OUTLOOK KOMODITAS PANGAN STRATEGIS TAHUN...

138
LAPORAN ANALISIS KEBIJAKAN TAHUN 2016 OUTLOOK KOMODITAS PANGAN STRATEGIS TAHUN 2015-2019 Oleh: Hermanto Delima Hasri Azahari Muchjidin Rachmat Nyak Ilham I Ketut Kariyasa Supriyati Adi Setiyanto Rangga Ditya Yofa Edy Supriyadi Yusuf PUSAT SOSIAL EKONOMI DAN KEBIJAKAN PERTANIAN BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN 2016

Transcript of OUTLOOK KOMODITAS PANGAN STRATEGIS TAHUN...

Page 1: OUTLOOK KOMODITAS PANGAN STRATEGIS TAHUN 2015-2019pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2016_07.pdf · Outlook komoditas tebu ini, menyajikan keragaan komoditas tebu di Indonesia

LAPORAN ANALISIS KEBIJAKAN TAHUN 2016

OUTLOOK KOMODITAS PANGAN STRATEGIS

TAHUN 2015-2019

Oleh: Hermanto

Delima Hasri Azahari

Muchjidin Rachmat Nyak Ilham

I Ketut Kariyasa Supriyati

Adi Setiyanto

Rangga Ditya Yofa Edy Supriyadi Yusuf

PUSAT SOSIAL EKONOMI DAN KEBIJAKAN PERTANIAN BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN

2016

Page 2: OUTLOOK KOMODITAS PANGAN STRATEGIS TAHUN 2015-2019pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2016_07.pdf · Outlook komoditas tebu ini, menyajikan keragaan komoditas tebu di Indonesia

1

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Ketahanan pangan tercapai manakala seluruh rakyat, pada setiap waktu,

mempunyai akses fisik dan ekonomi terhadap pangan yang cukup, aman dan bergizi

yang sesuai dengan kebutuhan gizinya dan sesuai dengan preferensinya untuk hidup

yang aktif dan sehat (FAO, 2008). Bahan pangan pada umumnya merupakan hasil

dari proses biologis, baik yang melaui produksi pertanian budidaya, maupun melaui

proses biologis yang terjadi di alam.

Pertanian merupakan sektor penting bagi perekonomian dunia, khususnya

bagi perekonomian negara-negara berkembang, paling tidak karena tiga alasan.

Pertama, walaupun ada kecenderungan yang menurun, pertanian primer masih

memberikan sumbangan yang relatif besar terhadap Produk Domestik Bruto (PDB),

ekspor dan penyediaan lapangan kerja bagi negara-negara berkembang, apalagi jika

diperhitungkan dengan pendapatan dan lapangan kerja yang dihasilkan oleh agro-

industri, transportasi dan kegiatan komersial lain yang terkait, maka peran pertanian

dalam perekonomian negara-negara berkembang akan meningkat dengan tajam.

Kedua adalah bahwa sektor pertanian merupakan sumber pertumbuhan pendapatan

dan lapangan kerja, serta pertumbuhan sektor pertanian berdampak positif terhadap

pengurangan kemiskinan di negara-negara berkembang. Ketiga adalah bahwa sektor

pertanian tidak hanya berperan terhadap masing-masing negara berkembang, tetapi

juga mempunyai peran penting dalam produksi pertanian dan pangan dunia, serta

berperan terhadap peningkatan perdagangan pertanian dan pangan global (Diaz-

Bonilla. 2015).

Selama dua dasa warsa terakhir ini paling tidak telah terjadi tiga kali gejolak

harga pangan di dunia. Data harga serealia yang dihimpun oleh FAO (2015)

menunjukkan bahwa dalam kurun waktu dua puluh tahun terakhir telah terjadi tiga

kali gejolak harga serealia dunia, yaitu pada tahun 1998, tahun 2008 dan tahun

2012. Gejolak harga pangan dunia tidak hanya disebabkan oleh perubahan iklim

ekstrim yang menyebabkan turunnya produksi, tetapi juga terkait dengan kebijakan

pemerintah negara produsen yang membatasi ekspor pangan. Lonjakan harga

Page 3: OUTLOOK KOMODITAS PANGAN STRATEGIS TAHUN 2015-2019pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2016_07.pdf · Outlook komoditas tebu ini, menyajikan keragaan komoditas tebu di Indonesia

2

pangan dunia juga disebabkan oleh melonjaknya permintaan bahan bakar nabati

(BBN) akibat krisis bahan bakar minyak (BBM) (Morrison, 2011).

Dalam era globalisasi perdagangan dan sebagai dampak dari perubahan iklim

global yang ekstrim, produksi pertanian dan pangan nasional secara langsung

ataupun tidak langsung dipengaruhi oleh dinamika produksi pertanian dan pangan

dunia. Para pakar ekonomi berpendapat bahwa penyebab krisis pangan dunia tidak

hanya diakibatkan oleh perubahan iklim global yang mempengaruhi produksi pangan

dunia, tetapi juga karena faktor penyebab yang antara lain terkait dengan: (1)

perubahan jumlah dan permintaan pangan karena meningkatnya jumlah dan

pendapatan perkapita penduduk, (2) perubahan harga BBM yang mendorong

peningkatan permintaan BBN, (3) terjadinya krisis moneter yang mendorong

terjadinya spekulasi pada pasar komoditas pangan dunia, serta (4) perubahan

kebijakan pada masing-masing negara eksportir yang melakukan berbagai ristriksi

ekspor yang secara kumulatif berujung pada menurunnya pasokan pangan

komoditas pangan secara drastis di pasar komoditas pangan dunia.

Pemerintah Indonesia telah menetapkan arah kebijakan pangan nasional,

yaitu ketahanan pangan yang mandiri dan berdaulat. Berbagai program telah

digulirkan untuk mencapai swasembada pangan. Pemerintah juga telah menetapkan

7 (tujuh) komoditas pangan sebagai pangan pokok dan strategis yang mendapat

prioritas utama dalam pencapaian swasembada pangan. Ketujuh komoditas pangan

tersebut adalah padi/beras, jagung, kedelai, gula, daging sapi, bawang merah dan

cabai merah. Di samping itu, minyak sawit juga merupakan komoditas strategis

mengingat besarnya sumbangan terhadap ekspor komoditas perkebunan.

Indonesia potensial menjadi produsen gula dunia karena dukungan

agroekosistem, luas lahan, tenaga kerja. Disamping itu prospek pasar gula di

Indonesia cukup menjanjikan dengan konsumsi sebesar 4,2 – 4,7 juta ton/thn. Gula

merupakan salah satu kebutuhan pokok bagi masyarakat dan industri yang saat ini

masih terus menjadi masalah karena kekurangan produksi dalam negeri, sementara

kebutuhan terus meningkat (Direktorat Jenderal Industri Agro dan Kimia, 2009).

Daging sapi merupakan salah satu komoditas pangan yang selama ini

memberikan andil terhadap pemenuhan gizi masyarakat, khususnya protein hewani

yang sangat dibutuhkan dalam menopang pembangunan sumber daya manusia

Page 4: OUTLOOK KOMODITAS PANGAN STRATEGIS TAHUN 2015-2019pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2016_07.pdf · Outlook komoditas tebu ini, menyajikan keragaan komoditas tebu di Indonesia

3

Indonesia. Seiring meningkatnya perkembangan jumlah penduduk dan perbaikan

taraf hidup penduduk di Indonesia, maka permintaan produk-produk untuk

pemenuhan gizi pun semakin meningkat, begitu pula dengan permintaan akan

bahan pangan seperti permintaan protein hewani (Pusat Data dan Sistem Informasi

Pertanian, 2015). Sedangkan Bawang merah dan cabai merah bukan merupakan

bahan pangan pokok, melainkan komoditas pangan yang dijaga stabilitas harganya,

terutama di tingkat konsumen karena gejolak harga ke dua komoditas pangan ini

dapat berdampak terhadap tingkat inflasi.

Pemerintah berupaya keras untuk menjaga stabilitas pasokan dan harga

komoditas pokok, disamping karena menjalankan amanat Undang-Undang Nomor 18

Tahun 2012 Tentang Pangan, tetapi juga untuk menjaga akses fisik dan ekonomi

masyarakat terhadap bahan pangan pokok sebagai sumber karbohidrat dan protein

bagi sebagian besar rakyat Indonesia. Tingkat konsumsi karbohidrat dan protein

perkapita menentukan tingkat kerawanan seorang individu.

Dalam rangka mendukung pengembangan 7 (tujuh) komoditas strategis,

yaitu jagung, kedelai, gula, daging sapi, bawang merah, dan cabai merah, serta

minyak sawit sebagai komoditas ekspor hasil perkebunan penghasil devisa negara,

maka diperlukan analisis untuk mengetahui situasi perkembangan produksi,

konsumsi, stok dan perdagangan luar negeri pada saat ini, serta prospek

pengembangan komoditas tersebut selama lima tahun ke depan. Pada tahun 2015

telah dilakukan kajian outlook untuk komoditas padi, jagung, kedelai dan minyak

sawit. Pada tahun 2016 akan dilakukan kajian untuk mendapatkan outlook untuk

komoditas gula, daging sapi, bawang merah dan cabai merah untuk periode tahun

2015 - 2019.

Kajian ini merupakan salah satu komponen penting karena menghasilkan

analisis mengenai status, tren atau kecenderungan-kecenderungan yang terjadi, dan

prospek sektor pertanian dengan memperhatikan perubahan ekonomi, sosial

budaya, kelembagaan dan teknologi baik yang berasal dari internal sektor pertanian

maupun dari eksternal di luar sektor pertanian, baik yang berasal dari dalam negeri

maupun luar negeri yang turut mempengaruhi perkembangan sektor pertanian

(Setiyanto et al. 2014).

Page 5: OUTLOOK KOMODITAS PANGAN STRATEGIS TAHUN 2015-2019pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2016_07.pdf · Outlook komoditas tebu ini, menyajikan keragaan komoditas tebu di Indonesia

4

1.2. Tujuan

Kajian ini bertujuan untuk:

1. Melakukan analisis tentang dinamika produksi, konsumsi, stok, perdagangan

internasional dan perkembangan harga di dalam negeri dan di pasar

internasional untuk gula, daging sapi, bawang merah dan cabai merah.

2. Mempelajari kebijakan-kebijakan yang terkait dengan pengembangan empat

komoditas gula, daging sapi, bawang merah dan cabai merah.

3. Melakukan prediksi perkembangan produksi, konsumsi, neraca produksi dan

konsumsi dalam negeri, neraca ekspor dan impor, serta perkembangan harga

dalam negeri untuk empat komoditas gula, daging sapi, bawang merah dan

cabai merah selama periode 20015 – 2016.

Page 6: OUTLOOK KOMODITAS PANGAN STRATEGIS TAHUN 2015-2019pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2016_07.pdf · Outlook komoditas tebu ini, menyajikan keragaan komoditas tebu di Indonesia

5

II. METODOLOGI PENGKAJIAN

2.1. Lingkup dan Keluaran Hasil Pengkajian

Kajian dilakukan pada lingkup nasional dan global. Analisis yang akan

dilakukan lebih mengarah kepada analisis yang bersifat makro tentang

perkembangan produksi, konsumsi, neraca produksi dan konsumsi, serta neraca

ekspor dan impor untuk masing-masing komoditas. Komoditas yang dianalisis adalah

komoditas bahan pangan strategis yang meliputi gula, daging sapi, bawang merah

dan cabai merah.

Keluaran yang diharapkan dari hasil kajian ini adalah sebuah gambaran umum

yang terkait dengan dinamika produksi, konsumsi, stok dan harga baik di dalam

negeri maupun dipasar internasional, serta prediksi perkembangan produksi,

konsumsi, neraca produksi dan konsumsi dalam negeri, neraca ekspor dan impor,

serta perkembangan harga dalam negeri komoditas gula, daging sapi, bawang

merah dan cabai merah untuk periode tahun 20015 – 2016. Diharapkan dari hasil

kajian ini dapat dihasilkan kebijakan untuk pengembangan keempat komoditas

pangan strategis tersebut secara berkelanjutan.

2.2. Model Analisis dan Sumber Data

Berdasarkan ketersediaan data menurut deret waktu, maka kajian ini akan

memanfaatkan model multi market yang telah dibangun PSEKP untuk

memperkirakan kondisi produksi gula, daging sapi, bawang merah dan cabai merah

untuk jangka lima tahun, yaitu untuk periode 2015–2019. Dalam model yang

digunakan juga telah mengakomodasi dampak dari kebijakan makro ekonomi

nasional dan kebijakan mikro sektoral. Model juga telah mempertimbangkan dampak

dari dinamika perubahan perekonomian global. Disamping itu, dalam memprediksi

keragaan komoditas tersebut juga akan dilakukan simulasi yang menggambarkan

perubahan iklim sebagai dampak dari gejala El Nino dan La Nina (Setiyanto et al.

2014).

Kajian ini sebanyak mungkin memanfaatkan data sekunder yang bersumber

dari Badan Pusat Statistik, Lembaga terkait di dalam negeri dan Lembaga

Internasional. Informasi dan pengetahuan yang terkait dengan obyek pengkajian

Page 7: OUTLOOK KOMODITAS PANGAN STRATEGIS TAHUN 2015-2019pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2016_07.pdf · Outlook komoditas tebu ini, menyajikan keragaan komoditas tebu di Indonesia

6

juga diperoleh dari nara sumber yang berkompeten di bidangnya. Data sekunder

dan informasi tambahan yang diperlukan dikumpulkan di DKI Jakarta Raya dan

Provinsi Jawa Barat. Untuk memdalami permasalahan-permasalahan yang bersifat

nasional, dilakukan melalui pengumpulan data primer di daerah sentra produksi

gula, daging sapi, bawang merah dan cabai merah di Jawa Barat.

Page 8: OUTLOOK KOMODITAS PANGAN STRATEGIS TAHUN 2015-2019pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2016_07.pdf · Outlook komoditas tebu ini, menyajikan keragaan komoditas tebu di Indonesia

7

III. OUTLOOK KOMODITAS GULA

Industri gula di Indonesia telah ada sejak jaman penjajahan Belanda. Pada

saat itu Indonesia pernah mengalami era kejayaan industri gula, dengan jumlah

pabrik gula (PG) yang beroperasi 179 pabrik. Pada tahun 1930-1940 produktivitas

tebu mencapai 140 ton per Ha, dan produktivitas hablur mencapai 18 ton per ha

dengan rendemen 12 persen. Produksi puncak mencapai sekitar 3 juta ton dan

ekspor gula 2,40 juta ton. Namun kondisi ini tidak berlanjut di masa setelah

kemerdekaan.

Pada periode 1989-1999, Indonesia mengalami peningkatan volume impor

gula dengan laju peningkatan mencapai 21,62 persen/tahun, padahal laju impor

pada dekade sebelumnya (1979−1989) hanya 0,98 persen/tahun. Hal ini terjadi

karena pada periode 1989−1999, industri gula Indonesia menghadapi berbagai

masalah yang serius diantaranya adalah peningkatan konsumsi dengan laju 2,56

persen/tahun, sementara produksi gula dalam negeri menurun dengan laju -2,02

persen/tahun. Pada tahun 1997-2002, produksi gula bahkan mengalami penurunan

dengan laju 6,14 persen/tahun. Pada tahun 2014, produktivitas tebu hanya 78 ton

per hektar, produktivitas hablur 6 ton per hektar dan rendemen hanya 6-7 persen.

Penurunan produksi gula Indonesia disebabkan penurunan produktivitas tebu

antara lain karena : (i) rusaknya relasi fungsional antara komponen sistem gula

nasional; (ii) terbitnya UU Sistem Budidaya Tanaman (UU NO 12/1996) yang

membebaskan petani dalam menggunakan lahannya serta (iii) dominannya

tanamaan keprasan, varietas lama.

Di samping itu, terjadi perubahan pada struktur industri gula sebagai akibat:

(i) Jumlah pabrik gula menurun dari 179 (1930) menjadi 58 (2004); (ii) Penurunan

areal tanam tebu di wilayah PG yang mengakibatkan inefisiensi PG; (iii) Produktivitas

gula yang dihasilkan PG di luar Jawa lebih tinggi dan terus meningkat dibandingkan

dengan PG di Jawa (sistem usaha terintegrasi); dan (iv) PG belum memanfaatkan

potensi produk turunan dari tebu.

Pada saat yang sama Indonesia juga menerapkan pengembangan gula

rafinasi, selama periode 2001-2004 tumbuh pesat. Penggunaan gula rafinasi antara

800 ribu - 900 ribu ton/tahun untuk industri makanan dan minuman serta farmasi.

Page 9: OUTLOOK KOMODITAS PANGAN STRATEGIS TAHUN 2015-2019pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2016_07.pdf · Outlook komoditas tebu ini, menyajikan keragaan komoditas tebu di Indonesia

8

Tahun 2004 perusahaan yang memproduksi gula rafinasi 5 buah dengan kapasitas

izin 5.662 ton/hari, kapasitas terpasang 4.200 ton/hari, produksi 435.000 ton,

sehingga kekurangann gula rafinasi sekitar 400.000 ton diimpor.

Permintaan gula secara nasional diperkirakan meningkat karena pertumbuhan

penduduk, peningkatan pendapatan, dan pertumbuhan industri makanan dan

minuman (mamin), bahkan Indonesia Berpotensi menjadi konsumen gula terbesar di

dunia. Struktur pasar gula dunia oligopolistik: resiko ketidakstabilan harga tidak

menguntungkan negara pengimpor seperti Indonesia. Indonesia mempunyai

keunggulan komparatif sebagai produsen gula tebu ditinjau dari ketersediaan SDA

dan iklim. Seharusnya Indonesia mampu memenuhi kebutuhan gulanya dari

produksi domestik.

Untuk mewujudkan kembali industri gula yang efisien memerlukan rancangan

kebijakan yang menyeluruh, mempunyai keterkaitan dan keselarasan yang jelas

antara satu kebijakan dengan yang lain, dan terintegrasi sehingga cukup efektif

untuk mencapai tujuan yang sama. Dalam perumusan kebijakan, data pendukung

dibutuhkan sebagai bahan untuk mendefinisikan permasalahan yang akan dijawab

melalui kebijakan serta sebagai bagian dari agen kontrol bagi kebijakan itu sendiri.

Outlook komoditas tebu ini, menyajikan keragaan komoditas tebu di Indonesia dan

dunia, serta hasil analisis proyeksi penawaran dan permintaan tebu/gula di

Indonesia pada periode 2015-2019, yang diharapkan dapat berguna sebagai data

mentah maupun bagian dari pengawasan terhadap kebijakan yang telah ada (Pusat

Data dan Sistem Informasi Pertanian, 2014).

3.1. Perkembangan Tebu dan Gula Indonesia

3.1.1. Perkembangan Luas Panen Tebu di Indonesia

Penurunan produksi, produktivitas dan rendemen tebu pada akhir-akhir ini,

sangat mengkhawatirkan, terutama jika diperhatikan Indonesia semakin tergantung

pada gula kristal putih impor dan impor raw sugar untuk keperluan industri gula

rafinasi. Meskipun demikian, laju pertumbuhan luas panen tebu di Indonesia dalam

periode tahun 1980-2013 tidak terlalu tinggi. Dari Tabel 3.1 dapat dilihat bahwa

secara rata-rata, pertumbuhan luas panen tebu Indonesia sejak 1980 hingga 2013

hanya mencapai 1,11 persen per tahun atau 4.547 ha per tahunnya. Terlihat

Page 10: OUTLOOK KOMODITAS PANGAN STRATEGIS TAHUN 2015-2019pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2016_07.pdf · Outlook komoditas tebu ini, menyajikan keragaan komoditas tebu di Indonesia

9

perbedaan signifikan pada periode 1980-1997 dimana luas areal meningkat hanya

dengan 0,87 persen sementara pada periode 1998 2013 luas areal meningkat

dengan 1,35 persen.

Tabel 3.1 Rata–Rata Pertumbuhan Luas Panen dan Produksi, Tahun 1980-2013

Tahun Luas Panen (Ha) Produksi (Ton)

PR PBN PBS INDONESIA PR PBN PBS INDONESIA

Rata-rata Pertumbuhan (%)

1980-2013*) 1,92 1,65 5,26 1,11 3,46 1,11 10,27 2,97

1980-1997 1,64 3,11 8,29 0,87 3,80 2,38 17,71 3,86

1998-2013*) 2,20 0,19 2,23 1,35 3,12 -0,16 2,82 1,91

Rata-rata Kontribusi (%)

1980-2013*) 63,50 20,73 15,77 100,00 63,90 16,88 19,22 100,00

1980-1997 70,55 21,04 8,42 100,00 73,62 17,33 9,05 100,00

1998-2013*) 55,57 20,39 24,04 100,00 52,96 16,39 30,66 100,00

Sumber: Direktorat Jenderal Perkebunan, 2015 (diolah)

Berdasarkan Tabel 3.1 diketahui bahwa rata-rata sebanyak 63,5 persen luas

panen perkebunan tebu di Indonesia diusahakan oleh sektor perkebunan rakyat

(PR). Dengan kontribusi luas panen ini, perkebunan tebu rakyat mampu

menyumbang 63,9 persen produksi tebu dalam bentuk gula hablur Indonesia setiap

tahunnya. Luas panen tebu di Indonesia sendiri pada periode tahun 1980-2013

cenderung mengalami peningkatan. Jika pada tahun 1980 luas panen tebu Indonesia

hanya mencapai 316.063 ha (Lampiran 1), maka pada tahun 2013, luas panen tebu

Indonesia meningkat menjadi 466.119 ha atau meningkat sebesar 47,48 persen.

Jika melihat rata-rata pertumbuhan luas panen tebu Indonesia pada periode

1980–2013, terlihat perkebunan tebu swasta mengalami pertumbuhan luas panen

terbesar diantara pengusahaan tebu lainnya. Pada periode tersebut, luas panen

perkebunan besar swasta (PBS) mampu bertumbuh 5,26 persen setiap tahunnya

yang diikuti dengan pertumbuhan produksi tebu mencapai 10,27 persen setiap

tahunnya. Meskipun dalam periode 1980–2013 perkebunan tebu swasta mengalami

pertumbuhan, pada periode setelah krisis ekonomi di tahun 1998, perkebunan tebu

swasta mengalami perlambatan pertumbuhan. Hal ini terlihat pada pertumbuhan

Page 11: OUTLOOK KOMODITAS PANGAN STRATEGIS TAHUN 2015-2019pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2016_07.pdf · Outlook komoditas tebu ini, menyajikan keragaan komoditas tebu di Indonesia

10

luas panen tebu yang hanya bertumbuh 2,23 persen setiap tahunnya dan sejalan

dengan pertumbuhan produksi tebu yang hanya mencapai 2,82 persen setiap

tahunnya.

Sumber: Direktorat Jenderal Perkebunan, 2015 (diolah)

Gambar 3.1. Perkembangan Luas Panen Nasional Tebu Indonesia Tahun 2008-2013 (Ha)

Gambar 3.1 menunjukkan bahwa perkembangan areal tebu rakyat pada

periode 2008-2013 meningkat sementara areal tebu nasional dan swasta relatif

stagnan. Perkembangan peningkatan luas areal tebu rakyat menunjukkan bahwa

karena keterbatasan lahan, sebagian besar PTPN Gula mengalami kesulitan dalam

meenyediakan lahan tebu milik sendiri sebagai bahan baku Pabrik Gula. Secara

Nasional Luas Areal Tebu tidak mengalami perubahan yang signifikan sejak tahun

2010. Hal ini menunjukkan keterbatasan lahan dan Pengusahaan tebu di Indonesia

sebagian besar diusahakan oleh rakyat. Pada periode yang sama (2008-2013) rata-

rata kontribusi Luas Areal Perkebunan Rakyat mencapai 59,18 persen. Sedangkan

kontribusi luas areal Perkebunan Besar Nasional dan Perkebunan Besar Swasta

masing-masing memberikan kontribusi sebesar 17,07 persen dan 23,75 persen

(Gambar 3.2.).

0

50.000

100.000

150.000

200.000

250.000

300.000

2008 2009 2010 2011 2012 2013

PR

PBN

PBS

Page 12: OUTLOOK KOMODITAS PANGAN STRATEGIS TAHUN 2015-2019pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2016_07.pdf · Outlook komoditas tebu ini, menyajikan keragaan komoditas tebu di Indonesia

11

Sumber: Direktorat Jenderal Perkebunan, 2015 (diolah)

Gambar 3.2. Rata-Rata Kontribusi Luas Panen Tebu Indonesia Tahun 2008-2013

Berdasarkan data rata-rata selama 5 tahun terakhir (2008-2013), 65,21%

luas panen perkebunan tebu rakyat berada di Provinsi Jawa Timur (Gambar 3.3).

Pada periode tersebut, luas panen tebu perkebunan rakyat (PR) di Provinsi Jawa

Timur rata-rata mencapai 173.360 ha. Luasan ini jauh berbeda dengan provinsi

lainnya dalam daftar sentra panen tebu rakyat di Indonesia. Pada periode yang

sama, Provinsi Jawa Tengah misalnya yang berkontribusi 21,99% dari luas panen

tebu rakyat di Indonesia rata-rata hanya mampu memanen 58.469 ha tebu setiap

tahunnya. Secara detil data provinsi sentra luas panen tebu rakyat tahun 2009-2013

dapat dilihat pada Lampiran 2. Jika melihat pada provinsi sentra produksi tebu di

Indonesia pada periode 2009-2013, maka dapat disimpulkan bahwa tidak ada

perbedaan antara sentra panen tebu dengan sentra produksi tebu. Provinsi Jawa

Timur dengan luas panen tebu rakyat terbesar selama periode tersebut juga

merupakan produsen tebu rakyat terbesar di Indonesia.

Sumber: Direktorat Jenderal Perkebunan, 2015 (diolah)

Gambar 3.3. Kontribusi Luas Areal propinsi sentra produksi gula, 2008-2013 (%)

PR; 59,18%PBN; 17,07%

PBS; 23,75%

Sumatera Selatan ; 21.240

Lampung ; 116.603

Jawa Barat ; 22.054

Jawa Tengah ; 65.036

Jawa Timur ; 203.935

Lainnya; 32.034

Page 13: OUTLOOK KOMODITAS PANGAN STRATEGIS TAHUN 2015-2019pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2016_07.pdf · Outlook komoditas tebu ini, menyajikan keragaan komoditas tebu di Indonesia

12

3.1.2. Perkembangan Produksi dan Produktivitas Gula di Indonesia

Produksi gula Indonesia (dalam bentuk hablur) terendah dalam periode 1980–

2013 terjadi pada tahun 1981 dimana produksi tebu Indonesia hanya mencapai

1.230.120 ton. Jumlah ini kemudian meningkat menjadi 2.550.992 ton pada tahun

2013 atau meningkat sebesar 107,38% dibandingkan dengan tahun 1981. Rata-rata

pertumbuhan produksi tebu pada periode ini adalah 2,94% per-tahun atau 39.122

ton per tahun (Tabel 3.1). Secara lengkap, perkembangan produksi tebu menurut

status pengusahaan dapat dilihat pada Lampiran 3. Berbeda dengan pola

perkembangan luas panen tebu di Indonesia, produksi gula Indonesia justru

mengalami penurunan pada periode 2008–2013 (Gambar 3.4), hal ini

mengindikasikan bahwa terjadi permasalahan yang signifikan pada produktivitas

tebu dan atau rendemen gula.

Sumber: Direktorat Jenderal Perkebunan, 2015 (diolah)

Gambar 3.4. Perkembangan Produksi Gula Indonesia Tahun 2008-2013 (Ton)

Secara nasional selama periode 2008-2013 terjadi penurunan produksi hingga

tahun 2011 dan kembali meningkat pada tahun 2012. Peningkatan produksi tahun

2012 terutama terjadi pada produksi Perkebunan Rakyat. Perkebunan Rakyat

memberikan kontribusi sebesar 56,70 persen, sedangkan Perkebunan Besar Swasta

sebesar 29,88 persen dan perkebunan besar nasional sebesar 13,43 persen dari total

produksi gula nasional (Gambar 3.5).

0

500.000

1.000.000

1.500.000

2.000.000

2.500.000

3.000.000

2008 2009 2010 2011 2012 2013

PR

PBN

PBS

INDONESIA

Page 14: OUTLOOK KOMODITAS PANGAN STRATEGIS TAHUN 2015-2019pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2016_07.pdf · Outlook komoditas tebu ini, menyajikan keragaan komoditas tebu di Indonesia

13

Sumber: Direktorat Jenderal Perkebunan, 2015 (diolah)

Gambar 3.5. Rata-Rata Kontribusi Produksi Gula Indonesia Tahun 2008-2013

Sama halnya dengan luas panen tebu dan produksi gula, produktivitas gula

Indonesia cenderung menurun dalam periode 2008–2015 (Gambar 3.6), meskipun

kecenderungan menurunnya kecil sekitar 0,54 persen per tahun (Lampiran 4). Pada

Lampiran 4 diketahui bahwa produktivitas tebu tahun 1980 tercatat mencapai 3,99

ton/ha yang kemudian meningkat hingga 37,29 persen di tahun 2013 dengan

produktivitas mencapai 5,47 ton/ha. Secara rata-rata pertumbuhan produktivitas

tebu Indonesia mencapai 2,12 persen per-tahun selama periode 1980-2015. Laju

pertumbuhan tertinggi terjadi pada periode 1980-1997 yaitu 3,27 persen untuk

perkebunan rakyat, 7,50 persen untuk perkebunan besar negara dan 8,13 persen

untuk perkebunan besar swasta.

Sumber: Direktorat Jenderal Perkebunan, 2015 (diolah)

Gambar 3.6. perkembangan Produktivitas Gula Indonesia Tahun 2008-2015

PR; 56,70%

PBN; 13,43%

PBS; 29,88%

4

4,5

5

5,5

6

6,5

7

7,5

8

8,5

2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014*) 2015**)

PR

PBN

PBS

INDONESIA

Page 15: OUTLOOK KOMODITAS PANGAN STRATEGIS TAHUN 2015-2019pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2016_07.pdf · Outlook komoditas tebu ini, menyajikan keragaan komoditas tebu di Indonesia

14

3.1.3. Perkembangan Konsumsi Gula di Indonesia

Konsumsi gula kristal putih (GKP) per kapita per tahun berdasarkan data

Susenas BPS tahun 2002 sampai dengan 2014 memiliki kecenderungan menurun.

Pada tahun 2002, konsumsi gula sebesar 9,2 kg/kapita/tahun dan menurun pada

tahun 2014 menjadi hanya sebesar 6,4 kg/kapita/tahun. Selama periode tersebut,

konsumsi GKP Indonesia menurun 2,78% pertahun dimana penurunan konsumsi

GKP tertinggi terjadi di tahun 2012. Pada tahun 2012 konsumsi GKP Indonesia

tercatat 6,48 kg/kapita/tahun atau menurun 12,29% dari tahun sebelumnya, dimana

pada tahun 2011 konsumsi GKP Indonesia mencapai 7,38 kg/kapita/tahun. Data

perkembangan konsumsi GKP di Indonesia dapat dilihat pada Tabel 3.2.

Secara umum perkembangan produksi dan konsumsi gula (GKP dan GKR)

Indonesia berdasarkan data FAO menunjukkan perkembangan yang kurang

menggembirakan terutama pada 10 tahun terakhir (Tabel 3.3). Produksi gula tahun

2005 mencapai 2.1 juta ton sementara kebutuhan konsumsinya (baik langsung

maupun sebagai bahan baku pabrik) mencapai 3,85 juta ton. Produksi cenderung

menurun sementara konsumsi terus meningkat. Pada tahun 2010, produksi gula

nasional hanya mencapai 1,77 juta ton sementara konsumsi mencapa 5 juta ton.

Akibatnya Indonesia terus mengalami kekurangan pasokan gula dan impor terus

meningkat.

Tabel 3.2. Perkembangan Konsumsi GKP Indonesia Tahun 2002-2014

Tahun Konsumsi Jumlah Penduduk Permintaan

(Kg/Kapita/Tahun) (000 Orang) (Ton)

2002 9,203 225.642 2.076.632

2003 9,068 228.523 2.072.165

2004 8,927 231.370 2.065.402

2005 8,885 216.415 1.922.879

2006 8,035 222.747 1.789.819

2007 8,624 225.642 1.946.033

2008 8,432 228.523 1.926.792

2009 7,905 231.370 1.828.943

2010 7,691 238.519 1.834.465

2011 7,383 241.991 1.786.721

2012 6,476 245.425 1.589.409

2013 6,648 248.818 1.654.196

2014 6,409 252.165 1.616.238 Sumber: BPS, 2004-2015 (dioah)

Page 16: OUTLOOK KOMODITAS PANGAN STRATEGIS TAHUN 2015-2019pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2016_07.pdf · Outlook komoditas tebu ini, menyajikan keragaan komoditas tebu di Indonesia

15

Secara umum perkembangan produksi dan konsumsi gula mengalami

pertumbuhan positif. Pertumbuhan produksi rata-rata selama periode 2005-2014

sebesar 0,50 persen, namun pertumbuhan konumsinya jauh lebih besar yaitu 4,10

persen. Trend produksi menunjukkan kenaikan yang cukup tinggi pada tahun 2012

dengan kenaikan 25.68 persen dibandingkan tahun sebelumnya, dimana produksi

meningkat dari 1,83 juta ton menjadi 2,3 juta ton, sementara trend konsumsi

menunjukkan kenaikan namun lebih kecil dibandingkan trend kenaikan produksi.

Tabel 3.3. Perkembangan Produksi dan Konsumsi GKP Indonesia, 2005-2014

Tahun Produksi Konsumsi

(.000 Ton) Pertumb. (%) (.000 Ton) Pertumb. (%)

2005 2.100 - 3.850 -

2006 1.900 -9,52 4.300 11,69

2007 2.000 5,26 4.400 2,33

2008 2.053 2,65 4.500 2,27

2009 1.910 -6,97 4.700 4,44

2010 1.770 -7,33 5.000 6,38

2011 1.830 3,39 5.050 1,00

2012 2.300 25,68 5.400 6,93

2013 2.300 0,00 5.450 0,93

2014 2.100 -8,70 5.500 0,92

r(%) 0,50 4,10 Sumber: FAO, 2016 (diolah)

3.1.4. Perkembangan Impor dan Harga Gula Indonesia

Perkembangan volume impor gula Indonesia tahun 1980-2013 cenderung

meningkat pertahunnya (Gambar 3.7). Hal ini terlihat dari perkembangan volume

dan perkembangan trend pertumbuhannya. Pada periode ini, impor gula Indonesia

meningkat rata-rata 171,25% pertahun atau 36.533 ton per tahun. Impor gula

Indonesia pada tahun 1981 sebesar 720,95 ribu ton dan meningkat hingga sebesar

1.606.517 ton pada tahun 2013. Adapun volume impor tertinggi Indonesia terjadi

ditahun 2007 dengan volume impor mencapai 2.972.788 ton gula.

Tahun 2008, pemerintah memberlakukan kebijakan pembatasan impor gula,

hal ini mampu menekan volume impor gula namun karena keterbatasan stok dalam

negeri, pemerintah tidak dapat menghentikan secara total impor gula meskipun

Page 17: OUTLOOK KOMODITAS PANGAN STRATEGIS TAHUN 2015-2019pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2016_07.pdf · Outlook komoditas tebu ini, menyajikan keragaan komoditas tebu di Indonesia

16

impor gula seringkali menekan harga gula dalam negeri. Data volume dan nilai impor

gula Indonesia disajikan pada Lampiran 5.

Impor gula Indonesia meningkat tajam baik volume dan nilainya. Hal ini

terlihat dari trend voume impor gula pada peride 1980-1997 yaitu 308,20%

sedangkan pertumbuhan nilainya adalah 275,22%. Sementara pertumbuhan volume

impor pada periode 1998-2013 adalah 21.09 persen dan pertumbuhan nilai

impornya adalah 23,72 persen. Hal ini menunjukkan bahwa pembangunan pabrik

rafinasi gula di indonesia secara drastis menurunkan impor gula Indonesia.

Sumber: Direktorat Jenderal Perkebunan, 2015 (diolah)

Gambar 3.7. Perkembangan Impor Gula Indonesia Periode 1980-2013 (Ton)

Perkembangan harga bulanan gula di Indonesia pada tahun 2004-2013

disajikan pada Gambar 3.8. Berdasarkan gambar tersebut harga bulanan gula di

beberapa pasar dalam negeri di Indonesia terus bergerak naik. Harga gula rata-rata

pada tahun 2004 adalah Rp 3.609/kg lebih tinggi dari harga HPP sebesar Rp

3.410/kg. Pada tahun 2013, harga rata rata gula di Indonesia adalah Rp 9.646/kg

dan HPP adalah Rp 8.100/kg atau naik hampir 300 persen jika dibandingkan harga

gula pada tahun 2004. Perkembangan harga gula bulanan dapat dilihat pada

lampiran 6.

Page 18: OUTLOOK KOMODITAS PANGAN STRATEGIS TAHUN 2015-2019pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2016_07.pdf · Outlook komoditas tebu ini, menyajikan keragaan komoditas tebu di Indonesia

17

Sumber: Sekretariat Dewan Gula Indonesia, 2015

Gambar 3.8. Perkembangan Harga Lelang Gula Petani Tahun 2004-2013 (Rp/Kg)

3.2. Perkembangan Gula Dunia

3.2.1. Perkembangan Luas Panen, Produktivitas dan Produksi Tebu Dunia.

Perkembangan luas panen tebu, produktivitas dan produksi tebu dunia pada

periode tahun 1980–2013 cenderung terus mengalami peningkatan meskipun pada

tahun-tahun tertentu terjadi penurunan (Gambar 3.9). Luas panen tebu dunia

mengalami penurunan tertinggi terjadi pada tahun 1993 yaitu sebesar 4,73% dari

18.151.894 Ha menjadi 17.292.800 Ha. Rata-rata laju pertumbuhan luas panen tebu

dunia sejak tahun 1980–2013 adalah sebesar 2,22%. Berdasarkan data dari FAO,

total luas panen, Produktivitas dan Produksi tebu dunia pada tahun 1980-2013

dapat dilihat Lampiran 7.

