NIPAH - ULMeprints.ulm.ac.id/907/7/NIPAH.pdf · 5.1. Pengertian Indikator ~ 31 5.2. Persyaratan...

91
E K A I R I A D E N T A NIPAH INDIKATOR DEGRADASI KAWASAN PESISIR U U N N L L A A M M P P R R E E S S S S

Transcript of NIPAH - ULMeprints.ulm.ac.id/907/7/NIPAH.pdf · 5.1. Pengertian Indikator ~ 31 5.2. Persyaratan...

Page 1: NIPAH - ULMeprints.ulm.ac.id/907/7/NIPAH.pdf · 5.1. Pengertian Indikator ~ 31 5.2. Persyaratan Indikator ~ 33 5.3. Klasifikasi Indikator ~ 34 5.4. Bioindikator ~ 35 5.5. Mengapa

E K A I R I A D E N T A

NIPAH INDIKATOR DEGRADASI

KAWASAN PESISIR

UU NN LL AA MM PP RR EE SS SS

Page 2: NIPAH - ULMeprints.ulm.ac.id/907/7/NIPAH.pdf · 5.1. Pengertian Indikator ~ 31 5.2. Persyaratan Indikator ~ 33 5.3. Klasifikasi Indikator ~ 34 5.4. Bioindikator ~ 35 5.5. Mengapa

NIPAH

INDIKATOR DEGRADASI

KAWASAN PESISIR

Page 3: NIPAH - ULMeprints.ulm.ac.id/907/7/NIPAH.pdf · 5.1. Pengertian Indikator ~ 31 5.2. Persyaratan Indikator ~ 33 5.3. Klasifikasi Indikator ~ 34 5.4. Bioindikator ~ 35 5.5. Mengapa
Page 4: NIPAH - ULMeprints.ulm.ac.id/907/7/NIPAH.pdf · 5.1. Pengertian Indikator ~ 31 5.2. Persyaratan Indikator ~ 33 5.3. Klasifikasi Indikator ~ 34 5.4. Bioindikator ~ 35 5.5. Mengapa

EKA IRIADENTA

NIPAH INDIKATOR DEGRADASI

KAWASAN PESISIR

UNLAM PRESS

2015

Page 5: NIPAH - ULMeprints.ulm.ac.id/907/7/NIPAH.pdf · 5.1. Pengertian Indikator ~ 31 5.2. Persyaratan Indikator ~ 33 5.3. Klasifikasi Indikator ~ 34 5.4. Bioindikator ~ 35 5.5. Mengapa

NIPAH: INDIKATOR DEGRADASI

KAWASAN PESISIR

© Eka Iriadenta

Diterbitkan pertama kali dalam bahasa Indonesia

oleh Penerbit Unlam Press, Banjarmasin, Desember 2015

Jl. Brigjend H. Hasan Basri Kotak Pos 219

Banjarmasin 70123,

email: [email protected]

Penulis: Eka Iriadenta

Layout/Cover: Eka Iriadenta

Pencetak: Karya Bintang Musim (KBM)

Perpustakaan Nasional: katalog Dalam Terbitan (KDT)

Nipah: Indikator Degradasi Kawasan Pesisir

Banjarmasin: Unlam Press, 2015

xi + 56 hlm.: 15 x 23 cm

ISBN: 979-18499-1-9

Page 6: NIPAH - ULMeprints.ulm.ac.id/907/7/NIPAH.pdf · 5.1. Pengertian Indikator ~ 31 5.2. Persyaratan Indikator ~ 33 5.3. Klasifikasi Indikator ~ 34 5.4. Bioindikator ~ 35 5.5. Mengapa

Eka Iriadenta | v

PRAKATA

Parameter ekosistem hilir sangat mungkin

memberikan respon alamiah atas perubahan ekosistem

bagian hulu. Pengaruh yang datang dari hulu memberikan

akibat respon spesifik komponen lingkungan bagian hilir

yang dapat ditindaklanjuti dengan kajian khusus dan

menjadi peluang mendapatkan solusi alternatif dalam

penilaian kondisi dan pengelolaan kawasan pesisir.

Langkah logis dalam mendapatkan alternatif untuk

menjawab dugaan tersebut adalah melakukan kajian

spesifik terhadap respon alamiah perubahan batas temu air

tawar dan air laut yang timbul di dalam ekosistem sungai.

Kajian ini difokuskan untuk dapat memperoleh parameter-

parameter indikator yang secara asosiatif mencerminkan

respon alamiah ekosistem terhadap tekanan eksternal

maupun internal, serta fakta maupun prediksi kondisi

tertentu bagi penilaian kondisi sungai maupun kondisi

DAS.

Upaya pengelolaan DAS harus diimbangi

pemahaman terhadap fenomena atau gejala alam yang

berlaku secara temporal. Kondisi dan kejadian yang timbul

di masa sekarang sangat mungkin merupakan akibat

Page 7: NIPAH - ULMeprints.ulm.ac.id/907/7/NIPAH.pdf · 5.1. Pengertian Indikator ~ 31 5.2. Persyaratan Indikator ~ 33 5.3. Klasifikasi Indikator ~ 34 5.4. Bioindikator ~ 35 5.5. Mengapa

vi | Nipah Indikator Kerusakan Pesisir

kondisi di masa lalu yang cenderung tidak membaik.

Berdasarkan evaluasi kondisi masa lalu dan sekarang dapat

diprediksikan kondisi di masa mendatang. Namun

ketersediaan database atau rekaman data masa lalu sebagai

dasar pengelolaan sering tidak tersimpan atau belum

pernah dilakukan pengukuran. Kondisi ini dapat diatasi

dengan pendekatan teknologi citra satelit dan komputasi

data dalam sistem informasi geografis, yang dapat menjadi

perangkat penunjang (tools) yang efisien untuk

mendapatkan data-data evaluatif. Data tersebut dapat

menjadi perangkat dasar pengelolaan atau penilaian

kerusakan DAS yang bersifat lebih efektif di dalam

menelusuri fakta-fakta yang terekam di masa silam.

Perangkat ini diharapkan dapat merepresentasikan

kajian temporal perubahan batas pertemuan air tawar dan

air laut yang akan dikaji lebih mendalam untuk

merepresentasikan kondisi DAS. Hasil kajian dapat

menjadi pendekatan ilmiah induktif untuk mendapatkan

perangkat penilaian kondisi DAS yang mudah dipahami

oleh masyarakat dan memberikan rekomendasi

pengelolaan kawasan DAS secara terpadu.

Tiada gading yang tak retak. Meskipun kesempurnaan

bukan hal yang mudah untuk dicapai, namun penulis

berharap bahwa hasil yang ada ini semoga dapat

memberikan nilai guna yang optimal dalam

mengkontribusi khasanah keilmuaan. Pemanfaatan

Page 8: NIPAH - ULMeprints.ulm.ac.id/907/7/NIPAH.pdf · 5.1. Pengertian Indikator ~ 31 5.2. Persyaratan Indikator ~ 33 5.3. Klasifikasi Indikator ~ 34 5.4. Bioindikator ~ 35 5.5. Mengapa

Eka Iriadenta | vii

teknologinya diharapkan memberikan manfaat bagi kita

semua, khususnya dalam implementasi pengelolaan

kawasan pesisir.

Banjarmasin, Desember 2015

Eka Iriadenta

Page 9: NIPAH - ULMeprints.ulm.ac.id/907/7/NIPAH.pdf · 5.1. Pengertian Indikator ~ 31 5.2. Persyaratan Indikator ~ 33 5.3. Klasifikasi Indikator ~ 34 5.4. Bioindikator ~ 35 5.5. Mengapa

Nipah Indikator Kerusakan Pesisir viii

DAFTAR ISI

PRAKATA ~ v

DAFTAR ISI ~ viii

DAFTAR TABEL ~ x

DAFTAR GAMBAR ~ xi

1 PENDAHULUAN ~ 1

2 WILAYAH PESISIR DAN MASALAHNYA ~ 7

2.1. Definisi Wilayah Pesisir ~ 7

2.2. Permasalahan Wilayah Pesisir ~ 9

3 PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR ~ 15

3.1. Komunitas Mangrove ~ 15

3.2. Pengelolaan Mangrove ~ 19

3.3. Pengelolaan Pesisir Terpadu ~ 21

4 NIPAH DAN HABITATNYA ~ 25

4.1. Nipah ~ 25

4.2. Habitat Nipah ~ 27

4.3. Zonasi Mangrove ~ 27

Page 10: NIPAH - ULMeprints.ulm.ac.id/907/7/NIPAH.pdf · 5.1. Pengertian Indikator ~ 31 5.2. Persyaratan Indikator ~ 33 5.3. Klasifikasi Indikator ~ 34 5.4. Bioindikator ~ 35 5.5. Mengapa

ix Eka Iriadenta

5 NIPAH SEBAGAI INDIKATOR ~ 31

5.1. Pengertian Indikator ~ 31

5.2. Persyaratan Indikator ~ 33

5.3. Klasifikasi Indikator ~ 34

5.4. Bioindikator ~ 35

5.5. Mengapa Nipah? ~ 36

6 NIPAH, INDERAJA SIG DAN ~ 39

6.1. Perkembangan Teknologi Inderaja Dan

Hubungannya Dengan Nipah ~ 39

6.2. Pendekatan Sistem Informasi Geografis ~ 40

6.3. Pengenalan Obyek Nipah Berbasis Nilai

Reflektansi ~ 42

6.4. Segmentasi Obyek Nipah dalam Sistem Informasi

Geografis ~ 46

7 APLIKASI NIPAH SEBAGAI INDIKATOR ~ 49

7.1. Prinsip Dasar ~ 49

7.2. Studi Kasus ~ 50

DAFTAR SINGKATAN & GLOSARIUM ~ 63

DAFTAR PUSTAKA ~ 69

INDEKS ~ 75

TENTANG PENULIS ~ 77

Page 11: NIPAH - ULMeprints.ulm.ac.id/907/7/NIPAH.pdf · 5.1. Pengertian Indikator ~ 31 5.2. Persyaratan Indikator ~ 33 5.3. Klasifikasi Indikator ~ 34 5.4. Bioindikator ~ 35 5.5. Mengapa

Nipah Indikator Kerusakan Pesisir x

DAFTAR TABEL

Tabel 1 Contoh matriks Uji Ketelitian

Hasil Interpretasi ~ 58

Page 12: NIPAH - ULMeprints.ulm.ac.id/907/7/NIPAH.pdf · 5.1. Pengertian Indikator ~ 31 5.2. Persyaratan Indikator ~ 33 5.3. Klasifikasi Indikator ~ 34 5.4. Bioindikator ~ 35 5.5. Mengapa

xi Eka Iriadenta

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Kondisi Mangrove Beserta Habitatnya

yang Hancur di Wilayah Pesisir

Kalimantan Selatan Akibat Abrasi

(Sumber: Eka Iriadenta) ~ 12

Gambar 2. Rumpun Nipah di wilayah Pesisir Muara

Asam-Asam Kalimantan Selatan (Sumber:

Eka Iriadenta) ~ 26

Gambar 3. Zonasi Pertumbuhan Jenis Mangrove di

Wilayah Pesisir (Sumber: Eka Iriadenta) ~

29

Gambar 4. Persentase kerusakan mangrove di

Kabupaten Tanah Laut pada tahun 1990

dan tahun 2007 (diolah dari Arifin et al,

2007) ~ 42

Gambar 5. (a) Pola Respon Spektral beberapa obyek

(Jensen, 2000), dan (b) Pantulan nilai

reflektansi beberapa obyek mangrove

(Vaiphasa et al., 2007, Rahman et al.,

2011) ~ 45

Gambar 6. Diagram Alir Identifikasi Nilai Reflektansi

Nipah ~ 55

Gambar 7. Plot 30 x 30 m Dalam Perekaman Data

Lokasi Nipah Lapangan ~ 56

Page 13: NIPAH - ULMeprints.ulm.ac.id/907/7/NIPAH.pdf · 5.1. Pengertian Indikator ~ 31 5.2. Persyaratan Indikator ~ 33 5.3. Klasifikasi Indikator ~ 34 5.4. Bioindikator ~ 35 5.5. Mengapa

Eka Iriadenta | 1

PENDAHULUAN

Mengetahui terjadinya gejala kerusakan di kawasan

pesisir merupakan upaya dini untuk melakukan antisipasi

atas proses degradasi yang muncul pada kawasan pesisir.

Dengan mengenal dan mengetahui tanda-tanda yang

menunjukkan indikasi degradasi kawasan pesisir, maka

upaya-upaya mitigasi atau tindakan pengelolaan lebih awal

maupun lebih lanjut terhadap kawasan pesisir dapat

dilakukan, agar laju degradasi dapat dikendalikan.

Salah satu obyek yang dapat berpeluang menjadi alat

ukur yang mampu atau mencerminkan berbagai macam

perubahan yang terjadi baik secara langsung ataupun tidak

langsung terhadap kawasan pesisir adalah bioindikator.

Pada buku ini dijelaskan latar belakang, alasan dan

peluang pemanfaatan Nipah sebagai bioindikator, yang

dilengkapi dengan beberapa pemahaman untuk mencapai

tujuan pemanfaatan tersebut.

Obyek utama pembahasan buku ini adalah Nipah dan

wilayah pesisir, serta hubungan keduanya. Hubungan yang

dimaksud adalah hubungan keberadaan Nipah di wilayah

BAB I

Page 14: NIPAH - ULMeprints.ulm.ac.id/907/7/NIPAH.pdf · 5.1. Pengertian Indikator ~ 31 5.2. Persyaratan Indikator ~ 33 5.3. Klasifikasi Indikator ~ 34 5.4. Bioindikator ~ 35 5.5. Mengapa

2 | Nipah Indikator Kerusakan Pesisir

pesisir untuk menjelaskan kondisi wilayah pesisie tersebut

secara ilmiah.

Buku ini disusun dengan sistematika meliputi 6 bab

untuk memudahkan pemahaman isi buku ini secara

keseluruhan. Pada Bab 1 dijelaskan sekilas dan ringkas

tentang isi pada Bab 2 sampai dengan Bab 6 sebagai

pengantar dan telusur cepat untuk mengetahui isi buku

secara keseluruhan, dengan penjelasan ringkas sebagai

berikut.

BAB 2. WILAYAH PESISIR DAN MASALAHNYA

Dalam Bab 2 dibahas tentang definisi dan pengertian

wilayah pesisir menurut beberapa ahli serta beberapa

masalah yang timbul dalam pemanfaatan sumberdaya di

lingkungan tersebut. Nipah merupakan bagian dari

komunitas mangrove yang hidup atau memiliki habitat di

wilayah peisir, oleh karena itu bab ini menjelaskan juga

batasan wilayah pesisir beserta permasalahan yang

dihadapi di dalamnya.

BAB 3. PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR

Judul bab tersebut menunjukkan bahwa telah terdapat

berbagai upaya pengelolaan yang dilakukan sebagai

langkah-langkah untuk mengantisipasi maupun melakukan

tindakan bagi penyelesaian masalah yang timbul di wilayah

pesisir.

Page 15: NIPAH - ULMeprints.ulm.ac.id/907/7/NIPAH.pdf · 5.1. Pengertian Indikator ~ 31 5.2. Persyaratan Indikator ~ 33 5.3. Klasifikasi Indikator ~ 34 5.4. Bioindikator ~ 35 5.5. Mengapa

Eka Iriadenta | 3

Upaya pengelolaan yang telah dilakukan selama ini

menunjukkan kondisi yang dapat dikatakan masih belum

memberikan efektivitas tinggi dalam menguraikan

kekusutan pengelolaan wilayah pesisir.

BAB 4. NIPAH DAN HABITATNYA

Bab ini mendeskripsikan identifikasi vegetasi Nipah

secara umum dan mengenal habitat vegetasi ini di

lingkungan wilayah pesisir. Pengenalan terhadap habitat

Nipah dimaksudkan untuk memberikan pengetahuan

faktor-faktor lingkungan yang mempengaruhi kehidupan

Nipah.

