obat psikosis

32
 EFEK SAMPING PENGGUNAAN ANTISPIKOTIK TERHADAP SINDROM PARKINSON PADA PASIEN  SCHIZOPHRENIA DI RSJ. PROF. HB. SA’ANIN PADANG ARTIKEL Oleh : MEGA YULIA 09 212 13 037 PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS ANDALAS PADANG 2011

Transcript of obat psikosis

EFEK SAMPING PENGGUNAAN ANTISPIKOTIK TERHADAP SINDROM PARKINSON PADA PASIEN SCHIZOPHRENIA DI RSJ. PROF. HB. SAANIN PADANG

ARTIKEL

Oleh : MEGA YULIA 09 212 13 037

PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS ANDALAS PADANG 2011

1

EFEK SAMPING PENGGUNAAN ANTISPIKOTIK TERHADAP SINDROM PARKINSON PADA PASIEN SCHIZOPHRENIA DI RSJ. PROF. HB. SA;ANIN PADANG Oleh : Mega Yulia (Dibawah bimbingan Prof. Dr. H. Almahdy, A., MS, Apt; Drs. Elfahmi, Sp.FRS, Apt) ABSTRAK

Schizophrenia adalah sekelompok gangguan psikotik dengan gangguan pada dasar kepribadian dengan gejala yang beragam, diantaranya ketidakmampuan dalam berkomunikasi, kognitif, berbahasa, daya ingat, emosi dan ketidakmampuan dalam adaptasi sosial. Terapi schizophrenia dengan menggunakan obat antipsikotik tidak hanya dapat mengatasi gejala positif dan gejala negatif yang dialami pasien, namun juga dapat menimbulkan efek samping ganguan aktivitas motorik. Bentuk umum dari aktivitas motorik ini adalah sindrom parkinson. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metoda purposive sampling yang dikerjakan secara prospektif tehadap suatu populasi terbatas yaitu sebanyak 154 orang schizophrenia di bangsal rawat inap RSJ. Prof. HB.Saanin Padang selama bulan April sampai Juli 2011. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh penggunaan obat antipsikotik terhadap sindrom parkinson pada pasien schizophrenia, dimana aspek yang dinilai yaitu tingkat gangguan aktivitas motorik sindrom parkinson yang dialami pasien. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 154 pasien terdapat 117 pasien yang masuk kedalam kriteria inklusi. Dari hasil penelitian didapatkan kesimpulan sebanyak 86 pasien tidak mengalami sindrom parkinson, 22 pasien pria dan 9 pasien wanita yang mengalami sindom parkinson. Dari 22 pasien pria, 10 pasien mengalami sindrom parkinson tahap I dan 12 pasien tahap II, dan untuk pasien wanita dari 9 pasien 6 pasien mengalami sindrom parkinson tahap I dan 3 pasien tahap II. Sindrom parkinson biasa muncul pada terapi regular lebih dari 4 minggu atau 1 bulan. Karakterisasi yang biasa dilihat adanya tremor, bradikinesia dan rigiditas. Untuk mengatasi efek samping sindrom parkinson diberikan obat antikolinergik. Terdapat hubungan penggunaan obat antikolinergik dengan tahap sindrom parkinson yang dialami pasien. Pasien yang diberi antikolinergik biasanya akan mengalami efek samping yang lebih ringan dibanding yang tidak mendapatkan obat antikolinergik. Dari hasil penelitian didapatkan kesimpulan bahwa penggunaan obat antipsikotik pada terapi schizophrenia dapat menyebabkan timbulnya sindrom parkinson dan obat kolinergik dapat digunakan untuk menurunkan gangguan aktivitas motorik pasien tersebut.

2

I. PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah Schizophrenia termasuk penyakit otak yang serius dengan gejala yang beragam, diantaranya ketidakmampuan dalam berkomunikasi, kognitif,

berbahasa, daya ingat, emosi dan ketidakmampuan dalam adaptasi sosial. Penyakit schizophrenia biasa menyerang laki-laki dan perempuan diusia muda yaitu antara 15-30 tahun dengan prevalensi penyebarannya berada diantara 0,6% sampai 1,9%. Obat antipsikotik dapat digunakan untuk mengatasi schizophrenia dengan gejala halusinasi, delusi dan untuk pencegahan keterulangan (British Medical Association, 2004). Obat ini biasa disebut juga dengan obat neuroleptik (Tjay, 2002). Terapi schizophrenia dengan mengunakan obat antipsikotik dibagi dalam 3 episode, yaitu terapi awal selama 7 hari pertama, terapi stabilisasi selama 6-8 minggu dan terapi penjagaan selama 12 bulan setelah membaiknya episode pertama psikotik, sedangkan untuk pasien dengan episode akut yang multipel sebaiknya terapi penjagaan dilakukan minimal selama 5 tahun (Dipiro et al., 2009). Obat antipsikotik telah banyak diteliti, dan hampir seluruhnya dapat menyebabkan gangguan pada aktivitas motorik yang disebut dengan gejala ekstrapiramidal. Selanjutnya, bentuk yang paling umum dari gejala

ekstrapiramidal adalah sindrom parkinson atau sering juga disebut parkinsonisme (Olson, 1993; Tenback et al., 2006). Sindrom parkinson mempunyai manifestasi yang sama dengan penyakit parkinson yaitu ditandai dengan berkurangnya mobilitas secara abnormal (bradikinesia), kekakuan anggota gerak (rigiditas) dan

3

postur yang tidak stabil (Kruger, 2003). Gejala ini biasa timbul dalam satu bulan terapi awal (Olson, 1993; Martindale 38, 2008). Berdasarkan pemakaian obat antipsikotik dalam jangka waktu yang lama, maka perlu dilakukan penelitian tentang kemungkinan terjadinya gangguan motorik pada pasien dengan melihat aktivitas motoriknya. Penelitian ini hanya dibatasi untuk melihat efek sindrom parkinson yang merupakan efek samping dari pemakaian obat antipsikotik. Tujuan Penelitian Mengetahui menimbulkan efek pengaruh sindrom penggunaan parkinson obat-obat pada pasien antipsikotik yang di

schizophrenia

RSJ.PROF.HB.SAANIN Padang.

II. METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilakukan selama lebih kurang empat bulan dari April 2011 sampai Juli 2011 di bangsal rawat inap RSJ.PROF.HB.SAANIN Padang. Jenis Penelitian Penelitian ini dilakukan dengan analisis deskriptif yang dikerjakan secara prospektif terhadap suatu populasi terbatas. Jenis Data Jenis data yang digunakan terbagi atas 2 bagian yaitu : Data kualitatif Meliputi terjadinya efek samping gejala ekstrapiramidal yaitu sindrom parkinson pada pengunaan obat antipsikotik.

4

Data kuantitatif Meliputi persentase jenis obat antipsikotik yang digunakan. Persentase jumlah pasien yang menjalani terapi schizophrenia berdasarkan jenis kelamin, rentang umur, diagnosa penyakit dan riwayat penyakit keluarga. Sumber Data Sumber data meliputi rekam medik pasien yang menjalani terapi obat antipsikotik dengan masa rawatan lebih dari 1 bulan, melihat langsung kondisi pasien, serta wawancara dengan tenaga kesehatan lain yang ada di bangsal rawat inap RSJ.PROF.HB.SAANIN Padang. Penetapan Obat yang Akan Dievaluasi Obat yang akan dievaluasi adalah obat-obat antipsikotik yang digunakan selama menjalani terapi schizophrenia. Obat-obat antipsikotik yang digunakan dapat menimbulkan efek samping yang merugikan bagi pasien yaitu adanya gangguan motorik sindrom parkinson. Penetapan Sampel yang Akan Dievaluasi Sampel yang dipilih adalah pasien yang menjalani terapi schizophrenia lebih dari 1 bulan dengan menggunakan obat antipsikotik di bangsal rawat inap RSJ.PROF.HB.SAANIN selama bulan April-Juli 2011. Pengambilan Data Pengambilan data dilakukan pencatatan rekam medik di bangsal rawat inap di RSJ.PROF.HB.SAANIN Padang meliputi data kualitatif dan kuantitatif serta kelengkapan data pasien (seperti umur, jenis kelamin, riwayat penyakit sekarang, riwayat penyakit sebelumnya, riwayat penyakit keluarga, tindakan terapi terhadap penyakit schizophrenia. Data yang diambil dipindahkan ke

