Obat-obatan Dalam Kehamilan

15
1 PENGGUNAAN OBAT PADA IBU HAMIL DAN IBU MENYUSUI Iwan Dwiprahasto Bagian Farmakologi dan Toksikologi Fakultas Kedokteran UGM PENDAHULUAN Penggunaan obat pada ibu hamil sering tidak dapat dihindari meskipun dalam kenyataannya diketahui bahwa hampir sebagian besar obat dapat berpengaruh pada janin dan bayi yang dilahirkan. Farmakoterapi pada ibu hamil harus selalu mempertimbangkan berbagai faktor risiko yang mungkin dapat terjadi, baik pada ibu maupun janin yang dikandung, oleh karena sebagian besar obat dapat melintasi sawar darah plasenta dan segera masuk ke sirkulasi janin dengan berbagai manifestasi yang kadang serius dan bahkan fatal. Demikian pula halnya dengan penggunaan obat pada masa laktasi yang harus senantiasa menimbang risiko dan manfaat obat pada ibu dan bayinya karena beberapa jenis obat dapat masuk ke dalam air susu ibu dalam dosis yang cukup tinggi yang kadang juga memberikan risiko bagi bayi yang disusui. Peran dokter, farmasis dan tenaga kesehatan lainnya sangatlah besar dalam mencegah terjadinya berbagai risiko yang mungkin timbul akibat penggunaan obat pada kedua kelompok tersebut. Pengetahuan yang memadai tentang obat dan berbagai risikonya, khususnya untuk ibu hamil dan ibu menyusui sangatlah diperlukan untuk menjamin agar obat yang diresepkan selain efficacious dan memberikan manfaat klinik yang bermakna juga aman bagi pasien. Makalah ini akan membahas penggunaan obat pada ibu hamil, dan ibu menyusui yang meliputi epidemiologi, pertimbangan risiko-manfaat obat, serta berbagai hal yang perlu diketahui oleh dokter, farmasis dan tenaga kesehatan lainnya agar upaya terapi yang dilakukan selama kehamilan atau menyusui tidak menimbulkan dampak buruk baik bagi ibu maupun janid dan bayi yang sedang menyusu. EPIDEMIOLOGI & PENGGUNAAN OBAT PADA IBU HAMIL Beberapa studi epidemiologi menunjukkan bahwa sekitar 80% ibu hamil dan menyusui terpaksa minum obat akibat beberapa masalah kesehatan yang dialami selama hamil atau menyusui (Headly, et.al., 2004; Peters & Schaefer, 2002). Salah satu studi menemukan bahwa selama masa kehamilan 12% ibu mengkonsumsi obat analgetika dan 9% menggunakan obat yang diresepkan oleh dokter akibat berbagai penyakit yang menyertai, seperti hipertensi dan asma (McElhatton, 2002). Di beberapa negara maju angka kejadian cacat lahir relatif cukup tinggi. Di Australia, misalnya, 1 di antara 25 bayi yang dilahirkan ditemukan mengalami cacat bawaan dan sebagian dari cacat lahir tersebut berkaitan dengan penggunaan obat oleh ibu selama kehamilan (Australian Drug Evaluation Committee, 1999). Angka yang hampir sama

description

tindakan operatif kebidanan

Transcript of Obat-obatan Dalam Kehamilan

Page 1: Obat-obatan Dalam Kehamilan

1

PENGGUNAAN OBAT PADA IBU HAMIL DAN IBU MENYUSUI

Iwan Dwiprahasto

Bagian Farmakologi dan Toksikologi Fakultas Kedokteran UGM PENDAHULUAN Penggunaan obat pada ibu hamil sering tidak dapat dihindari meskipun dalam kenyataannya diketahui bahwa hampir sebagian besar obat dapat berpengaruh pada janin dan bayi yang dilahirkan. Farmakoterapi pada ibu hamil harus selalu mempertimbangkan berbagai faktor risiko yang mungkin dapat terjadi, baik pada ibu maupun janin yang dikandung, oleh karena sebagian besar obat dapat melintasi sawar darah plasenta dan segera masuk ke sirkulasi janin dengan berbagai manifestasi yang kadang serius dan bahkan fatal. Demikian pula halnya dengan penggunaan obat pada masa laktasi yang harus senantiasa menimbang risiko dan manfaat obat pada ibu dan bayinya karena beberapa jenis obat dapat masuk ke dalam air susu ibu dalam dosis yang cukup tinggi yang kadang juga memberikan risiko bagi bayi yang disusui. Peran dokter, farmasis dan tenaga kesehatan lainnya sangatlah besar dalam mencegah terjadinya berbagai risiko yang mungkin timbul akibat penggunaan obat pada kedua kelompok tersebut. Pengetahuan yang memadai tentang obat dan berbagai risikonya, khususnya untuk ibu hamil dan ibu menyusui sangatlah diperlukan untuk menjamin agar obat yang diresepkan selain efficacious dan memberikan manfaat klinik yang bermakna juga aman bagi pasien. Makalah ini akan membahas penggunaan obat pada ibu hamil, dan ibu menyusui yang meliputi epidemiologi, pertimbangan risiko-manfaat obat, serta berbagai hal yang perlu diketahui oleh dokter, farmasis dan tenaga kesehatan lainnya agar upaya terapi yang dilakukan selama kehamilan atau menyusui tidak menimbulkan dampak buruk baik bagi ibu maupun janid dan bayi yang sedang menyusu. EPIDEMIOLOGI & PENGGUNAAN OBAT PADA IBU HAMIL Beberapa studi epidemiologi menunjukkan bahwa sekitar 80% ibu hamil dan menyusui terpaksa minum obat akibat beberapa masalah kesehatan yang dialami selama hamil atau menyusui (Headly, et.al., 2004; Peters & Schaefer, 2002). Salah satu studi menemukan bahwa selama masa kehamilan 12% ibu mengkonsumsi obat analgetika dan 9% menggunakan obat yang diresepkan oleh dokter akibat berbagai penyakit yang menyertai, seperti hipertensi dan asma (McElhatton, 2002). Di beberapa negara maju angka kejadian cacat lahir relatif cukup tinggi. Di Australia, misalnya, 1 di antara 25 bayi yang dilahirkan ditemukan mengalami cacat bawaan dan sebagian dari cacat lahir tersebut berkaitan dengan penggunaan obat oleh ibu selama kehamilan (Australian Drug Evaluation Committee, 1999). Angka yang hampir sama

