Organisasi dan Kelompok Kerja

52
ORGANISASI DAN KELOMPOK KERJA PSIKOLOGI INDUSTRI DAN ORGANISASI (Dosen: Laila Meiliyandrie I Wardani, PhD) Disusun Oleh: Bunga Annisa R 46113310043 Lubna Fadhilah 46113310019 Yuko Bagus Febriyanto 46113210014 Fakultas Psikologi 1

description

Kelompok 6 Psikologi Industri dan Organisasi - Bunga Annisa R - Lubna Fadhilah - Yuko Bagus Febriyanto Fakultas Psikologi Universitas Mercu Buana Kampus D

Transcript of Organisasi dan Kelompok Kerja

Page 1: Organisasi dan Kelompok Kerja

ORGANISASI DAN KELOMPOK KERJA

PSIKOLOGI INDUSTRI DAN ORGANISASI

(Dosen: Laila Meiliyandrie I Wardani, PhD)

Disusun Oleh:Bunga Annisa R 46113310043Lubna Fadhilah 46113310019Yuko Bagus Febriyanto 46113210014

Fakultas Psikologi

UNIVERSITAS MERCU BUANA

BEKASI

2014

1

Page 2: Organisasi dan Kelompok Kerja

Organisasi dan Kelompok Kerja

A. Pendahuluan

Sebelumnya dalam bab 1, yang membahas mengenai ‘Pengertian

dan Wawasan Psikologi Industri dan Organisasi’ telah di sebutkan bahwa

organisasi (industri) dapat kita pandang sebagai suatu sistem terbuka,

yaitu: “suatu kesatuan keseluruhan yang terorganisasi, yang terdiri dari

dua atau lebih bagian, komponen atau subsistem, yang saling tergantung,

yang dipisahkan dari suprasistem sebagai lingkungannya oleh batas-batas

yang dapat ditemukenali” (Munandar, 2008).

Organisasi adalah sistem yang memiliki aspek sosial. Mengapa?

Karena organisasi terdiri lebih dari satu anggota atau kelompok manusia,

yang sudah semestinya sebagai sistem, setiap anggota berinteraksi dengan

anggota lainnya guna menjalankan sistem tersebut dengan baik.

Setiap kelompok manusia terdiri dari kelompok-kelompok manusia

yang lebih kecil, setiap kelompok manusia kecil ini terdiri dari kelompok-

kelompok manusia yang lebih kecil lagi, dan seterusnya hingga kita

temukan kelompok manusia yang terdiri dari sejumlah manusia. Manusia

di dalam buku Psikologi Industri dan Organisasi dengan pengarang Ashar

Suntoyo Munandar (2008), merupakan komponen analisis yang terkecil

dari organisasi.

Organisasi Industri

2

Kelompok Manusia Kelompok Manusia Kelompok Manusia

Kelompok Manusia Kelompok Manusia Kelompok Manusia

Kelompok Manusia

Kelompok Manusia Kelompok Manusia

Kelompok ManusiaKelompok Manusia

Kelompok Manusia

Page 3: Organisasi dan Kelompok Kerja

Di dalam makalah ini akan dibahas kelompok manusia tenaga

kerja, pengertiannya, jenis, struktur, fungsi-fungsi dan prosesnya, interaksi

antar anggota kelompok, dan interaksi antarkelompok.

B. Pengertian

Sejak lahir sampai meninggal, sadar atau tidak sadar, kita telah

menjadi anggota dari satu atau beberapa kelompok sosial. Dalam setiap

kelompok dimana kita menjadi anggota, kita memainkan peran yang

berbeda-beda. Selama hidup kita tidak dapat melepaskan diri dari

pengaruh kelompok sosial yang berbeda-beda dan sebaliknya kita dapat

mempengaruhi kelompok sosial yang beraneka. Kita berada dalam

interaksi yang berhubungan dan saling mempengaruhi satu sama lain

dengan lingkungan kita, khususnya orang-orang yang berada langsung di

sekitar kita, baik langsung dapat kita hubungi maupun yang tidak langsung

dapat kita hubungi, misalnya dihubungi melalui media massa.

Dalam makalah ini kelompok sosial yang dibahas adalah kelompok

yang berada dalam satu organisasi kerja, kelompok kerja. Walaupun

begitu, akan ada pengertian-pengertian dari kelompok kerja yang dapat

berlaku pula untuk kelompok sosial pada umumnya.

Bagaimana timbulnya kelompok kerja tidak dapat dipisahkan dari

proses timbulnya organisasi kerja atau organisasi industri. Organisasi

industri timbul dan berkembang melalui dua cara, cara yang pertama

adalah timbul dan berkembang berdasarkan suatu perencanaan, dan cara

yang kedua dapat timbul dan berkembang mulai dari satu orang yang

berwiraswasta.

Organisasi industri terdiri dari kelompok kerja yang saling

berkaitan dalam satu tata tingkat. Likert (1961, 1967) berpendapat bahwa

organisasi dapat dipandang sebagai sistem dari kelompok yang saling

berkaitan. Kelompok yang saling berkaitan ini dihubungkan oleh tenaga

kerja yang menduduki jabatan kunci dan menjadi anggota dari dua

kelompok sekaligus, yang berfungsi sebagai pasak penghubung antara

3

Page 4: Organisasi dan Kelompok Kerja

kelompok-kelompok.

Kelompok kerja direksi merupakan kelompok kerja tertinggi.

Setiap direktur menjadi pengawas dari dua kepala divisi, merupakan pasak

penghubung dari kelompok kerjanya. Setiap kepala divisi menjadi

pengawas dari dua kepala bagian dan merupakan pasak penghubung dari

kelompok kerjanya, demikian seterusnya sampai kelompok kerja terendah

dalam organisasi.

Dari uraian diatas, sudah mulai jelas apa yang sebenarnya

dimaksudkan dengan kelompok kerja. Robbins (1988:71) mengatakan

bahwa : “kelompok terdiri dari dua orang atau lebih, yang saling

mempengaruhi dan saling tergantung, yang datang bersama-sama untuk

mencapai sasaran tertetu.”

Bukti dari adanya ketergantungan satu sama lain antar anggota

kelompok adalah, pemecahan satu pekerjaan dengan segala macam

aspeknya (aspek produksi, aspek keuangan, aspek pemasaran dan

penjualan, hubungan dengan langganan dan calon langganan, aspek

personalia) menjadi berbagai macam pekerjaan yang menunjukan adanya

hubungan keterikatan antara pekerjaan-pekerjaan tersebut. Dengan

demikian, tenaga kerja yang melakukan pekerjaan-pekerjaan tersebut juga

4

Page 5: Organisasi dan Kelompok Kerja

saling berkaitan dalam suatu hubungan ketergantungan. Mereka saling

memerlukan dan saling mempengaruhi.

Unsur-unsur dari kelompok kerja menurut Robbins adalah: (a)

terdiri dari dua orang atau lebih, (b) saling mempengaruhi, saling

tergantung, dan (c) bersama sama mencapai sasaran.

Schein (1980: 145) memberikan beberapa unsur lain. Ia membahas

mengenai kelompok psikologikal. Menurutnya kelompok psikologikal

adalah: (1) berinteraksi antara satu anggota dengan anggota lainnya, (2)

secara psikologikal sadar satu sama lain, dan (3) mempersepsikan diri

mereka sendiri sebagai kelompok.

Dua hal yang tidak ditekankan dalam unsur batasan kelompok

milik Robbins adalah kesadaran anggota kelompok tentang keberadaan

diri dan anggota kelompok lainnya serta persepsi bahwa mereka

membentuk satu kelompok.

