Otonomi Daerah
-
Upload
novi-hendra -
Category
Education
-
view
1.244 -
download
0
description
Transcript of Otonomi Daerah
OTONOMI DAERAH
Latar Belakang
Pembahasan mengenai desentralisasi dan otonomi daerah dilandasi asumsi
bahwa hubungan antara orang yang memerintah dan orang yang diperintah, sama
halnya dengan hubungan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah adalah
merupakan masalah klasik dalam ilmu politik. Paradigma lama yang memandang
masih kuatnya hubungan sub-ordinasi antara pemerintah dan rakyat, nampaknya sudah
mulai luntur yang dalam paradigma baru cendurung menghendaki hubungan yang
setara antara pemerintah dan rakyat. Peranan pemerintah tidak lagi membawahi dan
memerintah, melainkan lebih mengarahkan dan memfasilitasi apa yang menjadi
kebutuhan rakyat. Persoalan utamanya bersumber pada seberapa bebas masyarakat
(baca: pemerintah daerah) bergerak atau berinitiatif dalam lingkungan kekuasaan
negara, dan seberapa besar pula masyarakat daerah dapat mempengaruhi kebijakan
negara dan atau pemerintahan daerah yang pada giliranya kebijakan itu akan berujung
kepada pelayanan publik sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Atas dasar inilah
konsep desentralisasi dan otonomi dapat dipandang, baik sebagai fenomena politik
maupun administrasi negara.
Walaupun Pemerintahan Negara Republik Indonesia tidak menganut “faham
negara integralistik”1, namun penyelenggaraan Pemerintahan negara di bawah regime
demokrasi terpimpin dan regime orde baru pada masa yang lalu, demikian pula pada
masa-masa pemerintahan selanjutnya, menunjukkan betapa kuatnya “faham negara
integralistik” yang mempengaruhi penyelenggaraan sistem pemerintahan negara,
dimana negara memiliki kemauan dan kepentingan yang sering berbeda dengan
kepentingan warganya, yang dapat melakukan intervensi kedalam kehidupan
masyarakat, sekalipun hal itu didedikasikan untuk kesejahteraan dan kemajuan
masyarakat itu sendiri2. Kondisi seperti ini dimungkinkan terjadi, karena setiap
kebijakan yang ditetapkan sebagai kebijakan publik, sangat dipengaruhi dan
ditentukan oleh sikap, perilaku, dan value judgement dari para penyelenggara negara 1 “Faham Negara Integralistik” adalah suatu faham yang memandang kepentingan individu dan kepentingan masyarakat harus dilihat secara keseluruhan (integral), tidak terpisah sendiri-sendiri, dengan kata lain setiap kepentingan apapaun selalu harus dikaitkan dengan kepentingan Negara secara keseluruhan.2 Alfred Stepan, The State and Society, Peru in comparative perspective, Princeton, NJ: Princeton UP, 1978, hlm. 26-27
NOVI HENDRA, S.IP 2014 1
(human behaviour and value judgement), yang pada gilirannya dipandang sebagai
“pembenaran hukum” dan sebagai alat pemaksa yang harus ditaati oleh rakyat.
Dalam “faham negara integralistik”, negara mempunyai kekuasaan mutlak,
dimana kedaulatan negara mengatasi kedaulatan rakyat. Semua bagian - bagian dalam
keseluruhan diarahkan kepada persatuan dan kesatuan, bagi negara yang terpenting
adalah keseluruhan bukan bagian - bagian. Itulah faham negara integralistik yang
sering dipraktekkan oleh para penyelenggara kekuasaan pemerintahan negara.
Ide faham “Negara integralistik” ini semula diekspose dan direkomendasikan
oleh Prof. Dr. Supomo pada sidang BUPKI tanggal 15 Mei 1945 dengan
mengemukakan 3 (tiga) pilihan yang diusulkan untuk dijadikan dasar Negara, apabila
Indonesia telah merdeka, yaitu faham:
(1) Individualisme;
(2) Kolektivisme; dan
(3) Integralistik
Para Pendiri Negara (The Founding Fathers) kurang sefaham dengan ide
negara integralistik ini yang akan dijadikan konsep dasar negara, karena faham ini
menonjolkan sifat totalitarian dari negara yang tidak selaras dengan ide kekeluargaan
yang bersifat egalitarian. Ide kekeluargaan menghendaki posisi sejajar antara fihak - fihak
yang berinteraksi, termasuk antara negara dan masyarakatnya.3
Hal ini dapat terlihat dari pasal - pasal dalam UUD 1945 yang secara ideatif
bertolak belakang dengan gagasan faham negara integralistik tersebut, misalnya pasal 28
yang menjamin hak - hak azasi manusia4, dan pasal 18 yang menghormati dan menghargai
sifat - sifat khusus dari daerah - daerah yang ada di Indonesia.5 Dengan demikian, dapat
dikatakan bahwa UUD 1945 sebenarnya berusaha mengatur keseimbangan antara
individualisme dan kolektivisme, UUD 1945 menganut kedaulatan rakyat, dan bukan
kedaulatan negara.
3 Ide tentang negara integralistik ini dipaparkan oleh Soepomo dalam sidang BPUPKI tanggal 31 Mei 1945, ketika membahas dasar negara apabila kelak Indonesia merdeka. Pembahasan yang sangat tajam mengenai penyimpangan gagasan Soepomo ini, dapat dilihat dalam karya Marsilam Simanjuntak, Pandangan Negara Integralistik, Jakarta: Grafiti, 1994.4Pasal 28 UUD 1945 yang tadinya hanya 1 pasal, setelah amandemen kedua berubah menjadi 10 Pasal, yaitu 28A, 28B, 28C, 28D, 28E, 28F, 28G, 28H, 28I, dan 28J5 Pasal 18 UUD 1945 yang tadinya hanya satu pasal berubah menjadi 3 (tiga) pasal, yaitu pasal 18, 18A, 18B setelah terjadi amandemen kedua.
NOVI HENDRA, S.IP 2014 2
Dari kenyataan diatas, dapat disimpulkan bahwa penggunaan faham negara
integralistik sering lebih banyak bersifat politis daripada hukum tata negara.6 Namun,
apabila dikaitkan dengan konteks desentralisasi dan otonomi daerah di Indonesia, maka
fenomena ini sebenarnya sudah terjadi sejak awal penyelenggaraan pemerintahan di
Indonesia. Situasi inilah yang sedikit - banyak mempengaruhi penyelenggaraan otonomi
daerah di Indonesia, baik sebagai suatu fenomena politik maupun fenomena administrasi
yang seharusnya ditujukan bagi kesejahteraan masyarakat.
Salah satu argumentasi dalam pelaksanaan otonomi daerah adalah mendekatkan
pemerintah dalam bentuk Pemerintah Daerah kepada masyarakat, agar pemerintah daerah
memahami keinginan, aspirasi dan kebutuhan masyarakat. Dengan demikian tingkat
kesejahteraan masyarakat akan sangat tergantung kepada tingkat ”pelayanan publik”
yang disediakan oleh pemerintah daerah. Paradigma ”otonomi daerah” menurut semangat
UU No. 32 Tahun 2004 adalah ”otonomi masyarakat”, dalam arti Pemerintah Daerah
sebagai perwujudan dari ”otonomi masyarakat” dituntut untuk lebih mampu
mensejahterakan masyarakat melalui pelayanan publik dibanding dengan pemerintah
pusat yang jaraknya lebih jauh kepada masyarakat.
Motivasi yang mendorong tumbangnya rejim orde baru oleh gerakan reformasi
dengan dipelopori oleh para mahasiswa pada pertengahan tahun 1998 adalah karena
melihat fenomena penyelenggaraan pemerintahan negara berorientasi kepada format
politik totalitarian, sehingga tidak mencerminkan dan menjamin terwujudnya keadilan,
demokrasi dan kesejahteraan bagi rakyat banyak.
Salah satu kebijakan politik yang menjadi sumber kelemahan dan mendorong
terjadinya krisis multidimensi yang mengancam keutuhan negara bangsa adalah
diterapkannya sistem pemerintahan negara yang terlalu sentralistik dengan mengabaikan
prinsip - prinsip demokrasi, peran serta masyarakat, baik langsung maupun melalui
kontrol perwakilan rakyat, serta pemerataan dan keadilan, yang pada gilirannya
6 Marsilam Simanjuntak, op.cit., hlm. 247.
NOVI HENDRA, S.IP 2014 3
kebhinekaan dalam segala bidang kehidupan yang menjadi sumber potensi dan
keanekaragaman daerah, terabaikan pula.
Kebijakan politik tersebut, tidak hanya berdampak terbelenggunya aspirasi, oto-
aktivitas dan kreativitas masyarakat setempat, melainkan juga mematikan sumber potensi
dan sumber daya di daerah, terutama sumberdaya manusianya, yang pada gilirannya pula
pelayanan publik dalam upaya mensejahterakan masyarakat tidak terselenggara dengan
optimal.
1. Prinsip-prinsip Penyelenggaraan Pemerintahan.
Prinsip penyelenggaraan pemerintahan, bisa dilihat dari dua aspek, yaitu:
Pertama, prinsip penyelenggaraan pemerintahan sebagai suatu sistem
berdasarkan peraturan perundang-undangan yang ditetapkan atau dianut oleh suatu negara
bangsa (Nation State) sebagai satu kebijakan, seperti sentralisasi, desentralisasi,
dekonsentrasi, devolusi, parlementair, presidensiil dlsb. Tergantung dari sistem mana
yang dianut oleh suatu Negara Bangsa (Nation State) tersebut. Sistem ini berkaitan dengan
kebijakan pembagian kekuasaan (Division of Power) di dalam lingkungan kekuasaan
pemerintahan negara, baik secara horisontal (Capital Division of Power) antara lembaga-
lembaga negara yang ada, maupun secara vertikal antara Pusat dan Daerah (Areal Division
of Power).
Di dalan Negara Kesatuan (Unitary State), secara vertikal terdapat ”Satuan
Pemerintahan Nasional” (Pemerintah Pusat) dan ”Satuan Pemerintahan Sub-National”
(Pemerintahan Daerah), sedangkan secara horisontal terdapat Badan-badan/Lembaga
Legislatif, Eksekutif, dan Judicatif. Kekuasaan atau kewenangan dibagi (”diberikan;
toekennen”) oleh pemerintah pusat kepada satuan pemerintahan daerah yang dibentuk
dengan Undang-undang, namun kedaulatan (souvereignty) yang melekat kepada Negara
dan Bangsa tidak dibagi kepada pemerintah daerah.
Satuan Pemerintahan Sub Nasional merupakan hasil pembentukan dan
pengembangan pemerintahan. Karenanya, kewenangan pemerintahan sub nasional dapat
ditambah, dikurangi atau bahkan dapat dihapuskan melalui proses hukum dan per-undang-
undangan. Kedudukan satuan pemerintahan sub nasional, karenanya pula adalah
NOVI HENDRA, S.IP 2014 4
”tergantung” (dependent) kepada pemerintah nasional. Karena itu pula ia berada di bawah
(sub ordinated) pemerintah nasional.
Sistem pemerintahan NKRI tidak menganut paham ”sentralisme” dalam
kekuasaan, melainkan mengakui dan menganut prinsip ”desentralisasi” dalam
pemerintahan. Sesuai dengan amanat UUD, dalam rangka menjalankan prinsip
desentralisasi di wilayah NKRI dibentuk daerah-daerah Provinsi, dan di wilayah provinsi
dibentuk daerah-daerah kabupaten/kota sebagai daerah otonom.
Secara juridis, politis dan administratif, daerah otonom mempunyai kewenangan
”otonomi daerah” yang diberikan (”toekennen”) oleh pemerintah pusat kepada
masyarakat setempat dalam wilayah tertentu sesuai dengan aspirasi dan oto-aktivitas
masyarakat sendiri untuk menentukan nasibnya sendiri, yang dijalankan oleh
pemerintahan daerah yang mempunyai kewenangan dan berkewajiban untuk memenuhi
kebutuhan masyarakat sendiri . Dengan kata lain ”daerah otonom” mempunyai
kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut
prakarsa sendiri, berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan perundang-undangan.
Dalam menjalankan penyelenggaraan pemerintahan, tidak sepenuhnya
dilaksanakan secara ”desentralistik”, tetapi ada beberapa bagian yang tetap dilaksanakan
secara ”sentral”, karena pertimbangan pencapaian tujuan (doelmatig), dayaguna dan
hasilguna, serta karena sifat dan coraknya yang tidak bisa lain harus diselenggarakan
secara sentral. Pertimbangannya didasarkan kepada kriteria eksternalitas, akuntabilitas,
efisiensi dan keserasian hubungan pengelolaan urusan pemerintahan, seperti dianut di
dalam UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sebagai pengganti UU No. 22
Tahun 1999.
Kedua, dalam koridor Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 yang sering terabaikan
dalam penyelenggaraan pemerintahan dalam kaitannya dengan pelayanan publik adalah
prinsip penyelenggaraan pemerintahan dari aspek ”kepatutan pemerintahanan”
(”Behoorlijk Bestuur”), karena aspek ini seringkali dipengaruhi oleh ”perilaku”
(behaviour) dan value judgement dari para penyelenggara negara. Prinsip-prinsip tersebut
seperti, antara lain: Vrijbestuur; Nach Freies Ermessen, Preventieve Rechtszorg;
Omnipresence dan Van zelf principles, serta prinsip-prinsip umum penyelenggaraan
pemerintahan negara yang baik, sering terabaikan.
NOVI HENDRA, S.IP 2014 5
Walaupun UU No. 32 Tahun 2004 mencantumkan asas-asas kepatutan dengan
merujuk kepada UU No. 28 Tahun 1999,7 tetapi tidak secara imperatif mengkaitkannya
dengan asas-asas penyelenggaraan pemerintahan sebagai suatu sistem. Bahkan suatu
kekeliruan yang cukup mendasar dalam UU No. 32 Tahun 2004 tersebut yang
membedakan antara asas penyelenggaraan sistem pemerintahan di pusat dengan asas
penyelenggaraan sistem pemerintahan pada pemerintahan daerah, yang menekankan
bahwa dalam menyelenggarakan pemerintahan, pemerintah menggunakan asas-asas
desentralisasi, tugas pembantuan, dan dekonsentrasi, sesuai dengan peraturan perundang-
undangan,8 sedangkan penyelenggaraan pemerintahan daerah, pemerintahan daerah
menggunakan asas ”otonomi dan tugas pembantuan”9 sebagai asas penyelenggaraan
pemerintahan di daerah, padahal ”otonomi dan tugas pembantuan” merupakan hak dan
wewenang (bukan asas) yang diberikan (”toekennen”) oleh pemerintah pusat yang
merupakan manifestasi atau perwujudan dianutnya asas desentralisasi dalam sistem
pemerintahan di Indonesia.
Oleh karena itu, betapapun baiknya sistem penyelenggaraan pemerintahan yang
dianut oleh suatu negara bangsa, kalau tidak dibarengi dengan penegakkan ”asas-asas
kepatutan pemerintahan” yang dilakukan oleh para penyelenggara negara, maka
kepentingan masyarakat dalam bentuk pelayanan publik untuk mensejahterakan
masyarakat, tetap akan sulit untuk dapat diwujudkan.
Dalam kedudukannya sebagai Daerah Otonom, dan dalam menyelenggarakan
pemerintahan daerah, dengan kewenangan yang diberikan oleh Pemerintah Pusat untuk
mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat
setempat, ditegaskan dalam UU No. 32 Tahun 2004, bahwa Daerah berkewajiban untuk:10
a. melindungi masyarakat, menjaga persatuan, kesatuan dan kerukunan nasional,
serta keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia;
b. meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat;
c. mengembangkan kehidupan demokrasi;
d. mewujudkan keadilan dan pemerataan;
e. meningkatkan pelayanan dasar pendidikan;7 Lihat Pasal 20 UU No. 32 Tahun 20048 Lihat Pasal 20 ayat (2) UU No. 32 Tahun 2004.9 Ayat (3) Pasal 20 UU No. 32 Tahun 2004.10 Lihat Pasal 22 UU No.32 Tahun 2004.
NOVI HENDRA, S.IP 2014 6
f. menyediakan fasilitas pelayanan kesehatan;
g. menyediakan fasilitas sosial dan fasilitas umum yang layak;
h. mengembangkan sistem jaminan sosial;
i. menyusun perencanaan dan tata ruang daerah;
j. mengembangkan sumber daya produktif di daerah;
k. melestarikan lingkungan hidup;
l. mengelola administrasi kependudukan;
m. melestarikan nilai sosial budaya;
n. membentuk dan menerapkan peraturan perundang-undangan sesuai dengan
kewenangannya; dan
o. kewajiban lain yang diatur dalam perundang-undangan
Misalnya, dalam menerapkan asas ”Omnipresence dan Van zelf principles” yang
pada dasarnya memandang bahwa pemerintahan itu berada di mana-mana, tidak terikat
kepada ruang dan waktu, sehingga pada intinya prinsip ini mewajibkan kepada masyarakat
untuk tetap mentaati peraturan perundang-undangan yang sudah dikeluarkan oleh
pemerintah, sekalipun tidak secara terus menerus diawasi oleh pemerintah, namun ketika
rakyat memerlukan pertolongan atau bantuan, maka dengan sendirinya (van zelf)
merupakan kewajiban bagi pemerintah untuk membantunya, sehingga disini terjadi
”kewajiban yang berimbang” antara pemerintah dan masyarakat.
Preventieve Rechtszorg adalah suatu prinsip dalam pemerintahan yang
menyatakan bahwa peranan dan tugas utama pemerintahan adalah menjaga agar supaya
anggota masyarakat mentaati tertib hukum dan mencegah (to prevent) agar supaya
masyarakat tidak melanggar aturan-aturan hukum yang berlaku. Jadi, intinya adalah ”tidak
patut” (onbehoorlijk) apabila para aktor penyelenggara negara membiarkan anggota
masyarakat untuk melanggar hukum kemudian ditindak (represif). Prinsip ini berkaitan
dengan prinsip Omnipresence dan Van Zelf principles, contohnya: penggusuran kios-kios
PKL di jalan-jalan trotoir, dlsb.
2. Essensi Pelayanan Publik.
NOVI HENDRA, S.IP 2014 7
Salah satu argumen dalam pelaksanaan otonomi daerah adalah bahwa
perangkat pemerintahan daerah dengan kewenangan-kewenangan otonominya harus
mampu menyediakan pelayanan publik sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Dengan
demikian, kewenangan yang diberikan kepada masyarakat dalam bentuk otonomi daerah
itu adalah suatu ”alat” (means) untuk mencapai ”tujuan” (end) dalam wujud pelayanan
publik guna mensejahterakan masyarakat.
Oleh karena itu argumen pertama untuk menentukan pelayanan publik yang
diperlukan oleh masyarakat adalah Pemerintah Daerah perlu mengidentifikasi apa-apa saja
input (masukan) sesuai kebutuhan masyarakat untuk diolah menjadi output (produk)
yang perlu dihasilkan oleh Pemerintah Daerah sehingga menjadi outcome yang dapat
memenuhi pelayanan publik yang disediakan oleh Pemerintah Daerah, dan bagimana
dampaknya yang ditimbulkan oleh pelayanan publik tersebut.11 ”Pada dasarnya output
Pemda adalah untuk menghasilkan ”good and regulations” untuk kepentingan
publik.Kelompok dari Goods adalah barang-barang atau fasilitas publik yang dihasilkan
Pedmda seperti pasar, jalan, jembatan, sekolah, rumah sakit dsb. Sedangkan dalam
kelompok Regulations yang dihasilkan umumnya yang bersifat ’Regulatory” atau
Pengaturan, seperti pengaturan untuk KPT, KK, Akte Kelahiran, IMB, Izin usaha ,
pengaturan tata tertib dan ketentraman, dlsb. Apabila dikaitkan dengan posisi Pemerintah
Daerah sebagai lembaga yang memperoleh ”legitimasi” dari rakyat untuk
menyelenggarakan ”good and regulations” tersebut, pertanyaanya adalah: ” Sejauh mana
Pemerintah Daerah mampu mempertanggungjawabkan kuantitas dan kualitas output yang
dihasilkannya, sehingga benar-benar dapat memenuhi kebutuhan masyarakat? Untuk
itulah rakyat membayar pajak dan mempercayakan penggunaan pajak tersebut kepada
wakil-wakil rakyat yang dipilih melalui mekanisme Pemilihan Umum dan Pemilihan
Kepala Daerah. Dari dasar pemikiran ini lahir konsep yang sangat dikenal sebagai ”No
Tax Without Representation” 12
Dalam pada itu, dalam penyelenggaraan otonomi daerah menurut semangat UU
No. 32 Tahun 2004 yang menganut prinsip ”otonomi nyata dan bertanggungjawab”
mengisyaratkan bahwa Pemerintahan Daerah dalam menentukan isi otonomi sesuai
dengan kewenangan yang diberikan oleh Pemerintah Pusat, bagaimanapun juga harus
11 Grand design implementasi otonomi daerah dalam koridor UU nomor 32 tahun 2004, Depdagri, Jakarta 2005, hlm.5012 Ibid, hlm. 50
NOVI HENDRA, S.IP 2014 8
dikaitkan dengan ”kebutuhan riil masyarakat di daerah”, dengan perkataan lain
seberapapun luasnya otonomi daerah yang diberikan, haruslah mampu memanifestasikan
”pelayanan publik” yang berkorelasi atau yang ”relevant” dengan kebutuhan masyarakat.
