Osteomyelitis Pada Fraktur Tulang Terbuka 1

46
Risiko dan Penanganan Osteomyelitis pada Fraktur Tulang Terbuka Sumadi Lukman Anwar Bagian Bedah Fakultas Kedokteran UGM 1

description

Dalam kehidupan modern seperti sekarang ini, terjadi peningkatan penggunaan alat transportasi. Hal ini menyebabkan terjadinya peningkatan insidensi fraktur tulang terbuka terutama akibat kecelakaan lalu lintas. Osteomyelitis adalah infeksi yang terjadi pada tulang dan bone marrow. Insidensi osteomyelitis meningkat secara signifikan pada kasus fraktur tulang terbuka. Selain itu, kondisi umum pasien yang mengalami fraktur tulang terbuka juga mempengaruhi insidensi terjadinya fraktur tulang terbuka. Pada penderita dengan diabetes, penyakit vascular perifer, immunodefisiensi, dan status gizi serta higienitas yang buruk turut meningkatkan insidensi osteomyelitis pada pasien dengan fraktur tulang terbuka. Dengan meningkatnya ketersediaan pemeriksaan imaging seperti MRI dan scintigrafi tulang, penegakan diagnosis osteomyelitis dan karakterisasi infeksi mengalami perbaikan yang signifikan. Pemeriksaan radiografi dengan rontgen baru dapat mendeteksi osteomyelitis setelah hari ke-8 infeksi sehingga kurang bermanfaat untuk membantu diagnosis osteomyelitis pada fraktur tulang terbuka. Pengambilan sampel pada luka dan tulang untuk kultur dan tes sensitivitas terhadap antimikroba sangat bermanfaat untuk menentukan terapi. Dengan meningkatnya insidensi osteomyelitis akibat methicillin-resistant Staphylococcus aureu menyebabkan pengobatan osteomyelitis menjadi semakin kompleks. Irigasi, debridemen, stabilisasi fraktur, dan penutupan luka merupakan tahapan yang penting dalam penanganan fraktur tulang terbuka untuk mencegah dan meminimalisasi terjadinya osteomyelitis.

Transcript of Osteomyelitis Pada Fraktur Tulang Terbuka 1

Page 1: Osteomyelitis Pada Fraktur Tulang Terbuka 1

Risiko dan Penanganan Osteomyelitis pada Fraktur Tulang Terbuka

Sumadi Lukman Anwar

Bagian Bedah

Fakultas Kedokteran UGM

1

Page 2: Osteomyelitis Pada Fraktur Tulang Terbuka 1

Daftar Isi

Ringkasan................................................................................................................................4

Latar Belakang.........................................................................................................................5

Fraktur tulang terbuka..............................................................................................................6

Klasifikasi fraktur tulang terbuka..............................................................................................7

Penggunaan antibiotik............................................................................................................11

Debridement dan Irigasi.........................................................................................................13

Penutupan luka......................................................................................................................14

Stabilisasi fraktur....................................................................................................................14

Managemen terbaru...............................................................................................................17

Osteomyelitis..........................................................................................................................17

Bagaimana mendiagnosis osteomyelitis................................................................................19

Penanganan dan terapi osteomyelitis....................................................................................23

Terapi Bedah..........................................................................................................................25

Osteomyelitis pada pasien dengan fraktur terbuka terkontaminasi.......................................25

Kesimpulan dan Saran...........................................................................................................27

Daftar Pustaka.......................................................................................................................28

2

Page 3: Osteomyelitis Pada Fraktur Tulang Terbuka 1

Risiko dan Penanganan Osteomyelitis pada Fraktur Tulang Terbuka

Ringkasan

Dalam kehidupan modern seperti sekarang ini, terjadi peningkatan penggunaan alat

transportasi. Hal ini menyebabkan terjadinya peningkatan insidensi fraktur tulang terbuka

terutama akibat kecelakaan lalu lintas. Osteomyelitis adalah infeksi yang terjadi pada tulang

dan bone marrow. Insidensi osteomyelitis meningkat secara signifikan pada kasus fraktur

tulang terbuka. Selain itu, kondisi umum pasien yang mengalami fraktur tulang terbuka juga

mempengaruhi insidensi terjadinya fraktur tulang terbuka. Pada penderita dengan diabetes,

penyakit vascular perifer, immunodefisiensi, dan status gizi serta higienitas yang buruk turut

meningkatkan insidensi osteomyelitis pada pasien dengan fraktur tulang terbuka. Dengan

meningkatnya ketersediaan pemeriksaan imaging seperti MRI dan scintigrafi tulang,

penegakan diagnosis osteomyelitis dan karakterisasi infeksi mengalami perbaikan yang

signifikan. Pemeriksaan radiografi dengan rontgen baru dapat mendeteksi osteomyelitis

setelah hari ke-8 infeksi sehingga kurang bermanfaat untuk membantu diagnosis

osteomyelitis pada fraktur tulang terbuka. Pengambilan sampel pada luka dan tulang untuk

kultur dan tes sensitivitas terhadap antimikroba sangat bermanfaat untuk menentukan terapi.

Dengan meningkatnya insidensi osteomyelitis akibat methicillin-resistant Staphylococcus

aureu menyebabkan pengobatan osteomyelitis menjadi semakin kompleks. Irigasi,

debridemen, stabilisasi fraktur, dan penutupan luka merupakan tahapan yang penting dalam

penanganan fraktur tulang terbuka untuk mencegah dan meminimalisasi terjadinya

osteomyelitis.

Kata kunci: fraktur tulang terbuka, osteomyelitis, infeksi, debridement, irigasi

3

Page 4: Osteomyelitis Pada Fraktur Tulang Terbuka 1

Latar Belakang

Dengan meningkatnya kebiasaan menggunakan alat transportasi berkecepatan

tinggi dan peningkatan jumlah kendaraan setiap tahunnya, insidensi terjadinya fraktur (patah

tulang) termasuk patah tulang terbuka juga meningkat. Saat ini, patah tulang terbuka

menjadi salah satu penyebab beban ekonomi dan sosial yang cukup signifikan.(1, 2) Patah

tulang terbuka biasanya melibatkan mekanisme dengan benturan energi yang besar dengan

kerusakan jaringan lunak dan jaringan tulang. Hal ini menyebabkan peningkatan risiko

terjadinya infeksi oleh microorganisme karena paparan dengan lingkungan sehingga

membutuhkan penanganan yang lebih intensif. Dalam patah tulang terbutka, terdapat

hubungan antara tulang, fokus hematoma, dengan lingkungan sekitar yang biasanya

terkontaminasi oleh bakteria.(3)

Reaksi penyembuhan dan respon terapi pada fraktur terbuka sangat tergantung dari

beberapa hal, termasuk keterlibatan infeksi, status nutrisi penderita, jeda waktu terjadinya

trauma dan penanganan medis, dan keterlibatan jaringan ikat di sekitar luka. Jaringan lunak

di sekitar luka berperan penting karena termasuk dalam komponen yang berpengaruh dalam

memberikan pasokan darah yang memadai ke tulang, serta menyediakan lingkungan yang

baik untuk penyembuhan luka dan pasokan sel yang berperan dalam imunitas.(4)

Penanganan dan klasifikasi patah tulang pada saat terjadinya trauma merupakan

langkah awal yang penting untuk merencanakan, menentukan tujuan, serta

mengimplementasikan penanganan klinis yang terbaik. Klasifikasi patah tulang juga

memungkinkan klinis untuk menentukan penatalaksanaan yang berbeda antar pasien

tergantung dari derajat keparahan luka. Terapi patah tulang terbuka dimulai sejak awal, yaitu

sebelum pasien datang ke rumah sakit, kemudian penggunaan antibiotik se-dini mungkin

(sebaiknya diberikan pada awal saat pasien tiba di unit gawat darurat rumah sakit),

debridemen luka, pembersihan luka dengan pembedahan, irigasi luka yang ekstensif,

stabilisasi fraktur tulang tahap awal, stabilisasi tulang definitive, dan penutupan luka.(5)

Osteomyelitis adalah suatu infeksi yang terjadi pada tulang dan bone marrow.

Osteomyelitis dapat terjadi pada setiap tulang pada manusia dan dapat disebabkan oleh

berbagai jenis microorganisme termasuk bakteri. Osteomyelitis terjadi pada hampir

sepertiga kasus patah tulang terbuka dalam 3 bulan setelah terjadinya trauma. (6) Meskipun

insidensi osteomyelitis tidak banyak dipengaruhi oleh rentang waktu terjadinya trauma dan

debreidement, namum keparahan osteomyelitis tergantung pada penanganan awal dan

penanggulangan infeksi.

Oleh karena itu, meskipun fraktur terbuka sering terjadi dalam lingkup ortopedi dan

traumatologi, perlu pemahaman yang mendalam mengenai trauma patah tulang, yang

4

Page 5: Osteomyelitis Pada Fraktur Tulang Terbuka 1

meliputi faktor intrinsik dan ekstrinsik, dan berbagai faktor yang berkaitan dengan waktu

terjadinya trauma, penanganan awal yang diberikan, penanganan infeksi, dan stabilisasi

tulang, serta penutupan luka. Oleh karena itu, makalah referat ini bertujuan untuk

mendiskusikan risiko dan penanganan terbaru terhadap osteomyelitis yang terjadi pada

pasien fraktur tulang terbuka.

Fraktur tulang terbuka

Patah tulang terbuka biasanya terjadi akibat dari trauma dengan energi yang besar dan

angka kejadiannya mencapai 1/3 kasus dari trauma multiple. Penanganan awalnya harus

sesuai dengan prinsip yang diterapkan oleh Advanced Trauma Life Support (ATLS).