5

lembaran pengumpul data yang telah disiapkan. Kekurangan rekam medik dilengkapi dengan melihat catatan perawat, melihat kondisi pasien langsung atau wawancara dengan keluarga pasien. Analisis Data Analisis kuantitatif Data ditabulasi berdasarkan persentase pasien yang menjalani terapi schizophrenia di bangsal rawat inap dan persentase jenis obat antipsikotik yang digunakan. Persentase jumlah pasien berdasarkan rentang umur pasien, jenis kelamin, riwayat penyakit keluarga, dan diagnosa dibuat dalam bentuk tabel. Data yang diambil dipindahkan ke lembaran pengumpul data yang telah disiapkan. Analisis kualitatif Data yang diperoleh mengenai efek samping antipsikotik yaitu sindrom parkinson dianalisa, dikelompokan berdasarkan tingkatannya dan kemudian data tersebut disajikan dalam bentuk tabel dan diagram.

III. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Penelitian Karakteristik Populasi Persentase pasien schizophrenia berdasarkan jenis kelamin (n = 154) adalah pria 70,12% (108 pasien) dan wanita 29,87% (46 pasien). Persentase pasien schizophrenia berdasarkan rentang usia (n = 154) antara lain

6

o Pria Usia 15 s/d 25 tahun 16,23% (25 pasien); usia 26 s/d 35 tahun 26,62% (41 pasien); usia 36 s/d 45 tahun 18,83% (29 pasien); usia 46 s/d 55 tahun 5,84% (9 pasien); usia > 55 tahun 2,59% (4 pasien). Wanita Usia 15 s/d 25 tahun 5,19% (8 pasien); usia 26 s/d 35 tahun 8,44% (13 pasien); usia 36 s/d 45 tahun 7,79% (12 pasien); usia 46 s/d 55 tahun 6,49% (10 pasien); usia > 55 tahun 1,95% (3 pasien). Persentase pasien schizophrenia berdasarkan jenis penyakit antara lain o Pria Gangguan jiwa yang paling banyak diderita pasien rawat inap pria adalah schizophrenia paranoid 38,96% (60 pasien); GAB (Gangguan Afekif Bipolar) tipe manik dengan gejala psikosis 12,34% (19 pasien); schizophrenia residual 5,84% (9 pasien); GAB tipe depresi dengan gejala psikosis 5,19% (8 pasien) dan schizophrenia ytt 2,59% (4 pasien). o Wanita Gangguan jiwa yang paling banyak diderita pasien rawat inap wanita adalah schizophrenia paranoid 9,74% (15 pasien); GAB tipe depresi dengan gejala psikosis 6,49% (10 pasien); GAB tipe manik dengan gejala psikosis 5,84% (9 pasien), schizophrenia residual 3,25% (5 pasien); dan schizophrenia ytt 1,95 % (3 pasien).

7

Persentase obat antipsikotik yang diresepkan pada pasien schizophrenia antara lain o Pria Chlorpromazine 62,34 %, Haloperidol 55,19 %, Triheksiperidil 32,47 %, Trifluoferazin 18,18 %, Amitriptilin 13,64 %, Diazepam 10,39 %, Risperidon 9,09 %, Vit. B complek 5,19 %, Carbamazepine 3,25 %, Olanzapin 0,65 %. o Wanita Chlorpromazine 21,43 %, Haloperidol 21,43 %, Triheksiperidil 16,88 %, Trifluoferazin 11,69 %, Amitriptilin 4,54 %, Diazepam 5,19 %, Risperidon 9,09 %, Vit. B complek 3,25 %, Carbamazepine 4,54 %, Clozapin 0,65 %. Persentase pasien schizophrenia berdasarkan penyebab terjadinya

schizophrenia antara lain penyebab lain-lain 76,62 % (termasuk kedalamnya stres, masalah psikososial dan mantan pencandu napza) dan 23,38 % keturunan dengan rincian saudara kandung pasien memiliki penyakit yang sama 3,25 % (5 pasien), keturunan kakek atau nenek 3,89 % (6 pasien), keturunan ayah 4,54 % (7 pasien), keturunan ibu 5,19 % (8 pasien) dan keturunan saudara ayah dan atau ibu 6,49 % (10 pasien). Karakteristik Sampel Pasien yang memiliki masa pengobatan > 1 bulan pada bangsal rawat inap di RSJ.Prof.HB.Saanin adalah 117 pasien dari 154 pasien yang ada (75,97%).

8

Pasien yang menunjukan gangguan aktivitas motorik atau sindrom parkinson dari pasien dengan masa pengobatan > 1 bulan pada bangsal rawat inap di RSJ.Prof.HB.Saanin adalah 31 pasien dari 154 pasien yang ada (20,13 %) dimana pria sebanyak 14,28% (22 pasien) dan wanita 5,84 % (9 pasien). Pasien yang menunjukan terjadi sindrom parkinson tahap I antara lain pria 6,49 % (10 pasien) dan wanita 3,89 % (6 pasien). Sindrom

parkinson tahap II antara lain pria 7,79 % (12 pasien) dan wanita 1,95 % (3 pasien). Pembahasan Penelitian ini dilakukan pada lima bangsal di RSJ.Pof.HB.Saanin Padang yaitu bangsal Merpati, Gelatik, Flamboyan, Melati dan Cendrawasih yang diperoleh data bahwa persentase pasien schizophrenia berdasarkan jenis kelamin (n=154) adalah pria 70,13 % (108 pasien) dan wanita 29,87 % (46 pasien). Prevalensi pria dan wanita adalah sama, tetapi onset penyakitnya lebih awal pada pria (Fatemi, 2009). Hal ini dapat disebabkan diantaranya karena adanya efek neuroprotektif dari hormon pada wanita dan kecenderungan yang lebih besar mendapatkan trauma kepala pada pria (Seeman, 2004; Lalloo, 2003). Beberapa penelitian telah menyatakan bahwa pria akan lebih mungkin daripada wanita untuk mengalami gangguan gejala negatif dan wanita lebih mungkin untuk memiliki fungsi sosial yang lebih baik dari pria (Kaplan, 1997). Pada umumnya hasil akhir untuk pasien schizophrenia wanita lebih baik daripada hasil akhir pasien pria (Kaplan, 1997). Ini kemungkinan salah satu penyebab pasien yang dirawat lebih banyak yang pria dibandingkan wanita. Hasil penelitian ini senada

9

dengan penelitian yang dilakukan oleh Kurihara et al, 2006 yang menemukan bahwa dari 39 pasien schizophrenia, 25 diantaranya adalah pria dan 14 lainnya wanita. Kelompok pasien berdasarkan rentang umur diperoleh data untuk pasien pria, persentase pria berusia 15-25 tahun adalah 16,23 % (25 pasien); usia 26-35 tahun 26,62 % (41 pasien); usia 36-45 tahun 18,83 % (29 pasien); usia 46-55 tahun 5,84 % (9 pasien); 56 tahun 2,59 % (4 pasien). Untuk pasien wanita, persentase wanita berusia 15-25 tahun adalah 5,19 % (8 pasien); usia 26-35 tahun 8,44 % (13 pasien); usia 36-45 tahun 7,79 % (12 pasien); usia 46-55 tahun 6,49 % (10 pasien); 56 tahun 1,95 % (3 pasien). Persentase ini diperoleh dari populasi keseluruhan pasien schizophrenia yang ada di bangsal rawat inap yaitu 154 pasien. Dari data yang diperoleh dapat diketahui bahwa rentang umur 26-35 tahun dan 36-45 tahun merupakan 2 rentang umur yang terbanyak dirawat di rumah sakit baik untuk pasien pria maupun pasien wanita. Hal ini mungkin

dikarenakan pada ke-2 rentang umur tersebut manusia memiliki beban hidup yang lebih berat dbandingkan dengan rentang umur lainnya sehingga menyebabkan stres. Stres pada rentang umur 26-35 tahun dan 36-45 tahun disebabkan masalahmasalah yang lebih kompleks, mencangkup mulai masalah dengan pacar, teman kerja, pekerjaan yang terlalu berat, ekonomi bahkan masalah keluarga yang juga kompleks (Michael et al, 2000). Telah banyak penelitian yang menyebutkan adanya hubungan yang nyata antara schizophrenia dengan stres. Dimana teori diatesis stres menyebutkan seseorang mungkin memiliki suatu kerentanan spesifik (diatesis) yang jika dikenai oleh suatu pengaruh lingkungan yang menimbulkan stres memungkinkan perkembangan gejala schizophrenia (Kaplan, 1997). Stres

