugi dalam hal terjadinya overmacht.43

Mariam Darus Badrulzaman juga memberikan beberapa pandangan

mengenai risiko di mana beliau mengacu pada ketentuan-ketentuan di dalam KUH

Perdata, yang membaginya sebagai berikut:

1. Risiko pada Perjanjian Sepihak Risiko dalam perjanjian sepihak diatur dalam Pasal 1237 KUH Perdata diatur siapa yang menanggung. Perikatan sepihak adalah perikatan yang prestasinya hanya ada pada salah satu pihak. Ketentuan Pasal 1237 KUH Perdata diperluas lagi dalam suatu ketentuan lain, yaitu dalam Pasal 1444 KUH Perdata. Dari asas yang terkandung di dalam Pasal 1237 KUH Perdata, dapat diketahui bahwa dalam perikatan sepihak apabila terjadi ingkar janji karena overmacht, risiko ada pada kreditur.

2. Risiko dalam Perjanjian Timbal Balik Dalam bagian umum dari KUH Perdata tidak diatur tentang risiko dalam perjanjian timbal balik. Para pengarang mencari penyelesaian hal ini di dalam asas kepatutan (billijkheid). Asas kepatutan didalam KUH Perdata diatur dalam ketentuan Pasal 1545 KUH Perdata dan Pasal 1553 KUH Perdata.

44

Dari kedua ketentuan tersebut dapat disimpulkan bahwa didalam

perjanjian timbal-balik, apabila terjadi keadaan memaksa, maka risiko adalah

tanggungan dari pemilik. Bahwa adalah merupakan suatu keadilan dan pantas

42

Rahmat S.S Soemadipradja, 2010, Penjelasan Hukum tentang Keadaan

Memaksa (Syarat-syarat pembatalan perjanjian yang disebabkan keadaan

memaksa/force majeure), Nasional Legal Reform Program, Jakarta, hal.66. 43

Mariam Darus Badrulzaman et.al, op.cit, hal.29. 44

Mariam Darus Badrulzaman et.al, op.cit, hal.29-31.

Page 59: (overmacht) over the

31

untuk perjanjian tersebut dimana pihak yang lain dibebaskan dari kewajibannya

menyerahkan barang.

Berdasarkan uraian mengenai akibat dari overmacht berupa risiko terhadap

perjanjian, dewasa ini mengalami perkembangan yang semakin kompleks

meskipun tidak secara menyeluruh. Pada dasarnya, berpedoman pada ketentuan

dalam KUH Perdata, yaitu dalam Pasal 1237 KUH Perdata, Pasal 1460 KUH

Perdata, Pasal 1545 KUH Perdata, dan Pasal 1553 KUH Perdata yang mengatur

tentang risiko.

1.5.2.4.Konsep Tanggung Jawab Developer/Ganti Rugi Terhadap Konsumen

Dalam Overmacht.

Tanggung jawab merupakan hasil yang ditimbulkan dari suatu perbuatan.

Ketika seseorang melakukan suatu perbuatan maka perbuatan itu akan berdampak

pada orang lain, dampak atau akibat itu harus ditanggung oleh orang yang

melakukan perbuatan tersebut. Tanggung jawab merupakan perihal yang sangat

penting dalam hukum perlindungan konsumen, sehingga diperlukan kehati-hatian

dalam menganalisis siapa yang bertanggung jawab dan sebatas mana tanggung

jawab dapat dibebankan kepada pihak-pihak terkait. Sebelum mengetahui sebatas

mana pertanggungjawaban yang akan dibebankan, perlu dicermati, kedudukan

konsumen dalam hubungan hukum dengan pelaku usaha melalui doktrin berikut

ini:

1). Let the buyer beware (cavet emptor) Asas ini berasumsi bahwa pelaku usaha dan konsumen adalah dua pihak yang sangat seimbang sehingga tidak perlu ada proteksi apapun bagi si konsumen. Dengan adanya UUPK, kecendrungan caveat emptor mulai diarahkan kepada caveat venditor (pelaku usaha yang perlu berhati-hati).

Page 60: (overmacht) over the

32

2) The due care theory

Doktrin ini menyatakan, pelaku usaha mempunyai kewajiban untuk

berhati-hati dengan produknya, ia tidak dapat dipersalahkan. Jika

ditafsirkan secara a contario, maka untuk mempersalahkan si pelaku

usaha, seseorang harus dapat membuktikan bahwa pelaku usaha

tersebut melanggar prinsip kehati-hatian.

3) The privity of contract

Prinsip ini menyatakan bahwa pelaku usaha mempunyai kewajiban

untuk melindungi konsumen, tetapi hal tersebut dapat dilakukan jika

diantara mereka telah terjalin hubungan kontraktual.

4) Prinsip kontrak bukan syarat

Seiring dengan bertambah kompleksnya transaksi konsumen, prinsip

the privity of contract ini tidak mungkin lagi dipertahankan secara

mutlak untuk mengatur hubungan antara pelaku usaha dan konsumen.

Jadi kontrak bukan lagi merupakan syarat untuk menetapkan eksistensi

suatu hubungan hukum.45

Secara umum, prinsip-prinsip tanggung jawab dalam hukum dapat

dibedakan sebagai berikut:

(1) Prinsip tanggung jawab karena kesalahan (Liability Based on Fault),

menegaskan bahwa seseorang baru dapat dimintakan

pertanggungjawabannya secara hukum jika ada unsur kesalahan yang

dilakukannya.

(2) Prinsip praduga selalu bertanggung jawab (Presumption of Liability

Principle), menegaskan bahwa tergugat selalu dianggap

bertanggungjawab, sampai ia dapat membuktikan bahwa ia tidak

bersalah.

(3) Prinsip praduga selalu tidak bertanggung jawab (Presumption of

Nonliability Principle), menegaskan bahwa tergugat tidak selamanya

bertanggungjawab.

(4) Tanggung jawab mutlak (strict liability), menegaskan bahwa tergugat

harus bertanggungjawab atas kerugian yang diderita konsumen tanpa

harus membuktikan ada tidaknya kesalahan pada dirinya.

(5).Pembatasan tanggung jawab (limitation of liability), menegaskan bahwa

pelaku usaha diuntungkan karena mencantumkan klausul eksonerasi

dalam perjanjian standar yang dibuatnya.46

45

Shidarta, 2006, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, Grasindo,

Jakarta, hal.61-64. 46

N.H.T Siahaan, 2005, Hukum Konsumen: Perlindungan Konsumen dan

Tanggung Jawab Produk, Panta Rei, Jakarta,hal.155-158.

Page 61: (overmacht) over the

33

Secara teoritis dikatakan oleh Gunawan Widjaja, didalam UUPK, diatur

beberapa macam tanggung jawab sebagai berikut:

(1) Contractual Liability (Tanggung Jawab Kontrak), dalam hal ini

terdapat adanya hubungan perjanjian antara pelaku usaha dengan

konsumen, maka tanggung jawab pelaku usaha didasarkan atas

perjanjian/ kontrak dari pelaku usaha atas kerugian yang dialami

konsumen akibat mengkonsumsi barang yang dihasilkan.

(2) Product Liability (Tanggung Jawab Produk), dalam hal ini tidak

terdapat perjanjian antara pelaku usaha dengan konsumen namun

tanggung jawab perdata secara langsung dari pelaku usaha atas

kerugian yang dialami konsumen akibat mengkonsumsi barang yang

dihasilkannya.

(3) Professional Liability (Tanggung Jawab Professional), dalam hal ini

terdapat hubungan perjanjian antara pelaku usaha dengan konsumen

tetapi prestasi pemberi jasa tersebut tidak terukur sehingga tanggung

jawab pelaku usaha didasarkan pada professional liability,

(4) Criminal Liability, yaitu tanggung jawab pidana dari pelaku usaha atas

tergangguna keselamatan dan keamanan konsumen.47

Mengkaji permasalahan kedua pada penulisan ini dapat diselesaikan

melalui strict liability. Berbeda dalam penerapan pada tanggung jawab mutlak

terletak pada risk liability. Dalam risk liability, kewajiban mengganti rugi

dibebankan kepada pihak yang menimbulkan risiko adanya kerugian itu. Namun,

penggugat (konsumen) tetap diberikan beban pembuktian, walaupun tidak sebesar

si tergugat. Dalam hal ini, ia hanya perlu membuktikan adanya hubungan

kausalitas antara perbuatan pelaku usaha (developer) dan kerugian yang

dideritanya.

47

Gunawan Widjaja, 2000, Hukum tentang Perlindungan Konsumen,

Gramedia Pustaka Utama, Jakarta (selanjutnya disebut Gunawan Widjaja I),

hal.45-46.

Page 62: (overmacht) over the

34

1.5.3 Asas Hukum

1.5.3.1. Asas hukum perjanjian

1). Asas Konsensualisme (concensualism)

Asas konsensualisme dapat disimpulkan dalam Pasal 1320 ayat (1)

KUHPerdata bahwa sahnya perjanjian adalah adanya kata kesepakatan antara

kedua belah pihak yaitu adanya persesuaian antara kehendak dan pernyataan

yang dibuat oleh kedua belah pihak dan mengikat para pihak.48

Asas

konsensualisme hanya berlaku untuk perjanjian konsensuiil dan perjanjian ini

bersifat obligatoir yakni melahirkan hak dan kewajiban bagi para pihak untuk

memenuhi perjanjian tersebut.49

2). Asas Kebebasan Berkontrak (freedom of contract)

Asas kebebasan berkontrak dapat dianalisis dari ketentuan Pasal 1338 ayat (1)

KUHPerdata, yang berbunyi: “Semua perjanjian yang dibuat secara sah

berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.”

Sutan Remy Sjahdeini, mengemukakan bahwa asas kebebasan berkontrak

merupakan suatu asas yang memberikan kebebasan kepada para pihak untuk:

a. Membuat atau tidak membuat perjanjian; b. Mengadakan perjanjian dengan siapa pun; c. Menentukan atau memilih kausa dari perjanjian yang akan dibuatnya; d. Kebebasan menentukan obyek perjanjian; e. Menentukan bentuk perjanjiannya apakah tertulis atau lisan; f Menerima atau menyimpangi ketentuan undang-undang yang bersifat

optional (aanvullend, optional).50

48

Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, 2008, Perikatan yang Lahir dari Perjanjian, Raja Grafindo Persada, Jakarta (selanjutnya disebut Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja I), hal.34-35.

49Ahmadi Miru, 2008, Hukum Kontrak Perancangan Kontrak, Raja

Grafindo Persada, Jakarta, hal.3. 50

Sutan Remy Sjahdeini yang dikutip dari Johannes Gunawan, Kajian Ilmu Hukum tentang Kebebasan Berkontrak dalam Sri Rahayu Oktoberina dan Niken Savitri, Butir-butir pemikiran dalam Hukum: Memperingati 70 Tahun Prof. Dr. B. Arief Sidharta, SH, 2010, Refika Aditama, Bandung, hal.270.

Page 63: (overmacht) over the

35

3). Asas Kepastian Hukum/Daya Mengikat Kontrak (Pacta Sunt Servanda)

Asas kepastian hukum atau disebut juga dengan asas pacta sunt servanda

merupakan asas yang berhubungan dengan akibat perjanjian. Asas pacta

sunt servanda merupakan asas bahwa hakim atau pihak ketiga wajib

menghormati substansi kontrak yang dibuat oleh para pihak, sebagaimana

layaknya undang-undang bagi pihak yang membuatnya. Hal ini disimpulkan

dalam Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata.51

4). Asas Itikad Baik (good faith)

Asas itikad baik tercantum dalam Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata yang

berbunyi: “Perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik. Terkait dengan

hasil penelitian oleh Johannes Gunawan, maka ketentuan dalam Pasal 1338

ayat (3) KUHPerdata menunjukkan bahwa para pihak bebas membuat suatu

perjanjian dengan pembatasan, sejauh perjanjian tersebut dibuat (pra-

kontraktual) dan dilaksanakan (pasca kontraktual) dengan dilandasi itikad

baik.52

Jadi, itikad baik harus selalu ada disetiap tahap perjanjian sehingga

kepentingan pihak yang satu selalu dapat diperhatikan oleh pihak lainnya.

5). Asas Kepribadian (personality)

Asas kepribadian merupakan asas yang menentukan bahwa seseorang yang

akan melakukan dan/atau membuat kontrak hanya untuk kepentingan

perseorangan saja. Hal ini dapat dilihat dalam Pasal 1315 dan Pasal 1340

KUHPerdata.53

51

Salim H.S II, op.cit, hal.10. 52

Johannes Gunawan dalam Sri Rahayu Oktaberani dan Niken Savitri,

op.cit, hal.271-272. 53

Salim H.S I, op.cit, hal.12.

Page 64: (overmacht) over the

36

1.5.3.2. Asas perlindungan konsumen

Asas dalam perlindungan konsumen secara implisit diatur dalam Pasal 2

UUPK dan Penjelasannya, yaitu:

(1) Asas manfaat yaitu perlindungan konsumen harus memberikan

manfaat sebesar-besarnya bagi kepentingan konsumen dan pelaku

usaha secara keseluruhan;

(2) Asas keadilan yaitu memberikan kesempatan kepada konsumen dan

pelaku usaha untuk memperoleh haknya dan melaksanakan

kewajibannya secara adil;

(3) Asas keseimbangan dimaksudkan untuk memberikan keseimbangan

kepentingan konsumen, pelaku usaha dan pemerintah dalam arti

materiil maupun spiritual;

(4) Asas keamanan dan keselamatan konsumen dimaksudkan untuk

memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan kepada

konsumen dalam penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang

dan/atau jasa yang digunakan;

(5) Asas kepastian hukum yaitu pelaku usaha maupun konsumen menaati

hukumdan memperoleh keadilan dalam penyelenggaraan

perlindungan konsumen serta negara menjamin kepastian hukum.54

1.5.3.3 Asas proporsionalitas

Menurut Agus Yudha Hernoko, dalam bukunya yang berjudul Hukum

Perjanjian:Asas Proporsionalitas dalam Kontrak Komersil, untuk mencari makna

asas proporsionalitas dalam kontrak harus beranjak dari makna filosofis keadilan

berkontrak. Landasan pemikiran Agus Yudha Hernoko, mengenai asas

proporsionalitas ini mengacu pada pemikiran P.S.Atiyah yang memberikan

landasan pemikiran bahwa dengan peran kontrak sebagai landasan pertukaran

yang adil transaksi tersebut dilakukan oleh para pihak yang berkontrak sesuai

dengan apa yang diinginkan. Pada dasarnya asas proporsionalitas ini perwujudan

doktrin keadilan berkontrak yang mengoreksi asas kebebasan berkontrak, dalam

beberapa hal justru menimbulkan ketidakadilan. Asas proporsional ini sangat

54

N.H.T Siahaan, op.cit, hal.83.

Page 65: (overmacht) over the

37

berorientasi pada konteks hubungan dan kepentingan para pihak, jadi disini

adanya pembagian hak dan kewajiban para pihak sesuai dengan proporsi atau

bagiannya dalam seluruh proses kontraktual.55

Berdasar uraian diatas, maka dapat dirumuskan asas proporsionalitas yang

diterapkan dalam rumah susun ini mengandung makna bahwa untuk dapat

mencapai perhitungan yang seadil-adilnya mengenai porsi hak, porsi kewajiban

dan tentunya juga porsi tanggung jawab pribadi yang bersatu dalam kesatuan

konstruksi dengan hak milik para "mede eigenars" lainnya, sebagaimana

dituangkan dalam NPP yaitu porsi hak/ porsi kewajiban/ porsi tanggung jawab

pribadi tiap-tiap "mede eigenars" dapat dihitung besarnya secara proposional

terhadap porsi nilai dan harga keseluruhan obyek Satuan Rumah Susun yang

menjadi milik mereka.

1.5.3.4 Asas Kepatutan

Asas kepatutan dinyatakan dalam ketentuan Pasal 1339 KUHPerdata yang

menyatakan bahwa perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan

tegas dinyatakan di dalamnya tetapi juga untuk segala sesuau yang menurut sifat

persetujuan diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan atau undang-undang.

Asas kepatutan berkaitan dengan overmacht dituangkan di dalam ketentuan-

ketentuan Pasal 1545 KUH Perdata dan Pasal 1553 KUH Perdata. Dari kedua

ketentuan ini dapat disimpulkan bahwa di dalam perjanjian timbal balik, apabila

terjadi overmacht maka risiko adalah atas tanggungan dari pemilik dan pihak yang

lain dibebaskan dari kewajibannya untuk menyerahkan barang. Jadi, jika ada

overmacht maka perjanjian batal demi hukum dan risiko ada pada para pihak.

55

Agus Yudha Hernoko, op.cit, hal.85-87.

Page 66: (overmacht) over the

38

1.5.3.5 Asas hukum tanah

Didalam hukum tanah nasional terdapat dua asas yang harus dicermati,

yakni asas pelekatan dan asas pemisahan:

1. Asas pelekatan ( accessie beginsel); Asas pelekatan diatur dalam Buku II KUHPerdata, yang terdiri atas:

a). Asas Pelekatan secara mendatar/horizontal (Horizontal Accessie

Beginsel) Asas ini diatur dalam Pasal 588 KUHPerdata yang pada intinya

menyatakan melekatkan suatu benda sebagai bagian yang tidak

terpisahkan dari benda pokoknya dan segala apa yang melekat pada

suatu benda menurut ketentuan Undang-undang dianggap sebagai

pemiliknya.

b). Asas Pelekatan secara tegak lurus/Vertikal (Vertikal Accessie

Beginsel)

Asas ini diatur dalam Pasal 571 KUHPerdata dan Pasal 601

KUHPerdata, yang pada intinya menyatakan bahwa maksud dari asas

pelekatan vertikal ini adalah pemilikan atas tanah berarti juga

memiliki bangunan atau rumah dan segala seuatu yang melekat pada

tanah itu beserta segala sesuatu yang ada dalam tanah tersebut.56

2. Asas pemisahan horizontal (Horizontal Scheiding Beginsel) Asas pemisahan horizontal ini dianut oleh hukum adat, sebagaimana

ditegaskan dalam pasal 5 UUPA. Pengertian asas pemisahan horizontal

dalam hukum adat, tanah yuridis dipandang terlepas dari bangunan-

bangunan atau tanaman-tanaman diatasnya, hal ini mengandung maksud

bahwa bangunan dan tanaman bukan merupakan bagian dari tanah yang

bersangkutan sehingga hak atas tanah tidak dengan sendirinya meliputi

bangunan dan tanaman yang ada diatasnya begitupun dengan perbuatan

hukum atas tanah tersebut.57

Sehubungan asas hukum tanah yang digunakan dalam Rumah Susun ini.

Ridwan Halim menyatakan pendapatnya yaitu sebagai berikut:

a. Dikatakan bahwa asas pemisahan vertikal dikenal dalam hukum rumah

susun yang membagi-bagi secara terpisah-pisah suatu bangunan rumah

susun itu atas satuan-satuan rumah susun yang saling terpisah, dengan

56

Djuhaendah Hasan, 2011, Lembaga Jaminan Kebendaan bagi Tanah dan

Benda Lain yang Melekat pada Tanah dalam Konsepsi Penerapan Asas

Pemisahan Horisontal, Nuansa Madani, Jakarta, hal.52-55. 57

Titik Triwulan Tutik, 2006, Pengantar Hukum Perdata di Indonesia,

Prestasi Pustaka Publisher, Jakarta, (selanjutnya disebut Titik Triwulan Tutik I)

hal.178.

Page 67: (overmacht) over the

39

tujuan agar tiap-tiap satuan rumah susun itu dapat dimiliki ataupun

dihuni secara tersendiri, terpisah dari satuan-satuan rumah susun lain.

b. Dikatakan bahwa asas pemisahan horizontal dikenal juga dalam hukum

rumah susun yang membagi, memisahkan dan membedakan antara

status satuan-satuan rumah susun yang merupakan hak milik pribadi

masing-masing dari para "mede-eigenars" dengan tanah dimana gedung

rumah susun mereka itu berdiri yang merupakan hak milik bersama dari

para mede-eigenaars tersebut.58

1.5.3.6. Asas Hukum Kebendaan

Hukum benda adalah sub sistem dari Hukum Nasional yaitu keseluruhan

dari kaidah-kaidah hukum yang mengatur hubungan-hubungan hukum antara

subyek hukum dengan benda dan hak kebendaan.59

Asas Hukum Benda yang

menjadi dasar penormaan Hukum Kebendaan, yaitu:

1) Hukum kebendaan merupakan hukum memaksa/tidak dapat

disimpangi (dwingend recht), maka ketentuan-ketentuan dalam

Hukum Kebendaan yang telah diatur dalam undang-undang tidak

dapat disimpangi oleh seseorang atau beberapa pihak.60

2) Hak kebendaan dapat dipindahtangankan/dialihkan kepada siapapun

asalkan yang bersangkutan mempunyai kewenangan untuk itu61

sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-undang,kesusilaan dan

ketertiban umum, hak milik atas kebendaan dapat dialihkan oleh

pemiliknya kepada pihak lain.

3) Asas individualitas (individualitet) / asas specialitas

Individualiteit berarti bahwa yang dimiliki sebagai kebendaan adalah

segala sesuatu yang menurut hukum dapat ditentukan (individueel

bepaald)62

harus ditunjukkan dengan jelas wujud, batas, letak dan

luas tanah.63

58

Ridwan Halim, Sendi-sendi Hukum Hak Milik Kondominium, Rumah

Susun dan Sari-sari Hukum Benda (Bagian Hukum Perdata), Puncak Karna,

Jakarta, hal. 181-182. 59

Mariam Darus Badrulzaman, 2010, Mencari Sistem Hukum Benda

Nasional, Cet.3, Alumni, Bandung, (selanjutnya disebut Mariam Darus

Badrulzaman I), hal.44. 60

Rachmadi Usman, 2011, Hukum Kebendaan, Sinar Grafika, Jakarta,

(selanjutnya disebut Rachmadi Usman I), hal.40. 61

Mariam Darus Badrulzaman I, op.cit, hal.41. 62

Herlien Budiono, 2008, Kumpulan Tulisan Hukum Perdata di Bidang

Kenotariatan, Cet.II, Citra Aditya Bakti, Bandung, hal.231. 63

Mariam Darus Badrulzaman I, op.cit, hal.38.

Page 68: (overmacht) over the

40

4) Asas totalitas/menyeluruh atas benda (totalitet), memberikan kepada

pemiliknya suatu kepemilikan secara menyeluruh atas setiap bagian

dari suatu kebendaan. Atas bagian yang tidak tersendiri itu dapat

diadakan hak kebendaan, sesudah bagian itu menjadi benda yang

berdiri sendiri.64

5) Asas accessie dan asas pemisahan horizontal

Suatu benda lazimnya terdiri atas bagian-bagian yang melekat menjadi

satu dengan benda pokok (asas accesie), KUHPerata mengenal asas

perlekatan vertikal dalam Pasal 571, 600, 601,603 s/d 605. UUPA

tidak menganut asas perlekatan saja akan tetapi menganut pemisahan

horizontal dari Hukum Adat.

6) Asas hak mengikuti benda (zaaksgevlog, droit desuite)

Asas ini menyatakan bahwa hak kebendaan mengikuti bendanya

dimana saja dan dalam tangan siapapun benda itu berada.

7) Asas prioritas (prioritet)

Hak prioriteit adalah hak yang lebih dahulu terjadinya dimenangkan

dengan hak yang terjadi kemudian dan memberikan akibat bahwa

seseorang itu hanya dapat memberikan hak yang tidak melebihi apa

yang dipunyai (asas nemoplus)65

8) Asas percampuran (vermenging)

Asas pencampuran merupakan kelanjutan dari pemberian jura in re

aliena dimana, hak kebendaan terbatas tidak mungkin menjadi

pemegang hak kebendaan terbatas tersebut, jika demikian maka hak

kebendaan tersebut demi hukum menjadi hapus.66

9) Asas publisitas (publiciteit);

Asas publisitas (publiciteit), adanya fungsi dan kewajiban pencatatan

dan publisitas67

terhadap hak atas benda tetap terjadi melalui

pendaftaran dalam buku tanah sedangkan pengumuman benda

bergerak terjadi melalui penguasaan nyata benda itu.68

10) Asas perlindungan, dibedakan dalam dua jenis yaitu perlindungan

untuk golongan ekonomi lemah dan kepada pihak yang beritikad baik

(to goeder trouw).69

11) Sifat Perjanjiannya sebagai perjanjian kebendaan (zakelijke

overeenkomst) menjadi makin penting dalam pemberian hak

kebendaan yang terbatas (jura in re aliena) yang dimungkinkan oleh

undang-undang.70

64

Frieda Husni Hasbulla dan Surini Ahlan Syarif dalam Rachmadi Usman I,

op.cit, hal.43. 65

Rachmadi Usman I, op.cit, hal. 44-45. 66

Herlien Bodiono, op.cit, hal.232. 67

Herlien Boediono, loc.cit. 68

Mariam Darus Badrulzaman I, op.cit, hal.37. 69

Mariam Darus Badrulzaman I, op.cit, hal.42. 70

Herlien Boediono, loc.cit.

Page 69: (overmacht) over the

41

Bagan 1.2: Bagan Alur Konstruksi Berpikir Terhadap Relevansi Teori Hukum, Konsep Hukum dan Asas Hukum yang digunakan dalam Menganalisis Permasalahan

Teori Hukum Konsep Hukum Asas Hukum

Teori hukum umum

Teori umum khusus Konsep klausul petelaan dan hak milik atas satuan rumah susun

Konsep overmacht Konsep tanggung

jawab developer terhadap konsumen dalam hal terjadinya overmacht.

Konsep hak dan kewajiban para pihak

Asas hukum tanah Asas hukum benda Asas perlindungan

konsumen Asas kepatutan Asas kepastian

hukum Asas

proporsionalitas

- Teori keadilan berbasis kontrak

- Three elements of legal system theory

- Teori risiko

tanggung gugat dalam terjadi overmacht

- Teori tahap perjanjian,

- Teori korelasi - Teori hak milik

1.6. Metode Penelitian

Metode penelitian hukum normatif atau metode penelitian hukum

kepustakaan adalah metode atau cara yang dipergunakan di dalam penelitian

hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka yang ada. Tahapan

pertama penelitian hukum normatif adalah penelitian yang ditujukan untuk

mendapatkan hukum obyektif (norma hukum), yaitu dengan mengadakan

Page 70: (overmacht) over the

42

penelitian terhadap masalah hukum. Tahapan kedua penelitian hukum normatif

adalah penelitian yang ditujukan untuk mendapatkan hukum subjektif (hak dan

kewajiban).

1.6.1. Jenis Penelitian

Mengkaji permasalahan penulisan ini dengan menggunakan penelitian

Yuridis Normatif karena pendekatan yang digunakan dalam penulisan ini yaitu

hukum dikonsepkan sebagai apa yang tertulis dalam peraturan perundang-

undangan (law in books)71

. Berkaitan dengan masalah mendasar dari penulisan ini

adanya Norma Kosong dalam UU Rumah Susun mengenai overmacht. Dalam hal

ini, penulis mengkaji secara mendalam mengenai pengaturan overmacht

mengingat overmacht itu sendiri telah diatur dalam Buku III KUHPerdata ,

sehingga dapatkah overmacht dalam Buku III KUHPerdata berlaku mutatis

mutandis dalam Undang-Undang Rumah Susun. Hal ini, tentunya dengan

mencermati substansi obyek kebendaan dari hak milik atas satuan rumah susun.

1.6.2. Jenis pendekatan

Untuk membahas permasalahan yang penulis kemukakan dalam penulisan

ini, menggunakan pendekatan :

1) Pendekatan perundang-undangan (statute approach)72

, khususnya:

- Undang-undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun

1945;

- Undang-undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Undang-Undang Pokok

Agraria;

71

Amiruddin dan Zainal Asikin, 2008, Pengantar Metode Penelitian Hukum,

Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal. 118. 72

Peter Mahmud Marzuki, 2010. Penelitian Hukum, Kencana, Jakarta

(selanjutnya disebut Peter Mahmud Marzuki II), hal.93.

Page 71: (overmacht) over the

43

- Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2011 tentang

Perumahan dan Kawasan Permukiman;

- Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2011 tentang

Rumah Susun;

- Kitab Undang-undang Hukum Perdata.

- Kitab Undang-undang Hukum Dagang.

- Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 1988 tentang Rumah Susun;

- Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 14 Tahun 1975 tentang

Pendaftaran Hak Atas Tanah Kepunyaan Bersama Dan Pemilikan

Bagian-Bagian Bangunan yang Ada di Atasnya Serta Penerbitan

Sertifikatnya;

- Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 4 Tahun 1977 tentang

Penyelenggaraan Tata Usaha Pendaftaran Tanah Mengenai Hak Atas

Tanah yang Dipunyai Bersama dan pemilikan Bagian-bagian

Bangunan yang Ada di Atasnya.

- Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 10 Tahun 1983 tentang Tata

Cara Permohonan Dan Pemberian Izin Penerbitan Sertifikat Hak Atas

Tanah Kepunyaan Bersama yang Disertai dengan Pemilikan secara

Terpisah Bagian Bagian Pada Bangunan Bertingkat;

- Peraturan Ka BPN Nomor 2 Tahun 1989 tentang Bentuk dan Tata

Cara Pengisian serta Pendaftaran Akta Pemisahan Rumah Susun;

- Peraturan Ka BPN Nomor 4 Tahun 1989 tentang Bentuk dan Tata

Cara Pembuatan Buku Tanah serta Penerbitan Sertifikat Hak Milik

Atas Satuan Rumah Susun.

Page 72: (overmacht) over the

44

2) Pendekatan konsep hukum (conseptual approach)

Pendekatan konsep berawal dari pandangan-pandangan dan doktrin-

doktrin yang berkembang dalam ilmu hukum sehingga akan melahirkan

konsep hukum yang relevan dengan isu yang dihadapi.73

Pendekatan konsep

yang dilakukan dengan menelaah dan menganalisis permasalahan hukum

pada penulisan ini yaitu melalui konsep yang berhubungan dengan

klausula pertelaan, overmacht serta konsep tanggung jawab Developer.

3) Pendekatan kasus (case approach)

Pendekatan kasus dalam penelitian hukum normatif bertujuan untuk

mempelajari norma-norma atau kaidah hukum yang dilakukan dalam praktik

hukum. Pendekatan kasus ini mengkaji decidendi atau reasoning yaitu

pertimbangan pengadilan untuk sampai kepada suatu putusan, yang nantinya

akan dijadikan referensi bagi penyusunan argumentasi dalam pemecahan isu

hukum.74

1.6.3 Sumber Bahan Hukum

Menurut Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji menyatakan bahwa suatu

penelitian hukum normatif menggunakan:

1. Bahan hukum primer (bahan hukum yang bersifat mengikat), yang

digunakan dalam penulisan ini berkaitan dengan peraturan perundang-

undangan yang relevan untuk menelaah isu hukum terkait. Peraturan

perundang-undangan dimaksud sebagaimana telah dikemukakan pada

bagian pendekatan perundang-undangan.

73

Mukti Fajar N.D dan Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Empiris, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, hal.187.

74Peter Mahmud Marzuki II, ibid, hal.94. Lihat juga Mukti Fajar N.D dan

Yulianto Achmad, Ibid, hal.190-191.

Page 73: (overmacht) over the

45

2. Bahan hukum sekunder (bahan hukum yang memberikan penjelasan

mengenai bahan hukum primer), terdiri atas penjelasan undang-undang,

hasil penelitian literature, jurnal ilmiah, dan berbagai tulisan yang

berkaitan dengan masalah yang diteliti.

3. Bahan hukum tertier (bahan hukum yang memberikan petunjuk atau

penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder), seperti Kamus

Hukum, Internet dengan menyebut nama situsnya.75

1.6.4 Teknik Pengumpulan Bahan Hukum

Mengenai teknik yang diterapkan dalam pengumpulan bahan hukum yang

diperlukan dalam penulisan ini yaitu melalui teknik telaah kepustakaan (study

document) dengan sistem kartu (card system) yakni setelah mendapat semua

bahan yang diperlukan kemudian dibuat catatan mengenai hal-hal yang dianggap

penting bagi penelitian yang digunakan.76

Sistem kartu yang digunakan dalam

penulisan ini adalah kartu kutipan untuk mencatat nama pengarang/penulis, judul

buku, halaman dan mengutip hal-hal yang dianggap penting agar bisa menjawab

permasalahan dalam penulisan ini. Dalam penerapan teknik telaahan kepustakaan

ini didukung pula dengan penggunaan teknik bola salju (snow ball) yakni dengan

menemukan bahan hukum sebanyak mungkin melalui referensi dari satu literature

ke literature lainnya.

1.6.5 Teknik Analisis Bahan Hukum

Penelitian dalam penulisan ini menggunakan Penelitian Yuridis Normatif,

dengan metode penelitian yang digunakan yaitu penelitian terhadap bahan hukum

primer, bahan hukum sekunder, maupun bahan hukum tertier, maka penelitian ini

75

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 2007, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal.l3.

76Ibid.

Page 74: (overmacht) over the

46

menggunakan teknik deskriptif analitis, menganalisis peraturan perundang-

undangan yang berkaitan dengan teori-teori hukum yang menjadi obyek penelitian

dan bahan hukum ini bersifat:77

a). Deskripsi

Tahapan pendeskripsian atau penggambaran dengan menguraikan

proposisi-proposisi hukum sesuai dengan pokok permasalahan yang dikaji

yakni dengan adaya akibat hukum dari klausula pertelaan oleh sebab

adanya overmacht pada Hak Milik atas Satuan Rumah Susun.

b). Sitematisasi

Dalam proses sistematisasi ini terbentuk atau dirumuskan sejumlah aturan

umum dan pengertian-pengertian hukum atau konsep hukum (legal

consept) yang digunakan untuk memudahkan pengolahan bahan hukum

dalam proses sistematisasi bahan hukum tersebut.78

c). Evaluasi

Tahapan evaluasi atau analisis dengan memberi penilaian berupa tepat atau

tidak tepat, setuju atau tidak setuju, benar atau salah syah atau tidak syah

oleh peneliti terhadap suatu pandangan, proposisi, pernyataan rumusan

norma, keputusan baik yang tertera dalam bahan hukum primer maupun

dalam bahan hukum sekunder.

d). Argumentasi.

Teknik argumentasi, teknik argumentasi tidak bisa dilepaskan dari teknik

evaluasi karena penilaian harus didasarkan pada alasan-alasan yang

bersifat penalaran hukum.

77

Zainuddin Ali, 2010, Metode Penelitian Hukum, Cet.lI, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 105-106.

78Bernard Arief Sidharta, op.cit, hal.154.

Page 75: (overmacht) over the

47

Mengacu pada paparan diatas,dalam mengkaji permasalahan ini, penulis

melakukan telaah secara cermat dan seksama, dari aspek hukum benda nasional,

aspek hukum tanah nasional, aspek hukum perjanjian rumah susun dan aspek

perlindungan konsumen. Secara ringkas penulis dapat mengemukakan, bahwa

berkenaan dengan akibat hukum klausula pertelaan dalam hal terjadinya

overmacht terhadap Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun, penulis mencoba

mengupas permasalahan tersebut dengan menganalisis secara mendalam dari

konteks sistem hukum benda dan hukum tanah nasional dan sebagaimana

diketahui sistem hukum kebendaan nasional bersifat tertutup/ memaksa (dwingend

recht) dan telaah lebih lanjut terhadap kriteria overmacht dalam Buku III

KUHPerdata akan berlaku mutatis mutandis dalam UU Rumah Susun ataukah

tidak, penulis mencoba mengupasnya secara cermat dengan melakukan telaah dari

aspek hukum perjanjian rumah susun dan aspek hukum perlindungan konsumen.

Berkenaan dengan kriteria overmacht tersebut, penulis juga melakukan telaah

secara seksama terhadap doktrin-doktrin, yurisprudensi, peraturan perundang-

undangan lainnya dan kontrak-kontrak lainnya agar nantinya secara spesifik dapat

memberikan gambaran yang jelas terhadap kriteria dari overmacht itu sendiri.

Sebagaimana diketahui bahwa overmacht dan perjanjian itu sendiri berkaitan

dengan Buku III KUHPerdata. Jadi dalam hal ini terhadap musnahnya objek

kebendaan HMSRS dan akibat hukumnya terhadap klausula pertelaan, penulis

melakukan analisis secara seksama di satu sisi dari sudut pandang Buku II

KUHPerdata dan di sisi dari sudut pandang Buku III KUHPerdata, sebatas mana

Sistem Hukum tersebut memegang peranan penting dan sebatas mana daya kerja

dari masing-masing sistem hukum tersebut. Setelah melakukan analisis secara

seksama kemudian sampailah pada tahap simpulan.

Page 76: (overmacht) over the

48

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG HAK KEBENDAAN, PERTELAAN, HAK

MILIK ATAS SATUAN RUMAH SUSUN, OVERMACHT DAN HUKUM

PERJANJIAN RUMAH SUSUN

2.1. Tinjauan Umum tentang Hak Kebendaan

2.1.1.Ruang Lingkup Benda dan Hak Kebendaan

Istilah benda merupakan terjemahan dari kata zaak.79

Benda dalam arti

ilmu pengetahuan adalah segala sesuatu yang dapat menjadi obyek hukum karena

berguna bagi subyek hukum dan dapat menjadi pokok suatu hubungan hukum

karena sesuatu itu dapat dikuasai oleh subyek hukum.80

Sri Soedewi Masjchoen

Sofwan dalam bukunya yang berjudul Hukum Perdata: Hukum Benda

menegaskan pengertian benda secara yuridis yaitu segala sesuatu yang dapat

menjadi obyek eigendom (hak milik). Sebagaimana halnya ditegaskan dalam

Pasal 499 KUHPerdata yang menyatakan: “menurut paham undang-undang yang

dinamakan kebendaan adalah tiap-tiap barang dan tiap-tiap hak yang dapat

dikuasai oleh hak milik”.81

Lebih lanjut, Subekti memberikan pengertian benda menjadi tiga bentuk

yaitu:

79

S.Wojowasito, 2003, Kamus Umum Belanda Indonesia:Belanda Indonesia, Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, hal.816.

80Titik Triwulan Tutik, 2008, Hukum Perdata dalam Sistem Hukum

Nasional, Kencana, Jakarta, (selanjutnya disebut Titik Triwulan Tutik I), hal.142-143.

81Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, 1981, Hukum Perdata: Hukum Benda,

Cet.IV, Liberty, Yogyakarta, hal.13-14. Lihat pula Gunawan Widjaja, 2006, Memahami Prinsip Keterbukaan (Aanvullend Recht) dalam Hukum Perdata, Raja Grafindo Persada, Jakarta (selanjutnya disebut Gunawan Widjaja II), hal.16.

Page 77: (overmacht) over the

49

1) Benda (zaak) dalam arti luas adalah segala sesuatu yang dapat dihaki

oleh orang lain, disini benda berarti sebagai obyek hukum;

2) Benda dalam arti sempit adalah sebagai barang yang dapat terlihat saja,

dan;

3) Benda yang berarti kekayaan seseorang yang meliputi pula barang-

barang yang tak terlihat yaitu hak-hak.82

Berdasarkan uraian diatas, maka dapat dipahami bahwa dalam perspektif

KUHPerdata, pengertian benda yang dimaksud meliputi segala sesuatu yang dapat

dimiliki atau dikuasai oleh subyek hukum baik itu berupa barang (goed)83

maupun

hak (recht)84

sepanjang obyek dari hak milik itu dikuasai oleh subyek hukum.

Meskipun demikian, lain halnya terhadap penguasaan benda yang bernilai

ekonomis, walaupun benda tersebut dapat dimiliki tetapi pada kenyataannya tidak

memiliki nilai ekonomis maka benda tersebut tidak dapat dikatakan sebagai benda

dalam konteks tersebut. Sebaliknya segala sesuatu yang tidak dapat dimiliki atau

dikuasai oleh subyek hukum berarti bukanlah termasuk benda dalam perspektif

hukum.

Beranjak pada pembedaan benda dalam KUHPerdata dan pendapat dari Sri

Soedewi Masjchoen Sofwan yang mengenal adanya benda yang tidak berwujud,

berbeda dalam sistem hukum adat yang tidak mengenal adanya benda yang tidak

berwujud (onlichamelijk zaak). Bukannya tidak ada sama sekali dalam hukum

adat melainkan ada perbedaan yang mendasarinya yaitu dalam perspektif hukum

adat, hak atas suatu benda tidak dibayangkan terlepas dari benda yang berwujud

82

Subekti I, op.cit, hal.60. 83

S.Wojowasito, op.cit, hal.237, Lihat Pula Thermorshuizen, et.al, 1999,

Indonesisch-Nederlands Juridisch Wordenboek: Hukum Benda/Goederenrecht,

Centre for International Legal Cooperation, hal.30. 84

Thermorshuizen et.al, ibid, hal.531.

Page 78: (overmacht) over the

50

sedangkan dalam perspektif Hukum Perdata Barat, hak atas suatu benda seolah-

olah terlepas dari bendanya (merupakan benda tersendiri).85

Hukum benda dalam sistem KUHPerdata merupakan bagian dari hukum

kekayaan dan hukum kekayaan ini terdiri atas hak benda (ius in re) dan hak dalam

perikatan (ius ad rem).86

Menurut Buku II KUHPerdata (Pasal 499-1232

KUHPerdata) tentang Benda (Van Zaken) meletakkan dasar peraturan-peraturan

hukum yang mengatur hubungan-hubungan hukum antara seseorang atau badan

hukum dengan benda. Hubungan Hukum dengan orang menimbulkan hak

kebendaan (zakelijkrecht) yaitu hak yang memberikan kekuasaan langsung kepada

seseorang yang berhak menguasai suatu benda dalam tangan siapapun juga benda

itu berada.87

Dari paparan diatas, dinyatakan bahwa hukum benda dalam KUHPerdata

merupakan hak absolute, Mahadi mengemukakan ciri-ciri dari hak absolute (ius in

re) tersebut yaitu dapat dipertahankan terhadap siapapun, orang yang

bersangkutan mempunyai hak dan kewenangan terhadap benda tertentu, orang

lain siapapun dia harus menghormati hak itu sedangkan hak relatif (ius ad rem)

hanya dapat dipertahankan terhadap orang tertentu saja yaitu hak perorangan.88

Sementara itu, Titik Triwulan Tutik, mengemukakan pengertian hukum

benda sebagai berikut:

85

Wiryono Prodjodikoro, Hukum Perdata tentang hak-hak atas Benda dalam

H.Riduan Syahrani, 2006, Seluk-Beluk dan Asas-asas Hukum Perdata, Alumni,

Bandung, hal.107-108. 86

Mahadi dalam Djuaendah Hasan, op.cit, hal.70. 87

Titik Triwulan Tutik II, op.cit, hal.152. 88

Mahadi dalam Djuaendah Hasan, op.cit, hal.81.

Page 79: (overmacht) over the

51

Hukum harta kekayaan mutlak adalah suatu ketentuan yang mengatur

tentang hak-hak kebendaan dan barang-barang tak berwujud (immaterial).

Hukum harta kekayaan mutlak disebut juga dengan hukum kebendaan

yaitu hukum yang mengatur tentang hubungan hukum antara seseorang

dengan benda. Hubungan hukum ini melahirkan hak kebendaan (zakelijk

recht) yakni hak yang memberikan kekuasaan langsung kepada seseorang

yang berhak menguasai sesuatu benda di tangan siapapun benda itu.89

Setiap benda memberikan kepada subyek hukum yang memiliki hubungan

hukum dengan benda tersebut yakni hak-hak kebendaan. Menurut Subekti, suatu

hak kebendaan (zakelijk recht)90

merupakan suatu hak yang memberikan

kekuasaan langsung atas suatu benda, kekuasaan mana dapat dipertahankan

terhadap tiap orang.91

Hak kebendaan memiliki ciri-ciri sebagai berikut:

a) Merupakan hak mutlak yang dapat dipertahankan kepada siapapun

juga;

b) Mempunyai zaakgevolg atau droit de suite (hak yang mengikuti), hak

itu terus mengikuti dimanapun bendanya berada

c) Lebih diutamakan (droit de preference) memberikan kedudukan yang

diutamakan, hak mendahului, hak istimewa pada pemegang hak

kebendaannya;

d) Mengenal tingkatan, hak kebendaan yang lebih tua menduduki

peringkat yang lebih tinggi dari Hak kebendaan yang timbul

setelahnya;

89

Titik Triwulan Tutik II, op.cit , hal.141-142. 90

Lihat diantaranya M.Budiarto, et.al, 2004, Kamus Hukum Umum, Badan

Pembinaan Hukum Naisonal, Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia,

Jakarta, hal.270 dan Thermorshuizen,et.al, op.cit, hal.30. 91

Subekti I, op.cit, hal.62. Lihat juga Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, op.cit,

hal.24.

Page 80: (overmacht) over the

52

e) Dapat dipindahkan atau diasingkan, hak kebendaan dapat dipindahkan

atau diasingkan kepada siapapun juga dibandingkan dengan hak

perseorangan yang terbatas;

f) Setiap pemegang hak kebendaan dapat mengajukan gugatan

kebendaan terhadap siapapun juga yang mengganggu atau

berlawanan dengan hak kebendaan yang dipegangnya.92

Selain itu juga ditemui hak perseorangan yang mempunyai sifat hak

kebendaan, yaitu:

a) Absolut (mutlak);

Dapat dipertahankan atau dilindungi terhadap setiap gangguan dari

pihak ketiga

b) Droit de suite;

Mengikuti bendanya dimanapun bendanya berada

c) Prioritas

Hak yang lebih dulu tejadi dimenangkan dengan hak yang terjadi di

kemudian.93

Mengenai hak kebendaan ini Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja

memberikan penjelasan dengan menarik kesimpulan bahwa:

1. Hak kebendaan adalah hak yang diberikan oleh undang-undang. Orang tidak boleh atau tidak dapat menciptakan hak-hak kebendaan lain selain yang telah ditentukan oleh undang-undang;

2. Hak kebendaan bersifat memaksa dan mengikat semua orang dan tidak dapat dikesampingkan oleh siapapun juga;

3. Hak kebendaan adalah droit de suite yang berarti hak kebendaan mengikuti kemanapun benda tersebut beralih/dialihkan;

4. Hak kebendaan yang paling luas yaitu hak milik; 5. Hak milik yang dimiliki oleh sesorang atas kebendaan tertentu

memberikan kepadanya hak untuk memberikan hak-hak kebendaan lain diatasnya baik yang bersifat umum maupun yang bersifat terbatas (jura in re aliena);

6. Terhadap benda bergerak hak menguasai atau pemegang kedudukan

memiliki hak yang sama dengan seorang pemegang hak milik;

92

Surini Ahlan Sjarif dalam Rachmadi Usman I, op.cit, hal.110. 93

Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, op.cit, hal.27-28.

Page 81: (overmacht) over the

53

7. Terhadap kebendaan bergerak, pemberian hak kebendaan baik yang umum maupun terbatas dalam bentuk jura in re aliena harus dilakukan dengan penyerahan kebendaan bergerak tersebut;

8. Terhadap kebendaan tidak bergerak, seorang pemegang kedudukan berkuasa hanya memperoleh hak kebendaan secara terbatas hingga dimungkinkan melalui daluwarsa ia menjadi pemilik dari benda tersebut;

9. Bagi kebendaan tidak bergerak, pemberian hak kebendaan baik yang umum maupun yang terbatas dalam bentuk jura in re aliena harus dilakukan dengan pendaftaran dan pengumuman akan pemberian hak tersebut;

10. Hak-hak kebendaan yang bersifat umum yang merupakan pemberian hak hak lebih lanjut dari hak milik tersebut memungkinkan pemegang hak kebendaannya untuk menikmati, menyerahkan atau mengalihkan dan membebani kembali hak kebendaan tersebut dengan hak kebendaan yang bersifat terbatas;

11. Hak-hak kebendaan yang bersifat terbatas tersebut hanya memberikan hak kepada pemegangnya untuk menikmati atau hanya untuk memperoleh pelunasan sebagai atau dalam rangka jaminan utang;

12. Dalam hal pemegang hak kebendaan lebih lanjut (jura in re aliena) adalah juga pemegang hak kebendaan terhadap mana hak jura in re aliena tersebut diberikan, maka hak jura in re aliena tersebut hapus demi hukum;

13. Pemberian hak kebendaan adalah bersifat menyeluruh untuk seluruh bagian dari benda tersebut yang merupakan satu kesatuan termasuk kebendaan yang berdasar asas pelekatan menjadi satu dengan kebendaan tersebut;

14. Hak kebendaan yang diberikan kemudian dapat dipisahkan , maka hak kebendaan tersebut demi hukum mengikuti semua bagian dari kebendaan yang telah dipisahkan tersebut;

15. Khusus terhadap hak kebendaan tebatas yang diberikan sebagai jaminan utang maka hak kebendaan tersebut memiliki sifat droit de preference.

94

2.1.2. Jenis-jenis kebendaan dan hak kebendaan

Jenis-jenis kebendaan dapat dicermati dari ketentuan yang diatur dalam

KUHPerdata. Kebendaan tersebut dibedakan menjadi:

(1). Benda bergerak (roerende zaken) dan benda tidak bergerak

(onroerende zaken);

(2). Benda berwujud (lichamelijk zaken) dan benda tidak berwujud

(onlichamelijk zaken);

(3). Benda yang dapat dihabiskan (verbruikbare zaken) dan benda yang

tidak dapat dihabiskan (onverbruikbare zaken);

94

Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, 2003, Seri Hukum Harta

Kekayaan: Kebendaan pada Umumnya, Cet.2, Kencana, Jakarta (selanjutnya

disebut Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja II), hal.223-226.

Page 82: (overmacht) over the

54

(4). Benda yang dapat diganti (vervangbare zaken/wisseling zaken) dan kebendaan yang tidak dapat dibagi (onvervangbare zaken/onwisseling zaken);

(5). Kebendaan yang dapat dibagi (deelbare zaken) dan kebendaan yang tidak dapat dibagi (ondeelbare zaken);

(6). Kebendaan yang sudah ada (tegenwoordige zaken) dan kebendaan yang akan ada (toekomstige zaken) ;

(7). Kebendaan dalam perdagangan (zaken in de handel) dan kebendaan di luar perdagangan (zaken buiten de handel);

(8). Kebendaan yang terdaftar (geregistreerde zaken) dan kebendaan yang tidak terdaftar (ongeregistreerde zaken)

(9). Jenis kebendaan berdasarkan totalitas bendanya; (10). Jenis kebendaan berdasarkan kepemilikannya.

95

Telaah seksama terhadap jenis-jenis kebendaan dalam perspektif

KUHPerdata, yaitu sebagai berikut:

1. Benda bergerak (roerende zaken) dan benda tidak bergerak (onroerende

zaken).

Dalam perspektif hukum perdata, pembedaan benda bergerak dan tidak

bergerak diatur dalam ketentuan Pasal 504 KUH Perdata, kemudian

dijabarkan lebih lanjut dalam Pasal 506-518 KUH Perdata. Berkenaan

dengan benda bergerak diatur dalam Pasal 509-Pasal 518 KUH Perdata.

Berkaitan dengan pasal tersebut, Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja

menarik kesimpulan yang bersifat umum dengan membedakan kebendaan

bergerak kedalam empat golongan, yaitu:

(1). Golongan pertama, yang dinamakan benda bergerak adalah benda yang karena sifatnya dapat berpindah atau dipindahkan, dari satu tempat ke tempat lainnya tanpa mengubah wujud, bentuk dan kegunaan dari benda tersebut sebagai satu kesatuan dalam hal ini yaitu benda bergerak yang berwujud;

(2). Golongan kedua, benda bergerak meliputi kapal-kapal, perahu-perahu tambang, gilingan-gilingan dan tempat-tempat pemandian yang dipasang diatas perahu atau terlepas. Dalam konteks kapal dan perahu sebagai benda bergerak yang berwujud sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 314 KUHD. Hanya bagi kapal-kapal yang tidak terdaftar dengan ukuran kurang dari duapuluh meter kubik isi kotor dianggap sebagai kebendaan yang bergerak;

95

Rachmadi Usman I, op.cit, hal.62-63.

Page 83: (overmacht) over the

55

(3). Golongan ketiga, menunjuk pada hak-hak yang mengikuti kebendaan bergerak yang berwujud seperti hak hak pakai hasil dan hak pakai atas kebendaan bergerak, hak-hak atas bunga yang diperjanjikan baik hak yang diabadikan maupun hak atas bunga cagak hidup, Perikatan mengenai jumlah uang yang dapat ditagih, surat utang yang diterbitkan atas beban atau tanggungan Negara, Surat berharga yang diperdagangkan di pasar modal.

(4). Golongan keempat merujuk pada benda-benda yang berada dalam rumah dan dipergunakan untuk pelaksanaan jalannya rumah tangga sehari-hari, seperti;perkakas rumah tangga, mebel-mebel atau perabot rumah.

96

Berbeda dengan Kartini Muljadi dan Gunawan Widajaja, Rachmadi

Usman mengkategorisasikan kebendaan bergerak atas dua jenis yaitu:

a) Kebendaan bergerak karena sifatnya bergerak, bahwa kebendaan tersebut dapat berpindah atau dipindahkan tempat (verplaatsbaar), misalnya kendaraan (sepeda, sepeda motor, mobil), alat-alat perkakas (kursi, meja, alat-alat tulis) dikecualikan sebagai benda bergerak yaitu kapal dengan ukuran isi kotor sekurang-kurangnya 20m3 atau dinilai sama dengan itu, karena termasuk kebendaan tidak bergerak (kebendaan tetap).

b) Kebendaan bergerak karena ketentuan undang-undang yang telah menetapkannya sebagai kebendaan bergerak yaitu berupa hak-hak atas benda bergerak, yang meliputi:

- Hak pakai hasil (vruchtgebruik) dan hak pakai (gebruik) atas benda bergerak;

- Hak atas bunga-bunga yang diperjanjikan; - Penagihan atas piutang atas benda bergerak; - Saham-saham dalam persekutuan perdagangan atau perusahaan - Surat-surat berharga lainnya; - Tanda-tanda perutangan yang dilakukan dengan Negara-negara

asing.97

Sementara itu berkenaan dengan kebendaan tidak bergerak, diatur lebih

lanjut dalam ketentuan-ketentuan Pasal 506, Pasal 507, dan Pasal 508 KUH

Perdata serta Pasal 314 KUHD, kebendaan tidak bergerak tersebut

dikategorikan ke dalam tiga golongan yaitu:98

96

Gunawan Widjaja II, op.cit, hal.36-77. Lihat juga Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja II, op.cit, hal.129-177.

97Rachmadi Usman I, op.cit, hal.70.

98

Riduan Syahrani, 2006, Seluk Beluk dan Asas-Asas Hukum Perdata, Alumni, Bandung, hal.109, Lihat juga Tan Thong Kie, 2007, Studi Notariat dan Serba-Serbi Praktek Notaris, Intermasa, Jakarta, hal.152-153 dan Titik Triwulan Tutik, op.cit, hal.146-147.

Page 84: (overmacht) over the

56

1). Kebendaan yang karena sifatnya tidak bergerak, artinya kebendaan tersebut tidak dapat berpindah atau dipindahkan tempat yakni tanah dengan segala sesuatu yang melekat dengan tanah. Kebendaan ini meliputi:

a) Tanah; b) Segala sesuatu yang bersatu dengan tanah karena tumbuh dan

berakar serta bercabang (tumbuh-tumbuhan, buah-buahan yang belum dipetik);

c) Segala sesuatu yang bersatu dengan tanah karena didirikan diatas tanah yaitu karena tertanam atau terpaku seperti bangunan.

2). Kebendaan yang karena peruntukannya atau benda tidak bergerak menurut tujuannya disebut juga benda pembantu (hulpzaken) yaitu benda yang walaupun sebenarnya bukan benda tetap namun dibuat untuk selalu membantu benda tetap tersebut, meliputi:

a) Pada pabrik: segala macam mesin-mesin, katel-katel dan alat-alat lain yang berada disitu digunakan untuk menjalankan pabrik;

b) Pada suatu perkebunan: segala sesuatu yang digunakan sebagai rabuk bagi tanah, ikan dalam kolam, dan lain-lain;

c) Pada rumah kediaman yaitu cermin-cermin, lukisan-lukisan dan perhiasan lainnya sepanjang barang-barang itu diletakkan pada papan yang merupakan bagian dinding, dan barang-barang itu tidak tertancap atau terpaku;

d) Barang-barang reruntuhan dari suatu bangunan, apabila diperuntukan guna mendirikan lagi bangunan itu.

3). Kebendaan yang karena undang-undang ditetapkan sebagai kebendaan tidak bergerak yaitu berupa:

a) Hak-hak atau penagihan mengenai suatu benda yang tak bergerak;

99

b) Kapal-kapal yang berukuran 20 meter kubik keatas (WvK).

Pengolongan kebendaan tersebut diatas, memperlihatkan kepada kita

semua bahwa yang secara fisik dianggap sebagai benda tidak bergerak adalah

tanah dan segala sesuatu yang karena alam, tindakan manusia dan karena

peruntukan atau tujuannya melekat pada tanah dengan pengertian bahwa

benda-benda tersebut dijadikan dan merupakan satu-kesatuan dengan tanah

sedemikian rupa sehingga benda-benda tersebut tidak mungkin dapat

dipisahkan dari tanah dimana benda tidak bergerak tersebut melekat, dapat

diketahui pula bahwa selain perlekatan dalam KUHPerdata juga mengenal

99Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja II, op.cit, hal.55-124.

Page 85: (overmacht) over the

57

benda tambahan sebagai akibat dari tindakan atau perbuatan manusia yang

disengaja, benda yang semula bukan merupakan benda tidak bergerak akan

menjadi benda bergerak karena peruntukannya semata-mata.100

Pembedaan macam kebendaan tersebut yaitu pembedaan kebendaan

berdasar totalitas bendanya yang diatur dalam ketentuan pasal 500 dan pasal

501 KUHPerdata. Dengan merujuk kepada ketentuan Pasal 500 dan pasal 501

KUHPerdata dapat diketahui bahwa KUHPerdata membedakan antara benda

pokok (utama) dengan benda perlekatan.

Dalam doktrin keilmuan hukum, selain benda perlekatan, dikenal pula

jenis benda:

1). Benda tambahan yang merupakan buah-buah atau hasil-hasil dari

status benda pokok, yang dalam hal ini hasil tersebut dapat terwujud

dalam bentuk hasil alam, hasil pekerjaan manusia dan hasil perdata

yang telah dapat ditagih yang dapat terwujud dalam bentuk hasil

alam, hasil pekerjaan manusia dan hasil perdata. Dalam konteks

benda tambahan tersebut, berbeda dari benda hasil perlekatan yang

tidak dapat dipisahkan dari benda pokoknya, pemilik dari benda

tersebut dapat menjual benda pokoknya tanpa menjual benda

tambahannya, demikian pula sebaliknya.

2). Benda ikutan, yang mengikuti status benda pokok yang tanpa benda

pokok tersebut, benda ikutan tidak mempunyai arti meskipun benda

ikutan itu sendiri tidak melekat pada benda pokoknya;

3). Benda pelengkap yang dapat dipegunakan secara bersama-sama

dengan benda pokoknya, misalnya mebel-mebel dalam suatu hotel

yang melengkapi penggunaan hotel tersebut Benda-benda pelengkap

ini bergantung pada tujuan penggunaannya, kadang kala dapat

menjadi benda ikutan terhadap benda pokok, tetapi pada saat lain

dapat menjadi benda pokok sendiri yang lepas dari benda pokoknya.

4). Di luar benda tersebut di atas, Undang-undang juga memungkinkan

diciptakannya suatu benda baru yang berasal dari benda lain. Dengan

terciptanya benda baru ini, maka demi hukum pula benda lama ini

hilang eksistensinya. Dalam hal ini, maka pemilik benda asal ini

akan menjadi pemilik dari benda baru ini. Sedangkan jika benda baru

100

Gunawan Widjaja II, op.cit, hal. 80 dan 82.

Page 86: (overmacht) over the

58

ini tercipta karena alam, maka benda baru ini adalah milik bersama

dari pemilik benda asal tersebut, menurut keseimbangan harga dari

benda asal tersebut.101

2. Benda berwujud (lichamelijk zaken) dan benda tidak berwujud

(onlichamelijk zaken).

Pembedaan kebendaan atas benda berwujud dan tidak berwujud

tercantum dalam Pasal 503 KUHPerdata yang menyatakan bahwa: “Tiap-tiap

kebendaan adalah berwujud (bertubuh) atau tidak berwujud (tidak

bertubuh)”. Benda berwujud (tangible movables) yaitu kebendaan yang dapat

dilihat dengan mata dan diraba dengan tangan.Benda tidak berwujud

(intangible movables) yaitu kebendaan yang berupa hak-hak atau tagihan.

Pembedaan benda berwujud dan tidak berwujud berkaitan dengan

penyerahan dan cara mengadakannya. Penyerahan benda bergerak yang

berwujud dilakukan dengan penyerahan langsung (dari tangan ke tangan)

sedangkan penyerahan benda tidak bergerak yang berwujud dilakukan

dengan balik nama yang diadakan dalam register umum. Hal ini sebagaimana

diatur dalam Pasal 612 dan 616 KUHPerdata.102

101

Gunawan Widjaja II, op.cit, hal.25-26. Lihat Juga Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, 2005, Seri Hukum Harta Kekayaan: Kedudukan Berkuasa dan Hak Milik (Dalam Sudut Pandang KUHPerdata), Cet.2, Kencana, Jakarta (selanjutnya Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja III), hal.44-46.