Misalnya, adalah tidak logis atau tidak riil-rasional, kalau Pemerintahan Daerah yang
murni perkotaan, ditekankan kepada kegiatan urusan-urusan yang berkaitan dengan urusan
kehutanan, pertanian, pertambangan, perindustrian atau peternakan. Walaupun urusan-
urusan tersebut ada di perkotaan, tapi relatif kecil sekali dibandingkan kebutuhan-
kebutuhan yang merupakan ”core-competence” di perkotaan.
”Derasnya arus urbanisasi ke Jakarta seiring dengan kembalinya arus mudik
Lebaran, merupakan bentuk kegagalan konsistensi Indonesia sebagai negara agraris. Salah
satu akan persoalan yang mendasari adalah sempitnya akses petani kecil dan buruh tani
terhadap tanah serta infrastruktur pertanian”13
Kondisi ini semakin parah karena kebijakan pembangunan yang menitik beratkan kepada
”pertumbuhan” (growth) masih tetap menenmpatkan kota-kota besar seperti Jakarta
sebagai pusat pertumbuhan. Sedangkan, di sisi lain berbagai persoalan di pedesaan seperti
minimnya infrastruktur dan kesulitan lahan terus terjadi, sehingga tidak mengherankan
jika warga desa terus mengalir ke kota untuk mencari nasib. Beberapa warga desa yang
ikut bersama pemudik balik ke Jakarta mengaku, bahwa mengadu nasib ke Jakarta, karena
kondisi lahan di desa mereka sangat memprihatinkan, kekeringan menyebabkan banyak
lahan terlantar, tiadanya jaringan irigasi, jalan, dan listrik di pedesaan menyebabkan
parahnya kehidupan ekonomi di pedesaan.14 Kalau begitu, buat apa kebijakan
desentralisasi dengan memberikan otonomi yang luas dan bertanggung jawab kepada
Daerah kalau bukan untuk mensejahterakan rakyat di pedesaan? Pertanyaan inilah yang
harus terjawab, baik oleh penentu kebijakan di daerah maupun di pusat, terutama dalam
mencari akar permasalahannya.
Oleh karena itu, setidaknya ada dua pendekatan yang bisa dipakai dalam
menentukan isi otonomi sesuai dengan kebutuhan masyarakat, sbb:
Pertama, pendekatan isi otonomi yang berorientasi kepada penyediaan pelayanan
publik untuk memenuhi kebutuhan pokok (Basic needs) masyarakat, seperti : pelayanan
kesehatan, pendidikan, lingkungan air minum, transportasi perkotaan, fasilitas untuk
13 Dipetik dari harian Kompas, 29 Oktober 2006, “Kegagalan Negara Agraris”, hlm.3.14 Ibid. hlm 3.
NOVI HENDRA, S.IP 2014 9
pejalan kaki (trotoir), fasilitas pencegah dan pemadam kebakaran, relokasi pedagang kaki
lima, resetlement daerah2 kumuh dlsb.
Kedua, pendekatan atas dasar sektor unggulan (”core-competence”) daerah, yaitu
kebutuhan daerah untuk melakukan kewenangan yang berdasarkan pertimbangan urusan-
urusan ”unggulan” yang akan dilakukan daerah tersebut untuk memajukan daerahnya
masing-masing. Penentuan core-competence ini didasarkan kepada perhitungan terhadap
apa yang menjadi unggulan suatu daerah yang pengembangannya akan berdampak sangat
besar terhadap pembangunan sosial ekonomi daerah ybs, misalnya core-competence di
bidang pertanian, peternakan, industri, pariwisata dlsb.
Untuk menentukan core-competence suatu daerah, bisa diukur dari 3 indikator
sbb:
1. Komposisi penduduk menurut mata pencahariannya. Dari data statistik mata
pencaharian penduduk, akan terlihat sektor mana yang paling menyerap tenaga
kerja penduduk daerah ybs. Dengan demikian, Pemerintah Daerah sudah
seharusnya memberikan perhatian untuk pengembangan sektor-sektor yang
menyerap tenaga kerja penduduk terbanyak;
2. Pemanfaatan lahan. Dari pemanfaatan lahan akan terlihat sektor mana yang
dikembangkan di daerah yang bersangkutan;
3. Komposisi Produk Domestik Regional Bruto (PDRB). Dari komposisi PDRB
dapat dilihat sektor mana yang memberikan kontribusi paling besar terhadap
perekonomian daerah. Dari setiap sektor yang ada dalam komposisi PDRB, dilihat
sektor mana yang mempunyai ”forward linkage” dan ”backward linkage” terbesar,
terutama dampaknya terhadap kegiatan penduduk.
Pertimbangan dari ketiga faktor tersebut akan memberikan gambaran kepada
Pemerintah Daerah, sektor-sektor mana yang menjadi andalan daerah yang bersangkutan
untuk dikembangkan, sehingga pemahaman sektor unggulan tsb akan menjadi acuan bagi
Daerah dalam menentukan isi otonomi atas dasar core-competence daerah ybs., sudah
barang tentu termasuk fasilitas pelayanan umum yang harus disediakan oleh pemerintah,
dalam bentuk infrastruktur, fasilitas umum dlsb.
NOVI HENDRA, S.IP 2014 10
Keleluasaan (diskresi) yang cukup luas yang diberikan kepada Daerah oleh UU
No.32 Tahun 2004 untuk menentukan isi otonominya, dengan mengacu kepada
pendekatan core-competence, maka isi otonomi daerah dari satu daerah akan berbeda
dengan daerah lainnya, tergantung dari sektor mana yang akan dikembangkan sebagai
core competence diluar kewenangan yang menjadi kewajiban untuk penyediaan basic
services.
Dari kondisi tersebut, maka Pemerintahan Daerah haruslah berhati-hati dalam
menentukan urusan-urusan mana saja yang akan dijadikan ruang lingkup otonominya.
Akan tetapi, bukan juga berarti bahwa Pemerintahan Daerah dapat mengenyampingkan
urusan-urusan yang merupakan pelayanan terhadap kebutuhan pokok (basic services)
masyarakat seperti: pendidikan, kesehatan, lingkungan, transportasi dlsb, dan juga urusan
yang berkaitan dengan pengembangan core-competence daerah ybs. Disamping itu, harus
juga menjadi perhatian Pemerintahan Daerah untuk menentukan pilihan (option) yang
paling optimal dalam melaksanakan urusan otonominya, terutama yang menyangkut
dengan pelayanan publik, apakah suatu urusan tersebut akan sepenuhnya dilakukan oleh
Pemerintahan Daerah sendiri public), atau diserahkan sepenuhnya kepada swasta
(private), atau dilakukan kemitraan antara Pem.Daerah dengan Swasta (public private
partnership) .15
Dalam pada itu, perlu menjadi perfhatian bahwa urusan pemerintahan
Kabupaten/Kota yang bersifat pilihan (option) dalam UU No. 32 Tahun 2004 ditegaskan
bahwa urusan itu adalah urusan yang secara nyata ada dan berpotensi untuk
meningkatkan kesejahteraan rakyat, sesuai dengan kondisi, kekhasan, dan potensi
unggulan daerah yang bersangkutan.16 Walaupun pelaksanaan ketentuan tersebut
dijanjikan dalam UU 32/2004 akan diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah, namun
Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota sebaiknya pro-aktif mengambil initiatif dan oto-
aktivitas dalam menentukan option tersebut, karena kesempatan, serta kewenangan untuk
mengatur dan mengurus pemerintahan sendiri dan kepentingan masyarakat setempat
secara undang-undang telah diberikan kepada pemerintahan/masyarakat daerah. Initiatif
15 Ibid., hlm 5216 Lihat Pasal 14 ayat (2) UU No. 32 Tahun 2004 beserta penjelasannya.
NOVI HENDRA, S.IP 2014 11
tersebut bisa dilakukan, baik melalui pengembangan hubungan pemeriantahan, maupun
peningkatan kerjasama antar daerah.
3. Mendorong Hubungan Pemerintahan dan Kerjasama antar Daerah.
Kalau dalam UU No. 22 Tahun 1999 dinyatakan bahwa antara Daerah Provinsi
dan Daerah Kabupaten/Kota masing-masing berdiri sendiri dan tidak mempunyai
hubungan hierarkhi satu sama lain, maka dalam UU No. 32 Tahun 2004 dengan tegas
dinyatakan bahwa terdapat hubungan pemerintahan yang mencakup 3 (tiga) hal, yaitu
hubungan dalam bidang keuangan, bidang pelayanan umum, dan bidang pemanfaatan
sumber daya alam dan sumber daya lainnya, yang kesemuanya meliputi hubungan antara
Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah, dan antar Pemerintahan daerah, sehingga
pola hubungan tersebut menjadi sbb:
Pertama, hubungan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan daerah dalam
bidang keuangan, meliputi:
a. pemberian sumber-sumber keuangan untuk menyelenggarakan urusan
pemerintahan yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah;
b. pengalokasian dana perimbangan kepada pemerintahan daerah; dan
c. pemberian pinjaman dan/atau hibah kepada pemerintahan daerah.
Kedua, hubungan antar Pemerintahan daerah dalam bidang keuangan,
meliputi:
a. bagi hasil pajak dan nonpajak antara pemerintahan provinsi dan pemerintahan
daerah kabupaten/kota;
b. pendanaan urusan pemerintahan yang menjadi tanggung jawab bersama;
c. pembiayaan bersama atas kerjasama antar daerah; dan
d. pinjaman dan/atau hibah antar pemerintahan daerah.
Ketiga, hubungan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah dalam
bidang pelayanan umum, meliputi:
a. kewenangan, tanggung jawab, dan penentuan standar pelayanan minimal;
b. pengalokasian pendanaan pelayanan umum yang menjadi kewenangan daerah; dan
NOVI HENDRA, S.IP 2014 12
c. fasilitasi pelaksanaan kerjasama antar pemerintahan daerah dalam
penyelenggaraan pelayanan umum.
Keempat, hubungan antar Pemerintahan daerah dalam bidang pelayanan
umum, meliputi:
a. pelaksanaan bidang pelayanan umum yang menjadi kewenangan daerah;
b. kerjasama antar pemerintahan daerah dalam penyelenggaraan pelayanan umum;
dan
c. pengelolaan perizinan bersama dalam bidang pelayanan umum.
Kelima, hubungan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan daerah dalam
bidang pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya, meliputi:
a. kewenangan, tannggung jawab, pemanfaatan, pemeliharaan, pengendalian
dampak, budi daya dan pelestarian;
b. bagi hasil atas pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya; dan
c. penyerasian lingkungan dan tata ruang serta rehabilitasi lahan.
Keenam, hubungan antar Pemerintahan daerah dalam bidang pemanfaatan
sumber daya alam dan sumber daya lainnya, meliputi:
a. pelaksanaan pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya yang
menjadi kewenangan daerah;
b. kerjasama dan bagi hasil atas pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya
lainnya antar pemerintahan daerah; dan
c. pengelolaan peridzinan bersama dalam pemanfaatan sumber daya alam dan
sumber daya lainnya.
Daerah yang memiliki ”wilayah laut” diberikan kewenangan untuk mengelola
sumber daya di wilayah laut, dimana daerah akan memperoleh bagi hasil atas
pengelolaan sumber daya di bawah dasar dan/atau di dasar laut, yang pengaturannya
sesuai dengan perundang-undangan.
Kewenangan daerah untuk mengelola sumber daya di wilayah laut, meliputi:
eksplorasi, eksploitasi, konservasi, dan pengelolaan kekayaan laut; pengaturan
administrasi; pengaturan tata ruang; penegakkan hukum terhadap perauran yang
dikeluarkan oleh daerah atau yang dilimpahkan kewsenangannya oleh pemerintah;
NOVI HENDRA, S.IP 2014 13
ikut serta dalam pemeliharaan, keamanan; dan ikut serta dalam pertahanan
kedaulatan negara.
Kewenangan untuk mengelola sumber daya di wilayah laut tersebut, ditentukan
paling jauh 12 (duabelas) mil laut, diukur dari garis pantai kearah laut lepas dan/atau
kearah perairan kepulauan untuk provinsi, dan 1/3 (sepertiga) dari wilayah
kewenangan provinsi diperuntukkan untuk Kabupaten/Kota.
Apabila wilayah laut antara 2 (dua) provinsi kurang dari 24 (dua puluh empat)
mil, maka kewenangan untuk mengelola sumber daya di wilayah laut tsb dibagi sama
jarak atau diukur sesuai prinsip garis tengah dari wilayah antara 2 (dua) provinsi
tersebut, dan untuk Kabupaten/Kota memperoleh 1/3 (sepertiga) dari wilayah
kewenangan provinsi dimaksud. Ketentuan tersebut diatas, tidak berlaku bagi
penangkapan ikan oleh nelayan kecil. Yang dimaksud dengan ”nelayan kecil” disini
adalah nelayan masyarakat tradisional Indonesia yang menggunakan bahan dan alat
penangkapan ikan secara tradisional, dan terhadapnya tidak dikenakan surat idzin
usaha, dan bebas dari pajak, dan bebas manangkap ikan di seluruh pengelolaan
perikanan dalam wilayah Republik Indonesia.
4. Kesenjangan antara niat dan realitas.
Konstatasi adanya kesenjangan antara niat (willingness; political will)
Pemerintah Indonesia dan realitas di lapangan dalam melaksanakan asas
desentralisasi dan otonomi daerah, berawal dari perkembangan konfigurasi politik
yang mendasari piranti perundang - undangan serta komitmen politik pemerintah yang
sangat jelas menginginkan terwujudnya otonomi daerah dalam penyelenggaraan
administrasi pemerintahan di Indonesia, berdasarkan asas desentralisasi.
Namun, sejauh ini perwujudan asas ini masih senggang dari idealisasi yang
diharapkan. Misalnya, beberapa urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintahan
daeah Kabupaten/Kota, yang seharusnya sudah bisa direalisasikan di daerah, nyatanya
masih tetap ditangani oleh pusat dengan dalih eksternalitas dan akuntabilitas tergolong
kepada kepentingan nasional (seperti: petanahan, sumber-sumber daya alam dan
sumber daya lainnya dlsb.), sehingga dalam realisasi manajemen pemerintahan
NOVI HENDRA, S.IP 2014 14
terdapat beberapa Keppres yang dikeluarkan yang dalam praktek mengalahkan
kekuatan Undang-undang.
Sebagai bangsa yang besar, seharusnya kita bisa mengatasi segala persoalan
yang besar pula. Dalam sejarah bangsa ini, kita melihat kenyataan selalu bisa keluar
dari berbagai kemelut bangsa, baik mengusir penjajah, meredam berbagai
pemberontakan, dan jatuh bangunnya sistem pemerintahan yang berganti - ganti. Kita
juga telah memperlihatkan kepada dunia atas kemampuan kita mngintegrasikan
seluruh wilayah dan masyarakat Indonesia yang tersebar di berbagai wilayah yang
amat luas ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Ini bukan kerja yang asal -
asalan, tetapi pekerjaan besar, pekerjaan yang genius, berkat pimpinan negara yang
lalu. Bung Karno, seorang yang gandrung akan persatuan dan selalu bergelora bicara
masa depan bangsa. Ia hidup dalam mimpi - mimpi dan gagasan besar, tetapi yang
kurang diperhatikan adalah merumuskan atau membuat fondasi tahapan seperti apa
yang harus dilalui untuk menjadi bangsa yang besar itu. Penggantinya H.M.Soeharto,
menggerakan sejarah persatuan dengan doktrin dan kekuatan tentara. Politik menjadi
“tertib” sebab semuanya dalam bingkai dan kontrol negara. Pengelola negara yang
mestinya melayani publik, memposisikan dirinya sebagai pihak yang harus dilayani.
Pengelolaan negara dan keluarga pun menjadi wilayah yang sulit dibedakan. Dalam
tumpang tindih garis batas wilayah negara dan keluarga, praktek perkoncoan dan
kronisme pun tidak bisa dihindarkan. Baik Bung Karno maupun Pak Harto kurang
memperhatikan aspek pembngunan manusia (human development). “Politik” adalah
panglima di masa orde lama dan “stabilitas” adalah panglima di masa orde baru.
Keduanya telah mengorbankan kualitas manusia Indonesia17 Dampaknya, adalah
sangat mudah difahami kalau menurut ukuran Human Development Index (HDI),
kualitas manusia Indonesia terburuk di antara negara - negara di Asean, dimana
Indonesia berada di peringkat ke-111 di antara 175 negara di dunia, sedangkan
Malaysia yang dulu hampir seluruhnya belajar dari kita, kini di urutan ke-76, dan
Filipina di urutan ke-98. Dalam pada itu, menurut Badan Pusat Statistik 2004, kini
penduduk miskin mencapai 36,1 juta. Kondisi kemiskinan seperti ini setara dengan
keadaan 15 tahun yang lalu.18
17 Editorial Media Indonesia, Rabu, 16 Maret 2005/No.8867/Tahun XXXVI.18 Ibid, Editorial Media Indonesia.
NOVI HENDRA, S.IP 2014 15
Inilah salah satu masalah cukup mendasar yang menjadi tantangan kita dalam
menghadapi krisis multidimensi, melalui kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah di
Indonesia menuju kepada proses penyelenggaraan pemerintahan yang baik (Good
governance), dan yang berpihak kepada rakyat.
6. Melihat sekilas perspektif historis.
Melalui kajian sejarah administrasi pemerintahan di Indonesia, tampak sebenarnya
adanya semacam kesinambungan upaya mewujudkan desentralisasi yang selalu berakhir
dengan munculnya praktek - praktek sentralisasi. Apakah dengan melalui Undang -
Undang Nomor 1 Tahun 1945; Undang - Undang Nomor 22 Tahun 1948. Pengecualian
terjadi pada masa berlakunya Undang - Undang Nomor 1 Tahun 1957 yang didasarkan
kepada UUDS - 1950 melalui sistem pemerintahanan yang parlementer dan dilandasi oleh
faham demokrasi yang sangat liberal.
Namun, pada masa rezim Orde Lama dengan menggunakan semangat Demokrasi
Terpimpin, setelah keluar Dekrit Presiden 5 Juli 1959, Undang - Undang Nomor 1 Tahun
1957 umurnya tidak panjang, dan keburu dipangkas dengan dikeluarkannya Penetapan
Presiden Nomor 6 Tahun 1959 yang merombak secara fundamental Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1957 hanya dengan sebuah “Penetapan Presiden” tanpa meminta
persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. Alasannya, sekalipun “Penetapan Presiden”
mempunyai derajat lebih rendah daripada Undang-undang, namun dasarnya adalah Dekrit
Presiden yang menyelamatkan kesatuan dan persatuan bangsa, yang hampir kolaps pada
Sidang Dewan Kontituante yang gagal membentuk UUD tetap, disamping untuk
menghapus dualisme pemerintahan yang marasuk penyelenggaraan pemerintahan pada
masa Undang - Undang Nomor 1 Tahun 1957. Itulah era Demokrasi Terpimpin dengan
semangat “Faham Negara Intergralistik”, yang sesungguhnya faham ini, sekali lagi secara
konstitutional tidak dianut di dalam UUD 1945.
Rezim Orde Lama, dengan dalih atas dasar semangat Demokrasi Terpimpin,
mempertahankan persatuan dan kesatuan bangsa, serta menghapuskan dualisme dalam
pemerintahan, dengan dikeluarkannya Undang - Undang Nomor 6 Tahun 1959, kembali
terjebak dalam pola “sentralisasi” yang merombak “sistem pemerintahan kolegial”
NOVI HENDRA, S.IP 2014 16
(collegial bestuur) yang dianut dalam Undang - Undang Nomor 1 Tahun 1957 menjadi
“sistem pemerintahan tunggal” (Eenhoofdig-bestuur) dengan mengangkat dan
mendudukan Kepala Daerah sebagai “alat daerah” dan sekaligus sebagai “alat pusat”.
Dengan kebijakan ini, upaya pemerintah untuk menghapuskan “dualisme” dalam
penyelenggaraan pemerintahan, hanya berhasil menghapuskan “dualisme struktural” saja,
sedangkan dualisme dalam fungsi (dualism in function) tetap tidak terhapuskan, karena
justru penyelenggaraan pemerintahan dalam pelaksanaan fungsi “dekonsentrasi” yang
menyangkut fungsi “pemerintahan umum” (“Algemene bestuur”) yang menurut Undang -
Undang Nomor 6 Tahun 1959 tentang Penyerahan Tugas - Tugas Pemerintah Pusat dalam
bidang Pemerintahan Umum, Perbantuan Pegawai Negeri dan Penyerahan Keuangannya
kepada Pemerintah Daerah diletakkan kembali di tangan Kepala Derah dalam
kedudukannya sebagai “alat pusat”.
Dengan demikian, kedudukan dan peranan Kepala Daerah semakin diperkuat dan
semakin dominan. Itulah era pemerintahan yang disebut “Executive heavy” atau sering
juga disebut “Strong Executive System”. Itulah pula sebabnya, banyak kritikan yang
dilontarkan kepada rezim pemerintahan pada saat itu, yang menyatakan bahwa
penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia setelah Dekrit Presiden 5 Juli 1959, terutama
setelah dikeluarkannya PenPres Nomor 6 Tahun 1959 dipandang sebagai “retreat from
autonomy”.
Dengan demikian pula, terlihat adanya kausalitas antara sistem politik dan
pemerintahan yang berlaku, dengan upaya mewujudkan asas desentralisasi pemerintahan.
Pemerintah Indonesia tampaknya sangat menyadari kausalitas ini.