10

dapat menyebabkan peningkatan sekresi neurotransmiter glutamat (suatu senyawa prekursor GABA) di daerah prefrontal kortek dan dopamin pada sistem limbik (Savioli, 2009). Ketidakseimbangan neurotransmitter inilah yang mencetuskan terjadinya schizophrenia. Pada rentang usia 16-25 tahun pria memiliki persentase terjadinya schizophrenia lebih tinggi dibandingkan wanita yaitu 23,15 % pria dan 17,39 % wanita, persentase ini diperoleh dari populasi masing-masing kelompok jenis kelamin, berbeda dengan data sebelumnya. Hal ini menunjukan bahwa onset penyakit pada pria lebih awal dibandingkan dengan wanita, karena lebih banyak pasien rawat inap pria dengan usia lebih muda dibandingkan pasien wanita. Tidak ada ditemukan pasien schizophrenia rawat inap dengan umur < 15 tahun. Hal ini sesuai dengan literatur bahwa penyakit schizophrenia biasanya baru muncul pada usia muda yaitu 15 -30 tahun (Bertolote, 1992). Hal tersebut telah dijelaskan pada jurnal Seeman, 2004 bahwa diagnosa schizophrenia biasanya dibuat antara umur 15-25 tahun. Berselang 10 tahun tersebut, schizophrenia didiagnosa diderita pada 12 pria dan 10 wanita (Castle, 2000). Hal tersebut karena terjadinya kemunduran onset pada wanita. Alasan yang dikemukakan untuk menjelaskan kenapa terjadi kemunduran onset pada wanita, yaitu adanya efek perlindungan atau neuroprotektif dari hormon wanita (Seeman, 1997) dan potensi tinggi untuk mengalami cedera kepala pada pria dibandingkan wanita (Lalloo & Sheiham, 2003). Itulah sebabnya mengapa pria lebih dahulu untuk mendapatkan perawatan dibandingkan wanita. Namun onset yang cepat dari pasien schizophrenia (misalnya pada pria) biasanya menunjukan penyakit lebih berat (Jarbin et al, 2003). Disisi lain, diagnosis yang tertunda (pada

11

wanita) berpotensi mengalami masalah dalam terapinya karena gejala yang sudah lama, pada studi prospektif menunjukan tidak responsifnya pasien terhadap obat antipsikotik (Bottlender et al, 2003; Harrigan, 2003). Hormon wanita yang berperan sebagai neuroprotektif adalah estrogen. Bukti ekperimental menyebutkan bahwa peranan estrogen, terutama estradiol pada perempuan relatif pada gejala psikose. Gejala psikose ini cenderung timbul pada masa remaja yang umumnya terkait masalah-masalah sosial, sehingga dengan adanya estrogen pada wanita dapat menunda onset prepsikotik dan

memungkinkan mereka menyelesaikan sekolah, memulai pekerjaan, membangun hubungan sosial di masyarakat. Hal sebaliknya terjadi pada pria, dimana gejala psikotik yang biasa terjadi pada masa sekolah dan tidak adanya perlindungan dari estrogen menyebabkan mereka mengalami kesulitan dalam menyelesaikan sekolah, memulai pekerjaan dan mengembangkan keterampilan sosial yang dibutuhkan untuk berinteraksi dengan individu lain (Seeman, 1997). Hipotesis mengenai efek protektif estrogen ini didukung oleh pengamatan bahwa pada kehamilan, ketika tingkat estrogen yang terus meningkat, perempuan dengan schizophrenia episode akut berulang biasanya tidak memiliki gejala psikose yang berarti. Namun, mereka menderita psikose postpartum ketika

tingkat estrogen telah tiba-tiba jatuh. Di samping itu, gejala psikotik dapat diperburuk ketika tingkat estrogen pada titik terendah selama siklus menstruasi, dan pengobatan estrogen telah terbukti untuk menghasilkan beberapa efek menguntungkan pada pasien dengan schizophrenia. Penyakit schizophrenia ini mungkin saja disebabkan karena neuron gagal untuk tumbuh berkembang, untuk membuat koneksi sinaptik yang tepat dengan neuron lain. Seperti disebutkan pada

12

bagian penyakit Alzheimer, estrogen merangsang faktor pertumbuhan saraf dan meningkatkan neuron bertahan hidup. Efek neuroprotektif dari hormon wanita ini akan berkurang seiring dengan kadar estrogen yang mulai menurun.

Sehingga wanita akan menunjukan gejala psikose yang lebih parah pada rentang umur yang lebih tua, alasan inilah yang menyebaban pasien wanita diatas usia > 35 tahun lebih banyak dari pada pasien pria. Singkatnya, pada schizophrenia, kehadiran estrogen pada periode waktu yang penting tampaknya memberikan keuntungan yang hilang pada penarikan estrogen (Seeman, 1997). Pada rentang usia 26-35 tahun dan 36-45 tahun merupakan jumlah pasien yang banyak dirawat. Jumlah pasien pria masih mendominasi pada rentang usia ini yang menunjukan onset pria lebih cepat daripada wanita. Hal tersebut dapat dikarenakan efek neuroprotektif hormon wanita yang telah dijelaskan sebelumnya. Sedangkan setelah umur 35 tahun pasien schizophrenia 50% adalah wanita (Castle, 2000). Hal ini dapat juga ditunjukan oleh hasil penelitian kali ini dimana pada rentang usia > 45 tahun, jumlah pasien wanita lebih mendominasi, dengan persentase hampir 2 x pasien pria. Untuk lebih memudahkan analisis data, dapat dilihat pada tabel dan diagram dibawah. Tabel. Perbandingan pasien berdasarkan jenis kelamin dan rentang umur Rentang umur pria wanita % pria % wanita 16-25 25 8 23,15 17,39 26-35 41 13 37,96 28,26 36-45 29 12 26,85 26,09 46-55 9 10 8,33 21,74 56 4 3 3,7 6,52 Total 108 46 100 100

13

= Pria = Wanita

Diagram. Perbandingan pasien berdasarkan jenis kelamin dan rentang umur. Berdasarkan DSM IV (Dagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder ed.4) subtipe schizophrenia dibagi menjadi 5 kelompok, yaitu tipe paranoid, terdisorganisasi, katatonik, tidak tergolongkan dan residual. Pasien tipe terdisorganisasi tidak ditemukan pada pasien rawat inap RSJ Prof. HB Saanin Padang. Schizophrenia tipe terdisorganisasi ini menunjukan gangguan pada pembicaraan dan tingkah lakunya (misalnya disorganisasi pembicaraan dan tingkah laku); mereka juga menunjukan afek datar atau tidak tepat. Mereka terlihat memiliki lingkungan sendiri, dan bisa menghabiskan waktu untuk menatap diri di kaca (Azizi, 2008). Individu yang didiagnosa menderita penyakit jenis ini cenderung untuk menunjukan kesulitan diawalnya, cenderung kronik, jarang menunjukan perbaikan gejala (Barlow & Durand, 2002). Schizophrenia paranoid, ditandai dengan adanya satu atau lebih halusinasi dan waham. Selain itu DSM IV juga menjelaskan bahwa tipe paranoid ditandai juga dengan keasyikan pada satu atau lebih waham atau halusinasi dengar yang sering dan tidak ada perilaku spesifik lain yang mengarahkan pada tipe

