Otonomi Daerah

104
OTONOMI DAERAH Latar Belakang Pembahasan mengenai desentralisasi dan otonomi daerah dilandasi asumsi bahwa hubungan antara orang yang memerintah dan orang yang diperintah, sama halnya dengan hubungan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah adalah merupakan masalah klasik dalam ilmu politik. Paradigma lama yang memandang masih kuatnya hubungan sub- ordinasi antara pemerintah dan rakyat, nampaknya sudah mulai luntur yang dalam paradigma baru cendurung menghendaki hubungan yang setara antara pemerintah dan rakyat. Peranan pemerintah tidak lagi membawahi dan memerintah, melainkan lebih mengarahkan dan memfasilitasi apa yang menjadi kebutuhan rakyat. Persoalan utamanya bersumber pada seberapa bebas masyarakat (baca: pemerintah daerah) bergerak atau berinitiatif dalam lingkungan kekuasaan negara, dan seberapa besar pula masyarakat daerah dapat mempengaruhi kebijakan negara dan atau pemerintahan daerah yang pada giliranya kebijakan itu akan berujung kepada pelayanan publik sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Atas dasar inilah konsep desentralisasi dan otonomi dapat dipandang, baik sebagai fenomena politik maupun administrasi negara. NOVI HENDRA, S.IP 2014 1

description

Novi Hendra, S. IP

Transcript of Otonomi Daerah

Page 1: Otonomi Daerah

OTONOMI DAERAH

Latar Belakang

Pembahasan mengenai desentralisasi dan otonomi daerah dilandasi asumsi

bahwa hubungan antara orang yang memerintah dan orang yang diperintah, sama

halnya dengan hubungan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah adalah

merupakan masalah klasik dalam ilmu politik. Paradigma lama yang memandang

masih kuatnya hubungan sub-ordinasi antara pemerintah dan rakyat, nampaknya sudah

mulai luntur yang dalam paradigma baru cendurung menghendaki hubungan yang

setara antara pemerintah dan rakyat. Peranan pemerintah tidak lagi membawahi dan

memerintah, melainkan lebih mengarahkan dan memfasilitasi apa yang menjadi

kebutuhan rakyat. Persoalan utamanya bersumber pada seberapa bebas masyarakat

(baca: pemerintah daerah) bergerak atau berinitiatif dalam lingkungan kekuasaan

negara, dan seberapa besar pula masyarakat daerah dapat mempengaruhi kebijakan

negara dan atau pemerintahan daerah yang pada giliranya kebijakan itu akan berujung

kepada pelayanan publik sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Atas dasar inilah

konsep desentralisasi dan otonomi dapat dipandang, baik sebagai fenomena politik

maupun administrasi negara.

Walaupun Pemerintahan Negara Republik Indonesia tidak menganut “faham

negara integralistik”1, namun penyelenggaraan Pemerintahan negara di bawah regime

demokrasi terpimpin dan regime orde baru pada masa yang lalu, demikian pula pada

masa-masa pemerintahan selanjutnya, menunjukkan betapa kuatnya “faham negara

integralistik” yang mempengaruhi penyelenggaraan sistem pemerintahan negara,

dimana negara memiliki kemauan dan kepentingan yang sering berbeda dengan

kepentingan warganya, yang dapat melakukan intervensi kedalam kehidupan

masyarakat, sekalipun hal itu didedikasikan untuk kesejahteraan dan kemajuan

masyarakat itu sendiri2. Kondisi seperti ini dimungkinkan terjadi, karena setiap

kebijakan yang ditetapkan sebagai kebijakan publik, sangat dipengaruhi dan

ditentukan oleh sikap, perilaku, dan value judgement dari para penyelenggara negara 1 “Faham Negara Integralistik” adalah suatu faham yang memandang kepentingan individu dan kepentingan masyarakat harus dilihat secara keseluruhan (integral), tidak terpisah sendiri-sendiri, dengan kata lain setiap kepentingan apapaun selalu harus dikaitkan dengan kepentingan Negara secara keseluruhan.2 Alfred Stepan, The State and Society, Peru in comparative perspective, Princeton, NJ: Princeton UP, 1978, hlm. 26-27

NOVI HENDRA, S.IP 2014 1

Page 2: Otonomi Daerah

(human behaviour and value judgement), yang pada gilirannya dipandang sebagai

“pembenaran hukum” dan sebagai alat pemaksa yang harus ditaati oleh rakyat.

Dalam “faham negara integralistik”, negara mempunyai kekuasaan mutlak,

dimana kedaulatan negara mengatasi kedaulatan rakyat. Semua bagian - bagian dalam

keseluruhan diarahkan kepada persatuan dan kesatuan, bagi negara yang terpenting

adalah keseluruhan bukan bagian - bagian. Itulah faham negara integralistik yang

sering dipraktekkan oleh para penyelenggara kekuasaan pemerintahan negara.

Ide faham “Negara integralistik” ini semula diekspose dan direkomendasikan

oleh Prof. Dr. Supomo pada sidang BUPKI tanggal 15 Mei 1945 dengan

mengemukakan 3 (tiga) pilihan yang diusulkan untuk dijadikan dasar Negara, apabila

Indonesia telah merdeka, yaitu faham:

(1) Individualisme;

(2) Kolektivisme; dan

(3) Integralistik

Para Pendiri Negara (The Founding Fathers) kurang sefaham dengan ide

negara integralistik ini yang akan dijadikan konsep dasar negara, karena faham ini

menonjolkan sifat totalitarian dari negara yang tidak selaras dengan ide kekeluargaan

yang bersifat egalitarian. Ide kekeluargaan menghendaki posisi sejajar antara fihak - fihak

yang berinteraksi, termasuk antara negara dan masyarakatnya.3

Hal ini dapat terlihat dari pasal - pasal dalam UUD 1945 yang secara ideatif

bertolak belakang dengan gagasan faham negara integralistik tersebut, misalnya pasal 28

yang menjamin hak - hak azasi manusia4, dan pasal 18 yang menghormati dan menghargai

sifat - sifat khusus dari daerah - daerah yang ada di Indonesia.5 Dengan demikian, dapat

dikatakan bahwa UUD 1945 sebenarnya berusaha mengatur keseimbangan antara

individualisme dan kolektivisme, UUD 1945 menganut kedaulatan rakyat, dan bukan

kedaulatan negara.

3 Ide tentang negara integralistik ini dipaparkan oleh Soepomo dalam sidang BPUPKI tanggal 31 Mei 1945, ketika membahas dasar negara apabila kelak Indonesia merdeka. Pembahasan yang sangat tajam mengenai penyimpangan gagasan Soepomo ini, dapat dilihat dalam karya Marsilam Simanjuntak, Pandangan Negara Integralistik, Jakarta: Grafiti, 1994.4Pasal 28 UUD 1945 yang tadinya hanya 1 pasal, setelah amandemen kedua berubah menjadi 10 Pasal, yaitu 28A, 28B, 28C, 28D, 28E, 28F, 28G, 28H, 28I, dan 28J5 Pasal 18 UUD 1945 yang tadinya hanya satu pasal berubah menjadi 3 (tiga) pasal, yaitu pasal 18, 18A, 18B setelah terjadi amandemen kedua.

NOVI HENDRA, S.IP 2014 2

Page 3: Otonomi Daerah

Dari kenyataan diatas, dapat disimpulkan bahwa penggunaan faham negara

integralistik sering lebih banyak bersifat politis daripada hukum tata negara.6 Namun,

apabila dikaitkan dengan konteks desentralisasi dan otonomi daerah di Indonesia, maka

fenomena ini sebenarnya sudah terjadi sejak awal penyelenggaraan pemerintahan di

Indonesia. Situasi inilah yang sedikit - banyak mempengaruhi penyelenggaraan otonomi

daerah di Indonesia, baik sebagai suatu fenomena politik maupun fenomena administrasi

yang seharusnya ditujukan bagi kesejahteraan masyarakat.

Salah satu argumentasi dalam pelaksanaan otonomi daerah adalah mendekatkan

pemerintah dalam bentuk Pemerintah Daerah kepada masyarakat, agar pemerintah daerah

memahami keinginan, aspirasi dan kebutuhan masyarakat. Dengan demikian tingkat

kesejahteraan masyarakat akan sangat tergantung kepada tingkat ”pelayanan publik”

yang disediakan oleh pemerintah daerah. Paradigma ”otonomi daerah” menurut semangat

UU No. 32 Tahun 2004 adalah ”otonomi masyarakat”, dalam arti Pemerintah Daerah

sebagai perwujudan dari ”otonomi masyarakat” dituntut untuk lebih mampu

mensejahterakan masyarakat melalui pelayanan publik dibanding dengan pemerintah

pusat yang jaraknya lebih jauh kepada masyarakat.

Motivasi yang mendorong tumbangnya rejim orde baru oleh gerakan reformasi

dengan dipelopori oleh para mahasiswa pada pertengahan tahun 1998 adalah karena

melihat fenomena penyelenggaraan pemerintahan negara berorientasi kepada format

politik totalitarian, sehingga tidak mencerminkan dan menjamin terwujudnya keadilan,

demokrasi dan kesejahteraan bagi rakyat banyak.

Salah satu kebijakan politik yang menjadi sumber kelemahan dan mendorong

terjadinya krisis multidimensi yang mengancam keutuhan negara bangsa adalah

diterapkannya sistem pemerintahan negara yang terlalu sentralistik dengan mengabaikan

prinsip - prinsip demokrasi, peran serta masyarakat, baik langsung maupun melalui

kontrol perwakilan rakyat, serta pemerataan dan keadilan, yang pada gilirannya

6 Marsilam Simanjuntak, op.cit., hlm. 247.

NOVI HENDRA, S.IP 2014 3

Page 4: Otonomi Daerah

kebhinekaan dalam segala bidang kehidupan yang menjadi sumber potensi dan

keanekaragaman daerah, terabaikan pula.

Kebijakan politik tersebut, tidak hanya berdampak terbelenggunya aspirasi, oto-

aktivitas dan kreativitas masyarakat setempat, melainkan juga mematikan sumber potensi

dan sumber daya di daerah, terutama sumberdaya manusianya, yang pada gilirannya pula

pelayanan publik dalam upaya mensejahterakan masyarakat tidak terselenggara dengan

optimal.

1. Prinsip-prinsip Penyelenggaraan Pemerintahan.

Prinsip penyelenggaraan pemerintahan, bisa dilihat dari dua aspek, yaitu:

Pertama, prinsip penyelenggaraan pemerintahan sebagai suatu sistem

berdasarkan peraturan perundang-undangan yang ditetapkan atau dianut oleh suatu negara

bangsa (Nation State) sebagai satu kebijakan, seperti sentralisasi, desentralisasi,

dekonsentrasi, devolusi, parlementair, presidensiil dlsb. Tergantung dari sistem mana

yang dianut oleh suatu Negara Bangsa (Nation State) tersebut. Sistem ini berkaitan dengan

kebijakan pembagian kekuasaan (Division of Power) di dalam lingkungan kekuasaan

pemerintahan negara, baik secara horisontal (Capital Division of Power) antara lembaga-

lembaga negara yang ada, maupun secara vertikal antara Pusat dan Daerah (Areal Division

of Power).

Di dalan Negara Kesatuan (Unitary State), secara vertikal terdapat ”Satuan

Pemerintahan Nasional” (Pemerintah Pusat) dan ”Satuan Pemerintahan Sub-National”

(Pemerintahan Daerah), sedangkan secara horisontal terdapat Badan-badan/Lembaga

Legislatif, Eksekutif, dan Judicatif. Kekuasaan atau kewenangan dibagi (”diberikan;

toekennen”) oleh pemerintah pusat kepada satuan pemerintahan daerah yang dibentuk

dengan Undang-undang, namun kedaulatan (souvereignty) yang melekat kepada Negara

dan Bangsa tidak dibagi kepada pemerintah daerah.

Satuan Pemerintahan Sub Nasional merupakan hasil pembentukan dan

pengembangan pemerintahan. Karenanya, kewenangan pemerintahan sub nasional dapat

ditambah, dikurangi atau bahkan dapat dihapuskan melalui proses hukum dan per-undang-

undangan. Kedudukan satuan pemerintahan sub nasional, karenanya pula adalah

NOVI HENDRA, S.IP 2014 4

Page 5: Otonomi Daerah

”tergantung” (dependent) kepada pemerintah nasional. Karena itu pula ia berada di bawah

(sub ordinated) pemerintah nasional.

Sistem pemerintahan NKRI tidak menganut paham ”sentralisme” dalam

kekuasaan, melainkan mengakui dan menganut prinsip ”desentralisasi” dalam

pemerintahan. Sesuai dengan amanat UUD, dalam rangka menjalankan prinsip

desentralisasi di wilayah NKRI dibentuk daerah-daerah Provinsi, dan di wilayah provinsi

dibentuk daerah-daerah kabupaten/kota sebagai daerah otonom.

Secara juridis, politis dan administratif, daerah otonom mempunyai kewenangan

”otonomi daerah” yang diberikan (”toekennen”) oleh pemerintah pusat kepada

masyarakat setempat dalam wilayah tertentu sesuai dengan aspirasi dan oto-aktivitas

masyarakat sendiri untuk menentukan nasibnya sendiri, yang dijalankan oleh

pemerintahan daerah yang mempunyai kewenangan dan berkewajiban untuk memenuhi

kebutuhan masyarakat sendiri . Dengan kata lain ”daerah otonom” mempunyai

kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut

prakarsa sendiri, berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan perundang-undangan.

Dalam menjalankan penyelenggaraan pemerintahan, tidak sepenuhnya

dilaksanakan secara ”desentralistik”, tetapi ada beberapa bagian yang tetap dilaksanakan

secara ”sentral”, karena pertimbangan pencapaian tujuan (doelmatig), dayaguna dan

hasilguna, serta karena sifat dan coraknya yang tidak bisa lain harus diselenggarakan

secara sentral. Pertimbangannya didasarkan kepada kriteria eksternalitas, akuntabilitas,

efisiensi dan keserasian hubungan pengelolaan urusan pemerintahan, seperti dianut di

dalam UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sebagai pengganti UU No. 22

Tahun 1999.

Kedua, dalam koridor Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 yang sering terabaikan

dalam penyelenggaraan pemerintahan dalam kaitannya dengan pelayanan publik adalah

prinsip penyelenggaraan pemerintahan dari aspek ”kepatutan pemerintahanan”

(”Behoorlijk Bestuur”), karena aspek ini seringkali dipengaruhi oleh ”perilaku”

(behaviour) dan value judgement dari para penyelenggara negara. Prinsip-prinsip tersebut

seperti, antara lain: Vrijbestuur; Nach Freies Ermessen, Preventieve Rechtszorg;

Omnipresence dan Van zelf principles, serta prinsip-prinsip umum penyelenggaraan

pemerintahan negara yang baik, sering terabaikan.

NOVI HENDRA, S.IP 2014 5

Page 6: Otonomi Daerah

Walaupun UU No. 32 Tahun 2004 mencantumkan asas-asas kepatutan dengan

merujuk kepada UU No. 28 Tahun 1999,7 tetapi tidak secara imperatif mengkaitkannya

dengan asas-asas penyelenggaraan pemerintahan sebagai suatu sistem. Bahkan suatu

kekeliruan yang cukup mendasar dalam UU No. 32 Tahun 2004 tersebut yang

membedakan antara asas penyelenggaraan sistem pemerintahan di pusat dengan asas

penyelenggaraan sistem pemerintahan pada pemerintahan daerah, yang menekankan

bahwa dalam menyelenggarakan pemerintahan, pemerintah menggunakan asas-asas

desentralisasi, tugas pembantuan, dan dekonsentrasi, sesuai dengan peraturan perundang-

undangan,8 sedangkan penyelenggaraan pemerintahan daerah, pemerintahan daerah

menggunakan asas ”otonomi dan tugas pembantuan”9 sebagai asas penyelenggaraan

pemerintahan di daerah, padahal ”otonomi dan tugas pembantuan” merupakan hak dan

wewenang (bukan asas) yang diberikan (”toekennen”) oleh pemerintah pusat yang

merupakan manifestasi atau perwujudan dianutnya asas desentralisasi dalam sistem

pemerintahan di Indonesia.

Oleh karena itu, betapapun baiknya sistem penyelenggaraan pemerintahan yang

dianut oleh suatu negara bangsa, kalau tidak dibarengi dengan penegakkan ”asas-asas

kepatutan pemerintahan” yang dilakukan oleh para penyelenggara negara, maka

kepentingan masyarakat dalam bentuk pelayanan publik untuk mensejahterakan

masyarakat, tetap akan sulit untuk dapat diwujudkan.

Dalam kedudukannya sebagai Daerah Otonom, dan dalam menyelenggarakan

pemerintahan daerah, dengan kewenangan yang diberikan oleh Pemerintah Pusat untuk

mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat

setempat, ditegaskan dalam UU No. 32 Tahun 2004, bahwa Daerah berkewajiban untuk:10

a. melindungi masyarakat, menjaga persatuan, kesatuan dan kerukunan nasional,

serta keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia;

b. meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat;

c. mengembangkan kehidupan demokrasi;

d. mewujudkan keadilan dan pemerataan;

e. meningkatkan pelayanan dasar pendidikan;7 Lihat Pasal 20 UU No. 32 Tahun 20048 Lihat Pasal 20 ayat (2) UU No. 32 Tahun 2004.9 Ayat (3) Pasal 20 UU No. 32 Tahun 2004.10 Lihat Pasal 22 UU No.32 Tahun 2004.

NOVI HENDRA, S.IP 2014 6

Page 7: Otonomi Daerah

f. menyediakan fasilitas pelayanan kesehatan;

g. menyediakan fasilitas sosial dan fasilitas umum yang layak;

h. mengembangkan sistem jaminan sosial;

i. menyusun perencanaan dan tata ruang daerah;

j. mengembangkan sumber daya produktif di daerah;

k. melestarikan lingkungan hidup;

l. mengelola administrasi kependudukan;

m. melestarikan nilai sosial budaya;

n. membentuk dan menerapkan peraturan perundang-undangan sesuai dengan

kewenangannya; dan

o. kewajiban lain yang diatur dalam perundang-undangan

Misalnya, dalam menerapkan asas ”Omnipresence dan Van zelf principles” yang

pada dasarnya memandang bahwa pemerintahan itu berada di mana-mana, tidak terikat

kepada ruang dan waktu, sehingga pada intinya prinsip ini mewajibkan kepada masyarakat

untuk tetap mentaati peraturan perundang-undangan yang sudah dikeluarkan oleh

pemerintah, sekalipun tidak secara terus menerus diawasi oleh pemerintah, namun ketika

rakyat memerlukan pertolongan atau bantuan, maka dengan sendirinya (van zelf)

merupakan kewajiban bagi pemerintah untuk membantunya, sehingga disini terjadi

”kewajiban yang berimbang” antara pemerintah dan masyarakat.

Preventieve Rechtszorg adalah suatu prinsip dalam pemerintahan yang

menyatakan bahwa peranan dan tugas utama pemerintahan adalah menjaga agar supaya

anggota masyarakat mentaati tertib hukum dan mencegah (to prevent) agar supaya

masyarakat tidak melanggar aturan-aturan hukum yang berlaku. Jadi, intinya adalah ”tidak

patut” (onbehoorlijk) apabila para aktor penyelenggara negara membiarkan anggota

masyarakat untuk melanggar hukum kemudian ditindak (represif). Prinsip ini berkaitan

dengan prinsip Omnipresence dan Van Zelf principles, contohnya: penggusuran kios-kios

PKL di jalan-jalan trotoir, dlsb.

2. Essensi Pelayanan Publik.

NOVI HENDRA, S.IP 2014 7

Page 8: Otonomi Daerah

Salah satu argumen dalam pelaksanaan otonomi daerah adalah bahwa

perangkat pemerintahan daerah dengan kewenangan-kewenangan otonominya harus

mampu menyediakan pelayanan publik sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Dengan

demikian, kewenangan yang diberikan kepada masyarakat dalam bentuk otonomi daerah

itu adalah suatu ”alat” (means) untuk mencapai ”tujuan” (end) dalam wujud pelayanan

publik guna mensejahterakan masyarakat.

Oleh karena itu argumen pertama untuk menentukan pelayanan publik yang

diperlukan oleh masyarakat adalah Pemerintah Daerah perlu mengidentifikasi apa-apa saja

input (masukan) sesuai kebutuhan masyarakat untuk diolah menjadi output (produk)

yang perlu dihasilkan oleh Pemerintah Daerah sehingga menjadi outcome yang dapat

memenuhi pelayanan publik yang disediakan oleh Pemerintah Daerah, dan bagimana

dampaknya yang ditimbulkan oleh pelayanan publik tersebut.11 ”Pada dasarnya output

Pemda adalah untuk menghasilkan ”good and regulations” untuk kepentingan

publik.Kelompok dari Goods adalah barang-barang atau fasilitas publik yang dihasilkan

Pedmda seperti pasar, jalan, jembatan, sekolah, rumah sakit dsb. Sedangkan dalam

kelompok Regulations yang dihasilkan umumnya yang bersifat ’Regulatory” atau

Pengaturan, seperti pengaturan untuk KPT, KK, Akte Kelahiran, IMB, Izin usaha ,

pengaturan tata tertib dan ketentraman, dlsb. Apabila dikaitkan dengan posisi Pemerintah

Daerah sebagai lembaga yang memperoleh ”legitimasi” dari rakyat untuk

menyelenggarakan ”good and regulations” tersebut, pertanyaanya adalah: ” Sejauh mana

Pemerintah Daerah mampu mempertanggungjawabkan kuantitas dan kualitas output yang

dihasilkannya, sehingga benar-benar dapat memenuhi kebutuhan masyarakat? Untuk

itulah rakyat membayar pajak dan mempercayakan penggunaan pajak tersebut kepada

wakil-wakil rakyat yang dipilih melalui mekanisme Pemilihan Umum dan Pemilihan

Kepala Daerah. Dari dasar pemikiran ini lahir konsep yang sangat dikenal sebagai ”No

Tax Without Representation” 12

Dalam pada itu, dalam penyelenggaraan otonomi daerah menurut semangat UU

No. 32 Tahun 2004 yang menganut prinsip ”otonomi nyata dan bertanggungjawab”

mengisyaratkan bahwa Pemerintahan Daerah dalam menentukan isi otonomi sesuai

dengan kewenangan yang diberikan oleh Pemerintah Pusat, bagaimanapun juga harus

11 Grand design implementasi otonomi daerah dalam koridor UU nomor 32 tahun 2004, Depdagri, Jakarta 2005, hlm.5012 Ibid, hlm. 50

NOVI HENDRA, S.IP 2014 8

Page 9: Otonomi Daerah

dikaitkan dengan ”kebutuhan riil masyarakat di daerah”, dengan perkataan lain

seberapapun luasnya otonomi daerah yang diberikan, haruslah mampu memanifestasikan

”pelayanan publik” yang berkorelasi atau yang ”relevant” dengan kebutuhan masyarakat.

