Oleh : M. ARBI RAMADHAN NIM : 107101001526 PEMINATAN GIZI ...
Embed Size (px)
Transcript of Oleh : M. ARBI RAMADHAN NIM : 107101001526 PEMINATAN GIZI ...

FAKTOR - FAKTOR YANG MEMPENGARUHI BERAT BADAN TIDAK NAIK (2T)
PADA BADUTA GAKIN SETELAH PEMBERIAN PROGRAM MP-ASI KEMENKES
DI KECAMATAN PANCORAN JAKARTA SELATAN
TAHUN 2011
Skripsi
Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat (SKM)
Oleh :
M. ARBI RAMADHAN
NIM : 107101001526
PEMINATAN GIZI
PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1432 H / 2011 M

ii
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT
PEMINATAN GIZI
Skripsi, September 2011
M.Arbi Ramadhan, 107101001526
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Berat Badan Tidak Naik (2T) Pada Baduta
Gakin Setelah Pemberian Program MP-ASI Kemenkes di Kecamatan Pancoran
Jakarta Selatan Tahun 2011
xx + 122 halaman, 28 tabel, 2 bagan, 1 gambar, 1 diagram, 8 lampiran
ABSTRAK
Program Makanan Pendamping ASI (MP-ASI) Kemenkes bertujuan untuk
meningkatkan status gizi bayi dan baduta yang mengalami gizi kurang maupun gizi
buruk dari keluarga miskin. MP-ASI yang diberikan berupa bubur untuk 6-11 bulan
dan berupa biskuit untuk 12-24 bulan. Jumlah baduta yang mengalami berat badan
tidak naik (2T) di Kecamatan Pancoran Jakarta Selatan sebanyak 60 baduta.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui Faktor-faktor yang mempengaruhi
berat badan tidak naik (2T) pada baduta gakin setelah pemberian program MP-ASI
Kemenkes. Penelitian ini menggunakan data primer dan sekunder, dimana sampel
penelitian ini adalah 82 ibu baduta yang mendapatkan MP-ASI Kemenkes (biskuit)
untuk periode November 2010- Februari 2011. Penelitian ini menggunakan metode
kuantitatif dengan desain studi case control (1:1). Adapun variabel dependennya
yaitu berat badan tidak naik (2T) sedangkan variabel independennya yaitu ASI
Eksklusif, Lamanya pemberian MP-ASI Kemenkes, Riwayat penyakit infeksi dan
Pola Konsumi Makan (makanan pokok, lauk hewani, lauk nabati,sayuran,buah dan
susu).
Hasil penelitian ini terdapat hubungan antara ASI Eksklusif dengan OR 3,485
CI 95% (1,380-8,798), Lamanya Pemberian MP-ASI Kemenkes dengan OR 0,299 CI
95% (0,095-0,939), Riwayat Penyakit Infeksi dengan OR 3,071 CI 95% (1,174-
8,028) dan Pola Konsumsi Susu dengan OR 0,233 CI 95% (0,069-0,791) dengan
berat badan tidak naik (2T). Namun tidak terdapat hubungan antara Pola Konsumsi
Makan (makanan pokok, lauk hewani, lauk nabati, sayuran dan buah) dengan berat
badan tidak naik (2T). Adapun faktor yang paling dominan mempengaruhi yaitu ASI
Eksklusif (B = 6,152).
Sebaiknya adanya sosialisasi yang menyeluruh dan jelas terhadap program
MP-ASI Kemenkes, selain itu diperlukan personal hyiegene ibu, pengetahuan pola
makan yang baik dan bergizi serta kebersihan lingkungan rumah dalam

ii
meningkatkan derajat kesehatan serta peningkatan frekuensi minum susu dan
pemberian ASI Eksklusif.
Daftar bacaan : 73 (1988-2011)

ii
FACULTY OF MEDICINE AND HEALTH SCIENCES
PUBLIC HEALTH STUDY PROGRAM
NUTRITION DEPARTEMENT
Undergraduate Thesis, September 2011
Ramadhan M.Arbi, NIM 107101001526
The Factors Influence No Weight Gain (2T) Improvement of Baduta’s Gakin
After Giving Complementary Feeding Program (MP-ASI) Ministry of Health
(Kemenkes) at Pancoran District South Jakarta Year 2011
xx + 122 pages, 28 tables, 2 charts, ,1 picture, 1 diagram, 8 attachments
ABSTRACT
Complementary Feeding Program (MP-ASI) Ministry of Health aims to improve the
nutritional status of infants and baduta who experience malnutrition from poor
families. Complementary Feeding Program (MP-ASI) Ministry of Health provided in
the form of porridge for 6-11 months and biscuits for 12-24 months. The number of
that baduta (2T) at Pancoran District South Jakarta reaches 60 babies.
The purpose of this study is to determine the factors influence no weight gain
improvement of Baduta’s Gakin after treatment of Complementary Feeding Program
(MP-ASI) Ministry of Health. This study used primary and secondary data, where
the sample of this study were 82 mothers who got Complementary Feeding Program
(MP-ASI) Kemenkes’s biscuit for the period November 2010 - February 2011. This
study used quantitative methods with case-control study design (1:1). The dependent
variable is no weight gain improvement while the independent variable is exclusive
breastfeeding, duration of MP-ASI Kemenkes, history of infectious diseases and
eating habit (staple food, animal side dish, vegetables, fruit and milk).
The results of this study is a relationship between exclusive breastfeeding with OR
3.485 and 95% CI (1.380 to 8.798), duration of provision of Complementary feeding
program (MP-ASI) Kemenkes with OR 0.299 and 95% CI (0.095 to 0.939), History
of Infectious Diseases with OR 3.071 and 95% CI (1.174 - 8.028) and the Pattern of
Milk Consumption with OR 0.233 and 95% CI (0.069 to 0.791) with no weight gain
improvement. But there is no relationship between Eating habit (staple foods, animal
side dishes, vegetables and fruits) with no weight gain improvement. The most
dominant factor affecting the exclusive breastfeeding (B = 6,152).

ii
We recommend a thorough socialization of the program such as the clear goals of
MP-ASI Kemenkes, time frame providing porridge and biscuits and other clues as
well as the required personal hygienic for mother, knowledge of nutritious food and
hygienic environment in other to improve the health of society with the increasing
frequency of drinking milk and exclusive breastfeeding.
Reading List : 73 (1988-2011)

PERNYATAAN PERSETUJUAN
Judul Skripsi
FAKTOR - FAKTOR YANG MEMPENGARUHI BERAT BADAN TIDAK NAIK (2T)
PADA BADUTA GAKIN SETELAH PEMBERIAN PROGRAM MP-ASI KEMENKES
DI KECAMATAN PANCORAN JAKARTA SELATAN
TAHUN 2011
Telah disetujui, diperiksa dan dipertahankan di hadapan Tim Penguji Skripsi
Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
Jakarta, September 2011
Mengetahui,
Ratri Ciptaningtyas, SKM,S.Sn.Kes Dr.H. Arif Sumantri, SKM M.Kes
Pembimbing I Pembimbing II

PANITIA SIDANG UJIAN SKRIPSI
PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
Jakarta, 29 September 2011
Penguji I,
Ratri Ciptaningtyas, SKM, S.Sn.Kes
Penguji II,
Dr. H. Arif Sumantri, SKM, M.Kes
Penguji III,
Dr. Helda, M.Kes

iv
Riwayat Hidup Penulis
Data Pribadi
Nama Lengkap : M. Arbi Ramadhan
Tempat Tanggal Lahir : Bandar Lampung, 8 April 1989
Alamat Rumah : Jl. Dr. Samratulangi No. 15/52 Penengahan Tanjung
Karang Pusat Bandar Lampung 35112
Jenis Kelamin : Laki-Laki
Agama : Islam
Email : [email protected]
Telepon : 085693514198 / 021-94119217
Riwayat Pendidikan
1995 – 2001 SD Kartika II-5 Bandar Lampung
2001 – 2004 SMP Negeri 2 Bandar Lampung
2004 – 2007 SMA Negeri 2 Bandar Lampung
2007 – 2011 Peminatan Gizi, Kesehatan Masyarakat, Fakultas
Kedokteran dan Ilmu Kesehatan, Universitas Islam Negeri
(UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta

v
Pengalaman Organisasi
2004 – 2005 OSIS SMA Negeri 2 Bandar Lampung
2005 – 2006 OSIS SMA Negeri 2 Bandar Lampung
2007 – 2008 BEM Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta
2008 – 2009 BEM Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta
Pengalaman Bekerja
2004 – 2006 Penyiar Radio “Sore Ceria “ RRI Pro 2 Bandar Lampung
Februari 2011 Magang - Suku Dinas Kesehatan Jakarta Selatan
Sie. Bagian Gizi Kesmas

vi
LEMBAR PERSEMBAHAN
Dengan segala cinta dan ketulusan,
kupersembahkan karya sederhana ini untuk:
”... Allah akan Meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang
yang diberi ilmu pengetahuan beberapa Derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang
kamu kerjakan...”
(QS. Al-Mujadilah [58]:11)
“ Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya…”
(QS.Al-Baqarah [2]:286)
Mama dan Papa tersayang yang telah membimbing dan mendoakanku di setiap sujudnya,
Mbak Diyan, Mbak Tyas dan Mbak Astrid yang selalu memberikan dukungan,
Almamaterku Kesehatan Masyarakat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

vii
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, atas
segala limpahan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi
ini yang berjudul “Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Berat Badan Tidak Naik
(2T) Pada Baduta Gakin Setelah Pemberian Program MP-ASI Kemenkes di
Kecamatan Pancoran, Jakarta Selatan Tahun 2011”. Shalawat dan salam senantiasa
tecurahkan kepada Rasulullah SAW yang telah menjadi suri tauladan bagi umatnya.
Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan rasa terima kasih kepada :
1. Kedua orang tua, mama dan papa tersayang yang tak hentinya selalu memberikan
kasih sayang, semangat dan mendoakan saya di setiap waktunya.
2. Mbak Diyan dan Mas Anto, Mbak Tyas dan Mas Dedy, Keponakanku tersayang
R.Abid dan Mbak Astrid yang juga memberikan doa dan semangat.
3. (Alm) Mbah H.Sajadi yang memberikan doa dan pesan terakhir untuk penulis agar
melanjutkan pendidikan ke Strata (S-2). Insya Allah Mbah.
4. Prof. Dr (hc). dr. M. K. Tadjudin, Sp.And selaku Dekan Fakultas Kedokteran dan
Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
5. Bapak dr. Yuli Prapanca Satar, MARS selaku Kepala Program Studi Kesehatan
Masyarakat FKIK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
6. Ibu Ratri Ciptaningtyas, SKM,S.Sn.Kes selaku Pembimbing I yang telah
memberikan banyak arahan dan masukan serta bimbingannya.
7. Bapak Dr.H.Arif Sumantri,SKM,M.Kes selaku Pembimbing II yang memberikan
masukan dan arahan.

viii
8. Dr. Helda, M.Kes selaku penguji yang banyak memberikan ilmu dan masukan.
9. Ibu Meilani, M.Epid yang banyak memberikan bantuan dan masukan.
10. Ibu Febrianti, M.Si selaku penanggung jawab peminatan gizi dan seluruh dosen
Kesehatan Masyarakat FKIK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
11. Seluruh Seksi Kesmas Suku Dinas Kesehatan Jakarta Selatan, Kepala Puskesmas
Kecamatan Pancoran, Ibu Merry selaku penanggung jawab gizi PKM Kecamatan
Pancoran serta semua kader kesehatan PKM Pancoran dan Posyandu-Posyandu
yang telah memberikan banyak bantuan.
12. Semua ibu baduta yang berkenan menjadi responden dan sangat membantu dalam
penelitian kali ini.
13. Besties Siska untuk bantuannya saat penyebaran kuesioner penelitian.
14. Besties Yuni, Tamalia, Pipit, dan Ika untuk persahabatan dengan suka duka canda
tawa, bantuan, semangat dan doa selama ini.
15. Sobat Nancy, S.Ked, Mareisca, SE, dan Ardela yang memberikan doa, bantuan
dan semangat, serta rekan Ami Najmi untuk semua bantuannya.
16. OPUS’ Oktober 2011 (Pipit, Ika, Memeng, Zulfa, Rian, Ami, Fitri, Ida, Meli, Lisa,
Ratih, Ovi, Bella, Aan, dan Agung) suka duka, semangat kita membuahkan hasil
“Wisuda Pertama Angkatan 2007”
17. Teman-teman seperjuangan; Gizi dan K3 angkatan 2007 tetap semangat dan sabar,
yakinlah dibalik kesulitan pasti ada kebahagiaan yang telah menanti kita semua.
Ayo segera menyusul kawan !!!
18. ALDN untuk doa dan semangatnya, terima kasih.

ix
19. Dan semua pihak yang belum sempat disebutkan satu per satu , terima kasih atas
bantuannya dan segalanya.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini masih sangat jauh dari
sempurna, dengan segala kerendahan hati penulis menerima kritik dan saran demi
kemajuan dimasa yang akan datang. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua
pihak. Amin..
Jakarta, September 2011
Penulis

x
DAFTAR ISI
Halaman
LEMBAR PERNYATAAN…………………………………………… i
ABSTRAK .............................................................................................. ii
PERNYATAAN PERSETUJUAN……………………………………. iii
RIWAYAT HIDUP PENULIS………………………………………… iv
LEMBAR PERSEMBAHAN ................................................................
KATA PENGANTAR ………………………………………………….
vi
vii
DAFTAR ISI …………………………………………………………… x
DAFTAR TABEL ……………………………………………………… xiv
DAFTAR BAGAN ……………………………………………………...
DAFTAR GAMBAR ...............................................................................
DAFTAR GRAFIK .................................................................................
DAFTAR LAMPIRAN ...........................................................................
xvii
xviii
xiv
xx
BAB I PENDAHULUAN…………………………………………… 1
1.1 Latar Belakang ………………………………………….....
1.2 Rumusan Masalah ................................................................
1.3 Pertanyaan Penelitian ...........................................................
1
7
8
1.4 Tujuan …………………………………………………….. 9
1.2.1 Tujuan Umum …………………………………….... 9
1.2.2 Tujuan Khusus …………………………………….. 9
1.5 Manfaat…………………………………………………… 10
1.6 Ruang Lingkup Penelitian .................................................... 11
BAB II TINJAUAN PUSTAKA…………………………………….....
12
2.1 Berat Badan ......……………………………………………. 12
2.1.1 Pertumbuhan dan Perkembangan …………………… 12
2.1.2 Berat Badan Menurut Umur (BB/U)..………….......... 13
2.2 Makanan Pendamping ASI (MP-ASI) …………………… 14
2.2.1 Tujuan Pemberian MP-ASI……………….................. 15
2.2.2 Resiko Pemberian MP-ASI Terlalu Dini .................... 16
2.3 Prosedur Mutu MP-ASI Kemenkes ……………………….. 19
2.3.1 Sasaran MP-ASI ……………………………………. 19

xi
2.3.2 Pengadaan MP-ASI ……………………………….... 19
2.3.3 Pemberian MP-ASI......................................................
2.3.4 Spesifikasi MP- ASI Bubur & Biskuit ........................
2.3.8 Cara Menghidangkan MP-ASI ...................................
19
20
29
2.4 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Status Gizi Balita……
2.4.1 Karakteristik Keluarga ...............................................
a. Pendidikan Ibu ........................................................
b. Pendapatan Keluarga ..............................................
2.4.2 Pola Asuh ....................................................................
a. Pemberian ASI ........................................................
b. ASI Eksklusif .......................................................
2.4.3 Karakteristik Anak ....................................................
a. Cakupan Imunisasi ..................................................
b. Penimbangan .........................................................
2.4.4 Penyakit Metabolisme Bawaan ...............................
2.4.5 Pola Konsumsi Makanan (Asupan Zat Gizi) ..............
2.4.6 Riwayat Penyakit Infeksi ............................................
30
30
30
32
33
33
37
39
39
43
44
45
45
2.5 Penilaian Konsumsi Makanan .......………….......................
2.6 Kerangka Teori .....................................................................
47
50
BAB III Kerangka Konsep……………………….................................. 53
3.1 Kerangka Konsep ...................................………………....... 53
3.2 Definisi Operasional .....................……………....................
3.3 Hipotesis ................................................................................
55
57
BAB IV Metodologi Penelitian .............................................................. 58
4.1 Desain Penelitian ................................................................... 58
4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian ................................................
4.3 Populasi .................................................................................
4.4 Sampel Penelitian ..................................................................
4.5 Pengumpulan Data ................................................................
4.6 Instrumen Penelitian .............................................................
4.7 Uji Coba Kuesioner ............................................................
4.8 Pengolahan Data ...................................................................
4.9 Analisis Data .........................................................................
1. Univariat .............................................................................
2. Bivariat ...............................................................................
3. Multivariat ..........................................................................
58
58
59
62
63
63
66
67
67
67
68

xii
BAB V Hasil Penelitian ...........................................................................
5.1 Gambaran Umum Kecamatan Pancoran Jakarta Selatan.......
5.2 Analisis Univariat .................................................................
5.2.1 Gambaran ASI Eksklusif ............................................
5.2.2 Gambaran Lamanya Pemberian MP-ASI Kemenkes
5.2.3 Gambaran Riwayat Penyakit Infeksi ..........................
5.2.3 Gambaran Pola Konsumsi Makan ..............................
a. Makanan Pokok ......................................................
b. Lauk Hewani ..........................................................
c. Lauk Nabati ............................................................
d. Sayuran ...................................................................
e. Buah ........................................................................
f. Susu ........................................................................
5.3 Analisis Bivariat ....................................................................
5.3.1 Hubungan antara ASI Eksklusif dengan 2T ................
5.3.2 Hubungan Lamanya Pemberian MP-ASI Kemenkes
dengan 2T ...................................................................
5.3.3 Hubungan Riwayat Penyakit Infeksi dengan 2T ........
5.3.4 Hubungan Pola Konsumsi Makan dengan 2T ............
a. Makanan Pokok ......................................................
b. Lauk Hewani ..........................................................
c. Lauk Nabati ............................................................
d. Sayuran ...................................................................
e. Buah ........................................................................
f. Susu ........................................................................
5.4 Analisis Multivariat ............................................................
5.4.1 Pemilihan Kandidat Multivariat .................................
5.4.2 Pembuatan Model .....................................................
5.4.3 Pengujian Interaksi ......................................................
5.4.4 Tahap Akhir ..............................................................
BAB VI Pembahasan .............................................................................
6.1 Keterbatasan Penelitian .........................................................
6.2 Gambaran 2T di Kecamatan Pancoran Jakarta Selatan ........
6.3 Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi 2T pada
Baduta Gakin Setelah Pemberian Program MP-ASI
Kemenkes di Kecamatan Pancoran Jakarta Selatan Tahun
2011 ......................................................................................
6.3.1 Hubungan antara ASI Eksklusif dengan 2T ................
71
71
72
72
73
73
74
75
75
76
76
77
77
77
78
79
80
82
82
83
84
85
86
88
89
89
90
90
91
94
94
95
96
96

xiii
6.3.2 Hubungan Lamanya Pemberian MP-ASI Kemenkes
dengan 2T ...................................................................
6.3.3 Hubungan Riwayat Penyakit Infeksi dengan 2T ........
6.3.4 Hubungan Pola Konsumsi Makan dengan 2T ............
a. Makanan Pokok ......................................................
b. Lauk Hewani ..........................................................
c. Lauk Nabati ............................................................
d. Sayuran ...................................................................
e. Buah ........................................................................
f. Susu ........................................................................
6.4 Analisis Faktor Yang Paling Dominan Mempengaruhi 2T
pada Baduta Gakin Setelah Pemberian Program MP-ASI
Kemenkes di Kecamatan Pancoran Jakarta Selatan Tahun
2011 .................................................................................
BAB VII Penutup .................................................................................
7.1 Kesimpulan .....................................................................
7.2 Saran ...................................................................................
98
101
105
108
109
109
110
111
111
115
119
119
121
Daftar Pustaka…………………………………………………………..

xiv
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 2.1 Kandungan Zat Gizi MP-ASI Bubur 21
Tabel 2.2 Kandungan Zat Gizi MP-ASI Biskuit 25
Tabel 4.1
Tabel 4.2
Tabel 5.1
Tabel 5.2
Tabel 5.3
Tabel 5.4
Tabel 5.5
Tabel 5.6
Tabel 5.7
Tabel 5.8
Tabel 5.9
Tabel 5.10
Pemilihan Sampel di Kecamatan Pancoran Jakarta
Selatan Tahun 2011
Hasil Uji Validitas dan Rebilitas Kuesioner
Luas Wilayah dan Jumlah RT/RW se-Kecamatan
Pancoran Jakarta Selatan Tahun 2010
Jumlah KK dan Jumlah Penduduk se-Kecamatan
Pancoran Jakarta Selatan Tahun 2010
Distribusi ASI Eksklusif di Kecamatan Pancoran
Jakarta Selatan Tahun 2011
Distribusi Lamanya Pemberian MP-ASI Kemenkes
di Kecamatan Pancoran Jakarta Selatan Tahun 2011
Distribusi Riwayat Penyakit Infeksi di Kecamatan
Pancoran Jakarta Selatan Tahun 2011
Distribusi Pola Konsumsi Makanan Pokok di
Kecamatan Pancoran Jakarta Selatan Tahun 2011
Distribusi Pola Konsumsi Lauk Hewani di
Kecamatan Pancoran Jakarta Selatan Tahun 2011
Distribusi Pola Konsumsi Lauk Nabati di Kecamatan
Pancoran Jakarta Selatan Tahun 2011
Distribusi Pola Konsumsi Sayuran di Kecamatan
Pancoran Jakarta Selatan Tahun 2011
Distribusi Pola Konsumsi Buah di Kecamatan
Pancoran Jakarta Selatan Tahun 2011
62
65
71
72
72
73
74
75
75
76
76
77

xv
Tabel 5.11
Tabel 5.12
Tabel 5.13
Tabel 5.14
Tabel 5.15
Tabel 5.16
Tabel 5.17
Tabel 5.18
Tabel 5.19
Tabel 5.20
Distibusi Pola Konsumsi Susu di Kecamatan
Pancoran Jakarta Selatan Tahun 2011
Analisis Hubungan ASI Eksklusif dengan Berat
Badan Tidak Naik (2T) di Kecamatan Pancoran
Jakarta Selatan Tahun 2011
Analisis Hubungan Lamanya Pemberian MP-ASI
Kemenkes dengan Berat Badan Tidak Naik (2T) di
Kecamatan Pancoran Jakarta Selatan Tahun 2011
Analisis Hubungan Riwayat Penyakit Infeksi dengan
Berat Badan Tidak Naik (2T) di Kecamatan Pancoran
Jakarta Selatan Tahun 2011
Analisis Hubungan Pola Konsumsi Makanan Pokok
dengan Berat Badan Tidak Naik (2T) di Kecamatan
Pancoran Jakarta Selatan Tahun 2011
Analisis Hubungan Pola Konsumsi Lauk Hewani
dengan Berat Badan Tidak Naik (2T) di Kecamatan
Pancoran Jakarta Selatan Tahun 2011
Analisis Hubungan Pola Konsumsi Lauk Nabati
dengan Berat Badan Tidak Naik (2T) di Kecamatan
Pancoran Jakarta Selatan Tahun 2011
Analisis Hubungan Pola Konsumsi Sayuran dengan
Berat Badan Tidak Naik (2T) di Kecamatan Pancoran
Jakarta Selatan Tahun 2011
Analisis Hubungan Pola Konsumsi Buah dengan
Berat Badan Tidak Naik (2T) di Kecamatan Pancoran
Jakarta Selatan Tahun 2011
Analisis Hubungan Pola Konsumsi Susu dengan
Berat Badan Tidak Naik (2T) di Kecamatan Pancoran
Jakarta Selatan Tahun 2011
77
78
79
81
82
83
84
86
87
88

xvi
Tabel 5.21
Tabel 5.22
Tahap 5.23
Tahap 5.24
Hasil Analisis Multivariat Regresi Logistik Berganda
Tahap Pertama
Hasil Analisis Multivariat Regresi Logistik Berganda
Tahap Kedua
Hasil Analisis Uji Interaksi
Model Akhir Multivariat Regresi Logistik Berganda
89
90
91
92

xvii
DAFTAR BAGAN
Halaman
2.1
3.1
Kerangka Teori
Kerangka Konsep
52
54

xviii
DAFTAR GAMBAR
Halaman
2.1
Gambar MP-ASI Kemenkes (biskuit)
24

xix
DAFTAR DIAGRAM
Halaman
6.1
Diagram Proporsi Sampel Baduta 2T dan Non 2T di
Kecamatan Pancoran Jakarta Selatan Tahun 2011
96

xx
DAFTAR LAMPIRAN
1 Surat Pengajuan Penelitian ke Suku Dinas Kesehatan Jakarta Selatan
2
3
4
Surat Penelitian ke Puskesmas Kecamatan Pancoran, Jakarta Selatan
Kuesioner Penelitian
Form FFQ Kualitatif
5 Hasil Output SPSS Univariat
6 Hasil Output SPSS Bivariat
7 Hasil Output SPSS Multivariat
8 Daftar Nama Register Pendistribusian MP-ASI Kemenkes Kecamatan
Pancoran Jakarta Selatan (November 2010-Februari 2011)

1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Tantangan utama dalam pembangunan suatu bangsa adalah pembangunan
sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas yang sehat, cerdas dan produktif.
Pencapaian pembangunan manusia yang diukur dengan Indeks Pembangunan
Manusia (IPM) belum menunjukkan hasil yang menggembirakan dalam tiga
dasawarsa terakhir. Pada tahun 2003, IPM Indonesia masih rendah yaitu berada
pada peringkat 112 dari 174 negara, lebih rendah dari negara-negara tetangga.
Rendahnya IPM ini sangat dipengaruhi oleh rendahnya status gizi dan status
kesehatan penduduk. Hal ini antara lain terlihat dari masih tingginya angka
kematian bayi sebesar 35/100.000 kelahiran hidup dan angka kematian balita
sebesar 58/100.000 kelahiran hidup serta angka kematian ibu 307/100.000 kelahiran
hidup. Lebih dari separuh kematian bayi dan anak balita disebabkan oleh buruknya
status gizi anak balita (Azwar, 2004).
Arah dan kebijakan pembangunan bidang kesehatan, diantaranya
menyebutkan bahwa pembangunan kesehatan diarahkan untuk mempertinggi derajat
kesehatan. Salah satu faktor yang menentukan tingkat kesehatan dan kesejahteraan
manusia adalah gizi. Gizi merupakan faktor penting yang memegang peranan dalam

2
siklus kehidupan manusia terutama bayi dan anak yang nantinya akan menjadi
generasi penerus bangsa (Depkes, 2002).
Bayi atau balita yang kurang gizi memiliki resiko kematian yang tinggi dan
jika dapat bertahan hidup sering mengalami sakit dan perkembangan fisik maupun
mentalnya terganggu. Kurang gizi merupakan penyebab tingginya kematian balita
sebesar 60% dari kematian balita setiap tahunnya. Dua per tiga dari kematian ini
berkaitan dengan kebiasaan makan yang tidak benar yang terjadi pada tahun
pertama umur bayi (WHO dan UNICEF, 2003).
Secara nasional prevalensi gizi kurang dan gizi buruk di Indonesia masih
tinggi. Pada tahun 2005 tercatat 1,03% dari jumah penduduk mengidap gizi buruk,
kemudian naik menjadi 2,10% pada tahun 2006, dan kembali melonjak menjadi
3,48% pada tahun 2007 (Depkes, 2008).
Dari hasil beberapa penelitian menyatakan bahwa keadaan kurang gizi pada
bayi dan anak disebabkan karena kebiasaan pemberian Makanan Pendamping ASI
yang tidak tepat. Ketidaktauan tentang cara pemberian makanan bayi dan anak serta
adanya kebiasaan yang merugikan kesehatan, secara langsung dan tidak langsung
menjadi penyebab utama terjadinya masalah kurang gizi pada anak, khususnya pada
anak (baduta) usia dibawah 2 tahun (Departemen Kesehatan dan Kesejahteraan
Sosial RI, 2000).
Dalam Global Strategy for Infant and Young Child Feeding untuk mencapai
tumbuh kembang optimal, WHO/UNICEF (2001) merekomendasikan empat hal
penting yang harus dilakukan yaitu, pertama memberikan ASI kepada bayi segera
dalam waktu 30 menit setelah bayi lahir, kedua memberikan hanya ASI saja atau

3
pemberian ASI secara eksklusif sejak lahir sampai bayi berusia 6 bulan, ketiga
memberikan Makanan Pendamping ASI (MP-ASI) sejak bayi berusia 6 bulan
sampai 24 bulan, dan keempat meneruskan pemberian ASI sampai anak berusia 24
bulan atau lebih (Depkes, 2006).
WHO dan UNICEF menganjurkan ibu untuk tetap menyusui anaknya sampai
usia 2 tahun. Penelitian yang dilakukan pakar-pakar laktasi di WHO
mengungkapkan bahwa pemberian ASI di saat anak > 1 tahun tetap memberikan
nutrisi yang tidak ternilai harganya. Karena pemberian ASI pada batita memberikan
manfaat seperti: 31% kebutuhan energi anak, 38% kebutuhan protein anak, 45%
kebutuhan vitamin A anak, 95% kebutuhan vitamin C anak (WHO, 2003).
Menurut WHO (2009) cara terbaik dalam mencegah kekurangan nutrisi dan
kematian para bayi dan anak- anak adalah dengan memastikan mereka telah
memperoleh ASI dimulai dalam jangka 1 (satu) jam setelah kelahiran, lalu ASI
Ekslusif (tanpa disertai makanan atau cairan maupun air sekalipun selain hanya ASI
saja) hingga usia 6 (enam) bulan, kemudian dilanjutkan dengan pemberian ASI yang
disertai tambahan makanan pelengkap yang tepat hingga 2 (dua) tahun atau lebih.
Bahkan dalam situasi darurat pun, pemberian ASI tetap terus dianjurkan diberikan
secara berkala dan berkesinambungan hingga sedikitnya usia 2 (dua) tahun. Hal
tersebut telah sesuai dengan firman Allah SWT dalam Al-Quran sebagai berikut:

