Oikumene Diktat

40
BAB I PENDAHULUAN Salah satu dasar dari gerakan oikumene adalah doa Tuhan Yesus, demikian Aku berdoa: "...supaya mereka semua menjadi satu, sama seperti Engkau, ya Bapa, di dalam Aku dan Aku di dalam Engkau, agar mereka juga di dalam kita, supaya dunia percaya, bahwa Engkaulah yang telah mengutus Aku" (Yohanes 17:21 ). Dalam doa Tuhan Yesus ini ada beberapa pokok pikiran, a. Oikumene atau kesatuan adalah kehendak Allah. Penegasan ini penting supaya tidak ada pribadi atau lembaga apa pun mengklaim diri sebagai pencetus, penggagas, pembangun oikumene. Dengan demikian oikumene adalah konsisten sebagai gerakan yang dimulai dari pikiran Allah, sebagai impian atau visinya terhadap Tubuh Kristus di masa mendatang. b. Tritunggal adalah model nya. Oikumene yang diidamkan Tuhan harus memiliki model atau type. Ungkapan seperti “Engkau dan Aku” menunjukkan bahwa pola, model dan relasi dalam lembaga Tritunggal adalah model yang ideal membangun atau mewujudkan oikumene. 1

description

Oikumene (Kristen)

Transcript of Oikumene Diktat

BAB I

PENDAHULUAN

Salah satu dasar dari gerakan oikumene adalah doa Tuhan Yesus, demikian Aku

berdoa:

"...supaya mereka semua menjadi satu, sama seperti Engkau, ya Bapa, di dalam Aku dan

Aku di dalam Engkau, agar mereka juga di dalam kita, supaya dunia percaya, bahwa

Engkaulah yang telah mengutus Aku" (Yohanes 17:21 ).

Dalam doa Tuhan Yesus ini ada beberapa pokok pikiran,

a. Oikumene atau kesatuan adalah kehendak Allah. Penegasan ini penting supaya

tidak ada pribadi atau lembaga apa pun mengklaim diri sebagai pencetus,

penggagas, pembangun oikumene. Dengan demikian oikumene adalah konsisten

sebagai gerakan yang dimulai dari pikiran Allah, sebagai impian atau visinya

terhadap Tubuh Kristus di masa mendatang.

b. Tritunggal adalah model nya. Oikumene yang diidamkan Tuhan harus memiliki

model atau type. Ungkapan seperti “Engkau dan Aku” menunjukkan bahwa pola,

model dan relasi dalam lembaga Tritunggal adalah model yang ideal

membangun atau mewujudkan oikumene.

c. Doa memegang peran sentral dalam oikumene. Kesatuan dalam Tubuh kristus

diletakkan dalam kontruksi konteks doa, bukan kebentulan. Pesan tegas ingin

disampaikan Tuhan, bahwa oikumene adalah ‘usaha’ Tuhan sendiri, dan doa

adalah factor dominan mewujudkan oikumene.

d. Okumene dan implikasinya. Ada target dan goal besar yang akan dihasilkan

sebagai implikasi dari oikumene.

Point-point ini akan dipertajam pada bab-bab berikutnya.

A. TERMINOLOGI OIKUMENE

1

istilah dalam bahasa Yunani, 'oikos' yang berarti: rumah, tempat tinggal, istana, kota,

keluarga, keturunan, bangsa, kekayaan1; sedangkan 'menein'2 berarti: tinggal atau berdiam.

Pada dasarnya kata Oikumene sama sekali tidak ada hubungan atau bersangkut paut dengan

gereja. Karena yang dimaksud dengan kata Yunani ini adalah dunia yang didiami dalam

pengertian politis. Jadi istilah Oikumene sebenarnya berasal dari suasana politik, lalu

dipindahkan ke dalam situasi gereja. Dr.

W.H. Visser't Hufft mendaftarkan beberapa arti kata Oikumene seperti yang didapati di

dalam sejarah, yaitu Oikumene adalah seluruh dunia yang didiami; seluruh kekaisaran

Roma; gereja seluruhnya; gereja yang sah; hubungan-hubungan beberapa gereja atau orang

Kristen yang pengakuannya berbeda-beda; usaha dan keinginan untuk mendapatkan

keesaan Kristen.

Kamus besar bahasa Indonesia mendefinisikan oikumene “gerakan yg bertujuan

menyatukan atau menghimpun kembali gereja sedunia dan akhirnya menyatukan segenap

umat Kristen”

Berbicara perihal Oikumene, maka juga harus berbicara mengenai Keesaan gereja. Sebab

Oikumene dan Keesaan Gereja mempunyai hubungan yang erat. Tujuan utama dari

gerakan Oikumene adalah perwujudan Keesaan Gereja.

Dalam sejarah perwujudan Keesaan Gereja di Indonesia yang memakan waktu yang

panjang, maka di dalamnya juga pengertian 'keesaan' mengalami berbagai perkembangan.

Hal ini dapat dilihat melalui hasil-hasil sidang raya dan rapat BPL PGI yang sudah

diadakan.

Wujud keesaan yang dirindukan dan yang berhasil ditetapkan oleh PGI adalah suatu gereja

dengan mempunyai wadah bersama di tingkat lokal, wilayah dan nasional yang dapat

berunding, mengambil keputusan bersama; dengan mempunyai satu pengakuan iman dan

tata gereja yang berlaku bagi semua; serta setiap gereja saling menerima, saling mengakui

1Di PB muncul 114x, lih. Hasan Sutanto, Perjanjian Baru Interlinear, LAI, h. 565-566. 2Dari kata kerja ‘menw’ (118x), ibid hal 510-511.

2

sebagai sama-sama wujud pernyataan diri dari gereja Tuhan yang kudus dan am. Namun

rumusan mengenai keesaan gereja ini dirasakan lebih menekankan organisasi daripada

kesatuan dalam paham atau ajaran.12 Oleh sebab itu ada beberapa gereja yang menolak

pandangan ini, sehingga paling tidak masih ada dua pandangan lain yang berbeda

mengenai keesaan gereja, yakni:

3.1. Keesaan Gereja itu secara rohani

Pandangan ini sejalan dengan pernahaman akan arti gereja yaitu adanya gereja yang

kelihatan dan gereja yang tidak kelihatan. Gereja yang sesungguhnya yang terdiri dari

orang yang percaya kepada Tuhan Yesus, sudah mempunyai satu kesatuan dalam Kristus.

Jadi keesaan yang sesungguhnya adalah bersifat rohani.

3.2. Keesaan gereja terletak dalam berkata dan berbuat

Seperti yang difirmankan dan diperbuat oleh Bapa dan Anak; atau dengan kata lain,

kesatuan dalam karya/tugas sesuai dengan kehendak Bapa dan Anak. Kesatuan orang

beriman atau kesatuan gereja, jikalau itu adalah kesatuan seperti yang dirindukan oleh

Kristus di dalam doaNya, maka itu terletak di dalam berkata-kata dan berbuat seperti apa

yang difirmankan dan diperbuat oleh Bapa dan Anak.

B. PENGERTIAN YANG SALAH TENTANG OIKUMENE

Beberapa kalangan dan beberapa periode oikumene dipersepsikan, dianalogikan,

diposisikan atau diterjemahkan sebagai “Usaha bersama seperti natal, baksos,

paskah bersama, konsultasi dan pertemuan bersama”. Persepsi yang demikian

tentu ada beberapa factor yang menyebabkan, seperti :

Minimnya literature yang memberikan kajian dan penjelasan yang tepat

mengenai oikumene.

Cermin dari kesadaran baru dari gereja-gereja, secara khusus di Indonesia

tentang pentingnya oikumene.

3

Alam berpikir pragmatis, suatu kecenderungan mencari factor-faktor simple dan

simpulnya saja.

