Nilai profetik dalam kumpulan cerpen Pelajaran Pertama ...

19
321 SENASBASA (4) (2020) (E-ISSN 2599-0519) PROSIDING SEMINAR BAHASA DAN SASTRA INDONESIA (SENASBASA) http://research-report.umm.ac.id/index.php/SENASBASA Nilai profetik dalam kumpulan cerpen Pelajaran Pertama Bagi Calon Politisi Karya Kuntowijoyo sebagai bentuk ekspresi pendidikan karakter di masa pandemi Muhammad Jalalludin Pascasarjana, Universitas Negeri Jakarta [email protected] Info Artikel Abstrak Sejarah Artikel Diterima 29/9/2020 Direvisi 25/10/2020 Dipublikasikan 27/10/2020 Penelitian ini bertujuan mengetahui nilai profetik dalam kumpulan cerpen Pelajaran Pertama Bagi Calon Politisi karya Kuntowijoyo sebagai bentuk ekspresi dalam upaya penanaman pendidikan karakter dalam pembelajaran daring di masa pandemi. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode analisis isi model Philipp Mayring kategori deduktif. Objek penelitiannya adalah dua sampel cerpen yang diambil menggunakan metode sampel acak sederhana (simple random sampling). Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa kumpulan cerpen Pelajaran Pertama bagi Calon Politisi karya Kuntowijoyo memiliki nilai-nilai profetik, yakni: (1) humanisasi sebagai bentuk perlawanan dari dehumanisasi yang membentuk manusia mesin, manusia dan masyarakat massa, dan budaya massa yang berpikir dan bertindak tidak berdasarkan akal sehat, nilai dan norma; (2) liberasi sebagai bentuk perlawanan dari segala bentuk penindasan, baik penindasan politik, penindasan negara, ketidakadilan ekonomi dan ketidakadilan gender; dan (3) transendensi yang merupakan bentuk dari kesadaran ketuhanan atau sesuatu yang melampaui keterbatasan manusia serta adanya pemahaman dan penafsiran Al- Qur’an atas realitas. Kata Kunci: Nilai Profetik, Cerpen, Humanisasi, Liberasi, Transendensi This study aims to determine the prophetic value in Kuntowijoyo's short story collection with the title; Pelajaran Pertama Bagi Calon Politisi as a form of expression to cultivate character education through online learning during the pandemic. This study used a qualitative approach with the content analysis method of the deductive Philipp Mayring model. The object of the research was two samples of short stories which were taken by using the simple random sampling method. Based on the results of the study, it is known that the collection of short stories; Pelajaran Pertama Bagi Calon Politisi by Kuntowijoyo has three following prophetic values, they are: (1) humanization as a form of resistance toward dehumanization that forms human machines, humans, mass society, mass culture that thinks and

Transcript of Nilai profetik dalam kumpulan cerpen Pelajaran Pertama ...

Page 1: Nilai profetik dalam kumpulan cerpen Pelajaran Pertama ...

321

SENASBASA (4) (2020) (E-ISSN 2599-0519)

PROSIDING SEMINAR

BAHASA DAN SASTRA INDONESIA (SENASBASA)

http://research-report.umm.ac.id/index.php/SENASBASA

Nilai profetik dalam kumpulan cerpen Pelajaran Pertama Bagi Calon Politisi Karya Kuntowijoyo sebagai bentuk ekspresi pendidikan karakter di masa pandemi

Muhammad Jalalludin

Pascasarjana, Universitas Negeri Jakarta [email protected]