Resusitasi harus diterapkan seawal mungkin dan penanganan terkait dengan cedera juga

diprioritaskan selama resusitasi sedang berlangsung. Penyakit penyerta seperti Diabetes

mellitus, malnutrisi, penyakit hati, penyakit pembuluh darah perifer, umur tua atau bayi,

penyakit defisiensi imunitas, merokok, dan penggunaan steroid harus ikut dipertimbangkan

karena dapat memperlambat proses penyembuhan. (7)

Pada setiap patah tulang terbutka, luasnya dan dalamnya luka, keterlibatan jaringan

lunak di sekitarnya, serta kontaminasi harus ikut dipertimbangkan. Apabila mengenai

ekstremitas, vaskularisasi bagian distal, status neurologis juga harus dinilai. Selain itu

apabila mengenai ekstremitas, kemungkinan terjadinya sindroma kompartemen harus

disingkirkan dan apabila ada harus segera dilakukan tindakan.(7) Jaringan lunak di sekitar

luka harus dinilai kemungkinan adanya kontaminasi, devaskularisasi dan derajat

kerusakannya karena jaringan lunak mempengaruhi pilihan untuk imobilisasi dan juga

berkaitan dengan risiko terjadinya infeksi. Jaringan lunak berperan vital dalam penganganan

fraktur tulang terbuka. Tscherne mengklasifikasi derajat kerusakan jaringan lunak menjadi

beberapa kelompok berdasarkan tingkat kerparahan. Pada patah tulang terbutka,

pembagian keterlibatan jaringan lunak menjadi beberapa kelompok dapat menggunakan

Hannover fracture scale dan AO soft tissue grading system yang dapat digunakan untuk

fraktur tulang terbuka yang berat. (8,9)

Eksplorasi luka di ruang gawat darurat tidak diindikasikan, apabila intervensi bedah

direncanakan untuk menurunkan kemungkinan kontaminasi lebih lanjut. Setelah semua

benda asing dikeluarkan dari luka, sebaiknya dilakukan foto radiologi, setelah itu luka dibilas

dengan NaCl fisiologis. Antibiotik dengan spektrum luas dan profilaksi tetanus sebaiknya

juga diberikan. Dosis toksoid adalah 0.5 ml, sedangkan dosis immune globulin adalah 75U

(umur < 5 tahun), 125U (5-10 tahun), dan 250U (>10 tahun). Anti-tetanus ini diberikan

secara intramuskuler. Rekomendasi profilaksi tetanus didasarkan pada riwayat imunisasi

dan tingkat keparahan luka apakah berisiko tinggi terjadi tenanus atau tidak. Luka yang tidak

5

Page 6: Osteomyelitis Pada Fraktur Tulang Terbuka 1

berisiko tinggi tetanus adalah luka yang bersih dan diberikan penanganan sebelum 6 jam

setelah tauma. Luka dengan risiko tinggi tetanus apabila mendapat penanganan lebih dari 6

jam setelah trauma, bentuk luka tidak teratur, dalamnya lebih dari 1 cm, trauma karena luka

tembak, karena kecelakaan, luka bakar, dan luka karena paparan dingin (frost bite).

Tabel. 1 Profilaksi tetanus untuk pasien dengan trauma

Tipe luka Tidak beresiko tetanus Beresiko tetanus

Riwayat TT Td-a TIG Td-a TIG

Tidak diketahui (<3) Ya Tidak Ya Tidak

Tiga atau lebih Tidak © Tidak Tidak (d) Tidak

Td: Toksoid tetanus dan difteria, TIG-Tetanus immune globulin-

human

a. Anak < 7 tahun (DT, jika kontraindikasi diberikan vaksin pertusis) lebih disarankan untuk TT sajab. Jika hanya 3 dosis toxoid yang didapat, dosis toxoid keempat dapat diberikanc. Ya, jika > 10 tahun sejak dosis terakhir

d. Ya, jika > 5 tahun sejak dosis terakhir

Immobilisasi dan reduksi sementara dapat dilakukan di unit gawat darurat untuk

menurunkan risiko cedera yang lebih berat di tempat terjadinya fraktur apabila pasien

bergerak.

Klasifikasi fraktur tulang terbuka

Berbagai sistem pengklasifikasian fraktur terbuka dapat membantu dalam komunikasi yang

baik antara dokter dan membantu dalam memutuskan penanganan, terapi, dan prognosis

dari luka terbuka. Sistem klasifikasi fraktur terbuka dengan 3 tipe berdasarkan

keparahannya pertama kali diperkenalkan oleh Veliskakis.(10) Konsep ini kemudian

disempurnakan oleh Gustilo dan Anderson (11) yang kemudian disempurnakan oleh Gustilo

dkk (12) sebagai bentuk klasifikasi yang paling banyak digunakan seperti terangkum dalam

Tabel 2. Klasifikasi menurut Gustilo ini memiliki kelemahan dengan perbedaan antar-penilai

sekitar 60% seperti dilaporkan oleh Brombark dan Jones (13) Karena ketidakseragaman ini,

6

Page 7: Osteomyelitis Pada Fraktur Tulang Terbuka 1

disarankan untuk mengklasifikasikan fraktur terbuka di ruang operasi setelah memperlebar

luka, menilai kontaminasi dan keadaan pecahan tulang dan jaringan lunak di sekitar luka.

Risiko infeksi klinis seperti dikemukakan Patzakis dan Wilkins menunjukkan risiko infeksi

dan karakteristik fraktur dan lokasinya. (14) Infeksi pada fraktur tibia terbuka mempunyai

kemungkinan 2 kali lebih besar dibandingkan dengan fraktur pada tulang lainnya.

Tabel 2. Klasifikasi fraktur tulang terbuka

Grade I Luka kurang dari 1 cm dengan kontaminasi dan cedera otot minimal

Grade II Laserasi > 1 cm, kerusakan jaringan lunak sedang, penutupan

tulang masih adekuat, dan kontaminasi minimal

Grade IIIA Kerusakan jaringan lunak yang luas, energi tinggi dengan kerusakan

jaringan, kontaminasi masif, fraktur tulang segmental dan

comminutive yang parah, dan penutupan jaringan lunak yang masih

adekuat

Grade IIIB Kerusakan jaringan lunak yang luas, kontaminasi dan fraktur tulang

comminutive yang masif dengan pemisahan periosteum dan

paparan tulang, sehingga membutuhkan flap untuk penutupan luka.

Luka tembak termasuk dalam grade IIIB.

Grade IIIC Patah tulang berkaitan dengan cedera arteri sehingga perlu

perbaikan pembuluh darah

Sistem klasifikasi menurut Gustilo dan Andersen memberikan tingkat konkordansi

yang rendah antar-penilai. Penilaian yang diberikan juga kurang bersifat objektif. Untuk

memperbaiki sistem skoring oleh Gustilo dan Anderson, Armis (2001) membuat klasifikasi

fraktur terbuka dengan sistim skoring yang dinamakan Sistem Skoring Sardjito (SSS) yang

dilakukan dengan memberikan skoring pada setiap variabel yang meliputi kerusakan kulit,

kerusakan otot, kondisi tulang, kondisi neurovaskuler dan derajat kontaminasi kemudian

skor dijumlahkan.(15)

Tabel 3. Sistem skoring fraktur terbuka dengan Sardjito Scoring System

Clinical condition Score1. Skin damage

A. Wound- Wound lenght < 5 cm (in-out)- 5-10 cm- > 10 cm

B. Skin condition- No devitalized edge of wound without contusion- Contused edge of wound / subcutan or with small area of degloving- Large are of degloving or skin loss or skin avulsion

123

123

7

Page 8: Osteomyelitis Pada Fraktur Tulang Terbuka 1

II. Muscle Damage- No muscle contusion or sircumscribed muscle contusion or partial

rupture- Total rupture of one compartment muscle- Muscle defect with extensive muscle crush

1

23

III. Bone Damage- Simple fracture, transferees, oblique, spiral, butterfly, or with little

contamination- Simple fracture with gross displacement, segmental fracture (little

displaced) or moderate communition- Gross communition, boneloss / defect

1

2

3IV Neurovascular damage

- No neurovascular trauma- Isolated or located neurovascular trauma- Extensive neurovascular trauma

123

V Contamination- No particle- Only superficial particle- Deep particle

51015

Klasifikasi fraktur terbuka sesuai Sistem Skoring Sardjito (15).

Note: * Add one for public watering accident or from farm accident or treated after

golden period (deep particle score =15+1=16)

Skor untuk fraktur terbuka grade I atau ringan: 10, grade II atau sedang 11-20, grade

III atau berat : 21-31. Grade IIIA bila fragmen fraktur masih tertutup jaringan lunak, grade IIIB

bila terdapat ekspose fragmen fraktur, dan grade III C bila terdapat kerusakan pembuluh

darah vital sehingga untuk mempertahankan kehidupan bagian distal fraktur membutuhkan

tindakan repair. (15)

Pada kasus kecelakaan yang berat yang melibatkan ekstremitas dan pada fraktur

terbuka grade III menurut Gustilo, keputusan untuk penanganan lanjutan masih

kontroversial. Masalah terpenting pada keadaan ini adalah untuk mempertahankan

ekstremitas atau melakukan amputasi. Amputasi dapat dipertimbangkan apabila ekstremitas

sudah tidak viable, melibatkan cedera vaskular yang sudah tidak dapat diperbaiki lagi, terjadi

iskemia lebih dari 8 jam, karena kecelakaan yang berat dengan sisa jaringan yang tinggal

sedikit, apabila setelah upaya mempertahankan ekstremitas fungsinya tidak kembali secara

memuaskan dibandingkan dengan apabila menggunakan prostesis. Selain itu amputasi juga

dipertimbangkan apabila upaya mempertahankan ekstermitas akan membahayakan

kehidupan pasien, apabila upaya mempertahankannya membutuhkan beberapa kali operasi

dan rekonstruksi yang tidak sesuai dengan harapan pasien secara personal, sosial, maupun

pertimbangan ekonomi. Untuk membantu dalam membuat keputusan perlunya

mempertahankan ekstremitas atau melakukan amputasi, dapat digunakan mangled

8

Page 9: Osteomyelitis Pada Fraktur Tulang Terbuka 1

extremity severity score. Apabila skor sama atau lebih dari 7 maka hampir 100% diperlukan

amputasi.(16) Penelitian selanjutnya oleh Bosse et al. tidak dapat membuktikan nilai prediktif

dari sistem skoring ini. Penelitian terbaru menunjukkan bahwa sensasi plantar bukan

merupakan faktor penting dalam memutuskan amputasi karena pada kebanyakan pasien,

sensasi plantar kembali normal setelah dilakukan rekonstruksi. (17) Apakah tindakan

menyelamatkan ekstremitas akan memberikan prognosis yang lebih baik dibandingkan

dengan prosthesis masih menjadi topik perdebatan.(18) Keputusan untuk melakukan

amputasi harus dipertimbangkan secara matang dengan memperhatikan sistem skoring

MESS. Perlu mempertimbangkan keadaan psikologis pasien dan ketersediaan tenaga ahli.