Kesimpulan yang dapat kita ambil dari beberapa penjelasan

mengenai kelompok diatas adalah, “kelompok merupakan gabungan dari

dua orang atau lebih, yang saling berinteraksi, memiliki tujuan yang sama,

dan melihat anggota kelompok merupakan bagian dari dirinya.”

Sedangkan definisi dari Organisasi Sosial adalah, suatu kelompok

yang dibentuk secara sengaja berdasarkan kepentingan tertentu dengan

tujuan tertentu, serta cara-cara tertentu dalam melakukan sesuatu.

“Tim dapat didefinisikan sebagai sosial sistem tiga orang atau lebih, yang

tertanam dalam organisasi (konteks), yang anggotanya menganggap diri

mereka seperti itu dan dianggap sebagai anggota oleh orang lain

(identitas), dan yang berkolaborasi pada tugas bersama (teamwork).”

(Martin Hoegl, 2001).

PEMBEDAAN KELOMPOK, secara struktural kelompok dapat

dibedakan kedalam kelompok formal dan kelompok informal.

5

Page 6: Organisasi dan Kelompok Kerja

1. Kelompok formal diberi batasan oleh struktur organisasi, yang

berisi rincian tugas-tugas pekerjaan dan tanggung jawab

tertentu, yang pelaksanaannya akan menuju ketercapaianya

sasaran dan misi keseluruh organisasinya.

a. Kelompok Komando → ditentukan oleh bagan

organisasinya, terdiri dari bawahan yang melapor secara

langsung kepada seorang manager tertentu. Contoh:

organisasi industry dari Likert di atas, maka kelompok

direksi, kelompok kepala divisi dengan kedua kepala

bagian bawahannya, kelompok kepala bagian dengan

kepala subbagian bawahannya, merupakan kelompok

komando. Karena kelompok komando ini merupakan

kelompok yang akan terus ada selama tidak ada perubahan

dalam struktur organisasi, kelompok komando juga dapat

disebut kelompok permanen.

b. Kelompok Tugas → juga ditentukan oleh organisasi, terdiri

dari tenaga kerja yang bekerja bersama untuk

menyelesaikan pekerjaan. Berdasarkan batasan ini,

kelompok komando juga dapat disebut kelompok tugas.

Hanya saja kelompok tugas dapat terdiri dari tenaga kerja

yang berasal dari satuan-satuan kerja lain dalam organisasi

dan hanya bersifat sementara. Contoh: pembentukaan

panitia untuk penyelenggaraan rapat kerja, perlombaan dan

sebagainya. Schein menamakannya kelompok sementara.

2. Kelompok Informal, tidak diberi batasan oelh struktur

organisasi dan terjadi secara spontan anatar sejumlah tenaga

kerja, sebagai jawaban terhadap kebutuhan tertentu dari

mereka. Ditinjau dari berasalnya para anggota, kelompok

informal dapat dibedakan kedalam menjadi tiga jenis, yaitu:

6

Page 7: Organisasi dan Kelompok Kerja

a. Kelompok Informal Mendatar → berasal dari pekerjaan

dari satuan kerja yang sama dan/atau berbeda, yang terletak

pada taraf/tingkat organisasi yang sama.

b. Kelompok Informal Tegak → berasal dari pekerjaan dari

taraf/tingkat yang berbeda-beda.

c. Kelompok Informal Acak → berasal dari para tenaga kerja

yang datang dari pekerjaan dari satuan kerja yang sama

dan/atau berbeda, dari tingkat organisasi yang sama

dan/atau berbeda.

Berdasarkan alasannya menjadi anggota, kelompok informal

dapat dibedakan menjadi:

a. Berdasarkan Minat atau Kepentingan → para anggotanya

memiliki minat atau kepentingan yang sama. Misalnya

minat dalam bidang olah raga yang sama. Dapat juga para

anggotanya memiliki kepentingan bersama. Misalnya para

anggota merasa sama-sama dirugikan oleh perusahaan

dimana mereka bekerja.

b. Berdasarkan Persahabatan → para anggotanya merasa

saling tertarik, merasa saling cocok dengan cirri, sifat yang

dimiliki masing-masing. Mereka memiliki nilai, pandangan,

dan kebiasaan yang sama. Dapat saja mereka berolah raga

bersama, makan siang bersama, waktu istirahat mereka

berkumpul di tempat-tempat tertentu.

C. Makna dan Fungsi Kelompok

Seperti yang sudah kami sebutkan diatas, sejak lahir kita

merupakan anggota dari kelompok sosial, sekelompok orang yang saling

mempengaruhi dan saling tergantung, yang menganggap diri kita sebagai

anggota kelompok. Dilihat dari persepsi kita sebagai anggota kelompok,

apabila bila suatu kelompok dapat memberikan makna bagi diri kita, jika

kelompok kita rasakan dapat memenuhi kebutuhan kita, dan sesuai dengan

7

Page 8: Organisasi dan Kelompok Kerja

harapan kita, maka kita akan menilai kelompok itu baik, tetapi sebaliknya,

jika kelompok kita rasakan tidak memuaskan, tidak mampu memenuhi

kebutuhan, dan tidak sesuai dengan harapan kita, maka kita akan

mengundurkan diri sebagai anggota kelompok. Ini berlaku untuk setiap

kelompok dimana kita menjadi anggota, tidak hanya berlaku bagi

kelompok kerja kita.

Jika dilihat dari sudut pandangan pimpinan organisasi industri,

pimpinan dari sejumlah kelompok kerja yang saling berkaitan, maka

kelompok kerja akan dinilai baik jika memenuhi kebutuhan dan harapan

perusahaan, jika masing-masing kelompok kerja dapat melaksanakan

fungsinya sebaik mungkin, sehingga sasaran-sasaran perusahaan dapat

diraih, misi perusaan dapat diwujudkan. Jika kelompok kerja dinilai

kurang baik, kurang maksimal dalam melaksanakan tugas pekerjaannya,

maka akan diusahakan perbaikannya.

“Tim digunakan ketika kesalahan mengakibatkan konsekuensi yang

parah; ketika kompleksitas tugas melebihi kapasitas individu; ketika

lingkungan tugas yang tidak jelas, ambigu, dan stres; ketika beberapa

keputusan dan cepat diperlukan; dan ketika kehidupan orang lain

tergantung pada wawasan kolektif masing-masing anggota.” (Salas,

Cooke, & Rosen, 2008).

Dibawah ini akan kami paparkan mengenai fungsi kelompok bagi

anggotanya dan fungsi kelompok bagi organisasi, yaitu:

1. Fungsi Kelompok Bagi Anggotanya

Menurut Schein dan Robbins, fungsi kelompok bagi anggotanya

adalah:

a. Sebagai pemenuh kebutuhan para anggotanya

Kelompok dapat memenuhi kebutuhan akan keinginan

untuk berhubungan dengan orang lain, akan rasa diperhatikan dan

diterima oleh kelompok. Sekaligus tenaga kerja dapat merasakan

bahwa harga dirinya diperhatikan. Kelompok juga memberikan

status sosial pada dirinya.

8

Page 9: Organisasi dan Kelompok Kerja

Kelompok juga memenuhi kebutuhan, terhadap kebutuhan

akan kekuasaan. Berdasarkan upaya yang dapat dilakukan

bersama-sama dengan anggota kelompok lain timbul rasa memiliki

kekuasaan tertentu, untuk dapat mewujudkan apa yang diinginkan

kelompok. Anggota kelompok merasa memiliki kekuasaan

tertentu, karena merasa ditunjang oleh anggota-anggota kelompok

lainnya.

