OLEH DEA MAGDALENA TUGAS AKHIR...

38
KOMITMEN UNTUK MENIKAH PADA INDIVIDU DEWASA YANGORANG TUANYA MENGALAMI PERCERAIAN DISERTAI KEKERASAN OLEH DEA MAGDALENA 80 2009 803 TUGAS AKHIR Ditujukan Kepada Fakultas Psikologi Guna Mememenuhi Sebagian Dari PersyaratanUntuk Mencapai Gelar Sarjana Psikologi Progam Studi Psikologi FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA SALATIGA 2016

Transcript of OLEH DEA MAGDALENA TUGAS AKHIR...

Page 1: OLEH DEA MAGDALENA TUGAS AKHIR …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/9382/2/T1_802009803_Full... · perceraian orangtua tetap bisa menorehkan luka batin yang menyakitkan bagi

KOMITMEN UNTUK MENIKAH PADA INDIVIDU DEWASA

YANGORANG TUANYA MENGALAMI PERCERAIAN DISERTAI

KEKERASAN

OLEH

DEA MAGDALENA

80 2009 803

TUGAS AKHIR

Ditujukan Kepada Fakultas Psikologi Guna Mememenuhi Sebagian Dari

PersyaratanUntuk Mencapai Gelar Sarjana Psikologi

Progam Studi Psikologi

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA

SALATIGA

2016

Page 2: OLEH DEA MAGDALENA TUGAS AKHIR …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/9382/2/T1_802009803_Full... · perceraian orangtua tetap bisa menorehkan luka batin yang menyakitkan bagi
Page 3: OLEH DEA MAGDALENA TUGAS AKHIR …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/9382/2/T1_802009803_Full... · perceraian orangtua tetap bisa menorehkan luka batin yang menyakitkan bagi
Page 4: OLEH DEA MAGDALENA TUGAS AKHIR …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/9382/2/T1_802009803_Full... · perceraian orangtua tetap bisa menorehkan luka batin yang menyakitkan bagi
Page 5: OLEH DEA MAGDALENA TUGAS AKHIR …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/9382/2/T1_802009803_Full... · perceraian orangtua tetap bisa menorehkan luka batin yang menyakitkan bagi
Page 6: OLEH DEA MAGDALENA TUGAS AKHIR …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/9382/2/T1_802009803_Full... · perceraian orangtua tetap bisa menorehkan luka batin yang menyakitkan bagi
Page 7: OLEH DEA MAGDALENA TUGAS AKHIR …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/9382/2/T1_802009803_Full... · perceraian orangtua tetap bisa menorehkan luka batin yang menyakitkan bagi

KOMITMEN UNTUK MENIKAH PADA INDIVIDU DEWASA

YANG ORANGTUANYA MENGALAMI PERCERAIAN DISERTAI

KEKERASAN

Dea Magdalena

Aloysius L. S. Soesilo

Christiana Hari Soetjiningsih

Progam Studi Psikologi

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA

SALATIGA

2016

Page 8: OLEH DEA MAGDALENA TUGAS AKHIR …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/9382/2/T1_802009803_Full... · perceraian orangtua tetap bisa menorehkan luka batin yang menyakitkan bagi

i

Abstrak

Tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan komitmen untuk menikah pada

individu dewasa yang orangtuanya mengalami perceraian disertai kekerasan.Penelitian

ini menggunakan metode kualitatif dengan teknik pengambilan data purposive sampling

dengan metode observasi partisipan dan wawancara.Partisipan penelitian ini adalah dua

orang dewasa yang memenuhi tiga kriteria yang telah di tentukan yaitu dewasa awal,

berasal dari keluarga yang bercerai dan sedang menjalin hubungan dating dengan lawan

jenisnya.Hasil penelitian ialah deskripsi mengenai komitmen untuk menikah yang

terdapat dalam hubungan antara partisipan dan pasangannya.Perceraian orang tua

membawa dampak positif dan negatif bagi partisipan.Lebih daripada itu, terdapat

perbedaan juga komitmen dari partisipan yang memiliki interaksi dengan orangtua dan

partisipan yang sudah tidak lagi dekat dengan orang tua karena perceraian.

Kata Kunci: Komitmen untuk menikah, kekerasan dalam pernikahan, perceraian

dalam pernikahan

Page 9: OLEH DEA MAGDALENA TUGAS AKHIR …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/9382/2/T1_802009803_Full... · perceraian orangtua tetap bisa menorehkan luka batin yang menyakitkan bagi

ii

Abstract

The purpose of this study was to describe the commitment to marriage by adult who the

parents have experience divorced with violent. The study used a qualitativ method to

collect the data by using purposive sampling and the method of participant observation

and interviews. The study on commitmen to marriage has been done to two people and

met three criteria definited that is early adult, come from divorced families and are in a

dating relationship with the partner. The results of the research showed description

about commitment to marriage is capable of relationship participants and the partner.

Experience parents divorced contributed negative and positivde impacts on participants.

Morever, this is differences of commitment from participants have good interactions with

parent and participants don't close with their parent because divorce.

Key words: commitment to marriage, violence in marriage, divorce in marriage

Page 10: OLEH DEA MAGDALENA TUGAS AKHIR …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/9382/2/T1_802009803_Full... · perceraian orangtua tetap bisa menorehkan luka batin yang menyakitkan bagi

1

PENDAHULUAN

Keluarga merupakan kelompok primer yang terpenting dalam masyarakat. Setiap

individu yang menjalani kehidupan rumah tangga tentunya mengharapkan rumah tangga

yang bahagia, namun tidak semua kehidupan keluarga berjalan seperti yang diharapkan.

Seperti yang dikatakan oleh Yusuf (dalam Merrin, 2008) yang mengatakan kalau

peristiwa perceraian adalah peristiwa yang tidak diharapkan dalam rumah tangga.

Berdasarkan data perkara perceraian yang ditangani Mahkamah Syari’ah dan

Peradilan Agama (PA) di seluruh Indonesia selama tahun 2009 terdapat 216.286 perkara

perceraian. Angka ini semakin meningkat pada tahun 2010 menjadi 251.208 perkara

perceraian dan pada tahun 2011 angka tersebut meningkat menjadi 314.967 perkara

perceraian. Menurut Wardoyo (dalam Amelia, 2008) perceraian merupakan kegagalan

dalam mengembangkan dan menyempumakan cinta antara suami istri.

Dari berbagai macam penyebab dari perkara perceraian yang diajukan, kekerasan

dalam rumah tangga (KDRT) merupakan salah satu penyebab utama dari terjadinya

perceraian tersebut. KDRT yang terjadi dapat berbentuk beberapa tindakan kekerasan,

diantaranya kekerasan fisik, kekerasan emosional, maupun penelantaran ekonomi.

Fenomena ini semakin meningkat dimana menurut Kepala Pengadilan Tinggi Agama

Jawa Tengah Chatib Rasyid menyatakan, selama 2010, ada lebih dari 130 kasus

perceraian karena kasus itu. Sedangkan tahun lalu meningkat menjadi 210 cerai gugat

maupun cerai talak akibat adanya tindak KDRT. Sedangkan menurut laporan tahunan

yang dikeluarkan oleh Komnas Perempuan, angka KDRT dari tahun 2001 sampai tercatat

98.564 kekerasan terhadap perempuan, dimana 95% dari KDRT tersebut berakhir pada

perceraian. Demikian juga Komnas Anak telah merilis Kompilasi Pantauan Pelanggaran

Hak Anak dalam bentuk Kekerasan, bahwa pada tahun 2007 terdapat 5.892 dan pada

tahun 2008 terdapat 4.393 bentuk kekerasan terhadap anak, yang berupa kekerasan fisik,

seksual, psikis dan aborsi.

Perceraian yang terjadi pada pasangan suami istri, apapun alasannya, akan selalu

berakibat buruk pada anak, meskipun dalam kasus tertentu perceraian dianggap

merupakan altematif terbaik daripada membiarkan anak tinggal dalam keluarga dengan

kehidupan pernikahan yang buruk (Martina Rini, dalam Amelia, 2008).

Page 11: OLEH DEA MAGDALENA TUGAS AKHIR …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/9382/2/T1_802009803_Full... · perceraian orangtua tetap bisa menorehkan luka batin yang menyakitkan bagi

2

Reaksi emosional terhadap perceraian, biasa terjadi pada anak semua usia,

mencakup kesedihan, ketakutan, depresi, amarah, kebingungan, dan kadang kelegaan.

Sementara reaksi perilaku anak terhadap perceraian bervariasi tergantung pada

karakteristik pribadi dan keluarga yaitu dari tingkat konflik, usia, gender, tabiat anak,

reaksi emosional orang tua, dan jumlah waktu bersama masing-masing orangtua. Tetapi

akibat langsung yang timbul dari perceraian adalah distress emosional (internalizing

disorders) dan masalah perilaku (externalizing disorders) seperti kemarahan, kebencian,

kecemasan dan depresi (Hetherington, 2003).

Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Ulpatusalicha (2009) kepada lima orang

anak korban perceraian yang berusia antara 8-12 tahun di Desa Pengabuan mendapatkan

hasil penelitian bahwa perceraian memiliki lima dampak yaitu sebagian besar anak

korban perceraian cenderung tidak dapat mengontrol emosi mereka dan

melampiaskannya dengan melakukan hal yang berlawanan dengan peraturan seperti

memberontak; lalu menjadi kurang berprestasi, murung dan merasa bersalah karena

merasa bahwa dirinya yang menjadi penyebab perceraian; memiliki tingkat motivasi

yang kurang bagus; sering merasa iri dengan teman sebaya yang masih memiliki keluarga

yang utuh; dan mengalami ketidakstabilan emosi yang membuat menjadi minder, kurang

percaya diri bahkan menjadi kehilangan jati diri dan identitas sosialnya (Ulpatusalicha,

2009).

Dampak dari perceraian sendiri tidak begitu saja berakhir pada saat anak atau

remaja yang sudah mencapai masa keseimbangan (dua tahun setelah perceraian), tetapi

perceraian orangtua tetap bisa menorehkan luka batin yang menyakitkan bagi mereka

hingga beranjak ke usia dewasa awal (Dagun, dalam Merrim, 2002).

Telah dilakukan penelitian mengenai dampak dari perceraian terhadap

perkembangan seseorang di periode dewasa awal. Salah satu penelitian oleh Huurre,

Hanna, & Hillevi (2006) mengemukakan dampak dari perceraian di dalam keluarga akan

lebih berpengaruh terhadap dewasa awal khususnya wanita dimana mereka memiliki

kecenderungan untuk depresi lebih tinggi dan mengalami psikosomatis, cenderung

mengalami nilai lebih rendah di universitas dan cenderung tidak bekerja secara formal,

dan memiliki masalah dengan kesehatan seperti kebiasan merokok atau minum alkohol

yang lebih tinggi dibandingkan wanita yang berasal dari keluarga yang masih tinggi.