Page 2: Obat-obatan Dalam Kehamilan

2

juga dilaporkan oleh March of Dimes Birth Defect Foundations (2001) bahwa di Amerika Serikat 1 di antara 28 bayi yang dilahirkan ditemukan mengalami cacat bawaan. Bukti selanjutnya menunjukkan bahwa di antara bayi yang dilahirkan cacat tersebut ternyata berkaitan dengan riwayat penggunaan beberapa jenis obat oleh ibu selama masa kehamilan. Perubahan fisiologis yang terjadi selama kehamilan seperti misalnya meningkatnya jumlah air dalam tubuh, meningkatnya metabolisme hepar dan aliran darah ginjal (renal blood flow) serta penurunan kadar protein plasma dapat secara signifikan mengubah farmakokinetik dan kadar obat dalam plasma. Sebagai contoh, klirens ampicillin meningkat dua kali lipat selama kehamilan. Oleh sebab itu dosis ampicillin perlu ditingkatkan jika terjadi infeksi sistemik yang serius. Namun demikian tidak serta merta hal tersebut juga terjadi pada semua obat. Farmakokinetika beberapa jenis obat sama sekali tidak berubah selama masa kehamilan. Penggunaan obat pada kehamilan selain harus ekstra hati-hati juga harus mempertimbangkan dengan seksama berbagai manfaat dan risikonya (risk-benefit assessment), oleh karena hampir sebagian obat yang diminum oleh ibu hamil dapat menembus sawar darah plasenta dan selanjutnya masuk ke sirkulasi janin. Beberapa obat tidak memberikan efek yang signifikan pada janin (misalnya parasetamol dan ampisilin) tetapi beberapa obat yang lain dapat memberikan risiko yang serius jika diminum saat hamil misalnya beta blocker yang dapat menyebabkan terjadinya bradikardia dan hipoglikemi pada janin. Selama beberapa dekade dipercaya bahwa plasenta merupakan kompleks pertahanan janin terhadap efek samping dari obat. Aksioma ini segera digugurkan setelah timbulnya bencana talidomid, yaitu kejadian fokomelia (bayi dilahirkan tanpa anggota gerak tubuh) pada ibu yang selama kehamilannya mengkonsumsi talidomid (Schardein, 1993). Risiko terjadinya efek yang merugikan akibat mengkonsumsi obat pada ibu hamil tergantung pada kapan obat tersebut dikonsumsi. Obat yang sering digunakan sehari-hari dan relatif aman bagi populasi yaitu antiinflamasi non steroid (seperti ibuprofen, asam mefenamat, piroksikam, dan sodium diklofenak) ditemukan meningkatkan risiko terjadinya abortus jika dikonsumsi selama masa konsepsi (De-kun Li, et al., 2003). Dalam dua minggu pertama pertumbuhan sejak dari konsepsi, embryo diketahui resisten terhadap efek teratogenik dari obat. Periode paling kritis dalam pertumbuhan embryo dimulai sekitar 17 hari pasca konsepsi, saat sistem organ sedang berkembang hingga 60-70 hari. Eksposur obat tertentu selama periode ini (hari ke 17 hingga 70 pasca konsepsi) dapat menyebabkan terjadinya cacat bawaan. Secara umum, eksposur terhadap obat setelah 70 hari pasca konsepsi diketahui tidak berkaitan dengan induksi terjadinya cacat bawaan (TGA, 1999). Namun demikian beberapa obat dapat mempengaruhi fungsi pertumbuhan dari sistem organ, baik pada trimester ke dua maupun ke tiga dan memberikan konsekuensi yang cukup serius. Salah satu contoh adalah terjadinya disfungsi renal pada janin akibat ibu hamil mengkonsumsi ACE inhibitor pada trimester kedua dan ketiga. Demikian pula halnya dengan pertumbuhan sistem saraf pusat, yang periode histogenesis dan maturasi fungsionalnya berlangsung cukup lama, pemberian

Page 3: Obat-obatan Dalam Kehamilan

3

beberapa jenis obat selama periode ini dapat menimbulkan kerusakan yang serius, antara lain berupa retardasi mental, cerebral palsy, atau ketulian. PENGGOLONGAN OBAT PADA KEHAMILAN Sejak tragedi thalidomide sekitar tahun 1960 an penggunaan obat pada ibu hamil menjadi perhatian yang serius oleh berbagai kalangan. Untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan maka Badan Pengawasan Obat Australia (TGA-Therapeutic Good Administration) melakukan pengelompokan penggunaan obat untuk wanita hamil berdasarkan faktor risikonya seperti disajikan dalam Tabel 1 (TGA, 2002). Pemahaman mengenai kategorisasi obat selama kehamilan ini penting untuk mencegah risiko terjadinya produk kehamilan yang tidak diinginkan. Keterbatasan pengetahuan dan pemahaman dokter dan petugas profesional kesehatan akan kategorisasi ini secara jelas dilaporkan oleh Riley et al (2005) yang menemukan bahwa dari 56% obat resep yang dikonsumsi oleh ibu hamil, sekitar 4%nya adalah tergolong obat kategori D atau X. Meskipun relatif kecil, angka ini cukup menjadi petunjuk bahwa praktisi medik tidak jarang meresepkan obat yang sebetulnya merupakan kontraindikasi selama kehamilan

Page 4: Obat-obatan Dalam Kehamilan

4

Tabel 1. Kategori obat berdasarkan risikonya pada janin (TGA, 2002)

Kategori Keterangan A Obat-obat yang selama ini telah banyak dikonsumsi oleh ibu hamil tanpa

menunjukkan bukti adanya peningkatan kejadian malformasi atau efek yang membahayakan bagi janin baik secara langsung maupun tidak langsung

C Obat-obat yang berdasarkan efek farmakologinya telah menyebabkan atau dicurigai menyebabkan efek yang membahayakan bagi janin maupun bayi tetapi tidak menimbulkan malformasi. Efek yang ditimbulkan dapat bersifat reversibel