Misalnya, adalah tidak logis atau tidak riil-rasional, kalau Pemerintahan Daerah yang

murni perkotaan, ditekankan kepada kegiatan urusan-urusan yang berkaitan dengan urusan

kehutanan, pertanian, pertambangan, perindustrian atau peternakan. Walaupun urusan-

urusan tersebut ada di perkotaan, tapi relatif kecil sekali dibandingkan kebutuhan-

kebutuhan yang merupakan ”core-competence” di perkotaan.

”Derasnya arus urbanisasi ke Jakarta seiring dengan kembalinya arus mudik

Lebaran, merupakan bentuk kegagalan konsistensi Indonesia sebagai negara agraris. Salah

satu akan persoalan yang mendasari adalah sempitnya akses petani kecil dan buruh tani

terhadap tanah serta infrastruktur pertanian”13

Kondisi ini semakin parah karena kebijakan pembangunan yang menitik beratkan kepada

”pertumbuhan” (growth) masih tetap menenmpatkan kota-kota besar seperti Jakarta

sebagai pusat pertumbuhan. Sedangkan, di sisi lain berbagai persoalan di pedesaan seperti

minimnya infrastruktur dan kesulitan lahan terus terjadi, sehingga tidak mengherankan

jika warga desa terus mengalir ke kota untuk mencari nasib. Beberapa warga desa yang

ikut bersama pemudik balik ke Jakarta mengaku, bahwa mengadu nasib ke Jakarta, karena

kondisi lahan di desa mereka sangat memprihatinkan, kekeringan menyebabkan banyak

lahan terlantar, tiadanya jaringan irigasi, jalan, dan listrik di pedesaan menyebabkan

parahnya kehidupan ekonomi di pedesaan.14 Kalau begitu, buat apa kebijakan

desentralisasi dengan memberikan otonomi yang luas dan bertanggung jawab kepada

Daerah kalau bukan untuk mensejahterakan rakyat di pedesaan? Pertanyaan inilah yang

harus terjawab, baik oleh penentu kebijakan di daerah maupun di pusat, terutama dalam

mencari akar permasalahannya.

Oleh karena itu, setidaknya ada dua pendekatan yang bisa dipakai dalam

menentukan isi otonomi sesuai dengan kebutuhan masyarakat, sbb:

Pertama, pendekatan isi otonomi yang berorientasi kepada penyediaan pelayanan

publik untuk memenuhi kebutuhan pokok (Basic needs) masyarakat, seperti : pelayanan

kesehatan, pendidikan, lingkungan air minum, transportasi perkotaan, fasilitas untuk

13 Dipetik dari harian Kompas, 29 Oktober 2006, “Kegagalan Negara Agraris”, hlm.3.14 Ibid. hlm 3.

NOVI HENDRA, S.IP 2014 9

Page 10: Otonomi Daerah

pejalan kaki (trotoir), fasilitas pencegah dan pemadam kebakaran, relokasi pedagang kaki

lima, resetlement daerah2 kumuh dlsb.

Kedua, pendekatan atas dasar sektor unggulan (”core-competence”) daerah, yaitu

kebutuhan daerah untuk melakukan kewenangan yang berdasarkan pertimbangan urusan-

urusan ”unggulan” yang akan dilakukan daerah tersebut untuk memajukan daerahnya

masing-masing. Penentuan core-competence ini didasarkan kepada perhitungan terhadap

apa yang menjadi unggulan suatu daerah yang pengembangannya akan berdampak sangat

besar terhadap pembangunan sosial ekonomi daerah ybs, misalnya core-competence di

bidang pertanian, peternakan, industri, pariwisata dlsb.

Untuk menentukan core-competence suatu daerah, bisa diukur dari 3 indikator

sbb:

1. Komposisi penduduk menurut mata pencahariannya. Dari data statistik mata

pencaharian penduduk, akan terlihat sektor mana yang paling menyerap tenaga

kerja penduduk daerah ybs. Dengan demikian, Pemerintah Daerah sudah

seharusnya memberikan perhatian untuk pengembangan sektor-sektor yang

menyerap tenaga kerja penduduk terbanyak;

2. Pemanfaatan lahan. Dari pemanfaatan lahan akan terlihat sektor mana yang

dikembangkan di daerah yang bersangkutan;

3. Komposisi Produk Domestik Regional Bruto (PDRB). Dari komposisi PDRB

dapat dilihat sektor mana yang memberikan kontribusi paling besar terhadap

perekonomian daerah. Dari setiap sektor yang ada dalam komposisi PDRB, dilihat

sektor mana yang mempunyai ”forward linkage” dan ”backward linkage” terbesar,

terutama dampaknya terhadap kegiatan penduduk.

Pertimbangan dari ketiga faktor tersebut akan memberikan gambaran kepada

Pemerintah Daerah, sektor-sektor mana yang menjadi andalan daerah yang bersangkutan

untuk dikembangkan, sehingga pemahaman sektor unggulan tsb akan menjadi acuan bagi

Daerah dalam menentukan isi otonomi atas dasar core-competence daerah ybs., sudah

barang tentu termasuk fasilitas pelayanan umum yang harus disediakan oleh pemerintah,

dalam bentuk infrastruktur, fasilitas umum dlsb.

NOVI HENDRA, S.IP 2014 10

Page 11: Otonomi Daerah

Keleluasaan (diskresi) yang cukup luas yang diberikan kepada Daerah oleh UU

No.32 Tahun 2004 untuk menentukan isi otonominya, dengan mengacu kepada

pendekatan core-competence, maka isi otonomi daerah dari satu daerah akan berbeda

dengan daerah lainnya, tergantung dari sektor mana yang akan dikembangkan sebagai

core competence diluar kewenangan yang menjadi kewajiban untuk penyediaan basic

services.

Dari kondisi tersebut, maka Pemerintahan Daerah haruslah berhati-hati dalam

menentukan urusan-urusan mana saja yang akan dijadikan ruang lingkup otonominya.

Akan tetapi, bukan juga berarti bahwa Pemerintahan Daerah dapat mengenyampingkan

urusan-urusan yang merupakan pelayanan terhadap kebutuhan pokok (basic services)

masyarakat seperti: pendidikan, kesehatan, lingkungan, transportasi dlsb, dan juga urusan

yang berkaitan dengan pengembangan core-competence daerah ybs. Disamping itu, harus

juga menjadi perhatian Pemerintahan Daerah untuk menentukan pilihan (option) yang

paling optimal dalam melaksanakan urusan otonominya, terutama yang menyangkut

dengan pelayanan publik, apakah suatu urusan tersebut akan sepenuhnya dilakukan oleh

Pemerintahan Daerah sendiri public), atau diserahkan sepenuhnya kepada swasta

(private), atau dilakukan kemitraan antara Pem.Daerah dengan Swasta (public private

partnership) .15

Dalam pada itu, perlu menjadi perfhatian bahwa urusan pemerintahan

Kabupaten/Kota yang bersifat pilihan (option) dalam UU No. 32 Tahun 2004 ditegaskan

bahwa urusan itu adalah urusan yang secara nyata ada dan berpotensi untuk

meningkatkan kesejahteraan rakyat, sesuai dengan kondisi, kekhasan, dan potensi

unggulan daerah yang bersangkutan.16 Walaupun pelaksanaan ketentuan tersebut

dijanjikan dalam UU 32/2004 akan diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah, namun

Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota sebaiknya pro-aktif mengambil initiatif dan oto-

aktivitas dalam menentukan option tersebut, karena kesempatan, serta kewenangan untuk

mengatur dan mengurus pemerintahan sendiri dan kepentingan masyarakat setempat

secara undang-undang telah diberikan kepada pemerintahan/masyarakat daerah. Initiatif

15 Ibid., hlm 5216 Lihat Pasal 14 ayat (2) UU No. 32 Tahun 2004 beserta penjelasannya.

NOVI HENDRA, S.IP 2014 11

Page 12: Otonomi Daerah

tersebut bisa dilakukan, baik melalui pengembangan hubungan pemeriantahan, maupun

peningkatan kerjasama antar daerah.

3. Mendorong Hubungan Pemerintahan dan Kerjasama antar Daerah.

Kalau dalam UU No. 22 Tahun 1999 dinyatakan bahwa antara Daerah Provinsi

dan Daerah Kabupaten/Kota masing-masing berdiri sendiri dan tidak mempunyai

hubungan hierarkhi satu sama lain, maka dalam UU No. 32 Tahun 2004 dengan tegas

dinyatakan bahwa terdapat hubungan pemerintahan yang mencakup 3 (tiga) hal, yaitu

hubungan dalam bidang keuangan, bidang pelayanan umum, dan bidang pemanfaatan

sumber daya alam dan sumber daya lainnya, yang kesemuanya meliputi hubungan antara

Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah, dan antar Pemerintahan daerah, sehingga

pola hubungan tersebut menjadi sbb:

Pertama, hubungan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan daerah dalam

bidang keuangan, meliputi:

a. pemberian sumber-sumber keuangan untuk menyelenggarakan urusan

pemerintahan yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah;

b. pengalokasian dana perimbangan kepada pemerintahan daerah; dan

c. pemberian pinjaman dan/atau hibah kepada pemerintahan daerah.

Kedua, hubungan antar Pemerintahan daerah dalam bidang keuangan,

meliputi:

a. bagi hasil pajak dan nonpajak antara pemerintahan provinsi dan pemerintahan

daerah kabupaten/kota;

b. pendanaan urusan pemerintahan yang menjadi tanggung jawab bersama;

c. pembiayaan bersama atas kerjasama antar daerah; dan

d. pinjaman dan/atau hibah antar pemerintahan daerah.

Ketiga, hubungan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah dalam

bidang pelayanan umum, meliputi:

a. kewenangan, tanggung jawab, dan penentuan standar pelayanan minimal;

b. pengalokasian pendanaan pelayanan umum yang menjadi kewenangan daerah; dan

NOVI HENDRA, S.IP 2014 12

Page 13: Otonomi Daerah

c. fasilitasi pelaksanaan kerjasama antar pemerintahan daerah dalam

penyelenggaraan pelayanan umum.

Keempat, hubungan antar Pemerintahan daerah dalam bidang pelayanan

umum, meliputi:

a. pelaksanaan bidang pelayanan umum yang menjadi kewenangan daerah;

b. kerjasama antar pemerintahan daerah dalam penyelenggaraan pelayanan umum;

dan

c. pengelolaan perizinan bersama dalam bidang pelayanan umum.

Kelima, hubungan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan daerah dalam

bidang pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya, meliputi:

a. kewenangan, tannggung jawab, pemanfaatan, pemeliharaan, pengendalian

dampak, budi daya dan pelestarian;

b. bagi hasil atas pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya; dan

c. penyerasian lingkungan dan tata ruang serta rehabilitasi lahan.

Keenam, hubungan antar Pemerintahan daerah dalam bidang pemanfaatan

sumber daya alam dan sumber daya lainnya, meliputi:

a. pelaksanaan pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya yang

menjadi kewenangan daerah;

b. kerjasama dan bagi hasil atas pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya

lainnya antar pemerintahan daerah; dan

c. pengelolaan peridzinan bersama dalam pemanfaatan sumber daya alam dan

sumber daya lainnya.

Daerah yang memiliki ”wilayah laut” diberikan kewenangan untuk mengelola

sumber daya di wilayah laut, dimana daerah akan memperoleh bagi hasil atas

pengelolaan sumber daya di bawah dasar dan/atau di dasar laut, yang pengaturannya

sesuai dengan perundang-undangan.

Kewenangan daerah untuk mengelola sumber daya di wilayah laut, meliputi:

eksplorasi, eksploitasi, konservasi, dan pengelolaan kekayaan laut; pengaturan

administrasi; pengaturan tata ruang; penegakkan hukum terhadap perauran yang

dikeluarkan oleh daerah atau yang dilimpahkan kewsenangannya oleh pemerintah;

NOVI HENDRA, S.IP 2014 13

Page 14: Otonomi Daerah

ikut serta dalam pemeliharaan, keamanan; dan ikut serta dalam pertahanan

kedaulatan negara.

Kewenangan untuk mengelola sumber daya di wilayah laut tersebut, ditentukan

paling jauh 12 (duabelas) mil laut, diukur dari garis pantai kearah laut lepas dan/atau

kearah perairan kepulauan untuk provinsi, dan 1/3 (sepertiga) dari wilayah

kewenangan provinsi diperuntukkan untuk Kabupaten/Kota.

Apabila wilayah laut antara 2 (dua) provinsi kurang dari 24 (dua puluh empat)

mil, maka kewenangan untuk mengelola sumber daya di wilayah laut tsb dibagi sama

jarak atau diukur sesuai prinsip garis tengah dari wilayah antara 2 (dua) provinsi

tersebut, dan untuk Kabupaten/Kota memperoleh 1/3 (sepertiga) dari wilayah

kewenangan provinsi dimaksud. Ketentuan tersebut diatas, tidak berlaku bagi

penangkapan ikan oleh nelayan kecil. Yang dimaksud dengan ”nelayan kecil” disini

adalah nelayan masyarakat tradisional Indonesia yang menggunakan bahan dan alat

penangkapan ikan secara tradisional, dan terhadapnya tidak dikenakan surat idzin

usaha, dan bebas dari pajak, dan bebas manangkap ikan di seluruh pengelolaan

perikanan dalam wilayah Republik Indonesia.

4. Kesenjangan antara niat dan realitas.

Konstatasi adanya kesenjangan antara niat (willingness; political will)

Pemerintah Indonesia dan realitas di lapangan dalam melaksanakan asas

desentralisasi dan otonomi daerah, berawal dari perkembangan konfigurasi politik

yang mendasari piranti perundang - undangan serta komitmen politik pemerintah yang

sangat jelas menginginkan terwujudnya otonomi daerah dalam penyelenggaraan

administrasi pemerintahan di Indonesia, berdasarkan asas desentralisasi.

Namun, sejauh ini perwujudan asas ini masih senggang dari idealisasi yang

diharapkan. Misalnya, beberapa urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintahan

daeah Kabupaten/Kota, yang seharusnya sudah bisa direalisasikan di daerah, nyatanya

masih tetap ditangani oleh pusat dengan dalih eksternalitas dan akuntabilitas tergolong

kepada kepentingan nasional (seperti: petanahan, sumber-sumber daya alam dan

sumber daya lainnya dlsb.), sehingga dalam realisasi manajemen pemerintahan

NOVI HENDRA, S.IP 2014 14

Page 15: Otonomi Daerah

terdapat beberapa Keppres yang dikeluarkan yang dalam praktek mengalahkan

kekuatan Undang-undang.

Sebagai bangsa yang besar, seharusnya kita bisa mengatasi segala persoalan

yang besar pula. Dalam sejarah bangsa ini, kita melihat kenyataan selalu bisa keluar

dari berbagai kemelut bangsa, baik mengusir penjajah, meredam berbagai

pemberontakan, dan jatuh bangunnya sistem pemerintahan yang berganti - ganti. Kita

juga telah memperlihatkan kepada dunia atas kemampuan kita mngintegrasikan

seluruh wilayah dan masyarakat Indonesia yang tersebar di berbagai wilayah yang

amat luas ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Ini bukan kerja yang asal -

asalan, tetapi pekerjaan besar, pekerjaan yang genius, berkat pimpinan negara yang

lalu. Bung Karno, seorang yang gandrung akan persatuan dan selalu bergelora bicara

masa depan bangsa. Ia hidup dalam mimpi - mimpi dan gagasan besar, tetapi yang

kurang diperhatikan adalah merumuskan atau membuat fondasi tahapan seperti apa

yang harus dilalui untuk menjadi bangsa yang besar itu. Penggantinya H.M.Soeharto,

menggerakan sejarah persatuan dengan doktrin dan kekuatan tentara. Politik menjadi

“tertib” sebab semuanya dalam bingkai dan kontrol negara. Pengelola negara yang

mestinya melayani publik, memposisikan dirinya sebagai pihak yang harus dilayani.

Pengelolaan negara dan keluarga pun menjadi wilayah yang sulit dibedakan. Dalam

tumpang tindih garis batas wilayah negara dan keluarga, praktek perkoncoan dan

kronisme pun tidak bisa dihindarkan. Baik Bung Karno maupun Pak Harto kurang

memperhatikan aspek pembngunan manusia (human development). “Politik” adalah

panglima di masa orde lama dan “stabilitas” adalah panglima di masa orde baru.

Keduanya telah mengorbankan kualitas manusia Indonesia17 Dampaknya, adalah

sangat mudah difahami kalau menurut ukuran Human Development Index (HDI),

kualitas manusia Indonesia terburuk di antara negara - negara di Asean, dimana

Indonesia berada di peringkat ke-111 di antara 175 negara di dunia, sedangkan

Malaysia yang dulu hampir seluruhnya belajar dari kita, kini di urutan ke-76, dan

Filipina di urutan ke-98. Dalam pada itu, menurut Badan Pusat Statistik 2004, kini

penduduk miskin mencapai 36,1 juta. Kondisi kemiskinan seperti ini setara dengan

keadaan 15 tahun yang lalu.18

17 Editorial Media Indonesia, Rabu, 16 Maret 2005/No.8867/Tahun XXXVI.18 Ibid, Editorial Media Indonesia.

NOVI HENDRA, S.IP 2014 15

Page 16: Otonomi Daerah

Inilah salah satu masalah cukup mendasar yang menjadi tantangan kita dalam

menghadapi krisis multidimensi, melalui kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah di

Indonesia menuju kepada proses penyelenggaraan pemerintahan yang baik (Good

governance), dan yang berpihak kepada rakyat.

6. Melihat sekilas perspektif historis.

Melalui kajian sejarah administrasi pemerintahan di Indonesia, tampak sebenarnya

adanya semacam kesinambungan upaya mewujudkan desentralisasi yang selalu berakhir

dengan munculnya praktek - praktek sentralisasi. Apakah dengan melalui Undang -

Undang Nomor 1 Tahun 1945; Undang - Undang Nomor 22 Tahun 1948. Pengecualian

terjadi pada masa berlakunya Undang - Undang Nomor 1 Tahun 1957 yang didasarkan

kepada UUDS - 1950 melalui sistem pemerintahanan yang parlementer dan dilandasi oleh

faham demokrasi yang sangat liberal.

Namun, pada masa rezim Orde Lama dengan menggunakan semangat Demokrasi

Terpimpin, setelah keluar Dekrit Presiden 5 Juli 1959, Undang - Undang Nomor 1 Tahun

1957 umurnya tidak panjang, dan keburu dipangkas dengan dikeluarkannya Penetapan

Presiden Nomor 6 Tahun 1959 yang merombak secara fundamental Undang-Undang

Nomor 1 Tahun 1957 hanya dengan sebuah “Penetapan Presiden” tanpa meminta

persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. Alasannya, sekalipun “Penetapan Presiden”

mempunyai derajat lebih rendah daripada Undang-undang, namun dasarnya adalah Dekrit

Presiden yang menyelamatkan kesatuan dan persatuan bangsa, yang hampir kolaps pada

Sidang Dewan Kontituante yang gagal membentuk UUD tetap, disamping untuk

menghapus dualisme pemerintahan yang marasuk penyelenggaraan pemerintahan pada

masa Undang - Undang Nomor 1 Tahun 1957. Itulah era Demokrasi Terpimpin dengan

semangat “Faham Negara Intergralistik”, yang sesungguhnya faham ini, sekali lagi secara

konstitutional tidak dianut di dalam UUD 1945.

Rezim Orde Lama, dengan dalih atas dasar semangat Demokrasi Terpimpin,

mempertahankan persatuan dan kesatuan bangsa, serta menghapuskan dualisme dalam

pemerintahan, dengan dikeluarkannya Undang - Undang Nomor 6 Tahun 1959, kembali

terjebak dalam pola “sentralisasi” yang merombak “sistem pemerintahan kolegial”

NOVI HENDRA, S.IP 2014 16

Page 17: Otonomi Daerah

(collegial bestuur) yang dianut dalam Undang - Undang Nomor 1 Tahun 1957 menjadi

“sistem pemerintahan tunggal” (Eenhoofdig-bestuur) dengan mengangkat dan

mendudukan Kepala Daerah sebagai “alat daerah” dan sekaligus sebagai “alat pusat”.

Dengan kebijakan ini, upaya pemerintah untuk menghapuskan “dualisme” dalam

penyelenggaraan pemerintahan, hanya berhasil menghapuskan “dualisme struktural” saja,

sedangkan dualisme dalam fungsi (dualism in function) tetap tidak terhapuskan, karena

justru penyelenggaraan pemerintahan dalam pelaksanaan fungsi “dekonsentrasi” yang

menyangkut fungsi “pemerintahan umum” (“Algemene bestuur”) yang menurut Undang -

Undang Nomor 6 Tahun 1959 tentang Penyerahan Tugas - Tugas Pemerintah Pusat dalam

bidang Pemerintahan Umum, Perbantuan Pegawai Negeri dan Penyerahan Keuangannya

kepada Pemerintah Daerah diletakkan kembali di tangan Kepala Derah dalam

kedudukannya sebagai “alat pusat”.

