Ov zine 2 2015

4
Pada saat awal masuk mengajar aku mendapat cacian dan hinaan. Bahkan anak didikku meneriaki aku, “Pak Guru Banci”. Aku tetap Sabar, aku bimbing anak itu lebih baik lagi dan sekarang Alhamdulilah dia sudah kelas 4 SD dan sudah menghormati aku sebagai mantan Guru TK-nya dulu. Tapi ada yang mengganjal hatiku. Kapan aku bisa dipanggil Bu Guru? Kapan aku bisa pakai rok dan berhijab? Berpakaian sesuai dengan hatiku ? Kapan? Biarlah hanya aku yang mengalami ini, dikenal sebagai Guru TK dengan nama Pak Gun di siang hari dan di malam hari dikenal sebagai waria bernama Dheandra Gunarti. Mungkin walau hanya sampai 50 tahun aku perjuangkan hak-hak LGBT (lesbian, gay, biseksual dan transgender) tapi nanti pada saat usiaku ditutup, setidaknya aku bisa puas mengetahui seluruh waria yang bekerja sebagai seorang guru, perawat atau kantoran sudah bisa berekspresi sesuai dengan keinginan sendiri. Amin. *Penulis adalah alumni Pelatihan Jurnalistik Komunitas LGBT Sulawesi yang diadakan oleh Suara Kita. Sehari- hari penulis berprofesi sebagai guru TK di Gorontalo. Penulis juga menjabat sebagai Ketua Ikatan Waria Indonesia Gorontalo (IWIG). Panggil Aku Bu Guru Oleh: Dheandra Gunarti* Namaku Mohamad Dachary Lahmudin S.pd, dengan nama kecil yang singkat Gun. Aku terlahir sebagai seorang laki laki di Desa Huntu, Desa kecil di ujung Provinsi Gorontalo, pada 8 Agustus 1983 dari keluarga sederhana. Pada tahun 2005 aku masuk kuliah di Universitas Negeri Gorontalo (UNG). Aku ambil jurusan D2 Pendidikan Guru Taman Kanak-kanak (PGTK). Awal kuliah, Aku kembali menerima perlakuan buruk. Karena aku memakai pakaian wanita, berambut panjang dan alis dicukur rapi. Tapi aku tetap bertahan demi Mama. Demi membahagikan beliau. Alhamdulilah, aku wisuda tahun 2008. Karena pendidikan aku cuma D2, aku putuskan lanjut kuliah , tambah 2 tahun lagi , tapi jurusan beda dari awal kuliah lalu. Kali ini aku ambil jurusan S1 Bimbingan Konseling (BK). P a d a pertengahan kuliah , aku ikut pendaftaran Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS), tepatnya t a h u n 2009, dan alhamdulilah aku lulus! I NE Volume 2/2015 Z O OUR VOICE OU R VOI C E Dheandra Gunarti (Foto : Facebook Dheandra) Dheandra Gunarti Alias Pak Gun Mengajar Siswa-siswanya (Foto: Facebook Dheandra)

Transcript of Ov zine 2 2015

Pada saat awal masuk mengajar aku mendapat cacian dan hinaan. Bahkan anak didikku meneriaki aku, “Pak Guru Banci”. Aku tetap Sabar, aku bimbing anak itu lebih baik lagi dan sekarang Alhamdulilah dia sudah kelas 4 SD dan sudah menghormati aku sebagai mantan Guru TK-nya dulu.Tapi ada yang mengganjal hatiku. Kapan aku bisa dipanggil Bu Guru? Kapan aku bisa pakai rok dan berhijab? Berpakaian sesuai dengan hatiku ? Kapan?Biarlah hanya aku yang mengalami ini, dikenal sebagai Guru TK dengan nama Pak Gun di siang hari dan di malam hari dikenal sebagai waria bernama Dheandra Gunarti.Mungkin walau hanya sampai 50 tahun aku perjuangkan hak-hak LGBT (lesbian, gay, biseksual dan transgender) tapi nanti pada saat usiaku ditutup, setidaknya aku bisa puas mengetahui seluruh waria yang bekerja sebagai seorang guru, perawat atau kantoran sudah bisa berekspresi sesuai dengan keinginan sendiri. Amin.

*Penulis adalah alumni Pelatihan Jurnalistik Komunitas LGBT Sulawesi yang diadakan oleh Suara Kita. Sehari-hari penulis berprofesi sebagai guru TK di Gorontalo. Penulis juga menjabat sebagai Ketua Ikatan Waria Indonesia Gorontalo (IWIG).