B1 Obat-obat yang secara umum telah dikonsumsi oleh sebagian ibu hamil tetapi tidak menunjukkan bukti adanya peningkatan kejadian malformasi ataupun efek yang membayakanan bagi janin, baik secara langsung maupun tidak langsung. Studi pada hewan uji tidak membuktikan adanya peningkatan kejadian kerusakan janin

B2 Obat-obat yang secara umum telah dikonsumsi oleh sebagian ibu hamil tetapi tidak menunjukkan bukti adanya peningkatan kejadian malformasi ataupun efek yang membayakanan bagi janin, baik secara langsung maupun tidak langsung. Studi pada binatang sangat terbatas atau tidak memadai, tetapi data yang ada menunjukkan bahwa obat-obat tersebut tidak meningkatkan kejadian kerusakan janin

B3 Obat-obat yang secara umum telah dikonsumsi oleh sebagian ibu hamil tetapi tidak menunjukkan bukti adanya peningkatan kejadian malformasi ataupun efek yang membayakanan bagi janin, baik secara langsung maupun tidak langsung. Studi pada binatang menunjukkan bahwa obat-obat dalam golongan ini meningkatkan kejadian kerusakan janin tetapi efek pada manusia belum diketahui.secara jelas

D Obat-obat yang telah menyebabkan, dicurigai sebagai penyebab atau diduga dapat meningkatkan kejadian malformasi janin atau kerusakan yang sifatnya menetap. Obat-obat ini juga dapat menimbulkan efek farmakologi yang tidak dikehendaki pada penggunanya

X Obat-obat yang memberikan risiko tinggi untuk terjadinya kerusakan permanen pada janin sehingga obat golongan ini tidak boleh diberikan pada ibu hamil

PRINSIP-PRINSIP TERATOGENESIS Sebelum dibahas lebih lanjut perlu dipahami beberapa istilah yang berkaitan dengan efek obat pada janin. Teratogenesis didefinisikan sebagai disgenesis organ tubuh janin, baik secara struktur maupun fungsi (misalnya fungsi otak) (Moore, 1998). Manifestasi teratogenesis yang umum berupa gangguan pertumbuhan atau kematian janin, karsinogenesis, dan malformasi (Schardein, 1993). Abnormalitas ini bervariasi dalam hal keparahannya (misalnya hipospadia yang relatif ringan hingga kondisi lain yang berderajat berat dan memerlukan tindakan koreksi melalui operasi). Malformasi janin dapat bersifat mengancam jiwa (life-threatening) dan memerlukan pembedahan atau berdampak serius secara fungsional maupun kosmetik.

Page 5: Obat-obatan Dalam Kehamilan

5

Suatu obat atau bahan kimia dikatakan bersifat teratogen apabila pemberiannya pada ibu hamil dapat secara langsung maupun tidak langsung menyebabkan terjadinya abnormalitas struktural atau fungsional pada janin atau bayi (McElhatton, 2002). Efek yang dapat timbul akibat bahan yang bersifat teratogen antara lain berupa (1) abnormalitas kromosom, (2) terganggunya implantasi saat konsepsi, (3) resorpsi atau aborsi pada awal pertumbuhan embryo, (4) malformasi struktural, (5) retardasi pertumbuhan intrauteri (IUGR-intrauterine growth retardation), (6) kematian janin, (7) kerusakan fungsi pada neonatus (misalnya ketulian), (8) abnormalitas perilaku, dan (9) retardasi mental (McElhatton, 2003). Obat yang memiliki bukti kuat menimbulkan efek teratogenik disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2. Obat yang memiliki bukti kuat menimbulkan efek teratogenik (Koren et al., 1998)

Obat Efek teratogenik 1. Aminopterin†, methotrexate 2. Angiotensin-converting–enzyme

(ACE-) inhibitors 3. Obat-obat Anticholinergic 4. Obat-obat Antithyroid

(propylthiouracil and methimazole) 5. Carbamazepine 6. Cyclophosphamide 7. Danazol dan obat androgenic lainnya 8. Diethylstilbestrol† 9. Obat Hypoglycemic 10. Lithium 11. Misoprostol 12. Antiinflamasi non steroid (NSAIDs) 13. Paramethadione† 14. Phenytoin 15. Obat-obat Psychoactive (barbiturat,

opioid, dan benzodiazepines) 16. Retinoid sistemik (isotretinoin and

etretinate) 17. Tetracycline 18. Thalidomide 19. Trimethadione† 20. Asam valproat (valproic acid) 21. Warfarin

Malformasi Sistema saraf pusat dan anggota gerak Gagal ginjal berkepanjangan pada bayi, penurunan osifikasi tempurung kepala, disgenesis tubulus renalis. Ileus meconium neonatus Gondok pada janin dan bayi, hipotiroidismus, dan aplasia kutis (methimazole) Defek Neural-tube Malformasi Sistema saraf pusat Maskulinisasi pada janin perempuan Ca Vagina & defek sistema urogenital pada janin Hipoglikemia Neonatal Ebstein’s anomaly Moebius sequence Konstriksi ductus arteriosus‡, enterokolitis nekrotikans Defek wajah dan sistema saraf pusat (SSP) Gangguan pertumbuhan dan defisit SSP Neonatal withdrawal syndrome jika obat diminum pada akhir periode kehamilan Defek SSP, kardiovaskuler, dan kraniofasial Anomali pada gigi dan tulang Fokomelia & defek organ internal Defek pada wajah dan SSP Defek Neural-tube Defek Skeletal dan SSP, Dandy–Walker syndrome

Salah satu hal yang menarik adalah bahwa dapat saja suatu obat yang semula diduga bersifat teratogenik karena adanya bukti ini pada hewan uji, dalam perkembangannya berubah kategorisasinya menjadi aman dikonsumsi selama kehamilan. Hal ini tentu berkaitan dengan munculnya bukti-bukti ilmiah baru pada manusia yang lebih valid tentang masalah tersebut. Contoh untuk ini adalah kasus bendektin yang merupakan