Info Artikel Abstrak

Sejarah Artikel Diterima 29/9/2020 Direvisi 25/10/2020 Dipublikasikan 27/10/2020

Penelitian ini bertujuan mengetahui nilai profetik dalam kumpulan cerpen Pelajaran Pertama Bagi Calon Politisi karya Kuntowijoyo sebagai bentuk ekspresi dalam upaya penanaman pendidikan karakter dalam pembelajaran daring di masa pandemi. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode analisis isi model Philipp Mayring kategori deduktif. Objek penelitiannya adalah dua sampel cerpen yang diambil menggunakan metode sampel acak sederhana (simple random sampling). Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa kumpulan cerpen Pelajaran Pertama bagi Calon Politisi karya Kuntowijoyo memiliki nilai-nilai profetik, yakni: (1) humanisasi sebagai bentuk perlawanan dari dehumanisasi yang membentuk manusia mesin, manusia dan masyarakat massa, dan budaya massa yang berpikir dan bertindak tidak berdasarkan akal sehat, nilai dan norma; (2) liberasi sebagai bentuk perlawanan dari segala bentuk penindasan, baik penindasan politik, penindasan negara, ketidakadilan ekonomi dan ketidakadilan gender; dan (3) transendensi yang merupakan bentuk dari kesadaran ketuhanan atau sesuatu yang melampaui keterbatasan manusia serta adanya pemahaman dan penafsiran Al-Qur’an atas realitas.

Kata Kunci: Nilai Profetik, Cerpen, Humanisasi, Liberasi, Transendensi

This study aims to determine the prophetic value in Kuntowijoyo's short story collection with the title; Pelajaran Pertama Bagi Calon Politisi as a form of expression to cultivate character education through online learning during the pandemic. This study used a qualitative approach with the content analysis method of the deductive Philipp Mayring model. The object of the research was two samples of short stories which were taken by using the simple random sampling method. Based on the results of the study, it is known that the collection of short stories; Pelajaran Pertama Bagi Calon Politisi by Kuntowijoyo has three following prophetic values, they are: (1) humanization as a form of resistance toward dehumanization that forms human machines, humans, mass society, mass culture that thinks and

Page 2: Nilai profetik dalam kumpulan cerpen Pelajaran Pertama ...

322

acts not based on common sense, values, and norms; (2) liberation as a form of resistance from all forms of oppression, both political oppression, state oppression, economic injustice, and gender injustice; and (3) transcendence which is a form of divine consciousness or something that transcends human limitations as well as the understanding and interpretation of the Al-Qur'an on reality.

PENDAHULUAN

Dewasa ini masyarakat dunia sedang menghadapi pandemi yang sangat mengkhawatirkan, tak terkecuali di Indonesia. Sejak masuk di pertengahan Maret 2020, setidaknya total infeksi Covid-19 di Indonesia telah mencapai angka 300.000 lebih kasus dan kemungkinan masih akan bertambah. Kondisi tersebut memaksa pemerintah Indonesia membuat kebijakan-kebijakan khusus untuk merumahkan berbagai bentuk aktivitas di berbagai sektor, satu di antaranya adalah sekolah. Sekolah yang merupakan tempat belajar bagi siswa pun kini sepi karena seluruh aktivitas pembelajaran siswa dilakukan secara daring di rumah.

Pembelajaran daring yang terkesan dipaksakan oleh kondisi pun akhirnya menimbulkan berbagai permasalahan baru. Keterbatasan perangkat, beban biaya kuota internet, dan minimnya pengawasan orang tua menjadi permasalahan yang utama dalam pelaksanaan pembelajaran ini. Berbagai upaya telah dilakukan untuk mendukung efektivitas pembelajaran daring. Akan tetapi, kehadiran guru sebagai pendidik tetap tidak tergantikan oleh pesan-pesan melalui aplikasi maupun pertemuan secara daring.