102Pembedaan antara benda berwujud dan benda tidak berwujud, masih

dikenal dibeberapa Negara modern dewasa ini, dalam Hukum Inggris dikenal pembedaan atas benda berwujud (tangible movables) dan benda bergerak tidak berwujud (intangibles movables). Didalam Hukum Amerika juga dikenal perbedaan tangibles dan intangible property (Rachmadi Usman I, op.cit, hal.81-82). Oleh Djuaendah Hasan sebagaimana dikutip dari Pitlo, Hartkamp, Jac Hijma dan M.M Othof, Code Civil On Taiwan, Code Civil of Japan dan Major Laws bahwa Pembedaan benda atas benda bergerak dan tidak bergerak dikenal di Negara-negara lain, Belanda dalam BW Barunya (NBW) membedakan antara roerende dan anroerende, Perancis membedakan antara meuble dan immeuble, di Taiwan dalam Code Civilnya membedakan pula atas movables dan immovables dan begitu pula di Jepang membedakan atas movables dan immovables. (Djuaendah Hasan, op.cit, hal.76)

Page 87: (overmacht) over the

59

Berkaitan dengan pembagian benda berwujud dan tidak berwujud, dalam

hukum Inggris dikenal pula beberapa benda lainnya, diantaranya:

a. Personal Property and Real Property

Personal Property is defined by process of exclusion. The term

personal property is used in contrast to real property. Real property is

the earth’s crust and all things firmly attached to it. For example, land,

office buildings and houses are considered to be real property . All

others objects and rights that may be owned are personal

property.Clothing, books and stock in a corporation are examples of

personal property. Real property may be turned into personal property

if it is detached from the earth. Personal property if attached to the

earth, becomes real property. For example, marble in the ground is

real property. When the marble is quarried, it becomes personal

property, but if it is used in constructing a building, it becomes real

property again.

b. Tangible and Intangible Personal Property

Personal Property may be either tangible or intangible. Tangible

Property has a physical existence. Cars, animals and computers are

examples. Property that has no physical existence is called intangible

property. For example, rights under a patent, copyright, or trademark

would be intangible property. The distinction between tangible and

intangible property is important primarily for tax and estate planning

purposes. Generally, tangible property is subject to tax in the state in

which it is located, whereas intangible property is usually taxable in the

state where its owner lives.

c. Public and Private Property

Property is also classified as public or private, based on the ownership

of the property. If the property is owned by the government or a

governmental unit, it is public property. If it is owned by an individual

a group of individuals, a corporation or some other business

organization, it is private property.103

Berkaitan dengan pembagian benda berwujud dan tidak berwujud,

dalam hukum Inggris dikenal pula beberapa benda lainnya,

diantaranya

Terjemahan bebasnya berarti : a. Properti Pribadi dan Properti Riil

Properti pribadi didefinisikan oleh proses eksklusi. Istilah properti pribadi digunakan secara kontras dengan properti riil. Properti riil adalah permukaan bumi dan segala sesuatu yang secara tegas melekat

103

Jane P.Mallor,et.al, 2007, Business law:The Ethical, Global and E-

Commerce Environment, Thirteenth Edition, McGrawHill Companies, New York,

hal.561.

Page 88: (overmacht) over the

60

padanya. Misalnya, tanah, gedung perkantoran dan rumah-rumah dianggap properti riil. Semua benda-benda dan hak-hak lain yang dapat dimiliki merupakan properti. Pakaian, buku dan saham di sebuah perusahaan adalah contoh dari properti pribadi. Properti riil dapat berubah menjadi properti pribadi jika terlepas dari bumi. Properti pribadi jika melekat pada bumi maka menjadi properti riil. Misalnya, marmer di tanah adalah propertir riil. Ketika marmer tersebut digali, maka itu menjadi properti pribadi, tetapi jika digunakan dalam membangun sebuah bangunan, kembali menjadi properti riil lagi.

b. Properti Pribadi Nyata dan Properti Pribadi Tidak Nyata. Properti Pribadi dapat berupa nyata ataupun tidak nyata. Properti nyata memiliki sebuah eksistensi fisik. Mobil, hewan dan komputer adalah contohnya. Properti yang tidak memiliki eksistensi fisik disebut properti tidak nyata. Contohnya, hak paten, hak cipta, atau merek dagang merupakan properti tidak nyata. Perbedaan antara properti nyata dan tidak nyata penting terutama untuk tujuan pajak dan perencanaan harta. Secara umum, properti nyata terkena pajak di negara tempat properti tersebut berada, sementara properti tidak nyata biasanya terkena pajak di negara tempat pemiliknya tinggal.

c. Properti Publik dan Swasta Properti Properti juga diklasifikasikan sebagai publik atau pribadi, berdasarkan kepemilikan properti. Jika properti dimiliki oleh pemerintah atau unit pemerintah, itu adalah properti publik. Jika dimiliki oleh seorang individu atau sekelompok individu, sebuah perusahaan atau organisasi bisnis lainnya, maka itu adalah properti pribadi.

3. Benda yang dapat dihabiskan (verbruikbare zaken) dan benda yang tidak

dapat dihabiskan (onverbruikbare zaken).

Pembedaan kebendaan atas benda yang dapat dihabiskan dan tidak dapat

dihabiskan diatur dalam ketentuan Pasal 505 KUHPerdata yang menyatakan

bahwa tiap-tiap kebendaan yang bergerak adalah dapat dihabiskan atau tidak

dapat dihabiskan. Pembedaan ini mempunyai arti penting berkaitan dengan

pembatalan perjanjian. Perjanjian yang obyeknya benda yang dipakai habis

apabila dibatalkan mengalami kesulitan dalam pemulihan keadaan semula.

Penyelesaiannya harus diganti dengan benda lain yang sejenis dan senilai.

Tidak demikian dengan perjanjian yang obyeknya benda yang tidak dipakai

habis, apabila dibatalkan tidak begitu mengalami kesulitan dalam pemulihan

keadaan semula karena bendanya masih ada dan dapat diserahkan kembali.

Page 89: (overmacht) over the

61

4. Benda yang dapat diganti (vervangbare zaken/wisseling zaken) dan

kebendaan yang tidak dapat diganti (onvervangbare zaken/onwisseling

zaken).

Perbedaan antara benda yang dapat diganti dengan benda yang tidak dapat

diganti tidak disebut secara tegas dalam KUHPerdata. Namun pembedaan ini

dapat ditemukan dalam beberapa literatur. Menurut Riduan Syahrani,

pembedaan tersebut dapat dicermati dalam ketentuan pasal yang mengatur

tentang perjanjian penitipan barang.104

Sedangkan Tan Thong Kie,

memberikan kriteria antara benda yang dapat diganti dengan benda yang

tidak dapat diganti, dikatakan sebagai benda yang dapat diganti, apabila

benda tersebut ditentukan oleh macamnya yang ditetapkan berdasarkan pada

kualitas dan/atau jumlahnya. Selain itu, benda dapat pula ditentukan secara

individual, karena benda tersebut memiliki ciri tersendiri yaitu dapat

dibedakan dari yang lainnya. Lebih lanjut Tan Thong Kie menyatakan bahwa

sebuah benda dikatakan sebagai benda yang dapat diganti ataupun tidak

bukanlah bergantung pada sifatnya melainkan dari maksud dan kehendak

para pihak.105

5. Kebendaan yang dapat dibagi (deelbare zaken) dan kebendaan yang tidak

dapat dibagi (ondeelbare zaken).

Pembedaan kebendaan yang dapat dibagi ataupun tidak dapat dibagi diatur

dalam ketentuan Pasal 1296 KUHPerdata yang menyatakan bahwa “Suatu

perikatan dapat dibagi-bagi ataupun tidak dapat dibagi-bagi sekedar perikatan

104

Riduan Syahrani, op.cit, hal.112-113. Periksa juga Rachmadi Usman,

2008, Hukum Jaminan Keperdataan, Sinar Grafika, Jakarta (selanjutnya disebut

Rachmadi Usman II), hal.56. 105

Tan Thong Kie, op.cit, hal.154.

Page 90: (overmacht) over the

62

tersebut mengenai suatu barang yang penyerahannya atau suatu perbuatan

yang pelaksanaannya dapat dibagi ataupun tidak dapatdibagi baik secara

nyata maupun secara perhitungan”.106

Kemudian dalam Pasal 1297

KUHPerdata dinyatakan “Suatu perikatan adalah tidak dapat dibagi-bagi,

meskipun barang atau perbuatan yang dimaksudkan karena sifatnya dapat

dibagi-bagi, jika barang atau perbuatan tadi menurut maksud perikatan tidak

boleh diserahkan atau dilaksanakan sebagian demi sebagian”.107

6. Kebendaan yang sudah ada (tegenwoordige zaken) dan kebendaan yang

akan ada (toekomstige zaken).

Pembedaan atas benda yang sudah ada maupun yang akan ada penting

bagi pelaksanaan dan pelunasan jaminan hutang, sebagaimana tersirat dalam

Pasal 1334 KUHPerdata.108

Terhadap benda yang baru akan ada di kemudian

hari selanjutnya dibedakan lagi menjadi benda yang sama sekali secara

absolut belum ada pada saat ini dan benda yang secara relatif belum ada saat

ini. Benda yang absolute belum ada saat ini berarti benda tersebut sama sekali

tidak ada, tidak tampak yang masih harus tumbuh atau lahir, misalnya hasil

tanaman atau anak hewan yang belum lahir. Terhadap benda relatif yang

belum ada saat ini, berarti benda itu belum ada bagi seseorang atau belum

dikuasainya. Hal ini berakibat mungkin saja suatu benda belum ada bagi

seseorang tetapi bagi orang lain sudah ada109

106

Lihat diantaranya, Rachmadi Usman I, op.cit, hal.88, Riduan Syahrani, op.cit, hal.113, Kartini Mulyadi dan Gunawan Widjaja II, op.cit, hal.46.

107Rachmadi Usman I, op.cit, hal,89.

108Rachmadi Usman I, loc.cit.

109Tan Thong Kie, op.cit, hal.154.

Page 91: (overmacht) over the

63

7. Kebendaan dalam Perdagangan (Zaken In De Handel) dan Kebendaan di

Luar Perdagangan (Zaken Buiten De Handel)

Pembedaan kebendaan dalam perdagangan dan diluar perdagangan diatur

dalam Pasal 1332 KUHPerdata yang menyatakan bahwa hanya barang-

barang yang dapat diperdagangkan saja yang menjadi pokok perjanjian. Ini

berarti bahwa obyek perjanjian hanyalah kebendaan yang dapat

diperdagangkan. Pada dasarnya, semua kebendaan yang menjadi milik

subyek hukum dapat dijadikan obyek perjanjian sehingga kebendaan tersebut

secara bebas dapat diperdagangkan dan bahkan dihibahkan ataupun

diwariskan. Sebaliknya, suatu kebendaan dikatakan sebagai benda diluar

perdagangan bila benda tersebut dilarang dijadikan sebagai obyek perjanjian

sehingga benda tersebut tidak dapat dihibahkan atau bahkan diwariskan.

Kebendaan tersebut dilarang atau bahkan tidak dapat menjadi obyek

perjanjian karena peruntukannya, dilarang oleh hukum atau undang-undang,

kesusilaan dan ketertiban umum. 110

8. Kebendaan yang Terdaftar (Geregistreerde Zaken) dan Kebendaan yang

Tidak Terdaftar (Ongeregistreerde Zaken).

Pembedaan kebendaan atas benda terdaftar dan tidak terdaftar tidak diatur

dalam KUHPerdata namun KUHPerdata mewajibkan adanya pendaftaran dan

publikasi atas benda tertentu sebagai bukti pemilikannya, sebagaimana

ditegaskan dalam ketentuan Pasal 584, 616, 617, 618, 621, 622 dan 623

KUHPerdata.111

Dari ketentuan pasal tersebut, jelas bahwa setiap penyerahan

110

Rachmadi Usman I, op.cit, hal.91. Berkenaan dengan kebendaan diluar

perdagangan lihat juga Gunawan Widjaja II, op.cit, hal.30, Kartini Muljadi dan

Gunawan Widjaja II, op.cit, hal. 54. 111

Rachmadi Usman I, ibid, hal.92-93.

Page 92: (overmacht) over the

64

dan pembebanan terhadap kebendaan yang tidak bergerak harus didaftarkan

dan dipublikasikan dalam register umum sebagai syarat telah terjadinya

perbuatan hukum atas kebendaan yang bersangkutan.Tidak dilakukannya

pencatatan dan oleh karena publikasi akan mengakibatkan tidak mengikatnya

perbuatan hukum sebagaimana yang telah dikehendaki oleh para pihak

terhadap pihak ketiga. Dengan adanya publikasi, tentu tidak dapat digunakan

untuk merugikan hak ataupun kepentingan pihak ketiga yang beritikad baik,

tidak demikian halnya bila tidak diadakan publikasi, hal ini membawa

konsekuensi terhadap para pihak tentunya para pihak tidak dapat mendalilkan

hubungan yang terjadi diantara para pihak terhadap pihak ketiga.112

9. Kebendaan berdasarkan Kepemilikannya

Pembedaan jenis kebendaan berdasarkan kepemilikannya, diatur dalam

ketentuan pasal 519 KUHPerdata yang menyatakan bahwa: Ada kebendaan

yang bukan milik siapapun juga, kebendaan lainnya milik Negara, milik

badan kesatuan atau milik seseorang. Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 519

KUHPerdata, maka suatu kebendaan dapat merupakan:113

1). Kebendaan bergerak yang tidak ada pemiliknya (res nullius)114

;

2). Kebendaan yang tidak bergerak, berupa:

a). Kebendaan milik Negara;

b). Kebendaan milik badan kesatuan yaitu kebendaan milik

bersama dari perkumpulan-perkumpulan;

c). Kebendaan milik seseorang yaitu kebendaan milik satu orang

atau lebih dalam perseorangan.

112

Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja II, op.cit, hal 66-67. 113

Rachmadi Usman I, op.cit, hal.98. 114

Res Nullius dalam perspektif KUHPerdata, hanya terdiri atas benda bergerak dapat dimiliki oleh orang perorangan atau badan kesatuan melalui proses pendakuan atau perlekatan. (Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja II, op.cit, hal.53).

Page 93: (overmacht) over the

65

Dalam konsepsi UUPA, semua tanah di Negara Republik Indonesia, dikuasai

oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Jadi Negara tidak memiliki tanah tetapi hanya menguasainya untuk

kepentingan seluruh rakyat.115

Berbeda dengan hukum adat, pembedaan

kebendaan tidak berdasarkan atas benda bergerak dan tidak bergerak yang

lazim dikenal dalam KUHPerdata, tetapi pembedaan kebendaan didasarkan

atas benda tanah dan benda selain tanah. Pembedaan atas benda tanah dan

benda bukan lain selain tanah disebabkan oleh hukum adat menempatkan

tanah sebagai benda utama dimana tanah memiliki kedudukan istimewa

dalam masyarakat hukum adat.116

Dengan dikeluarkannya UUPA menjadikan hukum adat sebagai dasar dari

hukum agraria nasional, maka terdapat pembedaan kebendaan baru yaitu

benda tanah dan benda bukan tanah. Pembedaan atas dengan benda tanah dan

benda bukan tanah akan diuraikan sebagai berikut:

1. Benda tanah hanya berkaitan dengan tanahnya saja dan tidak

berkaitan dengan lain yang melekat pada tanah tersebut. Benda

tanah ini dibedakan atas:

a. Benda tanah terdaftar adalah benda yang secara yuridis

terdaftar pada instansi tertentu yang diberi wewenang atau

berfungsi sebagai tempat pendaftaran dengan adanya

pendaftaran tersebut benda tanah yang bersangkutan

memenuhi aspek publisitas dan spesialitas, meliputi Hak

Milik, HGU, HGB, Hak Pakai.

b. Benda tanah tidak terdaftar meliputi hak atas tanah berupa

Hak Sewa.

2. Benda bukan tanah adalah semua benda selain tanah. Benda bukan

tanah dibedakan atas:

115

Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja II, loc.cit. 116

Rachmadi Usman I, op.cit, hal.63.

Page 94: (overmacht) over the

66

a. Benda bukan tanah tetap misalnya bangunan, rumah, satuan

rumah susun, dermaga, tanaman, benda–benda bergerak.

Benda bukan tanah tetap ini, dibedakan lagi atas:

i. Benda bukan tanah tetap terdaftar yaitu benda bukan

tanah tetap yang telah terdaftar secara resmi pada instansi

pendaftaran yang diberi wewenang untuk itu, misalnya

rumah terdaftar dan satuan rumah susun yang harus

dibuktikan dengan sertifikat pemilikan rumah.

ii. Benda bukan tanah tetap tidak terdaftar.

b. Benda bukan tanah tanah bergerak, dibedakan atas:

i. Benda bukan tanah bergerak berwujud (tangible),

misalnya kendaraan bermotor, perahu, mebel, pesawat

udara, dan lain sebagainya. Benda bukan tanah bergerak

berwujud, dibedakan lagi atas:

- Benda bukan tanah bergerak berwujud yang terdaftar

merupakan benda bergerak berwujud yang telah

terdaftar secara resmi pada instansi pendaftaran yang

diberi wewenang untuk melakukan pendaftaran.

- Benda bukan tanah bergerak berwujud yang tidak

terdaftar

ii. Benda bukan tanah bergerak tidak berwujud (intangible),

misalnya surat berharga, hak tagih, saham, surat piutang,

hak tuntut (claims). Benda bukan tanah bergerak tidak

berwujud, dibedakan lagi atas:

a. Benda bukan tanah bergerak tidak berwujud yang

terdaftar adalah benda bergerak tidak berwujud yang

terdaftar secara resmi pada instansi pendaftaran bagi

surat-surat berharga, misalnya saham yang terdaftar

(listed) di bursa efek.

b. Benda bukan tanah bergerak tidak berwujud yang

tidakterdaftar.117

117

Djuaendah Hasan, op.cit, hal.98-99 Bandingkan dengan Rachmadi Usman I, op.cit, hal.65. Dalam keputusan Seminar Hukum Jaminan Nasional yang diselenggrakan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional bekerjasama dengan Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada dari tanggal 9-11 Oktober 1978 di Yogyakarta, menyepakati untuk membagi benda dalam tiga golongan yaitu: (i). benda tak bergerak (ii), benda bergerak (iii). Benda tak berwujud atau hak-hak. Terhadap benda tetap demikian pula terhadap benda bergerak dibedakan dalam benda terdaftar dan tidak terdaftar. Penggolongan dalam tiga macam benda ini harus dijadikan pedoman dalam menetapkan hukum jaminan yang akan datang.

Page 95: (overmacht) over the

Skema 2.1 Jenis-jenis Kebendaan

Page 96: (overmacht) over the

68

Berkenaan dengan hak kebendaan, diatur dalam ketentuan Pasal 528

KUHPerdata, yang merumuskan bahwa hak kebendaan yang dapat diperoleh

atas suatu benda meliputi:

1. Keadaan berkuasa atau bezit atas benda;

2. Hak milik atas benda;

3. Hak waris atas benda;

4. Hak pakai hasil;

5. Hak pengabdian tanah;

6. Hak Gadai;

7. Hipotek.118

Merujuk pada ketentuan pasal 528 KUHPerdata, maka secara garis besar

dalam perspektif KUHPerdata hak kebendaan dibedakan menjadi dua yaitu:

1. Hak kebendaan yang memberikan kenikmatan (zakelijk

genootsrecht)

Hak yang diberikan kepada pemilik untuk menikmati suatu benda

baik terhadap bendanya sendiri maupun benda milik orang lain. Hak

kebendaan yang memberikan kenikmatan atas bendanya sendiri

misalnya hak menguasai (bezit) dan hak milik (eigondom). Hak

kenikmatan yang memberikan kenikmatan atas benda orang lain

misalnya hak memungut hasil, hak pakai dan hak mendiami.

2. Hak kebendaan yang memberikan jaminan (zakelijk zekerheidsrecht)

Hak yang diberikan kepada pemegangnya untuk didahulukan

pemenuhan utang atas jaminan benda milik orang lain. Secara garis

besar, hak kebendaan sebagai jaminan, dibedakan atas;

a). Cara terjadinya:

i. Karena Undang-undang, sebagaimana diatur dalam Pasal

1131 dan 1132 KUHPerdata

ii. Karena diperjanjikan, sebagai bagian dari asas konsesualitas

dalam hukum perjanjian, undang-undang memungkinkan

para pihak untuk melakukan perjanjian assesoir yaitu

penjaminan yang ditujukan untuk menjamin pelunasan atau

pelaksanaan kewajiban debitor kepada kreditor.

b). Obyeknya:

i. Berobyek benda bergerak;

ii. Berobyek benda tidak bergerak/benda tetap;

iii. Berobyek benda berupa tanah.

118

Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja II, op.cit, hal.182-212.

Page 97: (overmacht) over the

69

c. Sifatnya

i. Jaminan umum, jaminan yang diberikan bagi kepentingan

semua kreditor dan menyangkut semua harta debitor

sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1131 KUHPerdata.

ii. Jaminan khusus, jaminan dalam bentuk penunjukkan atau

penyerahan barang secara khusus sebagai jaminan atas

pelunasan kewajiban/utang debitor kepada kreditor tertentu

yang hanya berlaku untuk kreditor tertentu tersebut baik

secara kebendaan maupun perorangan.

iii. Bersifat kebendaan, yaitu adanya benda tertentu yang

dijadikan jaminan (zakelijk).

iv. Bersifat perorangan (personlijk), yaitu adanya orang tertentu

yang sanggup membayar atau memenuhi prestasi jika

debitor cidera janji.

d. Kewenangan menguasai benda jaminannya

i. Menguasai benda jaminannya

ii. Tanpa menguasai benda jaminannya.119

Apabila dikaji lebih lanjut kandungan materi hukum kebendaan yang

diatur dalam Buku II KUHPerdata dan dihubungkan dengan berlakunya

UUPA, maka hak kebendaan dapat dibedakan atas:

a) Hak kebendaan yang memberikan kenikmatan (zakelijk

genootsrecht) kepada pemilik atau empunya, baik terhadap bendanya

sendiri maupun benda milik orang lain seperti hak bezit, hak milik,

hak memungut hasil, hak pakai dan hak mendiami.

b) Hak kebendaan yang memberi jaminan (zakelijk zekerheidsrecht)

kepada pemegangnya yaitu seperti gadai (pand) untuk jaminan

kebendaan bergerak, hipotik untuk jaminan kebendaan atas kapal

laut dan pesawat terbang, hak tanggungan untuk jaminan kebendaan

bagi tanah atau fidusia untuk jaminan kebendaan bergerak yang tidak

dapat digadaikan atau untuk jaminan kebendaan bagi tanah yang

tidak dapat dibebani dengan Hak Tanggungan;

c) Hak yang memberi jaminan tetapi bukan lembaga hak jaminan

kebendaan namun hak yang bersangkutan tersebut mempunyai sifat

kebendaan seperti hak prevelige, hak retensi dan cessie.120

Dengan berlakunya UUPA, pengaturan hukum kebendaan yang berkaitan

dengan tanah tidak lagi tunduk pada Buku II KUHPerdata melainkan tunduk

119

Gunawan Widjaja II, op.cit, hal.222-224. Lihat pula Rachmadi Usman I,

op.cit, hal.114. 120

Rachmadi Usman II, op.cit, hal.65.

Page 98: (overmacht) over the

70

pada hukum kebendaan sebagaimana diatur dalam Hukum Agraria Nasional.

Dalam hal ini, UUPA tidak mengatur tentang penataan tanah belaka tetapi

mengatur mengenai agrarian dalam arti luas yaitu mengatur tentang bumi, air,

ruang angkasa dan kekayaan yang terkandung didalamnya sehingga

memberikan pengaruh yang besar terhadap hukum kebendaan yang diatur

dalam Buku II KUHPerdata.121

2.2. Tinjauan tentang Pertelaan dan Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun.

2.2.1. Ruang Lingkup Pertelaan

Penyelenggara pembangunan wajib memisahkan rumah susun atas satuan

dan bagian bersama dalam bentuk gambar dan uraian yang disahkan oleh instansi

yang berwenang. Batas dan rincian yang jelas tersebut dituangkan dalam bentuk

Gambar dan Uraian, sebagai berikut:

1. Gambar Pertelaan, yaitu gambar yang memperlihatkan batas-batas

kepemilikan perseorangan maupun kebersamaan yang distrukturkan secara

vertikal maupun horizontal yang merupakan satu kesatuan fungsi dalam

kegunaannya, yang mengandung nilai perbandingan proposional (NPP).

Gambar pertelaan meliputi :

a. Satuan lingkungan tanah bersama yang mengambarkan benda bersama.

b. Tanah bersama (sesuai GS/SU lampiran sertipikat).

c. Denah masing masing lantai, terdiri dari bagian bersama dan bagian

perseorangan.

d. Tampak bangunan Rusun dari segala arah.

121

Rachmadi Usman II, op.cit, hal.16.

Page 99: (overmacht) over the

71

e. Potongan dari dua arah vertikal dan horizontal terhadap bangunan

Rusun.

f. Potongan dari 2 (dua) arah antara unit Satuan Rusun dengan unit

lainnya, antara unit Satuan Rusun dengan bagian bersama (kuzen,

dinding, plafon) secara tipikal.

Gambar pertelaan dibuat dan ditetapkan oleh penyelenggara pembangunan

serta ditanda tangani untuk diketahui oleh Kepala Kantor Pertanahan

Kab/Kota sedangkan untuk wilayah DKI oleh Kepala Bidang Survey

Pengukuran dan Pemetaan (SPP) Kanwil BPN DKI.

Gambar pertelaan dapat diartikan sebagai peta dasar pendaftaran karena

merupakan dasar pembuatan gambar denah dalam penerbitan sertipikat

HMSRS oleh Kantor Pertanahan. Sebelumnya dilakukan pengecekan uji

petik terhadap unit-unit tipikal oleh Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota

untuk mengetahui luas pendekatan sesuai ketentuan peraturan

perundangan yang berlaku.

2. Uraian Pertelaan

Adalah penjelasan secara deskriptif dari gambar pertelaan mengenai

kepemilikan perseorangan dan kepemilikan bersama (tanah bersama, bagian

bersama dan benda bersama) yang dilengkapi dengan spesifikasi teknis yang

mengandung nilai perbandingan proporsional (NPP) yang perhitungannya

dilakukan oleh penyelenggara pembangunan dan disahkan oleh Bupati/

Walikota dan khusus untuk wilayah DKI Jakarta disahkan oleh Gubernur.

Page 100: (overmacht) over the

72

Tanda Bukti pemisahan tersebut di tuangkan dalam bentuk Akta

Pemisahan. Berkenaan dengan akta pemisahan di atur dalam Peraturan Kepala

Badan Pertanahan Nasional Nomor 2 Tahun 1989 tentang Tata cara

pembuatan dan pengisian akta pemisahan ruman susun. Tatacara pembuatan

dan pengisian akta tersebut adalah sebagai berikut:

a. Akta pemisahan dibuat dan diisi sendiri oleh penyelenggara

pembangunan rumah susun.

b. Akta pemisahan rumah susun berisikan :

1. Hari, tanggal, bulan dan tahun pembuatan akta pemisahan.

2. Nama lengkap pembuat/penandatangan akta pemisahan yang

dilengkapi dengan jabatan dan tempat kerja (kantor) yang

bersangkutan.

3. Nama badan hukum/Instansi penyelenggara pembangunan

rumah susun.

4. Status tanah dimana rumah susun didirikan.

5. Sistem pembangunan rumah susun, apakah dilaksanakan secara

mandiri atau terpadu.

6. Penggunaan/pemanfaatan rumah susun, untuk hunian atau bukan

hunian.

7. Jumlah blok rumah susun dalam kesatuan sistem pembangunan

yang dilaksanakan pada tanah bersama.

8. Uraian tiap blok rumah susun, misalnya blok 1 terdiri dari 10

(sepuluh) lantai. Lantai 1 terdiri dari 15 (lima belas) satuan

rumah susun, lantai 2 (dua) terdiri dari 10 (sepuluh) satuan

rumah susun dan sebagainya.

Page 101: (overmacht) over the

73

9. Macam-macam bagian dan benda bersama sesuai dengan

pertelaan yang telah disahkan.

10. Status tanah bersama, nomor hak dan nomor surat ukur serta

batas-batas tanah.

11. Perbandingan proporsional antara satuan rumah susun terhadap

hak atas bagian, benda dan tanah bersama.

12. Tempat/kota dimana akta pemisahan tersebut dibuat dan tanggal

penandatanganannya.

13. Jabatan si penandatangan akta pemisahan.

14. Tanda tangan pembuat akta pemisah dan nama terangnya.

15. Tempat, tanggal, bulan dan tahun serta Instansi yang

mengesahkan akta pemisah.

c. Setelah akta tersebut dibuat, penyelenggara pembangunan wajib

meminta pengesahan isi akta tersebut kepada Pemerintah Daerah

Tingkat II Kabupaten/Kotamadya setempat atau kepada Pemerintah

Daerah Khusus Ibukota Jakarta, apabila pembangunan rumah susun

terletak di wilayah Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta.

d. Akta pemisahan setelah disahkan harus didaftarkan oleh penyelenggara

pembangunan pada Kantor Pertanahan setempat dengan dilampiri :

Sertifikat hak atas tanah.

Ijin Layak Huni.

Warkah-warkah lainnya yang diperlukan.

Page 102: (overmacht) over the

74

e. Akta pemisahan beserta berkasnya-berkas lampirannya dipergunakan

sebagai dasar untuk penerbitan sertifikat hak milik atas satuan rumah

susun.

2.2.2. Ruang Lingkup Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun

Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun (selanjutnya disebut HMSRS) meliputi

hak pemilikan perseorangan yang digunakan secara terpisah, hak bersama atas

bagian-bagian bangunan, hak bersama atas tanah, semuanya merupakan satu

kesatuan hak yang secara fungsional tidak terpisahkan. Hak milik Perseorangan

yang digunakan secara terpisah merupakan ruangan yang mempunyai luas dan

batas tinggi tertentu yang memisahkan hak milik perseorangan terhadap hak milik

orang lain yang tidak selalu dibatasi oleh dinding. Apabila ruangan dibatasi oleh

dinding, maka permukaan dalam diri dinding pemisah, permukaan bagian bawah

dari langit-langit struktur, permukaan bagian atas dari lantai struktur adalah

merupakan batas pemilikannya. Dalam hal sebagian ruangan tidak dibatasi oleh

dinding maka batas bagian atas setinggi permukaan bagian bawah dari langit-

langit struktur merupakan batas pemilikannya, sedangkan apabila keseluruhan

ruangan tidak dibaatsi oleh dinding maka batas pemilikan dapat dilakukan dengan

memberi tanda yang jelas dan tidak dapat dihapus.122

Pemilikan atas SRS dapat dilakukan oleh perseorangan maupun badan

hukum. Apabila pemilikan dilakukan oleh perseorangan maka yang bersangkutan

harus memenuhi syarat sebagai pemegang hak atas tanah bersama sesuai dengan

status tanah didirikannya HMSRS baik itu tanah hak milik, hak guna bangunan

122

Andi Hamzah,et.al, 2000, Dasar-dasar Hukum Perumahan, Cet.3, Rineka

Cipta, Jakarta, hal.39-40. (Lihat juga Pasal 41 PP Rumah Susun).

Page 103: (overmacht) over the

75

atau hak pakai atas tanah Negara maupun hak guna bangunan atau hak pakai

diatas hak pengelolaan. Sedangkan untuk badan hukum yang dapat memiliki

satuan rumah susun yang dibangun diatas tanah milik bersama adalah badan

hukum yang ditunjuk oleh Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 1963

diantaranya adalah Bank-Bank yang didirikan oleh Negara, Badan-badan sosial

dan keagamaan koperasi dan lain-lainnya.123

Sebagai tanda bukti kepemilikan HMSRS maka Kantor Pertanahan

menerbitkan Sertifikat HMSRS .Tata cara penerbitan sertifikat dan pembuatan

buku tanah HMSRS diatur dalam Peraturan Ka BPN Nomor 4 Tahun 1989.

Menurut Peraturan Ka BPN tersebut, buku tanah terdiri atas 4 halaman yaitu:

a. Halaman muka atau halaman pertama;

b. Halaman kedua, bagian pendaftaran pertama

c. Halaman pertama dan kedua dipergunakan untuk pendaftaran HMSRS

untuk pertama kalinya;

d. Halaman ketiga dan keempat disediakan untuk pendaftaran peralihan

hak, pembebanan dan pencatatan lainnya, tiap halaman terbagi atas 5

(lima) ruang.

Setiap HMSRS didaftar dalam satu buku tanah HMSRS. Untuk pendaftaran

HMSRS, disamping mempergunakan daftar isian yang dipergunakan dalam

penyelenggaraan pendaftaran, diperlukan pula beberapa daftar tambahan yaitu:

a. Daftar Buku Tanah HMSRS yang dibuat per Desa/Kelurahan

b. Daftar Gambar Rumah yang diberi Nomor urut per tahun per

Kabupaten atau persatuan Wilayah Kerja Kantor Pertanahan.

123

Ibid, hal.39.

Page 104: (overmacht) over the

76

Terhadap HMSRS yang telah dibukukan dapat diterbitkan sertifikat,

kesemuanya merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dan dijilid dalam

satu sampul dokumen yang merupakan alat bukti HMSRS yang dimilikinya.

Penerbitan SHM SRS dilakukan oleh Kantor Pertanahan Setempat. Sertifikat itu

harus sudah dibuat oleh perusahaan penyelenggara pembangunan rumah susun

sebelum satuan rumah susun tersebut dijual124

HMSRS dapat beralih dengan cara

pewarisan125

ataupun dengan cara pemindahan hak.126

HMSRS dapat pula

berakhir atau hapus, karena: Hak atas tanahnya hapus menurut peraturan

perundang-undangan yang berlaku, Tanah dan bangunannya musnah,

Terpenuhinya syarat batal dan Pelepasan hak secara sukarela.127

2.3. Tinjauan tentang Overmacht dan Hukum Perjanjian Rumah Susun

2.3.1. Pengertian dan Unsur-unsur Overmacht

Konsep overmacht dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH

Perdata) ditemukan dalam pasal-pasal berikut ini:

124

Andi Hamzah, op.cit, hal.40-42. Marihot P.Siahaan, 2005, Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan: Teori dan Praktik, Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal.148-149. Periksa juga Pasal 47 ayat (3) dan (4) UU Rumah Susun.

125 Peralihan hak HMSRS dilakukan melalui pewarisan, maka pendaftaran

peralihan haknya dilakukan dengan melampirkan: (a). Sertifikat HMSRS; (b). Surat Keterangan Kematian Pewaris; (c). Surat Wasiat atau Surat Keterangan Waris sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku; (d). Bukti kewarganegaraan ahli waris; (e). Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Perhimpunan Penghuni; (f). Surat-surat lainnya yang diperlukan untuk pewarisan (Vide Pasal 42 ayat 2 PP Rumah Susun).

126Pemindahan HMSRS dan pendaftaran peralihan haknya dilakukan dengan

melampirkan (a). Akta Pejabat Pembuat Akta Tanah atau Berita Acara Lelang; (b). Sertifikat HMSRS yang bersangkutan; (c). Anggaran Dasar Rumah Tangga perhimpunan penghuni; (d).Surat-surat lainnya yang diperlukan untuk pemindahan hak; dan (e). ahli waris (Vide Pasal 42 ayat 1 PP Rumah Susun ).

127 Vide Pasal 50 PP Rumah Susun.

Page 105: (overmacht) over the

77

Pasal 1244 KUH Perdata

Jika ada alasan untuk itu si berhutang harus dihukum mengganti biaya,

rugi dan bunga, bila ia tidak membuktikan, bahwa hal tidak dilaksanakan

atau tidak pada waktu yang tepat dilaksanakannya perjanjian itu,

disebabkan karena suatu hal yang tak terduga, pun tak dapat

dipertanggungjawabkan padanya, kesemuanya itu pun jika itikad buruk

tidak ada pada pihaknya.

Pasal 1245 KUH Perdata

Tidaklah biaya, rugi dan bunga harus digantinya, apabila karena keadaan

memaksa (overmacht) atau karena suatu keadaan yang tidak disengaja, si

berutang berhalangan memberikan atau berbuat sesuatu yang diwajibkan,

atau karena hal-hal yang sama telah melakukan perbuatan yang terlarang.

Pasal 1444 KUH Perdata

(1) Jika barang tertentu yang menjadi pokok perjanjian musnah, tak dapat

diperdagangkan, atau hilang, hingga sama sekali tidak diketahui apakah

barang itu masih ada, maka hapuslah perikatannya, asal barang itu

musnah atau hilang di luar kesalahan si berutang dan sebelum ia lalai

menyerahkannya.

(2) Bahkan meskipun si berutang lalai menyerahkan suatu barang,

sedangkan ia tidak telah menanggung terhadap kejadian-kejadian yang

tidak terduga, perikatan tetap hapus jika barang itu akan musnah juga

dengan cara yang sama di tangannya si berpiutang seandainya sudah

diserahkan kepadanya.

(3) Si berutang diwajibkan membuktikan kejadian yang tidak terduga,

yang dimajukannya itu.

(4) Dengan cara bagaimanapun suatu barang yang telah dicuri, musnah

atau hilang, hilangnya barang itu tidak sekali-kali membebaskan orang

yang mencuri barang dari kewajibannya mengganti harganya.

Pasal 1445 KUH Perdata

Jika barang yang terutang, di luar salahnya si berutang musnah, tidak

dapat lagi diperdagangkan, atau hilang, maka si berutang, jika ia

mempunyai hak-hak atau tuntutan-tuntutan ganti rugi mengenai barang

tersebut, diwajibkan memberikan hak-hak dan tuntutan-tuntutan tersebut

kepada orang yang mengutangkan kepadanya.

Berdasarkan pasal-pasal dalam KUHPerdata sebagaimana disebutkan di

atas, unsur-unsur overmacht meliputi:

Page 106: (overmacht) over the

78

a. Peristiwa yang tidak terduga;

b. Tidak dapat dipertanggungjawabkan kepada debitur;

c. Tidak ada itikad buruk dari debitur;

d. Adanya keadaan yang tidak disengaja oleh debitur;

e. Keadaan itu menghalangi debitur berprestasi;

f. Jika prestasi dilaksanakan maka akan terkena larangan;

g. Keadaan di luar kesalahan debitur;

h. Debitur tidak gagal berprestasi (menyerahkan barang);

i. Kejadian tersebut tidak dapat dihindari oleh siapa pun (baik debitur

maupun pihak lain);

j. Debitur tidak terbukti melakukan kesalahan atau kelalaian.

Dalam khazanah hukum Indonesia, konsep overmacht lebih banyak

dijelaskan oleh pendapat ahli-ahli hukum Indonesia, antara lain berikut ini.

1. R. Subekti: Debitur menunjukkan bahwa tidak terlaksananya apa yang

dijanjikan itu disebabkan oleh hal-hal yang sama sekali tidak dapat

diduga, dan timbul di luar dugaan tadi. Dengan perkataan lain, hal tidak

terlaksananya perjanjian atau kelambatan dalam pelaksanaan itu,

bukanlah disebabkan karena kelalaiannya. 128

2. Mariam Darus Badrulzaman memberikan pengertian overmacht yaitu

adanya hal yang tidak terduga dan tidak dapat dipertanggungjawabkan

128

Lebih lanjut Subekti menekankan arti overmacht pada dua pasal yaitu pasal 1244 dan pasal 1245 KUHPerdata. Menurutnya, pengertian kedua pasal tersebut merupakan doublure yaitu mengatur hal yang sama hanya saja kalau ditilik lebih lanjut dari perumusannya, maka penekanannya terletak pada Pasal 1244 KUHPerdata karena dianggap paling tepat menunjukkan keadaan overmacht. Subekti, 2002, Hukum Perjanjian, Cet.19, Intermasa, Jakarta, (selanjutnya disebut Subekti II) hal.55-56.

Page 107: (overmacht) over the

79

kepada seseorang sedangkan yang bersangkutan dengan segala usahanya

secara patut memenuhi kewajibannya.129

3. Sri Soedewi Masjchoen Sofwan yang menyitir H.F. A. Vollmar

menyatakan bahwa overmacht adalah keadaan di mana debitur sama

sekali tidak mungkin memenuhi perutangan (absolute overmacht) atau

masih memungkinkan memenuhi perutangan, tetapi memerlukan

pengorbanan besar yang tidak seimbang (relative overmacht).130

4. Purwahid Patrik mengartikan overmacht atau keadaan memaksa adalah

debitur tidak melaksanakan prestasi karena tidak ada kesalahan maka

akan berhadapan dengan keadaan memaksa yang tidak dapat

dipertanggungjawabkan kepadanya.131

5. Munir Fuady mengemukakan pendapatnya tentang overmacht, dimana

keadaan memaksa adalah suatu keadaan yang menghalangi seseorang

untuk melaksanakan prestasinya karena keadaan yang tidak terduga,

keadaan tersebut tidak dapat dipertanggungjawabkan kepada kreditor

karena keadaan debitor tidak dalam keadaan beritikad buruk.132

6. R.Setiawan memberikan pengertian keadaan memaksa adalah suatu

keadaan yang terjadi setelah dibuatnya persetujuan yang menghalangi

debitur untuk memenuhi prestasinya, dalam hal ini debitor tidak dapat

129

Mariam Darus Badrulzaman I, op.cit, hal.25. 130

Sri Soedewi Masjchoen Sofwan dalam Rahmat S.S Soemadipradja,

op.cit, hal.8. 131

Purwahid Patrik dalam Rahmat S.S. Soemadipradja, ibid. 132

Munir Fuady, 2001, Hukum Kontrak (Dari sudut Pandang Hukum

Bisnis), Citra Aditya Bakti, Bandung, (selanjutnya disebut Munir Fuady I),

hal.113.

Page 108: (overmacht) over the

80

dipersalahkan dan tidak harus menanggung risiko serta hal tersebut tidak

dapat diduga pada waktu persetujuan dibuat.133

Dari uraian doktrin diatas, maka dapat dirumuskan unsur-unsur dari

overmacht sebagai berikut:

1. Suatu keadaan di mana salah satu pihak dalam suatu perikatan tidak

dapat memenuhi seluruh atau sebagian kewajibannya sesuai apa yang

diperjanjikan

2. Disebabkan adanya suatu peristiwa yang menyebabkan obyek yang

diperjanjikan musnah;

3. Peristiwa yang mendasari overmacht tersebut terjadi di luar kendali salah

satu pihak yang tidak dapat diketahui atau tidak dapat diduga akan terjadi

pada waktu membuat perikatan.

4. Dimana pihak yang tidak memenuhi kewajibannya ini tidak dapat

dipersalahkan dan tidak harus menanggung risiko.

5. Debitur tidak beritikad buruk.

2.3.2. Jenis-jenis overmacht

Dalam perkembangannya, overmacht dapat dibedakan menjadi beberapa

jenis yaitu:

A). Berdasarkan sifatnya

1).Overmacht tetap yaitu overmacht yang mengakibatkan perjanjian

selamanya tidak mungkin untuk dilaksanakan atau tidak dapat

dipenuhi sama sekali, sehingga dalam keadaan tersebut otomatis

perikatan akan berakhir karena tidak mungkin dapat dipenuhi lagi.

2).Overmacht sementara, mengakibatkan pelaksanaan perjanjian

ditunda dari waktu yang ditentukan semula dari perjanjian tersebut.

133

R.Setiawan, 1999, Pokok-Pokok Hukum Perikatan, Cet.6, Putra Abardin,

Bandung, hal.27.

Page 109: (overmacht) over the

81

Dalam hal ini, perikatan itu tidak berhenti/tidak batal, namun

pemenuhan prestasinya tertunda dan jika kesulitan yang dihadapi

oleh debitor tidak ada lagi maka pemenuhan prestasinya dapat

diteruskan.134

B). Berdasarkan obyek

1). Overmacht lengkap artinya mengenai seluruh prestasi itu tidak

dapat dipenuhi oleh debitur.

2). Overmacht sebagian artinya hanya sebagian dari prestasi itu yang

tidak dapat dipenuhi oleh debitur.135

C). Berdasarkan subyek

1). Overmacht obyektif didasarkan pada ajaran ketidakmungkinan

(imposibilitas), dalam hal ini adanya ketidakmungkinan

pemenuhan prestasi oleh siapapun.

2). Overmacht subyektif dalam hal ini menimbulkan kesulitan

pelaksanaan bagi debitor tertentu. Ajaran overmacht subyektif

disini berhadapan dengan difficulties (kesulitan-kesulitan), dalam

hal ini debitor masih mungkin untuk memenuhi prestasi namun

dengan pengorbanan yang besar dan tidak seimbang atau

menimbulkan kerugian yang besar bagi debitur.136

D). Berdasarkan ruang lingkupnya

1) Overmacht umum dapat berupa iklim, kehilangan, dan pencurian.

2) Overmacht khusus, dapat berupa berlakunya suatu peraturan (UU

134

Rahmat S.S. Soemadipradja, op.cit, hal.43. 135

Rahmat S.S.Soemadipradja, op.cit, hal.42. 136

Rahmat S.S. Somadipradja, loc.cit.

Page 110: (overmacht) over the

82

atau Peraturan Pemerintah). Dalam hal ini bukan berarti prestasi

tidak dilakukan tetapi prestasi tidak boleh dilakukan, Sumpah,

Tingkah Laku Pihak Ketiga dan Pemogokan137

2.3.3. Jenis-Jenis Perikatan dan/atau Perjanjian

Jenis-jenis perikatan oleh CST Kansil dibedakan menjadi (enam) jenis,

yaitu:

(1). Perikatan Sipil (Civile Verbentenissen) atau Perikatan Wajar

(Natuurlijke Verbentennissen).

(2). Perikatan yang dapat dibagi (deelbare verbintenissen) dan Perikatan

yang tak dapat dibagi (ondeelbare verbintenissen);

(3). Perikatan Pokok (Principale atau hoofdverbintenissen) dan Perikatan

Tambahan (Accessoire atau Nevenverbintenissen);

(4). Perikatan Spesifik (Spesifieke Verbintenissen) dan Perikatan Generik

(Genericke Verbintenissen);

(5). Perikatan Sederhana (Eenvoudige Verbintenissen) dan Perikatan

Jamak (Meervoudige Verbintenissen) ;

(6). Perikatan Murni (Zuivere Verbintenissen) dan Perikatan Bersyarat

(Voorwaardelijk Verbintenis).138

Yahya Harahap membedakan perjanjian menjadi sembilan (9) jenis,

meliputi:

1. Perjanjian Positif dan Negatif

2. Perjanjian Sepintas lalu (voorbygaande) dan berlangsung terus

(voortdurende)

3. Perjanjian Alternatif (Alternatif Verbintenis )

137

Pembedaan overmacht berdasarkan ruang lingkupnya merupakan

pembedaan yang diberikan oleh Mariam Darus Badrulzaman. (Mariam Darus

Badrulzaman et.al,op.cit,hal.28).Berbeda dengan Mariam Darus Badrulzaman,

Munir Fuady menggunakan istilah force majeure untuk menerjemahkan

overmacht. Oleh Munir Fuady, force majeure terhadap suatu kontrak dapat

dibedakan menjadi: 1). Dilihat dari segi sasaran yang terkena force majeure,

dibedakan menjadi: (a). Force Majeure Objektif disebut juga dengan physical

impossibility dan (b).Force Majeure Subyektif; (2). Dilihat dari segi kemungkinan

pelaksanaan prestasi dalam kontrak, force majeure dibedakan atas: (a). Force

Majeure Absolut atau sering disebut dengan impossibility dan (b). Force Majeure

Relatif atau sering disebut dengan impracticality; dan (3). Dilihat dari segi jangka

waktu berlakunya force majeure dibedakan atas: (a). Force Majeure Permanen

dan (b). Force Majeure Temporer. Munir Fuady I, op.cit, hal. 114-117. 138

C.S.T Kansil, op.cit, hal.247-248

Page 111: (overmacht) over the

83

4. Perjanjian Kumulatif atau Konjungtif (cumulatieve of conjungtieve)

5. Perjanjian Fakultatif

6. Perjanjian Generik dan Spesifik

7. Perjanjian yang dapat dibagi dan tidak dapat dibagi (deelbare en

ondeelbare verbintenisen)

8. Perjanjian hoofdelijke atau solider

9. Perjanjian bersyarat (voorwaardelijke verbintenis).139

Perikatan-perikatan tersebut oleh Tan Thong Kie dibedakan menjadi dua

kelompok yaitu:

(1). Jenis Perikatan berdasarkan Prestasi, dibagi menjadi;

a. Perikatan dengan Prestasi Positif dan Prestasi Negatif.

b. Perikatan dengan Prestasi yang memakan waktu tidak lama atau

prestasi terus-menerus.

c. Perikatan dengan prestasi sederhana dan prestasi kompleks.

d. Perikatan dengan prestasi yang dapat dibagi dan prestasi yang tidak

dapat dibagi.

e. Perikatan dengan Prestasi yang ditentukan atau Prestasi yang tidak

ditentukan. Prestasi yang tidak ditentukan dibedakan menjadi

Perikatan Alternatif dan Perikatan Generik.

f. Perikatan dengan Prestasi Prinsipal atau Assesor.

(2). Jenis Perikatan Berdasarkan waktu prestasi

a. Perikatan Bersyarat

Syarat dalam ilmu hukum dibedakan menjadi:

1. Syarat positif dan syarat negatif;

2. Syarat yang bergantung pada salah satu pihak;

3. Syarat menangguhkan dan syarat batal.

b. Perikatan dengan atau tanpa ketentuan waktu140

Berbeda dengan Tan Thong Kie, R.Setiawan membedakan perikatan

menjadi 3 kelompok yaitu:

1). Isi daripada prestasinya

a). Perikatan positif dan negatif.

b). Perikatan sepintas lalu dan berkelanjutan.

c). Perikatan alternatif.

d). Perikatan fakultatif.

e). Perikatan generik dan spesifik.

f). Perikatan yang dapat dibagi dan tidak dapat dibagi.

2). Subyek-subyeknya

a). Perikatan solider atau tanggung renteng.

139

Yahya Harahap, 1986, Segi-segi Hukum Perjanjian, Alumni, Bandung,

hal.34-45. 140

Tan Thong Kie, op.cit, hal.366-382.

Page 112: (overmacht) over the

84

b). Perikatan principle atau accessoire.

3). Mulai berlakunya dan berakhirnya perikatan

a). Perikatan bersyarat dan

b). Perikatan dengan ketetapan waktu.141

Adapun menurut Mariam Darus Badrulzaman, et.al, membedakan perikatan

dalam empat kelompok, yaitu:

(1). Berdasarkan obyeknya (prestasinya), perikatan dibagi menjadi:

(a). Perikatan untuk memberikan sesuatu;

(b). Perikatan untuk berbuat sesuatu;

(c). Perikatan untuk tidak berbuat sesuatu;

(d). Perikatan mana suka (alternatif);

(e). Perikatan fakultatif;

(f). Perikatan generik dan spesifik;

(g). Perikatan yang dapat dibagi (deelbaar) dan yang tidak dapat

dibagi (ondeelbaar);

(h). Perikatan yang sepintas lalu (voorbijkgaande) dan terus menerus

(voortdurende).

(2) Berdasarkan subyeknya, perikatan dibedakan menjadi:

(a). Perikatan tanggung-menanggung (hooflijk atau solider); dan

(b). Perikatan pokok (principle) dan perikatan tambahan (accessoir).

(3) Berdasarkan daya kerjanya, perikatan dibedakan menjadi:

(a). Perikatan dengan ketetapan waktu; dan

(b). Perikatan bersyarat.

(4) Berdasarkan Undang-Undang, perikatan dibedakan menjadi:

(a). Perikatan untuk memberikan sesuatu, berbuat sesuatu, dan tidak

berbuat sesuatu;

(b). Perikatan bersyarat;

(c). Perikatan dengan ketetapan waktu;

(d). Perikatan manasuka (alternatif);

(e). Perikatan tanggung-menanggung;

(f). Perikatan yang dapat dibagi dan tidak dapat dibagi; dan

(g). Perikatan dengan ancaman hukuman.142

Bertolak dari pembedaan penggolongan perikatan dari para ahli, pada

dasarnya pandangan para ahli terhadap perikatan tersebut tidak jauh berbeda

karena substansi dari perikatan itu diatur dalam KUHPerdata, berikut uraian dari

perikatan-perikatan yang dimaksud, antara lain:

141

R.setiawan, op.cit, hal.34. 142

Mariam Darus Badrulzaman et.al, op.cit, hal.10-11.

Page 113: (overmacht) over the

85

1. Perikatan untuk memberikan sesuatu.

Mengenai perikatan untuk memberikan sesuatu, Undang-Undang tidak

merumuskan gambaran yang sempurna. Pasal 1235 KUH Perdata, menyatakan

bahwa tiap-tiap perikatan untuk memberikan sesuatu adalah termaktub

kewajiban diberi utang untuk menyerahkan kebendaan yang bersangkutan dan

untuk merawatnya sebagai seorang bapak rumah yang baik, sampai pada saat

penyerahan. Dari ketentuan ini dapat disimpulkan bahwa perikatan untuk

memberikan sesuatu adalah perikatan untuk menyerahkan (leveren) dan

merawat benda (prestasi), sampai pada saat penyerahan dilakukan.143

2. Perikatan untuk berbuat sesuatu

Debitor bertanggung jawab atas perbuatannya yang tidak sesuai dengan

ketentuan yang diperjanjikan, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1239 KUH

Perdata bahwa tiap-tiap perikatan untuk berbuat sesuatu, atau tidak berbuat

sesuatu, apabila si berutang tidak memenuhi kewajibannya, mendapatkan

penyelesaiannya dalam kewajiban, memberikan penggantian biaya, rugi dan

bunga. Selanjutnya Pasal 1240 KUHPerdata menyatakan:

Pada saat itu si berpiutang adalah berhak menuntut akan penghapusan

segala sesuatu yang telah dibuat berlawanan dengan perikatan dan

bolehlah ia minta supaya dikuasakan oleh Hakim untuk menyuruh

menghapuskan segala sesuatu yang telah dibuat tadi atas biaya

si berutang dengan tidak mengurangi hak menuntut penggantian biaya,

rugi dan bunga jika ada alasan untuk itu.144

143

Titik Triwulan Tutik II, op.cit, hal. 210. 144

Pasal 1240 KUHPerdata mengandung pedoman untuk melakukan

eksekusi riel pada perjanjian untuk tidak berbuat sesuatu. Mariam Darus

Badrulzaman, op.cit, hal.15-16. Lihat Pula Titik Triwulan Tutik II, op.cit, hal.211-

212

Page 114: (overmacht) over the

86

3. Perikatan untuk tidak berbuat sesuatu

Tidak berbuat sesuatu artinya tidak melakukan perbuatan seperti yang

telah diperjanjikan, sebagaimana disebutkan pada Pasal 1242 KUH Perdata

bahwa jika perikatan itu bertujuan untuk tidak berbuat sesuatu, maka pihak

yang manapun jika yang berbuat berlawanan dengan perikatan, karena

pelanggaran itu dan karena itupun saja, berwajiblah ia akan penggantian biaya,

rugi dan bunga.145

4. Perikatan Murni (zuivere verbintenis) dan Perikatan Syarat

(Voorwaardelijke Verbintenissen).

Perikatan Murni yaitu Perikatan yang pemenuhan prestasinya tidak

digantungka pada suatu syarat (condition) dan seketika itu juga wajib

dipenuhi,146

sedangkan perikatan syarat147

dalam Hukum Perikatan adalah

suatu peristiwa yang belum terjadi tetapi akan mungkin terjadi, yang

menentukan apakah perikatan itu dapat diterima atau tidak.

Syarat dalam beberapa ilmu hukum harus memenuhi beberapa ketentuan,

yaitu:

a. Harus mengenai suatu peristiwa yang belum terjadi

b. Peristiwa itu harus belum tentu terjadi

c. Harus mungkin tidak bertentangan dengan kesusilaan, tidak

bertentangan dengan undang-undang

d. Tidak boleh semata-mata tergantung pada kemauan seorang yang

terikat148

145

Mariam Darus Badrulzaman, op.cit, hal. 18, Lihat pula Titik Triwulan

Tutik, op.cit, hal.212. 146

Titik Triwulan Tutik II, op.cit, hal.208 dan 213. Lihat pula C.S.T Kansil,

op.cit, hal. 248. 147

Yahya Harahap, op.cit, hal.45. Lihat pula diantaranya: Tan Thong Kie,

op.cit, hal.375, C.S.T Kansil, op.cit, hal.248, R.Setiawan, op.cit, hal.44. 148

Tan Thong Kie, op.cit, hal.376. Bandingkan pula dengan Yahya Harahap,

op.cit, hal. 47.

Page 115: (overmacht) over the

87

Menurut Setiawan, perikatan bersyarat dapat digolongkan kedalam:

1). Perikatan bersyarat yang menangguhkan, perikatan baru berlaku setelah syaratnya dipenuhi, diatur dalam ketentuan Pasal 1268 KUHPerdata.

2). Perikatan bersyarat yang menghapuskan, diatur dalam ketentuan Pasal 1265 KUHPerdata, perikatan hapus jika syaratnya dipenuhi: a). Keadaan akan dikembalikan seperti semula seolah-olah tidak

terjadi perikatan b). Hapusnya perikatan untuk waktu selanjutnya

149

5. Perikatan Sederhana (Eenvoudige verbintenissen) dan Perikatan Jamak

(meervoudige Verbintenissen).

Perikatan sederhana yaitu, perikatan yang hanya ada satu prestasi yang

harus dipenuhi oleh debitor. Adapun perikatan jamak yaitu perikatan yang

pemenuhannya oleh debitor lebih dari satu macam prestasi. Perikatan jamak

dibagi menjadi antara lain:

(a). Perikatan kumulatif atau konjungtif (cumulatieve verbintenissen atau kumulatieve of conjunctieve )yaitu perikatan bersusun atau prestasi yang dibebankan terhadap debitur terdiri dari bermacam-macam jenis.

(b) Perikatan boleh pilih/Manasuka/Perikatan alternative (Alternatieve Verbintenis) Perikatan alternatif adalah suatu perikatan dimana debitur berkewajiban melaksanakan satu dari dua atau lebih prestasi yang dipilih baik menurut pilihan debitur, kreditur atau pihak ketiga dengan pengertian bahwa pelaksanaan daripada salah satu prestasi mengakhiri perikatan.

150

(c). Perikatan Fakultatif (facultatieve verbintenissen) yaitu perikatan yang telah ditentukan prestasinya, akan tetapi jika karena sesuatu sebab tidak dapat dipenuhi, maka debitor berhak memberi prestasi yang lain.Suatu perikatan fakultatif adalah suatu perikatan yang obyeknya hanya berupa suatu prestasi dimana debitur dapat menggantikan dengan prestasi lain. Perjanjian fakultatif hanya mempunyai satu objek prestasi

151

149

R.Setiawan,op.cit hal.44-45. Lihat pula diantaranya Yahya

Harahap,op.cit, hal.47-48, Titik Triwulan Tutik, op.cit,hal.208-209, Tan Thong

Kie, op.cit, hal.376, Mariam Daruz Badrulzaman, et.al, op.cit, hal.36-42. 150

Lihat diantaranya R.Setiawan, op.cit, hal.35, Yahya Harahap, op.cit,

hal.35. 151

R.Setiawan, op.cit, hal.37.

Page 116: (overmacht) over the

88

6. Perikatan dengan ketetapan waktu (verbintenis met tijdsbepaling)

Menurut Pasal 1268 KUH Perdata, bahwa suatu ketetapan waktu tidak

menangguhkan perikatan, melainkan hanya menangguhkan pelaksanaannya.

Perikatan dengan ketetapan waktu, mengakibatkan kreditor tidak berhak untuk

menagih pembayaran sebelum waktu yang diperjanjikan itu tiba, tetapi apa

apa yang telah dibayar sebelum waktunya tiba tidak dapat dimintakan

kembali.152

Perikatan dengan ketetapan waktu, dibedakan menjadi:

a). Ketentuan waktu yang menangguhkan, diatur dalam Pasal 1268

sampai dengan 1271 KUHPerdata .

b).Mengenai ketentuan waktu yang menghapuskan tidak/diatur oleh

masing-masing secara umum. Dengan dipenuhinya ketentuan waktu,

maka perikatan menjadi hapus. Perikatan dengan ketentuan waktu

yang menghapuskan tidak berlaku surut. Jika waktunya telah dipenuhi

maka debitur tidak lagi terikat akan tetapi prestasinya pada waktu

yang lalu tidak perlu dikembalikan.153

7. Perikatan sepintas lalu (Voorbygaande) dan berkelanjutan/ berlangsung

terus (Voortdurende)

Perikatan sepintas lalu yaitu dalam pemenuhan perikatan cukup hanya

dilakukan dengan satuperbuatan saja dan dalam waktu yang singkat tujuan

perikatan telah tercapai sedangkan perikatan berkelanjutan yaitu prestasinya

bersifat terus menerus dalam jangka waktu tertentu.Disebut perjanjian

sepintas lalu, apabila pemenuhan prestasi berlangsung sekaligus dalam waktu

yang singkat dan dengan demikian perjanjianpun berakhir.Lain halnya pada

152

Lihat diantaranya Titik Triwulan Tutik, op.cit, hal.216 dan Abdulkadir

Muhammad, op.cit, hal.46. 153

Lihat diantaranya R.Setiawan, op.cit, hal.47-48 dan Abdulkadir

Muhammad, op.cit, hal.45.

Page 117: (overmacht) over the

89

perjanjian yang berlangsung terus. Disini kewajiban pemenuhan dan

pelaksanaan prestasi berlangsung dalam jangka waktu yang lama.154

8. Perikatan Pokok (Principale, atau Hoofdverbintenissen) dan Perikatan

Tambahan (accessoire atau nevenverbintenissen).

Perikatan Pokok, yaitu perikatan yang dapat berdiri sendiri tidak

bergantung pada perikatan-perikatan lainnya; misal, jual beli, sewa menyewa

sedangkan Perikatan Tambahan, yaitu perikatan yang merupakan tambahan

dari perikatan lainnya dan tidak dapat berdiri sendiri.155

9. Perikatan spesifik (spesifieke verbintenissen) dan Perikatan Generik

(genericke verbintenissen).

Perjanjian generik atau soort-verbintenis ialah perjanjian yang hanya

menentukan jenis dan jumlah voorwerp atau benda/barang yang harus

diserahkan debitur seperti yang diatur dalam Pasal 1392 KUHPerdata. Sesuai

dengan ketentuan pasal diatas; pada perjanjian generikdebitur dalam

memenuhi kewajibannya guna membebaskan dirinya atas pemenuhan

prestasi. Lain halnya dengan perikatan spesifik (Pasal 1391KUHPerdata).

Apabila benda yang menjadi objek perjanjian yang ditentukan hanya ciri-ciri

khususnya saja, maka dinamakan perjanjian spesifik. Dengan kata lain

Perikatan spesifik adalah perikatan yang secara khusus ditetapkan macamnya

prestasi. 156

154

Lihat diantaranya R.setiawan, op.cit,hal.34, Yahya Harahap, op.cit,

hal.34-35, Tan Thong Kie,op.cit, hal.369. 155

C.S.T Kansil, op.cit, hal.248. 156

Ibid,Lihat juga diantaranyaYahya Harahap, op.cit, hal.36-37. R.Setiawan,

op.cit,hal.37.

Page 118: (overmacht) over the

90

10. Perikatan yang dapat dibagi (deelbare verbintenissen) dan Perikatan yang

tidak dapat dibagi (ondeelbare verbintenissen).