Dengan demikian, kedudukan dan peranan Kepala Daerah semakin diperkuat dan

semakin dominan. Itulah era pemerintahan yang disebut “Executive heavy” atau sering

juga disebut “Strong Executive System”. Itulah pula sebabnya, banyak kritikan yang

dilontarkan kepada rezim pemerintahan pada saat itu, yang menyatakan bahwa

penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia setelah Dekrit Presiden 5 Juli 1959, terutama

setelah dikeluarkannya PenPres Nomor 6 Tahun 1959 dipandang sebagai “retreat from

autonomy”.

Dengan demikian pula, terlihat adanya kausalitas antara sistem politik dan

pemerintahan yang berlaku, dengan upaya mewujudkan asas desentralisasi pemerintahan.

Pemerintah Indonesia tampaknya sangat menyadari kausalitas ini.

Oleh karena itu, pada era rezim Orde Baru diambil keputusan politik yang

menetapkan Demokrasi Pancasila sebagai landasan berpolitik bangsa. Dengan keputusan

politik tersebut, seluruh tatanan pemerintahan harus disesuaikan dengan isi dan semangat

Demokrasi Pancasila. Konsekuensinya, harus disusun Undang – Undang yang menjadi

landasan penyelenggaraan pemerintahan daerah di Indonesia. Maka keluarlah Undang -

Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok - pokok Pemerintahan di Daerah. Melalaui

Undang - Undang Nomor 5 Tahun 1974 ini pemerintah bertekad untuk mewujudkan

Otonomi Daerah. Namun, dikehendaki agar pelaksanaan Otonomi Daerah ini tidak

mengancam persatuan dan kesatuan bangsa, ataupun membahayakan kesinambungan

NOVI HENDRA, S.IP 2014 17

Page 18: Otonomi Daerah

gerak pembangunan nasional. Maka lahirlah konsep “otonomi nyata dan bertanggung

jawab”, Otonomi daerah dipandang lebih merupakan “kewajiban” daripada “hak”.

Prinsip Otonomi yang seluas - luasnya, yang digelar melalui UU No. 18 Tahun 1965 tidak

dianut lagi, karena berdasarkan pengalaman konsep ini sangat rawan disintegrasi dan

dikhawatirkan akan mengancam persatuan dan kesatuan bangsa.

Melalui konsep Undang - Undang Nomor 5 Tahun 1974 ini, pemberian otonomi

daerah dalam wujud hak dan kewenangan untuk mengatur dan mengurus rumah tangga

daerah sendiri, disesuaikan dengan kemampuan daerah, serta kerangka besar dalam

pembangunan nasional. Tampaknya, syarat - syarat semacam ini yang memunculkan

kendala baru bagi perwujudan pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia.

Penelitian yang terus menerus saya lakukan, menemukan bahwa UU Undang -

Undang Nomor 5 Tahun 1974 yang menitik beratkan pelaksanaan otonomi daerah pada

Daerah Tingkat II, demikian pula paradigma yang menyatakan bahwa azas desentralisasi

dilaksanakan bersama - sama dengan asas dekonsentrasi, ternyata kembali terjebak

dengan kecendurungan awal munculnya sentralisasi pelaksanaan administrasi

pemerintahan di Indonesia, yang dalam prakteknya dekonsentrasi lebih menonjol dan

sangat dominan, yang diletakkan di tangan Kepala Daerah dalam kedudukannya sebagai

Kepala Wilayah.

Ini adalah lagi - lagi penonjolan wajah “Eksekutif heavy” dalam era konfigurasi

politik menurut Undang - Undang Nomor 5 Tahun 1974, dimana DPRD sebagai penyalur

aspirasi rakyat dalam pengembangan demokrasi dan sebagai alat kontrol, dalam era

Undang - Undang Nomor 5 Tahun 1974 hampir - hampir tidak berfungsi, karena

didominasi oleh wewenang Kepala Daerah/ Kepala Wilayah yang sangat kuat.

Walaupun Undang - Undang ini bertahan selama lebih dari 25 tahun, dengan

menekankan bahwa titik - berat otonomi diletakkan pada Daerah Tingkat II, namun

keinginan politik ini tidak bisa direalisasikan, karena Peraturan Pemerintah sebagai

pelaksanaan Undang - Undang Nomor 5 Tahun 1974 baru dapat dikeluarkan 18 (delapan

belas) tahun kemudian, yaitu dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Nomor 45

Tahun 1992 tentang Penyelenggaraan Otonomi Daerah dengan titik berat pada Daerah

Tingkat II. Namun, Peraturan Pemerintah inipun tidak berjalan mulus, karena lagi-lagi

Pemerintah Pusat tidak konsekuen dengan kebijakannya yang mestinya Pemerintah Pusat

NOVI HENDRA, S.IP 2014 18

Page 19: Otonomi Daerah

menyerahkan sebagian urusan pemerintahan kepada Pemerintah Daerah dengan

mengutamakan penyerahannya kepada Pemerintah Daerah Tingkat II, tidak berjalan

dengan baik. Demikian pula, Pemerintah Daerah Tingkat I yang secara imperatif dalam PP

tsb diwajibkan untuk secara berangsur - angsur selambat - lambatnya dalam waktu 2 (dua)

tahun sejak dikeluarkannya PP tersebut, menyerahkan lebih lanjut kewenangan

otonominya kepada Pemerintah Daerah Tingkat II, boleh dikatakan tidak berjalan sama

sekali, karena PP tersebut tegas - tegas menyatakan bahwa kebijakan peletakan titik berat

otonomi daerah pada Daerah Tingkat II sama sekali tidak dimaksudkan untuk mengurangi

keberadaan dan peranan Pemerintah Daerah Tingkat I. Dengan demikian, eksistensi

Daerah Tingkat I sebagai “daerah otonom” tetap kuat, sedangkan Daerah Tingkat II

perkembangan otonominya tetap tersendat - sendat.

Kemudian, kebijakan desentralisasi yang telah ditetapkan pemerintah dalam

rangka reformasi perundang - undangan politik dan pemerintahan, dengan memberikan

keleluasaan penyelenggaraan otonomi daerah yang tertuang dalam Undang – Undang

Nomor 22 Tahun 1999 adalah suatu strategi dan paradigma baru dalam upaya

mewujudkan penyelenggaraan pemerintahan daerah yang kuat, bersih, bertanggung jawab

dan demokratis, dengan menggeser paradigma “Executive heavy” kepada “Legislative

heavy”, dengan lebih menonjolkan kepada keberpihakan kepada rakyat. Perumusan

“Otonomi Daerah” yang merupakan pergeseran paradigma yang berpihak kepada rakyat,

menyebutkan bahwa “Otonomi Daerah adalah kewenangan daerah otonom untuk

mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat, menurut prakarsa sendiri

berdasarkan aspirasi masyarakat………. dst.”

Sebelum terjadi perubahan Undang - Undang Nomor 22 Tahun 1999, dilihat dari

sisi hubungan kelembagaan antara Eksekutif dan Legislatif ternyata adanya hubungan

kemitraan yang sebenarnya kurang tepat (hubungan yang tidak sejajar), dimana Kepala

Daerah dipilih dan ditetapkan oleh DPRD, dan bertanggung jawab kepada DPRD, tetapi

di pasal lain menegaskan bahwa kedudukan DPRD dan Kepala Daerah adalah sejajar

sebagai mitra - kerja. Sedangkan DPRD sendiri tidak jelas bertangungg jawab kepada

siapa. Kalau bertanggung jawab kepada rakyat, tidak terdapat mekanisme yang jelas

bagaimana bentuk pertanggung jawaban DPRD tersebut. Dengan demikian, kondisi

tersebut tidak memungkinkan adanya “kemitraan” yang sejajar dan kecendurungan secara

NOVI HENDRA, S.IP 2014 19

Page 20: Otonomi Daerah

realitas posisi DPRD lebih kuat daripada Kepala Daerah, sehingga mencerminkan gejala

bahwa kewenangan DPRD lebih tinggi dari Kepala Daerah.

7. Kebijakan Pilkada yang membawa anarkhisme.

Pengalaman menunjukkan, bahwa sering terjadi ”impeachment” terhadap Kepala

Daerah hanya dengan keputusan DPRD, apakah karena LPJ - nya ditolak atau karena

sebab - sebab lain yang kecendurungan menunjukkan kekuasaan DPRD lebih tinggi dari

Kepala Daerah, meskipun menurut jiwa dan semangat Undang - Undang Nomor 22

Tahun 1999 pemberhentian Kepala Daerah tidak sepenuhnya berada dalam kompetensi

DPRD, melainkan kewenangan untuk memberhentidkan Kepala Daerah tersebut berada

pada Presiden. Inilah suatu paradigma yang cenderung lebih menjukkan “Legislative

heavy” dalam sistem Pemerintahan Daerah yang berjalan menurut Undang - Undang

Nomor 22 Tahun 1999.

Inilah pula, salah satu alasan mengapa Undang - Undang Nomor 22 Tahun 1999 diganti

dengan Undang - Undang Nomor 32 Tahun 2004. Pergantian Undang – Undang Nomor 22

Tahun 1999 dengan Undang - Undang Nomor 32 Tahun 2004 yang tujuannya antara lain

untuk mengembalikan dan mewujudkan keseimbangan dari “Legislatif heavy” kepada

“Eksekutif heavy” dan keseimbangan antara hubungan kekuasaan pusat dan daerah,

kembali terjebak kepada nuansa “re-sentralisasi” dalam penyelenggaraan otonomi daerah.

Hubungan Eksekutif – Legislatif Daerah, idenya ingin mengembangkan strategi

baru yang lebih dinamis, dimana hampir 30% pasal - pasal dalam Undang – Undang

Nomor 32 Tahun 2004 (pasal 56 s/d pasal 119) mengatur tentang Pemilihan Kepala

Daerah secara langsung. Namun, kenyataan di lapangan banyak kericuhan terjadi dalam

pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah, terjadi konflik horizontal dimana - mana, terutama

setelah salah satu “calon terpilih” dinyatakan menang dalam Pilkada tersebut. Namun

tidak jarang pula terjadi konflik vertikal, ketika salah satu calon yang diajukan oleh Parpol

ditolak oleh KPUD, belum lagi terjadinya “money politic” yang berlebih - lebihan, uang

terhamburkan dimana - mana hanya untuk memenangkan jabatan Kepala Daerah, daripada

diperuntukkan bagi kesejahteraan rakyat, ada orang yang bangkrut setelah tidak terpilih

menjadi Kepala Daerah, sebaliknya orang yang terpilih sebagai Kepala Daerah, menjadi

NOVI HENDRA, S.IP 2014 20

Page 21: Otonomi Daerah

kebingungan bagaimana mengembalikan uang biaya Pilkada yang jumlahnya milyaran

rupiah itu. Disamping itu, banyak perilaku masyarakat pemilih menjadi anarchist, merusak

gedung - gedung dan sarana pemerintahan, karena ketidak puasan hasil Pilkada, dengan

dalih pencerminan “demokrasi”, tetapi nyatanya kaostik dan anarkhis, dan banyak lagi

persoalan - persoalan yang muncul yang mencerminkan seolah - olah pemerintah tidak

mampu lagi untuk menyelesaikannya, bahkan seolah - olah ada kesan bahwa tidak ada

satu badan publikpun yang semestinya bertanggung jawab untuk menyelesaikan persoalan

- persoalan tersebut, sehingga membawa dampak instabilitas dalam pemerintahan dan

ketidak tentraman dalam masyarakat.

Sedikit saya mengutip Editorial Media Indonesia, yang berjudul “Wajah Seram

Indonesia”, a.l. sbb:

“Wajah Indonesia berubah total akhir - akhir ini. Di Era Orde Baru, wajah

Indonesia ditampar-tampar oleh Negara, demi keamanan dan pembangunan.

Sekarang, di era reformasi wajah Indonesia digebuk - gebuk oleh rakyatnya

sendiri atas nama demokrasi. Kita sekarang muncul sebagai bangsa yang gaduh.

Apa saja yang dirasa tidak sesuai dengan pikiran individu atau kelompok

diributkan, entah di parlemen, entah di jalan - jalan. Di parlemen hampir setiap

minggu kita mendengar tentang ancaman angket dan interpelasi. Di jalan raya

demonstrasi oleh warga dan anggota LSM tidak pernah putus.

Pekan-pekan ini, citra Indonesia tidak lagi sekedar bangsa yang gaduh.

Demonstrasi menentang PT Freeport di Papua yang berujung kematian tiga

anggota Polri dan satu TNI, pembakaran kamp milik PT Newmont di NTB, dan

disusul sekarang dengan aksi - aksi menentang Exxon Mobile di Blok Cepu,

memperburuk wajah kita. Indonesia tidak lagi hanya bangsa yang gaduh, tetapi

anarkistis. Bangsa yang tidak menghargai perjanjian dan komitmen. Para elite

bangsa sekarang tenggelam dalam keyakinan super - kuat seakan - akan Indonesia

begitu hebatnya, sehingga tidak memerlukan lagi orang - orang di bagian dunia

yang lain. Setiap hari kita memaki, mengecam, mengusir, dan merusak. Padahal

Indonesia sangat miskin dan lemah. Kita membutuhkan modal, keahlian, dan

teknologi. Semua ini hanya bisa diperoleh apabila kita menampilkan wajah yang

NOVI HENDRA, S.IP 2014 21

Page 22: Otonomi Daerah

menawan dan bersahabat. Tidak wajah garang yang selalu mengepal tinju dan

menghunus pedang…………….dst. dst.”19

8. Kelemahan Undang – Undang Nomor 32 Tahun 2004 dalam

penyelenggaraan Pilkada.

Ada beberapa kelemahan terdapat dalam Undang – Undang Nomor 32 Tahun 2004

yang berdampak kerancuan dalam implementasi Pilkada, antara lain:

a. Penunjukan KPUD sebagai Pelaksana Pemilihan Kepala Daerah secara Langsung

(PILKADA) adalah kurang tepat, karena tugas dan kewenangan KPU (KPUD)

adalah melaksanakan Pemilu, dan bukan melaksanakan Pilkada;

b. Pasal 57 UU No.32/2004 menyatakan bahwa Kepala Daerah dan Wakil Kepala

Daerah diselenggarakan oleh KPUD yang bertanggung jawab kepada DPRD,

namun Pasal tsb dalam judicial - review dicabut oleh Mahkamah Konstitusi.

sehingga, dalam menyelenggarakan Pilkada, KPUD tidak jelas bertanggung -

jawab kepada siapa;

c. Penyelenggaraan Pilkada merupakan kompetensi Pemerintah cq. Pemerintahan

Daerah, dan karenanya perlu dibentuk Panitia/ Komisi Pemilihan Kepala Daerah

yang unsur - unsurnya terdiri dari tokoh masyarakat, perguruan tinggi, pers dll

yang bertanggung jawab kepada Pemerintah cq. Pemerintahan Daerah;

d. Sosialisasi dan diseminasi peraturan perundang - undangan tentang Pilkada

sebagaimana tertuang dalam Undang – Undang Nomor 32 Tahun 2004 dan

Peraturan Pelaksanaannya, kurang sekali disosialisasikan kepada masyarakat luas,

sehingga masyarakat kurang memahami aturan main, semangat dan jiwa, serta

konsekuensi - konsekuensi yang bakal terjadi pada Pilkada, sehingga dalam

pelaksanaannya menimbulkan multi - interpretasi dan persepsi yang berbeda -

beda;

e. Maraknya “politik - uang” hampir di seluruh lini penyelenggaraan Pilkada, baik di

kalangan masyarakat, KPUD, para calon Kepala Daerah, termasuk Tim Suksesnya

dll.

19 Editorial Media Indonesia, 21 Maret 2006, hlm.1

NOVI HENDRA, S.IP 2014 22

Page 23: Otonomi Daerah

f. Panitia Pengawas Pilkada tidak berfungsi secara optimal.

9. Upaya menyeimbangkan hubungan antara DPRD dan Kepala Daerah.

Sesungguhnya, ideenya, kalau pemilihan Kepala Daerah dilakukan secara

langsung, maka diharapkan akan merubah perimbangan hubungan antara Eksekutif dan

Legislatif daerah, sehingga skenario format hubungan yang akan terjadi adalah sebagai

berikut:20

Pertama, DPRD akan dipilih dengan sistem proportional terbuka, ini berarti ada

tanda gambar dan sekali gus daftar nama caleg. Kalau pemilih tidak memilih nama, maka

alternatifnya adalah menusuk tanda gambar, yang berarti Elite Parpol yang akan

memegang peranan utama menentukan siapa yang akan didudukkan di lembaga legislatif

daerah. Hasil Pemilu 5 April 2004 juga menunjukkan bahwa hanya 2 orang anggota DPR

di tingkat Nasional yang benar-benar terpilih yang memenuhi “Bilangan Pembagi

Pemilih” (BPP). Masalahnya sering calon yang mendapatkan suara terbanyak, tidak

memenuhi treshold BPP yang diunjuk mewakili parpol di DPR atau DPRD dan

menimbulkan konflik internal di tubuh parpol. Kalau rakyat lebih banyak memilih tanda

gambar dan bukan orang, akibatnya, akuntabilitas individu akan berkurang, sedang

akuntabilitas kolektif akan lebih menonjol.

Kalau Kepala Daerah dipilih secara langsung, ini berarti bahwa Kepala Daerah

akan mendapatkan legitimasi penuh dari rakyat pemilih, artinya rakyat akan memberikan

legitimasi politik secara langsung kepada orang yang dipilihnya. Dengan kata lain

akuntabilitas Kepala Daerah akan lebih kuat dibanding dengan akuntabilitas DPRD,

dimana akuntabilitas Kepala Daerah lebih bersifat individu dibanding dengan akuntabilitas

DPRD yang bersifat kolegial. Akibatnya, akan terjadi pergeseran (shift) titik berat

kekuatan politik yang tadinya ke DPRD (“Legislative heavy”) akan bergeser kepada

Kepala Deerah (“Executive heavy”). Ini adalah akibat akuntabilitas Kepala Daerah yang

lebih kuat dibandingkan dengan DPRD. Kondisi tersebut akan diperkuat lagi dengan

20 I Made Suwandi, “ Implikasi Pemilihan Kepala Daerah Langsung” (Dalam koridor UU 32 Tahun 2004), LAPI, Materi Workshop, 2004, hlm. 3-4.

NOVI HENDRA, S.IP 2014 23

Page 24: Otonomi Daerah

adanya dukungan perangkat daerah kepada Kepala Daerah. Dengan demikian, jelas akan

lebih memperkuat posisi Kepala Daerah.

Kedua, konsekuensi dari pemilihan langsung, maka baik DPRD maupun Kepala

Daerah akan bertanggung jawab langsung kepada rakyat pemilih. Ini berarti, tidak lagi

Kepala Daerah bertanggung jawab kepada DPRD sekalipun DPRD mempunyai posisi

sebagai wakil rakyat, karena Kepala Derah pun akan mengklaim dirinya sebagai wakil

rakyat yang dipilih secara langsung. Persoalannya sekarang, kepada siapa Kepala Daerah

harus bertanggung jawab? Karena Kepala Derah dipilih langsung oleh rakyat, maka

seyogyanya ia (Kepala Daerah) bertanggung jawab langsung kepada rakyat. Lantas

mekanismenya bagaimana kalau Kepala Daerah bertanggung jawab langsung kepada

rakyat, dan apakah rakyat bisa memberhentikan Kepala Derah apabila rakyat tidak

menyukai atau mempercayainya lagi. Di negara - negara maju, seperti di Amerika,

Kepala Derah dapat diberhentikan oleh rakyat apabila diatas 50% pemilih menyatakan

tidak menghendaki lagi Kepala Daerah ybs. Kondisi ini, akan berjalan baik, apabila

pendidikan politik rakyat sudah mantap, seperti di Amerika. Namun, kalau cara - cara

tersebut diterapkan di Indonesia, dimana pendidikan politik rakyat belum mantap,

pelaksanaan demokrasi tendensinya anarkhis, maka sudah bisa dipastikan akan terjadi

instabilitas dalam pemerintahan daerah, dimana di kalangan masyarakat Indonesia masih

kental cara - cara “money politics” dalam pemilihan Kepala Daerah, maka dengan imbalan

uang, rakyat akan dengan mudah digerakkan untuk memilih seseorang calon Kepala

Derah, demikian juga sebaliknya rakyat akan dengan mudah digerakkan untuk

menjatuhkan Kepala Daerah dengan cara - cara yang sama. Sebagai konsekuensinya,

pemerintahan yang tidak stabil sudah barang tentu akan mengganggu stabilitas keamanan

dan counter - productive terhadap laju pertumbuhan dan investasi, yang pada gilirannya

kondisi tersebut akan menciptakan krisis yang berkepanjangan. Karena itu, dalam rangka

pemilihan Kepala Derah perlu adanya sosialisasi dan pendidikan politik yang intensif bagi

rakyat pemilih, supaya mereka menyadari bahwa sekali mereka memilih Kepala Daerah

maka mereka akan menanggung segala konsekuensi dari pilihannya tersebut. Karenanya

perlu penegasan dan difahami oleh rakyat bahwa pemberhentian Kepala Derah hanya

dapat dilakukan apabila ybs melakukan tindak - pidana, mengundurkan diri atau tidak lagi

mampu menjalankan tugasnya sebagai Kepala Derah sebagaimana ditentukan dalam

NOVI HENDRA, S.IP 2014 24

Page 25: Otonomi Daerah

perundang - undangan. Demikian juga dengan posisi DPRD, dengan diberlakukannya

Undang – Undang Nomor 31 Tahun 2002 tentang Parpol, Undang – Undang Nomor 22

Tahun 2003 tentang Susduk, anggota DPRD dapat di re-call oleh pimpinan Parpolnya.