Perbuatan konkret lebih menyimbolkan dalam pemaknaan.

Penerjemahan yang salah, tentu berakar dari persepsi pemaknaan yang juga salah,

sebab oikumene sering dipahami “suatu usaha untuk menyatukan seluruh gereja,

dengan mempunyai satu tata gereja, satu pengakuan iman, satu papan nama, satu

kuasa administratif. Pendek kata, menjadikan satu semuanya (uniformitas)”

Implikasi dari persepsi yang salah menyebabkan penjabaran berikutnya mengalami

distorsi. Maka sangat tidak mengherankan jika ada pemimpin gereja yang pesimis

bahwa oikumene adalah “SEBUAH KEMUSTAHILAN”. Mengapa mereka pesimis ?

karena mereka berpikir bahwa Keesaan atau oikumene adalah penyeragaman. Dari

awal “model oikumene” tidak dimaksudkan penyeragaman. Berarti oikumene adalah

usaha radikal yang mana “seluruh gereja, dengan berbagai latar belakang, berlainan

suku, bahasa, kebudayaan dan tradisi dileburkan menjadi satu”.

Pada akhirnya oikumene harus dimaknai sebagai “suatu sikap iman yang

mendorong gereja-gereja untuk berjalan bersama-sama pada satu jalan dan arah

yang sama”.

Esensi oikumene tidak bisa dilepaskan dari akar kelahirannya bahwa Pada

hakekatnya gereja itu sudah satu dalam Kristus yang adalah kepala gereja.

C. LATAR BELAKANG OIKUMENE

Para sarjana dan Sejarawan gereja tidak memiliki kata sepakat perihal titik tonggak

kelahiran gerakan oikumene yang bertalian dengan gereja. Seperti halnya dengan

kekristenan di Indonesia yang merupakan "barang impor" dari Eropa, demikian juga

dengan Oikumene. Oikumene merupakan warisan dari gereja-gereja di Eropa yang

kemudian mendarat di bumi Indonesia. Namun kapan gerakan Oikumene itu dimulai?

4

Para ahli sejarah gereja cenderung memilih konperensi Pekabaran Injil Sedunia di

Edinburgh 1910, sebagai titik mula lahirnya gerakan Oikumene Internasional. Walaupun

sebenarnya Gerakan Oikumene sudah dirintis pada zaman Reformasi bahkan sebelumnya,

di mana gereja-gereja di Eropa mulai mengadakan pendekatan untuk mewujudkan

kesatuannya. Tetapi jika diselidiki lebih jauh, sebenarnya sebelum konperensi Edinburgh

1910, pergerakan Oikumene baru dirintis oleh beberapa negara dan belum dalam kategori

Internasional. Nanti pada konperensi Edinburgh baru dapat dikatakan Internasional, karena

terdiri dari berbagai negara di dunia dan diikuti oleh 1200 delegasi dari 159 Badan Misi.

Salah satu yang berhasil disimpulkan dalam konperensi itu yakni mengenai kerja sama dan

pemupukan keesaan. Hal ini juga membawa gereja yang muda untuk memikirkan ke arah

gereja yang dewasa. Hal-hal ini penting bagi gerakan keesaan gereja di kemudian hari,

khususnya untuk gereja-gereja di Indonesia yang masih muda.

Pada tanggal 22 Agustus 1948 diadakan pembentukan DGD di Amsterdam, yang

merupakan penggabungan dari Gerakan Life and Work dan Gerakan Faith and Order.

Dewan ini mengadakan sidang raya I yang dihadiri oleh 351 utusan dari 147 gereja dan di

dalamnya termasuk perutusan dari Indonesia.

DGD (Dewan gereja-gereja sedunia) yang merupakan hasil dari Gerakan Oikumene,

memberikan suatu perkembangan yang baru bagi Gerakan Oikumene. Sebagai realisasi di

Indonesia, pada tanggal 6-13 Nopember 1949 diadakan konperensi persiapan pembentukan

DGI di Jakarta; dan akhirnya pada tanggal 25 Mei 1950 terbentuklah DGI (setelah SR X

th. 1984 di Ambon, berubah nama menjadi PGI), yang juga merupakan hasil dari gerakan

Oikumene. Dan selanjutnya PGI menjadi motivator utama bagi gerakan Oikumene di

Indonesia.

D. SIGNIFIKANSI OIKUMENE DALAM PERSPEKTIF EKLESIOLOGI

Topik ini akan dibahas di bab berikut, namun platform tentang nilai penting dan tujuan

oikumene sepantasnya dipetakan dari awal. Ada beberapa kisi yang menarik dalam

mempelajari ‘gerakan’ Oikumene :

5

Pertama, keragaman di Tubuh Kristus atau gereja, pada satu sisi sebagai

keindahan gereja,3 tapi di sisi lain juga sebagai ‘bom waktu’ yang bisa membumi

hanguskan eksistensi dan missi gereja.

Kedua, gereja bukan komunitas fiktif di dunia. Pergulatan gereja dalam

membangun eksistensinya di dunia, bukan saja untuk kepentingan pembangunan jati

dirinya, tetapi juga predikatnya sebagai “garam dan terang dunia”4 (Mat. 5:13-16). Jatuh

bangunnya gereja untuk meraih prestasi gemilang mewujudkan organisme yang

menerangi sangat menarik untuk dikaji.

3D. A. Carson, Gereja Jaman Perjanjian Baru & Masa Kini (Malang : Gandum Mas, 1997), h. 55-56.

4John Stott, Isu-Isu Global (Jakarta : Yayasan Komunikasi Bina kasih/OMF); band. John Stott, The Living Church, (Jakarta : BPK. Gunung Mulia) dan D. A. Carson, Gereja Jaman Perjanjian Baru & Masa Kini (Malang : Gandum Mas, 1997), h. 31.

6

BAB II

TINJAUAN ALKITAB TENTANG OIKUMENE

Kata Oikumene dalam Alkitab dipergunakan beberapa kali. Dalam septuaginta, kata

Oikumene diterjemahkan dari bahasa Ibrani untuk kata dunia atau bumi. Sedangkan dalam

Perjanjian Baru sendiri setidaknya ada 15 kali dipergunakan. Kata Oikumene kadang-

kadang dipergunakan dalam arti politis penuh, artinya seluruh wilayah kekaisaran Romawi

(Lukas 2:1, bandingkan Kis. 11:28; 19:27; 24:5), tetapi ini asing dari pandangan P.B. itu

sendiri. Pada bagian lain kata Oikumene diartikan secara teologis penuh, yaitu seluruh

dunia yang akan ditaklukkan di bawah pemerintahan Kristus (Ibrani 2:5). Tetapi pada

dasarnya kata Oikumene berarti seluruh dunia yang didiami. Injil diberitakan di seluruh

dunia/oikumene (Mat. 24:14). Dunia/oikumene dihakimi oleh Yesus Kristus (Yoh 3:17,

band. Lukas 21:26). Kerajaan dunia/oikumene ditunjukkan kepada Yesus oleh setan (Lukas

4:5). Demikian juga bagian-bagian lain (Kis. 17:6; Roma 10:18; Ibrani 1:6; 2:5; Wahyu

3:10; 12:9; 16:14) diulang, atau pengembangan dari arti di atas. Jadi sebenarnya secara

harfiah arti istilah Oikumene menurut Alkitab jelas berbeda dengan yang diartikan oleh

Gerakan Oikumene dewasa ini.

4.2. Keesaan menurut Yohanes 17:20-26

Tujuan utama Gerakan Oikumene yakni terwujudnya keesaan gereja. Dan sebagai landasan

Alkitabnya sering menggunakan Yohanes 17:21. Tetapi apakah memang Keesaan Gereja

yang telah dirumuskan itu sesuai dengan Yoh. 17:21?