Perikatan yang dapat dibagi (deelbabhre verbintenissen), yaitu perikatan

yang menurut sifat dan maksudnya dapat dibagi-bagi dalam memenuhi

prestasinya. Adapun Perikatan yang tidak dapat dibagi (ondeelbare

verbintenissen) yaitu perikatan yang menurut sifat dan maksudnya tak dapat

dibagi-bagi dalam melaksanakan prestasinya.157

Perjanjian dikatakan sebagai perjanjian yang tidak dapat dibagi disebabkan

oleh dua hal :

1. Menurut Pasal 1296 KUH Perdata, bahwa perikatan tidak dapat

dibagi-bagi, jika obyek dari pada perikatan tersebut yang berupa

penyerahan sesuatu barang atau perbuatan dalam pelaksanaannya

tidak dapat dibagi-bagi, baik secara nyata ataupun secara

perhitungan.Oleh karena "sifat" prestasi tidak dapat dibagi-bagi dan

objek prestasi mutlak tidak terbagi, maka sifat ondeelbare yang

demikian dinamakan absolut ondeelbare atau individuitas necessaria

2. Berdasar kekuatan tujuan/maksud penjanjian.

Penjanjian ondeelbare yang didasarkan atas kekuatan tujuan atau

maksud (strekking) disebut ondeelbar relative dan sering juga disebut

individuitas obligatione. Untuk menentukan tujuan/maksud tadi dapat

dilihat dari tiga segi yaitu dari maksud/tujuan para pihak sendiri, dari

penentuan yang jelas dalam perjanjian dan dari hakekat perjanjian itu

benar-benar tidak mungkin dibagi-bagi. Ondeelbare relatif yang

didasarkan pada tujuan ini diatur dalam Pasal 1297 KUHPerdata.158

11. Perikatan Solider atau Tanggung Renteng (perjanjian Hoofdelijke/ solidary

obligation)

Perikatan tanggung renteng dapat terjadi apabila seorang debitur

berhadapan dengan beberapa orang kreditor atau seorang kreditor beberapa

157

C.S.T Kansil, op.cit, hal.247. 158

Yahya Harahap, op.cit, hal.38-40. Bandingkan dengan R.Setiawan,

op.cit, hal.39, Abdulkadir Muhammad, op.cit, hal.53, Titik Triwulan Turik, op.cit,

hal.219-220, dan Subekti II, op.cit, hal.9.

Page 119: (overmacht) over the

91

orang debitor dalam hal ini setiap kreditor berhak atas pemenuhan prestasi

seluruh utang dan jika prestasi tersebut sudah dipenuhi debitor dibebaskan

dari utangnya dan perikatan hapus. Berdasarkan hal tersebut, maka perikatan

tanggung renteng dibedakan menjadi:

a).Tanggung renteng aktif, yaitu setiap kreditur dari dua atau lebih

kreditur-kreditur dapat menuntut keseluruhan prestasi dari debitur

dengan pengertian bahwa pemenuhan terhadap seorang kreditur

dapat menuntut keseluruhan prestasi dari debitur dengan pengertian

bahwa pemenuhan terhadap seorang kreditur membebaskan debitur

dari kreditur-kreditur lainnya .

b).Tanggung renteng Pasif, yaitu setiap debitur dari dua atau lebih

debitur, debitur berkewajiban terhadap kreditur atas keseluruhan

prestasi.Dengan dipenuhinya prestasi oleh seorang debitur,

membebaskan debitur debitur lainnya.159

Dari uraian diatas, jika dicermati maka nampaknya terdapat perbedaan

mendasar antara hoofdelijke dan ondeelbare, oleh Yahya Harahap perbedaan

tersebut secara garis besar terbagi atas:

(1). Hoofdelijk bersumber dari persetujuan (overeenkomst) atau oleh

karena ketentuan undang-undang; Ondeelbare bersumber dari sifat

prestasi atau objek perjanjian.

(2). Hoofdelijk terletak pada subjeknya sedang pada ondeelbare terletak

pada objeknya

(3).Sifat perjanjian hoofdelijk/solider adalah perjanjian yang berbentuk

beberapa orang subjek. Setiap kreditur berhak menagih/menuntut

pelaksanaan pemenuhan prestasi secara keseluruhan pada

hoofdelijk aktif, dan pada hoofdelijk pasif setiap debitur

berkewajiban memenuhi tagihan/tuntutan pelaksanaan prestasi

perjanjian.160

12. Perikatan dengan Ancaman Hukuman

Ancaman hukuman dijelaskan dalam Pasal 1304 KUH Perdata bahwa

ancaman hukuman itu ialah untuk melakukan sesuatu apabila perikatan tidak

159

R.Setiawan, loc.cit. Bandingkan dengan Yahya Harahap, op.cit, hal.43. 160

Yahya Harahap, op.cit, hal.41-42, Bandingkan dengan Tan Thong Kie, op.cit, hal.374.

Page 120: (overmacht) over the

92

dipenuhi, sedangkan penetapan hukuman menurut Pasal 1307 KUH Perdata

adalah sebagai ganti kerugian karena tidak dipenuhinya prestasi. Pada

dasarnya perikatan dengan ancaman hukuman memuat suatu ancaman

terhadap debitor apabila ia lalai, tidak memenuhi kewajibannya. Syarat

ancaman hukum (penal caluse) memiliki dua maksud, yaitu: (1) untuk

memberikan suatu kepastian atas pekaksanaan isi perjanjian seperti yang telah

ditetapkan dalam perjanjian yang dibuat para pihak; dan (2) sebagai usaha

untuk menetapkan jumlah ganti kerugian jika betul-betul tejadi

wanprestasi.161

Selain perikatan tersebut diatas terdapat juga pembedaan atas jenis-jenis

persetujuan Obligatoir, diantaranya:

1. Persetujuan sepihak dan timbal-balik Persetujuan merupakan perbuatan hukum bersegi dua atau jamak. Persetujuan timbal-balik adalah persetujuan yang menimbulkan kewajiban pokok kepada kedua belah pihak. Persetujuan sepihak adalah persetujuan dimana hanya terdapat kewajiban pada salah satu pihak saja.

2. Persetujuan dengan Cuma-cuma atau atas beban Persetujuan atas beban adalah persetujuan dimana terhadap prestasi pihak yang satu terhadap prestasi pihak lain, antara kedua prestasi tersebut terdapat hubungan hukum satu dengan lainnya. Persetujuan dengan Cuma-cuma adalah persetujuan dimana salah satu pihak mendapatkan keuntungan dari pihak lain secara Cuma-cuma.

3. Persetujuan konsesuil, Riil dan formil Persetujuan konsesuil adalah persetujuan yang terjadi dengan kata sepakat. Persetujuan riil adalah persetujuan, dimana selain diperlukan kata sepakat juga diperlukan penyerahan barang.

4. Persetujuan bernama, tidak bernama dan campuran Persetujuan bernama adalah persetujuan-persetujuan dimana oleh undang-undang telah diatur secara khusus dalam Bab V s/d XVIII KUHPerdata, sedangkan persetujuan tidak bernama adalah persetujuan tidak diatur secara khusus.

162

161

Mariam Darus Badrulzaman et.al, op.cit, hal.60, Titik Triwulan Tutik,

op.cit, hal.220. 162

R.Setiawan, op.cit, hal.50-51.

Page 121: (overmacht) over the

93

2.3.4. Obyek dan Subyek perikatan dan/atau perjanjian

Obyek perikatan atau prestasi berupa memberikan sesuatu, berbuat dan

tidak berbuat sesuatu. Pada perikatan untuk mernberikan sesuatu prestasinya

berupa menyerahkan sesuatu barang atau memberikan kenikmatan; berbuat

sesuatu adalah setiap prestasi untuk melakukan sesuatu dan tidak berbuat sesuatu

adalah jika debitur berjanji untuk tidak melakukan perbuatan tertentu misalnya,

tidak akan membangun sebuah rumah. Suatu perjanjian haruslah mempunyai

obyek tertentu, sekurang-kurangnya dapat ditentukan, obyek perjanjian ialah hal

yang diwajibkan kepada pihak berwajib dan hal terhadap mana pihak berhak

mempunyai hak (Een overeenkomst moet een bepaald of tenminste bepaalbaar

voorwerp hebben, Het object van een verbintenis is datgene waartoe de

schuldenaar verplicht is en waartoe de schuldeiser gerechtigd ).

KUHPerdata memberikan batasan Obyek perikatan harus memenuhi

beberapa syarat tertentu, yaitu:

1. Harus tertentu atau dapat ditentukan. Dalam Pasal 1320 ayat 3

KUHPerdata menyebutkan sebagai unsur terjadinya persetujuan suatu

obyek tertentu, tetapi hendaknya ditafsirkan sebagai dapat ditentukan.

Karena perikatan dengan obyek yang dapat ditentukan diakui sah.

2. Obyeknya diperkenankan. Menurut Pasal 1335 dan 1337 KUHPerdata

persetujuan tidak akan menimbulkan perikatan jika/obyeknya

bertentangan dengan ketertiban umum atau kesusilaan atau jika dilarang

oleh Undang-undang.

Page 122: (overmacht) over the

94

Berkaitan dengan subjek perikatan, hanya dapat dilakukan oleh subjek

hukum.163

Subjek hukum atau person dalam bahasa Inggris merupakan suatu

bentukan hukum artinya keberadaannya karena diciptakan oleh hukum. Salmond

menyatakan: "So far as legal theory is concerned, a person is being whom the law

regards as capable of rights and ditties. Any being that is so capable is a person,

whether a human being or not, and no being that is not so capable is a person,

even though he be a man". Dari apa yang dikemukakan oleh Salmond tersebut

jelas bahwa baik manusia maupun bukan manusia mempunyai kapasitas sebagai

subjek hukum atau person164

kalau dimungkinkan oleh hukum.165

Selanjutnya menurut Salmond, A legal person is any subject matter other

than human being to which the law attributes personality. Karakteristik badan

hukum adalah didirikan oleh orang, mempunyai kekayaan sendiri yang terpisah

dari kekayaan pendiri dan pengurusnya, mempunyai hak dan kewajiban terlepas

dari hak dan kewajiban pendiri atau pengurusnya.166

163

Istilah subjek hukum merupakan terjemahan dari Bahasa Belanda

Rechtssubject. Kata Subject dalam Bahasa Belanda dan Inggris, berasal dari

Bahasa Latin Subjectus yang artinya di bawah kekuasaan orang lain (subordinasi).

Berdasarkan pengertian dalam Bahasa Latin ini Franken menyatakan, bahwa

Subject memberikan gambaran yang pasif dalam arti lebih banyak menerima

kewajiban daripada mempunyai hak. Dalam Bahasa Inggris, dikenal istilah Person

untuk menyebut sesuatu yang mempunyai hak. Menurut Paton, istilah Person

berasal dari Bahasa Latin Persona yang ekuivalen dengan Bahasa Yunani

Prosopon (Franken dan Paton dalam Peter Mahmud Marzuki II, op.cit, hal.241). 164

Person dapat dibedakan antara manusia dan bukan manusia. Manusia

dalam literatur Bahasa Inggris biasanya disebut Natural Person atau Bahasa

Belanda Natuurlijke Persoon atau dalam Bahasa Indonesia disebut Orang,

sedangkan yang bukan manusia dalam Bahasa Inggris disebut sebagai Legal

Person atau bahasa Belanda Rechtspersoon dan dalam Bahasa Indonesia disebut

Badan Hukum. (Peter Mahmud Marzuki II, op.cit, hal.243). 165

Peter Mahmud Marzuki II, op.cit, hal.242. 166

Peter Mahmud Marzuki II, op.cit, hal.243.

Page 123: (overmacht) over the

95

Dari pengertian Subyek Hukum sebagaimana telah diuraikan diatas maka

dapat disimpulkan bahwa Subyek Hukum, yaitu orang yang mempunyai hak,

manusia pribadi atau badan hukum yang berhak, berkehendak atau melakukan

perbuatan hukum. Badan Hukum adalah perkumpulan atau organisasi yang

didirikan dan dapat bertindak sebagai subyek hukum, misalnya dapat memiliki

kekayaan, mengadakan perjanjian dan sebagainya.167

Berkaitan dengan perjanjian rumah susun maka para pihak yang terlibat

(stakholders) dalam pengelolaan rumah susun meliputi;

1). Penghuni atau pemilik SRS

2). Badan pelaksana

3). Perhimpunan penghuni

4). Badan pengelola

5) Penyelenggara Pembangunan rumah susun atau developer.

1). Pemilik dan Penghuni Rumah Susun

Adapun pengertian antara pemilik dan penghuni rusun mempunyai definisi

yang berbeda. Pemilik adalah perseorangan atau badan hukum yang memiliki

Satuan Rumah Susun yang memenuhi syarat sebagai pemegang hak atas tanah.

Sedangkan penghuni adalah perseorangan yang bertempat tinggal dalam

Satuan Rumah Susun. Para penghuni dalam suatu lingkungan rumah susun

baik untuk hunian maupun bukan hunian wajib membentuk perhimpunan

penghuni untuk mengatu dan mengurus kepentingan bersama yang

bersangkutan sebagai pemilikan, penghunian dan pengelolaannya.

167

Soedjono Dirdjosisworo, 2010, Pengantar Ilmu Hukum, Ed.1, Cet.13,

Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal.128.

Page 124: (overmacht) over the

96

Setiap penghuni rumah susun memiliki hak yang patut diperolehnya,

diantaranya :

a. Memanfaatkan rumah susun dan lingkungannya termasuk bagian

bersama, benda bersama, dan tanah bersama secara aman dan tertib;

b. Mendapatkan perlindungan sesuai dengan Anggaran Dasar dan

Anggaran Rumah Tangga;

c. Memilih dan dipilih menjadi Anggota Pengurus Perhimpunan

Penghuni.168

Setiap penghuni rumah susun memiliki kewajiban yang harus dipenuhinya,

yaitu:

a. Mematuhi dan melaksanakan peraturan tata tertib dalam rumah

susun dan lingkungannya sesuai dengan Anggaran Dasar dan

Anggaran Rumah Tangga;

b. Membayar iuran pengelolaan dan premi asuransi kebakaran;

c. Memelihara rumah susun dan lingkungannya termasuk bagian

bersama, benda bersama, dan tanah bersama.169

Setiap penghuni rumah susun dilarang untuk melakukan hal-hal sebagai

berikut:

a. Melakukan perbuatan yang membahayakan keamanan, ketertiban,

dan keselamatan terhadap penghuni lain, bangunan dan

lingkungannya;

b. Mengubah bentuk dan/atau menambah bangunan di luar satuan

rumah susun yang dimiliki tanpa mendapat persetujuan perhimpunan

penghuni.170

2). Perhimpunan Penghuni

Adapun perhimpunan penghuni adalah badan hukum yang beranggotakan

para pemilik atau penghuni sarusun. Perhimpunan-perhimpunan anggotanya

terdiri dari para penghuni yang mempunyai tugas dan wewenang pengelolaan

yang meliputi penggunaan, pemeliharaan, dan perbaikan terhadap bangunan,

168

Vide Pasal 61 ayat 1 PP Rumah Susun. 169

Vide Pasal 61 ayat 2 PP Rumah Susun. 170

Vide Pasal 61 ayat 3 PP Rumah Susun.

Page 125: (overmacht) over the

97

bagian bersama, benda bersama dan tanah bersama. Perhimpunan penghuni

memiliki fungsi yaitu:

a). Membina terciptanya kehidupan lingkungan yang sehat,tertib dan aman;

b). Mengatur dan membina kepentingan penghuni;

c). Mengelola rusun dan lingkungannya.171

Perhimpunan penghuni rumah susun mempunyai tugas pokok, antara lain

sebagai berikut:

a. Mengesahkan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga yang

disusun oleh pengurus dalam rapat umum perhimpunan penghuni

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (2);

b. Membina para penghuni ke arah kesadaran hidup bersama yang serasi,

selaras, dan seimbang dalam rumah susun dan lingkungannya;

c. Mengawasi pelaksanaan ketentuan-ketentuan yang tercantum dalam

Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga;

d. Menyelenggarakan tugas-tugas administratif penghunian;

e. Menunjuk atau membentuk dan mengawasi badan pengelola dalam

pengelolaan rumah susun dan lingkungannya;

f. Menyelenggarakan pembukuan dan administratif keuangan secara

terpisah sebagai kekayaan perhimpunan penghuni;

g. Menetapkan sanksi terhadap pelanggaran yang telah ditetapkan dalam

Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga.172

Kewajiban perhimpunan penghuni, yaitu: mengurus kepentingan bersama

para pemilik dan penghuni yang berkaitan dengan pengelolaan, kepemilikan

benda bersama, bagian bersama, tanah bersama penghunian.173

Pasal 54 ayat

(3) PP Rumah Susun menentukan kewenangan perhimpunan penghuni adalah

dapat mewakili para penghuni dalam melakukan perbuatan hukum baik

kedalam maupun keluar pengadilan. Pengertian dapat mewakili berarti bahwa

171

Vide Pasal 56 PP Rumah Susun. 172

Vide Pasal 59 PP Rumah Susun. 173

Vide Pasal 75 ayat 3 UU Rumah Susun.

Page 126: (overmacht) over the

98

dalam hal mengurus kepentingan bersama untuk melakukan perbuatan hukum

perhimpunan penghuni harus mendapat persetujuan para penghuni.

3). Badan Pelaksana

Badan pelaksana dibentuk oleh Pemerintah untuk mewujudkan

penyediaan rumah susun yang layak dan terjangkau bagi MBR. Pembentukan

badan pelaksana, bertujuan untuk:

a). Mempercepat penyediaan rumah susun umum dan rumah susun

khusus, terutama di perkotan;

b). Menjamin bahwa rumah susun umum hanya dimiliki dn dihuni oleh

MBR;

c). Menjamin tercapainya asas manfaat rumah susun;

d). Melaksanakan berbagai kebijakan di bidang rumah susun umum dan

rumah susun khusus.174

Badan pelaksana mempunyai fungsi: pelaksanaan pembangunan,

pengalihan kepemilikan dan distribusi rumah susun umum dan rumah susun

khusus secara terkoordinasi dan terintegrasi.175

Badan pelaksana bertugas:

a). Melaksanakan pembangunan rumah susun umum dan rumah susun

khusus;

b). Menyelenggarakan koordinasi operasional lintas sektor, termasuk

dalam penyediaan prasarana, sarana dan utilitas umum;

c). Melaksanakan peningkatan kualitas rumah susun umum dan rumah

susun khusus;

d). Memfasilitasi penyediaan tanah untuk pembangunan rumah susun

umum dan rumah susun khusus;

e). Memfasilitasi penghunian, pengalihan, pemanfaatan serta

pengelolaan rumah susun umum dan rumah susun khusus;

f). Melaksanakan verifikasi pemenuhan persyaratan terhadap calon

pemilik dan/ atau penghuni rumah susun umum dan rumah susun

khusus; dan

g) Melakukan pengembangan hubungan kerjasama dibidang rumah

susun dengan berbagai instansi didalam dan di luar negeri.176

174

Vide Pasal 72 ayat 2 UU Rumah Susun. 175

Vide Pasal 73 ayat 3 UU Rumah Susun. 176

Vide Pasal 72 ayat 4 UU Rumah Susun.

Page 127: (overmacht) over the

99

4. Badan Pengelola

Adapun mengenai badan pengelola Rusun adalah badan yang bertugas

untuk mengelola rusun. Perhimpunan penghuni dapat membentuk atau

menunjuk badan pengelola yang bertugas untuk menyelenggarakan

pengelolaan yang meliputi pengawasan terhadap penggunaan bagian bersama,

benda bersama dan tanah bersaman. Badan pengelola ini diatur dalam

Peraturan Pemerintah. Badan pengelola mempunyai tugas:

a. Melaksanakan pemeriksaan, pemeliharaan, kebersihan dan perbaikan

rumah susun dan lingkungannya pada bagian bersama, benda bersama,

dan tanah bersama;

b. Mengawasi ketertiban dan keamanan penghuni serta penggunaan bagian

bersama, benda bersama, dan tanah bersama sesuai dengan

peruntukannya;

c. Secara berkala memberikan laporan kepada perhimpunan penghuni

disertai permasalahan dan usulan pemecahannya.177

Dalam aspek perlindungan konsumen developer dapat dikatakan sebagai

pelaku usaha dan pemilik satuan rumah susun dikatakan sebagai konsumen.

Kata konsumen berasal dari kata dalam bahasa Inggris, yakni consumer, atau

dalam bahasa Belanda "consument", "konsument". Konsumen secara harafiah

adalah orang yang memerlukan, membelanjakan atau menggunakan, pemakai

atau pembutuh.

Pengertian tentang konsumen secara yuridis telah diletakkan dalam

berbagai peraturan perundang-undangan, seperti UU No 8 Tahun 1999

tentang Undang-Undang Perlindungan Konsumen (selanjutnya disebut

UUPK) dan UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan

177

Vide Pasal 68 PP Rumah Susun.

Page 128: (overmacht) over the

100

Persaingan Usaha Tidak Sehat (selanjutnya disebut UU LPM PUTS).

Kedua UU ini memberikan definisi atau pengertian tentang konsumen. Pasal

1 UUPK merumuskannya sebagai berikut: “Konsumen adalah setiap orang

pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi

kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain

dan tidak untuk diperdagangkan”.

Rumusan UUPK di atas berbeda dengan rumusan dalam Pasal 1 UU LPM

PUTS, yang memberikan pengertian konsumen sebagai berikut: “Konsumen

adalah setiap pemakai dan atau pengguna barang atau jasa, baik untuk

kepentingan diri sendiri dan atau kepentingan orang lain.”178

Batasan Pasal 1 tersebut sudah jelas mengatakan, "...barang dan/atau jasa

yang tersedia... dan tidak untuk diperdagangkan," sehingga setiap

pedagang/pengecer atau pembeli untuk kemudian dijual lagi, tidak dapat

disebut sebagai konsumen. UUPK sendiri dalam penjelasan Pasal 1 butir 2

mengatakan bahwa konsumen akhir adalah pengguna atau pemanfaat akhir

dari suatu produk, sedangkan konsumen antara adalah konsumen yang

menggunakan suatu produk sebagai bagian dari proses produksi suatu produk

lainnya. Maka jelas kiranya, yang menjadi wilayah pengaturan dari UUPK

adalah konsumen akhir.

178

Perbedaannya yang nampak dari rumusan kedua UU tersebut adalah,

batasan yang diberikan UUPK sedikit lebih rinci dibandingkan dengan batasan

yang dibuat oleh UU LPM PUTS. Rumusan UUPK mengenai definisi konsumen

mengartikannya juga bagi pemakaian barang dan/atau jasa tersebut, yang bukan

saja bagi kepentingan manusia, tetapi juga makhluk hidup lain. Makhluk hidup

selain manusia adalah hewan atau tumbuh-tumbuhan dan makhluk

mikroorganisme.

Page 129: (overmacht) over the

101

Istilah produsen berasal dari bahasa Belanda yakni producent, dalam

bahasa Inggris, producer yang artinya adalah penghasil. Dalam pengertian

yuridis, istilah produsen disebut dengan pelaku usaha. Batasan mengenai apa

yang dimaksud dengan pelaku usaha dapat dilihat dalam Pasal 1 butir 3

UUPK dan Pasal 1 butir 5 UU LPM PUTS.

Menurut Pasal 1 butir 3 UUPK, pelaku usaha dimaksudkan sebagai

berikut: “Pelaku Usaha adalah setiap orang perseorangan atau badan usaha,

baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang

didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum

negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui

perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha berbagai bidang ekonomi.”

Sementara Pasal 1 butir 5 UU LPM PUTS memberikan batasan yang

hampir tidak ada perbedaan berarti dari pengertian yang dikandung UUPK.

Adapun pengertian tersebut dapat dilihat seperti berikut:"Pelaku Usaha adalah

setiap orang perorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum

atau bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan

kegiatan dalam wilayah hukum Republik Indonesia, baik sendiri maupun

bersama-sama melalui perjanjian, menyelenggarakan berbagai kegiatan usaha

dalam bidang ekonomi."

Batasan yang diberikan oleh kedua undang-undang di atas sangat luas

karena pelaku usaha tidak hanya terbatas kepada pemilik perusahaan yang

terdaftar sebagai badan hukum, tetapi pemilik perusahaan yang kecil-kecil.

Kelompok pelaku usaha tersebut adalah sebagai berikut.

Page 130: (overmacht) over the

102

1. Kalangan investor, yaitu pelaku usaha penyedia dana untuk

membiayai berbagai kepentingan, seperti perbankan, usaha leasing,

tengkulak, penyedia dana lainnya, dan sebagainya.

2. Produsen, yaitu pelaku usaha yang membuat, memproduksi barang

dan/atau jasa dari barang-barang dan/atau jasa-jasa lain (bahan baku,

bahan tambahan bahan/penolong, dan bahan-bahan lainnya). Mereka

dapat terdiri atas orang/badan usaha berkaitan dengan pangan,

orang/usaha yang berkaitan dengan pembuatan perumahan,

orang/usaha yang berkaitan dengan jasa angkutan, perasuransian,

perbankan, orang/usaha yang berkaitan dengan obat-obatan,

kesehatan, narkotika, dan sebagainya.

3. Distributor, yaitu pelaku usaha yang mendistribusikan atau

memperdagangkan barang dan/atau jasa tersebut kepada masyarakat,

seperti pedagang secara retail, pedagang kaki lima, warung, toko,

supermarket, rumah sakit, klinik, warung dokter, usaha angkutan

(darat, laut, udara), kantor pengacara, dan sebagainya. 179

179

N.H.T Siahaan, op.cit, hal.25-27.

Page 131: (overmacht) over the

103

BAB III

AKIBAT HUKUM KLAUSULA PERTELAAN DALAM OVERMACHT

TERHADAP KEPEMILIKAN SATUAN RUMAH SUSUN

3.1. Konsepsi Kepemilikan Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun dalam

Sistem Hukum Nasional

Berbicara mengenai sistem hukum, hendaknya harus diketahui terlebih

dahulu arti dari sistem itu sendiri. Menurut Subekti, sistem adalah suatu

keseluruhan yang terdiri atas bagian-bagian yang berkaitan satu sama lain yang

tersusun secara teratur berdasar suatu rencana untuk mencapai suatu tujuan dan

dalam suatu sistem yang baik, tidak boleh terjadi suatu tumpang tindih

(overlapping) diantara bagian-bagian itu.180

Mariam Darus Badrulzaman memberikan pengertian sistem

Sistem adalah kumpulan asas-asas yang terpadu, yang merupakan

landasan, di atas mana dibangun tertib hukum. Asas-asas itu diperoleh

melalui konstruksi yuridis (kongkrit), yaitu dengan menganalisis

(mengolah) data-data yang sifatnya nyata untuk kemudian mengambil

sifat-sifatnya yang sama atau umum (kolektif) atau abstrak. Proses ini

dapat juga dikatakan mengabstraksi.181

Dari paparan diatas, dapat dipahami bahwa Esensi dari suatu sistem182

adalah terdapat ciri-ciri tertentu yaitu terdiri dari komponen-komponen yang

saling berhubungan secara teratur serta terintegrasi. Setiap sistem mengandung

180

Mariam Darus Badrulzaman I, op.cit, hal.15. 181

Mariam Darus Badruzaman I, loc.cit. 182

Sistem berasal dari terjemahan Inggris yaitu System: systema

(keseluruhan yang tersusun dari bagian-bagian). Beberapa pengertian sistem:

Kumpulan hal-hal yang disatukan kedalam suatu keseluruhan yang konsisten

karena saling terkait (saling terkait yang teratur dari bagian-bagiannya); kumpulan

hal-hal (objek-objek, ide-ide, kaidah-kaidah) yang tersusun dalam suatu tatanan

yang koheren menurut suatu prinsip rasional atau yang dapat dimengerti. (Lorens

Bagus, 2000, Kamus Filsafat, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, hal.1015).

Page 132: (overmacht) over the

104

beberapa asas yang menjadi pedoman dalam pembentukannya, dapat dikatakan

bahwa suatu sistem tidak terlepas dari asas-asas yang mendukungnya. Dengan

demikian, sifat sistem itu menyeluruh dan berstruktur yang keseluruhan

komponennya dalam hubungan yang fungsional. Jadi hukum adalah suatu

sistem.183

Hukum sebagai sistem masih dipertanyakan tentang kualifikasi dan isi dari

sistem hukum itu. Apakah sistem hukum itu murni dari unsur yuridis sehingga

bersifat tertutup atau sistem hukum itu terpengaruh dari hal-hal di luar hukum

sehingga sistem hukum dapat disempurnakan dan untuk mengetahui itu semua ada

kiranya mengetahui makna atau arti dari sistem hukum itu sendiri. Menurut J.H.

Merryman dalam bukunya The Civil Law Tradition : An Introduction to the Legal

System of Western Europe and Latin America sebagaimana dikutip oleh Abdul

R.Saliman, menyatakan bahwa Legal system is an operating set oe legal

institution, procedures and rules (Sistem hukum adalah seperangkat lembaga

hukum, prosedur, aturan-aturan hukum yang beroperasi).184

Mengenai pengertian

sistem hukum itu sendiri, Bellefroid menyatakan bahwa Rechts system is een aan

eensluitend geheel vanrechts regels, die naar beginselen geordend zijn (Sistem

hukum adalah suatu susunan keseluruhan aturan-aturan yang disusun sesuai

dengan azas-azasnya). Bruggink menjelaskan bahwa sistem hukum ialah aturan-

aturan hukum dan putusan-putusan hukum yang berlaku dalam suatu masyarakat

tertentu dalam suatu hubungan dan saling berkaitan.185

Meuwissen mengartikan

sistem hukum sebagai konstruksi (teoritis) yang didalamnya pelbagai

norma/kaidah hukum dipikirkan dalam suatu hubungan logis-konsisten menjadi

183

R.Abdoel Djamali, 2006, Pengantar Hukum Indonesia: Edisi Revisi, Raja

Grafindo Persada, Jakarta, hal.68. 184

Abdul R.Saliman, loc.cit. 185

Bruggink dalam Arief Sidartha, op.cit, hal.139.

Page 133: (overmacht) over the

105

satu kesatuan tertentu186

Menurut Lili Rasjidi dan Wyasa Putra, sistem hukum

merupakan satu kesatuan sistem yang besar yang tersusun atas sub-sistem yang

lebih kecil, yang pada hakikatnya merupakan sistem tersendiri dengan proses

tersendiri pula.187

Dari paparan diatas, dapat dipahami bahwa dalam membicarakan Sistem

Hukum Nasional berarti membahas hukum secara sistematik yang berlaku secara

Nasional. Secara sistematik berarti hukum dilihat sebagai suatu kesatuan yang

unsur-unsur, sub-sistem atau elemen-elemennya saling berkaitan, saling

mempengaruhi serta saling memperkuat atau memperlemah antara satu dengan

yang lainnya tidak dapat dipisahkan.188

HMSRS itu sendiri tersusun dalam sistem hukum tanah dan sistem hukum

benda nasional yang menjadi satu kesatuan dalam sistem hukum Nasional,

berkaitan dengan kajian yuridis atas satuan rumah susun oleh karena tanah dan

bangunan adalah benda maka pengaturannya dari aspek keperdataan berada dalam

sistem hukum benda, yang dapat dikhususkan lagi menjadi sub sistem hukum

agraria dan sub sistem bangunan. Hukum Benda adalah sub sistem dari Hukum

Nasional, sebagai sub-sistem, ia mengandung seluruh asas-asas yang terdapat

dalam Hukum Nasional, demikian juga halnya dengan kedudukan agraria dalam

arti sempit (hukum tanah) dalam sistem hukum nasional. Sistem hukum agraria

(hukum tanah) merupakan satu kesatuan dengan sub-sub sistem lainnya yang

bekerja secara sistematis dalam satu tatanan sistem hukum nasional.

186

Meuwissen sebagaimana dikutip oleh Titon Slamet Kurnia dalam

Pengantar Sistem Hukum Indonesia, 2009, Alumni, Bandung, hal.11. 187

Lili Rasjidi dan Wyasa Putra, 2003, Hukum sebagai Suatu Sistem,

Mandar Maju, Bandung, hal.151. 188

Ilhami Bisri, Sistem Hukum Indonesia: Prinsip-Prinsip dan Implementasi

Hukum di Indonesia, Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal.6.

Page 134: (overmacht) over the

106

Membicarakan sistem hukum nasional dalam UU Rumah Susun, maka

berdasarkan ketentuan penutup UU Rumah Susun pada pasal 118 ayat (b),

dinyatakan bahwa semua peraturan perundang-undangan yang merupakan

peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1985 tentang

Rumah Susun dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan atau belum

diganti dengan peraturan pelaksana yang baru berdasarkan Undang-Undang

Rumah Susun Nomor 20 Tahun 2011.

Bertolak dari ketentuan tersebut, maka segala peraturan pelaksana terkait

dengan Undang-undang Nomor 16 Tahun 1985 masih tetap diberlakukan

sepanjang peraturan pelaksana dari UU Rumah Susun Nomor 20 Tahun 2011

belum diterbitkan, sehingga segala peraturan pelaksana yang terkait , diantaranya

PP Rumah Susun dan Permendagri yang terkait penulis jadikan acuan dalam

menganalisis permasalahan yang akan dikaji.

Berdasarkan pada Sistem Hukum Nasional, terdapat beberapa aturan dalam

sistem Hukum Benda dan Hukum Tanah Nasional yang berkaitan dengan

pemilikan HMSRS. Menteri Dalam Negeri mengeluarkan 3 Peraturan, yang

memungkinkan diterbitkannya surat tanda bukti pemilikan atas bagian-bagian

yang dimaksudkan itu, yaitu:

a. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 14 Tahun 1975 tentang Pendaftaran Hak Atas Tanah Kepunyaan Bersama Dan Pemilikan Bagian-Bagian Bangunan yang Ada di Atasnya Serta Penerbitan Sertifikatnya.

b. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 4 Tahun 1977 tentang Penyelenggaraan Tata Usaha Pendaftaran Tanah Mengenai Hak Atas Tanah yang Dipunyai Bersama dan pemilikan Bagian-bagian Bangunan yang Ada di Atasnya.

c. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 10 Tahun 1983 tentang Tata Cara Permohonan Dan Pemberian Izin Penerbitan Sertifikat Hak Atas

Page 135: (overmacht) over the

107

Tanah Kepunyaan Bersama yang Disertai dengan Pemilikan secara Terpisah Bagian Bagian Pada Bangunan Bertingkat.

189

Peraturan-peraturan di atas berpangkal pada tafsiran bahwa dalam Hukum

Indonesia dimungkinkan pemilikan secara pribadi bagian-bagian tersebut, karena

Hukum Indonesia menggunakan apa yang disebut asas pemisahan horizontal,

yaitu asasnya Hukum Adat, yang merupakan dasar Hukum Tanah Nasional kita.

Dalam rangka asas tersebut, setiap benda yang menurut wujud dan tujuannya

dapat digunakan sebagai satu kesatuan yang mandiri, dapat menjadi obyek

pemilikan secara pribadi. Maka bagian-bagian suatu bangunan gedung bertingkat

yang menurut wujud dan tujuannya masing-masing dapat digunakan secara

mandiri, menurut Hukum kita dapat dimiliki secara pribadi. Sehubungan dengan

itu, dalam Penjelasan Permendagri Nomor 14/1975 tersebut dinyatakan bahwa

peraturan ini bukan menciptakan hukum materiil baru, melainkan hanya

menyempurnakan, melengkapi ketentuan-ketentuan mengenai penyelenggaraan

pendaftaran tanah, yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun

1961, untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dewasa ini.

Maka obyek utama yang didaftar adalah tanahnya. Surat tanda bukti hak

yang diterbitkan berupa sertifikat hak tanah yang dipunyai bersama, dengan

penunjukan secara khusus bagian yang dimiliki secara individual oleh pemegang

sertifikat. Ada sertifikat induk yang disimpan di Kantor Pertanahan dan ada

sertifikat pemilikan bersama tanahnya, yang masing-masing menunjuk pada

bagian tertentu yang dimiliki secara pribadi.190

189

Boedi Harsono II, op.cit, hal.352-353, Lihat juga Boedi Harsono I , op.cit,

13 Kode C 19, C 21, dan C.38. 190

Boedi Harsono II, op.cit, hal.353.

Page 136: (overmacht) over the

108

Peraturan yang mengatur lebih lanjut prihal kepemilikan HMSRS, yaitu

melalui:

1. Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 1988

2. Peraturan Ka BPN Nomor 2 Tahun 1989 tentang Bentuk dan Tata Cara

Pengisian serta Pendaftaran Akta Pemisahan Rumah Susun;

3. Peraturan Ka BPN Nomor 4 Tahun 1989 tentang Bentuk dan Tata Cara

Pembuatan Buku Tanah serta Penerbitan Sertifikat Hak Milik Atas Satuan

Rumah Susun

4. Keputusan Menteri Negara Perumahan Rakyat selaku Ketua Badan

Kebijaksanaan dan Pengendalian Pembangunan Perumahan dan

Pemukiman Nasional Nomor 6/KPTSBKP4N/1995 tentang Pedoman

Pembuatan Akta Pendirian, Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga

Perhimpunan Penghuni Rumah Susun.

Berkaitan dengan aturan diatas, pada intinya sistem kepemilikan HMSRS,

meliputi unsur yang secara terpisah dan berdiri sendiri berikut unsur-unsur yang

dimiliki bersama dan kedua jenis unsur kepemilikan tersebut merupakan satu

kesatuan yang tidak terpisahkan. Pemilikan HMSRS dikaitkan dengan status tanah

dimana rumah susun tersebut didirikan (Pasal 17 UU Rumah Susun). Ini berarti

yang dapat menjadi subjek HMSRS yaitu mereka yang memenuhi syarat sebagai

subjek hak atas tanah bersama bersangkutan, kemudian sebagai tanda bukti

kepemilikan atas SRS diterbitkan SHM SRS (Pasal 47 ayat 1 UU Rumah Susun).

Berdasarkan ketentuan-ketentuan yang telah diuraikan diatas, maka yang

perlu dipahami dalam kepemilikan SRS yaitu:

Page 137: (overmacht) over the

109

1. SRS dapat dimiliki oleh perseorangan atau badan hukum yang

memenuhi syarat sebagai pemegang hak atas tanah;

2. HMSRS adalah hak milik atas satuan yang bersifat perorangan dan

terpisah;

3. HMSRS meliputi juga hak atas bagian bersama, benda bersama dan

tanah bersama yang semuanya merupakan satu kesatuan yang tidak

terpisahkan dengan satuan yang bersangkutan;

4. Hak atas bagian bersama, benda bersama, dan hak atas tanah bersama

didasarkan atas luas atau nilai satuan rumah susun yang bersangkutan

pada waktu satuan tersebut diperoleh pemiliknya yang pertama.

3.1.1. Sistem Hukum Tanah Nasional dan Bangunan

Hukum tanah adalah keseluruhan ketentuan-ketentuan hukum baik tertulis

maupun tidak tertulis yang semuanya mempunyai obyek pengaturan yang sama

yaitu hak penguasaan atas tanah sebagai lembaga-lembaga hukum dan sebagai

hubungan hukum yang konkret beraspek publik dan privat yang dapat disusun

secara sistematis hingga keseluruhannya menjadi satu kesatuan yang merupakan

satu sistem.191

Di dalam ruang lingkup Hukum agraria, tanah dalam pengertian

yuridis menurut UUPA yaitu tanah dalam pengertian yuridis yang disebut hak.

Jadi dalam hal ini hukum tanah tidak mengatur tanah dari segala aspek namun

hanya mengatur salah satu aspek yuridisnya yang disebut dengan hak-hak

penguasaan tanah. Ketentuan-ketentuan hukum yang mengatur hak-hak

191

Urip Santoso, 2013, Hukum Agraria Kajian Komprehensif, Cet.2,

Kencana, Jakarta, hal.11.

Page 138: (overmacht) over the

110

penguasaan atas tanah dapat disusun menjadi satu kesatuan yang merupakan satu

sistem yang disebut dengan hukum tanah.

Selain tanah, bangunan juga sangat penting bagi kehidupan manusia.

Pentingnya bangunan membuat manusia membangun berbagai macam bangunan

untuk memenuhi kebutuhannya. Perkembangan teknologi konstruksi dan rancang

bangun membuat manusia dapat membangun bangunan sesuai dengan

keinginannya baik secara horizontal,vertikal maupun didalam tanah. Berbeda

dengan tanah yang sulit untuk dinyatakan bentuknya, bangunan dapat dikenali

dengan mudah dari bentuk bangunan yang ada. Bangunan merupakan suatu

benda yang terdiri atas ruang dalam pengertian yuridis yang terbatas, memiliki

ukuran tiga dimensi yaitu panjang, lebar dan tinggi. Sedangkan terhadap hak atas

tanah, hak atas sebagian tertentu permukaan bumi yang terbatas berdimensi dua

dengan ukuran panjang dan lebar. Selain itu, bangunan juga memiliki berbagai

ruang yang dapat difungsikan sesuai dengan keinginan pemilik atau pengguna

bangunan. Bangunan menjadi benda tidak bergerak karena disatukan dengan

tanah tempat bangunan tersebut didirikan. Karena umunya, bangunan menyatu

dengan tanah, bangunan sebagai benda yang penting bagi kehidupan manusia

selalu dikaitkan dengan tanah.192

Macam-macam hak atas tanah dalam hukum tanah nasional, termuat dalam

rumusan Pasal 16 dan Pasal 53 UUPA, yaitu:

1. Hak atas tanah yang bersifat tetap

Hak atas tanah ini akan tetap ada selama UUPA masih berlaku atau

belum dicabut dengan undang-undang yang baru. Jenis-jenis hak atas

192

Marihot P.Siahaan, op.cit, hal.29.

Page 139: (overmacht) over the

111

tanah ini, diantaranya: Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna

Bangunan, Hak Pakai, Hak Membuka Tanah, Hak Sewa untuk

Bangunan dan Hak untuk Memungut Hasil Hutan.

2. Hak atas tanah yang akan ditetapkan dengan undang-undang, yaitu hak

atas tanah yang akan lahir kemudian yang akan ditetapkan dengan

undang-undang.

3. Hak atas tanah yang bersifat sementara, bersifat sementara dalam

waktu yang singkat akan dihapuskan dikarenakan mengandung sifat-

sifat pemerasan, mengandung sifat feudal dan bertentangan dengan jiwa

UUPA. Jenis-jenis hak atas tanah ini, diantaranya Hak Gadai, Hak

Usaha Bagi Hasil, Hak Menumpang, dan Hak Sewa Tanah Pertanian.193

Dari paparan diatas, maka dapat dicermati melalui pendapat Boedi Harsono

yang menyatakan bahwa HMSRS bukan hak penguasaan atas tanah, melainkan

hak atas satuan rumah susun tertentu, yang menurut UU Rumah Susun meliputi

juga satu bagian tertentu sebesar nilai perbandingan proporsionalnya dari hak atas

tanah bersama diatas mana rusun yang bersangkutan berdiri.194

Berbeda dengan

Urip Santoso, yang menyatakan bahwa secara implisit,HMSRS diatur dalam Pasal

4 ayat (1) UUPA, yaitu hak atas tanah dapat diberikan kepada sekelompok orang

secara bersama-sama dengan orang lain. Pada HMSRS bidang tanah yang

diatasnya berdiri rumah susun, hak atas tanahnya dimiliki atau dikuasai secara

bersama oleh seluruh pemilik satuan rumah susun. Hak atas tanah yang dapat

dimiliki atau dikuasai secara bersama oleh seluruh pemilik satuan rumah susun

berupa Hak Milik, Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai atas Tanah Negara.195

193

Urip Santoso, op.cit, hal.90-91. Hak-hak atas tanah yang dimaksud dalam

Pasal 16 jo Pasal 53 UUPA tidak bersifat limitatif, artinya disamping hak-hak atas

tanah yang disebutkan dalam UUPA, nanti dimungkinkan lahirnya hak atas tanah

baru yang diatur secara khusus dengan undang-undang. 194

Boedi Harsono II, op.cit, hal.264. 195

Urip Santoso, op.cit, hal.86.

Page 140: (overmacht) over the

112

Berkenaan dengan sistem pemilikan atas suatu gedung bertingkat,

membedakannya menjadi 2 (dua), yaitu:

1. Pemilikan tunggal (single ownership);

Pemilikan tunggal dilihat dari pemilikan tanah tempat gedung bertingkat

itu berdiri sehingga pemegang sertifikat juga merupakan pemilik

gedung.

2. Pemilikan bersama (joint ownership).

Adapun sistem pemilikan bersama dibagi dua dengan melihat adanya

atau tidaknya ikatan hukum yang lebih dulu ada diantara pemilik gedung

bertingkat itu, yaitu sebagai berikut.

a. Pemilik bersama yang terikat, yaitu adanya ikatan hukum lebih

dahulu antara pemilik. Dasar pengaturannya Permendagri No. 14

Tahun 1975.

b. Pemilikan bersama yang bebas, yaitu antara para pemilik tidak ada

hubungan hukum lebih dahulu selain hak bersama menjadi pemilik

untuk dipergunakan bersama. Dasar pengaturannya UURS juncto

PP No. 4 Tahun 1988 tentang rumah susun. Sistem pemilikan

bersama yang bebas inilah yang dikenal sebagai condominium.196

Oleh Ridwan Halim, Kepemilikan bersama dibedakan menjadi Hak Milik

bersama dengan penggunaan fisik secara bersatu atau bersama pula

(samengestelde mede eigendom), berdasarkan definisi yang diberikan oleh

Ridwan Halim, tidak jauh berbeda dengan pemilikan bersama yang bebas. Selain

itu Ridwan Halim membedakan hak bersama kedalam Hak Milik bersama dengan

penguasaan fisik secara terpisah (aparigestelde mede eigendom) yaitu hak milik

bersama (mede eigendom) dari pemilik bersama (mede eigenaars) atas obyek

hukum yang masing-masing obyek hukum tersebut mempunyai bagian-bagian

atau satuan-satuan bagian tertentu yang dikuasai secara terpisah antara para

pemiliknya. Dengan perkataan lain, tiap-tiap pemilik akan menguasai satu atau

196

Imam Kuswahyono, loc.cit. (Perihal kepemilikan bersama, lihat juga

diantaranya Adrian Sutedi I, op.cit, hal.198-199, Arie S.Hutagalung I, op.cit,

hal.20-21, Ridwan Halim, op.cit, hal. 93-95 ).

Page 141: (overmacht) over the

113

beberapa bagian tertentu yang menjadi hak miliknya sendiri dari obyek

hukum tersebut, dan terpisah dari bagian milik pemilik lainnya secara yuridis

(aparigestelde), meskipun secara fisik bagian-bagian tersebut tetap menimbulkan

hak milik bersama (mede eigendom).197

3.1.2.Sistem Hukum Kebendaan Nasional

Hukum benda nasional telah menyerap sebagai basisnya adalah hukum

adat dan diasimilasikan dengan pembagian benda dalam sistem KUH Perdata

serta pembagian benda dalam sistem hukum anglo saxon. Sistem hukum benda

merupakan sub sistem dari sistem hukum perdata. Demikian pula sistem hukum

perdata merupakan sub sistem hukum nasional.

Adapun HMSRS dalam UU Rumah Susun merupakan suatu lembaga

pemilikan baru sebagai suatu hak kebendaan yaitu sebagai berikut:

(a). HMSRS adalah hak milik yang bersifat perorangan dan terpisah;

(b). HMSRS meliputi juga hak atas bagian bersama, benda bersama, dan

tanah bersama yang semuanya merupakan satu kesatuan dan tidak

terpisahkan dengan SRS yang bersangkutan;

(c). Hak atas bagian bersama, benda bersama, dan hak atas tanah

bersama didasarkan atas luas atau nilai SRS yang bersangkutan pada

waktu SRS diperoleh pemiliknya yang pertama. 198

Terkait dengan Sistem Hukum Kebendaan, benda tanah dapat

dikelompokkan atas benda tanah yang terdaftar dan benda tanah yang tidak

terdaftar. Benda bukan tanah yang terdaftar dapat berupa benda tidak bergerak

dan benda bergerak Benda bukan tanah yang terdaftar berupa benda tidak

bergerak. Benda bukan tanah yang terdaftar berupa benda bergerak, selain itu

197

Ridwan Halim, op.cit, hal 89-90. 198

M.Rizal Alif, 2009, Analisis Kepemilikan Hak atas Tanah Satuan Rumah

Susun didalam Kerangka Hukum Benda, CV Nuansa Aulia, Bandung, hal.135.

Page 142: (overmacht) over the

114

terdapat pembedaan benda baru oleh Subekti yaitu Tanah dan Benda Bergerak

berdasarkan pada pemikiran bahwa tanah telah diatur dalam UUPA.

Berdasarkan uraian diatas,diatas, maka dapat dipahami pembedaan benda

sebagai berikut:

- Dalam KUHPerdata secara mendasar membedakan benda yang dapat

menjadi obyek hak milik menjadi benda bergerak dan benda tidak

bergerak dan juga berupa benda berwujud dan benda tidak berwujud

- UUPA berdasarkan hukum adat, maka membedakan benda berdasarkan

hak milik atas tanah menjadi benda tanah dan benda bukan tanah.

- Berdasarkan uraian mengenai pembedaan benda dan hak atas tanah

tersebut, dengan demikian dapat dipahami bahwa HMRSS merupakan

benda bukan tanah sekaligus benda tanah, dapat dicermati dari asas hukum

tanah dalam hak milik atas satuan rumah susun yang berdasar pada asas

horizontal dan asas accessie vertikal. Ditinjau dari Buku II KUHPerdata

HMSRS termasuk benda tidak bergerak yang berwujud. Oleh karena

HMSRS didaftarkan pada Kantor Pertanahan sehingga HMSRS termasuk

benda terdaftar. Sehingga dari paparan tersebut dapat disimpulkan bahwa

HMSRS termasuk benda bukan tanah tidak bergerak terdaftar.

Page 143: (overmacht) over the

115

Dari paparan diatas, untuk memahami penggolongan HMSRS dalam

hukum benda, maka penulis sajikan dalam bentuk bagan berikut ini:

Skema 3.1. HMSRS dalam Hukum Benda Sumber: Buku II KUHPerdata dan UUPA yang penulis olah dalam bentuk bagan.

3.2. Hubungan Hukum antara Obyek kebendaan Hak Milik Atas Satuan

Rumah Susun, Tanah, dan Bangunan.

Pembahasan mengenai hubungan antara tanah, bangunan rumah susun

dimulai dengan pembahasan berkaitan dengan tanah karena konsep pemilikan

rumah susun di Indonesia amat bergantung kepada status tanah tempat rumah

susun tersebut dibangun. Kejelasan status tanah tempat rusun yang akan didirikan

merupakan salah satu syarat administratif yang harus dimiliki oleh penyelenggara

pembangunan untuk mendirikan bangunan. Menurut UU Rumah Susun, rumah

susun hanya dapat dibangun diatas tanah hak milik, hak guna bangunan, hak pakai

atas tanah Negara atau hak pengelolaan. Setelah menyelesaikan pengurusan hak

atas tanah, maka penyelenggara pembangunan memulai aktifitas pembangunan

rumah susun.

Buku II KUHPerdata

Benda Bergerak Benda berwujud

Benda tidak bergerak Benda tidak berwujud

UUPA dan Hukum Adat

Benda Tanah Benda bukan Tanah

Benda Terdaftar Benda Tidak Terdaftar

Page 144: (overmacht) over the

116

3.2.1. Penerapan Asas Hukum Tanah dan Hukum Bangunan

Hubungan hukum antara tanah dan bangunan merupakan suatu hal yang

penting dipahami karena menyangkut kewenangan pemanfaatan bangunan yang

berada diatas tanah. Perbuatan hukum yang berkaitan dengan satuan rumah susun

selalu dihubungkan dengan tanah dimana rumah susun itu dibangun. Karena

rumah susun tidak terlepas dari tanah maka titik tolak pengaturannya berdasarkan

Sistem Hukum Tanah Nasional.

Menurut Djuhaendah Hasan, salah satu aspek yang penting dalam hukum

tanah adalah tentang hubungan antara tanah dengan benda yang melekat pada

tanah itu sangat penting karena hal ini menyangkut pengaruh yang sangat luas

terhadap segala hubungan hukum yang menyangkut tanah dan benda yang

melekat padanya. Dengan demikian,kepastian hukum akan kedudukan HMRSRS

sangat penting dalam kerangka hukum tanah.199

Telah dipaparkan sebelumnya

bahwa obyek hukum tanah yakni hak penguasaan atas tanah, terdiri atas Hak

penguasaan atas tanah sebagai lembaga hukum dan Hak Penguasaan atas tanah

sebagai hubungan hukum yang konkret. Dalam kaitannya dengan hubungan

hukum antara pemegang hak dengan hak atas tanahnya, terdapat dua asas yang

berpengaruh dalam hubungan hukum yang berkaitan antara tanah dan benda yang

melekat padanya yaitu:

1. Asas accessie atau asas perlekatan (accessie beginsel)

Dalam asas ini, bangunan dan tanaman yang ada diatas tanah merupakan satu

kesatuan, bangunan dan tanaman merupakan bagian dari tanah yang bersangkutan.

199

Djuaendah Hasan, op.cit, hal.65.

Page 145: (overmacht) over the

117

Dengan demikian, Hak atas tanah dengan sendirinya, karena hukum meliputi juga

pemilikan bangunan dan tanaman yang ada diatas tanah yang dihaki, kecuali ada

kesepakatan lain dengan pihak yang membangun atau menanamnya. Hal ini

berarti bahwa perbuatan hukum mengenai tanah dengan sendirinya karena hukum

juga meliputi bangunan dan tanaman yang ada diatasnya.200

Didalam KUHPerdata, dikenal adanya asas perlekatan yaitu asas yang

melekatkan suatu benda pada benda pokoknya. Asas perlekatan ini terdiri atas:

a). Asas perlekatan vertical (vertical accessie)

Asas accessie vertical ini ditemukan dalam rumusan pasal 571

KUHPerdata yang menyatakan bahwa hak milik atas sebidang tanah

mengandung arti didalamnya atas segala apa yang ada diatas dan didalam

tanah. Hal ini berarti bahwa asas pelekatan secara vertikal adalah

perlekatan secara tegak lurus yang melekatkan semua benda yang ada

diatas maupun didalam tanah sebagai benda pokoknya. Selain itu pula,

dalam pasal ini mengandung makna asas sifat mengikuti, dalam hal ini,

sifat mengikuti tanah, lebih luas lagi sifat mengikuti kedudukan yuridis

tanah. Dengan lain perkataan, segala barang yang melekat pada tanah,

mengikuti kedudukan yuridis tanah.

b). Asas perlekatan horizontal (horizontal accessie)

Berdasarkan Pasal 507KUHPerdata, asas perlekatan yang dipergunakan

adalah asas perlekatan horizontal. Dengan asas perlekatan horizontal ini,

KUHPerdata memperlakukan semua benda-benda yang dilekatkan pada

benda tidak bergerak (yang bukan tanah) berupa bangunan, sebagai satu

kesatuan yang menyeluruh dengan benda tidak bergerak (bangunan baik

berupa pabrik maupun rumah tinggal) tersebut.201

2. Asas Horizontal Scheiding atau asas pemisahan horizontal

Urip Santoso menyatakan bahwa dalam asas ini, bangunan dan tanaman

yang ada diatas tanah bukan merupakan bagian dari tanah. Hak atas tanah tidak

dengan sendirinya meliputi pemilikan bangunan dan tanaman yang ada diatasnya.

200

Urip Santoso, op.cit, hal.12. Bandingkan antara lain Boedi Harsono II, op.cit, hal.17. Bachsan Mustafa, 1985, Hukum Agraria dalam Perspektif, Cet.2,Remadja Karya, Bandung, hal.23. Oleh Bachsan Mustafa dikatakan bahwa asas perlekatan ini berasal dari istilah aslinya yaitu Natrekking Beginsel. Bandingkan pula dengan Djuaendah Hasan,op.cit, hal.53.

201Kartini Muljadi III, op.cit, hal.169-170.

Page 146: (overmacht) over the

118

Perbuatan hukum mengenai tanah tidak dengan sendirinya, meliputi bangunan dan

tanaman milik yang punya tanah yang ada diatasnya. Jika perbuatan hukumnya

dimaksudkan juga meliputi bangunan dan tanamannya, maka hal ini secara tegas

harus dinyatakan dalam akta yang membutikan dilakukannya perbuatan hukum

yang bersangkutan.202

Bachsan Mustafa menyatakan bahwa asas pemisahan

horizontal yaitu suatu asas yang memisahkan kedudukan benda-benda yang ada

diatasnya dan melekat dengan tanah dari benda itu berada. Disebut benda saja

karena hukum adat tidak mengenal pembagian benda kedalam benda bergerak

dan benda tak bergerak.203

Namun berkenaan dengan pembagian benda dalam

hukum adat oleh Djuaendah Hasan yang dikutip dari Wiryono Prodjodikoro,

membedakannya atas benda tanah dan benda bukan tanah. Yang dimaksud dengan

tanah memang hanya berkaitan tentang tanah saja, lain halnya dengan segala

sesuatu yang melekat pada tanah termasuk dalam benda bukan tanah dan

terhadapnya tidak berlaku ketentuan tentang benda tanah.204

Berkaitan dengan

asas hukum tanah, M.Rizal Alif menyatakan bahwa Hak Milik atas sebidang tanah

mengandung arti didalamnya kepemilikan segala apa yang ada diatas dan didalam

tanah. Dengan kata lain asas perlekatan vertikal diartikan bahwa pemilikan atas

tanah berarti juga memiliki bangunan atau rumah dan segala sesuatu yang melekat

pada tanah itu serta yang ada didalam tanah tersebut. Sedangkan asas pemisahan

horizontal atau horizontal scheiding adalah asas yang dianut dalam hukum adat

202

Urip Santoso, op.cit, hal.12. 203

Bachsan Mustafa, op.cit, hal. 24 -25. 204

Wiryono Prodjodikoro dalam Djuaendah Hasan, op.cit, hal. 56-57.

Page 147: (overmacht) over the

119

yang merupakan dasar dari UUPA dimana pemilikan atas tanah dan benda atau

segala sesuatu yang ada diatas tanah itu adalah terpisah. 205

PEMISAHAN

Horizontal Vertikal

Gambar 2. Asas Pemisahan Horizontal dan Vertikal

Sumber: Seminar IPPAT-Hotel Sahid, pada tanggal 25 Oktober 2011 oleh

Chairul Basri Achmad dengan judul Pendaftaran Tanah dan Rumah Susun

Sehubungan asas hukum tanah yang digunakan dalam Rumah Susun ini.

Ridwan Halim menyatakan pendapatnya yaitu sebagai berikut:

a. Dikatakan bahwa asas pemisahan vertikal dikenal dalam hukum rumah

susun yang membagi-bagi secara terpisah-pisah suatu bangunan rumah

susun itu atas satuan-satuan rumah susun yang saling terpisah, dengan

tujuan agar tiap-tiap satuan rumah susun itu dapat dimiliki ataupun

dihuni secara tersendiri, terpisah dari satuan-satuan rumah susun

lainnya.

b. Dikatakan bahwa asas pemisahan horizontal dikenal juga dalam hukum

rumah susun yang membagi, memisahkan dan membedakan antara

status satuan-satuan rumah susun yang merupakan hak milik pribadi

masing-masing dari para "mede-eigenars" dengan tanah dimana gedung

rumah susun mereka itu berdiri yang merupakan hak milik bersama dari

para mede-eigenaars tersebut.206

205

M. M.Rizal Alif, op.cit, hal.63. 206

Ridwan Halim, op.cit, hal. 181-182.

Page 148: (overmacht) over the

120

Pengaturan tentang hak-hak atas tanah bersama, telah diletakkan

kerangkanya dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 14 Tahun 1975 yang

kemudian diatur lebih lanjut dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 4 Tahun

1977. Dalam Penjelasan Permendagri No. 14/1975, secara eksplisit dinyatakan

bahwa Surat Tanda Bukti Hak atas sertifikat yang penerbitannya diatur dalam

peraturan ini. hanya mengenai tanda bukti hak atas tanah bersama tersebut.

Sedangkan, pemberian/penerbitan tanda bukti hak atas satuan rumah susun atau

bagian dari bangunan bertingkat tersebut, tidak/belum diatur dalam peraturan

ini.207

Ketentuan tersebut menyiratkan hukum tanah kita menganut “asas

pemisahan horizontal," karena memakai dasar hukum adat. Sedangkan asas

perlekatan vertikal dianut dalam hukum pertanahan Indonesia sebelum lahirnya

UUPA 1960, hal ini tercantum dalam Pasal 571 KUHPerdata yang menegaskan:

“Hak milik atas tanah mengandung di dalamnya pemilikan atas segala apa yang di

atasnya dan di dalam tanah (superficies cedit solo)”. Menurut Kartini Muljadi dan

Gunawan Widjaja dari seluruh pasal-pasal yang berkaitan dengan asas perlekatan

sebagai salah satu cara untuk memperoleh hak milik, diantaranya melalui:

a. Menurut KUHPerdata, untuk dapat berlakunya asas perlekatan sebagai

salah satu dasar untuk memperoleh hak milik,maka harus ada

penyatuan antara kebendaan yang melekat tersebut dengan kebendaan

yang merupakan dasar kebendaan di mana perlekatan terjadi. Untuk

dapat dianggap bahwa telah terjadi penyatuan dan karenanya berlaku

asas perlekatan.

b. Sehubungan dengan asas perlekatan tersebut KUHPerdata memberikan

kedudukan yang lebih tinggi bagi tanah dibandingkan dengan

kebendaan lainnya.

c. Dalam pandangan KUHPerdata, setiap kebendaan yang melekat pada

tanah, baik yang terjadi sebagai akibat kegiatan alam maupun sebagai

207

Yakob Mohsin, Pranata-Pranata Hukum yang Baru dan Tinjauan terhadap

Undang-undang Rumah Susun dalam Hukum dan Pembangunan, Agustus 1986

Vol.XVI No.6, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, hal.361.

Page 149: (overmacht) over the

121

akibat perbuatan manusia, akan menjadi milik dari pemilik tanah

tersebut.

d. Terhadap perlekatan dari kebendaan yang sejak semula tidak dimiliki

oleh siapa pun, yang terjadi karena alam, terhadap kebendaan yang

menjadi milik lebih dari satu pemilik, maka undang-undang

menganggap keuntungan tersebut adalah bagi seluruh pemilik

kebendaan tersebut menurut imbangan dari kebendaan asal milik

mereka, di mana perlekatan telah terjadi.

e. Terhadap suatu perlekatan dari kebendaan yang sejak semula

merupakan milik dari beberapa pemilik, yang terjadi karena perbuatan

manusia, yang dilakukan oleh bukan pemilik dari salah satu kebendaan

yang melekat tersebut, maka undang-undang memungkinkan pada

orang ini untuk menjadi pemilik dari kebendaan setelah perlekatan

dilakukan (yang tidak dapat dipisahkan kembali).

f. Setiap perlekatan yang menyebabkan hapusnya atau hilangnya atau

musnahnya kebendaan yang melekat tersebut, yang terjadi karena

perbuatan manusia, untuk mereka yang dirugikan sebagai akibat

hapusnya atau hilangnya atau musnahnya kebendaan yang melekat

tersebut KUHPerdata memberikan hak kepada mereka ini untuk

memperoleh ganti rugi, biaya dan bunga dari orang yang karena

perlekatan tersebut memperoleh keuntungan sebagai pemilik

kebendaan hasil perlekatan tersebut.

g. Selanjutnya dalam hal perlekatan antara dua atau lebih benda, yang

menghapuskan identitas dari benda asal, terjadi karena alam, maka

benda baru ini adalah milik bersama dari pemilik benda asal tersebut,

menurut keseimbangan harga dari benda asal tersebut.208

Asas pemisahan horizontal, pada dasarnya mempunyai ciri-ciri antara lain

sebagai berikut :

1. Pemilik bangunan tidak otomatis sebagai pemilik tanah di mana bangunan

itu didirikan. Atau dengan kata lain adanya hak memiliki bangunan di atas

tanah orang lain.