14

terdisorganisasi atau katatonik (Kaplan, 1997). Schizophrenia subtipe paranoid merupakan schizophrenia yang persentasenya paling tinggi pada pasien rawat inap di RSJ. Prof. HB Saanin Padang, baik pria maupun wanita yaitu 38,96 % pria dan 9,74 % wanita, persentase diperoleh dari keseluruhan populasi. Ini dapat

disimpulkan bahwa hampir setengah dari pasien rawat inap di RSJ Prof. HB Saanin Padang didiagnosa menderita schizophrneia paranoid. Hal ini senada dengan penelitian yang dilakukan Torret, 1981 bahwa schizophrenia paranoid meningkat frekuensinya pada abad ini (Torrey, 1981). Subtipe schizophrenia yang kedua terbanyak pada pasien rawat inap RSJ.Prof. HB Saanin adalah schizophrenia residual yaitu 5,84 % pasien pria dan 3,25 % pasien wanita, persentase diperoleh dari keseluruhan populasi. Menurut DSM IV, tipe residual ditandai oleh bukti-bukti yang terus menerus adanya gangguan, tanpa adanya kumpulan lengkap gejala aktif seperti delusi, penarikan diri dari lingkungan sosial, ketidakaktifan dan flat afek (Azizi, 2008). Untuk schizophrenia katatonik hanya dijumpai 1 pasien pria dan tidak ada pada pasien wanita. Hal ini senada dengan penelitian Barlow, 2002 yang menyebutkan bahwa schizophrenia tipe katatonik jarang ditemukan, dan juga peluang kesuksesan dengan terapi antipsikotik yang sedikit. Pada tipe ini pasien menunjukan jenis tingkah laku tertentu yang kacau, kekakuan dan agitasi. Selain itu, mereka

terkadang menunjukan sikap yang aneh pada tubuh dan wajahnya, seperti menyeringai. Pasien yang tidak bisa dikelompokkan ke dalam salah satu tipe DSM IV dikelompokkan sebagai tipe yang tak tergolongkan (Kaplan, 1997). Obat antipsikotik dikelompokkan menjadi obat antipsikotik golongan pertama/tipikal dan golongan kedua atau atipikal yang meliputi banyak obat pada

15

masing-masing golongan, sehingga memberikan banyak pilihan untuk praktisi kesehatan dalam memberikan pengobatan. Tetapi antipsikotik yang digunakan di RSJ Prof. HB. Saanin jumlahnya terbatas. Pada penelitian ini didapatkan data obat antipsikotik yang paling banyak diresepkan pada pasien rawat inap pria dan wanita di RSJ. Prof. HB. Saanin adalah CPZ (chlorpromazine), HLP (haloperidol), TFZ (trifluoferazin), risperidon, olanzapin dan clozapin. Hanya 6 jenis obat antipsikotik yang digunakan yaitu 3 jenis dari golongan tipikal dan 3 lainnya dari golongan atipikal. Selain obat antipsikotik juga diberikan adjunctive drug. Adjunctive drug yang banyak diberikan adalah THP (triheksiperidil),

amitripilin, carbamazepine, diazepam dan vitamin B komplek (Lampiran 4, Tabel IV). Chlorpromazine, derivat fenotiazin merupakan antipsikotik generasi pertama atau antipsikotik tipikal. CPZ merupakan obat antipsikotik yang paling banyak diresepkan, bekerja dengan jalan memblok reseptor dopaminergik D 2 (PIO,2009). Telah dilaporkan menyebabkan terjadinya sindrom parkinson pada pasien yang diterapi dengan obat ini (Martindale 35, 2008; Tjay, 2002; FKUI, 2007). Sindrom parkinson ini muncul setelah pemakaian jangka lama secara teratur yaitu sekitar beberapa minggu atau bulan (Martindale 35, 2008), atau setelah pemakaian selama satu bulan (Olson, 1993). Sindrom parkinson ini biasa terjadi pada orang dewasa dan orang tua, walaupun penelitian pada obat haloperidol menunjukan hubungan terbalik antara obat dan umur. Sindrom

parkinson bersifat reversible, dapat hilang bila obat dihentikan atau dikurangi dosisnya, dan terkadang dapat muncul kembali jika terapi dilanjutkan (Martindale 35, 2008). Selain indikasi sebagai obat antipsikotik, CPZ juga dapat memperkuat

16

efek analgetik, sehingga membuat pasien lebih acuh tak acuh pada rasa nyeri (Tjay, 2002). Haloperidol merupakan derivat butirofenon termasuk antipsikotik

golongan pertama sama seperti CPZ.

Dari penelitian sebelumnya dikatakan

bahwa haloperidol juga memiliki resiko tinggi terhadap timbulnya gejala ekstrapiramidal, termasuk sindrom parkinson (Martindale 35, 2008). Obat ini bekerja dengan cara memblok reseptor dopaminergik D 1 dan D2 di postsinaptik mesolimbik otak (Martindale 35, 2008). Trifluoperazin (TFZ) merupakan antipsikotik golongan pertama atau antipsikotik tipikal. TFZ merupakan derivat fenotiazin, secara umum sama dengan chlorpromazine. TFZ memiliki rantai sisi piperazin. Sama halnya dengan

chlorpromazine, obat ini juga menimbulkan gejala ekstrapiramidal jika dosis hariannya melebihi 6 mg (Martindale 35, 2008). Risperidon merupakan obat atipikal baru (1993) termasuk obat antipsikotik generasi kedua (Tjay, 2002). Obat ini juga dilaporkan dapat

menimbulkan gejala ekstrapiramidal (>10%) terutama menyebabkan diskenia setelah penggunaan selama 5 hari (PIO, 2009; Martindale 35, 2008). Risperidon, Olanzapin, Clozapin dan obat neuroleptik baru lainnya memiliki efek gejala ekstrapiramidal lebih sedikit jika dibandingkan dengan obat klasik (Kamin et al, 2000). Clozapin merupakan obat dengan resiko terendah menimbulkan efek

samping gejala ekstrapiramidal. Di Amerika, clozapin tidak digunakan untuk terapi akut, tetapi digunakan untuk terapi refractory psikosis atau psikosis yang sulit untuk disembuhkan, hanya obat ini obat antipsikotik yang diakui FDA untuk mengatasi refractory psikosis (Fatemi, 2009). Di Eropa clozapin digunakan

17

biasanya dalam waktu singkat (1 minggu) untuk menstabilkan pasien manik sampai mood-nya stabil (Kamin et al, 2000). Dari hasil penelitian yang

membandingkan penggunaan clozapin vs obat tipikal, clozapin dapat mengatasi sindrom positif, sindrom negatif dan kognitif tanpa menyebabkan gejala ekstra piramidal, disamping itu obat ini dapat mengurangi depresi dan keinginan bunuh diri (Fatemi, 2009). Namun pemakaian olanzapin dan clozapin masih sangat jarang ditemukan di RSJ PROF. HB. Saanin, hanya ditemukan 1 pasien dari 154 pasien yang di rawat di bangsal rawat inap yang menggunakan masing-masing obat tersebut. Hal tersebut mungkin menimbang cost-effective dari pengobatan schizophrenia. Dimana CPZ, HLP dan risperidon lebih cost-effective bila

dibandingkan dengan olanzapin dan clozapin dengan harga yang lebih mahal. Hal ini senada dengan penelitian yang dilakukan oleh Lindner et al, 2009 yang melakukan penelitian cost-effective obat antipsikotik pada tahun 2006 dengan model Markov di Brazil menyatakan bahwa terapi dengan menggunakan risperidon dan haloperidol menunjukan lebih cost-effective dibandingkan dengan olanzapin dan clozapin (Lindner et al, 2009). Disamping menimbang aspek costeffective, aspek keamanan obat seharusnya juga menjadi pertimbangan yang penting. Mengingat obat antispikotik digunakan dalam jangka waktu yang lama. Selain obat antipsikotik, pasien schizophrenia di RSJ Prof. HB Saanin Padang juga diberikan adjunctive drug. Adapun Adjunctive drug yang banyak diberikan di RSJ Prof. HB. Saanin Padang adalah THP, selain itu juga diberikan AMT, DZP, dan carbamazepine. Adjunctive drug digunakan untuk mengurangi efek samping dari pemakaian antipsikotik.