Luas panen tebu dibeberapa negara produsen gula berdasarkan data FAO

selama periode 2009-2013 dapat dlihat pada Gambar 3.10. Luas panen tebu dunia

terpusat di Negara Brazil dengan kontribusi sebesar 37,43% dari luas panen tebu

dunia atau mencapai 9.439.226 Ha. India kemudian mengikuti Brazil sebagai salah

satu negara dengan luas panen tebu terbesar di dunia dengan rata-rata luas panen

mencapai 4.736.878 Ha atau menyumbang 18,78% dari total luas panen tebu dunia.

Sedangkan Indonesia, merupakan negara terbesar ke-7, dengan luas areal sebesar

448.458 hektar atau menyumbang sebesar 1,78 persen terhadap luas panen tebu

2.500

3.500

4.500

5.500

6.500

7.500

8.500

9.500

10.500

2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013

Harga Lelang Gula Petani HPP

Page 19: OUTLOOK KOMODITAS PANGAN STRATEGIS TAHUN 2015-2019pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2016_07.pdf · Outlook komoditas tebu ini, menyajikan keragaan komoditas tebu di Indonesia

18

dunia. Data luas panen tebu dari negara-negara sentra penanaman tebu dunia dapat

dilihat pada Lampiran 8.

Sumber: FAO, 2016 (diolah)

Gambar 3.9. Luas Panen, Produktivitas, dan Produksi Tebu Dunia Tahun 1980-2013

Sumber: FAO, 2016 (diolah)

Gambar 3.10. Luas Panen Tebu di Negara Sentra Produksi Tahun 2009-2013

Brasil; 37,43

India; 18,78 China; 6,91

Thailand; 4,58

Pakistan; 4,07

Meksiko; 2,89

Indonesia; 1,78

Lainnya; 23,56

0

10.000.000

20.000.000

30.000.000

1980

1983

1986

1989

1992

1995

1998

2001

2004

2007

2010

2013

Luas Panen

55

65

1980

1983

1986

1989

1992

1995

1998

2001

2004

2007

2010

2013

Produktivitas

700.000.000

900.000.000

1.100.000.000

1.300.000.000

1.500.000.000

1.700.000.000

1.900.000.000

1980

1981

1982

1983

1984

1985

1986

1987

1988

1989

1990

1991

1992

1993

1994

1995

1996

1997

1998

1999

2000

2001

2002

2003

2004

2005

2006

2007

2008

2009

2010

2011

2012

2013

Produksi

Page 20: OUTLOOK KOMODITAS PANGAN STRATEGIS TAHUN 2015-2019pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2016_07.pdf · Outlook komoditas tebu ini, menyajikan keragaan komoditas tebu di Indonesia

19

Seperti hal nya luas panen tebu, produksi tebu gula tertinggi adalah Brazil

dengan share sebesar 40,67% (768.090.444 Ton). Negara-negara penghasil tebu

terbesar selanjutnya adalah India dengan kontribusi 18,16% atau rata-rata

menghasilkan 323.154.160 ton disusul oleh China dengan rata-rata produksi

mencapai 117.684.721 ton (6,63%), Thailand dengan produksi 80.315.255 ton

(4,82%), dan Pakistan dengan produksi 55.408.760 ton (3,10%). Sedangkan

Indonesia berada pada posisi ke 10 dengan share sebesar 1,56% (Gambar 3.11).

Rata-rata pertumbuhan produksi selama periode tersebut adalah sebesar 3,19%.

Adapun data lengkap share produksi negara penghasil gula dapat dilihat pada

Lampiran 9.

Sumber: FAO, 2016 (diolah)

Gambar 3.11. Produksi Tebu di Negara Sentra Produksi Dunia Tahun 2009-2013

Terkait dengan produktivitas tebu, produktivitas tebu dunia dari tahun 2009

hingga 2013 terus mengalami peningkatan dengan rata-rata pertumbuhan sebesar

108,30 Ton/Ha. Tecatat Peru sebagai negara yang mempunyai produktivitas tebu

tertinggi yaitu rata rata 128.98 ton tebu per hektar, dikuti dengan Ethiopia dan

Mesir, masing masing 119,57 ton per hektar dan 113,62 ton tebu per hektar.

Brasil; 40,67

India; 18,16 China; 6,63

Thailand; 4,82

Pakistan; 3,10

Meksiko; 2,93

Kolombia; 1,94

Filipina; 1,73

Australia; 1,57

Indonesia; 1,56

Lainnya; 16,89

Page 21: OUTLOOK KOMODITAS PANGAN STRATEGIS TAHUN 2015-2019pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2016_07.pdf · Outlook komoditas tebu ini, menyajikan keragaan komoditas tebu di Indonesia

20

Sumber: FAO, 2016 (diolah)

Gambar 3.12. Produktivitas Tebu di 10 Negara Tertinggi Dunia Tahun 2009-2013

3.2.2. Perkembangan Konsumsi Gula Dunia

Gula merupakan kebutuhan pokok baik di level domestik maupun

internasional. Konsumsi gula dunia terus mengalami peningkatan dari tahun 2005

hingga tahun 2014. Rata-rata pertumbuhan konsumsi gula dunia sebesar 2,02% per

tahun dengan pertumbuhan tertinggi terjadi pada tahun 2006 dimana konsumsi saat

itu sebesar 151.484 ton sedangkan konsumsi pada tahun sebelumnya sebesar

143.754 ton. Meski mengalami trend pertumbuhan yang positif namun pada tahun

2007 konsumsi gula dunia sempat mengalami penurunan sebesar 0,10% karena

konsumsi gula dunia pada tahun 2007 sebesar 151.332 ton. Dengan pertumbuhan

konsumsi gula dunia yang positif harus diimbangi dengan pertumbuhan yang positif

pula pada sisi produksi.

Produksi gula dunia dibandingkan dengan tingkat konsumsinya pada periode

tahun 2005-2014 menunjukkan nilai yang positif. Total surplus produksi selama

periode tersebut sebesar 50.428 ton. Meski perkembangan produksi rata-rata

bertumbuh positif namun sempat terjadi minus produksi pada tahun 2008 dan 2009

dimana tingkat konsumsi gula dunia berturut-turut sebesar 154.627 ton dan 155.011

ton, namun tingkat produksinya berturut-turut hanya sebesar 144.014 ton dan

152.179 ton. Dengan demikian produksi gula dunia masih belum stabil dalam

128,98 117,11 115,13 114,37

107,37 103,92 101,03 100,63 97,98 96,44

-

20,00

40,00

60,00

80,00

100,00

120,00

140,00

Page 22: OUTLOOK KOMODITAS PANGAN STRATEGIS TAHUN 2015-2019pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2016_07.pdf · Outlook komoditas tebu ini, menyajikan keragaan komoditas tebu di Indonesia

21

memenuhi kebutuhan konsumsinya. Secara lebih rinci perkembangan produksi dan

konsumsi gula dunia tahun 2005 sampai dengan 2014 disajikan pada Tabel 3.4.

Tabel 3.4. Perkembangan Produksi dan Konsumsi Gula Dunia Tahun 2005-2014

Tahun Produksi (MT) Konsumsi (MT)

2005 144.303 143.754

2006 164.458 151.484

2007 163.536 151.332

2008 144.014 154.627

2009 153.179 155.011

2010 162.189 156.432

2011 172.297 159.830

2012 177.557 165.879

2013 175.010 168.295

2014 172.458 171.929 Sumber: FAO, 2016 (diolah)

3.2.3. Perkembangan Ekspor, Impor, Stok, dan Harga Gula Dunia

Volume ekspor dan impor gula dunia terlihat tidak terlalu berfluktuasi dari

tahun ke tahun (Tabel 3.5). Dari gambar tersebut terlihat bahwa volume ekspor dan

impor gula dunia memiliki kecenderungan meningkat setiap tahunnya.

Kecenderungan peningkatan volume ekspor dan impor gula dunia ini menunjukkan

bahwa gula merupakan komoditi yang relatif aktif diperdagangkan oleh dunia.

Terlihat dari tabel tersebut bahwa dunia dalam periode tahun 1980-2011 secara

umum mencatatkan surplus perdagangan gula pada hampir disetiap tahunnya.

Tabel 3.5. Perkembangan Ekspor dan Impor Gula Dunia Tahun 2005-2014

Tahun Impor (MT) Ekspor (MT)

2005 44.720 49.534

2006 44.142 50.759

2007 44.959 50.625

2008 42.333 44.962

2009 48.261 48.327

2010 49.137 53.786

2011 48.326 54.936

2012 51.010 55.143

2013 51.301 57.529

2014 51.551 54.155 Sumber : FAO, 2016 (diolah)

Page 23: OUTLOOK KOMODITAS PANGAN STRATEGIS TAHUN 2015-2019pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2016_07.pdf · Outlook komoditas tebu ini, menyajikan keragaan komoditas tebu di Indonesia

22

Stok gula dunia pada periode 2000-2014 mengalami perkembangan yang

sangat fluktuatif. Stok akhir pada suatu tahun tertentu akan menjadi stok awal pada

tahun berikutnya sehingga perkembangan antara stok awal dan stok akhir

menunjukkan pola yang sama (Gambar 3.13). Perkembangan stok awal dan stok

akhir menunjukkan pertumbuhan rata-rata yang positif, namun pertumbuhan rata-

rata stok akhir masih lebih rendah daripada stok awal yaitu masing-masing sebesar

1,86% per tahun dan 2,28% per tahun. Artinya produksi gula dunia belum mampu

mencukupi kebutuhan konsumsi dunia sehingga harus menggerus stok awal, dalam

konteks sustainability produk pangan pokok, hal ini menjadi semacam peringatan

kepada negara-negara net importir gula termasuk salah satunya Indonesia.

Sumber: Pusdatin, 2014 (diolah)

Gambar 3.13. Perkembangan Stok Awal dan Stok Akhir Gula Dunia Tahun 2000-2014

Harga gula dunia dapat dibedakan menjadi harga untuk gula konsumsi (white

sugar) dan harga untuk gula rafinasi (raw sugar). Tabel 3.6. menyajikan data

perkembangan harga white sugar dan raw sugar periode tahun 2006-2014 dimana

diketahui bahwa rata-rata pertumbuhan harga white sugar sebesar 3,22% per tahun

dan untuk raw sugar lebih besar yaitu 5,14% per tahun. Selisih harga antara white

sugar dan raw sugar yang merupakan potensi penghasilan dari industri pengolahan

gula refinasi berkisar antara 86-118 US$ per ton. Artinya jika kurs dollar sebesar Rp

27.000

29.000

31.000

33.000

35.000

37.000

39.000

41.000

43.000

45.000

Stok Awal Stok Akhir

Page 24: OUTLOOK KOMODITAS PANGAN STRATEGIS TAHUN 2015-2019pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2016_07.pdf · Outlook komoditas tebu ini, menyajikan keragaan komoditas tebu di Indonesia

23

14.000 maka potensi penghasilan industri pengolahan gula rafinasi berkisar antara

Rp 1.204 per kg hingga Rp 1.652 per kg.

Tabel 3.6. Perkembangan Harga Gula Dunia Tahun 2006-2014

Tahun White Sugar

(US$/MT) Raw Sugar (US$/MT)

Perbedaan Harga (US$/MT)

2006 419 322 97

2007 314 219 95

2008 348 260 88

2009 483 381 102

2010 614 518 96

2011 707 621 86

2012 587 475 112

2013 493 375 118

2014 453 362 91 Sumber: FAO, 2016 (diolah)

3.3. Prediksi Produksi, Konsumsi, Impor dan Harga Gula Nasional

3.3.1. Prediksi Produksi, Konsumsi, dan Impor Gula

Kajian tentang prediksi produksi, konsumsi dan impor beras ini dilakukan

berdasarkan hasil penelitian tentang Outlook Pertanian 2015 – 2019 (Setiyanto et al.

2014) dengan menggunakan multimarket model. Analisis outlook menggunakan

base line data tahun 2013 dengan tiga skenario, yaitu: (i) Skenario I: tidak terjadi

perubahan iklim, dan pada periode 2015 – 2019 terpengaruh kebijakan kenaikan

harga BBM 2014; (ii) Skenario II: kondisi iklim tidak normal dan terjadi gangguan

iklim yang cenderung ke arah La Nina, dan pada periode 2015 – 2019 terpengaruh

kebijakan kenaikan harga BBM 2014; dan (iii) Skenario III: kondisi iklim tidak

normal dan terjadi gangguan iklim yang cenderung El Nino, dan pada periode 2015

– 2019 terpengaruh kebijakan kenaikan harga BBM 2014.

Tabel 3.7. menunjukkan prediksi luas panen, produktivitas dan produksi gula

2015-2019. Perkembangan luas panen pada periode 2015-2019 relatif kecil,

bervariasi antara 2,3 - 3,27 persen per tahun. Untuk Skenario I diprediksikan bahwa

luas panen tebu nasional dalam kondisi iklim normal (tanpa adanya El Nino dan La

Nina) akan mencapai 507 580 ha, dengan skenario yang sama luas panen tebu pada

tahun 2019 akan mencapai 577 100 ha, atau tumbuh dengan laju pertumbuhan

rata-rata per tahun 3,27 persen. Jika di Indonesia selama periode 2015 – 2019

Page 25: OUTLOOK KOMODITAS PANGAN STRATEGIS TAHUN 2015-2019pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2016_07.pdf · Outlook komoditas tebu ini, menyajikan keragaan komoditas tebu di Indonesia

24

mengalami gejala La Nina (Skenario II) maka pada tahun 2015 luas panen tebu

akan turun menjadi 502 080 ha (turun sekitar 1,08 persen dibandingkan Skenario I).

Dengan skenario yang sama pada tahun 2019 luas panen tebu nasional akan

mencapai 548 120 ha (turun sekitar 5,02 persen dibandingkan Skenario I). Dengan

demikian pertumbuhan luas panen tebu nasional berdasarkan Skenario II adalah 2,3

persen per tahun, jauh lebih rendah dibandingkan dengan kondisi normal. Adapun

jika Indonesia menghadapi musim kering berkepanjangan sebagaimana terjadi pada

gejala El Nino (Skenario III), prediksi luas panen tebu nasional sama dengan

Skenario I. Terbatasnya peningkatan luas panen, disebabkan karena sentra produksi

masih terkonsentrasi di Jawadi Jawa, dimana pada saat ini terjadi persaingan

dengan padi dalam panggunaan lahan sawah. Disamping itu, terjadi konversi lahan

pertanian ke nonpertanian.

Produktivitas gula nasional pada periode 2015-2019 diprediksikan meningkat,

dengan variasi peningkatan 0,66-2,18 persen/tahun. Untuk Skenario I diprediksikan

bahwa produktivitas gula nasional dalam kondisi iklim normal (tanpa adanya El Nino

dan La Nina) akan mencapai 5,13 ton/ ha, dengan skenario yang sama produktivitas

gula pada tahun 2019 akan mencapai 5,39 ton/ha, atau tumbuh dengan laju

pertumbuhan rata-rata per tahun 0,66 persen. Jika di Indonesia selama periode

2015 – 2019 mengalami gejala La Nina (Skenario II) maka pada tahun 2015

produktivitas gula akan turun menjadi 4,55 ton/ha (turun sekitar 12,75 persen

dibandingkan Skenario I). Dengan skenario yang sama pada tahun 2019

produktivitas gula nasional akan mencapai 4,95 ton/ha (turun sekitar 8,16 persen

dibandingkan Skenario I). Dengan demikian pertumbuhan produktivitas gula

nasional berdasarkan Skenario II adalah 2,18 persen per tahun. Adapun jika

Indonesia menghadapi musim kering berkepanjangan sebagaimana terjadi pada

gejala El Nino (Skenario III), prediksi produktivitas gula nasional hampir sama

dengan Skenario I, produktivitas gula pada tahun 2015 5,1 ton/ha dan tahun 2019

sebesar 5,35 ton/ha atau meningkat 0,79 persen/tahun.

Page 26: OUTLOOK KOMODITAS PANGAN STRATEGIS TAHUN 2015-2019pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2016_07.pdf · Outlook komoditas tebu ini, menyajikan keragaan komoditas tebu di Indonesia

25

Tabel 3.7. Prediksi Perkembangan Luas Panen, Produktivitas dan Produksi Tebu/Gula Indonesia Berdasarkan Skenario, 2015 – 2019

Tahun

Luas Panen (Ribu Ha) Provitas (Ton/Ha) Produksi (Ribu Ton)

Skenario I Skenario

II

Skenario

III

Skenario

I

Skenario

II

Skenario

III Skenario I

Skenario

II

Skenario

III

2015 507,58 502,08 507,58 5,13 4,55 5,1 2601,98 2307,04 2590,42

2016 525,11 494,82 525,11 5,18 4,66 5,15 2720,01 2448,24 2706,44

2017 543,54 505,13 543,54 5,23 4,85 5,3 2842,71 2634,42 2883,32

2018 568,57 552,08 568,57 5,23 4,77 5,22 2972,53 2713,08 2969,41

2019 577,1 548,12 577,1 5,39 4,95 5,35 3111,56 2856,51 3088,11

R

(%/Thn)

3,27 2,3 3,27 0,66 2,18 0,79 4,57 5,5 4,5

Sumber: Setiyanto, et al (2014)

Dengan prediksi luas panen dan produktivitas seperti tersebut di atas, maka

prediksi produksi gula nasional pada periode 2015-2019 cenderung meningkat,

dengan laju peningkatan produksi bervariasi antara 4,5-5,5 persen per tahun. Pada

kondisi normal, produksi gula nasional pada tahun 2019 sebesar 3,1 juta ton.

Apabila terjadi kondisi La Nina, produksi gula nasional tahun 2019 hanya mencapai

2,856 juta ton (turun sekitar 8,20 persen dibandingkan dengan kondisi normal).

Sementara itu, apabila terjadi kondisi El Nino, produksi gula nasional tahun 2019

sekitar 3,09 juta ton (turun sekitar 0,75 persen dibandingkan dengan kondisi

normal).

Tabel 3.8 menunjukkan hasil prediksi permintaan atau pemanfaatan gula di

dalam negeri untuk periode tahun 2015 - 2019. Hasil prediksi menunjukkan bahwa

pada Skenario I (kondisi iklim normal) konsumsi gula dalam negeri 2015 akan

mencapai 3,26 juta ton, pada tahun 2019 menurun mencapai 3,23 juta ton., atau

dengan penurunan konsumsi rata-rata sebesar 0,22 persen per tahun. Pada

Skenario II (ada gangguan La Nina) konsumsi gula dalam negeri pada tahun 2015

diprediksikan sebesar 3,24 juta ton, lebih rendah 0,39 persen dari konsumsi Skenario

I. Dengan laju penurunan rata-rata 0,27 persen per tahun, konsumsi gula dalam

negeri pada tahun 2019 diprediksikan sebesar 3,21 juta ton. Pada Skenario III

(gangguan El Nino), konsumsi gula dalam negeri diprediksikan sebesar 3,26 juta ton,

sama dengan prediksi Skenario I. Dengan laju pertumbuhan sekitar 0,28 persen per

tahun, prediksi konsumsi gula dalam negeri pada tahun 2019 menjadi 3,3 juta ton.

Page 27: OUTLOOK KOMODITAS PANGAN STRATEGIS TAHUN 2015-2019pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2016_07.pdf · Outlook komoditas tebu ini, menyajikan keragaan komoditas tebu di Indonesia

26

Tabel 3.8. Prediksi Perkembangan Permintaan Komoditas Gula di Indonesia

Berdasarkan Skenario Tahun 2015 – 2019 (000 Ton)

Tahun Skenario I Skenario II Skenario III

2015 3 261,74 3 248,88 3 261,74

2016 3 282,39 3 272,29 3 308,36

2017 3 300,11 3 290,33 3 329,31

2018 3 203,54 3 310,52 3 347,29

2019 3 231,39 3 211,79 3 298,31

R (%/Thn) -0,22 -0,27 0,28

Sumber: Setiyanto, et al (2014)

Tabel 3.9. menunjukkan prediksi suplus/defisit gula, yaitu selisih antara

penawaran dengan permintaan dalam negeri. Pada Skenario I (iklim normal)

Indonesia selama periode 2015 – 2019 diprediksikan akan mengalami defisit gula

yang semakin menurun, yaitu 659 ribu ton pada tahun 2015 menjadi 119,8 ribu ton

pada tahun 2019 atau terjadi penurunan defisit gula 32,76 persen/tahun. Pada

Skenario II (ada gangguan La Nina) selama periode 2015 – 2019 Indonesia

diprediksikan akan mengalami defisit gula yang lebih tinggi dibandingkan dengan

iklim normal, yaitu 941,8 ribu ton pada tahun 2015 menjadi 355,3 ribu ton pada

tahun 2019 atau terjadi penurunan defisit gula 20,59 persen/tahun. Sedangkan

untuk Skenario III (ada gangguan El Nino) diprediksikan Indonesia akan mengalami

defisit gula antara 671,3 ribu ton sampai dengan 210 ribu juta ton atau terjadi

penurunan defisit gula 23,97 persen/tahun.

Tabel 3.9. Prediksi Surplus/Defisit Penawaran dan Permintaan KomoditasTebu/Gula,

2015 – 2019 (000 Ton)

Tahun Skenario I Skenario II Skenario III

2015 -659.76 -941.84 -671.32

2016 -562.38 -824.06 -601.92

2017 -457.4 -655.91 -445.99

2018 -231.02 -597.44 -377.87

2019 -119.83 -355.28 -210.2

R (%/Thn) -32.76 -20.59 -23.97 Sumber: Setiyanto, et al (2014)

Untuk menutupi defisit kebutuhan gula dalam negeri, Indonesia masih harus

melakukan importasi gula. Tabel 3.10 menunjukkan prediksi kebutuhan impor gula

nasional, dengan kecenderungan impor yang meningkat. Untuk Skenario I (iklim

Page 28: OUTLOOK KOMODITAS PANGAN STRATEGIS TAHUN 2015-2019pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2016_07.pdf · Outlook komoditas tebu ini, menyajikan keragaan komoditas tebu di Indonesia

27

normal), Indonesia diprediksikan akan memerlukan impor gula berkisar antara 620

ribu ton sampai dengan 695 ribu ton selama periode 2015 – 2019 atau meningkat

2,89 persen/tahun. Untuk Skenario II (ada gangguan La Nina), pada periode 2015 –

2019 Indonesia diprediksikan akan memerlukan impor gula berkisar antara 658 ribu

ton sampai dengan 721 ribu ton. Adapun pada Skenario III (ada gangguan El Nino),

pada periode yang sama, Indonesia diprediksikan perlu impor gula berkisar antara

659 ribu ton sampai dengan 719 ribu ton selama periode 2015 – 2019.

Tabel 3.10. Prediksi Net Impor Komoditas Tebu/Gula di Indonesia, 2015 – 2019

(000 Ton)

Tahun Skenario I Skenario II Skenario III

2015 620.38 658.27 659.76

2016 640.37 675.09 676.81

2017 665.49 698.98 693.91

2018 676.47 704.3 699.6

2019 695.23 721.44 719

R (%/Thn) 2.89 2.32 2.18 Sumber: Setiyanto, et al (2014)

3.3.2. Prediksi Harga Gula

Tabel 3.11 menunjukkan hasil prediksi harga gula di tingkat konsumen

menurut wilayah selama periode 2015 – 2019. Secara rata-rata, harga gula di

pedesaan lebih rendah dibandingkan dengan perkotaan. Harga di pedesaan Jawa

lebih rendah dibandingkan pedesaan Luar Jawa. Hasil prediksi harga gula di

perkotaan dengan Skenario I (iklim normal) berkisar antara Rp 12 757,- per Kg

sampai dengan Rp 13 564,- per Kg dengan rata-rata peningkatan sebesar 1,55

persen per tahun. Pada Skenario II (ada gangguan La Nina) harga gula pada tingkat

konsumen perkotaan lebih tinggi dibandingkan dengan iklim normal, yaitu berkisar

antara Rp 12 982,- per Kg sampai dengan Rp 14 009,- per Kg, atau dengan

pertumbuhan rata-rata 1,93 persen per tahun. Pada Skenario III (ada gangguan El

Nino) harga gula di perkotaan diprediksikan berkisar antara Rp 13 097,- per Kg

sampai dengan Rp 13 913,- per Kg, dengan laju pertumbuhan sekitar 1,55 persen

per tahun. Terlihat bahwa adanya gangguan iklim menyebabkan harga gula di

perkotaan lebih tinggi dibandingkan iklim normal.

Page 29: OUTLOOK KOMODITAS PANGAN STRATEGIS TAHUN 2015-2019pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2016_07.pdf · Outlook komoditas tebu ini, menyajikan keragaan komoditas tebu di Indonesia

28

Tabel 3.11. Prediksi Harga Konsumen Riil KomoditasTebu/Gula menurut Wilayah 2015 – 2019 (Rp/Kg)

Tahun Perkotaan Perdesaan Jawa Perdesaan Luar Jawa

Skenario I

Skenario II

Skenario III

Skenario I

Skenario II

Skenario III

Skenario I

Skenario II

Skenario III

2015 12,757 12,982 13,097 11,093 11,288 11,388 11,812 12,020 12,126

2016 13,086 13,413 13,580 11,379 11,663 11,809 12,117 12,419 12,574

2017 13,332 13,744 13,956 11,593 11,951 12,135 12,345 12,726 12,922

2018 13,687 13,657 13,638 11,902 11,876 11,859 12,673 12,646 12,628

2019 13,564 14,009 13,913 12,341 12,182 12,098 13,140 12,971 12,882

R

(%/Thn) 1.55 1.93 1.55 2.70 1.93 1.55 2.70 1.93 1.55

Sumber: Setiyanto, et al (2014)

Tabel 3.11 juga menunjukkan prediksi harga gula di pedesaan Jawa. Harga

gula di pedesaan Jawa paling rendah dibandingkan harga gula di pedesaan Luar

Jawa dan perkotaan. Pada Skenario I harga gula di pedesaan Jawa pada tahun

2015 akan mencapai Rp 11 093,- per Kg dan akan tumbuh dengan laju

pertumbuhan 2,70 persen setahun, sehingga pada tahun 2019 diprediksikan harga

gula di wilayah ini akan mencapai harga Rp 12 341,- per Kg. Pada kondisi terjadinya

gangguan La Niana (Skenario II), harga gula di pedesaan Jawa pada tahun 2015

akan mencapai Rp 11 288,- per Kg, dan meningkat dengan laju pertumbuhan 1,93

persen setahun, sehingga pada tahun 2019 diprediksikan harga gula di wilayah ini

akan mencapai harga Rp 12 182,- per Kg. Dengan adanya kondisi gangguan El Nino

(Skenario III) harga gula di pedesaan Jawa pada tahun 2015 akan mencapai Rp 11

388,- per Kg dan cenderung meningkat dengan laju pertumbuhan 1,55 persen

setahun, sehingga pada tahun 2019 diprediksikan harga gula di wilayah ini akan

mencapai harga Rp 12 098,- per Kg.

Perkembangan prediksi harga gula pada tingkat konsumen di daerah

pedesaan Luar Jawa juga dapat dilihat pada Tabel 3.11. Pada kondisi normal

(Skenario I) harga gula di pedesaan Luar Jawa pada tahun 2015 akan mencapai Rp

11 812,- per Kg dan pada tahun 2019 mencapai harga Rp 13 140,- per Kg, harga

cenderung meningkat dengan laju peningkatan 2,70 persen/tahun. Pada Skenario II,

harga gula di pedesaan Luar Jawa juga cenderung meningkat (1,93 persen/tahun),

pada tahun 2015 sebesar Rp 12 020,- per Kg, menjadi Rp 12 971,- per Kg pada

tahun 2019. Apabila terjadi gangguan El Nino (Skenario III) harga gula di pedesaan

Luar Jawa akan meningkat dengan laju peningkatan lebih kecil dibandingkan kondisi

Page 30: OUTLOOK KOMODITAS PANGAN STRATEGIS TAHUN 2015-2019pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2016_07.pdf · Outlook komoditas tebu ini, menyajikan keragaan komoditas tebu di Indonesia

29

normal dan gangguan La Nina. Harga di pedesaan Luar Jawa pada tahun 2015 akan

mencapai Rp 12 126,- per Kg, dan meningkat dengan laju pertumbuhan 1,55

persen setahun, sehingga pada tahun 2019 diprediksikan harga gula di wilayah ini

akan mencapai harga Rp 12 882,- per Kg.

Perkembangan prediksi harga gula di tingkat produsen di daerah pedesaan

Jawa dan Luar Jawa pada periode 2015 – 2019 ditampilkan pada Tabel 3.12. Secara

umum, harga gula di pedesaan Luar Jawa lebih tinggi dibandingkan dengan

pedesaan Jawa. Hal ini diduga terkait dengan biaya produksi, serta penawaran gula

di Luar Jawa yang lebih sedikit. Hasil prediksi menunjukkan bahwa harga gula di

tingkat produsen di daerah pedesaan Jawa dengan Skenario I pada tahun 2015

adalah Rp 10 412,- per Kg, dan pada tahun 2019 mencapai Rp 11 692,- per Kg.

Selama periode tersebut, harga gula meningkat dengan laju pertumbuhan 2,94

persen/tahun. Pada Skeranio II, harga gula di tingkat produsen di pedesaan Jawa

pada tahun 2015 diprediksikan sebesar Rp 10 579,- per Kg, dan pada tahun 2019

mencapai Rp 12 469,- per Kg (meningkat 4,19 persen/tahun). Apabila terjadi

gangguan El Nino (Skeranio III) harga gula di tingkat produsen di pedesaan Jawa

pada tahun 2015 diprediksikan sebesar Rp 10 579,- per Kg, dan pada tahun 2019

harga gula di wilayah ini diprediksikan akan mencapai Rp 12 297,- per Kg (tumbuh

dengan laju pertumbuhan 3,83 persen/tahun). Adanya gangguan iklim akan

menyebabkan harga gula meningkat.

Dari Tabel 3.12, terlihat bahwa hasil prediksi n bahwa harga gula di tingkat

produsen di daerah pedesaan Luar Jawa pada kondisi normal (Skenario I) pada

tahun 2015 adalah Rp 11 087,- per Kg, dan pada tahun 2019 mencapai Rp 12,450,-

per Kg. Selama periode tersebut, harga gula meningkat dengan laju pertumbuhan

2,94 persen/tahun. Pada Skeranio II, harga gula di tingkat produsen di pedesaan

Luar Jawa pada tahun 2015 diprediksikan sebesar Rp 11 265,- per Kg, dan pada

tahun 2019 mencapai Rp 13 277,- per Kg (meningkat 4,19 persen/tahun). Apabila

terjadi gangguan El Nino (Skeranio III) harga gula di tingkat produsen di pedesaan

Luar Jawa pada tahun 2015 diprediksikan sebesar Rp 11,265,- per Kg, dan pada

tahun 2019 harga gula di wilayah ini diprediksikan akan mencapai Rp 13,094,- per

Kg (tumbuh dengan laju pertumbuhan 3,83 persen/tahun). Adanya gangguan iklim

Page 31: OUTLOOK KOMODITAS PANGAN STRATEGIS TAHUN 2015-2019pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2016_07.pdf · Outlook komoditas tebu ini, menyajikan keragaan komoditas tebu di Indonesia

30

akan menyebabkan harga gula meningkat dengan laju peningkatan yang lebih

tinggi.

Tabel 3.12. Prediksi Harga Produsen Riil Komoditas Gula menurut Wilayah 2015 – 2019 (Rp/Kg)

Tahun Perdesaan Jawa Perdesaan Luar Jawa

Skenario I Skenario II Skenario III Skenario I Skenario II Skenario III

2015 10,412 10,579 10,579 11,087 11,265 11,265

2016 10,749 11,009 11,009 11,446 11,722 11,722

2017 11,101 11,506 11,506 11,820 12,251 12,251

2018 11,371 11,952 11,952 12,107 12,727 12,727

2019 11,692 12,469 12,297 12,450 13,277 13,094

R(%/Thn) 2.94 4.19 3.83 2.94 4.19 3.83

Sumber: Setiyanto, et al (2014)

3.4. Kesimpulan Dan Rekomendasi

1. Upaya peningkatan produksi gula dapat ditempuh melalui peningkatan

produktivitas dan melalui perluasan areal tebu. Terkait dengan peningkatan

produktivitas, ke depan perlu penggunaan bibit hasil bio teknologi.

Penggunaan bibit tebu kultur jaringan sudah dimulai pada tahun 2010, hasil

dari P3Gi dan PG tertentu.

2. Di tingkat PG, perlu adanya peningkatan dan transparansi rendemen,

terutama untuk TR. Hal ini untuk menghindari adanya terjadi persaingan

antara TR dan TS, tebu wira-wiri (masalah tebang dan angkut), meningkatkan

kepercayaan petani terhadap PG. Tebu mempunyai sifat mudah rusak,

sebaiknya tebu digiling di PG terdekat, tebu juga punya sifat kemasakan.

Sehingga perlu ditebang saat masak, kalau ada pengukuran kualitas yg akurat

maka petani akan menebang saat masak dan menggiling pada PG yg punya

OR tinggi dan terdekat, ini bila bersaing. Sehingga petani akan mensuplai

tebu dgn kualitas baik bila ini terjadi kinerja total industri gula akan

meningkat. Kalau persaingan tanpa pengukuran kualitas dan mengandalkan

subsidi tebang angkut maka terjadi 2 hal yaitu distorsi pasar dan moral

hazard.

Page 32: OUTLOOK KOMODITAS PANGAN STRATEGIS TAHUN 2015-2019pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2016_07.pdf · Outlook komoditas tebu ini, menyajikan keragaan komoditas tebu di Indonesia

31

3. Distorsi pasar terjadi karena subsidi akibatnya terjadi "tebu wira-wiri", tebu

diangkut keluar wilayah dan masuk lagi dlm wilayah untuk dapat subsidi hal

ini akan merusak kualitas tebu dan rendemen jadi rendah.

4. Tanpa pengukuran kualitas akan membuat moral hazard, petani berlomba

mensuplai tebu dgn kualitas buruk dan rendemen akan turun, kedua hal ini

memperburuk kinerja industri gula karena petani bisa untung lebih dan

kerugian lebih banyak ditanggung PG . Harga tebu menjadi tergantung pada

jarak asal tebu bukan kualitas.

5. Peningkatan rendemen dilakukan melalui rehabilitasi PG dan pembangunan

PG baru, sehingga terjadi perbaikan efisiensi dan manajemen PG.

6. Pembangunan PG Rafinasi ditujukan untuk memenuhi kebutuhan gula untuk

industri. Dalam rangka penertiban pengendalian dan kelancaran

pendistribusian GKR kepada industri pengguna serta untuk mencegah

beredarnya ke pedagang tingkat pengecer, Departemen Perdagangan

(Depdag) mengeluarkan penyempurnaan petunjuk pendistribusian GKR yang

bahan bakunya berasal dari raw sugar (gula mentah/gula kasar) eks impor

melalui surat Menteri Perdagangan nomor 111/M-DAG/2/2009 tertanggal 6

Februari 2009 kepada produsen gula rafinasi. Namun dalam implementasinya,

ada kebocoran sehingga perlu peningkatan pengawasan produk gula rafinas.i

7. Hasil prediksi menunjukkan bahwa apabila terjadi La Nina menyebabkan

produksi turun dan harga naik lebih tinggi. Hal ini perlu diantisipasi dengan

penyediaan bibit tebu tahan kekeringan, dukungan sarana dan prasarana

untuk mengatasi kekeringan.

Page 33: OUTLOOK KOMODITAS PANGAN STRATEGIS TAHUN 2015-2019pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2016_07.pdf · Outlook komoditas tebu ini, menyajikan keragaan komoditas tebu di Indonesia

32

IV. OUTLOOK KOMODITAS DAGING SAPI

4.1. Dinamika Pasar Dunia

4.1.1. Produksi Dunia

Poduksi daging sapi dunia selama 15 tahun terakhir terlihat bahwa pada

paroh pertama meningkat signifikan, namun pada paroh kedua cenderung stagnan

(Gambar 4.1). Pangsa produksi terbesar dunia berasal dari produksi daging sapi

Amerka Serikat. Kemudian diikuti Brazil, Uni Eropa, China dan India. Eksportir utama

untuk Indonesia yaitu Australia dan Selandia Baru berada pada urutan ketujuh dan

keempatbelas (Gambar 4.2).

Sumber: FAO,2016 dan USDA, 2015 (diolah) Gambar 4.1. Perkembangan Produksi Daging Sapi Dunia, 2000-2015

Perilaku produksi daging sapi dunia tersebut disebabkan oleh 12 produsen

daging sapi dunia termasuk Amerika Serikat dan Uni Eropa, menunjukkan adanya

stagnansi produksi pada masa paroh kedua 15 tahun terakhir (Gambar 4.3). Hanya

tiga negara produsen yaitu Brasil, China dan India produksi daging sapinya terus

meningkat (Gambar 4.4).

53.036

52.366

53.905

54.220

55.530

56.115

57.671

58.593 58.637

58.155 58.515

58.160 58.527

59.467 59.746

58.443

52.000

53.000

54.000

55.000

56.000

57.000

58.000

59.000

60.000

2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015

Produksi Daging Sapi Dunia (000 ton)

Page 34: OUTLOOK KOMODITAS PANGAN STRATEGIS TAHUN 2015-2019pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2016_07.pdf · Outlook komoditas tebu ini, menyajikan keragaan komoditas tebu di Indonesia

33

Peringkat

Negara Prodsi (1000 MT CWE)

1 United States 11,055.00

2 Brazil 9,820.00

3 EU-27 7,440.00

4 China 6,825.00

5 India 4,500.00

6 Argentina 2,700.00

7 Australia 2,275.00

8 Mexico 1,845.00

9 Pakistan 1,725.00

10 Russian

Federation

1,370.00

11 Canada 1,015.00

12 Colombia 885.00

13 South Africa 855.00

14 New Zealand 635.00

15 Paraguay 590.00

Sumber: USDA, 2015 Gambar 4.2. Lima Belas Negara Peringkat Utama Produsen Daging Sapi (Beef dan

Veal) di Dunia, 2015

Page 35: OUTLOOK KOMODITAS PANGAN STRATEGIS TAHUN 2015-2019pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2016_07.pdf · Outlook komoditas tebu ini, menyajikan keragaan komoditas tebu di Indonesia

34

Sumber: USDA, 2015

Gambar 4.3. Perkembangan Produksi Daging Sapi 12 Negara Produsen di Dunia, 2015

Sumber:USDA, 2015

Gambar 4.4. Perkembangan Produksi Daging Sapi Tiga Negara Produsen di Dunia, 2015

0

2000

4000

6000

8000

10000

12000

14000

2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015

1000

MT

CW

E

Argentina Merika Serikat Australia Uni Eropa-27

Selandia Baru Kanada Meksiko Paraguay

Kolombia Rusia Pakistan Afrika Selatan

0

2000

4000

6000

8000

10000

12000

2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015

10

00

MT

CW

E

Brasil India Cina

Page 36: OUTLOOK KOMODITAS PANGAN STRATEGIS TAHUN 2015-2019pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2016_07.pdf · Outlook komoditas tebu ini, menyajikan keragaan komoditas tebu di Indonesia

35

Sebagai negara net importir daging sapi, selama ini pasokan utama daging

sapi Indonesia umumnya berasal dari negara Australia, Selandia Baru, dan Amerika

Serikat. Berdasarkan perkembangan produksi dunia, selain memaksimal potensi

produksi daam negeri, potensi impor dari tiga negara tersebut cukup baik.

