Obat Herbal

download Obat Herbal

of 21

Transcript of Obat Herbal

OBAT HERBAL "Penggunaan obat Herbal kini semakin diakui dunia kedokteran termasuk perannya dalam penyembuhan penyakit kanker," kata Kepala Unit Complementary Alternative Medicine ( CAM ) RS Kanker Dharmais, dr. Aldrin Neilwan P MD MARS M Biomed, M Kes Sp AK, dalam penyuluhan kanker di RS Kanker Dharmais beberapa waktu lalu. Saat ini, kata Aldrin, pasien banyak yang enggan menkonsumsi onat Herbal bersamaan dengan obat medis. Sebenarnya, terang dia, hal ini tidak menjadi masalah. Tetapi perlu ditekankan obat herbal hanya digunakan sebagai pelengkap ( komplementer ), bukan sebagai pengganti obat obatan yang sudah ada ( Golden Standard ). Pasien tetap butuh obat medis. Sayangnya banyak pasien yang salah persepsi tentang obat tradisional. Sebaiknya konsumsi obat Herbal diberi jeda waktu dengan obat medis, misalnya berselang satu jam, agar efek obat tidak saling meniadakan. Aldrin mengungkapkan, penggunaan obat tradisional bisa digunakan pada tahap prepatogenesis ( pencegahan ) dan paliatif ( tindakan untuk meringankan beban penderita kanker terutama yang tidak bisa disembuhkan ). Obat obat Herbal menurut penelitian yang ada hanya bisa MENGHAMBAT perkembangan sel kanker, bukan mematikan sel tersebut. Maka pengobatan medis seperti kemoterapi dan radiasi tetap harus dilakukan jika pasien ingin sembuh dan sel kankernya mati. "Meski demikian, hingga pada saat ini pengobatan dengan memanfaatkan obat alami belum menjadi bagian dalam sistim kesehatan konvensional. Obat obat Herbal masih sebatas berperan sebagai upaya preventif, rehabilitatif dan paliatif," tutur Aldrin. Jika obat bahan alam, untuk dapat digunakan dalam sistim pelayanan kesehatan konvensional, lanjut Aldrin, harus diuji dulu, baik keamanan maupun efektivitasnya, dengan menggunakan kaidah kaidah ilmu pengetahuan yang sesuai. Proses pembuatan obat Herbal yang layak untuk di konsumsi, juga harus memenuhi standardisasi yang sama dengan obat medis buatan dunia Barat. "Prosesnya harus diawasi, mulai dari hulu sampai hilir. Standardisasi harus dimulai dari hulu. Contohnya jenis tanaman temulawak yang ditanam di Jawa Tengah dengan yang di Jakarta pasti berbeda kualitasnya," jelas Aldrin yang juga Sekretaris Umum Indonesian Medical Association in Herbal Medicine ( IMAHM ). Cara Pembuatan Obat yang Baik ( COPB ) yang ditetapkan oleh Kementerian Kesehatan adalah persyaratan mutlak yang harus ditaati dan dilaksanakan oleh semua pabrik farmasi, ujarnya. Sumber: Seputar Indonesia Rabu 17 Maret 2010 KENDALA OBAT HERBAL Di Indonesia, Aldrin menyebutkan, ada sejumlah kendala penggunaan obat alam dalam sisten pelayanan kesehatan konvensional, antara lain: 1. Belum sempurnanya sistem perundangan kesehatan yang mengatur. 2. Indonesia juga belum memiliki peraturan jelas bagi dokter dalam menggunakan obat bahan alam dalam pengobatannya. 3. Para dokter belum memperoleh informasi yang lengkap mengenai obat alam dan pedoman penggunaannya. 4. Belum banyaknya informasi tentang keamanan dan efektivitas secara klinis pada obat obat bahan alam. Dalam mengantisipasi penggunaan obat bahan alam dalam bidang kesehatan, Pemerintah sebenarnya melalui institusi terkait telah mengeluarkan berbagai aturan yang bertujuan untuk melindungi, baik pengguna maupun pemberi layanan kesehatan. Berbagai institusi tersebut antara lain, Kementerian Kesehatan, yang telah mengeluarkan peraturan sehubungan dengan penggunaan Herbal dalam pelayanan kesehatan konvensional. Juga Badan Pengawas Obat dan Makanan ( BPOM ) yang menerbitkan berbagai peraturan yang antara lain membagi obat bahan alami dalam 3 kategori berdasarkan atas cara pembuatan, jenis klaim penggunaan dan tingkat pembuktian khasiat, yaitu: 1. Jamu. Merupakan obat asli Indonesia yang ramuan, cara pembuatan, penggunaan, pembuktian khasiat dan keamanannya berdasarkan pengetahuan tradisional. Pembuktian khasiat jamu hanya berdasarkan pengalaman atau data empiris, bukan uji ilmiah dan klinis,

2. Herbal. Adalah obat bahan alam yang telah dibuktikan keamanan dan khasiatnya secara ilmiah melalui uji praklinis ( pengujian terhadap hewan percobaan ), tetapi belum teruji secara klinis atau pada manusia, meski bahan bakunya sudah distandardisasi. 3. Fitofarmaka. Merupakan sediaan obat bahan alam yang telah dibuktikan secara ilmiah, melalui uji praklinis dan klinis, yang bahan baku dan produk jadinya telah distandardisasi. Produk fitofarmaka dapat disetarakan dengan obat modern dan sudah dapat diresepkan oleh dokter. Aldrin mengatakan seorang dokter hanya boleh meresepkan obat herbal fitofarmaka yang telah teruji klinis dan telah diujikan terhadap manusia. "Namun tidak sembarang dokter boleh memberikan reseo obat Herbal. Dokter tersebut harus bersertifikasi organisasi profesi," terang Aldrin. Di RS Kanker Dharmais, sebuah penelitian beberapa waktu lalu menunujukkan sebanyak 80%pasiennya memakai pengobatan diluar terapi utama, berupa Herbal atau akupunktur. Saat ini selain RS Kanker Dharmais, ada 3 RS lain yang mengembangkan konsep CAM ( Complementary Alternative Medicine ), yaitu RS Persahabatan Rawamangun ( akupunktur dan herbal ), RS Kandou Menado ( hiperbarik ) dan RS Soetomo Surabaya ( obat tradisional ). Di Indonesia baru ada 4 RS yang telah terakreditasi oleh Kementerian Kesehatan dapat memberikan resep obat herbal atau CAM yaitu: 1. RS Kanker Dharmais Jakarta. 2. RS Persahabatan Jakarta. 3. RSUD Dr. Soetomo Surabaya. 4. RS Kandou Menado. Sumber: Seputar Indonesia Rabu 17 Maret 2010

BANYAK OBAT HERBAL INDONESIA DIBUAT DENGAN "TERGESA GESA" Rabu, 18/05/2011 16:46 WIB AN Uyung Pramudiarja - detikHealth Jakarta, Potensi pengembangan herbal asli Indonesia cukup besar, namun belum banyak yang bisa menggantikan obat kimia moderen. Salah satu kendalanya adalah banyak herbal yang dibuat dengan 'tergesagesa' sehingga tidak diminati para dokter. "Tergesa-gesa artinya belum diketahui farmakologisnya, apalagi diuji klinis. Masih jarang dilakukan di Indonesia," ungkap peneliti herbal dari Dexa Laboratories of Biomolecular Sciences (DLBS), Raymond R Tjandrawinata, PhD dalam peluncuran Vitafem Free Me di Hotel Sahid Jaya, Jl Sudirman, Rabu (18/5/2011). Akibatnya herbal Indonesia banyak yang dikenal hanya sebagai jamu, bukan sebagai obat. Para dokter juga tidak mungkin serta merta menggunakannya sebagai pengganti obat kimia moderen sebelum ada uji klinis pada manusia untuk membuktikan khasiatnya. Oleh karena itu Raymond menilai, kunci untuk mengembangkan herbal Indonesia agar lebih diterima di dunia medis adalah dengan menerapkan prinsip farmakologi moderen. Dengan prinsip ini, herbal tidak dipasarkan sebagai jamu melainkan sudah diidentifikasi dan diisolasi senyawa berkhasiatnya. Salah satu metode yang diterapkan Raymond untuk memenuhi prinsip farmakologi moderen adalah Tandem Chemistry Expression Bioassay System (TCEBS). Dengan cara ini, senyawa berkhasiat dalam suatu herbal diisolasi hingga diperoleh suatu zat yang disebut fraksi bioaktif. Selain itu, uji klinis juga harus dilakukan sebagai syarat untuk bisa didaftarkan sebagai fitofarmaka yakni jamu-jamuan yang sudah terbukti khasiat dan keamanannya pada manusia. Namun tidak mudah untuk melakukannya karena biayanya tidak sedikit.

Raymond menambahkan, dukungan pemerintah terhadap industri farmasi sangat dibutuhkan untuk menunjang uji klinis terhadap obat-obat herbal. Ia menilai, selama ini pemerintah lebih memfokuskan dukungan untuk uji klinis yang dilakukan lembaga riset misalnya LIPI dan BPPT, padahal minat industri sebenarnya juga cukup besar. "Caranya bisa dengan memfasilitasi agar hasil uji klinis yang dilakukan oleh industrial scientist seperti kami bisa menjadi produk yang dikonsumsi masyarakat. OBAT HERBAL AMANKAH? 11-09-2009 Bekti-medicastore.com Kembali ke alam, adalah semboyan yang banyak digaungkan belakangan ini. Dengan semakin banyaknya efek samping akibat penggunaan obat-obatan secara jangka panjang, maka banyak orang yang mulai mencari alternatif lain untuk mencegah penyakit ataupun untuk menjaga kesehatan. Obat-obatan yang berasal dari alam atau yang biasa disebut dengan pengobatan herbal makin mendapat tempat di masyarakat. Terlebih lagi kenyataan bahwa obat-obat herbal tersebut telah lama digunakan oleh para nenek moyang kita untuk mengobati penyakit membuat dunia pengobatan modern pun banyak yang mulai meneliti kandungan dan khasiat dari bahan alami tersebut. Apa Yang Dimaksud Dengan Obat herbal Bahan herbal adalah tanaman atau bagian dari tanaman yang digunakan sebagai pemberi aroma, perasa atau untuk pengobatan. Obat herbal sendiri merupakan produk yang berasal dari tanaman dan digunakan untuk meningkatkan kesehatan. Banyak obat herbal yang telah digunakan secara empiris (turun-temurun) sebagai obat dalam pengobatan tradisional. Definisi dari badan POM mengenai obat tradisional sendiri adalah bahan atau ramuan bahan yang berupa bahan tumbuhan, bahan hewan, bahan mineral, sediaan sarian (galenik) atau campuran dari bahan tersebut, yang secara turun-temurun telah digunakan untuk pengobatan berdasarkan pengalaman. Jadi di dalam obat tradisional dapat terdapat bahan atau ramuan bahan yang berasal dari tumbuhan, hewan dan mineral. Biasanya obat tradisonal tersedia dalam bentuk rebusan ataupun serbuk yang diseduh dengan air. Seiring dengan berjalannya waktu maka bentuk sediaan obat tradisional pun mengalami perubahan menjadi cair, kapsul ataupun tablet. Jenis obat herbal menurut badan POM (Pemeriksaan Obat dan Makanan) Badan POM sendiri membedakan obat tradisional yang beredar di Indonesia menjadi beberapa jenis, yaitu : 1. Jamu Jamu adalah obat tradisional Indonesia. Ramuan atau bahan-bahan yang digunakan untuk membuat jamu biasanya merupakan bahan yang secara turun temurun digunakan untuk pengobatan secara tradisional, misalnya beras kencur, kunyit asam, temulawak, brotowali dll. Dahulu jamu tersedia dalam bentuk rebusan ataupun cairan, untuk saat ini produk jamu sudah banyak yang beredar dalam bentuk serbuk ataupun kapsul. Karena obat tradisional merupakan produk yang dibuat dari bahan alam yang jenis dan sifat kandungannya sangat beragam, maka untuk menjamin mutu obat tradisional diperlukan cara pembuatan yang baik dengan lebih memperhatikan proses produksi dan penanganan bahan baku. Untuk itu pihak BPOM telah mengeluarkan standar produksi obat tradisional yang dikenal dengan CPOTB (Cara Pembuatan Obat Tradisional yang Baik). 2. Obat herbal terstandar Obat herbal terstandar adalah sediaan obat bahan alam yang telah dibuktikan keamanan dan khasiatnya secara ilmiah dengan uji praklinik dan bahan bakunya telah di standarisasi. Jadi pada tahap ini obat herbal tersebut selain telah distandarisasi bahan baku dan proses produksinya juga harus melalui proses pengujian di laboratorium yang meliputi uji khasiat dan uji keamanan. Uji khasiat dilakukan terhadap hewan uji yang secara fisiologi dan anatomi dianggap hampir sama dengan manusia, sedangkan uji keamanan dilakukan untuk mengetahui apakah bahan tersebut membahayakan atau tidak. Uji keamanan yang dilakukan berupa uji toksisitas akut, uji toksisitas subkronis atau bila diperlukan uji toksisitas kronis. Dari hasil pengujian praklinik tersebut akan dapat diketahui mengenai khasiat bahan tersebut, dosis yang tepat untuk terapi, keamanan dan bahkan efek samping yang mungkin timbul.