Dalam pada itu ada Badan Kehormatan dalam lembaga DPRD yang nantinya akan

menerima komplain dari masyarakat tentang anggota DPRD dan dapat memberhentikan

anggota DPRD apabila anggota DPRD terbukti melanggar tata - tertib dan kode - etik

DPRD.

Ketiga, DPRD diharapakan akan tetap mempunyai otoritas di bidang legislasi,

anggaran dan kontrol, sesuai dengan hak-haknya sebagaimana ditentukan dalam

peraturan perundang - undangan. Apabila mereka mampu mempergunakan kewenangan

dan hak - hak tersebut secara effektif, maka diharapkan DPRD sedikit - banyak akan

mampu mengimbangi kekuatan Eksekutif. Namun, kalau kualitas anggota DPRD tetap

seperti sekarang, tanpa adanya kemajuan yang berarti, maka akan sulit bagi DPRD untuk

mengimbangi kekuatan dan kinerja eksekutif yang didukung oleh perangkat daerah yang

professional. DPRD yang lemah, berpotensi untuk melemahkan fungsi kontrol terhadap

eksekutif, fungsi legislasi dalam membuat kebijakan, dan fungsi anggaran dalam

menetapkan dan mendayagunakan potensi anggaran daerah, sehingga akan menciptakan

kondisi “Executive heavy” seperti terjadi puluhan tahun pada masa orde baru. Oleh karena

itu, untuk menciptakan “check and balances” yang seimbang, maka rakyat sebagai “stake -

holders” utama dalam penyelenggaraan otonomi daerah, perlu digerakkan agar mampu

menjadi “pressures and supporters”, baik kepada DPRD maupun kepada Kepala Daerah

melalui upaya revitalisasi LSM, Forum Komunikasi, Organisasi professi dll yang berbasis

demokrasi, professionalisme, serta ethik dan moral.

Keempat, harus ada perubahan yang signifikan terhadap konstruksi pemerintahan

daerah, terutama yang menyangkut kejelasan antara “pejabat politik” (Kepala Daerah dan

DPRD) dengan “Pejabat non - politik” (Pejabat karier). Pejabat politik adalah pejabat yang

bertugas merumuskan dan menetapkan “kebijakan publik”, sedangkan pejabat karir adalah

pejabat yang melaksanakan/ mengoperasionalkan kebijakan tersebut kedalam bentuk

pelayanan publik atau pemenuhan kebutuhan publik. Dengan diberlakukannya Undang –

Undang Nomor 22 Tahun 1999 terdapat masalah kepegawaian daerah, a.l. dengan

diberikannya kewenangan manajemen kepegawaian sebagaimana diatur dalam Pasal 76

NOVI HENDRA, S.IP 2014 25

Page 26: Otonomi Daerah

Undang - Undang Nomor 22 Tahun 1999, terjadi kecendurungan kooptasi oleh kekuatan

politik di daerah, baik dari pihak Kepala Daerah maupun dari DPRD, misalnya banyak

kasus terjadi pemberhentian Sekda oleh Kepala Daerah/ DPRD tanpa alasan yang jelas.

Untuk memberikan keleluasaan kepada Daerah di bidang manajemen kepegawaian, maka

Daerah sebaiknya dilibatkan dalam proses rekrutmen, placement, development dan

appraisal dari PNS Daerah, artinya unsur - unsur “separated system” dalam manajemen

kepegawaian, diberikan kepada daerah dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah,

dan “integrated system” diterapkan dalam rangka menjaga keseimbangan antara

kepentingan nasional dan otonomi daerah, karena bagaimanapun juga posisi PNS tetap

harus difungsikan sebagai perekat negara dan bangsa disamping professionalisme pegawai

yang perlu terus ditingkatkan.

3. APRESIASI KEBIJAKAN DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH

MENURUT PERSPEKTIF UNDANG - UNDANG NOMOR 22 TAHUN

1999.

Kebijakan desentralisasi yang telah ditetapkan pemerintah dalam rangka reformasi

perundang - undangan politik dan pemerintahan, dengan memberikan keleluasaan

penyelenggaraan otonomi daerah yang tertuang dalam Undang – Undang Nomor 22

Tahun 1999 adalah suatu strategi dan paradigma baru dalam upaya mewujudkan

penyelenggaraan pemerintahan daerah yang kuat, bersih dan bertanggung jawab, serta

berpihak kepada rakyat.

Berbagai upaya dan terobosan politik telah banyak dilakukan dalam rangka

membangun pemerintahan daerah yang baik dan berpihak kepada rakyat. Dengan melihat

perspektif historis ketata-negaraan Indonesia, Pemerintah NKRI telah berhasil

mengundangkan berbagai perundang - undangan pemerintahan daerah yang diwarnai

dengan berbagai perkembangan konfigurasi politik sejak lahirnya Undang – Undang

Nomor 1 Tahun 1945, Undang - Undang Nomor 22 Tahun 1948, Undang - Undang

Nomor 32 Tahun 1956, Undang - Undang Nomor 1 Tahun 1957, Undang - Undang

Nomor 6 Tahun 1959, Penetapan Presiden (PenPres) No. 6 Tahun 1959, PenPres No. 5

NOVI HENDRA, S.IP 2014 26

Page 27: Otonomi Daerah

Tahun 1960, Undang - Undang Nomor 18 Tahun 1965, Undang - Undang Nomor 5 Tahun

1974 dan Undang - Undang Nomor 5 Tahun 1979, sampai kepada paket kebijakan

terakhir, yaitu Undang - Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan

Undang – Undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara

Pemerintah Pusat dan Daerah.

Namun demikian, tidak dapat dipungkiri bahwa paket Undang - Undang Nomor 22

dan 25 Tahun 1999 sebagai produk kebijakan politik desentralisasi dan otonomi daerah

pada masa pemerintahan transisi, masih mengandung berbagai kelemahan dan masalah,

baik ditinjau dari tataran konsep maupun tataran operasional.

Yang menjadi fokus pertanyaan adalah apakah kebijakan desentralisasi dan

otonomi daerah yang dituangkan dalam Undang – Undang Nomor 22 Tahun 1999 itu, baik

secara konsep akademik maupun operasional signifikan dalam upaya menerapkan prinsip

- prinsip akuntabilitas publik dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah, terutama

dalam mewujudkan pemerintahan daerah yang baik, bersih, berwibawa dan bertanggung

jawab (“Good Governance”) serta berpihak kepada rakyat. Hal tersebut, adalah suatu

prasyarat yang harus terjawab dalam upaya menjalankan “keinginan politik” (political

will”) pemerintah untuk menjadikan Daerah Otonom yang mandiri berdasarkan prinsip -

prinsip demokrasi, peran serta masyarakat, pemerataan dan keadilan, serta memperhatikan

potensi dan keanekaragaman daerah, peningkatan daya saing daerah, serta menjamin tetap

terjaga dan terpeliharanya Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Berbagai pendapat dan pandangan telah banyak dilontarkan orang terhadap

kelahiran Undang – Undang Nomor 22 Tahun 1999 dan Undang – Undang Nomor 25

Tahun 1999. Ada yang menganggap Undang – Undang Nomor 22 Tahun 1999 terlalu luas

memberikan kewenangan kepada daerah, sehingga dengan keleluasaan (“discretionary

power”) yang diberikan kepada Daerah, dikhawatirkan akan menimbulkan perpecahan

(“disintegrasi”) karena terkotak - kotaknya antara daerah yang satu dengan daerah yang

lain, dan tidak terkendalinya oleh pemerintah pusat, yang akhirnya daerah yang merasa

sangat kuat akan tidak peduli terhadap daerah lainnya, sehingga timbul kesenjangan antar

daerah dan laju pertumbuhan antar daerah, yang pada gilirannya akan mengakibatkan

lemahnya persatuan dan kesatuan bangsa. Bahkan ada yang beranggapan bahwa dengan

otonomi daerah ini, dikhawatirkan akan memindahkan birokrasi pusat ke daerah dengan

NOVI HENDRA, S.IP 2014 27

Page 28: Otonomi Daerah

segala ekses -eksenya seperti korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) akan merajalela di

daerah, arogansi kekuasaan, egoisme kedaerahan yang sempit, timbulnya raja - raja kecil

di daerah dlsb.

Namun sebaliknya, ada pula yang beranggapan bahwa Undang - Undang ini masih

jauh dari harapan, dan masih berbau “status quo”, pemerintah yang menamakan dirinya

sebagai “pemerintah orde reformasi” nyatanya tidak reformis dan dalam memberikan

otonomi kepada daerah, masih setengah hati. Apalagi Undang – Undang Nomor 25 Tahun

1999 dengan segala peraturan pelaksanaannya, dianggapnya masih terlalu berorientasi ke

pusat, adanya arogansi pusat dengan pencerminan pembagian sumber - sumber keuangan

yang tidak proportional, tidak adil dan sangat berat ke pusat.

Dalam pada itu, sebagian masyarakat beranggapan bahwa Undang – Undang

Nomor 22 Tahun 1999 dan Undang – Undang Nomor 25 Tahun 1999 mampu menjawab

tuntutan demokrasi, desentralisasi dan otonomi yang kini semakin nyaring terdengar,

sementara sebagian lainnya justru menganggap kedua UU tersebut sebagai sumber

malapetaka bagi beberapa daerah tertentu dan bahkan bagi Indonesia.21 Maraknya korupsi

di daerah, baik yang dilakukan oleh para pejabat Eksekutif, maupun para anggota badan

Legislatif (DPRD) membuktikan kebenaran anggapan masyarakat tersebut.

Ditinjau dari perspektif Daerah, kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah

menurut Undang – Undang Nomor 22 Tahun 1999 dan Undang – Undang Nomor 25

Tahun 1999 adalah merupakan angin segar dan sangat menguntungkan daerah, karena

sebagian besar kewenangan dan sumber keuangan telah diserahkan kepada daerah,

terutama Daerah Kabupaten/Kota, sehingga daerah bisa mengatur dan mengurus

kepentingan masyrakat setempat. Inilah sesungguhnya yang didambakan oleh daerah sejak

lama. Namun, ditinjau dari perspektif nasional, pemerintah pusat yang telah memberikan

kewenangan yang luas kepada daerah sebagaimnana ditetapkan dalam Pasal 7 ayat (1) dan

Pasal 11 Undang – Undang Nomorr 22 Tahun 1999, justru merasa sangat risau dan

khawatir terhadap eksistensi Negara Kesatuan Republik Indonesia, karena sisa

kewenangannya sangat dibatasi. Demikian pula, otonomi daerah yang diberikan kepada

daerah Propinsi sangat terbatas yang hanya meliputi kewenangan yang bersifat lintas

kabupaten/ kota sebagaimana diatur dalam Pasal 9 Undang – Undang Nomor 22 Tahun

21 Pande Radja Silalahi, “Implikasi Kebijakan Ekonomi Pemerintah Pusat dan Pembangunan Ekonomi di Daerah”, dalam Jurnal CSIS, Tahun XXXIX/2000, No.1, hlm.87.

NOVI HENDRA, S.IP 2014 28

Page 29: Otonomi Daerah

1999 dan PP 25/2000. Inilah pula antara lain salah satu pertimbangan mengapa Undang –

Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang pemerintahan daerah yang baru berumur kurang

dari 5 (lima) tahun telah diganti dengan Undang – Undang yang baru, yaitu Undang –

Undang Nomor 32 Tahun 2004, dan Undang – Undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang

Perimbangan keuangan antara pusat dan daerah telah diganti dengan Undang – Undang

Nomor 33 Tahun 2004.

Konsep hubungan kekuasaan antara pemerintah pusat dan daerah menjadi penting

untuk dikaji, karena ia merupakan salah satu komponen utama dari fondasi yang

menopang keberadaan “bangunan” desentralisasi dan otonomi daerah. Dengan kata lain,

karakteristik desentralisasi dan otonomi daerah yang diterapkan dalam suatu negara,

antara lain, sangat ditentukan oleh format pengaturan distribusi kekuasaan antara

pemerintah pusat dan daerah. Kategorisasi, seperti – desentralisasi politik, desentralisasi

administrasi, otonomi luas, otonomi terbatas, dan otonomi khusus – semuanya sangat

ditentukan oleh seberapa jauh kekuasaan dan wewenang yang dimiliki oleh pemerintah

daerah.22 Oleh karena itu, ditinjau dari tataran teoritis, karakteristik hubungan kekuasaan

antara pemerintah pusat dan daerah telah didudukkan sebagai variabel penting yang

membedakan dua konsep antara perspektif “desentralisasi politik” (“political

decentralization perspective”) dan perspectif “desentralisasi administrative”

(“administrative decentralization perspective”)23

Salah satu hal yang amat penting dan mungkin terlupakan adalah bahwa

urusan/kewenangan yang sudah dimiliki oleh Daerah otonom sejak pembentukannya

dengan Undang - Undang yang secara materiil sudah diserahkan kepada Daerah ybs, yang

menurut Undang – Undang Nomor 22 Tahun 1999 (Pasal 7, 8, dan 11 serta penjelasannya)

harus ada “pengakuan” (“erkennen”) dari Pemerintah sampai sekarang belum dijalankan

secara tuntas sampai dicabutnya Undang – Undang Nomor 22 Tahun 1999 oleh Undang –

Undang Nomor 32 Tahun 2004.

4. TINJAUAN TEORITIS: PANDANGAN TENTANG DESENTRALISASI

DAN OTONOMI DAERAH.

22 Syarif Hidayat, “Evaluasi UU No.22 Tahun 1999: Tinjauan Kritis atas Konsep Hubungan Kekuasaan Pusat – Daerah”, dalam “Evaluasi Implementasi Otonomi Daerah”, Pusat Penelitian Politik, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (P2P-LIPI), 2002, hlm.1123 Ibid., hlm.11.

NOVI HENDRA, S.IP 2014 29

Page 30: Otonomi Daerah

Konsep desentralisasi sering dibahas dalam konteks pembahasan mengenai sistem

penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan. Pada masa sekarang, hampir setiap

negara bangsa (nation state) menganut desentralisasi sebagai suatu asas dalam sistem

penyelenggaraan pemerintahan negara. Walaupun demikian, desentralisasi bukan

merupakan sistem yang berdiri sendiri, melainkan merupakan rangkaian kesatuan dari

suatu sistem yang lebih besar.

Suatu negara bangsa menganut desentralisasi bukan pula merupakan alternatif dari

sentralisasi, karena antara desentralisasi dan sentralisasi tidak dilawankan dan karenanya

tidak bersifat dikotomis, melainkan merupakan sub - sub sistem dalam kerangka sistem

organisasi negara. Karenanya suatu negara bangsa merupakan genus dari species

desentralisasi dan sentralisasi. Akan tetapi, pengertian desentralisasi tersebut sering

dikacaukan (interchangeably) dengan istilah - istilah lainnya, seperti decenralization,

devolution, deconcentration, desentralisasi politik (political decentralization),

desentralisasi administratif (adminisrative decentralization), desentralisasi teritorial

(territoriale decentralisatie), desentralisasi jabatan (ambtelijke decentralisatie),

desentralisasi fungsional, otonomi dan medebewind, dan sebagainya. Berbagai definisi

tentang desentralisasi dan otonomi telah banyak dikemukakan oleh para penulis yang

sudah barang tentu pada umumnya didasarkan pada sudut pandang yang berbeda.

Walaupun begitu, beberapa batasan perlu diajukan sebagai bahan perbandingan

dan bahasan dalam upaya menemukan pengertian yang mendasar tentang pelaksanaan

otonomi daerah sebagai manifestasi dari politik desentralisasi. Salah satu batasan tentang

desentralisasi yang sering dibahas adalah: “decentralization refers to the transfer of

authority away from the national capital whether by deconcentration (i.e. delegation) to

field offices or by devolution to local authorities or local bodies”24

Batasan ini dimaksudkan untuk menjelaskan proses penyerahan wewenang dari

pusat kepada organ di daerah melalui dua cara, yaitu melalui deconcentration atau

devolution. Kalau deconcentration melalui delegasi kekuasaan kepada pejabat -

pejabatnya di daerah, sedangkan devolution kepada badan - badan politik di daerah yang

disebut pemerintah daerah. Disini, tidak dijelaskan isi dan keluasan kewenangan tersebut

24 United Nations, Technical Assistant Progame, Decentralization for National and Local Development, Departement of Economic and Social Affair, Division for Public Administration, New York: United Nations, 1962, hlm.3.

NOVI HENDRA, S.IP 2014 30

Page 31: Otonomi Daerah

serta konsekuensi-konsekuensi apa penyerahan itu bagi organ - organ di daerah, karena itu

adalah kompetensinya politik desentralisasi. Batasan itu lebih memfokuskan kepada

bentuk - bentuk atau macam - macam decentralization. There are two principal forms of

decentralization of governmental powers and functions are deconcentration to area

offices of administration and devolution to state and local authorities.25 Yang dimaksud

dengan area offices of administration adalah suatu perangkat wilayah yang berada di luar

kantor pusat. Kepada pejabatnya oleh departemen pusat dilimpahkan wewenang dan

tanggung jawab bidang tertentu yang bertindak sebagai perwakilan departemen pusat

untuk melaksanakan fungsi bidang tertentu yang bersifat administratif tanpa menerima

penyerahan penuh kekuasaan (final authority). Pertanggungjawaban akhir tetap berada

pada departemen pusat (the arrangement is administrative in nature and implies no

transfer of final authority from the ministry, whose responsibility continues).26Jadi, hal ini

berbeda dengan devolution, dimana sebagian kekuasaan yang diserahkan kepada badan

politik di daerah itu merupakan kekuasaan penuh untuk mengambil keputusan, baik secara

politik maupun administrasi. Sifatnya adalah penyerahan nyata berupa fungsi dan

kekuasaan, bukan hanya sekedar pelimpahan. Dengan demikian bentuk devolution

merupakan type of arrangement having a political as well as an administrative

character.27

Dalam kenyatannya memang ada dua bentuk decentralization, yaitu yang bersifat

administatif (administative decentralization) dan yang bersifat politik (political

decentralization). Desentralisasi administratif adalah suatu delegasi wewenang

pelaksanaan yang diberikan kepada pejabat pusat di tingkat lokal. Para pejabat tersebut

bekerja dalam batas - batas rencana dan sumber pembiayaan yang sudah ditentukan,

namun juga memiliki keleluasaan, kewenangan dan tanggung jawab tertentu dalam

mengembangkan kebijaksanaan pemberian jasa dan pelayanan di tingkat lokal.

Kewenangan itu bervariasi, mulai dari penetapan peraturan-peraturan yang sifatnya pro -

forma sampai kepada keputusan - keputusan yang lebih substansial. Sedangkan

desentralisasi politik, yaitu wewenang pembuatan keputusan dan kontrol tertentu terhadap

25 United Nations, Handbook of Public Administration, Current Concept and Pracice with Special Reference to Developing Countries, Department of Economics and Social Affair, New York: UN, 1961, hlm.64. 26 Ibid., hlm.64.27 Ibid.

NOVI HENDRA, S.IP 2014 31

Page 32: Otonomi Daerah

sumber - sumber daya yang diberikan kepada badan - badan pemerintah regional dan

lokal.28

Pengertian ini lebih menekankan kepada dampak atau konsekuensi penyerahan

wewenang untuk mengambil keputusan dan kontrol oleh badan - badan otonom daerah

yang menuju kepada pemberdayaan (empowerment) kapasitas lokal. Yang perlu menjadi

perhatian disini adalah, bahwa desentralisasi, baik secara politik maupun administrasi

merupakan salah satu cara untuk mengembangkan kapasitas lokal, dimana kekuasaan dan

pengaruh cendurung bertumpu pada sumber daya. Jika suatu badan lokal diserahi

tanggung jawab dan sumber daya, kemampuan untuk mengembangkan otoritasnya akan

meningkat. Sebaliknya, jika pemerintah lokal semata - mata hanya ditugaskan untuk

mengikuti kebijakan nasional, maka para pemuka dan warga masyarakat akan mempunyai

investasi kecil saja di dalamnya.29 Akan tetapi, jika suatu unit lokal diberi kesempatan

untuk meningkatkan kekuasaannya, kekuasaan pada tingkat nasional tidak dengan

sendirinya akan menyusut. Pemerintah Pusat malah mungkin memperoleh respek dan

kepercayaan karena menyerahkan proyek dan sumber daya kepada unit lokal, dan dengan

demikian akan meningkatkan pengaruh serta legitimasinya.30

Dengan demikian, Konsep desentralisasi yang menekankan kepada salah satu cara

untuk memberdayakan kapasitas lokal, dapat didjadikan titik tolak pemikiran dalam

rangka mengembangkan penyelenggaraaan otonomi daerah di Indonesia, terutama untuk

mempengaruhi elit birokrasi dan pengambil keputusan di pusat yang nampaknya belum

sepenuh hati rela menyerahkan berbagai kewenangan dan sumber daya kepada daerah,

karena kekhawatiran timbulnya disintegrasi dalam pelaksanaan otonomi daerah, yang

sesungguhnya hal itu dikarenakan “konflik kepentingan” antara individu-individu di

Pusat dan Daerah. Kalau ada orang yang berpendapat bahwa pemberian otonomi kepada

daerah dapat menimbulkan disintegrasi dan karenanya harus diwaspadai,31 saya justru

berpendapat sebaliknya, bahwa hak - hak dan kewenangan otonomi daerah yang ditahan -

28 Bryant, Carolie dan Louise G., White, Managing Development in the Third World, terjemahan Rusyant “Manajemen Pembangunan untuk Negara Berkembang”, Jakarta: LP3ES, 1987, hlm. 213-214. 29 Ibid., hlm.215.30 Ibid., hlm.215-216.31 Midjaja, Subarda, “Pidato Pengarahan pada Pembukaan Sespanas-Seskoad, Bandung, 20 Januari 1992, dalam Ateng Syafrudin, Pendayagunaan Otonomi Daerah yang Bertitik Berat pada Daerah Tingkat II dan Implikasinya pada Manajemen Pembangunan, Makalah disajikan dalam diskusi terbatas, 5-6 September 1992, diselenggarakan oleh Pusat Penelitian Sumber Daya Manusia dan Lingkungan, Bandung: Unpad, hlm.1.