Panggil Aku Bu Guru

Oleh: Dheandra Gunarti*

Namaku Mohamad Dachary Lahmudin S.pd, dengan nama kecil yang singkat Gun. Aku terlahir sebagai seorang laki laki di Desa Huntu, Desa kecil di ujung Provinsi Gorontalo, pada 8 Agustus 1983 dari keluarga sederhana.Pada tahun 2005 aku masuk kuliah di Universitas Negeri Gorontalo (UNG). Aku ambil jurusan D2 Pendidikan Guru Taman Kanak-kanak (PGTK).

Awal kuliah, Aku kembali menerima perlakuan buruk. Karena aku memakai pakaian wanita, berambut panjang dan alis dicukur rapi. Tapi aku tetap bertahan demi Mama. Demi membahagikan

beliau.Alhamdulilah, aku wisuda tahun 2008. Karena pendidikan aku cuma D2, aku putuskan lanjut kuliah , tambah 2 tahun lagi , tapi jurusan beda dari awal kuliah lalu. Kali ini aku ambil jurusan S1 Bimbingan Konseling (BK).P a d a p e r t e n g a h a n kuliah , aku ikut p e n d a f t a r a n Calon Pegawai Negeri Sipil ( C P N S ) , t e p a t n y a t a h u n 2009, dan alhamdulilah aku lulus!

INEVolume 2/2015ZO

OUR VOICEOUR VOICE

Dheandra Gunarti (Foto : Facebook Dheandra)

Dheandra Gunarti Alias Pak Gun Mengajar Siswa-siswanya (Foto: Facebook Dheandra)

Suarakita.org- Sabtu, 25 April 2015 Suara Kita mengadakan diskusi buku novel berjudul Re. Buku novel bercerita mengenai seorang lesbian pekerja seks karangan Maman Suherman. Novel itu sebenarnya adalah hasil sebuah skripsi penulis ketika sedang kuliah di Universitas Indonesia jurusan Kriminologi pada tahun 1989. Ketika turun di lapangan, ia banyak melihat

Di sinilah titik awal penulis (Maman Suherman) berkenalan dengan Re di sebuah hotel di daerah Matraman. Sehingga novel ini adalah sebuah cerita nyata penulis dalam rangka menyelesaikan studinya. Re bukanlah hanya sekedar nama dalam novel tersebut, namun sebenarnya penulis hendak memberikan pesan moral kepada pembacanya

Maman Suherman:

Wartawan Mesti Mencerahkan

F i l mbagaimana manusia dibedakan hanya karena orientasi seksualnya berbeda.Re sebagai tokoh sentral dalam buku tersebut adalah seorang wanita yang hamil di luar nikah. Keadaanya semakin tertekan dengan statusnya sebagai anak ‘haram’. Sejak kecil ia tidak pernah tahu siapa ayah kandungnya karena ia lahir dari seorang ibu yang juga mengandung dan melahirkannya di luar pernikahan. Identitas Re sebagai anak ‘haram’ dan lahir dari seorang ibu yang dicap sebagai pelacur membuat Re melakukan pemberontakan. Re kemudian memilih melahirkan anak tersebut karena baginya yangg bersalah adalah dirinya bukan anak dalam kandungannya. Sehingga ia merasa mempunyai tanggung jawab moral kepada anak tersebut.Lagi- lagi kemalangan menimpa Re. Orang yang membantunya hingga akhirnya melahirkan anak tersebut adalah seorang mafia (germo) pelacuran untuk lesbian. Mau tidak mau Re tidak kuasa menolak suratan takdir, ibarat peribahasa mengatakan sudah jatuh tertimpa tangga pula.

bahwasanya sudah saatnya kita melakukan Re–interpretasi, Re–thingking terhadap nilai, makna, dan moral yang telah tumbuh dan berkembang sejak lama di dalam masyarakat tanpa bermaksud membenturkan agama dengan ilmu pengetahuan. Jane sebagai moderator kemudian memper-tanyakan mengenai bagaimana wartawan atau jurnalisme dalam membuat berita yang sangat membuat stigma negatif terhadap homoseksual.Bagi Maman Suherman hal tersebut menjadi pekerjaan rumah bagi teman- teman Suara Kita untuk membangun jurnalistik berprespektif gender dan orientasi seksual. Karena tidak semua orang memahami hal tersebut . “Opinion is free but data is sacral”, kata Maman. Itulah yang seharusnya dipahami oleh semua jurnalis, jangan mencampur aduk antara opini yang berkembang di masyarakat dan fakta yang sebenarnya. “Masih banyak wartawan yang belum bisa membedakan antara orientasi berbeda dan penyimpangan. Sehingga tugas wartawan yang semestinya mencerahkan tidak terpenuhi”, ungkap Maman. (Eddy)