Selain itu dari sisi sosial, wanita yang berasal dari keluarga yang telah bercerai juga

Page 12: OLEH DEA MAGDALENA TUGAS AKHIR …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/9382/2/T1_802009803_Full... · perceraian orangtua tetap bisa menorehkan luka batin yang menyakitkan bagi

3

memiliki lebih sedikit teman dekat maupun orang yang penting di dalam hidup mereka

untuk dapat membantu mereka dalam finansial maupun bersosialisasi. Hal lainnya,

wanita akan cenderung memiliki banyak konflik dalam hubungan yang lebih intim

dibandingkan dengan laki-laki yang berasal dari keluarga yang bercerai. Hal ini akan

membuat wanita merasa paling dirugikan ketika hubungan intim yang dijalani sudah

saatnya mencapai ketika pernikahan dimana mereka masih merasa memiliki banyak

masalah psikologis mengenai perceraian (Huurre, Hanna, & Hillevi, 2006).

Akibat perceraian orangtua terhadap dewasa awal dalam menjalin

hubungan dating juga terlihat pada sebuah hasil penelitian yang dilakukan oleh K. Sager

(2009) mendapatkan hasil bahwa dampak dari perceraian orangtua pada dewasa awal

dalam hubungan romantis mereka yaitu mereka mempunyai kepercayaan yang menurun

dalam hubungan romantis pribadi mereka. Weigel dan Lewis (dalam Arizqa, Wisnu,

2004) menemukan sepertiga dari dewasa awal mempunyai sikap pesimis terhadap

pernikahan dan perceraian dan berusaha untuk menghindari keduanya. Studi ini

mengidentifikasikan penyebabnya karena subjek takut akan pernikahan dan ketakutan

untuk perceraian dalam pernikahan tersebut. Hasil menunjukkan bahwa 42% pria tidak

pernah menikah atau hidup bersama lebih dari 6 bulan, dibandingkan 6% dari kelompok

pembanding.

Hal ini di dukung oleh Amato, Laura, Alan (1995) yang menemukan bahwa

dewasa awal yang memiliki pengalaman orangtua yang bercerai memiliki komitmen

yang lemah terhadap keinginan untuk pernikahan seumur hidup. Selain itu, Weigel

(dalam Arizqa, Wisnu, 2004) mengatakan bahwa dewasa awal dari orang tua yang

bercerai akan lebih mungkin untuk mengingat pesan lebih negatif dari keluarga asal

mereka, sebaliknya orang dari keluarga utuh mengingat pesan yang lebih positif. Selain

itu anak-anak dari keluarga yang bercerai akan cenderung berpikir bahwa mereka

cenderung kecil kemungkinannya untuk memiliki pernikahan yang panjang dan sukses

dan berpikir bahwa perceraian orangtua mereka lebih dapat diterima.

Temuan ini menunjukkan anak-anak dari keluarga perceraian cenderung percaya

bahwa mereka memiliki kontrol yang kurang terhadap hasil hubungan mereka yang

merupakan hasil dari sugesti kepercayaan diri yang rendah. Meskipun mereka ingin

untuk menikah dan memiliki kepercayaan pada cinta yang romantik, dua pertiga dari

responden khawatir tentang kemungkinan pecahnya pernikahan mereka sendiri di masa

Page 13: OLEH DEA MAGDALENA TUGAS AKHIR …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/9382/2/T1_802009803_Full... · perceraian orangtua tetap bisa menorehkan luka batin yang menyakitkan bagi

4

depan (Wallerstein & Blakeslee, 1989, seperti dikutip Sager, 2009). Selain itu hasil

lainnya yaitu subjek wanita berulang kali menyebutkan perasaan rentang untuk takut

disakiti dalam hubungan romantik (seperti dikutip dalam Sager, 2009).

Hasil penelitian lainnya yang dilakukan di Indonesia (Arizqa, Wisnu, 2011)

didapatkan hasil tiga subjek dewasa awal yang berasal dari keluarga yang bercerai masih

dapat berinteraksi dengan baik dan sehat terhadap lingkungannya, dapat mengatur emosi

dengan baik dan dapat mengatasi dampak dari perceraian orangtua mereka. Tetapi hasil

berbeda dari dua subjek lainnya dimana yang satu memiliki sifat yang tertutup dan

kurang tertarik untuk berinteraksi dengan orang lain, cenderung pemalu dan kurang

percaya diri, terkadang cepat merasa putus asa dan stress ketika mengalami kegagalan,

dan sempat jatuh ke dunia narkotika, tetapi masih dapat memberikan perhatikan dan

kasih sayang terhadap orang lain. Sementara satu subjek lagi mempunyai cara pandang

negatif terhadap dirinya sendiri, tidak mempunyai semangat dan keinginan kuat untuk

bangkit dari keterpurukan atas dampak perceraian orang tuanya, menjadi emosional serta

menyalahkan keadaan dan tidak mempunyai rasa tanggung jawab serta menjadi takut

untuk menjalin hubungan intim dengan lawan jenis.

Terdapat sebuah hasil penelitian berbeda yang mengemukakan bahwa dampak

dari perceraian sebenamya tergantung dari konflik yang terjadi dalam keluarga ketika

memutuskan untuk bercerai, bersifat berat atau ringan, dan juga bergantung kepada

kedekatan dari anak terhadap kedua orangtua setelah memutuskan untuk bercerai. Hal ini

akan berpengaruh secara signifikan terhadap penyesuaian diri dewasa awal khususnya

mengenai kepuasan dalam hidup, depresi, kecemasan, stress dan konsep diri di dalam

memandang dunia, tetapi tidak dalam menjalin hubungan dengan lawan jenis maupun

sesama jenis. Konflik dan perceraian memiliki pengaruh negatif terhadap penyesuaian

diri tetapi hal ini dapat dibantu dengan hubungan yang baik dengan kedua orangtua

(Richardson & Marita, 2001).

Dari berbagai hasil penelitian tersebut, terlihat bahwa perceraian memiliki

pengaruh yang berbeda terhadap dewasa awal, bisa berdampak positif maupun negatif,

tergantung dari keluarga tersebut memberikan pengertian terhadap anak mereka. Tetapi

beda halnya ketika perceraian orangtua tersebut terjadi karena adanya kekerasan di dalam

rumah tangga terhadap pasangan maupun anak yang menjadi korban. Anak-anak bisa

mengalami penganiayaan secara langsung atau merasakan penderitaan akibat

Page 14: OLEH DEA MAGDALENA TUGAS AKHIR …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/9382/2/T1_802009803_Full... · perceraian orangtua tetap bisa menorehkan luka batin yang menyakitkan bagi

5

menyaksikan penganiayaan yang dialami ibunya. Paling tidak, setengah dari anak-anak

yang hidup di dalam rumah tangga yang di dalamnya terjadi kekerasan juga mengalami

perlakuan kejam. Sebagian besar diperlakukan kejam secara fisik, emosional, maupun

seksual. Menyaksikan kekerasan merupakan pengalaman traumatis bagi anak-anak yang

akan membawa dampak ke depannya bagi kehidupan mereka. Kekerasan dalam bentuk

apapun, psikologis, fisik atau seksual akan membawa pengaruh yang buruk terhadap

anak tersebut (Putri, 2008).

Anak-anak yang sering mengalami kekerasan di dalam keluarganya bisa secara

tidak langsung menjadi permodelan agresi verbal atau fisik yang mengajarkan bahwa

perbedaan pendapat lebih dapat diselesaikan melalui konflik atau kekerasan

dibandingkan diskusi sehingga mereka juga mengikuti cara orangtuanya dengan

melakukan kekerasan dalam hubungan dating. Hal ini terjadi karena anak-anak dari

keluarga dengan konflik tinggi yang disertai kekerasan mungkin tidak belajar

keterampilan sosial seperti negosiasi dan kompromi yang sebenamya diperlukan ketika

menjalin hubungan di masa dewasa awal (Amato, Laura, Alan, 1986).

Seorang individu dewasa mengalami hambatan untuk berkomitmen ketika

mereka memiliki kenangan yang tidak baik mengenai keluarga mereka dimana terdapat

KDRT di dalamnya. Hal ini dikarenakan karena individu bisa saja takut untuk harus

berkomitmen dengan pasangannya dan menjadi takut untuk harus berkorban dan

berkomitmen hingga ke pernikahan karena mereka takut untuk tersakiti atau takut untuk

mengalami seperti apa yang telah dialami oleh kedua orang tua mereka.

Kejadian yang dialami oleh individu dalam perceraian orangtuanya bisa membuat

ia mendapatkan dampak negatif dari lingkungan sekitar yang terkadang juga cenderung

belum bisa menerima perceraian tersebut. Ia juga bisa cenderung untuk defensif dan tidak

ingin hal tersebut terulangi lagi sehingga mungkin ia akan memiliki prinsip dan pendirian

yang ia bangun. Hal ini akan membuat seorang individu berusaha untuk dominan di

dalam hubungannya agar tidak tersakiti dan mengalami kekerasan seperti yang terjadi di

dalam keluarganya. Apabila hal ini tidak tertangani dengan baik maka bisa jadi justru

individu tersebut yang bisa melakukan kekerasan atau menjadi tidak berkomitmen di

dalam hubungan yang sedang ia jalani tersebut (dalam Merrim, 2008). Padahal untuk

menuju ke tahap pernikahan itu individu harus memutuskan apakah mereka mau untuk

berkomitmen dan melanjutkan hubungan mereka ke tahap yang lebih serius yaitu

Page 15: OLEH DEA MAGDALENA TUGAS AKHIR …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/9382/2/T1_802009803_Full... · perceraian orangtua tetap bisa menorehkan luka batin yang menyakitkan bagi

6

pernikahan.

Oleh sebab itu peneliti merasa tertarik untuk melihat lebih dalam lagi mengenai

komitmen untuk menikah, cara menyelesaikan masalah dan dampak dari perceraian

disertai KDRT.

TINJAUAN PUSTAKA

Komitmen Untuk Menikah

Komitmen untuk menikah adalah pengalaman subjektif dimana seorang individu

ingin tetap mempertahankan hubungan mereka dalam masa sulit ataupun masa senang,

merasa secara moral harus bertahan, dan merasa terbatasi agar tetap berada segera

menuju ke jenjang yang lebih tinggi yaitu pernikahan (Johnson, John, Ted, 1999).Selain

itu Johnson, John, Ted (1999) juga mengatakan bahwa ketika seorang individu

mengambil keputusan untuk melanjutkan hubungan berpacaran menuju ke pernikahan

maka individu tersebut harus mempersiapkan diri untuk menuju ke komitmen untuk

pernikahan. Komitmen inilah yang akan menjadi dasar bagi pasangan untuk menikah dan

akan menjadi faktor penentu untuk keberlangsungan pernikahan tersebut.