Oleh karena itu, pada era rezim Orde Baru diambil keputusan politik yang
menetapkan Demokrasi Pancasila sebagai landasan berpolitik bangsa. Dengan keputusan
politik tersebut, seluruh tatanan pemerintahan harus disesuaikan dengan isi dan semangat
Demokrasi Pancasila. Konsekuensinya, harus disusun Undang – Undang yang menjadi
landasan penyelenggaraan pemerintahan daerah di Indonesia. Maka keluarlah Undang -
Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok - pokok Pemerintahan di Daerah. Melalaui
Undang - Undang Nomor 5 Tahun 1974 ini pemerintah bertekad untuk mewujudkan
Otonomi Daerah. Namun, dikehendaki agar pelaksanaan Otonomi Daerah ini tidak
mengancam persatuan dan kesatuan bangsa, ataupun membahayakan kesinambungan
NOVI HENDRA, S.IP 2014 17
gerak pembangunan nasional. Maka lahirlah konsep “otonomi nyata dan bertanggung
jawab”, Otonomi daerah dipandang lebih merupakan “kewajiban” daripada “hak”.
Prinsip Otonomi yang seluas - luasnya, yang digelar melalui UU No. 18 Tahun 1965 tidak
dianut lagi, karena berdasarkan pengalaman konsep ini sangat rawan disintegrasi dan
dikhawatirkan akan mengancam persatuan dan kesatuan bangsa.
Melalui konsep Undang - Undang Nomor 5 Tahun 1974 ini, pemberian otonomi
daerah dalam wujud hak dan kewenangan untuk mengatur dan mengurus rumah tangga
daerah sendiri, disesuaikan dengan kemampuan daerah, serta kerangka besar dalam
pembangunan nasional. Tampaknya, syarat - syarat semacam ini yang memunculkan
kendala baru bagi perwujudan pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia.
Penelitian yang terus menerus saya lakukan, menemukan bahwa UU Undang -
Undang Nomor 5 Tahun 1974 yang menitik beratkan pelaksanaan otonomi daerah pada
Daerah Tingkat II, demikian pula paradigma yang menyatakan bahwa azas desentralisasi
dilaksanakan bersama - sama dengan asas dekonsentrasi, ternyata kembali terjebak
dengan kecendurungan awal munculnya sentralisasi pelaksanaan administrasi
pemerintahan di Indonesia, yang dalam prakteknya dekonsentrasi lebih menonjol dan
sangat dominan, yang diletakkan di tangan Kepala Daerah dalam kedudukannya sebagai
Kepala Wilayah.
Ini adalah lagi - lagi penonjolan wajah “Eksekutif heavy” dalam era konfigurasi
politik menurut Undang - Undang Nomor 5 Tahun 1974, dimana DPRD sebagai penyalur
aspirasi rakyat dalam pengembangan demokrasi dan sebagai alat kontrol, dalam era
Undang - Undang Nomor 5 Tahun 1974 hampir - hampir tidak berfungsi, karena
didominasi oleh wewenang Kepala Daerah/ Kepala Wilayah yang sangat kuat.
Walaupun Undang - Undang ini bertahan selama lebih dari 25 tahun, dengan
menekankan bahwa titik - berat otonomi diletakkan pada Daerah Tingkat II, namun
keinginan politik ini tidak bisa direalisasikan, karena Peraturan Pemerintah sebagai
pelaksanaan Undang - Undang Nomor 5 Tahun 1974 baru dapat dikeluarkan 18 (delapan
belas) tahun kemudian, yaitu dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Nomor 45
Tahun 1992 tentang Penyelenggaraan Otonomi Daerah dengan titik berat pada Daerah
Tingkat II. Namun, Peraturan Pemerintah inipun tidak berjalan mulus, karena lagi-lagi
Pemerintah Pusat tidak konsekuen dengan kebijakannya yang mestinya Pemerintah Pusat
NOVI HENDRA, S.IP 2014 18
menyerahkan sebagian urusan pemerintahan kepada Pemerintah Daerah dengan
mengutamakan penyerahannya kepada Pemerintah Daerah Tingkat II, tidak berjalan
dengan baik. Demikian pula, Pemerintah Daerah Tingkat I yang secara imperatif dalam PP
tsb diwajibkan untuk secara berangsur - angsur selambat - lambatnya dalam waktu 2 (dua)
tahun sejak dikeluarkannya PP tersebut, menyerahkan lebih lanjut kewenangan
otonominya kepada Pemerintah Daerah Tingkat II, boleh dikatakan tidak berjalan sama
sekali, karena PP tersebut tegas - tegas menyatakan bahwa kebijakan peletakan titik berat
otonomi daerah pada Daerah Tingkat II sama sekali tidak dimaksudkan untuk mengurangi
keberadaan dan peranan Pemerintah Daerah Tingkat I. Dengan demikian, eksistensi
Daerah Tingkat I sebagai “daerah otonom” tetap kuat, sedangkan Daerah Tingkat II
perkembangan otonominya tetap tersendat - sendat.
Kemudian, kebijakan desentralisasi yang telah ditetapkan pemerintah dalam
rangka reformasi perundang - undangan politik dan pemerintahan, dengan memberikan
keleluasaan penyelenggaraan otonomi daerah yang tertuang dalam Undang – Undang
Nomor 22 Tahun 1999 adalah suatu strategi dan paradigma baru dalam upaya
mewujudkan penyelenggaraan pemerintahan daerah yang kuat, bersih, bertanggung jawab
dan demokratis, dengan menggeser paradigma “Executive heavy” kepada “Legislative
heavy”, dengan lebih menonjolkan kepada keberpihakan kepada rakyat. Perumusan
“Otonomi Daerah” yang merupakan pergeseran paradigma yang berpihak kepada rakyat,
menyebutkan bahwa “Otonomi Daerah adalah kewenangan daerah otonom untuk
mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat, menurut prakarsa sendiri
berdasarkan aspirasi masyarakat………. dst.”
Sebelum terjadi perubahan Undang - Undang Nomor 22 Tahun 1999, dilihat dari
sisi hubungan kelembagaan antara Eksekutif dan Legislatif ternyata adanya hubungan
kemitraan yang sebenarnya kurang tepat (hubungan yang tidak sejajar), dimana Kepala
Daerah dipilih dan ditetapkan oleh DPRD, dan bertanggung jawab kepada DPRD, tetapi
di pasal lain menegaskan bahwa kedudukan DPRD dan Kepala Daerah adalah sejajar
sebagai mitra - kerja. Sedangkan DPRD sendiri tidak jelas bertangungg jawab kepada
siapa. Kalau bertanggung jawab kepada rakyat, tidak terdapat mekanisme yang jelas
bagaimana bentuk pertanggung jawaban DPRD tersebut. Dengan demikian, kondisi
tersebut tidak memungkinkan adanya “kemitraan” yang sejajar dan kecendurungan secara
NOVI HENDRA, S.IP 2014 19
realitas posisi DPRD lebih kuat daripada Kepala Daerah, sehingga mencerminkan gejala
bahwa kewenangan DPRD lebih tinggi dari Kepala Daerah.
7. Kebijakan Pilkada yang membawa anarkhisme.
Pengalaman menunjukkan, bahwa sering terjadi ”impeachment” terhadap Kepala
Daerah hanya dengan keputusan DPRD, apakah karena LPJ - nya ditolak atau karena
sebab - sebab lain yang kecendurungan menunjukkan kekuasaan DPRD lebih tinggi dari
Kepala Daerah, meskipun menurut jiwa dan semangat Undang - Undang Nomor 22
Tahun 1999 pemberhentian Kepala Daerah tidak sepenuhnya berada dalam kompetensi
DPRD, melainkan kewenangan untuk memberhentidkan Kepala Daerah tersebut berada
pada Presiden. Inilah suatu paradigma yang cenderung lebih menjukkan “Legislative
heavy” dalam sistem Pemerintahan Daerah yang berjalan menurut Undang - Undang
Nomor 22 Tahun 1999.
Inilah pula, salah satu alasan mengapa Undang - Undang Nomor 22 Tahun 1999 diganti
dengan Undang - Undang Nomor 32 Tahun 2004. Pergantian Undang – Undang Nomor 22
Tahun 1999 dengan Undang - Undang Nomor 32 Tahun 2004 yang tujuannya antara lain
untuk mengembalikan dan mewujudkan keseimbangan dari “Legislatif heavy” kepada
“Eksekutif heavy” dan keseimbangan antara hubungan kekuasaan pusat dan daerah,
kembali terjebak kepada nuansa “re-sentralisasi” dalam penyelenggaraan otonomi daerah.
Hubungan Eksekutif – Legislatif Daerah, idenya ingin mengembangkan strategi
baru yang lebih dinamis, dimana hampir 30% pasal - pasal dalam Undang – Undang
Nomor 32 Tahun 2004 (pasal 56 s/d pasal 119) mengatur tentang Pemilihan Kepala
Daerah secara langsung. Namun, kenyataan di lapangan banyak kericuhan terjadi dalam
pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah, terjadi konflik horizontal dimana - mana, terutama
setelah salah satu “calon terpilih” dinyatakan menang dalam Pilkada tersebut. Namun
tidak jarang pula terjadi konflik vertikal, ketika salah satu calon yang diajukan oleh Parpol
ditolak oleh KPUD, belum lagi terjadinya “money politic” yang berlebih - lebihan, uang
terhamburkan dimana - mana hanya untuk memenangkan jabatan Kepala Daerah, daripada
diperuntukkan bagi kesejahteraan rakyat, ada orang yang bangkrut setelah tidak terpilih
menjadi Kepala Daerah, sebaliknya orang yang terpilih sebagai Kepala Daerah, menjadi
NOVI HENDRA, S.IP 2014 20
kebingungan bagaimana mengembalikan uang biaya Pilkada yang jumlahnya milyaran
rupiah itu. Disamping itu, banyak perilaku masyarakat pemilih menjadi anarchist, merusak
gedung - gedung dan sarana pemerintahan, karena ketidak puasan hasil Pilkada, dengan
dalih pencerminan “demokrasi”, tetapi nyatanya kaostik dan anarkhis, dan banyak lagi
persoalan - persoalan yang muncul yang mencerminkan seolah - olah pemerintah tidak
mampu lagi untuk menyelesaikannya, bahkan seolah - olah ada kesan bahwa tidak ada
satu badan publikpun yang semestinya bertanggung jawab untuk menyelesaikan persoalan
- persoalan tersebut, sehingga membawa dampak instabilitas dalam pemerintahan dan
ketidak tentraman dalam masyarakat.
Sedikit saya mengutip Editorial Media Indonesia, yang berjudul “Wajah Seram
Indonesia”, a.l. sbb:
“Wajah Indonesia berubah total akhir - akhir ini. Di Era Orde Baru, wajah
Indonesia ditampar-tampar oleh Negara, demi keamanan dan pembangunan.
Sekarang, di era reformasi wajah Indonesia digebuk - gebuk oleh rakyatnya
sendiri atas nama demokrasi. Kita sekarang muncul sebagai bangsa yang gaduh.
Apa saja yang dirasa tidak sesuai dengan pikiran individu atau kelompok
diributkan, entah di parlemen, entah di jalan - jalan. Di parlemen hampir setiap
minggu kita mendengar tentang ancaman angket dan interpelasi. Di jalan raya
demonstrasi oleh warga dan anggota LSM tidak pernah putus.
Pekan-pekan ini, citra Indonesia tidak lagi sekedar bangsa yang gaduh.
Demonstrasi menentang PT Freeport di Papua yang berujung kematian tiga
anggota Polri dan satu TNI, pembakaran kamp milik PT Newmont di NTB, dan
disusul sekarang dengan aksi - aksi menentang Exxon Mobile di Blok Cepu,
memperburuk wajah kita. Indonesia tidak lagi hanya bangsa yang gaduh, tetapi
anarkistis. Bangsa yang tidak menghargai perjanjian dan komitmen. Para elite
bangsa sekarang tenggelam dalam keyakinan super - kuat seakan - akan Indonesia
begitu hebatnya, sehingga tidak memerlukan lagi orang - orang di bagian dunia
yang lain. Setiap hari kita memaki, mengecam, mengusir, dan merusak. Padahal
Indonesia sangat miskin dan lemah. Kita membutuhkan modal, keahlian, dan
teknologi. Semua ini hanya bisa diperoleh apabila kita menampilkan wajah yang
NOVI HENDRA, S.IP 2014 21
menawan dan bersahabat. Tidak wajah garang yang selalu mengepal tinju dan
menghunus pedang…………….dst. dst.”19
8. Kelemahan Undang – Undang Nomor 32 Tahun 2004 dalam
penyelenggaraan Pilkada.
Ada beberapa kelemahan terdapat dalam Undang – Undang Nomor 32 Tahun 2004
yang berdampak kerancuan dalam implementasi Pilkada, antara lain:
a. Penunjukan KPUD sebagai Pelaksana Pemilihan Kepala Daerah secara Langsung
(PILKADA) adalah kurang tepat, karena tugas dan kewenangan KPU (KPUD)
adalah melaksanakan Pemilu, dan bukan melaksanakan Pilkada;
b. Pasal 57 UU No.32/2004 menyatakan bahwa Kepala Daerah dan Wakil Kepala
Daerah diselenggarakan oleh KPUD yang bertanggung jawab kepada DPRD,
namun Pasal tsb dalam judicial - review dicabut oleh Mahkamah Konstitusi.
sehingga, dalam menyelenggarakan Pilkada, KPUD tidak jelas bertanggung -
jawab kepada siapa;
c. Penyelenggaraan Pilkada merupakan kompetensi Pemerintah cq. Pemerintahan
Daerah, dan karenanya perlu dibentuk Panitia/ Komisi Pemilihan Kepala Daerah
yang unsur - unsurnya terdiri dari tokoh masyarakat, perguruan tinggi, pers dll
yang bertanggung jawab kepada Pemerintah cq. Pemerintahan Daerah;
d. Sosialisasi dan diseminasi peraturan perundang - undangan tentang Pilkada
sebagaimana tertuang dalam Undang – Undang Nomor 32 Tahun 2004 dan
Peraturan Pelaksanaannya, kurang sekali disosialisasikan kepada masyarakat luas,
sehingga masyarakat kurang memahami aturan main, semangat dan jiwa, serta
konsekuensi - konsekuensi yang bakal terjadi pada Pilkada, sehingga dalam
pelaksanaannya menimbulkan multi - interpretasi dan persepsi yang berbeda -
beda;
e. Maraknya “politik - uang” hampir di seluruh lini penyelenggaraan Pilkada, baik di
kalangan masyarakat, KPUD, para calon Kepala Daerah, termasuk Tim Suksesnya
dll.
19 Editorial Media Indonesia, 21 Maret 2006, hlm.1
NOVI HENDRA, S.IP 2014 22
f. Panitia Pengawas Pilkada tidak berfungsi secara optimal.
9. Upaya menyeimbangkan hubungan antara DPRD dan Kepala Daerah.
Sesungguhnya, ideenya, kalau pemilihan Kepala Daerah dilakukan secara
langsung, maka diharapkan akan merubah perimbangan hubungan antara Eksekutif dan
Legislatif daerah, sehingga skenario format hubungan yang akan terjadi adalah sebagai
berikut:20
Pertama, DPRD akan dipilih dengan sistem proportional terbuka, ini berarti ada
tanda gambar dan sekali gus daftar nama caleg. Kalau pemilih tidak memilih nama, maka
alternatifnya adalah menusuk tanda gambar, yang berarti Elite Parpol yang akan
memegang peranan utama menentukan siapa yang akan didudukkan di lembaga legislatif
daerah. Hasil Pemilu 5 April 2004 juga menunjukkan bahwa hanya 2 orang anggota DPR
di tingkat Nasional yang benar-benar terpilih yang memenuhi “Bilangan Pembagi
Pemilih” (BPP). Masalahnya sering calon yang mendapatkan suara terbanyak, tidak
memenuhi treshold BPP yang diunjuk mewakili parpol di DPR atau DPRD dan
menimbulkan konflik internal di tubuh parpol. Kalau rakyat lebih banyak memilih tanda
gambar dan bukan orang, akibatnya, akuntabilitas individu akan berkurang, sedang
akuntabilitas kolektif akan lebih menonjol.
Kalau Kepala Daerah dipilih secara langsung, ini berarti bahwa Kepala Daerah
akan mendapatkan legitimasi penuh dari rakyat pemilih, artinya rakyat akan memberikan
legitimasi politik secara langsung kepada orang yang dipilihnya. Dengan kata lain
akuntabilitas Kepala Daerah akan lebih kuat dibanding dengan akuntabilitas DPRD,
dimana akuntabilitas Kepala Daerah lebih bersifat individu dibanding dengan akuntabilitas
DPRD yang bersifat kolegial. Akibatnya, akan terjadi pergeseran (shift) titik berat
kekuatan politik yang tadinya ke DPRD (“Legislative heavy”) akan bergeser kepada
Kepala Deerah (“Executive heavy”). Ini adalah akibat akuntabilitas Kepala Daerah yang
lebih kuat dibandingkan dengan DPRD. Kondisi tersebut akan diperkuat lagi dengan
20 I Made Suwandi, “ Implikasi Pemilihan Kepala Daerah Langsung” (Dalam koridor UU 32 Tahun 2004), LAPI, Materi Workshop, 2004, hlm. 3-4.
NOVI HENDRA, S.IP 2014 23
adanya dukungan perangkat daerah kepada Kepala Daerah. Dengan demikian, jelas akan
lebih memperkuat posisi Kepala Daerah.
Kedua, konsekuensi dari pemilihan langsung, maka baik DPRD maupun Kepala
Daerah akan bertanggung jawab langsung kepada rakyat pemilih. Ini berarti, tidak lagi
Kepala Daerah bertanggung jawab kepada DPRD sekalipun DPRD mempunyai posisi
sebagai wakil rakyat, karena Kepala Derah pun akan mengklaim dirinya sebagai wakil
rakyat yang dipilih secara langsung. Persoalannya sekarang, kepada siapa Kepala Daerah
harus bertanggung jawab? Karena Kepala Derah dipilih langsung oleh rakyat, maka
seyogyanya ia (Kepala Daerah) bertanggung jawab langsung kepada rakyat. Lantas
mekanismenya bagaimana kalau Kepala Daerah bertanggung jawab langsung kepada
rakyat, dan apakah rakyat bisa memberhentikan Kepala Derah apabila rakyat tidak
menyukai atau mempercayainya lagi. Di negara - negara maju, seperti di Amerika,
Kepala Derah dapat diberhentikan oleh rakyat apabila diatas 50% pemilih menyatakan
tidak menghendaki lagi Kepala Daerah ybs. Kondisi ini, akan berjalan baik, apabila
pendidikan politik rakyat sudah mantap, seperti di Amerika. Namun, kalau cara - cara
tersebut diterapkan di Indonesia, dimana pendidikan politik rakyat belum mantap,
pelaksanaan demokrasi tendensinya anarkhis, maka sudah bisa dipastikan akan terjadi
instabilitas dalam pemerintahan daerah, dimana di kalangan masyarakat Indonesia masih
kental cara - cara “money politics” dalam pemilihan Kepala Daerah, maka dengan imbalan
uang, rakyat akan dengan mudah digerakkan untuk memilih seseorang calon Kepala
Derah, demikian juga sebaliknya rakyat akan dengan mudah digerakkan untuk
menjatuhkan Kepala Daerah dengan cara - cara yang sama. Sebagai konsekuensinya,
pemerintahan yang tidak stabil sudah barang tentu akan mengganggu stabilitas keamanan
dan counter - productive terhadap laju pertumbuhan dan investasi, yang pada gilirannya
kondisi tersebut akan menciptakan krisis yang berkepanjangan. Karena itu, dalam rangka
pemilihan Kepala Derah perlu adanya sosialisasi dan pendidikan politik yang intensif bagi
rakyat pemilih, supaya mereka menyadari bahwa sekali mereka memilih Kepala Daerah
maka mereka akan menanggung segala konsekuensi dari pilihannya tersebut. Karenanya
perlu penegasan dan difahami oleh rakyat bahwa pemberhentian Kepala Derah hanya
dapat dilakukan apabila ybs melakukan tindak - pidana, mengundurkan diri atau tidak lagi
mampu menjalankan tugasnya sebagai Kepala Derah sebagaimana ditentukan dalam
NOVI HENDRA, S.IP 2014 24
perundang - undangan. Demikian juga dengan posisi DPRD, dengan diberlakukannya
Undang – Undang Nomor 31 Tahun 2002 tentang Parpol, Undang – Undang Nomor 22
Tahun 2003 tentang Susduk, anggota DPRD dapat di re-call oleh pimpinan Parpolnya.
Dalam pada itu ada Badan Kehormatan dalam lembaga DPRD yang nantinya akan
menerima komplain dari masyarakat tentang anggota DPRD dan dapat memberhentikan
anggota DPRD apabila anggota DPRD terbukti melanggar tata - tertib dan kode - etik
DPRD.