3. Fitofarmaka Fitofarmaka merupakan standar yang lebih tinggi lagi terhadap obat herbal. Fitofarmaka sendiri adalah sediaan obat bahan alam yang telah dibuktikan keamanan dan khasiatnya secara ilmiah dengan uji praklinik dan uji klinik. Jadi selain obat telah melalui proses standarisasi produksi dan bahan baku, kemudian melakukan uji praklinik di laboratorium, maka selanjutnya obat dilakukan uji coba kepada manusia (uji klinik) untuk mengetahui khasiatnya terhadap orang sakit ataupun orang sehat sebagai pembanding. Tahapan ini yang biasanya memerlukan waktu yang lama dan biaya yang mahal karena melibatkan orang banyak. Setelah lolos uji klinik maka obat herbal tersebut telah memiliki evidance based herbal medicine yang artinya telah memiliki bukti medis terhadap khasiat dan keamanannya bagi manusia. Di Indonesia sendiri saatini telah ada beberapa jenis obat herbal yang telah masuk dalam golongan fitofarmaka dan bahkan telah diresepkan penggunaannya oleh dokter. Apakah obat herbal berkhasiat dan aman ? Khasiat obat herbal sendiri terutama obat herbal terstandar dan fitofarmaka dapat dibuktikan melalui hasil penelitian baik melalui uji klinik ataupun uji praklinik. Meskipun demikian perlu perhatian juga bagi para pengguna obat herbal, karena kata-kata herbal bukan berarti obat tersebut aman untuk dikonsumsi tanpa batasan. Hal ini karena di dalam bahan herbal dapat terkandung zat yang mempunyai efek sangat kuat (bahkan ada beberapa zat aktif yang digunakan untuk pengobatan modern didapat melalui hasil ekstraksi dari tumbuhan). Jadi sebaiknya penggunaan obat herbal harus sesuai dosis yang telah dianjurkan dan berdasarkan aturan pakai yang ditetapkan. Yang harus diperhatikan dalam menggunakan obat herbal Walaupun obat herbal aman digunakan, ada beberapa hal yang sebaiknya diperhatikan apabila ingin mengkonsumsi obat herbal, yaitu : * Pastikan obat herbal yang dikonsumsi telah terdaftar di BPOM sehingga keamanannya terjaga. * Jika sedang dalam pengobatan obat tertentu, sebaiknya konsultasikan dahulu ke dokter apabila ingin menggunakan obat herbal (terlebih obat herbal yang terdiri dari beberapa jenis bahan herbal) karena dapat berinteraksi dengan obat yang sedang diminum. * Untuk wanita yang sedang hamil atau menyusui perlu perhatian khusus, untuk golongan ini memang pemakaian obat baik obat modern ataupun tradisional harus diperhatikan karena dikhawatirkan dapat mempengaruhi bayi atau janin yang dikandung. Pastikan didalam kemasannya tertera bahwa obat tersebut aman untuk dikonsumsi oleh wanita hamil ataupun menyusui. * Jika akan di operasi beritahukan kepada dokter mengenai obat herbal yang anda konsumsi, hal ini karena ada beberapa obat herbal yang dapat mempengaruhi kesuksesan operasi karena dapat mempengaruhi proses anestesi atau menyebabkan terjadinya komplikasi. Komplikasi yang mungkin terjadi seperti meningkatkan tekanan darah atau meningkatkan resiko terjadinya perdarahan. * Anak di bawah usia 18 tahun dan orang tua di atas usia 65 tahun perlu pengawasan dokter. Hal ini karena biasanya obat herbal tersebut tidak di uji kepada anak-anak (kecuali tertera aman untuk anak-anak/ada dosis untuk anak) dan karena metabolisme orang yang telah lanjut usia biasanya berbeda dengan orang dewasa. Sebelum memilih, konsultasikan dahulu dengan dokter Anda Sebaiknya sebelum memutuskan untuk menggunakan obat herbal, konsultasikan dahulu dengan dokter anda untuk mendapatkan saran mengenai : * Potensi khasiat dan keamanan atau bahkan efek samping yang mungkin terdapat dalam bahan herbal tersebut. * Ada tidaknya interaksi dengan obat-obatan yang saat ini sedang dikonsumsi. * Apabila dokter anda kurang mengetahui mengenai obat herbal mintalah referensi tenaga kesehatan lain atau apoteker yang lebih mengetahui tentang obat herbal tersebut. BAHAYA TERSEMBUNYI DARI OBAT HERBAL Bramirus Mikail | Asep Candra | Senin, 15 Agustus 2011 | 10:41 WIB KOMPAS.com Para ahli dari Leeds University School of Pharmacy Inggris belum lama ini memeringatkan

ancaman di balik konsumsi obat herbal. Mereka menyatakan konsumsi obat herbal bisa menimbulkan masalah kesehatan yang cukup serius. Pasalnya, kebanyakan obat herbal yang dijual di pasaran tak mencantumkan tanda peringatan keamanan seperti tanggal kadaluwarsa dan efek samping. Dalam penelitiannya, mereka mensurvei lima jenis obat herbal yang paling populer di antaranya, St Johns wort, giseng Asia, echinacea, bawang putih dan ginko. Menurut peneliti, masih banyak konsumen yang tidak pernah tahu apa efek samping dari penggunaan obat-obat herbal tersebut. St John wort misalnya, yang selama digunakan mengatasi untuk mengatasi bad mood. Herbal ini ternyata dapat mengurangi efektivitas dari pil kontrasepsi. Sedangkan ginkgo, yang katanya untuk meningkatkan sirkulasi darah, meningkatkan kewaspadaan, dan sebagai pengencer darah, ternyata tidak boleh dikombinasikan dengan obat lainnya. Ginseng Asia, yang sering digunakan untuk meningkatkan sistem kekebalan tubuh, dan echinacea yang sering digunakan untuk melindungi diri dari flu, juga memiliki bahaya tersembunyi. Bawang putih, yang digunakan untuk menurunkan tekanan darah tinggi, dapat berbahaya jika dikonsumsi dalam jumlah besar. Para peneliti juga melakukan survei terhadap 68 produk herbal yang dijual di pasaran dan menemukan 51 di antaranya (75 persen) tidak mengandung informasi tentang tindakan pencegahan, interaksi dengan obat lain atau efek samping. Tujuh puluh persen dari produk tersebut (48 dari 68 produk) dipasarkan sebagai suplemen makanan. Peneliti menduga, sedikitnya produk herbal yang mencantumkan label informasi bisa disebabkan karena tokotoko herbal sejauh ini masih diizinkan untuk terus menjual stok lama, tanpa peringatan, dan tanggal kedaluwarsa. Profesor Theo Raynor, yang memimpin studi ini mengatakan, :Nasihat terbaik untuk konsumen adalah mereka harus berhati-hati. Setiap zat yang mempengaruhi tubuh memiliki potensi untuk merusak jika tidak digunakan dengan tepat," katanya. Raynor menyarankan, penting bagi konsumen untuk mencari obat herbal yang sudah mempunyai lisensi, yang berarti obat telah disetujui oleh pemerintah. "Anda harus memberitahu dokter, jika Anda mengonsumsi obat herbal. Hal ini dimaksudnkan supaya Anda mendapatkan perawatan yang terbaik," tambahnya.

SEHAT DENGAN OBAT HERBAL Wednesday, 12 May 2010 PENGOBATAN herbal makin diminati oleh masyarakat. Terutama pasien yang menderita penyakit cukup berat.Obat herbal dianggap sebagai harapan baru untuk kesembuhan berbagai penyakit. Mahalnya pengobatan konvensional serta ketakutan terhadap efek samping yang ditimbulkan oleh obat ini, menjadikan masyarakat banyak beralih ke pengobatan herbal. Alhasil, obat herbal pun menjadi tumpuan harapan bagi pasien dengan berbagai keluhan penyakit.Terutama penyakit yang cukup berat seperti kanker. Melihat kondisi dewasa ini, kecenderungan gaya hidup kini mulai kembali pada penggunaan produk-produk berbahan alami. Di berbagai negara, hal dikenal sebagai gelombang hijau baru atau new green wave dalam bahasa Inggrisnya. Gerakan ini berupaya menggunakan kembali bahanbahan yang didapat dari alam. Dari 25.00030.000 spesies tanaman yang ada di Indonesia, sedikitnya sebanyak 9.600 di antaranya berpotensi sebagai obat. Namun, sejauh ini baru 300 spesies tanaman yang dimanfaatkan oleh industri obat tradisional. Menurut Dr Dwi Ratna Sari H MKK,ramuan herbal berfungsi membantu proses kesembuhan dengan cara memperkuat jaringan yang terserang serta memperbaiki kerusakannya, menghentikan pendarahan, menghilangkan racun, menghilangkan rasa sakit. Obat herbal juga bisa meningkatkan imunitas seluler dan fungsi hormonal, kata Dwi. Namun sejatinya, obat herbal bekerja sebagai pelengkap,bukannya pengganti obat-obat konvensional yang telah diresepkan oleh dokter. Jadi, obat ini aman dikonsumsi meski pada saat yang sama pasien juga tengah mengonsumsi obat dari dokter.Cukup beri waktu jeda 23 jam setelah pasien meminum obat pemberian dokter. Akan tetapi Dwi mengaku, tidak sedikit di antara pasiennya yang telah menolak pengobatan konvensional dan beralih ke obat herbal. Ada pula pasien kanker yang memutuskan untuk menjalani terapi herbal ketimbang mengikuti kemoterapi. Dengan petunjuk yang diberikan seperti mengikuti diet,banyak pasien saya yang diberi kesembuhan, kata dokter yang berpraktik di Klinik Mulyasari Medika ini. Selain mengonsumsi obat herbal, ada baiknya pasien kanker juga menjaga makanannya. Sebaiknya penderita kanker tidak mengonsumsi daging,