Ada beberapa bagian Alkitab yang ada sangkut pautnya membicarakan mengenai keesaan

gereja. Salah satu di antaranya yaitu terdapat di dalam Yohanes 17:20-26. Bagian ini

menunjukkan perhatian Tuhan Yesus yang khusus untuk semua orang percaya/gereja yang

universal. Perhatian yang dominan dalam bagian ini adalah merupakan suatu kesatuan dan

kemuliaan Ilahi.

Tetapi apa yang dimaksud kesatuan di sini? Kesatuan orang percaya dibandingkan dengan

kesatuan antara Bapa dan Anak (ay. 21a). Sifat kesatuan ini bukan persamaan melainkan

7

merupakan suatu analogi. Tetapi yang jelas bahwa kesatuan antara orang percaya

permulaannya hanya mungkin diperoleh dalam hubungan Bapa dan Anak. Namun

selanjutnya kesatuan yang dimaksud dalam doa Tuhan Yesus ini dapat ditafsirkan dalam

dua cara; yaitu:

1. Keberadaan kesatuan di antara orang percaya dan kesatuan antara Bapa dan Anak ada

dalam kekekalan. Keduanya ini jelas sifat dasar kesatuan antara Bapa dan Anak yang

rohani dapat bersatu menghadapi dunia ini. Ketika orang percaya bersatu dalam iman

mereka ini, maka mereka mempunyai kuasa dan pengaruh dalam menghadapi dunia.

2. Kesatuan yang diutarakan oleh Berkouwer, yaitu yang dimaksud dalam bagian ini (Yoh.

17:21), bukan 'kesatuan yang mistik' atau kesatuan batiniah yang tidak kelihatan tetapi

kesatuan kebenaran, pengudusan dan kasih sebagai suatu realitas yang nampak, yang dapat

dilihat oleh tiap-tiap orang.

Kedua cara/pandangan di atas mempunyai hubungan satu dengan yang lain. Kesatuan di

antara orang percaya dalam realitas itu akan mungkin karena terlebih dahulu ada kesatuan

kepercayaan dalam Kristus. Sebaliknya kesatuan rohani antara orang percaya perlu suatu

perwujudan supaya dunia boleh melihat dan percaya. Hal keyakinan pada dasarnya adalah

rohani; dan kesatuan di antara orang percaya pada hakekatnya adalah rohani (I Kor. 1:2,9;

12:12-13), tetapi juga perlu kenyataan/perwujudan dalam kehidupan (band. Efesus 4:1-6).

Tuhan Yesus dalam doaNya mengungkapkan bahwa kesatuan itu pada dasarnya adalah

rohani, namun hendaknya kesatuan itu ada dalam realitas, dapat dilihat oleh tiap-tiap orang.

Pembahasan lebih lanjut akan menelaah mengenai kesatuan (kesatuan diartikan sama

dengan keesaan, hal ini diterima oleh kebanyakan tokoh gereja hingga saat ini) di antara

orang percaya.

Kesatuan di antara orang percaya hanya dimungkinkan karena kepercayaan kepada Kristus

(Yoh. 17:20). Kesatuan di antara orang percaya berhubungan dan berdasarkan pada

kesatuan Bapa dan Anak. Kesatuan di sini erat hubungannya dengan kebenaran, kekudusan

(ay. 17-19), kemuliaan (ay. 22,24) dan kasih (ay. 23,26), semuanya untuk dapat dilihat

orang (ay. 21,24).

8

Bapa dan Anak secara zat/esensi adalah satu (Yoh. 10:30), sehingga apa yang Bapa miliki

juga dimiliki oleh Anak (Yoh. 16:15). Tetapi kesatuan ini tanpa dinyatakan kepada

manusia, maka itu tidak akan berarti dan tidak dimengerti oleh manusia. Sebab itu Kristus

yang mulia harus datang ke dalam dunia untuk menyatakan hal ini (Yoh. 1:14; band. Yoh.

17:24). Kedatangan Kristus sejak semula yaitu melakukan kehendak Bapa untuk mati di

atas kayu salib (Yoh. 3:14-17; band. Fil. 2:8). Kristus datang untuk menyatakan Allah Bapa

kepada manusia (Yoh. 14:9-10). Tetapi dalam melihat hubungan Kristus yang unik dengan

Allah Bapa, dan sekaligus memperkenalkan Allah Bapa kepada manusia, maka itu

diwujudkan melalui perbuatan-perbuatanNya (Yoh. 14:11). Segala sesuatu yang Kristus

lakukan dan katakan semuanya sesuai dengan kehendak Allah Bapa (Yoh. 8:28; 14:24).

Jikalau kesatuan orang percaya ada dalam kesatuan Bapa dan Anak (ay. 21), maka

kesatuan itu juga adalah dalam melakukan segala pekerjaan yang sesuai dengan Firman

Tuhan, atau melakukan segala pekerjaan seperti Kristus melakukan pekerjaan Allah.

Kesatuan di antara orang percaya/gereja akan terwujud jikalau orang percaya/gereja

melakukan pekerjaan Tuhan sesuai dengan yang difirmankan Tuhan, dengan demikian

barulah dapat membawa orang-orang untuk percaya kepada Kristus dan mengaku Kristus

sungguh diutus Allah, sebagai Juru Selamat (ay. 21,23). Berhubungan dengan kemuliaan,

jika orang-orang percaya menyatakan kemuliaan Kristus, maka ini akan menghasilkan

kesatuan asasi.

Pemahaman tentang kesatuan di antara orang percaya/gereja di atas, hampir sejalan dengan

pandangan yang dikemukakan oleh Dr. Harun Hadiwijono yakni bahwa kesatuan yang

dirindukan oleh Kristus dalam doanya itu, adalah terletak dalam berkata dan berbuat seperti

yang difirmankan dan diperbuat oleh Bapa dan Anak: Perkataan dan perbuatan mereka

harus mendemonstrasikan Firman dan karya Kristus dan Bapa. Di situlah mereka

dipersatukan dengan Bapa dan Anak. Jikalau semua itu terjadi, maka dunia akan percaya

bahwa Allah Bapa benar-benar telah mengutus Kristus untuk menyelamatkan dunia ini.

Berdasarkan hal ini, maka tidak benar untuk menafsirkan doa Tuhan Yesus dalam Yoh.

17:20, 21, sebagai amanat untuk mendirikan satu gereja yang esa.

4.3. Keesaan menuju Kedewasaan Iman

9

Orang Kristen dipanggil untuk mendemonstrasikan perbuatan yang sesuai seperti

difirmankan Tuhan sehingga tercipta kesatuan asasi. Namun bagaimana itu dapat terwujud

dan apakah itu menjadi tujuan akhir?

Dalam meneropong hal ini, Firman Tuhan akan dilandaskan menurut Efesus 4:1-16, di

mana bagian ini juga sering dipergunakan para ahli/tokoh Oikumene dalam membahas

mengenai Keesaan Gereja.

Keesaan (=kesatuan) gereja adalah pekerjaan Roh Kudus. Hanya pekerjaan Roh Kudus

sendiri yang memungkinkan kesatuan itu terwujud. Pengalaman dalam kesatuan ini hanya

memungkinkan di antara mereka yang telah diterangi dan didiami oleh Roh Kudus (ay. 2-3,

band. I Kor. 12:12-13). Pada dasarnya kesatuan yang dikerjakan oleh Roh Kudus itu tidak

terlihat, bersifat rohani. Tetapi hal itu kemudian akan diungkapkan secara nyata, terlihat

melalui persekutuan di antara orang percaya. Dalam mencapai keesaan di antara orang

percaya, maka hal pertama harus dimiliki oleh orang Kristen adalah kerendahan hati (ay.