2. Hak membangun didasarkan atas persetujuan dengan pemilik tanah.

Bangunan dianggap dan diperlakukan sebagai benda bergerak.

3. Tanah dan bangunan merupakan dua benda yang terpisah (zelfstandige zaak)

dan dapat dialihkan.

208

Kartini Muljadi III, op.cit, hal.63-67.

Page 150: (overmacht) over the

122

Asas pemisahan horizontal dalam kaitannya dengan hubungan antara tanah

dan bangunan di atasnya, apabila kita cermati rumusan UU Rumah Susun,

mempunyai makna, yaitu:

1). Satuan rumah susun dimiliki oleh setiap orang yang memenuhi syarat

sebagai pemegang hak atas tanah

2). HMSRS adalah hak milik atas satuan yang bersifat perorangan dan

terpisah termasuk juga terhadap hak atas bagian bersama, benda

bersama dan tanah bersama yang merupakan satu kesatuan yang tidak

terpisahkan dengan satuan yang bersangkutan

3). Hak atas bagian bersama, benda bersama dan hak atas tanah bersama

berdasarkan atas NPP yaitu berdasarkan atas luas atau nilai satuan

rumah susun yang bersangkutan pada waktu satuan tersebut diperoleh

pemiliknya yang pertama kalinya untuk memperhitungkan biaya

pembangunannya secara keseluruhan dan untuk menentukan harga

jualnya209

Telaah seksama terhadap asas hukum tanah tersebut maka dapat dijelaskan

pada bagan berikut ini:

Bagan 3.2. Penerapan Asas Hukum Tanah terhadap HMSRS.

Sumber : Urip Santoso, UUPA, KUHPerdata, UU Rumah Susun dan PP

Rumah Susun telah dimodifikasi penulis dalam bentuk bagan. (Cetak tebal

dan garis bawah oleh penulis).

PENERAPAN ASAS HUKUM TANAH TERHADAP HMSRS

UUPA dan Hukum Adat

KUHPerdata UU Rumah Susun dan PP Rumah Susun

Asas Pemisahan Horizontal (Horizontal Scheiding Beginsel) Diatur dalam Pasal 5 UUPA , yang pada dasarnya hukum tanah yang dianut oleh UUPA bertumpu pada hukum adat, yang dimaksud dengan asas pemisahan horizontal, dimana hak atas tanah tidak dengan

Asas Perlekatan (Accesie Scheiding Beginsel ), diatur dalam rumusan pasal 500, 5006 dan 507 KUHPerdata, pada intinya asas perlekatan yaitu asas yang melekatkan suatu benda pada benda pokoknya, maka secara yuridis berdasarkan asas accesi maka benda-

Asas Pemisahan Horizontal(Horizontal Scheiding Beginsel) dan Asas Perlekatan (Accesie Scheiding Beginsel ), diatur dalam rumusan pasal: a) Pasal 1 angka 1 UU

Rumah Susun jo Pasal 46 ayat 1 UU Rumah Susun jo Pasal 41 PP Rumah Susun, yang merumuskan bahwa :

209

Vide Pasal Pasal 46 ayat 1 dan 2 UU Rumah Susun jo Pasal 41 angka 1

PP Rumah jo Pasal 47 ayat 2 UU Rumah Susun.

Page 151: (overmacht) over the

123

sendirinya meliputi pemilikan bangunan dan tanaman yang ada diatasnya.

benda yang melekat pada benda pokok harus dianggap sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari benda pokoknya.

a) Asas perlekatan Vertikal (Vertical Accesie Beginsel ) Pasal 571 KUHPerdata

b) Asas Perlekatan Horizontal (Horizontal Accesie Beginsel), diatur dalam perumusan Pasal 588 KUHPerdata dan Pasal 589 KUHPerdata

Rumah Susun tersebut distrukturkan secara fungsional baik dalam arah horizontal maupun vertikal

- HMSRS meliputi hak pemilikan perseorangan yang digunakan secara terpisah, hak bersama atas bagian bersama, benda bersama dan tanah bersama yang kesemuanya itu merupakan satu kesatuan hak yang secara fungsional tidak terpisahkan.

- Hak kepemilikan perseorangan merupakan ruangan ruangan dalam bentuk geometrik tiga dimensi yang tidak selalu dibatasi oleh dinding

- Dalam hal ruangan dibatasi oleh dinding, permukaan bagian dalam dari dinding pemisah permukaan bagian bawah dari langit-langit struktur, permukaan bagian atas dari lantai struktur merupakan batas pemilikannya

- Dalam hal ruangan sebagian tidak dibatasi dinding, batas permukaan dinding bagian luar yang berhubungan langsung dengan udara luar yang ditarik secara vertikal merupakan pemilikannya

- Dalam hal ruangan, keseluruhannya tidak dibatasi dinding, garis batas yang ditentukan dan ditarik secara vertikal yang penggunaannya sesuai dengan peruntukannya merupakan batas pemilikannya.

Page 152: (overmacht) over the

124

b) Pasal 25 ayat 3 jo Pasal 26 ayat 1 UU Rumah Susun

Pemisahan rumah susun menjadi satuan rumah susun, terdiri atas pemisahan terhadap: - Batas sarusun yang

dapat digunakan secara terpisah untuk setiap pemilik

- Batas dan uraian atas bagian bersama dan benda bersama yang menjadi hak setiap sarusun

- Batas dan uraian tanah bersama dan besarnya bagian yang menjadi hak setiap sarusun

c) Pasal 46 ayat 2 UU Rumah Susun jo Pasal 41 angka 1 PP Rumah Susun jo Pasal 1 angka 13 UU Rumah Susun jo Pasal 1 angka 7 PP Rumah Susun Hak atas bagian bersama, benda bersama dan hak atas tanah bersama berdasarkan atas NPP yaitu berdasarkan atas luas atau nilai satuan rumah susun yang bersangkutan pada waktu satuan tersebut diperoleh pemiliknya yang pertama kalinya untuk memperhitungkan biaya pembangunannya secara keseluruhan dan untuk menentukan harga jualnya

3.2.2. Penerapan Asas Hukum Kebendaan

Untuk dapat memahami sistem hukum kebendaan Indonesia maka lebih

dahulu perlu dipahami asas-asas hukum yang menaunginya. Karena sistem hukum

kebendaan nasional diikat oleh asas-asas hukum yang mengandung nilai etis

Page 153: (overmacht) over the

125

sebagai dasar pembuatan perundang-undangan sampai kepada peraturan-

peraturannya.

Asas hukum berfungsi sebagai pengikat peraturan-peraturan hukum yang

nampaknya berdiri sendiri-sendiri dan berserakan dalam pelbagai jenis dari yang

tertinggi sampai dengan yang terendah tingkatannya. Oleh karena itu, maka

dikenal adanya pertingkatan peraturan-peraturan hukum yang memberikan

keabsahan kepada masing-masing jenis peraturan-peraturan hukum tersebut dan

karena pertingkatan peraturan-peraturan tersebut lahirlah pula pelbagai peraturan-

peraturan hukum, yang dibentuk oleh kelembagaan yang berwenang.

Sudikno Mertokusumo mengatakan bahwa asas hukum atau prinsip hukum

bukanlah peraturan hukum konkret, melainkan merupakan pikiran dasar yang

umum sifanya atau merupakan latar belakang dari peraturan yang konkret yang

terdapat dalam atau di belakang setiap sistem hukum yang terjelma dalam

peraturan perundangan dan putusan hakim yang merupakan hukum positip dan

data diketemukan dengan mencari sifat-sifat umum dalam peraturan konkret

tersebut, dengan demikian asas hukum dan cita hukum inilah yang menjadi

perekat bagi pelbagai peraturan–peraturan hukum positip yang ada, yang pada

gilirannya membentuk suatu sistem hukum. Hukum benda adalah sub system dari

Hukum Nasional yaitu keseluruhan dari kaidah-kaidah hukum yang mengatur

hubungan-hubungan hukum antara subyek hukum dengan benda dan hak

kebendaan.210

Mengacu pada penulisan ini yaitu mengenai obyek kebendaan hak

milik atas satuan rumah susun.

210

Mariam Darus Badrulzaman I, op.cit, hal.44.

Page 154: (overmacht) over the

126

Asas Hukum Benda yang menjadi dasar penormaan Hukum Kebendaan,

yaitu:

1) Hukum kebendaan merupakan hukum memaksa/tidak dapat disimpangi

(dwingend recht)

2) Hak kebendaan dapat dipindahtangankan/dialihkan

3) Asas individualitas (individualitet) / asas specialitas

4) Asas totalitas/menyeluruh atas benda (totalitet)

5) Asas accessie dan asas pemisahan horizontal

6) Asas hak mengikuti benda (zaaksgevlog, droit desuite)

7) Asas prioritas (prioritet)

8) Asas percampuran (vermenging)

9) Asas publisitas (publiciteit);

10) Asas perlindungan

11) Sifat Perjanjiannya sebagai perjanjian kebendaan (zakelijke recht)

Terkait dengan asas-asas hukum benda yang telah dipaparkan diatas,

diterapkan pula pada Hak Milik atas Satuan Rumah Susun, dapat diuraikan

sebagai berikut:

Objek kebendaan Hak Milik atas Satuan Rumah Susun karena ditentukan

oleh Undang-Undang Rumah Susun, bukan terjadi karena kesepakatan antara para

pihak, oleh karena Hukum Benda menganut azas Sistem tertutup sehingga

HMSRS memenuhi syarat sebagai Hak Kebendaan.

Rumah Susun sebelum dipisahkan menjadi Satuan Rumah Susun harus

dibuatkan Pertelaan yang memberikan kejelasan atas: (a). Batas sarusun yang

Page 155: (overmacht) over the

127

dapat digunakan secara terpisah untuk setiap pemilik; (b). Batas dan uraian atas

bagian bersama dan benda bersama yang menjadi hak setiap sarusun dan (c).

Batas dan uraian tanah bersama dan besarnya bagian yang menjadi hak setiap

sarusun. Di dalam Akta Pemisahan Rumah Susun juga disebutkan masing-masing

Satuan Rumah Susun berikut Nilai Perbandingan Proporsionalnya, kesemuanya

itu untuk memenuhi azas spesialitas.211

Satuan-Satuan Rumah Susun yang dapat

dimiliki secara terpisah dan Bagian Bersama, Benda Bersama serta Tanah

Bersama merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan dan dengan

demikian memenuhi azas Totalitas.212

Pemisahan/Pertelaan yang jelas dituangkan dalam bentuk Gambar dan

Uraian untuk selanjutnya dituangkan dalam bentuk Akta Pemisahan.213

Adapun

Akta Pemisahan harus didaftarkan pada Kantor Pertanahan dengan maksud untuk

memenuhi azas publisitas dan dengan dialihkannya pemilikan HMSRS kepada

orang lain, maka Penyelenggara Pembangunan dapat melaksanakan jual beli. Jika

Satuan Rumah Susun tersebut dibeli oleh peminatnya, maka dengan akta PPAT214

211

Vide Pasal 39 PP Rumah Susun jo Pasal 25 ayat 1 dan ayat 3 UU Rumah

Susun. 212

Vide Pasal 46 UU Rumah Susun. 213

Vide Pasal 25 dan 26 UU Rumah Susun. 214

Setelah pembangunan rumah susun selesai maka proses jual beli dapat

dilakukan melalui Akta PPAT (Akta Jual Beli), hal ini dapat dilakukan bilamana

telah diterbitkannya Sertifikat Laik Fungsi dan SHM Sarusun (Pasal 44 Rumah

Susun), dan proses jual beli sarusun juga dapat dilakukan sebelum pembangunan

rumah susun itu selesai, dalam hal ini dapat dilakukan melalui PPJB yang dibuat

dihadapan Notaris, hal ini dapat dilakukan bila telah memenuhi persyaratan

kepastian atas (a). status kepemilikan tanah; (b). kepemilikan IMB;

(c). ketersediaan prasarana, sarana dan utilitas umum; (d). keterbangunan paling

sedikit 20% (duapuluh persen); dan (e). hal yang diperjanjikan (Pasal 43 UU

Rumah Susun).

Page 156: (overmacht) over the

128

dilakukan pemindahan haknya, agar perbuatan hukum tersebut mengikat pihak

ketiga serta memenuhi azas publisitas.

Guna menjamin kepastian hak bagi pemilikan Satuan Rumah Susun, maka

diberi alat pembuktian yang kuat berupa sertipikat HMSRS yang diterbitkan oleh

Kantor Pertanahan, Sertipikat HMSRS yang dimaksud terdiri dari:

a. Salinan Buku Tanah dan Surat Ukur Tanah bersama menurut ketentuan

Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 (sekarang Peraturan

Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997).

b. Gambar Denah Lantai pada Tingkat Rumah Susun yang bersangkutan yang

menunjukkan sarusun yang dimiliki

c. Pertelaan mengenai besarnya bagian hak atas Bagian Bersama, Benda

Bersama dan Tanah Bersama.215

Disamping memberikan jaminan kepastian hukum terhadap pemegang

haknya juga sekaligus memberikan perlindungan hukum, dalam hal ini diterapkan

asas perlindungan.216

Semua tahapan-tahapan mulai dari perolehan tanah yang menjadi Tanah

Bersama dan dipenuhinya syarat-syarat yang ditentukan dalam Undang-Undang

hingga pendaftaran Hak Milik atas Satuan Rumah Susun harus dipenuhi karena

hak kebendaan bersifat mutlak (azas absolut). Hak Mutlak yang diberikan

terhadap pemilikan SRS tersebut, dengan memiliki ciri-ciri sebagai berikut:

1. Jangka waktu HMSRS sesuai dengan jangka waktu tanah hak bersama

dimana rumah susun didirikan;

215

Vide Pasal 47 ayat 3 UU Rumah Susun. 216

Vide Pasal 47 ayat 4 UU Rumah Susun.

Page 157: (overmacht) over the

129

2. Turun–temurun, apabila pemiliknya meninggal dunia HMSRS beralih

kepada ahli warisnya karena hukum;

3. HMSRS dapat dijadikan jaminan pelunasan utang dengan dibebani hak

tanggungan;

4. HMSRS dapat dipindahkan kepada pihak lain melalui perbuatan hukum

pemindahan hak;

5. Batas-batas kepemilikan HMSRS ditetapkan secara pasti dalam

sertipikatnya.217

Hak Milik Atas Satuan Rumah susun disamping dapat dialihkan haknya

juga dapat dijadikan jaminan hutang untuk setiap pemberian kredit konstruksi

dengan dibebani Hak Tanggungan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-

undangan yang berlaku.218

Selanjutnya Pasal 27 UU Hak Tanggungan,

menegaskan bahwa HMSRS dapat ditunjuk sebagai jaminan pelunasan utang

dengan dibebani Hak Tanggungan, dimana setiap pembeli HMSRS dapat

memperoleh fasilitas KPR/Kredit Pemilikan Satuan Rumah Susun tersebut dapat

pula dibebani Hak Tanggungan sebagai jaminan pelunasan atas KP-SRS yang

bersangkutan apabila luas lantainya 70m2 atau lebih.219

Setelah terjadinya Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun yang dapat

dialihkan dengan akta Pejabat Pembuat Akta Tanah atau Berita Acara Lelang juga

bisa terjadi peralihan hak karena pewarisan.220

Dengan demikian HMSRS

memenuhi azas kebendaan yaitu azas dapat diserahkan dan azas Hak mengikuti

Benda (Zaaksgevolg, droit de suite).

217

Otom Mustomi dan Mimim Mintarsih dalam Reformasi Hukum, Aspek

Hukum Sewa-Menyewa Rumah Susun di Wilayah DKI Jakarta, Vol.VI No.1

Januari-Juni 2003, Universitas Islam Indonesia,Jakarta, hal.61. 218

Vide Pasal 47 ayat 5 UU Rumah Susun. 219

Otom Mustomi dan Mimim Mintarsih, Op.cit, hal.63. 220

Vide Pasal 54 ayat 2 huruf a UU Rumah Susun jo Pasal 42 PP Rumah

Susun.

Page 158: (overmacht) over the

130

Telaah seksama penerapan asas hukum benda terhadap HMSRS, penulis

dapat uraikan dalam bagan berikut ini:

Bagan 3.3: Bagan Penerapan Asas Hukum Benda terhadap HMSRS.

Sumber: Mariam Darus Badrulzaman I, UU Rumah Susun dan PP Rumah

Susun yang penulis olah sendiri dalam bentuk bagan (Cetak tebal dan garis

bawah oleh penulis).

PENERAPAN ASAS HUKUM BENDA TERHADAP HMSRS

Asas Hukum Benda

HMSRS dalam UU Rumah Susun dan PP Rumah Susun

1). Asas Totalitas

Pasal 46 UU Rumah Susun, menyatakan bahwa

Satuan Rumah Susun dapat dimiliki secara

terpisah dengan hak bersama atas bagian bersama,

benda bersama dan tanah bersama yang

kesemuanya itu merupakan satu kesatuan hak

yang tidak dapat dipisahkan.

2). Asas Spesialitas Pasal 25 ayat 1 jo 3 UU Rumah Susun jo Pasal

39 PP Rumah Susun, yang menyatakan bahwa

sebelum satuan rumah susun dipisahkan,

dibuatkan pertelaan yang memuat rincian

kejelasan atas: Batas sarusun yang dapat

digunakan secara terpisah untuk setiap pemilik,

batas dan uraian atas bagian bersama dan benda

bersama yang menjadi hak setiap sarusun serta

Batas dan uraian tanah bersama dan besarnya

bagian yang menjadi hak setiap sarusun.

3). Asas Publisitas Pasal 25 UU Rumah Susun jo Pasal 26 UU

Rumah Susun jo Pasal 47 ayat 4 UU Rumah

Susun, Setelah diadakan pemisahan terhadap

satuan rumah susun, kemudian dibuatkan Akta

pemisahan dan Akta Pemisahan tersebut

selanjutnya didaftarkan pada kantor pertanahan

dengan maksud agar diketahui siapa pemilik

sarusun yang telah mendaftar pertama kali pada

kantor pertanahan, sehingga nantinya diketahui

oleh pihak ketiga dan oleh karenanya HMSRS

tersebut tidak dapat diganggu gugat oleh pihak

ketiga.

4). Asas Perlindungan Pasal 47 ayat 3 dan 4 UU Rumah Susun jo

Pasal 44 PP Rumah Susun, pada intinya setelah

diadakan peralihan hak kebendaan rumah susun

maka untuk menjamin kepastian hak dan

perlindungan hak dalam pemilikan satuan rumah

Page 159: (overmacht) over the

131

susun maka diterbitkanlah sertifikat HMSRS yang

terdiri atas:

- Salinan Buku Tanah dan Surat Ukur Tanah

- Gambar Denah Lantai pada Tingkat Rumah

Susun yang menunjukkan sarusun yang

dimiliki

- Pertelaan mengenai besarnya bagian hak atas

bagian bersama dan tanah bersama

5). Asas hak kebendaan

dapat dialihkan dan droit

de suite (mengikuti

bendanya)

Pasal 47 ayat 5 jo Pasal 54 ayat 2 huruf a UU

Rumah Susun jo 42 ayat 1 PP Rumah Susun, Hak Milik atas Satuan Rumah susun disamping

dapat dialihkan haknya juga dapat dijadikan

jaminan hutang untuk setiap pemberian kredit

konstruksi dengan dibebani Hak Tanggungan.

Setelah terjadinya HMSRS yang dapat dialihkan

dengan akta Pejabat Pembuat Akta Tanah (Jual

Beli) atau Berita Acara Lelang (peralihan hak

karena pewarisan).

6). Asas kebendaan

bersifat mutlak (asas

absolut)

- Jangka waktu HMSRS sesuai dengan jangka

waktu tanah hak bersama dimana rumah susun

didirikan

- Turun-temurun, apabila pemiliknya

meninggal dunia HMSRS beralih kepada ahli

warisnya karena hukum;

- HMSRS dapat dijadikan jaminan pelunasan

utang dengan dibebani hak tanggungan;

- HMSRS dapat dipindahkan kepada pihak lain

melalui perbuatan hukum pemindahan hak;

- Batas-batas kepemilikan HMSRS ditetapkan

secara pasti dalam sertipikatnya.

7). Asas Sistem Tertutup

Objek kebendaan Hak Milik atas Satuan Rumah

Susun karena ditentukan oleh Undang-Undang

Rumah Susun, bukan terjadi karena kesepakatan

antara para pihak, oleh karena Hukum Benda

menganut asas Sistem tertutup sehingga HMSRS

memenuhi syarat sebagai Hak Kebendaan.

Page 160: (overmacht) over the

132

3.3. Arti Penting Klausula Pertelaan dalam Pengaturan Konsepsi Hak Milik

Atas Satuan Rumah Susun

3.3.1. Klausula pertelaan sebagai syarat dalam pemisahan Hak Milik Atas

Satuan Rumah Susun

Pembangunan rumah susun dan lingkungannya harus dibangun dan

dilaksanakan berdasarkan perizinan yang diberikan oleh Pemerintah Daerah

setempat sesuai dengan peruntukkannya (persyaratan administratif). Merujuk

kepada Pasal 28 UU Rumah Susun, yang dimaksud dengan persyaratan

administratif pembangunan rumah susun yaitu persyaratan yang mengatur

mengenai :

(i) Perizinan usaha dari perusahaan pembangunan perumahan;

(ii) Izin lokasi dan/atau peruntukkannya; serta

(iii) Perizinan mendirikan bangunan.

Rumah susun dan lingkungannya harus dibangun dan dilaksanakan

berdasarkan perizinan yang diberikan oleh Pemerintah Daerah. Perizinan

dimaksud diajukan oleh penyelenggara pembangunan kepada Pemerintah Daerah

terkait dengan melampirkan persyaratan-persyaratan sebagai berikut:

1. Sertifikat hak atas tanah; 2. Fatwa peruntukan tanah (advies planning) yaitu sùatu keterangan yang

memuat lokasi yang dimaksud terhadap lingkungan sekitarnya beserta penjelasan peruntukan tanah dengan perincian mengenai kepadatan dan garis sempadan bangunan.

3. Rencana tapak (site plan) yaitu rencana tata letak bangunan 4. Gambar rencana arsitektur yang memuat denah dan potongan beserta

pertelaannya yang menunjukkan dengan jelas batasan vertikal dan horizontal dari satuan rumah susun.

5. Gambar rencana struktur beserta perhitungannya; 6. Gambar rencana menunjukkan dengan jelas bagian bersama, benda

bersama, dan tanah bersama; 7. Gambar rencana jaringan dan instalasi beserta perlengkapannya.

221

221

Vide Pasal 29 ayat 4 UU Rumah Susun.

Page 161: (overmacht) over the

133

Ketentuan-ketentuan dalam persyaratan teknis diatur oleh Menteri

Pekerjaan Umum dan semua persyaratan teknis tersebut harus sesuai dengan

rencana tata kota setempat. Persyaratan teknis pembangunan rumah susun antara

lain mengatur mengenai :

(i) Peruntukan lokasi dan struktur bangunan;

(ii) Persyaratan keamanan, keselamatan, kenyamanan;

(iii) Hal-hal yang berhubungan dengan rancang bangunan.

Persyaratan teknis yang harus dipenuhi dalam pembangunan rumah susun,

yaitu sebagai berikut :

a. Harus ada hubungan langsung maupun tidak langsung dari semua

ruangan yang dipergunakan untuk kegiatan sehari-hari (Pasal 11 PP

Rumah Susun).

b. Struktur komponen dan bahan bangunan ditentukan dengan memenuhi

syarat konstruksi sesuai dengan standar yang berlaku (Pasal 12 PP

Rumah Susun).

c. Kelengkapan rumah susun sempurna (Pasal 14 PP Rumah Susun).

d. Syarat-syarat untuk bagian bersama, harus memperhatikan keserasian,

keseimbangan dan keterpaduan (Pasal 20 PP Rumah Susun).

e. Benda bersama harus mempunyai dimensia, lokasi, kualitas, kapasitas

yang memenuhi syarat (Pasal 21 PP Rumah Susun).

f. Rumah susun harus dibangun di lokasi yang sesuai dengan lingkungan

(Pasal 22 PP Rumah Susun).

Page 162: (overmacht) over the

134

g. Kepadatan bangunan lingkungan harus diperhitungkan agar tercapai

optimasi daya guna dan hasil guna tanah (Pasal 23 PP Rumah Susun).

h. Prasarana lingkungan harus lengkap (Pasal 25 PP Rumah Susun).

i. Fasilitas Lingkungan yang tersedia sesuai dengan standar yang berlaku

(Pasal 27 PP Rumah Susun jo Pasal 40 UU Rumah Susun).

Persyaratan teknis pembangunan rumah susun ini ditujukan untuk

menjamin keselamatan, keamanan, ketenteraman serta ketertiban para penghuni

dan pihak lainnya. Pengaturan atas bagian bangunan yang masing-masing dapat

dimiliki dan digunakan secara terpisah mengandung hak atas bagian bersama,

benda bersama, dan tanah bersama, memberikan landasan bagi sistem

pembangunan yang mewajibkan kepada penyelenggara pembangunan

(“developer”) untuk melakukan pemisahan rumah susun atas satuan-satuan rumah

susun dengan pembuatan akta pemisahan dan disahkan oleh Instansi yang

berwenang. Atas dasar pemisahan yang dilakukan dengan akta dengan

melampirkan gambar, uraian dan pertelaan yang disahkan oleh instansi yang

berwenang dan didaftarkan sebagaimana disyaratkan tersebut memberikan

kedudukan sebagai benda tak bergerak yang dapat menjadi obyek pemilikan

(“real property”), sedangkan dalam segi lain, pengaturan tersebut memberikan

landasan bagi sistem pemilikan, ditunjukkan bahwa HMSRS, dalam

kedudukannya sebagai hak kebendaan, meliputi hak milik atas satuan yang

bersifat perseorangan dan terpisah, termasuk juga hak atas bagian bersama, benda

bersama, dan tanah bersama yang kesemuanya merupakan satu kesatuan yang

tidak terpisahkan dengan satuan yang bersangkutan.

Page 163: (overmacht) over the

135

Penyelenggaraan pembangunan wajib meminta pengesahan pertelaan222

yang menunjukkan batasan yang jelas dari satuan rumah susun, bagian bersama,

benda bersama, dan tanah bersama, beserta uraian nilai perbandingan

proporsionalnya setelah memperoleh izin. Lebih lanjut, dalam ketentuan Pasal 27

UU Rumah Susun ditegaskan bahwa berkenaan dengan pemisahan rumah susun,

gambar dan uraian pertelaan diatur dengan peraturan pemerintah. Pertelaan

diuraikan dalam bentuk:

1). Gambar Pertelaan, yaitu gambar yang memperlihatkan batas-batas

kepemilikan perseorangan maupun kebersamaan yang distrukturkan secara

vertikal maupun horizontal yang merupakan satu kesatuan fungsi dalam

kegunaannya, yang mengandung nilai perbandingan proposional (NPP), yang

terdiri atas:

a. Satuan lingkungan tanah bersama yang mengambarkan benda bersama.

b. Tanah bersama (sesuai GS/SU lampiran sertipikat).

222

Proses Pengesahan Pertelaan melalui: (a). Untuk daerah yang telah

mempunyai PERDA Rumah Susun, Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota

atau Kepala Kanwil DKI Jakarta mengundang instansi teknis terkait untuk Rapat

Koordinasi membahas pertelaan dan Akta Pemisahan Rumah Susun yang dibuat

oleh pengembang, dan dituangkan dalam Berita Acara Penelitian Pertelaan Rumah

Susun dengan melampirkan SK pengesahan pertelaan oleh Kepala Daerah

Kab./Kota, atau Gubernur untuk Provinsi DKI Jakarta dan masing masing instansi

terkait membubuhkan paraf, hasil akhirnya berupa Surat Keputusan Pengesahan

Pertelaan. (b).Terhadap Daerah yang belum mempunyai PERDA Rumah Susun,

tanpa Rapat Koordinasi tetapi Draft SK Pengesahan Pertelaan disiapkan oleh

Kepala Kantor Pertanahan dengan melampirkan persyaratan administrasi dan

teknis sesuai ketentuan yang berlaku, dilengkapi Berita Acara Pemeriksaan Fisik

Rumah Susun, kemudian SK Pengesahan Pertelaan dan Akta Pemisahan, dan

persyaratan lainnya, dengan surat pengantar dari Kepala Kantor Pertanahan

Kab./Kota atau Kepala Kanwil BPN DKI Jakarta khusus untuk Provinsi DKI

Jakarta diajukan kepada Bupati/Walikota atau Gubenur Provinsi DKI Jakarta

untuk pengesahannya.

Page 164: (overmacht) over the

136

c. Denah masing masing lantai, terdiri dari bagian bersama dan bagian

perseorangan.

d. Tampak bangunan Rusun dari segala arah.

e. Potongan dari dua arah vertikal dan horizontal terhadap bangunan Rusun.

f. Potongan dari 2 (dua) arah antara unit Satuan Rusun dengan unit lainnya,

antara unit Satuan Rusun dengan bagian bersama (kuzen, dinding, plafon)

secara tipikal

2). Uraian Pertelaan

Uraian Pertelaan berisi penjelasan secara deskriptif dari gambar pertelaan

mengenai satuan rumah susun, bagian bersama, benda bersama dan tanah bersama

yang dilengkapi dengan spesifikasi teknis yang mengandung NPP. Bagian uraian

pertelaan yang dimaksud, antara lain:

a). Satuan Rumah Susun

Satuan rumah susun, yaitu bagian rumah susun yang tujuan peruntukan

utamanya digunakan secara terpisah sebagai tempat hunian yang mempunyai

sarana penghubung ke jalan umum.223

Satuan rumah susun harus mempunyai

ukuran standar yang dapat dipertanggungjawabkan dan memenuhi persyaratan

sehubungan dengan fungsi dan penggunaannya serta harus disusun, diatur dan

dikoordinasikan untuk dapat mewujudkan suatu keadaan yang dapat menunjang

kesejahteraan dan kelancaran bagi penghuni dalam menjalankan kegiatan sehari-

hari untuk hubungan kedalam maupun keluar.224

223

Vide Pasal 1 angka (3) UU Rumah Susun. 224

Vide Pasal 16 PP Rumah Susun.

Page 165: (overmacht) over the

137

Satuan rumah susun dapat berada pada permukaan tanah, diatas atau

dibawah permukaan tanah atau sebagian dibawah dan sebagian diatas permukaan

tanah, merupakan dimensi dan volume ruang tertentu sesuai dengan yang telah

direncanakan. Satuan Rumah Susun,yang dimaksud terdiri atas: (i).Permukaan

dinding pemisah bagian dalam didalam Satuan Rumah Susun, (ii).Lantai bagian

dalam didalam satuan rumah susun, (iii). dinding pemisah ruang dalam yang

menjadi bagian dari satuan rumah susun, (iv). kusen pintu dan jendela, daun pintu

dan jendela, (v).plafon bagian dalam didalam satuan rumah susun, (vi).Instalasi

listrik, (vii).telepon, (viii).AC, yang kesemua bagian tersebut berada dalam satuan

rumah susun dan digunakan/dimanfaatkan hanya untuk dan oleh satuan rumah

susun yang bersangkutan.225

b). Bagian bersama

Bagian Bersama yaitu bagian rumah susun yang dimiliki secara tidak

terpisah untuk pemakaian bersama dalam kesatuan fungsi dengan satuan- satuan

rumah susun, yang berupa fondasi, kolong, balkon, dinding, lantai, atap, talang

air, tangga, lift, saluran pipa, jaringan listrik, gas dan telekomunikasi.226

c). Benda Bersama

Benda bersama adalah benda yang bukan merupakan bagian rumah susun,

tetapi yang dimiliki bersama secara tidak terpisah untuk pemakaian bersama, yang

terdiri dari ruang pertemuan, tanaman, bangunan pertamanan, bangunan sarana

225

Vide Pasal 17 PP Rumah Susun. 226

Vide Pasal 1 angka (5) UU Rumah Susun jo Penjelasan Pasal 25 ayat (1)

UU Rumah Susun.

Page 166: (overmacht) over the

138

sosial,tempat ibadah,tempat bermain,tempat parkir yang terpisah atau menyatu

dengan struktur bangunan rumah susun.227

d). Tanah Bersama

Tanah bersama, yaitu sebidang tanah yang digunakan atas dasar hak

bersama secara tidak terpisahkan yang diatasnya berdiri rumah susun dan

ditetapkan batasnya dalam persyaratan ijin bangunan. Bagian dari tanah bersama

terdiri atas:

(i). Tanah bersama tempat berdirinya rumah susun tesebut, dengan segala

fasilitasnya, dibuktikan dengan sertifikat yang memuat: Jenis hak,

Nomor Hak, Pemegang Hak, Masa Berlakunya, Luas Tanah dan Batas

Tanah;

(ii). Status tanah bersama;

(iii). Letak batas dari luas tanah bersama sesuai dengan daerah

perencanaannya yang menjadi dasar penentuan Koefisien Dasar

Bangunan (KDB) dan Koefisien Lantai Bangunan (KLB);

(iv). Tanah bersama hanya untuk satu satuan lingkungan rumah susun

dengan satu sertipikat tanah seperti dimaksud pada keterangan huruf i

dan huruf ii diatas, dengan dibebani Kredit Konstruksi.228

e). NPP

NPP adalah angka yang menunjukkan perbandingan antara sarusun terhadap

hak atas bagian bersama, benda bersama, dan tanah bersama yang dihitung

berdasar nilai sarusun yang bersangkutan terhadap jumlah nilai rumah susun

227

Vide Pasal 1 angka 6 UU Rumah Susun jo Penjelasan Pasal 25 ayat (1)

UU Rumah Susun. 228

Vide Pasal 1 angka 4 UU Rumah Susun.

Page 167: (overmacht) over the

139

secara keseluruhan pada waktu pelaku pembangunan pertama kali

memperhitungkan biaya pembangunannya secara keseluruhan untuk menentukan

harga jualnya. 229

Pertelaan yang dibuat Pelaku Pembanguan Rumah Susun menjadi dasar

perhitungan NPP dan merupakan salah satu syarat untuk pengesahan “akta

pemisahan rumah susun”.Pembuatan pertelaan rumah susun “harus” memenuhi

syarat administrasi dan memberikan gambaran yang tegas, jelas, nyata dan benar

serta batasan-batasan dalam arah vertikal dan horisontal atas Satuan Rumah Susun

yang meliputi bagian bersama, benda bersama dan tanah bersama. Pertelaan

mempunyai peranan yang sangat penting dalam pemenuhan syarat administrasi

pembangunan rumah susun, karena pertelaan merupakan dasar dan landasan bagi

penerbitan sertipikat HMSRS dan pembuatan Akta Pemisahan serta dengan

pertelaan akan tegas, jelas, nyata dan benar batasan-batasan pada bagian mana

dari rumah susun yang menjadi bagian bersama, benda bersama dan tanah

bersama sebagai prasarana dan sarana umum dalam (bangunan) rumah susun yang

diperuntukkan, dipergunakan dan dimanfaatkan bersama-sama oleh pemilik dan

/atau penghuni (bangunan) rumah susun, dan pada bagian mana dari rumah susun

yang menjadi milik pribadi masing-masing pemilik Satuan Rumah Susun.

3.3.2. Bentuk Penjabaran dan Penerapan Asas Proporsionalitas dan

Keadilan Berbasis Kontrak.

Pembahasan tentang hubungan kontraktual para pihak pada hakikatnya

tidak dapat dilepaskan dalam hubungannya dengan masalah keadilan. Oleh karena

itu. sangat tepat dan mendasar apabila dalam melakukan analisis tentang asas

229

Vide Pasal 1 angka 13 UU Rumah Susun.

Page 168: (overmacht) over the

140

proporsionalitas dalam kontrak justru dimulai dari aspek filosofis keadilan

berkontrak.

Di dalam kamus Bahasa Indonesia, istilah keadilan berasal dari kata adil,

artinya tidak memihak, sepatutnya, tidak sewenang-wenang. Jadi keadilan

diartikan sebagai sikap atau perbuatan yang adil. Di dalam literatur Inggris, istilah

keadilan disebut dengan justice kata dasarnya jus. Perkataan jus berarti hukum

atau hak, dengan demikian salah satu pengertian dari justice adalah hukum. Kata

justice sebagai lawfulness yaitu keabsahan menurut hukum. Pengertian lain yang

melekat pada keadilan dalam makna yang lebih luas adalah fairness yang sepadan

dengan makna layak atau suatu kelayakan.230

Pada dasarnya makna dari suatu pengertian atau definisi keadilan berupaya

memberi pemahaman mengenai apa itu keadilan. Dari definisi tersebut akan

diketahui ciri-ciri suatu gejala yang memberi identitas atau tanda tentang keadilan,

sifat dasar dan asal mula keadilan, atau mengapa suatu gejala tertentu disebut

keadilan bukan merupakan tugas definisi keadilan, melainkan hanya dapat

diterangkan dengan bantuan teori keadilan.

Salah satu diantara teori keadilan yang dimaksud antara lain teori keadilan

dari Aristoteles. Filsuf besar seperti Aristoteles, menyatakan bahwa" justice

consists in treating equals equally and unequals unequally, in proportion to their

inequality" (prinsip bahwa yang sama diperlakukan secara sama, dan yang tidak

sama juga diperlakukan tidak sama secara proporsional). Pemikiran Aristoteles

tentang keadilan inilah merupakan salah satu titik tolak pemikiran dari Agus

Yudha Hernoko tentang pentingnya asas proporsionalitas dalam hubungan

230

Bahder Johan Nasution II, op.cit, hal.97-98.

Page 169: (overmacht) over the

141

kontraktual para pihak.231

Aristoteles menekankan teorinya pada perimbangan

atau proporsi. Penekanan perimbangan atau proporsi pada teori keadilan

Aristoteles, dapat dilihat dari apa yang dikatakannya bahwa kesamaan hak itu

haruslah sama di antara orang-orang yang sama. Maksudnya pada satu sisi

memang benar bila dikatakan bahwa keadilan berarti juga kesamaan hak, namun

pada sisi lain harus dipahami pula bahwa keadilan juga berarti ketidaksamaan

hak.232

Sedangkan tolak ukur hukum yang adil menurut Thomas Aquinas yaitu:

According to Aquinas, human laws are just when they serve the common

good, distribute burdens firly, show no disrespect for God, and do not

exceed the law’s maker authority. When laws framed by human fails to

satisfy these conditions, they are unjust. And then, Aquinas says, they do

not “bind in conscience”233

Terjemahan bebasnya berarti:

Aquinas menyatakan “hukum manusia” atau hukum positif adil apabila

mengabdi kepada kebaikan umum, mendistribusikan kewajiban secara

jujur, tidak melecehkan Tuhan dan pembentuk undang-undang tidak

melampaui batas kekuasaannya. Bila hukum positif lalai memenuhi kondisi

itu, maka hukum tidak adil dan tidak mempunyai kekuatan mengikat.

Beranjak dari pemikiran keadilan, sebagaimana telah dikemukakan oleh

Aristoteles dan Thomas Aquinas, dapat disimpulkan dengan pernyataan sebagai

berikut:

Justice forms the substance of the law, but his heterogeneous substance is

composed of three elements: an individual elemen; the suum cuiquire

tribuende (individual justice); a social element; the changing fundation of

prejudgments upon which civilization reposes at any given moment (social

justice), and a political element, which is based upon the reason of the

231

Aristoteles dalam Agus Yudha Hernoko, op.cit, hal.48. 232

Bahder Johan Nasution II, op.cit, hal.101. 233

David Lyons dalam Dewa Gede Atmadja, Filsafat Hukum: Dimensi

Tematis dan Historis, 2013, Setara Press, Malang, hal.79.

Page 170: (overmacht) over the

142

strongest, represented in the particular case by the state (justice of the

state).234

Terjemahan bebasnya berarti:

Keadilan membentuk substansi hukum, tetapi substansi heterogennya

terdiri dari tiga elemen: sebuah elemen individual; (keadilan individual),

sebuah elemen sosial; perubahan dasar pra duga atas mana peradaban

terjadi pada saat tertentu (keadilan sosial), dan elemen politik, yang

didasarkan pada alasan yang terkuat, yang diwakili dalam kasus tertentu

oleh negara (keadilan negara).

Dalam konsep negara-negara modern penekanan terhadap prinsip keadilan

diberikan dengan menyatakan bahwa tujuan hukum yang sebenarnya adalah untuk

menciptakan keadilan dalam masyarakat. Tujuan hukum tersebut, sejalan dengan

pendapat Ulpianus yang menyatakan bahwa iuris pracepta sunt haec:honeste

vivere alterum non-laedere, suum cuique tribuere yang diterjemahkan secara

bebas berarti perintah hukum adalah hidup jujur, tidak merugikan sesama

manusia dan setiap orang mendapat bagiannya. 235

Kajian Theo Huijbers menunjukan ada dua paham filsafat mengenai

keterkaitan Hukum dan Keadilan. Paham aliran Filsafat Hukum Alam

merefleksikan pandangan bahwa keadilan terletak pada hakekat hukum. Dengan

begitu hukum sama dengan keadilan, hukum yang tidak adil bukan hukum. Hal ini

senada dengan pendapat Thomas Aquinas yang menyatakan: "One is morally

bound to obey just laws, but not unjust laws. One should obey unjust law only

when circumstances demand it,"in order to avoid scandal or disturbance”236

234

Radbruch and Dubin, dalam Bahder Johan Nasution II, op.cit, hal.118. 235

Peter Mahmud Marzuki II, op.cit, hal.162. 236

David Lyons, Ethics and the rule of law dalam Dewa Gede Atmadja,

op.cit , hal.70-71.

Page 171: (overmacht) over the

143

(Terjemahan bebasnya berarti setiap orang secara moral hanya terikat untuk

mentaati hukum yang adil, dan bukan kepada hukum yang tidak adil. Hukum yang

tidak adil harus dipatuhi hanya apabila tuntutan keadaan yakni untuk menghindari

skandal atau kekacauan).

Pendapat Thomas Aquinas tersebut didukung oleh O. Notohamidjojo, yang

menyatakan bahwa "Hukum perlu diperdalam (verdiept) oleh keadilan. Kalau

hukum dilepaskan dari keadilan dan moral, maka akan mendekati chaos dan

diktatur, kekacauan dan penindasan. Sehingga bangsa ini perlu dilayani dengan

hukum yang diperdalam oleh keadilan"237

Oleh karena itu "nilai keadilan" bersifat

subyektif, sedangkan eksistensi dari nilai-nilai hukum dikondisikan oleh fakta-

fakta yang dapat diuji secara obyektif. Oleh karena itu, harus dipahami bahwa

keadilan tidak selalu berarti semua orang harus selalu mendapatkan sesuatu dalam

jumlah yang sama, tanpa memerhatikan perbedaan-perbedaan yang secara objektif

ada pada setiap individu.

Sehubungan dengan hakikat keadilan dalam kontrak, beberapa sarjana

mengajukan pemikirannya tentang keadilan yang berbasis kontrak, Teori keadilan

berbasis kontrak ini sebelumnya telah dipelopori oleh John Locke, Rousseau dan

juga Immanuel Kant kemudian dikembangkan oleh John Rawls. Para pemikir

tersebut menyadari bahwa tanpa kontrak serta hak dan kewajiban yang

ditimbulkannya, maka masyarakat bisnis tidak akan berjalan. Oleh karena itu

tanpa adanya kontrak, orang tidak akan bersedia terikat dan bergantung pada

pernyataan pihak lain. Kontrak memberikan sebuah cara dalam menjamin bahwa

masing-masing individu akan memenuhi janjinya, dan selanjutnya hal ini

237

O. Notohamidjojo dalam Dewa Gede Atmadja, op.cit, hal.71.

Page 172: (overmacht) over the

144

memungkinkan terjadinya transaksi di antara mereka. Meskipun demikian, John

Rawls mengkritik teori keadilan oleh para pendahulunya tersebut yang cenderung

bersifat utilitarianisme dan institusionisme. Kedua pandangan ini bertolak

belakang dengan teori berbasis kontrak yang ingin dikembangkan oleh Rawls,

yakni konsep keadilan sebagai fairness.238

Dengan mengambil pelajaran dari

kegagalan teori-teori sebelumnya, Rawls mencoba menawarkan suatu bentuk pe-

nyelesaian yang terkait dengan problematika keadilan dengan membangun teori

keadilan berbasis kontrak. Menurutnya suatu teori keadilan yang memadai harus

dibentuk dengan pendekatan kontrak, dimana asas-asas keadilan yang dipilih

bersama benar-benar merupakan hasil kesepakatan bersama dari semua person

yang bebas, rasional, dan sederajat. Hanya melalui pendekatan kontrak sebuah

teori keadilan mampu menjamin pelaksanaan hak dan sekaligus mendistribusikan

kewajiban secara adil bagi semua orang. Oleh karenanya dengan tegas Rawls

menyatakan, suatu konsep keadilan yang baik haruslah bersifat kontraktual,

konsekuensinya setiap konsep keadilan yang tidak berbasis kontraktual harus

dikesampingkan demi kepentingan keadilan itu sendiri.

John Rawls dalam bukunya berjudul: "Theory of Justice", mengekspresikan

keadilan dapat berarti menurut hukum dan kesebandingan atau apa yang

semestinya. Teori Rawl fokus pada struktur dasar dari masyarkat, konstitusi

politik, sistem hukum dan sistem sosial. Atas dasar itu Rawl berusaha menemukan

238

Bagi Rawls, kesamaan harus dipahami dalam arti kesetaraan kedudukan

dan hak sebagai person dan bukan dalam arti kesamaan hasil yang diperoleh

setiap orang. Keadilan sebagai fairness tidak menuntut setiap orang yang terlibat

dan menempuh prosedur yang sama juga harus mendapatkan hasil yang sama,

namun sebaliknyakeadilan sebagai fairness menegaskan bahwa hasil dari prosedur

fair itu harus diterima sebagai sesuatu yang adil meskipun tiap orang tidak

mendapat hasil yang sama (Andre Ata Ujan, op.cit, hal.45).

Page 173: (overmacht) over the

145

seperangkat asas bagaimana dalam struktur sosial mendistribusikan beban

(burden) dan keuntungan (benefits) untuk mencapai keadilan.239

Apabila menempatkan diri pada posisi asli ,Rawls merumuskan dua

prinsip keadilan yang mendasar yaitu sebagai berikut:

1). Prinsip kebebasan yang sama sebesar-besarnya (principle of greatest

equal liberty). Menurut prinsip ini, setiap orang memberi hak dan

kesempatan yang sama atas kebebasan dasar yang paling luas seluas

kebebasan yang sama bagi setiap orang, dalam hal ini mempunyai hak

yang sama atas seluruh keuntungan masyarakat. Prinsip ini tidak

menghalangi orang untuk mencari keuntungan pribadi asalkan kegiatan

itu menguntungkan semua pihak 2). Prinsip ketidaksamaan, ketidaksamaan sosial dan ekonomi harus diatur

sedemikian rupa, sehingga diharapkan memberi keuntungan bagi setiap orang dan semua posisi dan jabatan terbuka bagi semua orang, mampu mengatur kembali kesenjangan sosial-ekonomi yang terjadi, sehingga dapat memberikan keuntungan yang bersifat timbal balik. dalam hal ini harus diberikan aturan sedemikian rupa sehingga paling menguntungkan golongan masyarakat yang paling lemah. Rumusan prinsip ini, merupakan gabungan dari dua prinsip yaitu prinsip perbedaan (difference principle) dan prinsip persamaan yang adil atas kesempatan (the principle of fair equality of opportunity )

240

Sehingga secara menyeluruh John Rawls dalam teorinya mengemukakan

bahwa ada tiga hal yang merupakan solusi bagi problema keadilan. Dalam

konteks ini Rawls menyebut justice as fairness, John Rawls lebih menekankan

prinsip-prinsip keadilan yang lebih mengutamakan asas hak daripada asas manfaat

sehingga dalam konteks ini Rawls merumuskan tiga prinsip-prinsip keadilan

distributif, yaitu sebagai berikut:

(1) Prinsip kebebasan yang sama bagi setiap orang (principle of greatest equal liberty), tentang hal ini dirumuskan oleh John Rawls sebagai berikut: Each person is to have an equal right to the most extensive basic liberty compatible with a similar liberty of others. (Setiap orang harus memiliki hak yang sama atas kebebasan dasar yang paling luas, seluas kebebasan yang sama bagi semua orang). Pengertian equal disini

239

Hari Chand, 1994, Modern Jurisprudence, International Law Book

Services, Malaysia, hal.279. 240

Huijbers dan Priyono dalam Dardji Darmodihardjo, et.al, op.cit, hal.165

Page 174: (overmacht) over the

146

yaitu sama atau sederajat diantara sesama manusia. Dengan kata lain, hanya dengan adanya jaminan kebebasan yang sama bagi semua orang, maka keadilan akan terwujud (Prinsip Kesamaan Hak);

(2) Prinsip perbedaan (the difference principle), yang dirumuskannya sebagai berikut: Social and economic inequalities are to be arranged so that they are both (a) reasonably expected to be to everyone's advantage, and (b) attached to positions and office open to all. (Ketidaksamaan dalam pencapaian nilai-nilai sosial dan ekonomi harus diatur sedemikian rupa sehingga (a) diharapkan memberikan keuntungan bagi setiap orang) (b).semua posisi dan jabatan terbuka bagi semua orang.

(3) Prinsip persamaan yang adil untuk memperoleh kesempatan bagi setiap orang (the principle of fair equality of opportunity), yaitu ketidaksamaan ekonomi harus diatur sedemikian rupa agar memberi kesempatan bagi setiap orang untuk menikmatinya. Asas ketidaksetaraan di bidang soial-ekonomi (principle of social and economic unequel) maknanya secara faktual persamaan kebebasan melahirkan kesenjangan dalam struktur dasar masyarkat, yaitu ketidaksetaraan sosial ekonomi ini seyogyanya dibuat aturan hukum yang paling menguntungkan bagi golongan masyarakat yang kedudukannya paling lemah.

241

Oleh John Rawls dikatakan suatu teori keadilan yang memadai harus

dibentuk dengan pendekatan kontrak dimana prinsip-prinsip keadilan yang dipilih

sebagai pegangan bersama merupakan hasil kesepakatan bersama dari semua

person yang bebas, rasional dan sederajat dan menjamin kepentingan para pihak

secara fair. Hanya melalui pendekatan kontrak inilah sebuah teori keadilan

mampu menjamin pelaksanaan hak dan sekaligus mendistribusikan kewajiban

secara adil bagi semua orang. 242

Landasan pemikiran Agus Yudha Hernoko, mengenai asas proporsionalitas

ini mengacu pada pemikiran P.S.Atiyah yang memberikan landasan pemikiran

bahwa dengan peran kontrak sebagai landasan pertukaran yang adil bahwa

transaksi tersebut dilakukan oleh para pihak yang berkontrak sesuai dengan apa

241

John Rawls, A Theory of Justice dalam Andre Ata Ujan, op.cit, hal.73,

Lihat juga Hari Chand, op.cit, hal.280. 242

Andre Ata Ujan, op.cit, hal.22.

Page 175: (overmacht) over the

147

yang diinginkan. P.S. Atijah dalam bukunya "An Introduction to The Law of

Contract", memberikan landasan pemikiran mengenai asas proporsionalitas dalam

kaitannya dengan peran kontrak sebagai landasan pertukaran yang adil di dunia

bisnis. Pada dasarnya asas proporsionalitas ini perwujudan doktrin keadilan

berkontrak yang mengoreksi asas kebebasan berkontrak yang dalam beberapa hal

justru menimbulkan ketidakadilan. Asas proporsional ini sangat berorientasi pada

koteks hubungan dan kepentingan para pihak, jadi disini adanya pembagian hak

dan kewajiban para pihak sesuai dengan proporsi atau bagiannya dalam seluruh

proses kontraktual.243

Agus Yudha Hernoko memberikan kriteria yang dapat dijadikan pedoman

dalam menentukan Asas proporsionalitas dalam kontrak, yaitu sebagai berikut:

a. Kontrak yang bersubstansi asas proporsional adalah kontrak yang memberikan pengakuan terhadap hak, peluang dan kesempatan yang sama kepada para kontraktan untuk menentukan pertukaran yang adil bagi mereka. Kesamaan bukan dalam arti "kesamaan hasil" melainkan pada posisi para pihak yang mengandaikan "kesetaraan kedudukan dan hak (equitability)" (prinsip kesamaan hak/kesetaraan hak);

b. Berlandaskan pada kesamaan/kesetaraan hak tersebut, maka kontrak yang bersubstansi asas proporsional adalah kontrak yang dilandasi oleh kebebasan para kontraktan untuk menentukan substansi apa yang adil dan apa yang tidak adil bagi mereka (prinsip kebebasan);

c. Kontrak yang bersubstansi asas proporsional adalah kontrak yang mampu menjamin pelaksanaan hak dan sekaligus mendistribusikan kewajiban secara proporsional bagi para pihak.

244

Asas proporsionalitas yang diterapkan dalam rumah susun ini

mengandung makna bahwa untuk dapat mencapai perhitungan yang seadil –

adilnya mengenai porsi hak, porsi kewajiban dan tentunya juga porsi tanggung

jawab pribadi yang bersatu dalam kesatuan konstruksi dengan hak milik para

243

Agus Yudha Hernoko, op.cit, hal.85-87. 244

Agus Yudha Hernoko, op.cit, hal.88-89.

Page 176: (overmacht) over the

148

”mede eigenaars” lainya. Menurut hukum perbandingan ini, porsi hak/ porsi

kewajiban/ porsi tanggung jawab pribadi tiap–tiap ”mede eigenars” dapat dihitung

besarnya secara proposional terhadap porsi nilai dan harga keseluruhan obyek

kebendaan HMSRS yang menjadi milik mereka.

NPP adalah angka yang menunjukkan perbandingan antara sarusun terhadap

hak atas bagian bersama, benda bersama, dan tanah bersama yang dihitung

berdasar nilai sarusun yang bersangkutan terhadap jumlah nilai rumah susun

secara keseluruhan pada waktu pelaku pembangunan pertama kali

memperhitungkan biaya pembangunannya secara keseluruhan untuk menentukan

harga jualnya. NPP yang dimaksud, antara lain terhadap:

1. Hak yaitu hak kepemilikan perseorangan dan hak bersama terhadap hak atas tanah, benda dan bagian bersama;

2. Kewajiban yaitu beban biaya pemeliharan dan perbaikan kepemilikan bersama (tanah, benda dan bagian);

3. Nilai, yaitu dasar penentuan nilai/besarnya beban Hak Tanggungan terhadap Hak Milik atas Satuan Rumah Susun dan Roya Partial terhadap Hak Milik atas satuan Rumah Susun.

245

Selanjutnya besarnya NPP tersebut, dicantumkan dalam Sertipikat Hak

Milik Atas Satuan Rumah Susun dan secara hukum, NPP tersebut mengikat dan

NPP tersebut menentukan besarnya hak dan kewajiban masing-masing pemilik

satuan rumah susun terhadap bagian bersama, benda bersama dan tanah bersama.

3.4. Bentuk Pertanggungjawaban Para Pihak dalam hal Terjadinya

Overmacht terhadap Kepemilikan Satuan Rumah Susun

3.4.1 Akibat Hukum overmacht dari Segi Buku III KUHPerdata dan Doktrin

Peristiwa overmacht menimbulkan suatu akibat baik terhadap perikatan

maupun terhadap risiko yang harus dihadapi oleh para pihak di dalam perjanjian.

245

Vide Pasal 1 angka 13 UU Rumah Susun jo Pasal 1 angka 7 PP Rumah

Susun.

Page 177: (overmacht) over the

149

Pengaturan akibat terjadinya overmacht dapat ditemukan di dalam Buku III

KUHPerdata dan berbagai doktrin yang dikemukakan oleh para ahli.

A.1. Akibat hukum overmacht ditinjau dari segi akibatnya terhadap

perikatan.

Akibat overmacht ditinjau dari segi akibatnya terhadap perikatan, beberapa

ahli memberikan pandangannya, diantaranya sebagai berikut;

1) R. Setiawan

Menurut R.Setiawan, overmacht menghentikan bekerjanya perikatan dan

menimbulkan beberapa akibat, yaitu:

a. Kreditur tidak lagi dapat meminta pemenuhan prestasi;

b. Debitur tidak lagi dapat dinyatakan lalai, dan karenanya tidak wajib

membayar ganti rugi;

c. Risiko tidak beralih kepada debitur;

d. Kreditur tidak dapat menuntut pembatalan pada persetujuan timbal

balik.246

2) Mariam Darus Badrulzaman

Mariam Darus Badrulzaman juga mengemukakan beberapa akibat overmacht

terhadap perikatan. Overmacht mengakibatkan perikatan tersebut tidak lagi

bekerja (werking) walaupun perikatannya ada, maka:

a. Kreditur tidak dapat menuntut agar perikatan itu dipenuhi; b. Tidak dapat mengatakan debitur berada dalam keadaan lalai dan karena

itu tidak dapat menuntut;

c. Kreditur tidak dapat meminta pemutusan perjanjian;

d. Pada perjanjian timbal balik, gugur kewajiban untuk melakukan

kontraprestasi;

e. Hal-hal yang perlu diketahui sehubungan dengan overmacht ini adalah

sebagai berikut:

Debitur tidak dapat mengemukakan adanya keadaan memaksa itu

dengan jalan penangkisan (eksepsi).

246

R.Setiawan, op.cit, hal. 27-28.

Page 178: (overmacht) over the

150

Berdasarkan Jabatannya, Hakim tidak dapat menolak gugatan

berdasarkan overmacht, yang berutang memikul beban untuk

membuktikan adanya keadaan overmacht.247

3) Abdulkadir Muhammad

Abdulkadir Muhammad membedakan overmacht menjadi overmacht yang

bersifat objektif dan subjektif.

a). Overmacht yang bersifat objektif/tetap secara otomatis mengakhiri perikatan dalam arti perikatan itu batal (the agreement would be void from the outset) dengan memberikan konsekuensi bahwa: jika perikatan itu sudah dilaksanakan, maka dilakukan pemulihan

kembali dalam keadaan semula seolah-olah tidak pernah terjadi perikatan.

jika satu pihak sudah mengeluarkan biaya untuk melaksanakan perjanjian itu sebelum waktu pembebasan, pengadilan berdasarkan kebijaksanaannya boleh memperkenankannya memperoleh semua atau sebagian biaya dari pihak lainnya, atau menahan uang yang sudah dibayar.

b). Overmacht yang bersifat subjektif/sementara, memberikan konsekuensi bahwa: Overmacht itu hanya mempunyai daya menangguhkan sehingga

kewajiban berprestasi akan kembali jika keadaan memaksa itu sudah tidak ada lagi.

Jika prestasinya sudah tidak mempunyai arti lagi bagi kreditur, perikatannya menjadi gugur. Pihak yang satu tidak dapat menuntut kepada pihak lainnya. Dalam keadaan yang demikian ini, perikatan tidak berhenti (tidak batal), melainkan hanya pemenuhan prestasinya saja yang tertunda. Jika kesulitan itu sudah tidak ada lagi, maka pemenuhan prestasi dapat diteruskan kembali.

248

4) M.Yahya Harahap

Overmacht merupakan dasar hukum yang menyampingkan/ menyingkirkan

asas yang terdapat pada Pasal 1239 KUHPerdata “setiap wanprestasi yang

menyebabkan kerugian, mewajibkan debitur untuk membayar ganti rugi

(schadevergoeding)”. Pasal-pasal yang menyampingkan ketentuan Pasal 1239

247

Mariam Darus Badrulzaman, op.cit, hal.26. 248

Abdulkadir Muhammad, op.cit, hal. 32

Page 179: (overmacht) over the

151

KUHPerdata tersebut, diantaranya Pasal 1244 dan Pasal 1245 KUHPerdata.249

Kedua ketentuan pasal tersebut, telah ditetapkan bahwa overmacht sebagai dasar

hukum yang memaafkan atau rechtsvaardigings-grond. Adapun alasan pemaaf

yang dimaksud sebagai akibat dari overmacht antara lain sebagai berikut:

1. Pembebasan debitur membayar ganti rugi/schadevergoeding

Pada akibat pembebasan membayar ganti rugi, hak kreditur untuk

menuntut gugur untuk selama-lamanya. Jadi, pembebasan ganti rugi

sebagai akibat overmacht adalah pembebasan mutlak.

2. Membebaskan debitur dari kewajiban melakukan pemenuhan prestasi

(nakoming)

Pembebasan pemenuhan/nakoming bersifat relatif. Pada umumnya

pembebasan ini hanya bersifat menunda, selama keadaan overmacht

masih menghalangi/merintangi debitur melakukan pemenuhan prestasi.

Bila overmacht hilang, kreditur kembali dapat menuntut pemenuhan

prestasi.250

A.2. Akibat overmacht ditinjau dari segi risiko

Sehubungan dengan persoalan risiko ini, dalam teori hukum dikenal suatu

ajaran yang disebut dengan resicoleer (ajaran tentang risiko) yaitu suatu ajaran,

dimana seorang berkewajiban untuk memikul kerugian jika ada suatu kejadian di

luar kesalahan salah satu pihak yang menimpa benda yang menjadi objek

perjanjian. Ajaran ini timbul apabila terdapat keadaan memaksa (overmacht) dan

diterapkan pada perjanjian sepihak maupun perjanjian timbal-balik.251

249

Menurut Yahya Harahap dari rumusan Pasal 1244 KUHPerdata, tidak mempergunakan istilah overmacht, tetapi mempergunakan rumusan sesuatu sebab luar yang tak dapat diperkirakan, namun makna yang terkandung didalamnya merupakan pengertian “overmacht”. (Yahya Harahap, op.cit, hal.84) Berkenaan dengan pengertian overmacht, Subekti menyatakan bahwa meskipun Pasal 1244 dan 1245 KUHPerdata memiliki makna yang sama, namun penilaian lebih baik diberikan pada pasal 1244 KUHPerdata karena dianggap paling tepat menunjukkan keadaan overmacht (Subekti II, op.cit, hal.55). Jadi dalam hal ini baik Yahya Harahap maupun Subekti sama-sama menekankan makna overmacht lebih tepat didasarkan pada pasal 1244 KUHPerdata.

250Yahya Harahap, op.cit, hal.96.