Namun,selama ini produksi daging sapi China diutamakan untuk memenuhi

kebutuhan negara itu dengan penduduk yang sangat besar dan pertumbuhan

ekonomi yang semakin meninkat.

Dua negara potensial lainnya adalah Brasil dan India. Permasalahannya

hingga kini adalah adanya bahwa kedua negara tersebut menurut organisasi

kesehatan hewan dunia (OIE) merupakan negara belum bebas penyakit mulut dan

kuku (PMK), sedangkan Indonesia termasuk negara bebas penyakit PMK dan

menganut pada sistem country based yang hanya bisa memasukan ternak hidup

dan produk ternak dari negara yang bebas dari penyakit PMK.

Menurut OIE, setidaknya ada 66 negara (termasuk Indonesia, Australia dan

Selandia Baru) yang memberlakukan aturan country based atau bebas dari PMK,

diantaranya adalah: Albania, Austria, Belarus, Belgia, Belize, Bosnia dan

Herzegovina, Brunei, Bulgaria, Canada, Chile, Costa Rica, Croatia, Cuba, Cyprus,

Republik Ceko, Denmark, Republik Dominika, El Savador, Estonia, Finlandia,

Macedonia, Prancis, Jerman, Guetemala, Guyana, Haiti, Honduras, Hungaria,

Islandia, Irlandia, Italia, Jepang, Latvia, Lesotho, Lithuania, Luxemburg,

Madagaskar, Malta, Mauritius, Maxico, Montenegro, Belanda, New Caledonia,

Nicaragua, Norwagia, Panama, Polandia, Portugal, Rumania, San Marino, Serbia,

Singapura, Slovakia, Slovenia, Spanyol, Swiss, Swedia, Ukraina, Inggris, Amerika

Serikat dan Venezuela. Namun kesemua negara tersebut jaraknya relatif jauh dari

Indonesia dan kapasitas pasokan ternak dan daging sapi negara lain juga terbatas

(Nurhayati, 2013).

OIE mengklasifikasi status bebas PMK menjadi lima: negara bebas tanpa

vaksinasi, negara bebas dengan vaksinasi, zona bebas tanpa vaksinasi, zona bebas

dengan vaksinasi, dan kompartemen bebas tanpa vaksinasi. UU No 18/2009 tentang

Peternakan dan Kesehatan Hewan membolehkan impor dari zona bebas penyakit

telah dianulir Mahkamah Konstitusi pada 2012. Sepuluh negara memiliki zona bebas

Page 37: OUTLOOK KOMODITAS PANGAN STRATEGIS TAHUN 2015-2019pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2016_07.pdf · Outlook komoditas tebu ini, menyajikan keragaan komoditas tebu di Indonesia

36

tanpa vaksinasi adalah Argentina, Bolivia, Botswana, Brasil, Kolombia, Malaysia,

Moldova, Namibia, Peru, dan Filipina. Enam negara memiliki zona bebas dengan

vaksinasi: Argentina, Bolivia, Brasil, Kolombia, Peru, dan Turki. Selebihnya, 95

negara, di Asia termasuk India, Timur Tengah dan Afrika masih dinyatakan tertular

PMK (Naipospos, 2014). Pada dasarnya, sistem zona bebas tak melanggar kaidah

teknis dan sejalan dengan standar Organisasi Kesehatan Hewan Dunia (OIE). Bila

akan dilakukan impor dari zona bebas, wajib dijalankan upaya mitigasi risiko sampai

ke tingkat perdagangan yang aman. Zona bebas bukan suatu konsep yang tak

dikenal dalam dunia kesehatan hewan Indonesia. Kita mengakui secara resmi daerah

bebas rabies, atau daerah bebas brucellosis yang merupakan perwujudan konsep

itu. Namun, dampak adanya zona bebas, perlu anggaran mempertahankan status

bebas itu, terutama surveilans dan tindak karantina. Dengan status bebas PMK,

Indonesia dapat mengimpor daging beku dari zona bebas dengan syarat teknis

sesuai dengan standar OIE. Virus PMK sulit bertahan dalam daging, biasanya

mengalami inaktivasi 24-72 jam setelah penyembelihan.

4.1.2. Perkembangan Harga Daging Sapi Di Pasar Dunia

Harga daging sapi yang digunakan adalah harga daging sapi Australia dan

Selandia Baru dengan klasifikasi 85 persen lean fores, posisi CIF import price.

Perkembangan harga bulanan selama 14 tahun cenderung meningkat dengan sedikit

fluktuatif, kecuali kasus bulan juni 2014 hingga oktober 2014 melonjak tajam

(Gambar 4.5). Jika diagregasi menjadi harga rata-rata tahunan, sejak tahun 2006

harga daging sapi naik dari Rp 14.191 menjadi Rp 60.447/kg pada tahun 2015

(Gambar 4.6). Berdasarkan perilaku harga tahun-tahun sebelumnya, diperkirakan ke

depan harga daging sapi akan terus meningkat.

Page 38: OUTLOOK KOMODITAS PANGAN STRATEGIS TAHUN 2015-2019pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2016_07.pdf · Outlook komoditas tebu ini, menyajikan keragaan komoditas tebu di Indonesia

37

Sumber: World Bank, 2016 Gambar 4.5. Perkembangan Harga Bulanan Daging Sapi Dunia, Feb.i 2002-Oktober 2015

4.1.3. Komsumsi Dunia

Tingkat konsumsi daging sapi sangat dipengaruhi oleh harga. Selain itu,

faktor yang mempengaruhi konsumsi adalah tingkat pendapatan, jumlah penduduk,

dan pola makan serta jumlah pasokan. Secara visual, perkembangan konsumsi

daging sapi dunia mengikuti pola produksinya (Gambar 4.7 dan Gambar 4.1).

Namun tidak semua negara produsen utama merupakan negara konsumen utama.

Sumber: World Bank, 2015

Gambar 4.6. Perkembangan Harga Tahunan Daging Sapi Dunia, 2002- 2015

14191 (Juni 03)

71455 (Oktober '14)

56197Oktober'15

10000

20000

30000

40000

50000

60000

70000

Feb

-02

Sep

-02

Ap

r-03

No

v-03

Jun

-04

Jan

-05

Agu

-05

Mar

-06

Okt

-06

Me

i-0

7

Des

-07

Jul-

08

Feb

-09

Sep

-09

Ap

r-10

No

v-10

Jun

-11

Jan

-12

Agu

-12

Mar

-13

Okt

-13

Me

i-1

4

Des

-14

Jul-

15

Rp

/kg

19337

16967

22473

25412

23358

23787

42281

58724

60447

15000

20000

25000

30000

35000

40000

45000

50000

55000

60000

65000

2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015

Rp

/k

g

Page 39: OUTLOOK KOMODITAS PANGAN STRATEGIS TAHUN 2015-2019pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2016_07.pdf · Outlook komoditas tebu ini, menyajikan keragaan komoditas tebu di Indonesia

38

Sumber FAO dan USDA Gambar 4.7. Perkembangan Konsumsi Daging Sapi Dunia, 2000-2015

Gambar 4.8 menunjukkan bahwa Australia, Selandia Baru dan India

merupakan negara produsen utama tetapi bukan merupakan negara konsumen

utama. Itu artinya, ketiga negara ini berpotensi menjadi negara eksportir utama

dunia. Untuk kasus Australia dan Selandia Baru, jumlah penduduk yang relatif kecil

dibandingkan jumlah produksi daging sapi kedua negara, menyebabkan keduanya

tidak termasuk negara konsumen utama.

52.937

52.205

53.740 54.245

55.107 55.631

56.887

58.050 57.809

57.234

57.421

56.517

57.785

57.708

56.466

52.000

53.000

54.000

55.000

56.000

57.000

58.000

Konsumsi Daging Sapi Dunia (000 ton)

Page 40: OUTLOOK KOMODITAS PANGAN STRATEGIS TAHUN 2015-2019pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2016_07.pdf · Outlook komoditas tebu ini, menyajikan keragaan komoditas tebu di Indonesia

39

Peringkat Negara Konsumsi Domestik (1000 MT CWE)

1 United States 11,292.00

2 Brazil 7,905.00

3 EU-27 7,495.00

4 China 7,305.00

5 Argentina 2,500.00

6 Russian Federation 2,112.00

7 India 2,100.00

8 Mexico 1,845.00

9 Pakistan 1,661.00

10 Japan 1,228.00

11 Canada 925.00

12 Colombia 873.00

13 South Africa 847.00

14 Hong Kong 758.00

15 Korea, Republic Of 740.00

Sumber: USDA, 2015

Gambar 4.8. Lima Belas Negara Peringkat Utama Konsumen Daging Sapi (Beef dan Veal) di Dunia, 2015

Jika dipilah berdasarkan negara konsumen utama, konsumsi daging sapi

penduduk Amerika Serikat tertinggi di dunia, namun kecenderungan semakin

menurun. Hal yang sama juga terjadi pada negara Uni Eropa (Gambar 4.9). Pada

kedua negara ini, daging sapi bukan lagi merupakan barang mewah dan pola makan

sehat serta mengurangi obesitas diduga menyebabkan konsumsi yang cenderung

turun. Berbeda dengan kasus Meksiko, walaupun bukan termasuk negara maju

konsumsi daging sapi di negara ini cenderung menurun. Hal itu diduga lebih

disebabkan oleh perubahan pola makan berupa mengurangi konsumsi daging sapi.

Page 41: OUTLOOK KOMODITAS PANGAN STRATEGIS TAHUN 2015-2019pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2016_07.pdf · Outlook komoditas tebu ini, menyajikan keragaan komoditas tebu di Indonesia

40

Sumber: USDA, 2015

Gambar 4.9. Tiga Negara Konsumen Utama Daging Sapi dengan Pola Konsumsi

Menurun (Beef dan Veal) di Dunia, 2015

Kelompok kedua adalah negara dengan konsumsi daging sapi relatif stabil,

yaitu Jepang, Kanada, Rusia, Afrika Selatan dan Argentina (Gambar 4.10). Tiga

negara pertama termasuk kelompok negara maju (Amerika Serikat, Rusia, Jerman,

Jepang, Prancis, Italia, Inggris, dan Kanada).

Sumber: USDA, 2015

Gambar 4.10. Lima Negara Konsumen Utama Daging Sapi (Beef dan Veal) dengan Pola Konsumsi Stabil di Dunia, 2015

500

2500

4500

6500

8500

10500

12500

2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015

1000

MT

CW

E

Amerika Serikat Uni Eropa Meksiko

Page 42: OUTLOOK KOMODITAS PANGAN STRATEGIS TAHUN 2015-2019pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2016_07.pdf · Outlook komoditas tebu ini, menyajikan keragaan komoditas tebu di Indonesia

41

Kelompok ketiga adalah negara-negara dimana konsumsi daging sapinya

cenderung meningkat (Gambar 4.11). Tidak satu pun termasuk negara maju. Dua

negara besar yang konsumsinya meningkat tajam adalah China dan Brasil. Sebagai

dengan berpenduduk terbesar di dunia dan kawasannya berdekatan dengan

Indonesia, negara China merupakan potensi pasar daging sapi dunia terutama dari

Australia dan Selandia Baru. Bagi Indonesia posisi China seperti ini dapat sebagai

sesama importir yang saling bersaing untuk menadapatkan daging sapi dari Australia

dan Selandia Baru, juga dapat sebagai pasar daging sapi dari Indonesia, terutama

produk ternak dan daging sapi dari feedlotter Indonesia.

Sumber: USDA, 2015

Gambar 4.11. Tujuh Negara Konsumen Utama Daging Sapi (Beef dan Veal) dengan

Pola Konsumsi Meningkat (Beef dan Veal) di Dunia, 2015

4.1.4. Ekspor Impor

Ekspor dan impor daging sapi dunia menggambarkan kondisi penawaran dan

permintaan daging sapi dunia. Walaupun harga daging sapu di dunia terus

meningkan, impor daging sapi dunia dan ekspornya dari tahun ketahun cenderung

terus meningkat (Gambar 4.12). Permasalahannya adalah senjang data ekspor dan

impor dari tahun ketahun semakin membesar. Artinya ada ketidaksamaan

pencatatan, dimana pencatatan ekspor lebih besar dari impornya. Hal ini dapat

0

1000

2000

3000

4000

5000

6000

7000

8000

2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015

1000

MT

CW

E

Brasil Cina India HongkongPakistan Kolombia Korsel

Page 43: OUTLOOK KOMODITAS PANGAN STRATEGIS TAHUN 2015-2019pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2016_07.pdf · Outlook komoditas tebu ini, menyajikan keragaan komoditas tebu di Indonesia

42

disebabkan negara tujuan ekspor tidak melakukan pencatatan disebabkan oleh

penamaan kargo umum dan spesifik serta kemungkinan adanya pemasukan illegal

ke negara tujuan.

Sumber: USDA, 2015 Gambar 4.12. Ekspor-Impor Daging Sapi Dunia, 2000-2015

Ada negara yang melakukan ekspor tetapi juga melakukan impor daging sapi.

Hal ini dapat terjadi karena adanya perbedaan harga dikaitkan dengan daya beli

konsumen atau disebabkan oleh kualitas produk dikaitkan dengan preferensi

konsumen di suatu negara. Tabel 4.1 menunjukan 10 negara eksportir daging sapi di

dunia. Diantara negara eksportir utama ada juga yang melakukan impor dengan

volume lebih besar sehingga masuk kategori negara net importir. Pada Tabel 4.1

negara tersebut adalah Amerika Serikat dan Uni Eropa.

Delapan negara net ekportir daging sapi utama di dunia dapat dilihat pada

Gambar 4.13. Saat ini eksportir utama daging sapi ke Indonesia adalah Australia dan

Selandia Baru. Berdasarkan aspek kesehatan hewan, kedua negara ini bebas dari

penyakit PMK. Selain itu jarak tempuh transportasi perdagangan relatif lebih dekat

dibandingkan negara eksportir lainnya. Berdasarkan Organisasi Kesehatan Hewan

Dunia, beberapa negara bagian di Brazil merupakan zona bebas PMK. Jika Indonesia

menerima produk impor dari zona bebas, impor daging sapi dari Brazil. Hanya saja

5.000

5.500

6.000

6.500

7.000

7.500

8.000

8.500

9.000

9.500

10.000

2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015

Ekspor Dunia (000 ton) Impor Dunia (000 ton)

Page 44: OUTLOOK KOMODITAS PANGAN STRATEGIS TAHUN 2015-2019pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2016_07.pdf · Outlook komoditas tebu ini, menyajikan keragaan komoditas tebu di Indonesia

43

jarak dan waktu tempuhnya relatif lebih besar. Sementara itu, India belum bebas

OMK baik berbasis negara maupun zona.

Tabel 4.1. Sepuluh Negara Eksportir Utama Daging Sapi di Dunia, 2015

No Negara Vol. Ekspor (1000 MT) Vol. Impor (000 MT) Neraca

1 India 2400 0 2400

2 Brazil 2005 90 1915

3 Australia 1590 12 1578

4 Amerika Serikat 1098 1320 -222

5 Selandia Baru 555 15 540

6 Paraguay 440 2 438

7 Uruguay 375 1 374

8 Kanada 375 275 100

9 Uni Eropa 310 365 -55

10 Belarus 225 13 212

Sumber: USDA, 2015

Sumber: USDA, 2015

Gambar 4.13. Negara Net Eksportir Utama Daging Sapi di Dunia, 2015

0

500

1000

1500

2000

25002400

1915

1578

540 438 374212 100

Net Ekspor (1000 MT)

Page 45: OUTLOOK KOMODITAS PANGAN STRATEGIS TAHUN 2015-2019pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2016_07.pdf · Outlook komoditas tebu ini, menyajikan keragaan komoditas tebu di Indonesia

44

4.1.5. Stok Dunia

Untuk menjaga ketersedian pangan asal daging sapi beberapa negara

melakukan stok. Volume stok daging sapi dunia pada 10 tahun terakhir cenderung

menurun dibandingkan sebelumnya (Gambar 4.14). Hal itu diduga disebabkan oleh

semakin lancarnya keterjaminan pasokan yang didukung dengan sarana transportasi

serta penerapan manajemen rantai pasok pada perdagangan daging sapi dunia.

Sumber: USDA, 2015

Gambar 4.14. Stok Awal dan Akhir Tahun Daging Sapi Dunia, 2000-2015

400

500

600

700

800

900

1.000

1.100

2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015

Stok Awal (000 ton) Stok Akhir (000 ton)

Page 46: OUTLOOK KOMODITAS PANGAN STRATEGIS TAHUN 2015-2019pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2016_07.pdf · Outlook komoditas tebu ini, menyajikan keragaan komoditas tebu di Indonesia

45

4.2. Dinamika Pasar Domestik

4.2.1. Populasi Sapi dan Produksi Daging Sapi

Produksi daging sapi domestik dihasilkan dari pemotongan sapi dari populasi

yang ada. Produksi daging dari seekor sapi dipengaruhi oleh berat badan sapi,

komposisi karkas, dan rasio daging/tulang dari karkas. Untuk ras sapi persilangan

simental dan limosin yang merupakan turunan sapi eropa (bos taurus) produksi

dagingnya lebih tinggi dari sapi lokal seperti sapi bali (bos sondaicus) dan sapi PO

(bos indicus). Jenis kelamin juga menentukan produksi daging, dimana daging sapi

betina pada ras dan berat yang sama beratnya lebih ringan dari sapi jantan.

Saat ini masih banyak dijumpai pemotongan sapi betina produktif dan sapi

jantan yang belum mencapai berat potong maksimal. Oleh karena itu, untuk

menghasilkan produksi daging tertentu membutuhkan pemotongan sapi lebih

banyak dari seharusnya. Dilihat dari sisi sumberdaya, hal seperti ini tentu tidak

menguntungkan karena akan mempercepat pengurasan populasi. Apalagi siklus

reproduksi dan produksi ternak sapi relatif lebih lama. Gambar 4.15 menunjukkan

perkembangan populasi ternak dan produksi daging sapi di Indonesia selama 14

tahun terakhir.

Sumber: BPS, 2001-2014

Gambar 4.15. Perkembangan Populasi Ternak dan Produksi Daging Sapi di Indonesia

2000-2013

Ada dua sumber data produksi daging, yaitu dari Neraca Bahan Makanan

(NBM) yang diterbitkan Badan Ketahanan Pangan (BKP) Kementerian Pertanian dan

100

150

200

250

300

350

400

450

500

550

8000

9000

10000

11000

12000

13000

14000

15000

16000

17000

2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013

Populasi (ribu ekor) Prod-NBM (ribu ton) Prod-SI (ribu ton)

Page 47: OUTLOOK KOMODITAS PANGAN STRATEGIS TAHUN 2015-2019pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2016_07.pdf · Outlook komoditas tebu ini, menyajikan keragaan komoditas tebu di Indonesia

46

dari BPS. Data pada NBM adalah daging yang langsung digunakan untuk bahan

makanan, sedangkan data dari BPS termasuk daging yang diolah untuk produk

hilirnya.

Gambar 4.15 menunjukkan bahwa arah pertumbuhan populasi dan produksi

daging sapi cenderung sama, namun pergerakan kurva produksi daging sapi relatif

fluktuatif. Hal itu disebabkan produksi daging sapi lebih respon terhadap perubahan-

perubahan dalam jangka relatif pendek, seperti kebijakan impor, permintaan

musiman dan kenaikan pendapatan. Sementara itu, populasi sapi perubahannya

memerlukan waktu relatif lama sesuai siklus produksi.

Jika diamati lebih jauh, kenaikan produksi daging agak tajam pada 2003-

2004, menyebabkan populasi turun dan naik kembali pada tahun 2006. Ini dapat

diartikan, jika tidak ada upaya khusus, pemotongan sapi yang tinggi menyebabkan

pengurasan populasi. Sejak tahun 2006 – 2013 secara bertahap populasi sapi terus

naik. Kenaikan ini antara lain dapat disebabkan adanya program swasembada

daging sapi oleh Pemerintah selama dua periode yaitu 2005-2009 dan 2010-2014.

Kasus pengurasan populasi tersebut terekam dari data Badan Pusat Statistik.

Pada tahun 2011, saat pemerintah menetapkan pangsa produksi sapi lokal untuk

penawaran dalam negeri 65,09 persen populasi sapi saat itu 14,8 juta ekor. Ketika

tahun 2013, pangsa tersebut ditingkatkan menjadi 86,31persen, populasi menurun

tajam hingga 12,7 juta ekor (Ditjen PKH, 2015).

4.2.2. Konsumsi

Produksi daging sapi domestik tidak mampu memenuhi konsumsi yang terus

meningkat. Tabel 4.2 menunjukkan bahwa untuk memenuhi konsumsi domestik

yang diindikasikan oleh ketersediaan daging sapi, Indonesia harus memenuhinya

dari Impor. Ada dua bentuk produk yang diimpor yaitu berupa daging sapi dan sapi

bakalan. Sapi bakalan yang diimpor maksimal beratnya 350 kg/ekor untuk

digemukkan selama sekitar 100 hari sehingga berat potongnya mencapai 450-550

kg/ekor.

Page 48: OUTLOOK KOMODITAS PANGAN STRATEGIS TAHUN 2015-2019pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2016_07.pdf · Outlook komoditas tebu ini, menyajikan keragaan komoditas tebu di Indonesia

47

Pertumbuhan konsumsi (4,33%/th) lebih tinggi dari produksi (3,89%/th) daging

sapi di dalam negeri. Demikian pula pertumbuhan impor baik daging (14,39%/th)

maupun sapi bakalan (10,87%/th) jauh lebih tinggi dari pertumbuhan produksi dan

konsumsi. Prospek permintaan yang tinggi ini mendorong meningkatnya pelaku

impor karena usaha ini dinilai sangat menguntungkan (Ilham, et al., 2015).

Tabel 4.2. Pasokan dan Ketersediaan Daging Sapi Indonesia, 2000-2013

Tahun

Neraca Daging Sapi (000 ton)

Produksi

Domestik

Eks Impor

Sapi Bakalan Impor Ekspor

Tercece

r

Tersedia untuk

Konsumsi

2000 289,43 50,47 27,00 0,03 12,00 354,87

2001 28.44 49,26 16,50 0,18 12,00 343,02

2002 257,74 72,56 11,50 0,08 10,00 331,72

2003 303,83 65,87 10,70 0,11 12,00 368,29

2004 386,42 61,18 11,80 0,02 14,00 445,38

2005 299,50 59,20 21,50 0,10 12,00 368,10

2006 330,03 65,77 25,90 0,01 13,00 408,69

2007 251,54 87,96 39,40 0,05 12,00 366,85

2008 282,79 109,71 45,60 0,06 14,00 424,04

2009 277,80 131,50 67,40 0,01 16,00 460,69

2010 347,81 88,64 90,50 0,00 18,00 508,95

2011 414,94 70,39 65,00 0,00 18,00 532,33

2012 461,48 47,43 39,40 0,00 17,00 531,30

2013 423,86 76,94 47,70 0,00 18,00 530,50

2014 416,03 123,93 76,90 0,00 18,00 598,86

R (%/thn) 3,89 10,87 14,39 - 3,58 4,33

Sumber: MLA, 2016 (diolah); Ditjen Peternakan dan Kesehatan Hewan, 2005, 2008, 2009, 2011,

2013, dan 2015.

Page 49: OUTLOOK KOMODITAS PANGAN STRATEGIS TAHUN 2015-2019pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2016_07.pdf · Outlook komoditas tebu ini, menyajikan keragaan komoditas tebu di Indonesia

48

Dinamika pangsa pasokan daging sapi domestik 15 tahun terakhir dapat

dilihat pada Tabel 4.3. Rata-rata pangsa pasokan pertahun dalam kurun lima

tahunan dapat dilihat pada Gambar 4.16. Produksi daging sapi domestik masih

memegang peranan penting dengan pangsa yang fluktuatif antara 58 persen – 84

persen. Selebihnya dari impor sapi bakalan dan impor daging sapi.

Jika dipilah menjadi tiga penggal lima tahunan, sejalan dengan program

swasembada daging sapi 2000-2004, 2005-2009, dan 2010-2014, dapat diperoleh

informasi sebagai berikut: (1) Program swasembada 2000-2004 yang tidak didukung

dana secara khusus tidak mampu mempertahankan pangsa produksi domestik, dan

setelah ada dukungan dana, 2005-2009 dan 2010-2014, baru terlihat meningkatkan

pangsa; (2) Pangsa daging impor terus meningkat, diduga karena berkembangnya

industri wisata dan kuliner yang membutuhkan daging kualitas prima asal impor,

serta makin meningkatnya minta konsumen mengkonsumsi daging sapi beku; dan

(3) Terlihat ada daya desak pangsa impor sapi bakalan dengan produksi domestik.

Tabel 4.3. Dinamika Pangsa Pasokan Daging Sapi Indonesia menurut Sumber, 2000-2014

Tahun

Pangsa Pasokan (%)

Dalam Negeri Eks Sapi Bakalan

Impor Daging Impor Total

2000 78,9 13,8 7,4 100,0

2001 81,5 13,9 4,6 100,0

2002 75,4 21,2 3,4 100,0

2003 79,9 17,3 2,8 100,0

2004 84,1 13,3 2,6 100,0

2005 78,8 15,6 5,7 100,0

2006 78,3 15,6 6,1 100,0

2007 66,4 23,2 10,4 100,0

2008 64,5 25,0 10,4 100,0

2009 58,3 27,6 14,1 100,0

2010 66,0 16,8 17,2 100,0

2011 75,4 12,8 11,8 100,0

2012 84,2 8,7 7,2 100,0

2013 77,3 14,0 8,7 100,0

2014 67,4 20,1 12,5 100,0 Sumber: MLA, 2016 (diolah); Ditjen Peternakan dan Kesehatan Hewan, 2005, 2008, 2009, 2011,

2013, dan 2015.

Berdasarkan negara asal, impor sapi bakalan Indonesia seluruhnya berasal

dari Australia. Bahkan ekspor sapi bakalan Australia sebagian besar ditujukan ke

Page 50: OUTLOOK KOMODITAS PANGAN STRATEGIS TAHUN 2015-2019pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2016_07.pdf · Outlook komoditas tebu ini, menyajikan keragaan komoditas tebu di Indonesia

49

Indonesia (Tabel 4.4 dan Gambar 4.17). Ini berarti, saat ini ketergantungan pasokan

sapi bakalan Indonesia terhadap Australia cukup tinggi. Hal itu dikarenakan jarak

tempuh yang lebih dekat dan terkait dengan aturan karantina, dimana sapi asal

Australia bebas penyakit PMK. Jika dilihat dari nilai koefisien variasi, impor sapi

bakalan Indonesia lebih fluktuatif dibandingkan ekspor sapi bakalan Australia secara

menyeluruh. Tingkat fluktuasi tersebut sangat dipengaruhi oleh isu yang

mempengaruhi besaran volume perdagangan sapi bakalan tersebut, seperti issu

penerapan kesejahteraan hewan dan issu swasembada daging sapi di Indonesia.

Sumber: MLA, 2016; Ditjen PKH, 2005, 2008, 2009, 2011, 2013, dan 2015

Gambar 4.16. Dinamika Pangsa Pasokan Daging Sapi Indonesia Per Lima Tahunan

0,0

10,0

20,0

30,0

40,0

50,0

60,0

70,0

80,0

2000-04 2005-09 2010-14

79,9

69,274,0

15,9 21,414,5

4,2

9,4 11,5

Prod Dalam Negeri Impor Sapi Bakalan Impor Daging Sapi

Page 51: OUTLOOK KOMODITAS PANGAN STRATEGIS TAHUN 2015-2019pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2016_07.pdf · Outlook komoditas tebu ini, menyajikan keragaan komoditas tebu di Indonesia

50

Tabel 4.4. Perkembangan Volume dan Pangsa Ekspor Sapi Bakalan Sapi Bakalan

Australia ke Indonesia, 2000-September 2015

Tahun Total (ekor) Indonesia (ekor) Pangsa (%)

2000 895.982 296.653 33

2001 822.474 289.525 35

2002 971.880 426.458 44

2003 774.248 387.160 50

2004 637.748 359.560 56

2005 572.799 347.967 61

2006 634.314 386.566 61

2007 719.482 516.992 72

2008 868.510 644.849 74

2009 954.143 772.868 81

2010 874.916 521.002 60

2011 694.796 413.726 60

2012 619.418 278.767 45

2013 850.273 452.239 53

2014 1.292.202 728.404 56

2015 995.738 420.184 42

Rataan 823.683 452.683 55

SD 183.244 149.900 CV 0,22 0,33 Sumber: MLA, 2015 (diolah)

Sumber: MLA, 2015

Gambar 4.17. PerkembanganVolume dan Pangsa Ekspor Sapi Bakalan Australia ke Indonesia, 2000-Sept 2015

33

56 61

72

81

60

45

56

42

0

10

20

30

40

50

60

70

80

90

0

200000

400000

600000

800000

1000000

1200000

1400000

2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015

Total (ekor) Indonesia (ekor) Pangsa (%)

Page 52: OUTLOOK KOMODITAS PANGAN STRATEGIS TAHUN 2015-2019pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2016_07.pdf · Outlook komoditas tebu ini, menyajikan keragaan komoditas tebu di Indonesia

51

Sumber pasokan daging impor untuk Indonesia sebagian besar juga dari

Australia, yaitu mencapai 76,18 persen kemudian diikuti oleh Selandia Baru 20,70

persen. Alasanya sama dengan kasus impor sapi bakalan. Kondisinya selama dua

tahun terakhir dapat dilihat pada Tabel 4.5.

Tabel 4.5. Volume Impor Daging Sapi Indonesia menurut Negara Asal dan Potongan

Daging, 2012-2013

Jenis Potongan /Kode HS Tahun Singapura Australia

Selandia

Baru

Amerika

Serikat Jumlah

Potongan lain daging sapi segar

atau dingin / 201200000

2012 0 29,7 0,0 0,0 29,7

2013 0 333,9 87,5 0,0 421,4

Daging tanpa tulang segar atau

dingin / 201300000

2012 0 1.887,7 131,4 28,8 2.047,9

2013 0,2 2.478,1 227,1 12,7 2.718,1

Karkas beku / 202100000

2012 0 106,8 0,0 17,7 124,5

2013 0 0 0,0 0,0 0,0

Potongan lain daging sapi

dengan tulang-beku / 202200000

2012 0 665,3 181,1 81,0 927,4

2013 0 2.003,9 457,0 333,8 2.794,7

Daging beku / 202300000

2012 0 223,0 7.140,7 866,3 30.377,0

2013 39,1 30.312,3 8.132,4 1.085,7 39.569,5

Jumlah 39,3 60.187,7 16.357,2 2.426,0 79.010,2

Pangsa (%) 0,05 76,18 20,70 3,07 100,00

Sumber: BPS, 2014b (diolah)

4.2.3. Perkembangan Harga Daging Sapi Nasional

Selama 10 tahuan terakhir harga daging sapi di Indonesia terus meningkat.

Nilai R2 0,963 menunjukkan bahwa waktu mementukan besarnya harga daging sapi.

Fenomena yang terjadi waktu menjelang bulan puasa dan Idul Fitri merupakan saat-

saat harga daging sapi meningkat. Peningkatan tersebut lebih disebabkan

permintaan yang tinggi. Setelah kenaikan harga pada saat ini, tidak diikuti

Page 53: OUTLOOK KOMODITAS PANGAN STRATEGIS TAHUN 2015-2019pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2016_07.pdf · Outlook komoditas tebu ini, menyajikan keragaan komoditas tebu di Indonesia

52

penurunan sehingga harga kembali ke posisi sebelum kenaikan. Perilaku harga yang

demikian menyebabkan harga daging sapi naik terus menerus (Gambar 4.18).

Harga berat hidup sapi di tingkat produsen pertumbuhannya relatif lambat.

Pada periode waktu yang sama, yaitu Januari 2005 sampai dengan Juni 2011,

koefisien variasi harga daging dan ternak sapi relatif sama. Hanya saja, selain waktu,

harga sapi ditentukan juga oleh faktor lainnya. Setidaknya dua faktor yang

menentukan adalah komposisi karkas dan rasio daging/tulang dari karkas tersebut.

Kedua factor tersebut ditentukan lagi oleh ras sapi dan kondisi tubuh sapi (body

score condition).

Sumber: Pusdatin

Gambar 4.18. Perkembangan Harga Daging Sapi di Tingkat Konsumen dan Harga

Sapi Hidup di Tingkat Produsen di Indonesia, Januari 2005 – Juli 2015

Kasus yang pernah terjadi, operasi pasar dalam bentuk mendatangkan sapi

saat-saat harga daging sapi sedang menaik tidak menurunkan harga daging sapi.

Hal itu dapat disebabkan yang diminta konsumen adalah daging sapi, sedangkan

proses perubahan bentuk dari ternak sapi menjadi daging sapi melibatkan pedagang

yang umumnya memanfaatkan waktu itu untuk memperoleh keuntungan lebih

besar. Pada sisi lain banyaknya sapi akibat operasi pasar menurunkan harga sapi di

y = 522x + 31080R² = 0,963

CV = 0,30

y = 138,9x + 16723R² = 0,457

CV = 0,21

10000

20000

30000

40000

50000

60000

70000

80000

90000

100000

110000

2005M

1

2005M

5

2005M

9

2006M

1

2006M

5

2006M

9

2007M

1

2007M

5

2007M

9

2008M

1

2008M

5

2008M

9

2009M

1

2009M

5

2009M

9

2010M

1

2010M

5

2010M

9

2011M

1

2011M

5

2011M

9

2012M

1

2012M

5

2012M

9

2013M

1

2013M

5

2013M

9

2014M

1

2014M

5

2014M

9

2015M

1

2015M

5

Rp/kg Harga Konsumen

Rp/kgBH Harga Produsen

Y=449,4x + 33952

R2= 0,935

CV = 0,20

Page 54: OUTLOOK KOMODITAS PANGAN STRATEGIS TAHUN 2015-2019pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2016_07.pdf · Outlook komoditas tebu ini, menyajikan keragaan komoditas tebu di Indonesia

53

tingkat peternak, sehingga merugikan peternak. Operasi pasar daging sapi juga

dilakukan, namun hanya spot-spot dan kualitas dagingnya kurang diminati

konsumen akibat tingginya kandungan lemak. Operasi pasar seperti ini hanya

menguntungkan pedagang pemotong, merugikan peternak, dan tidak kurang pada

konsumen.

Berdasarkan pengalaman di atas, operasi pasar sebaiknya dilakukan dalam

bentuk daging beku yang tidak banyak mengandung lemak. Operasi pasar tidak

hanya di supermarket dan pasar tradisional, tetapi di freezer point (termasuk TTI-

Toko Tani Indonesia) yang ada di komplek-komplek perumahan dan pemukiman

penduduk. Rencana akan dilakukan operasi pasar disebarkan kepada masyarakat

melalui berbagai media agar tidak terjadi panic buying yang menyebabkan harga

meningkat. Kalaupun dalam bentuk ternak sapi, dilakukan sebelum harga daging

mulai naik.

Page 55: OUTLOOK KOMODITAS PANGAN STRATEGIS TAHUN 2015-2019pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2016_07.pdf · Outlook komoditas tebu ini, menyajikan keragaan komoditas tebu di Indonesia

54

4.3. Kebijakan Pengembangan Ternak dan Daging Sapi

Di pasar internasional ternak dan daging sapi Indonesia merupakan negara

kecil. Oleh karena itu, pengembangan ternak dan daging sapi di Indonesia tidak

hanya dipengaruhi faktor-faktor internal seperti kebijakan pemerintah, tetapi juga

kebijakan negara importir dan eksportir ternak dan daging sapi besar di dunia dan

kondisi perekonomian dunia secara umum serta perilaku pasar daging sapi di pasar

internasional. Berikut disajikan hal-hal yang terkait dengan faktor-faktor internal dan

eksternal yang diperkirakan mempengaruhi kondisi pasar ternak dan daging sapi di

Indonesia.

4.3.1. Faktor-faktor Eksternal

Produksi daging sapi di negara produsen utama stagnan dan cenderung

turun, kecuali Brasil, China dan India. Pada sisi lain, konsumsi daging sapi negara

konsumen utama seperti Amerika Serikat dan Uni Eropa mengalami penurunan dan

Rusia serta Argentina stagnan. Sementara itu, Brasil, China dan India mengalami

peningkatan. Sebagai negara besar di pasar internasional, turunnya konsumsi di

Amerika Serikat dan Uni Eropa akan mempengaruhi pasar sehingga harga daging di

pasar internasional sejak 2014-2015 mengalami penurunan. Menurut Balk (2015),

saat ini semakin banyak orang di Uni Eropa dan Amerika Serikat mengurangi

konsumsi daging pribadi mereka, bahkan beberapa memilih untuk tidak makan

daging sama sekali.

Penurunan permintaan ini akan mengubah arah perdagangan daging sapi di

pasar internasional. Produk-produk dari negara eksportir utama akan beralih ke

negara-negara baru berkembang (emerging market) dimana permintaannya masih

meningkat seperti Pakistan, Korea Selatan, Hongkong dan termasuk Indonesia.

Turunnya permintaan di Amerika Serikat dan Uni Eropa akan menyebabkan adanya

kelebihan pasokan yang juga akan dipasarkan ke arah dengan emerging market.

