OBSTRUCTION OF JUSTICE OLEH ADVOKAT TERHADAP...

74
OBSTRUCTION OF JUSTICE OLEH ADVOKAT TERHADAP PENYELIDIKAN DAN PENYIDIKAN TINDAK PIDANA KORUPSI (Analisis Putusan Nomor: 9/Pid.Sus-TPK/2018/PN Jkt.Pst) SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.) Oleh: Risky Oktavianti 11150450000062 PROGRAM STUDI HUKUM PIDANA ISLAM FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1440 H/ 2019M

Transcript of OBSTRUCTION OF JUSTICE OLEH ADVOKAT TERHADAP...

OBSTRUCTION OF JUSTICE OLEH ADVOKAT TERHADAP PENYELIDIKAN

DAN PENYIDIKAN TINDAK PIDANA KORUPSI

(Analisis Putusan Nomor: 9/Pid.Sus-TPK/2018/PN Jkt.Pst)

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.)

Oleh:

Risky Oktavianti

11150450000062

PROGRAM STUDI HUKUM PIDANA ISLAM

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UIN SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA 1440 H/ 2019M

iii

Abstrak

RISKY OKTAVIANTI. NIM 11150450000062. OBSTRUCTION OF JUSTICE OLEH

ADVOKAT TERHADAP PENYELIDIKAN DAN PENYIDIKAN TINDAK PIDANA

KORUPSI (Analisis Putusan Nomor: 9/Pid.Sus-TPK/2018/PN Jkt.Pst) Program Studi Hukum

Pidana Islam (Jinayah), Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif

Hidayatullah Jakarta, 1440 H / 2019 M.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan menganalisis penerapan terhadap

Undang-Undang kode etik Advokat yang menghalangi atau merintangi dalam proses

Penyelidikan dan Penyidikan terhadap Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 jo Undang-

Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi, serta penerapan hukum dan

pertimbangan hakim dalam putusan No. 9/Pid.Sus-TPK/2018/PN.Jkt.Pst.

Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Yuridis Normatif

yaitu dengan menganalisa kasus-kasus yang bersangkutan dengan menyelaraskan terhadap

Undang-Undang yang berkaitan dengan penelitian.

Adapun rumusan masalah yang saya angkat adalah apa saja faktor-faktor yang

menyebabkan seorang advokat menghalangi proses penyelidikan dan penyidikan dalam kasus

korupsi? Dan bagaimana penerapan hukum dan pertimbangan hakim dalam putusan No.

9/Pid.Sus-TPK/2018/PN.Jkt.Pst.

Berdasarkan dari hasil penelitian, dalam etika penegakan hukum yang sudah

tercantum dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 mengenai Advokat ialah orang

yang berprofesi memberi jasa hukum, baik di dalam maupun di luar pengadilan yang

memiliki persyaratan berdasarkan ketentuan undang-undang. Advokat sendiri yang

merupakan profesi yang sangat mulia, membantu berjalannya terpidana mendapatkan

keadilan sesuai dengan bukti dan fakta yang ada dalam persidangan. Akan tetapi bagaimana

jika kita melihat seorang advokat tersebut bersama-sama melakukan tindak pidana korupsi

atau menghalang-halangi proses hukum hanya demi kepentingan orang-orang tersebut.

Tentunya kita yang berada dinegara hukumpun harus mengusut tuntas agar tidak ada aparat

baik penegak hukum yang melakukan tindakan tersebut. Bentuk-bentuk yang menyebabkan

seorang advokat merintangi atau menghalangi suatu proses penyelidikan dan penyidikan

kasus korupsi ini diantaranya permasalahan dalam substansi hukum. budaya hukum dan

penegak hukum. Sehingga Fredrich Yunadi didakwa melanggar pasal 21 Undang-Undang

Nomor 31 tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana

Korupsi. Dan dijatuhkan pidana 7 (tujuh) tahun oleh Majelis Hakim.

Kata Kunci: Advokat, obstruction of justice, Penyelidikan, Penyidikan, Korupsi.

Pembimbing: Dr. Burhanuddin, S.H., M.H

Daftar Pustaka: 1994 s.d 2018

v

Kata Pengantar

Segala puji serta syukur atas kehadirat Allah SWT yang telah memberikan nikmat,

berkah serta syafaat yang senantiasa dilimpahkan kepada penulis, sehingga bisa

menyelesaikan skripsi dengan judul OBSTRUCTION OF JUSTICE OLEH ADVOKAT

TERHADAP PENYELIDIKAN DAN PENYIDIKAN TINDAK PIDANA KORUPSI

(Analisis Putusan Nomor: 9/Pid.Sus-TPK/2018/PN Jkt.Pst) sebagai syarat untuk

menyelesaikan Program Sarjana Strata 1pada program sarjana Fakultas Syariah dan Hukum

Jurusan Hukum Pidana Islam Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

Dalam penyusunan skripsi ini banyak hambatan serta rintangan yang penulis hadapi

namun pada akhirnya penulis dapat melaluinya berkat adanya bimbingan dan bantuan dari

berbagai pihak baik secara moral maupun spiritual. Untuk itu pada kesempatan ini penulis

menyampaikan ucapan terimakasih kepada:

1. Dr. H. Ahmad Tholabi Kharrlie, S.Ag., S.H., M.H., M.A. selaku Dekan Fakultas

Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Qosim Arsadani, M.A. selaku Kepala Program Studi Hukum Pidana Islam (Jinayah).

3. Mujibur Rohman M.A selaku Sekretaris Program Studi Hukum Pidana Islam

(Jinayah).

4. Dr. Burhanuddin, S.H., M.H selaku dosen pembimbing yang telah bersedia

meluangkan waktu untuk memberikan arahan selama penyusunan skripsi ini.

5. Seluruh jajaran Dosen dan Staf Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri

(UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan kesempatan untuk

mengemban ilmu hingga akhir kelulusan.

6. Kedua Orang Tua beserta Abang dan Kakak yang selama ini memberikan dukungan

moral sehingga bisa menyelesaikan tugas akhir ini.

7. Seluruh teman Hukum Pidana Islam 2015 yang juga turut membantu memberikan

informasi serta kehangatan saat proses belajar mengajar selama di kelas.

8. Kepada sahabat-sahabat di kampus saya terutama Selly Rosyanaya, Nada Yasmin,

Ayu Widyawati, Syifa Ulkhair, Setya Fany, Ditha Maharani yang selalu memberikan

semangat serta mendorong saya untuk tetap konsisten dalam menyelesaikan tugas

akhir.

9. Kepada sahabat saya yaitu Milati Azka yang pernah menemani saya dari awal masuk

perkuliahan sejak semester satu hingga semester delapan ini.

10. Kepada Ega Yuni Rakhmawati yang telah menemani berproses bareng dari ujian

kompehensif sampai ujian skripsi.

11. Sahabat setia di rumah saya yaitu Salwa Lila Vahista, Annisa Putri Shabira, dan

Novitasari Trishandayani selaku teman yang memotivasi dikala suka dan duka.

12. Kepada Rizqi Alfatah selaku orang yang selalu ada disamping saya dan memberi

semangat setiap harinya.

13. Dan semua pihak yang tidak bisa disebutkan satu persatu yang telah memberikan

dukungan.

vi

.

Akhirnya hanya kepada Allah SWT jualah kita kembalikan segalanya semoga skripsi

ini dapat bermanfaat bagi semua pihak, terkhusus bagi penulis dan para pembaca secara

umum, semoga Allah SWT senantiasa meridhoi setiap jejak langkah kita dalam

mengarungi samudera kehidupan dan bernilai ibadah di sisi-Nya. Penulis memohon maaf

atas segala kesalahan yang pernah dilakukan. Semoga skripsi ini dapat memberikan

manfaat untuk mendorong penelitian selanjutnya.

Jakarta, 18 Juli 2019

Risky Oktavianti

1

DAFTAR ISI

Lembar Persetujuan Pembimbing.................................................................... i

Lembar Pengesahan Panitia Ujian Skripsi ..................................................... ii

Lembar Pernyataan ......................................................................................... iii

Abstrak .............................................................................................................. iv

Kata Pengantar ................................................................................................. v

Daftar Isi ............................................................................................................ 1

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah ........................................................ 3

B. Identifikasi Masalah .............................................................. 8

C. Batasan masalah .................................................................... 9

D. Rumusan Masalah ................................................................. 9

E. Tujuan dan Manfaat Penelitian ............................................. 9

F. Tinjauan (Review) Kajian terdahulu .................................... 10

G. Kerangka Teori dan Konseptual .......................................... 11

H. Metode Penelitian ................................................................ 19

I. Sistematika Penulisan.......................................................... 21

BAB II TUGAS DAN TANGGUNG JAWAB ADVOKAT

A. Pengertian Advokat ............................................................. 23

B. Tugas dan Kewajiban Advokat ........................................... 25

C. Hak Imunitas Advokat ........................................................ 28

BAB III OBSTRUCTION OF JUSTICE DALAM TINDAK PIDANA

KORUPSI

A. Pengertian Obstruction of Justice ........................................ 36

B. Macam-Macam Obstruction of Justice ............................... 37

2

C. Obstruction of Justice Perspektif Hukum Positif dan Hukum

Islam .................................................................................... 39

BAB IV: KEDUDUKAN HAK IMUNITAS ADVOKAT DALAM TINDAK

PIDANA KORUPSI

A. Kedudukan Hukum ............................................................. 46

B. Pertimbangan Hakim .......................................................... 50

a. Pertimbangan Hukum.............................................. 50

b. Penerapan Hakim .................................................... 56

C. Analisis Putusan Nomor 9/Pid.Sus-TPK/2018/PN Jkt.Pst 58

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan ......................................................................... 62

B. Rekomendasi ....................................................................... 63

DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 64

3

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Seiring perkembangan zaman di era milenial ini kita disuguhkan dengan

berbagai macam teknologi. Seperti dalam dunia hiburan, media sosial yang

sekarang menjadi kiblat orang-orang. Bahkan dalam hal kejahatan pun sekarang

kita bisa saja berbuat apa yang kita inginkan baik secara langsung maupun tidak

langsung melalui lewat media sosial.

Kejahatan jaman dulu dikenal sangat sederhana bentuknya. Seperti orang

mencuri, menipu, bahkan membunuh, biasanya dilakukan dengan cara-cara yang

biasa saja seperti seseorang mau membunuh orang lain, biasanya dilakukan

dengan cara-cara yang biasa saja. Bentuk-bentuk kejahatan kini sudah berubah,

kejahatan dewasa ini tdak lagi sederhana bentuknya dan tidak berdiri sendiri.

Kejahatan kini cenderung lebih banyak dalam bentuk beberapa kejahatan

dilakukan sekaligus dalam satu waktu dan tempat yang sama. Seorang Kriminolog

bernama Jonathan Casper dalam tulisannya yang berjudul Nature of Law and the

Cause of Crime (Robert. G. Culbertson, Order under Law, p. 22-26)

mengemukakan suatu uraian yang dapat disimpulkan, bahwa seorang penjahat

(pelanggar hukum) bukanlah semata-mata hasil dari kurang sempurnanya

Undang-Undang, sehingga didapati sejumlah kejahatan belum ditetapkan

sanksinya. Tipisnya moral ataupun kurangnya pengertian dan kesadaran hukum

yang dimiliki oleh si pelaku, tetapi juga disebabkan oleh faktor lain.1

Berdasarkan Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945, Negara Indonesia adalah Negara Hukum. Negara

hukum meninggalkan tipe negara yang memerintah berdasarkan kemauan

sang penguasa. Sejak perubahan tersebut, maka negara diperintah berdasarkan

hukum yang sudah dibuat dan disediakan sebelumnya serta penguasa juga

1 Baharudin Loppa, Keahatan Korupsi dan Penegakan hukum, (PT. Kompas Media

Nusantara: Jakarta, 2002) , h. 4.

4

tunduk kepada hukum tersebut.2 Hal ini berarti bahwa tidak ada orang yang

berada di atas hukum, baik pejabat maupun warga negara biasa berkewajiban

untuk mentaati hukum.

Perlu kita ketahui bahwasannya dalam menjalankan tugas sebagai ahli

hukum ataupun profesi hukum yang lain merupakan tugas yang sangat besar

tanggung jawabnya karena menyangkut tidak hanya dalam keadilan tetapi moral

dan etika harus diperhatikan. Mengenai pofesi Advokat sendiri yang merupakan

salah satu dari penegak hukum bertugas memberikan jasa bantuan hukum dalam

menghadapi kasus kliennya yang keberadaannya sangat diperlukan. Advokat

sudah berani bersumpah tidak akan memberikan keterangan palsu maupun bukti

palsu dipengadilan.

Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang advokat, yang

diundangkan pada tanggal 5 April 2003 (selanjutnya disebut Undang-Undang

Nomor 18 Tahun 2003 atau Undang-Undang Advokat) eksistensi Advokat

indonesia menjadi semakin kuat karena berdasarkan Undang-Undang Nomor 18

Tahun 2003, kepada organisasi advokat diberikan kewenangan untuk mengatur

diri sendiri, terutama kewenangan untuk melakukan pengangkatan advokat.3

Masih rendahnya efektivitas pemberantasan korupsi di Indonesia

disebabkan masih lemahnya tingkat komitmen diseluruh lapisan birokrasi di

Indonesia dan upaya-upaya yang dilakukan selama ini kurang memberi efek jera

karena kurang tegasnya rule of law serta tidak tuntasnya penanganan korupsi.

Hubungan antar penegak hukum semata-mata atas dasar kemitraan. Perkara yang

terjadi di Indonesia, khususnya yang dilakukan oleh aparat penegak hukum

membuktikan bahwa memang penerapan dan penegak hukum masih

dapat dikatakan kurang maksimal. Hal ini didukung dengan pendapat

Ketua Umum Ikatan Advokat Indonesia (IKADIN), yaitu Todung Mulya

Lubis yang mengungkapkan bahwa hancurnya penegakan hukum di Indonesia

disebabkan oleh Advokat. Bukan hanya disebabkan oleh pelanggaran-pelanggaran

2 Sajipto Rahardjo, Negara Hukum yang Membahagiakan Rakyatnya, (Genta Publishing:

Yogyakarta, 2009) , h. 2. 3 V. Harlen Sinaga, Dasar-Dasar Profesi Advokat, (Erlanagga, Jakarta, 2011), h. 3.

5

yang dilakukan oleh aparat penegak hukum seperti hakim dan jaksa. Melainkan

juga karena Advokat yang ada dalam lingkup mafia hukum.4

Mengenai profesi Advokat sendiri ialah profesi yang mulia karena

Advokat mengabdikan dirinya kepada kepentingan masyarakat dan demi

penegakan hukum yang berdasarkan kepada keadilan serta turut menegakkan hak-

hak asasi manusia. Advokat bebas dalam membela, tidak terikat pada perintah

kliennya dan tidak pandang bulu terhadap terhadap kasus yang dibelanya. Namun

seringkali dalam kenyataan, orang-orang yang menggeluti profesi Advokat tidak

dapat menjunjung tinggi idealisme dari profesi itu sendiri. Hal itu disebabkan

karena faktor di luar dirinya yang begitu kuat dan kurangnya penghayatan

Advokat yang bersangkutan terhadap esensi profesinya.

Namun harus dipahami terlebih dahulu bahwa hanya organisasi advokat .

sendiri sudah memiliki satu kode etik khusus yang mengatur yaitu dalam pasal 33

Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 yang berbunyi:

“ Kode etik dan ketentuan Dewan Kehormatan Profesi Advokat yang telah

ditetapkan oleh Ikatan Advokat Indonesia (Ikadin), Asosiasi Advokat Indonesia

(AAI), Ikatan Penasihat Hukum Indonesia (IPHI), Himpunan Advokat dan

Pengacara Indonesia (HAPI), serikat Pengacara Indonesia (SPI) Asosiasi

Konsulta Hukum Indonesia (AKHI), Himpunan Konsultan Pasar Modal (HKPM),

pada tanggal 23 mei 2002 dinyatakan mempunyai kekuatan hukum secara mutatis

mutandis menurut Undang-Undang ini sampai ada ketentuan yang baru yang

dibuat Organisasi Advokat.5

Seringkali Advokat dihadapkan pada pembelaan terhadap klien yang

tersangkut kasus korupsi yang mana hal itu adalah bagian dari tugasnya sebagai

bagian dari sistem peradilan pidana. Tidak jarang juga Advokat berada pada

kondisi dimana ia dihadapkan pada pilihan untuk menggunakan kemampuannya

dalam meringankan atau membebaskan kliennya dari tuduhan tindak pidana

korupsi dengan cara menghalang-halangi penyidikan tindak pidana korupsi.

4 Suara Pembaruan, Advokat“Hitam” Mendominasi, Penegakan Hukum Hancur, h. 6.

5 V. Harlen Sinaga, Dasar-dasar Profesi Advokat, (Jakarta:Erlangga, 2011), h. 78.

6

Penghalang-halangan penyidikan tindak pidana korupsi oleh advokat harus

diproses secara hukum akan tetapi proses tersebut harus berdasarkan prosedur

yang resmi agar advokat dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya. Adapun

contoh kasusnya yaitu pengacara dari Setya Novanto yaitu Fredrich Yunadi yang

diindikasikan sengaja mempengaruhi kliennya untuk tidak menghadiri panggilan

pemeriksaan dan memalsukan surat keterangan dirawat di Rumah Sakit Medika

Permata Hijau demi membela sang koruptor tersebut. Perbuatan Fredrich Yunadi

dipandang sengaja merintangi penyidikan dan dianggap melanggar pasal 21

Undang-Undang No.31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001

Tentang Tindak Pidana Korupsi yang berbunyi:

“Setiap orang yang dengan sengaja mencegah, merintangi, atau

menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan, penuntutan, dan

pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tersangka dan terdakwa ataupun para

saksi dalam perkara korupsi, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3

(tiga) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan atau denda paling sedikit

Rp. 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp

600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).”6

Dari kasus tersebut kita bisa menilai bahwa negara kita lagi darurat

kewibawaan profesi hukum. Dan dampak merosotnya wibawa hukum dapat

dilihat pada kejadian di masyarakat yang suka main hakim sendiri. Sekitar tahun

1998, para mahasiswa dan sebagian besar elemen masyarakat turun kejalan untuk

meminta presiden Soeharto agar turun dari jabatan presidennya. Hal itu dilakukan

karena sebagian besar msyarakat Indonesia ketika itu sudah tidak percaya dengan

Soeharto. Akibatnya, dengan sangat terpaksa Soeharto menyatakan berhenti dari

jabatan Presiden, dan menyerahkan jabatan itu kepada Prof. Dr. BJ. Habibie yang

saat itu menjabat sebagai Wakil Presiden.