2). Dengan, kerendahan hati akan mengantar seseorang untuk lemah lembut dan sabar;

selanjutnya dalam kasih akan membawa kerja sama di antara orang percaya, karena kasih

itu tidak mementingkan diri sendiri, tetapi mau toleransi dengan yang lain (I Kor. 13:4-7).

Kesatuan di antara orang percaya/gereja bukan merupakan tujuan akhir, melainkan

kesatuan itu mempunyai tujuan untuk pengembangan pelayanan yaitu pembangunan tubuh

Kristus. Jadi keesaan itu dapat terwujud dalam kepelbagaian karunia (ay. 11-12). Kesatuan

dalam iman dibutuhkan untuk menuju kedewasaan yang sesuai dengan kepenuhan Kristus.

Dalam perwujudan keesaan, gereja perlu pengenalan yang lebih mendalam tentang Kristus,

supaya dapat bertumbuh bersama dan tetap diikat dalam suatu pelayanan yang dihangatkan

dalam kasih Kristus, yang memungkinkan pertumbuhan setiap anggota menuju kedewasaan

iman (Ef 4:13-16).

10

BAB III

MODEL OIKUMENE DI INDONESIA

Perkembangan oikumene yang pada mulanya merupakan kesadaran pentingnya

keesaan gereja telah menjadi usaha dan model membangun keesaan gereja. Namun

sebelum mempelajari model oikumene di Indonesia, adalah masuk akal jika sisi

penghalang atau rintangan besar gereja di Indonesia dalam membangun oikumene di

Nusantara.

A. Tantangan Oikumene Di Indonesia

Usaha mewujudkan oikumene di Bumi Indonesia, bukan saja mengalami pasang

surut, tetapi juga memiliki tantangan yang “Bhineka”. Kajian ini bersifat historis dan

Indonesiawi, termasuk korektif (terbuka) terhadap kajian yang lebih bertanggung jawab

dan ilmiah.

Ada dua klasifikasi tantangan oikumenikal di Indonesia, Pertama adalah aspek

internal (dari dalam gereja), dan yang Kedua adalah aspek eksternal (dari luar

gereja).

i. Aspek Internal

a. Hubungan Katolik dan Kristen

Pasca reformasi gereja yang dimotori Marthin Luther pada tahun 1517, maka Potret

gereja yang tunggal “am” “Katolik” menjadi tidak utuh. Pembangkangan Luther melalui

95 dalilnya di gereja Wittenberb merupakan perlawanan terbuka terhadap otoritas dan

ajaran Gereja Katolik Roma. Perjuangan Luther bukanlah perjuangan pertama, karena

sebelum 1517 sudah ada ‘benih-benih” perlawanan5 yang dilakukan ‘kaum posisi

gereja” terhadap hegemoni gereja Katolik yang dianggap sudah menyimpang pada

5Gerakan reformasi (pembaruan) yang terjadi di Perancis yang dipimpin oleh Peter Waldo, yang di kemudian hari dikaitkan dengan gereja Waldensis (abad 12) yang peta persebarannya ada di Italia atau dikawasan yang banyak imigran Italia seperti Uruguay. John Hus (Yohanes Hus; 1369-1415) dari Bohemia (Cekozlovakia) pada era yang sama dengan Waldo juga bergerak dalam perjuangan reformasi yang sama. Yohanes Hus dan aliran yang didirikan di kemudian hari bergabung dengan gereja Calvin. Lih. Yahoo Answers. Band. Henk Ten Napel, Kamus Teologia (Jakarta : BPK. Gunung Mulia).

11

waktu itu. Harus diakui bahwa perbedaan antara Katolik dengan Protestan cukup

mendasar dan pada point vital, Pertama dalam konteks Penafsiran Alkitab. Selain

menganut paham SOLA SCRIPTURA, tapi juga SOLA GRATIA yang merujuk pada

Bapa Paus, Bishop dan Para Pastorlah yang berhak menafsirkan Kitab Suci6, karena

mereka mendapat sola gratia (rahmat). Kedua, perbedaan dasar pada Matius 16:18,

Gerja Katolik mengklaim batu karang “Petrus” adalah Santo Petrus, dan pada suksesi

berikutnya merujuk pada para Paus sebagai wakil Petrus. Sedangkan gereja Protestan

meyakini bahwa Batu karang7 sebagai dasar gereja adalah Tuhan Yesus Kristus

sendiri. Ketiga, gereja Protestan hanya mengakui Kitab Suci sebagai sumber

pengajaran gereja, tetapi gereja Katolik mengakui tradisi suci sebagai pendamping

Kitab Suci sebagai sumber pengajaran gereja. Keempat, pada symbol salib di

Protestan tidak ada Tubuh Kristus (corpus Christy), sedang Katolik sebaliknya. Kelima,

katolik mengakui ada 7 macam sakramen, yaitu Baptis, Krisma, tobat, ekaristi, imamat,

pernikahan dan sakramen pengurapan orang sakit. Protestan hanya memiliki dua

sakramen, yaitu Baptisan air dan Perjamuan Kudus. Keenam, gereja Katolik

merupakan Persekutuan para kudus (santa), dan mereka menjadi ‘perantara’ para umat

ber-devosi, asalkan tetap ditujukan kepada Tritunggal. Protestan menolak ajaran seperti

ini, karena hakekat gereja adalah “persekutuan orang percaya kepada Kristus” dan

hanya Kristus lah sebagai pusat iman (Kristosentris).

Pada posisi sepeti inilah, oikumene Protestan dengan Katolik berhadapan

dengan tembok besar dan tebal. Oikumene yang diakui Katolik adalah oikumene

homogeny (di dalam Tubuh Katolik). Hubungan Katolik dengan Protestan bukan saja

mengalami pasang surut, tetapi berat karena merupakan dua kekuatan besar aliran

dunia dalam hal religi.

b. Pluralitas di Tubuh Protestan

Pasca pemisahan diri dari gereja Katolik, aliran Protestan mengalami dinamika yang

luar biasa dan kompleks. Ketika gerakan reformasi masih berumur jagung, sudah

6Stefan Leks, Kanon Alkitab (Yogjakarta : Kanisius). 7Donald Guthrie, Teologia Perjanjian Baru jilid I, III (Jakarta : BPK. Gunung Mulia, 1994).

12

Nampak benih resistensi, para pelopor reformasi, sudah berselisih tentang doktrin,

seperti Marthin Luther dengan Zwingly.

Embrio perpecahan dari perbedaan, semakin kuat dan bias dengan munculnya

pengelompokan Methodis, Wesleyan, Lutheran, Baptis, Injili, Calvinis. Di perkembangan

selanjutnya Tubuh Protestan semakin membengkak dengan ‘menempelnya’ aliran

Pentakosta, Advent hari Ketujuh, Bala Keselamatan, dan terakhir adalah Kharismatik.

Jika dibedah dengan saksama maka Pluraliatas di tubuh Protestan umumnya

disebabkan atau juga dilatari karena : perbedaan teologi, Organisasi gereja, Orientasi

Missi, Pemerintahan Gereja, Liturgi dan Tradisi.

Aliran Protestan di Indonensia warnanya semakin terorganisir dengan tampilnya

organisasi Aras Nasional, seperti : PGI (Persekutua Gereja di Indonesia), PGLII

(dulunya PII = Persekutuan Injili Indonesia), GBI (Gereja Baptis Indonesia), GMAHK

(Gereja Masehi Advent Hari Ketujuh), PGPI (Persatuan Gereja Pantekosta Indonesia),

Bala Keselamatan.

Secara eksplisit organisasi gerejawi yang beragam ini merupakan cerminan

bahwa oikumene di Indonesia sangat menantang dan Potensial. (27/8/13)

c. Pluralitas dalam teologi Protestan

Pokok bahasan ini merupakan akar dari pembahasan sebelumnya. Ragam organisasi

aras nasional merupakan implikasi dari pluralitas teologia protestan di Indonesia. Pada

awal persebarannya, hanya ada dua kekuatan kekristenan, yaitu Katolik dan Protestan.

