November 2014 - bi.go.id · Perekonomian Jawa Bagian Tengah 63 72 III.4. Perekonomian Jakarta 85...

147
Laporan Nusantara | 1 November 2014 VOLUME 9 NOMOR 4

Transcript of November 2014 - bi.go.id · Perekonomian Jawa Bagian Tengah 63 72 III.4. Perekonomian Jakarta 85...

L a p o r a n N u s a n t a r a | 1

November 2014

VOLUME 9 NOMOR 4

L a p o r a n N u s a n t a r a

Halaman ini sengaja dikosongkan

L a p o r a n N u s a n t a r a

Informasi lebih lanjut dapat menghubungi: Bank Indonesia Departemen Kebijakan Ekonomi dan Moneter Grup Asesmen Ekonomi Divisi Asesmen Ekonomi Regional Ph. 021-29818119, 29818868 Fax. 021-3452489, 2310553

Daftar Isi 3

Kata Pengantar 5

Bagian I Ringkasan Perkembangan dan Prospek Ekonomi Daerah 7

Bagian II Perekonomian Kawasan Timur Indonesia 13

II.1. Perekonomian Sulawesi, Maluku, dan Papua 15

II.2. Perekonomian Kalimantan 28

II.3. Perekonomian Bali-Nusa Tenggara 39

Bagian III Perekonomian Jawa 49

III.1. Perekonomian Jawa Bagian Timur 51

III.2. Perekonomian Jawa Bagian Tengah 63

III.3. Perekonomian Jawa Bagian Barat 72

III.4. Perekonomian Jakarta 85

Bagian IV Perekonomian Sumatera 99

IV.1. Perekonomian Sumatera Bagian Selatan 101

IV.2. Perekonomian Sumatera Bagian Tengah 113

IV.3. Perekonomian Sumatera Bagian Utara 125

Bagian V Isu Khusus Daerah 139

Isu Khusus 1: Dinamika Perdagangan Global dan Daya Saing Jawa

Isu Khusus 2: Meningkatkan Produktivitas Pertanian Padi untuk Mendukung Ketahanan Pangan

139

144

147

150

L a p o r a n N u s a n t a r a | 2

Halaman ini sengaja dikosongkan

L a p o r a n N u s a n t a r a | 3

Dalam proses perumusan kebijakan moneter, Bank Indonesia mempertimbangkan seluruh aspek

perekonomian termasuk berbagai dinamika dan isu terkini yang berkembang di daerah. Pembahasan

menyeluruh tentang perkembangan perekonomian terkini dan berbagai isu strategis yang mengemuka di

daerah dilakukan secara periodik antara Dewan Gubernur dengan para Kepala Kantor Perwakilan Bank

Indonesia dari seluruh Indonesia. Hasil pembahasan tersebut menjadi bagian penting yang melengkapi

pemahaman Bank Indonesia terhadap kondisi makroekonomi dengan berbagai aspek risiko yang berkembang.

Perekonomian Indonesia pada triwulan III 2014 kembali tumbuh melambat sebesar 5,01% (yoy), lebih rendah

dibandingkan dengan triwulan II 2014 yang sebesar 5,12% (yoy). Hal ini dipengaruhi terutama oleh

melambatnya pertumbuhan ekonomi di kawasan Sumatera karena melemahnya kinerja sektor pertanian dan

Jakarta karena menurunnya kinerja sektor konstruksi. Meski demikian, terdapat tanda-tanda awal pemulihan

ekonomi nasional sebagaimana tercermin pada perekonomian Jawa yang tumbuh relatif stabil dan

perekonomian Kawasan Timur Indonesia (KTI) yang tumbuh lebih baik dari perkiraan semula. Stabilnya

pertumbuhan ekonomi Jawa ditopang oleh membaiknya perekonomian Jawa Tengah dan Jawa Timur yang

didukung oleh meningkatnya kinerja industri manufaktur. Sementara meningkatnya pertumbuhan ekonomi KTI

didorong oleh membaiknya kinerja sektor pertambangan di Kalimantan dan Papua serta meningkatnya kinerja

sektor pertanian di Sulawesi.

Memasuki triwulan triwulan IV 2014 berbagai indikator ekonomi daerah secara agregat mengindikasikan

perekonomian nasional berpotensi untuk kembali membaik, meski juga disertai berbagai risiko baik yang

bersumber dari domestik maupun terkait perkembangan ekonomi global. Perekonomian KTI diprakirakan

kembali tumbuh meningkat didorong oleh berlanjutnya perbaikan kinerja di sektor pertambangan seiring

dengan mulai normalnya operasional sejumlah perusahaan tambang utama. Sementara itu, perekonomian

Jakarta diprakirakan tumbuh lebih baik didorong oleh perbaikan kinerja sektor konstruksi, demikian pula di

Sumatera yang didorong oleh perbaikan kinerja sektor pertanian dan industri pengolahan. Adapun

perekonomian Jawa diprakirakan relatif stabil ditopang terutama oleh masih meningkatnya kinerja industri

manufaktur. Pertumbuhan ekonomi daerah utk keseluruhan tahun 2014 secara agregat diprakirakan

mendekati batas bawah kisaran 5,1%-5,5% (yoy) jauh lebih rendah dibandingkan tahun 2013 sebagai dampak

penurunan kinerja sektor pertambangan KTI pasca implementasi UU Mineral di awal tahun. Dinamika

perekonomian global yang diwarnai dengan perlambatan perekonomian negara maju dan tren penurunan

harga komoditas mempengaruhi kinerja subsektor perkebunan di Sumatera dan industri manufaktur di Jawa

secara keseluruhan. Laju penurunan pertumbuhan ekonomi nasional lebih lanjut tertahan oleh kuatnya

perekonomian Jakarta yang mampu tumbuh di kisaran 6% sepanjang tahun 2014.

Di sisi inflasi, perkembangan inflasi di daerah selama triwulan III cenderung menurun karena cukup terjaganya

pasokan. Namun, memasuki triwulan IV 2014 kembali menunjukkan kecenderungan yang meningkat walau

masih dengan intensitas yang masih rendah. Kembali meningkatnya tekanan inflasi lebih dipengaruhi oleh

implementasi kebijakan administered price seperti penyesuaian tarif tenaga listrik (TTL) rumah tangga dan

kenaikan harga LPG 12 kg. Masuknya masa tanam di tengah kondisi kekeringan yang semakin meningkat

menambah tekanan inflasi dari komponen volatile food. Tekanan inflasi volatile food yang lebih besar

menyebabkan beberapa daerah seperti Sumatera Barat, Banten, Sulawesi Tengah dan Sulawesi Utara

mencatat tingkat inflasi yang cukup tinggi di kisaran 6% - 7% (yoy). Dalam hal ini peran aktif Tim Pengendalian

Inflasi Daerah (TPID) perlu ditingkatkan dan difokuskan pada upaya-upaya untuk mengamankan pasokan

pangan dan energi di daerah.

L a p o r a n N u s a n t a r a | 4

Hingga akhir akhir tahun 2014, inflasi daerah secara agregat diprakirakan masih dapat terkendali di dalam

kisaran sasaran inflasi nasional yang sebesar 4,5%±1%. Implementasi kebijakan terkait administered price

seperti penyesuaian TTL, kenaikan harga LPG 12 kg dan penyesuaian batas atas tarif angkutan udara

mempengaruhi peningkatan tekanan inflasi di berbagai daerah. Pasokan pangan yang menurun karena

masuknya masa tanam berpotensi menurun lebih dalam karena terpapar risiko kekeringan yang melanda

sejumlah daerah sentra produksi, khususnya di Jawa dan Sumatera. Bank Indonesia terus mencermati dampak

dari rencana kenaikan harga BBM bersubsidi terhadap perkembangan inflasi di daerah. Secara khusus,

koordinasi dengan TPID akan terus diperkuat dengan menyiapkan langkah-langkah mitigasi kemungkinan

lonjakan inflasi pasca kebijakan kenaikan BBM bersubsidi, khususnya melalui pengendalian kenaikan tarif

angkutan dalam batasan yang wajar dan memastikan langkah pengamanan pasokan pangan dan energi

Ke depan, perekonomian daerah pada tahun 2015 diperkirakan meningkat seiring dengan menguatnya indikasi

perbaikan di sektor pertambangan KTI dan prospek perbaikan ekonomi global yang dapat mempengaruhi

peningkatan kinerja industri pengolahan di Jawa dan Sumatera. Sementara inflasi diproyeksikan masih akan

berada di lintasan yang konsisten dengan pencapaian sasaran inflasi nasional sebesar 4%±1%. Meskipun

demikian, sejumlah risiko yang membayangi di tahun 2015 masih bersumber dari rencana implementasi

kebijakan energi oleh pemerintah. Bank Indonesia memandang upaya untuk mendorong reformasi struktural

semakin penting dilakukan untuk mengatasi berbagai permasalahan struktural yang dapat menghambat

perekonomian daerah ke depan. Langkah reformasi struktural perlu ditempuh dan difokuskan pada upaya

peningkatan daya saing ekspor manufaktur dan diversifikasi perekonomian daerah melalui penguatan

lingkungan pendukung (enabling environment), termasuk logistik dan konektivitas, kemudahan berusaha, dan

akses pembiayaan jangka panjang.

Asesmen lengkap mengenai dinamika terkini dan prospek ekonomi daerah diuraikan secara lengkap dalam

buku Laporan Nusantara ini. Laporan Nusantara edisi kali ini juga mengangkat isu khusus terkait dengan

implikasi dinamika global terhadap daya saing daerah dan isu mengenai aspek pencapaian kedaulatan pangan

dalam transformasi struktural. Penyusunan buku Laporan Nusantara dilakukan bersama oleh Departemen

Kebijakan Ekonomi Moneter (DKEM) di kantor pusat Bank Indonesia dan para analis ekonomi dari seluruh

Kantor Perwakilan Wilayah Bank Indonesia.

Akhir kata, kami berharap buku Laporan Nusantara ini dapat menjadi referensi para pemangku kepentingan

dan pemerhati ekonomi daerah, serta menjadi salah satu bentuk kontribusi Bank Indonesia dalam

pembangunan ekonomi daerah.

Jakarta, 17 November 2014

Departemen Kebijakan Ekonomi dan Moneter

Juda Agung Direktur Eksekutif

L a p o r a n N u s a n t a r a | 5

PERKEMBANGAN TERKINI EKONOMI DAERAH

Meskipun pertumbuhan ekonomi Indonesia melambat dari 5,1% (y.o.y) pada triwulan II-2014 menjadi 5,0%

pada triwulan III-2014, pengamatan terhadap kinerja ekonomi daerah menunjukkan adanya tanda-tanda awal

pemulihan kinerja ekonomi nasional. Hal ini tercermin pada pertumbuhan ekonomi Jawa (di luar Jakarta) yang

mulai stabil dan pertumbuhan ekonomi Kawasan Timur Indonesia (KTI) yang terus membaik (Grafik I.1). Kinerja

ekonomi Jawa (di luar Jakarta) ditopang antara lain oleh perbaikan di sektor pertanian dan masih cukup

kuatnya industri manufaktur seiring meningkatnya permintaan ekspor produk manufaktur, khususnya dari

Amerika Serikat. Untuk wilayah KTI, perbaikan kinerja ekonomi didorong antara lain oleh membaiknya

produksi pertanian di beberapa daerah sentra di Sulawesi dan kembali meningkatnya aktivitas di sektor

tambang pasca rilis izin ekspor mineral bagi beberapa penambang besar.

Sementara itu, perlambatan ekonomi nasional pada triwulan III-2014 lebih disebabkan oleh melambatnya

pertumbuhan ekonomi kawasan Sumatera dan Jakarta. Perlambatan ekonomi Sumatera terutama akibat

melemahnya kinerja sektor pertanian dan agroindustri sebagai imbas dari menurunnya harga komoditas

ekspor perkebunan. Selain itu, berkurangnya produksi migas di beberapa daerah di Sumatera, seperti Riau dan

Aceh, turut memberikan tekanan bagi perekonomian Sumatera. Dalam periode yang sama, ekonomi Jakarta

mengalami sedikit perlambatan akibat melemahnya kegiatan di sektor konstruksi. Kendati demikian, berbagai

indikator menunjukkan bahwa ekonomi Jakarta diperkirakan sudah melewati titik terendahnya.

Gambar I.1. Peta Pertumbuhan Ekonomi Daerah Triwulan III 2014

Inflasi di hampir seluruh daerah pada triwulan III 2014 cenderung menurun terutama didukung oleh cukup

melimpahnya pasokan pangan (volatile food). Masuknya masa panen sejumlah komoditas strategis, seperti

padi di Kalimantan dan hortikultura di Jawa, berkontribusi positif pada terjaganya pasokan pangan. Sebagian

besar daerah di KTI mengalami penurunan tekanan inflasi pangan yang lebih dalam akibat melimpahnya hasil

tangkapan ikan. Beberapa daerah di KTI, seperti Sulawesi Tenggara dan Maluku, bahkan berhasil mencatat laju

inflasi yang sangat rendah masing-masing sebesar 1,8% dan 2,8% pada akhir triwulan III 2014.

Sumber: BPS, diolah

L a p o r a n N u s a n t a r a | 6

Setelah mengalami penurunan pada triwulan III 2014, laju inflasi di berbagai daerah mengalami kenaikan pada

Oktober 2014 meski masih pada tingkat yang terkendali. Peningkatan terutama didorong oleh kelompok

administered price sebagai dampak penyesuaian tarif tenaga listrik (TTL) serta kenaikan harga LPG 12 kg dan

dampak rambatannya terhadap kenaikan harga LPG 3 kg. Hal ini diduga terkait dengan beralihnya permintaan

masyarakat ke LPG 3 kg pasca kenaikan harga LPG 12 kg. Sementara itu, tekanan inflasi pangan (volatile food)

mulai kembali meningkat dipicu terutama oleh kenaikan harga beberapa komoditas aneka bumbu akibat

kekeringan yang melanda beberapa daerah sentra produksi. Di beberapa daerah, seperti Sumatera Barat,

Banten, Sulawesi Tengah, dan Sulawesi Utara, kenaikan harga beberapa komoditas pangan mendorong inflasi

lebih tinggi daripada daerah-daerah lain (Gambar I.2).

Gambar I.2. Peta Inflasi Daerah, Oktober 2014

Sejalan dengan pertumbuhan ekonomi yang masih melambat, pembiayaan ekonomi melalui perbankan di

berbagai daerah pada triwulan III 2014 juga tumbuh melambat. Penyaluran kredit di Sumatera dan KTI pada

akhir triwulan III 2014 masing-masing tumbuh 10,5% dan 9,1%, lebih rendah daripada pertumbuhan kredit di

Jawa (13,7%). Meski demikian, kualitas kredit yang disalurkan masih terjaga pada level yang aman. Indikasi

kenaikan risiko kredit terkonsentrasi pada beberapa daerah yang merupakan basis produksi tambang, seperti

di Sulawesi dan Kalimantan, walaupun belum menyentuh tingkat yang mengkhawatirkan. Kecenderungan

harga komoditas di pasar global yang masih cenderung turun menjadi sumber kerentanan kredit di daerah-

daerah yang mengandalkan pendapatannya pada ekspor sumber daya alam (SDA).

Melambatnya perekonomian tercermin juga pada transaksi keuangan melalui sistem pembayaran. Sepanjang

triwulan III 2014, transaksi pembayaran yang dilakukan melalui sistem Real Time Gross Settlement (RTGS)

secara rata-rata tercatat sebesar Rp28,4 ribu triliun per bulan, lebih rendah daripada rata-rata triwulan

sebelumnya sebesar Rp30,0 ribu triliun per bulan. Melambatnya aktivitas transaksi keuangan ini diperkirakan

tidak terlepas dari berakhirnya pelaksanaan Pemilu dan masih cenderung melambatnya perekonomian di

daerah-daerah luar Jawa.

PROSPEK EKONOMI DAERAH DAN TANTANGAN KE DEPAN

Prospek Ekonomi Daerah Tahun 2014 dan 2015

Memasuki triwulan IV 2014, berbagai indikator ekonomi di daerah secara agregat mengindikasikan adanya

potensi perbaikan kinerja perekonomian nasional (Tabel I.1). Potensi perbaikan tersebut diperkirakan akan

terjadi di Sumatera dan KTI sedangkan ekonomi Jawa diperkirakan relatif stabil. Kinerja ekonomi Jawa yang

L a p o r a n N u s a n t a r a | 7

stabil ditopang oleh ekspor manufaktur yang masih akan meningkat seiring dengan prospek perbaikan

ekonomi di AS serta konsumsi rumah tangga yang masih tumbuh kuat. Sementara itu, perbaikan ekonomi

Sumatera dipengaruhi antara lain oleh pembangunan beberapa proyek infrastruktur dan berlanjutnya

replanting perkebunan. Peningkatan kinerja ekonomi KTI terutama didorong oleh aktivitas tambang pasca

keluarnya izin ekspor mineral. Namun, prospek perbaikan ekspor KTI dihadapkan pada risiko terkait

diberlakukannya kebijakan pengaturan izin ekspor batubara pada awal Oktober 2014, dampak perlambatan

ekonomi Tiongkok, dan masih rendahnya harga tambang dunia. Selain itu, potensi pemulihan ekonomi

nasional pada triwulan IV 2014 juga masih dihadapkan pada risiko yang berasal dari kemungkinan rendahnya

realisasi pengeluaran pemerintah sejalan dengan kebijakan penghematan untuk mengamankan pencapaian

target defisit APBN.

Tabel I.1. Tendensi Arah Perekonomian Daerah Triwulan IV 2014*

Bag.

Utara

Bag.

Tengah

Bag.

Selatan

Tendensi

KawasanAsesmen Jakarta

Jawa Bag.

Barat

Jawa Bag.

Tengah

Jawa Bag.

Timur

Tendensi

KawasanAsesmen

Kaliman

tan

Bali-

Nustra

Sulam-

pua

Tendensi

KawasanAsesmen

Pertumbuhan

Ekonomi

Konsumsi RT

Terjaganya

ekspektasi dan

belanja konsumsi

masyarakat akhir

tahun

Terjaganya

ekspektasi dan

belanja konsumsi

masyarakat akhir

tahun

Terjaganya ekspektasi

dan belanja konsumsi

masyarakat akhir

tahun

Konsumsi

Pemerintah

Realisasi belanja

pemerintah terbatas

Puncak realisasi

anggaran Pemda di

triwulan terakhir.

Puncak realisasi

anggaran Pemda di

triwulan terakhir.

Investasi (PMTB)

Konstruksi proyek

infrastruktur dan

replanting

perkebunan

berlanjut

Konstruksi proyek

infrastruktur

Progress

pembangunan proyek

infrastruktur

melambat

Ekspor LNHarga komoditas

perkebunan yang

masih rendah

Membaiknya

permintaan ekspor

manufaktur dari AS

Ekspor batubara

menurun

Impor LNMelambatnya impor

bahan baku

Meningkatnya

kebutuhan bahan

baku

Melambatnya impor

bahan baku

Sumatera Jawa KTI

* Prakiraan arah kondisi ekonomi secara tahunan (year-on-year)

Walaupun terdapat potensi perbaikan pada triwulan IV, proyeksi pertumbuhan ekonomi di berbagai daerah

secara agregat mengindikasikan perekonomian nasional untuk keseluruhan tahun 2014 akan tumbuh pada

batas bawah dari kisaran 5,1% - 5,5%, melambat dibandingkan tahun sebelumnya (5,8%). Perlambatan

ekonomi yang lebih dalam dialami oleh Sumatera dan KTI terkait dengan harga komoditas ekspor utama yang

masih cenderung rendah sepanjang tahun 2014. Selain itu, perlambatan juga dipengaruhi oleh proses

konsolidasi di sektor tambang terkait kebijakan pengaturan ekspor mineral yang diterapkan pada awal tahun

2014. Melambatnya aktivitas ekonomi di KTI dan Sumatera turut berimplikasi terhadap kinerja ekonomi Jawa,

khususnya karena melemahnya aktivitas perdagangan antarpulau. Perlambatan ekonomi Jawa selama 2014

juga bersumber dari melemahnya kinerja investasi dan ekspor sejalan dengan dinamika global yang masih

diwarnai ketidakpastian, serta tendensi investor yang cenderung menunda investasinya sampai kondisi

ekonomi dipandang kembali kondusif.

Pada tahun 2015, prospek pertumbuhan ekonomi di berbagai daerah secara agregat mengindikasikan

perekonomian nasional dapat tumbuh di kisaran 5,4% - 5,8%, lebih tinggi daripada tahun 2014. Prospek

pertumbuhan ekonomi nasional yang membaik ini didorong oleh perbaikan kinerja ekonomi di seluruh daerah.

Prospek pemulihan ekonomi di AS diperkirakan akan berdampak positif terhadap ekspor manufaktur,

terutama dari Jawa. Namun, perlambatan ekonomi Tiongkok yang cenderung bersifat struktural berpotensi

menahan kenaikan pertumbuhan ekonomi Jawa lebih lanjut. Selain itu, imbas dari melambatnya ekonomi

L a p o r a n N u s a n t a r a | 8

Tiongkok diperkirakan turut menekan harga komoditas di pasar global sehingga berdampak pada masih

terbatasnya peningkatan ekonomi di KTI dan Sumatera. Secara keseluruhan, permintaan domestik

diperkirakan masih tetap kuat di berbagai daerah sehingga dapat memberikan cushion bagi perekonomian.

Dari sisi inflasi, walaupun cenderung meningkat, tekanan inflasi hingga akhir tahun 2014 di berbagai daerah

diperkirakan masih terkendali dan sejalan dengan pencapaian sasaran inflasi nasional sebesar 4,5%±1%.

Terkendalinya inflasi didukung oleh permintaan yang moderat, ekspektasi inflasi yang terjaga, dan harga

komoditas global yang masih menurun. Inflasi berbagai komoditas pangan secara umum juga diperkirakan

relatif rendah dengan dukungan pasokan pangan yang terjaga. Meski demikian, sejumlah risiko yang semakin

mengemuka di awal triwulan IV 2014 berpotensi memberikan tekanan kenaikan inflasi yang lebih tinggi.

Beberapa risiko yang perlu dicermati terutama adalah dampak penyesuaian batas atas tarif angkutan udara

pada November dan kemungkinan kenaikan harga BBM bersubsidi. Pengalaman di tahun 2013 menunjukkan

bahwa kenaikan harga BBM bersubsidi yang diikuti kenaikan tarif angkutan dalam kota di berbagai daerah

menyumbang pada kenaikan inflasi yang cukup besar. Selain itu, perlu dicermati perkiraan berlanjutnya

kondisi kekeringan akibat El-Nino yang dapat semakin mengeskalasi tekanan inflasi. Sehubungan dengan hal

tersebut, peran koordinasi di daerah melalui Tim Pengendalian Inflasi Daerah (TPID) perlu terus diperkuat,

khususnya dalam menyiapkan langkah-langkah mitigasi yang diperlukan untuk meredam potensi lonjakan

inflasi. Salah satu prioritas perhatian adalah pada upaya pengendalian kenaikan tarif angkutan pascakenaikan

harga BBM bersubsidi. Di samping itu, TPID perlu terus mendorong dilakukannya langkah-langkah strategis

guna menjamin ketersediaan pasokan pangan dan energi di daerah.

Untuk tahun 2015, laju inflasi di berbagai daerah secara agregat diperkirakan masih sejalan dengan kisaran

sasaran nasional sebesar 4%±1%. Hal ini didukung oleh prakiraan masih terbatasnya peningkatan harga

komoditas sejalan dengan laju pemulihan perekonomian dunia yang berlangsung secara gradual, serta

permintaan domestik yang masih akan tumbuh secara moderat. Selain itu, ekspektasi inflasi diperkirakan

masih tetap terjaga seiring dengan dukungan kebijakan dan koordinasi yang semakin kuat antara Bank

Indonesia dan pemerintah, baik di tingkat pusat maupun daerah. Meski demikian, risiko kenaikan inflasi tetap

ada, terutama yang bersumber dari kenaikan administered price terkait dengan rencana implementasi

sejumlah kebijakan energi oleh Pemerintah.

Risiko dan Tantangan Ke Depan

Sebagaimana telah disinggung pada bagian sebelumnya, terdapat beberapa risiko yang dapat memengaruhi

prospek pertumbuhan ekonomi dan inflasi di daerah, yakni: (i) risiko yang bersumber dari dinamika global

terutama terkait normalisasi kebijakan yang ditempuh oleh bank sentral Amerika Serikat dan indikasi

berlanjutnya perlambatan ekonomi Tiongkok; (ii) risiko dari harga komoditas yang masih cenderung rendah

sehingga menekan pendapatan ekspor daerah; (iii) risiko dari masih terbatasnya peran stimulus fiskal di

daerah untuk pembiayaan pembangunan ekonomi; serta (iv) risiko inflasi terutama bersumber dari rencana

kebijakan energi (penyesuaian tarif dan subsidi) dan kecenderungan produksi pangan yang menurun.

Menghadapi berbagai risiko tersebut dan untuk memperkuat daya tahan ekonomi daerah terhadap berbagai

kejutan yang mungkin terjadi, diperlukan strategi kebijakan yang terintegrasi, terutama yang ditujukan untuk

mengatasi berbagai permasalahan struktural di daerah. Hal ini mengingat bahwa upaya pencapaian

pertumbuhan ekonomi yang berkesinambungan, selain membutuhkan dukungan stabilitas makro dan sistem

keuangan yang terjaga serta kondisi lingkungan alam yang terpelihara, juga memerlukan struktur ekonomi

yang mandiri dan berdaya saing tinggi serta basis pembiayaan pembangunan yang kuat (Gambar I.3).

Masih besarnya tantangan struktural menyebabkan upaya untuk mendorong ekspor manufaktur dari

Indonesia, khususnya dari daerah-daerah yang merupakan basis produksi manufaktur nasional seperti di Jawa,

ke pasar utama di dunia menjadi tidak mudah ditengah dinamika global yang diwarnai tingginya

L a p o r a n N u s a n t a r a | 9

ketidakpastian1. Selain itu, persoalan masih rendahnya produktivitas pangan dan tingginya ketergantungan

produksi pangan perlu menjadi hal penting yang perlu segera diatasi2. Hal ini mengingat bahwa ketahanan

pangan merupakan aspek penting di dalam proses transformasi ekonomi Indonesia.

*) mencakup infrastruktur, sumber daya manusia, teknologi, dan institusi

Grafik I.3. Pilar Pertumbuhan Ekonomi yang Berkesinambungan

Untuk mewujudkan struktur ekonomi yang mandiri dan berdaya saing serta basis pembiayaan yang kuat, Bank

Indonesia memandang bahwa perlu dilakukan reformasi struktural pada dua sisi, yakni reformasi di sektor riil

dan reformasi di sektor keuangan. Di sektor riil, reformasi diarahkan pada upaya perbaikan menyeluruh

terhadap modal dasar pembangunan yang meliputi penyediaan infrastruktur, penguatan kualitas sumber daya

manusia dan regulasi ketenagakerjaan, peningkatan kemampuan adaptasi dan inovasi teknologi, dan

pembenahan institusi. Selain itu, reformasi di sektor riil juga perlu diarahkan pada upaya mewujudkan

kedaulatan pangan dan ketahanan energi. Di sektor keuangan, reformasi difokuskan pada pendalaman pasar

keuangan sebagai dasar untuk memperkuat basis sumber pembiayaan pembangunan ekonomi. Di samping itu,

reformasi di sektor keuangan juga mencakup upaya untuk memodernisasi sistem pembayaran dan inklusi

keuangan, antara lain melalui peningkatan penetrasi pemanfaatan layanan keuangan digital (LKD).

1 Lihat Isu Khusus 1. Dinamika Global dan Daya Saing Manufaktur Jawa

2 Lihat Isu Khusus 2. Meningkatkan Produktivitas Padi untuk Mendukung Ketahanan Pangan

Laporan Nusantara ini disarikan dari hasil pertemuan Dewan Gubernur Bank Indonesia dengan Kepala-Kepala Perwakilan Bank Indonesia tingkat Wilayah di seluruh Indonesia pada 11 November 2014 di

Bandung. Pertemuan dilakukan setiap triwulannya untuk membahas perkembangan terkini dan berbagai isu strategis yang menjadi perhatian di daerah sebagai bahan pertimbangan penting dalam perumusan

kebijakan moneter di Bank Indonesia.

L a p o r a n N u s a n t a r a | 10

Halaman ini sengaja dikosongkan

L a p o r a n N u s a n t a r a | 1 1

Pertumbuhan ekonomi Kawasan Timur Indonesia (KTI) pada triwulan III 2014 meningkat menjadi 5,1% (y.o.y)

dibandingkan 4,9% pada triwulan II 2014. Angka ini juga lebih tinggi daripada prakiraan sebelumnya. Kenaikan

pertumbuhan ini didukung oleh peningkatan kinerja ekonomi Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, dan Sulawesi

Tenggara, serta provinsi Kalimantan Timur dan Bali. Salah satu faktor pendorong utama adalah ekspor yang

kembali meningkat pasca rilis izin ekspor kepada beberapa pelaku usaha tambang besar di beberapa daerah di

Papua dan Kalimantan. Namun, Nusa Tenggara Barat tercatat mengalami kontraksi pertumbuhan terkait

dengan tertundanya rilis izin ekspor mineral.

Laju inflasi di KTI selama triwulan III 2014 menunjukkan kecenderungan yang menurun. Hal ini didukung oleh

pasokan pangan yang memadai karena panen di beberapa daerah sentra produksi disertai koreksi harga

komoditas pangan, terutama aneka bumbu dan ikan segar. Di samping itu, menurunnya tekanan inflasi juga

dipengaruhi oleh meredanya faktor base effect dari kenaikan harga BBM bersubsidi yang terjadi di tahun

2013. Meski demikian, pada akhir triwulan III 2014 tekanan inflasi mulai kembali mengalami sedikit

peningkatan yang bersumber dari kenaikan Tarif Tenaga Listrik (TTL) tahap kedua serta kebijakan pemerintah

yang menaikkan harga LPG 12 kg. Pembiayaan ekonomi melalui perbankan di KTI selama triwulan III 2014

masih melanjutkan kecenderungan melambat. Pada akhir triwulan III 2014, kredit tercatat tumbuh 9,1% (yoy),

lebih rendah daripada triwulan II 2014 (12,0%). Perlambatan terjadi pada semua sektor utama dan secara

spasial terutama terjadi di Kalimantan Timur. Secara sektoral, kredit pertambangan masih terkontraksi dipicu

berkurangnya aktivitas pertambangan skala kecil menengah. Kredit sektor industri pengolahan pun melambat,

seiring tertahannya ekspansi korporasi karena faktor harga jual yang masih cenderung rendah dan wait and

see transisi ke pemerintahan baru. Dalam kondisi tersebut, meskipun concentration risk1 secara umum

membaik, perlu dicermati peningkatan NPL pada kredit di dua sektor tersebut, meskipun sejauh ini masih

belum menyentuh tingkat yang mengkhawatirkan. Perkembangan NPL di KTI perlu terus dicermati mengingat

masih tertahannya produksi pertambangan bauksit dan batubara skala kecil di tengah berlanjutnya koreksi

harga di pasar dunia.

Pada triwulan IV 2014, berbagai indikator mengindikasikan kinerja ekonomi KTI masih akan terus membaik.

Terbitnya izin ekspor mineral bagi pelaku usaha tambang besar akan terus mendorong peningkatan aktivitas di

sektor tersebut. Mulai beroperasinya smelter di beberapa daerah di Kalimantan, seperti Kalimantan Barat dan

Kalimantan Selatan, serta meningkatnya produksi ferronikel di Sulawesi Tenggara diperkirakan akan

mendorong pertumbuhan sektor industri pengolahan dan mendorong peningkatan kinerja ekonomi KTI. Di

samping itu, belanja pemerintah daerah yang biasanya, sesuai siklus normal, meningkat pada triwulan IV

diperkirakan akan turut menopang perekonomian KTI, meski dalam besaran yang masih terbatas.

Meskipun ada potensi membaik pada triwulan IV, untuk keseluruhan tahun 2014 pertumbuhan ekonomi KTI

diperkirakan akan melambat menjadi sekitar 5,0%, dibanding tahun sebelumnya yang mencapai 5,8%.

Perlambatan pertumbuhan ekonomi KTI bersumber dari melemahnya kinerja ekspor dan sektor

pertambangan. Kondisi ini tidak terlepas dari dampak penyesuaian yang dilakukan oleh para pelaku usaha di

sektor tambang terkait mulai diterapkannya kebijakan pengaturan ekspor mineral pada awal tahun 2014.

Selain itu, dinamika ekonomi global khususnya di negara-negara yang menjadi mitra dagang utama untuk

produk ekspor tambang, seperti Tiongkok dan Jepang, yang cenderung melemah sepanjang tahun 2014

berimplikasi pada rendahnya permintaan dan harga komoditas tambang.

1 Concentration risk adalah risiko yang timbul akibat pemberian kredit yang terkonsentrasi pada segmen usaha tertentu

berdasarkan aspek geografis dan atau industri

L a p o r a n N u s a n t a r a | 1 2

Dari sisi inflasi, memasuki triwulan IV 2014 tekanan inflasi mulai kembali meningkat. Pada Oktober 2014,

beberapa provinsi seperti Sulawesi Tengah dan Sulawesi Utara bahkan mencatat inflasi yang cukup tinggi,

yaitu masing-masing sebesar 7,3% dan 6,4% (y.o.y). Kenaikan tekanan inflasi tersebut terutama bersumber

dari dampak kenaikan bahan bakar rumah tangga serta tarif tenaga listrik. Selain itu, tekanan pada kelompok

administered price juga terjadi akibat kenaikan harga LPG 12 kg dan 3 kg, serta kenaikan tarif angkutan udara,

terutama di beberapa daerah di Kalimantan.

Walaupun cenderung meningkat pada triwulan IV, untuk keseluruhan tahun 2014 laju inflasi di KTI

diperkirakan tetap terkendali seiring dengan masih terjaganya pasokan. Kendati demikian, terdapat beberapa

beberapa risiko yang dapat mendorong kenaikan inflasi yang lebih tinggi, terutama risiko kenaikan harga BBM

bersubsidi. Selain itu, mulai berlakunya kenaikan tarif batas atas angkutan udara pada November 2014

diperkirakan akan memberikan tekanan inflasi yang lebih tinggi di daerah-daerah yang cenderung lebih sensitif

terhadap kenaikan tarif angkutan udara seperti Kalimantan Barat, Maluku, Sulawesi Tengah, dan Papua. Ada

pun indikasi berlanjutnya kekeringan yang melanda sejumlah daerah sentra produksi pangan turut

memberikan risiko bagi inflasi pangan di KTI. Menghadapi berbagai risiko tersebut, koordinasi kebijakan

melalui Tim Pengendalian Inflasi Daerah (TPID) perlu terus diperkuat dalam menyiapkan langkah-langkah

antisipasi yang diperlukan untuk menjamin ketersediaan pasokan kebutuhan masyarakat dan mengendalikan

ekspektasi masyarakat terhadap harga-harga barang.

Pada tahun 2015, prospek pertumbuhan ekonomi KTI diperkirakan meningkat dibandingkan tahun 2014.

Perekonomian KTI tahun 2015 diperkirakan tumbuh pada kisaran 5,6% - 6,1%. Prospek yang membaik ini

didorong terutama oleh meningkatnya kinerja ekonomi Provinsi Papua, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara,

Nusa Tenggara Barat, dan Nusa Tenggara Timur, serta beberapa provinsi di wilayah Kalimantan. Peningkatan

tersebut diperkirakan terjadi seiring dengan membaiknya kinerja di sektor pertambangan dan industri

pengolahan. Produsen-produsen utama tembaga di Papua dan Nusa Tenggara Barat diperkirakan akan

berproduksi secara normal. Faktor-faktor pendukung lain adalah akan beroperasinya beberapa smelter di

Kalimantan, peningkatan produktivitas kelapa sawit di Kalimantan, dan pengoptimalisasian produksi pabrik

CPO di Sulampua. Dari sisi permintaan, kinerja ekspor diperkirakan kembali membaik seiring peningkatan

ekspor komoditas pertambangan pasca dikeluarkannya izin ekspor mineral di tahun 2014. Namun beberapa

faktor risiko masih membayangi pertumbuhan ekonomi ke depan. Perlambatan ekonomi Tiongkok dan Jepang

serta berlanjutnya penurunan harga komoditas dunia masih akan menjadi sumber risiko dari sisi eksternal.

Dari sisi internal, rencana kenaikan harga BBM bersubsidi yang berpotensi menekan konsumsi, realisasi

belanja pemerintah yang belum optimal, serta masih tingginya biaya pendanaan/investasi berpotensi

menahan laju pertumbuhan ekonomi 2015.

Sementara itu, tekanan inflasi tahun 2015 diperkirakan lebih rendah daripada tahun 2014. Inflasi KTI tahun

2015 diperkirakan berada pada kisaran 4,7% - 5,2% (yoy). Melandainya tekanan inflasi diperkirakan terjadi di

provinsi Kalimantan Selatan, Kalimantan Barat, dan Kalimantan Tengah, serta seluruh provinsi di Sulawesi.

Relatif terjaganya pasokan bahan pangan serta semakin baiknya koordinasi dan efektivitas program kerja TPID

diperkirakan mampu menjaga tekanan inflasi di tahun 2015. Namun perlu dicermati risiko dari kelompok

administered price terutama kepastian rencana kenaikan harga BBM bersubsidi dan dampak lanjutannya, yang

dapat berpotensi mendorong prakiraan inflasi menjadi bias ke atas di tahun 2015.

L a p o r a n N u s a n t a r a | 1 3

PERTUMBUHAN EKONOMI

Perekonomian wilayah Sulawesi-Maluku-Papua (Sulampua) pada triwulan III 2014 tumbuh lebih tinggi

dibandingkan dengan triwulan sebelumnya. Akselerasi pertumbuhan di beberapa provinsi seperti Sulawesi

Selatan, Sulawesi Barat, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, Gorontalo, dan Maluku Utara secara agregat

mendorong pertumbuhan ekonomi Sulampua dari 6,9% (yoy) menjadi 7,1% (yoy). Meningkatnya produktivitas

padi di daerah sentra, diperolehnya izin ekspor konsentrat tembaga, serta masih berlangsungnya ekspansi di

beberapa subsektor industri pengolahan menjadi pendorong percepatan pertumbuhan ekonomi Sulampua.

Perbaikan di sektor tradable tersebut kemudian turut mendorong akselerasi pada komponen ekspor serta

menjadi stimulus kegiatan konsumsi yang tercatat tumbuh lebih baik dari triwulan sebelumnya.

Memasuki periode triwulan IV 2014, perkembangan beberapa indikator ekonomi di berbagai daerah

mengindikasikan pertumbuhan ekonomi Sulampua akan kembali terus membaik. Hal ini terutama dipengaruhi

oleh faktor musiman yang mendorong kinerja konsumsi, khususnya konsumsi pemerintah, serta investasi,

seiring penyelesaian target proyek infrastruktur maupun sektor riil di akhir tahun. Dari sisi sektoral, perbaikan

pada sektor pertambangan terus berlanjut dan kinerja industri pengolahan akan menguat sejalan dengan sisi

permintaan yang meningkat. Meski demikian, pertumbuhan ekonomi Sulampua untuk keseluruhan 2014 tetap

melambat dibandingkan dengan 2013 (8,7%, yoy) karena menurunnya produksi dan ekspor mineral.

Penurunan tersebut terkait dengan implementasi UU Minerba pada Januari 2014 silam. Pada 2015, dengan

mempertimbangkan pulihnya kegiatan ekspor konsentrat tembaga yang didukung oleh masih kuatnya

konsumsi serta investasi, perekonomian Sulampua diperkirakan tumbuh pada kisaran 8,0% - 8,5% (yoy).

Konsumsi

Konsumsi Rumah Tangga

Pada triwulan III 2014, konsumsi rumah tangga (termasuk konsumsi nirlaba) tumbuh sebesar 8,4% (yoy), lebih

tinggi dari triwulan sebelumnya (7,6%, yoy). Percepatan pertumbuhan tersebut didorong oleh kinerja seluruh

sektor utama daerah yang membaik sehingga pendapatan masyarakat turut meningkat. Di samping itu,

terdapat stimulus konsumsi yang lain yaitu perayaan Lebaran, pemilu, dan penyelenggaraan berbagai event

besar seperti Sail Raja Ampat, Darwin-Ambon Yacht Race, HUT Emas Provinsi Sulawesi Utara, Tomohon

International Flower Festival, dan Toraja International Festival. Akselerasi kegiatan konsumsi ini tercermin juga

pada kegiatan perdagangan melalui volume bongkar muat barang di pelabuhan utama Sulampua (Makassar)

yang tumbuh lebih tinggi pada triwulan III 2014 (Grafik II.1.1).

Perkembangan indikator terkini mengindikasikan konsumsi rumah tangga cenderung tumbuh relatif stabil

pada triwulan IV 2014. Terjaganya pertumbuhan konsumsi rumah tangga akan didukung oleh masih

banyaknya kegiatan masyarakat terkait perayaan Idul Adha, Natal, Tahun Baru, penyelenggaraan berbagai

event nasional dan internasional (Gorontalo, Ambon, Makassar, Manado, Luwu), serta liburan akhir tahun.

Secara historis, penjualan eceran juga akan meningkat pada akhir tahun seperti yang mulai diindikasikan oleh

indeks penjualan eceran (IPER) di Manado (Grafik II.1.2). Sementara itu, meski tidak merata di seluruh daerah,

keyakinan konsumen (IKK) memiliki tendensi bergerak ke arah yang lebih optimis. Untuk keseluruhan 2014,

konsumsi rumah tangga diprakirakan tumbuh lebih tinggi dari tahun sebelumnya (6,8%, yoy). Hal ini terutama

didorong oleh penguatan daya beli masyarakat seiring pertumbuhan UMP Sulampua pada 2014 (rata-rata

tertimbang) yang lebih tinggi dibandingkan dengan 2013, terutama di Sulawesi.

Konsumsi Pemerintah

L a p o r a n N u s a n t a r a | 1 4

Pertumbuhan konsumsi pemerintah di berbagai daerah di Sulampua secara agregat mengalami peningkatan

pada triwulan III 2014. Komponen ini tumbuh sebesar 11,3% (yoy) setelah pada triwulan sebelumnya

mencatat pertumbuhan sebesar 7,9% (yoy). Faktor utama yang mendorong peningkatan konsumsi pemerintah

terutama berasal dari realiasi belanja pegawai karena pembayaran gaji ke-13 bagi PNS, TNI, polri, pejabat

negara, dan penerima pensiun/tunjangan. Sementara itu, berlanjutnya kegiatan seleksi CPNS, baik di tingkat

provinsi maupun kabupaten/kota turut berdampak positif bagi peningkatan kinerja konsumsi pemerintah.

Indikator giro pemerintah daerah juga tercatat mengalami pertumbuhan yang melambat yang

mengkonfirmasi penyerapan dana pemerintah yang lebih tinggi pada triwulan III 2014 (Grafik II.1.3).

Pada triwulan IV 2014, kinerja konsumsi pemerintah diprakirakan tumbuh lebih tinggi dibandingkan triwulan

sebelumnya. Pertumbuhan yang lebih tinggi tersebut diperkirakan didorong oleh upaya menggenjot realisasi

belanja yang masih belum optimal sampai dengan triwulan III 2014, terutama pada sisi belanja barang dan

belanja modal. Berlanjutnya proyek infrastruktur pemerintah serta masih intensifnya kegiatan belanja rutin

terkait operasional harian maupun event khusus di akhir tahun akan menjadi motor penggerak konsumsi

pemerintah. Sementara itu, untuk keseluruhan 2014, konsumsi pemerintah Sulampua diprakirakan mengalami

akselerasi dibandingkan dengan 2013 (6,6%, yoy). Hal tersebut diindikasikan oleh pertumbuhan agregat

anggaran belanja dalam APBD provinsi (tanpa DATI II) di Sulampua yang tumbuh menguat, utamanya di

Sulawesi Utara, Sulawesi Tenggara, Maluku, Papua, Gorontalo, dan Papua Barat.

(30)

(20)

(10)

0

10

20

30

0

500

1,000

1,500

2,000

2,500

3,000

3,500

I II III IV I II III IV I II III IV I II III

2011 2012 2013 2014

%, yoyRibu Ton

Barang yang Dibongkar Barang yang Dimuat gVolume - Skala Kanan

100

150

200

250

300

350

400

95105115125135145155165175

1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

I II III IV I II III IV I II III IV

2012 2013 2014

IndeksIndeks

IKK Palu IKK Gorontalo

IKK Manokwari IPER Manado - Skala Kanan

Sumber: Kantor Administrasi Pelabuhan Sumber: Survei dari Badan Pusat Statistik dan Bank Indonesia

Grafik II.1.1. Volume Bongkar dan Muat Barang Grafik II.1.2. Indeks Indikator Konsumsi

Investasi

Investasi (pembentukan modal tetap bruto/PMTB) mengalami sedikit perlambatan pertumbuhan pada

triwulan III 2014 yaitu dari 11,0% (yoy) menjadi 10,8% (yoy). Perlambatan sisi investasi dinilai bersumber dari

belum optimalnya realisasi proyek infrastruktur pemerintah yang meliputi jalan dan jembatan, pembangkit

listrik, sarana irigasi, pelabuhan, hingga pengembangan kawasan ekonomi khusus. Hal ini terkonfirmasi dari

penyaluran kredit investasi yang tumbuh lebih rendah dari triwulan sebelumnya (Grafik II.1.3). Di sisi lain,

investasi swasta menjadi penahan perlambatan lebih lanjut yang sejalan dengan pertumbuhan penanaman

modal asing (PMA) maupun dalam negeri (PMDN) yang mengalami percepatan (Grafik II.1.4) untuk

mendukung kegiatan produksi sektor ekonomi utama melalui investasi barang modal.

Pertumbuhan investasi diprakirakan meningkat pada triwulan IV 2014 karena upaya mengejar target proyek di

akhir tahun serta dimulainya proyek baru di Sulampua. Proyek yang berlanjut antara lain adalah pembangunan

smelter dan pembangkit listrik di beberapa daerah, pabrik semen (Manokwari), pembangunan jalan lingkar

pulau-pulau (Maluku dan Maluku Utara), pusat perbelanjaan (Manado), hotel, serta proyek-proyek MP3EI.

Beberapa proyek baru yang direncanakan akan dimulai di triwulan terakhir ini antara lain adalah jalan tol

Manado-Bitung, KEK Palu, PLTU Takalar (Sulawesi Selatan), serta perbaikan infrastruktur bandara di Papua.

Secara keseluruhan, investasi pada 2014 diprakirakan tumbuh lebih tinggi dari 2013 (11,0%, yoy). Akselerasi ini

L a p o r a n N u s a n t a r a | 1 5

terutama didorong oleh investasi terkait hilirisasi baik pembangunan smelter dan penambahan kapasitas

produksi oleh pabrik pemurnian mineral yang sudah ada.

(20)

(10)

0

10

20

30

40

50

05

10152025303540

I II III IV I II III IV I II III

2012 2013 2014

%, yoyRp Triliun

Giro Pemda Kredit Investasi

gGiro Pemda - Skala Kanan gKredit Investasi - Skala Kanan

(200)

(100)

0

100

200

300

400

0

500

1,000

1,500

2,000

2,500

3,000

3,500

4,000

I II III IV I II III IV I II III

2012 2013 2014

%, yoyUnit

PMA (Unit: US$ Juta) PMDN (Unit: Rp Miliar)

gPMA - Skala Kanan gPMDN - Skala Kanan

Sumber: Badan Koordinasi Penanaman Modal

Grafik II.1.3. Perkembangan Giro Pemerintah Daerah dan Penyaluran Kredit Investasi

Grafik II.1.4. Realisasi Investasi Asing dan Dalam Negeri

Perdagangan Luar Negeri

Ekspor

Ekspor luar negeri nonmigas Sulampua kembali mengalami perbaikan pada triwulan III 2014. Nilai ekspor luar

negeri nonmigas Sulampua tercatat sebesar US$1,75 miliar atau tumbuh sebesar 2,4% (yoy) setelah turun

hingga -36,9% (yoy) pada triwulan sebelumnya. Perbaikan kinerja ekspor luar negeri didorong oleh ekspor

konsentrat tembaga yang kembali dapat dilakukan sejak Agustus 2014 pasca penerbitan izin bagi eksportir di

Papua. Selain dari ekspor pertambangan, peningkatan juga disumbangkan oleh komoditas industri (Grafik

II.1.5), khususnya industri hasil tambang (feronikel) yang didukung oleh meningkatnya permintaan dari negara

mitra dagang. Hal ini sejalan dengan hasil liaison kepada beberapa kontak pelaku usaha di Sulampua yang

bergerak pada sektor industri pengolahan yang menyatakan bahwa ekspor masih menunjukkan peningkatan

karena permintaan yang meningkat dan pasokan bahan baku yang terjaga.

(120)(100)(80)(60)(40)(20)0 20 40 60 80

0

500

1,000

1,500

2,000

2,500

3,000

I II III IV I II III IV I II III IV I II III

2011 2012 2013 2014

%, yoyUS$ Juta

Total Nilai Ekspor - Skala Kiri gEkspor Pertanian

gEkspor Industri gEkspor Pertambangan

(150)(100)(50)0 50 100 150 200 250 300 350

0

100

200

300

400

500

600

700

I II III IV I II III IV I II III IV I II III

2011 2012 2013 2014

%, yoyUS$ JutaTotal Nilai Impor - Skala Kiri gImpor Barang Modal

gImpor Barang Antara gImpor Barang Konsumsi

Sumber: Bea Cukai, diolah Sumber: Bea Cukai, diolah

Grafik II.1.5. Ekspor Luar Negeri Menurut Komoditas

Grafik II.1.6. Impor Luar Negeri Menurut Kategori Barang

Pada triwulan IV 2014, kinerja ekspor luar negeri Sulampua diprakirakan cenderung tumbuh lebih lambat dari

triwulan III 2014. Hingga saat ini, satu-satunya eksportir mineral terdaftar yang memiliki rekomendasi untuk

melakukan ekspor hanya eksportir konsentrat tembaga di Papua. Hal ini akan menyebabkan kinerja ekspor

pertambangan akan mengalami penurunan sehubungan dengan tingginya ekspor mineral, meliputi tembaga

dan nikel mentah karena faktor base effect pada triwulan IV 2013 (sebelum pemberlakuan UU Minerba). Di

samping itu, kinerja sektor pertanian yang cenderung tumbuh melambat di akhir tahun akan memengaruhi

kinerja ekspor nontambang dan menambah tekanan penurunan pada ekspor luar negeri secara keseluruhan.

L a p o r a n N u s a n t a r a | 1 6

Untuk keseluruhan 2014, ekspor luar negeri Sulampua tidak akan tumbuh melebihi capaian tahun sebelumnya

karena penurunan ekspor mineral sebagai imbas penerapan UU Minerba. Apalagi, pada 2013, pelaku usaha

tambang memacu produksi dan ekspor mereka sebelum penerapan UU tersebut.

Impor

Impor luar negeri nonmigas pada triwulan III 2014 juga tumbuh lebih cepat dari triwulan II 2014. Impor luar

negeri nonmigas tercatat sebesar US$521,25 juta atau bertumbuh sebesar 38,81 (yoy) setelah kinerjanya

turun hingga -31,5% (yoy) pada triwulan sebelumnya. Peningkatan impor luar negeri terutama didorong oleh

meningkatnya impor gandum sebagai bahan baku industri pengolahan tepung terigu yang permintaannya

meningkat di masa puasa dan Lebaran. Selain itu, impor mesin industri dan alat transportasi juga meningkat

untuk mendukung kegiatan produksi sektor utama serta ekspor. Hal ini mendorong peningkatan impor bahan

baku dan barang modal di triwulan laporan (Grafik II.1.6).

Kinerja impor luar negeri pada triwulan IV 2014 diprakirakan lebih lambat dari triwulan III 2014. Perlambatan

aktivitas impor dipengaruhi oleh perlambatan ekspor karena melemahnya kinerja sektor pertanian dan

kontraksi yang masih terjadi pada sektor tambang sehingga kebutuhan akan bahan baku impor untuk produksi

diperkirakan masih terbatas. Adapun kegiatan investasi yang masih meningkat akan menopang impor luar

negeri, terutama impor barang modal. Dengan perkembangan tersebut, impor luar negeri secara total di 2014

akan tumbuh relatif stabil. Meski terdapat tekanan dari sisi impor bahan baku, percepatan investasi dan

konsumsi pada 2014 akan mendorong impor barang modal dan barang konsumsi sehingga menopang impor

secara keseluruhan.

Kinerja Sektor Utama Daerah

Sektor Pertambangan dan Penggalian

Sektor pertambangan dan penggalian Sulampua tetap mengalami kontraksi, namun tidak sedalam triwulan

sebelumnya, yaitu dari tumbuh negatif sebesar 8,5% (yoy) menjadi terkontraksi 3,8% (yoy). Izin penjualan

mineral mentah ke luar negeri tanpa pemurnian yang telah diperoleh eksportir di Papua mampu mendorong

produksi tembaga dan emas sehingga penurunannya menjadi lebih tipis. Sementara itu, kinerja produksi bijih

nikel juga mengalami akselerasi karena adanya peningkatan kebutuhan pasokan nikel mentah sebagai bahan

baku pembuatan nikel olahan di Sulawesi Tenggara. Kegiatan penggalian di Sulawesi Tengah juga diyakini

menopang perbaikan sektor tambang sehingga kinerjanya tidak lebih buruk dari triwulan II 2014.

(100)

(50)

0

50

100

150

200

250

I II III IV I II III IV I II III IV I II III IVp

2011 2012 2013 2014

%, yoy gKonsentrat Tembaga (Papua) gBijih Nikel (Sulawesi Tenggara)

gEmas (Papua) gNikel Matte (Sulawesi Selatan)

(40)

(30)

(20)

(10)

0

10

20

30

40

50

I II III IV I II III IV I II III IV I II III IVp

2011 2012 2013 2014

%, yoygProduksi Feronikel (Sulawesi Tenggara)

gProduksi Semen (Sulampua)

gProduksi Terigu (Sulawesi Selatan)

Sumber: Produsen, diolah

p Proyeksi Bank Indonesia

Sumber: Produsen, diolah

p Proyeksi Bank Indonesia

Grafik II.1.7. Pertumbuhan Produksi Mineral Grafik II.1.8. Pertumbuhan Produksi Manufaktur

Pada triwulan IV 2014, produksi sektor pertambangan di Sulampua diprakirakan masih mengalami perbaikan.

Upaya produsen tambang di Papua untuk mencapai target 2014 akan mendorong produksi konsentrat

tembaga dan emas di akhir tahun (Grafik II.1.7). Hal yang sama akan dilakukan oleh produsen nikel matte di

L a p o r a n N u s a n t a r a | 1 7

Sulawesi Selatan seiring selesainya renegosiasi sehingga kendala operasional menjadi minimal. Sementara itu,

masih tingginya kebutuhan industri olahan nikel akan menjaga tingkat pertumbuhan produksi bijih nikel di

Sulawesi Tenggara. Adapun untuk keseluruhan 2014, produksi tambang mengalami penurunan dibandingkan

dengan 2013 pasca penyesuaian yang dilakukan para pelaku usaha yang mengurangi kapasitas bahkan

menghentikan produksi. Penyesuaian tersebut dilakukan sebagai respons dari pemberlakuan UU Minerba

pada Januari 2014.

Sektor Industri Pengolahan

Pada triwulan III 2014, sektor industri pengolahan mengalami percepatan pertumbuhan sebesar 10,0% (yoy)

setelah sebelumnya tercatat tumbuh 8,7% (yoy). Peningkatan laju pertumbuhan salah satunya didorong oleh

akselerasi industri feronikel di Sulawesi Tenggara seiring dengan naiknya permintaan dari negara tujuan

ekspor (Belanda). Lebih lanjut, naiknya permintaan barang industri makanan, pakaian, serta barang konsumsi

lainnya terkait dengan perayaan Lebaran dinilai turut memberikan kontribusi positif terhadap kinerja sektor

ini. Faktor pendorong lain adalah meningkatnya kinerja industri minyak nabati seiring kehadiran pabrik

pengolahan crude palm oil (CPO) baru di Sulawesi Barat.

Pada triwulan IV 2014, sektor industri pengolahan diprakirakan kembali tumbuh lebih baik dari triwulan

sebelumnya. Hal tersebut diindikasikan oleh kinerja beberapa subsektor industri yang meningkat (Grafik

II.1.8), terutama lanjutan akselerasi industri olahan nikel di Sulawesi Tenggara. Kemudian, kinerja industri

semen di Sulampua secara umum akan mengalami akselerasi untuk mendukung prospek investasi yang masih

tumbuh tinggi. Industri makanan olahan dengan bahan baku terigu juga diyakini akan tumbuh menguat seiring

momen perayaan akhir tahun yang dapat meningkatkan permintaan. Berdasarkan survei kepada para pelaku

usaha, harga jual sektor industri pengolahan akan terus meningkat hingga akhir tahun sehingga menjadi faktor

insentif produksi. Untuk keseluruhan 2014, sektor ini tumbuh relatif stabil dibandingkan 2013. Tidak terjadinya

akselerasi disebabkan oleh kinerja industri feronikel yang menurun tajam pada awal tahun di tengah

perkembangan industri semen dan terigu yang masih cukup baik pada tahun ini.

Sektor Pertanian

Laju pertumbuhan sektor pertanian pada triwulan III 2014 mengalami percepatan sebesar 8,0% (yoy)

dibandingkan dengan triwulan sebelumnya sebesar 7,6% (yoy). Dari subsektor tanaman bahan makanan,

upaya pemerintah daerah untuk meningkatkan produksi padi membuahkan hasil melalui program peningkatan

luas tanam (Sulawesi Tenggara) dan optimasi lahan baru (Sulawesi Tengah). Di Sulawesi Selatan, musim yang

sangat mendukung kegiatan produksi pasca berakhirnya puncak panen raya berhasil meningkatkan

produktivitas (luas panen) padi. Dari subsektor perikanan, hasil tangkapan ikan meningkat signifikan karena

dukungan cuaca. Selain itu, produksi ikan budidaya (udang), juga meningkat seiring permintaan yang masih

tinggi dari konsumen luar negeri dan kurangnya kompetitor sejenis.2

Pada triwulan IV 2014, nilai tambah sektor pertanian diprakirakan tumbuh melambat. Beberapa daerah masih

berada dalam periode masa tanam sehingga menjadi salah satu faktor penyebab perlambatan. Hal ini

tercermin dari nilai tukar petani yang mulai turun pada awal triwulan (Grafik II.1.9). Selain itu, komoditas

kakao telah melewati musim panennya pada pertengahan tahun. Apalagi, musim hujan yang datang di akhir

tahun akan menghambat kegiatan pengolahan kebun kakao. Dari sisi eksternal, kecenderungan melemahnya

pertumbuhan harga internasional kakao juga dinilai dapat menambah tekanan pada sisi produksi. Kendala

cuaca diprediksi akan memengaruhi produksi ikan yang mulai tumbuh melambat (Grafik II.1.10). Untuk

akumulasi sepanjang 2014, sektor pertanian mampu tumbuh lebih tinggi dari tahun lalu. Hal ini didorong oleh

2 Informasi hasil liaison kepada eksportir udang olahan di Sulawesi Selatan dan Maluku

L a p o r a n N u s a n t a r a | 1 8

produksi padi dan jagung yang tumbuh lebih tinggi berdasarkan ARAM I dibandingkan dengan realisasi

pertumbuhan produksi tahun sebelumnya.

94

96

98

100

102

104

106

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

I II III IV I II III IV I II III IV

2012 2013 2014

IndeksNTP Sulawesi Utara NTP Maluku Utara

NTP Sulawesi Tengah NTP Sulawesi Barat

(150)(100)(50)0 50 100 150 200 250 300 350 400

02468

101214161820

1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

I II III IV I II III IV I II III IV

2012 2013 2014

%, yoyRibu TonPPS Bitung PPS Kendari

PPN Ambon gProduksi - Skala Kanan

Sumber: Badan Pusat Statistik, diolah Sumber: Pusat Informasi Pelabuhan Perikanan, diolah

Grafik II.1.9. Nilai Tukar Petani Grafik II.1.10. Produksi Ikan Tangkap

PERKEMBANGAN INFLASI

Sepanjang triwulan III 2014, laju inflasi Sulampua tercatat sebesar 3,84% (yoy) atau menurun dibandingkan

dengan triwulan sebelumnya (6,68%, yoy). Dilihat dari komponen disagregasinya, inflasi volatile food tercatat

menurun cukup drastis pada triwulan laporan. Faktor utama penyebab penurunan tersebut adalah koreksi

harga beberapa komoditas pangan seperti beras, telur, aneka daging, ikan segar, sayur, bumbu, serta buah.

Adanya musim panen raya dan cuaca yang kondusif pada triwulan laporan diyakini telah mengamankan

persediaan komoditas pangan utama. Di Sulawesi Tenggara dan Maluku, inflasi volatile food bahkan

mengalami deflasi bulanan yang cukup dalam karena pasokan pangan yang memadai. Penurunan inflasi juga

dipengaruhi oleh komponen administered price yang disebabkan oleh faktor base-effect seiring tingginya IHK

pada triwulan III 2013 terkait kenaikan harga BBM. Tekanan inflasi inti juga sedikit berkurang karena

menurunnya inflasi tahunan kelompok sandang lainnya seiring penurunan harga emas perhiasan (Grafik

II.1.11).

(80)(60)(40)(20)0 20 40 60 80 100 120

(50)(40)(30)(20)(10)

0 10 20 30 40 50

1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

2012 2013 2014

%, yoy%, yoyEmas Perhiasan Layang

Bahan Bakar Rumah Tangga Cabe Merah - Skala Kanan

Inflasi di atas 100% (yoy)

Grafik II.1.11. Perubahan Harga Beberapa Komoditas, Survei Pemantauan Harga Bank

Indonesia di Makassar

(4)

(2)

0

2

4

6

8

150

160

170

180

190

200

1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112

2012 2013 2014

%IndeksEkspektasi Harga Konsumen Makassar

Inflasi Sulampua (mtm) Kumulatif 3 Bulan - Skala Kanan

Grafik II.1.12. Ekspektasi Harga Jangka Pendek Konsumen, Survei Konsumen Bank Indonesia di

Makassar

Memasuki Triwulan IV 2014, perkembangan inflasi di Sulampua secara agregat kembali meningkat pada

Oktober 2014 menjadi 5,06% (yoy). Salah satunya pendorong naiknya inflasi adalah komponen volatile food

karena berakhirnya musim panen di beberapa daerah. Di samping itu, masalah pasokan solar bagi nelayan di

Sulawesi Tengah (kelangkaan) dan Sulawesi Selatan (pengurangan kuota) membuat frekuensi melaut

berkurang sehingga produksi ikan tidak sebanyak biasanya. Untuk komponen administered price,

peningkatan inflasi disebabkan oleh dampak lanjutan penyesuaian tarif tenaga listrik (TTL) dan harga

liquefied petroleum gas (LPG) 12 kg. Tren peningkatan inflasi diprakirakan terus berlanjut hingga akhir 2014

L a p o r a n N u s a n t a r a | 1 9

dan terjadi hampir di seluruh provinsi. Meski masih ada panen komoditas pangan, produksi relatif tidak akan

setinggi triwulan sebelumnya. Curah hujan dan gelombang laut yang tinggi akan menurunkan produksi ikan

dan menghambat distribusi ke daerah pelosok. Penyesuaian TTL tahap terakhir juga berpotensi

meningkatkan inflasi dan ditransmisikan ke harga jual (cost-push). Kenaikan permintaan masyarakat (Natal

dan Tahun Baru) juga akan meningkatkan inflasi inti sebagaimana ekspektasi konsumen yang cenderung

meningkat di triwulan IV 2014 (Grafik II.1.12). Selain itu, apabila kenaikan harga BBM bersubsidi

direalisasikan sebelum 2015 maka inflasi akan tercatat lebih tinggi lagi. Sebaliknya, apabila kebijakan

tersebut tidak diambil pemerintah, inflasi pada 2014 akan tercatat lebih rendah dari 2013 terutama karena

ekspektasi yang terjaga dan faktor base-effect dari dampak kenaikan BBM bersubsidi pada 2013.