Dengan meminjam pemikiran Aristoteles bahwa hasil kekuatan dari

seleksi alam dan oleh karena itu, penegak hukum seyogyanya hidup dan

berperilaku baik didalam menjalankan jabatannya atas dasar nilai, moral, dan etik

penegak hukum. Pesan moral dengan meminjam dasar pemikiran Aristoteles

inilah, sampai pada penafsiran a contrario jika kita para penegak hukum tidak

6 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001

tentang Tindak Pidana Korupsi

7

berperilaku dan hidup baik dan terjadi seleksi alam, maka keberadaan Lembaga

Penegak Hukum akan terseleksi pula.7

Mengenai hak dan kewajiban, pada saat menjalankan tugasnya seorang

advokat memiliki hak dan kewajiban. Hak dan kewajiban seorang advokat adalah

menjalankan tugas dan fungsinya sesuai Kode Etik Advokat Indonesia dan

Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 Tentang Advokat. Hubungan antara

advokat dan kliennya dipandang dari advokat sebagai officer of the court, yang

mempunyai dua konsekuensi yuridis, sebagai berikut :

1. Pengadilan akan memantau bahkan memaksakan agar advokat selalu

tunduk pada ketentuan Undang – Undang atau berperilaku yang patut

dan pantas terhadap kliennya.

2. Karena advokat harus membela kliennya semaksimal mungkin, maka

advokat harus hati-hati dan tunduk sepenuhnya kepada aturan hukum

yang berlaku.

Advokat dalam membela kliennya tidak boleh melanggar aturan hukum

yang berlaku. Tidak boleh melanggar prinsip moral, serta tidak boleh merugikan

kepentingan orang lain. Advokat termasuk profesi yang mulia (nobile officium),

karena ia berkewajiban memberikan jasa hukum yang berupa menjadi

pendamping, pemberi nasehat hukum, menjadi kuasa hukum untuk dan atas nama

kliennya, atau dapat menjadi mediator bagi para pihak yang bersengketa tentang

suatu perkara, baik yang berkaitan dengan perkara pidana, perdata, maupun tata

usaha negara. Ia juga dapat menjadi fasilitator dalam mencari kebenaran dan

menegakan keadilan untuk membela hak asasi manusia serta memberikan

pembelaan hukum yang bebas dan mandiri.8

Oleh karena itu, sebagai bukti tekad dan maksud yang sangat kuat dari

pembentuk undang-undang dalam usaha memberantas korupsi ialah telah

7 Siswanto Sunarso, Filsafat Hukum Pidana, konsep, dimensi dan aplikasi, (Depok: PT

Rajagrfindo Persada, 2015) , h. 147. 8 Rahmat Rosyadi dan Sri Hartini, Advokat Dalam Perspektif Islam dan Hukum Positif,

(Ghalia Indonesia, 2004) , h. 17.

8

dimasukkannya ketentuan tentang peran serta masyarakat dalam usaha

pemberantasan korupsi di negara kita. Bukan semata-mata menjadi urusan

pemerintah atau para penegak hukum, melainkan merupakan persoalan semua

rakyat dan urusan bangsa. Setiap orang harus berpartisipasi dan berperan dalam

usaha menanggulangi kejahatan yang menggerogoti negara ini. Pandangan

pembentuk undang-Undang tertuang sangat jelas dalam rumusan pasal 1 ayat (3)

yang menyatakan bahwa masyarakat mempunyai hak dan tanggung jawab dalam

upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi.9

Dengan memperhatikan uraian dan contoh kasus diatas, maka pada

kesempatan ini penulis bermaksud untuk membahas dan melakukan penelitian

mengenai apakah seorang advokat dapat dipidana jika diindikasikan menghalang-

halangi penyidikan dan penyelidikan Tindak Pidana Korupsi, dan apa faktor yang

mempengaruhi penerapan dari merintangi itu sendiri terhadap masyarakat

maupun sistem peradilan dengan skripsi yang berjudul : “OBSTRUCTION OF

JUSTICE OLEH ADVOKAT TERHADAP PENYELIDIKAN DAN

PENYIDIKAN TINDAK PIDANA KORUPSI (Analisis Putusan Nomor:

9/Pid.Sus-TPK/2018/PN Jkt.Pst)

B. Identifikasi, Batasan dan Rumusan Masalah

1. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, maka

dapat di identifikasikan beberapa permasalahan sebagai berikut:

a. Hak Imunitas Advokat

b. Advokat dan Tindak Pidana Korupsi

c. Obstruction of Justice oleh Advokat

d. Obstruction of Justice dalam Hukum Positif dan Hukum Islam

9 Adami Chazawi, Hukum Pidana Materil dan Formil dan Korupsi di Indonesia, (Jawa

Timur: Banyumedia Publishing, 2005), h. 412.

9

2. Batasan Masalah

Untuk mempermudah pembahasan dalam penulisan skripsi ini, penulis

membatasi masalah yang akan dibahas sehingga pembahasanya lebih jelas

dan terarah sesuai dengan yang diharapan penulis. Disini penulis hanya akan

membahas bagaimana tindak pidana merintangi dalam kasus korupsi yang

dilakukan oleh Advokat Fedrich Yunadi saat menjadi pengacara dari Setya

Novanto baik diulas dari hukum positif maupun hukum islamnya.

3. Rumusan Masalah

Rumusan masalah tersebut penulis rinci dalam bentuk pertanyaan

penelitian sebagai berikut:

a. Bagaimana kedudukan Hak Imunitas Advokat dalam Kasus Tindak

Pidana Korupsi.

b. Bagaimana pertimbangan hakim dalam putusan No. 9/Pid.Sus-

TPK/2018/PN.Jkt.Pst tentang Obstruction of Justice.

C. Tujuan Penelitian

Dengan bertolak dari identifikasi masalah yang telah penulis jabarkan, maka

dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa tujuan penulisan hukum yang berjudul ini

adalah sebagai berikut:

a. Untuk mengetahui kedudukan Hak Imunitas Advokat dalam Kasus Pidana

Korupsi.

b. Untuk mengetahui bagaimana pertimbangan hakim dalam putusan No.

9/Pid.Sus-TPK/2018/PN Jkt.Pst tentang Obstruction of Justice

D. Manfaat Penelitian

Dari hasil penulisan ini diharapkan hasilnya bermanfaat untuk perkembangan

ilmu pengetahuan hukum khususnya di bidang hukum pidana. Dan juga

pengetahuan di bidang hukum islam. Hasil penulisan ini diharapkan bermanfaat

untuk penyempurnaaan terhadap penegak hukum khususnya advokat terkait

10

dengan fungsi dan peran advokat dalam penegakan hukum itu sendiri. Adapun

manfaat penelitian ini terdiri dari:

1. Manfaat Akademis yaitu untuk menambah pengetahuan bahan hukum

mengenai Obstruction of Justice.

2. Manfaat Praktis yaitu untuk diharapkan dapat memberikan manfaat untuk

kepentingan penegakan hukum, sehingga dapat menjadi masukan kepada

aparat penegak hukum terutama advokat guna melaksanakan tugasnya

untuk menangangani tindak pidana menghalangi peradilan (obstruction of

justice) dalam perkara tindak pidana korupsi dan untuk memperjuangkan

keadilan yang sebenarnya.

E. Tinjauan (Review) Kajian terdahulu

Penelitian terdahulu sangat penting sebagai dasar pijakan dalam rangka

penyusunan penelitian ini, beberapa penelitian terdahulu antara lain:

Pertama penulis melihat penelitian yang dilakukan oleh Novry Hardi yang

berjudul “PIDANA OLEH ADVOKAT YANG MERINTANGI PROSES

PENYIDIKAN TINDAK PIDANA KORUPSI”. Tujuan penelitian ini adalah

untuk mengetahui pelanggaran hukum apa saja yang bisa dikenakan oleh advokat

dalam merintangi kasus korupsi. Dan untuk mengetahui proses penegakan hukum

terhadap Advokat dan dampak apa saja yang merintangi proses penyidikan Tindak

Pidana Korupsi.

Kedua, penulis melihat skripsi oleh Jupiter Zalukhu yang berjudul

“PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK

PIDANA MENGHALANGI PROSES HUKUM (Obstruction of Justice)

DALAM PERADILAN TINDAK PIDANA KORUPSI (Studi Putusan MA No.

684 K/Pid.Sus/2009)”. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui

pertanggungjawaban terhadap pelaku pidana orang yang melakukan proses

menghalang-halangi proses hukum melalui putusan Putusan MA No. 684

K/Pid.Sus/2009.

Ketiga, penulis melihat berdasarkan dari Ferlyn Wahyu Pangestu yaitu dengan

judul Skripsi “TINJAUAN YURIDIS TERHADAP TINDAK PIDANA

PERBUATAN MENGHALANGI PETUGAS MELAKUKAN UPAYA

PENEGAKAN HUKUM PERSPEKTIF HUKUM POSITIF DAN HUKUM

11

ISLAM”. (studi kasus putusan No. 684 K/pid.sus/2009) mengenai tinjauan yuridis

mengenai aparat penegak hukum yang melakukan perbuatan menghalangi petugas

penegak hukum dalam perspektif hukum positif dan perspektif hukum islamnya.

Keempat, penulis melihat berdasarkan penelitian terdahulu oleh skripsi

Allivia Putri Ghandini dengan judul skripsi KEBIJAKAN KRIMINALISASI

OBSTRUCTION OF JUSTICE SEBAGAI DELIK KORUPSI DALAM

UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999 jo UNDANG-UNDANG

NOMOR 20 TAHUN 2001 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-

UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN

TINDAK PIDANA KORUPSI. Tujuan dari penelitian tersebut adalah mengenai

kebijakan dari orang yang melakukan kriminalisasi dari Undang-Undang Nomor

31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 mengenai obstruction

of justice yang dirumuskan sebagai delik dari Undang-Undang tersebut.

Berdasarkan melihat penelitian terdahulu tersebut penulis melakukan

penelitian yang berjudul “OBSTRUCTION OF JUSTICE OLEH ADVOKAT

TERHADAP PENYELIDIKAN DAN PENYIDIKAN TINDAK PIDANA

KORUPSI” (Analisis Putusan Nomor: 9/Pid.Sus-TPK/2018/PN Jkt.Pst) disini

penulis membahas undang-undang serta keefektifitasannya mengenai Undang-

Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, yang

membedakan penelitian penulis dengan penelitian dari kajian terdahulu yaitu,

penulis membahas mengenai Hak imunitas Advokat terhadap delik Obstruction of

Justice dalam kasus merintangi kasus korupsi yang menyebabkan para advokat

kebal hukum dan melihat dari perspektif Hukum Islam. Penulis menganalisis

berdasarkan sumber-sumber hukum yang ada.

F. Kerangka Teori dan Konseptual

1. Kerangka Teori

a. Lex Specialis Derogat Lex Generalis

Asas lex specialis derogat legi generali (hukum khusus menyampingkan

hukum umum) merupakan salah satu asas preferensi yang dikenal dalam ilmu

hukum. Asas preferensi adalah asas hukum yang menunjuk hukum mana yang

lebih didahulukan (untuk diberlakukan), jika kita melihat dari kasus hukum yang

penulis angkat yaitu kasus hukum Fredrich Yunadi, melihat Asas Lex specialis

12

Derogat Lex Generalis (hukum khusus menyampingkan hukum umum) bahwa

Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun

2001 tentang Tindak Pidana Korupsi tidak boleh disampingkan. Karena jika kita

melihat Undang-Undang tersebut secara Khusus sudah diakomodir untuk tindak

pidana khusus yang sangat cocok sekali untuk kasus hukum Fredrich Yunadi.

dalam suatu peristiwa (hukum) terkait atau terlanggar beberapa peraturan. Purnadi

Purbacaraka dan Soerjono Soekanto mengatakan bahwa: Maksud dari asas ini

adalah bahwa terhadap peristiwa khusus wajib diberlakukan undang-undang yang

menyebut peristiwa itu, walaupun untuk peristiwa khusus tersebut dapat pula

diberlakukan undang-undang yang menyebut peristiwa yang lebih luas atau lebih

umum yang dapat mencakup peristiwa khusus tersebut. Sementara itu, Eddy O. S

Hiariej mengemukakan bahwa: Dilihat dari perspektif politik hukum pidana

(penal policy), eksistensi asas 'lex specialis derogat legi generali" sebenarnya

merupakan asas hukum yang menentukan dalam tahap aplikasi. Tahap ini

merupakan tahap penerapan peraturan perundang-undangan pidana yang telah

dilanggar terhadap peristiwa konkrit (ius operatum) melalui proses penegakan

hukum. Oleh karena itu, asas “lex specialis” ini menjadi penting bagi aparat

penegak hukum ketika akan peraturan perundang-undangan pidana terhadap

perkara pidana yang ditanganinya.10

Asas penafsiran hukum yang menyatakan bahwa hukum yang bersifat khusus

(lex specialis) mengesampingkan hukum yang bersifat umum (lex generalis).

Contohnya: dalam Pasal 18 UUD 1945, gubernur, bupati, dan wali kota harus

dipilih secara demokratis. Aturan ini bersifat umum (lex generalis). Pasal yang

sama juga menghormati pemerintahan daerah yang bersifat khusus (lex specialis),

sehingga keistimewaan daerah yang gubernurnya tidak dipilih secara demokratis

seperti Daerah Istimewa Yogyakarta tetap dipertahankan.

10

Shinta Agustina, Implementasi Asas Lex Spesialis Derogat Legi Generalis, MMH, Jilid 44 No.

4, Oktober 2015

13

b. Equality Before The Law

Asas Equality before the law yaitu perlakuan yang sama atas diri setiap

orang di muka hukum dengan tidak mengadakan pembedaan perlakuan.11

Dari Asas ini jika kita melihat kasus hukum Fredrich Yunadi umumnya

semua para penegak hukum diberlakukan dengan hukuman yang sama. Dalam

asas ini juga tidak membedakan si kaya dengan si miskin atau pejabat dengan

rakyat biasa, oleh karenanya asas ini sangat cocok terhadap advokat yang

melakukan Obstruction of Justice tidak peduli ia penegak hukum atau tidak.

bahwa semua orang diperlakukan sama di depan hukum. Teori dan konsep

equality before the law seperti yang dianut oleh Pasal 27 ayat ( 1 ) Amandemen

Undang-undang Dasar 1945 tersebut menjadi dasar perlindungan bagi warga

Negara agar diperlakukan sama dihadapan hukum dan pemerintahan.

Equality Before The Law dalam arti sederhananya bahwa semua orang

sama di depan hukum. Persamaan dihadapan hukum atau equality before the law

adalah salah satu asas terpenting dalam hukum modern. Asas ini menjadi salah

satu sendi doktrin Rule of Law yang juga menyebar pada negara-negara

berkembang seperti Indonesia. Kalau dapat disebutkan asas equality before the

law ini merupakan salah satu manifestasi dari Negara hukum (rechtstaat)

sehingga harus adanya perlakuan sama bagi setiap orang di depan hukum

(gelijkheid van ieder voor de wet).12

Dengan demikian, elemen yang melekat

mengandung makna perlindungan sama di depan hukum (equal justice under the

law) dan mendapatkan keadilan yang sama di depan hukum. Perundang-undangan

Indonesia mengadopsi asas ini sejak masa kolonial lewat Burgelijke Wetboek

(KUHPerdata) dan Wetboek van Koophandel voor Indonesie (KUHDagang) pada

30 April 1847 melalui Stb. 1847 No. 23. Tapi pada masa kolonial itu, asas ini

tidak sepenuhnya diterapkan karena politik pluralisme hukum yang memberi

ruang berbeda bagi hukum Islam dan hukum adat disamping hukum kolonial.

Asas equality before the law bergerak dalam payung hukum yang berlaku

umum (general) dan tunggal. Ketunggalan hukum itu menjadi satu wajah utuh di

11 Luhut M.P, Pangaribuan, Advokat dan Contempt of Court Satu Proses di Dewan

Kehormatan Profesi, (Jakarta: Penerbit Djambatan, 2002), h. 4. 12

Lilik Mulyadi, Hukum Acara Pidana, (Jakarta: Citra Aditya Bakti, 2007), h. 20.

14

antara dimensi sosial lain, misalnya terhadap ekonomi dan sosial. Persamaan

“hanya” di hadapan hukum seakan memberikan sinyal di dalamnya, bahwa secara

sosial dan ekonomi orang boleh tidak mendapatkan persamaan. Perbedaan

perlakuan “persamaan” antara di dalam wilayah hukum, wilayah sosial dan

wilayah ekonomi itulah yang menjadikan asas equality before the law tergerus di

tengah dinamika sosial dan ekonomi.

c. Integrated criminal Justice System

Integrated criminal justice system dalam konteks peradilan di Indonesia

ialah suatu keadaan dimana terjalinnya hubungan yang bersifat fungsional dan

instansional yaitu koordinasi diantara sub sistem satu dengan lainnya menurut

fungsi dan kewenangannya masing-masing sebagaimana fungsi dan kewenangan

yang diatur dalam hukum acara pidana dalam rangka menegakkan hukum pidana

yang berlaku.

Melihat Obstruction of Justice yang dilakukan oleh Fredrich Yunadi ini

kita bisa lihat koordinasi dengan aparat penegak hukum sudah berjalan dengan

semestinya. Tetapi terdakwa Fredrich Yunadi ini tidak kooperatif disaat penyidik

melakukan penyidikan. Oleh karenanya, integrated criminal justice system atau

system peradilan pidana baik terdakwa maupun aparat penegak hukum harus

saling mendukung prosesnya agar proses tersebut berjalan dengan lancar.