Pada perkembangan selanjutnya aliran Protestan di Indonesia mengalami dinamika

yang atraktif. Semula hanya dipisahkan dengan hanya Calvinis dan Arminian,

selanjutnya meluas berbentuk percabangan-percabangan (sub organisasi/sub teologi).

Kelompok Calvinis mutasi menjadi Injili, Reformed dan Oikumenikal (mainstream).8

Pengelompokan ini jika didiagnosis akan mengerucut pada perbedaan teologi. Dan

jika dirunut lagi, maka akan muncul tema-tema teologi yang menjadi akar pluralitas

di Protestan. Beberapa tema yang menjadi titik resistensi adalah : Soteriologi,

8Stevri Lumintang, Teologia Reformasi (Batu : YPPII)I

13

eskatologi, Pneumatologi dan Missi. Khusus soteriologi menjadi topic yang paling

dominan memberi sumbangsih terjadinya keragaman teologia di Tubuh Protestan.

d. Gerakan Pantekosta-Kharismatik dan dilematikanya

Gerakan Pantekosta merupakan gerakan kebangunan rohani dalam kekristenan modern

yang cukup mengubah peta perkembangan agama Kristen9. Revolusi gerakan kesucian

lebih tajam, revolusi ibadah yang tidak lagi formas-liturgis, revolusi pemberdayaan

kaum awam, revolusi penginjilan dan revolusi konsep gereja local. Khusus point

terakhir, gereja local yang dipahami sebagai komunitas orang-orang Kristen dari suatu

organisasi gereja dan beroperasi melalui fasilitas bangunan sebagai sarana tempat

ibadah, telah bergeser pada unit kecil (jumlah sangat minim) orang-orang Kristen yang

beribadah kepada Tuhan, tanpa dukungan tempat yang ideal.

Gerakan Pantekosta akhirnya menjelma menjadi gereja atau sebagai komunitas yang

eksistensinya diakui, walaupun melalui proses yang lumayan rumit dan panjang. Hal

tidak lepas dari respon gereja arus utama (mainstreams) yang lebih dahulu berkiprah.

Bahkan sempat gerakan Pantekosta, diposisikan sebagai aliran yang bidat. Gerakan

Pantekosta memiliki tiga pilar idealism dalam gerakannya10 :

Pertama, Orthodoksi (Keyakinan yang benar). Semangat mengembalikan Alkitab

sebagai pusat kehidupan kekristenan, yang pada abad ke 19 mulai diracuni teologia

modern yang dimotori Karl Barth dan Rudolph Bultmann11. Alkitab yang selama ini

menjadi pusat teologi, mulai digoyang, namun pada saat yang bersamaan muncul

gerakan Pantekosta yang dengan ‘tulus’ menerima dan meyakini innerancy Alkitab

yang justru mulai diragukan para teolog modern yang notabene berumah di gereja

‘arus utama.’ Dr. Jackie David Johns dalam bukunya “”Kepemimpinan Formatif

Pentakosta”12, mengamati bahwa Alkitab adalah refensi vital bagi gerakan Pantekosta.

Perjumpaan Alkitab dengan orang Kristen, dianggap perjumpaan dengan Allah

9Sumral Lester, Perintis Iman (Jakarta : Yayasan Pekabaran Imanue, 1997l), h. 43.10Wikipidia.org 11Lih. Harvie Conn, Teologia Kontemporer (malang : SAAT, 1996) dan Band. Etta Linneman,

Teologia Kontemporer (Malang : Dept Literatur Yppii, 1996). 12Wikipidia.org

14

sendiri. Bagi gerakan Pentakosta, Alkitab dan Roh Kudus memiliki peran sangat

penting dalam spiritualitas Pantekosta.

Kedua, ortopati (perasaan yang benar). Rasionalisme telah mengebiri perasaan

manusia dalam beberapa percaturan kehidupan. Emosi dipasung karena dianggap labil

dan bertentangan dengan rasio. Teologia modern nampaknya mengaminkan apa yang

diusung oleh alam pikir manusia modern. Gerakan Pantekosta mencoba menerobos

kekakuan dalam beragama, dengan memberikan ‘ruang bebas’ untuk emosi manusia

berekspresi dalam ibadahnya kepada Tuhan. Ibadah gereja yang kaku dan beku

dianggap bagian dari ibadah yang anti emosi. Penerjemahan orthopati Nampak pada

ekspresi sukacita, tepuk tangan, menangis dalam ibadah di gerakan Pantekosta. Harus

diakui penyimpangan tetap ada dalam penonjolan perasaan lebih daripada rasio, dan

salah satunya adalah gerakan Pantekosta diposisikan sebagai gerakan Kekristenan yang

anti intelektual.13

Ketiga, Ortopraksis (refleksi dan penerapan yang benar). Sejarah gereja bagai

siklus musim. Ada masa-masa gereja “beku spiritualitas”, ada masa “bergairah dalam

spiritualitas”. Periode-periode dalam sejarah gereja nampaknya hanya kita jumpai

warna pengkutuban seperti itu. Hanya berumur 3 abad gereja bergairah membangun

Siritualitas pasca reformasi melalui gerakan Protestan yang dipelopori Luther dan

Calvin. Akhrinya gerakan Protestan kembali masuk pusaran Syndrome stagnan, bahkan

membiarkan teologi modern berkiprah dalam gereja modern, yang mulai anti

Orthodoksi, hal-hal adikodrati dan nilai-nilai kekristenan lainnya yang selaras dengan

ajaran gereja rasuli. Bagi gerakan Pantekosta Alkitab bukan sekedar menjadi bagian

penting dalam ibadah (dikhotbahkan), tetapi juga untuk ditaati / dipraktekkan. Spirit

inilah yang ditekankan oleh gerakan Pantekosta. Alkitab harus kembali menggarami

dan menerangi setiap sendi kehidupan gereja non ibadah, seperti pernikahan, dunia

kerja, hubungan dengan sesama dan sendi kehidupan lainnya. Ron Auch, penulis

“gerakan Pantekosta di dalam Krisis14”, seolah mengingatkan kita kembali pada siklus

sejarah, akhirnya gerakan Pantekosta menjadi stagnan kembali dan digantikan oleh

gerakan Kharismatik atau neo Pantekosta. (3/9/13)

13John Stott, Berpikir dan Beriman (Jakarta : PERKANTAS), h. 13. 14Ron Auch, Gerakan Pantekosta Di dalam Krisis (Malang : Penerbit Gandum Mas).

15

Kelemahan dari gerakan dan gereja Pantekosta dalam perspektif oikumene,

cenderung anti social. Gerakan Pantekosta dan kharismatik cenderung menempatkan

diri sebagai “kelompok ekslusif”. Hal ini harus dipahami karena bagi gerakan

kharismatik dan juga Pantekosta, “menjauhkan diri dari dunia” adalah langkah

Alkitabiah untuk mewujudkan kekudusan. Gerakan Pantekosta cenderung menghakimi

gerakan atau gereja non Pantekosta sebagai komunitas yang ‘sesat’ dan tanpa Roh

Kudus.

Kesadaran pentingnya ber-oikumene di kalangan Pantekosta muncul ketika

mereka juga menyadari pentingnya system organisasi gereja yang lebih kuat. Pada

tahap inilah, gereja Pantekosta mulai membuka diri untuk terbuka pada aliran lain

yang memiliki system organisasi yang sudah baku dan tertata.

Dalam mempelajari oikumene, maka kita tidak bisa melepaskan diri dari gerakan

misi, karena titik tumbuk, titik temu dan titik perceraian ada di missi.