251 Salim HS II. op cit. hal.185

Page 180: (overmacht) over the

152

Berkenan dengan resicoleer, para ahli hukum telah memberikan

pandangannya tersendiri baik terhadap perjanjian sepihak maupun perjanjian

timbal-balik, diantaranya:

1. Perjanjian Sepihak

R.Setiawan, Abdulkadir Muhammad, Salim H.S dan Mariam Darus

Badrulzaman memberikan pandangan mereka mengenai peralihan risiko dalam

perjanjian sepihak, pada dasarnya mereka memiliki pandangan yang sama bahwa:

Perikatan sepihak adalah perikatan yang prestasinya hanya ada pada salah satu

pihak. Menurut Pasal 1245 KUHPerdata risiko dalam perjanjian sepihak

ditanggung oleh kreditur atau dengan kata lain, debitur tidak wajib memenuhi

prestasinya. Penerapan ketentuan ini pada perikatan untuk barang tertentu, oleh

Abdulkadir Muhammad dan Salim H.S menyatakan risiko dalam keadaan

memaksa hanya dapat ditemukan dalam satu pasal yaitu Pasal 1237 KUH Perdata,

yang mengatur siapa yang menanggung risiko dari keadaan overmacht. Dikatakan

oleh Abdulkadir Muhammad, menurut Pasal 1237 KUH Perdata, dalam perikatan

untuk memberikan sesuatu tertentu, kebendaan itu sejak perikatan dilahirkan

adalah tanggungan si berpiutang. Jika si berutang lalai akan menyerahkannya,

sejak kelalaian, kebendaan adalah atas tanggungan si berutang. Jadi, dalam

perjanjian sepihak krediturlah yang harus menanggung segala risiko yang terjadi

karenanya.252

Selanjutnya Salim H.S mengemukakan dengan memberikan contoh untuk

perjanjian sepihak, berdasar pada ketentuan Pasal 1237 KUHPerdata yang

menanggung risiko atas musnahnya tanah yaitu penerima tanah.253

Oleh

252

Abdulkadir Muhammad, op.cit, hal.33. 253

Salim HS II, op.cit, hal.103.

Page 181: (overmacht) over the

153

R.Setiawan dan Mariam Darus Badrulzman, ketentuan Pasal 1237 KUH Perdata

tersebut diperluas lagi dalam suatu ketentuan lain, yaitu dalam Pasal 1444 KUH

Perdata. Dikatakan oleh R.Setiawan, Menurut Pasal 1237 dan Pasal 1444 KUH

Perdata, debitur diwajibkan membayar ganti rugi jika bendanya musnah setelah

debitur lalai untuk menyerahkan barangnya. Pasal 1444 KUHPerdata tersebut

masih memberikan perlunakan, yaitu debitur sekalipun lalai, masih dapat

dibebaskan dari kewajiban berprestasi jika ia dapat membuktikan bahwa

barangnya tetap akan musnah, sekalipun ia menyerahkan tepat pada waktunya.

Selanjutnya Pasal 1445 KUHPerdata menentukan bahwa apa yang diperoleh

debitur sebagai penggantian daripada barang yang musnah harus diserahkan

kepada kreditur (asuransi), jadi risiko ada pada kreditur.254

Dikatakan pula oleh

Mariam Darus Badrulzaman, dari asas yang terkandung di dalam Pasal 1237 dan

Pasal 1444 KUH Perdata, dapat diketahui bahwa dalam perikatan sepihak apabila

terjadi ingkar janji karena force majeure (di luar kesalahan debitur), risiko ada

pada kreditur.255

2. Perjanjian Timbal-Balik

Subekti, Abdul Kadir Muhammad, Mariam Darus Badrulzaman, Salim H.S,

Yahya Harahap memberikan pandangan ajaran resicoleer terhadap perjanjian

timbal-balik, dikatakan bahwa dalam bagian umum dari KUH Perdata tidak diatur

tentang risiko dalam perjanjian timbal balik, pasal-pasal yang mengatur risiko

harus dicari dalam bagian khusus yaitu Pasal 1460 tentang jual-beli barang

254

R.Setiawan, op.cit, hal.32. 255

Mariam Darus Badrulzaman, et.al, op.cit, hal.29-30.

Page 182: (overmacht) over the

154

tertentu, Pasal 1545 tentang perjanjian tukar-menukar dan Pasal 1553 tentang

perjanjian sewa-menyewa.256

A. Risiko dalam Jual Beli

Mengenai risiko dalam jual-beli ini, Subekti Salim H.S dan Yahya Harahap

mengemukakan pendapatnya dalam KUHPerdata ada tiga peraturan yang

mengaturnya, yaitu:

a. Mengenai barang tertentu (Pasal 1460);

b. Mengenai barang yang dijual menurut berat, jumlah atau ukuran (Pasal

1461);

c. Mengenai barang-barang yang dijual menurut tumpukan (Pasal 1462)257

.

B. Risiko dalam Tukar menukar

Mengenai Risiko tentang Tukar Menukar, menurut Yahya Harahap dan

Mariam Darus Badrulzaman bahwa Pasal 1545 KUHPer mengatur persetujuan

tukar-menukar atas barang tertentu. Jika salah satu objek tukar-menukar tadi

terdiri dari barang tertentu, dan sebelum diserahkan kepada pihak lain barang

tertentu tersebut hilang atau musnah maka akibat suatu sebab di luar kesalahan si

pemilik, yaitu dianggap gugur dan pihak yang telah menyerahkan barang dapat

256

Mariam Darus Badrulzaman menyatakan bahwa risiko dalam perjanjian timbal-balik ditemukan dalam asas kepatutan (billijkheid), yang dituangkan di dalam ketentuan-ketentuan Pasal 1545 KUH Perdata dan Pasal 1553 KUH Perdata. Menurut kepatutan dalam perjanjian timbal balik, risiko ditanggung oleh mereka yang tidak melakukan prestasi (Mariam Darus Badrulzaman I, op.cit, hal.30). Oleh R.Setiawan dengan mengutip pendapatnya Pitlo bahwa menurut kepantasan, jika debitur tidak lagi berkewajiban maka pihak lainnya pun bebas dari kewajibannya dan pendapat Pitlo tersebut didukung pula oleh ketentuan pasal 1246, 1545, dan 1563 KUHPedata. (Pitlo dalam R.Setiawan,loc.cit)

257Subekti II, op.cit, hal.26-hal 27 dan Yahya Harahap,op.cit, hal.184-185.

Page 183: (overmacht) over the

155

menuntut pengembalian barang yang telah sempat diserahkannya. Menurut pasal

ini, dalam hal terjadi keadaan memaksa, risiko ada pada masing-masing pemilik

barang yang dipertukarkan. dalam Pasal 1545 dengan tegas dinyatakan

perjanjiannya gugur, karena itu dipulihkan dalam keadaan semula seolah-olah

tidak ada perjanjian.258

C. Risiko dalam Sewa Menyewa

Mengenai Risiko tentang Sewa Menyewa, Salim H.S dan Yahya Harahap

mengemukakan bahwa risiko dalam sewa-menyewa ditemukan dalam Pasal 1553

KUHPerdata, mengenai kemungkinan musnahnya barang yang disewa, sebagai

akibat suatu kejadian yang tiba-tiba tidak dapat dielakkan dalam perjanjian sewa-

menyewa apabila barang yang menjadi objek sewa itu hancur atau musnah, yang

bukan disebabkan oleh pihak penyewa. Musnah atas barang objek sewa dapat

dibagi menjadi dua macam, yaitu :

a. Musnahnya seluruh barang Menurut Salim H.S Jika barang yang disewakan oleh penyewa itu

musnah secara keseluruhan di luar kesalahannya/disebabkan oleh suatu kejadian yang tidak disengaja pada masa sewa,dengan sendirinya menurut hukum perjanjian sewa-menyewa gugur (gugur demi hukum). Namun Yahya Harahap menyatakan tidak perlu diminta pernyataan batal (nietig verklaring) dan risiko kerugian dibagi dua antara pihak yang menyewakan dengan pihak si penyewa.

b. Jika barang yang disewakan hanya sebagian yang musnah

Berkenaan dengan barang yang disewakan hanya sebagian yang musnah

Yahya Harahap dan Salim HS, memiliki pemikiran yang sama bahwa si

258

Abdulkadir Muhammad menganggap bahwa Pasal 1545 KUHPerdata dipandang sebagai pasal yang dapat diberlakukan secara umum karena dirasakan lebih adil dan lebih sesuai dengan selera masyarakat yang mempertahankan hak-haknya. Hal ini juga sejalan dengan pendapat dari R. Subekti, namun di pihak lain, beliau mempermasalahkan istilah "gugur" dalam Pasal 1545 kurang tepat dilihat dari segi konsekuensi hukumnya, tidak terpenuhinya tujuan perikatan karena keadaan memaksa yang mengakibatkan pihak yang satu tidak dapat menuntut kepada pihak yang lainnya. (Lihat diantaranya Abdulkadir Muhammad, op.cit, hal.35, Subekti II, op.cit, hal.37).

Page 184: (overmacht) over the

156

penyewa dapat memilih meminta pengurangan harga sewa sebanding

dengan, bagian yang musnah atau menuntut pembatalan perjanjian sewa.

Pada dasarnya, pihak penyewa dapat menuntut kedua hal itu, namun ia

tidak dapat menuntut pembayaran ganti rugi kepada pihak yang

menyewakan.259

Bertolak dari uraian diatas maka dapat dipahami bahwa mengenai akibat

overmacht, dewasa ini mengalami perkembangan yang semakin kompleks

meskipun tidak secara menyeluruh. Pada dasarnya, dari berbagai doktrin yang

telah dikemukakan, berpedoman pada ketentuan dalam KUH Perdata, sehingga

dapat disimpulkan bahwa akibat-akibat overmacht yaitu:

(1). Ditinjau dari aspek perjanjian: Dari pasal-pasal tersebut secara garis besar

mengenai akibat overmacht terhadap perikatan dapat dibedakan menjadi

overmacht objektif/absolut/tetap yang berakibat pada perikatan gugur,

pemenuhan prestasi tidak mungkin dapat dilakukan lagi dan overmacht

subjektif/relatif/sementara yang berakibat perikatan tidak berhenti hanya

pemenuhan prestasi tertunda. Hal ini berakibat pihak lawan tidak dapat

meminta pemenuhan prestasi dan tidak perlu meminta pemutusan perjanjian,

tetapi jika kesulitan itu tidak ada lagi maka pemenuhan prestasi harus

diteruskan.

(2). Ditinjau dari aspek risiko: debitur tidak dapat dimintai pertanggungjawaban

untuk membayar biaya, ganti rugi maupun bunga yang timbul dari overmacht.

Akan tetapi jika debitur mempunyai tuntutan hak atau ganti rugi atas barang

tersebut maka hak atau ganti rugi itu beralih kepada si berpiutang.

259

Lihat diantaranya, Salim H.S II, op.cit, hal.62, Yahya Harahap, op.cit, hal.234-235.

Page 185: (overmacht) over the

157

Berdasarkan apa yang telah dikemukakan diatas, agar debitur tidak

bersalah terhadap segala kerugian yang ditimbulkan akibat dari overmacht, maka

ia harus mampu membuktikan bahwa dirinya sedang berada dalam

ketidakmungkinan (onmogelijkheid) dan adanya unsur ketidaksalahan (tidak ada

schuld) dan hal tersebut dapat dicermati terhadap beberapa teori untuk membahas

risiko tanggung gugat terjadi overmacht, dan para ahli telah memberikan

argumentasinya masing-masing. Teori Overmacht Objektif, J.F. Houwing dengan

Teori Usahanya (Inspanningsleer) dan Teori Risiko dari J.LL Wery, menimbulkan

bahaya atau teori ambil-alih risiko (Gevaarzetting Theorie), bahwa di sini debitor

telah mengambil risiko untuk pemenuhan prestasi tersebut. Selain risiko tanggung

gugat tersebut, Agus Yudha Hernoko juga mengembangkan teori overmacht yang

disebut dengan keadaan sulit melaksanakan kontrak (selanjutnya disebut

hardship), di mana hardship ini lebih condong ke arah overmacht yang bersifat

relatif/sementara karena renegosiasi tidak dengan sendirinya memberikan hak

kepada pihak yang dirugikan untuk menghentikan pelaksanaan kontrak. Dalam

hal terjadinya hardship, Pasal 6.2.3. UPICC260

memperhatikan penyelesaian

sebagai berikut:

a). Pihak yang dirugikan berhak untuk meminta dilakukannya

renegosiasi kontrak kepada pihak lain. Permintaan tersebut harus

diajukan segera dengan menunjukkan dasar hukum permintaan

renegosiasi tersebut.

b). Permintaan untuk dilakukannya renegosiasi tidak dengan sendirinya

memberikan hak kepada pihak yang dirugikan untuk menghentikan

pelaksanaan kontrak.

260

UNIDROIT (International Institute for the Unification of Private Law)

mengeluarkan prinsip PICC (Principles of International Commercial Contracts)

sehingga dinamakan UPICC Principles.

Page 186: (overmacht) over the

158

c). Apabila negosiasi gagal mencapai kesepakatan dalam jangka waktu yang wajar, maka para pihak dapat mengajukannya ke pengadilan

d). Jika pengadilan dapat membuktikan adanya hardship maka membawa akibat hukum bahwa kontrak tersebut diakhiri pada tanggal dan waktu yang pasti atau mengubah kontrak dengan mengembalikan keseimbangannya.

261

Berdasarkan penjelasan sebagaimana telah diuraikan di atas maka dapat

ditarik suatu simpulan bahwa akibat overmacht, baik terhadap perikatan maupun

menyangkut risiko mengalami perkembangan pemikiran, akibat overmacht tidak

hanya mendasarkan pada ketentuan hukum yang berlaku seperti pasal-pasal dalam

KUH Perdata, tetapi memunculkan pula teori-teori yang baru seperti halnya

Inspanningsleer Theorie yang dikemukakan oleh J.F. Houwing, dan akibat hukum

dari hardship sebagaimana dapat ditemukan dalam bukunya Agus Yudha

Hernoko, bila overmacht terjadi, perjanjian tidak otomatis hapus tetapi dibuka

adanya renegosiasi diantara para pihak dalam perjanjian. Hal ini merupakan suatu

ajaran baru yang belum pernah secara khusus dibahas oleh doktrin terdahulu.

(garis bawah oleh penulis).

3.4.2.Akibat Overmacht berdasarkan Yurisprudensi

1. Putusan MA RI No. Reg. 24 K/Sip/1958

Debitur terbebas dari kewajiban untuk memenuhi perjanjian

2. Putusan MA RI No. Reg.15 K/Sip/1957

Debitur tidak dapat dihukum membayar cicilan apabila dapat

membuktikan bahwa terhalangnya pelaksanaan prestasi timbul dari

261

Pasal 6.2.3 UPICC dalam Agus Yudha Hernoko, op.cit, hal.284-285.

Mencermati akibat hukum hardship tersebut, pada dasarnya memberi akibat

bahwa pihak yang dirugikan dapat mengajukan permintaan renegosiasi.Tujuan

dari renegosiasi ini, agar diperoleh pertukaran hak dan kewajiban yang wajar

dalam pelaksanaan kontrak karena terjadi peristiwa yang fundamental

mempengaruhi keseimbangan kontrak.

Page 187: (overmacht) over the

159

keadaan yang selayaknya ia tidak bertanggung gugat. Hanya saja dalam

putusan ini disebutkan bahwa risiko yang termasuk dalam overmacht

harus dimasukkan dalam klausul perjanjian.

3. Putusan MA RI No. Reg. 558 K/Sip/1957

Debitur dibebaskan dari kewajiban menanggung risiko apabila dapat

membuktikan dalil overmacht terjadi diluar kesalahan baik itu kesengajaan

atau kelalaian.

4. Putusan MA RI No.3389 K/Pdt/1984 dan Putusan MA RI No.409

K/Sip/1983.

Kepada debitur tidak dapat dimintai pertanggungjawaban ataupun

penggantian kerugian.262

3.4.3.Akibat Hukum Overmacht Menurut Peraturan Perundang-undangan

dan Kontrak-Kontrak Lainnya

Pengaturan akibat terjadinya overmacht dalam peraturan perundang-

undangan dan kontrak yaitu ,terhadap perjanjian itu sendiri; apakah dihentikan,

dihentikan sementara waktu atau tetap dilanjutkan; dan juga terhadap pihak mana

yang akan menanggung risiko. Berikut akan diuraikan beberapa akibat terjadinya

overmacht yang diatur dalam ketentuan perundang-undangan dan dalam kontrak,

diantaranya:

1. Ketentuan Pengadaan Barang dan Jasa, terjadinya overmacht

mengakibatkan:

- Keterlambatan pelaksanaan pekerjaan yang diakibatkan terjadinya

keadaan kahar tidak dapat dikenakan sanksi;

- Pihak yang menanggung kerugian akibat terjadinya keadaan kahar

diserahkan kepada kesepakatan para pihak.

262

Rahmat S.S. Soemadipradja, op.cit, hal.121-127.

Page 188: (overmacht) over the

160

2. Ketentuan Pertambangan Mineral dan Batu Bara, terjadinya overmacht mengakibatkan penghentian sementara pada perjanjian.

3. Kontrak-kontrak terkait dengan minyak bumi dan gas (oil and gas contract) a. AIPN Model Production Sharing Contract Terjadinya overmacht, mengakibatkan:

- Penambahan jangka waktu kontak yang lamanya sama dengan jangka waktu berhentinya kontrak yang disebabkan oleh overmacht tersebut;

- Tiap peristiwa yang disebabkan oleh overmacht tidak dapat dianggap sebagai wanprestasi.

b. AIPN Model International Operating Agreement Terjadinya overmacht, antara lain mengakibatkan:

- Kontrak ditunda selama pihak yang terkena overmacht tidak dapat atau tidak mampu melaksanakan kewajibannya, namun penundaan tersebut tidak boleh melebihi jangka waktu masa berlakunya kontrak.

c. AIPN Model Contract Gas Sales Agreement Terjadinya overmacht mengakibatkan:

- Penambahan jangka waktu kontrak yang lamanya sama dengan jangka waktu berhentinya kontrak yang disebabkan oleh overmacht tersebut.

d. AIPN Model Contract Gas Transportation Agreement Terjadinya overmacht mengakibatkan:

- Penambahan jangka waktu kontrak yang lamanya sama dengan jangka waktu berhentinya kontrak yang disebabkan oleh overmacht tersebut.

4. Ketentuan Perbankan, perjanjian pada hakikatnya tidak dapat dibatalkan kecuali tidak terpenuhinya syarat sah perjanjian sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata dan penggunaan ketentuan pasal 1244 dan 1245 KUHPerdata sebagai alasan untuk membebaskan debitur dari kewajiban membayar kredit haruslah dipertegas, dalam artian keadaan memaksa seperti apa yang memenuhi pasal tersebut.

5. Kontrak karya, terjadinya overmacht antara lain mengakibatkan: - Terjadinya overmacht tidak akan dianggap sebagai pelanggaran

kontrak atau kelalaian; - Penambahan masa berlakunya kontrak sebanyak masa waktu

berlangsungnya overmacht. 6. Perjanjian Sewa-menyewa Rumah

Terjadinya overmacht mengakibatkan: - Segala kerugian yang ditimbulkan menjadi beban dan tanggung

jawab masing-masing pihak; - Tidak disebutkan akibatnya terhadap perjanjian apakah dihentikan

atau dilanjutkan.263

263

Rahmat S.S. Soemadipradja,op.cit, hal 90-93.

Page 189: (overmacht) over the

161

Dari akibat hukum overmacht diatas, maka penulis dapat uraikan lebih lanjut

kedalam bagan berikut ini:

Bagan 3.4 : Akibat Hukum Overmacht

Sumber : KUHPerdata, Rahmat S.S. Soemadipradja yang penulis

modifikasi dalam bentuk bagan. (Cetak tebal dan garis bawah oleh penulis)

AKIBAT HUKUM OVERMACHT

Buku III KUHPerdata dan Doktrin

Yurisprudensi

Peraturan Perundang-undangan dan Kontrak-

kontrak lainnya 1. Ditinjau dari aspek

perjanjian: Dari pasal-pasal tersebut secara garis besar mengenai akibat overmacht terhadap perikatan dapat dibedakan menjadi overmacht objektif/absolut/ tetap yang berakibat pada perikatan gugur, pemenuhan prestasi tidak mungkin dapat dilakukan lagi dan overmacht subjektif/relatif/ sementara yang berakibat perikatan tidak berhenti hanya pemenuhan prestasi tertunda. Hal ini berakibat pihak lawan tidak dapat meminta pemenuhan prestasi dan tidak perlu meminta pemutusan perjanjian, tetapi jika kesulitan itu tidak ada lagi maka pemenuhan prestasi harus diteruskan. (garis bawah oleh penulis)

2. Ditinjau dari aspek risiko: debitur tidak dapat dimintai pertanggungjawaba

1. Putusan MA RI No. Reg. 24 K/Sip/1958 - Debitur terbebas

dari kewajiban untuk memenuhi perjanjian

2. Putusan MA RI No. Reg.15 K/Sip/1957 - Debitur tidak dapat

dihukum memenuhi prestasi apabila dapat membuktikan bahwa terhalangnya pelaksanaan prestasi timbul dari keadaan yang selayaknya ia tidak bertanggung gugat. Hanya saja dalam putusan ini disebutkan bahwa risiko yang termasuk dalam overmacht harus dimasukkan dalam klausul perjanjian.

3. Putusan MA RI No. Reg. 558 K/Sip/1957 Debitur dibebaskan dari kewajiban menanggung risiko apabila dapat membuktikan dalil overmacht terjadi diluar kesalahan baik itu kesengajaan atau

1. Terkait dengan adanya kerugian yang disebabkan oleh overmacht, pengaturan siapa yang harus menanggung risiko kerugian tidak sama pada setiap perjanjian, diantaranya: a. kerugian yang

disebabkan oleh overmacht akan ditanggung masing-masing oleh para pihak dan para pihak tidak dapat menuntut ganti rugi apapun terhadap pihak lainnya, misalnya dalam perjanjian sewa-menyewa rumah, Kontrak Pemborongan Jalan Tol dan Kontrak karya.

b. Penyelesaian atas kerugian diserahkan kepada para pihak berdasarkan kesepakatan diantara para pihak, misalnya dalam Ketentuan Pengadaan barang dan jasa.

2. Terkait dengan keberlanjutan kontrak sehubungan dengan overmacht pengaturannya pun tidak sama pada setiap perjanjian, diantaranya:

Page 190: (overmacht) over the

162

n untuk membayar biaya, ganti rugi maupun bunga yang timbul dari overmacht. Akan tetapi jika debitur mempunyai tuntutan hak atau ganti rugi atas barang tersebut maka hak atau ganti rugi itu beralih kepada si berpiutang.

kelalaian. 4. Putusan MA RI

No.3389 K/Pdt/1984 dan Putusan MA RI No.409 K/Sip/1983. Kepada debitur tidak dapat dimintai pertanggungjawaban ataupun penggantian kerugian

a. diserahkan kepada kesepakatan para pihak, artinya tidak disebutkan secara tegas dalam kontrak apakah dihentikan, dihentikan sementara (ditunda) atau dilanjutkan, misalnya dalam Kontrak Pemborongan Jalan Tol, Kontrak kerjasama berdasarkan sistem kontrak karya terkait Eksploitasi Hutan

b. kontrak tetap dilanjutkan setelah overmacht dengan penambahan masa berlaku kontrak selama waktu kontrak berhenti yang disebabkan oleh overmacht tersebut, misalnya dalam Kontrak Pertambangan Mineral dan Batu Bara dan kontrak-kontrak terkait dengan minyak bumi dan gas (AIPN Model Production Sharing Contract, AIPN Model International Operating Agreement, AIPN Model Contract Gas Sales Agreement dan AIPN Model Contract Gas Transportation Agreement)

3.4.4 Akibat Overmacht dari Segi Pertanggungjawaban Developer kepada

Konsumen berdasarkan Aspek Hukum Perlindungan Konsumen.

Prinsip tentang tanggung jawab merupakan perihal yang sangat penting

perlu diperhatikan, karena mempersoalkan kepentingan konsumen harus disertai

pula analisis mengenai siapa yang semestinya dibebani tanggungjawab dan

Page 191: (overmacht) over the

163

sampai batas mana pertanggungjawaban itu dibebankan padanya. Beberapa

sumber formal hukum, seperti peraturan perundang-undangan dan perjanjian

standar di lapangan hukum keperdataan kerap memberikan pembatasan-

pembatasan terhadap tanggung jawab yang dipikul oleh si pelanggar hak

konsumen. Secara umum, prinsip-prinsip tanggung jawab dalam hukum dapat

dibedakan sebagai berikut:

(1) Prinsip tanggung jawab berdasarkan unsur kesalahan (liability based on fault).

Prinsip tanggung jawab berdasarkan unsur kesalahan (fault liability atau

liability based on fault), tanpa adanya unsur kesalahan dalam diri pihak pelaku,

maka gugatan korban atas sejumlah ganti rugi tidak akan dipenuhi. Secara

common sense, asas tanggung jawab ini dapat diterima karena adalah adil bagi

orang yang berbuat salah untuk mengganti kerugian bagi pihak korban.

(2) Praduga selalu bertanggung jawab (presumption of liability)

Prinsip ini menyatakan, tergugat selalu dianggap bertanggung jawab

(presumption of liability principle), sampai ia dapat membuktikan, ia tidak

bersalah. Jadi, beban pembuktian ada pada si tergugat. Jika diterapkan dalam

kasus konsumen akan tampak, asas demikian cukup relevan. Jika digunakan teori

ini, maka yang berkewajiban untuk membuktikan kesalahan itu ada di pihak

pelaku usaha yang digugat. Tergugat ini yang harus menghadirkan bukti-bukti,

dirinya tidak bersalah.264

(3) Praduga selalu tidak bertanggung jawab (presumption of nonliability),

264

Sidharta, op.cit, hal.75-76.

Page 192: (overmacht) over the

164

Prinsip ini adalah kebalikan dari prinsip presemption of liability. Prinsip

praduga untuk tidak selalu bertanggung jawab (presumption of nonliability

principle) hanya dikenal dalam lingkup transaksi konsumen yang sangat terbatas,

dan pembatasan demikian biasanya secara common sense dapat dibenarkan.265

(4) Prinsip Tanggung jawab mutlak (strict liability),

Prinsip strict liability diterjemahkan secara bervariasi, seperti tanggungjawab

seketika, tanggungjawab mutlak, tanggungjawab absolut, dan ada juga yang

menyebutnya dengan tanggungjawab ketat, yang kesemuanya menunjuk kepada

pertanggungjawaban segera dari pelaku saat peristiwa terjadi tanpa

mempersoalkan adanya unsur kesalahan.

Strict Liability dalam Pasal 19 UUPK, maka dapat dikatakan bahwa UUPK

menganut prinsip strict liability. Prinsip strict liability ini menguntungkan para

pelaku usaha karena mencantumkan klausul eksonerasi dalam perjanjian standar

yang dibuatnya. Dalam kaitan masalah ini, menarik untuk mengkaji prinsip yang

dikandung dalam Pasal 19 UUPK, khususnya yang disebut pertama hingga ketiga

jika dihubungkan dengan Pasal 28 dari UUPK yang menentukan sistem

pembuktian yang tidak berdasarkan kesalahan. Supaya lebih jelas dipahami,

rumusan Pasal 28 UUPK perlu dibaca secara seksama: “Pembuktian terhadap ada

tidaknya unsur kesalahan dalam gugatan ganti rugi sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 19, Pasal 22 dan Pasal 23 UUPK merupakan beban dan tanggung jawab

pelaku usaha.Dengan prinsip ini, tergugat harus bertanggungjawab atas kerugian

yang diderita konsumen tanpa harus membuktikan ada tidaknya kesalahan pada

265

Sidharta, op.cit, hal.77.

Page 193: (overmacht) over the

165

dirinya. Prinsip ini menentukan pula untuk membebaskan tanggungjawab si

pelaku jika ternyata ada force majuore, seperti karena disebabkan bencana alam,

peperangan dan lainnya.

Prinsip tanggung jawab mutlak dalam hukum perlindungan konsumen secara

umum digunakan untuk "menjerat" pelaku usaha, khususnya produsen barang,

yang memasarkan produknya yang merugikan konsumen. Asas tanggung jawab

itu dikenal dengan nama product liability. Tanggung jawab produk (product

liability) diartikan sebagai tanggung jawab atas kerugian yang diakibatkan oleh

pemakaian atau penggunaan suatu produk266

atau yang berkaitan dengan barang-

barang konsumsi. Tanggung jawab itu dapat bersifat kontraktual (perjanjian) atau

berdasarkan undang-undang (gugatannya atas dasar perbuatan melawan hukum),

namun dalam tanggung jawab produk, penekanannya ada tortious liability.

Pelaku usaha dapat diloloskan dari tanggungjawab sebagaimana disebutkan

Jean-Michel Fobe dalam tulisannya "Aviation Products Liability and Insurance",

dalam hal:

1. Produsen belum atau tidak mengedarkan produknya.

2. Kerusakan yang menimbulkan kerugian konsumen tidak pada saat

produk diedarkan oleh pelaku usaha, atau Cacat tersebut baru timbul

kemudian.

3. Produk tersebut dibuat bukan untuk dijual atau dibiarkan untuk tujuan

ekonomis maupun dalam rangka bisnis.

266

Produk secara umum diartikan sebagai barang yang secara nyata dapat dilihat, dipegang (tangible goods), baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak. Namun, dalam kaitan dengan masalah tanggung jawab produsen (product liability), produk bukan hanya berupa tangible goods. Termasuk dalam pengertian produk tersebut tidak semata-mata suatu produk yang sudah jadi secara keseluruhan, tetapi juga termasuk komponen suku cadang. (Adrian Sutedi, 2008, Tanggung Jawab Produk dalam Hukum Perlindungan Konsumen, Mulia, Bogor, (selanjutnya disebut Adrian Sutedi II), hal.64).

Page 194: (overmacht) over the

166

4. Adanya cacat produk tersebut sebagai akibat memenuhi kewajiban

yang ditentukan dalam peraturan yang dikeluarkan oleh pemerintah.

5. Secara ilmiah dan teknis (state of secientific and technical knowledge,

state of art defense) pada saat produk tersebut diedarkan tidak mungkin

terjadi cacat.

6. Dalam hal pelaku usaha suatu komponen, cacat tersebut disebabkan

oleh desain produk itu sendiri, dimana komponen telah dicocokkan atau

disebabkan oleh kealahan pada petunjuk yang diberikan oleh pihak

pelaku usaha dari produk tersebut.

7. Bila pihak yang menderita kerugian atau pihak ketiga turut

menyebabkan terjadinya kerugian tersebut (contributory negligence).

8. Kerugian terjadi sebagai akibat bencana alam atau keadaan memaksa

(Acts of God atau force majored). 267

(5) Prinsip Pembatasan tanggung jawab (limitation of liability).

Prinsip tanggung jawab dengan pembatasan (limitation of liability principle)

sangat disenangi oleh pelaku usaha untuk dicantumkan sebagai klausula

eksonerasi dalam perjanjian standar yang dibuatnya.268

Bagan 3.5. Penerapan Overmacht dalam Prinsip Pertanggungjawaban Pelaku

Usaha (Developer) kepada Konsumen (Pemilik Satuan Rumah Susun).

PENERAPAN OVERMACHT DALAM PRINSIP

PERTANGGUNGJAWABAN PELAKU USAHA (DEVELOPER)

KEPADA KONSUMEN (PEMILIK SATUAN RUMAH SUSUN)

Jenis Overmacht Prinsip Tanggung Jawab Pelaku Usaha

Kepada Konsumen dalam UUPK

1). Overmacht absolute/

mutlak/obyektif

Prinsip Strict Liability

Prinsip Limitation of Liability

2). Overmacht relative/

subyektif/Sementara

Prinsip Product Liability

Prinsip Liability Based on Fault

Prinsip Contractual Liability

267

Jean-Michel Fobe dalam Adrian Sutedi II, ibid, hal.69-70. 268

Shidarta, op.cit, hal.79-80, N.H.T Siahaan op.cit, hal.158.

Page 195: (overmacht) over the

167

Dari paparan diatas maka penulis dapat menyimpulkan akibat hukum klausul pertelaan dalam hal terjadinya overmacht kedalam

bentuk bagan berikut ini:

Page 196: (overmacht) over the

168

Bagan 3.6 : Akibat Hukum Kalusul Pertelaan dalam hal terjadinya Overmacht terhadap HMSRS

Sumber: Rahmat S.S. Soemadipradja, Yahya Harahap, Munir Fuady II , Shidarta, Adrian Sutedi II, N.H.T Siahaan dan

Munir Fuady III, Andre Ata Ujan dan Agus Yudha Hernoko yang penulis simpulkan dan rangkum menjadi satu dalam

bentuk bagan. (Cetak tebal dan garis bawah oleh penulis

AKIBAT HUKUM KLAUSUL PERTELAAN DALAM HAL TERJADINYA OVERMACHT TERHADAP HMSRS

Jenis-jenis Overmacht Akibat Hukum Unsur-unsur yang harus

dibuktikan Penyelesaiannya dan Penerapannya terhadap

Teori, Konsep dan Asas Hukum yang relevan 1). Overmacht

Absolut/ Mutlak/ Obyektif

Perjanjian dinyatakan Batal demi Hukum (Null and void;Nietig) Dari semula dianggap tidak pernah ada perikatan, sehingga mengakibatkan: Debitur tidak perlu

membayar ganti rugi (schadevergoeding)

Kreditur tidak berhak atas pemenuhan prestasi tetapi sekaligus demi hukum terbebas dari kewajibannya menyerahkan kontraprestasi.

Kontrak tidak dapat dilaksanakan secara keseluruhan.

1). Situasi atau keadaan yang sama sekali tidak dapat diduga dan/atau yang sangat memaksa yang terjadi di luar kekuasaan pihak yang berprestasi yaitu kehilangan objek perjanjian yang disebabkan dari kuasa Tuhan.

2). Tidak terpenuhinya perjanjian bukan karena kelalaian atau kesalahan debitur

Teori Overmacht Obyektif

Prinsip Strict Liability

Prinsip Product

Liability Prinsip Limitation

of Liability

Untuk mewujudkan keadilan berbasis kontrak bagi para pihak serta mendapatkan imbangan berdasar asas proporsionalitas (teori keadilan berbasis kontrak). Menurut Rawls, suatu konsep keadilan yang baik haruslah bersifat kontraktual, konsekuensinya setiap konsep keadilan yang tidak berbasis kontraktual harus dikesampingkan demi kepentingan keadilan itu sendiri. Hanya melalui pendekatan kontrak sebuah teori keadilan mampu menjamin pelaksanaan hak dan sekaligus mendistribusikan kewajiban secara adil bagi semua orang.

Page 197: (overmacht) over the

169

2). Overmacht Relatif/ Sementara/ Subyektif/

Tidak serta merta demi hukum mengakibatkan perikatan tersebut hapus hanya menunda pelaksanaan pemenuhan prestasi dan bila keadaan overmacht tersebut telah hilang maka kreditur dapat menuntut kembali pemenuhan prestasi.

Adanya Unsur Kesalahan/kelalaian dari pihak developer/pemilik satuan rumah susun 1. Pihak Developer

- Apakah sudah memenuhi persyaratan teknis dalam pembangunan rumah susun, dalam artian apakah ada cacat tersembunyi oleh sebab bahan yang digunakan oleh developer tidak sesuai dengan standar kelayakan yang berlaku. Persyaratan teknis tersebut berlaku terhadap:

- Tata bangunan berupa intentitas, arsitektur dan keandalan bangunan (Pasal 35 huruf a dan b UU Rumah Susun jo Pasal 12-14 PP Rumah Susun),berkenaan dengan struktur, komponen dan bahan bangunan harus memenuhi persyaratan konstruksi dan standar yang berlaku serta harus memperhitungkan kuat dan tahannya bangunan terhadap Gempa, hujan,angin, banjir dan kebakaran. Ketahanan tata bangunan tersebut dapat dilakukan dengan melakukan standar perbandingan yang

Teori Overmacht Subjektif

Teori Risiko Teori Hardship

Prinsip Liability

Based on Fault Prinsip

Contractual Liability

Page 198: (overmacht) over the

170

tepat meliputi kepadatan bangunan, Koefisien Dasar Bangunan dan Koefisien Lantai Bangunan.

2.Calon Konsumen ataupun Konsumen (Pemilik Unit Satuan Rumah Susun), apabila terbukti:

- Merusak atau mengubah prasarana, sarana dan utilitas umum yang ada di lingkungan rumah susun.

- Mengalihfungsikan prasarana, sarana dan utilitas umum yang ada serta benda bersama, bagian bersama, dan tanah bersama dalam pembangunan atau pengelolaan rumah susun

- Mengubah peruntukan lokasi rumah susun yang telah ditetapkan.

Page 199: (overmacht) over the

171

BAB IV

KRITERIA OVERMACHT TERHADAP KEPEMILIKAN SATUAN

RUMAH SUSUN

4.1. Konvergensi Penjabaran dan Penerapan Sistem Hukum Benda dan

Hukum Perikatan

Konvergensi yaitu suatu keadaan terhadap dua hal menuju pada satu titik

pertemuan.269

Mengkaji permasalahan pada penulisan ini yaitu menyatukan

Hukum Benda dan Hukum Perikatan dalam kepemilikan HMSRS, tanpa harus

melepas peran dan daya kerja dari masing-masing sitem hukum tersebut. Dalam

hal ini Hukum Benda berkaitan dengan obyek kepemilikan HMSRS sedangkan

Hukum Perikatan berkaitan dengan perikatan yang terjadi berdasar kesepakatan

diantara para pihak sehingga menimbulkan hak dan kewajiban baik terhadap

pihak developer maupun pihak pemilik unit satuan rumah susun.

4.1.1. Sistem Hukum Benda dalam Kajian Obyek Kebendaan HMSRS

Benda mempunyai suatu sistem tertutup, artinya macam-macam hak atas

benda adalah terbatas dan peraturan-peraturan yang mengenai hak-hak atas benda

itu bersifat memaksa. Hukum yang bersifat memaksa (dwingend recht) ialah

hukum yang dalam keadaan konkret harus ditaati yang dalam keadaan

bagaimanapun juga tidak dapat dikesampingkan oleh perjanjian yang dibuat oleh

kedua belah pihak dengan perkataan lain, hukum ini mempunyai kekuasaan

mutlak (absolut).270

269

Hasan Alwi, dkk (Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa), 2005, Kamus

Besar Bahasa Indonesia, Edisi Ketiga, Departemen Pendidikan Nasional, Balai

Pustaka, Jakarta, hal.592. 270

Apeldoorn , op.cit, hal 192.

Page 200: (overmacht) over the

172

Dalam hal ini Utrecht tidak sependapat Hukum memaksa sebagaimana

dikemukakan oleh Apeldoorn diatas. Menurut Utrecht, peraturan hukum

dikatakan bersifat memaksa:

Bilamana dikatakan peraturan hukum yang dimaksud ialah suatu peraturan hukum yang tidak dapat dikesampingkan oleh peraturan apapun juga. Peraturan hukum tersebut mempunyai paksaan mutlak (absolut), dengan perkataan lain hukum yang memaksa ini tidak memperkenankan adanya penyimpangan. Suatu penyimpangan dari hukum memaksa ini menimbulkan adanya akibat bahwa perbuatan itu tidak sah dapat dinyatrakan batal atau malahan batal demi hukum.

271

Hak kebendaan adalah kekuasaan yang absolut oleh hukum diberikan

kepada subyek hukum supaya dengan langsung menguasai benda didalam tangan

siapapun benda itu berada. Hak kebendaan itu adalah absolut karena hukum.

Semua subyek hukum lain wajib menghormati hak milik orang yang memilikinya.

Sebagaimana dikemukakan sebelumnya bahwa SRSmerupakan bangunan

gedung bertingkat yang memenuhi persyaratan tertentu bagian dari gedung

tersebut dalam bentuk unit apartement dan HMSRS ini merupakan lembaga

kebendaan baru yang meliputi hak untuk memiliki SRS secara terpisah dan berdiri

sendiri berikut hak atas bagian bersama, tanah dan bagian yang merupakan satu

kesatuan dari SRS yang bersangkutan. Hak Mutlak yang diberikan terhadap

pemilikan SRS tersebut, dengan memiliki ciri-ciri sebagai berikut:

1. Jangka waktu HMSRS sesuai dengan jangka waktu tanah hak bersama

dimana rumah susun didirikan;

2. Turun–temurun, apabila pemiliknya meninggal dunia HMSRS beralih

kepada ahli warisnya karena hukum;

3. HMSRS dapat dijadikan jaminan pelunasan utang dengan dibebani

hak tanggungan;

4. HMSRS dapat dipindahkan kepada pihak lain melalui perbuatan

hukum pemindahan hak;

271

Utrecht dalam Apeldoorn, op.cit, hal.194.

Page 201: (overmacht) over the

173

5. Batas-batas kepemilikan HMSRS ditetapkan secara pasti dalam

sertipikatnya.272

4.1.2. Sistem Hukum Perikatan dalam kaitan Kepemilikan Satuan Rumah

Susun

Subekti mengatakan Hukum Perjanjian memberikan kebebasan yang

seluas-luasnya kepada masyarakat untuk mengadakan perjanjian yang berisi apa

saja, asalkan tidak melanggar ketertiban umum dan kesusilaan. Pasal-pasal dari

Hukum Perjanjian merupakan apa yang dinamakan hukum pelengkap (optional

law), yang berarti bahwa pasal-pasal itu boleh disingkirkan manakala dikehendaki

oleh pihak-pihak yang membuat suatu perjanjian. Mereka diperbolehkan membuat

ketentuan-ketentuan sendiri yang menyimpang dari pasal-pasal Hukum Perjanjian.

Mereka diperbolehkan mengatur sendiri kepentingan mereka dalam perjanjian-

perjanjian yang mereka adakan itu. Kalau mereka tidak mengatur sendiri, maka

akan tunduk kepada undang-undang. Lebih lanjut, dikatakan oleh Subekti bahwa

memang tepat sekali nama hukum pelengkap itu, karena benar-benar pasal-pasal

dari Hukum Perjanjian itu dapat dikatakan melengkapi perjanjian-perjanjian yang

dibuat secara tidak lengkap dan biasanya orang yang mengadakan suatu perjanjian

tidak mengatur secara terperinci semua persoalan yang bersangkutan dengan

perjanjian itu, para pihak hanya menyetujui hal-hal yang pokok saja, dengan tidak

memikirkan soal-soal lainnya. 273

Senada dengan pendapat Subekti, Apeldoorn juga mengenukakan Hukum

yang bersifat mengatur adalah hukum yang dalam keadaan konkret dapat

dikesampingkan oleh perjanjian yang dibuat oleh kedua belah pihak. Jadi

272

Otom Mustomi dan Mimim Mintarsih, loc.cit 273

Subekti II, op.cit, hal.13-14.

Page 202: (overmacht) over the

174

pelaksanaannya oleh yang berkepentingan dapat dijalankan dengan menyimpang

dar isinya melalui tindakan hukum (perjanjian). Dengan lain perkataan, apabila

kedua belah pihak dapat menyelesaikan masalah mereka dengan membuat sendiri

suatu peraturan maka peraturan hukum yang tercantum dalam paal yang

bersangkutan tidak perlu dijalankan.274

Kembali kepada istilah hukum mengatur

yang dikemukakan oleh Apeldoorn, Utrecht mengemukakan bahwa “Bilamana

dikatakan peraturan hukum mengatur maka yang dimaksud disini ialah suatu

peraturan hukum yang tujuannya tidak lain daripada memberikan pedoman saja.

Apabila para pihak lebih suka memilih peraturan laion, maka mereka dapat

menjalankan kehendaknya”.275

Dari paparan sebagaimana diungkap sebelumnya, nampak perbedaan

hukum benda yang memiliki sifat dwingen recht dan hukum perikatan yang

bersifat aanvulendrecht, diantaranya: Hukum Perjanjian menurut KUHPerdata

ialah bersifat perseorangan (persoonlijk karakter), tidak bersifat perbendaan (geen

zakelijk karakter). Sifat perbedaan ini ditemukan pada hak-hak yang diatur dalam

Buku II KUHPerdata dengan tittle Van Zaken sedang Hukum Perjanjian termuat

sebagian besar dalam Buku III KUHPerdata dengan tittle Van Verbintenissen.

Untuk menegaskan lagi sifat perbendaan (zakelijk karakter) ini berarti bahwa

tetap ada hubungan langsung antara seorang dan benda, bagaimanapun juga ada

campur tangan dari orang lain, sedang sifat perseorangan (persoonlijk karakter)

dari Hukum Perjanjian ialah berarti bahwa tetap ada hubungan antara orang dan

274

Apeldoorn, op.cit, hal.193. 275

Utrecht dalam Apeldoorn, op.cit, hal.195.

Page 203: (overmacht) over the

175

orang meskipun ada terlihat suatu benda didalam perhubungan hukum itu. Dalam

hal adanya gangguan dari pihak ketiga, pemilik hak benda dapat melaksanakan

haknya terhadap siapapun juga adalah sifat lain dari hak benda yaitu bersifat

mutlak (absolut) sedang hukum perjanjian seorang berhak atau dapat dikatakan

mempunyai hak relatif, yaitu hanya dapat melaksanakan haknya terhadap seorang

tertentu yakni pihak lain yang turut membuat perjanjian tersebut.

Pemberlakuan perbedaan tersebut nampak begitu jelas dalam kepemilikan

HMSRS, disatu sisi hukum benda menguasai kepemilikan HMSRS, karena

HMSRS tersebut berkenaan dengan jenis penggolongaan kebendaan yang

merupakan jenis kebendaan baru yaitu benda tetap berwujud yang terdaftar

sehingga pengaruh hukum benda sangat krusial dalam penanganan overmacht

terhadap HMSRS, disisi lain Hukum Perikatan juga berperan penting dalam

kepemilikan HMSRS karena adanya hubungan hak dan kewajiban terhadap para

pihak dalam mengadakan pengikatan terlebih-lebih dalam klausula pertelaan dan

PPJB HMSRS, dicantumkan apa yang menjadi hak dan kewajiban pemilik satuan

rumah susun dan apa yang menjadi hak dan kewajiban dari developer. Memang

para pihak bebas dalam mengadakan perjanjian tidak terlepas dari kesepakatan

para pihak dan kembali lagi hal tersebut tidak bertentangan dengan Undang-

undang, kepatutan, ketertiban umum dan kesusilaan. Alih-alih inilah yang menjadi

dasar pemikiran penulis untuk mencermati konvergensi aspek hukum benda dan

hukum perikatan dalam hal terjadinya overmacht, sebatas mana aspek hukum

tersebut berperan penting. Alasan dasar kepatutan ini perlu dijadikan acuan

mengingat dalam perkembangan bisnis terutama dalam kepemilikan HMSRS

memiliki risiko yang amat sangat besar jika terjadinya overmacht. Hal ini

terungkap dari Keputusan Menteri Perumahan Rakyat Nomor 11/KPTS/1995

Page 204: (overmacht) over the

176

tentang Pedoman Perikatan Jual-Beli Satuan Rumah Susun (“Kepmenpera”) Pasal

3 huruf f yang menyatakan bahwa Jika terjadinya force majeur (keadaan kahar)

yang di luar kemampuan para pihak selama berlangsungnya pembangunan,

developer dan pembeli akan mempertimbangkan penyelesaiannya sebaik-baiknya,

dengan dasar pertimbangan utama adalah dapat diselesaikan pekerjaan

pembangunan unit apartemen. (Garis bawah oleh penulis) bagaimana bentuk

penyelesaian sebaik-baiknya yang dilakukan para pihak jika terjadi overmacht, hal

ini sudah dibahas dalam Bab 3 dari penulisan ini dan hal penting yang perlu

dicermati lebih lanjut adalah kriteria overmacht yang dimaksud dalam perjanjian

rumah susun ini, seperti apa dalam PPJB HMSRS tidak menunjukkan adanya

kejelasan tentang hal tersebut. Disinilah perlu adanya pengkajian secara

mendalam kriteria overmacht yang dimaksud seperti apa, agar nantinya tidak

merugikan salah satu pihak atau bahkan para pihak dalam melaksanakan

pertanggungjawaban atas keadaan overmacht, namun akan memberikan solusi

untuk tercapainya keadilan berbasis kontrak. Secara menyeluruh mungkin penulis

tidak dapat sampaikan dalam bahasan sub bab ini karena memerlukan tinjauan

secara mendalam dan ini semua akan dibahas pada sub bab berikutnya, namun inti

yang bisa penulis sampaikan disini, HMSRS adalah hubungan hukum untuk

memiliki rumah susun yang secara terpisah berdiri sendiri hak bersama, bagian

bersama dan tanah bersama yang tidak terpisah dengan satuan bersangkutan.

Pemilikan SRS dengan HMSRS dikaitkan dengan status tanah dimana rumah

susun tersebut didirikan. Ini berarti bahwa untuk dapat menjadi subjek HMSRS

yaitu mereka yang memenuhi syarat sebagai subjek hak atas tanah bersama

bersangkutan. Dalam kaitannya dengan hubungan hukum subjek dengan satuan

rumah susun berikut dengan apa yang dimiliki bersama atas HMSRS untuk

Page 205: (overmacht) over the

177

menguasai satuan-satuan rumah susun. Hal tersebut diatas akan dijawab dalam

bahasan selanjutnya yang secara spesifik dan signifikan menunjukkan dimana

peran penting dan daya kerja dari masing-masing aspek hukum tersebut.

4.2. Lingkup Kriteria Overmacht.

4.2.1. Kriteria Overmacht dalam Buku III KUHPerdata

Tentu saja sebagai suatu kitab undang-undang yang juga mengatur tentang

hukum kontrak, KUHPerdata mengatur juga mengenai overmacht . Sistem

pengaturan overmacht dalam KUHPerdata adalah sebagai berikut:

A. Pengaturan Overmacht dalam Bagian Pengaturan tentang Ganti Rugi

Ketentuan KUH Perdata yang mengatur mengenai overmacht dalam

hubungan dengan ganti rugi adalah Pasal 1244 dan Pasal 1245 KUH Perdata.

Overmacht ini juga diakomodir oleh Pasal 1444 dan 1445 KUHPerdata yang

mengatur mengenai musnahnya barang yang terutang.

Pasal 1244 KUHPerdata menentukan sebagai berikut:

1. Ada suatu hal yang tidak terduga sebelumnya pada saat perikatan

dilahirkan, yang tidak memungkinkan dilaksanakannya perikatan pada saat

yang telah ditentukan atau yang sama sekali tidak memungkinkan

pelaksanaan dari perikatan tersebut. Persyaratan mengenai hal yang tidak

terduga ini berbeda dengan persyaratan yang disebutkan dalam ketentuan

Pasal 1253 KUHPerdata.

2. Hal yang tidak terduga tersebut adalah suatu peristiwa yang berada di luar

tanggung jawab debitor. Hal ini merupakan hal yang wajar mengingat

bahwa suatu perikatan yang pelaksanaannya semata-mata digantungkan

pada kehendak debitor adalah batal demi hukum. Perikatan tersebut

dianggap tidak pernah ada sejak awal.

Page 206: (overmacht) over the

178

3. Debitor tidak memiliki iktikad buruk untuk tidak melaksanakan kewajiban

yang telah dibebankan padanya berdasarkan perikatan yang telah ada di

antara debitor-kreditor.

Pasal 1245 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menentukan syarat

bahwa tidak ada penggantian biaya, kerugian, dan bunga bila terjadi: keadaan

memaksa atau kejadian yang tidak disengaja.Kedua hal tersebut, yaitu adanya

keadaan memaksa atau kejadian yang tidak disengaja merupakan dua hal yang

bersifat alternatif, dengan pengertian bahwa jika salah satu peristiwa terjadi,

debitor dihapuskan dan kewajibannya untuk memberikan penggantian biaya,

kerugian dan bunga, meskipun debitor tidak memenuhi perikatan pada waktu yang

telah ditetapkan.276

Berdasarkan ketentuan Pasal 1244, 1245 KUHPerdata, Pasal 1444 serta

1445 KUHPerdata maka dapat diambil kesimpulan bahwa kriteria overmacht

meliputi:

a. Peristiwa yang tidak terduga;

b. Tidak dapat dipertanggungjawabkan kepada debitur;

c. Tidak ada itikad buruk dari debitur;

276

Pasal 1245 KUHPerdata tidak memberikan pengertian lebih lanjut dari

hal-hal yang sebgaimana dimaksud kita melihat pernyataan "keadaan memaksa",

yang dikaitkan dengan pernyataan "kejadian yang tidak disengaja", maka jelas

rumusan tersebut menunjuk pada suatu keadaan yang merupakan kejadian yang

berada di luar kekuasaan manusia, dan bukan hanya berada di luar kekuasaan

debitor sendiri. Dalam hal ini dapat ditunjukkan dengan peristiwa banjir, gempa

bumi, tanah longsor, ataupun pernyataan atau keputusan pemerintah dalam suatu

bidang tertentu yang berlaku umum, dengan pengertian tidak bersifat individual,

yang seharusnya bersifat objektif, yang secara umum dengan terjadinya peristiwa

tersebut orang tidak mungkin diharapkan dapat memenuhi kewajibannya.( Rahmat

S.S. Soemadipradja, op.cit, hal.101).

Page 207: (overmacht) over the

179

d. Keadaan yang tidak disengaja oleh debitur;

e. Keadaan itu menghalangi debitur berprestasi;

f. Jika prestasi dilaksanakan maka akan terkena larangan;

g. Keadaan di luar kesalahan debitur;

h. Debitur tidak melakukan kelalaian untuk berprestasi (menyerahkan

barang);

i. Kejadian tersebut tidak dapat dihindari oleh siapa pun (debitur maupun

pihak lain);

j. Debitur tidak terbukti melakukan kesalahan atau kelalaian.

B. Pengaturan Overmacht dalam Bagian Pengaturan tentang Risiko Akibat

Overmacht terhadap Kontrak Tertentu.

B.1. Kontrak Sepihak.

Sebagaimana diketahui bahwa akibat penting dari adanya overmacht adalah

siapakah yang harus menanggung risiko dari adanya peristiwa yang merupakan

overmacht tersebut. Jika terjadi overmacht atas kontrak sepihak, maka risikonya

(sejak perikatan dilahirkan) ditanggung oleh pihak penerima prestasi (kreditur).

Kecuali jika pihak debitur lalai dalam memberikan prestasi, di mana sejak

kelalaian tersebut menjadi risiko pihak pemberi prestasi (debitur).277

B.2. Kontrak bernama/ kontrak timbal-balik.

Untuk kontrak-kontrak tertentu (kontrak bernama) memang terdapat pasal-

pasal khusus dalam KUHPerdata yang merupakan pengaturan tentang overmacht,

khususnya pengaturan risiko sebagai akibat dari peristiwa overmacht tersebut,

antara lain meliputi:

277

Vide Pasal 1237 KUHPerdata.

Page 208: (overmacht) over the

180

(a). Overmacht dalam kontrak jual beli

Overmacht untuk kontrak jual beli, khususnya mengenai risiko sebagai

akibat dari overmacht tersebut diatur dalam Pasal 1460 KUHPerdata yang

menyatakan : "Jika kebendaan yang dijual itu berupa suatu barang yang sudah

ditentukan, maka barang ini sejak saat pembelian adalah atas tanggungan si

pembeli, meskipun penyerahannya belum dilakukan, dan si penjual berhak

menuntut harganya."

Dengan demikian, menurut Pasal 1460 KUHPerdata tersebut, maka

setelah kontrak jual beli ditandatangani, risiko beralih kepada pihak penjual,

walaupun benda tersebut belum diserahkan atau belum masanya diserahkan.

Dalam sistem KUHPerdata suatu kontrak hanya bersifat obligatoir saja,

artinya setelah kontrak tersebut dilakukan, masih memerlukan tindakan

hukum lainnya, yaitu melakukan "penyerahan (levering) setelah kontrak jual

beli tersebut dilakukan. Mestinya risiko baru beralih sejak saat seharusnya

penyerahan benda tersebut dilakukan, bukan pada saat kontrak jual beli

dilakukan. Karena Pasal 1460 KUH Perdata ini berada di luar sistem dan

dirasakan sangat tidak adil bagi pihak penjual, maka Mahkamah Agung

Republik Indonesia melalui Surat Edarannya Nomor 3 Tahun 1963

memintakan agar para hakim tidak memberlakukan Pasal 1460 tersebut.

Karena itu pula, pengaturan risiko sebagai akibat overmacht dari Pasal 1460

tersebut tidak dapat dipakai sebagai pedoman untuk mengartikan risiko dalam

hukum kontrak secara umum.

Page 209: (overmacht) over the

181

(b). Overmacht dalam kontrak tukar menukar

Untuk kontrak tukar menukar, berkenaan dengan risiko sebagai akibat

dari peristiwa overmacht diatur dalam Pasal 1545 KUHPerdata, dapat ditarik

kesimpulan bahwa dalam suatu kontrak timbal balik (in casu kontrak tukar

menukar), maka risiko akibat dari overmacht ditanggung bersama oleh para

pihak. Jika ada para pihak telah terlanjur berprestasi dapat memintakan

kembali prestasinya tersebut. Jadi kontrak tersebut dianggap gugur.

(c) . Overmacht dalam kontrak sewa menyewa

Pengaturan overmacht untuk kontrak sewa menyewa terdapat dalam

Pasal 1553 KUHPerdata, yang menyatakan bahwa:

Jika selama waktu sewa, barang yang disewakan sama sekali musnah

karena suatu kejadian yang tidak disengaja, maka kontrak sewa

menyewa tersebut gugur demi hukum.

Jika barangnya hanya sebagian musnah, pihak penyewa dapat memilih

menurut keadaan apakah dia akan meminta pengurangan harga sewa,

ataukah dia akan meminta pembatalan sewa menyewa. Dalam kedua hal

tersebut, dia tidak berhak untuk meminta ganti rugi.

Ketentuan risiko dalam kontrak sewa menyewa seperti terlihat dalam

Pasal 1553 KUHPertersebut di atas menempatkan kedua belah pihak untuk

menanggung risiko dari keadaan overmacht, tanpa adanya hak dari pihak

yang merasa dirugikan untuk meminta ganti rugi. Ini juga merupakan

ketentuan yang dapat dijadikan pedoman bagi penafsiran risiko dan

overmacht untuk kontrak timbal balik lain selain dari kontrak sewa

menyewa tersebut.

Page 210: (overmacht) over the

182

Dari seluruh pasal-pasal dalam KUH Perdata yang mengatur tentang

overmacht, dapat ditarik kesimpulan bahwa kriteria dari suatu overmacht adalah

sebagai berikut:

(1) Peristiwa yang menyebabkan terjadinya overmacht tersebut haruslah

tidak terduga oleh para pihak (vide Pasal 1244 KUH Perdata).

(2) Peristiwa tersebut tidak dapat dipertanggungjawabkan kepada pihak yang

harus melaksanakan prestasi (pihak debitur) tersebut (vide Pasal 1244

KUH Perdata).

(3) Peristiwa yang menyebabkan terjadinya overmacht tersebut di luar

kesalahan pihak debitur (vide Pasal 1545 KUH Perdata).

(4) Peristiwa yang menyebabkan terjadinya overmacht tersebut bukan

kejadian yang disengaja oleh debitur (vide Pasal 1553 juncto Pasal 1245

KUH Perdata).

(5) Pihak debitur tidak dalam keadaan itikad buruk (vide Pasal 1244 KUH

Perdata).

(6) Jika terjadi overmacht, maka kontrak tersebut menjadi gugur, dan sedapat

mungkin para pihak dikembalikan seperti seolah-olah tidak pernah

dilakukan (vide Pasal 1545 KUH Perdata).

(7) Jika terjadi overmacht, maka para pihak tidak boleh menuntut ganti rugi.

vide Pasal 1244 juncto Pasal 1245, juncto Pasal 1553 ayat (2) KUH

Perdata.

(8) Risiko (sebagai akibat dari overmacht) beralih dari pihak kreditur kepada

pihak debitur sejak saat seharusnya barang tersebut diserahkan (vide

Pasal 1545 KUH Perdata).

Page 211: (overmacht) over the

183

4.2.2. Kriteria Overmacht Berdasarkan Doktrin dan Yurisprudensi

A. Kriteria Overmacht Berdasarkan Doktrin

Abdul Kadir Muhammad memberikan pengertian overmacht yaitu suatu

keadaan tidak dapat dipenuhinya prestasi oleh debitur karena terjadi suatu

peristiwa bukan karena kesalahannya, peristiwa mana tidak dapat diketahui atau

tidak dapat diduga akan terjadi pada waktu membuat perikatan. Berdasarkan

pengertian tersebut, Abdulkadir Muhammad mengemukakan ada tiga kriteria dari

overmacht, yaitu :

1. Tidak dipenuhi prestasi karena suatu peristiwa yang membinasakan atau

memusnahkan benda yang menjadi objek perikatan, ini selalu bersifat

tetap;

2. Tidak dapat dipenuhi prestasi karena suatu peristiwa yang menghalangi

perbuatan debitur untuk berprestasi, ini dapat bersifat tetap atau

sementara;

3. Peristiwa itu tidak dapat diketahui atau diduga akan terjadi pada waktu

membuat perikatan, baik oleh debitur maupun kreditur. Jadi, bukan

karena kesalahan para pihak, khususnya debitur.278

Bertolak pada kriteria overmacht tersebut, Abdul Kadir Muhammad

menyimpulkan ada dua macam keadaan memaksa (overmacht), yaitu sebagai

berikut:

1. Overmacht Objektif/Tetap, secara otomatis mengakhiri perikatan

dalam arti perikatan itu batal, konsekuensinya ialah pemulihan

kembali dalam keadaan semula seolah-olah tidak pernah terjadi

perikatan.

2. Overmacht Subjektif, perikatan tidak berhenti, melainkan hanya

pemenuhan prestasinya tertunda, jika kesulitan itu sudah tidak terjadi,

maka pemenuhan prestasi diteruskan.279

Agus Yudha Hernoko juga memberikan pengertian overmacht setelah

menyimpulkan empat pasal dalam KUH Perdata, yaitu Pasal 1244,1245,1444, dan

278

Abdul Kadir Muhammad, op.cit, hal.28.

279

Abdul Kadir Muhammad,op.cit hal.32.

Page 212: (overmacht) over the

184

1445 KUHPerdata. Overmacht adalah peristiwa yang tak terduga yang terjadi di

luar kesalahan debitor setelah penutupan kontrak yang menghalangi debitor untuk

memenuhi prestasinya, sebelum ia dinyatakan lalai dan karenannya tidak dapat

dipersalahkan serta tidak menanggung risiko atas kejadian tersebut. Untuk itu,

sebagai sarana bagi debitor melepaskan diri dari gugatan kreditor, dalil overmacht

harus memenuhi syarat bahwa:

1. Pemenuhan prestasi terhalang atau tercegah;

2. Terhalangnya pemenuhan prestasi di luar kesalahan debitor;

3. Peristiwa yang menyebabkan terhalangnya prestasi tersebut bukan

merupakan risiko debitor.