Page 6: Obat-obatan Dalam Kehamilan

6

kombinasi antara antihistamin (doksilamin) dan piridoksin, yang sekitar tahun 50-60an sangat banyak digunakan di Amerika Serikat dan Kanada untuk mengatasi nausea dan vomitus pada wanita hamil. Pada tahun 1970 beberapa peneliti menemukan bukti adanya efek teratogenik dari bendektin yang akhirnya membawa perusahaan pembuat obat ini ke pengadilan. Obat ini selanjutnya ditarik dari peredaran sejak 1982. Namun demikian dampaknya cukup besar karena sebagian besar kasus nausea dan vomitus pada ibu hamil terpaksa harus dirujuk ke rumahsakit karena tidak adanya obat antinausea yang disetujui oleh US-FDA (US-Food and Drug Administration) pada periode itu. Studi lebih lanjut menunjukkan bahwa ternyata risiko terjadinya malformasi pada mereka yang terpapar bendektin tidak berbeda bermakna dengan kejadian malformasi pada populasi umum (Einarson et al., 1988; McKeigue et al., 1994; Neutel & Johansen, 1995). Di Kanada obat tersebut kembali dipasarkan sekitar tahun 1995 dengan nama Diclectin. Kombinasi doksilamin dengan piridoksin juga tersedia di beberapa negara seperti Afrika Selatan, Spanyol, dan Thailand). Relatif tidak mudah untuk mendapatkan bukti yang akurat berkaitan dengan efek teratogenik oleh karena bisa saja pada binatang ditemukan adanya malformasi tetapi pada manusia tidak pernah dilaporkan kejadian yang sama. Di Eropa insidensi malformasi spontan pada bayi baru lahir sekitar 2-3% (1 di antara 40 bayi lahir hidup). Atas dasar angka ini tentu sulit memperkirakan apakah malformasi disebabkan oleh obat. Sebagai contoh, untuk memastikan bahwa suatu obat meningkatkan kejadian bibir sumbing (<1:1000) hingga 2 kali lipat maka diperlukan studi yang melibatkan sekitar 23.000 ibu hamil (McElhatton, 2003). Contoh lain, bencana thalidomide yang menyebabkan amelia (bayi lahir tanpa anggota gerak) atau fokomelia (anggota gerak tidak memiliki tulang-2 panjang) baru terdeteksi lebih dari 10 tahun sejak thalidomide dikonsumsi oleh para ibu hamil dan beberapa ratus bayi terbukti mengalami malformasi. Namun dari beberapa penelitian paling tidak telah diketahui beberapa obat yang di samping memberikan efek teratogenik pada hewan uji juga pada manusia, sehingga obat-obat tersebut harus dihindari selama kehamilan (Tabel 3)

Page 7: Obat-obatan Dalam Kehamilan

7

Tabel 3. Efek teratogenik beberapa obat pada hewan uji dan manusia (Schardein, 1993)

Obat Efek pada hewan uji Efek pada manusia ACE-inhibitor Stillbirths dan meningkatkan

kejadian janin mati pada kelinci dan kambing

Memperburuk gagal ginjal dan hipotensi pada bayi baru lahir, menurunkan osifikasi tempurung kepala, hipokalvaria, dan disgenesis tubulus renalis.

Carbamazepine Celah pada langit-2, dilatasi ventrikel otak, dan retardasi pertumbuhan pada mencit

Defek pada tuba neuralis

Ethanol Mikrosefalus, defisiensi pertumbuhan dan anomali anggota gerak pada anjing, ayam dan mencit

Fetal alcohol syndrome: defisiensi pertumbuhan prenatal dan postnatal, anomali sistema saraf pusat (SSP), retardasi mental, mikrosefali, malformasi organ major, maksila datar, fisura palpebra pendek

Isotretinoin Defek pada SSP, kepala, anggota gerak dan kardiovaskuler kelinci dan marmut

Hidrosefalus, buta saraf mata, defek retina, mikoftalmia, defek fosa posterior, defek korteks dan serebelum, defek kraniofasial & kardiovaskuler, otot lemah, aborsi spontan, abnormalitas perilaku, defek pada katup atrial dan ventrikel

Phenytoin Celah langit-2, mikromelia, defek ginjal dan hidrosefalus pada kelinci, tikus dan marmut

Defisiensi pertumbuhan prenatal dan postnatal, defisiensi mental, hidung pesek dan lebar, mikrosefali, strabismus, fontanela lebar, deformitas anggota gerak, hipospadia, hernia, pertumbuhan persyarafan buruk.

Valproic acid (asam valproat)

Eksensefali pada hamster dan tikus

Defek pada neural tube

Warfarin Hipoplasia maksilonasal dan anomali tulang pada tikus

Fetal warfarin syndrome: defek tulang, hipoplasia anggota gerak, berat badan lahir rendah, rambut rontok, anomali indera penglihatan, defek SSP dan atrofi optik.

Meskipun hingga saat ini mekanisme teretogenesis tidak banyak diketahui, tetapi beberapa hal berikut dapat digunakan sebagai salah satu acuan untuk terjadinya efek teratogenik (McElhatton, 1999 McElhatton, 2002; Schardein, 2000; Lee, 2000): 1. Waktu paparan. Obat dan bahan kimia lain dapat menimbulkan efek merugikan

selama periode kehamilan. Jika paparan terjadi pada 3 bulan pertama kehamilan maka dapat menimbulkan malformasi struktural (misalnya spina bifida) sedangkan paparan yang terjadi setelah 3 bulan pertama kehamilan dapat menyebabkan defek pertumbuhan. Gangguan pertumbuhan janin dapat terjadi apabila minimal 10% dari plasenta mengalami fibrosis atau infark. Ketika seorang wanita menyadari bahwa dirinya hamil, maka proses organogenesis (pembentukan organ-organ utama) sebenarnya telah terjadi. Sebagai contoh penutupan tuba neuralis sebenarnya sedang berlangsung atau bahkan telah selesai pada 28 hari pasca konsepsi). Atas dasar hal ini maka sebetulnya embryo telah sangat rentan terhadap paparan obat sejak awal pertumbuhan.