Koordinasi Pengendalian Inflasi

Kelembagaan Tim Pengendalian Inflasi Daerah (TPID) di Sulampua terus menunjukkan perkembangan yang

impresif untuk mendukung pemantauan dan pengendalian inflasi di daerah. Selama periode Agustus hingga

Oktober 2014, telah bertambah TPID kabupaten/kota antara lain TPID Luwu dan Gowa di Sulawesi Selatan;

TPID Minahasa Tenggara, Bitung, Kotamobagu, Bolaang Mongondow Utara, Tomohon, dan Talaud di Sulawesi

Utara; TPID Majene, Mamasa, Mamuju Utara, dan Mamuju Tengah di Sulawesi Barat; serta TPID Kolaka Utara,

Kolaka Timur, Kolaka, dan Wakatobi di Sulawesi Tenggara. Total TPID kabupaten/kota yang telah terbentuk

adalah sebanyak 63 TPID.

Mengantisipasi berbagai risiko inflasi yang utamanya berasal dari sisi kebijakan pemerintah, TPID terus

melakukan pertemuan di tingkat teknis maupun high level meeting secara intensif. Kegiatan koordinasi dengan

TPID pusat dan antardaerah juga telah dilakukan selama triwulan III 2014. Hal tersebut bertujuan untuk

menyatukan visi serta arah kebijakan/program kerja TPID ke depan serta membuka peluang bagi penguatan

kerjasama antardaerah terutama dalam hal perbaikan konektivitas. Menindaklanjuti hal tersebut, TPID di

Sulampua berencana untuk meningkatkan koordinasi dalam rangka memperbaiki kondisi pasokan komoditas

pangan yang masih berstatus defisit.

Adapun hal yang patut diapresiasi adalah pencapaian inflasi pada masa puasa dan Lebaran yang relatif lebih

terkendali jika dibandingkan dengan pola historis yang ada. Hal ini diyakini merupakan sebuah capaian dari

program kerja TPID di Sulampua yang secara preventif berupaya mengurangi dampak ekspektasi kenaikan

harga serta memastikan ketersediaan bahan pangan di tengah kebijakan pemerintah yang menaikkan TTL

secara bertahap. Berbagai program koordinasi dengan pihak ketiga serta penguatan kelembagaan TPID

kabupaten/kota dilakukan sepanjang triwulan laporan. Aksi langsung yang dilakukan antara lain adalah

perbaikan infrastruktur pasar, optimasi cold storage, persiapan stok pangan sejak tiga bulan sebelum Lebaran,

serta pembentukan posko ketersediaan pangan.

STABILITAS SISTEM KEUANGAN DAN PENGELOLAAN SISTEM PEMBAYARAN

Ketahanan Sektor Korporasi

Pertumbuhan kredit produktif kepada sektor utama di Sulampua menunjukkan tendensi melambat. Hingga

September 2014, pertumbuhan kredit pada sektor perdagangan dan pertanian masih melambat sedangkan

pada sektor industri terjadi kontraksi yang lebih dalam (Grafik II.1.13). Di sisi lain, kredit bagi sektor tambang

kembali tumbuh lebih tinggi sehubungan dengan aktivitas tambang di Papua yang membaik. Dari aspek

kualitas kredit, terjadi peningkatan nonperforming loan (NPL) untuk total kredit produktif hingga mendekati

batas aman 5%, khususnya pada penyaluran kredit ke sektor pertambangan dan industri pengolahan (Grafik

II.1.14). Hal ini dikarenakan pelaku usaha tambang dan industri pendukungnya, khususnya yang berskala kecil

dan menengah, tidak dapat beroperasi secara optimal pasca penerapan UU Minerba sehingga pendapatannya

berkurang.

L a p o r a n N u s a n t a r a | 2 0

(40)

(20)

0

20

40

60

80

100

120

140

(40)

(20)

0

20

40

60

80

100

I II III IV I II III IV I II III IV I II III

2011 2012 2013 2014

%, yoy%, yoy Pertanian

Industri

Perdagangan

Pertambangan - Skala Kanan

0

5

10

15

20

25

0

2

4

6

8

10

12

I II III IV I II III IV I II III IV I II III

2011 2012 2013 2014

%% Total Produktif Pertanian

Industri Perdagangan

Pertambangan - Skala Kanan

Grafik II.1.13. Pertumbuhan Kredit Sektor Utama Grafik II.1.14. Perkembangan NPL Kredit Sektor Utama

Ketahanan Sektor Rumah Tangga

Penyaluran kredit rumah tangga3 di Sulampua tumbuh melambat pada triwulan III 2014. Perlambatan tersebut

terutama didorong oleh KKB serta KPR (Grafik II.1.15). Secara umum, perlambatan disebabkan oleh suku

bunga yang cenderung meningkat sejak akhir 2013, yang berdampak pada meningkatnya kewajiban nasabah

sehingga permintaan kredit melambat. Naiknya suku bunga juga menimbulkan kendala bagi nasabah yang

tadinya belum memperhitungkan potensi kenaikan suku bunga. Kondisi tersebut tercermin dari NPL kredit

rumah tangga yang meningkat (Grafik II.1.16). Meski demikian, ketahanan sektor rumah tangga masih cukup

baik karena rasio NPL seluruh jenis kredit rumah tangga masih berada di bawah batas aman (5%). Kenaikan

NPL direspons perbankan dengan meningkatkan kewaspadaan dan lebih selektif dalam memilih nasabah yang

pada gilirannya berdampak ke perlambatan pertumbuhan penyaluran kredit. Adapun dari total kredit rumah

tangga sebesar Rp69,3 triliun, kredit multiguna masih memiliki pangsa terbesar yaitu 53,8% sedangkan KPR

dan KKB masing-masing mengambil pangsa 34,7% dan 6,9%.

Pembiayaan Sektor Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM)

Laju pertumbuhan kredit kepada UMKM yang tercatat sebesar Rp64,5 triliun di Sulampua berada dalam tren

melambat hingga triwulan III 2014. Kondisi ini dinilai merupakan dampak dari meningkatnya NPL kredit UMKM

hingga mencapai 5,5% sehingga perbankan cenderung mengerem laju kredit UMKM dengan lebih selektif

memilih debiturnya (Grafik II.1.15 dan Grafik II.1.16). Sementara itu, suku bunga kredit UMKM cenderung

meningkat pada September 2014 yang tentunya memengaruhi kinerja debitur untuk mengembalikan

pinjamannya. Upaya terintegrasi antara para pemangku kepentingan harus digalakan untuk menekan angka

NPL melalui pendampingan yang menyentuh baik aspek pengetahuan (manajemen) maupun teknis

(kapabilitas). Secara umum, upaya pengembangan klaster juga terus dilakukan oleh Bank Indonesia se-

Sulampua agar UMKM mampu memperoleh akses kepada sumber pembiayaan. Beberapa program

peningkatan dan pengembangan klaster yang berlangsung sepanjang 2014 antara lain adalah klaster padi

(Sulawesi Selatan, Maluku), cabe (Sulawesi Selatan, Sulawesi Utara), sapi (Gorontalo, Sulawesi Selatan), mina

padi (Sulawesi Tengah), hortikultura (Maluku), kakao (Sulawesi Tenggara), dan bawang merah (Maluku Utara).

3 Terdiri dari kredit pemilikan rumah (KPR), kredit kendaraan bermotor (KKB), kredit multiguna, kredit perlengkapan rumah

tangga, serta kredit rumah tangga lainnya yang tidak diklasifikasikan di tempat lain.

L a p o r a n N u s a n t a r a | 2 1

(100)

0

100

200

300

400

500

(10)

0

10

20

30

40

50

60

70

80

I II III IV I II III IV I II III IV I II III

2011 2012 2013 2014

%, yoy%, yoy

KPR KKB UMKM Multiguna - Skala Kanan

0

1

2

3

4

5

6

I II III IV I II III IV I II III IV I II III

2011 2012 2013 2014

%Total Rumah Tangga KPR Multiguna KKB UMKM

Grafik II.1.15. Pertumbuhan Kredit Rumah Tangga dan Kredit UMKM

Grafik II.1.16. Perkembangan NPL Kredit Rumah Tangga dan NPL UMKM

Kinerja Sistem Pembayaran

Kegiatan sistem pembayaran Sulampua menunjukkan peningkatan pada triwulan III 2014, dilihat dari indikator

transaksi melalui Real Time Gross Settlement (RTGS). Demikian pula transaksi kliring masih tumbuh relatif

stabil dibandingkan dengan triwulan sebelumnya (Grafik II.1.17 dan Grafik II.1.18). Hampir 90% transaksi

sistem pembayaran masih menggunakan RTGS karena efisiensi waktu sehubungan dengan proses settlement

yang lebih cepat. Meningkatnya transaksi keuangan didorong oleh perbaikan kondisi ekonomi secara umum.

Sesuai dengan karakteristiknya, kebutuhan transaksi masyarakat akan meningkat pada periode Lebaran. Hal

tersebut ditunjukkan oleh peningkatan pertumbuhan transaksi RTGS dan kliring secara triwulanan yaitu

masing-masing sebesar 10,1% (qtq) dan 3,0% (qtq). Adapun pertumbuhan konsumsi pemerintah yang

meningkat diyakini juga berkontribusi pada akselerasi transaksi keuangan seiring penyerapan anggaran

belanja milik pemerintah daerah yang lebih baik di triwulan laporan.

(30)(20)(10)0 10 20 30 40 50 60 70

0

10

20

30

40

50

60

70

80

1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9

I II III IV I II III IV I II III

2012 2013 2014

%, yoyRp Triliun Total Transaksi RTGS gTotal Transaksi - Skala Kanan

(30)

(20)

(10)

0

10

20

30

0

1

2

3

4

5

6

7

1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9

I II III IV I II III IV I II III

2012 2013 2014

%, yoyRp TriliunTotal Kliring Debet gTotal Kliring Debet - Skala Kanan

Grafik II.1.17. Perkembangan Total Transaksi RTGS

Grafik II.1.18. Perkembangan Total Transaksi Kliring

Kinerja Pengelolaan Uang Tunai

Pengedaran uang kartal di Sulampua mencatat peningkatan pada sisi outflow maupun inflow selama triwulan

III 2014 dibandingkan dengan triwulan sebelumnya. Hal ini terjadi sebagai dampak peningkatan aktivitas

masyarakat terkait Lebaran sehingga kebutuhan uang ikut meningkat yang kemudian disetorkan kembali pasca

perayaan Lebaran (Grafik II.1.19). Selanjutnya, pada Oktober 2014, kegiatan penarikan uang masih tercatat

lebih besar dibandingkan penyetoran uang sehingga terjadi kondisi net outflow sebesar Rp0,5 triliun. Kondisi

ini diperkirakan akan berlanjut seiring kebutuhan uang kartal yang meningkat di akhir tahun. Sementara itu,

temuan uang palsu sepanjang triwulan III 2014 lebih sedikit dari triwulan II 2014 yaitu dari 963 lembar menjadi

515 lembar (Grafik II.1.20). Untuk mengantisipasi peredaran uang palsu, kegiatan sosialisasi ciri-ciri keaslian

uang rupiah akan terus digencarkan oleh Bank Indonesia. Adapun untuk memastikan pengedaran uang layak

edar di Sulampua, selain melalui layanan penukaran uang, Bank Indonesia melakukan kegiatan kas keliling.

Pada periode triwulan laporan, kegiatan kas keliling ke daerah pelosok telah dilakukan antara lain di

L a p o r a n N u s a n t a r a | 2 2

Kepulauan Maluku dan Maluku Utara (Bula, Piru, Dobo, Tual, Namlea, Banda, Sula) dan beberapa daerah

lainnya seperti di Papua Barat, Papua, dan Pangkajene Kepulauan di Sulawesi Selatan.

1210

864202468

10

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

I II III IV I II III IV I II III IV

2012 2013 2014

Rp TriliunOutflow (Penarikan Nasabah) Inflow (Penyetoran Nasabah)

0

200

400

600

800

1,000

1,200

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9

I II III IV I II III IV I II III

2012 2013 2014

Lembar

Temuan Uang Palsu di Sulampua

1.60%Total 2011-2014

Sulampua (6,668 lembar)

Nasional (408,837 lembar)

Grafik II.1.19. Perkembangan Aliran Uang Grafik II.1.20. Perkembangan Temuan Uang Palsu

PROSPEK PEREKONOMIAN

Prospek Pertumbuhan Ekonomi

Untuk tahun 2015, perekonomian Sulampua diprakirakan tumbuh lebih tinggi dibandingkan dengan 2014,

yaitu pada kisaran 8,0% - 8,5% (yoy). Perkembangan yang lebih baik tersebut didorong oleh masih kuatnya

konsumsi rumah tangga dan akselerasi ekspor. Kegiatan konsumsi rumah tangga akan ditopang oleh daya beli

masyarakat yang cukup baik seiring kinerja sektor pertambangan dan industri pengolahan yang mengalami

perbaikan. Normalnya kegiatan produksi konsentrat tembaga pada 2015 akan mendorong prospek

pertumbuhan sektor pertambangan. Sementara itu, potensi beroperasinya smelter di Sulawesi Tengah dan

Sulawesi Tenggara pada paruh kedua 2015 akan mendukung arah proyeksi sektor industri pengolahan. Hal ini

masih diperkuat dengan prospek industri migas (LNG) di Papua Barat seiring kenaikan harga jual dan di

Sulawesi Tengah dengan perkiraan beroperasinya pabrik LNG baru sebelum akhir 2015.

Dengan melihat kondisi di atas, beberapa faktor risiko eksternal maupun internal masih mengemuka. Pada sisi

eksternal, risiko terhadap pertumbuhan ekonomi antara lain adalah perlambatan pertumbuhan ekonomi

Tiongkok dan Jepang yang dapat memiliki dampak lanjutan pada kinerja ekspor (sektor tradable) Sulampua.

Kemudian, apabila tren melambatnya pertumbuhan harga komoditas tembaga dan CPO di pasar global lebih

dalam dari proyeksi yang ada maka dapat menjadi faktor disinsentif produksi. Pada sisi internal, terdapat risiko

terkait produktivitas dan hilirisasi sumber daya alam. Produktivitas kakao masih belum menunjukkan tanda-

tanda pemulihan sehingga dapat berpotensi menahan laju pertumbuhan sektor pertanian. Masalah kepastian

hukum (regulasi) dalam kegiatan investasi juga perlu mendapat perhatian rencana realisasi smelter tidak

mengalami kemunduran.

Prospek Inflasi

Pada tahun 2015, laju inflasi Sulampua diperkirakan relatif menurun dibandingkan tahun 2014. Inflasi

diprakirakan berada pada kisaran 4,7% - 5,2% (yoy). Namun, terdapat beberapa risiko yang perlu diwaspadai

baik berupa risiko berupa faktor musiman terkait cuaca dan momen hari raya, maupun faktor risiko

nonmusiman. Risiko terutama dinilai datang dari sisi kebijakan pemerintah yang meliputi antara lain TTL,

harga LPG, dan terutama harga BBM bersubsidi. Apabila terjadi penyesuaian harga yang berlebihan, inflasi

dapat tercatat jauh di atas perkiraan. Kenaikan harga dari sisi kebijakan pemerintah berpotensi juga

meningkatkan inflasi komponen inti maupun volatile food baik melalui jalur ekspektasi maupun jalur cost-

push.

Oleh karena itu, diperlukan upaya bersama antara pemerintah daerah dan pemangku kepentingan lain dalam

menjangkar ekspektasi inflasi ke tingkat yang normal. Hal ini salah satunya akan ditempuh dengan melakukan

L a p o r a n N u s a n t a r a | 2 3

komunikasi yang intensif dengan masyarakat. Adapun program kerja TPID yang terkoordinasi dinilai dapat

mendukung kegiatan produksi dan distribusi pangan ke depan sehingga kenaikan harga pangan lebih

terkendali dan dapat diantisipasi sebelumnya. Apalagi, target produksi pangan diprakirakan kembali

meningkat pada tahun yang akan datang.

0

5

10

15

20

25

30

70

90

110

130

150

170

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3

I II III IV I II III IV I

2013 2014 2015

Saldo Bersih Tertimbang

IndeksKegiatan Dunia Usaha Sulampua - Skala Kanan

Kondisi Ekonomi Palu

Kondisi Ekonomi Jayapura

Kondisi Ekonomi Makassar

Perkiraan

99.90

99.95

100.00

100.05

100.10

100.15

186

188

190

192

194

196

198

200

202

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3

I II III IV I II III IV I

2013 2014 2015

IndeksIndeks Ekspektasi Konsumen

Ekspektasi Pedagang - Skala Kanan

Grafik II.1.21. Ekspektasi Kondisi Ekonomi dan Perkiraan Kegiatan Dunia Usaha, Survei dari Bank

Indonesia

Grafik II.1.22. Ekspektasi Harga Jangka Panjang, Survei dari Bank Indonesia

TabeI II.1.1. Prakiraan Pertumbuhan Ekonomi dan Inflasi Sulampua

I II III IV Total I* II* III* IVp Totalp Ip Totalp

PDRB (%, yoy) 8.1 9.4 5.9 9.1 10.4 8.7 5.5 6.9 7.1 7.3 6.7 8,1 - 8,6 8,0 - 8,5

Sisi Permintaan

Konsumsi 7.2 6.7 6.4 6.7 7.3 6.8 7.3 7.7 9.1 9.2 8.3 8,0 - 8,5 8,6 - 9,1

Konsumsi swasta 7.0 6.9 6.8 6.8 6.8 6.8 7.3 7.6 8.4 8.3 7.9 7,5 - 8,0 7,9 - 8,4

Konsumsi Pemerintah 7.9 6.0 5.0 6.3 8.9 6.6 7.4 7.9 11.3 11.7 9.7 9,7 - 10,2 10,8 - 11,3

Pembentukan Modal Tetap Bruto 13.5 11.1 11.6 11.3 10.3 11.0 11.7 11.0 10.8 12.9 11.6 12,1 - 12,6 10,3 - 10,8

Ekspor 1.9 17.0 4.6 16.3 21.8 15.0 (2.5) (0.0) 11.0 1.2 2.5 7,9 - 8,4 10,5 - 11,0

Impor 5.7 4.9 4.3 0.5 4.8 3.6 12.6 9.6 19.0 10.8 12.9 9,7 - 10,2 18,5 - 19,0

Sisi Produksi

Sektor pertanian 5.2 3.4 2.4 4.5 8.5 4.7 6.9 7.6 8.0 6.2 7.2 4,9 - 5,4 4,6 - 5,1

Sektor pertambangan & penggalian 0.1 27.7 (1.5) 24.7 22.6 18.3 (17.4) (8.5) (3.8) (1.2) (7.3) 9,6 - 10,1 8,2 - 8,7

Industri pengolahan 12.7 9.6 5.5 7.2 11.4 8.4 3.5 8.7 10.0 10.5 8.2 10,9 - 11,4 11,2 - 11,7

Listrik, gas & air bersih 11.6 8.1 10.9 10.4 10.3 9.9 9.4 9.6 9.6 9.6 9.6 9,6 - 10,1 9,8 - 10,3

Bangunan 12.7 8.4 9.5 8.3 6.7 8.2 9.9 9.5 9.4 9.4 9.5 9,3 - 9,8 8,8 - 9,3

Perdagangan, hotel & restoran 10.2 10.2 10.0 9.1 10.2 9.9 10.1 9.6 9.8 9.7 9.8 9,2 - 9,7 9,3 - 9,8

Pengangkutan & komunikasi 10.8 8.0 8.8 8.6 7.4 8.2 8.9 6.8 6.9 7.4 7.5 7,1 - 7,6 7,5 - 8,0

Keuangan, persewaan dan jasa perush. 11.9 15.1 13.1 13.9 13.0 13.7 11.6 8.2 4.9 7.6 8.0 8,2 - 8,7 10,2 - 10,7

Jasa-jasa 7.1 7.5 6.1 7.8 7.5 7.2 9.0 8.2 7.9 9.1 8.6 8,9 - 9,4 8,2 - 8,7

Inflasi IHK (%, yoy) 4.98 5.06 4.29 7.59 7.02 7.02 6.64 6.68 3.84 5.26 5.26 5,0 - 5,5 4,7 - 5,2

Sumber: Badan Pusat Statistik, diolah

* angka sementarap proyeks i Bank Indones ia

Pertumbuhan Ekonomi dan Inflasi

Wilayah2012

2013 2014 2015

L a p o r a n N u s a n t a r a | 2 4

PERTUMBUHAN EKONOMI

Perekonomian Wilayah Kalimantan tumbuh meningkat dari 3,3% (yoy) pada triwulan II 2014 menjadi 3,9%

(yoy) pada triwulan III 2014. Peningkatan tersebut didorong oleh meningkatnya kinerja sektor pertambangan

dan sektor perdagangan, hotel dan restoran (PHR). Peningkatan kinerja sektor pertambangan terutama

didorong oleh perbaikan produksi batubara dan lifting migas, perbaikan kinerja ekspor batubara khususnya ke

pasar India, serta mulai beroperasinya smelter mineral alumina di Kalimantan Barat dan smelter bijih besi di

Kalimantan Selatan.

Memasuki triwulan IV 2014, berbagai indikator ekonomi di Wilayah Kalimantan mengindikasikan arah

pertumbuhan ekonomi kembali tumbuh melambat. Hal ini terutama dipengaruhi oleh konsolidasi di sektor

tambang terkait kebijakan ekspor dan produksi batubara yang mulai berlaku pada awal Oktober 20144.

Namun, membaiknya kinerja produksi sawit seiring dengan masuknya panen sawit dan mulai berproduksinya

lahan baru dapat menahan perlambatan ekonomi Kalimantan lebih lanjut. Untuk keseluruhan tahun,

perekonomian Kalimantan diperkirakan tumbuh sebesar 3,6% (yoy) sedikit lebih tinggi dibandingkan periode

tahun 2013 yang sebesar 3,5%. Perbaikan kinerja ekonomi Kalimantan diperkirakan berlanjut di tahun 2015

sehingga dapat tumbuh di kisaran 3,5% - 3,9%.

Konsumsi

Konsumsi Rumah Tangga

Konsumsi rumah tangga di Kalimantan (termasuk konsumsi lembaga swasta nirlaba) tumbuh meningkat di

triwulan III 2014 sebesar 6,6% (yoy), lebih tinggi dibandingkan triwulan sebelumnya (6,1%, yoy). Meningkatnya

kinerja konsumsi rumah tangga didukung oleh adanya perbaikan penghasilan masyarakat sebagaimana

terindikasi dari Indeks Keyakinan Konsumen (Grafik II.2.1) dan indeks Nilai Tukar Petani (NTP) yang membaik

(Grafik II.2.2). Kondisi ini diperkirakan tidak terlepas dari adanya perbaikan aktivitas di sektor pertambangan

dan perkebunan yang memiliki peran besar dalam perekonomian Kalimantan. Di samping itu, meningkatnya

konsumsi dipengaruhi oleh pola musiman terkait Ramadhan yang jatuh pada awal triwulan III 2014.

Pada triwulan IV 2014, konsumsi rumah tangga diperkirakan akan mengalami perlambatan. Hal ini terutama

disebabkan oleh perlambatan ekonomi sektor pertambangan di Kalimantan Timur. Selain itu, terbatasnya

kegiatan investasi turut memengaruhi ketersediaan lapangan pekerjaan sehingga berimplikasi pada

terbatasnya ruang peningkatan pendapatan masyarakat. Secara keseluruhan, masih belum stabilnya kinerja

sektor utama memengaruhi penghasilan masyarakat dan memberikan tekanan pada konsumsi sepanjang

tahun 2014. Dengan perkembangan tersebut, pertumbuhan konsumsi rumah tangga untuk tahun 2014

diperkirakan tumbuh sebesar 6,4%

4 Kebijakan persyaratan ekspor mengacu pada Peraturan Menteri Perdagangan No. 49/M-DAG/PER/8/2014 tentang

Ketentuan Ekspor Batubara dan Produk Batubara dan ditindaklanjuti dengan Peraturan Dirjen Minerba No. 714.K/30/DJB/2014 tentang Tata Cara dan Persyaratan Pemberian Rekomendasi Eksportir Terdaftar Batubara. Untuk mendapatkan Rekomendasi Eksportir Terdaftar, perusahaan harus memenuhi persyaratan Clean and Clear (CNC), persetujuan rencana kerja, pelunasan pembayaran kewajiban pajak dan kesediaan membayar iuran produksi.

L a p o r a n N u s a n t a r a | 2 5

100

110

120

130

140

150

160

170

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10f11f12f

2013 2014

Banjarmasin Pontianak

Samarinda Palangkaraya

Kalimantan (weighted)indeks

85

90

95

100

105

110

3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9

2012 2013 2014

NTP

Kalimantan (Weighted) KalBar KalTeng KalSel KalTim Grafik II.2.1. Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) Grafik II.2.2. Perkembangan Nilai Tukar Petani

Konsumsi Pemerintah

Konsumsi pemerintah pada triwulan III 2014 tumbuh membaik, didorong oleh realisasi program pemerintah

seiring dengan pencairan dana transfer APBN yang baru dilakukan pada triwulan sebelumnya. Selain itu,

tingginya penyerapan anggaran pemerintah pusat di daerah terkait pelaksanaan Pemilu juga mendorong

pertumbuhan konsumsi pemerintah di daerah. Meski demikian, kenaikan konsumsi pemerintah tertahan oleh

masih minimnya realisasi Dana Bagi Hasil (DBH) sebagai dampak dari belum finalnya penghitungan DBH untuk

pertambangan batubara. Hal ini antara lain disebabkan oleh adanya rencana kenaikan royalti dan

perkembangan harga komoditas batubara yang masih menunjukan tren penurunan.

Memasuki triwulan IV 2014, konsumsi pemerintah diperkirakan kembali mengalami perlambatan. Kondisi ini

tidak terlepas dari adanya penundaan beberapa realisasi beberapa proyek infrastruktur. Selain itu, dengan

adanya perubahan nomenklatur kementerian terdapat penyelarasan program pemerintah pusat sehingga

diperkirakan turut menunda realisasi belanja operasional di daerah. Meskipun demikian, pemerintah daerah

diperkirakan tidak akan dapat memenuhi target dalam APBD. Dengan perkembangan tersebut, untuk tahun

2014 pertumbuhan konsumsi pemerintah diperkirakan akan mengalami perlambatan. Rendahnya harga

batubara, terbatasnya pemasukan Pemda dari DBH, dan pengetatan anggaran menjadi faktor utama

perlambatan konsumsi pemerintah tahun 2014.

Investasi

Investasi berbagai daerah di Kalimantan pada triwulan III 2014 tumbuh melambat dibanding triwulan

sebelumnya dari 12,7% (yoy) menjadi 7,6% (yoy). Melambatnya investasi diperkirakan terkait dengan relatif,

masih rendahnya harga batubara sehingga perusahaan pertambangan maupun pengangkutan batubara lebih

memilih untuk mengoptimalkan barang modal yang telah dimiliki. Selain itu, beberapa proyek pembangunan

infrastruktur pemerintah maupun proyek swasta telah memasuki tahap akhir dan bahkan ada yang telah

selesai pembangunannya, seperti pembangunan Bandara Internasional Sepinggan Balikpapan, pembangunan

smelter alumina di Kalimantan Barat, pembangunan smelter bijih besi di Kalimantan Selatan, pabrik pupuk di

Kalimantan Timur.

Memasuki triwulan IV 2014, kegiatan investasi masih berada dalam tren yang melambat. Kondisi yang terjadi

pada triwulan sebelumnya masih dirasakan sampai dengan akhir tahun. Selain itu, melambatnya investasi

dipengaruhi oleh tertundanya beberapa proyek infrastruktur pemerintah seperti pembangunan rel kereta api

di Kalimantan Tengah, perluasan bandara di Kalimantan Selatan, peningkatan kualitas jalan dan jembatan di

Kalimantan Timur. Terhambatnya realisasi belanja modal tersebut terjadi karena terdapat masalah

pembebasan lahan dan proses lelang yang lebih ketat. Untuk keseluruhan tahun 2014, kinerja investasi

tumbuh melambat khususnya pada investasi PMDN dan realisasi belanja modal pemerintah.

L a p o r a n N u s a n t a r a | 2 6

Perdagangan Luar Negeri

Ekspor

Kinerja ekspor luar negeri Kalimantan pada triwulan III 2014 menunjukkan adanya perbaikan meski masih

relatif terbatas. Perbaikan ekspor terutama ditopang oleh permintaan batubara dari pasar India. Namun, di sisi

lain terdapat penurunan permintaan ekspor dari Tiongkok seiring dengan masih melemahnya kinerja

perekonomian di Tiongkok. Selain itu, kebijakan pemerintah Tiongkok untuk mengurangi impor sampai dengan

50 juta ton pada tahun 2014 memberikan berdampak pada menurunnya ekspor batubara Kalimantan.

Penurunan ekspor juga merupakan dampak dari peningkatan pajak impor batubara oleh Korea Selatan.

Kinerja ekspor luar negeri Kalimantan yang masih tertahan, diproyeksikan masih akan berlanjut pada triwulan

IV 2014. Mulai berlakunya kebijakan Eksportir Terdaftar (ET) untuk komoditas batubara pada awal triwulan IV

2014 diperkirakan turut memengaruhi kinerja ekspor batubara. Pada awal triwulan IV 2014, terdapat sebanyak

145 perusahaan yang mendapatkan rekomendasi ET dan 160 perusahaan yang akan mengajukan pendaftaran

sebagai ET. Sementara itu, ekspor mineral olahan juga masih terbatas karena sampai dengan akhir tahun

diperkirakan jumlah smelter yang beroperasi belum akan bertambah.

Impor

Impor luar negeri Kalimantan pada triwulan III 2014 tercatat mengalami penurunan terutama untuk impor

barang modal. Hal ini sejalan dengan melambatnya kegiatan investasi baik dari sektor swasta maupun

pemerintah. Kondisi ini juga dipengaruhi oleh respons perusahaan di bidang pertambangan dan pengangkutan

batubara yang cenderung menahan untuk pembelian barang modal baru karena faktor harga komoditas yang

masih cenderung rendah.

Untuk triwulan IV 2014, impor luar negeri diperkirakan masih akan tumbuh cenderung stabil seiring dengan

masih relatif terbatasnya aktivitas investasi. Penurunan produksi akan berdampak langsung pada turunnya

impor barang modal dan penolong untuk sektor ekonomi terbesar di Kalimantan. Meski demikian, seiring

dengan membaiknya prospek perkebunan kelapa sawit di Kalimantan, maka impor pupuk diperkirakan dapat

meningkat.

Kinerja Sektor Utama Daerah

Sektor Pertambangan

Pada triwulan III 2014 sektor pertambangan di Kalimantan mengalami perbaikan yang didorong oleh kinerja

produksi batubara dan lifting migas. Perusahaan pertambangan batubara meningkatkan produksinya untuk

mengejar target produksi setelah melakukan renegosiasi kontrak dengan pemerintah (Grafik II.2.3). Meskipun

permintaan Tiongkok terhadap batubara relatif menurun, namun meningkatnya permintaan dari India relatif

dapat menopang kinerja pertambangan batubara Kalimantan. Beberapa perusahaan pertambangan besar

sudah mengikat kontrak dengan pembeli pada akhir tahun 2013 dengan harga tetap. Selain itu, terdapat

perusahaan yang telah menyelesaikan hauling road antar lokasi tambang sehingga dapat meningkatkan

produksi batubaranya. Sementara itu, berdasarkan hasil liaison, terdapat tujuh perusahaan tambang bauksit

besar di Kalimantan Barat dan enam perusahaan sejenis di Kalimantan Tengah yang belum dapat berproduksi.

Perusahaan-perusahaan tersebut menghentikan produksi karena tidak dapat melakukan ekspor hasil tambang

terkait kebijakan pengaturan ekspor mineral dan tidak adanya permintaan di pasar domestik.

L a p o r a n N u s a n t a r a | 2 7

-15

-10

-5

0

5

10

15

20

25

30

35

0

10

20

30

40

50

60

70

80

I II III IV I II III IV I II III IV*

2012 2013 2014

Produksi batubara PKP2Bg. Produksi batubara (Skala kanan)(juta ton) (% yoy)

(100)

(50)

0

50

100

150

200

250

300

350

400

(10)

(5)

0

5

10

15

20

25

I II III IV I II III IV I II III IV*

2012 2013 2014

g. Eskpor Batubara

g. Ekspor Mineral (Skala kanan)(% yoy) (% yoy)

Sumber : Kementerian ESDM, diolah Sumber: KPPBC, diolah

Grafik II.2.3 Produksi Batubara Kalimantan Grafik II.2.4 Ekspor Tambang Non Migas Kalimantan

Pada triwulan IV 2014, kinerja sektor pertambangan diproyeksi masih relatif terbatas karena mulai

diberlakukannya kewajiban Ekspor Terdaftar (ET) pada komoditas batubara. Masih relatif terbatasnya

perusahaan yang memiliki ET menyebabkan perusahaan (skala kecil dan menengah) akan menahan produksi

batubaranya. Untuk keseluruhan tahun, perbaikan kinerja sektor pertambangan pada tahun 2014 diperkirakan

masih relatif terbatas.

Sektor Industri Pengolahan (Non Migas)

Perkembangan industri pengolahan nonmigas Kalimantan pada triwulan III 2014 cenderung tumbuh melambat

yang disebabkan oleh menurunnya kinerja industri pengolahan kelapa sawit (CPO). Hasil produksi CPO di

Kalimantan tercatat tumbuh melambat menjadi 20,1% (yoy) terutama karena melemahnya permintaan

Tiongkok. Perlambatan pertumbuhan juga merupakan dampak dari kembali menurunnya harga komoditas CPO

internasional. Pada triwulan III 2014, harga CPO tercatat pada level 691,1 USD/ ton atau menurun

dibandingkan triwulan sebelumnya yang tercatat pada level 796,6 USD/ ton. Di sisi lain, penurunan permintaan

sedikit tertahan oleh permintaan dari pasar India dan Amerika Serikat, serta semakin menguatnya permintaan

domestik. Peningkatan permintaan domestik merupakan dampak langsung dari program mandatori pemakaian

biodiesel yang ditetapkan oleh pemerintah.

(20)

(10)

0

10

20

30

40

-

100

200

300

400

500

600

I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV f

2011 2012 2013 2014

Produksi CPO Kalimantan gProduksi CPO (skala kanan)

ribu ton %,yoy

Sumber : Dinas Perkebunan Provinsi di Kalimantan, diolah

(20)

(10)

0

10

20

30

40

-

100

200

300

400

500

600

I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV f

2011 2012 2013 2014

Produksi CPO Kalimantan gProduksi CPO (skala kanan)

ribu ton %,yoy

Sumber: KPPBC, diolah

Grafik II.2.5. Produksi CPO Kalimantan Grafik II.2.6. Ekspor CPO Kalimantan

Pada triwulan IV 2014, perkembangan industri diperkirakan sedikit meningkat, terutama didorong oleh

industri CPO (Grafik II.2.5). Peningkatan produksi CPO tersebut diperkirakan berada dalam kisaran 20% - 25%

dibandingkan periode sebelumnya. Meskipun demikian perbaikan ekspor CPO lebih lanjut tertahan oleh faktor

masih rendahnya insentif harga di pasar global (Grafik II.2.6). Kinerja produksi CPO lebih ditopang oleh masih

relatif kuatnya permintaan domestik, khususnya untuk biodiesel. Pemerintah menargetkan penyerapan

biodiesel pada tahun 2014 sebesar 4 juta kiloliter, atau meningkat dibandingkan tahun 2012 dan 2013 yang

masing-masing sebesar 669 ribu kiloliter dan 1,1 juta kiloliter. Pengembangan industri CPO juga didorong oleh

L a p o r a n N u s a n t a r a | 2 8

upaya hilirisasi produk CPO di Kalimantan Timur, yaitu kawasan industri pengolahan minyak sawit terpadu di

Kawasan Industri dan Pelabuhan Internasional Maloy, dan investasi pabrik-pabrik pengolahan CPO baru di

Kalimantan Barat.

Sektor Pertanian

Kinerja sektor pertanian Kalimantan pada triwulan III 2014 tumbuh melambat, terutama karena produksi padi

yang cenderung menurun. Hal tersebut dipengaruhi oleh kondisi cuaca kering yang tidak mendukung

pertumbuhan tanaman padi khususnya di Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah. Beberapa daerah,

mengalami gagal panen akibat tidak tersedianya sumber air yang memadai di tengah cuaca panas yang

berkepanjangan. Selain itu, cuaca panas yang terjadi juga meningkatkan populasi hama belalang di Ketapang

yang menyebabkan gagal panen di daerah tersebut. Selain itu, kinerja subsektor perkebunan terutama kelapa

sawit juga menunjukkan adanya perlambatan. Kondisi cuaca yang kurang mendukung pada periode enam

bulan sebelumnya mempengaruhi produksi pada triwulan III 2014.

Perkembangan terkini di sektor pertanian Kalimantan mengindikasikan pada triwulan IV 2014 diperkirakan

dapat kembali tumbuh meningkat didorong oleh produksi kelapa sawit. Hal ini dipengaruhi oleh cuaca yang

mendukung pada periode enam bulan sebelumnya dan mulai berproduksinya lahan-lahan sawit baru.

Meskipun demikian, harga CPO yang masih rendah dan berlimpahnya komoditas bahan baku minyak nabati di

pasar internasional menyebabkan insentif untuk peningkatan kinerja produksi sawit cenderung terbatas.

Sementara itu, untuk produksi tabama padi diperkirakan akan kembali menurun, karena kondisi cuaca yang

kering sehingga tidak mendukung peningkatan produktivitas tanaman padi.

PERKEMBANGAN INFLASI

Inflasi Kalimantan pada triwulan III 2014 menunjukkan tren yang menurun setelah pada periode sebelumnya

mengalami tekanan yang tinggi. Penurunan tekanan inflasi terutama terjadi di Kalimantan Timur dan

Kalimantan Selatan yang masing-masing mengalami inflasi sebesar 4,58% (yoy) dan 4,81% (yoy). Hal tersebut

dipengaruhi oleh terjaganya harga pada komoditas daging-dagingan dan bumbu-bumbuan seiring dengan

terjaganya pasokan dari sentra produksi. Penurunan tekanan inflasi tersebut dipengaruhi oleh koreksi harga

pada subkelompok transpor, dimana puncak permintaan telah terjadi pada akhir triwulan II 2014. Di sisi lain,

tekanan inflasi pada kelompok administered prices bersumber dari peningkatan bertahap Tarif Tenaga Listrik

(TTL) tahap kedua (per 1 September 2014) serta kebijakan pemerintah yang menaikkan harga LPG 12 kg

sebesar Rp1.500 per kg mulai tanggal 10 September 2014.

3

4

5

6

7

8

9

10

11

12

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 1011*12*

2012 2013 2014

Kalimantan Kalsel Kaltim Kalbar Kalteng

%, yoy

0

2

4

6

8

10

12

14

16

18

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 1011*12*

2012 2013 2014

Kalimantan Volatile Food Core Inflation Administered Prince

%, yoy

Sumber: BPS, diolah Sumber: BPS, diolah

Grafik II.2.7. Perkembangan Inflasi di Kalimantan Grafik II.2.8. Disagregasi Inflasi di Kalimantan

Mencermati perkembangan terkini sampai dengan Oktober 2014, tekanan inflasi pada triwulan IV 20114

diperkirakan cenderung kembali meningkat meski masih dalam intensitas yang terkendali (Grafik II.2.7). Pada

bulan Oktober 2014, sumber tekanan berasal peningkatan tarif angkutan udara dan dari kenaikan harga LPG 3

Kg. Sementara itu, pada kelompok bahan makanan, tekanan inflasi berasal dari kenaikan harga beras lokal dan

L a p o r a n N u s a n t a r a | 2 9

ikan segar. Musim kemarau yang lebih panjang menyebabkan gagal panen di beberapa sentra padi Kalimantan

dan menyebabkan harga beras lokal relatif meningkat. Pada akhir tahun 2014 sumber tekanan inflasi

diperkirakan akan semakin tinggi dipengaruhi oleh kenaikan harga tarif angkutan udara terutama menjelang

liburan natal dan akhir tahun. Selain itu maraknya pembakaran lahan gambut di berbagai daerah di

Kalimantan dan mundurnya awal musim hujan 2014/2015 dapat berpotensi menurunkan produksi komoditas

pangan strategis. Dari sisi administered price, risiko inflasi diperkirakan bersumber dari kenaikan tarif tenaga

listrik dan rencana kenaikan harga BBM bersubsidi. Secara keseluruhan, inflasi Kalimantan pada akhir 2014

diperkirakan berada pada kisaran 5,5% (yoy).

Koordinasi Pengendalian Inflasi

Sampai dengan Oktober 2014, telah terbentuk 44 Tim Pengendalian Inflasi Daerah (TPID) di Wilayah

Kalimantan. TPID tersebut terdiri dari 4 TPID provinsi, 9 TPID kota (merupakan kota perhitungan inflasi) dan 31

TPID kota/kabupaten (bukan merupakan daerah perhitungan inflasi). Masih terkendalinya inflasi di berbagai

daerah di Kalimantan, salah satunya merupakan hasil dari koordinasi yang dilakukan oleh TPID secara lintas

pemerintah, instansi, pelaku usaha dan Bank Indonesia. Koordinasi yang dilakukan terutama terkait dengan

pengendalian inflasi pada event musiman, khususnya pelaksanaan bulan Ramadhan dan perayaan Idul Fitri.

Berbagai upaya koordinasi dilakukan untuk meredam tekanan harga, antara lain melalui pelaksanaan operasi

pasar/pasar murah, sosialisasi belanja bijak, pemberian prioritas sandar kapal di pelabuhan yang mengangkut

pasokan bahan makanan strategis dan BBM. Selain itu, di tengah kekhawatiran masyarakat terhadap rencana

kenaikan tarif LPG 12 kg, dan pengurangan pasokan BBM bersubsidi karena mulai habisnya kuota BBM

bersubsidi pada periode laporan, TPID di berbagai daerah di Kalimantan melakukan berbagai antisipasi untuk

meredam dampak dari kebijakan tersebut. Beberapa kegiatan TPID yang dilakukan dalam rangka menyikapi

beberapa kebijakan harga yaitu dengan mengeluarkan peraturan daerah untuk mengatur kuotasi dan

frekuensi pengisian BBM bersubsidi, pengaturan waktu antrian pengisian solar bersubsidi, mengajukan

penambahan kuota BBM besubsidi khususnya solar kepada BPH migas, dan memberikan prioritas pengisian

BBM bersubsidi bagi kendaraan angkut (Kalimantan Timur dan Kalimantan Tengah). Selain itu, TPID juga

merekomendasikan kepada pemerintah daerah untuk menetapkan harga eceran tertinggi (HET) untuk LPG 3

kg, sekaligus melakukan pengawasan distribusi dan konsumsi LPG 3 kg tersebut.

STABILITAS SISTEM KEUANGAN DAN PENGELOLAAN SISTEM PEMBAYARAN

Ketahanan Sektor Korporasi

Sampai dengan triwulan III 2014, ketahanan sektor korporasi di berbagai daerah di Kalimantan masih relatif

terjaga meski terdapat indikasi menurunnya kualitas kredit yang disalurkan. Penyaluran kredit korporasi di

wilayah ini masih menunjukkan pertumbuhan yang melambat dan pada akhir triwulan tumbuh hanya sebesar

6,6% (yoy) (Grafik II.2.9). Penyaluran kredit ke sektor pertambangan, konstruksi dan jasa dunia usaha bahkan

terkontraksi seiring dengan melambatnya investasi dan kondisi finansial perusahaan batubara skala kecil-

menengah yang belum pulih. Meski demikian, penyaluran kredit ke sektor PHR dan sektor pertanian yang

memiliki pangsa masing-masing sebesar 35,9% dan 19,9% masih menunjukkan pertumbuhan yang positif. Di

akhir triwulan III 2014, pertumbuhan kredit sektor PHR mencapai 13,0% (yoy) dan kredit sektor pertanian

mencapai 8,3% (yoy). Dari sisi kualitas kredit, nonperforming loan (NPL) sektor korporasi di Wilayah

Kalimantan meningkat dari 2,4% pada triwulan II 2014 menjadi 2,6% pada akhir triwulan III 2014. Secara

sektoral hampir semua sektor masih memiliki nonperforming loan (NPL) dibawah 5%, kecuali di sektor

konstruksi dan pengangkutan (Grafik II.2.10).

L a p o r a n N u s a n t a r a | 3 0

-20,0

0,0

20,0

40,0

60,0

80,0

100,0

120,0

1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9

2012 2013 2014

gPertanian gTambang gIndustri gPHR gKonstruksi

%,yoy

0%

2%

4%

6%

8%

10%

12%

14%

16%

1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9

2012 2013 2014

Pertanian Tambang Industri Konstruksi PHR

Grafik II.2.9 Pertumbuhan Kredit Kalimantan Grafik II.2.10 NPL Kredit Perbankan Kalimantan

Ketahanan Sektor Rumah Tangga

Penyaluran kredit rumah tangga (konsumsi) di Kalimantan triwulan III 2014 tumbuh melambat dari 12,7% (yoy)

menjadi 9,0% (yoy). Perlambatan tersebut terutama terjadi pada kredit perumahan terutama pada tipe 70 ke

bawah. Meskipun demikian, terjadi peningkatan pada volume kredit dari sebesar Rp53,6 triliun di triwulan II

2014 menjadi Rp54,6 triliun. Secara umum risiko kredit masih berada dalam batas aman dengan NPL sebesar

1,82%. Risiko kredit diperkirakan akan meningkat seiring dengan perlambatan konsumsi di triwulan mendatang

terutama karena penghasilan yang menurun. Penurunan penghasilan yang disertai terjadinya peningkatan

risiko inflasi dari kenaikan Tarif Tegangan Listrik (TTL), kenaikan harga LPG 3 kg dan rencana kenaikan BBM

dapat megurangi kemampuan rumah tangga dalam melakukan pembayaran kreditnya.

Pembiayaan Sektor Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM)

Kredit untuk Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) pada triwulan III 2014 juga menunjukkan adanya

perlambatan yaitu dari 17,3% (yoy) di triwulan II 2014 menjadi 11,2% (yoy). Secara sektoral, penurunan

kinerja penyaluran kredit UMKM terutama ditopang oleh menurunnya realisasi kredit UMKM pada sektor

perdagangan hotel restoran (PHR) yang tumbuh sebesar 12,1% (yoy), lebih rendah dari triwulan sebelumnya

yaitu sebesar 13,6% (yoy). Melambatnya penyaluran kredit UMKM menjadi perhatian Bank Indonesia yang

secara aktif turut serta melakukan kegiatan pemberdayaan UMKM melalui pengembangan klaster di

Kalimantan. Pada triwulan III 2014, Bank Indonesia berbagai program yang meliputi pengembangan klaster

rumput laut, cabai merah, sarung tenun di Kalimantan Timur, sapi pedaging, padi unggul dan bawang merah di

Kalimantan Selatan, kerajinan bidai dan anyaman rotan di Kalimantan Barat, dan klaster bawang merah, cabai

merah, padi unggul di Kalimantan Tengah. Selain itu dilakukan juga penandatanganan MoU antara Kabupaten

Barito Kuala (Kalimantan Selatan) dengan Kabupaten Tanah Laut (Kalimantan Selatan) dalam rangka kerjasama

klaster sapi dan klaster padi. KPw BI Wilayah II (Kalimantan) juga secara khusus mempersiapkan UMKM di

Kalimantan Selatan untuk menghadapi Komunitas Ekonomi ASEAN (KEA) 2015 terutama dalam rangka

meningkatkan kompetensi SDM. Berbagai kegiatan di sektor UMKM tersebut, diharapkan dapat memberikan

aksesibilitas UMKM pada lembaga pembiayaan.

Kinerja Sistem Pembayaran

Perkembangan kliring di Wilayah Kalimantan pada triwulan III 2014 secara umum mengalami peningkatan.

Volume transaksi kliring pada triwulan III 2014 tercatat mencapai Rp22,8 triliun atau meningkat 4,08% apabila

dibandingkan dengan triwulan sebelumnya yang mencapai Rp21,8 triliun. Hal tersebut disebabkan oleh

dampak dari aktivitas konsumsi pada bulan Ramadhan dan Hari Besar Keagamaan (Idul Fitri 1435 H) yang

semakin meningkat. Sejalan dengan kegiatan kliring, transaksi non tunai melalui BI-Real Time Gross Settlement

(RTGS) di Wilayah Kalimantan pada triwulan III 2014 juga meningkat. Pada triwulan tersebut total transaksi

RTGS Wilayah Kalimantan tercatat sebesar Rp89,2 miliar dengan komposisi RTGS dari Kalimantan ke luar

Wilayah Kalimantan sebesar Rp43,7 miliar dan transaksi yang masuk dari luar Wilayah Kalimantan sebesar

L a p o r a n N u s a n t a r a | 3 1

Rp33,03 miliar. Hal ini sejalan dengan perkembangan ekspor yang membaik terutama untuk komoditas

batubara dan CPO.

Kinerja Pengelolaan Uang Tunai

Pengelolaan uang tunai di Kalimantan pada triwulan III 2014 masih mengalami Net Outflow apabila

dibandingkan triwulan II 2014. Kegiatan pengelolaan uang tunai Bank Indonesia di Wilayah Kalimantan pada

triwulan III 2014 mencatat inflow sebesar Rp8,5 triliun, atau meningkat sebesar 67% jika dibandingkan triwulan

II 2014. Namun, disisi outflow juga terjadi kenaikan signifikan dari Rp8,2 trilliun menjadi Rp12,1 triliun.

Peningkatan di kedua sisi outflow dan inflow di Wilayah Kalimantan menyebabkan terjadinya net flow negatif

(net-outflow) sebesar Rp3,5 triliun pada triwulan III 2014. Sementara itu, temuan uang kertas palsu mengalami

penurunan yang sangat signifikan yaitu sebanyak 365 lembar pada triwulan III 2014, dari sebanyak 1.178

lembar jika dibandingkan triwulan sebelumnya. Berdasarkan provinsi, Kalimantan Timur dan Kalimantan Barat

menerima temuan uang palsu terbanyak pada triwulan laporan yaitu masing-masing 218 lembar dan 162

lembar. Penurunan jumlah uang palsu ini menggambarkan cukup efektifnya kegiatan sosialisasi ciri-ciri

Keaslian Uang Rupiah Bank Indonesia di Wilayah Kalimantan dan didukung oleh penignkatan kinerja kepolisian

dalam memberantas tren uang palsu yang beredar.

PROSPEK PEREKONOMIAN

Prospek Pertumbuhan Ekonomi

Secara umum, kinerja perekonomian Kalimantan di tahun 2015 diprakirakan kembali meningkat dan tumbuh

pada kisaran 3,5% - 3,9% (yoy). Peningkatan terutama terjadi di Kalimantan Selatan, Kalimantan Barat dan

Kalimantan Tengah. Faktor yang mendorong peningkatan terutama berasal dari peningkatan di sektor

pertanian terutama subsektor perkebunan kelapa sawit, perbaikan sektor pertambangan, peningkatan

investasi dan membaiknya ekspor. Peningkatan kinerja perkebunan kelapa sawit terutama didorong oleh mulai

berproduksinya lahan-lahan yang dibuka 3 – 5 tahun sebelumnya. Sementara itu, smelter alumina di

Kalimantan Barat yang diperkirakan beroperasi penuh di tahun 2015 meningkatkan kinerja pertambangaan

mineral. Di sisi lain, pertambangan batubara diperkirakan masih mengalami konsolidasi berkaitan dengan

pergeseran ekspor batubara ke Tiongkok menjadi ekspor ke India. Konsolidasi pasar batubara juga terjadi

antara peningkatan penggunaan batubara domestik dan mengurangi ketergantungan ekspor batubara. Pada

sisi investasi, kegiatan pembangunan proyek-proyek yang terkait dengan kemaritiman dan hilirisasi

diperkirakan akan semakin besar terutama dalam pembangunan pelabuhan dan industri produk turunan CPO.

Meski demikian, terdapat faktor risiko yang berpotensi menekan laju pertumbuhan tahun 2015. Kondisi

kemarau yang lebih lama di akhir tahun 2014 dapat mempengaruhi pertumbuhan tanaman padi. Di sisi lain,

terdapat beberapa kebijakan negara-negara mitra dagang terkait dengan lingkungan dapat menyebabkan

penurunan permintaan batubara dari Kalimantan.

Prospek Inflasi

Secara keseluruhan, tingkat inflasi tahunan di Wilayah Kalimantan pada tahun 2015 diperkirakan tetap

terkendali pada kisaran 4,6% - 5,0% (yoy). Terkendalinya inflasi didukung oleh perkiraan terjaganya pasokan

pangan disertai minimalnya shock distribusi. Pemanfaatan lahan-lahan yang tidak terpakai untuk ditanami

dengan komoditas hortikultura strategis seperti bawang merah dan cabai merah diperkirakan mengurangi

kertergantungan Kalimantan terhadap pasokan dari Jawa. Koordinasi yang sudah dibangun antara TPID

Provinsi dengan TPID Kabupaten/Kota di tahun 2014 diperkirakan akan meninimalkan defisit pangan di suatu

daerah. Namun pada sisi lain, faktor risiko yang berpotensi memicu inflasi 2015 menjadi lebih tinggi dari

perkiraan terutama bersumber dari wacana kebijakan penyesuaian harga BBM bersubsidi yang masih belum

jelas (uncertainty timing). Pergeseran musim tanam dan cuaca yang lebih kering dapat menyebabkan

berkurangnya produksi pertanian dan dapat menambah tekanan inflasi dari sisi volatile food.

L a p o r a n N u s a n t a r a | 3 2

Tabel II.2.2. Prakiraan Pertumbuhan Ekonomi dan Inflasi Kalimantan

I II III IV Total I* II* III* IVP TotalP IP TotalP

PDRB (%,yoy) 4.8 2.9 3.5 3.8 3.8 3.5 3.8 3.3 3.9 3.3 3.6 3.3 - 3,7 3,5 - 3,9

Sisi Permintaan

Konsumsi 7.0 7.1 6.7 6.5 6.7 6.7 6.4 7.6 8.0 7.7 7.5 6,1 - 6,5 6,7 - 7,1

Konsumsi swasta 7.1 7.3 6.7 5.7 6.0 6.4 6.6 6.1 6.6 6.2 6.4 5,7 - 6,1 6,4 - 6,8

Konsumsi Pemerintah 6.5 6.6 6.5 9.2 8.8 7.8 5.9 12.7 12.9 12.2 11.1 7,4 - 7,8 7,6 - 8,0

Pembentukan Modal Tetap Bruto 9.8 7.9 6.4 5.7 5.9 6.5 5.4 12.7 7.6 7.1 8.2 8,6 - 9,0 7,0 - 7,4

Ekspor 3.0 4.7 3.9 7.1 4.3 5.0 (2.1) (4.8) (3.3) (3.8) (3.5) (3,8) - (3,4) (2,6) - (2,2)

Impor 8.7 8.7 7.4 13.0 8.7 9.4 (0.7) 0.2 (3.2) (3.2) (1.7) (4,9) - (4,5) (4,2) - (3,8)

Sisi Produksi

Sektor pertanian 4.4 2.6 5.7 3.9 6.4 4.6 5.0 3.0 2.0 2.9 3.2 3,5 - 3,9 4,0 - 4,4

Sektor pertambangan & penggalian 4.8 0.7 1.4 0.2 0.1 0.6 0.4 (0.6) 2.0 0.3 0.5 0,4 - 0,8 (0,1) - 0,3

Industri pengolahan (3.5) (3.1) (3.5) 0.9 (1.0) (1.7) 0.3 1.5 0.4 (0.2) 0.5 (0,1) - 0,3 0,0 - 0,4

Listrik, gas & air bersih 7.3 5.9 5.4 4.7 4.8 5.2 4.4 4.7 5.1 4.5 4.7 5,4 - 5,8 6,2 - 6,6

Bangunan 11.6 10.6 8.2 6.7 7.4 8.1 7.5 8.3 8.1 7.0 7.7 6,7 - 7,1 6,8 - 7,2

Perdagangan, hotel & restoran 8.2 5.2 6.6 7.2 6.8 6.5 6.6 5.9 6.2 5.8 6.1 6,0 - 6,4 7,2 - 7,6

Pengangkutan & komunikasi 9.2 7.4 7.4 8.2 8.2 7.8 7.8 7.7 8.0 7.4 7.7 6,5 - 6,9 6,6 - 7,0

Keuangan, persewaan dan jasa perush. 12.6 13.1 12.1 10.0 9.2 11.0 9.4 9.2 8.9 9.1 9.2 8,6 - 9,0 9,0 - 9,4

Jasa-jasa 8.5 7.6 6.6 8.9 8.4 7.9 7.8 6.4 8.4 6.9 7.4 7,5 - 7,9 7,0 - 7,4

Inflasi IHK (%,yoy) 5.83 5.98 6.34 8.43 8.56 8.56 7.31 7.57 5.00 5.49 5.49 5,7 - 6,1 4,6 - 5,0

Sumber: Badan Pusat Statistik, diolah

* angka sementarap proyeks i Bank Indones ia

201520142013Pertumbuhan Ekonomi dan Inflasi

Wilayah2012

L a p o r a n N u s a n t a r a | 3 3

PERTUMBUHAN EKONOMI

Perekonomian berbagai daerah di wilayah Bali dan Nusa Tenggara (Bali-Nustra) pada triwulan III 2014 secara

agregat masih tumbuh melambat dari 5,0% menjadi 3,4% (yoy). Melambatnya kinerja perekonomian wilayah

ini terutama disebabkan oleh Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) yang mengalami kontraksi pertumbuhan

cukup dalam. Di sisi lain, ekonomi Nusa Tenggara Timur (NTT) tumbuh relatif stabil dan Bali mengalami

peningkatan. Kondisi ini dipengaruhi oleh melemahnya konsumsi rumah tangga disertai pertumbuhan

konsumsi pemerintah yang melambat cukup dalam. Pendapatan masyarakat yang cenderung melemah terkait

dengan menurunnya aktivitas di sektor pertambangan dan pertanian, serta di sektor perdagangan, hotel, dan

restoran yang berdampak pada melambatnya kinerja konsumsi rumah tangga secara keseluruhan. Sementara

itu, penyerapan anggaran belanja daerah yang cenderung masih rendah menyebabkan perannya yang

terbatas dalam menstimulus perekonomian. Di sisi lain, kinerja ekspor yang masih cukup kuat diperkirakan

lebih ditopang oleh perdagangan antar daerah ditengah masih menurunnya ekspor luar negeri sebagai

dampak dari penyesuaian pelaku usaha terhadap kebijakan pengaturan ekspor mineral.

Memasuki triwulan IV 2014, perekonomian wilayah Bali-Nustra terindikasi mulai menunjukkan perbaikan

dibandingkan dengan beberapa triwulan sebelumnya dan berpotensi dapat tumbuh sebesar 5,3% (yoy). Hal ini

didukung oleh perkiraan membaiknya kembali kinerja ekspor luar negeri seiring dengan telah mulai dapat

dilakukannya ekspor mineral oleh penambang besar di Nusa Tenggara Barat. Konsumsi diperkirakan juga

meningkat dengan masuknya musim liburan akhir tahun serta perayaan beberapa hari besar keagamaan

seperti Hari Raya Galungan dan Natal. Demikian halnya dengan konsumsi pemerintah yang akan meningkat

sebagaimana siklusnya penyerapan anggaran di akhir tahun. Untuk keseluruhan tahun 2014, perekonomian

Bali-Nustra diperkirakan tumbuh melambat dari 5,8% menjadi 4,7% (yoy). Melemahnya kinerja sektor

pertambangan dan bangunan menjadi sumber utama melambatnya pertumbuhan ekonomi secara

keseluruhan. Penyesuaian yang dilakukan oleh pelaku usaha terhadap kebijakan ekspor mineral berpengaruh

besar pada melambatnya kinerja ekspor wilayah ini disepanjang tahun 2014. Kondisi ini juga berpengaruh

terhadap realisasi investasi investasi yang tumbuh melambat di tahun 2014.

Konsumsi

Konsumsi Rumah Tangga

Konsumsi rumah tangga triwulan III 2014 kembali tumbuh melambat dibandingkan triwulan sebelumnya.

Pertumbuhan konsumsi rumah tangga melambat dari 4,9% menjadi 4,3% (yoy). Melambatnya pertumbuhan

konsumsi rumah tangga diperkirakan terkait dengan melemahnya aktivitas di sektor pertambangan dan di

sektor pertanian. Kondisi ini juga tercermin dari penurunan Indeks Tendensi Konsumen (ITK) Bali-Nustra dari

112,2 menjadi 111,0 (Grafik II.3.1). Meski demikian, pertumbuhan kredit konsumsi masih relatif terjaga

sebesar 15,5% (yoy), dengan nominal kredit sebesar Rp 47,2 triliun (Grafik II.3.2).

Pada triwulan IV 2014, pertumbuhan konsumsi rumah tangga diperkirakan mengalami peningkatan

dibandingkan triwulan sebelumnya. Konsumsi rumah tangga diperkirakan tumbuh sebesar 5,3% (yoy).

Pertumbuhan jumlah kunjungan wisatawan mancanegara (wisman) akhir tahun seiring masuknya musim

liburan akhir tahun diperkirakan akan meningkatkan pertumbuhan konsumsi rumah tangga. Selain itu,

masuknya beberapa hari raya keagamaan seperti Hari Raya Galungan dan Natal diperkirakan juga akan

mendorong pertumbuhan konsumsi masyarakat di wilayah Bali-Nustra. Mulai kembali meningkatnya aktivitas

L a p o r a n N u s a n t a r a | 3 4

di sektor pertambangan seiring dengan dapat kembali dilakukannya ekspor mineral diperkirakan dapat

mendorong perbaikan konsumsi rumah tangal lebih lanjut.

112.18

111.02

96

100

104

108

112

116

120

I II III IV I II III IV I II III IV I II III

2011 2012 2013 2014

ITK Bali-Nustra Bali NTB NTT

Indeks

0

5

10

15

20

25

30

35

40

45

0

5

10

15

20

25

30

35

40

45

I II III IV I II III IV I II III IV I II III

2011 2012 2013 2014

Kredit Konsumsi g Kredit Konsumsi (skala kanan)

Rp Triliun %, yoy

Sumber: Badan Pusat Statistik, diolah

Grafik II.3.1. Indeks Tendensi Konsumen Grafik II.3.2. Penyaluran Kredit Konsumsi

Konsumsi Pemerintah

Konsumsi pemerintah di berbagai daerah di wilayah Bali-Nustra triwulan III 2014 secara agregat tumbuh

melambat dari 3,7% menjadi 2,3% (yoy). Perlambatan yang cukup dalam dari konsumsi pemerintah terkait

dengan belum optimalnya penyerapan anggaran hingga triwulan III 2014 jika dibandingkan periode yang sama

tahun sebelumnya (Tabel II.3.1). Berdasarkan data tersebut, terlihat bahwa realisasi belanja daerah termasuk

belanja modal di dalamnya masih relatif rendah. Masih rendahnya realisasi belanja modal menunjukkan

bahwa realisasi anggaran untuk mendorong kegiatan pembangunan masih relatif terbatas hingga triwulan III

2014.

Mencermati perkembangan tersebut, untuk triwulan berjalan, pertumbuhan konsumsi pemerintah

diperkirakan meningkat sebesar 6,6% (yoy). Peningkatan diperkirakan terjadi di hampir seluruh provinsi di

wilayah Bali-Nustra. Masih terbatasnya realisasi anggaran hingga triwulan III 2014 diperkirakan akan

mendorong pertumbuhan konsumsi pemerintah di akhir tahun.

Tabel II.3.1. Realisasi APBD Bali-Nustra Triwulan II

2013 2014 2013 2014 2013 2014

Pendapatan Daerah 85.1 83.9 70.0 68.6 79.4 75.5

Pendapatan Pajak Daerah 93.5 87.2 74.7 64.7 68.9 60.7

Belanja Daerah 49.2 55.9 61.0 55.4 63.6 57.0

Belanja Modal 31.6 25.4 47.0 33.6 35.3 29.3

Realisasi Provinsi Bali Tw III (%) Realisasi Provinsi NTB Tw III (%) Realisasi Provinsi NTT Tw III (%)Item

Sumber: Biro Keuangan Pemerintah Provinsi Bali, NTB, NTT, diolah

Investasi

Di tengah melambatnya aktivitas di sektor utama, perkembangan investasi kembali dapat menunjukkan

pertumbuhan yang lebih baik yakni sebesar 7,6% (yoy), setelah pada triwulan sebelumnya mengalami

kontraksi sebesar 0,8% (yoy). Peningkatan pertumbuhan tersebut terjadi di seluruh provinsi di wilayah Bali-

Nustra terutama didorong oleh investasi bangunan sebagaimana tercermin dari kinerja sektor konstruksi yang

meningkat. Di Bali, penyelesaian terminal penumpang domestik Bandara Ngurah Rai pada September 2014,

pembangunan PLTP Bedugul (10MW) dan beberapa PLTU di daerah lain, penambahan dermaga di Gilimanuk,

serta perbaikan jalan menjelang Lebaran mendorong pertumbuhan investasi triwulan III 2014. Sementara di

NTB, pengembangan Kawasan Wisata Mandalika di Lombok Tengah, pengerjaan bypass BIL dan Bendungan

Rababakka, serta penyelesaian Bendungan Pandan Duri diperkirakan ikut mendorong pertumbuhan investasi

triwulan III 2014. Peningkatan investasi tersebut ditunjukkan oleh peningkatan impor barang modal khususnya

L a p o r a n N u s a n t a r a | 3 5

pada bulan Juli dan September 2014 (Grafik II.3.3). Berdasarkan data PMA dari BKPM, investasi di wilayah Bali-

Nustra cenderung didominasi oleh investor asal Australia, Perancis, dan Jepang (Grafik II.3.4).