BAB 5. NIPAH SEBAGAI INDIKATOR

Pembahasan Bab 5 mengandung sub bab yang

menguraikan pemahaman atau definisi indikator dari

berbagai sumber referensi, sebagai pengantar di dalam

memahami pengertian indikator.

Selanjutnya dijelaskan pula pada sub bab berikutnya

pemikiran yang menjelaskan bagaimana peluang

pemanfaatan Nipah sebagai indikator biologi (bio-

indikator) yang menjelaskan terjadinya degradasi di

wilayah pesisir.

Page 16: NIPAH - ULMeprints.ulm.ac.id/907/7/NIPAH.pdf · 5.1. Pengertian Indikator ~ 31 5.2. Persyaratan Indikator ~ 33 5.3. Klasifikasi Indikator ~ 34 5.4. Bioindikator ~ 35 5.5. Mengapa

4 | Nipah Indikator Kerusakan Pesisir

BAB 6. NIPAH, INDERAJA DAN SIG

Peluang pemanfaatan Nipah sebagai indikator harus

ditunjang dengan teknologi penginderaan jauh (inderaja)

dan Sistem Informasi Geografis (SIG) sebagai alat bantu

(tools) untuk mendukung kemudahan pencapaian

perolehan informasi/data yang tidak bisa dijangkau dalam

kerangka analisis dan metode survei pada batas ruang yang

relatif luas dan rentang waktu panjang (temporal) serta

penelusuran data secara cepat dan mudah.

Bab ini menjelaskan bagaimana perkembangan

teknologi tersebut secara spasial maupun temporal

memberikan dampak positif bagi pemanfaatan Nipah

sebagai bioindikator.

BAB 7. APLIKASI NIPAH SEBAGAI INDIKATOR

Pada Bab ini dijelaskan tata laksana implementasi

pemanfaatan Nipah sebagai indikator. Uraian tahapan-

tahapan dalam mengaplikasikan Nipah sebagai

bioindikator dijelaskan secara umum dan menyeluruh,

sehingga pencapaian tujuan dalam memanfaatkan Nipah

sebagai indikator dapat diimplementasikan secara meluas

dalam memberikan kondisi degradasi/evaluasi wilayah

pesisir guna mendukung upaya pengelolaannya secara

efisien.

Page 17: NIPAH - ULMeprints.ulm.ac.id/907/7/NIPAH.pdf · 5.1. Pengertian Indikator ~ 31 5.2. Persyaratan Indikator ~ 33 5.3. Klasifikasi Indikator ~ 34 5.4. Bioindikator ~ 35 5.5. Mengapa

Eka Iriadenta | 5

Penulis berharap setelah membaca buku ini pembaca

akan mengetahui fungsi Nipah sebagai indikator kerusakan

kawasan pesisir, yang hasilnya diharapkan dapat

memberikan pencerahan dan peluang pengembangan ilmu

pengetahuan lebih lanjut terkait dengan upaya-upaya

pengelolaan kawasan pesisir, khususnya tindakan-tindakan

mitigasi yang diperlukan dalam mengendalikan laju

degradasi kawasan pesisir yang terjadi di lingkungan kita

ini.

Page 18: NIPAH - ULMeprints.ulm.ac.id/907/7/NIPAH.pdf · 5.1. Pengertian Indikator ~ 31 5.2. Persyaratan Indikator ~ 33 5.3. Klasifikasi Indikator ~ 34 5.4. Bioindikator ~ 35 5.5. Mengapa

6 | Nipah Indikator Kerusakan Pesisir

Page 19: NIPAH - ULMeprints.ulm.ac.id/907/7/NIPAH.pdf · 5.1. Pengertian Indikator ~ 31 5.2. Persyaratan Indikator ~ 33 5.3. Klasifikasi Indikator ~ 34 5.4. Bioindikator ~ 35 5.5. Mengapa

Eka Iriadenta | 7

WILAYAH PESISIR

DAN MASALAHNYA

2.1. Definisi Wilayah Pesisir

Banyak ahli mendefinisikan wilayah pesisir dengan

pengertian yang relatif beragam. Pendapat ini sangat

mungkin didasarkan atas latar belakang keilmuan para ahli

tersebut yang juga beragam. Beberapa definisi wilayah

pesisir diuraikan sebagai berikut.

Menurut Bengen (2002), wilayah pesisir adalah daerah

pertemuan antara darat dan laut. Ke arah darat wilayah

pesisir meliputi bagian daratan, baik kering maupun

terendam air, yang masih dipengaruhi sifat-sifat laut

seperti pasang surut, angin laut, dan perembesan air

asin. Ke arah laut wilayah pesisir mencakup bagian laut

yang masih dipengaruhi oleh proses-proses alami yang

terjadi di darat seperti sedimentasi dan aliran air tawar,

maupun yang disebabkan oleh kegiatan manusia di

darat seperti penggundulan hutan dan pencemaran.

BAB II

Page 20: NIPAH - ULMeprints.ulm.ac.id/907/7/NIPAH.pdf · 5.1. Pengertian Indikator ~ 31 5.2. Persyaratan Indikator ~ 33 5.3. Klasifikasi Indikator ~ 34 5.4. Bioindikator ~ 35 5.5. Mengapa

8 | Nipah Indikator Kerusakan Pesisir

Kay dan Alder (1999) menyatakan bahwa wilayah

pesisir merupakan wilayah yang unik, karena dalam

konteks bentang alam, wilayah pesisir merupakan

tempat bertemunya daratan dan lautan.

Soegiarto (1976) mendefinisikan wilayah pesisir

sebagai daerah pertemuan antara darat dan laut, ke arah

darat wilayah pesisir meliputi bagian daratan, baik

kering maupun terendam air, yang masih dipengaruhi

sifat-sifat laut seperti pasang surut, angin laut, dan

perembesan air asin; sedangkan ke arah laut wilayah

pesisir mencakup bagian laut yang masih dipengaruhi

oleh proses-proses alami yang terjadi di darat seperti

sedimentasi dan aliran air tawar, maupun yang

disebabkan oleh kegiatan manusia di darat seperti

penggundulan hutan dan pencemaran.

Menurut Beatley et al. (1994), wilayah pesisir

didefinisikan sebagai wilayah peralihan antara laut dan

daratan, ke arah darat mencakup daerah yang masih

terkena pengaruh percikan air laut atau pasang surut,

dan ke arah laut meliputi daerah paparan benua

(continental shelf).

Wilayah pesisir/pantai adalah suatu hal yang lebarnya

bervariasi, yang mencakup tepi laut (shore) yang

meluas kearah daratan hingga batas pengaruh marin

masih dirasakan (Bird, 1969).

Page 21: NIPAH - ULMeprints.ulm.ac.id/907/7/NIPAH.pdf · 5.1. Pengertian Indikator ~ 31 5.2. Persyaratan Indikator ~ 33 5.3. Klasifikasi Indikator ~ 34 5.4. Bioindikator ~ 35 5.5. Mengapa

Eka Iriadenta | 9

2.2. Permasalahan Wilayah Pesisir

Permasalahan di wilayah pesisir muncul tidak hanya

karena faktor-faktor internal (parameter bio-fisik-kimia,

sosial ekonomi masyarakat sekitar dan faktor lainnya di

wilayah pesisir) saja. Mencermati bahwa wilayah pesisir

merupakan bagian dari kesatuan daerah aliran sungai, maka

faktor-faktor eksternal yang berasal dari laut maupun dari

kawasan bagian hulu juga memberikan pengaruh baik

secara langsung maupun tidak langsung terhadap kondisi

wilayah pesisir. Oleh karena itu, terdapat mendapat yang

menyatakan bahwa wilayah pesisir termasuk zona transisi

(ecotone). Menurut Odum (1996), zona transisi (ecotone),

yaitu peralihan dua atau lebih komunitas berbeda;

merupakan daerah pertemuan yang dapat terbentang luas

namun lebih sempit dibandingkan komunitas sekitarnya.

Komunitas ecotone biasanya mengandung banyak

organisme dari tiap komunitas yang saling tumpang-tindih

dan merupakan organisme khas serta sering kali terbatas

hanya pada ecotone.

Menurut Dahuri (2003) ada lima faktor akar

permasalahan mendasar di pesisir, yaitu:

1) Tingkat kepadatan penduduk yang tinggi dan

kemiskinan,

2) Konsumsi berlebihan terhadap sumberdaya alam dan

penyebaran sumberdaya yang tidak merata,

Page 22: NIPAH - ULMeprints.ulm.ac.id/907/7/NIPAH.pdf · 5.1. Pengertian Indikator ~ 31 5.2. Persyaratan Indikator ~ 33 5.3. Klasifikasi Indikator ~ 34 5.4. Bioindikator ~ 35 5.5. Mengapa

10 | Nipah Indikator Kerusakan Pesisir

3) Kelembagaan,

Beberapa kelemahan dalam kelembagaan pengelolaan

sumberdaya pesisir dan laut antara lain:

Pembangunan wilayah pesisir belum menjadi prioritas

bagi lembaga pemerintahan dan LSM sehingga

pembangunan wilayah pesisir masih tertinggal

dibanding wilayah lain.

Kurangnya koordinasi dari instansi terkait dalam

pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut (masih belum

ada keterpaduan).

Masih lemahnya pemahaman tentang hukum

lingkungan, baik di tingkat aparatur maupun

masyarakat.

Pengusulan program pengelolaan pesisir masih ego

sektoral.

Koordinasi dan pengawasan dalam penerbitan kegiatan

perikanan belum berjalan dengan baik.

Mekanisme perencanaan belum dilaksanakan secara

bottom-up.

Sistem pembinaan profesi masyarakat pesisir belum

tepat.

Data yang ditampilkan oleh instansi terkait sehubungan

dengan sumberdaya pesisir belum akurat.

4) Kurangnya pemahaman tentang ekosistem alam,

5) Kegagalan sistem ekonomi dan kebijakan dalam

menilai ekosistem alam.

Page 23: NIPAH - ULMeprints.ulm.ac.id/907/7/NIPAH.pdf · 5.1. Pengertian Indikator ~ 31 5.2. Persyaratan Indikator ~ 33 5.3. Klasifikasi Indikator ~ 34 5.4. Bioindikator ~ 35 5.5. Mengapa

Eka Iriadenta | 11

Dampak perubahan penggunaan lahan terhadap

kondisi tata air (hidrologis) juga memicu terjadinya

perubahan perilaku dan fungsi air permukaan. Dalam

keadaan ini terjadi pengurangan aliran dasar (base flow)

dan pengisian air tanah, sehingga menimbulkan

ketidakseimbangan tata air (Lumb and Linsley, 1971).

Aliran air permukaan meningkat dan mengisi relung alur

sungai sehingga debit massa air sungai makin besar.

Kondisi ini dapat menyebabkan berbagai masalah di

kawasan hilir/pesisir, termasuk fenomena pengenceran

perairan pesisir yang mengganggu habitat mangrove

sehingga komunitas mangrove tidak dapat tumbuh lagi

dengan optimal di habitatnya sendiri.

Balai Rehabilitasi Lahan dan Konservasi Tanah Riam

Kanan (2000) menyebutkan bahwa pengurangan atau

kerusakan hutan mangrove disebabkan antara lain oleh

perubahan fungsi dan hutan mangrove menjadi lahan

tambak, penebangan oleh masyarakat yang dipergunakan

untuk bahan bangunan rumah di sekitar daerah pantai.

Pernyataan ini belum memperhitungkan kerusakan

mangrove secara langsung oleh abrasi dan kerusakan tidak

langsung akibat pengaruh degradasi catchment area.

Supriharyono (2000) menyebutkan komunitas

mangrove hidup di lingkungan yang rawan (stressed

ecosystem). Fakta robohnya mangrove diterjang gelombang

Page 24: NIPAH - ULMeprints.ulm.ac.id/907/7/NIPAH.pdf · 5.1. Pengertian Indikator ~ 31 5.2. Persyaratan Indikator ~ 33 5.3. Klasifikasi Indikator ~ 34 5.4. Bioindikator ~ 35 5.5. Mengapa

12 | Nipah Indikator Kerusakan Pesisir

dan abrasi menunjukkan bahwa mangrove bukan barrier

pantai yang terbaik.

Gambar 1. Kondisi Mangrove Beserta Habitatnya yang

Hancur di Wilayah Pesisir Kalimantan

Selatan Akibat Abrasi (Sumber: Eka

Iriadenta)

Beberapa permasalahan di wilayah pesisir dan laut

secara aktual antara lain adalah:

1) Kerusakan mangrove di kawasan pesisir yang relatif

parah,

2) Alih fungsi hutan mangrove menjadi kawasan industri

dan pemukiman,

3) Intrusi air asin/laut ke daerah pemukiman penduduk

(ke arah hulu),

4) Penurunan produksi perikanan tangkap

Page 25: NIPAH - ULMeprints.ulm.ac.id/907/7/NIPAH.pdf · 5.1. Pengertian Indikator ~ 31 5.2. Persyaratan Indikator ~ 33 5.3. Klasifikasi Indikator ~ 34 5.4. Bioindikator ~ 35 5.5. Mengapa

Eka Iriadenta | 13

5) Penurunan produksi perikanan budidaya

6) Adanya gangguan dengan beroperasinya alat tangkap

ikan yang tidak ramah lingkungan

7) Lemahnya sistem keamanan di kawasan pesisir dan

laut, baik bagi perikanan laut maupun perikanan

budidaya laut dan pesisir,

8) Konflik antara nelayan tradisional dengan nelayan

pendatang dengan alat tangkap kompetitif,

9) Pencemaran wilayah pesisir dan laut oleh limbah

industri dan limbah rumah tangga,

10) Rendahnya kualitas sumberdaya manusia setempat,

11) Kurangnya fungsi kelembagaan dalam pengelolaan

wilayah pesisir,

12) Belum adanya Tata Ruang Wilayah Pesisir yang

optimal,

13) Implementasi hukum yang tidak tegas, tercermin pada

Rendahnya Ketaatan dan Penegakan Hukum.

Berbagai metode dikembangkan untuk mengevaluasi

atau menilai tingkat kerusakan wilayah pesisir. Namun

demikian, efektivitas penilaian tersebut masih menjadi

peluang dan tantangan, mengingat kondisi wilayah pesisir

kita hingga saat ini belum mencapai harapan.

Upaya pengembangan metode atau sistem deteksi dini

maupun penilaian serta evaluasi kondisi wilayah pesisir

secara efisien dan efektif tentu masih diperlukan dalam

Page 26: NIPAH - ULMeprints.ulm.ac.id/907/7/NIPAH.pdf · 5.1. Pengertian Indikator ~ 31 5.2. Persyaratan Indikator ~ 33 5.3. Klasifikasi Indikator ~ 34 5.4. Bioindikator ~ 35 5.5. Mengapa

14 | Nipah Indikator Kerusakan Pesisir

kaitannya dengan langkah pengembangan pengelolaan

wilayah pesisir yang optimal.

Menilai kondisi suatu wilayah pesisir yang relatif luas

tentu memerlukan metode yang tepat serta efisien. Peluang

pemanfaatan fenomena alamiah yang merupakan respon

obyek tertentu akibat kondisi tertentu di wilayah pesisir

tentu akan sangat memberikan manfaat sebagai langkah

mitigatif dalam implementasi pembangunan berkelanjutan.

Pengenalan terhadap habit Nipah atas responnya

terhadap perubahan habitat akibat berbagai tekanan kondisi

lingkungan hidup memberikan peluang pemanfaatan Nipah

sebagai bioindikator kerusakan wilayah pesisir. Kondisi ini

ditunjang dengan perkembangan teknologi penginderaan

jauh serta sistem informasi geografis yang demikian pesat.

Kombinasi kesemuanya akan memberikan pendekatan

ilmiah, pendekatan teknologi serta pendekatan mitigatif

yang lebih presisif dalam membangun model pengelolaan

wilayah pesisir secara temporal maupun secara spasial.