2. Perbedaan kerentanan. Kerentanan ibu dan janin terhadap obat atau bahan kimia sangatlah berbeda, oleh sebab itu bisa saja suatu obat yang cukup aman bagi ibu ternyata dapat menimbulkan kerusakan pada janin. Mengingat bahwa pada plasenta tidak terdapat barier spesifik untuk mencegah masuknya obat atau bahan kimia dari ibu ke sirkulasi janin, maka paparan obat pada janin sering tidak dapat dihindarkan. Di sisi lain beberapa peneliti melaporkan bahwa obat tidak perlu harus melalui plasenta untuk dapat berpengaruh langsung pada janin. Sebagai contoh, insulin tidak

Page 8: Obat-obatan Dalam Kehamilan

8

dapat melalui barier plasenta, tetapi glukosa yang dihasilkan selama episode hiperglikemia pada ibu dapat melintasi barier plasenta. Akibatnya janin harus memproduksi insulin yang tidak dapat dibersihkan dari darah janin.

3. Variasi genetik. Risiko tiap individu berbeda-beda, sebagai contoh adalah akibat dari variasi genetik dalam metabolisme obat. Seorang ibu yang termasuk penderita defisiensi G6PD (glucose 6 phospate dehydroginase) tidak boleh mengkonsumsi obat golongan sulfa sepanjang hidupnya termasuk saat hamil karena akan menyebabkan terjadinya hemolisis baik pada ibu maupun janin.

4. Teratogenesis pada manusia. Dalam kenyataannya sangat sulit memprediksi apakah efek teratogenik suatu obat pada hewan uji juga memberikan efek yang sama pada manusia. Hal ini disebabkan oleh adanya perbedaan farmakokinetika dan metabolik antara hewan dan manusia. Namun demikian berbagai penelitian menunjukkan bahwa bahan yang memberi efek teratogen pada manusia umumnya menimbulkan defek pada hewan (khususnya rodensia), sedangkan obat yang bersifat teratogen pada beberapa spesies, khususnya pada dosis rendah, umumnya dicurigai akan memberikan efek yang sama pada manusia.

5. Hubungan dosis-respons. Berdasarkan berbagai studi toksikologi ditemukan bahwa efek teratogenik umumnya tergantung dosis, dengan kata lain penambahan dosis yang tidak terlalu besar akan meningkatkan efek toksik pada janin secara bermakna. Selain itu efek dari obat atau bahan kimia terhadap fetus juga ditentukan oleh jarak antara masa konsepsi dengan waktu pemberian obat.

Fetotoksisitas obat dapat dikelompokkan menurut waktu paparan obat terhadap umur kehamilan. Pada Tabel 4 disajikan obat-obat yang memberi efek fetotoksik jika diberikan pada 3 bulan pertama kehamilan. Sedangkan Tabel 5 menggambarkan efek fetotoksik yang kemungkinan dapat terjadi pada beberapa jenis obat jika diberikan setelah 3 bulan pertama kehamilan (McElhatton, 1999 McElhatton, 2002; Schardein, 2000; Lee, 2000).

Tabel 4. Obat yang kemungkinan memberi efek pada janin jika diberikan pada 3 bulan pertama kehamilan

No Obat Efek yang mungkin terjadi pada bayi

1. ACE inhibitor & antagonis reseptor angiotensin-II

Hipoplasia paru dan ginjal, hipokalvaria

2. Antiepilepsi Defek pada jantung, wajah, dan anggota gerak, retardasi mental, dan defek tuba neuralis

3. Obat-obat sitotoksik Defek multipel, aborsi, retardasi pertumbuhan, lahir mati

4. Penyalahgunaan obat Defek multipel, IUGR 5. Alkohol Sindroma alkohol-janin 6. Androgen Virilisasi pada bayi perempuan 7. Diethylstilbestrol Anomali genital pada bayi laki-laki dan perempuan,

adenokarsinoma vagina 8. Estrogen lain Feminisasi pada bayi laki-laki 9. Lithium Defek kardiovaskuler 10. Misoprostol (sebagai abortifacient) Moebius sequence (paralisis nervus cranial 6 & 7) 11. Retinoid Defek pada telinga, kardiovaskuler, dan tulang serta

disfungsi sistema saraf pusat 12. Thalidomide Defek pada anggota gerak 13. Warfarin Hipoplasia nasi, khondroplasia punctata

Page 9: Obat-obatan Dalam Kehamilan

9

Tabel 5. Obat yang kemungkinan memberi efek pada janin jika diberikan setelah 3 bulan pertama kehamilan

No Obat Efek yang mungkin terjadi pada bayi

1. ACE inhibitor & antagonis reseptor angiotensin-II

Oligohidramnion, retardasi pertumbuhan, hipoplasi paru dan ginjal, hipokalvaria, hipotensi, anuria

2. Aminoglikosida Ketulian, kerusakan vestibuler 3. Antiepilepsi Retardasi mental, kemungkinan autisme 4. Antagonis beta-adrenoseptor Kemungkinan IUGR, bradikardi neonatal, hipoglikemia 5. Benzodiazepine Floppy infant syndrome, depresi respirasi neonatus, gejala-

gejala withdrawal 6. Obat-obat sitotoksik IUGR, stillbirth 7. Diethylstilbestrol Adenokarsinoma vagina 8. Penyalahgunaan obat Disfungsi Sistema saraf pusat, IUGR 9. Narkotika Depresi pernafasan bayi, gejala withdrawal 10. NSAID Perpanjangan masa hamil dan persalinan, penutupan

duktus arteriosus secara prematur, hipertensi pulmoner pada neonatus

11. Phenothiazines Gejala-gejala withdrawal pada neonatus, pemburukan termoregulasi, efek ekstrapiramidal

12. Retinoid Disfungsi sistema saraf pusat 13. Salisilat Perdarahan pada janin/neonatus 14. Hormon sex Virilisasi pada janin perempuan/feminisasi pada janin laki-

laki 15. Sulfonamid Hiperbilirubinemia, kern ikterus 16. Tetrasiklin Gigi kekuningan, pemburukan pertumbuhan tulang 17. Warfarin Perdarahan janin, abnormalitas sistema saraf pusat

Efek suatu obat terhadap janin juga dapat berbeda sesuai dengan periode kehamilan ibu. Dalam hal ini US-FDA juga melakukan klasifikasi obat berdasarkan periodisasi kehamilan. Salah satu contoh adalah acetaminophen dan aspirin tetap dikelompokkan dalam kategori B, baik untuk trimester I, II, maupun III. Tidak demikian halnya dengan ibuprofen, ketoprofen, dan naproxen. Ketiganya tergolong klas B jika diberikan pada trimester I dan II, tetapi termasuk kategori D untuk kehamilan trimester III (Tabel 6) oleh sebab itu ketiga jenis obat ini tidak boleh sama sekali diberikan pada trimester ketiga kehamilan.