Kalau ini terjadi maka kecenderungan harga daging sapi di pasar dunia akan

menurun, kecuali terjadi pertumbuhan ekonomi di negara-negara emerging market

yang menyebabkan permintaan terhadap daging sapi naik signifikan. Namun sejak

2012-2014 pertumbuhan ekonomi dunia mengalami masa stagnan (Gambar 4.19).

Page 56: OUTLOOK KOMODITAS PANGAN STRATEGIS TAHUN 2015-2019pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2016_07.pdf · Outlook komoditas tebu ini, menyajikan keragaan komoditas tebu di Indonesia

55

Sumber: World Bank, 2016

Gambar 4.19. Pertumbuhan Ekonomi Dunia, beberapa Kawasan dan Negara, 2006-2014

Tiga negara net eksportir utama daging sapi di dunia adalah India, Brasil dan

Australia. Australia merupakan negara bebas penyakit PMK, Brasil beberapa negara

bagiannya bebas penyakit PMK, sedangkan India belum. Berdasarkan status

penyakit itu, Indonesia yang juga merupakan negara bebas penyakit PMK hanya

mungkin melakukan impor dari Australia, kecuali Indonesia beralih menganut zona-

base terkait penyakit PMK maka Indonesia dapat mengimpor daging sapi dari Brasil.

4.3.2. Faktor-Faktor Internal

Pada tiga periode lima tahun sebelumnya pemerintah telah melaksanakan

program swasembada daging sapi. Menurut Ashari et al., (2012) dua program

swasembada 2005 dan 2010 tidak berhasil karena kurang mendapat dukungan

anggaran, sedangkan program swasembada daging sapi 2014 (PSDSK 2014)

dirancang lebih komprehensif dengan acuan yang jelas berupa blue print, pedoman

umum, petunjuk pelaksana, petunjuk teknis, unit manajemen dan pendanaan untuk

melaksanakan lima kegiatan pokok dan 13 kegiatan operasional.

-4,5

-2,5

-0,5

1,5

3,5

5,5

7,5

9,5

2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014

Dunia AS Asia Selatan Meksiko Uni Eropa Asia Timur & Pasifik

Page 57: OUTLOOK KOMODITAS PANGAN STRATEGIS TAHUN 2015-2019pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2016_07.pdf · Outlook komoditas tebu ini, menyajikan keragaan komoditas tebu di Indonesia

56

Setiap kegiatan pokok terdiri dari kegiatan beberapa operasional. Kegiatan

pokok penyediaan bakalan/daging sapi lokal, memiliki empat kegiatan operasional:

(1) pengembangan usaha pembiakan/penggemukan sapi lokal, (2) pengembangan

pupuk organik dan biogas, (3) pengembangan integrasi ternak dan tanaman, dan

(4) pemberdayaan dan peningkatan kualitas rumah potong hewan. Kegiatan pokok

peningkatan produktivitas dan reproduktivitas sapi lokal, memiliki tiga kegiatan

operasional: (1) optimalisasi inseminasi buatan dan inseminasi kawin alam, (2)

penyediaan dan pengembangan pakan dan air, dan (3) penanggulangan gangguan

reproduksi dan peningkatan layanan kesehatan. Kegiatan pokok pencegahan

pemotongan sapi betina produktif memiliki satu kegiatan operasional yaitu

penyelamatan sapi betina produktif. Kegiatan pokok penyediaan bibit sapi lokal,

memiliki tiga kegiatan operasional: (1) penguatan wilayah sumber bibit dan

kelembagaan usaha pembibitan, (2) pengembangan usaha pembibitan sapi potong

melalui village breeding centre, dan (3) penyediaan sapi bibit melalui subsidi bunga.

Kegiatan pokok pengaturan stok daging sapi dalam negeri, memiliki dua kegiatan

operasional: (1) pengaturan stok sapi bakalan dan daging, dan (2) pengaturan

distribusi dan pemasaran sapi/daging.

Pada lima tahun ke depan 2015-2019, program pemerintah dalam bidang

peternakan yang dikelola Ditjen Peternakan dan Kesehatan Hewan adalah Program

Peningkatan Produksi Daging. Konsep yang digunakan adalah Sentra Peternakan

Rakyat dimana untuk ternak sapi ditargetkan populasi pada tahun 2019 adalah

14,90 juta ekor. Secara menyeluruh alokasi anggaran 33,54 persen diperuntukan

pada upaya peningkatan produksi ternak; 26,88 persen untuk peningkatan produksi

pakan; 12,72 persen untuk untuk pengendalian dan penanggulangan penyakit

hewan menular strategis dan zoonosis; 11,78 persen untuk peningkatan kuantitas

dan kualitas benih dan bibit ternak; dan sisanya untuk penjaminan produk Hewan

yang ASUH dan berdaya saing, serta dukungan manajemen dan dukungan teknis

Lainnya (Ditjen PKH, 2015).

Tingginya alokasi untuk peningkatan produksi karena ada pengadaan sapi

indukan impor Brahman cross dan kegiatan gertak birahi dan inseminasi buatan.

Tiga porsi alokasi terbesar diharapkan dapat memicu peningkatan produksi daging

Page 58: OUTLOOK KOMODITAS PANGAN STRATEGIS TAHUN 2015-2019pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2016_07.pdf · Outlook komoditas tebu ini, menyajikan keragaan komoditas tebu di Indonesia

57

terutama daging sapi. Namun pada tahun 2015 dialokasikan dana APBN sebesar Rp

3,15 Triliun, namun realisasinya hingga 13 Januari 2016 hanya 71,25% (Kemenkeu,

2016). Pengadaan indukan sapi tahun 2015 tidak dapat dilakukan karena terhambat

masalah lelang. Diharapkan tahun 2016 kegiatan tersebut akan dapat dilaksanakan

sesuai rencana, Program pemerintah yang pada periode ini diharapkan dapat

meningkatkan atau paling tidak mempertahan produksi daging sapi nasional.

Secara agregat, pertumbuhan ekonomi Indonesia terus membaik.

Pertumbuhan itu tidak hanya terjadi pada sentra pemerintahan di DKI dan Jawa

Barat saja, tetapi juga pada beberapa daerah lain yang dipicu oleh berkembangnya

usaha perkebunan dan pertambangan di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan

Papua. Selain itu, industri kuliner juga berkembang hampir di semua kota. Kondisi

tersebut membutuhkan pasokan bahan pangan yang berkualitas seperti daging sapi.

Ini berarti permintaan terhadap daging sapi nasional cenderung terus meningkat.

Naiknya permintaan terhadap daging sapi diduga masih tidak cukup hanya

mengandalkan pasokan produksi lokal. Hal itu terindikasi oleh naiknya harga daging

sapi. Oleh karena itu, sebagian pasokan dipenuhi dari produk impor. Kondisi yang

demikian merupakan peluang sekaligus tantangan bagi Indonesia untuk

meningkatkan produksi daging sapi di dalam negeri.

4.4. Outlook Komoditas Daging Sapi Indonesia

Pada komoditas daging sapi ada lima peubah penting yang perlu diperkirakan

perkembangannya selama lima tahun ke depan. Kelima peubah tersebut adalah

populasi sapi potong, produksi daging sapi, permintaan daging sapi, harga daging

sapi dan net impor daging sapi. Proyeksi yang dilakukan menggunakan tiga

skenario, yaitu: I: kondisi normal; II: kondisi La Nina; dan III: kondisi El Nino

menggunakan data dasar 1993-2015 (Setiyanto, et al. 2014). Ketiga kondisi tersebut

diproksi dengan tingkat produktivitas.

4.4.1. Populasi Sapi Potong

Pertambahan populasi sapi dipengaruhi oleh banyak faktor, diantaranya

jumlah kelahiran, jumlah kematian dan jumlah sapi yang dipotong untuk konsumsi.

Page 59: OUTLOOK KOMODITAS PANGAN STRATEGIS TAHUN 2015-2019pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2016_07.pdf · Outlook komoditas tebu ini, menyajikan keragaan komoditas tebu di Indonesia

58

Sesuai hasil sensus pertanian BPS, populasi sapi di Indonesia pada tahun 2013

mengalami penurunan dari 15,98 juta ekor tahun 2012 menjadi 12,69 juta ekor

tahun 2013. Penurunan tersebut disebabkan banyak pemotongan sapi domestik

akibat pembatasan impor ternak dan daging sapi (Bappenas, 2014).

Berdasarkan data dasar 1993-2013, diproyeksikan populasi sapi tahun 2015

menurut skenario I, II dan III adalah 13,84 juta ekor, 12,26 juta ekor, dan 13,64

juta ekor. Angka ini lebih baik dari kondisi 2013, kecuali untuk skenario II, namun

jauh di bawah angka populasi yang dilaporkan Ditjen PKH pada tahun 2014 yaitu

14,73 juta ekor. Kenaikan populasi pada tahun 2014, sangat memungkinkan terjadi

karena pasokan impor pada tahun 2014 meningkat kembali dan hal ini dapat

membatasi pemotongan sapi domestik.

Pelajaran yang dapat ditarik dari proyeksi berdasarkan tiga skenario yang ada

bahwa, kebijakan impor ternak dan daging sapi sesuai kebutuhan dalam negeri yang

selama ini dilakukan dalam kondisi iklim normal mampu meningkatkan populasi sapi

dengan pertumbuhan 5,6 persen per tahun. Angka hasil proyeksi pada kondisi

normal lebih baik dari dua kondisi tidak normal yaitu kondisi La Nina dan El Nino

(Gambar 4.20 dan Tabel 4.6).

Sumber: BPS, 2011a; BPS, 2013a dan Ditjen PKH, 2015a Gambar 4.20. Populasi Tahun 2000-2014 dan Proyeksi Populasi Sapi Potong di

Indonesia Tahun 2015-2019 (000 ekor)

Page 60: OUTLOOK KOMODITAS PANGAN STRATEGIS TAHUN 2015-2019pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2016_07.pdf · Outlook komoditas tebu ini, menyajikan keragaan komoditas tebu di Indonesia

59

Tabel 4.6. Proyeksi Populasi Sapi di Indonesia Tahun 2015-2019 (000 ekor)

Tahun Skenario I (Normal) Skenario II (La

Nina) Skenario III (El Nino)

2015 13.836 12.255 13.638

2016 15.270 13.219 14.603

2017 15.817 13.316 14.655

2018 16.476 13.412 14.762

2019 17.180 13.508 14.886

R (%/thn) 5,6 2,5 2,2

Jika dibandingkan skenario II (La Nina) dan III (El Nino), populasi sapi akan

bertambah lebih banyak pada kondisi El Nino, padahal pada saat itu diperkirakan

stok pakan mengalami penurunan. Namun dengan menggunakan pakan dari produk

samping yang berasal dari tanaman dan industri pertanian, serta berkembangnya

teknologi pengolahan pakan yang dilengkapi sarana berupa bank-pakan baik dalam

bentuk silo dan hay,kebutuhan pakan masih dapat dipenuhi. Sebaliknya pada kondisi

La Nina, curah hujan yang tinggi dapat meningkatkan angka kematian pedet akibat

infeksi pusar dan kematian sapi akibat memakan hijauan muda yang dapat

menimbulkan penyakit kembung perut (grass tetani)’

Pelajaran yang dapat ditarik dari proyeksi berdasarkan tiga skenario yang ada

bahwa untuk meningkatkan populasi sapi nasional, selain kebijakan ekonomi seperti

pengendalian impor ternak dan daging sapi, kebijakan teknis terkait budidaya sapi

(good farming practice) perlu mendapat perhatian. Hal-hal yang perlu diperhatikan

adalah penyediaan pakan untuk kebutuhan sehari-hari dan stok untuk penyediaan

musim-musim kelangkaan pakan. Kesehatan sapi saat sebelum sapih perlu

mendapat perhatian, terutama untuk menghindari infeksi pusar. Pengaturan

perkawinan agar sapi tidak lahir pada musim hujan yang sudah dilakukan pada

beberapa peternak/perusahaan dapat diadopsi dalam kawasan yang lebih luas.

4.4.2. Produksi Daging Sapi

Produksi daging sapi berasal dari hasil proses pemotongan sapi. Bisa saja

terjadi tersedia sapi siap potong dalam jumlah tertentu, tetapi pemiliknya belum

menjualnya untuk dipotong sehingga produksi daging sapi tidak sesuai dengan

potensi yang ada. Kondisi seperti ini masih terjadi pada industri sapi potong

Page 61: OUTLOOK KOMODITAS PANGAN STRATEGIS TAHUN 2015-2019pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2016_07.pdf · Outlook komoditas tebu ini, menyajikan keragaan komoditas tebu di Indonesia

60

nasional. Sapi yang diusahakan oleh sebagian peternak masih merupakan tabungan.

Peternak menjual sapi yang diusahakannya saat membutuhkan dana untuk rumah

tangga, seperti: untuk biaya sekolah anak, biaya membangun dan memperbaiki

rumah, membeli kendaraan, biaya berangkat haji. Tingginya daya saing harga sapi

eks impor yang dihasilkan perusahaan feedlotter menyebabkan sebagian besar

peternak penggemukan sapi hanya menjual sapi miliknya menjelang hari raya Idul

Adha, di mana pada saat itu harga sapi jantan jauh lebih mahal dibandingkan harga

saat kondisi di luar itu.

Faktor penting lain yang perlu diperhatikan adalah volume daging yang

dihasilkan dari seekor sapi dipengaruhi oleh berat hidup dan berat karkas sapi.

Kedua hal itu dipengaruhi oleh ras sapi dan teknik pemeliharaan. Ini artinya untuk

menghasilkan jumlah daging sapi tertentu dapat dihasilkan dari jumlah sapi potong

yang berbeda-beda. Sebagai contoh, lima ekor sapi persilangan simental, rata-rata

berat hidup 500 kg, diperkirakan mampu menghasilkan daging 900 kg daging.

Berbeda dengan lima ekor sapi PO, rata-rata berat hidup 500 kg, hanya mampu

menghasilkan daging sekitar 812 kg daging. Kenyataannya, kondisi sapi yang

dipotong di Indonesia bervariasi pada berbagai tempat.

Kaitan skenario proyeksi dengan produksi daging sapi adalah kondisi berat

badan sapi siap potong. Berat badan sapi dipengaruhi oleh ketersediaan pakan.

Ketersediaan pakan dipengaruhi oleh musim. Pada musim penghujan ketersedian

pakan lebih banyak dibandingkan musim kemarau. Namun demikian dengan teknik

pengolahan pakan dan sistem stok pakan yang baik maka musim tidak

mempengaruhi ketersediaan pakan. Namun hingga saat ini untuk kondisi Indonesia,

belum semua produsen sapi potong terutama small holder, telah mengaplikasikan

teknologi dan penyimpanan pakan. Gambar 4.21 memperlihatkan hasil proyeksi

produksi daging sapi 2015-2019 berdasarkan skenario normal, La Nina, dan El Nino.

Page 62: OUTLOOK KOMODITAS PANGAN STRATEGIS TAHUN 2015-2019pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2016_07.pdf · Outlook komoditas tebu ini, menyajikan keragaan komoditas tebu di Indonesia

61

Sumber:Ditjen PKH, 2015a Gambar 4.21. Produksi Tahun 2000-2014 dan Proyeksi Produksi Daging Sapi di

Indonesia Tahun 2015-2019(000 ton)

Pada kondisi normal produksi daging sapi terus meningkat dan besarannya

lebih tinggi dari skenarion adanya dampak perubahan iklim. Pada kondisi La Nina,

secara alamiah rumput lebih meningkat produksinya, sehingga banyak peternak

yang mempertahankan sapinya untuk digemukkan. Sementara itu, pada kondisi El

Nino, produksi rumput menurun dan harga pakan cenderung meningkat. Untuk

menghindari risiko kerugian peternak banyak menjual sapi untuk dipotong sebelum

kondisi berat badan sapi mengalami penurunan akibat keterbatasan pakan. Ada juga

peternak yang mempertahankan sapinya dengan alasan sebagai sapi bibit dan

indukan untuk berkembang biak. Agar kondisi tubuh sapi tidak turun drastis, untuk

mendapatkan pakan yang berkualitas dengan terpaksa menjual sapi yang kurang

produktif di mana hasil penjualannya digunakan untuk membeli pakan. Berdasarkan

hal itu, produksi daging sapi pada saat El Nino lebih tinggi dibandingkan saat La

Nina.

4.4.3. Permintaan Daging Sapi

Permintaan terhadap daging sapi dipengaruhi oleh harga, pendapatan dan

jumlah penduduk. Pada sebagian besar penduduk, daging sapi masih merupakan

barang mewah. Pada kelompok ini, kenaikan pendapatan menyebabkan permintaan

483,9

380,5

419,3

250

300

350

400

450

500

550

20002001200220032004200520062007200820092010201120122013201420152016201720182019

Skenario I Skenario II Skenario III

Page 63: OUTLOOK KOMODITAS PANGAN STRATEGIS TAHUN 2015-2019pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2016_07.pdf · Outlook komoditas tebu ini, menyajikan keragaan komoditas tebu di Indonesia

62

terhadap daging sapi meningkat, dan sebaliknya. Pada kelompok pendapatan

menengah ke atas dengan pendapatan relatif tetap, permintaan tidak responsif

terhadap perubahan harga dan pendapatan. Petani pada umumnya termasuk

masyarakat berpendapatan menengah ke bawah dengan jumlah pendapatan tidak

tetap setiap bulan, tetapi tergantung musim.

Hasil proyeksi permintaan terhadap daging sapi menunjukkan bahwa pada

kondisi normal maupun La Nina permintaan terhada daging sapi relatif sama

(Gambar 4.22). Berbeda dengan saat El Nino, permintaan terhadap daging sapi

mengalami penurunan. Bagi kelompok petani tanaman pangan dan perkebunan,

kondisi El Nino menyebabkan produksi pertanian mengalami penurunan. Akibatnya

pendapatan petani turun dan pada sisi lain harga pangan utama mengalami

peningkatan. Dengan kondisi yang demikian, kenaikan harga pangan utama

menyebabkan pengeluaran konsumsi untuk bundel pangan utama meningkat,

sehingga menurunkan budget untuk konsumsi barang sekunder termasuk daging

sapi. Akibatnya permintaan terhadap daging sapi menurun.

Sumber:Ditjen PKH, 2015a Gambar 4.22. Permintaan Daging Sapi Tahun 2000-2014 dan Proyeksi Permintaan

Daging Sapi di Indonesia Tahun 2015-2019(000 ton)

580,63

579,40

563,01

300

350

400

450

500

550

600

650

Skenario I Skenario II Skenario III

Page 64: OUTLOOK KOMODITAS PANGAN STRATEGIS TAHUN 2015-2019pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2016_07.pdf · Outlook komoditas tebu ini, menyajikan keragaan komoditas tebu di Indonesia

63

4.4.4. Harga

Laju permintaan daging sapi yang lebih tinggi dibandingkan laju pasokan

produksi daging sapi domestik, menyebabkan harga daging sapi di Indonesia terus

meningkat (Ilham, 2009). Secara historis, pemicu utama kenaikan harga daging

adalah saat menjelang bulan puasa dan hari lebaran. Setelah saat ini, biasanya

harga daging turun, namun tidak pada posisi harga sebelum kenaikan. Fenomena

lain terjadi pada tahun 2015 dan 2016, harga daging naik di luar waktu-waktu biasa.

Harga daging sapi sangat sentiment terhadap kebijakan-kebijakan yang terkait

dengan industri daging sapi nasional, yang menyebabkan kenaikan harga yang tidak

rasional.

Setiyanto et al. (2014) memperkirakan harga riil daging sapi di tingkat

konsumen perkotaan selama periode 2015-2019 terus meningkat baik dalam kondisi

iklim normal, La Nina dan El Nino (Gambar 4.23). Pada kondisi normal harga lebih

murah dan fluktuasi serta pertumbuhannya relatif stabil dibandingkan pada kondisi

La Nina dan El Nino. Hal ini dapat dilihat dari nilai koefisien variasi (CV) dan rata-rata

pertumbuhan harga per tahu (R). Hasil proyeksi harga nominal daging sapi nasional

daging Kemendag (2014) memperlihatkan kenaikan harga pada lima tahun ke depan

sangat signifikan, yaitu rata-rata Rp 118.215/kg dengan nilai koefisien variasi 0,11

dan rata-rata pertumbuhan 7,35 persen per tahun.

Page 65: OUTLOOK KOMODITAS PANGAN STRATEGIS TAHUN 2015-2019pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2016_07.pdf · Outlook komoditas tebu ini, menyajikan keragaan komoditas tebu di Indonesia

64

Sumber: Setiyanto et al., 2014 (diolah) dan Kemendag, 2014 (diolah)

Gambar 4.23. Poyeksi Harga Tahunan Daging Sapi di Indonesia Tahun 2015-2019

Jika data harga daging sapi disajikan dalam bentuk bulanan terlihat

kecenderungannya juga terus meningkat, namun lebih fluktuatif (Gambar 4.24),

terutama pada tahun 2017, 2018, dan 2019. Fluktuasi tersebut disebabkan adanya

hari-hari besar keagamaan pada bulan-bulan tertentu, di mana pada saat itu

permintaan terhadap daging sapi melonjak tajam.

90000

95000

100000

105000

110000

115000

120000

125000

130000

135000

140000

2015 2016 2017 2018 2019

Ha

rga

Rp

/kg

HK-Riil SI (Normal): Rataan Rp 96878/kg; CV=0.035; R=2.22 %/th

HK-Riil SII (La Nina): Rataan Rp 97102/kg; CV=0.038; R=2.46 %/thn

HK-Rill SIII (El Nino): Rataan Rp 97124/kg; CV=0.038; R=2.47 %/thn

HK-Nominal Kemendag (Normal): Rataan Rp 118215/kg; CV=0.11; R=7.35 %/thn

Page 66: OUTLOOK KOMODITAS PANGAN STRATEGIS TAHUN 2015-2019pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2016_07.pdf · Outlook komoditas tebu ini, menyajikan keragaan komoditas tebu di Indonesia

65

Sumber: Setiyanto et al., 2014 (diolah)

Gambar 4.24. Poyeksi Harga Bulanan Daging Sapi di Indonesia Tahun 2015-2019

4.4.5. Net-Import

Pada skenario abnormal, baik La Nina maupun El Nino impor daging sapi

nasional berada di atas kondisi normal. Kalaupun ada, ekspor daging sapi Indonesia

sangat kecil, sehingga net impor pada kondisi La Nina dan El Nino menjadi

meningkat (Gambar 4.25). Harga daging sapi pada kondisi El Nino relatif tinggi

dibandingkan kondisi La Nina, kondisi ini mempengaruhi permintaan impor

Indonesia, antara lain dalam upaya utuk mencukupi kekurangan pasokan dalam

negeri dan menstabilkan harga daging sapi domestik.

75000

80000

85000

90000

95000

100000

105000

110000

115000

120000

1 3 5 7 9 11 1 3 5 7 9 11 1 3 5 7 9 11 1 3 5 7 9 11 1 3 5 7 9 11

2015 2016 2017 2018 2019

Ha

rga

R

p/k

g

SI (Normal): Rataan= Rp 97265/kg; CV=0.07; R= 0.89 %/bln

SII (La Nina): Rataan Rp 97488/kg; CV=0.07; R=0.91 %/bln

SIII (El Nino): Rataan Rp 97509/kg; CV=0.07; R=0.91 %/bln

Page 67: OUTLOOK KOMODITAS PANGAN STRATEGIS TAHUN 2015-2019pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2016_07.pdf · Outlook komoditas tebu ini, menyajikan keragaan komoditas tebu di Indonesia

66

Gambar 4.25. Volume Net Impor Daging Sapi Tahun 2000-2014 dan Proyeksi Volume Net Impor Daging Sapi di Indonesia Tahun 2015-2019(000 ton)

143,89

152,25

163,68

0

20

40

60

80

100

120

140

160

Skenario I Skenario II Skenario III

Page 68: OUTLOOK KOMODITAS PANGAN STRATEGIS TAHUN 2015-2019pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2016_07.pdf · Outlook komoditas tebu ini, menyajikan keragaan komoditas tebu di Indonesia

67

4.5. Kesimpulan dan Implikasi Kebijakan

4.5.1. Kesimpulan

1. Poduksi daging sapi dunia selama tujuh tahun terakhir cenderung melambat.

Dua produsen utama yaitu Amerika Serikat dan Uni Eropa cenderung turun dan

sebaliknya Brazil, China dan India cenderung meningkat. Negara pemasok

ternak dan daging sapi Indonesia selama ini yaitu Australia dan Selandia Baru

pertumbuhan produksi daging sapinya masih positif, walaupun melambat.

2. Tiga produsen utama yang produksinya masih terus meningkat dan berpotensi

sebagai sumber pemasok daging sapi nasional adalah Brasil dengan alasan

beberapa negara bagiannya merupakan zona bebas PMK tanpa vaksinasi dan

beberapa lainnya merupakan zona bebas dengan vaksinasi. Sementara itu,

India dan China masih tertular PMK.

3. Produksi daging sapi dunia yang melambat mendorong harga daging sapi dunia

cenderung meningkat dan dengan adanya gejala perubahan iklim ke depan

diperkirakan harga daging sapi dunia akan terus meningkat.

4. Perkembangan konsumsi daging sapi dunia 15 tahun terakhir mengikuti pola

produksinya, namun para pelaku dan masing-masing prilakunya berbeda. India,

Australia, Selandia Baru dan India merupakan negara produsen, tetapi bukan

merupakan negara konsumen utama, sehinga keempat negara ini termasuk

empat negara net eksporter daging sapi utama di dunia termasuk Brasil.

5. Pada kondisi jumlah populasi sapi saat ini, kenaikan produksi daging dari

pemotongan sapi, termasuk sapi betina produktif yang berlebihan menyebabkan

populasi sapi menurun. Jika hal ini dibiarkan maka dapat menyebabkan

pengurasan populasi.

6. Selama 15 tahun terakhir, pertumbuhan konsumsi daging sapi nasional 4,33

persen/thn lebih tinggi dari kemampuan produksi daging sapi di dalam negeri

3,89 persen/thn, untuk mencukupinya Indonesia mengimpor daging sapi dengan

pertumbuhan 14,39 persen/thn dan mengimpor sapi bakalan dengan

pertumbuhan 10,87 persen/thn.

7. Berdasarkan sumber pasokan, Selma 15 tahun terakhir kebutuhan daging sapi

nasional dipasok dari produksi domestik antara 58 – 84 persen. Variasi tersebut

Page 69: OUTLOOK KOMODITAS PANGAN STRATEGIS TAHUN 2015-2019pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2016_07.pdf · Outlook komoditas tebu ini, menyajikan keragaan komoditas tebu di Indonesia

68

dipengaruhi oleh kebijakan pemerintah dalam meningkatkan produksi dalam

negeri dan pengendalian produk impor.

8. Kenaikan produk daging sapi impor didorong oleh meningkatnya industri

pariwisata yang didukung dengan industri kuliner yang berkembang dan

membutuhkan daging dengan atribut tertentu, seperti T-bone, sirloin, tenderloin,

dan tulang iga.

9. Selama 10 tahuan terakhir dari waktu ke waktu harga daging sapi di Indonesia

terus meningkat, hal ini dikuatkan dengan nilai R2 yang tinggi 0,963. Waktu

menjelang bulan puasa dan Idul Fitri merupakan saat-saat harga daging sapi

meningkat.

10. Tingginya pertumbuhan harga daging sapi tidak selaras dengan harga berat

hidup sapi. Hal ini mengindikasikan bahwa sebagian kenaikan harga tersebut

diterima oleh para pedagang.

11. Kondisi yang terajadi akhir-akhir ini bahwa konsumsi daging sapi negara

konsumen utama seperti Amerika Serikat dan Uni Eropa mengalami penurunan.

Hal ini disebabkan semakin banyak orang mengurangi konsumsi daging sapi

akibatnya arah perdaganganya di pasar internasional beralih ke negara-negara

baru berkembang (emerging market). Namun sejak 2012-2014 pertumbuhan

ekonomi dunia mengalami masa stagnan. Gejala ini akan diperkirakan akan

menurnkan harga daging sapi di pasar internasional.

12. Program swasembada daging sapi yang dilakukan pemerintah lima tahun

terakhir dinilai belum mampu mencapai swasembada. Target pencapaian

swasembada dalam arti memperkecil pangsa impor menyebabkan pengurasan

populasi domestik akibat meningkatnya pemotongan. Pada lima tahun ke depan,

pemerintah tetap melajutkan program yang hampir sama, namun tidak

ditekankan dengan target swasembada, tetapi peningkatan produksi daging. Hal

ini diharapkan tidak muncul retensi dari berbagai pemangku kepentingan yang

dapat menyebabkan terhambatnya pelaksanaan program.

13. Untuk meningkatkan populasi sebagai salah dasar meningkatkan produksi

daging pemerintah mengembangkan program Sentra Peternakan Rakyat. Untuk

mencapai target populasi pada tahun 2019 yaitu 14,90 juta ekor sapi, berbagai

kegiatan dilakukan seperti: peningkatan produksi ternak melalui pengadaan sapi

Page 70: OUTLOOK KOMODITAS PANGAN STRATEGIS TAHUN 2015-2019pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2016_07.pdf · Outlook komoditas tebu ini, menyajikan keragaan komoditas tebu di Indonesia

69

indukan impor, kegiatan gertak birahi dan inseminasi buatan; peningkatan

produksi pakan; pengendalian dan penanggulangan penyakit hewan menular

strategis dan zoonosis; peningkatan kuantitas dan kualitas benih dan bibit

ternak, dan penjaminan produk Hewan yang ASUH dan berdaya saing.

14. Perkiraan lima tahun kedepan (2015-2019), populasi dan produksi daging sapi

nasional masih meningkat. Namun demikian konsumsi cenderung stabil dan

bahkan pada kondisi El Nino mengalami penurunan. Stabilitas konsumsi tidak

diikuti oleh stabilitas harga, karena harga cenderung meningkat. Untuk menjaga

kestabilan harga upaya impor dilakukan sehingga net impor cenderung

meningkat.

15. Selain kebijakan ekonomi, seperti pengendalian impor ternak dan daging sapi,

kebijakan teknis terkait budidaya sapi perlu juga mendapat perhatian, seperti:

penyediaan pakan untuk kebutuhan sehari-hari dan stok untuk penyediaan

musim-musim kelangkaan pakan; kesehatan sapi saat sebelum sapih, terutama

untuk menghindari infeksi pusar; pengaturan perkawinan agar sapi tidak lahir

pada musim hujan.

16. Pada kondisi El Nino, banyak peternak menjual sapi untuk menghindari risiko

kerugian, sehingga produksi daging sapi pada saat ini lebih tinggi dibandingkan

saat La Nina. Padahal permintaan saat El Nino mengalami penurunan, namun

harga daging sapi terus meningkat, untuk menstabilkan harga impor

ditingkatkan sehingga net impor terus meningkat.

4.5.2. Implikasi Kebijakan

1. Brasil berpotensi dijadikan sebagai pemasok alternative daging sapi untuk

Indonesia, karena sistem zona bebas tak melanggar kaidah teknis dan sejalan

dengan standar Organisasi Kesehatan Hewan Dunia (OIE). Hanya saja jika

dilakukan impor dari zona bebas, wajib dijalankan upaya mitigasi risiko sampai

ke tingkat perdagangan yang aman. Virus PMK sulit bertahan dalam daging,

biasanya mengalami inaktivasi 24-72 jam setelah penyembelihan. Namun, untuk

mempertahankan status bebas, perlu anggaran terutama untuk surveilans dan

tindak karantina.

Page 71: OUTLOOK KOMODITAS PANGAN STRATEGIS TAHUN 2015-2019pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2016_07.pdf · Outlook komoditas tebu ini, menyajikan keragaan komoditas tebu di Indonesia

70

2. Untuk meningkatkan populasi sapi nasional diperlukan pencegahan pemotongan

sapi betina produktif dan mingkatan reproduktivitas agar setiap induk sapi

melahirkan satu kali dalam setahun, mengimpor sapi indukan, dan

meningkatkan berat potong sapi penggemukan sehingga daging yang dihasilkan

dari seekor sapi yang dipotong menjadi meningkat.

3. Untuk menghindari lonjakan harga daging sapi menjelang bulan puasa dan

lebaran, sebaiknya pemerintah melakukan stok daging pada bulan-bulan

sebelumnya untuk dipasarkan pada saat menjelang bulan puasa dan lebaran,

baik dalam bentuk operasi pasar di pasar tradisional dan supermarket maupun

membuka outlet-outlet di pemukiman penduduk terutama di kawasan

Jabodetabek. Produk yang dipasarkan harus disesuaikan dengan preferensi

konsumen dan kegiatan ini diumumkan melalu media massa elektronik, cetak

dan spanduk. Operasi pasar sebaiknya dilakukan terencana sehingga tidak

merugikan pelaku pasar yang terlibat, terutama peternak.

4. Untuk meningkatkan bagian keuntungan yang diterima peternak disarankan

upaya penjualan langsung (direct selling) lebih ditingkatkan.

5. Disarankan untuk meningkatkan produksi pakan dan pengolahan pakan untuk

stok, pengembangan peternakan sistem integrasi tanaman-ternak perlu

mendapat perhatian lebih intensif terutama integrasi sawit-sapi dan padi-sapi.

Penambahan sapi indukan tidak hanya dari impor, upaya pencegahan

pemotongan sapi betina produktif sebaiknya juga lebih diintensifkan.

6. Upaya peningkatkan jumlah populasi harus didukung kebijakan yang harmonis

antara kebijakan ekonomi, seperti pengendalian impor, dan kebijakan teknis,

seperti: penyediaan pakan, kesehatan sapi, dan pengaturan perkawinan sapi.

Page 72: OUTLOOK KOMODITAS PANGAN STRATEGIS TAHUN 2015-2019pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2016_07.pdf · Outlook komoditas tebu ini, menyajikan keragaan komoditas tebu di Indonesia

71

V. OUTLOOK KOMODITAS BAWANG MERAH

Bawang merah merupakan sayuran rempah yang dikonsumsi rumahtangga

masyarakat Indonsia sebagai bumbu dan masakan baik masakan rumah tangga,

restoran maupun industri makanan, di samping di manfaatkan sebagai obat

herbal. Bawang merah merupakan salah satu komoditi sayuran unggulan yang

telah diusahakan petani secara intensif.

Komoditi ini juga merupakan sumber pendapatan dan kesempatan kerja yang

memberikan kontribusi cukup tinggi terhadap perkembangan ekonomi wilayah.

Bawang merah merupakan tanaman sayuran bernilai ekonomi tinggi. Kegiatan

usahatani bawang merah memerlukan modal yang cukup besar. Apabila kondisi

produksi dan harga baik keuntungan yang diperoleh juga cukup besar, namun

dengan biaya investasi yang besar juga berarti mempunyai resiko besar apabila

terjadi hal sebaliknya.

Permintaan bawang merah cenderung merata setiap saat sementara produksi

bawang merah bersifat musiman. Adanya senjang (gap) antara pasokan (suplai) dan

permintaan menyebabkan seringkali terjadi gejolak harga antar waktu. Penyediaan

bawang merah selama ini dapat dipenuhi dari produksi dalam negeri. Adanya gap

antara pasokan dan permintaan menyebabkan pada suatu waktu Indonesia

mengimpor bawang merah dan pada waktu lain juga mengekspor menjadi Negara

eksportir.

Bawang merah memiliki nama lokal di antaranya: Bawang abang mirah (Aceh),

Bawang abang (Palembang), Dasun merah (Minangkabau), Bawang suluh

(Lampung), Bawang beureum (Sunda), Brambang abang (Jawa), Bhabang merah

(Madura), dan masih banyak lagi yang lainnya, masing -masing daerah memiliki

sebutan tersendiri. Dibedakan antara produk Bawang Merah atau Shallots (Allium

ascalonicum L) dan Bawang Bombay atau Onion (Allium cepa), namun dalam

perdagangan dan statistic internasional (FAOSTAT) hanya dikenal istilah Onion

dimana Shallots berada didalamnya. Data internasional khusus tentang Bawang

Merah (shallots) sulit dijumpai, yang ada adalah data tentang Onion secara

keseluruhan. Hal ini dapat dimengerti karena sebagian besar konsumsi masyarakat

Page 73: OUTLOOK KOMODITAS PANGAN STRATEGIS TAHUN 2015-2019pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2016_07.pdf · Outlook komoditas tebu ini, menyajikan keragaan komoditas tebu di Indonesia

72

dunia adalah Onion (Bawang Bombay), sementara masyarakat yang mengkonsumsi

Bawang Merah (shallost) relative terbatas.

Dapat dikatakan bahwa produsen dan konsumen Bawang Merah (shallots)

terbesar di dunia adalah Indonesia. Beberapa Negara di Asia tenggara seperti

Malaysia, Thailand, Phillipiina juga mengkonsumsi bawang merah namun tidak

sebanyak masyarakat Indonesia. Negara tersebut yang memproduksikan bawang

merah dan surplus produksinya banyak diekspor ke Indonesia. Pada kondisi

demikian maka situasi pasar terutama fluktuasi harga dalam negeri sangat

dipengaruhi oleh kondisi agribisnis bawang merah dan kebijakan di dalam negeri dan

tidak dipengaruhi oleh situasi global. Dalam kaitan itu maka bahasan outlook

bawang merah 2015-2019 difoluskan hanya kepada situasi bawang merah dalam

negeri.

5.1. Perkembangan Produksi, Konsumsi dan Harga

5.1.1. Produksi

Dalam kurun waktu tahun 2000 - 2014, produksi bawang merah Indonesia

menunjukkan angka peningkatan dari 773 ribu ton menjadi 1116 ribu ton atau

peningkatan dengan laju 3.82 persen/tahun. Peningkatan produksi tersebut

disebabkan oleh peningkatan luas panen dan produktivitas. Dalam kurun waktu

tersebut luas panen meningkat dengan laju 2,99 %/tahun dari 84038 ha menjadi

120704 ha, sementara produktivitas meningkat dengan laju 0,93 %/tahun dari 9,2

ton/ha menjadi 10,2 ton/ha (Gambar 5.1).