Johnson, John, Ted (1999) membagi komitmen untuk menikah menjadi tiga

dimensi yaitu :

a. Komitmen Personal (Personal Commitment)

Komitmen personal mengandung arti sejauh mana seseorang ingin bertahan

dalam hubungannya yang dipengaruhi oleh tiga komponen yaitu seseorang mungkin

ingin melanjutkan hubungan sampai-sampai ia tertarik pada pasangannya, fungsi dari

daya tarik untuk hubungan, dan identitas hubungan.

b. Komitmen Moral (Moral Commitment)

Komitmen moral adalah perasaan bahwa seseorang secara moral berkewajiban

untuk melanjutkan hubungan, entah seseorang benar-benar ingin atau tidak.Ada tiga

komponen utama dari komitmen moral.Pertama, seseorang dapat memegang

nilai-nilai mengenai moralitas pemutusan sebuah hubungan. Kedua yaitu perasaan

bertanggung jawab secara pribadi terhadap orang lain. Ketiga, seseorang mungkin

merasa berkewajiban untuk melanjutkan hubungan tertentu karena menghargai nilai

umum konsistensi (general consistency values).

Page 16: OLEH DEA MAGDALENA TUGAS AKHIR …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/9382/2/T1_802009803_Full... · perceraian orangtua tetap bisa menorehkan luka batin yang menyakitkan bagi

7

c. Komitmen Struktural (Structural Commitment)

Komitmen struktural yaitu keinginan bertahan dalam suatu hubungan karena

adanya faktor penahan dalam hubungan tersebut yang menghambatnya untuk

meninggalkan hubungan.Ada empat komponen dalam komitmen struktural yaitu

pertama altematif. Keterbegantungan pada hubungan adalah salah satu dari keadaan

altematif apakah sebuah hubungan akan berakhir atau tidak. Kedua yaitu mengenai

tekanan sosial yaitu hambatan datang ketika individu berusaha mengantisipiasi

tanggapan dari orang-orang yang ada dalam lingkungan ataupun jaringan mereka

yang mungkin setuju atau tidak setuju mengenai mengakhiri hubungan

tersebut.Ketiga, prosedur perceraian atau pemisahan yaitu kesulitan untuk bisa

mengakhiri sebuah hubungan.Terakhir yaitu investasi yang telah ditanamkan selama

hubungan berlangsung dan tidak dapat diambil kembali (irretrievable investments).

Orangtua yang Bercerai Dengan Kekerasan

Perceraian adalah puncak dari proses penyesuaian perkawinan yang buruk yang

terjadi bila suami istri sudah tidak mampu lagi mencari cara penyelesaian masalah yang

tepat (Hurlock, 2002). Pendapat lain dikemukakan oleh Su’adah (dalam Arizqa, Wisnu

2011), menyatakan bahwa perceraian adalah cerai hidup antara pasangan suami-istri

sebagai akibat dari kegagalan mereka menjalankan kewajiban masing-masing. Jika

dilihat dari sisi hukum yaitu Undang-undang Nomor 1 Tahun 1979 pasal 38 tentang

perkawinan mengatakan bahwa putusnya perkawinan dapat karena kematian salah satu

pihak, perceraian, dan keputusan pengadilan. Perceraian dapat terjadi karena banyak hal

yaitu salah satunya adalah kekerasan di dalam rumah tangga.

Berdasarkan Undang-Undang No 23 tahun 2004 tentang KDRT pada pasal 1 butir

1 menyebutkan bahwa KDRT adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama

perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik,

seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk

melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan

hukum dalam lingkup rumah tangga.

Marianne James, Senior Research pada Australian Institute of Criminology

(dalam Doordje, 2010), menegaskan bahwa KDRT memiliki dampak yang sangat berarti

Page 17: OLEH DEA MAGDALENA TUGAS AKHIR …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/9382/2/T1_802009803_Full... · perceraian orangtua tetap bisa menorehkan luka batin yang menyakitkan bagi

8

terhadap perilaku anak, baik berkenaan dengan kemampuan kognitif, kemampuan

pemecahan masalah, maupun fungsi mengatasi masalah dan emosi.Sementara menurut

Hughes dan Barad (dalam Doordje, 2010) mengemukakan bahwa angka kejadian

kekerasan yang tinggi dalam keluarga yang dilakukan oleh ayah cenderung dapat

menimulkan korban kekerasan, terutama anak-anaknya. Sebuah studi yang dilakukan

terhadap anak-anak Australia, (dalam Putri, 2008) sebanyak 22 anak dari usia 6 sampai

11 tahun menunjukkan bahwa kelompok anak-anak yang secara historis mengalami

KDRT mengalami problem perilaku pada tinggi batas ambang sampai tingkat berat,

memiliki kecakapan adaptif di bahwa rata- rata, memiliki kemampuan membaca di

bawah usia kronologisnya, dan memiliki kecemasan pada tingkat menengah sampai

dengan tingkat tinggi.

Konflik antar kedua orangtua yang disaksikan oleh anak-anaknya yang sudah

remaja cenderung berdampak yang sangat berarti, terutama anak remaja pria cenderung

lebih agresif, sebaliknya anak remaja wanita cenderung lebih dipresif. Tetapi menurut

Rosenbaum dan O'Leary (dalam Putri, 2008) tidak semua anak yang hidup kesehariannya

dalam hubungan yang penuh kekerasanakan mengulangi pengalaman itu tergantung

ketahanan mental dan kekuatan pribadi anak remaja tersebut.

Dewasa Awal

Menurut Erikson, masa dewasa awal berada pada tahap Intimacy vs Isolation,

pada masa ini individu menghadapi tugas perkembangan untuk membentuk relasi

intimasi dengan orang lain. Erikson menggambarkan keintiman sebagai penemuan

terhadap diri sendiri pada orang lain, tanpa harus kehilangan diri sendiri (Santrock,

2003). Sementara menumt Hurlock (2002) salah satu ciri dewasa yang menonjol yaitu

masa dewasa sebagai masa komitmen dimana individu dewasa akan mulai menentukan

pola hidup baru, memikul tanggung jawab baru dan membuat komitmen-komitmen baru,

meskipun pola-pola hidup, tanggungjawab dan komitmen-komitmen baru ini mungkin

akan berubah juga, tetapi pola-pola ini menjadi landasan yang akan membentuk pola

hidup, tanggungjawab dan komitmen-komitmen di kemudian hari. Tugas perkembangan

menumt Rosdahl & Kowalski (dalam Amelia, 2008) pada masa dewasa awal yaitu usia

20-30 tahun yaitu mengembangkan hubungan dengan orang lain dan mulai membentuk

persahabatan baru dan hubungan yang intim dan mampu memberikan dukungan dan

Page 18: OLEH DEA MAGDALENA TUGAS AKHIR …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/9382/2/T1_802009803_Full... · perceraian orangtua tetap bisa menorehkan luka batin yang menyakitkan bagi

9

pengertian yang kemudian mengarahkan ke jenjang pernikahan.

Komitmen Untuk Menikah Pada Individu Dewasa yang Berasal Dari Keluarga

yang Bercerai Karena KDRT

Perceraian merupakan salah satu keputusan penting dalam perjalanan hidup

manusia.Fenomena ini semakin meningkat dimana menurut Kepala Pengadilan Tinggi

Agama Jawa Tengah Chatib Rasyid menyatakan, selama 2010, ada lebih dari 130 kasus

perceraian karena kasus itu. Sedangkan tahun lalu meningkat menjadi 210 cerai gugat

maupun cerai talak akibat adanya tindak KDRT.

Dampak negatif dari perceraian yaitu beberapa tahun setelah perceraian dalam

membuat anak tetap bisa menyimpan rasa sedih dan rasa marah yang tidak dapat mereka

ungkapkan dengan mudah, lalu akan berpengaruh ke prestasi belajar, kesulitan dalam

penyesuaian sosial serta harga diri yang rendah. Selanjutnya besarnya dampak ini

tergantung dari bagaimana orangtua menjalin komunikasi dengan anak

tersebut.Sementara dampak positifnya yaitu anak korban perceraian bisa memiliki

pengalaman traumatik dapat menjadikan anak menjadi tangguh, berkepribadian matang.

Akan tetapi hal ini berbeda dengan anak yang mengalami kekerasan dari

perceraian orangtuanya dimana anak bisa secara tidak langsung menjadi permodelan

agresi verbal atau fisik yang mengajarkan bahwa perbedaan pendapat lebih dapat

diselesaikan melalui konflik atau kekerasan dibandingkan diskusi sehingga mereka juga

mengikuti cara orangtuanya dengan melakukan kekerasan dalam hubungan dating.Hal

ini terjadi karena anak-anak dari keluarga dengan konflik tinggi yang disertai kekerasan

mungkin tidak belajar keterampilan sosial seperti negosiasi dan kompromi yang

sebenamya diperlukan ketika menjalin hubungan di masa dewasa awal (Amato, Laura,

Alan, 1986).

Kekerasan yang ia dapatkan bisa membuatnya menjadi orang yang takut untuk

menjalin sebuah komitmen ke tahap yang lebh serius karena mereka takut mengalami

perceraian dan kekerasan seperti yang dialami oleh orangtua mereka. Mereka juga bisa

menjadi takut untuk berkorban dan cenderung untuk defensif dalam mengambil solusi

karena mereka tidak ingin hubungan tersebut melukai diri mereka nantinya. Selain itu,

mereka juga akan belajar bahwa dampak dari penyebab kekerasan rumah tangga tersebut

seperti kaum wanita yang lebih lemah yang membuat seseorang akan berusaha untuk

menjadi lebih dominan atau lebih mandiri agar tidak bisa disakiti atau diremehkan oleh

Page 19: OLEH DEA MAGDALENA TUGAS AKHIR …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/9382/2/T1_802009803_Full... · perceraian orangtua tetap bisa menorehkan luka batin yang menyakitkan bagi

10

lawan jenisnya di dalam pernikahannya nanti (dalam Meerrim, 2008).

METODE PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan metode kualitatif untuk memahami fenomena yang

ada di dalam penelitian ini secara mendalam.Pengambilan data dilakukan menggunakan

wawancara dan observasi.Untuk pengujian keabsahan data, penguji menggunakan

triangulasi sumber data dengan menggunakan informan yang merupakan orang terdekat

dengan partisipan. Selain itu peneliti juga menggunakan member check dengan partisipan

penelitian untuk memastikan kesesuaian data yang diperoleh dengan data yang diberikan

oleh sumber informasi menanyakan kembali ke partisipan dalam jangka waktu enam

bulan berikutnya.