terutama daging hewan yang berkaki empat. Namun, sesekali pasien diizinkan menyantap ayam kampung atau ikan. Sayuran merupakan menu wajib yang harus ada di setiap jam makan. Ketika menjalani pengobatan herbal ini, Dwi mengatakan, yang paling penting adalah kondisi kejiwaan pasien. Pasien harus selalu berpikiran positif dan rela menjalani seluruh pengobatan. Yang pertama, pasien harus yakin bahwa pengobatan akan membawanya kepada kesembuhan,dan sabar,beber tim peneliti Persatuan Dokter Herbal Medik Indonesia.Kesabaran diperlukan karena obat herbal tidak bekerja secara cepat,namun memerlukan waktu,berbeda dengan obat yang diberikan dokter. Pengobatan herbal ini memang banyak dicari oleh pasien kanker. Sayangnya,menurut Ketua Umum Perhimpunan Peneliti Bahan Alam Dr Maksum Radji, belum banyak orang yang meneliti khasiat obat herbal secara in vivo (langsung kepada pasien kanker) manusia.Namun secara sektoral, Rumah Sakit Kanker Dharmais (RSKD),Jakarta, dan Rumah Sakit Dokter Sutomo, Surabaya,telah memulainya. Beberapa rumah sakit di Indonesia saat ini memang menyediakan poli herbal.Pengobatan secara herbal ini pun di beberapa tempat telah di-cover oleh Askes.Maksum menambahkan, tata laksana dari Departemen Kesehatan masih tetap memakai obat sintetis, kemoterapi, dan penerapan teknologi kanker modern. Diharapkan obat herbal bisa mendampingi kemoterapi dan bersifat saling mendukung satu sama lain. Menurut Hematologis dan Internis RSKD Profesor Dr dr Arry Harryanto Reksodiputro SpPDKHOM, obat herbal cukup efektif untuk meningkatkan imunitas tubuh pasien kanker. Pernyataannya itu didasari oleh studi yang dilakukannya kepada 15 pasien kanker nasofaring di RS Dharmais selama satu tahun terakhir. Dalam studinya tersebut, Arry memakai jenis obat herbal yang berasal dari ekstrak obat herbal China bernama tien-hsien liquid.Obat ini berisi beragam kandungan, di antaranya Cordyceps sinensis,Oldenlandia diffusae,Indigo pulverata levis, dan Polyporus umbellatus. Penelitian dilakukan terhadap pasien kanker nasofaring yang telah menjalani terapi kemoterapi atau radiasi. Hasilnya, pemberian obat herbal selama empat pekan dapat meningkatkan imunitas pasien kanker yang biasanya menurun akibat kemoterapi ataupun radiasi.Menurut Arry, obat herbal di China rata-rata berkhasiat meningkatkan fungsi-fungsi sel darah yang berperan dalam respon imun. Lebih jauh Arry mengatakan, sebagian besar obat herbal tidak mempunyai efek membunuh sel kanker secara langsungberbeda dengan obat sintetis, yang langsung menyerang sel kanker.Obat herbal bersifat suportif,seperti menimbulkan nafsu makan, menghilangkan rasa sakit, membuat orang tidak lemas lagi,dan meningkatkan daya tahan tubuh,ujarnya. Dia menjelaskan,penelitiannya ini masih bersifat preliminary study atau baru evaluasi pendahuluan. Untuk melihat secara holistik, harus lebih banyak lagi studi yang mesti dilakukan kepada pasien kanker. Ke depan,bukan tidak mungkin ada interaksi antara obat herbal dan modern.Atau sebaliknya, obat herbal malah memperkuat efek dari kemoterapi. Adapun obat herbal masih perlu sinkronisasi dari penelitian di batas in vitro ke penelitian in vivo. Menurut Maksum, yang masih menjadi kendala adalah perhitungan dosisnya.(sri noviarni).

CARA AMAN KONSUMSI OBAT HERBAL JUM'AT, 17 JUNI 2011, 10:05 WIB Pipiet Tri Noorastuti, Lutfi Dwi Puji Astuti VIVAnews - Konsumsi obat-obatan herbal tampaknya kian populer di tengah pengobatan modern. Dari ragam jenisnya, ada jamu, obat herbal terstandar, serta fitofarmaka yang dikembangkan dengan bantuan pengawasan dari pemerintah. Jika dibandingkan dengan obat-obatan medis, cara kerja herbal memang lebih lambat. Jika hanya dikonsumsi sekali dua kali, belum tentu khasiatnya terasa. Minimal, obat-obatan herbal ini dikonsumsi selama satu minggu agar khasiatnya benar-benar terasa. Meski khasiatnya bekerja lambat seorang Ahli Herbal dari Pusat Studi Obat Bahan Alam Departemen Farmasi Universitas Indonesia, Prof. Dr. Sumali Wiryowidagdo, APT, memastikan bahwa obat-obatan herbal cukup efektif menyembuhkan sakit tanpa efek samping yang berbahaya. Namun, ada beberapa hal yang bisa menyebabkan khasiat obat herbal ini berkurang jika penyimpanannya tidak benar. Usahakan, menyimpan obat-obatan herbal jauh dari pancaran sinar matahari dan tempat kering. Perhatikan pula batas kedaluarsanya. Jamu merupakan herbal sederhana

yang banyak dikonsumsi masyarakat. Agar aman dan terhindar dari bahaya, usahakan membeli produk jamu tidak sembarangan, katanya. Pilih produk jamu yang memiliki nomor registrasi terdaftar di Badan POM. Tapi waspadalah karena banyak nomor pendaftaran yang dipalsukan. Ingat, produk jamu belum pernah diuji secara praklinik, jadi hati-hati saat mengonsumi produk jamu kemasan, katanya. Sementara itu, untuk obat-obatan herbal terstandar, meski telah lulus uji praklinik pada hewan dan telah diuji keamanan toksisitasnya pada hewan, produk-produk ini belum pernah diuji langsung pada manusia. Untuk itu, akan lebih aman, jika Anda mengonsumsi obat herbal fitofarmaka, yang dijamin telah lulus uji praklinis dan sudah diuji pada manusia. Statusnyapun sudah sama seperti obat modern. Lalu, bagaimana jika dikonsumsi bersamaan dengan obat medis atau obat sintetik? Secara umum, obat-obatan herbal tidak memiliki efek samping, kecuali jika dikonsumsi bersamaan dengan obat modern atau obat-obatan yang mengandung bahan kimia sintetis. "Untuk itu, dianjurkan saat mengonsumsi obat herbal dengan obat sintetik diberi jeda waktu, tidak dikonsumsi secara berbarengan, katanya. Benarkah obat herbal seperti jamu bisa menyebabkan ginjal? Bukan herbalnya yang tidak memenuhi syarat, bisa menyebabkan efek samping karena pengolahannya yang salah, ditambah dengan obat sintetik yang berlebihan, inilah yang bisa menimbulkan efek samping, katanya. Untuk itu, yang penting diperhatikan saat membeli produk herbal: 1. Harus dilihat apakah sudah terdaftar di BPOM dengan ciri adanya logo jamu dengan nomor pendaftaran yang tertera pada kemasan 2. Lihat kondisi kemasan, jika terlihat mencurigakan, misalnya ada kesalahan cetak dalam kemasan, Anda perlu curiga. Lihat pula isi kemasan di dalamnya, usahakan segel kemasan tertutup rapat 3. Jangan membeli produk herbal sembarangan, dan jangan terlalu cepat percaya pada produk herbal yang bisa dengan cepat memberikan khasiat. Usahakan membeli produk herbal di toko obat resmi atau apotek. VIVAnews 46 JAMU MENGANDUNG BAHAN KIMIA OBAT Jumat, 13/08/2010 14:52 WIB Vera Farah Bararah - detikHealth Jakarta, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) menemukan 46 obat tradisiional atau jamu baik dalam bentuk serbuk atau kapsul yang ternyata dicampur dengan bahan kimia obat (BKO) seperti parasetamol, sibutramin, sidenafil dan tadalafil dengan dosis yang tinggi. Bahan kimia obat yang dicampurkan ke dalam obat tradisional ini kebanyakan masuk ke dalam kategori obat keras dengan dosis yang jauh daripada dosis yang dianjurkan. Sehingga jika masyarakat mengonsumsi obat ini secara terus menerus, maka nantinya bisa merusak ginjal dan hati. "Pengawasan obat tradisional yang beredar pada semester pertama (Januari-Juni) 2010 masih ditemukan obat tradisional yang mengandung bahan kimia obat yang dilarang untuk dicampurkan," ujar Kepala BPOM Dra Kustantinah, Apt, M.App.Sc dalam acara jumpa pers di gedung BPOM, Jl. Percetakan Negara, Jakarta, Jumat (13/8/2010). Hasil pengawasan obat tradisional yang dicampur dengan bahan kimia obat dalam kurun waktu 10 tahun menunjukkan kecenderungan yang berbeda, yaitu: 1. Pada tahun 2001-2007 temuan obat tardisional yang dicampurkan dengan BKO menunjukkan ke arah obat rematik dan penghilang rasa sakit (misalnya sakit kepala), seperti mengandung fenilbutason dan metampiron. 2. Sejak tahun 2007 temuan obat tradisional yang dicampurkan dengan BKO menujukkan adanya perubahan, karena cenderung ditemukan pada obat penambah stamina untuk laki-laki dan juga obat pelangsing untuk perempuan. Biasanya mengandung sibutramin, sidenafil dan tadalafil. 3. Sebagian besar hasil temuan ini merupakan produk ilegal atau tidak terdaftar di Badan POM, tapi mencantumkan nomor pendaftara fiktif pada labelnya.

"Hal ini menunjukkan adanya kecenderungan terhadap apa yang dibutuhkan oleh masyarakat. Jika masyarakat mengonsumsi obat ini biasanya langsung terasa cespleng," ujar Kustantinah. Kustantinah menyarankan kepada masyarakat agar berhati-hati dan waspada serta tidak mengonsumsi obat tradisional yang termasuk ke dalam kategori public warning. Karena produk-priduk ini dapat menimbulkan dampak buruk terhadap kesehatan bahkan bisa berakibat fatal."Kita tidak ingin masyarakat pada akhirnya mendapatkan penyakit yang kritikal setelah mengonsumsi obat-obat tradisonal ini," ungkapnya. PENGEMBANGAN OBAT HERBAL HADAPI KENDALA Senin, 5 Juli 2010 | 16:58 WIB YOGYAKARTA, KOMPAS.com Pengembangan obat herbal di Indonesia masih menghadapi kendala sehingga potensi yang ada belum dapat dimanfaatkan secara optimal. "Kendala itu di antaranya sampai saat ini belum ada fasilitasi yang memudahkan pengembangan obat herbal secara optimal antara dunia keilmuan (akademisi) dengan industri dan masyarakat," kata peneliti dari Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, Dr Triana Hertiani, di sela-sela "International Workshop Development of Phytochemicals into Commercial Pharmaceutical Products" di Yogyakarta, Senin (5/7/2010). Padahal, menurut dia, di era pasar bebas seperti saat ini, harmonisasi obat herbal di tingkat ASEAN mutlak dilakukan. "Hal itu harus dilakukan Indonesia jika tidak ingin ketinggalan dan kalah bersaing dengan produk herbal dari luar negeri yang sudah bebas keluar masuk di negeri ini," kata Koordinator Program Magister Sains dan Teknologi Fakultas Farmasi UGM itu. Wakil Dekan Bidang Akademik, Penelitian, dan Pengabdian Masyarakat Fakultas Farmasi UGM Prof Subagus Wahyuono mengatakan, ada beberapa hal penting yang perlu diperhatikan dalam pengembangan obat herbal. Menurut dia, beberapa hal penting itu, antara lain, teknologi untuk bisa memperbanyak senyawa aktif dan template (kerangka) dari senyawa aktif agar bisa diperoleh dalam jumlah besar. "Teknologi untuk bisa memperbanyak senyawa aktif dan template senyawa aktif itu yang sebenarnya cukup penting dikembangkan," katanya. Ia mengatakan, tanaman herbal di Indonesia melimpah, tetapi senyawa aktif yang bisa dihasilkan relatif sedikit. Misalnya, dari satu kilogram bahan tanaman obat hanya bisa diperoleh sekitar 1 miligram senyawa aktif yang bisa dimanfaatkan dengan optimal. "Berkaitan dengan hal itu, pengembangan obat herbal melalui bioteknologi bisa dijadikan salah satu solusi," katanya. 46 OBAT TRADISIONAL INI BERBAHAYA Jumat, 13 Agustus 2010 | 14:02 WIB JAKARTA, KOMPAS.com Sebanyak 46 produk obat tradisional atau jamu ditemukan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) RI mengandung bahan kimia obat (BKO) dengan dosis tinggi. Oleh karena itu, BPOM memperingatkan masyarakat untuk tidak mengonsumsi produk-produk tersebut karena termasuk dalam kategori zat yang berbahaya bagi tubuh. "Ada obat tradisional yang mengandung bahan kimia obat. Kemungkinan obat tradisional tersebut dicampur dengan bahan-bahan kimia," ujar Kepala BPOM RI Kustantinah di kantornya, Jumat (13/8/2010). Bahan kimia obat, lanjutnya, adalah kategori obat keras. Biasanya, di dalam obat ada takaran atau dosisnya karena kalau obat-obat itu lebih dari dosisnya, maka akan berdampak pada kesehatan. "Akan tetapi, obat tradisional atau jamu yang mengandung BKO ini dosis bahan kimianya bisa lebih tinggi dari obat biasa," ujarnya. Apabila masyarakat mengonsumsi obat tradisional atau jamu yang mengandung BKO tersebut, akan mengalami risiko gangguan kesehatan serius, terutama pada lambung, lever, ginjal, dan hati. Bahkan, bisa berujung pada kematian. Berdasarkan temuan BPOM dalam kurun waktu 10 tahun, obat-obat tradisional yang sering kali mengandung BKO adalah obat diet, obat kuat, obat rematik, dan obat penghilang rasa sakit. "Padahal, obat tradisional harusnya herbal, tidak boleh sama sekali ada bahan kimia," ujar Kustantinah. Inilah 46 produk jamu yang berbahaya menurut temuan BPOM :