Page 74: OUTLOOK KOMODITAS PANGAN STRATEGIS TAHUN 2015-2019pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2016_07.pdf · Outlook komoditas tebu ini, menyajikan keragaan komoditas tebu di Indonesia

73

Sumber: Kementan, 2015

Gambar 5.1. Perkembangan Luas Panen, Produksi Dan Produktivitas (Yied) Bawang Merah Tahun 2000-2014

Sentra produksi bawang merah di Indonesia relatif terbatas dengan konsentrasi

produksi yaitu sekitar 75 persen diproduksikan di Pulau Jawa, dan pangsa terbesar

yaitu sekitar 39,0 persen dihasilkan dari Jawa Tengah dengan lokasi utama produksi

di Kabupaten Brebes dan sekitarnya. Urutan produksi kedua bawang merah terbesar

adalah Jawa Timur (sekitar 23,1 persen) yang terkonsentrasi di kabupaten Nganjuk

dan Probolinggo. Sementara Jawa Barat menempati urutan ketiga terbesar (12,0

persen) dengan sentra produksi di Kabupaten Cirebon dan sekitarnya. Di luar pulau

Jawa sentra produksi bawang merah adalah NTB (10,5 persen), Sulawesi Selatan

Dan Sumatera Barat masing-masing sekitar 4 persen. Sementara provinsi lain yang

tercacat memproduksi adalah Yogyakarta dan Bali masing-masing 1 persen

(Gambar 5.2).

70

80

90

100

110

120

130

Luas panen (ha)

Yield (ku/ha)

Produksi (10 ton)

Page 75: OUTLOOK KOMODITAS PANGAN STRATEGIS TAHUN 2015-2019pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2016_07.pdf · Outlook komoditas tebu ini, menyajikan keragaan komoditas tebu di Indonesia

74

Sumber: Kementan, 2015

Gambar 5.2. Pangsa Produksi Beberapa Sentra Produksi Bawang Merah

Dari pola tanam bawang merah, produksi bawang merah paling banyak

terjadi di bulan Juli sampai September dan puncaknya (panen raya) terjadi pada

bulan Agustus. Sebaliknya bulan Febuari, Maret dan Nopember merupakan bulan-

bulan dimana produksi bawang merah relatif paling rendah. Sementara itu,

konsumsi bawang merah perbulannya relatif tetap. Meskipun produksi bisa

mencukupi kebutuhan konsumsi bawang merah, tetapi dalam kenyataannya impor

bawang merah masih dilakukan terutama pada bulan bulan dimana prodksi dalam

negeri rendah (Gambar 5.3).

Sumber: Dirjen Hortikultura, 2014; Susenas BPS (2011), BKP, Kementan 2015 (diolah)

Gambar 5.3. Neraca Produksi Dan Konsumsi Bawang Merah

Jateng; 39

Jatim; 23,11

Jabar; 12,02

NTB; 10,47

Sulsel; 4,28

Sumbar; 3,72Sumut; 1,47

DI Y; 1,23B a l i; 0,9Sulteng; 0,75 Lainnya ; 3,68

-

20.000

40.000

60.000

80.000

100.000

120.000

140.000

160.000

Jan-…

Mei…

Sep-…

Jan-…

Mei…

Sep-…

Jan-…

Mei…

Sep-…

Jan-…

Mei…

Sep-…

produksi

kon susenas

kon nbm

impor

ekspor

Page 76: OUTLOOK KOMODITAS PANGAN STRATEGIS TAHUN 2015-2019pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2016_07.pdf · Outlook komoditas tebu ini, menyajikan keragaan komoditas tebu di Indonesia

75

Produksi yang ditampilkan diatas adalah produksi dalam bentuk kering

panen yang masih basah. Untuk keperluan analisa selanjutnya, satuan produk

bawang merah akan dilakukan dalam bentuk kering konsumsi sehingga bisa

diperbandingkan dengan penggunaan/konsumsi, impor dan lainnya. Dalam Neraca

bahan Makanan, konversi bawang merah kering panan menjadi kering konsumsi

adalah 0,646. Perkembangan produksi bawang tahun 2000-2014 terangkum dalam

Tabel 5.1.

Tabel 5.1. Produksi Bawang Merah Dalam Bentuk Kering Panen dan Dalam Kering Konsumsi (000 ton)

Tahun Produksi Bawang

Kering Panen

Produksi Bawang

Kering Konsumsi

2000 773 526

2001 861 586

2002 767 495

2003 763 492

2004 757 489

2005 733 473

2006 795 513

2007 803 518

2008 854 551

2009 965 623

2010 1049 677

2011 893 577

2012 964 622

2013 1011 654

2014 1116 721 Sumber: Kementan, 2015

5.1.2. Konsumsi

Perhitungan konsumsi bawang merah didasarkan kepada produk bawang

merah kering konsumsi. Permintaan bawang merah terus meningkat sejalan dengan

peningkatan jumlah penduduk dan kebutuhan konsumsi bawang merah masyarakat.

Konsumsi masyarakat akan bawang merah terjadi setiap saat setiap terutama untuk

bumbu masakan, sementara produksi bawang merah bersifat musiman. Dari

produksi yang dihasilkan penggunaan utama bawang merah adalah untuk konsumsi

rumahtangga (diatas 90 persen), sisanya adalah untuk penggunaan lain terutama

Page 77: OUTLOOK KOMODITAS PANGAN STRATEGIS TAHUN 2015-2019pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2016_07.pdf · Outlook komoditas tebu ini, menyajikan keragaan komoditas tebu di Indonesia

76

untuk benih. Data Susenas BPS (2011) menunjukkan konsumsi perkapita bawang

merah sebesar 2,52 kg/kap/tahun, sementara berdasarkan data Neraca Bahan

Makanan, penyediaan bawang merah tahun 2000-2014 meningkat dari 1,96

kg/kap/tahun menjadi 2,76 kg/kapita/tahun (Tabel 5.2).

Tabel 5.2. Penyediaan Per Kapita Bawang Merah Th 2000 -2014 Atas Dasar Neraca

Bahan Makanan (000 Ton Kering Konsumsi)

Tahun Penyediaan Penyediaan Pangan/Kapita

(Kg/Kapth) Pangan Lainnya Total

2000 404 156 560 1,96

2001 457 158 615 2,19

2002 469 43 512 2,22

2003 473 44 517 2,21

2004 474 45 519 2,19

2005 463 43 506 2,10

2006 490 45 535 2,20

2007 532 49 581 2,36

2008 572 54 626 2,5

2009 602 56 658 2,57

2010 660 62 722 2,73

2011 614 58 672 2,54

2012 615 58 673 2,51

2013 650 63 713 2,51

2014 695 66 761 2,76

Laju (%/th)

4,08 -1,88 2,48 2,60

Sumber : Neraca Bahan Makanan 2000 -2014 , Badan ketahanan Pangan 2014

Dalam tahun 2000-2014 penyediaan bawang merah meningkat dari 560 ribu

ton menjadi 761 ribu ton, atau peningkatan rata rata 2,48 %/tahun. Peningkatan

penggunaan terutama untuk konsumsi yang meningkat dengan laju 4,08 %/tahun

yang juga berakibat permintaan konsumsi per kapita sebesar 2,60 %/tahun.

Page 78: OUTLOOK KOMODITAS PANGAN STRATEGIS TAHUN 2015-2019pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2016_07.pdf · Outlook komoditas tebu ini, menyajikan keragaan komoditas tebu di Indonesia

77

5.1.3. Ekspor-Impor

Adanya fluktuasi produksi bawang merah dalam negeri menyebabkan pada

periode tertentu terjadi impor dan pada saat lain terjadi ekspor. Penyediaan bawang

merah selama ini belum dapat sepenuhnya berasal dari produksi dalam negeri dan

masih dibutuhkan impor meskipun dalam proporsi yang relatif kecil (rata rata 6,9

Persen), dan terutama untuk memenuhi kebutuhan benih. Dalam tahun 2000-

2014, net impot bawang merah mulai dari kisaran 17 000 ton sampai 95 000 ton

atau antara 3,3 % - 14,1 % dari total kebutuhan (Tabel 5.3). Impor bawang merah

umumnya dari negara Asia terutama Asia, yaitu dari Filipina, Thailand, Burma, India

an Vietnam.

Tabel 5.3. Perkembangan Impor Bawang merah Tahun 2000 – 2014

Tahun

Produksi

(000 ton)

kebutuhan

(000 ton)

Net Impor

(000 ton) Persen

2000 526 560 34 6,1

2001 586 615 29 4,7

2002 495 512 17 3,3

2003 492 517 25 4,8

2004 489 519 30 5,8

2005 473 506 33 6,5

2006 513 535 22 4,1

2007 518 581 60 10,3

2008 551 626 75 12,0

2009 623 658 35 5,3

2010 677 722 42 5,8

2011 577 672 95 14,1

2012 622 673 51 7,6

2013 654 713 59 8,3

2014 721 761 40 5,3 Sumber : Neraca Bahan Makanan 2000 -2014

Pada tahun 1990-an impor bawang merah iilegal merebak dan membuat

harga bawang merah dalam negeri merosot. Permen Keuangan no. 591/2004

menaikkan bea masuk impor bawang merah dari 5 persen menjadii 25 persen dan

adanya Peraturan impor bawang merah melalui Kementan no. 18/2008 dan

diperbaharui tahun 2012 membuat impor dan pengaturan impor sehingga

pelaksanaan impor semakin tertata.

Page 79: OUTLOOK KOMODITAS PANGAN STRATEGIS TAHUN 2015-2019pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2016_07.pdf · Outlook komoditas tebu ini, menyajikan keragaan komoditas tebu di Indonesia

78

5.1.4. Perkembangan Harga

Konsumsi masyarakat akan bawang merah terjadi setiap saat setiap terutama

untuk bumbu masakan, sementara produksi bawang merah bersifat musiman.

Kondisi ini menyebabkan terjadinya gejolak harga karena adanya senjang (gap)

antara pasokan (suplai) dan permintaan sehinga dapat menyebabkan gejolak harga

antar waktu. Secara rataan, dalam periode tahun 2002-2014 terjadi kenaikan harga

bawang merah ditingkat produsen dari Rp 5240/kg menjadi Rp 12816 /kg atau

dengan laju rata rata 0,45 %/ tahun. Kenaikan terbesar terjadi pada tahun

2007/2008 dari rataan Rp 7340/kg menjadi Rp 11570 kg/kg (Gambar 5.4).

Sumber: Kementan, 2015 (diolah)

Gambar 5.4. Perkembangan Harga Produsen Bawang Merah Th 2002-2014 (Rp/kg)

Komoditi bawang merupakan salah satu komoditas yang memiliki fluktuasi

harga yang relatif tinggi. Fluktuasi harga bawang dapat disebabkan oleh perubahan

harga harga produksi/biaya tanam, cuaca, ketersediaan stok, transportasi, dan

pengaruh adanya bawang impor. Kebijakan kebaikan harga bahan bakar yang terjadi

seperti pada bulan April 2012 sebagai contoh telah mempengaruhi harga harga

produksi dan biaya transportasi yang menyebabkan kebaikan harga bawang merah.

Dibandingkah kenaikan harga ditingkat produsen, kenaikan harga bawang

merah ditingkat konsumen justru lebih tinggi. Dalam periode tahun 2005 – 2014,

terjadi kenaikan harga bawang ditingkat konsumen dari Rp 9074 Rp/kg menjadi Rp

y = 0,0932x2 + 63,407x + 4075,9R² = 0,9276

02000400060008000

1000012000140001600018000

Harga Produsen (Rp/kg)

HargaProdusen…

Page 80: OUTLOOK KOMODITAS PANGAN STRATEGIS TAHUN 2015-2019pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2016_07.pdf · Outlook komoditas tebu ini, menyajikan keragaan komoditas tebu di Indonesia

79

26511/kg atau kenaikan dengan laju rata rata 1,46 %/tahun. Lonjakan kenaikan

harga terjadi pada tahun 2010/2011 dan tahun 2012/2013 (Gambar 5.5).

Sumber: Kementan, 2015

Gambar 5.5. Perkembangan Harga Konsumen Bawang Merah Th 2005-2014 (Rp/kg)

Arah (slope) pergerakan kenaikan harga bawang merah ditingkat konsumen

cenderung lebih tinggi dibandingkan dengan pergerakan harga produsen

menunjukkan adanya masalah dalam transmisi harga adalam pasar bawang merah.

(Gambar 5.6).

Sumber: Kementan, 2015

Gambar 5.6. Pergerakan Harga Bawang Merah Ditingkat Produsen Dan Konsumen Tahun 2005-2014

y = 195,34x + 6112,1R² = 0,8108

0

5.000

10.000

15.000

20.000

25.000

30.000

35.000

40.000

2005

2006

2007

2008

2009

2010

2011

2012

2013

2014

2015

harga konsumen (Rp/kg)

harga konsumen (Rp/kg)

0,0

5.000,0

10.000,0

15.000,0

20.000,0

25.000,0

30.000,0

35.000,0

40.000,0

2005

2006

2007

2008

2009

2010

2011

2012

2013

2014

Harga Konsumen (Rp/kg)

Harga Produsen (Rp/Kg)

Page 81: OUTLOOK KOMODITAS PANGAN STRATEGIS TAHUN 2015-2019pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2016_07.pdf · Outlook komoditas tebu ini, menyajikan keragaan komoditas tebu di Indonesia

80

Kenaikan harga ditingkat konsumen yang meningkat lebih tinggi dibandingkan

harga ditingkat produsen juga berakibat rasio harga (margin) antara harga ditingkat

produsen dibandingkan harga konsumen menjadi menurun, terutama terjadi sejak

tahun 2010, bahkan beberapa bulan dalam tahun 2013 marjin harga produsen

konsumen dibawah 50 persen. Kondisi ini mengindikasikan semakin memburuknya

sistem tataniaga bawang merah (Gambar 5.7).

Sumber: Kementan, 2015

Gambar 5.7. Rasio (Margin) Harga Bawang Merah Antara Harga Ditingkat Produsen dan Konsumen Tahun 2005-2014

5.2. Kebijakan Peningkatan Produksi dan Pengendalian Harga

Sebagai bumbu masakan yang dikonsumsi setiap saat, bawang merah dapat

dinilai sebagai salah satu kebutuhan pokok masyarakat, dan olah karena itu gejolak

kenaikan harga akibat kelangkaan pasokan berdampak secara sosial dan ekonomi

bahkan politik. Dalam kaitan itu bawang merah merupakan salah satu komoditi

pertanian yang mendapat prioritas pengembangan oleh pemerintah (Kementerian

Pertanian).

Sejalan dengan itu pemerintah terus melakukan upaya peningkatan produksi

menuju tercapainya swasembada bawang merah dan upaya stabilisasi harga di

masyarakat. Produksi bawang cenderung fluktuatif sementara permintaan cenderung

tetap sehingga dilakukan berbagai upaya dalam perluasan masa produksi dalam

rangka stabilisasi pasokan dan harga. Beberapa upaya dilakukan antara lain dengan

0,00

10,00

20,00

30,00

40,00

50,00

60,00

70,00

80,00

90,00

2005

2006

2007

2008

2009

2010

2011

2012

2013

2014

Rasio (Margin) Harga Produsen Terhadap Harga Konsumen Bawang Merah (%)

Margin (%)

Page 82: OUTLOOK KOMODITAS PANGAN STRATEGIS TAHUN 2015-2019pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2016_07.pdf · Outlook komoditas tebu ini, menyajikan keragaan komoditas tebu di Indonesia

81

disusunnya perencanaan produksi antar wilayah untuk menjaga produksi bawang

merah relatif stabil antar waktu, pengembangan kawasan /sentra baru produksi

bawang merah, pengembangan sistem perbenihan, perbaikan budidaya melalui

penerapan GAP-SOP spesifik lokasi, pengendalian OPT melalui pemasyarakatan

penggunaan mini screen house, light trap dan perbaikan pasca panen.

Dibidang perdagangan, dalam rangka memberikan iklim yang kondusif dan

merangsang minat petani menanam bawang, pemerintah melakukan kebijakan

pengendalian impor beberapa produk hortikultura termasuk bawang merah,

terutama sejak Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) No. 47/2013 tentang

Rekomendasi Impor Produk Hortikultura (RIPH). Dalam RIPH juga diatur penetapan

harga referensi untuk impor bawang merah yang akan ditetapkan berdasarkan

Keputusan Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Nomor

118/PDN/KEP10/2013 tentang Penetapan Harga Referensi Produk Hortikultura pada

tanggal 3 Oktober 2013.

Harga referensi bawang merah tahun 2013 ditetapkan sebesar Rp 25.700 per

kg dengan memperhitungkan biaya balik modal atau break even point (BEP)

ditambah keuntungan 40%. Penentuan harga referensi merupakan acuan tingkat

harga di pasar konsumen sebagai indikator perlunya intervensi pasar antara lain

melalui impor. Impor bawang merah akan diijinkan jika harga eceran sudah

melampaui harga referensi masing-masing. Harga referensi tersebut diatas analisa

harga pasar yang layak atas dasar perbandingan niai tukarnya terhadap beras, yaitu

sebesar Rp 16428 pada tahun 2013 (Rachmat, 2013a).

5.3. Outlook Bawang Merah Tahun 2015 -2019

Penyusunan outlook bawang merah 2015-2019 dibatasi hanya mencakup

proyeksi kuantitatif yang menyangkut produksi, konsumsi, perdagangan (ekspor-

impor) dan harga. Pendekatan yang digunakan untuk proyeksi cukup sederhana,

yaitu dengan mempertimbangkan trend (historical trend) periode 2000-2014.

Berdasarkan scatter diagram selama periode tersebut, kemudian dipilih segmen

waktu terakhir yang menunjukkan perkembangan yang lebih smooth. Dengan data

Page 83: OUTLOOK KOMODITAS PANGAN STRATEGIS TAHUN 2015-2019pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2016_07.pdf · Outlook komoditas tebu ini, menyajikan keragaan komoditas tebu di Indonesia

82

segmen waktu terakhir ini kemudian dihitung trendnya untuk digunakan sebagai

basis proyeksi.

5.3.1. Lingkungan Strategis

Bawang Merah merupakan salah satu kebutuhan pokok masyarakat karena

dibutuhkan oleh rumahtangga setiap hari. Gejolak kenaikan harga akibat kelangkaan

pasokan berdampak secara sosial dan ekonomi bahkan politik. Dalam kaitan itu

dalam Renstra Kementan 2014-2019 bawang merah merupakan salah satu komoditi

pertanian yang mendapat prioritas. Ditetapkannya bawang merah sebagai komoditi

prioritas tersebut sejalan dengan dicanangkannya keinginan untuk dapat dicapainya

swasembada bawang merah dalam waktu yang tidak terlalu lama. Hal ini

merupakan keputusan politik kuat untuk peningkatan produksi pencapaian

swasembada dalam lima tahun mendatang, dan telah diikuti oleh rancangan

anggaran yang lebih terprogram dan didukung oleh anggaran yang dinilai memadai.

Dalam renstra Kementerian Pertanian 2015-2019, tujuan pembangunan

pertanian periode 2015-2019 yang ingin dicapai yaitu: (1) meningkatkan

ketersediaan dan diversifkasi untuk mewujudkan kedaulatan pangan, (2)

meningkatkan nilai tambah dan daya saing produk pangan dan pertanian, (3)

meningkatkan ketersediaan bahan baku bioindustri dan bioenergi, dan (4)

meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan petani (Kementan, 2015)

Arah kebijakan umum kedaulatan pangan dalam 2015-2019 adalah: (1)

pemantapan ketahanan pangan menuju kemandirian pangan dengan peningkatan

produksi pangan pokok, dan (2) stabilisasi harga bahan pangan, terjaminnya bahan

pangan yang aman dan berkualitas dengan nilai gizi yang meningkat serta

meningkatnya kesejahteraan pelaku usaha pangan. Arah kebijakan pemantapan

kedaulatan pangan tersebut dilakukan dengan 5 strategi utama, meliputi: (1)

peningkatan ketersediaan pangan melalui penguatan kapasitas produksi dalam

negeri, yang meliputi komoditas padi, jagung, kedelai, daging, gula, cabai dan

bawang merah, (2) peningkatan kualitas distribusi pangan dan aksesibilitas

masyarakat terhadap pangan, (3) perbaikan kualitas konsumsi pangan dan gizi

masyarakat, (4) mitigasi gangguan terhadap ketahanan pangan dilakukan terutama

mengantisipasi bencana alam dan dampak perubahan iklim dan serangan

Page 84: OUTLOOK KOMODITAS PANGAN STRATEGIS TAHUN 2015-2019pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2016_07.pdf · Outlook komoditas tebu ini, menyajikan keragaan komoditas tebu di Indonesia

83

organisme tanaman dan penyakit hewan, dan (5) peningkatan kesejahteraan pelaku

utama penghasil bahan pangan.

5.3.2. Produksi

Kemandirian Indonesia dalam penyediaan bawang merah telah mencapai

diatas 90 %, dan bahkan sampai tahun 2006 mencapai diatas 95 persen. Sejak

tahun 2007 terdapat kecenderungan kemandirian impor bawang terutama karena

peningkatan kebutuhan sehingga impor meningkat, sementara produksi domestik

juga terus meningkat. Kondisi memberikan signal bahwa permintaan/kebutuhan

akan bawang merah kedepan akan terus meningkat sejalan dengan peningkatan

jumlah penduduk dan kesejehteraan masyarakat. Dan untuk itu pula dibutuhkan

langkah langkah peningkatan produksi untuk pemenuhannya sehingga

ketergantungan terhadap impor dapat dikurangi dan bahkan dimungkinkan

dilakukannya ekspor. Upaya swasembada bawang kedepan sangat dimungkinkan

sejalan dengan kinerja produksi yang terjadi selama ini dan sejalan dengan kemauan

politik yang kuat.

Dari hasil analisa dihasilkan bahwa pola produksi bawang merah menikuti pola

polynomial dengan dugaan persamaan fungsi produksi 548,46 +1,87338 T2 – 16,945

T (R2 = 0,748). Atas dugaan fungsi produksi tersebut, maka dalam tahun 2015-

2019 produksi bawang merah akan meningkat rata rata sebesar 6,1 persen/tahun

(Gambar 2.8 dan Tabel 2.4). Produksi bawang merah kering konsumsi tahun 2015

sebesar 757 ribu ton atau setara dengan 1173 ribu ton kering panen dan meningkat

menjadi 959 ribu ton kering konsumsi atau setara dengan 1486 ribu ton kering

panen (Gambar 5.7). Angka proyeksi ini lebih tinggi dari sasaran dalam Renstra

Kementan (2015) yang mentargetkan produksi bawang merah tahun 2015 sebesar

1125 ribu ton tahun 2015 dan 1359 ribu ton pada tahun 2019 (Tabel 5.4).

Page 85: OUTLOOK KOMODITAS PANGAN STRATEGIS TAHUN 2015-2019pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2016_07.pdf · Outlook komoditas tebu ini, menyajikan keragaan komoditas tebu di Indonesia

84

Gambar 5.8. Dugaan Fungsi produksi Pendekatan produksi bawang kering

konsumsi

Tabel 5.4. Proyeksi Produksi Bawang Merah Aktual 2000-2014 dan Prediksi Produksi

Tahun 2015-2019 (Ribu ton)

Tahun Produksi Bawang Kering Konsumsi

Produksi Bawang Kering Panen

Sasaran Renstra (Kementan 2015)

2015 757 1173 1125

2016 802 1242 1172

2017 851 1317 1231

2018 903 1399 1293

2019 959 1486 1359

5.3.3. Konsumsi

Peningkatan permintaan akan bawang merah tersebut disebabkan oleh

peningkatan konsumsi bawang merah. Hasil kajian menunjukkan konsumsi bawang

merah tahun 2015 sebesar 2,82 kg/kapita/tahun dan terus meningkat menjadi 3,07

kg/kap/tahun, diikuti oleh peningkatan jumlah penduduk dan permintaan untuk

penggunaan diluar konsumsi terutama benih (Tabel 5.5). Dalam tahun 2015

kebutuhan bawang merah diproyeksikan sebesar 785 ribu ton dan akan terus

meningkat menjadi 898 ribu ton pada tahun 2019, atau peningkatan rata-rata 3,42

%/tahun. Kebutuhan Konsumsi bawang merah untuk pangan merupakan

penggunaan terbesar bawang merah (Gambar 5.8).

400,00

500,00

600,00

700,00

800,00

900,00

1000,00

2000

2001

2002

2003

2004

2005

2006

2007

2008

2009

2010

2011

2012

2013

2014

2015

2016

2017

2018

2019

Aktual

Proyeksi

Page 86: OUTLOOK KOMODITAS PANGAN STRATEGIS TAHUN 2015-2019pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2016_07.pdf · Outlook komoditas tebu ini, menyajikan keragaan komoditas tebu di Indonesia

85

Tabel 5.5. Proyeksi Permintaan Bawang Merah Tahun 2015-2019 (Ribu Ton)

Tahun Jumlah

penduduk

Konsumsi/ Kapita

(kg/kap/th)

Konsumsi

Pangan

Konsumsi Non

pangan

Konsumsi Total

2015 255.461 2,82 720 65 785

2016 258.704 2,89 746 67 814

2017 261.890 2,95 772 69 841

2018 265.015 3,01 797 72 869

2019 268.074 3,07 823 74 898

Gambar 5.9. Proyeksi Permintaan Bawang Merah Untuk Pangan dan Non pangan

Tahun 2015-2019

5.3.4. Ekspor Impor

Dengan kinerja dan proyeksi produksi dan konsumsi bawang diatas, maka

pada kondisi kinerja pembangunan dan agribisnis bawang merah seperti yang

berjalan selama ini, maka diprediksi sampai dengan tahun 2016 Indonesia masih

mengimpor bawang merah dengan jumlah impor yang semakin sedikit, dan baru

dalam tahun 2017 dapat dicapai swasembada/kemandirian pemenuhan bawang

domestik (Gambar 5.9). Dalam tahun 2015 net impor bawang diprediksi mencapai

28 ribu ton dan menurun menjadi impor 12 ribu ton pada tahun 2016, sedangkan

mulai tahun 2017 terjadi kelebihan (net ekspor) sebesar 10 ribu ton (Tabel 5.6).

Dalam kebijakan pergadangan, Indonesia menerapkan tarif impor bawang

merah. Tarif yang diterapkan Indonesia untuk pruduk bawang (bawang merah, bw

0,0

100,0

200,0

300,0

400,0

500,0

600,0

700,0

800,0

900,0

1000,0

Pangan

Non pangan

Total

Page 87: OUTLOOK KOMODITAS PANGAN STRATEGIS TAHUN 2015-2019pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2016_07.pdf · Outlook komoditas tebu ini, menyajikan keragaan komoditas tebu di Indonesia

86

Bombay, bawang putih) antara 3,8 – 6,3 % dengan variasi antara 0-25 %. Tarif

yang diberlakukan untuk bawang merah tahun 2012 rata-rata sebesar 6% jauh

dibawah tarif yang masih diperbolehkan yaitu antara 40 – 50 %. Dalam skema

perdagangan khusus, yaitu diantara negara Asean dan China diberlakukan tarif 0%.

Pemberlakuan tarif 5 persen oleh Indonesia hanya dilakukan untuk negara Korea.

Gambar 5.10. Proyeksi Net Ekspor Bawang Merah Tahun 2015-2019

Tabel 5.6. Proyeksi produksi dan Kebutuhan Bawang Merah Tahun 2015-2019

Tahun Produksi (.000 Ton) Kebutuhan (.000

Ton) Net ekspor (.000 Ton)

2015 757 785 -28

2016 802 814 -12

2017 851 841 10

2018 903 869 34

2019 959 898 61

Diantara Negara tetangga , penerapan tarif tertinggi dilakukan oleh Phillipina

(33,3 %) menyusul Thailand, Vietnam, sementara penerapan tarif olah Indonesia

relatif rendah hanya 3,8 %, sehingga untuk melindungi produksi domestik Indonesia

masih dan harusnya dapat meningkatkan tarifnya, terutama terhadap impor dari

Negara non Asean dan China. Sebagai perbandingan Vietnam memberlakukan tarif

sampai 30% untuk General duty dan bagi negara Jepang, India dan Korea.

-200

0

200

400

600

800

1000

1200

2000

2001

2002

2003

2004

2005

2006

2007

2008

2009

2010

2011

2012

2013

2014

2015

2016

2017

2018

2019

Produksi

kebutuhan

Net ekspor*)

Page 88: OUTLOOK KOMODITAS PANGAN STRATEGIS TAHUN 2015-2019pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2016_07.pdf · Outlook komoditas tebu ini, menyajikan keragaan komoditas tebu di Indonesia

87

5.3.5. Harga

Berdasarkan kecenderungan data bulanan harga bawang merah domestik

yang dipublikasikan Kementan, dilakukan outlook menggunakan fungsi persamaan

yang sesuai untuk memproyeksikan besaran harga bawang merah domestik selama

periode outlook. Berdasarkan data aktual rata-rata per tahun, diketahui bahwa harga

bawang merah ditingkat produsen tumbuh dengan laju rata-rata 3,7 %/tahun dan

ditingkat konsumen rata-rata 1,46 %/tahun. Dalam 5 tahun terakhir terjadi kenaikan

harga harga dengan laju yang lebih tinggi. Kondisi ini menyebabkan analisa dalam

periode outlook menghasilkan proyeksi kenaikan harga yang lebih tinggi dari rata-

rata kondisi faktual sebelumnya. Apabila tidak ada kebijakan yang berkaitan dengan

pengendalian harga, maka dalam periode outlook, harga bawang merah ditingkat

produsen tumbuh dengan laju rata-rata 6,36%/tahun dan ditingkat konsumen rata-

rata 8,39 %/tahun. (Gambar 5.10 dan Tabel 5.7).

Gambar 5.11. Aktual dan Proyeksi Harga produsen dan Harga Konsumen Bawang

Merah Tahun 2005-2019

Kenaikan harga konsumen yang lebih tinggi juga akan menyebabkan rasio

(marjin) harga produsen dan konsumen bawang merah akan semakin mengecil.

Tanpa ada pembenahan dalam sistem tataniaga marjin harga bawang merah akan

0

5.000

10.000

15.000

20.000

25.000

30.000

35.000

40.000

45.000

2005

2006

2007

2008

2009

2010

2011

2012

2013

2014

2015

2016

2017

2018

2019

Rp

/Kg

Aktual Harga Produsen dan Harga Konsumen 2005-2014 dan Proyeksi 2015-2019

Harga Konsumen(Rp/kg)

Page 89: OUTLOOK KOMODITAS PANGAN STRATEGIS TAHUN 2015-2019pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2016_07.pdf · Outlook komoditas tebu ini, menyajikan keragaan komoditas tebu di Indonesia

88

terus menurun, dan dalam tahun 2015-2019 menurun dengan laju -1,80

persen/tahun

Tabel 5.7. Proyeksi Harga Produsen, Harga Konsumen dan Marjin Harga Bawang Merah Tahun 2015-2019

Tahun Harga Produsen Harga Konsumen Margin (%)

2015 16.842 29.164 57,75

2016 17.979 33.167 54,21

2017 19.144 35.511 53,91

2018 20.336 37.855 53,72

2019 21.554 40.199 53,62

Laju (%/th) 6,36 8,39 -1,80

5.4. Kebijakan Stabilisasi Produksi dan Harga Bawang Merah

Lebih dari 80 persen produksi bawang merah domestik berada di pulau jawa

(Jateng, jatim, jabar), namun demikian sebenarnya potensi pengembangan bawang

merah di daerah lain diluar pulau Jawa cukup besar, karena bawang mewrah

mempunyai daya adaptasi yang luas untuk dapat dibeberapa agroekosistem.

Produktivitas bawang merah masih relative rendah, dalam sepuluh tahun terakir

(tahun 2000-2009) rata rata produktifitas bawang merah nasional hanya sekitar 9,19

ton/ha, jauh dibawah potensi produksi yang berada diatas 20 ton/ha. Atas dasar

kondisi tersebut, peningkatan produksi menuju swasembada bawang merah sangat

dimungkinkan melalui perluasan areal tanam di luar jawa dan upaya-upaya

peningkatan produktivitas. Kendala utama pengembangan bawang merah adalah:

(a) panen bawang fluktuatif mengikuti musiman sementara permintaan cenderung

tetap setiap saat, (b) keterediaan benih bermutu, (c) ketersediaan prasarana dan

sarana produksi masih terbatas, (d) belum diterapkannya GAP-SOP spesifik lokasi,

(e) ancaman serangan OPT, (f) sistem tataniaga yang semakin tidak effisien.

Dalam kaitan itu dalam rangka stabilisasi produksi dan harga bawang merah

perlu dilakukan perbaikan kebijakan sebagai berikut: (a) disusun perencanaan

produksi antar wilayah secara lebih baik untuk dapat merencanakan produki

sepanjang tahun, (b) pengembangan sistem perbenihan secara serius baik benih

umbi dan terutama pengembangan benih biji (TSS), (c) Perbaikan budidaya, melalui

penerapan GAP-SOP spesifik lokasi, (d) Pengendalian OPT: mini screen house, light

Page 90: OUTLOOK KOMODITAS PANGAN STRATEGIS TAHUN 2015-2019pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2016_07.pdf · Outlook komoditas tebu ini, menyajikan keragaan komoditas tebu di Indonesia

89

trap, (e) perbaikan pasca panen, (f) perbaikan sistem pemasaran, (g) penerapan

kebijakan impor, (h) Kerjasama antar pelaku di dalam negeri, dan (i) kerjasama

internasional tentang bawang (Rachmat 2013a)

Panen bawang fluktuatif mengikuti musiman sementara permintaan

cenderung tetap setiap saat, untuk itu penyusunan perencanaan dan dan

implemetasi pola produksi antar wilayah di Indonesia sehingga terjadi keseimbangan

produksi sepanjang waktu. Permintaan meningkat pada hari besar (hari raya

keagamaan) sehingga harga meningkat, Analisis keseimbangan suplay dan demand

bawang merah, untuk itu analisis kebutuhan impor sesuai dengan produksi domestik

pada lingkup nasional dan antar daerah perlu dilakukan secara terus menerus.

Analisis tersebut juga mendukung upaya penyediaan pasokan bawang merah setiap

daerah, pengaturan distribusi antar daerah dan antar pulau, dan antisipasi

kemungkinan apabila diperlukan pelaksanaan impor disesuaikan dengan kebutuhan

dan produksi domestik. Pengembangan bawang diluar musim yang selama ini

dilakukan (off-season) perlu dilakukan untuk mengatasi kelangkaan produksi dan

memenuhi permintaan bawang yang relatif konstan antar waktu.

Salah satu aspek penting dalam peningkatan produksi bawang merah adalah

ketersediaan benih. Beberapa varietas benih hanya sesuai pada musim tertentu

sehingga dibutuhkan varietas yang sesuai untuk semua musim. Pada bagian lain

kebutuhan benih bawang dalam bentuk umbi relatif besar, sehingga sudah waktunya

pengembangan perbenihan bawang merah dari benih biji. Penggunaan benih dari

biji juga akan meningkatkan efesiensi produksi, karena secara total biaya benih

menjadi lebih murah.

Salah satu aspek lain yang seringkali menjadi kendala usaha bawang merah

adalah gangguan organisme pengganggu tanaman (OPT). Gangguan OPT

menyebabkan seringkali menyebabkan penggunaan dan biaya pestisida pada

usahatani bawang cukup besar. Beberapa alternatif teknologi pengendalian OPT

telah dan perlu dikembnagkan melalui pengembangan mini screen house dan light

trap. Pola ini disamping akan menekan biaya pestisida juga produksi bawang akan

lebih sehat.

Page 91: OUTLOOK KOMODITAS PANGAN STRATEGIS TAHUN 2015-2019pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2016_07.pdf · Outlook komoditas tebu ini, menyajikan keragaan komoditas tebu di Indonesia

90

Pada akhirnya upaya pengembangan produksi harus diikuti oleh penerapan

caa budidaya yang baik dan benar (Good Agricultural Practices-GAP). Disamping

memperbaiki cara budidaya untuk meningkatkan produktivitas, penerapan GAP

spesifik=lokasi juga akan memperbaiki sistem produksi menuju usahatani produk

dan lingkungan yang sehat. Produksi bawang merah dilakukan pada sentra produksi

bawang tertentu dan banyak daerah bukan daerah produsen, sehingga untuk

mendukung penerapan GAP juga diperlukan adanya fasilitas pasca panen di sentra

produksi seperti terminal untuk perontokan, penjemuran, penyimpanan. Dalam

kaitan ini juga aspek penting lain yang perlu mendapat perhatian adalah

peningkatan partisipasi masyarakat, terutama petani. Diperlukan keserasian tindak

antara pemerintah, asosiasi dan petani, sehingga segala kebijakan dan tidakan dapat

dilaksanakan secara maksimal.

Dalam aspek pemasaran, perlu adanya pembenahan sistem pemasaran

melalui penyederhanaan rantai pasok agar margin harga antara produsen dan

konsumen bisa lebih diperkecil. Selama ini peran pedagang pasar induk dan

pedagang pengumpul lebih dominan dalam penentuan harga bawang. Perbaikan

diperlukan berkaitan dengan kelembagaan pasar, pola transaksi seperti pasar lelang

dan perbaikan sistem informasi harga (Rachmat, Sayaka dan Muslim. 2012;

Rachmat, 2013b, Rachmat, 2013c).

Dalam kaitan pengembangan bawang merah menuju swasembada, dalam

kasus / situasi tertentu, Impor tidak dapat dicegah, namun perlu diatur sebagaimana

yang selama ini dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut: (a) Impor hanya pada

dilakukan pada periode tertentu (januari-juni) yaitu pada saat produksi domestik

kurang, (b) dapat dilakukan penerapan sistem Quota terbatas (jumlah yang

diijinkan), (b) pemberian ijin impor (melalui RIPH) dengan quota terbatas harus

didukung pelayanan satu atap dan administrasi yang baik, sehingga masuknya impor

benar benar pada waktu diluar masa panen, (c) Impor terutama untuk mendukung

kebutuhan benih, (d) produk yang diimpor telah mengikuti sistem penerapan GAP

dan dibuktikan dengan adanya sertifikat, dan (e) Terbuka menaikkan tarif terutama

diluar negara Asean.