Page 27: NIPAH - ULMeprints.ulm.ac.id/907/7/NIPAH.pdf · 5.1. Pengertian Indikator ~ 31 5.2. Persyaratan Indikator ~ 33 5.3. Klasifikasi Indikator ~ 34 5.4. Bioindikator ~ 35 5.5. Mengapa

Eka Iriadenta | 15

PENGELOLAAN

WILAYAH PESISIR

Mempertimbangkan relevansi Nipah sebagai bagian

yang tidak terpisahkan dari komunitas mangrove di

wilayah pesisir, maka pembahasan pengelolaan wilayah

pesisir dalam buku ini dibatasi pada komunitas mangrove.

3.1. Komunitas Mangrove

Mangrove merupakan komunitas vegetasi pantai

tropis yang didominasi oleh beberapa jenis pohon

mangrove yang mampu tumbuh dan berkembang pada

daerah pasang – surut pantai berlumpur. Menurut Bengen

(2000) hutan mangrove merupakan vegetasi hutan yang

hanya tumbuh dan berkembang baik di daerah tropis

seperti Indonesia. Hutan ini memiliki fungsi ekologis dan

ekonomis yang sangat bermanfaat bagi manusia. Secara

ekologis, hutan mangrove berfungsi sebagai daerah

BAB III

Page 28: NIPAH - ULMeprints.ulm.ac.id/907/7/NIPAH.pdf · 5.1. Pengertian Indikator ~ 31 5.2. Persyaratan Indikator ~ 33 5.3. Klasifikasi Indikator ~ 34 5.4. Bioindikator ~ 35 5.5. Mengapa

16 | Nipah Indikator Kerusakan Pesisir

pemijahan (spawning ground) dan daerah pembesaran

(nursery ground) berbagai jenis ikan, udang, kerang-

kerangan dan spesies lainnya.

Tumbuhan mangrove merupakan sumber makanan

potensial dalam berbagai bentuk, bagi semua biota yang

hidup di ekosistem hutan mangrove. Berbeda dengan

ekosistem pesisir lainnya, komponen dasar dari rantai

makanan di ekosistem ini bukanlah tumbuhan mangrove

itu sendiri, tapi serasah mangrove (berupa daun, ranting,

buah, batang dan biomassa lainnya) yang jatuh ke perairan

menjadi sumber pakan bioata perairan dan unsur hara yang

sangat menentukan produktivitas perikanan perairan laut di

depannya.

Serasah didekomposisi oleh bakteri dan fungi menjadi

zat hara (nutrien) terlarut yang dapat dimanfaatkan

langsung oleh fitoplankton, algae atau tumbuhan mangrove

itu sendiri dalam proses fotosintesis, sebagian lagi sebagai

partikel serasah (detritus) dimanfaatkan oleh ikan, udang

dan krpiting sebagai makanannya. Lebih jauh, hutan

mangrove juga merupakan habitat (rumah) bagi berbagai

jenis burung, reptilia, mamalia, dan jenis-jenis kehidupan

lainnya, sehingga hutan mangrove menyediakan

keanekaragaman hayati (biodiversity) dan plasma nutfah

(genetic pool) yang tinggi serta berfungsi sebagai sistem

penunjang kehidupan.

Page 29: NIPAH - ULMeprints.ulm.ac.id/907/7/NIPAH.pdf · 5.1. Pengertian Indikator ~ 31 5.2. Persyaratan Indikator ~ 33 5.3. Klasifikasi Indikator ~ 34 5.4. Bioindikator ~ 35 5.5. Mengapa

Eka Iriadenta | 17

Dengan sistem perakaran dan canopy yang rapat serta

kokoh, hutan mangrove juga berfungsi sebagai pelindung

daratan dari gempuran ombak, tsunami, angin topan,

perembesan air laut, dan gaya-gaya kelautan yang ganas

lainnya.

Karakteristik habitat hutan mangrove:

- Umumnya tumbuh pada daerah intertidal yang jenis

tanahnya berlumpur, berlempung atau berpasir.

- Daerahnya tergenang air laut secara berkala, baik setiap

hari maupun yang hanya tergenang pada saat pasang

(purnama).

- Menerima pasokan air tawar yang cukup dari darat.

- Air bersalinitas payau (2 – 22 per mil) hingga asin

(mencapai 38 permil)

- Terlindung dari gelombang besar dan arus pasang surut

yang kuat.

Hutan mangrove banyak ditemukan di pantai-pantai

teluk yang dangkal, estuaria, delta dan daerah pantai yang

terlindung.

Secara ekonomi, hutan mangrove dapat dimanfaatkan

kayunya secara lestari untuk bahan bangunan, arang

(charcoal) dan bahan baku kertas. Selain itu, hutan ini juga

dapat dimanfaatkan untuk industri peternakan, seperti

lebah madu, ekoturisme dan kegiatan ekonomi lainnya.

Page 30: NIPAH - ULMeprints.ulm.ac.id/907/7/NIPAH.pdf · 5.1. Pengertian Indikator ~ 31 5.2. Persyaratan Indikator ~ 33 5.3. Klasifikasi Indikator ~ 34 5.4. Bioindikator ~ 35 5.5. Mengapa

18 | Nipah Indikator Kerusakan Pesisir

Oleh karena itu, perhitungan nilai ekonomi total

terhadap berbagai fungsi ekologis dan ekonomis tersebut

(yang dikerjakan oleh tim studi PKSPL – IPB tahun 1995 –

1998) di berbagai daerah seperti Madura, Pemalang,

Subang dan Pesisir Selat Malaka mengungkapkan nilai

dengan kisaran antara Rp 40.000.000 – Rp 70.000.000 per

hektar per tahun.

Contoh konkrit dari nilai ekonomis mangrove yang

dapat dihasilkan secara lestari adalah hutan mangrove

seluas 50.000 ha di Matang, Malaysia. Dengan sistem

pengelolaan tebang-pilih dan ekoturisme secara lestari,

hutan mangrove seluas ini dapat menghasilkan devisa

sebesar US $ 50.000.000 per tahun.

Saat ini Indonesia memiliki hutan mangrove sekitar

2,3 juta hektar. Apabila kita dapat mengelolanya secara arif

seperti halnya di Malaysia, maka hutan mangrove dapat

menjadi sumber pertumbuhan ekonomi yang luar biasa.

Walaupun di beberapa tempat di Indonesia (Sumatera,

Jawa Kalimantan, dan Sulawesi Selatan) dilakukan

eksploitasi secara berlebihan, Indonesia masih memiliki

hutan mangrove terbesar di dunia. Dari sekitar 15,9 juta ha

hutan mangrove yang terdapat di dunia, sekitar 27% berada

di Indonesia.

Page 31: NIPAH - ULMeprints.ulm.ac.id/907/7/NIPAH.pdf · 5.1. Pengertian Indikator ~ 31 5.2. Persyaratan Indikator ~ 33 5.3. Klasifikasi Indikator ~ 34 5.4. Bioindikator ~ 35 5.5. Mengapa

Eka Iriadenta | 19

3.2. Pengelolaan Mangrove

Pengelolaan sumberdaya alam mengintegrasikan

mangrove sebagai bagian sumberdaya alam dan ekosistem

pesisir, yang juga meliputi habitat padang lamun, terumbu

karang, estuari dan habitat lainnya, dan berinteraksi secara

alamiah di antara ekosistem hulu dan ekosistem laut serta

muara sungai. Dalam hal ini ekosistem mangrove antara

lain dipengaruhi oleh sistem hidrologis kawasan hulu (pola

drainase dan catchment area) maupun mekanisme pasang

surut, rejim salinitas serta fenomena kenaikan muka air laut.

Sebagai ekosistem interface antara ekosistem daratan

dengan ekosistem lautan, ekosistem wilayah pesisir beserta

kawasan mangrove mempunyai fungsi yang spesifik yang

keberlangsungannya bergantung pada dinamika yang

terjadi di ekosistem daratan dan lautan.

Meskipun ekosistem mangrove termasuk sumberdaya

yang dapat diperbaharui, pemanfaatannya harus

memperhatikan daya dukung bagi keberlanjutan yang

optimal di segala fungsi menurut diversitas dan potensi

sumberdaya, termasuk menyediakan beragam jenis produk

dan berbagai jasa lingkungan untuk kesejahteraan hidup

masyarakat dan kualitas lingkungan pantai dimana

mangrove tersebut tumbuh jasa lingkungan yang

dikandung oleh ekosistem mangrove. Dengan demikian,

fungsi-fungsi ekosistem mangrove diharapkan dapat tetap

Page 32: NIPAH - ULMeprints.ulm.ac.id/907/7/NIPAH.pdf · 5.1. Pengertian Indikator ~ 31 5.2. Persyaratan Indikator ~ 33 5.3. Klasifikasi Indikator ~ 34 5.4. Bioindikator ~ 35 5.5. Mengapa

20 | Nipah Indikator Kerusakan Pesisir

dan terus dimanfaatkan secara berkelanjutan, tetap

terpelihara dan tidak terganggu, serta lestari.

Komponen utama yang menjamin fungsi ekosistem

mangrove adalah vegetasi mangrove, yang memiliki peran

sebagai produsen yang menghasilkan bahan organik

sumber makanan tropic level (konsumen primer, sekunder

dan top konsumen) dalam jaring-jaring pangan (food web)

pada ekosistem mangrove tersebut. Selain itu, vegetasi

mangrove juga dapat berperan dalam amaliorasi iklim

mikro dan perbaikan kualitas lingkungan (tanah, air, udara)

di ekosistem mangrove tersebut, beserta sumberdaya

potensial yang bermanfaat bagi peningkatan kesejahteraan

masyarakat pesisir. Dengan demikian, tindakan konversi

lahan beserta pembabatan vegetasi mangrove akan

menghilangkan semua fungsi ekonomi dan ekologi dari

ekosistem mangrove tersebut.

Upaya-upaya rehabilitasi degradasi kawasan

mangrove sebagian menunjukkan tingkat partisipasi

masyarakat yang masih relatif rendah. Samad et al. (2013)

menyimpulkan bahwa perbedaan tingkat partisipasi

masyarakat yang dihimpun dari responden dapat

dikategorikan menjadi 2 kriteria, yaitu sangat rendah dan

rendah. Kriteria sangat rendah mencapai 81.3% (122

responden), sedangkan pada kriteria rendah mencapai

15.3% (23 responden). Reformasi program yang efektif

dan pengembangan aktivitas bagi rehabilitasi mangrove

Page 33: NIPAH - ULMeprints.ulm.ac.id/907/7/NIPAH.pdf · 5.1. Pengertian Indikator ~ 31 5.2. Persyaratan Indikator ~ 33 5.3. Klasifikasi Indikator ~ 34 5.4. Bioindikator ~ 35 5.5. Mengapa

Eka Iriadenta | 21

sebagai sumberdaya alam sangat diperlukan untuk

meningkatkan partisipasi aktif masyarakat pesisir.

Formulasi model baru yang melibatkan partisipasi

masyarakat diperlukan untuk mendukung pertumbuhan

mangrove pada zona ekosistem pesisir secara terpadu.

3.3. Pengelolaan Pesisir Terpadu

Pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu

(Integrated Coastal Zone Planning Management/ICZPM)

merupakan cabang ilmu baru, bukan saja di Indonesia tapi

juga di tingkat dunia (IPCC, 1944) sehingga lahir berbagai

terminologi kegiatan manusia dalam mengelola ruang,

sumber daya atau penggunaan yang terdapat pada suatu

wilayah pesisir, yaitu:

(1) Coastal Management,

(2) Coastal Resources Management,

(3) Coastal Areas Management and Planning,

(4) Coastal Zone Management,

(5) Integrated Coastal Zone Management,

(6) Integrated Coastal Zona Planning and Management,

(7) Integrated Coastal Resources Management,

(8) Coastal Zone Resources Management,

(9) Integrated Coastal Management.

Yang dimaksud dengan ICZPM adalah pengelolaan

pemanfaatan sumber daya alam dan jasa-jasa lingkungan

(environmental sevices) yang terdapat di kawasan pesisir,

Page 34: NIPAH - ULMeprints.ulm.ac.id/907/7/NIPAH.pdf · 5.1. Pengertian Indikator ~ 31 5.2. Persyaratan Indikator ~ 33 5.3. Klasifikasi Indikator ~ 34 5.4. Bioindikator ~ 35 5.5. Mengapa

22 | Nipah Indikator Kerusakan Pesisir

dengan cara melakukan penilaian menyeluruh

(comprehensive assessment) tentang kawasan pesisir

beserta sumber daya alam dan jasa-jasa lingkungan yang

terdapat di dalamnya, menentukan tujuan dan sasaran

pemanfaatan, dan kemudian merencanakannya serta

mengelola segenap kegiatan pemanfaatannya guna

mencapai pembangunan yang optimal dan berkelanjutan.

ICZPM dapat didefinisikan sebagai suatu proses yang

memungkinkan orientasi kebijakan dan pengembangan

strategi pengelolaan untuk memberi perhatian terhadap

masalah konflik pemanfaatan sumberdaya dan

mengendalikan dampak yang disebabkan oleh intervensi

manusia terhadap lingkungan. ICZPM menyajikan suatu

kerangka kelembagaan dan hukum, dengan fokus tentang

perencanaan dan pengelolaan lingkungan dan

mengkoordinasikan berbagai badan yang berkepentingan

agar dapat bekerjasama untuk mencapai suatu tujuan

bersama. Perencanaan dan pengelolaan secara sektoral

masih diperlukan namun dilaksanakan dalam kerangka

umum ICZPM. Pemeliharaan habitat spesies, sumberdaya

alam dan pengelolaan proses pembangunan merupakan

bagian dari program ICZPM (Chua Thia-Eng di dalam

Clark, 1991).

Secara spesifik, perencanaan dan pengelolaan zona

pesisir terpadu ialah pengkajian sistematis tentang

sumberdaya laut dan pesisir dan potensinya, alternatif –

Page 35: NIPAH - ULMeprints.ulm.ac.id/907/7/NIPAH.pdf · 5.1. Pengertian Indikator ~ 31 5.2. Persyaratan Indikator ~ 33 5.3. Klasifikasi Indikator ~ 34 5.4. Bioindikator ~ 35 5.5. Mengapa

Eka Iriadenta | 23

alternatif pemanfaatannya serta kondisi ekonomi dan sosial

untuk memilih dan melaksanakan berbagai pemanfaatan

laut dan pesisir yang paling baik untuk memenuhi

kebutuhan masyarakat sekaligus mengamangkan

sumberdaya tersebut untuk masa depan (Clark, 1991).

Motif dalam perencanaan ini ialah kebutuhan akan

perubahan, kebutuhan akan pengelolaan yang lebih baik

atau pola yang sangat berbeda tentang pemanfaatan sesuai

dengan keadaan yang tersu berubah. Segala macam

pemanfaatan pesisir melibatkan industri, pemukiman,

pertanian, kehutanan, konservasi dan pariwisata.

Perencanaan terpadu memberikan pedoman dalaam hal

terjadi konflik antara berbagai kebutuhan yang berasal dari

pemerintah, industri, keperluan pengembangan kota dan

masyarakat umum.

Page 36: NIPAH - ULMeprints.ulm.ac.id/907/7/NIPAH.pdf · 5.1. Pengertian Indikator ~ 31 5.2. Persyaratan Indikator ~ 33 5.3. Klasifikasi Indikator ~ 34 5.4. Bioindikator ~ 35 5.5. Mengapa

24 | Nipah Indikator Kerusakan Pesisir

Page 37: NIPAH - ULMeprints.ulm.ac.id/907/7/NIPAH.pdf · 5.1. Pengertian Indikator ~ 31 5.2. Persyaratan Indikator ~ 33 5.3. Klasifikasi Indikator ~ 34 5.4. Bioindikator ~ 35 5.5. Mengapa

Eka Iriadenta | 25

NIPAH DAN

HABITATNYA

4.1. Nipah

Nipah merupakan salah satu pohon anggota famili

Arecaceae (palem) yang umumnya tumbuh di daerah rawa

yang berair payau atau daerah pasang surut di dekat pantai.