8 produk yang nomor registrasinya dibatalkan: 1. Wei Yi Xin Kapsul 2. Gemuk Segar Eka Jaya No 1 serbuk 3. Keteling Jiaonang 4. Pegal Linu Eka Jaya No.2 serbuk 5. Pegal Linu Sari Widoro COD 6. Yin Chiao tablet 7. Gemuk Sehat Pusaka Raga Serbuk 8. Tenaga Sehat Pegal Linu serbuk 33 produk yang tidak terdaftar dan mencantumkan nomor izin palsu: 1. Asam Urat Flu Tulang Super kapsul 2. Asam Urat Flu Tulang Super tablet 3. Buah Delima Darah Tinggi kapsul 4. Buah Delima kapsul 5. Gajah Kuat tablet 6. Gemuk Sehat untuk Pria dan Wanita Jati Sehat 7. Obat Gatal-Gatal (Eksim) Brantas kapsul 8. Obat Kuat Tongkat Mesir serbuk 9. Pakar Jaya Asam Urat si Tangkur Serbuk 10 Power Sex kapsul 11. Serbuk Brastomolo 12. Top Jaya Sakti kapsul 13. Torpedo serbuk 14. Walet Mas serbuk 15. Yunang kapsul 16. Chang San serbuk 17. Flu Tulang serbuk 18. Puji Sehat Gemuk Sehat serbuk 19. Sukma Perkasa Asam Urat serbuk 20. Asam Urat+Flu Tulang Ramuan Mahkota Dewa kapsul 21. Kammasutera serbuk 22. Pegal Linu dan Asam Urat Montalin kapsul 23. Godong Ijo kapsul 24. Buah Merah Khusus Pria dan Wanita kapsul 25. Pae Obat Kuat dan Tahan Lama kapsul 26. Kuat Jantan Obat Kuat dan Tahan Lama kapsul 27. Akar Jawa China kapsul 28. Pegal Linu Rheumatik Asam Urat untuk Pria 29. Wanita Kuat Sentosa serbuk 30. Multi Guna Kaler untuk Pria dan Wanita serbuk 31. Asam Urat Kaler untuk Pria dan Wanita serbuk 32. Samurat Extra untuk Pria dan Wanita serbuk 33. Asam Urat Nyeri Tulang Pengapuran kapsul 5 produk obat tradisional yang tidak terdaftar: 1. 5X Lebih Dahsyat Obat Kuat dan Tahan Lama tablet 2. On-Top kapsul 3. Linzhe Ba Zi Hu Zin Lin tablet 4. New Happy Strong kapsul 5. Morinda Extra Ginseng kapsul

OBAT HERBAL DI EROPA DIBATASI Asep Candra | Senin, 2 Mei 2011 | 14:58 WIB KOMPAS.com - Uni Eropa memberlakukan peraturan baru dalam hal perizinan dan pemasaran obat herbal. Peraturan ini ditujukan untuk melindungi konsumen dari kemungkinan efek samping yang membahayakan bagi kesehatan, terutama akibat penggunaan obat-obat herbal yang dijual secara bebas. Untuk sementara ini, peraturan baru ini hanya akan memberikan izin penjualan obat-obat herbal yang telah dikenal luas dan kualitasnya terjamin. Peraturan baru ini membuat para praktisi herbal dan produsen obat herbal menjadi cemas, karena usaha mereka terancam gulung tikar. Sejauh ini, industri herbal di Eropa khususnya di Inggris, tidak terlalu berkembang karena jumlah obat herbal relatif terbatas selain praktisi herbal pun terbilang masih sangat kecil. Tetapi berdasarkan hasil survei, hampir 25 persen orang dewasa di Inggris ternyata menggunakan pengobatan herbal dalam dua tahun terakhir. Kebanyakan obat-obat herbal ini diperoleh secara bebas di gerai makanan sehat dan apotik. Peraturan terbaru ini akan mengatur seluruh jenis produk herbal termasuk herbal populer seperti echinacea, St John's Wort dan valerian, serta ramuan obat tradisional China dan India. Produk-produk herbal tradisional yang telah mendapatkan persetujuan masih dapat diperoleh konsumen dengan menggunakan label atau logo tertentu pada produknya. Para ahli menekankan, alasan keamanan adalah kekhawatiran utama dari penggunaan obat herbal. Efek yang sangat kuat dari berapa jenis ramuan herbal dikhawatirkan akan berinteraksi dengan obat-obat kimia. Salah satu contoh adalah ramuan St John's Wort yang dapat mengganggu manfaat pil kontrasepsi. Herbal seperti ginkgo dan ginseng juga dikenal memiliki dampak yang sama terhadap obat pengencer darah warfarin. Saat ini, hanya obat-obat yang telah diteliti oleh Medicine and Healthcare products Regulatory Agency (MHRA) yang boleh dijual di pasaran. Para produsen obat herbal juga harus memenuhi standar yang sangat ketat, dan zat yang dikandung dalam obat harus konsisten dan ditulis dengan dosis yang jelas. Untuk memenuhi syarat sebagai obat tradisional, produk-produk ini juga harus sudah digunakan dalam 30 tahun terakhir, termasuk 15 tahun di kawasan Uni Eropa. Obat-obat ini pun hanya diizinkan untuk beberapa penyakit ringan seperti batuk dan selesma, sakit otot atau gangguan tidur. Richard Woodfield, direktur kebijakan obat herbal MHRA, mengatakan sejauh ini pihaknya telah menerima 211 pengajuan, dan 105 di antaranya telah diberi kesempatan untuk registrasi. "Yang penting, skema registrasi EU ini mengarahkan konsumen pada kendali sehingga mereka dapat mengidentifikasi produk yang memenuhi standar keamanan, kualitas dan informasi mengenai penggunaan yang aman. Kemanan akan membuktikan, tetapi kualitas berarti, apakah mereka menggunakannya sebagai bagian yang tepat dari tumbuhan? Apakah bebas kontaminasi? Apakah klaim yang disebutkan cocok?" papar Richard. Informasi produk , lanjutnya, termasuk di dalamnya kemungkinan efek samping serta interaksi dengan obat lain. Tetapi yang penting dari semua itu, semuanya harus dibuat sangat jelas bahwa penggunaannya berdasarkan tradisional," tambahnya. TEMULAWAK DIPATENKAN ASING Kamis, 21 Oktober 2010 | 07:14 WIB Jakarta, Kompas - Zat aktif temulawak untuk obat lever, antikanker, serta jantung dipatenkan pihak asing di Amerika Serikat. Temulawak merupakan jenis tanaman asli Indonesia dan jika dijadikan sebagai zat aktif obatobatan komersial, semestinya diatur pembagian manfaatnya. Ini bagian dari biopiracy (pembajakan sumber daya genetik) yang semestinya diatur benefit sharing atau pembagian manfaatnya, kata Ketua Umum Perhimpunan Dokter Herbal Medik Indonesia (PDHMI) Hardhi Pranata, Selasa (19/10), pada Konferensi Internasional Tanaman Obat-obatan yang diselenggarakan 19-21 Oktober 2010 di Gedung Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Jakarta. Hardhi mengatakan, ketiga obat herbal dari zat aktif temulawak (Curcuma xanthorrhiza) itu sejak dua atau tiga tahun terakhir diproduksi perusahaan obat di Indonesia dan sudah beredar di pasaran. Perusahaan itu pun terikat pendaftaran paten dari Amerika Serikat. Harga obat-obatan herbal itu sekarang 1.000 kali lipat lebih mahal daripada obat dengan bahan mentah yang sama yang sebenarnya sejak lama juga diproduksi di dalam negeri, kata Hardhi. Obat herbal yang diproduksi