Kebutuhan untuk berprestasi dapat ditimbulkan dan

dipenuhi oleh kelompok. Kelompok dapat merangsang anggotanya

untuk dapat mencapai prestasi yang bermutu dan dapat memenuhi

keinginan mereka untuk dapat berprestasi yang tinggi.

b. Sebagai Pengembang , Penunjang, dan Pemantap dari Identitas dan

Pemelihara dari Harga Diri

Dalam bekerja anggota mendapatkan identitasnya dari

kelompok kerjanya. Identitas kelompok kerja dikembangkan

berdasarkan tugas pekerjaannya untuk menunjang dan

memantapkan identitas setiap anggota kelompoknya. Selanjutnya,

identitas anggotanya memelihara harga diri mereka.

c. Sebagai Penetap dan Penguji Kenyataan/Realitas Sosial

Melalui diskusi dengan orang lain, dan pengembangan dari

perspektif dan consensus, kita dapat mengurangi keraguan dalam

lingkungan sosial kita. Misalnya beberapa tenaga kerja merasa

bahwa pengawas mereka merupakan orang yang keras dan

menuntut terlalu banyak dari tenaga kerjanya, maka pandangan ini

dapat dianggap sebagai realitas oleh anggota kelompok lainnya dan

mereka dapat menentukan strategi bagaimana menghadapinya.

Persepsi kelompok memberikan kepastian kepada para anggota

kelompok lepas dari benar dan tidaknya, tepat tidaknya pandangan

tersebut.

9

Page 10: Organisasi dan Kelompok Kerja

d. Fungsi Kelompok sebagai Mekanisme Pemecahan Masalah dan

Pelaksanaan Tugas

Kelompok dapat membantu memecahkan masalah yang

pasti dialami oleh setiap tenaga kerja dalam melaksanakan tugas

pekerjaannya. Dengan pengumpulan data yang diperlukan

dan/atau pemberian alternatif penyelesaian. Pada masalah yang

dihadapi kelompok, para anggota kelompok dapat saling mengisi

dalam usaha dan sumbangan mereka memecahkan masalah

kelompoknya.

2. Fungsi Kelompok Bagi Organisasinya

Agar dapat memberikan sumbangannya dalam kegiatan pencapaian

sasaran kelompok kerja dan sasaran keseluruhan organisasi serta dalam

usaha merealisasi misi perusahaannya, maka kelompok dapat berfungsi

sebagai berikut:

a. Sebagai Pelaksana Tugas yang Majemuk dan Saling Tergantung

Selain ada tugas pekerjaan yang dapat diselesaikan oleh

seseorang, juga ada cukup banyak tugas yang majemuk, selain

tidak dapat diselesaikan oelh satu orang, juga tidak dapat dipecah-

pecah kedalam beberapa tugas yang dapat dilaksanakan secara

tersendiri. Tugas-tugas yang harus dilakukan semuanya khusus tapi

juga saling tergantung. Contoh: kelompok pengebor minyak.

Masing-masing anggota kelompok mempunyai tugasnya masing-

masing yang saling tergantung.

b. Sebagai Mekanisme Pemecahan Masalah

Dalam menghadapi masalah, jika masalahnya memerlukan

pengolahan yang majemuk, interaksi antara para anggota yang

memiliki informasi yang berbeda, pertimbangan cermat dari

alternatif penyelesaiannya, maka pemecahan masalah secara

berkelompok akan membuahkan penyelesaian yang paling baik.

Selain kelompok tetap, seperti kelompok komando, dapat pula

10

Page 11: Organisasi dan Kelompok Kerja

dibentuk kelompok sementara, seperti satuan-satuan tugas, panitia,

komite.

c. Sebagai Penghasil Gagasan Baru dan Jawaban Kreatif

Dalam proses pemecahan masalah, jika data yang

diperlukan tersebar pada beberapa orang, atau jika diperlukan

rangsangan bersama bagi para anggota kelompok untuk menjadi

kreatif, maka kelompok merupakan tempat yang tepat untuk

menghasilkan gagasan baru dan jawaban yang kreatif. Para

anggota kelompok saling merangsang dalam memberikan gagasan

dan jawaban atau penyelesaian masalah yang kreatif.

“Sebuah badan ekstensif literatur menunjukkan pentingnya kerja

sama untuk keberhasilan proyek inovatif. Kesadaran ini, bahwa

kerja tim yang baik meningkatkan keberhasilan proyek-proyek

yang inovatif” (Martin Hoegl, 2001).

d. Sebagai Pelancar dari Pelaksanaan Keputusan yang Majemuk

Jika telah ditentukan satu keputusan yang majemuk,

misalnya satu bank memutuskan untuk membangun kantor

besarnya yang baru, maka akan bermanfaat untuk membentuk

kelompok yang terdiri dari tenaga kerja dari berbagai divisi dari

bank tersebut untuk merencanakan pelaksanaan dan memantau

pelaksanaan keputusan tersebut.

e. Sebagai Wahana dari Sosialisasi dan Pelatihan

Para tenaga kerja baru, dapat dikumpulkan dalam satu

kelompok untuk diberi pelatihan orientasi untuk dapat

mempercepat, dan memperlancar proses sosialisasi. Pelatihan

keterampilan teknik tertentu juga dapat lebih cermat, tepat dan

murah jika dilakukan dalam kelompok.

f. Sebagai Penghubung atau Koordinator Utama Antarbeberapa

Departemen

Untuk menghindari dan mengurangi gangguan dalam

komunikasi, timbulnya konflik, dan untuk memelihara upaya

11

Page 12: Organisasi dan Kelompok Kerja

kordinasi antarbagian, maka dapat dibentuk kelompok sementara

yang terdiri dari para wakil dari berbagai bagian yang memiliki

saling ketergantungan sampai derajat tertentu.

D. Interaksi Antaranggota Kelompok

D.1. Proses Kelompok

Organisasi industri terdiri dari sejumlah kelompok kerja yang

saling berkaitan dalam suatu tata tingkat tertentu. Setiap kelompok kerja

terdiri dari sejumlah tenaga kerja yang saling mempengaruhi dan saling

tergantung. Tetapi derajat pengaruh dan ketergantungan antartenaga kerja

tidak selalu sama. Dalam industri, hubungan ketergantungan antartenaga

kerja dapat bersifat hubungan ketergantungan yang seimbang dan tidak

seimbang. Misalnya hubungan antara atasan dan bawahan pada umumnya

merupakan hubungan ketergantungan yang tidak seimbang.

Disamping itu dapat kita temukan kelompok kerja yang derajat

hubungan ketergantungannya tinggi, interaksi antar para anggota sangat

intensif, dan ada pula kelompok kerja yang derajat hubungan

ketergantungannya rendah, interaksi antar para anggota`kelompok sangat

sedikit.

Dalam organisasi industri, juga dapat kita temukan kelompok kerja

dengan derajat intensitas interaksi antaranggota kelompok yang berbeda-

beda. Fiedler (1967) memberikan tipologi dari kelompok-kelompok kerja

yang didasarkan pada sifat dan intensitas interaksi, yaitu:

1. Kelompok Interaktif → para anggotanya saling tergantung, untuk

dapat menyelesaikan tugas kelompok dengan baik, mereka menyusun

strategi dan mengerjakannya bersama-sama. Apabila kerjasama

berlangsung baik, maka kelompok dapat dikatakan merupakan satu

tim. Contoh: tim bedah.

2. Kelompok Koaktif → anggotanya bekerja sama dalam melaksanakan

tugas, tetapi masing-masing dapat melaksanakan pekerjaannya secara

mandiri dan tidak saling tergantung. Setiap tenaga kerja dalam suatu

12

Page 13: Organisasi dan Kelompok Kerja

kelompok kerja memiliki tugas dan tanggung jawabnya masing-

masing yang dapat dilaksanakan tanpa banyak tergantung pada

pelaksanaan tugas dari anggota kelompok lainnya. Namun kelancaran

dalam pelaksanaan tugas oleh masing-masing tenaga kerja

mempengaruhi hasil dari keseluruhan kelompok (mempengaruhi hasil

tercapainya sasaran kelompok kerja). Contoh: kelompok pramuniaga.

