Nusa Jawa - Buku 3 Bab 2

5
NUSA JAWA BUKU 3 – BAB 2 Oleh: A. Mudiyantoro MASYARAKAT YANG HIERARKIS Masyarakat agraris kerajaan-kerajaan pedalaman tidak tampil sebagai individu yang bebas melainkan sebagai bagian dari suatu jaringan sosial yang berhierarki disusun secara vertikal. Zaman Majapahit Dalam Nagarakertagama (Pupuh 81, bait 2, 3, dan 4), menyebutkan bahwa masyarakat yang ideal terstruktur dalam empat kelas (caturjana) yang terdiri dari Sujanma (mereka yang lahir baik): 1. Para Mantri (pejabat tinggi) dan para Arya (kaum bangsawan), 2. Para Kriyan (ksatria) dan para Wali (perwira), 3. Para Waisya dan Sudra. 4. ....? (tidak disebut dalam buku) Caturjana tersebut masih berada di dalam struktur sosial antara kaum agamawan (caturdwija/empat golongan agama: Brahmana, Resi, Budhis, dan Siwais) dan kujanma (ketiga golongan rendah: Candala, Mleccha, dan Tuccha). Selain itu, hierarki sosial juga dipetakan berdasarkan tingkatan bahasa yang dipakai dalam interaksi sehari-hari: 1. Ngoko, bahasa yang dipakai oleh mereka yang saling berhubungan akrab. 2. Krama, bahasa yang dipakai oleh mereka yang belum saling mengenal atau salah satu dari mereka menganggap dirinya lebih rendah dari yang lain. 3. Krama inggil, bahasa yang dipakai oleh siapa pun saat berhadapan dengan orang yang sudah seharusnya dihormati. Hierarki sosial yang dipetakan secara penggunaan bahasa tidak sebatas pada masalah kesopanan, tetapi juga memperlihatkan adanya sifat angkuh (oufanja). Setidaknya ada dua bahasa yang tersusun secara bertingkat, bukan berdampingan. Pertama, bahasa yang dipakai oleh kaum bangsawan/atasan lebih sederhana. Dan kedua, bahasa yang dipakai rakyat/bawahan lebih rumit, karena selain harus adanya unsur

description

Nusa Jawa - Buku 3 Bab 2

Transcript of Nusa Jawa - Buku 3 Bab 2

Page 1: Nusa Jawa - Buku 3 Bab 2

NUSA JAWA

BUKU 3 – BAB 2

Oleh: A. Mudiyantoro

MASYARAKAT YANG HIERARKIS

Masyarakat agraris kerajaan-kerajaan pedalaman tidak tampil sebagai individu yang bebas melainkan sebagai bagian dari suatu jaringan sosial yang berhierarki disusun secara vertikal.

Zaman Majapahit

Dalam Nagarakertagama (Pupuh 81, bait 2, 3, dan 4), menyebutkan bahwa masyarakat yang ideal terstruktur dalam empat kelas (caturjana) yang terdiri dari Sujanma (mereka yang lahir baik):

1. Para Mantri (pejabat tinggi) dan para Arya (kaum bangsawan),2. Para Kriyan (ksatria) dan para Wali (perwira),3. Para Waisya dan Sudra.4. ....? (tidak disebut dalam buku)

Caturjana tersebut masih berada di dalam struktur sosial antara kaum agamawan (caturdwija/empat golongan agama: Brahmana, Resi, Budhis, dan Siwais) dan kujanma (ketiga golongan rendah: Candala, Mleccha, dan Tuccha).

Selain itu, hierarki sosial juga dipetakan berdasarkan tingkatan bahasa yang dipakai dalam interaksi sehari-hari:

1. Ngoko, bahasa yang dipakai oleh mereka yang saling berhubungan akrab.2. Krama, bahasa yang dipakai oleh mereka yang belum saling mengenal atau salah satu dari

mereka menganggap dirinya lebih rendah dari yang lain.3. Krama inggil, bahasa yang dipakai oleh siapa pun saat berhadapan dengan orang yang sudah

seharusnya dihormati.

Hierarki sosial yang dipetakan secara penggunaan bahasa tidak sebatas pada masalah kesopanan, tetapi juga memperlihatkan adanya sifat angkuh (oufanja). Setidaknya ada dua bahasa yang tersusun secara bertingkat, bukan berdampingan. Pertama, bahasa yang dipakai oleh kaum bangsawan/atasan lebih sederhana. Dan kedua, bahasa yang dipakai rakyat/bawahan lebih rumit, karena selain harus adanya unsur kesopanan, nama-nama benda yang dipakai juga berbeda dengan nama-nama benda yang dipakai kaum bangsawan.