Page 92: OUTLOOK KOMODITAS PANGAN STRATEGIS TAHUN 2015-2019pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2016_07.pdf · Outlook komoditas tebu ini, menyajikan keragaan komoditas tebu di Indonesia

91

Untuk perbaikan perencanaan nasional, perlu perbaikan statistik bawang

nasional secara lebih akurat. Dalam lingkup internasional, perlu adanya usulan

(seperti ke FAO) agar statistik dunia bawang merah (shallots) secara perlu

dipisahkan dari onion.

5.5. Kesimpulan dan Rekomendasi Kebijakan

Dalam kurun waktu tahun 2000–2014 produksi bawang merah mengalami

penigkatan rataan 3,82 %/th, akibat dari peningkatan luas panen meningkat 2,99

%/tahun dan produktivitas 0,93%/tahun. Dalam kurun waktu yang sama

penyediaan bawang merah meningkat 2,48%/tahun, terutama untuk konsumsi yang

meningkat dengan laju 4,08%/tahun. Dalam tahun 2000-2014, net impor bawang

merah fluktuatif antara 3,3%-14,1% dari total kebutuhan. Dalam periode 2000-

2014 juga terjadi kenaikan harga bawang merah ditingkat produsen 0,45 %/ tahun

dan kenaikan harga ditingkat konsumen 1,46%/tahun.

Outlook 2015-2019 menunjukkan produksi bawang merah akan meningkat

sebesar 6,1 persen/tahun. Dalam tahun 2015-2019 kebutuhan bawang merah

diproyeksikan meningkat 3,42%/tahun dari 785 ribu ton menjadi 898 ribu ton. Pada

kondisi kinerja agribisnis bawang merah seperti yang berjalan selama ini, maka

diprediksi sampai dengan tahun 2016 Indonesia masih mengimpor bawang merah

dengan jumlah impor yang semakin sedikit, dan baru dalam tahun 2017 dapat

dicapai swasembada. Dalam tahun 2015 net impor bawang diprediksi mencapai 28

ribu ton dan menurun menjadi impor 12 ribu ton pada tahun 2016, sedangkan mulai

tahun 2017 terjadi kelebihan (net ekspor) sebesar 10 ribu ton. Apabila tidak ada

kebijakan yang berkaitan dengan pengendalian harga, maka dalam tahun 2015-

2019, harga bawang merah ditingkat produsen tumbuh dengan laju rata-rata 6,36

%/tahun dan ditingkat konsumen rata rata 8,39%/tahun.

Diperlukan kebijakan stabilisasi produksi dan harga bawang merah melalui:

(a) penyusunan perencanaan produksi antar wilayah secara lebih baik untuk dapat

merencanakan produki sepanjang tahun, (b) pengembangan sistem perbenihan

secara serius baik benih umbi dan terutama pengembangan benih biji (TSS), (c)

Page 93: OUTLOOK KOMODITAS PANGAN STRATEGIS TAHUN 2015-2019pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2016_07.pdf · Outlook komoditas tebu ini, menyajikan keragaan komoditas tebu di Indonesia

92

Perbaikan budidaya , melalui penerapan GAP-SOP spesifik lokasi, (d) Pengendalian

OPT: mini screen house, light trap, (e) perbaikan pasca panen, (f) perbaikan sistem

pemasaran, (g) penerapan kebijakan impor, (h) Kerjasama antar pelaku di dalam

negeri, dan (i) kerjasama internasional tentang bawang agar statistik dunia bawang

merah (shallots) dibedakan dari onion.

Page 94: OUTLOOK KOMODITAS PANGAN STRATEGIS TAHUN 2015-2019pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2016_07.pdf · Outlook komoditas tebu ini, menyajikan keragaan komoditas tebu di Indonesia

93

VI. OUTLOOK KOMODITAS CABE MERAH

Cabe (Capsicum annuum L.) adalah tumbuhan penghasil buah yang berasa

manis dan sedikit pedas dari suku terong-terongan atau Solanaceae, dan

digolongkan sebagai sayuran maupun bumbu, penguat rasa makanan Dalam

pengertian internasional, varietas C. annuum yang populer adalah Paprika,

sementara di Indonesia jenis C. annuum yang populer adalah cabe marah besar

termasuk cabe keriting dan cabe rawit.

Dalam pembangunan pertanian Indonesia, Cabe merupakan salah satu

komoditas strategis nasional karena menjadi salah satu komoditas penyumbang

inflasi yang cukup besar dalam dua puluh tahun terakhir. Harga komoditas ini sering

bergejolak dan fluktuatif. Gejolak kenaikan harga yang tinggi pada berbagai wilayah

sering terjadi dan cukup signifikan pengaruhnya terhadap inflasi. Sebagai salah satu

komoditas sayuran dan pangan non karbohidrat, tingginya gejolak dan flukutasi

harga menjadi sumber penyebab tingginya volatilitas harga cabe. Menurut Setiyanto

et al (2011) terjadinya volatilitas harga pangan akan sangat mempengaruhi kondisi

ketahanan pangan dan kinerja perekonomian, karena (1) harga mempengaruhi

ketahanan pangan, terutama dari pemenuhan kebutuhan konsumsi, kebutuhan nilai

gizi dan berhubungan langsung dengan keterjangkauan daya beli masyarakat

terhadap pangan dan pendapatan petani. Dari sisi konsumen, stabilitas harga

pangan perlu dijaga pada tingkat yang wajar dan terjangkau oleh daya beli

masyarakat. Sedangkan dari sisi produsen, stabilitas perlu dijaga agar harga pangan

yang diterima cukup memadai, sehingga petani memperoleh insentif untuk

melanjutkan usahataninya dan (2) dari sisi kinerja perekonomian, harga pangan

masih merupakan bagian terbesar komponen pengeluaran rumah tangga penduduk

dan penyumbang terbesar inflasi, sehingga gejolak harga pangan dapat

menimbulkan gejolak sosial dan stabilitas perekonomian.

Gejolak dan fluktuasi harga cabe yang tinggi hampir terjadi setiap tahun.

Dalam rangka mengetahui kondisi dan mengantisipasi berbagai kemungkinan yang

terjadi pada masa yang akan datang, kajian outlook komoditas cabe penting untuk

dilakukan. Menurut Setiyanto et al (2014) kajian outlook pertanian mendukung

ulasan kebijakan dan perencanaan strategis, menggambarkan berbagai pilihan yang

Page 95: OUTLOOK KOMODITAS PANGAN STRATEGIS TAHUN 2015-2019pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2016_07.pdf · Outlook komoditas tebu ini, menyajikan keragaan komoditas tebu di Indonesia

94

tersedia bagi pembuat kebijakan pertanian, dan menggambarkan alternatif yang

mungkin timbul sebagai akibat dari pilihan-pilihan kebijakan tersebut, dan atau

antisipasi yang mungkin dilakukan akibat kondisi yang timbul akibat lingkungan

strategis dan kebijakan yang berubah secara dinamis. Menurut OECD – FAO (2011)

sebuah kajian outlook menjadi sangat penting untuk dilakukan karena dapat

menunjukkan berbagai pilihan kebijakan yang tersedia dan menarik beberapa

kesimpulan tentang berbagai hasil yang mungkin terjadi dari berbagai pilihan

tersebut. Berdasarkan FAO (2014), maksud dari kajian outlook adalah melakukan

penilaian dan menganalisis status, tren dan prospek sektor pertanian merupakan

komponen integral dari penyusunan kebijakan dan strategi pembangunan pertanian

nasional. Selanjutnya menurut Setiyanto (2014) outlook komoditas adalah gambaran

tentang prospek ke depan penawaran, permintaan dan harga suatu komoditas yang

didasarkan atas prediksi maupun asumsi tertentu perkembangan lingkungan

strategis internasional maupun nasional yang mempengaruhi komoditas

bersangkutan secara langsung maupun tidak. Berdasarkan hal ini, maka ada 3

(tiga) komponen dari outlook komoditas, yaitu: (1) Gambaran tentang prospek suatu

komoditas baik menyangkut penawaran, permintaan maupun harganya, dan (2)

Rentang waktu dari prospek tersebut yang bersifat jangka pendek bulanan,

triwulanan, semesteran dan 1 hingga dua tahun; jangka menengah tahunan satu

hingga lima atau jangka panjang lebih dari lima tahun, dan (3) Prediksi atau asumsi

tertentu perkembangan lingkungan strategis yang dijadikan dasar untuk membuat

analisis tentang prospek dan kondisi pada masa yang akan datang. Kajian ini

bertujuan menyusun outlook jangka menengah komoditas cabe tahun 2015 – 2019.

6.1. Dinamika Pasar Internasional

Data internasional tentang cabe mencakup cabe besar dan paprika, sehingga

bahasan pasar internasional, pengertian cabe yang dimaksud terdiri dari Cabe besar

dan Paprika.

6.1.1. Perkembangan Luas Panen, Produktivitas dan Produksi Dunia

Pada tahun 2013 luas panen cabe dunia mencapai sekitar 2,64 juta Ha

(Gambar 6.1). Dalam periode 2004 – 2013, luas panen cabe mengalami

Page 96: OUTLOOK KOMODITAS PANGAN STRATEGIS TAHUN 2015-2019pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2016_07.pdf · Outlook komoditas tebu ini, menyajikan keragaan komoditas tebu di Indonesia

95

pertumbuhan rata-rata 1,72 persen per tahun. Luas panen cabe menunjukkan

pertumbuhan yang semakin melambat (Gambar 6.2). Dalam periode 2004 – 2009,

luas panen cabe mengalami pertumbuhan rata-rata 1,77 persen per tahun dalam

periode 2004 – 2009 dan rata-rata 1,67 persen per tahun dalam periode 2009 –

2013. Perkembangan luas panen negara-negara produsen utama cabe tahun 2009-

2013 disajikan pada Tabel 3.1. Ethiopia memiliki peningkatan tertinggi dengan rata-

rata 9,86 persen per tahun, kemudian diikuti oleh Turki 4,37 persen per tahun,

China 2,5 persen per tahun dan Indonesia 1,28 persen per tahun. Meksiko dan

Nigeria measing-masing mengalami penurunan rata-rata 0,10 persen dan 10,67

persen per tahun.

Sumber: FAO, 2016 (diolah)

Gambar 6.1. Perkembangan Luas Panen, Produksi dan Produktivitas Cabe Dunia Tahun 2004 – 2013

0,00

5,00

10,00

15,00

20,00

25,00

30,00

35,00

40,00

45,00

50,00

2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013

LP (x 0.1 jt Ha) 22,68 23,00 23,55 23,88 24,27 24,76 25,18 25,84 26,38 26,45

Prod (x 1 jt Ton) 36,67 37,79 39,63 41,34 42,23 43,28 44,33 45,29 46,43 46,95

Prtv (Ton/Ha) 16,17 16,43 16,83 17,31 17,40 17,48 17,60 17,53 17,60 17,75

Page 97: OUTLOOK KOMODITAS PANGAN STRATEGIS TAHUN 2015-2019pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2016_07.pdf · Outlook komoditas tebu ini, menyajikan keragaan komoditas tebu di Indonesia

96

Sumber: FAO, 2016 (diolah)

Gambar 6.2. Perkembangan Pertumbuhan Luas Panen, Produksi dan Produktivitas Cabe Dunia Tahun 2004 – 2013

Tabel 6.1. Perkembangan Luas Panen Cabe di Negara Produsen Utama Cabe Tahun

2009 – 2013 (Juta Ha)

No Negara 2009 2010 2011 2012 2013 R (%/Thn)

1 China 1,32 1,36 1,41 1,42 1,42 2,50

2 Indonesia 0,23 0,24 0,24 0,24 0,23 1,28

3 Meksiko 0,14 0,14 0,14 0,14 0,13 -0,10

4 Ethiopia 0,10 0,09 0,12 0,15 0,15 9,86

5 Turki 0,09 0,10 0,09 0,10 0,10 4,27

6 Nigeria 0,08 0,06 0,06 0,06 0,07 -10,67

7 Lainnya 0,51 0,52 0,52 0,54 0,54 1,68

Dunia 2,48 2,52 2,58 2,64 2,65 2,02 Sumber: FAO, 2016 (diolah)

Berdasarkan Gambar 6.3, China memiliki kontribusi terbesar dalam luas panen

cabe dengan nilai rata-rata 53,97 persen per tahun, dan Indonesia menempati

urutan kedua dengan kontribusi rata-rata sebesar 9,22 persen per tahun. Meksiko

berada di urutan ketiga dengan kontribusi luas panen rata-rata memberikan

kontribusi sebesar 5,49 per tahun, selanjutnya Ethiopia, Turki dan Nigeria memiliki

kontribusi rata-rata 4,62 persen per tahun, 3.74 persen per tahun, dan 2,48 persen

per tahun. Dinamika perkembangan luas panen cabe dunia dipengaruhi oleh

dinamiki negara-negara tersebut karena negara-negara lainnya didunia hanya

memiliki kontribusi rata-rata di bawah 2,50 persen per tahun.

-1,00

0,00

1,00

2,00

3,00

4,00

5,00

2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013

LP (%) 1,40 2,42 1,37 1,66 2,02 1,68 2,62 2,09 0,28

Prod (%) 3,05 4,87 4,31 2,15 2,49 2,42 2,17 2,52 1,13

Prtv (%) 1,63 2,39 2,91 0,48 0,46 0,73 -0,44 0,42 0,85

Per

tum

bu

han

Page 98: OUTLOOK KOMODITAS PANGAN STRATEGIS TAHUN 2015-2019pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2016_07.pdf · Outlook komoditas tebu ini, menyajikan keragaan komoditas tebu di Indonesia

97

Sumber : FAO, 2016 (diolah)

Gambar 6.3. Rata-rata Kontribusi Luas Panen Cabe Dunia Menurut Negara Tahun 2009 - 2013

Pada tahun 2013 produksi cabe dunia mencapai sekitar 46.95 juta ton

meningkat sekitar 2.79 persen per tahun dalam periode 2004 – 2013. Rata-rata

pertumbuhan produksi periode 2004 – 2009 adalah 3.27 persen per tahun dan

menurun menjadi rata-rata 2.06 persen per tahun pada periode 2009-2013. Gambar

6.2 menunjukkan perkembangan peningkatan produksi cabe dunia setiap tahun

pada periode 2004 – 2013.

China merupakan produksi terbesar dengan kontribusi rata-rata 67.68 persen

terhadap produksi cabe dunia, kemudian diikuti oleh Meksiko dengan kontribusi rata-

rata 4.90 persen per tahun, Turki dengan kontribusi rata-rata 4.34 persen per tahun

dan Indonesia berada di urutan keempat dengan kontribusi rata-rata 3.45 persen

per tahun terhadap total produksi cabe dunia (Gambar 6.4).

China53,47%

Indonesia9,22%

Meksiko5,49%

Ethiopia4,62%

Turki3,74%

Nigeria2,74%

Lainnya20,72%

Page 99: OUTLOOK KOMODITAS PANGAN STRATEGIS TAHUN 2015-2019pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2016_07.pdf · Outlook komoditas tebu ini, menyajikan keragaan komoditas tebu di Indonesia

98

Sumber : FAO, 2016 (diolah)

Gambar 6.4. Rata-rata Kontribusi Produksi Cabe Dunia Menurut Negara Tahun 2009 - 2013

Tabel 6.2 menunjukkan bahwa dalam periode 2009 – 2013, Indonesia

memiliki peningkatan produksi tertinggi dengan rata-rata 5.97 persen per tahun,

kemudian diikuti oleh Meksiko 4.90 persen per tahun, Turki 4.17 persen per tahun,

China 2.18 persen per tahun dan Spanyol 1.87 persen per tahun. Amerika Serikat

merupakan negara yang memiliki penurunan produksi dengan nilai rata-rata 2.34

persen per tahun.

Tabel 6.2. Perkembangan Produksi Cabe di Negara Produksi Utama Cabe Tahun 2009 – 2013 (Juta Ton)

No Negara 2009 2010 2011 2012 2013 R(%/Thn)

1 China 29,04 30,00 31,08 31,25 31,65 2,18

2 Meksiko 1,94 2,34 2,13 2,38 2,29 4,90

3 Turki 1,84 1,99 1,98 2,04 2,16 4,17

4 Indonesia 1,38 1,33 1,48 1,66 1,73 5,97

5 Amerika 0,99 0,93 0,99 1,01 0,89 -2,34

6 Spanyol 0,93 0,88 0,92 0,97 1,00 1,87

7 Lainnya 7,16 6,86 6,70 7,12 7,24 0,35

Dunia 43,28 44,33 45,29 46,43 46,95 2,06

Sumber : FAO, 2016 (diolah)

Produktivitas cabe dunia mencapai rata-rata 17.75 ton per ha pada tahun

2013, dalam periode 2004-2013 produktivitas cabe dunia mengalami peningkatan

rata-rata 1.05 persen per tahun. Dalam periode 2004-2009 produktivitas cabe dunia

meningkat rata-rata 1.57 persen per tahun, namun demikian pada periode 2009 –

China67,68%

Meksiko4,90%

Turki4,34%

Indonesia3,35%

Amerika Serikat2,13%

Spanyol2,08%

Lainnya15,52%

Page 100: OUTLOOK KOMODITAS PANGAN STRATEGIS TAHUN 2015-2019pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2016_07.pdf · Outlook komoditas tebu ini, menyajikan keragaan komoditas tebu di Indonesia

99

2013 prodyktivitas cabe dunia hanya meningkat rata-rata 0.36 persen per tahun. Hal

ini menunnjukkan bahwa terjadi perlambatan peningkatan produktivitas cane dunia.

Perkembangan produktivitas dunia dari tahun ke tahun dalam periode 2004 – 2013

disajikan pada Gambar 6.1 dan Gambar 6.2. Tabel 6.3 menunjukkan bahwa pada

tahun 2013 produktivitas cabe di China mencapai rata-rata 22.22 ton per Ha.

Sementara itu produktivitas cabe di Indonesia baru mencapai rata-rata sebesar 9.86

ton per ha. Diantara negara produsen utama cabe dunia, Indonesia menempati

urutan kedua terendah setelah Turki yang memiliki produktivitas 8.69 ton per Ha.

Rendahnya data tingkat produktivitas cabe Indonesia berkaitan dengan jenis varitas

cabe di Indonesia yaitu Cabe besar dan Cabe rawit sementara di negara lain di dunia

umumnya didominasi oleh Cabe Paprika.

Tabel 6.3. Perkembangan Produktivitas Cabe di Negara Produksi Utama Cabe Tahun 2009 – 2013 (Ton/Ha)

No Negara 2009 2010 2011 2012 2013 R (%/Thn)

1 China 21,92 21,99 21,98 22,03 22,22 0,19

2 Indonesia 8,30 9,83 8,89 9,82 9,86 9,44

3 Meksiko 13,08 13,80 13,68 15,00 16,25 4,95

4 Ethiopia 14,11 14,94 12,81 11,26 11,91 -3,66

5 Turki 10,98 9,42 10,57 10,56 8,69 -4,07

6 Nigeria 12,21 14,59 16,05 16,17 15,38 12,46

7 Lainnya 13,95 13,10 12,93 13,24 13,34 -2,76

Dunia 17,48 17,60 17,53 17,60 17,75 0,36 Sumber : FAO, 2016 (diolah)

6.1.2. Perkembangan Perdagangan Cabe Dunia

Volume ekspor cabe dunia mencapai 3.15 juta ton pada tahun 2013,

sedangkan volume impornya mencapai 3.05 juta ton (Gambar 6.5). Perkembangan

volume ekspor dan impor cabe dunia periode 2004 - 2013 cenderung meningkat

dengan rata-rata pertumbuhan 6.04 persen per tahun untuk volume ekspor,

sedangkan perkembangan volume impornya sebesar 6.80 persen per tahun. Dalam

periode 2004 – 2009 volume ekspor meningkat rata-rata 6.29 persen per tahun dan

menurun menjadi 5.54 persen per tahun pada tahun 2009-2013. Dalam periode

yang sama, volume impor cabe mengalami peningkatan rata-rata 7.04 persen per

tahun dan 6.70 per tahun. Peningkatan volume ekspr dan impor cabe dunia

dibanding tahun sebelumnya disajikan pada Gambar 6.6.

Page 101: OUTLOOK KOMODITAS PANGAN STRATEGIS TAHUN 2015-2019pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2016_07.pdf · Outlook komoditas tebu ini, menyajikan keragaan komoditas tebu di Indonesia

100

Sumber : FAO, 2016 (diolah)

Gambar 6.5. Perkembangan Volume Ekspor dan Impor Cabe Dunia Tahun 2004 - 2013

Sumber : FAO, 2016 (diolah)

Gambar 6.6. Peningkatan Volume Ekspor dan Impor Cabe Dunia Dibanding Tahun

Sebelumnya Periode 2005 - 2013

Berdasarkan realisasi ekspor rata-rata 2009-2013 menunjukkan bahwa

Meksiko merupakan negara eksportir cabe dan paprika hijau terbesar di dunia

dengan kontribusi sebesar 24.46 persen per tahun terhadap total volume ekspor

cabe dunia (Gambar 6.7), dengan pertumbuhan rata-rata 6.17 persen per tahun

(Tabel 6.4). Negara-negara eksportir terbesar berikutnya adalah Spanyol 17.70

persen dan Belanda 16.46 persen per tahun dan Amerika 3.92 persen per tahun,

dengan pertumbuhan masing-masing 4.87 persen, 4.18 persen dan 5.60 persen per

tahun. Sedangkan total kontribusi ekspor negara-negara lainnya sebesar 37.46

persen per tahun dengan pertumbuhan rata-rata 7.02 persen per tahun.

0,00

0,50

1,00

1,50

2,00

2,50

3,00

3,50

2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013

Ekspor 1,86 2,02 2,07 2,17 2,41 2,53 2,70 2,88 2,99 3,15

Impor 1,71 1,89 2,03 2,07 2,23 2,39 2,61 2,70 2,88 3,08

Juta

To

n

0,00

2,00

4,00

6,00

8,00

10,00

12,00

2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013

Ekspor 8,28 2,47 5,06 10,82 4,82 6,94 6,48 3,93 5,54

Impor 10,93 7,10 2,20 7,48 7,49 9,05 3,44 6,82 6,70

Pen

ingk

atan

(%

)

Page 102: OUTLOOK KOMODITAS PANGAN STRATEGIS TAHUN 2015-2019pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2016_07.pdf · Outlook komoditas tebu ini, menyajikan keragaan komoditas tebu di Indonesia

101

Sumber : FAO, 2016 (diolah)

Gambar 6.7. Rata-rata Kontribusi Volume Ekspor dan Impor Negara-Negara Ekspor

dan Impor Utama Cabe Dunia tahun 2009 – 2013

Tabel 6.4. Perkembangan Volume Ekspor Negara-Negara Eksportir Utama Cabe Dunia tahun 2009 – 2013 (Ribu Ton)

No Negara 2009 2010 2011 2012 2013 R

(%/Thn)

1 Meksiko 608,64 644,56 699,66 767,86 771,47 6,17

2 Spanyol 465,25 446,30 511,34 531,45 558,26 4,87

3 Belanda 444,37 433,87 474,01 462,55 519,15 4,18

4 Amerika 99,94 107,28 105,38 109,37 123,64 5,60

5 Lainnya 906,98 1068,46 1084,98 1117,22 1181,49 7,02

Dunia 2525,18 2700,47 2875,36 2988,45 3154,01 5,72 Sumber : FAO, 2016 (diolah)

Pada periode 2009–2013 terdapat empat negara importir cabe terbesar di

dunia yang secara kumulatif memberikan kontribusi sebesar 53.13 persen per tahun

terhadap total volume impor cabe di dunia. Amerika Serikat merupakan negara

importir cabe terbesar di dunia dengan rata-rata kontribusi sebesar 28.92 per tahun

(Gambar 6.7) dan pertumbuhan impor rata-rata 8.50 persen per tahun (Tabel 6.5).

Jerman merupakan importir terbesar kedua dengan rata-rata kontribusi sebesar

13.08 persen per tahun, dengan rata-rata pertumbuhan 5.42 persen per tahun,

disusul Inggris dengan kontribusi dan pertumbuhan volume impor rata-rata 5.92

persen dan 7.40 persen per tahu. Perancis berada di posisi keempat importir

Ekspor Impor

Page 103: OUTLOOK KOMODITAS PANGAN STRATEGIS TAHUN 2015-2019pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2016_07.pdf · Outlook komoditas tebu ini, menyajikan keragaan komoditas tebu di Indonesia

102

terbesar cabe di dunia dengan rata-rata kontribusi 5.21 persen terhadap total

volume impor cabe dunia dan pertumbuhan rata-rata 5.69 persen per tahun.

Indonesia berada pada urutan ke- 49 dan 50 dengan rata-rata volume ekspor dan

impor cabe rata-rata di bawah 3 ribu ton per tahun.

Tabel 6.5. Perkembangan Volume Impor Negara-Negara Importir Utama Cabe Dunia

tahun 2009 – 2013 (Ribu Ton)

No Negara 2009 2010 2011 2012 2013 R

(%/Thn)

1 Amerika 648,74 763,11 779,39 896,15 889,46 8,50

2 Jerman 326,43 331,61 351,62 362,29 402,29 5,42

3 Inggris 136,87 144,55 157,13 169,62 182,07 7,40

4 Perancis 122,59 124,66 136,73 147,89 160,24 6,97

5 Lainnya 1157,59 1244,74 1273,53 1306,52 1441,53 5,69

Dunia 2392,22 2608,68 2698,41 2882,46 3075,58 6,50 Sumber : FAO, 2016 (diolah)

6.1.3. Perkembangan Supply Domestik dan Konsumsi Cabe Dunia

Tabel 6.6 menunjukkan bahwa ketersediaan untuk konsumsi (domestik

supply) cabe dunia tahun 2013 mencapai 46.86 juta ton. Dalam periode 2008-2013,

mengalami peningkatan rata-rata 2.20 persen per tahun, mengalami penurunan

dibandingkan periode 2003 – 2008 yang mencapai 3.40 persen per tahun. Tabel 6.7

menunjukkan bahwa konsumsi cabe dunia sebagai bahan pangan (food) mencapai

44.78 juta ton dan mengalami peningkatan rata-rata 2.19 persen per tahun pada

periode 2008-2013. Pada periode 2004-2008 penggunaan cabe untuk pangan

meningkat rata-rata 3.42 persen per tahun. Dalam periode 2004-2013 penggunaan

cabe untuk pangan meningkat rata-rata 2.81 persen per tahun, relatif sama dengan

pertumbuhan domestik supply yang mencapai rata-rata 2.80 per tahun pada periode

yang sama.

Page 104: OUTLOOK KOMODITAS PANGAN STRATEGIS TAHUN 2015-2019pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2016_07.pdf · Outlook komoditas tebu ini, menyajikan keragaan komoditas tebu di Indonesia

103

Tabel 6.6. Perkembangan Produksi dan Ketersediaan Konsumsi Domestik Cabe Dunia Tahun 2003 – 2013 (x 1000 Ton)

Tahun Produksi Impor Variasi Stok Ekspor Domestik Supply

2003 35.766,24 1.584,81 -2,23 1.770,53 35.578,28

2004 36.672,07 1.705,39 23,28 1.864,87 36.535,87

2005 37.790,37 1.891,81 5,47 2.019,19 37.668,45

2006 39.631,34 2.026,14 22,78 2.069,02 39.611,25

2007 41.339,70 2.070,69 -30,37 2.173,81 41.206,20

2008 42.228,69 2.225,47 -10,30 2.409,09 42.034,78

2009 43.280,45 2.392,22 -6,53 2.525,18 43.140,96

2010 44.327,30 2.608,68 14,90 2.700,47 44.250,41

2011 45.288,74 2.698,41 -11,94 2.875,36 45.099,84

2012 46.429,64 2.882,46 -15,40 2.988,45 46.308,24

2013 46.954,23 3.075,58 -16,46 3.154,01 46.859,34

2003-2008 3,38 7,06 -240,59 6,39 3,40

2008-2013 2,15 6,70 -101,79 5,54 2,20

2003-2013 2,76 6,88 -171,19 5,97 2,80

CV 9,35 21,27 19,58 9,39 Sumber : FAO, 2016 (diolah)

Tabel 6.7. Perkembangan Ketersediaan Konsumsi Domestik Dan Komsumsi Menurut

Penggunaan Cabe Dunia Tahun 2003 – 2013 (x 1000 Ton)

Tahun Domestik Supply Seeds Food Penggunaan Lain Waste

2003 35.578,28 140,58 33.952,07 1.393,01 92,62

2004 36.535,87 141,14 34.885,39 1.404,40 104,94

2005 37.668,45 147,95 35.936,73 1.479,74 104,03

2006 39.611,25 151,34 37.821,18 1.527,48 111,25

2007 41.206,20 171,06 39.344,85 1.572,74 117,56

2008 42.034,78 182,40 40.158,83 1.589,78 103,76

2009 43.140,96 189,18 41.210,40 1.621,70 119,69

2010 44.250,41 196,20 42.272,92 1.665,92 115,36

2011 45.099,84 208,45 43.078,08 1.693,75 119,56

2012 46.308,24 218,16 44.211,18 1.765,22 113,68

2013 46.859,34 218,96 44.758,31 1.778,00 104,07

2003-2008 3,40 5,44 3,42 2,69 2,66

2008-2013 2,20 3,74 2,19 2,27 0,40

2003-2013 2,80 4,59 2,81 2,48 1,53

CV 9,39 16,89 9,42 8,28 7,75 Sumber : FAO, 2016 (diolah)

Page 105: OUTLOOK KOMODITAS PANGAN STRATEGIS TAHUN 2015-2019pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2016_07.pdf · Outlook komoditas tebu ini, menyajikan keragaan komoditas tebu di Indonesia

104

6.1.4. Perkembangan Harga Cabe Dunia

Publikasi mengenai perkembangan harga cabe internasional sulit didapatkan.

Dilakukan pendekatan dengan menggunakan harga rata-rata produsen yang dibagi

dengan dua pendekatan yaitu harga rata-rata pada negara produsen yang memiliki

produksi lebih besar dari impor untuk menunjukkan tingkat harga produsen dan

rata-rata harga pada negara produsen yang memiliki impor sama dengan atau lebih

tinggi dari produksinya. Tabel 6.8 menunjukkan bahwa pada tahun 2014 rata-rata

harga negara produsen mencapai US $ 1709.37 per ton, sementara pada negara-

negara importir US $ 3489.76 per ton dan terdapat perbedaan harga US $ 1780.39

per ton. Peningkatan harga negara produsen lebih rendah di banding harga rata-rata

negara importir dan perbedaan harga antara harga negara produsen dengan

importir menunjukkan peningkatan yang sangat tinggi. Perbebedaan harga antara

negara produsen dengan negara importir dari tahun ke tahun seperti juga terlihat

pada Gambar 6.8.

Tabel 6.8. Perkembangan Rata-rata Harga Produsen Cabe Dunia Tahun 2004 – 2014

(US $ per Ton)

Tahun Rata-rata Harga Negara

Produsen Rata-rata Harga Negara

Importir Perbedaan

Harga

2004 908,29 1.125,26 216,97

2005 927,16 1.231,62 304,46

2006 979,09 1.325,73 346,64

2007 1.152,04 1.547,47 395,43

2008 1.330,11 2.045,23 715,12

2009 1.106,73 1.877,40 770,68

2010 1.379,08 2.638,30 1.259,22

2011 1.420,10 2.743,72 1.323,62

2012 1.466,61 2.804,98 1.338,37

2013 1.626,58 3.237,69 1.611,12

2014 1.709,37 3.489,76 1.780,39

2004-2009 4,80 11,56 31,37

2009-2014 9,37 13,99 20,10

2004-2014 7,09 12,77 25,74

CV 21,80 38,25 61,96 Sumber : FAO, 2016 (diolah)

Tabel 6.9 menunjukkan perkembangan harga produsen pada beberapa

negara produsen utama cabe dunia. Pada tahun 2014, harga produsen tertinggi

Page 106: OUTLOOK KOMODITAS PANGAN STRATEGIS TAHUN 2015-2019pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2016_07.pdf · Outlook komoditas tebu ini, menyajikan keragaan komoditas tebu di Indonesia

105

terjadi negara Ethiopia, diikuti oleh USA dan Chima. Harga di Indonesia dan Spanyol

relatif sama. Harga terendah d Mexico dan Turkey. Dari sisi perubahan harga, China

menunjukkan perkembangan harga yang paling tinggi, kemudian diikuti Amerika

Serikat dan Spanyol. Indonesia dan Menxico menunjukkan tingkat perkembangan

harga yang paling rendah.

Keterangan : Harga Negara Produsen = Rata-rata Harga Produsen Negara-negara Yang Memiliki Produksi Cabe Lebih Tinggi dari Impornya; Harga Negara Importir = Rata-rata Harga

Produsen Negara-Negara Yang Memiliki Produksi Lebih Rendah atau Sama Dengan Volume Impornya; Perbedaan = Rata-rata Harga Negara Importir dikurangi dengan Rata-rata Harga Negara Produsen

Sumber : FAO, 2016 (diolah)

Gambar 6.8. Perkembangan Rata-rata Harga Produsen Cabe Dunia Tahun 2004-

2014 (US $ per Ton)

Tabel 6.9. Perkembangan Harga Produsen Cabe di Beberapa Negara Produsen

Utama Cabe Dunia (US $ per Ton)

Tahun China Ethiopia Indonesia Mexico Spain Turkey USA

2004 365,60 1.301,00 1.210,90 384,87 418,60 694,00 621,20

2005 417,50 1.241,00 1.159,70 410,76 500,00 734,00 722,90

2006 746,10 1.736,30 1.129,40 416,83 561,70 743,00 705,90

2007 962,40 1.941,00 1.553,20 377,60 527,80 730,00 1.472,10

2008 911,50 1.702,60 1.350,90 461,90 1.043,30 884,00 1.064,60

2009 617,00 1.475,80 1.017,30 435,30 905,00 758,00 1.180,70

2010 1.149,60 2.105,50 1.419,50 463,70 978,80 886,00 1.907,70

2011 1.429,30 1.936,60 1.386,00 440,60 1.367,90 860,00 1.460,60

2012 1.454,80 1.974,70 1.175,80 445,00 804,10 743,00 1.525,90

2013 1.549,35 2.133,96 1.315,53 691,37 1.236,11 855,33 1.846,63

2014 1.680,25 2.218,20 1.325,25 726,20 1.325,40 870,13 1.979,03

2004-2009 16,86 4,30 (1,41) 3,07 22,03 2,42 21,16

2009-2014 25,48 9,73 6,93 12,59 13,53 3,44 14,16

2004-2014 21,17 7,01 2,76 7,83 17,78 2,93 17,66

CV 45,02 18,70 12,02 24,68 39,22 9,28 37,57 Sumber : FAO, 2016 (diolah)

2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014

Harga Negara Produsen 908,29 927,16 979,09 1152,04 1330,11 1106,73 1379,08 1420,10 1466,61 1626,58 1709,37

Harga Negara Importir 1125,26 1231,62 1325,73 1547,47 2045,23 1877,40 2638,30 2743,72 2804,98 3237,69 3489,76

Perbedaan 216,97 304,46 346,64 395,43 715,12 770,68 1259,22 1323,62 1338,37 1611,12 1780,39

0,00

500,00

1000,00

1500,00

2000,00

2500,00

3000,00

3500,00

4000,00

Harg

a (

US $

Per

Ton)

Page 107: OUTLOOK KOMODITAS PANGAN STRATEGIS TAHUN 2015-2019pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2016_07.pdf · Outlook komoditas tebu ini, menyajikan keragaan komoditas tebu di Indonesia

106

6.2. Dinamika Pasar Domestik

Berbeda dengan di pasar dunia, cabe yang diusahakan di Indonesia umumnya

cabe besar termasuk cabe keriting dan cabe rawit. Sejalan dengan itu dalam

bahasan pasar domestik cabe yang dimaksud adalah cabe besar termasuk Cabe

keriting dan Cabe rawit.

6.2.1. Perkembangan Luas Panen, Produktivitas dan Produksi Cabe

Luas panen Cabe Indonesia tahun 2014 mencapai 263.62 ribu Ha dan

mengalami peningkatan rata-rata 4.92 persen per tahun pada periode 2009 – 2014

(Tabel 6.10). Pada periode yang sama produksi mengalami peningkatan rata-rata

5.07 persen per tahun dan menurun rata-rata 0.05 persen untuk produktivitas. Pada

tahun 2014 produksi cabe Indonesia mencapai 1.875,08 ribu ton dan produktivitas

mencapai 7.11 ton per Ha. Data perkembangan produktivitas menunjukkan terjadi

pelandaian pada periode 2004 – 2009 dan 2004 – 2014, penurunan produktivitas

pada periode 2009 – 2014.

Tabel 6.10. Perkembangan Luas Panen, Produksi dan Produktivitas Cabe Indonesia

2004 – 2014

Tahun Luas Panen

(x 1000 Ha)

Produksi

(x 1000 Ton)

Produktivitas

(Ton/Ha)

2004 194,59 1.100,51 5,66

2005 187,24 1.058,02 5,65

2006 204,75 1.185,06 5,79

2007 204,05 1.128,79 5,53

2008 211,57 1.153,06 5,45

2009 233,90 1.378,73 5,89

2010 237,11 1.328,86 5,60

2011 239,77 1.483,08 6,19

2012 242,37 1.656,52 6,83

2013 249,23 1.726,38 6,93

2014 263,62 1.875,08 7,11

2004-2009 3,90 5,02 0,92

2009-2014 4,92 5,07 -0,05

2004-2014 3,28 4,99 1,54

CV 11,10 20,49 10,13

Page 108: OUTLOOK KOMODITAS PANGAN STRATEGIS TAHUN 2015-2019pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2016_07.pdf · Outlook komoditas tebu ini, menyajikan keragaan komoditas tebu di Indonesia

107

6.2.2. Perkembangan Konsumsi Cabe

Perhitungan konsumsi cabe didasarkan kepada produk cabe segar. Konsumsi

masyarakat akan cabe terjadi setiap saat setiap terutama untuk bumbu masakan.

Permintaan cabe terus meningkat sejalan dengan peningkatan jumlah penduduk dan

kebutuhan konsumsi Cabe masyarakat. Penggunaan cabe dikelompokkan dalam

konsumsi langsung oleh rumahtangga, konsumsi tidak langsung rumahtangga dan

penggunaan lain termasuk benih dan tercecer.