Misi dalam sejarah gerakan misi sedunia, yang terpolarisasi dalam dua kubu, yakni

oikumenikal dan evangelikal / injili. Baik oikumenikal maupun injili, keduanya

memulai pada konsep misi yang sama, yakni konsep misi warisan orthodoxy, namun

kemudian keduanya, masing-masing berubah membentuk kutub polarisasi, yang masing-

masing jatuh pada upaya mengformulasi misi secara sempit. Kubu oikumenikal sangat

menekankan pada pemahaman "kontekstual", sehingga cenderung meninggalkan atau

mengabaikan "teks", sedangkan kaum injili sangat menekankan pada pemahaman misi

yang "tekstual", sehingga cenderung mengabaikan"konteks".

Reformed lebih banyak dikenal dengan doktrinnya, dari pada misinya. Bahkan sudah

bukan rahasia lagi, terdengar atau terucap bahwa doktrin reformed bertentangan dengan

misi gereja-gereja masa kini. Komentar mereka ini, tentu bukanlah komentar tanpa dasar,

oleh karena pengaruh kaum Reformed liberal (teolog liberal) yang tentu telah

menyimpang dari azas-azas utama ajaran Reformed (Calvinisme). Selain itu, banyak

misiolog memandang sistem teologi Reformed dengan sebelah mata, hal itu tidak bisa

disalahkan oleh karena yang mereka lihat ialah apa yang ditampilkan oleh para penganut

 

16

Hyper-Calvinist, yang memahami sistem teologi Reformed secara keliru dan ekstrim.

Sedikitnya, inilah tantangan misi kaum Calvinist masa kini, khususnya di Indonesia. Di

Indonesia, paling sedikit ada dua paradigma misi kaum Reformed. Pertama ialah

paradigma misi kaum Reformed yang berada di bawah payung Persekutuan Gereja-

Gereja Indonesia (PGI) atau yang menyebut gereja aliran arus utama (Oikumenikal).

Kedua ialah paradigma Calvinist yang menyebut diri Reformed Injili Indonesia.

Secara statistic Tantangan gereja reformed di dunia, secara khusus di Indonesia ada

empat golongan. Pertama, ialah dari golongan non reformed, seperti kaum Pelagius

dampai arminianisme. Soteriologinya yang Anthropo-centris sangat mendukung gerakan

misinya. Dan kelompok ini adalah pelaku misi mayoritas di Indonesia. kedua, dari

golongan kaum reformed yang ‘murtad’ yaitu penganut metode historis kritis (kaum

liberal). Uniknya walau ajaran mereka ‘liberal’ namun mereka merasa bagian dari

reformed. Golongan ini memandang bahwa orang Kristen dan non Kristen adalah setara

dalam misi karena sebagai agen misi Allah di dalam dunia ini. Ketiga, yaitu golongan

hyper-Calvinisme, semula mereka seirama dengan reformed namun karena tidak puas

dengan beberapa topic ajaran teologi reformed seperti dosa asal mula dosa yang

mereka yakini sebagai Allah lah penciptanya. Kelompok ini juga memaknai kedaulatan

Allah sedemikian rupa dan akhirnya mengabaikan sisi tanggung jawab manusia.

Tentu hal ini sudah jauh dari yang dimaksudkan Calvin dan Calvinisme. Implikasi

pandangan kelompok ini akhirnya berimplikasi pada ranah praktika kehidupan

Kristen, secara khusus tugas misi gereja. Keempat, golongan Calvinis yang ‘salah

kaprah.’ Penekanan mereka bermuara dari keyakinan Calvin tentang Kerajaan Allah

yang menggarami dunia. Membawa kaum ini hanya menekankan satu bidang misi

saja, yaitu misalnya bidang politik, sehingga justru melahirkan makna misi yang tidak

seimbang bahkan tawar. Dengan kasus seperti ini pun, kaum reformedlah yang kena

getahnya, dituduh telah menyimpang dari panggilan Allah.

Keempat golongan ini tentu secara eklesiologis telah member andil

terpojoknya kaum reformed sebagai kelompok yang ‘adem ayem’ dalam penginjilan

atau bermisi. Namun demikian apa yang dipikirkan dan dilakukan oleh keempat

17

kelompok tersebut bisa menjadi referensi pembanding kaum reformed dalam

bermisi, tentu sebagai referensi sekunder.

Jika kaum reformed mau membangkitkan tanggung jawab misinya di

Indonesia, maka bukan semata-mata karena ‘sengatan empat golongan’ tersebut, tapi

harus merunut dan memformulasikan paradigma misinya dengan melihat data sejarah

sejak abad 16 sampai abad yang lalu. Paling tidak dari diagnosis sejarah ada

beberapa hal yang mengemuka atau menonjol dalam gerakan misi kaum reformed :

(1). Hampir lima abad kaum reformed berkibar, namun topic yang hangat

diperbincangkan dibahas, didiskusikan dan diperdebatkan adalah tema-tema doctrinal.

Energy perhatian daripada golongan reformed tereduksi dengan usaha ‘pemberdayaan

dan pematangan doctrinal.’

(2). Tentu formulasi ini berimbas pada langkah melihat doktrin dengan

implementasi dalam praktek hidup, termasuk pada tanggung jawab misi. Dalam

konteks inilah kaum non reformed akhirnya mengambil kesimpulan bahwa antara

pemahaman doctrinal dengan tanggung jawab misi tidak ada hubungannya. Dan

bukan hanya itu, tanpa akurasi data riset yang bertanggung jawab kelompok ini

menghakimi kaum reformed mandul dalam bermisi karena terjebak ajaran ‘kedaulatan

Allah dan predestinasi.’

Penulis buku mencoba menjernihkan simpang siur penyebab mandulnya

tanggung jawab misi golongan reformed sebenarnya bukan karena system dan

substansi doktrin reformed yang salah. Menurut pandangan penulis penyebabnya

merosotnya tanggung jawab misi kaum reformed di dunia dan Indonesia adalah

karena pengaruh kaum hyper-calvinisme dan teologi liberal yang ‘berjubah reformed’

tapi mereka tidak memiliki paradigm misi yang memadai.

Ada dua penyebab sementara yang menjadi persoalan misi kaum reformed.

Pertama, system doktrin yang diasumsikan mempengaruhi paradigma misi kaum

reformed. Sedangkan yang kedua ialah fenomena historis bahwa memang gereja-gereja

yang menganut ajaran Calvinisme (reformed) mengalami kemerosotan dalam bermisi

dibandingkan kelompok gereja non Calvinis.

18

Tentu penulis buku ini tidak menyorot seorang diri perihal kemerosotan misi

kaum reformed : (10/9)

a. Greenway mengamati dan berkomentar bahwa persoalan system doktrin dan

kenyataan historis harus diakui sebagai penyebab kemerosotan gereja-

gereja reformed dalam bermisi. Termasuk di Indonesia.

b. Para akademisi, Kalangan STT, pendeta gereja-gereja dan misiolog dan

praktisi misi menyorot bahwa system doktrin telah menggeser paradigma

misi gereja reformed di Indonesia. Akhirnya mandul dan stagnan, padahal

jika dibandingkan dengan sejarah pekabaran Injil di Indonesia, justru gereja-

gereja reformed yang menjadi ‘perintis misi’ (babat alas) lahirnya gereja di

Indonesia.

Penulis juga menambahkan bahwa disamping dua pokok persoalan di atas, secara

khusus di Indonesia gereja-gereja berlatar belakang reformed kenyataannya tidak

banyak berbicara dan terlibat dalam kegiatan-kegiatan misi, seperi penginjilan,

penanaman dan pertumbuhan gereja, pengutusan tenaga-tenaga misi, penginjilan

pribadi, pengumpulan dana untuk kegiatan misi lintas budaya dan pertemuan-

pertemuan doa misi. Inilah kondisi yang sedang terjadi di dalam gereja-gereja

reformed di Indonesia.