4
“ Dan ibu-ibu hendaklah menyusui anak-anaknya selama dua tahun penuh,
bagi yang ingin menyusui dengan sempurna....... (QS. Al-Baqarah: 233).
Berdasarkan Kitab Tafsir Tafsir Al-wasith, karya Muhammad Sayid
Thonthowi, Juz 1 hal 532, yang dimaksud dengan dua tahun penuh yaitu seperti
yang dikatakan Al-Raghib yaitu merubah sesuatu dan melepaskannya (menyapih).
Batasan dua tahun bukan merupakan batasan kewajiban karena masih
diperbolehkan menyapih sebelum dua tahun. Pada ayat yang ini, para ibu hendaklah
menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh. Telah jelas bahwa merupakan
bentuk perlindungan dari Allah kepada manusia sejak kelahirannya. Bahkan sejak
manusia dibentuk di perut ibunya menjadi sebuah janin. Maka Allah memerintahkan
kepada manusia untuk menyusui anaknya selama dua tahun. Karena ASI adalah
sebaik-baiknnya makanan bagi anaknya. Serta berguna untuk menjaga kesehatan
dan melindungi dari serangan penyakit karena bayi rentan terserang berbagai
penyakit baik penyakit jasmani, rohani, dan jiwa.
Pada usia 0-24 bulan merupakan masa pertumbuhan dan perkembangan yang
pesat, sehingga sering diistilahkan sebagai periode emas sekaligus periode kritis.
Periode emas dapat diwujudkan apabila pada masa ini, bayi dan anak memperoleh
asupan gizi yang sesuai untuk tumbuh kembang optimal. Sebaliknya apabila bayi
dan anak pada masa ini tidak memperoleh makanan sesuai kebutuhan gizinya, maka

5
periode emas akan berubah menjadi periode kritis, yang akan menggangu tumbuh
kembang bayi dan anak, baik pada saat ini maupun masa selanjutnya (Depkes,
2006).
Dalam mencapai target Rencana Pembangunan Jangka Panjang dan
Menengah Nasional (RPJPMN) bidang Kesehatan, dilakukan sejumlah kegiatan
yang bertumpu kepada perubahan perilaku dengan cara mewujudkan Keluarga
Sadar Gizi (Kadarzi). Melalui penerapan perilaku Keluarga Sadar Gizi, keluarga
didorong untuk memberikan ASI eksklusif pada bayi sejak lahir sampai berusia 6
bulan dan memberikan MP-ASI yang cukup dan bermutu kepada bayi dan anak usia
6-24 bulan. Bagi keluarga mampu, pemberian MP-ASI yang cukup dan bermutu
relatif tidak bermasalah. Pada keluarga miskin, pendapatan yang rendah
menimbulkan keterbatasan pangan di rumah tangga yang berlanjut kepada
rendahnya jumlah dan mutu MP-ASI yang diberikan kepada bayi dan anak. Maka
Depkes RI membagikan MP-ASI berupa bubur dan biskuit pada balita gakin yang
mengalami kekurangan gizi maupun gizi buruk di seluruh Indonesia, dengan tujuan
untuk meningkatkan status gizinya balita tersebut (Depkes, 2009).
Program perbaikan gizi yang bertujuan meningkatkan jumlah dan mutu MP-
ASI, selama ini telah dilakukan, diantaranya pemberian MP-ASI kepada bayi dan
anak usia 6 sampai 24 bulan dari keluarga miskin. Secara umum terdapat dua jenis
MP-ASI yaitu hasil pengolahan pabrik atau disebut dengan MP-ASI pabrikan dan
yang diolah di rumah tangga atau disebut dengan MP-ASI lokal (Depkes, 2006).
Dari beberapa penelitian dinyatakan bahwa keadaan kurang gizi pada bayi dan
anak disebabkan karena kebiasaan pemberian MP-ASI yang tidak tepat dan

6
ketidaktahuan ibu tentang manfaat dan cara pemberian MP-ASI yang benar
sehingga berpengaruh terhadap pemberian MP-ASI. Selain itu faktor lain seperti
cakupan imunisasi, pendidikan ibu, status pekerjaan, dukungan keluarga serta peran
petugas kesehatan juga berpengaruh terhadap pemberian MP-ASI (Depkes, 2006).
Selain itu pemberian MP-ASI yang terlalu dini kepada bayi (kurang dari 6
bulan) akan memberikan beberapa resiko kepada bayi. Menurut Rahardjo (2006)
dalam Utami (2011) penyakit infeksi saluran nafas dan diare merupakan penyebab
utama kematian bayi. Hal tersebut dapat dicegah dengan pemberian MP-ASI secara
benar atau dengan kata lain menunda pemberian MP-ASI dini pada bayi.
Hasil survei Dinas Kesehatan Provinsi DKI Jakarta (2008) menunjukkan
bahwa beberapa faktor penyebab terjadinya gangguan tumbuh kembang bayi usia 6-
11 bulan dan anak usia 12-24 bulan (Baduta) di Indonesia adalah rendahnya mutu
Makanan Pendamping Air Susu Ibu (MP-ASI) dan pola asuh pemberian makan
yang tidak tepat sehingga kebutuhan zat gizi tidak tercukupi khususnya energi dan
zat gizi mikro seperti Zat Besi (Fe) dan Seng (Zn).
Suku Dinas Kesehatan Jakarta Selatan melakukan program MP-ASI menurut
Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. Suku Dinas Kesehatan Jakarta Selatan
melakukan pendistribusian MP-ASI ke 10 kecamatan yang ada di wilayah Jakarta
Selatan kepada bayi berumur 6-11 bulan dan baduta berumur 6-24 bulan dari
keluarga miskin (Gakin) yang mengalami kasus gizi buruk maupun gizi kurang.
Sehingga setelah dilakukan program pemberian MP ASI diharapkan status gizi bayi
dan baduta tersebut menjadi lebih baik dengan melihat kenaikan berat badannya.
Tetapi pada kenyataannya masih adanya baduta yang berat badannya tidak naik (2T)

7
dan ada pula yang berat badannya naik setelah pemberian MP-ASI Kemenkes
(Sudin Kesehatan Jakarta Selatan, 2011).
Berdasarkan studi pendahuluan yang dilakukan pada bulan Februari 2011
terhadap data sekunder mengenai laporan MP-ASI di Suku Dinas Kesehatan Jakarta
Selatan, di 10 kecamatan se- Jakarta Selatan. Prevalensi kasus baduta 2T tertinggi di
wilayah Pancoran sebesar 31,58% (60 baduta), Kebayoran Baru sebesar 27,84% (27
baduta), Kebayoran Lama sebesar 26,67% (48 baduta), Tebet sebesar 13,16% (5
baduta), Setiabudi sebesar 12,9% (4 baduta), Mampang sebesar 6,56% (4 baduta),
Jagakarsa sebsesar 5,08% (10 baduta), Pasar Minggu sebesar 3,45% (5 baduta),
Cilandak sebesar 3,33% (2 baduta) dan prevalensi terendah di wilayah
Pesanggrahan sebesar 3,12% (5 baduta). Sehingga penelitian dilakukan di
Kecamatan Pancoran dengan persentase terbesar yaitu 31,58%.
1.2 Rumusan Masalah
Pemberian ASI dan Makanan Pendamping ASI yang kurang tepat dapat
mengakibatkan kurang gizi pada balita. Sekitar 6,7 juta (27,3%) dari sejumlah balita
di Indonesia yang menderita kurang gizi dan 1,5 juta diantaranya menderita gizi
buruk sehingga Kementerian Kesehatan Republik Indonesia mengadakan program
MP-ASI kepada bayi dan baduta kepada keluarga miskin di Indonesia (Depkes,
2008).
Menurut Dinas Kesehatan Provinsi DKI Jakarta (2008), latar belakang
dilaksanakan pengadaan MP-ASI adalah angka kematian yang tinggi karena
penyakit infeksi yang diperberat dengan keadaan gizi buruk, krisis ekonomi,

8
Standar Pelayanan Minimal (SPM) 100% dan untuk melindungi masyarakat dari
kekurangan gizi serta meningkatkan status gizi khususnya bayi dan balita umur 6-24
bulan dari keluarga miskin.
Keadaan gizi buruk dan kurang pada baduta yang tidak ditangani segera akan
berdampak buruk yang nantinya dapat berujung kematian. Sehingga dengan adanya
program MP-ASI Kemenkes diharapkan dapat memperbaiki status gizi baduta
gakin, terutama terhadap kenaikan berat badan. Tetapi pada kenyataanya di dalam
satu kecamatan masih terdapat baduta yang mengalami kenaikan berat badan dan
terdapat pula baduta yang tidak mengalami kenaikan berat badan dua bulan
berturut-turut atau dikenal dengan istilah 2T. Prevalensi tertinggi se-Jakarta Selatan
pada bulan November 2010- Februari 2011 untuk kasus 2T berada di wilayah
Pancoran yaitu sebesar 31,58% (60 baduta).
Sehingga melalui uraian tersebut, membuat peneliti tertarik meneliti Faktor-
faktor yang mempengaruhi berat badan tidak naik (2T) pada baduta gakin setelah
pemberian program MP-ASI Kemenkes di Kecamatan Pancoran, Jakarta Selatan
Tahun 2011.
1.3 Pertanyaan Penelitian
Apa saja yang menjadi Faktor-faktor yang mempengaruhi berat badan tidak
naik (2T) pada baduta gakin setelah pemberian program MP-ASI Kemenkes di
Kecamatan Pancoran, Jakarta Selatan Tahun 2011 ?

9
1.4 Tujuan
1.4.1 Tujuan Umum
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui Faktor-faktor yang
mempengaruhi berat badan tidak naik (2T) pada baduta gakin setelah
pemberian program MP-ASI Kemenkes di Kecamatan Pancoran, Jakarta
Selatan Tahun 2011.
1.4.2 Tujuan Khusus
1. Diketahuinya gambaran pemberian ASI Eksklusif pada baduta setelah
pemberian program MP-ASI Kemenkes di Kecamatan Pancoran, Jakarta
Selatan Tahun 2011
2. Diketahuinya gambaran lamanya pemberian program MP-ASI Kemenkes
pada baduta gakin di Kecamatan Pancoran, Jakarta Selatan Tahun 2011
3. Diketahuinya gambaran riwayat penyakit infeksi pada baduta gakin
setelah pemberian program MP-ASI Kemenkes di Kecamatan Pancoran,
Jakarta Selatan Tahun 2011
4. Diketahuinya gambaran pola konsumsi makan (makanan pokok, lauk
hewani, lauk nabati, sayuran, buah dan susu) pada baduta gakin setelah
pemberian program MP-ASI Kemenkes di Kecamatan Pancoran, Jakarta
Selatan Tahun 2011
5. Diketahuinya hubungan antara pemberian ASI Eksklusif dengan berat
badan tidak naik (2T) pada baduta gakin setelah pemberian program MP-
ASI Kemenkes di Kecamatan Pancoran, Jakarta Selatan Tahun 2011

10
6. Diketahuinya hubungan antara lamanya pemberian program MP-ASI
Kemenkes dengan berat badan tidak naik (2T) pada baduta gakin di
Kecamatan Pancoran, Jakarta Selatan Tahun 2011
7. Diketahuinya hubungan antara riwayat penyakit infeksi dengan berat
badan tidak naik (2T) pada baduta gakin setelah pemberian program MP-
ASI Kemenkes di Kecamatan Pancoran, Jakarta Selatan Tahun 2011
8. Diketahuinya hubungan antara pola konsumsi makan (makanan pokok,
lauk hewani, lauk nabati, sayuran, buah dan susu) dengan berat badan
tidak naik (2T) pada baduta gakin setelah pemberian program MP-ASI
Kemenkes di Kecamatan Pancoran, Jakarta Selatan Tahun 2011.
9. Diketahuinya faktor yang paling dominan mempengaruhi berat badan
tidak naik (2T) pada baduta gakin setelah pemberian program MP-ASI
Kemenkes di Kecamatan Pancoran, Jakarta Selatan Tahun 2011.
1.5 Manfaat Penelitian
1.5.1 Bagi Peneliti
Menambah wawasan, pengetahuan dan pengalaman serta sebagai sarana
bagi peneliti dalam mengaplikasikan berbagai ilmu di bidang kesehatan
masyarakat yang telah didapat selama bangku kuliah.
1.5.2 Bagi Institusi
Memberikan tambahan informasi dan bahan pertimbangan bagi peneliti
lain yang berminat untuk penelitian serupa di masa yang akan datang.

11
1.5.3 Bagi Masyarakat
Memberikan informasi penting bagi masyarakat agar lebih
memperhatikan status gizi anaknya, dikhususkan pada keluarga miskin
(gakin) setelah pemberian MP-ASI terutama dalam hal kenaikan berat
badannya.
1.6 Ruang Lingkup
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui Faktor-faktor yang mempengaruhi
berat badan tidak naik (2T) pada baduta gakin setelah pemberian program MP-ASI
Kemenkes di Kecamatan Pancoran, Jakarta Selatan Tahun 2011. Pelaksanaan
penelitian ini dilakukan pada bulan Juli-Agustus 2011 dengan subyek yang akan
diteliti yaitu ibu baduta dan baduta yang mendapatkan program MP-ASI Kemenkes
di Kecamatan Pancoran Jakarta Selatan. Data yang digunakan dalam penelitian ini
adalah data primer dan data sekunder dari Suku Dinas Kesehatan Jakarta Selatan
dan Puskesmas Kecamatan Pancoran. Penelitian ini dapat dijadikan bahan evaluasi
terhadap keberhasilan program MP-ASI Kementerian Kesehatan RI untuk wilayah
Jakarta Selatan, khususnya Pancoran. Karena di wilayah Pancoran paling banyak
jumlah baduta yang mengalami berat badan tidak naik (2T) setelah pemberian
program MP-ASI Kemenkes dibandingkan kecamatan lain se-Jakarta Selatan.
Penelitian yang dilakukan menggunakan metode kuantitatif dengan desain studi
case control.

12
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Berat Badan
Berat badan dikatakan sebagai berat bobot (massa) tubuh seseorang. Berat
badan merupakan ukuran antropometri yang terpenting dan paling sering digunakan
pada bayi baru lahir. Berat badan digunakan untuk mendiagnosa bayi normal atau
BBLR. Pada masa bayi-balita, berat badan dapat dipergunakan untuk melihat laju
pertumbuhan fisik maupaun status gizi. Berat badan menggambarkan jumlah dari
protein, lemak, air dan mineral pada tulang (Supariasa, 2001).
Setiap manusia yang hidup mengalami proses tumbuh kembang. Proses
tumbuh kembang anak terdiri atas dua proses yang tidak dapat dipisahkan karena
saling mempengaruhi, yaitu proses pertumbuhan yang ditandai oleh semakin
besarnya ukuran tubuh (berat, tinggi badan, lingkar lengan atas, dan lainnya) dan
proses perkembangan yang ditandai oleh semakin bertambahnya kemampuan anak
(koordinasi gerakan, bicara, kecerdasan, pengendalian perasaan, interaksi dengan
orang lain dan sebagainya) (Santoso, 1999).
2.1.1 Pertumbuhan dan Perkembangan
Pada masa tumbuh kembang seorang anak, faktor genetik yang
dianggap sebagai penentu potensi bawaan berpengaruh dengan faktor
lingkungan yaitu antara lain infeksi, gizi, sosial, emosional, kultural, dan
politik (Santoso, 1999).

13
Ada dua determinan yang saling berinteraksi dalam mempengaruhi
pertumbuhan bayi dan balita, yaitu faktor bawaan (genetic factor atau nature)
dan faktor lingkungan (environmental factors atau nurture). Faktor bawaan
mengacu pada faktor statik yang menyertai anak sejak pembuahan, sedangkan
faktor lingkungan lebih banyak terfokus pada kecukupan gizi dan kesehatan
bayi dan balita (Satoto, 1997).
Pertumbuhan adalah bertambahnya ukuran fisik (anatomi) dan struktur
tubuh. Pertumbuhan lebih ditekankan pada pertambahan fisik seseorang, yaitu
menjadi lebih besar atau lebih matang bentuknya, seperti pertambahan berat
badan, tinggi badan, dan lingkar kepala (Nursalam, 2005). Berdasarkan
definisi The British Medical Dictionary, pertumbuhan merupakan
perkembangan progresif dari makhluk hidup dari tahap paling awal sampai
dewasa, termasuk pertambahan dalam ukuran (Hurlock, 1997).
Perkembangan adalah bertambahnya kemampuan dan struktur/fungsi
tubuh yang lebih kompleks dalam pola yang teratur, dapat diperkirakan, dan
diramalkan sebagai hasil dari proses diferensiasi sel, jaringan tubuh, organ-
organ, dan sistemnya yang terorganisasi (IDAI, 2002 dalam Nursalam, 2005).
2.1.2 Berat Badan Menurut Umur (BB/U)
Berat badan adalah salah satu parameter yang memberikan gambaran
massa tubuh. Massa tubuh sangat sensitif terhadap perubahan-perubahan yang
mendadak, misalnya karena terserang penyakit infeksi, menurunnya nafsu
makan atau menurunnya jumlah makanan yang dikonsumsi. Berat badan

14
adalah parameter antropometri yang sangat labil. Dalam keadaan normal,
dimana keadaan kesehatan baik dan keseimbangan antara konsumsi dan
kebutuhan zat gizi terjamin, maka berat badan berkembang mengikuti
pertambahan umur. Sebaliknya dalam keadaan yang abnormal, terdapat dua
kemungkinan perkembangan berat badan, yaitu dapat berkembang cepat atau
lebih lambat dari keadaan normal. Berdasarkan karakteristik berat badan ini
maka indeks berat badan per umur digunakan sebagai salah satu cara
pengukuran status gizi. Mengingat karakteristik berat badan yang labil, maka
indeks BB/U lebih menggambarkan status gizi seseorang saat ini (Supariasa,
2001).
2.2 Makanan Pendamping ASI (MP-ASI)
Makanan Pendamping ASI adalah makanan atau minuman yang mengandung
zat gizi, yang diberikan pada bayi atau anak usia 6-24 bulan guna memenuhi
kebutuhan gizi selain ASI (Depkes, 2006).
MP-ASI merupakan makanan peralihan dari ASI ke makanan keluarga.
Pengenalan dan pemberian MP-ASI harus dilakukan secara bertahap baik bentuk
maupun jumlahnya, sesuai dengan kemampuan bayi atau anak. Pemberian MP-ASI
yang cukup kualitas dan kuantitasnya penting untuk pertumbuhan fisik dan
perkembangan kecerdasan anak yang sangat pesat pada periode ini, tetapi sangat
diperlukan hygienitas dalam pemberian MP-ASI tersebut (Depkes, 2000).

15
Menurut Brown et al.,(1998) sanitasi dan hygienitas MP-ASI yang rendah
memungkinkan terjadinya kontaminasi mikroba yang dapat meningkatkan risiko
atau infeksi lain pada bayi.
2.2.1 Tujuan Pemberian MP-ASI
MP-ASI diberikan sebagai pelengkap ASI sangat membantu bayi dalam
proses belajar makan dan kesempatan untuk menanamkan kebiasaan makan
yang baik. Pemberian makanan pelengkap bertahap dan bervariasi dari sari
buah segar, makanan lumat, makanan lembek dan akhirnya makanan padat
(Husaini, 1999 dalam Utami, 2011). Tujuan pemberian MP-ASI adalah untuk
menambah energi dan zat-zat gizi yang diperlukan bayi karena ASI tidak
dapat memenuhi kebutuhan bayi secara terus menerus. Dengan demikian
makanan tambahan diberikan untuk mengisi kesenjangan antara kebutuhan
nutrisi total pada anak dengan jumlah yang didapatkan dari ASI (WHO,
2003).
Menurut Ziegler et al.,(2000) pemberian MP-ASI pemulihan sangat
dianjurkan untuk penderita KEP, terlebih bayi berusia enam bulan ke atas
dengan harapan MP-ASI ini mampu memenuhi kebutuhan gizi dan mampu
memperkecil kehilangan zat gizi.
Adapun tujuan pemberian Makanan Pendamping ASI adalah (Persagi,
1994):
1. Melengkapai zat gizi yang kurang terdapat dalam ASI

16
2. Mengembangkan kemampuan bayi untuk menerima bermacam
makanan dengan berbagai tekstur dan rasa
3. Mengembangkan kemampuan bayi untuk mengunyah dan menelan
4. Melakukan adaptasi terhadap makanan yang mengandung kalor
energi yang tinggi
2.2.2 Resiko Pemberian MP-ASI Terlalu Dini
Menurut Siahaan (2005), pemberian MP-ASI harus memperhatikan
angka kecukupan gizi (AKG) yang dianjurkan berdasarkan kelompok umur
dan tekstur makanan yang sesuai perkembangan usia balita. Terkadang ada
ibu-ibu yang sudah memberikannya pada usia dua atau tiga bulan. Padahal di
usia tersebut kemampuan pencernaan bayi belum siap menerima makanan
tambahan. Akibatnya banyak bayi yang mengalami diare.
Menurut Jahari et all. (2000), masalah gangguan pertumbuhan pada usia
dini yang terjadi di Indonesia diduga kuat berhubungan dengan banyaknya
bayi yang sudah diberi MP-ASI sejak usia satu bulan, bahkan sebelumnnya.
Pemberian MP-ASI terlalu dini juga akan mengurangi konsumsi ASI,
dan bila terlambat akan menyebabkan bayi kurang gizi. Sebenarnya
pencernaan bayi sudah mulai kuat sejak usia empat bulan. Pada bayi yang
mengonsumsi ASI, makanan tambahan dapat diberikan setelah usia enam
bulan. Selain cukup jumlah dan mutunya, pemberian MP-ASI juga perlu

17
memperhatikan kebersihan makanan agar ank terhindar dari infeksi kuman
yang membuat gangguan pencernaan (Siahaan, 2005).
Umur yang paling tepat untuk memperkenalkan MP-ASI adalah enam
bulan. Pada umumnya kebutuhan nutrisi bayi yang kurang dari enam bulan
masih dapat dipenuhi oleh ASI. Tetapi, setelah berumur enam bulan bayi
umumnya membutuhkan energi dan zat gizi yang lebih untuk tetap bertumbuh
lebih cepat sampai dua kali atau lebih darti itu, disamping itu pada umur enam
bulan saluran cerna bayi sudah dapat mencerna sebagian makanan keluarga
seperti tepung (Albar, 2004).
Anshori (2002), dalam Utami (2011) melaporkan bahwa bayi yang
mendapat MP-ASI < empat bulan akan mengalami risiko gizi kurang lima kali
lebih besar dibandingkan bayi yang mendapatkan MP-ASI pada umur empat-
enam bulan setelah dikontrol oleh asupan energi dan melakukan penelitian
kohort selama empat bulan melaporkan pemberian MP-ASI terlalu dini (<
empat bulan) berpengaruh pada gangguan pertambahan berat badan bayi,
meskipun tidak berpengaruh pada gangguan pertambahan panjang bayi.
Pemberian makanan tambahan terlalu dini kepada bayi sering ditemukan
dalam masyarakat seperti pemberian pisang, madu, air tajin, air gula, susu
formula, dan makanan lain sebelum bayi berusia 6 bulan (Azwar, 2002).
Adapun resiko pemberian makanan tambahan terlalu dini, yaitu: jangka
pendek dan jangka panjang.

18
1. Resiko Jangka Pendek
Resiko jangka pendek yang terjadi seperti mengurangi keinginan bayi
untuk menyusui sehingga frekuensi dan kekuatan bayi menyusui berkurang
dengan akibat produksi ASI berkurang. Selain itu pengenalan serelia dan
sayur-sayuran tertentu dapat mempengaruhi penyerapan zat besi dan ASI,
walaupun konsentrasi zat besi dalam ASI rendah, tetapi lebih mudah.
Pemberian makanan dini seperti pisang, nasi di daerah pedesaan di
Indonesia sering menyebabkan penyumbatan saluran cerna/diare serta
meningkatnya resiko terkena infeksi (Azwar, 2002)
2. Resiko Jangka Panjang
Resiko jangka panjang dihubungkan dengan obesitas, kelebihan
dalam memberikan makanan adalah resiko utama dari pemberian makanan
yang terlalu dini pada bayi. Konsekuensi pada usia-usia selanjutnya adalah
terjadi kelebihan berat badan ataupun kebiasaan makan yang tidak sehat.
Kandungan natrium dalam ASI yang cukup rendah (± 15mg/100ml)
namun, jika masukan dari diet bayi dapat meningkat drastis jika makanan
telah dikenalkan. Konsekuensi di kemudian hari akan menyebabkan
kebiasaan makan yang memudahkan terjadinya gangguan hipertensi. Selain
itu, belum matangnya sistem kekebalan dari usus pada umur yang dini
dapat menyebabkan alergi terhadap makanan (Azwar, 2002).

19
2.3 Prosedur Mutu Makanan Pendamping ASI (MP-ASI) Kemenkes
Adapun prosedur mutu untuk Makanan Pendamping Air Susu Ibu (MP-ASI)
bagi bayi 6-11 bulan dan baduta 12-23 bulan, BGM Gakin menurut Dinas
Kesehatan Provinsi DKI Jakarta Tahun 2008 adalah sebagai berikut:
2.3.1 Sasaran MP-ASI
Adapun sasaran pemberian MP-ASI yaitu:
1. Sasaran pemberian MP-ASI bubur adalah bayi usia 6-11 bulan dari
keluarga miskin
2. Sasaran pemberian MP-ASI biskuit adalah anak usia 12-24 bulan dari
keluarga miskin
3. Penentuan keluarga miskin sesuai kriteria keluarga miskin yang berlaku
2.3.2 Pengadaan MP-ASI
Pengadaan MP-ASI dapat dilakukan di tingkat Provinsi,
Kota/Kabupaten Administrasi, Puskesmas dan pihak lain yang tidak mengikat.
Sebagian dasar perencanaan pengadaan MP-ASI adalah data Baduta keluarga
miskin yang ada di suatu wilayah kerja Puskesmas Kecamatan/Kelurahan.
2.3.3 Pemberian MP-ASI
Jangka waktu pemberian MP-ASI diberikan selama 90 hari. Adapun
jumlah MP-ASI yang diberikan:
1. Untuk sasaran bayi umur 6-11 bulan akan mendapat MP-ASI
bubur sebanyak 100 gr/hari yang diberikan dalam 3 kali penyajian
per hari

20
2. MP-ASI bubur dikemas dalam sachet ukuran 200 gram. Setiap
satu sachet dapat dikonsumsi selama 2 hari
3. Untuk sasaran anak umur 12-24 bulan akan mendapat MP-ASI
biskuit sebanyak 120 gr/hari
4. Biskuit dikemas dalam sachet roll dengan berat bersih 120 gr.
Setiap 7 rol dibungkus dalam satu palstik bertuliskan “untuk
dikonsumsi 1 minggu”
5. Sisa MP-ASI harus disimpan dengan baik, di ikat dan disimpan
dalam wadah yang kering dan bersih (kaleng, stoples atau lainnya)
2.3.4 Spesifikasi MP-ASI
2.3.4.1 MP-ASI Bubur
1. Nilai Gizi
Takaran saji = 30 gr ( 3 sendok makan )
Dalam 1 sachet 200 gr untuk 6 saji selama 2 hari
Komposisi:
a. Tepung Kedelai
b.Tepung beras putih
c. Sukrosa
d. Skim milk
e. Powder
f. Garan beryodium
g. Mineral

21
h. Premix vitamin dan aroma rasa
Tabel 2.1
Kandungan Zat Gizi MP-ASI Bubur
Zat Gizi
Satuan
Kandungan
Per 100 gr Per saji
Energi Kkal 438,87 131,66
Protein Gram 19,62 5,89
Lemak Gram 12,4 3,72
Karbohidrat Gram 62,26 18,68
Air Gram 1,37 0,41
Vitamin
Vitamin A RE 335 100,5
Vitamin D µg 8,5 2,55
Vitamin E µg 3,6 1,08
Vitamin K µg 8,36 2,51
Vitamin B1 Mg 0,33 0,1
Vitamin B2 Mg 0,45 0,14
Vitamin B6 Mg 0,5 0,15
Vitamin B12 µg 0,09 0,03
Vitamin C Mg 31 9,3
Asam Folat µg 28,27 8,48
Niasin Mg 3,5 1,05
Asam Panthotenat Mg 1,75 0,53
Mineral
Besi Mg 10,55 35,22
Selenium µg 13,8 27,6
Seng Mg 5,2 26
Natrium Mg 245 21
Kalsium Mg 392 23,52
Iodium µg 62 18,6
Fosfor Mg 234 17,55
Sumber : Depkes, 2008

22
2. Karakteristik Produk
a. Bentuk
MP-ASI bubuk instan berbentuk bubuk dengan distribusi partikel
95% lolos uji penyaringan 600 micrometer dan 100% lolos uji
penyaringan 1000 micrometer.
b. Konsistensi
MP-ASI bubuk instan bila dicampur dengan air akan
menghasilkan bubur halus tanpa gumpalan dengan kekentalan
yang memungkinkan pemberian dengan sendok.
c. Rasa
MP-ASI bubuk instan mempunyai tiga rasa yang disukai oleh
bayi yaitu : beras merah, kacang hijau dan pisang.
d. Kadaluarsa
MP-ASI bubuk instan aman dikonsumsi dalam waktu 24 bulan
setelah tanggal produksi.
3. Keamanan Pangan
a. Cemaran Mikro
Total Plate Count (TPC) atau Angka Lempeng
1.Total : tidak lebih dari 1,0 x 104 koloni per gram

23
2.Coliforms : Most Probable Number (MPN) tidak
> 20/gr
3.Escheria coli : negatif/gr
4.Salmonella : negatif dalam 25 gr
5.Staphylococcus : negatif/gr
b. Cemaran Logam
1.Timbal : tidak lebih dari 1,14 ppm
2.Timah : tidak lebih dari 152 ppm
3.Raksa : tidak lebih dari 0,114 ppm
4.Tembaga : tidak lebih dari 5,0 ppm
5.Arsen : tidak lebih dari 0,38 ppm
4. Kemasan
1. Jenis kemasan adalah Metalized Plastic Food Grade
2. Berat bersih tiap kemasan 200 gr
3. Setiap 15 kemasan yang terdiri dari 3 rasa yaitu Beras Merah,
Kacang Hijau, dan Pisang masing-masing 5 kemasan @ 200 gr
dikemas lagi dalam satu kotak kardus
4. Pada kotak kardus terdapat keterangan: nama produk, tanggal
kadaluarsa, jumlah kemasan, petunjuk penyimpanan, petujuk
penanganan

24
2.3.4.2 MP-ASI Biskuit
1. Nilai Gizi
Takaran saji = 40 gr (4 keping)
Dalam 1 sachet 120 gr untuk 3 saji selama 1 hari
Komposisi:
a. Tepung Terigu
b. Gula
c. Minyak nabati (antioksidan: askorbilpamitat, tokoferol)
d. Susu bubuk
e. Bahan pengembang (natrium bikarbonat, amonium bikarbonat)
f. Pengemulsi (lesitin kedelai)
f. Garam
g. Perasa susu
h. Premix vitamin
i. Mineral
Gambar 2.1
MP- ASI Kemenkes berupa biskuit