Pada triwulan IV 2014, pertumbuhan investasi diperkirakan cenderung kembali tumbuh melambat. Investasi

Bali-Nustra triwulan IV 2014 diperkirakan tumbuh sebesar 2,9% (yoy). Perlambatan tersebut diperkirakan

terjadi di Bali, NTB, maupun di NTT. Di NTT, pertumbuhan investasi cenderung justru masih masih tertahan.

Selain itu, melambatnya pertumbuhan investasi provinsi NTB, lebih disebabkan oleh faktor base effect terkait

tingginya realisasi investasi non-bangunan pada triwulan yang sama tahun sebelumnya dalam rangka

mengakselerasi produksi tambang. Pertumbuhan investasi di provinsi Bali diperkirakan juga tumbuh melambat

seiring telah rampungnya beberapa proyek-proyek infrastruktur berskala besar pada triwulan sebelumnya.

Perkiraan melambanya kinerja investasi juga terindikasi dari pertumbuhan kredit investasi serta penjualan

semen Bali-Nustra yang cenderung menunjukkan perlambatan.

-200

0

200

400

600

800

1,000

1,200

1,400

0

10

20

30

40

50

60

70

1 3 5 7 9 11 1 3 5 7 9 11 1 3 5 7 9

2012 2013 2014

Capital Goods g Capital Goods (skala kanan)

Juta USD %, yoy

Australia20%

Perancis12%

Jepang8%

US6%

Singapura6%

Jerman5%

UK4%

Korsel4%

Hong Kong4%

Belanda3%

Rusia3%

Swiss4%

Kanada2%

Spanyol2%

Lainnya17%

Sumber: Badan Koordinasi Penanaman Modal, diolah

Grafik II.3.3. Perkembangan Impor Barang Modal Grafik II.3.4. Sumber PMA Triwulan III 2014

Perdagangan Luar Negeri

Ekspor

Kinerja ekspor luar negeri Bali-Nustra triwulan III 2014 secara total masih tercatat mengalami kontraksi

sebesar 31,6% (yoy), meski sedikit lebih baik dibandingkan kontraksi yang terjadi di triwulan sebelumnya yang

sebesar 44,9% (yoy). (Grafik II.3.5). Masih turunnya kinerja ekspor terutama dipengaruhi oleh penyesuaian

pelaku usaha tambang terkait penerapan kebijakan pengaturan ekspor mineral. Namun, pada akhir triwulan

laporan ekspor komoditas mineral kembali dapat dilakukan setelah dicapainya kesepakatan antara pelaku

usaha dengan pemerintah. Jumlah realisasi ekspor tembaga pada September 2014 tercatat mencapai 34 ribu

ton (Grafik II.3.6).

Memasuki triwulan IV 2014, kinerja ekspor Bali-Nustra diperkirakan terus akan kembali meningkat. Hal ini

terutama didiukung oleh perkiraan ekspor tembaga yang semakin meningkat pada bulan Oktober – Desember

2014 seiring dengan telah diperolehnya izin ekspor sejak akhir triwulan III 2014. Selain itu, ekspor pakaian jadi

yang memiliki pangsa terbesar dalam total ekspor Bali-Nustra diharapkan berangsur-angsur mulai

menunjukkan perbaikan, seiring dengan proyeksi membaiknya perekonomian Amerika Serikat yang

merupakan negara tujuan ekspor pakaian jadi dari Bali-Nustra. Namun terkait ekspor komoditas perikanan,

potensi gangguan cuaca di akhir tahun diperkirakan menjadi faktor risiko yang berpotensi menahan perbaikan

kinerja ekspor Bali-Nustra lebih lanjut.

L a p o r a n N u s a n t a r a | 3 6

(60)

(50)

(40)

(30)

(20)

(10)

0

10

20

30

40

0

100

200

300

400

500

600

700

I II III IV I II III IV I II III IV I II III

2011 2012 2013 2014

Nilai Ekspor Bali-Nustra growth Ekspor (skala kanan)

Juta USD %, yoy

(20,000,000)

-

20,000,000

40,000,000

60,000,000

80,000,000

100,000,000

120,000,000

-

10,000

20,000

30,000

40,000

50,000

60,000

70,000

1 3 5 7 9 11 1 3 5 8 10 12 2 4 6 8

2012 2013 2014

Domestik Ekspor Nilai Barang (skala kanan)

Grafik II.3.5. Perkembangan Nilai Ekspor Grafik II.3.6. Ekspor Konsentrat Tembaga

Impor

Sejalan dengan perkembangan investasi yang kembali membaik, impor Bali-Nustra triwulan III 2014 juga

tumbuh menigkat (Grafik II.3.7). Berdasarkan pangsanya, sepanjang tahun 2014, impor Bali-Nustra didominasi

oleh impor barang modal (capital goods) dan bahan mentah (raw material), yang masing-masing memiliki

pangsa sebesar 64% dan 29% terhadap total impor Bali-Nustra. Peningkatan impor tersebut terutama

didorong oleh peningkatan impor barang modal pada bulan Juli dan September 2014 (Grafik II.3.8). Impor

yang menunjukkan peningkatan sejalan dengan realisasi pertumbuhan investasi dan sektor bangunan yang

juga meningkat pada triwulan tersebut seiring dengan meningkatnya pembangunan dan penyelesaian proyek

pada triwulan III 2014.

Untuk triwulan IV 2014, pertumbuhan impor luar negeri diperkirakan mengalami perlambatan dibandingkan

dengan triwulan sebelumnya. Perlambatan tersebut juga sejalan dengan pertumbuhan investasi yang

diperkirakan mengalami perlambatan pada triwulan berjalan. Impor yang tumbuh melambat diperkirakan

terjadi khususnya di provinsi NTT. Progress MP3EI yang cenderung stagnan/melambat diantaranya

pembangunan industri garam di Teluk Kupang diperkirakan mendorong perlambatan pertumbuhan investasi

triwulan IV 2014, khususnya pada impor bahan mentah maupun impor barang modal.

Nilai Impor Bali-Nustra g nilai impor (skala kanan)

Juta USD

-200

-100

0

100

200

300

400

500

600

700

800

1 3 5 7 9 11 1 3 5 7 9 11 1 3 5 7 9

2012 2013 2014

g consumption g raw material g capital goods%, yoy

Grafik II.3.7. Perkembangan Nilai Impor Grafik II.3.8. Impor menurut Penggunaan

Kinerja Sektor Utama Daerah

Sektor Perdagangan, Hotel, dan Restoran (PHR)

Pertumbuhan sektor PHR triwulan III 2014 menunjukkan sedikit peningkatan dari 7,9% menjadi 8,0% (yoy)

pada triwulan III 2014. Peningkatan pertumbuhan sektor PHR terjadi di provinsi NTB dan NTT, sedangkan

pertumbuhan sektor PHR di provinsi Bali cenderung melambat. Kunjungan wisatawan ke NTB hingga

September 2014 masih menunjukkan adanya peningkatan yang ditunjukkan oleh tingkat penghunian kamar

maupun jumlah kunjungan wisman. Berdasarkan hasil liaison, sebagian besar hotel di Senggigi menunjukkan

terjadinya peningkatan jumlah kunjungan wisman asal Australia seiring dibukanya rute penerbangan langsung

L a p o r a n N u s a n t a r a | 3 7

Perth – Lombok. Dari sisi perdagangan, berdasarkan hasil liaison, penjualan kendaraan bermotor juga masih

menunjukkan trend peningkatan yang cukup besar. Hasil Survei Kegiatan Dunia Usaha (SKDU) wilayah Bali-

Nustra juga menunjukkan adanya peningkatan kegiatan usaha di sektor PHR pada triwulan III 2014 (Grafik

II.3.9). Di sisi lain, pertumbuhan sektor PHR di provinsi Bali menunjukkan perlambatan sehingga menahan

peningkatan kinerja pertumbuhan sektor PHR di wilayah Bali-Nustra lebih lanjut (Grafik II.3.10).

Pada triwulan IV 2014, sektor PHR diperkirakan tumbuh melambat sebesar 6,5% (yoy). Sesuai dengan polanya,

pertumbuhan sektor PHR cenderung mengalami perlambatan pada akhir tahun. Kinerja subsektor

perdagangan diperkirakan mengalami perlambatan pada triwulan IV 2014. Berdasarkan hasil Survei Penjualan

Eceran (SPE), SPE provinsi NTT pada Oktober 2014, menunjukkan adanya penurunan omzet penjualan pada

hampir semua kelompok barang. Namun penurunan total penjualan tersebut diperkirakan akan kembali

meningkat menjelang Hari Raya Natal dan Tahun Baru. Selain itu, data bongkar muat dan kapal sandar

Pelabuhan Tenau juga menunjukkan adanya penurunan aktivitas pada Oktober 2014.

-40.00

-30.00

-20.00

-10.00

0.00

10.00

20.00

30.00

40.00

50.00

I II III IV I II III IV I II III IV I II III

2011 2012 2013 2014

SBT (%)

(5)

0

5

10

15

20

25

0

200

400

600

800

1,000

1,200

I II III IV I II III IV I II III IV I II III

2011 2012 2013 2014

% y

oy

Rib

u o

ran

g

Jumlah wisman g Jumlah Wisman (skala kanan)

Sumber: Dinas Pariwisata Provinsi Bali, diolah

Grafik II.3.9. Hasil SKDU – Sektor PHR Grafik II.3.10. Jumlah Kunjungan Wisman ke Bali

Sektor Pertanian

Pertumbuhan sektor pertanian triwulan III 2014 kembali menunjukkan perlambatan dari 1,8% menjadi 1,5%

(yoy). Perlambatan tersebut terjadi di NTB dan NTT, sedangkan pertumbuhan sektor pertanian provinsi Bali

masih mengalami peningkatan. Kekeringan lahan seluas ratusan hektar di NTB berdampak pada penurunan

produksi pertanian. Selain itu, kekeringan yang terjadi di daerah-daerah sentra produksi padi di NTT seperti

Manggarai Barat, Manggarai, Nagekeo, Malaka, Betun, serta Belu menyebabkan gagal panen di beberapa

daerah tersebut. Subsektor perkebunan di NTT pun tumbuh melambat dikarenakan perkebunan jambu mete

dan kopi yang mayoritas berada di Pulau Flores dan Pulau Sumba mayoritas sudah selesai panen.

Memasuki triwulan IV 2014, pertumbuhan sektor pertanian diperkirakan kembali membaik sebesar 2,6%

(yoy). Di NTB, telah dilakukannya pengisian dan peresmian waduk pandan duri pada pertengahan Oktober

2014 diperkirakan akan mendorong perbaikan kinerja produksi pertanian. Waduk pandan duri tersebut dapat

menampung air hingga 27 juta meter kubik dan mampu mengairi lahan hingga mencapai 5.200 hektar lahan.

Selain itu, produksi sapi diperkirakan juga akan mengalami peningkatan, meski terkendala dengan pembatasan

penjualan sapi antar pulau yang hampir memenuhi kuota tahun ini sebanyak 60 ribu ekor per tahun. Selain itu,

faktor risiko seperti kondisi cuaca yang kurang kondusif mungkin memberikan pengaruh di akhir tahun

sehingga berpotensi mengganggu kinerja sektor pertanian, baik subsektor tabama maupun perikanan.

Sektor Pertambangan dan Penggalian

Pertumbuhan sektor pertambangan dan penggalian masih mengalami kontraksi pada triwulan III 2014.

Kontraksi pertumbuhan sektor pertambangan semakin dalam dari kontraksi 8,2% menjadi kontraksi sebesar

46,4% (yoy). Kontraksi yang semakin dalam tersebut dipicu oleh kegiatan pertambangan yang belum pulih

serta belum adanya kegiatan produksi pada triwulan III 2014. Pengiriman ekspor yang dilakukan pada

L a p o r a n N u s a n t a r a | 3 8

September 2014 sebagian besar menggunakan stok yang masih tersisa dari beberapa periode sebelumnya.

Harga konsentrat tembaga juga cenderung mengalami penurunan pada bulan September 2014.

Pada triwulan IV 2014, kinerja sektor pertambangan diperkirakan mulai menunjukkan perbaikan. Hal ini terkait

dengan mulai kembali normalnya aktivitas produksi tambang tembaga pasca diterbitkannya izin ekspor

mineral. Seluruh karyawan dipanggil untuk bekerja kembali sejak bulan September dan akan mulai efektif

berjalan normal kembali pada Oktober 2014. Pada Oktober 2014, produsen utama tembaga NTB juga telah

melakukan produksi konsentrat tembaga dengan hasil produksi sebesar 1.000 – 1.500 ton per hektar lahan

galian. Diharapkan pada bulan November produsen utama tembaga NTB sudah dapat kembali beroperasi

dalam kondisi normal.

PERKEMBANGAN INFLASI

Inflasi wilayah Bali-Nustra pada triwulan III 2014 melandai dibandingkan dengan triwulan II 2014. Penurunan

tekanan inflasi terjadi di seluruh provinsi di wilayah Bali-Nustra yang terutama bersumber dari kelompok

administered price seiring dengan hilangnya dampak kenaikan BBM bersubsidi (faktor base effect). Di samping

itu, trend penurunan tekanan inflasi kelompok core inflation masih terus berlanjut seiring dengan

melambatnya perekonomian Bali-Nustra. Di sisi lain, tekanan inflasi pangan di akhir triwulan laporan

cenderung kembali meningkat terkait dengan produksi di sektor pertanian yang cenderung menurun akibat

gagal panen di sejumlah daerah sentra produksi.

Memasuki triwulan IV 2014, tekanan inflasi diperkirakan cenderung kembali meningkat meski masih dalam

intensitas yang terkendali. Hal ini terindikasi dari realisasi inflasi Oktober 2014 yang menunjukkan adanya

kecenderungan yang meningkat. Tekanan inflasi Bali-Nustra pada Oktober 2014 tercatat sebesar 5,02% (yoy).

Kenaikan tekanan inflasi terutama bersumber dari dampak kenaikan bahan bakar rumah tangga serta tarif

tenaga listrik, serta kenaikan tarif angkutan udara. Meski demikan, beberapa faktor risiko masih perlu

dicermati karena potensinya yang cukup besar memengaruhi keseluruhan inflasi berbagai daerah di Bali-

Nustra. Potensi risiko terutama bersumber dari kenaikan harga energi (tarif tenaga listrik) dan terkait rencana

kenaikan harga BBM bersubsidi. Rencana kenaikan harga BBM bersubsidi diperkirakan akan meningkatkan

ekspektasi masyarakat yang berpengaruh pada kenaikan harga barang dan jasa di triwulan IV 2014. Meskipun

diperkirakan melandai dibandingkan tahun sebelumnya, risiko tekanan inflasi komponen volatile foods masih

cukup tinggi. Dari sisi supply, anomali cuaca masih menjadi faktor risiko terganggunya produksi dan distribusi

bahan makanan. Dari sisi demand, diperkirakan akan terjadi kenaikan permintaan komoditas volatile food

seiring dengan perayaan Hari Raya Keagamaan. Sementara itu, upward risk komponen administered price

diperkirakan terutama bersumber dari rencana kenaikan harga BBM bersubsidi serta peningkatan harga tiket

angkutan udara.

0.00

2.00

4.00

6.00

8.00

10.00

12.00

14.00

I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I II III IVP

2009 2010 2011 2012 2013 2014

Bali-Nustra Bali NTB NTT

0

2

4

6

8

10

12

14

16

18

I II III IV I II III IV I II III IV I II III Okt

2011 2012 2013 2014

UMUM core inflation administered price volatile food

Sumber: Badan Pusat Statistik, diolah Sumber: Badan Pusat Statistik, diolah

Grafik II.3.11. Perkembangan Inflasi Bali-Nustra Grafik II.3.12. Disagregasi Inflasi Bali-Nustra

L a p o r a n N u s a n t a r a | 3 9

Koordinasi Pengendalian Inflasi

Sebagai wadah dan sarana untuk mengendalikan inflasi, Tim Pengendalian Inflasi Daerah (TPID) di wilayah

Bali-Nustra secara konsisten terus melakukan peningkatan upaya nyata dalam menjaga stabilitas harga barang

dan jasa di daerah. Upaya penguatan koordinasi dilakukan melalui Rapat Koordinasi Wilayah (Rakorwil) di

provinsi NTB. Rakorwil merumuskan kesepakatan langkah-langkah kolaboratif pengendalian inflasi

berdasarkan lima pilar TPID (Produksi & Distribusi, Kelembagaan, Regulasi, Edukasi, serta Kajian). Selain itu,

target inflasi di masing-masing provinsi juga dirumuskan sehingga dapat mendukung pencapaian inflasi

nasional. Dalam rangka mengantisipasi besarnya tekanan inflasi pada triwulan III 2014, TPID Bali-Nustra secara

berkesinambungan melaksanakan langkah 4K (Ketersediaan pasokan, Keterjangkauan harga, Kelancaran

distribusi, dan Komunikasi). Beberapa kegiatan yang telah dilaksanakan diantaranya inspeksi mendadak ke

berbagai pasar modern dan tradisional, gudang distributor dan gudang BULOG; peningkatan infrastruktur

perhubungan; pasar murah serta kegiatan komunikasi dengan masyarakat melalui media massa dalam rangka

menjaga ekspektasi masyarakat.

STABILITAS SISTEM KEUANGAN DAN PENGELOLAAN SISTEM PEMBAYARAN

Ketahanan Sektor Korporasi

Seiring dengan perlambatan laju pertumbuhan ekonomi pada triwulan III 2014, kinerja pembiayaan perbankan

di wilayah Bali-Nustra juga turut mengalami perlambatan. Kecenderungan perlambatan penyaluran kredit Bali-

Nustra terjadi di seluruh provinsi baik Bali, NTB, maupun NTT (Grafik II.3.13). Hasil liaison kepada pelaku

usaha, penurunan kebutuhan kredit terjadi karena beberapa ketentuan usaha dianggap menghambat ekspansi

usaha, seperti permasalahan perizinan dan pengenaan pajak sebesar 1% dari omzet bagi UMKM. Perlambatan

penyaluran kredit pada triwulan III 2014 tercatat sebesar 15,7% (yoy), lebih rendah dibandingkan

pertumbuhan triwulan sebelumnya sebesar 17,0% (yoy). Namun adanya perlambatan tersebut memberikan

ruang bagi perbankan untuk memperbaiki kinerja kreditnya sehingga rasio nonperforming loan (NPL) turun

dari sebesar 1,7% menjadi 1,3%.

0

5

10

15

20

25

30

35

0102030405060708090

100

I II III IV I II III IV I II III IV I II III

2011 2012 2013 2014

Bali-Nustra Bali (skala kanan)

NTB (skala kanan) NTT (skala kanan)

(20)

(10)

-

10

20

30

40

50

60

70

80

90

1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9

2012 2013 2014

%, yoy

Konsumsi Perumahan Kendaraan

Grafik II.3.13. Penyaluran Kredit Bali-Nustra Grafik II.3.14. Kredit Sektor Rumah Tangga

Ketahanan Sektor Rumah Tangga

Pertumbuhan pembiayaan ke sektor rumah tangga juga memiliki kecenderungan yang melambat dari 14,6% di

akhir triwulan II 2014 menjadi 12,9% pada akhir triwulan III 2014. Perlambatan tersebut terjadi pada kredit

perumahan maupun kendaraan (Grafik II.3.14). Dari kualitasnya, kualitas penyaluran kredit pada sektor rumah

tangga atau kredit konsumsi cenderung menurun meski masih berada dalam level yang belum

mengkhawatirkan. Hal ini tercermin dari rasio NPL yang tercatat sedikit meningkat dari 0,70% pada triwulan

sebelumnya, menjadi 0,72% pada triwulan III 2014. Peningkatan NPL tersebut terutama terjadi pada kredit

yang disalurkan untuk tujuan multiguna. Hal tersebut diperkirakan terjadi akibat peningkatan suku bunga

kredit retail, dimana pola yang serupa terjadi pada kredit konsumsi.

L a p o r a n N u s a n t a r a | 4 0

Pembiayaan Sektor Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM)

Pertumbuhan kredit UMKM juga tercatat mengalami perlambatan dari 20,6% menjadi 19,8% (yoy).

Perlambatan pada kredit UMKM terutama terjadi pada kredit mikro dan menengah, sementara pertumbuhan

kredit untuk golongan debitur kecil cenderung meningkat (Grafik II.3.15). Namun perlambatan pertumbuhan

kredit UMKM tersebut tidak diikuti dengan perbaikan kualitas kredit sektor ini. Perkembangan NPL kredit

UMKM tercatat meningkat dari 1,7% menjadi 2,0%. Peningkatan risiko kredit UMKM terutama terjadi pada

kredit kelompok menengah yang tercatat meningkat dari sebesar 1,5% menjadi 2,1% (Grafik II.3.16).

Peningkatan risiko kredit pada kelompok debitur menengah meskipun masih belum mengkhawatirkan tetap

perlu dicermati lebih lanjut.

0

20

40

60

80

100

120

140

1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9

2012 2013 2014

%, yoy

UMKM Mikro Kecil Menengah

0

0.5

1

1.5

2

2.5

3

3.5

4

4.5

1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9

2012 2013 2014

%

UMKM Mikro Kecil Menengah

Grafik II.3.15. Perkembangan Kredit UMKM Grafik II.3.16. Perkembangan NPL Kredit UMKM

Kinerja Sistem Pembayaran

Seiring dengan perlambatan pertumbuhan ekonomi wilayah Bali dan Nusa Tenggara pada triwulan III 2014,

volume transaksi ekonomi di wilayah yang direpresentasikan oleh RTGS juga tercatat mengalami sedikit

penurunan. Volume transaksi RTGS triwulan III 2014 tercatat sebesar Rp 142,3 triliun (Grafik II.3.17).

Penurunan volume transaksi RTGS terjadi pada jenis transaksi RTGS keluar. Dilihat berdasarkan provinsinya,

penurunan volume transaksi RTGS terjadi di provinsi Bali dan NTB, sedangkan transaksi RTGS di NTT tercatat

meningkat.

Grafik II.3.17. Perkembangan RTGS Grafik II.3.18. Perkembangan Net Inflow-Outflow

Kinerja Pengelolaan Uang Tunai

Terkait kinerja pengelolaan uang tunai, sesuai dengan polanya, perkembangan peredaran uang pada triwulan

III 2014 didominasi oleh aliran outflow. Jumlah net outflow yang tercatat pada triwulan III 2014 mencapai Rp

1,9 triliun, lebih besar dibandingkan net outflow sebelumnya yang sebesar Rp 680 miliar atau meningkat

sebesar 173,7% (yoy) (Grafik II.3.18). Peningkatan transaksi outflow didorong oleh aktivitas ekonomi yang

dilakukan masyarakat seiring tahun ajaran baru sekolah dan perayaan Hari Raya Idul FItri sehingga mendorong

peningkatan kebutuhan uang kartal di masyarakat. Sementara itu, guna terus menekan peredaran uang palsu

L a p o r a n N u s a n t a r a | 4 1

Bank Indonesia secara konsisten melakukan edukasi mengenai ciri-ciri keaslian uang rupiah yang dilakukan

antara lain melalui layanan penukaran uang dan kegiatan kas keliling.

PROSPEK PEREKONOMIAN

Prospek Pertumbuhan Ekonomi

Pertumbuhan ekonomi Bali-Nustra pada tahun 2015, diperkirakan menunjukkan peningkatan dibandingkan

dengan tahun sebelumnya dan berada pada kisaran 6,3% - 6,8% (yoy). Pertumbuhan tersebut diperkirakan

didorong oleh kinerja sektor pertambangan yang mulai menunjukkan perbaikan seiring dengan diperolehnya

izin ekspor produsen utama tembaga NTB hingga pertengahan tahun 2015. Sejalan dengan hal tersebut,

pertumbuhan ekspor diperkirakan juga akan mengalami peningkatan. Dimulainya era pemerintahan baru,

diperkirakan akan mendorong pertumbuhan investasi di tahun 2015. Namun peningkatan pertumbuhan

tersebut masih dibayangi oleh beberapa tantangan dan risiko. Masih tingginya sumber pembiayaan investasi

diperkirakan masih akan menjadi faktor penghambat investasi di tahun 2015. Rencana kenaikan harga BBM

bersubsidi juga berpotensi menahan konsumsi masyarakat untuk golongan tertentu. Selain itu, kondisi cuaca

yang kurang baik juga dapat menahan laju pertumbuhan tahun 2015, khususnya untuk pertumbuhan sektor

pertanian.

Prospek Inflasi

Sampai dengan akhir tahun 2015, prospek inflasi wilayah Bali-Nustra diperkirakan masih berada pada rentang

yang terjaga pada kisaran 4.98% - 5,48% (yoy). Adapun risiko pendorong inflasi yang masih sangat mungkin

terjadi apabila tidak diterapkan di tahun 2014 adalah risiko kenaikan harga BBM bersubsidi. Faktor risiko

tersebut berpotensi mendorong inflasi tahun 2015 lebih tinggi dari yang diprakirakan. Selain itu, kenaikan

administered prices lain seperti kenaikan TTL, harga LPG, maupun tarif angkutan udara masih membayangi

potensi kenaikan inflasi di sepanjang tahun 2015. Menghadapi risiko tersebut, koordinasi kebijakan di daerah

perlu terus diperkuat dan diarahkan untuk memitigasi potensi gejolak inflasi yang dapat terjadi. Langkah

kebijakan di daerah difokuskan pada upaya untuk menjaga kesinambungan pasokan, kelancaran distribusi

barang, dan pengelolaan ekspektasi masyarakat terhadap harga-harga.

Tabel II.3.2. Prakiraan Pertumbuhan Ekonomi dan Inflasi Bali-Nustra

2015

I II III IV Total I* II* III* IVp Totalp Ip

PDRB (%,yoy) 4.2 6.0 5.6 5.9 5.8 5.8 5.4 5.0 3.4 5.3 4.7 5,2 - 5,7 6,3 - 6,8

Sisi Permintaan

Konsumsi 4.2 5.1 6.3 7.5 7.7 6.7 6.8 4.9 4.0 5.5 5.3 5,2 - 5,7 7,2 - 7,7

Konsumsi swasta 4.3 4.6 5.6 5.6 6.4 5.5 6.4 4.9 4.3 5.3 5.2 5,2 - 5,7 6,2 - 6,7

Konsumsi Pemerintah 3.9 8.1 9.3 16.6 13.5 12.1 9.0 4.8 2.3 6.6 5.5 5,4 - 5,9 11,7 - 12,2

Pembentukan Modal Tetap Bruto 15.0 14.1 11.9 4.7 1.6 7.9 (2.8) (0.8) 7.6 2.9 1.7 4,3 - 4,8 4,0 - 4,5

Ekspor 2.5 3.0 6.2 12.3 10.1 8.0 11.1 6.7 7.5 17.9 10.9 12,4 - 12,9 13,6 - 14,1

Impor 5.9 9.6 12.1 15.0 13.4 12.7 14.4 8.8 10.1 8.0 10.2 12,1 - 12,6 13,6 - 14,1

Sisi Produksi

Sektor pertanian 4.2 2.3 2.7 2.7 1.6 2.3 2.8 1.8 1.5 2.6 2.2 1,9 - 2,4 2,1 - 2,6

Sektor pertambangan & penggalian (23.7) 6.3 (1.3) 5.4 16.8 6.8 0.7 (8.2) (46.4) (1.1) (13.5) 0,4 - 0,9 32,5 - 33,0

Industri pengolahan 5.6 6.7 6.0 5.0 6.2 5.9 6.3 6.3 5.8 9.7 7.0 6,4 - 6,9 5,7 - 6,2

Listrik, gas & air bersih 8.5 9.5 9.3 8.2 7.6 8.6 4.7 7.4 5.8 5.0 5.7 5,2 - 5,7 5,0 - 5,5

Bangunan 10.3 12.7 8.5 2.2 (0.1) 5.5 2.5 3.6 8.8 2.1 4.2 4,0 - 4,5 3,7 - 4,2

Perdagangan, hotel & restoran 6.6 6.6 7.0 6.6 6.1 6.5 6.4 7.9 8.0 6.5 7.2 6,7 - 7,2 6,7 - 7,2

Pengangkutan & komunikasi 6.9 5.3 5.6 6.3 6.9 6.0 6.9 5.7 6.9 5.2 6.2 4,9 - 5,4 4,5 - 5,0

Keuangan, persewaan dan jasa perush. 8.8 8.6 8.2 7.0 7.8 7.9 7.5 8.2 8.3 4.8 7.2 6,6 - 7,1 6,6 - 7,1

Jasa-jasa 6.1 7.1 7.8 11.0 9.0 8.7 8.0 7.1 6.9 8.8 7.7 8,5 - 9,0 7,0 - 7,5

Inflasi IHK (%,yoy) 4.59 6.16 5.43 8.06 8.28 8.28 6.62 6.78 4.60 5.01 5.01 4,7 - 5,2 5,0 - 5,5

Sumber: Badan Pusat Statistik, diolah

* angka sementarap proyeks i Bank Indones ia

2015PPertumbuhan Ekonomi dan Inflasi

Wilayah2012

2013 2014

L a p o r a n N u s a n t a r a | 4 2

Halaman ini sengaja dikosongkan

L a p o r a n N u s a n t a r a | 4 3

Pertumbuhan ekonomi Kawasan Jawa pada triwulan III 2014 relatif stabil pada level 5,8% (yoy). Kondisi ini

terutama ditopang oleh kinerja ekonomi Jawa Tengah yang membaik dan Jawa Timur yang stabil. Cukup stabilnya

perekonomian Jawa didukung oleh membaiknya kinerja ekspor manufaktur dan konsumsi rumah tangga yang

tetap kuat. Kondisi ini mendorong perbaikan sektor industri pengolahan di kawasan Jawa. Selain itu, pergeseran

masa panen ke triwulan III 2014 di beberapa daerah sentra produksi berdampak positif pada kinerja sektor

pertanian yang memiliki peran cukup besar dalam perekonomian Jawa. Berbeda dengan daerah-daerah lain di

Jawa, ekonomi Jakarta justru mengalami sedikit perlambatan pada triwulan III 2014 karena pelemahan kinerja

konstruksi.

Laju inflasi di berbagai daerah di Jawa selama triwulan III 2014 menunjukkan kecenderungan melambat. Pada

akhir triwulan III 2014, inflasi di Kawasan Jawa secara agregat turun menjadi 4,17% (y.o.y). Hal ini terutama

dipengaruhi oleh cukup terjaganya pasokan pangan disertai adanya koreksi harga pada beberapa komoditas

pangan terutama aneka bumbu. Selain itu, menghilangnya faktor base effect dari kenaikan harga BBM pada tahun

lalu turut memengaruhi lebih rendahnya angka inflasi pada periode ini. Meski demikian, provinsi Banten mencatat

tingkat inflasi yang cukup tinggi, yakni mencapai 6,12%, yang dipicu oleh kenaikan harga LPG.

Pembiayaan ekonomi yang bersumber dari kredit perbankan di Kawasan Jawa cenderung tumbuh melambat dari

18,2% di akhir triwulan II 2014 menjadi 13,7% di akhir triwulan III 2014. Perlambatan kredit terjadi baik kepada

sektor rumah tangga maupun sektor korporasi. Di sektor rumah tangga, perlambatan terutama pada penyaluran

Kredit Kendaraan Bermotor (KKB), diikuti oleh Kredit Kepemilikan Rumah (KPR) dan Kredit Kepemilikan Apartemen

(KPA). Meskipun demikian, kualitas kredit ke sektor rumah tangga masih terjaga stabil seperti tercermin pada

angka NPL yang masih rendah. Sementara itu, melambatnya pertumbuhan kredit kepada sektor korporasi

diperkirakan terkait dengan penundaan investasi yang dilakukan oleh para investor di sektor riil. Ada pun

penyaluran kredit ke sektor pertambangan, konstruksi dan angkutan terindikasi mulai mengalami kenaikan NPL

tetapi masih pada level yang belum mengkhawatirkan.

Pada triwulan IV 2014, berbagai indikator ekonomi mengindikasikan bahwa kinerja ekonomi Jawa relatif stabil

dengan tingkat optimisme yang lebih besar. Optimisme ini terutama didukung oleh potensi peningkatan ekspor

manufaktur di seluruh wilayah di Jawa seiring dengan membaiknya ekonomi negara mitra dagang utama (Amerika

Serikat dan Kawasan ASEAN). Selain itu, peningkatan pertumbuhan ekonomi di Kawasan Jawa juga didukung oleh

meningkatnya investasi, khususnya investasi bangunan, dalam merespons akselerasi proyek infrastruktur

pemerintah di akhir tahun. Perbaikan iklim investasi melalui upaya perbaikan proses perijinan dan pembayaran

pajak akan turut mendukung peningkatan investasi di akhir 2014. Terjaganya konsumsi di Kawasan Jawa dan

optimisme perbaikan ekonomi Kawasan Timur Indonesia (KTI) akan mendorong perbaikan kinerja sektor PHR pada

subsektor perdagangan besar (antar daerah). Selain itu, kinerja sektor industri pengolahan juga diperkirakan

tumbuh lebih tinggi sejalan dengan perbaikan ekspor.

Walaupun terdapat potensi membaik pada triwulan IV, untuk keseluruhan tahun 2014 perekonomian Kawasan

Jawa diperkirakan tumbuh lebih lambat daripada tahun sebelumnya. Kondisi ini terutama disebabkan oleh

melemahnya kinerja investasi dan ekspor. Perlambatan kinerja investasi dan ekspor tidak terlepas dari dinamika

global yang masih diliputi ketidakpastian yang turut memengaruhi aktivitas industri di Jawa. Aktivitas perdagangan

antar pulau juga cenderung melemah sepanjang tahun 2014, khususnya dengan KTI yang melambat kinerja

perekonomiannya. Proses transisi pemerintahan yang berlangsung pada tahun 2014 turut memengaruhi tendensi

L a p o r a n N u s a n t a r a | 4 4

investor dalam menentukan waktu untuk merealisasikan investasinya. Pelambatan kinerja investasi juga terkait

dengan menurunnya daya saing industri manufaktur Kawasan Jawa yang terbebani oleh peningkatan biaya

produksi. Kenaikan biaya energi, logistik, upah buruh, serta bahan baku impor menjadi faktor utama penurunan

daya saing investasi di sektor industri. . Ada pun menurunnya kinerja produksi pertanian, sebagaimana tercermin

pada relatif rendahnya angka prakiraan produksi tanaman bahan makanan, turut memengaruhi capaian ekonomi

Jawa secara keseluruhan di 2014.

Memasuki triwulan IV 2014, tekanan inflasi di Jawa cenderung meningkat tetapi masih pada level yang terkendali.

Inflasi pada Oktober 2014 tercatat sebesar 4,66% dengan kenaikan inflasi tertinggi masih tercatat di Banten

(6,71%). Kenaikan tekanan inflasi terutama bersumber dari dampak kenaikan Tarif Tenaga Listrik (TTL) dan bahan

bakar rumah tangga. Selain itu, tekanan inflasi terindikasi juga bersumber dari kelompok core inflation seiring

meningkatnya ekspektasi menjelang keputusan kenaikan BBM di akhir tahun. Meskipun demikian, hingga akhir

tahun 2014 tekanan inflasi diperkirakan terjaga, kendati dibayangi berbagai risiko yang cukup besar. Risiko

kenaikan inflasi diperkirakan masih bersumber dari kelompok administered prices seiring dilakukannya

penyesuaian TTL ke-3, tarif transportasi dan harga rokok di akhir tahun. Selain itu, kemungkinan diterapkannya

pengurangan subsidi BBM dalam waktu dekat berpotensi memicu kenaikan inflasi yang lebih besar. Hal tersebut

ditambah lagi dengan risiko baru dimulainya musim tanam pada awal November dapat mendorong kenaikan harga

pada kelompok volatile foods.

Pada tahun 2015 ekonomi Jawa diprakirakan meningkat di kisaran 5,8% - 6,2% (yoy). Optimisme perbaikan

ekonomi hampir terjadi di seluruh provinsi, khususnya Jawa Barat dan Jawa Tengah. Kondisi ini didukung oleh

potensi perbaikan kinerja ekspor dan meningkatnya transaksi perdagangan antar pulau seiring dengan prospek

ekonomi KTI yang terus membaik. Di samping itu, prioritas pembangunan infrastruktur dan upaya perbaikan

fasilitasi investasi, seperti pelayanan terpadu satu pintu (one stop service) akan dapat mendorong pemulihan

kinerja investasi pada sektor-sektor utama di Jawa. Secara sektoral, prospek perbaikan ekonomi 2015 diprediksi

terjadi pada sektor industri pengolahan, sektor bangunan dan sektor PHR. Masih berlanjutnya pembangunan

smelter dan meningkatnya minat investasi di daerah berpotensi mendorong perbaikan kinerja sektor riil. Namun,

beberapa faktor risiko masih membayangi pertumbuhan ekonomi ke depan, diantaranya perlambatan ekonomi

negara emerging market, potensi kenaikan UMK dan pengurangan subsidi energi, serta tingginya ketergantungan

sektor pertanian Kawasan Jawa pada faktor cuaca. Tantangan pada sektor pertanian juga terkait dengan perbaikan

institusi yang dapat mendukung optimalisasi teknologi dalam rangka mencapai kedaulatan pangan.

Tekanan inflasi pada tahun 2015 diperkirakan berada pada level 4,5% - 4,9% (yoy) dengan kecenderungan bias ke

atas. Hal tersebut sejalan dengan berbagai risiko yang kemungkinan termaterialisasi, khususnya terkait kenaikan

harga BBM bersubsidi dan dampak lanjutannya pada tarif angkutan umum dan transportasi, serta potensi

kenaikan upah minimum (UMP/UMK). Namun, berbagai risiko tersebut diharapkan dapat dikelola dengan baik

seiring optimisme perbaikan kinerja pertanian yang didukung oleh rencana pemerintah meningkatkan

infrastruktur irigasi dan penguatan kerjasama antar daerah melalui TPID untuk pemenuhan pasokan barang pada

kelompok energi dan volatile food.

L a p o r a n N u s a n t a r a | 4 5

PERTUMBUHAN EKONOMI

Perekonomian wilayah Jawa Bagian Timur (Jabagtim) tumbuh stabil pada triwulan III 2014 pada level 5,9% (yoy),

lebih rendah dari proyeksi sebelumnya. Kinerja perekonomian Jabagtim yang cenderung lebih rendah dari

polanya, merupakan akibat dari melambatnya konsumsi rumah tangga. Lebih lemahnya konsumsi pada periode

dimana terdapat puasa dan Lebaran 2014 ini tercermin pula dari menurunnya perdagangan antar daerah. Hal ini

berpengaruh pada pertumbuhan yang lebih lambat pada sektor PHR dan industri pengolahan. Di sisi ekspor, juga

terjadi perlambatan yang cukup dalam pada triwulan laporan. Di sisi lain, perbaikan kinerja investasi, belanja

pemerintah dan lembaga swasta mendukung stabilnya perekonomian Jabagtim. Kenaikan belanja investasi

periode ini didominasi oleh kelompok bangunan, khususnya dengan adanya pembangunan 3 proyek smelter di

Jawa Timur.

Dari sisi sektoral, dampak UU Minerba masih berlanjut pada triwulan III 2014 dan memengaruhi kinerja sektor

industri pengolahan. Indikasi dari hal tersebut adalah terbatasnya peningkatan produksi industri pengolahan

logam di Jabagtim. Penurunan jumlah pemudik serta kenaikan biaya operasional turut mempengaruhi kinerja

sektor pengangkutan. Selain itu, penurunan marjin usaha turut dirasakan sektor telekomunikasi. Namun demikian,

terdapat indikasi peningkatan kinerja sektor pertanian, konstruksi, dan jasa. Meningkatnya produksi tanaman padi

dan hortikultura mendukung kinerja sektor pertanian pada triwulan laporan.

Pertumbuhan ekonomi Jabagtim diprakirakan tumbuh sedikit melambat menjadi 5,8% (yoy) pada triwulan IV

2014. Proyeksi pelemahan ekonomi tersebut sejalan dengan masih belum stabilnya kinerja sektor riil di Jabagtim.

Di sisi permintaan, konsumsi rumah tangga diprediksi masih akan lebih rendah daripada triwulan III 2014. Hal ini

sebagai pengaruh dari menurunnya pendapatan dari sektor pertanian dan dampak dari pengurangan tenaga kerja

sektor industri, dengan adanya strategi otomatisasi. Di sisi lain, investasi khususnya dari bangunan dan belanja

pemerintah relatif masih kuat dalam menahan perlambatan ekonomi Jabagtim. Kinerja ekspor diprediksi juga

mengalami perbaikan, seiring dengan meningkatnya permintaan barang konsumsi untuk perayaan Natal dan

Tahun Baru. Meningkatnya perdagangan antar daerah juga turut mendorong kinerja ekspor domestik. Dari sisi

sektoral, melambatnya pertumbuhan ekonomi Jabagtim dipengaruhi oleh menurunnya kinerja sektor pertanian

dan konstruksi yang cukup dalam. Di tengah lesunya aktivitas perekonomian, kinerja sektor PHR diprediksi masih

terjaga dengan dukungan perdagangan antar daerah. Secara keseluruhan, ekonomi Jabagtim tahun 2014

diprakirakan tumbuh pada kisaran 5,7% - 6,1% (yoy).

Konsumsi

Konsumsi Rumah Tangga

Konsumsi rumah tangga yang memiliki pangsa terbesar dalam perekonomian Jabagtim, tumbuh melambat sebesar

8,1% (yoy) pada triwulan III 2014.1 Perlambatan kinerja sektor riil, khususnya pada aktivitas di perdagangan,

pariwisata dan industri, sangat mempengaruhi daya beli masyarakat Jabagtim. Berkurangnya penduduk bekerja di

Agustus 2014 sebanyak 247.000 orang dibandingkan periode yang sama di 2013, ditengarai turut menjadi faktor

1 Angka pertumbuhan konsumsi rumah tangga dikoreksi lebih tinggi dibandingkan pencatatan pada triwulan sebelumnya

sebesar 8,5% (yoy).

L a p o r a n N u s a n t a r a | 4 6

perlambatan konsumsi rumah tangga.2 Berdasarkan survei penjualan eceran, perlambatan ini terutama terjadi

pada kelompok makanan dan nonmakanan. Survei konsumen dan kredit konsumsi turut mengonfirmasi

melambatnya kinerja konsumsi rumah tangga pada triwulan laporan. Melambatnya kredit konsumsi dipengaruhi

pula oleh pembatasan kredit konsumtif oleh perbankan (Grafik III.1.3).

Belanja rumah tangga di Jabagtim masih cukup kuat meski diperkirakan akan tumbuh melambat pada triwulan IV

2014, seiring dengan belum pulihnya kinerja perekonomian. Sesuai polanya, pertumbuhan konsumsi rumah

tangga melambat setelah mencapai puncaknya pada periode puasa dan Lebaran. Sejalan dengan kenaikan suku

bunga simpanan, masyarakat juga cenderung meningkatkan simpanan di perbankan daripada meningkatkan

konsumsi. Hal tersebut terindikasi dari kenaikan dana tabungan pihak ketiga di perbankan. Meski demikian,

perlambatan belanja rumah tangga akan sedikit tertahan oleh momentum perayaan Natal dan Tahun Baru serta

adanya event promosi belanja akhir tahun oleh sejumlah perusahaan ritel. Indeks Ekspektasi Konsumen (IEK) pada

akhir triwulan III 2014 terlihat masih berada di atas level optimis yang mengindikasikan masih relatif kuatnya

kinerja konsumsi rumah tangga.

Konsumsi Pemerintah

Konsumsi Pemerintah Provinsi maupun Kabupaten/Kota di wilayah Jabagtim mengalami perbaikan pada triwulan

III 2014. Konsumsi pemerintah pada triwulan III 2014 tumbuh sebesar -5,9% (yoy), membaik dari -10,6% (yoy) pada

triwulan II 2014. Peningkatan belanja pemerintah turut didorong oleh penyaluran dana Tunjangan Hari Raya (THR)

Pegawai Negeri Sipil (PNS) serta cairnya dana hibah atau bantuan sosial ke daerah kab/kota. Hal ini turut didorong

pula dengan penyelesaian sejumlah proyek infrastruktur pemerintah, diantaranya tol Mojokerto-Kertosono. Meski

progress pembebasan lahan infrastuktur terus berlanjut, namun masih terdapat kendala terkait tingginya harga

yang ditawarkan pemilik lahan yang akan dibebaskan. Pelaku usaha mengharapkan implementasi UU Agraria

dapat segera dilakukan untuk mendorong akselerasi pembangunan infrastruktur dan ekspansi lahan usaha di

daerah.

-

100

200

300

400

500

600

700

-

50

100

150

200

250

I II III IV I II III IV I II III IV I II III

2011 2012 2013 2014

Indeks Omset Riil Suku CadangBahan Bakar Alat TulisPerlengkapan Rumah Tangga (rhs) Konstruksi

(INDEKS) (INDEKS)

0

20

40

60

80

100

120

140

160

I II III IV I II III IV I II III IV I II III

2011 2012 2013 2014

Indeks Keyakinan Konsumen (IKK)Indeks Kondisi Ekonomi Saat Ini (IKE)Indeks Ekspektasi Konsumen (IEK)

Grafik III.1.1. Indeks Omset Riil Grafik III.1.2. Indeks Keyakinan Konsumen (IKK)

2 Tingkat pengangguran terbuka Jawa Timur di Agustus 2014 juga mengalami peningkatan sebesar 0,17% dibandingkan Februari

2014.

L a p o r a n N u s a n t a r a | 4 7

0

5

10

15

20

25

30

-

20,000,000

40,000,000

60,000,000

80,000,000

100,000,000

I II III IV I II III IV I II III

2012 2013 2014

Konsumsi gKonsumsi-Skala Kanan(Juta Rp) (%, yoy)

0%

10%

20%

30%

40%

50%

60%

70%

80%

Belanja Daerah Belanja Tidak Langsung Belanja Langsung

29% 31%25%

69%

76%

58%

36%39%

28%

58%61%

52%

2013-II 2013-III

2014-II 2014-III*(%)

Sumber: BPKAD Prov. Jawa Timur

Grafik III.1.3. Kinerja Kredit Konsumsi Grafik III.1.4. Realisasi Belanja Tw. III 2014

Pada triwulan IV 2014, kinerja konsumsi pemerintah diperkirakan membaik dan kembali tumbuh di level positif

sebesar 0,8% (yoy). Di tengah proyeksi masih melambatnya perekonomian Jabagtim secara umum, konsumsi

pemerintah menjadi salah satu faktor kunci dalam menopang pertumbuhan ekonomi pada akhir triwulan 2014.

Sesuai polanya, akselerasi belanja pemerintah guna mengejar target penyerapan anggaran, umumnya terjadi pada

periode triwulan akhir setiap tahunnya. Hal ini mengasumsikan adanya komitmen dan kemampuan pemerintah

dalam menyelesaikan seluruh program yang telah dicanangkan.

Investasi

Kinerja investasi mengalami peningkatan dari 6,3% (yoy) pada triwulan II 2014 menjadi 6,7% (yoy) pada triwulan III

2014. Hal ini utamanya didorong oleh meningkatnya investasi pembangunan pabrik smelter di Jabagtim. Saat ini,

tercatat pembangunan 3 smelter di Jawa Timur (Gresik, Tuban dan Lumajang) dengan target realisasi investasi

mencapai Rp1,5 triliun yang sebagian besar dalam bentuk konstruksi fisik.

Peningkatan investasi bersumber dari sumber Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) dengan pertumbuhan

mencapai 5,3%, sedangkan dari Penanaman Modal Asing (PMA) tercatat melambat sebesar -10,8% (Grafik 1.15).

Berdasarkan hasil liaison dan survei, kenaikan komponen biaya produksi meliputi upah tenaga kerja, tarif energi

dan pajak turut memberikan sentimen negatif terhadap minat investor asing maupun dalam negeri untuk

berinvestasi di Jabagtim. Ditambah dengan masih tingginya hambatan perijinan investasi di tingkat kab/kota

terutama di bidang ijin lingkungan serta kesulitan upaya pembebasan lahan. Sejumlah kontak liaison juga

cenderung masih mencermati perkembangan kondisi politik nasional dan arah kebijakan pemerintahan baru.

-80

-30

20

70

120

170

220

270

50

2050

4050

6050

8050

10050

I II III IV I II III IV I II III IV I II III

2011 2012 2013 2014

Nilai ProyekPMA (USD Juta) Nilai Proyek PMDN (Rp Miliar)

g PMA (%)-Skala Kanan g PMDN (%)-Skala Kanan

USD (Juta)Rp Miliar

-60

-40

-20

0

20

40

60

80

100

120

-

1,000,000,000

2,000,000,000

3,000,000,000

4,000,000,000

5,000,000,000

6,000,000,000

Tw I Tw II Tw III Tw IV

Tw I Tw II Tw III Tw IV

Tw I Tw II Tw III Tw IV

Tw I Tw II Tw III

2011 2012 2013 2014

Capital Goods Intermediate GoodsConsumption Goods g_Capital Goods (rhs)g_Intermediate Goods (rhs) g_Consumption Goods (rhs)

USD % , yoy

Sumber: BPKM, diolah

Grafik III.1.5. Realisasi Investasi Jabagtim Grafik III.1.6. Perkembangan Impor Barang Modal

L a p o r a n N u s a n t a r a | 4 8

Pada triwulan IV 2014, investasi diperkirakan tumbuh membaik pada level 6,7% (yoy) dengan adanya ekspektasi

positif dari sektor riil, stabilitas politik dan ekonomi makro. Berdasarkan hasil quick survey, pelaku usaha

berencana mulai melakukan investasi di akhir tahun 2014. Sebagian besar investasi masih pada investasi

bangunan, yang didominasi oleh industri semen, bahan kimia dan industri pengolahan logam dasar. Di sisi lain,

investasi dalam jenis barang modal yang didominasi kelompok mesin industri dan suku cadang relatif terbatas.

Meskipun kinerja sektor pertambangan KTI terindikasi tumbuh membaik, namun prospek penjualan kendaraan

berat pendukung kegiatan pertambangan dari Jawa Jabagtim masih belum akan pulih. Menjelang akhir tahun,

tantangan kenaikan upah minimum (UMK) juga semakin mengemuka dan menjadi hambatan dari pertumbuhan

investasi di beberapa kawasan industri. Terbukanya kawasan industri baru pun masih terkendala oleh

keterbatasan tenaga kerja siap pakai. Hal tersebut merupakan tantangan bagi investasi di Jabagtim depan, dalam

menyikap beralihnya rencana investasi ke daerah lain (Jabagteng) maupun negara pesaing di regional Asia yang

memiliki daya saing manufaktur cukup baik.

Perdagangan Luar Negeri

Ekspor

Kinerja ekspor luar negeri Jabagtim kembali tumbuh melemah sebesar -9,0% (yoy) pada triwulan III 2014, dipicu

oleh menurunnya volume ekspor produk manufaktur hasil olahan logam (dampak UU Minerba) dan produk

industri makanan minuman (Grafik III.1.7). Meskipun upaya diversifikasi pasar tujuan ekspor telah membuahkan

hasil, namun pola permintaan dari pasar ekspor baru tersebut masih belum stabil. Hal ini menyebabkan belum

dapat diimbanginya proporsi ekspor ke negara mitra dagang utama (Jepang dan AS). Lebih dalamnya penurunan

ekspor dibandingkan impor menyebabkan masih tingginya defisit neraca perdagangan di Jabagtim yang mencapai

sebesar USD9,9 juta (Grafik III.1.8), jauh lebih tinggi dibandingkan triwulan sebelumnya yang mencapai sekitar

Rp8,4 triliun.

Pada triwulan IV 2014, ekspor luar negeri Jabagtim diperkirakan tumbuh lebih baik, seiring dengan meningkatnya

permintaan untuk memenuhi kebutuhan menjelang perayaan Natal dan Tahun Baru. Peningkatan komoditas

ekspor yang diperdagangkan, umumnya adalah produk hasil olahan industri makanan dan minuman, perhiasan,

tekstil, alas kaki dan furniture. Untuk jenis komoditas ekspor tersebut, daya saing ekspor produk Jabagtim

cenderung masih baik, meski terdapat potensi kenaikan biaya produksi baik dari bahan baku maupun upah buruh.

Namun, bagi industri yang memiliki ketergantungan terhadap bahan baku impor, potensi adanya tekanan nilai

tukar akan meningkatkan biaya produksi dan menurunkan daya saing.

Impor

Kinerja impor Jabagtim pada triwulan III 2014 masih dalam tren melambat, sebagaimana ditunjukkan pada Grafik

III.1.8. Impor Jabagtim sebagian besar didominasi oleh bahan baku dan barang modal untuk keperluan proses

produksi industri. Berdasarkan klasifikasi HS 2 Digit, pangsa impor terbesar di Jabagtim pada triwulan III 2014

adalah komoditas mesin industri (17,2% dari total impor) serta bahan kimia (7,2% dari total impor). Perlambatan

impor lebih disebabkan oleh menurunnya impor barang modal dan bahan baku, sejalan dengan penurunan kinerja

sektor industri pengolahan. Sementara itu, impor barang konsumsi masih tumbuh meningkat, meski konsumsi

rumah tangga mengalami perlambatan.

Pada Triwulan IV 2014, impor Jabagtim diperkirakan tumbuh meningkat dengan adanya perbaikan kinerja pada

sektor industri pengolahan. Pertumbuhan impor Jabagtim yang didominasi kelompok impor bahan baku

diprakirakan meningkat menjadi sebesar 2,2% (yoy). Impor barang konsumsi juga diprediksi mengalami

peningkatan pada periode Natal dan Tahun Baru, termasuk kelompok barang tahan lama (durable goods). Secara

L a p o r a n N u s a n t a r a | 4 9

keseluruhan 2014, kinerja impor Jatim tumbuh melambat di tahun 2014 dengan perlambatan terbesar pada impor

barang modal dan konsumsi.

-5

0

5

10

15

20

I II III IV I II III IV I II III IV I II III

2011 2012 2013 2014

Net ekspor

Net Ekspor Antar Daerah

Net Ekspor LN

(Rp. T)

-15

-10

-5

0

5

10

15

20

-2.5

-2

-1.5

-1

-0.5

0

0.5

1

1.5

2

2.5

I II III IV I II III IV I II III IV I II III

2011 2012 2013 2014

Net Ekspor LN gEkspor LN (rhs)

gImpor LN (rhs)

(Rp. T) (%, yoy)

Grafik III.1.7. Kinerja Perdagangan LN dan DN Grafik III.1.8. Neraca Perdagangan Ekspor LN

20.93

875.01440.18199.29

404.35

414.18868.00

279.69

329.52

556.62

358.52

289.94

189.85

257.87

243.91

262.20

251.01

224.49

0

500

1,000

1,500

2,000

2,500

3,000

I II III IV I II III IV I II III IV I II III

2011 2012 2013 2014

48 - Paper and paperboard 44 - Wood and articles of wood

29 - Organic chemicals 74 - Copper and articles thereof

15 - Animal or vegt. fats and oils 71 - Pearls,precious and semi prec.stone

(Juta USD)

-80%

-60%

-40%

-20%

0%

20%

40%

60%

80%

100%

0

500

1000

1500

2000

2500

3000

3500

I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I II III

2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014

Vol Barangg Jml Barang (rhs)

(Ribu Ton) (% yoy)

Grafik III.1.9. Negara Utama Tujuan Ekspor Grafik III.1.10. Bongkar Muat Ekspor DN (Tj. Perak)

Perdagangan Antar Daerah

Di tengah melambatnya ekspor Jabagtim ke daerah lain, kondisi neraca perdagangan antar daerah masih mampu

mencatatkan angka net ekspor (surplus) sebesar Rp9,9 triliun. Ekspor antar daerah Jabagtim tumbuh melambat

dari 14,2% (yoy) pada triwulan II 2014 menjadi 13,6% pada triwulan III 2014. Perlambatan performa ekspor

perdagangan antardaerah Jabagtim terutama didorong dari menurunnya permintaan kendaraan alat berat dan

alat industri terkait dengan belum pulihnya kinerja sektor pertambangan pasca pemberlakuan UU Minerba.

Sementara itu, impor dari daerah lain relatif tumbuh stabil sekitar 10% (yoy), seiring dengan stabilnya kinerja

sektor industri pengolahan di Jabagtim. Impor Jabagtim dari daerah lain pada triwulan laporan masih didominasi

oleh kelompok bahan baku industri, diantaranya komoditas aneka kayu dan makanan laut. Sementara itu, impor

bahan antara industri logam masih tumbuh lemah pasca pemberlakuan UU Minerba di awal tahun 2014. Transaksi

perdagangan antar daerah yang lebih rendah juga terkonfirmasi dari data volume pengangkutan barang domestik

melalui pelabuhan Tanjung Perak (Grafik III.1.10).

Pada triwulan IV 2014, kinerja perdagangan antar daerah diperkirakan membaik, seiring dengan tren peningkatan

permintaan khususnya di KTI dengan adanya perayaan Natal dan Tahun Baru. Ekspor Jabagtim yang diperkirakan

meningkat adalah kelompok bahan makanan, produk olahan industri makanan minuman, tekstil dan alas kaki.

Transaksi impor dari daerah lain diperkirakan juga mengalami peningkatan untuk mendukung kenaikan kapasitas

produksi industri pengolahan.

L a p o r a n N u s a n t a r a | 5 0

Kinerja Sektor Utama Daerah

Sektor Perdagangan, Hotel dan Restoran (PHR)

Pada triwulan III 2014, sektor PHR mengalami perlambatan yang cukup signifikan. Pertumbuhan sektor PHR

tercatat menurun dari 7,4% (yoy) pada triwulan II 2014 menjadi 6,4% (yoy) pada triwulan III 2014. Selain

dipengaruhi oleh melambatnya konsumsi rumah tangga, turunnya aktivitas perdagangan antar daerah juga

merupakan faktor penurunan kinerja di subsektor perdagangan. Sebagai sentra perdagangan untuk KTI,

perekonomian Jabagtim khususnya dari subsektor perdagangan tergantung pula pada kinerja perekonomian KTI.

Akibat dari lesunya permintaan baik dari KTI, subsektor perdagangan tumbuh menurun dari 7,0% (yoy) menjadi

6,2% (yoy). Meski demikian, telah terdapat upaya oleh pelaku usaha dan Pemerintah Daerah untuk memperkuat

kinerja pasar domestik. Kinerja perdagangan antar daerah tercatat sebesar Rp22,1 triliun dengan adanya momen

Lebaran.

Subsektor jasa perhotelan dan restoran yang dipengaruhi oleh faktor kunjungan pariwisata, juga dalam tren

melambat. Kinerja jasa perhotelan tumbuh sebesar 6,8% (yoy) pada triwulan III 2014, melambat dibandingkan

dengan pertumbuhan pada triwulan sebelumnya yang mencapai 7,2% (yoy). Tingginya biaya operasional sektor

perhotelan (listrik, BBM, upah pegawai) serta meningkatnya persaingan dari hotel baru yang tumbuh pesat

(sekitar 40%), telah menekan keuntungan jasa subsektor perhotelan. Meski demikian, pertumbuhan wisatawan

masih dalam tren meningkat dengan tumbuh rata-rata mencapai sekitar 8%. Adapun penurunan terdalam dari

sektor PHR terjadi pada subsektor jasa restoran. Salah satu penyebab penurunan kinerja jasa restoran adalah

kenaikan LPG 12 kg yang meningkatkan biaya operasional secara signifikan. Terkait dengan kompetisi dan

terbatasnya daya beli, sebagian pengusaha jasa restoran memilih untuk tidak merespon dengan meningkatkan

harga jual. Marjin keuntungan jasa restoran cenderung menurun di kisaran 10% - 20%. Menurunnya kinerja jasa

perhotelan dan restoran juga terindikasi dari data konsumsi listrik golongan bisnis yang mengalami penurunan

pada triwulan III 2014.

Kinerja sektor PHR membaik pada triwulan IV 2014 dengan tumbuh meningkat sebesar 6,7% (yoy). Selain sebagai

pengaruh dari perayaan Natal dan libur Tahun Baru, terdapat sejumlah event nasional dan internasional yang

dapat mendukung perbaikan kinerja sektor PHR. Namun, kinerja sektor PHR secara keseluruhan tahun 2014,

mengalami perlambatan dengan melemahnya konsumsi domestik di Jabagtim serta perdagangan antar daerah.

Grafik III.1.11. Konsumsi Listrik Bisnis Grafik III.1.12. Indikator Subsektor Hotel

Sektor Industri Pengolahan

Sektor industri pengolahan tumbuh sebesar 5,5% (yoy) pada triwulan III 2014, lebih rendah 1,3% jika dibandingkan

dengan triwulan sebelumnya. Puncak dari kapasitas produksi terjadi pada triwulan II 2014 dalam merespon

L a p o r a n N u s a n t a r a | 5 1

kenaikan permintaan domestik menjelang Lebaran. Sesuai polanya, kinerja produksi menurun pasca Lebaran,

khususnya dengan adanya libur yang relatif panjang. Indikator Survei Kegiatan Dunia Usaha (SKDU)

mengindikasikan rendahnya tingkat kapasitas produksi sektor industri juga dipengaruhi oleh rendahnya nilai

transaksi ekspor luar negeri dan rencana pelaku usaha untuk melakukan otomatisasi pada proses produksi.

Indikator realisasi kegiatan usaha dari SKDU juga mengalami penurunan sebesar 0,8 poin. Penurunan terbesar

disumbang oleh subsektor industri logam dasar besi dan baja yang merupakan dampak dari pemberlakukan UU

Minerba. Selanjutnya, penurunan kinerja pada subsektor tekstil terkait dengan pemberhentian tenaga kerja

sekurangnya 20,000 pegawai, dan pada subsektor makanan minuman dan tembakau yang disebabkan oleh

beralihnya preferensi konsumen dari Sigaret Kretek Tangan ke rokok filter/mesin. Keseluruhan fenomena tersebut

turut berpengaruh pada peningkatan pengangguran di Jawa Timur. Selain itu, rencana kenaikan BBM pada

triwulan IV 2014 mendorong ekspektasi pelaku usaha untuk meningkatkan harga jual barang sebesar 2,5 poin atau

sekitar 6,2% bila dikonversikan ke harga nominal.

Pada triwulan IV 2014, kinerja sektor industri pengolahan mengalami perbaikan menuju 5,7% sebagai pengaruh

permintaan pasar luar negeri yang meningkat menjelang akhir tahun. Hal ini terkonfirmasi dari perspektif pelaku

usaha atas membaiknya permintaan global khususnya hasil olahan industri makanan minuman, tekstil, alas kaki

dan furniture. Selain itu, kapasitas produksi meningkat seiring dengan semi otomatisasi di beberapa industri

pengolahan. Pada akhir tahun 2014, pertumbuhan industri pengolahan diproyeksikan berada di level 6,2%,

meningkat 0,2% dari tahun sebelumnya. Perbaikan kinerja industri pengolahan ke depan juga diharapkan

bersumber dari pembangunan smelter di Jawa Timur untuk pengolahan pada industri mineral logam. Adapun

tantangan dalam peningkatan kinerja sektor industri adalah peningkatan beban biaya produksi, baik dari kenaikan

biaya energi, logistik, upah buruh, serta bahan baku impor yang pada akhirnya menurunkan daya saing di tengah

kompetisi global.