TANGGAPAN DAN RELEVANSI

Tanggapan personal ini tidak dimaksudkan untuk menyanggah apa yang sudah

disajikan oleh penulis buku. Secara khusus gereja-gereja yang beraliran reformed,

seharusnya berterima kasih atas terbitnya buku MISIOLOGIA KONTEMPORER yang

telah memberikan kritik, argumentasi dan rekomendasi agar gereja aliran reformed

‘bangkit’ untuk bermisi kembali.

Untuk bermisi di Indonesia, ada beberapa saran sebagai tanggapan setelah membaca

buku misiologia kontemporer, secara khusus bab VIII, point B.

a. Gereja reformed dan non reformed perlu bersinergi dalam menjalankan amanat

agung Tuhan Yesus. Tidak mungkin misi diusung gereja tertentu. Sinergi sangat

penting, karena beberapa alasan :

19

i. Desaign tubuh Kristus sudah jelas, bahwa secara anatomi kita didesaign

saling butuh, saling menunjang dan saling menghormati demi

terwuudnya unity, termasuk unity dalam bermisi.

ii. Sinergi menghasilkan energy / daya yang lebih besar atau maksimal.

iii. Sinergi membuat kita lebih tangguh dan kuat. Alam sendiri memberi

analogi bahwa berjejaring (jala) mampu menangkap ikan lebih banyak

dibanding dengan ‘model pancing’ (satu pancing satu ikan).

b. Gereja reformed di Indonesia perlu belajar dari sejarah misi gereja reformed

belanda di Indonesia, pada intinya mereka giat dan taktis dalam bermisi. Walau

pun sempat ada tuduhan sejarah bahwa gereja membonceng pihak colonial. Jika

gereja reformed yang merintis misi di Indonesia ada masalah di system

teologinya, pasti misi mereka juga stagnan. Dengan demikian kita sudah

diyakinkan bahwa gereja reformed belanda yang memulai misi di Indonesia

sudah ‘menang dan dewasa’

c. dalam mengelola perbedaan internal alirannya sehingga energy misi tidak

tereduksi oleh karena perdebatan.

d. Gereja reformed dan non reformed perlu membuka ruang diskusi yang terbuka

dan dewasa dalam membicarakan paradigma misi masing-masing. Dengan forum

diskusi seperti ini akan meminimalisir semangat saling menghakimi, merasa

paling benar, merasa paling missioner. Dan sangat mungkin akan terjadi

semangat saling koreksi dari masing-masing kelompok. Jika suasana dan

semangat saling mengenal dan memahami terwujud, maka sangat mudah

merealisasikan kerjasama dalam bermisi.

e. Dalam bermisi, masing-masing kelompok harus menghargai paradigma masing-

masing. Orang bijak berkata bahwa UNITY IS NOT UNIFORMITY (kesatuan

bukalah keseragaman). Keragaman model bermisi penyebabnya terlalu sulit

diuraikan. Paradigma teologi misi yang berbeda, konstruksi teologi nya, SDM

dan tenaga-tenaga misi yang variatif, bidang minat misi termasuk usia

pelayanan badan misi sangat mempengaruhi pelayanannya.

f. Jangan pernah meninggalkan doa dalam bermisi. Yesus, Paulus sebagaimana

dicatat oleh Perjanjian baru meyakini bahwa DOA merupakan factor penting.

20

Semua pola dan metode misi atau pelayanan, tanpa doa hanya lah metode (Billy

Graham, damai dengan Allah) yang pengaruhnya hanya sebatas wilayah akaliah /

jasmaniah. Narrator Injil Lukas mencatat sebuah kronologi tentang DOA dan

dampaknya, “akan tetapi Ia mengundurkan diri ke tempat-tempat yang sunyi dan

berdoa….Kuasa Tuhan menyertai Dia, sehingga Ia dapat menyembuhkan orang

sakit” (Lukas 5:16,17). Lukas di bagian kitab lain yang ditulisnya juga

memberikan catatan yang hampir sama menekankan tentang urgensinya doa,

“dan ketika mereka sedang berdoa, goyanglah tempat mereka berkumpul itu

dan mereka semua penuh dengan Roh Kudus, lalu mereka memberitakan

firman Allah dengan berani” (Kis. 4:31). Dari catatan Lukas, kita diberi

gambaran yang jelas tentang makna doa bagi seorang juru selamat kita bahwa,

i. Doa adalah prioritas utama di atas agenda apa pun. Kristus yang sedang

popular (naik daun), dan sibuk tidak mau kehilangan ‘kesempatan

indahnya’ berelasi dan berkomunikasi (Intimacy) dengan Bapa, sang

empunya pelayanan / ladang misi.

ii. Doa adalah sarana menghadirkan atau pun berada di zona kehadiran

Allah. Ungkapan kuasa Tuhan menyertai Yesus, juga menegaskan

bahwa Kuasa yang berasal dari Allah lah yang terpenting di atas metode,

atau pun sumber daya manusia.

iii. Mukjizat, tanda-tanda ajaib, seperti kesembuhan adalah konfirmasi

bahwa Allah yang diberitakan Kristus sebagai Pribadi yang omni potent.

Apa yang terjadi di gereja mula-mula bahwa “keberanian dan semangat”

dalam bermisi bukan berasal dari factor yang dari luar diri para murid,

tapi dari sang Parakletos yang bekerja dari dalam hidup para murid

yang sedang berdoa.

Sedangkan Paulus, seorang misiolog dan teolog yang lengkap pada zamannya pun

meyakini kuasa Allah dalam doa, “dalam segala doa dan permohonan. Berdoalah

setiap waktu di dalam Roh dan berjaga-jagalah di dalam doamu itu dengan segala

permohonan yang tak putus-putusnya untuk segala orang kudus, juga untuk aku,

supaya kepadaku, jika aku membuka mulutku, dikaruniakan perkataan yang

21

benar, agar dengan keberanian aku memberitakan rahasia Injil,…” (Efesus 6:18,

19).

Tanggapan penutup,

Prof. Mel Louck, PhD, Guru besar sejarah gereja di Fuller Theological

seminary berkata, “events have effect, ideas have consequences”, Sampai kapan pun

gerakan misi di planet kita akan bergerak dalam irama yang berbeda. Gereja mula-mula

sendiri dalam menorehkan sejarah misi tidak terlepas dari perseteruan karena

perbedaan. Bagaimana paulus mencela Petrus dan pada bagian episode sejarah rasuli

yang lain, paulus berseberangan dengan Barnabas (Kis.15:35-41), catatan sejarah ini

tentu akan menjadi pengingat bahwa sampai kapan pun perbedaan tetap mewarnai

perjalanan misi gereja. Jika narrator Kitab kisah para rasul kita ijinkan memberikan

testimony ia akan dengan lancer bertutur dan menyampaikan analisisnya bahwa,

Pertama, perbedaan adalah hal yang lumrah dalam tubuh Kristus. Ragam

paradigma misi, warna teologi dan minat bidang misi harus dipandang sebagai ‘point

to rich’, khazanah yang akan memperkaya tubuh Kristus. Bayangkan jika pluralitas

dalam bermisi tidak hadir, maka persemaian Injil juga monoton.