Dengan demikian, sistem peradilan pidana (integrated criminal justice

system) meliputi proses penyidikan, penuntutan, pemeriksaan dipersidangan

hingga pada pelaksanaan putusan hakim. Ada pun sub sistem yang terkait ialah

penyidik, jaksa/penuntut umum, badan peradilan di lingkungan peradilan umum,

penasihat hukum, dan lembaga pemasyarakatan.13

Jika sistem peradilan pidana

(integrated criminal justice system) meliputi proses penyidikan, penuntutan,

pemeriksaan di persidangan hingga pada pelaksanaan putusan hakim. Sub sistem

yang terkait ialah penyidik, jaksa/penuntut umum, badan peradilan di lingkungan

peradilan umum, penasihat hukum, dan lembaga pemasyarakatan. Maka proses

13 V.V. Pillai, dalam Marwan Effendy, Sistem Peradilan Pidana, Tinjauan Terhadap

Beberapa Perkembangan Hukum Pidana, (Jakarta: Referensi, 2012), h. 251-254.

15

peradilan menunjuk pada jalannya persidangan mulai dari fakta kejadian

terjadinya pelanggaran hingga pada putusan pengadilan merupakan satu kesatuan

proses.14

Agar terciptanya system peradilan pidana yang baik.

d. Jarimmah Syahadat Zur

Kata syahadat berarti kesaksian sedangkan kata zur berarti nyeleweng

yang berarti kesaksian yang menyeleweng atau kesaksian palsu yang sering

disebut dengan sumpah palsu. Allah telah memerintahkan supaya keadilan benar-

benar ditegakkan oleh karena itu setiap orang harus membuat kesaksian yang

benar sebagaimana diterangkan didalam Q.s. An-Nisa (4): 135

Jika kita melihat Jarimah Syahadat Zur ini seharusnya aparat penegak

hukum maupun advokat sekalipun tidak melakukan kesaksian palsu karena dalam

hukum islampun sudah tertuang bagi orang yang melakukan kesaksian palsu

ataupun memutar balikan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi sesungguhnya

Allah mengetahui apa yang dikerjakan.

e. Jarimah Ghomush

Al-Yamin al-Ghamus juga dinamakan al-yamin ash-Shabirah yang artinya

adalah sumpah dusta yang dengannya hak-hak dirampas atau yang dimaksudkan

untuk menipu dan berkhianat. Sumpah palsu semacam ini termasuk salah satu dari

dosa-dosa besar dan tidak ada kafarat atasnya karena terlalu besar untuk ditebus

dengan kafarat dan dinamakan dengan ghamis karena sumpah ini membenamkan

(taghmisu) orang yang melakukannya kedalam neraka jahanam.

Melihat Qiyas, bahwa Advokat tidak boleh memberikan data palsu

maupun sumpah palsu karena perbuatan tersebut termasuk kedalam dosa-dosa

yang besar. Dan Allah telah memberikan hukuman kepada orang yang melakukan

tindakan tersebut termasuk dalam golongan ke neraka jahanam.

Orang yang melakukannya harus bertaubat dan mengembalikan hak-hak

orang lain yang diambilnya kepada para pemiliknya apabila sumpah ini

14

Lex Crimen Vol. II/No. 7/November/2013

16

mengakibatkan kehilangan hak-hak tersebut. Seprti yang dijelaskan dalam

Q.s.An-Nahl (16): 94

2. Kerangka Konseptual

a. Obstruction of Justice

Perbuatan menghalangi proses peradilan atau (obstruction of justice)

merupakan suatu tindakan seseorang yang menghalangi proses hukum, karena

tindakan menghalang-halangi ini merupakan perbuatan melawan hukum yang

notabene mereka sudah jelas menerabas dan menentang penegakan hukum.

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20

Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi dengan tegas berbunyi: “setiap orang

yang dengan sengaja mencegah, merintangi, atau menggagalkan secara langsung

atau tidak langsung penyidikan, penunutan dan pemeriksaan di pengadilan

terhadap tersangka, terdakwa maupun saksi, dipidana dengan pidana penjara

minimal 3 tahun dan maksimal 12 tahun, dan denda paling sedikit Rp.

150.000.00,00 (seratus lima puluh juta) dan paling banyak Rp. 600.000.000,00

(enam ratus juta rupiah). Dari pasal tersebut jelaslah bahwa Fredrich Yunadi

melakukan tindakan Obstruction of Justice. Karena Fredrich dengan sengaja

melakukan pencegahan terhadap penyelidik maupun penyidik dalam prosesnya.

“Tindakan menghalang proses hukum merupakan tindakan criminal karena

jelas menghambat penegakan hukum dan merusak citra lembaga penegak hukum.

Dari berbagai kasus korupsi yang mencuat di Indonesia terlihat adaupaya pihak

berkepentingan untuk menghalanghalangi proses hukum yang dilakukan oleh

aparat penegak hukum. Jika ini tidak ditindak tegas tentunya pelaku korupsi akan

memanfaatkan jaringannya atau koleganya untuk terhindar dari proses hukum atau

melemahkan pembuktian agar dia tidak terjerat hukum atau putusan yang sudah

memiliki kekuatan hukum tetap tidak bisa dilaksanakan.15

15

Lex Crimen Vol. IV/No. 1/Jan-Mar/2015

17

b. Hak Imunitas Advokat

Istilah hak Imunitas tidak ditemukan dalam Undang-Undang Advokat

tetapi, untuk memahami pengertian Hak Imunitas, kita dapat memulainya dari

pengertian Hak. Hak dapat didefinisikan sebagai alokasi kekuasaan kepada

seseorang secara terukur dalam arti keluasan dan kedalamnya. Dari asal usul kata,

istilah Imunitas dapat ditelusuri ke immunis, kata latin yang antara lain berarti

pembebasan dari kewajiban umum, kebebasan atau pembebasan pajak/ kewajiban

militer atau pekerjaan rodi, hak istimewa.

Berdasarkan Pengertian tersebut, dapat dikatakan bahwa hak imunitas

adalah kebebasan Advokat untuk melakukan atau tidak melakukan tindakan atau

mengeluarkan atau tidak mengeluarkan pendapat, keterangan atau dokumen

kepada siapapun dalam melaksanakan tugasnya sehingga advokat tersebut tidak

dapat dihukum dalam melaksanakan tugasnya. Dari sini kita bisa melihat bahwa

seorang advokat memiliki kekebalan hukum khusus yang membuat seorang

Fredrich Yunadi tidak takut kepada aparat penegak hukum baik rangkaian proses

Penyelidikan hinga ke tahap Penyidikan. Tetapi tidak dipungkiri melihat

kekebalan hukum tersebut jika kita selaraskan dengan Asas Equality Before The

Law atau asas persamaan dimata hukum yang seharusnya semua advokat

mengetahui akan asas tersebut. Sehingga advokat tidak lagi merasa spesial walau

ia memiliki payung hukum.

Sebagaimana diketahui, advokat memeberikan jasa hukum kepada

kliennya baik di dalam maupun di luar pengadilan sehingga advokat tersebut

mendampingi atau mewakili kepentingan kliennya dalam melakukan pekerjaan

tersebut, sesuai Pasal 16 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003, Advokat

mempunyai hak imunitas untuk tidak dapat di tuntut baik secara pidana maupun

perdata.

18

Pengaturan hak imunitas dapat disimak dan dipahami dalam lebih

mendalam dari Pasal 14 hingga 19 Undang-Undang 18 Tahun 2003, tepatnya bab

IV tentang hak kewajiban.16

b. Tindak Pidana Korupsi

Menurut Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang

Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, korupsi

dirumuskan ke dalam tiga puluh bentuk/jenis yang tertuang dalam pasal 2 sampai

dengan pasal 13. Tindak pidana korupsi tersebut dikelompokkan ke dalam tujuh

bagian besar yaitu sebagai berikut:

1.). Korupsi yang terkait dengan kerugian keuangan Negara

2.) Korupsi yang terkait dengan suap-menyuap

3.) Korupsi yang terkait dengan penggelapan dalam jabatan

4.) Korupsi yang terkait dengan pemerasan

5.) Korupsi yang terkait dengan perbuatan curang

6.) Korupsi yang terkait dengan benturan kepentingan dalam pengadaan

7.) Korupsi yang terkait dengan gratifikasi. 17

Perbuatan Advokat yang melawan hukum cukup jelas tertuang pada Pasal

21 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 2000

Tahun 2001 dalam pasal ini Obstruction of justice yang dilakukan Fedrich Yunadi

memuat unsur-unsurnya yaitu mencegah/ atau merintangi terhadap penyidik atau

penyelidik yang ingin melakukan penyidikkan dan penyelidikan.

Selain definisi tindak pidana korupsi yang terdapat di atas, masih ada

tindak pidana pidana lain yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi. Jenis

tindak pidana lain itu tetuang pada pasal 21, 22, 23, dan 24 Bab III Undang-

Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001

Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Jenis tindak pidana lain yang

berkaitan dengan tindak pidana korupsi terdiri atas:

16 Harlen Sinaga, Dasar-Dasar Profesi Advokat, (Jakarta: Erlangga, 2011) , h. 120.

17 Komisi Pemberantasan Korupsi, Memahami Untuk Membasmi, Diterbitkan Oleh

Komisi Pemberantasan Korupsi, (Jakarta, 2006) , h. 16.

19

a. Merintangi proses pemeriksaan perkara korupsi

b. Tidak memberi keterangan atau memberi keterangan yang tidak benar

c. Bank yang tidak memberikan keterangan rekening tersangka

d. Saksi atau ahli yang tidak memberi keterangan keterangan atau memberi

keterangan palsu

e. Orang yang memegang rahasia jabatan tidak memberikan keterangan

atau memberi keterangan palsu

f. Saksi yang membuka identitas pelapor.18

G. Metode Penelitian

Untuk memudahkan penulis dalam menyusun skirpsi ini maka penulis

menggunakan:

1. Jenis Metode Penelitian

Jenis penelitian yang akan dilakukan oleh peneliti adalah jenis penelitian

Normatif-Yuridis. Dikatakan penelitian hukum normatif karena penelitian

yang dilakukan atau ditujukan pada peraturan tertulis dan bahan-bahan

hukum lainnya baik yang bersifat data sekunder yang ada di perpustakaan

maupun jurnal hukum lainnya. Selain penelitian normatif, penelitian ini

juga berjenis empiris karena penelitian ini juga akan meneliti mengenai

bagaimana delik obstruction of justice ini diterapkan oleh advokat dalam

peristiwa hukum.

2. Metode Pendekatan

Metode Pendekatan yang penulis pakai yaitu dengan pendekatan Statue

Aproach atau pendekatan perundang-undangan atau menganalisa kasus-

kasus yang bersangkutan dan menyelaraskan dengan Undang-Undang

Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat dan Undang-Undang Nomor 31

Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Tindak

Pidana Korupsi, dan menyalaraskan dengan hukum Islamnya. Kemudian

menganalisanya secara yuridis dilakukan dengan cara meneliti bahan

pustaka atau data sekunder, dengan minitik beratkan penelitian dan

pengkajian terhadap data di bidang hukum.

18

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001

Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, pasal 21-24

20

3. Sumber Bahan Hukum

a. Bahan hukum primer yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat yang

berkaitan dengan masalah yang dikaji penulis diantaranya:

1.) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 Tentang Advokat

2.) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor

20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

b. Bahan hukum sekunder yaitu bahan-bahan yang erat hubungannya

dengan bahan hukum primer dan dapat membantu menganalisa dan

memahami bahan hukum primer. Contohnya doktrin, hasil pemikiran

akademisi, karya-karya ilmiah para sarjana, jurnal dan putusan pengadilan

yang berkaitan dengan permasalahan yang penulis bahas dalam peulisan

hukum ini.

c. Bahan hukum tersier yaitu bahan-bahan hukum yang memberikan

perunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum, ensiklopedi legal, dan

bahan-bahan dari internet.

4. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum

Teknik pengumpulan Bahan hukum ini dikumpulkan menjadi satu melalui

library research adapun bahan hukum tersebut berupa Buku, Undang-

Undang, media buku cetak lainnya serta media elektronik.

5. Teknik Pengolahan dan Analisis Bahan Hukum

a. Pengolahan Bahan Hukum

Pengolahan data adalah kegiatan merapikan data yang telah berhasil

dikumpulkan sehingga menjadi sistematik dan siap dianalisis.19

Dengan

melakukan proses editing data diperiksa dan disusun secara sistematis

untuk kesempurnaan penulisan.

19

Bambang Waluyo, Penelitian Hukum Dalam Praktek, (Jakarta: Sinar Grafika, 1999), h.

72.

21

b. Analisis Bahan Hukum

Setelah mengumpulkan data-data dan melakukan klasifikasi maka

diadakan suatu analisa dengan mempergunakan pengertian-pengertian

dasar dari sistem hukum. Analisa hanya dilakukan terhadap pasal-pasal

yang isinya merupakan kaedah hukum. Setelah dilakukan analisa, maka

konstruksi dilaksanakan dengan cara memasukkan pasal-pasal tertentu ke

dalam kategori-kategori atas dasar pengertian-pengertian dasar dari sistim

hukum tersebut. Analisa data sebagai tindak lanjut proses pengolahan data,

untuk dapat memecahkan dan menguraikan masalah yang akan diteliti

berdasarkan bahan hukum yang diperoleh, maka diperlukan adanya teknik

analisa bahan hukum. Penulis menggunakan teknik analisa deskripsi

kulitatif yaitu dengan menggunakan bahan yang sudah ada maka penulis

menguraikan yang terdapat dalam bahan tersebut untuk dikombinasikan

dengan bahan yang lain ditambah dengan pengetahuan.

6. Teknik Penulisan

Adapun teknik dalam penulisan ini, sesuai pedoman penulisan skripsi yang

diterbitkan oleh Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah

Jakarta 2017.

H. Sistematika Penulisan

Adapun sistematika penulisan laporan tugas akhir ini terdiri dari lima bab

yaitu sebagai berikut:

Bab I Pendahuluan

Dalam bab ini menguraikan latar belakang permasalahan mengenai tindak pidana

perintangan hukum yang menjadi dasar pertimbangan dalam pemilihan

judul,identifikasi, dan pembatasan masalah, perumusan masalah, tujuan dan

manfaat penelitian serta metode penelitian serta sistematika penulisan.

22

Bab II Tinjauan Umum

Dalam bab ini menguraikan tinjauan-tinjauan umum mengenai pengertian

penyelidikan dan penyidikan, tindak pidana, merintangi, advokat, serta alat bukti.

Bab III Perkara Tindak Pidana Merintangi Penyelidikan dan Penyidikan

Perspektif Hukum Positif dan Hukum Islam Dalam bab ini menguraikan posisi

kasus permasalahan dari putusan No. 9/Pid.Sus-TPK/2018//PN Jkt.Pst,

pembahasan dari perkara tindak pidana merintangi proses penyelidikan dan

penyidikan dalam kasus korupsi. Serta korupsi dalam perspektif hukum positif

dan hukum Islam.

Bab IV Faktor-Faktor Yang Menyebabkan Advokat Merintangi Proses

Penyelidikan dan Penyidikan dalam Kasus Korupsi

Dalam bab ini menguraikan faktor-faktor dari seorang advokat yang merintangi

kasus penyelidikan dan penyidikan, penerapan hukum dan pertimbangan hukum

dalam kasus No. 9/Pid.Sus-TPK/2018//PN Jkt.Pst.

Bab V Kesimpulan dan Rekomendasi

Dalam bab ini menguraikan kesimpulan dari pada penelitian penulis dan

rekomendasi.

23

A. Advokat

BAB II

TINJAUAN UMUM

Tugas dan Tanggung Jawab Advokat

Profesi pada hakekatnya adalah pekerjaan tetap yang berwujud karya

pelayanan yang dijalankan dengan penguasaan dan penerapan pengetahuan di

bidang ilmu tertentu yang pengembangannya dihayati sebagai panggilan hidup

dan pelaksanaannya terikat pada nilai-nilai tertentu yang dilandasi semangat

pengabdian terhadap sesama manusia demi kepentingan umum serta berakar pada

penghormatan dan upaya menjunjung tinggi martabat manusia.20

Istilah kuasa hukum, pengacara bahkan juga sering disebut pembela yang

mewakili atau mendampingi pihak-pihak yang mencari keadilan. Dalam bahasa

Arab pengacara disebut mahami. Kata ini merupakan derivasi dari kata himayaitu

pembelaan yang dilakukan oleh seseorang atau perlindungan seorang kuasa

hukum terhadap kliennya di depan sidang pengadilan.21

Konsep bantuan hukum

pada masa sekarang ini telah dihubungkan dengan cita-cita negara kesejahteraan

(welfare state), sehingga hampirsetiap pemerintahan dewasa ini membantu

program bantuan hukum sebagai bagian dari program, serta fasilitas kesejahteraan

dan keadilan social.22

Perkataan “Advocaat” secara etimologis berasal dari bahasa Latin, yaitu

“Advocare” yang berarti “to defend, to call to one’s aid to vouch or warrant”.

Sedang dalam bahasa Inggris “Advocate” berarti: “to speak in favour of or depend

by argument, to support, indicate, or recommended publicly.”23

Advokat adalah satu fungsi dalam sistem peradilan pidana. Sebagai salah

satu fungsi maka ia terikat pada sistem itu sebagaimana dilihat dalam ketentuan

KUHAP. Namun Advokat sebagai jabatan masih perlu pengaturan tersendiri.

20

Suhrawardi K. Lubis, Etika Profesi Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 1994), h. 8. 21

Asmuni Mth., 'Eksistensi Pengacara dalam Perspekti Hukum Islam', dalam Jurnal Al-

Mawarid Edisi XII tahun 2004 Fakultas Agama Islam UII Yogyakarta, h. 25. 22

Binoto Nadapdap, Menjajaki Seluk Beluk Honorarium Advokat, (Jakarta: Jala

Permata,2008), h. 25. 23

Frans Hendra Winarta, Advokat Indonesia, Cita, Idealisme, dan Keprihatinan,(Jakarta:

Sinar Harapan, 1995), h.72.