Lebih lanjut, Yahya Harahap juga memberikan gambaran yang lebih luas

dan spesifik tentang kriteria overmacht melalui empat poin, antara lain meliputi:

1. Seseorang disebut berada dalam keadaan overmacht, apabila dalam

memenuhi pelaksanaan perjanjian, debitur berada dalam keadaan

impossibilitas yang tak dapat diperhitungkan sebelumnya

(ontoerenkenbare onmogelijkheid), sehingga dalam keadaan demikian,

risiko kerugian tidak patut dibebankan padanya;

2. Kriteria berikutnya yaitu seorang debitur dikatakan berada dalam

keadaan overmacht, jika rintangan dan halangan yang membuat dia

berada dalam keadaan tidak mungkin memenuhi perjanjian, disebabkan

oleh suatu peristiwa/kejadian yang berada diluar kesalahan atau

kelalaian debitur. Hal ini sesuai dengan ajaran ketidakmungkinan280

,

akan tetapi ketidakmungkinan melaksanakan perjanjian harus diteliti

280

KUHPerdata memberikan batasan / cakupan ketidakmungkinan

(impossibilitas) yang dikehendaki oleh undang-undang yaitu berdasarkan

ketentuan pasal 1444 ayat 1 KUHPerdata. Ketidakmungkinan dibedakan menjadi

ketidakmungkinan yang logis dan tidak logis. Secara sederhana, dapat dirumuskan

perbedaan antara ketidakmungkinan yang logis dan tidak logis bahwa

ketidakmungkinan yang logis benar-benar secara praktis tak dimungkinkan

sehingga tak patut membebani debitur atas kewajiban ganti rugi. Sedangkan pada

kemungkinan yang tak logis, praktis masih mungkin untuk dilakukan sehingga

debitur harus bertanggungjawab atas kewajiban ganti rugi.

Page 213: (overmacht) over the

185

lebih lanjut, sebab tidak semua overmacht dengan sendirinya

menempatkan debitur berada dalam keadaan tidak mungkin, halangan

atau rintangan tersebut untuk dapat memenuhi kriteria sebagai

overmacht, haruslah rintangan yang langsung terhadap prestasi itu

sendiri.

3. Disamping formulasi cakupan intensitas suatu rintangan untuk dapat

dipergunakan sebagai kriteria overmacht, dalam menentukan sesuatu

peristiwa itu merupakan rintangan yang menghalangi debitur

melakukan prestasi haruslah tetap dikaitkan dengan anasir, rintangan

harus berada diluar kesalahan debitur, bukan rintangan yang dibuat-buat

atau oleh karena kelalaian yang merupakan kejadian yang datang dari

tindakan diri pribadi debitur itu sendiri

4. Kriteria selanjutnya, tidak selamanya, rintangan yang terjadi dalam

pelaksanaan perjanjian merupakan rintangan yang langsung terhadap

prestasi, dapat pula rintangan tersebut tentang keadaan diri pribadi

kreditur dalam memenuhi pelaksanaan prestasi, misalnya, keadaan yang

membahayakan keselamatan jiwa, kesehatan, kemerdekaan dan

kehormatan martabat.281

Bertolak pada paparan diatas, bahwa untuk mengetahui intensitas

rintangan/halangan untuk dapat dikatakan telah memenuhi kriteria sebagai

overmacht, dengan mencermati, apakah benar-benar secara logika akal sehat,

pemenuhan prestasinya tak mungkin lagi untuk dilakukan, dengan menelaah

logika ketidakmungkinan itu tidak hanya semata-mata ditinjau dari sudut subjektif

si debitur maupun si kreditur. Kelogisan tersebut haruslah juga ditelaah dari segi

objektif sesuai dengan pengalaman dan pengetahuan yang umum dalam

masyarakat. Jadi perisiwa atau kenyataan rintangan itu, kadar intensitasnya

ditentukan oleh ukuran objektif yang benar-benar memadai untuk dapat dikatakan

menghalangi debitur melakukan prestasi berdasarkan pada pengetahuan dan

pengalaman pada umumnya. Selain itu pula, dapat dipahami bahwa berdasarkan

ketentuan Pasal 1244 dan 1245 KUHPerdata, rintangan yang dianggap menjadi

281

Yahya Harahap, op.cit, hal.88-93.

Page 214: (overmacht) over the

186

dasar overmacht haruslah rintangan atau sebab yang berada diluar diri pribadi

debitur, dengan demikian keadaan atau sebab yang berada pada diri pribadi

debitur tidak dapat dianggap sebagai dasar alasan overmacht.

Kriteria dari overmacht itu sendiri, Subekti menjelaskan dalam bukunya

yang berjudul Hukum Perjanjian, bahwa pada awalnya pengertian dari overmacht

tersebut dipahami oleh para sarjana sebagai suatu halangan yang muncul dari

suatu kejadian kejadian yang hebat dan menimbulkan akibat yang besar dan luas

dan permanen, seperti misalnya bencana alam, wabah penyakit, peperangan

ataupun kekacauan-kekacauan yang begitu hebatnya sehingga debitur tidak

memungkinkan sama sekali untuk memenuhi prestasinya, misalnya karena barang

yang menjadi objek perjanjian musnah. Akan tetapi dalam perkembangannya,

ternyata pemahaman tersebut lebih pada pengertian overmacht secara umum,

karena overmacht termasuk juga pada kejadian-kejadian penghalang yang tidak

bersifat mutlak atau bersifat sementara, yang cakupannya menurut William F. Fox

meliputi bentuk-bentuk halangan yang timbul dari bencana alam (natural

dissasters) hingga pada halangan-halangan yang timbul dari kekacauan politik

suatu negara (political discruptions).282

Oleh Ricardo Simanjuntak dikatakan bahwa yang perlu kiranya mendapat

penegasan adalah, halangan-halangan mana saja yang dapat dikualifisir/

dikategorikan sebagai halangan yang masuk pada pengertian overmacht. Kriteria

yang termasuk halangan dari overmacht tersebut dapat digambarkan sebagai

berikut:

282

Ricardo Simanjuntak, 2011, Hukum Kontrak: Teknik Perancangan

kontrak Bisnis, Kontan Publishing, Jakarta, hal 248.

Page 215: (overmacht) over the

187

1). Tidak dapat diperhitungkan kehadiran dari peristiwa overmacht

tersebut ketika kontrak telah di sepakati;

2). Terjadinya bukan merupakan akibat kesalahan ataupun diakibatkan

oleh tindakan debitur tersebut; dan

3). Halangan tersebut berada diluar dari kemampuan debitur tersebut

untuk mengatasinya.283

Bila mengikuti ketiga poin yang menjadi ukuran dari kriteria overmacht

tersebut, maka pengertian dari halangan dalam melaksanakan prestasi yang masuk

dalam kategori overmacht tersebut sebenarnya akan sangat luas sekali, artinya

tidak terbatas pada halangan yang disebabkan oleh peristiwa-peristiwa besar yang

menimbulkan akibat kerusakan yang massif dan permanen, misalnya seperti

gempa bumi, gunung meletus, wabah penyakit, akan tetapi juga pada setiap

bentuk halangan selama memenuhi ketiga kriteria utama tersebut.

B. Kriteria overmacht berdasarkan yurisprudensi

Berdasarkan yurisprudensi dapat disimpulkan mengenai ruang lingkup

overmacht meliputi:

1). Putusan MA RI No.Reg.15 K/Sip/1957, tidak sanggup memenuhi

tanggungannya karena rintangan yang tidak dapat diatasi, seperti

misalnya:

Risiko perang (dirampas tentara jepang pada masa perang);

Kehilangan benda obyek perjanjian yang disebabkan dari kuasa

Tuhan (disambar halilintar sehingga menyebabkan kebakaran).

2). Putusan MA RI No.Reg.24 K/Sip/1958

Peraturan-peraturan Pemerintah;

283

Ibid, hal.249.

Page 216: (overmacht) over the

188

Tidak terlaksananya prestasi akibat kelalaian atau kesalahan

debitur;

Tidak ada lagi kemungkinan-kemungkinan/alternatif lain yang

legal atau tidak melanggar peraturan bagi pihak yang terkena

force majeure dari sebuah kebijakan untuk memenuhi

perjanjian.

3). Putusan MA RI No.Reg.348 K/Sip/1957 dan Putusan MA RI No. Reg.

558 K/ Sip/1971

Risiko tidak terduga sebelumnya;

Kejadian atau peristiwa tidak diketahui sebelumnya,

Tidak disebabkan oleh kelalaian atau kesalahan pihak-pihak

dalam perjanjian.

4). Putusan MA RI No.Reg.1180 K/Sip/1971

Keadaan darurat.

5). Putusan MA RI No. 409 K/Sip/1983

Karena kecelakaan di laut.

Tidak terpenuhinya perjanjian karena overmacht dan bukan

karena kelalaian ataupun kesalahan debitur.

6). Putusan MA RI No. 3389 K/Pdt/1984

Act of God;

Keputusan atau segala tindakan administrasi dari penguasa

yang menentukan atau mengikat;

Page 217: (overmacht) over the

189

Suatu kejadian mendadak yang tidak dapat diatasi oleh pihak-

pihak dalam perjanjian.

7). Putusan No.21/Pailit/2004/PN.Niaga Jkt.Pst

Situasi atau keadaan yang sama sekali tidak dapat diduga

dan/atau yang sangat memaksa yang terjadi di luar kekuasaan

pihak yang harus berprestasi.

4.2.3. Kriteria Overmacht dalam Peraturan Perundang-undangan dan

Kontrak-kontrak lainnya

Ruang lingkup overmacht yang diatur dalam peraturan perundang-

undangan maupun dalam berbagai kontrak tidaklah sama. Makna overmacht telah

disesuaikan dengan karakteristik setiap peraturan perundang-undangan atau

kontrak.

A. Kriteria Overmacht dalam Peraturan perundang-undangan lainnya

Kriteria overmacht yang diatur dalam beberapa peraturan perundang-

undangan lainnya, diantaranya sebagai berikut:

A.1. Peraturan Pengadaan Barang dan Jasa, mengatur kriteria overmacht

sebagai berikut:

Peperangan;

Kerusuhan;

Revolusi;

Bencana alam, seperti banjir, gempa bumi, badai, gunung

meletus, tanah longsor, wabah penyakit, dan angin topan;

Pemogokan;

Kebakaran, dan

Gangguan industri lainnya.284

284

Rahmat S.S. Soemadipradja, op.cit, hal.78.

Page 218: (overmacht) over the

190

A.2. Peraturan Perbankan, mengatur kriteria overmacht, antara lain sebagai

berikut:

Kebakaran;

Kerusuhan massa;

Perang;

Sabotase, dan

Bencana alam, seperti gempa bumi dan banjir, yang dibenarkan

oleh penguasa atau pejabat dari instansi terkait di daerah

setempat.285

A.3. Peraturan Lalu Lintas dan Jasa Angkutan mengatur kriteria overmacht

antara lain sebagai berikut:

Amukan massa, dan

Keadaan yang secara teknis tidak mungkin dielakkan oleh

Pengemudi, seperti gerakan orang dan/atau hewan secara tiba-tiba.

A.4. Peraturan Pertambangan Mineral dan Batu Bara, kriteria overmacht

antara lain sebagai berikut:

Perang,

Kerusuhan sipil,

Pemberontakan,

Epidemik,

Gempa bumi,

Banjir,

Kebakaran, dan

Bencana alam di luar kemampuan manusia.286

Selain itu, dalam peraturan pertambangan dan mineral dikenal juga

istilah "keadaan yang menghalangi", yang terdiri atas:

Blokade,

Pemogokan,

285

Rahmat S.S. Soemadipradja, loc.cit. 286

Rahmat S.S. Soemadipradja, loc.cit.

Page 219: (overmacht) over the

191

Perselisihan perburuhan di luar kesalahan pemegang IUP (Izin

Usaha Pertambangan) atau IUPK (Izin Usaha Pertambangan

Khusus), dan

Peraturan perundang-undangan yang diterbitkan oleh Pemerintah

yang menghambat kegiatan usaha pertambangan yang sedang

dilaksanakan.287

A.5. Ketentuan Jasa Konstruksi, overmacht dibedakan atas:

Overmacht bersifat mutlak (absolute), yakni para pihak tidak

mungkin melaksanakan hak dan kewajibannya.

Overmacht bersifat tidak mutlak (relatif), yaitu bahwa para pihak

masih dimungkinkan untuk melaksanakan hak dan

kewajibannya.288

B. Kriteria overmacht dalam kontrak-kontrak lainnya.

Kriteria overmacht yang diatur dalam kontrak-kontrak lainnya, antara lain

meliputi:

B.1. Kontrak Karya, kriteria overmacht antara lain meliputi:

Peperangan;

Pemberontakan;

Kerusuhan sipil;

Blokade;

Sabotase;

Embargo;

Pemogokan dan perselisihan perburuhan lainnya;

Keributan;

Epidemik;

Gempa bumi;

Angin ribut, banjir, atau keadaan-keadaan cuaca lainnya yang

merugikan;

Ledakan;

Kebakaran;

Petir;

287

Rahmat S.S. Soemadipradja, op.cit, hal.79. 288

Rahmat S.S. Soemadipradja, op.cit, hal.89.

Page 220: (overmacht) over the

192

Perintah atau petunjuk (adverse order atau direction)

pemerintahan "de jure" ataupun "de facto"atau perangkatnya atau

subdivisinya yang merugikan;

Takdir Tuhan;

Perbuatan musuh masyarakat, dan

Kerusakan pada mesin-mesin yang berpengaruh besar terhadap

kegiatan pengusahaan.289

B.2. Kontrak Pengeboran di Darat, kriteria overmacht, antara lain meliputi:

Kerusuhan buruh secara umum;

Huru hara;

Perang (apakah perintah tersebut dikeluarkan secara hukum atau

tidak), dan

Tindakan Tuhan, seperti gempa bumi, angin ribut atau gelombang

pasang.290

B.3. Kontrak Agen Pembayaran Jumlah Bunga dan Pokok Obligasi kepada

Pemegang Obligasi oleh PT KSEI melalui Pemegang Rekening untuk dan

atas nama Perusahaan Terdaftar, kriteria overmacht, antara lain meliputi:

Banjir;

Gempa bumi;

Gunung meletus;

Kebakaran;

Perang;

Pemogokan;

Bencana nuklir atau radio aktif;

Huru-hara;

Perdagangan efek di bursa efek dihentikan untuk sementara atau

dibatasi oleh instansi yang berwenang;

Perubahan di bidang politik, pasar modal, ekonomi, dan moneter;

Perubahan di bidang terkait dengan usaha Perusahaan Terdaftar,

dan

Terjadinya kegagalan sistem orientasi perbankan yang bersifat

nasional (namun tidak termasuk kejadian yang berkaitan dengan

kegagalan sistem KSEI).291

289

Rahmat S.S. Soemadipradja, lo.cit. 290

Rahmat S.S. Soemadipradja, op.cit, hal.79-80. 291

Rahmat S.S. Soemadipradja, op.cit, hal.80.

Page 221: (overmacht) over the

193

B.4. Kontrak Sewa-menyewa Kendaraan, kriteria overmacht antara lain

meliputi:

Gempa bumi;

Perang;

Angin topan;

Huru-hara, dan

Moneter.292

B.5. Kontrak Pemborongan (Kontrak) Pekerjaan Rencana Teknik Akhir

(FED) Pembangunan Jalan Tol, ruang lingkup overmacht antara lain:

Gempa bumi;

Tanah longsor;

Banjir;

Guntur;

Kebakaran;

Perang;

Huru-hara;

Pemogokan;

Pemberontakan, dan

Epidemi.293

B.6. Kontrak Kerja Sama Proses Cetak Koran, ruang lingkup overmacht

antara lain:

Bencana alam;

Kebakaran;

Wabah;

Pemogokan;

Banjir;

Perang;

Epidemik;

Blokade;

Pengrusakan massa, dan

292

Rahmat S.S. Soemadipradja, loc.cit. 293

Rahmat S.S Soemadipradja, op.cit, hal.80-81.

Page 222: (overmacht) over the

194

Jika ada perubahan izin-izin percetakan dan penerbitan dari

Pemerintah yang sah.294

B.7. Kontrak Kerja Sama Berdasarkan Sistem Kontrak Karya Terkait dengan

Eksploitasi Hutan (Logging), ruang lingkup overmacht antara lain:

Perang;

Pemberontakan;

Pemogokan;

Kerusuhan;

Gempa bumi;

Topan;

Banjir;

Keadaan cuaca buruk;

Ledakan kebakaran;

Petir;

Huru-hara;

Blokade;

Epidemik, dan

Bencana-bencana alam lainnya.295

B.8. Kontrak Perjanjian Jual-beli (Air Conditioning dan Peralatan Listrik),

kriteria overmacht antara lain meliputi:

Pemogokan;

Embargo;

Huru-hara;

Peperangan;

Kebakaran;

Peledakan;

Sabotase;

Badai;

Banjir, dan

Gempa bumi.296

B.9.Kontrak Sewa-menyewa Rumah, kriteria overmacht antara lain meliputi:

Bencana alam;

Banjir;

294

Rahmat S.S. Soemadipradja, op.cit, hal.81. 295

Rahmat S.S. Soemadipradja, loc.cit. 296

Rahmat S.S Soemadipradja, op.cit, hal.81-82.

Page 223: (overmacht) over the

195

Gempa bumi, atau

Keadaan darurat lain yang ditetapkan oleh pemerintah.297

B.10. Kontrak-kontrak terkait minyak bumi dan gas (oil and gas contract)

1. AIPN Model Production Sharing Contract, kriteria overmacht

antara lain meliputi:

Fire;

Epidemic;

Unavoidable accident;

Eclared and undeclared war;

Strikes;

Lockout and other disturbances;

Flood;

Stroms;

Earthquakes;

Other natural disturbances;

Insurrection, and

Riot.

2. AIPN Model International Operating Agreement, kriteria

overmacht antara lain sebagai berikut:

Strikes, and

Lockout and other industrial disturbances even if they were

not "beyond the reasonable control" of Party.

3. AIPN Model Contract Gas Sales Agreement, kriteria overmacht,

antara lain sebaga berikut:

Acts of war (wheather declared or uncleared);

Armed conflict;

Civil unrest or insurrection;

Blockade;

Embargo;

Riot;

Sabotage;

Acts of terrorism, or the specific threat of these acts or even

or conditions duo to these acts or events;

Strikes;

Work slow down;

Lockout, or other industrial disturbance, orlabor dispute;

Epidemic or plague;

Fire;

Earthquake;

Cyclone;

297

Rahmat S.S. Soemadipradja, op.cit, hal.82.

Page 224: (overmacht) over the

196

Hurricane;

Flood;

Drought;

Lightning;

Strorms;

Strorms warning;

Navigational and maritime perils; or

Other Acts of God.298

B.11. The Vienna Convention on Contracts for the International Sales of

Goods

Pengertian force majeure diatur pula dalam Pasal 79 ayat 1 dari The

Vienna Convention on Contracts for the International Sales of Goods, yang

dikutip sebagai berikut:

A party is not liable for a failure to perform any of his obligations if he

proves that the failure was due to an impediment beyond his control

and he could not reasonably be expected to have taken the impediment

into account at the time of the conclusion of the contract of to have

avoided or overcome it or its consequences.299

Terjemahan bebasnya berarti:

Satu pihak tidak bertanggung jawab atas kegagalan untuk

melaksanakan salah satu kewajibannya jika ia membuktikan bahwa

kegagalan itu disebabkan hambatan di luar kendalinya dan dia tidak

mungkin bisa diharapkan untuk mempertimbangkan hambatan tersebut

pada saat kesimpulan dari kontrak sehingga dapat menghindari atau

mengatasi hambatan tersebut atau konsekuensinya.

B.12.The Principles of International Commercial Contracts

Pengertian bahwa force majeure juga meliputi bentuk halangan

halangan yang bersifat sementara juga dengan tegas diatur dan dijelaskan

298

AIPN Model Production Sharing Contract AIPN Model International

Operating Agreement, and AIPN Model Contract Gas Sales Agreement dalam

Rahmat S.S. Soemadipradja, op.cit, hal.83-86. 299

Vide Pasal 79 ayat 1 The Vienna Convention on Contracts for the

International Sales of Goods dalam Ricardo Simanjuntak, op.cit, hal.246.

Page 225: (overmacht) over the

197

dalam Pasal 7.1.7 dari The Principles of International Commercial Contracts

yang diterbitkan oleh the International Institute for the Unification of Private

Law (Undroit) 1994 diatur tentang ketentuan force majeure, sebagai berikut:

(1) Non-performance by a party is excused if that party proves that the

non-performance was due to an impediment beyond its control and

that it could not reasonably be expected to have taken the

impediment into account at the time of the conclusion of the

contract or to have avoided or overcome it or its consequences.

(2) When the impediment is only temporary, the excuse shall have

effect for such period as is reasonable having regard to the effect of

the impediment on the performance of the contract.

(3) The party who fails to perform must give notice to the other party

of the impediment and its effect on its ability to perform. If the

notice is not received by the other party within a reasonable time

after the party who fails to perform knew or ought to have known of

the impediment, it is liable for damages resulting from such non-

receipt.

(4) Nothing in this article prevents a party from exercising a right to

terminate the contract or to withhold performance or request

interest on money due."300

Terjemahan bebasnya berarti : (1) Wanprestasi oleh satu pihak dimaafkan jika pihak tersebut

membuktikan bahwa wanprestasi terjadi karena sebuah hambatan di luar kendalinya dan bahwa hal itu tidak bisa diperkirakan sewajarnya untuk dapat mempertimbangkan hambatan tersebut pada saat berakhirnya kontrak atau untuk dapat menghindari atau mengatasi hambatan itu atau konsekuensinya.

(2) Bila hambatan tersebut hanya sementara, pernyataan maaf tersebut akan berlaku untuk periode tertentu secara wajar dengan memperhatikan efek hambatan tersebut terhadap pelaksanaan kontrak.

(3) Pihak yang gagal untuk melaksanakan perjanjian harus memberi pemberitahuan kepada pihak lain atas hambatan dan efeknya pada kemampuannya untuk melaksanakan perjanjian tersebut. Jika pemberitahuan tidak diterima oleh pihak lain dalam waktu yang sewajarnya setelah pihak yang gagal untuk mengetahui atau seharusnya tahu mengenai hambatan tersebut, adalah bertanggung jawab atas kerusakan yang diakibatkan dari non-penerimaan seperti itu.

300

Pasal 7.1.7 The Principles of International Commercial Contracts dalam

Ricardo Simanjuntak, op.cit, hal.249.

Page 226: (overmacht) over the

198

(4) Tidak ada dalam pasal ini yang mencegah satu pihak dari

mendapatkan hak untuk mengakhiri kontrak atau untuk menahan

kinerja atau meminta bunga atas uang jatuh tempo. "

Dari sisi perancangan kontrak, penjabaran Pasal 7.1.7 dari The

Principles of International Commercial Contracts tersebut sangat penting

kiranya diperhatikan bahwa selain dari perancangan terhadap ketentuan force

majeure yang bersifat permanen (permanent force majeure) yang

mengakibatkan kontrak tidak dapat dilaksanakan secara keseluruhan

(frustration) ataupun berakibat kontrak tersebut menjadi berakhir, perlu juga

disertakan pengaturan force majeure yang hanya bersifat menunda

pelaksanaan prestasi yang bersifat sementara (temporary force majeure) yang

memberikan konsekuensi memungkinkannya dilakukannya penyesuaian-

penyesuaian (perubahan-perubahan dalam mengatasi akibat dari force

majeure sementara tersebut agar aktivitas berkontrak terseb tetap dapat

dilanjutkan segera setelah peristiwa force majeure tersebut berakhir.301

Mengingat bahwa force majeure tersebut dapat hanya bersifat

sementara, maka perlu juga diatur tentang kewajiban dari debitur tersebut

untuk segera melaporkan kepada kreditur bila peristiwa yang menjadi latar

belakang untuk berprestasi tersebut telah berakhir. Ini karena non permanen

dari force majeure akan berhubungan dengan penundaan sementara dari

pelaksanaan prestasi tersebut. Mengingat pentingnya kewajiban untuk segera

melaporkan peristiwa-peristiwa force majeure beserta dengan bukti-bukti

pendukungnya, maka kegagalan dalam melakukan pelaporan tersebut pada

301

Ricardo Simanjuntak, loc.cit.

Page 227: (overmacht) over the

199

umumnya disepakati akan memberikan konsekuensi tidak bebasnya debitur

dari pertanggungjawaban walaupun peristiwa tersebut merupakan peristiwa

yang dapat dikualifikasikan sebagai force majeure.

Bertolak pada paparan diatas, dapat dipahami bahwa sebagai dampak dari

perubahan pengertian yang diberikan pada overmacht, peristiwa yang dapat

dikategorikan sebagai penyebab terjadinya overmacht pun terus berkembang.

Awalnya, hanya peristiwa-peristiwa yang dikategorikan sebagai bencana yang

murni disebabkan oleh alam, seperti banjir, tanah longsor, dan gempa bumi.

Kemudian, berkembang ke peristiwa-peristiwa yang dikategorikan sebagai

bencana yang disebabkan oleh perbuatan manusia, seperti kerusuhan,

pemberontakan, dan bencana nuklir. Selain kedua penyebab itu, peristiwa-

peristiwa lain yang disebabkan oleh keadaan darurat, kebijakan pemerintah, dan

kondisi teknis yang berada di luar kemampuan para pihak pun akhirnya

dimasukkan sebagai peristiwa yang dapat menyebabkan terjadinya overmacht. Hal

ini menunjukkan bahwa peristiwa yang dapat dikategorikan sebagai penyebab

overmacht tidak hanya disebabkan oleh alam, melainkan berkembang pada

peristiwa-peristiwa yang disebabkan oleh tindakan manusia, yang dahulu tidak

dapat dikategorikan sebagai peristiwa penyebab terjadinya overmacht, bahkan

dalam perkembangan terakhir, tindakan pemerintah, baik melalui peraturan

perundang-undangan yang dikeluarkannya atau melalui kebijakan, juga

dikategorikan sebagai peristiwa penyebab force majeure.

Page 228: (overmacht) over the

200

Bagan 4.1. Kriteria overmacht

Sumber: Rahmat S.S. Soemadipradja yang penulis olah dalam bentuk

bagan.

KRITERIA OVERMACHT

Buku III KUHPerdata dan

Doktrin Yurisprudensi

Peraturan Perundang-undangan dan Kontrak-

kontrak lainnya 1) Peristiwa yang

menyebabkan terjadinya overmacht haruslah "tidak terduga" oleh para pihak (vide Pasal 1244 KUH Perdata).

2) Peristiwa tersebut tidak dapat dipertanggungjawabkan kepada pihak yang harus melaksanakan prestasi (vide Pasal 1244 KUH Perdata).

3) Peristiwa yang menyebabkan terjadinya overmacht tersebut di luar kesalahan pihak debitur (vide Pasal 1545 KUH Perdata).

4) Peristiwa yang menyebabkan terjadinya overmacht tersebut bukan kejadian yang disengaja oleh debitur (vide Pasal 1553 juncto Pasal 1245 KUH Perdata).

5) Pihak debitur tidak dalam keadaan itikad buruk (vide Pasal 1244 KUH Perdata).

6) Jika terjadi

overmacht , maka kontrak tersebut

1) Putusan MA RI No.Reg.15 K/Sip/1957, tidak sanggup memenuhi tanggungannya karena rintangan yang tidak dapat diatasi, seperti misalnya: - Kehilangan benda

obyek perjanjian yang disebabkan dari kuasa Tuhan (disambar halilintar sehingga menyebabkan kebakaran).

2) Putusan MA RI No.Reg.24 K/Sip/1958 - Peraturan-peraturan

Pemerintah; - Tidak

terlaksananya prestasi bukan akibat kelalaian atau kesalahan debitur;

- Tidak ada lagi kemungkinan-kemungkinan/alternatif lain yang legal atau tidak melanggar peraturan bagi pihak yang terkena force majeure dari sebuah kebijakan untuk memenuhi perjanjian.

3) Putusan MA RI No.Reg.348 K/Sip/1957 dan Putusan MA RI No. Reg. 558 K/ Sip/1971 - Risiko tidak

1. Force majeure karena faktor alam, Termasuk kriteria force majeure ini diantaranya: Banjir; Tanah longsor; Gempa bumi; Badai; Guntur; Gunung meletus; Topan; Petir; Gelombang pasang; Bencana alam di luar

kemampuan manusia, dan

Bencana alam yang dibenarkan oleh penguasa atau pejabat dari instansi terkait di daerah setempat.

2. Force majeure karena kondisi sosial dan keadaan darurat, yang ditimbulkan oleh situasi atau kondisi yang tidak wajar, keadaan khusus yang bersifat segera dan berlangsung dengan singkat tanpa dapat diprediksi sebelumnya. Termasuk di dalam force majeure tersebut adalah: Peperangan; Pemberontakan; Operasi militer; Sabotase; Blokade; Pemogokan dan

perselisihan buruh;

Page 229: (overmacht) over the

201

menjadi gugur, dan sedapat mungkin para pihak dikembalikan seperti seolah-olah tidak pernah dilakukan (vide Pasal 1545 KUH Perdata).

7) Jika terjadi overmacht maka para pihak tidak boleh menuntut ganti rugi. vide Pasal 1244 juncto Pasal 1245, juncto Pasal 1553 ayat (2) KUH Perdata.

8) Risiko (sebagai akibat dari overmacht) beralih dari pihak kreditur kepada pihak debitur sejak saat seharusnya barang tersebut diserahkan (vide Pasal 1545 KUH Perdata).

terduga sebelumnya;

- Kejadian atau peristiwa tidak diketahui sebelumnya,

- Tidak disebabkan oleh kelalaian atau kesalahan pihak-pihak dalam perjanjian

4) Putusan MA RI No.Reg.1180 K/Sip/1971 - Keadaan darurat

5) Putusan MA RI No. 409 K/Sip/1983 - Karena kecelakaan

di laut Tidak terpenuhinya

perjanjian karena overmacht dan bukan karena kelalaian ataupun kesalahan debitur

6) Putusan MA RI No. 3389 K/Pdt/1984 - Act of God; - Keputusan atau

segala tindakan administrasi dari penguasa yang menentukan atau mengikat;

- Suatu kejadian mendadak yang tidak dapat diatasi oleh pihak-pihak dalam perjanjian.

7) Putusan No.21/Pailit/ 2004/PN. Niaga Jkt.Pst - Situasi atau

keadaan yang sama sekali tidak dapat diduga dan/atau yang sangat memaksa yang terjadi di luar kekuasaan pihak yang harus berprestasi

Kebakaran; Epidemik; Terorisme; Peledakan; Ledakan; Kerusuhan; Keributan; Pengrusakan

massa (amukan massa);

Bencana nuklir; Radio aktif; Huru-hara; Wabah; Kerusuhan buruh

secara umum; Perbuatan musuh

masyarakat; Keadaan-keadaan

lain di luar kekuasaan manusia yang langsung mempengaruhi jalannya pekerjaan, serta

Keadaan darurat lain yang ditetapkan oleh pemerintah.

3. Force majeure karena keadaan ekonomi (moneter), yaitu force majeure yang disebabkan oleh adanya situasi ekonomi yang berubah, ada kebijakan ekonomi tertentu, atau segala sesuatu yang berhubungan dengan sektor ekonomi. Termasuk di dalam force majeure ini adalah: Terjadi perubahan

kondisi perekonomian atau peraturan perundang-undangan sedemikian rupa sehingga

Page 230: (overmacht) over the

202

mengakibatkan tidak dapat dipenuhinya prestasi;

Timbulnya gejolak moneter yang menyebabkan kenaikan biaya bank;

Embargo; Perubahan di

bidang politik, pasar modal, ekonomi, dan moneter; perubahan di bidang terkait dengan usaha Perusahaan Terdaftar; terjadinya kegagalan sistem orientasi perbankan yang bersifat nasional.

4. Force majeure karena kebijakan atau peraturan yang ditetapkan oleh pemerintah, yaitu force majeure yang disebabkan oleh suatu keadaan di mana terjadi perubahan kebijakan pemerintah atau hapus atau dikeluarkannya kebijakan baru, yang berdampak pada kegiatan yang sedang berlangsung. Termasuk di dalam force majeure ini adalah: Perdagangan efek di

bursa efek yang dihentikan sementara oleh instansi yang berwenang;

Terjadinya perubahan-perubahan izin percetakan dan penerbitan dari

Page 231: (overmacht) over the

203

instansi; Perintah atau

petunjuk (adverse order atau direction) pemerintahan "de jure"atau "de facto"atau perangkatnya atau subdivisinya yang merugikan;

Peraturan perundang-undangan yang diterbitkan oleh Pemerintah menghambat kegiatan usaha pertambangan yang sedang dilaksanakan.

5. Force majeure keadaan teknis yang tidak terduga,yaitu force majeure yang disebabkan oleh peristiwa rusaknya atauberkurangnya fungsi peralatan teknis atau operasional yang berperan penting bagi kelangsungan proses produksi suatu perusahaan, dan hal tersebut tidak dapat diduga akan terjadi sebelumnya. Termasuk di dalam force majeure tersebut, yaitu:

Terjadinya kegagalan sistem orientasi perbankan yang bersifat nasional;

Keadaan yang secara teknis tidak mungkin dielakkan oleh pengemudi, seperti gerakan orang dan/atau hewan secara tiba-tiba;

Kerusakan pada mesin-mesin yang berpengaruh besar terhadap kegiatan pengusahaan.

Page 232: (overmacht) over the

204

Dari kriteria overmacht tersebut diatas, maka penulis dapat memberikan

masukan karena lingkup kriteria overmacht dalam buku III KUHPerdata hanya

bersifat terbatas saja maka selain terhadap kriteria overmacht dalam buku III

KUHPerdata juga perlu dijadikan acuan terhadap kriteria overmacht dalam

yurisprudensi, peraturan perundang-undangan lainnya serta kontrak-kontrak

lainnya dapat diterapkan dan/atau berlaku secara mutatis-mutandis terhadap UU

Rumah Susun tentunya relevansi kriteria overmacht itu sendiri dengan

mencermati substansi objek kebendaan dari HMSRS dan perjanjian rumah susun

itu sendiri. Kriteria overmacht itu sendiri jangan digeneralisir untuk semua kriteria

overmacht namun diteliti lebih lanjut apa dia tergolong overmacht objektif

ataukah subjektif agar penyelesaiannya pun menjadi jelas. Kriteria overmacht

tersebut, penulis uraikan dalam bagan berikut ini:

Page 233: (overmacht) over the

203

Bagan 4.2. Kriteria Overmacht terhadap HMSRS

Sumber: Rahmat S.S. Soemadipradja dan pemikiran penulis yang penulis olah dalam bentuk bagan.

PENERAPAN KRITERIA OVERMACHT TERHADAP HMSRS

Jenis-jenis Overmacht

Buku III KUHPerdata dan Doktrin Yurisprudensi Peraturan Perundang-undangan

dan Kontrak-kontrak lainnya 1). Overmacht

Absolut/ Mutlak/ Obyektif

1) Peristiwa yang menyebabkan terjadinya force majeure tersebut haruslah "tidak terduga" oleh para pihak (vide Pasal 1244 KUH Perdata)

2) Jika terjadi force majeure, maka kontrak tersebut menjadi gugur, dan sedapat mungkin para pihak dikembalikan seperti seolah-olah tidak pernah dilakukan (vide Pasal 1545 KUH Perdata).

3) Peristiwa tersebut tidak dapat dipertanggung jawabkan kepada pihak yang harus melaksanakan prestasi (vide Pasal 1244 KUH Perdata).

4) Peristiwa yang menyebabkan terjadinya force majeure tersebut di luar kesalahan pihak debitur (vide Pasal 1545 KUH Perdata).

5) Peristiwa yang menyebabkan terjadinya force majeure tersebut bukan kejadian yang disengaja oleh debitur (vide Pasal 1553 juncto Pasal 1245 KUH Perdata).

1) Situasi atau keadaan yang sama sekali tidak dapat diduga dan/atau yang sangat memaksa yang terjadi di luar kekuasaan pihak yang harus berprestasi, yaitu kehilangan benda obyek perjanjian yang disebabkan dari kuasa Tuhan.

2) Tidak terpenuhinya perjanjian bukan karena kelalaian ataupun kesalahan debitur

1) Force majeure karena faktor alam,termasuk kriteria force majeure ini diantaranya: Banjir; Tanah longsor; Gempa bumi; Badai; Guntur; Gunung meletus; Topan; Petir; Gelombang pasang; Bencana alam di luar kemampuan

manusia, dan Bencana alam yang dibenarkan oleh

penguasa atau pejabat dari instansi terkait di daerah setempat.

Page 234: (overmacht) over the

204

2). Overmacht Relatif/ Sementara/ Subyektif/

1) Pihak debitur tidak dalam keadaan itikad buruk (vide Pasal 1244 KUH Perdata).

2) Risiko (sebagai akibat dari force majeure) beralih dari pihak kreditur kepada pihak debitur sejak saat seharusnya barang tersebut diserahkan (vide Pasal 1545 KUH Perdata).

1) Tidak terlaksananya prestasi bukan akibat kelalaian atau kesalahan debitur

2) Tidak ada lagi kemungkinan-kemungkinan/alternatif lain yang legal atau tidak melanggar peraturan bagi pihak yang terkena force majeure dari sebuah kebijakan untuk memenuhi perjanjian.

- Force majeure karena kondisi sosial dan keadaan darurat, yaitu force majeure yang ditimbulkan oleh situasi atau kondisi yang tidak wajar, keadaan khusus yang bersifat segera dan berlangsung dengan singkat tanpa dapat diprediksi sebelumnya. Termasuk di dalam force majeure tersebut adalah:

Kebakaran; Terorisme; Peledakan; Ledakan kebakaran; Bencana nuklir; Radio aktif; Peraturan pemerintah

Page 235: (overmacht) over the

207

4.3. Urgensi Pengaturan overmacht di masa datang

4.3.1.Penerapan Asas-asas hukum perjanjian

Hukum positif merupakan substansi dari suatu sistem hukum. Menurut

Lawrence M.Friedman, sistem hukum mempunyai tiga unsur, yaitu (1). Struktur

hukum (2).substansi hukum (3). Budaya hukum. Struktur hukum mengacu pada

bentuk dan kedudukan pranata hukum yang terdapat dalam sistem hukum.

Hubungan antar lembaga tinggi negara. Adapun substansi hukumnya merupakan

kumpulan nilai, asas, dan norma hukum yang ada. Inilah yang dinamakan law in

the books dalam suatu sistem hukum. Tentunya tidak semua aturan hukum itu

berjalan berjalan sesuai dengan harapan di lapangan. Ada aturan yang ditaati dan

ada yang disimpangi. Semua itu merupakan law in action atau living law. Unsur

yang penting dalam mempengaruhi corak hukum yang hidup itu adalah budaya

hukum dari masyarakat yang menjadi subjek hukumnya.

Urgensi Pengaturan overmacht di masa datang, berkenaan dengan

substansi hukum yang perlu diperbaiki agar memberikan keadilan yang berbasis

kontrak bagi para pihak, dan hal ini dapat dikaji secara mendalam melalui asas-

asas perjanjian. Unsur Three Element of Theory dari Lawrence M. Friedmann,

dalam membahas substansi pokok dari permasalahan ini tercermin dalam

gambaran asas-asas hukum perjanjian. Perjanjian ataupun kontrak secara tegas

telah diatur kepastian keberlakuan dan kekuatan daya mengikatnya bagi para

pihak yang menyepakatinya (contracting parties) berdasarkan Pasal 1329, Pasal

1320, Pasal 1338, Pasal 1340 dan Pasal 1243 KUHPerdata.

Page 236: (overmacht) over the

208

Para pihak mempunyai kewenangan untuk membentuk hukum dalam

bentuk perjanjian yang mengikat dirinya dengan mitra perjanjiannya, yang harus

tunduk terhadap hukum yang diberlakukan oleh para pihak maka produk hukum

perjanjian ataupun kontrak yang disepakati oleh para pihak tersebut haruslah tidak

bertentangan dengan Undang-undang, kesusilaan dan juga ketertiban umum.

Dengan kata lain, bahwa dasar keabsahan berkontrak dalam upaya membangun

hukum yang mengikat para pihak tidak hanya didasarkan pada pelaksanaan

prinsip kebebasan berkontrak (freedom of contract) atau prinsip penghargaan pada

kesepakatan (pacta sunt servanda) semata, akan tetapi harus pula didukung oleh

ketentuan undang-undang sebagai suatu ketentuan yang tidak dapat bertentangan

sehubungan dengann pelaksanaan dari keebbasan berkontrak yang dimiliki oleh

para pihak tersebut.

Hubungan hukum para pihak telah diwujudkan dalam suatu perikatan hak

dan kewajiban yang memberikan konsekuensi adanya pihak yang berkewajiban

untuk melaksanakan kewajibannya dan bagi pihak lain mendapatkannya haknya.

Karena jika perikatan hak dan kewajiban dilaksanakan sesuai dengan kesepaktan,

akan memberikan keuntungan sehubungan dengan sasaran komersil yang

diharapkan oleh masing-masing pihak tersebut. Dengan kata lain, terhadap suatu

perikatan ataupun kontrak, memang harus ada ketentuan yang tegas dan jelas

untuk membangun kepastian hukum bahwa para pihak yang melakukan perikatan

tersebut tunduk untuk melaksanakannya dengan itikad baik.

Seperti yang telah dijelaskan diatas, asas kepatian hukum agar para pihak

tunduk dan menghargai janji-janji yang telah disepakati bersama berdasar asas

Page 237: (overmacht) over the

209

kebebasan berkontrak telah diimplementasikan dalam asas pacta sunt servanda

yang dalam hal ini menundukkan kesepakatan tersebut sebagai suatu hukum yang

mengikat para pihak untuk melaksanakannya.

Satuan rumah susun dimiliki oleh perseorangan atau badan hukum yang

memenuhi syarat sebagai pemegang hak atas tanah. Hak milik atas satuan rumah

susun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2) meliputi juga hak atas

bagian-bersama, benda-bersama, dan tanah-bersama, yang semuanya merupakan

satu-kesatuan yang tidak terpisahkan dengan satuan yang bersangkutan. Hak atas

bagian-bersama, benda-bersama, dan hak atas tanahbersama sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3) didasarkan atas luas atau nilai satuan rumah

susun yang bersangkutan pada waktu satuan tersebut diperoleh pemiliknya yang

pertama.

Dalam Pasal 10 (1) UU RumahSusun menyatakan bahwa : Hak Milik Atas

Satuan Rumah Susun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 (3) dapat beralih

dengan cara pewarisan atau dengan cara pemindahan hak sesuai dengan ketentuan

hukum yang berlaku. Salah satu cara pemindahan hak tersebut adalah dengan jual

beli yang merupakan salah satu dari bentuk perjanjian/persetujuan.

Menurut Pasal 1320 KUHPerdata syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam

membuat perjanjian tersebut adalah sebagai berikut:

1. Adanya kata sepakat, dalam arti bahwaperjanjian tersebut dibuat

secara musyawarah oleh kedua belah pihak, tanpa adanya paksaan dari

salah satu pihak.

Page 238: (overmacht) over the

210

2. Adanya kecakapan untuk membuat suatu perjanjian dalam arti bahwa

yang membuat perjanjian tersebut sudah dewasa dan tidak dalam sakit

ingatan.

3. Suatu hal yang diperjanjikan harus jelas dalam arti bahwa rumah yang

dijadikan obyek sewa-menyewa tersebut harus jelas: lokasi, bentuk,

luas dan sebagainya.

4. Perjanjian tersebut harus halal dalam arti bahwa isi perjanjian tidak

boleh bertentangan dengan peraturan perundangan yang berlaku dan

kesusilaan.

Mengenai syarat sahnya suatu perjanjian sebagaimana diatur dalam Pasal

1320 KUHPerdata, maka pihak-pihak dalam perjanjian jual beli apartemen/rumah

susun harus mengacu pada Pasal tersebut. perjanjian Rumah Susun yang diadakan

oleh para pihak merupakan juga hukum bagi hubungan konkret yang

bersangkutan (Pasal 1338 KUHPerdata), Berkenaan dengan kontrak bisnis Rumah

Susun, Perjanjian dasar yang digunakan pada prinsipnya berisi tentang syarat-

syarat dan ketentuan penggunaan tanah yang dalam hal ini tunduk pada ketentuan

dan prinsip-prinsip Hukum Tanah Nasiona, sepanjang perjanjian yang diadakan

itu tidak melanggar atau bertentangan dengan ketentuan-ketentuan UUPA.

Adapun tanah kaitannya dengan Rumah Susun menurut kepustakaan asing adalah

sebagai bagian dari Rumah Susun yang tergolong real property dalam hukum

kebendaan menurut sistem hukum yang berlaku di Negara-negara Anglo-Saxon.

Page 239: (overmacht) over the

211

Perjanjian Perikatan jual beli merupakan perjanjian kesepakatan para

pihak mengenai rencana para pihak yang akan melakukan jual beli dan mengatur

tentang hak dan kewajiban sehingga bisa memberikan kepastian hukum serta

perlindungan hukum bagi para pihak yang membuatnya. Jual beli merupakan

perjanjian konsensuil, artinya ia sudah dilahirkan sebagai suatu perjanjian yang

sah saat tercapainya kesepakatan antara penjual dan pembeli mengenai unsur-

unsur pokok yaitu barang dan harga, sekalipun jual beli itu mengenai barang yang

tidak bergerak.

Perjanjian perikatan jual beli yang dibuat oleh pengembang dengan

konsumen harus memenuhi ketentuan Pasal 1321 KUHPerdata tersebut, sehingga

perjanjian itu dapat berlaku sebagai Undang-Undang bagi para pihak, hubungan

hukum yang timbul diantara mereka adalah hubungan Perdata, yaitu hubungan

yang dikuasai oleh hukum perjanjian dimana mereka tunduk pada perjanjian yang

mereka buat. Perikatan jual-beli satuan rumah susun dapat terjadi karena adanya

peningkatan permintaan konsumen/calon konsumen untuk membeli rumah susun

yang belum selesai dibangun oleh pengembang (developer), sehingga

mengharuskan pemerintah untuk mengatur hal tersebut secara khusus dalam

Keputusan Menteri Perumahan Rakyat Nomor 11/KPTS/1995 tentang Pedoman

Perikatan Jual-Beli Satuan Rumah Susun (“Kepmenpera”). Akibat hukum dari

berlakunya Kepmenpera ini adalah setiap adanya perikatan jual – beli satuan

rumah susun wajib mengikuti pedoman dalam Kepmenpera tersebut. Hal ini

sebagaimana tertulis di ketentuan kedua dalam Kepmenpera. Dengan

dikeluarkanya Keputusan Menteri Negara Perumahan Rakyat tersebut, maka

Page 240: (overmacht) over the

212

dimungkinkan pemasaran/penjualan satuan-satuan rumah susun sebelum rumah

susun yang bersangkutan selesai pembangunannya. Hal tersebut dapat dilakukan

dengan perikatan jual beli yang dilakukan antara penyelenggara pembangunan

rumah susun dengan calon pembeli.

Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Negara Perumahan Rakyat

No.11/KPTS/1995 tentang Pedoman Perikatan Jual Beli Satuan Rumah Susun,

pengembang dan konsumen masing-masing memiliki hak dan kewajiban. Hak dan

kewajiban menurut hukum bersifat obligatoir dan dalam hukum perdata,

khususnya dalam hukum perjanjian dipostulatkan sebagai suatu pemenuhan

prestasi yang bersifat timbal-balik yaitu hak bagi seseorang merupakan kewajiban

untuk mengakui dan menghormati bagi pihak lain dan kewajiban berkaitan

dengan kewenangan (kekuasaan untuk melakukan atau tidak melakukan tindakan

dalam suatu perbuatan hukum). Dengan demikian, hak menunjukkan kualifikasi

pasif dari penguasaan benda dan kewajiban merupakan keharusan untuk berbuat

dan tidak berbuat sesuatu yang bersifat aktif.302

Hak tidak hanya mengandung

unsur perlindungan dan kepentingan tetapi hak juga mengandung unsure

kehendak. Hakikat suatu hak adalah kapasitas untuk berperan seperti dalam ajaran

hukum murni Hans Kelsen, hak dan kewajiban mengandung makna yang sangat

berbeda apabila hak dan kewajiban dipandang sebagai hak dan kewajiban hukum.

Apabila seseorang berhak atas suatu barang (jus in rem), maka orang lain

menghormati hak itu (jus in personam) sebagai hak yang melekat pada seseorang

302

Aslan Noor, op.cit, hal.70-71.

Page 241: (overmacht) over the

213

untuk menuntut seseorang yang melanggar hak tersebut.303

Jadi, dalam hal ini

adanya korelasi yang sangat erat antara hak dan kewajiban. Kewajiban merupakan

hal yang sangat mutlak dibutuhkan oleh seseorang yang ingin haknya terpenuhi

dan seseorang dapat menuntut haknya apabila ia telah menyelesaikan

kewajibannya. Hak dan kewajiban para pihak dalam kepemilikan HMSRS dapat

diuraikan sebagai berikut:

1). Hak dan kewajiban Pemesan (Calon Konsumen)

A. Kewajiban Pemesan

Pemesan mempunyai beberapa kewajiban dalam terjadinya perjanjian

pengikatan jual beli antara lain yaitu :

a. Menyatakan bahwa Pemesan (calon pembeli) telah membaca, memahami

dan menerima syarat-syarat dan ketentuan dari surat pesanan dan

pengikatan jual beli serta akan tunduk pada anggaran dasar perhimpunan

penghuni dan dokumen-dokumen tersebut mengikat pembeli;

b. Setiap Pemesan setelah menjadi pembeli satuan rumah susun wajib

membayar:

1. Biaya pembayaran akta-akta yang diperlukan;

2. Biaya jasa PPAT untuk pembuatan akta jual beli satuan rumah susun;

3. Biaya untuk memperoleh hak milik atas satuan rumah susun, biaya

pendaftaran jual beli atas satuan rumah susun(biaya pengalihan hak

milik atas nama) di Kantor Pertanahan setempat;

303

Ibid, hal.70.

Page 242: (overmacht) over the

214

4. Setiap Pemesan, setelah menjadi pemilik satuan rumah susun juga

wajib membayar biaya pengelolaan (management fee) dan biaya utilitas

(utility charge).

5. Setelah akta jual beli ditandatangani tetapi sebelum mendapat Sertifikat

HMSRS diterbitkan oleh Badan Pertanahan setempat :

a) Jika satuan rumah susun tersebut dialihkan kepada pihak ketiga

dikenakan biaya administrasi yang ditetapkan oleh Perusahaan

Pembangunan Perumahan dan Pemukiman yang jumlahnya tidak

lebih dari 1% dari harga jual.

b) Jika satuan rumah susun tersebut dialihkan kepada pihak anggota

keluarga karena sebab apapun juga termasuk karena pewarisan

menurut hukum dikenakan biaya administrasi untuk Notaris/PPAT

yang besarnya sesuai dengan ketentuan.

c) Sebelum lunasnya pembayaran atas harga jual satuan rumah susun

yang dibelinya, pemesan tidak dapat mengalihkan atau menjadikan

satuan rumah susun tersebut sebagai jaminan utang tanpa

persetujuan tertulis dari Perusahaan Pembangunan Perumahan dan

Pemukiman.

B. Hak Pemesan ( Calon Konsumen )

a. Calon konsumen berhak memiliki tanah bersama, tanah sesuai dengan

daerah perencanaan yang digunakan perhitungan koefisien dasar bangunan

(KDB) dan koefisien luas bangunan (KLB) seperti yang ada di dalam blok

plan.

Page 243: (overmacht) over the

215

b. Calon konsumen berhak memakai benda bersama misalnya: fasilitas olah

raga, sarana bermain bagi anakanak, dan lain-lain yang terletak di atas tanah

bersama.

c. Calon konsumen berhak menggunakan fasilitas yang terdapat di dalam

bangunan apartemen (tower) misalnya koridor, lift, tangga, dan lain-lain.

d. Calon konsumen berhak menjadi anggota Perhimpunan Penghuni

apartemen.

Setelah beralih dan menjadi pemilik SRS, hak dan kewajiban pemilik SRS,

diantaranya:

2). Hak dan Kewajiban Pemilik Satuan Rumah Susun

A. Kewajiban Pemilik Satuan Rumah Susun

1. Adapun kewajiban SRS atau penghuninya berkewajiban membentuk

apa yang disebut perhimpunan penghuni. Perhimpunan Penghuni

merupakan badan hukum yang bertugas mengurus kepentingan

bersama para pemilik SRS dan penghuninya. Perhimpunan penghuni

tersebut dapat menunjuk atau membentuk suatu badan pengelola yang

bertugas melaksanakan pemeliharaan dan pengoperasian peralatan

yang merupakan milik bersama;

2. Pembiayaan kegiatan perhimpunan penghuni dan badan pengelola

ditanggung bersama oleh pemilik SRS dan para penghuni, masing-

masing sebesar imbangan menurut nilai perbandingan

proporsionalnya;

Page 244: (overmacht) over the

216

3. Jika jangka waktu hak atas tanah bersama berakhir, para pemilik SRS

berkewajiban untuk bersama-sama mengajukan permohonan

perpanjangan jangka waktu atau pembaharuan Hak Guna Bangunan

atau Hak Pakai atas bangunan yang bersangkutan.

B. Hak Pemilik Satuan Rumah Susun

Pemilik Satuan Rumah Susun mempunyai hak untuk:

1. Menghuni satuan rumah susun yang dimilikinya serta menggunakan

bagian-bagian bersama, benda-benda bersama dan tanah bersama

masing-masing sesuai dengan peruntukannya;

2. Menyewakan satuan rumah susun yang dimilikinya kepada pihak lain

yang akan menjadi penghuni, asal tidak melebihi jangka waktu hak atas

tanah bersamanya;

3. Menunjuk HMSRS yang dimilikinya sebagai jaminan kredit dengan

dibebani Hak Tanggungan atau Fidusia;

4. HMSRS tersebut dapat dipindahkan kepada pihak lain melalui jual-beli,

tukar-menukar, hibah;

5. Mengalihkan kepada ahli warisnya, karena HMSRS dapat beralih

karena pewarisan.

3). Hak dan Kewajiban Developer

A. Kewajiban Developer:

1). Sebelum melakukan pemasaran perdana, Developer wajib melaporkan

hal terkait pemasaran perdana kepada Bupati/Walikotamadya Kepala

Daerah tingkat II dengan tembusan kepada Menteri Negara Perumahan

Page 245: (overmacht) over the

217

Rakyat. Laporan terkait dengan pemasaran perdana bahwa pihak

developer harus memiliki kelengkapan perizinan, sesuai dengan

Keputusan Menteri Negara Perumahan Rakyat Nomor 11/KPTS/1995

tentang Pedoman Pengikatan Jual Beli Satuan Rumah Susun.

a. Izin Prinsip, yaitu izin yang harus diperoleh oleh setiap orang

atau badan hukum yang akan memanfaatkan ruang untuk tempat

usaha skala besar;

b. Izin Lokasi, dari Kantor Pertanahan Setempat, khusus untuk

wilayah DKI Jakarta dikenal sebagai Surat Izin Penunjukkan

dan Penggunaan Tanah (SIPPT). Izin ini diberikan kepada

perusahaan untuk memperoleh tanah yang diperlukan dalam

rangka penanaman modal yang berlaku pula sebagai izin

pemindahan hak;

c. Izin Mendirikan Bangunan, yaitu izin yang diberikan untuk

melakukan kegiatan pembangunan. Pengembang sebagai pihak

yang bertanggungjawab atas kegiatan pendirian bangunan

berkewajiban untuk memperoleh izin pada pemerintah setempat.

Lebih dipertegas lagi dalam UU Rumah Susun, laporan tersebut

harus dilampiri dengan : (i).Salinan surat persetujuan izin prinsip;

(ii).Salinan surat keputusan pemberian izin lokasi; (iii).Bukti pengadaan

dan perluasan tanah; (iv).Salinan surat mendirikan bangunan; (v).

Gambar denah pertelaan yang telah mendapat pengesahan dari

pemerintah daerah setempat.

Page 246: (overmacht) over the

218

Jika dalam jangka waktu 30 hari kalender terhitung sejak tanggal

yang tercantum dalam tanda terima laporan tersebut belum mendapat

jawaban dari Bupati atau Walikota maka penawaran perdana tersebut

dapat dilaksanakan.

2). Menyediakan dokumen terkait dengan pembangunan perumahan304

3). Menyelesaikan pembangunan sesuai dengan standar yang telah

diperjanjikan.

4). Memperbaiki kerusakan secara terbatas yang terjadi dalam jangka

waktu 100 hari setelah tanggal ditandatanganinya berita acara

penyerahan satuan rumah susun dari pengusaha kepada pemesan.

5). Bertanggung jawab terhadap adanya cacat tersembunyi yang dapat

diketahui di kemudian hari.

6). Menjadi pengelola sementara rumah susun sebelum terbentuk

perhimpunan penghuni dan membantu menunjuk pengelola setelah

perhimpunan penghuni terbentuk.

7). Mengasuransikan pembangunan apartemen selama berlangsungnya

pembangunan.

304

Dokumen yang dimaksud berkenaan dengan permohonan izin atas

rencana fungsi dan pemanfaatan. UU Rumah Susun menegaskan dokumen yang

dimaksud, diantaranya: (i) Sertifikat hak atas tanah; (ii). Surat keterangan rencana

kabupaten/kota; (iii) Gambar Rencana tapak; (iv).Gambar rencana arsitektur yang

menunjukkan dengan jelas batas vertikal dan horizontal dari satuan rumah susun;

(v).Gambar rencana struktur beserta perhitungannya; (vi).Gambar rencana yang

menunjukan dengan jelas bagian bersama, benda bersama dan tanah bersama;

(vii).Gambar rencana jaringan instalasi beserta perlengkapannya. (Vide Pasal 29

ayat 4 UU Rumah Susun)

Page 247: (overmacht) over the

219

8). Jika ada Force Majeur (keadaan memaksa) yang diluar kemampuan

para pihak, pengusaha dan pembeli akan mempertimbangkan

penyelesaian sebaik-baiknya dengan dasar pertimbangan utama adalah

dapat diselesaikannya pembangunan satuan rumah susun.

9). Menyiapkan akta jual beli satuan rumah susun kemudian bersama-

sama dengan pembeli menandatangani akta jual belinya dihadapan

Notaris/PPAT, kemudian Perusahaan Pembangunan Perumahan dan

Pemukiman dan/atau Notaris/PPAT yang ditunjuk akan mengurus agar

pembeli dan biayanya ditanggung pembeli.

10). Menyerahkan satuan rumah susun termasuk fasilitas umum dan

fasilitas sosial secara sempurna , dan jika Pengusaha belum dapat

menyelesaikan pada waktu tersebut diberi kesempatan untuk dapat

menyelesaikan pembangunan tersebut dalam jangka waktu 120 hari

kalender terhitung sejak tanggal rencana penyerahan rumah susun

tersebut. Jika masih tidak terlaksana sama sekali maka pengikatan jual

beli batal demi hukum.

Setelah melaksanakan kewajiban, developer berhak untuk:

a). Developer dapat memindahkan Hak dan Kewajiban pengikatan jual-beli

tersebut kepada pihak lain melalui pemberitahuan tertulis kepada pembeli.

b). Developer berhak untuk menempati dan menggunakan sendiri ataupun

menyewakan kepada pihak lain bagianbagian rumah susun yang

dibangunnya.

Page 248: (overmacht) over the

220

c). Developer berhak untuk memperoleh fasilitas kredit yang diperlukan untuk

pembiayaan pembangunan rumah susun yang bersangkutan.

d). Sebagai jaminan/agunan kredit pembiayaan pembangunan apartemen yang

bersangkutan developer berhak untuk menggunakan tanah beserta

bangunan yang masih akan dibangun.

4.3.2. Penerapan Asas Kepatutan

Dalam praktik peradilan, dapat dilihat adanya 3 sumber penyebab

terjadinya sengketa di bidang hukum perikatan yaitu sebagai berikut:

1) Masalah keabsahan suatu perikatan (validity of contract) yang mengikat

kedua pihak, dapat menjadi sumber sengketa jika perikatan itu didasari

unsure (bedreiging), penipuan (bedrog), keterpaksaan dan/atau

ancaman keadaan (misbruik van omstandigheden/undue influence);

2) Masalah pemenuhan perikatan (performance of contract) karena salah

satu pihak melakuklan wanprestasi atau karena suatu keadaan yang

melawan hukum (onrechmatigheid) atau karena suatu keadaan

memaksa (overmacht/force majouer);

3) Masalah pelaksanaan perjanjian karena salah satu pihak melakukan

perbuatan melawan hukum, ingkar janji ataupun karena keadaan

memaksa.305

(garis bawah oleh penulis)

Berkaitan dengan permasalahan yang diteliti yaitu dalam hal sengketa

masalah pelaksanaan perjanjian kepemilikan HMSRS karena keadaan memaksa.

Hal ini tentunya akan menjadi masalah yang krusial jika terhadap bangunan

gedung rumah susun tersebut roboh atau hancur atau terbakar ludes dan tidak

dapat dihuni oleh pemilik satuan rumah susun, mengakomodir permasalahan yang

muncul akibat overmacht tersebut, diperlukan pengaturan lebih lanjut. Masyarakat

tentu saja dapat menerima perkembangan overmacht sesuai dengan proporsinya

305

H.P Panggabean, 2012, Peranan Mahkamah Agung Melalui Putusan-

Putusan Hukum Perikatan, Alumni, Bandung, hal.26

Page 249: (overmacht) over the

221

masing-masing asalkan tidak bertentangan dengan ketertiban umum, kepatutan

dan kesusilaan. Dalam hal ini penulis menekankan pada asas kepatutan.

Munir Fuady menyatakan bahwa suatu kontrak haruslah sesuai dengan asas

"kepatutan" (vide Pasal 1339 KUH Perdata). Untuk ini pemberlakuan asas

kepatutan terhadap suatu kontrak mengandung dua fungsi sebagai berikut:

(a) Fungsi yang melarang

Dalam hal ini, kontrak yang mengandung unsur-unsur yang

bertentangan dengan asas kepatutan adalah tidak dapat dibenarkan.

Misalnya dilarang membuat suatu kontrak pinjaman uang dengan

bunga yang sangat tinggi. Bunga yang sangat tinggi ini bertentangan

dengan asas kepatutan (reasonability).

(b) Fungsi yang menambah

Sebaliknya, suatu kontrak juga dapat ditambah dengan atau

dilaksanakan sesuai dengan prinsip-prinsip kepatutan. Dalam hal ini

kedudukan prinsip kepatutan adalah untuk mengisi kekosongan

dalam pelaksanaan suatu kontrak, di mana tanpa isian tersebut, tujuan

dibuatnya kontrak tidak mungkin tercapai. 306

Berkenaan dengan asas kepatutan ini Nieuw Burgerlijk Wetboek(NBW)

mengaitkannya dengan asas keadilan sebagaimana tercantum dalam Pasal 6.5.3.1

yang menyebutkan asas keadilan itu sebagai tuntutan kepatutan dan keadilan (de

eisen van redelijkheid en bilijkheid). Terhadap asas tersebut Schut menjelaskan:

1) Bahwa kedua asas tersebut mengandung pengertian yang saling

mengisi. Asas kepatutan mengutamakan pikiran yang ditujukan pada

pelaksanaan dengan cara yang tepat sedangkan asas keadilan

mengutamakan perasaan dan hati, menentukan lebih lanjut isi dari

perikatan;

2) Pengertian kepatutan adalah pengertian yuridis yang hasilnya dapat

dibahas secara logis. Pengertian keadilan berkaitan dengan tuntutan

perasaan keadilan (rechtsgevoel) atau kesadaran hukum

(rechtsgeweten) yang hasilnya dirasakan atau dialami sebagai sesuatu

yang adil (rechtvaarding) kalau kebenarannya tidak dapat dibuktikan

sebagai sesuatu yang bersifat memaksakan.