25
Tabel 2.2
Kandungan Zat Gizi MP-ASI Biskuit
Zat Gizi
Satuan
Kandungan
Per 100 gr Per saji
Kalori Kkal 460 180,00
Lemak Total Gram 14,86 6
Asam Linoleat Gram 1,4 0,5
Karbohidrat Total Gram 72,31 29
Serat Makanan Grm 4,9 2
Gula Gram 15 6
Protein Gram 8,29 3
Vitamin
Vitamin A RE 350 140
Vitamin D µg 5 2
Vitamin E Mg 5 2
Thiamin µg 0,6 0,24
Riboflavin Mg 0,5 0,24
Niacin Mg 8 3,2
Vitamin B6 Mg 0,8 0,32
Asam Folat µg 40 16
Vitamin B12 µg 1 0,4
Mineral
Natrium Mg 80 32
Kalsium Mg 250 80
Besi Mg 6 2,4
Seng Mg 3 1,2
Selenium Mg 13 5,2
Iodium µg 70 28
Sumber: Depkes, 2008
2. Karakteristik Produk
a. Bentuk
MP-ASI biskuit berbentuk keping bundar berdiameter 5 s/d 6
cm, berat 10 gram per keping. Pada permukaan atas biskuit
tercantum tulisan “MP-ASI”

26
b. Tekstur
MP-ASI Biskuit bertekstur renyah yang bila dicampur air
menjadi lembut.
c. Rasa
MP-ASI Biskuit mempunyai rasa manis gurih yang disukai anak.
d. Kadaluarsa
MP-ASI biskuit aman dikonsumsi dalam waktu 24 bulan setelah
tanggal produksi.
3. Keamanan Pangan
a. Cemaran Mikro
Total Plate Count (TPC) atau Angka Lempeng
1.Total : tidak lebih dari 1,0 x 104 koloni per gram
2.Coliforms : Most Probable Number (MPN) tidak
> 3/gr
4.Salmonella : negatif dalam 25 gr
5.Staphylococcus : tidak lebih dari 1,0 x 102 koloni per gram
b. Cemaran Logam
1.Timbal : tidak lebih dari 0,3 ppm
2.Timah : tidak lebih dari 40,0 ppm
3.Raksa : tidak lebih dari 0,03 ppm

27
4.Tembaga : tidak lebih dari 5,0 ppm
5.Arsen : tidak lebih dari 0,1 ppm
4. Kemasan dan Label
1. Jenis kemasan adalah Metalized Plastic Food Grade
2. Berat bersih Tiap Kemasan 120 gram atau 12 keping
3. Setiap kemasam berisi 12 keping biskuit yang disusun dalam tray
yang mempunyai 2 ruang dengan ukuran diameter sesuai dengan
ukuran biskuit. Tray terbuat dari Polyetilen Food Grade
4. Setiap 7 kemasan @ 120 gr dikemas dalam satu plastik bening
bertuliskan “Untuk dikonsumsi 1 minggu”
5. Setiap 8 kemasan plastik bening kering berisi 7 kemasan @120
gram kemasan tersebut dikemas lagi dalam 1 kotak kardus. Pada
kotak kardus tercantum keterangan tentang: nama produk,
tanggal kadaluwarsa, jumlah kemasan, petunjuk penyimpanan,
petunjuk penanganan dan tulisan
“MP-ASI mengandung 10 vitamin dan 7 mineral yang
dibutuhkan anak”
6. Pelabelan harus sesuai dengan PP No.60 Tahun 1999 tentang
Label dan Iklan Pangan. Pada kemasan primer Metalized Plastic
Food Grade harus diacantumkan:
a. Nama produk Logi DEPKES RI dan tulisan “DEPKES” serta
tulisan “MP-ASI BISKUIT”. Urutan pencantuman dimulai

28
dengan tulisan “Depkes”dibagian tengah atas, diikuti dengan
Logo Depkes RI dan tulisan “MP-ASI BISKUIT”.
Keseluruhan tulisan tersebut dicantumkan pada bagian utama
label dan menggunakan 1/3 bagian permukaan kemasan.
Selanjutnya semua tulisan didalam label berwarna hitam
kecuali lambang dan tulisan Depkes RI berwarna hijau
b. Keterangan tentang berat bersih, dicantumkan pada bagian
utama label
c. Daftar bahan yang digunakan
d. Informasi nilai gizi, mencantumkan nilai energi, lemak,
protein, karbohidrat, vitamin, dan mineral. Keterangan
tersebut dicantumkan per 100 gram dan per takaran saji, %
Anjuran Kecukupan Gizi (AKG) dicantumkan per takaran
saji. Format informasi gizi sesuai Pedoman Pencantuman
Informasi Nilai Gizi (BPOM RI, 2004)
e. Petunjuk penyiapan dalam bentuk gambar dan tulisan yang
jelas dan dimengerti
f. Petunjuk penyimpanan sebelum kemasan dibuka
g. Petunjuk penyimpanan setelah kemasan dibuka
h. Tanggal kadaluwarsa:”Baik digunakan sebelum Tanggal XX
Bulan XX Tahun XXXX. Penulisan tanggal kadaluwarsa
harus permanen (tidak bisa dihapus)
i. Kode produksi

29
j. Nomor pendaftaran pangan (registrasi) mencantumkan tulisan
“BPOM RI MD : .....”
k. Pesan: “Berikan MP-ASI dan teruskan pemberian Air Susu
Ibu sampai anak usia 24 bulan”
l. Pesan: “ Hanya untuk usia 12-24 bulan” pada bagian utama
label
m. Pesan: “GRATIS”
n. Tulisan: “Halal” pada bagian utama label
o. Penjelasan tentang: “Tanda-tanda produk sudah tidak layak
konsumsi”
p. Cantumkan tulisan: “Mengandung 12 Vitamin dan 7 Mineral”
pada bagian utama label
q. Pesan: “Berikan MP-ASI dan teruskan pemberian Air Susu
Ibu sampai anak usia 24 bulan”
2.3.5 Cara Menghidangkan MP-ASI
a. MP-ASI Bubur
1. Cuci tangan dengan sabun terlebih dahulu
2. Persiapkan alat-alat dengan bersih
3. Tuangkan air matang hangat (kurang lebih 100 ml) dalam mangkok
kering dan bersih, lalu campurkan ± 30 gr MP-ASI atau sekitar 3
sendok makan
4. Aduk hingga rata

30
5. Setiap hidangan hanya untuk 1 kali makan, apabila terdapat sisa harus
dibuang (jangan berikan pada waktu makan berikutnya)
6. Selama pemberian MP-ASI bubur, ASI dan makanan lainnya tetap
diberikan
b. MP-ASI Biskuit
1. Cuci tangan dengan sabun terlebih dahulu
2. Biskuit dapat langsung dikonsumsi atau terlebih dahulu ditambah air
dalam mangkok bersih sehingga dikonsumsi dengan menggunakan
sendok
3. Setiap 120 gr biskuit harus dihabiskan dalam sehari, jumlah dan waktu
pemberian pada setiap kali makan disesuaikan dengan kondisi dan
kemampuan anak
4. Selama pemberian MP-ASI biskuit, ASI dan makanan lainnya tetap
diberikan
2.4 Faktor- Faktor yang Mempengaruhi Status Gizi Balita
2.4.1 Karakteristik Keluarga
a. Pendidikan Ibu
Tingkat pendidikan merupakan jenjang pendidikan terakhir yang
ditempuh seseorang dimana tingkat pendidikan merupakan suatu wahana
untuk mendasari sesorang berperilaku secara ilmiah. Pendidikan
merupakan salah satu sarana untuk meningkatkan kecerdasan dan
keterampilan. Tinggi rendahnya pendidikan ibu erat kaitannya dengan

31
tingkat pengertiannya terhadap perawatan kesehatan, pemberian makanan,
higyene, serta kesadaran terhadap kesehatan anak-anaknya (Ebrahim,
1996).
Menurut Kartono (1993), tingkat pendidikan ibu berpengaruh
terhadap keadaan gizi anak. Semakin tinggi pendidikan ibu semakin
cenderung mempunyai anak dengan keadaan gizi baik dan sebaliknya
semakin rendah pendidikan ibu semakin cenderung mempunyai anak
dengan keadaan gizi buruk.
Kurang pengetahuan dari orangtua mengenai pemberian makanan
yang banyak untuk tumbuh dan berkembang dengan baik membuat
anaknya tidak mendapat cukup protein dan energi. Karena keluarga dengan
tingkat pendidikan dan pengetahuan yang rendah seringkali anaknya harus
puas dengan makanan seadanya yang tidak memenuhi kebutuhan gizi balita
hanya pada kualitas pengasuhan anak (Biddulph, et al. 1999).
Berdasarkan penelitian Sari (1999), terdapat hubungan bermakna
antara pendidikan ibu dengan status gizi balita. Status gizi kurang balita
lebih banyak terdapat pada ibu yang tidak tamat SD (45,7%) daripada ibu
yang tamat SMP (18,3%). Hal ini serupa juga didapatkan dari hasil
penelitian Hadi (2005), bahwa proporsi balita yang mengalami kekurangan
gizi lebih banyak ditemukan pada ibu balita yang mempunyai tingkat

32
pendidikan rendah (32,8%) dibandingkan ibu balita dengan tingkat
pendidikan menengah (10%).
b. Pendapatan Keluarga
Pekerjaan ayah yang tetap, tingkat pendapatannya berbeda dengan
pekerjaan ayah yang tidak tetap. Menurut Hermina (1992), pendapatan
yang rendah menyebabkan keterbatasan dalam pemilihan dan penyediaan
konsumsi pangan keluarga dan balitanya.
Penghasilan keluarga akan turut menentukan hidangan keluarga baik
kualitas atau kuantitas (Supariasa, 2001). Di berbagai negara berkembang
termasuk Indonesia, masalah gizi kurang banyak diderita oleh penduduk
terutama golongan miskin, hal ini dikarenakan pekerjaan kepala
keluarganya tidak tetap dan pendapatan mereka tidak cukup untuk membeli
makanan yang bergizi.
Muthmainah, dkk (1996) menyatakan bahwa orang tua yang
berpenghasilan rendah cenderung mempunyai anak kekurangan gizi dan
tidak sehat. Hal ini didukung oleh penelitian Sihadi (1999), yang
menyatakan ada kaitan antara keadaan gizi balita dengan ekonomi rumah
tangga.

33
2.4.2 Pola Asuh
a. Pemberian ASI
Air Susu Ibu (ASI) merupakan makanan yang paling cocok bagi bayi
serta mempunyai nilai yang paling tinggi dibandingkan dengan makanan
bayi yang dibuat manusia ataupun susu hewan seperti susu sapi. Air susu
ibu sangat menguntungkan ditinjau dari berbagai segi, baik segi gizi,
kesehatan, ekonomi, maupun sosio-psikologis (Suharyono,dkk. 1992).
ASI merupakan makanan yang sempurna untuk bayi dan tidak ada
produk makanan pengganti ASI yang kualitasnya menyamai ASI. Hal ini
disebabkan karena ASI sehat, tidak mengandung kuman, memenuhi
sebagian kebutuhan metabolik bayi dan dapat mengurangi kemungkinan
sakit perut dan peradangan secara umum (Yenrina, 2006).
Menurut Depkes (1992), ASI mampu melindungi bayi dari penyakit
infeksi terutama diare karena ASI mempunyai kelebihan dibandingkan
dengan makanan pengantinya yaitu:
1. ASI bebas kontaminasi sehingga aman dikonsumsi bayi
2. Mengandung immunoglobulin yang dapat melumpuhkan bakteri
E.coli
3. Mengandung sel darah putih
4. Mengandung faktor bifidus, yaitu sejenis karbohidrat yang
mengandung nitrogen dan berperan untuk menunjang pertumbuhan
bakteri lactobacillus bifidus. Bakteri ini menjaga juga keasaman

34
usus bayi dan berguna menghambat pertumbuhan bakteri yang
merugikan
Komposisi zat gizi yang terkandung dalam ASI dapat dijelaskan sebagai
berikut:
1. Lemak
ASI maupun susu sapi mengandung lemak yang cukup tinggi yaitu
sekitar 3,5%. Namun, keduanya mempunyai susunan lemak yang
berbeda. ASI lebih banyak mengandung asam lemak tak jenuh
sedangkan susu sapi lebih banyak mengandung asam lemak rantai
pendek dan asam lemak jenuh. Selain itu ASI mengandung asam
lemak omega-3 yang dibutuhkan untuk perkembangan otak. Alat
pencernaan bayi akan lebih cepat menyerap asam lemak tak jenuh
dibandingkan menyerap asam lemak jenuh. Oleh karena itu, lemak
ASI lebih cepat diserap oleh usus bayi dibandingkan lemak susu sapi
(Pudjiadi, 2000).
2. Protein
Kualitas protein dalam makanan tergantung pada susunan asam
amino dan mutu cernanya. Berdasarkan hasil penelitian, protein susu,
telur, daging dan ikan memiliki nilai gizi yang paling tinggi. Protein
susu dibagi menjadi dua golongan yaitu caseine dan whey.
Kebutuhan protein ASI pada bayi sekitar 1,8/kg berat badan. Sekitar

35
80% susu sapi terdiri atas caseine yang sifatnya sangat mudah
menggumpal di lambung sehingga sulit untuk dicerna oleh enzim
proteinase (Yenrina, 2006).
3. Karbohidrat
Peranan karbohidrat terutama diperlukan untuk memenuhi kebutuhan
energi. Laktosa merupakan salah satu sumber karbohidrat yang
terdapat dalam ASI maupun susu sapi. ASI mengandung laktosa
sekitar 70% sedangkan kandungan laktosa dalam susu sapi hanya
sekitar 4,4% kadar laktosa yang tinggi mengakibatkan terjadinya
pertumbuhan Lactobacillus yang terdapat dalam usus utuk mencegah
terjadinya infeksi (Soetjingsih, 1997).
4. Mineral
Kandungan mineral dalam ASI lebih kecil dibandingkan dengan
kandungan mineral dalam susu sapi (1:4). Karena kandugan mineral
yang tinggi pada susus akan menyebabkan terjadinya beban osmolar
yaitu tingginya kadar mineral dalam tubuh (Pudjiadi, 2000).
5. Vitamin
Kadar vitamin dalam ASI diperoleh dari asupan makanan ibu yang
harus cukup dan seimbang. Kekurangan vitamin tersebut dapat

36
mengakibatkan terganggunya kesehatan dan dapat menimbulkan
penyakit tertentu (Almatsier, 2001).
Kegunaan ASI dikarenakan kandungan zat kekebalan dan zat gizinya
bagi bayi, sehingga bisa mencegah anak dari gizi buruk atau infeksi. Zat
gizi dalam ASI cukup untuk memenuhi kebutuhan bayi dan sesuai dengan
saluran pencernaan, tidak ada bahaya alergi dan komposisi sesuai untuk
bayi. Bayi yang baru lahir sampai beberapa bulan pertama kehidupan
belum dapat membuat kekebalan sendiri secara sempurna. ASI merupakan
subtansi bahan hidup yang memberikan perlindungan baik secara aktif
maupun melalui pengaturan imunologis yang menyediakan perlindungan
yang unik terhadap infeksi dan alergi serta menstimuli perkembangan
sistem imunologi bayi itu sendiri serta bayi yang diberikan ASI jarang sakit
(WHO, 1999).
Terjadinya kurang gizi, erat kaitanya dengan produksi ASI maupun
lamanya pemberian ASI. Tidak diberikannya atau terlalu cepatnya bayi
disapih akan memperbesar kemungkinan keadaan gizi kurang. Bayi hanya
diberi ASI saja pada usia 0-6 bulan karena produksi ASI pada periode
tersebut sudah dapat mencukupi kebutuhan bayi untuk tumbuh kembang
yang sehat (Depkes, 2003).
Pada keadaan normal, ASI mampu memberikan zat gizi yang cukup
bagi pertumbuhan bayi sampai umur enam bulan. Tetapi untuk mengetahui

37
cukup tidaknya kemampuan produksi ASI, tidak hanya menggunakan
ukuran volume atau banyaknya ASI. Tanda-tanda lapar atau kepuasan anak
khususnya,dengan melihat laju pertumbuhan berat badan merupakan
indikator yang lebih baik untuk mengetahui cukup tidaknya ASI (Yenrina,
2006).
Menurut WHO (1998) dalam Mutiara (2006), bayi sampai umur
enam bulan tetap tumbuh normal dan sehat dengan hanya diberi ASI.
Setelah bayi umur enam bulan MP-ASI harus diberikan karena kebutuhan
gizi bayi semakin meningkat dan tidak dapat dipenuhi hanya dari ASI.
Bentuk MP-ASI harus disesuaikan dengan kemampuan pencernaan bayi
dan harus mengandung cukup energi, protein serta vitamin dan mineral
secara cukup.
b. ASI Eksklusif
Jika kita membahas mengenai Makanan Pendamping (MP-ASI),
maka tidak akan lepas dari pembahasan mengenai pemberian ASI
Eksklusif. Dimana bila yang satu dilaksanakan, maka satu hal yang lain
pasti dapat dilakukan.
Pemberian ASI Eksklusif adalah memberikan hanya ASI saja tanpa
memberikan makanan dan minuman lain kepada bayi sejak lahir sampai
berusia enam bulan, kecuali obat dan vitamin (Depkes, 2003).

38
Roesli (2000) menyatakan pemberian ASI eksklusif adalah bayi
hanya diberi ASI saja tanpa tambahan cairan lain seperti: susu formula,
jeruk, madu, air teh, air putih, dan tanpa tambahan makana padat seperti:
pisang, pepaya, bubur susu, biskuit, bubur nasi dan nasi tim.
Kegagalan pemberian ASI Eksklusif akan menyebabkan
berkurangnya sel-sel otak bayi sebanyak 15-20% sehingga dapat
menghambat perkembangan kecerdasan bayi tahap selanjutnya (Depkes,
2003).
Berdasarkan penelitian Oktaviyanti (2007), terdapat hubungan
bermakna antara pemberian ASI Eksklusif dengan status gizi balita. Akan
tetapi proporsi anak yang kurus ternyata lebih tinggi pada anak yang
mendapat ASI Eksklusif dibandingkan dengan anak yang tidak
mendapatkan ASI Eksklusif. Dari hasil tabulasi silang antara pemberian
ASI Eksklusif dengan konsumsi energi dan protein anak, diketahui bahwa
proporsi anak yang konsumsi energi dan proteinnya kurang, lebih tinggi
pada anak yang mendapatkan ASI Eksklusif. Hal ini menunjukkan bahwa
anak yang mendapat ASI Eksklusif, tetapi konsumsi energi dan proteinnya
kurang dapat menyebabkan anak tersebut menjadi kurang gizi karena
kebutuhan energi dan proteinya untuk pertumbuhannya tidak adekuat.
Berdasarkan penelitian Widodo dkk, (2005), berdasarkan indeks
antropometri BB menunjukkan bahwa sejak usia 2 – 4 bulan kenaikan rata-

39
rata BB bayi yang diberi ASI Eksklusif daripada bayi yang diberi MP-ASI
sebelum usia 4 bulan. Tetapi hasil penelitian tersebut berbeda dengan
penelitian Eregie dan Abraham (1997) dan Heinig, et all., (1993) yang
menunjukkan bahwa pertumbuhan bayi yang diberi ASI Ekslusif dan yang
tidak diberi ASI Ekslusif tidak berbeda.
2.4.3 Karakteristik Anak
a. Cakupan Imunisasi
Imunisasi merupakan salah satu cara untuk memberikan kekebalan
pada bayi dan anak terhadap berbagai penyakit, sehingga dengan imunisasi
diharapkan bayi dan anak tetap tumbuh dalam keadaan sehat (Alimul,
2009).
Bayi dan anak tergolong ke dalam kelompok yang rawan terhadap
penularan penyakit. Oleh sebab itu, imunisasi dilakukan dengan
menyuntikkan vaksin ke dalam tubuh anak. Vaksin adalah bibit penyakit
yang telah dilemahkan. Banyak penyakit infeksi yang dapat dicegah
melalui pemberian imunisasi (Lestari, 1996). Penyakit infeksi banyak
menyebabkan kematian pada anak-anak khususnya balita. Tubuh bisa
melindungi diri dari kuman-kuman penyebab penyakit infeksi bila orang
tersebut diimunisasi. Oleh karena itu, tujuan dari imunisasi adalah
memberikan kekebalan pada bayi agar tidak mudah tertular penyakit
seperti Hepatitis B, Difteri, batuk rejan, Tetanus, Polio dan Campak

40
(Depkes, 2000). Adalah manfaat imunisasi adalah melindungi anak dari
serangan penyakit tertentu yang berbahaya, anak yang tidak diimunisasi
lebih besar kemungkinan menderita kekurangan gizi, cacat, dan meninggal
dunia (Depkes, 2000).
Ada lima jenis imunisasi untuk balita yang diwajibkan, yakni
(Cynthia, 2009):
1. Vaksin Bacillus Calmette-Guerin (BCG)
Berupa bakteri tuberculosis bacillus yang telah dilemahkan yang
digunakan untuk mencegah penyakit Tuberkulosis (TBC). Vaksin
BCG terbukti 80% efektif mencegah TBC selama 15 tahun,
namun efeknya bergantung pada keadaan geografis. Imunisasi
BCG hanya dilakukan sekali yakni ketika bayi berusia 0-11 bulan.
2. Vaksin DPT/DTP
Merupakan campuran dari tiga vaksin yang diberikan untuk
memberikan kekebalan pada tubuh terhadap penyakit difteri,
pertusis, dan tetanus. Vaksin ini diberikan tiga kali pada bayi usia
2-11 bulan dengan jarak waktu antar pemberian minimal empat
minggu. Kemudian diberikan lagi pada usia 18 bulan dan 5 tahun.

41
3. Vaksin Polio
Vaksin ini dibuat dari poliovirus yang dilemahkan. Biasanya
diberikan kepada anak-anak dengan meneteskannya ke dalam
mulut untuk mencegah terjadinya penularan virus polio dari
lingkungan. Imunisasi pertama kali dilakukan setelah bayi lahir
dilanjutkan pada usia 2, 4, 6, dan 18 bulan. Yang terakhir, vaksin
polio dapat diberikan saat berumur 4 hingga 6 tahun. Vaksin polio
ini dapat dikombinasikan dengan vaksin DPT.
4. Vaksin Campak
Penyakit campak hanya menyerang satu kali dalam seumur hidup.
Imunisasi ini dilakukan satu kali pada bayi berusia 9-11 bulan
dengan menyuntikkannya pada bagian lengan atas. Imunisasi ini
memiliki efek samping seperti ruam pada tempat suntikan dan
panas. Angka kejadian campak juga sangat tinggi dalam
mempenegaruhi angka kesakitan dan kematian pada anak.
5. Vaksni Hepatitis B
Imunisasi hepatitis B merupakan imunisasi yang digunakan untuk
mencegah terjadinya penyakit hepatitis. Karena hepatitis B
merupakan jenis hepatitis yang paling berbahaya dan dapat
menyebabkan kematian. Vaksin ini sangat penting untuk diberikan
sebagai pencegahan, mengingat hingga sekarang belum ditemukan

42
obat untuk mengobati orang yang telah terjangkit. Berupa virus
yang dilemahkan dan biasanya diberikan tak lama setelah bayi
dilahirkan.
Adapun jadwal pemberian imunisasi adalah sebagai berikut (Alimul,
2009):
a. Umur 0 bulan : Hepatitis B
b. Umur 1 bulan : BCG,Polio 1
c. Umur 2 bulan : DPT/HB 1, Polio 2
d. Umur 3 bulan : DPT/HB 2, Polio 3
e. Umur 4 bulan : DPT/HB 3, Polio 4
f. Umur 9 bulan : Campak
Berdasarkan hasil Riskesdas 2010, Provinsi DKI Jakarta sebanyak
89,3% mendapat imunisasi BCG, sebanyak 68,6% mendapat imunisasi
Polio, sebanyak 62,5% mendapat imunisasi DPT-HB dan sebanyak 76,7%
mendapat imunisasi Campak sedangkan sebanyak 53,2% mendapat
imunisasi lengkap, sebanyak 41,1% mendapat imunisasi tidak lengkap dan
sebanyak 5,7% tidak mendapat imunisasi.
Hasil penelitian Oktaviyanti (2007), status gizi kurus lebih banyak
terjadi pada balita yang imunisasinya tidak lengkap (7,5%) daripada balita

43
yang imunisasi lengkap (5,9%). Berdasarkan tabulasi silang antara
pemberian imunisasi dengan penyakit infeksi diketahui bahwa proporsi
anak yang terkena penyakit infeksi lebih tinggi pada anak yang
imunisasinya tidak lengkap (100%). Hal ini menunjukkan bahwa anak yang
mendapatkan imunisasi yang tidak lengkap memiliki kekebalan yang
rendah terhadap penyakit infeksi sehingga anak akan sering sakit.
b. Penimbangan
Penimbangan balita merupakan salah satu upaya dari pemeriksaan
kesehatan balita untuk melihat tumbuh kembang anak. Pertumbuhan anak
dapat diamati dengan menggunakan Kartu Menuju Sehat (KMS). Kartu ini
berfungsi sebagai alat bantu pemantauan gerak pertumbuhan, bukan
menilai status gizi (Arisman, 2004).
KMS adalah kartu dimana dicatat berat badan anak yang ditimbang.
KMS dapat menggambarkan pertumbuhan anak sampai usia 5 tahun,
dengan berpedoman pada KMS maka dapat diketahui apakah anak
tergolong sehat atau tidak (Depkes, 2003).
Berdasarkan penelitian Feddelia (2006), proporsi balita berstatus gizi
(kurang dan buruk) lebih tinggi pada balita yang menimbang secara tidak
rutin (45,2%) dibandingkan balita yang menimbang rutin (40%).

44
2.4.4 Penyakit Metabolisme Bawaan (Inborn Errors of Metabolisme)
Kelompok penyakit ini diturunkan dari orang tua kepada anaknya secara
genetik (melalui genes), dan bermanifestasi sebagai kelainan dalam proses
metabolisme zat gizi tertentu. Metabolisme zat gizi diatur oleh sistem enzim
dan enzim termasuk kelompok protein yang disintesa didalam tubuh (sel
tubuh). Mekanisme untuk sintesa protein dikuasai oleh genes yang
mengandung kodon bagi jenis protein enzim yang akan disintesanya.
Terkadang terjadi gangguan pada sintesa protein ini, sehingga terbentuk enzim
yang berlainan dengan yang biasa. Akibatnya terjadi proses metabolisme yang
berbeda pada zat gizi tertentu. Perubahan metabolisme ini menyebabkan
gejala-gejala biokimiawi maupun klinis (fungsional).
Penyakit-penyakit yang telah dikenal tergolong dalam jenis ini antara
lain: cicle cell anemia, lactose intolerance, phenylketonuria, dan sebagainya.
Meskipun telah dikenal dasar patogenesis dari berbagai penyakit ini, tidak
selalu dapat diusahakan pengobatannya yang memuaskan, karena pengobatan
tidak causal memperbaiki kesalahan yang terdapat pada gene tersebut. Tetapi
untuk beberapa diantaranya, pendekatan pengobatan dietetik sudah
memberikan hasil yang cukup memuaskan, meskipun pengobatan ini harus
dilakukan seumur hidup (Sediaoetama, 2006).
Menurut Hauvast et all.,( 2000), gangguan stunting pada balita dapat
juga disebabkan faktor genetik dari orang tua yang menurun kepada anaknya

45
seperti adanya penyakit metabolisme bawaan. Dimana faktor genetik tersebut
bersifat klinis.
2.4.5 Faktor Makanan (Asupan Zat Gizi)
Konsumsi makanan berpengaruh terhadap status gizi seseorang.
Status gizi baik atau status gizi optimal terjadi bila tubuh memperoleh cukup
zat-zat gizi yang digunakan secara efisien, sehingga memungkinkan
pertumbuhan fisik, perkembangan otak, kemampuan kerja dan kesehatan
secara umum pada tingkat setinggi mungkin.
Status gizi kurang terjadi bila tubuh mengalami kekurangan satu atau
lebih zat-zat gizi esensial. Asupan zat gizi makanan diperoleh dari makanan
sehari-hari seperti: makanan pokok, lauk, sayuran, buah, dan susu
(Almatsier, 2001).
2.4.6 Riwayat Penyaki Infeksi (Sanitasi)
Penyakit infeksi merupakan penyakit yang disebabkan oleh
mikroorganisme seperti virus, bakteri, parasit pathogen yang berkembang biak
dalam tubuh dan menyebabkan penyakit seperti TBC, Malaria, Diare dan
sebagainya (Hull, 1994).
Telah lama diketahui adanya interaksi sinergis antara malnutrisi dan
infeksi. Derajat infeksi atau apapun dapat memperburuk keadaan gizi.
Malnutrisi walaupun masih ringan, mempunyai pengaruh negatif terhadap
daya tahan tubuh terhadap infeksi. Hubungan ini sinergis, sebab malnutrisi

46
disertai infeksi pada umumnya dapat memperburuk keadaan gizi (Pudjiadi,
1997 dalam Mutiara, 2006).
Kehadiran penyakit infeksi dalam tubuh anak mengakibatkan anak
kehilangan nafsu makan, sehingga anak sering menolak makanan yang
diberikan ibunya. Penolakan terhadap makanan berarti berkurangnya
pemasukan zat gizi ke dalam tubuh anak (Moehyi, 1988). Infeksi juga
menyebabkan penghancuran jaringan tubuh, baik oleh bibit penyakit maupun
oleh tubuh sendiri untuk memperoleh protein untuk daya tahan tubuh.
Jelasalah kalau infeksi dalam bentuk apapun akan memperburuk status gizi
anak ke arah gizi buruk. Keadaan gizi buruk tadi melemahkan kemampuan
anak untuk melawan infeksi, kuman-kuman yang tidak berbahaya pun
menyerang anak akan menimbulkan penyakit yang berbahaya bahkan
kematian pada anak yang menderita gizi buruk (Moehyi, 1988).
Riwayat penyakit infeksi berhubungan dengan sanitasi lingkungan dan
personal hygiene. Lingkungan dan personal hygiene merupakan salah satu
faktor yang mempengaruhi status kesehatan. Meningkatnya industrialisasi,
emisi kendaran bermotor, pariwisata, dan lain sebagainya menyebabkan
degradasi lingkungan. Kualitas udara di daerah perkotaan dan industrial jauh
melebihi standar yang telah ditentukan. Air di permukaan dan di dalam tanah
di beberapa daerah tercemar oleh sisa air industri yang tidak diolah. Masalah
lingkungan yang besar telah menyebabkan masalah kesehatan, termasuk

47
sistem pernapasan, kulit, dan penyakit perut (WHO, 2000 dalam Mutiara,
2006).
Keadaan sanitasi lingkungan yang kurang baik memungkinkan
terjadinya berbagai jenis penyakit antara lain diare, kecacingan, dan infeksi
saluran pencernaan (Supariasa, 2001). Salah satu ruang lingkup kesehatan
lingkungan yaitu penyediaan air bersih. Kebutuhan manusia akan air sangat
kompleks antara lain untuk minum, masak, mandi, cuci-mencuci, dan
sebagianya (Notoatmodjo, 2003).
Berdasarkan penelitian Sukmadewi (2003), menunjukkan bahwa anak
yang berstatus gizi buruk lebih banyak disertai dengan riwayat penyakit buruk
(pernah menderita penyakit ISPA, diare, atau demam dalam satu bulan
terakhir) yaitu 7,6% daripada anak yang gizi buruk dengan riwayat penyakit
baik (tidak pernah menderita penyakit ISPA, diare, atau demam dalam satu
bulan terakhir) yaitu sebesar 2,3% dan terdapat hubungan yang bermakna
antara status gizi balita dengan riwayat penyakit (p.value 0,0017).
2.5 Penilaian Konsumsi Makanan
Penilaian konsumsi makanan dimaksudkan untuk mengetahui kebiasaan
makan dan gambaran tingkat kecukupan bahan makanan dan zat gizi pada tingkat
kelompok, rumah tangga, dan perorangan, serta faktor-faktor yang berpengaruh
terhadap konsumsi makanan tersebut (Supariasa, 2001).