18

Triheksipenidil (THP) merupakan obat antimuskarinik yang berfungsi untuk mengurangi efek samping dari antipsikotik. Salah satu efek samping antipsikotik adalah GEP (gejala ekstrapiramidal). Amitriptilin merupakan antidepresan trisiklik. Diberikan sebagai terapi tambahan untuk menangani terjadinya depresi yang biasa terjadi sesudah psikose (Tjay, 2002). Diazepam termasuk kelompok obat transquilizer. Diazepam biasanya ditambahkan untuk mengobati episode akut schizophrenia dan juga berguna untuk memberikan efek sedative dan anxiolitik (Volz, 2007). Penggunaannya tidak

boleh dihentikan dengan mendadak, melainkan harus secara berangsur untuk menghindari psikose dan konvulsi reaktif (rebound) (Tjay, 2002). Carbamazepine diberikan sebagai terapi tambahan untuk mengatasi kegelisahan dan gangguan kelakuan hebat. Obat epilepsi ini dapat menurunkan kadar darah antipsikotik (Tjay, 2002). Vitamin B kompleks diberikan karena pasien schizophrenia mengalami defisiensi nutrien bersangkutan. Alasan lain yang jauh lebih penting diberikannya vitamin B kompleks pada pasien schizophrenia karena menurut perkiraan vitamin B kompleks perlu ditambahkan disebabkan terhambatnya pengubahan asam amino triptofan menjadi niasiamida dalam otak, sehingga terjadi kekurangan vitamin B3 dan kelebihan triptofan bebas. Triptofan berlebihan dapat mendorong pembentukan zat halusinogen tertentu (yang menimbulkan khayalan) dan dapat menimbulkan kelainan pada suasana jiwa dan pengamatan. Halusinogen ini dapat dirombak oleh enzim MAO (mono aminooksidase) yang justru memerlukan

19

niasiamida dan vitamin C untuk kerjanya. Jadi vitamin B 3 mutlak diperlukan untuk reaksi pengubahan triptofan (Tjay, 2002). triptofan niasiamida

Triptofan berlebih mendorong terbentuknya zat halusinogen Dirombak dengan MAO ya

Niasiamida + Vit.C

Gambar. Pengaruh Vitamin Niasiamida Terhadap Triptofan (Tjay, 2002) Vitamin B3 juga diperlukan untuk pengubahan triptofan menjadi serotonin yang merupakan salah satu neurotransmitter di otak. Bila vitamin B 3 kurang, pembentukan serotoninpun berkurang. Serotonin yang berkurang dapat

menyebabkan timbulnya depresi mentalis (FKUI, 2007). Sehingga vitamin ini banyak digunakan sebagai terapi alternatif pada depresi dan schizophrenia yang menghasilkan efek baik dalam meringankan gejala (Tjay, 2002). Penelitian yang dilakukan oleh Dogan et al, 2011 menyatakan bahwa terdapat hubungan antara defisiensi vitamin B12 dan asam folat dengan munculnya gejala psikotik yang disertai gejala ekstrapiramidal pada anak yang berumur 12 tahun. Namun telah banyak sebelumnya penelitian serupa yang dilakukan pada orang dewasa (Dogan et al, 2008). Mekanisme perbaikan gejala ekstrapiramidal dari pasien yang defisiensi vitamin B12 belum jelas. Namun bukti yang mungkin dapat dijelaskan bahwa Methymalonic acidemia (MMA), merupakan gangguan metabolisme yang dibawa sejak lahir dan menunjukan gejala ekstrapiramidal akut menunjukan respon membaik terhadap vitamin B 12. Brain imaging and studi autopsi MMA menunjukan adanya bentuk yang asimetris dari bangsal ganglia (Kumar, 2004). Untuk asam folat sendiri berinteraksi dengan reseptor asam

20

kainik pada otak mamalia dan memiliki aktivitas agonis terhadap reseptor tersebut. Sejak asam kainik diketahui memiliki potensi sebagai neurotoxin maka folat mulai diberikan (Dogan et al, 2008). Dari hasil penelitian untuk masing-masing obat yang diberikan pada pasien pria dan wanita di RSJ Prof. HB. Saanin Padang tidak ada perbedaan dosis yang diberikan. Namun pada sebuah jurnal dinyatakan bahwa adanya perbedaan profil farmakokinetik dan farmakodinamik obat antipsikotik antara pria dan wanita, sebagian obat pada wanita diberikan pada dosis yang lebih rendah untuk menjaganya tetap baik, karena sebagian dari efek samping yang serius ditemukan lebih banyak pada wanita dibanding pria. Hal ini disebabkan tubuh wanita

memiliki rata-rata 25% atau lebih jaringan adipose jika dibanding pria, dan semua obat antipsikotik bersifat lipofil sehingga menyebabkan akumulasi obat di lipid (Beierle, 1999). Obat yang bersifat lipofil seperti chlorpromazine, haloperidol, risperidon, dll (PIO, 2009). Perbandingan jaringan adipose pada wanita muda rata-rata 33% hingga 48% pada wanita dewasa (kontras dengan pria yang memiliki jaringan adipose hanya 18% pada pria muda dan 36% pada pria dewasa (Seeman, 2004). Hal ini tentu dapat menyebabkan perpanjangan dari waktu paruh antipsikotik di tubuh sehingga terjadi akumulasi. Setelah kadar puncak terapi tercapai, maka interval dosis pada wanita harus dijarakkan lebih lama dari pria. Sehingga karena alasan tersebut maka pasien wanita dianjurkan untuk mendapatkan dosis yang lebih kecil untuk mencegah terjadinya efek samping yang tidak diinginkan (Seeman, 2004). Pada penelitian ini juga didapatkan data bahwa penyebab schizophrenia dari 154 pasien yang dirawat adalah 76,62 % disebabkan oleh faktor lain-lain (118

21

pasien) dan 23,38 % (36 pasien) diantaranya disebabkan karena faktor keturunan. Persentase terbanyak disebabkan oleh faktor lain-lain, umumnya karena stres, baik stres kehilangan orang yang disayangi (ibu meningal), masalah dengan teman, putus pacar dan akibat kecanduan napza (narkotika, psikotropika dan zat adiktif). Masalah-masalah sosial yang dapat menyebabkan stres dapat memicu pensekresian neurotransmiter glutamat di daerah prefrontal kortek dan dopamin pada sistem limbik (Savioli, 2009). Kelebihan dopamin di daerah sistem limbik akan menyebabkan timbulnya gejala positif, dan kekurangannya di daerah prefrontal otak akan menyebabkan timbulnya gejala negatif (McCloughen, 2003), sehingga terjadi schizophrenia. Untuk napza yang merupakan zat-zat kimiawi yang dimasukkan ke dalam tubuh manusia, baik ditelan melalui mulut, dihirup melalui hidung maupun disuntikkan ke dalam darah dapat mengubah pikiran, suasana hati atau perasaan, dan perilaku seseorang. Pemakaian yang terus menerus akan mengakibatkan ketergantungan fisik dan/atau psikologis. Risiko yang pasti terjadi adalah kerusakan pada sistem syaraf dan organ-organ penting lainnya seperti jantung, paru-paru, dan hati (anonim, 2011). Penyalahgunaan napza seperti narkoba dalam jangka panjang berpotensi mengubah keseimbangan neurotransmitter. Hal ini dikarenakan narkoba sering dipakai pada saat seseorang sedih mengingat zat yang terkandung didalamnya dapat menstimulasi perasaan gembira yang sebenarnya semu. Orang yang kecanduan narkoba berarti siklus gembira dan sedih yang terus bergantian yang lama-kelamaan ketidakseimbangan tersebut bisa menetap (Patu, 2011). Sedangkan sisanya, 23,38 % (36 pasien) disebabkan karena faktor keturunan baik dari ayah, ibu, saudara ayah dan ibu, saudara pasien, kakek dan /nenek, data dapat dilihat pada Lampiran 5, Tabel V,