306

Munir Fuady II, loc.cit.

Page 250: (overmacht) over the

222

3) Keadilan merupakan satu dasar hukum, itikad baik itu meruakan satu

norma perangai (bagaimana bersikap ketika melaksanakan kewajiban-

kewajiban tertentu).307

Berkaitan dengan asas kepatutan, Pitlo mengemukakan bahwa menurut

kepatutan (billijkheid), jika debitur tidak lagi berkewajiban, pihak lainnya pun

bebas dari kewajibannya. Asas kepatutan berkaitan dengan overmacht terhadap

benda yang diperjanjikan di dalam KUH Perdata dituangkan di dalam ketentuan-

ketentuan Pasal 1545 KUH Perdata dan Pasal 1553 KUH Perdata. Sesuai dengan

fungsi menambah pada kontrak, ini patut diterapkan dalam hal terjadinya

overmacht pada HMSRS, yakni dengan tujuan untuk mengisi kekosongan

berkaitan dengan overmacht dalam perjanjian rumah susun.

4.3.3. Penerapan Asas Hukum Perlindungan Konsumen dan Asas Kepastian

Hukum

Konsep atau pandangan hidup masyarakat Indonesia tentang hak asasi

manusia, hak milik, perjanjian atau hubungan hukum memberi dampak pada

pandangan mereka tentang hak-hak konsumen. Dalam penulisan ini yang akan

dibahas lebih lanjut berkenaan dengan hak milik dan perjanjian terhadap HMSRS.

Dalam teori hak milik, beberapa ahli hukum memberikan definisi

mengenai hak milik. Curzon mendefinisikan hak milik dengan property yakni:

The following are examples of many definitions of "property": "The

highest right men have to anything"; "a right over a determinate thing

either a tract of land or a chattel"; "an exclusive right to control an

economic good"; "an aggregate of rights guaranteed and protected by

the government"; "everything which is the subject of ownership"; "a

social institution whereby people regulate the acquisition and use of the

resources of our environment according to a system of rules "; "a

307

Adrian Sutedi, 2010. Peralihan Hak atas Tanah dan Pendaftarannya,

Cet.4, Sinar Grafika, Jakarta, (selanjutnya disebut Adrian Sutedi III), hal.28.

Page 251: (overmacht) over the

223

concept that refers to the rights, obligations, privilages and restrictions

that govern the relations of men with respect to things of value".308

Terjemahan bebasnya berarti:

Berikut ini adalah contoh dari banyak definisi "properti": "Hak tertinggi

yang dapat dimiliki manusia terhadap apapun"; "suatu hak atas hal

tertentu apakah sebidang tanah atau harta"; "hak eksklusif untuk

menguasai sebuah barang ekonomi "; "sebuah agregat hak yang dijamin

dan dilindungi oleh pemerintah"; "segala sesuatu yang berbentuk

kepemilikan"; "lembaga sosial dimana orang mengatur perolehan dan

penggunaan sumber daya lingkungan kita sesuai dengan sistem aturan";

"sebuah konsep yang mengacu pada hak, kewajiban, hak istimewa dan

pembatasan yang mengatur hubungan manusia dengan hal-hal yang

bernilai".

Berbeda dengan Margaret Jane Radin yang mengemukakan pendapatnya

mengenai "Property Theory":

Property can mean either object-property, what Radin calls "fungible"

property, or it can mean attribute property, what she calls "personal"

or "constitutive" property. Fungible property is that type of property

which we treat as a commodity, is expressed in terms of market

rhetoric. Constitutive property is the type of property we associate with

our personhood and is not, or should not be expressed in terms of

market rhetoric.309

Terjemahan bebasnya berarti:

Properti bisa berarti obyek-properti, apa yang Radin sebut sebagai

properti yang "sepadan", atau bisa berarti properti atribut, apa yang dia

sebut properti "pribadi" atau "konstitutif". Properti sepadan adalah

bahwa jenis properti yang kita perlakukan sebagai sebuah komoditas,

dinyatakan dalam istilah retorika pasar. Properti konstitutif adalah jenis

properti yang kita kaitkan dengan kepribadian kita dan tidak, atau tidak

harus dinyatakan dalam istilah retorika pasar.

Demikian juga dengan David J. Hayton, memberikan pengertian "Real

Property" mengenai tanah, yakni:

The natural division of physical property is into land (or immovables "as it sometimes called") and other objects known as chattels or "movables". This simple distinction is inadequate. In the first place,

308

Curzon dalam Adrian Sutedi III,ibid, hal.6. 309

Margaret Jane Jadin dalam Adrian Sutedi III, ibid.

Page 252: (overmacht) over the

224

chattles may become attached to land so as to lose their character of chattles and become part of the land itself. Secondly, a sophisticated legal system of property, but also for the ownership of a wide variety.

310

Terjemahan bebasnya berarti:

Pembagian alami dari properti fisik adalah menjadi tanah/lahan (atau

harta yg tak dapat digerakkan "sebagaimana kadang-kadang disebut")

dan benda-benda lainnya yang dikenal sebagai harta benda atau "benda-

benda bergerak". Perbedaan sederhana ini tidak cukup memadai.

Pertama, harta dapat menjadi melekat pada tanah sehingga kehilangan

karakter harta bergeraknya dan menjadi bagian dari tanah itu sendiri.

Kedua, sistem hukum properti yang canggih, tetapi juga untuk

kepemilikan sebuah variasi yang luas.

Hak milik311

dalam pemikiran filosofi teori tentang hak, terbentuk tiga

pengertian, yaitu:

1. Hak adalah kepentingan yang dilindungi oleh hukum (pandangan

kelompok "Teori kepentingan, dipelopori oleh Rudolf Von Jhering);

2. Hak adalah kehendak bebas individu untuk menggunakan atau tidak

haknya. Artinya pemegang hak dapat berbuat apa saja atas haknya,

sehingga menurut teori kehendak, bahwa "diskresi" (wewenang bebas)

individu sebagi ciri essensial dari konsep hak. (pandangan kelompok

"Teori Kehendak", dipelopori oleh H.L.H. Hart).

3. Hak adalah fungsi sosial dalam arti bahwa kekuasaan yang dimiliki

seseorang dibatasi oleh kepentingan masyarkat. Dipelopori oleh Leon

Duguit.312

Secara definitif kepemilikan Rumah Susun memiliki beberapa pengertian

yaitu: (1). Hak memiliki sesuatu (2). Segala sesuatu yang bisa dimiliki (3). Tanah

dan Bangunan. Bisnis Rumah Susun merujuk pada pengertian yang ketiga

tersebut atau sering disebut dengan Real Rumah Susun.

Di dalam literatur dianalisis pula dasar pembenar filosofis adanya hak

bersama (kolektif) dan hak pemilikan sendiri (individu). Hukum Inggris yang

merupakan keluarga hukum Anglosaxon, berdasarkan prinsip common law,

310

David J.Hayton dalam Adrian Sutedi III, ibid, hal.6-7. 311

Dewa Gede Atmadja, op.cit, hal.88-89. 312

Peter Mahmud Marzuki I, op.cit, hal.175.

Page 253: (overmacht) over the

225

menengal pemilikan sendiri biasanya atas sebuah benda dimilik oleh seseorang

dalam waktu tertentu. Pemilikan bersama (partner, bila suatu benda di bawah

pemilikan dua orang atau lebih secara bersama-sama). Roscoe Pound memberikan

dasar filosofi terhadap hak milik pribadi (privat) melalui analisisnya alas

pemikiran teoritis dari 6 aliran, yaitu: Teori Hukum Alam (Natural Law

Theories), Teori Metafisik (Metaphysical Theories), Teori Sejarah (Historical

Theories), Teori Positif (Positive Theories), Teori Psikologis (Psychological

Theories), Teori Sosiologis (Sociological Theories). Teori hak milik pribadi

tersebut, diterapkan pula dalam kepemilikan HMSRS, yakni terhadap:Teori

Hukum Alam (Natural Law Theories) yaitu berdasar atas suatu persetujuan,

perjanjian timbal-balik lahirlah penguasaan individu dan berdasarkan sifat

kebendaan, Teori Metafisik (Metaphysical Theories), hak milik adalah hak mutlak

yang tidak dapat diganggu-gugat. Dalam hal ini, tidak ada satu benda pun menjadi

kepunyaannya tanpa suatu perbuatan yuridis. Jadi dalam hal ini ditekankan pada

unsur pendakuan dan perjanjian, Teori Positif (Positive Theories),penemuan

hukum dalam masyarakat primitif akan berkembang sesuai dengan perkembangan

peradaban.Teori Psikologis (Psychological Theories) yang mendasarkan pada

insting manusia untuk menguasai benda-benda dalam alam milik pribadi.Teori

Sosiologis (Sociological Theories)yang mendasarkan pada pendapat mengenai

adanya interaksi dari kepentingan-kepentingan dalam masyarakat. Dari tiga teori

Sosiologis (Teori Sosiologis Psychologis, Teori Sosiologis Positif, Teori

Sosiologis Utilitis), yang relevan terhadap kepemilikan HMSRS yaitu: Teori

Sosiologis Psychologis yang mencari dasar milik didalam suatu insting kehendak

untuk memperoleh harta benda dan Teori Sosiologis Utilitis yang menjelaskan

Page 254: (overmacht) over the

226

dan membenarkan milik sebagai suatu lembaga yang menjamin tercapainya

kepentingan dan sebagai usaha untuk pembangunan masyarakat.313

Penerapan teori tersebut sangat penting untuk memperoleh kepastian

hukum akan kepemilikan hak atas satuan rumah susun. Hal ini tentunya perlu

ditinjau dalam tahap apa rumah susun tersebut dilakukan, berikut tahapan-tahapan

yang akan dikaji lebih lanjut:

1. Dalam tahap pembangunan, apabila dibangun sendiri oleh pengembang,

baik dalam tahap pembangunan (proyeknya) sampai selesainya bangunan

rumah susun tersebut adalah milik pengembang (developer) yang

membangun sesuai dengan penerapan asas pemisahan horizontal menurut

Hukum Adat.

2. Apabila pembangunan rumah susun dengan sistem turn key project,

bangunan rumah susun adalah milik kontraktor yang membangun karena

ia yang membiayai seluruh proses pembangunannya. Apabila pemilikan

proyek telah membayar lunas tagihan biaya seluruh biaya

pembangunannya barulah dia menjadi pemilik rumah susun tersebut

3. Dalam tahap pemasaran satuan-satuan rumah susun yang rumah

susunnya telah selesai dibangun, pemiliknya adalah pengembang.

Demikian pula setelah satuan-satuannya dipisahkan berdasarkan akta

pemisahan pada saat didaftarkan di Kantor Pertanahan dalam rangka

pembuatan Buku Tanah dan Sertipikat HMSRS. Setelah dilaksanakan

pemindahan hak atau jual beli HMSRS dihadapan PPAT yang berwenang

dan didaftarkan barulah menjadi milik pembeli sebagai pemegang

HMSRS

4. Setelah terjual seluruh satuan-satuannya, rumah susun tersebut menjadi

milik bersama para pemegang HMSRS dan dikelola sehari-hari oleh

Perhimpunan Penghuni Rumah Susun (PPRS) khususnya untuk yang

dimiliki bersama (bagian bersama, benda bersama dan tanah hak

bersama).314

Tahapan-tahapan sebagaimana diuraikan diatas, berkaitan dengan tahapan

transaksi konsumen (consumner transaction). Transaksi konsumen adalah

peralihan barang/jasa termasuk didalamnya peralihan kenikmatan dalam

menggunakannya. Transaksi konsumen merupakan suatu perikatan yang terutama

313

Roescou Pound dalam Aslan Noor, loc.cit 314

Otom Mustomi dan Mimin Mintarsih, op.cit, hal.69.

Page 255: (overmacht) over the

227

berkaitan dengan perikatan keperdataan, dalam perspektif hukum perdata,

perikatan transaksi konsumen tersebut, tidak serta merta terjadi begitu saja.

Perikatan konsumen merupakan pelaksanaan dari perikatan sebelumnya yang

disebut pratransaksi konsumen. Setelah transaksi konsumen dilaksanakan, masih

ada perikatan lain yang harus dipenuhi kedua belah pihak yang disebut dengan

pasca transaksi konsumen

Pada tahapan pratransaksi konsumen ditandai oleh penawaran dari penjual

kepada calon pembelinya. Pada saat ini, penawaran lazimnya dilakukan melalui

media massa yang dikemas secara menarik melalui iklan . proses untuk

menghasilkan iklan itu disebut dengan periklanan yang melibatkan tiga pelaku

dalam pengiklanan yaitu pengiklan, perusahaan periklanan, dan media massa.

Tahapan berikutnya aadalah pelaksanaan dari transaksi konsumen itu sendiri. Isu

yang banyak dipermasalahkan pada tahapan ini adalah eksistensi dari perjanjian

standar atau perjanjian baku. Menjadi pertanyaan, apakah dalam perjanjian baku

tersebut terdapat adanya kebebasan berkontrak. Hal ini terjadi oleh karena

perjanjian standar itu, ditentukan secara sepihak oleh produsen/ penyalur produksi

(penjual), sedangkan konsumen tinggal memutuskan apakah menerima (take it)

atau menolaknya (leave it). Konsumen tidak mempunyai pilihan lain selain

menerima perjanjian. Tahapan ketiga dari proses transaksi konsumen adalah

perikatan setelah peralihan barang/jasa yang pokok dilakukan. Sering terjadi

untuk pembelian barang-barang tertentu, produsen memberikan garansi dalam

jangka waktu terbatas. Selama jangka waktu itu, setiap keluhan kosumen atas

barang tersebut, sepanjang tidak disebabkan oleh kesalahan pemakaian dapat

Page 256: (overmacht) over the

228

diajukan kepada produsen. Inilah yang disebut dengan layanan purnajual (after

sales service).

Perlindungan konsumen pernah secara prinsipiil menganut asas the privity

of contract, dalam artian bahwa pelaku usaha hanya dapat dimintakan

pertanggungjawaban hukumnya sepanjang ada hubungan kontraktual antara

dirinya dan konsumen. Oleh karena itu, tidak mengeherankan bila ada pandangan

hukum perlindungan konsumen berkorelasi erat dengan hukum perikatan

khusunya perikatan perdata. Secara umum tradisi caveat emptor dalam hukum

perlindungan konsumen belum dapat ditinggalkan sepenuhnya. Kesadaran

produsen untuk bertanggungjawab atas produk atau jasa yang diberikan kepada

masyarakat masih kurang, dan masyarakat masih segan memperjuangkan hak-

haknya. Ketidakberdayaan konsumen ini terlihat dengan munculnya berbagai

format-format perjanjian yang dibakukan (standardized contract). Kepastian hak

masing-masing pemilik Satuan Rumah Susun ditentukan didalam Pertelaan.

Pertelaan berarti suatu penjelasan mengenai batas-batas yang jelas dari setiap

Satuan Rumah Susun yang merupakan bagian tertentu dari rumah susun, baik

batas-batas horizontal maupun vertikal, termasuk Bagian Bersama, Benda

Bersama dan Tanah Bersama beserta uraian Nilai Perbandingan Proporsionalnya

yang dibuat dan disusun oleh Penyelenggara Pembangunan Rumah Susun sesuai

dengan ketentuan rumah susun. Besarnya hak masing-masing pemilik Satuan

Rumah Susun tertera dalam gambar denah dan ukuran luas Satuan Rumah Susun

dalam scrtipikat Hak Milik atas Satuan Rumah Susun, sedangkan seberapa besar

Page 257: (overmacht) over the

229

hak masing-masing atas Bagian Bersama, Benda Bersama dan Tanah Bersama

diukur dari Nilai Perbandingan Proporsional.

Berdasarkan pemikiran penulis, bentuk pertelaan dan PPJB dalam

perjanjian rumah susun dapat dikategorikan berbentuk baku. Karena pada saat

pembuatan dan pengesahan pertelaan tidak mengikutsertakan pihak konsumen,

dalam ha ini konsumen hanya menandatangani dan setuju atas perjanjian tersebut

tanpa mengetahui secara rinci data fisik yang tercantum dalam pertelaan, baik itu

Data Rinci berkaitan dengan telah terlaksananya persyaratan Teknis dan

Administratif dalam pembangunan Rumah Susun, data mengenai bagian bersama

dan benda bersama dalam satuan rumah susun tersebut maupun penghitungan

imbangan NPP, sehingga kedudukan konsumen lemah dan kurang menjamin

kepastian hukum dalam kepemilikan HMSRS.

Asas kepastian hukum ini tercermin dalam Pasal 1338 KUHPedata,

kepastian ini terungkap dari kekuatan mengikat perjanjian itu yakni sebagai

undang-undang bagi para pihak dan juga dijadikan landasan/tujuan dari

penyelenggaraan rumah susun yang dinyatakan dalam UURS Pasal 3 huruf (h)

yakni memberikan kepastian hukum dalam penyediaan, penghunian, pengelolaan

dan kepemilikan rumah susun.

Untuk menjamin kepastian hukum, Sebagaimana diamanatkan dalam

ketentuan diatas, maka beberapa aspek yang terkait dengan Perjanjian Rumah

Susun, dan sebaiknya dicantumkan dalam klausul pada perjanjian tersebut secara

Page 258: (overmacht) over the

230

jelas, lengkap dan rinci agar tidak menimbulkan suatu penafsiran, aspek tersebut

diantaranya:

Aspek Manajemen dan Manajemen Risiko

Manajemen proyek dan konstruksi merupakan sistem yang melibatkan

rangkaian pengelolaan pembangunan rumah susun secara menyeluruh sejak

pertama ingin membangun.Berbagai elemen yang terkait dengan hal tersebut,

diantaranya melalui perencanaan, uji coba, studi kelayakan dan dampak

lingkungan. Elemen-elemen tersebut secara rinci diuraikan dalam perencanaan

pembangunan, syarat teknis dan syarat ekologis dalam pembangunan rumah

susun, berikut uraiannya:

1. Perencanaan Pembangunan Rumah Susun.

Perencanaan pembangunan rumah susun diatur dalam Pasal 13 UU Rumah

Susun, yaitu meliputi:

a. Penetapan penyediaan jumlah dan jenis rumah susun;

b. Penetapan zonasi pembangunan rumah susun; dan

c. Penetapan lokasi pembangunan rumah susun.

A. Penetapan penyediaan jumlah dan jenis rumah susun, diatur dalam Pasal

13 ayat 2 UU Rumah Susun bahwa penetapan penyediaan jumlah dan jenis rumah

susun dilakukan berdasarkan kelompok sasaran, pelaku, dan sumber daya

pembangunan yang meliputi rumah susun umum, rumah susun khusus, rumah

susun negara, dan rumah susun komersial.

Page 259: (overmacht) over the

231

B. Penetapan zonasi dan lokasi pembangunan rumah susun

Berkenaan dengan penetapan zonasi dan lokasi pembangunan rumah susun

harus dilakukan sesuai dengan ketentuan rencana tata ruang wilayah

kabupaten/kota dan dalam memilih lokasi untuk pembangunan rumah susun,

harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:

Lokasi rumah susun harus sesuai dengan peruntukan dan keserasian

lingkungan dengan memperhatikan rencana tata ruang dan tata guna

tanah.

Lokasi harus memungkinkan berfungsinya dengan baik saluran-

saluran pembuangan dalam lingkungan ke sistem jaringan

pembuangan air hujan dan jaringan air limbah kota.

Lokasi rumah susun harus mudah dicapai angkutan yang diperlukan

baik langsung maupun tidak langsung pada waktu pembangunan,

penghunian dan perkembangan dimasa mendatang.

Lokasi rumah susun harus dijangkau oleh pelayanan jaringan air

bersih dan listrik. Apabila lokasi rumah susun belum dapat dijangkau

oleh pelayanan air bersih maupun listrik, maka penyelenggara

pembangunan wajib menyediakan secara tersendiri sarana tersebut.315

2. Persyaratan Teknis Pembangunan Rumah Susun

Persyaratan teknis pembangunan rumah susun, diuraikan dalam Pasal 35

UU Rumah Susun, antara lain meliputi:

a. Tata bangunan yang meliputi persyaratan peruntukan lokasi316

serta

intensitas dan arsitektur bangunan317

; dan

315

Vide Pasal 12 ayat 2 UU Rumah Susun jo Pasal 22 PP Rumah Susun 316

Peruntukan lokasi merupakan ketentuan tentang jenis fungsi atau kombinasi fungsi bangunan rumah susun yang boleh dibangun pada lokasi atau kawasan tertentu. (Vide Penjelasan Pasal 35 huruf a UU Rumah Susun).

317Intensitas bangunan merupakan ketentuan teknis tentang kepadatan dan

ketinggian bangunan rumah susun yang dipersyaratkan pada lokasi atau kawasan tertentu yang meliputi koefisien dasar bangunan, koefisien lantai bangunan, dan jumlah lantai bangunan (ibid).

Page 260: (overmacht) over the

232

b. Keandalan bangunan yang meliputi persyaratan keselamatan318

,

persyaratan kesehatan319

, kenyamanan320

, dan persyaratan

kemudahan321

.

Persyaratan sebagaimana diuraikan diatas, diatur lebih lanjut dalam

peraturan pelaksananya yaitu dalam PP Rumah Susun. Berkenaan dengan

persyaratan tata bangunan yang meliputi intensitas dan arsitektur bangunan serta

persyaratan keandalan bangunan yang meliputi persyaratan kesehatan dan

persyaratan keamanan, diatur dalam ketentuan Pasal 11-13 PP Rumah Susun,

diantaranya sebagai berikut:

A.1. Persyaratan teknis untuk ruangan dan persyaratan kesehatan diatur

dalam Pasal 11 PP Rumah Susun

Dalam hal ini semua ruangan yang dipergunakan untuk kegiatan sehari-hari,

harus mempunyai hubungan langsung maupun tidak langsung dengan udara luar

dan pencahayaan dalam jumlah yang cukup. Apabila tidak mencukupi, maka

harus diusahakan adanya pertukaran udara dan pencahayaan buatan yang bekerja

terus menerus selama ruangan tersebut digunakan.

318

Persyaratan keselamatan merupakan kemampuan bangunan rumah susun

untuk mendukung beban muatan serta untuk mencegah dan menanggulangi

bahaya kebakaran dan bahaya petir. (Vide penjelasan Pasal 35 huruf b UU Rumah

Susun). 319

Persyaratan kesehatan meliputi sistem penghawaan, pencahayaan,

sanitasi, dan penggunaan bahan bangunan (ibid). 320

Persyaratan kenyamanan meliputi kenyamanan ruang gerak dan

hubungan antarruang, kondisi udara dalam ruang, pandangan, serta terhadap

pengaruh tingkat getaran dan tingkat kebisingan.(ibid) 321

Persyaratan kemudahan meliputi kemudahan hubungan ke, dari, dan di

dalam bangunan rumah susun serta sarana dan prasarana dalam pemanfaatan

bangunan rumah susun (ibid).

Page 261: (overmacht) over the

233

Berkenaan dengan persyaratan teknis yang harus dipenuhi untuk satuan-

satuan rumah susun, meliputi:

a. Satuan rumah susun harus mempunyai ukuran standar yang dapat

dipertanggung jawabkan dan memenuhi persyaratan sehubungan

dengan fungsi dan penggunaannya. Serta harus diatur dan dikoor-

dinasikan untuk dapat mewujudkan suatu keadaan yang dapat

menunjang kesejahteraan dan kelancaran bagi penghuni dalam

menjalankan kegiatan sehari-hari, baik untuk hubungan keluar maupun

kedalam.

b. Satuan rumah susun dapat berada pada permukaan tanah, diatas atau

dibawah permukaan tanah, atau sebagian dibawah dan sebagian diatas

permukaan tanah merupakan dimensi dan volume ruang tertentu sesuai

dengan yang telah direncanakan.

c. Bagian bersama dan benda bersama

Bagian bersama yang berupa ruang untuk umum, ruang tunggu, lift atau

selasar, harus mempunyai ukuran yang memenuhi persyaratan dan

diatur serta dikoordinasikan, dengan memperhatikan keserasian,

keseimbangan dan keterpaduan, sehingga dapat memberikan

kemudahan bagi penghuni dalam melakukan kegiatan sehari-hari baik

sesama penghuni maupun dengan pihak-pihak lain. Untuk benda-benda

milik bersama harus mempunyai dimensi, lokasi, kualitas, kapasitas

yang memenuhi persyaratan, diatur dan dikoordinasikan, sehingga

dapat memberikan keserasian lingkungan guna menjamin keamanan

dan kenikmatan bagi para penghuni maupun pihak-pihak lain.322

Selanjutnya, berkenaan dengan kepadatan (intentitas) dan tata letak

bangunan diatur lebih lanjut dalam ketentuan Pasal 23-25 PP Rumah Susun.

Kepadatan bangunan dalam lingkungan harus dapat mencapai optimasi daya guna

dan hasil guna tanah, dengan memperhatikan keserasian dan keselamatan

lingkungan sekitarnya dan untuk tata letak bangunan harus menunjang kelancaran

kegiatan sehari-hari serta memperhatikan penetapan batas pemilikan tanah

bersama, segi-segi kesehatan, pencahayaan, pertukaran udara serta pencegahan

322

Vide Pasal 16-21 PP Rumah Susun.

Page 262: (overmacht) over the

234

dan pengamanan terhadap bahaya yang mengancam keselamatan penghuni,

bangunan dan lingkungannya.323

A.2. Persyaratan Arsitektur bangunan dan persyaratan keselamatan yaitu

berkenaan dengan struktur, komponen dan bahan-bahan bangunan. Dalam hal ini

harus memenuhi persyaratan konstruksi dan standar yang berlaku serta harus

memperhitungkan kuat dan tahan terhadap :

Beban mati; Beban bergerak; Gempa, hujan, angin dan banjir; Kebakaran dalam jangka waktu yang diperhitungkan cukup untuk

usaha pengamanan dan penyelamatan; Daya dukung tanah; Kemungkinan adanya beban tambahan, baik dari arah vertikal maupun

horizontal; Gangguan perusak lainnya; Jaringan air bersih yang memenuhi persyaratan mengenai perpipaan

dan perlengkapannya termasuk meter air, pengatur tekanan air dan tangki air bersih di dalam rumah susun, baik untuk hunian maupun bukan hunian, harus aman dan kuat terhadap kemungkinan gangguan benturan dan pada bagian-bagian tertentu dan harus terlindung;

Jaringan listrik yang memenuhi persyaratan mengenai kabel dan perlengkapannya, termasuk meter listrik dan pembatas arus serta pengamanan terhadap kemungkinan timbulnya hal-hal yang membahayakan;

Jaringan gas yang memenuhi persyaratan beserta perlengkapannya termasuk meter gas, pengatur arus serta pengamanan terhadap kemungkinan timbulnya hal-hal yang membahayakan. Penyediaan jaringan gas ini hanya dikhususkan bagi rumah susun untuk hunian;

Saluran pembuangan air hanya yang memenuhi persyaratan kualitas dan kuantitas pemasangan;

Saluran dan/atau tempat pembuangan sampah yang memenuhi persyaratan terhadap kebersihan, kesehatan dan kemudahan;

Tempat untuk kemungkinan pemasangan jaringan telepon dan alat komunikasi lainnya;

323

Dalam mengatur kepadatan (intensitas) bangunan diperlukan

perbandingan yang tepat meliputi: (a). Koefisien Dasar Bangunan (KDB) adalah

perbandingan antara luas bangunan dengan luas lahan/persil, tidak melebihi dari

0,4; (b). Koefisien Lantai Bangunan (KLB) adalah perbandingan antara luas lantai

bangunan dengan luas tanah tidak kurang dari 1,5 dan (c). Koefisien Bagian

Bersama (KB) adalah perbandingan bagian bersama dengan luas bangunan, tidak

kurang dari 0,2. (Adrian Sutedi I, op.cit, hal.181).

Page 263: (overmacht) over the

235

Alat transportasi yang berupa tangga, lift atau ekskalator sesuai dengan tingkat keperluan dan persyaratan yang berlaku;

Pintu dan tangga darurat kebakaran. Pintu rumah susun harus tahan terhadap api sampai jangka waktu tertentu untuk memungkinkan usaha penyelamatan sesuai dengan peruntukannya terutama untuk hunian, pertokoan, industri dan sebagainya;

Alat pemadam kebakaran. Di dalam upaya menanggulangi pencegahan kebakaran, untuk rumah susun yang berkualitas menengah keatas diwajibkan untuk memasang alat pencegah kebakaran tingkat awal (sprinklers). Dan untuk semua rumah susun masing-masing harus disediakan alat pemadam kebakaran atau hydrant.

Penangkal petir. Alat/sistem alarm Untuk semua rumah susun harus disediakan alat/sistem alarm dengan

cara manual atau otomatis. Sedangkan untuk rumah susun yang bukan hunian dapat diperlengkapi dengan sistem panggilan dan pembukaan pintu dan peralatan-peralatan lainnya.

Pintu kedap asap pada jarak jauh tertentu. Generator listrik untuk rumah susun yang menggunakan lift. Bagian-bagian dari kelengkapan rumah susun yang merupakan hak

bersama harus ditempatkan dan dilindungi untuk menjamin fungsinya sebagai bagian bersama.

324

B. Berkenaan dengan persyaratan kemudahan diatur lebih lanjut dalam Pasal

26-28 PP Rumah Susun, meliputi kemudahan dalam perolehan dan pemanfaatan

Prasarana dan Fasilitas Lingkungan.

B.1.Prasarana lingkungan

Lingkungan rumah susun harus dilengkapi dengan prasarana sebagai berikut:

Prasarana lingkungan yang berfungsi sebagai penghubung untuk

keperluan kegiatan sehari-hari bagi penghuni seperti jalan setapak, jalan

kendaraan dan tempat parkir; Prasarana lingkungan dan utilitas umum seperti :

Jaringan distribusi air bersih, gas, dan listrik dengan segala kelengkapannya seperti tangki air, pompa air, tangki gas dan gardu-gardu listrik.

Saluran pembuangan air hujan yang menghubungkan air hujan dari rumah susun ke sistem jaringan pembuangan air kota.

Saluran pembuangan air limbah dan/atau septik yang menghubungkan pembuangan air limbah dari rumah susun ke sistem jaringan air limbah kota.

324

Vide Pasal 12-14 PP Rumah Susun.

Page 264: (overmacht) over the

236

Tempat pembuangan sampah yang fungsinya adalah sebagai tempat

pengumpul sampah dari rumah susun untuk selanjutnya dibuang ke

tempat pembuangan sampah kota, dengan mempertimbangkan faktor

kemudahan pengangkutan, kesehatan, kebersihan dan keindahan.

Kran-kran air untuk mencegah dan pengamanan terhadap bahaya

kebakaran yang dapat menjangkau semua tempat dalam lingkungan

dengan kapasitas air yang cukup untuk pemadam kebakaran.

Tempat parkir kendaraan dan/atau penyimpanan barang.

Jaringan telepon dan alat komunikasi sesuai dengan keperluan.325

B.2. Fasilitas lingkungan (Pasal 27-28 PP Rumah Susun)

Berkenaan dengan Fasilitas Lingkungan dalam rumah susun dan

lingkungannya harus disediakan :

Ruangan atau bangunan untuk tempat berkumpul, melakukan kegiatan

masyarakat, tempat bermain anak-anak dan kontak sosial lainnya.

Ruangan atau bangunan untuk kebutuhan sehari-hari seperti untuk

kesehatan, pendidikan, peribadatan dan lain-lainnya.

3. Persyaratan Ekologis Pembangunan Rumah Susun.

Persyaratan Ekologis pembangunan rumah susun berkenaan dengan dampak

lingkungan dapat dicermati dalam persyaratan Ekologis pembangunan rumah

susun diatur dalam ketentuan Pasal 37 dan Pasal 38 UU Rumah Susun.

Rangkaian pengelolaan bangunan secara menyeluruh, sebagaimana telah

diuraikan diatas, sepatutnya dibasiskan pada pencegahan risiko, dalam hal ini

risiko kebakaran maupun pencegahan terhadap risiko bencana. Sehingga ketika

aspek pencegahan ini dipikirkan dan diperhitungkan secara seksama, proses

perancangan aspek penanggulangan tersebut selalu menjadi prioritas.

325

Vide Pasal 26 PP Rumah Susun

Page 265: (overmacht) over the

237

BAB V

PENUTUP

5.1. Simpulan

Dari apa yang telah dibahas pada bab-bab terdahulu maka penulis dapat

memberikan simpulan bahwa:

1. Akibat hukum Klausul Pertelaan dalam hal terjadinya overmacht terhadap

Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun, yaitu:

a. Terhadap Overmacht Absolut:

Perjanjian dinyatakan Batal demi Hukum dari semula dianggap tidak

pernah ada perikatan, sehingga mengakibatkan debitur tidak perlu membayar

ganti rugi, asalkan para pihak dapat membuktikan bahwa keadaan yang

menyebabkan overmacht tersebut adalah keadaan di luar kekuasaan pihak

yaitu kehilangan benda obyek perjanjian yang disebabkan dari kuasa Tuhan.

b. Terhadap Overmacht Relatif

Tidak serta merta demi hukum mengakibatkan perikatan tersebut hapus,

melainkan hanya menunda pelaksanaan pemenuhan prestasi dan bila keadaan

overmacht tersebut telah hilang maka kreditur dapat menuntut kembali

pemenuhan prestasi, asalkan para pihak dapat membuktikan bahwa pihak

lainnya lalai dalam melaksanakan hak dan kewajibannya.

2. Berdasarkan kriteria-kriteria overmacht dalam Buku III KUHPerdata yang

hanya bersifat terbatas saja maka selain terhadap kriteria overmacht dalam

buku III KUHPerdata, kriteria Overmacht terhadap Hak Milik Atas Satuan

Rumah Susun juga dapat diterapkan/berlaku secara mutatis-mutandis

terhadap kriteria overmacht dalam Yurisprudensi, Peraturan perundang-

undangan lainnya serta Kontrak-kontrak lainnya, dengan mencermati

Page 266: (overmacht) over the

238

substansi objek kebendaan HMSRS dan relevansinya terhadap perjanjian

rumah susun.

5.2. Saran-Saran

Berdasarkan pada permasalahan yang sedang dikaji maka penulis dapat

mengemukakan saran-saran berupa:

1. Pada prinsipnya, Pertelaan dan Akta Pemisahan dibuat oleh Penyelenggara

Pembangunan Rumah Susun (Pengembang/Developer), namun demikian

agar tidak menimbulkan sengketa di kemudian hari, disarankan kepada

Kantor Pertanahan terlebih dahulu melakukan pengecekan secara uji petik

terhadap beberapa unit Satuan Rumah Susun untuk mendapatkan luas lot

dan selanjutnya diadakan kesesuaian antara data-data mengenai bagian

bersama, benda bersama sehingga luas unit satuan rumah susun yang

tercantum dalam draft pertelaan dan akta pemisahan sebanding dengan

kondisi fisik di lapangan dalam rangka memperoleh besaran imbangan NPP,

sehingga adanya transparansi dalam menetapkan Rincian Pertelaan. Setelah

mendapat kesesuaian data rincian pertelaan, disarankan pula kepada Kantor

Pertanahan agar memberikan arahan draft pertelaan dan akta pemisahan,

sehingga tidak adanya penetapan bentuk draft pertelaan dan akta pemisahan

secara sepihak oleh Penyelenggara Pembangunan Rumah Susun

(Pengembang/Developer) sekaligus mencegah itikad buruk dari

Penyelenggara Pembangunan Rumah Susun (Pengembang/Developer).

2. Kepada Pemerintah Pusat dan/atau Pemerintah Daerah sebelum menetapkan

SK Pengesahan Pertelaan sepatutnya melakukan telaah secara seksama dan

cermat terhadap rincian pertelaan, lampiran persyaratan administratif dan

teknis dalam pembangunan rumah susun serta akta pemisahan dan ada

baiknya juga selain diadakan Rapat Koordinasi terhadap instansi

Page 267: (overmacht) over the

239

berwenang, Pemerintahan Pusat dan/atau Pemerintah Daerah dalam

melakukan pengesahan Pertelaan juga mengadakan Rapat dengan Pihak

Pengembang dan Pemilik Unit Satuan Rumah Susun agar tercipta

transparansi didalam proses Pengesahan Pertelaan.

3. Kepada Instansi berwenang dan pejabat berwenang sebelum mengeluarkan

Izin terkait, sebaiknya melakukan pengecekan secara cermat terhadap uji

kelayakan bangunan, kesesuaian konstruksi bangunan meliputi Rancang

Bangun, Arsitektur Bangunan, Intensitas Bangunan terhadap kesesuaian

perbandingan dengan Koefisien Dasar Bangunan, Koefisien Lantai

Bangunan dan Koefisien Benda Bersama agar tahan terhadap risiko

bencana.

4. Untuk mendukung bisnis properti dalam hal ini Kepemilikan Satuan Rumah

Susun serta dalam hubungannya dengan perlindungan pemilikan Hak Milik

Atas Satuan Rumah Susun, disarankan kepada pembuat kebijakan perihal

pengaturan konsepsi Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun sebaiknya

dipisahkan dari Undang-undang Rumah Susun dan dibuatkan Undang-

undang tersendiri yaitu Undang-undang Pertelaan yang khusus mengatur

mengenai Hak Milik atas Satuan Rumah Susun

5. Disarankan pula dalam pembentukan Undang-undang Pertelaan

dicantumkan pengaturan mengenai overmacht, meskipun memang

dicantumkan atau tidaknya overmacht dalam perjanjian tergantung atas

kesepakatan para pihak namun untuk memberikan perlindungan dan

kepastian hukum terhadap kepemilikan Hak Milik Atas Satuan Rumah

Susun dan demi terwujudnya keadilan berbasis kontrak, sepatutnya

overmacht diatur dalam bentuk Undang-undang.

Page 268: (overmacht) over the

240

DAFTAR PUSTAKA

I. BUKU-BUKU

Ali, Zainuddin. 2008. Filsafat Hukum, Cet.II, Sinar Grafika, Jakarta

Alif, M. Rizal. 2009. Analisis Kepemilikan Hak atas Tanah Satuan Rumah Susun

didalam Kerangka Hukum Benda, Nuansa Aulia, Bandung

Amiruddin dan Zainal Asikin. 2008. Pengantar Metode Penelitian Hukum, Raja

Grafindo Persada, Jakarta

Apeldoorn, L.J.Van. Inleiding tot de Studie van het Nederlandse Recht,

diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Sadino, Oetarid 2005.

Pengantar Ilmu Hukum, Cet. 31, Pradnya Paramita, Jakarta

Atmadja, Dewa Gede. Filsafat Hukum: Dimensi Tematis dan Historis, 2013.

Setara Press, Malang

Badrulzaman, Mariam Darus,et.al. 2001. Kompilasi Hukum Perikatan, Citra

Aditya Bakti, Bandung

Badrulzaman, Mariam Darus. 2010. Mencari Sistem Hukum Benda Nasional,

Cet.3, Alumni, Bandung

Bertens, K. 2004. Etika, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta

Bisri, Ilhami. 2010. Sistem Hukum Indonesia: Prinsip-Prinsip dan Implementasi

Hukum di Indonesia, Raja Grafindo Persada, Jakarta

Budiono, Abdul Rachmad. 2005. Pengantar Ilmu Hukum, Cet.I, Banyumedia,

Malang

Budiono, Herlien, 2008. Kumpulan Tulisan Hukum Perdata di Bidang

Kenotariatan, Cet.II, Citra Aditya Bakti, Bandung

Chand, Hari, 1994. Modern Jurisprudence, International Law Book Services,

Malaysia

Chappelle, Diane. 2004. Land Law, Sixth Edition, Pearson, England

Darmodiharjo, Darji dan Shidarta. 2008. Pokok-Pokok Filsafat Hukum: Apa dan

Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta

Page 269: (overmacht) over the

241

Dirdjosisworo, Soedjono. 2010. Pengantar Ilmu Hukum, Ed.1, Cet.13, Raja

Grafindo Persada, Jakarta

Djamali, R.Abdoel. 2006. Pengantar Hukum Indonesia: Edisi Revisi, Raja

Grafindo Persada, Jakarta

Erwin, Muhamad. 2011. Filsafat Hukum: Refleksi Kritis terhadap Hukum, Raja

Grafindo Persada, Jakarta

Friedmann, Lawrence M. 1985. American Law, W.W.Norton & Company New

York-London

Fuady, Munir. 2007. Dinamika Teori Hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta

. 2007. Hukum Kontrak (dari Sudut Pandang Hukum Bisnis) Buku Pertama,

Citra Aditya Bakti, Bandung

Goo, S.H.Source. 2002. Sourcebook On Land Law,Third Edition, Cavendish,

London-Sydney

Halim, Ridwan. 2000. Sendi-Sendi Hukum Hak Milik, Kondominium, Rumah

Susun Dan Sari-Sari Hukum Benda, Puncak Karma, Jakarta

Hamzah, Andi, et.al. 2000. Dasar-dasar Hukum Perumahan, Cet.3, Rineka Cipta,

Jakarta

Harahap ,Yahya. 1986. Segi-Segi Hukum Perjanjian, Alumni, Bandung

Harsono, Boedi. 1990.Hukum Agraria Indonesia Himpunan Peraturan-Peraturan

Hukum Tanah, Djambatan, Jakarta

. 2008.Hukum Agraria Indonesia: Sejarah Pembentukan Undang-Undang

Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, Jilid 1, Hukum Tanah Nasional,

Cet. XII, Djambatan, Jakarta

Hasan, Djuhaendah. 2011. Lembaga Jaminan Kebendaan bagi Tanah dan Benda

Lain yang Melekat pada Tanah dalam Konsepsi Penerapan Asas Pemisahan

Horisontal, Nuansa Madani, Jakarta

Hernoko, Agus Yudha. 2011. Hukum Perjanjian:Asas Proporsionalitas dalam

Kontrak Komersil, Cet.II, Kencana Predana Media Group, Jakarta

Salim. H.S. 2009. Hukum Kontrak: Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak, Cet.6,

Sinar Grafika, Jakarta

Page 270: (overmacht) over the

242

. 2009. Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW), Cet.6, Sinar Grafika, Jakarta

Hutagalung, Arie S. 2007. Condominium dan Permasalahannya, Badan Penerbit

Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta Hutagalung, Arie S, et.al. 2012. Hukum Pertanahan di Belanda dan Indonesia,

Pustaka Larasan, Bali Kansil, C.S.T. 1986. Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Balai

Pustaka, Jakarta Kie, Tan Thong. 2007. Studi Notariat dan Serba-Serbi Praktek Notaris,

Intermasa, Jakarta Kurnia, Titon Slamet. 2009. Pengantar Sistem Hukum Indonesia, Alumni,

Bandung Kuswahyono, Imam. 2004. Hukum Rumah Susun, Bayumedia Publishing, Malang Mallor, Jane P.,et.al. 2007. Business Law: The Ethical, Global and E-Commerce

Environment, Thirteenth Edition, McGrawHill Companies, New York Marzuki, Peter Mahmud. 2009. Pengantar Ilmu Hukum, Cet.II, Kencana, Jakarta . 2010. Penelitian Hukum, Kencana, Predana Media Grup, Jakarta Mertokusumo, Sudikno. 2001. Penemuan Hukum Sebuah Pengantar, Liberty,

Yogyakarta Miru, Ahmadi. 2008. Hukum Kontrak Perancangan Kontrak, Raja Grafindo

Persada, Jakarta Muljadi Kartini dan Gunawan Widjaja. 2003. Seri Hukum Harta Kekayaan:

Kebendaan pada Umumnya, Cet.2, Kencana, Jakarta . 2005. Seri Hukum Harta Kekayaan: Kedudukan Berkuasa dan Hak Milik

(Dalam Sudut Pandang KUHPerdata), Cet.2, Kencana, Jakarta . 2010. Perikatan yang Lahir dari Perjanjian, Raja Grafindo Persada,

Jakarta

Mustafa, Bachsan. 1985. Hukum Agraria dalam Perspektif, Cet.2, Remadja

Karya, Bandung

. 2011. Negara Hukum dan Hak Asasi Manusia, Mandar Maju, Bandung

Page 271: (overmacht) over the

243

Noor, Aslan. 2006. Konsep Hak Milik atas Tanah Bagi Bangsa Indonesia Ditinjau

dari Ajaran Hak Asasi Manusia, Mandar Maju, Bandung

Oktoberina, Sri Rahayu dan Niken Savitri. 2010. Butir-butir pemikiran dalam

Hukum: Memperingati 70 Tahun Prof. Dr. B. Arief Sidharta, SH, Refika

Aditama, Bandung

Panggabean, H.P. 2012. Peranan Mahkamah Agung Melalui Putusan-Putusan

Hukum Perikatan, Alumni, Bandung

Rasjidi, Lili dan Wyasa Putra. 2003. Hukum sebagai Suatu Sistem, Mandar Maju,

Bandung

Rato, Dominikus. 2010. Filsafat Hukum: Mencari, Menemukan dan Memahami

Hukum, Laksbang Justitia, Surabaya

Santoso, Urip. 2013. Hukum Agraria Kajian Komprehensif, Cet.2, Kencana,

Jakarta

Setiawan,R. 1999. Pokok-pokok Hukum Perikatan, Cet.6, Putra Abardin, Bandung

Shidarta, 2006. Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, Grasindo, Jakarta

Siahaan, Marihot P. 2005. Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan:Teori

dan Praktik, Raja Grafindo Persada, Jakarta

Siahaan, N.H.T. 2005. Hukum Konsumen: Perlindungan Konsumen dan

Tanggung Jawab Produk, Panta Rei, Jakarta

Sidharta, Arief. 2009. Refleksi tentang Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung

Simanjuntak, Ricardo. 2011. Hukum Kontrak:Teknik Perancangan kontrak Bisnis,

Kontan Publishing, Jakarta

Soemadipradja, Rahmat S.S. 2010. Penjelasan Hukum tentang Keadaan Memaksa

(Syarat-syarat Pembatalan Perjanjian yang disebabkan Keadaan Memaksa/

Force Majeure), Nasional Legal Reform Program, Jakarta

Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji. 2007. Penelitian Hukum Normatif Suatu

Tinjauan Singkat, Raja Grafindo Persada, Jakarta

Sofwan, Sri Soedewi Masjchoen. 1981. Hukum Perdata: Hukum Benda, Cet.IV,

Liberty, Yogyakarta

Subekti, R. 2001. Pokok-Pokok Hukum Perdata, Cet.29, PT Intermassa, Jakarta

Page 272: (overmacht) over the

244

. 2002. Hukum Perjanjian, Cet.19, Intermasa, Jakarta

Sumaryono, E. 2002. Etika Hukum Relevansi Teori Hukum Kodrat Thomas

Aquinas. Kanisius, Yogyakarta

Sutedi, Adrian, 2008. Tanggung Jawab Produk dalam Hukum Perlindungan

Konsumen, Mulia, Bogor

. 2010. Hukum Rumah Susun dan Apartemen, Cet.I, Sinar Grafika, Jakarta

. 2010. Peralihan Hak atas Tanah dan Pendaftarannya, Cet.4, Sinar

Grafika, Jakarta

Tutik, Titik Triwulan. 2006. Pengantar Hukum Perdata di Indonesia, Prestasi

Pustaka Publisher, Jakarta

. 2008. Hukum Perdata dalam Sistem Hukum Nasional, Kencana, Jakarta

Ujan, Andre Ata. 1999. Keadilan dan Demokrasi (Telaah Filsafat Politik John

Rawls), Kanisius, Yogyakarta

Usman, Rachmadi. 2008. Hukum Jaminan Keperdataan, Sinar Grafika, Jakarta

. 2011. Hukum Kebendaan, Sinar Grafika, Jakarta

Utrecht, E. 1989. Pengantar dalam Hukum Indonesia, disadur dan direvisi oleh

Moh.Saleh Djindang, Cet.XI, Ichtiar Baru

Widjaja, Gunawan. 2000. Hukum tentang Perlindungan Konsumen, Gramedia

Pustaka Utama, Jakarta

. 2006. Memahami Prinsip Keterbukaan (Aanvullend Recht) dalam Hukum

Perdata, Raja Grafindo Persada, Jakarta

Zainuddin, Ali. 2010. Metode Penelitian Hukum, Cet.lI.Sinar Grafika, Jakarta

II. PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Undang-undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945

Subekti dan R.Tjitrosudibio, 2004, Kitab Undang-undang Hukum Perdata:

Burgelijk Wetboek dengan tambahan Undang-undang Pokok Agraria dan

Undang-undang Perkawinan, Cet.34, Pradnya Paramita, Jakarta

Page 273: (overmacht) over the

245

Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Pokok-Pokok Agraria

(Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 104 Tahun 1960 dan

Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2043 Tahun 1960)

Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen

(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 42 dan

Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3821)

Undang-undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung (Lembaran

Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 134 dan Tambahan

Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4247)

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan

dan Kawasan Pemukiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun

2011 Nomor 7 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor

5188)

Undang-undang Nomor 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun (Lembaran

Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 108 dan Tambahan

Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5252).

Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 1988 (Lembaran Negara Republik

IndonesiaTahun 1988 Nomor 7 dan Tambahan Lembaran Negara Republik

Indonesia Nomor 3372)

Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 14 Tahun 1975 tentang Pendaftaran Hak

Atas Tanah Kepunyaan Bersama dan Pemilikan Bagian-Bagian Bangunan

yang Ada di Atasnya Serta Penerbitan Sertifikatnya.

Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 4 Tahun 1977 tentang Penyelenggaraan

Tata Usaha Pendaftaran Tanah Mengenai Hak Atas Tanah yang Dipunyai

Bersama dan Pemilikan Bagian-bagian Bangunan yang Ada di Atasnya.

Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 10 Tahun 1983 tentang Tata Cara

Permohonan Dan Pemberian Izin Penerbitan Sertifikat Hak Atas Tanah

Kepunyaan Bersama yang Disertai dengan Pemilikan secara Terpisah

Bagian Bagian Pada Bangunan Bertingkat

Peraturan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2010

tentang Pedoman Pemberian Izin Mendirikan Bangunan

Keputusan Menteri Negara Perumahan Rakyat selaku Ketua Badan Kebijaksanaan

dan Pengendalian Pembangunan Perumahan dan Pemukiman Nasional

Nomor 6/KPTSBKP4N/1995 tentang Pedoman Pembuatan Akta Pendirian,

Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Perhimpunan Penghuni

Rumah Susun.

Page 274: (overmacht) over the

246

Keputusan Menteri Perumahan Rakyat Nomor 11/KPTS/1995 tentang Pedoman

Perikatan Jual-Beli Satuan Rumah Susun

Peraturan Ka BPN Nomor 2 Tahun 1989 tentang Bentuk dan Tata Cara Pengisian

serta Pendaftaran Akta Pemisahan Rumah Susun

Peraturan Ka BPN Nomor 4 Tahun 1989 tentang Bentuk dan Tata Cara

Pembuatan Buku Tanah serta Penerbitan Sertifikat Hak Milik Atas Satuan

Rumah Susun

III. JURNAL HUKUM

Mohsin, Yakob. 1986. Pranata-Pranata Hukum yang Baru dan Tinjauan terhadap

Undang-undang Rumah Susun, Hukum dan Pembangunan, Agustus,

Vol.XVI No.6, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta

Evianto, Hady. 1986. Hukum Perlindungan Konsumen Bukanlah Sekedar

“Keinginan” melainkan suatu “Kebutuhan”, Desember, Vol.XVI No.6,

Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta

Mustomi, Otom dan Mimim Mintarsih. 2003. Aspek Hukum Sewa-Menyewa

Rumah Susun di Wilayah DKI Jakarta, Reformasi Hukum, Vol.VI No.1

Januari-Juni, Universitas Islam Indonesia, Jakarta

IV. KAMUS

Lorens, Bagus, 2000. Kamus Filsafat, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta

Budiarto, M, et.al. 2004. Kamus Hukum Umum, Badan Pembinaan Hukum

Nasional, Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia, Jakarta

Wojowasito, S. 2003. Kamus Umum Belanda Indonesia:Belanda Indonesia,

Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta

Sumartini, et.al, 1999. Penyusunan Kamus Hukum Umum Bahasa Belanda-

Bahasa Indonesia, Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen

Kehakiman RI, Jakarta

Thermorshuizen, et.al, 1999, Indonesisch-Nederlands Juridisch Wordenboek:

Hukum Benda/Goederenrecht, Centre for International Legal Cooperation

Page 275: (overmacht) over the

Lampiran 1

SURAT PERMOHONAN PENGESAHAN PERTELAAN

KOP SURAT PERUSAHAAN

.........................., .............................

Nomor :

Lampiran :

Perihal : Permohonan Pengesahan

Pertelaan/Akta Pemisahan

Rumah Susun atas Satuan-

Satuan Rumah Susun.

Kepada Yth.

Bapak Bupati/Walikota

(Gubernur untuk DKI Jakarta I

.....................................................

Melalui:

Bapak Kepala Kantor Pertanahan

Kabupaten/Kota..........................

(Kepala Kanwil BPN untuk DKI

Jakarta)

di –

..................................

Yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama :

Umur :

Pekerjaan :

Kewarganegaraan :

Alamat :

Bertindak untuk/atas nama ............................................. (Badan

Hukum) berdasarkan Surat Kuasa Nomor ...............................

tanggal.................., berkedudukan di ........................... Akta Pendirian

Nomor ........................... Tanggal ..................., selaku penyelenggara

pembangunan rumah susun.............................terletak di :

Jalan :

Desa/Kelurahan :

Kecamatan :

Kabupaten/Kota :

Provinsi :

Sebagai bahan pertimbangan bersama ini terlampir sebagai berikut:

1. Pertelaan (Gambar dan Uraian Pertelaan);

2. Akta Pemisahan Rumah Susun ;

3. Asli Sertipikat Hak Atas Tanah;

4. Ijin Lokasi / SIPPT untuk DKI Jakarta ;

5. Advice Planning / Keterangan Rencana Kota ;

6. Ijin Mendirikan Bangunan (IMB);

7. Ijin Layak Huni (ILH) / Ijin Penggunaan Bangunan (IPB) ;

8. dll.

Page 276: (overmacht) over the

Sehubungan dengan permohonan ini kami menyatakan bersedia dan

tidak keberatan apabila dilakukan pemeriksaan/pengecekan fisik rumah

susun, untuk meneliti kesesuaian data-data dalam pertelaan dan Akta

Pemisahan dengan kondisi fisik di lapangan.

Demikian atas dikabulkannya permohonan ini kami ucapkan terima

kasih.

.....................(badan hukum)

Direktur) Kuasa.

tdtcap.

........................................

Page 277: (overmacht) over the

Lampiran 2A

BERITA ACARA

PENELITIAN PERTELAAN RUMAH SUSUN....................

Pada hari ini, ............. tanggal ........... bulan .......... Tahun ............yang bertanda

tangan dibawah ini:

1................................................... selaku wakil dari..................................(instansi)

2................................................... selaku wakil dari..................................(instansi)

3................................................... selaku wakil dari..................................(instansi)

4................................................... selaku wakil dari..................................(instansi)

5................................................... selaku wakil dari..................................(instansi)

6................................................... selaku wakil dari..................................(instansi)

dst. (sesuai ketentuan dalam Perda atau Keputusan Bupati/Walikota/Gubernur ybs).

Sesuai dengan ketentuan Perda / Keputusan Bupati/Walikota/Gubernur No............

Tahun......, telah melaksanakan penelitian dan pembahasan terhadap Pertelaan dan

Akta Pemisahan Rumah Susun Hunian dan/atau Bukan Hunian.

"......................................................................" (nama Rumah Susun)

Dari hasil penelitian dan pembahasan terhadap Pertelaan dan Akta Pemisahan

dimaksud dapat disimpulkan sebagai berikut:

1. Bangunan Rumah Susun Hunian dan/atau Bukan Hunian ini merupakan satu

lingkungan rumah susun dibangun di atas Tanah Bersama sebagai berikut:

Jenis dan nomor hak :

Luas Tanah : .................M2

Batas-batas diuraikan dalam : Surat Ukur No.

tanggal............

Terletak di :

Bangunan Rumah Susun : Terdiri dari ........ Blok atau Tower Rumah Susun

yang dikelompokan menjadi......type, yaitu type

......... dan type ......... dengan jumlah unit

keseluruhan sebanyak .......... unit satuan Rumah

Susun Hunian dan/atau Bukan Hunian.

2. Gambar dan uraian Pertelaan telah merinci secara jelas mengenai batas pemilikan

perseorangan yang merupakan satuan Rumah Susun dan pemilikan bersama yang

berupa tanah bersama, benda bersama serta bagian bersama, sehingga telah memenuhi

syarat berfungsi satuan Rumah Susun dalam sistem Rumah Susun.

3. Nilai perbandingan Proporsional (NPP) untuk masing - masing Satuan Rumah Susun

telah dihitung berdasarkan.......................................................................... [pilih salah

satu sesusai yang digunakan : (1) perbandingan antara luas satuan Rumah Susun

dengan jumlah luas seluruh satuan Rumah Susun ; atau (2) perbandingan antara

harga/nilai satuan Rumah Susun dengan jumlah harga/nilai seluruh satuan Rumah

Susun).

Page 278: (overmacht) over the

4. Berdasarkan uraian pada butir ......... di atas Pertelaan dan Akta Pemisahan dimaksud

telah memenuhi syarat untuk disahkan oleh Bupati/Walikota/ Gubernur.............dengan

catatan sebagai berikut:

.........................................................................................................................

.........................................................................................................................

Contohnya: (bila catatan dimaksud)

Gambar Pertelaan pada tanah bersama halaman 2 agar disesuaikan dengan surat

ukur lampiran sertipikat ..................(hak tanah ybs), pada kolom keterangan

dicantumkan nomor dan tanggal Surat Ukur.

Pada buku Akta Pemisahaan dan Uraian Pertelaan, kalimat penutup agar

dipindahkan ke halaman paling akhir.

(Selanjutnya pihak penyelenggara pembangunan harus menyesuaikan/ memperbaiki

Pertelaan Rumah Susun yang bersangkutan sesuai catatan dalam Berita Acara

tersebut).

5. Apabila dalam pelaksanaan pembangunan fisik tidak sesuai dengan gambar dan uraian

Pertelaan yang sudah disah kan, maka sepenuhnya menjadi tanggung jawab pihak

penyelenggara pembangunan untuk membuat kembali gambar dan uraian Pertelaan

yang sesuai dengan fisik bangunan (As Built Drawing) serta dimintakan kembali

pengesahaannya

6. Bahwa gambar dan uraian Pertelaan yang disah kan adalah merupakan penetapan

batas - batas hak dan kewajiban terhadap kepemilikan perseorangan dan kepemilikan

bersama.

YANG MELAKSANAKAN PENELITIAN :

1. Nama............................... (instansi ybs).....................(tanda tangan)..................

2. Nama............................... (instansi ybs).....................(tanda tangan)..................

3. Nama............................... (instansi ybs).....................(tanda tangan)..................

4. Nama............................... (instansi ybs).....................(tanda tangan)..................

5. Nama............................... (instansi ybs).....................(tanda tangan)..................

6. Nama............................... (instansi ybs).....................(tanda tangan)..................

dst. (sesuai ketentuan dalam Perda atau Keputusan Bupati/Walikota/Gubernur ybs).

Catatan :

Berita Acara ini digunakan apabila proses pengesahan pertelaan dan Akta Pemisahan

melalui Rapat Koordinasi dengan instansi terkait.

Page 279: (overmacht) over the

Lampiran 2B

KOP SURAT BPN

BERITA ACARA

PEMERIKSAAN FISIK RUMAH SUSUN

Pada hari ini..............., tanggal ..........., bulan............, tahun ................ yang

bertanda tangan di bawah ini : nama .........., nip............ pangkat/golongan............,

jabatan........(sekurang-kurangnya 2 (dua) orang petugas), petugas yang ditunjuk oleh

Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota...............(atau oleh Kepala Kanwil BPN untuk

DKI Jakarta), berdasarkan Surat Tugas Nomor............ tanggal..............., telah

melaksanakan pemeriksanaan/pengecekan fisik Rumah Susun........... dan fasilitasnya

sesuai permohonan dari :

a. Nama :

b. Umur :

c. Pekerjaan :

d. Kewarganegaraan :

e. Tempat Tinggal :

f. Bertindak untuk/atas nama/ : (Badan Hukum)

Selaku............../ Kuasa....... : ..........berdasarkan Surat Kuasa Khusus............

g. Berkedudukan di :

h. Akta Pendirian : Nomor..................Tanggal...................

Dalam rangka pengesahan Pertelaan dan Akta Pemisahan Rumah Susun...............

atas Satuan-Satuan Rumah Susun, yang terletak di :

Jalan :

Desa/Kelurahan :

Kecamatan :

Kabupaten/Kota :

Provinsi :

Dengan hasil pemeriksaan sebagai berikut:

1. Tanah Bersama :

Adalah sebidang tanah yang digunakan atas dasar hak bersama secara tidak terpisah

yang di atasnya berdiri rumah susun............, yaitu :

Jenis dan Nomor Hak :

Masa Berlaku : .......Tahun.

Tanggal Berakhirnya Hak :

Luas Tanah : ........... m2, Surat Ukur No............, tgl. .

Letak Tanah :

Jalan :

Desa/Kelurahan :

Kecamatan :

Kabupaten/Kota :

Provinsi :

Batas-batasnya :

Utara :

Timur :

Selatan :

Barat :

Page 280: (overmacht) over the

2. Bagian Bersama :

Adalah bagian rumah susun yang dimiliki secara tidak terpisah untuk pemakaian

bersama dalam kesatuan fungsi dengan satuan-satuan rumah susun. Pada rumah

susun.............................................., terdiri dari :

a. :

b. :

c. :

dst.

3. Benda Bersama :

Adalah benda yang bukan merupakan bagian rumah susun, tetapi yang dimiliki

bersama secara tidak terpisah untuk pemakaian bersama. Pada rumah

susun..........................................., terdiri dari :

a. :

b. :

c. :

dst.

4. Satuan Rumah Susun : Pada rumah susun...........................

a. Type......, luas.......m2, jumlah

b. Type......, luas.......m2, jumlah

c. Type......, luas.......m2, jumlah

dst.

Total:

Type............., luas...........m2, jumlah..............unit.

5. Jumlah Gedung/Tower/Bangunan Rumah Susun :

Pada rumah susun........................................., terdiri dari :

...........(jumlah) Gedung/Tower, yang masing-masing diberi nama :

a. Gedung/Tower.........., terdiri dari.....lantai dan.......unit satuan rumah susun.

b. Gedung/Tower.........., terdiri dari.....lantai dan.......unit satuan rumah susun.

c. Gedung/Tower.........., terdiri dari.....lantai dan.......unit satuan rumah susun.

dst.