Ketiga, DPRD diharapakan akan tetap mempunyai otoritas di bidang legislasi,
anggaran dan kontrol, sesuai dengan hak-haknya sebagaimana ditentukan dalam
peraturan perundang - undangan. Apabila mereka mampu mempergunakan kewenangan
dan hak - hak tersebut secara effektif, maka diharapkan DPRD sedikit - banyak akan
mampu mengimbangi kekuatan Eksekutif. Namun, kalau kualitas anggota DPRD tetap
seperti sekarang, tanpa adanya kemajuan yang berarti, maka akan sulit bagi DPRD untuk
mengimbangi kekuatan dan kinerja eksekutif yang didukung oleh perangkat daerah yang
professional. DPRD yang lemah, berpotensi untuk melemahkan fungsi kontrol terhadap
eksekutif, fungsi legislasi dalam membuat kebijakan, dan fungsi anggaran dalam
menetapkan dan mendayagunakan potensi anggaran daerah, sehingga akan menciptakan
kondisi “Executive heavy” seperti terjadi puluhan tahun pada masa orde baru. Oleh karena
itu, untuk menciptakan “check and balances” yang seimbang, maka rakyat sebagai “stake -
holders” utama dalam penyelenggaraan otonomi daerah, perlu digerakkan agar mampu
menjadi “pressures and supporters”, baik kepada DPRD maupun kepada Kepala Daerah
melalui upaya revitalisasi LSM, Forum Komunikasi, Organisasi professi dll yang berbasis
demokrasi, professionalisme, serta ethik dan moral.
Keempat, harus ada perubahan yang signifikan terhadap konstruksi pemerintahan
daerah, terutama yang menyangkut kejelasan antara “pejabat politik” (Kepala Daerah dan
DPRD) dengan “Pejabat non - politik” (Pejabat karier). Pejabat politik adalah pejabat yang
bertugas merumuskan dan menetapkan “kebijakan publik”, sedangkan pejabat karir adalah
pejabat yang melaksanakan/ mengoperasionalkan kebijakan tersebut kedalam bentuk
pelayanan publik atau pemenuhan kebutuhan publik. Dengan diberlakukannya Undang –
Undang Nomor 22 Tahun 1999 terdapat masalah kepegawaian daerah, a.l. dengan
diberikannya kewenangan manajemen kepegawaian sebagaimana diatur dalam Pasal 76
NOVI HENDRA, S.IP 2014 25
Undang - Undang Nomor 22 Tahun 1999, terjadi kecendurungan kooptasi oleh kekuatan
politik di daerah, baik dari pihak Kepala Daerah maupun dari DPRD, misalnya banyak
kasus terjadi pemberhentian Sekda oleh Kepala Daerah/ DPRD tanpa alasan yang jelas.
Untuk memberikan keleluasaan kepada Daerah di bidang manajemen kepegawaian, maka
Daerah sebaiknya dilibatkan dalam proses rekrutmen, placement, development dan
appraisal dari PNS Daerah, artinya unsur - unsur “separated system” dalam manajemen
kepegawaian, diberikan kepada daerah dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah,
dan “integrated system” diterapkan dalam rangka menjaga keseimbangan antara
kepentingan nasional dan otonomi daerah, karena bagaimanapun juga posisi PNS tetap
harus difungsikan sebagai perekat negara dan bangsa disamping professionalisme pegawai
yang perlu terus ditingkatkan.
3. APRESIASI KEBIJAKAN DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH
MENURUT PERSPEKTIF UNDANG - UNDANG NOMOR 22 TAHUN
1999.
Kebijakan desentralisasi yang telah ditetapkan pemerintah dalam rangka reformasi
perundang - undangan politik dan pemerintahan, dengan memberikan keleluasaan
penyelenggaraan otonomi daerah yang tertuang dalam Undang – Undang Nomor 22
Tahun 1999 adalah suatu strategi dan paradigma baru dalam upaya mewujudkan
penyelenggaraan pemerintahan daerah yang kuat, bersih dan bertanggung jawab, serta
berpihak kepada rakyat.
Berbagai upaya dan terobosan politik telah banyak dilakukan dalam rangka
membangun pemerintahan daerah yang baik dan berpihak kepada rakyat. Dengan melihat
perspektif historis ketata-negaraan Indonesia, Pemerintah NKRI telah berhasil
mengundangkan berbagai perundang - undangan pemerintahan daerah yang diwarnai
dengan berbagai perkembangan konfigurasi politik sejak lahirnya Undang – Undang
Nomor 1 Tahun 1945, Undang - Undang Nomor 22 Tahun 1948, Undang - Undang
Nomor 32 Tahun 1956, Undang - Undang Nomor 1 Tahun 1957, Undang - Undang
Nomor 6 Tahun 1959, Penetapan Presiden (PenPres) No. 6 Tahun 1959, PenPres No. 5
NOVI HENDRA, S.IP 2014 26
Tahun 1960, Undang - Undang Nomor 18 Tahun 1965, Undang - Undang Nomor 5 Tahun
1974 dan Undang - Undang Nomor 5 Tahun 1979, sampai kepada paket kebijakan
terakhir, yaitu Undang - Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan
Undang – Undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara
Pemerintah Pusat dan Daerah.
Namun demikian, tidak dapat dipungkiri bahwa paket Undang - Undang Nomor 22
dan 25 Tahun 1999 sebagai produk kebijakan politik desentralisasi dan otonomi daerah
pada masa pemerintahan transisi, masih mengandung berbagai kelemahan dan masalah,
baik ditinjau dari tataran konsep maupun tataran operasional.
Yang menjadi fokus pertanyaan adalah apakah kebijakan desentralisasi dan
otonomi daerah yang dituangkan dalam Undang – Undang Nomor 22 Tahun 1999 itu, baik
secara konsep akademik maupun operasional signifikan dalam upaya menerapkan prinsip
- prinsip akuntabilitas publik dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah, terutama
dalam mewujudkan pemerintahan daerah yang baik, bersih, berwibawa dan bertanggung
jawab (“Good Governance”) serta berpihak kepada rakyat. Hal tersebut, adalah suatu
prasyarat yang harus terjawab dalam upaya menjalankan “keinginan politik” (political
will”) pemerintah untuk menjadikan Daerah Otonom yang mandiri berdasarkan prinsip -
prinsip demokrasi, peran serta masyarakat, pemerataan dan keadilan, serta memperhatikan
potensi dan keanekaragaman daerah, peningkatan daya saing daerah, serta menjamin tetap
terjaga dan terpeliharanya Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Berbagai pendapat dan pandangan telah banyak dilontarkan orang terhadap
kelahiran Undang – Undang Nomor 22 Tahun 1999 dan Undang – Undang Nomor 25
Tahun 1999. Ada yang menganggap Undang – Undang Nomor 22 Tahun 1999 terlalu luas
memberikan kewenangan kepada daerah, sehingga dengan keleluasaan (“discretionary
power”) yang diberikan kepada Daerah, dikhawatirkan akan menimbulkan perpecahan
(“disintegrasi”) karena terkotak - kotaknya antara daerah yang satu dengan daerah yang
lain, dan tidak terkendalinya oleh pemerintah pusat, yang akhirnya daerah yang merasa
sangat kuat akan tidak peduli terhadap daerah lainnya, sehingga timbul kesenjangan antar
daerah dan laju pertumbuhan antar daerah, yang pada gilirannya akan mengakibatkan
lemahnya persatuan dan kesatuan bangsa. Bahkan ada yang beranggapan bahwa dengan
otonomi daerah ini, dikhawatirkan akan memindahkan birokrasi pusat ke daerah dengan
NOVI HENDRA, S.IP 2014 27
segala ekses -eksenya seperti korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) akan merajalela di
daerah, arogansi kekuasaan, egoisme kedaerahan yang sempit, timbulnya raja - raja kecil
di daerah dlsb.
Namun sebaliknya, ada pula yang beranggapan bahwa Undang - Undang ini masih
jauh dari harapan, dan masih berbau “status quo”, pemerintah yang menamakan dirinya
sebagai “pemerintah orde reformasi” nyatanya tidak reformis dan dalam memberikan
otonomi kepada daerah, masih setengah hati. Apalagi Undang – Undang Nomor 25 Tahun
1999 dengan segala peraturan pelaksanaannya, dianggapnya masih terlalu berorientasi ke
pusat, adanya arogansi pusat dengan pencerminan pembagian sumber - sumber keuangan
yang tidak proportional, tidak adil dan sangat berat ke pusat.
Dalam pada itu, sebagian masyarakat beranggapan bahwa Undang – Undang
Nomor 22 Tahun 1999 dan Undang – Undang Nomor 25 Tahun 1999 mampu menjawab
tuntutan demokrasi, desentralisasi dan otonomi yang kini semakin nyaring terdengar,
sementara sebagian lainnya justru menganggap kedua UU tersebut sebagai sumber
malapetaka bagi beberapa daerah tertentu dan bahkan bagi Indonesia.21 Maraknya korupsi
di daerah, baik yang dilakukan oleh para pejabat Eksekutif, maupun para anggota badan
Legislatif (DPRD) membuktikan kebenaran anggapan masyarakat tersebut.
Ditinjau dari perspektif Daerah, kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah
menurut Undang – Undang Nomor 22 Tahun 1999 dan Undang – Undang Nomor 25
Tahun 1999 adalah merupakan angin segar dan sangat menguntungkan daerah, karena
sebagian besar kewenangan dan sumber keuangan telah diserahkan kepada daerah,
terutama Daerah Kabupaten/Kota, sehingga daerah bisa mengatur dan mengurus
kepentingan masyrakat setempat. Inilah sesungguhnya yang didambakan oleh daerah sejak
lama. Namun, ditinjau dari perspektif nasional, pemerintah pusat yang telah memberikan
kewenangan yang luas kepada daerah sebagaimnana ditetapkan dalam Pasal 7 ayat (1) dan
Pasal 11 Undang – Undang Nomorr 22 Tahun 1999, justru merasa sangat risau dan
khawatir terhadap eksistensi Negara Kesatuan Republik Indonesia, karena sisa
kewenangannya sangat dibatasi. Demikian pula, otonomi daerah yang diberikan kepada
daerah Propinsi sangat terbatas yang hanya meliputi kewenangan yang bersifat lintas
kabupaten/ kota sebagaimana diatur dalam Pasal 9 Undang – Undang Nomor 22 Tahun
21 Pande Radja Silalahi, “Implikasi Kebijakan Ekonomi Pemerintah Pusat dan Pembangunan Ekonomi di Daerah”, dalam Jurnal CSIS, Tahun XXXIX/2000, No.1, hlm.87.
NOVI HENDRA, S.IP 2014 28
1999 dan PP 25/2000. Inilah pula antara lain salah satu pertimbangan mengapa Undang –
Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang pemerintahan daerah yang baru berumur kurang
dari 5 (lima) tahun telah diganti dengan Undang – Undang yang baru, yaitu Undang –
Undang Nomor 32 Tahun 2004, dan Undang – Undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang
Perimbangan keuangan antara pusat dan daerah telah diganti dengan Undang – Undang
Nomor 33 Tahun 2004.
Konsep hubungan kekuasaan antara pemerintah pusat dan daerah menjadi penting
untuk dikaji, karena ia merupakan salah satu komponen utama dari fondasi yang
menopang keberadaan “bangunan” desentralisasi dan otonomi daerah. Dengan kata lain,
karakteristik desentralisasi dan otonomi daerah yang diterapkan dalam suatu negara,
antara lain, sangat ditentukan oleh format pengaturan distribusi kekuasaan antara
pemerintah pusat dan daerah. Kategorisasi, seperti – desentralisasi politik, desentralisasi
administrasi, otonomi luas, otonomi terbatas, dan otonomi khusus – semuanya sangat
ditentukan oleh seberapa jauh kekuasaan dan wewenang yang dimiliki oleh pemerintah
daerah.22 Oleh karena itu, ditinjau dari tataran teoritis, karakteristik hubungan kekuasaan
antara pemerintah pusat dan daerah telah didudukkan sebagai variabel penting yang
membedakan dua konsep antara perspektif “desentralisasi politik” (“political
decentralization perspective”) dan perspectif “desentralisasi administrative”
(“administrative decentralization perspective”)23
Salah satu hal yang amat penting dan mungkin terlupakan adalah bahwa
urusan/kewenangan yang sudah dimiliki oleh Daerah otonom sejak pembentukannya
dengan Undang - Undang yang secara materiil sudah diserahkan kepada Daerah ybs, yang
menurut Undang – Undang Nomor 22 Tahun 1999 (Pasal 7, 8, dan 11 serta penjelasannya)
harus ada “pengakuan” (“erkennen”) dari Pemerintah sampai sekarang belum dijalankan
secara tuntas sampai dicabutnya Undang – Undang Nomor 22 Tahun 1999 oleh Undang –
Undang Nomor 32 Tahun 2004.
4. TINJAUAN TEORITIS: PANDANGAN TENTANG DESENTRALISASI
DAN OTONOMI DAERAH.
22 Syarif Hidayat, “Evaluasi UU No.22 Tahun 1999: Tinjauan Kritis atas Konsep Hubungan Kekuasaan Pusat – Daerah”, dalam “Evaluasi Implementasi Otonomi Daerah”, Pusat Penelitian Politik, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (P2P-LIPI), 2002, hlm.1123 Ibid., hlm.11.
NOVI HENDRA, S.IP 2014 29
Konsep desentralisasi sering dibahas dalam konteks pembahasan mengenai sistem
penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan. Pada masa sekarang, hampir setiap
negara bangsa (nation state) menganut desentralisasi sebagai suatu asas dalam sistem
penyelenggaraan pemerintahan negara. Walaupun demikian, desentralisasi bukan
merupakan sistem yang berdiri sendiri, melainkan merupakan rangkaian kesatuan dari
suatu sistem yang lebih besar.
Suatu negara bangsa menganut desentralisasi bukan pula merupakan alternatif dari
sentralisasi, karena antara desentralisasi dan sentralisasi tidak dilawankan dan karenanya
tidak bersifat dikotomis, melainkan merupakan sub - sub sistem dalam kerangka sistem
organisasi negara. Karenanya suatu negara bangsa merupakan genus dari species
desentralisasi dan sentralisasi. Akan tetapi, pengertian desentralisasi tersebut sering
dikacaukan (interchangeably) dengan istilah - istilah lainnya, seperti decenralization,
devolution, deconcentration, desentralisasi politik (political decentralization),
desentralisasi administratif (adminisrative decentralization), desentralisasi teritorial
(territoriale decentralisatie), desentralisasi jabatan (ambtelijke decentralisatie),
desentralisasi fungsional, otonomi dan medebewind, dan sebagainya. Berbagai definisi
tentang desentralisasi dan otonomi telah banyak dikemukakan oleh para penulis yang
sudah barang tentu pada umumnya didasarkan pada sudut pandang yang berbeda.
Walaupun begitu, beberapa batasan perlu diajukan sebagai bahan perbandingan
dan bahasan dalam upaya menemukan pengertian yang mendasar tentang pelaksanaan
otonomi daerah sebagai manifestasi dari politik desentralisasi. Salah satu batasan tentang
desentralisasi yang sering dibahas adalah: “decentralization refers to the transfer of
authority away from the national capital whether by deconcentration (i.e. delegation) to
field offices or by devolution to local authorities or local bodies”24
Batasan ini dimaksudkan untuk menjelaskan proses penyerahan wewenang dari
pusat kepada organ di daerah melalui dua cara, yaitu melalui deconcentration atau
devolution. Kalau deconcentration melalui delegasi kekuasaan kepada pejabat -
pejabatnya di daerah, sedangkan devolution kepada badan - badan politik di daerah yang
disebut pemerintah daerah. Disini, tidak dijelaskan isi dan keluasan kewenangan tersebut
24 United Nations, Technical Assistant Progame, Decentralization for National and Local Development, Departement of Economic and Social Affair, Division for Public Administration, New York: United Nations, 1962, hlm.3.
NOVI HENDRA, S.IP 2014 30
serta konsekuensi-konsekuensi apa penyerahan itu bagi organ - organ di daerah, karena itu
adalah kompetensinya politik desentralisasi. Batasan itu lebih memfokuskan kepada
bentuk - bentuk atau macam - macam decentralization. There are two principal forms of
decentralization of governmental powers and functions are deconcentration to area
offices of administration and devolution to state and local authorities.25 Yang dimaksud
dengan area offices of administration adalah suatu perangkat wilayah yang berada di luar
kantor pusat. Kepada pejabatnya oleh departemen pusat dilimpahkan wewenang dan
tanggung jawab bidang tertentu yang bertindak sebagai perwakilan departemen pusat
untuk melaksanakan fungsi bidang tertentu yang bersifat administratif tanpa menerima
penyerahan penuh kekuasaan (final authority). Pertanggungjawaban akhir tetap berada
pada departemen pusat (the arrangement is administrative in nature and implies no
transfer of final authority from the ministry, whose responsibility continues).26Jadi, hal ini
berbeda dengan devolution, dimana sebagian kekuasaan yang diserahkan kepada badan
politik di daerah itu merupakan kekuasaan penuh untuk mengambil keputusan, baik secara
politik maupun administrasi. Sifatnya adalah penyerahan nyata berupa fungsi dan
kekuasaan, bukan hanya sekedar pelimpahan. Dengan demikian bentuk devolution
merupakan type of arrangement having a political as well as an administrative
character.27
Dalam kenyatannya memang ada dua bentuk decentralization, yaitu yang bersifat
administatif (administative decentralization) dan yang bersifat politik (political
decentralization). Desentralisasi administratif adalah suatu delegasi wewenang
pelaksanaan yang diberikan kepada pejabat pusat di tingkat lokal. Para pejabat tersebut
bekerja dalam batas - batas rencana dan sumber pembiayaan yang sudah ditentukan,
namun juga memiliki keleluasaan, kewenangan dan tanggung jawab tertentu dalam
mengembangkan kebijaksanaan pemberian jasa dan pelayanan di tingkat lokal.
Kewenangan itu bervariasi, mulai dari penetapan peraturan-peraturan yang sifatnya pro -
forma sampai kepada keputusan - keputusan yang lebih substansial. Sedangkan
desentralisasi politik, yaitu wewenang pembuatan keputusan dan kontrol tertentu terhadap
25 United Nations, Handbook of Public Administration, Current Concept and Pracice with Special Reference to Developing Countries, Department of Economics and Social Affair, New York: UN, 1961, hlm.64. 26 Ibid., hlm.64.27 Ibid.
NOVI HENDRA, S.IP 2014 31
sumber - sumber daya yang diberikan kepada badan - badan pemerintah regional dan
lokal.28
Pengertian ini lebih menekankan kepada dampak atau konsekuensi penyerahan
wewenang untuk mengambil keputusan dan kontrol oleh badan - badan otonom daerah
yang menuju kepada pemberdayaan (empowerment) kapasitas lokal. Yang perlu menjadi
perhatian disini adalah, bahwa desentralisasi, baik secara politik maupun administrasi
merupakan salah satu cara untuk mengembangkan kapasitas lokal, dimana kekuasaan dan
pengaruh cendurung bertumpu pada sumber daya. Jika suatu badan lokal diserahi
tanggung jawab dan sumber daya, kemampuan untuk mengembangkan otoritasnya akan
meningkat. Sebaliknya, jika pemerintah lokal semata - mata hanya ditugaskan untuk
mengikuti kebijakan nasional, maka para pemuka dan warga masyarakat akan mempunyai
investasi kecil saja di dalamnya.29 Akan tetapi, jika suatu unit lokal diberi kesempatan
untuk meningkatkan kekuasaannya, kekuasaan pada tingkat nasional tidak dengan
sendirinya akan menyusut. Pemerintah Pusat malah mungkin memperoleh respek dan
kepercayaan karena menyerahkan proyek dan sumber daya kepada unit lokal, dan dengan
demikian akan meningkatkan pengaruh serta legitimasinya.30
Dengan demikian, Konsep desentralisasi yang menekankan kepada salah satu cara
untuk memberdayakan kapasitas lokal, dapat didjadikan titik tolak pemikiran dalam
rangka mengembangkan penyelenggaraaan otonomi daerah di Indonesia, terutama untuk
mempengaruhi elit birokrasi dan pengambil keputusan di pusat yang nampaknya belum
sepenuh hati rela menyerahkan berbagai kewenangan dan sumber daya kepada daerah,
karena kekhawatiran timbulnya disintegrasi dalam pelaksanaan otonomi daerah, yang
sesungguhnya hal itu dikarenakan “konflik kepentingan” antara individu-individu di
Pusat dan Daerah. Kalau ada orang yang berpendapat bahwa pemberian otonomi kepada
daerah dapat menimbulkan disintegrasi dan karenanya harus diwaspadai,31 saya justru
berpendapat sebaliknya, bahwa hak - hak dan kewenangan otonomi daerah yang ditahan -
28 Bryant, Carolie dan Louise G., White, Managing Development in the Third World, terjemahan Rusyant “Manajemen Pembangunan untuk Negara Berkembang”, Jakarta: LP3ES, 1987, hlm. 213-214. 29 Ibid., hlm.215.30 Ibid., hlm.215-216.31 Midjaja, Subarda, “Pidato Pengarahan pada Pembukaan Sespanas-Seskoad, Bandung, 20 Januari 1992, dalam Ateng Syafrudin, Pendayagunaan Otonomi Daerah yang Bertitik Berat pada Daerah Tingkat II dan Implikasinya pada Manajemen Pembangunan, Makalah disajikan dalam diskusi terbatas, 5-6 September 1992, diselenggarakan oleh Pusat Penelitian Sumber Daya Manusia dan Lingkungan, Bandung: Unpad, hlm.1.