Kedua, dibutuhkan sikap yang dewasa dalam merespon perbedaan. frase

paroxusmo,j “parachusmos” ((sharp disagreement), bukan saja bermakna perselisihan

tajam, namun data leksikal menyiratkan adanya unsur “semangat pemaksaan untuk

sepaham, otoriter dan kasar”. Paulus di kemudian hari menyadari noda hitam ini,

sehingga Ia berpesan “karena itu, sebagai orang-orang pilihan Allah yang dikuduskan

dan dikasihiNya, kenakanlah belaskasihan, kemurahan, rendah hati, kelemahlembutan

dan kesabaran. Sabarlah kamu seorang akan yang lain…”(Kol. 3:12, 13a). dan paulus di

kemudian hari juga membutuhkan Markus yang pernah ia kecam dan remehkan, “hanya

Lukas yang tinggal dengan aku. Jemputlah Markus dan bawalah ke mari, karena

pelayanannya penting bagiku (2 Tim. 4:11). Point sejarah rasuli ini penting sebagai sikap

dan pendekatan kita terhadap keragaman di ladang misi.

Ketiga, fakta kebutuhan kasih karunia, “…dan sesudah diserahkan saudara-

saudara itu kepada kasih karunia Tuhan” (Kis. 15:40b). di saat kelemahan, noda

22

kepemimpinan dan rapuhnya system serta miskinnya metode misi, suatu fakta yang

tak terbantahkan bahwa Allah sumber kasih karunia mengatasi problematika yang

kompleks tersebut. Kita tidak boleh terus menerus larut dalam kecemasan jika melihat

kelemahan di sana-sini, yang sepertinya akan merusak ‘proyek misi Allah’ sebab Dia

yang berdaulat dan memiliki ketetapan kekal pasti sanggup mengatasinya. Menjalankan

misi Allah pada hakekatnya menyerahkan segala sesuatunya ke dalam campur tangan

Allah yang kaya kasih karunia dan hikmat.

Pertanyaan Refleksi :

1. Secara sederhana apa pengertian oikumene ?

2. Mengapa gereja selalu terjebak dalam siklus sejarah, khususnya dalam hal

‘kesuaman rohani’ ?

3. Jelaskan kelebihan dan kelemahan dari gerakan Pantekosta !

4. Kapan kesadaran ber-oikumene muncul di kalangan Pantekosta ? jelaskan !

ii. Aspek Eksternal

23

Membedah gerakan atau usaha oikumene tidak hanya aspek internal yang kita

perhatikan, namun aspek eksternal juga perlu mendapat porsi perhatian, sehingga ada

keseimbangan. Kehidupan kebangsaan kita, akhir-akhir ini agak terganggu. Terorisme,

radikalisme dan intoleransi bukan saja menjadi ancaman bagi NKRI, tetapi juga

perkembangan oikumene di Indonesia.

Prof. B.J. Habibie15 “Bangsa Indonesia sejak awal adalah bangsa majemuk yang terdiri dari berbagai suku, agama dan budaya. Kondisi ini merupakan kekayaan berharga dan dapat mendorong berbagai inovasi dan produktivitas jika masyarakat pandai mengelolanya” (Kompas.com, Sabtu 4 Agustus 2012)

Namun kesadaran akan pluralitas hari-hari ini sedang terancam dengan tumbuhnya benih-benih intoleransi. Beberapa indicator yang muncul seperti,

Pertama, Tawuran. Pertikaian yang melibatkan kelompok (pelajar atau masyarakat) marak terjadi akhir-akhir ini. Sebuah fenomena social yang sebenarnya bukan baru, tetapi eskalasi yang meningkat sepantasnya membuat kita prihatin. Masyarakat kita menjadi sensitive dan sangat reaktif terhadap ‘perbedaan nilai’ atau apa pun. Krisis kearifan dan toleransi.

Kedua, Kekerasan Terhadap Minoritas. Kasus kekerasan terhadap Ahmadiyah, HKBP dan GKI Yasmin yang belum tuntas adalah ‘bom waktu’ yang membahayakan harmoni kebangsaan kita yang selama ini bercirikan toleransi. Pemerintah oleh berbagai kalangan dianggap “mandul & cuek” atas penjajahan modern ini.

Tentu masih ada indicator-indikator lain yang mungkin lebih ideal, bisa kita jadikan ukuran. Resistensi beberapa elemen masyarakat di Indonesia ketika Presiden SBY menerima penghargaan “World Statesman Award” dari Appeal Of Conscience Foundations (ACF) di New York pada tanggal 30 Mei 2013 menunjukkan ada “goresan luka” atau ketidakpuasan elemen masyarakat atas penanganan penindasan terhadap kemajemukan. Pemerintah dianggap ‘membiarkan’ adanya penindasan terhadap kaum minoritas yang berbeda dengan yang merasa berhak atas rumah kebangsaan ini.

Kehidupan kebangsaan kita, akhir-akhir ini agak terganggu. Terorisme, radikalisme dan

intoleransi bukan saja menjadi ancaman bagi NKRI, tetapi juga perkembangan

oikumene di Indonesia.

15Mantan Presiden Republik Indonesia, disampaikan pada acara SILATURAHMI DAN DIALOG CENDEKIAWAN LINTAS AGAMA, Jakarta 3 Agustus 2012.

24

a. Penganiayaan

Sejarah gereja merekam bahwa penganiayaan terhadap gereja nampaknya menjadi

pasangan yang serasi, atau sulit diceraikan dari keberadaan gereja. Ada banyak sebab

terjadinya penganiayaan,16 mulai dari politik, ekonomi, SARA dan social. Pada awal

perkembangannya, gereja sudah diwarnai ‘faksi-faksi’ (1 Kor. Ps. 1-3), perselisihan

Paulus dengan Barnabas (Kis. 15:35-41); Perselisihan Paulus dengan Petrus (Kitab

Galatia), termasuk pelaksanaan konsili gereja pertama kalinya di Yerusalem (Kis.

15), menyiratkan bahwa gereja rawan pecah, dan berat untuk padu. J. I. Packer

menyorot kerawanan ini berakar dari ‘sitz im lebben’ para murid Kristus mula-mula

yang berlatar Yahudi17. Pada zaman Kristus sendiri, Yudaisme sangat beragam

faksinya, ada Yudaime politis (Kaum Zelot), ada Yudasime Konservatif (Orang

Farisi dan ahli Taurat), namun juga ada Yahudi Moderat dan Liberal (Saduki).

Penganiayaan didesain oleh pembuatnya untuk memecah belah gereja,

membuat gereja tertekan dan hancur, tapi sebaliknya gereja justru ‘bersehati berdoa”

(Kis. 4:23-37 dan Yoh 20:19-29). Demikian pula dalam perjalanan sejarah gereja

modern di Indonesia pada periode 1995-2000, gereja di Indonesia mengalam

‘tekanan-tekanan’ besar dari Pemerintah maupun oposisi gereja, namun pada era ini

gereja bersatu, lahirlah organisasi-organisasi oikumenis atau organisasi-organisasi

gerejawi yang selama ini sectarian sempit, menjadi inklusif dan terbuka.18

b. Sekularisme

c. Sinkritisasi

d. Politis

e. Revolusi Islam

B. Model-model usaha Oikumene di Indonesia

i. Model Oikumene Gereja Mainstream

ii. Model Oikumene Gereja Tanpa Tembok

16Pada awal kekristenan, Penganiayaan menjadi alat uji kemurnian iman gereja. Agama Kristen dianggap sebagai religio Licita (agama liar), menjadi dasar hokum terjadinya aniaya besar dan sistematis terhadap gereja. Lih. Yongky Karman, Bunga Rampai Teologi Perjanjian Lama ( Jakarta : BPK. Gunung Mulia, 2012); band. DIETRICH Kuhl, Sejarah Gereja (Batuu : Penerbit YPPII).

17J.I. Packer & Merril C. Tenney, Dunia Perjanjian Baru (Surabaya : Penerbit YAKIN) 18Bamag Surabaya, Seminar Wawasan kebangsaan

25

iii. Model Oikumene Gereja Injili

iv. Model Oikumene Gereja Pantekosta-Kharismatik

v. Model Oikumene Parachurch

vi. Model oikumene Lokal-sektoral

26