Buahnya membulat seperti buah pandan dengan panjang

bonggol hingga 45 cm. Sebaran jenis tanaman ini

utamanya di daerah equator, melebar dari Sri Langka ke

Asia Tenggara hingga Australia Utara. Luas areal

pertanaman nipah di Indonesia diperkirakan 700.000 ha,

terluas dibandingkan dengan Papua Nugini (500.000 ha)

dan Filipina (8.000 ha) (www.kehati.or.id, 2009).

Di Indonesia pohon nipah mempunyai berbagai nama

lokal seperti daon, daonan, nipah, bhunjok, lipa, buyuk

(Sunda, Jawa), buyuk (Bali), bhunyok (Madura), bobo

(Menado, Ternate, Tidore), boboro (Halmahera), palean,

palenei, pelene, pulene, puleanu, pulenu, puleno, pureno,

parinan, parenga (Maluku).

BAB IV

Page 38: NIPAH - ULMeprints.ulm.ac.id/907/7/NIPAH.pdf · 5.1. Pengertian Indikator ~ 31 5.2. Persyaratan Indikator ~ 33 5.3. Klasifikasi Indikator ~ 34 5.4. Bioindikator ~ 35 5.5. Mengapa

26 | Nipah Indikator Kerusakan Pesisir

Nama latin tumbuhan ini adalah Nypa fruticans

Wurmb yang bersinonim dengan Nipa arborescens Wurmb

ex H.Wendl. dan Nipa litoralis Blanco, sedangkan dalam

bahasa Inggris nipah dikenal sebagai nipa palm atau

mangrove palm.

Gambar 2. Rumpun nipah di wilayah Pesisir Muara

Asam-Asam Kalimantan Selatan (Sumber:

Eka Iriadenta)

Page 39: NIPAH - ULMeprints.ulm.ac.id/907/7/NIPAH.pdf · 5.1. Pengertian Indikator ~ 31 5.2. Persyaratan Indikator ~ 33 5.3. Klasifikasi Indikator ~ 34 5.4. Bioindikator ~ 35 5.5. Mengapa

Eka Iriadenta | 27

4.2. Habitat Nipah

Nipah adalah tumbuhan tropis. Rata-rata suhu

minimum pada daerah pertumbuhannya adalah 20°C dan

maksimumnya 32-35°C. Iklim optimum adalah agak

lembab sampai lembab dengan curah hujan lebih dari 100

mm per bulan sepanjang tahun. Nipah tumbuh subur hanya

pada lingkungan air yang asin. Jarang dijumpai langsung di

pantai. Kondisi optimum adalah saat bagian dasar palem

dan rimpangnya terendam air asin secara reguler. Karena

itu nipah mendiami daerah muara sungai yang masih

mendapat akibat arus pasang surut dari sungai. Konsentrasi

garam optimum adalah 1-9 per mil.

Tanah rawa nipah berlumpur dan kaya akan endapan

alluvial, tanah liat dan humus; kandungan garamnya bukan

organik, kalsium, sulfur, besi dan mangaan tinggi, yang

mempengaruhi aroma dan warna gelapnya. pH sekitar 5;

kandungan oksigen rendah kecuali lapisan paling atas.

Biasanya nipah dapat membentuk tegakan murni, tetapi di

beberapa daerah tumbuh bercampur dengan pohon-pohon

bakau yang lain.

4.3. Zonasi Mangrove

Menurut Bengen (2000) hutan mangrove merupakan

vegetasi hutan yang hanya tumbuh dan berkembang baik di

daerah tropis seperti Indonesia. Hutan ini memiliki fungsi

Page 40: NIPAH - ULMeprints.ulm.ac.id/907/7/NIPAH.pdf · 5.1. Pengertian Indikator ~ 31 5.2. Persyaratan Indikator ~ 33 5.3. Klasifikasi Indikator ~ 34 5.4. Bioindikator ~ 35 5.5. Mengapa

28 | Nipah Indikator Kerusakan Pesisir

ekologis dan ekonomis yang sangat bermanfaat bagi

manusia. Secara ekologis, hutan mangrove berfungsi

sebagai daerah pemijahan (spawning ground) dan daerah

pembesaran (nursery ground) berbagai jenis ikan, udang,

kerang-kerangan dan spesies lainnya.

Struktur vegetasi mangrove secara umum tumbuh

mengikuti zonasi tertentu. Daerah yang paling dekat

dengan laut dengan substrat agak berpasir sering ditumbuhi

oleh Avicennia spp. Pada zona ini biasa berasosiasi

Sonneratia spp. yang dominan tumbuh pada lumpur dalam

yang kaya bahan organik. Lebih ke arah darat, hutan

mangrove umumnya didominasi oleh Rhizophora spp. Di

zona ini juga dijumpai Bruguiera spp. dan Xylocarpus spp.

Zona berikutnya ke arah darat didominasi oleh Bruguiera

spp. Zona transisi antara hutan mangrove dengan hutan

dataran rendah biasa ditumbuhi oleh Nypa fruticans

(Nipah), dan beberapa species palem lainnya (Bengen,

2000). Untuk lebih jelasnya, zonasi pertumbuhan jenis

mangrove di kawasan pesisir disajikan pada Gambar 4.

Page 41: NIPAH - ULMeprints.ulm.ac.id/907/7/NIPAH.pdf · 5.1. Pengertian Indikator ~ 31 5.2. Persyaratan Indikator ~ 33 5.3. Klasifikasi Indikator ~ 34 5.4. Bioindikator ~ 35 5.5. Mengapa

Eka Iriadenta | 29

Gambar 3. Zonasi Pertumbuhan Jenis Mangrove di

Wilayah Pesisir (Sumber: Eka Iriadenta)

Supriharyono (2000) menyebutkan komunitas

mangrove hidup di dalam lingkungan yang rawan (stressed

ecosystem). Fakta robohnya mangrove diterjang gelombang

dan abrasi menunjukkan bahwa mangrove bukan barrier

pantai yang terbaik. Namun, jika terumbu karang di

sekitarnya masih baik, maka peran mangrove akan kokoh

melindungi daratan, karena memerangkap sedimen dan

cenderung membentuk daratan baru.

Nipah merupakan komunitas mangrove pada zonasi

paling belakang yang oleh sebagian masyarakat dikenal

atau biasa digunakan sebagai penciri batas adanya

pengaruh air laut ke arah daratan maupun sebaliknya,

karena habitatnya biasanya di daerah perairan payau

(pertemuan air laut dan air tawar). Kebiasaan masyarakat

atau kearifan lokal inilah yang dapat dikaji lebih lanjut

sebagai alasan fenomena alamiah dalam menjadikan

Page 42: NIPAH - ULMeprints.ulm.ac.id/907/7/NIPAH.pdf · 5.1. Pengertian Indikator ~ 31 5.2. Persyaratan Indikator ~ 33 5.3. Klasifikasi Indikator ~ 34 5.4. Bioindikator ~ 35 5.5. Mengapa

30 | Nipah Indikator Kerusakan Pesisir

peluang pemanfaatan Nipah sebagai salah satu kunci

pemanfaatannya sebagai indikator degradasi atau

kerusakan wilayah pesisir.

Page 43: NIPAH - ULMeprints.ulm.ac.id/907/7/NIPAH.pdf · 5.1. Pengertian Indikator ~ 31 5.2. Persyaratan Indikator ~ 33 5.3. Klasifikasi Indikator ~ 34 5.4. Bioindikator ~ 35 5.5. Mengapa

Eka Iriadenta | 31

NIPAH SEBAGAI

INDIKATOR

5.1. Pengertian Indikator

Pengertian indikator dapat dipahami berdasarkan

beberapa definisi indikator sebagai berikut.

1. WHO

Menurut WHO, indikator merupakan variabel yang bisa

membantu dalam kegiatan pengukuran berbagai macam

perubahan yang terjadi baik secara langsung ataupun tidak

langsung.

2. Departemen Kesehatan, Pendidikan dan

Kesejahteraan Amerika Serikat

Indikator dapat diartikan sebagai sebuah statistik dari

berbagai hal yang bersifat normatif yang menjadi perhatian

utama yang bisa membantu dalam membuat berbagai

penilaian ringkas, komprehensif, dan berimbang terhadap

BAB V

Page 44: NIPAH - ULMeprints.ulm.ac.id/907/7/NIPAH.pdf · 5.1. Pengertian Indikator ~ 31 5.2. Persyaratan Indikator ~ 33 5.3. Klasifikasi Indikator ~ 34 5.4. Bioindikator ~ 35 5.5. Mengapa

32 | Nipah Indikator Kerusakan Pesisir

berbagai macam kondisi dan juga berbagai macam aspek

penting yang ada dalam kehidupan masyarakat.

3. Buku Peunjuk Teknis Standar Pelayanan Minimal

Bidang Kesehatan (Kemenkes RI)

Indikator diartikan sebagai variabel yang bisa dipakai

untuk mengevaluasi kondisi/keadaan/status serta

memungkinkan dilakukannya tindakan pengukuran

terhadap berbagai perubahan yang terjadi dari satu waktu

ke waktu lainnya.

4. Wilson dan Sapanuchart

Indikator merupakan sebuah ukuran secara tidak langsung

dari sebuah kondisi/status yang terjadi. Contohnya, bobot /

massa ikan bandeng yang disesuaikan dengan umurnya

atau panjangnya merupakan indikator dari status nutrisi

ikan tersebut.

5. Green

Indikator merupakan variabel – variabel yang bisa

menunjukkan ataupun mengindikasikan kepada

penggunanya mengenai sesuatu kondisi tertentu, sehingga

bisa dipakai untuk mengukur perubahan yang terjadi.

Dari berbagai definisi di atas, dapat ditarik kesimpulan

bahwa pengertian indikator adalah setiap karakteristik,

Page 45: NIPAH - ULMeprints.ulm.ac.id/907/7/NIPAH.pdf · 5.1. Pengertian Indikator ~ 31 5.2. Persyaratan Indikator ~ 33 5.3. Klasifikasi Indikator ~ 34 5.4. Bioindikator ~ 35 5.5. Mengapa

Eka Iriadenta | 33

ciri, ataupun ukuran yang dapat menunjukkan perubahan

yang terjadi pada suatu obyek tertentu. Indikator sangat

diperlukan untuk dapat mengetahui sejauh mana sesuatu

yang diamati telah berkembang/berubah.

5.2. Persyaratan Indikator

Untuk memudahkan mengingat persyaratan-

persyaratan yang harus dipertimbangkan dalam

menetapkan suatu indikator maka syarat tersebut

dirumuskan berurutan dalam istilah bahasa Inggris yakni

SMART atau Simple, Measurable, Attributable, Reliable,

dan Timely.

Jadi, sesuai rumus sederhana di atas maka persyaratan

yang harus dipertimbangkan dalam menyusun indikator

adalah sebagai berikut:

1. Sederhana (Simple)

Indikator yang ditetapkan sedapat mungkin sederhana

dalam pengumpulan data maupun dalam rumus

penghitungan untuk mendapatkannya.

2. Terukur (Measurable)

Indikator yang ditetapkan harus mempresentasikan

informasinya dan jelas ukurannya sehingga dapat

digunakan untuk perbandingan antara satu tempat dengan

tempat lain atau antara satu waktu dengan waktu lain agar

memudahkan dalam memperoleh data.

Page 46: NIPAH - ULMeprints.ulm.ac.id/907/7/NIPAH.pdf · 5.1. Pengertian Indikator ~ 31 5.2. Persyaratan Indikator ~ 33 5.3. Klasifikasi Indikator ~ 34 5.4. Bioindikator ~ 35 5.5. Mengapa

34 | Nipah Indikator Kerusakan Pesisir

3. Bermanfaat (Attributable)

Indikator yang ditetapkan harus bermanfaat untuk

kepentingan pengambilan keputusan.

4. Terpercaya (Reliable)

Indikator yang ditetapkan harus dapat didukung oleh

pengumpulan data yang baik, benar dan teliti.

5. Tepat Waktu (Timely)

Indikator yang ditetapkan harus dapat didukung oleh

pengumpulan dan pengolahan data serta pengemasan

informasi yang waktunya sesuai dengan saat pengambilan

keputusan dilakukan.

5.3. Klasifikasi Indikator

Terdapat banyak cara untuk mengklasifikasikan

indikator sesuai dengan cara kerja indikator tersebut.

Umumnya digunakan klasifikasi dengan berpegang pada

pendekatan sistem. Sebagai contoh, untuk

menyederhanakan penetapan indikator menuju suatu tujuan

tertentu yang ditetapkan maka dapat dibuat tiga kategori

indikator yakni:

1. Indikator Derajat Keberhasilan sebagai Hasil Akhir

Indikator Hasil Akhir yang paling akhir adalah indikator-

indikator keberhasilan yang dipengarhi oleh indikator-

indikator ekonomi tertentu atau indikator status ekonomi

tertentu.

Page 47: NIPAH - ULMeprints.ulm.ac.id/907/7/NIPAH.pdf · 5.1. Pengertian Indikator ~ 31 5.2. Persyaratan Indikator ~ 33 5.3. Klasifikasi Indikator ~ 34 5.4. Bioindikator ~ 35 5.5. Mengapa

Eka Iriadenta | 35

2. Indikator Hasil Antara

Indikator ini terdiri atas indikator-indikator ketiga pilar

yang mempengaruhi hasil akhir, misalnya indikator-

indikator keadaan lingkungan, indikator-indikator perilaku

hidup masyarakat serta indikator-indikator akses dan mutu

pelayanan.

3. Indikator Proses dan Masukan

Indikator ini terdiri atas indikator-indikator suatu

pelayanan dalam sistem, indikator-indikator sumber daya

air atau lingkungan, indikator-indikator manajemen

sumberdaya lainnya dan indikator-indikator kontribusi

sektor-sektor terkait.

5.4. Bioindikator

Bioindikator berasal dari kata bahasa Inggris yaitu bio

dan indicator. Bioindikator berasal dari dua kata yaitu bio

dan indicator, bio artinya mahluk hidup seperti hewan,

tumbuhan dan mikroba, sedangkan indicator artinya

variable yang dapat digunakan untuk mengevaluasi

keadaan atau status dan memungkinkan dilakukannya

pengukuran terhadap perubahan-perubahan yang terjadi

dari waktu ke waktu. Jadi bioindikator adalah komponen

biotik (mahluk hidup) yang dijadikan sebagai indikator.

Selain itu, bioindikator juga merupakan indikator

biotis yang dapat menunjukkan waktu dan lokasi, kondisi

Page 48: NIPAH - ULMeprints.ulm.ac.id/907/7/NIPAH.pdf · 5.1. Pengertian Indikator ~ 31 5.2. Persyaratan Indikator ~ 33 5.3. Klasifikasi Indikator ~ 34 5.4. Bioindikator ~ 35 5.5. Mengapa

36 | Nipah Indikator Kerusakan Pesisir

alam (bencana alam), serta perubahan kualitas lingkungan

yang telah terjadi karena aktivitas manusia (Edward, 1995).

Bioindikator petunjuk waktu dan lokasi atau endemi;

bioindikator dapat menunjukkan endemi dari suatu jenis

tumbuhan atau hewan.

Bioindikator dapat dibagi menjadi dua, yaitu

bioindikator pasif dan bioindikator aktif. Bioindikator pasif

adalah suatu spesies organisme, penghuni asli di suatu

habitat, yang mampu menunjukkan adanya perubahan yang

dapat diukur (misalnya perilaku, kematian, morfologi)

pada lingkungan yang berubah di biotop (detektor).

Bioindikator aktif adalah suatu spesies organisme yang

memiliki sensitivitas tinggi terhadap polutan, yang mana

spesies organisme ini umumnya diintroduksikan ke suatu

habitat untuk mengetahui dan memberi peringatan dini

terjadinya polusi (Mahida,1993).