Tabel 3. Risiko infeksi pada fraktur terbuka menurut Patzakis dan Wilkins

Tipe Fraktur Risiko Infeksi (%)

Tipe I 0-2%

Tipe II 2-10%

Tipe III 10-50%

Tabel 4. Mangled Extremity Score

MANGLED EXTREMITY SEVERITY SCORECedera otot / jaringan lunakCedera karena energi rendah (tusuk, fraktur simple, luka tembak pistol) 1Cedera karena energi sedang (fraktur terbuka atau multiple, dislokasi) 2Cedera karena energi tinggi (kecelakaan kendaraan dengan kecepatan tinggi atau luka tembak senapan)

3

Cedera karena energi sangat tinggi (trauma karena kecepatan sangat tinggi + kontaminasi yang luas)

4

Iskemia ekstremitasPenurunan pulsasi atau tidak ada perfusi yang normal 1*Tidak ada pulsasi; penurunan sensasi (parestasi), penurunan pengisian kapiler 2Ekstremitas dingin, terparalisasi, insensitif, tidak ada sensasi (numb) 3*ShockTekanan sistolik selalu >90 0Hipotensi transien 1Hipertensi persisten 2Umur (dalam tahun)<30 030-50 1>50 2* Skor nya 2 kali lipat pada keadaan iskemia >6 jam

9

Page 10: Osteomyelitis Pada Fraktur Tulang Terbuka 1

10

Page 11: Osteomyelitis Pada Fraktur Tulang Terbuka 1

Penggunaan antibiotik

Patah tulang terbuka biasanya terkontaminasi sehingga hampir selalu diperlukan

penggunaan antibiotik. Antibiotik dalam penatalaksanaan fraktur tulang terbuka dapat

menurunkan infeksi secara signifikan.(11-14,19) Keterlambatan penanganan selama 3 jam

sudah dapat meningkatkan risiko infeksi secara signifikan hampir 6 kali lipat. Disarankan

untuk memberikan dosis antibiotik seawal mungkin.(20) Masih terjadi perdebatan lamanya

pemberian antibiotik pada penanganan patah tulang terbuka. Penelitian terbaru

menyarankan lama penggunaan antibiotik selama 3 hari.(19,20) Kemudian pemberian

antibiotik diulang pada waktu penutupan luka, stabilisasi tulang, atau graft tulang. Antibiotik

yang direkomendasikan pada patah tulang terbuka adalah cephalosporin pada fraktur tulang

terbuka Gustilo tipe I, cephalosporin dan aminoglikosida pada fraktur terbuka tipe II, dan

cephalosporin, penicillin, dan aminoglikosida untuk patah tulang terbuka tipe III.(19)

Tidak terdapat perbedaan bermakna untuk menggunaan clindamicyn dan cefazolin

pada fraktur tulang terbuka. Patzakis et al. merekomendasikan untuk fraktur terbuka tipe 1

dan 2 dengan ciprofloxacin atau gabungan cefamandole dan gentamicyn. Untuk fraktur

terbuka tipe 3, ciprofloxacin lebih inferior dibandingkan cefamandole dan gentamicyn (31%

vs 7.7% infeksi sekunder. Ciprofloxacin dan fluorokuinoloin yang lain dapat menghambat

aktivitas osteoblast dan penyembuhan fraktur.(14,35) Pemberian antibiotik sebaiknya

dimulai seawall mungkin. Pemberian kurang dari 3 jam setelah fraktur memberikan insidensi

infeksi sebesar 4.7% sedangkan apabila diberikan lebih dari 3 jam, risiko infeksi menjadi

7.4%. Tidak terdapat perbedaan bermakna antara pemberian antibiotik selama 1 sampai 5

hari setelah operasi. Rekomendasi secara umum adalah memberikan Cefazolin tiap 8 jam

sampai 24 jam setelah luka ditutup dan ditambahkan gentamicin atau levofloxacin untuk

fraktur terbuka tipe 3.(14,35)

Antibiotik yang diberikan sebaiknya yang sesuai dengan microorganism penyebab

infeksi. Microorganism yang paling sering menyebabkan infeksi pada patah tulang terbuka

adalah Staphylococcus aureus dan staphylococcus koagulase negatif. Infeksi pada onset

lanjut pada patah tulang terbuka yang terjadi di rumah sakit disebabkan karena infeksi

nosokomial dan sebagian besar disebabkan karena bakteri gram negatif. Yang paling sering

menyebabkan infeksi pada luka tusuk di kaki adalah Pseudomonas aerogenosa. Apabila

trauma terjadi di lading dengan luka yang dalam, bakteri Clostridia juga sering menyebabkan

infeksi. Methicilin resistant staphylococcus aureus (MRSA) juga dapat menginfeksi pada

pasien dengan infeksi dapatan baik dari komunitas maupun nosokomial, dan adanya infeksi

MRSA berkaitan dengan peningkatan morbiditas dan mortalitas serta beban perawatan yang

besar. Infeksi MRSA banyak terjadi pada pasien yang dirawat di rumah sakit, atau panti

11

Page 12: Osteomyelitis Pada Fraktur Tulang Terbuka 1

perawatan, serta paling sering terjadi di unit perawatan intensif.(7) Di Amerika dan Eropa,

penggunaan antibiotik Daptomycin digunakan untuk mengatasi infeksi MRSA. Penggunaan

Daptomycin pada osteomyelitis akibat MRSA telah banyak dilaporkan dengan efek yang

signifikan.(21) Lanezolid, Vancomycin, serta antibiotik yang telah lama digunakan seperti

Tetracyclin, Rifampicin, Clindamycin, Trimethoprim-sulphamethoxazole merupakan antibiotik

yang efektif untuk mengatasi MRSA. Meskipun demikian, kita memerlukan kultur-sensitivitas

untuk menentukan antibiotik yang sesuai dengan pola kuman. Harus hati-hati dalam

penggunaan Ciproflozacin dan golongan quinolone lainnya untuk mengatasi MRSA karena

resistensi dapat terbentuk dengan cepat kecuali apabila penggunaannya diberikan dalam

kombinasi dengan antibiotik lainnya.(21,22)

Hasil penelitian terbaru menunjukkan perlunya penggunaan antibiotik untuk bakteri

gram negatif pada fraktur tulang terbuka grade I. Penggunaan aminoglikosida harus

diberikan secara berhati-hati pada pasien dengan trauma multiple yang fungsi ginjalnya

mengalami gangguan. Dalam keadaan seperti ini, ciprofloxacin dapat menggantikan

aminoglikosida dan keunggulannya karena dapat diberikan secara per oral. (23)

Penggunaan antibiotik lokal dengan aminoglikosida dan polymethylmethacrylate (PMMA)

powder dapat menurunkan insidensi terjadinya infeksi. (24) Tobramycin atau gentamycin

juga sering digunakan.

Osteomyelitis: Antibiotik IV 1-2 minggu

Rekomendasi pilihan antibiotik

Hematogen, contagious focus Vancomycin 1g/12j + Ceftazidime 2g/8j iv atauCefepime 2g/12j ivMethicillin sensitive Staph aureus: Nafcilin or Oxacillin 2g/24jMRSA: Vancomycin 1g/12j +/- rifampinAtau linezolid 600mg/12jCuriga karena Gram negative: Cefalosforin gen III : Ceftriaxone 2g/8j atau Cefotaxome 2g/8j, Ceftazidime 2g/8j atau Cefepime 2g/12j.Pus Vancomycin 1g/12jGram negative: Ciprofloxacin 400mg/12j atau Levofloxacin 750mg/2j

Osteomyelitis due to vascular insufficiency. Associated conditions include diabetes, neuropathy, vascular disease

Infeksi ringan: Ciprofloxacin 750mg/12j po ± rifampin 600mg/24j po atauLevofloxacin 750 mg/24j po ± rifampin 600mg/24j atauAugmentin 500 mg/8jInfeksi beratPiperacillin-tazobactam 3.375g/6j atauTicarcillin-clavulanic acid 3.1g/6j atauAmpicillin-sulbactam 1.5-3 g/6j iv atau(Ciprofloxacin 400 mg/12j iv + Clindamycin 600-900 mg/8j iv)(Cefepime 1g/12j iv + Metronidazole 500mg/8j iv)

12

Page 13: Osteomyelitis Pada Fraktur Tulang Terbuka 1

Debridement dan Irigasi

Debridemen merupakan tahap penting dalam penanganan fraktur tulang terbuka.

Debridemen pertama kali diperkenalkan oleh Desault, dan kemudian menjadi prosedur

umum pada penanganan fraktur tulang terbuka. Debridemen harus dilakukan secara

menyeluruh dan pemotongan jaringan mati harus dilakukan secara benar sampai bersih.

Semua debris, jaringan yang mati, dan potongan tulang korteks yang rapuh harus dibuang.

Diseksi dilanjutkan sampai mencapai jaringan yang viable yang ditandai dengan warna,

konsistensi, dan kontraktilitas yang memadai. Luka Grade I dan II harus diperluas sehingga

dapat dilakukan debridemen secara memadai. Rekomendasi untuk melakukan debridemen

adalah 6 jam setelah terjadi trauma untuk mencegah terjadinya infeksi. Meskipun demikian,

aturan debridemen sebaiknya dilakukan dalam 6 jam setelah terjadi trauma masih

diperdebatkan.(25) Debridemen dapat dilaksanakan secepat mungkin apabila semua

peralatan dan tenaga ahli sudah tersedia. Apabila diperlukan, debridemen ulang dapat

dilakukan dalam 24 sampai 48 jam setelah debridemen pertama.

Irigasi merupakan tahapan yang tidak kalah penting dalam penanganan fraktur

tulang terbuka. Meskipun demikian, metode irigasi, volume cairan yang digunakan untuk

irigasi agar memberikan hasil yang maksimal masih kontroversial. Beberapa ahli

menyarankan sebanyak 3 liter untuk luka grade I, 6 liter untuk fraktur terbuka grade II, dan

10 liter untuk fraktur terbuka grade III. Cairan yang mengandung antibiotik dapat

memberikan hasil yang lebih efektif dibandingkan dengan cairan saline normal, meskipun

literature yang mendukungnya masih lemah.(7, 25) Detergen (sabun) dapat membantu

menghilangkan bakteri dan dalam berbagai laporan penggunaan detergen dapat

menurunkan risiko infeksi. (26) Penggunaan antisptik sebagikanya dihindari karena sifatnya

yang toksik terjadap jaringan. Pemberian tekanan pada proses irigasi masih kontroversial,

irigasi dengan tekanan yang tinggi dapat membantu menghilangkan bakteri, tetapi dapat

merusak jaringan lunak dan tulang. Irigasi dengan tekanan rendah seperti ketika kita

menggunakan syringe dan suction dilaporkan sudah cukup memadai untuk fraktur tulang

terbuka. (27) Tidak terdapat perbedaan yang bermakna dalam penggunaan air atau saline

untuk irigasi pembersihan luka. (28) Kebanyakan ahli bedah menggunakan saline.

Berdasarkan laporan penelitian terbaru, saline normal sebaiknya digunakan secara teratur,

sedangkan penggunaan zat tambahan sebaiknya dihindari. Irigasi dengan tekanan rendah

lebih disarankan, tekanan irigasi yang tinggi sebaiknya diberikan tidak lebih dari 50 psi.