24

Advokat yang fungsional sebagai profesi secara historis telah berkembang cukup

lama, tapi agak lambat di Indonesia. Indikasinya adalah hampir tidak adanya

komunitas yang kuat dan sebagaimana dicerminkan dari pembentukan organisasi

Advokat itu. Organisasi Advokat dalam praktik dewasa ini banyak dipersepsikan

sama dengan ormas, bukan organisasi keahlian. Sebagaimana dapat terlihat dalam

uraian-uraian berikut:

1. Istilah advokat

Advokat sebagai nama resmi profesi dalam sistem peradilan kita pertama-

tama ditemukan dalam Bab IV ketentuan Susunan Kehakiman dan Kebijaksanaan

Mengadili (RO). Advokat itu merupakan padanan dari kata Advocat (Belanda)

yakni seseorang yang telah resmi diangkat untuk menjalankan profesinya setelah

memperoleh gelar meester in de rechten (Mr.) akar kata Advokat berasal dari kata

latin yang berarti membela. Oleh karena itu tidak mengherankan bila hampir di

setiap bahasa di dunia kata (istilah) itu dikenal.24

Akar kata advokat, apabila

didasarkan pada kamus Latin-Indonesia25

dapat ditelusur dari bahasa Latin, yaitu

advocatus, yang berarti antara lain yang mmembantu seseorang dalam perkara,

saksi yang meringankan. Sedangkan menurut Black’s Law Dictionary,26

kata

advokat juga berasal dari kata Latin, yaitu Advocare, suatu kata kerja yang berarti

to defend, to call one’s aid, to vouch to warrant. Sebagai kata benda berarti

(noun), kata tersebut berarti:

“one who assits, defends, or pleads for another. One who renders legal

advice and aid and pleads the cause of another before a court or a tribunual. A

person learned in the law and duly admitted to practice, who assists his client

with advice, and pleads for him in open court. An assistant, adviser; plead for

causes.”

24

Luhut M.P. Pangaribuan, Advokat dan Contempt of Court Satu Proses di Dewan

Kehormatan Profesi, (Jakarta: Penerbit Djambatan, 2002), h. 5. 25

K.Prent C.M., J. Adisubrata, & W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Latin Indonesia, (Yogyakarta: Kanisius, 1969), h. 2.

26 Henry Campbel Black, Black’s Law Dictionary (St. Paul, MN: West Publishing Co,

1990), h .55.

25

Artinya, seseorang yang membantu, mempertahankan, membela orang

lain. Seseorang yang memberikan nasihat dan bantuan hukum dan berbicara untuk

orang lain di hadapan pengadilan. Seseorang yang mempelajari hukum dan telah

diakui untu berpraktik, yang memberikan nasihat kepada klien dan berbicara

untuk yang bersangkutan di pengadilan. Seorang asisten, penasihat, atau

pembicara untuk kasus-kasus. Sedangkan Advokat menurut Undang-Undang

Nomor 18 Tahun 2003 Tentang Advokat, yang dimaksud dengan advokat adalah

orang yang berprofesi memberi jasa hukum, baik di dalam maupun di luar

pengadilan yang memenuhi persyaratan berdasarkan ketentuan Undang-Undang

ini.27

B. Tugas dan Kewajiban Advokat

1. Tugas Advokat

Pada dasarnya tugas pokok penasehat hukum (advokat dan pengacara

praktek) adalah untuk memberikan legal opinion, serta nasihat hukum

dalamrangka menjauhkan klien dari konflik, sedangkan di lembaga

peradilan (beracara di pengadilan) penasihat hukum mengajukan atau

membela kepentingan kliennya.28

Peran dan fungsi Advokat dapat dilihat

dalam Undang-Undang Advokat dalam Pasal 1 ayat (1) ketentuan tentang

fungsi dan peran advokat selengkapnya berbunyi sebagai berikut:

“Advokat adalah orang yang berprofesi memberikan jasa hukum baik

didalam maupun diluar pengadilan yang memenuhi persyaratan berdasarkan

ketentuan uuundang-undang ini”

Dari definisi diatas dapat diketahui bahwa peran dan fngsi advokat

meliputi pekerjaan baik yang dilakukan di pengadilan maupun diluar

pengadilan tentang masalah hukum piidana atau perdata, seperti

mendampingi klien dalam tingkat penyelidikan dan penyidikan (dikejaksaan

atau kepolisian) atau beracara dimuka pengadilan.

27

Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 Tentang Advokat, pasal 1 butir 1 28

C.S.T. Kansil, Pokok-pokok Etika Profesi Hukum (Jakarta: Pradnya Paramita,2003), h.

58.

26

Pengkategorian tugas-tugas yang dilakukan advokat kedalam msalah hukum

pidana atau perdata di pengadilan sebetulnya dianggap kurang tepat. Karna

dewasa ini masalah hukum telah berkembang sedemikian pesat. Misalnya,

masalah hukum yang timbul antara warga masyarakat dan pejabat tata usaha

Negara harus dibawa kepengadilan tata usaha Negara dan sengketa tentang

hasil pemilihan kepala daerah dahulu tidak masuk dalam tatanan hukum

Indonesia. Karena itu, untuk mencakup masalah hukum ini, dapat dikatakan

bahwa tugas dan peran advokat meliputi masalah-masalah hukum public

(public law) dan hukum perdata (private law) seperti dalam pembedaan

hukum romawi klasik (Classical Roman Law): meskipun dalam pembedaan

tersebut tidak dapat lagi ditarik garis pemisahan secara jelas.29

2. Kewajiban Advokat

Berdasarkan KEAI dan Undang-Undang Advokat, dalam melakukan

pekerjannya, advokat mempunyai kewajiban baik terhadap sesame advokat,

masyarakat maupun klien. Kewajiban ini seyogyanya dilaksanakan advokat

agar kehormatan advokat tetap terjaga dalam masyarakat. Apabila

kewajiban ini tidak dilaksanakan, advokat yang bersangkutan dapat dikenai

hukuman sesuai dengan ketentuan KEAI> tetu saja, pelanggaran atas

kewajiban tersebut akan dikenai sanksi dengan mengacu pada jenis

hukuman. Kewajiban Advokat dapat dilihat dari dua pengaturan:30

1. Kode Etik Advokat Indonesia (KEAI)

Berdasarkan KEAI, kewajiban advokat antara lain meliputi:

a. Memelihara rasa solidaritas di antara teman sejawat (pasal 3 huruf d

KEAI)

b. Memberikan bantuan hukum kepada teman sejawat yang diduga atau

didakwa suatu perkara pidana baik atas permintaan sendiri maupun

karena penunjukan organisasi profesi (pasal 3 hufur e KEAI)

29 Harlen Sinaga, Dasar-Dasar Profesi Advokat, (Jakarta: Erlangga, 2011), h. 20

30 Harlen Sinaga, Dasar-Dasar Profesi Advokat, (Jakarta: Erlangga, 2011), h. 84

27

c. Bersikap sopan terhadap semua teman sejawat dan mempertahankan

martabat Advokat (pasal 4 huruf d KEAI)

d. Dalam menentukan besarnya honorarium, wajib mempertimbangkan

kemampuan klien (pasal 4 huruf d KEAI)

e. memegang rahasia jabatan tentang hal-hal yang diberitahukan oleh

klien secara kepercayaan dan tetap menjaga rahasia tersebut setelah

sampai berakhir hubungannya dengan klien (pasal 4 huruf h KEAI)

f. Memberikan surat dan keterangan appabila perkara akan diurus

advokat baru dengan memperhatikan hak retensi (pasal 5 huruf f KEAI)

g. Wajib memberikan bantuan hukum Cuma-Cuma kepada orang yang

tidak mampu (pasal 7 huruf h KEAI)

h. Menyampaikan pemberitahuan tentang putusan pengadilan mengenai

perkara yang ditangani kepada klien (pasal 7 huruf I KEAI)

2. Kewajiban menurut Undang-Undang Advokat

Berdasarkan Undang-Undang Advokat, kewajiban advokat adalah

merahasiakan segala sesuatu yang diketahui dan diperoleh dari kliennya

karena hubungan profesinya, sesuai dengan pasal 19. Kerahasiaan ini

meliputi perlindungan atas berkas dan dokumennya terhadap penyitaan

dan perlindungan terhadap penyadapan atas komunikasi elektronik

advokat.

Pertanggungjawaban pidana seorang advokat yang melakukan tindak

pidana dalam menjalankan profesinya harus dilihat dari kesalahan yang dilakukan

advokat tersebut sehingga ia dipandang telah melakukan perbuatan yang

memenuhi unsur-unsur tindak pidana. Kesalahan berpengaruh besar terhadap

pertanggungjawaban pidana karena kesalahan merupakan unsur mutlak dari

pertanggung jawaban pidana.Kesalahan dalam arti seluas-luasnya meliputi

pertama, si pelaku memiliki kemampuan bertanggung jawab (schuldfahigkeit atau

zurechunungsfahigkeit).

28

Artinya keadaan si pelaku harus normal, disini dipersoalkan apakah

advokat mampu bertanggung jawab atas perbuatannya. Kedua, hubungan

perbuatan si pelaku dengan sikap batin si pelaku yang berupa sengaja (dolus) atau

kealpaan (culpa), Disini dipersoalkan sikap batin seorang advokat terhadap

perbuatannya. Ketiga, Tidak adanya alasan yang menghapus kesalahan atau tidak

adanya alasan pemaaf meskipun apa yang disebutkan unsur kesalahan pertama

dan unsur kesalahan kedua ada, ada kemungkinan bahwa keadaan yang

mempengaruhi si pelaku sehingga kesalahannya hapus misalnya dengan ada

kelampuan batas pembelaan terpaksa.31

Kalau ketiga-tiga unsur ada maka advokat yang bersangkutan dapat

dinyatakan bersalah atau mempunyai pertanggungjawaban pidana, sehingga

advokat tersebut dapat dipertanggungjawabkan pidana.

C. Hak Imunitas Advokat

Hak imunitas adalah hak kekebalan seorang advokat dalam membela

perkaranya yang menjadi tanggung jawabnya, bahwa ia tidak dapat dituntut secara

perdata maupun pidana ketika menjalankan profesinya itu. Dalam pasal 16 dan

pasal 18 ayat 2, sebagai berikut:

Pasal 16: “Advokat tidak dapat dituntut secara perdata maupun pidana

dalam menjalankan tugas profesinya dengan itikad baik untuk kepentingan

pembelaan klien dalam sidang pengadilan.”

Pasal 18: “Advokat tidak dapat diidentikkan dengan klien nya dalam

membela perkara klien oleh pihak yang berwenang dan atau masyarakat.”

Dalam persidangan, baik advokat, hakim maupun jaksa, penuntut umum

memiliki kedudukan yang sama dalam upaya terselenggaranya suatu peradilan

yang jujur, adil dan memiliki kepastian hukum bagi semua pencari keadilan dalam

menegakkan hukum, kebenaran, keadilan, dan hak asasi manusia.

31

Roni Wiyanto, Asas-asas Hukum Pidana Indonesia, (Mandar Maju: Surakarta, 2012), h. 143

29

Dalam pasal 5 ayat 1 Undang-undang No. 18 Tahun 2003, sebagai berikut:

“Advokat berstatus sebagai penegak hukum, bebas dan mandiri yang di jamin

oleh hukum dan peraturan perundang-undangan.”

Dalam penjelasannya pasal 5 ayat1 Undang-undang No. 18 Tahun 2003,

sebagi berikut: “yang dimaksud dengan “advokat berstatus sebagai penegak

hukum” adalah advokat sebagai salah satu perangkat dalam proses peradilan yang

mempunyai kedudukan setara dengan penegak hukum lainnya dalam menegakkan

hukum dan keadilan.”

Setelah dilakukan pembahasan tentang KEAI, dalam bab ini akan dibahas

kekebalan (imunitas) advokat dalam melakukan tugas atau pekerjaannya. Hak

imunitas ini patut dipahami tidak hanya oleh advokat, tetapi juga oleh pihak yang

terkait erat dengan pekerjaan advokat, antara lain penyidik. Tujuannya ialah agar

semua pihak mengerti kedudukan advokat. Hal ini perlu dikemukakan karena

beberapa advokat pernah dipanggil oleh polisi untuk menjadi saksi, dengan istilah

“terlapor” bahkan, polisi pernah memperlakukan advokat secara kasar

dipengadilan.

Asas hukum equality before the law berarti kesetaraan dihadapan hukum

tetap dijunjung dan dipertahankan sebagai patokan umum dalam penegakan

hukum (Law Enforcement). Namun perlu diperhatikan juga bahwa asas equality

before the law tetap harus mengindahkan hak imunitas.

Hak imunitas dan asas hukum tersebut perlu mendapat perhatian, berkaitan

dengan stastus advokat sebagai penegak hukum yang sejajar dengan hakim. Jaksa

dan hakim, dengan tugas masing-masing pihak yang berbeda-beda sesuai dengan

fungsi utama masing-masing. tugas-tugas advokat dijabarkan dalam undang-

undang advokat. Namun, dalam kenyataannya dapat terjadi bahwa perlakuan

terhadap advokat terbukti tidak sesuai dengan undang-undang tersebut karena

suatu masalah semata-mata dilihat dari hukum acara pidana. Hal tersebut dapat

saja terjadi karena ketidaktauan polisi atau arogansi status.32

Sebagaimana diketahui, advokat memberikan jasa hukum kepada kliennya

baik didalam maupun diluar pengadilan sehingga advokat tersebut mendampingi

32 Harlen Sinaga, Dasar-Dasar Profesi Advokat, (Jakarta: Erlangga, 2011), h. 120.

30

atau mewakili kepentingan kliennya. Dalam melakukan pekerjaan tersebut, sesuai

dengan Pasal 16 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003, Advokat mempunyai

Hak Imunitas untuk tidak dapat dituntut baik secara pidana maupun secara

perdata. 33

1. Kewenangan Advokat Berdasarkan Pada Undang-Undang No. 18 Tahun

2003 Tentang Advokat

Advokat adalah seorang yang berprofesi memberi jasa hukum, baik di

dalam maupun di luar pengadilan yang memenuhi persyaratan sebagaimana

tercantum dalam ketentuan undang-undang Nomor 18 tahun 2003 tentang

Advokat. Dalam Undang-undang Advokat tersebut ditegaskan bahwa seorang

advokat berstatus sebagai penegak hukum, bebas dan mandiri yang dijamin

oleh hukumdan peraturan perundang-undangan. Lingkup jasa hukum ternyata

cukup luas. Pasal 2 menyatakan bahwa Konsultasi hukum, bantuan hukum,

menjalankan kuasa, mewakili, mendampingi, membela, dan melakukan tindakan

hukum lain untuk kepentingan klien adalah merupakan bentuk dari jasa hukum.

Advokat berstatus sebagai penegak hukum. Jika dahulu hanya dikenal tiga

elemen penegak hukum, namun sejak diundangkannya Undang-Undang Nomor

18 Tahun 2003 maka Advokat juga mempunyai status yang sama sebagai

penegak hukum. Fungsi advokat untuk membela klien adalah menegakkan ”Azas

praduga tak bersalah (Presumption of Innocence)” yang dianut dalam sistem

hukum kita atau Internasional Covenant on Civil and Political Rights,

khususnya pasal 14 (2): ”Everyone charged with a criminal offence shall have the

right to be presumed innocent until proved guilty according to law”.

Ada beberapa tindakan yang dilarang untuk dilakukan advokat yang diatur

dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003. Menurut pasal 6 undang-undang

tersebut, advokat dapat dikenai hukuman atas perbuatan hukum atau tindakannya

dengan alasan dibawah ini:

33 T. Gayus Lumbuun, “Kontroversi Hak Advokat atas Perlindungan berkas dan dokumen

terhadap pernyitaan,” suatu makalah yang disampaikan dalam seminar pada Musyawarah Kerja

NAsional yang diselenggarakan DPP IKADIN di Medan”, Juni 2005, h.2, h.7.

31

1. Mengabaikan atau melantarkan kepentingan klien;

2. Berbuat atau bertingkah laku dengan tidak patut terhdap lawan atau

rekan seprofesinya;

3. Bersikap, bertingkah laku, bertutur kata atau mengeluarkan pernyataan

yang menunjukan sikap yang tidak hormat terhadap hukum, peraturan

perundang-undangan, atau pengadilan;

4. Berbuat hal-hal yang bertentangan dengan kewajiban, kehormatan

atau harkat dan martabat profesi;

5. Melakukan pelanggaran terhadap peraaturan perundang-undangan

dan/ perbuatan tercela;34

2. Kode Etik Profesi Advokat

Sejalan dengan maraknya pembangunan hukum, maka peran advokat

sebagai “Agent of Law Development/penegak pembangunan hukum (Wolfang G.

Friedmann “The role of Law and the function of the Lawyer, in the Developing

countries) secara nyata menjelma saat ini khususnya di Indonesia dengan ada

memiliki 4 (empat) Kode Etik Profesi Advokat. Tentunya ini sangat dilematis dan

mungkin situasional sekali mengingat menurut pengamatan tim hampir sama

sekali tidak memiliki perbedaan yang prinsipil.

Dengan kondisi tersebut tentu bukanlah menjadi tugas tim mencari

penyelesaian jawaban yang tuntas dengan kemungkinan membentuk kode etik

baru atau apapun namanya sebagai solusinya. Namun sebatas mengungkap

sumber dari permasalahannya ternyata bermuara dari peristilahan, Advokat,

Pengacara, dan Prokol yang secara faktual masing-masing mendapat tempat

pengaturan tersendiri baik ijin praktek maupun pengawasannya.

Ironisnya perbedaan istilah tersebut ternyata justru menimbulkan

kerancuan dan persteruan yang berkepanjangan, bahkan potensial sekali mengarah

kepada heterogenitas/pengelompokkan yang dapat memecah belah profesi hukum

34 Harlen Sinaga, Dasar-dasar Profesi Advokat, h. 104.

32

terutama pada pemberi jasa hukum35

Rupanya perkembangan profesi Advokat dan

lawyer sebagai profesi hukum di lingkup internasional telah memberi kontribusi

tersendiri, sehingga timbul pandangan bahwa peistilahan-peristilahan yang ada

tidak cocok dengan kondisi internasional bahkan mempersempit lingkup tugas,

peranan dan fungsi profesi advokat sebagai profesi hukum, bahkan merupakan

suatu set back (kemunduran). Namun demikian sejauh mata memandang, tim

melihat adanya suatu standarisasi kriteria yang secara normative universal dan

esensial dapat diupayakan guna mengatasi perbedaan-perbedaan tersebut,

katakanlah norma yang berlaku universal baik secara individual maupun

organisatoris organisasi profesi hukum yang terdapat pada kode etik masing-

masing organisasi hukum tersebut.