Grafik III.1.13. Indeks Produksi dan Kapasitas Industri Grafik III.1.14. Konsumsi Listrik Industri

Sektor Pertanian

Kinerja sektor pertanian di triwulan III 2014 mengalami peningkatan signifikan dengan dorongan dari kenaikan

produksi tanaman bahan makanan (tabama). Pertumbuhan sektor pertanian tercatat tumbuh positif 5,66% (yoy),

setelah terkontraksi pada triwulan II 2014 dengan tumbuh sebesar -1,6% (yoy). Perbaikan kinerja terutama pada

subsektor peternakan yang tumbuh dari -3,0% (yoy) pada triwulan II 2014 menjadi 1,4% (yoy) pada triwulan III

2014. Meningkatnya permintaan daging sapi, daging ayam, dan telur ayam menjelang Idul Adha juga turut

mendukung kinerja subsektor peternakan. Peningkatan ini juga sejalan dengan hasil SKDU yang mengindikasikan

perbaikan kinerja subsektor peternakan dan perikanan terkait dengan perbaikan sistem logistik dan distribusi (cold

storage) hasil olahan ternak dan ikan. Sementara itu, perbaikan di subsektor tabama dipengaruhi oleh

L a p o r a n N u s a n t a r a | 5 2

meningkatnya produksi (panen padi dan hortikultura), shifting lahan untuk komoditas palawija yang sesuai dengan

kondisi cuaca di musim kemarau, serta penggunaan teknologi pertanian (mesin irigrasi) yang membaik.

Grafik 1.15. Perkembangan Kinerja Pertanian Grafik 1.16. Luas Lahan Tanam dan Panen Padi

Pada triwulan IV 2014, kinerja sektor pertanian diprediksi melambat, seiring masuknya musim pancaroba yang

menyebabkan ketidakpastian produksi pada subsektor tabama. Indikator luas tanam padi juga menunjukan

penurunan yang signifikan sehingga total produksi pertanian pada akhir tahun 2014 diperkirakan akan terbatas.

Menimbang fungsi strategis Jabagtim sebagai backbone pertanian nusantara, kinerja pertanian Jawa Timur yang

menurun juga dapat berdampak pada gejolak harga komoditas pangan pada triwulan IV 2014. Faktor musiman

perayaan Natal dan Tahun Baru juga diperkirakan dapat meningkatkan harga jual produk pertanian menjelang

akhir tahun 2014. Selain itu, rencana pemerintah untuk menaikkan harga BBM juga menciptakan ruang ekspektasi

bagi pelaku usaha untuk meningkatkan harga jual produk pertanian. Kenaikan harga BBM juga dikuatirkan akan

meningkatkan harga distribusi produk pertanian.

PERKEMBANGAN INFLASI

Inflasi Jabagtim pada Oktober 2014 mencapai 4,57% (yoy) lebih rendah dibandingkan inflasi nasional (4,83%).

Berdasarkan disagregasinya, inflasi tertinggi terjadi pada kelompok administered price (7,13%) disusul oleh core

inflation (4,18%) dan volatile food (3,32%). Inflasi administered prices kembali pada pola normalnya, seiring

dengan berakhirnya base effect dari kenaikan BBM pada Juli 2013. Peningkatan inflasi pada kelompok ini didorong

oleh adanya kenaikan harga bahan bakar rumah tangga khususnya gas LPG 12 kg (21,86%) dan tarif listrik

(16,22%). Sementara itu, inflasi inti (core inflation) menunjukan tren penurunan disebabkan penurunan inflasi core

tradeable dari 5,14% (yoy) pada triwulan II 2014 menjadi 4,69% (yoy) pada Oktober 2014. Hal ini disebabkan oleh

koreksi harga emas perhiasan serta pergerakan harga komoditas pangan global yang terus menurun. Sebaliknya,

inflasi core nontradable kembali ke pola normalnya, khususnya terkait dengan selesainya masa penerimaan siswa

tahun ajaran baru. Sementara itu, rendahnya inflasi kelompok volatile food disebabkan oleh kembali normalnya

permintaan masyarakat pasca Lebaran dan berkecukupannya pasokan pangan khususnya komoditas hortikultura.

Optimalnya mekanisme tanam serta kelancaran distribusi turut mendukung terjaganya inflasi kelompok volatile

food yang secara kumulatif s.d. Oktober 2014 masih mencatatkan kontraksi untuk beberapa komoditas,

diantaranya daging ayam ras (-0,32%), gula pasir (-9,83%), bawang merah (-31,47%), cabai merah (-21,42%) dan

cabai rawit (-50,69%). Adanya kerjasama antar daerah juga bermanfaat terutama pada saat terjadinya bencana

alam yang menyebabkan pasokan pangan terganggu.

L a p o r a n N u s a n t a r a | 5 3

Grafik 1.17 Perkembangan Inflasi Grafik 1.16. Luas Lahan Tanam dan Panen Padi

Pada triwulan IV 2014 inflasi Jabagtim berpotensi meningkat namun diproyeksikan masih berada dalam target

sasaran inflasi nasional 4,5%+1%. Tekanan inflasi diperkirakan berasal dari kelompok core inflation dan

administered price. Potensi tekanan pada kelompok core inflation didorong oleh kenaikan permintaan menjelang

Natal dan Tahun Baru, serta ekspektasi inflasi terkait rencana kenaikan harga BBM. Sedangkan pada kelompok

administered price, kenaikan tarif listrik tahap ketiga pada November 2014 dan berlanjutnya penyesuaian harga

komoditas rokok serta tarif transportasi menjadi faktor utama peningkatan inflasi. Sementara itu, mundurnya

musim tanam ke awal November 2014 diperkirakan akan memberikan tekanan pada inflasi kelompok volatile food

dalam level yang moderat. Namun, ketahanan pangan Jabagtim diyakini terjaga dengan kecukupan stok beras

BULOG yang mampu memenuhi kebutuhan hingga 10 bulan ke depan.

Koordinasi Pengendalian Inflasi

Selain fokus pada aspek produksi dan distribusi, TPID di Jabagtim juga mulai mengoptimalkan potensi kerjasama

antar daerah, khususnya dalam hal pemenuhan kebutuhan pangan. Pada periode ini, telah dilakukan pertemuan

dan koordinasi antar TPID daerah penghasil utama beras di Jawa Timur (a.l. Jember dan Banyuwangi) dengan

kesepakatan berupa :

1) Perlunya penguatan konektivitas dan kerjasama antar daerah,

2) Perlunya penguatan reformasi struktural khususnya di sektor pertanian, dan

3) Perlunya peningkatan daya saing, produktivitas dan perluasan pasar.

Dengan adanya kesepakatan tersebut diharapkan kerjasama antar daerah dalam rangka pemenuhan kebutuhan

bahan pangan strategis dan ketahanan pangan Jabagtim dapat semakin kuat. Selain peningkatan kerjasama antar

daerah, TPID Jawa Timur juga telah melakukan koordinasi untuk mengantisipasi potensi penyesuaian harga BBM.

Beberapa hal yang menjadi perhatian untuk ditindaklanjuti adalah :

1) Penetapan batas atas tarif angkutan,

2) Pemenuhan pasokan energi dan pangan di seluruh wilayah Jabagtim,

3) Pengawasan intensif untuk meminimalkan penyalahgunaan BBM,

4) Program komunikasi yang efektif untuk meminimalkan ekspektasi inflasi masyarakat, dan

5) Program pemerintah untuk mempertahankan daya beli masyarakat.

STABILITAS SISTEM KEUANGAN DAN PENGELOLAAN SISTEM PEMBAYARAN

Ketahanan Sektor Korporasi

Perkembangan kinerja bank umum di Jabagtim dari sisi penyaluran kredit hingga akhir triwulan III 2014

menunjukkan perlambatan. Perlambatan pertumbuhan penyaluran kredit bank umum dijumpai baik pada kredit

berdasarkan lokasi bank pelapor maupun lokasi proyek. Jumlah kredit berdasarkan lokasi bank pelapor mencapai

L a p o r a n N u s a n t a r a | 5 4

Rp327,1 triliun di Jabagtim atau tumbuh 14.4% (yoy), lebih rendah dibandingkan dengan akhir triwulan II 2014

(19,4%). Kredit berdasarkan lokasi proyek yang disalurkan bank umum di Jabagtim mencapai Rp379,7 triliun atau

tumbuh 17,0%, melambat dibandingkan pertumbuhan pada akhir triwulan II 2014 sebesar 19,5% (yoy). Kondisi

likuiditas yang mengetat dan peningkatan nonperforming loan (NPL) di beberapa sektor juga menjadi salah satu

alasan bank untuk menahan laju penyaluran kredit.

Sementara itu, total aset bank umum di Jabagtim pada akhir triwulan III 2014 tercatat sebesar Rp 465,1 triliun atau

tumbuh 14,3% (yoy). Kondisi ini menunjukkan perlambatan pertumbuhan aset bank umum bila dibandingkan

dengan triwulan II 2014 yang tercatat sebesar 16,6% (yoy). Sementara itu, penghimpunan Dana Pihak Ketiga (DPK)

mencapai Rp371,5 triliun pada akhir triwulan III 2014, tumbuh meningkat sebesar 17,0% (yoy) atau sedikit lebih

tinggi dibandingkan dengan pertumbuhan pada akhir triwulan II 2014 sebesar 16,7% (yoy).

Rasio penyaluran kredit perbankan terhadap DPK berada pada level 88.1% (berdasarkan lokasi bank) dan 102,2%

(berdasarkan lokasi proyek). Rasio ini berada di level yang lebih rendah daripada triwulan sebelumnya yakni 90,8%

(berdasar lokasi bank) dan 102,2% (berdasar lokasi proyek). Perlambatan ini disebabkan oleh melambatnya kredit

yang disalurkan oleh perbankan. Risiko kredit yang tercermin dari rasio NPL relatif stabil pada akhir triwulan III

2014, yakni berada pada level 2,1%.

Grafik 1.19. Penyaluran Kredit Grafik 1.20. Penyaluran Kredit Sektor Utama

Secara sektoral, penyaluran kredit masih mendominasi dua sektor ekonomi utama penopang perekonomian

Jabagtim, yaitu sektor industri pengolahan dan sektor perdagangan besar dan eceran. Kredit di sektor industri

pengolahan yang memiliki porsi terbesar (28,8%) tercatat sebesar Rp94,1 triliun, yang diikuti oleh kredit di sektor

perdagangan hotel dan restoran dengan porsi sebesar 26,0% dan penyalurannya mencapai Rp84,8 triliun.

Sementara itu, penyaluran kredit pada sektor pertanian, yang juga merupakan salah satu sektor utama di

Jabagtim, relatif masih rendah. Kredit untuk sektor pertanian pada akhir triwulan III hanya mencapai Rp9,5 triliun

atau memiliki porsi sebesar 2,9%. Rendahnya porsi pembiayaan ke sektor pertanian disebabkan oleh masih

tingginya risiko kredit yang mencapai 4,9% pada akhir triwulan III 2014, sedikit lebih tinggi dibandingkan triwulan

sebelumnya sebesar 4,8%.

Ketahanan Sektor Rumah Tangga

Tren perlambatan ekonomi global dan nasional mendorong perlambatan pertumbuhan penyaluran kredit sektor

rumah tangga, khususnya Kredit Pemilikan Rumah (KPR), Kredit Pemilikan Apartemen (KPA) dan Kredit Kendaraan

Bermotor (KKB). KPR yang disalurkan Bank Umum di Jawa Timur hingga akhir triwulan III 2014 mencapai Rp31,2

triliun, atau tumbuh sebesar 16,8% (yoy) dibandingkan periode sebelumnya. Pertumbuhan tersebut jauh lebih

rendah dibandingkan akhir triwulan II 2014 yang tercatat sebesar 22,5% (yoy). Penyaluran KPA melambat cukup

signifikan dari 16,2% (yoy) di akhir triwulan II 2014 menjadi 7,0% (yoy) dengan nominal Rp1,4 triliun pada akhir

L a p o r a n N u s a n t a r a | 5 5

triwulan III 2014. Demikian pula dengan KKB mencatatkan pertumbuhan negatif sebesar -4,4% (yoy), jauh lebih

rendah dibandingkan dengan pertumbuhan pada akhir triwulan II 2014 sebesar 2,4% (yoy). Selain disebabkan oleh

perlambatan ekonomi, melambatnya penyaluran kredit sektor rumah tangga juga terkait dengan tren kenaikan

suku bunga kredit. Tercatat suku bunga KPR meningkat dari rata-rata 11,4% di triwulan II 2014 menjadi 11,6%

pada triwulan III 2014. Demikian pula dengan suku bunga KPA meningkat hingga mencapai 10,7% pada triwulan III

2014, sementara pada triwulan II 2014 masih sekitar 10,3%.

Pembiayaan Sektor Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM)

Searah dengan melambatnya pertumbuhan ekonomi dan penyaluran kredit secara umum, jumlah kredit UMKM

yang disalurkan hingga triwulan III 2014 mencapai Rp91,1 triliun atau tumbuh 13,4% (yoy) dibandingkan periode

sebelumnya. Pertumbuhan tersebut lebih rendah bila dibandingkan dengan pertumbuhan di triwulan II 2014 yang

tercatat sebesar 15,9% (yoy). Perlambatan pertumbuhan kredit UMKM disertai dengan peningkatan NPL dari 4,2%

pada triwulan II 2014 menjadi 4,3% pada triwulan III 2014. Hal ini perlu menjadi perhatian mengingat posisi NPL

yang semakin mendekati ambang batas risiko 5%.

Grafik 1.21 Penyaluran Kredit Grafik 1.22. Penyaluran Kredit Kepemilikan Rumah

Grafik 1.23.Penyaluran Kredit UMKM Grafik 1.24. NPL Kredit UMKM

Kinerja Sistem Pembayaran

Pada triwulan III 2014, transaksi keuangan non tunai dengan menggunakan sistem RTGS dan kliring di Jabagtim

tumbuh melambat dibandingkan periode sebelumnya. Tercatat transaksi kliring secara nominal mencapai Rp47,1

triliun dengan jumlah warkat kliring sebanyak 1,1 juta lembar. Jumlah tersebut lebih rendah 8,9% (yoy)

dibandingkan triwulan III 2013 yang tercatat mencapai Rp51,73 triliun. Demikian pula dengan nominal transaksi

RTGS yang mencapai Rp453,2 triliun pada triwulan III 2014 (turun sebesar 12,62% dibandingkan tw III 2013)

dengan volume sebanyak 382.144 transaksi.

L a p o r a n N u s a n t a r a | 5 6

Grafik 1.25. Transaksi RTGS Grafik 1.26. Transaksi Kliring

Kinerja Pengelolaan Uang Tunai

Selama triwulan III 2014, jumlah aliran uang kartal dari dan ke Bank Indonesia di wilayah Jabagtim kembali

menunjukkan posisi net inflow sebesar Rp1,7 triliun, lebih tinggi 138,7% (yoy) dibandingkan selama triwulan II 2014

yang tercatat sebesar Rp1,4 triliun. Tingginya net inflow yang terjadi pada periode laporan terkait dengan kembali

normalnya aktivitas ekonomi masyarakat pasca lebaran dan tahun ajaran baru. Net inflow yang terjadi pada

triwulan laporan juga lebih tinggi dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya (triwulan III 2013) yang

tercatat sebesar Rp729,3 miliar.

Grafik 1.27. Temuan UPAL Grafik 1.28. Perkembangan Netflow

PROSPEK PEREKONOMIAN

Prospek Pertumbuhan Ekonomi

Prospek pertumbuhan ekonomi Jabagtim pada tahun 2015 diproyeksikan berada di level 5,7% - 6,1% dengan

dukungan terutama dari kenaikan kapasitas produksi industri dan tetap kuatnya daya beli masyarakat. Beberapa

potensi pendukung pertumbuhan ekonomi Jabagtim di 2015 adalah sebagai berikut : (i) peningkatan kinerja sektor

perdagangan dengan diresmikannya pelabuhan Teluk Lamong dan tol Trans Jawa, (ii) perbaikan kinerja pertanian

seiring dengan meningkatnya belanja pemerintah pada infrastruktur pendukung (waduk, irigrasi), (iii) perbaikan

investasi dengan kondusifnya situasi politik domestik dan terjaganya stabilitas ekonomi makro, dan (iv) pemulihan

kinerja ekonomi global. Meskipun demikian, terdapat beberapa faktor yang berpotensi menjadi kendala per

ekonomian Jabagtim pada tahun 2015, diantaranya adalah kebijakan pemerintah dalam mengurangi subsidi energi

(listrik, gas, dan BBM), perlambatan ekonomi Tiongkok dan sejumlah negara emerging market, serta dampak

kenaikan upah minimum.

L a p o r a n N u s a n t a r a | 5 7

Prospek Inflasi

Dengan asumsi bahwa tidak terdapat penyesuaian harga BBM, inflasi Jabagtim di tahun 2015 diproyeksikan berada

di kisaran 4,3% - 4,7% dan masih berada pada sasaran inflasi nasional tahun 2015 sebesar 4%+1%. Terkendalinya

inflasi Jabagtim tersebut didorong oleh rendahnya tekanan inflasi di kelompok volatile food, sebagai pengaruh dari

meningkatnya produksi dan produktivitas pertanian. Namun, terdapat risiko yang lebih besar pada inflasi di

kelompok administered price apabila kenaikan harga BBM (asumsi sebesar Rp3.000) direalisasikan pada akhir

triwulan IV 2014. Berdasarkan perhitungan apabila hal tersebut dilakukan, inflasi Jabagtim di tahun 2015

diperkirakan akan berada pada kisaran 5,3% - 5,9%. Peningkatan inflasi tersebut selain disebabkan oleh dampak

langsung dari kenaikan harga bensin dan solar juga dipengaruhi oleh dampak lanjutan pada penyesuaian tarif

angkutan dan transportasi. Risiko inflasi di kelompok administered price lainnya adalah potensi kenaikan harga LPG

dan cukai rokok. Sementara itu, di kelompok inflasi inti, ketidakpastian dalam pengambilan keputusan kenaikan

harga BBM akan meningkatkan ekspektasi inflasi. Dalam kaitan itu, TPID di wilayah Jabagtim akan berkoordinasi

untuk menjaga ekspektasi inflasi dan mengantisipasi potensi dampak kenaikan harga BBM

Tabel III.3.1. Prakiraan Pertumbuhan Ekonomi dan Inflasi Jawa Bagian Timur

I II III IV Total I* II* III* IVp Totalp Ip Totalp

PDRB (%,yoy) 7.3 6.7 6.9 6.5 6.2 6.5 6.3 5.9 5.9 5.8 6.0 5,4 - 5,8 5,7 - 6,1

Sisi Permintaan

Konsumsi 5.6 6.3 6.6 7.1 7.7 6.9 7.9 7.0 6.9 7.3 7.3 7,1 - 7,5 7,4 - 7,8

Konsumsi swasta 6.1 6.8 6.9 7.5 8.2 7.4 8.2 8.7 8.1 8.0 8.2 7,5 - 7,9 7,8 - 8,2

Konsumsi Pemerintah 0.2 0.3 2.8 2.5 2.9 2.3 2.6 (10.6) (5.9) 0.8 (3.5) 6,5 - 6,9 1,7 - 1,9

Pembentukan Modal Tetap Bruto 5.4 6.1 6.3 6.5 7.7 6.7 7.5 5.1 6.3 6.7 6.4 0,1 - 0,5 6,3 - 6,7

Ekspor 11.6 8.5 6.9 5.5 5.2 6.5 9.3 7.1 3.5 5.1 6.2 4,0 - 4,4 5,5 - 5,9

Impor 9.8 5.6 5.0 4.9 6.0 5.4 5.7 5.1 1.7 2.2 3.6 2,5 - 2,9 4,4 - 4,8

Sisi Produksi

Sektor pertanian 3.5 2.0 1.5 1.8 1.7 1.6 1.8 0.5 5.5 0.3 1.1 1,5 - 1,9 1,6 - 2,0

Sektor pertambangan & penggalian 2.1 2.7 2.6 4.9 3.2 3.3 4.6 2.9 2.0 2.4 2.3 2,2 - 2,6 2,2 - 2,6

Industri pengolahan 6.3 5.2 6.6 5.4 5.3 5.6 6.8 6.8 5.5 4.9 5.0 5,5 - 5,9 5,9 - 6,3

Listrik, gas & air bersih 6.2 5.3 4.6 4.6 4.2 4.7 4.9 7.4 6.6 5.9 6.8 6,1 - 6,5 5,9 - 6,3

Bangunan 7.1 8.3 10.5 8.5 9.0 9.1 9.5 7.9 9.5 6.9 7.9 9,2 - 9,6 8,6 - 9,0

Perdagangan, hotel & restoran 10.1 9.4 8.9 8.5 7.7 8.6 6.8 7.4 6.4 7.3 7.0 6,3 - 6,7 6,7 - 7,1

Pengangkutan & komunikasi 9.7 11.0 10.0 10.7 10.1 10.4 9.5 7.5 5.0 8.0 8.2 5,9 - 6,1 8,4 - 8,8

Keuangan, persewaan dan jasa perush. 8.0 8.5 7.8 7.4 6.7 7.7 7.7 7.4 8.0 7.7 7.9 7,7 - 8,1 6,2 - 6,6

Jasa-jasa 5.1 5.7 5.7 5.0 5.0 5.3 8.4 4.0 4.9 6.4 6.8 6,3 - 6,7 4,0 - 4,4

Inflasi IHK (%,yoy) 4.50 6.75 5.93 7.78 7.59 7.59 6.58 6.66 4.13 4.84 4.84 4,2 - 4,6 4,3 - 3,7

Sumber: Badan Pusat Statistik, diolah

* angka sementarap proyeks i Bank Indones ia

Pertumbuhan Ekonomi dan Inflasi

Wilayah2012

2014 2015P2013

L a p o r a n N u s a n t a r a | 5 8

PERTUMBUHAN EKONOMI

Pertumbuhan ekonomi Jawa Bagian Tengah (Jabagteng) pada triwulan III 2014 membaik dibandingkan dengan

periode sebelumnya. Perekonomian Jabagteng naik dari 5,1% (yoy) pada triwulan II 2014 menjadi 5,4% (yoy).

Pertumbuhan tersebut juga lebih tinggi dibandingkan dengan pertumbuhan Nasional 5,0% (yoy). Secara spasial,

perekonomian Jawa Tengah tumbuh meningkat, sementara DI Yogyakarta tumbuh melambat. Sumber utama

peningkatan ekonomi Jabagteng adalah meningkatnya konsumsi, baik konsumsi rumah tangga maupun

pemerintah. Investasi dan ekspor di sisi lain tumbuh melambat dibandingkan dengan periode sebelumnya. Secara

sektoral, sektor industri pengolahan dan sektor perdagangan, hotel dan restoran menjadi pendorong membaiknya

perekonomian Jabagteng. Di sisi lain, sektor pertanian yang terkontraksi semakin dalam dibandingkan dengan

triwulan sebelumnya, menahan laju pertumbuhan ekonomi Jabagteng.

Perekonomian Jabagteng diprakirakan tumbuh sedikit melambat sebesar 5,3% (yoy) pada triwulan IV 2014.

Konsumsi diprediksi tetap dapat tumbuh tinggi, meskipun tidak setinggi periode sebelumnya. Hal ini merupakan

akibat dari perlambatan konsumsi swasta nirlaba. Adapun faktor penopang perekonomian Jabagteng terkait

dengan potensi perbaikan ekspor manufaktur, seiring dengan membaiknya ekonomi negara mitra dagang utama

(Amerika Serikat dan ASEAN). Meningkatnya pertumbuhan ekonomi diperkirakan juga akan didukung oleh

perbaikan investasi, khususnya investasi bangunan, sebagai pengaruh dari akselerasi proyek infrastruktur

pemerintah di akhir tahun. Secara sektoral, perlambatan ekonomi dipengaruhi oleh terbatasnya kinerja industri

pengolahan serta sektor perdagangan, hotel dan restoran (PHR). Perlambatan industri pengolahan terutama dari

potensi menurunnya kinerja industri nonmigas, setelah konsisten mengalami kenaikan semenjak awal tahun.

Sebaliknya industri migas diperkirakan masih mampu tumbuh meningkat, meskipun dalam level yang terbatas.

Sementara itu, sektor pertanian meski masih terkontraksi, walaupun tidak sedalam periode sebelumnya. Untuk

keseluruhan tahun 2014, perekonomian Jabagteng diproyeksikan tumbuh sebesar 5,3% (yoy), jauh lebih lambat

dibandingkan pertumbuhan ekonomi pada tahun 2013 yang mencapai 5,8% (yoy).

Konsumsi

Konsumsi Rumah Tangga

Konsumsi rumah tangga Jabagteng pada triwulan III 2014 meningkat dibandingkan dengan triwulan sebelumnya.

Konsumsi rumah tangga mencatat pertumbuhan sebesar 5,6% (yoy), lebih tinggi dibandingkan dengan triwulan II

2014 sebesar 5,4% (yoy). Secara spasial, tumbuh meningkatnya konsumsi rumah tangga terjadi baik di Jawa

Tengah maupun di DI Yogyakarta. Sebagaimana polanya, konsumsi rumah tangga umumnya mengalami

peningkatan dan mencapai puncahnya pada periode Lebaran. Peningkatan konsumsi rumah tangga tersebut

terkonfirmasi dari indeks penjualan riil eceran yang meningkat tajam pada triwulan laporan (Grafik III.2.1). Di sisi

lain, penyaluran kredit konsumsi (Grafik III.2.2) dan impor barang konsumsi (Grafik III.2.3) masih dalam tren

melambat.

Perkembangan berbagai indikator terkini menunjukkan konsumsi rumah tangga pada triwulan IV 2014 masih

mampu tumbuh di level yang cukup tinggi, meskipun diproyeksikan lebih rendah daripada periode sebelumnya.

Hal ini terutama disebabkan oleh melambatnya konsumsi swasta nirlaba. Adapun momen Hari Raya Natal dan

tahun baru akan mendukung kinerja konsumsi masyarakat pada triwulan IV 2014. Sedikit melambatnya konsumsi

L a p o r a n N u s a n t a r a | 5 9

rumah tangga juga terindikasi dari proyeksi penjualan eceran berdasarkan hasil survei (Grafik III.2.1). Meski

demikian, indeks keyakinan konsumen Jabagteng masih terjaga di atas level optimis, yang ditengarai sebagai

pengaruh dari stabilitas ekonomi makro dan ekspektasi terhadap kondisi perekonomian ke depan (Grafik III.2.4).

Konsumsi Pemerintah

Konsumsi pemerintah pada triwulan III 2014 mengalami peningkatan cukup besar. Konsumsi pemerintah tumbuh

4,8% (yoy), setelah pada triwulan sebelumnya tumbuh hanya 1,5% (yoy). Secara spasial, peningkatan konsumsi

pemerintah terjadi di Jawa Tengah. Peningkatan pertumbuhan konsumsi pemerintah terjadi baik pada belanja

langsung maupun tidak langsung. Di sisi lain, konsumsi pemerintah di DI Yogyakarta melambat sangat dalam. Hal

ini disebabkan oleh belanja dana keistimewaan yang belum mencapai 10%.

Peningkatan pertumbuhan konsumsi pemerintah diperkirakan masih akan berlanjut pada triwulan IV 2014. Secara

spasial kinerja konsumsi pemerintah baik di Jawa Tengah maupun DI Yogyakarta berpotensi meningkat. Akselerasi

konsumsi pemerintah ini sejalan dengan siklus belanja pemerintah yang meningkat di akhir tahun. Selain itu,

belanja pemerintah di DI Yogyakarta diprediksi mengalami kenaikan tajam dengan terealisasinya dana

keistimewaan untuk mendukung pembangunan.

-2-2-1-10112233

100110120130140150160170180190200

I II III IV I II III IV I II III IV*

2012 2013 2014

Indeks Penjualan Riil Eceran

Likert Perdagangan Besar & Eceran-RHSIndeks Likert Scale

*Tw IV perkiraan penjualan 6 bulan yadLikert tw IV 2014 perkiraan penjualan 1 tahun yad

0

5

10

15

20

25

30

I II III IV I II III IV I II III

2012 2013 2014

Jabagteng

Jateng

DIY

yoy, %

Grafik III.2.1. Indeks Penjualan Eceran serta Likert Scale Perdagangan Besar dan Eceran

Grafik III.2.2. Perkembangan Kredit Konsumsi

-50

0

50

100

150

200

-0.5

0

0.5

1

1.5

2

2.5

3

3.5

II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I II III

2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014

Kons RT qtq Impor kons qtq (Skala Kanan)qtq, % qtq, %

80

90

100

110

120

130

140

I II III IV I II III IV I II III

2012 2013 2014

IKK IKEIEK

PESIMIS

OPTIMIS

* IKK, IKE, IEK Oktober 2014 Sumber : BPS, diolah

Grafik III.2.3. Perkembangan Konsumsi Rumah Tangga dan Impor Barang Konsumsi

Grafik III.2.4. Indeks Keyakinan dan Ekspektasi Konsumen

Investasi

Investasi di Jabagteng tumbuh melambat dari 6,0 % (yoy) pada triwulan II menjadi 5,0% (yoy) pada triwulan III

2014. Perlambatan investasi terjadi baik di investasi bangunan maupun nonbangunan, terkait dengan

kecenderungan pelaku usaha untuk menahan kegiatan investasi, menunggu stabilnya dinamika politik nasional.

Investasi bangunan melambat sejalan dengan menurunnya kinerja di sektor properti, sebagaimana tercermin dari

L a p o r a n N u s a n t a r a | 6 0

menurunnya konsumsi semen (Grafik III.2.5). Adapun perlambatan pada investasi nonbangunan terindikasi dari

menurunnya pertumbuhan kredit investasi dan impor barang modal (Grafik III.2.6 dan III.2.7). Berdasarkan sumber

pembiayaan investasi, realisasi Penanaman Modal Asing (PMA) menunjukkan perlambatan cukup dalam. Begitu

pula dengan realisasi Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) yang tumbuh melambat dibandingkan dengan

periode sebelumnya (Grafik III.2.8).

Pertumbuhan investasi diperkirakan meningkat pada triwulan IV 2014. Peningkatan investasi terutama terjadi

pada investasi bangunan sejalan dengan akselerasi pembangunan proyek infrastruktur pemerintah. Hal ini sejalan

dengan rencana pemerintah provinsi Jawa Tengah yang mencanangkan tahun 2014 sebagai tahun infrastruktur.

Data konsumsi semen di bulan Oktober 2014 menunjukkan adanya peningkatan, meskipun pada level yang

moderat. Salah satu dari proyek pembangunan fisik tersebut adalah revitalisasi bandara di Semarang yang

direncanakan dilakukan pada akhir tahun 2014. Selain itu, terindikasi pula adanya investasi pembangunan pabrik

TPT dan proyek migas. Di sisi lain, masih ditemui berbagai kendala dalam berinvestasi di Jabagteng yang perlu

diperbaiki untuk mendukung peningkatan investasi. Berdasarkan survei pada pelaku usaha, diidentifikasi kendala

utama dalam berinvestasi di Jabagteng adalah kurang memadainya infrastruktur khususnya yang mendukung

konektivitas, permasalahan pertanahan terkait dengan harga pembebasan yang cukup tinggi, serta banyaknya

retribusi dan resistensi dari beberapa golongan masyarakat terhadap sejumlah proyek investasi.

-20

-10

0

10

20

30

40

I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I II III

2010 2011 2012 2013 2014

Jateng

D. I. Y.

Jabagteng

yoy, %

0

10

20

30

40

50

60

70

I II III IV I II III IV I II III

2012 2013 2014

Jabagteng

Jateng

DIY

yoy, %

Grafik III.2.5. Pertumbuhan Konsumsi Semen Grafik III.2.6. Penyaluran Kredit Investasi

-60

-40

-20

0

20

40

60

80

100

120

140

160

-8

-6

-4

-2

0

2

4

6

8

II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I II III

2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014

Investasi qtq Impor Barang Modal qtq -Skala Kananqtq, % qtq, %

Sumber : Badan Koordinasi Penanaman Modal Daerah Sumber : BPS, diolah Sumber : Badan Penanaman Modal

Grafik III.2.7. Pertumbuhan Impor Barang Modal dan PMTB

Grafik III.2.8. Realisasi PMA dan PMDN

Perdagangan Luar Negeri

Ekspor

Ekspor luar negeri Jabagteng pada triwulan III 2014 tumbuh melambat. Melambatnya ekspor luar negeri pada

triwulan laporan merupakan akibat dari turunnya ekspor ke Tiongkok dan negara Eropa yang cukup dominan. Di

L a p o r a n N u s a n t a r a | 6 1

sisi lain, ekspor produk Jabagteng ke Amerika Serikat dan ASEAN meningkat dibandingkan periode sebelumnya.

Hal ini sejalan dengan perbaikan ekonomi di Amerika Serikat yang mendorong peningkatan permintaan. Ekspor ke

Amerika Serikat pada triwulan III 2014 ekspor tumbuh 6,72% (yoy), meningkat dibandingkan pertumbuhan pada

triwulan II sebesar 5,55% (yoy). Dilihat dari komoditasnya, ekspor Tekstil dan Produk Tekstil (TPT) serta kayu

olahan mengalami perlambatan (Grafik III.2.11). Khusus terkait TPT, perlambatan ekspor terjadi pada produk

pakaian jadi, sementara ekspor produk kain dan benang masih meningkat. Untuk ekspor kayu olahan,

perlambatan ekspor terjadi pada seluruh produk kayu olahan baik produk dari kayu dan gabus (wood and cork

manufactures) serta furniture.

Pada triwulan IV 2014 kinerja ekspor luar negeri diperkirakan akan membaik. Ekspor ke Amerika Serikat

diperkirakan terus meningkat. Optimisme pelaku usaha akan membaiknya ekspor juga terkait dengan masih

kompetitifnya ekspor komoditas khususnya produk TPT Jabagteng. Selain itu, masih terdapat potensi diversifikasi

pasar tujuan ekspor yang didukung oleh semakin kuatnya kinerja industri pengolahan di Jabagteng. Hasil liaison

mengindikasikan adanya potensi kenaikan ekspor ke sejumlah pasar baru, seperi ke Asia Timur, Amerika Latin,

Turki dan TimurTengah. Dari sisi penawaran, meningkatnya ekspor produk industri didukung oleh investasi dalam

rangka meningkatkan kapasitas produksi

Impor

Impor luar negeri Jabagteng pada triwulan III 2014 tumbuh meningkat. Peningkatan pertumbuhan impor terjadi

pada komponen bahan baku, sejalan dengan tren kenaikan industri pengolahan khususnya industri TPT.

Sementara impor barang modal menunjukkan pertumbuhan yang lebih rendah pada triwulan laporan (Grafik

III.2.12). Perlambatan impor barang modal sejalan dengan investasi yang tumbuh lebih rendah dibandingkan

dengan periode sebelumnya. Demikian pula halnya dengan impor barang konsumsi yang juga tumbuh melambat

dibandingkan triwulan sebelumnya.

Impor luar negeri diperkirakan akan terus meningkat pada triwulan IV 2014. Peningkatan impor terutama terjadi

pada impor bahan modal untuk mendukung peningkatan investasi. Impor bahan baku juga diperkirakan akan

meneruskan tren pertumbuhan yang meningkat. Sementara itu, impor barang konsumsi, diperkirakan masih akan

tumbuh melambat, meski perlambatannya tidak sedalam pada triwulan III 2014.

-800

-600

-400

-200

0

200

400

600

800

1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9

2012 2013 2014

Juta USD

Ekspor

Impor

Net Ekspor

-1200

-1000

-800

-600

-400

-200

0

200

400

-40

-20

0

20

40

60

80

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9

2012 2013 2014

Net Ekspor Ekspor Impor

yoy, % yoy, %

Grafik III.2.9. Perkembangan Nilai Ekspor dan Impor Grafik III.2.10. Pertumbuhan Tahunan Nilai Ekspor dan Impor

L a p o r a n N u s a n t a r a | 6 2

-15

-10

-5

0

5

10

15

20

25

I II III IV I II III IV I II III

2012 2013 2014

Total Ekspor

TPT

Kayu Olahan

yoy, %

(100)

(50)

-

50

100

150

200

250

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9

2012 2013 2014

Impor Bahan Baku

Impor Barang Modal

Impor Barang Konsumsi

yoy, %

Grafik III.2.11. Pertumbuhan Tahunan Ekspor Komoditas Unggulan

Grafik III.2.12. Pertumbuhan Tahunan Impor berdasar BEC

Perdagangan Antar Daerah

Ekspor produk Jabagteng ke daerah lain pada triwulan III 2014 meningkat dibandingkan dengan triwulan

sebelumnya. Meningkatnya sektor industri pengolahan nonmigas terutama pada subsektor makanan minuman

dan tembakau yang sebagian besar dikonsumsi domestik. Meski demikian, kinerja perdagangan antardaerah pada

triwulan III 2014 sedikit tertahan oleh penurunan kinerja ekspor produk pertanian yang produksinya menurun.

Perdagangan antar daerah diperkirakan tumbuh stabil pada triwulan IV 2014. Terjaganya pertumbuhan ekspor

Jabagteng ke daerah lain ditopang oleh penguatan pada sektor industri migas setelah konsisten mengalami

perlambatan semenjak awal tahun. Adapun lebih dari 90% hasil dari pengolahan migas di Jabagteng digunakan

untuk pemenuhan konsumsi domestik. Sejalan dengan prospek membaiknya kinerja sektor pertanian pada

triwulan IV 2014, terdapat potensi perbaikan ekspor antar daerah. Faktor perayaan Natal dan Tahun Baru

diperkirakan juga akan mendorong perdagangan antar daerah, khususnya untuk hasil industri pengolahan

makanan dan minuman.

Kinerja Sektor Utama Daerah

Sektor Pertanian

Pertumbuhan sektor pertanian Jabagteng pada triwulan III 2014 terkontraksi semakin dalam. Setelah terkontraksi

0,4% (yoy) pada triwulan II 2014, sektor pertanian mengalami kontraksi semakin dalam yakni sebesar 2,5% (yoy)

pada triwulan III 2014. Secara spasial, kontraksi pertumbuhan di sektor pertanian disebabkan oleh penurunan

yang signifikan pada produksi di Jawa Tengah yang mengalami kontraksi hingga mencapai 2,27% (yoy). Sementara

itu, pertumbuhan sektor pertanian di DI Yogyakarta sedikit mengalami perbaikan meskipun masih tercatat

kontraksi sebesar 4,56%. Perlambatan pertumbuhan terutama didorong oleh memburuknya kinerja subsektor

tanaman bahan makanan (Grafik III.2.13).

Kontraksi pertumbuhan sektor pertanian diperkirakan masih terjadi pada triwulan IV 2014, meski tidak sedalam

triwulan sebelumnya. Pertumbuhan produksi di subsektor tanaman bahan makanan masih akan menurun pada

triwulan laporan, meskipun hasil survei pada pelaku usaha pertanian mengindikasikan potensi peningkatan kinerja

pada triwulan IV 2014 yang lebih tinggi dibandingkan dengan periode yang sama di 2013. Pada Angka Ramalan II

(ARAM II), BPS merevisi ke atas produksi padi pada kisaran 1,3%. Produktivitas sektor pertanian yang lebih rendah

disebabkan oleh faktor cuaca, khususnya sebagai dampak dari terjadinya banjir di awal tahun dan kekeringan yang

melanda sejumlah sentra produksi. Selain itu, kontak liaison juga mengungkapkan masih terdapatnya risiko

penurunan produksi padi yang berasal dari serangan hama dan berlanjutnya kekeringan di beberapa

kabupaten/kota.

L a p o r a n N u s a n t a r a | 6 3

-100

-50

0

50

100

150

200

250

300

350

-40

-20

0

20

40

60

80

100

I II III IV I II III IV I II III IVp

2012 2013 2014

Rata-Rata PDRB tani Rata-rata prod padi - RHS

PDRB tabama PDRB tani

Prod padi-RHS

qtq, % qtq, %

9,600

9,800

10,000

10,200

10,400

10,600

10,800

11,000

11,200

11,400

11,600

1,800

1,850

1,900

1,950

2,000

2,050

2009 2010 2011 2012 2013 2014

Luas Panen Produksi - RHS

Ribu Ha Ribu Ton

Sumber: Dinas Pertanian dan BPS, diolah Sumber: BPS, diolah

Grafik III.2.73. Luas Tanam dan Luas Panen Padi Grafik III.2.84. Luas Panen dan Produksi Padi

-2

-1

0

1

2

3

4

5

6

7

8

9

II III IV I II III IV I II III IVp

2012 2013 2014

Pertanian, Perkebunan, Peternakan, Kehutanan dan Perikanan

Tanaman Pangan

Tanaman Perkebunan

Peternakan dan Hasilnya

Kehutanan

Perikanan

SBT

-100

-50

0

50

100

150

200

I II III IV I II III IV I II III IV I II III

2011 2012 2013 2014

Jabagteng

Jateng

DIY

yoy, %

Grafik III.2.95. Kegiatan Dunia Usaha Sektor Pertanian

Grafik III.2.106. Pertumbuhan Tahunan Kredit yang Disalurkan pada Sektor Pertanian

Sektor Industri Pengolahan

Pertumbuhan industri pengolahan meningkat dari 6,1% (yoy) pada triwulan II menjadi 7,1% (yoy) pada triwulan III

2014. Menguatnya kinerja industri pengolahan utamanya didorong oleh peningkatan industri nonmigas yaitu

subsektor industri makanan minuman dan tembakau, serta subsektor industri tekstil. Di sisi lain, subsektor industri

kayu olahan sedikit mengalami perlambatan. Industri migas (pengilangan minyak) masih tumbuh, meskipun dalam

level yang terbatas. Hal ini terkonfirmasi dari data pertumbuhan impor minyak mentah pada triwulan III 2014 yang

sedikit lebih tinggi dibandingkan periode yang sama pada tahun sebelumnya (Grafik III.2.18).

Pada triwulan IV 2014, pertumbuhan industri pengolahan tetap berada pada level yang tinggi, meski realisasinya

diperkirakan lebih rendah dibandingkan dengan triwulan III 2014. Peningkatan kinerja industri migas diperkirakan

untuk mengejar target produksi di tahun 2014. Berdasarkan pada data impor minyak mentah yang meningkat

(leading indicator), maka diperkirakan kinerja industri migas akan membaik. Sementara itu, industri nonmigas

diprediksi tetap memiliki kinerja yang baik, khususnya pada industri TPT. Hal ini terkonfirmasi dari hasil Survei

Kegiatan Dunia Usaha (Grafik III.2.17). Perbaikan kinerja industri TPT merupakan pengaruh dari peningkatan

kapasitas produksi di tahun 2013. Lebih lanjut, kontak liaison juga mengindikasikan adanya peningkatan produksi

pakaian jadi sebagai akibat dari pengalihan permintaan terkait dengan ketidakpastian politik di Thailand dan

semakin tingginya biaya tenaga kerja di Tiongkok. Di sisi lain, pertumbuhan industri makanan minuman dan

tembakau, serta industri kayu olahan cenderung melambat (Grafik III.2.17).

L a p o r a n N u s a n t a r a | 6 4

0

1

2

3

4

5

6

7

8

9

-1

-0.5

0

0.5

1

1.5

2

2.5

3

3.5

II III IV I II III IV I II III IVp

2013 2014

Industri qtq

Keg Dunia Usaha (Skala Kanan)

qtq, % SBT

-80

-60

-40

-20

0

20

40

60

80

100

120

140

-2

-1

0

1

2

3

4

5

6

I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I II III

2009 2010 2011 2012 2013 2014

Industri qtq

Impor Minyak qtq - RHS (-1)

qtq, % qtq, %

Grafik III.2.17. Pertumbuhan Triwulanan Industri

Pengolahan vs SBT Kegiatan Dunia Usaha Grafik III.2.18. Pertumbuhan Triwulanan Impor

Migas vs Pertumbuhan Triwulanan Industri Pengolahan

-1

0

1

2

3

4

5

-1

-0.5

0

0.5

1

1.5

2

2.5

3

3.5

II III IV I II III IV I II III IVp

Industri qtq Mamin & Tembakau

TPT Barang Kayu

qtq, % SBT

-40

-30

-20

-10

0

10

20

30

40

50

-100

-50

0

50

100

150

200

1 3 5 7 9 11 1 3 5 7 9 11 1 3 5 7 9 11

2012 2013 2014

Impor Serat Tekstil (-10)Impor Benang Tenun & Kain Tekstil (-4)Ekspor Pakaian - RHS

%, yoy %, yoy

Grafik III.2.19. SBT Kegiatan Dunia Usaha Subsektor Industri Pengolahan vs Pertumbuhan Tahunan

Industri Pengolahan

Grafik III.2.20. Pertumbuhan Tahunan Ekspor Benang Tenun dan Kain Tekstil vs Impor Serat Tekstil

PERKEMBANGAN INFLASI

Laju perkembangan inflasi pada triwulan III hingga Oktober 2014 cenderung menurun. Inflasi Jabagteng pada

Oktober 2014 tercatat sebesar 4,93% (yoy). Secara spasial, inflasi di Jawa Tengah tercatat 5,01% (yoy) dan di DI

Yogyakarta tercatat 4,40% (yoy). Tekanan inflasi terutama berasal dari kelompok administered prices yang

mencapai 7,92% (yoy). Tekanan kelompok administered prices merupakan akibat penyesuaian Tarif Tenaga Listrik

(TTL) dan dampak lanjutan kenaikan LPG 12 kg di bulan September. Di sisi lain, tekanan inflasi tertahan oleh

penurunan inflasi di kelompok volatile foods yang tercatat sebesar 3,91% (yoy). Penurunan inflasi pada kelompok

volatile foods sejalan dengan terjaganya pasokan bahan pangan. Koreksi harga terjadi pada beberapa komoditas

pangan, diantaranya bawang merah, bawang putih, telur ayam ras dan daging ayam ras3. Di sisi lain, komoditas

beras dan cabe merah pada Oktober 2014 mulai memberikan tekanan inflasi yang cukup besar. Sementara itu

inflasi di kelompok inti tetap terjaga di level 4,28% (yoy).

Tekanan inflasi hingga akhir tahun diperkirakan lebih rendah dibandingkan tahun sebelumnya. Tekanan inflasi

Jabagteng akhir tahun diperkirakan berada pada kisaran 5,01% - 5,51% (yoy). Tekanan inflasi terbesar masih

bersumber dari kelompok administered price seiring dilakukannya dengan penyesuaian TTL tahap ke-3, kenaikan

tarif transportasi dan harga rokok di akhir tahun. Tibanya musim tanam pada awal November di tengah masih

berlangsungnya musim kemarau, berpotensi menggeser musim tanam dan memberikan risiko kenaikan harga

3 Penurunan harga daging ayam ras dan telur ayam ras terkait berakhirnya aturan pembatasan produksi Days Old Chick (DOC)

dari pemerintah pada Agustus 2014. Dalam perkembangannya, jumlah produksi DOC menjadi kesepakatan para pelaku usaha, khususnya terkait jumlah stok yang harus dijaga.

L a p o r a n N u s a n t a r a | 6 5

sejumlah kelompok volatile foods. Dari sisi inflasi inti, tekanan bersumber dari meningkatnya ekspektasi

masyarakat menjelang penyesuaian harga BBM oleh pemerintah.

3

4

5

6

7

8

9

I II III IV I II III IV I II III Okt

2012 2013 2014

Jateng

DIY

Jabagteng

Nasional

yoy, %

0

2

4

6

8

10

12

14

16

18

I II III IV I II III IV I II III Okt

2012 2013 2014

Core

Volatile Foods

Adm. Prices

yoy, %

Grafik III.2.21. Perkembangan Inflasi Grafik III.2.22. Disagregasi Inflasi Jawa Bagian Tengah

Koordinasi Pengendalian Inflasi

Sampai dengan periode laporan, sebagian besar TPID di wilayah Jabagteng telah melakukan koordinasi guna

mengantisipasi berbagai risiko inflasi. Terkait dengan risiko inflasi ke depan seperti penyesuaian harga BBM

bersubsidi, kekeringan, dan kenaikan UMP, TPID di wilayah Jabagteng telah mengidentifikasi sejumlah langkah

antisipasi sebagai berikut :

1) pemberian bantuan kepada masyarakat,

2) monitoring kondisi pasokan BBM,

3) program pasar murah dan operasi pasar,

4) pengamanan jalur distribusi dan suplai bahan kebutuhan pokok,

5) program subsidi bagi kendaraan angkutan umum,

6) deteksi dini penimbunan BBM bersubsidi dan bahan kebutuhan pokok, dan

7) pemetaan potensi kerawanan.

Selain itu, TPID Jawa Tengah juga telah melakukan rapat koordinasi dengan TPID DI Yogyakarta dalam rangka

konsolidasi Neraca Bahan Makanan (NBM). Rapat koordinasi tersebut untuk melihat peluang kerja sama antar

daerah dalam rangka menjaga ketersediaan pasokan bahan makanan.

STABILITAS SISTEM KEUANGAN DAN PENGELOLAAN SISTEM PEMBAYARAN

Ketahanan Sektor Korporasi

Stabilitas Sistem Keuangan (SSK) relatif masih terjaga, seiring dengan terjaganya likuiditas perbankan. Hal tersebut

ditunjukkan oleh keseimbangan pertumbuhan Dana Pihak Ketiga (DPK) dan penyaluran kredit. Hingga akhir

triwulan III 2014, pertumbuhan DPK dan kredit tercatat masing-masing sekitar 13% (yoy). Keduanya tumbuh

melambat dibandingkan akhir triwulan sebelumnya. Sementara itu, kualitas penyaluran kredit yang ditunjukkan

oleh gross nonperforming loans (NPL) jauh di bawah level 5% pada akhir triwulan III 2014.

Berdasarkan jenisnya, kredit investasi dan kredit konsumsi tumbuh melambat dibandingkan dengan triwulan

sebelumnya (Grafik III.2.24). Kredit investasi melambat sejalan dengan perlambatan investasi pada triwulan III

2014. Di sisi lain, kredit modal kerja meneruskan tren peningkatan hingga akhir tahun 2014. Hal ini dipengaruhi

oleh peningkatan kinerja sektor industri pengolahan serta sektor PHR. Adapun kualitas penyaluran kredit

berdasarkan penggunaannya baik kredit investasi, konsumsi maupun modal kerja masih jauh berada di bawah 5%

L a p o r a n N u s a n t a r a | 6 6

pada akhir triwulan III 2014. Pada triwulan IV 2014, pertumbuhan kredit diperkirakan melambat ke kisaran 11%.

Kredit konsumsi dan investasi diperkirakan masih tumbuh melambat. Berdasar survei pada pelaku usaha, investasi

pada tahun 2014 diyakini tidak sebesar tahun 2013.

14

16

18

20

22

24

26

0

50,000

100,000

150,000

200,000

250,000

I II III IV I II III IV I II III

2012 2013 2014

Kredit JatengKredit DIYKredit DIY yoy (Skala Kanan)Kredit Jateng yoy (Skala Kanan)

Miliar Rp yoy, %

5

10

15

20

25

30

35

40

45

50

I II III IV I II III IV I II III

2012 2013 2014

Modal Kerja Investasi Konsumsi yoy, %

Grafik III.2.23. Kinerja Penyaluran Kredit Perbankan Grafik III.2.24. Penyaluran Jenis Kredit Perbankan

Sementara itu, tingkat ketahanan kredit sektor korporasi masih terjaga, meskipun masih diwarnai peningkatan

risiko pada sektor PHR khususnya untuk DI Yogyakarta. Berdasarkan data kredit per sektor ekonomi, pertumbuhan

kredit sektor utama Jabagteng, yaitu sektor pertanian serta sektor PHR mengalami perlambatan. Sementara itu,

kredit yang disalurkan pada sektor industri pengolahan tumbuh stabil pada level yang cukup tinggi. Adapun risiko

penyaluran kredit pada sektor pertanian, sektor industri dan sektor PHR, terindikasi berada pada level yang aman

(< 5%) pada akhir triwulan III 2014.

-20

0

20

40

60

80

100

120

140

160

0

20,000

40,000

60,000

80,000

100,000

120,000

140,000

I II III IV I II III IV I II III

2012 2013 2014

PHRIndustri Pengolahan Pertanian Industri Pengolahan yoy (Skala Kanan)PHR yoy (Skala Kanan)Pertanian yoy (Skala Kanan)

Miliar Rp yoy, %

1

1.5

2

2.5

3

3.5

4

I II III IV I II III IV I II III

2012 2013 2014

Pertanian Industri PHRyoy, %

Grafik III.2.25. Kredit Bank berdasarkan Sektor Ekonomi

Grafik III.2.26. NPL Kredit Sektor Utama Perbankan

Ketahanan Sektor Rumah Tangga

Ketahanan kredit sektor rumah tangga masih terjaga pada level yang stabil, sebagaimana tercermin dari tingkat

kualitas penyaluran kredit (NPL) yang berada pada 1,18% pada akhir triwulan III 2014. Penyaluran kredit ke sektor

rumah tangga juha tumbuh melambat pada akhir triwulan III 2014. Hanya kredit untuk keperluan multiguna yang

tercatat mengalami peningkatan. Risiko kredit di sektor rumah tangga terjaga dengan adanya stabilnya gross NPL

pada level di bawah 5% (Grafik III.2.28).

L a p o r a n N u s a n t a r a | 6 7

-20

0

20

40

60

80

100

120

140

160

I II III IV I II III

2013 2014

KPR <70

KPR>70

KKB

Multiguna

yoy, %

0

0.1

0.2

0.3

0.4

0.5

0.6

0.7

0.8

0.9

0

0.5

1

1.5

2

2.5

3

3.5

4

I II III IV I II III

2013 2014

KPR <70 KPR>70 Multiguna KKB (Skala Kanan)% %

Grafik III.2.27. Kinerja Kredit Perbankan ke Rumah

Tangga Grafik III.2.28. Perkembangan NPL Kredit Rumah Tangga

Pembiayaan Sektor Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM)

Kredit UMKM Jabagteng pada akhir triwulan III 2014 masih cukup tinggi meski mengalami perlambatan

dibandingkan dengan triwulan sebelumnya. Kredit UMKM tercatat melambat dari 18,21% (yoy) menjadi 16,50%

(yoy). Secara spasial, perlambatan kredit UMKM terjadi di Jawa Tengah dan DI Yogyakarta.

Kinerja Sistem Pembayaran

Real Time Gross Settlement (RTGS) mengalami penurunan baik secara nilai maupun volume. Pertumbuhan nilai

RTGS tercatat sebesar -10,73% (yoy) pada triwulan III 2014, setelah pada triwulan sebelumnya tumbuh -1,12%

(yoy). Di sisi lain, volume RTGS tumbuh -1,41% (yoy) atau tidak sedalam penurunan pertumbuhan periode

sebelumnya sebesar -13,88% (yoy). Adapun RTGS dari dan ke Jabagteng, serta antar daerah di Jabagteng tumbuh

menurun. Sejalan dengan hal tersebut, transaksi kliring baik nominal maupun warkat juga tumbuh negatif.

Kinerja Pengelolaan Uang Tunai

Nilai net inflow pada triwulan III 2014 lebih tinggi dibandingkan dengan periode sebelumnya. Hal ini sesuai siklus

Lebaran dimana inflow umumnya tercatat lebih tinggi. Namun, jika dibandingkan dengan periode Lebaran di tahun

2013, net inflow pada periode Lebaran 2014 tercatat lebih rendah. Sementara itu, temuan uang palsu pada

triwulan III 2014 lebih tinggi dibandingkan dengan triwulan sebelumnya. Uang lusuh yang ditarik pada triwulan III

2014 juga tercatat meningkat dibandingkan dengan triwulan sebelumnya. Namun, proporsi uang lusuh terhadap

inflow mengalami penurunan terkait dengan tingginya inflow.

PROSPEK PEREKONOMIAN

Prospek Pertumbuhan Ekonomi

Perekonomian Jabagteng pada tahun 2015 diprakirakan tumbuh meningkat pada kisaran 5,2% - 5,7% (yoy).

Optimisme perbaikan ekonomi terjadi baik di Jawa Tengah dan DI Yogyakarta. Kondisi ini didukung oleh potensi

perbaikan kinerja ekspor luar negeri dan meningkatnya transaksi perdagangan antar pulau. Selain itu, kapasitas

industri juga diprediksi meningkat, terkait dengan investasi pada beberapa industri yang direncanakan selesai di

akhir 2014. Selain itu, terdapat beberapa investasi untuk peningkatan kapasitas produksi yang masih akan

berlanjut hingga tahun 2016. Sejumlah pembangunan proyek infrastruktur jangka panjang juga akan mendorong

investasi di tahun 2015. Secara sektoral, prospek perbaikan ekonomi 2015 diprediksi terjadi pada sektor indutri

pengolahan, sektor bangunan dan sektor PHR. Namun, terdapat beberapa faktor risiko yang masih membayangi

pertumbuhan ekonomi Jabagteng ke depan, diantaranya perlambatan ekonomi Tiongkok dan pengurangan subsidi

energi. Selain itu secara khusus dari sisi sektor pertanian, risiko berasal dari alih fungsi lahan yang cukup besar

serta masih tingginya ketergantungan pada faktor cuaca.

L a p o r a n N u s a n t a r a | 6 8

Prospek Inflasi

Tekanan inflasi Jabagteng pada tahun 2015 diperkirakan kembali menurun pada level 5,0% - 5,5% (yoy). Inflasi di

Jawa Tengah diprakirakan berada pada kisaran 4,5% - 5,0 % (yoy), sementara inflasi di DI Yogyakarta diprakirakan

berada pada kisaran 4,1% - 4,6% (yoy). Risiko inflasi di 2015 diperkirakan masih akan bersumber dari penyesuaian

harga energi, yang berdampak pada kenaikan tarif angkutan umum dan harga-harga secara umum. Dampak

kenaikan BBM Rp3.000,- pada akhir tahun 2014, akan berdampak pada inflasi Jabagteng dengan proyeksi pada

kisaran 5,0% - 5,4% (yoy). Sementara itu, berdasar survei yang dilakukan ke beberapa pelaku usaha, sebagian

responden akan menaikkan harga jual dengan rata-rata kenaikan harga sebesar 8%. Risiko inflasi lain juga

diperkirakan bersumber dari penyesuaian tarif tenaga listrik. Dari sisi inflasi inti, sumber tekanan bersumber dari

ekspektasi inflasi apabila penyesuaian harga BBM tidak diputuskan segera. Sementara itu, tekanan inflasi dari

kelompok volatile food diprediksi relatif moderat terkait membaiknya produksi pangan di tahun 2015. Semakin

solidnya koordinasi antara Pemerintah dan BI dalam forum TPI/TPID juga diyakini dapat menanggulangi risiko

inflasi Jabagteng dari sisi suplai.

Tabel II.2.1 Prakiraan Pertumbuhan Ekonomi dan Inflasi Jawa Bagian Tengah

I II III IV Total I* II* III* IVp Totalp IP TotalP

PDRB (%,yoy) 6.2 5.5 6.2 6.0 5.4 5.8 5.3 5.1 5.4 5.3 5.3 51 - 5.6 5.2 - 5.7

Sisi Permintaan

Konsumsi 5.1 4.8 4.8 5.8 5.6 5.2 5.2 4.8 5.5 5.5 5.2 5,2 - 5,7 5,3 - 5,8

Konsumsi swasta 5.2 5.1 5.2 5.4 5.1 5.2 5.2 5.4 5.6 5.4 5.4 5,1 - 5,6 5,2 - 5,7

Konsumsi Pemerintah 4.8 3.1 2.8 8.0 7.7 5.5 5.3 1.5 4.8 5.8 4.4 5,9 - 6,4 5,6 - 6,1

Pembentukan Modal Tetap Bruto 7.9 5.6 7.6 8.1 8.5 7.5 9.2 6.0 5.0 5.7 6.4 5,6 - 6,1 6,6 - 7,1

Ekspor 9.4 4.0 8.7 10.0 10.8 8.4 9.8 7.8 7.1 8.5 8.3 8,7 - 9,2 8,9 - 9,4

Impor 8.4 2.2 7.2 17.3 9.5 9.0 10.1 2.3 3.2 3.9 4.7 5,1 - 5,6 5,5 - 6,0

Sisi Produksi

Sektor pertanian 3.8 0.4 2.8 3.4 1.6 2.0 2.0 (0.42) (2.46) (0.81) (0.36) 0,9 - 1,4 0,03 - 0,5

Sektor pertambangan & penggalian 7.0 5.2 5.7 5.4 8.7 6.2 4.9 4.1 5.7 5.5 5.1 8,3 - 8,8 3,5 - 4,0

Industri pengolahan 5.1 4.9 6.8 5.1 7.2 6.0 5.8 6.1 7.1 6.3 6.3 6,3 - 6,8 6,2 - 6,7

Listrik, gas & air bersih 6.5 9.5 7.0 9.0 7.4 8.2 4.9 8.2 5.9 4.2 5.8 6,4 - 6,9 5,9 - 6,4

Bangunan 6.8 6.3 7.5 6.8 6.6 6.8 6.9 5.8 4.4 4.5 5.4 5,2 - 5,7 5,3 - 5,8

Perdagangan, hotel & restoran 8.1 9.0 8.2 6.9 5.4 7.4 5.8 6.7 7.9 7.8 7.1 7,5 - 8,0 7,0 - 7,5

Pengangkutan & komunikasi 7.6 7.7 7.3 7.7 3.5 6.5 4.9 4.8 7.1 5.6 5.6 4,0 - 4,5 5,7 - 6,2

Keuangan, persewaan dan jasa perush. 9.5 9.3 8.9 9.7 10.3 9.6 10.4 9.5 7.7 7.2 8.7 7,8 - 8,3 8,4 - 8,9

Jasa-jasa 7.3 6.2 3.4 7.4 3.3 5.0 5.3 5.9 6.4 4.5 5.5 2,9 - 3,4 4,8 - 5,3

Inflasi IHK (%,yoy) 4.25 6.26 5.47 8.30 7.88 7.88 6.96 7.13 4.94 5.26 5.26 4,3 - 4,8 5,0 - 5,5

Sumber: Badan Pusat Statistik, diolah

* Angka Sementarap proyeks i Bank Indones ia

2015Pertumbuhan Ekonomi dan Inflasi

Wilayah2012

2013 2014

L a p o r a n N u s a n t a r a | 6 9

PERTUMBUHAN EKONOMI

Perekonomian wilayah Jawa Bagian Barat (Jabagbar) tumbuh sedikit melambat dari 5,6% (yoy) pada triwulan II

2014 menjadi 5,5% (yoy) pada triwulan III 2014. Perlambatan perekonomian disebabkan oleh melemahnya

konsumsi rumah tangga dan kinerja dua sektor utama di Jabagbar yakni sektor pertanian dan sektor industri

pengolahan. Kinerja sektor pertanian mengalami perlambatan yang cukup dalam karena penurunan produksi

tanaman bahan makanan terutama padi. Hal ini sebagai dampak dari kekeringan yang terjadi di beberapa sentra

utama produksi padi. Sektor industri pengolahan juga tumbuh melambat yang didorong oleh penurunan kinerja

industri makanan, industri peralatan listrik dan industri kimia. Sementara itu, pertumbuhan ekonomi Jabagbar

tertahan oleh membaiknya investasi dan ekspor, serta konsumsi pemerintah. Secara sektoral, pertumbuhan

ekonomi masih ditopang oleh peningkatan kinerja di sektor perdagangan, hotel, dan restoran (PHR), sektor

bangunan, sektor pengangkutan dan komunikasi, serta sektor jasa-jasa.

Memasuki triwulan IV 2014, berbagai indikator di wilayah Jabagbar mengindikasikan adanya perbaikan kinerja.

Pertumbuhan ekonomi Jabagbar diprakirakan tumbuh meningkat sebesar 5,7% (yoy) pada triwulan IV 2014. Seiring

dengan membaiknya perekonomian Amerika Serikat, kinerja ekspor diperkirakan akan meningkat, terutama ekspor

produk manufaktur. Akselerasi belanja pemerintah di akhir tahun, turut menopang membaiknya kinerja

perekonomian pada triwulan IV 2014. Sementara itu, konsumsi rumah tangga dan investasi diperkirakan tumbuh

stabil, meskipun dibayangi oleh rencana kenaikan harga BBM bersubsidi dan tarik ulur penetapan upah minimum.

Dari sisi sektoral, perlambatan kinerja sektor pertanian diperkirakan masih akan terjadi mengingat musim tanam

mengalami kemunduran. Sementara itu kinerja sektor industri pengolahan dan PHR diprediksi akan mengalami

peningkatan. Secara keseluruhan 2014, pertumbuhan ekonomi Jabagbar diprakirakan sebesar 5,5% (yoy),

melambat signifikan dibandingkan pertumbuhan pada tahun 2013 yang mencapai 6,0% (yoy).