13

Page 14: Osteomyelitis Pada Fraktur Tulang Terbuka 1

Penutupan luka

Hampir semua luka pada patah tulang terbuka ditutup dengan jahitan primer. Incisi

bedah yang dilakukan saat melakukan debridemen awal dapat ditutup primer dan fraktur

tulang terbuka dapat dibiarkan tetap terbuka. Pentutupan luka dengan menggunakan

antibiotik brad pouch atau vacuum assited dressing merupakan metode yang tepat untuk

membantu penyembuhan luka. Luka pada patah tulang terbuka mungkin perlu penutupan

primer, split skin graft (SSG), flap fasiokutan, flap otot dengan rotasi, dan flap otot bebas.

Godina dkk melaporkan bahwa debridemen awal sampai mencapai jaringan sehat dan

penutupan luka dengan flap otot rotasional atau bebas yang diberikan oleh ahli bedah yang

terlatih dapat memberikan hasil yang lebih baik dibandingkan dengan debridemen berulang

dan penutupan luka pada tahap akhir debridement. Penutupan luka sesegera mungkin

dapat mencegah infeksi nosokomial dibandingkan dengan debridemen berulang dan

penutupan luka pada tahap akhir. Sebaiknya penutupan luka dilakukan secara menyeluruh

dalam 72 jam setelah trauma. (29,30)

Stabilisasi fraktur

Stabilisasi patah tulang dapat dilakukan untuk sementara maupun definitif. Fiksasi

sementara yang dapat dilakukan misalnya traksi otot (skeletal traction) dan kadang fiksasi

eksternal. Fiksasi definitif yang dapat diberikan untuk terapi patah tulang terbuka meliputi

fiksasi eksternal, fiksasi dengan plate, dan intramedullary nailing. Masing-masing dari

prosedur ini mempunyai keuntungan dan kelemahan. Skeletal traction bermanfaat untuk

fraktur pelvis dan pada fraktur femur dengan modalitas temporer dalam waktu yang singkat.

Fiksasi eksternal merupakan modalitas terapi utama untuk fraktur terbuka yang berat seperti

yang terjadi pada grade IIIA dan IIIB, serta memberikan keuntungan karena memungkinkan

adanyak akses yang lebih mudah untuk penanganan cedera jaringan lunak dan transport

nutrisi ke tulang. Selain itu fiksasi eksternal dapat dimodifikasi kemudian dengan

intramedullary nail. (30,32) Untuk pergantian modalitas, agar aman, sebaiknya dilakukan

dalam rentang waktu 14 hari dan dalam keadaan tidak ada infeksi. Masalah terbesar dalam

fiksator eksternal adalah timbulnya infeksi (pin tract infecttion), penyatuan tulang yang

terlambat, terjadi space, atau bahkan tidak terjadi penyatuan tulang. (30,32) Penggunaan

fiksasi dengan plate dan screw memberikan risiko infeksi yang lebih tinggi pada patah tulang

14

Page 15: Osteomyelitis Pada Fraktur Tulang Terbuka 1

terbuka. (30,33) Penggunaan plate sebaiknya diberikan apabila melibatkan fraktur tulang di

sekitar sendi.

Stabilisasi fraktur terbuka memberikan banyak manfaat kepada pasien antara lain

dapat melindungi jaringan lunak dari fraktur dan mencegah kerusakan lebih lanjut akibat

fragmen tulang yang tidak stabil. Selain itu, stabilisasi fraktur dapat mengembalikan panjang,

alignment, dan rotasi – semua prinsip fiksasi fraktur. Proses pengembalian panjang tulang

juga akan membantu menurunkan risiko kematian jaringan lunak sehingga dapat

menurunkan risiko infeksi fraktur terbuka. Fiksasi juga dapat memperbaiki akses ke jaringan

lunak sekitar luka dan membantu pasien untuk mencapai fungsi normal secara cepat.

Pilihan yang dapat dilakukan untuk fiksasi adalah dengan traksi skeletal, fiksasi eksterna,

dan intramedullary nails serta plate. Pilihan fiksasi tergantung pada fraktur tulang dan lokasi

fraktur (intraartikular, metaphyseal, atau diaphyseal), luasnya kerusakan jaringan lunak, dan

kerajat kontaminasi, serta status fisiologis pasien. Beberapa keadaan seperti fraktur Pilon

fibula sehingga fiksasi yang dapat mengembalikan panjang dan rotasi dengan fiksasi

eksternal di artikulatio tibio-talus. (35)

Traksi skeletal dan fiksasi eksterna merupakan pilihan fiksasi yang paling cepat.

Traksi skeletal sebaiknya diberikan hanya pada kasus frakter terbuka tipe tertentu (misalnya

fraktur pelvis dan fraktur femur proksimal) dan apabila dilakukan sebaiknya hanya diberikan

dalam waktu yang tidak panjang. Fiksasi eksternal merupakan metode yang yang sering dan

sangat bermanfaat untuk penanganan fraktur terbuka akut. Indikasi untuk fiksasi eksternal

adalah fraktur terbuka terkontaminasi berat dengan jaringan lunak yang masih viable, fraktur

terbuka tipe IIIA-C, dan fiksasi perlu segera diberika untuk pasien yang secara fisiologis

tidak stabil. Apabila digunakan sebagai fiksasi definitive, fiksasi eksternal harus diberikan

sebagai struktur tanpa ada pinning di region yang mengalami cedera dan dapat diakses

dengan mudah untuk pemeriksaan radiologis dan untuk fiksasi. Ahli bedah harus

mempertimbangkan letak incisi apabila akan dilakukan fiksasi internal, sehingga

penempatan fiksasi eksternal harus dipertimbangkan. Pada umumnya, fiksasi dengan plate

diindikasikan untuk fraktur terbuka berat dengan keterlibatan periartikular sehingga

membutuhkan rekonstruksi permukaan sendi. Fiksasi periartikuler harus segera dilakukan

apabila terdapat keterlibatan sendi dan jaringan lunak yang luas. Angka infeksi dilaporkan

cukup tinggi untuk kasus fraktur terbuka yang dilakukan fiksasi dengan plate. Teknik plating

saat ini dan yang lebih tidak invasif dapat menurunkan angka infeksi serta memberikan hasil

yang lebih baik.(35)

Intramedullary nail fixation merupakan metode terapi utama pada sebagian besar

fraktur terbuka di tibia dan untuk beberapa tipe fraktur femur. Penelitian terbaru

menunjukkan bahwa 88% ahli bedah memilih intramedullary nail untuk fraktur terbuka tipe I

dan II pada fraktur corpus tibia. Penggunaan intramedullary nail turun menjadi 68% dan 48%

15

Page 16: Osteomyelitis Pada Fraktur Tulang Terbuka 1

padai tipe IIIA dan IIIB. Untuk fraktur terbuka tipe IIIA dan IIIB, pilihannya adalah fiksasi

eksternal. Konversi dari fiksasi eksternal ke intramedullary nail dapat menimbulkan risiko

infeksi sebanyak 44% dan non-union sebanyak 50%. Meskipun demikian, penelitian

selanjutnya menunjukkan bahwa konversi dari fiksasi eksternal ke intramedullary nail

dinyatakan aman karena ada 2 parameter, apabila konversi dilakukan kurang dari 2 minggu

dan tidak adanya pin pada tempat infeksi. Konversi diperlukan apabila ada pin di tempat

infeksi membutuhkan waktu tambahan dan terapi antibiotik setelah dilepasnya fiksasi

eksterna sebelum dipasang intramedullary nail. Konversi seperti ini direkomendasikan

terutama untuk fraktur terbuka tipe III. (35)

Intramedullary nail merupakan metode yang paling sering digunakan pada patah

tulang terbuka di femur, radius, dan ulna, serta luka tembat, dan fraktur terbuka grade I pada

tibia. (34) Intramedullary nail juga dapat diberikan pada tahap lanjut penanganan patah

tulang terbuka grade II pada tibia. Masih timbul perdebatan untuk menggunakan reamed

atau undreamed nails. Reaming mempunyai keuntungan karena dapat mempercepat waktu

penyembuhan, menurunkan insidensi non-union, dan lebih sedikit terjadinya patahan pada

screw. (35) Sedangkan unreamed nails mempunyai keuntungan terutama pada pasien

dengan multiple trauma karena dapat menurunkan terjadinya komplikasi pulmolan dan dapat

mempertahankan aliran daran ke endosteum, yang sering terjadi karena aliran darah dari

jaringan lunak ke tulang sudah tidak memadai. (35) Belum terjadi kesepakatan sampai saat

ini untuk menggunakan reaming nail pada fraktur tulang teriolasi.

Keputusan untuk melakukan amputasi harus dipertimbangkan secara matang dan

menjadi langkah terakhir. Teknik graft tulang Papineau merupakan teknik untuk

menyelamatkan ekstremitas sebagai alternatif tindakan amputasi untuk kasus fraktur

terbuka tulang panjang dengan infeksi. Teknik graft Papineau meliputi debridemen fraktur

tulang terbuka radikal, graft tulang di tempat dasar tulang dengan granulasi, penutupan

jaringan lunak, dan imobilisasi ekstrimitas yang mengalami cedera. Untuk tindakan ini,

diperlukan kerja sama antara pasien denga tim medis untuk memastikan agar graft dapat

berhasil. Untuk mencapai keberhasilan, teknik Papineau sebaiknya dilakukan pada luka

yang sudah bersih dan memiliki pasokan darah yang cukup. Pemeriksaan laboratorium

terutama angka leukosit, sedimen eritrosit, dan CRP sebaiknya sudah kembali normal, dan

dengan sistem imun yang baik serta parameter nutrisi yang memadai. Setelah debridemen,

luka diamti adanya jaringan granulasi yang tebal (biasanya setelah 2 minggu), kemudian

graft tulang cancellous autogen dikompresikan ke tulang dengan defek. Tulang yang digraft

sebaiknya ketebalannya tidak melebihi 2 cm. Setelah dilekatkannya graft tulang, dilakukan

penutupan graft dengan jaringan lunak. Teknik Papnineau modern adalah dengan

menggunakan VAC (vacuum-assisted closure), terutama pada luka yang basah untuk

mencegah penggantian penutup luka berulang. Papineau modern juga melibatkan

16

Page 17: Osteomyelitis Pada Fraktur Tulang Terbuka 1

debridemen eksisi yang agresif pada tulang yang nekrotik atau terinfeksi, graft tulang

terbuka dengan autograft tulang cancellous, kemudian digunakan VAC sebagai metode

lanjutan untuk perawatan luka. Alternatif lain dari teknik Papineau adalah setelah dilakukan

stabilisasi fraktur tulang, beberapa kali debridemen pada luka terinfeksi dilakukan dengan

preservasi korteks tulang posterior. Prosedur ini diikuti dengan terapi lokal yang terdiri dari

ganti balut lembab berulang sampai timbul jaringan granuasi pada tulang yang dieksisi dan

juga pada jaringan lunak sekitarnya. Setelah itu, graft tulang cancellous dilakukan dengan

penutupan jaringan lunak dilakukan beberapa hari setelah graft. Debridemen radikal pada

tulang yang terinfeksi merupakan tahapan kunci dalam teknik ini. Graft tulang cancellous

secara terbuka dilakukan untuk mengisi defek tulang setelah proses stabilisasi baik dengan

spalk maupun dengan fiksasi eksterna.(35)

Managemen terbaru

Bone grafting pada fraktur tulang terbuka sering terjadi malunion. Penggunaan tambahan

rekombinan Bone morphogenic protein (BMP)-2 pada fraktur terbuka yang berat dapat

diberikan. (36) Selain itu pemberian BMP-2 dapat mencegah perlunya bone grafting.