Kejenuhan dan berbagai penyimpangan kerap mewarnai proses pembelajaran daring. Kejenuhan disebabkan manajemen tugas yang buruk dari guru kepada siswa, yang membuat siswa tertekan dengan banyaknya tugas yang diberikan kepadanya. Sedangkan, penyimpangan terjadi akibat minimnya kontrol kepada siswa selama pembelajaran berlangsung. Siswa tentunya dapat dengan mudah membuka berbagai aplikasi, baik game, media sosial, youtube, bahkan situs-situs yang tidak layak untuknya. Hal ini harus menjadi perhatian khusus bagi pemerintah, penyelenggara pendidikan, dan guru. Pembiasaan adab dan penanaman karakter menjadi sangat penting agar siswa bisa membawa dirinya secara mandiri dan penuh tanggung jawab selama pembelajaran daring.

Satu di antara upaya penanaman pendidikan karakter adalah dengan karya sastra. Karya sastra mampu memperkaya kehidupan rohaniah atau pengalaman batin siswa. Hal ini disebabkan karya sastra lahir akibat dorongan keinginan dasar manusia. Keinginan dasar itu antara lain: keinginan mengungkapkan ide, mengungkapkan apa yang disaksikan dalam kehidupan, apa yang dialami terutama pada segi-segi yang menarik.

Pendapat tersebut dikuatkan dengan pandangan Teeuw (dalam Sumardi, 2012) yang menegaskan bahwa karya sastra ingin membebaskan hati manusia dari kebekuan, kegersangan, dan kegetasan karena karya sastra datang untuk memperluas cakrawala kehidupan, menawarkan nilai-nilai kemanusiaan, dan untuk menghibur. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa karya merupakan sesuatu yang bermanfaat bagi kehidupan siswa karena dengan karya sastra siswa akan memperoleh sesuatu yang dapat memperkaya wawasan dan meningkatkan harkat hidupnya.

Menurut Utami, Boeriswati, dan Zuriyati (2018) salah satu tujuan pembelajaran sastra adalah menumbuh kembangkan kepekaan terhadap masalah-masalah manusiawi, baik dalam konteks individual maupun kehidupan sosial. Misi tersebut sejalan dengan tujuan pembelajaran bahasa Indonesia yang tertulis dalam Permendiknas nomor 22 tahun 2006 yakni, pembelajaran bahasa Indonesia bertujuan untuk menikmati dan

Page 3: Nilai profetik dalam kumpulan cerpen Pelajaran Pertama ...

323

memanfaatkan karya sastra untuk memperluas wawasan, memperhalus budi pekerti, meningkatkan kemampuan berbahasa. Siswa pun juga diarahkan untuk dapat menghargai dan membanggakan hasil karya sastra Indonesia sebagai khasanah budaya dan intelektual manusia Indonesia.

Namun, dengan semakin berkembangnya karya sastra populer, guru harus mampu memilih karya sastra yang tepat yang dapat dijadikan sebagai media pembelajaran untuk siswa. Mengingat saat ini marak perilaku-perilaku negatif masyarakat yakni sikap anarkisme, radikalisme, pergaulan bebas, tawuran pelajar, penyalahgunaan narkoba, dan lain sebagainya. Perilaku tersebut tentunya disebabkan masyarakat seringkali disuguhkan dengan berbagai tayangan yang tidak senonoh, penuh sadisme, kekerasan, dan fanatisme kelompok secara berlebihan, baik berupa film, iklan, video klip, tayangan berita, internet, bacaan atau artikel, dan sebagainya.

Menanggapi permasalahan tersebut, Hilmy (2012) menganggap bahwa urgensi memunculkan kembali kesadaran profetik dalam ruang keberagamaan kita didasari pada sejumlah fenomena kehidupan yang makin menjauh dari semangat kenabian Muhammad, seperti kekerasan, terorisme, kriminalitas, kemiskinan, kebodohan dan pembodohan, ketidakadilan dan ketertindasan, despotisme dan keangkuhan, hedonisme dan pemberhalaan duniawi, dan semacamnya.