Konsumsi

Konsumsi Rumah Tangga

Konsumsi rumah tangga wilayah Jabagbar pada triwulan III 2014 mengalami perlambatan dibandingkan dengan

triwulan sebelumnya yakni dari 5,4% (yoy) menjadi 5,2% (yoy). Perlambatan konsumsi rumah tangga khususnya

terjadi di Jawa Barat, sedangkan di Banten masih tumbuh meningkat. Melemahnya kinerja sektor industri

pengolahan dan sektor pertanian pada triwulan ini turut berdampak pada penurunan tingkat konsumsi

masyarakat. Hal ini tercermin dari nilai tukar petani (NTP) yang mengalami penurunan dibandingkan triwulan

sebelumnya. Indeks bayar petani meningkat pada triwulan III 2014, seiring dengan kenaikan harga pupuk, bibit,

dan benih serta penurunan harga panen produk pertanian. Penurunan kinerja konsumsi rumah tangga juga

tercermin dari perlambatan pertumbuhan kredit konsumsi yang merupakan salah satu sumber pembiayaan rumah

tangga, serta hasil survei knsumen yang menunjukkan pengeluaran rumah tangga pada triwulan III lebih rendah

dibandingkan triwulan sebelumnya. Jumlah pendaftaran kendaraan baru di Jawa Barat pada triwulan III 2014 juga

mengalami penurunan.

Pada triwulan IV 2014, berbagai indikator terkini mengindikasikan kinerja konsumsi rumah tangga yang relatif

stabil dalam menopang perekonomian Jabagbar. Salah satu indikasi menguatnya konsumsi rumah tangga adalah

meningkatnya indeks pengeluaran rumah tangga pada Oktober 2014 . Sebagian besar konsumen memperkirakan

L a p o r a n N u s a n t a r a | 7 0

persentase dari pendapatan yang mereka terima untuk konsumsi relatif masih stabil. Hal ini turut dipengaruhi oleh

pencanangan program pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat di bidang kesehatan dan pendidikan.

Selain itu, masyarakat cenderung menerima kebijakan kenaikan harga BBM, terkait disiapkannya dana kompensasi.

Berbagai event kegiatan di akhir tahun diperkirakan turut mendukung kinerja konsumsi rumah tangga. Untuk

keseluruhan tahun 2014, kinerja konsumsi rumah tangga Jawa Barat diperkirakan tumbuh sebesar 5,2% (yoy), lebih

tinggi dibandingkan pertumbuhan pada tahun 2013 yang hanya sebesar 4,3% (yoy).

949698

100102104106108110112114

1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

2012 2013 2014

IndeksNTP Jabar NTP Banten

16,9 16,4

13,1

0

5

10

15

20

25

30

35

40

-

20

40

60

80

100

120

140

160

180

I II III IV I II III IV I II III

2012 2013 2014

YoY (%)Rp Triliun Kredit Konsumsi (KK) Pertumbuhan KK

Sumber : BPS, diolah Sumber : BPS, diolah

Grafik III.1. Nilai Tukar Petani Grafik III.2. Perkembangan Kredit Konsumsi

-30,00

-20,00

-10,00

0,00

10,00

20,00

30,00

40,00

-

20

40

60

80

100

120

140

160

180

1 2 3 4 5 6 7 8 9

TAHUN 2014

% (yoy)ribu unit Jumlah Pendaftaran Kendaraan Baru Pertumbuhan

0

5

10

15

20

25

TW I TW II TW III TW IV

Jabagbar : (Jawa Barat + Banten)

Rp Triliun 2012 2013 2014

Sumber: Dinas Pendapatan Daerah Jawa Barat Sumber : Biro Keuangan (Jawa Barat dan Banten), diolah

Grafik III.3. Pendaftaran Kendaraan Baru Grafik III.4. Perkembangan Belanja Provinsi

Konsumsi Pemerintah

Pertumbuhan konsumsi pemerintah pada triwulan III 2014 mulai menunjukkan peningkatan yang terbatas. Hal ini

dipengaruhi oleh masih relatif kecilnya realisasi belanja bantuan sosial, belanja hibah, belanja bagi hasil dan

belanja bantuan keuangan kepada Pemerintah Kabupaten/Kota. Meskipun berbagai proyek pemerintah sudah

mulai berjalan pada triwulan laporan, namun realisasi pembayaran proyek cenderung terbatas hingga akhir tahun

(back loading). Hingga triwulan III 2014, realisasi belanja Provinsi Jawa Barat baru mencapai 43,3%, meski realisasi

pendapatan telah mencapai 76,6% hingga triwulan III 2014. Sementara itu, realisasi belanja Provinsi Banten jauh

lebih rendah lagi, yakni hanya sekitar 21,6%.

Berdasarkan polanya, konsumsi pemerintah pada triwulan IV 2014 diperkirakan akan tumbuh meningkat. Faktor

yang mendorong peningkatan konsumsi pemerintah tersebut direalisasikannya transfer dan bantuan keuangan

daerah yang mencakup bantuan sosial dan hibah. Selain itu, masih minimnya realisasi belanja modal yang baru

mencapai 19,5% hingga triwulan III 2014 akan mendorong upaya akselerasi penyerapan belanja modal Pemerintah

Provinsi Jawa Barat pada akhir tahun 2014. Beberapa proyek yang sebagian dibiayai oleh belanja modal APBD

adalah proyek bandara internasional Kertajati dan jalan tol Cisumdawu.

L a p o r a n N u s a n t a r a | 7 1

Investasi

Kinerja investasi Wilayah Jabagbar meningkat dari 4,7% (yoy) pada triwulan II 2014 menjadi 5,5% (yoy) pada

triwulan III 2014. Peningkatan investasi terjadi baik di Jawa Barat maupun di Banten yang sebagian besar dalam

bentuk investasi bangunan. Hal ini terkait dengan pembangunan atau perbaikan berbagai proyek infrastruktur

pemerintah, khususnya infrastruktur jalan raya. Selain itu, peningkatan investasi tercermin dari meningkatnya

indeks harga properti pada triwulan III 2014. Peningkatan indeks mengindikasikan permintaan dan investasi

terhadap properti yang tetap meningkat.

Sementara itu, investasi nonbangunan juga tumbuh meningkat. Berdasarkan hasil liaison, capital expenditure yang

dikeluarkan oleh perusahaan manufaktur sebagian besar digunakan untuk investasi rutin tahunan berupa

pemeliharaan mesin dan peralatan. Namun, sejumlah industri manufaktur juga melakukan pembelian mesin-mesin

produksi baru untuk menambah kapasitas produksi. Peningkatan investasi juga ditandai dengan meningkatnya

pembelian lahan untuk ekspansi pabrik meskipun masih terbatas, terkait dengan terbatasnya suplai lahan industri.

Berdasarkan sumber pembiayaan, investasi PMDN di Jawa Barat masih tumbuh tinggi, khususnya pada investasi

bangunan.

Pertumbuhan investasi pada triwulan IV 2014 diperkirakan relatif stabil. Berbagai informasi yang digali dari liaison

maupun FGD menyatakan bahwa kegiatan investasi pada triwulan IV 2014 diprioritaskan pada ekspansi usaha dan

perbaikan infrastruktur. Sumber pembiayaan investasi hingga akhir tahun diperkirakan masih ditopang oleh

belanja pemerintah dan investor dalam negeri. Sedangkan investor asing cenderung memantau langkah kebijakan

pemerintah baru dalam menciptakan lingkungan dan iklim investasi yang kondusif. Sementara itu, sebagian

investor dalam negeri cenderung mencermati rencana kenaikan harga BBM bersubsidi dan upah minimum di

Jabagbar yang relatif lebih tinggi dibandingkan wilayah lain.

0,0

0,5

1,0

1,5

2,0

2,5

0123456789

I II III IV I II III IV I II III

2012 2013 2014

PMA(Milyar USD)

PMDN(Rp Triliun)

PMDN Jabar PMDN BantenPMA Jabar PMA Banten

0,00

50,00

100,00

150,00

200,00

250,00

300,00

I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV*

2011 2012 2013 2014

Kecil Menengah Besar Total

Sumber : BKPM, diolah

Grafik III.5. Realisasi Investasi Jabagbar Grafik III.6. Tren Peningkatan Indeks Properti

Perdagangan Luar Negeri

Ekspor

Ekspor luar negeri Jabagbar meningkat seiring dengan membaiknya perekonomian negara mitra dagang utama

terutama Amerika Serikat (AS). Secara spasial, peningkatan kinerja ekspor terjadi baik di Jawa Barat maupun di

Banten. Ekspor Jabagbar pada triwulan III 2014 tumbuh sebesar 8,7% (yoy) atau meningkat dibandingkan triwulan

sebelumnya sebesar 7,6% (yoy). Peningkatan tersebut didorong oleh ekspor produk manufaktur seperti otomotif,

elektro karet dan plastik, kulit, logam dan furniture. Peningkatan ekspor otomotif terkait dengan permintaan dari

sejumlah negara tujuan ekspor, diantaranya adalah Kawasan Timur Tengah dan Afrika. Selain ekspor mobil yang

L a p o r a n N u s a n t a r a | 7 2

meningkat, ekspor komponen otomotif juga tumbuh cukup tinggi. Di sisi lain, meskipun ekspor tekstil dan produk

tekstil (TPT) mengalami perlambatan, namun pangsa ekspor TPT masih yang terbesar di Jabagbar pada triwulan

laporan.

Berbagai perkembangan terakhir mengindikasikan potensi kenaikan ekspor luar negeri Jabagbar pada triwulan IV

2014. Adapun faktor yang mendorong peningkatan ekspor tersebut adalah semakin membaiknya kondisi

perekonomian AS yang merupakan salah satu mitra dagang utama Jabagbar. Selain itu, peningkatan ekspor juga

didorong meningkatnya permintaan dalam menghadapi perayaan Natal dan Tahun Baru di berbagai negara. Hal ini

sesuai dengan laporan liaison yang memerkirakan peningkatan kinerja ekspor Jabagbar terutama dari industri TPT,

makanan dan minuman, dan kendaraan bermotor.

-40

-20

0

20

40

60

80

100

I II III IV I II III IV I II III IV I II III

2011 2012 2013 2014

%, yoyManufaktur TPT Kimia Makanan

-600

-400

-200

0

200

400

600

800

1000

1200

1400

-20

-10

0

10

20

30

40

50

I II III IV I II III IV I II III IV I II III

2011 2012 2013 2014

Juta USD%, yoy Net Ekspor (Sb. Kanan)

Pertumbuhan EksporPertumbuhan Impor

Grafik III.7. Pertumbuhan Ekspor Manufaktur Grafik III.8. Perkembangan Ekspor Impor Nonmigas Jabagbar

Impor

Perkembangan impor luar negeri Jabagbar pada triwulan III 2014 melambat cukup dalam yakni dari 8,7% (yoy)

pada triwulan II 2014 menjadi 4,9% (yoy) pada triwulan III 2014. Impor barang konsumsi dan barang modal yang

mengalami kontraksi cukup dalam. Sementara itu, impor bahan baku pada triwulan ini menunjukkan peningkatan

yang cukup signifikan. Hal ini menjadi indikasi akan adanya peningkatan produksi manufaktur pada triwulan IV

2014. Penurunan impor yang sangat dalam dialami oleh subsektor otomotif, terutama impor kendaraan built up,

serta subsektor elektronika. Permintaan domestik terhadap barang elektronik (khususnya gadget) ditengarai lebih

rendah pada triwulan laporan dibandingkan dengan periode yang sama di tahun 2013.

Berbagai indikator menunjukkan bahwa kegiatan impor luar negeri diprakirakan akan meningkat sampai dengan

akhir tahun 2014. Kebutuhan impor bahan baku industri manufaktur di Jabagbar terutama pada bahan baku untuk

industri TPT, industri makanan minuman, bahan baku industri otomotif, industri elektronika dan industri kimia.

Turunnya harga minyak mentah dan berbagai komoditas global diperkirakan akan mendorong peningkatan impor.

Salah satunya adalah produk turunan minyak mentah, yakni naphta yang menjadi bahan baku produk ethylene dan

polypropylene pada industri TPT.

L a p o r a n N u s a n t a r a | 7 3

-60

-40

-20

0

20

40

60

80

I II III IV I II III IV I II III IV I II III

2011 2012 2013 2014

% (yoy) Bahan baku Konsumsi Modal

-40

-20

0

20

40

60

80

100

120

0

5

10

15

20

25

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9

2013 2014

%, yoyRibu UnitEkspor Mobil G.Ekspor (Kanan)

Sumber: Gaikindo

Grafik III.9. Impor Jabagbar Menurut Jenisnya Grafik III.10. Perkembangan Ekspor Mobil

Kinerja Sektor Utama Daerah

Kinerja dua sektor utama Jabagbar yakni sektor industri pengolahan dan sektor pertanian mengalami pelemahan

pada triwulan III 2014. Sementara itu, sektor perdagangan, hotel, dan restoran (PHR) mampu tumbuh meningkat,

meski konsumsi mengalami perlambatan. Pada sektor bangunan, sektor pengangkutan dan komunikasi, serta

sektor jasa-jasa, terlihat pula adanya perbaikan kinerja yang mendukung perekonomian Jabagbar pada triwulan

laporan.

-8

-6

-4

-2

0

2

4

6

8

10

12

14

16

I II III IV I II III IV I II III IV*

2012 2013 2014

yoy (%)Pertanian Industri Pengolahan PHR Jabagbar

-80

-60

-40

-20

0

20

40

60

80

0

500

1000

1500

2000

2500

1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9

2012 2013 2014

% (yoy)ribu ton Padi (ton) Pertumbuhan (kanan)

Sumber : BPS, diolah Sumber : Dinas Pertanian Tanaman Pangan Jawa Barat

Grafik III.11. Pertumbuhan Sektor Utama Jabagbar Grafik III.12. Produksi Padi Jawa Barat

Sektor Perdagangan, Hotel dan Restoran

Kinerja sektor PHR Jabagbar pada triwulan III 2014 tumbuh sebesar 7,8% (yoy), meningkat daripada pertumbuhan

pada triwulan sebelumnya sebesar 7,4% (yoy). Penjualan di sektor riil meningkat tajam terutama pada kelompok

makanan minuman. Dari sisi pembiayaan, kredit ke sektor PHR juga menunjukkan tren peningkatan. Hingga

Agustus 2014, pertumbuhan kredit di sektor PHR mencapai 15,5% (yoy). Hasil liaison ke pelaku usaha di sektor

perdagangan ritel mengonfirmasi adanya peningkatan omset penjualan pada periode Lebaran di berbagai pusat

perbelanjaan maupun department store. Sementara itu, subsektor perhotelan juga tumbuh meningkat, meskipun

tidak setinggi subsektor perdagangan. Adanya libur Lebaran mendorong peningkatan jumlah wisatawan domestik

ke Jabagbar. Berakhirnya proses Pemilu turut mendorong penyelenggaraan MICE (meeting, incentives, conferences

and exhibition) dari korporasi maupun institusi pemerintaha. Kunjungan wisatawan ke beberapa tempat wisata di

Jawa Barat selama libur lebaran meningkat cukup signifikan. Hal tersebut terkonfirmasi dari peningkatan jumlah

kendaraan yang melalui pintu tol Pasteur (20 sampai 30 kendaraan per menit) dan menyebabkan kemacetan

khususnya pada masa liburan.

L a p o r a n N u s a n t a r a | 7 4

-20

0

20

40

60

80

50

70

90

110

130

150

170

190

210

230

11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9*

10**

2012 2013 2014

%, yoyIndeks Indeks Penjualan Riil

Pertumbuhan Penjualan Riil (yoy)

-20

-10

0

10

20

30

40

50

60

70

1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9

2012 2013 2014

% Tingkat Penghunian Kamar Hotel Bintang

Pertumbuhan Wisman (yoy)

Sumber : Dinas Pertanian Tanaman Pangan Jawa Barat

Grafik III.3.16. Pertumbuhan Sektor Utama Jabagbar Grafik III.3.17. Produksi Padi Jawa Barat

Kinerja sektor PHR pada triwulan IV 2014 diperkirakan masih dalam tren peningkatan. Hal ini didorong dengan

masih tingginya indeks penjualan riil hingga Oktober 2014. Sejumlah kontak liaison di subsektor pariwisata cukup

optimis dalam memperkirakan peningkatan tingkat hunian akomodasi hotel hingga akhir tahun 2014, terkait

dengan permintaan yang masih sangat tinggi. Penyelenggaraan Pekan Olahraga Daerah Jawa Barat di Bekasi pada

Oktober-November 2014 yang diikuti lebih dari 2000 atlet diperkirakan turut mendorong peningkatan sektor PHR.

Sektor Industri Pengolahan

Sektor industri pengolahan di wilayah Jabagbar pada triwulan III 2014 tumbuh melambat dari 4,1% (yoy) menjadi

3,7% (yoy). Baik industri di Jawa Barat maupun Banten mengalami penurunan kinerja yang tercermin dari lebih

rendahnya indeks produksi industri pada triwulan laporan. Penurunan indkes produksi industri terjadi baik pada

produksi industri manufaktur besar, sedang, kecil dan mikro. Industri yang mengalami penurunan produksi

terbesar adalah industri makanan minuman, industri furniture, dan industri barang galian bukan logam. Pada

industri mikro dan kecil, penurunan produksi terbesar terjadi pada industri komputer dan barang elektronik,

industri logam dasar, serta industri pemasangan mesin dan peralatan. Industri kimia di Banten juga menunjukkan

adanya penurunan kinerja, hal ini seiring dengan turunnya harga minyak mentah dunia maupun naphta yang

mendorong turunnya harga produk kimia seperti ethylene dan polypropylene. Sementara itu, produksi industri TPT

masih tumbuh positif dengan meningkatnya permintaan domestik, meskipun permintaan eksternal masih belum

membaik. Pada industri otomotif, produksi mobil pada triwulan III 2014 mengalami perlambatan, terkecuali pada

Agustus 2014 dimana peningkatan produksi dilakukan untuk memenuhi indent dari beberapa bulan sebelumnya.

Kinerja industri pengolahan pada triwulan IV 2014 diperkirakan membaik. Salah satu indikasi dari perbaikan

tersebut adalah meningkatnya impor bahan baku industri pada triwulan laporan. Peningkatan kapasitas industri

diperkirakan pada industri makanan minuman, serta industri alat angkutan, mesin dan peralatannya. Sementara

utilisasi industri TPT diperkirakan cenderung stabil karena penggunaan mesin-mesin yang sudah optimal di kisaran

80-90%. Apabila dipaksakan peningkatan utilisasinya, kualitas produk TPT yang dihasilkan akan berkurang. Kinerja

industri otomotif juga diperkirakan meningkat seiring dengan meningkatnya permintaan pasca kegiatan Indonesia

International Motor Show (IIMS) pada akhir triwulan III 2014. Sementara itu, Gabungan industri kendaraan

bermotor Indonesia (Gaikindo) menyatakan bahwa pasar ekspor mobil Indonesia ke luar negeri masih cukup baik

terutama ke Asia dan Afrika.

L a p o r a n N u s a n t a r a | 7 5

-40

-20

0

20

40

60

80

100

120

0

50

100

150

200

250

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9

2013 2014

%, yoyRibu Unit Produksi Mobil Penjualan MobilG.Penjualan (Kanan) G.Ekspor (Kanan)

-10

-5

0

5

10

15

20

25

30

-

200

400

600

800

1.000

1.200

1.400

1.600

1.800

2.000

I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I II III

2010 2011 2012 2013 2014

USD Juta yoy (%)Nilai Pertumbuhan (Axis Kanan)

Sumber: Gaikindo, diolah

Grafik III.15. Kinerja Industri Otomotif Grafik III.16. Ekspor Tekstil dan Produk Tekstil

Sektor Pertanian

Kinerja sektor pertanian pada triwulan III 2014 mengalami perlambatan cukup dalam dibandingkan triwulan

sebelumnya, yakni dari 3,3% (yoy) menjadi 1,1% (yoy). Hal ini terutama tercermin dari menurunnya produksi padi

yang terkontraksi sebesar -2,7% (yoy) pada triwulan III 2014, jauh lebih rendah dibandingkan pertumbuhan

produksi pada triwulan II 2014 yang mencapai 9,6% (yoy). Selain terjadinya kekeringan di berbagai sentra produksi

di Jabagbar, kualitas hasil panen juga menurun sebagai akibat serangan hama terutama dari organisme

pengganggu tanaman. Selain itu, para petani juga dihadapkan pada kondisi distribusi air yang terhambat karena

tidak berfungsinya saluran irigasi dan bendungan. Terbatasnya stok pupuk bersubsidi menyebabkan harga pupuk

non subsidi meningkat tiga kali lipat, sehingga sebagian petani tidak optimal dalam menggunakannya. Pada

triwulan laporan, kekeringan terjadi terutama di wilayah pantura Jabar yang merupakan lumbung padi. Hal

tersebut menyebabkan beberapa petani lebih memilih untuk menanam tanaman selain padi, seperti palawija atau

tembakau yang hanya memerlukan pengairan secara minimal. Berdasarkan hasil liaison, utilisasi lahan pertanian

masih relatif stabil dengan belum adanya tambahan penggunaan lahan yang cukup signifikan.

-100

-50

0

50

100

150

200

0

5

10

15

20

25

30

35

40

45

1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9

2012 2013 2014

% (yoy)ribu ton Cabai Merah Pertumbuhan (kanan)

-100

-50

0

50

100

150

200

250

0

5

10

15

20

25

1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9

2012 2013 2014

% (yoy)ribu ton Bawang Merah Pertumbuhan (kanan)

Sumber : Dinas Pertanian Tanaman Pangan Jabar Sumber : Dinas Pertanian Tanaman Pangan Jawa Barat

Grafik III.17. Produksi Cabai Merah Jawa Barat Grafik III.18. Produksi Bawang Merah Jawa Barat

Kinerja sektor pertanian pada triwulan IV 2014 diperkirakan masih belum akan membaik. Berbagai risiko seperti

awal musim hujan yang baru terjadi pada akhir Oktober, menyebabkan periode musim tanam mengalami

kemunduran. Panen subsektor tanaman bahan makanan secara besar diperkirakan baru terjadi pada awal tahun

2015. Ketersediaan stok pupuk dan keterjangkauan harga pupuk juga menjadi hal penting dalam mendukung

kelancaran proses produksi pada periode tanam akhir tahun 2014. Pada subsektor hortikultura, diperkirakan

terjadi penurunan kinerja sebagai dampak dari musim hujan yang memiliki intensitas relatif tinggi. Hal ini kurang

mendukung untuk peningkatan produksi hortikultura di Jawa Barat, terkait dengan kerentanan terkena serangan

hama dan lebih cepatnya terjadi pembusukan. Beberapa upaya kebijakan dapat dilakukan untuk meningkatkan

L a p o r a n N u s a n t a r a | 7 6

kinerja sektor pertanian, diantaranya melalui peningkatan luas areal tanam, pembuatan lahan sawah baru,

pemberian bantuan benih pupuk dan peralatan pertanian, serta pendampingan melalui Sekolah Lapangan

Pengelolaan Tanaman Terpadu.

Sektor Lainnya

Sektor pengangkutan dan komunikasi Jabagbar pada triwulan III 2014 mengalami pertumbuhan yang cukup

signifikan, yakni dari 9,5% menjadi 10,8% (yoy). Selain karena faktor Lebaran dan liburan yang mendorong

meningkatnya pergerakan barang dan penumpang, peningkatan akses data komunikasi juga menjadi faktor

pendorong kinerja sektor tersebut. Berdasarkan data, jumlah penumpang dan barang yang diangkut khususnya

melalui jalur udara mengalami peningkatan pada triwulan laporan. Sektor bangunan juga mengalami peningkatan

kinerja seiring dengan pembangunan dan perbaikan proyek infrastruktur pemerintah, khususnya infrastruktur

jalan. Kinerja sektor keuangan dan jasa perusahaan juga menunjukkan adanya peningkatan, seiring dengan

kebijakan penyesuaian batas atas tingkat suku bunga simpanan. Hal ini berimplikasi spread bunga yang melebar

dan meningkatnya margin usaha perbankan.

PERKEMBANGAN INFLASI

Sampai dengan triwulan Oktober 2014, inflasi di wilayah Jabagbar tercatat sebesar 4,65% (yoy), meningkat

dibandingkan dengan capaian inflasi pada triwulan III 2014 sebesar 4,38% (yoy). Peningkatan tekanan inflasi

terutama disebabkan oleh meningkatnya tekanan harga pada kelompok administered price, seperti kenaikan tarif

tenaga listrik (TTL) bertahap, kenaikan harga LPG 12 kg, dan peningkatan harga cukai rokok. Selain itu, tekanan

inflasi juga berasal kelompok pangan dengan meningkatnya harga cabai merah dan cabai rawit. Secara spasial,

tekanan inflasi di Banten pada Oktober 2014 mencapai 6,72% (yoy), lebih tinggi dibandingkan dengan inflasi di

Jawa Barat yang mencapai 4,04% (yoy)

Berbagai perkembangan indikator harga menunjukkan adanya risiko tekanan inflasi di wilayah Jabagbar pada

triwulan IV 2014. Hal ini antara lain didorong oleh kenaikan TTL tahap terakhir di November 2014, ketersedian

pangan dari komoditas pertanian, dan rencana kenaikan BBM bersubsidi. Hasil Survei Konsumen (SK)

mengonfirmasi peningkatan ekspektasi konsumen terhadap harga dalam 6 bulan ke depan. Di samping itu,

berdasarkan hasil Survei Kegiatan Dunia Usaha (SKDU) di Jawa Barat, harga jual secara umum diperkirakan

mengalami peningkatan pada triwulan IV 2014. Hal tersebut tercermin dari nilai Saldo Bersih Tertimbang (SBT)

ekspektasi responden terhadap perkiraan harga jual pada triwulan IV 2014 sebesar 29,5%, lebih tinggi

dibandingkan triwulan sebelumnya sebesar 24,7%.

0

2

4

6

8

10

12

1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 9 10

2012 2013 2014

YOY (%) JABAGBAR BANTEN JABAR

0

5

10

15

20

25

1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 9 10

2012 2013 2014

YOY (%) IHK Volatile Food Administered Price Core

Sumber : Badan Pusat Statistik, diolah Sumber : Badan Pusat Statistik, diolah

Grafik III.19. Perkembangan Inflasi Spasial Grafik III.20. Disagregasi Inflasi Jabagbar

L a p o r a n N u s a n t a r a | 7 7

75

100

125

150

175

200

225

1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4

2012 2013 2014 2015*

Indeks Ekspektasi Harga 3 Bulan YAD Ekspektasi Harga 6 Bulan YAD

Indeks > 100 = optimis

Indeks < 100 = pesimis

0

5

10

15

20

25

30

35

40

I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV

2011 2012 2013 2014

%, SBT

Grafik III.21. Ekspektasi Perkiraan Harga Konsumen Grafik III.22. Ekspektasi Harga Jual Pelaku Usaha

Koordinasi Pengendalian Inflasi

Berbagai upaya dilakukan untuk meredakan tekanan inflasi di wilayah Jabagbar baik dalam jangka pendek maupun

jangka panjang. Tim Pengendalian Inflasi Daerah (TPID) Kabupaten/Kota di Jawa Barat dan Forum Koordinasi

Pengendalian Inflasi Daerah (FKPI) Jawa Barat terus melakukan berbagai upaya untuk mencegah dampak yang

lebih luas akibat dari pembatasan konsumsi BBM bersubsidi dan rencana kenaikan harga BBM bersubsidi.

Beberapa langkah yang direkomendasikan kepada pihak-pihak terkait adalah :

1) Menyampaikan evaluasi penerapan kebijakan kebijakan pembatasan konsumsi BBM bersubsidi kepada BPH

Migas (pembelian tidak dibatasi pada jam tertentu),

2) Menerapkan gerakan hemat BBM antara lain hari bebas kendaraan bermotor pribadi,

3) Memprioritaskan pembangunan stasiun pompa diesel nelayan di sekitar TPI untuk memenuhi kebutuhan

nelayan,

4) Menyampaikan surat dari Pemerintah Provinsi Jawa Barat kepada Organda agar pengangkutan barang

khususnya di Jalur Pantura menggunakan kereta api,

5) Penetapan batas atas tarif angkutan non-ekonomi, dan

6) Penambahan pasokan gas LPG ukuran 3 kg.

STABILITAS SISTEM KEUANGAN DAN PENGELOLAAN SISTEM PEMBAYARAN

Perkembangan kinerja sistem keuangan dan sistem pembayaran di wilayah Jabagbar pada triwulan III 2014 secara

umum masih kondusif. Pada triwulan III 2014, pertumbuhan dana pihak ketiga (DPK) melambat menjadi sebesar

13,2% (yoy), lebih rendah dibandingkan triwulan sebelumnya sebesar 17,2% (yoy). Meskipun demikian, secara

nominal DPK perbankan meningkat. Berdasarkan hasil focus group discussion dengan beberapa bank, peningkatan

DPK terutama pada bank besar karena adanya strategi peningkatan low cost fund serta kerjasama pelayanan

penerimaan pajak bumi bangunan (PBB) dengan pemerintah daerah. Di sisi lain, penyaluran kredit perbankan pada

triwulan III 2014 juga mengalami perlambatan dari 18,2% (yoy) menjadi 15,4% (yoy). Dengan kondisi tersebut,

Loan to Deposit Ratio (LDR) perbankan di Jabagbar meningkat dari 85,6% pada triwulan II 2014 menjadi 86,1%

pada triwulan III 2014.

L a p o r a n N u s a n t a r a | 7 8

15,9 17,2

13,2

0

5

10

15

20

25

30

050

100150200250300350400450500

I II III IV I II III IV I II III

2012 2013 2014

YoY (%)Rp Triliun Nilai DPK Pertumbuhan DPK

19,5 18,2 15,4

0102030405060708090100

0

50

100

150

200

250

300

350

400

I II III IV I II III IV I II III

2012 2013 2014

YoY (%)Rp Triliun Nilai Kredit Pertumbuhan Kredit LDR

Grafik III.23. Perkembangan DPK Jabagbar Grafik III.24. Perkembangan Kredit dan LDR Jabagbar

0

5

10

15

20

25

30

35

40

-

10

20

30

40

50

60

I II III IV I II III IV I II III

2012 2013 2014

%Rp Triliun Kredit Industri Pertumbuhan (yoy)

0

10

20

30

40

50

60

-

10,0

20,0

30,0

40,0

50,0

60,0

70,0

80,0

90,0

I II III IV I II III IV I II III

2012 2013 2014

% (yoy)Rp Triliun Kredit PHR Pertumbuhan (kanan)

Grafik III.25. Kredit Sektor Industri Jabagbar Grafik III.26. Kredit Sektor PHR

Ketahanan Sektor Korporasi

Ketahanan sektor utama korporasi di wilayah Jabagbar pada triwulan III 2014 dihadapkan pada peningkatan risiko

kredit. Hal ini tercermin dari peningkatan nonperforming loan (NPL) dari 2,67% pada triwulan II 2014 menjadi

2,80% pada triwulan III 2014. Perhitungan mortality rate (Altman Approach) dengan pendekatan jumlah debitur

kota/kabupaten menunjukkan terdapat peningkatan jumlah debitur bermasalah di sektor pertanian dan sektor

PHR. Sementara itu, jumlah debitur bermasalah di sektor industri cenderung menurun. Dari sisi kinerja penyaluran

kredit, pertumbuhan kredit di sektor industri pengolahan mengalami peningkatan, sementara kredit ke sektor PHR

menunjukkan perlambatan.

0,0

1,0

2,0

3,0

4,0

5,0

6,0

Pertanian Industri PHR

% Tw I - 2014 Tw II - 2014 Tw III - 2014

0

1

2

3

4

5

6

7

8

9

10

Pertanian Industri PHR

% Tw I - 2014 Tw II - 2014 Tw III - 2014

Grafik III.27. Mortality Rate Sektor Utama Berdasarkan Nominal Baki Debet

Grafik III.28. Mortality Rate Sektor Utama Berdasarkan Jumlah Debitur

Ketahanan Sektor Rumah Tangga

Di sektor rumah tangga, nominal penyaluran Kredit Pemilikan Rumah (KPR), kredit multiguna dan kredit kendaraan

bermotor di wilayah Jabagbar menunjukkan adanya peningkatan. Meski demikian, risiko kredit-kredit tersebut

relatif terjaga. NPL KPR dan kredit kendaraan bermotor tidak mengalami peningkatan dari triwulan sebelumnya,

L a p o r a n N u s a n t a r a | 7 9

masing-masing sebesar 3,0% dan 0,8%. Sedangkan NPL kredit multiguna mengalami sedikit peningkatan dari 1,5%

menjadi 1,6%. Pangsa terbesar kredit sektor rumah tangga masih pada KPR (58,7%) diikuti oleh pinjaman

multiguna (30,5%) dan kredit kendaraan bermotor (10,9%).

0

1

2

3

4

0

20

40

60

80

100

120

140

III IV I II III

2013 2014

NPL (%)Triliun RpKPR K.Multiguna

K.Kend. Bermotor NPL K. Kend.Bermotor

NPL K.Multiguna NPL KPR

0

5

10

15

20

25

30

-

20

40

60

80

100

120

I II III IV I II III IV I II III

2012 2013 2014

%, yoyRp Triliun Kredit UMKM Pertumbuhan (yoy) - rhs NPL - rhs

Grafik III.3.29. Perkembangan Kredit Rumah Tangga Grafik III.3.30. Perkembangan Kredit UMKM

Pembiayaan Sektor Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM)

Pada triwulan III 2014, penyaluran kredit perbankan konvensional kepada kategori debitur UMKM di wilayah

Jabagbar mencapai Rp96,4 triliun, tumbuh relatif stabil dibandingkan triwulan sebelumnya, yakni dari 24,65% (yoy)

menjadi 24,93% (yoy). Akan tetapi, peningkatan NPL kredit UMKM dari 4,6% menjadi 5,0% menjadi hal yang harus

dicermati ke depan. Peningkatan NPL kredit UMKM ini terutama terjadi di usaha mikro sektor perdagangan.

Kinerja Sistem Pembayaran

Kinerja sistem pembayaran nontunai pada triwulan III 2014 menunjukkan penggunaan fasilitas RTGS yang

meningkat cukup signifikan baik dari sisi nominal maupun volume transaksi. Sementara itu, transaksi Sistem Kliring

Nasional Bank Indonesia (SKNBI) mengalami sedikit penurunan. Secara nominal, transaksi melalui RTGS mencapai

Rp254,65 triliun pada triwulan III 2014, meningkat dari triwulan II 2014 yang hanya mencapai Rp104,56 triliun. Dari

sisi volume, transaksi RTGS pada triwulan III 2014 tercatat meningkat menjadi sebesar 275 ribu transaksi dari

sebelumnya 126 ribu transaksi. Adapun transaksi RTGS dari Jawa Barat lebih kecil dibandingkan transaksi RTGS

yang menuju ke Jawa Barat, mengindikasikan banyaknya aliran dana dari daerah lain yang masuk ke Jawa Barat.

Sementara itu, perbaikan pertumbuhan yang signifikan terjadi pada transaksi RTGS dan SKNBI masing-masing

sebesar 23,18% (yoy) dan 87,09% (yoy), dibandingkan dengan pertumbuhan negative pada triwulan sebelumnya

sebesar masing-masing -51,26% (yoy) dan -42,34% (yoy).

0

5

10

15

20

25

30

I II III IV I II III IV I II III IV I II III

2011 2012 2013 2014

Triliun Rp INFLOW OUTFLOW NET (Inflow-Outflow)

-60

-40

-20

0

20

40

60

80

100

0

50

100

150

200

250

300

350

I II III IV I II III IV I II III

2012 2013 2014

%, yoyTriliun Rp RTGS Kliring

Pertumbuhan RTGS - kanan Pertumbuhan Kliring - kanan

Grafik III.3.31.Perkembangan Inflow Outflow Grafik III.3.32.Perkembangan Transaksi Non Tunai

L a p o r a n N u s a n t a r a | 8 0

Kinerja Pengelolaan Uang Tunai

Perkembangan peredaran uang pada triwulan II 2014 masih didominasi oleh aliran inflow. Jumlah aliran uang

kartal yang masuk ke Bank Indonesia Wilayah VI mencapai Rp23,82 triliun, sedangkan aliran outflow mencapai

Rp14,33 triliun. Selain itu, nilai net inflow pada triwulan III 2014 juga mengalami peningkatan dibandingkan

triwulan sebelumnya. Dalam rangka pemenuhan uang tunai di masyarakat, Bank Indonesia bekerjasama dengan

sejumlah perbankan menyediakan ATM Uang Pecahan Kecil (UPK) di beberapa lokasi. Di samping itu, gerakan

nasional non tunai (GNNT) melalui implementasi penggunaan e-money atau instrumen non tunai lainnya sedang

dikembangkan di Kawasan Jatinangor dengan melibatkan 3 Perguruan Tinggi (UNPAD, IPDN dan IKOPIN). Ke depan,

program GNNT juga akan melibatkan Pemprov, Pemkot, Kadin, Pengelola Perparkiran dan beberapa usaha ritel.

PROSPEK PEREKONOMIAN

Prospek Pertumbuhan Ekonomi

Pertumbuhan ekonomi Jabagbar tahun 2015 diperkirakan pada kisaran 5,5% - 5,9% (yoy). Dari sisi permintaan,

konsumsi rumah tangga diperkirakan masih kuat sebagai pengaruh dari peningkatan pendapatan, termasuk

sebagai pengaruh dari kenaikan upah minimum yang sangat berpengaruh pada industri manufaktur(UMP/UMK).

Investasi di Jabagbar diperkirakan juga masih akan tumbuh positif, meskipun dibayangi oleh sejumlah kendala

terkait daya saing, diantaranya adalah kapasitas dan kualitas infrastruktur, tingkat upah dan produktivitas tenaga

kerja. Hal tersebut sangat berdampak pula pada kinerja ekspor manufaktur yang dominan di Jabagbar. Pada tahun

2015, masih terdapat optimisme peningkatan kinerja ekspor, seiring dengan perbaikan perekonomian global.

Meski demikian, perlu dicermati potensi tekanan pada nilai tukar yang dapat berimbas pada kinerja ekspor

manufaktur. Ketergantungan terhadap impor bahan baku dan barang modal oleh industri manufaktur belum akan

berkurang di 2015. Berdasarkan hasil Survei Kegiatan Dunia Usaha (SKDU), terindikasi adanya perbaikan prospek

kegiatan usaha pada sektor ekonomi utama Jabagbar, yakni di sektor industri pengolahan, sektor PHR dan sektor

bangunan. Sektor PHR dan sektor industri pengolahan masih akan menjadi penopang utama perekonomian

Jabagbar, disamping dukungan dari sektor pengangkutan dan komunikasi, serta sektor bangunan. Sementara itu,

perbaikan kinerja sektor pertanian sangat tergantung pada upaya-upaya pemerintah dalam produksi dan

produktivitas pertanian, antara lain melalui perbaikan irigasi, penyediaan infrastruktur dan sistem logistik yang

memadai, serta keterjangkauan alat produksi yang memadai. Penguatan faktor institusi dalam mendukung

peningkatan produksi dan produktivitas pangan melalui utilisasi teknologi juga menjadi hal yang krusial ke depan.

Prospek Inflasi

Inflasi Jabagbar pada tahun 2015 diperkirakan kembali ke pola historisnya dengan proyeksi di kisaran 4,7% - 5,1%

(yoy). Risiko inflasi terutama bersumber dari penyesuaian harga energi di kelompok administered price. Adapun

risiko inflasi terbesar berasal dari rencana kenaikan harga BBM yang berpotensi menaikkan tingkat inflasi secara

signifikan. Dampak dari kenaikan harga BBM di Jabagbar relatif lebih tinggi dibandingkan dengan wilayah lain di

Jawa. Diperkirakan apabila terjadi kenaikan harga BBM sebesar Rp3.000,- pada akhir tahun 2014, inflasi di

Jabagbar di 2015 berpotensi meningkat pada kisaran 6,1% - 6,5% (yoy) yang terutama bersumber dari kenaikan

ongkos transportasi. Ekspektasi inflasi masyarakat terhadap rencana kenaikan BBM bersubsidi diperkirakan sudah

mulai terbentuk di akhir triwulan IV 2014.

Asosiasi pengusaha menyatakan bahwa kenaikan BBM bersubsidi tidak terlalu mengganggu kegiatan usaha. Hal ini

dikarenakan sebagian besar usaha (industri manufaktur) di Jabagbar telah menggunakan BBM non subsidi. Hanya

saja, kenaikan BBM bersubsidi tersebut akan mengganggu kegiatan usaha untuk usaha mikro dan kecil. Menurut

asosiasi pengusaha, timing yang tepat bagi pemerintah untuk menaikkan harga BBM bersubsidi yakni pada

L a p o r a n N u s a n t a r a | 8 1

Desember 2014. Waktu tersebut dianggap tepat agar tidak terlalu berpengaruh pada perkembangan inflasi akhir

tahun 2014, dan rencana kenaikan upah minimum provinsi/kabupaten/kota pada November 2014. Koordinasi TPID

dalam menjaga ketersediaan stok komoditas pangan dan antisipasi terhadap rencana kenaikan BBM bersubsidi

menjadi krusial untuk memitigasi peningkatan tekanan inflasi pada tahun 2015.

Tabel III.3.2. Prakiraan Pertumbuhan Ekonomi dan Inflasi Jawa Bagian Barat

I II III IV Total I* II* III* IVp Totalp Ip Totalp

PDRB (%,yoy) 6.3 6.0 6.1 5.7 6.2 6.0 5.4 5.6 5.5 5.7 5.5 5,3 - 5,7 5,5 - 5,9

Sisi Permintaan

Konsumsi 4.4 4.3 3.8 4.7 4.9 4.4 4.9 4.9 5.2 5.7 5.2 4,8 - 5,2 5,1 - 5,5

Konsumsi swasta 4.6 4.4 4.5 4.1 4.1 4.3 5.1 5.4 5.2 5.3 5.2 4,6 - 5,0 4,8 - 5,2

Konsumsi Pemerintah 1.5 2.9 (3.2) 11.2 13.4 6.5 2.8 (0.9) 5.3 9.6 5.0 7,0 - 7,4 8,2 - 8,6

Pembentukan Modal Tetap Bruto 10.1 10.4 9.7 7.6 5.9 8.4 5.8 4.7 5.5 5.4 5.4 5,6 - 6,0 5,2 - 5,6

Ekspor 6.9 9.1 8.7 10.6 12.4 10.2 8.7 7.6 8.7 8.9 8.2 8,0 - 8,4 8,4 - 8,8

Impor 6.7 13.9 10.8 15.7 14.6 13.8 10.9 8.7 4.9 7.3 7.4 9,0 - 9,4 8,9 - 9,3

Sisi Produksi

Sektor pertanian (0.0) 2.7 1.3 4.6 8.6 4.1 0.9 3.3 1.1 1.0 1.5 1,9 - 2,3 2,2 - 2,6

Sektor pertambangan & penggalian (7.0) 4.6 (7.2) (2.0) 2.8 (0.6) (2.9) 2.9 1.3 1.5 0.6 0,6 - 1,0 1,4 - 1,8

Industri pengolahan 3.7 4.8 5.5 4.9 4.7 5.0 3.4 4.1 3.7 4.1 3.8 3,8 - 4,2 4,1 - 4,5

Listrik, gas & air bersih 8.3 5.4 5.7 6.1 7.2 6.1 10.2 8.2 5.2 5.8 7.2 6,4 - 6,8 6,1 - 6,5

Bangunan 13.0 9.9 10.2 7.2 7.3 8.6 10.7 9.1 10.1 7.2 9.2 6,2 - 6,6 7,3 - 7,7

Perdagangan, hotel & restoran 11.7 7.1 9.1 6.9 7.6 7.6 7.4 6.5 7.4 7.8 7.3 7,1 - 7,5 7,4 - 7,8

Pengangkutan & komunikasi 11.5 11.5 10.5 7.8 6.7 9.0 10.8 9.5 10.8 9.9 10.3 10,2 - 10,6 8,7 - 9,1

Keuangan, persewaan dan jasa perush. 9.7 9.6 8.3 7.8 8.0 8.4 8.1 6.5 8.0 7.5 7.5 7,4 - 7,8 7,3 - 7,7

Jasa-jasa 8.2 7.7 4.0 6.0 5.9 5.9 9.7 8.5 9.2 9.2 9.1 7,6 - 8,0 7,4 - 7,8

Inflasi IHK (%,yoy) 4.0 6.0 6.7 9.4 9.3 9.3 8.00 6.63 4.38 4.97 4.97 4,2 - 4,6 4,7 - 5,1

Sumber: Badan Pusat Statistik, diolah

* angka sementarap proyeks i Bank Indones ia

Pertumbuhan Ekonomi dan Inflasi

Wilayah2012

20152013 2014

L a p o r a n N u s a n t a r a | 8 2

PERTUMBUHAN EKONOMI

Perekonomian wilayah Jakarta tumbuh melambat sebesar 6,0% (yoy) pada triwulan III 2014. Capaian pertumbuhan

ini lebih rendah daripada prediksi awal, dimana perekonomian Jakarta diproyeksikan tumbuh stabil 6,1% (yoy).

Perlambatan ekonomi wilayah Jakarta terutama bersumber dari melambatnya konsumsi rumah tangga dan

menurunnya kinerja investasi. Di sisi lain, kinerja ekspor mengalami peningkatan, sejalan dengan perbaikan

ekonomi global. Demikian pula, konsumsi pemerintah masih mampu tumbuh cukup kuat. Secara sektoral,

perlambatan ekonomi Jakarta disebabkan oleh menurunnya kinerja sektor konstruksi, perdagangan, hotel, dan

restoran (PHR), jasa kemasyarakatan, serta industri pengolahan. Sementara itu, sektor jasa keuangan, persewaan,

dan jasa perusahaan yang memiliki pangsa terbesar mampu tumbuh meningkat dan menopang perekonomian

wilayah Jakarta.

Prospek perekonomian wilayah Jakarta diperkirakan lebih baik pada triwulan IV 2014. Pertumbuhan ekonomi

Jakarta pada triwulan IV 2014 diprakirakan sebesar 6,1% (yoy) dengan dukungan perbaikan pada seluruh

komponen dari sisi permintaan. Perbaikan ekonomi terutama dipengaruhi oleh potensi perbaikan ekspor dengan

berlanjutnya pemulihan ekonomi global serta menguatnya konsumsi rumah tangga. Konsumsi pemerintah juga

diprediksi meningkat sesuai polanya dan menjadi salah satu kunci pertumbuhan ekonomi Jakarta pada triwulan

akhir 2014. Di sisi sektoral, peningkatan kinerja diproyeksikan pada sektor industri pengolahan dan PHR.

Sementara sektor konstruksi dan sektor jasa keuangan, persewaan, serta jasa perusahaan cenderung melemah.

Pada keseluruhan 2014, perekonomian Jakarta diprakirakan mampu tumbuh stabil sebesar 6,1% (yoy) dengan

dukungan utamanya dari konsumsi rumah tangga kelas menengah.

Konsumsi

Konsumsi Rumah Tangga

Konsumsi rumah tangga tumbuh sebesar 5,8% (yoy) pada triwulan III 2014, melambat dibandingkan dengan

pertumbuhan triwulan sebelumnya sebesar 6,1% (yoy). Selain terkait dengan melemahnya aktivitas perekonomian

di Jakarta, konsumsi rumah tangga pada periode Lebaran 2014 juga lebih lemah dibandingkan dengan periode

yang sama pada tahun 2013. Hal tersebut dipengaruhi oleh berdekatannya periode tahun ajaran baru dan Lebaran,

yang menyebabkan sebagian belanja konsumen terbagi pemenuhannya. Hasil liaison ke perusahaan waralaba

mengonfirmasi penurunan jumlah kunjungan dan rata-rata pembelanjaan konsumen. Survei penjualan eceran

pada periode laporan juga menunjukkan adanya kontraksi pertumbuhan penjualan makanan dan minuman serta

barang rumah tangga (Grafik III.4.1). Penjualan kendaraan bermotor sebagai barometer konsumsi rumah tangga di

Jakarta yang umumnya meningkat menjelang Lebaran, juga mengalami perlambatan pada periode Lebaran 2014.4

Pada triwulan IV 2014, konsumsi rumah tangga diprakirakan tumbuh meningkat, sesuai tren musiman peningkatan

belanja rumah tangga pada periode akhir tahun Prediksi ini merujuk pada sejumlah indikator terkini, yakni survei

konsumen dan kredit konsumsi. Survei konsumen mengindikasikan terjaganya keyakinan dan sentimen masyarakat

4 Data Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) menunjukkan penjualan mobil periode Januari-September

tahun 2014 hanya tumbuh sebesar 2,7% (yoy). Angka pertumbuhan tersebut jauh lebih rendah dari capaian pada tahun 2013 untuk periode yang sama, dimana pertumbuhan penjualan mencapai 12,6%.

L a p o r a n N u s a n t a r a | 8 3

terhadap kondisi perekonomian dan dinamika politik pasca terbentuknya pemerintahan baru (Grafik III.4.2).

Persepsi positif konsumen juga terefleksikan pada keyakinan atas peningkatan lapangan kerja dan pendapatan

dalam 6 bulan ke depan. Secara umum, indeks ekspektasi konsumen relatif stabil di tengah rencana kenaikan

harga BBM yang berpotensi memperlemah daya beli masyarakat dan perekonomian dalam jangka pendek. Di sisi

pembiayaan rumah tangga selain pendapatan, ketersediaan kredit konsumsi diperkirakan akan turut mendukung

perbaikan kinerja konsumsi rumah tangga.

-60

-40

-20

0

20

40

60

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9

2013 2014

% yoy

gKredit Konsumsi gPenjualan Makanan Minuman

gPenjualan Barang Rumah Tangga gTotal Penjualan Eceran

60

70

80

90

100

110

120

130

140

150

1 2 3 4 5 6 7 8 91011121 2 3 4 5 6 7 8 91011121 2 3 4 5 6 7 8 91011121 2 3 4 5 6 7 8 91011121 2 3 4 5 6 7 8 9

2010 2011 2012 2013 2014

IndeksIndeks Keyakinan Konsumen (IKK)

Indeks Kondisi Ekonomi Saat Ini (IKE)

Indeks Ekspektasi Konsumen (IEK)

Optimis

Pesimis

Grafik III.4.1. Perkembangan Survei Penjualan Eceran Grafik III.4.2. Indeks Keyakinan Konsumen

Konsumsi Pemerintah

Konsumsi pemerintah pada triwulan III 2014 mengalami pertumbuhan yang signifikan dibandingkan dengan

triwulan sebelumnya. Pertumbuhan konsumsi tercatat sebesar 3,9% (yoy) yang bersumber dari belanja Pemerintah

Pusat (Kementerian/Lembaga). Tumbuh meningkatnya realisasi belanja Pemerintah Pusat didukung terutama oleh

belanja barang. Realisasi belanja Pemerintah Pusat mencapai 65,9% dari target APBN-P, lebih baik dibandingkan

pencapaian dalam 2 tahun terakhir. Sementara itu, realisasi belanja APBD masih sangat rendah yang mana hingga

akhir September 2014 baru mencapai sekitar 27,7% dari total anggaran belanja pada APBD-P. Berdasarkan

proporsinya, 50,4% dari belanja APBD merupakan belanja rutin yang didominasi belanja pegawai, sedangkan

realisasi belanja modal hanya mencapai 3,45% atau terendah dalam kurun waktu 5 tahun terakhir.

Sejalan dengan pola realisasi belanja pemerintah yang cenderung terakselerasi pada triwulan IV 2014, kinerja

konsumsi pemerintah diprakirakan akan meningkat dalam level yang moderat. Restrukturisasi pemerintahan baru

dengan adanya pemekaran Kementerian/Lembaga memberikan konsekuensi pada tambahan penganggaran. Selain

itu, terdapat potensi peningkatan belanja sosial, sejalan dengan program pemerintah baru untuk meningkatkan

pemerataan dan kesejahteraan, khususnya bagi masyarakat miskin yang jumlahnya sekitar 4% dari total penduduk

Jakarta. Namun, belanja Pemerintah Pusat diprediksi tidak setinggi beberapa tahun terakhir mengingat adanya

rasionalisasi anggaran untuk mengurangi risiko defisit fiskal yang lebih besar. Di sisi APBD, serapan anggaran

belanja juga diprakirakan akan lebih rendah dari beberapa tahun terakhir, meskipun terdapat berbagai upaya

untuk mendorong penyerapan anggaran, diantaranya implementasi sistem e-catalog dan e-procurement.

Investasi

Kinerja investasi Jakarta pada triwulan III 2014 mengalami penurunan yang signifikan dengan tumbuh sebesar 2,1%

(yoy), jauh lebih lambat daripada pertumbuhan pada triwulan sebelumnya sebesar 4,2% (yoy). Investasi pada

periode ini masih bersumber dari investasi bangunan berupa pembangunan infrastruktur baik yang dibiayai oleh

pemerintah maupun konsorsium pemerintah dan swasta. Berdasarkan data investasi di Badan Koordinasi

Penanaman Modal (BKPM), terdapat peningkatan investasi PMA yang cukup signifikan (Grafik III.4.3). Sementara

itu, investasi PMDN relatif terbatas dengan masih adanya tendensi sejumlah pelaku usaha untuk menahan

L a p o r a n N u s a n t a r a | 8 4

ekspansi usaha. Di sisi investasi non bangunan, pertumbuhan terindikasi dalam level yang moderat, dalam bentuk

perawatan mesin dan alat produksi. Hingga Agustus 2014, kredit investasi juga masih dalam tren melambat (Grafik

III.4.4).

Prospek investasi di Jakarta pada triwulan IV 2014 masih berpotensi membaik dibandingkan dengan triwulan

laporan. Hal ini didorong oleh akselerasi pembangunan beberapa proyek investasi infrastruktur dalam skala besar,

yakni proyek terminal peti kemas di Kalibaru (New Tanjung Priok Port) dan mass rapid transit (MRT). Di sisi lain,

investasi properti diperkirakan tumbuh moderat dengan masih relatif tingginya tingkat suku bunga dan dinamika

perekonomian serta politik dalam negeri. Tren moderasi pertumbuhan properti komersial juga terkait dengan

kebijakan loan to value (LTV) dan KPR indent rumah kedua. Namun, sebagian pelaku bisnis properti mendukung

upaya mengurangi risiko investasi dengan terjadinya bubble. Diperoleh pula informasi, masih cukup aktifnya

investor asing dari Singapura, Jepang dan Korea dalam mencari peluang investasi pada properti komersial. Di

tengah suplai properti komersial yang relatif terbatas saat ini, harga properti masih meningkat, meskipun tidak

setinggi dan secepat periode sebelumnya. Hal ini menyebabkan tingkat imbal hasil investasi properti komersial

relatif terjaga pada level yang prospektif.

Pada investasi non bangunan, terdapat indikasi membaiknya kinerja investasi pada perusahaan manufaktur yang

berorientasi ekspor, sejalan dengan kebutuhan peningkatan produksi dan efisiensi. Fenomena ini tercermin dari

adanya akselerasi impor barang modal pada akhir triwulan III 2014. Dari hasil liaison ke perusahaan PMA yang

memproduksi barang elektronik, juga diperoleh informasi rencana relokasi produksi dari negara yang memiliki

tingkat upah lebih tinggi dari Indonesia, diantaranya adalah Tiongkok, Jepang, Malaysia, dan Thailand. Sejumlah

produsen otomotif dan komponen dari Asia dan Eropa juga beranggapan meningkatnya daya beli dan permintaan

kelas menengah di regional ASEAN, memberikan ruang ekspansi dan investasi yang cukup besar ke depan.

Membaiknya investasi non bangunan turut didukung oleh upaya perbaikan regulasi dan sistem perijinan5, serta

terjaganya stabilitas ekonomi makro dan politik. Kondisi yang berbeda ditengarai terjadi pada industri manufaktur

yang sebagian besar produknya untuk pemenuhan pasar domestik. Melemahnya permintaan domestik berdampak

pada tertahannya kinerja investasi.

0

5

10

15

20

25

30

35

40

0

50,000

100,000

150,000

200,000

250,000

300,000

350,000

1 2 3 4 5 6 7 8 91011121 2 3 4 5 6 7 8 91011121 2 3 4 5 6 7 8 91011121 2 3 4 5 6 7 8 9

2011 2012 2013 2014

%Rp Miliar

Kredit Investasi g.Kredit Investasi (skala kanan)

Sumber: BKPM, diolah

Grafik III.4.3. Realisasi Investasi PMDN & PMA Grafik III.4.4. Kredit Investasi

5 Dalam survei Ease of Doing Business 2015 (Bank Dunia) yang dilakukan di Jakarta dan Surabaya, terlihat adanya perbaikan

dalam fasilitasi investasi. Peningkatan peringkat dari posisi 117 di 2013 menjadi posisi 114 di 2014 disebabkan oleh adanya

perbaikan perijinan dan sistem perpajakan melalui sistem on-line, serta kemudahan memperoleh listrik. Hal ini juga terkait

dengan upaya optimalisasi Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) baik di level pusat (BKPM) maupun di daerah.

L a p o r a n N u s a n t a r a | 8 5

Perdagangan Luar Negeri

Ekspor

Kinerja ekspor luar negeri Jakarta pada triwulan III 2014 mengalami peningkatan signifikan, sejalan dengan

membaiknya perekonomian global. Ekspor produk Jakarta mampu tumbuh 2,8% (yoy), jauh lebih tinggi

dibandingkan dengan pertumbuhan pada triwulan sebelumnya sebesar 0,8% (yoy) (Grafik III.4.5). Nilai ekspor

produk Jakarta pada triwulan III 2014 tercatat sebesar USD 2,965 juta, tumbuh sekitar 14,2% (yoy), jauh lebih tinggi

daripada periode yang sama di 2013. Peningkatan ekspor terutama terjadi pada kelompok bahan kimia, barang

manufaktur, dan alat transportasi yang bersumber dari kuatnya permintaan dari negara regional Asia (Grafik

III.4.6).

Peningkatan ekspor produk Jakarta diprakirakan masih berlanjut pada triwulan IV 2014. Perbaikan ekspor

terutama didukung oleh pemulihan perekonomian Amerika Serikat (AS) yang merupakan salah satu negara mitra

dagang utama. Dihentikannya program stimulus moneter pada akhir Oktober 2014 merupakan indikasi kuat

pemulihan ekonomi AS yang akan meningkatkan permintaan akan barang-barang konsumsi. Adapun produk

ekspor Jakarta ke pasar AS yang memiliki prospek baik ke depan adalah garmen dan perhiasan. Meski demikian,

perlu dicermati potensi perlambatan ekonomi Tiongkok secara struktural. Hal ini mengingat Tiongkok merupakan

mitra dagang utama Jakarta yang menjadi pasar bagi ekspor produk antara manufaktur. Peningkatan ekspor

manufaktur Jakarta tetap bertumpu pada produk kendaraan bermotor dan komponennya yang memiliki pangsa

terbesar. Prospek ekspor otomotif ke pasar regional (ASEAN) dan pasar-pasar baru seperti Timur Tengah dan Afrika

menjadi andalan dalam mendukung perbaikan ekspor yang permanen di Jakarta. Prospek peningkatan ekspor

otomotif terkonfirmasi dari hasil liaison ke perusahaan komponen spare parts.

Impor

Di tengah tren perbaikan ekspor di Jakarta, nilai dan volume impor pada triwulan III 2014 masih menurun. Namun,

kontraksi pertumbuhan impor tidak sedalam triwulan II 2014 (Grafik III.4.7). Kinerja impor yang menurun

dipengaruhi oleh terbatasnya permintaan barang konsumsi impor pasca-Lebaran. Selain itu, menurunnya investasi

turut menyebabkan lebih rendahnya impor dari sisi barang modal dan bahan baku (Grafik III.4.8). Sempat

melonjaknya impor di tengah triwulan III 2014 ditengarai sebagai langkah antisipasi sejumlah pelaku usaha untuk

meningkatkan stok terkait dengan rencana kenaikan harga BBM yang akan mendorong biaya impor.

Seiring dengan perbaikan ekspor dan investasi, peningkatan kinerja impor Jakarta diperkirakan masih akan terus

berlanjut hingga triwulan IV 2014. Peningkatan impor diprakirakan cukup signifikan yang membawa pertumbuhan

kembali ke level positif. Jenis produk impor yang diprediksi meningkat adalah barang modal dalam bentuk mesin

dan peralatan industri, serta bahan baku pendukung proses produksi. Selain itu, impor yang diidentifikasi cukup

signifikan pada akhir 2014 adalah pengadaan mesin pengeboran tunnel dan alat berat pendukung konstruksi MRT.

Di sisi lain, impor barang konsumsi berpotensi tumbuh terbatas dengan terjadinya kembali pelemahan nilai tukar.

L a p o r a n N u s a n t a r a | 8 6

-40

-20

0

20

40

60

80

1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9

2011 2012 2013 2014

%, yoy

g.Nilai Ekspor g.Volume Ekspor

-60

-40

-20

0

20

40

60

80

100

1 2 3 4 5 6 7 8 91011121 2 3 4 5 6 7 8 91011121 2 3 4 5 6 7 8 91011121 2 3 4 5 6 7 8 9

2011 2012 2013 2014

%

Bahan Kimia Barang Manufaktur Mesin dan Alat Transportasi Grafik III.4.5.Perkembangan Nilai dan Volume

Ekspor Grafik III.4.6. Perkembangan Nilai Ekspor Komoditas

Utama

-80

-60

-40

-20

0

20

40

60

80

100

120

140

1 2 3 4 5 6 7 8 91011121 2 3 4 5 6 7 8 91011121 2 3 4 5 6 7 8 91011121 2 3 4 5 6 7 8 9

2011 2012 2013 2014

%, yoy

g.Nilai Impor g.Volume Impor

(60)

(40)

(20)

0

20

40

60

80

100

1 2 3 4 5 6 7 8 91011121 2 3 4 5 6 7 8 91011121 2 3 4 5 6 7 8 91011121 2 3 4 5 6 7 8 9

2011 2012 2013 2014

%

gNilai Impor Konsumsi gNilai Impor Barang Modal gNilai Impor Bahan Baku

Grafik III.4.7.Perkembangan Nilai dan Volume Impor

Grafik III.4.8.Nilai Impor Berdasarkan Jenis

Kinerja Sektor Utama

Sektor Jasa Keuangan, Real Estate, dan Jasa Perusahaan

Kinerja sektor jasa keuangan, real estate, dan jasa perusahaan yang memiliki pangsa PDRB terbesar (26,7%) di

Jakarta tumbuh meningkat pada triwulan III 2014, di tengah tren perlambatan kredit. Sektor ini tumbuh sebesar

5,2% (yoy) dengan dukungan kinerja perbankan dan pasar modal. Meski pertumbuhan kredit di Jakarta di bawah

target pertumbuhan kredit 2014 sebesar 15%-17%, namun perbankan di Jakarta masih mampu mencatatkan

kenaikan nilai tambah. Hal ini disebabkan oleh melebarnya spread antara suku bunga kredit dan simpanan pada

periode awal triwulan laporan. Selain itu, pendapatan perbankan dari provisi dan komisi juga masih meningkat.

Peningkatan di subsektor jasa perbankan juga didukung oleh kinerja pasar modal dengan Indeks Harga Saham

Gabungan (IHSG) berada di atas level psikologis 5000 (Grafik III.4.9). Kenaikan IHSG bulanan bahkan sempat

mencapai double digit, didorong oleh kepercayaan investor menyusul stabilnya iklim politik pasca terpilihnya

terbentuknya pemerintahan baru. Selain itu, sempat menguatnya nilai tukar hingga ke level Rp11.900 turut

memberikan sentiment positif ke pasar modal.

L a p o r a n N u s a n t a r a | 8 7

0

1000

2000

3000

4000

5000

6000

-10

0

10

20

30

40

50

60

1 2 3 4 5 6 7 8 91011121 2 3 4 5 6 7 8 91011121 2 3 4 5 6 7 8 91011121 2 3 4 5 6 7 8 9

2011 2012 2013 2014

Indeks%, yoy

IHSG (skala kanan) gKredit gIHSG gKapitalisasi

0

500

1000

1500

2000

2500

1 2 3 4 5 6 7 8 91011121 2 3 4 5 6 7 8 91011121 2 3 4 5 6 7 8 91011121 2 3 4 5 6 7 8 9

2011 2012 2013 2014

Indeks

gEmiten Keuangan gEmiten Properti

gEmiten Perdagangan gEmiten Barang Konsumsi

Sumber : CEIC, diolah Sumber : CEIC, diolah

Grafik III.4.9. Perkembangan Pasar Modal dan Kredit Grafik III.4.10. Kinerja Emiten Terpilih Pasar Modal

Subsektor jasa persewaan masih dalam tren melambat sebagai akibat dari melemahnya aktivitas di bisnis

properti pada triwulan III 2014. Kontak liaison mengonfirmasi adanya pelemahan permintaan dan menurunnya

suplai di pasar properti komersial baik gedung kantor, ritel dan hunian komersial. Hal ini menyebabkan kinerja

jasa penyewaan properti komersial mengalami penurunan. Sementara itu, kinerja jasa perusahaan relatif stabil

dengan adanya kenaikan tarif jasa di Jakarta, meskipun aktivitas perekonomian Jakarta yang melemah

berpengaruh pada rasionalisasi penggunaan sejumlah jasa untuk menekan pengeluaran baik korporasi maupun

rumah tangga.