Partisipan Penelitian

Penelitian ini melibatkan dua orang dewasa yang berada dalam usia dewasa awal

(20-30 tahun), dan berasal dari keluarga yang kedua orang tuanya bercerai karena

kekerasan rumah tangga serta individu tersebut sedang menjalin hubungan dating dengan

lawan jenisnya. Partisipan dipilih secara purposive, berdasarkan kesesuaian karakteristik

dengan tujuan penelitian dengan jumlah 2 orang.

Partisipan pertama (P1) adalah seorang laki-laki berusia 24 tahun yang

berdomisi di Solo, Jawa Tengah.Kedua orangtua dari partisipan bercerai sewaktu

partisipan berada di SMA dikarenakan KDRT yaitu tidak diberikan nafkah atau

mengalami kesulitan keuangan selama dua tahun lebih serta bapaknya yang memiliki

selingkuhan dan sempat terjadi pertengkaran besar di dalam keluarganya.

Masalah di dalam keluarganya sempat membuat perhatian di dalam lingkungan

rumah ketika mamanya memergoki papanya berselingkuh hingga terjadi pertengkaran

dan pemukulan antara mama, papa, dan selingkuhannya. Kejadian ini membuat ia

menjadi tidak nyaman untuk sering berkumpul dengan pemuda di sekitar rumahnya. Ia

memerlukan waktu sekitar dua hingga tiga tahun untuk bisa menerima perceraian dari

kedua orangtuanya. Ia sempat mengalami hambatan ketika mau memperkenalkan

pasangannya kepada orangtuanya yaitu mamanya, tetapi sembari beberapa kali

pertemuan dan usaha akhirnya membuat mamanya bisa menerima pasangannya saat ini.

Bahkan sering kali setiap pertengkaran di antara ia dan pasangannya melibatkan

Page 20: OLEH DEA MAGDALENA TUGAS AKHIR …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/9382/2/T1_802009803_Full... · perceraian orangtua tetap bisa menorehkan luka batin yang menyakitkan bagi

11

mamanya sebagai pemberi solusi di antara mereka. Saat ini ia sedang menjalin hubungan

hingga tahap pertunangan dengan pasangannya. Hambatan yang terjadi dalam

kehidupannya adalah saat ini ia masih berkutat di dalam tugas akhir yang belum selesai

sehingga ia belum bisa mencari pekerjaan dan belum bisa menikahi pasangannya

tersebut.

Partisipan kedua (P2) adalah seorang perempuan berusia 24 tahun yang

berdomisili di Jakarta.Ia sudah harus mengalami perceraian orangtuanya di saat ia

menempuh pendidikan di sekolah dasar. Perceraian diantara kedua orangtuanya terjadi

karena mamanya yang selingkuh, suka pergi ke diskotik, papanya yang berjudi dan main

perempuan, selain itu kedua orang tuanya yang berantem di depannya, hingga kekerasan

rumah tangga yang terjadi diantara papa dan mamanya dan mamanya yang juga sering

memukulinya sebagai pelampiasan kemarahan.

Kejadian di masa kecilnya membuat ia tumbuh menjadi seorang wanita yang

ingin melakukan semuanya sendiri dan tidak meminta bantuan orang lain. Ia juga

cenderung diam dan tidak bercerita soal privasi kepada orang lain karena ia merasa sulit

untuk bisa percaya dengan orang lain.

Iapernah menjalin beberapa kali hubungan spesial dengan pasangannya. Tetapi

iapernah mengalami pengalaman buruk ketika ditolak oleh keluarga pasangannya hanya

karena ia berasal dari keluarga yang broken home. Hal ini membuatnya ingin

membuktikan kepada orang lain dan pasangannya kelak kalau ia akan bisa sukses dan

berdiri di kakinya sendiri sehingga orang dapat melihat dirinya saja tanpa harus melihat

keluarganya. Namun sering kali ia merasa sedih karena ia merasa orangtuanya dan

mantan pasangannya yang dulu yang sering menghancurkan impian yang ia buat untuk

mereka. Saat ini ia sedang menjalin hubungan selama tujuh bulan dengan pasangannya

yang sekarang. Ia merasa pasangannya sekarang adalah orang yang berbeda dengan

pasangannya yang terdahulu dan ia berharap kalau pasangannya yang sekarang bisa

menjadi pasangannya yang terakhir dan dapat menjalin hubungan yang serius hingga

tahap yang berikutnya.

Analisis

Proses analisis data dimulai dengan pengetikan transkrip wawancara melalui

mendengarkan hasil rekaman lalu mengetik verbatim wawancara kata per kata. Peneliti

Page 21: OLEH DEA MAGDALENA TUGAS AKHIR …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/9382/2/T1_802009803_Full... · perceraian orangtua tetap bisa menorehkan luka batin yang menyakitkan bagi

12

juga mengetik hasil observasi lapangan yang didapatkan saat pengambilan data

berlangsung.Selanjutnya, dilakukan pengodean pada verbatim wawancara lalu dilakukan

metode analisis data yaitu penentuan tema serta makna dibalik setiap kalimat yang

diungkapkan partisipan penelitian baik secara verbal maupun non verbal.Makna tersebut

ditambahkan pada bagian kiri verbatim.Setelah itu makna tersebut dikelompokkan

menjadi tema-tema khusus yang berkaitan dengan variabel penelitian.Peneliti lalu

mengelompokkan data berdasarkan tema dan membandingkan partisipan pertama, kedua.

HASIL

Terdapat beberapa tema hasil analisis data yaitu : penerimaan atas perceraian

orangtua, dampak akan perceraian orangtua, komitmen dengan hubungan dan

pasangan, problem solving dalam menghadapi masalah, persepsi mengenai pernikahan,

persepsi mengenai perceraian, hambatan dalam hubungan bersama pasangan.

Penerimaan atas perceraian orangtua

Deskripsi dalam tabel antara kedua partisipan yaitu

P1 P2

Memerlukan waktu dua tahun. Masih tidak bisa menerima, bertanya,

dan berharap bisa bersama.

Kedua partisipan awalnya sulit menerima akan perceraian kedua orangtuanya. P1

mengeluarkan reaksi kesedihan yang mendalam dan melakukan pelarian dengan mabuk,

menjadi lebih sensitif dan emosional sehingga sering marah-marah sendiri, kurang tidur,

serta stres karena memikirkan perceraian dari kedua orangtuanya.

“...kadang jarang makan, sampai kurang tidur, sampai stress pun, sampai stress, mabuk sama teman-teman gitu pernah. Intinya pas waktu proses perceraian itu, saya itu sering marah-marah sendiri... ”

Reaksi berbeda terjadi pada partisipan kedua dimana perceraian membuatnya

menjadi lebih suka bermain game online, atau bermain keluar dan menjadi orang yang

tidak mudah untuk percaya, termasuk terhadap kedua orangtuanya karena partisipan

merasa kedua orangtuanya sudah tidak menyediakan tempat buat dirinya.

Page 22: OLEH DEA MAGDALENA TUGAS AKHIR …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/9382/2/T1_802009803_Full... · perceraian orangtua tetap bisa menorehkan luka batin yang menyakitkan bagi

13

“Aku jadi gak bisa percaya, menurutku ehm mereka gak ada ambil andil sama sekali di hidupku... ”

P1 melalui proses selama dua tahun untuk bisa menerima perceraian dari kedua

orangtuanya. Hal ini menjadi lebih mudah karena ibunya menceritakan mengenai

permasalahan dan keadaan keluarga mereka, serta ikut meminta saran yang terbaik,

apakah harus bercerai atau tidak. Hal ini membuat dia ikut merasakan yang dirasakan

oleh ibunya sehingga ikut mendukung apa yang akan diputuskan oleh ibunya. Walaupun

akhirnya dia menjadi menyesal karena merasa tidak ada peningkatan didalam

perekonomian, malah terjadi penurunan terhadap masing-masing keluarga baru dari

kedua orangtuanya.

Hal yang berbeda terjadi dengan P2 yang masih belum bisa menerima perceraian

kedua orangtuanya dan masih mengharapkan orangtuanya untuk bisa kembali bersama

lagi.Hal ini terjadi karena dia masih terus bertanya-tanya mengapa perceraian tersebut

harus terjadi dan sebenamya masih mengharapkan kedua orangtuanya dapat bersatu lagi.

Proses tersebut menjadi lebih sulit dikarenakan dia tidak diikutsertakan ataupun tidak

mengetahui mengenai keadaan orangtuanya dan ibu partisipan juga tidak mau menjawab

hingga saat ini mengapa perceraian tersebut harus terjadi.

Dampak akan perceraian kedua orangtuanya

Deskripsi dalam tabel antara kedua partisipan yaitu

P1 P2

Kondisi depresif, minder, menjauh

dari pegaulan

Lega melihat ibunya tidak lagi

bersedih dan tersakiti.

Tinggal kelas, merasa asing dengan orang

tuanya.

Senang karena tidak melihat orangtuanya

berantem dan mengalami kekerasan

Dampak dari perceraian terhadap P2 yaitu mengalami perasaan drop hingga lebih

memilih untuk sering bermain diluar rumah daripada belajar sehingga tidak naik kelas

sewaktu di SD. Hal ini terjadi karena dia merasa kalau orangtuanya sudah sibuk dengan

keluarga mereka dan tidak ada tempat baginya diantara mereka karena ia merasa kalau

orangtuanya tidak mengalami apa yang ia rasakan.

Page 23: OLEH DEA MAGDALENA TUGAS AKHIR …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/9382/2/T1_802009803_Full... · perceraian orangtua tetap bisa menorehkan luka batin yang menyakitkan bagi

14

Hal yang berbeda dengan P1 dimana perceraian orangtuanya mengakibatkan

perubahan sikap yang menjadi mudah marah dengan lingkungan sekitar.P1 juga menjadi

menjauh dari pergaulannya karena merasa malu dengan perekonomian keluarganya yang

menjadi menurun dan akibat peristiwa pertengkaran waktu dulu diantara kedua

orangtuanya sehingga lebih suka tertutup dan tidak suka menceritakan mengenai masalah

pribadi dengan kedua orangtuanya.

“...sering marah-marah sendiri. Sampai kadang ada teman yang ajak bercanda, tanggapan saya itu malah gak senang gitu, saya malah bilang kamu nantangin saya gitu, malah saya yang ajak ribut gitu. ”

Hal yang sama juga terjadi kepada P2 yang cenderung memilih diam ketika

bersama dengan teman-temannya dan tidak suka untuk menceritakan menjadi hal pribadi

kepada orang lain.