NOVI HENDRA, S.IP 2014 32
tahan, jutru akan menimbulkan “disintegrasi”, resistensi dan pembangkangan daerah
terhadap pusat, bahkan kebanyakan orang sekarang mempersoalkan kapan dan bagaimana
peletakkan otonomi pada daerah tingkat lokal itu akan dilaksanakan, bukan mepersoalkan
kekhawatiran disintegrasi.32
Sejalan dengan pendapat Bryant, Rondinelli (1988) lebih luas memaparkan konsep
decentralization dengan memberikan batasan sebagai berfikut:
“the transfer of planning, decision making, or administrative authority from the
central government to its field organizations, local adminisrative units, semi-
autonomous and parastatal organizations, local government, or non -
governmental organizations.”
Dengan batasan ini, Rondinelli membedakan 4 (empat) bentuk decentralization,
yaitu: deconcentration; delegation to semi - autonomous and parastatal agencies;
devolution to local government; and non - governmental institutions. Dengan demikian,
keempat bentuk decentralization ini merupakan species dari genus decentralization.
Menurutnya, decentralization dalam bentuk deconcentration, sebagai bentuk
pertama, pada hakekatnya hanya merupakan pembagian kewenangan dan tanggung jawab
administratif antara departemen pusat dengan pejabat pusat di lapangan. Pendapat ini tidak
berbeda dengan pendapat Bryant. Selanjutnya dikatakan bahwa kewenangan dan tanggung
jawab yang diberikan lebih banyak berupa shifting of workload from a central government
ministry or agency headquarters to its own field staff located in offices outside of the
national capital without transferring to them the authority to make decisions or to
exercise discretion in carrying them out.33 Oleh karena itu, kalau suatu sistem pemerintah
daerah yang kebijakannya lebih mengutamakan deconcentration daripada devolution,
maka sudah bisa dibayangkan tidak akan mendorong kepada pemberdayaan masyarakat
lokal, karena dalam deconcentration semua keputusan sudah ditetapkan, baik di pusat
maupun di daerah tanpa mengikutsertakan masyarakat lokal.
Bentuk yang kedua tidak akan saya bahas, saya akan lebih memfokuskan kepada
bentuk yang ketiga yang ada relevansinya atau setidaknya sebagai perbandingan dengan 32 Ateng Syafrudin, Ibid.33 Rondinelli, Dennis A, and Cheema, G. Shabbir, “Implementing Decentralization Policies: An Introduction, dalam Rondinelli, Dennis A, and Cheema, G. Shabbir, Decentralization and Development, Policy Implementation in Developing Countries, California, SAGE Publications Inc., Beverly Hills, 1988, hlm. 18-19.
NOVI HENDRA, S.IP 2014 33
kebijakan desentralisasi di Indonesia, meskipun harus tetap disesuaikan dengan prinsip -
prinsip pembagian kewenangan dan prinsip - prinsip hubungan pusat – daerah dalam
NKRI.
Bentuk ketiga dari decentralization yang lebih relevan dengan perkembangan
politik dan pemerintahan di Indonesia adalah devolution to local government.
Konsekuensi dari devolution ini, Pemerintah pusat membentuk unit - unit atau badan -
badan pemerintahan di luar pemerintah pusat dengan menyerahkan sebagian fungsi
tertentu untuk dilaksanakan secara independen (mandiri).
Ada beberapa karakteristik bentuk devolution sebagai berikut:
Pertama, unit pemerintahan bersifat otonom, mandiri (independent) dan secara
tegas terpisah dari tingkat - tingkat pemerintahan. Pemerintah pusat tidak melakukan
pengawasan langsung terhadapnya;
Kedua, unit pemerintahaan tersebut diakui mempunyai batas - batas wilayah yang
jelas dan legal, dan mempunyai wewenang untuk melakukan tugas - tugas umum
pemerintahan;
Ketiga, unit pemerintahan daerah tersebut berstatus sebagai badan hukum dan
berwenang mengelola dan memanfaatkan sumber - sumber daya untuk mendukung
pelaksanaan tugas - tugas umum pemerintahan;
Keempat, unit pemerintahan daerah tersebut diakui oleh warganya sebagai suatu
lembaga yang akan memberikan pelayanan kepada masyarakat guna memenuhi kebutuhan
mereka. Oleh karena itu, pemerintah daerah ini mempunyai pengaruh dan kewibawaan
terhadap warganya (credibility; vertrauwen);
Kelima, terdapat hubungan kesetaraan dan saling menguntungkan melalui
koordinasi antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah serta unit - unit organisasi
lainnya dalam suatu sistem pemerintahan.
Dengan memperhatikan ciri - ciri karakteristik tersebut, nampaknya ada beberapa
hal kemiripan kebijakan desentralisasi yang sedang dilancarkan di Indonesia, terutama
dalam Undang – Undang Nomor 22 Tahun 1999, namun dalam beberapa hal masih
terdapat perbedaan, misalnya kewenangan untuk mengelola dan memanfaatkan sumber
daya nasional, bagi daerah di Indonesia masih sangat terbatas. Kalau kita bandingkan
NOVI HENDRA, S.IP 2014 34
dengan sistem di Indonesia, ciri - ciri Kesatu dan Ketiga, boleh dikatakan mirip dengan
Indonesia, namun ciri yang Keempat adalah justru menjadi “tantangan” bagi pemerintah
daerah di Indonesia pada umumnya, oleh karena kita masih melihat bahwa segala
keinginan atau tuntutan masyarakat seringkali tidak diajukan kepada pemerintah daerah
setempat, melainkan langsung ke Pusat karena kurangnya “keterpercayaan” terhadap
pemerintah daerah setempat yang dipandangnya tidak bakalan dapat menyelesaikan
permasalahan di daerah. Sedangkan ciri yang Kelima, justru kita tidak memiliki
kesetaraan antara Pemerintah Pusat dan Daerah, karena prinsip desentralisasi yang dianut
dalam NKRI, bahwa kedudukan pemerintah daerah adalah “tergantung” (dependent) dan
karenanya Pemerintah Daerah berada “dibawah” (subordinated) Pemerintah Pusat,
sehingga prinsip ini tidak sejalan dengan prinsip hubungan pusat – daerah dalam NKRI.
Konsep decentralization ini didasarkan kepada adanya perhatian yang semakin
besar untuk memberikan keleluasaan decentralization dalam kewenangan perencanaan,
pengambilan keputusan dan administrasi yang pada tahun 1970-an, disebut sebagai the
second wave of decentralization, dengan didorong oleh tiga hal kekuatan sebagai berikut:
Pertama, melihat kenyataan hasil yang tidak memuaskan akibat perencanaan
pembangunan dan kontrol administrasi secara terpusat yang berjalan sekitar tahun 1950
dan 1960-an; Kedua, melihat perlunya dikembangkan cara - cara baru dalam mengelola
program dan proyek serta administrasi pembangunan yang meliputi strategi pertumbuhan
dan pemerataan yang dijalankan selama tahun 1970-an; Ketiga, melihat kenyataan
kehidupan masyarakat semakin kompleks, kegiatan pemerintahan semakin meluas,
sehingga semakin sulit untuk mencapai efisiensi dan efektifitas apabila semua
perencanaan dan kegiatan pembangunan dipusatkan pada pemerintah pusat.
Dari berbagai batasan dan pengertian yang dikemukakan diatas, ternyata
decentralization tidak berdiri sendiri, melainkan decentralization sebagai genus dan
mempunyai species yang bermacam - macam. Namun Mawhood (1987 : 9) dengan tegas
mengatakan bahwa decentralization adalah devolution of power from central to local
governments. Sementara deconcentration yang dalam hal ini oleh Mawhood telah
dipersamakan dengan administrative decentralization, didefinisikan sebagai the ransfer of
administrative responsibility from central to local government.34 Dengan demikian,
34 Diana Conyers (1984), dalam Syarif Hidayat dan Bhenyamin Hoessein, “Desentralisasi dan Otonomi Daerah: Perspektif Teoritis dan Perbandingan”, dalam Paradigma Baru Otonomi
NOVI HENDRA, S.IP 2014 35
Mawhood tidak menjadikan decentralization sebagai genus dengan species devolution dan
deconcentration, melainkan memisahkan antara decentralization dan deconcentration.
Kalau kita bandingkan dengan versi kontinental, pada prinsipnya sama
mendudukan decentralization sebagai genus dengan species yang bermacam-macam,
hanya dengan istilah yang berbeda. Menurut versi kontinental, desentralisasi digolongkan
menjadi dua, yaitu ambtelijke decentralisatie dan staatskundige decentralisatie yang
dibagi lagi menjadi territoriale decentralisatie dan functionele decentralisatie. Yang
dimaksud dengan ambtelijke decentralisatie, adalah pemberian (pemasrahan) kekuasaan
dari atas kebawah di dalam rangka kepegawaian, guna kelancaran pekerjaan semata -
mata. Sedangkan yang dimaksud dengan staatskundige decentralisatie merupakan
pemberian kekuasaan untuk mengatur bagi daerah di dalam lingkungannya guna
mewujudkan asas demokrasi pemerintahan negara, sehingga dengan demikian,
decentralisatie tsb mempunyai dua wajah, yaitu autonomie dan medebewind atau
zelfbestuur.35
Dalam hubungan ini, dapat dipahami bahwa pengertian decentralisatie sebagai
“staatskundige decentralisatie” (desentralisasi ketatanegaraan) merupakan pelimpahan
kekuasaan pemerintahan dari pusat kepada daerah - daerah untuk mengurus rumah
tangganya sendiri (daerah - daerah otonom). Desentralisasi ini adalah sistem untuk
mewujudkan asas demokrasi yang memberikan kesempatan kepada rakyat untuk ikut serta
dalam proses penyelenggaraan kekuasaan negara.
Menurut konsep ini, desentralisasi lazim dibagi dalam dua macam: Pertama,
dekonsentrasi (deconcentration) atau ambtelijke decentralisatie adalah pelimpahan
kekuasaan dari alat perlengkapan negara tingkat lebih atas kepada bawahannya guna
melancarkan pelaksanaan tugas pemerintahan. Dalam desentralisasi semacam ini rakyat
tidak diikut sertakan; Kedua, desentralisasi ketatanegaraan (staatskundige decentralisatie)
atau juga disebut “desentralisasi politik” (politieke decentralisatie) adalah pelimpahan
kekuasaan perundangan dan pemerintahan (regelende en bestuurende bevoegheid) kepada
daerah - daerah otonom di dalam lingkungannya. Di dalam desentralisasi politik atau
ketatanegaraan ini, rakyat dengan mempergunakan berbagai saluran tertentu (perwakilan)
Daerah, Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (P2P-LIPPI), 2001, hlm.24.35 Didiskusikan dalam Bagir Manan, “Hubungan antara Pusat dan Daerah berdasarkan Azas Desentralisasi Menurut UUD 1945”, Disertasi Untuk Memperoleh Gelar Doktor Dalam Ilmu Hukum pada Universitas Padjadjaran, Bandung, 1990, hlm.19.
NOVI HENDRA, S.IP 2014 36
ikut serta di dalam pemerintahan. Desentralisasi ketatanegaraan (staatskundige
decentralisatie) ini dibagi lagi menjadi dua macam: a) desentralisasi teritorial (territoriale
decentralisatie), yaitu pelimpahan kekuasaan untuk mengatur dan mengurus rumah tangga
daerah masing - masing (otonom); b) desentralisasi fungsional (functionele
decentralisatie), yaitu pelimpahan kekuasaan untuk mengatur dan mengurus sesuatu atau
beberapa kepentingan tertentu. Di dalam desentralisasi semacam ini dikehendaki agar
kepentingan - kepentingan tertentu diselenggarakan oleh golongan - golongan yang
bersangkutan sendiri. Kewajiban pemerintah dalam hubungan ini hanyalah memberikan
pengesahan atas segala sesuatu yang telah ditetapkan oleh golongan-golongan
kepentingan tersebut.36 Kedua pandangan ini membagi desentralisasi teritorial (territoriale
decentralisatie) menjadi dua macam, yaitu: otonomi (autonomie) dan medebewind atau
zelfbestuur. Otonomi berarti pengundangan sendiri (zelfwetgeving). Akan tetapi, menurut
perkembangan sejarahnya di Indonesia, otonomi itu selain berarti perundangan
(wetgeving), juga berarti pemerintahan (bestuur). Seperti dikatakan C.W. van der Pot
bahwa autonomie betekent anders dan het woord zou doen vermoeden-regeling en
bestuur van eigen zaken, van het de Grondwet noemt, eigen huishouding. Hal ini berbeda
dengan pendapat J.J. Schrieke yang mengatakan bahwa autonomie adalah eigen
meesterschap, zelfstandigheid, dan bukan onafhankelijkheid.37
Dengan diberikannya hak dan kekuasaan perundangan/ pengaturan dan
pemerintahan kepada badan - badan otonom, seperti propinsi, kotamadya dan seterusnya,
badan - badan tersebut dengan initiatifnya sendiri dapat mengurus rumah tangganya
dengan jalan mengadakan peraturan - peraturan daerah yang tidak boleh bertentangan
dengan Undang - Undang dasar atau perundang - undangan lainnya yang tingkatnya lebih
tinggi, dan dengan jalan menyelenggarakan kepentingan umum.38 Dengan demikian,
adalah kurang tepat kalau dikatakan bahwa otonomi dan medebewind (tugas pembantuan)
sebagaimana ditegaskan dalam Undang - Undang Nomor 32 Tahun 2004 adalah asas
penyelenggaraan dalam pemerintahan daerah. Undang – Undang Nomor 32 Tahun 2004
yang menyatakan otonomi adalah asas penyelenggaraan pemerintahan daerah adalah
“misleading” dan dikhawatirkan akan menyesatkan, baik ditinjau dari perspektif
36 Koesoemahatmadja, “Pengantar Ke Arah Sistem Pemerintahan Daerah di Indonesia”, Bandung: Binacipta, 1979, hlm.14.37 Ibid., hlm.15.38 Ibid., hlm.16.
NOVI HENDRA, S.IP 2014 37
akademik, maupun dari tataran operasional. Karena, otonomi adalah hak, wewenang dan
kewajiban untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat. Dengan
perkataan lain, otonomi itu merupakan manifestasi atau perwujudan kewenangan yang
diberikan (“toekennen”) oleh pemerintah pusat, sebagai konsekuensi dianutnya asas
desentralisasi teritorial (territoriale decentralisatie) sebagai suatu sistem dalam
penyelenggaraan pemerintahan negara.
Kalau dikatakan, bahwa otonomi itu bermakna kebebasan atau kemandirian
(zelfstandigheid) tetapi bukan kemerdekaan (onafhankelijkheid), maka di dalamnya
terkandung dua aspek utama, Pertama, pemberian tugas dan kewenangan untuk
menyelesaikan suatu urusan; Kedua, pemberian kepercayaan dan wewenang untuk
memikirkan dan menetapkan sendiri cara - cara penyelesaian tugas tersebut.39
Dengan demikian, otonomi dapat diartikan sebagai kesempatan untuk
menggunakan prakarsa sendiri atas segala macam nilai yang dikuasai untuk mengurus
kepentingan umum (penduduk). Kebebasan yang terbatas atau kemandirian itu merupakan
wujud pemberian kesempatan yang harus dipertanggungjawabkan.40
Kemudian mengenai medebewind atau zelfbestuur, diartikan sebagai pemberian
kemungkinan kepada pemerintah pusat/ pemerintah daerah yang tingkatannya lebih atas
untuk minta bantuan kepada pemerintah daerah/ pemerintah daerah yang tingkatannya
lebih rendah agar menyelenggarakan tugas atau urusan pemerintah pusat atau rumah
tangga (daerah yang tingkatannya lebih atas) tersebut. Istilah zelfbestuur adalah
terjemahan dari selfgovernment yang di Inggris diartikan sebagai segala kegiatan
pemerintahan di tiap bagian dari Inggris yang dilakukan oleh wakil - wakil dari yang
diperintah. Di Belanda medebewind atau zelfbestuur diartikan sebagai pembantu
penyelenggaraan kepentingan - kepentingan dari pusat atau daerah - daerah yang
tingkatannya lebih atas oleh alat - alat perlengkapan daerah yang lebih bawah. Dalam
menjalankan tugas - tugas medebewind, urusan - urusan yang diselenggarakan oleh
pemerintah daerah masih tetap merupakan urusan pusat cq daerah yang lebih atas, tidak
beralih menjadi urusan rumah tangga daerah yang dimintakan bantuan. Akan tetapi,
bagaimana cara daerah otonom yang dimintakan bantuan itu, dalam melakukan
39 Logeman, “Het Staatsrecht der Zelfregelende Gemeenschappen” dalam Ateng Syafrudin, “Pasang Surut Otonomi Daerah”, Bandung: Binacipta, 1983, hlm.23.40 Ibid, hlm. 25
NOVI HENDRA, S.IP 2014 38
bantuannya itu diserahkan sepenuhnya kepada daerah itu sendiri. Daerah otonom yang
diminta bantuan itu tidak berada di bawah perintah dari dan tidak pula dapat diminta
pertanggungjawaban oleh pemerintah pusat/ daerah yang lebih tinggi.41 Selanjutnya
dikatakan, bahwa “Jika ternyata ada daerah yang tidak menjalankan tugas bantuannya
atau tidak begitu baik melakukan tugasnya, sebagai sanksinya pemerintah pusat/ daerah
yang minta bantuan hanya dapat menghentikan perbuatan dari daerah yang dimintakan
bantuan, untuk selanjutnya dipertimbangkan tentang pelaksanaan kepentingan atasan
termaksud dengan jalan lain, dengan tidak mengurangi hak pemerintah pusat/ daerah
yang minta bantuan untuk menuntut kerugian dari daerah yang melalaikan
kewajibannya.” 42
Berbeda dengan konsep medebewind menurut versi Indonesia yang menurut
Undang - Undang Nomor 22 Tahun 1999 disebut dengan tugas pembantuan, yaitu suatu
penugasan dari pemerintah kepada daerah dan desa untuk melaksanakan tugas tertentu,
disertai dengan pembiayaan, sarana dan prasarana serta sumber daya manusia, dengan
kewajiban melaporkan pelaksanaannya dan mempertanggungjawabkan kepada yang
menugaskan. Jadi, antara yang menugaskan (pemerintah pusat) dan yang ditugaskan ada
hubungan sub - ordinasi, karena yang ditugaskan berkewajiban untuk melaporkan dan
mempertanggungjawabkannya. Pengertian tugas pembantuan versi Undang – Undang
Nomor 22 Tahun 1999 menurut pandangan saya adalah keliru, karena kalau itu
rumusannya berarti “dekonsentrasi” bukan tugas pembantuan, karena dalam konsep itu
pembiayaan, sarana dan prasarana, serta sumber daya manusia, semuanya disediakan oleh
pemerintah pusat. Padahal, di dalam konsep tugas pembantuan yang perlu disediakan oleh
pemerintah pusat adalah hanya pembiayaan, sedangkan peralatan dan personil justru
merupakan kewajiban pemerintah daerah dalam upaya membantu pelaksanaan tugas
tertentu dari pemerintah pusat atau pem erintah daerah yang lebih tinggi tingkatannya.
Dengan menyimak berbagai batasan dan pengertian desentralisasi seperti diuraikan
diatas, saya dapat menyimpulkan bahwa sebagian besar melihat karena kecendurungan
sentralisasi dalam penyelenggaraan pemerintahan negara, maka dilancarkan ide
desentralisasi dengan berbagai corak dan bentuknya. Seperti ditegaskan dalam tulisan
Syarif Hidayat (2001 : 27-28) bahwa secara prinsipal, dapat dikatakan bahwa lahirnya ide
41 Koesoemahatmadja, op.cit., hlm.21.42 Ibid., hlm.21-22
NOVI HENDRA, S.IP 2014 39
desentralisasi merupakan sebuah “anti - thesa” dari sentralisasi.43 Padahal, seperti telah
disinggung dimuka, bahwa desentralisasi bukan merupakan sistem yang berdiri sendiri,
melainkan merupakan rangkaian kesatuan dari suatu sistem yang lebih besar, yaitu negara
bangsa (nation state). Dengan perkataan lain, walaupun suatu negara bangsa menganut
asas desentralisasi, namun tidak semua urusan kewenangan diserahkan kepada daerah
otonom, melainkan ada bagian - bagian urusan tertentu yang tetap dikelola secara sentral
(terpusat). Karenanya, menurut pandangan saya suatu negara bangsa menganut
desentralisasi bukan merupakan alternatif dari sentralisasi, karena antara desentralisasi
dan sentralisasi tidak dilawankan dan karenanya tidak bersifat dikotomis, melainkan
merupakan sub - sub sistem dalam kerangka sistem organisasi negara.44 Karenanya pula,
suatu negara bangsa merupakan genusnya, sedangkan sentralisasi, desentralisasi,
dekonsentrasi dan tugas pembantuan merupakan speciesnya. Masalahnya, bagaimana
mencari keseimbangan diantara species tersebut.
Sejarah ketatanegaraan Indonesia mencatat upaya yang terus-menerus mencari
“titik - keseimbangan” yang tepat dalam meletakkan bobot desentralisasi dan sentralisasi.
Terjadi pergeseran antara “dua kutub nilai”, yaitu “nilai pembangunan bangsa dan
integritas nasional” disatu pihak yang menekankan pentingnya “sentralisasi”, sehingga
akan mewujudkan nilai dan bentuk “sentripetal”, dan dilain pihak menekankan “nilai
desentralisasi dan otonomi daerah” yang akan melahirkan nilai dan bentuk “sentrifugal”,
dan pergeseran kedua nilai ini terus - menerus menjadi dilema. Respons juridis - formal
terhadap dilemma ini bervariasi dari waktu ke waktu, tergantung kepada konfigurasi -
politik pada suatu waktu45.