48
Menurut Supariasa (2001), survei konsumsi pangan adalah metode penentuan
status gizi secara tidak langsung dengan melihat jumlah dan zat gizi yang
dikonsumsi. Pengumpulan data konsumsi makanan dapat memberikan gambaran
tentang konsumsi berbagai zat gizi pada masyarakat, keluarga dan individu. Survei
ini mengidentifikasikan kelebihan dan kekurangan zat gizi.
Metode pengukuran konsumsi makanan berdasarkan jenis data yang diperoleh
dibedakan menjadi:
1. Metode Kualitatif
Metode yang bersifat kualitatif biasanya untuk mengetahui frekuensi
makan, frekuensi konsumsi menurut jenis bahan makanan dan menggali
informasi tentang kebiasaan makan (food habits) serta cara-cara
memperoleh bahan makanan tersebut. Metode metode pengukuran
konsumsi makanan yang bersifat kualitatif, seperti: metode frekuensi
makanan (food frequency), metode dietary history, metode telepon, dan
metode pendaftaran makanan (food list) (Supariasa, 2001).
2. Metode Kuantitatif
Metode secara kuantitatif dimaksudkan untuk mengetahui jumlah makanan
yang dikonsumsi sehingga dapat dihitung konsumsi zat gizi dengan
menggunakan Daftar Komposisi Bahan Makanan (DKBM), atau daftar lain
yang diperlukan seperti Daftar Ukuran Rumah Tangga (URT), Daftar
Konversi Mentah-Masak (DKMM) dan Daftar Penyerapan Minyak.

49
Metode-metode untuk pengukuran konsumsi secara kuantitaif antara lain:
Metode recall 24 jam, perkiraan makanan (estimated food records),
penimbangan makanan (food weighing), metode food accounts, metode
inventaris (inventory method), dan pencatatan (household food records)
(Supariasa, 2001).
Metode frekuensi makanan adalah untuk memperoleh data tentang frekuensi
konsumsi sejumlah bahan makanan atau makanan jadi selama periode tertentu
seperti hari, minggu, bulan atau tahun. Selain itu dengan metode frekuensi makanan
dapat memperoleh gambaran pola konsumsi bahan makanan secara kualitatif, tetapi
karena periode pengamatannya lebih lama dan dapat membedakan individu
berdasarkan ranking tingkat konsumsi zat gizi, maka cara ini paling sering
digunakan dalam penelitian epidemiologi gizi (Supariasa, 2001).
Menurut Supariasa (2001), kuesioner frekuensi makanan memuat tentang
daftar bahan makanan atau makanan dan frekuensi penggunaan makanan tersebut
dalam periode tertentu. Bahan makanan yang ada dalam daftar kuesioner tersebut
adalah yang dikonsumsi dalam frekuensi yang cukup sering oleh responden.
Adapun langkah-langkah metode food frequency adalah:
a. Responden diminta untuk memberi tanda pada daftar makanan yang
tersedia pada kuesioner mengenai frekuensi penggunaannya dan ukuran
porsinya

50
b. Lakukan rekapitulasi tentang frekuensi penggunaan jenis-jenis bahan
makanan terutama bahan makanan yang merupakan sumber-sumber zat
gizi tertnetu selama periode tertentu pula
Kelebihan metode food frequency adalah:
a. Relatif murah dan sederhana
b. Dapat dilakukan sendiri oleh responden
c. Tidak membutuhkan latihan khusus
d. Dapat membantu untuk menjelaskan hubungan antara penyakit dan
kebiasaan makan
Kekurangan metode food frequency adalah:
a. Tidak dapat untuk menghitung intake zat gizi sehari
b. Sulit mengembangkan kuesioner pengumpulan data
c. Cukup menjemukan bagi pewawancara
d. Perlu membuat percobaan pendahuluan untuk menentukan jenis bahan
makanan yang akan masuk dalam daftar kuesioner
e. Responden harus jujur dan mempunyai motivasi tinggi.
2.6 Kerangka Teori
Masalah gizi buruk secara langsung disebabkan oleh konsumsi makanan
sehari-hari, pola asuh dan penyakit infeksi penyerta yang terdapat pada balita.
Karakteristik anak dapat berpengaruh langsung terhadap keadaan gizi balita, tetapi
dapat juga berpengaruh terhadap kesehatan balita terlebih dahulu dengan terkenanya

51
penyaki infeksi yang akhirnya berakibat pada masalah gizi. Karakteristik keluarga
secara umum berhubungan dengan konsumsi makanan yang bila tidak mencukupi
atau tidak tepat akan berakibat kepada masalah gizi. Gangguan stunting pada balita
dapat juga disebabkan faktor genetik dari orang tua yang menurun kepada anaknya
(Hauvast et all.,2000) seperti adanya penyakit metabolisme bawaan. Dimana faktor
genetik tersebut bersifat klinis.
Dari penjelasan sebelumnya maka disusunlah sebuah kerangka teori yang
merupakan modifikasi teori dari Unicef (1998); Azwar (2004) : Karakteristik
Keluarga, Pola Asuh, Konsumsi Makanan dan Penyakit Infeksi (santitasi), Mutiara
(2006) : Karakteristik Anak dan Konsumsi Makanan serta teori Sediaoetama (2006):
Metabolisme Bawaan. Sehingga disusunlah kerangka teori dalam bagan 2.1
dibawah ini:

52
Sumber: Modifikasi Unicef, 1998; Azwar, 2004, Mutiara, 2006 dan Sediaoetama, 2006
Bagan 2.1
Kerangka Teori Faktor- Faktor yang Berhubungan dengan Status Gizi Balita
Penyakit Infeksi
(sanitasi)
Pola Asuh:
- ASI Eksklusif
- Lama ASI
- Jenis MP-ASI - Frekuensi Pemberian MP-ASI
Karakteristik Anak:
- Imunisasi - Penimbangan
Status Gizi Balita
Karakteristik Keluarga:
- Pendidikan Ibu
- Pendapatan
Keluarga
Konsumsi Makanan
( Asupan Zat Gizi)
Metabolisme Bawaan

53
BAB III
KERANGKA KONSEP
3.1 Kerangka Konsep
Berdasarkan kerangka teori gabungan yang ada di tinjauan pustaka
mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi status gizi balita dari Unicef (1998);
Azwar (2004), Mutiara (2006) dan Sediaoetama, 2006, maka variabel dalam
penelitian ini terdiri atas variabel independen (variabel bebas) dan variabel
dependen (variabel terikat).
Variabel independen yang akan diteliti terdiri atas pola asuh, riwayat
penyakit infeksi, dan pola konsumsi makan. Pola asuh meliputi pemberian ASI
Eksklusif dan lamanya pemberian MP-ASI Kemenkes. Sedangkan untuk
variabel dependen yaitu berat badan tidak naik (2T). Sehingga dalam
menentukan kerangka konsep dipilih yang berpengaruh secara langsung
terhadap berat badan tidak naik (2T) pada baduta dengan kata lain variabel
independen yang dialami langsung oleh baduta.

54
Variabel Independen Variabel Dependen
Bagan 3.1 Kerangka Konsep
Pada penelitian ini hanya diteliti faktor yang secara langsung berpengaruh
pada baduta terhadap berat badan tidak naik (2T). Didalam penelitian ini ada
beberapa variabel dari kerangka teori yang tidak diteliti secara mendalam dan
tidak dijadikan kerangka konsep, seperti karakteristik keluarga karena variabel
tersebut merupakan faktor demografi yang tidak berpengaruh secara langsung
dan rata-rata datanya akan homogen. Faktor karakteristik anak (imunisasi) tidak
diteliti karena berdasarkan Riskesdas 2010, wilayah Jakarta Selatan sebanyak
53,2% sudah mendapatkan imunisasi lengkap dan untuk penimbangan datanya
sudah ada dari kader kesehatan. Untuk faktor penyakit metabolisme bawaan juga
tidak diteliti karena merupakan penelitian klinis (medis) yang membutuhkan
waktu yang lama dan dana yang besar.
Pola Asuh :
1. ASI Eksklusif
2. Lamanya Pemberian
MP- ASI Kemenkes
3. Riwayat Penyakit Infeksi
4. Pola Konsumsi Makan
Berat Badan
Tidak Naik (2T)

55
3.2 Definisi Operasional
No Variabel Definisi Cara Ukur Alat Ukur Hasil Ukur Skala
Variabel Dependen
1
Berat Badan
Tidak Naik (2T)
Hasil penimbangan tidak
naik 2 bulan berturut-turut
(2T) dengan melihat
BB/U pada baduta
Observasi
Data KMS
0. non 2T
1. 2T
(Dinkes DKI
Jakarta, 2008)
Ordinal
Variabel Independen
1
Pemberian ASI
Eksklusif
Suatu kegiatan pemberian
ASI saja kepada balita
sampai balita berusia 6
bulan tanpa disertai
makanan tambahan
apapun
Wawancara
Kuesioner
1.Ya, jika diberikan
ASI saja sampai usia
6 bulan
2.Tidak, jika tidak
diberikan ASI saja
sampai usia 6 bulan
(Depkes, 2003)
Ordinal
2
Lamanya Pemberian
MP-ASI Kemenkes
Jangka waktu lamanya
pemberian MP-ASI
Kemenkes yang
ditetapkan Kementrian
Kesehatan RI
Wawanacara
Kuesioner
1. ≥ 90 hari
2. < 90 hari
(Depkes, 2008)
Ordinal

56
No Variabel Definisi Cara Ukur Alat Ukur Hasil Ukur Skala
3
Riwayat Penyakit
Infeksi
Penyakit infeksi yang
diderita baduta selama
pemberian MP-ASI
Kemenkes, yang dapat
mempengaruhi status
gizinya.
Wawancara
Kuesioner
1.Tidak
2.Ya
(Depkes, 2002)
Ordinal
4
Pola Konsumsi Makan
Metode penentuan status
gizi secara tidak langsung
dengan melihat frekuensi
makanan yang
dikonsumsi selama
periode tertentu seperti :
makanan pokok, lauk
hewani, lauk nabati,
sayuran, buah dan susu.
Wawancara
Kuesioner FFQ
kualitatif
0. Sering
(≥ 2x/hari)
1. Jarang
(<2x/hari)
(PGS, 2010)
Ordinal

57
3.3 Hipotesis
1. Ada hubungan antara pemberian ASI Eksklusif dengan berat badan tidak
naik (2T) pada baduta gakin setelah program pemberian MP-ASI Kemenkes
di Kecamatan Pancoran, Jakarta Selatan Tahun 2011
2. Ada hubungan antara lamanya pemberian MP-ASI dengan berat badan tidak
naik (2T) pada baduta gakin setelah program pemberian MP-ASI Kemenkes
di Kecamatan Pancoran, Jakarta Selatan Tahun 2011
3. Ada hubungan antara riwayat penyakit infeksi dengan berat badan tidak naik
(2T) pada baduta gakin setelah program pemberian MP-ASI Kemenkes di
Kecamatan Pancoran, Jakarta Selatan Tahun 2011
4. Ada hubungan antara pola konsumsi makan dengan berat badan tidak naik
(2T) pada baduta gakin setelah program pemberian MP-ASI Kemenkes di
Kecamatan Pancoran, Jakarta Selatan Tahun 2011
5. Ada faktor paling dominan mempengaruhi berat badan tidak naik (2T) pada
baduta gakin setelah program pemberian MP-ASI Kemenkes di Kecamatan
Pancoran, Jakarta Selatan Tahun 2011

58
BAB IV
METODE PENELITIAN
4.1 Desain Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dengan desain studi case
control. Penelitian dilakukan secara retrospektif yang dimulai dengan
mengidentifikasi efek atau penyakit tertentu yang disebut sebagai kasus serta
kelompok tanpa efek yang disebut kontrol. Selanjutnya, kelompok kasus
dibandingkan dengan kelompok kontrol untuk mengetahui seberapa besar faktor
resiko berpengaruh terhadap terjadinya kasus yang diteliti (1:1).
4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan di Kecamatan Pancoran, Jakarta Selatan yang terdiri dari
8 kelurahan: Pengadegan, Cikoko, Kalibata I, Kalibata II, Pancoran, Rawajati I,
Rawajati II, dan Duren Tiga. Penelitian dilakukan pada bulan Juli- Agustus 2011.
4.3 Populasi
Populasi pada penelitian ini adalah seluruh baduta yang berusia 12-24 bulan
yang mendapatkan program MP-ASI Kemenkes berupa biskuit di Kecamatan
Pancoran, Jakarta Selatan pada periode November 2010- Februari 2011. Jumlah
populasi dalam penelitian ini berjumlah 190 baduta.

59
4.4. Sampel Penelitian
Sampel pada penelitian adalah semua ibu baduta yang ada di 8 Kecamatan
Pancoran Jakarta Selatan yang mendapatkan program MP-ASI Kemenkes berupa
biskuit selama periode November 2010- Februari 2011 yang dikonsumsi sebanyak
120 gr/hari.
Perhitungan sampel pada penelitian ini menggunakan rumus uji hipotesis odds
ratio dengan arah uji statistik 2 arah (2 tail) sebagai berikut:
Rumus P1:
Rumus P:

60
Rumus n:
Keterangan:
P : Proporsi rata-rata
P1 : Proporsi baduta yang memiliki status gizi buruk dan kurang yang
mengkonsumsi energi defisit dan kurang pada penelitian sebelumnya
(Sulistyowati, 2007)
P2 : Proporsi baduta yang memiliki status gizi baik dan lebih yang
mengkonsumsi energi defisit dan kurang pada penelitian sebelumnya =
7% (Sulistyowati, 2007)
n : jumlah sampel penelitian
Z 1-1/2 α : tingkat kemaknaan 95% = 1,96
Z 1-β : kekuatan uji 80%

61
Setelah dihitung jumlah sampel yang didapatkan sejumlah 37 sampel. Untuk
menghindari sampel yang drop out maka besar sampel ditambah 10%, maka total
sampel penelitian ini sebanyak 41 baduta. Jadi pada penelitian ini diperlukan sampel
41 baduta 2T sebagai kasus dan 41 baduta non 2T sebagai kontrol.
Kriteria inklusi kasus dalam penelitian ini adalah ibu yang memiliki baduta
yang berusia 12-24 bulan (November 2010-Februari 2011) yang berada di wilayah
kerja Puskesmas Pancoran yang mendapatkan MP-ASI Biskuit, serta yang diasuh
oleh ibu kandung dan mengalami 2T.
Kriteria inklusi kontrol dalam penelitian ini adalah ibu yang memiliki baduta
yang berusia 12-24 bulan (November 2010-Februari 2011) yang berada di wilayah
kerja Puskesmas Pancoran yang mendapatkan MP-ASI Biskuit, serta yang diasuh
oleh ibu kandung dan tidak mengalami 2T.
Kriteria ekslusi yang tidak masuk dalam penelitian ini adalah ibu yang tidak
memiliki baduta yang berusia 12-24 bulan (November 2010-Februari 2011) yang
berada di wilayah kerja Puskesmas Pancoran dan baduta yang berpindah tempat
tinggal saat dilakukan penelitian.

62
Tabel 4.1
Pemilihan Sampel di Kecamatan Pancoran Jakarta Selatan
Tahun 2011
No Kelurahan Jumlah Kasus
(2T)
Jumlah Kontrol
(non 2T)
1 Pengadegan 1 1
2 Cikoko 5 5
3 Kalibata I 2 2
4 Kalibata II 5 5
5 Pancoran 10 10
6 Rawajati I 5 5
7 Rawajati II 4 4
8 Duren Tiga 9 9
TOTAL 41 41
Untuk memilih sampel pada penelitian ini, di delapan kelurahan wilayah
Kecamatan Pancoran Jakarta Selatan dilakukan secara acak menggunakan (simple
random sampling) dengan memperhitungkan proporsi pada tiap kelurahan.
4.5 Pengumpulan Data
Data yang diperoleh dalam penelitian ini berupa data primer dan data
sekunder. Data primer yang diperoleh diantaranya data tentang Pola Asuh (ASI

63
Eksklusif dan lamanya pemberian MP-ASI Kenkes), Riwayat Penyakit Infeksi dan
data tingkat konsumsi makan baduta (form FFQ).
Data sekunder berasal dari Suku Dinas Kesehatan Jakarta Selatan yaitu data
baduta berusia 12-24 bulan di wilayah kerja Puskesmas Pancoran yang mengalami
berat badan 2 bulan tidak naik berturut-turut (2T) dan yang mengalami kenaikan
berat badan (non 2T), data sekunder dari Puskesmas Kecamatan Pancoran, KMS
Baduta, KTP/Kartu Keluarga serta data sekunder lain yang dibutuhkan.
Untuk data mengenai konsumsi makan baduta tidak diobservasi mendetail
secara langsung hanya menggunakan kuesioner FFQ yang dianggap dapat
menggambarkan asupan makanan pokok, lauk hewani, lauk nabati, sayuran, buah
dan susu pada baduta sebulan terakhir (saat dilakukan penelitian).
4.6 Instrumen Penelitian
Instrumen penelitian yang digunakan adalah kuesioner. Kuesioner digunakan
untuk menilai Pola Asuh (ASI Eksklusif dan lamanya pemberian MP-ASI), Riwayat
Penyakit Infeksi, dan tingkat konsumsi pangan responden (form FFQ), serta data
lain yang diperlukan dalam penelitian ini.
4.7 Uji Coba Kuesioner
Data yang akan dikumpulkan dalam penelitian ini berupa data primer dan
data sekunder. Sebelum dilakukan pengumpulan data primer, peneliti telah
melakukan uji kuesioner terlebih dahulu di tempat yang berbeda terhadap 10 ibu
baduta di wilayah Pasar Minggu, Jakarta Selatan dengan karakteristik ibu baduta

64
yang sama dengan karakteristik ibu baduta di Kecamatan Pancoran, Jakarta
Selatan. Uji Kuesioner ini untuk mengetahui tingkat validitas dan reliabilitas
instrumen penelitian dengan metode Pearson. Kuesioner dikatakan valid bila
instrumen atau alat ukur yang dibuat bisa tepat mengukur objek yang akan diukur
atau mampu mengukur apa yang harus diukur. Sedangkan kuesioner dikatakan
reliabel bila instrumen menghasilkan ukuran yang konsisten walaupun instrumen
tersebut digunakan untuk mengukur berkali-kali. Dalam penelitian ini langkah-
langkah uji validitas dan reliabilitas akan dijelaskan sebagai berikut:
a. Validitas Kuesioner
Pertanyaan dikatakan valid jika r hitung > r tabel (0,707). Jumlah
pertanyaan kuesioner awalnya berjumlah 30 pertanyaan, setelah dilakukan uji
validitas ternyata terdapat 6 pertanyaan yang tidak valid, sehingga 4 pertanyaan
yang tidak valid dihapus dan 2 pertanyaan yang tidak valid, tetapi dianggap
penting dilakukan perbaikan kalimat namun tidak merubah isi pertanyaan (E
18, r tabel = 0, 650) dan (D22, r tabel = 0, 453).
b. Reabilitas Kuesioner
Kuesioner dinyatakan reliabel bila nilai r alpha Cronbach > r tabel
(0,7). Berdasarkan dari hasil analisis uji coba kuesioner pada tabel 4.2 didapat
bahwa kuesioner alpha Cronbach (0,976) > 0,7 sehingga kuesioner ini
dikatakan realibel.

65
Tabel 4.2
Hasil Uji Validitas dan Reabilitas Kuesioner
No
Pertanyaan Nilai r tabel
Alpha
Cronbach Keterangan
A1 .806
.976
Valid
A2 .796 Valid
A3 .818 Valid
A4 .796 Valid
A5 .806 Valid
B6 .806 Valid
C10 .806 Valid
C11 .806 Valid
C12 .795 Valid
D13 .806 Valid
D14 .795 Valid
D17 .806 Valid
D18 .650 Tidak Valid *sudah
diperbaiki
E19 .774 Valid
E20 .806 Valid
E22 .453 Tidak Valid * sudah
diperbaiki
E24 .774 Valid
E25 .806 Valid

66
4.8 Pengolahan Data
Setelah data diperoleh maka dilakukan pengolahan data dengan dengan urutan
sebagai berikut:
1. Coding
Proses pemberian kode kepada setiap variabel yang telah dikumpulkan
untuk memudahkan dalam pengelolaan lebih lanjut.
2. Editing
Dilakukan untuk memeriksa kelengkapan dan kebenaran data seperti
kelengkapan pengisian, kesalahan pengisian, konsistensi pengisian setiap
jawaban kusioner.
3. Entry
Memasukkan data dalam program software komputer berdasarkan
klasifikasi.
4. Cleaning
Pengecekan kembali data yang telah dimasukkan untuk memastikan data
tersebut tidak ada yang salah, sehingga dengan demikian data tersebut
telah siap diolah dan dianalisis.

67
4.9 Analisis Data
Analisis data yang dalam penelitian ini meliputi:
1. Univariat
Analisis univariat dilakukan untuk menyajikan dan mendiskripsikan
karakteristik data setiap variabel yang diteliti. Penyajian data univariat
berupa distribusi dan frekuensi variabel tersebut.
2. Bivariat
Analisis biavariat dilakukan untuk menguji dan menjelaskan hubungan
antara variabel dependen dan variabel independen. Analisis bivariat
dilakukan dengan menggunakan uji Chi-Square dengan Confident Interval
(CI) 95% atau α= 0,05
Pada analisa ini digunakan uji chi square dengan rumus:
DF = (k-1)(b-1)
Keterangan:
X2 = Chi square
O = Nilai observasi
E = Nilai Ekspektasi
k = Jumlah kolom

68
b = Jumlah baris
Penentuan Odds Ratio (OR). Odd Ratio (OR) yaitu penilaian berapa sering
terdapat paparan pada kasus dibandingkan dengan kontrol.
Interpretasi nilai OR dan 95% CI :
a) Bila OR > 1 menunjukkan bahwa faktor yang diteliti merupakan faktor
resiko.
b) Bila OR = 1 menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara faktor
yang diteliti dengan faktor resiko
c) Bila OR < 1 menunjukkan bahwa faktor yang diteliti merupakan faktor
protektif.
Jika nilai CI 95%, batas bawah (lower) dan batas atas (upper), keduanya
< 1 atau keduanya > 1 maka terdapat hubungan. Jika jarak antara batas
bawah (lower) dan batas atas (upper), melewati nilai 1 maka tidak ada
hubungan, dengan kata lain jika batas bawah < 1 dan batas atas > 1.
3. Multivariat
Analisis ini dilakukan untuk melihat hubungan antara variabel independen
mana yang paling berpengaruh hubungannya dengan variabel dependen.

69
Analisis ini dilakukan menggunakan uji regresi logistik ganda dengan
model prediksi dimana semua variabel dianggap penting, untuk
memperoleh hasil terbaik untuk memprediksi kejadian variabel dependen.
Langkah-langkah dalam melakukan analisis multivariat, yaitu:
a. Seleksi kandidat model multivariat
Analisis ini dimulai dengan melakukan analisis bivariat antara masing-
masing variabel independen dengan variabel dependen. Bila hasil uji dari
analisis bivariat mempunyai nilai p ≤ 0,25 maka variabel tersebut dapat
masuk ke dalam kandidat model multivariat. Sebaliknya, jika p > 0,25
maka variabel tersebut dikeluarkan dari kandidat model multivariat.
Namun, bisa saja dengan nilai p> 0,25 tetap ikut ke kandidat model bila
variabel tersebut secara substansi berhubungan.
b. Pemodelan multivariat
Setelah didapatkan kandidat model multivariat, selanjutnya variabel-
variabel yang telah masuk ke dalam kandidat model tersebut di analisis
secara bersamaan. Variabel yang masuk ke dalam model adalah variabel
yang memiliki p ≤ 0,05. Sedangkan variabel yang memiliki p > 0,05 maka
akan dikeluarkan dari model. Pengeluaran variabel dilakukan secara
bertahap dimulai dari variabel yang memiliki p value paling besar.
c. Uji Interaksi

70
Setelah memperoleh model yang memuat variabel-variabel penting, maka
langkah terakhir adalah memeriksa apakah ada interaksi antar variabel
independen. Interaksi atau efek modifikasi merupakan heterogenitas efek
dari satu pajanan pada tingkat pajanan yang lain. Jadi efek satu pajanan
pada kejadian variabel dependen berbeda pada kelompok pajanan lainnya.
Tidak adanya efek modifikasi, berarti efek pajanan homogen. Modifikasi
efek merupakan konsep yang penting dalam analisis, kita harus
menentukkan apakah akan melaporkan efek bersama (yang terkontrol
konfounder) atau efek yang terpisah untuk masing-masing strata.
Setelah dilakukan uji interaksi, maka didapatkan model fit (akhir) dari
setiap variabel independen yang berpengaruh besar terhadap variabel
dependen. Setelah semua langkah tersebut selesai dan berdasarkan hasil
analisis multivariat secara keseluruhan, maka persamaan regresi diperoleh.
Keterangan:
P = probabilitas untuk terjadinya suatu kejadian
e = bilangan natural = 2,7
y = konstanta + a1x1 + a2x2 + … + aixi
a = nilai koefisien tiap variabel
x = nilai variabel bebas

71
BAB V
HASIL PENELITIAN
5.1 Gambaran Umum Kecamatan Pancoran Jakarta Selatan
Kecamatan Pancoran merupakan salah satu dari sepuluh kecamatan yang
ada di wilayah Jakarta Selatan dengan luas wilayah 852,79 ha serta batas-batas
wilayah sebagai berikut :
a. Sebelah utara : Kecamatan Tebet
b. Sebelah barat : Kecamatan Mampang Prapatan
c. Sebelah selatan : Kecamatan Pasar Minggu
d. Sebelah timur : Kecamatan Kramat Jati
Tabel 5.1
Luas Wilayah dan Jumlah RT/RW se-Kecamatan Pancoran
Jakarta Selatan Tahun 2010
No Kelurahan Luas (Ha) RW RT
1 Pancoran 121,80 5 60
2 Durentiga 192,40 7 77
3 Pengadegan 94,30 8 83
4 Cikoko 71,69 5 42
5 Rawajati 144,00 8 84
6 Kalibata 228,60 10 133
Jumlah 852,79 43 479
Sumber : Puskesmas Kecamatan Pancoran Tahun 2011

72
Tabel 5.2
Jumlah KK dan Jumlah Penduduk se-Kecamatan Pancoran
Jakarta Selatan Tahun 2010
No Kelurahan Jml KK L % P % Total
1 Pancoran 4600 13969 52,45 12535 47,55 26504
2 Durentiga 6505 10710 46,22 12692 53,78 23402
3 Pengadegan 4233 11356 51,43 10642 48,57 21998
4 Cikoko 2440 6250 53,42 5298 46,58 11548
5 Rawajati 4288 10071 51,88 9140 48,12 19111
6 Kalibata 6864 23459 51,56 21950 48,44 45409
Jumlah 28930 75715 51,04 72257 48,96 147972
Sumber : Puskesmas Kecamatan Pancoran Tahun 2011
5.2 Analisis Univariat
Analisis univariat dilakukan untuk mengetahui gambaran variabel
dependen. Dimana variabel dependen pada penelitian ini antara lain: ASI
Eksklusif, Lamanya MP-ASI Kemenkes, Riwayat Penyakit Infeksi, dan Pola
Konsumsi Makan (makanan pokok, lauk hewani, lauk nabati, sayuran, buah dan
susu).
5.2.1 Gambaran ASI Eksklusif
Gambaran ASI Eksklusif dikategorikan menjadi dua, yaitu ya, jika
diberikan ASI saja sampai usia 6 bulan dan tidak, jika tidak diberikan ASI
saja sampai usia 6 bulan. Adapun hasilnya dapat dilihat pada tabel 5.3
dibawah ini:
Tabel 5.3
Distribusi ASI Eksklusif di Kecamatan Pancoran
Jakarta Selatan Tahun 2011
ASI Eksklusif Jumlah %
Ya 48 58,5
Tidak 34 41,5
Total 82 100

73
Berdasarkan tabel diatas dapat diketahui bahwa sebagian besar ibu-
ibu baduta di Kecamatan Pancoran memberikan ASI Eksklusif dengan
jumlah 48 orang (58,5%) dan yang tidak memberikan ASI Eksklusif
dengan jumlah 34 orang (41,5%). Hal tersebut menunjukkan bahwa ibu-
ibu di Kecamatan Pancoran sudah mengetahui pentingnya pemberian ASI
Eksklusif bagi anaknya.
5.2.2 Gambaran Lamanya Pemberian MP-ASI Kemenkes
Gambaran lamanya pemberian MP-ASI Kemenkes, dikategorikan
menjadi dua, yaitu ≥ 90 hari dan < 90 hari. Adapun hasilnya dapat dilihat
pada tabel 5.4 dibawah ini:
Tabel 5.4
Distribusi Lamanya Pemberian MP-ASI Kemenkes di
Kecamatan Pancoran Jakarta Selatan Tahun 2011
Lamanya MP-ASI Kemenkes Jumlah %
≥ 90 hari 64 78
< 90 hari 18 22
Total 82 100
Berdasarkan tabel 5.4 dapat diketahui bahwa sebanyak 64 baduta
(78%) diberikan MP ASI ≥ 90 hari dan sebanyak 18 baduta (22%)
diberikan MP-ASI < 90 hari. Data tersebut menunjukkan bahwa sebagian
baduta sudah mendapatkan MP-ASI Kemenkes berupa biskuit sesuai
dengan yang ditetapkan Kemenkes RI.
5.2.3 Gambaran Riwayat Penyakit Infeksi
Gambaran riwayat penyakit infeksi dikategorikan menjadi dua, yaitu
ya, jika pernah menderita penyakit selama pemberian MP-ASI Kemenkes

74
dan tidak, jika tidak pernah menderita penyakit selama pemberian MP-ASI
Kemenkes. Adapun hasilnya dapat dilihat pada tabel 5.5 dibawah ini:
Tabel 5.5
Distribusi Riwayat Penyakit Infeksi di Kecamatan Pancoran
Jakarta Selatan Tahun 2011
Riwayat Penyakit Infeksi Jumlah %
Tidak 28 34,1
Ya 52 65,9
Total 82 100
Berdasarkan tabel 5.5 dapat diketahui bahwa sebanyak 28 baduta
(34,1%) tidak pernah mengalami riwayat penyakit infeksi sedangkan
sebanyak 52 baduta pernah mengalami riwayat penyakit infeksi selama
pemberian MP-ASI Kemenkes. Hal tersebut menunjukkan bahwa masih
banyak baduta di wilayah Pancoran yang mengalami penyakit selama
massa pemberian MP-ASI Kemenkes.
5.2.4 Gambaran Pola Konsumsi Makan
Gambaran pola konsumsi makan dikelompokkan menjadi: makanan
pokok, lauk hewani, lauk nabati, sayuran, buah dan susu. Pola konsumsi
makan tersebut dikategorikan menjadi dua, yaitu: sering ≥ 2x/hari dan
jarang < 2x/hari. Adapun hasilnya dapat dilihat pada tabel-tabel dibawah
ini:

75
a. Makanan pokok
Tabel 5.6
Distribusi Pola Konsumsi Makanan Pokok di Kecamatan
Pancoran Jakarta Selatan Tahun 2011
Makanan Pokok Jumlah %
Sering 55 67,1
Jarang 27 32,9
Total 82 100
Berdasarkan tabel 5.6 dapat diketahui bahwa sebanyak 55 baduta
(67,1%) dikategorikan sering mengkonsumsi makanan pokok ≥ 2x/hari
sedangkan 27 baduta (32,9%) dikategorikan jarang mengkonsumsi
makanan pokok < 2x/hari. Hal tersebut menunjukkan bahwa sebagian
besar baduta sering mengkonsumsi makanan pokok ≥ 2x/hari.
b. Lauk Hewani
Tabel 5.7
Distribusi Pola Konsumsi Lauk Hewani di Kecamatan
Pancoran Jakarta Selatan Tahun 2011
Lauk Hewani Jumlah %
Sering 18 22
Jarang 64 78
Total 82 100
Berdasarkan tabel 5.7 dapat diketahui bahwa sebanyak 18 baduta
(22%) dikategorikan sering mengkonsumsi lauk hewani ≥ 2x/hari
sedangkan 64 baduta (78%) dikategorikan jarang mengkonsumsi lauk
hewani < 2x/hari. Hal tersebut menunjukkan bahwa sebagian besar baduta
jarang mengkonsumsi lauk hewani ≥ 2x/hari.