NOVI HENDRA, S.IP 2014 32

Page 33: Otonomi Daerah

tahan, jutru akan menimbulkan “disintegrasi”, resistensi dan pembangkangan daerah

terhadap pusat, bahkan kebanyakan orang sekarang mempersoalkan kapan dan bagaimana

peletakkan otonomi pada daerah tingkat lokal itu akan dilaksanakan, bukan mepersoalkan

kekhawatiran disintegrasi.32

Sejalan dengan pendapat Bryant, Rondinelli (1988) lebih luas memaparkan konsep

decentralization dengan memberikan batasan sebagai berfikut:

“the transfer of planning, decision making, or administrative authority from the

central government to its field organizations, local adminisrative units, semi-

autonomous and parastatal organizations, local government, or non -

governmental organizations.”

Dengan batasan ini, Rondinelli membedakan 4 (empat) bentuk decentralization,

yaitu: deconcentration; delegation to semi - autonomous and parastatal agencies;

devolution to local government; and non - governmental institutions. Dengan demikian,

keempat bentuk decentralization ini merupakan species dari genus decentralization.

Menurutnya, decentralization dalam bentuk deconcentration, sebagai bentuk

pertama, pada hakekatnya hanya merupakan pembagian kewenangan dan tanggung jawab

administratif antara departemen pusat dengan pejabat pusat di lapangan. Pendapat ini tidak

berbeda dengan pendapat Bryant. Selanjutnya dikatakan bahwa kewenangan dan tanggung

jawab yang diberikan lebih banyak berupa shifting of workload from a central government

ministry or agency headquarters to its own field staff located in offices outside of the

national capital without transferring to them the authority to make decisions or to

exercise discretion in carrying them out.33 Oleh karena itu, kalau suatu sistem pemerintah

daerah yang kebijakannya lebih mengutamakan deconcentration daripada devolution,

maka sudah bisa dibayangkan tidak akan mendorong kepada pemberdayaan masyarakat

lokal, karena dalam deconcentration semua keputusan sudah ditetapkan, baik di pusat

maupun di daerah tanpa mengikutsertakan masyarakat lokal.

Bentuk yang kedua tidak akan saya bahas, saya akan lebih memfokuskan kepada

bentuk yang ketiga yang ada relevansinya atau setidaknya sebagai perbandingan dengan 32 Ateng Syafrudin, Ibid.33 Rondinelli, Dennis A, and Cheema, G. Shabbir, “Implementing Decentralization Policies: An Introduction, dalam Rondinelli, Dennis A, and Cheema, G. Shabbir, Decentralization and Development, Policy Implementation in Developing Countries, California, SAGE Publications Inc., Beverly Hills, 1988, hlm. 18-19.

NOVI HENDRA, S.IP 2014 33

Page 34: Otonomi Daerah

kebijakan desentralisasi di Indonesia, meskipun harus tetap disesuaikan dengan prinsip -

prinsip pembagian kewenangan dan prinsip - prinsip hubungan pusat – daerah dalam

NKRI.

Bentuk ketiga dari decentralization yang lebih relevan dengan perkembangan

politik dan pemerintahan di Indonesia adalah devolution to local government.

Konsekuensi dari devolution ini, Pemerintah pusat membentuk unit - unit atau badan -

badan pemerintahan di luar pemerintah pusat dengan menyerahkan sebagian fungsi

tertentu untuk dilaksanakan secara independen (mandiri).

Ada beberapa karakteristik bentuk devolution sebagai berikut:

Pertama, unit pemerintahan bersifat otonom, mandiri (independent) dan secara

tegas terpisah dari tingkat - tingkat pemerintahan. Pemerintah pusat tidak melakukan

pengawasan langsung terhadapnya;

Kedua, unit pemerintahaan tersebut diakui mempunyai batas - batas wilayah yang

jelas dan legal, dan mempunyai wewenang untuk melakukan tugas - tugas umum

pemerintahan;

Ketiga, unit pemerintahan daerah tersebut berstatus sebagai badan hukum dan

berwenang mengelola dan memanfaatkan sumber - sumber daya untuk mendukung

pelaksanaan tugas - tugas umum pemerintahan;

Keempat, unit pemerintahan daerah tersebut diakui oleh warganya sebagai suatu

lembaga yang akan memberikan pelayanan kepada masyarakat guna memenuhi kebutuhan

mereka. Oleh karena itu, pemerintah daerah ini mempunyai pengaruh dan kewibawaan

terhadap warganya (credibility; vertrauwen);

Kelima, terdapat hubungan kesetaraan dan saling menguntungkan melalui

koordinasi antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah serta unit - unit organisasi

lainnya dalam suatu sistem pemerintahan.

Dengan memperhatikan ciri - ciri karakteristik tersebut, nampaknya ada beberapa

hal kemiripan kebijakan desentralisasi yang sedang dilancarkan di Indonesia, terutama

dalam Undang – Undang Nomor 22 Tahun 1999, namun dalam beberapa hal masih

terdapat perbedaan, misalnya kewenangan untuk mengelola dan memanfaatkan sumber

daya nasional, bagi daerah di Indonesia masih sangat terbatas. Kalau kita bandingkan

NOVI HENDRA, S.IP 2014 34

Page 35: Otonomi Daerah

dengan sistem di Indonesia, ciri - ciri Kesatu dan Ketiga, boleh dikatakan mirip dengan

Indonesia, namun ciri yang Keempat adalah justru menjadi “tantangan” bagi pemerintah

daerah di Indonesia pada umumnya, oleh karena kita masih melihat bahwa segala

keinginan atau tuntutan masyarakat seringkali tidak diajukan kepada pemerintah daerah

setempat, melainkan langsung ke Pusat karena kurangnya “keterpercayaan” terhadap

pemerintah daerah setempat yang dipandangnya tidak bakalan dapat menyelesaikan

permasalahan di daerah. Sedangkan ciri yang Kelima, justru kita tidak memiliki

kesetaraan antara Pemerintah Pusat dan Daerah, karena prinsip desentralisasi yang dianut

dalam NKRI, bahwa kedudukan pemerintah daerah adalah “tergantung” (dependent) dan

karenanya Pemerintah Daerah berada “dibawah” (subordinated) Pemerintah Pusat,

sehingga prinsip ini tidak sejalan dengan prinsip hubungan pusat – daerah dalam NKRI.

Konsep decentralization ini didasarkan kepada adanya perhatian yang semakin

besar untuk memberikan keleluasaan decentralization dalam kewenangan perencanaan,

pengambilan keputusan dan administrasi yang pada tahun 1970-an, disebut sebagai the

second wave of decentralization, dengan didorong oleh tiga hal kekuatan sebagai berikut:

Pertama, melihat kenyataan hasil yang tidak memuaskan akibat perencanaan

pembangunan dan kontrol administrasi secara terpusat yang berjalan sekitar tahun 1950

dan 1960-an; Kedua, melihat perlunya dikembangkan cara - cara baru dalam mengelola

program dan proyek serta administrasi pembangunan yang meliputi strategi pertumbuhan

dan pemerataan yang dijalankan selama tahun 1970-an; Ketiga, melihat kenyataan

kehidupan masyarakat semakin kompleks, kegiatan pemerintahan semakin meluas,

sehingga semakin sulit untuk mencapai efisiensi dan efektifitas apabila semua

perencanaan dan kegiatan pembangunan dipusatkan pada pemerintah pusat.

Dari berbagai batasan dan pengertian yang dikemukakan diatas, ternyata

decentralization tidak berdiri sendiri, melainkan decentralization sebagai genus dan

mempunyai species yang bermacam - macam. Namun Mawhood (1987 : 9) dengan tegas

mengatakan bahwa decentralization adalah devolution of power from central to local

governments. Sementara deconcentration yang dalam hal ini oleh Mawhood telah

dipersamakan dengan administrative decentralization, didefinisikan sebagai the ransfer of

administrative responsibility from central to local government.34 Dengan demikian,

34 Diana Conyers (1984), dalam Syarif Hidayat dan Bhenyamin Hoessein, “Desentralisasi dan Otonomi Daerah: Perspektif Teoritis dan Perbandingan”, dalam Paradigma Baru Otonomi

NOVI HENDRA, S.IP 2014 35

Page 36: Otonomi Daerah

Mawhood tidak menjadikan decentralization sebagai genus dengan species devolution dan

deconcentration, melainkan memisahkan antara decentralization dan deconcentration.

Kalau kita bandingkan dengan versi kontinental, pada prinsipnya sama

mendudukan decentralization sebagai genus dengan species yang bermacam-macam,

hanya dengan istilah yang berbeda. Menurut versi kontinental, desentralisasi digolongkan

menjadi dua, yaitu ambtelijke decentralisatie dan staatskundige decentralisatie yang

dibagi lagi menjadi territoriale decentralisatie dan functionele decentralisatie. Yang

dimaksud dengan ambtelijke decentralisatie, adalah pemberian (pemasrahan) kekuasaan

dari atas kebawah di dalam rangka kepegawaian, guna kelancaran pekerjaan semata -

mata. Sedangkan yang dimaksud dengan staatskundige decentralisatie merupakan

pemberian kekuasaan untuk mengatur bagi daerah di dalam lingkungannya guna

mewujudkan asas demokrasi pemerintahan negara, sehingga dengan demikian,

decentralisatie tsb mempunyai dua wajah, yaitu autonomie dan medebewind atau

zelfbestuur.35

Dalam hubungan ini, dapat dipahami bahwa pengertian decentralisatie sebagai

“staatskundige decentralisatie” (desentralisasi ketatanegaraan) merupakan pelimpahan

kekuasaan pemerintahan dari pusat kepada daerah - daerah untuk mengurus rumah

tangganya sendiri (daerah - daerah otonom). Desentralisasi ini adalah sistem untuk

mewujudkan asas demokrasi yang memberikan kesempatan kepada rakyat untuk ikut serta

dalam proses penyelenggaraan kekuasaan negara.

Menurut konsep ini, desentralisasi lazim dibagi dalam dua macam: Pertama,

dekonsentrasi (deconcentration) atau ambtelijke decentralisatie adalah pelimpahan

kekuasaan dari alat perlengkapan negara tingkat lebih atas kepada bawahannya guna

melancarkan pelaksanaan tugas pemerintahan. Dalam desentralisasi semacam ini rakyat

tidak diikut sertakan; Kedua, desentralisasi ketatanegaraan (staatskundige decentralisatie)

atau juga disebut “desentralisasi politik” (politieke decentralisatie) adalah pelimpahan

kekuasaan perundangan dan pemerintahan (regelende en bestuurende bevoegheid) kepada

daerah - daerah otonom di dalam lingkungannya. Di dalam desentralisasi politik atau

ketatanegaraan ini, rakyat dengan mempergunakan berbagai saluran tertentu (perwakilan)

Daerah, Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (P2P-LIPPI), 2001, hlm.24.35 Didiskusikan dalam Bagir Manan, “Hubungan antara Pusat dan Daerah berdasarkan Azas Desentralisasi Menurut UUD 1945”, Disertasi Untuk Memperoleh Gelar Doktor Dalam Ilmu Hukum pada Universitas Padjadjaran, Bandung, 1990, hlm.19.

NOVI HENDRA, S.IP 2014 36

Page 37: Otonomi Daerah

ikut serta di dalam pemerintahan. Desentralisasi ketatanegaraan (staatskundige

decentralisatie) ini dibagi lagi menjadi dua macam: a) desentralisasi teritorial (territoriale

decentralisatie), yaitu pelimpahan kekuasaan untuk mengatur dan mengurus rumah tangga

daerah masing - masing (otonom); b) desentralisasi fungsional (functionele

decentralisatie), yaitu pelimpahan kekuasaan untuk mengatur dan mengurus sesuatu atau

beberapa kepentingan tertentu. Di dalam desentralisasi semacam ini dikehendaki agar

kepentingan - kepentingan tertentu diselenggarakan oleh golongan - golongan yang

bersangkutan sendiri. Kewajiban pemerintah dalam hubungan ini hanyalah memberikan

pengesahan atas segala sesuatu yang telah ditetapkan oleh golongan-golongan

kepentingan tersebut.36 Kedua pandangan ini membagi desentralisasi teritorial (territoriale

decentralisatie) menjadi dua macam, yaitu: otonomi (autonomie) dan medebewind atau

zelfbestuur. Otonomi berarti pengundangan sendiri (zelfwetgeving). Akan tetapi, menurut

perkembangan sejarahnya di Indonesia, otonomi itu selain berarti perundangan

(wetgeving), juga berarti pemerintahan (bestuur). Seperti dikatakan C.W. van der Pot

bahwa autonomie betekent anders dan het woord zou doen vermoeden-regeling en

bestuur van eigen zaken, van het de Grondwet noemt, eigen huishouding. Hal ini berbeda

dengan pendapat J.J. Schrieke yang mengatakan bahwa autonomie adalah eigen

meesterschap, zelfstandigheid, dan bukan onafhankelijkheid.37

Dengan diberikannya hak dan kekuasaan perundangan/ pengaturan dan

pemerintahan kepada badan - badan otonom, seperti propinsi, kotamadya dan seterusnya,

badan - badan tersebut dengan initiatifnya sendiri dapat mengurus rumah tangganya

dengan jalan mengadakan peraturan - peraturan daerah yang tidak boleh bertentangan

dengan Undang - Undang dasar atau perundang - undangan lainnya yang tingkatnya lebih

tinggi, dan dengan jalan menyelenggarakan kepentingan umum.38 Dengan demikian,

adalah kurang tepat kalau dikatakan bahwa otonomi dan medebewind (tugas pembantuan)

sebagaimana ditegaskan dalam Undang - Undang Nomor 32 Tahun 2004 adalah asas

penyelenggaraan dalam pemerintahan daerah. Undang – Undang Nomor 32 Tahun 2004

yang menyatakan otonomi adalah asas penyelenggaraan pemerintahan daerah adalah

“misleading” dan dikhawatirkan akan menyesatkan, baik ditinjau dari perspektif

36 Koesoemahatmadja, “Pengantar Ke Arah Sistem Pemerintahan Daerah di Indonesia”, Bandung: Binacipta, 1979, hlm.14.37 Ibid., hlm.15.38 Ibid., hlm.16.

NOVI HENDRA, S.IP 2014 37

Page 38: Otonomi Daerah

akademik, maupun dari tataran operasional. Karena, otonomi adalah hak, wewenang dan

kewajiban untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat. Dengan

perkataan lain, otonomi itu merupakan manifestasi atau perwujudan kewenangan yang

diberikan (“toekennen”) oleh pemerintah pusat, sebagai konsekuensi dianutnya asas

desentralisasi teritorial (territoriale decentralisatie) sebagai suatu sistem dalam

penyelenggaraan pemerintahan negara.

Kalau dikatakan, bahwa otonomi itu bermakna kebebasan atau kemandirian

(zelfstandigheid) tetapi bukan kemerdekaan (onafhankelijkheid), maka di dalamnya

terkandung dua aspek utama, Pertama, pemberian tugas dan kewenangan untuk

menyelesaikan suatu urusan; Kedua, pemberian kepercayaan dan wewenang untuk

memikirkan dan menetapkan sendiri cara - cara penyelesaian tugas tersebut.39

Dengan demikian, otonomi dapat diartikan sebagai kesempatan untuk

menggunakan prakarsa sendiri atas segala macam nilai yang dikuasai untuk mengurus

kepentingan umum (penduduk). Kebebasan yang terbatas atau kemandirian itu merupakan

wujud pemberian kesempatan yang harus dipertanggungjawabkan.40

Kemudian mengenai medebewind atau zelfbestuur, diartikan sebagai pemberian

kemungkinan kepada pemerintah pusat/ pemerintah daerah yang tingkatannya lebih atas

untuk minta bantuan kepada pemerintah daerah/ pemerintah daerah yang tingkatannya

lebih rendah agar menyelenggarakan tugas atau urusan pemerintah pusat atau rumah

tangga (daerah yang tingkatannya lebih atas) tersebut. Istilah zelfbestuur adalah

terjemahan dari selfgovernment yang di Inggris diartikan sebagai segala kegiatan

pemerintahan di tiap bagian dari Inggris yang dilakukan oleh wakil - wakil dari yang

diperintah. Di Belanda medebewind atau zelfbestuur diartikan sebagai pembantu

penyelenggaraan kepentingan - kepentingan dari pusat atau daerah - daerah yang

tingkatannya lebih atas oleh alat - alat perlengkapan daerah yang lebih bawah. Dalam

menjalankan tugas - tugas medebewind, urusan - urusan yang diselenggarakan oleh

pemerintah daerah masih tetap merupakan urusan pusat cq daerah yang lebih atas, tidak

beralih menjadi urusan rumah tangga daerah yang dimintakan bantuan. Akan tetapi,

bagaimana cara daerah otonom yang dimintakan bantuan itu, dalam melakukan

39 Logeman, “Het Staatsrecht der Zelfregelende Gemeenschappen” dalam Ateng Syafrudin, “Pasang Surut Otonomi Daerah”, Bandung: Binacipta, 1983, hlm.23.40 Ibid, hlm. 25

NOVI HENDRA, S.IP 2014 38

Page 39: Otonomi Daerah

bantuannya itu diserahkan sepenuhnya kepada daerah itu sendiri. Daerah otonom yang

diminta bantuan itu tidak berada di bawah perintah dari dan tidak pula dapat diminta

pertanggungjawaban oleh pemerintah pusat/ daerah yang lebih tinggi.41 Selanjutnya

dikatakan, bahwa “Jika ternyata ada daerah yang tidak menjalankan tugas bantuannya

atau tidak begitu baik melakukan tugasnya, sebagai sanksinya pemerintah pusat/ daerah

yang minta bantuan hanya dapat menghentikan perbuatan dari daerah yang dimintakan

bantuan, untuk selanjutnya dipertimbangkan tentang pelaksanaan kepentingan atasan

termaksud dengan jalan lain, dengan tidak mengurangi hak pemerintah pusat/ daerah

yang minta bantuan untuk menuntut kerugian dari daerah yang melalaikan

kewajibannya.” 42

Berbeda dengan konsep medebewind menurut versi Indonesia yang menurut

Undang - Undang Nomor 22 Tahun 1999 disebut dengan tugas pembantuan, yaitu suatu

penugasan dari pemerintah kepada daerah dan desa untuk melaksanakan tugas tertentu,

disertai dengan pembiayaan, sarana dan prasarana serta sumber daya manusia, dengan

kewajiban melaporkan pelaksanaannya dan mempertanggungjawabkan kepada yang

menugaskan. Jadi, antara yang menugaskan (pemerintah pusat) dan yang ditugaskan ada

hubungan sub - ordinasi, karena yang ditugaskan berkewajiban untuk melaporkan dan

mempertanggungjawabkannya. Pengertian tugas pembantuan versi Undang – Undang

Nomor 22 Tahun 1999 menurut pandangan saya adalah keliru, karena kalau itu

rumusannya berarti “dekonsentrasi” bukan tugas pembantuan, karena dalam konsep itu

pembiayaan, sarana dan prasarana, serta sumber daya manusia, semuanya disediakan oleh

pemerintah pusat. Padahal, di dalam konsep tugas pembantuan yang perlu disediakan oleh

pemerintah pusat adalah hanya pembiayaan, sedangkan peralatan dan personil justru

merupakan kewajiban pemerintah daerah dalam upaya membantu pelaksanaan tugas

tertentu dari pemerintah pusat atau pem erintah daerah yang lebih tinggi tingkatannya.

Dengan menyimak berbagai batasan dan pengertian desentralisasi seperti diuraikan

diatas, saya dapat menyimpulkan bahwa sebagian besar melihat karena kecendurungan

sentralisasi dalam penyelenggaraan pemerintahan negara, maka dilancarkan ide

desentralisasi dengan berbagai corak dan bentuknya. Seperti ditegaskan dalam tulisan

Syarif Hidayat (2001 : 27-28) bahwa secara prinsipal, dapat dikatakan bahwa lahirnya ide

41 Koesoemahatmadja, op.cit., hlm.21.42 Ibid., hlm.21-22

NOVI HENDRA, S.IP 2014 39

Page 40: Otonomi Daerah

desentralisasi merupakan sebuah “anti - thesa” dari sentralisasi.43 Padahal, seperti telah

disinggung dimuka, bahwa desentralisasi bukan merupakan sistem yang berdiri sendiri,

melainkan merupakan rangkaian kesatuan dari suatu sistem yang lebih besar, yaitu negara

bangsa (nation state). Dengan perkataan lain, walaupun suatu negara bangsa menganut

asas desentralisasi, namun tidak semua urusan kewenangan diserahkan kepada daerah

otonom, melainkan ada bagian - bagian urusan tertentu yang tetap dikelola secara sentral

(terpusat). Karenanya, menurut pandangan saya suatu negara bangsa menganut

desentralisasi bukan merupakan alternatif dari sentralisasi, karena antara desentralisasi

dan sentralisasi tidak dilawankan dan karenanya tidak bersifat dikotomis, melainkan

merupakan sub - sub sistem dalam kerangka sistem organisasi negara.44 Karenanya pula,

suatu negara bangsa merupakan genusnya, sedangkan sentralisasi, desentralisasi,

dekonsentrasi dan tugas pembantuan merupakan speciesnya. Masalahnya, bagaimana

mencari keseimbangan diantara species tersebut.

Sejarah ketatanegaraan Indonesia mencatat upaya yang terus-menerus mencari

“titik - keseimbangan” yang tepat dalam meletakkan bobot desentralisasi dan sentralisasi.