negara-negara lain dengan bahan mentah dari Indonesia telah menunjukkan naiknya kecenderungan minat masyarakat dunia terhadap obat herbal, tetapi Indonesia tidak siap melindungi sumber daya genetiknya. Tren pengobatan kembali kepada alam mulai diminati dan sebanyak 12 rumah sakit pun berhasil didorong supaya membuka klinik jamu, kata Hardhi. Ke-12 rumah sakit tersebut adalah Rumah Sakit Umum Sanglah, Bali; RS Kanker Dharmais, Jakarta; RS Persahabatan, Jakarta; dan RS Dr Soetomo, Surabaya. Kemudian RS Wahidin, Makassar; RS Angkatan Laut Mintohardjo, Jakarta; RS Pirngadi, Medan; RS Syaiful Anwar, Malang; RS Dr Suharso, Solo; RS Dr Sardjito, Yogyakarta; RS Suraji, Klaten; dan RS Kandau, Manado. Saintifikasi jamu Kepala Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Tanaman Obat dan Obat Tradisional pada Kementerian Kesehatan Indah Yuning Prapti mengatakan, saat ini masih ditempuh program saintifikasi jamu untuk memberikan bukti-bukti ilmiah terhadap isi atau kandungan jamu. Saintifikasi ini berkaitan dengan pemberian standar jamu kepada pasien, tetapi sekaligus pencapaian standar bahan-bahan herbal yang digunakan, kata Indah. Saat ini beredar sekitar 3.000 produk obat herbal di Indonesia. Menurut Indah, hanya sebagian kecil saja yang sudah teruji secara klinis melalui uji coba pada manusia dan dinyatakan sebagai fitofarmaka. Deputi Kepala BPPT Bidang Teknologi Agroindustri dan Bioteknologi Listyani Wijayanti mengatakan, saat ini Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) hanya menyatakan sebanyak lima jenis obat herbal sebagai fitofarmaka, yaitu obat-obatan herbal untuk imunomodulator atau kekebalan tubuh, hipertensi, rematik, diare, dan stamina khusus pria. Hardhi mengatakan, pada 2007, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menginstruksikan supaya jamu digunakan untuk mengobati pasien oleh para dokter. Namun, harus diakui adanya kesulitan standar bagi dokter untuk meresepkan obat-obat herbal tersebut. Proses saintifikasi jamu, menurut Hardhi, sekarang ini sangat menunjang tiga prinsip penyembuhan pasien, yaitu tepat dosis, tepat waktu, dan tepat pasien. Saintifikasi jamu mendukung pemanfaatan jamu tidak hanya preventif atau pencegahan saja, tetapi juga bisa untuk kuratif atau penyembuhan, kata Hardhi. Indah mengatakan, produksi jamu masih sering menghadapi persoalan kesinambungan bahan baku. Namun, sebagian petani produsen bahan baku jamu justru kerap mengeluhkan, bahan-bahan yang diproduksi tidak selalu terserap pasar. (NAW) PERLU RISET MENDALAM KHASIAT HERBAL Jumat, 16 Juli 2010 | 14:32 WIB DENPASAR, KOMPAS.com - Kepala Badan Litbangkes Kementerian Kesehatan Prof Agus Purwandianto mengharapkan pihak terkait untuk melakukan penelitian mendalam terhadap khasiat tanaman herbal atau bahan-bahan alami untuk jamu. "Kami sangat berharap kepada pihak yang berkaitan dengan itu dapat melakukan program saintifikasi jamu dalam bentuk upaya penelitian berbasis pelayanan kesehatan, sesuai apa yang telah dicanangkan pemerintah," katanya di Kuta, Bali, Jumat. Ketika membuka Kongres Nasional Perhimpunan Peneliti Penyakit Tropik dan Infeksi (Petri) XVI dan Perhimpunan Kedokteran Wisata Indonesia (PKWI), Prof Agus menekankan kalangan Petri dan PKWI dapat mengadakan penelitian yang mendalam terhadap khasiat tanaman herbal tersebut. Dikatakan, pengembangan keilmuan dan riset di bidang penyakit tropik dan infeksi sangat diperlukan, terlebih belakangan ini Indonesia tengah menghadapi beragam penyakit jenis itu yang cenderung mengganas. Ia mencontohkan beberapa penyakit yang kini makin mengganas, antara lain demam berdarah dengue (DBD), tifus, malaria, influenza, rabies dan yang lainnya. Untuk itu, ia berharap, dari hasil penelitian terhadap tanaman herbal yang nantinya dikemas sebagai jamu dapat dipakai sebagai upaya pengobatan ataupun pencegahan terhadap penyakit tersebut. "Kami harap nantinya dari Litbangkes, P2Pl dan pihak terkait lebih banyak melakukan koordinasi terkait penelitian terhadap tanaman herbal itu," ujar Prof Agus. Dikatakan, saat ini ada beberapa tanaman herbal yang sedang diteliti dan dicari data ilmiahnya, seperti temulawak, meniran, dan

tanaman lainnya. "Untuk pembuktian ilmiah diperlukan waktu tiga bulan. Nah apabila hasilnya bagus, kami harap tahun depan Indonesia sudah dapat memproduksi jamu secara masal, yang tentunya juga dapat direkomendasikan oleh dokter," jelasnya. Ketua Umum Pengurus Besar PKWI Prof Jahja Kusyanto menyatakan, saat ini para ahli sedang menyiapkan sembilan formula jamu untuk digunakan sebagai obat unggulan. "Namun, semuanya masih dalam tahap penelitian, sehingga ketika diterapkan kepada masyarakat tidak menimbulkan komplikasi. Para ahli juga akan memformulasikan apakah jamu itu akan menjadi sarana pengobatan atau pencegahan penyakit," kata Prof Jahja. Kongres dengan tema "Tropical and Infectious Diseases: From Basic to Bed Single for Better Comprehensive Managemeny" itu dihadiri sekitar 400 peserta dari kalangan dokter dan peneliti obat-obatan seluruh Indonesia. Kongres nasioanl yang dilaksanakan oleh Divisi Penyakit Tropik dan Infeksi Bagian Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Unud/Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Sanglah Denpasar itu, akan berlangsung hingga 17 Juli 2010. BARU 27 OBAT TRADISIONIL YANG TERBUKTI ILMIAH Selasa, 06/07/2010 16:05 WIB AN Uyung Pramudiarja - detikHealth Jakarta, Indonesia boleh bangga punya jamu sebagai warisan budaya. Meski diklaim memiliki khasiat beraneka ragam, kenyataannya baru sedikit di antaranya yang telah dibuktikan secara ilmiah. Fakta ini sungguh ironis mengingat Indonesia merupakan negara dengan keragaman hayati paling besar kedua setelah Brazil. Tak kurang dari 30.000 jenis tanaman bisa ditemukan, dan diperkirakan 10.000 jenis di antaranya merupakan tanaman berkhasiat. Padahal untuk bisa diterima dalam pelayanan kesehatan formal dan diperlakukan seperti obat moderen, obat tradisional harus dibuktikan khasiatnya secara ilmiah. Bukti empiris secara turun temurun seperti pada jamu saja tidak cukup. Saat ini BPOM mencatat, baru ada 27 obat tradisional yang telah melewati uji preklinis pada hewan dan terdaftar sebagai obat herbal terstandar. Sementara yang lolos uji klinis pada manusia dan terdaftar sebagai fitofarmaka hanya ada 5 produk. Kasubdit Inspeksi Produk II, Direktorat Inspeksi dan Sertifikasi Obat Tradisional, Kosmetik dan Produk Komplemen, BPOM, Tepy Usia, M.Phil, PhD, mengatakan, salah satu kendalanya terletak pada industri yang kurang berminat untuk mengembangkannya. "Butuh kerjasama dari banyak pihak. Kadang-kadang industri sudah keluar banyak biaya untuk standarisasi, ternyata tidak ada yang mau pakai," ungkap Tepy dalam acara jumpa pers TMExpo di Hotel Le Meridien, Jakarta, Selasa (6/7/2010) Untuk itu berbagai cara telah dilakukan, agar jamu tetap distandarisasi meski belum melewati uji klinis. Salah satunya melalui program saintifikasi jamu yang dikembangkan oleh Badan Litbangkes Kementerian Kesehatan RI. Upaya lainnya mencakup pengadaan klinik herbal dan obat tradisional di beberapa rumah sakit. Beberapa universitas juga membuka pendidikan khusus jamu dan obat tradisional untuk mendukung upaya tersebut. Sementara itu untuk membidik pasar internasional, Tepy menekankan obat tradisional harus mengutamakan kualitas, keamanan dan kemanjuran (efficacy). Ketiganya bisa dicapai dengan menerapkan Good Manufacturing Practice (GMP) atau Cara Pembuatan Obat Tradisional yang Baik. Salah satu ajang untuk memasarkan produk obat tradisional adalah TMExpo, yang tahun ini akan digelar di Suntec International Convention and Exhibition Center, Singapura. Berbagai negara dari kawasan Asia, Eropa dan Amerika akan ambil bagian dalam pameran tersebut. Acara yang akan berlangsung 15-17 Oktober 2010 ini merupakan yang kedua kalinya digelar oleh Singapore TCM Organisations Comittee (STOC). Tahun lalu, pameran serupa diikuti 90 peserta dan dihadiri 7.181 orang pengunjung. UI BUKA PROGRAM MAGISTER HERBAL Jumat, 06/08/2010 13:04 WIB Vera Farah Bararah - detikHealth Depok, Obat-obatan tradisional seperti jamu banyak diminati oleh masyarakat, tapi sayangnya penelitian

mengenai khasiat jamu ini masih minim. Dengan dibukanya program magister herbal di departemen farmasi Univesitas Indonesia diharapkan bisa semakin banyak ilmuwan yang meneliti herbal. Program magister herbal UI ini ada di bawah fakultas MIPA yang bekerja sama dengan Martha Tilaar Group. Diharapkan lulusan program magister herbal ini dapat menggali, mengembangkan serta melestarikan kekayaan alam dan budaya Indonesia. Sehingga dapat mengangkat produk berbasis herbal seperti jamu di dalam dan luar negeri, serta mengurangi dampak negatif dari produk jamu yang menggunakan penambahan bahan kimia. "Biasanya penelitian dilakukan secara individual, karena itu diperlukan kombinasi antara akademik atau teori dan penelitian herbal sehingga dapat meningkatkan mutu herbal di Indonesia," ujar Dr. Ir Muhammad Anis, M.Met selaku Wakil Rektor Bidang Akademik dan Kemahasiswaan Universitas Indonesia dalam acara Peresmian Program Magister Herbal dan Green Garden Science di Balai Sidang UI, JUmat (6/8/2010). Sementara Dr Martha Tilaar mengatakan lulusan magister ini diharapkan dapat melakukan riset dan menerapkan kaidah ilmiah dalam pemanfaatan kekayaan alam khususnya tanaman obat kosmetik dan aromatik untuk kesehatan maupun estetika, sehingga dapat mempertanggungjawabkan pemakaian jamu. "Diharapkan nantinya dapat diketahui bukti imiah dari produk herbal ini, sehingga bisa menyediakan jamu yang aman dan dapat dimanfaatkan secara luas. Selain itu agar jamu bisa menjadi tuan rumah di negerinya sendiri," ujar Sekjen Kemenkes dr. Ratna Rosita, MPH. Dr Martha Tilaar menuturkan program magister herbal ini merupakan jawaban terhadap masalah-masalah yang timbul berkaitan dengan jamu dan produk berbasis herbal lainnya, seperti: 1. Banyaknya praktek herbal yang tidak sesuai dengan aturan dalam hal pembuatannya, karena pembuatan produk herbal harus dilakukan secara bersih, tepat dan benar. Tapi terkadang ada produk herbal yang dicampurkan dengan bahan kimia sehingga bisa menimbulkan kerugian pada masyarakat. 2. Kurangnya tenaga kompeten dalam bidang herbal yang dapat memberikan konsultasi agar praktek pengobatan tradisional tidak menimbulkan efek samping dan dapat dipertanggung jawabkan. 3. Belum banyak dokter yang mau memanfaatkan produk herbal Indonesia karena kurangnya data penelitian ilmiah hingga studi klinis. 4. Banyaknya obat herbal impor yang menyebabkan produk herbal Indonesia menurun akibat kurang bisa bersaing. Pada saat yang bersamaan juga diresmikan Green Garden Science sebagai "Pustaka Hidup Tanaman Obat Kosmetik dan Aromatik' bagi mahasiswa Universitas Indonesia. Taman ini terdiri dari 105 tanaman obat yang digunakan untuk kecantikan dan kesehatan yang dilengkapi dengan nama Indonesia dan latin serta kegunaannya. HERBAL BELUM BISA JADI OBAT KANKER Selasa, 20 Juli 2010 | 09:41 WIB JAKARTA, KOMPAS.com - Beberapa orang percaya, mengonsumsi obat herbal dapat menyembuhkan dirinya dari penyakit kanker. Padahal penggunaan obat herbal sebagai obat pengganti untuk penyakit kanker hingga saat ini belum bisa dibuktikan secara saintifikasi. "Menurut saya, kanker tidak ada obat penggantinya. Untuk menjadi obat pengganti, (obat herbal) harus ada saintifikasinya. Sementara untuk penelitian mengenai khasiat obat herbal belum banyak di lakukan di Indonesia dan secara uji saintifikasi belum pernah dibuktikan," kata Prof dr Edi Dharmana, peneliti herbal yang juga guru besar Fakultas Kedokteran Universitas Dipenogoro di sela peluncuran iklan layanan masyarakat di RS Dharmais, Jakarta, Senin (19/07/10). Prof Edi mengingatkan, masyarakat harus hati-hati dan jangan mudah percaya pada apa yang didengungdengungkan oleh iklan mengenai khasiat obat herbal sebagai pengganti obat sintetis pada penderita kanker. Menurutnya, kebanyakan masyarakat percaya bahawa obat herbal dapat menyembuhkan kanker karena mengandung antioksidan dan zat yang yang berguna untuk menyembuhkan sel. "Selain itu, orang jaman