Judul Film : ROME IN ROMESutradara : Julio MedemPemeran : Elena Anaya, Natasha YarovenkoDurasi : 109 minSubtitle: IndonesiaGenre: Drama/Lesbian Movie

Sinopsis: Dasha (Natasha Yarovenko) , seorang perempuan muda Rusia berlibur di Roma bertemu dengan Alba (Elena Anaya), seorang perempuan muda Spanyol. Dasha dan Alba kebetulan bertemu disebuah bar di Roma. Mereka menghabiskan malam bersama sambil bercerita tentang kisah mereka. Dasha mengaku bahwa dia adalah pemain tenis profesional dan akan menikah minggu berikutnya di Rusia. Alba juga awalnya menceritakan cerita bohong tentang dirinya sendiri, tetapi kemudian mengaku bahwa dia adalah seorang insinyur mekanik.Dasha dan Alba sarapan bersama pada waktu fajar. Mereka membahas meninggalkan pasangan mereka dan hidup bersama di Roma, tetapi keduanya tampaknya menyadari bahwa hal ini tidak mungkin . Mereka meninggalkan kamar hotel bersama-sama dan mengucapkan selamat tinggal di depan hotel .

F i l m

Oleh : Yatna Pelangi*

Aku dan kau pernah berjalan untuk satu tujuan Tak perduli hantaman gelombang dan hujatan orang Karena kita berdua saling cintaKau pernah tinggalkan aku, Aku terguncang Kehilangan arah Seperti layang-layang putus dari benangTapi itu tak lama Kau kembali datang Gelapku sirna seketika Ruang batin terang siang dan malamSejuta mimpi terukir kembali Hingga pada suatu ketika Kubuka sebuah “surat cinta” Berisi huruf bertabur MATAHARI Sukmaku bergetar Aku menyerah pasrahSatu hari berlalu Dikamar tanpa jendela

Kau membisikan kata Pelan … dan penuh kelembutan‘Sayang ada MATAHARI didalam darahku”Setelah berbisik kau hilang tanpa beritaDua tahun berlalu Sebuah kabar datang bersama halilintar Aku bersandar gemetar Kamar dan hatiku basah Mendengarmu bersandar dipelukan bumi“Kasihku damailah dalam tidur panjangmu, bantu kuatkan hatiku menjalani hidup yang sementara ini”.Teruntuk, sahabat, kekasih dan belahan jiwaku.

Kalibata 09/10/2013.*Yatna Pelangi, Staf Publikasi dan Kampanye Suara Kita

Matahari didalam Tubuhku

Narasi fotoSuarakita.org– Ketika syair terakhir lagu Nyiur Melambai diselesaikan oleh 15 waria yang tergabung dalam pondok pesantren (Ponpes) waria Al Fatah Yogyakarta, Sontak riuh tepuk tangan memenuhi Pendapa Kabupaten Jepara.Siang itu, Nyiur Melambai menjadi lagu terakhir dari tiga lagu yang dibawakan dengan kompak oleh kelompok waria yang berkebaya serba hijau. Latihan keras beberapa minggu yang dilakukan berbuah juga, mereka mampu menuai decak kagum para peserta yang hadir. Bait demi bait dari tiga lagu yang mereka siapkan mampu mereka tampilkan dengan baik. Apresiasi yang positif datang dari masyarakat, mahasiswa dan perangkat kabupaten yang datang dalam rangka menghadiri Seminar Nasional Figh Indonesia, 31 Maret 2015.Perjalanan jauh para waria Ponpes Waria Al Fatah Yogyakarta, menembus malam selama 5 jam dari kota Gudeg, serta melawan lelah dan kantuk terbayar sudah. Meski di awal penampilan mereka sedikit grogi, tetapi semangat juang tetap mereka tunjukkan. Kini masyarakat mengerti bahwa banyak potensi yang waria miliki, sama dengan kebanyakan orang. Keberadaan waria memberi warna dalam kehidupan beragama dan bernegara. Sekaligus mengajak umat beragama untuk berpikir terbuka serta bijaksana menghadapi keberagaman.Foto dan teks : NICO**NICO, Freelance photographer dan travel writer yang pernah mendapat award dari Unesco Bangkok tentang Promoting Gender Equality in Education tahun 2008 dan 2010. Berkontribusi dalam buku Traditional Visual Motifs & Patterns: Auspicious Symbols of Asia, APCEIU Unesco Korea. Kini banyak belajar dengan komunitas Pesantren Waria di Yogyakarta.

[email protected] Suara Kita @suarakita_ov

SuaraKita juga menerima tulisan berupa artikel, cerpen, puisi dan segala bentuk tulisan lainnya. Tulisan bisa dikirim ke E-mail redaksi SuaraKita:[email protected].