Dari sisi hubungan dengan orangtua, P1 masih memiliki komunikasi yang dekat

dengan ibunya dan ayahnya walaupun kedekatannya terhadap bapaknya lebih berkurang

dibandingkan yang dulu. Sementara P2 malah merasa kalau kedua orangtuanya hanya

menjadi beban dan hanya sekedar balas budi sehingga ia ingin segera melepaskan diri

dari kedua orangtuanya karena dia merasa kalau dia sudah tidak ada tempat lagi di

kehidupan kedua orangtuanya.

“...ngomong sama mereka itu gak ada gunannya , menurutku mereka sudahseperti orang asing yang gak perlu tan tentang apa yang aku rasain, aku alami itu gak perlu tau.”

Dampak lainnya yaitu mengenai hal keuangan dirasakan oleh P1 karena terlalu

banyak uang yang dihabiskan ketika ada persoalan dan juga pengeluaran untuk mengurus

perceraian sehingga akhirnya perekonomiannya menjadi menurun dan tidak kunjung

membaik walaupun sudah memiliki pasangan yang baru. Kesulitan ekonomi yang

dirasakan oleh dia membuat ia menjadi minder untuk bergaul dan membuat hambatan

juga dalam hubungan dengan pasangannya saat ini.

Dibalik semua dampak negatif yang ada, masih terdapat dampak positif dimana

P2 merasa senang karena sudah tidak harus melihat kedua orangtuanya lagi berantem dan

tidak harus lagi mengalami kekerasaan sedangkan P1 juga merasa lega karena melihat

ibunya yang sudah tidak lagi bersedih dan tersakiti lagi.

Page 24: OLEH DEA MAGDALENA TUGAS AKHIR …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/9382/2/T1_802009803_Full... · perceraian orangtua tetap bisa menorehkan luka batin yang menyakitkan bagi

15

Komitmen dengan hubungan dan pasangan

Deskripsi dalam tabel antara kedua partisipan yaitu

P1 P2

Komitmen Personal ↑

Komitmen Moral ↑

Komitmen Struktural ↑

Komitmen Personal ↑

Komitmen Moral ↓

Komitmen Struktural ↓

Dalam menjalin hubungan, awalnya P1 dan pasangannya saat ini merupakan

selingkuhannya yang akhirnya dipilih karena P1 merasa kalau pasangannya merupakan

orang yang tepat untuk dirinya. Dalam menjalani hubungan mereka, sempat terjadi

masalah dimana terjadi pertengkaran dan membuatnya putus dengan pasangannya dan

memilih cewek lain walaupun akhirnya dia kembali menjalin hubungan dengan

pasangannya. Hal ini sempat membuat terjadi pertengkaran karena P1 yang

berselingkuh.Tetapi akhirnya masalah menjadi terselesaikan karena bantuan dari ibunya

yang ikut menjadi penengah.Setelah tiga tahun akhirnya hubungan yang dijalani menjadi

berkembang dan mengenal kedua orang tuanya hingga akhirnya muncul rasa ingin

berkomitmen ke tahap yang lebih tinggi yaitu pertunangan.

Hal yang berbeda terjadi pada P2 yang sudah lama berteman dulu sebelum

akhirnya menjalin hubungan dengan pasangannya.Selain itu, pasangannya sudah banyak

melakukan pengorbanan dan penantian di awal dari hubungan mereka. Menurut P2,

penting untuk adanya sebuah komitmen dalam hubungannya agar mengetahui tujuan dari

membangun hubungan tersebut. Saat ini dia menjalani hubungan jarak jauh dengan

pasangannya dan mereka menjalaninya dengan kunci kepercayaan dan komunikasi

diantara keduanya. Selain itu dia juga menerapkan prinsip timbal balik yaitu ia akan

melakukan apa aja yang dilakukan juga oleh pasangannya tersebut.

“...kalau kamu boleh jalan sama teman cewekmu, berarti aku juga boleh.”

P2 merasa tertarik untuk menjalin hubungan dengan pasangannya karena ia

merasa kalau pasangannya adalah pendengar yang baik di saat dia memiliki masalah

maka ia akan menghibur, menyemangati, menemani, dan mencari solusi mereka. Selain

itu pasangannya juga selalu menjaga komunikasi baik bertemu langsung ataupun

menjalani LDR, pasangannya menunjukkan sikap dan perhatian yang sama.

Page 25: OLEH DEA MAGDALENA TUGAS AKHIR …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/9382/2/T1_802009803_Full... · perceraian orangtua tetap bisa menorehkan luka batin yang menyakitkan bagi

16

Hal yang sama juga dirasakan oleh P1 juga tertarik dengan sifat pasangannya

yang baik hati dan mengerti dia apa adanya dan juga merasa kalau pasangannya yang

sekarang merupakan pasangan yang lebih baik hatinya dibandingkan yang dulu. P1

merasa puas dengan pasangannya saat ini dan merasa sudah mengenal pasangannya saat

ini yang memiliki sifat yang baik dan telah menuntun hidupnya dan saling mengerti di

saat susah dan senang bersama bersama seperti layaknya suami istri. P1 juga sudah

merasakan kenyamanan dan klik dengan pasangannya.

“Ya dari segi hubungan sudah lama, selain itu saya juga kan udah merasa nyaman, daripada nyari yang baru kan, mending yang lama ajalah, udah klik kan, jadi gak usah cari lagi lah, udah cukup.”

Hal yang sama juga dirasakan oleh P2 yang merasa nyaman dan percaya dengan

pasangannya untuk bisa menceritakan masalah pribadi yaitu mengenai keluarganya.

“Karena ngerasanya nyaman sih sama dia... Kalau, jadi ya rasanya bedanya aja sama dia sih, jadi ya cerita sama dia.”

Di dalam hubungan yang dijalani oleh P2 lebih banyak pasangannya yang

melakukan pengorbanan seperti memutuskan pacamya untuk menunggu dia putus dari

pasangannya, selain itu juga pengorbanan dari pasangannya untuk datang menemuinya

untuk menyatakan cinta dan juga ketika orangtuanya sakit sehingga pasangannya

menemani selama beberapa hari dan menguatkan dirinya untuk merasa yakin akan

pasangannya yang saat ini. Menurut P2, pengorbanan yang dilakukan oleh pasangannya

seperti datang untuk menyampaikan cinta merupakan sebuah tes yang dilakukan untuk

menguji pasangannya. P2 merasa kalau sebuah tes itu penting didalam sebuah hubungan

untuk bisa melihat apakah seseorang benar-benar sayang dan serius didalam hubungan

yang telah dijalani.

“...gak mungkin donk kalau orang benar-benar sayang, gak mungkin donk dia gak benar-benar datang, kalau dia gak serius ngapain dia datang.”

Saat P2 sudah merasa yakin dengan pasangannya dan tidak ingin lagi mencari

yang lainnya.

“Seriusnya, ya kita sama-sama emang gak man cari yang lain. Udah ini aja yang terakhir.”

Pengorbanan didalam hubungan juga dialami oleh P1 di saat orangtua yaitu

ibunya tidak menyetujui hubungan dan pasangan yang telah dipilih oleh P1. Pada waktu

Page 26: OLEH DEA MAGDALENA TUGAS AKHIR …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/9382/2/T1_802009803_Full... · perceraian orangtua tetap bisa menorehkan luka batin yang menyakitkan bagi

17

itu dia mengomunikasikan masalah ini dengan pasangannya dan meminta pasangannya

untuk bekerja sama dan saling berkorban. Awalnya sempat ada keraguan dari

pasangannya ketika mengetahui orangtuanya tidak setuju.Tetapi dia berusaha

meyakinkan pasangannya dan mengatakan kalau mereka sudah berpacaran cukup lama

dan saat ini mereka hanya harus mencari jalan keluar untuk masalah ini.

“Kita itu kan pacaran udah lumayan lama kan, jadi intinya kita itu kan harus kerja sama biar hati, eh ya intinya kerja sama biar untuk membuka hati orangtua saya kayak gitu.”

Pasangan P1 melakukan pengorbanan dengan merendahkan hatinya untuk mau

membuka diri terhadap orangtua dari partisipan dan berusaha menunjukkan kalau

pasangannya memang merupakan orang yang baik dan tepat untuk partisipan sehingga

orangtuanya dapat mengenali sifat pasangannya dan akhirnya setuju dengan hubungan

yang dijalani.P1 sendiri juga melakukan pengorbanan dengan bersikap diam dengan

orangtua sampai tidak diberikan keuangan sampai akhirnya berusaha untuk mengenalkan

pasangannya kepada orangtuanya.

Problem solvingdalam menghadapi masalah

Deskripsi dalam tabel antara kedua partisipan yaitu

P1 P2

Mengalah, menyelesaikan tanpa

kekerasan

Orangtua sering menasehati, membantu

Diam dan memendam.

Tidak melibatkan orang lain dalam

masalah atau mencari solusi.

Dalam menyelesaikan masalah, P2 cenderung diam dan menyimpan masalahnya

sendiri serta tidak melibatkan orang lain daripada harus mengungkapkan perasaannya

karena P2 tidak percaya pada orang lain sehingga P2 cenderung menjaga jarak dengan

orang yang berselisih paham dengannya. Dalam menjalani hubungan, P2 juga cenderung

tidak suka menunjukkan sikap kalau ia marah dan hanya diam saja dan menjawab tidak

ada apa-apa ketika ditanya. P2 lebih suka diam dan memendam apa yang ia rasakan

karena ia merasa belum tentu orang merasakan apa yang ia rasakan dan mengerti

bagaimana rasanya berada di posisi seperti dirinya seperti yang dilakukan oleh

orangtuanya semenjak mereka bercerai.

Page 27: OLEH DEA MAGDALENA TUGAS AKHIR …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/9382/2/T1_802009803_Full... · perceraian orangtua tetap bisa menorehkan luka batin yang menyakitkan bagi

18

“...Jadi selama ini kadang menurutku buat apa diceritain ke orang lain kalau orang lainnya belum benar-benar, belum benar-benar berada di posisiku jadi mereka gak kan belum tentu mengerti.”

P2 memiliki pasangan yang cenderungakan membujuk ketika masalah terjadi

yang membuatnya menjadi diam atau marah dan akhirnya dia akan mencarikan solusi

untuk masalah yang sedang terjadi. Ketika masalah tersebut sudah berlalu, maka P2

cenderung menghindari karena tidak ingin membahas masalah yang telah lewat. Apapun

masalah yang terjadi di dalam hubungan P2 dan pasangannya, mereka berusaha untuk

tidak melibatkan orang lain dalam masalah ataupun mencari solusi, sehingga hanya

mereka berdua saja yang menjalani hubungan tersebut dan mencari penyelesaian dari

setiap masalah yang ada.