Standarisasi tersebut berupa peraturan-peraturan yang bersangkutan

dengan keahlian, peraturan yang mengatur sifat-sifat pribadi, peraturan yang

bertalian dengan harta kekayaan dari klien, serta peraturan yang menjaga

dipegangnya dengan teguh prinsip hubungan baik dengan profesional-profesional

lainnya. Pada intinya untuk tercapainya dan ditaatinya kode etik tersebut hanya

terselenggara apabila para advokat mendasarkan pada pengetahuannya, watak,

sifat dan kepribadiannya.

Dari uraian standarisasi nilai yang universal tersebut dapatlah memberikan

kesan bahwa seorang yang sudah disebut professional didorong untuk selalu

bersikap etis dan memiliki kode etik yang wajib ditaatinya.

Lantas sejauh mana pelaksanaan kode etik advokat baik bagi segi materi,

aparatur maupun sarana dan prasarananya. Dengan mendasarkan pada data dalam

bentuk makalah-makalah dan diskusi dengan naras umber ke tempat organisasi

profesi tersebut, ditambahdari pihak lain seperti Pengadilan Negeri dan PWI

sebagai pembanding, ternyata data yang ada memang cukup reprentatif.

Namun data tersebut tidak cukup tajam tim untuk menganalisis lebih jauh

pelaksanaan kode etik tersebut, mengingat makalah yang dipaparkan masing-

masing sumber tidak cukup menyentuh persoalan-soalan secara langsung adanya

35

Analisis dan Evaluasi tentang Kode Etik Advokat dan Konsultan Hukum, Badan

Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman RI, h. 26.

33

pelaksanaan ataupun penegakan kode etik dalam hal misalnya terjadi suatu

pelanggaran etik, baik dari segi segi substansial, maupun dari segi sarana

penegakkannya. Akan tetapi dari sumber AAI menyebutkan pelanggaran kode

etik profesi cukup memprihatinkan mengingat tidak sedikit jumlah pelanggaran

tersebut, baik secara perorangan bukan anggota organisasi profesi ataupun

anggota organisasi profesi, bahkan lebih jauh dikemukakan pelanggaran kode etik

yang bukan anggota organisasi profesi tidak dapat diterima pengaduannya dan

karenanya tidak dapat dijatukan sanksi, lantas sering timbul kenyataan-kenyataan

bahwa daya laku ataupun efektivitas sanksi yang diberikan sering “mandul”.

Sanksi yang diberikan sama sekali tidak memenuhi tujuan akhir seperti membuat

jera, insyaf dan menimbulkan rasa malu (ex: kalau tidak memperhatikan

penjatuhan sanksi dalam hukum pidana dimaksudkan sebagai pembalasan namun

juga sebagai pembinaan). Oknum yang terkena sanksi begitu “saktinya” masih

tetap menjalankan profesinya secara bebas baik di dalam maupun diluar

pengadilan.

Tim lebih setuju menilai bahwa kode etik profesi sebagai standart moral

pofesi masing-masing profesi belum membeikan dampak yang efektif. Namun

sejauh itu ada pendapat bahwa pelanggaran etika profesi adalah bukan kejahatan,

melainkan sekedar pelanggaran moral ternyata dari beberapa sumber diantaranya

dari Pengadilan Negeri tidak sependapat menurut mereka pelanggaran yang

dilakukan advokat harus mendapatan sanksi yang tegas dan tuntas. Bahkan lebih

jauh lagi kode etik acara advokat seyogianya tidak menyumbat kemungkinan

pelanggaran-pelanggaran yang terjadi masuk kedalam perkara pidana seperti

dengan mengutip pendapat Oemar Seno Adji bahwa pelanggaran rahasia jabatan

harus merupakan ketentuan etik (Oemar Seno Adji 1991: 4)

Sementara itu tidak dapat dijalankan sanksi pelaanggaran kode etik

menurut sumber-sumber tersebut ataupun tidak dipatuhinya sanksi antaralain

disebabkan:

1. Adanya dualisme pengangkatan baik dari Menteri kehakiman maupun

Pengadilan Tinggi

34

2. Tidak seluruhnya advokat menjadi anggota dari salah satu organisasi proofesi

yang ada.

3. Setiap sanksi yang dijatuhkan oleh Dewan Kehormatan tidak didukung oleh

Pengadilan Negeri sebagaimana diatur dalam UU 14/1985 pasal 36 jo UU

Nomor 2 Tahun 1986 pasal 54

4. Pada akhirnya pemerintah menindak lanjuti dengan dikeluarnya SKB yang

banyak ditentang oleh organisasi-organisasi pofesi tersebut.

Kode etik profesi haruslah merupakan manifestasi tuntutan moral dan

dedikasi moral yang sepatutnya dimiliki setiap pelaku profesi advokat. Sedangkan

etika konsultan hukum mengikuti suatu pola keseragaman dari butir-butir dasar

etika professional advokat pada umumnya dengan dikurangi aspek-aspek etika

profesi berperkara ditambah bagian-bagian spesialisasi yang menyangkut bidang

kerja dari Konsultan Hukum itu sendiri. pada dasarnya hal ini adalah terdiri dari:

1. Bahwa seorang konsultan hukum akan melakukan tugas yang diembannya

dengan sebaik-baiknya untuk melaksanakan pekerjaan dalam lingkup

kepentingan klien yang dipercayakan kepadanya.

2. Bahwa seorang konsultan hukum tidak akan mewakili klien yang ternyata

terdapat pertentangan kepentingan baik dengan kepentingan sendiri maupun

kliennya.

3. Bahwa seorang konsultan hukum tidak akan melakukan upaya apapun yang

pada hakekatnya merupakan upaya untuk memasarkan dirinya kepada khalayak

ramai.

4. Bahwa seorang konsultan hukum hanya akan menerima pekerjaan dan

mewakili klien jika ia yakin bahwa dirinya akan mampu mewakili kepentingan

klien itu dengan sebaik-baiknya.

5. Bahwa seorang konsultan hukum akan selalu menghormati sesame rekan

konsultan hukum dan juga penasehat hukum lain.

6. Bahwa seorang konsultan hukum hanya akan membuat pendapat hukum,

memorandum hokum ataupun audit hukum dan kebiasaan yang berlaku.

35

7. Bahwa seorang konsultan hukum akan memegang teguh sifat kerahasiaan dari

klien dan tidak akan memberitahukan hal terseut kepada siapapun tanpa izin

klien.

Ada dua fungsi advokat terhadap keadilan yang perlu mendapat

perhatian yaitu pertama, Mewakili klien untuk menegakkan keadilan, dan

peran advokat penting bagi klien yang diwakilinya, kedua, membantu klien,

seseorang advokat mempertahankan legitimasi sistem peradilan dan fungsi

advokat. Kewenangan advokat dalam sistem peradilan Indonesia adalah

bahwa advokat adalah merupakan aparat penegak hukum, bebas dan mandiri

yang dijamin oleh hukum dan peraturan perundang-undangan.

Advokat bebas mengeluarkan pendapat atau pernyataan dalam

membela perkara yang menjadi tanggung jawabnya di dalam sidang

pengadilan dengan tetap berpegang pada kode etik profesi dan peraturan

perundang-undangan. Peran Advokat dapat kita lihat pada Pasal 56 KUHAP,

Sasaran menghadirkan pengacara selain untuk memenuhi Pasal 56 KUHAP, juga

adalah memberikan bantuan hukum bagi terdakwa serta membentu hakim

dalam menemukan kebenaran hukum yang berintikan keadilan.

Menurut salah satu Advokat senior di Bandung, bahwa dalam

menjalankan tugasnya, Advokat bukan semata-mata mencari imbalan materi,

tetapi mengutamakan tegaknya hukum, kebenaran dan keadilan85. Selain itu

menurut beliau, Advokat dapat menolak suatu perkara yang dimana perkara

tersebut bertentangan dengan hati nuraninya.

`Dalam kasus Fredrich ini, terkesan bahwa Fredrich dalam membela

klienya melakukan banyak hal untuk dapat memaksimalkan pembelaan terhadap

klienya, akan tetapi perlakuan Fredrich tersebut jika di lihat berdasarkan

kode etik Advokat telah jelas melanggar kode etik Advokat, karena bukan

untuk menegakan hukum akan tetapi untuk menghambat proses penyidikan.

36

BAB III

Obstruction of Justice dalam Tindak Pidana Korupsi

A. Pengertian Obstruction of Justice

Perbuatan menghalangi proses peradilan atau (obstruction of justice)

merupakan suatu tindakan seseorang yang menghalangi proses hukum, karena

tindakan menghalang-halangi ini merupakan perbuatan melawan hukum yang

notabene mereka sudah jelas menerabas dan menentang penegakan hukum.

Tindakan menghalang proses hukum merupakan tindakan criminal karena jelas

menghambat penegakan hukum dan merusak citra lembaga penegak hukum.

Istilah obstruction of justice merupakan terminology hukum yang berasal dari

literature Anglo Saxon, yang dalam doktrin ilmu hukum pidana di Indonesia

sering diterjemahkan sebagai “tindak pidana menghalangi proses hukum.”36

Dari berbagai kasus korupsi yang mencuat di Indonesia terlihat ada upaya

pihak berkepentingan untuk menghalanghalangi proses hukum yang dilakukan

oleh aparat penegak hukum. Jika ini tidak ditindak tegas tentunya pelaku korupsi

akan memanfaatkan jaringannya atau koleganya untuk terhindar dari proses

hukum atau melemahkan pembuktian agar dia tidak terjerat hukum atau putusan

yang sudah memiliki kekuatan hukum tetap tidak bisa dilaksanakan.37

Secara

harfiah pengertian menghalangi petugas (obstruction of justice) merupakan suatu

tindakan seseorang yang menghalang-halangi proses hukum dalam terminologi

hukum pidana menghalangi petugas (obstruction of justice) dikategorikan sebagai

tindakan kriminal. Dalam konteks hukum pidana menghalangi petugas

(obstruction of justice) adalah tindakan yang menghalang-halangi proses hukum

yang sedang dilakukan oleh aparat penegak hukum (dalam hal ini polisi, jaksa,

hakim, dan advokat), baik terhadap saksi, tersangka, maupun terdakwa.38

Tindak

pidana obstruction of justice, selain diatur dalam KUHP juga diatur dalam

36 Shinta Agustina dan Saldri Isra. Et.al, Obstruction of Justice, (Themis Book: Jakarta,

2015), h.29.

37 Lex Crimen Vol. IV/No. 1/Jan-Mar/2015

38 Shinta Agustina, dkk, Obstruction of Justice Tindak Pidana Menghalangi Proses

Hukum Dalam Upaya Pemberantasan Korupsi..., h. 9.

37

Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi. Alasan pengaturan tindak pidana obstruction of justice dalam undang-

undang Nomor 3 Tahun 1971 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

adalah karena perbuatan menghalang-halangi, mempersulit, yang mempunyai

maknanya menguntungkan bagi tindak pidana korupsi, maka harus diancam

dengan pidana yang cukup berat.39

Pasal-pasal obstruction of justice dirancang

untuk melindungi individu-individu yang terlibat dalam proses hukum dan

mencegah “gugurnya” proses penegakan keadilan melalui tindakan-tindakan

menyimpang.

Penjelasan mengenai tindak pidana obstruction of justice ternyata telah

dikemukakan oleh Eddy Os Hiariej Guru Besar Hukum Pidana Fakultas Hukum

UGM. Penafsiran doktriner terhadap tindak pidana menghalanh-halangi proses

hukum adalah suatu perbuatan, baik melakukan atau tidak melakukan sesuatu

dengan maksud menunda, mengganggu, atau mengintervensi proses hukum dalam

suatu kasus. Perdefinisi, tindak pidana menghalangi proses hukuk yang demikian

mengandung makna bahwa tindakan yang dilakukan sejak awal tersebut punya

motif untuk menghalangi proses hukum.40

B. Macam-Macam Obstruction Of Justice

Mengenai sejarah pengaturan obstruction justice di Indonesia, pada uraian

ini akan disampaikan mengenai bagaimana pengaturan ataupun bentuk-bentuk

dari tindak pidana obstruction of justice dibeberapa Negara. Penguraian ini

dilakukan guna membandingkan mengenai pengaturan tindak pidana obstruction

of justice antara Indonesia dengan Negara-negara lain.Adapun Negara yang

dijadikan perbandingan adalah Amerika Serikat, Belanda, Korea Selatan dan

Hongkong. Pemilihan Negara-negara tersebut didasari dari beberapa

pertimbangan yaitu keterwakilan Negara yaitu berada dibenua Amerika, Eropa

39 Penjelasan Pasal 29 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan

Tindak Pidana Korupsi. 40

Eddy OES Hiariej Guru Besar Fakultas Hukum UGM, “Obstruction of Justice” dan

Hak Angket DPR, Kompas 21 Juli 2017.

https://www.pressreader.com/indonesia/kompas/20170721/281612420458169

38

dan Asia. Selain itu juga pertimbangan keterwakilan sistem hukum yang dianut

dari tiap-tiap Negara tersebut. Belanda menganut system hukum sama dengan

Indonesia, sedangkan Korea Selatan dan Hongkong menganut sistem hukum

Anglo Saxon.

Belanda sebagai Negara yang memiliki system hukum yang sama dengan

Indonesia mengatur tindak pidana obstruction of justicedalam Dutch Penal Code

Art 184 (Pasal 184 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana). Selain didalam KUHP

Belanda,pengaturan tindak pidana obstruction of justice di Belanda juga diatur

dalam Undang-Undang Terorisme Belanda di dalam Pasal 94 ayat (2). Sama

halnya dengan Indonesia, Belanda pun tidak meletakkan tindak pidana obstruction

of justice dalam bagian khusus didalam pengaturan pidana di negaranya dimana

hanya terkait pasal yang secara unsur tindakannya masuk kedalam tindak pidana

obstruction of justice. Pada tahun 1955 di Hongkong diadopsi The Corrupt and

Illegal Practice Ordiance (CIPO), yang pada prinsipnya hanya mengatur tindak

pidana korupsi yang berkaitan dengan pemilihan umum. Tetapi sebagai sebuah

naskah yang komprehensif, didalam ordinasi ini juga mengatur mengenai tindak

pidana menghalangi proses hukum untuk penyuapan dan sebagainya.

Jika di Indonesia, Belanda dan Hongkong tidak memasukkan kategori

tindakan menghalangi proses hukum dalam bab khusus di KUHP maupun dalam

perundang-undangan khusus, hal ini berbeda dengan Amerika Serikat dan Korea

Selatan. Dalam KUHP Korea atau yang disebut denga Code Penal of Korea,

sejumlah pasal yang mengatur obstruction of justice ditempatkan dan diatur dalam

Bab khusus, yang mencoba menggambarkan beberapa pola dari tindakan

obstruction of justice yang dapat dikenai pidana. Pengaturan mengenai tindakan

obstruction of justice dalam hukum pidana nasional Korea diatur dalam Bab VII

Code Penal, mulai dari pasal 136 hingga pasal 144. Pengaturan mengenai tindak

pidana obstruction of justice tidak hanya terdapat dalam satu bab saja, tetapi juga

diatur secara sporadic dalam bab dan pasal lainnya.

Di Amerika, Chapter khusus yang mengatur mengenai tindak pidana

obstruction of justice dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yaitu United

State Model Penal Code/ 18 USC Chapter Pasal 1501-1521. Dalam pasal ini

39

menggambarkan secara gambling mengenai pola-pola tindakan obstruction of

justice yang dapat dikenai pidana penjara maupun denda.

Berdasarkan rumusan Pasal 21 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999

tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, obstruction of justice dapat

dikelompokkan ke dalam 3 (tiga) bentuk perbuatan, yaitu:

1. Perbuatan dengan sengaja mencegah, pelaku tindak pidana pencegahan telah

melakukan perbuatan tertentu dengan tujuan agar penyidikan, penuntutan dqan

pemeriksaan di sidang pengadilan tidak dapat dilaksanakan sesuai dengan ketentuan-

ketentuan yang diatur dalam undang-undang;

2. Perbuatan dengan sengaja merintangi, pelaku tindak pidana telah melakukan

perbuatan tertentu dengan tujuan agar penyidikan, penuntutan dan siding

pengadilan yang sedang berlangsung, terhalang untuk dilaksanakan sesuai

dengan ketentuan-ketentuan yang diatur dalam undang-undang;

3. Perbuatan dengan sengaja menggagalkan, pelaku tindak pidana telah

melakukan perbuatan tertentu dengan tujuan agar penyidikan, penuntutan dan

pemeriksaan di sidang pengadilan yang sedang berlangsung, terhalang untuk

dilaksanakan dengan ketentuan-ketentuan yang diatur dalam undang-undang.

C. Obstruction of Justice Perspektif Hukum Positif dan Hukum Islam

1. Obstruction of Justice Perspektif Hukum Positif

Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) telah diatur tindakan

menghalangi proses peradilan atau (obstruction of justice). “Berdasarkan

Pasal 216-222 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana menentukan bahwa

tindakan pihak-pihak yang menghalangi proses hukum dapat dipidana.

Khususnya Pasal 221 ayat (1) angka 1 KUHP menegaskan bahwa setiap

orang yang melakukan tindakan menghalang-halangi proses hukum harus

dipidana dan diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan.