5. EVALUASI PELAKSANAAN UNDANG – UNDANG NOMOR 22 TAHUN
1999.
43 Syarif Hidayat dan Bhenyamin Hoessein, op.cit., hlm.27-28. 44 E. Koswara, “Otonomi Daerah, Untuk Demokrasi dan Kemandirian Rakyat”, Jakarta: Yayasan Pariba, 2001, hlm. 47.45 Moeljarto, T., “Politik Pembangunan, Sebuah Analisis, Konsep, Arah, dan Strategi”, Yogyakarta: PT. Tiara Wacana, 1987, hlm.
NOVI HENDRA, S.IP 2014 40
5.1. Pemikiran dasar terbentuknya Undang – Undang Nomor 22 Tahun 1999.
Melihat perspektif Undang – Undang Nomor 22 Tahun 1999, setidaknya ada enam
pemikiran dasar dalam pembentukan Undang – Undang Nomor 22 Tahun 1999: Pertama,
sebagai upaya mewujudkan landasan hukum yang kuat bagi penyelenggaraaan otonomi
daerah dalam rangka penetapan kebijakan desentralisasi dengan memberikan keleluasaan
kepada daerah untuk menjadikan “daerah otonom” yang mandiri dalam naungan sistem
pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia; Kedua, pemberian keleluasaan yang
pada hakekatnya diberikan kepada masyarakat daerah sebagai kesatuan masyarakat
hukum, dilaksanakan atas dasar prinsip-prinsip demokrasi, peranserta dan oto - aktivitas
masyarakat, pemerataan dan keadilan, serta memperhatikan heteroginitas daerah dan
perbedaan setempat; Ketiga, memberdayakan peran dan fungsi Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah, baik sebagai badan legislative daerah, maupun sebagai badan pengawas atas
pelaksanaan kebijakan daerah yang dijalankan oleh Kepala Daerah, serta penyalur
aspirasi masyarakat sebagai sarana pengembangan demokrasi, dalam rangka menjalankan
prinsi - prinsip partisipasi dan transparansi; Keempat, memantapkan hubungan antara
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan Kepala Daerah, terutama dalam perwujudan
akuntabilitas publik yang mendudukan Kepala Daerah bertanggung jawab kepada Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah, dalam rangka membangun prinsip keterpercayaan
(akseptabilitas dan kredibilitas), serta meletakkan hubungan kemitraan dan kesejajaran
institutional antara Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dengan Kepala Daerah, dengan
tujuan untuk menciptakan kerjasama yang erat antara kedua institusi tersebut, menjaga
dan memelihara stabilitas pemerintahan untuk kepentingan dan kesejahteraan rakyat;
Kelima, untuk mendudukan kembali posisi “Desa” atau dengan nama lain, sebagai
kesatuan masyarakat hukum terrendah, yang memiliki hak asal - usul dan otonomi asli,
yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik
Indonesia; Keenam, untuk mengantisipasi perkembangan keadaan, baik di dalam negeri,
maupun tantangan persaingan global, yang mau tidak mau pengaruhnya akan sangat
dirasakan oleh daerah - daerah.
Dari keenam pemikiran dasar tersebut secara signifikan dan potensial telah
tertampung dijalankannya prinsip - prinsip Good Governance.
NOVI HENDRA, S.IP 2014 41
Sejalan dengan dasar pemikiran tersebut diatas, Undang – Undang Nomor 22
Tahun 1999 semangatnya mengandung prinsip-prinsip dasar penyelenggaraan otonomi
daerah sebagai berikut:
1) Penyelenggaraan Otonomi Daerah dilaksanakan dengan memperhatikan aspek
demokrasi, keadilan, pemerataan serta potensi dan keanekaragaman Daerah;
2) Pelaksanaan Otonomi Daerah didasarkan pada otonomi yang luas, nyata dan
bertanggung jawab;
3) Pelaksanaan Otonomi Daerah yang luas dan utuh diletakkan pada Daerah Kabupaten
dan Daerah Kota, sedang Otonomi Daerah Propinsi merupakan otonomi yang terbatas;
4) Pelaksanaan Otonomi Daerah harus sesuai dengan konstitusi negara, sehingga tetap
terjamin hubungan yang serasi antara Pusat dan Daerah, serta antar -Daerah;
5) Pelaksanaan Otonomi Daerah harus lebih meningkatkan kemandirian Daerah Otonom,
dan karenanya dalam Daerah Kabupaten dan Daerah Kota tidak ada lagi Wilayah
Administrasi, sehingga asas dekonsentrasi dalam lingkungan Daerah Kabupaten dan
Daerah Kota tidak dianut lagi.
6) Pada kawasan-kawasan khusus yang dibina oleh Pemerintah atau pihak lain, seperti
badan otorita, kawasan pelabuhan, kawasan perumahan, kawasaan industri, kawasan
perkebunan, kawasan pertambangan, kawasan kehutanan, kawasan perkotaan baru,
kawasan pariwisata dan semacamnya, berlaku ketentuan Peraturan Daerah Otonom;
7) Pelaksanaan otonomi daerah harus lebih meningkatkan peranan dan fungsi badan
legislative daerah, baik sebagai fungsi legislasi, fungsi pengawasan maupun fungsi
anggaran atas penyelenggaraan Pemerintah Daerah;
8) Pelaksanaan asas dekonsentrasi diletakkan pada Daerah Provinsi dalam kedudukannya
sebagai Wilayah Administrasi untuk melaksanakan kewenangan pemerintahan tertentu
yang dilimpahkan kepada Gubernur sebagai Wakil Pemerintah.
9) Pelaksanaan asas tugas pembantuan dimungkinkan, tidak hanya dari Pemerintah
kepada Daerah, tetapi juga dari Pemerintah dan Daerah kepada Desa dengan disertai
pembiayaan, sarana dan prasarana serta sumber daya manusia, dengan kewajiban
melaporkan pelaksanaan dan mempertanggungjawabkan kepada yang menugaskannya.
Dari prinsip - prinsip dasar penyelenggaraan otonomi daerah tersebut di atas, dapat
disimpulkan bahwa ada “keinginan politik” (“political will”) yang kuat dari Pemerintah
NOVI HENDRA, S.IP 2014 42
Pusat untuk menggeser pendulum pembagian kekuasaan antara Pusat dan Daerah yang
semula sangat sentralistik dan bercorak “centripetal” menjadi desentralistik yang
bersifat “centrifugal”. Jadi, berbeda dengan Undang – Undang Nomor 5 Tahun 1974 yang
lebih cendurung menganut “The Structural Efficiency Model”, Undang – Undang Nomor
22 Tahun 1999 ini lebih condong menganut kepada “The Local Democratic Model”, yang
ditinjau dari segi tujuannya atau valuesnya, model ini lebih menekankan kepada aspek -
aspek demokrasi, perbedaan setempat dan keanekaragaman daerah (“democratic, local
differences and system diversity). Walaupun kebijakan desentralisasi yang tertuang dalam
Undang – Undang Nomor 22 Tahun 1999 ini telah melahirkan pemberian otonomi yang
luas, nyata dan bertanggung jawab, yang pada dasarnya untuk terwujudnya kemandirian
daerah, (dalam pengertian independent; self-determination; onafhankelijkheid;
kemerdekaan atau ketidak tergantungan), terutama bagi Daerah Kabupaten dan Daerah
Kota, namun posisi kemandirian daerah otonom seperti itu tidak berarti bahwa Daerah-
daerah itu akan berkotak - kotak, terlepas dan bebas dari supervisi, pengendalian,
pembinaan dan pengawasan pemerintah pusat, melainkan keleluasaan otonomi yang
diberikan kepada Daerah ini, tetap merupakan sub - sistem dan sub - ordinasi dari
Pemerintahan nasional, dan karenanya harus terjamin bahwa pelaksanaan otonomi daerah
itu tidak keluar dari rambu - rambu dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Salah satu konstruksi untuk menjaga dan menjamin penyelenggaraan otonomi
daerah yang demikian itu, adalah dengan mendjadikan daerah Provinsi sekaligus sebagai
Wilayah Administrasi, dan dengan mendudukkan Gubernur sebagai Wakil Pemerintah
Pusat yang berperan untuk menjaga keseimbangan dan memelihara hubungan yang serasi
antara Pusat dan Daerah dalam kerangka NKRI, memberikan pengendalian, bimbingan
dan fasilitasi kepada daerah kabupaten/ kota yang berada dalam wilayah administrasi
provinsi yang bersangkutan. Dalam pada itu, perlu ditekankan bahwa dengan
mendudukkan Gubernur sebagai Wakil Pemerintah menurut Undang – Undang Nomor 32
Tahun 2004, bukan berarti kembali kepada paradigma lama seperti dalam Undang –
Undang Nomor 5 Tahun 1974 dimana Gubernur berperan kuat sebagai “interventionist”.
Dalam hubungan ini, hendaknya dijaga benar - benar agar gerakan pergeseran
pendulum tersebut, baik dalam memahami pasal - pasal Undang - Undang Nomor 22
Tahun 1999 c.q Undang – Undang Nomor 32 Tahun 2004 tersebut, maupun dalam
NOVI HENDRA, S.IP 2014 43
implementasinya tidak menimbulkan interpretasi yang berbeda - beda dan mengarah
kepada sikap dan tindakan yang akan membahayakan kesatuan dan persatuan bangsa.
Oleh karena itu, sikap emosional dan tuntutan yang berlebih - lebihan dan kurang
proporsional dari Daerah, demikian pula sikap dan perilaku birokrasi pusat yang enggan
untuk bergeser dari paradigma lama dalam memperlakukan pembagian kewenangan pusat
kepada daerah, sebaiknya sejauh mungkin dieliminir, sebab kalau tidak, hal tersebut bukan
saja akan mengaburkan makna persatuan dan kesatuan bangsa, melainkan pula akan
mengaburkan makna pemberian otonomi yang luas, nyata dan bertanggungjawab, yang
justru dimaksudkan untuk memperkuat integrasi, persatuan dan kesatuan bangsa,
pengembangan demokrasi, bahkan menurut perspektif Undang – Undang Nomor 32
Tahun 2004 sebagai pengganti Undang – Undang Nomor 22 Tahun 1999 diupayakan
untuk mewujudkan peningkatan “daya saing daerah”, yang pada akhirnya ditujukan untuk
peningkatan kesejahteraan rakyat, pemerataan dan keadilan.
Ini prinsip transparansi yang harus dijaga benar dalam penyelenggaraaan
pemerintahan daerah, agar tidak menyimpang dari upaya mewujudkan Good Governance.
5.2. Realisasi Undang – Undang Nomor 22 Tahun 1999.
Realisasi Undang - Undang Nomor 22 Tahun 1999 tidak serta merta berjalan
mulus seperti yang diharapkan, melainkan terdapat benturan - benturan baik yuridis,
politik, maupun psikologis serta sosio - kultural yang menghambat jalannya pelaksanaan
otonomi daerah.
Pelaksanaan kebijakan desentralisasi berdasarkan Undang – Undang Nomor 22
Tahun 1999 telah berlangsung sejak Januari 2001 dengan tahapan-tahapan yang prosesnya
sudah ditetapkan secara makro, yaitu: Pertama, Tahapan inisisasi yang dilakukan selama
tahun 2001; Kedua, Tahapan instalasi, yang diproyeksikan akan berlangsung dalam tahun
2002-2003; ketiga, Tahapan konsolidasi, yang diproyeksikan tahun 2004–2007, dan
terakhir Keempat, Tahapan stabilisasi, dimana setelah tahun 2007 diharapkan lay-out atau
NOVI HENDRA, S.IP 2014 44
bentangan daerah otonom secara lebih nyata dapat dilihat di seluruh wilayah daerah
otonom di Indonesia.
Amanat UU 22/1999 menyebutkan bahwa selama dua tahun diproyeksikan
persiapan segala peraturan perundangan organik Undang – Undang Nomor 22 Tahun
1999, sehingga secara efektif pelaksanaan otonomi daerah menurut semangat Undang
Undang – Undang Nomor 22 Tahun 1999 akan dimulai pada Mei 2001. Namun,
mengingat kebijakan tentang tahun fiskal yang baru, yaitu mulai Januari sampai
Desember, maka pelaksanaan otonomi daerah secara formal menurut Undang – Undang
Nomor 22 Tahun 1999 dimulai Januari 2001.
Dengan melihat hasil evaluasi seperti itu, walaupun secara teoritis pada dasarnya
implementasi otonomi daerah seharusnya sudah dapat berlangsung di daerah, namun
dalam praktiknya, masih timbul persoalan - persoalan yang mengemuka di lapangan,
antara lain:
(1) Menyangkut pengaturan prinsip-prinsip dasar dan distribusi kewenangan diantara
tingkat - tingkat pemerintahan, dimana Undang – Undang Nomor 22 Tahun 1999
tidak secara tegas mengatur kewenangan Propinsi dan Kabupaten/ Kota, dan
Departemen - departemen Sektoral.
(2) Ketentuan yang menyatakan tidak adanya hubungan hierarki46 antara Propinsi dan
Kabupaten/Kota, hampir selama k.l. 4 tahun berjalan dalam praktik memunculkan
hubungan yang kurang harmonis antara Gubernur dan Bupati/Walikota di beberapa
kasus tertentu. Kedudukan Gubernur sebagai Wakil Pemerintah kurang berfungsi,
karena ketidak tegasan meletakkan fungsi dan kewenangan Gubernur dalam Undang
– Undang Nomor 22 Tahun 1999, baik dalam rangka dekonsentrasi, maupun selaku
Wakil Pemerintah.
(3) Hubungan DPRD dengan Kepala Daerah yang sering menimbulkan ketegangan,
karena Laporan Pertanggungjawaban Akhir Tahun Angggaran hanya dilihat semata -
mata sebagai wahana untuk menjatuhkan Kepala Daerah, atau sebagai ruang yang
46 Dalam UU yang baru (UU 32/2004) ketentuan mengenai “tidak adanya hubungan hierarkhis” sudah dihapus.
NOVI HENDRA, S.IP 2014 45
potensial untuk mengadakan kolusi antara DPRD dengan Kepala Daerah, sesuai
kehendaknya masing - masing.
(4) Demikian pula, dengan diletakannya otonomi daerah pada Daerah Kabupaten/ Kota
dan diberikan otonomi yang luas sebagaimana dinyatakan dalam pasal 7 Undang –
Undang Nomor 22 Tahun 1999, dapat ditafsirkan bahwa semua kewenangan
pemerintahan diluar yang dikecualikan, dipandang sepenuhnya menjadi kewenangan
daerah, tanpa melihat sifat dan coraknya serta ruang lingkup urusan pemerintahan di
Daerah.
(5) Belum sinkronnya peraturan perundang - undangan Sektoral yang belum disesuaikan
dengan Undang – Undang Nomor 22 Tahun 1999, menambah rumitnya hubungan
kewenangan antara pusat dan daerah. Inilah salah satu alasan yang menjadi kritikan
Remy Proud’homme (1998: 2)47 yang antara lain menyatakan bahwa memberikan
desentralisasi yang luas kepada daerah “can increase disparities”, disamping
menyebutkan bahwa decentralization can undermine efficiency, jeopardize stability
and might be accompanied by more corruption.
Persoalan tersebut muncul, disamping karena penafsiran terhadap pasal-pasal
Undang – Undang Nomor 22 Tahun 1999 tersebut diartikan secara “letterlijk” dan dengan
berbagai persepsi yang bermacam - macam, juga karena Undang – Undang Nomor 22
Tahun 1999 diluncurkan dan diberlakukan begitu saja, tanpa ada sosialisasi dan
diseminasi terlebih dahulu, tanpa ada guide - lines dan rambu - rambu yang mestinya jadi
acuan bagi pelaksanaan UU tersebut, baik bagi perangkat pemerintah daerah maupun bagi
perangkat pemerintah pusat. Padahal Presiden menurut UUD (Pasal 5, ayat 2) mempunyai
kewenangan untuk mengeluarkan PP tentang mulai diberlakukannya suatu Undang -
Undang, sebelum peraturan pelaksananaan (peraturan organik) dikeluarkan, sehingga PP
tersebut merupakan “umbrella” yang memuat guide - lines sebagai acuan, baik dalam hal
menafsirkan sesuatu pasal maupun rambu - rambu bagi pelaksanaan secara operasional di
lapangan. Sebab, banyak penjelasan Pasal - pasal dalam Undang – Undang Nomor 22
Tahun 1999 yang tidak jelas, meskipun dalam penjelasannya disebutkan “cukup jelas”.
47 Remy Prud’homme, “The Dangers of Decentralizartion”, 1998, dalam E. Koswara, “Teori Pemerintahan Daerah, IIP Press, Jakarta, 2003, hlm. 202, 208, dan 218.
NOVI HENDRA, S.IP 2014 46
(6) Isu lain yang menonjol adalah menyangkut kedudukan dan peran Gubernur, baik
sebagai Kepala Daerah Otonom Propinsi, maupun dan terutama dalam
kedudukannya sebagai Wakil Pemerintah dalam kaitannya dengan pelaksanaan
asas dekonsentrasi tidak jelas dan tidak secara eksplisit menggambarkan lingkup
dekonsentrasi di Propinsi. Walaupun Undang – Undang Nomor 22 Tahun 1999
menyatakan secara eksplisit bahwa Daerah Propinsi berkedudukan juga sebagai
Wilayah Administrasi, namun tidak jelas apakah dengan demikian kedudukan
Gubernur juga sebagai Kepala Wilayah, atau dalam kedudukan selaku Wakil
Pemerintah apakah Gubernur juga sebagai Kepala Wilayah? Dalam penjelasan Pasal
2 ayat (2) Undang – Undang Nomor 22 Tahun 1999 hanya menyatakan bahwa yang
dimaksud dengan Wilayah Administrasi adalah “daerah administrasi” menurut
Undang - Undang Dasar 1945. Di dalam UUD 1945, penjelasan Pasal 18 (lama),
bahwa Daerah - daerah itu bersifat autonom (Streek en locale
rechtsgemeenschappen) atau bersifat administrative belaka. Lazimnya “daerah
administrasi” yang menganut “Split model” yang dikepalai oleh seorang Kepala
Wilayah.
(7) Demikian pula kewenangan dekonsentrasi bagi instansi vertikal tidak dengan tegas
dinyatakan bahwa instansi vertikal adalah perangkat Departemen dan/atau Lembaga
Pemerintah Non - Departemen (LPND) yang mempunyai tugas dan kewenangan
khusus (Sektoral/ Teknis; dekonsentrasi fungsional) di wilayah dalam yurisdiksi
tertentu sebagai “lingkungan kerjanya”, dan tidak hanya berkoordinasi dengan
Gubernur, melainkan kedudukannya berada di bawah dan bertanggungjawab kepada
Gubernur selaku wakil pemerintah (dalam konteks “Integrated Perfectoral
System”).
Dalam kedudukan sebagai “Wakil Pemerintah” menurut Undang - Undang yang
baru, yaitu Undang – Undang Nomor 32 Tahun 2004, tugas dan wewenang Gubernur
lebih tegas, walaupun hanya terbatas kepada 3 (tiga) hal sebagai berikut:
(a) Pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan pemerintahan daerah kabupaten/ kota;
(b) Koordinasi penyelenggaraan urusan Pemerintah di daerah provinsi dan kabupaten/
kota;
NOVI HENDRA, S.IP 2014 47
(c) Koordinasi pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan tugas pembantuan di
daerah provinsi dan kabupaten/ kota.
Tugas - tugas “dekonsentrasi” sebagaimana termaksud dalam Pasal 63 Undang –
Undang Nomor 22 Tahun 1999 dan PP 39 Tahun 2003 sama sekali tidak disinggung lagi
dalam Undang – Undang yang baru (Undang – Undang Nomor 32 Tahun 2004).
Menyangkut penyelenggaraan dekonsentrasi, menurut pasal 63 Undang – Undang
Nomor 22 Tahun 1999 pelaksanaannya dilakukan oleh dinas - dinas daerah propinsi.
Ketentuan itu tidak tepat dan menimbulkan masalah serta bertentangan dengan konsep
dekonsentrasi itu sendiri, sebab kalau kewenangan pemerintah pusat dilaksanakan oleh
perangkat daerah otonom adalah tugas pembantuan, dan bukan dekonsentrasi. Dalam
pada itu, dinas - dinas daerah propinsi berada di bawah dan bertanggung jawab kepada
Gubernur selaku Kepala Daerah Otonom Propinsi, yang selanjutnya pelaksanaan tugas -
tugas tersebut dipertanggungjawabkan kepada DPRD, sedangkan tugas - tugas
dekonsentrasi tidak dipertanggungjawabkan kepada DPRD, melainkan dipertanggung -
jawabkan oleh Gubernur sebagai Wakil Pemerintah kepada Presiden, sehingga akan
timbul tumpang - tindih pertanggungjawaban kepada Presiden dan DPRD. Dalam
hubungan dengan penyelenggaraan dekonsentrasi, meskipun PP 39/2001 tentang
penyelenggaraan dekonsentrasi merupakan tindak lanjut dan peraturan organik dari
Undang – Undang Nomor 22 Tahun 1999, terutama Pasal 8 ayat (2), Pasal 9 ayat (3) dan
Pasal 12, namun disana - sini masih menimbulkan kerancuan untuk dapat secara otomatis
dijalankan oleh Gubernur selaku Wakil Pemerintah, terutama menyangkut “Tata Cara
Pelimpahan Wewenang dan Penyelenggaraan Kewenangan”, misalnya saja disebutkan
bahwa pelimpahan sebagian kewenangan kepada Gubernur “mesti ditetapkan dengan
Keputusan Presiden”, yang semestinya melekat pada Undang – Undang Nomor 22 Tahun
1999. Mudah - mudahan peraturan pelaksanaan Undang – Undang Nomor 32 Tahun 2004
nanti, akan mengadakan penyesuaian terhadap kelemah - kelamahan yang terdapat dalam
Undang – Undang Nomor 22 Tahun 1999.