76
c. Lauk Nabati
Tabel 5.8
Distribusi Pola Konsumsi Lauk Nabati di Kecamatan
Pancoran Jakarta Selatan Tahun 2011
Lauk Nabati Jumlah %
Sering 21 25,6
Jarang 61 74,4
Total 82 100
Berdasarkan tabel 5.8 dapat diketahui bahwa sebanyak 21 baduta
(25,6%) dikategorikan sering mengkonsumsi lauk nabati ≥ 2x/hari
sedangkan 61 baduta (74,4%) dikategorikan jarang mengkonsumsi lauk
nabati < 2x/hari. Hal tersebut menunjukkan bahwa sebagian besar baduta
jarang mengkonsumsi lauk nabati ≥ 2x/hari.
d. Sayuran
Tabel 5.9
Distribusi Pola Konsumsi Sayuran di Kecamatan
Pancoran Jakarta Selatan Tahun 2011
Sayuran Jumlah %
Sering 35 42,7
Jarang 47 57,3
Total 82 100
Berdasarkan tabel 5.9 dapat diketahui bahwa sebanyak 35 baduta
(42,7%) dikategorikan sering mengkonsumsi sayuran ≥ 2x/hari sedangkan
47 baduta (57,3%) dikategorikan jarang mengkonsumsi sayuran < 2x/hari.
Hal tersebut menunjukkan bahwa sebagian besar baduta jarang
mengkonsumsi sayuran ≥ 2x/hari.

77
e. Buah
Tabel 5.10
Distribusi Pola Konsumsi Buah di Kecamatan Pancoran
Jakarta Selatan Tahun 2011
Buah Jumlah %
Sering 48 58,5
Jarang 34 41,5
Total 82 100
Berdasarkan tabel 5.10 dapat diketahui bahwa sebanyak 48 baduta
(58,5%) dikategorikan sering mengkonsumsi buah ≥ 2x/hari sedangkan 34
baduta (41,5%) dikategorikan jarang mengkonsumsi buah < 2x/hari. Hal
tersebut menunjukkan bahwa sebagian besar baduta sering mengkonsumsi
buah ≥ 2x/hari.
f. Susu
Tabel 5.11
Distribusi Pola Konsumsi Susu di Kecamatan Pancoran
Jakarta Selatan Tahun 2011
Susu Jumlah %
Sering 17 20,7
Jarang 65 79,3
Total 82 100
Berdasarkan tabel 5.10 dapat diketahui bahwa sebanyak 17 baduta
(20,7%) dikategorikan sering mengkonsumsi susu ≥ 2x/hari sedangkan 65
baduta (79,3%) dikategorikan jarang mengkonsumsi susu < 2x/hari. Hal
tersebut menunjukkan bahwa sebagian besar baduta jarang mengkonsumsi
susu ≥ 2x/hari.
5.3 Analisis Bivariat
Analisis bivariat dilakukan untuk mengetahui hubungan antara variabel
independen dengan variabel dependen dengan uji statistik. Sehingga dapat

78
diketahui nilai Odds Ratio (OR) dimana untuk penelitian case control, nilai OR
menunjukkan seberapa besar faktor resiko yang diteliti terhadap terjadinya berat
badan tidak naik (2T). Selain itu didapat pula nilai interval estimate OR pada
derajat kepercayaan sebesar 95% CI (Confident Interval).
5.3.1 Hubungan antara ASI Ekskulsif dengan Berat Badan Tidak Naik (2T)
Analisis hubungan antara ASI Eksklusif dengan Berat Badan Tidak
Naik (2T) diperoleh dengan menggunakan uji crosstabs untuk melihat
nilai OR. ASI Eksklusif dikategorikan menjadi dua, yaitu ya, jika
diberikan ASI saja sampai usia 6 bulan dan tidak, jika tidak diberikan ASI
saja sampai usia 6 bulan. Adapun hasil uji yang diperoleh dapat dilihat
pada tabel 5.12 dibawah ini:
Tabel 5.12
Analisis Hubungan antara ASI Eksklusif dengan Berat Badan
Tidak Naik (2T) di Kecamatan Pancoran
Jakarta Selatan Tahun 2011
ASI
Eksklusif
Berat Badan Tidak Naik (2T)
OR CI
(95%) 2T Non 2T Jumlah
N % N % N %
Ya 18 43,9 30 73,2 48 58,5
3,485 1,380-
8,798 Tidak 23 56,1 11 26,8 34 41,5
Total 41 100 41 100 82 100
Berdasarkan hasil uji diatas, dapat diketahui bahwa dari 48 ibu yang
memberikan ASI Eksklusif, yang mengalami 2T sebanyak 18 baduta
(43,9%) dan yang tidak mengalami 2T sebanyak 30 baduta (73,2%).
Sedangkan dari 34 ibu yang tidak memberikan ASI Eksklusif yang
mengalami 2T sebanyak 23 baduta (56,1%) dan yang tidak mengalami 2T
sebanyak 11 baduta (26,8%).

79
Berdasarkan uji statistik diketahui bahwa nilai OR sebesar 3,485
dimana pada penelitian case control nilai OR > 1 maka faktor yang diteliti
merupakan faktor resiko, artinya ibu yang tidak memberikan ASI
Eksklusif kepada anaknya berisiko 3,485 kali mengalami 2T dibandingkan
ibu yang memberikan ASI Eksklusif. Selain itu didapat nilai CI 95%
(1,380-8,798) yang menunjukkan bahwa ada hubungan antara faktor ASI
Eksklusif dengan berat badan tidak naik (2T).
5.3.2 Hubungan Lamanya Pemberian MP-ASI Kemenkes dengan Berat
Badan Tidak Naik (2T)
Analisis hubungan antara lamanya pemberian MP-ASI
Kemenkes dengan Berat Badan Tidak Naik (2T) diperoleh dengan
menggunakan uji crosstabs untuk melihat nilai OR. Lamanya pemberian
MP-ASI Kemenkes dikategorikan menjadi dua, yaitu ≥ 90 hari dan < 90
hari . Adapun hasil uji yang diperoleh dapat dilihat pada tabel 5.13
dibawah ini:
Tabel 5.13
Analisis Hubungan antara Lamanya Pemberian MP-ASI
Kemenkes dengan Berat Badan Tidak Naik (2T) di Kecamatan
Pancoran Jakarta Selatan Tahun 2011
Lama
MP-ASI
Kemenkes
Berat Badan Tidak Naik (2T)
OR CI
(95%) 2T Non 2T Jumlah
N % N % n %
≥ 90 hari 36 87,8 28 68,3 64 78
0,299 0,095-
0,939 < 90 hari 5 12,23 13 31,7 18 22
Total 41 100 41 100 82 100
Berdasarkan hasil uji diatas, dapat diketahui bahwa dari 64 baduta
yang memakan MP-ASI Kemenkes ≥ 90 hari, yang mengalami 2T

80
sebanyak 36 baduta (87,8%) dan yang tidak mengalami 2T sebanyak 28
baduta (68,3%). Sedangkan dari 18 baduta yang memakan MP-ASI
Kemenkes < 90 hari, yang mengalami 2T sebanyak 5 baduta (12,23%) dan
yang tidak mengalami 2T sebanyak 13 baduta (31,7%).
Berdasarkan uji statistik diketahui bahwa nilai OR sebesar 0,299
dimana pada penelitian case control nilai OR < 1 maka faktor yang diteliti
merupakan faktor protektif, artinya baduta yang memakan MP-ASI
Kemenkes < 90 hari hari berisiko 1/0,299 atau 3,34 kali mengalami 2T
dibandingkan baduta yang memakan MP-ASI Kemenkes ≥ 90 hari. Selain
itu didapat nilai CI 95% (0,095-0,939) yang menunjukkan bahwa ada
hubungan antara lamanya MP-ASI Kemenkes dengan berat badan tidak
naik (2T).
5.3.3 Hubungan Riwayat Penyakit Infeksi dengan Berat Badan Tidak Naik
(2T)
Analisis hubungan antara riwayat penyakit infeksi dengan Berat
Badan Tidak Naik (2T) diperoleh dengan menggunakan uji crosstabs
untuk melihat nilai OR. Riwayat penyakit infeksi dikategorikan menjadi
dua, yaitu ya, jika pernah menderita penyakit selama pemberian MP-ASI
Kemenkes dan tidak, jika tidak pernah menderita penyakit selama
pemberian MP-ASI Kemenkes. Adapun hasil uji yang diperoleh dapat
dilihat pada tabel 5.14 dibawah ini:

81
Tabel 5.14
Analisis Hubungan antara Riwayat Penyakit Infeksi dengan
Berat Badan Tidak Naik (2T) di Kecamatan Pancoran Jakarta
Selatan Tahun 2011
Riwayat
Penyakit
Infeksi
Berat Badan Tidak Naik (2T)
OR CI
(95%) 2T Non 2T Jumlah
n % N % n %
Tidak 9 22 19 46,3 28 34,1
3,071 1,174-
8,028 Ya 32 78 22 53,7 54 65,9
Total 41 100 41 100 82 100
Berdasarkan hasil uji diatas, dapat diketahui bahwa dari 28 baduta
yang tidak mengalami riwayat penyakit infeksi, yang mengalami 2T
sebanyak 9 baduta (22%) dan yang tidak mengalami 2T sebanyak 19
baduta (46,3%). Sedangkan dari 54 baduta yang mengalami riwayat
penyakit infeksi, yang mengalami 2T sebanyak 32 baduta (78%) dan yang
tidak mengalami 2T sebanyak 22 baduta (53,7%).
Berdasarkan uji statistik diketahui bahwa nilai OR sebesar 3,071
dimana pada penelitian case control nilai OR > 1 maka faktor yang diteliti
merupakan faktor resiko, artinya baduta yang mengalami riwayat penyakit
infeksi memiliki resiko 3,071 kali mengalami 2T dibandingkan baduta
yang tidak mengalami riwayat penyakit infeksi. Selain itu didapat nilai CI
95% (1,174-8,028) yang menunjukkan bahwa ada hubungan antara riwayat
penyakit infeksi dengan berat badan tidak naik (2T).

82
5.3.4 Hubungan Pola Konsumsi Makan dengan Berat Badan Tidak Naik
(2T)
a. Makanan Pokok
Analisis hubungan antara pola konsumsi makanan pokok dengan
Berat Badan Tidak Naik (2T) diperoleh dengan menggunakan uji
crosstabs untuk melihat nilai OR. Pola konsumsi makanan pokok
dikategorikan menjadi dua, yaitu sering , jika ≥ 2x/hari dan jarang, jika
< 2x/hari Adapun hasil uji yang diperoleh dapat dilihat pada tabel 5.15
dibawah ini:
Tabel 5.15
Analisis Hubungan antara Pola Konsumsi Makanan Pokok
dengan Berat Badan Tidak Naik (2T) di Kecamatan Pancoran
Jakarta Selatan Tahun 2011
Makanan
Pokok
Berat Badan Tidak Naik (2T)
OR CI
(95%) 2T Non 2T Jumlah
n % N % N %
Sering 29 70,7 26 63,4 55 67,1
0,717 0,284-
1,810 Jarang 12 29,3 15 36,6 27 32,9
Total 41 100 41 100 82 100
Berdasarkan hasil uji diatas, dapat diketahui bahwa dari 55 baduta
yang sering mengkonsumsi makanan pokok, yang mengalami 2T sebanyak
29 baduta (70,7%) dan yang tidak mengalami 2T sebanyak 26 baduta
(63,4%). Sedangkan dari 27 baduta yang jarang mengkonsumsi makanan
pokok, yang mengalami 2T sebanyak 12 baduta (29,3%) dan yang tidak
mengalami 2T sebanyak 15 baduta (36,6%).

83
Berdasarkan uji statistik diketahui bahwa nilai OR sebesar 0,717
dimana pada penelitian case control nilai OR < 1 maka faktor yang diteliti
merupakan faktor protektif, artinya baduta yang jarang mengkonsumsi
makanan pokok memiliki resiko 1/0,717 atau 1,39 kali mengalami 2T
dibandingkan baduta yang sering mengkonsumsi makanan pokok. Selain
itu didapat nilai CI 95% (0,284-1,810) yang menunjukkan bahwa tidak
hubungan antara pola konsumsi makanan pokok dengan berat badan tidak
naik (2T).
b. Lauk Hewani
Analisis hubungan antara pola konsumsi lauk hewani dengan Berat
Badan Tidak Naik (2T) diperoleh dengan menggunakan uji crosstabs
untuk melihat nilai OR. Pola konsumsi lauk hewani dikategorikan menjadi
dua, yaitu sering , jika ≥ 2x/hari dan jarang, jika < 2x/hari Adapun hasil uji
yang diperoleh dapat dilihat pada tabel 5.16 dibawah ini:
Tabel 5.16
Analisis Hubungan antara Pola Konsumsi Lauk Hewani dengan
Berat Badan Tidak Naik (2T) di Kecamatan Pancoran Jakarta
Selatan Tahun 2011
Lauk
Hewani
Berat Badan Tidak Naik (2T)
OR CI
(95%) 2T Non 2T Jumlah
n % N % n %
Sering 8 19,5 10 24,4 18 22
1,331 0,465-
3,806 Jarang 33 80,5 31 75,6 64 78
Total 41 100 41 100 82 100
Berdasarkan hasil uji diatas, dapat diketahui bahwa dari 18 baduta
yang sering mengkonsumsi lauk hewani, yang mengalami 2T sebanyak 8
baduta (19,5%) dan yang tidak mengalami 2T sebanyak 10 baduta

84
(24,4%). Sedangkan dari 64 baduta yang jarang mengkonsumsi lauk
hewani yang mengalami 2T sebanyak 33 baduta (80,5%) dan yang tidak
mengalami 2T sebanyak 31 baduta (75,6%).
Berdasarkan uji statistik diketahui bahwa nilai OR sebesar 1,331
dimana pada penelitian case control nilai OR > 1 maka faktor yang diteliti
merupakan faktor resiko, artinya baduta yang jarang mengkonsumsi lauk
hewani memiliki resiko 1,331 kali mengalami 2T dibandingkan baduta
yang sering mengkonsumsi lauk hewani. Selain itu didapat nilai CI 95%
(0,465-3,806) yang menunjukkan bahwa tidak hubungan antara pola
konsumsi lauk hewani dengan berat badan tidak naik (2T).
c. Lauk Nabati
Analisis hubungan antara pola konsumsi lauk nabati dengan Berat
Badan Tidak Naik (2T) diperoleh dengan menggunakan uji crosstabs
untuk melihat nilai OR. Pola konsumsi lauk nabati dikategorikan menjadi
dua, yaitu sering , jika ≥ 2x/hari dan jarang, jika < 2x/hari Adapun hasil uji
yang diperoleh dapat dilihat pada tabel 5.17 dibawah ini:
Tabel 5.17
Analisis Hubungan antara Pola Konsumsi Lauk Nabati dengan
Berat Badan Tidak Naik (2T) di Kecamatan Pancoran Jakarta
Selatan Tahun 2011
Lauk
Nabati
Berat Badan Tidak Naik (2T)
OR CI
(95%) 2T Non 2T Jumlah
n % N % n %
Sering 10 24,4 11 26,8 21 25,6
1,137 0,421-
3,067 Jarang 31 75,6 30 73,2 61 74,4
Total 41 100 41 100 82 100

85
Berdasarkan hasil uji diatas, dapat diketahui bahwa dari 21 baduta
yang sering mengkonsumsi lauk nabati, yang mengalami 2T sebanyak 10
baduta (24,4%) dan yang tidak mengalami 2T sebanyak 11 baduta
(26,8%). Sedangkan dari 61 baduta yang jarang mengkonsumsi lauk nabati
yang mengalami 2T sebanyak 31 baduta (75,6%) dan yang tidak
mengalami 2T sebanyak 30 baduta (73,2%).
Berdasarkan uji statistik diketahui bahwa nilai OR sebesar 1,137
dimana pada penelitian case control nilai OR > 1 maka faktor yang diteliti
merupakan faktor resiko, artinya baduta yang jarang mengkonsumsi lauk
nabati memiliki resiko 1,137 kali mengalami 2T dibandingkan baduta yang
sering mengkonsumsi lauk nabati. Selain itu didapat nilai CI 95% (0,421-
3,067) yang menunjukkan bahwa tidak hubungan antara pola konsumsi
lauk nabati dengan berat badan tidak naik (2T).
d. Sayuran
Analisis hubungan antara pola konsumsi sayuran dengan Berat
Badan Tidak Naik (2T) diperoleh dengan menggunakan uji crosstabs
untuk melihat nilai OR. Pola konsumsi sayuran dikategorikan menjadi dua,
yaitu sering , jika ≥ 2x/hari dan jarang, jika < 2x/hari Adapun hasil uji
yang diperoleh dapat dilihat pada tabel 5.18 dibawah ini:

86
Tabel 5.18
Analisis Hubungan antara Pola Konsumsi Sayuran dengan
Berat Badan Tidak Naik (2T) di Kecamatan Pancoran Jakarta
Selatan Tahun 2011
Sayuran
Berat Badan Tidak Naik (2T)
OR CI
(95%) 2T Non 2T Jumlah
n % N % n %
Sering 17 41,5 18 43,9 35 42,7
1,105 0,460-
2,652 Jarang 24 58,5 23 56,1 47 57,3
Total 41 100 41 100 82 100
Berdasarkan hasil uji diatas, dapat diketahui bahwa dari 35 baduta
yang sering mengkonsumsi sayuran, yang mengalami 2T sebanyak 17
baduta (41,5%) dan yang tidak mengalami 2T sebanyak 18 baduta
(43,9%). Sedangkan dari 47 baduta yang jarang mengkonsumsi sayuran
yang mengalami 2T sebanyak 24 baduta (58,5%) dan yang tidak
mengalami 2T sebanyak 23 baduta (56,1%).
Berdasarkan uji statistik diketahui bahwa nilai OR sebesar 1,105
dimana pada penelitian case control nilai OR > 1 maka faktor yang diteliti
merupakan faktor resiko, artinya baduta yang jarang mengkonsumsi
sayuran memiliki resiko 1,105 kali mengalami 2T dibandingkan baduta
yang sering mengkonsumsi sayuran. Selain itu didapat nilai CI 95%
(0,460-2,652) yang menunjukkan bahwa tidak hubungan antara pola
konsumsi sayuran dengan berat badan tidak naik (2T).
e. Buah
Analisis hubungan antara pola konsumsi buah dengan Berat Badan
Tidak Naik (2T) diperoleh dengan menggunakan uji crosstabs untuk

87
melihat nilai OR. Pola konsumsi buah dikategorikan menjadi dua, yaitu
sering , jika ≥ 2x/hari dan jarang, jika < 2x/hari Adapun hasil uji yang
diperoleh dapat dilihat pada tabel 5.19 dibawah ini:
Tabel 5.19
Analisis Hubungan antara Pola Konsumsi Buah dengan Berat
Badan Tidak Naik (2T) di Kecamatan Pancoran Jakarta Selatan
Tahun 2011
Buah
Berat Badan Tidak Naik (2T)
OR CI
(95%) 2T Non 2T Jumlah
N % N % n %
Sering 25 61 23 56,1 48 58,5
0,818 0,339-
1,971 Jarang 16 39 18 43,9 34 41,5
Total 41 100 41 100 82 100
Berdasarkan hasil uji diatas, dapat diketahui bahwa dari 48 baduta
yang sering mengkonsumsi buah, yang mengalami 2T sebanyak 25 baduta
(61%) dan yang tidak mengalami 2T sebanyak 23 baduta (56,1%).
Sedangkan dari 34 baduta yang jarang mengkonsumsi sayuran yang
mengalami 2T sebanyak 16 baduta (39%) dan yang tidak mengalami 2T
sebanyak 18 baduta (41,5%).
Berdasarkan uji statistik diketahui bahwa nilai OR sebesar 0,818
dimana pada penelitian case control nilai OR < 1 maka faktor yang diteliti
merupakan faktor protektif, artinya baduta yang jarang mengkonsumsi
buah memiliki resiko 1/0,818 atau 1,22 kali mengalami 2T dibandingkan
baduta yang sering mengkonsumsi buah. Selain itu didapat nilai CI 95%
(0,339-1,971) yang menunjukkan bahwa tidak hubungan antara pola
konsumsi buah dengan berat badan tidak naik (2T).

88
f. Susu
Analisis hubungan antara pola konsumsi susu dengan Berat Badan
Tidak Naik (2T) diperoleh dengan menggunakan uji crosstabs untuk
melihat nilai OR. Pola konsumsi susu dikategorikan menjadi dua, yaitu
sering , jika ≥ 2x/hari dan jarang, jika < 2x/hari Adapun hasil uji yang
diperoleh dapat dilihat pada tabel 5.20 dibawah ini:
Tabel 5.20
Analisis Hubungan antara Pola Konsumsi Susu dengan Berat
Badan Tidak Naik (2T) di Kecamatan Pancoran Jakarta Selatan
Tahun 2011
Susu
Berat Badan Tidak Naik (2T)
OR CI
(95%) 2T Non 2T Jumlah
N % n % n %
Sering 13 31,7 4 9,8 17 20,7
0,233 0,069-
0,791 Jarang 28 68,3 37 90,2 65 79,3
Total 41 100 41 100 82 100
Berdasarkan hasil uji diatas, dapat diketahui bahwa dari 17 baduta
yang sering mengkonsumsi susu, yang mengalami 2T sebanyak 13 baduta
(31,7%) dan yang tidak mengalami 2T sebanyak 4 baduta (9,8%).
Sedangkan dari 65 baduta yang jarang mengkonsumsi susu yang
mengalami 2T sebanyak 28 baduta (68,3%) dan yang tidak mengalami 2T
sebanyak 37 baduta (90,2%).
Berdasarkan uji statistik diketahui bahwa nilai OR sebesar 0,233
dimana pada penelitian case control nilai OR < 1 maka faktor yang diteliti
merupakan faktor protektif, artinya baduta yang jarang mengkonsumsi
susu memiliki resiko 1/0,233 atau 4,29 kali mengalami 2T dibandingkan

89
baduta yang sering mengkonsumsi buah. Selain itu didapat nilai CI 95%
(0,069-0,791) yang menunjukkan bahwa ada hubungan antara pola
konsumsi susu dengan berat badan tidak naik (2T).
5.4 Analisis Multivariat
Analisis multivariat bertujuan untuk mendapatkan satu model terbaik dalam
melihat determinan terhadap berat badan tidak naik (2T). Tahapan analisis
multivariat terdiri dari:
5.4.1 Pemilihan Kandidat Multivariat
Berdasarkan hasil analisis bivariat, variabel yang secara teoritis
berhubungan dengan variabel dependen atau nilai p ≤ 0,25 dianggap
potensial untuk dimasukkan ke dalam analisis regresi logistik
berganda.
Dari 9 variabel independen yang dianalisis, terdapat 4 variabel
yang memenuhi syarat untuk dimasukkan dalam analisis multivariat.
Keempat variabel tersebut adalah ASI Eksklusif , Lamanya Pemberian
MP-ASI Kemenkes, Riwayat Penyakit Infeksi dan Pola Konsumsi
Susu. Adapun keempat variabel tersebut disajikan pada tabel 5.21
Tabel 5.21
Hasil Analisis Multivariat Regresi Logistik Berganda Tahap Pertama
No Variabel Independen P-value
1 ASI Eksklusif 0,007
2 Lamanya Pemberian MP-ASI
Kemenkes
0,030
3 Riwayat Penyakit Infeksi 0,019
4 Pola Konsumsi Susu 0,012

90
5.4.2 Pembuatan Model
Setelah variabel independen dimasukkan ke dalam proses
pemodelan, kemudian dilakukan eliminasi variabel dimulai dengan
mengeluarkan variabel yang mempunyai nilai p paling besar (standar
p ≤ 0,05). Hasil analisis dapat dilihat pada tabel 5.22
Tabel 5.22
Hasil Analisis Multivariat Regresi Logistik Berganda Tahap Kedua
Variabel Independen B Wald p-value OR 95,0% CI for EXP
(B)
ASI Eksklusif 1,194 4,997 0,026 3,302 1,156 – 9, 429
Lamanya Pemberian
MP-ASI Kemenkes
-2,008 6,772 0,009 0,134 0,030 – 0,609
Riwayat Penyakit
Infeksi
1,342 5,334 0,021 3,828 1,225 – 11,959
Pola Konsumsi Susu -1,869 6,504 0,011 0,154 0,037 – 0,649
Hasil tahapan multivariat tahap pemodelan memperlihatkan
adanya hubungan yang bermakna antara adalah ASI Eksklusif,
Lamanya Pemberian MP-ASI Kemenkes, Riwayat Penyakit Infeksi
dan Pola Konsumsi Susu. Keempat variabel tersebut masuk ke dalam
model karena nilai p ≤ 0,05
5.4.3 Pengujian Interaksi
Pengujian interaksi dilakukan untuk mengetahui hubungan
antara variabel independen dan pengaruhnya terhadap uji regresi
logistik berganda. Berdasarkan variabel yang masuk model
multivariat, maka variabel yang diduga ada hubungan interaksi
adalah ASI Eksklusif dengan Riwayat Penyakit Infeksi, Dari hasil
pengujian interaksi ternyata terlihat adanya interaksi antara ASI

91
Eksklusif dengan Riwayat Penyakit Infeksi (p-value < 0,05). Hal ini
dapat dilihat pada tabel 5.23
Tabel 5.23
Hasil Analisis Uji Interaksi
Variabel
Independen B Wald p-value OR
95,0% CI for EXP
(B)
ASI Eksklusif 6,152 6,447 0,011 469,450 4,067 – 5,419 x 10 4
Lamanya
Pemberian MP-
ASI Kemenkes
-1,963 5,871 0,015 0,140 0,209 – 0,687
Riwayat Penyakit
Infeksi 5,460 6,990 0,008 235,065 4,106 – 1,346 x 10
4
Pola Konsumsi
Susu -2,296 7,753 0,05 0,101 0,020 – 0,507
ASI Eksklusif *
Riwayat
Penyakit Infeksi
-2,874 4,659 0,031 0,056 0,004 – 0,768
5.4.4 Tahap Akhir
Setelah dilakukan tahap pengujian interaksi maka selanjutnya
dilakukan uji tahap akhir untuk mendapatkan variabel mana yang
paling dominan mempengaruhi berat badan tidak naik (2T). Pada
tahap uji interaksi diketahui adanya interaksi antara variabel ASI
Eksklusif dengan Riwayat Penyakit Infeksi (0,031 > 0,05).
Jika dilihat pada tabel 5.23 keempat variabel ( ASI Eksklusif,
Lamanya Pemberian MP-ASI Kemenkes, Riwayat Penyakit Infeksi,
Pola Konsumsi Susu) dan interaksi antara ASI Eksklusif dengan
Riwayat Penyakit Infeksi berhubungan signifikan dengan berat
badan tidak naik (p-value < 0,05). Sehingga model akhir multivariat
dapat dilihat pada tabel 5.24

92
Tabel 5.24
Model Akhir Multivariat Regresi Logistik Berganda
Variabel
Independen B Wald p-value OR
95,0% CI for EXP
(B)
ASI Eksklusif 6,152 6,477 0,011 469,450 4,067 – 5,419 x 10 4
Lamanya
Pemberian
MP-ASI
Kemenkes
-1,963 5,871 0,015 0,140 0,209 – 0,687
Riwayat
Penyakit
Infeksi
5,460 6,990 0,008 235,065 4,106 – 1,346 x 104
Pola
Konsumsi
Susu
-2,296 7,753 0,05 0,101 0,020 – 0,507
ASI
Eksklusif *
Riwayat
Penyakit
Infeksi
-2, 874 4,659 0,031 0,056 0,004 – 0,768
Konstanta -4,517 1,617 0,204 0,011
-2 Log Likelihood = 83,5489
Nagelkerke R Square = 0,410
Dari hasil analisis diperoleh nilai OR ASI Eksklusif sebesar
469,450 artinya ibu yang tidak memberikan ASI Eksklusif kepada
anaknya memiliki resiko 469,450 kali mengalami 2T dibandingkan
ibu yang memberikan ASI Eksklusif.
Variabel lamanya pemberian MP-ASI Kemenkes berdasarkan
hasil analisis diperoleh nilai OR sebesar 0,140 artinya baduta yang
memakan MP-ASI Kemenkes > 90 hari memiliki resiko 0,140 kali
mengalami 2T dibandingkan baduta yang memakan MP-ASI
Kemenkes ≥ 90 hari.
Dari hasil analisis diperoleh nilai OR Riwayat Penyakit Infeksi
sebesar 235,065 artinya baduta yang mengalami riwayat penyakit