Terjadi pergeseran antara “dua kutub nilai”, yaitu “nilai pembangunan bangsa dan

integritas nasional” disatu pihak yang menekankan pentingnya “sentralisasi”, sehingga

akan mewujudkan nilai dan bentuk “sentripetal”, dan dilain pihak menekankan “nilai

desentralisasi dan otonomi daerah” yang akan melahirkan nilai dan bentuk “sentrifugal”,

dan pergeseran kedua nilai ini terus - menerus menjadi dilema. Respons juridis - formal

terhadap dilemma ini bervariasi dari waktu ke waktu, tergantung kepada konfigurasi -

politik pada suatu waktu45.

5. EVALUASI PELAKSANAAN UNDANG – UNDANG NOMOR 22 TAHUN

1999.

43 Syarif Hidayat dan Bhenyamin Hoessein, op.cit., hlm.27-28. 44 E. Koswara, “Otonomi Daerah, Untuk Demokrasi dan Kemandirian Rakyat”, Jakarta: Yayasan Pariba, 2001, hlm. 47.45 Moeljarto, T., “Politik Pembangunan, Sebuah Analisis, Konsep, Arah, dan Strategi”, Yogyakarta: PT. Tiara Wacana, 1987, hlm.

NOVI HENDRA, S.IP 2014 40

Page 41: Otonomi Daerah

5.1. Pemikiran dasar terbentuknya Undang – Undang Nomor 22 Tahun 1999.

Melihat perspektif Undang – Undang Nomor 22 Tahun 1999, setidaknya ada enam

pemikiran dasar dalam pembentukan Undang – Undang Nomor 22 Tahun 1999: Pertama,

sebagai upaya mewujudkan landasan hukum yang kuat bagi penyelenggaraaan otonomi

daerah dalam rangka penetapan kebijakan desentralisasi dengan memberikan keleluasaan

kepada daerah untuk menjadikan “daerah otonom” yang mandiri dalam naungan sistem

pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia; Kedua, pemberian keleluasaan yang

pada hakekatnya diberikan kepada masyarakat daerah sebagai kesatuan masyarakat

hukum, dilaksanakan atas dasar prinsip-prinsip demokrasi, peranserta dan oto - aktivitas

masyarakat, pemerataan dan keadilan, serta memperhatikan heteroginitas daerah dan

perbedaan setempat; Ketiga, memberdayakan peran dan fungsi Dewan Perwakilan Rakyat

Daerah, baik sebagai badan legislative daerah, maupun sebagai badan pengawas atas

pelaksanaan kebijakan daerah yang dijalankan oleh Kepala Daerah, serta penyalur

aspirasi masyarakat sebagai sarana pengembangan demokrasi, dalam rangka menjalankan

prinsi - prinsip partisipasi dan transparansi; Keempat, memantapkan hubungan antara

Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan Kepala Daerah, terutama dalam perwujudan

akuntabilitas publik yang mendudukan Kepala Daerah bertanggung jawab kepada Dewan

Perwakilan Rakyat Daerah, dalam rangka membangun prinsip keterpercayaan

(akseptabilitas dan kredibilitas), serta meletakkan hubungan kemitraan dan kesejajaran

institutional antara Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dengan Kepala Daerah, dengan

tujuan untuk menciptakan kerjasama yang erat antara kedua institusi tersebut, menjaga

dan memelihara stabilitas pemerintahan untuk kepentingan dan kesejahteraan rakyat;

Kelima, untuk mendudukan kembali posisi “Desa” atau dengan nama lain, sebagai

kesatuan masyarakat hukum terrendah, yang memiliki hak asal - usul dan otonomi asli,

yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik

Indonesia; Keenam, untuk mengantisipasi perkembangan keadaan, baik di dalam negeri,

maupun tantangan persaingan global, yang mau tidak mau pengaruhnya akan sangat

dirasakan oleh daerah - daerah.

Dari keenam pemikiran dasar tersebut secara signifikan dan potensial telah

tertampung dijalankannya prinsip - prinsip Good Governance.

NOVI HENDRA, S.IP 2014 41

Page 42: Otonomi Daerah

Sejalan dengan dasar pemikiran tersebut diatas, Undang – Undang Nomor 22

Tahun 1999 semangatnya mengandung prinsip-prinsip dasar penyelenggaraan otonomi

daerah sebagai berikut:

1) Penyelenggaraan Otonomi Daerah dilaksanakan dengan memperhatikan aspek

demokrasi, keadilan, pemerataan serta potensi dan keanekaragaman Daerah;

2) Pelaksanaan Otonomi Daerah didasarkan pada otonomi yang luas, nyata dan

bertanggung jawab;

3) Pelaksanaan Otonomi Daerah yang luas dan utuh diletakkan pada Daerah Kabupaten

dan Daerah Kota, sedang Otonomi Daerah Propinsi merupakan otonomi yang terbatas;

4) Pelaksanaan Otonomi Daerah harus sesuai dengan konstitusi negara, sehingga tetap

terjamin hubungan yang serasi antara Pusat dan Daerah, serta antar -Daerah;

5) Pelaksanaan Otonomi Daerah harus lebih meningkatkan kemandirian Daerah Otonom,

dan karenanya dalam Daerah Kabupaten dan Daerah Kota tidak ada lagi Wilayah

Administrasi, sehingga asas dekonsentrasi dalam lingkungan Daerah Kabupaten dan

Daerah Kota tidak dianut lagi.

6) Pada kawasan-kawasan khusus yang dibina oleh Pemerintah atau pihak lain, seperti

badan otorita, kawasan pelabuhan, kawasan perumahan, kawasaan industri, kawasan

perkebunan, kawasan pertambangan, kawasan kehutanan, kawasan perkotaan baru,

kawasan pariwisata dan semacamnya, berlaku ketentuan Peraturan Daerah Otonom;

7) Pelaksanaan otonomi daerah harus lebih meningkatkan peranan dan fungsi badan

legislative daerah, baik sebagai fungsi legislasi, fungsi pengawasan maupun fungsi

anggaran atas penyelenggaraan Pemerintah Daerah;

8) Pelaksanaan asas dekonsentrasi diletakkan pada Daerah Provinsi dalam kedudukannya

sebagai Wilayah Administrasi untuk melaksanakan kewenangan pemerintahan tertentu

yang dilimpahkan kepada Gubernur sebagai Wakil Pemerintah.

9) Pelaksanaan asas tugas pembantuan dimungkinkan, tidak hanya dari Pemerintah

kepada Daerah, tetapi juga dari Pemerintah dan Daerah kepada Desa dengan disertai

pembiayaan, sarana dan prasarana serta sumber daya manusia, dengan kewajiban

melaporkan pelaksanaan dan mempertanggungjawabkan kepada yang menugaskannya.

Dari prinsip - prinsip dasar penyelenggaraan otonomi daerah tersebut di atas, dapat

disimpulkan bahwa ada “keinginan politik” (“political will”) yang kuat dari Pemerintah

NOVI HENDRA, S.IP 2014 42

Page 43: Otonomi Daerah

Pusat untuk menggeser pendulum pembagian kekuasaan antara Pusat dan Daerah yang

semula sangat sentralistik dan bercorak “centripetal” menjadi desentralistik yang

bersifat “centrifugal”. Jadi, berbeda dengan Undang – Undang Nomor 5 Tahun 1974 yang

lebih cendurung menganut “The Structural Efficiency Model”, Undang – Undang Nomor

22 Tahun 1999 ini lebih condong menganut kepada “The Local Democratic Model”, yang

ditinjau dari segi tujuannya atau valuesnya, model ini lebih menekankan kepada aspek -

aspek demokrasi, perbedaan setempat dan keanekaragaman daerah (“democratic, local

differences and system diversity). Walaupun kebijakan desentralisasi yang tertuang dalam

Undang – Undang Nomor 22 Tahun 1999 ini telah melahirkan pemberian otonomi yang

luas, nyata dan bertanggung jawab, yang pada dasarnya untuk terwujudnya kemandirian

daerah, (dalam pengertian independent; self-determination; onafhankelijkheid;

kemerdekaan atau ketidak tergantungan), terutama bagi Daerah Kabupaten dan Daerah

Kota, namun posisi kemandirian daerah otonom seperti itu tidak berarti bahwa Daerah-

daerah itu akan berkotak - kotak, terlepas dan bebas dari supervisi, pengendalian,

pembinaan dan pengawasan pemerintah pusat, melainkan keleluasaan otonomi yang

diberikan kepada Daerah ini, tetap merupakan sub - sistem dan sub - ordinasi dari

Pemerintahan nasional, dan karenanya harus terjamin bahwa pelaksanaan otonomi daerah

itu tidak keluar dari rambu - rambu dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Salah satu konstruksi untuk menjaga dan menjamin penyelenggaraan otonomi

daerah yang demikian itu, adalah dengan mendjadikan daerah Provinsi sekaligus sebagai

Wilayah Administrasi, dan dengan mendudukkan Gubernur sebagai Wakil Pemerintah

Pusat yang berperan untuk menjaga keseimbangan dan memelihara hubungan yang serasi

antara Pusat dan Daerah dalam kerangka NKRI, memberikan pengendalian, bimbingan

dan fasilitasi kepada daerah kabupaten/ kota yang berada dalam wilayah administrasi

provinsi yang bersangkutan. Dalam pada itu, perlu ditekankan bahwa dengan

mendudukkan Gubernur sebagai Wakil Pemerintah menurut Undang – Undang Nomor 32

Tahun 2004, bukan berarti kembali kepada paradigma lama seperti dalam Undang –

Undang Nomor 5 Tahun 1974 dimana Gubernur berperan kuat sebagai “interventionist”.

Dalam hubungan ini, hendaknya dijaga benar - benar agar gerakan pergeseran

pendulum tersebut, baik dalam memahami pasal - pasal Undang - Undang Nomor 22

Tahun 1999 c.q Undang – Undang Nomor 32 Tahun 2004 tersebut, maupun dalam

NOVI HENDRA, S.IP 2014 43

Page 44: Otonomi Daerah

implementasinya tidak menimbulkan interpretasi yang berbeda - beda dan mengarah

kepada sikap dan tindakan yang akan membahayakan kesatuan dan persatuan bangsa.

Oleh karena itu, sikap emosional dan tuntutan yang berlebih - lebihan dan kurang

proporsional dari Daerah, demikian pula sikap dan perilaku birokrasi pusat yang enggan

untuk bergeser dari paradigma lama dalam memperlakukan pembagian kewenangan pusat

kepada daerah, sebaiknya sejauh mungkin dieliminir, sebab kalau tidak, hal tersebut bukan

saja akan mengaburkan makna persatuan dan kesatuan bangsa, melainkan pula akan

mengaburkan makna pemberian otonomi yang luas, nyata dan bertanggungjawab, yang

justru dimaksudkan untuk memperkuat integrasi, persatuan dan kesatuan bangsa,

pengembangan demokrasi, bahkan menurut perspektif Undang – Undang Nomor 32

Tahun 2004 sebagai pengganti Undang – Undang Nomor 22 Tahun 1999 diupayakan

untuk mewujudkan peningkatan “daya saing daerah”, yang pada akhirnya ditujukan untuk

peningkatan kesejahteraan rakyat, pemerataan dan keadilan.

Ini prinsip transparansi yang harus dijaga benar dalam penyelenggaraaan

pemerintahan daerah, agar tidak menyimpang dari upaya mewujudkan Good Governance.

5.2. Realisasi Undang – Undang Nomor 22 Tahun 1999.

Realisasi Undang - Undang Nomor 22 Tahun 1999 tidak serta merta berjalan

mulus seperti yang diharapkan, melainkan terdapat benturan - benturan baik yuridis,

politik, maupun psikologis serta sosio - kultural yang menghambat jalannya pelaksanaan

otonomi daerah.

Pelaksanaan kebijakan desentralisasi berdasarkan Undang – Undang Nomor 22

Tahun 1999 telah berlangsung sejak Januari 2001 dengan tahapan-tahapan yang prosesnya

sudah ditetapkan secara makro, yaitu: Pertama, Tahapan inisisasi yang dilakukan selama

tahun 2001; Kedua, Tahapan instalasi, yang diproyeksikan akan berlangsung dalam tahun

2002-2003; ketiga, Tahapan konsolidasi, yang diproyeksikan tahun 2004–2007, dan

terakhir Keempat, Tahapan stabilisasi, dimana setelah tahun 2007 diharapkan lay-out atau

NOVI HENDRA, S.IP 2014 44

Page 45: Otonomi Daerah

bentangan daerah otonom secara lebih nyata dapat dilihat di seluruh wilayah daerah

otonom di Indonesia.

Amanat UU 22/1999 menyebutkan bahwa selama dua tahun diproyeksikan

persiapan segala peraturan perundangan organik Undang – Undang Nomor 22 Tahun

1999, sehingga secara efektif pelaksanaan otonomi daerah menurut semangat Undang

Undang – Undang Nomor 22 Tahun 1999 akan dimulai pada Mei 2001. Namun,

mengingat kebijakan tentang tahun fiskal yang baru, yaitu mulai Januari sampai

Desember, maka pelaksanaan otonomi daerah secara formal menurut Undang – Undang

Nomor 22 Tahun 1999 dimulai Januari 2001.

Dengan melihat hasil evaluasi seperti itu, walaupun secara teoritis pada dasarnya

implementasi otonomi daerah seharusnya sudah dapat berlangsung di daerah, namun

dalam praktiknya, masih timbul persoalan - persoalan yang mengemuka di lapangan,

antara lain:

(1) Menyangkut pengaturan prinsip-prinsip dasar dan distribusi kewenangan diantara

tingkat - tingkat pemerintahan, dimana Undang – Undang Nomor 22 Tahun 1999

tidak secara tegas mengatur kewenangan Propinsi dan Kabupaten/ Kota, dan

Departemen - departemen Sektoral.

(2) Ketentuan yang menyatakan tidak adanya hubungan hierarki46 antara Propinsi dan

Kabupaten/Kota, hampir selama k.l. 4 tahun berjalan dalam praktik memunculkan

hubungan yang kurang harmonis antara Gubernur dan Bupati/Walikota di beberapa

kasus tertentu. Kedudukan Gubernur sebagai Wakil Pemerintah kurang berfungsi,

karena ketidak tegasan meletakkan fungsi dan kewenangan Gubernur dalam Undang

– Undang Nomor 22 Tahun 1999, baik dalam rangka dekonsentrasi, maupun selaku

Wakil Pemerintah.

(3) Hubungan DPRD dengan Kepala Daerah yang sering menimbulkan ketegangan,

karena Laporan Pertanggungjawaban Akhir Tahun Angggaran hanya dilihat semata -

mata sebagai wahana untuk menjatuhkan Kepala Daerah, atau sebagai ruang yang

46 Dalam UU yang baru (UU 32/2004) ketentuan mengenai “tidak adanya hubungan hierarkhis” sudah dihapus.

NOVI HENDRA, S.IP 2014 45

Page 46: Otonomi Daerah

potensial untuk mengadakan kolusi antara DPRD dengan Kepala Daerah, sesuai

kehendaknya masing - masing.

(4) Demikian pula, dengan diletakannya otonomi daerah pada Daerah Kabupaten/ Kota

dan diberikan otonomi yang luas sebagaimana dinyatakan dalam pasal 7 Undang –

Undang Nomor 22 Tahun 1999, dapat ditafsirkan bahwa semua kewenangan

pemerintahan diluar yang dikecualikan, dipandang sepenuhnya menjadi kewenangan

daerah, tanpa melihat sifat dan coraknya serta ruang lingkup urusan pemerintahan di

Daerah.

(5) Belum sinkronnya peraturan perundang - undangan Sektoral yang belum disesuaikan

dengan Undang – Undang Nomor 22 Tahun 1999, menambah rumitnya hubungan

kewenangan antara pusat dan daerah. Inilah salah satu alasan yang menjadi kritikan

Remy Proud’homme (1998: 2)47 yang antara lain menyatakan bahwa memberikan

desentralisasi yang luas kepada daerah “can increase disparities”, disamping

menyebutkan bahwa decentralization can undermine efficiency, jeopardize stability

and might be accompanied by more corruption.

Persoalan tersebut muncul, disamping karena penafsiran terhadap pasal-pasal

Undang – Undang Nomor 22 Tahun 1999 tersebut diartikan secara “letterlijk” dan dengan

berbagai persepsi yang bermacam - macam, juga karena Undang – Undang Nomor 22

Tahun 1999 diluncurkan dan diberlakukan begitu saja, tanpa ada sosialisasi dan

diseminasi terlebih dahulu, tanpa ada guide - lines dan rambu - rambu yang mestinya jadi

acuan bagi pelaksanaan UU tersebut, baik bagi perangkat pemerintah daerah maupun bagi

perangkat pemerintah pusat. Padahal Presiden menurut UUD (Pasal 5, ayat 2) mempunyai

kewenangan untuk mengeluarkan PP tentang mulai diberlakukannya suatu Undang -

Undang, sebelum peraturan pelaksananaan (peraturan organik) dikeluarkan, sehingga PP

tersebut merupakan “umbrella” yang memuat guide - lines sebagai acuan, baik dalam hal

menafsirkan sesuatu pasal maupun rambu - rambu bagi pelaksanaan secara operasional di

lapangan. Sebab, banyak penjelasan Pasal - pasal dalam Undang – Undang Nomor 22

Tahun 1999 yang tidak jelas, meskipun dalam penjelasannya disebutkan “cukup jelas”.

47 Remy Prud’homme, “The Dangers of Decentralizartion”, 1998, dalam E. Koswara, “Teori Pemerintahan Daerah, IIP Press, Jakarta, 2003, hlm. 202, 208, dan 218.

NOVI HENDRA, S.IP 2014 46

Page 47: Otonomi Daerah

(6) Isu lain yang menonjol adalah menyangkut kedudukan dan peran Gubernur, baik

sebagai Kepala Daerah Otonom Propinsi, maupun dan terutama dalam

kedudukannya sebagai Wakil Pemerintah dalam kaitannya dengan pelaksanaan

asas dekonsentrasi tidak jelas dan tidak secara eksplisit menggambarkan lingkup

dekonsentrasi di Propinsi. Walaupun Undang – Undang Nomor 22 Tahun 1999

menyatakan secara eksplisit bahwa Daerah Propinsi berkedudukan juga sebagai

Wilayah Administrasi, namun tidak jelas apakah dengan demikian kedudukan

Gubernur juga sebagai Kepala Wilayah, atau dalam kedudukan selaku Wakil

Pemerintah apakah Gubernur juga sebagai Kepala Wilayah? Dalam penjelasan Pasal

2 ayat (2) Undang – Undang Nomor 22 Tahun 1999 hanya menyatakan bahwa yang

dimaksud dengan Wilayah Administrasi adalah “daerah administrasi” menurut

Undang - Undang Dasar 1945. Di dalam UUD 1945, penjelasan Pasal 18 (lama),

bahwa Daerah - daerah itu bersifat autonom (Streek en locale

rechtsgemeenschappen) atau bersifat administrative belaka. Lazimnya “daerah

administrasi” yang menganut “Split model” yang dikepalai oleh seorang Kepala

Wilayah.

(7) Demikian pula kewenangan dekonsentrasi bagi instansi vertikal tidak dengan tegas

dinyatakan bahwa instansi vertikal adalah perangkat Departemen dan/atau Lembaga

Pemerintah Non - Departemen (LPND) yang mempunyai tugas dan kewenangan

khusus (Sektoral/ Teknis; dekonsentrasi fungsional) di wilayah dalam yurisdiksi

tertentu sebagai “lingkungan kerjanya”, dan tidak hanya berkoordinasi dengan

Gubernur, melainkan kedudukannya berada di bawah dan bertanggungjawab kepada

Gubernur selaku wakil pemerintah (dalam konteks “Integrated Perfectoral

System”).

Dalam kedudukan sebagai “Wakil Pemerintah” menurut Undang - Undang yang

baru, yaitu Undang – Undang Nomor 32 Tahun 2004, tugas dan wewenang Gubernur

lebih tegas, walaupun hanya terbatas kepada 3 (tiga) hal sebagai berikut:

(a) Pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan pemerintahan daerah kabupaten/ kota;

(b) Koordinasi penyelenggaraan urusan Pemerintah di daerah provinsi dan kabupaten/

kota;

NOVI HENDRA, S.IP 2014 47

Page 48: Otonomi Daerah

(c) Koordinasi pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan tugas pembantuan di

daerah provinsi dan kabupaten/ kota.

Tugas - tugas “dekonsentrasi” sebagaimana termaksud dalam Pasal 63 Undang –

Undang Nomor 22 Tahun 1999 dan PP 39 Tahun 2003 sama sekali tidak disinggung lagi

dalam Undang – Undang yang baru (Undang – Undang Nomor 32 Tahun 2004).

Menyangkut penyelenggaraan dekonsentrasi, menurut pasal 63 Undang – Undang

Nomor 22 Tahun 1999 pelaksanaannya dilakukan oleh dinas - dinas daerah propinsi.

Ketentuan itu tidak tepat dan menimbulkan masalah serta bertentangan dengan konsep

dekonsentrasi itu sendiri, sebab kalau kewenangan pemerintah pusat dilaksanakan oleh

perangkat daerah otonom adalah tugas pembantuan, dan bukan dekonsentrasi. Dalam

pada itu, dinas - dinas daerah propinsi berada di bawah dan bertanggung jawab kepada

Gubernur selaku Kepala Daerah Otonom Propinsi, yang selanjutnya pelaksanaan tugas -

tugas tersebut dipertanggungjawabkan kepada DPRD, sedangkan tugas - tugas

dekonsentrasi tidak dipertanggungjawabkan kepada DPRD, melainkan dipertanggung -

jawabkan oleh Gubernur sebagai Wakil Pemerintah kepada Presiden, sehingga akan

timbul tumpang - tindih pertanggungjawaban kepada Presiden dan DPRD. Dalam

hubungan dengan penyelenggaraan dekonsentrasi, meskipun PP 39/2001 tentang

penyelenggaraan dekonsentrasi merupakan tindak lanjut dan peraturan organik dari

Undang – Undang Nomor 22 Tahun 1999, terutama Pasal 8 ayat (2), Pasal 9 ayat (3) dan

Pasal 12, namun disana - sini masih menimbulkan kerancuan untuk dapat secara otomatis

dijalankan oleh Gubernur selaku Wakil Pemerintah, terutama menyangkut “Tata Cara

Pelimpahan Wewenang dan Penyelenggaraan Kewenangan”, misalnya saja disebutkan

bahwa pelimpahan sebagian kewenangan kepada Gubernur “mesti ditetapkan dengan

Keputusan Presiden”, yang semestinya melekat pada Undang – Undang Nomor 22 Tahun

1999. Mudah - mudahan peraturan pelaksanaan Undang – Undang Nomor 32 Tahun 2004

nanti, akan mengadakan penyesuaian terhadap kelemah - kelamahan yang terdapat dalam

Undang – Undang Nomor 22 Tahun 1999.