22

Diagram II. Hal ini senada dengan penelitian yang dilakukan Fatemi et al, 2009 dari studi pembuktian genetik menunjukan adanya pengaruh faktor keturunan sebagai penyebab terjadinya penyakit pada pasien schizophrenia. Fatemi

menyebutkan bahwa jika kedua orang tua menderita schizophrenia, maka prevalensi anaknya yang menderita penyakit yang sama adalah 40 %. Untuk kembar prevalensinya 45% dan 14% untuk kembar dizigotik (Fatemi, 2009). 4.2.2 Sindrom Parkinson Dari populasi (n=154 pasien), diketahui terdapat 117 pasien yang dapat dijadikan sampel yaitu yang medapat perawatan lebih dari satu bulan. Pasien yang telah ditetapkan sebagai sampel penelitian selanjutnya diobservasi dengan melihat secara visual adanya gangguan aktivitas motorik yang terjadi. Dari hasil observasi diketahui bahwa 20,13 % (31 pasien) mengalami sindrom parkinson (Lampiran 6, Tabel VI, Diagram III). Dari 31 pasien yang diobservasi terlihat ada 2 tahap sindrom parkinson yang terjadi, yaitu tahapan ringan (tahap I) dan tahapan sedang (tahap II). Pada pasien pria tahap I terjadi dengan persentase sebanyak 6,49 % (10 pasien) dan tahap II 7,79 % (12 pasien). Pada pasien wanita tahap I 3,89 % (6 pasien) dan tahap II 1,95 % (3 pasien). Persentase ini didapatkan dari jumlah populasi. Data dapat dilihat pada Lampiran 7, Tabel 7. Pasien pria yang mengalami sindrom parkinson lebih banyak dibandingkan pasien wanita, hal ini tidak sesuai dengan pendapat Seeman, 2004 yang menyatakan bahwa wanita akan lebih mungkin mengalami efek samping dari obat. Dalam jurnalnya yang berjudul Gender

Differences in the Prescribing of Antipsychotic Drugs, Seeman menjelaskan bahwa wanita lebih berpotensi tinggi mengalami efek samping dikarenakan

23

wanita memiliki jaringan adipose yang lebih banyak dari pada pria. Perbandingan jaringan adipose antara wanita dewasa dan pria dewasa adalah 48% : 36%. Hal ini perlu menjadi perhatian karena semua obat antipsikotik bersifat lipofil, sehingga ditakutkan terjadinya akumulasi atau penumpukan obat di tubuh. Namun pada penelitian ini hasil yang didapatkan berbeda dengan hasil penelitian Seeman, 2004. Beberapa alasan dapat dikemukakan, diantaranya karena pasien wanita yang dirawat di RSJ. Prof. HB. Saanin Padang tidak ada yang mengalami obesitas. Rata-rata pasien kurus dengan sedikit jaringan adipose. Sehingga dapat disimpulkan bahwa untuk terjadinya efek samping antipsikotik, potensinya sama antara pria dan wanita. Hal lain yang mungkin dapat mempengaruhi terjadinya efek samping pemakaian obat antipsikotik adalah karena wanita lebih patuh untuk teratur minum obat dan bisa merawat dirinya sendiri dibandingkan pria (Kaplan, 1997). Faktor merokok mungkin dapat pula dijadikan salah satu faktor penyebab timbulnya efek samping, dimana pada umumnya semua pasien pria yang dirawat di bangsal rawat inap RSJ Prof. HB. Saanin Padang merupakan perokok aktif. Rokok dapat mempengaruhi keterlangsungan biotransformasi obat, dimana biotransformasi lebih cepat pada orang yang banyak merokok karena adanya induksi enzim seperti yang terjadi pada diazepam (Tjay, 2002). Kombinasi obat yang digunakan untuk masing-masing pasien berbedabeda, namun dapat disimpulkan dari lembaran pengumpul data bahwa obat yang sering digunakan adalah CPZ dan HLP atau kombinasi CPZ-HLP-THP. CPZ dan HLP sering digunakan selain karena efektif dalam mengatasi sindrom positif harga obat ini juga relatif lebih murah dibandingkan dengan obat antipsikotik lain seperti risperidon, olanzapin dan clozapin. Namun CPZ-HLP yang digunakan

24

tunggal ataupun kombinasi berpotensi tinggi menimbulkan sindrom parkinson. Dari hasil penelitian pemakaian kombinasi CPZ-HLP tanpa penggunaan THP cenderung menimbulkan sindrom parkinson tahap II. Pada tahap ini pasien mengalami tremor sedang yang terjadi pada kedua sisi tubuh, gaya berjalan yang mulai pelan, wajah topeng dan hal ini sedikit menganggu aktivitas sehari-hari pasien. Untuk mengatasinya maka digunakan THP. Namun ada juga pada

sebagian pasien yang diresepkan CPZ-HLP-THP masih mengalami sindrom parkinson, namun dengan tahap yang lebih rendah yaitu tahap I. Pasien disini menunjukan tremor ringan, biasanya hanya pada salah satu anggota tubuh dan hal ini kadang tidak disadari oleh pasien itu sendiri karena tidak menggangu aktivitas sehari-hari. Sindrom parkinson yang terjadi akibat terapi antipsikotik dalam jangka waktu lama, ada yang bersifat ringan, sedang hingga cacat berat, tergantung dari penerimaan individu pasien (FKUI, 2007). Berdasarkan penelitian di bangsal rawat inap RSJ Prof. HB. Saanin padang terdapat 2 tahap sindrom parkinson yang dijumpai yaitu tahap I dan II dan tidak ditemukan sindrom parkinson tahap III, IV dan V. Hal ini mungkin dikarenakan kebanyakan pasien telah diberikan obat antikolinergik untuk mengatasi efek samping dari pemberian antipsikotik. Hal ini bertujuan untuk menghindari terjadinya gejala ekstrapiramidal yang berpotensi tinggi terjadi pada pasien yang diterapi dengan menggunakan antipsikotik, terutama antipsikotik tipikal. Satu-satunya obat golongan

antikolinergik yang dijumpai sebagai adjunctive drug adalah triheksifenidil (THP). Obat ini merupakan obat nomor 3 terbanyak yang diresepkan di bangsal

25

rawat inap RSJ.Prof.HB.Saanin Padang setelah CPZ dan HLP (Lampiran 4, Tabel IV). Triheksifenidil merupakan senyawa piperidin. Daya antikolinergik dan efek sentralnya mirip atropin namun lebih lemah, bekerja dengan cara mengurangi aktivitas kolinergik di kaudatus dan puntamen yaitu dengan memblok reseptor asetilkolin (FKUI, 2007). Triheksifenidil diberikan dalam terapi parkinson

idiopatik, namun untuk pengobatan sindrom parkinson hanya dapat teratasi dengan obat ini tetapi tidak oleh levodopa atau amantadin yang juga digunakan dalan terapi parkinson idiopatik (Tjay, 2002). Karena levodopa (obat

dopaminergik sentral) dan amantadin (obat dopamino-antikolinergik) sama-sama bekerja untuk meningkatkan kadar dopamin di otak, dimana levodopa dikonversikan menjadi dopamin di dalam tubuh sedangkan amantadin bekerja dengan meningkatkan kerja dopamin (menstimulasi pelepasan dopamin dari ujung saraf dan pencegahan re-uptakenya di ujung saraf presinap) dan menghambat aktivitas kolinergik (FKUI, 2007; Tjay, 2002). Pemberian antikolinergik

golongan ini secara rutin pada pemberian neuroleptik tidak dibenarkan, antara lain disebabkan kemungkinan timbulya akinesia. Triheksifenidil juga dapat

menimbulkan kebutaan akibat komplikasi glaukoma sudut tertutup, terutama terjadi bila dosis harian melebihi 15-30 mg sehari. Dosis harian untuk

triheksifenidil 2 mg 2-3 kali sehari dengan rentang 10-20 mg/hari tergantung kepada respon dan keterimaan dari tiap individu (FKUI, 2007).