sekarang percaya pada orang-orang jaman dahulu yang mengatakan bahwa tanaman herbal seperti seledri, temulawak dapat menyembuhkan penyakit maka sekarang dipercaya dapat mengobati penyakit kanker," tambahnya. Pernyataan Prof Edi diamini oleh Ketua Umum PB Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Prijo Sidipratomo. "Masyarakat cenderung berpikir bahwa obat herbal dapat mengobati kanker karena berpikir obat konvensional awalnya juga dari herbal," ujarnya. Padahal, pada kenyataannya obat-obat herbal yang ada di pasaran hanya berfungsi sebagai promotif (menjaga kesehatan dan kebugaran tubuh), preventif (mencegah terkena penyakit), kuratif (pengobatan pendamping), dan rehabilitasi (bersifat memulihkan). Lebih lanjut Prof Edi menyatakan, hingga saat ini persepsi setiap orang sering dibutakan. Apabila mengkonsumsi obat herbal maka dirinya akan memperoleh kesembuhan dari kanker. Keadaan yang benar justru sebaliknya, kebanyakan obat herbal saat ini hanya digunakkan sebagai obat pendamping yang penggunaanya digabungkan dengan obat sintetis. "Misalkan phaleria macrocarpo (mahkota dewa) penggunaanya dipercaya untuk mengobati kanker tulang. Padahal, konsumsinya mahkota dewa hanya digabungkan dengan obat konvensional untuk mengobati kanker," kata Prof Edi. Prof Edi juga mengatakan, tanaman herbal yang dispesifikasikan di Indonesia menjadi obat herbal baru sekitar 300 spesies termasuk 5 jenis di dalamnya fitofarmaka, sehingga kesembuhan kanker melalui obat herbal sebagi pengganti obat sintetis masih harus melalui tahap yang panjang. KOLABORASI HERBAL DAN KEMOTERAPI Banyak ahli bedah tumor beranggapan kombinasi terapi alami dengan terapi baku konvensional dalam memerangi kanker tidak memiliki peran sama sekali, bahkan berpotensi memengaruhi kinerja obat antikanker, buntutnya output yang memburuk. Anggapan tersebut rasional terkait menjamurnya pengobatan alternatif berbasis herbal tanpa melalui uji klinis yang ilmiah. Maraknya produk herbal yang tidak bisa dipertanggungjawabkan potensi terapinya dan efek samping yang ditimbulkan tidak berarti semua produk alami mubazir. Sesungguhnya banyak tanaman yang menyimpan potensi terapeutik yang luar biasa bila digali melalui penelitian ilmiah. Sebut saja flavonoidpemberi pigmen tumbuh-tumbuhanyang terkandung luas dalam tumbuhan dan buah-buahan. Flavonoid juga protektor terhadap serangan mikroba dan serangga. Penyebaran flavonoid yang luas, varietas, serta toksisitas yang rendah menandakan kita dapat mengonsumsi flavonoid dalam jumlah besar tanpa khawatir berdampak buruk terhadap kesehatan. Flavonoid memiliki peran besar dalam tubuh kita sebagai modifikator respons alami biologis. Banyak penelitian membuktikan peran flavonoid untuk memodifikasi reaksi tubuh pada penyakit. Flavonoid dapat menekan inflamasi (radang), mengontrol kadar gula darah, memperbaiki respons imun, melawan kanker, dan proteksi terhadap penyakit jantung.Kadar dan tipe flavonoid bervariasi dalam tiap jenis tumbuhan. Kombinasi dan kuantitas flavonoid yang beragam dapat dimanfaatkan untuk mengobati berbagai jenis penyakit. Dengan penelitian ilmiah, kita bisa memahami dan mendapat informasi mekanisme untuk memodifikasi sinyal seluler dan metabolisme, memahami dosis serta kombinasi terapi terbaik untuk pengobatan tertentu.Kanker merupakan penyakit inflamasi. Ketika tubuh memproduksi keradangan sebagai reaksi terhadap luka atau infeksi, akan diproduksi substrat yang juga dapat memengaruhi tumbuhnya kanker. Bila terjadi radang kronis seperti ulkus yang disebabkan bakteri dalam perut, konsekuensinya tidak hanya memicu terjadinya kanker, tetapi sekaligus memicu pertumbuhannya.Flavonoid berperan dalam memerangi kanker sebagai: antiinflamasi (antiradang), antikanker, dengan merangsang apoptosis (program kematian sel), antimetastasis (antipenyebaran kanker), antiangiogenesis (antipertumbuhan pembuluh darah baru), meningkatkan kerja kemoterapi, dan menurunkan toksisitas kemoterapi Dengan kemoterapi, angka kesembuhan kanker solid (padat) seperti kanker payudara, ovarium, ginjal, prostat, tulang, dan otak pada orang dewasa 2,3 persen. Rendahnya angka itu memicu resistensi terhadap obat-obat kemoterapi (multi-drug resistance). Membran transpor protein ABCG2/BCRP1 menurunkan konsentrasi kemoterapi intraseluler seperti ironotecan dan doxorubicin. Protein ABCG2 ditemukan dalam jumlah besar dalam stem sel kanker. Protein itu memicu sel kanker stem sel

untuk memulai pertumbuhan tumor pascakemoterapi. Substrat yang menghambat ABCG2 meningkatkan kemosensitivitas sel kanker stem sel terhadap kemoterapi serta memperbaiki respons. Berbagai jenis flavonoid menghambat ABCG2. Kolaborasi ragam flavonoid seperti apigenin, luteolin, quercetin, genistein, dan kaempferol menghambat pertumbuhan sel kanker pada kanker ovarium pada suatu studi in vitro (angka kesembuhan 80 persen). Flavonoid berpotensi menghambat VEGF (Vascular Endothelial Growth Factor) faktor pemicu angiogenesis (tumbuhnya pembuluh darah baru pada kanker). Teh hijau berpotensi menghambat MMP2 (Matrix Metalloprotein 2) dan MMP9 (Matrix Metalloprotein 9). Untuk memperoleh capaian terapi lebih baik, kombinasi flavonoid, ekstrak murni teh hijau, dan kemoterapi menjadi pilihan yang dapat dicoba. Kombinasi terapi alami dan kemoterapi memberikan hasil lebih baik karena bekerja di jalur yang berbeda sehingga dapat membunuh sekaligus tak memberi peluang tumbuh kembalinya sel kanker. Kemoterapi dapat membunuh sel kanker, tetapi tidak berdaya terhadap terjadinya kekebalan terhadap obat, juga tidak berpotensi mencegah penyebaran kanker ke organ lain, termasuk pertumbuhan pembuluh darah baru sebagai pemasok makanan bagi pertumbuhan sel kanker. Untuk mendongkrak angka kesembuhan, pilihan terapi sebisanya berbasis pada pengobatan yang menekan pertumbuhan pembuluh darah baru (angiogenesis), mitosis (pembelahan sel), dan penyebaran ke organ lain (metastasis). Sumber: Kompas Selasa, 20 April 2010 - OSSYRIS ABU BAKAR Bekerja sama dengan Resort to Health Medical Clinic Pert JAMU TAK BIKIN GINJAL RUSAK Kamis, 16/06/2011 17:31 WIB Merry Wahyuningsih - detikHealth Jakarta, Minum jamu sering menjadi pilihan masyarakat karena dianggap lebih murah dan tanpa efek samping, meski belakangan muncul tudingan bahwa jamu berbahaya bagi ginjal. Namun, ahli herbal menyatakan jamu tidak berbahaya untuk ginjal asalkan tahu syaratnya. Jamu atau herbal sudah dikenal luas oleh masyarakat Indonesia sejak zaman dulu. Nenek moyang kita telah menggunakan berbagai ramuan jamu untuk mengobati banyak penyakit. Namun, seiring dengan berkembangnya kedokteran modern, fungsi jamu semakin tergantikan dengan kehadiran obat-obat kimia yang khasiatnya sudah teruji secara praklinis (pada hewan percobaan) dan klinis (pada manusia). Bahkan, beberapa jamu dituding dapat menyebabkan efek samping merusak ginjal. "Secara umum herbal tidak ada efek sampingnya, kecuali untuk beberapa kasus dimana obat herbal dicampur dengan obat sintetis kadang-kadang ada efek sampingnya," ujar Prof. Dr. Sumali Wiryowidagdo, Apt, Wakil Ketua Pusat Studi Obat Bahan Alam Departemen Farmasi, FMIPA Universitas Indonesia disela-sela acara Media Workshop 'Inovasi Teknologi Ekstraksi Bahan Alami Menghasilkan Obat Batuk Herbal yang Efektif' di Kembang Goela Resto, Plaza Sentral, Jakarta, Kamis (16/6/2011). Menurut Prof Sumali, jamu atau herbal yang dituding berbahaya dan dapat merusak ginjal atau hati adalah karena jamu tersebut tidak memenuhi syarat. "Bisa jadi ada herbal yang dicampur dengan obat sintetis. Itu yang tidak aman. Tapi kalau herbal murni itu nggak ada efek sampingnya," lanjut Prof Sumali yang juga merupakan Guru Besar di Fakultas Farmasi FMIPA UI. Prof Sumali juga mengingatkan masyarakat agar tidak mudah percaya produsen jamu yang menjanjikan bisa menyembuhkan penyakit pasien dengan cepat bila mengonsumsi jamu produksinya. "Kalau ada yang bilang minum jamu 2 hari langsung sembuh itu jangan mudah percaya. Harus diperiksa apakah ada campuran bahan kimia atau tidak, karena khasiat herbal biasanya lebih lambat dibandingkan obat kimia," tutur Prof Sumali. Prof Sumali juga menjelaskan bahwa di Indonesia ada 3 macam obat herbal yang beredar, yaitu: 1. Jamu Adalah obat asli Indonesia yang ramuan, cara pembuatan, cara penggunaan, pembuktian khasiat dan keamanannya berdasarkan pengetahuan tradisional. Pembuktian khasiat jamu hanya berdasarkan pengalaman atau data empiris bukan uji ilmiah dan uji klinis. 2. Herbal terstandar Adalah sediaan obat bahan alam yang telah dibuktikan keamanan dan khasiatnya secara ilmiah melalui uji praklinis (pengujian terhadap hewan percobaan) tapi belum uji klinis atau pada manusia meski bahan bakunya