3. Kelompok Konteraktif → para anggota kelompok bekerja sama untuk

tujuan perundingan dan memufakatkan sasaran dan tuntutan yang

bertentangan. Performance diukur berdasarkan derajat penerimaan dari

jawaban atau penyelesaian oleh para anggota kelompok. Anggota

kelompoknya terdiri dari perwakilan dari pihak yang berbeda

pendapat. Kelompok ini bersifat sementara, dan merupakan kelompok

yang terbentuk karena adanya pertentangan atau konflik antar

kelompok. Contoh: panitia perjanjian kerja bersama yang terdiri dari

perwakilan manajemen dan kumpulan pekerja.

Berdasarkan uraian pengertian di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa

kerjasama dalam kelompok, paling mudah ditimbulkan pada kelompok

interaktif dan sulit pada kelompok koaktif dan konteraktif. Tetapi pada

dasarnya setiap anggota kelompok mempengaruhi anggota kelompok lain.

Tingkatan interaksi yang paling tinggi juga pada kelompok interaktif, lalu

kelompok konterakif cukup tinggi, dan kelompok koaktif intensitas

interaksinya tidak tinggi, bahkan mungkin rendah sekali.

D. 2. Gejala dalam Proses Kelompok

Sebelumnya kita sudah membahas mengenai tiga fungsi kelompok

kerja, yang akan dibahas lebih lanjut untuk menjelaskan gelaja yang

timbul dalam proses kelompok. Ketiga fungsi tersebut berkaitan dengan

pandangan Leavitt bahwa proses manajemen dapat dibagi kedalam tiga

tahap, ketiga tahap ini dapat dilakukan oleh satu kelompok kerja pimpinan

saja, dapat pula dilakukan secara terpadu oleh lebih dari satu kelompok

kerja, dari tingkatan organisasi yang sama dan/atau tingkatan organisasi

13

Page 14: Organisasi dan Kelompok Kerja

yang berbeda. Dibawah ini akan kami sebutkan ketiga tahap Leavit berikut

dengan penjelasannya, yaitu:

Tahap 1. Tahap ‘Pathfinding’

Pathfinding atau pemanduan yang fokus terhadap pencarian tujuan,

dengan penciptaan masalah-masalah yang menarik. Penting bagi

pemimpin untuk menetapkan tujuan yang dinilai bermakna bagi

organisasinya, guna mengembangkan organisasinya. Pemanduan

merupakan suatu tahap dimana pemikiran kreatif dan divergen

dibutuhkan, pemanduan berkaitan dengan gambaran seseorang

mengenai perusahaannya di masa depan (vision), berdasarkan data-

data dari lingkungan dan dari perusahaannya sendiri, dan berdasarkan

keyakinan sendiri tentang apa yang benar, apa yang baik, apa yang

indah. Contoh vision: seorang pimpinan perusahaan melihat

perusahaannya berkembang menjadi perusahaan multinasional, yang

berbentuk koperasi, dimana para karyawannya berprestasi optimal dan

merasa bahagia dan sejahtera. Visionlah yang menjadi pedoman tetap

akan tujuan dan masalah yang menarik, yang menjadi dasar dari proses

pathfinding. Untuk dapat mewujudkan vision dibutuhkan kemantapan,

tekad untuk melaksanakan. Proses pemanduan banyak berlangsung

dalam diri seseorang dengan cara yang tidak mudah dilihat dari luar

oleh para pengamat. Meskipun begitu, pemanduan merupakan satu

tahap kepemimpinan dalam pengelolaan yang aktif. Aktif karena

menentukan dan menciptakan msalah-masalah penting yang harus

dipecahkan.

Tahap 2. Pemecahan Masalah

Setiap hari kita memecahkan masalah, begitu juga dalam kelompok

kerja. Pemecahan masalah dalam tingkat ini sangat berbeda dengan

pemecahan masalah yang diajarkan disekolah. Pertama, dalam

pekerjaan masalah harus kita temukan, harus kita seleksi, atau harus

kita ciptakan sendiri. Kedua, masalah yang dihadapi datanya tidak

lengkap, harus dicari pemecahannya berdasarkan informasi seadanya,

14

Page 15: Organisasi dan Kelompok Kerja

yang pastinya terbatas. Ketiga, jika kita telah menemukan jawabannya,

sering tidak memberikan kepuasan. Sangat berbeda dengan pemecahan

masalah yang pernah kita temui disekolah, tapi pendidikan yang kita

dapatkan disekolah dalam memecahkan berbagai macam masalah

mempunyai manfaat dalam melatih kemampuan dan ketrampilan kita

memecahkan masalah.

Tahap 3. Tahap Impelentasi

Tahap ini mencangkup kegiatan membentuk, menyusun, menjual,

membuat sesuatu terjadi. Para anggota kelompok (tenaga kerja)

masing-masing menjalankan tugasnya sebagaimana telah diberikan

kepada mereka. Berbeda dengan kelompok kerja manajerial, karena

implementasi dalam manajemen merupakan suatu proses sosial yang

mengharuskan manajer untuk mempengaruhi, meyakinkan, memaksa,

menjual, dan berkomunikasi dengan orang lain.

Ketiga tahap ini dapat berlangsung secara bersamaan, dan dapat pula

berlangsung secara berurutan. Dari ketiga tahap proses manajemen dari

Leavitt yang berkaitan dengan ketiga fungsi kelompok yang telah disebut

di atas nyata bahwa pelaksaan fungsi-fungsi kelompok tidak begitu saja

berjalan tanpa menimbulkan masalah. Fungsi kelompok ikun menentukan

kelancaran berlangsungnya proses kelompok di samping cirri-ciri

kepribadian para anggota kelompoknya.

Dalam proses kelompok, dimana para anggota kelompok kerja

berinteraksi dan dimana kelompok melaksanakan fungsinya, dapat kita

temukan timbulnya gejala-gejala sebagai berikut:

Konformisme

Dalam interaksi antar anggota kelompok, tanpa disadari,

mereka mengikuti pola-pola perilaku tertentu yang berlaku umum

dikeseluruhan organisasi kerjanya, dan pola perilaku yang lebih

khas berlaku dalam kelompok kerjanya, yang tumbuh karena

interaksi selama jangka waktu yang panjang. Setiap kelompok

memiliki norma-norma, yaitu pola atau patokan perilaku yang

15

Page 16: Organisasi dan Kelompok Kerja

diterima oleh para anggota kelompok. Fungsi kelompok bagi

anggota adalah untuk memenuhi kebutuhan afiliasi. Kita semua

menginginkan untuk diterima dan diperlakukan sebagai anggota

kelompok yang sama oleh anggota lain. Kita akan berusaha

berperilaku sesuai dengan norma-norma yang berlaku. Kita akan

berusaha menjadi konformis, tidak berbeda dengan anggota lain.

Kelekatan (cohesiveness)

Dalam mencapai tujuan kelompok, harus ada kerja sama yang

baik antar setiap anggotanya. Tinggi rendahnya kesepakatan para

anggota terhadap tujuan kelompok, serta derajat dapatnya saling

menerima anggota kelompok lainnya menunjukkan tingkat

kelekatan kelompok. Semakin para anggota saling tertarik, dan

makin sepakat mereka terhadap tujuan kelompok, maka makin

lekat kelompoknya. Faktor-fakto yang ikut menunjukkan tingkat

kelekatan kelompok adalah (Munandar, 2008):

o Intensitas waktu bersama dalam kelompok → makin lama,

makin saling mengenal, makin dapat timbul sikap toleransi.

o Parahnya masa awal → makin sulit seseorang diterima di

dalam kelompok kerja sebagai anggota, makin lekat

kelompoknya.

o Besarnya kelompok → makin besar kelompoknya, makin

kurang lekat, karena sulit terjalinnya interaksi yang intensif.

o Ancaman dari luar → bila memiliki ‘musuh’ bersama,

biasanya kelompok akan makin lekat.

o Keberhasilan di masa lalu → setiap orang menyenangi

seorang pemenang.