Pertumbuhan pasar keuangan pada triwulan IV 2014 diproyeksikan melambat yang terindikasi dari kinerja pasar

modal (Grafik III.4.10). IHSG kembali melemah dengan masih adanya risiko dari defisit neraca perdagangan dan

fiskal, serta pelemahan nilai tukar. Selain itu, dari sisi global terdapat potensi capital outflow dari pasar keuangan

domestik ke AS, sejalan dengan proses normalisasi kebijakan moneter AS. Pelepasan kepemilikan saham domestik

oleh investor asing ditengarai masih berpotensi terjadi. Indikator pasar modal lainnya adalah Price Earning Ratio

(PER) dari saham di Bursa Efek Indonesia yang sudah menunjukkan sinyal overbought dengan PER 20 - 21 kali. Hal

ini mengindikasikan bahwa IHSG akan tertahan pada level psikologis dalam beberapa waktu ke depan. Adapun hal

positif yang dapat berpengaruh pada ekspektasi pasar modal adalah terjaganya stabilitas ekonomi makro dan arah

kebijakan pemerintahan baru. Di sisi perbankan, pertumbuhan kredit perbankan masih berpotensi tumbuh lebih

lambat dengan masih berlanjutannya risiko pelemahan konsumsi domestik. Kontak liaison mengindikasikan

kecenderungan semakin beratnya beban bunga yang harus ditanggung perusahaan dengan tingkat suku bunga

saat ini. Hal ini mendorong perusahaan untuk lebih menggunakan sumber pembiayaan internal atau membatasi

ekspansi bisnis. Meski demikian, pertumbuhan kredit perbankan diprakirakan masih mampu mencapai double digit

dengan potensi perbaikan investasi dan ekspor ke depan.

Perbaikan kinerja subsektor jasa real estate dan jasa perusahaan diperkirakan juga masih terbatas di triwulan IV

2014. Sesuai pola musimannya, aktivitas bisnis properti cenderung melemah pada masa libur akhir tahun. Lesunya

aktivitas perekonomian dan terbatasnya ekspansi bisnis hingga akhir 2014 juga akan berdampak pada

melambatnya pertumbuhan subsektor jasa perusahaan. Ekspansi belanja pemerintah yang diperkirakan terbatas

dengan adanya pengetatan anggaran, diperkirakan turut memberikan pengaruh pada menurunnya kinerja jasa

perusahaan.

Sektor Industri Pengolahan

Kinerja sektor industri Jakarta pada triwulan III 2014 tumbuh sebesar 3,0% (yoy), lebih lambat dibandingkan

pertumbuhan pada triwulan sebelumnya 3,4%. Hal ini dipicu terutama oleh berkurangnya jam kerja produksi pada

industri manufaktur, sebagai pengaruh dari libur Lebaran. Melambatnya kinerja industri manufaktur juga terkait

dengan indikasi ditahannya produksi otomotif untuk mengantisipasi stok yang besar di tengah menurunnya

L a p o r a n N u s a n t a r a | 8 8

permintaan domestik. Rilis data Gaikindo (Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia) menunjukkan

volume produksi kendaraan roda empat di Jakarta hanya tumbuh sebesar 4,9%, lebih rendah dibandingkan

periode yang sama di 2013.

Kinerja sektor industri pada triwulan IV 2014 diprediksi akan kembali meningkat sejalan dengan perbaikan ekspor.

Indikasi tersebut diperoleh dengan melihat pada tren peningkatan indeks produksi industri secara umum serta

kenaikan impor barang baku (Grafik III.4.11 dan III.4.12). Peningkatan permintaan atas produk hasil industri di

Jakarta diproyeksikan pada produk otomotif, makanan minuman, garmen, dan elektronik. Kinerja produksi di

subsektor otomotif (kendaraan bermotor dan komponennya) berpotensi meningkat dengan adanya kebijakan

pendukung investasi.6 Produksi komponen spare part otomotif berpotensi meningkat baik untuk segmen original

equipment for manufacturer (OEM) maupun untuk segmen pasar suku cadang pengganti atau replacement market

(REM). Kontak liaison produsen komponen kendaraan bermotor memprakirakan pertumbuhan penjualan masih di

kisaran 10%-15% pada periode laporan. Selain itu, laporan liaison pada industri kaca kendaraan bermotor juga

mengindikasikan prospek peningkatan produksi.

90

95

100

105

110

115

120

125

130

0

20,000

40,000

60,000

80,000

100,000

120,000

140,000

1 2 3 4 5 6 7 8 91011121 2 3 4 5 6 7 8 91011121 2 3 4 5 6 7 8 91011121 2 3 4 5 6 7 8 9

2011 2012 2013 2014

IndeksUnit

Produksi Kendaraan Bermotor Indeks Produksi Industri (skala kanan)

-40-30-20-10

0102030405060

I II III IV I II III IV I II III IV I II III

2011 2012 2013 2014

%

gImpor Bahan Baku

gProduksi Manufaktur Besar & Sedang

gProduksi Industri Mikro & Kecil Sumber: CEIC, diolah

Grafik III.4.11. Perkembangan Ekspor Manufaktur Grafik III.4.12. Impor Bahan Baku dan

Pertumbuhan Produksi Manufaktur

Sektor Konstruksi

Pada triwulan III 2014, sektor konstruksi di Jakarta tumbuh melambat signifikan sebesar 5,1% (yoy). Pertumbuhan

tersebut merupakan yang terendah sepanjang 2014. Meskipun terdapat dukungan dari proyek konstruksi

infrastruktur skala besar, pertumbuhan sektor konstruksi pada triwulan laporan jauh lebih rendah daripada

triwulan sebelumnya (5,7%, yoy). Kinerja sektor konstruksi yang menurun signifikan ini disebabkan oleh

perlambatan pembangunan proyek properti komersial dan terhentinya pengerjaan konstruksi pada saat libur

Lebaran. Hingga akhir triwulan III 2014, penjualan eceran semen hanya tumbuh sekitar 5% (yoy), jauh lebih rendah

daripada pertumbuhan triwulan sebelumnya yang mencapai sekitar 14% (yoy). Pertumbuhan bahan-bahan

bangunan pada triwulan III 2014 juga lebih lambat daripada triwulan sebelumnya dan periode yang sama di 2013.

6 Peraturan Menteri Perindustrian No 80/M-IND/PER/9/2014 dalam rangka pendalaman dan pengembangan industri manufaktur kendaraan bermotor diharapkan dapat mendukung ekspansi investasi pada industri otomotif ke depan. Kebijakan tersebut mengatur tingkat keteruraian kendaraan yang diimpor dalam keadaan terurai sama sekali (completely knocked down/CKD) dan kendaraan bermotor dalam keadaan terurai tidak lengkap (incompletely knocked down/IKD). Selain itu, juga dilakukan pengaturan ketentuan Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia (KBLI) untuk setiap jenis industri manufaktur yang bergerak di sektor otomotif.

L a p o r a n N u s a n t a r a | 8 9

Kinerja sektor konstruksi diperkirakan menurun pada triwulan IV 2014. Hal ini merujuk pada data konsumsi semen

hingga Oktober 2014 yang masih menunjukkan berlanjutnya tren penurunan konsumsi semen (Grafik III.4.13).

Diperoleh pula informasi, terjadinya gagal lelang pada sejumlah proyek pembangunan fisik yang didanai APBD,

terkait dengan kendala dalam implementasi sistem online pengadaan. Meski demikian, intensitas pembangunan

fisik sejumlah proyek pembangunan infrastruktur skala besar berpotensi meningkat, khususnya pada konstruksi

proyek terminal peti kemas Kalibaru yang ditargetkan selesai pada akhir 2014. Demikian pula dengan proyek MRT

yang telah masuk pada pengerjaan tunnel bawah tanah.

Terbatasnya pertumbuhan sektor konstruksi juga dipengaruhi oleh prospek properti yang belum akan membaik

pada triwulan IV 2014. Hal tersebut dikonfirmasi oleh perusahaan pengembang maupun konsultan jasa real estate

di Jakarta. Data pertumbuhan harga jual properti residensial yang merupakan proksi tekanan permintaan juga

masih menunjukkan kecenderungan melambat (Grafik III.4.14). Kenaikan suku bunga kredit konstruksi dan

ketentuan KPR indent rumah kedua juga menjadi kendala bagi sejumlah pengembang/kontraktor untuk memulai

pembangunan.

-40

-20

0

20

40

60

80

100

0

100

200

300

400

500

600

700

1 2 3 4 5 6 7 8 91011121 2 3 4 5 6 7 8 91011121 2 3 4 5 6 7 8 91011121 2 3 4 5 6 7 8 9

2011 2012 2013 2014

Ribu Ton %, yoy

Konsumsi Semen (ribu ton) g.Konsumsi Semen (skala kanan)

0

5

10

15

20

25

Tw I Tw II Tw III Tw IV Tw I Tw II Tw III Tw IV Tw I Tw II Tw III Tw IV Tw I Tw II Tw III*

2011 2012 2013 2014

% yoy

gHarga Jual Residensial Tipe Kecil Tipe Menengah Tipe Besar

Sumber : CEIC diolah

Grafik III.4.13. Konsumsi Semen di Jakarta

Grafik III.4.14. Pertumbuhan Harga Properti Residensial di Jakarta

PERKEMBANGAN INFLASI

Tekanan inflasi di Jakarta pada triwulan III 2014 lebih besar dibandingkan triwulan sebelumnya sebagai pengaruh

dari pola musiman Lebaran, dimana terjadi kenaikan permintaan cukup signifikan khususnya ke komoditas pangan

dan sandang. Akan tetapi inflasi Jakarta pada periode Lebaran 2014 ini relatif lebih lemah dibandingkan tahun

sebelumnya, terkait dengan tren perlambatan konsumsi domestik. Dari kelompok administered price, inflasi dipicu

oleh kenaikan tarif tenaga listrik (TTL) secara bertahap oleh pemerintah sebagai upaya penghematan subsidi

energi. Selain itu, kenaikan harga gas LPG 12 kg sebesar Rp1.500/kg di awal September 2014 juga memberikan

dampak yang signifikan terhadap inflasi. Di kelompok volatile food, inflasi selama periode laporan dipicu oleh

kenaikan harga daging sapi, beras, dan bawang merah pada periode menjelang Lebaran. Tekanan inflasi ini

berangsur normal kembali di akhir triwulan III 2014 sejalan dengan stabilnya pasokan. Dari kelompok core

inflation, sempat terjadi kenaikan core inflation yang lebih tinggi dibandingkan rata-rata lima tahunannya. Hal ini

disebabkan oleh kenaikan harga emas dan juga harga sewa/kontrak rumah yang dipengaruhi oleh kenaikan TTL.

Namun, pada akhir periode laporan, koreksi harga emas membuat komponen core inflation menurun cukup

signifikan. Inflasi Jakarta pada triwulan III 2014 tercatat sebesar 4,84% (yoy).

Pada Oktober 2014, inflasi Jakarta tercatat sebesar 5,17% (yoy) dengan sumber tekanan inflasi bersumber dari

kelompok administered prices, yaitu penyesuaian tarif listrik, kenaikan harga bahan bakar rumah tangga (LPG), dan

tarif angkutan udara. Inflasi Jakarta pada triwulan IV 2014 diprakirakan meningkat dengan pengaruh terbesar

L a p o r a n N u s a n t a r a | 9 0

masih dari kebijakan pemerintah (administered prices) dan faktor global. Penyesuaian bertahap TDL yang berakhir

pada November 2014 masih akan memberikan dampak terhadap inflasi. Selain itu, juga terdapat risiko kelangkaan

dan meningkatnya harga LPG 3 kg sebagai pengaruh kenaikan harga LPG 12 kg. Faktor risiko lain yang sangat

signifikan adalah rencana kenaikan harga BBM untuk mengurangi subsidi energi. Hal ini akan mendorong kenaikan

tarif angkutan serta harga-harga barang dan jasa. Dari komponen volatile foods, tekanan inflasi bersumber dari

lonjakan harga cabai dan potensi kenaikan harga beras terkait dengan kinerja produksi dan dampak dari

kekeringan di sejumlah sentra produksi. Sementara itu, tekanan pada komponen core inflation berasal dari

depresiasi nilai tukar terkait dengan kondisi neraca perdagangan dan kenaikan ekspektasi inflasi sebagai pengaruh

dari potensi kenaikan harga BBM. Di sisi lain, kenaikan harga emas dan harga minyak diperkirakan akan lebih

moderat. Harga minyak ke depan diprediksi belum akan meningkat signifikan, sejalan dengan melambatnya

perekonomian Tiongkok dan masih lemahnya ekonomi Eropa.

Koordinasi Pengendalian Inflasi

Perkembangan inflasi Jakarta dalam beberapa triwulan terakhir yang selalu di atas nasional, menjadi perhatian Tim

Pengendalian Inflasi Daerah (TPID) Provinsi DKI Jakarta. Sebagai upaya untuk mengendalikan inflasi Jakarta dalam

kisaran target sasaran inflasi 4,5%±1%, dilakukan Rapat Tim Kebijakan pada September 2014 yang secara khusus

mencermati dinamika tren inflasi Jakarta. Berdasarkan hasil analisis, sejumlah faktor yang menyebabkan lebih

tingginya inflasi Jakarta dibandingkan nasional (Grafik III.4.16) adalah sebagai berikut:

1) Meningkatnya intensitas dampak dari banjir pada inflasi Jakarta. Banjir yang melanda Jakarta dalam 3 tahun

terakhir selalu menjadi penyebab lonjakan inflasi di awal tahun. Terkait dengan hal tersebut,

direkomendasikan adanya upaya pengendalian banjir yang lebih efektif.

2) Kenaikan upah minimum yang cenderung lebih cepat dibandingkan peningkatan produktivitas. Kenaikan

upah minimum ini juga memberikan dampak pada peningkatan upah secara keseluruhan di Jakarta. Dalam

kaitan tersebut, perlu terdapat upaya untuk meningkatkan produktivitas pekerja dan daya saing.

3) Dampak pelemahan nilai tukar rupiah pada inflasi inti di Jakarta yang memengaruhi sebagian barang impor.

(1.0)

(0.5)

0.0

0.5

1.0

1.5

2.0

2.5

3.0

3.5

1 2 3 4 5 6 7 8 91011121 2 3 4 5 6 7 8 91011121 2 3 4 5 6 7 8 91011121 2 3 4 5 6 7 8 9

2011 2012 2013 2014

%, mtm

Jakarta Nasional

KenaikanBBM

Lebaran

Lebaran

LebaranBanjir

Banjir Banjir

Sumber: Badan Pusat Statistik, diolah Sumber: Badan Pusat Statistik, diolah

Grafik III.4.15. Perkembangan Inflasi Jakarta Grafik III.4.16. Inflasi Jakarta dan Nasional

STABILITAS SISTEM KEUANGAN DAN PENGELOLAAN SISTEM PEMBAYARAN

Ketahanan Sektor Korporasi

Pembiayaan keuangan korporasi cukup terjaga di tengah melemahnya kinerja perekonomian dan stance kebijakan

moneter ketat. Secara total, penyaluran kredit perbankan tumbuh sebesar 13,1% (yoy) atau melambat signifikan

dibandingkan dengan pertumbuhan pada triwulan II 2014 yang mencapai 18,8% (yoy) (Grafik III.4.17). Berdasarkan

jenis kredit, perlambatan terjadi pada kredit konsumsi dan kredit modal kerja (Grafik III.4.18). Dari sisi sektoral,

L a p o r a n N u s a n t a r a | 9 1

penyaluran kredit ke perusahaan jasa real estate atau properti mengalami penurunan terdalam, sejalan dengan

melambatnya kinerja bisnis properti komersial (Grafik III.4.19). Penyaluran kredit ke perusahaan perdagangan

besar dan eceran serta industri pengolahan juga menunjukkan perlambatan. Adapun perlambatan kredit di usaha

perdagangan terutama pada kredit modal kerja. Sementara di sektor industri, melambatnya kredit ditengarai

sebagai dampak dari terbatasnya ekspansi industri yang sebagian besar produknya berorientasi pada pasar

domestik. Sementara itu, korporasi multinasional lebih mengandalkan pembiayaan dari sindikasi lembaga

keuangan di luar negeri serta pembiayaan internal untuk ekspansi.

Dana pihak ketiga (DPK) tercatat masih mengalami peningkatan dengan tumbuh sebesar 16% (yoy) pada triwulan

III 2014. Sementara itu, loan to deposit ratio (LDR) mengalami penurunan menjadi sebesar 88% pada periode

laporan. Meskipun terdapat potensi tertahannya ekspansi bisnis dengan melambatnya penyaluran kredit, namun

kebijakan menahan pertumbuhan kredit diperlukan dalam mendukung stabilitas sistem keuangan. Hal ini merujuk

pada indikasi meningkatnya nonperforming loan (NPL) dan ketatnya kondisi likuiditas semenjak awal 2014. Seiring

dengan melambatnya perekonomian, kinerja pendapatan korporasi cenderung melemah dan memengaruhi

kondisi keuangan serta kemampuan untuk melakukan pembayaran bunga kredit.7 Saat ini, korporasi cenderung

lebih berhati-hati dalam menggunakan pembiayaan kredit, salah satunya dengan melakukan pencairan kredit di

bawah plafon yang telah diberikan. Dalam menyikapi tren peningkatan NPL, perbankan juga cenderung lebih

selektif dan berhati-hati dalam menyalurkan kredit.

0

5

10

15

20

25

30

35

0

200

400

600

800

1,000

1,200

1,400

1 2 3 4 5 6 7 8 91011121 2 3 4 5 6 7 8 91011121 2 3 4 5 6 7 8 91011121 2 3 4 5 6 7 8 9

2011 2012 2013 2014

% yoyTriliun Rp

Kredit g.Kredit

(30)

(20)

(10)

0

10

20

30

40

50

1 2 3 4 5 6 7 8 91011121 2 3 4 5 6 7 8 91011121 2 3 4 5 6 7 8 91011121 2 3 4 5 6 7 8 9

2011 2012 2013 2014

% yoy

gKredit Modal Kerja gKredit Investasi gKredit Konsumsi

Grafik III.4.17. Kinerja Penyaluran Kredit Perbankan Grafik III.4.18. Penyaluran Jenis Kredit Perbankan

Secara umum rasio NPL di Jakarta masih terjaga di bawah ambang batas risiko (5%). Rasio NPL di sektor

perdagangan dan industri meskipun dalam tren meningkat, tercatat masing-masing masih sebesar 1,8% dan 2,5%

pada akhir triwulan III 2014. Namun, indikator probability of default (POD) menunjukkan tren penurunan baik di

sektor perdagangan maupun industri. Pada akhir triwulan III 2014, POD yang relatif tinggi dicatatkan oleh

perdagangan eceran dan industri yang memiliki ketergantungan impor cukup tinggi. Depresiasi nilai tukar yang

menyebabkan kenaikan biaya produksi diperkirakan memengaruhi kondisi keuangan, terutama pada korporasi

yang memiliki keterbatasan dalam melakukan passthrough harga ke konsumen akhir. Sementara itu, rasio NPL

terhadap total kredit di sektor real estate, usaha persewaan, dan jasa perusahaan tercatat sekitar 1%, lebih rendah

dibandingkan dengan akhir 2 triwulan terakhir. Rasio NPL di sektor konstruksi yang terkait dengan subsektor real

estate juga cenderung menurun (Grafik III.4.20). Sama halnya dengan POD di sektor perumahan dan konstruksi

yang dalam tren penurunan pada akhir triwulan laporan. Hal ini perlu menjadi perhatian ke depan, mengingat tren

perlambatan sektor konstruksi belum sepenuhnya tercermin pada pemburukan kualitas kredit.

7 Hasil survei kegiatan dunia usaha juga mengindikasikan sentimen negatif terhadap situasi bisnis, terkait dengan lesunya

kegiatan usaha.

L a p o r a n N u s a n t a r a | 9 2

Ketahanan Sektor Rumah Tangga

Di tengah melambatnya kredit sektor rumah tangga, ketahanan sektor rumah tangga relatif masih terjaga pada

triwulan III 2014 (Grafik III.4.21). Sejumlah regulasi yang dikeluarkan untuk menjaga stabilitas sistem keuangan,

diantaranya ketentuan LTV, down payment, dan KPR indent rumah kedua turut berpengaruh pada melambatnya

penyaluran kredit perumahan yang memiliki pangsa terbesar. Berdasarkan jenisnya, pembiayaan kredit pemilikan

rumah (KPR) baik tipe 22 – 70 m2 maupun di atas tipe 70 m2 tumbuh melambat pada periode laporan, sejalan

dengan tren peningkatan suku bunga. Meski relatif stabil, rasio NPL pada sejumlah kredit perumahan masih berada

di level yang cukup tinggi (Grafik III.4.23). Salah satu yang perlu dicermati adalah tingginya rasio NPL untuk kredit

pemilikan apartemen (KPA) dengan luas di bawah 21 meter persegi (m2). Rasio NPL KPA sampai dengan tipe 21 m2

tercatat sebesar 3,2%. Sedangkan untuk kredit pembelian ruko/rukan dan KPR tipe 22 – 70 m2, rasio NPL mencapai

sekitar 2,4%.

Sementara itu, kredit kendaraan bermotor relatif tumbuh stabil dan sebaliknya, kredit multiguna tumbuh

meningkat. Gambaran yang berbeda terlihat pada kinerja penyaluran pembiayaan oleh lembaga keuangan (LK) non

perbankan yang dalam tren melambat(Grafik III.4.22). Perlambatan pembiayaan oleh LK non perbankan yang

cukup signifikan adalah pada pembiayaan leasing kendaraan bermotor. Dari sisi risiko kredit, NPL pada kedua jenis

kredit tersebut tetap dalam tren meningkat dari semenjak awal 2014. Meski demikian, peningkatan NPL kendaraan

bermotor roda dua dan empat relatif kecil dan jauh di bawah ambang batas risiko (Grafik III.4.24)

(80)

(30)

20

70

120

170

1 2 3 4 5 6 7 8 91011121 2 3 4 5 6 7 8 91011121 2 3 4 5 6 7 8 91011121 2 3 4 5 6 7 8 9

2011 2012 2013 2014

% yoy KPR Tipe 22 s.d. 70 KPR Tipe > 70

Roda Empat Multiguna

-10

0

10

20

30

40

50

60

70

80

90

1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9

2011 2012 2013 2014

%, yoy

gTotal Pembiayaan gLeasing gPembiayaan Konsumen Grafik III.4.21. Perkembangan Kredit Perbankan ke

Rumah Tangga Grafik III.4.22. Kinerja Penyaluran Kredit LK

NonPerbankan

(20)

0

20

40

60

80

100

1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9

2011 2012 2013 2014

% yoy

4. INDUSTRI PENGOLAHAN

7. PERDAGANGAN BESAR DAN ECERAN

10. PERANTARA KEUANGAN

11. REAL ESTATE, USAHA PERSEWAAN, DAN JASA PERUSAHAAN

0.00

0.50

1.00

1.50

2.00

2.50

3.00

3.50

4.00

4.50

5.00

1 2 3 4 5 6 7 8 91011121 2 3 4 5 6 7 8 91011121 2 3 4 5 6 7 8 91011121 2 3 4 5 6 7 8 9

2011 2012 2013 2014

% Rasio NPL Industri

Rasio NPL Perdagangan

Rasio NPL Konstruksi

Rasio NPL Real Estate & Jasa Perusahaan

Grafik III.4.19. Kredit Bank berdasarkan Sektor Ekonomi

Grafik III.4.20. Rasio NPL Kredit Sektor Utama Perbankan

L a p o r a n N u s a n t a r a | 9 3

-1

0

1

2

3

4

5

6

1 2 3 4 5 6 7 8 91011121 2 3 4 5 6 7 8 91011121 2 3 4 5 6 7 8 91011121 2 3 4 5 6 7 8 9

2011 2012 2013 2014

%

Rasio NPL KPR Tipe 22 s.d. 70 Rasio NPL KPA s.d. Tipe 21

Rasio NPL Ruko/ Rukan

0

1

2

3

4

5

6

1 2 3 4 5 6 7 8 91011121 2 3 4 5 6 7 8 91011121 2 3 4 5 6 7 8 91011121 2 3 4 5 6 7 8 9

2011 2012 2013 2014

%

Rasio NPL Sepeda Motor Rasio NPL Keperluan Multiguna

Rasio NPL Roda Empat Grafik III.4.23. Rasio NPL Kredit Rumah Tangga Grafik III.4.24. Rasio NPL Kredit Konsumsi

Pembiayaan Sektor Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM)

Pertumbuhan penyaluran kredit di sektor UMKM di Jakarta masih dalam tren yang meningkat pada triwulan III

2014. Kredit UMKM tercatat tumbuh sebesar 14,6% (yoy) pada akhir September 2014, jauh lebih tinggi

dibandingkan dengan pertumbuhan pada akhir triwulan II 2014 sebesar 10,4% (yoy). Relatif terjaganya tingkat

suku bunga UMKM yang tercatat sebesar 12,35% pada akhir triwulan III 2014, turut mendukung kinerja penyaluran

kredit UMKM di Jakarta. Adanya ketentuan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) untuk mengalokasikan 15% dari total

kredit ke UMKM pada tahun 2015, diprediksi akan menjadi faktor utama pendorong penyaluran kredit UMKM ke

depan. Namun, perlu dicermati kenaikan NPL UMKM seiring dengan meningkatnya pertumbuhan kredit. Rasio NPL

UMKM tercatat sebesar 2,9% pada akhir triwulan III 2014, jauh lebih tinggi daripada rasio NPL pada akhir triwulan

II 2014 yang hanya mencapai 2,3%.

Kinerja Sistem Pembayaran

Perlambatan pertumbuhan ekonomi DKI Jakarta juga tercermin kinerja sistem pembayaran dengan menurunnya

nilai transaksi RTGS pada triwulan III 2014. Nilai transaksi RTGS turun dari Rp46,6 triliun pada triwulan II 2014

menjadi Rp44,6 triliun pada triwulan III 2014. Dilihat dari sisi volume transaksi, transaksi RTGS juga mengalami

penurunan dari rata-rata 18.189 warkat per hari menjadi 15.399 warkat per hari. Penurunan transaksi dan volume

RTGS mengindikasikan pula penurunan kecepatan peredaran uang di Jakarta, sejalan dengan melemahnya aktivitas

perekonomian dan investasi.

Kinerja Pengelolaan Uang Tunai

Sesuai dengan data pada triwulan III 2014, Jakarta mengalami net outflow sebesar Rp31,7 triliun. Peningkatan

outflow yang tercatat lebih besar dibanding dengan inflow terkait dengan penyelenggaraan kegiatan Pemilu 2014

dan pemenuhan kebutuhan uang pada masa puasa dan Lebaran. Adapun temuan uang palsu di wilayah Jakarta

tetap melanjutkan tren penurunan sejalan dengan semakin ketatnya pengawasan.

-

500,000

1,000,000

1,500,000

2,000,000

2,500,000

3,000,000

3,500,000

4,000,000

4,500,000

5,000,000

-

200,000

400,000

600,000

800,000

1,000,000

1,200,000

I II III IV I II III IV I II III

2012 2013 2014

Rp MiliarRibu lembar

Volume Nominal (skala kanan)

(40)

(30)

(20)

(10)

0

10

20

30

40

50

60

I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I II III

2010 2011 2012 2013 2014

Triliun Rp

Inflow Outflow Net Outflow

Grafik III.4.25. Transaksi Kliring Grafik III.4.26. Inflow - Outflow

L a p o r a n N u s a n t a r a | 9 4

PROSPEK PEREKONOMIAN

Prospek Pertumbuhan Ekonomi

Perekonomian Jakarta diprakirakan tumbuh relatif stabil pada kisaran 5,8% - 6,2% (yoy) di 2015. Meskipun

demikian, perekonomian Jakarta masih dihadapkan pada beberapa tantangan yang berpotensi menahan laju

pertumbuhan di 2015. Peningkatan upah dan biaya hidup maupun biaya produksi, relokasi industri terkait lahan,

dan masih melambatnya sektor properti diprediksi akan menjadi penahan ekonomi Jakarta untuk tumbuh lebih

tinggi di 2015. Di sisi lain, resiliensi konsumsi kelas menengah diprediksi masih terjaga, iklim investasi akan semakin

membaik dan ekspor akan mengalami peningkatan dengan perbaikan ekonomi global dan sistem logistik, termasuk

pengoperasian terminal peti kemas Kalibaru. Stabilitas politik dan ekonomi makro juga akan mendukung stabilnya

perekonomian Jakarta ke depan. Di sisi sektoral, peningkatan kinerja diproyeksikan pada sektor industri

pengolahan dan sektor jasa keuangan, persewaan, jasa perusahaan. Pemberlakuan pasar tunggal ASEAN 2015

diprediksi belum akan memberikan keuntungan pada perekonomian Jakarta dalam jangka pendek. Peningkatan

ekspor jasa Jakarta dalam kerangka kerja sama MEA cenderung masih terhambat oleh kendala infrastruktur dan

rendahnya daya saing.

Prospek Inflasi

Prospek inflasi Jakarta pada 2015 diprakirakan melambat ke kisaran 4,3% - 4,7% (yoy) dengan (skenario baseline).

Namun, dengan kenaikan harga BBM sebesar Rp3.000,- di akhir tahun 2014, maka inflasi Jakarta diprediksi akan

berada pada kisaran 5,8% - 6,2% (yoy) pada 2015. Hal tersebut terkait dengan peningkatan ekspektasi inflasi dan

dampak lanjutan ke tarif angkutan darat. Meningkatnya ekspektasi inflasi tercermin dari hasil survei konsumen

semenjak bulan Oktober 2014. Ditengarai sebagian pelaku usaha telah melakukan penyesuaian harga untuk

mengantisipasi kenaikan harga BBM. Dinamika ekonomi makro, khususnya pergerakan nilai tukar juga turut

memengaruhi realisasi inflasi Jakarta di 2015. Tekanan nilai tukar yang berpotensi menurun dengan adanya

kenaikan harga BBM akan mendukung terjaganya inflasi inti di Jakarta. Selain itu, prospek harga emas dan minyak

yang menurun juga menjadi faktor positif bagi inflasi Jakarta, di tengah risiko peningkatan inflasi administered

prices, khususnya berupa penyesuaian biaya energi.

L a p o r a n N u s a n t a r a | 9 5

Tabel III.4.1.Prakiraan Pertumbuhan Ekonomi dan Inflasi Jakarta

I II III IV Total I II III IVp Totalp Ip Totalp

PDRB (%,yoy) 6.5 6.5 6.3 6.2 5.6 6.1 6.0 6.1 6.0 6.1 6.1 5.8 - 6.2 5.8 - 6.2

Sisi Permintaan

Konsumsi 5.8 5.3 5.6 6.2 5.6 5.7 6.4 5.7 5.7 5.8 5.9 5.0 - 5.4 5.4 - 5.8

Konsumsi swasta 6.3 5.7 5.9 6.0 5.7 5.8 6.1 6.1 5.8 6.0 6.0 5.6 - 6.0 5.6 - 6.0

Konsumsi Pemerintah 1.1 0.4 2.8 9.5 5.2 4.7 10.7 1.0 3.9 4.4 5.7 2.2 - 2.6 3.6 - 4.0

Pembentukan Modal Tetap Bruto 9.0 5.9 5.0 4.7 5.3 5.3 5.8 4.2 2.1 2.5 3.9 2.8 - 3.2 2.9 - 3.3

Ekspor 6.3 5.7 4.7 3.3 0.6 3.5 0.5 0.8 2.8 3.5 2.5 3.4 - 3.8 3.7 - 4.1

Impor 7.0 4.3 3.2 2.2 0.1 2.5 0.1 -1.1 -0.1 0.9 0.7 1.1 - 1.5 1.3 - 1.7

Sisi Produksi

Sektor pertanian 0.8 1.5 0.7 2.7 1.8 1.6 1.5 0.9 (1.2) 0.7 0.9 0.7 - 1.1 0.2 - 0.6

Sektor pertambangan & penggalian (0.9) (0.4) (0.7) (1.0) (1.3) (0.8) (1.6) (1.6) (1.6) (0.8) (1.1) (1.5) - (1.1) (1.6) - (1.2)

Industri pengolahan 2.4 1.9 1.5 2.8 3.3 2.4 3.9 3.4 3.0 3.4 3.5 3.2 - 3.6 3.3 -3.7

Listrik, gas & air bersih 4.5 3.8 2.6 1.7 2.5 2.9 2.1 2.6 2.4 3.1 2.8 1.9 - 2.3 1.5 - 1.9

Bangunan 6.9 6.5 6.3 5.7 6.1 5.7 5.8 5.7 5.1 4.9 5.5 4.6 - 5.0 4.7 - 5.1

Perdagangan, hotel & restoran 7.2 7.2 7.2 6.6 4.8 6.4 5.6 5.8 5.5 5.6 5.7 5.2 - 5.6 5.3 - 5.7

Pengangkutan & komunikasi 11.8 11.4 11.4 10.9 9.8 10.8 10.6 11.5 11.4 11.5 11.2 10.3 - 10.7 10.8 - 11.2

Keuangan, persewaan dan jasa perush. 5.4 5.7 5.4 5.0 4.6 5.2 4.6 4.6 5.2 5.1 4.6 4.8 - 5.2 4.8 - 5.2

Jasa-jasa 7.6 7.5 7.4 7.9 7.4 7.5 7.6 7.8 7.3 7.3 7.5 6.9 - 7.3 7.0 - 7.4

Inflasi IHK (%,yoy) 4.5 5.7 5.7 8.4 8.0 8.0 7.8 7.1 4.8 5.3 5.3 4.7 - 5.1 4.3 - 4.7

Sumber: Badan Pusat Statis tik, diolahp Proyeks i Bank Indones ia

Pertumbuhan Ekonomi dan Inflasi

Wilayah2012

2013 2014 2015

L a p o r a n N u s a n t a r a | 9 6

Halaman ini sengaja dikosongkan

Pertumbuhan ekonomi Sumatera pada triwulan III 2014 mencapai 4,5% (yoy), melambat dibandingkan dengan

triwulan sebelumnya yang mencapai 4,9%. Perlambatan ini terjadi hampir di seluruh provinsi di Sumatera. Dari

sisi permintaan, perlambatan ekonomi dipengaruhi oleh perlambatan investasi dan konsumsi rumah tangga

akibat perlambatan dua sektor utama Sumatera, yaitu pertanian dan pertambangan. Perlambatan sektor

pertanian dipengaruhi oleh menurunnya kinerja perkebunan karet di sejumlah provinsi seperti Sumatera

Selatan, Jambi, dan Bengkulu akibat kekeringan dan harga yang belum membaik. Sementara itu, perlambatan

sektor pertambangan disebabkan oleh penurunan produksi minyak di Provinsi Riau dan gas di Provinsi Aceh.

Inflasi Sumatera sepanjang triwulan III 2014 berada dalam tren yang menurun didukung pasokan yang terjaga.

Beberapa komoditas pangan bahkan mencatat koreksi harga ke bawah, terutama komoditas daging dan aneka

bumbu. Selain itu, berakhirnya base effect kenaikan harga BBM bersubsidi pada tahun 2013 juga membuat

inflasi kembali ke pola normalnya yaitu sekitar 4% - 5% (yoy). Kendati demikian, tekanan inflasi di beberapa

daerah, seperti di Sumatera Barat, mulai menunjukkan peningkatan akibat permintaan beras dan cabai merah

yang tinggi di tengah keterbatasan pasokan.

Pertumbuhan pembiayaan ekonomi melalui perbankan di Sumatera pada triwulan III 2014 menunjukkan

perlambatan, seiring dengan perlambatan aktivitas ekonomi di kawasan tersebut. Kredit korporasi tercatat

tumbuh sebesar 10,9% (yoy), setelah pada triwulan sebelumnya tumbuh sebesar 17,6%. Kondisi ini

dipengaruhi oleh relatif lambatnya proses perbaikan ekonomi global yang menyebabkan harga internasional

beberapa komoditas ekspor utama masih mengalami penurunan. Pelemahan harga komoditas internasional

diperkirakan masih berlanjut hingga akhir tahun 2014. Hal ini perlu dicermati, terutama dampaknya terhadap

peningkatan nonperforming loan (NPL) pada kredit sektor perkebunan, meskipun saat ini NPL secara umum

masih terjaga pada level 3,3%. Sejalan dengan kredit korporasi, kredit yang disalurkan perbankan ke rumah

tangga juga tumbuh melambat, yakni dari 10,3% (yoy) menjadi 9,7%, terutama pada kredit pemilikan rumah,

ruko, dan apartemen.

Pada triwulan IV 2014, kinerja ekonomi Sumatera diperkirakan akan mengalami perbaikan. Investasi yang

membaik dan masih tingginya konsumsi rumah tangga menjadi faktor pendukung perbaikan kinerja ekonomi

Sumatera. Perbaikan investasi didukung oleh peningkatan pembangunan proyek pemerintah pada akhir

tahun. Sementara itu, masih tingginya konsumsi rumah tangga didorong oleh pola musiman akhir tahun serta

membaiknya sektor pertanian. Di sisi lain, impor diprakirakan mengalami perlambatan akibat menurunnya

impor pupuk untuk kelapa sawit yang telah mencapai puncaknya pada triwulan III 2014. Dari sisi sektoral,

perekonomian Kawasan Sumatera akan ditopang oleh perbaikan kinerja sektor pertanian, industri

pengolahan, dan konstruksi. Sektor pertanian diperkirakan membaik sejalan dengan meningkatnya kinerja

perkebunan kelapa sawit di Riau, Sumatera Utara, dan Sumatera Selatan. Sementara itu, sektor industri

pengolahan diperkirakan meningkat, seiring dengan perbaikan kinerja sektor pertanian, produksi makanan

dan minuman di Lampung untuk kebutuhan ekspor dan domestik akhir tahun, serta proyek industri

pengolahan besi dan baja di Kepulauan Riau yang akan selesai pada akhir tahun. Seiring dengan peningkatan

realisasi proyek pemerintah, sektor konstruksi diprakirakan tumbuh membaik. Namun, beberapa faktor risiko

diperkirakan masih membayangi perbaikan kinerja ekonomi Sumatera pada triwulan IV 2014. Perlambatan

ekonomi Tiongkok dan harga-harga komoditas yang masih cenderung rendah menjadi faktor penahan

perbaikan ekonomi Sumatera. Faktor risiko tersebut memengaruhi ekonomi Sumatera melalui jalur ekspor,

terutama crude palm oil (CPO) dan karet. Di samping itu, pemanfaatan teknologi baru di bidang pertambangan

L a p o r a n N u s a n t a r a | 98

minyak masih belum mampu meningkatkan lifting minyak. Teknologi baru tersebut hanya mampu menahan

laju penurunan lifting minyak.

Bila dilihat secara keseluruhan tahun 2014, perekonomian Sumatera diperkirakan akan mengalami

perlambatan dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Dari sisi permintaan, perlambatan disebabkan oleh

menurunnya konsumsi rumah tangga dan ekspor, seiring dengan menurunnya sektor pertanian,

pertambangan, dan industri pengolahan. Perlambatan tersebut memengaruhi pendapatan masyarakat yang

bergantung pada sektor-sektor tersebut. Sektor pertanian melambat terutama pada subsektor perkebunan,

khususnya komoditas karet dan kelapa sawit akibat harga komoditas CPO yang terus menurun. Kinerja sektor

primer lainnya, yaitu pertambangan, masih mengalami kontraksi hingga akhir tahun 2014, akibat penurunan

produksi minyak di Riau, gas di Aceh, dan harga komoditas batubara dan timah yang belum membaik.

Perlambatan sektor perkebunan dan pertambangan Sumatera tersebut turut memengaruhi perlambatan

sektor industri pengolahan Sumatera yang mayoritas mengolah komoditas perkebunan dan pertambangan.

Memasuki triwulan IV 2014, tekanan inflasi di kawasan Sumatera kembali meningkat. Pada bulan Oktober

2014, inflasi tercatat sebesar 4,65% (y.o.y) terutama bersumber dari administered price. Kenaikan harga LPG

12 kg terindikasi ikut mendorong kenaikan permintaan dan harga LPG 3 kg. Selain itu, kenaikan tarif listrik dan

batas atas tarif angkutan udara turut mendorong tekanan inflasi yang lebih tinggi. Atas dasar itu, laju inflasi

pada akhir triwulan IV diperkirakan lebih tinggi daripada triwulan III. Seperti di kawasan-kawasan lain, salah

satu faktor risiko terhadap inflasi di Sumatera adalah rencana kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM)

bersubsidi. Menghadapi berbagai risiko tersebut, koordinasi Tim Pengendalian Inflasi Daerah (TPID) semakin

diperlukan untuk memperoleh solusi pencegahan dampak lanjutan dari kebijakan administered price yang

diambil pemerintah, sehingga tingkat inflasi sepanjang tahun 2014 relatif dapat terjaga.

Pada tahun 2015, ekonomi Sumatera diprakirakan tumbuh pada kisaran 4,7% - 5,1%. Ekspor yang membaik,

terutama didorong oleh perbaikan kinerja sektor pertanian dan industri pengolahan, menjadi pendukung

utama kinerja ekonomi Sumatera. Perbaikan kinerja ekspor tersebut sejalan dengan perbaikan ekonomi dunia,

terutama Eropa dan Amerika Serikat yang menjadi pasar produk perkebunan karet dan industri pengolahan

Sumatera. Meski demikian, pertumbuhan ekonomi Tiongkok yang diperkirakan masih belum menguat pada

tahun 2015 menjadi faktor risiko yang dapat menahan optimisme kinerja ekspor Sumatera, terutama ekspor

CPO dan batubara. Selain ekspor, kinerja ekonomi Sumatera tahun 2015 juga akan didorong oleh investasi

yang meningkat, terutama investasi bangunan, seperti pembangunan pelabuhan Sungai Lais di Sumatera

Selatan dan double track batu bara di lintas Sumatera Selatan-Lampung, serta pembangunan pabrik industri

pengolahan semen di Padang dan pabrik ban serta besi-baja di Kepulauan Riau.

Inflasi di kawasan Sumatera pada tahun 2015 diprakirakan stabil pada kisaran 4,6% - 5,0% dengan

kecenderungan bias ke atas. Beberapa faktor risiko yang diperkirakan akan memengaruhi tekanan inflasi

mendatang, antara lain produksi bahan makanan yang tumbuh terbatas akibat pergeseran musim tanam di

Sumatera Selatan, Lampung dan Pulau Jawa, berlanjutnya kenaikan TTL rumah tangga kelompok 1500 - 6600

VA dan 450 - 900 VA, serta kenaikan LPG 3 kg.

L a p o r a n N u s a n t a r a | 99

PERTUMBUHAN EKONOMI

Perekonomian Sumatera Bagian Selatan (Sumbagsel) pada triwulan III 2014 melambat dikontribusi oleh

konsumsi rumah tangga dan investasi. Turunnya kinerja konsumsi rumah tangga tidak terlepas dari

melemahnya kinerja sektor utama Sumbagsel yaitu pertanian dan industri pengolahan. Sektor pertanian

mencatat pertumbuhan yang lebih rendah dari triwulan sebelumnya, terutama disebabkan oleh perlambatan

subsektor perkebunan karet di Sumatera Selatan dan Bengkulu. Kondisi subsektor perkebunan karet yang

belum kunjung membaik tersebut menyebabkan industri pengolahan hasil perkebunan di Sumbagsel juga

turut melambat. Sementara itu, investasi mengalami perlambatan yang cukup dalam, terutama investasi

bangunan. Hal ini terkait dengan rendahnya aktivitas di sektor bangunan.

Pada triwulan IV 2014, perekonomian Sumbagsel diprakirakan tumbuh lebih baik dibandingkan dengan

triwulan sebelumnya. Pertumbuhan ekonomi Sumbagsel diprakirakan bersumber dari konsumsi rumah tangga

dan investasi. Masuknya masa panen kelapa sawit, diprakirakan akan berdampak positif bagi petani, terutama

dari sisi pendapatan. Hal ini akan menguatkan daya beli dan mendorong aktivitas konsumsi rumah tangga.

Selain itu, meningkatnya konsumsi rumah tangga juga dipicu oleh faktor musiman jelang akhir tahun. Aktivitas

belanja masyarakat diprakirakan akan meningkat, terkait dengan perayaan Natal dan tahun baru. Selanjutnya,

melimpahnya tandan buah segar, hasil panen kelapa sawit, akan memberikan dampak yang positif bagi

aktivitas di industri yang mengolah kelapa sawit (CPO). Sementara itu, investasi yang membaik diprakirakan

disebabkan oleh membaiknya investasi bangunan, sejalan dengan meningkatnya akitvitas di sektor konstruksi.

Berdasarkan perkembangan ekonomi selama triwulan III dan asesmen triwulan IV 2014, pertumbuhan

ekonomi Sumbagsel pada tahun 2014 diprakirakan lebih rendah dibandingkan dengan tahun 2013. Hal

tersebut disebabkan oleh belum pulihnya perekonomian global yang berdampak pada harga komoditas

internasional yang masih menurun. Kinerja sektor utama Sumbagsel, yang mayoritas mengandalkan produk

sumber daya alam, yaitu karet dan CPO, juga terkena imbasnya. Harga komoditas yang belum beranjak

membaik menjadi penghambat ekspor Sumbagsel. Selanjutnya, kinerja ekspor yang lebih rendah menahan

kegiatan konsumsi rumah tangga dan menurunkan kinerja perekonomian Sumbagsel secara umum.

Konsumsi

Konsumsi Rumah Tangga

Konsumsi rumah tangga pada triwulan III 2014 melambat dibandingkan dengan triwulan II 2014, yaitu dari

6,1% (yoy) menjadi 5,3% (yoy). Menurunnya pertumbuhan konsumsi rumah tangga tersebut disebabkan oleh

perlambatan subsektor perkebunan, yang merupakan mata pencaharian utama masyarakat Sumbagsel.

Kinerja subsektor pertanian yang belum menunjukkan tanda-tanda perbaikan menyebabkan nilai tukar petani

(NTP), terutama di Sumatera Selatan dan Bengkulu, juga terus menunjukkan pertumbuhan negatif hingga

September 2014. Hal tersebut mencerminkan penurunan tingkat kesejahteraan petani. Sejalan dengan hal

itu, kredit konsumsi perbankan juga menunjukkan perlambatan dari 10,3% (yoy) menjadi 9,9% (yoy) (Grafik

IV.1.1).

Pada triwulan IV 2014, konsumsi rumah tangga diperkirakan tumbuh meningkat. Hasil Survei Konsumen (SK)

hingga Oktober 2014 menunjukkan bahwa Indeks Keyakinan Konsumen (Grafik IV.1.2) mengalami

peningkatan. Selain itu, beberapa event seperti Pekan Olahraga Mahasiswa Asean dan Festival Film Indonesia

L a p o r a n N u s a n t a r a | 100

pada Desember 2014 di Palembang diperkirakan dapat mendorong konsumsi pada triwulan IV 2014. Namun,

adanya perlambatan kinerja sektor utama Sumbagsel mengurangi pendapatan masyarakat secara umum,

sehingga konsumsi masyarakat tahun 2014 masih relatif lebih rendah dibandingkan dengan konsumsi pada

tahun 2013.

0.00

10.00

20.00

30.00

40.00

50.00

60.00

0

10

20

30

40

50

60

I II III IV I II III IV I II III IV I II III

2011 2012 2013 2014

%yoyRp Triliun Kredit Konsumsi

gKredit Konsumsi (RHS)

90

100

110

120

130

140

150

I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV*

2011 2012 2013 2014

IKK IKE IEK

* hingga Oktober 2014

Grafik IV.1.1. Kredit Konsumsi Grafik IV.1.2. Survei Konsumen

Konsumsi Pemerintah

Konsumsi Pemerintah di wilayah Sumbagsel mengalami peningkatan seiring dengan realisasi gaji ke-13 dan

pengadaan barang pemerintah. Konsumsi pemerintah tumbuh dari 5,2% (yoy) pada triwulan II 2014 menjadi

8,8% (yoy) pada triwulan III 2014. Hal tersebut tercermin dari realisasi belanja Pemda di Sumbagsel yang

mengalami peningkatan 83,3% (yoy) dari triwulan sebelumnya yang mengalami penurunan 6,5% (yoy) (Grafik

IV.1.3). Peningkatan belanja pemerintah daerah juga tercermin dari perlambatan giro Pemda di perbankan

dari 7,94% (yoy) menjadi 4,92% (yoy) pada triwulan III 2014, (Grafik IV.1.4).

Pada triwulan IV 2014, konsumsi Pemerintah diprakirakan melambat setelah tumbuh tinggi pada triwulan III

2014. Kementerian/Lembaga melakukan penghematan anggaran guna mengurangi defisit anggaran.

Penghematan dilakukan melalui surat edaran dari pemerintah agar kegiatan pemerintah menggunakan

fasilitas negara dikurangi. Meski demikian, konsumsi Pemerintah pada tahun 2014 mengalami peningkatan

dibandingkan dengan tahun 2013, sebagai dampak dari besarnya pengeluaran terkait pemilihan umum

legislatif dan Presiden yang dilakukan sepanjang tahun 2014.

(40) (20)

- 20 40 60 80

100 120 140 160

I II III IV I II III

2013 2014

%yoy Pertumbuhan Pendapatan

Pertumbuhan Belanja

-60,00

-40,00

-20,00

0,00

20,00

40,00

60,00

80,00

0

2

4

6

8

10

12

I II III IV I II III IV I II III IV I II III

2011 2012 2013 2014

%yoyRp Triliun

Giro Pemda gGiro Pemda

Grafik IV.1.3. Pertumbuhan Pendapatan dan Belanja APBD

Grafik IV.1.4. Giro Pemda

Investasi

Pada triwulan III 2014 investasi menunjukkan pertumbuhan yang lebih rendah dibandingkan dengan triwulan

sebelumnya. Realisasi investasi Sumbagteng tercatat tumbuh sebesar 2,2% (yoy), melambat dibandingkan

L a p o r a n N u s a n t a r a | 101

dengan triwulan II 2014 sebesar 5,0% (yoy). Turunnya kinerja investasi tersebut disebabkan investasi

bangunan yang masih terbatas. Melambatnya kegiatan investasi bangunan juga tercermin dari melambatnya

pertumbuhan kredit investasi (Grafik IV.1.5) dan penjualan semen di wilayah Sumbagsel.

Pada triwulan IV 2014, investasi diprakirakan meningkat. Data menunjukkan bahwa PMA dan PMDN (Grafik

IV.1.6) Sumbagsel masih tumbuh tinggi hingga triwulan III 2014 sehingga diperkirakan investasi pada triwulan

mendatang akan mengalami peningkatan. Beberapa pengusaha melakukan investasi seperti replanting

perkebunan karet dan pendirian dua pabrik pengolahan karet di Provinsi Lampung, serta ekspansi usaha

dengan berdirinya outlet-outlet dealer mobil, cabang perbankan, serta cabang retailer baru di Sumatera

Selatan dan Lampung. Bila investasi keseluruhan tahun 2014 dibandingkan dengan tahun 2013, maka

pertumbuhan investasi tahun 2014 diprakirakan lebih rendah dari tahun sebelumnya. Hal tersebut terkait

dengan perilaku investor yang cenderung menahan realisasi investasi pada tahun 2014. Selain itu, karena

kondisi sektor pertanian yang masih belum membaik, para pengusaha menahan investasi di subsektor

perkebunan.

0

10

20

30

40

50

60

70

80

0

5

10

15

20

25

30

35

40

45

50

I II III IV I II III IV I II III IV I II III

2011 2012 2013 2014

%yoyRp Triliun Kredit Investasi gKredit (RHS)

-200

0

200

400

600

800

1000

I II III IV I II III IV I II III IV I II III

2011 2012 2013 2014

PMA

PMDN

%yoy

Grafik IV.1.5. Penyaluran Kredit Investasi Grafik IV.1.6. Pertumbuhan Realisasi PMA dan PMDN

Perdagangan Luar Negeri

Ekspor

Pertumbuhan ekspor Sumbagsel pada triwulan III 2014 meningkat signifikan. Lonjakan ekspor tersebut

didorong oleh total volume ekspor luar negeri Sumbagsel yang meningkat hingga 26,7% (yoy) dibandingkan

dengan volume ekspor luar negeri periode yang sama tahun sebelumnya. Peningkatan tersebut didorong oleh

peningkatan ekspor minyak kelapa sawit, batubara, dan timah yang tumbuh masing-masing hingga 48,9%

(yoy), 31,7% (yoy), dan 18,8% (yoy). Peningkatan minyak kelapa sawit disebabkan produksi kelapa sawit yang

semakin meningkat menjelang akhir tahun (Grafik IV.1.8). Peningkatan ekspor batubara disebabkan oleh

perilaku penambang untuk mengoptimalkan ekspor sebelum diberlakukannya peraturan Eksportir Terdaftar

per September 2014. Penjualan timah menunjukkan pertumbuhan 3,3% (yoy), meningkat dibandingkan

dengan triwulan sebelumnya. Di sisi lain, volume ekspor karet masih mengalami kontraksi lebih dalam

dibandingkan dengan periode sebelumnya (Grafik IV.1.7). Pelemahan rupiah dirasakan dari sisi nilai ekspor

yang meningkat tipis 1,5% (yoy) setelah triwulan II 2014 mengalami kontraksi 7,2% (yoy).

L a p o r a n N u s a n t a r a | 102

-40.00

-20.00

0.00

20.00

40.00

60.00

80.00

100.00

0

200

400

600

800

I II III IV I II III IV I II III IV I II III

2011 2012 2013 2014

%yoyJuta kg

Volume Ekspor CPO

Pertumbuhan Ekspor CPO (RHS)

-5.00

0.00

5.00

10.00

15.00

20.00

25.00

30.00

35.00

0

50

100

150

200

250

300

350

I II III IV I II III IV I II III IV I II III

2011 2012 2013 2014

%yoyJuta Kg Volume Ekspor Karet

Pertumbuhan Ekspor Karet (RHS)

Grafik IV.1.7. Perkembangan Ekspor Minyak Sawit Grafik IV.1.8. Perkembangan Ekspor Karet

Pada triwulan IV 2014, ekspor Sumbagsel diprakirakan akan mengalami kontraksi. Kabut asap, yang melanda

hingga Oktober 2014, diperkirakan cukup mengganggu kinerja ekspor pada triwulan ini. Pekatnya asap

tersebut membuat Pelindo melakukan pengaturan jadwal kapal masuk dan keluar, karena jarak pandang yang

terbatas dan dikhawatirkan mengakibatkan tabrakan antarkapal. Selain itu, ekspor di Lampung diperkirakan

melambat setelah mencapai puncaknya pada triwulan III 2014. Di sisi lain, ekspor batubara diperkirakan

melambat akibat peraturan pengendalian ekspor batubara terbaru, yaitu Eksportir Terdaftar. Secara

keseluruhan tahun 2014, ekspor diperkirakan melambat dibandingkan dengan tahun 2013 akibat harga

komoditas yang masih belum membaik.

Impor

Volume impor Sumbagsel pada triwulan III 2014 tumbuh sebesar 24,5% (yoy), melambat cukup dalam

dibandingkan periode sebelumnya sebesar 59,3% (yoy) (Grafik IV.1.9). Namun, dampak depresiasi rupiah

dirasakan cukup signifikan sehingga secara nilai, impor Sumbagsel tumbuh 38,8% (yoy). Perlambatan impor

yang cukup signifikan terutama terjadi pada barang modal (Grafik IV.1.10) dan bahan baku khususnya mesin,

peralatan industri serta pupuk.

-50

0

50

100

150

200

0

1,000

2,000

3,000

4,000

5,000

6,000

7,000

I II III IV I II III IV I II III IV I II III

2011 2012 2013 2014

%yoyJuta kg Volume Ekspor Volume Impor

gVolume Ekspor (RHS) gVolume Impor (RHS)

-100

-50

0

50

100

150

200

250

300

350

0

10

20

30

40

50

60

70

I II III IV I II III IV I II III

2012 2013 2014

%yoyJuta Ton Barang Modal

gBarang Modal (Skala Kanan)

Grafik IV.1.9. Perkembangan Ekspor Impor Luar Negeri

Grafik IV.1.10. Perkembangan Impor Barang modal

Impor diperkirakan akan tumbuh melambat pada triwulan IV 2014. Terbatasnya kegiatan ekspor impor di

pintu masuk Lampung diperkirakan akan menghambat pertumbuhan impor Sumbagsel. Selain itu, impor

pupuk diperkirakan akan melambat karena telah memasuki puncaknya pada triwulan III 2014. Secara

keseluruhan tahun, kinerja impor tahun 2014 diperkirakan melambat dibandingkan dengan tahun 2013,

seiring dengan perlambatan konsumsi rumah tangga Sumbagsel.

L a p o r a n N u s a n t a r a | 103

Kinerja Sektor Utama Daerah

Sektor Pertanian

Sektor pertanian pada triwulan III 2014 tumbuh terbatas karena menurunnya kinerja subsektor perkebunan

karet di Sumatera Selatan dan Bengkulu. Sektor pertanian Sumbagsel tumbuh sebesar 1,0% (yoy), melambat

dibandingkan dengan triwulan II 2014 sebesar 3,0% (yoy). Lebih rendahnya pertumbuhan tersebut terutama

disebabkan oleh perlambatan subsektor perkebunan karet di Sumatera Selatan dan Bengkulu. Kondisi

perkebunan karet yang belum membaik tersebut ditandai dengan rendahnya harga karet. Kebijakan

pemerintah daerah melalui Peraturan Gubernur Provinsi Sumatera Selatan terkait implementasi bokar (bahan

olahan karet) bersih Sumatera Selatan, dalam rangka meningkatkan nilai tambah karet, belum

diimplementasikan dengan sempurna, akibat belum adanya ketegasan dalam pelaksanaannya. Penurunan

kinerja perkebunan karet ini sudah dirasakan di pasar retail dan kegiatan penghimpunan dana di wilayah

perkebunan karet. Sementara itu, sektor pertanian tanaman bahan makanan (tabama) Lampung masih

tumbuh sehingga dapat menahan perlambatan Sumbagsel lebih dalam lagi.

Kinerja sektor pertanian pada triwulan IV 2014 diperkirakan membaik. Produksi perkebunan kelapa sawit

Sumatera Selatan, Bangka Belitung, dan Bengkulu diperkirakan mencapai puncaknya pada akhir tahun. Harga

tandan buah segar (TBS) kelapa sawit hingga Oktober 2014 mulai menunjukkan perbaikan atau tumbuh 27,5%

(yoy), meningkat dibandingkan dengan triwulan sebelumnya (Grafik IV.1.11). Angka produksi tanaman bahan

makanan (tabama) di Sumatera Selatan juga menunjukkan peningkatan. Angka proyeksi subround III

(September-Desember 2014) tumbuh 9,6% (yoy) atau meningkat dibandingkan dengan periode sebelumnya

yang mengalami kontraksi. Data produksi karet hingga Oktober 2014 masih terkontraksi 7,3% (yoy), namun,

secara volume masih relatif stabil (Grafik IV.1.12). Sektor pertanian Sumbagsel pada keseluruhan tahun 2014

diperkirakan melambat dibandingkan dengan tahun 2013 karena faktor harga yang masih belum membaik

sehingga mengurangi motivasi petani, khususnya karet untuk berproduksi. Prospek karet masih terbatas

karena banyaknya permasalahan di lapangan seperti tata niaga yang belum baik, edukasi petani yang tidak

menyeluruh, dan tidak diterapkannya peraturan bahan olahan karet (bokar) bersih hingga saat ini.

-30.00

-20.00

-10.00

0.00

10.00

20.00

30.00

40.00

50.00

60.00

0

500

1,000

1,500

2,000

2,500

I II III IV I II III IV I II III IV*

2012 2013 2014

%yoyRp/kgHarga TBS % Kenaikan (Sumbu Kanan)

-30

-20

-10

0

10

20

30

40

- 10 20 30 40 50 60 70 80 90

100

1 3 5 7 9 11 1 3 5 7 9 11 1 3 5 7 9

2012 2013 2014

%yoyRibu Ton Sumbagsel Pertumbuhan (RHS)

Sumber: Gapkindo Sumatera Selatan

Grafik IV.1.11. Harga TBS Kelapa Sawit Grafik IV.1.12. Produksi Karet

Sektor Pertambangan

Sektor pertambangan Sumbagsel pada triwulan III 2014 mengalami perbaikan seiring dengan

peningkatan produksi migas dan timah. Sektor pertambangan mengalami peningkatan dari 1,2% (yoy)

menjadi 4,6% (yoy). Realisasi ini cukup tinggi dibandingkan periode-periode sebelumnya. Hal tersebut

terutama didorong oleh kinerja pertambangan Sumatera Selatan yang meningkat. Penambang batubara

mengejar hasil produksi batubara pada September 2014 sebelum peraturan Eksportir Terdaftar berlaku

L a p o r a n N u s a n t a r a | 104

pada 1 Oktober 2014. Peningkatan kinerja sektor pertambangan juga tercrmin dari peningkatan volume

ekspor batubara yang menjadi 4,3% (yoy) dari triwulan sebelumnya yang mengalami kontraksi.

-60

-40

-20

0

20

40

60

0

200

400

600

800

1000

1200

1400

1600

1800

1 3 5 7 9 11 1 3 5 7 9 11 1 3 5 7 9

2012 2013 2014

%yoykt Produksi Batubara gProduksi Batubara (RHS)

17000.0

18000.0

19000.0

20000.0

21000.0

22000.0

23000.0

24000.0

8… 9 10 11 12

1… 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11*

USD/MT BKDI Bloomberg

Sumber: IHS McCloskey (Perkiraan) Sumber: Bursa Komoditas Derivatif Indonesia, Bloomberg

Grafik IV.1.13. Perkiraan Produksi Batubara Grafik IV.1.14. Harga Timah

Pada triwulan IV 2014, kinerja sektor pertambangan diprakirakan mulai melambat dibandingkan dengan

triwulan III 2014, sejalan dengan sudah diberlakukannya peraturan ekspor batubara dan penertiban izin

usaha penambangan. Salah satu produksi minyak lepas pantai di Lampung akan berhenti beroperasi pada

triwulan ini dan belum adanya penemuan sumur baru, sehingga produksi migas masih akan terbatas. Di sisi

lain, harga komoditas timah mulai menunjukkan perbaikan pada November 2014 (Grafik IV.1.14). Kondisi ini

diperkirakan akan meningkatkan kinerja pertambangan timah. Untuk keseluruhan tahun 2014, pertumbuhan

pertambangan Sumbagsel diperkirakan sedikit meningkat dibandingkan dengan tahun 2013. Produksi

batubara keseluruhan tahun 2014 lebih tinggi dibandingkan dengan tahun lalu, seiring mulai beroperasinya

jalan khusus batubara pada pertengahan tahun 2014.

Sektor Industri Pengolahan

Pertumbuhan sektor industri pengolahan di Sumbagteng melambat seiring dengan perlambatan subsektor

perkebunan. Sektor industri pengolahan tumbuh sebesar 4,6% (yoy), setelah tumbuh tinggi mencapai 7,2%

(yoy) pada triwulan II 2014. Kinerja industri pengolahan di Lampung juga tumbuh terbatas, sebagaimana

dicerminkan oleh impor bahan baku penolong (mayoritas industri makanan dan minuman) yang melambat.

Pada triwulan IV 2014, industri pengolahan diprakirakan mulai tumbuh membaik, seiring dengan perbaikan

kinerja subsektor perkebunan. Hal tersebut diindikasi oleh indeks perkiraan kegiatan usaha SKDU sektor

industri pengolahan, yang menunjukkan pertumbuhan dari 0,20 menjadi 1,38. Produksi makanan dan

minuman di Lampung diperkirakan mencapai puncaknya pada triwulan IV 2014 untuk memenuhi kebutuhan

domestik dan ekspor menjelang akhir tahun. Meski demikian, dengan harga komoditas internasional karet

(Grafik IV.1.15) dan CPO (Grafik IV.1.16) yang belum mengalami perbaikan, diperkirakan pertumbuhan

tersebut masih akan minimal. Secara keseluruhan tahun 2014, sektor industri pengolahan diperkirakan

melambat dibandingkan dengan tahun 2013, sejalan dengan perlambatan di subsektor perkebunan.