93
infeksi memiliki resiko 235,065 kali mengalami 2T dibandingkan
yang tidak mengalami riwayat penyakit infeksi.
Variabel Pola Konsumsi Susu berdasarkan hasil analisis
diperoleh nilai OR sebesar 0,101 artinya baduta yang jarang
mengkonsumsi susu memiliki resiko 0,101 kali mengalami 2T
dibandingkan baduta yang sering minum susu.
Sedangkan untuk variabel interaksi antara ASI Eksklusif
dengan Riwayat Penyakit Infeksi diperoleh nilai OR sebesar 0,056
artinya baduta yang tidak diberikan ASI Eksklusif dan mengalami
riwayat penyakit infeksi memiliki resiko 0,056 mengalami 2T
dibandingkan baduta yang diberikan ASI Eksklusif dan tidak
mengalami riwayat penyakit infeksi.
Maka dapat disimpulkan bahwa variabel ASI Eksklusif,
Lamanya Pemberian MP-ASI Kemenkes, Riwayat Penyakit Infeksi,
Pola Konsumsi Susu dan Interaksi antara ASI Eksklusif dengan
Riwayat Penyakit Infeksi memiliki hubungan dengan berat badan
tidak naik (2T).
Dari hasil analisis multivariat, maka bentuk model regresi
logistik berganda tersebut dapat dinyatakan dalam persamaan
matematika sebagai berikut:
Logit Berat Badan Tidak Naik (2T) : - 4,517 + 6,152*ASI
Eksklusif – 1,963*Lamanya Pemberian MP-ASI Kemenkes +
5,460*Riwayat Penyakit Infeksi – 2,29* Pola Konsumsi Susu –
2,874 (ASI Eksklusif*Riwayat Penyakit Infeksi)

94
BAB VI
PEMBAHASAN
6.1 Keterbatasan Penelitian
Pada penelitian ini memiliki keterbatasan-keterbatasan, antara lain adanya
beberapa variabel dari kerangka teori yang tidak diteliti, seperti karakteristik
anak dan karakteristik keluarga. Serta adanya variabel metabolisme bawaan
yang tidak dijadikan variabel pada penelitian ini, karena untuk melakukan
penelitian terhadap faktor metabolisme bawaan tersebut membutuhkan waktu
yang cukup lama, biaya yang besar dan biasanya lebih difokuskan pada bidang
kedokteran. Sehingga variabel-variabel yang tidak dijadikan kerangka konsep
pada penelitian ini kemungkinan dapat mempengaruhi hasil penelitian.
Karena penelitian ini menggunakan desain case control, sehingga data-
data yang dibutuhkan adalah data masa lalu (adanya faktor jeda waktu yang
terpotong) sehingga terkadang menyulitkan responden yang harus mengingat
kembali terhadap pertanyaan-pertanyaan kuesioner, sehingga apabila responden
tidak menjawab secara jujur dapat mempengaruhi hasil penelitian. Selain itu jika
jumlah sampel lebih banyak, kemungkinan hasil penelitian pun berbeda. Dimana
jumlah responden pada penelitian ini hanya berjumlah 82 ibu baduta (1:1).
Untuk variabel konsumsi makan metode yang digunakan adalah FFQ
kualitatif, pada metode ini jawaban sangat bergantung pada kejujuran dan
kemampuan responden dalam mengingat jenis makanan yang dimakan baduta.
Pola konsumsi makan tersebut tidak di observasi mendetail satu persatu
dikarenakan keterbatasan waktu dan tenaga. Selain itu seharusnya untuk variabel

95
konsumsi makan diteliti saat periode program MP-ASI Kemenkes pada bulan
November 2010- Februari 2011.
Berdasarkan penelitian dilapangan, terdapat faktor keterbatasan dari
peneliti seperti keterbatasan waktu, dana dan tenaga dan lain sebagainya.
6.2 Gambaran Berat Badan Tidak Naik (2T) di Kecamatan Pancoran, Jakarta
Selatan Tahun 2011
Status gizi adalah keadaan tubuh sebagai akibat konsumsi makanan dan
penggunaan zat-zat gizi (Almatsier, 2004). Depkes (2003) mengartikan status
gizi sebagai keadaan gizi seseorang yang dapat dinilai untuk mengetahui apakah
seseorang itu normal atau bermasalah (gizi salah/malnutrisi).
Status gizi dapat dibedakan menjadi gizi baik, kurang dan buruk. Gizi
buruk adalah bentuk terparah dari proses terjadinya kekurangan gizi menahun.
Anak balita sehat atau kurang gizi secara sederhana dapat diketahui dengan
membandingkan antara berat badan menurut umurnya dengan standar yang telah
ditetapkan (Depkes, 2005). Pada penelitian kali ini yang mengkategorikan
apakah seorang baduta tersebut 2T atau tidak adalah kader kesehatan yang
dilakukan di Posyandu. Dimana berat badan baduta tersebut tidak naik dua bulan
berturut-turut.
Dalam penelitian kali ini proporsi baduta yang dijadikan subjek penelitian
yang mengalami 2T dan tidak (non 2T) masing-masing berjumlah 41 baduta.
Adapun jumlah keseluruhan baduta 2T di Kecamatan Pancoran Jakarta Selatan
berjumlah 60 baduta untuk periode Program MP-ASI Kemenkes bulan
November 2010-Februari 2011.

96
Diagram 6.1
Proporsi Sampel Baduta 2T dan Non 2T
di Kecamatan Pancoran, Jakarta Selatan Tahun 2011
6.3 Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Berat Badan Tidak Naik (2T)
Pada Baduta Gakin Setelah Pemberian Program MP-ASI Kemenkes di
Kecamatan Pancoran, Jakarta Selatan Tahun 2011
Faktor-faktor yang diteliti dalam penelitian ini adalah ASI Eksklusif,
Lamanya pemberian MP-ASI Kemenkes, Riwayat penyakit infeksi dan Pola
konsumsi makan. Faktor-faktor tersebut yang secara langsung dialami oleh
baduta. Berikut ini hasil dan pembahasan terhadap faktor-faktor yang diteliti
dihubungkan dengan Berat badan tidak naik (2T).
6.3.1 Hubungan antara ASI Eksklusif dengan Berat Badan Tidak Naik (2T)
ASI Eksklusif merupakan pemberian hanya air susu ibu saja tanpa
tambahan cairan atau makan lain sampai balita berumur 6 bulan.
Terjadinya kurang gizi, erat kaitannya dengan produksi ASI maupun
lamanya pemberian ASI. Tidak diberikannya atau terlalu cepatnya bayi
disapih akan memperbesar kemungkinan keadaan gizi kurang (Depkes,
2003).
2T 50% Non 2T
50%
Proporsi Baduta

97
Hasil analisis hubungan antara ASI Eksklusif dengan berat badan
tidak naik (2T) diperoleh bahwa dapat dari 48 ibu yang memberikan ASI
Eksklusif, yang mengalami 2T sebanyak 18 baduta (43,9%) dan yang tidak
mengalami 2T sebanyak 30 baduta (73,2%). Sedangkan dari 34 ibu yang
tidak memberikan ASI Eksklusif yang mengalami 2T sebanyak 23 baduta
(56,1%) dan yang tidak mengalami 2T sebanyak 11 baduta (26,8%).
Berdasarkan uji statistik diketahui bahwa nilai OR sebesar 3,485
dengan nilai interval CI 95% (1,380-8,798), sehingga dapat disimpulkan
bahwa ada hubungan antara faktor ASI Eksklusif dengan berat badan tidak
naik (2T), dimana ibu yang tidak memberikan ASI Eksklusif kepada
anaknya berisiko 3,485 kali mengalami 2T dibandingkan ibu yang
memberikan ASI Eksklusif.
Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian Mutiara (2006) dan
Okviyanti (2007) bahwa terdapat hubungan bermakna antara pemberian
ASI Eksklusif dengan status gizi balita. Serta sesuai dengan penelitian
Widodo dkk, (2005), berdasarkan indeks antropometri BB menunjukkan
bahwa sejak usia 2 – 4 bulan kenaikan rata-rata BB bayi yang diberi ASI
Eksklusif daripada bayi yang diberi MP-ASI sebelum usia 4 bulan.
Selain itu dari hasil penelitian ini didapatkan sebanyak 56 ibu
(63,8%) langsung memberikan ASI kepada anaknya saat lahir dan 26 ibu
(31,7%) tidak memberikan ASI secara langsung. Sebanyak 13,4%
diberikan susu formula, 11% madu, 3,7% pisang, 2,4% air putih. Bagi ibu-
ibu yang mengalami hambatan dalam menyusui sebanyak 20,7% tetap

98
diberikan ASI, 23,2% diberikan susu formula dan lainnya diberikan
pisang, madu ataupun air putih. Karena zat gizi dalam ASI cukup untuk
memenuhi kebutuhan bayi dan komposisi sesuai untuk bayi (WHO, 1999).
Pada penelitian ini diketahui pula sebanyak 45 ibu (54,9%) yang
tidak memberikan ASI sampai 2 tahun sedangkan hanya 37 ibu (45,1%)
yang tetap memberikan ASI sampai 2 tahun. Padahal WHO dan UNICEF
menganjurkan ibu untuk tetap menyusui anaknya sampai usia 2 tahun.
Karena pemberian ASI pada batita > 1tahun memberikan manfaat seperti:
31% kebutuhan energi anak, 38% kebutuhan protein anak, 45% kebutuhan
vitamin A anak, 95% kebutuhan vitamin C anak (WHO, 2003).
Sehingga dapat disimpulkan bahwa pemberian ASI Eksklusif sangat
mempengaruhi berat badan anak tersebut, apabila anak tidak diberikan ASI
Eksklusif kemungkinan akan memperbesar keadaan gizi kurang atau
dengan kata lain mengalami ketidaknaikan berat badan.
6.3.2 Hubungan antara Lamanya Pemberian MP-ASI Kemenkes dengan
Berat Badan Tidak Naik (2T)
Makanan Pendamping ASI adalah makanan atau minuman yang
mengandung zat gizi, yang diberikan pada bayi atau anak usia 6-24 bulan
guna memenuhi kebutuhan gizi selain ASI (Depkes, 2006).
MP-ASI merupakan makanan peralihan dari ASI ke makanan
keluarga. Pengenalan dan pemberian MP-ASI harus dilakukan secara
bertahap baik bentuk maupun jumlahnya, sesuai dengan kemampuan bayi
atau anak. Pemberian MP-ASI yang cukup kualitas dan kuantitasnya

99
penting untuk pertumbuhan fisik dan perkembangan kecerdasan anak
(Depkes, 2000).
Tujuan pemberian MP-ASI adalah untuk menambah energi dan zat-
zat gizi yang diperlukan bayi karena ASI tidak dapat memenuhi kebutuhan
bayi secara terus menerus. Dengan demikian makanan tambahan diberikan
untuk mengisi kesenjangan antara kebutuhan nutrisi total pada anak
dengan jumlah yang didapatkan dari ASI (WHO, 2003).
Kementrian Kesehatan RI melakukan program pemberian MP-ASI
untuk seluruh keluarga miskin dengan sasaran pemberian MP-ASI berupa
bubur adalah bayi usia 6-11 bulan dan sasaran pemberian MP-ASI berupa
biskuit adalah anak usia 12-24 bulan. Jangka waktu pemberian MP-ASI
diberikan selama 90 hari. Adapun jumlah MP-ASI yang diberikan:
1. Untuk sasaran bayi umur 6-11 bulan akan mendapat MP-ASI
bubur sebanyak 100 gr/hari yang diberikan dalam 3 kali
penyajian per hari
2. Untuk sasaran anak umur 12-24 bulan akan mendapat MP-ASI
biskuit sebanyak 120 gr/hari
Pada penelitian kali ini yang difokuskan adalah jenis MP-ASI
Kemenkes berupa biskuit untuk baduta berumur 12-24 bulan, karena data
sekunder dari Suku Dinas Kesehatan Jakarta Selatan didapatkan bahwa
lebih banyak baduta yang mengalami berat badan tidak naik dua bulan
berturut-turut (2T).

100
Hasil analisis hubungan antara lamanya pemberian MP-ASI
Kemenkes dengan berat badan tidak naik (2T) diperoleh bahwa dari 64
baduta yang memakan MP-ASI Kemenkes ≥ 90 hari, yang mengalami 2T
sebanyak 36 baduta (87,8%) dan yang tidak mengalami 2T sebanyak 28
baduta (68,3%). Sedangkan dari 18 baduta yang memakan MP-ASI
Kemenkes < 90 hari, yang mengalami 2T sebanyak 5 baduta (12,23%) dan
yang tidak mengalami 2T sebanyak 13 baduta (31,7%).
Dari hasil uji statistik diketahui bahwa nilai OR sebesar 0,299
dengan interval CI 95% (0,095-0,939) sehingga dapat disimpulkan bahwa
ada hubungan antara lamanya pemberian MP-ASI Kemenkes dengan berat
badan tidak naik (2T), dimana baduta yang memakan MP-ASI Kemenkes
< 90 hari berisiko 1/0,299 atau 3,34 kali mengalami 2T dibandingkan
baduta yang memakan MP-ASI Kemenkes ≥ 90 hari, dengan kata lain
dapat dikatakan bahwa pemberian MP-ASI Kemenkes ≥ 90 hari
merupakan faktor protektif.
Hasil penelitian ini sesuai dengan anjuran dari Kementrian
Kesehatan RI yang menetapkan jangka waktu pemberian MP-ASI
Kemenkes adalah 90 hari. Walaupun fakta dilapangan masih adanya
baduta yang mendapatkan MP-ASI berupa biskuit ≥ 90 hari maupun < 90
hari.
Dimana program MP-ASI Kemenkes RI ini dikhususkan untuk bayi
dan baduta dari keluarga miskin yang mengalami gizi kurang maupun gizi
buruk. Dari hasil wawancara koordinator gizi di Puskesmas Kecamatan

101
Pancoran maupun kader kesehatan didapatkan fakta bahwa terkadang ibu
yang bukan dari keluarga miskin pun ikut meminta biskuit. Sehingga
alokasi biskuit berkurang untuk yang seharusnya menerima biskuit
tersebut.
Sebanyak 51,2% baduta tidak menghabiskan biskuit sesuai anjuran
yaitu 120g/hari dan 48,8% baduta menghabiskan biskuit sesuai anjuran
yang telah ditetapkan. Dari 82 baduta yang menjadi responden didapatkan
hasil sebanyak 61% biskuit tersebut tidak hanya dimakan oleh baduta dan
39% hanya dimakan oleh baduta. Rata-rata sebanyak 25,6% ikut dimakan
oleh ibu/ayah, 22% ikut dimakan oleh kakak/adik, 11% oleh saudara dan
sebanyak 2,4% ikut dimakan oleh saudara. Dari fakta tersebut seharusnya
lebih disosialisasikan mengenai program MP-ASI Kemenkes biskuit
bahwa biskuit tersebut hanya boleh dimakan oleh badutanya saja.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa lamanya pemberian MP-ASI
Kemenkes (biskuit) sangat erat kaitannya dengan berat badan tidak naik
(2T). Karena dengan adanya program MP-ASI tersebut seharusnya dapat
memperbaiki status gizi bayi dan baduta.
6.3.3 Hubungan antara Riwayat Penyakit Infeksi dengan Berat Badan
Tidak Naik (2T)
Hadirnya penyakit infeksi dalam tubuh anak akan membawa
pengaruh terhadap keadaan gizinya. Sebagai reaksi pertama akibat adanya
infeksi adalah menurunnya nafsu makan anak sehingga anak menolak

102
makanan yang diberikan ibunya. Penolakan terhadap makanan berarti
berkurangnya pemasukan zat gizi ke dalam tubuh anak (Moehyi, 1988).
Penyakit infeksi dapat pula disebabkan kurangnya kesadaran untuk
menjaga kebersihan dan sanitasi. Sanitasi lingkungan yang kurang akan
mempermudah penularan penyakit infeksi.
Pada penelitian kali ini lebih banyak baduta yang pernah mengalami
riwayat penyakit infeksi sebesar 52 baduta (65,9%) dan 28 baduta (34,1%)
tidak pernah mengalami riwayat penyakit infeksi. Dimana peneliti
melakukan cross check untuk mengurangi bias terhadap sebagian besar
data responden ke posyandu/puskesmas, terhadap jawaban yang diberikan
oleh responden. Dimana terkadang ada responden yang menjawab tidak
pernah menderita penyakit infeksi selama periode pemberian MP-ASI
tetapi saat diberikan pertanyaan tentang gejala-gelaja yang pernah dialami
hasilnya pun menyatakan bahwa baduta tersebut pernah menderita
penyakit infeksi. Mungkin responden terkesan takut dengan kata penyakit
infeksi, disini peneliti melakukan bahasa yang lebih halus dan mudah
dimengerti agar data yang diharapkan sesuai dengan fakta dilapangan.
Hasil analisis hubungan antara riwayat penyakit infeksi dengan berat
badan tidak naik (2T), diperoleh bahwa dari 28 baduta yang tidak
mengalami riwayat penyakit infeksi, yang mengalami 2T sebanyak 9
baduta (22%) dan yang tidak mengalami 2T sebanyak 19 baduta (46,3%).
Sedangkan dari 54 baduta yang mengalami riwayat penyakit infeksi, yang

103
mengalami 2T sebanyak 32 baduta (78%) dan yang tidak mengalami 2T
sebanyak 22 baduta (53,7%).
Hasil uji statistik diketahui bahwa nilai OR sebesar 3,071 dengan
interval CI 95% (1,174-8,028 ) sehingga dapat disimpulkan bahwa ada
hubungan antara riwayat penyakit infeksi dengan berat badan tidak naik
(2T), dimana baduta yang mengalami riwayat penyakit infeksi memiliki
resiko 3,071 kali mengalami 2T dibandingkan baduta yang tidak
mengalami riwayat penyakit infeksi.
Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian Sukmadewi (2003) yang
menunjukkan bahwa terdapat hubungan bermakna antara riwayat penyakit
infeksi dengan status gizi balita. Hal tersebut juga sesuai dengan penelitian
Hadi (2005) dan Feddelia (2006) menyatakan bahwa proporsi balita yang
mengalami kurang gizi lebih banyak ditemukan pada balita yang
mengalami infeksi berat/diare dibandingkan dengan balita yang
mengalami infeksi ringan/tidak menderita diare.
Keusch dan Scrimshaw dalam Kartika, dkk (2003), menyatakan
bahwa ada hubungan sinergis antara keadaan gizi dengan penyakit infeksi.
Penyakit infeksi dapat berpengaruh negatif terhadap daya tahan tubuh,
karena penyakit infeksi dapat menurunkan nafsu makan sehingga
konsumsi makanan menurun. Padahal kebutuhan gizi anak sewaktu sakit
justru meningkat. Di samping itu, infeksi menggangu metabolisme,
membuat ketidakseimbangan hormon dan menggangu fungsi imunitas.
Jadi anak yang terkena penyakit infeksi yang berulang dan kronis akan

104
mengalami gangguan gizi dan imunitas baik secara absolut maupun relatif.
Kurang gizi walaupun masih ringan mempunyai pengaruh negatif tehadap
daya tahan tubuh terhadap penyakit infeksi derajat apapun dapat
memperburuk keadaam gizi. Semua akibat infeksi ini merugikan
pertumbuhan anak, sehingga pertumbuhan anak secara antropometris
terganggu.
Penyakit infeksi erat kaitannya dengan status gizi rendah. Hubungan
antara kekurangan gizi dengan penyakit infeksi antara lain dapat dijelaskan
melalui mekanisme pertahanan tubuh, dimana pada balita yang mengalami
kekurangan gizi akan mengalami kekurangan masukan energi dan protein,
sehingga kemampuan tubuh untuk membentuk protein baru berkurang. Hal
ini mengakibatkan pembentukan kekebalan tubuh seluler terganggu
sehingga tubuh menjadi rawan terhadap serangan infeksi (Jellife, 1989
dalam Hadi, 2005).
Dari hasil penelitian ini didapatkan sebanyak 18,3% diare, 12,2%
demam, 9,8% ISPA, 4,9% TBC dan 23,2% menderita penyakit lainnya
seperti batuk, pilek dan sebagainya. Dari faktwa dilapangan didapatkan
seorang anak yang menderita gizi buruk serta mengalami kelainan jantung
bawaan. Bahkan kasus anak tersebut sampai diliput oleh media. Sebanyak
68,3% ibu baduta tersebut sudah berusaha mencari pengobatan untuk
anaknya, 37,8% berobat ke RS/Klinik dan 28% berobat ke
Puskesmas/Posyandu.

105
Dari hasil pengamatan dilapangan saat dilakukan penelitian memang
benar bahwa lingkungan rumah responden tidak cukup bersih, keadaan
rumah yang padat penduduk, rumah-rumah kontrakan dipusat ibukota dan
dibelakang gedung-gedung bertingkat terlihat penuh sesak, didekat rumah-
rumah tersebut masih terdapat sumber pencemar > 5m sebanyak 40,2%.
Sanitasi dan ventilasi yang kurang menyebabkan lingkungan rumah kurang
mendapatkan sirkulasi udara yang baik, sebanyak 78% sirkulasi udara
terhambat dan 22% sirkulasi udara lancar. Selain itu banyaknya keluarga
yang mengkonsumsi air kemasan isi ulang yang tingkat hygienitasnya
tidak terjamin yaitu sebesar 45,1%. Selain itu personal hygiene ibu kurang
diterapkan karena sebanyak 67,1% hanya mencuci tangan dengan air saja
saat memberikan makanan ke anak dan 12,2% tidak pernah mencuci
tangan dengan sabun atau air sekalipun. Sehingga dapat disimpulkan
bahwa lingkungan rumah dan personal hygiene pun berpengaruh terhadap
kesehatan seseorang. Dimana baduta yang mengalami riwayat penyakit
infeksi akan mempengaruhi berat badannya selain itu dapat memperburuk
status gizinya.
6.3.4 Hubungan antara Pola Konsumsi Makan dengan Berat badan Tidak
Naik (2T)
Makanan yang dikonsumsi sehari-hari berpengaruh terhadap asupan
energi yang masuk ke tubuh. Mengkonsumsi makanan yang bergizi
bermanfaat untuk meningkatkan derajat kesehatan seseorang. Konsumsi
makanan tersebut berpengaruh terhadap status gizi seseorang. Status gizi
baik atau status gizi optimal terjadi bila tubuh memperoleh cukup zat-zat

106
gizi yang digunakan secara efisien, sehingga memungkinkan pertumbuhan
fisik, perkembangan otak, kemampuan kerja dan kesehatan secara umum
pada tingkat setinggi mungkin.
Makanan sehari-hari seperti: makanan pokok, lauk hewani, lauk
nabati, sayuran, susu dan buah dapat mencukupi nilai gizi seseorang setiap
harinya (Almatsier, 2001).
Dari bermacam-macam makanan tersebut menghasilkan berbagai zat
gizi yang diperlukan oleh tubuh baduta. Asupan zat gizi dalam jumlah
mutlak diperlukan pada berbagai tahap tumbuh kembang manusia,
khususnya bayi dan balita. Karena intake yang kurang maupun berlebihan
secara terus-menerus akan menggangu pertumbuhan dan kesehatan
(Pudjiadi, 2000).
Dalam siklus kehidupan manusia, terutama saat tumbuh kembang
anak, makanan merupakan kebutuhan yang terpenting. Menurut
Muhammad as-Syyid (2009) disebutkan bahwa makanan seimbang adalah
makanan yang ideal, baik kuantitas maupun kualitas, bagi setiap penduduk
bumi dengan berbagai macam kepercayaannya.
Al-Qur’an telah membuat pondasi dasar yang jelas dan bijak dalam
hal makanan ini. Bahkan Nabi Muhammad SAW telah mengukuhkan
dasar tersebut sembari memberikan beberapa ketentuan dan aturan yang
menjamin realisasinya sehingga seorang muslim benar-benar dapat
mengkonsumsi makanan yang sempurna dan bergizi seimbang, jasmani
maupun rohani dan kesemuanya itu tersedia di alam, tinggal bagaimana

107
manusi mengolah dan memanfaatkanny dengan sebaik-baiknya. Seperti
firman Allah SWT :
“Maka hendaklah manusia itu memerhatikan makanannya, Kamilah
yang telah mencurahkan air melimpah (dari langit), kemudian Kami belah
bumi dengan sebaik-baiknya, lalu di sana Kami tumbuhkan biji-bijian, dan
anggur dan sayur-sayuran, dan zaitun dan pohon kurma, dan kebun-kebun
(yang) rindang, dan buah-buahan serta rerumputan. (Semua itu) untuk
kesenanan kalian dan untuk hewan-hewan ternak kalian” (QS.‟Abasa: 24-
32).
Berdasarkan kitab Shofwat Al-Tafasir karya Imam Muhammad „Ali
Al-Shobuny ayat diatas dapat dijelaskan sebagai berikut: Yakni hendaknya
manusia melihat dengan pemikiran dan berangan-angan terhadap urusan
kehidupannya bagaimana dia diciptakan dan diberi kebahagiaan dengan
rahmat Allah, dan bagaimana ia menyiapkan sebab kehidupannya, serta
diciptakan bagi manusia makanan sebagai penopang kehidupannya, seperti
air dari langit, bermacam-macam tumbuhan yang subur, sayuran, biji-
bijian, pohon zaitun dan buah kurma, rerumputan. Kami jadikan dan kami

108
tumbuhkan agar bermanfaat dan sebagai penopang kehidupan untukmu
para manusia dan untuk binatang-bintangmu.
Pada penelitian ini pola konsumsi makan dikelompokkan menjadi:
makanan pokok, lauk hewani, lauk nabati, sayuran, buah dan susu. Hasil
analisis terhadap masing-masing makanan adalah sebagai berikut:
a. Makanan Pokok
Hasil analisis hubungan antara pola konsumsi makan makanan
pokok dengan berat badan tidak naik (2T), diperoleh bahwa dari 55
baduta yang sering mengkonsumsi makanan pokok, yang mengalami
2T sebanyak 29 baduta (70,7%) dan yang tidak mengalami 2T
sebanyak 26 baduta (63,4%). Sedangkan dari 27 baduta yang jarang
mengkonsumsi makanan pokok, yang mengalami 2T sebanyak 12
baduta (29,3%) dan yang tidak mengalami 2T sebanyak 15 baduta
(36,6%).
Dari uji statistik diketahui bahwa nilai OR sebesar 0,717
dimana dengan interval CI 95% (0,284-1,810), sehingga dapat
disimpulkan bahwa tidak ada hubungan antara pola konsumsi makan
makanan pokok dengan berat badan tidak naik (2T). Nilai OR
menunjukkan bahwa baduta yang jarang mengkonsumsi makanan
pokok memiliki resiko 1/0,717 atau 1,39 kali mengalami 2T
dibandingkan baduta yang sering mengkonsumsi makanan pokok,
sehingga dengan kata lain baduta yang sering mengkonsumsi

109
makanan pokok merupakan faktor protektif terhadap berat badan
tidak naik (2T).
b. Lauk Hewani
Hasil analisis hubungan antara pola makan lauk hewani dengan
berat badan tidak naik (2T), diperoleh bahwa dari 18 baduta yang
sering mengkonsumsi lauk hewani, yang mengalami 2T sebanyak 8
baduta (19,5%) dan yang tidak mengalami 2T sebanyak 10 baduta
(24,4%). Sedangkan dari 64 baduta yang jarang mengkonsumsi lauk
hewani yang mengalami 2T sebanyak 33 baduta (80,5%) dan yang
tidak mengalami 2T sebanyak 31 baduta (75,6%).
Dari hasil uji statistik diketahui bahwa nilai OR sebesar 1,331
dengan nilai interval CI 95% (0,465-3,806), sehingga dapat
disimpulkan bahwa tidak ada hubungan antara pola konsumsi lauk
hewani dengan berat badan tidak naik (2T). Nilai OR menunjukkan
bahwa baduta yang jarang mengkonsumsi lauk hewani memiliki
resiko 1,331 kali mengalami 2T dibandingkan baduta yang sering
mengkonsumsi lauk hewani.
c. Lauk Nabati
Hasil analisis hubungan antara pola konsumsi makan lauk
nabati dengan berat badan tidak naik (2T) diperoleh bahwa dari 21
baduta yang sering mengkonsumsi lauk nabati, yang mengalami 2T
sebanyak 10 baduta (24,4%) dan yang tidak mengalami 2T sebanyak
11 baduta (26,8%). Sedangkan dari 61 baduta yang jarang

110
mengkonsumsi lauk nabati yang mengalami 2T sebanyak 31 baduta
(75,6%) dan yang tidak mengalami 2T sebanyak 30 baduta (73,2%).
Dari hasil uji statistik diketahui bahwa nilai OR sebesar 1,137
dengan nilai interval CI 95% (0,421-3,067), sehingga dapat
disimpulkan tidak ada hubungan antara antara pola konsumsi lauk
nabati dengan berat badan tidak naik (2T). Nilai OR menunjukkan
bahwa baduta yang jarang mengkonsumsi lauk nabati memiliki
resiko 1,137 kali mengalami 2T dibandingkan baduta yang sering
mengkonsumsi lauk nabati.
d. Sayuran
Hasil analisis hubungan antara pola konsumsi makan sayuran
dengan berat badan tidak naik (2T) diperoleh bahwa dari 35 baduta
yang sering mengkonsumsi sayuran, yang mengalami 2T sebanyak
17 baduta (41,5%) dan yang tidak mengalami 2T sebanyak 18 baduta
(43,9%). Sedangkan dari 47 baduta yang jarang mengkonsumsi
sayuran yang mengalami 2T sebanyak 24 baduta (58,5%) dan yang
tidak mengalami 2T sebanyak 23 baduta (56,1%).
Dari hasil uji statistik diketahui bahwa nilai OR sebesar 1,105
dengan nilai interval CI 95% (0,460-2,652), sehingga dapat
disimpulkan bahwa ada tidak hubungan antara pola konsumsi
sayuran dengan berat badan tidak naik (2T). Nilai OR menunjukkan
bahwa baduta yang jarang mengkonsumsi sayuran memiliki resiko

111
1,105 kali mengalami 2T dibandingkan baduta yang sering
mengkonsumsi sayuran.
e. Buah
Hasil analisis hubungan antara pola konsumsi makan buah
dengan berat badan tidak naik diperoleh bahwa dari 48 baduta yang
sering mengkonsumsi buah, yang mengalami 2T sebanyak 25 baduta
(61%) dan yang tidak mengalami 2T sebanyak 23 baduta (56,1%).
Sedangkan dari 34 baduta yang jarang mengkonsumsi sayuran yang
mengalami 2T sebanyak 16 baduta (39%) dan yang tidak mengalami
2T sebanyak 18 baduta (41,5%).
Dari hasil uji statistik diketahui bahwa nilai OR sebesar 0,818
dengan nilai interval nilai CI 95% (0,339-1,971) sehingga dapat
disimpulkan bahwa ada tidak hubungan antara pola konsumsi buah
dengan berat badan tidak naik (2T). Nilai OR menunjukkan bahwa
baduta yang jarang mengkonsumsi buah memiliki resiko 1/0,818
atau 1,22 kali mengalami 2T dibandingkan baduta yang sering
mengkonsumsi buah, dengan kata lain dapat dikatakan baduta yang
jsering mengkonsumsi buah merupakan faktor protektif terhadap
berat badan tidak naik (2T).
f. Susu
Hasil analisis hubungan antara pola konsumsi minum susu
dengan berat badan tidak naik (2T) diperoleh bahwa dari 17 baduta
yang sering mengkonsumsi susu, yang mengalami 2T sebanyak 13

112
baduta (31,7%) dan yang tidak mengalami 2T sebanyak 4 baduta
(9,8%). Sedangkan dari 65 baduta yang jarang mengkonsumsi susu
yang mengalami 2T sebanyak 28 baduta (68,3%) dan yang tidak
mengalami 2T sebanyak 37 baduta (90,2%).
Dari hasil uji statistik diketahui bahwa nilai OR sebesar 0,233
dengan nilai interval nilai CI 95% (0,069-0,791), sehingga dapat
disimpulkan bahwa ada hubungan antara pola konsumsi minum susu
dengan berat badan tidak naik (2T). Nilai OR menunjukkan bahwa
baduta yang jarang mengkonsumsi susu memiliki resiko 1/0,233 atau
4,29 kali mengalami 2T dibandingkan baduta yang sering
mengkonsumsi buah, dengan kata lain dapat dikatakan bahwa baduta
yang sering mengkonsumsi susu merupakan faktor protektif terhadap
berat badan tidak naik (2T).
Dari berbagai jenis makanan yang diteliti hanya pola minum susu
yang berhubungan dan sesuai dengan hasil penelitian Mutiara (2006) yang
menyatakan bahwa ada hubungan antara pola asuh makan dengan kejadian
gizi buruk pada balita. Sedangkan untuk jenis makanan lain seperti,
makanan pokok, lauk hewani, lauk nabati, sayuran dan buah tidak ada
hubungan antara pola makan dengan berat badan tidak naik (2T).
Pada penelitian ini tidak terdapat hubungan yang bermakna antara
pola konsumsi makan (makanan pokok, lauk hewani, lauk nabati, sayuran
dan nabati), karena pada saat pengambilan data ada kemungkinan ibu
baduta lupa terhadap apa dan jumlah makanan yang dimakan oleh

113
anaknya, karena menggunakan form FFQ sehingga hanya dilihat frekuensi
makannya saja. Selain itu, pengambilan sampel penelitian ini
menggunakan data program MP-ASI Kemenkes untuk bulan November
2010- Februari 2011 sehingga seharusnya pengambilan data mengenai
pola makan dilakukan pada masa lalu.
Pada saat dilakukan penelitian pun tidak dilakukan observasi
langsung terhadap pola konsumsi makan baduta, dikarenakan keterbatasan
waktu dan tenaga. Terkadang saat dilakukan wawancara kebetulan ada
responden yang sedang memberikan makan siang pada anaknya bersama
teman-teman anaknya. Sehingga untuk mengurangi bias, disaat itu juga
peneliti mengamati makanan yang diberikan untuk baduta, dan faktanya
sesuai dengan jawaban yang diberikan saat pengisian Form FFQ kualitatif.
Karena peneliti juga melakukan cross check data ke orang dirumah
tersebut, seperti ayah, kakek, nenek, saudara bahkan tetangga terdekat.
Dimana orang-orang tersebut mengetahui secara pasti pola konsumsi
makan baduta tersebut. Memang rata-rata baduta yang diamati badannya
kurus dan gizi kurang.
Saat dilakukan wawancara ditemukan adanya baduta yang sudah
vegetarian dari kecil, sehingga asupan lauk hewani tidak tercukupi, dimana
seharusnya saat usia tersebut pemenuhan berbagai macam zat gizi
sangatlah dibutuhkan. Responden berpendapat sudah berusaha
memberikan lauk hewani tersebut tetapi baduta tersebut tetap menolak
(tidak doyan), sehingga dimuntahkan. Sehingga daripada tidak makan
sama sekali, lebih baik makan sayuran saja.