Sinergi

Adalah gejala dimana saat proses pengambilan keputusan

dalam kelompok. Bahwa keputusan yang diambil kelompok

merupakan keputusan yang lebih baik dari keputusan yang diambil

oleh setiap anggota kelompok tersendiri. Sinergi terjadi karena

16

Page 17: Organisasi dan Kelompok Kerja

diskusi dalam kelompok, menimbulkan lebih banyak alternative

dari pada jumlah orangnya, cenderung untuk mengeleminasi

sumbangan-sumbangan gagasan yang kurang bermutu, mengurangi

nilai-nilai kesalahan dan menunjang pemikiran kreatif. Ini

memberikan arti bahwa kelompok pada umunya lebih baik dari

pada perorangan dalam situasi dimana diutamakn kecermtan dan

dimana waktu cukup banyak. Namun tidak selalu kelompok lebih

baik dari perorangan dalam pengambilan keputusan. Kadang kala

sebaliknya benar. Sering anggota mempunyai kemungkinan lebih

baik untuk ‘menang’ jika ia tetap mempertahankan keputusannya

dan mengabaikan keputusan kelompok.

Groupthink

Kecenderungan anggota suatu kelompok untuk berpikir dan

mencapai suatu keputusan bersama, walaupun keputusan itu salah.

Ini merupakan gejala yang timbul akibat suatu kelompok yang

terlalu lekat. Jadi anggota kelompok yang memiliki pandangan

yang menyimpang, ditekan dengan berbagai macam cara untuk

menyetujui pandangan tersebut dengan prinsip mayoritas. Janis

(Janis & Mann, 1977) menjabarkan gejala berpikir kelompok

secara berurutan, sebagai berikut:

1. Kelompok memiliki ilusi bahwa mereka kebal

2. Kelompok terlibat dalam rasionalisasi kolektif untuk

memotong informasi yang berbeda, menentang

3. Kelompok mulai percaya pada moralitas inheren

tentang apa yang ingin dilakukan

4. Kelompok mengembangkan stereotip dari kelompok

lain dan dari para penentang, sehingga melindungi diri

dari analisis yang cermat

5. Kelompok member tekanan langsung kepada para

penentang untuk membuat diam mereka

17

Page 18: Organisasi dan Kelompok Kerja

6. Para anggota kelompok mulai menyensor pemikiran

mereka sendiri, terutama tentang keraguan yang

mungkin mereka miliki tentang kearifan dari tindakan

yang diusulkan

7. Kelompok mulai percaya akan kebulatan

kesepakatannya karena tidak ada penentang dan

kepercayaan bahwa “diam berarti menyetujui”

8. Beberapa naggota dari kelompok mulai berfungsi

sebagai “penjaga pikiran” (mindguards) penjaga yang

“melindungi” para pemimpin dari pandangan yang

menyimpang dengan menjerakan secara aktif para

penentang untuk mengungkapkan ketidak setujuan

mereka.

Gejala berpikirk kelompok, bukan merupakan gejala yang hadir

disetiap kelompok. Hanya pada kelompok yang berada dalam

kondisi tertentu saja, kondisinya ialah jika kelompok: (a) memiliki

kelekatan yang sangat tinggi, (b) terasing dari kelompok lain

dengan pandanga berbeda, (c) tidak memiliki prosedur

metodologikal untuk mengkaji dan memilih informasi jawaban

alternative yang relevan, (d) tidak memiliki prosedur yang

sistematis untuk menilai alternatif-alternatif, (e) memiliki pimpinan

otoriter yang kuat, yang menjerakan para penentang, yang berada

dibawah tekanan yang besar tetapi merasa putus asa dalam

mencari penyelesaian yang lebih baik dari yang sedang

dipertimbangkan. Untuk mencegah timbulnya groupthink, Schein

(1980) selanjutnya memberikan saran agar ditimbulkan kondisi

dimana pengajuan pandangan yang bertentangan, pencarian,

penilaian yang kritis, eksplorasi dari alternatif dan pengecekan dari

asumsi di tunjang dan digalakkan.

18

Page 19: Organisasi dan Kelompok Kerja

Polarisasi Kelompok

Gejala lain dalam proses pengambilan keputusan kelompok

adalah adanya penggeseran keputusan yang menuju ke kedua

ekstrem, keputusan yang sangat tinggi risikonya atau ke keputusan

yang sangat rendah derajat risikonya. Gejala pertama dinamakan

penggeseran ke risiko (risky shift), yang kedua dinamakan

penggeseran ke hati-hatian (caution shift). Bila pada penggeseran

ke risiko, tingkat risiko dari keputusan kelompok lebih tinggi dari

derajat risiko yang berani diambil oleh para anggota kelompok, dan

begitupun sebaliknya. Fincam dan Rhodes yang menamakan kedua

gejala tersebut polarisasi kelompok, mengemukakan kemungkinan

terjadinya kedua gejala tersebut:

1. Adanya tanggung jawab yang tersebar, tanggung jawab yang

ditanggung bersama, membuat mereka berani untuk mengambil

keputusan yang lebih tinggi risikonya.

2. Karena beroperasinya proses pembanding sosial, disini para

anggota kelompok memperlihatkan diri sebaik mungkin.

Keputusan kelompok yang diambil menjadi lebih ekstrem kea

rah sikap sosial yang pada saat itu mendominasi.

3. Kemungkinan yang menjelaskan gejala polarisasi kelompok,

adalah bahwa pengambilan keputusan yang ekstrem sangat

dipengaruhi oleh pertukaran informasi dan argumentasi yang

meyakinkan.

Tidak dapat disangsikan ketiga kemungkinan di atas beroperasi

dalam proses kelompok dan menghasilkan gejala polarisasi

kelompok.

E. Interaksi Antarkelompok

Kelompok kerja berinteraksi dengan kelompok kerja lainnya secara

sambung-menyambung dalam organisasi. Sistem akan berhenti

eksistensinya jika keluarannya tidak dirasakan bermanfaat. Kemampuan

19

Page 20: Organisasi dan Kelompok Kerja

organisasi ini sangat tergantung bagaimana derajat keterpaduan

didalamnya, keterpaduan dari kelompok kerjanya. Jika mengikuti

pandangan dari Likert, dimana anggota dari setiap kelompok merupakan

anggota juga dari kelompok tingkat organisasi yang lebih rendah dan

berfungsi sebagai poros penghubung, maka, seakan-akan, jika telah

tercapai kesepakatan pada kelompok direksi, akan tercapai juga

kesepakatan dan kerja sama di kelompok kerja di bawah kelompok direksi.

Karena berbeda tugasnya, berbeda kepentingannya, maka konflik antar

kelompok merupakan sesuatu yang wajar terjadi, yang harus dikelola

untuk kemanfaatan keseluruhan organisasi.