Lebih lanjut Hadi (dalam Efendi, 2012) menjelaskan bahwa sastra yang memiliki semangat profetik adalah sastra yang tampil untuk selalu mengingatkan manusia akan Tuhannya, keberadaan manusia di hadapan Tuhan, dan kesanggupan manusia menerima petunjuk Tuhan. Karya sastra profetik juga dapat dikatakan sebagai karya sastra yang tidak hanya mengacu ke bumi, tetapi juga mengacu ke langit. Artinya, karya sastra profetik berusaha mengemukakan sesuatu yang hakiki, yang berkaitan dengan realita kehidupan.

Sastra profetik ditemukan Kuntowijoyo dalam Al-Quran, yakni pada surat Ali Imran ayat 110, yang kemudian disebut sebagai etika profetik. Kuntowijoyo (2013) membagi etika profetik ke dalam tiga hal, yaitu ‘amar ma’ruf (menyuruh kebaikan, humanisasi), nahi munkar (mencegah kemungkaran, liberasi), dan tu’minuna billah (beriman pada Tuhan, transendensi).

Masrifatin (2012) menambahkan bahwa selain itu dalam ayat tersebut juga terdapat empat konsep, yakni: (1) konsep tentang umat terbaik (the chosen people); (2) aktivisme atau praksisme gerakan sejarah; (3) pentingnya kesadaran; dan (4) etika profetik. Konsep pertama berbicara tentang umat Islam sebagai umat terbaik harus mengerjakan tiga hal sebagaimana disebutkan dalam surat Ali Imran ayat 110 karena umat Islam tidak begitu saja menjadi the chosen people tanpa menerima tantangan untuk bekerja keras dan ber-fastabiqul khairat. Konsep kedua membahas bahwa yang ideal bagi Islam adalah keterlibatan umat dalam percaturan sejarah. Konsep ketiga menekankan bahwa nilai-nilai profetik harus selalu menjadi landasan rasionalitas nilai bagi setiap praksisme gerakan dan membangun kesadaran umat Islam. Konsep keempat mengandung etika yang berlaku untuk siapa saja dan ini merupakan konsekuensi logis dari tiga kesadaran yang telah dibangun sebelumnya.

Ketiga hal tersebutlah yang menjadi etika profetik yang mendasari gerakan sastra profetik yang diusung oleh Kuntowijoyo. Menurut Hadi (2004) sastra profetik merupakan sastra yang tampil untuk selalu mengingatkan manusia atau pembacanya kepada Tuhan dan menghayati petunjuk-petunjuk-Nya. Sastra profetik juga berfungsi memberi pencerahan dan menyadarkan bahwa manusia adalah makhluk theomorfis. Di samping itu, sastra profetik bertujuan untuk merealisasi sifat-sifat ketuhanan dalam diri manusia serta mengingatkan bahwa perjalanan hidup ini juga merupakan perjalanan kerohanian. Senada dengan hal tersebut, Imron (2005) mengatakan bahwa sastra profetik yang disampaikan Kuntowijoyo ini merupakan suatu upaya mewujudkan keinginan meniru Nabi yang rahmah li al-‘alamin

Page 4: Nilai profetik dalam kumpulan cerpen Pelajaran Pertama ...

324

(rahmat bagi alam semesta) sekaligus sebagai uswah al-hasanah (teladan yang baik). Meniru akhlak Nabi bagi Kuntowijoyo adalah cara paling benar dalam mengabdi kepada Allah.

Ketiga nilai profetik tersebut sangatlah lekat kaitannya dengan dunia pendidikan. Menurut Fuadi (2016) nilai-nilai profetik Kuntowijoyo mencerminkan proses pendidikan dengan klasifikasinya, humanisasi merupakan kegiatan yang mampu mengembangkan psikomotorik dan rasa kepedulian sosial. Kemudian, liberasi merupakan pendidikan akal pikiran dan transendensi merupakan pendidikan hati nurani yang melambung karena akidah serta pengalaman spiritual. Oleh karena itu, dari berbagai permasalahan yang berkembang saat ini, pengaktualan tiga etika profetik diharapkan dapat menjadi penawar kegalauan kondisi zaman yang mendera generasi bangsa saat ini dan masa mendatang.