Osteomyelitis

Osteomyelitis merupakan infeksi pada tulang dan bone marrow. Osteomyelitis dapat

terjadi pada semua tulang di seluruh tubuh dan dapat disebabkan karena berbagai macam

mikroorganisme. Pada dasarnya tulang sangat resisten terhadap infeksi.(37,38)

Osteomyelitis terjadi hanya apabila inokulasi bakteria dalam jumlah yang besar terjadi pada

tulang.(37,39) Bakteria dapat menempel ke matriks tulang melalui reseptor ke fibronektin,

laminin, kolagen, dan struktur protein lainnya. Microorganisme dapat menghindari sistem

pertahanan tubuh dan antibiotik melalui berbagai mekanisme termasuk dengan tetap hidup

dalam keadaan dorman di osteoblast, membentuk biofilm, dan kemampuannya untuk hidup

dengan kecepatan metabolisme yang rendah.(40,41) Adanya protesis atau plate yang

menempel pada tulang dapat menyebabkan kerusakan sel darah putih polimorfonuklear

sehingga dapat mencegah fagositosis bakteri oleh leukosit. Studi dengan menggunakan

radioactive trace menunjukkan bahwa dalam keadaan terinfeksi dan adanya protesis atau

plate, sel leukosit gagal membentuk priming untuk merangsang differensiasi sel imun

lainnya dan untuk bermigrasi ke tempat fraktur.(62.63) Selain itu, pemasangan implant plate

dan screw pada tulang yang terinfeksi, dapat menjadi nidus dan berperan sebagai sumber

17

Page 18: Osteomyelitis Pada Fraktur Tulang Terbuka 1

infeksi yang terus menerus. Proses inflamasi akibat dari interaksi dan bakteri menyebabkan

pelepasan sitokin dan dapat menyebabkan terjadinya osteolysis.(40,41)

Pada pasien dengan osteomyelitis akut yang terjadi pada tulang panjang, tempat

predileksinya adalah di metafisis karena aliran darah yang lambat di lengkung pembuluh

darah metafisis dan jumlah sel fagositis yang relatif sedikit di metafisis. (37) Infeksi pada

metafisis, eksudat inflamasi yang timbuh dapat memberikan tekanan pada tulang dan

saluran intrameduler. Perluasan eksudat ke dalam korteks menyebabkan terjadinya elevasi

dan ruptur periosteum, sehingga dapat mengganggu aliran darah dan menyebabkan infark

serta terbentuknya abses atau sequestrum. Pada osteomyelitis kronis, reaksi inflamasi

terjadi ringan sampai sedang dan tidak terjadi proses nekrosis.(41)

Permasalahan dapat timbul akibat osteomyelitis dimulai dari lapisan kulit, jaringan

lunak sampai ke pembuluh darah dan jaringan tulang. Osteomyelitis sendiri dapat

diakibatkan dari perluasan infeksi dari jaringan kulit dan jaringan lunak ke tulang dan juga

akibat persebaran infeksi hematogenik ke tulang. Pada bayi dan anak, bagian metafisis

tulang panjang paling sering terkena osteomyelitis karena posisi anatomisnya. Ujung kapiler

tanpa anastomosis yang membentuk tikungan tajam di growth plate dan kemudian masuk

sistem vena sinusoid menyebabkan aliran darah menjadi lambat dan turbulensi. Sumbatan

menyebabkan obstruksi dan nekrosis. Trauma minor menyebabkan risiko osteomyelitis di

daerah ini. Infeksi menyebabkan nekrosis tulang sehingga menyebabkan selulitis dan

peningkatan tekanan tulang, penurunan pH, dan pecahnya lekosit sehingga menyebabkan

timbulnya nekrosis tulang. Infeksi dapat meluas ke lateral melalui sistem Volkmann dan

Haversian, menembus kortek tulang, dan penonjolan periosteum. Perluasan juga terjadi di

canalis intramedularis. Osteomyelitis dapat diakibatkan oleh infeksi kulit lokal seperti selulitis

dan ulserasi kulit. Penurunan perfusi jaringan menyebabkan infeksi mudah terjadi. Respon

inflamasi terhadap adanya baketeria aerob dan anaerob dapat menyebabkan kerusakan

jaringan kulit dan jaringan lunak sekitar luka. Timbal balik antara osteomyelitis dan

lambatnya penyembuhan luka di kulit dan jaringan lunak disebabkan karena menetapnya

sumber infeksi dan juga perfusi jaringan yang tidak memadai akibat insufisiensi vaskular.

(23)

Tipe dan tempat terjadinya osteomyelitis ditentukan oleh meknisme terjadinya

infeksi, virulensi organisme yang menginfeksi, dan status pertahanan tubuh serta kondisi

komorbid pada pasien.(43) Osteomyeltis dapat terjadi karena inokulasi hematogen dari

tempat infeksi di tempat lain atau dapat terjadi karena perluasan infeksi dari jaringan lunak

yang melindungi tulang, dan juga dapat terjadi karena inokulasi bakteri secara langsung

pada tulang setelah trauma atau proses pembedahan. Bakteri Staphylococcus aureus

merupakan microorganism terbanyak penyebab osteomyelitis. Bakteri lain seperti

staphylococcus non-koagulase, basilus gram negatif aerob dan anaerob juga sering

18

Page 19: Osteomyelitis Pada Fraktur Tulang Terbuka 1

menyebabkan osteomyelitis. Terjadi peningkatan risiko tejadi osteomyelitis pada pasien

dengan keadaan immunosupresi, dengan penyakit immune (misalnya arthritis rematoid),

diabetes mellitus, merokok, malnutrisi, penderita kanker, usia tua (geriartri), hipoksia kronis,

gangal ginjal, dan gangguan fungsi hati. Selain penyakit sistemik, faktor lokal seperti edema

kronis, penyakit vaskuler perifer, neuropati, bekas luka atau pembedahan, jaringan parut

yang lebar, dan fibrosis karena radiasi. (43,44)

Bagaimana mendiagnosis osteomyelitis

Osteomyelitis harus dicurigai pada pasien yang datang dengan keluhan nyeri,

bengkak, eritema (kemerahan) atau hangat pada kulit dan jaringan lunak yang melindungi

tulang. Tidak semua keluhan tersebut muncul, terkadang hanya nyeri subakut atau kronis

yang muncul pada osteomyelitis. Gejala sistemik seperti demam dan menggigil dapat terjadi

pada pasien dengan osteomyelitis akut tetapi jarang terjadi pada osteomyelitis kronis.

Adanya trauma dengan tulang terbuka atau protesis sebelumnya memberikan kecurigaan

yang tinggi adanya osteomyelitis. Pada pasien ulkus diabetetik dengan curiga osteomyelitis

dapat dilakukan probe-to-bone test dengan sensitivitas 66% dan positive predictive value

89%.(37,45,46) Pasien anak-anak dengan fraktur tulang terbuka, terjadi peningkatan risiko

karena region metafisisnya penuh dengan vaskularisasi dan rentan terhadap trauma

termasuk trauma minor. Selain itu, tanda dan gejala pada pasien anak lebih nyata dengan

munculnya reitema lokal, pembengkakan dan nyeri tekan pada tulang dengan osteomyelitis.

(47)

Khusus pada pasien anak, diagnosis klinis osteomyelitis didasarkan pada gejala

lokal dan onset yang relatif lebih cepat. Gejala sistemik seperti demam, letargi, dan

iritabilitas mungkin muncul namun tidak selalu. Pemeriksaan fisik perlu ditekankan untuk

mengidentifikasi tanda yang umum seperti eritema, bengkak fokal di tempat luka, atau

adanya efusi sendi, penurunan rentang gerak dari sendi, dan nyeri tekan pada tulang.

Mengidentifikasi bakteri penyebab infeksi melalui darah kadang susah dilakukan, karena

pada hampir separuh kasus, kultur darah tidak akan tumbuh. Diagnosis osteomyelitis pada

dewasa kadang tidak mudah. Diagnosis klinis didasarkan pada riwayat gejala sistemik

seperti letargi, nyeri pada ekstremitas dan punggung, serta demam. Ada faktor predisposisi

seperti diabetes, penyakit vaskuler perifer, riwayat trauma dan penggunaan obat intravena

juga perlu diperhatikan. Pemeriksaan fisik meliputi temuan lokal adanya focus infeksi,

adanya luka atau ulkus, seperti infeksi pada ulkus kaki diabetes.