E. 1. Saingan atau Konflik Antarkelompok.

Robbins (1998) berpendapat bahwa konflik merupakan satu proses

yang dimulai jika satu pihak beranggapan bahwa pihak lain telah secara

negatif mempengaruhi, atau akan mempengaruhi secara negatif, sesuatu

yang akan dilakukan atau yang menjadi perhatian pihak pertama. Batasan

konflik dari Robbins sangat luas. Dua orang yang berbeda pendapat sudah

dapat dianggap konflik. Saingan antardua kelompok juga termasuk dalam

pengertian konflik. Jika ada dua kelompok yang bersaing, maka

dampaknya dapat diuraikan kedalam kategori berikut:

a. Yang Terjadi di dalam Setiap Kelompok yang Bersaing

1. Setiap kelompok menjadi lebih menutup diri dan

membangkitkan loyalitas yang lebih besar dari para anggota

kelompoknya; para anggotta kelompoknya menjadi lebih akrab

dan melupakan pertentangan mereka.

2. Suasana kelompok berubah dari informal, santai, ceria, menjadi

berorientasi pada kerja dan tugas.

3. Pola kepemimpinan cenderung berubah dari lebih demokratis

menjadi lebih otokratis, kelompok menjadi lebih bersedia untuk

menerima kepemimpinan otokratis.

4. Setiap kelompok menjadi lebih berstruktur.

20

Page 21: Organisasi dan Kelompok Kerja

5. Setiap kelompok menuntut kesetiaan, dan konformitas yang

lebih besar dari para anggotanya agar mampu menyajikan satu

barisan yang lebih tangguh.

b. Yang Terjadi Antara Kelompok yang Bersaing

1. Setiap kelompok mulai melihat kelompok lain sebagai

musuhnya, bukan sekedar sebagai objek yang netral.

2. Setiap kelompok muali mengalami gangguan pada persepsi.

3. Rasa bermusuhan terhadap kelompok lain meningkat,

sebaliknya interaksi dan komunikasi dengan kelompok lain

menurun.

4. Jika kelompok dipaksa untuk berinteraksi, maka masing-

masing kelompok cenderung hanya mendengarkan penjelasan

dari kelompok mereka sendiri, kecuali untuk menemukan

kesalahan/kelemahan dari kelompok saingannya.

Menurut Schein gejala-gejala di atas, akan dapat timbul dalam

berbagai kelompok yang berkompetisi atau bersaing. Gejala-

gejala tersebut dapat meningkatkan motivasi dari para

anggotanya, tetapi sebaliknya dapat pula membuka kesempatan

timbulnya groupthink.

c. Yang Terjadi dengan yang Menang

1. Pemenang mempertahankan kelekatannya, malahan dapat

meningkat derajat kelekatan antaranggota kelompok.

2. Pemenang cenderung melepas ketegangan, kehilangan

semangat juangnya, menjadi santai.

3. Pemenang cenderung mengarah ke kerjasama antaranggota

kelompok dan perhatian terhadap kebutuhan para anggotanya

yang tinggi, dan berkurang perhatiannya kepada pelaksanaan

tugas dan kerja.

4. Pemenang cenderung menjadi puas, dan merasa bahwa hasil

positif telah mengkonfirmasi stereotip yang baik dari mereka

sendiri, dan stereotip yang negative dari kelompok saingan

21

Page 22: Organisasi dan Kelompok Kerja

mereka, sehingga tidak ada atau sedikit ada keinginan untuk

merevaluasi pandangan dan menguji kembali kegiatan

kelompok agar dapat belajar bagaimana meningkatkan mutu

pandangan dan kegiatannya. Pemenang tidak belajar banyak

tentang diri mereka senditi.

d. Yang Terjadi dengan yang Kalah

1. Jika tidak dapat menerima kekalahan, akan ada kecenderungan

kuat pada kelompok yang kalah, untuk menolak atau merusak

kenyataan kekalahan.

2. Jika kekalahan diterima secara psikologik, kelompok yang

kalah akan cenderung mencari seseorang atau sesuatu untuk

disalahkan.

3. Kelompok yang kalah lebih tegang, siap untuk lebih keras, dan

merasa tidak ada harapan.

4. Kelompok yang kalah cenderung mengarah ke kerjasama

antaranggota kelompok yang rendah, perhatian terhadap

kebutuhan anggotanya kecil, dan perhatian tinggi untuk dapat

memperbaiki diri, membalas kekalahannya dengan bekerja

lebih keras, agar pada kesempatan lain dapat menang.

5. Kelompok yang kalah akan cenderung belajar banyak tentang

diri mereka sebagai kelompok, karena denggan kekalahan

mereka, stereotip positif dari mereka, dan stereotip negatif dari

kelompok saingannya tidak ditunjang, sehingga akibatnya

memaksakan suatu reevaluasi dari pengamatan. Kelompok

yang kalah akan mereorganisasi diri dan menjadi lebih lekat

dan efektif, begitu kekalahan mereka telah dapat diterima

secara nyata.

Masalah antarkelompok, dapat terjadi pada berbagai macam

kelompok di masyarakat, tidak hanya terjadi pada kelompok yang

telah jelas dibatasi.

22

Page 23: Organisasi dan Kelompok Kerja

E. 2. Teknik-teknik Mengurangi Akibat Negatif dari saingan

Strategi dasar dari pengurangan konflik adalah, menemukan tujuan

yang dapat diterima oleh kelompok yang bersaing, sebagai tujuan mereka

bersama, dan melancakan proses komunikasi antarkelompok. Berikut ini

beberapa teknik yang diajukan oleh Schein (1980), yang dapat digunakan

tersendiri atau beberapa teknik secara bersama-sama dalam kombinasi

tertentu:

1. Menemukan Musuh Bersama

Konflik antara dua kelompok kerja dapat dikurangi jika kedua bagian

mau menggunakan upaya mereka untuk perusahaan mereka agar dapat

berhasil bersaing dengan perusahaan lain. Konflik disini digeser ke

tingkat yang lebih tinggi. Teori identitas sosial yang diajukan oleh

Fincham dan Rodhes (1988) menjelaskan bahwa para tenaga kerja

bagian A dan bagian B memperoleh identitas mereka dari bagian

mereka masing-masing. Identitas mereka berbeda-beda. Dengan

memberikan mereka musuh bersama, mereka dapat memperoleh

identitas mereka dari perusahaan. Mereka tidak lago merasa tenaga

kerja bagian A dan bagian B, melainkan merasakan menjadi tenaga

kerja perusahaan X (Munandar, 2008).

2. Pimpinan atau Subkelompok dari Kelompok-kelompok yang Bersaing

dibawa Berinteraksi

Dalam kelompok baru yang terdiri dari wakil dari kelompok yang

bersaing, karena mendapatkan wewenang untuk menjadi perwakilan

dari kelompoknya masing-masing, dapat melakukan perundingan

untuk mencapai suatu kesepakatan, kalau perlu dapat saling

memberikan kesediaan untuk mencapai suatu jalan damai. Namun

Leavitt (1988) mengingatkan agar hati-hati dalam menggunakan teknik

ini, jika kelompok yang bersaing masing-masing memiliki derajat

kelekatan yang tinggi, maka tidak akan dapat dicapai kata sepakat,

kecuali jika yang mewakili adalah pemimpin yang memiliki kuasa

penuh.

23

Page 24: Organisasi dan Kelompok Kerja

3. Menemukan Tujuan yang Mencakup (Superordinate)

Kelompok yang beraing harus bekerja sama agar tujuan dapat tercapai.

Misalnya perusahaan ingin melemparkan produk baru ke pasar. Produk

yang murah pembuatannya dan diinginkan konsumen. Untuk

keperluan ini bagian penjualan harus bekerja sama dengan bagian

produksi. Tujuann yang harus dicapai adalah tujuan perusahaan dan

bukan tujuan masing-masing kelompok.

4. Pelatihan Antarkelompok Melalui Penghayatan Pengalaman

Kelompok yang bersaing dikumpulkan dan diminta untuk mengkaji

perilaku mereka sendiri. Selama pelatihan masing-masing kelompok

mencatat persepsi tentang mereka sendiri, dan persepsi mereka dengan

kelompok lain. Kedua hasil kelompok kemudian dibicarakan dan

dibahas, persepsi yang keliru dihilangkan dan hubungan di masa depan

ditentukan bersama. Teknik merupakan salah satu teknik dari

pengembangan organisasi yang akan lebih dijelaskan dalam bab

berikutnya.