5.5. Mengapa Nipah?

Vegetasi nipah dipilih sebagai indikator dengan

mempertimbangkan bahwa:

(a) Sifat nipah yang tumbuh terutama di dekat aliran

sungai yang memasok lumpur ke pesisir,

(b) Nipah merupakan satu-satunya jenis mangrove yang

banyak didapati di rawa air payau dan di depan muara

sungai (Hyene, 1987) dengan salinitas air sungai

Page 49: NIPAH - ULMeprints.ulm.ac.id/907/7/NIPAH.pdf · 5.1. Pengertian Indikator ~ 31 5.2. Persyaratan Indikator ~ 33 5.3. Klasifikasi Indikator ~ 34 5.4. Bioindikator ~ 35 5.5. Mengapa

Eka Iriadenta | 37

1-10 o/oo (Robertson, et al., 1991), pada habitat

lingkungan air payau, yang merupakan kawasan

pertemuan antara massa air laut dengan air tawar,

(c) Nipah termasuk spesies mangrove yang berada pada

kondisi ekologi yang mendekati batas toleransi

salinitas air (Blasco and Janodet, 1996) sehingga

ditemukan jauh di bagian hulu sungai sepanjang

dipengaruhi pasang-surut air laut,

(d) Nipah merupakan vegetasi yang hidup sepanjang tahun

(tanaman tahunan) sehingga relatif tidak mengalami

perubahan signifikan secara alamiah dalam rentang

waktu lama,

(e) Keberadaan dan atau habitat nipah diasosiasikan

sebagai batas pengaruh air laut (Rustiyawatie, et al.,

2009) sehingga juga merupakan batas temu air tawar

dengan air laut.

Page 50: NIPAH - ULMeprints.ulm.ac.id/907/7/NIPAH.pdf · 5.1. Pengertian Indikator ~ 31 5.2. Persyaratan Indikator ~ 33 5.3. Klasifikasi Indikator ~ 34 5.4. Bioindikator ~ 35 5.5. Mengapa

38 | Nipah Indikator Kerusakan Pesisir

Page 51: NIPAH - ULMeprints.ulm.ac.id/907/7/NIPAH.pdf · 5.1. Pengertian Indikator ~ 31 5.2. Persyaratan Indikator ~ 33 5.3. Klasifikasi Indikator ~ 34 5.4. Bioindikator ~ 35 5.5. Mengapa

Eka Iriadenta | 39

NIPAH, INDERAJA

DAN SIG

6.1. Perkembangan Teknologi Inderaja Dan

Hubungannya Dengan Nipah

Perkembangan teknologi penginderaan jauh (inderaja)

dewasa ini telah memberikan peluang-peluang

pemanfaatan kajian spasial dan temporal yang lebih

presisif dan efisien. Hasil penelitian Vaiphasa et al. (2007)

dan Jensen (2004) menunjukkan beberapa pola respon

spektral beberapa obyek dan pantulan nilai reflektansi

beberapa obyek mangrove termasuk vegetasi nipah. Data

citra satelit dapat diperoleh secara time series termasuk

memuat rekaman informasi di masa lalu hingga saat ini.

Dengan demikian, informasi yang termuat dalam kajian

teknologi tersebut memberikan peluang baru pemanfaatan

nilai reflektansi obyek, sebagai upaya pengamatan untuk

melakukan kajian lebih mendalam kondisi suatu tempat di

BAB VI

Page 52: NIPAH - ULMeprints.ulm.ac.id/907/7/NIPAH.pdf · 5.1. Pengertian Indikator ~ 31 5.2. Persyaratan Indikator ~ 33 5.3. Klasifikasi Indikator ~ 34 5.4. Bioindikator ~ 35 5.5. Mengapa

40 | Nipah Indikator Kerusakan Pesisir

masa lalu dibandingkan kondisi saat ini. Selain itu hasil

tersebut juga dapat berguna bagi pemanfaatan prediksi

kondisi di masa mendatang dalam kaitan dengan kebijakan

pengelolaan. Hal tersebut menjadi alasan penting perlunya

pemanfaatan teknologi penginderaan jauh sebagai alat

bantu untuk melakukan evaluasi kondisi wilayah pesisir.

Sebagai contoh, perubahan garis pantai akibat abrasi yang

melanda pantai pada suatu wilayah pesisir dapat terekam

dan dikaji lebih mendalam, baik secara spasial maupun

secara temporal.

Dalam kaitan dengan pemanfaatan Nipah sebagai

bioindikator, peran penginderaan jauh sangat penting untuk

mengidentifikasi keberadaan Nipah, baik secara spasial

maupun secara temporal. Perubahan sebaran pertumbuhan

Nipah menjadi alasan yang mendasar dalam memanfaatkan

Nipah sebagai indikator evaluasi kondisi wilayah pesisir.

6.2. Pendekatan Sistem Informasi Geografis

Dalam pembahasan ini, penginderaan jauh dan sistem

informasi geografis (SIG) digunakan sebagai alat bantu

(tools) untuk mendukung kemudahan pencapaian

perolehan informasi/data yang tidak bisa dijangkau dalam

kerangka analisis dan metode survei pada batas ruang yang

relatif luas dan rentang waktu panjang (temporal) serta

penelusuran data secara cepat dan mudah jika tidak hanya

Page 53: NIPAH - ULMeprints.ulm.ac.id/907/7/NIPAH.pdf · 5.1. Pengertian Indikator ~ 31 5.2. Persyaratan Indikator ~ 33 5.3. Klasifikasi Indikator ~ 34 5.4. Bioindikator ~ 35 5.5. Mengapa

Eka Iriadenta | 41

melibatkan teknologi penginderaan jauh, namun juga

sistem informasi geografis. Menurut Graha, et al. (2009)

bentuk sistem informasi terpadu yang cocok dalam

pengertian dapat menyimpan dan mengolah serta

menyampaikan secara cepat dan mudah dari berbagai

sektor adalah Sistem Informasi Geografis (SIG).

Contoh pemanfaatan teknologi inderaja dan SIG

dalam mengidentifikasi kerusakan mangrove antara lain

dapat dicermati pada hasil kajian Citra Landsat Ness tahun

1990 (Arifin et al., 2006). Kalimantan Selatan semula

(tahun 1991) mempunyai luas hutan mangrove 115.780 ha

dan pada tahun 2000 tinggal 53.630 ha yang tersebar di 5

Kabupaten yaitu Tanah Laut, Banjar, Barito Kuala, Tanah

Bumbu dan Kotabaru. Dalam kurun waktu hampir satu

dekade Kalimantan Selatan telah kehilangan hutan

mangrove 62.150 ha atau ± 54%. Khusus di kawasan

pesisir Kabupaten Tanah Laut, kerusakan hutan mangrove

(lihat Gambar 4) telah mencapai sekitar 37% atau 931,7 ha

dari luasan 2.518,71 ha. Hutan mangrove yang masih baik

hanya 1.587 ha (63,01 %), tersebar di Desa Muara Kintap

36 ha, S.Cuka 36 ha, S Rasau 700 ha, Tabonio 242 ha,

Telaga Langsat 183 ha dan Kuala Tambangan 390 ha,

sedangkan mangrove yang rusak 931,7 ha (36,99 %).

Page 54: NIPAH - ULMeprints.ulm.ac.id/907/7/NIPAH.pdf · 5.1. Pengertian Indikator ~ 31 5.2. Persyaratan Indikator ~ 33 5.3. Klasifikasi Indikator ~ 34 5.4. Bioindikator ~ 35 5.5. Mengapa

42 | Nipah Indikator Kerusakan Pesisir

Gambar 4. Persentase kerusakan mangrove di

Kabupaten Tanah Laut pada tahun

1990 dan tahun 2007 (diolah dari

Arifin et al, 2007)

Teknologi SIG yang dilaplikasikan untuk mendukung

pemanfaatan Nipah sebagai penelitian ini adalah

pengenalan obyek nipah berbasis nilai refektansi dan

segmentasi.

6.3. Pengenalan Obyek Nipah Berbasis Nilai

Reflektansi

Setiap benda pada dasarnya mempunyai struktur

partikel yang berbeda, baik mikro maupun makro.

Perbedaan struktur ini mempengaruhi pola respons

spektralnya. Oleh karena itu, pengenalan dan perbedaan

respon spektral dapat dijadikan landasan bagi pembedaan

obyek.

Page 55: NIPAH - ULMeprints.ulm.ac.id/907/7/NIPAH.pdf · 5.1. Pengertian Indikator ~ 31 5.2. Persyaratan Indikator ~ 33 5.3. Klasifikasi Indikator ~ 34 5.4. Bioindikator ~ 35 5.5. Mengapa

Eka Iriadenta | 43

Cara memberikan respons terhadap gelombang

elektromagnetik yang mengenainya berbeda-beda, baik

dari satu jenis ke jenis lain maupun dari spektrum satu ke

spektrum lain. Terdapat pola respon spektral obyek yang

merupakan hasil dari berbagai penelitian di lapangan dan di

Laboratorium. Pola inilah yang menjadikan dasar

pemilihan band untuk kajian obyek tertentu (Rahman, et

al., 2011).

Teknologi SIG yang diaplikasikan untuk mendukung

adalah pengenalan obyek nipah berbasis nilai refektansi

dan segmentasi. Dalam kaitannya dengan identifikasi dan

karakteristik mangrove di wilayah pesisir, deteksi hutan

mangrove dapat dilakukan melalui identifikasi jenis obyek

yang diinderanya yaitu berdasarkan nilai spektral yang

dimiliki oleh citra satelit tersebut.

Nilai spektral pada citra satelit dapat mengekstraksi

informasi obyek jenis tutupan lahan (mangrove) pada

kisaran spektrum tampak dan inframerahdekat. Mangrove

di kawasan sepanjang pantai dan pertambakan dapat

terlihat jelas dari citra FCC (False Color Composit). Citra

yang dibuat dari kombinasi tiga kanal yakni dua kanal dari

spektral tampak dan satu kanal inframerah.

Kombinasi tersebut masing-masing adalah 4,5, dan 7

untuk Landsat-MSS, atau 2,3 dan 4 untuk Landsat-TM;

masing-masing dengan filter Blue, Green dan Red.

Mangrove terlihat dengan warna merah kegelapan pada

Page 56: NIPAH - ULMeprints.ulm.ac.id/907/7/NIPAH.pdf · 5.1. Pengertian Indikator ~ 31 5.2. Persyaratan Indikator ~ 33 5.3. Klasifikasi Indikator ~ 34 5.4. Bioindikator ~ 35 5.5. Mengapa

44 | Nipah Indikator Kerusakan Pesisir

citra FCC. Warna merah merupakan reflektansi vegetasi

yang terlihat jelas pada citra kanal inframerah, sedangkan

kegelapan merupakan reflektansi tanah berair yang terlihat

jelas pada citra kanal merah (Ratih Dewanti et al., 1998).

Setiap benda pada dasarnya mempunyai struktur

partikel yang berbeda, baik mikro maupun makro.

Perbedaan struktur ini mempengaruhi pola respons

spektralnya. Oleh karena itu, pengenalan dan perbedaan

respon spektral dapat dijadikan landasan bagi pembedaan

obyek. Cara memberikan respons terhadap gelombang

elektromagnetik yang mengenainya berbeda-beda, baik

dari satu jenis ke jenis lain maupun dari spektrum satu ke

spektrum lain. Terdapat pola respon spektral obyek yang

merupakan hasil dari berbagai penelitian di lapangan dan di

laboratorium. Pola inilah yang menjadikan dasar pemilihan

band untuk kajian obyek tertentu (Rahman et al., 2011).

Koreksi reflektan digunakan untuk mengubah nilai

radian menjadi nilai reflektan yang merupakan nilai

pantulan permukaan obyek dan atmosfer yang ada di bumi.

(a)

Page 57: NIPAH - ULMeprints.ulm.ac.id/907/7/NIPAH.pdf · 5.1. Pengertian Indikator ~ 31 5.2. Persyaratan Indikator ~ 33 5.3. Klasifikasi Indikator ~ 34 5.4. Bioindikator ~ 35 5.5. Mengapa

Eka Iriadenta | 45

.

Menurut Liang (2004) citra Landsat ETM+ yang telah

terkoreksi dapat dijadikan dasar untuk melakukan proses

transformasi citra dengan menggunakan algoritma NDVI

(Normalized Difference Vegetation Index). Citra Satelit

Landsat ETM+ yang telah dikoreksi reflektansi dan

transformasi NDVI selanjutnya dimatching dengan nilai

(b)

Gambar 5. (a) Pola Respon Spektral beberapa obyek

(Jensen, 2000), dan (b) Pantulan nilai

reflektansi beberapa obyek mangrove

(Vaiphasa et al., 2007, Rahman et al.,

2011)

Page 58: NIPAH - ULMeprints.ulm.ac.id/907/7/NIPAH.pdf · 5.1. Pengertian Indikator ~ 31 5.2. Persyaratan Indikator ~ 33 5.3. Klasifikasi Indikator ~ 34 5.4. Bioindikator ~ 35 5.5. Mengapa

46 | Nipah Indikator Kerusakan Pesisir

reflektance ground truth (cek lapangan) terhadap pantulan

nilai reflektansi obyek Nypa fruticans. Dengan

menggunakan metode segmentasi secara digitasi onscreen

diamati nilai-nilai reflektansi untuk obyek Nypa fructicans.

6.4. Segmentasi Obyek Nipah dalam Sistem

Informasi Geografis

Klasifikasi berdasarkan obyek banyak menarik

perhatian di bidang penginderaan jauh dekade terakhir ini

karena tidak seperti metode klasifikasi klasik yang

beroperasi secara langsung pada piksel tunggal, pendekatan

ini beroperasi pada obyek yang sebelumnya telah

dikelompokkan melalui proses segmentasi. Ide dasar dari

proses ini adalah mengelompokkan piksel-piksel

berdampingan menjadi obyek spektral yang homogen

melalui segmentasi kemudian dilanjutkan proses klasifikasi

pada obyek sebagai unit proses terkecil (Gastellu, 1987).

Menurut Danoedoro (1996) untuk mendeteksi batas sel

yang saling tumpang tindih dilakukan uji

keseragaman/homogenitas sel. Selanjutnya pada dua

daerah yang berbatasan dilakukan penggabungan

bidang/sel hingga meluas mencapai batas tertentu.

Uji akurasi hasil klasifikasi/interpretasi diperlukan

sebagai justifikasi ilmiah tentang layak tidaknya

pendekatan atau metode yang dipakai dan untuk

Page 59: NIPAH - ULMeprints.ulm.ac.id/907/7/NIPAH.pdf · 5.1. Pengertian Indikator ~ 31 5.2. Persyaratan Indikator ~ 33 5.3. Klasifikasi Indikator ~ 34 5.4. Bioindikator ~ 35 5.5. Mengapa

Eka Iriadenta | 47

merekomendasikan seberapa besar tingkat kebenaran hasil

interpretasi. Uji akurasi yang digunakan dalam penelitian

ini adalah uji akurasi hasil interpretasi berdasarkan metode

Short (Sutanto, 1986) yang menetapkan bahwa suatu hasil

interpretasi baru dapat digunakan untuk analisis apabila

memiliki tingkat ketelitian lebih besar dari 85%.

Page 60: NIPAH - ULMeprints.ulm.ac.id/907/7/NIPAH.pdf · 5.1. Pengertian Indikator ~ 31 5.2. Persyaratan Indikator ~ 33 5.3. Klasifikasi Indikator ~ 34 5.4. Bioindikator ~ 35 5.5. Mengapa

48 | Nipah Indikator Kerusakan Pesisir

Page 61: NIPAH - ULMeprints.ulm.ac.id/907/7/NIPAH.pdf · 5.1. Pengertian Indikator ~ 31 5.2. Persyaratan Indikator ~ 33 5.3. Klasifikasi Indikator ~ 34 5.4. Bioindikator ~ 35 5.5. Mengapa

Eka Iriadenta | 49

APLIKASI NIPAH

SEBAGAI INDIKATOR

7.1. Prinsip Dasar

Pada prinsipnya, pendekatan dalam pemanfaatan

Nipah sebagai indikator kerusakan wilayah pesisir adalah

memanfaatkan identifikasi nilai reflektansi Nipah dengan

alat bantu teknologi penginderaan jauh dan Sistem

Informasi Geografis, untuk menentukan lokasi sebaran

Nipah tersebut. Perbandingan perubahan sebaran posisi

tumbuh Nipah selanjutnya dilakukan untuk mengevaluasi

pola-pola perubahan sebaran tersebut, sebagai acuan untuk

menetapkan kriteria kondisi wilayah pesisir.