26

IV. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Setelah melakukan penelitian mengenai efek samping pengunaan antipsikotik terhadap sindrom parkinson pada pasien schizophrenia di RSJ. Prof. HB. Saanin Padang, maka dapat disimpulkan sebagai berikut : 1. Kejadian sindrom parkinson pada pasien schizophrenia di bangsal rawat inap RSJ Prof. HB. Saanin Padang (n=154) adalah 20,13 % (31 pasien). 2. Sebanyak 20,13 % (31 pasien) yang mengalami sindrom parkinson, terdapat pasien pria 6,49 % (10 pasien) mengalami sindrom parkinson tahap I dan 7,79 % (12 pasien) tahap II. Untuk pasien wanita terdapat 3,89 % (6 pasien) mengalami tahap I dan 1,95 % (3 pasien) tahap II. 3. Terdapat hubungan antara penggunaan obat antipsikotik dengan angka kemunculan sindrom parkinson. Penggunaan obat antipsikotik generasi pertama berpotensi lebih tinggi untuk menimbulkan sindrom parkinson dibandingkan obat antipsikotik generasi kedua. 4. Efek sindrom parkinson dapat dikurangi dengan penggunaan obat antikolinergik. Saran 1. Kepada pihak rumah sakit disarankan untuk tetap memantau efek samping obat antipsikotik yaitu sindrom parkinson, terutama untuk obat-obat baru, pasien yang baru pengobatan serta pada pasien yang menghentikan pengobatan. 2. Kepada pihak rumah sakit disarankan untuk melakukan pengecekan kadar obat dalam darah pasien setelah pemakaian obat antipsikotik agar

27

diketahui secara lebih jelas hubungan obat dengan terjadinya efek samping sindrom parkinson.

DAFTAR PUSTAKA Agarwal, A., Ranjan, R., Dhiraaj, S., Lakra, A., Kumar, M., 2005, Acupressure for prevention of pre-operative anxiety: a prospective, randomized, placebo control study, Anesthesia. Andri, 2008, Kongres Nasional Skizofrenia V Closing The Treatment for Schizophrenia, Diakses 19 April 2011 dari www.kabarindoneisa.com. Anonim, 2000, Practice parameter for the assessment and treatment of children and adolescent with schizophrenia, Diakses tanggal 10 Januari 2011 dari www.aacap.org. Anonim, 2009, Gejala Ekstrapiramidal, Diakses 15 Januari 2011 dari http://medicafarma.com. Anonim, 2011, The American Psychiatric Publishing Textbook of Psychopharmacology 4th Edition, Diakses 15 Januari 2011 dari psychiatry online. Azizi, Y & Yen, G.S., 2008, Schizophrenia : the most serious of psychotic Disorders. Barlow, D. H. & Durand, V. M., 2002, Abnormal Psychology - An Integrative Approach, U.S.A.: Wadsworth Group. Beierle, I., Meibohm, B., Derendorf, H., 1999., Gender differences in pharmacokinetics and pharmacodynamics, Int J Clin Pharmacol Ther. Bertolote, J. M., 1992, Schizophreia Information for Families initiative of support to people disable by mental illness, Divition of Mental Health World Health Organization, WHO : Geneva. Bottlender, R., Sato, T., Jager, M., Wegener, U., Wittmann, J., Strauss, A., Moller, H.J., 2003, The impact of the duration of untreated psychosis prior to first psychiatric admission on the 15-year outcome in schizophrenia, Schizophr Res. British Medical Association, 2004, British National Formulary 47, Royal Pharmaceutical Society of Great Britain, Germany. Castle, D.J., 2000, Epidemiology of women and schizophrenia, in Women and Schizophrenia, Edited by Castle DJ, McGrath J, Kulkarni J. Cambridge, UK, Cambridge University Press. Davison, G.C., Neale, J.M., 1994, Abnormal Psychology, New York, John Wiley & Son Inc. Depkes RI Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan, 2009, Pelayanan Informasi Obat, Jakarta, www.depkes.go.id. Diaz, F.J., James, D., Botts, S., Maw, L., Susce, M.T., & deLeon, J. 2009. Tobacco smoking behaviors in bipolar disorder: A comparison of the general population, schizophrenia, and major depression. Bipolar Disorders, 11, 154-165.

28

Dipiro, J.T., Talbert, R.L., Yee, G.C., Matzke,G.R., Wells, B.G & Posey, L.M., 2009, Pharmacotherapy A pathophysiological approach seventh edition, United States: The McGraw-Hill Companies, Inc. Dogan, M., Ozdemir, O., Sal, E.A., Dogan, S.Z., Ozdemir, P., Cesur, Y., Caksen, H., 2008, Psychotic Disorder and Extrapyramidal Symptoms Associated with Vitamin B12 and Folate Deficiency, Oxford University Press. Ekowati, H., Adi, P.T., Trisnowati and Rahardjo, B., 2006, Pengaruh visitasi farmasis terhadap potensi interaksi obat pada pasien lanjut usia rawat inap di Bangsal Dahlia RSUD. Prof. Dr. Margono Soekarjo, Majalah Farmasi Indonesia, 17(4), 199 203. Erlina, 2008, Faktor-faktor yang berperan terhadap timbulnya skizofrenia pada pasien rawat jalan di RS Jiwa Prof. HB Saanin Padang Sumatera Barat, Elektronik These & Dissertations Universitas Gajah Mada, Yogyakarta. Exner, C., Boucsein, K., Degner, D., Irle, E., Weniger, G., 2004, Impaired emotional learning and reduced amygdala size in schizophrenia : a 3month follow-up. Schizophrenia Research 71, 493503. Fatemi, S.H., Folsom, T.D., 2009, The Neurodevelopmental Hypothesis of Schizophrenia, Revisited, Schizophrenia Bulletin vol.35no.3pp.528 548,2009. FKUI, 2007, Farmakologi dan Terapi edisi 5, Jakarta : Departemen Kedokteran Universitas Indonesia. Gabbard, G.O., 2010, Gabbard's Treatments of Psychiatric Disorders, 4th EditionPart IV Schizophrenia and Other Psychotic Disorders, The American Journal of Psychiatry. Glass, J., 2010, The Stages of Parkinsons Disease, Diakses 20 Januari 2011 dari www.WebMD.com. Gnl, A.S., Ser, C., Oguz, A., zesmi, C., Yilmaz, A., Yabanoglu, I., 2000, The Effects of Olanzapine, a Novel Antipsychotic, on Auditory Event-Related Potentials in Schizophrenia, Bulletin of Clinical Psychopharmacology, Vol: 10. Guyton, A.C & Hall, 1997, Buku Ajar Fisiologi Kedokteran, editor bahasa Indonesia : Irawati Setiawan edisi 9Jakarta : EGC. Harrigan, S.M., Gorry, P.D., Krstev, H., 2003, Does treatment delay in firstepisode psychosis really matter, Psychol Med. Harsono, 2000, Kapita Selekta Neurologi, Fakultas Kedokteran UGM. Gadjah Mada University Press. Hasnah, N., 2010, Studi Obat Antipsikotik Terhadap Aktivitas SGOT dan SGPT pada Pasien Schizophrenia di RSJ. PROF.HB.SAANIN Padang, Skripsi Sarjana Farmasi, Universitas Andalas. Huang, J.T.J., Leweke, F.M., Oxley, D., Wang, L., Harris, N., Koethe, D., Gerth, C.W., Nolden,B.M., Gross, S., Schreiber, N., Rees, B and Bahn, S., 2006, Disease Biomarkers in Cerebrospinal Fluid of Patients with First-Onset Psychosis, New England Biolabs inc. Howes, O.D and Kapur, S., 2009, The Dopamine Hypothesis of Schizophrenia : Version III The Final Common Pathway, Oxford University : Maryland Psychiatric Research Center. Ingram, I.M., Timbury, G.C., Mowbay, R.M., 1995, Catatan kuliah psikiatri edisi 6, Alih bahasa Petrus Andrianto, Jakarta: Penerbit buku kedokteran EGC.