E. 3. Dimensi dari Intensi Menyelesaikan Konflik

Robbins (1998) membahas dimensi dari intense menyelesaikan

konflik dari Thomas (1992). Intensi menyelesaikan konflik dapat

dikelompokkan kedalam lima cara yang didapatkan berdasarkan dua

dimensi, yaitu: 1. Dimensi Assertiveness dan 2. Dimensi Cooperativeness.

Kelima cara menyelesaikan konflik ialah:

1. Bersaing (competing) adalah hasrat untuk memuaskan

kepentingannya sendiri tanpa memperhatikan dampak terhadap pihak

24

Assertive

Assertiveness

Unassertive

Competing

Avoiding

Compromissing

Collaborating

Accomodating

Uncooperative Cooperative

Page 25: Organisasi dan Kelompok Kerja

lawan konflik (tinggi pada assertiveness dan rendah pada

cooperativeness). Situasi ini juga dinamakan situasi menang-kalah

(win-lose).

2. Bekerja sama (collaborating) ialah pihak-pihak yang konflik masing-

masing berhasrat untuk memuaskan kepentingan pihaknya

(assertiveness dan cooperativeness tinggi). Situasi ini dinamakan juga

menang-menang (win-win).

3. Berkompromi (compromising) adalah satu situasi dimana masing-

masing pihak yang bersengketa bersedia untuk mengorbankan sesuatu

(assertiveness dan cooperativeness sedang tingginya). Situasii ini

dinamakan kalah-kalah (lose-lose), karena ada yang dikorbankan.

4. Menghindar (avoiding) adalah hasrat untuk mengundurkan diri dari

situasi konflik atau menekan konflik, tidak ingin b ersengketa

(assertiveness dan cooperativeness rendah).

5. Menyesuaikan (accommodating) adalah adanya satu pihak yang

konflik, bersedia untuk meletakkan kepntingan pihak lain lebih tinggi

dari kepentingannya (assertiveness rendah, coopertaviness tinggi).

Situasinya satu pihak mengalah atau memenangkan pihak lawan.

Kelima penyelesaian konflik merupakan intense cara penyelesaiaan

konflik. Bagaimana cara penyelesaian yang nyata tergantung dari sikap

kedua belah pihak yang bersengketa. Cara penyelesaian konflik dapat

diwujudkan kedalam berbagai teknik penyelesaian konflik. Tehnik-tehnik

yang telah disebutkan diatas, merupakan teknik penyelesaian masalah

yang menggambarkan situasi menang-menang, tidak hanya salah satu

pihak dalam persaingan yang menang.

Disamping teknik-teknik penyelesaian konflik di atas, ada

beberapa teknik penyelesaian konflik di atas, ada beberapa teknik

penyelesaian konflik lainnya yang diajukan oleh Robbins (1998), yang

bersifat situasi win-win:

25

Page 26: Organisasi dan Kelompok Kerja

1. Teknik Problem Solving → pertemuan berhadapan antara pihak yang

memiliki konflik dengan tujuannya menemukan masalah dan mencari

jalan keluarnya melalui diskusi terbuka.

2. Teknik Pengadaan Sumber yang Lebih Banyak → ini khusus kalau

konflik terjadi disebabkan kurangnya atau terbatasnya sumber yang

diperlukan.

3. Teknik Pelunakan → berusaha mengurangi arti perbedaan dan

menekankan pada kepentingan bersama dari pihak yang memiliki

konflik.

4. Teknik Perintah Otoritatif → manajemen menggunakan otoritas

formlanya untuk menyelesaikan konflik dan mengkomunikasikan

keinginannya kepada pihak-pihak yang bersengketa.

5. Teknik Mengubah Variabel Manusia → menggunakan teknik

pengubahan perilaku melalui pelatihan, seperti pelatihan dalam

hubungan antar manusia, sehingga dapat mengubah sikap dan

perilaku yang menimbulkan konflik.

6. Teknik Mengubah Variabel Struktural → mengubah struktur formal

organisasi dan pola interaksi dari pihak yang memiliki konflik melalui

rancangan ulang dari pekerjaan, pemindahan, pembentukan

kedudukan dengan tugas koordinasi, dan sebagainya.

F. Kesimpulan

Kelompok merupakan gabungan dari dua orang atau lebih, yang

saling berinteraksi, memiliki tujuan yang sama, dan melihat anggota

kelompok merupakan bagian dari dirinya. Sedangkan organisasi

adalah, suatu kelompok yang dibentuk secara sengaja berdasarkan

kepentingan tertentu dengan tujuan tertentu, serta cara-cara tertentu

dalam melakukan sesuatu.

Organisasi dan kelompok memiliki aspek sosial, karena organisasi

terdiri lebih dari satu anggota atau kelompok manusia, yang sudah

26

Page 27: Organisasi dan Kelompok Kerja

semestinya sebagai sistem, setiap anggota berinteraksi dengan anggota

lainnya guna menjalankan sistem tersebut dengan baik.

Kelompok dapat dikatakan berhasil jika kerja sama antar

anggotanya berjalan dengan baik.

Apabila bila suatu kelompok dapat memberikan makna bagi diri

kita, jika kelompok kita rasakan dapat memenuhi kebutuhan kita, dan

sesuai dengan harapan kita, maka kita akan menilai kelompok itu baik,

tetapi sebaliknya, jika kelompok kita rasakan tidak memuaskan, tidak

mampu memenuhi kebutuhan, dan tidak sesuai dengan harapan kita,

maka kita akan mengundurkan diri sebagai anggota kelompok. Ini

berlaku untuk setiap kelompok dimana kita menjadi anggota, tidak

hanya berlaku bagi kelompok kerja kita.

27

Page 28: Organisasi dan Kelompok Kerja

G. Ringkasan

Mind Map (Peta Ingatan)

28

Organisasi

Kelompok kerja

Kelompok formal -Kelompok komando-Kelompok tugas

Kelompok informal-Kelompok minat-Kelompok persahabatan

Pengertian

Fungsi kelompok bagi anggota

a. Pemenuh kebutuhanb. Pengembang,

penunjang, pemantapc. Penetap dan pengujid. Mekanisme

pemecahan masalah

Fungsi kelompok bagi organisasi

a. Pelaksana tugas majemukb. Mekanisme pemecahan

masalahc. Penghasil gagasan barud. Pelancar dari keputusan

yang majemuke. Wahana dari sosialisasi

dan pelatihanf. Koordinator utama

Makna dan fungsi kelompok

Organisasi dan kelompok kerja

Pendahuluan

Interaksi Antar Kelompok

Interaksi Antaranggota KelompkSaingan Konflik antar Kelompok

Teknik mengatasi akibat negatif dari saingan

a. Menemukan musuh bersamab. Pimpinan dari kelompok bersaing

dibawac. Menetapkan superordinate goalsd. Experential Inter Group Training

Dimensi dari intense menyelesaikan konflik

a. Competingb. Collaboratingc. Compromissingd. Avoiding

Proses Kelompok

a. Interacting groupb. Coacting groupc. Counteracting groups

Gejala dalam proses kelompok

a. Konformismeb. Kelekatanc. Synergid. Groupthink e. Polarisasi keputusan

Page 29: Organisasi dan Kelompok Kerja

H. JURNAL

1. JURNAL 1

Teamwork Quality and the Success of Innovative Projects: A

Theoretical Conceptand Empirical Evidence

Martin Hoegl • Hans Georg Gemuenden

Washington State University, Department of Management and

Decision Science, 601 W. First Avenue,Spokane, Washington 99201–

3899

Technical University of Berlin, Chair for Technology and Innovation

Management, Hardenbergstr. 4–5,

HAD 29, 10623 Berlin, Germany

[email protected][email protected]

An extensive body of literature indicates the importance of teamwork to

the success of innovative projects, that “good teamwork” increases the success of

innovative projects The importance of teams to the success of innovation

processes is well documented in the theoretical literature. Popular approaches to

new product development (Johne and Snelson 1990, Clark and Fujimoto 1991,

Cooper 1993) such as project management (Pinto et al. 1993, Fleming and

Koppelman 1996, Gemuenden and Lechler 1997), speed and cycle time

management (Gemuenden 1990, Eisenhardt and Tabrizi 1995), as well as total

quality management and continuous improvement (Griffin and Hauser 1992,

Lawler et al. 1995, Mohrman et al.1995) consider teamwork as a crucial success

factor.