6. Nilai Perbandingan Proporsional (NPP) adalah angka yang menunjukkan

perbandingan antara satuan rumah susun terhadap hak atas bagian bersama, benda

bersama dan tanah bersama.

Pada Rumah Susun.....................dihitung berdasarkan..........(luas / nilai) yang

rinciannya sebagaimana daftar terlampir.

7. Lain-lain :

a. Ijin Lokasi Nomor...................tanggal.......................

b. Keterangan Rencana Kota Nomor.....................tanggal................

c. Ijin Mendirikan Bangunan (IMB) Nomor.........................tanggal..............

Koefisien Dasar Bangunan (KDB) .....%, Koefisien Lantai Bangunan (KLB) ......%

yang ditetapkan berdasarkan............................. Nomor......... tanggal......................

d. Ijin Layak Huni (ILH) / Ijin Penggunaan Bangunan (IPB) Nomor .... tanggal...

e. dll (sesuai PERDA).

Page 281: (overmacht) over the

8. Kesimpulan:

a. Gambar dan uraian Pertelaan telah merinci secara jelas mengenai balas pemilikan

perseorangan yang merupakan satuan Rumah Susun dan pemilikan bersama yang

berupa tanah bersama, benda bersama serta bagian bersama, sehingga telah

memenuhi syarat berfungsi satuan Rumah Susun dalam sistem Rumah Susun.

b. Bahwa tanah bersama, bagian bersama, benda bersama dan unit-unit satuan rumah

susun ................... sesuai/tidak sesuai dengan kondisi fisik bangunan dan perijinan

yang ada sehingga Pertelaan dan Akta Pemisahan memenuhi / tidak memenuhi

syarat untuk disahkan.

Catatan : Dalam hal tidak memenuhi syarat untuk disahkan lanjutkan dengan

rekomendasi hal-hal yang harus dilengkapi / diperbaiki.

c. Bahwa gambar dan uraian Pertelaan yang disah kan adalah merupakan penetapan

batas-batas hak dan kewajiban terhadap kepemilikan perseorangan dan

kepemilikan bersama.

d. Apabila dalam pelaksanaan pembangunan fisik tidak sesuai dengan gambar dan

uraian Pertelaan yang sudah disah kan, maka sepenuhnya menjadi tanggung jawab

pihak penyelenggara pembangunan untuk membuat kembali gambar dan uraian

Pertelaan yang sesuai dengan fisik bangunan (As Built Drawing) serta dimintakan

kembali pengesahaannya.

9. Rekomendasi:

Dalam rangka pengesahan Pertelaan / Akta Pemisahan Rumah Susun .............. agar

dilengkapi / diperbaiki beberapa hal sebagai berikut:

contoh : berkaitan dengan sistem pengamanan bila terjadi kebakaran (alat

pemadam kebakaran, tangga darurat), jalur lalu lintas umum (selasar, coridor, lift,

dll), kelengkapan dalam interaksi sosial dan kenyamanan para penghuni (lobby,

ruang pertemuan, taman bermain, kolam renang, parkir, pos keamanan, sistem

pencahayaan, jaringan air bersih, saluran pembuangan air kotor, dll)

Demikian Berita Acara Pemeriksaan Fisik Rumah Susun ini dibuat pada hari dan

tanggal tersebut di atas dalam rangkap.........(....................) untuk dipergunakan sebagai

kelengkapan dalam rangka pengesahan Pertelaan dan Akta Pemisahan Rumah

Susun...............................(nama rumah susun ybs).

PETUGAS PEMERIKSA,

1..............................(unit SPP) 2.............................(unit HTPT)

NIP..................... NIP.....................

Page 282: (overmacht) over the

MENGETAHUI:

Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten / Kota

........................................

Tdt & Cap.

NIP.................................

Catatan:

1. Coret yang tidak perlu.

2. Bila pemeriksaan dilakukan oleh unit Kanwil BPN Provinsi agar disesuaikan

penandatangannya.

Page 283: (overmacht) over the

Lampiran 3

SURAT PENGANTAR SK PENGESAHAN KEPADA BUPATI/ WALIKOTA/

GUBERNUR UNTUK WILAYAH DKI JAKARTA

KOP SURAT BPN

...................,.......................

Nomor :

Lampiran :

Perihal : Permohonan Pengesahan Pertelaan dan

Akta Pemisahan Rumah Susun

..............................................................

Kepada Yth.

Bupati/Walikota/Gubernur (untuk DKI Jakarta)

Di-

...............................

Bersama ini disampaikan Konsep Surat Keputusan dalam rangka pengesahaan

Pertelaan dan Akta Pemisahan Rumah Susun......................................

Sebagai bahan pertimbangan, kami lampirkan kelengkapan permohonan

dimaksud, yang terdiri atas :

a. Surat dari .................. selaku Direktur Utama / Kuasa Direktur Utama ................

tanggal ...................... Nomor ......................... perihal Permohonan Pengesahan

Pertelaan dan Akta Pemisahan Rumah Susun ........................, terletak di

.................;........., atas nama................................................................

b. Berita Acara hasil pemeriksaan fisik Rumah Susun ......................., nomor

.................... tanggal ............................. atau nos/7 Rapat Koordinasi Instansi terkait

tentang penelitian/pemeriksaan Pertelaan dan Akta Pemisahan Rumah Susun

..........................., sesuai dengan ketentuan ........................... (bila ada Keputusan

Bupati/Walikota/Gubernur mengenai rapat koordinasi antar instansi terkait).

c. Pertelaan dan Akta Pemisahan Rumah Susun ...................... (sesuai hasil pemeriksaan

fisik atau yang telah disetujui oleh Rapat Koordinasi antar instansi terkait).

Demikian untuk menjadi periksa dan atas kebijaksanaannya, diucapkan terima

kasih.

Kepala Kantor Pertanahan

Kabupaten/Kota / Kepala Kanwil BPN

.....................................................

NIP..............................................

Page 284: (overmacht) over the

Lampiran 4

DRAFT SK PENGESAHAN PERTELAAN

KEPUTUSAN BUPATI/WALIKOTA/GUBERNUR

NOMOR:................................

TENTANG

PENGESAHAN PERTELAAN DAN AKTA PEMISAHAN RUMAH SUSUN

HUNIAN DAN/ATAU BUKAN HUNIAN.....................................................

YANG TERLETAK...........................................................................

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BUPATI / WALIKOTA / GUBERNUR..............(ybs),

Menimbang : a. bahwa .......... (penyelenggara) telah membuat Pertelaan dan Akta

Pemisahan Rumah Susun Hunian dan/atau Bukan

Hunian..............................yang terletak di.......................

b. bahwa Pertelaan dan Akta Pemisahan sebagaimana dimaksud huruf a

telah dimohon pengesahannya sesuai dengan surat permohonan

nomor................tanggal ............ dari Direktur Utama/Kuasa Direktur

Utama .................., berdasarkan Surat Kuasa Khusus

nomor.........tanggal..........(bila dikuasakan);

c. bahwa berdasarkan pertimbangan huruf a dan huruf b, perlu

menetapkan Keputusan Bupati/Walikota/Gubernur tentang

Pengesahan Pertelaan dan Akta Pemisahan Rumah Susun Hunian

dan/atau Bukan Hunian ....................sebagaimana dimaksud;

Mengingat : 1. Undang - Undang No. 16 tahun 1985 tentang Rumah Susun;

2. Undang - Undang No. 10 tahun 2004 tentang Pembentukan peraturan

Perundang-undangan;

3. Undang - Undang No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah

sebagaimana telah beberapa kali di ubah, terakhir dengan Undang-

undang No. 12 tahun 2008;

4. Undang - Undang No........ tahun ....... tentang ............. (pembentukan

Kabupaten/Kota/Provinsi ybs); Peraturan

5. Pemerintah No. 4 tahun 1988 tentang Rumah Susun ;

6. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 60/PRT/1992 tantang

Persyaratan teknis pembangunan Rumah Susun;

7. Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 2 tahun 1989

tentang akta pemisahan Rumah Susun;

8. Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 4 tahun 1989

tentang penerbitan Sertipikat Hak Milik atas satuan Rura-Susun;

9. Peraturan Daerah No....... tahun ...... tentang .............. (mengenai

Rumah Susun) di KabupatenKota/Provinsi ybs

Page 285: (overmacht) over the

MEMUTUSKAN:

Menetapkan : KEPUTUSAN BUPATI / WALIIKOTA/GUBERNUR

TENTANG PENGESAHAN PERTELAAN DAN AKTA

PEMISAHAN RUMAH SUSUN HUNIAN DAN/ATAU BUKAN

HUNIAN ................................. YANG TERLETAK

DI...........................................................;

PERTAMA : Mengesahkan Pertelaan dan Akta Pemisahan Rumah Susun Hunian

dan/atau Bukan Hunian..........................yang terletak di

................................. dengan batas-batas dari masing-masing Satuan

Rumah Susun, Bagian Bersama, Benda Bersama, Tanah Bersama

yang ditampilkan dalam bentuk gambar dan uraian sebagaimana

tercantum dalam lampiran dan merupakan bagian yang tidak

terpisahkan dengan Keputusan ini, yang aslinya disimpan di Kantor

Pertanahan Kabupaten/Kota.......................

KEDUA : Mengesahakan besarnya angka Nilai Perbandingan Proporsional

(NPP) yang menunjukkan perbandingan antara Satuan Rumah Susun

terhadap hak atas Bagian Bersama, Benda Bersama, Tanah Bersama,

Rumah Susun sebagaimana dimaksud pada Diktum PERTAMA.

KETIGA : Apabila ternyata pelaksanaan pembangunan fisik tidak sesuai

dengan gambar dan uraian pertelaan yang disahkan maka sepenuhnya

menjadi tanggung jawab pihak penyelenggara pembangunan untuk

membuat kembali gambar dan uraian perterlaan yang sesuai dengan

Fisik Bangunan (as build drawing) serta dimintakan kembali

pengesahannya kepada Bupati/Walikota/Gubernur.

KEEMPAT : Pengesahan Pertelaan dan Akta Pemisahan ini diberkan dalam rangka

proses penerbitan sertipikat Hak Milik atas Satuan Rumah Susun

Hunian dan/atau Bukan Hunian............................

KELIMA : Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Ditetapkan di..........................

Pada tanggal..........................

BUPATI / WALIKOTA / GUBERNUR

........................................................,

Tdt

Page 286: (overmacht) over the

.........................................

.........................................

Tembusan :

1. ......................................................................................

2. .......................................................................................

3. .......................................................................................

4. Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota.............................

5. Direktur Utama / Kuasa Direktur Utama................................(penyelenggara) :

Page 287: (overmacht) over the

Lampiran 5

CONTOH DENAH SARUSUN

Lampiran : Peraturan KBPN NOMOR HAK :

Nomor 4 Tahun 1989

GAMBAR DENAH

Nomor :

Dari satuan rumah susun, yang merupakan dari rumah susun yang dibangun di atas

sebidang tanah bersama : ...................................................................................

Hak :

Nomor :

Yang terletak di Desa / Kelurahan :

Kecamatan :

Seperti yang diuraikan dalam Surat Ukur tanggal............................ Nomor............. Satuan

Rumah Susun ini terletak pada lantai....................... blok........................... atau yang lebih

dikenal setempat dengan sebutan/nama :

Batas-batas dari satuan rumah susun ini telah ditetapkan dalam pertelaan yang telah

disahkan oleh ....................................................... pada tanggal........................

nomor............................................................ berpedoman pada ketentuan pasal 41

Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 1988 tentang : Rumah Susun

Luas/type :

Hal-hal lain :

Tanggal.....................

An. Kepala Kantor Pertanahan

Kabupaten/Kotamadya

Kepala Seksi Pendaftaran Tanah

( )

NIP.

DI 302 :

DI 307 :

Page 288: (overmacht) over the

Lampiran 6

Tata Urutan Penyusunan Halaman Gambar Pertelaan :

6 A. Keterangan Muka Peta Dan Bidang Gambar Pertelaan

6 B. Gambar Pertelaan Rumah Susun Yang Menunjukkan Satuan Lingkungan

6 C. Gambar Pertelaan Rumah Susun Yang Menunjukkan Tanah Bersama

6 D. Gambar Pertelaan Rumah Susun yang menunjukkan bagian perseorangan dan

bagian bersama.

6 E. Denah Bangunan Lantai

6 F. Denah Satuan Rumah Susun

Page 289: (overmacht) over the

Lampiran 6A

KETERANGAN MUKA PETA DAN BIDANG GAMBAR PERTELAAN

Keterangan Gambar Pertelaan :

Ukuran muka peta dan bidang gambar, lihat penjelasan gambar:

Setiap gambar diberi arah utara ;

Tepi bangunan sejajar dengan tepi muka peta ;

Warna : Kuning : untuk batas satuan rumah susun / tanah bersama

Biru : untuk benda bersama

Merah : untuk bagian bersama

UKURAN MUKA PETA DAN BIDANG GAMBAR

Muka Peta ABCD = 65 cm x 45 cm

Bidang Gambar abgh = 55 cm x 40 cm Disesuaikan.

Ruang Keterangan cdef = 6,5 cm x 40 cm

Ruang 1 = Keterangan Gambar Ruang 7 = Keterangan Penggunaan

Ruang 2 = Nama Rumah Susun Ruang 8 = Tanggal Pembuatan Gambar

Ruang 3 = Pemilik Rumah Susun Ruang 9 = Tanda Tangan Pemilik

Ruang 4 = Judul Gambar Ruang 10 = Diketahui

Ruang 5 = Skala Peta Ruang 11 = Tanda Tangan Kakan/Kabid SPP

Ruang 6 = Nomor Lembar Gambar

Page 290: (overmacht) over the

Lampiran 6B

Contoh Gambar Pertelaan Rumah Susun Yang Menunjukkan Satuan Lingkungan

Page 291: (overmacht) over the

Lampiran 6C

Contoh Gambar Pertelaan Rumah Susun Yang Menunjukkan Tanah Bersama

Page 292: (overmacht) over the

Lampiran 6D Contoh Gambar Pertelaan Rumah Susun yang menunnukkan bagian perseorangan dan bagian bersama.

Page 293: (overmacht) over the

Lampiran 6E

Page 294: (overmacht) over the

Lampiran 6F

Page 295: (overmacht) over the

Lampiran 7

URAIAN PERTELAAN

Contoh :

URAIAN PERTELAAN RUMAH SUSUN

URAIAN PERTELAAN

RUMAH SUSUN..........

A. Pendahuluan :

...................................................................................................................................

................................................................................................................................................

................................................................................................................................................

................................................

Pengertian "Rumah Susun" menurut Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1985

adalah bangunan gedung bertingkat yang dibangun dalam suatu lingkungan, yang terbagi

dalam bagian-bagian yang distrukturkan secara fungsional dalam arah horizontal maupun

vertikal dan merupakan satuan-satuan yang dapat dimiliki dan digunakan secara terpisah,

terutama untuk tempat hunian, yang dilengkapi dengan bagian bersama, benda bersama

dan tanah bersama. Satuan Rumah Susun adalah rumah susun yang tujuan peruntukan

utamanya digunakan secara terpisah sebagai tempat hunian, yang mempunyai sarana

penghubung ke jalan umum.

Setiap satuan rumah susun jelas batas-batasnya, ukuran dan luasnya serta dapat

dimiliki dan dihuni secara terpisah terutama untuk hunian dan dilengkapi dengan bagian

bersama, benda bersama dan tanah bersama, yang besarannya sesuai dengan Nilai

Perbandingan Proporsional.

Kepemilikan rumah susun terdiri dari dua elemen sistim pemilikan, yaitu :

1. Pemilikan bersama yang tidak dapat dimiliki secara perseorangan tetapi dimiliki,

digunakan dan dinikmati secara bersama. Pemilikan bersama terdiri dari:

a. Tanah Bersama, yaitu berupa sebidang tanah yang digunakan atas dasar hak

kepemilikan bersama secara tidak terpisah yang di atasnya berdiri rumah susun

dan fasilitasnya.

b. Bagian Bersama, yaitu bagian rumah susun yang dimiliki secara terpisah untuk

pemakaian bersama dalam kesatuan fungsi dengan satuan-satuan rumah susun.

c. Benda Bersama, yaitu benda yang bukan merupakan bagian rumah susun tetapi

yang dimiliki bersama secara tidak terpisah untuk r bersama.

2. Pemilikan Perseorangan, merupakan ruang satuan rumah susun yang dapat dimiliki,

digunakan dan dinikmati secara terpisah/perseorangan yang mempunyai sarana

penghubung ke jalan umum.

Elemen tersebut di atas membentuk lembaga pemilikan dalam sistim Rumah

Susun yang disebut HAK MILIK ATAS SATUAN RUMAH SUSUN yang diartikan

sebagai hak atas satuan rumah susun yang bersifat perseorangan dan terpisah yang

meliputi pula hak atas tanah bersama, bagian bersama dan benda bersama yang

merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dengan satuan rumah susun yang

bersangkutan.

Besarnya nilai kepemilikan pemegang hak milik atas satuan rumah susun

terhadap tanah bersama, bagian bersama dan benda bersama dinyatakan dengan Nilai

Page 296: (overmacht) over the

Perbandingan Proporsional yang dihitung berdasarkan perbandingan luas/nilai

kepemilikan satuan rumah susun terhadap jumlah luas/nilai seluruh satuan rumah susun

pada saat diperhitungkan biaya pembangunan keseluruhan untuk menentukan harga jual.

Elemen tersebut di atas ditampilkan dalam bentuk gambar dan uraian yang

disebut Pertelaan yang merupakan pernyataan dari ........................ (Penyelenggara

Pembangunan Rumah Susun/Developer/Perorangan), untuk membangun lingkungan

rumah susun hunian/non hunian/terpadu, yang diberi nama .......................................

(nama Rumah Susun).

B. Kepemilikan Bersama

B.l. Tanah Bersama :

a. Tanah Bersama tempat berdirinya rumah susun rumah susun non hunian Bali

Kuta Residence, dengan segala fasilitasnya, dibuktikan dengan sertipikat:

Jenis Hak : ..............................................................................

Nomor Hak : ..............................................................................

Pemegang Hak : ..............................................................................

Masa Berlaku : .......Tahun, Tanggal berakhirnya hak,.................

Luas Tanah : ..............................................................................

Batas Tanah : Seperti diuraikan dalam Surat Ukur tanggal .......

Nomor....................

b. Tanah Bersama dengan status ........................................ tersebut berasal

dari...............................................................................................................

c. Letak batas dari luas Tanah Bersama sesuai dengan daerah perencanaannya

yang menjadi dasar bagi penentan Koefisien Dasar Bangunan (KDB) dan

Koefisien Lantai Bangunan (KLB) dalam Persetujuan berdasarkan...................

d. Tanah Bersama hanya untuk satu satuan lingkungan Rumah Susun dengan satu

sertipikat tanah seperti dimaksud pada keterangan huruf a dan huruf b di atas,

dengan dibebani Kredit Konstruksi dari ....................................... (jika dibebani

kredit konstruksi, dituliskan hak tanggungan nomor.........)

B.2. Bagian Bersama :

Bagian Bersama adalah bagian rumah susun yang dimiliki secara tidak

terpisah untuk pemakaian bersama dalam kesatuan fungsi dengan satuan satuan

Rumah Susun. Bagian bersama merupakan bagian rumah susun yang melekat pada

konstruksi rumah susun yang berupa struktur bangunan rumah susun dan atau yang

berupa fasilitas yang ada di atas/di dalam/di bawah rumah susun, yailu berupa :

a. Struktur Konstruksi :

1. Pondasi ;

2. Tiang Pancang ;

3. Pancang bor (bor pile)

4. Kolom ;

5. Balok;

6. Pelat Lantai;

7. Tangga Darurat dan Tangga di Areal Umum ;

8. Dinding Pemisah/Partisi antara Bagian Bersama dengan Bagian

Perseorangan;

9. Talang Air ;

10. Rangka Atap ;

11. Penutup Atap, baik yang berupa pelat beton, genteng, metal deck.

12. lain-lain sesuai kenyataan yang ada.

Page 297: (overmacht) over the

b. Jaringan Utilitas Rumah Susun, termasuk segala peralatan yang menjadi satu

kesatuan sistim yang bersangkutan, terdiri dari :

1. Sistim Jaringan Listrik ;

2. Sistim Jaringan Distribusi Air Bersih ;

3. Sistim Jaringan Pembuangan Air Kotor, Air Hujan dan Septictank;

4. Sistim Jaringan Pencegahan Kebakaran ;

5. Sistim Jaringan Alarm Kebakaran ;

6. Sistim Jaringan Tata Udara / AC

7. Sistim Jaringan Tata Suara ;

8. Sistim Tata Cahaya ;

9. Sistim Jaringan Telepon ;

10. Sistim Jaringan Internet ;

11. Sistim Jaringan Monitor Gedung (Building Monitoring System) ;

12. Sistim Transportasi Vertikal (Lift) ;

13. Genset dan perlengkapan daya listrik darurat ;

14. Jaringan MATV dan perlengkapannya ;

15. Sistim PABX;

16. Sistim Pengolah Limbah ;

17. Penangkal Petir ;

18. lain-lain sesuai kenyataan yang ada.

c. Fasilitas Rumah Susun :

1. Elemen Lansekap Rumah Susun ;

2. Areal Parkir Basement ;

3. Teras Luar Rumah Susun ;

4. Lobby ;

5. Area Ruang Pamer, Koridor dalam Rumah Susun ;

6. Toilet;

7. Septicktank ;

8. Ruang-ruang keperluan Sistim Utilitas Rumah Susun (ruang lift, ruang

mesin lift, ruang genset, ruang kontrol, ruang bahan bakar, ruang panel

listrik) ;

9. Selasar dan shaft-shaft dalam rumah susun ;

10. Pos Jaga;

11. Tangki Penyimpan Air.

12. Tangki Penyimpan Bahan Bakar (Solar) untuk mesin Genset;

13. Jalan Sekitar Bangunan ;

14. Stop kontak diluar area Satuan Rumah Susun

15. Alat Pemadam Kebakaran (Hidran).

16. lain-lain sesuai kenyataan yang ada.

B.3. Benda Bersama :

Benda Bersama adalah benda yang bukan merupakan bagian rumah susun tetapi

dimiliki bersama secara tidak terpisah untuk pemakaian bersama. Benda Bersama

merupakan benda/bangunan yang terletak di atas tanah bersama, berupa :

a. Benda/alat yang menjadi bagian integral dari masing-masing sistim jaringan utilitas

Rumah Susun ;

b. Benda/bangunan yang menjadi kelengkapan fasilitas Rumah Susun, terdiri dari :

1. Pagar Keliling ;

Page 298: (overmacht) over the

2. Panel Reklame

3. Taman ;

4. Tempat Sampah ;

5. Lampu Taman dan Penerangan Jalan ;

6. Kolam Renang dan Peralatannya ;

7. Areal Parkir;

8. lain-lain sesuai kenyataan yang ada.

C. Kepemilikan Perseorangan

Kepemilikan perseorangan adalah kepemilikan atas ruang satuan Rumah Susun

yang dapat dimiliki atau dapat dinikmati secara individual/perseorangan yang terpisah

dari pemilik-pemilik perseorangan lainnya. Bagian yang merupakan pemilikan

perseorangan adalah :

1. Permukaan dinding pemisah bagian dalam di dalam Satuan Rumah Susun ;

2. Lantai bagian dalam di dalam Satuan Rumah Susun ;

3. Dinding pemisah ruang dalam yang menjadi bagian dari Satuan Rumah Susun.

4. Kusen pintu dan jendela, daun pintu dan jendela ;

5. Plafon bagian dalam, di dalam satuan rumah susun ;

6. Instalasi Listrik, telepon, AC, yang berada dalam satuan rumah susun dan

digunakan/dimanfaatkan hanya untuk dan oleh Satuan Rumah Susun yang

bersangkutan.

D. Nilai Perbandingan Proporsional (NPP)

Nilai Perbandingan Proporsional adalah angka yang menunjukkan perbandingan

antara Satuan Rumah Susun terhadap hak atas Bagian Bersama, Benda Bersama dan

Tanah Bersama, yang khusus pada Rumah Susun................................ (nama Rumah

Susun) ini dihitung berdasarkan luas masing-masing Satuan Rumah Susun yang

bersangkutan Sehingga Nilai Perbandingan Proporsional (NPP) masing-masing Satuan

Rumah Susun

tersebut dapat dirumuskan sebagai berikut:

NPP Sn = T.Ls

L.Sn- x 100%

Keterangan :

Sn : Satuan Rumah Susun (Unit Satuan Rumah Susun)

L.Sn : Luas Unit Satuan Rumah Susun

T.Ls : Total Luas Keseluruhan Unit Satuan Rumah Susun.

Perincian Selengkapnya dari Nilai Perbandingan Proporsional untuk masing-masing

Satuan Rumah Susun ini dapat dilihat pada Daftar Nilai Perbandingan Proporsional

(NPP) terlampir.

E. Penutup

Pertelaan Rumah Susun merupakan uraian pemisahan yang menyatakan

kepemilikan perseorangan dan kepemilikan bersama yang menghasilkan besarnya Nilai

Perbandingan Proporsional (NPP).

Nilai Perbandingan Proporsional (NPP) merupakan besarnya kepemilikan

perseorangan terhadap hak kepemilikan bersama yang besarnya dicantumkan dalam

Page 299: (overmacht) over the

Sertipikat Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun dan NPP tersebut secara hukum

mengikat.

Untuk jelasnya Pertelaan ini dilengkapi dengan gambar dalam bentuk potongan

vertikal, horizontal dan denah-denah dari tanah bersama, bagian bersama dan benda

bersama, bagian perseorangan dan gambar sirkulasi.

Dengan demikian penghuni bertanggung jawab terhadap apa yang ada di dalam satuan

rumah susunnya termasuk pula terhadap bagian/benda bersama. Besarnya kewajiban

penghuni rumah susun tergantung pada Nilai Perbandingan Proporsional (NPP).

..................., ...........................

(Penyelenggara Pembangunan),

Ttd & cap (jika badan hukum)

...........................................

DISAHKAN :

Nomor :........................

Tanggal :........................

BUPATI/WALIKOTA/GUBERNUR

........................................

Ttd & cap

.......................................

Page 300: (overmacht) over the

Lampiran 8

ANGGARAN DASAR PERHIMPUNAN PENGHUNI RUMAH SUSUN

Page 301: (overmacht) over the

Lampiran 9

Daftar Isian

Dalam Rangka Pendaftaran Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun Sesuai Ketentuan Pasal

140 PMNA/KBPN No. 3 Tahun 1997

No. Jenis Daftar Isian Deskripsi

Daftar Isian Data Yuridis :

1. D.I. 203 Daftar Tanah

2. D.I. 204 Daftar Nama

3. D.I. 205 B Buku Tanah Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun

4. D.I. 206 B Sertipikat Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun

5. D.I. 207 A Gambar Denah Satuan Rumah Susun

6. D.I. 208 Daftar Penyelesaian Pekerjaan Pendaftaran Tanah

Daftar Isian Bidang Tata Usaha :

7. D.I. 301 Daftar Permohonan Pekerjaan Pendaftaran Tanah

8. D.I. 301A Daftar Penyerahan Hasil Pekerjaan

9. D.I. 302 Daftar Permohonan Pekerjaan Pengukuran

10. D.I. 305 Daftar Penerimaan Uang Muka Biaya Pendaftaran

Tanah

11. D.I. 306 Bukti Penerimaan Uang/Kwitansi

12. D.I. 307 Daftar Penghasilan Negara

13. D.I. 312 B Daftar Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun

Page 302: (overmacht) over the

Lampiran 10

Page 303: (overmacht) over the
Page 304: (overmacht) over the
Page 305: (overmacht) over the
Page 306: (overmacht) over the
Page 307: (overmacht) over the

Lampiran 11

PERATURAN KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA

NOMOR : 1 Tahun 2010

TANGGAL : 25 Januari 2010

STANDAR PELAYANAN DAN PENGATURAN PERTANAHAN

Pendaftaran Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun

DASAR HUKUM PERSYARATAN BIAYA WAKTU KETERANGAN

1. UU No. 5/1960

2. UU No. 16/1985

3. PPNo. 4/1988

4. PP No. 24/1997

5. PPNo. 13/2010

6. PMNA/Kepala BPN

No. 3/1997

7. SE KBPN-600-1900

tanggal 31 Juli 2003

1. Formulir permohonan yang sudah diisi dan

ditandatangani pemohon atau kuasanya di atas

materai cukup

2. Surat Kuasa apabila dikuasakan

3. Fotocopy identitas pemohon (KTP, KK) dan

kuasa apabila dikuasakan, yang telah

dicocokkan dengan aslinya oleh petugas loket

4. Sertipikat Hak Atas Tanah yang merupakan

tanah bersama (asli)

5. Proposal pembangunan rumah susun

6. Ijin layak huni

7. Advis Planning

8. Akta pemisahan yang dibuat oleh

penyelenggara pembangunan rumah susun,

dengan lampiran gambar dan uraian pertelaan

dalam arah vertikal maupun horisontal serta

nilai perbandingan proposionalnya yang

disahkan oleh pejabat yang berwenang

(Gubernur untuk DKI Jakarta atau

Bupati/Walikota)

Sesuai ketentuan

Peraturan Pemerintah

tentang jenis dan tarif

atas jenis penerimaan

negara bukan pajak

yang berlaku pada

Badan Pertanahan

Nasional Republik

Indonesia

30 (tiga puluh) hari

untuk jumlah tidak

lebih dari 200 unit

60 (enam puluh) hari

untuk jumlah lebih

dari 200 unit s.d. 500

unit

90 (sembilan puluh)

hari untuk jumlah

lebih dari 500 unit

Formulir permohonan

memuat:

1. Identitas diri

2. Luas dan letak bangunan

yang dimohon

3. Pernyataan tanah tidak

sengketa

Peralihan Hak Atas Tanah dan Satuan Rumah Susun

Page 308: (overmacht) over the

a. Peralihan Hak Jual-Beli

DASAR HUKUM PERSYARATAN BIAYA WAKTU KETERANGAN

1. UU No. 5/1960

2. UU No.16/1985

3. UU No. 21/1997 jo.

UU No. 20/2000

4. PP No. 48/1994 jo.

PPNo. 79/1996

5. PPNo. 24/1997

6. PPNo. 37/1998

7. PPNo. 13/2010

8. PMNA/KBPN No.

3/1997

9. Peraturan KBPN RI

No. 1/2006

10. SE KBPN No. 600-

1900 tanggal 31 Juli

2003

11. 11. SE KBPN RI No.

1219-340.3.D.II

tanggal 28 April 2009

1. Formulir permohonan yang sudah

diisi dan ditandatangani pemohon

atau kuasanya di atas materai cukup

2. Surat Kuasa apabila dikuasakan

3. Fotocopy identitas pemohon (KTP,

KK) dan kuasa apabila dikuasakan,

yang telah dicocokkan dengan

aslinya oleh petugas loket

4. Fotocopy Akta Pendirian dan

Pengesahan Badan Hukum yang

telah dicocokkan dengan aslinya

oleh petugas loket, bagi badan

hukum

5. Sertipikat asli

6. Akta Jual Beli dari PPAT

7. Fotocopy KTP dan para pihak

penjual-pembeli dan/atau kuasanya

8. Ijin Pemindahan Hak apabila di

dalam sertipikat/keputusannya

dicantumkan tanda yang

menyatakan bahwa hak tersebut

hanya boleh dipindahtangankan jika

telah diperoleh ijin dari instansi

yang berwenang

9. Foto copy SPPT PBB Tahun

berjalan yang telah dicocokkan

dengan aslinya oleh petugas loket,

penyerahan bukti SSB (BPHTB)

dan bukti bayar uang pemasukan

(pada saat pendaftaran hak)

Sesuai ketentuan

Peraturan Pemerintah

tentang jenis dan tarif

atas jenis penerimaan

negara bukan pajak

yang berlaku pada

Badan Pertanahan

Nasional Republik

Indonesia

5 (lima) hari Formulir permohonan

memuat:

1. Identitas diri

2. Luas, letak dan

penggunaan tanah yang

dimohon

3. Pernyataan tanah tidak

sengketa

4. 4. Pernyataan

tanah/bangunan dikuasai

secara fisik

Page 309: (overmacht) over the

b. Peralihan Hak- Pewarisan/ Wasiat

DASAR HUKUM PERSYARATAN BIAYA WAKTU KETERANGAN

1. UUNo. 5/1960

2. UUNo. 21/1997jo. UU

No. 20/2000

3. PPNo. 24/1997

4. PPNo. 37/1998

5. PPNo. 13/2010

6. PMNA/KBPN No.

3/1997

7. Peraturan KBPN RI

No. 1/2006

8. SE KBPN No. 600-

1900 tanggal 31 Juli

2003

1. Formulir permohonan yang sudah

diisi dan ditandatangani pemohon

atau kuasanya di atas materai cukup

2. Surat Kuasa apabila dikuasakan

3. Fotocopy identitas pemohon /para

ahli waris (KTP, KK) dan kuasa

apabila dikuasakan, yang telah

dicocokkan dengan aslinya oleh

petugas loket

4. Sertipikat asli

5. Surat Keterangan Waris sesuai

peraturan perundang-undangan

6. Akte Wasiat Notariel

7. Foto copy SPPT PBB tahun berjalan

yang telah dicocokkan dengan

aslinya oleh petugas loket

8. Penyerahan bukti SSB (BPHTB),

bukti SSP/PPH untuk perolehan

tanah lebih dari 60 Juta Rupiah

bukti bayar uang pemasukan (pada

saat pendaftaran hak)

Sesuai ketentuan

Peraturan Pemerintah

tentang jenis dan tarif

atas jenis penerimaan

negara bukan pajak

yang berlaku pada

Badan Pertanahan

Nasional Republik

Indonesia

WAKTU

5 (lima) hari

Formulir permohonan

memuat:

1. Identitas diri

2. Luas, letak dan

penggunaan tanah yang

dimohon

3. Pernyataan tanah tidak

sengketa

4. Pernyataan tanah

dikuasai secara fisik

Page 310: (overmacht) over the

c. Peralihan Hak — Tukar Menukar

DASAR HUKUM PERSYARATAN BIAYA WAKTU KETERANGAN

1. UU No. 5/1960

2. UU No. 21/1997 jo.

UU No. 20/2000

3. PPNo. 48/1994jo. PP

No. 79/1996

4. PPNo. 24/1997

5. PPNo. 37/1998

6. PPNo. 13/2010

7. PMNA/KBPN No.

3/1997

8. Peraturan KBPN RI

No. 1/2006

9. 9. SE KBPN No. 600-

1900 tanggal 31 Juli

2003

1. Formulir permohonan yang sudah

diisi dan ditandatangani pemohon

atau kuasanya di atas materai cukup

2. Surat Kuasa apabila dikuasakan

3. Fotocopy identitas

pemohon/pemegang dan penerima

hak (KTP, KK) serta kuasa apabila

dikuasakan, yang telah dicocokkan

dengan aslinya oleh petugas loket

4. Fotocopy Akta Pendirian dan

Pengesahan Badan Hukum yang

telah dicocokkan dengan aslinya

oleh petugas loket

5. Sertipikat asli

6. Akta Tukar Menukar dari PPAT

7. Ijin Pemindahan Hak apabila di

dalam sertipikat/keputusannya

dicantumkan tanda yang

menyatakan bahwa hak tersebut

hanya boleh dipindahtangankan jika

telah diperoleh ijin dari instansi

yang berwenang

8. Foto copy SPPT PBB tahun

berjalan yang telah dicocokkan

dengan aslinya oleh petugas loket

9. Penyerahan bukti SSB (BPHTB)

dan bukti SSP/PPH untuk perolehan

tanah lebih dari 60 Juta Rupiah

Sesuai ketentuan

Peraturan Pemerintah

tentang jenis dan tarif

atas jenis penerimaan

negara bukan pajak

yang berlaku pada

Badan Pertanahan

Nasional Republik

Indonesia

5 (lima) hari Formulir permohonan

memuat:

1. Identitas diri

2. Luas, letak dan

penggunaan tanah yang

dimohon

3. Pernyataan tanah tidak

sengketa

4. Pernyataan tanah

dikuasai secara fisik

Page 311: (overmacht) over the

d. Peralihan Hak- Hibah

DASAR HUKUM PERSYARATAN BIAYA WAKTU KETERANGAN

1. UU No. 5/1960

2. UU No. 21/1997 jo.

UU No. 20/2000

3. PPNo. 48/1994jo. PP

No. 79/1996

4. PPNo. 24/1997

5. PPNo. 37/1998

6. PPNo. 13/2010

7. PMNA/KBPN No.

3/1997

8. Peraturan KBPN RI

No. 1/2006

9. SE KBPN No. 600-

1900 tanggal 31 Juli

2003

1. Formulir permohonan yang sudah

diisi dan ditandatangani pemohon

atau kuasanya di atas materai cukup

2. Surat Kuasa apabila dikuasakan

3. Fotocopy identitas

pemohon/pemegang dan penerima

hak (KTP, KK) serta kuasa apabila

dikuasakan, yang telah dicocokkan

dengan aslinya oleh petugas loket

4. Fotocopy Akta Pendirian dan

Pengesahan Badan Hukum yang

telah dicocokkan dengan aslinya

oleh petugas loket

5. Sertipikat asli

6. Akta Tukar Menukar dari PPAT

7. Ijin Pemindahan Hak apabila di

dalam sertipikat/keputusannya

dicantumkan tanda yang

menyatakan bahwa hak tersebut

hanya boleh dipindahtangankan jika

telah diperoleh ijin dari instansi

yang berwenang

8. Foto copy SPPT PBB tahun

berjalan yang telah dicocokkan

dengan aslinya oleh petugas loket

9. Penyerahan bukti SSB (BPHTB)

dan bukti SSP/PPH untuk perolehan

tanah lebih dari 60 Juta Rupiah

Sesuai ketentuan

Peraturan Pemerintah

tentang jenis dan tarif

atas jenis penerimaan

negara bukan pajak

yang berlaku pada

Badan Pertanahan

Nasional Republik

Indonesia

5 (lima) hari Formulir permohonan

memuat:

1. Identitas diri

2. Luas, letak dan

penggunaan tanah yang

dimohon

3. Pernyataan tanah tidak

sengketa

4. 4. Pernyataan tanah

dikuasai secara fisik

Page 312: (overmacht) over the

e. Hak - Pembagian Hak Bersama

DASAR HUKUM PERSYARATAN BIAYA WAKTU KETERANGAN 1. UU No. 5/1960 2. UU No. 21/1997 jo.

UU No. 20/2000 3. PPNo. 48/1994jo.

PPNo. 79/1996 4. PPNo. 24/1997 5. PPNo. 37/1998 6. PPNo. 13/2010 7. PMNA/KBPN No.

3/1997 8. Peraturan KBPN RI

No. 1/2006 9. SE KBPN No. 600-

1900 tanggal 31 Juli 2003

10. SE KBPN RI No. 1219-340.3.D.II tanggal 28 April 2009

1. Formulir permohonan yang sudah diisi dan ditandatangani pemohon atau kuasanya di atas materai cukup

2. Surat Kuasa apabila dikuasakan 3. Fotocopy identitas

pemohon/pemegang dan penerima hak (KTP, KK) serta kuasa apabila dikuasakan, yang telah dicocokkan dengan aslinya oleh petugas loket

4. Fotocopy Akta Pendirian dan Pengesahan Badan Hukum yang telah dicocokkan dengan aslinya oleh petugas loket, bagi badan hukum

5. Sertipikat asli 6. Akta Pembagian Hak Bersama dari

PPAT. 7. Ijin Pemindahan Hak apabila di

dalam sertipikat/keputusannya dicantumkan tanda yang menyatakan bahwa hak tersebut hanya boleh dipindahtangankan jika telah diperoleh ijin dari instansi yang berwenang

8. Foto copy SPPT PBB tahun berjalan yang telah dicocokkan dengan aslinya oleh petugas loket

9. Penyerahan bukti SSB (BPHTB), bukti SSP/PPH untuk perolehan tanah lebih dari 60 Juta Rupiah bukti bayar uang pemasukan (pada saat pendaftaran hak)

Sesuai ketentuan Peraturan Pemerintah tentang jenis dan tarif atas jenis penerimaan negara bukan pajak yang berlaku pada Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia

5 (lima) hari Formulir permohonan memuat: 1. Identitas diri 2. Luas, letak dan

penggunaan tanah yang dimohon

3. Pernyataan tanah tidak sengketa

4. 4. Pernyataan tanah dikuasai secara fisik

Page 313: (overmacht) over the

f. Peralihan Hak – Lelang

DASAR HUKUM PERSYARATAN BIAYA WAKTU KETERANGAN

1. UUNo. 5/1960

2. UU No. 21/1997 jo.

UU No. 20/2000

3. PPNo. 48/1994jo. PP

No. 79/1996

4. PP No. 24/1997

5. PPNo. 13/2010

6. PMNA/KBPN No.

3/1997

7. SE KBPN No. 600-

1900 tanggal 31 Juli

2003

1. Formulir permohonan yang sudah

diisi dan ditandatangani pemohon

atau kuasanya di atas materai cukup

2. Surat Kuasa apabila dikuasakan

3. Fotocopy identitas

pemohon/pemegang dan penerima

hak (KTP, KK) serta kuasa apabila

dikuasakan, yang telah dicocokkan

dengan aslinya oleh petugas loket

4. Fotocopy Akta Pendirian dan

Pengesahan Badan Hukum yang

telah dicocokkan dengan aslinya

oleh petugas loket, bagi badan

hukum

5. Sertipikat asli

6. Risalah Lelang

7. Penyerahan Bukti Pelunasan Lelang

8. Foto copy SPPT PBB tahun

berjalan yang telah dicocokkan

dengan aslinya oleh petugas loket

dan penyerahan bukti SSB

(BPHTB), bukti SSP/PPH dan bukti

bayar uang pemasukan (pada saat

pendaftaran hak)

9. Putusan pengadilan yang telah

memiliki kekuatan hukum yang

tetap (Inkracht)

Sesuai ketentuan

Peraturan Pemerintah

tentang jenis dan tarif

atas jenis penerimaan

negara bukan pajak

yang berlaku pada

Badan Pertanahan

Nasional Republik

Indonesia

5 (lima) hari Formulir permohonan

memuat:

1. Identitas diri

2. Luas, letak dan

penggunaan tanah yang

dimohon

3. Pernyataan tanah tidak

sengketa

4. Pernyataan tanah

dikuasai secara fisik

Page 314: (overmacht) over the

g. Peralihan Hak - Pemasukan Ke Dalam Perusahaan/Inbreng

DASAR HUKUM PERSYARATAN BIAYA WAKTU KETERANGAN

1. UU No. 5/1960

2. UU No. 21/1997 jo.

UU 20/2000

3. UU No. 40/2007

4. PPNo. 24/1997

5. PPNo. 27/1998

6. PPNo. 13/2010

7. PMNA/KBPN No.

3/1997

8. Peraturan KBPN RI

No. 1/2006

9. 9. SEKBPN-600-1900

tanggal 31 Juli 2003

1. Formulir permohonan yang sudah diisi dan

ditandatangani pemohon atau kuasanya di

atas materai cukup

2. Surat Kuasa apabila dikuasakan

3. Fotocopy identitas pemohon/pemegang dan

penerima hak (KTP) serta kuasa apabila

dikuasakan, yang telah dicocokkan dengan

aslinya oleh petugas loket

4. Fotocopy Akta Pendirian dan Pengesahan

Badan Hukum yang telah dicocokkan

dengan aslinya oleh petugas loket

5. Sertipikat asli

6. Surat Pengantar dari PPAT

7. Akta Pemasukan ke dalam perusahaan dari

PPAT

8. Ijin Pemindahan Hak, jika:

a. Pemindahan hak atas tanah atau hak

milik atas rumah susun yang di dalam

sertipikatnya dicantumkan tanda yang

menyatakan bahwa hak tersebut hanya

boleh dipindahtangankan apabila telah

diperoleh izin dari instansi yang

berwenang;

b. Pemindahan hak pakai atas tanah

negara

9. Foto copy SPPT PBB tahun berjalan yang

telah dicocokkan dengan aslinya oleh

petugas loket, penyerahan bukti SSB

(BPHTB) dan bukti SSP/PPH untuk

perolehan tanah

Sesuai ketentuan

Peraturan Pemerintah

tentang jenis dan tarif

atas jenis penerimaan

negara bukan pajak

yang berlaku pada

Badan Pertanahan

Nasional Republik

Indonesia

5 (lima) hari Formulir permohonan

memuat:

1. Identitas diri

2. Luas, letak dan

penggunaan tanah yang

dimohon

3. Pernyataan tanah tidak

sengketa

4. Pernyataan tanah

dikuasai secara fisik

Page 315: (overmacht) over the

h. Peralihan Hak – Merger

DASAR HUKUM PERSYARATAN BIAYA WAKTU KETERANGAN

1. UU No. 5/1960

2. UU 21/1997 jo. UU

20/2000

3. UUNo. 40/2007

4. PP No. 24/1997

5. PPNo. 37/1998

6. PPNo. 13/2010

7. PMNA/KBPN No.

3/1997

8. Peraturan KBPN RI

No. 1/2006

9. SEKBPN-600-1900

tanggal 31 Juli 2003

1. Formulir permohonan yang sudah diisi dan

ditandatangani pemohon atau kuasanya di

atas materai cukup

2. Surat Kuasa apabila dikuasakan

3. Fotocopy identitas pemohon/pemegang

dan penerima hak (KTP) serta kuasa

apabila dikuasakan, yang telah dicocokkan

dengan aslinya oleh petugas loket

4. Fotocopy Akta Pendirian, Pengesahan

Badan Hukum dan Akta

Penggabungan/Peleburan yang telah

dicocokkan dengan aslinya oleh petugas

loket

5. Sertipikat asli

6. Surat Pengantar dari PPAT

7. Surat pernyataan yang menyatakan bahwa

penggabungan/peleburan tersebut tidak

dalam status likuidasi

8. Ijin Pemindahan Hak, jika diperlukan

9. Foto copy SPPT PBB tahun berjalan yang

telah dicocokkan dengan aslinya oleh

petugas loket dan penyerahan bukti SSB

(BPHTB), bukti SSP/PPH untuk perolehan

tanah

Sesuai ketentuan

Peraturan Pemerintah

tentang jenis dan tarif

atas jenis penerimaan

negara bukan pajak

yang berlaku pada

Badan Pertanahan

Nasional Republik

Indonesia

5 (lima) hari Formulir permohonan

memuat:

1. Identitas diri

2. Luas, letak dan

penggunaan tanah yang

dimohon

3. Pernyataan tanah tidak

sengketa

4. Pernyataan tanah

dikuasai secara fisik

Page 316: (overmacht) over the

Sertipikat Hak Atas Tanah dan Hak Milik Atas Rumah Susun

DASAR HUKUM PERSYARATAN BIAYA WAKTU KETERANGAN

1. UU No. 5/1960

2. UU 21/1997 jo. UU

20/2000

3. UUNo. 40/2007

4. PP No. 24/1997

5. PP No. 13/2010

6. PMNA/KBPN No.

3/1997

7. SEKBPN-600-1900

tanggal 31 Juli 2003

1. Formulir permohonan yang sudah diisi dan

ditandatangani pemohon atau kuasanya di

atas materai cukup

2. Surat Kuasa apabila dikuasakan

3. Fotocopy identitas pemohon/pemegang dan

penerima hak (KTP, KK) serta kuasa apabila

dikuasakan, yang telah dicocokkan dengan

aslinya oleh petugas loket

4. Fotocopy Akta Pendirian dan Pengesahan

Badan Hukum yang telah dicocokkan dengan

aslinya oleh petugas loket

5. Sertipikat asli

6. Untuk perorangan yang keperdataannya

tunduk pada hukum perdata dibuktikan

dengan penetapan Pengadilan atau yang

tunduk pada hukum adat dibuktikan dengan

surat pernyataan perubahan nama dari yang

bersangkutan diketahui Kepala Desa/Lurah

dan Camat setempat.

7. Untuk instansi dibuktikan dengan keputusan

pejabat yang berwenang tentang perubahan

nama Instansi atau untuk Badan Hukum

dibuktikan dengan akta notaris yang memuat

perubahan nama dengan pengesahan dari

pejabat yang berwenang

Sesuai ketentuan

Peraturan Pemerintah

tentang jenis dan tarif

atas jenis penerimaan

negara bukan pajak

yang berlaku pada

Badan Pertanahan

Nasional Republik

Indonesia

7 (tujuh) hari Formulir permohonan

memuat:

1. Identitas diri

2. Luas, letak dan

penggunaan tanah yang

dimohon

3. Pernyataan tanah tidak

sengketa

4. Pernyataan

tanah/bangunan dikuasai

secara fisik

Page 317: (overmacht) over the

Perpanjangan Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun

DASAR HUKUM PERSYARATAN BIAYA WAKTU KETERANGAN

1. UUNo. 5/1960

2. UUNo. 16/1985

3. PPNo. 4/1988

4. PPNo. 24/1997

5. PPNo. 13/2010

6. PMNA/Kepala BPN

No. 3/1997

7. SEKBPN-600-1900

tanggal 31 Juli 2003

1. Formulir permohonan kolektif atas

nama anggota PPRS (Persatuan

Penghuni Rumah Susun) yang

sudah diisi dan ditandatangani

pemohon atau kuasanya di atas

materai cukup

2. Surat Kuasa apabila dikuasakan

3. Fotocopy identitas para pemohon

(KTP, KK) dan kuasa apabila

dikuasakan, yang telah dicocokkan

dengan aslinya oleh petugas loket

4. Sertipikat asli HGB (ada di Kantor

Pertanahan yang bersangkutan)

5. 5. Foto copy SPPT PBB tahun

berjalan yang telah dicocokkan

dengan aslinya oleh petugas loket

Sesuai ketentuan

Peraturan Pemerintah

tentang jenis dan tarif

atas jenis penerimaan

negara bukan pajak

yang berlaku pada

Badan Pertanahan

Nasional Republik

Indonesia

Perpanjangan Hak Guna

Bangunan:

30 (tiga puluh) hari

untuk hiasan tidak lebih

dari 2.000 m2

49 (empat puluh

sembilan) hari untuk

hiasan lebih dari 2.000

m= sampai dengan

150.000 m!

89 (delapan puluh

sembilan) hari untuk

jumlah lebih dari

150.000

Pencatatan Perpanjangan

Hak Milik Atas Satuan

Rumah Susun:

20 (dua puluh) hari

untuk jumlah tidak

lebih dari 200 unit

40 (empat puluh) hari

untuk jumlah 201 unit

s.d 500 unit

• 90 (sembilan puluh)

hari untuk jumlah lebih

dari 500 unit

Jangka waktu perpanjangan

Hak Milik Satuan Rumah

Susun meliputi jangka

waktu Perpanjangan Hak

Guna Bangunan sebagai

tanah bersama dan

Pencatatan Perpanjangan

pada buku tanah dan

sertipikat Hak Milik Satuan

Rumah Susun

Catatan:

Jangka waktu tidak

termasuk waktu yang

diperlukan untuk

pengiriman berkas/dokumen

dari Kantah ke Kanwil dan

BPN RI maupun sebaliknya

Page 318: (overmacht) over the

Sertifikat Pengganti Hak Atas Tanah, Hak Milik Atas Rumah Susun, dan Hak Tanggungan

a. Karena Blanko Lama

DASAR HUKUM PERSYARATAN BIAYA WAKTU KETERANGAN

1. UU No. 5/1960

2. UUNo. 16/1985

3. UUNo. 4/1996

4. PP No. 24/1997

5. PPNo. 13/2010

6. PMNA/

7. KBPN No. 3/1997

8. SEKBPN-600-1900

tanggal 31 Juli 2003

1. Formulir permohonan yang sudah

diisi dan ditandatangani pemohon

atau kuasanya di atas materai cukup

2. Surat Kuasa apabila dikuasakan

3. Fotocopy identitas pemohon (KTP,

KK) dan kuasa apabila dikuasakan,

yang telah dicocokkan dengan

aslinya oleh petugas loket

4. Fotocopy Akta Pendirian dan

Pengesahan Badan Hukum yang

telah dicocokkan dengan aslinya

oleh petugas loket, bagi badan

hukum

5. Sertipikat asli

Sesuai ketentuan

Peraturan Pemerintah

tentang jenis dan tarif

atas jenis penerimaan

negara bukan pajak

yang berlaku pada

Badan Pertanahan

Nasional Republik

Indonesia

19 (sembilan belas) hari Formulir permohonan

memuat:

1. Identitas diri

2. Luas, letak dan

penggunaan tanah yang

dimohon

3. Pernyataan tanah tidak

sengketa

4. Pernyataan tanah

dikuasai secara fisik

Page 319: (overmacht) over the

b. Karena Hilang

DASAR HUKUM PERSYARATAN BIAYA WAKTU KETERANGAN

1. UU No. 5/1960

2. PPNo. 24/1997

3. PPNo. 13/2010

4. PMNA/KBPN No.

3/1997

5. SE KBPN-600-1900

tanggal 31 Juli 2003

1. Formulir permohonan yang sudah

diisi dan ditandatangani pemohon

atau kuasanya di atas materai cukup

2. Surat Kuasa apabila dikuasakan

3. Fotocopy identitas pemohon (KTP,

KK) dan kuasa apabila dikuasakan,

yang telah dicocokkan dengan

aslinya oleh petugas loket

4. Fotocopy Akta Pendirian dan

Pengesahan Badan Hukum yang

telah dicocokkan dengan aslinya

oleh petugas loket, bagi badan

hukum

5. Fotocopy sertipikat (jika ada)

6. Surat Pernyataan dibawah sumpah

oleh pemegang hak/yang

menghilangkan

7. Surat tanda lapor kehilangan dari

Kepolisian setempat

Sesuai ketentuan

Peraturan Pemerintah

tentang jenis dan tarif

atas jenis penerimaan

negara bukan pajak

yang berlaku pada

Badan Pertanahan

Nasional Republik

Indonesia

40 (empat puluh) hari Formulir permohonan

memuat:

1. Identitas diri

2. Luas, letak dan

penggunaan tanah yang

dimohon

3. Pernyataan tanah tidak

sengketa dan tanpa

perubahan fisik

4. Pernyataan tanah

dikuasai secara fisik

5. Pengumuman di surat

kabar

Page 320: (overmacht) over the

c. Karena Rusak

DASAR HUKUM PERSYARATAN BIAYA WAKTU KETERANGAN

1. UUNo. 5/1960

2. PPNo. 24/1997

3. PPNo. 13/2010

4. PMNA/KBPN No.

3/1997

5. SEKBPN-600-1900

tanggal 31 Juli 2003

1. Formulir permohonan yang sudah

diisi dan ditandatangani pemohon

atau kuasanya di atas materai cukup

2. Surat Kuasa apabila dikuasakan

3. Fotocopy identitas pemohon (KTP,

KK) dan kuasa apabila dikuasakan,

yang telah dicocokkan dengan

aslinya oleh petugas loket

4. Fotocopy Akta Pendirian dan

Pengesahan Badan Hukum yang

telah dicocokkan dengan aslinya

oleh petugas loket, bagi badan

hukum

5. Sertipikat asli

Sesuai etentuan

Peraturan Pemerintah

tentang jenis dan tarif

atas jenis penerimaan

negara bukan pajak

yang berlaku pada

Badan Pertanahan

Nasional Republik

Indonesia

19 (sembilan belas) hari Formulir permohonan

memuat

1. Identitas diri

2. Luas, letak dan

penggunaan tanah yang

dimohon

3. Pernyataan tanah tidak

sengketa

4. Pernyataan tanah

dikuasai secara fisik

Page 321: (overmacht) over the

Lampiran 12

PERATURAN KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL NOMOR 2

TAHUN 1989

PEDOMAN PENGISIAN AKTA PEMISAHAN

RUMAH SUSUN

Nomor Petunjuk:

Diisi hari, tanggal, bulan, dan tahun pembuatan akta pemisahan.

Diisi nama lengkap dari pembuat/penanda tangan akta pemisahan jabatannya dan alamat

tempat kerja (kantor) yang bersangkutan.

Diisi nama badan hokum/instansi penyelenggara pembangunan rumah susun.

Diisi status tanah yang dialasnya berdiri rumah susun sesuai dengan yang tercantum pada

sertipikat hak atas tanahnya.

Diisi dengan sistem pembangunan rumah susun apakah dilaksanakan secara MANDIRI

atau TERPADU sebagaimana dimaksud dalam pasal 1 angka 4 jo pasal 7 Peraturan

Pemerintah Nomor 4 tahun 1988 tentang Rumah Susun.

Diisi penggunaan/pemanfaatan rumah susun yang bersangkutan untuk hunian atau bukan

hunian.

Diisi sebanyak jumlah Blok rumah susun yang bersangkutan, dalam kesaruan sistem

pembangunan yang dilaksanakan pada tanah bersama (dapat saw dua tiga blok atau

lebih).

Diisi uraian tiap Blok rumah susun, misalnya:

Blok I terdiri dari 10 (sepuluh) lantai.

Lantai 1 terdiri dari 15 (lima belas) satuan rumah susun

Lantai 2 terdiri dari 10 (sepuluh) satuan rumah susun

Begitu seterusnya sesuai dengan jumlah Blok rumah susun yang ada.

Idem dengan nomor 8.

Diisi macam-macam bagian dan benda bersama dengan menunjuk pertelaan yang telah

disahkan yang dilampirkan pada akta pemisahan ini.

Diisi status tanah bersama, nomor hak dan nomor surat ukur serta batas-batas tanah

bersama dari Rumah Susun yang bersangkutan.

Diisi nilai perbandingan proporsional antara Satuan Rumah Susun terhadap hak atas

bagian, benda dan tanah bersama, misalnya 1/100 (saw per seraw), 1/200 (satu per

duaratus), 1/250 (saw per dua raws lima puluh) dan sebagainya. Tiap SaWan Rumah

Susun tidak mesti sama nilai perbandingan proporsionalnya.

Diisi tempat (kota) dimana akta pemisahan tersebut dibuat dan tanggal

penandatangannya.

Diisi jabatan penandatangan akta pemisah.

Diisi tanda tangan pembuat akta pemisahan dan nama terangnya.

Diisi tempat tanggal, bulan dan tahun serta Instansi yang mengesahkan akta pemisahan.

Catatan:

Pada kolom "Catatan lain-lain" dapat "diisi" antara lain:

Nomor dan tanggal pengesahan pertelaan oleh Pemerintah Daerah setempat.

Hal-hal lain yang dipandang perlu untuk dicantumkan.

Akta pemisahan ini harus dilampiri dengan pertelaan yang telah disahkan, yang dibuat

penyelenggara pembangunan dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari akta

ini.

Page 322: (overmacht) over the

Lampiran 13A

AKTA PEMISAHAN RUMAH SUSUN

Pada hari ini:..................................Tanggal................................................ 1)

.....................................Tahun..........................

Yang bertanda tangan di bawah ini: 2)

Untuk dan atas nama.................................................................................... 3)

Selaku Penyelenggara Pembangunan Rumah Susun di atas tanah 4)

Hak.........................................................................................................

Diuraikan dalam Surat Ukur / Gambar Situasi

Tanggal :..........................................................

Luas :..........................................................

Propinsi Daerah Tingkat I :...............................

Kotamadya Daerah Tingkat II :...............................

Kecamatan :...................................................

Desa/Kelurahan :...................................................

Jalan : ...................................................

Pembanguan Rumah Susun dilaksanakan secara.......................................

.................................................................................................................... 5)

Yang dipergunakan sebagai tempat............................................................

.................................................................................................................... 6)

Bangunan Rumah Susun terdiri dan..................................................................

(..................................) Blok Rumah Susun.

Berdasarkan pasal 7 Undang-undang Nomor 16 Tahun 1985 jo pasal 39 Peraturan

Pemerintah Nomor 4 Tahun 1988, dengan ini berkehendak untuk :

MEMISAHKAN RUMAH SUSUN TERSEBUT

ATAS

SATUAN-SATUAN RUMAH SUSUN

Dengan keterangan sebagai berikut:

Blok.......................................terdiri dari.........................................lantai 8)

Lantai................................terdiri dari...............................satuan rumah susun

Lantai................................terdiri dari...............................satuan rumah susun

Lantai................................terdiri dari...............................satuan rumah susun

dan seterusnya.

Blok.......................................terdiri dari.........................................lantai 9)

Lantai................................terdiri dari...............................satuan rumah susun

Lantai................................terdiri dari...............................satuan rumah susun

Lantai................................terdiri dari...............................satuan rumah susun

dan seterusnya.

PERTELAAN

1. Hak Bersama, terdiri dari:

Bagian Bersama, berupa:

.................................................. 10)

Page 323: (overmacht) over the

..................................................

..................................................

..................................................

Benda Bersama berupa:

.................................................. 11)

..................................................

..................................................

..................................................

Tanah Bersama: Hak................................................No............................. 12)

Surat Ukur No......................................dengan batas-batas sebagai berikut:

Selatan : ..................................................

Barat : ..................................................

Utara : ..................................................

Timur : ..................................................

2. Nilai Perbandingan Proporsional :

.................................................. 13)

..................................................

..................................................

..................................................

3. Catatan lain-lain : 14)

Demikian akta ini dibuat

..............tanggal........................ 15)

Penyelenggara Pembangunan Rumah Susun ............... 16)

..................................

(.................................) 17)

DISAHKAN DI : ...............................

PADA TANGGAL : ...............................

Page 324: (overmacht) over the

Lampiran 13 B

Lampiran : Peraturan KaBPN NOMOR HAK :

Nomor 4 Tahun 1989

GAMBAR DENAH

Nomor :

Dari satuan rumah susun, yang merupakan dari rumah susun yang dibangun di atas

sebidang tanah bersama : ...................................................................................

Hak :

Nomor :

Yang terletak di Desa / Kelurahan :

Kecamatan :

Seperti yang diuraikan dalam Surat Ukur tanggal............................ Nomor............. Satuan

Rumah Susun ini terletak pada lantai....................... blok........................... atau yang lebih

dikenal setempat dengan sebutan/nama :

....................................................................................................................................

Batas-batas dari satuan rumah susun ini telah ditetapkan dalam pertelaan yang telah

disahkan oleh ....................................................................................................

Pada tanggal................................. nomor...................................................................

berpedoman pada ketentuan pasal 41 Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 1988 tentang

: Rumah Susun

Luas/type :

Hal-hal lain :

....................,

Tanggal.....................

An. Kepala Kantor Pertanahan

Kabupaten/Kotamadya

Kepala Seksi Pendaftaran Tanah

( )

NIP.

DI 302 :

DI 307 :

Page 325: (overmacht) over the

Lampiran 14

AKTA JUAL BELI SATUAN RUMAH SUSUN

Page 326: (overmacht) over the

Lampiran 15

BUKU TANAH (SERTIFIKAT) HAK MILIK ATAS SATUAN RUMAH SUSUN