L a p o r a n N u s a n t a r a | 105

Sumber : Bloomberg

* sampai pertengahan November 2014

Sumber: Bloomberg

* sampai pertengahan November 2014

Grafik IV.1.15. Harga Karet Internasional Grafik IV.1.16. Harga CPO Internasional

PERKEMBANGAN INFLASI

Inflasi Sumbagsel sepanjang triwulan III 2014 masih melanjutkan tren penurunan. Inflasi terendah tercatat di

Provinsi Sumatera Selatan yaitu sebesar 3,35% (yoy) dan inflasi tertinggi tercatat di Provinsi Bengkulu sebesar

5,83% (yoy) (Grafik IV.1.18). Tekanan volatile food pada triwulan ini terpantau minimal, terutama karena

pasokan yang terjaga. Bahkan inflasi volatile food mengalami deflasi secara tahunan pada bulan Juli-Agustus

2014, terendah dalam lima tahun terakhir. Koreksi harga terutama terjadi pada komoditas daging serta

bumbu-bumbuan. Di sisi lain, tekanan inflasi kelompok inti relatif stabil. Fluktuasi harga emas internasional

membuat komoditas emas perhiasan mengalami koreksi pada triwulan III 2014 ini. Selain itu, ekspektasi

masyarakat relatif terjaga dengan baik, tercermin dari kenaikan inflasi pada perayaan Idul FItri yang tidak

setinggi periode sebelumnya. Tekanan administered prices pun berkurang dengan berakhirnya base-effect dari

kenaikan harga BBM bersubsidi yang dilakukan pada tahun 2013. Pada triwulan ini, inflasi Sumbagsel kembali

ke pola normalnya yaitu berada pada kisaran 4% - 5%.

Laju inflasi Sumbagsel mulai menunjukkan peningkatan pada Oktober 2014. Inflasi Oktober 2014 tercatat

4,15% (yoy). Meningkatnya inflasi, terutama didorong oleh komoditas cabai, dipengaruhi oleh berkurangnya

pasokan akibat kekeringan yang melanda sejumlah sentra produksi cabai. Selain cabai, komoditas beras juga

berkontribusi pada peningkatan tekan inflasi di Sumbagsel, sejalan dengan masuknya musim tanam di Jawa

dan gagal panen di beberapa daerah di Sumatera Selatan. Dari sisi administered prices, dorongan inflasi

disebabkan oleh kenaikan tarif listrik, harga bahan bakar rumah tangga dan tarif angkutan udara.

Tekanan inflasi yang cenderung meningkat diperkirakan berlanjut hingga akhir tahun 2014. Hal ini disebabkan

oleh beberapa kebijakan administered prices yang diperkirakan akan meningkatkan tekanan inflasi seperti

kenaikan Tarif Tenaga Listrik untuk industri dan beberapa golongan rumah tangga, harga LPG, kenaikan batas

atas tarif angkutan udara, serta pembatasan penyaluran BBM bersubsidi.

L a p o r a n N u s a n t a r a | 106

-5.00

0.00

5.00

10.00

15.00

20.00

1 3 7 9 11 1 3 5 7 9 11 1 3 5 7 9

2012 2013 2014

%yoyIHK Umum Core Volatile Foods Adm. Price

0.00

2.00

4.00

6.00

8.00

10.00

12.00

I II III IV I II III IV I II III 10

2012 2013 2014

%yoySumbagsel Nasional

Sumatera Selatan Bengkulu

Lampung Bangka Belitung

Sumber: Badan Pusat Statistik, diolah Sumber: Badan Pusat Statistik, diolah

Grafik IV.1.17. Disagregasi Inflasi Grafik IV.1.18. Perkembangan Inflasi Sumbagsel

Koordinasi Pengendalian Inflasi

Pembentukan TPID di Sumbagsel terus mengalami peningkatan. Hingga September 2014 telah terbentuk

sebanyak 20 TPID di wilayah Sumbagsel, dengan TPID di setiap provinsi, 4 TPID kota/kabupaten di Sumatera

Selatan, 3 TPID kota/kabupaten di Bangka Belitung, 7 TPID kota/kabupaten di Lampung, serta 2 TPID

kota/kabupaten di Bengkulu. TPID yang baru terbentuk pada triwulan III 2014 yaitu TPID Kabupaten Lahat di

Sumatera Selatan.

Menjelang pengujung akhir tahun, terdapat beberapa kebijakan terutama administered prices yang

diperkirakan akan meningkatkan tekanan inflasi seperti produksi bahan pangan yang terbatas serta rencana

Pemerintah untuk meningkatkan harga BBM bersubsidi. Guna mengurangi dampak lanjutan dari rencana

kenaikan BBM bersubsidi tersebut, TPID melakukan beberapa langkah di antaranya melakukan pemantauan

harga secara intensif serta pengendalian tarif angkutan publik.

STABILITAS SISTEM KEUANGAN DAN PENGELOLAAN SISTEM PEMBAYARAN

Ketahanan Sektor Korporasi

Perlambatan kredit masih terus berlanjut hingga triwulan III 2014 (Grafik IV.1.19). Perlambatan tersebut

sejalan dengan kinerja sektor utama Sumbagsel, yaitu pertanian, pertambangan, dan industri pengolahan yang

menurun. Total kredit tercatat tumbuh 13,6% (yoy), lebih rendah dibandingkan dengan triwulan sebelumnya

sebesar 22,9% (yoy). Secara nominal, kredit sektoral tercatat sebesar Rp110,8 triliun, dengan pangsa terbesar

berasal dari Sumatera Selatan sebesar 53,5%, selanjutnya disusul Lampung (32,6%), Bangka Belitung (7,8%),

dan Bengkulu (6,2%). Rata-rata suku bunga kredit sektoral tercatat sebesar 12,59% pada triwulan III 2014,

sedikit meningkat dibandingkan dengan triwulan sebelumnya sebesar 12,55%. Jika dilihat dari jenis

penggunaan kredit, perlambatan kredit terjadi baik pada kredit modal kerja maupun kredit investasi.

Sementara itu, jika dilihat dari sektor ekonomi, perlambatan terjadi di seluruh sektor utama (Grafik IV.1.20).

Indeks Ekspektasi Usaha dari Survei Kegiatan Dunia Usaha (SKDU), menunjukkan bahwa optimisme kegiatan

usaha melemah. Dengan demikian penyaluran kredit kepada sektor usaha atau korporasi diperkirakan masih

akan terbatas (Grafik IV.1.21).

Pertumbuhan kredit yang melambat selama periode laporan juga disertai dengan penurunan kualitas kredit.

NPL total kredit mengalami sedikit peningkatan pada triwulan III 2014 yaitu menjadi sebesar 2,62%

dibandingkan dengan triwulan II 2014 sebesar 2,25% (Grafik IV.1.22). NPL sektor utama terindikasi meningkat

dengan peningkatan tertinggi terjadi pada sektor pertambangan dan penggalian. Hal tersebut sejalan dengan

penertiban Izin Usaha Penambangan (IUP) batubara di provinsi Sumatera Selatan. Sementara itu, kualitas

kredit konsumsi masih relatif stabil dibandingkan dengan triwulan sebelumnya.

L a p o r a n N u s a n t a r a | 107

-

10

20

30

40

50

60

0

20

40

60

80

100

120

I II III IV I II III IV I II III

2012 2013 2014

%yoyRp Triliun

Kredit Sektoral gKredit Sektoral (RHS)

0

10

20

30

40

50

60

70

80

90

I II III IV I II III IV I II III

2012 2013 2014

%yoygKredit Lapangan Usaha gPertanian

gIndustri Pengolahan gPHR

Grafik IV.1.19. Penyaluran Kredit Korporasi Grafik IV.1.20. Pertumbuhan Kredit Sektor Ekonomi Utama

-40

-20

0

20

40

60

I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV

2011 2012 2013 2014

Ekspektasi Kegiatan Usaha

0,00

0,50

1,00

1,50

2,00

2,50

3,00

3,50

4,00

4,50

I II III IV I II III IV I II III

2012 2013 2014

%

PHR

Pertanian

Industri Pengolahan

Pertambangan

Grafik IV.1.21. Indeks Ekspektasi Kegiatan Usaha – Survei Kegiatan Dunia Usaha Bank Indonesia

Grafik IV.1.22. NPL Sektor Utama Sumbagsel

Ketahanan Sektor Rumah Tangga

Seiring dengan perlambatan konsumsi rumah tangga Sumbagsel, pertumbuhan kredit sektor rumah tangga

atau kredit konsumsi pada triwulan III 2014 menunjukkan sedikit perlambatan menjadi 10,3% (yoy) atau lebih

rendah dibandingkan dengan triwulan sebelumnya sebesar 9,9% (yoy). Perlambatan terutama terjadi pada

kredit pemilikan rumah untuk seluruh tipe (Grafik IV.1.23). Di sisi lain, kredit kendaraan bermotor (KKB),

terutama roda dua, mengalami peningkatan yang cukup signifikan.

Dari sisi kualitas kredit, NPL sektor rumah tangga relatif stabil dibandingkan dengan triwulan sebelumnya yaitu

masih berada di level 1,67%. Namun, bila dilihat lebih jauh, beberapa kredit konsumi menunjukkan penurunan

kualitas kredit. Peningkatan NPL di antaranya terjadi pada kredit pemilikan rumah dan kredit multiguna,

sejalan dengan melemahnya kesejahteraan masyarakat yang bergantung pada sektor perkebunan. Sementara

itu, untuk KKB menunjukkan perbaikan kualitas kredit, tercermin dari NPL yang menurun (Grafik IV.1.24).

-40

-20

0

20

40

60

80

100

120

140

0

2

4

6

8

10

12

14

I II III IV I II III IV I II III IV I II III

2011 2012 2013 2014

%yoyRp Triliun KPR, KPA, Ruko,/Rukan KKB

gKPR, KPA, Ruko/Rukan gKKB

0,000,501,001,502,002,503,003,504,00

I II III IV I II III IV I II III IV I II III

2011 2012 2013 2014

%

KPR, KPA, Rukan

KKB

Multiguna

Grafik IV.1.23. Penyaluran Kredit Tempat Tinggal dan Kendaraan

Grafik IV.1.24. NPL Kredit Rumah Tangga

L a p o r a n N u s a n t a r a | 108

Pembiayaan Sektor Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM)

Kredit UMKM pada triwulan III 2014 tercatat sebesar Rp43,8 triliun atau tumbuh 17,9% (yoy), melambat

dibandingkan dengan triwulan sebelumnya yang tumbuh sebesar 25,4% (Grafik IV.1.25). Perlambatan terjadi

di seluruh sektor utama kredit UMKM yaitu sektor pertanian dan PHR. Struktur sektor yang mendominasi

kredit UMKM masih sama, yaitu sektor PHR, pertanian, dan transportasi dan komundikasi dengan pangsa

ketiga sektor tersebut mencapai 75% (Grafik IV.1.26). Perlambatan total kredit UMKM disalurkan yang juga

disertai peningkatan nominal nonperforming loan (NPL) membuat rasio NPL mengalami peningkatan.

Pertumbuhan jumlah nasabah UMKM tercatat relatif stabil dari 36,7% (yoy) pada triwulan II 2014 menjadi

36,6% (yoy), dengan jumlah rekening mengalami sedikit peningkatan dibandingkan triwulan sebelumnya. Bank

Indonesia, bekerja sama dengan pemerintah daerah, senantiasa mendukung pengembangan UMKM dengan

berbagai program clustering komoditas dan kegiatan pengembangan Wirausaha Baru (WUB). Selain itu,

kegiatan edukasi kepada masyarakat guna mendukung perluasan akses keuangan juga terus dilakukan untuk

menambah pemahaman masyarakat tentang pentingnya pengelolaan keuangan.

0

10

20

30

40

50

60

0

10

20

30

40

50

I II III IV I II III IV I II III IV I II III

2011 2012 2013 2014

Rp Triliun Kredit UMKMPertumbuhan (RHS, %yoy)NPL (RHS,%)

Pertanian19%

Industri Pengolahan

4%

Konstruksi5%

PHR48%

Transportasi dan Komunikasi

8%

Lainnya16%

Grafik IV.1.25. Penyaluran Kredit UMKM Grafik IV.1.26. Pangsa Kredit UMKM

Kinerja Sistem Pembayaran

Kinerja sistem pembayaran nontunai meningkat dibandingkan dengan triwulan sebelumnya. Pada triwulan III

2014 transaksi Real Time Gross Settlement (RTGS) mencapai Rp144,7 triliun atau naik signifikan sebesar 23,9%

(yoy) dibandingkan dengan triwulan sebelumnya sebesar 5,1% (yoy) (Grafik IV.1.27). Pertumbuhan ini terjadi

pada seluruh RTGS dari wilayah Sumbagsel maupun keluar Sumbagsel yang masing-masing tercatat Rp44,4

triliun dan Rp100,3 triliun.

-

5

10

15

20

25

30

35

40

45

-

20

40

60

80

100

120

140

160

I II III IV I II III IV I II III IV I II III

2011 2012 2013 2014

%yoyRp Triliun RTGS gRTGS (RHS)

-5

-

5

10

15

20

25

30

35

-

5

10

15

20

25

30

I II III IV I II III IV I II III IV I II III

2011 2012 2013 2014

%yoyRp Triliun Kliring gKliring (RHS)

Grafik IV.1.27. Perkembangan RTGS Outgoing Grafik IV.1.28. Perkembangan Perputaran Kliring

Sementara itu, transaksi kliring Sumbagsel pada triwulan III 2014 tercatat sebesar Rp21,5 triliun atau tumbuh

7,7% (yoy), lebih tinggi dibandingkan triwulan II 2014 (Grafik IV.1.28). Nilai transaksi yang dilakukan per bilyet

mengalami peningkatan, yang ditunjukkan dengan jumlah bilyet yang menurun. Kualitas transaksi juga

L a p o r a n N u s a n t a r a | 109

menunjukkan peningkatan yang ditandai oleh penurunan bilyet yang ditolak dari 21,5% (yoy) menjadi 1,75%

(yoy) atau sebanyak 11,928 lembar.

Kinerja Pengelolaan Uang Tunai

Penurunan kinerja ekonomi Sumbagsel pada triwulan III 2014 tercermin dari perlambatan jumlah transaksi

uang tunai Sumbagsel. Jumlah total transaksi tunai Sumbagsel mencapai Rp16,4 triliun atau tumbuh 12,1%

(yoy), melambat dibandingkan dengan triwulan sebelumnya yang tumbuh 20,4% (yoy) (Grafik IV.1.29). Kinerja

uang tunai di Sumbagsel pada triwulan ini mengalami net outflow sesuai dengan pula musimannya dan terjadi

di seluruh provinsi di Sumbagsel kecuali Lampung. Net outflow pada triwulan ini mencapai Rp2,2 triliun rupiah

yang disertai peningkatan rasio pemusnahan uang lusuh terhadap uang kartal yang masuk ke kantor Bank

Indonesia (Grafik IV.1.30). Dalam pengelolaan uang kartal, Bank Indonesia senantiasa melakukan edukasi

kepada masyarakat agar selalu menjaga dan merawat uang rupiah.

-20.0

-10.0

-

10.0

20.0

30.0

40.0

50.0

-

1

2

3

4

5

6

7

8

9

10

I II III IV I II III IV I II III IV I II III

2011 2012 2013 2014

Rp Triliun Inflow Outflow %yoy

0

10

20

30

40

50

60

70

0,0

0,5

1,0

1,5

2,0

2,5

3,0

I II III IV I II III IV I II III IV I II III

2011 2012 2013 2014

%Rp TriliunPemusnahan Uang Lusuh

Pemusnahan Uang Lusuh thd Inflow (RHS)

Grafik IV.1.29. Perkembangan Net Flow Grafik IV.1.30. Perkembangan Pemusnahan Uang Lusuh

Pada pertengahan November 2014, akan dibuka Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Bangka Belitung di

kota Pangkalpinang. Kantor Perwakilan tersebut memiliki fungsi moneter dan sistem pembayaran. Pada awal

pembukaan, fungsi sistem pembayaran yang akan dilakukan mencakup layanan kas, penukaran uang, serta

layanan nontunai kliring. Ke depan, fungsi sistem pembayaran di Kantor Perwakilan Provinsi Kepulauan Bangka

Belitung akan dilengkapi oleh sistem RTGS, perizinan dan pengawasan jasa sistem pembayaran.

PROSPEK PEREKONOMIAN

Prospek Pertumbuhan Ekonomi

Mencermati perkembangan kondisi saat ini, pertumbuhan ekonomi Sumbagsel tahun 2015 diperkirakan

membaik, dan tumbuh pada kisaran 5,3% - 5,7%. Perbaikan ekonomi ini diperkirakan akan terjadi di seluruh

provinsi di Wilayah Sumbagsel. Pertumbuhan tersebut didasari oleh perbaikan konsumsi rumah tangga dan

investasi, seiring dengan perbaikan sektor pertanian dan industri pengolahan. Komoditas kelapa sawit

diperkirakan masih akan terus tumbuh, seiring dengan permintaan domestik dan dunia akan CPO yang masih

akan terus tinggi. Pemerintah juga diperkirakan akan mendorong pengembangan minyak nabati melalui

mandatori biofuel. Selain itu, permintaan karet diperkirakan juga akan terus menguat seiring dengan

perbaikan ekonomi di Amerika Serikat. Namun, perbaikan harga komoditas internasional diperkirakan masih

terbatas. Di sisi lain, prospek investasi ke depan masih besar.

Perbaikan kinerja ekonomi juga akan didukung oleh aktivitas di sektor bangunan. Beberapa proyek

infrastruktur yang akan digarap tahun depan antara lain, di Sumatera Selatan, proyek multiyears seperti

pembangunan pelabuhan baru, Kawasan Ekonomi Khusus Tanjung Api-api, double track batubara Sumatera

L a p o r a n N u s a n t a r a | 110

Selatan – Lampung, dan infrastruktur lainnya. Selain itu beberapa hotel, restoran middle-up level, dan bioskop

baru dibuka. Hal itu menunjukkan masih terdapat optimisme aktivitas ekonomi yang membaik di Sumbagsel.

Prospek Inflasi

Tekanan inflasi Sumbagsel pada tahun 2015 diperkirakan akan cenderung meningkat dibandingkan dengan

tahun 2014. Hal tersebut diperkirakan disebabkan oleh pergeseran musim tanam akibat terjadinya kekeringan

di beberapa sentra produksi, terutama di daerah Sumatera Selatan dan Lampung. Pergeseran musim tanam

akan berdampak pada ketersediaan pasokan bahan pangan di beberapa daerah di Sumbagsel. Selain itu,

beberapa kebijakan pemerintah diperkirakan akan berdampak pada tekanan inflasi administered prices seperti

kenaikan UMP, penyesuaian kenaikan LPG 12 Kg dan tarif tenaga listrik. Namun, dengan tersedianya informasi

harga pangan melalui PIHPS dan koordinasi melalui forum TPID diharapkan gejolak harga yang berlebihan

dapat diminimalisir.

Tabel IV.1.3. Prakiraan Pertumbuhan Ekonomi dan Inflasi Sumatera Bagian Selatan

I II III IV Total I II III IVp Totalp IP Totalp

PDRB (%,yoy) 6.2 6.0 5.8 5.6 6.4 5.9 5.9 5.3 4.8 5.6 5.4 5.4 - 5.8 5.3 - 5.7

Sisi Permintaan

Konsumsi 6.5 7.2 7.1 7.5 7.2 7.2 7.1 6.0 5.8 6.4 6.4 6.7 - 7.1 6.4 - 6.8

Konsumsi swasta 6.6 7.6 8.2 7.6 7.7 7.8 7.0 6.1 5.3 6.6 6.2 7.0 - 7.4 6.7 - 7.1

Konsumsi Pemerintah 5.5 3.9 0.4 6.4 4.1 3.7 7.9 5.2 8.8 5.5 6.2 4.9 - 5.3 4.8 - 5.2

Pembentukan Modal Tetap Bruto 11.4 8.4 8.1 6.8 7.2 7.6 7.0 5.0 2.2 4.0 4.3 6.2 - 6.6 6.5 - 6.9

Ekspor 3.5 12.4 10.2 11.0 17.3 12.8 10.0 8.0 13.1 (2.2) 7.0 7.1 - 7.5 3.6 - 4.0

Impor 7.5 10.5 13.4 12.9 28.7 16.7 19.6 14.0 20.8 3.2 13.7 9.6 - 10.0 2.8 - 3.2

Sisi Produksi

Sektor pertanian 5.1 1.8 3.3 3.4 10.6 4.6 5.7 3.0 1.0 2.4 3.0 1.9 - 2.3 3.3 - 3.7

Sektor pertambangan & penggalian 0.8 1.4 2.6 1.0 2.0 1.7 1.5 1.2 4.6 0.5 2.0 1.2 - 1.6 1.6 - 2.0

Industri pengolahan 5.1 8.1 7.0 5.8 5.7 6.6 4.7 7.2 4.6 5.9 5.6 7.4 - 7.8 6.4 - 6.8

Listrik, gas & air bersih 8.7 7.1 8.8 9.5 7.3 8.2 6.1 6.4 6.9 5.8 6.6 7.5 - 7.9 6.9 - 7.3

Bangunan 8.4 10.2 8.7 7.2 4.3 7.5 6.0 5.9 3.9 6.9 5.6 6.8 - 7.2 6.1 - 6.5

Perdagangan, hotel & restoran 7.6 8.7 7.0 7.1 5.0 6.9 7.3 7.4 8.5 9.8 8.2 7.7 - 8.1 7.4 - 7.8

Pengangkutan & komunikasi 11.3 8.7 8.8 7.5 6.9 8.0 8.1 7.9 7.2 7.5 7.5 8.0 - 8.4 7.9 - 8.3

Keuangan, persewaan dan jasa perush. 10.5 10.8 8.6 9.1 7.0 8.9 8.9 9.1 6.3 9.2 8.4 9.2 - 9.6 8.8 - 9.2

Jasa-jasa 8.4 8.7 7.1 10.2 6.4 8.1 8.4 6.4 7.7 8.3 7.5 7.2 - 7.6 6.1 - 6.5

Inflasi IHK (%,yoy) 3.69 6.22 4.87 7.63 7.63 7.63 6.20 5.29 4.10 4.46 4.46 3.66 - 4.06 4.38 - 4.78

Sumber: Badan Pusat Statistik, diolah

p proyeksi Bank Indonesia

20122013 2014 2015P

Pertumbuhan Ekonomi dan Inflasi Wilayah

L a p o r a n N u s a n t a r a | 111

PERTUMBUHAN EKONOMI

Perekonomian Wilayah Sumatera Bagian Tengah (Sumbagteng) pada triwulan III 2014 tumbuh melambat

dibandingkan dengan triwulan sebelumnya. Pertumbuhan ekonomi Wilayah Sumbagteng tercatat sebesar

4,1% (yoy), lebih rendah dari pertumbuhan triwulan sebelumnya sebesar 4,5%. Dari sisi penggunaan, lebih

rendahnya pertumbuhan ekonomi Sumbagteng terutama bersumber dari investasi dan ekspor neto yang

mengalami kontraksi. Namun, membaiknya kinerja konsumsi, baik swasta maupun pemerintah, menjadi

penahan perekonomian Sumatera agar tidak melambat lebih jauh. Secara sektoral, melambatnya

pertumbuhan ekonomi Sumbagteng diakibatkan oleh penurunan kinerja sektor pertanian dan industri

pengolahan, sejalan dengan perlemahan harga komoditas yang masih berlanjut. Sementara itu, masih

terkontraksinya sektor pertambangan dan penggalian, akibat penurunan produksi minyak gas di Riau, turut

berkontribusi pada menurunnya kinerja perekonomian Sumbagteng pada triwulan III 2014.

Pada triwulan IV 2014, perekonomian Sumatera Bagian Tengah diprakirakan tumbuh membaik. Perbaikan

ekonomi terutama bersumber dari meningkatnya kinerja investasi, baik investasi pemerintah maupun

investasi swasta, seiring dengan meningkatnya optimisme iklim berusaha, sejalan dengan terbentuknya

pemerintahan yang baru. Selain itu, kinerja perekonomian juga akan didukung oleh konsumsi rumah tangga,

yang diperkirakan masih tetap tumbuh cukup tinggi, meski sedikit melambat dibandingkan dengan triwulan III

2014. Aktivitas terkait persiapan Natal dan tahun baru akan mendorong meningkatnya kegiatan belanja

masyarakat. Sementara itu, berlanjutnya penurunan harga komoditas CPO dan karet akan berdampak pada

kontraksi ekspor.

Konsumsi

Konsumsi Rumah Tangga

Konsumsi rumah tangga pada triwulan III 2014 mencatat pertumbuhan yang cukup tinggi. Konsumsi rumah

tangga tumbuh meningkat dari 7,3% (yoy) pada triwulan II 2014 menjadi 7,7% (yoy). Aktivitas konsumsi rumah

tangga yang tinggi tersebut didorong oleh perayaan hari raya Idul Fitri dan masa liburan sekolah. Selain itu,

kegiatan konsumsi rumah tangga tersebut juga didukung oleh perbaikan daya beli masyarakat yang bersumber

dari realisasi gaji ke-13 bagi PNS/TNI/Polri dan Tunjangan Hari Raya (THR) pada awal triwulan III 2014.

Perkembangan beberapa indikator terkini mengindikasikan pertumbuhan konsumsi rumah tangga relatif stabil

pada triwulan IV 2014, dan masih dalam level pertumbuhan yang cukup tinggi. Aktivitas belanja masyarakat

diperkirakan akan tetap tinggi, seiring dengan persiapan menyambut perayaan Natal dan tahun baru. Namun,

hasil survey konsumen mengindikasikan adanya penurunan optimisme dari konsumen, sebagaimana terlihat

dari Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) pada Oktober 2014 yang menurun (Grafik IV.2.1). Harga komoditas

CPO dan karet, yang belum sepenuhnya membaik, diperkirakan memengaruhi ekspektasi konsumen akan

kondisi perekonomian pada masa mendatang. Namun, kondisi ini tidak banyak memengaruhi pembiayaan

konsumi masyarakat, sebagaimana tercermin dari pertumbuhan kredit konsumsi yang relatif stabil (Grafik

IV.2.2). Dengan demikian, bila dilihat secara keseluruhan tahun 2014, konsumsi rumah tangga diprakirakan

mencatat pertumbuhan yang lebih tinggi dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Tekanan inflasi tahun 2014,

yang relatif lebih rendah dibandingkan dengan tahun 2013, menyebabkan daya beli masyarakat tahun 2014

lebih baik dibandingkan dengan tahun 2013.

L a p o r a n N u s a n t a r a | 112

-

20

40

60

80

100

120

140

160

I II III IV I II III IV I II III IV I II III

2011 2012 2013 2014

Indeks

Indeks Keyakinan Konsumen

Indeks Kondisi Ekonomi Saat Ini

Indeks Ekspektasi Konsumen

Baseline (Batas Positif)

0

5

10

15

20

25

30

35

40

45

-

10

20

30

40

50

60

70

I II III IV I II III IV I II III IV I II III

2011 2012 2013 2014

Triliun Rp

Nominal Pertumbuhan-skala kanan

%, yoy

Grafik IV.2.1. Indeks Keyakinan Konsumen Grafik IV.2.2. Penyaluran Kredit Konsumsi

Konsumsi Pemerintah

Sesuai dengan pola historisnya, konsumsi pemerintah terus meningkat hingga triwulan III 2014, seiring dengan

meningkatnya realisasi pengeluaran pemerintah terkait belanja barang dan bantuan sosial, di samping belanja

rutin pegawai. Konsumsi pemerintah tumbuh meningkat dari 4,2% (yoy) pada triwulan II 2014 menjadi 4,6%

(yoy) pada triwulan III 2014. Meningkatnya pengeluaran pemerintah juga terkait dengan pemberian gaji ke-13

bagi PNS/TNI/Polri, yang dicairkan pada awal triwulan III 2014. Masih belum optimalnya kinerja beberapa

satuan kerja pemerintah daerah, menyebabkan kecenderungan belanja pemerintah daerah tidak merata dan

menumpuk dalam jumlah besar pada akhir tahun. Kondisi tersebut terlihat dari simpanan dana milik pemda di

perbankan yang masih terus meningkat pada triwulan III 2014 (Grafik IV.2.3).

Pertumbuhan konsumsi pemerintah pada triwulan IV 2014 diprakirakan mengalami penurunan akibat base

effect dari tingginya pertumbuhan pada periode yang sama tahun sebelumnya. Selain itu, realisasi belanja

pemerintah daerah hingga triwulan III 2014 sudah mencapai di atas 60%. Dengan demikian, realisasi belanja

pada triwulan IV 2014 diprakirakan tidak setinggi periode sebelumnya.

Investasi

Kinerja investasi, yang diprakirakan meningkat pascaPemilu, belum menunjukkan perbaikan yang berarti. Hal

ini terlihat dengan pertumbuhan investasi pada triwulan III 2014 yang tumbuh lebih rendah dibandingkan

dengan pertumbuhan triwulan sebelumnya. Investasi tumbuh sebesar 5,3% (yoy) pada triwulan III 2014, lebih

rendah dari triwulan sebelumnya sebesar 5,6% (yoy). Kegiatan investasi pada periode ini masih didominasi

oleh aktivitas proyek-proyek pemerintah, terkait pembangunan infrastruktur di Wilayah Sumbagteng.

Sementara itu, investasi swasta relatif masih terbatas, sejalan dengan pelemahan ekonomi nasional dan belum

solidnya perbaikan ekonomi global. Sejumlah pelaku usaha cenderung menunda ekspansi usaha, menunggu

hingga kondisi usaha lebih kondusif. Investasi yang dilakukan terbatas pada perawatan dan peremajaan mesin.

Kondisi ini juga terlihat pada penurunan nilai Penanaman Modal Asing (PMA) dan Penanaman Modal Dalam

Negeri (PMDN) serta kredit investasi yang melambat pada triwulan III 2014 (Grafik IV.2.3 dan Grafik IV.2.4).

Pertumbuhan investasi diprakirakan mulai membaik pada triwulan IV 2014. Terbentuknya pemerintahan baru

akan memberikan kepastian bagi pelaku usaha untuk melakukan investasi. Optimisme tersebut terkonfirmasi

dari hasil Survei Kegiatan Dunia Usaha (SKDU) yang memperkirakan peningkatan investasi terjadi hampir di

seluruh sektor ekonomi. Berdasarkan hasil diskusi dengan Badan Koordinasi Penanaman Modal Daerah

(BKPMD) di beberapa daerah diketahui sejumlah perusahaan akan mulai berinvestasi pada triwulan IV 2014,

setelah “wait and see” selama periode pemilu. Beberapa investasi swasta di Sumatera Bagian Tengah yang

akan dilakukan pada triwulan IV 2014 antara lain perluasan pabrik semen di Sumatera Barat, investasi

teknologi injeksi kimia pada industri minyak di Riau, dan berlanjutnya investasi industri besi baja pendukung

L a p o r a n N u s a n t a r a | 113

industri migas di Kepulauan Riau. Peningkatan investasi juga ditopang oleh aktivitas pemerintah yang

meningkat, sejalan dengan penyelesaian berbagai tender pada akhir tahun. Secara keseluruhan tahun,

pelemahan ekonomi nasional dan penurunan harga komoditas yang berlanjut, serta ketidakpastian kondisi

usaha jelang Pemilu 2014, menjadi faktor penyebab melambatnya pertumbuhan investasi pada tahun 2014.

0

500

1.000

1.500

2.000

2.500

3.000

3.500

4.000

4.500

0

50

100

150

200

250

300

I II III IV I II III IV I II III

2012 2013 2014

PMDN PMAPMDN (Miliar Rp)-skala kanan PMA ( Juta US$)-skala kanan

Jumlah Proyek Juta US$/Miliar Rp

0

10

20

30

40

50

60

-

10

20

30

40

50

60

I II III IV I II III IV I II III IV I II III

2011 2012 2013 2014

Triliun Rp

Nominal Pertumbuhan-sisi kanan

%, yoy

Sumber: Badan Koordinasi Penanaman Modal

Grafik IV.2.3. Investasi PMA dan PMDN Grafik IV.2.4. Penyaluran Kredit Investasi

Perdagangan Luar Negeri

Ekspor

Kinerja ekspor luar negeri wilayah Sumbagteng pada triwulan III 2014 menunjukkan perbaikan, meski masih

terbatas. Ekspor Sumbagteng tumbuh 1,9% (yoy) pada triwulan III 2014, meningkat dibandingkan dengan

triwulan sebelumnya yang mengalami kontraksi sebesar 2,1% (yoy). Meningkatnya produksi CPO, sejalan

dengan masa panen kelapa sawit, mendorong peningkatan ekspor CPO ke negara tujuan utama. Selain itu,

ekspor produk elektronik di Kepulauan Riau juga terpantau meningkat dalam mengantisipasi peningkatan

permintaan pada akhir tahun. Di sisi lain, ekspor komoditas karet masih menunjukkan perlambatan, seiring

berlanjutnya pelemahan harga yang terjadi. Di sisi lain, penurunan produksi dan rendahnya kualitas batubara

di Jambi menahan peningkatan ekspor di Sumbagteng lebih lanjut.

Kinerja ekspor diprakirakan kembali melemah pada triwulan IV 2014, seiring berakhirnya masa panen dan

harga komoditas utama kelapa sawit dan karet yang belum menunjukkan akan membaik. Selain itu musim

kemarau dan gangguan asap yang terjadi di beberapa Wilayah Sumbagteng memengaruhi produktivitas

tanaman kelapa sawit dan karet. Penurunan kinerja ekspor lebih dalam akan tertahan oleh kinerja ekspor

elektronik dari Kepulauan Riau yang diproyeksikan mengalami peningkatan, dipicu permintaan yang tinggi

menjelang akhir tahun. Secara keseluruhan tahun, kinerja ekspor tahun 2014 diprakirakan melambat akibat

pelemahan harga komoditas sepanjang tahun dan penurunan permintaan sebagai dampak dari pelemahan

ekonomi global dan negara tujuan utama seperti Tiongkok.

L a p o r a n N u s a n t a r a | 114

(60)

(30)

0

30

60

90

120

150

(40)

(20)

0

20

40

60

80

I II III IV I II III IV I II III IV I II III

2011 2012 2013 2014

Ekspor Non Migas Karet Mentah-skala kanan CPO-skala kanan

%, yoy %, yoy

(40)

(30)

(20)

(10)

0

10

20

30

40

-

1

2

3

4

I II III IV I II III IV I II III

2012 2013 2014

Barang Konsumsi Barang ModalBahan Baku g.Brg Konsumsi-sisi kanang.Brg modal-sisi kanan g.Bhn Baku-sisi kanan

Miliar US$ % yoy

Grafik IV.2.5. Perkembangan Nilai Ekspor Nonmigas dan Komoditas Utama

Grafik IV.2.6. Pertumbuhan Nilai Impor Menurut Kategori Barang

Impor

Impor Wilayah Sumbagteng pada triwulan III 2014 tumbuh meningkat, seiring dengan meningkatnya

kebutuhan konsumsi masyarakat dan kebutuhan industri pengolahan. Pertumbuhan impor Sumatera Bagian

Tengah pada triwulan III 2014 tercatat sebesar 3,0% (yoy), lebih tinggi dibandingkan dengan triwulan

sebelumnya yang mengalami kontraksi sebesar 3,3% (yoy). Pertumbuhan impor yang lebih tinggi, terutama

didorong oleh impor pupuk, sejalan dengan besarnya kebutuhan pupuk untuk tanaman kelapa sawit pada saat

tingkat curah hujan relatif minim. Selain itu, peningkatan impor juga terjadi untuk barang modal, terutama

terkait dengan investasi pemerintah serta investasi industri mesin dan elektronik di Kepulauan Riau.

Pertumbuhan impor pada triwulan IV 2014 diprakirakan tumbuh melambat, seiring dengan menurunnya

impor pupuk yang telah mencapai puncaknya pada triwulan III 2014. Akitivitas impor yang dilakukan pada

triwulan IV 2014, terutama dalam bentuk barang modal untuk mendukung kegiatan investasi pemerintah,

terkait pembangunan infrastruktur, dan investasi swasta, terkait investasi di industri elektronik. Di samping

itu, pelemahan rupiah, yang diperkirakan masih berlanjut, menjadi kendala kegiatan impor.

-

200

400

600

800

1.000

1.200

1.400

-

200

400

600

800

1.000

1.200

1.400

1.600

1.800

2.000

1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

2012 2013 2014

Harga TBS Harga CPO Dunia-sisi kananRp/kg USD/MT

-

50

100

150

200

250

300

350

400

450

-

5

10

15

20

25

30

35

1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

2012 2013 2014

Harga Bokar Harga Karet Dunia - skala kanan

ribu Rp/kg USD cent/kg

Sumber: Dinas Pertanian dan Bloomberg Sumber: Dinas Pertanian dan Bloomberg

Grafik IV.2.7. Harga Tandan Buah Segar (TBS) Kelapa Sawit dan CPO Dunia

Grafik IV.2.8. Harga Karet Mentah Domestik (Bokar) dan Karet Mentah Dunia

Kinerja Sektor Utama Daerah

Sektor Pertanian

Kinerja sektor pertanian pada triwulan III 2014 melemah, disebabkan oleh rendahnya harga komoditas

perkebunan, musim kemarau dan kabut asap yang melanda di sejumlah wilayah Sumbagteng. Sektor

pertanian tumbuh sebesar 5,6% (yoy), melambat dibandingkan dengan triwulan II 2014, yang tumbuh sebesar

6,4% (yoy). Tren penurunan harga kelapa sawit dan karet, yang merupakan komoditas utama Sumbagteng,

L a p o r a n N u s a n t a r a | 115

menjadi penyebab turunnya nilai produksi pertanian di Sumatera Bagian Tengah. Selain itu, produksi

perkebunan juga turun, terutama karet, yang disebabkan oleh menurunnya produktivitas sebagai dampak dari

musim kemarau dan gangguan kabut asap di beberapa wilayah Sumatera Bagian Tengah. Meski demikian, dari

sisi volume, produksi kelapa sawit menunjukkan perbaikan, sejalan dengan masuknya musim panen di

beberapa daerah di wilayah Sumbagteng. Perlambatan juga terjadi pada produksi tanaman bahan makanan,

terutama beras di Provinsi Sumatera Barat. Hal ini mendorong meningkatnya harga gabah di Sumatera Barat.

Meski harga gabah meningkat, hal tersebut tidak mendorong perbaikan Nilai Tukar Petani (NTP) (Grafik IV.2.7

dan Grafik IV.2.8).

Mencermati perkembangan terakhir, kinerja sektor pertanian diprakirakan akan sedikit membaik pada

triwulan IV 2014, seiring dengan membaiknya produktivitas sektor perkebunan. Meningkatnya curah hujan

pada akhir tahun diprediksi mampu meningkatkan produktivitas kelapa sawit. Namun, pertumbuhan tersebut

diperkirakan masih terbatas akibat belum pulihnya harga komoditas CPO. Selain itu, berlanjutnya kabut asap

yang melanda Jambi dan Riau berpotensi menahan laju pertumbuhan produksi kelapa sawit hingga akhir

tahun 2014. Di sisi lain, membaiknya kondisi perekonomian Amerika Serikat, membuka peluang ekspor karet

(crumb rubber) ke negara tersebut. Peluang ini diharapkan bisa menjadi insentif bagi peningkatan produksi

karet. Namun, rendahnya harga karet, yang kerap menyurutkan optimisme petani, memerlukan pemikiran

lebih lanjut untuk diperoleh jalan keluarnya, agar peluang yang kini ada dapat dimanfaatkan lebih optimal.

86

88

90

92

94

96

98

100

102

104

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9

2012 2013 2014

Indeks

NTP Umum NTP Perkebunan NTP Tanaman Pangan

-10

-5

0

5

10

15

20

25

2.000

2.500

3.000

3.500

4.000

4.500

5.000

5.500

1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9

2012 2013 2014

%, yoyRp/kg

Rata-rata Harga Gabah GKP Pertumbuhan-skala kanan

Sumber: Badan Pusat Statistik, diolah Sumber: Badan Pusat Statistik Sumbar, diolah

Grafik IV.2.7. Indeks Nilai Tukar Petani Umum dan Sektor Perkebunan Sumbagteng

Grafik IV.2.8. Harga Gabah di Tingkat Penggilingan Sumbar

Sektor Pertambangan dan Penggalian

Kontraksi sektor pertambangan dan penggalian masih berlanjut pada triwulan III 2014 akibat penurunan lifting

migas yang terus terjadi. Sektor pertambangan dan penggalian di Sumbagteng terkontraksi 3,3% (yoy) pada

triwulan III 2014, memburuk dibandingkan dengan triwulan sebelumnya yang terkontraksi 2,4% (yoy). Sulitnya

menjaga konsistensi produktivitas sumur-sumur minyak tua, minimnya penemuan sumur baru, dan kurang

efektifnya penggunaan teknologi yang lebih modern di sumur tua menyebabkan lifting minyak sulit untuk

ditingkatkan Grafik IV.2.13). Padahal produksi minyak di Riau, memiliki kontribusi mencapai 88% terhadap

sektor pertambangan dan penggalian di Sumbagteng. Di sisi lain, melemahnya harga komoditas batubara dan

adanya Perda terkait aturan distribusi barang tambang, kian memperlemah kinerja sektor pertambangan dan

penggalian Sumbagteng.

Pada triwulan IV 2014, kinerja sektor pertambangan dan penggalian diprakirakan sedikit membaik, meski

masih mengalami kontraksi dengan besaran yang lebih rendah. Menurut informasi dari contact liaison, dalam

kondisi normal, penurunan lifting per tahunan mencapai 18%-20%. Namun, dengan menggunakan teknologi

berupa injeksi kimia dan aktivitas pengeboran sumur minyak yang lebih banyak dibandingkan dengan tahun

L a p o r a n N u s a n t a r a | 116

sebelumnya, dapat mengurangi penurunan lifting hingga menjadi 5,9% selama tahun 2014 (Grafik IV.2.9).

Selain itu, terdapat indikasi sejumlah perusahaan pertambangan melakukan investasi secara ekspansif untuk

menahan laju penurunan lifting migas. Hal itu tercermin dari masih tingginya pertumbuhan kredit sektor

pertambangan dan penggalian di Sumbagteng (Grafik IV.2.10). Meskipun demikian, peningkatan tersebut

diprakirakan belum mampu membuat pertumbuhan lifting minyak keseluruhan tahun 2014 mencapai angka

positif.

-15

-10

-5

0

5

10

0

50

100

150

200

250

300

350

400

1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 910*

2012 2013 2014

Lifting Pertumbuhan-sisi kanan

Ribu barel/hari % yoy

33,5%

17,6%

-50%

0%

50%

100%

150%

200%

250%

0,0

0,5

1,0

1,5

2,0

2,5

3,0

3,5

4,0

I II III IV I II III IV I II III IV I II III

2011 2012 2013 2014

Nominal Sumbagteng Pertumbuhan-skala kanan

Pertumbuhan Riau-skala kanan

Triliun Rp yoy

Sumber: Kementerian ESDM

Grafik IV.2.9. Lifting Minyak Riau Grafik IV.2.10. Penyaluran Kredit Sektor Pertambangan dan Penggalian

(15)

(10)

(5)

0

5

10

15

20

25

30

35

0

100

200

300

400

500

600

700

800

I II III IV I II III IV I II III IV I II III

2011 2012 2013 2014

Nilai Ekspor Produk Elektronik

g.Ekspor Brg. Elektronik-sisi kanan

Juta US$ % yoy

-40%

-30%

-20%

-10%

0%

10%

20%

30%

Realisasi Perkiraan

Triwulan III 2014 Triwulan IV 2014

Jasa Keuangan Angkutan&Komunikasi

PHR Bangunan Listrik,Gas&Air Bersih

Ind. Pengolahan Pertambangan Pertanian

SBT

Grafik IV.2.11. Nilai Ekspor Produk Elektronik Grafik IV.2.12. Realisasi dan Perkiraan Kegiatan Usaha Triwulan III 2014 (SKDU)

Sektor Industri Pengolahan

Sektor industri pengolahan Sumbagteng pada triwulan III 2014 masih mampu tumbuh cukup tinggi, meski

sedikit melambat jika dibandingkan dengan triwulan sebelumnya. Pertumbuhan sektor industri pengolahan

wilayah Sumbagteng tercatat sebesar 5,7% (yoy), menurun dibandingkan dengan periode sebelumnya sebesar

5,9% (yoy). Perlambatan pertumbuhan tersebut disebabkan oleh belum membaiknya kinerja industri

pengolahan karet, yang dipicu oleh rendah harga karet di tingkat petani. Harga yang relatif masih rendah

tersebut menurunkan motivasi petani karet dalam memproduksi karet. Di sisi lain, meningkatnya konsumsi

pada periode Idul Fitri dan masuknya periode masa panen kelapa sawit di sebagian besar wilayah

Sumbagteng, menopang pertumbuhan industri pengolahan Sumbagteng. Selain itu, pertumbuhan sektor

industri yang masih cukup tinggi juga didorong oleh meningkatnya aktivitas di sektor industri alat angkut,

mesin dan peralatan seperti elektronik di Kepulauan Riau (Grafik IV.2.11). Peningkatan aktivitas tersebut

sejalan dengan upaya meningkatkan stok dalam mengantisipasi tingginya permintaan pada akhir tahun.

Masih tingginya konsumsi domestik hingga akhir tahun turut mendukung kinerja sektor industri pengolahan

pada triwulan IV 2014. Meningkatnya permintaan akan produk makanan dan minuman pada saat liburan akhir

tahun dan tingginya permintaan produk elektronik dari Kepulauan Riau pada triwulan IV 2014 menopang

L a p o r a n N u s a n t a r a | 117

pertumbuhan sektor industri pengolahan. Membaiknya kinerja sektor industri pengolahan tersebut tercermin

dari pergerakan permintaan CPO beberapa negara tujuan ekspor seperti Amerika Serikat, yang tercatat mulai

meningkat pada Oktober 2014. Penguatan sektor industri pengolahan juga terkonfirmasi oleh hasil Survei

Kegiatan Dunia Usaha (SKDU) yang mencatat prakiraan realisasi kegiatan usaha yang lebih tinggi pada triwulan

IV 2014 (Grafik IV.2.12). Namun, potensi berlanjutnya tren penurunan harga komoditas berisiko menghambat

pertumbuhan industri pengolahan lebih tinggi. Secara keseluruhan tahun, kinerja industri pengolahan

melambat dibandingkan dengan tahun sebelumnya, didorong oleh pelemahan harga komoditas utama seperti

CPO dan karet.

PERKEMBANGAN INFLASI

Laju inflasi Sumbagteng pada triwulan III 2014 menunjukkan tren perlambatan, seiring meredanya tekanan

inflasi akibat peningkatan permintaan pada periode Idul Fitri dan base effect kenaikan BBM bersubsidi pada

periode yang sama tahun 2013. Tekanan inflasi dari kelompok volatile food relatif terkendali seiring pasokan

yang terjaga. Dari sisi administered prices, tarif angkutan udara yang mereda setelah meningkat tinggi pada

periode Idul Fitri turut mendorong penurunan inflasi pad triwulan III 2014. Sumatera Barat menjadi provinsi

dengan tingkat inflasi tertinggi di Sumbagteng, yaitu sebesar 6,00% (yoy) (Grafik IV.2.13).

Setelah mengalami perlambatan, perkembangan inflasi terkini hingga Oktober 2014 menujukkan tren

peningkatan. Inflasi Sumbagteng hingga Oktober tahun 2014 tercatat sebesar 5,14% (yoy). Peningkatan inflasi

Sumbagteng disebabkan berkurangnya pasokan beberapa komoditas volatile food seperti cabai merah dan

beras, seiring berlangsungnya musim kemarau di Pulau Jawa dan Sumatera. Selain itu, berlanjutnya kenaikan

TTL pada 1 September 2014 dan imbas kenaikan harga LPG 12 kg, terutama dampaknya pada permintaan LPG

3kg, turut menyumbang kenaikan inflasi dari sisi administered prices (Grafik IV.2.14). Hingga akhir tahun 2014,

tekanan inflasi Sumbagteng diprakirakan terus meningkat. Faktor musiman menjelang akhir tahun, terkait

dengan perayaan Natal dan Tahun Baru, akan mendorong belanja masyarakat, yang dapat memicu kenaikan

harga-harga. Dari sisi administered prices, rencana pemerintah menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM)

bersubsidi dan penyesuaian tarif batas atas angkutan udara menjadi faktor risiko meningkatnya tekanan inflasi

pada akhir tahun 2014, yang patut diwaspadai. Sementara itu, inflasi inti diprakirakan relatif stabil didukung

oleh ekspektasi inflasi yang masih terkendali.

0

2

4

6

8

10

12

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

2012 2013 2014

Sumbagteng Nasional Sumatera Barat Riau Kepulauan Riau Jambi

%, yoy

-5

0

5

10

15

20

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

2012 2013 2014

Umum Volatile Foods Adm. Price Core

%, yoy

Sumber : Badan Pusat Statistik, diolah Sumber : Badan Pusat Statistik, diolah

Grafik IV.2.13. Perkembangan Inflasi Sumbagteng dan Nasional

Grafik IV.2.14. Disagregasi Inflasi Sumbagteng

Koordinasi Pengendalian Inflasi

Dalam rangka pengendalian inflasi pada triwulan IV 2014, khususnya terkait dengan rencana kenaikan harga

BBM bersubsidi, TPID, baik di tingkat Provinsi maupun Kabupaten/Kota di Sumbagteng telah melakukan

L a p o r a n N u s a n t a r a | 118

berbagai langkah antisipasi pengendalian inflasi. Langkah strategis yang dilakukan oleh TPID antara lain

penguatan koordinasi antar-SKPD terkait dan pihak produsen dan distributor BBM, dalam rangka menjaga

ketersediaan suplai BBM baik subsidi maupun nonsubsidi di wilayah Sumbagteng. Dengan upaya tersebut

diharapkan kenaikan harga BBM tidak menggangu kelancaran distribusi BBM. Langkah lainnya adalah bekerja

sama dengan aparat keamanan untuk menetralisir dampak negatif dari kenaikan harga BBM bersubsidi

dengan menjaga keamanan jalur-jalur distribusi pasokan BBM dari Terminal Bahan Bakar Minyak (TBBM)

hingga ke Stasiun Penyaluran Bahan bakar Umum (SPBU) serta menciptakan opini yang kondusif di masyarakat

untuk meminimalisir dampak negatif ke kelompok-kelompok masyarakat potensial.

STABILITAS SISTEM KEUANGAN DAN PENGELOLAAN SISTEM PEMBAYARAN

Ketahanan Sektor Korporasi

Pembiayaan ekonomi melalui perbankan di Sumbagteng pada triwulan III 2014 masih melanjutkan

kecenderungan melambat. Kredit korporasi tercatat tumbuh sebesar 8,7% (yoy), setelah pada triwulan

sebelumnya tercatat tumbuh sebesar 15,9% (yoy). Perlambatan pertumbuhan kredit tersebut terjadi pada

semua sektor utama. Secara sektoral, kredit kepada sektor perdagangan, yang memiliki pangsa tertinggi

sebesar 27,5%, mengalami kontraksi pertumbuhan sebesar 1,6% (yoy). Di sisi lain, meski pertumbuhannya

masih cukup tinggi, kredit sektor pertambangan, sektor pertanian, dan sektor industri pengolahan, sebagai

salah satu sektor utama di Sumbagteng, terindikasi melambat pada triwulan III 2014. Kredit masing-masing

sektor tersebut tumbuh sebesar 33,5%, 24,5%, dan 22,1 (yoy) (Grafik IV.2.15). Indikasi sejumlah perusahaan

akan mulai berinvestasi, setelah bersikap “wait and see” selama masa pemilu, belum terlihat pada

perkembangan kredit industri pengolahan. Sementara itu, masuknya masa tanam kelapa sawit, yang

membutuhkan biaya yang cukup tinggi, terutama dalam pengadaan pupuk, tidak juga mendorong peningkatan

kredit di sektor pertanian.

Melambatnya pertumbuhan kredit di sektor pertambangan dan perdagangan di Sumbagteng, diikuti oleh

menurunnya kualitas kredit di sektor tersebut. Nonperforming loan (NPL) kedua setor tersebut tercatat cukup

tinggi, berada di atas ambang batas level yang dianggap aman (5%) (Grafik IV.2.16). Perlemahan harga

komoditas internasional diperkirakan masih berlanjut hingga akhir tahun 2014, terutama komoditas

perkebungan dan barang tambang. Hal tersebut berpotensi meningkatnya risiko usaha di sektor perkebunan

dan pertambangan. Hal ini perlu terus dicermati, terutama terkait dengan risiko semakin memburuknya

kualitas kredit di kedua sektor tersebut.

24,5%

33,5%

22,1%

-1,6%-40%-20%

0%20%40%60%80%

100%120%140%160%180%200%220%

I II III IV I II III IV I II III IV I II III

2011 2012 2013 2014

g. Pertanian g. Pertambangan g. Ind Pengolahan g. Perdagangan

yoy

2,1

10,3

0,5

5,4

-2

0

2

4

6

8

10

12

14

16

18

20

I II III IV I II III IV I II III IV I II III

2011 2012 2013 2014

Pertanian Pertambangan-sisi kananInd. Pengolahan Perdagangan

%

Grafik IV.2.15. Pertumbuhan Kredit Sektor Utama Grafik IV.2.16. Perkembangan NPL Kredit Sektor Utama

L a p o r a n N u s a n t a r a | 119

Ketahanan Sektor Rumah Tangga

Penyaluran kredit rumah tangga (konsumsi) di Sumbagteng belum menunjukkan pertumbuhan yang membaik

pada triwulan III 2014. Pertumbuhan kredit rumah tangga tercatat sebesar 10,6% (yoy), relatif stabil

dibandingkan dengan triwulan sebelumnya sebesar 10,7% (yoy). Penurunan yang cukup dalam terjadi pada

Kredit Pemilikan Rumah (KPR), yaitu dari 20,7% (yoy) menjadi 8,1% (yoy). Di sisi lain, Kredit Kendaraan

Bermotor (KKB) terus tumbuh positif dan meningkat dari 10,5% (yoy) menjadi 16,4% (yoy) pada triwulan III

2014 (Grafik IV.2.17). Penurunan KPR sejalan dengan hasil liaison yang menyebutkan beberapa pengembang di

Kepulauan Riau lebih berfokus pada akuisisi lahan dan menunda pembangunan properti, menunggu seberapa

besar peluang yang akan muncul, terkait implementasi Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) pada tahun 2015.

Penurunan harga komoditas karet dan kelapa sawit dikhawatirkan akan menggerus daya beli, yang selanjutnya

meningkatkan risiko kredit kepada rumah tangga. Sementara itu, kebutuhan akan alat transportasi pada saat

hari raya idul Fitri berdampak pada meningkatnya pembelian kendaraan bermotor.

Dari sisi kualitas kredit, NPL penyaluran kredit kepada rumah tangga dalam bentuk KPR relatif masih terjaga.

Meskipun demikian, kualitas kredit KPR perlu terus dipantau, mengingat NPL KPR mengalami peningkatan,

yaitu dari 3,5% pada triwulan II 2014 menjadi 3,7% pada triwulan III 2014 (Grafik IV.2.18). Di sisi lain,

peningkatan kredit KKB diiringi dengan membaiknya kualitas kredit, sebagaimana tercermin dari NPL yang

menurun dari 1,3% menjadi 1,1% pada triwulan laporan.

10,6

8,1

16,4

-30

-20

-10

0

10

20

30

40

50

60

I II III IV I II III IV I II III

2012 2013 2014

g. Kredit Rumah Tangga g. KPR g.KKB

yoy

1,7

3,7

1,1

0

1

2

3

4

5

I II III IV I II III IV I II III

2012 2013 2014

NPL Kredit Rumah Tangga NPL KPR NPL KKB

yoy

Grafik IV.2.17. Pertumbuhan Kredit RT Grafik IV.2.18. Perkembangan NPL Kredit RT

13,6

5,1

0,0

1,0

2,0

3,0

4,0

5,0

6,0

0

10

20

30

40

50

60

I II III IV I II III IV I II III IV I II III

2011 2012 2013 2014

g.UMKM NPL-sisi kanan

%,yoy %

(20)

(10)

0

10

20

30

40

50

0

50

100

150

200

250

300

I II III IV I II III IV I II III

2012 2013 2014

%, yoyTriliun Rp

Total Transaksi RTGS Pertumbuhan - skala kanan

Grafik IV.2.19. Pertumbuhan Kredit UMKM dan NPL UMKM

Grafik IV.2.20. Perkembangan Transaksi RTGS

Pembiayaan Sektor Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM)

Sejalan dengan penyaluran kredit perbankan secara keseluruhan yang tumbuh melambat, pertumbuhan kredit

kepada Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) di Sumbagteng juga menurun pada triwulan III 2014.

Kredit UMKM tercatat sebesar Rp54,0 triliun, atau tumbuh 13,6% (yoy) lebih rendah dibandingkan dengan

triwulan sebelumnya sebesar 16,0% (yoy) (Grafik IV.2.19). Pangsa kredit UMKM terhadap total penyaluran

L a p o r a n N u s a n t a r a | 120

kredit di Sumbagteng tercatat cukup tinggi, yaitu sebesar 30%. Kredit UMKM sebagian besar tersalur kepada

sektor perdagangan dan sektor pertanian, dengan porsi masing-masing sebesar 43,7% dan 22,3% dari total

kredit UMKM. Menurunnya kredit UMKM ini ditengarai akibat biaya kredit dirasa cukup tinggi, di tengah

perlambatan ekonomi yang terjadi. Sejalan dengan penurunan kredit UMKM tersebut, kualitas kredit UMKM

juga menunjukkan penurunan, dengan tingkat NPL mencapai level 5,1%, berada di atas standar yang berlaku

secara umum. Adapun NPL tertinggi terjadi di Sumatera Barat mencapai 5,9%, sementara NPL terendah

tercatat di Kepulauan Riau sebesar 3,7%.

Kinerja Sistem Pembayaran

Sejalan dengan perlambatan perekonomian Sumatera Bagian Tengah, transaksi kliring juga tumbuh melambat,

yaitu dari 5,3% (yoy) pada triwulan lalu menjadi 4,6% (yoy) dengan nilai transaksi sebesar Rp19,2 triliun pada

triwulan III 2014 (Grafik 2.20). Penurunan kegiatan transaksi masyarakat setelah masa Idul Fitri dan pasca-

Pemilu menjadi penyebab menurunnya transaksi nontunai, baik nominal maupun volume. Di sisi lain, transaksi

melalui RTGS pada triwulan III 2014 sebesar 8,5% (yoy) meningkat dibandingkan dengan triwulan lalu sebesar

3,7% (yoy), (Grafik IV.2.21). Secara umum, pertumbuhan transaksi nontunai di tahun 2014 relatif membaik

dibandingkan dengan tahun sebelumnya.

(5)

0

5

10

15

20

0

5

10

15

20

25

I II III IV I II III IV I II III

2012 2013 2014

%, yoyTriliun Rp

Total Transaksi Kliring Pertumbuhan - skala kanan

-12

-10

-8

-6

-4

-2

0

2

4

6

8

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9

2012 2013 2014

Triliun Rp

Outflow Inflow Net Inflow/(Outflow)

Grafik IV.2.21. Perkembangan Transaksi SKNBI Grafik IV.2.22. Perkembangan Pengedaran Uang

Kinerja Pengelolaan Uang Tunai

Aliran uang tunai di Sumbagteng mengalami net outflow dengan besaran yang menurun sesuai dengan

karakteristiknya pada triwulan III 2014 (Grafik IV.2.22). Penurunan outflow tersebut terindikasi akibat

meredanya akitivitas ekonomi masyarakat terkait Pemilu, masa libur sekolah, periode Ramadhan pada

triwulan II 2014 yang menyebabkan kebutuhan uang masyarakat meningkat. Dalam mendukung program

Gerakan Nasional Nontunai (GNNT) Bank Indonesia, Kantor Perwakilan di bawah koordinasi KPw BI Wilayah

VIII terus berupaya mengurangi penggunaan transaksi tunai melalui berbagai kegiatan seperti Launching

Penerapan Kawasan Non Tunai (Less Cash Society) di Universitas Andalas, Padang, serta program kerjasama

dengan Pertamina dalam pembayaran pengisian bahan bakar menggunakan kartu (fuel card) di Batam,

Kepulauan Riau. Selain itu, dalam upaya meningkatkan layanan kebutuhan uang masyarakat, sejalan dengan

clean money policy, Bank Indonesia di wilayah Sumbagteng terus melakukan berbagai upaya seperti berbagai

jenis kegiatan penukaran uang tunai, kas keliling ke daerah-daerah terpencil, kerjasama dengan perbankan,

dan upaya lainnya dalam mendukung keterjangkauan distribusi uang di masyarakat.

L a p o r a n N u s a n t a r a | 121

PROSPEK PEREKONOMIAN

Prospek Pertumbuhan Ekonomi

Pertumbuhan ekonomi Sumbagteng pada tahun 2015 diprakirakan relatif stabil cenderung meningkat

dibandingkan dengan tahun 2014, yakni pada kisaran 4,4% - 4,8% (yoy) (Tabel IV.2.1). Dari sisi penggunaan,

konsumsi rumah tangga dan konsumsi pemerintah, dengan total pangsa sebesar 56%, masih menjadi

penopang pertumbuhan ekonomi Sumbagteng. Ekspor diprakirakan sedikit membaik, ditopang oleh

peningkatan permintaan, seiring perbaikan ekonomi global beberapa negara tujuan ekspor utama. Sementara

itu, kepastian usaha yang membaik diperkirakan dapat mendorong rencana investasi para pelaku usaha. Dari

sisi sektoral, perekonomian Sumbagteng masih ditopang oleh kinerja sektor pertanian, industri pengolahan,

dan perdagangan, hotel, dan restoran yang masih menunjukkan pertumbuhan yang cukup tinggi. Menguatnya

konsumsi rumah tangga turut berdampak pada meningkatnya aktivitas di sektor industri pengolahan dan PHR.

Meskipun demikian, beberapa faktor risiko dapat menahan laju pertumbuhan tahun 2015. Risiko tersebut

antara lain, potensi penurunan harga komoditas utama seperti CPO, karet, dan batubara, serta belum pulihnya

perekonomian Tiongkok dapat menghambat kinerja ekspor. Selain itu, berlanjutnya kontraksi sektor

pertambangan sebagai sektor terbesar di Sumbagteng berpotensi menahan laju pertumbuhan ekonomi lebih

tinggi.

Prospek Inflasi

Dari sisi harga, tingkat inflasi di wilayah Sumbagteng pada tahun 2015 diprakirakan tetap akan terjaga. Inflasi

Sumbagteng diprakirkan berada pada kisaran 4,6% - 5,0% (yoy). Proyeksi inflasi tersebut mengasumsikan tidak

adanya kebijakan kenaikan harga energi strategis yang signifikan pada tahun 2015. Namun demikian, perlu

diwaspadai beberapa risiko yang berpotensi memicu inflasi tahun 2015 menjadi lebih tinggi yaitu antara lain:

1) berlanjutnya kenaikan TTL rumah tangga, 2) kenaikan TTL industri, 3) penyesuaian tarif LPG hingga menuju

harga keekonomiannya, dan 4) kenaikan UMP 2015. Sehubungan tersebut, meningkatnya komitmen pemda

melalui TPID pada upaya peningkatan produksi pangan, kelancaran distribusi, dan menjaga ekspektasi

masyarakat, serta kerjasama antardaerah diharapkan dapat mendukung kestabilan harga. Program kerja TPID

yang terkoordinasi diharapkan dapat mendukung kegiatan produksi dan distribusi pangan ke depan sehingga

kenaikan harga pangan lebih terkendali dan dapat diantisipasi sebelumnya.