Following the literature, a team can be defined as a social system of three

or more people, which is embedded in an organizational (context), whose

members perceive themselves as such and are perceived as members by others

29

Page 30: Organisasi dan Kelompok Kerja

(identity), and who collaborate on a common task (teamwork) (Alderfer 1987,

Hackman 1987, Wiendieck 1992,Guzzo and Shea 1992).

The many experienced managers who emphasize the merits of “good

teamwork” have numerous behavioral requirements in mind. Their claims remain

rather vague and meaningless, however, as long as the essence of a team, the

quality of its collaborative working, is neither precisely defined nor validly and

reliably measured. We advocate first developing theories that explain which

aspects of teamwork are relevant to team performance and then testing these

propositions to make distinctions that are useful for practical purposes (i.e.,

distinguishing between teams that achieve results and those that do not).

We conceptualize TWQ as a multifaceted higher order construct. The

underlying proposition of this construct is that highly collaborative teams display

behaviors related to all six TWQ facets. Thus, these six facets are indicators of the

collaborative work process in teams and combine to the TWQ construct. This

conceptualization as a higher order (latent) construct is comparable to Hackman’s

(1987) “process criteria of effectiveness” in that several critical indicators (or

subconstructs) are combined in the specification of the team task process. The

following is adiscussion of the TWQ facets that provides a detailed.

30

Page 31: Organisasi dan Kelompok Kerja

2. JURNAL 2

On Teams, Teamwork, and Team Performance:

Discoveries and Developments

Eduardo Salas, University of Central Florida, Orlando, Florida, Nancy J.

Cooke, Arizona State University Polytechnic and Cognitive Engineering

Research Institute, Mesa, Arizona, and Michael A. Rosen, University of

Central Florida, Orlando, Florida

Teams have become the strategy of choice when organizations are

confronted with complex and difficult tasks. Teams are used when errors lead to

severe consequences; when the task complexity exceeds the capacity of an

individual; when the task environment is ill-defined, ambiguous, and stressful;

when multiple and quick decisions are needed; and when the lives of others

depend on the collective insight of individual members. Teams are used in

aviation, the military, health care, financial sectors, nuclear power plants,

engineering problem-solving projects, manufacturing, and countless other

domains. They take a variety of forms, from teams of teams to human robot

teams. As the complexity of the workplace continues to grow, organizations

increasinglydepend on teams.

The good news is that research has kept up with the demand from

organizations for scientifically rooted guidance. The science of team performance

has produced a wealth of knowledge on how to compose, manage, structure,

measure, and promote team performance. Our purpose here is threefold: (a) to

briefly discuss what we know about teams, teamwork, and team performance; (b)

to highlight recent discoveries and developments, especially as documented in

Human Factors; and (c) to motivate research for the future. We should note that

our review is necessarily selective. We focus only on those areas in which we

think significant research has been conducted and in which we think interesting,

compelling, and robust discoveries have been made. We first discuss key

distinctions needed to understand the discoveries. Subsequently, we discuss eight

31

Page 32: Organisasi dan Kelompok Kerja

discoveries and end with several key issues that need attention as team research

continues to develop over the coming decades.

TEAMS, TEAMWORK, AND TEAM PERFORMANCE: FUNDAMENTAL

CONCEPTS

Over recent decades, a “golden age” of interest in team research has

emerged. A Recent review of the literature revealed more than 130 models and

frameworks of team performance or some component thereof (Salas, Stagl, Burke,

& Goodwin, 2007). This breadth represents an ongoing balance between models

at different levels of granularity. Some are parsimonious and generalizable models

of teamwork (Salas, Sims, & Burke, 2005), and others are more contextualized

team or task-specific frameworks (Xiao, Hunter, Mackenzie, Jefferies, & Horst,

1996) or models that focus on a specific team process or function (Entin &

Serfaty, 1999). Among these varying theoretical models are some core concepts

that might be considered common ground. These concepts include the input-

process-output (I-P-O) framework, which is the dominant approach underlying

these various models, as well as a consideration of the multilevel and dynamic

nature of teams (i.e., for a more extensive discussion, see Ilgen, Hollenbeck,

Johnson, & Jundt, 2005; Salas et al., 2007).

Teams are social entities composed of members with high task

interdependency and shared and valued common goals (Dyer, 1984). They are

usually organized hierarchically and sometimes dispersed geographically; they

must integrate, synthesize, and share information; and they need to coordinate and

cooperate as task demands shift throughout a performance episode to accomplish

their mission. During a performance episode, team members engage in taskwork

processes and teamwork processes. Individual taskwork is defined as the

components of a team member’s performance that do not require interdependent

interaction with other team members. In contrast, teamwork is defined as the

interdependent components of performance required to effectively coordinate the

performance of multiple individuals. Team performance is conceptualized as a

32

Page 33: Organisasi dan Kelompok Kerja

multilevel process (and not a product) arising as team members engage in

managing their individual- and team-level taskwork and teamwork processes

(Kozlowski & Klein, 2000). Conceptually, teamwork is nested within team

performance and is a set of interrelated cognitions, attitudes, and behaviors

contributing to the dynamic processes of performance. Team cognition or team-

level macrocognitionis an example of this type of interrelationship between

processes and has been the focus of much recent research (Letsky, Warner, Fiore,

& Smith, in press; Salas & Fiore, 2004). In general, team cognition research

characterizes teams as information-processing units (Hinsz, Tindale, & Vollrath,

1997). Processes such as the encoding, storage, and retrieval of information are

thought to apply on the team as well as the individual level (Salas & Fiore, 2004).

These processes occur internally in individuals; however, on the team level,

communication is viewed as a central mechanism of information processing. In

addition, team cognition can be viewed as an emergent phenomenon (Cooke,

Gorman, & Rowe, in press; Cooke, Gorman, & Winner, 2007). Finally, team

effectivenessis an evaluation of the outcomes of team performance processes

relative to some set of criteria (Hackman, 1987). The definitions of performance

and effectiveness on the team level closely parallel the definitions of these terms

on the individual level. That is, performance is the activities engaged in while

completing a task, and effectiveness involves an appraisal of the outcomes of that

activity (Fitts & Posner, 1967; Motowildo, 2003). With this groundwork in place,

we turn to a survey of the crowning achievements of the past decades of team

research.

33

Page 34: Organisasi dan Kelompok Kerja

Daftar Pustaka

Martin Hoegl, H. G. (2001). Teamwork Quality and the Success of Innovative Projects. Organization Science , 437-449.

Munandar, A. S. (2008). Psikologi Industri dan Organisasi. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia.

Salas, E., Cooke, N. J., & Rosen, M. A. (2008). On Teams, Teamwork, and Team Performance: Discoveries and Developments. The Journal of the Human Factors and Ergonomics Society , 541-547.

34