Pemeriksaan laboratorium dapat membantu penegakkan diagnosis namun biasanya

mempunyai spesifitas yang relatif rendah untuk osteomyelitis. Pada penderita osteomyelitis,

19

Page 20: Osteomyelitis Pada Fraktur Tulang Terbuka 1

erythrocyte sedimentation rate (ESR) dan C-reactive protein (CRP) biasanya mengalami

perubahan, Angka leukosit biasanya meningkat. Trombosit dapat mengalmai peningkatan

(karena inflamasi) sedangkan haemoglobin mengalami penurunan (anemia karena penyakit

kronis). Leukositosis dan peningkatan kecepatan sedimentasi eritrosit (LED) serta kadar

protein-C reaktif merupakan tanda adanya infeksi. Tidak adanya peningkatan LED dan

protein-C reaktif dapat menyingkirkan diagnosis osteomyelitis. Kadar protein-C reaktif

berhubungan dengan respon klinis terhadap terapi dan kemungkinan bias digunakan untuk

memonitor respon terapi antimikroba.(37,46)

Kultur mikroba berperan vital dalam penegakkan diagnosis dan perencanaan terapi

osteomyelitis. Kriteria diagnosis untuk osteomyelitis adalah kultur kuman yang positif dari

material yang diperoleh dari biopsi tulang dan histopatologi yang menunjukkan adanya

nekrosis.(48,49) Apabila kultur darah positif, dapat menghapus perlunya biopsi tulang,

terutama apabila sudah ada hasil pemeriksaan radiografi dan bukti klinis adanya

osteomyelitis. Kultur dari luka superfisial kurang berperan dalam penegakkan diagnosis

osteomyelitis. Hasil organismy yang konkordan dari kultur luka dan biopsi tulang hanya

didapatkan pada sepertiga kaus. (50) Osteomyelitis yang menjadi kronis biasanya

disebabkan oleh beberapa kuman, meliputi bakteri anaerob, mycobakteri, dan jamur. Kultur

untuk organisme secara khusus atau tes mikrobiologi tertentu mungkin diperlukan apabila

ada kecurigaan disebabkan oleh pathogen tertentu. (50)

Kriteria diagnosis Osteomyelitis kronis

Hasil pemeriksaan radiologis (misalnya radiografi, MRI, scintigrafi tulang) menunjukkan

adanya infeksi jaringan lunak atau destruksi tulang

Tanda Klinis : Fraktur tulang terbuka / ekspose tulang, traktus sinus yang persisten, nekrosis

jaringan yang menutupi tulang, luka kronis yang menutup plate tulang, luka kronis yang

menutupi fraktur

Evaluasi laboratorium : kultur darah yang positif, peningkatan kadar protein C-reaktif, dan

peningkatan LED

Untuk mengkonfirmasi diagnosis osteomyelitis perlu berbagai pemeriksaan

laboratorium, microbiologis, radiografi, dan patologi. Kultur darah dapat ditemukan adanya

bakateri pada keadaan osteomyelitis hamatogen akut dan osteomyelitis vertebral. Kultur dari

luka di permukaan kulit dan saluran luka (sinus tract) harus diinterpretasikan dengan hati-

hati dan sebaiknya tidak giunakan untuk menentukan jenis antibakteri kecuali jika terdpat S.

aureus dari kultur tersebut.(51) Salah satu laporan ilmiah menunjukkan bahwa hanya

20

Page 21: Osteomyelitis Pada Fraktur Tulang Terbuka 1

seskitar 44% dari kultur traktus menunjukkan kuman patogen yang sama. Pengambilan

sampel dari tulang dengan aspirasi jarum menggunakan alat bantu radiologi atau

pembedahan akan dapat mengidentifikasi organisme infeksius dan menentukan profil

sensitivitas terhadap antibiotik.(37) Kultur sensitivitas sangat bermanfaat untuk menentukan

terapi antibakteri yang efektif. Jaringan tulang yang diperoleh dari tempat yang terinfeksi

juga akan bermanfaat apabila dilakukan pemeriksaan histopatologi yang merupakan

standard baku untuk diagnosis osteomyelitis.

Pemeriksaan radiografi tidak banyak membantu dalam menegakkan osteomyelitis

akut tetapi sangat membantu pada kasus osteomyelitis kronis. Paling tidak diperlukan waktu

10-14 hari agar tanda-tanda osteomyelitis dapat terlihat dengan pemeriksaan radiografi.

Sensitivitas radiografi pada osteomyelitis karena diabetes adalah sebesar 54%, sedangkan

spesivitasnya 68%. Kelainan yang ditemukan pada osteomyelitis dari pemeriksaan radiografi

adalah area lusen pada bone marrow baik fokal maupun multiple, hilangnya korteks dengan

erosi tulang, pembentukan tulang baru, sclerosis dengan atau tanpa disertai erosi,

sequestrasi, involukrum, dan elevasi periosteum.(52)

Pencitraan tulang dengan radioaktif (Technetium 99m methylene diphosphonate,

Galium citrate 67, dan sel darah putih yang dilabel dengan Indium-111) sering digunakan

untuk mendiagnosis osteomyelitis. Kemampuan dari pencitraan radioaktif bervariasi

tergantung pada keadaan klinis.(53) Pada pasien dewasa dengan gambaran radiografi yang

normal (tidak terdapat lesi yang menyebabkan peningkatan turnover tulang), scan tulang 3

fase memberikan akurasi yang lebih tinggi dibandingkan dengan pencitraan lainnya dengan

sensitvitas 94% dan spesivitas 95%. Meskipun demikian, pada keadaan dengan

peningkatan remodelling tulang, spesivitas menurun sampai 33%.(53) Apabila terdapat

osteomyelitis, uptake radioaktif mengalami peningkatan yang signifikan pada ketiga fase

pemeriksaan (segera setelah injeksi, 15 menit dan 4 jam setelah injeksi), sedangkan pada

pasien dengan selulitis hanya terjadi peningkatan uptake pada 2 fase pertama.(45)

Modalitas terapi yang optimal untuk osteomyelitis sampai saat ini belum dapat

ditentukan karena kurangnya uji klinis prospektif dengan randomisasi. Kebanyakan data

yang dipakai untuk petunjuk modalitas terapi berasal dari penelitian pada hewan, opini ahli,

dan penelitian retrospektif pada manusia. Secara umum, modalitas terapi pada osteomyelitis

terdiri dari debridemen dan terapi antimikroba. Kedua komponen terapi harus disesuaikan

dengan keadaan osteomyelitis yang diderita pasien.

Pemeriksaan radiologis pada OsteomyelitisModalitas imaging

Sensitivitas (%)

Spesivitas (%)

Keterangan

CT-scan 67 50 Sebaiknya tidak digunakan untuk evaluasi adanya osteomyelitis

21

Page 22: Osteomyelitis Pada Fraktur Tulang Terbuka 1

Skintigrafi lekosit

61-84 60-68 Kombinasi skintigrafi technetium-99 dapat meningkatkan spesifitas

MRI 78-90 60-90 Bermanfaat untuk membedakan infeksi jaringan lunak dan tulang, dan untuk menentukan luasnya infeksi; kurang bermanfaat untuk mendeteksi lokasi plate karena distorsi gambar

Foto rontgen (AP, Lateral, Oblik)

14-54 68-70 Modalitas radiologi yang paling sering digunakan; bermnafaat untuk menyingkirkan proses patologi yang lain

PET 96 91 Mahal; ketersediaan alat yang terbatasSkintigrafi Technetium-99

82 25 Spesifitas yang rendah, terutama pada pasien dengan trauma akut atau post pembedahan; bermanfaat untuk membedakan osteomielitis dengan selulitis, dan dapat digunakan untuk pasien yang kontraindikasi dilakukan pemeriksaan MRI

22

Page 23: Osteomyelitis Pada Fraktur Tulang Terbuka 1

Rekomendasi klinis dan bukti ilmiah mengenai osteomyelitis

Rekomendasi Klinis

Rekomendasi Skor

bukti

Ref

Kriteria diagnosis osteomyelitis adalah hasil kultur yang positif dari biopsi tulang dan disertai ada gambaran nekrosis tulang

C 48,49

MRI merupakan alat diagnosis yang sensitif dan lebih spesifik dibandingkan dengan skintigrafi untuk diagnosis osteomy

C 52

Terapi antibiotik intravena diikuti dengan antibiotik per orang merupakan metode terapi yang sama efektifnya dengan terapi antibiotik intravena dalam jangka waktu yang lama untuk osteomyelitis kronis

B 52

A = bukti ilmiah yang konsisten dengan perawatan berorientasi pasien yang baik, B = bukti yang tidak konsisten ata terbatas, C = konsensus, bukti berbasis penyakit, opini ahli, biasa dilakukan dalam klinis, atau kasus serial

Penanganan dan terapi osteomyelitis

Untuk menentukan jenis microba kecuali pada pasien dengan keadaan hemodinamik

yang tidak stabil, sebaiknya dilakukan pengambilan spesimen dari tulang untuk menentukan

microba dan terapi antibiotik yang dipilih. Lama pemberian antibiotik untuk osteomyelitis

yang optimal belum dapat ditentukan. Pada penelitian dengan hewan coba, S. aureus

tumbuh dari 78% specimen setelah 14 hari terapi dengan clindamisin tetapi hanya 16%

sepsimen tumbuh setelah 28 hari terapi. Meskipun demikian, dalam penelitian dengan

hewan coba tersebut, tidak dilakukan tindakan debridemen.(37) Di klinik, kekambuhan tidak

jarang terjadi meskipun setelah terapi antibiotik selama 4 minggu. Oleh karena itu, banyak

ahli merekomendasikan terapi selama 4-6 minggu.(37) Dalam keadaan tertentu, jika

tindakan debridemen suboptimal dan kurang agresif, terapi antibiotik dapat diperpanjang

menjadi 8-10 minggu. Selama terapi antibiotik, marker inflamasi (ESR dan CRP) diharapkan

mengalami penurunan dibandingkan dengan pemeriksaan sebelum terapi. Satu penelitian

melaporkan bahwa pada osteomyelitis vertebra, angka kegagalan terapi antibiotik jika ESR

tidak mengalami penurunan atau turun di bawah 25% dari sebelum mulai terapi setelah

diberikan terapi 1 bulan pertama adalah sekitar 12% dan 50%.(54)

23

Page 24: Osteomyelitis Pada Fraktur Tulang Terbuka 1

Terapi antimicroba parenteral sering digunakan, meskipun demikian, pemberian per

oral dengan bioavailabilitas dan penetrasi ke tulang yang bagus (misalnya tripethoprim-

sulfamethoxazole, clindamycin, tetracycline, fluoroquinolon, metronidazole, dan linezolid)

dapat diberikan apabila ketaatan (compliance) pasien untuk minum obat tinggi. Antibiotik

betalaktam (misalnya penicillin dan cephalosporin intravena) sering digunakan untuk terapi

osteomyelitis karena efektivitas dan keamanannya yang cukup tinggi saat diberikan daam

periode waktu yang lama.(37) Vancomycin dapat digunakan untuk terapi methicillin-resistant

S.aureus (MRSA) dan ampicillin-resistant Enterococcus species; meskipun demikian,

penggunaan vancomycin mempunyai angka kegagalan yang tinggu pada osteomyelitis

dibandingkan dengan betalaktam.(55) Data dan bukti ilmiah penggunaan obat baru seperti

linezolid dan daptomycin untuk terapi osteomyelitis karena MRSA dan vancomycin-resistant

Enterococcus (VRE).