L a p o r a n N u s a n t a r a | 122

Tabel IV.2.1. Prakiraan Pertumbuhan Ekonomi dan Inflasi Sumbagteng

I II III IV Total I II III IVp Totalp Ip Totalp

PDRB (%,yoy) 5,2 4,7 4,5 4,2 5,0 4,6 5,4 4,5 4,1 4,4 4,6 4,0 - 4,4 4,4 - 4,8

Sisi Permintaan

Konsumsi 6,2 6,8 6,1 5,3 6,3 6,1 5,5 6,8 7,3 6,7 6,6 6,4 - 6,8 5,9 - 6,3

Konsumsi swasta 6,3 7,4 6,8 5,9 5,7 6,4 6,1 7,3 7,7 7,6 7,2 6,3 - 6,7 5,9 - 6,3

Konsumsi Pemerintah 5,3 3,3 2,2 2,1 9,7 4,5 1,9 4,2 4,6 2,1 3,2 7,6 - 8,0 6,0 - 6,4

Pembentukan Modal Tetap Bruto 8,1 8,4 7,9 7,8 7,3 7,8 5,9 5,6 5,3 6,0 5,6 6,7 - 7,1 6,0 - 6,4

Ekspor 3,1 0,4 (0,2) 0,1 6,8 1,8 4,4 (2,1) 1,9 (2,6) 0,2 0,9 - 1,3 1,9 - 2,3

Impor 5,5 3,2 1,4 1,6 1,5 1,9 2,1 (3,3) 3,0 2,7 0,9 1,8 - 2,2 2,6 - 3,0

Sisi Produksi

Sektor pertanian 3,9 4,1 3,4 4,5 6,3 4,6 6,7 6,4 5,6 5,7 6,1 4,6 - 5 5,5 - 5,9

Sektor pertambangan & penggalian (0,4) (4,1) (1,6) 0,4 1,2 (1,0) 1,8 (2,4) (3,3) (2,3) (1,6) (2,0) - (1,6) (2,4) - (2,0)

Industri pengolahan 4,9 7,4 6,0 5,3 5,2 5,9 5,2 5,9 5,7 6,2 5,7 5,6 - 6,0 5,7 - 6,1

Listrik, gas & air bersih 5,1 6,0 5,8 3,3 4,8 4,9 4,4 4,8 6,3 4,9 5,1 5,3 - 5,7 5,1 - 5,5

Bangunan 11,9 11,5 9,2 8,4 9,4 9,6 9,1 7,4 6,4 7,0 7,4 7,7 - 8,1 7,7 - 8,1

Perdagangan, hotel & restoran 11,3 11,2 8,5 4,9 5,9 7,5 8,0 9,1 10,1 8,9 9,0 7,4 - 7,8 8,1 - 8,5

Pengangkutan & komunikasi 9,0 8,8 8,5 6,2 7,2 7,7 7,2 7,8 7,3 6,8 7,3 6,4 - 6,8 7,3 - 7,7

Keuangan, persewaan dan jasa perush. 8,5 9,5 7,2 5,7 4,9 6,7 4,5 3,9 3,1 4,1 3,9 4,6 - 5,0 6,0 - 6,4

Jasa-jasa 7,6 6,9 7,3 6,1 6,7 6,8 5,3 4,7 3,7 3,8 4,4 4,6 - 5,0 5,1 - 5,5

Inflasi IHK (%,yoy) 3,18 4,99 5,52 8,18 9,11 9,11 7,89 6,26 4,86 5,17 5,17 4,9 - 5,3 4,6 - 5,0

Sumber: Badan Pusat Statis tik, diolahp proyeks i Bank Indones ia

201520142013Pertumbuhan Ekonomi dan Inflasi

Wilayah2012

L a p o r a n N u s a n t a r a | 123

PERTUMBUHAN EKONOMI

Perekonomian Wilayah Sumatera Bagian Utara (Sumbagut) pada triwulan III 2014 tumbuh melambat

dibandingkan dengan triwulan sebelumnya. Hal tersebut bersumber dari perlambatan ekspor dan konsumsi

pemerintah yang belum optimal. Pada triwulan III 2014, pertumbuhan ekonomi Sumbagut tercatat sebesar

4,7% (yoy) lebih rendah dibandingkan dengan triwulan sebelumnya sebesar 5,1% (yoy). Pelemahan konsumsi

turut dipengaruhi oleh kinerja subsektor perkebunan dan industri pengolahan kelapa sawit yang tumbuh

terbatas.

Memasuki triwulan IV 2014, perekonomian Sumbagut diprakirakan mulai membaik seiring dengan perbaikan

konsumsi rumah tangga. Daya beli masyarakat diprakirakan meningkat karena perbaikan kinerja sektor

perkebunan. Secara keseluruhan tahun, pertumbuhan ekonomi tahun 2014 diprakirakan tumbuh lebih rendah

dibandingkan dengan tahun 2013. Hal tersebut terutama bersumber dari investasi, penurunan harga

komoditas, dan faktor iklim yang menekan pertumbuhan sektor pertanian.

Konsumsi

Konsumsi Rumah Tangga

Kinerja konsumsi rumah tangga pada triwulan III 2014 masih menjadi sumber pertumbuhan utama

perekonomian utama wilayah Sumbagut. Peningkatan belanja masyarakat mejelang Hari Raya Idul Fitri dan

tahun ajaran baru mendorong perbaikan konsumsi. Peningkatan pertumbuhan tersebut juga tercermin dari

masih optimisnya masyarakat terkait keyakinan dan ekpektasi terhadap kondisi ekonomi (Grafik IV.3.1).

Pada triwulan mendatang, konsumsi rumah tangga diprakirakan tumbuh stabil. Tingkat optimisme tersebut

terutama didorong oleh rencana pembelian barang-barang tahan lama, rekreasi, dan aktivitas menjelang Natal

dan Tahun Baru. Hal ini terindikasi dari optimism masyarakat sebagaimana tercermin dari Indeks Tendensi

Konsumen dan Indeks Penjualan Eceran. Hal lain yang mendorong peningkatan pertumbuhan hingga akhir

tahun 2014 adalah maraknya big sale (cuci gudang) tiap akhir tahun yang akan memacu peningkatan

pertumbuhan konsumsi rumah tangga. Secara keseluruhan tahun, pertumbuhan konsumsi rumah tangga

masih tumbuh positif walaupun tidak setinggi tahun lalu.

Sumber: BPS Provinsi Sumut dan Aceh, diolah

Grafik IV.3.1. Perkembangan Kondisi, Keyakinan dan Ekpektasi Konsumen terhadap Perekonomian

Grafik IV.3.2. Indeks Tendeksi Konsumen dan Indeks Penjualan Eceran

L a p o r a n N u s a n t a r a | 124

Konsumsi Pemerintah

Konsumsi Pemerintah pada triwulan III 2014 tumbuh melambat. Hal itu tercermin dari tingkat realisasi APBD di

Provinsi Aceh sampai dengan akhir triwulan laporan tercatat sebesar 53,9% dari APBD 20141. Senada dengan

hal itu, realisasi APBD Provinsi Sumatera Utara hingga akhir triwulan III 2014 juga baru mencapai 52,02%2.

Idealnya, hingga triwulan III realisasi belanja pemerintah telah mencapai 70%. Lambatnya realisasi konsumsi

pemerintah tersebut juga terkonfirmasi dari nilai outstanding rekening giro pemerintah daerah Provinsi

Sumatera Utara di perbankan yang relatif masih cukup besar.

Pertumbuhan konsumsi pemerintah diprakirakan akan kembali meningkat pada triwulan IV 2014. Hal ini

sejalan dengan semakin meningkatnya realisasi anggaran pemerintah hingga akhir tahun sesuai dengan pola

realisasinya. Peningkatan penyerapan konsumsi Pemerintah tersebut diperkirakan akan ikut mendorong

peningkatan konsumsi Wilayah Sumbagut hingga akhir tahun 2014. Kendati demikian, secara keseluruhan

tahun, realisasi konsumsi pemerintah masih lebih rendah dibandingkan dengan tahun lalu.

Investasi

Kinerja investasi di wilayah Sumbagut pada triwulan III 2014 meningkat dibandingkan dengan triwulan

sebelumnya yaitu dari 4,6% (yoy) menjadi 4,9% (yoy). Hal yang mendorong peningkatan investasi diantaranya

adalah selesainya pemilu presiden yang meningkatkan kestabilan situasi politik sehingga memacu kepercayaan

pelaku usaha. Meningkatnya kinerja investasi, selain didorong oleh sektor swasta, juga didorong oleh realisasi

investasi pemerintah seiring dengan realisasi belanja modal yang terus meningkat sejak awal triwulan III 2014.

Tingginya pertumbuhan investasi di Provinsi Aceh (dari 5,6% menjadi 6,9%, yoy) turut menjadi pendorong

meningkatnya kegiatan investasi di wilayah Sumbagut.

Pada triwulan mendatang, kinerja investasi diprakirakan akan tumbuh melambat. Hal tersebut terindikasi dari

prompt indicator seperti penjualan semen yang mulai tumbuh melambat (Grafik IV.3.3). Selain itu,

pembiayaan dari perbankan berupa kredit investasi juga masih cenderung mengalami perlambatan

pertumbuhan (Grafik IV.3.4). Realisasi proyek-proyek pemerintah yang biasanya meningkat pada akhir tahun

diprakirakan masih belum dapat mendorong akselerasi pertumbuhan investasi secara keseluruhan tahun,

sehingga pertumbuhannya masih relatif lebih rendah dibandingkan dengan tahun 2013.

Sumber: Asosiasi Semen Indonesia

Grafik IV.3.3. Penjualan Semen di Sumbagut Grafik IV.3.4. Penyaluran Kredit Investasi Sumbagut

1 Hasil FGD dengan Dirjen Perbendaharaan Kantor Wilayah Aceh

2 Hasil FGD dengan Biro Keuangan Provinsi Sumatera Utara

L a p o r a n N u s a n t a r a | 125

Perdagangan Luar Negeri

Ekspor

Realisasi kegiatan ekspor luar negeri pada triwulan III 2014 mengalami perlambatan dibandingkan dengan

triwulan sebelumnya, walaupun secara volume masih mengalami peningkatan (Grafik IV.3.5). Penurunan

kegiatan ekspor dipengaruhi oleh belum pulihnya harga CPO di pasar internasional serta masih relatif

rendahnya pemulihan harga karet (berkisar 160 sen USD pada akhir Oktober 2014) di pasar internasional.

Harga karet di pasar internasional pada akhir triwulan III 2014 turun hingga 25% (yoy), sedangkan harga CPO di

pasar internasional turun 11% (yoy). Selain itu, penurunan signifikan produksi gas di Provinsi Aceh, yang

menyumbang 90% dari total ekspor, turut memperdalam tekanan pertumbuhan ekspor pada triwulan ini.

Kinerja ekspor pada triwulan mendatang diprakirakan akan kembali membaik. Perbaikan kinerja ekspor tersebut

diduga akan didorong oleh peningkatan ekspor komoditas utama seperti karet. Hal ini terutama dipengaruhi

kebijakan pengenaan kontrak harga minimum penjualan karet oleh beberapa perusahaan karet Indonesia yang

diharapkan dapat menahan pelemahan harga karet semakin dalam. Membaiknya kinerja industri pengolahan

negara tujuan ekspor diprediksi akan memengaruhi peningkatan kinerja ekspor di wilayah Sumbagut (Grafik

IV.3.6). Secara keseluruhan tahun, ekspor Sumbagut diprakirakan masih akan tumbuh lebih tinggi

dibandingkan dengan dengan tahun lalu.

Sumber: Bloomberg

Grafik IV.3.5. Perkembangan Ekspor Sumbagut Grafik IV.3.6. Purchasing Managers Index (PMI) Negara Tujuan Ekspor Utama Sumbagut

Impor

Realisasi impor luar negeri Sumbagut hingga triwulan III 2014 tumbuh melambat dibandingkan dengan

periode sebelumnya, baik secara volume maupun nilai (Grafik IV.3.7). Penurunan impor tersebut seiring

dengan kecenderungan menurunnya bongkar muatan di pelabuhan Provinsi Sumatera Utara dan Aceh. Hal ini

misalnya terjadi di Kota Krueng Guekeuh, Provinsi Aceh. Dari kegiatan liason diperoleh informasi bahwa

sedikitnya kapal yang menuju pelabuhan ekspor-impor dipengaruhi pertimbangan pelaku usaha terkait

keuntungan yang akan didapat dan biaya yang akan ditanggung. Kapal yang mengangkut barang impor ke

wilayah Sumbagut seringkali kembali dalam keadaan tanpa muatan karena tidak membawa ekspor dari

Sumbagut sehingga menyebabkan ongkos logistik yang relatif tinggi. Penurunan impor pada triwulan laporan

terutama terjadi untuk kelompok barang modal.

Kinerja impor luar negeri pada triwulan IV 2014 diprakirakan akan kembali tumbuh meningkat. Peningkatan

tersebut diperkirakan didorong oleh pemenuhan kebutuhan bahan pokok menjelang perayaan Natal dan

Tahun Baru. Selain itu, peningkatan ini juga didorong oleh kembali meningkatnya kebutuhan barang modal

dalam rangka memenuhi kebutuhan realisasi proyek-proyek pemerintah. Pertumbuhan impor untuk tahun

L a p o r a n N u s a n t a r a | 126

2014 secara keseluruhan diprakirakan masih akan tumbuh positif, meskipun tidak akan lebih tinggi

dibandingkan dengan tahun 2013.

Grafik IV.3.7. Perkembangan Impor Sumbagut Grafik IV.3.8. Indeks Penjualan Eceran

Kinerja Sektor Utama Daerah

Sektor Perdagangan, Hotel dan Restoran (PHR)

Pertumbuhan sektor PHR pada triwulan III 2014 meningkat signifikan dibandingkan dengan triwulan lalu.

Peningkatan kinerja sektor ini terutama didorong oleh meningkatnya aktivitas perdagangan besar dan eceran

selama bulan Ramadhan, hari raya Idul Fitri, serta masa tahun ajaran baru. Selain itu, banyaknya event

berskala nasional seperti Festival Danau Toba (FDT) serta kegiatan Apresiasi Film Indonesia (AFI) turut

mendorong peningkatan sektor ini.

Peningkatan kinerja sektor PHR diprakirakan masih akan berlanjut pada triwulan mendatang. Optimisme

tumbuhnya sektor ini didorong oleh peningkatan aktivitas perdagangan menjelang Natal dan tahun baru. Hal

ini salah satunya tercermin dari Indeks Penjualan Eceran yang masih tumbuh dengan baik (Grafik IV.3.8).

Tingkat hunian kamar (occupancy rate) yang masih meningkat juga mendorong pertumbuhan subsektor

perhotelan kedepan. Hal tersebut didukung oleh penyaluran kredit perbankan ke sektor PHR secara umum

hingga triwulan laporan masih tumbuh sebesar 13,08% (yoy), lebih tinggi dari triwulan sebelumnya. Perbaikan

kinerja sektor Perdagangan, Hotel, dan Restoran sepanjang tahun 2014 mendorong pertumbuhan sektor ini

lebih baik dibandingkan dengan tahun lalu.

Sektor Pertanian

Sektor pertanian pada triwulan III 2014 mengalami perlambatan. Penurunan kinerja sektor pertanian ini

terutama didorong oleh kekeringan yang terjadi di Provinsi Aceh, puso akibat tingginya curah hujan di

Sumatera Utara, erupsi Gunung Sinabung, serta masuknya musim tanam padi. Kekeringan yang terjadi di Aceh

masih menyisakan dampak pada hasil panen dan diperparah dengan tidak optimalnya irigasi. Hal ini

menyebabkan realisasi tanam padi pada hanya mencapai 65% dari rencana awal.

Kinerja sektor pertanian Sumbagut pada triwulan IV 2014 diprakirakan akan tumbuh lebih tinggi dari periode

sebelumnya. Hal tersebut didorong oleh peningkatan produksi padi seiring datangnya masa panen pada akhir

tahun 2014. Survei Kegiatan Dunia Usaha juga menyatakan optimisme pelaku usaha di sektor pertanian yang

masih terjaga hingga triwulan mendatang (Grafik IV.3.9). Hal tersebut juga didukung dengan penyaluran kredit

kepada sektor ini, terutama untuk komoditas utama seperti CPO dan karet yang masih tumbuh positif (Grafik

IV.3.10). Sektor ini secara keseluruhan tahun masih akan tumbuh positif meskipun diperkirakan tidak akan

setinggi tahun sebelumnya.

L a p o r a n N u s a n t a r a | 127

Grafik IV.3.9. Perkiraan Kegiatan Usaha Sektor Pertanian

Grafik IV.3.10. Penyaluran Kredit ke CPO dan Karet

Sektor Industri Pengolahan

Seiring dengan perlambatan sektor pertanian, kinerja sektor industri pengolahan pada triwulan III 2014 juga

tumbuh melambat dibandingkan dengan triwulan sebelumnya. Penurunan sektor ini didorong oleh

tertahannya kinerja perusahaan pengolahan karet dan CPO karena melemahnya harga komoditas dunia. Harga

CPO internasional hingga bulan September 2014 masih mengalami penurunan sebesar 11,5% (yoy), sedangkan

harga karet internasional bahkan turun lebih dalam yaitu hingga 25% (yoy). Masih rendahnya kedua harga

komoditas tersebut berdampak pada menurunnya kegiatan produksi perusahaan industri pengolahan, yang

tercermin dari masih negatifnya pertumbuhan tahunan ekspor olahan karet dan semakin dalamnya

penurunan pertumbuhan tahunan ekspor CPO. (Grafik IV.3.11)

Perlambatan sektor Industri Pengolahan diprakirakan akan terus berlanjut pada triwulan IV 2014. Perkiraan

tersebut didukung oleh kecenderungan masih tertahannya pertumbuhan ekonomi negara tujuan utama

ekspor seperti Tiongkok, masih terus melemahnya harga komoditas CPO dan karet, serta masih melambatnya

pertumbuhan penyaluran kredit di sektor industri pengolahan (Grafik IV.3.12). Persistensi perlambatan

pertumbuhan sektor ini dari triwulan ke triwulan sepanjang tahun 2014 mencatatkan pertumbuhan

keseluruhan tahun yang melambat dibandingkan dengan tahun 2013.

Grafik IV.3.11. Ekspor Manufaktur Grafik IV.3.12. Penyaluran Kredit Perbankan Ke Sektor

Pengolahan Sumbagut

PERKEMBANGAN INFLASI

Inflasi wilayah Sumbagut pada triwulan III 2014 tercatat sebesar 4,5% (yoy), lebih rendah dibandingkan

dengan triwulan lalu yang mencapai 6,1% (yoy). Penurunan inflasi tersebut terjadi baik di Provinsi Aceh

maupun Provinsi Sumatera Utara. Berdasarkan kota penyumbang inflasi, inflasi tertinggi di wilayah Sumbagut

pada triwulan III 2014 terjadi di Kota Meulaboh (7,52%) sementara inflasi terendah terjadi di Kota

L a p o r a n N u s a n t a r a | 128

Padangsidempuan (3,8%; yoy). Sedangkan berdasarkan disagregasi, inflasi volatile foods dan administered

prices mulai mengalami kenaikan, sementara inflasi inti masih cukup stabil dengan kecenderungan meningkat.

(Grafik IV.3.14). Peningkatan inflasi tersebut terutama didorong oleh komoditas cabe merah (keriting segar

dan merah besar) yang mengalami kenaikan harga sebagai dampak dari turunnya produksi akibat pergeseran

pola masa tanam dan panen pada kelompok sayuran di tengah masih tingginya permintaan.3

Hingga Oktober 2014, inflasi Sumbagut tercatat sebesar 4,5% (yoy), melanjutkan tren peningkatan sejak

Agustus 2014. Tekanan inflasi diduga tetap akan mengalami peningkatan hingga akhir tahun 2014. Kelompok

volatile foods diperkirakan masih menjadi penyumbang terbesar kenaikan tekanan inflasi di Sumbagut, seperti

cabe merah, tomat buah, tomat sayur, dan bawang merah, terutama karena semakin tingginya permintaan

komoditas tersebut menjelang Natal dan Tahun Baru di tengah terbatasnya pasokan akibat kembali terjadinya

erupsi Gunung Sinabung di Kabupaten Karo. Potensi tekanan tersebut juga diperkuat dengan peningkatan

risiko pada kelompok administered prices. Rencana kenaikan tarif dasar listrik (TTL) tahap tiga dan

implementasi kenaikan tiket pesawat sekitar 10% untuk tiket ekonomi pada November serta rencana kenaikan

BBM diduga semakin meningkatkan tekanan inflasi hingga akhir tahun ini.

Sumber: BPS, diolah Sumber: BPS, diolah

Grafik IV.3.15. Inflasi Aceh, Sumut, Sumbagut, dan Nasional

Grafik IV.3.16. Disagregasi inflasi Sumbagut

Koordinasi Pengendalian Inflasi

Dalam memperkuat peranan TPID dalam menghadapi kendala, permasalahan, dan tantangan tekanan inflasi

terutama pada kelompok volatile food, TPID se-Sumbagut membuat program-program sebagai berikut:

1) Meningkatkan kerjasama perdagangan antardaerah di bidang ketahanan pangan dalam bentuk

komitmen bersama antar-SKPD se-Sumbagut.

2) Meningkatkan ketersediaan dan kualitas data atau informasi terkait dengan surplus defisit pangan di

setiap daerah oleh TPID yang akan dijadikan acuan dalam melakukan kerjasama perdagangan

antardaerah.

Sementara itu, hal-hal yang perlu diperhatikan terkait dengan pengendalian inflasi terutama pada triwulan IV

2014 adalah sebagai berikut:

1) Antisipasi terhadap tekanan inflasi pada subkelompok makanan jadi dan sandang terkait dengan

perayaan Natal dan Tahun Baru.

3 Hal ini juga terkonfirmasi melalui Survei Pemantauan Harga yang dilakukan oleh KPw Wilayah IX. Survey tersebut

menunjukkan cabe merah (keriting segar dan merah besar) mengalami tren peningkatan harga sejak Agustus 2014.

L a p o r a n N u s a n t a r a | 129

2) Kemungkinan tekanan dari kelompok administered price terutama terkait dengan kebijakan pemerintah

untuk menaikkan tarif tenaga listrik, BBM bersubsidi dan tarif angkutan udara.

3) Adanya perlambatan angin di Selat Karimata hingga Laut Seram yang mengakibatkan kelembaban udara

cukup tinggi di sebagian wilayah Sumatera bagian Utara. Kondisi tersebut mendukung pertumbuhan

awan-awan hujan di sebagian wilayah Sumatera yang berpotensi menimbulkan hujan lebat di Aceh

bagian Selatan dan Sumatera Utara bagian Tengah. Hal ini diduga akan berdampak pada berkurangnya

hasil panen komoditas pertanian4.

STABILITAS SISTEM KEUANGAN DAN PENGELOLAAN SISTEM PEMBAYARAN

Ketahanan Sektor Korporasi

Pembiayaan sektor Korporasi oleh perbankan pada triwulan III 2014 masih menunjukkan pertumbuhan yang

relatif baik walaupun sedikit melambat. Jika meninjau tiga sektor utama Sumbagut, peningkatan pertumbuhan

kredit terjadi pada sektor Perdagangan Hotel, dan Restoran (PHR) dan pertumbuhan yang stabil pada sektor

pertanian, meskipun dibayang-bayangi adanya tekanan pertumbuhan pada sektor industri pengolahan (Grafik

IV.3.15). Pertumbuhan tersebut didukung dengan kualitas yang masih terjaga di level yang cukup baik,

tercermin dari indikator nonperforming loan (NPL) yang masih di bawah level critical point (5%). Meskipun

demikian, perlu diwaspadai adanya kecenderungan naiknya NPL, baik secara total korporasi maupun ketiga

sektor utama Sumbagut (Grafik IV.3.16). Kenaikan NPL tersebut diduga dipengaruhi oleh perlambatan kinerja

perekonomian terutama di sektor pertanian dan industri pengolahan, di tengah masih melemahnya harga

komoditas.

Grafik IV.3.15. Perkembangan Kredit Korporasi dan

Kredit ke 3 Sektor Utama Sumbagut Grafik IV.3.16. Perkembangan NPL Kredit Korporasi

dan Kredit ke 3 Sektor Utama SUmbagut

Ketahanan Sektor Rumah Tangga

Kredit konsumsi yang disalurkan dari Bank Umum kepada sektor rumah tangga di Sumbagut pada triwulan

laporan masih tumbuh positif, walaupun mengalami tekanan terutama untuk Kredit Perumahan Rakyat (KPR)

(Grafik IV.3.17). Pertumbuhan tersebut didukung dengan kualitas kredit yang masih cukup baik, tercermin dari

NPL yang terjaga di bawah 5% (Grafik IV.3.18). Namun, perlu diwaspadai terutama untuk NPL KPR yang

menunjukkan kecenderungan meningkat sejak awal tahun 2014. Peningkatan tersebut terutama terjadi pada

tipe rumah 22-70 dan di atas 70 serta apartemen tipe di atas 70. Kondisi ini diduga sebagai dampak dari

4 Informasi anekdotal dari Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG)

L a p o r a n N u s a n t a r a | 130

kenaikan suku bunga kredit, terutama suku bunga kredit apartemen tipe di atas 70 yang naik cukup tinggi,

yaitu dari 10,7% di triwulan II 2014 menjadi 11,22% pada triwulan laporan. Kenaikan NPL tersebut sejalan

dengan tren kenaikan NPL KPR untuk semua tipe bangunan (tipe 21, 22-70, di atas 70, dan tipe ruko & rukan)

pasca diterapkannya kebijakan Loan to Value (LTV).

Grafik IV.3.17. Pertumbuhan Tahunan Kredit

Rumah Tangga Sumbagut

Grafik IV.3.18. Perkembangan NPL Kredit KPR dan

KKB Sumbagut

Pembiayaan Sektor Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM)

Porsi kredit UMKM di wilayah Sumbagut mengalami peningkatan dari tahun ke tahun hingga pada triwulan III

2014 telah mencapai 28,23% dari total kredit. Secara sektoral, pangsa kredit UMKM masih didominasi oleh

sektor PHR dengan pangsa pada triwulan laporan sebesar 54,68%, disusul oleh sektor pertanian (16,63%) dan

sektor industri pengolahan (7,07%). Sementara itu, dari jenis penyalurannya, nominal kredit UMKM sebagian

besar masih disalurkan untuk usaha menengah (Grafik IV.3.19). Namun, porsi penyaluran kepada usaha mikro

telah mengalami peningkatan sejak lima tahun terakhir. Penyaluran kredit UMKM sendiri masih tumbuh cukup

baik walaupun sedikit melambat, yakni dari 21,62% (yoy) pada triwulan lalu menjadi 19,32% (yoy) pada

triwulan laporan (Grafik IV.3.20). Meski begitu, angka tersebut masih di atas rata-rata pertumbuhan tahunan

selama empat tahun terakhir sebesar 17,63%

Grafik IV.3.19. Perkembangan Proporsi Kredit

UMKM Sumbagut Grafik IV.3.20. Pertumbuhan Kredit UMKM

Sumbagut

Kinerja Sistem Pembayaran

Transaksi perbankan di wilayah Sumbagut melalui Bank Indonesia Real Time Gross Settlement (RTGS) pada

triwulan III 2014 mengalami penurunan baik secara nominal maupun volume. Secara nominal, transaksi RTGS

pada triwulan laporan turun sebesar 18,6% (qtq) menjadi Rp300,31 triliun, sementara secara volume transaksi

juga mengalami penurunan sebesar 16,43% (qtq) menjadi sebesar 239.150 transaksi (Grafik IV.3.21). Berbeda

dengan hal itu, kliring perbankan di wilayah Sumbagut justru mengalami peningkatan baik secara nominal

L a p o r a n N u s a n t a r a | 131

maupun volume. Secara nominal, kliring di Sumbagut mengalami peningkatan sebesar 14,97% (qtq) menjadi

sebesar Rp40 triliun sementara secara volume, transaksi warkat kliring juga meningkat sebesar 6,66% (qtq)

menjadi 1.157.313 lembar warkat (Grafik IV.3.22). Kondisi tersebut mengindikasikan bahwa pada bulan

Ramadhan, musim Lebaran, dan masa tahun ajaran baru, selama triwulan laporan justru semakin banyak

masyarakat yang melakukan transaksi transfer dana bernominal kecil (di bawah Rp100 juta).

Grafik IV.3.21. Perkembangan Transaksi RTGS Grafik IV.3.22. Perkembangan Perputaran Kliring

Kinerja Pengelolaan Uang Tunai

Perkembangan uang kartal di wilayah Sumbagut pada triwulan III 2014 mengalami net inflow sebesar Rp1

triliun, sejalan dengan kondisi beberapa triwulan sebelumnya pada tahun ini (Grafik IV.3.23). Namun, posisi

net inflow pada triwulan ini tidak setinggi triwulan sebelumnya karena kondisi tersebut hanya terjadi pada

wilayah kerja Medan, sementara wilayah kerja lain seperti Banda Aceh, Lhoksumawe, Pematang Siantar, dan

Sibolga mengalami kondisi net outflow. Hal ini mengindikasikan banyaknya transaksi yang terjadi di Kota

Medan baik dari aktivitas penduduknya sendiri maupun dari pendatang dari daerah sekitarnya yang

membelanjakan uangnya di kota ini. Kondisi tersebut didorong oleh meningkatnya aktivitas masyarakat pada

bulan Ramadhan, Lebaran, serta masuknya masa tahun ajaran baru. Sementara itu, temuan uang palsu terus

mengalami penurunan sejak awal tahun 2014 hingga triwulan ini (Grafik IV.3.24). Penurunan temuan uang

palsu tersebut sejalan dengan semakin meningkatnya antisipasi Bank Indonesia mencegah peredaran uang

palsu, antara lain dengan meningkatkan security features uang yang dicetak dan melakukan sosialisasi ciri-ciri

keaslian uang Rupiah.

Grafik IV.3.23. Perkembangan Aliran Uang Kartal

Sumbagut Grafik IV.3.24. Perkembangan Uang Palsu di

Sumbagut

L a p o r a n N u s a n t a r a | 132

PROSPEK PEREKONOMIAN

Prospek Pertumbuhan Ekonomi

Kinerja perekonomian wilayah Sumabagut pada tahun 2015 diperkirakan akan membaik dibandingkan dengan

tahun 2014, yaitu berada pada kisaran 4,8%-5,1%. Dari sisi penggunaan, pertumbuhan tersebut masih akan

didorong oleh peningkatan kinerja konsumsi dan kembali membaiknya kinerja investasi dan ekspor-impor,

seiring dengan membaiknya perekonomian global, terutama perekonomian negara tujuan ekspor utama.

Sementara itu, dari sisi sektoral, perekonomian Sumbagut masih akan digerakkan oleh tiga sektor utamanya.

Peningkatan kinerja sektor Pertanian serta Perdagangan, Hotel dan Restoran (PHR) akan mendorong

perekonomian ke arah yang lebih baik, di tengah prakiraan masih tertekannya pertumbuhan sektor industri

pengolahan. Beberapa faktor risiko pada tahun 2015 adalah masih melemahnya harga komoditas utama

seperti karet dan CPO, belum pulihnya perekonomian Tiongkok sebagai salah satu negara tujuan ekspor

utama, serta risiko iklim seperti anomali cuaca yang berpotensi membayangi kinerja perekonomian Sumbagut.

Prospek Inflasi

Inflasi daerah Sumbagut pada akhir tahun 2015 diprakirakan lebih rendah dari inflasi tahun 2014, sejalan

dengan terjaganya pasokan, terutama bahan pangan, yang lebih baik. Namun, beberapa potensi risiko inflasi

yang harus diwaspadai pada tahun 2015 diantaranya adalah masih akan dilakukannya penyesuaian TTL,

kemungkinan akan dinaikkan kembali UMP 2015, serta dampak lanjutan (pass-through effect) kenaikan BBM

kepada kenaikan biaya transportasi dan harga-harga bahan makanan. Selain itu, potensi anomali cuaca dan

bencana alam seperti Gunung Sinabung menjadi risiko pendorong tekanan inflasi di wilayah Sumbagut.

Sehubungan berbagai risiko tekanan inflasi mendatang, koordinasi dalam forum TPID perlu semakin dikuatkan.

Dalam forum TPID, keterlibatan aparat keamanan diperlukan, terutama dalam mengantisipasi gejolak sosial

yang ditimbulkan dari kebijakan penyesuaian harga BBM. Koordinasi juga perlu dilakukan dengan melibatkan

organisasi angkutan publik di daerah, untuk meminimalkan dampak penyesuaian harga BBM terhadap tarif

angkutan kota dan angkutan antarkota-antar provinsi (AKAP). Koordinasi dengan berbagai pihak untuk

meningkatkan kesiapan penanggulangan bencana juga perlu dilakukan sejak dini, terutama terkait dengan

kecukupan pasokan pangan dan keamanan jalur distribusi. Berbagai upaya tersebut dimaksudkan untuk

mencegah gejolak harga yang berlebihan.

L a p o r a n N u s a n t a r a | 133

Tabel IV.3.4. Realisasi dan Prakiraan Pertumbuhan Ekonomi dan Inflasi Sumbagut

I II III IV Total I II III IVp Totalp Ip Totalp

PDRB (%, yoy) 6.0 5.9 5.6 5.5 5.4 5.6 5.1 5.1 4.7 4.8 4.9 4.7-5.1 4.8-5.1

Sisi Permintaan

Konsumsi 5.6 7.0 6.7 6.7 5.7 6.5 6.1 6.4 5.9 6.1 6.1 6.6-7.0 5.9-6.3

Konsumsi swasta 5.9 7.5 6.7 6.6 5.5 6.6 6.0 6.3 6.4 6.4 6.5 5.8-6.2 6.1-6.5

Konsumsi Pemerintah 4.5 4.8 4.1 4.4 3.9 4.3 4.1 4.3 3.9 4.8 4.3 10.1-10.5 4.6-5.0

Pembentukan Modal Tetap Bruto* 6.8 8.6 8.2 7.0 5.0 7.2 4.4 4.6 4.9 4.7 4.7 5.3-5.7 4.9-5.3

Ekspor 2.8 1.2 3.6 4.0 5.7 3.6 4.5 3.7 3.1 3.5 3.7 4.1-4.5 3.9-4.3

Impor 4.9 6.7 7.3 7.9 6.4 7.1 5.3 4.3 3.6 4.8 4.6 5.4-5.8 5.7-6.1

Sisi Produksi

Sektor pertanian 4.9 5.5 3.5 3.1 3.2 3.8 3.1 3.4 3.1 3.4 3.2 3.1-3.5 3.6-4.0

Sektor pertambangan & penggalian 0.2 1.0 2.1 1.8 0.2 1.3 0.8 0.9 (3.6) (3.6) (1.3) (4.2)-(4.6) (2.6)-(3.0)

Industri pengolahan 3.4 2.4 3.3 2.8 4.3 3.2 4.4 4.2 2.3 2.0 3.2 2.1-2.5 2.8-3.2

Listrik, gas & air bersih 3.9 5.5 4.7 3.5 3.0 4.1 3.9 5.4 5.9 5.5 5.2 4.8-5.2 4.8-5.2

Bangunan 6.8 7.1 7.9 6.8 6.4 7.0 6.3 5.6 7.5 7.3 6.7 7.0-7.4 6.9-7.3

Perdagangan, hotel & restoran 7.2 7.7 7.8 7.8 7.2 7.6 5.1 6.6 7.4 7.8 6.8 7.6-8.0 6.8-7.2

Pengangkutan & komunikasi 8.3 8.1 7.8 7.2 5.4 7.1 5.2 3.9 4.2 4.3 4.5 4.2-4.6 5.2-5.6

Keuangan, persewaan dan jasa perush. 10.9 8.1 8.2 10.0 6.6 8.2 10.2 6.1 4.1 4.5 6.1 4.1-4.5 5.8-6.2

Jasa-jasa 6.7 6.4 6.1 7.2 8.2 7.0 7.5 8.1 7.6 7.4 7.6 7.7-8.1 5.8-6.2

Inflasi IHK (%, yoy) 3.52 5.49 6.33 8.99 9.92 9.92 7.40 6.07 4.45 4.75 4.75 4.27-4.67 4.3-4.7

2015Pertumbuhan Ekonomi dan Inflasi Wilayah 2012

2013

Sumber: BPS dan Proyeksi (p) KPw BI Wil. IX

L a p o r a n N u s a n t a r a | 134

Halaman ini sengaja dikosongkan

L a p o r a n N u s a n t a r a | 135

Dampak lanjutan krisis ekonomi dan keuangan global 2008/2009 masih membebani dinamika pemulihan

ekonomi dunia. Pola pemulihan ekonomi dunia cenderung mix dengan (1) perekonomian AS tumbuh lebih kuat

dibanding negara maju lainnya, dan (2) perekonomian Tiongkok dan negara berkembang melambat, belum

pernah terjadi sebelumnya dalam konstelasi geo-ekonomi. Tantangan dari dinamika “two speed recovery”

dalam perekonomian global tentunya akan memiliki implikasi pada kinerja perekonomian daerah, khususnya

daerah-daerah yang memiliki exposure perdagangan luar negeri yang cukup besar dalam perekonomiannya.

“Two speed recovery” dalam perekonomian dunia memberi tantangan yang tidak ringan pada Jawa sebagai

production hub industri manufaktur di Indonesia. Sebagai konsekuensinya, Jawa perlu terus meningkatkan

daya tariknya sebagai lokasi produksi industri manufaktur berorientasi ekspor.

Dalam dua tahun belakangan ini, perekonomian domestik mengalami tantangan eksternal yang tidak ringan.

Dampak lanjutan krisis ekonomi dan keuangan global 2008/2009 masih membebani dinamika pemulihan

ekonomi dunia. Meskipun Amerika Serikat (AS) sebagai motor ekonomi dunia mulai menunjukkan tanda-tanda

pemulihan yang lebih konsisten, pemulihan tersebut mengarah pada apa yang oleh banyak kalangan disebut

sebagai “a new normal growth”, yaitu tren pertumbuhan jangka menengah panjang yang lebih rendah dari

rata-rata sebelumnya. Sementara itu, pemulihan ekonomi di kawasan Eropa secara keseluruhan dan di Jepang

masih terbilang rapuh. Sebagai konsekuensinya, pemulihan pertumbuhan ekonomi di negara maju secara

keseluruhan masih terbatas dan sarat ketidakpastian.

Grafik V.1.1. Komparasi Pangsa Ekspor ke Tiongkok

Antar Negara Grafik V.1.2. Dampak Shock Permintaan Domestik

Tiongkok1

Di tengah ekonomi negara maju yang masih mencari keseimbangan barunya, Tiongkok sebagai salah satu

penopang ekonomi global menunjukkan arah kecenderungan pertumbuhan yang melambat. Konstelasi global

ini menandakan bahwa ekonomi dunia masih ditopang hanya oleh satu mesin pertumbuhan yakni ekonomi AS

yang kekuatannya pun sedang menurun. Pola ekspansi yang masih sarat ketidakpastian ini menyebabkan laju

pertumbuhan aktivitas perdagangan dunia pun melambat, sehingga intensitas persaingan negara-negara

dalam memperebutkan pangsa ekspor di pasar global meningkat.

1 Diolah menggunakan tabel input output dunia 2011. Angka pada legenda adalah dampak total (direct dan indirect) shock

permintaan domestik di Tiongkok sebesar 1% pada PDB negara terdampak (Staf BI).

L a p o r a n N u s a n t a r a | 136

Perlambatan ekonomi Tiongkok yang merupakan “global factory” perlu diwaspadai. Penurunan ekspor

Tiongkok, sebagai salah satu production hub besar di dunia dapat memengaruhi negara-negara

berkembang lainnya melalui jalur perdagangan (Grafik V.1.1). Melemahnya pertumbuhan pendapatan di

Tiongkok juga berpotensi memberi dampak ke seluruh dunia, terutama ke Asia dan Eropa. Analisa

dengan menggunakan World Input-Output Table (WIOT) 2011 menunjukkan bahwa shock permintaan

domestik di Tiongkok, akan lebih terasa dampaknya di Asia dan Eropa, dibanding di AS (Grafik V.1.2).

Pola pemulihan ekonomi dunia cenderung mix dengan (1) perekonomian AS tumbuh lebih kuat

dibanding negara maju lainnya, dan (2) perekonomian Tiongkok dan negara berkembang melambat,

belum pernah terjadi sebelumnya dalam konstelasi geo-ekonomi. Dinamika “two speed global recovery”

ini tentunya akan memiliki implikasi pada kinerja perekonomian daerah, khususnya daerah-daerah yang

memiliki exposure perdagangan luar negeri yang cukup besar dalam perekonomiannya. Selain itu,

perlambatan perekonomian Tiongkok layak mendapat perhatian lebih, terutama karena potensi

dampaknya terhadap ekspor industri manufaktur Indonesia.

Tabel V.1.1. Peta Persaingan Ekspor ke Pasar Tiongkok Berdasarkan Jenis Produk

Sumber: UNCTAD, diolah

Ket: Keterangan: a) Muatan teknologi diukur berdasarkan UNIDO (2004), sementara kompleksitas berdasarkan Lall (2005); b) Angka dalam highlight biru adalah RCA yang dihitung dengan menggunakan Balassa Index (Indonesia tidak ditampilkan bila tidak masuk dalam lima besar); dan C) Highlight pangsa ekspor provinsi terhadap total ekspor Indonesia untuk setiap kategori produk adalah sebagai berikut:

>80%

>30% s.d 80%

>0% s.d 30%

L a p o r a n N u s a n t a r a | 137

Tabel V.1.2. Peta Persaingan Ekspor ke PasarAmerika Serikat (AS) Berdasarkan Jenis Produk

Sumber: UNCTAD, diolah

Ket: lihat Tabel V.2.1

Analisa sederhana “back of the envelope” terhadap implikasi dari dinamika global tersebut, menunjukkan

bahwa dalam konstelasi persaingan dengan pemasok lainnya di pasar Tiongkok, Indonesia secara umum

memiliki daya saing yang relatif baik pada setiap klasifikasi produk sebagaimana yang dirangkum di Tabel 12.

Pada klasifikasi produk dengan muatan teknologi rendah, Indonesia cukup kompetitif tidak hanya pada

produk-produk dengan kompleksitas yang lebih sederhana seperti sandang wanita, karet dan furnitur, tapi

juga pada produk-produk dengan kompleksitas yang lebih rumit seperti alat-alat kantor. Demikian halnya,

pada klasifikasi produk dengan muatan teknologi tinggi, Indonesia cukup bersaing di pasar Tiongkok tidak

hanya pada produk dengan kompleksitas sederhana seperti lampu dan bangunan prefabrikasi, tapi juga yang

berkompleksitas lebih tinggi seperti transmisi kendaraan bermotor dan produk kimia (Tabel V.1.1).

Ekspor industri manufaktur ke Tiongkok dominan ditopang oleh ekspor perusahaan-perusahaan manufaktur di

Jawa, baik Jawa Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah maupun Banten, sebagai sentra-sentra industri manufaktur di

Indonesia. Dalam memasok ke pasar Tiongkok, provinsi-provinsi tersebut bersaing dengan sentra-sentra

manufaktur di negara lain, terutama di ASEAN (Vietnam, Thailand, Malaysia dan Filipina), namun ada pula

pesaing non-ASEAN (Mexico, Brazil, Argentina, dan India, sebagaimana yang ditunjukkan oleh indikator

revealed comparative advantage (RCA), di Tabel V.1.1.

Pemetaan yang sama untuk ekspor Indonesia ke pasar AS menunjukkan profil yang berbeda dibandingkan

pasar Tiongkok (Tabel V.1.2). Secara umum, daerah-daerah yang menjadi sentra industri manufaktur di Jawa

banyak mengekspor ke AS pada semua klasifikasi produk. Akan tetapi, angka RCA negara pesaing yang jauh

lebih tinggi mengindikasikan posisi Indonesia (Jawa) masih belum merupakan pemasok penting bagi pasar AS.

Hal ini menyiratkan bahwa untuk memperoleh posisi pasar yang lebih besar di AS, persaingan Jawa dengan

2 Metode pemetaan di Tabel 1 merujuk ke Lall, S., John Weiss, dan Jinkang Shang (2005), “The ‘Sophistication’ of Exports: A

New Measure of Product Characteristics”, ADB Institute Discussion Paper No. 23. Tabel ini mengelompokkan produk industri manufaktur, SITC 3, berdasarkan muatan teknologi dan kompleksitas produk. Muatan teknologi diukur berdasarkan UNIDO (2004): Inserting Local Industries in Global Value Chain and Global Production Networks – Opportunities and Challenges for Upgrading with a Focus on Asia (Annex A), sementara kompleksitas berdasarkan metode dalam Lall et al (2005).

L a p o r a n N u s a n t a r a | 138

berbagai sentra produksi lainnya di dunia sangatlah tidak ringan. Untuk bersaing di pasar AS, ekspor

manufaktur dari Jawa harus bersaing ketat dengan ekspor manufaktur dari Tiongkok, disamping negara-

negara Asia lain seperti India, Srilanka, Thailand, Filipina, Bangladesh dan Pakistan. Selain itu, persaingan juga

muncul dari negara-negara di luar kawasan Asia seperti Mexico, Brazil, Afrika Selatan, Turkey, Hungaria, Costa

Rica dan Dominican Republic. Terlihat pula bahwa di pasar AS, pesaing-pesaing industri manufaktur di Jawa

kebanyakan adalah dari sentra-sentra industri di luar ASEAN.

Dari pemetaan diatas dapat ditarik kesimpulan umum bahwa “a two speed recovery” memberi tantangan yang

tidak ringan pada Jawa sebagai production hub industri manufaktur di Indonesia. Perekonomian Tiongkok

yang melambat dapat meningkatkan intensitas persaingan dengan production hub lain di ASEAN dalam

memperebutkan pangsa pasar ekspor di Tiongkok. Sementara itu, pasar AS yang mulai pulih konsisten dapat

berdampak positif ke ekspor Jawa, namun, intensitas persaingan dengan production hub lain di seluruh dunia,

termasuk dengan Tiongkok, sangat kuat.

Oleh karenanya, untuk memperkuat daya saing dan kinerja pertumbuhan ekonominya dalam jangka

menengah panjang, Jawa perlu meningkatkan daya tarik sebagai lokasi produksi yang efisien dan

menguntungkan bagi manufaktur berorientasi ekspor, terutama manufaktur pemasok barang-barang bernilai

tambah tinggi yang banyak diminati dipasar dunia. Untuk itu, kecepatan membangun lingkungan pendukung

(enabling environment) bagi aktivitas manufaktur oleh PMA dan PMDN yang memasok pasar global, menjadi

kunci. Terkait ini terdapat beberapa simpul-simpul kebijakan reformasi struktural yang dapat menjadi

prioritas, yaitu:

1) Penurunan dwelling time dan peningkatan kapasitas container yard pada pelabuhan-pelabuhan bongkar

muat di Jawa agar sebanding dengan pelabuhan di pesaing utama di ASEAN,

2) Penguatan ketersediaan konektivitas intermoda alat transportasi berbasis rel dan pelabuhan, untuk

mendukung efisiensi pergerakan barang (movement goods) dan penurunan biaya logistik,

3) Penguatan kualitas konektivitas digital dan penyebarannya,

4) Penguatan kepastian pasokan energi baik untuk pemenuhan kebutuhan industri maupun rumah tangga,

5) Peningkatan efisiensi proses perizinan dan registrasi usaha yang terintegrasi serta penciptaan iklim usaha

yang kondusif sehingga mampu mendukung target pencapaian nilai Ease of Doing Business di Jawa yang

menyamai peer pesaing terkuat di ASEAN,

6) Ketersediaan Rencana Tata Ruang dan Wilayah yang jelas membagi antara zona industri dan non-

industri, serta penyediaan lahan untuk industrial and export processing zones oleh Pemerintah,

7) Memperkuat dan memperluas proteksi sosial universal dibidang kesehatan dan pendidikan untuk

mendukung produktivitas kelas pekerja dan rumah tangga

Daftar Pustaka

Lall, S., John Weiss, dan Jinkang Shang (2005), “The ‘Sophistication’ of Exports: A New Measure of Product Characteristics”, ADB Institute Discussion Paper No. 23.

UNIDO (2004). Inserting Local Industries in Global Value Chain and Global Production Networks – Opportunities and Challenges for Upgrading with a Focus on Asia. Working Paper.

L a p o r a n N u s a n t a r a | 139

Perwujudan kedaulatan dan swasembada pangan di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari kemampuan untuk

meningkatkan produktivitas pertanian padi, karena komoditas beras masih menjadi preferensi pangan pokok

masyarakat. Peningkatan produktivitas pertanian padi tersebut sangat bergantung pada ketersediaan soft

dan hard infrastructures. Terkait penyediaan soft infrastructure, simpul kebijakan perlu diarahkan pada

peningkatan kapasitas modal manusia pertanian, modernisasi kegiatan penyuluhan, formalisasi kelembagaan

petani, penguatan peran perguruan tinggi dalam intermediasi inovasi dan teknologi, serta peningkatan

komitmen pemerintah dalam mendorong produktivitas pertanian padi berbasis inovasi dan teknologi.

Beras masih menjadi komoditas yang menjadi preferensi utama penduduk Indonesia ketika berbicara

mengenai bahan pangan pokok, atau staple food (Grafik V.2.1). Perwujudan kedaulatan pangan di Indonesia

kemudian dihadapkan pada dua isu besar utama yaitu pertumbuhan penduduk dan peningkatan populasi

masyarakat kelas ekonomi menengah. Pada tahun 2020, penduduk Indonesia diperkirakan akan mendekati

274 juta orang dan pada 2030 dapat mencapai 300 juta (Grafik V.2.2). Dalam satu setengah dekade kedepan,

McKinsey Global Institute (2012) memperkirakan bahwa 71% penduduk Indonesia akan hidup di daerah

perkotaan (urban) dan memproduksi 86% dari PDB. Lebih dari pada itu, sekitar 135 juta penduduk Indonesia

akan menjadi kelas konsumen (consuming class)3. Dengan mengasumsikan tidak ada perubahan preferensi

penduduk Indonesia terhadap komoditas pangan utama, semua hal tersebut menunjuk pada pentingnya

untuk segera memperkuat kemampuan domestik dalam memasok beras secara cukup dan dengan kualitas

yang pantas, terutama melalui peningkatan produktivitas pertanian padi di daerah perdesaan.

97,4

3,49

2,35

0 20 40 60 80 100

BerasBeras Ketan

Jagung Basah dengan KulitBeras Jagung

Tepung BerasTepung Jagung (Maizena)

Tepung TeriguLainnya

Ketela PohonKetela Rambat

SaguTalas

KentangGaplek

Tepung Gaplek (Tiwul)Tepung Ketela Pohon(Tapioka)

Lainnya

kg/kapita/tahun

Konsumsi Padi-Padian dan Umbi-Umbian Per Kapita

Sumber: Badan Pusat Statistik diolah Pusdatin (Statistik Pertanian 2013, Kementan)

Sumber: Proyeksi Penduduk Indonesia 2010 – 2035 (Bappenas, BPS, dan UNFPA, 2013)

Grafik V.2.1. Pola Konsumsi Pangan Pokok Indonesia Grafik V.2.2. Proyeksi Populasi Indonesia (2010-2035)

Langkah-langkah untuk meningkatkan produktivitas pertanian padi di perdesaan menjadi semakin mendesak

mengingat Indonesia saat ini masih belum sepenuhnya mampu secara konsisten berswasembada beras. Untuk

memenuhi kebutuhan permintaan beras masyarakat yang semakin meningkat, terkadang masih perlu untuk

membuka keran impor. Hal ini tentu menjadi tantangan bagi perwujudan kedaulatan pangan, yang

hakekatnya adalah swasembada pangan. Tentang konsep kedaulatan pangan Presiden Joko Widodo

menjelaskan sebagai berikut:

3 McKinsey Global Institute (2012): The Archipelago Economy – Unleashing Indonesia’s Potential, September.

L a p o r a n N u s a n t a r a | 140

“Ketahanan pangan itu beda dengan kedaulatan pangan, ketahanan pangan itu ‘hanya’

sekedar bahan pangan itu ‘ada’ di gudang-gudang logistik dan di pasar-pasar. Tapi bahan

pangan itu darimana tidak jadi soal, dari impor atau lokal tak dipikirkan, yang penting ada.

Kalau ‘kedaulatan pangan’ itu bahan pangan ada, kita produksi sendiri dan kita kuat dalam

pemasaran, bahkan pangan yang kita hasilkan dari pertanian kita bisa menguasai pasar-

pasar di luar negeri. Kita berdaulat atas sumber pangan kita, bila terjadi kekacauan di luar

negeri, cadangan logistik kita masih kuat karena hasil pangan kita lebih dari cukup

memenuhi kebutuhan rakyat”4

Sementara itu, pencapaian swasembada pangan, termasuk beras, tidak dapat dilepaskan pula dari proses

transformasi struktural perekonomian Indonesia. Salah satu tujuan penting dari proses pembangunan

ekonomi adalah mempercepat migrasi dari negara terbelakang yang berpendapatan rendah (low income

country) menjadi negara maju berpendapatan tinggi (high income country). Untuk negara berkembang yang

umumnya berkarakteristik ekonomi dualistik, proses migrasi tersebut membutuhkan transformasi pada

struktur perekonomian5.

Sumber: Dipinjam dengan penyesuaian dari Timmer, C. Peter (2007)

Grafik V.2.3. Proses Transformasi Struktural

Pengalaman negara-negara menunjukkan bahwa proses transformasi struktural tersebut berupa, pertama,

menurunnya pangsa output dan penyerapan tenaga kerja sektor pertanian dalam perekonomian yang diikuti

dengan meningkatnya produktivitas di sektor pertanian di perdesaan; dan kedua menguatnya laju

industrialisasi dan penyerapan tenaga kerja formal di perkotaan. Grafik V.2.3 mengilustrasikan proses

transformasi tersebut secara konseptual dan empiris.6 Pengalaman negara-negara juga menunjukkan bahwa

dua arus transformasi struktural diatas perlu berjalan simultan dan saling mendukung untuk mengeluarkan

penduduk dari poverty trap, mengatasi persoalan under-employment di daerah perdesaan, dan bermigrasi

dengan cepat ke negara berpendapatan tinggi via industrialisasi.

Dalam konteks kebijakan pembangunan, pengalaman empiris sebagaimana diulas diatas, menunjukkan

pentingnya bagi suatu negara yang sedang bermigrasi ke negara maju untuk (a) mengupayakan peningkatan

4 Dikutip dari artikel berjudul “Ketahanan Pangan versus Kedaulatan Pangan Menurut Jokowi”, 2 November 2014, di

http://www.fiskal.co.id/berita/fiskal-15/3674/ketahanan-pangan-versus-kedaulatan-pangan-menurut-jokowi#.VGH_SEn-LIU (diakses pada 11/11/2014). 5 Terkait perekonomian dualistik (dual economy) lihat Lewis, W.A. (1954) 'Economic development with unlimited supply of

labour', The Manchester School, dan Ranis, G. (2004),”Labor Surplus Economies”, Economic Growth Center, Discussion Paper #900, Yale University. 6 Lihat Timmer, C. Peter,”The Structural Transformation and Changing Role of Agriculture in Economic Development:

Empiric and Implications,” 2007.

L a p o r a n N u s a n t a r a | 141

produktivitas di sektor pertanian dan membangun kekuatan dalam memasok bahan pangan yang cukup guna

menopang industrialisasi, dan (b) mendorong industrialisasi yang lebih kuat dan cepat di perkotaan dalam

rangka mempercepat peningkatan produkivitas di sektor pertanian dan perbaikan tingkat kesejahteraan di

daerah perdesaan.

Peningkatan produktivitas pertanian padi selain dapat membantu mempercepat proses transformasi

struktural tersebut, juga menjadi salah satu pintu masuk menuju kedaulatan pangan. Melalui langkah-langkah

untuk meningkatkan produktivitas pertanian padi, tekanan involusi pertanian di daerah perdesaan dapat

melonggar, dan surplus tenaga kerja di sektor pertanian dapat bertahap beralih ke sektor industri di

perkotaan7. Peningkatan produktivitas pertanian padi selanjutnya dapat memperbaiki taraf hidup masyarakat

desa dan menjadikan daerah perdesaan sebagai pemasok yang dapat diandalkan untuk komoditas pangan

pokok yang merupakan ‘input’ penting dalam proses produksi dan industrialisasi di daerah perkotaan.

Tabel V.2.1. Pertumbuhan Produksi Padi Versus Pertumbuhan Luas Panen dan Pertumbuhan Tingkat

Produktivitas

LP P Q LP P Q LP P Q LP P Q

Jawa Timur 3,11% 0,30% 3,42% -1,89% -7,42% -9,17% 2,54% 12,48% 15,34% 1,25% 1,79% 3,20%

Jawa Barat 4,48% -0,79% 3,66% -3,59% 2,81% -0,88% -2,32% -0,81% -3,11% -0,48% 0,40% -0,11%

Jawa Tengah 4,43% 0,86% 5,32% -4,28% -2,96% -7,11% 2,86% 5,93% 8,95% 1,00% 1,28% 2,39%

Sulawes i Selatan 2,82% -1,44% 1,35% 0,32% 2,63% 2,95% 10,36% 0,47% 10,89% 4,50% 0,56% 5,06%

Sumatera Utara -1,79% 3,40% 1,54% 0,38% 0,32% 0,70% 1,00% 1,97% 3,00% -0,14% 1,90% 1,75%

Sumatera Selatan 3,08% 1,58% 4,71% 1,99% 1,41% 3,43% -1,92% -0,74% -2,64% 1,05% 0,75% 1,83%

Lampung 3,54% 1,41% 5,01% 2,77% 1,91% 4,74% 5,75% -0,27% 5,46% 4,02% 1,02% 5,07%

Sumatera Barat 4,77% 0,23% 5,01% 0,26% 2,81% 3,09% 3,19% 0,69% 3,89% 2,74% 1,24% 4,00%

Nusa Tenggara Barat 0,00% -5,14% -5,15% 11,70% 4,30% 16,49% 1,77% 0,49% 2,28% 4,49% -0,12% 4,54%

Kal imantan Selatan -3,86% -2,08% -5,87% 3,81% 6,57% 10,65% 1,42% 0,91% 2,35% 0,46% 1,80% 2,38%

Nasional 2,87% 0,32% 3,22% -0,38% -0,70% -1,07% 1,83% 3,13% 5,02% 1,44% 0,92% 2,39%

Rata-rata 2010-20122010 2011 2012Kawasan

Sumber: Statistik Pertanian 2013 Kementan, diolah

Ket.: LP = Pertumbuhan Luas Panen Padi (yoy); P = Pertumbuhan Produktivitas Padi (yoy); Q = Pertumbuhan Produksi Padi (yoy)

Terkait produktivitas pertanian padi, sampai saat ini masih ditengarai adanya permasalahan-permasalahan

yang bersifat struktural, terutama di sentra-sentra produsen padi di Indonesia. Masalah-masalah tersebut

mulai dari lahan pertanian yang semakin menyusut karena tergerus oleh urbanisasi, kecilnya luas lahan per

petani, menurunnya kualitas tanah, semakin berkurangnya dukungan dari infrastruktur pertanian (misalnya

infrastruktur irigasi teknis), kurangnya elektrifikasi di perdesaan, sampai dengan permasalahan terkait adopsi

inovasi dan teknologi pertanian hasil penelitian dan pengembangan (R&D) di sektor pertanian padi.

Permasalahan-permasalahan ini menyebabkan pelannya penurunan “labor intensity” di pertanian padi dan

lambatnya peningkatan output padi per kapita (Tabel V.2.1).

7 Terkait involusi pertanian di Indonesia, lihat Geertz C. Agricultural Involution: The Processes of Ecological Change in

Indonesia. University of California Press, 1963.

L a p o r a n N u s a n t a r a | 142

Gambar V.2.1. Lima Aspek Reformasi Untuk Memperkuat Infrastruktur Lunak

Pendukung Produktivitas Pertanian Padi

Hasil studi untuk mengkaji tentang dukungan aspek inovasi dan teknologi pada produktivitas di pertanian padi,

menyimpulkan bahwa peningkatan produktivitas pertanian padi akan sangat bergantung pada intermediasi

hasil inovasi dan teknologi pertanian padi yang telah diakumulasi dalam bentuk adopsi oleh petani padi

terhadap inovasi dan teknologi hasil penelitian dan pengembangan (R&D) di bidang pertanian padi.

Kesimpulan ini berarti bahwa intermediasi dan adopsi inovasi dan teknologi merupakan simpul kebijakan yang

perlu lebih diprioritaskan vis a vis akumulasi inovasi dan teknologi di bidang pertanian padi.

Hasil studi juga menyimpulkan bahwa untuk memperkuat tingkat adopsi inovasi dan teknologi pertanian padi

oleh petani padi tersebut sangat diperlukan adanya langkah-langkah untuk memperkuat dukungan

infrastruktur lunak (soft infrastructure) berupa penguatan pada lima aspek berikut yaitu: (a) kapasitas internal

(modal manusia) petani, (b) kelembagaan petani, (c) lembaga penyuluhan, (d) peran perguruan tinggi, dan (e)

komitmen Pemerintah Pusat dan Daerah (Gambar V.2.1). Langkah-langkah penguatan pada aspek-aspek

terkait soft infrastructure ini seyogyanya merupakan pelengkap dari langkah-langkah penguatan pada hard

infrastructure seperti penyediaan sarana dan prasarana irigasi, jalan desa, elektrifikasi dan digitalisasi

perdesaan. Selanjutnya, pada setiap area penguatan terkait soft infrastructure tersebut, dapat

direkomendasikan beberapa langkah-langkah kebijakan yang dapat ditempuh, sebagaimana dirangkum di

Tabel V.2.2.

Tabel V.2.2. Rekomendasi Kebijakan Penguatan Soft Infrastructure dalam rangka Peningkatan Produktivitas Berbasis Inovasi dan Teknologi pada Pertanian Padi

No Rekomendasi Kebijakan

1 Meningkatkan Kapasitas Internal Petani

• Memperbaiki tingkat pendidikan petani masa depan dengan memasukkan materi wirausaha pertanian ke kurikulum sekolah dasar dan menengah.

• Memperkuat efektivitas sekolah lapang. • Menciptakan petani contoh untuk inspirasi ke petani lain melalui pemberian

award dan kesempatan bagi petani sukses.

2 Memperkuat Kelembagaan Petani

• Mendorong formalisasi kelompok tani padi dan komersialisasinya untuk penguatan skala ekonomi, dengan secara bertahap bertransformasi menjadi badan usaha milik petani, mis. koperasi, firma, atau perseroan terbatas milik kelompok tani.

3 Modernisasi Lembaga Penyuluhan

• Mendorong transformasi lembaga penyuluhan menjadi Lembaga Konsultasi Perdesaan (Rural Advisory Services), yang menyediakan extension services di sepanjang rantai nilai pertanian padi.

• Memperkuat materi penyuluhan pertanian padi dan diseminasinya secara digital (digital extension services) dari provinsi sampai ke tingkat desa, termasuk

L a p o r a n N u s a n t a r a | 143

membangun information clearing house bagi penyuluh dan penyediaan extension brief secara digital.

• Menggali potensi, kearifan dan pengetahuan lokal di bidang pertanian padi yang menjadi penciri suatu daerah otonom untuk dikembangkan menjadi programa dan modul penyuluhan.

4 Memperkuat Peran Perguruan Tinggi

• Meningkatkan porsi pengabdian masyarakat dalam tri-darma perguruan tinggi, khususnya pagu minimal 20% porsi pengabdian masyarakat bagi civitas academica di bidang pertanian padi untuk pemberdayaan petani padi melalui diseminasi inovasi dan teknologi hasil R&D.

• Integrasi R&D oleh perguruan tinggi dengan program penyuluhan dan pendampingan.

• Mengembangkan proses looping dari hasil R&D dan pendampingan masyarakat ke kurikulum pendidikan.

5 Memperkuat Komitmen Pemerintah Pusat dan Daerah

• Menetapkan persentase anggaran R&D pertanian setidaknya 1% dari PDB sektor pertanian.

• Memberdayakan BALITBANGDA melalui sinergi dengan perguruan tinggi dan BPTP, serta peningkatan kualitas penelitinya.

• Mendorong penyelesaian RTRW yang jelas membedakan antara lahan pertanian dan lahan industri, dan memastikan ketersediaan RTRW yang eksplisit melindungi lahan sawah produktif beririgasi teknis.

L a p o r a n N u s a n t a r a | 144

Editor

Departemen Kebijakan Ekonomi dan Moneter

Kontributor

Kantor Perwakilan Wilayah I Sulawesi, Maluku & Papua

: Andree Breitner

Kantor Perwakilan Wilayah II Kalimantan

: Daniel Agus Prasetyo

Kantor Perwakilan Wilayah III Bali & Nusa Tenggara

: Ikhsan Utama

Kantor Perwakilan Wilayah IV Jawa Bagian Timur

: Komalia Rahmayani Tommy Aditya

Kantor Perwakilan Wilayah V Jawa Bagian Tengah

: Adela Putri Rizkia Putri Almainda Kamila

Kantor Perwakilan Wilayah VI Jawa Bagian Barat

: Rifki Ismail Risma Irnisari

Kantor Perwakilan Wilayah VII Sumatera Bagian Selatan

: Septine Wulandini

Kantor Perwakilan Wilayah VIII Sumatera Bagian Tengah

: Reza Hidayat

Kantor Perwakilan Wilayah IX Sumatera Bagian Utara

: Ragil Misas

Grup Riset Ekonomi : Reza Anglingkusumo

Grup Asesmen Ekonomi : Kiki Nindya Asih

M. Cahyaningtyas Handri Adiwilaga Darius Tirtosuharto Soraefi Oktafihani Puput Kurniati Nurul Pratiwi Andi Parenrengi

L a p o r a n N u s a n t a r a | 145