Demikian pula, ketentuan Pasal 4 ayat (2) Undang – Undang Nomor 22 Tahun
1999 yang menyatakan bahwa daerah-daerah Provinsi, Kabupaten dan Kota masing-
masing berdiri sendiri dan tidak mempunyai hubungan hierarkhi satu sama lain, yang
ternyata membawa dampak politis - psikologis yang tidak menguntungkan menyangkut
NOVI HENDRA, S.IP 2014 48
hubungan antara Gubernur dan Bupati/ Walikota, dalam Undang – Undang Nomor 32
Tahun 2004 tidak tercantum lagi, sehinga penyelenggaraan manajemen pemerintahan di
daerah akan lebih efektif dan efisien, yang pada gilirannya fungsi dan peranan Gubernur
yang diharapkan akan menjadi koordinator, penyeimbang, penyelaras, dan pemersatu
bangsa, benar - benar secara operasional dapat diselenggarakan secara baik.
Sebagai Wakil Pemerintah di Daerah dalam konteks “Integrated Prefectoral
System”, Gubernur memang seharusnya mempunyai kewenangan untuk
mengkoordinasikan, mengawasi, melakukan supervisi dan memfasilitasi, agar Daerah
mampu menjalankan otonominya secara optimal. Sebab, dengan tidak adanya ketegasan
pengaturan mengenai tugas dan kewenangan Gubernur sebagai Wakil Pemerintah,
terutama dalam menjalankan “Tutelage Power”, yaitu menjalankan kewenangan Pusat
untuk menjaga dan memelihara agar kebijakan dan jalannya penyelenggaraan
pemerintahan Daerah Kabupaten/ Kota tidak menyimpang dan tidak bertentangan dengan
kepentingan umum, kepentingan nasional ataupun peraturan perundang - undangan yang
lebih tinggi, maka dikhawatirkan akan menimbulkan permasalahan yang kompleks dalam
kaitan dengan mensinergikan kepentingan antar tingkat pemerintahan sebagai suatu
kesatuan sistem dalam Negara Kesatuan RI, yang pada gilirannya bukan saja akan
mengganggu penyelenggaraan prinsip - prinsip manajemen pemerintahan yang efektif,
melainkan juga akan merapuhkan persatuan dan kesatuan bangsa dalam Negara Kesatuan
Republik Indonesia.
5.3. Beberapa pertimbangan perlunya perubahan Undang – Undang Nomor 22
Tahun 1999.
Dengan melihat hasil evaluasi terhadap Undang – Undang Nomor 22 Tahun 1999
dan pelaksanaannya telah mendorong perlunya penyempurnaan Undang – Undang Nomor
22 Tahun 1999, baik ditinjau dari perspektif Konsep, Instrumen, maupun Inplementasi.
Adapun beberapa pertimbangan yang melatar - belakangi mengapa Undang –
Undang Nomor 22 Tahun 1999 perlu dirubah atau diganti, terutama menyangkut
perundang - undangan normatif, diantaranya adalah sebagai berikut:
NOVI HENDRA, S.IP 2014 49
a. Dari perspektif perundang-undangan.
(1) UUD 1945 telah diamandemen, terutama pasal-pasal yang terkait langsung dengan
Sistem Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, yaitu: Pasal - pasal 1, 5, 18, 18A, 18B, 20,
21, 22D, 23E ayat 24 ayat (1), 31 ayat (1), 33 dan 34.
(2). Beberapa Ketetapan MPR yang berkaitan dengan pemerintahan daerah, yaitu: (1)
Ketetapan MPR No. XV?MPR/1988; (2) Ketetapan MPR No. IV/MPR/1999; (3)
Ketetapan MPR No. IV/MPR/2000; (4) Ketetapan MPR No. VI/MPR?2002; (5) Ketetapan
MPR No. I/MPR/2003; (6) Keputusan MPR No. 5/MPR/2003.
(3) Perlunya penyerasian dan penyelarasan dengan Undang - undang lainnya, yang erat
kaitannya dengan penyelenggaraan sistem pemerintahan daerah, diantaranya: (1) Undang
– Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas
dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme; (2) Undang – Undang Nomor 17 Tahun 2003
tentang Keuangan Negara; (3) Undang – Undang Nomor 22 Tahun 2003 tentang Susunan
dan Kedudukan MPR, DPR, DPD dan DPRD; (4) Undang – Undang Nomor 23 Tahun
2003 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden; (5) Undang – Undang
Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara; (6) Undang – Undang Nomor 10
Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang - undangan; (7) Undang – Undang
Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggungjawab Keuangan
Negara; (8) Undang – Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan
Pembangunan Nasional.
b. Dari perspektif Konsep.
Undang – Undang Nomor 22 Tahun 1999 telah memberi kuasa kepada Pemerintah untuk
mengatur tindak lanjut kebijakan desentralisasi, namun tanpa diberikan rambu - rambu
yang jelas, sehingga menimbulkan peluang munculnya kebijakan yang tidak mendorong
otonomi daerah. Penyusunan pengaturan perundang - undnagan sebagai tindak lanjut
penyesuaian dengan Undang – Undang Nomor 22 Tahun 1999 belum dapat dilakukan
sepenuhnya, sehingga banyak daerah mengambil prakarsa sendiri dalam membuat
peraturan daerah dengan wewenang yang diberikan TAP MPR No. IV/2000. Dalam pada
NOVI HENDRA, S.IP 2014 50
itu, belum sinkronnya berbagai peraturan perundang - undangan, baik yang diterbitkan
Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah, sehingga sering menimbulkan penafsiran
yang berbeda.
c. Dari perspektif Instrumen.
Undang – Undang Nomor 22 Tahun 1999 memberi kuasa kepada pemerintah untuk
mengatur tindak lanjut kebijakan desentralisasi tanpa diberikan rambu - rambu,
sehingga menimbulkan peluang munculnya kebijakan yang tidak mendorong
terselenggaranya otonomi daerah secara transparan atau terdapat peraturan organik
yang menyimpang dari esensi UU pokoknya;
Penyusunan peraturan perundang - undangan sebagai tindak lanjut penyesuaian
dengan Undang – Undang Nomor 22 Tahun 1999 belum dapat dilakukan sepenuhnya,
sehingga daerah berprakarsa membuat pengaturan sendiri dengan wewenang yang
diberikan Tap MPR IV/2000;
Belum harmonisnya berbagai peraturan perundang - undangan, baik yang diterbitkan
pemerintah maupun daerah, sehingga sering menimbulkan konflik dan penafsiran yang
berbeda.
d. Dari perspektif Implementasi.
Dalam pengelolaan kewenangan sering memunculkan friksi, ovelapping,
redundent dan conflict of interest antar tingkat pemerintahan, sehingga cendurung
mengurangi dan mengganggu pelayanan umum. Karena pemberian otonomi yang luas
yang tidak terkendali, pembentukan lembaga pemerintahan daerah sering kurang
memperhatikan atau kurang berorientasi kepada peningkatan pelayanan masyarakat,
sehingga terjadi pembengkakan struktur yang tidak effisien. Sistem pengelolaan
kepegawaian yang didasarkan kepada separated system menimbulkan ekses - ekses
ethnosentrisme dan terbatasnya mobilitas pegawai dalam pengembangan karier;
penetapan APBD lebih banyak berorientasi kepada menutup untuk keperluan aparat
daerah dan DPRD daripada untuk keperluan pelayanan publik.
NOVI HENDRA, S.IP 2014 51
Dalam pada itu, hubungan kemitra - sejajaran antara DPRD dan Kepala Daerah,
secara operasional kurang berjalan dengan baik, karena dalam prakteknya DPRD sering
mendominasi Kepala Daerah, misalnya dalam Laporan Pertanggungjawaban Kepala
Daerah kepada DPRD sering dipergunakan sebagai ajang politik untuk menjatuhkan
Kepala Daerah dan bukan untuk menilai performance Kepala Daerah menurut ukuran
Renstra, atau bahkan sering dijadikan ajang “politik uang” dalam penerimaan atau
penolakan LPJ tersebut. Kerjasama antara DPRD dan Kepala Daerah yang mestinya
diarahkan untuk kepentingan kesejahteraan rakyat, dalam praktek sering dijadikan sebagai
praktek “kolusi” atau pertentangan kepentingan yang berlarut - larut yang sudah barang
tentu akan menimbulkan “ketidak stabilan” dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah,
yang pada gilirannya membawa dampak penurunan terhadap pelayanan masyarakat.
Timbulnya kebijakan sektoral di daerah yang tidak sejalan dengan semangat
otonomi daerah, akibat belum memadainya pedoman yang diperlukan dan adanya
berbagai perundang - undangan sektoral yang belum disesuaikan, sebagai tindak lanjut
Pasal 112 dan 133 Undang – Undang Nomor 22 Tahun 1999, adalah juga yang mendorong
perlunya penyempurnaan Undang – Undang Nomor 22 Tahun 1999.
e. Pengaruh Lingkungan strategis.
Disamping itu, yang menjadi pertimbangan lainnya adalah pengaruh lingkungan
strategis, seperti globalisasi ekonomi dan perdagangan bebas menuntut efisiensi dan daya
saing masyarakat, bangsa dan negara yang lebih tinggi, sehingga memerlukan arahan yang
jelas sebagai kebijakan pemerintah yang perlu dituangkan dalam undang - undang.
Demikian pula, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sangat pesat
merupakan tantangan untuk menyesuaikan sistem dan prosedur manajemen pemerintahan
daerah, misalnya peletakan dasar sistem informasi manajemen dalam segala bidang.
f. Demokratisasi dan Hak Asasi Manusia.
Pertimbangan lain, bahwa perkembangan tuntutan demokratisasi dan Hak Azasi
Manusia (HAM) yang semakin menonjol dalam berbagai aspek kehidupan, memerlukan
NOVI HENDRA, S.IP 2014 52
landasan peran serta dan mekanisme penyaluran aspirasi masyarakat, serta perlunya
kepastian hukum terhadap persamaan kedudukan seluruh warga negara.
5.4. Paradigma baru pembagian urusan pemerintahan
5.4.1.Peletakkan Otonomi Daerah dan pembagian urusan yang bersifat Concurrent.
Mengenai strategi hubungan kekuasaan antara pusat dan daerah, kalau Undang –
Undang Nomor 22 Tahun 1999 dengan tegas menyatakan bahwa letak otonomi adalah
pada Daerah Kabupaten/Kota dalam memfungsikan pelayanan kepada masyarakat, dimana
dalam strata pemerintahan daerah, kabupaten/ kota merupakan pemerintahan daerah yang
paling dekat kepada masyarakat, sedangkan dalam Undang – Undang Nomor 32 Tahun
2004 tidak dengan tegas menyatakan tentang letak atau titik - berat otonomi itu diletakkan,
sebab baik Daerah Provinsi maupun Daerah Kabupaten/ Kota mempunyai kedudukan
yang sama sebagai Daerah Otonom.
Kenapa letak otonomi tidak dinyatakan dengan tegas, karena paradigma yang
dianutnya adalah konsep “pembagian urusan pemerintahan” yang bersifat “concurrent”,
baik yang menyangkut “urusan wajib” maupun “urusan pilihan”. Pembagian urusan
yang bersifat “Concurrent”, artinya urusan pemerintahan yang penanganannya dalam
bagian atau bidang tertentu dapat dilaksanakan bersama disemua tingkat pemerintahan,
dilaksanakan bersama antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah.
Dengan demikian setiap urusan yang bersifat concurrent senantiasa ada bagian
urusan yang menjadi kewenangan pemerintah pusat, ada bagian urusan yang
diserahkan kepada provinsi, dan ada pula bagian urusan yang diserahkan kepada
kabupaten/ kota.
Untuk mewujudkan pembagian kewenangan yang bersifat concurrent tersebut
secara proporsional antara pemerintah pusat, pemerintah daerah provinsi, daerah
kabupaten/ kota, didasarkan kepada 4 (empat) kriteria yang meliputi:
Pertama: Eksternalitas, yaitu suatu pendekatan dalam pembagian urusan
pemerintahan dengan mempertimbangkan dampak/ akibat yang ditimbulkan dalam
penyelenggaraan urusan pemerintahan tersebut. Apabila dampak yang ditimbulkan itu
NOVI HENDRA, S.IP 2014 53
bersifat lokal, maka urusan pemerintahan tersebut menjadi kewenangan kabupaten/ kota,
apabila dampaknya regional menjadi kewenangan provinsi, dan apabila nasional menjadi
kewenangan pemerintah pusat.
Kedua: Akuntabilitas, adalah suatu pendekatan dalam pembagian urusan pemerintahan
dengan pertimbangan bahwa tiangkat pemerintahan yang menangani sesuatu bagian
urusan adalah tingkat pemerintahan yang lebih langsung/ dekat dari urusan yang ditangani
tersebut. Dengan demikian, maka akuntabilitas penyelenggaraan bagian urusan
pemerintahan tersebut kepada masyarakat akan lebih terjamin.
Ketiga: Efisiensi, adalah pendekatan dalam pembagian urusan pemerintahan dengan
mempertimbangkan tersedianya sumber daya, baik personil, maupun sarana, untuk
mendapatkan ketepatan, dan kecepatan hasil yang harus dicapai dalam penyelenggaraan
bagian urusan pemerintahan tersebut. Artinya, apabila suatu bagian urusan dalam
penanganannya dipastikan akan lebih berdayaguna dan berhasilguna dilaksanakan oleh
daerah Provinsi dan/ atau Daerah Kabupaten/ Kota dibandingkan apabila ditangani oleh
pemerintah pusat, maka bagian urusan tersebut diserahkan kepada daerah Provinsi dan/
atau Kabupaten/ Kota. Sebaliknya, apabila suatu bagian urusan tertentu akan lebih
berdayaguna dan berhasilguna bila ditangani oleh pemerintah pusat, maka bagian urusan
tersebut tetap ditangani oleh pemerintah pusat.
Keempat, Keserasian hubungan, adalah bahwa pengelolaan bagian urusan pemerintahan
yang dikerjakan oleh tingkat pemerintahan yang berbeda, bersifat saling berhubungaan
(interconnection), saling tergantung (inter - dependent), dan saling mendukung secara
sinergis sebagai satu kesatuan sistem yang menyeluruh. Sadar atau tidak, perumus
Undang – Undang Nomor 32 Tahun 2004 cendurung menggunakan teori atau ajaran dari
negeri Belanda yang sering disebut “de drie kringenleer” , yaitu ajaran tentang pembagian
urusan kewenangan dalam 3 lingkungan kekuasaan, yaitu antara pemerintah pusat, daerah
provinsi, dan daerah kabupaten/ kota mempunyai kewenangan urusan yang sama, hanya
sifat dan gradasi yang berbeda yang ditentukan oleh 4 (empat) kriteria tersebut diatas.
Dalam kaitan dengan ajaran “ de drie kringenleer” ini, pada masa Undang – Undang
Nomor 5 Tahun 1974 kita menggunakan ajaran ‘Rumah Tangga Materiil” (Materiele
Huishoudingsleer), yaitu suatu sistem dalam penyerahan kewenangan dalam rangka
otonomi daerah, dimana antara pemerintah pusat dan daerah terdapat pembagian tugas
NOVI HENDRA, S.IP 2014 54
yang diperinci secara tegas, baik di dalam undang - undang pembentukannya, maupun
pada penyerahan - penyerahan selanjutnya. Dalam ajaran ini ada yang disebut “taak
verdeling” antara pusat dan daerah. Kewenangan setiap daerah meliputi tugas - tugas yang
ditentukan satu per satu secara nominatif. Jadi apa yang tidak tercantum dalam rincian itu,
tidak termasuk kepada urusan rumah tangga daerah, dengan perkataan lain daerah yang
berszangkutan tidak mempunyai kewenangan untuk mengatur dan mengurus kegiatan di
luar yang sudah diperinci atau yang secara a priori telah ditetapkan.48
Undang – Undang Nomor 32 Tahun 2004 memperinci secara tegas “urusan wajib” yang
menjadi kewenangan daerah, disamping adanya kewenangan “pilihan” (option) yang
didasarkan kepada konsep concurrent tadi.
Sebenarnya, di Negeri Belanda sendiri teori ini sudah tidak dipakai lagi, karena
mengandung beberapa kelemahan, antara lain sering terjadi duplikasi, kecendurungan
terjadi sharing ratio dalam pembagian kewenangan yang sering membias keatas, sehingga
terjadi model piramid terbalik. Disamping itu, kejumbuhan (overlapping) sulit untuk
dihindarkan, demikian pula kevaccuman pemerintahan sering terjadi karena ada
kecendurungan masing - masing lingkungan kekuasaan bersikap dan bertindak jurisdiksi -
positive dan jurisdiksi - negatif49, dan kurang memberikan keleluasaan (descretion)
kepada daerah untuk berinisiatif dan berinovasi. Dalam prakteknya konsep ini sulit
dioperasionalkan, karena faktor pendidikan dan rasionalitas SDM aparatur pemerintah
daerah di Indonesia yang relatif masih rendah, kecuali kalau ditetapkan secara pasti (clear
cut) mana soal - soal yang masuk lingkungan pemerintah pusat, provinsi, dan kabupaten/
kota.
Dengan demikian, ajaran ini tidak mendorong daerah untuk berprakarsa dan
mengembangkan potensi wilayahnya diluar urusan yang tercantum dalam undang -
undang pembentukannya. Kalau dibandingkan dengan negeri Belanda dan Inggris atau di
negara - negara maju lainnya akan sangat berbeda, dimana teori ini dapat digunakan
secara efektif, karena pada umumnya mereka sudah established, baik aparatur maupun
masyarakatnya tergolong kepada kaum menengah, baik dari segi pendidikan maupun dari
strata sosialnya.
48 E. Koswara, op.cit., hlm 73-7449 Sikap dan tindakan Jurisdiksi-positif dan/atau Jurisdiksi-negatif, akan sangat dipengaruhi oleh potensi sumber daya dari sebagian urusan yang akan diserahkan itu.
NOVI HENDRA, S.IP 2014 55
Walaupun pengembangan paradigma baru yang dituangkan ke dalam Undang -
Undang Nomor 32 Tahun 2004 berasal dari ide Ketetapan MPR - RI Nomor
IV/MPR-RI/2000 Tentang Rekomendasi Kebijakan Dalam Penyelenggaraan Otonomi
Daerah, namun Ketetapan MPR itu sendiri perlu dikaji, baik secara akademik, politik,
juridis, maupun operasional.
Tap MPR di atas dapat dikatakan sebagai upaya politik untuk menggeser
pendulum pembagian kekuasaan antara Pusat dan Daerah pada “titik keseimbangan”
(equilibrium), terutama keseimbangan antara kekuasaan Pemerintah Pusat dengan
kekuasaan Pemerintah Daerah disemua tingkat pemerintahan.
Namun, perlu adanya klarifikasi terhadap TAP MPR tersebut, terutama mengenai
apa yang dimaksud dengan pemberian otonomi bertingkat dan penyesuaian terhadap
Pasal 18 UUD 1945 setelah amandemen kedua. Kalau yang dimaksud dengan pemberian
otonomi bertingkat terhadap Daerah Propinsi, Kabupaten dan Kota sama dengan system
penyerahan kewenangan otonomi proporsional bertingkat berarti kembali kepada
paradigma lama sebagaimana dianut dalam Undang - Undang Nomor 5 Tahun 1974,
sedangkan penyesuaian terhadap Pasal 18 UUD 1945 setelah amandemen kedua, setidak -
tidaknya terdapat tiga persoalan yang prinsip, yaitu: Pertama, meskipun Pasal 18 UUD
1945 diperluas menjadi tiga Pasal, yaitu Pasal - pasal 18, 18A dan 18B yang meliputi 11
(sebelas) ayat, namun tidak ada satu ayatpun yang secara ekplisit mengatur tentang
pembagian kekuasaan antara Pusat dan Daerah, misalnya Pasal 18 ayat (5) hanya
menyatakan bahwa “Pemerintah Daerah menjalankan otonomi seluas - luasnya, kecuali
urusan pemerintahan yang oleh undang - undang ditentukan sebagai urusan pemerintah
pusat” . Penggunaan istilah “otonomi seluas - luasnya” berarti kembali kepada paradigma
Undang - Undang Nomor 18 Tahun 1965, dimana istilah itu baik dalam Undang - Undang
Nomor 5 Tahun 1974 maupun dalam Undang - Undang Nomor 22 Tahun 1999 tidak
dipergunakan lagi, karena berdasarkan pengalaman istilah tersebut ternyata dapat
menimbulkan kecendurungan pemikiran yang dapat membahayakan keutuhan Negara
Kesatuan dan tidak serasi dengan maksud dan tujuan pemberian otonomi kepada Daerah.