Hal ini berbeda dengan P1 yang lebih suka untuk mengalah daripada bertengkar

atau memiliki masalah dengan orang lain. Menurut P1, akan lebih baik ketika bisa

menyelesaikan masalah tanpa harus menggunakan kekerasan, menantang, atau

menghadapi orang yang bermasalah dengannya atau menghindari dan dibawa tidur.

Sikap ini juga diterapkan oleh P1 dalam menjalin hubungan dengan pasangannya, di saat

dia merasa kalau pasangannya berubah dan menjadi lebih mengatur kendali dan

perhitungan mengenai keuangan, P1 akan cenderung mengomunikasikan setiap masalah

yang terjadi dan cenderung mengalah karena pasangannya memberikan alasan untuk

kebaikan dari hubungan mereka. Dia juga akan berusaha untuk jujur terhadap apa yang ia

rasakan, atau masalah yang terjadi di dalam hubungannya. Hal ini cenderung beberapa

kali dilakukan saat menghadapi masalah dengan orangtua maupun ketika putus dan

sempat menjalin kasih dengan orang lain yang akhirnya kembali memilih pasangannya

yang sekarang. Selain itu P1 sering melibatkan orangtua yaitu ibunya untuk

menyelesaikan masalah yang terjadi diantara P1 dan pasangannya.Ibunya sering

menasehatinya untuk tidak menyakiti hati pasangannya dan selalu berusaha untuk

menjaga hubungan yang telah terjalin dan juga dengan keluarga pasangannya dan jangan

pernah mengulangi kesalahan dari bapaknya yang melakukan perselingkuhan sehingga

P1 selalu berusaha untuk menjaga hubungannya dan merasakan rasa takut kalau harus

mengkhianati pasangannya.

“...nak, saya sendiri kan sudah pernah mengalami yang namanya cerai, jadi jangan sampai kalian itu putus gara-gara hal sepele kayak gini. Jangan

Page 28: OLEH DEA MAGDALENA TUGAS AKHIR …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/9382/2/T1_802009803_Full... · perceraian orangtua tetap bisa menorehkan luka batin yang menyakitkan bagi

19

mengulangi keadaan seperti saya ini...”

Persepsi mengenai pernikahan

Deskripsi dalam tabel antara kedua partisipan yaitu

P1 P2

Takut tidak bisa memenuhi kebutuhan

tetapi meyakini kalau rejeki akan datang

dengan sendirinya.

Masih takut mendengar pernikahan,

tidak ingin membahas pernikahan

kecuali dia yang pertama membahas.

Mengenai pernikahan, P1 sudah mencapai tahap pertunangan dengan

pasangannya dan ingin segera melanjutkan ke jenjang yang lebih serius serta membangun

bisnis keluarganya yang nantinya akan menjadi bisnis bersama. P1 sudah mengenal lebih

jauh masing-masing keluarga sudah menganggapnya seperti keluarga dan sudah merasa

nyaman karena dia senang dengan keluarga pasangannya yang baik, sopan santun dan

bisa menghargai orang lain.

Terkadang P1 sering merasa down dan tidak fokus karena ia takut kalau nantinya

sebagai seorang kepala keluarga tidak bisa memberikan penghasilan dan tidak bisa

membahagiakan orangtuanya dan pasangannya. Walaupun terdapat perasaan takut, tetapi

dia meyakini akan kepercayaan yang terdapat di masyarakat kalau rejeki akan datang

dengan sendirinya ketika masuk ke dalam sebuah pernikahan tanpa harus memikirkan

mengenai hari esok.

Hal ini berbeda dengan P2 yang masih takut untuk mendengar kata pernikahan

dan cenderung diam setiap temannya bertanya mengenai pernikahan. Dia juga

memberitahu hal ini kepada pasangannya dan mereka akan cenderung untuk tidak

membahas pernikahan kecuali P2 yang memulainya. Saat ini dia mulai merasa nyaman

dengan pasangannya dan rasa takutnya perlahan mulai hilang.

“...itu agak menakutkan, kalau sama dia, dia gak bahas, dia baru akan bakal ngebahas kalau aku yang bahas, jadi aku ya rasanya nyaman sih sama dia. Udah mulai pelan-pelan takutnya hilang.”

Perasaan takut tersebut muncul karena melihat orangtuanya yang gampang memutuskan

untuk menikah dan menganggap pernikahan itu gampang tetapi berakhir dengan

perceraian. Selain itu P2 pernah memiliki pengalaman ketika putus dengan pasangannya

terdahulu karena keluarganya tidak setuju dengan dirinya yang berasal dari keluarga yang

Page 29: OLEH DEA MAGDALENA TUGAS AKHIR …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/9382/2/T1_802009803_Full... · perceraian orangtua tetap bisa menorehkan luka batin yang menyakitkan bagi

20

bercerai dan takut kalau akan menurun ke keturunannya nanti.

“...orangtuanya gak setuju sama aku karena akunya broken home. Itu benar- benar memukul banget yah karena akunya, memang sih untuk rata-rata orang broken home itu adalah sesuatu yang, apa ya, menurut mereka orang tua yang broken home yang sifatnya jelek, pasti akan nurun ke anaknya... ”

Menurut P2, pernikahan adalah sesuatu yang tidak mudah karena

menggabungkan dua keluarga menjadi satu, sehingga dia tidak akan berkata mengenai

pernikahan sebelum dia menjadi orang yang sukses dan bisa menunjukkan kalau dia

berbeda dengan kedua orangtuanya yang telah bercerai. Ini membuat P2 belum berani

untuk memperkenalkan diri kepada keluarga pasangannya karena merasa belum saatnya

dan takut kalau orangtua dari pasangannya tidak bisa menerima dirinya apa adanya yang

berasal dari keluarga yang bercerai.

Persepsi mengenai perceraian

Deskripsi dalam tabel antara kedua partisipan yaitu

P1 P2

Percerian hanya merugiakan anak dan

membuat kesulitan ekonomi.

Perceraian adalah jalan keluar untuk

suami istri yang tidak bisa saling

berbagi dan saling menghargai.

Mengenai perceraian, P2 memiliki pemikiran ketika sepasang suami istri yang

tidak bisa saling berbagi dan saling menghargai, mungkin perceraian adalah jalan keluar

yang terbaik untuk hubungan tersebut.Selain itu, sebagai suami harus bisa menghargai

istrinya yang telah berusaha untuk menjadi istri dan ibu yang baik karena hal itu bukan

merupakan sebuah pekerjaan yang mudah dan tidak seharusnya seorang suami yang baik

itu memukul istrinya.

P2 sendiri sering mengalami kekerasaan yang dilakukan oleh ibunya terhadap

dirinya dan P2 juga melihat ibunya yang sering terkena tindakan kekerasan olehayahnya.

Hal ini membuatnya memiliki prinsip untuk melakukan segala sesuatu sendiri dan tidak

bergantung dengan orang lain sehingga bisa lebih dihargai oleh orang lain.

“Jadi orang lain yang lebih menghargai karena aku nsaha sendiri, gakbergantung sama orang lain.”

Page 30: OLEH DEA MAGDALENA TUGAS AKHIR …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/9382/2/T1_802009803_Full... · perceraian orangtua tetap bisa menorehkan luka batin yang menyakitkan bagi

21

Selain itu kekerasan yang terjadi dalam keluarganya juga membuat P2 merasa

takut kalau nantinya akan mendapatkan kekerasan juga bersama pasangannya ketika

menikah nanti tetapi P2 cenderung akan bersikap tegas untuk melaporkan tindak

kekerasan tersebut apabila sampai terjadi.

“...kalau pacaran sama married itu beda. Nah takutnya pacaran itu begini,istilah nanti eh dianya malah mukul...”

Dampak dari kekerasan yang dialami oleh dirinya akibat perlakuan dari ibunya

membuatnya tidak akan melakukan hal tersebut kepada anaknya kelak karena P2

menganggap kalau seorang anak kecil itu cukup untuk diberitahu dan diajarkan, tanpa

harus memakai kekerasaan karena itu rasanya akan sakit.

Berbeda dengan P2, Ibu dari partisipan PI sendiri juga sering memberikan nasehat

dan perumpamaan mengenai sebuah pernikahan yang pasti akan ada persoalan tetapi

ibunya berharap kalau anaknya tidak mengulangi kesalahan seperti yang telah diperbuat

oleh kedua orangtuanya sehingga hal ini dijadikan pelajaran olehnya untuk tidak

mengulangi apa yang telah terjadi dalam keluarganya.

“Ya intinya, orangtua saya itu selalu memberikan nasehat kepada sayalah,jangan mengulangin kesalahan yang saya lakukan dulu sampai bercerai.”

Sementara P1 menganggap kalau perceraian itu hanya akan merugikan anak dan

membuat kesulitan ekonomi setelah dari perceraian tersebut yang nantinya juga akan

berdampak pada anak, mengingat biaya dari perceraian yang menghabiskan uang yang

tidak sedikit. Pasangan dari P1 juga memiliki sikap yang sama untuk tidak menyukai

perceraian di dalam rumah tangga.

Hambatan dalam hubungan bersama pasangan

Deskripsi dalam tabel antara kedua partisipan yaitu

P1 P2

Belum lulus dan belum bekerja.

Bingung untuk menentukan wali dalam

pernikahan

Perbedaan visi misi ke depan

Adanya trauma mengenai visi misi dan

mimpi bersama pasangan.

Hambatan yang dialami oleh P1 dalam hubungan bersama dengan pasangannya

yaitu P1 belum lulus dari perkuliahan yang membuatnya belum bisa untuk lanjut ke

Page 31: OLEH DEA MAGDALENA TUGAS AKHIR …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/9382/2/T1_802009803_Full... · perceraian orangtua tetap bisa menorehkan luka batin yang menyakitkan bagi

22

jenjang berikutnya bersama dengan pasangannya. Hal ini membuatnya terkadangbingung

dan buntu karena belum bisa memikirkan mengenai nanti kedepannya.Tetapi dia

berusaha untuk mengatasi hambatan ini dengan meyakinkan pasangannya kalau P1 serius

dengan hubungan yang telah dijalani sehingga diharapkan untuk bisa bersabar untuknya

hingga bekerja untuk bisa menafkahi keluarganya nanti.

Hambatan lainnya yaitu kebingungan untuk menentukan wali didalam pernikahan

P1 dan pasangannya, mengingat kedua orangtua baik ayah tiri ataupun ayah kandung

merupakan orang yang punya andil masing-masing sementara keduanya memiliki

hubungan yang tidak harmonis.

“Bapak saya tiri sama bapak saya kandung itu sampai sekarang itu belum bisa baikan lho, belum pernah ketemuan, kalau ketemuan itu bisa gelut, bisa bertengkar.Saya bingungnya sampai sekarang itu disitu tadi.”