Identifikasi dilakukan terutama pada suatu wilayah

pesisir yang terindikasi mengalami degradasi. Pengamatan

dilakukan terhadap posisi tumbuh Nipah di sepanjang

daerah aliran sungai yang bermuara pada wilayah pesisir

tersebut.

BAB VII

Page 62: NIPAH - ULMeprints.ulm.ac.id/907/7/NIPAH.pdf · 5.1. Pengertian Indikator ~ 31 5.2. Persyaratan Indikator ~ 33 5.3. Klasifikasi Indikator ~ 34 5.4. Bioindikator ~ 35 5.5. Mengapa

50 | Nipah Indikator Kerusakan Pesisir

Identifikasi terhadap keberadaan Nipah secara

temporal (dari waktu terdahulu hingga waktu sekarang)

pada daerah aliran sungai tersebut akan mencerminkan

kondisi suatu wilayah pesisir sesuai kriteria yang telah

ditetapkan sebelumnya.

7.2. Studi Kasus

Pendekatan sistem informasi geografis dilakukan

melalui pemrosesan citra untuk tujuan mengidentifikasi

spesies nipah dan sebarannya di kawasan sekitar muara

sungai. Asumsi-asumsi rasioanl yang mendasari

pemanfaatan Nipah sebagai indikator dalam studi kasus ini

adalah:

1. Nipah merupakan vegetasi mangrove yang biasa

tumbuh di zona paling belakang pada zonasi mangrove,

sebagai akibat penyesuaiannya dengan habitatnya yang

payau dan cenderung berada pada batas antara

pengaruh air asin/laut dengan air tawar. Jika secara

faktual terjadi perubahan sebaran tumbuh yang umum

terjadi, misalnya di lapangan ternyata Nipah justru

ditemukan pada garis depan wilayah pesisir, dapat

diasumsikan terjadi desalinasi wilayah pesisir. Hal ini

berakibat janis mangrove lain seperti Api-api dan

Bakau yang semestinya berada di zonasi depan tidak

mampu lagi tumbuh atau habitatnya tidak mendukung

lagi bagi pertumbuhan jenis-jenis mangrove tersebut.

Page 63: NIPAH - ULMeprints.ulm.ac.id/907/7/NIPAH.pdf · 5.1. Pengertian Indikator ~ 31 5.2. Persyaratan Indikator ~ 33 5.3. Klasifikasi Indikator ~ 34 5.4. Bioindikator ~ 35 5.5. Mengapa

Eka Iriadenta | 51

2. Fakta tersebut sekaligus mencerminkan bahwa telah

terjadi suatu proses degradasi kualitas habitat mangrove

sehingga merubah tatanan zonasi yang berlaku umum.

3. Pada sisi lain, sebaran Nipah mungkin ditemukan pada

bagian dalam daerah aliran sungai, dengan

kecenderungan semakin bergerak tumbuh ke arah hulu.

Hal ini juga mencerminkan adanya degradasi kualitas

ekosistem setempat sehingga berakibat pengaruh air

asin/laut pada saat pasang semakin jauh mencapai

kawasan bagian hulu dalam sistem daerah aliran sungai.

4. Secara keseluruhan kondisi ini memberikan gambaran

terjadinya proses degradasi lingkungan secara umum,

yang berpengaruh terhadap ekosistem pesisir.

5. Penilaian terjadinya degradasi tersebut secara kuantitas

dapat dilakukan dengan berbagai penndekatan model

yang disusun untuk menterjemahkan fenomena tersebut

secara ilmiah.

Tahap pemrosesan citra sebagai bagian identifikasi

Nipah dan pemanfaatannya sebagai indikator dapat

dilakukan sebagai berikut.

a) Perbaikan geometrik dan spasial citra yang meliputi

seluruh band yang digunakan;

b) Pembuatan komposit warna untuk band 3 warna merah

(R), untuk band 2 warna hijau (G) dan untuk band 1

warna biru (B);

c) Interpretasi citra untuk nilai reflektansi nipah;

Page 64: NIPAH - ULMeprints.ulm.ac.id/907/7/NIPAH.pdf · 5.1. Pengertian Indikator ~ 31 5.2. Persyaratan Indikator ~ 33 5.3. Klasifikasi Indikator ~ 34 5.4. Bioindikator ~ 35 5.5. Mengapa

52 | Nipah Indikator Kerusakan Pesisir

d) Klasifikasi pengelompokkan piksel ke dalam kelas-

kelas obyek yang akan diklasifikasikan, yang

dilanjutkan dengan pengecekan lapangan untuk

mengetahui kebenaran lokasi dan penentuan titik-titik

sampel;

e) Deliniasi terhadap citra yang dihasilkan berdasarkan

hasil pengecekan lapangan.

Analisis citra dilakukan melalui tahap:

a) Pemrosesan citra meliputi proses pengolahan data

satelit Landsat TM, pengolahan analisis spasial dan

analisis statistik.

b) Proses analisis citra secara berjenjang yang ditujukan

untuk mendapatkan informasi variabel-variabel yang

dapat digunakan untuk menentukan nilai reflektansi

jenis tutupan lahan Nipah hasil analisis citra.

Tujuan utama langkah tersebut adalah membantu

perolehan data temporal sebaran Nipah melalui interpretasi

analisis citra, sebagai pendekatan untuk mendapatkan batas

pertemuan air tawar dan air asin, yang diasumsikan

dikaitkan sebagai habitat Nipah. Pendekatan ini dilakukan

dengan alat bantu komputasi data dengan tahapan:

Merekam posisi lokasi nipah saat ini dengan GPS,

dengan cara membuat plot ukuran 30 m x 30 m. Untuk

(tergantung kondisi ketebalan komunitas nipah di

lapangan), sebagai bahan identifikasi penampakan dan

Page 65: NIPAH - ULMeprints.ulm.ac.id/907/7/NIPAH.pdf · 5.1. Pengertian Indikator ~ 31 5.2. Persyaratan Indikator ~ 33 5.3. Klasifikasi Indikator ~ 34 5.4. Bioindikator ~ 35 5.5. Mengapa

Eka Iriadenta | 53

posisi nipah pada citra. Plot ditetapkan secara

purposive sampling.

Mengekstraksi nilai reflektansi pada obyek agar mudah

dikenali terlebih dahulu dilakukan koreksi-koreksi di

antaranya koreksi radiometrik yang dilakukan untuk

mengeliminir gangguan pada atmosfer dan koreksi

geometrik yang bertujuan untuk mengembalikan posisi

obyek akibat kesalahan perekaman sensor. Koreksi

geometrik menggunakan metode Image to Image.

Koreksi ini mensyaratkan penggunaan citra yang

beresolusi spasial lebih tinggi dibandingkan dengan

citra yang akan dikoreksi.

Analisis reflektansi dilakukan secara bertahap. Tujuan

analisis ini adalah untuk mendapatkan identifikasi

nipah pada citra, yang secara skematis dapat dijelaskan

pada gambar berikut.

Penggunaan beberapa jenis citra seperti Citra Landsat

7ETM+ dan Landsat 8 yang telah dikoreksi radiometrik

dan geometrik selanjutnya diubah dari radian

dikonversi menjadi nilai reflektansi. Langkah ini

dilakukan sebagaimana ditetapkan di dalam metode

studi dan selaras dengan panjang gelombang yang

memerlukan data tanggal perekaman sensor, jenis citra,

sudut penyinaran matahari, dan radiasi matahari. Citra

Landsat ETM+ yang telah terkoreksi dijadikan dasar

proses transformasi citra menggunakan algoritma

Page 66: NIPAH - ULMeprints.ulm.ac.id/907/7/NIPAH.pdf · 5.1. Pengertian Indikator ~ 31 5.2. Persyaratan Indikator ~ 33 5.3. Klasifikasi Indikator ~ 34 5.4. Bioindikator ~ 35 5.5. Mengapa

54 | Nipah Indikator Kerusakan Pesisir

NDVI (Normalized Difference Vegetation Index)

(Liang et al., 1989) terhadap nilai reflektansi nipah dan

diselaraskan nilai reflectance ground truth (lapangan)

dan pembanding nilai reflektansi beberapa obyek

mangrove (Vaiphasa et al, 2007). Algoritma NDVI

(Normalized Difference Vegetation Index) menurut

Liang et al., (1989):

MIMD

MIMDNDVI

Keterangan :

IMD = Saluran inframerah dekat (NIR)

M = Saluran merah (RED).

Analisis reflektansi dilakukan dengan metode

supervised secara digitasi onscreen terhadap nilai

reflektansi nipah sebagai obyek asosiatif batas temu air

tawar dengan air asin. Analisis dimulai dari klasifikasi

obyek melalui proses supervised menjadi obyek

spektral homogen, kemudian dilanjutkan proses

klasifikasi pada obyek sebagai unit proses terkecil (Yu

et. al, 2006).

Page 67: NIPAH - ULMeprints.ulm.ac.id/907/7/NIPAH.pdf · 5.1. Pengertian Indikator ~ 31 5.2. Persyaratan Indikator ~ 33 5.3. Klasifikasi Indikator ~ 34 5.4. Bioindikator ~ 35 5.5. Mengapa

Eka Iriadenta | 55

Gambar 6. Diagram Alir Identifikasi Nilai Reflektansi

Nipah

Hasil interpretasi dapat digunakan untuk analisis

apabila memiliki tingkat ketelitian > 85%. Uji ketelitian

ini dilakukan agar identifikasi obyek pada citra yang

mewakili nipah dapat tercapai dengan tingkat kesalahan

< 15%.

Citra Landsat ETM+

117/062&117/063 Tahun 2000

Citra Landsat ETM+ 117/062&117/063 Tahun 2013

Digital Image Processing

Koreksi Citra

Koreksi Reflektansi

Citra Landsat ETM+ 117/062&117/063 Tahun 1990

Data Lapangan

Ground Check

Citra Reflektansi Landsat ETM+ Tahun 2003

Citra Reflektansi Landsat ETM+ Tahun 2009

Citra Reflektansi Landsat ETM+ Tahun 2013

Segmentasi, NDVI

Matriks Perubahan Lahan (Change Detection)/OVERLAY

Perubahan Sebaran Nypa fruticans

Uji Akurasi

Data Sebaran GCP Nypa fruticans

Page 68: NIPAH - ULMeprints.ulm.ac.id/907/7/NIPAH.pdf · 5.1. Pengertian Indikator ~ 31 5.2. Persyaratan Indikator ~ 33 5.3. Klasifikasi Indikator ~ 34 5.4. Bioindikator ~ 35 5.5. Mengapa

56 | Nipah Indikator Kerusakan Pesisir

Penggabungan data hasil survei lapangan dan data

satelit resolusi tinggi menghasilkan estimasi lebih

akurat terhadap sumber daya bakau dan kondisi ekologi

yang mempengaruhinya daripada analisis data SPOT

atau Landsat TM saja (Blasco et al., 1996).

Pengenalan obyek vegetasi nipah dilakukan pada satu

piksel dalam citra satelit Landsat 7 ETM+ (Enhanced

Thematic Mapper) mempunyai resolusi 30 m x 30 m.

Hal ini berarti obyek yang dapat dikenali hanya obyek

yang mempunyai ukuran 30 m x 30 m, sedangkan

obyek yang berukuran kurang dari 30 m x 30 m tidak

dapat dikenali oleh citra. Oleh karena itu hasil analisis

juga ditunjang dengan melakukan pengecekan di

lapangan (ground check).

Gambar 7. Plot 30 x 30 m Dalam Perekaman Data

Lokasi Nipah Lapangan

Page 69: NIPAH - ULMeprints.ulm.ac.id/907/7/NIPAH.pdf · 5.1. Pengertian Indikator ~ 31 5.2. Persyaratan Indikator ~ 33 5.3. Klasifikasi Indikator ~ 34 5.4. Bioindikator ~ 35 5.5. Mengapa

Eka Iriadenta | 57

Pengenalan obyek vegetasi nipah dan vegetasi lain

dilakukan dengan menggunakan pendekatan warna

dengan kisaran panjang gelombang yang dapat dikenali

oleh mata (visible light). Gabungan warna (Merah-

Hijau-Biru) merupakan komposit kanal atau band yang

dapat memberikan gambaran informasi obyek yang

jelas sesuai dengan warna asli obyek tersebut.

Komposit warna yang dipakai pada Citra Landsat 7

ETM+ adalah warna asli (True Colours)/RGB-321,

sedangkan pada Citra Landsat 8 OLI/TIRS

menggunakan komposit/RGB-432. Komposit Band

Citra Landsat 7 ETM+ yang telah dikonversi menjadi

nilai reflektansi kemudian diselaraskan (matching)

dengan Citra Landsat 7 ETM+ hasil klasifikasi NDVI

untuk memastikan bahwa nilai pantulan obyek benar-

benar diperoleh dari pantulan obyek yang

bersangkutan, kemudian pengambilan nilai reflektansi

obyek didasarkan pada hasil ground truth terhadap

obyek spesifik (nipah) yang telah dilakukan.

Selanjutnya dilakukan analisis nilai reflektansi nipah

pada citra tahun-tahun sebelumnya yang selaras dengan

rekam data lokasi nipah. Hasil analisis nilai reflektansi

Nipah selanjutnya dibandingkan dengan hasil

identifikasi yang menunjukkan keberadaan atau

sebaran nipah di lapangan saat ini, dan kemudian diuji

kembali dengan ground survey.

Page 70: NIPAH - ULMeprints.ulm.ac.id/907/7/NIPAH.pdf · 5.1. Pengertian Indikator ~ 31 5.2. Persyaratan Indikator ~ 33 5.3. Klasifikasi Indikator ~ 34 5.4. Bioindikator ~ 35 5.5. Mengapa

58 | Nipah Indikator Kerusakan Pesisir

Uji akurasi yang digunakan dalam penelitian ini

terhadap hasil identifikasi vegetasi Nipah dan tutupan

lahan lainnya menggunakan Uji Convusion Matrix atau

menggunakan matrix uji ketelitian metode Short (1982)

dan terverifikasi di lapangan (ground check). Contoh

hasil matrix uji ketelitian hasil interpretasi berdasarkan

metode Short (1982) ditunjukkan sebagai berikut.

Tabel 1 Contoh matriks Uji Ketelitian Hasil Interpretasi

Sumber : Short (1982) dimodifikasi.

Akurasi hasil klasifikasi dan interpretasi diperlukan

sebagai justifikasi ilmiah tentang layak tidaknya

pendekatan atau metode yang dipakai untuk

merekomendasikan seberapa besar tingkat kebenaran

hasil interpretasi. Uji akurasi lokasi Nipah terjauh ke

arah hulu yang telah diverifikasi diasosiasikan sebagai

batas temu air tawar dengan air asin, yang kemudian

diukur jaraknya dari muara. Keseluruhan hasil

selanjutnya dapat dianalisis dengan berbagai

Page 71: NIPAH - ULMeprints.ulm.ac.id/907/7/NIPAH.pdf · 5.1. Pengertian Indikator ~ 31 5.2. Persyaratan Indikator ~ 33 5.3. Klasifikasi Indikator ~ 34 5.4. Bioindikator ~ 35 5.5. Mengapa

Eka Iriadenta | 59

pendekatan yang selaras dengan tujuan untuk

pembuktian kondisi sebaran Nipah dengan kondisi

wilayah pesisir.

2. Uji ketelitian dapat dilakukan dengan menggunakan

metode Sutanto (1994) dengan ground truth

(pengecekan lapangan) pada sampel terpilih

menggunakan ROI (Resampling Object Interest) pada

setiap kelas penutupan. Ketelitian seluruh hasil

interpretasi dihitung dengan rumus:

%100xS

BK

(Sumber : Sutanto, 1986)

Keterangan:

K = Kecermatan hasil

S = Jumlah seluruh sampel

B = Hasil interpretasi yang benar,

dihitung dari titik sampel yang

diinterpretasi secara benar.