A. Raja Sebagai Poros Dunia Pada masa jawa kuno, pemujaan ditujukan kepada gunung, di mana gunung dianggap

sebagai pusat jagat raya. Karena itu, muncul konsep maharaja yang terkait dengan poros tersebut dan harus dianggap sebagai “Penguasa Gunung”.

Konsep maharaja, raja sebagai poros dunia ditandai dengan:

1. Adanya pengkultusan terhadap Raja.

Page 2: Nusa Jawa - Buku 3 Bab 2

Raja dianggap sebagai perwujudan dewa (Majapahit) atau wakil Allah (Mataram Islam). Dengan penegasan pada nama dan gelarnya yang menggunakan kata: khalifatullah, Paku Alam, Paku Buwana, Hamengku Buwana, dll.

2. Arsitektur dan tata kota yang menggambarkan mikrokosmos dari seluruh wilayah kekuasaan (Kerajaan).

Ibu kota kerajaan menjadi mikrokosmos dari seluruh kerajaan, dan raja dianggap sebagai perwujudan Dewa “Sang Penguasa”. Taman sebagai simbol hutan dan gunung, ladang-ladang diibaratkan pulau-pulau luar jawa, dsb.

3. Perawatan pusaka (jamasan) dan personifikaiannya dengan nama “Guru”: kiyayi dan nyiyayi.

Meski proses modernisasi sedang berlangsung, konsep-konsep kuno tentang kekuasaan tersebut berhasil bertahan sampai sekarang, dibuktikan dengan:1. Pemimpin (Presiden dan beberapa petinggi) adalah orang jawa yang cenderung

“menghidupkan” kembali ciri-ciri tertentu dari kekuasaan raja tradisional.Beberapa realita yang sering diklaim sebagai buktinya adalah: sinkretisme ideologi Pancasila, pengaruh wayang dalam pidato-pidato, nafsu birahi yang menggambarkan nafsu raja Majapahit/Mataram, keterlibatan dukun jawa dalam sebuah pertimbangan.

2. Disain pembangunan yang masih syarat dengan dunia simbol.a. Monas yang dibangun di tengah-tengah Lapangan Merdeka, bagaikan pusat seluruh

negeri.b. Ruang bawah tanah Monas menjadi tempat Perawatan Benda-Benda Pusaka.c. Taman Mini Indonesia Indah (TMII) merupakan miniatur/mikrokosmos dari seluruh

wilayah NKRI.d. Pemugaran Candi Ceta di lereng Gunung Lawu, bukan atas prakarsa arkeolog,

melainkan atas perintah pihak kepresidenan.B. Tekanan Birokrasi

Pegawai adalah miniatur raja, pancaran raja. Pegawai juga harus menjamin keselarasan di bagian dunia (mikrokosmos) yang telah dipercayakan kepadanya.Pegawai (mantri) mencakup tiga jabatan tinggi, yaitu Hino, Halu, dan Sirikan.Pada akhir Majapahit terdapat lima menteri, yaitu:1. Rakyan Mapatih / Patih (Perdana Menteri),2. Rakyan Kanuruhan (Wakil PM),3. Rakyan Demung, sebagai kepala rumah tangga istana,4. Rakyan Rangga, yang mengurus gedung-gedung raja, dan5. Rakyan Tumenggung, sebagai pemimpin militer.

Di samping itu masih ada Samengat yang terdiri dari 7 upapatti dan 2 dharmadyaksa, sebagai cikal bakal jaksa sekarang, dan masih banyak lagi.

Dalam naskah “Praniti Raja Kapa-Kapa” terdapat sebuah penafsiran kata mantri. Mantri berasal dari ma-tri atau tiga ciri utama, yakni tiga ciri utama yang harus ada dan melekat pada mantri: setya (kesetiaan), sadu (kerendahan hati), dan tuhu (kesungguhan).

Zaman Mataram Islam

Muncul sekelompok tokoh perang yang juga ahli pemerintahan di lingkungan raja, yang disebut senopati. Kelompok ini berkembang menjadi suatu badan Priyayi.

Tidak terdapat perbedaan formal antara bangsawan dengan pegawai, dan antara sipil dan militer.

Page 3: Nusa Jawa - Buku 3 Bab 2

Keberadaan raja menjadi prasyarat adanya kaum bangsawan yang sepenuhnya bersumber pada raja. Pangkal acuannya berubah pada setiap pergantian raja.