Pemidanaan terhadap orang-orang yang menghalangi proses hukum menjadi

penting agar setiap pelaksanaan suatu putusan peradilan dihormati oleh

40

seluruh lapisan masyarakat.41

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun

1971 ini ditentukan dalam Pasal 29 yang menyatakan bahwa:

“Barangsiapa dengan sengaja menghalangi, mempersulit, secara langsung

atau tidak langsung penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di muka

Pengadilan terhadap terdakwa maupun para saksi dalam perkara korupsi

diancam dengan hukuman penjara selama-lamanya 12 tahun dan/ atau denda

setinggi-tingginya 5 juta rupiah,” Obstruction of justice atau yang dikenal

sebagai perintang peradilan dalam konteks hukum pidana diartikan sebagai

suatu perbuatan (aktif maupun pasif) yang dilakukan dengan maksud atau

sejak awal memiliki motif untuk menghalang-halangi proses hukum yang

sedang dilakukan oleh aparat penegak hukum.42

Dilihat dari genusnya,

perbuatan ini termasuk kedalam contempt of court.43

Secara normatif di

Indonesia, obstruction of justice dalam perkara korupsi diatur dalam Pasal

21 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. 20 Tahun 2001 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (selanjutnya disebut UU PTPK),

sedangkan dalam United Nations Convention Against Corruption,

obstruction of justice diatur dalam Chapter III perihal Criminalization and

law enforcement, Article 25. Penegakan terhadap tindak pidana ini sangat

penting dilakukan, agar proses hukum dihormati oleh masyarakat.44

Adapun, Pasal 21 UU PTPK yang mengatur perihal obstruction of justice,

terdiri atas unsur subjektif yakni opzettelijk atau dengan sengaja dan unsur

objektif yakni mencegah, merintangi, atau menggagalkan secara langsung

41 Lex Crimen Vol. IV/No. 1/Jan-Mar/2015

42 Eddy O.S. Hiariej, 2018, KPK dan Perintang Peradilan, Kompas, (Selanjutnya disebut

Eddy O.S. Hiariej I). 43

Jimly Asshiddiqie, Upaya Perancangan Undang-Undang Tentang Larangan

Merendahkan Martabat Pengadilan (Contempt of Court), Jurnal Hukum 2015, h.213-215. 44

Markhy S. Gareda, “Perbuatan Menghalangi Proses Peradilan Tindak Pidana Korupsi

Berdasarkan Pasal 21 UU No. 31 Tahun 1999 Juncto UU No. 20 Tahun 2001”, Jurnal Hukum,

Vol. IV/No. 1/Jan-Mar/2015, h. 134.

41

atau tidak langsung penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang

pengadilan.45

Berkaitan dengan penggolongan obstruction of justice sebagai tindak pidana

korupsi, para ahli hukum Indonesia ternyata memiliki pendapat yang

berbeda, perbedaan mana dapat dilihat dari tulisan-tulisannya dalam

menggolongkan tindak pidana korupsi, seperti Luhut M.P. Pangaribuan,

yang menggolongkan tindak pidana korupsi menjadi 7 kategori, yakni :

1. Perihal tindak pidana yang berkaitan dengan keuangan negara;

2. Suap;

3. Penggelapan jabatan;

4. Pemerasan;

5. Perbuatan curang;

6. Benturan kepentingan;

7. Gratifikasi46

Sedangkan Widyo Pramono mengelompokan tindak pidana korupsi menjadi

5 kelompok, yakni:

1. Kelompok tindak pidana yang dapat merugikan keuangan atau

perekonomian negara;

2. Suap termasuk gratifikasi;

3. Penggelapan dalam jabatan;

4. Pemerasan dalam jabatan;

5. Tindak pidana yang berhubungan dengan pemborongan, leveransir

dan rekanan.47

45

R. Wiyono, Pembahasan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,

(Jakarta: Sinar Grafika,2009), h.158-159. 46

Luhut M.P. Pangaribuan, Hukum Pidana Khusus; Tindak Pidana Ekonomi, Pencucian

Uang, Korupsi & Kerjasama Internasional serta Pengembalian Aset, (Jakarta: Pustaka Kemang,

2016), h.162. 47

R. Widyo Pramono, 2016, Pemberantasan Korupsi dan Pidana Lainnya; Sebuah

Perspektif Jaksa & Guru Besar, (Jakarta: Kompas, 2016), h. 43.

42

2. Obstruction of justice Perspektif Hukum Islam

Tindak pidana perbuatan menghalangi petugas (obstruction of justice)

adalah suatu tindak pidana yang menyebabkan terhambatnya proses

penegakan hukum. Tindak pidana ini belum dibahas secara khusus dalam

Al- qur‟an maupun Al-hadist. Akan tetapi terdapat beberapa tindak pidana

dalam fiqh jinayah yang definisinya mendekati dari tindak pidana Perbuatan

Menghalangi Petugas (obstruction of justice) dimasa sekarang. Jarimah

tersebut adalah jarimah syahadat zur (saksi palsu) dan jarimah yamin

ghomus (sumpah palsu). Kedua jarimah tersebut tergolong dari jarimah

ta‟zir yang pemidanaannya tergantung dengan keputusan penguasa

(ulilamri) atau hakim. Kedua jarimah tersebut mendekati terminology tindak

pidana obstruction of justice karena jarimah tersebut meyebabkankan

terhalangnya atau terintanginya kebenaran.48

Berdasarkan penggolongan tindak pidana korupsi menurut Luhut M.P.

Pangaribuan dan Widyo Pramono diatas, sangat jelas obstruction of justice

tidak digolongkan sebagai tindak pidana korupsi. Ahli hukum lain seperti

Prayitno Imam Santosa secara tegas mengemukakan bahwa meskipun

tindak pidana lain yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi itu

dirumuskan dalam UU PTPK (dimana obstruction of justice termasuk

didalamnya), akan tetapi tetap saja tindak pidana tersebut tidak dapat

disebut sebagai perilaku yang koruptif12. KPK bahkan dalam uraiannya

pada Buku Panduan Untuk Memahami Tindak Pidana Korupsi, tidak

menggolongkan obstruction of justice sebagai tindak pidana korupsi. KPK

hanya menyebutkan bahwa tindak pidana korupsi menurut UU PTPK terdiri

atas 30 (tiga puluh) bentuk/jenis tindak pidana korupsi, sebagaimana yang

diatur dari Pasal 2 sampai Pasal 13 UU PTPK.49

48 Marsum, Jarimah Tazir Perbuatan Dosa Dalam Hukum Pidana Islam, (Yogyakarta:

Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, 1992), h. 15 49

H. Prayitno Imam Santosa, Pertanggungjawaban Tindak Pidana Korupsi, (Bandung :

Alumni,, 2015), h.116.

43

Kendatipun demikian, terdapat juga ahli hukum Indonesia yang

menggolongkan obstruction of justice sebagai tindak pidana korupsi seperti:

Yudi Kristiana50

, Adami Chazawi15, dan Ermansjah Djaja16. Bahkan Eddy

O.S. Hiariej secara tegas berpendapat bahwa KPK memiliki kewenangan

melakukan penyidikan dan penuntutan terhadap obstruction of justice dalam

perkara korupsi17. Hal tersebut menunjukkan pula bahwa Eddy O.S. Hiariej

memandang obstruction of justice tergolong sebagai tindak pidana korupsi

menurut UU KPK.

a. Jarimah Syahadat Zur

Kata syahadat berarti kesaksian sedangkan kata zur berarti nyeleweng

yang berarti kesaksian yang menyeleweng atau kesaksian palsu yang

sering disebut dengan sumpah palsu. Allah telah memerintahkan supaya

keadilan benar-benar ditegakkan oleh karena itu setiap orang harus

membuat kesaksian yang benar sebagaimana diterangkan didalam Q.s.

An-Nisa (4): 135

Artinya: “wahai orang-orang yang beriman jadilah kamu penegak

keadilan, menjadi saksi karena Allah, walaupun terhadap dirimu sendiri

atau terhadap ibu bapak dan kaum kerabatmu, jika dia (yang terdakwa)

kaya ataupun miskin, maka Allah lebih tahu kemaslahatan

(kebaikannya). Maka janganlah kamu mengkuti hawa nafsu karena ingin

menyimpang dari kebenaran. Dan jika kamu memutarbalikan (kata-kata)

atau enggan menjadi saksi, maka ketahuilah allah Maha teliti terhadap

segala apa yang kamu kerjakan.”

50

Yudi Kristiana, Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Perspektif Hukum Progresif,

(Yogyakarta: Thafa Media, 2016), h.54.

44

b. Jarimah Yamin Ghomos

Al-Yamin al-Ghamus juga dinamakan al-yamin ash-Shabirah yang

artinya adalah sumpah dusta yang dengannya hak-hak dirampas atau

yang dimaksudkan untuk menipu dan berkhianat. Sumpah palsu

semacam ini termasuk salah satu dari dosa-dosa besar dan tidak ada

kafarat atasnya karena terlalu besar untuk ditebus dengan kafarat dan

dinamakan dengan ghamis karena sumpah ini membenamkan

(taghmisu) orang yang melakukannya ke dalam neraka jahanam.

Orang yang melakukannya harus bertaubat dan mengembalikan hak-

hak orang lain yang diambilnya kepada para pemiliknya apabila

sumpah ini mengakibatkan kehilangan hak-hak tersebut. Seprti yang

dijelaskan dalam Q.s.An-Nahl (16): 94: yang artinya:

“Dan janganlah kamu jadikan sumpah-sumpahmu sebagai alat

penipu di antaramu, yang menyebabkan tergelincir kaki(mu) sesudah

kokoh tegaknya, dan kamu rasakan kemelaratan (di dunia) karena

kamu menghalangi (manusia) dari jalan Allah; dan bagimu azab

yang besar.”

Kata Yamin berarti sumpah, sedangkan ghomos berarti bohong yang

berarti sumpah palsu. Perbedaan antara saksi palsu dengan sumpah

palsu adalah apabila saksi palsu ialah seorang yang telah disumpah

di Pengadilan sebagai saksi, lalu ia memberikan kesaksian bohong

sedangkan sumpah palsu adalah seorang yang berebut harta di muka

Pengadilan yang tidak ada bukti-bukti, kemudia ia bersumpah palsu

demi memiliki harta tersebut padahal dalam hati kecilnya ia

mengakui bahwa harta itu bukan miliknya.

45

Dasar pelanggaran sumpah palsu dalam Al-Quran terdapat pada

Q.s. Ali-Imron (3): 77 yang berbunyi:

Artinya:

“Dan janganlah kamu jadikan sumpah-sumpahmu sebagai alat penipu

di antaramu, yang menyebabkan tergelincir kaki(mu) sesudah kokoh

tegaknya, dan kamu rasakan kemelaratan (di dunia) karena kamu

menghalangi (manusia) dari jalan Allah; dan bagimu azab yang besar.”

46

BAB IV

Kedudukan Hak Imunitas Advokat dalam Tindak Pidana Korupsi

A. Kedudukan Hukum

Pemberian jasa hukum kepada klien yang tersangkut masalah hukum pada

dasarnya telah berlangsung lama. Advokat yang ditunjuk menerima perintah

atau order atau kuasa dari klien berdasarkan perjanjian yang bebas, baik yang

tertulis, ataupun yang tidak tertulis, yang tunduk pada Kode Etik Profesi

Advokat, tidak tunduk pada kekuasaan politik, yang mempunyai kewajiban

dan tanggung jawab publik.51

Mengenai kedudukan hukum seorang advokat

tak lepas kita melihat undang-undang Nomor 18 Tahun 2003 yang telah

mengakomodir mengenai semua hak-hak yang melekat pada advokat

diantaranya mengenai hak imunitas. Berikut kedudukan mengenai setelah

dan sebelum undang-undang Nomor 18 Tahun 2003:

1. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 sebagai Ius Constitutum dan

Penyebutan Advokat sebelum Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003

Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat, yang

diundangkan pada tanggal 5 April 2003 (selanjutnya disebut Undang-

Undang Nomor 18 Tahun 2003 atau undang-undang Advokat) meupakan

sejarah emas dalam ke Advokatan Indonesia. Dikatakan demikian karena

sejak undang-undang Nomor 18 Tahun 2003 diundangkan eksistensi

advokat Indonesia menjadi semakin kuat karena berdasarkan Undang-

Undang Nomor 18 Tahun 2003, kepada organisasi Advokat diberikan

kewenangan untuk melakukan pengangkatan advokat. Dalam Undang-

Undang Nomor 18 Tahun 2003 tersebut profesi pengacara, penasihat

hukum dan konsultan hukum disatukan dan disebut sebagai advokat, yang

selama ini terkotak-kotak. Selain hal tersebut, advokat berkedudukan

sebagai penegak hukum yang sejajar dengan penegak hukum yang lain

seperti hakim, jaksa, dan polisi.

51 Rapaun Rambe, Teknik Praktek Advokat, (Jakarta: PT. Grasindo, 2003), h. 37.

47

Berdasarkan klasifikasi hukum, dari sudut saat berlakunya hukum,

Undang-Undang Nomor Tahun 2003 merupakan ius constitutum, artinya hukum

yang ditetapkan berlaku sekarang ini, yang sering juga disebut sebagai hukum

positif.52

Lebih lanjut dapat dikatakan bahwa hukum positif (positive law) dapat

menunjukan hukum yang berlaku dan dapat dipaksakan dalam suatu daerah

(territory) tertentu danpenduduknya (inhabitant).53

Terlepas dari apakah bangsa

yang berdaulat tersebut berbentuk demokrasi (democracy) atau kedikatoran

(dictatorship). Selain ius constitutum, dikenal juga ius constituendum, artinya

hukum yang akan datang atau hukum yang dicita-citakan. Ius constitutum dapat

diartikan sebagai hukum yang akan diberlakukan pada masa mendatang.54

Hukum

itu dimaksudkan untuk mengatur perubahan atau aspirasi masyarakat dalam arti

seluas-luasnya. Ius constitutum dapat dilakukan dengan pembuatan hukum atau

undang-undang baru dan dapat dilakukan dengan perubahan (amandemen) atas

undang-undang yang ada. Kembali pada penyebutan advokat sebelum Undang-

Undang Nomor 18 Tahun 2003, jauh sebelum diberlakukan Undang-Undang

Nomor 18 Tahun 2003, kita sudah mengenal istilah procureur atau protokol

bambu, suatu teminologi yang dikonstruksikan bercitra negatif, di mana prokol

bambu dapat terdiri atas:

1. Mantan Panitera Pengadilan, termasuk pensiunan hakim yang tidak

mempunyai gelar penuh, tetapi mereka mempunyai hubungan erat

dengan pengadilan;

2. Mahasiswa hukum yang tidak lulus, yang dapat mempunyai klien

dan mempunyai pengalaman atas perkara yang ditanganinya;

52 Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum, Suatu Pengantar (Yogyakarta: Puberty,

1986), h. 106. 53

Andrew Altman, Arguing about Law: An Introduction to legal Philosophy, (Belmont,

USA: Wadsworth Publishing Company, 2001), h. 42. 54

Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum.., h. 106.

48

3. Generalis amatir (tetapi sering disebut juga ahli), yang memiliki

kepribadian luar biasa karena dia harus siap menghadapi pejabat

tinggi.55

Pasal 24 Ayat (1) UUD 1945 menyatakan bahwa kekuasaan kehakiman

merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna

menegakkan hukum dan keadilan. Oleh karena itu, selain pelaku kekuasaan

kehakiman, yaitu Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi, badan-ban lain

yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman juga harus mendukung

terlaksananya kekuasaan kehakiman yang merdeka. Salah satunya adalah profesi

advokat yang bebas, mandiri, dan bertanggungjawab56

sebagaimana selanjutnya

diatur dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003.

Ketentuan Pasal 5 Ayat (1) UU Advokat memberikan status kepada

Advokat sebagai penegak hukum yang mempunyai kedudukan setara dengan

penegak hukum lainnya dalam menegakkan hukum dan keadilan. Kedudukan

tersebut memerlukan suatu organisasi yang merupakan satu-satunya wadah

profesi Advokat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 Ayat (1) UU Advokat,

yaitu”Organisasi Advokat merupakan satu-satunya wadah profesi Advokat yang

bebas dan mandiri yang dibentuk sesuai dengan ketentuan Undang-Undang ini

dengan maksud dan tujuan untuk meningkatkan kualitas profesi Advokat”. Oleh

karena itu, Organisasi Advokat, yaitu PERADI, pada dasarnya adalah organ

negara dalam arti luas yang bersifat mandiri (independent state organ) yang juga

melaksanakan fungsi Negara.57

2. Perbuatan Hukum Advokat yang dapat Dikenai Hukuman Berdasarkan

Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003

55

Daniel S. Lev, Hukum dan Politik Indonesia, terjemahan Nirwono & A.E Priyono (Jakarta:LP3ES)

56 Huruf B Konsideran Menimbang Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang

Advokat. 57

Lihat Pertimbangan Hukum Putusan MK Nomor 014/PUU-IV/2006 mengenai

Pengujian Undang-Undang Advokat.

49

Menurut Pasal 6 undang-Undang tersebut, advokat dapat dikenai hukuman atas

perbuatan hukum atau tindakannya dengan alasan dibawah ini:

a. Mengabaikan atau melantarkan kepentingan klien;

b. Berbuat atau bertingkah laku dengan tidak patut terhadap lawan atau rekan

profesinya;

c. Bersikap, bertingkah laku, bertutur kata atau mengeluarkan pernyataan

yang menunjukan sikap yang tidak hormat terhadap hukum, peraturan

perundang-undangan, atau pengadilan;

d. Berbuat hal-hal yang bertentangan dengan kewajiban, kehormatan atau

harkat martabat profesi;

e. Melakukan pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan dan atau

perbuatan tercela;

f. Melanggar sumpah/janji advokat dan/kode etik.58

Tampaknya peraturan dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003

tersebut adalah jenis tindakan hukum yang dikenakan sanksi (hukuman) dan

mempunyai kesamaan degan tindakan hukum di Amerika Serikat. Namun,

perbedannya ialah bahwa peraturan Pengaturan Undang-Undangan Advokat lebih

bersifat umum, sedangkan di Amerika Serikat pengaturannya langsung menunjuk

pada institusi maupun orang dalam pelanggaran tersebut. Undang-Undang Nomor

18 Tahun 2003 Tentang Advokat juga diatur mengenai jenis tindakan yang

dikenakan terhadap Advokat dapat berupa:59

1. Teguran lisan

2. Teguran tertulis

3. Pemberhentian sementara dari profesinya selama 3 (tiga) sampai 12 (duabelas)

bulan; dan

4. Pemberhentian tetap dari profesinya.

Tindak pidana yang dilakukan oleh profesi Advokat, mengenai

proses penyelidikannya dilakukan menurut yang diatur dalam KUHAP.