Konsumsi Cabe tidak langsung oleh rumahtangga merupakan porsi terbesar

yaitu sekitar persen, sedangkan konsumsi langsung oleh rumahtangga menempati

proporsi sekitar dan sisanya sekitar persen digunakan untuk benih dan tercecer (Tabel

6.11).

Tabel 6.11. Perkembangan Komsumsi Cabe Indonesia tahun 2004 -2014 (x 1000 Ton)

Tahun Konsumsi

Langsung Rumah

Tangga

Konsumsi Tidak Langsung Rumah

Tangga

Konsumsi Benih dan Tercecer

Jumlah

2004 376,26 521,47 248,79 1.146,53

2005 397,26 623,33 278,79 1.299,38

2006 403,86 671,39 308,79 1.384,05

2007 414,86 685,87 331,13 1.431,86

2008 424,62 692,66 343,13 1.460,41

2009 431,49 713,93 358,79 1.504,21

2010 445,86 766,49 377,92 1.590,27

2011 461,86 824,93 389,58 1.676,37

2012 482,64 848,93 405,39 1.736,96

2013 493,26 894,93 420,13 1.808,32

2014 518,26 923,43 428,79 1.870,49

2004-2009 2,79 6,69 7,65 5,66

2009-2014 3,74 5,30 3,63 4,46

2004-2014 3,26 6,00 5,64 5,06

CV 9,99 16,46 16,45 14,51

6.2.3. Perkembangan Ekspor dan Impor Cabe

Ekspor cabe segar menunjukkan penurunan rata-rata 3.07 persen per tahun

pada periode 2009 – 2014, sedangkan volume impor cabe segar menunjukkan

peningkatan rata-rata 402.07 persen per tahun (Tabel 6.12). Dari sisi nilai, ekspor

cabe meningkat rata-rata 4,69 persen per tahun, sedangkan impor 55,28 persen per

Page 109: OUTLOOK KOMODITAS PANGAN STRATEGIS TAHUN 2015-2019pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2016_07.pdf · Outlook komoditas tebu ini, menyajikan keragaan komoditas tebu di Indonesia

108

tahun. Secara umum neraca perdagangan cabe Indonesia menunjukkan surplus

kecuali tahun 2010-2012 yang mengalami defisit karena adanya impor yang besar.

Dari sisi volume neraca perdagangan meningkat rata-rata 262,26 persen dan dari

sisi nilai meningkat 1.088,17 persen per tahun. Berdasarkan Tabel 6.14

menunjukkan volume ekspor cabe segar menunjukkan penurunan, sedangkan nilai

ekspor menunjukkan peningkatan, namun volume impor meningkat jauh lebih besar

dibanding volume dan nilai ekspor.

Tabel 6.12. Perkembangan Ekspor dan Impor Cabe Segar Indonesia Tahun 2004 - 2014

Tahun

Ekspor Impor Neraca

Volume (Ton) Nilai ( 1x

1000 US$) Volume (Ton)

Nilai ( 1x 1000 US$)

Volume (Ton) Nilai ( 1x

1000 US$)

2004 854,32 453,44 111,86 54,32 742,45 399,11

2005 893,52 989,96 291,45 21,05 602,08 968,91

2006 1.183,45 1.020,60 14,47 137,65 1.168,98 882,95

2007 1.362,45 1.085,22 309,75 245,25 1.052,71 839,98

2008 1.217,53 1.195,88 500,67 473,75 716,86 722,13

2009 743,54 787,79 90,49 636,87 653,06 150,92

2010 1.503,73 1.370,78 1.849,81 1.457,69 -346,08 -86,91

2011 1.448,15 1.821,63 7.501,14 6.953,69 -6.052,99 -5.132,07

2012 545,21 755,22 3.221,68 2.970,37 -2.676,47 -2.215,15

2013 570,26 930,55 293,93 368,36 276,33 562,19

2014 250,22 482,91 29,50 56,64 220,72 426,26

2004-2009 0,52 20,76 417,08 139,67 4,90 7,18

2009-2014 -3,07 4,69 402,39 55,28 261,96 1.088,17

2004-2014 -1,27 12,73 409,73 97,48 133,43 547,67

CV 42,93 39,54 176,87 172,29 -655,91 -821,12

Tabel 6.13 menunjukkan bahwa volume ekspor cabe olahan Indonesia

mengalami penngkatan rata-rata 10.46 persen per tahun pada periode 2009-2014,

jauh lebih rendah jika dibandingkan perkembangan pada periode 2004-2009 yang

mencapai 80.46 persen per tahun. Fenomena yang yang sama juga terjadi dari sisi

nilai yang menunjukkan peningkatan rata-rata 24.26 persen per tahun pada periode

2009-2014, sementara peningakatan nilai ekspor pada periode 2004-2009 mencapai

rata-rata 86.50 persen per tahun. Pada tahun 2014 volume dan nilai ekspor cabe

olahan Indonesia mencapai 11.87 ribu ton dan US $ 25.18 juta, jauh lebih rendah

jika dibandingkan dengan volume dan nilai impor yang mencapai 26.13 ribu ton dan

US $ 30.92 juta. Pada periode 2009-2014 volume dan nilai impor cabe olahan

mencapai peningkatan rata-rata 8.44 persen dan 13.63 persen per tahun.

Peningkatan ini juga lebih rendah jika dibandingkan dengan peningkatan pada

periode 2004-2009 yang mencapai masing-masing 19.56 persen dan 43.05 persen

Page 110: OUTLOOK KOMODITAS PANGAN STRATEGIS TAHUN 2015-2019pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2016_07.pdf · Outlook komoditas tebu ini, menyajikan keragaan komoditas tebu di Indonesia

109

per tahun. Pertumbuhan volume dan nilai ekspor menunjukkan jauh lebih tinggi

namun demikian hingga tahun 2014 neraca ekspor dan impor menunjukan defisit

yang lebih tinggi dibanding tahun-tahun sebelumnya. Pada tahun 2015 defisit neraca

ekspor dan impor cabe olahan dari sisi volume mencapai 14.26 ribu ton dan dari sisi

nilai mencapai US$ 5.75 juta. Jika pada defisit volume menunjukkan rata-rata

penurunan pada periode 2009-2014 dibandingkan periode 2004-2009, maka pada

defisit nilai menunjukkan peningkatan pada 2009-2014 dibandingkan pada 2004-

2009.

Tabel 6.13. Perkembangan Ekspor dan Impor Cabe Olahan Indonesia Tahun 2004 - 2014

Tahun

Ekspor Impor Neraca

Volume

(Ton)

Nilai (1 x

1000 US$)

Volume

(Ton)

Nilai (1 x

1000 US$)

Volume

(Ton)

Nilai (1 x

1000 US$)

2004 1.025,06 1.127,92 7.460,59 3.042,81 -6.435,53 -1.914,89 2005 723,66 814,66 7.698,86 4.099,99 -6.975,20 -3.285,32

2006 1.540,90 1.895,43 10.132,49 7.355,64 -8.591,59 -5.460,20 2007 6.150,39 7.721,18 13.693,11 12.157,67 -7.542,72 -4.436,49

2008 5.863,76 8.296,28 16.523,19 15.711,74 -10.659,42 -7.415,46 2009 7.289,44 9.358,65 17.710,99 16.745,68 -10.421,55 -7.387,03

2010 8.699,64 15.829,75 19.408,81 21.457,80 -10.709,17 -5.628,06 2011 8.600,42 19.842,13 23.422,85 26.154,62 -14.822,43 -6.312,49

2012 9.441,01 24.223,97 23.617,00 24.964,86 -14.175,99 -740,89 2013 10.438,06 22.601,10 22.851,05 27.157,26 -12.412,99 -4.556,16

2014 11.874,87 25.179,36 26.132,02 30.924,60 -14.257,16 -5.745,24

2004-2009 80,46 86,50 19,56 43,05 11,69 37,16

2009-2014 10,46 24,26 8,44 13,63 7,85 88,23

2004-2014 45,46 55,38 14,00 28,34 9,77 62,69

CV 59,73 75,97 38,88 56,28 -28,39 -44,18

Hasil analisis ekspor dan impor menggambarkan bahwa selain harga

internasional cabe segar dan olahan semakin meningkat, dari sisi volume ekspor

cabe segar menunjukkan semakin menurun sedangkan volume impor semakin

meningkat. Sementara itu dari sisi cabe olahan volume ekspor cabe olahan belum

mampu mengimbangi volume impor, sekalipun peningkatan volume ekspor cabe

olahan lebih tinggi jika dibandingkan volume impor. Pertumbuhan produksi yang

relatif lambat untuk mengimbangi peningkatan konsumsi menyebabkan volume

impor cabe segar dan olahan semakin meningkat.

Page 111: OUTLOOK KOMODITAS PANGAN STRATEGIS TAHUN 2015-2019pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2016_07.pdf · Outlook komoditas tebu ini, menyajikan keragaan komoditas tebu di Indonesia

110

6.2.4. Perkembangan Harga Cabe

Konsumsi masyarakat akan cabe terutama untuk bumbu masakan terjadi

setiap saat sementara produksi bawang merah bersifat musiman. Kondisi ini

menyebabkan terjadinya senjang (gap) antara pasokan (suplai) dan permintaan

serta gejolak harga antar waktu. Secara rataan, dalam periode tahun 2004-2014

terjadi kenaikan harga cabe ditingkat produsen dari Rp 8636/kg menjadi Rp 19237

/kg atau dengan laju rata-rata 8,59 %/ tahun. Kenaikan terbesar terjadi pada

periode tahun 2004-2009. Sementara itu dalam periode yang sama harga konsumen

cabe meningkat dari dari Rp 11553/kg menjadi Rp 44519 /kg atau dengan laju rata-

rata 16,46 %/ tahun. Kenaikan terbesar terjadi pada periode tahun 2009-2014

dengan laju 19,11 8,59 %/ tahun (Tabel 6.14).

Tabel 6.14. Perkembangan Harga Produsen Konsumen Cabe Indonesia Tahun 2004 – 2014 (Rp/Kg)

Tahun Harga Produsen Harga Konsumen Margin

2004 8.636,51 11.553,65 2.917,14

2005 9.487,93 11.671,47 2.183,54

2006 10.906,61 13.158,44 2.251,83

2007 11.965,58 15.106,08 3.140,50

2008 15.114,27 21.303,84 6.189,57

2009 15.546,06 21.187,00 5.640,94

2010 16.343,10 31.260,75 14.917,65

2011 17.184,06 47.669,34 30.485,28

2012 19.206,89 54.919,00 35.712,11

2013 19.523,00 52.030,00 32.507,00

2014 19.237,19 44.519,00 25.281,81

2004-2009 12,74 13,81 21,13

2009-2014 4,45 19,11 50,95

2004-2014 8,59 16,46 36,04

CV 26,93 58,37 93,01

Peningkatan laju harga konsumen dibanding harga produsen pada periode 5

tahun menyebabkan selisih /margin harga cabe antara produsen dan konsumen

semakin besar. Kondisi ini mengindikasikan semakin buruknya sistem distribusi pasar

cabe.

Page 112: OUTLOOK KOMODITAS PANGAN STRATEGIS TAHUN 2015-2019pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2016_07.pdf · Outlook komoditas tebu ini, menyajikan keragaan komoditas tebu di Indonesia

111

Gambar 6.9. Perkembangan Rata-rata Harga Produsen, Konsumsi dan Margin

Harga Produsen dan Konsumen Cabe Indonesia Tahun 2004 - 2014 (Rp./Kg)

6.3. Outlook Komoditas Cabe Indonesia 2015 – 2019

6.3.1. Prediksi Perkembangan Luas Panen Komoditas Tahun 2015 - 2019

Komponen yang berpengaruh terhadap tingkat produksi komoditas adalah

luas panen dan produktivitas. Kedua komponen ini sangat dipengaruhi oleh kondisi

iklim. Prediksi perkembangan luas panen dan produktivitas dari komoditas-komoditas

yang dianalisis selama periode tahun 2015-2019 dibedakan menjadi 3 skenario, yaitu

skenario I apabila kondisi iklim adalah normal, skenario II apabila kondisi iklim

cenderung basah (La Nina) dan skenario III apabila kondisi iklim cenderung kering

(El Nino). Apabila selama periode tahun 2014-2019 skenario I berlaku yaitu iklim

dalam kondisi normal maka cabe diprediksi akan mengalami peningkatan luas

panen.

Tabel 6.15. Prediksi Perkembangan Luas Panen Komoditas Cabe (Ribu Ha) Tahun 2015-2019

No Komoditas 2015 2016 2017 2018 2019 R (%/Thn)

A. Skenario I 268,37 278,98 281,46 265,93 284,16 1,55

B. Skenario II 281,77 266,25 274,26 282,82 278,87 -0,19

C. Skenario III 268,37 278,98 281,46 265,93 284,16 1,55 Sumber : Setiyanto et al., 2014

2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014

Harga Produsen 8636,5 9487,9 10906, 11965,15114, 15546, 16343,17184, 19206, 19523, 19237,

Harga Konsumen 11553, 11671, 13158, 15106,21303, 21187, 31260,47669, 54919, 52030, 44519,

Margin 2917,1 2183,5 2251,8 3140,56189,5 5640,9 14917,30485, 35712, 32507, 25281,

0,00

10000,00

20000,00

30000,00

40000,00

50000,00

60000,00H

arga

(R

p./

Kg)

Page 113: OUTLOOK KOMODITAS PANGAN STRATEGIS TAHUN 2015-2019pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2016_07.pdf · Outlook komoditas tebu ini, menyajikan keragaan komoditas tebu di Indonesia

112

Prediksi rata-rata peningkatan luas panen masing-masing komoditas cabe

selama periode tahun 2015-2019 berdasarkan skenario I cabe 1.55 persen per

tahun, dengan luas panen cabe meningkat dari 268 ribu hektar pada tahun 2015

menjadi 284 ribu hektar pada tahun 2019.

Apabila selama periode tahun 2015-2019 skenario II berlaku yaitu iklim

cenderung basah atau La Nina maka cabe diprediksi akan mengalami penurunan

luas panen. Selama periode tahun 2015-2019 berdasarkan skenario II prediksi rata-

rata prediksi penurunan luas panen cabe masing-masing adalah 0.19 persen per

tahun. Prediksi perkembangan luas panen cabe menurun dari 282 ribu hektar pada

tahun 2015 menjadi 279 ribu hektar pada tahun 2019.

Apabila skenario III berlaku yaitu iklim cenderung kering atau El Nino maka

keadaan yang terjadi selama periode tahun 2015-2019 rata-rata peningkatan luas

panen cabe meningkat rata-rata cabe 1.55 persen per tahun, luas panen cabe

meningkat dari 268 ribu hektar pada tahun 2015 menjadi 284 ribu hektar pada

tahun 2019.

Apabila besarnya dan arah perkembangan luas panen masing-masing

komoditas yang dianalisis selama periode tahun 2014-2019 diperbandingkan antar

skenario maka dapat dinyatakan bahwa skenario II atau kondisi iklim cenderung

basah (La Nina) merupakan kondisi iklim yang tidak mendukung perkembangan

produksi produksi cabe karena terjadi penurunan luas panen -0.19 % per tahun.

6.3.2. Prediksi Perkembangan Produktivitas Komoditas Tahun 2015 - 2019

Tabel 6.16 menyajikan hasil analisis prediksi perkembangan produktivitas

komoditas selama periode tahun 2015-2019 pada masing-masing skenario. Apabila

selama periode tahun 2015-2019 skenario I berlaku yaitu iklim dalam kondisi normal

prediksi rata-rata kenaikan produktivitas selama periode tahun 2015-2019

berdasarkan skenario I untuk cabe 3.31 persen per tahun.

Tabel 6.16. Prediksi Perkembangan Produktivitas Komoditas Cabe Tahun 2015-2019

(Ton per Ha)

No Komoditas 2015 2016 2017 2018 2019 R (%/Thn)

A Skenario I 6,70 6,63 6,75 7,37 7,13 3,31

B Skenario II 6,05 6,10 6,21 6,18 5,89 -0,65

C Skenario III 6,83 6,91 7,04 7,01 6,67 0,87 Sumber : Setiyanto et al., 2014

Page 114: OUTLOOK KOMODITAS PANGAN STRATEGIS TAHUN 2015-2019pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2016_07.pdf · Outlook komoditas tebu ini, menyajikan keragaan komoditas tebu di Indonesia

113

Prediksi perkembangan produktivitas cabe selama periode tahun 2015-2019

berdasarkan skenario I meningkat dari 6. 70 ton per hektar pada tahun 2015

menjadi 7.13 ton per hektar pada tahun 2019.

Apabila selama periode tahun 2015-2019 skenario II berlaku yaitu kondisi

iklim cenderung basah atau La Nina diprediksi cabe akan mengalami penurunan

produktivitas rata-rata 0.65 persen per tahun. Prediksi perkembangan produktivitas

cabe menurun dari 6.05 ton per hektar pada tahun 2015 menjadi 5.89 ton per

hektar pada tahun 2019.

Apabila selama periode tahun 2015-2019 skenario III berlaku yaitu kondisi

iklim cenderung kering atau El Nino diprediksi cabe akan mengalami peningkatan

produktivitas 0.87 persen per tahun yaitu cabe turun dari 6.83 ton per hektar pada

tahun 2015 menjadi 6.67 ton per hektar pada tahun 2019.

Apabila besarnya dan arah perkembangan produktivitas masing-masing

komoditas yang dianalisis selama periode tahun 2014-2019 diperbandingkan antar

skenario maka dapat dinyatakan skenario II atau kondisi iklim basah (La Nina)

merupakan kondisi iklim yang tidak mendukung produksi cabe karena rata-rata

produktivitas cabe cenderung turun.

6.3.3. Prediksi Perkembangan Produksi Komoditas Tahun 2015 - 2019

Hasil analisis (Tabel 6.17) menunjukkan bahwa produksi cabe diperkirakan

seluruhnya mengalami peningkatan baik berdasarkan skenario I, II maupun III.

Berdasarkan skenario I, produksi cabe akan meningkat rata-rata cabe 3.01 persen.

Kenaikan harga BBM tahun 2014 yang mendorong kenaikan harga-harga komoditas

pada awal tahun 2015 mendorong perkembangan produksi komoditas hingga

berdampak pada meningkatnya produksi hingga tahun 2019.

Tabel 6.17. Prediksi Perkembangan Produksi Komoditas Cabe Berdasarkan Skenario

Tahun 2015 - 2019

No. Komoditas 2015 2016 2017 2018 2019 R (%/Thn)

A Skenario I 1.799,18 1.850,07 1.900,87 1.960,96 2.025,70 3,01

B Skenario II 1.624,24 1.701,90 1.746,54 1.642,29 1.673,46 0,83

C Skenario III 1.832,85 1.928,31 1.981,86 1.863,56 1.895,83 0,94 Sumber : Setiyanto et al., 2014

Page 115: OUTLOOK KOMODITAS PANGAN STRATEGIS TAHUN 2015-2019pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2016_07.pdf · Outlook komoditas tebu ini, menyajikan keragaan komoditas tebu di Indonesia

114

Berbeda dengan skenario I, jika terjadi perubahan iklim dan skenario II

terjadi produksi cabe tetap menunjukkan peningkatan yang sekalipun relatif rendah.

Pada tahun 2015 produksi cabe diprediksi mencapai 1.62 juta ton dan pada tahun

2019 1.67 juta ton. Kenaikan harga BBM tahun 2014 yang mendorong kenaikan

harga-harga komoditas pada awal tahun 2015 dan kondisi perubahan iklim yang

cenderung La Nina yang menyebabkan produksi cabe cenderung lebih rendah

dibanding kondisi normal.

Pada skenario III, menunjukkan perkembangan produksi cabe cenderung

meningkat tetapi dengan tingkat produksi dan perkembangannya lebih rendah

dibanding skenario I dan II. Hal ini menunjukkan bahwa jika kondisi skenario III

yang terjadi, maka produksi cabe akan cenderung lebih rendah dibanding normal.

6.3.4. Prediksi Perkembangan Permintaan Komoditas Tahun 2015-2019

Hasil analisis untuk permintaan komoditas cabe disajikan pada Tabel 6.18.

Berdasarkan skenario I, permintaan padi diperkirakan akan mencapai 8.25 juta ton,

jagung 29.90 juta ton, kedele, 2.81 juta ton, bawang merah 1.17 juta ton, cabe 1.81

juta ton, gula tebu 3.23 juta ton dan daging sapi mencapai 0.58 juta ton.

Permintaan padi, jagung, kedele, bawang merah dan daging sapi menunjukkan

peningkatan masing-masing dengan rata-rata 2.81 persen, 3.24 persen, 2.12

persen, 1.21 persen dan 0.81 persen per tahun pada periode 2015 – 2019.

Sementara itu pada komoditas cabe dan gula tebu menunjukkan penurunan rata-

rata 0.06 persen dan 0.22 persen per tahun.

Berdasarkan skenario II, volume permintaan komoditas secara keseluruhan

akan lebih rendah dibanding skenario I dengan tingkat perkembangan yang juga

lebih rendah untuk komoditas padi, jagung, kedele, bawang merah dan gula tebu.

Namun menunjukkan perkembangan yang lebih tinggi untuk cabe dan daging sapi.

Tabel 6.18. Prediksi Perkembangan Permintaan Komoditas Cabe Berdasarkan

Skenario Tahun 2015 – 2019

No. Komoditas 2015 2016 2017 2018 2019 R (%/Thn)

A Skenario I 1.811,32 1.801,03 1.797,19 1.792,61 1.806,91 -0,06

B Skenario II 1.791,53 1.838,95 1.814,47 1.741,70 1.799,04 0,15

C Skenario III 1.811,32 1.870,28 1.859,66 1.855,69 1.850,96 0,55 Sumber : Setiyanto et al., 2014

Page 116: OUTLOOK KOMODITAS PANGAN STRATEGIS TAHUN 2015-2019pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2016_07.pdf · Outlook komoditas tebu ini, menyajikan keragaan komoditas tebu di Indonesia

115

Volume permintaan komoditas berdasarkan skenario III menunjukkan hal

yang berbeda dibanding skenario I dan II. Pada komoditas padi, jagung, kedele dan

daging sapi menunjukkan lebih rendah dibandingkan skenario I, namun untuk

bawang merah, cabe dan gula tebu menunjukkan lebih tinggi. Perbandingan dengan

skenario II menunjukkan bahwa volume permintaan jagung, kedele, bawang merah,

cabe dan gula lebih tinggi, namun untuk padi dan sapi potong lebih rendah. Berbeda

dengan skenario I dan II, perkembangan permintaan seluruh komoditas pada

skenario III menunjukkan peningkatan. Dinamika perkembangan komoditas

menunjukkan karakteristik yang berbeda-beda menurut jenis komoditas.

6.3.5. Prediksi Perkembangan Surplus dan Defisit Penawaran dan

Permintaan Komoditas Tahun 2015 - 2019

Hasil analisis surplus dan defisit penawaran dan permintaan yang dianalisis

dalam model disajikan pada Tabel 6.19. Pada komoditas padi surplus padi

diperkirakan akan terjadi pada skenario II pada tahun 2019, sedangkan berdasarkan

skenario I dan III tetapi menunjukkan defisit, dimana defisit pada skenario III lebih

besar jika dibandingkan skenario I dan II. Perkembangan defisit padi menunjukkan

penurunan pada skenario I dan II, namun menunjukkan peningkatan rata-rata 10.21

persen per tahun pada skenario III.

Komoditas jagung, kedele, bawang merah, gula tebu dan menunjukk defisit

baik pada skenario I, II maupun III, dimana defisit skenario II lebih rendah jika

dibandingkan skenario I dan sebaliknya untuk skenario III. Cabe merupakan satu-

satunya komoditas yang menunjukkan surplus berdasarkan skenario I dan III,

namun defisit berdasarkan skenario II. Surplus cabe pada skenario III lebih rendah

dibandingkan skenario I. Berdasarkan Tabel 6.19 diperoleh gambaran bahwa pada

kondisi iklim normal dan kecenderungan El Nino Cabe mengalami surplus, sementara

komoditas lainnya tidak. Pada kondisi iklim yang cenderung La Nina padi

menunjukkan kecenderungan surplus sedangkan komoditas lainnya tidak.

Sedangkan pada komoditas lainnya berada pada kondisi defisit baik pada kondisi

iklim normal, La Nina maupun El Nino. Dalam mengatasi gejolak penawaran dan

permintaan, setiap komoditas memiliki karakteristik yang berbeda-beda.

Page 117: OUTLOOK KOMODITAS PANGAN STRATEGIS TAHUN 2015-2019pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2016_07.pdf · Outlook komoditas tebu ini, menyajikan keragaan komoditas tebu di Indonesia

116

Tabel 6.19. Prediksi Perkembangan Surplus dan Defisit Penawaran dan Permintaan Komoditas Cabe Tahun 2015 – 2019 Menurut Skenario

No. Komoditas 2015 2016 2017 2018 2019 R (%/Thn)

A Skenario I -12,14 49,03 103,68 168,36 218,78 -75,06

B Skenario II -167,29 -137,05 -67,93 -99,41 -125,58 1,04

C Skenario III 21,53 58,03 122,20 7,87 44,87 164,12 Sumber : Setiyanto et al., 2014

6.3.6. Prediksi Perkembangan Net Impor Komoditas Tahun 2015 - 2019

Data Tabel 6.20 menunjukkan tujuh komoditas yang dikaji pada tahun 2013

menunjukkan seluruhnya net impor. Hasil analisis Tabel 6.20 menunjukan net impor

akan berlangsung hingga tahun 2019, menunjukkan peningkatan baik pada skenario

I, II dan III. Net impor skenario II lebih tinggi dibanding rendah dibanding skenario

I dan III dan skenario III menunjukkan volume net impor yang paling tinggi.

Perkembangan net impor pada skenario I lebih tinggi dibanding skenario II dan

skenario III lebih tinggi dari skenario I dan II.

Tabel 20. Prediksi Perkembangan Net Impor Komoditas Cabe Tahun 2015 – 2019 Berdasarkan Skenario (000 Ton)

No. Komoditas 2015 2016 2017 2018 2019 R (%/Thn)

A Skenario I 11,48 11,84 12,04 11,50 11,63 0,36

B Skenario II 12,25 12,54 12,70 12,30 12,46 0,44

C Skenario III 12,14 12,27 12,43 12,61 12,87 1,47 Sumber : Setiyanto et al., 2014

6.3.7. Prediksi Perkembangan Harga Konsumen dan Produsen Komoditas

Tahunan Tahun 2015 - 2019

Hasil analisis prediksi harga konsumen komoditas cabe di perkotaan yang

dianalisis dalam model disajikan pada Tabel 6.21, sedangkan prediksi perkembangan

harga konsumen komoditas cabe di perdesaan Jawa disajikan pada tabel 6.22.

Tabel 6.21. Prediksi Perkembangan Harga Konsumen Riil Komoditas Cabe di

Perkotaan Tahun 2015 – 2019 Berdasarkan Skenario (Rp/Kg)

No. Komoditas 2015 2016 2017 2018 2019 R (%/Thn)

A Skenario I 31.511,68 32.456,07 33.113,70 33.279,96 34.219,29 2,09

B Skenario II 32.044,58 32.662,60 33.061,23 33.676,74 35.257,01 2,43

C Skenario III 32.317,84 32.768,50 33.036,41 33.876,05 35.602,53 2,46 Sumber : Setiyanto et al., 2014

Page 118: OUTLOOK KOMODITAS PANGAN STRATEGIS TAHUN 2015-2019pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2016_07.pdf · Outlook komoditas tebu ini, menyajikan keragaan komoditas tebu di Indonesia

117

Tabel 6.22. Prediksi Perkembangan Harga Konsumen Riil Komoditas Cabe di Perdesaan Jawa Tahun 2015 – 2019 Berdasarkan Skenario (Rp/Kg)

No. Komoditas 2015 2016 2017 2018 2019 R (%/Thn)

A Skenario I 27.401,46 28.222,67 28.794,52 28.939,10 30.063,24 2,35

B Skenario II 27.864,85 28.402,26 28.748,90 29.284,12 30.658,27 2,43

C Skenario III 28.102,47 28.494,35 28.727,31 29.457,43 30.958,72 2,46 Sumber : Setiyanto et al., 2014

Harga konsumen komoditas di perkotaan menunjukkan peningkatan pada

semua skenario, namun tingkat harga menunjukkan kecenderungan pada skenario I

lebih tinggi jika dibadingkan skenario II dan III untuk komoditas padi namun untuk

komoditas lainnya cenderung lebih rendah. Perkembangan yang sama juga terjadi

pada harga konsumen di pedesaan di Jawa (Tabel 6.22) dan Luar Jawa (Tabel 6.23).

Tabel 6.23. Prediksi Perkembangan Harga Konsumen Riil Komoditas Cabe di Perdesaan Luar Jawa Tahun 2015 – 2019 Berdasarkan Skenario

(Rp/Kg)

No. Komoditas 2015 2016 2017 2018 2019 R(%/Thn)

A Skenario I 29.177,49 30.051,92 30.660,84 30.814,78 32.011,78 2,35

B Skenario II 29.670,90 30.243,15 30.612,25 31.182,17 32.645,38 2,43

C Skenario III 29.923,92 30.341,21 30.589,27 31.366,71 32.965,30 2,46 Sumber : Setiyanto et al., 2014

Disamping akibat kenaikan harga BBM, kecenderungan peningkatan impor

yang lebih tinggi menyebabkan harga-harga komoditas pada skenario II dan III

menunjukkan kecenderungan lebih rendah jika dibandingkan skenario I.

Berdasarkan hal ini kecenderungan kebijakan melakukan impor akan membawa

dampak pada penurunan harga konsumen. Penurunan harga konsumen tidak hanya

akan terjadi di perkotaan, namun juga di pedesaan baik di Jawa maupun di Luar

Jawa.

Harga produsen komoditas di pedesaan Jawa dan Luar Jawa (Tabel 6.24 dan

Tabel 6.25) menunjukkan fenomena yang berbeda dibandingkan harga konsumen,

dimana harga komoditas pada skenario I lebih dari skenario II dan III. Pada tiga

skenario secara keseluruhan harga produsen menunjukkan peningkatan.

Peningkatan harga pada skenario I lebih rendah jika dibandingkan skenario II dan

III. Kondisi ini terjadi baik di pedesaan di Jawa maupun di Luar Jawa. Peningkatan

Page 119: OUTLOOK KOMODITAS PANGAN STRATEGIS TAHUN 2015-2019pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2016_07.pdf · Outlook komoditas tebu ini, menyajikan keragaan komoditas tebu di Indonesia

118

harga BBM dan kondisi perubahan produksi akibat kondisi iklim menyebabkan

peningkatan harga produsen.

Tabel 6.24. Prediksi Perkembangan Harga Produsen Riil Komoditas Cabe di Jawa Tahun 2015 – 2019 Berdasarkan Skenario (Rp/Kg)

No. Komoditas 2015 2016 2017 2018 2019 R(%/Thn)

A Skenario I 25.342,26 26.371,43 27.735,99 28.911,04 29.842,01 4,17

B Skenario II 25.446,30 26.735,01 27.704,56 27.169,90 27.560,85 2,05

C Skenario III 25.446,30 26.416,05 27.374,03 27.959,95 29.425,60 3,70

Sumber : Setiyanto et al., 2014

Dikaitkan dengan Tabel 6.21 hingga Tabel 6.23, kondisi pada Tabel 6.24 dan

Tabel 6.25 menunjukkan harga di tingkat konsumen relatif lebih rendah

peningkatannya dan jarak atau marjin antara harga produsen dan konsumen yang

sangat tinggi.

Tabel 6.25. Prediksi Perkembangan Harga Produsen Komoditas Cabe di Luar Jawa

Tahun 2015 – 2019 Berdasarkan Skenario (Rp/Kg) No. Komoditas 2015 2016 2017 2018 2019 R (%/Thn)

A Skenario I 26.984,81 28.080,69 29.533,70 30.784,90 31.776,22 4,17

B Skenario II 27.095,60 28.467,84 29.500,22 28.930,91 29.347,20 2,05

C Skenario III 27.095,60 28.128,20 29.148,27 29.772,17 31.332,81 3,70 Sumber : Setiyanto et al., 2014

6.4. Kesimpulan

Dari sisi luas panen Indonesia menempati urutan kedua setelah Cina,

namun dari sisi produksi Indonesia berada di urutan keempat setelah China

Meksiko dan Turki. Kondisi ini karena data dunia menunjukkan produktivitas Cabe

Indonesia rendah. Rendahnya produktivitas tersebut berkaitan deangan data dunia

dimana sebagian besar bentuk produksi cabe dunia adalah paprika sementara cabe

Indonesia dalam bentuk cabe besar termasuk cabe rawit.

Volume ekspor cabe dunia tahun 2013 mencapai 3.15 juta ton sedangkan

volume impornya mencapai 3.05 juta ton. Volume ekspor dan impor cabe dunia

2004 - 2013 cenderung meningkat dengan laju masing masing 6.04 persen dan

6.80 persen per tahun.

Luas panen Cabe Indonesia tahun 2014 mencapai 263.62 ribu Ha dan

produksi 1875.08 ribu ton. Dalam periode 2009 – 2014 luas panen cabe mengalami

Page 120: OUTLOOK KOMODITAS PANGAN STRATEGIS TAHUN 2015-2019pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2016_07.pdf · Outlook komoditas tebu ini, menyajikan keragaan komoditas tebu di Indonesia

119

peningkatan rata-rata 4.92 persen per tahun. Pada periode yang sama produksi

mengalami peningkatan rata-rata 5.07 persen per tahun sementara produktivitas

menurun 0.05 persen. untuk produktivitas. Secara umum neraca perdagangan

cabe Indonesia menunjukkan surplus kecuali tahun 2010-2012 yang mengalami

defisit karena adanya impor yang besar. Pada periode 2009 – 2014, ekspor cabe

segar menunjukkan penurunan rata-rata 3.07 persen per tahun sedangkan volume

impor cabe menunjukkan peningkatan rata-rata 402.07 persen per tahun.

Prediksi rata-rata peningkatan luas panen masing-masing komoditas cabe

selama periode tahun 2015-2019 berdasarkan skenario I cabe 1.55 persen per

tahun, dengan luas panen cabe meningkat dari 268 ribu hektar pada tahun 2015

menjadi 284 ribu hektar pada tahun 2019. Prediksi perkembangan produktivitas

cabe selama periode tahun 2015-2019 berdasarkan skenario I meningkat dari 6. 70

ton per hektar pada tahun 2015 menjadi 7.13 ton per hektar pada tahun 2019.

Produksi cabe diprediksi akan meningkat rata-rata cabe 3.01 persen. Pada

tahun 2015 produksi cabe diprediksi mencapai 1.799 juta ton dan pada tahun 2019

sebesar 2,025 juta ton. Semantara itu prediksi permintaan cabe tahun 2015

sebesar 1.81 juta ton dan meningkat menjadi 1,85 juta ton pada 2019. Dengan

demikian dalam periode tersebut diprediksi akan terjadi defisit cabe. Sejalan dengan

itu impor akan berlangsung hingga tahun 2019 menunjukkan peningkatan.

Berdasarkan skenario I, net impor akan meningkat dari 11,48 ribu ton pada tahun

2015 menjadi 11,63 000 ton pada tahun 2019.

Tanpa ada intervensi, harga konsumen komoditas di perkotaan menunjukkan

peningkatan pada semua skenario. Disamping akibat kenaikan harga BBM,

kebijakan melakukan impor akan membawa dampak pada penurunan harga

konsumen. Penurunan harga konsumen tidak hanya akan terjadi di perkotaan,

namun juga di pedesaan baik di Jawa maupun di Luar Jawa. Besarnya dan

volatilitas margin harga produsen dan konsumen mengindikasikan distribusi perlu

dibenahi

Page 121: OUTLOOK KOMODITAS PANGAN STRATEGIS TAHUN 2015-2019pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2016_07.pdf · Outlook komoditas tebu ini, menyajikan keragaan komoditas tebu di Indonesia

120

VII. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN

7.1. Kesimpulan

1. Dinamika produksi, konsumsi, dan stok. Dinamika perkembangan produksi

dan konsumsi komoditas gula, daging sapi, dan cabe dunia pada kurun waktu

sepuluh tahun terakhir menunjukkan trend yang meningkat. Peningkatan

trend konsumsi masih dapat diimbangi oleh peningkatan produksi, karenanya

stok pangan komoditas gula, daging sapi, dan cabe relatif aman. Beberapa

negara memiliki pangsa yang besar dalam produki komoditas gula, daging

sapi, dan cabe. Brazil menjadi negara dengan pangsa produksi gula terbesar

dunia, sedangkan Brazil bersama dengan Amerika menguasai sepertiga

pangsa produksi daging sapi dunia, sementara China memiliki lebih dari

setengah pangsa produksi cabe dunia. Berdasarkan informasi ini dapat ditarik

kesimpulan bahwa pangsa produksi komoditas gula, daging sapi, dan cabe

dunia berada pada beberapa negara tertentu saja, karena guncangan

produksi pada negara-negara tersebut dapat mempengaruhi produksi

komoditas-komoditas tersebut di level dunia.

2. Sementara dinamika produksi dan konsumsi komoditas gula, daging sapi,

bawang merah, dan cabe pada level domestik selama kurun waktu sepuluh

tahun terakhir menunjukkan trend pertumbuhan positif. Meski demikian,

kecepatan pertumbuhan produksi domestik tidak secepat perumbuhan

konsumsi, karenanya sering terjadi defisit pada neraca pangan yang harus

dipenuhi melalui impor.

3. Dengan trend pertumbuhan produksi dan konsumsi dunia yang positif, maka

perkembangan ekspor impor dunia untuk komoditas gula, daging sapi, dan

cabe juga relatif seimbang dimana selisih neraca perdagangannya hanya

sedikit. Namun kondisi berbeda terjadi pada level domestik dimana neraca

perdagangan negatif untuk komoditas gula, daging sapi, bawang merah, dan

cabe pada 10 tahun terakhir. Kondisi ini utamanya disebabkan oleh laju

peningkatan konsumsi yang sangat tinggi sementara perkembangan

peningkatan produksi bergerak lamban.