Page 10: Obat-obatan Dalam Kehamilan

10

Tabel 6 Kategorisasi obat berdasarkan periode kehamilan dan kemampuan menembus plasenta

Obat Kategori obat

(trimester) Menembus plasenta Penggunaan selama kehamilan

I II III Acetaminophen B B B Ya Obat pilihan untuk nyeri

Aspirin D D D Ya Tidak direkomendasikan, kecuali atas indikasi spesifik (*)

Ibuprofen B B D Ya Digunakan secara hati-hati & dihindari pada trimester III (#)

Ketoprofen B B D Ya Digunakan secara hati-hati & dihindari pada trimester III (#)

Naproxen B B D Ya Digunakan secara hati-hati & dihindari pada trimester III (#)

(*) berkaitan dengan peningkatan kematian perinatal, perdarahan neonatus, penurunan berat badan lahir, perpanjangan masa kehamilan dan persalinan, dan kemungkinan teratogen. (#) berkaitan dengan kejadian oligohydramnion, penutupan duktus arteriosus secara prematur, hipertensi pulmoner pada janin, nefrotoksisitas pada janin, dan perdarahan periventrikular. PENGGUNAAN OBAT PADA IBU MENYUSUI Dalam masa laktasi (menyusui) seorang ibu dapat saja menderita penyakit yang memerlukan terapi obat. Tergantung pada berat-ringannya penyakit, jenis obat yang diminumpun dapat bervariasi mulai dari sekedar analgetik-antipiretika, antihistaminika, hingga antibiotika dan bahkan antikanker. Salah satu pertimbangan utama pemberian obat pada ibu menyusui adalah adanya kemungkinan obat yang diminum masuk ke dalam air susu ibu dalam kadar yang cukup tinggi yang kemudian dapat beredar di dalam sirkulasi darah bayi yang menyusu. Oleh sebab itu perlu dipahami secara benar, obat apa saja yang dapat melintasi air susu ibu tetapi aman untuk bayi, dan obat apa saja yang dapat memberi risiko pada bayi yang menyusu. Jumlah obat yang diekskresi melalui ASI tergantung pada sifat-sifat dari obat, seperti ikatan plasma protein, ionisasi, tingkat lipofilisitas, berat molekul, dan kinetika pada ibu. Mekanisme ekskresi obat di ASI terjadi melalui difusi pasif dan transport yang dimediasi oleh pembawa (carrier-mediated transport) sebagaimana halnya sistem transport kation organik (Oo et al., 1995). Rasio kadar obat dalam ASI terhadap kadar obat dalam plasma ibu disebut sebagai rasio kadar obat ASI-plasma. Mengingat rasio ini bervariasi dari waktu ke waktu maka untuk menggambarkan kinetika obat biasanya digunakan nilai rata-ratanya kecuali jika kadar dalam ASI setara dengan kadarnya dalam plasma ibu. Berdasarkan data yang ada, sebagian besar obat memiliki rasio ASI terhadap plasma sebesar 1 atau lebih kecil dari 1; 25% memiliki rasio lebih dari 1 dan sekitar 15% memiliki rasio lebih dari 2 (Ito & Koren, 1994). Jika rasio lebih dari 1 maka mengindikasikan bahwa kadar obat di ASI cukup besar, meskipun hal ini tidak selalu memiliki arti klinik. Jika jumlah obat dari ASI yang

Page 11: Obat-obatan Dalam Kehamilan

11

dikonsumsi bayi per satuan waktu lebih kecil dari kebutuhan untuk mendapatkan efek terapinya maka eksposur obat dikatakan rendah. Oleh sebab itu arti klinik dari rasio ASI terhadap plasma ibu baru akan bermakna jika faktor konsumsi pada bayi juga diketahui. Jika kadar obat pada ASI berdasarkan waktu diketahui, maka kita dapat memperkirakan berapa jumlah obat yang akan masuk ke dalam sirkulasi bayi per satuan waktu selama bayi tersebut menyusu (misalnya 150 ml/kgBB per hari). Perkiraan dosis ini kemudian dibandingkan dengan dosis terapetik obat dan diekspresikan dalam bentuk indeks eksposur, yang secara langsung proporsional dengan rasio obat dalam ASI terhadap plasma. Indeks eksposur ini akan menggambarkan jumlah obat dalam ASI yang dikonsumsi bayi dan diekspresikan dalam bentuk prosen dosis terapetik pada bayi. Badan Kesehatan Sedunia (WHO, 2003) mengklasifikasikan penggunaan obat pada ibu menyusui dalam 4 kategori, yaitu: 1. Compatible untuk ibu menyusui. Obat yang dimasukkan dalam kategori ini adalah

obat yang berdasarkan hasil penelitian atau teori diketahui bukan kontraindikasi untuk ibu menyusui dan dianggap aman bagi ibu selama menyusui dan bayi yang disusui. Contoh: ibuprofen, parasetamol, allopurinol, prednisolon, magnesium sulfat, albendazole, mebendazole, pyrantel, amoxicillin, ampicillin, benzathine benzylpenicillin, cloxacillin, phenoxy-methylpenicillin, ceftazidim, dan ceftriaxone.