telah distandarisasi. 3. Fitofarmaka Adalah sediaan obat bahan alam yang telah dibuktikan secara ilmiah melalui uji praklinis dan klinis, dimana bahan baku dan produk jadinya telah distandarisasi. Produk fitofarmaka dapat disetarakan dengan obat moderen dan sudah dapat diresepkan oleh dokter. Agar tidak mudah tertipu produsen jamu palsu, Prof Sumali memberikan beberapa tips memilih jamu, yaitu: 1. Periksa nomor pendaftaran BPOM "Dilihat dulu nomor registrasi dan logo 'jamu' dari BPOM. Kalau sudah terdaftar, berarti komposisinya sudah diuji oleh BPOM," jelas Prof Sumali. 2. Periksa kemasan jamu "Periksa kemasan ada yang mencurigakan atau tidak, misalnya terdapat salah ketik atau ada yang dirasakan aneh," lanjut Prof Sumali. 3. Periksa isinya "Herbal yang sudah diolah biasanya berbentuk serbuk, potongan-potongan herbal, kapsul atau sirup. Yang sudah dalam bentuk modern biasanya lebih terpercaya. 4. Tidak membeli di sembarangan tempat "Untuk menyimpanannya, herbal harus dihindari dari sinar matahari langsung, kelembaban harus dijaga tetap kering karena herbal sangat dipengaruhi kadar air. Untuk herbal sebaiknya di beli di toko khusus obat herbal atau apotik, jangan di warung-warung sembarangan. Biasanya herbal yang dicampur obat sintetis sering masuk ke warung-warung gitu," jelas Prof Sumali. 5. Beri jeda bila minum jamu bersamaan dengan obat medis Konsumsi obat-obat herbal sebaiknya diberi jeda dengan obat medis, agar efek obat tidak saling meniadakan misalnya diberi jeda 1 jam. "Biasanya obat medis dulu, karena efeknya lebih cepat, baru obat herbal," jelas Prof Sumali. Namun, dalam artikel detikHealth, dr. Dante Saksono, SpPD, PhD, dari RS Cipto Mangunkusumo mengakui memang orang yang memiliki bakat ginjal harus lebih berhati-hati mengonsumsi jamu. Maka itu jika ingin minum jamu harus yang sudah benar-benar teruji secara klinis. Minum jamu bisa berbahaya jika tidak disertai dengan banyak minum air. Air putih ini membantu cairan yang disaring ke ginjal tidak terlalu pekat sehingga tidak mengganggu kerja ginjal. Menurut dr Dante, minum sembarangan jamu tanpa mengetahui komposisinya bisa berbahaya. Karena materi-materi penyusunnya belum dapat diidentifikasikan secara pasti. Sehingga belum dapat dipastikan apakah material yang terkandung di dalamnya aman untuk ginjal. "Saya tidak menganjurkan pasien yang sakit untuk minum jamu," ujar dr. Dante Saksono, SpPD, PhD, dari RS Cipto Mangunkusumo saat dihubungi detikHealth. Orang dengan penyakit ginjal, lanjut dr. Dante, sangat tidak disarankan minum jamu. Karena apabila telah terjadi kerusakan pada ginjal maka minum jamu akan meningkatkan risiko dan mengakibatkan pasien tidak bisa bertahan lebih lama. Di Indonesia baru ada empat rumah sakit yang telah terakreditasi oleh Departemen Kesehatan dapat memberikan resep obat herbal atau Complementary Alternative Medicine (CAM), yaitu RS Kanker Dharmais Jakarta, RS Persahabatan Jakarta, RSUD Dr Soetomo Surabaya dan RS Kandou Manado.

KUALITAS JAMU MASIH JADI TANTANGAN Rabu, 2 Juni 2010 | 06:35 WIB Kompas/Agnes Rita Sulistyawaty Jakarta, Kompas - Industri jamu dan obat tradisional di Indonesia sudah berkembang, tetapi soal kualitas produk masih harus ditingkatkan. Demikian terungkap dalam Rapat Kerja Nasional Gabungan Pengusaha

Jamu dan Obat Tradisional Indonesia, Selasa (1/6). Direktur Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan Kementerian Kesehatan Sri Indrawaty mengatakan, beberapa dekade terakhir, jamu dan obat tradisional nasional telah bertumbuh signifikan. Nilai penggunaan jamu dan obat tradisional juga meningkat. Tahun 2009, pendapatan usaha jamu dan obat tradisional mencapai Rp 8 triliun dan ditargetkan mencapai Rp 10 triliun pada 2010. Hanya saja, kualitas perlu terus ditingkatkan. Saat ini terdapat lebih dari 900 industri kecil dan 130 industri menengah jamu dan obat tradisional. Namun, baru 69 di antaranya yang mendapat sertifikasi Good Traditional Medicine Manufacturing Practice atau Cara Pembuatan Obat Tradisional yang Baik (CPOTB). CPOTB merupakan syarat utama yang ditetapkan pemerintah untuk menghasilkan produk bermutu terkait pemakaian peralatan dan mesin, sarana, prasarana pabrik, serta sumber daya manusia. Jamu dan obat tradisional juga masih menghadapi masalah dengan adanya sejumlah produk yang mengandung bahan kimia obat dan tidak memenuhi standar kualitas tertentu. Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Kustantinah mengatakan, hasil pencuplikan tahun 2009 dan 2010 menunjukkan, bahan kimia obat banyak ditemukan pada jamu pegal linu, penambah stamina, penggemuk, dan pelangsing. Jenis bahan kimia obat yang banyak digunakan ialah parasetamol (91 persen), fenilbutazon (46 persen), dan sildenafil sitrat (14 persen). Penggunaan bahan kimia obat secara sembarangan berdampak buruk pada kesehatan. Apalagi, sejumlah bahan kimia obat yang ditambahkan dalam jamu tersebut termasuk golongan obat keras. Standardisasi bertahap Ketua Umum Gabungan Pengusaha Jamu dan Obat Tradisional Indonesia (GP Jamu) Charles Saerang mengatakan, sebagian besar industri jamu berskala kecil. Untuk memiliki industri dengan standar CPOTB minimal dibutuhkan Rp 2 miliar. Bagi industri kecil tentu saja hal itu berat, ujarnya. Menurut dia, CPOTB harus disesuaikan dengan kemampuan dan kebutuhan setiap industri sehingga penerapan CPOTB tidak bisa disamaratakan ke seluruh industri dari skala rumah tangga hingga besar. Apalagi, banyak industri jamu, khususnya skala kecil dan menengah, belum mendapatkan pembinaan pemerintah. Termasuk pembinaan mengenai CPOTB. Perlu ada tahapan-tahapan standardisasi. Sebagai konsekuensi, misalnya, ditentukan pembatasan pemasaran dan distribusi sesuai tahap standardisasinya. Harus dijaga agar industri jamu yang potensinya sangat besar ini berkembang dan menjadi tuan rumah di negeri sendiri. Apalagi dengan adanya perdagangan bebas nantinya, ujar Saerang. (INE) PEMASARAN JAMU TERBENTUR MASALAH UJI KLINIS Asep Candra | Kamis, 21 Juli 2011 | 15:35 WIB KOMPAS.com - Pemasaran jamu Indonesia di tingkat internasional mengalami kesulitan lantaran masalah uji klinis terhadap formula jamu. Akibatnya, jamu belum mampu menjadi ikon Indonesia di mata internasional. Hingga 2011 ini, dari sekitar 7.000 jenis tanaman obat di Indonesia, baru delapan jenis saja yang sudah diformula dan mendapatkan uji klinis. Padahal, pada tahun ini, pemerintah sudah menargetkan 66 jenis tanaman obat siap diekspor. Direktur Jenderal Hortikultura Kementerian Pertanian Hasanudin Ibrahim mengatakan bahwa masalah uji klinis memang menjadi kendala. Menurutnya, uji klinis adalah sesuatu yang mahal dan tidak boleh dilakukan sembarang orang seperti para petani, melainkan pihak tertentu seperti investor dan industri pengolahan. "Ini tantangan pemerintah untuk membantu melakukan riset kepada petani agar formula jamu benar-benar sesuai aturan. Warisan leluhur dahulu bisa menjadi dasar risetnya," ungkap Hasanudin di sela-sela membuka acara Festival Jamu 2011 di Pagelaran Kraton Yogyakarta, Rabu (20/7). Penelitian mengenai jamu kurang optimal lantaran terbatasnya dana. Oleh karena itu, pengembangan jamu Indonesia masih sebatas pembinaan petani di Indonesia untuk memproduksi tanaman obat sesuai potensi wilayahnya. Sementara itu, permintaan jamu di pasar domestik dan luar negeri mengalami perkembangan yang cukup pesat. Ekspor tanaman obat, baik bahan baku maupun barang olahan meningkat sebanyak 13,5 ribu ton dengan nilai 18,8 juta dolar AS pada tahun 2010, lebih tinggi dibanding tahun 2009 yang sebanyak 13,09 ribu ton dengan nilai 11,8 juta dolar AS. Hasanudin melanjutkan jamu layak menjadi ikon Indonesia. Jamu adalah

warisan budaya bangsa yang sudah banyak diolah untuk berbagai keperluan, seperti kosmestika, kesehatan, atau permen. "Ketersediaan keanekaragaman hayati dan sumber daya alam di Indonesia juga melimpah," tambahnya. Untuk meningkatkan pemasaran jamu ini, selain meningkatkan penelitian ,perlu adanya kerja sama yang baik di antara petani, industri, serta pemerintah. Selain itu, petani perlu diberi insentif agar semakin giat dalam memproduksi tanaman obat ini. (Olivia Lewi Pramesti). INILAH EFEK SAMPING OBAT KIMIA DALAM JAMU Selasa, 24 Agustus 2010 | 13:29 WIB KOMPAS.com Beberapa waktu terakhir ini, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) RI banyak menyita jamu ilegal. Jamu yang disita pada umumnya tidak memiliki izin edar, mengandung bahan kimia berbahaya, serta melanggar aturan pencantuman nama penyakit pada kemasan yang digunakan. Karena itu, masyarakat diimbau untuk berhati-hati dalam memilih produk jamu tradisional. Berikut adalah beberapa zat kimia yang kerap ditemukan dalam produk jamu ilegal beserta risiko dan efek yang tidak diinginkan dari penggunaan bahan kimia obat tanpa pengawasan dokter: - Sibutramin Hidroklorida dapat meningkatkan tekanan darah (hipertensi), denyut jantung, serta sulit tidur. Obat ini tidak boleh digunakan pada pasien dengan riwayat penyakit arteri koroner, gagal jantung kongestif, aritmia atau stroke. - Sildenafil Sitrat dapat menyebabkan sakit kepala, pusing, dispepsia, mual, nyeri perut, gangguan penglihatan, rinitis (radang hidung), infark miokard, nyeri dada, palpitasi (denyut jantung cepat), dan kematian. - Siproheptadin dapat menyebabkan mual, muntah, mulut kering, diare, anemia hemolitik, leucopenia, agranulositosis, dan trombositopenia. - Fenilbutason dapat menyebabkan mual, muntah, ruam kulit, retensi cairan dan elektrolit (edema), pendarahan lambung, nyeri lambung, dengan pendarahan atau perforasi, reaksi hipersensitivitas, hepatitis, nefritis, gagal ginjal, leukopenia, anemia aplastik, agranulositosis, dan lain-lain. - Asam Mefenamat dapat menyebabkan mengantuk, diare, ruam kulit, trombositopenia, anemia hemolitik dan kejang, serta dikontraindikasikan bagi penderita tukak lambung/usus, asma, dan ginjal. - Prednison dapat menyebabkan moon face; gangguan saluran cerna seperti mual dan tukak lambung; gangguan muskuloskeletal seperti osteoporosis; gangguan endokrin seperti gangguan haid; gangguan neuropsikiatri seperti ketergantungan psikis, depresi, dan insomnia; gangguan penglihatan seperti glaukoma; dan gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit. - Metampiron dapat menyebabkan gangguan saluran cerna seperti mual, pendarahan lambung, rasa terbakar, serta gangguan sistem saraf seperti tinitus (telinga berdenging) dan neuropati, gangguan darah, pembentukan sel darah dihambat (anemia aplastik), agranulositosis, gangguan ginjal, shock, kematian, dan lain-lain. - Teofilin dapat menyebabkan takikardi, aritmia, palpitasi, mual, gangguan saluran cerna, sakit kepala, dan insomnia. - Parasetamol dalam penggunaan jangka panjang dapat menyebabkan gangguan kerusakan hati. Sumber: BPOM RI PENGGUNAAN JAMU JANGAN SEMBARANGAN Senin, 1 Februari 2010 | 18:32 WIB JAKARTA, KOMPAS.com - Masyarakat hendaknya berhati-hati terhadap banyaknya tawaran pengobatan alternatif dan herbal untuk mengatasi berbagai masalah kesehatan. "Banyak herbal bermanfaat tetapi belum

diteliti secara klinis manfaatnya. Penggunaan berbagai obat-obatan dan herbal tidak dapat sembarangan. Yang menjadi masalah ialah herbal yang dicampur dengan zat aktif tertentu," ujar Prof Wimpie Pangkahila, spesialis andrologi dan seksologi dalam acara dialog mengenai Seks dan Kualitas Hidup yang Menyenangkan Walaupun Usia Bertambah yang diselenggarakan tabloid Gaya Hidup Sehat, Senin (1/2). Salah satu cara mendeteksi keberadaan campuran zat aktif dalam herbal antara lain dengan mengamati kecepatan berkhasiatnya. Herbal biasanya tidak berkhasiat secara cepat, jika terjadi demikian, patut dicurigai adanya tambahan zat aktif. Untuk menjamin tidak adanya zat tambahan, tanaman berkhasiat dapat digunakan secara langsung. Namun, masih dipertanyakan jumlah yang dibutuhkan untuk mendapatkan efek terapi dan tetap aman. Dia menyarankan, penggunaan herbal sebaiknya dengan berkonsultasi dengan dokter yang menangani penyakit pasien tersebut. Wimpie mengatakan, agar mendapatkan seksualitas dan kualitas hidup sehat salah satunya dengan menjaga kesehatan secara keseluruhan. Pola makan sehat, berolah raga cukup dan teratur, menghindari kebiasaan buruk seperti merokok, dan beristirahat cukup merupakan kunci menjaga tekanan darah, kolesterol, dan kadar gula darah. Selain itu, mereka yang telah menderita gangguan seperti diabetes dan hipertensi secara teratur mengonsumsi obat di bawah pengawasan dokter. Untuk menjaga kesehatan, minimal melakukan pemeriksaan kesehatan setahun sekali jika tidak ada keluhan dan gangguan khusus.