Ketelitian hasil interpretasi =

Kontrol atas akurasi ROI (sampel) yang telah dibuat

dilakukan melalui pendekatan analisis grafis dan

statistik untuk menilai tingkat homogenitas sampel.

Secara grafis kriteria sampel yang baik mengelompok

%83100

284

100605025

x

Page 72: NIPAH - ULMeprints.ulm.ac.id/907/7/NIPAH.pdf · 5.1. Pengertian Indikator ~ 31 5.2. Persyaratan Indikator ~ 33 5.3. Klasifikasi Indikator ~ 34 5.4. Bioindikator ~ 35 5.5. Mengapa

60 | Nipah Indikator Kerusakan Pesisir

secara solid pada feature space, nilai simpangan

bakunya kecil, dan diwakili oleh warna yang sangat

homogen pada citra komposit.

Secara statistik kontrol atas akurasi sampel dilakukan

melalui perhitungan indeks separabilitas (separability

indeks) yaitu indeks keterpisahan nilai pixel objek tiap

ROI dengan menggunakan algoritma Transformed

Divergence (TD). Berikut formula Transformed

Diversigence (TD) :

8exp12000

ij

ij

DTD

(Sumber : Jensen, 1996)

Keterangan :

i dan j = dua kelas yang dibandingkan

Ci = matriks covariansi kelas i

mi = vektor rerata kelas i

tr = fungsi pelacakan (aljabar matriks)

T = fungsi transposisi matriks

Proses dilanjutkan dengan melakukan proses cropping

(pemotongan) citra sesuai dengan batas-batas wilayah

kajian yang telah dibuat sebelumnya. Orientasi dari

kegiatan ini bertujuan untuk memfokuskan lokasi

kajian sehingga mempermudah proses kegiatan

T

jijijijijiij CCtrCCCCtrD 1111

2

1

2

1

Page 73: NIPAH - ULMeprints.ulm.ac.id/907/7/NIPAH.pdf · 5.1. Pengertian Indikator ~ 31 5.2. Persyaratan Indikator ~ 33 5.3. Klasifikasi Indikator ~ 34 5.4. Bioindikator ~ 35 5.5. Mengapa

Eka Iriadenta | 61

interpretasi visual maupun interpretasi digital sesuai

tujuan kajian yang ingin dicapai.

Hasil klasifikasi kemudian dicek dengan data

penggunaan lahan dan pengamatan vegetasi di

lapangan terutama terhadap keberadaan dan sebaran

vegetasi Nipah. Hasil cek lapang (ground truth)

sedapat mungkin dilakukan pada obyek-obyek yang

dapat mewakili semua kelas yang ada, sehingga

informasi tutupan lahan dapat dilakukan secara mudah.

Hasil sampling obyek dicocokan menggunakan citra

inderaja yang mempunyai resolusi lebih tinggi. Pada

kajian ini dapat digunakan citra yang memadai kualitas

resolusinya seperti ALOS. Langkah selanjutnya yaitu

membuat matriks perhitungan setiap kesalahan

(confusion matrix) pada setiap jenis tutupan lahan.

Nilai reflektansi Nipah ini selanjutnya diplot pada citra

tahun-tahun sebelumnya untuk mendapatkan data

keberadaan dan sebaran Nipah pada tahun tersebut

dengan menggunakan perangkat lunak ArcGIS.

Hasil kajian pada studi kasus yang pernah dilakukan

menunjukkan hasil sebagai berikut.

1. Terdapat kecenderungan bahwa sebaran/titik lokasi

tumbuh vegetasi Nipah mengalami perubahan dari tahun

ke tahun dengan pola:

Page 74: NIPAH - ULMeprints.ulm.ac.id/907/7/NIPAH.pdf · 5.1. Pengertian Indikator ~ 31 5.2. Persyaratan Indikator ~ 33 5.3. Klasifikasi Indikator ~ 34 5.4. Bioindikator ~ 35 5.5. Mengapa

62 | Nipah Indikator Kerusakan Pesisir

- Kecenderungan pergeseran/perubahan lokasi tumbuh

semakin ke arah hulu.

- Pada sisi lain juga terjadi kecenderungan pergeseran/

perubahan lokasi tumbuh semakin ke arah hilir.

2. Beberapa lokasi pengamatan menunjukkan bahwa vegetasi

Nipah cenderung mengalami pergeseran titik tumbuh

semakin ke arah muara, disertai dengan makin

berkurangnya dan atau semakin menghilangnya jenis-jenis

vegetasi mangrove yang seharusnya berada di zonasi

terdepan.

3. Terdapat korelasi bahwa perubahan-perubahan tersebut di

atas juga diiringi dengan kasus abrasi dan kerusakan

habitat maupun vegetasi mangrove di pesisir.

4. Model yang secara kuantitatif telah dibangun

menunjukkan signifikansi yang memadai secara ilmiah

(yang akan dibahas lebih lanjut dalam buku tersendiri),

yang memberikan bukti ilmiah bahwa pemanfaatan Nipah

dengan berbagai pendekatan mampu secara kuantitatif

menjelaskan kerusakan di wilayah pesisir.

Hasil kajian ini memberikan bukti pemanfaatan Nipah

sebagai indikator kerusakan wilayah pesisir, yang dapat

ditindaklanjuti bagi pengembangan ilmu, dengan berbagai

metode ataupun model pendekatan lebih lanjut.

Page 75: NIPAH - ULMeprints.ulm.ac.id/907/7/NIPAH.pdf · 5.1. Pengertian Indikator ~ 31 5.2. Persyaratan Indikator ~ 33 5.3. Klasifikasi Indikator ~ 34 5.4. Bioindikator ~ 35 5.5. Mengapa

Nipah Indikator Kerusakan Pesisir 59

DAFTAR SINGKATAN

& GLOSSARIUM

DAFTAR SINGKATAN

ALOS : Advanced Land Observing Satellite

DAS : Daerah Aliran Sungai

et al. : et alia (dan lainnya). Hal ini digunakan dalam

penulisan formal untuk menghindari

penulisan daftar panjang nama-nama orang

yang telah menulis sesuatu bersama-sama

ETM+ : Enhanced Thematic Mapper plus ; jenis citra

dari satelit Landsat 7

FCC : False Color Composit

GPS : Global Positioning System

ha : hektar (hectare, bahasa Inggris)

LIPI : Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia

NDVI : Normalized Difference Vegetation Index

OLI : Operational Land Imager

ROI : Resampling Object Interest

RGB : Red Green Blue

Page 76: NIPAH - ULMeprints.ulm.ac.id/907/7/NIPAH.pdf · 5.1. Pengertian Indikator ~ 31 5.2. Persyaratan Indikator ~ 33 5.3. Klasifikasi Indikator ~ 34 5.4. Bioindikator ~ 35 5.5. Mengapa

60 Eka Iriadenta

SIG : Sistem Informasi Geografis

SNI : Standar Nasional Indonesia

SPOT : Systeme Pour I Observation de la Terre

TD : Transformed Divergen

TIRS : Thermal Infrared Sensor

UTM : Universal Transverse Mercator

WHO : World Health Organization

Page 77: NIPAH - ULMeprints.ulm.ac.id/907/7/NIPAH.pdf · 5.1. Pengertian Indikator ~ 31 5.2. Persyaratan Indikator ~ 33 5.3. Klasifikasi Indikator ~ 34 5.4. Bioindikator ~ 35 5.5. Mengapa

Nipah Indikator Kerusakan Pesisir 61

GLOSARIUM

Abrasi

Proses pengikisan pantai oleh tenaga gelombang laut dan

arus laut yang bersifat merusak. Abrasi biasanya disebut

juga erosi pantai. Kerusakan garis pantai akibat abrasi ini

dipacu oleh terganggunya keseimbangan alam daerah

pantai tersebut.

Analisis reflektansi

Analisis yang dilakukan untuk menentukan,

mendeterminasi suatu obyek melalui pantulan atau

pancaran gelombang elektromagnetiknya, atau setiap benda

mempunyai struktur partikel yang berbeda. Perbedaan

struktur ini mempengaruhi pola respon elektromagnetiknya,

sehingga pengenalan atas perbedaan respon

elektromagnetik tersebut dapat dijadikan landasan untuk

membedakan obyek.

Catchment area Wilayah daratan yang menerima air hujan, menampung,

dan mengalirkannya melalui satu outlet/tempat/peruntukan

dalam suatu DAS atau sub-DAS.

Citra satelit

Hasil dari pemotretan/perekaman alat sensor yang dipasang

pada wahana satelit ruang angkasa dengan ketinggian lebih

dari 400 km dari permukaan bumi.

Daerah Aliran Sungai

Wilayah daratan yang merupakan satu kesatuan dengan

sungai dan anak-anak sungainya, yang berfungsi

menampung, menyimpan, dan mengalirkan air yang

berasal dari curah hujan ke danau atau ke laut secara alami,

yang batas di darat merupakan pemisah topografis dan

batas di laut sampai dengan daerah perairan yang masih

terpengaruh aktivitas daratan.

Page 78: NIPAH - ULMeprints.ulm.ac.id/907/7/NIPAH.pdf · 5.1. Pengertian Indikator ~ 31 5.2. Persyaratan Indikator ~ 33 5.3. Klasifikasi Indikator ~ 34 5.4. Bioindikator ~ 35 5.5. Mengapa

62 Eka Iriadenta

Desalinasi

Proses penurunan atau pengurangan kadar garam terlarut

dalam air, akibat pengenceran, destilasi atau proses lainnya

sampai level tertentu sehingga nilai salinitasnya semakin

menurun menuju kondisi air tawar.

Ekosistem Suatu sistem ekologi yang terbentuk oleh hubungan timbal

balik tak terpisahkan antara makhluk hidup dengan

lingkungannya. Tatanan kesatuan secara utuh dan

menyeluruh antara segenap unsur lingkungan hidup yang

saling memengaruhi, dan merupakan penggabungan dari

setiap unit biosistem yang melibatkan interaksi timbal balik

antara organisme dan lingkungan fisik, sehingga aliran

energi menuju pada struktur biotik tertentu dan terjadi

siklus materi antara organisme dan anorganisme.

Intrusi air laut

Proses masuknya air laut ke arah daratan atau melalui

sungai di daratan, dapat terjadi melalui muara sungai.

Intrusi air laut menyebabkan air berkadar garam tinggi

bergerak masuk ke dalam aliran sungai (merubah interface)

dan dapat mengisi air tanah di sekitarnya. Air asin

memiliki kadar mineral lebih tinggi dari air tawar sehingga

massa jenisnya lebih tinggi dan tekanan air lebih besar

terhadap air tawar. Intrusi antara lain diakibatkan

menurunnya imbuhan air tawar dari daratan ke aliran

sungai akibat rusaknya hutan sebagai kawasan resapan air.

Koordinat UTM

Sistem koordinat Universal Transvers Mercator dengan

sistem WGS 84 yang sering digunakan pada pemetaan

wilayah Indonesia.

Landsat

Satelit yang dilengkapi dengan sensor untuk merekam

informasi permukaan bumi (land satellites) dan terkenal

dengan kemampuannya merekam permukaan bumi dari

Page 79: NIPAH - ULMeprints.ulm.ac.id/907/7/NIPAH.pdf · 5.1. Pengertian Indikator ~ 31 5.2. Persyaratan Indikator ~ 33 5.3. Klasifikasi Indikator ~ 34 5.4. Bioindikator ~ 35 5.5. Mengapa

Nipah Indikator Kerusakan Pesisir 63

angkasa. Pada mulanya bernama ERTS-1 (Earth Resources

Technology Satellite). Pertama kali diluncurkan tanggal 23

Juli 1972 yang mengorbit hanya sampai tanggal 6 Januari

1978. Program ini dulunya disebut Earth Resources

Observation Satellites, dimulai tahun 1966, namun diubah

menjadi Landsat pada tahun 1975. Landsat 7, diluncurkan

tanggal 15 April 1999. Landsat-7 ini dilengkapi dengan

Enhanced Thematic Mapper Plus (ETM+), yang

merupakan kelanjutan dari program Thematic Mapper

(TM) yang dibangun sejak Landsat-5. Saluran pada satelit

ini pada dasarnya adalah sama dengan 7 saluran pada TM,

namun diperluas dengan saluran 8 yaitu Pankromatik dan

merupakan saluran berresolusi tinggi yaitu seluas 15 meter.

Nipah (Nypa fruticans Wurmb)

Merupakan salah satu jenis vegetasi, bagian struktur

komunitas hutan mangrove yang biasa tumbuh mengikuti

zonasi tertentu. Secara umum nipah tumbuh pada zonasi

terakhir yang bersalinitas paling rendah (1‰-9‰) atau

paling belakang zonasi mangrove, yaitu zonasi pengaruh

terjauh air laut terhadap air tawar, atau perairan tawar yang

masih dipengaruhi oleh air laut. Nipah adalah sejenis

palem (palma) yang tumbuh di lingkungan hutan mangrove

atau daerah pasang-surut dekat tepi laut.

Pasang-surut

Fluktuasi muka air laut karena gaya tarik benda-benda

langit, terutama matahari dan bulan terhadap massa air di

bumi, atau naik dan turunnya permukaan air laut secara

periodik selama interval waktu tertentu. Pasang-surut

terjadi karena adanya interaksi antara gaya gravitasi

matahari dan bulan terhadap bumi serta gaya sentrifugal

yang ditimbulkan oleh rotasi bumi dan sistem bulan.

Pasang

Disebut juga pasang naik, merupakan persitiwa naiknya

posisi permukaan perairan atau samudera yang disebabkan

oleh pengaruh gaya gravitasi bulan dan matahari.

Page 80: NIPAH - ULMeprints.ulm.ac.id/907/7/NIPAH.pdf · 5.1. Pengertian Indikator ~ 31 5.2. Persyaratan Indikator ~ 33 5.3. Klasifikasi Indikator ~ 34 5.4. Bioindikator ~ 35 5.5. Mengapa

64 Eka Iriadenta

Pengelolaan DAS Upaya dalam mengelola hubungan timbal balik antar

sumberdaya alam terutama vegetasi, tanah dan air dengan

sumberdaya manusia di sekitar daerah aliran sungai dan

segala aktivitasnya untuk mewujudkan pemanfaatan

sumber daya alam, mendapatkan manfaat ekonomi dan jasa

lingkungan bagi kepentingan pembangunan dan kelestarian

ekosistem DAS serta kesejahteraan masyarakat.

Resolusi

Kemampuan sensor satelit mengenali obyek berdasarkan

ukurannya. Resolusi 30 m x 30 m berarti obyek yang dapat

dikenali hanya obyek yang mempunyai ukuran 30 m x 30

m, sedangkan obyek yang berukuran kurang dari 30 m x

30 m tidak dapat dikenali oleh Citra.

Salinitas

Kadar seluruh ion – ion yang terlarut dalam air dengan

komposisi didominasi oleh ion – ion tertentu seperti

klorida, karbonat, bikarbonat, sulfat, natrium, kalsium dan

magnesium.

Sungai

Alur atau wadah air alami dan/atau buatan berupa jaringan

pengaliran air beserta air di dalamnya, mulai dari hulu

sampai muara, dengan dibatasi kanan dan kiri oleh garis

sempadan.

Temporal

Berhubungan atau mengenai waktu. Merupakan relasi

temporal apabila dalam bagian kalimat yang satu diberikan

keterangan waktu yakni berkenaan dengan waktu-waktu

tertentu.