Page 122: OUTLOOK KOMODITAS PANGAN STRATEGIS TAHUN 2015-2019pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2016_07.pdf · Outlook komoditas tebu ini, menyajikan keragaan komoditas tebu di Indonesia

121

4. dinamika harga komoditas gula mengalami peningkatan baik pada level dunia

maupun level nasional pada kurun waktu sepuluh tahun terakhir. Kondisi ini

cukup menggembirakan petani dengan harga lelang yang tinggi namun cukup

memberatkan bagi konsumen. Kondisi berbeda terjadi pada komoditas daging

sapi, bawang merah dan cabe dimana perkembangan perbedaan harga

ditingkat produsen dan konsumen terus mengalami peningkatan, ini

mengindikasikan bahwa rantai pasok pada ketiga komoditas tersebut belum

efisien.

5. Prediksi produksi periode 2015-2019 secara umum akan mengalami

penurunan pada kondisi la nina baik pada komoditas gula, daging sapi,

maupun cabe. Sedangkan pada kondisi el nino ketiga komoditas tersebut juga

mengalmi penurunan namun dengan dengan tingkat penurunan yang lebih

baik daripada kondisi la nina. Sementara itu pada komoditas bawang merah

selama periode lima tahun ke depan produksi diperkirakan meningkat sebesar

6% per tahun.

6. Pada sisi permintaan, diperkirakan komoditas gula dan cabe mengalami

peningkatan permintaan pada kondisi el nino, sebaliknya pada komoditas

daging sapi peningkatan permintaan justru terjadi pada kondisi la nini.

Sementara itu komoditas bawang merah di prediksi akan terus mengalami

peningkatan permintaan dari tahun ke tahun seiring dengan peningkatan

populasi penduduk Indonesia.

7. Prediksi neraca perdagangan diprediksi akan tetap mengalami defisit dan

Indonesia menjadi net importir pada komoditas gula, daging sapi, dan cabe.

Kondisi menjadi lebih buruk pada saat el nino dimana net impor Indonesia

semakin besar. Sementara prediksi pada bawang merah akan terus

mengalami penurunan impor dan pada tahun 2017-2019 diprediksi Indonesia

bisa mengekspor bawang merah karena produksi bawang merah lebih besar

daripada permintaannya.

8. Prediksi harga akan terus mengalami peningkatan pada empat

komoditas strategis ini. Kondisi el nino akan meningkatkan harga lebih

tinggi pada komoditas gula dan cabe, sedangkan pada daging sapi

relatif sama antara kondisi eksisting, kondisi la nina, dan el nino.

Page 123: OUTLOOK KOMODITAS PANGAN STRATEGIS TAHUN 2015-2019pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2016_07.pdf · Outlook komoditas tebu ini, menyajikan keragaan komoditas tebu di Indonesia

122

7.2. Implikasi Kebijakan

1. Upaya peningkatan produksi gula dapat ditempuh melalui peningkatan

produktivitas dan melalui perluasan areal tebu. Terkait dengan peningkatan

produktivitas, ke depan perlu penggunaan bibit hasil bio teknologi.

Penggunaan bibit tebu kultur jaringan sudah dimulai pada tahun 2010, hasil

dari P3Gi dan PG tertentu.

2. Untuk meningkatkan populasi sapi nasional diperlukan pencegahan

pemotongan sapi betina produktif dan mingkatan reproduktivitas agar setiap

induk sapi melahirkan satu kali dalam setahun, mengimpor sapi indukan, dan

meningkatkan berat potong sapi penggemukan sehingga daging yang

dihasilkan dari seekor sapi yang dipotong menjadi meningkat.

3. Untuk menghindari lonjakan harga daging sapi menjelang bulan puasa dan

lebaran, sebaiknya pemerintah melakukan stok daging pada bulan-bulan

sebelumnya untuk dipasarkan pada saat menjelang bulan puasa dan lebaran,

baik dalam bentuk operasi pasar di pasar tradisional dan supermarket

maupun membuka outlet-outlet di pemukiman penduduk terutama di

kawasan Jabodetabek. Produk yang dipasarkan harus disesuaikan dengan

preferensi konsumen dan kegiatan ini diumumkan melalu media massa

elektronik, cetak dan spanduk. Operasi pasar sebaiknya dilakukan terencana

sehingga tidak merugikan pelaku pasar yang terlibat, terutama peternak.

4. Untuk meningkatkan bagian keuntungan yang diterima peternak disarankan

upaya penjualan langsung (direct selling) lebih ditingkatkan.

5. Disarankan untuk meningkatkan produksi pakan dan pengolahan pakan untuk

stok, pengembangan peternakan sistem integrasi tanaman-ternak perlu

mendapat perhatian lebih intensif terutama integrasi sawit-sapi dan padi-sapi.

Penambahan sapi indukan tidak hanya dari impor, upaya pencegahan

pemotongan sapi betina produktif sebaiknya juga lebih diintensifkan.

6. Diperlukan kebijakan stabilisasi produksi dan harga bawang merah melalui:

(a) penyusunan perencanaan produksi antar wilayah secara lebih baik untuk

dapat merencanakan produki sepanjang tahun, (b) pengembangan sistem

perbenihan secara serius baik benih umbi dan terutama pengembangan benih

biji (TSS), (c) Perbaikan budidaya , melalui penerapan GAP-SOP spesifik

Page 124: OUTLOOK KOMODITAS PANGAN STRATEGIS TAHUN 2015-2019pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2016_07.pdf · Outlook komoditas tebu ini, menyajikan keragaan komoditas tebu di Indonesia

123

lokasi, (d) Pengendalian OPT: mini screen house, light trap, (e) perbaikan

pasca panen, (f) perbaikan sistem pemasaran, (g) penerapan kebijakan

impor, (h) Kerjasama antar pelaku di dalam negeri, dan (i) kerjasama

internasional tentang bawang agar statistik dunia bawang merah (shallots)

dibedakan dari onion.

Page 125: OUTLOOK KOMODITAS PANGAN STRATEGIS TAHUN 2015-2019pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2016_07.pdf · Outlook komoditas tebu ini, menyajikan keragaan komoditas tebu di Indonesia

124

DAFTAR PUSTAKA

Ashari, N. Ilham, S. Nuryanti. 2012. Dinamika Program Swasembada Daging Sapi:

Reorientasi Konsepsi dan Implementasi. Analisis Kebijakan Pertanian 10 (2):181-198.

Badan Ketahanan Pangan. 2014. Neraca Bahan Makanan 2002-2013. Kementerian Pertanian.

Badan Pusat Statistik. 2004. Statistik Indonesia 2004. Jakarta.

_________________. 2005. Statistik Indonesia 2005. Jakarta.

_________________. 2006. Statistik Indonesia 2006. Jakarta.

_________________. 2007. Statistik Indonesia 2007. Jakarta.

_________________. 2008. Statistik Indonesia 2008. Jakarta.

_________________. 2009. Statistik Indonesia 2009. Jakarta.

_________________. 2011a. Survey Sosial Ekonomi Nasional. Jakarta

_________________. 2011b. Statistik Indonesia 2011. Jakarta.

_________________. 2012. Statistik Indonesia 2012. Jakarta.

_________________. 2013a. Hasil Sensus Pertanian 2013. Berita Resmi Statistik,

No. 62/09/ Th. XVI, 2 September 2013. Badan Pusat Statistik, Jakarta.

_________________. 2013b. Statistik Indonesia 2013. Jakarta.

_________________. 2014a. Statistik Indonesia 2014. Jakarta.

_________________. 2014b. Statistik Perdagangan Luar Negeri Indonesia: Impor, Volume I. Badan Pusat Statistik, Jakarta.

_________________. 2015. Statistik Indonesia 2015. Jakarta.

Balk, S. 2015. Less Is More. Development and Cooperation 42 (6-8),2015.

WWW.DANDC.EU., Germany.

Bappenas. 2014. Surplus Beras dan Peningkatan Produksi Pangan: Laporan Kegiatan Pemantauan Pencapaian Surplus Beras dan Swasembada Jagung,

Kedelai, Gula dan Daging Sapi. Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasuional.

Jakarta.

Direktorat Jenderal Hortikulura. 2014. Perkembangan Produksi Sayuran Triwulanan.

Kementerian Pertanian

Direktorat Jenderal Perkebunan. 2015. Statistik Perkebunan Indonesia: Tebu 2012-2014. Kementerian Pertanian. Jakarta.

FAOSTAT. 2016. http://faostat.fao.org/

Ditjen PKH. 2015. BAHAN RAKORTEKNAS 6-8 DESEMBER 2015.

http://ditjennak.pertanian.go.id/index.php?page=download&action=info. Diunduh 13-01-2016.

Page 126: OUTLOOK KOMODITAS PANGAN STRATEGIS TAHUN 2015-2019pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2016_07.pdf · Outlook komoditas tebu ini, menyajikan keragaan komoditas tebu di Indonesia

125

Ditjen PKH. 2015a. Statistik Peternakan. http://ditjennak.pertanian.go.id/index.php?page=statistik. Diunduh 31-

12-2015.

Ilham, N., Saptana, A. Purwoto, Y. Supriyatna, dan T. Nurasa. 2015. Kajian

Pengembangan Industri Peternakan Mendukung Peningkatan Produksi Daging. Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Bogor.

Ilham, N. 2009. Kebijakan Pengendalian Harga Daging Sapi Nasional. Analisis Kebijakan Pertanian 7 (3): 211-221.

Kementerian Keuangan. 2016. Realisasi Belanja Eselon 1 Per Jenis Belanja, Lingkup

Kementerian Pertanian. http://spanint.kemenkeu.go.id/spanint/BA_ES1/DataRealisasiAkunBA.

Diunduh 13 Januari 2016.

Kementerian Perdagangan. 2014. Outlook Pasar Daging Sapi 2015-2019. Kementerian Perdagangan. Jakarta.

Kementerian Pertanian. 2015. Basis Data Statistik Pertanian. Kementan Jakarta.

Muchjidin R, B. Sayaka, dan C.l Muslim. 2012. Analisis Perkembanga. Harga

Bawang Merah. Bahan Rapim, Pusat Sosial Ekonomi dan kebijakan Pertanian.

Muchjidin, R. 2013. Analisis Tataniaga Dan Tingkat Kepantasan Harga Bawang Merah Di Indonesia. Disampaikan pada seminar Badan Litbang Pertanian, Selasa 19 Maret 2013. Badan Litbang Pertanian.

Muchjidin, R. 2013. Kebijakan Impor Dan Peningktan Produksi Bawang Merah Dan Bawang Putih. Disampaikan Pada FGD “ Analisis Dan Sintesis Kebijakan Pembangunan Agribisnis Hortikultura Mendukung Pengembangan Kawasan Hortikultura : Pengaturan Impor Dan Peningkatan Kontribusi Ilmiah Peneliti” Puslitbang Hortikultura, Jakarta 11 April 2013.

Muchjidin, R. 2013. Perkembangan Harga Dan Marjin Harga Bawang Merah . Bahan

Rapim, Pusat Sosial Ekonomi dan kebijakan Pertanian.

Naipospos, TSP. 2014. Impor Ternak dan Risiko PMK. Center for Indonesian

Veterinary Analytical Studies, Bogor.

Nurhayati, W.2013. Selain Australia dan Selandia Baru, RI Bisa Impor Sapi dari 63

Negara Ini. Detikfinance. Jakarta.

Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian. 2014. Outlook Komoditi Tebu. Kementerian Pertanian. Jakarta.

Setiyanto, A., Supriyati, M. Suryadi, Y. Supriyatna, F.B.M. Dabukke, S.H. Susilowati, dan A. Purwoto. 2014. Outlook Pertanian 2015-2019. Pusat Sosial

Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Kementerian Pertanian. Bogor.

USDA. 2015. Index Mundi.

http://www.indexmundi.com/agriculture/?commodity=beef-and-veal-meat&graph=production. Diunduh tanggal 22 Desember 2015

Page 127: OUTLOOK KOMODITAS PANGAN STRATEGIS TAHUN 2015-2019pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2016_07.pdf · Outlook komoditas tebu ini, menyajikan keragaan komoditas tebu di Indonesia

126

World Bank. 2016. GDP growth (annual %). http://data.worldbank.org/indicator/NY.GDP.MKTP.KD.ZG/countries.

Diunduh 12 Januari 2016.

Page 128: OUTLOOK KOMODITAS PANGAN STRATEGIS TAHUN 2015-2019pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2016_07.pdf · Outlook komoditas tebu ini, menyajikan keragaan komoditas tebu di Indonesia

127

Lampiran 1. Perkembangan Luas Panen Tebu Indonesia Tahun 1967-2013

Tahun Luas Panen (Ha) Kontribusi

PR PBN PBS INDONESIA PR PBN PBS

1967 44.088 58.919 766 103.773 42,49 56,78 0,74

1968 43.760 58.550 3.153 105.462 41,49 55,52 2,99

1969 48.826 67.300 6.910 123.063 39,68 54,69 5,62

1970 45.067 69.607 7.041 121.711 37,03 57,19 5,79

1971 48.569 74.811 3.004 126.399 38,43 59,19 2,38

1972 71.667 63.807 13.236 148.743 48,18 42,9 8,9

1973 69.541 85.492 14.476 169.540 41,02 50,43 8,54

1974 71.962 90.102 14.711 176.784 40,71 50,97 8,32

1975 72.964 89.003 17.861 179.828 40,57 49,49 9,93

1976 92.040 95.583 21.279 208.936 44,05 45,75 10,18

1977 118.453 99.644 16.395 234.525 50,51 42,49 6,99

1978 102.213 121.423 24.465 248.109 41,2 48,94 9,86

1979 191.859 126.103 25.534 343.588 55,84 36,7 7,43

1980 259.874 37.629 18.560 316.063 82,22 11,91 5,87

1981 290.470 36.722 18.996 346.188 83,91 10,61 5,49

1982 303.228 43.043 17.049 363.320 83,46 11,85 4,69

1983 315.649 49.152 19.572 384.373 82,12 12,79 5,09

1984 236.810 85.569 19.629 342.008 69,24 25,02 5,74

1985 225.787 95.079 19.363 340.229 66,36 27,95 5,69

1986 238.509 69.168 18.026 325.703 73,23 21,24 5,53

1987 241.169 75.926 17.823 334.918 72,01 22,67 5,32

1988 254.669 92.368 18.492 365.529 69,67 25,27 5,06

1989 249.933 77.378 30.441 357.752 69,86 21,63 8,51

1990 259.877 71.252 32.839 363.968 71,4 19,58 9,02

1991 255.934 96.625 33.745 386.304 66,25 25,01 8,74

1992 262.092 105.905 36.065 404.062 64,86 26,21 8,93

1993 280.504 104.460 40.689 425.653 65,9 24,54 9,56

1994 276.581 107.570 44.585 428.736 64,51 25,09 10,4

1995 263.157 120.162 52.718 436.037 60,35 27,56 12,09

1996 304.047 79.269 63.217 446.533 68,09 17,75 14,16

1997 218.201 85.086 83.591 386.878 56,4 21,99 21,61

1998 195.048 83.069 98.972 377.089 51,72 22,03 26,25

1999 176.733 82.106 83.372 342.211 51,64 23,99 24,36

2000 171.279 64.133 105.248 340.660 50,28 18,83 30,9

2001 178.887 87.687 77.867 344.441 51,94 25,46 22,61

2002 196.509 79.975 74.238 350.722 56,03 22,8 21,17

2003 172.015 87.251 76.459 335.725 51,24 25,99 22,77

2004 184.283 78.205 82.305 344.793 53,45 22,68 23,87

2005 211.479 80.383 89.924 381.786 55,39 21,05 23,55

2006 213.876 87.227 95.338 396.441 53,95 22 24,05

2007 249.487 81.655 96.657 427.799 58,32 19,09 22,59

Page 129: OUTLOOK KOMODITAS PANGAN STRATEGIS TAHUN 2015-2019pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2016_07.pdf · Outlook komoditas tebu ini, menyajikan keragaan komoditas tebu di Indonesia

128

Tahun Luas Panen (Ha) Kontribusi

PR PBN PBS INDONESIA PR PBN PBS

2008 252.783 82.222 101.500 436.505 57,91 18,84 23,25

2009 243.219 74.185 105.549 422.953 57,5 17,54 24,96

2010 261.665 68.141 102.909 432.715 60,47 15,75 23,78

2011 268.326 72.603 106.202 447.131 60,01 16,24 23,75

2012 265.233 77.690 106.225 449.148 59,05 17,3 23,65

2013* 280.419 77.967 107.733 466.119 60,16 16,73 23,11

1980-2013* 63,5 20,73 15,77

1980-1997 70,55 21,04 8,42

1998-2013* 55,57 20,39 24,04 Sumber: Direktorat Jenderal Perkebunan (2015) Keterangan: PR=Perkebunan Rakyat

PBN=Perkebunan Besar Negara PBS=Perkebunan Besar Swasta * Angka Sementara

Page 130: OUTLOOK KOMODITAS PANGAN STRATEGIS TAHUN 2015-2019pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2016_07.pdf · Outlook komoditas tebu ini, menyajikan keragaan komoditas tebu di Indonesia

129

Lampiran 2. Kontribusi Sentra Produksi Tebu di Indonesia Tahun 2010-2014

No. Provinsi Produksi Tebu PR + PBN + PBS (Ton)

Share (%) 2010 2011 2012 2013 2014*) Rata-rata

1 Jawa Timur 1.017.003 1.051.872 1.241.799 1.236.824 1.262.473 1.161.994 47,11

2 Lampung 759.684 678.090 754.619 744.911 764.746 740.410 30,02

3 Jawa Tengah 233.430 249.452 289.775 270.873 295.590 267.824 10,86

4 Jawa Barat 110.543 81.923 102.648 92.063 94.116 96.259 3,90

5 Sumatera Selatan 66.451 19.210 79.924 93.882 97.650 71.423 2,90

6 Sulawesi Selatan 27.241 91.124 33.715 31.340 32.913 43.267 1,75

7 Sumatera Utara 31.025 47.122 41.505 37.340 39.019 39.202 1,59

8 Gorontalo 27.412 32.521 31.849 27.926 29.260 29.794 1,21

9 DI Yogyakarta 17.327 16.573 15.848 15.867 16.476 16.418 0,67

Jumlah 2.290.116 2.267.887 2.591.682 2.551.026 2.632.243 2.466.591 100 Sumber: Direktorat Jenderal Perkebunan, 2015 Keterangan: * Angka Sementara

Page 131: OUTLOOK KOMODITAS PANGAN STRATEGIS TAHUN 2015-2019pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2016_07.pdf · Outlook komoditas tebu ini, menyajikan keragaan komoditas tebu di Indonesia

130

Lampiran 3. Perkembangan Produktivitas Gula Tahun 1980-2015

Tahun Produktivitas (Ton/Ha)

PR Pertumb. (%) PBN Pertumb. (%) PBS Pertumb. (%) NDONESIA Pertumb. (%)

1980 3,44 -10,4 7,26 147,64 5,04 59,61 3,99 15,42

1981 3,15 -8,47 5,46 -24,86 6,11 21,26 3,55 -10,86

1982 4,53 43,95 4,23 -22,52 4,21 -31,09 4,48 26,01

1983 3,93 -13,21 5,91 39,79 4,52 7,37 4,21 -5,9

1984 5,9 50,15 3,85 -34,83 4,24 -6,08 5,29 25,63

1985 6,42 8,85 3,61 -6,37 5,45 28,48 5,58 5,43

1986 6,57 2,33 5 38,7 5,6 2,64 6,19 10,83

1987 7,23 10,01 4,25 -15,05 6,14 9,71 6,5 5,03

1988 6,18 -14,46 3,68 -13,53 4,84 -21,24 5,48 -15,61

1989 6,49 4,9 3,95 7,53 5,95 22,97 5,89 7,49

1990 6,19 -4,56 4,3 8,75 6,22 4,6 5,82 -1,18

1991 6,3 1,74 4,66 8,48 5,63 -9,55 5,83 0,13

1992 6,31 0,1 4,49 -3,65 4,94 -12,28 5,71 -2,11

1993 6,01 -4,76 3,77 -16,11 6,18 25,23 5,47 -4,11

1994 6,05 0,73 4,73 25,55 6,09 -1,44 5,72 4,57

1995 5,13 -15,17 3,51 -25,73 5,44 -10,69 4,72 -17,47

1996 4,97 -3,09 3,99 13,67 4,2 -22,83 4,69 -0,71

1997 5,48 10,25 4,29 7,48 7,54 79,59 5,67 20,81

1998 3,89 -29,02 3,68 -14,39 4,28 -43,2 3,95 -30,34

1999 4,18 7,43 3,47 -5,64 5,64 31,71 4,37 10,61

2000 4,62 10,4 3,65 5,32 6,32 12,04 4,96 13,64

2001 4,55 -1,47 3,55 -2,93 7,72 22,13 5,01 0,98

2002 4,92 8,22 3,72 4,97 6,61 -14,39 5 -0,09

2003 4,88 -0,9 4,25 14,07 5,52 -16,38 4,86 -2,88

2004 5,58 14,44 4,91 15,61 7,76 40,54 5,95 22,41

2005 5,64 1,11 5,27 7,31 6,95 -10,54 5,87 -1,32

2006 4,81 -14,79 4,4 -16,45 6,7 -3,5 5,18 -11,86

2007 5,12 6,41 4,81 9,19 7,72 15,2 5,7 10,19

2008 5,36 4,71 4,83 0,43 8,24 6,71 6 5,28

2009 5,12 -4,5 4,81 -0,43 7,72 -6,29 5,7 -5,02

2010 4,69 -8,27 4,63 -3,75 6,17 -20,03 5,04 -11,57

2011 4,81 2,4 4,21 -9,08 5,46 -11,59 4,87 -3,45

2012 5,82 21,05 4,33 2,93 6,7 22,78 5,77 18,51

2013 5,47 -6 4,37 0,96 6,32 -5,71 5,47 -5,26

2014*) 5,56 1,65 4,54 3,89 6,42 1,58 5,56 1,72

2015**) 5,63 1,26 4,49 -1,1 6,48 0,93 5,63 1,25

Sumber: Direktorat Jenderal Perkebunan (2015) Keterangan: PR=Perkebunan Rakyat PBS=Perkebunan Besar Swasta

PBN=Perkebunan Besar Negara * Angka Sementara

Page 132: OUTLOOK KOMODITAS PANGAN STRATEGIS TAHUN 2015-2019pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2016_07.pdf · Outlook komoditas tebu ini, menyajikan keragaan komoditas tebu di Indonesia

131

Lampiran 4. Perkembangan Produksi Gula Indonesia Tahun 1967-2013

Tahun Produksi (Ton) Kontribusi (%)

PR PBN PBS INDONESIA PR PBN PBS

1967 249.700 578.800 5.400 833.900 29,94 69,41 0,65

1968 202.800 525.600 23.700 752.100 26,96 69,88 3,15

1969 205.500 630.000 72.100 907.600 22,64 69,41 7,94

1970 195.846 602.700 73.900 872.446 22,45 69,08 8,47

1971 218.700 707.586 122.239 1.048.525 20,86 67,48 11,66

1972 213.933 756.195 130.449 1.100.577 19,44 68,71 11,85

1973 203.659 693.089 18.121 914.869 22,26 75,76 1,98

1974 249.647 857.866 127.213 1.234.726 20,22 69,48 10,3

1975 221.226 877.703 142.727 1.241.656 17,82 70,69 11,49

1976 266.728 899.715 151.931 1.318.374 20,23 68,24 11,52

1977 353.385 923.829 83.159 1.360.373 25,98 67,91 6,11

1978 484.914 940.972 71.082 1.496.968 32,39 62,86 4,75

1979 735.894 369.926 80.570 1.186.390 62,03 31,18 6,79

1980 893.120 273.355 93.475 1.259.950 70,89 21,7 7,42

1981 913.677 200.436 116.007 1.230.120 74,28 16,29 9,43

1982 1.373.009 182.041 71.752 1.626.802 84,4 11,19 4,41

1983 1.240.500 290.597 88.441 1.619.538 76,6 17,94 5,46

1984 1.397.350 329.713 83.310 1.810.373 77,19 18,21 4,6

1985 1.450.184 343.035 105.590 1.898.809 76,37 18,07 5,56

1986 1.567.552 346.130 100.892 2.014.574 77,81 17,18 5,01

1987 1.743.677 322.758 109.439 2.175.874 80,14 14,83 5,03

1988 1.575.083 339.541 89.427 2.004.051 78,59 16,94 4,46

1989 1.621.468 305.847 181.033 2.108.348 76,91 14,51 8,59

1990 1.609.041 306.263 204.281 2.119.585 75,91 14,45 9,64

1991 1.612.240 450.561 189.866 2.252.667 71,57 20 8,43

1992 1.652.685 475.804 177.995 2.306.484 71,65 20,63 7,72

1993 1.684.614 393.720 251.477 2.329.811 72,31 16,9 10,79

1994 1.673.246 509.047 271.588 2.453.881 68,19 20,74 11,07

1995 1.350.476 422.300 286.800 2.059.576 65,57 20,5 13,93

1996 1.512.131 316.660 265.404 2.094.195 72,21 15,12 12,67

1997 1.196.409 65.313 630.264 2.191.986 54,58 16,67 28,75

1998 759.094 305.332 423.843 1.488.269 51,01 20,52 28,48

1999 738.893 284.782 470.258 1.493.933 49,46 19,06 31,48

2000 790.573 234.288 665.143 1.690.004 46,78 13,86 39,36

2001 813.538 310.949 600.980 1.725.467 47,15 18,02 34,83

2002 967.160 297.685 490.509 1.755.354 55,1 16,96 27,94

2003 839.028 370.476 422.414 1.631.918 51,41 22,7 25,88

2004 1.028.681 383.892 639.071 2.051.644 50,14 18,71 31,15

2005 1.193.653 423.421 624.668 2.241.742 53,25 18,89 27,87

2006 1.028.681 383.892 639.071 2.051.644 50,14 18,71 31,15

2007 1.326.937 356.504 833.933 2.517.374 52,71 14,16 33,13

Page 133: OUTLOOK KOMODITAS PANGAN STRATEGIS TAHUN 2015-2019pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2016_07.pdf · Outlook komoditas tebu ini, menyajikan keragaan komoditas tebu di Indonesia

132

Tahun Produksi (Ton) Kontribusi (%)

PR PBN PBS INDONESIA PR PBN PBS

2008 1.382.747 368.009 943.471 2.694.227 51,32 13,66 35,02

2009 1.326.937 356.504 833.933 2.517.374 52,71 14,16 33,13

2010 1.295.319 315.174 679.623 2.290.116 56,56 13,76 29,68

2011 1.366.294 295.635 605.958 2.267.887 60,25 13,04 26,72

2012 1.543.411 336.288 711.988 2.591.687 59,55 12,98 27,47

2013* 1.525.197 331.073 694.722 2.550.992 59,79 12,98 27,23

1980-2013* 63,9 16,88 19,22

1980-1997 73,62 17,33 9,05

1998-2013* 52,96 16,39 30,66 Sumber: Direktorat Jenderal Perkebunan (2015) Keterangan: PR=Perkebunan Rakyat

PBN=Perkebunan Besar Negara PBS=Perkebunan Besar Swasta * Angka Sementara

Page 134: OUTLOOK KOMODITAS PANGAN STRATEGIS TAHUN 2015-2019pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2016_07.pdf · Outlook komoditas tebu ini, menyajikan keragaan komoditas tebu di Indonesia

133

Lampiran 5. Perkembanga Impor Gula Indonesia Tahun 1980-2013

Tahun Volume Pertumb. Nilai Pertumb.

(Ton) % (000 US$) %

1980 400.920 35,87 163.216 25,42

1981 720.950 79,82 705.586 332,3

1982 687.151 -4,69 420.672 -40,38

1983 168.045 -75,54 133.255 -68,32

1984 2.848 -98,31 2.306 -98,27

1985 4.354 52,88 3.312 43,63

1986 79.879 1.734,61 16.387 394,78

1987 129.756 62,44 25.657 56,57

1988 130.260 0,39 35.059 36,64

1989 325.479 149,87 112.120 219,8

1990 280.978 -13,67 123.350 10,02

1991 73.986 -73,67 26.677 -78,37

1992 294.226 297,68 98.935 270,86

1993 167.988 -42,91 52.114 -47,33

1994 15.207 -90,95 5.868 -88,74

1995 544.300 3.479,27 237.055 3.939,79

1996 1.099.306 101,97 463.578 95,56

1997 578.025 -47,42 231.702 -50,02

1998 844.852 46,16 310.995 34,22

1999 1.398.950 65,59 346.452 11,4

2000 1.538.519 9,98 278.605 -19,58

2001 1.284.469 -16,51 237.463 -14,77

2002 970.926 -24,41 198.638 -16,35

2003 997.204 2,71 215.777 8,63

2004 1.119.790 12,29 262.813 21,8

2005 1.980.487 76,86 585.263 122,69

2006 1.405.942 -29,01 537.130 -8,22

2007 2.972.788 111,44 1.040.194 93,66

2008 983.944 -66,9 352.385 -66,12

2009 1.373.546 39,6 567.034 60,91

2010 1.382.525 0,65 803.113 41,63

2011 2.371.249 71,52 1.638.728 104,05

2012 2.769.239 16,78 1.634.804 -0,24

2013 3.344.304 20,77 1.730.657 5,86

1980-2013 173,09 156,87

1980-1997 308,2 275,22

1998-2013 21,09 23,72 Sumber: Direktorat Jenderal Perkebunan, 2015

Kode HS : 1701130000, 1701140000, 1701910000, 1701991900, 1701991100, 1701999000

Page 135: OUTLOOK KOMODITAS PANGAN STRATEGIS TAHUN 2015-2019pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2016_07.pdf · Outlook komoditas tebu ini, menyajikan keragaan komoditas tebu di Indonesia

134

Lampiran 6. Perkembangan Harga Bulanan Lelang Gula Kristal Putih Tahun 2004-2013

Tahun Bulan (Rp./Kg)

Jan Feb Mar April Mei Juni Juli Agus Sept Okto Nov Des Rata-rata

HPP

2004 3.410 3.478 3.449 3.312 3.700 3.562 3.556 3.577 3.558 3.680 3.825 4.200 3.609 3.410

2005 4.200 4.200 4.415 4.415 4.381 4.558 4.960 4.906 4.965 4.965 4.803 4.800 4.631 3.800

2006 5.250 5.315 5.525 5.500 5.510 5.508 5.381 5.252 5.135 5.246 5.350 5.587 5.380 4.000

2007 5.652 5.670 5.633 5.633 5.635 5.329 5.241 5.332 5.209 5.177 5.062 5.012 5.382 4.900

2008 5.507 5.475 5.439 5.369 5.243 5.175 5.165 5.093 5.110 5.153 5.200 5.215 5.262 5.100

2009 5.371 5.797 6.318 6.323 6.361 6.985 7.251 8.293 7.959 8.140 8.080 7.792 7.056 5.350

2010 7.290 7.740 7.830 7.900 7.926 8.156 8.650 8.972 9.270 9.310 9.360 9.330 8.478 6.350

2011 8.098 8.010 8.015 8.132 8.029 8.114 8.300 8.243 8.308 8.390 8.321 8.335 8.191 7.000

2012 8.150 8.625 8.831 9.803 10.590 10.595 10.553 10.514 9.335 10.043 9.957 9.488 9.707 8.100

2013 10.100*) 10.205*) 9.950*) 10.025*) 10.166 10.061 9.789 9.398 9.311 9.101 8.971 8.671 9.646 8.100 Sumber: Sekretariat Dewan Gula Indonesia, 2015 Keterangan: Angka yang disajikan merupakan rata-rata harga lelang petani yang dilaksanakan KPTR di wilayah PG *) : Lelang gula milik PTPN II

Page 136: OUTLOOK KOMODITAS PANGAN STRATEGIS TAHUN 2015-2019pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2016_07.pdf · Outlook komoditas tebu ini, menyajikan keragaan komoditas tebu di Indonesia

135

Lampiran 7. Perkembangan Luas Panen, Produktivitas, dan Produksi Tebu Dunia, 1980-2013

Tahun Luas Panen Pertumb. Produktivitas Pertumb. Produksi Pertumb.

(Ha) (%) (Ton/Ha) (%) (Ton) (%)

1980 13.284.827 - 55,29 - 734.489.200 -

1981 13.686.584 3,02 58,42 5,67 799.604.214 8,87

1982 15.055.213 10 60,25 3,13 907.067.880 13,44

1983 15.380.802 2,16 58,75 -2,48 903.684.353 -0,37

1984 15.635.479 1,66 59,47 1,21 929.768.246 2,89

1985 15.947.852 2 58,52 -1,6 933.213.589 0,37

1986 15.826.297 -0,76 59,06 0,93 934.719.186 0,16

1987 16.310.476 3,06 60,72 2,8 990.319.251 5,95

1988 16.390.040 0,49 60,58 -0,22 992.982.513 0,27

1989 16.535.904 0,89 61,56 1,61 1.017.998.783 2,52

1990 17.079.401 3,29 61,65 0,15 1.052.997.497 3,44

1991 17.783.308 4,12 61,26 -0,64 1.089.330.376 3,45

1992 18.151.894 2,07 61,5 0,4 1.116.324.081 2,48

1993 17.292.800 -4,73 59,58 -3,11 1.030.379.898 -7,7

1994 17.591.927 1,73 61,94 3,95 1.089.642.360 5,75

1995 18.577.716 5,6 63,1 1,87 1.172.261.485 7,58

1996 19.417.650 4,52 62,98 -0,2 1.222.851.749 4,32

1997 19.294.827 -0,63 64,86 3 1.251.521.695 2,34

1998 19.323.787 0,15 66,03 1,8 1.275.913.967 1,95

1999 19.205.679 -0,61 66,76 1,11 1.282.195.396 0,49

2000 19.396.901 1 64,75 -3,02 1.255.887.842 -2,05

2001 19.589.128 0,99 64,52 -0,35 1.263.914.652 0,64

2002 20.278.538 3,52 65,77 1,93 1.333.653.750 5,52

2003 20.516.849 1,18 67,2 2,18 1.378.744.953 3,38

2004 20.154.403 -1,77 66,59 -0,91 1.342.109.270 -2,66

2005 19.714.878 -2,18 66,75 0,23 1.315.890.174 -1,95

2006 20.611.535 4,55 68,89 3,21 1.419.939.653 7,91

2007 22.692.790 10,1 71,16 3,29 1.614.773.790 13,72

2008 24.101.771 6,21 71,72 0,79 1.728.509.983 7,04

2009 23.716.523 -1,6 71,14 -0,81 1.687.067.269 -2,4

2010 23.718.613 0,01 71,39 0,35 1.693.588.841 0,39

2011 25.578.991 7,84 70,45 -1,33 1.800.799.306 6,33

2012 26.123.752 2,13 70,48 0,05 1.838.535.433 2,1

2013 26.959.328 3,2 70,94 0,64 1.911.179.775 3,95

1980-2013 2,22 0,78 3,03

1980-1997 2,26 0,97 3,28

1998-2013 2,17 0,57 2,77 Sumber: FAO, 2016 Keterangan: Wujud Produksi Tebu

Page 137: OUTLOOK KOMODITAS PANGAN STRATEGIS TAHUN 2015-2019pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2016_07.pdf · Outlook komoditas tebu ini, menyajikan keragaan komoditas tebu di Indonesia

136

Lampiran 8. Perkembangan Luas Panen Tebu di Negara Sentra Produksi Tahun 2009-2013

No Negara Luas Panen (Ha) Rata-rata Share

2009 2010 2011 2012 2013 (2009-2013) (%)

1 Brasil 8.617.555 9.076.706 9.601.316 9.705.388 10.195.166 9.439.226 37,43

2 India 4.415.400 4.174.600 4.944.390 5.090.000 5.060.000 4.736.878 18,78

3 China 1.697.470 1.686.000 1.721.200 1.794.520 1.816.490 1.743.136 6,91

4 Thailand 932.465 977.956 1.259.240 1.282.080 1.321.600 1.154.668 4,58

5 Pakistan 1.029.400 942.800 987.700 1.046.000 1.128.800 1.026.940 4,07

6 Meksiko 710.585 703.943 713.824 735.127 782.801 729.256 2,89

7 Indonesia 442.953 432.715 450.833 449.149 466.642 448.458 1,78

8 Kuba 434.700 431.400 506.100 361.300 402.800 427.260 1,69

9 Filipina 404.000 354.878 439.698 433.301 435.405 413.456 1,64

10 Kolombia 379.505 348.531 381.961 408.816 405.737 384.910 1,53

11 Amerika Serikat 353.659 355.112 353.130 365.189 368.588 359.136 1,42

12 Argentina 345.000 350.000 350.000 360.000 370.000 355.000 1,41

13 Australia 391.291 405.000 308.104 338.626 329.303 354.465 1,41

14 Afrika Selatan 311.000 267.000 272.000 320.000 325.000 299.000 1,19

15 Vietnam 265.600 269.100 282.254 297.500 310.264 284.944 1,13

16 Lainnya 2.985.940 2.942.872 3.007.241 3.136.756 3.240.732 3.062.708 12,14

Total 23.716.523 23.718.613 25.578.991 26.123.752 26.959.328 25.219.441 100 Sumber: FAO, 2016

Page 138: OUTLOOK KOMODITAS PANGAN STRATEGIS TAHUN 2015-2019pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2016_07.pdf · Outlook komoditas tebu ini, menyajikan keragaan komoditas tebu di Indonesia

137

Lampiran 9. Perkembangan Produktivitas Tebu 10 Negara Tertinggi Dunia Tahun 2009-2013

No Negara Produktivitas (Ton/Ha)

Rata-rata 2009 2010 2011 2012 2013

1 Peru 131,88 128,01 123,46 127,81 133,72 128,98

2 Ethiopia 129,57 102,82 113,02 120,59 119,57 117,11

3 Mesir 116,39 116,76 115,32 113,57 113,62 115,13

4 Senegal 116,11 114,86 114,29 112,50 114,10 114,37

5 Malawi 108,33 108,70 108,70 103,70 107,41 107,37

6 Zambia 104,92 106,06 106,06 100,00 102,56 103,92

7 Sudan 107,40 100,12 100,12 100,12 97,39 101,03

8 Burkina Faso 100,00 100,00 100,00 101,04 102,13 100,63

9 Chad 100,00 97,44 97,50 97,44 97,50 97,98

10 Swaziland 96,15 96,15 96,15 96,43 97,32 96,44

Dunia 111,08 107,09 107,46 107,32 108,53 108,30 Sumber: FAO, 2016