INTEGRASI PENGOBATAN TRADISIONAL DALAM SISTEM KESEHATAN NASIONAL Surakarta, 31 Oktober 2011 Dalam hal pelayanan kesehatan, obat tradisional dapat menjadi bagian penting dari sistem kesehatan di negara manapun di dunia, termasuk di negara-negara ASEAN. Obat tradisional yang sering lebih diterima secara budaya oleh masyarakat dibandingkan dengan obat konvensional. Demikian disampaikan Menteri Kesehatan RI, dr. Endang Rahayu Sedyaningsih, MPH, Dr.PH saat membuka the 3rd Conference on Traditional Medicine in ASEAN Countries di Surakarta, Senin (31/10). Turut hadir dalam acara tersebut, Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Dr. dr. Trihono, M.Sc; Executive Director ASEAN Foundation; Director International Cooperation Nippon Foundation; perwakilan WHO; dan sejumlah peserta konferensi yang berasal dari 10 negara ASEAN. Di beberapa negara Asia dan Afrika, sekitar 80% penduduk bergantung pada obat tradisional untuk perawatan kesehatan primer. Karena itu, pemberian obat tradisional yang aman dan efektif dapat menjadi alat penting untuk meningkatkan akses ke perawatan kesehatan secara keseluruhan, ujar Menkes. Dalam sambutannya Menkes memaparkan, berdasarkan data hasil riset kesehatan dasar 2010, hampir setengah (49,53%) penduduk Indonesia berusia 15 tahun ke atas, mengonsumsi jamu. Sekitar lima persen (4,36%) mengkonsumsi jamu setiap hari, sedangkan sisanya (45,17%) mengkonsumsi jamu sesekali. Proporsi jenis jamu yang banyak dipilih untuk dikonsumsi adalah jamu cair (55,16%); bubuk (43,99%); dan jamu seduh (20,43%). Sedangkan proporsi terkecil adalah jamu yang dikemas secara modern dalam bentuk kapsul/pil/tablet (11,58%). Selanjutnya, Menkes menyatakan, terdapat dua tantangan utama dalam penggunaan obat tradisional di Indonesia. Yang pertama, konsumen cenderung menganggap bahwa obat tradisional (herbal) selalu aman. Tantangan selanjutnya, yaitu mengenai izin praktek pengobatan tradisional dan kualifikasi praktisi kesehatan tradional. Berdasarkan Survei Global WHO (1994), tantangan yang dihadapi dalam pemanfaatan obat tradisional, yaitu kurangnya data penelitian, kurangnya mekanisme kontrol yang tepat, kurangnya pendidikan dan pelatihan, dan kurangnya keahlian. Situasi serupa juga ditemukan di wilayah SEARO, sebuah survei kebijakan nasional tentang obat tradisional dan regulasi jamu (2005) mengungkapkan bahwa belum semua negara SEARO memiliki kebijakan yang berkaitan dengan obat tradisional, jelas Menkes. Pada Deklarasi Alma Ata (1978) dunia telah berkomitmen bahwa obat tradisional harus dikembangkan secara signifikan. Negara anggota ASEAN juga menyadari pentingnya mengintegrasikan pengobatan tradisional ke dalam sistem kesehatan nasional, terutama dalam pelayanan kesehatan primer, dengan memanfaatkan obat tradisional. Seperti yang kita ketahui, dalam sistem pelayanan kesehatan modern didukung oleh pengetahuan yang jelas

dan metodologi penelitian, sementara pelayanan kesehatan tradisional seringkali kurang didukung oleh data penelitian ilmiah, ujar Menkes. Menurut Menkes, ada tujuh langkah untuk mengintegrasikan pengobatan tradisional ke dalam sistem pelayanan kesehatan, yaitu Perumusan strategi untuk integrasi; Menetapkan regulasi untuk integrasi; Menetapkan standar layanan dan kompetensi; Pelatihan dan pendidikan untuk konvensional provider dan praktisi traditional medicine; Pengintegrasian pengobatan tradisional/alternatif ke dalam sistem kesehatan (formal); Membangun kemitraan dan jaringan dengan negara-negara lain untuk bertukar informasi dan pengalaman; dan Melakukan penelitian dan pengembangan untuk pembuktian secara ilmiah. Pemerintah Indonesia berkomitmen kuat dalam mengembangkan obat tradisional, khususnya jamu buatan Indonesia. Sehubungan dengan upaya untuk mengintegrasikan pengobatan tradisional ke dalam sistem kesehatan nasional, sejumlah kerangka regulasi telah diterbitkan, mulai dari tingkat Undang-undang, hingga Keputusan Menteri Kesehatan. Kebijakan tersebut meliputi: mandat pemerintah untuk mengatur obat tradisional; pengaturan praktisi pengobatan tradisional; pengaturan praktik pengobatan alternatif; dan pengembangan jamu berbasis ilmiah (saintifikasi jamu). Berdasarkan proses, klaim keberhasilan, dan tingkat bukti, jamu Indonesia dikategorikan menjadi tiga, yaitu jamu, obat herbal terstandar, dan phytomedicine, jelas Menkes. Program saintikasi jamu dikembangkan agar jamu dapat dipromosikan oleh profesional medis dalam kesehatan formal. Program ini bertujuan untuk memberikan dasar ilmiah pemanfaatan jamu di pelayanan kesehatan; membangun jaringan, dokter dapat bertindak sebagai penyedia jamu dan peneliti (dual system); mendorong penyediaan jamu yang aman, efektif, dan berkualitas untuk pemanfaatan di pelayanan kesehatan. Jamu secara luas digunakan oleh masyarakat di Indonesia, Negara dengan jumlah penduduk yang besar dan juga memiliki kekayaan, berupa keragaman jenis tanaman obat. Dari sekitar 30.000 spesies tanaman yang ada di Indonesia, 7.000 spesies merupakan tanaman obat dan 4500 spesies diantaranya berasal dari pulau Jawa.Selain itu, terdapat sekitar 280.000 orang praktisi pengobatan tradisional di Indonesia, tambah Menkes. Berita ini disiarkan oleh Pusat Komunikasi Publik, Sekretariat Jenderal Kementerian Kesehatan RI. Untuk informasi lebih lanjut dapat menghubungi melalui nomor telepon: 021-52907416-9, faksimili: 52921669, Pusat Tanggap Respon Cepat (PTRC): 021-500567, atau alamat e-mail [email protected] 12 RS UJI COBA SAINTIFIKASI JAMU Senin, 6 September 2010 | 11:18 WIB Jakarta, Kompas - Sebanyak 12 rumah sakit menjadi tempat uji coba saintifikasi jamu dalam pelayanan kesehatan. Selain itu, akan dikembangkan pula pojok jamu di pusat-pusat kesehatan masyarakat atau puskesmas. Ke-12 rumah sakit itu ialah RSUP Persahabatan Jakarta, RS Kanker Dharmais Jakarta, RSUD Dr Soetomo Surabaya, RSUP Dr Sardjito Yogyakarta, Rumah Sakit Orthopedi Prof Dr Soeharso Solo, RSUP Sanglah (Bali), RSUP Prof Dr RD Kandou Manado, RSUD Dr Pringadi Medan, RSUP Adam Malik Medan, RSUP Wahidin Sudirohusodo Makasar, RSU Dr Saiful Anwar Malang, dan RSAL Dr Mintohardjo Jakarta. Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Kesehatan Agus Purwandianto, Jumat (3/9), mengatakan, pengobatan bahan alami sebagai pendamping terapi medis dan obat- obatan kimia. Di klinik jamu tersebut yang berperan ialah dokter dari rumah sakit yang telah ditunjuk. Kepala Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Tanaman Obat dan Obat Tradisional Tawangmangu, Jawa Tengah, Indah Yuning Prapti mengatakan, penelitian berbasis pelayanan kesehatan itu akan menguatkan penggunaan jamu. (INE) IAI: HATI HATI KONSUMSI JAMU OBAT Sabtu, 11 Desember 2010 | 09:08 WIB Sabrina Asril MAKASSAR, KOMPAS.COM - Ikatan Apoteker Indonesia (IAI) mengimbau masyarakat agar berhati-hati menggunakan jamu yang mengandung bahan kimia obat yang masih banyak beredar di pasaran. Ketua IAI Dani Pramono sebelum membuka Kongres Ilmiah XVIII dan Rakernas IAI 2010 di Makassar, Jumat, mengatakan, banyak produk kesehatan yang berlabel jamu, namun kenyataannya berisi bahan berunsur kimia.

"Sebaiknya, masyarakat teliti sebelum mengkonsumsi. Karena kebanyakan jamu sekarang tidak lagi menggunakan bahan alami," ujarnya. Dia menambahkan, masyarakat juga harus memperhatikan bentuk jamu yang dibelinya. Sebab untuk mendapatkan khasiatnya, bahan jamu harus diekstrak dulu agar bakteri tidak berkembang biak. Menurutnya, banyaknya pelanggaran produk kesehatan yang terjadi merupakan akibat lemahnya pengawasan pemerintah dan pihak-pihak terkait. Oleh karena itu, untuk menjamin keaslian bahan jamu, setiap industri jamu di Indonesia wajib menggunakan tenaga apoteker dalam pengawasan proses produksi. Selain itu, masyarakat pengguna obat-obatan medis juga diminta untuk bertanya ke petugas apoteker di setiap apotik yang dikunjunginya. "Apoteker saat ini bukan lagi sekedar "pelayan toko" tapi juga berperan sebagai pengasuh farmasi. Jika masyarakat ingin mengetahui semua hal tentang obat-obatan, silahkan tanyakan ke apoteker terdekat," ujarnya. Kongres ilmiah IAI rencananya berlangsung 10-12 Desember dan dihadiri sekitar seribu apoteker dari seluruh Indonesia. Beberapa pembicara akan dihadirkan antara lain Kepala Badan POM, Dirjen Binyanmed Kemenkes dan Kepala Badan PPSDM Kemenkes. "Kami akan banyak membahas skema implementasi Peraturan Pemerintah Nomor 51/2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian," katanya.