Terapi utama untuk osteomyelitis adalah debridemen dengan drainase apabila

terdapat abses di jaringan lunak. Pemberian terapi antibiotik dapat dilakukan secara

parenteral, oral, atau parenteral diikuti dengan oral tergantung pada kondisi pasien. Pilihan

antibiotik para pemberian parenteral adalah dengan injeksi vancomycin dan daptomycin

(6mg/kgBB/24 jam). Pilihan antibiotik dengan rute oral dan parenteral adalah

trimetropin/sulfametoxazol (4mg/kgBB/12jam) dikombinasikan dengan rifampin

(600mg/hari), linezolid, dan clindamycin (600mg/8jam). Beberapa peneliti

merekomendasikan penambahan rifampin (600 mg/24jam, atau 300-450 mg/12jam). Pada

pasien dengan bakterimia, rifampin sebaiknya diberikan. Untuk osteomyelitis MRSA,

direkomendasikan minimum pemberian antibiotik 8 minggu. Beberapa ahli

merekomendasikan 1-3 bulan. Pemilihan antibiotik dapat dilakukan sesuai tabel tersebut di

atas. (35)

Dalam beberapa tahun terakhir, osteomyelitis yang disebabkan oleh bakteri gram

negatif yang resisten (misalnya multidrug resistant Pseudomonas aeruginosa, bakteri

betalaktam dengan spectrum luas seperti Klebsiella pneumonia dan Escherichia coli)

memerlukan kajian tersendiri dalam menentukan modalaitas terapi osteomyelitis. Pada

osteomyelitis yang disebabkan oleh bakteri tersebut, antibiotik harus ditentukan berdasarkan

tes sensitivitas. Colistin dan carbapenem (misalnya doripenem) sering digunakan pada

keadaan ini, dan penggunaan beberapa antibiotik dapat diberikan terutama pada kasus

osteomyelitis yang berat.

Studi dengan menggunakan hewan coba menunjukkan bahwa quinolones dapat

mengganggu penyembuhan tulang, oleh karena itu, direkomendasikan untuk berhati-hati

memberikan golongan quinolone untuk terapi osteomyelitis yang disertai dengan patah

tulang.(37,56) Penggunaan rifampin untuk terapi osteomyelitis karena staphylococcus dapat

bermanfaat karena kemampuannya untuk menembuh biofilem yang dibentuk oleh bakteri

24

Page 25: Osteomyelitis Pada Fraktur Tulang Terbuka 1

dan adanya peningkatan efek bakterisidal apabila diberikan bersamaan dengan antibiotik

lainnya.(57) Terapi oksigen hiperbarik dapat diberikan pada kasus dengan osteomyelitis

kronik dan berulang, namun penggunaannya masih kontroversial.(58)

Terapi Bedah

Tujuan dari terapi pembedahan pada pasien dengan osteomyelitis adalah untuk

mengalirkan dan membersihkan semua cairan yang terinfeksi pada fokus infeksi,

menghilangkan semua jaringan dan tulang yang terinfeksi dan jaringan yang mati, serta

menutup luka. Semua jaringan tulang keras yang terinfeksi perlu dihilangkan, meskipun

demikian hal ini kadang sulit dilakukan apabila fraktur tulang tidak cukup stabil. Jika terjadi

kerusakan jaringan lunak yang berat, dapat digunakan flap muskulokutan untuk

menghilangkan ruang mati (dead-space), selain itu, flat dapat menutup luka secara

memadai. Pasien dengan osteomyelitis yang berat dan berulang mungkin memerlukan

debridemen beberapa kali untuk memastikan pengambilan tulang dan jaringan yang

terinfeksi secara total. Pada keadaan seeprti ini, antibiotik impregnated polymethyl

metacrylate (PMMA) dapat ditempatkan pada luka di sekitar tulang yang terinfeksi. Terapi ini

memungkinkan pemberian antibiotik lokal dengan konsentrasi yang tinggi.(37,59)

Osteomyelitis pada pasien dengan fraktur terbuka terkontaminasi

Osteomyelitis dapat terjadi pada fraktur tulang terbuka dengan insidensi berkisar

antara 3-15%.(60) Faktor yang menetukan tingginya angka infeksi meliputi tipe fraktur,

derajad kontaminasi luka (fraktur tipe IIIB), luas dan dalamnya trauma jaringan lunak,

rentang waktu sampai dilakukan debridemen, penggunaan antimicroba lokal dan sistemik

(misalnya PMMA).(37,59,60) Pasien penderita osteomyelitis pada fraktur terbuka pada

umumnya adalah pria usia muda dengan fraktur pada ekstremitas bawah, terutama tibia dan

fibula. Oleh karena itu, pada jenis fraktur ini, pemberian antibiotik sistemik (24 jam setelah

trauma) bersamaan dengan pemberian PMMA sangat direkomendasikan untuk

meminimalkan risiko terjadinya osteomyelitis.(37) Pemberian antibiotik yang diberikan ke

dalam bone marrow (intramedular) juga memberikan harapan berdasarkan penelitian

retrospektif.(61) Akibat adanya osteomyelitis pada fraktur tulang tersebut akan sangat

merusak terutama mencetuskan adanya non-union dari frakmen tulang yang patah sampai

perlunya tindakan amputasi.

25

Page 26: Osteomyelitis Pada Fraktur Tulang Terbuka 1

Pasien dengan komplikasi osteomyelitis biasanya sering datang ke klinik beberapa

bulan setelah terjadinya trauma dengan permasalahan nonunion pada tempat terjadinya

fraktur dan adanya penyembuhan tulang yang buruk serta adanya sinus yang basah. Tanda

lokal dan gejala sistemik jarang sekali muncul. Pemeriksaan dengan imaging tidak dapat

membentu banyak dalam penegakkan diagnosis osteomyelitis karena perubahan tulang

hanya terjadi sekunder setelah trauma atau pembedahan, dan kemungkinan adanya artefak

pada pasien yang diberikan terapi dengan menggunakan bahan protesis. Setelah

pemberian antibiotik sistemk, perlu dipertimbangkan perluanya antibiotik oral yang diberikan

sampai timbul reaksi penyembuhan fraktur tulang. Pada keadaan munculnya

kekambumbhan (relaps) setelah terjadi reaksi penyembuhan pada tulang, semua komponen

tulang yang terinfeksi harus dibunag, dan terapi antibiotik sistemik.(37)

Tabel 5. Mikroba penyebab osteomyelitis

Sering Tidak sering

Staphylococcus aureus Mycobaterium tuberculosis

Coagulase-negatif staphylococci Rapidly growing mycobacteria

Streptococci Mycobacterium avium complex

Enterococci Endemic fungi

Pseudomonas spp Candida spp

Enterobacter spp Aspergillus spp

Proteus spp Mycobplasma soo

Escherischia coli Brucella spp

Serratia spp Salmonella spp

Anaerobes (Peptostreptococcs spp,

Clostridium spp, B fragilis)

Actinomycetes

Tropheryma whipple

26

Page 27: Osteomyelitis Pada Fraktur Tulang Terbuka 1

Kesimpulan dan Saran

Fraktur tulang terbuka merupakan beban kesehatan yang penting dan semakin

bertambah dengan peningkatan penggunaan kendaraan. Penanganan fraktur tulang terbuka

masih menjadi tantangan tersendiri bagi ortoped dan ahli bedah. Meskipun terjadi perbaikan

dalam penanganan dan teknik pembedahan, angka komplikasi osteomyelitis dan non-union

masih menjadi masalah penting. Prinsip penting dalam mencegah osteomyelitis telah

dibahas dalam referat ini. Pemberian antibiotik seawal mungkin berperan penting dalam

mencegah osteomyelitis. Diikuti dengan irigasi dan debridemen yang memadai akan

mengurangi risiko osteomyelitis. Bedah intervensi dilakukan seawall mungkin dapat

mengurangi infeksi, namun aturan klasik dalam 6 jam setelah kejadian tidak mempengaruhi

risiko infeksi. Semua fraktur terbuka harus dipertimbangkan risiko terjadinya kontaminasi

bateri tetanus. Apabila memungkinkan, penutukan fraktur tulang terbuka dilakukan seawal

mungkin, baik secara primer atau dengan flap karena dapat mencegah osteomyelitis

terutama akibat organisme nosokomial. Stabilisasi fraktur juga diperlukan, dapat dilakukan

dengan fiksi eksternal secara temporer. Dengan langkah-langkah ini, diharapkan dapat

mencegah terjadinya osteomyelitis dan dapat mengembalikan fungsi tulang kembali seperti

semula.

27

Page 28: Osteomyelitis Pada Fraktur Tulang Terbuka 1

Daftar Pustaka

1. Matos MA, do Nascimento JM, da Silva BV. Clinical and demographic study on open

fractures caused by motorcycle traffic accidents. Acta Ortop Bras. 2014;22(4):214-8.

2. Arruda LRP, de Campos Silva MA, Malerba FG, de Castro Fernandes M, Turibio FM,

Matsumoto MH. Open fracture: prospective and epidemiological study. Acta Ortop

Bras. 2009;17(6).

3. Villa PEA, Nunes TR, Goncalves FP, Martins JF, de Lemos GSP, de Moraes FB.

Clinical evaluation of patients with osteomyelitis after open fractures treated at the

Hospital de Urgencias de Gioania Goias. Rev Bras Ortop. 2013;48(1):22-8.

4. Kinik H, Karaduman M. Cierny-Mader Type III chronic osteomyelitis: the results of

patients treated with debridement, irrigation, vancomycin beads and systemic

antibiotiks. Int Orthop. 2008;32(4):551-8.

5. Enninghorst N, McDougall D, Hunt JJ, Balogh ZJ. Open tibia fractures: timely

debridement leaves injury severity as the only determinant of poor outcome. J

Trauma. 2011;70(2):352-7.

6. Pollak AN, Jones AL, Castillo RC, Bosse MJ, MacKenzie. The relationship between

time to surgical debridement and incidence of infection after open high-energi lower

extremity trauma. J Bone Joint Surg Am. 2010;92(1)7-15.

7. Hannigan GD, Pulos N, Grice EA, Mehta S. Current concepts and ongoing research

in the prevention and treatment of open fracture infections. Adv Wound Care.

2015;4(1):59-74.

8. Tscherne H, Goetzen L, Fractures with soft tissue injuries, Berlin: Springer-Verlag,

1984.

9. Hannover Fracture Scale “98- re-evaluation and new prospects of established

extremity salvage score injury, vol 32, issue 4, pages 317-328.

10. Veliskakis KP: Primary internal fixationin open fractures of the tibial shaft: The

problem of wound healing. J Bone Joint Surg Br 1959; 41:342-354.

11. Gustilo RB, Anderson JT. Prevention of infection in the treatment of one thousand

and twenty-five open fractures of long bones: retrospective and prospective

analyses. J Bone Joint Surg Am. 1976;58(4): 453-8

12. Gustilo RB, Mendoza RM, Williams DN: Problems in the management of type III

(severe) open fractures: A new classification of type III open fractures. J Trauma

1984; 24:742-746.

28

Page 29: Osteomyelitis Pada Fraktur Tulang Terbuka 1

13. Brumback RJ, Jones AL. Interobserver agreement in the classification of open

fractures of the tibia. The results of a survey of two hundred and forty-five

orthopaedic surgeons. J Bone Joint Surg Am.1994; 76:1162-6.

14. Patzakis MJ, Wilkins J. Factors influencing infection rate in open fracture wounds.

Clin Orthop Relat Res. 1989; 243:36-40.