Demikian pula, ketentuan Pasal 4 ayat (2) Undang – Undang Nomor 22 Tahun

1999 yang menyatakan bahwa daerah-daerah Provinsi, Kabupaten dan Kota masing-

masing berdiri sendiri dan tidak mempunyai hubungan hierarkhi satu sama lain, yang

ternyata membawa dampak politis - psikologis yang tidak menguntungkan menyangkut

NOVI HENDRA, S.IP 2014 48

Page 49: Otonomi Daerah

hubungan antara Gubernur dan Bupati/ Walikota, dalam Undang – Undang Nomor 32

Tahun 2004 tidak tercantum lagi, sehinga penyelenggaraan manajemen pemerintahan di

daerah akan lebih efektif dan efisien, yang pada gilirannya fungsi dan peranan Gubernur

yang diharapkan akan menjadi koordinator, penyeimbang, penyelaras, dan pemersatu

bangsa, benar - benar secara operasional dapat diselenggarakan secara baik.

Sebagai Wakil Pemerintah di Daerah dalam konteks “Integrated Prefectoral

System”, Gubernur memang seharusnya mempunyai kewenangan untuk

mengkoordinasikan, mengawasi, melakukan supervisi dan memfasilitasi, agar Daerah

mampu menjalankan otonominya secara optimal. Sebab, dengan tidak adanya ketegasan

pengaturan mengenai tugas dan kewenangan Gubernur sebagai Wakil Pemerintah,

terutama dalam menjalankan “Tutelage Power”, yaitu menjalankan kewenangan Pusat

untuk menjaga dan memelihara agar kebijakan dan jalannya penyelenggaraan

pemerintahan Daerah Kabupaten/ Kota tidak menyimpang dan tidak bertentangan dengan

kepentingan umum, kepentingan nasional ataupun peraturan perundang - undangan yang

lebih tinggi, maka dikhawatirkan akan menimbulkan permasalahan yang kompleks dalam

kaitan dengan mensinergikan kepentingan antar tingkat pemerintahan sebagai suatu

kesatuan sistem dalam Negara Kesatuan RI, yang pada gilirannya bukan saja akan

mengganggu penyelenggaraan prinsip - prinsip manajemen pemerintahan yang efektif,

melainkan juga akan merapuhkan persatuan dan kesatuan bangsa dalam Negara Kesatuan

Republik Indonesia.

5.3. Beberapa pertimbangan perlunya perubahan Undang – Undang Nomor 22

Tahun 1999.

Dengan melihat hasil evaluasi terhadap Undang – Undang Nomor 22 Tahun 1999

dan pelaksanaannya telah mendorong perlunya penyempurnaan Undang – Undang Nomor

22 Tahun 1999, baik ditinjau dari perspektif Konsep, Instrumen, maupun Inplementasi.

Adapun beberapa pertimbangan yang melatar - belakangi mengapa Undang –

Undang Nomor 22 Tahun 1999 perlu dirubah atau diganti, terutama menyangkut

perundang - undangan normatif, diantaranya adalah sebagai berikut:

NOVI HENDRA, S.IP 2014 49

Page 50: Otonomi Daerah

a. Dari perspektif perundang-undangan.

(1) UUD 1945 telah diamandemen, terutama pasal-pasal yang terkait langsung dengan

Sistem Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, yaitu: Pasal - pasal 1, 5, 18, 18A, 18B, 20,

21, 22D, 23E ayat 24 ayat (1), 31 ayat (1), 33 dan 34.

(2). Beberapa Ketetapan MPR yang berkaitan dengan pemerintahan daerah, yaitu: (1)

Ketetapan MPR No. XV?MPR/1988; (2) Ketetapan MPR No. IV/MPR/1999; (3)

Ketetapan MPR No. IV/MPR/2000; (4) Ketetapan MPR No. VI/MPR?2002; (5) Ketetapan

MPR No. I/MPR/2003; (6) Keputusan MPR No. 5/MPR/2003.

(3) Perlunya penyerasian dan penyelarasan dengan Undang - undang lainnya, yang erat

kaitannya dengan penyelenggaraan sistem pemerintahan daerah, diantaranya: (1) Undang

– Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas

dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme; (2) Undang – Undang Nomor 17 Tahun 2003

tentang Keuangan Negara; (3) Undang – Undang Nomor 22 Tahun 2003 tentang Susunan

dan Kedudukan MPR, DPR, DPD dan DPRD; (4) Undang – Undang Nomor 23 Tahun

2003 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden; (5) Undang – Undang

Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara; (6) Undang – Undang Nomor 10

Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang - undangan; (7) Undang – Undang

Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggungjawab Keuangan

Negara; (8) Undang – Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan

Pembangunan Nasional.

b. Dari perspektif Konsep.

Undang – Undang Nomor 22 Tahun 1999 telah memberi kuasa kepada Pemerintah untuk

mengatur tindak lanjut kebijakan desentralisasi, namun tanpa diberikan rambu - rambu

yang jelas, sehingga menimbulkan peluang munculnya kebijakan yang tidak mendorong

otonomi daerah. Penyusunan pengaturan perundang - undnagan sebagai tindak lanjut

penyesuaian dengan Undang – Undang Nomor 22 Tahun 1999 belum dapat dilakukan

sepenuhnya, sehingga banyak daerah mengambil prakarsa sendiri dalam membuat

peraturan daerah dengan wewenang yang diberikan TAP MPR No. IV/2000. Dalam pada

NOVI HENDRA, S.IP 2014 50

Page 51: Otonomi Daerah

itu, belum sinkronnya berbagai peraturan perundang - undangan, baik yang diterbitkan

Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah, sehingga sering menimbulkan penafsiran

yang berbeda.

c. Dari perspektif Instrumen.

Undang – Undang Nomor 22 Tahun 1999 memberi kuasa kepada pemerintah untuk

mengatur tindak lanjut kebijakan desentralisasi tanpa diberikan rambu - rambu,

sehingga menimbulkan peluang munculnya kebijakan yang tidak mendorong

terselenggaranya otonomi daerah secara transparan atau terdapat peraturan organik

yang menyimpang dari esensi UU pokoknya;

Penyusunan peraturan perundang - undangan sebagai tindak lanjut penyesuaian

dengan Undang – Undang Nomor 22 Tahun 1999 belum dapat dilakukan sepenuhnya,

sehingga daerah berprakarsa membuat pengaturan sendiri dengan wewenang yang

diberikan Tap MPR IV/2000;

Belum harmonisnya berbagai peraturan perundang - undangan, baik yang diterbitkan

pemerintah maupun daerah, sehingga sering menimbulkan konflik dan penafsiran yang

berbeda.

d. Dari perspektif Implementasi.

Dalam pengelolaan kewenangan sering memunculkan friksi, ovelapping,

redundent dan conflict of interest antar tingkat pemerintahan, sehingga cendurung

mengurangi dan mengganggu pelayanan umum. Karena pemberian otonomi yang luas

yang tidak terkendali, pembentukan lembaga pemerintahan daerah sering kurang

memperhatikan atau kurang berorientasi kepada peningkatan pelayanan masyarakat,

sehingga terjadi pembengkakan struktur yang tidak effisien. Sistem pengelolaan

kepegawaian yang didasarkan kepada separated system menimbulkan ekses - ekses

ethnosentrisme dan terbatasnya mobilitas pegawai dalam pengembangan karier;

penetapan APBD lebih banyak berorientasi kepada menutup untuk keperluan aparat

daerah dan DPRD daripada untuk keperluan pelayanan publik.

NOVI HENDRA, S.IP 2014 51

Page 52: Otonomi Daerah

Dalam pada itu, hubungan kemitra - sejajaran antara DPRD dan Kepala Daerah,

secara operasional kurang berjalan dengan baik, karena dalam prakteknya DPRD sering

mendominasi Kepala Daerah, misalnya dalam Laporan Pertanggungjawaban Kepala

Daerah kepada DPRD sering dipergunakan sebagai ajang politik untuk menjatuhkan

Kepala Daerah dan bukan untuk menilai performance Kepala Daerah menurut ukuran

Renstra, atau bahkan sering dijadikan ajang “politik uang” dalam penerimaan atau

penolakan LPJ tersebut. Kerjasama antara DPRD dan Kepala Daerah yang mestinya

diarahkan untuk kepentingan kesejahteraan rakyat, dalam praktek sering dijadikan sebagai

praktek “kolusi” atau pertentangan kepentingan yang berlarut - larut yang sudah barang

tentu akan menimbulkan “ketidak stabilan” dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah,

yang pada gilirannya membawa dampak penurunan terhadap pelayanan masyarakat.

Timbulnya kebijakan sektoral di daerah yang tidak sejalan dengan semangat

otonomi daerah, akibat belum memadainya pedoman yang diperlukan dan adanya

berbagai perundang - undangan sektoral yang belum disesuaikan, sebagai tindak lanjut

Pasal 112 dan 133 Undang – Undang Nomor 22 Tahun 1999, adalah juga yang mendorong

perlunya penyempurnaan Undang – Undang Nomor 22 Tahun 1999.

e. Pengaruh Lingkungan strategis.

Disamping itu, yang menjadi pertimbangan lainnya adalah pengaruh lingkungan

strategis, seperti globalisasi ekonomi dan perdagangan bebas menuntut efisiensi dan daya

saing masyarakat, bangsa dan negara yang lebih tinggi, sehingga memerlukan arahan yang

jelas sebagai kebijakan pemerintah yang perlu dituangkan dalam undang - undang.

Demikian pula, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sangat pesat

merupakan tantangan untuk menyesuaikan sistem dan prosedur manajemen pemerintahan

daerah, misalnya peletakan dasar sistem informasi manajemen dalam segala bidang.

f. Demokratisasi dan Hak Asasi Manusia.

Pertimbangan lain, bahwa perkembangan tuntutan demokratisasi dan Hak Azasi

Manusia (HAM) yang semakin menonjol dalam berbagai aspek kehidupan, memerlukan

NOVI HENDRA, S.IP 2014 52

Page 53: Otonomi Daerah

landasan peran serta dan mekanisme penyaluran aspirasi masyarakat, serta perlunya

kepastian hukum terhadap persamaan kedudukan seluruh warga negara.

5.4. Paradigma baru pembagian urusan pemerintahan

5.4.1.Peletakkan Otonomi Daerah dan pembagian urusan yang bersifat Concurrent.

Mengenai strategi hubungan kekuasaan antara pusat dan daerah, kalau Undang –

Undang Nomor 22 Tahun 1999 dengan tegas menyatakan bahwa letak otonomi adalah

pada Daerah Kabupaten/Kota dalam memfungsikan pelayanan kepada masyarakat, dimana

dalam strata pemerintahan daerah, kabupaten/ kota merupakan pemerintahan daerah yang

paling dekat kepada masyarakat, sedangkan dalam Undang – Undang Nomor 32 Tahun

2004 tidak dengan tegas menyatakan tentang letak atau titik - berat otonomi itu diletakkan,

sebab baik Daerah Provinsi maupun Daerah Kabupaten/ Kota mempunyai kedudukan

yang sama sebagai Daerah Otonom.

Kenapa letak otonomi tidak dinyatakan dengan tegas, karena paradigma yang

dianutnya adalah konsep “pembagian urusan pemerintahan” yang bersifat “concurrent”,

baik yang menyangkut “urusan wajib” maupun “urusan pilihan”. Pembagian urusan

yang bersifat “Concurrent”, artinya urusan pemerintahan yang penanganannya dalam

bagian atau bidang tertentu dapat dilaksanakan bersama disemua tingkat pemerintahan,

dilaksanakan bersama antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah.

Dengan demikian setiap urusan yang bersifat concurrent senantiasa ada bagian

urusan yang menjadi kewenangan pemerintah pusat, ada bagian urusan yang

diserahkan kepada provinsi, dan ada pula bagian urusan yang diserahkan kepada

kabupaten/ kota.

Untuk mewujudkan pembagian kewenangan yang bersifat concurrent tersebut

secara proporsional antara pemerintah pusat, pemerintah daerah provinsi, daerah

kabupaten/ kota, didasarkan kepada 4 (empat) kriteria yang meliputi:

Pertama: Eksternalitas, yaitu suatu pendekatan dalam pembagian urusan

pemerintahan dengan mempertimbangkan dampak/ akibat yang ditimbulkan dalam

penyelenggaraan urusan pemerintahan tersebut. Apabila dampak yang ditimbulkan itu

NOVI HENDRA, S.IP 2014 53

Page 54: Otonomi Daerah

bersifat lokal, maka urusan pemerintahan tersebut menjadi kewenangan kabupaten/ kota,

apabila dampaknya regional menjadi kewenangan provinsi, dan apabila nasional menjadi

kewenangan pemerintah pusat.

Kedua: Akuntabilitas, adalah suatu pendekatan dalam pembagian urusan pemerintahan

dengan pertimbangan bahwa tiangkat pemerintahan yang menangani sesuatu bagian

urusan adalah tingkat pemerintahan yang lebih langsung/ dekat dari urusan yang ditangani

tersebut. Dengan demikian, maka akuntabilitas penyelenggaraan bagian urusan

pemerintahan tersebut kepada masyarakat akan lebih terjamin.

Ketiga: Efisiensi, adalah pendekatan dalam pembagian urusan pemerintahan dengan

mempertimbangkan tersedianya sumber daya, baik personil, maupun sarana, untuk

mendapatkan ketepatan, dan kecepatan hasil yang harus dicapai dalam penyelenggaraan

bagian urusan pemerintahan tersebut. Artinya, apabila suatu bagian urusan dalam

penanganannya dipastikan akan lebih berdayaguna dan berhasilguna dilaksanakan oleh

daerah Provinsi dan/ atau Daerah Kabupaten/ Kota dibandingkan apabila ditangani oleh

pemerintah pusat, maka bagian urusan tersebut diserahkan kepada daerah Provinsi dan/

atau Kabupaten/ Kota. Sebaliknya, apabila suatu bagian urusan tertentu akan lebih

berdayaguna dan berhasilguna bila ditangani oleh pemerintah pusat, maka bagian urusan

tersebut tetap ditangani oleh pemerintah pusat.

Keempat, Keserasian hubungan, adalah bahwa pengelolaan bagian urusan pemerintahan

yang dikerjakan oleh tingkat pemerintahan yang berbeda, bersifat saling berhubungaan

(interconnection), saling tergantung (inter - dependent), dan saling mendukung secara

sinergis sebagai satu kesatuan sistem yang menyeluruh. Sadar atau tidak, perumus

Undang – Undang Nomor 32 Tahun 2004 cendurung menggunakan teori atau ajaran dari

negeri Belanda yang sering disebut “de drie kringenleer” , yaitu ajaran tentang pembagian

urusan kewenangan dalam 3 lingkungan kekuasaan, yaitu antara pemerintah pusat, daerah

provinsi, dan daerah kabupaten/ kota mempunyai kewenangan urusan yang sama, hanya

sifat dan gradasi yang berbeda yang ditentukan oleh 4 (empat) kriteria tersebut diatas.

Dalam kaitan dengan ajaran “ de drie kringenleer” ini, pada masa Undang – Undang

Nomor 5 Tahun 1974 kita menggunakan ajaran ‘Rumah Tangga Materiil” (Materiele

Huishoudingsleer), yaitu suatu sistem dalam penyerahan kewenangan dalam rangka

otonomi daerah, dimana antara pemerintah pusat dan daerah terdapat pembagian tugas

NOVI HENDRA, S.IP 2014 54

Page 55: Otonomi Daerah

yang diperinci secara tegas, baik di dalam undang - undang pembentukannya, maupun

pada penyerahan - penyerahan selanjutnya. Dalam ajaran ini ada yang disebut “taak

verdeling” antara pusat dan daerah. Kewenangan setiap daerah meliputi tugas - tugas yang

ditentukan satu per satu secara nominatif. Jadi apa yang tidak tercantum dalam rincian itu,

tidak termasuk kepada urusan rumah tangga daerah, dengan perkataan lain daerah yang

berszangkutan tidak mempunyai kewenangan untuk mengatur dan mengurus kegiatan di

luar yang sudah diperinci atau yang secara a priori telah ditetapkan.48

Undang – Undang Nomor 32 Tahun 2004 memperinci secara tegas “urusan wajib” yang

menjadi kewenangan daerah, disamping adanya kewenangan “pilihan” (option) yang

didasarkan kepada konsep concurrent tadi.

Sebenarnya, di Negeri Belanda sendiri teori ini sudah tidak dipakai lagi, karena

mengandung beberapa kelemahan, antara lain sering terjadi duplikasi, kecendurungan

terjadi sharing ratio dalam pembagian kewenangan yang sering membias keatas, sehingga

terjadi model piramid terbalik. Disamping itu, kejumbuhan (overlapping) sulit untuk

dihindarkan, demikian pula kevaccuman pemerintahan sering terjadi karena ada

kecendurungan masing - masing lingkungan kekuasaan bersikap dan bertindak jurisdiksi -

positive dan jurisdiksi - negatif49, dan kurang memberikan keleluasaan (descretion)

kepada daerah untuk berinisiatif dan berinovasi. Dalam prakteknya konsep ini sulit

dioperasionalkan, karena faktor pendidikan dan rasionalitas SDM aparatur pemerintah

daerah di Indonesia yang relatif masih rendah, kecuali kalau ditetapkan secara pasti (clear

cut) mana soal - soal yang masuk lingkungan pemerintah pusat, provinsi, dan kabupaten/

kota.

Dengan demikian, ajaran ini tidak mendorong daerah untuk berprakarsa dan

mengembangkan potensi wilayahnya diluar urusan yang tercantum dalam undang -

undang pembentukannya. Kalau dibandingkan dengan negeri Belanda dan Inggris atau di

negara - negara maju lainnya akan sangat berbeda, dimana teori ini dapat digunakan

secara efektif, karena pada umumnya mereka sudah established, baik aparatur maupun

masyarakatnya tergolong kepada kaum menengah, baik dari segi pendidikan maupun dari

strata sosialnya.

48 E. Koswara, op.cit., hlm 73-7449 Sikap dan tindakan Jurisdiksi-positif dan/atau Jurisdiksi-negatif, akan sangat dipengaruhi oleh potensi sumber daya dari sebagian urusan yang akan diserahkan itu.

NOVI HENDRA, S.IP 2014 55

Page 56: Otonomi Daerah

Walaupun pengembangan paradigma baru yang dituangkan ke dalam Undang -

Undang Nomor 32 Tahun 2004 berasal dari ide Ketetapan MPR - RI Nomor

IV/MPR-RI/2000 Tentang Rekomendasi Kebijakan Dalam Penyelenggaraan Otonomi

Daerah, namun Ketetapan MPR itu sendiri perlu dikaji, baik secara akademik, politik,

juridis, maupun operasional.

Tap MPR di atas dapat dikatakan sebagai upaya politik untuk menggeser

pendulum pembagian kekuasaan antara Pusat dan Daerah pada “titik keseimbangan”

(equilibrium), terutama keseimbangan antara kekuasaan Pemerintah Pusat dengan

kekuasaan Pemerintah Daerah disemua tingkat pemerintahan.

Namun, perlu adanya klarifikasi terhadap TAP MPR tersebut, terutama mengenai

apa yang dimaksud dengan pemberian otonomi bertingkat dan penyesuaian terhadap

Pasal 18 UUD 1945 setelah amandemen kedua. Kalau yang dimaksud dengan pemberian

otonomi bertingkat terhadap Daerah Propinsi, Kabupaten dan Kota sama dengan system

penyerahan kewenangan otonomi proporsional bertingkat berarti kembali kepada

paradigma lama sebagaimana dianut dalam Undang - Undang Nomor 5 Tahun 1974,

sedangkan penyesuaian terhadap Pasal 18 UUD 1945 setelah amandemen kedua, setidak -

tidaknya terdapat tiga persoalan yang prinsip, yaitu: Pertama, meskipun Pasal 18 UUD

1945 diperluas menjadi tiga Pasal, yaitu Pasal - pasal 18, 18A dan 18B yang meliputi 11

(sebelas) ayat, namun tidak ada satu ayatpun yang secara ekplisit mengatur tentang

pembagian kekuasaan antara Pusat dan Daerah, misalnya Pasal 18 ayat (5) hanya

menyatakan bahwa “Pemerintah Daerah menjalankan otonomi seluas - luasnya, kecuali

urusan pemerintahan yang oleh undang - undang ditentukan sebagai urusan pemerintah

pusat” . Penggunaan istilah “otonomi seluas - luasnya” berarti kembali kepada paradigma

Undang - Undang Nomor 18 Tahun 1965, dimana istilah itu baik dalam Undang - Undang

Nomor 5 Tahun 1974 maupun dalam Undang - Undang Nomor 22 Tahun 1999 tidak

dipergunakan lagi, karena berdasarkan pengalaman istilah tersebut ternyata dapat

menimbulkan kecendurungan pemikiran yang dapat membahayakan keutuhan Negara

Kesatuan dan tidak serasi dengan maksud dan tujuan pemberian otonomi kepada Daerah.