114
Sebagian responden menyatakan untuk dapat memenuhi kebutuhan
makanan bergizi sangatlah sulit karena harga barang-barang kebutuhan
pokok sangat mahal. Dikarenakan keterbatasan perekonomian mereka,
sehingga jarang sekali mereka mengkonsumsi lauk pauk yang bergizi bagi
keluarganya terlebih untuk baduta yang mengalami gizi kurang. Sehingga
dapat dikatakan perekonomian sangat erat kaitannya dengan pola
konsumsi makan.
Kemungkinan lain karena faktor dari personal personal hygiene ibu
kurang diterapkan karena sebanyak 67,1% hanya mencuci tangan dengan
air saja saat memberikan makanan ke anak dan 12,2% tidak pernah
mencuci tangan dengan sabun atau air sekalipun. Personal hygiene yang
tidak baik dapat menyebabkan balita terkena berbagai penyakit, seperti
diare atau cacingan, sehingga asupan makanan tersebut tidak menjadikan
status gizi balita menjadi lebih baik. Menurut Sahardjo (2006), parasit
dalam usus, seperti cacing gelang dan cacing pita bersaing dengan tubuh
dalam memperoleh makanan dan dapat menghalangi zat gizi ke dalam arus
darah, keadaan yang demikian membantu terjadinya kurang gizi.
Dapat disimpulkan bahwa personal hygiene, pola konsumsi makan
dan riwayat penyakit infeksi sangat erat hubungannya dengan berat badan
tidak naik (2T). Dimana faktor-faktor tersebut dapat mempengaruhi berat
badan baduta yang nantinya akan berpengaruh terhadap status gizinya.

115
6.4 Analisis Faktor yang Paling Dominan Mempengaruhi Berat Badan Tidak
Naik (2T) Pada Baduta Gakin Setelah Pemberian Program MP-ASI
Kemenkes di Kecamatan Pancoran, Jakarta Selatan Tahun 2011
Berat badan adalah salah satu parameter yang memberikan
gambaran massa tubuh dan parameter antropometri yang sangat labil.
Dalam keadaan normal, dimana keadaan kesehatan baik dan keseimbangan
antara konsumsi dan kebutuhan zat gizi terjamin, maka berat badan
berkembang mengikuti pertambahan umur. Sebaliknya dalam keadaan
yang abnormal, terdapat dua kemungkinan perkembangan berat badan,
yaitu dapat berkembang cepat atau lebih lambat dari keadaan normal
(Supariasa, 2001).
Ada dua determinan yang saling berinteraksi dalam mempengaruhi
pertumbuhan bayi dan balita, yaitu faktor bawaan (genetic factor atau
nature) dan faktor lingkungan (environmental factors atau nurture). Faktor
bawaan mengacu pada faktor statik yang menyertai anak sejak pembuahan,
sedangkan faktor lingkungan lebih banyak terfokus pada kecukupan gizi
dan kesehatan bayi dan balita (Satoto, 1997).
Dalam menentukan faktor yang paling dominan mempengaruhi berat
badan tidak naik (2T) setelah pemberian program MP-ASI Kemenkes
dapat diketahui dengan melakukan analisis multivariat terhadap faktor
yang paling dominan mempengaruhi. Sehingga didapatkan hasil akhir
dalam bentuk model regresi logistik berganda, yang dinyatakan dalam
persamaan matematika sebagai berikut:

116
Dengan model persamaan tersebut, maka dapat memperkirakan berat
badan tidak naik (2T) dengan menggunakan variabel ASI Eksklusif,
Lamanya Pemberian MP-ASI Kemenkes, Riwayat Penyakit Infeksi, Pola
Konsumsi Susu dan Interaksi antara ASI Eksklusif dengan Riwayat
Penyakit Infeksi. Persamaan tersebut menunjukkan bahwa berat badan
tidak naik (2T) pada baduta akan menambahkan sebesar 6,152 kg berat
badan baduta jika diberikan ASI Eksklusif, berat badan tidak naik (2T)
pada baduta akan menurunkan sebesar 1,963 kg berat badan jika
pemberian MP-ASI > 90 hari, berat badan tidak naik (2T) pada baduta
akan menambahkan sebesar 5,460 kg berat badan jika tidak mengalami
riwayat penyakit infeksi, berat badan tidak naik (2T) pada baduta akan
menurunkan sebesar 2,29 kg berat badan jika jarang mengkonsumsi susu,
serta adanya interaksi antara ASI Eksklusif dengan riwayat penyakit
infeksi akan menurunkan 2,874 kg berat badan pada baduta yang
mengalami berat badan tidak naik (2T). Semakin besar nilai beta (B) maka
semakin besar hubungannya dengan berat badan tidak naik.
Sehingga dapat dikatakan bahwa adanya interaksi antara pemberian
ASI Eksklusif dengan Riwayat Penyakit Infeksi, yang artinya bahwa
seorang baduta yang tidak diberikan ASI Eksklusif lebih beresiko
mengalami Riwayat Penyakit Infeksi dan akhirnya menyebabkan
Logit Berat Badan Tidak Naik (2T) : - 4,517 + 6,152*ASI
Eksklusif – 1,963*Lamanya Pemberian MP-ASI Kemenkes +
5,460*Riwayat Penyakit Infeksi – 2,29* Pola Konsumsi Susu
– 2,874 (ASI Eksklusif*Riwayat Penyakit Infeksi)

117
terjadinya berat badan tidak naik (2T). Selain itu dapat diketahui faktor
yang paling dominan mempengaruhi berat badan tidak naik (2T) pada
penelitian ini adalah variabel ASI Eksklusif dengan nilai B (6,152).
Dimana didalam kandungan ASI terdapat zat kekebalan dan zat
gizinya bagi bayi, sehingga bisa mencegah anak dari gizi buruk atau
infeksi. Bayi yang baru lahir sampai beberapa bulan pertama kehidupan
belum dapat membuat kekebalan sendiri secara sempurna. ASI merupakan
subtansi bahan hidup yang memberikan perlindungan baik secara aktif
maupun melalui pengaturan imunologis yang menyediakan perlindungan
yang unik terhadap infeksi dan alergi serta menstimuli perkembangan
sistem imunologi bayi itu sendiri serta bayi yang diberikan ASI jarang
sakit (WHO, 1999).
Pada penelitian ini faktor yang paling mempengaruhi adalah
pemberian ASI Eksklusif. Seperti kita ketahui pemberian ASI Eksklusif
adalah memberikan hanya ASI saja tanpa memberikan makanan dan
minuman lain kepada bayi sejak lahir sampai berusia enam bulan, kecuali
obat dan vitamin (Depkes, 2003).
Dapat disimpulkan bahwa kejadian berat badan tidak naik (2T) pada
baduta sangat dipengaruhi oleh pemberian ASI Eksklusif. Dimana
terjadinya kurang gizi, erat kaitanya dengan produksi ASI maupun
lamanya pemberian ASI. Tidak diberikannya atau terlalu cepatnya bayi
disapih akan memperbesar kemungkinan keadaan gizi kurang. Bayi hanya
diberi ASI saja pada usia 0-6 bulan karena produksi ASI pada periode

118
tersebut sudah dapat mencukupi kebutuhan bayi untuk tumbuh kembang
yang sehat (Depkes, 2003).
Menurut WHO (1998) dalam Mutiara (2006), bayi sampai umur
enam bulan tetap tumbuh normal dan sehat dengan hanya diberi ASI.
Setelah bayi umur enam bulan MP-ASI harus diberikan karena kebutuhan
gizi bayi semakin meningkat dan tidak dapat dipenuhi hanya dari ASI.
Bentuk MP-ASI harus disesuaikan dengan kemampuan pencernaan bayi
dan harus mengandung cukup energi, protein serta vitamin dan mineral
secara cukup.
Berdasarkan analisis yang telah dilakukan, diketahui bahwa
koefisien determinan (Nagelkerke R Square) menunjukkan nilai 0,410
artinya bahwa model regresi yang diperoleh dapat menjelaskan 41%
variasi variabel dependen yaitu berat badan tidak naik (2T). Dengan
demikian variabel ASI Eksklusif, Lamanya Pemberian MP-ASI
Kemenkes, Riwayat Penyakit Infeksi, Pola Konsumsi Susu dan Interaksi
antara ASI Eksklusif dengan Riwayat Penyakit Infeksi hanya dapat
menjelaskan variasi variabel berat badan tidak naik (2T) sebesar 41%,
sedangkan 59% dijelaskan variabel lainya yang tidak diteliti.

119
BAB VII
PENUTUP
7.1 Kesimpulan
1. Gambaran pemberian ASI Eksklusif pada baduta setelah pemberian program
MP-ASI Kemenkes di Kecamatan Pancoran, Jakarta Selatan Tahun 2011
yaitu sebanyak 48 ibu (58,5%) memberikan ASI Eksklusif dan sebanyak 34
ibu (41,5%) tidak memberikan ASI Eksklusif.
2. Gambaran lamanya pemberian program MP-ASI Kemenkes pada baduta
gakin di Kecamatan Pancoran, Jakarta Selatan Tahun 2011 yaitu sebanyak 64
baduta (78%) yang mengkonsumsi MP-ASI Kemenkes selama ≥ 90 hari dan
sebanyak 18 baduta (22%) yang mengkonsumsi MP-ASI Kemenkes selama >
90 hari.
3. Gambaran riwayat penyakit infeksi pada baduta gakin setelah pemberian
program MP-ASI Kemenkes di Kecamatan Pancoran, Jakarta Selatan Tahun
2011 yaitu sebanyak 28 baduta (34,1%) tidak pernah menderita penyakit
infeksi dan sebanyak 52 baduta (65,9%) pernah menderita penyakit infeksi.
4. Gambaran pola konsumsi makan baduta pada baduta gakin setelah pemberian
program MP-ASI Kemenkes di Kecamatan Pancoran, Jakarta Selatan Tahun
2011, yaitu:
a. Sebanyak 55 baduta (67,1%) sering mengkonsumsi makanan pokok dan
sebanyak 27 baduta (32,9%) jarang mengkonsumsi makanan pokok.
b. Sebanyak 18 baduta (22%) sering mengkonsumsi lauk hewani dan
sebanyak 64 baduta (78%) jarang mengkonsumsi lauk hewani.

120
c. Sebanyak 21 baduta (25,6%) sering mengkonsumsi lauk nabati dan
sebanyak 61 baduta (74,4%) jarang mengkonsumsi lauk nabati.
d. Sebanyak 35 baduta (42,7%) sering mengkonsumsi sayuran dan sebanyak
47 baduta (57,3%) jarang mengkonsumsi sayuran.
e. Sebanyak 48 baduta (58,5%) sering mengkonsumsi buah dan sebanyak 34
baduta (41,5%) jarang mengkonsumsi buah.
f. Sebanyak 17 baduta (20,7%) sering mengkonsumsi susu dan sebanyak 65
baduta jarang mengkonsumsi susu.
5. Ada hubungan antara pemberian ASI Eksklusif dengan berat badan tidak naik
(2T) pada baduta gakin setelah pemberian program MP-ASI Kemenkes di
Kecamatan Pancoran, Jakarta Selatan Tahun 2011 dengan OR 3,485 dan nilai
interval CI 95% (1,380-8,798).
6. Ada hubungan antara lamanya pemberian program MP-ASI Kemenkes
dengan berat badan tidak naik (2T) pada baduta gakin di Kecamatan
Pancoran, Jakarta Selatan Tahun 2011 dengan OR 0,299 dan nilai interval CI
95% (0,095-0,0939).
7. Ada hubungan antara riwayat penyakit infeksi dengan berat badan tidak naik
(2T) pada baduta gakin setelah pemberian program MP-ASI Kemenkes di
Kecamatan Pancoran, Jakarta Selatan Tahun 2011 dengan OR 3,071 dan nilai
interval CI 95% (1,174-8,028).
8. Hubungan antara pola konsumsi makan dengan berat badan tidak naik (2T)
pada baduta gakin setelah pemberian program MP-ASI Kemenkes di
Kecamatan Pancoran, Jakarta Selatan Tahun 2011, yaitu:

121
a. Tidak ada hubungan antara: pola makan makanan pokok dengan berat
badan tidak naik (2T) dengan OR 0,717 dan nilai interval CI 95% (0,284-
1,810), pola makan lauk hewani dengan berat badan tidak naik (2T)
dengan OR 1,331 dan nilai interval CI 95% (0,465-3,806), pola makan
lauk nabati dengan berat badan tidak naik (2T) dengan OR 1,137 dan nilai
interval CI 95% (0,421-3,067), pola makan sayuran dengan berat badan
tidak naik (2T) dengan OR 1,105 dan nilai interval CI 95% (0,460-2,652),
pola makan buah dengan berat badan tidak naik (2T) dengan OR 0,818 dan
nilai interval CI 95% (0,339-1,971).
b. Ada hubungan antara pola minum susu dengan berat badan tidak naik (2T)
dengan OR 0,233 dan nilai interval CI 95% (0,069-0,791).
9. Adanya faktor yang paling dominan mempengaruhi berat badan tidak naik
(2T) pada baduta gakin setelah pemberian program MP-ASI Kemenkes di
Kecamatan Pancoran, Jakarta Selatan Tahun 2011 adalah ASI Eksklusif
dengan nilai B (6,152).
7.2 Saran
1. Meningkatkan pentingnya pemberian ASI Eksklusif untuk memberikan
imunitas terhadap penyakit infeksi
2. Untuk mengoptimalkan status gizi baduta diperlukan frekuensi minum susu
sesuai dengan Pedoman Gizi Seimbang (PGS)
3. Diperlukannya sosialisasi menyeluruh mengenai program MP-ASI
Kemenkes, baik sasaran yang jelas, jangka waktu pemberian biskuit dan
petunjuk tentang program MP-ASI Kemenkes tersebut oleh para kader,
petugas kesehatan, maupun pranata sosial.

122
4. Diperlukannya personal hyiegene ibu, pengetahuan mengenai pola makan
yang baik dan bergizi, dan kebersihan lingkungan rumah dalam menjaga serta
meningkatkan derajat kesehatan keluarganya, khususnya bagi anaknya.
5. Untuk pengukuran pola konsumsi makan, sebaiknya dilakukan saat baduta
tersebut mendapatkan Program MP-ASI Kemenkes tersebut.
6. Untuk penelitian selanjutnya, disarankan untuk meneliti variabel penyakit
metabolisme bawaan, dimana faktor tersebut menyebabkan kejadian stunting
pada balita.

DAFTAR PUSTAKA
Al-Shobuny, Imam Muhammad’ Ali. 1418 H. Shofwat al-Tafasir. Mekah: Dar al-
Shobuny
Albar, Hussein. 2004. Makanan Pendamping ASI. Cermin Dunia Kedokteran. No.
145:51-55. Makassar: FK UNHAS.
Alimul, Aziz Hidayat. 2009. Pengantar Ilmu Kesehatan Anak untuk Pendidikan
Kebidanan. Jakarta: Salemba Medika
Almatsier, Sunita. 2001. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka
Utama.
Ariawan, Iwan. 1996. Besar dan Metode Sampel pada Penelitian Kesehatan. Depok:
Jurusan Biostatistika dan Kependududkan FKM UI.
Arisman. 2004. Gizi dalam Daur Kehidupan: Buku Ajar Ilmu Gizi. Jakarta:EGC.
As-Syyid, Abdul Muhammad. 2009. Pola Makan Rasulullah Makanan Sehat
Berkualitas Menurut Al-Quran dan As-Sunnah. Jakarta: PT. Almahira
Astari, Dwi Lita, dkk. 2006. Hubungan Konsumsi ASI dan MP-ASI serta Kejadian
Stunting Anak Usia 6-12 Bulan di Kabupaten Bogor. Bogor: Media Gizi&
Keluarga.
Azwar, Azrul. 2000. Masalah Gizi Kurang pada Balita dan Upaya Penanggulangan di
Indonesia. Jakarta: Majalah Kesehatan Masyarakat, Tahun XXVII, No. 11.
Azwar, Azrul. 2004. Aspek Kesehatan dan Gizi dalam Ketahanan Pangan. Jakarta:
Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VIII LIPI.
Biddulph, John, dkk. 1999. Kesehatan Anak Untuk Perawat, Petugas Penyuluhan
Kesehatan dan Bidan di Desa. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Brown, K.H., K. Dewey & L. Allen 1998. Complementary Feeding of Young Children
in Developing Countries. A review of Current Scientific Knowledge. World
Health Organization, Genewa.
Cynthia. 2009. Vaksin Untuk Imunisasi Balita. (diakses tanggal 30 April 2011).
http://piogama.ugm.ac.id.
_________________. 1992. Pedoman Pemantauan Status Gizi (PSG) Melalui
Posyandu. Jakarta: Direktorat Bina Gizi Masyarakat Departemen Kesehatan
RI.

_________________. 2000. Rencana Aksi Pangan dan Gizi Nasional 2001-2005.
Jakarta: Departemen Kesehatan RI.
_________________. 2002. Program Gizi Makro. Jakarta: Direktorat Jenderal Bina
Kesehatan Masyarakat. Direktorat Gizi Masyarakat.
_________________. 2002. Tata Cara Pemberian MP-ASI Rumah Tangga. Jakarta:
Departemen Kesehatan RI.
_________________. 2003. Pedoman Umum Gizi Seimbang (Panduan Untuk Petugas).
Jakarta: Direktorat Jenderal Bina Kesehatan Masyarakat. Direktorat Gizi
Masyarakat.
_________________. 2003. Status Gizi Ibu Hamil, Bayi dan Balita Tahun 1989-2002.
Jakarta: Pusat Data dan Informasi Departemen Kesehatan RI.
_________________. 2004. Pedoman Pelaksanaan Pendistribusian dan Pengelolaan
Makanan Pendamping Air Susu Ibu (MP-ASI) Tahun 2004. Jakarta:
Departemen Kesehatan RI.
_________________. 2006. Pedoman Umum Pemberian Makanan Pendamping Air
Susu Ibu (MP-ASI) Lokal Tahun 2006. Jakarta: Departemen Kesehatan RI.
_________________. 2008. Laporan Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas)
Indonesia Tahun 2007. Jakarta: Departemen Kesehatan RI.
_________________. 2008. Prosedur Mutu Makanan Pendamping Air Susu Ibu (MP-
ASI bagi Bayi 6-11 bulan dan Anak 12-23 bulan BGM Gakin Tahun 2008).
Jakarta: Dinas Kesehatan Provinsi DKI Jakarta.
_________________. 2009. Laporan Tahunan Program Gizi Dinas Kesehatan Provinsi
DKI Jakarta Tahun 2008 . Jakarta: Dinas Kesehatan Provinsi DKI Jakarta.
_________________. 2011. Laporan Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Provinsi
DKI Jakarta Tahun 2010 . Jakarta: Departemen Kesehatan RI.
_________________. 2011. Laporan Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas)
Indonesia Tahun 2010 . Jakarta: Departemen Kesehatan RI.
_________________. 2011. Laporan Tahunan Suku Dinas Kesehatan Jakarta Selatan
Tahun 2010. Jakarta: Sudin Kesehatan Jakarta Selatan.
_________________. 2011. Pedoman Kader Seri Kesehatan Anak. Jakarta: Kementrian
Kesehatan RI.
Direktorat Gizi Masyarakat. 2000. Buku Panduan Pengelolaan Program Perbaikan Gizi
Kabupaten/Kota. Jakarta: Departemen Kesehatan RI.

Direktorat Gizi Masyarakat. 2005. Petunjuk Teknis Standar Pelayanan Minimal (SPM)
Penyelenggraan Perbaikan Gizi Masyarakat. Jakarta: Departemen Kesehatan
RI.
Ebrahim, G.J. 1996. Air Susu Ibu.Yogyakarta: Yayasan Essentia Medika.
Eregie,C.O. and Abraham,R. 1997. Studies on Exclusive Breastfeeding: Observations on
The Adequacy of Breast Milk as Sole Nutrient for The First Six Month of Life.
International Child Health: a Digest of Current Information. An
International Pediatrics Association Publication in Collaboration with
UNICEF and WHO. VIII, 4 : 49-54.
Feddelia, Ellan. 2006. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Status Gizi Balita di
Lingkungan Pemulung Ciputat Tahun 2006. Depok: Skripsi FKM UI.
Kartono, Djoko, dkk. 1993. Beberapa Aspek Psiko Sosial Pada Anak Kurang Energi
Protein di Daerah Bogor. Bogor: Penelitian Gizi dan Makanan.
Hadi, Imam. 2005. Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Status Gizi Balita di
Kelurahan Neglasari dan Kedaung Wetan Tahun 2005. Depok: Skripsi
FKM UI.
Hauvast,J.L.A., J.J.M. Toolboom, L.J.M. Heijden van der, A.K. Luneta, W.A. Staveren
van, S.M. van. Gastel. 2000. Food Consumption of Young Stunted and
Non-Stunned Children in Rural Zambia. Eur J Clin Nutr 53:50-59
[abstrak]
Heinig, J., et all,. 1993. Energy and Protein Intake of Breast-Fed and Formula-Fed
Infant During the First Year of Life and Their Association with Growth
Velocity: The DARLING Study. American Journal of Clinical
Nutrition.58:152-161.
Hermina. 1992. Keragaman Pengetahuan Gizi dan Pengetahuan Praktek Pemberian
Makanan Bayi dan Anak dari Ibu Balita Gizi Buruk di daerah Bogor dan
sekitarnya. Bogor: Penelitian Gizi dan Makanan.
Hull, David. 1994. Pedoman Bagi Orang Tua: Kesehatan Anak. Jakarta: Arcan.
Hurlock, EB. 1997. Perkembangan Anak Jilid 1. Jakarta : PT Gramedia.
Jahari,A.B.,Sandjaya,H.Sudirman, Soekirman,I. Juss’at, D. Latief & Atmarita.2000.
Status Gizi Balita di Indonesia sebelum dan sesudah krisis (Analisa data
antropometri Susenas 1989 s/d 1999). Jakarta: Widya Karya Pangan dan
Gizi
Kartika, Vita, dkk. 2003. Studi Dampak Pemberian Makanan Pendamping Air Susu Ibu.
Penelitian Gizi dan Makanan. 26 (1): 1-10.

Kurniasih,dkk. 2010. Sehat dan Bugar Berkat Gizi Seimbang (PGS). Jakarta:
PT.Gramedia.
Lestari, 1996. Menjaga Kesehatan Balita. Jakarta: Puspa Swara.
Moehyi. 1988. Pemeliharaan Gizi Bayi dan Balita. Jakarta: Bhratara Karya Angkasa.
Muthmainah, Ani, dkk. 1996. Beberapa Faktor Yang Berhubungan dengan Tingkat
Kecukupan Anak Usia 2-5 Tahun. Bogor: IPB Media Gizi dan Keluarga.
Mutiara, Ira. 2006. Hubungan Pemberian Makan dan ASI serta Faktor-Faktor Lain
dengan Status Gizi Buruk Balita dengan Tanda Klinis. Depok: Tesis
FKM UI.
Notoatmodjo, Soekidjo. 2003. Ilmu Kesehatan Masyarakat: Prinsip-Prinsip Dasar.
Jakarta: Rineka Cipta
Nursalam, dkk. 2005. Asuhan Keperawatan Bayi dan Anak (untuk Perawat dan Bidan).
Jakarta: Salemba Medika.
Oktaviyanti, Rika. 2007. Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Status Gizi Anak
Usia 6-24 Bulan di Kelurahan Ratu Jaya Kecamatan Pancoran Mas Kota
Depok Jawa Barat Tahun 2007. Depok: Skripsi FKM UI.
Persagi dan RS Dr. Cipto Mangunkusumo. 1992. Penuntun Diit Anak. Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama.
Pudjiadi, Solihin. 2000. Ilmu Gizi Klinis pada Anak. Edisi keempat. Jakarta: Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia.
Roesli, Utami. 2000. Mengenal ASI Ekskusif Seri I. Jakarta: Trubus Agriwirdya.
Santoso, Soegeng dan Anne Lies Ranti. 1999. Kesehatan dan Gizi. Jakarta: PT. Rineka
Cipta.
Sari, Tri Novita. 1999. Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Status Gizi Balita di
Desa Sirnagalih Kecamatan Ciomas Bogor Juli 1998. Depok: Skripsi
FKM UI.
Satoto, 1997. Fitrah dan Tumbuh Kembang Anak. Pidato Pengukuhan Jabatan Guru
Besar Tetap dalam Ilmu Gizi pada Fakultas Kedokteran Universitas
Diponegoro Semarang.
Sediaoetama, Achmad Djaeni. 2006. Ilmu Gizi I untuk Mahasiswa dan Profesi Jilid 1.
Jakarta: Dian Rakyat.
Siahaan, Rinto. 2005. Pendamping ASI Cegah Kekurangan Gizi. (diakses tanggal 28
April 2011). http:// www. humanmedicine.net

Sihadi. 1999. Aplikasi Analisis Survival Untuk Menentukan Beberapa Faktor Yang
Berhubungan dengan Perbaikan Gizi Anak Balita Gizi Buruk,
Pengunjung Klinik Bogor (KGB) 1982-1997. Depok : Tesis FKM UI.
Soetjiningsih. 1997. ASI Petunjuk Untuk Tenaga Kesehatan. Jakarta: EGC.
Suharyono, dkk. 1992. Air Susu Ibu Tinjauan dari Beberapa Aspek. Jakarta: FKUI.
Sukmadewi, Sari. 2003. Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Status Gizi Balita di
Wilayah Puskesmas Bogor Tengah Kota Bogor Tahun 2003. Depok:
Skripsi FKM UI.
Sulistyowati, Heni. 2007. Hubungan antara Pengetahuan Ibu dan Pola Pemberian
Makanan Pendamping ASI dengan Status Gizi Balita Usia 4-24 Bulan di
Desa Sendangharjo Kecamatan Blora Kabupaten Blora Tahun 2007.
Semarang: Skripsi FIK UNES.
Supariasa, I Dewa Nyoman. 2001. Penilaian Status Gizi. Jakarta : EGC.
Thonthowi, Muhammad Sayid. 1420 H. Tafsir Al-Wasith. Kairo: Dar el Haromain
Utami, Karina Dewi. 2011. Faktor- Faktor Yang Berhubungan Dengan Pemberian MP-
ASI Dini Pada Bayi Kurang Dari 6 Bulan di Desa Sutopati Tahun 2011.
Ciputat: Skripsi FKIK UIN
Yenrina, 2006. Menyiapkan ASI. Jakarta: Puspa Swara
UNICEF, WHO, UNESCO, Kementrian Kesehatan RI, dkk. 2010. Penuntun Hidup
Sehat: Edisi Keempat. Jakarta : Kementrian Kesehatan RI.
WHO. 1999. Management Severe of Nutrition: a Manual for Physicians and other
Service Health Worker. Geneva.
WHO. 2003. Global Strategy for Infant and Young Child. (diakses 1 Mei 2011).
Widodo, Yekti, dkk. 2005. Pertumbuhan Bayi yang Mendapat ASI Eksklusif dan ASI
Tidak Ekskusif. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada.
Willet, Walter. 1998. Nutritional Epidemiology. New York: Oxford University Press
Ziegler, T.R., N. Bazargan & J.R. Galloway,. 2000. Glutamine Supplemented Nutrition
Support: Saving Nitrogen and Saving Money. Clinical Nutrition: 19(6);
375-377