2. Compatible untuk ibu menyusui tetapi memerlukan pemantauan terhadap efek

samping pada bayi. Kategori ini mencakup obat yang secara teori dapat menimbulkan efek samping pada bayi tetapi belum dapat dibuktikan berdasarkan studi observasional atau merupakan obat yang jika menimbulkan efek samping, tergolong ringan. Pemberian obat pada kategori ini harus disertai dengan anjuran untuk kembali jika timbul keadaan yang tidak diinginkan. Apabila muncul efek samping maka obat harus segera dihentikan untuk diganti dengan obat lain yang lebih aman. Jika tidak tersedia obat lain yang aman, maka si ibu harus dianjurkan untuk berhenti menyusui dan mengganti ASI dengan susu buatan selama proses terapi. Contoh: efedrin, chloroquine, atropin, carbamazepine, phenytoin, asam valproat, ethambutol, isoniazid, pyrazinamid, dan rifampicin,

3. Obat yang sebaiknya dihindari. Jika tidak mungkin maka harus dilakukan pemantauan terhadap risiko efek samping pada bayi. Yang termasuk dalam kategori ini adalah obat yang dilaporkan dapat menyebabkan efek samping serius pada bayi. Obat hanya boleh diberikan apabila benar-benar esensial dan tidak ada obat lain yang lebih aman untuk menggantikannya. Ibu menyusui harus melakukan pemantauan dan menghentikan obat jika timbul efek samping pada bayi. Jika penghentian obat tidak dimungkinkan maka dianjurkan untuk berhenti memberi ASI selama proses terapi. Contoh: dimercaprol, diazepam dosis berulang, ethosuximide, chloramphenicol, ciprofloxacin, doxycycline, nalidixic acid, dan mefloquin.

4. Obat sebaiknya dihindari karena dapat menghambat laktasi. Obat yang tercakup dalam kategori ini adalah obat-obat yang dapat menurunkan produksi ASI. Jika terpaksa harus minum obat maka harus diberikan dalam jangka yang pendek dan ibu

Page 12: Obat-obatan Dalam Kehamilan

12

dianjurkan untuk sesering mungkin merangsang bayi untuk menyusu sebagai kompensasi terhadap penurunan produksi ASI yang terjadi. Contoh: bromocriptine, ergonovine, dan ethanol.

5. Obat harus dihindari. Yang termasuk dalam kategori ini adalah obat-obat yang menimbulkan efek samping yang membahayakan bayi. Obat dalam kategori ini tidak boleh diberikan selama periode menyusui. Namun jika obat tersebut tergolong esensial dan tidak ada penggantinya, maka ibu harus berhenti menyusui selama proses terapi. Jika terapi harus jangka panjang, maka proses menyusui harus dihentikan sama sekali. Obat yang termasuk dalam kategori ini relatif sangat sedikit, antara lain adalah semua obat antikanker dan bahan radioaktif.

OBAT-OBAT YANG MERUPAKAN KONTRAINDIKASI PADA IBU MASA LAKTASI a. Antineoplasma. Obat-obat antineoplasma yang digunakan untuk kemoterapi

umumnya termasuk kategori incompatible untuk ibu menyusui oleh karena pada kadar sekecil apapun, jika melalui air susu ibu akan memberikan efek toksik pada byi yang menyusu. Jika karena sesuatu hal kemoterapi harus dilakukan dan ibu harus tetap menyusui maka harus dilakukan pengukuran kadar obat pada ASI secara teratur dan juga pada bayi yang menyusu untuk melihat parameter-parameter hematologi yang relevan. Beberapa studi yang ada melaporkan kejadian efek samping pada bayi yang terpapar antineoplasma (cyclophosphamide) melalui ASI, antara lain berupa neutropenia (Arnato & Niblett, 1977), dan leukopenia (Durodola, 1979) Terdapat pula bukti bahwa cisplatin ternyata juga diekskresikan melalui ASI dalam kadar yang bervariasi, tetapi hingga saat ini belum diketahui apakah hal ini memberi outcome yang buruk pada bayi yang sedang disusui (De Vries et al, 1989).

b. Antikonvulsan (antikejang). Hanya beberapa obat antikonvulsan diekskresi dalam konsentrasi yang cukup tinggi di ASI. Fenobarbital, etosuksimid dan primidon dapat memberikan derajat paparan yang cukup signifikan (Nau et al., 1982). Salah satu efek samping yang dapat terjadi adalah sedasi pada bayi yang menyusu dan menimbulkan withdrawal saat bayi disapih.

c. Alkohol. Konsumsi alkohol selama kehamilan sama sekali tidak dianjurkan karena dapat menyebabkan pseudo Cushing syndrome saat bayi berumur 4 bulan. Konsumsi alkohol selama kehamilan juga berkaitan dengan penurunan intake ASI, mengubah pola tidur bayi, dan memperlambat perkembangan neurologik (Shane & Naftolin, 1974). Ethanol yang dikonsumsi ibu saat menyusui juga dilaporkan berkaitan dengan penurunan masukan ASI pada bayi.

d. Alkaloid ergot. Terapi ergot pada wanita menyusui dapat mencetuskan terjadinya ergotisme (vomitus, diare dan kejang sesaat pada bayi). Ergonovin dilaporkan menurunkan serum prolaktin sehingga dapat menghambat laktasi (Del Pozo et al., 1975). Demikian pula halnya dengan bromokriptin yang sangat tidak dianjurkan pada saat menyusui karena mensupresi laktasi dan berbahaya bagi ibu (Comabella et al., 1996).

Page 13: Obat-obatan Dalam Kehamilan

13

e. Amiodaron. Obat ini diekskresi melalui ASI dan kadarnya sekitar 50% dari kadar obat dalam darah ibu (McKenna et al., 1983). Selain itu amiodaron juga mengandung jodium yang dapat mempengaruhi glandula tiroid pada bayi.

f. Obat lain yang merupakan kontraindikasi selama menyusui adalah: amphetamine, cocaine, cyclophosphamide, cyclosporine, doxorubicin, heroin, lithium, marijuana, methotrexate, nicotine, dan fenisilidin