Page 81: NIPAH - ULMeprints.ulm.ac.id/907/7/NIPAH.pdf · 5.1. Pengertian Indikator ~ 31 5.2. Persyaratan Indikator ~ 33 5.3. Klasifikasi Indikator ~ 34 5.4. Bioindikator ~ 35 5.5. Mengapa

Nipah Indikator Kerusakan Pesisir 69

DAFTAR PUSTAKA

Arifin, S., E. Iriadenta, A. Karim. 2007. Pemetaan kawasan

hutan mangrove Kabupaten Tanah Laut. Kerjasama

Fakultas Perikanan Unlam - Dinas Perikanan dan

Kelautan Kabupaten Tanah Laut. Pelaihari. pp.217.

Arifin, S., E. Iriadenta, J. Akbar, A. Karim. 2006. Studi

tingkat kerusakan hutan mangrove di pesisir

Kabupaten Tanah Laut. kerjasama Fakultas Perikanan

Unlam - Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten

Tanah Laut. Pelaihari. pp.198.

Balai Rehabilitasi Lahan dan Konservasi Tanah Riam

Kanan. 2000. Kajian kerusakan hutan mangrove di

kawasan pesisir Kalimantan Selatan. Banjarbaru.

pp.57.

Bengen, D. G. 2000. Pedoman teknis pengenalan dan

pengelolaan ekosistem mangrove. PKPSL – IPB.

Bogor. p.58-60.

Blasco, F., T. Gauquelin, M. Rasolofoharinoro, J. Denis,

M. Aizpuru and Caldairou, V. 1998. Recent advances

in mangrove studies using remote sensing data. Mar.

Freshwater Res. 49:287–96.

Blasco, F., Saenger, P. and Janodet, E. 1996, Mangroves

as indicators of coastal change. ePublications@SCU.

Southern Cross University. Australia. 27 (3-4):

167-178.

Page 82: NIPAH - ULMeprints.ulm.ac.id/907/7/NIPAH.pdf · 5.1. Pengertian Indikator ~ 31 5.2. Persyaratan Indikator ~ 33 5.3. Klasifikasi Indikator ~ 34 5.4. Bioindikator ~ 35 5.5. Mengapa

70 Eka Iriadenta

Beatley, T. 1994. An Introduction to Coastal Zones

Management. Island Press. Washington DC.

Bogdan, R. C., and Biklen, S. K. 1998. Qualitative research

for education: An introduction to theory and methods

(3rd ed.). Boston: Allyn and Bacon.

Bird, E.C.F. 1969. Coast and Introduction to Systematic

Geomorphology. Volume Four. Cambridge : The

M.I.T Press.

Clark, J.R., Ed., 1991. The Status of Integrated Coastal

Zone Management: A Global Assessment.

CAMPNET, University of Miami/RSMAS, Miami,

Florida. 118p.

Dahuri, R., J. Rais, S.P. Ginting, M.J. Sitepu. 1996.

Pengelolaan sumberdaya wilayah pesisir dan lautan

secara terpadu. PT. Pradnya Paramita. Jakarta. pp.

464.

Danoedoro, P. 1996. Pengolahan citra digital. Teori dan

aplikasinya dalam bidang penginderaan jauh.

Fakultas Geografi Universitas Gadjah Mada.

Yogyakarta. pp. 125.

Edward. 1995. Kualitas Perairan Waisarisa dan Sumber

Daya Perikanan. Jurnal Pusat Studi Lingkungan

Perguruan Tinggi Seluruh Indonesia. 15 (4): 53, 60.

Graha, Y. I., Hidayah, Z., Nugraha, W.A. 2009.

Penentuan kawasan lahan kritis hutan mangrove di

pesisir Kecamatan Modung memanfaatkan teknologi

Sistem informasi geografis dan penginderaan jauh.

Page 83: NIPAH - ULMeprints.ulm.ac.id/907/7/NIPAH.pdf · 5.1. Pengertian Indikator ~ 31 5.2. Persyaratan Indikator ~ 33 5.3. Klasifikasi Indikator ~ 34 5.4. Bioindikator ~ 35 5.5. Mengapa

Nipah Indikator Kerusakan Pesisir 71

Jurnal KELAUTAN,2009: 2(2) : 6-14.

Gastellu, J.P. 1987. Radar remote sensing for vegetation

with special reference to nipah delineation on SIR-A

image. Indonesian J. Geogr. 1987: 17: 1-23.

Heyne, K. 1987. Tumbuhan berguna Indonesia. Jilid 3.

Cetakan ke-I. Badan Litbang Departemen Kehutanan.

Jakarta. p. 1852.

Iriadenta, E., 2003. Faktor-faktor penyebab akselerasi

degradasi kawasan estuari di Kabupaten Tanah Laut.

Fak. Perikanan Unlam - Ditbinlitabmas Depdiknas.

Banjarbaru. pp.203.

Iriadenta, E. 2001. Strategi implementasi perencanaan dan

pengelolaan kawasan pesisir kalimantan selatan

secara terpadu (implementation strategics for South

Kalimantan’s integrated coastal zone planning and

management). Ziraa’ah. 2001: 2: 56 – 62.

Jensen, R., Mausel, P., Dias, N., Gonser, R., Yang, C.,

Everitt, J. and Fletcher, R. 2007. Spectral analysis of

coastal vegetation and land cover using AISA+

hyperspectral data. Publications from USDA-ARS /

UNL Faculty. Paper 610.

http://digitalcommons.unl.edu/usdaarsfacpub/610.

Jensen, J.R., 2000. Remote sensing of the environment: an

earth resource perspective. Prentice Hall, Upper

Saddle River, New Jersey, 544 p.

Kehati. 2009. Detil data Nypafruticans Wurmb.

www.kehati.or.id. Diakses 27 Agustus 2011.

Page 84: NIPAH - ULMeprints.ulm.ac.id/907/7/NIPAH.pdf · 5.1. Pengertian Indikator ~ 31 5.2. Persyaratan Indikator ~ 33 5.3. Klasifikasi Indikator ~ 34 5.4. Bioindikator ~ 35 5.5. Mengapa

72 Eka Iriadenta

Kay, R., dan J. Alder. 1999. Coastal Planning and

Management. E&FN Spon. London.

Liang, S. 2004. Quantitative remote sensing of land

surface. John Willey & Sons, Inc, New Jersey.

pp.423.

Liang YM, Hazlett DL, Lauenroth WK. 1989. Biomass

dynamics and water use efficiencies of five plant

communities in the shortgrass steppe. Oecologia

1989: 80: 148-153.

Linsley, R. K., Kohler, A. Max, and J.L.H., Paulus. 1980.

Applied hydrology. New York. McGraw-Hill Book

Co. p. 444-454.

Lumb, A.M., and R.K., Linsley. 1971. Hydrologie

consequences of rainfall augmentation. Hydraul. Div.

Amer. Soc. Civ. Engrs. 1971:97:1065-1080.

Mahida, U.N. 1993. Pencemaran Air dan Pemanfaatan

Limbah Industri. Edisi Keempat. PT. Rajawali

Grafindo. Jakarta.

Odum, E.P. 1996. Dasar-Dasar Ekologi. Edisi ke-3.

Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. 24.

pp.563.

Rahman, A., Projo, D., Pramono, H., 2011. Analisis

campuran spektral secara linier (LSMA) Citra Terra

Modis untuk kajian estimasi limpasan permukaan.

(Studi Kasus Sub DAS Riam Kanan dan Sekitarnya).

Tesis. Penerbit Fakutas Geografi Universitas

Gadjah Mada. pp. 209.

Page 85: NIPAH - ULMeprints.ulm.ac.id/907/7/NIPAH.pdf · 5.1. Pengertian Indikator ~ 31 5.2. Persyaratan Indikator ~ 33 5.3. Klasifikasi Indikator ~ 34 5.4. Bioindikator ~ 35 5.5. Mengapa

Nipah Indikator Kerusakan Pesisir 73

Rustiyawatie, A., Dharmono, H. Hardiansyah, 2009.

Identifikasi dan kerapatan udang di bawah tumbuhan

nipah kawasan mangrove Desa Swarangan

Kecamatan Jorong Kabupaten Tanah Laut. Jurnal

Wahana-Bio. Volume I Juni 2009; 50-60.

Ratih, D., Arief, M., Maulana, T. 1998. Degradasi tingkat

kerapatan kanopi mangrove di Delta Brantas

menggunakan analisis NDVI data Landsat

multitemporal. Warta Inderaja. MAPIN /ISRS. 9 (2) :

35-41.

Robertson, A.I., Daniel, P.A., Dixon, P. 1991. Mangrove

forest structure and productivity in the Fly River

estuary, Papua New Guinea. Marine Biology.

1991;111:147–155.

Samad, A. Bambang, A.N., Afiaati, N. 2013. Coastal

people activity on mangrove forest rehabilitation in

Mahakam estuary. Internat. J. Waste Resources,

3(1):34-39.

Supriharyono, 2000. Pelestarian dan pengelolaan sumber

daya alam di wilayah pesisir tropis. PT. Gramedia

Pustaka Utama. Jakarta. pp.248.

Sutanto. 1994. Penginderaan jauh. Gadjah Mada University

Press. P.O.Box 14 Bulaksumur, Yogyakarta

Sutanto, 1986. Penginderaan jauh Jilid I. Penerbit Gadjah

Mada University Press. Yogyakarta. pp.253.

Short, N. M. 1982. The Landsat tutorial workbook —

Basics of Satellite Remote Sensing. Greenbelt, Md.,

Page 86: NIPAH - ULMeprints.ulm.ac.id/907/7/NIPAH.pdf · 5.1. Pengertian Indikator ~ 31 5.2. Persyaratan Indikator ~ 33 5.3. Klasifikasi Indikator ~ 34 5.4. Bioindikator ~ 35 5.5. Mengapa

74 Eka Iriadenta

Goddard Space Flight Center, NASA Reference

Publication 1078.

Soegiarto A. 1976. Pedoman Umum Pengelolaan Wilayah

Pesisir. Lembaga Oseanologi Nasional, Jakarta.

Vaiphasa C., Skidmore A.K., de Boer W.F., Vaiphasa T.

2007. A hyperspectral band selector for plant species

discrimination. ISPRS J. Photogram. Remote Sens.

2007:62:225–235.

WHO, 2003. Total Dissolved Solids in drinking-water.

Background document for development of WHO

guidelines for drinking-water quality. Geneva.

WHO/SDE/WSH/03.04/16.

Yu, Q., P. Gong, N. Clinton, G. Biging, M. Kelly, D.

Schirokauer. 2006. Object based detailed vegetation

classification with airborne high spatial resolution

remote sensing imagery. Photogrammetric

Engineering and Remote Sensing. 2006:72:799-811.

Page 87: NIPAH - ULMeprints.ulm.ac.id/907/7/NIPAH.pdf · 5.1. Pengertian Indikator ~ 31 5.2. Persyaratan Indikator ~ 33 5.3. Klasifikasi Indikator ~ 34 5.4. Bioindikator ~ 35 5.5. Mengapa

Nipah Indikator Kerusakan Pesisir 75

INDEKS

A

Abrasi, 10-11, 27, 37,58

ALOS, 57

ArcGIS, 57

C

Citra, 36, 38, 40-41, 42, 46-49, 51-53, 56-57

D

Definisi, 2-3, 6-7, 21, 29, 30

Degradasi, 1, 3-5, 10, 19, 28, 45

E

Ecotone, 8

Ekosistem, 9, 15, 18-20

Evaluasi, 4, 12, 30, 33, 37

H

Habitat, 2-3, 10, 13, 15-16, 18, 21, 25, 27, 34-35, 47, 48,

58

I

Inderaja, 4, 36 38 57

Indikator, 3-5, 28-33, 37, 45

Bioindikator, 1, 4, 13, 33-34, 37

L

Laut, 6-9, 11-12, 15-16, 18, 22, 26-27, 35, 38-39

Lingkungan, 2-3, 5, 9, 11-13, 18-19, 21

M

Mangrove, 2, 10-11, 14-20, 24-27, 35-36, 38-42, 45

Page 88: NIPAH - ULMeprints.ulm.ac.id/907/7/NIPAH.pdf · 5.1. Pengertian Indikator ~ 31 5.2. Persyaratan Indikator ~ 33 5.3. Klasifikasi Indikator ~ 34 5.4. Bioindikator ~ 35 5.5. Mengapa

76 Eka Iriadenta

Mitigasi, 1, 5

N

Nipah 1-5, 13-14, 23-29, 34-40, 43, 45-54, 57

P

Pengelolaan, 1-5, 9, 12-14, 17-18, 20-22, 37

Pesisir, 1-22, 24, 26-28, 34, 37-38, 40, 45

R

Reflektansi, 36, 39, 41-43, 45-50, 53, 57

S

Salinitas, 16, 18, 35

Satelit, 36, 40, 43, 46, 51

SIG, 4, 25, 35-40, 56

T

Terpadu, 9, 20, 22, 38

Transisi, 8, 26

V

Vegetasi, 3,14, 19, 25-26, 34-35, 41, 51-53, 57

Z

Zona, 8, 20, 22, 25-27

Page 89: NIPAH - ULMeprints.ulm.ac.id/907/7/NIPAH.pdf · 5.1. Pengertian Indikator ~ 31 5.2. Persyaratan Indikator ~ 33 5.3. Klasifikasi Indikator ~ 34 5.4. Bioindikator ~ 35 5.5. Mengapa

Eka Iriadenta | 77

TENTANG PENULIS

EKA IRIADENTA. Pria yang lahir di

Surakarta pada bulan Agustus ini sejak

tahun 1993 sampai sekarang bekerja

sebagai tenaga edukatif pada Fakultas

Perikanan dan Kelautan Univer-sitas

Lambung Mangkurat (UNLAM).

Selain pernah mengajar di beberapa

program studi serta beberapa lembaga

pendidikan (kursus) juga mengajar di Program Pasca

Sarjana. Lulus pendidikan S-1 pada Jurusan Manajemen

Sumberdaya Perairan Fakultas Perikanan UNLAM tahun

1991, dan menjadi tenaga pengajar pada kampus tersebut

karena mendapatkan Beasiswa Ikatan Dinas. Tahun 1998

lulus pendidikan Magister Sains Ilmu Lingkungan di

Universitas Gadjah Mada dan mendapat gelar Doktor pada

Program Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan

di Universitas Brawijaya pada tahun 2015.

Pada tahun 2006 menjabat Sekretaris Program Studi

Manajemen Sumberdaya Perairan Fakultas Perikanan dan

Kelautan UNLAM, dan tahun 2009 dipercaya sebagai

Ketua Program Studi tersebut. Sejak tahun 2009 hingga

2015 merintis pendirian sekaligus menjabat sebagai Kepala

Pusat Pengembangan Karir (Career Development Center)

UNLAM setelah sebelumnya mendirikan Pusat Informasi

Pengembangan Bisnis dan Penempatan Kerja dengan dana

DIKTI selama 3 tahun.

Mata kuliah yang pernah diampunya selain

Manajemen Lingkungan Pesisir (yang sebagian materinya

dibukukan berjudul Nipah Indikator Degradasi Kawasan

Pesisir ini) juga mengampu mata kuliah Ekologi Rawa,

Manajemen Sumberdaya Perairan, Manajemen Kualitas

Air, Hidroklimatologi, Pengolahan Data Perikanan,

Page 90: NIPAH - ULMeprints.ulm.ac.id/907/7/NIPAH.pdf · 5.1. Pengertian Indikator ~ 31 5.2. Persyaratan Indikator ~ 33 5.3. Klasifikasi Indikator ~ 34 5.4. Bioindikator ~ 35 5.5. Mengapa

78 | Nipah Indikator Kerusakan Pesisir

Inderaja dan SIG Perairan, Manajemen Valuasi

Lingkungan Perairan, serta Pengelolaan Sumberdaya Alam

dan Lingkungan pada Program Pasca Sarjana dengan

membuat CD Pembelajaran serta Buku Ajar.

Page 91: NIPAH - ULMeprints.ulm.ac.id/907/7/NIPAH.pdf · 5.1. Pengertian Indikator ~ 31 5.2. Persyaratan Indikator ~ 33 5.3. Klasifikasi Indikator ~ 34 5.4. Bioindikator ~ 35 5.5. Mengapa

UU NN LL AA MM PP RR EE SS SS