58 Harlen Sinaga, Dasar-Dasar Profesi Advokat, h. 105.

59 Pasal 7 Undang-Undang Nomor 18 tahun 2003 tentang Advokat

50

Sebagaimana diatur dalam KUHAP, mengenai proses penyelidikan dilakukan oleh

pejabat yang berwenang.60

Yang artinya, Advokat yang melakukan tindak pidana

akan diselidiki kebenarannya dan setiap tindakan yang dilakukan oleh penyelidik

untuk menyelidiki mengenai tindak pidana oleh Advokat ini, harus berdasarkan

yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-

Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dengan memperhatikan perundang-

undangan lain yang berhubungan.

B. Pertimbangan Hakim

1. Sesuai dengan keterangan saksi

Sesuai dengan keterangan dokter Bimanesh sutarjo, pada tanggal 16

November 2017 sekitar pukul 11.00 WIB terdakwa fredrich yunadi menghubungi

dr. bimanesh sutarjo yang sebelumnya telah dikenal terdakwa untuk meminta

bantuan agar Setya Novanto dapat dirawat inap di Rumah Sakit (RS) Medika

Permata Hijau dengan diagnosa menderita beberapa penyakit, salah satunya

adalah hipertensi. Selanjutnya dr. bimanesh menghubungi dr. Alia yang saat itu

menjabat sebagai Plt. Manajer Pelaryanan Medik RS Medika Permata Hijau agar

disiapkan ruangan VIP untuk rawat inap pasien atas nama Setya Novanto. dr. alia

yang saat itu selaku Manajer Pelayanan Medik menindaklanjuti dengan

menghubungi dr. Hafil Budianto Abdulgani selaku Direktur RS Medika Permata

Hijau guna meminta persetujuan rawat inap terhadap Setya Novanto. Namun dr.

hafil budianto abdulgani mengatakan agar tetap sesuai prosedur yang ada yaitu

melalui Instalansi Gawat Darurat (IGD) terlebih dahulu untuk dievaluasi dan baru

nanti bisa dirujuk ke dokter spesialis yang bertugas di IGD. Pada sekitar pukul

17.00 WIB terdakwa memerintahkan stafnya dari kantor advocate Yunadi &

Associates bernama Achmad Rudiansyah untuk menghubungi dr. Alia dalam rang

pengecekan kamar. Pada sekitar 17.30 WIB terdakwa juga datang ke RS Medika

Permata Hijau dan menemui dr. Michael Chia Cahyadi untuk dibuatkan surat

pengantar rawat inap. Namun, dr. Michael Chia Cahyadi ditolak karena untu

60

Dalam Pasal 1 ayat (4) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981: Yang dimaksud dalam

Undang-Undang ini dengan penyelidik adalah pejabat polisi Negara Republik Indonesia yang

diberi wewenang oleh Undang Undang ini untuk melakukan penyelidikan.

51

mngeluarkan surat pengantar rawat inap dari IGD harus dilakukan pemeriksaan

terlebih dahulu. Dari pernyataan kedua saksi tersebut jelaslah bahwa Fredrich

Yunadi yang merupakan Advokat dari Setya Novanto melakukan obstruction of

justice atau menghalang-halangi saat proses penyelidikan dan penyidikan.

2. Keterangan menurut Saksi Ahli

Sesuai dengan keterangan saksi ahli pidana dari Universitas Al-Ahzar yang

dihadirkan oleh Fredrich Yunadi pada sidang bandingnya , Suparji memberikan

pendapat soal Pasal 21 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah

diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan

Tindak Pidana Korupsi, menurutnya Pasal 21 tidak termasuk dalam kualifikasi

Pasal 21 apabila sudah ada akibatnya. Menurut Suparji, seseorang yang didakwa

dengan Pasal 21 akibat perbuatannya harus nyata jelas dan terukur. Menurutnya,

apabila perbuatan seseorang tidak menimbulkan akibat terhalangnya proses

hukum (obstruction of justice) , maka tidak dapat dikenai saksi pidana. Ia

memberi contoh misalkan seseorang membawa kabur tersangka penyidikan

menjadi tidak ada. Jadi, mencegah, mengagalkan itu juga harus ada akibatnya.

Namun keterangan tersebut dibantah oleh saksi ahli yang dihadirkan Jaksa KPK

Noor Aziz, berpendapat bahwa perbuatan pidana yang diatur dalam pasal 21

tersebut sudah dapat dikenakan kepada pelaku, meski upaya menghalangi

penyidikan itu belum sampai berhasil dilakukan. Menurutnya, dugaan perbuatan

pidana dapat disangkakan pada pelaku, sejak saat perbuatan dimulai.

3. Berdasarkan alat bukti :

Fredrich Yunadi terbukti menghalangi proses hukum (obstruction of

justice) yang dilakukan penyidik KPK terhadap tersangka mantan Ketua DPR

Setya Novanto. Fredrich sudah memesan kamar pasien terlebih dahulu,

sebelum Setya Novanto mengalami kecelakaan. Fredrich juga meminta

dokter RS Permata Hijau untuk merekayasa data medis Setya Novanto.

Upaya itu dilakukan dalam rangka menghindari pemeriksaan oleh penyidik

KPK. Saat itu, Setya Novanto telah berstatus sebagai tersangka perkara

tindak pidana korupsi pengadaan Kartu Tanda Penduduk berbasis elektronik

52

(e-KTP). Menetapkan barang-barang bukti berupa 1 (satu) bundel asli tulisan

tangan Surat Pernyataan Kronologis Peristiwa yang dibuat oleh para pegawai

RS. Medika Permata Hijau terkait pasien atas nama SETYA NOVANTO

sebanyak 17 lembar.1 (satu) lembar asli Surat Permohonan Penjelasan Pasien

yang dikeluarkan oleh RS. Medika Permata Hijau kepada Dr. dr. H.

BIMANESH SUTARJO, SpPD, KGH, FINASIM pada Jumat, 2 Desember

2017 dengan Nomor: 341/DIR/MPH/XII/2017.1 (satu) lembar asli

SuratPermohonan Penjelasan Pasien yang dikeluarkan oleh RS. Medika

Permata Hijau kepada Dr. dr. H.BIMANESH SUTARJO, SpPD, KGH,

FINASIM pada Jumat, 2 Desember 2017 dengan Nomor:

341/DIR/MPH/XII/2017. 1 (satu ) bundel asli Surat Jawaban Dr. dr. H.

BIMANESH SUTARJO, SpPD, KGH, FINASIM tanggal 5 Desember 2017

atas Surat Permohonan 100 Penjelasan Pasien yang dikeluarkan oleh RS.

Medika Permata Hijau Nomor: 341/DIR/MPH/XII/2017 tanggal 2 Desember

2017. 1 (satu) lembar asli Surat Permintaan Visum et Repertum LUKA

yang dikeluarkan oleh POLRI DAERAH METRO JAYA DIREKTORAT

LALU LINTAS SAT LANTAS WILAYAH JAKARTA SELATAN pada

Kamis, 16 November 2017 kepada Kepala RS. Medika Permata Hijau dengan

Nomor: B/016/Ver/XI/2017/LLJS.2. 2 (dua) lembar asli hasil Visum

Et Repertum nomor: B/01/XI/2017/RSMPH atas nama SETYA

NOVANTO yang ditanda tangani oleh Dr. dr BIMANESH SUTARJO

Sp.PD KGH.1 (satu) lembar asli Surat Pengantar Rawat yang dikeluarkan

oleh RS. Medika Permata Hijau pada Kamis, 16 November 2017 dengan

No.MR:28.19.86.1 (satu) lembar asli dokumen Inpatien Admission Form atas

nama Tn. SETYA NOVANTO pada Kamis, 16 November 2017.

53

4. Sesuai keterangan terdakwa

Sesuai dengan keterangan terdakwa bahwa justru bertolak belakang

dengan keterangannya di Berita Acara Pemeriksaan (BAP) . pada saat memberi

keterangan sebagai saksi di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, Fredich

menyarankan AKP Reza Pahlevi membawa Setya Novanto ke rumah sakit

terdekat dari lokasi kecelakaan. Sementara, keterangannya di BAP, Fredich

mengatakan agar Reza selaku ajudan membawa Novanto ke rumah sakit Medika

Permata Hijau dan melarang Reza ke Rumah Sakit Pusat Pertamina dan ataupun

Pondok Indah. Meski dua rumah sakit tersebut berada diradius dekat dengan

lokasi kecelakaan. Terdakwa juga tidak mengakui ada memesan kamar, terdakwa

mengatakan jika ia hanya cek fasilitas dan membandingkan rumah sakit Medistra

dan Pondok Indah.

5. Unsur-Unsur Tindak Pidana

Bahwa terdakwa didakwa oleh Penuntut Umum pada Komisi

Pemberantasan Korupsi dengan dakwaan tunggal, dimana Terdakwa telah

didakwa melakukan tindak pidana melanggar pasal 21 Undang Undang RI Nomor

31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi sebagaimana telah

diubah dengan Undang Undang RI Nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas

Undang undang RI Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi juncto. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP, yang mengandung unsur-unsur

sebagai berikut :

1. Setiap orang, yang dimaksud setiap orang

2. Dengan Sengaja.

3. Mencegah, merintangi, atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung

penyidikan.

Bahwa majelis Hakim tingkat banding sependapat dan dapat menyetujui

pertimbangan hukum Majelis Hakim tingkat pertama yang menyatakan Terdakwa

telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana

“dengan sengaja bersama-sama merintangi penyidikan terhadap tersangkadalam

54

perkara korupsi“ . demikian pula halnya dengan lamanya pidana yang dijatuhkan

kepada Terdakwa selama 7 (tujuh) tahun dan denda sebesar Rp.500.000.000,-

(lima ratus juta rupiah) adalah sudah tepat dan telah sesuai dengan kesalahan

Terdakwa dan keadilan masyarakat karena telah dipertimbangkan dengan tepat

dan benar, maka pertimbangan Majelis Hakim tingkat pertama tersebut diambil

alih dan dijadikan pertimbangan hukum oleh Majelis Hakim tingkat banding

dalam memeriksa dan mengadili perkara aquo di tingkat banding. Bahwa

keberatan yang diajukan oleh Terdakwa sebagaimana termuat dalam memori

banding dan kontra memori bandingnya, setelah dipelajari dan dicermati, tidak

ada hal-hal yang baru dan kesemuanya telah dipertimbangkan oleh Majelis Hakim

tingkat pertama,sehingga dengan demikian tidak perlu dipertimbangkan lagi dan

dikesampingkan. Bahwa demikian pula halnya keberatan yang diajukan oleh

Penuntut Umum, telah dipertimbangkan oleh Majelis Hakim tingkat pertama dan

Majelis Hakim tingkat banding dapat menyetujui pertimbangan Majelis Hakim

tingkat pertama yang berpendapat bahwa pengertian “dengan sengaja, yang

relevan adalah bentuk kesengajaan secara keinsyafan kepastian. Dengan demikian

memori banding dari Penuntut Umum tidak perlu dipertimbangan dan

dikesampingkan. Bahwa oleh karena Terdakwa telah ditahan secara sah dalam

perkara aquo, maka lamanya pidana yang telah dijalani dikurangkan seluruhnya

dari pidana yang dijatuhkan. Bahwa Terdakwa selaku Advocat/Pengacara

seharusnya menyadari bahwa Advocat adalah profesi yang terhormat (officium

nobile) bahkan sejak diperlakukan Undang Undang No.18 tahun 2013 dalam

Pasal 5 menyebutkan Advocat berstatus sebagai penegak hukum, sebagai salah

satu perangkat dalam proses peradilan (criminal justice system) yang mempunyai

kedudukan setara dengan penegak hukum lainnya dalam menegakkan hokum dan

keadilan. Bahwa kerja sama advocat dengan instansi penegak hukum lainnya

dimaksudkan untuk memperlancar upaya penegakkan hokum sesuai dengan azas

cepat, jujur dan tidak memihak dalam penyelesaian perkara. Bahwa tindak pidana

korupsi adalah “ extra ordinary crime “ yang telah menimbulkan kerusakan

berbagai sendi kehidupan masyarakat bangsa dan negara sehingga perlu

peningkatan sumber daya, baik kelembagaan maupun sumber daya manusia

55

secara berkesinabungan dan dilakukan secara terus menerus guna

mengembangkan sikap dan perilaku masyarakat bukan seperti yang dilakukan

oleh terdakwa dengan melakukan menghalang halangi penyidikan penanganan

perkara tindak pidana korupsi atau yang dikenal dengan “obstruction of justice”.

Bahwa seorang advocat dalam menjalankan profesinya juga mengenal apa yang

disebut imunitas advocat yang dijamin oleh undang undang sebagaimana pasal 16

Undang Undang No.18 Thn 2003 tetapi bukan membuat advocat steril dari

tuntutan hukum dan undang undan. Bahwa dalam menjalankan profesinya dalam

membela kliennya terdakwa telah melakukan kebohongan kebohongan mulai dari

keberadaan kliennya sampai dengan “rekayasa kecelakaan” secara sistematis dan

direncanakan. Bahwa karena terjadi perbedaan didalam memutus perkara a quo,

maka Majelis Tingkat Banding sepakat musyawarah dilakukan berdasarkan suara

terbanyak , maka yang berlaku adalah pendapat dari suara terbanyak sehingga

Majelis Hakim tingkat banding berkesimpulan putusan Pengadilan Negeri Jakarta

Pusat Nomor 9/Pid.Sus/TPK/2018/PN.JKT.PST. tanggal 28 Juni 2018 yang

dimintakan banding tersebut dapat dipertahankan dan karenanya harus dikuatkan;

Mengingat Pasal 21 Undang Undang RI Nomor 31 tahun 1999 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang

Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang Undang RI

Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo.Pasal 55

ayat (1) ke-1 KUHPidana dan Undang Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang

KUHAP serta ketentuan-ketentuan lain yang berkaitan dengan perkara ini.

M E N G A D I L I:

1. Menyatakan Terdakwa DR. Frederich Yunadi, SH., LLM., MBA.

telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak

pidana “Dengan sengaja bersama-sama merintangi penyidikan terhadap

tersangka dalam perkara korupsi”;

2. Menjatuhkan pidana kepada Terdakwa oleh karena itu dengan pidana

penjara selama 7 (tujuh) tahun dan denda sebesar Rp.500.000.000,- (lima

56

ratus juta rupiah) dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar

diganti dengan pidana kurungan selama 5 (lima) bulan;

3. Menetapkan masa penangkapan dan penahanan yang telah dijalani

Terdakwa dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan;

4. Menetapkan agar Terdakwa tetap berada dalam tahanan;

5. Menetapkan barang-barang bukti berupa: Terlampir dalam berkas

perkara;

6. Membebankan kepada Terdakwa membayar biaya Perkara sejumlah

Rp.7.500,- (tujuh ribu lima ratus rupiah);

Penerapan Hukum dalam putusan No. 9/Pid.Sus-TPK/2018/PN.Jkt.Pst

Perbuatan terdakwa merupakan tindak pidana sebagaimana diatur dan

diancam pidana dalam Pasal 21 Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999

tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang

Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Juncto

Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP menurut penulis sudah sesuai dengan Undang-

Undang Korupsi karena Terdakwa Fredrich Yunadi telah bersama-sama dengan

kliennya mencoba merintangi atau menghalang-halangi kasus korupsi yang mana

Setya Novanto saat itu menjadi terdakwa kasus korupsi E-KTP. Namun, tidak

cukup nyatanya jika hanya mendakwa dengan satu pasal saja.

Bisa kita lihat dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang

Kode Etik Profesi Advokat advokat juga mempunyai status yang sama sebagai

penegak hukum oleh karenanya seharusnya advokat bisa dijerat Undang-Undang

ini, melihat dalam Pasal 56 KUHAP peran advokat adalah memberikan bantuan

hukum bagi terdakwa serta membantu hakim dalam menemukan kebenaran

hukum yang berintikan keadilan. Bahwa jika kita lihat berdasarkan kode etik

advokat telah jelas melanggar kode etik advokat. Karena bukan untuk

menegakkan hukum akan tetapi untuk menghambat proses penyelidikan dan

penyidikan.

57

Undang-Undang Advokat sebagaimana diatur dalam Undang-Undang

Nomor 18 Tahun 2003 sebagaimana berbunyi: “yang dimaksud dengan advokat

adalah orang yang berpofesi memberi jasa hukum, baik di dalam maupun diluar

pengadilan yang memenuhi persyaratan berdasarkan ketentuan Undang-Undang

ini. Berdasarkan Pasal 6 undang-undang tersebut advokat dapat kenai hukuman

atas perbuatan hukum atau tindakannya dengan alasan dibawah ini:

a. Mengabaikan atau melantarkan kepentingan klien.

b. Berbuat atau bertingkah laku dengan tidak patut terhadap lawan atau

rekan sepofesinya.

c. Bersikap, bertingkah laku, bertutur kata atau mengeluarkan pernyataan

yang menunjukan sikap yang tidak hormat terhadap hukum, perturan

peundang-undangan atau pengadilan.

d. Berbuat hal-hal yang bertentangan dengan kewajiban, kehormatan atau

harkat dan martabat profesi.

e. Melakukan pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan atau/

perbuatan tercela.

f. Melanggar sumpah atau janji advokat/kode etik.

Jaksa Penuntut Umum Komisi Pemberantasan Korupsi mendakwa

terdakwa dengan Pasal 21 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-

undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pembeantasan Korupsi dengan

hukuman 10 (sepuluh tahun) penjara. Namun berdasarkan Putusan Hakim dalam

Pengadilan Pertama bahwa saudara Fredrich Yunadi diputus dengan vonis 7

(tujuh) tahun penjara oleh hakim.

Menurut penulis, bahwa penulis sudah cocok dengan pertimbangan hakim

yang menjeratkan Fredrich Yunadi dengan Pasal 21 undang-Undang No. 31

Tahun 1999 jo. Undang-Undang 20 Tahun 2001 yaitu tentang Tidak Pidana

Korupsi, namun rasanya kurang jika terdakwa Fredirich Yunadi hanya di hukum

dengan 7 (tujuh) tahun penjara. Karena Fredrich Yunadi sudah membuat “keos”

satu negara pada saat itu. Jika kita melihat Undang-Undang Kode Etik Advokat

pun rasanya cocok dengan Pasal 6 angka 4,5 dan 6. Oleh karena itu, penulis

58

sangat setuju dengan Jaksa Penuntut Umum Komisi Pemberantasan Korupsi yang

mendakwa terdakwa dengan 10 (sepeuluh) tahun penjara.