Raja dapat mengangkat siapa pun sebagai bangsawan dengan memberi anugerah berupa gelar atau wanita kerabat raja. Sehingga terbentuk suatu kelompok klien pribadi raja.

Karena pangkal acuan berpusat pada raja, maka “kadar kebangsawanan” yang diturunkan merosot pada setiap generasi baru, sesuai dengan jauh-dekatnya posisi sang penyandang gelar tersebut. Hingga tidak menutup kemungkinan para keturunannya kembali menjadi rakyat biasa.

Kemerosotan “kadar kebangsawanan” dapat diperbaiki dengan perkawinan. Sehingga hierarki masyarakat tidak “beku”, justru menjadi semacam kesinambungan hierarkis yang berfungsi memperkuat kohesi sosial.

Kaum priyayi dapat dipekerjakan dalam jabatan militer maupun sipil, meski profesi pejuang merupakan profesi yang paling luhur dari pada segala profesi yang ada, bahkan dari pada tapa seorang yogi.

Raja tidak menanggung dan tidak menggaji para pegawai. Sebagai imbalannya, para pegawai mendapat hak atas hasil bumi.

Golongan priyayi, yang hierarkis dan yang menjembatani raja dengan kerajaannya, sangat tergoncang akibat Perang Jawa (1825-1830), dan penerapan administrasi kolonial. Akibatnya, para pegawai terputus dari segala bentuk kekuasaan raja, bahkan kebanyakan priyayi langsung tergantung pada Batavia, sementara secara lokal tidak ada perubahan yang sebanding.

Zaman Awal Negara Republik Indonesia

Para pegawai tidak lagi punya ikatan dengan kerajaan kecuali di DIY. Pembentukan hierarki militer yang sejajar dengan pegawai sipil, dan penerapan “dwifungsi”

ABRI. Sementara kaum militer masih beranggapan bahwa dirinya sebagai priyayi lama dan menuntut hak-hak istimewa.

Masih terdapat peranan hubungan antar-individu dan terutama jaringan kliennya yang sangat mencolok. Peran seorang Pegawai Negeri tidak akan menonjol tanpa mempunyai “anak buah”, yaitu orang yang pernah diberi kedudukan dan bantuan, dan yang kelak akan membalas budi dengan cara memihaknya jika terjadi konflik.

C. Ketahanan DesaDesa merupakan tata hierarki terbawah. Dalam upaya menjaga keserasian dan memulihkan keharmonisan mikrokosmos, di desa-desa dilaksanakan juga ritual-ritual yang hampir sama sebagaimana yang berlangsung di kraton, meskipun lebih sederhana.Ritual-ritual tersebut misalnya:1. Kurban kerbau pada peristiwa-peristiwa penting. Bahkan sampai sekarang, tidak ada

pembangunan gedung yang cukup besar tanpa pengurbanan kepala kerbau.2. Pemujaan pada Dewi Sri untuk upacara pengharapan pada hasil panen yang lebih baik.3. Wayang kulit dengan prosesi khusus yang diadakan pada waktu-waktu tertentu, dan bukan

sekadar sebuah pertunjukan kesenian belaka.Ritual-ritual tersebut semata-mata ditujukan untuk menjaga keseimbangan antara desa dengan makrokosmos.Selain dengan ritual-ritual tersebut, upaya menjaga keseimbangan, keserasian, dan keterpaduan sosial juga dilakukan dengan kegiatan gotong-royong.

D. Peran Wanita

Page 4: Nusa Jawa - Buku 3 Bab 2

Peran wanita hampir ada di semua lini:

1. Dalam kekuasaan, sebagai Ratu (pemimpin kerajaan).2. Andil dalam pembangunan candi, terutama tentang keterkaitan kepemilikan tanah.3. Dalam dunia politik, sebagai penghubung antar kerajaan (Singhasari-Majapahit).4. Dalam dunia usaha.5. Dalam musyawarah pengambilan keputusan yang dilakukan oleh raja dan para kepala bagian

propinsi, yang 9 dari 14 kepala propinsi di antaranya adalah wanita (putri raja).6. Dalam penokohan kedewataan, seperti Dewi Sri, Uma, Dewi Budhis, dan Prajnaparamita.7. Dalam dunia militer, seperti dalam kepemimpinan Diponegoro, pengawal Ratu-Ratu Jawa,

dan dalam penokohan pewayangan yang menggambarkan sebagai ksatria wanita (Srikandi).