Demikian pula, Pasal 18A ayat (1) hanya menyatakan bahwa “Hubungan wewenang

antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah provinsi, kabupaten dan kota, atau

antara provinsi dan kabupaten dan kota, diatur dengan undang - undang dengan

NOVI HENDRA, S.IP 2014 56

Page 57: Otonomi Daerah

memperhatikan kekhususan dan keragaman daerah”. Kedua, Pasal 18 baru UUD 1945

tidak menganut lagi asas dekonsentrasi dalam penyelenggaraan sistem pemerintahan di

daerah, disamping asas desentralisasi dan asas tugas pembantuan. Pasal 18 ayat (2)

hanya menyatakan bahwa “Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota

mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas

pembantuan”. Penekanan terhadap terminologi “asas otonomi” dikhawatirkan akan

menimbulkan “misleading” dalam penafsiran, karena tidak lazim dipakai, baik dalam

tataran konsep akademik, maupun dalam tataran operasional, karena otonomi bukan asas

melainkan “hak, wewenang dan kewajiban” untuk mengatur dan mengurus sendiri

pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat yang diserahkan oleh pemerintah

pusat kepada daerah. Ketiga, menyangkut Pembagian Daerah. Dalam perubahan kedua

UUD 1945 tidak lagi mengenal “Pembagian Daerah” seperti halnya dalam Pasal 18 lama,

karena dalam Pasal 18 baru, ayat (1) yang dibagi adalah “Negara Kesatuan Republik

Indonesia”, yang bunyi selengkapnya adalah sebagai berikut, “Negara Kesatuan Republik

Indonesia dibagi atas daerah - daerah provinsi, dan daerah provinsi itu dibagi atas

kabupaten dan kota, yang tiap - tiap provinsi, kabupaten dan kota itu mempunyai

pemerintahan daerah, yang diatur dengan undang - undang”.

Ada sementara anggapan orang bahwa Pasal 18 baru ayat (1) ini bernuansa

“Federasi”, karena secara eksplisit menyatakan “NKRI dibagi”, kecuali apabila

Penjelasan Pasal 18 lama, tetap berlaku sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari batang

tubuh UUD 1945, sehingga ketiga persoalan diatas bisa diklarifikasikan (clarified) dengan

baik. Namun Penjelasan Pasal 18 UUD 1945 lama dinyatakan tidak berlaku lagi, karena

semangatnya sudah ditampung dalam berbagai perubahan/tambahan Pasal dalam UUD

1945 yang baru. Walaupun demikian, saya tidak berpretensi untuk menganggap bahwa

Perubahan Kedua UUD 1945 yang menyangkut Pasal 18 ayat (1) sebagai Pasal yang

bernuansa “Federasi”, karena saya tetap berpegang kepada Pasal 1 ayat (1) yang dalam

Perubahan Pertama UUD 1945, tidak diadakan perubahan, yang berbunyi sebagai berikut:

Pasal 1 ayat (1) : “Negara Indonesia ialah Negara Kesatuan yang berbentuk Republik.”

5.4.2.Asas penyelenggaraan pemerintahan.

NOVI HENDRA, S.IP 2014 57

Page 58: Otonomi Daerah

Undang - Undang Nomor 32 Tahun 2004 menyatakan bahwa Pemerintahan daerah

menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangannya, kecuali urusan

pemerintahan yang oleh Undang - undang ditentukan menjadi urusan pemerintah pusat.

Pasal 10 ayat (3) menegaskan bahwa yang menjadi urusan Pemerintah yang

dikecualikan tersebut adalah:

a. Politik luar negeri;

b. Pertahanan;

c. Keamanan;

d. Yustisi;

e. Moneter dan fiskal nasional; dan

f. Agama.

Ayat (4) menyebutkan bahwa penyelenggaraan urusan pemerintahan sebagaimana

dimaksud pada ayat (3) Pemerintah menyelenggarakan sendiri atau dapat melimpahkan

sebagian urusan pemerintahan kepada perangkat Pemerintah atau wakil Pemerintah di

daerah, atau dapat menugaskan kepada pemerintahan daerah dan/ atau pemerintahan desa.

Selanjutnya ayat (5) menegaskan bahwa dalam urusan pemerintahan yang menjadi

kewenangan Pemerintah di luar urusan pemerintahan sebagaimana dimaksud pada ayat

(3), Pemerintah dapat:

a. menyelenggarakan sendiri sebagian urusan pemerintahan;

b. melimpahkan sebagian urusan pemerintahan kepada Gubernur selaku wakil Pemerintah

atau:

c. menugaskan sebagian urusan kepada pemerintahan daerah dan/ atau pemerintahan desa

berdasarkan asas tugas pembantuan.

Dari uraian Pasal 10 ini dapat diartikan bahwa tidak ada kemungkinan daerah akan

memperoleh tambahan kewenangan dari Pemerintah selain dari yang sudah ditetapkan

dalam Pasal 13 dan 14 Undang - Undang Nomor 32 Tahun 2004. Padahal, mestinya

sebagian urusan pemerintahan sebagaimana dimaksud dalam ayat (5) tersebut

dimungkinkan untuk diserahkan kepada daerah melalui asas “desentralisasi”, tidak hanya

melalui “tugas pembantuan”. Mengenai penetapan asas penyelenggaraan pemerintahan,

Undang – Undang Nomor 32 Tahun 2004 agak rancuh mengaturnya, karena dalam UU tsb

NOVI HENDRA, S.IP 2014 58

Page 59: Otonomi Daerah

asas penyelenggaraan pemerintahan diatur dengan menetapkan bahwa antara

penyelenggaraan pemerintahan di Pusat dan di Daerah berbeda.

Pada Pemerintah pusat menggunakan asas - asas desentralisasi, tugas pembantuan,

dan dekonsentrasi, sedang penyelenggaraan pemerintahan di daerah menggunakan asas

otonomi dan tugas pembantuan. Padahal asas - asas tersebut merupakan suatu kebijakan

(“policy”) yang berlaku baik di pusat maupun di daerah sebagai satu kesatuan sistem yang

tidak bisa dipisahkan. Disamping itu, otonomi dan tugas pembantuan sebagai “asas”

adalah misleading, karena otonomi dan tugas pembantuan bukan asas, melainkan suatu

hak, wewenang dan kewajibansebagai manifestasi atau perwujudan atau konkritisasi

dianutnya asas desentralisasi dalam NKRI. Walaupun kata-kata asas otonomi dan tugas

pembantuan itu berasal dari UUD (setelah diamandemen), tetapi kalau itu merupakan

kekeliruan, mestinya diadakan judicial review oleh Mahkamah Konstitusi, jangan sampai

perundang - undangan di bawahnya ikut keliru.50

6. DAMPAK PENYELENGGARAAN OTONOMI DAERAH

6.1. Dampak Positif

Sesuai dengan tujuan pemberian otonomi daerah, diharapkan pelaksanaan otonomi

daerah menurut Undang – Undang Nomor 22 Tahun 1999 dan Undang – Undang Nomor

32 Tahun 2004 membawa dampak positif yang secara umum dapat dikategorikan sebagai

berikut:

a. Perkembangan proses demokrasi dalam kehidupan masyarakat dan pemerintahan akan

meningkat;

b. Partisipasi aktif masyarakat dalam proses kepemerintahan, baik dalam proses

penentuan kebijakan, dan pelaksanaan maupun dalam proses evaluasi dan

pengawasan, akan semakin meningkat;

c. munculnya kreativitas dan inovasi Daerah untuk mengembangkan pembangunan

daerahnya;

50 Lihat Pasal 20 ayat (2) dan (3) UU No.32/2004.

NOVI HENDRA, S.IP 2014 59

Page 60: Otonomi Daerah

d. meningkatnya gairah birokrasi pemerintahan Daerah, karena adanya keleluasaan untuk

mengambil keputusan, serta terbukanya peluang karier yang lebih tinggi, karena

kompetisi professional;

e. meningkatnya pengawasan atas jalannya pemerintahan Daerah, baik yang dilakukan

oleh masyarakat maupun DPRD, sehingga keinginan untuk mewujudkan pemerintahan

yang baik, bersih, terpercaya dan akuntabel (“Good Governance”) semakin sangat

didambakan oleh masyarakat;

f. meningkatnya peranan DPRD sebagai wahana demokrasi dan penyalur aspirasi rakyat

dalam menjalankan fungsi legislasi, anggaran dan pengawasan;

g. pemberian pelayanan umum kepada masyarakat semakin meningkat, baik kualitas

maupun kuantitas, sejalan dengan meningkatnya tuntutan dari masyarakat akan

pelayanan yang lebih baik, yang pada gilirannya akan menimbulkan “keterpercayaan”

masyarakat kepada pemerintah daerah.

h. munculnya semangat kedaerahan yang menjadi faktor pendorong yang kuat bagi

pengembangan daerahnya, dalam arti peningkatan Akuntabilitas.

6.2. Dampak negatif.

Walaupun kita melihat secara potensial dampak positif dari pelaksanaan otonomi

daerah, namun perlu juga mengantisipasi dampak yang mungkin terjadi secara negatif

dalam pelaksanaan otonomi daerah menurut Undang - Undang ini, a.l. sbb:

a. keinginan bagi Daerah Otonom untuk meningkatkan penghasilan asli Daerah (PAD)

yang berlebihan, dikhawatirkan akan menimbulkan dampak ekonomi biaya tinggi,

memberatkan masyarakat, dan kurang terjaminnya kelestarian lingkungan (tidak

transparan dan tidak akuntabel);

b. kemungkinan munculnya konflik kepentingan antar Daerah dan antara Daerah dan

pusat yang berkaitan dengan pendayagunaan sumber daya alam, seperti sumber daya

air, hutan, lautan, lingkungan hidup dlsb.; kemungkinan terjadi pengaturan daerah

yang over regulated atau benturan antara peraturan daerah di tingkat Daerah

Kabupaten/ Kota dengan Daerah Propinsi, ataupun Pusat, karena lemahnya antara

perencanaan pembangunan Daerah Kabupaten/ Kota, Daerah Propinsi, dan Pusat,

NOVI HENDRA, S.IP 2014 60

Page 61: Otonomi Daerah

sehingga integritas dan sinergitas tidak terjamin, karena masing - masing merasa

mempunyai kompetensi sendiri - sendiri, yang memungkinkan terjadinya segmentasi

antar Daerah (tidak transparan);

c. munculnya egoisme kedaerahan yang sempit yang mendorong atau menjurus kepada

eksklusivisme daerah dan proteksionisme kedaerahan, sehingga akan mengganggu

kepada makna persatuan dan kesatuan bangsa.

d. sikap dan perilaku birokrasi pusat yang cenderung untuk tetap mempertahankan

statusquo, terutama dalam mempertahankan kewenangan pusat yang enggan

menyerahkannya kepada Daerah (tidak transparan);

e. belum sinkronnya perundang - undangan sektoral pusat dengan Undang - Undang

tentang pemerintahan daerah, sehingga para pejabat birokrasi Departemen Sektoral

pusat masih berpegang kepada Undang - Undang Sektoral yang bersangkutan, dan

belum menyesuaikan dengan jiwa dan semangat Undang – Undang Nomor 22 Tahun

1999 cq. Undang – Undang Nomor 32 Tahun 2004;

f. terjadinya multi-interpretasi, baik terhadap jiwa dan semangat Undang – Undang

Nomor 22 Tahun 1999 dan Undang – Undang Nomor 25 Tahun 1999 maupun

terhadap pasal - pasal didalamnya yang tidak atau kurang jelas.

7. PROSPEK OTONOMI DAERAH MELALUI SOLUSI ALTERNATIF

1). Upaya penyempurnaan/penggantian Undang – Undang Nomor 22 Tahun 1999 bukan

semata - mata untuk mengatasi masalah yang timbul, tetapi juga untuk menegaskan

visi dan misi yang jelas dalam menetapkan format dan sistem pemerintahan dalam

Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dalam pada itu, penegasan prinsip - prinsip

penyelenggaraan pemerintahan daerah yang baik (“Good Governance”), diarahkan

kepada substansi yang bersifat strategis, seperti: hubungan pusat dan daerah;

penegasan hirarki dalam sistem pemerintahan; penataan kembali sistem dan

mekanisme penyelenggaraan pemerintahan; pembagian kewenangan dan urusan

pada tingkat - tingkat pemerintahan yang berbeda.

NOVI HENDRA, S.IP 2014 61

Page 62: Otonomi Daerah

2) Dengan penyempurnaan tersebut, hendaknya Pemerintah secara transparan dan

tidak menyimpang dari tujuan untuk kebaikan bangsa dan negara, terutama untuk

mewujudkan komitmen kebijakan desentralisasi, pengembangan demokrasi dan

peningkatan kemandirian daerah, serta daya saing daerah. Yang terpenting adalah

bagaimana upaya mengembangkan satu kesatuan sistem antara sistem pemerintahan

nasional dan sub - sistem pemerintahan daerah secara sinergis, sehingga tercipta

stabilitas, akuntabilitas, serta efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan

pemerintahan, hubungan pusat - daerah terpelihara dengan baik, keutuhan dan

kesatuan bangsa tetap terjaga, serta prinsip - prinsip perilaku “Good Governance” di

semua tingkat pemerintahan, dapat diwujudkan. Demikian pula, isu - isu strategis

dan penting, serta diperlukan secara proporsional bagi semua level pemerintahan,

harus ditempatkan pada proporsi waktu dan situasi yang tepat untuk menghindarkan

kerancuhan, instabilitas dan stagnasi jalannya penyelenggaraan pemerintahan

daerah, dimana pemerintahan daerah seharusnya menjadi “backbone” dari stabilitas

pemerintahan nasional.

3) Terjadinya penggantian Undang - Undang Nomor 22 Tahun 1999 dengan Undang –

Undang Nomor 32 Tahun 2004 tetap harus di arahkan kepada upaya pencapaian

kemandirian pemerintah daerah yang berorientasi kepada pelayanan, pemberdayaan,

daya saing daerah, dan peningkatan kesejahteraan masyarakat, dan pengembangan

demokrasi, tidak lagi sebagai ajang tarik - menarik pembagian kekuasaan, baik

antara pusat dan daerah, maupun hubungan antara DPRD dan Kepala Daerah

sebagaimana selama ini terjadi, sehingga nasib dan kepentingan rakyat terabaikan.

4) Untuk lebih memantapkan penyelenggaraan otonomi daerah, maka secara transparan

perlu mengoptimalkan peranan dan fungsi Gubernur selaku Wakil Pemerintah,

terutama dalam upaya menyelesaikan berbagai kasus dan permasalahan di daerah.

Dalam hubungan ini, sebaiknya Pemerintah Pusat mengatur lebih lanjut dengan

memberikan penugasan dan kewenangan yang tegas kepada Gubernur selaku Wakil

Pemerintah, sehingga segala persoalan yang terjadi di Daerah, baik yang bersifat

lokal maupun regional, hendaknya dapat diselesaikan secara tuntas oleh Gubernur.

NOVI HENDRA, S.IP 2014 62

Page 63: Otonomi Daerah

5) Ditinjau dari aspek asas kepatutan penyelenggaraan pemerintahan (Berhoorlijk

Bestuur) seharusnya ia (Gubernur) memiliki kewenangan “Vrijbestuur”, baik dari

aspek “teori sisa” (Residual Theory), maupun dan terutama dari aspek “Nach Freies

Ermessen” yang seharusnya melekat pada diri seorang Gubernur, sehingga pada

gilirannya akan mengurangi bertumpuknya “beban” (burden) pada pemerintah pusat,

dan ketegangan -ketegangan dan kerancuan di daerah yang selama ini sering terjadi,

dapat dituntaskan oleh Gubernur dalam kedudukan ia (Gubernur) sebagai Wakil

Pemerintah (representative of the President). Ini adalah sebagai konsekuensi

didudukannya Gubernur sebagai Wakil Pemerintah dalam rangka menjalankan tugas

- tugas dekonsentras

i. Namun, sangat disayangkan perundang - undangan yang ada, tidak mendukungnya,

sehingga tidak memungkinkan Gubernur untuk bertindak pro - aktif, tanpa dilandasi

dasar hukum kewenangan yang kuat.

6) Kalau saja, kepada Gubernur dalam kedudukannya sebagai Wakil Pemerintah

diberikan keleluasaan untuk menjalankan tugas “pemerintahan umum” (algemene

bestuur) di daerahnya melalui asas “Vrijbestuur”, dengan dasar hukum yang tegas,

maka diharapkan ia (Gubernur) akan mampu untuk mentuntaskan segala persoalan

yang terjadi di daerah.

7) Mengingat pengaturan lebih lanjut yang menegaskan kedudukan dan tugas serta

kewenangan Gubernur selaku Wakil Pemerintah, tidak ada, maka seyogyanya

sebagai tindak lanjut Pasal 38 Undang – Undang Nomor 32 Tahun 2004, segera

dikeluarkan Instruksi Presiden yang intinya menugaskan dan memberikan

keleluasaan kepada Gubernur untuk “mengusahakan secara terus - menerus agar

segala peraturan perundang - undangan dan peraturan daerah dijalankan oleh

instansi - instansi pemerintah dan pemerintah daerah, serta mengambil segala

tindakan yang dianggap perlu untuk menjamin stabilitas dan kelancaran

penyelenggaraan pemerintahan di daerah secara baik".

8) Kewenangan dekonsentrasi yang dijalankan oleh Instansi Vertikal (“dekonsentrasi

fungsional”), yaitu tugas - tugas yang dikecualikan menurut Pasal 7 Undang –

Undang Nomor 22 Tahun 1999 cq. Pasal 10 Undang – Undang Nomor 32 Tahun

NOVI HENDRA, S.IP 2014 63

Page 64: Otonomi Daerah

2004, harus ada penegasan bahwa Instansi Vertikal dimaksud adalah perangkat

Departemen dan/ atau LPND yang mempunyai tugas dan kewenangan khusus

(Sektoral; Teknis; Fungsional) di wilayah dalam jurisdiksi tertentu, yang posisinya

tidak hanya wajib berkoordinasi dengan Gubernur, melainkan kedudukannya berada

di bawah dan bertanggungjawab kepada Gubernur selaku Wakil Pemerintah (dalam

konteks “Integrated Prefectoral System”).

9) Seluruh peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar penyelenggaraan tugas-

tugas substantif Departemen Sektoral/ Departemen Teknis, baik yang terbit sebelum

maupun sesudah terbitnya Undang – Undang Nomor 22 Tahun 1999 c.q. Undang –

Undang Nomor 32 Tahun 2004, harus dengan sendirinya menyesuaikan dengan

semangat Undang – Undang tersebut, dimana kedudukan Undang – Undang Nomor

22 Tahun 1999 c.q Undang – Undang Nomor 32 Tahun 2004 itu sendiri seharusnya

berkedudukan sebagai “batu penjuru” (“corner stone”) bagi perundang - undangan

Sekotral lainnya. Hal tersebut dimaksudkan untuk menghindarkan terjadinya

kesimpang - siuran penyelenggaraan pemerintahan di daerah, karena adanya tarik -

menarik kewenangan dan tarik - menarik kepentingan, yang pada gilirannya akan

mengakibatkan terhambatnya kelancaran pelaksanaan otonomi daerah yang

seharusnya dapat memberikan pelayanan prima kepada masyarakat setempat.

10) Pelaksanaan otonomi daerah, selaras dengan jiwa dan semangat Undang – Undang

Nomor 22 Tahun 1999 c.q. Undang – Undang Nomor 32 Tahun 2004 dimaksudkan

untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa

sendiri berdasarkan aspirasi dan oto - aktivitas masyarakat, guna memberdayakan

masyarakat sendiri, sedangkan pemerintah daerah berperan mendorong dan

memfasilitasinya. Berdasarkan hal tersebut, hendaknya semua komponen

penyelenggara pemerintahan, baik di pusat maupun di daerah, memiliki kesatuan

sikap, kesatuan pandang, kesatuan pemahaman dan kesatuan interpretasi, sehingga

kelemahan dan kekurang sempurnaan Pasal - pasal dan instrumen yang ada,

hendaknya disikapi secara positif dan penuh kearifan, sehingga tidak terjadi upaya-

upaya manipulasi untuk menonjolkan masing - masing kepentingan yang akan

mengakibatkan terjadinya konflik kepentingan dan konflik kewenangan, yang pada

gilirannya hanya akan merugikan kepentingan rakyat banyak, dan pelayan publik

NOVI HENDRA, S.IP 2014 64

Page 65: Otonomi Daerah

terabaikan. Dalam pada itu, perlu merubah paradigma pemerintahan dari birokrasi

yang berpola pikir (mindset) bernuansa “dilayani” menjadi “melayani”.

11) Perlu mensosialisasikan dan mendesiminasikan Undang - Undang Nomor 32 Tahun

2004 dan peraturan pelaksanaannya agar terdapat interpretasi dan persepsi yang

sama, baik bagi masyarakat, maupun bagi para pejabat di pusat dan di daerah;

12) Menyikapi kelemahan dan atau kelebihan Undang - Undang Nomor 32 Tahun 2004

kita tidak seharusnya a priori untuk segera merobah Undang - Undang Nomor 32

Tahun 2004 sekarang, melainkan kita perlu memahami substansi dan semangat

Undang - Undang Nomor 32 Tahun 2004 dan turut serta mensosialisasikannya,

sambil mewacanakan berbagai aspek permasalahanya, baik dari segi konsep

akademik dan juridis, maupun empirik - administratif, dengan kemungkinan

memberikan alternatif solusinya.

Dalam mengantisipasi perubahan Undang – Undang Nomor 32 Tahun 2004, harus

ada persiapan yang matang dan keterbukaan sedemikian rupa, baik antara Pemerintah,

kalangan perguruan tinggi, lembaga masyarakat, partai politik, dan para praktisi

operasional dan disosialisakan kepada masyarakat luas, sehingga hasil perubahan itu akan

menghasilkan produk Undang - Undang yang bisa diimplementasikan dengan persepsi dan

interpretasi yang sama antara Pusat dan Daerah, sehingga baik dari segi akademik, juridis,

politik dan operasional, benar - benar dapat dipertanggungjawabkan.

Terima Kasih Kepada Prof.Dr. H. Zaidan Nawawi

NOVI HENDRA, S.IP 2014 65