KUESIONER
FAKTOR - FAKTOR YANG MEMPENGARUHI BERAT BADAN TIDAK NAIK
(2T) PADA BADUTA GAKIN SETELAH PEMBERIAN PROGRAM MP-ASI
KEMENKES DI KECAMATAN PANCORAN JAKARTA SELATAN
TAHUN 2011
Assalamu’alaikum Wr Wb
Perkenalkan nama saya M.Arbi Ramadhan, Mahasiswa Peminatan Gizi Jurusan
Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan, UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta. Saya sedang melakukan penelitian tentang faktor-faktor yang
mempengaruhi berat badan tidak naik (2T) pada baduta setelah pemberian MP-ASI
Kemenkes. Saya akan menanyakan mengenai berbagai faktor yang berpengaruh
terhadap ketidaknaikan BB (2T). Jawaban yang ibu berikan akan dirahasiakan sehingga
tidak seorang pun yang mengetahuinya
Apakah Ibu bersedia?
Ya
Tidak
Saya mohon kesediaan Ibu untuk diwawancarai untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan
yang akan saya berikan dengan jujur.
Terima kasih atas perhatian dan kerja samanya.
NO : Ks / Kr

1. IDENTITAS IBU
Nama Ibu : ..........................................................................
Umur Ibu : ..........................................................................
Suku Ibu : ..........................................................................
Suku Ayah : ..........................................................................
Pendidikan terakhir : ..........................................................................
Alamat : ...........................................................................
2. IDENTITAS BADUTA
Nama Baduta : ............................................................................
Jenis Kelamin : .............................................................................
Umur Baduta : ............................................................................
Anak ke/saudara : ............ / ..............
A. ASI Eksklusif
1 Ketika anak ibu lahir, apakah ibu langsung memberikan
ASI ?
a. Ya
b. Tidak
A 1 [ ]
2 Jika tidak, apa yang ibu berikan?
a. Susu Formula
b. Madu
c. Air Putih
d. Pisang
a. Lainnya, sebutkan .............................
A 2 [ ]
3 Apakah ada hambatan dalam menyusui ?
a. Tidak
b. Ya
A 3 [ ]
4 Bagi ibu yang mengalami hambatan menyusui (selama
0-6 bulan), apa yang ibu berikan kepada anak ?
a. Tetap memberikan ASI
b. Susu Formula
c. Madu
A 4 [ ]

d. Air Putih
e. Pisang
f. Lainnya, sebutkan ...........................
5 Apakah ibu hanya memberikan ASI saja sampai umur 6
bulan?
a. Ya
b. Tidak
A 5 [ ]
B. Pasca ASI Eksklusif
6 Apakah anak ibu tetap diberi ASI sampai usia 2 tahun?
a. Ya
b. Tidak
B 6 [ ]
7 Jika tidak, sampai usia berapa anak ibu diberikan
ASI ? Alasannya ?
........................................................................
.......................................................................
C. MP-ASI Kemenkes
8 Apakah ibu mengetahui tentang MP-ASI Kemenkes ?
a. Ya
b. Tidak
C 8 [ ]
9 Berapa lama anak ibu diberikan Biskuit MP-ASI ?
a. ≥ 90 hari
b. < 90 hari
C 9 [ ]
10 Apakah biskuit tersebut rutin dimakan sesuai anjuran ?
(1 kemasan= 120 gr/hari)
a. Ya
b. Tidak
C 10 [ ]
11 Apakah biskuit tersebut hanya dimakan oleh anak ibu
saja ?
a. Ya
b. Tidak
C 11 [ ]
12 Jika tidak, dimakan oleh siapa saja?
a. Ayah/ Ibu
b. Kakak/Adik
c. Saudara
d. Teman sebaya
e. Lainnya, sebutkan ................................................
C 12 [ ]

D. RIWAYAT PENYAKIT INFEKSI
13 Apakah anak ibu pernah mengalami sakit selama
pemberian MP-ASI Kemenkes?
a. Tidak
b. Ya
D 13 [ ]
14 Dalam kurun waktu tersebut, penyakit apa yang diderita
anak ibu?
a. ISPA
b. TBC
c. Diare
d. Cacingan
e. Demam
f. Lain-lain .....................................................
D 14 [ ]
15 Gejala – gejala seperti apa yang dialami oleh baduta
ibu?
..................................................................................
..................................................................................
..................................................................................
16 Berapa lama baduta ibu menderita penyakit tersebut?
...............................................................................
17 Apakah ibu sudah mencari pengobatan untuk baduta
selama menderita penyakit tersebut?
a. Ya
b. Tidak
D 17 [ ]
18 Jika Ya, kemana ibu mencari pengobatan untuk baduta?
a. Posyandu/Puskesmas
b. Rumah Sakit/Klinik
c. Pengobatan Alternatif
D 18 [ ]
E. SANITASI LINGKUNGAN & PERSONAL HYGIENE
19 Darimana sumber air yang digunakan ibu untuk
kebutuhan sehari-hari?
a. PDAM/ sejenisnya
b. Sumur
c. Air isi ulang
E 19 [ ]
20 Bagaimana kualitas fisik air minum yang sering
dikonsumsi?
a. Jernih
b. Keruh dan berwarna
c. Berbau dan berasa
E 20 [ ]
21 Bagaimana pengelolaan air sebelum diminum?
a. Dimasak/ direbus E 21 [ ]

b. Disaring saja
c. Langsung diminum
22 Bagaimana saluran pembuangan air limbah dari kamar
mandi/dapur/cuci?
a. Saluran Tertutup
b. Saluran Terbuka
c. Tanpa Saluran
E 22 [ ]
23 Apakah di sekitar sumber air terdapat sumber
pencemaran (air limbah/tangki septik/sampah), apabila
ada berapa jaraknya dari sumber air tersebut?
a. Tidak ada
b. Ada, < 5 meter
c. Ada, > 5 meter
E 23 [ ]
24 Bagaimana keadaan sirkulasi udara rumah ibu?
a. Sangat lancar
b. Terhambat, karena kurangnya sarana fentilasi
E 24 [ ]
25 Apakah ibu selalu membiasakan mencuci tangan
dengan sabun sebelum memberikan makanan ke anak
ibu?
a. Ya,selalu
b. Hanya mencuci tangan dengan air bersih
c. Tidak pernah
E 25 [ ]
26 Apakah ibu selalu mencuci peralatan makan dan minum
anak dengan sabun?
a. Ya, selalu
b. Hanya mencuci dengan air bersih
c. Tidak pernah
E 26 [ ]
Form Checklist (√)
Hal yang diamati Penilaian
1. Air Minum Jernih Keruh Berbau Berwarna Berasa
2. Sirkulasi Udara Sangat
lancar Lancar Terhambat
Tidak ada
ventilasi
3. Selokan Sangat
lancar Lancar Terhambat
4. Kebersihan
Rumah Bersih
Cukup
bersih
Tidak
bersih Kotor
Sangat
kotor

FORMULIR METODE FREKUENSI MAKANAN FFQ – KUALITATIF
Nama Baduta :
Umur Baduta :
Jenis Kelamin :
Tanggal Wawancara :
Nama Bahan Makanan
Frekuensi Konsumsi Keterangan
Tid
ak
Per
na
h
1x
/ha
ri
2-3
x/h
ari
4-6
x/h
ari
1x
/min
gg
u
1-3
x/m
ing
gu
2-4
x/m
ing
gu
1x
/bu
lan
1-3
x/b
ula
n
1. Makanan Pokok
dan Produk Lainnya
a. Nasi
b. Roti
c. Mie/Bihun
d. Biskuit MP-ASI
e.
2. Lauk Hewani dan
Produk Lainnya
a. Telur
b. Daging
c. Ikan
d.
f.

3. Lauk Nabati dan
Produk Lainnya
a. Tempe
b. Tahu
c. Kedelai
d. Kacang Hijau
e.
4. Sayur-Sayuran
a. Bayam
b. Kangkung
c. Kacang Panjang
d.Sop
e.
5. Buah-buahan
a. Pisang
b. Jeruk
c. Apel
d. Jambu
e.
7. Susu dan Produk
Olahannya
a. Susu Sapi
b. Susu UHT
c. Ice Cream
d. Yogurt
e.

Analisis Univariat
1. ASI Eksklusif
Statistics
A5
N Valid 82
Missing 0
A5
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid ya 48 58.5 58.5 58.5
tidak 34 41.5 41.5 100.0
Total 82 100.0 100.0
2. Lamanya pemberian MP-ASI Kemenkes
Statistics
C9
N Valid 82
Missing 0
C9
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid >90 hari 64 78.0 78.0 78.0
<90 hari 18 22.0 22.0 100.0
Total 82 100.0 100.0

3. Riwayat Penyakit Infeksi
Statistics
D13
N Valid 82
Missing 0
D13
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid tidak 28 34.1 34.1 34.1
ya 54 65.9 65.9 100.0
Total 82 100.0 100.0
4. Pola Konsumsi Makan
a. Makanan Pokok
Statistics
makananpokok
N Valid 82
Missing 0
makananpokok
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid Sering > 2kali/hari 55 67.1 67.1 67.1
Jarang < 2kali/hari 27 32.9 32.9 100.0
Total 82 100.0 100.0

b. Lauk Hewani
Statistics
laukhewani
N Valid 82
Missing 0
laukhewani
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid Sering > 2kali/hari 18 22.0 22.0 22.0
Jarang < 2kali/hari 64 78.0 78.0 100.0
Total 82 100.0 100.0
d. Lauk Nabati
Statistics
lauknabati
N Valid 82
Missing 0
lauknabati
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid Sering > 2kali/hari 21 25.6 25.6 25.6
Jarang < 2kali/hari 61 74.4 74.4 100.0
Total 82 100.0 100.0

c. Sayuran
Statistics
Sayuran
N Valid 82
Missing 0
sayuran
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid Sering > 2kali/hari 35 42.7 42.7 42.7
Jarang < 2kali/hari 47 57.3 57.3 100.0
Total 82 100.0 100.0
e. Buah
Statistics
buah
N Valid 82
Missing 0
buah
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid Sering > 2kali/hari 48 58.5 58.5 58.5
Jarang < 2kali/hari 34 41.5 41.5 100.0
Total 82 100.0 100.0

f. Susu
Statistics
susu
N Valid 82
Missing 0
Susu
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid Sering > 2kali/hari 17 20.7 20.7 20.7
Jarang < 2kali/hari 65 79.3 79.3 100.0
Total 82 100.0 100.0

Analisis Bivariat
1. ASI Eksklusif dgn 2T
Case Processing Summary
Cases
Valid Missing Total
N Percent N Percent N Percent
A5 * BB 82 100.0% 0 .0% 82 100.0%
A5 * BB Crosstabulation
BB
Total non 2T 2T
A5 Ya Count 30 18 48
% within BB 73.2% 43.9% 58.5%
Tidak Count 11 23 34
% within BB 26.8% 56.1% 41.5%
Total Count 41 41 82
% within BB 100.0% 100.0% 100.0%
Chi-Square Tests
Value df
Asymp. Sig. (2-
sided)
Exact Sig. (2-
sided)
Exact Sig. (1-
sided)
Pearson Chi-Square 7.235a 1 .007
Continuity Correctionb 6.080 1 .014
Likelihood Ratio 7.360 1 .007
Fisher's Exact Test .013 .007
Linear-by-Linear Association 7.147 1 .008
N of Valid Casesb 82
a. 0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 17,00.
b. Computed only for a 2x2 table

Risk Estimate
Value
95% Confidence Interval
Lower Upper
Odds Ratio for A5 (Ya /
Tidak) 3.485 1.380 8.798
For cohort BB = non 2T 1.932 1.133 3.292
For cohort BB = 2T .554 .360 .855
N of Valid Cases 82

2. Lamanya pemberian MP-ASI Kemenkes dgn 2T
Case Processing Summary
Cases
Valid Missing Total
N Percent N Percent N Percent
C9 * BB 82 100.0% 0 .0% 82 100.0%
C9 * BB Crosstabulation
BB
Total non 2T 2T
C9 >=90 hari Count 28 36 64
% within BB 68.3% 87.8% 78.0%
< 90 hari Count 13 5 18
% within BB 31.7% 12.2% 22.0%
Total Count 41 41 82
% within BB 100.0% 100.0% 100.0%
Chi-Square Tests
Value Df
Asymp. Sig. (2-
sided)
Exact Sig. (2-
sided)
Exact Sig. (1-
sided)
Pearson Chi-Square 4.556a 1 .033
Continuity Correctionb 3.488 1 .062
Likelihood Ratio 4.686 1 .030
Fisher's Exact Test .060 .030
Linear-by-Linear Association 4.500 1 .034
N of Valid Casesb 82
a. 0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 9,00.
b. Computed only for a 2x2 table

Risk Estimate
Value
95% Confidence Interval
Lower Upper
Odds Ratio for C9 (>=90 hari
/ < 90 hari) .299 .095 .939
For cohort BB = non 2T .606 .406 .903
For cohort BB = 2T 2.025 .932 4.398
N of Valid Cases 82

3. Riwayat Penyakit Infeksi dgn 2T
Case Processing Summary
Cases
Valid Missing Total
N Percent N Percent N Percent
D13 * BB 82 100.0% 0 .0% 82 100.0%
D13 * BB Crosstabulation
BB
Total non 2T 2T
D13 Tidak Count 19 9 28
% within BB 46.3% 22.0% 34.1%
Ya Count 22 32 54
% within BB 53.7% 78.0% 65.9%
Total Count 41 41 82
% within BB 100.0% 100.0% 100.0%
Chi-Square Tests
Value df
Asymp. Sig. (2-
sided)
Exact Sig. (2-
sided)
Exact Sig. (1-
sided)
Pearson Chi-Square 5.423a 1 .020
Continuity Correctionb 4.393 1 .036
Likelihood Ratio 5.514 1 .019
Fisher's Exact Test .035 .018
Linear-by-Linear Association 5.357 1 .021
N of Valid Casesb 82
a. 0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 14,00.
b. Computed only for a 2x2 table

Risk Estimate
Value
95% Confidence Interval
Lower Upper
Odds Ratio for D13 (Tidak /
Ya) 3.071 1.174 8.028
For cohort BB = non 2T 1.666 1.105 2.511
For cohort BB = 2T .542 .303 .971
N of Valid Cases 82

4. Pola Konsumsi Makanan
a. Makanan Pokok dgn 2T
Case Processing Summary
Cases
Valid Missing Total
N Percent N Percent N Percent
mkananpokok * BB 82 100.0% 0 .0% 82 100.0%
mkananpokok * BB Crosstabulation
BB
Total non 2T 2T
mkananpokok Sering > 2kali/hari Count 26 29 55
% within BB 63.4% 70.7% 67.1%
Jarang < 2 kali/hari Count 15 12 27
% within BB 36.6% 29.3% 32.9%
Total Count 41 41 82
% within BB 100.0% 100.0% 100.0%
Chi-Square Tests
Value df
Asymp. Sig. (2-
sided)
Exact Sig. (2-
sided)
Exact Sig. (1-
sided)
Pearson Chi-Square .497a 1 .481
Continuity Correctionb .221 1 .638
Likelihood Ratio .498 1 .480
Fisher's Exact Test .639 .319
Linear-by-Linear Association .491 1 .484
N of Valid Casesb 82
a. 0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 13,50.
b. Computed only for a 2x2 table

Risk Estimate
Value
95% Confidence Interval
Lower Upper
Odds Ratio for mkananpokok
(Sering > 2kali/hari / Jarang
< 2 kali/hari)
.717 .284 1.810
For cohort BB = non 2T .851 .549 1.318
For cohort BB = 2T 1.186 .727 1.937
N of Valid Cases 82

b. Lauk Hewani dgn 2T
Case Processing Summary
Cases
Valid Missing Total
N Percent N Percent N Percent
laukhewani * BB 82 100.0% 0 .0% 82 100.0%
laukhewani * BB Crosstabulation
BB
Total non 2T 2T
laukhewani Sering > 2 kali/hari Count 10 8 18
% within BB 24.4% 19.5% 22.0%
Jarang < 2 kali/hari Count 31 33 64
% within BB 75.6% 80.5% 78.0%
Total Count 41 41 82
% within BB 100.0% 100.0% 100.0%
Chi-Square Tests
Value df
Asymp. Sig. (2-
sided)
Exact Sig. (2-
sided)
Exact Sig. (1-
sided)
Pearson Chi-Square .285a 1 .594
Continuity Correctionb .071 1 .790
Likelihood Ratio .285 1 .593
Fisher's Exact Test .790 .395
Linear-by-Linear Association .281 1 .596
N of Valid Casesb 82
a. 0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 9,00.
b. Computed only for a 2x2 table

Risk Estimate
Value
95% Confidence Interval
Lower Upper
Odds Ratio for laukhewani
(Sering > 2 kali/hari / Jarang
< 2 kali/hari)
1.331 .465 3.806
For cohort BB = non 2T 1.147 .707 1.862
For cohort BB = 2T .862 .488 1.522
N of Valid Cases 82

c. Lauk Nabati dgn 2T
Case Processing Summary
Cases
Valid Missing Total
N Percent N Percent N Percent
lauknabati * BB 82 100.0% 0 .0% 82 100.0%
lauknabati * BB Crosstabulation
BB
Total non 2T 2T
lauknabati Sering > 2 kali/hari Count 11 10 21
% within BB 26.8% 24.4% 25.6%
Jarang < 2 kali/hari Count 30 31 61
% within BB 73.2% 75.6% 74.4%
Total Count 41 41 82
% within BB 100.0% 100.0% 100.0%
Chi-Square Tests
Value df
Asymp. Sig. (2-
sided)
Exact Sig. (2-
sided)
Exact Sig. (1-
sided)
Pearson Chi-Square .064a 1 .800
Continuity Correctionb .000 1 1.000
Likelihood Ratio .064 1 .800
Fisher's Exact Test 1.000 .500
Linear-by-Linear Association .063 1 .801
N of Valid Casesb 82
a. 0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 10,50.
b. Computed only for a 2x2 table

Risk Estimate
Value
95% Confidence Interval
Lower Upper
Odds Ratio for lauknabati
(Sering > 2 kali/hari / Jarang
< 2 kali/hari)
1.137 .421 3.067
For cohort BB = non 2T 1.065 .658 1.723
For cohort BB = 2T .937 .562 1.564
N of Valid Cases 82

d. Sayuran dgn 2T
Case Processing Summary
Cases
Valid Missing Total
N Percent N Percent N Percent
sayuran * BB 82 100.0% 0 .0% 82 100.0%
sayuran * BB Crosstabulation
BB
Total non 2T 2T
sayuran Sering > 2 kali/hari Count 18 17 35
% within BB 43.9% 41.5% 42.7%
Jarang < 2 kali/hari Count 23 24 47
% within BB 56.1% 58.5% 57.3%
Total Count 41 41 82
% within BB 100.0% 100.0% 100.0%
Chi-Square Tests
Value df
Asymp. Sig. (2-
sided)
Exact Sig. (2-
sided)
Exact Sig. (1-
sided)
Pearson Chi-Square .050a 1 .823
Continuity Correctionb .000 1 1.000
Likelihood Ratio .050 1 .823
Fisher's Exact Test 1.000 .500
Linear-by-Linear Association .049 1 .824
N of Valid Casesb 82
a. 0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 17,50.
b. Computed only for a 2x2 table

Risk Estimate
Value
95% Confidence Interval
Lower Upper
Odds Ratio for sayuran
(Sering > 2 kali/hari / Jarang
< 2 kali/hari)
1.105 .460 2.652
For cohort BB = non 2T 1.051 .680 1.623
For cohort BB = 2T .951 .612 1.478
N of Valid Cases 82

e. Buah dgn 2T
Case Processing Summary
Cases
Valid Missing Total
N Percent N Percent N Percent
buah * BB 82 100.0% 0 .0% 82 100.0%
buah * BB Crosstabulation
BB
Total non 2T 2T
buah Sering > 2 kali/hari Count 23 25 48
% within BB 56.1% 61.0% 58.5%
Jarang < 2 kali/hari Count 18 16 34
% within BB 43.9% 39.0% 41.5%
Total Count 41 41 82
% within BB 100.0% 100.0% 100.0%
Chi-Square Tests
Value df
Asymp. Sig. (2-
sided)
Exact Sig. (2-
sided)
Exact Sig. (1-
sided)
Pearson Chi-Square .201a 1 .654
Continuity Correctionb .050 1 .823
Likelihood Ratio .201 1 .654
Fisher's Exact Test .823 .411
Linear-by-Linear Association .199 1 .656
N of Valid Casesb 82
a. 0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 17,00.
b. Computed only for a 2x2 table

Risk Estimate
Value
95% Confidence Interval
Lower Upper
Odds Ratio for buah (Sering
> 2 kali/hari / Jarang < 2
kali/hari)
.818 .339 1.971
For cohort BB = non 2T .905 .587 1.395
For cohort BB = 2T 1.107 .707 1.732
N of Valid Cases 82

f. Susu dgn 2T
Case Processing Summary
Cases
Valid Missing Total
N Percent N Percent N Percent
susu * BB 82 100.0% 0 .0% 82 100.0%
susu * BB Crosstabulation
BB
Total non 2T 2T
susu Sering > 2 kali/hari Count 4 13 17
% within BB 9.8% 31.7% 20.7%
Jarang < 2 kali/hari Count 37 28 65
% within BB 90.2% 68.3% 79.3%
Total Count 41 41 82
% within BB 100.0% 100.0% 100.0%
Chi-Square Tests
Value df
Asymp. Sig. (2-
sided)
Exact Sig. (2-
sided)
Exact Sig. (1-
sided)
Pearson Chi-Square 6.011a 1 .014
Continuity Correctionb 4.749 1 .029
Likelihood Ratio 6.267 1 .012
Fisher's Exact Test .027 .014
Linear-by-Linear Association 5.938 1 .015
N of Valid Casesb 82
a. 0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 8,50.
b. Computed only for a 2x2 table

Risk Estimate
Value
95% Confidence Interval
Lower Upper
Odds Ratio for susu (Sering
> 2 kali/hari / Jarang < 2
kali/hari)
.233 .069 .791
For cohort BB = non 2T .413 .171 .999
For cohort BB = 2T 1.775 1.209 2.607
N of Valid Cases 82

Analisis Multivariat
1. Kandidat Model
a. ASI Eksklusif
Omnibus Tests of Model Coefficients
Chi-square df Sig.
Step 1 Step 7.360 1 .007
Block 7.360 1 .007
Model 7.360 1 .007
b. Lamanya Pemberian MP-ASI Kemenkes
Omnibus Tests of Model Coefficients
Chi-square df Sig.
Step 1 Step 4.686 1 .030
Block 4.686 1 .030
Model 4.686 1 .030
c. Riwayat Penyakit Infeksi
Omnibus Tests of Model Coefficients
Chi-square df Sig.
Step 1 Step 5.514 1 .019
Block 5.514 1 .019
Model 5.514 1 .019
d. Pola Konsumsi Susu
Omnibus Tests of Model Coefficients
Chi-square df Sig.
Step 1 Step 6.267 1 .012
Block 6.267 1 .012
Model 6.267 1 .012

2. Pembuatan Model
Logistic Regression
Case Processing Summary
Unweighted Casesa N Percent
Selected Cases Included in Analysis 82 100.0
Missing Cases 0 .0
Total 82 100.0
Unselected Cases 0 .0
Total 82 100.0
a. If weight is in effect, see classification table for the total number of
cases.
Dependent Variable
Encoding
Original
Value Internal Value
non 2T 0
2T 1
Block 0: Beginning Block
Classification Tablea,b
Observed
Predicted
BB Percentage
Correct non 2T 2T
Step 0 BB non 2T 0 41 .0
2T 0 41 100.0
Overall Percentage 50.0
a. Constant is included in the model.
b. The cut value is ,500

Variables in the Equation
B S.E. Wald df Sig. Exp(B)
Step 0 Constant .000 .221 .000 1 1.000 1.000
Variables not in the Equation
Score df Sig.
Step 0 Variables A5 7.235 1 .007
C9 4.556 1 .033
D13 5.423 1 .020
Susu 6.011 1 .014
Overall Statistics 20.913 4 .000
Block 1: Method = Enter
Omnibus Tests of Model Coefficients
Chi-square df Sig.
Step 1 Step 24.828 4 .000
Block 24.828 4 .000
Model 24.828 4 .000
Model Summary
Step -2 Log likelihood
Cox & Snell R
Square
Nagelkerke R
Square
1 88.848a .261 .348
a. Estimation terminated at iteration number 5 because
parameter estimates changed by less than ,001.

Classification Tablea
Observed
Predicted
BB Percentage
Correct non 2T 2T
Step 1 BB non 2T 32 9 78.0
2T 21 20 48.8
Overall Percentage 63.4
a. The cut value is ,500
Variables in the Equation
B S.E. Wald df Sig. Exp(B)
95,0% C.I.for EXP(B)
Lower Upper
Step 1a A5 1.194 .535 4.977 1 .026 3.302 1.156 9.429
C9 -2.008 .772 6.772 1 .009 .134 .030 .609
D13 1.342 .581 5.334 1 .021 3.828 1.225 11.959
susu -1.869 .733 6.504 1 .011 .154 .037 .649
Constant 1.856 1.914 .940 1 .332 6.396
a. Variable(s) entered on step 1: A5, C9, D13, susu.

3. Uji Interaksi
Logistic Regression
Case Processing Summary
Unweighted Casesa N Percent
Selected Cases Included in Analysis 82 100.0
Missing Cases 0 .0
Total 82 100.0
Unselected Cases 0 .0
Total 82 100.0
a. If weight is in effect, see classification table for the total number of
cases.
Dependent Variable
Encoding
Original
Value Internal Value
non 2T 0
2T 1
Block 0: Beginning Block
Classification Tablea,b
Observed
Predicted
BB Percentage
Correct non 2T 2T
Step 0 BB non 2T 0 41 .0
2T 0 41 100.0
Overall Percentage 50.0
a. Constant is included in the model.
b. The cut value is ,500

Variables in the Equation
B S.E. Wald df Sig. Exp(B)
Step 0 Constant .000 .221 .000 1 1.000 1.000
Variables not in the Equation
Score df Sig.
Step 0 Variables A5 7.235 1 .007
C9 4.556 1 .033
D13 5.423 1 .020
Susu 6.011 1 .014
A5 by D13 8.071 1 .004
Overall Statistics 24.439 5 .000
Block 1: Method = Enter
Omnibus Tests of Model Coefficients
Chi-square df Sig.
Step 1 Step 30.127 5 .000
Block 30.127 5 .000
Model 30.127 5 .000
Model Summary
Step -2 Log likelihood
Cox & Snell R
Square
Nagelkerke R
Square
1 83.549a .307 .410
a. Estimation terminated at iteration number 5 because
parameter estimates changed by less than ,001.

Classification Tablea
Observed
Predicted
BB Percentage
Correct non 2T 2T
Step 1 BB non 2T 24 17 58.5
2T 4 37 90.2
Overall Percentage 74.4
a. The cut value is ,500
Variables in the Equation
B S.E. Wald df Sig. Exp(B)
95,0% C.I.for EXP(B)
Lower Upper
Step 1a A5 6.152 2.423 6.447 1 .011 469.450 4.067 5.419E4
C9 -1.963 .810 5.871 1 .015 .140 .029 .687
D13 5.460 2.065 6.990 1 .008 235.065 4.106 1.346E4
susu -2.296 .825 7.753 1 .005 .101 .020 .507
A5 by D13 -2.874 1.332 4.659 1 .031 .056 .004 .768
Constant -4.517 3.552 1.617 1 .204 .011
a. Variable(s) entered on step 1: A5, C9, D13, susu, A5 * D13 .

4. Tahap Akhir
Logistic Regression
Case Processing Summary
Unweighted Casesa N Percent
Selected Cases Included in Analysis 82 100.0
Missing Cases 0 .0
Total 82 100.0
Unselected Cases 0 .0
Total 82 100.0
a. If weight is in effect, see classification table for the total number of
cases.
Dependent Variable
Encoding
Original
Value Internal Value
non 2T 0
2T 1
Block 0: Beginning Block
Classification Tablea,b
Observed
Predicted
BB Percentage
Correct non 2T 2T
Step 0 BB non 2T 0 41 .0
2T 0 41 100.0
Overall Percentage 50.0
a. Constant is included in the model.
b. The cut value is ,500

Variables in the Equation
B S.E. Wald df Sig. Exp(B)
Step 0 Constant .000 .221 .000 1 1.000 1.000
Variables not in the Equation
Score df Sig.
Step 0 Variables A5 7.235 1 .007
C9 4.556 1 .033
D13 5.423 1 .020
susu 6.011 1 .014
Overall Statistics 20.913 4 .000
Block 1: Method = Enter
Omnibus Tests of Model Coefficients
Chi-square df Sig.
Step 1 Step 24.828 4 .000
Block 24.828 4 .000
Model 24.828 4 .000
Model Summary
Step -2 Log likelihood
Cox & Snell R
Square
Nagelkerke R
Square
1 88.848a .261 .348
a. Estimation terminated at iteration number 5 because
parameter estimates changed by less than ,001.

Classification Tablea
Observed
Predicted
BB Percentage
Correct non 2T 2T
Step 1 BB non 2T 32 9 78.0
2T 21 20 48.8
Overall Percentage 63.4
a. The cut value is ,500
Variables in the Equation
B S.E. Wald df Sig. Exp(B)
95,0% C.I.for EXP(B)
Lower Upper
Step 1a A5 1.194 .535 4.977 1 .026 3.302 1.156 9.429
C9 -2.008 .772 6.772 1 .009 .134 .030 .609
D13 1.342 .581 5.334 1 .021 3.828 1.225 11.959
susu -1.869 .733 6.504 1 .011 .154 .037 .649
Constant 1.856 1.914 .940 1 .332 6.396
a. Variable(s) entered on step 1: A5, C9, D13, susu.
Block 2: Method = Backward Stepwise (Wald)
Omnibus Tests of Model Coefficients
Chi-square df Sig.
Step 1 Step 5.299 1 .021
Block 5.299 1 .021
Model 30.127 5 .000

Model Summary
Step -2 Log likelihood
Cox & Snell R
Square
Nagelkerke R
Square
1 83.549a .307 .410
a. Estimation terminated at iteration number 5 because
parameter estimates changed by less than ,001.
Classification Tablea
Observed
Predicted
BB Percentage
Correct non 2T 2T
Step 1 BB non 2T 24 17 58.5
2T 4 37 90.2
Overall Percentage 74.4
a. The cut value is ,500
Variables in the Equation
B S.E. Wald df Sig. Exp(B)
95,0% C.I.for EXP(B)
Lower Upper
Step 1a A5 6.152 2.423 6.447 1 .011 469.450 4.067 5.419E4
C9 -1.963 .810 5.871 1 .015 .140 .029 .687
D13 5.460 2.065 6.990 1 .008 235.065 4.106 1.346E4
susu -2.296 .825 7.753 1 .005 .101 .020 .507
A5 by D13 -2.874 1.332 4.659 1 .031 .056 .004 .768
Constant -4.517 3.552 1.617 1 .204 .011
a. Variable(s) entered on step 1: A5 * D13 .