Berbeda dengan P1, P2 cenderung memiliki hambatan selain dari ketakutan untuk

mendengar kata pernikahan yang perlahan mulai menghilang. Selain itu P2 juga memiliki

perbedaan pendapat mengenai visi dan misi kedepan dimana dia ingin membuat rencana

masa depannya sendiri tanpa berpegang pada orang lain karena P2 memiliki rasa

ketakutan kalau impiannya akan kembali dihancurkan sama seperti kedua orangtuanya

dan seperti pasangannya yang terdahulu.

“...tetapi ternyata malah mereka gak mendukung, malah mereka sendiri yang menghancurkan.”

Walaupun pasangannya mencoba untuk meyakinkan, tetapi P2 tetap merasa hal

itu perlu untuk menjadi patokan bagi dirinya agar tahu harus melakukan apa untuk visi

misi kedepannya nanti.

PEMBAHASAN

Kedua partisipan sama-sama memiliki dampak akan perceraian kedua

orangtuanya perasaan stres, sedih, tertekan ketika pertama kali mengetahui perceraian

kedua orangtuanya. Kondisi depresif ini ditunjukkan melalui perilaku tidak nafsu makan,

lebih mudah untuk emosi atau marah, minder dan menjauh dari lingkungan sekitar serta

mencari pelarian untuk perasaan yang dialami, seperti mabuk ataupun bermain game

online. Perasaan akan kesepian juga sering kali dialihkan menjadi mencari pergaulan lain

dengan lebih senang bermain dan akhirnya tidak terlalu fokus terhadap pendidikan yang

Page 32: OLEH DEA MAGDALENA TUGAS AKHIR …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/9382/2/T1_802009803_Full... · perceraian orangtua tetap bisa menorehkan luka batin yang menyakitkan bagi

23

sedang dijalani.

Konsisten dengan hasil penelitian oleh Ulpatusalicha (2009) mengenai dampak

perceraian terhadap anak hasil korban perceraian yang akhirnya mengalami

ketidakstabilan emosi yang membuat menjadi minder, kurang percaya diri, dan terkadang

melampiaskannya dengan melakukan hal yang berlawanan dengan peraturan yang ada di

sekitar mereka. Hal ini juga sejalan dengan penelitian oleh Huurre, Hanna, & Hillevi

(2006) dimana juga ditemukan bahwa anak yang merupakan korban dari keluarga yang

bercerai akan cenderung memiliki teman dekat yang sedikit yang dapat membantu

mereka karena mereka akan cenderung untuk menutup diri mereka dan tidak suka

membicarakan mengenai hal pribadi.

Akan tetapi terdapat perbedaan diantara kedua partisipan dalam hal menjalin

hubungan dengan pasangannya.Hal ini terlihat dari persepsi mengenai

pernikahan diantara kedua partisipan. Satu partisipan cenderung takut akan kata

pernikahan dan juga perceraian dalam hubungan yang sedang dijalani. Sementara

partisipan yang lainnya cenderung bersikap netral akan hubungan yang sedang dijalani.

Hal yang berbeda ini terjadi mungkin bisa dilihat dari perbedaan adanya hubungan yang

baik dengan kedua orangtua (Richardson & Marita, 2001). Karena hal tersebut juga yang

membuat adanya perbedaan penerimaan atas perceraian orangtua dimana partisipan

yang memiliki hubungan yang baik dengan kedua orangtua sudah bisa menerima

perceraian orangtua dan hanya memerlukan waktu dua tahun untuk melewati proses yang

sulit sementara partisipan yang satu hingga saat ini masih belum bisa menerima dan

terkadang masih berharap kalau kedua orangtuanya bisa tetap bersama. Hal ini

membuatnya mengalami hubungan yang buruk dan bahkan menganggap kedua

orangtuanya merupakan orang yang asing.

Perbedaan dari sisi hubungan baik yang masih terjalin antara anak dan kedua

orangtua, serta proses perceraian yang melibatkan pendapat dari sang anak bisa

merupakan faktor penting yang membedakan mengenai reaksi didalam hubungan

bersama dengan pasangan saat ini. Akan tetapi, sama-sama terlihat persepsi mengenai

perceraian dimana adanya ketakutan dari kedua partisipan untuk penyebab dari

perceraian kedua orangtuanya tersebut.Di satu sisi, penyebab dari sisi keuangan serta

perselingkuhan, membuat partisipan juga merasa takut kalau nantinya tidak bisa

membahagiakan pasangannya dan orangtuanya.Serta adanya ketakutan untuk

Page 33: OLEH DEA MAGDALENA TUGAS AKHIR …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/9382/2/T1_802009803_Full... · perceraian orangtua tetap bisa menorehkan luka batin yang menyakitkan bagi

24

berselingkuh ataupun mengulangi kesalahan yang pernah dilakukan oleh kedua

orangtuanya. Selain itu penyebab perceraian yang disertai oleh kekerasaan rumah tangga

juga membuat partisipan menjadi takut kalau ia akan menghadapi pernikahan yang

nantinya juga akan mengalami hal yang serupa seperti yang dialami oleh kedua

orangtuanya. Hal ini diakibatkan karena dewasa awal dari kedua orangtua yang bercerai

akan lebih mungkin untuk mengingat pesan yang lebih negatif daripada positif dari

orangtua mereka (Weigel, dalam Arizqa, Wisnu, 2004).

Dampak perceraian yang lebih kompleks terlihat ketika ada faktor kekerasan

didalamnya ntah itu secara fisik, psikologis, seksual maupun penelataran ekonomi (Putri,

2008). Hal ini akan membawa pengaruh yang buruk terhadap anak yang

pernahmengalami kekerasaan khususnya fisik karena rasa sakit yang didapatkan oleh

anak tersebut akan membuatnya memiliki prinsip sendiri yang merupakan benteng bagi

dirinya agar tidak mengalami hal yang serupa seperti kedua orangtuanya, seperti

misalnya ingin melakukan semuanya sendiri dan tidak ingin bergantung dengan orang

lain agar bisa dihargai oleh orang lain. Prinsip yang dipegang teguh oleh ini akan bisa

menimbulkan konflik yang tinggi karena kurangnya keterampilan sosial seperti negosiasi

dan kompromi (Amato, Laura, Alan, 1995), tetapi lebih cenderung untuk

mempertahankan prinsipnya dan akhirnya membuat pasangannya yang harus lebih

banyak mengalah di dalam hubungan yang sedang dijalani tersebut.

Dampak yang dirasakan ini pun akan berdampak ketika seseorang

menjalin komitmen dengan pasangannya di kemudian hari. Dewasa awal yang berasal

dari keluarga yang bercerai akan cenderung merasa senang ketika mereka

akhirnyamendapatkan seseorang yang mereka merasa tertarik oleh sifat dan sikap

pasangannya dan identitas hubungan yang sedang dijalani (menurut Kuhn & McPartland,

dalam Johnson, dkk 1999). Kuatnya daya tarik yang dirasakan oleh seseorang terhadap

pasangannya akan menentukan seberapa besar rasa ia ingin bertahan dan berkomitmen

terhadap hubungan yang sedang dijalani. Hal ini terlihat dari kedua partisipan yang sudah

merasa yakin dan mantap dengan pilihan mereka saat ini, berkomitmen dan tidak ingin

mencari yang lain lagi serta berharap pasangan mereka saat ini adalah pasangan mereka

yang terakhir. Kedua partisipan sama-sama merasakan kepuasan terhadap hubungan

yang sedang dijalani dan merasa sudah menemukan orang yang terbaik dibandingkan

oleh pasangan mereka yang terdahulu dimana pasangan mereka yang sekarang

Page 34: OLEH DEA MAGDALENA TUGAS AKHIR …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/9382/2/T1_802009803_Full... · perceraian orangtua tetap bisa menorehkan luka batin yang menyakitkan bagi

25

merupakan pasangan yang bisa menerima diri mereka apa adanya, memiliki sifat

menuntun hidup mereka, melindungi, dan membuat mereka merasa nyaman dan percaya

untuk menceritakan setiap persoalan pribadi yang mereka rasakan.

Mengenai komitmen moral, terdapat perbedaan diantara partisipan yang satu

lebih memiliki komitmen moral dibandingkan partisipan yang lainnya.Hal ini terlihat

dari komitmen yang dibangun sudah mencapai tahap pertunangan yang membuat

partisipan secara tidak langsung bertanggung jawab terhadap pasangannya saat ini

sehingga partisipan memiliki beban secara moral untuk harus mengatasi hambatan yang

ada agar dapat naik ke jenjang yang lebih serius lagi.

Sementara partisipan yang satunya sering mengalami hal yang menyakitkan

dengan pasangan yang sebelumnya seperti impian yang telah dihancurkan serta trauma

akibat orangtua yang tidak mengijinkan membuat partisipan menjadi ragu untuk menaruh

visi misi bersama dan saling bertanggung jawab dan mengambil jalan tengah yaitu

menjalani semuanya seperti biasa dahulu. Hal ini dilakukan karena partisipan takut kalau

hal yang dulu ia lakukan dengan menaruh impian terhadap orang lain dan akhirnya tidak

mendapatkan balasan dan membuat dirinya harus merasa terluka seperti yang dilakukan

oleh kedua orangtuanya juga. Hal ini juga dikatakan oleh pasangan P2 yang mengatakan

bahwa ia tidak ingin memaksa P2 untuk membahas lebih banyak mengenai pernikahan

karena P2 masih merasakan takut untuk menjalani hingga ke tahap tersebut hingga untuk

saat ini merasa belum saling mengenai keluarga masing- masing pihak karena adanya

rasa takut dan trauma atas peristiwa yang pernah terjadi.

Selain itu hambatan dalam hubungan juga dirasakan oleh P1yang walaupun

sudah mencapai tahap pertunangan tetapi hambatan dalam hubungan mereka membuat

P1 sulit untuk melanjutkan ke tahap yang lebih tinggi.Hal ini juga dikemukakan oleh

pasangan P1 yang sebenarnya mengkhawatirkan mengenai P1 yang masih belum selesai

berkuliah, belum bekerja, dan masih takut kalau tidak bisa memenuhi kebutuhan mereka

nanti serta belum adanya biaya untuk mempersiapkan sebuah pesta pernikahan.Selain itu

konflik internal keluarga membuat P1 dan pasangannya bingung untuk menentukan wali

di pernikahan mereka.Tetapi pasangan P1 mencoba untuk memahami danmenunggu

mengingat banyaknya pengorbanan yang telah dilakukan dan lamanya hubungan yang

telah di bangun selama ini.