15. Armis. Sardjito Scoring System of open fracture. J Bone Joint Surg Br. 2002;84B,

Supp III 209.

16. Slauterbeck JR, Britton C, Moneim MS, Clevenger FW. Mangled extremity severity

score: An accurate guide to treatment of the severely injured upper extremity. J

Orthop Trauma 1994; 8:282-5.

17. Hansen ST. Overview of the severely traumatized lower limb: reconstruction versus

amputation. Clin Orthop 1989;143:17-19.

18. Lange RH, Bach AW, Hansen ST Jr, Johansen KH. Open tibial fractures with

associated vascular injuries: prognosis for limb salvage. J Trauma 1985; 25:203-8.

19. Gosselin RA, Roberts I, Gillespie WJ. Antibiotiks for preventing infection in open limb

fractures.Cochrane Database of Systematic Reviews. 2004; Issue 1. Art. No.:

CD003764. DOI: 10.1002/14651858.CD003764.pub2.

20. Lack WD, Karunakar MA, Angerame MR, Seymour RB, Sims S, Kellam JF, Bosse

MJ. Type III open tibia fracture : Immidiate antibiotik prophylaxis minimizes infection.

J Orthop Trauma 2015;29(1):1-6

21. Lamp KC, Friedrich LV, Mendez-Vigo L, Russo R. Clinical experience with

daptomycin for the treatment of patients with osteomyelitis. Am J Med 2007; 120:13-

20j

22. Patel A, Calfee RP, Plante M,Fischer SA,Arcande N, Born C. Methicillin-resistant

staphylococcus aureus in orthopedic surgery, J Bone Joint Surg (Br)2008.90-B:1401-

6

23. Patzakis MJ, Bains RS, Lee J, Shepherd L, Singer G, Ressler R, Harvey F, Holtom

P. Prospective, randomized, double-blind study comparing single agent antibiotik

therapy, ciprofloxacin, to combination antibiotik therapy in open fracture wounds. J

Orthop Trauma. 2000; 14:529-33.

24. Zalavras CG, Patzakis MJ, Holtom P. Local antibiotik therapy in the treatment of

open fractures and osteomyelitis. Clin Orthop Relat Res 2004; 427:86-93.

25. Clement ML, Pierpont Y, Pollak AN, Urgency of surgical debridement in management

of open fractures. J Am Acad Orthop Surg 2008; 16:369-375.

26. Conroy BP, Anglen JO, Simpson WA, et al. Comparison of castile soap,

benzalkonium chloride, and bacitracin as irrigation solutions for complex

contaminated orthopaedic wounds. J Orthop Trauma 1999; 13:332-7.

29

Page 30: Osteomyelitis Pada Fraktur Tulang Terbuka 1

27. Bhandari M, Schemitsch EH, Adili A,Lachowski RJ, Shaughnessy SG: High and low

pressure pulsatile lavage of contaminated tibial fractures: An in vitro study of

bacterial adherence and bone damage. J orthop Trauma 1999; 13:526-533

28. Fernandez R, Griffith R, Ussia C. Water for wound cleaning. Cochrane Databases

Syst Review, 2002,(2)CD003861

29. Moola FO, Carli A, Berry GK, Reindl R, Jacks D, Harvey EJ. Attmpting primary

closure for all open fractures: the effectiveness of an institutuinal protocol. Can J

Surg. 2014;57(3):E82-8.

30. Sexton SE. Open fractures of the foot and ankle. Clin Podiatr Med Surg.

2014;31(4):461-86.

31. Roberts CS, Pape HC, Jones AL, Malkani AL, Rodriguez JL, Giannoudis PV.

Damage control orthopaedics: Evolving concepts in the treatment of patients who

have sustained orthopaedic trauma. Instr Course Lect 2005;54:447-62.

32. Court-Brown CM, Wheelwright EF, Christie J, McQueen MM. External fixation for

type III open tibial fractures. J Bone Joint Surg [Br] 1990;78-B:801-4

33. Clifford RP, Beauchamp CG, Kellam JF, Webb JK, Tile M. Plate fixation of open

fractures of the tibia. J Bone Joint Surg Br 1988; 70:644-8.

34. O’Brien PJ, Meek RN, Powell JN, Blachut PA. Primary intramedullary nailing of open

femoral shaft fractures. J Trauma. 1991;31:113-6

35. Schemitsch EH, Kowalski MJ, Swiontkowski MF, Senft D. Cortical bone bloodflow in

reamed andunreamed locked intramedullary nailing: a fractured tibia model in sheep.

J Orthop Trauma 1994; 8:373-82

36. Govender S, Csimma C, Genant HK et al. BMP-2 Evaluation in Surgery for Tibial

Trauma (BESST) Study Group. Recombinant human bone morphogenetic protein-2

for treatment of open tibial fractures: a prospective, controlled, randomized study of

four hundred and fifty patients. J Bone Joint Surg Am. 2002; 84:2123-34

37. Verhelle N, van Zele D, Liboutton L, Heymans O. How to deal with bone exposure

and osteomyelitis: An overview. Acta Orthopædica Belgica 2003;69(6):481-94.

38. Belmatoug N, Cremieux AC, Bleton R et al. Anew model of experimental prosthetic

joint infection due to methicillin-resistant Staphylococcus aureus : a microbiologic,

histopathologic, and magnetic resonance imaging characterization. J Infect Dis 1996

Aug ; 174 (2) : 414-17.

39. Lew DP, Waldvogel FA. Osteomyelitis. N Engl J Med 1997 Apr 3 ; 336 (14) : 999-

1007.

40. Norden CW. Lessons learned from animal models of osteomyelitis. Rev Infect Dis

1988 Jan-Feb ; 10 (1) :103-10.

30

Page 31: Osteomyelitis Pada Fraktur Tulang Terbuka 1

41. Ciampolini J, Harding KG. Pathophysiology of chronic bacterial osteomyelitis. Why

do antibiotiks fail so often ? Postgrad Med J 2000 Aug ; 76 (898) : 479-83

42. Muller C, Zielinski CC, Passl R, Eibl MM. Divergent patterns of leucocyte locomotion

in experimental posttraumatic osteomyelitis. Br J Exp Pathol 1984 Jun ; 65(3) : 299-

303

43. Chihara S, Segreti J. Osteomyelitis. Dis Mon 2010;56 (1) : 5-31.

44. Mader JT, Shirtliff M, Calhoun JH. Staging and staging application in osteomyelitis.

Clin Infect Dis 1997;25 (6) : 1303-9.

45. Palestro CJ. Radionuclide imaging of osteomyelitis. Sem Nucl Med 2015;45-46

46. Hatzenbuehler J, Pulling TJ. Diagnosis and management of osteomyelitis. Am Fam

Physician. 2011;84(9):1027-33.

47. Saavedra-Lozano J, Mejías A, Ahmad N, et al. Changing trends in acute

osteomyelitis in children: impact of methicillin-resistant Staphylococcus aureus

infections. J Pediatr Orthop. 2008; 28(5): 569-575.

48. American Society of Plastic Surgeons. Evidence-based clinical practice guideline:

chronic wounds of the lower extremity.

http://www.plasticsurgery.org/Documents/medical-professionals/health-policy/

evidence-practice/Evidence-based-Clinical-Practice-Guideline-Chronic-Wounds-of-

the-Lower-Extremity.pdf. Accessed May 31, 2011.

49. Lipsky BA, Berendt AR, Deery HG, et al.; Infectious Diseases Society of America.

Diagnosis and treatment of diabetic foot infections. Plast Reconstr Surg. 2006; 117(7

suppl): 212S-238S

50. Gross T, Kaim AH, Regazzoni P, Widmer AF. Current concepts in posttraumatic

osteomyelitis: a diagnostic challenge with new imaging options. J Trauma. 2002;

52(6): 1210-1219.

51. Mackowiak PA, Jones SR, Smith JW. Diagnostic value of sinus-tract cultures in

chronic osteomyelitis. JAMA. 1978; 239 (26) : 2772-5

52. Dinh MT, Abad CL, Safdar N. Diagnostic accuracy of the physical examination and

imaging tests for osteomyelitis underlying diabetic foot ulcers : meta-analysis. Clin

Infect Dis 2008; 47 (4) : 519-27

53. Schauwecker DS. The scintigraphic diagnosis of osteomyelitis. Am J Roentgenol

1992; 158 (1) : 9-18

54. Carragee EJ, Kim D, van der Vlugt T, Vittum D. The clinical use of erythrocyte

sedimentation rate in pyogenic vertebral osteomyelitis. Spine (Phila Pa 1976) 1997;

22 (18) : 2089-93.

31

Page 32: Osteomyelitis Pada Fraktur Tulang Terbuka 1

55. Tice AD, Hoaglund PA, Shoultz DA. Outcomes of osteomyelitis among patients

treated with outpatient parenteral antimicrobial therapy. Am J Med 2003 ; 114(9) :

723-8.

56. Huddleston PM, Steckelberg JM, Hanssen AD, Rouse MS, Bolander ME, Patel R.

Ciprofloxacin inhibition of experimental fracture healing. J Bone Joint Surg Am

2000;82 (2) : 161-73

57. Shirtliff ME, Mader JT, Calhoun J. Oral rifampin plus azithromycin or clarithromycin to

treat osteomyelitis in rabbits. Clin Orthop Relat Res 1999 Feb (359) : 229-36

58. Kranke P, Bennett M, Roeckl-Wiedmann I, Debus S. Hyperbaric oxygen therapy for

chronic wounds. Cochrane Database Syst Rev 2004 (2) : CD004123

59. DeLong WG Jr., Born CT, Wei SY, Petrik ME, Ponzio R, Schwab CW. Aggressive

treatment of 119 open fracture wounds. J Trauma 1999; 46 (6) : 1049-54.

60. Ostermann PA, Seligson D, Henry SL. Local antibiotik therapy for severe open

fractures. A review of 1085 consecutive cases. J Bone Joint Surg Br 1995 ; 77

(1) :93-7.

61. Qiang Z, Jun PZ, Jie XJ, Hang L, Bing LJ, Cai LF. Use of antibiotik cement rod to

treat intramedullary infection after nailing : preliminary study in 19 patients. Arch

Orthop Trauma Surg 2007; 127 (10) : 945-51.

62. Bastian O, Janesh P, Alblas J, Leenen L, Koendarman L, Blokhuis T. Systemic

inflammation and fracture healing. J of Leucocyte Biology 2011;89:669-73.

63. Schiesser M, Stumpe KD, Trentz O, Kossmann T, von Schulthess. Detection of

metallic implant-associated infections with FDG PET in ptients with trauma:

correlation with microbiologic results. Radiology 2003;226(2):391-8.

32