29

Jarbin, H., Ott, Y., Knorring, V., 2003, Adult outcome of social function in adolescent-onset schizophrenia and affective psychosis, J Am Acad Child Adolesc Psychiatry. Jenning, W.M., 2003, Critical incident: idiosyncratic allergic reaction to essential oil, Complementary therapies in nursing and midwifery. Johns CA, Thompson JW. 1995. Adjunctive treatments in schizophrenia: pharmacotherapies and electroconvulsive therapy. Schizophr Bull 1995; 21: 60719 Joyal, C.C., Laakso, M.P., Tiihonen, J., Syvalahti, E., Vilkman, H., 2003, The amygdala and schizophrenia : a volumetric magnetic resonance imaging study in firstepisode, neuroleptic-naive patients, Biological Psychiatry 54, 13021304. Kalus, P., Slotboom. J., Gallinat. J., Wiest, R., Ozdoba, C., 2005, The amygdala in schizophrenia : a trimodal magnetic resonance imaging study, Neuroscience Letters 375, 151156. Kamin, J., Manwani, S., Hughes, D., 2002, Extrapyramidal Side Effects in the Psychiatric Emergency Service, Psychiatric Services. Kaplan, Harold, L., Benjamin, J. S., dan Jack, A. G., 1997, Sinopsis psikiatri edisi ketujuh, Alih bahasa oleh Widjaja Kusuma, Jakarta: Binarupa Aksara. Kasper, D.L., Braunwald, E., Fauci, A.S., Hauser, S.L., Longo, D.L., Jameson, J.L., 2005, HARRISONS Manual of Medicine, McGraw-Hill Medical Publishing Division. Kruger, R., 2003, Parkinson disease, genetic types, Departement of General Neurology and Hertie-Institute for Clinical Brain Research, University Tuebingen : Germany. Kumar, S., 2004., Vitamin B12 deficiency presenting with an acute reversible extrapyramidal syndrome, Neurol India. Lalloo R, Sheiham, A., 2003, Risk factors for childhood major and minor head and other injuries in a nationally representative sample, Injury 2003; 34:261266. Lichtenberg, P., Vass, A., Ptaya, H., Edelman, S., Heresco-levy, U., 2009, Shiatsu as an Adjuvant Therapy For Schizophrenia: An Open-Label Pilot Study., Alternative Therapy in Health and Medicine, ProQuest Medical Library. Lindner, L.M., Marasciulo, A.C., Farias, M.R., Grohs, G.E.M., 2009, Economic evaluation of antipsychotic drugs for schizophrenia treatment within the Brazilian Healthcare System, Rev Sade Pblica. Lllmann, H., Mohr, K., Ziegler, A., Bieger., 2000, Color Atlas of Pharmacology 2 nd edition, revised and expanded, Thieme Stuttgart, New York. Mansjoer, A., Triyanti, K., Savitri, R., Warhani, W.I., Setiowulan, W., 2000, Kapita Selekta Kedokteran ed.3, Jakarta : Media Aesculapis. Martaniah, S, M., 1999, Hand Out Psikologi Abnormal, Yogyakarta. Maslim, R., 2003, Diagnosa Gangguan Jiwa, Jakarta : PT.Nuh Jaya. McCloughen, A. 2003. The association between schizophrenia and cigarette smoking: A review of the literature and implications for mental health nursing practice. International Journal of Mental Health Nursing, 12, 119129.

30

Michael, R., Phillips., Yongyun, L.T., Stroup, S., Xin, L., 2000, Causes of schizophrenia reported by patients' family members in china, The British Journal of Psychiatry 177: 20-25 Namiki, C., Hirao, K., Yamada, M., Hanakawa, T., Fukuyama, H., Hayashi, T., Murai, T., 2007, Impaired facial emotion recognition and reduced amygdala volume in schizophrenia. Psychiatry Research 156, 2332. Niu, L., Matsui, M., Zhou, S.Y., Hagino, H., Takahashi, T., Yoneyama, E., et al., 2004, Volume reduction of the amygdala in patients with schizophrenia : a magnetic resonance imaging study, Psychiatry Research 132, 4151. Olson, J., 1993, Clinical Pharmacology: Made Ridiculously Simple, The McGraw-Hill Education. Patu, I., 2011, Menghapus Stigma Skizofrenia, diakses 19 April 2011 dari www.CPDdokter.com. Pirmohamed M and Park, B.K., 2001, Genetic susceptibility to adverse drug reactions, TRENDS in Pharmacological Sciences vol 22 no 6 june 2001. Price, S.A., Wilson, L.M., 2005, Patofisiologi : konsep klinis proses-proses penyakit; ahli bahasa, Bram U. Pendit et al., edisi 6, Jakarta : EGC. Saperstein, A.M., Fuller, R.L., Avila, M.T., Adami, H., McMahon, R.P., Thaker, G.K., Gold, J.M., 2006, Spatial Working Memory as a Cognitive Endophenotype of Schizophrenia: Assessing Risk for Pathophysiological Dysfunction, Oxford University Press. Savioli, W.K., 2009, The Relationship Between Perceived Stress and Smoking : Focusing on Schizophrenia and Comparative Sub-Groups Diagnosed with Mental Illness, Cleveland State University. Schoenstadt, A., 2009, Extrapyramidal Symptoms, Diakses 15 Januari 2011 dari www.schizophrenia.emedtv.com. Seeman, M.V., 1997, Psychopathology in women and men: focus on female hormones, Am J Psychiatry. Seeman, M.V., 2004, Gender Differences in the Prescribing of Antipsychotic Drugs, Am J Psychiatry 161:1324-1333. Siever, L.J., Davis, K.L., 2004, The Pathophysiology of Schizophrenia Disorders: Perspectives From the Spectrum, Am J Psychiatry 161:3 http://ajp.psychiatryonline.org. Sinaga dan Rudyanto, B., 2007, Skizofrenia dan Diagnosa Banding, Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Siregar, C.J.P dan Kumolosasi, E., 2005, Farmasi Klinik Teori dan Terapan, Penerbit Buku Kedokteran EGC : Jakarta. Smith, M., Larson, H., Kemp, G., Jaffe, J and Segal, J., Schizophrenia Treatment : Diagnosis, Treatments, Medication and Therapy, 2011, Diakses 15 Januari 2011 dari www.helpguide.org. Sukandar, E.Y., Andrajati, R., Sigit, J.I., Adnyana,K., Setiadi, A.P and Kusnandar, 2008, ISO FARMAKOTERAPI, ISFI Penerbitan : Jakarta. Szasz, T., 2007, Essence or Existence: The Problem of PsychiatrySchizophrenia, Diakses 3 Maret 2011 dari www.szasz.com/schizophrenia1.pdf. Tjay, T. H dan Rahardja, K., 2002, Obat-Obat Penting, Elex Media Komputindo Gramedia, Jakarta.

31

Tenback, D.E., Harten, P.N., Slooff, M.D., Os,J.V, and SOHO Study Group, 2006, Evidence That Early Extrapyramidal Symptoms Predict Later Tardive Dyskinesia: A Prospective Analysis of 10,000 Patients in the European Schizophrenia Outpatient Health Outcomes (SOHO) Study, The American Psychiatry. Tomasino, B., Bellani, M., Perlini, C., Rambaldelli, G., Cerini, R., 2011, Altered microstructure integrity of the amygdale in schizophrenia: a bimodal MRI and DWI study., Psychological Medicine (2011), 41, 301311. Cambridge University Press 2010 doi:10.1017/S0033291710000875. U.S. Departement Of Health And Human Services, 2009, schizophrenia, National Institutes of Health National Institute of Mental Health NIH Publication No. TR-09-3517. Diakses tanggal 10 Januari 2011 dari http://www.nimh.nih.gov. Wiffen, P., Mitchell, M., Snelling, M., Stoner, N., 2007, Oxford handbook of clinical pharmacy, Oxford University Press.