Lalu jika dilihat dari sisi komitmen struktural maka terdapat kesamaan dari kedua

Page 35: OLEH DEA MAGDALENA TUGAS AKHIR …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/9382/2/T1_802009803_Full... · perceraian orangtua tetap bisa menorehkan luka batin yang menyakitkan bagi

26

partisipan dimana pasangan mereka merupakan pihak yang lebih banyak berinvestasi

atau melakukan pengorbanan di dalam hubungan yang sedang mereka

jalani.Pengorbanan baik dalam hal pembuktian rasa sayang, ataupun menunjukkan

keseriusan kepada orangtua, serta pengorbanan untuk mengalah ketika sedang berkonflik

membuat hubungan yang ada menjadi lebih berkomitmen. Faktor dari keterlibatan

orangtua di dalam hubungan merupakan faktor yang penting didalam komitmen

struktural dimana ketika salah satu partisipan sering melibatkan orangtua dalam

menyelesaikan setiap permasalahan, maka akan semakin kuat pihak yang tidak setuju

jikalau hubungan komitmen yang sudah terjalin harus berakhir. Ditambah lagi dengan

pengalaman akan perceraian orangtua membuat tanggapan orang dari lingkungan sekitar

lebih memperingatkan dan memberikan nasehat agar hal tersebut tidak terjadi lagi.

Tetapi hal yang berbeda bisa terjadi ketika pihak orang yang ada didalam

komitmen yaitu orangtua menjadi pihak yang tidak setuju dikarenakan pandangan

mengenai anak yang berasal dari keluarga yang bercerai itu tidak baik, maka hal ini akan

menjadi hambatan untuk bisa melanjutkan komitmen yang sedang dijalani seperti yang

pernah dialami oleh salah satu partisipan yang lainnya. Hal ini terkadang membuat

seorang anak dari keluarga yang bercerai akan berusaha untuk sukses dan lepas dari

sosok kedua orangtuanya agar orang-orang dapat melihat diri mereka sendiri yang

berbeda daripada kedua orangtuanya tersebut. Apapun yang terjadi ketiga komitmen ini

saling berhubungan dan memberikan andil satu sama lainnya. Ketika seseorang mereka

yakin dan puas akan sebuah hubungan maka akan tercipta rasa kebergantungan terhadap

hubungan dan membuat semakin sedikitnya altematif untuk membuat komitmen harus

berakhir. Pengalaman yang pernah dirasakan dari keluarga yang bercerai akan membuat

seseorang menjadi lebih berpikir lagi berkomitmen untuk menikah karena mereka sudah

mengetahui dampak yang terjadi baik dari sisi finansial, psikologis, maupun fisik apabila

ada kekerasan didalamnya.

KESIMPULAN

Jika dilihat dari hasil penelitian yang didapatkan, masing-masing merasakan

dampak negatif dari perceraian kedua orangtua mereka, tetapi terdapat beberapa

perubahan ketika masih adanya hubungan yang harmonis dan adanya usaha untuk tetap

Page 36: OLEH DEA MAGDALENA TUGAS AKHIR …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/9382/2/T1_802009803_Full... · perceraian orangtua tetap bisa menorehkan luka batin yang menyakitkan bagi

27

berinteraksi antara anak dan kedua orangtuanya yang dapat meminimalisir dampak

negatif yang terjadi akibat dari perceraian kedua orangtua sementara yang satu masih

mengganggap orangtuanya adalah orang asing.

Selain itu dampak yang ditimbulkan dari perceraian masing-masing memiliki

dampak dan ingatan yang buruk dan membekas bagi mereka di saat mereka sedang

berkomitmen dalam suatu hubungan dengan orang lain. Ketakutan akan penyebab

perceraian kedua orangtua membuat dewasa awal menjadi lebih berhati-hati lagi untuk

tidak mengulangi kesalahan yang telah dilakukan oleh kedua orangtua mereka terdahulu.

Walaupun ada dampak negatif, apabila dewasa awal mendapatkan hubungan yang

berkualitas dan pasangan yang berkomitmen serta adanya daya tarik, kepuasan terhadap

hubungan, dan pengorbanan yang telah dikeluarkan selama hubungan maka akan

membantu dewasa awal untuk melanjutkan komitmen untuk menikah dengan

pasangannya saat ini. Ketiga komitmen yaitu personal, moral, dan struktural merupakan

komitmen yang saling berhubungan dan memengaruhi satu sama lain dalam seseorang

menjalin komitmen dengan orang lain.

Terdapat adanya perbedaan yaitu salah satunya komitmen struktural. Ketika

sebuah hubungan berjalan dengan adanya campur tangan dari orangtua yang bercerai

maka akan cenderung untuk tidak menginginkan anaknya melakukan kesalahan yang

sama dan menjadi penengah atau memberikan nasehat di dalam hubungan yang sedang

dijalani. Sementara ketika orangtua pasangan tidak bisa menerima dewasa awal yang

berasal dari orangtua yang bercerai, maka hal ini akan menjadi hambatan yang perlu

untuk diselesaikan untuk bisa membuktikan bahwa tidak semua dewasa awal yang

berasal dari keluarga yang bercerai itu memiliki sifat yang buruk seperti citra yang

selama ini ada.

SARAN

Melalui penelitian ini diharapkan bagi partisipan untuk dapat mencari bantuan

profesional untuk bisa menerima perceraian yang terjadi di antara kedua orangtuanya

serta dapat mengatasi hambatan yang ada didalam hubungan mereka, baik secara

finansial maupun secara rasa takut untuk membuat komitmen dengan pasangannya. Bagi

pihak keluarga, penting untuk tetap menjelaskan apa yang membuat perceraian tersebut

Page 37: OLEH DEA MAGDALENA TUGAS AKHIR …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/9382/2/T1_802009803_Full... · perceraian orangtua tetap bisa menorehkan luka batin yang menyakitkan bagi

28

terjadi dan penting untuk bisa tetap menjalin hubungan yang baik walaupun akhirnya

memiliki keluarga yang baru. Bagi peneliti selanjutnya, diharapkan agar mengkaji lebih

lanjut mengenai dukungan support orangtua terhadap dampak perceraian orangtua

mengingat adanya perbedaan ketika adanya support dan dukungan orangtua dan tidak

adanya dukungan dari kedua orangtua ketika perceraian tersebut terjadi.

DAFTAR PUSTAKA

Amelia, A.T. (2008). Strategi Koping Anak dalam Menghadapi Stres Pasca Trauma Akibat Perceraian Orang Tua. Skripsi (tidak diterbitkan). Surakarta:Fakultas Psikologi UMS.

Amato, P. R., Laura, S. L., & Alan, B. (1995). Parental divorce, marital conflict, andoffspring well-being during early adulthood. Social Forces, 73, 895-915.

Andi, M. (1983). Psikologi orang dewasa. Surabaya: Usaha Nasional.

Arizqa, D.P., & Wisnu, S.H. (2011). Kepribadian dewasa awal yang mengalami perceraian orang tua. Surakarta: Universitas Muhammadiyah.

Brooks, J. (2011). The process of parenting. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Doordrje, D.T. (2010). Kekerasan dalam rumah tangga sebagai alasan perceraian. Universitas Sam Ratulangi: iYlanado.

Gross, R. (2013). Psychology: the science of mind and behaviour. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Herdiansyah, H. (2012). Metodologi penelitian kualitatif untuk ilmu-ilmu sosial. Jakarta: Salemba Humanika.

Hurlock, E. B. (2002). Psikologi perkembangan: suatu pendekatan sepanjang rentang kehidupan (Edisi Kelima). Jakarta: PT Gelora Aksara Pratama.

Hetherington, E.M. (2003). Social Support And The Adjustment Of Childern In Divorced And Remarried Families. Childhood 10: 217-236.

Huurre, T., & Hanna, J., Hillevi, A. (2006). Long-term psychosocial effects of parental divorce: A follow-up study from adolescence to adulthood. European Archives Psychiatry and Clinical Nueuroscience, 256, 256-263.

Johnson, M. P. (in press). Personal, moral and structural commitment to relationships: Experiences of choice and constraint. In W. H. Jones & J. M. Adams (Eds.), Handbook of interpersonal commitment and relationship stability. New York: Plenum.

Page 38: OLEH DEA MAGDALENA TUGAS AKHIR …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/9382/2/T1_802009803_Full... · perceraian orangtua tetap bisa menorehkan luka batin yang menyakitkan bagi

29

Ihromi, T. O. (2004). Bunga rampai sosiologi keluarga. Jakarta: Yayasan Obor.

Johnson, M. P., & John P.C.,; Ted L. Huston. (1999). The tripartite nature of marital commitment personal, moral, and structural reasons to stay married. Journal of Marriage and the Family, 61, 160-177.

Margiantari., Heru, & B., Novia, M. (2012). Persepsi terhadap perkawinan pada dewasa muda yang mengalami perceraian. Skripsi yang tidak diterbitkan. Depok: Fakultas Psikologi, Universitas Gunadarma.

Merrim, I. (2008). Persepsi terhadap pernikahan pada wanita dewasa dini yang berasal dari keluarga bercerai. Skripsi (yang tidak diterbitkan). Medan: Fakultas Psikologi, Universitas Sumatera Utara.

Papalia, D.E., Olds, S.W., & Feldman, R.D. (2005). Human Development (9th Ed). New York: McGrawHill.

Putri, L. S. D. (2008). Fungsi hukum pidana dalam mencegah kekerasan dalam rumah tangga terhadap anak. Skripsi (yang tidak diterbitkan). Jakarta: Fakultas Hukum, Universitas Pembangunan Nasional Veteran.

Rasjidi, L. (1991). Hukum perkawinan dan perceraian di Malaysia dan Indonesia. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Richardson, S., & Marita, P.M. (2001). Parental divorce during adolescence and adjustment in early adulthood. San Diego: Libra Publishers.

Rusbult, C. E., John, M. M., Christopher, R. A. (1998). The investment model scale: measuring commitment level, satisfaction level, quality of alternatives, and investment size. Personal Relationships, 5, 357-391.

Saeroni. (2013). Tantangan dan peluang pengintegrasian UU penghapusan kekerasan rumah tangga dalam sistem peradilan agama di Indonesia. Diakses dari http://saeroni.wordpress.com/2013/Q4/16/tantangan-dan-peluang-pengintegrasian-uu-penghapusan-kekerasan-dalam-rumah-tangga-dalam-sistem- peradilan-agama-di-indonesia/ pada tanggal 9 September 2013.

Sager, K. (2009). Effect of Parental Divorce on Adult Children’s Romantic Journal of Pychology. Vol. 3

Santrock, John W. (2003). Adolescence : perkembangan remaja (Edisi Keenam). Jakarta: Erlangga.

Ulpatusalicha. (2009). Dampak perceraian orang tua terhadap perkembangan emosional anak (studi kasus di desa Pangauban Kec. Lekea Indramayu). Skripsiyang tidak diterbitkan. Yogyakarta: Fakultas Fakultas Tarbiyah, UIN Sunan Kalijaga.