C. Analisis Putusan No. 9/Pid.Sus-TPK/2018/PN.Jkt.Pst

1. Posisi Kasus dalam Putusan No. 9/Pid.Sus-TPK/2018/PN.Jkt.Pst

Terdakwa Fredrich Yunadi adalah seorang Penasehat Hukum yang

merupakan dari tersangka kasus korupsi E-KTP tahun 2017 lalu. Berdasarkan

Surat Perintah Penyidikan pada tanggal 10 November 2017 Penyidik KPK

mengirimkan surat panggilan kepada Setya Novanto untuk didengar

keterangannya sebagai Tersangka. Lalu, terdakwa (Fredich Yuunadi) yang

berprofesi sebagai Advokat/Pengacara menawarkan diri untuk membantu

mengurus permasalahan hukum yang dihadapi Setya Novanto dan memberikan

saran agar Setya Novanto tidak perlu datang memenuhi panggilan Penyidik KPK.

Pada tanggal 14 November 2017 Fredrich Yunadi yang mengatas namakan

kuasa hukum dari Setya Novanto mengirimkan surat kepada Direktur Penyidikan

KPK yang intinya Setya Novanto tidak dapat memenuhi panggilan dari Judicial

Review Mahkamah Konstitusi yang diajukan, padahal terdakwa (Fredrich Yunadi)

baru mendaftarkan permohonan Judicial Review pada hari itu. Pada tanggal 15

November 2017 Setya Novanto tidak datang memenuhi panggilan Penyidik KPK

untuk diperiksa sebaga tersangka sehingga sekitar pukul 22.00 WIB Penyidik

KPK melakukan upaya penangkapan dan penggeledahan dirumah Setya Novanto.

Namun, Penyelidik KPK tidak menemukan keberadaan Setya Novanto namun

bertemu dengan Fredrich Yunadi yang menanyakan surat tugas, surat perintah

penggeledahan dan surat penangkapan Setya Novanto.

Pada saat itu Penyidik KPK menanyakan keberadaan Setya Novanto

kepada Fredrich Yunadi namun ia mengatakan tidak mengetahui keberadaan

Setya Novanto padahal sebelumnya Fredrich Yunadi telah menemui Setya

Novanto di Gedung DPR saat Penyidik KPK datang Setya Novanto terlebih

dahulu telah pergi meninggalkan rumahnya Bersama Azis Samual Samual dan

59

Ajudannya menuju ke Bogor untuk menginap disana sambal memantau

perkembangan situasi melalu televisi.

Hingga akhirnya pada tanggal 16 November 2017, Fredrich Yunadi

menghubungi dr. Bimanesh Sutarjo yang sebelumnya telah dikenal, meminta

bantuan agar Setya Novanto dapat dirawat inap di Rumah Sakit Medika Permata

Hijau dengan sengaja mendiagnosa menderita beberapa penyakit salah satunya

Hipertensi. Fredrich juga memberikan foto data rekam medik Setya Novanto di

RS Premier Jatinegara yang beberapa hari sebelumnya padahal tidak ada surat

rujukan dari RS Pemier Jatinegara untuk rawat inap terhadap penyakit Setya

Novanto di rumah sakit lain.

Tindakan Fredrich Yunadi tersebut sudah mengindikasikan bahwa

Fredrich Yunadi melakukan tindak pidana Merintangi Penyidikan dan

Penyelidikan dalam kasus Setya Novanto. Dalam psersidangan tingkat pertama

pada tanggal 13 Januari 2018 Fredrich ditahan oleh Penyidik KPK dengan

dakwaan Pasal 21 Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang

Pemberantasan Korupsi sebagaimana telah diubah ats Undang-Undang Nomor 20

Tahun 2001 tentang perubahan ats Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999

tentang Pemberantasan Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) KUHP.

Menjatuhkan pidana dengan pidana penjara selama 12 (dua belas) tahun

dikurangi masa penahanan yang telah dijalani dan ditambah dengan pidana denda

sebesar Rp. 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah) dengan ketentuan apabila

denda tidak dibayar maka diganti dengan kurungan selama 6 (enam) bulan.

Menimbang bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan Hakim tingkat

banding telah sependapat terhadap pertimbangan hukum Majelis Tingkat Pertama

bahwa Fredrich Yunadi didakwa oleh Penuntut umum pada Komisi

Pemberantasan Korupsi dengan dakwaan tunggal, dimana Fredrich Yunadi telah

didakwa melakukan tindak pidana melanggar Pasal 21 Undang-Undang RI Nomor

31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah

diubah atas UU RI nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Korupsi jo.

Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP yang mengandung unsur-unsur sebagai berikut:

60

a. Setiap orang.

b. Dengan sengaja.

c. Mencegah, merintangi, atau menggagalkan secara langsung atau tidak

langsung penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan.

d. Terhadap Tersangka atau Terdakwa ataupun para saksi dalam perkara

korupsi.

e. Yang melakukan, yang menyuruh melakukan dan turut serta melakukan

perbuatan.

2. Analisis Putusan Penulis

Bahwa Fredrich Yunadi didakwa dengan Pasal 21 UU No. 31 Tahun 1999

jo. UU No. 20 Tahun 2001 dengan hukuman 7 (tujuh) tahun penjara sudah sesuai

dengan rasa keadilan karena terdakwa Fredrich Yunadi telah menghalang-halangi

(obstruction of justice) atau merintangi kasus korupsi dalam proses Penyelidikan

dan Penyidikan. Putusan Pengadilan pada tingkat pertama, majelis hakim

menjatuhkan pidana kepada terdakwa yakni pidana penjara selama 7 (tujuh) tahun

dan denda sebesra Rp. 500.000.000,- (lima ratus juta rupiah) dengan ketentuan

apabila denda tersebut tidak dibayar diganti dengan pidana kurungan selama 5

(lima) bulan. Saya tidak sepakat dengan putusan hakim dalam pengadilan jika

hanya mendakwa tersangka selama 7 tahun penjara.

Menurut penulis perbuatan menghalangi proses hukum adalah sebuah

kejahatan yang dampaknya luar biasa karena menghambat proses penegakan

hukum. Hukuman seharusnya diberikan lebih berat agar dapat memberikan efek

jera dan sebagai sinyal peringatan bagi oknum yang lain untuk tidak main-main

lagi dengan proses penegakan hukum. Melihat Asas lex Generalis Derogat Lex

Specialis yaitu hukum umum tidak boleh mengesampingkan hukum yang khusus.

Oleh karenanya, menurut penulis karna Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi

suatu Undanng-Undang yang khusus, maka tindak pidana yang dilakukan

termasuk tindak pidana yang berat dan khusus juga.

61

Penulispun berpegang teguh dengan Asas Equality Before The Law yaitu

walaupun Advokat memiliki Hak yang diatur dalam Undang-Undang Advokat,

bukan berarti Advokat kebal akan hukum. Bagaimana bisa seorang yang sudah

memiliki hak imunitas tersendiri memiliki perilaku seperti itu. Oleh karenanya,

penulis berpendapat seharusnya jaksa penuntut umum memasukan

penambahan pasal dakwaan terhadap Fredrich Yunadi dalam pasal Kode Etik

Advokat tersendiri. Agar para advokat-advokat yang lain tidak berlindung dari

hak imunitas mereka. Faktanya, fakta hukum yang terungkap dari persidangan,

dapat disimpulkan bahwa perbuatan terdakwa menolak untuk menyerahkan

kliennya untuk diperiksa penyidik dan mengucapkan kebohongan dan

menyembunyikan keberadaan kliennya bukanlah merupakan bagian dari

menjalankan tugas profesinya dengan itikad baik sebagai advokat. Dalam fakta

hukum yang menjadi pertimbangan hakim, majelis hakim menyebutkan bahwa

terdakwa telah melampaui wewenangnya sebagai penasehat hukum. Dalam

kenyataannya, dapat terjadi bahwa perlakuan advokat terbukti tidak sesuai

dengan undang-undang tersebut karena suatu masalah semata-mata dilihat hal

tersebut dapat terjadi karena arogansi status. Yang seharusnya advokat juga

menjunjung tinggi akan Sistem Peradilan Pidana tidak melakukan pencegahan,

mengagalkan hingga merintangi proses hingga ke proses pengadilan. Dalam

surat An-nissa ayat 135 pun Allah sudah memperingati kepada orang-orang

yang melakukan perbuatan menyimpang terhadap kebenaran, berumpah palsu

ataupun memutar balikan (kata-kata).

62

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Bahwa kedudukan Hak Imunitas Advokat dalam kasus Tindak Pidana

Korupsi sejak terciptanya undang-undang Nomor 18 Tahun 2003 eksistensi

advokat Indonesia menjadi semakin kuat karena berdasarkan Undang-

Undang Nomor 18 Tahun 2003, Advokat diberikan kewenangan untuk

melakukan pengangkatan advokat. Namun, dalam hak imunitas tersebut

tidak berarti mereka kebal akan hukum. Asas hukum equality before the

law berarti bahwa kesetaraan di hadapan hukum tetap dijunjung dan

dipertahankan sebagai patokan umum dalam penegakan hukum (law

enforcement). Menurut penulis, perlu diperhatikan juga bahwa Asas

equality before the law tetap harus ditegakkan karna asas tersebut

memaknai persamaan terhadap semua orang mau si kaya si miskin, pejabat

atau rakyat biasa hak imunitas tidak berlaku untuk advokat.. Tugas-tugas

advokat dijabarkan dalam undang-undang Advokat. Namun, dalam

kenyataannya, dapat terjadi bahwa perlakuan advokat terbukti tidak sesuai

dengan undang-undang tersebut karena suatu masalah semata-mata dilihat

hal tersebut dapat terjadi karena arogansi status. Yang seharusnya advokat

juga menjunjung tinggi akan Sistem Peradilan Pidana tidak melakukan

pencegahan, mengagalkan hingga merintangi proses hingga ke proses

pengadilan. Dalam surat An-nissa ayat 135 pun Allah sudah memperingati

kepada orang-orang yang melakukan perbuatan menyimpang terhadap

kebenaran ataupun memutar balikan (kata-kata).

.

2. Penerapan dan Pertimbangan Hakim

Menurut Penulis, Fredrich Yunadi di dakwa melakukan perbuatan melawan

hukum atau (obstruction of justice) melanggar Pasal 21 Undang-Undang

Nomor 31 Tahun 1999 juncto Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001

sudah sesuai. Karena ia melakukan tindak pidana dengan unsur yang

63

dipenuhi. Namun, penulis tidak setuju jika Fredrich Yunadi hanya dihukum

dengan 7 (tujuh) tahun penjara. Melihat maksimal batas pemidanaan dalam

Pasal 21 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi yaitu Undang-Undang

Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 yaitu

dengan maksimal penjara 12 (dua belas) tahun penjara. Karena Tindak

Pidana Obstruction of Justice sendiri termasuk tindak pidana Extra

Ordinary Crime atau kejahatan yang luar biasa.

B. Rekomendasi

1. Kepada penegak hukum, seharusnya menaruh perhatian yang lebih

serius dan bersikap profesional untuk menegakkan hukum terhadap

pelaku perbuatan menghalangi proses hukum.

2. Kepada advokat sendiri harus menyadari betul bahwa perbuatan

menghalangi proses hokum (obstruction of justice) merupakan suatu

perbuatan pidana yang kualitas dan bahayanya sama halnya dengan

tindak pidana lainnya.

64

DAFTAR PUSTAKA

Chazawi, Adami. 2005. Hukum Pidana Materil dan Formil dan Korupsi di

Indonesia. Jawa Timur: Banyumedia Publishing.

Rahardjo, Sajipto. 2009. Negara Hukum yang Membahagiakan Rakyatnya,

Yogyakarta: Genta Publishing.

Sinaga V. Harlen. 2011. Dasar-Dasar Profesi Advokat, Jakarta: Erlangga.

Sunarso, Siswanto. 2015. Filsafat Hukum Pidana, konsep, dimensi dan

aplikasi, Depok: PT Rajagrfindo Persada

Sri Hartini dan Rahmat Rosyadi, 2004. Advokat Dalam Perspektif Islam

dan Hukum Positif, Ghalia Indonesia.

Komisi Pemberantasan Korupsi. 2006. Memahami Untuk Membasmi,

Diterbitkan Oleh Komisi Pemberantasan Korupsi, Jakarta.

Waluyo, Bambang. 1999. Penelitian Hukum Dalam Praktek, Jakarta: Sinar

Grafika,

K. Lubis, Suhrawardi, 1994. Etika Profesi Hukum, Jakarta: Sinar Grafika

Mth, Asmuni. 2004. 'Eksistensi Pengacara dalam Perspekti Hukum

Islam', dalam Jurnal Al-Mawarid Edisi XII Fakultas Agama Islam UII

Yogyakarta.

Nadapdap, Binoto. 2008. Menjajaki Seluk Beluk Honorarium Advokat,

Jakarta: Jala Permata.

Pangaribuan, Luhut M.P. 2002. Advokat dan Contempt of Court Satu

Proses di Dewan Kehormatan Profesi, Jakarta: Penerbit Djambatan.

W.J.S. Poerwadarminta, dan .Prent C.M., J. Adisubrata. 1969. Kamus

Latin Indonesia, Yogyakarta: Kanisius

Henry Campbel Black, Black’s Law Dictionary. 1990. St. Paul, MN: West

Publishing Co.

C.S.T. Kansil, 2003. Pokok-pokok Etika Profesi Hukum, Jakarta: Pradnya

Paramita

Gayus Lumbuun, T. 2005. “Kontroversi Hak Advokat atas Perlindungan

berkas dan dokumen terhadap pernyitaan,” suatu makalah yang disampaikan

dalam seminar pada Musyawarah Kerja NAsional yang diselenggarakan DPP

IKADIN di Medan”

65

Analisis dan Evaluasi tentang Kode Etik Advokat dan Konsultan Hukum,

Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman RI.

Sitompul, Binsar. 2014. Kode Etik Advokat, Dalam Materi PKPA Di Ikatan

Advokat Indonesia.

Saldri Isra, dan Shinta Agustina Et.al, 2015. Obstruction of Justice,

Jakarta: Themis Book.

Agustina, Shinta dkk, Obstruction of Justice Tindak Pidana Menghalangi

Proses Hukum Dalam Upaya Pemberantasan Korupsi.

Marsum, 1992. Jarimah Tazir Perbuatan Dosa Dalam Hukum Pidana

Islam. Yogyakarta: Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia.

Altman, Andrew. 2001. Arguing about Law: An Introduction to legal

Philosophy, Belmont, USA: Wadsworth Publishing Company.

S. Lev, Daniel, Hukum dan Politik Indonesia, terjemahan Nirwono & A.E

Priyono. Jakarta:LP3ES

Winarta, Frans Hendra. 1995. Advokat Indonesia, Cita, Idealisme, dan

Keprihatinan, Jakarta: Sinar Harapan.

V.V. Pillai, dalam Marwan Effendy. 2012. Sistem Peradilan

Pidana, Tinjauan Terhadap Beberapa Perkembangan Hukum Pidana, Jakarta:

Referensi

Wiyanto, Roni, 2012, Asas-asas Hukum Pidana Indonesia, Surakarta:

Mandar Maju, Surakarta.

Wiyono R, 2009, Pembahasan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi, Jakarta: Sinar Grafika.

R. Wiyono. 2009. Pembahasan Undang-Undang Pemberantasan

Tindak Pidana Korupsi, Jakarta: Sinar Grafika.

M.P. Pangaribuan, Luhut, 2016. Hukum Pidana Khusus; Tindak Pidana

Ekonomi, Pencucian Uang, Korupsi & Kerjasama Internasional serta

Pengembalian Aset, Jakarta: Pustaka Kemang.

66

Kristiana,Yudi, 2016. Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Perspektif

Hukum Progresif. Yogyakarta: Thafa Media.

Imam Santosa, Prayitno, 2015. Pertanggungjawaban Tindak Pidana

Korupsi, Bandung : Alumni.

Jurnal/media elektronik:

Suara Pembaruan, Advokat“Hitam” Mendominasi, Penegakan Hukum

Hancur, h. 6

Shinta Agustina, Implementasi Asas Lex Spesialis Derogat Legi Generalis,

MMH, Jilid 44 No. 4, Oktober 2015

Lex Crimen Vol. IV/No. 1/Jan-Mar/2015

Eddy OES Hiariej Guru Besar Fakultas Hukum UGM, “Obstruction of

Justice” dan Hak Angket DPR, Kompas 21 Juli 2017.

https://www.pressreader.com/indonesia/kompas/20170721/281612420458169

Lex Crimen Vol. II/No. 7/November/2013

Eddy O.S. Hiariej, 2018, KPK dan Perintang Peradilan, Kompas,

(Selanjutnya disebut Eddy O.S. Hiariej I).

Asshiddiqie, Jimly. Upaya Perancangan Undang-Undang Tentang

Larangan Merendahkan Martabat Pengadilan (Contempt of Court), Jurnal Hukum

2015.

S. Gareda, Markhy. “Perbuatan Menghalangi Proses Peradilan Tindak

Pidana Korupsi Berdasarkan Pasal 21 UU No. 31 Tahun 1999 Juncto UU No. 20

Tahun 2001”, Jurnal Hukum, Vol. IV/No. 1/Jan-Mar/2015.

Pramono, R. Widyo, 2016, Pemberantasan Korupsi dan Pidana Lainnya;

Sebuah Perspektif Jaksa & Guru Besar, Jakarta: Kompas.

67

Undang-undang:

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20

Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi

Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 Tentang Advokat, pasal 1 butir 1

Huruf B Konsideran Menimbang Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003

tentang Advokat.

Pertimbangan Hukum Putusan MK Nomor 014/PUU-IV/2006 mengenai

Pengujian Undang-Undang Advokat.

Penjelasan Pasal 29 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.