KESIMPULAN Penggunaan obat pada ibu hamil dan ibu menyusui harus mempertimbangkan berbagai hal, oleh karena di samping obat dapat masuk dalam sirkulasi janin (saat masih dalam kandungan) beberapa jenis obat diekskresi melalui ASI sehingga kadarnya dalam sirkulasi bayi hampir sama dengan kadarnya dalam darah ibu, yang dalam beberapa situasi akan membahayakan bayi. Beberapa jenis obat dapat diminum selama hamil maupun menyusui karena terbukti aman baik pada ibu maupun janin. Beberapa jenis obat yang lain memerlukan penghentian pemberian ASI, jika memang tidak ada obat pengganti lainnya yang lebih aman, ini terutama karena kadarnya dalam ASI cukup tinggi sehingga dapat memberi risiko pada bayi yang menyusu. Dengan demikian diperlukan pemahaman yang baik mengenai obat apa saja yang relatif aman hingga harus dihindari selama kehamilan maupun menyusui agar tidak merugikan baik ibu maupun janin yang dikandung ataupun bayi yang sedang menyusu. Akhirnya, untuk ibu yang sedang hamil penggunaan obat haruslah didasarkan pada pertimbangan bahwa manfaat yang akan diperoleh jauh lebih besar daripada kemungkinan risiko yang dapat terjadi pada janin. DAFTAR PUSTAKA Australian Drug Evaluation Committee (1999). Prescribing Medicine in Pregnancy. An

Australian categorisation of risk of drug use in pregnancy. 4th Ed. Therapeutic Goods Administration, Australia.

Collins E (1981). Maternal and fetal effects of acetaminophen and salicylates in pregnancy. Obstet Gynecol;58(suppl):57S-62S

Comabella M, Alvarez-Sabin J, Rovira A, Codina A (1996). Bromocriptine and postpartum cerebral angiopathy: a causal relationship? Neurology;46(6):1754-6.

De-kun Li, Liyan Liu, Roxana Odouli (2003). Exposure to non-steroidal anti-inflammatory drugs during pregnancy and risk of miscarriage: population based cohort study. BMJ, 327(7411):368-371

Del Pozo E, Brun DR, Hinselmann M (1975). Lack of effect of methyl-ergonovine on postpartum lactation. Am J Obstet Gynecol;123(8):845-6.

De Vries EG, van der Zee AG, Uges DR, Sleijfer DT (1989). Excretion of platinum into breast milk [letter]. Lancet ;1(8636):497.

Durodola JI (1979). Administration of cyclophosphamide during late pregnancy and early lactation: a case report. J Natl Med Assoc;71(2):165-6.

Page 14: Obat-obatan Dalam Kehamilan

14

Einarson TR, Leeder JS, Koren G (1998). A method for meta-analysis of pidemiological studies. Drug Intell Clin Pharm;22:813-24.

Headley J, Northstone K, Simmons H, Golding J, and the ALSPAC study team. Medication use during pregnancy: data from the Avon longitudinal study of parents and children. Eur J Clin Pharmacol 2004; 60: 355–61.

Ito S, Koren G (1994). A novel index for expressing exposure of the infant to drug in breast milk. Br J Clin Pharmacol;38:99-102.

Jacobs LR (1998). Prescription to over-the-counter drug reclassification. Am Fam Physician;57:2209-14.

Koren G, Pastuszak A, Ito S (1998). Drugs in pregnancy. New Engl J Med,;338 (16):1128-37 Lee A, Inch S, Finnegan D (2000) Therapeutics in pregnancy and lactation. Oxon, Radcliffe

Publishers Little RE, Anderson KW, Ervin CH, Worthington-Roberts B, Clarren SK (1989). Maternal

alcohol use during breast-feeding and infant mental and motor development at one year. N Engl J Med;321(7):425-30.

March of Dimes Birth Defects Foundation, 2001, Fact Sheets: Birth Defects, Miscarriage, and Stillbirth; Leading Categories of Birth Defects; and Perinatal Profiles: Statistics for Monitoring State Maternal and Infant Health. (www.modimes.org).

McElhatton PR (1999) The principles of teratogenicity. Curr Obstet Gynaecol, 9:163-169 McElhatton PR (2002a). Teratogenic drugs – part 1. Adv Drug React Bull; 213:815-818. McElhatton PR (2002b) Pregnant women and drug safety. J Good Clin Pract, 9:15-17 McElhatton P (2003). General principles of drug use in pregnancy. The Pharmaceutical Journal,

270:232-234 McKeigue PM, Lamm SH, Linn S, Kutcher JS (1994). Bendectin and birth defects. I. A meta-

analysis of the epidemiologic studies. Teratology; 50:27-37. McKenna WJ, Harris L, Rowland E, Whitelaw A, Storey G, Holt D (1993). Amiodarone therapy

during pregnancy. Am J Cardiol;51(7):1231-3. Mennella JA, Beauchamp GK (1991). The transfer of alcohol to human milk. Effects on flavor

and the infantís behavior. N Engl J Med;325(14):981-5. Mennella JA, Gerrish CJ (1998). Effects of exposure to alcohol in motherís milk on infant sleep.

Pediatrics;101(5):E2. Moore KL (1998). The developing human: clinically oriented embryology. 4th ed. Philadelphia:

W.B. Saunders:131. Neutel CI, Johansen HL (1995). Measuring drug effectiveness by default: the case of Bendectin.

Can J Public Health;68:66-70. Nau H, Kuhnz W, Egger HJ, Rating D, Helge H (1992). Anticonvulsants during pregnancy and

lactation. Transplacental, maternal and neonatal pharmacokinetics. Clin Pharmacokinet;7(6):508-43.

Oo CY, Kuhn RJ, Desai N, McNamara PJ (1995). Active transport of cimetidine into human milk. Clin Pharmacol Ther;58:548-55.

Peters P, Schaefer CH (1974). General commentary to drug therapy and drug risks in pregnancy. In: Shane JM, Naftolin F. Effect of ergonovine maleate on puerperal prolactin. Am J Obstet Gynecol;120(1):129-31.

Riley EH, Fuentes-Afflick E, Jackson RA, Escobar G, Brawarsky P, Schreiber M, Haas J (2005). Correlates of prescription drug use during pregnancy. J Women’s Health, 14(5):401-409

Schaefer CH (2002) Drugs during pregnancy and lactation. Amsterdam, Elsevier,1-13. Schardein JL (1993). Chemically induced birth defects. 2nd ed. rev. New York: Marcel

Dekker:22-44 World Health Organization (2003) Breastfeeding and Maternal Medication. Recommendations

for drugs in the eleventh WHO Model List of Essential Drugs. WHO, Geneva.

Page 15: Obat-obatan Dalam Kehamilan

15