Demikian pula, Pasal 18A ayat (1) hanya menyatakan bahwa “Hubungan wewenang
antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah provinsi, kabupaten dan kota, atau
antara provinsi dan kabupaten dan kota, diatur dengan undang - undang dengan
NOVI HENDRA, S.IP 2014 56
memperhatikan kekhususan dan keragaman daerah”. Kedua, Pasal 18 baru UUD 1945
tidak menganut lagi asas dekonsentrasi dalam penyelenggaraan sistem pemerintahan di
daerah, disamping asas desentralisasi dan asas tugas pembantuan. Pasal 18 ayat (2)
hanya menyatakan bahwa “Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota
mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas
pembantuan”. Penekanan terhadap terminologi “asas otonomi” dikhawatirkan akan
menimbulkan “misleading” dalam penafsiran, karena tidak lazim dipakai, baik dalam
tataran konsep akademik, maupun dalam tataran operasional, karena otonomi bukan asas
melainkan “hak, wewenang dan kewajiban” untuk mengatur dan mengurus sendiri
pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat yang diserahkan oleh pemerintah
pusat kepada daerah. Ketiga, menyangkut Pembagian Daerah. Dalam perubahan kedua
UUD 1945 tidak lagi mengenal “Pembagian Daerah” seperti halnya dalam Pasal 18 lama,
karena dalam Pasal 18 baru, ayat (1) yang dibagi adalah “Negara Kesatuan Republik
Indonesia”, yang bunyi selengkapnya adalah sebagai berikut, “Negara Kesatuan Republik
Indonesia dibagi atas daerah - daerah provinsi, dan daerah provinsi itu dibagi atas
kabupaten dan kota, yang tiap - tiap provinsi, kabupaten dan kota itu mempunyai
pemerintahan daerah, yang diatur dengan undang - undang”.
Ada sementara anggapan orang bahwa Pasal 18 baru ayat (1) ini bernuansa
“Federasi”, karena secara eksplisit menyatakan “NKRI dibagi”, kecuali apabila
Penjelasan Pasal 18 lama, tetap berlaku sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari batang
tubuh UUD 1945, sehingga ketiga persoalan diatas bisa diklarifikasikan (clarified) dengan
baik. Namun Penjelasan Pasal 18 UUD 1945 lama dinyatakan tidak berlaku lagi, karena
semangatnya sudah ditampung dalam berbagai perubahan/tambahan Pasal dalam UUD
1945 yang baru. Walaupun demikian, saya tidak berpretensi untuk menganggap bahwa
Perubahan Kedua UUD 1945 yang menyangkut Pasal 18 ayat (1) sebagai Pasal yang
bernuansa “Federasi”, karena saya tetap berpegang kepada Pasal 1 ayat (1) yang dalam
Perubahan Pertama UUD 1945, tidak diadakan perubahan, yang berbunyi sebagai berikut:
Pasal 1 ayat (1) : “Negara Indonesia ialah Negara Kesatuan yang berbentuk Republik.”
5.4.2.Asas penyelenggaraan pemerintahan.
NOVI HENDRA, S.IP 2014 57
Undang - Undang Nomor 32 Tahun 2004 menyatakan bahwa Pemerintahan daerah
menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangannya, kecuali urusan
pemerintahan yang oleh Undang - undang ditentukan menjadi urusan pemerintah pusat.
Pasal 10 ayat (3) menegaskan bahwa yang menjadi urusan Pemerintah yang
dikecualikan tersebut adalah:
a. Politik luar negeri;
b. Pertahanan;
c. Keamanan;
d. Yustisi;
e. Moneter dan fiskal nasional; dan
f. Agama.
Ayat (4) menyebutkan bahwa penyelenggaraan urusan pemerintahan sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) Pemerintah menyelenggarakan sendiri atau dapat melimpahkan
sebagian urusan pemerintahan kepada perangkat Pemerintah atau wakil Pemerintah di
daerah, atau dapat menugaskan kepada pemerintahan daerah dan/ atau pemerintahan desa.
Selanjutnya ayat (5) menegaskan bahwa dalam urusan pemerintahan yang menjadi
kewenangan Pemerintah di luar urusan pemerintahan sebagaimana dimaksud pada ayat
(3), Pemerintah dapat:
a. menyelenggarakan sendiri sebagian urusan pemerintahan;
b. melimpahkan sebagian urusan pemerintahan kepada Gubernur selaku wakil Pemerintah
atau:
c. menugaskan sebagian urusan kepada pemerintahan daerah dan/ atau pemerintahan desa
berdasarkan asas tugas pembantuan.
Dari uraian Pasal 10 ini dapat diartikan bahwa tidak ada kemungkinan daerah akan
memperoleh tambahan kewenangan dari Pemerintah selain dari yang sudah ditetapkan
dalam Pasal 13 dan 14 Undang - Undang Nomor 32 Tahun 2004. Padahal, mestinya
sebagian urusan pemerintahan sebagaimana dimaksud dalam ayat (5) tersebut
dimungkinkan untuk diserahkan kepada daerah melalui asas “desentralisasi”, tidak hanya
melalui “tugas pembantuan”. Mengenai penetapan asas penyelenggaraan pemerintahan,
Undang – Undang Nomor 32 Tahun 2004 agak rancuh mengaturnya, karena dalam UU tsb
NOVI HENDRA, S.IP 2014 58
asas penyelenggaraan pemerintahan diatur dengan menetapkan bahwa antara
penyelenggaraan pemerintahan di Pusat dan di Daerah berbeda.
Pada Pemerintah pusat menggunakan asas - asas desentralisasi, tugas pembantuan,
dan dekonsentrasi, sedang penyelenggaraan pemerintahan di daerah menggunakan asas
otonomi dan tugas pembantuan. Padahal asas - asas tersebut merupakan suatu kebijakan
(“policy”) yang berlaku baik di pusat maupun di daerah sebagai satu kesatuan sistem yang
tidak bisa dipisahkan. Disamping itu, otonomi dan tugas pembantuan sebagai “asas”
adalah misleading, karena otonomi dan tugas pembantuan bukan asas, melainkan suatu
hak, wewenang dan kewajibansebagai manifestasi atau perwujudan atau konkritisasi
dianutnya asas desentralisasi dalam NKRI. Walaupun kata-kata asas otonomi dan tugas
pembantuan itu berasal dari UUD (setelah diamandemen), tetapi kalau itu merupakan
kekeliruan, mestinya diadakan judicial review oleh Mahkamah Konstitusi, jangan sampai
perundang - undangan di bawahnya ikut keliru.50
6. DAMPAK PENYELENGGARAAN OTONOMI DAERAH
6.1. Dampak Positif
Sesuai dengan tujuan pemberian otonomi daerah, diharapkan pelaksanaan otonomi
daerah menurut Undang – Undang Nomor 22 Tahun 1999 dan Undang – Undang Nomor
32 Tahun 2004 membawa dampak positif yang secara umum dapat dikategorikan sebagai
berikut:
a. Perkembangan proses demokrasi dalam kehidupan masyarakat dan pemerintahan akan
meningkat;
b. Partisipasi aktif masyarakat dalam proses kepemerintahan, baik dalam proses
penentuan kebijakan, dan pelaksanaan maupun dalam proses evaluasi dan
pengawasan, akan semakin meningkat;
c. munculnya kreativitas dan inovasi Daerah untuk mengembangkan pembangunan
daerahnya;
50 Lihat Pasal 20 ayat (2) dan (3) UU No.32/2004.
NOVI HENDRA, S.IP 2014 59
d. meningkatnya gairah birokrasi pemerintahan Daerah, karena adanya keleluasaan untuk
mengambil keputusan, serta terbukanya peluang karier yang lebih tinggi, karena
kompetisi professional;
e. meningkatnya pengawasan atas jalannya pemerintahan Daerah, baik yang dilakukan
oleh masyarakat maupun DPRD, sehingga keinginan untuk mewujudkan pemerintahan
yang baik, bersih, terpercaya dan akuntabel (“Good Governance”) semakin sangat
didambakan oleh masyarakat;
f. meningkatnya peranan DPRD sebagai wahana demokrasi dan penyalur aspirasi rakyat
dalam menjalankan fungsi legislasi, anggaran dan pengawasan;
g. pemberian pelayanan umum kepada masyarakat semakin meningkat, baik kualitas
maupun kuantitas, sejalan dengan meningkatnya tuntutan dari masyarakat akan
pelayanan yang lebih baik, yang pada gilirannya akan menimbulkan “keterpercayaan”
masyarakat kepada pemerintah daerah.
h. munculnya semangat kedaerahan yang menjadi faktor pendorong yang kuat bagi
pengembangan daerahnya, dalam arti peningkatan Akuntabilitas.
6.2. Dampak negatif.
Walaupun kita melihat secara potensial dampak positif dari pelaksanaan otonomi
daerah, namun perlu juga mengantisipasi dampak yang mungkin terjadi secara negatif
dalam pelaksanaan otonomi daerah menurut Undang - Undang ini, a.l. sbb:
a. keinginan bagi Daerah Otonom untuk meningkatkan penghasilan asli Daerah (PAD)
yang berlebihan, dikhawatirkan akan menimbulkan dampak ekonomi biaya tinggi,
memberatkan masyarakat, dan kurang terjaminnya kelestarian lingkungan (tidak
transparan dan tidak akuntabel);
b. kemungkinan munculnya konflik kepentingan antar Daerah dan antara Daerah dan
pusat yang berkaitan dengan pendayagunaan sumber daya alam, seperti sumber daya
air, hutan, lautan, lingkungan hidup dlsb.; kemungkinan terjadi pengaturan daerah
yang over regulated atau benturan antara peraturan daerah di tingkat Daerah
Kabupaten/ Kota dengan Daerah Propinsi, ataupun Pusat, karena lemahnya antara
perencanaan pembangunan Daerah Kabupaten/ Kota, Daerah Propinsi, dan Pusat,
NOVI HENDRA, S.IP 2014 60
sehingga integritas dan sinergitas tidak terjamin, karena masing - masing merasa
mempunyai kompetensi sendiri - sendiri, yang memungkinkan terjadinya segmentasi
antar Daerah (tidak transparan);
c. munculnya egoisme kedaerahan yang sempit yang mendorong atau menjurus kepada
eksklusivisme daerah dan proteksionisme kedaerahan, sehingga akan mengganggu
kepada makna persatuan dan kesatuan bangsa.
d. sikap dan perilaku birokrasi pusat yang cenderung untuk tetap mempertahankan
statusquo, terutama dalam mempertahankan kewenangan pusat yang enggan
menyerahkannya kepada Daerah (tidak transparan);
e. belum sinkronnya perundang - undangan sektoral pusat dengan Undang - Undang
tentang pemerintahan daerah, sehingga para pejabat birokrasi Departemen Sektoral
pusat masih berpegang kepada Undang - Undang Sektoral yang bersangkutan, dan
belum menyesuaikan dengan jiwa dan semangat Undang – Undang Nomor 22 Tahun
1999 cq. Undang – Undang Nomor 32 Tahun 2004;
f. terjadinya multi-interpretasi, baik terhadap jiwa dan semangat Undang – Undang
Nomor 22 Tahun 1999 dan Undang – Undang Nomor 25 Tahun 1999 maupun
terhadap pasal - pasal didalamnya yang tidak atau kurang jelas.
7. PROSPEK OTONOMI DAERAH MELALUI SOLUSI ALTERNATIF
1). Upaya penyempurnaan/penggantian Undang – Undang Nomor 22 Tahun 1999 bukan
semata - mata untuk mengatasi masalah yang timbul, tetapi juga untuk menegaskan
visi dan misi yang jelas dalam menetapkan format dan sistem pemerintahan dalam
Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dalam pada itu, penegasan prinsip - prinsip
penyelenggaraan pemerintahan daerah yang baik (“Good Governance”), diarahkan
kepada substansi yang bersifat strategis, seperti: hubungan pusat dan daerah;
penegasan hirarki dalam sistem pemerintahan; penataan kembali sistem dan
mekanisme penyelenggaraan pemerintahan; pembagian kewenangan dan urusan
pada tingkat - tingkat pemerintahan yang berbeda.
NOVI HENDRA, S.IP 2014 61
2) Dengan penyempurnaan tersebut, hendaknya Pemerintah secara transparan dan
tidak menyimpang dari tujuan untuk kebaikan bangsa dan negara, terutama untuk
mewujudkan komitmen kebijakan desentralisasi, pengembangan demokrasi dan
peningkatan kemandirian daerah, serta daya saing daerah. Yang terpenting adalah
bagaimana upaya mengembangkan satu kesatuan sistem antara sistem pemerintahan
nasional dan sub - sistem pemerintahan daerah secara sinergis, sehingga tercipta
stabilitas, akuntabilitas, serta efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan
pemerintahan, hubungan pusat - daerah terpelihara dengan baik, keutuhan dan
kesatuan bangsa tetap terjaga, serta prinsip - prinsip perilaku “Good Governance” di
semua tingkat pemerintahan, dapat diwujudkan. Demikian pula, isu - isu strategis
dan penting, serta diperlukan secara proporsional bagi semua level pemerintahan,
harus ditempatkan pada proporsi waktu dan situasi yang tepat untuk menghindarkan
kerancuhan, instabilitas dan stagnasi jalannya penyelenggaraan pemerintahan
daerah, dimana pemerintahan daerah seharusnya menjadi “backbone” dari stabilitas
pemerintahan nasional.
3) Terjadinya penggantian Undang - Undang Nomor 22 Tahun 1999 dengan Undang –
Undang Nomor 32 Tahun 2004 tetap harus di arahkan kepada upaya pencapaian
kemandirian pemerintah daerah yang berorientasi kepada pelayanan, pemberdayaan,
daya saing daerah, dan peningkatan kesejahteraan masyarakat, dan pengembangan
demokrasi, tidak lagi sebagai ajang tarik - menarik pembagian kekuasaan, baik
antara pusat dan daerah, maupun hubungan antara DPRD dan Kepala Daerah
sebagaimana selama ini terjadi, sehingga nasib dan kepentingan rakyat terabaikan.
4) Untuk lebih memantapkan penyelenggaraan otonomi daerah, maka secara transparan
perlu mengoptimalkan peranan dan fungsi Gubernur selaku Wakil Pemerintah,
terutama dalam upaya menyelesaikan berbagai kasus dan permasalahan di daerah.
Dalam hubungan ini, sebaiknya Pemerintah Pusat mengatur lebih lanjut dengan
memberikan penugasan dan kewenangan yang tegas kepada Gubernur selaku Wakil
Pemerintah, sehingga segala persoalan yang terjadi di Daerah, baik yang bersifat
lokal maupun regional, hendaknya dapat diselesaikan secara tuntas oleh Gubernur.
NOVI HENDRA, S.IP 2014 62
5) Ditinjau dari aspek asas kepatutan penyelenggaraan pemerintahan (Berhoorlijk
Bestuur) seharusnya ia (Gubernur) memiliki kewenangan “Vrijbestuur”, baik dari
aspek “teori sisa” (Residual Theory), maupun dan terutama dari aspek “Nach Freies
Ermessen” yang seharusnya melekat pada diri seorang Gubernur, sehingga pada
gilirannya akan mengurangi bertumpuknya “beban” (burden) pada pemerintah pusat,
dan ketegangan -ketegangan dan kerancuan di daerah yang selama ini sering terjadi,
dapat dituntaskan oleh Gubernur dalam kedudukan ia (Gubernur) sebagai Wakil
Pemerintah (representative of the President). Ini adalah sebagai konsekuensi
didudukannya Gubernur sebagai Wakil Pemerintah dalam rangka menjalankan tugas
- tugas dekonsentras
i. Namun, sangat disayangkan perundang - undangan yang ada, tidak mendukungnya,
sehingga tidak memungkinkan Gubernur untuk bertindak pro - aktif, tanpa dilandasi
dasar hukum kewenangan yang kuat.
6) Kalau saja, kepada Gubernur dalam kedudukannya sebagai Wakil Pemerintah
diberikan keleluasaan untuk menjalankan tugas “pemerintahan umum” (algemene
bestuur) di daerahnya melalui asas “Vrijbestuur”, dengan dasar hukum yang tegas,
maka diharapkan ia (Gubernur) akan mampu untuk mentuntaskan segala persoalan
yang terjadi di daerah.
7) Mengingat pengaturan lebih lanjut yang menegaskan kedudukan dan tugas serta
kewenangan Gubernur selaku Wakil Pemerintah, tidak ada, maka seyogyanya
sebagai tindak lanjut Pasal 38 Undang – Undang Nomor 32 Tahun 2004, segera
dikeluarkan Instruksi Presiden yang intinya menugaskan dan memberikan
keleluasaan kepada Gubernur untuk “mengusahakan secara terus - menerus agar
segala peraturan perundang - undangan dan peraturan daerah dijalankan oleh
instansi - instansi pemerintah dan pemerintah daerah, serta mengambil segala
tindakan yang dianggap perlu untuk menjamin stabilitas dan kelancaran
penyelenggaraan pemerintahan di daerah secara baik".
8) Kewenangan dekonsentrasi yang dijalankan oleh Instansi Vertikal (“dekonsentrasi
fungsional”), yaitu tugas - tugas yang dikecualikan menurut Pasal 7 Undang –
Undang Nomor 22 Tahun 1999 cq. Pasal 10 Undang – Undang Nomor 32 Tahun
NOVI HENDRA, S.IP 2014 63
2004, harus ada penegasan bahwa Instansi Vertikal dimaksud adalah perangkat
Departemen dan/ atau LPND yang mempunyai tugas dan kewenangan khusus
(Sektoral; Teknis; Fungsional) di wilayah dalam jurisdiksi tertentu, yang posisinya
tidak hanya wajib berkoordinasi dengan Gubernur, melainkan kedudukannya berada
di bawah dan bertanggungjawab kepada Gubernur selaku Wakil Pemerintah (dalam
konteks “Integrated Prefectoral System”).
9) Seluruh peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar penyelenggaraan tugas-
tugas substantif Departemen Sektoral/ Departemen Teknis, baik yang terbit sebelum
maupun sesudah terbitnya Undang – Undang Nomor 22 Tahun 1999 c.q. Undang –
Undang Nomor 32 Tahun 2004, harus dengan sendirinya menyesuaikan dengan
semangat Undang – Undang tersebut, dimana kedudukan Undang – Undang Nomor
22 Tahun 1999 c.q Undang – Undang Nomor 32 Tahun 2004 itu sendiri seharusnya
berkedudukan sebagai “batu penjuru” (“corner stone”) bagi perundang - undangan
Sekotral lainnya. Hal tersebut dimaksudkan untuk menghindarkan terjadinya
kesimpang - siuran penyelenggaraan pemerintahan di daerah, karena adanya tarik -
menarik kewenangan dan tarik - menarik kepentingan, yang pada gilirannya akan
mengakibatkan terhambatnya kelancaran pelaksanaan otonomi daerah yang
seharusnya dapat memberikan pelayanan prima kepada masyarakat setempat.
10) Pelaksanaan otonomi daerah, selaras dengan jiwa dan semangat Undang – Undang
Nomor 22 Tahun 1999 c.q. Undang – Undang Nomor 32 Tahun 2004 dimaksudkan
untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa
sendiri berdasarkan aspirasi dan oto - aktivitas masyarakat, guna memberdayakan
masyarakat sendiri, sedangkan pemerintah daerah berperan mendorong dan
memfasilitasinya. Berdasarkan hal tersebut, hendaknya semua komponen
penyelenggara pemerintahan, baik di pusat maupun di daerah, memiliki kesatuan
sikap, kesatuan pandang, kesatuan pemahaman dan kesatuan interpretasi, sehingga
kelemahan dan kekurang sempurnaan Pasal - pasal dan instrumen yang ada,
hendaknya disikapi secara positif dan penuh kearifan, sehingga tidak terjadi upaya-
upaya manipulasi untuk menonjolkan masing - masing kepentingan yang akan
mengakibatkan terjadinya konflik kepentingan dan konflik kewenangan, yang pada
gilirannya hanya akan merugikan kepentingan rakyat banyak, dan pelayan publik
NOVI HENDRA, S.IP 2014 64
terabaikan. Dalam pada itu, perlu merubah paradigma pemerintahan dari birokrasi
yang berpola pikir (mindset) bernuansa “dilayani” menjadi “melayani”.
11) Perlu mensosialisasikan dan mendesiminasikan Undang - Undang Nomor 32 Tahun
2004 dan peraturan pelaksanaannya agar terdapat interpretasi dan persepsi yang
sama, baik bagi masyarakat, maupun bagi para pejabat di pusat dan di daerah;
12) Menyikapi kelemahan dan atau kelebihan Undang - Undang Nomor 32 Tahun 2004
kita tidak seharusnya a priori untuk segera merobah Undang - Undang Nomor 32
Tahun 2004 sekarang, melainkan kita perlu memahami substansi dan semangat
Undang - Undang Nomor 32 Tahun 2004 dan turut serta mensosialisasikannya,
sambil mewacanakan berbagai aspek permasalahanya, baik dari segi konsep
akademik dan juridis, maupun empirik - administratif, dengan kemungkinan
memberikan alternatif solusinya.
Dalam mengantisipasi perubahan Undang – Undang Nomor 32 Tahun 2004, harus
ada persiapan yang matang dan keterbukaan sedemikian rupa, baik antara Pemerintah,
kalangan perguruan tinggi, lembaga masyarakat, partai politik, dan para praktisi
operasional dan disosialisakan kepada masyarakat luas, sehingga hasil perubahan itu akan
menghasilkan produk Undang - Undang yang bisa diimplementasikan dengan persepsi dan
interpretasi yang sama antara Pusat dan Daerah, sehingga baik dari segi akademik, juridis,
politik dan operasional, benar - benar dapat dipertanggungjawabkan.
Terima Kasih Kepada Prof.Dr. H. Zaidan Nawawi
NOVI HENDRA, S.IP 2014 65