Dalam konteks pendidikan, humanisasi ini berarti pendidikan yang mengajarkan anti-kekerasan. Sebuah konsep pendidikan yang mampu membangun kepribadian manusia yang berkarakter terbuka, manusiawi, dan memiliki kesadaran yang tinggi ketika harus menghadapi realitas yang diliputi bertumpuk persoalan (Susanto dalam Masduki, 2011). Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa humanisasi dalam pendidikan berarti keseluruhan unsur dalam pendidikan yang merepresentasikan keutuhan manusia dan membantu manusia menjadi lebih manusiawi.

Adapun menurut Roqib (2014) nilai humanisasi jika dikontekstualisasikan dalam pendidikan maka akan membentuk peserta didik yang mampu: (1) menjaga persaudaraan sesame meski berbeda agama, keyakinan, status sosial-ekonomi, dan tradisi; (2) memandang seseorang secara total meliputi aspek fisik dan psikisnya; (3) menghindari berbagai bentuk kekerasan; dan (4) membuang jauh sifat kebencian.

Jika mengambil konteks dalam pendidikan, liberasi dapat berperan sebagai praktik kebebasan. Sebagaimana disampaikan Khan (2002) bahwa sesungguhnya pendidikan Islam sebagai sarana transformasi nilai-nilai keislaman juga seharusnya mampu memproses manusia-manusia pembebas. Dengan demikian, dapatlah dikatakan bahwa pendidikan dalam Islam juga berperan sebagai praktik pembebasan.

Adapun, nilai liberasi menurut Roqib (2014) jika dipraktikkan dalam pendidikan maka akan mampu membentuk peserta didik yang: (1) memihak kepada kepentingan rakyat atau wong cilik; (2) menegakkan keadilan, kebenaran, dan kesejahteraan; dan (3) selalu berupaya untuk memberantas kebodohan dan keterbelakangan sosial-ekonomi (kemiskinan).

Selanjutnya, menurut Roqib (2014) secara kontekstual nilai transendensi dalam pendidikan akan menyiapkan peserta didik yang ideal, yakni: (1) mengakui adanya kekuatan supranatural, yaitu Tuhan; (2) mendekatkan diri dan ramah dengan lingkungan karena ada pemaknaan bahwa alam adalah bagian dari alat tasbih kepada Allah; (3) selalu berusaha untuk memperoleh kebaikan Tuhan dengan menyerap asma-Nya yang baik untuk diriilkan dalam kehidupan; (4) memahami suatu kejadian dengan pendekatan keghaiban, bahwa ada banyak hal ghaib yang tidak terjangkau oleh indra manusia dan ke depan juga masih ada lagi alam ghaib; (5) mengaitkan kejadian di dunia ini dengan ajaran kitab suci; (6) melakukan sesuatu disertai harapan untuk mendapatkan pahala dan kebahagiaan di hari akhir; (7) menerima berbagai masalah hidup dengan tabah karena ada harapan balasan baik di akhirat.

Dalam penelitian ini, penulis mengkaji kumpulan cerpen Pelajaran Pertama bagi Calon Politisi karya Kuntowijoyo yang memuat 15 cerpen yang ditulis dan dipublikasikannya di harian Kompas pada pertengahan tahun 1990-an sampai awal 2000-an. Kumpulan cerpen Kuntowijoyo ini dapat digolongkan menjadi dua bagian. Pertama adalah cerpen-cerpen yang bisa dikatakan memiliki kandungan komentar sosial. Kedua adalah cerpen yang mengisahkan hal-hal sepele, tetapi terkandung di dalamnya dimensi kedalaman yang menyentuh. Oleh karena itu, penulis sangat tertarik untuk menganalisis nilai profetik yang terdapat dalam kumpulan cerpen Pelajaran Pertama bagi Calon Politisi yang merupakan

Page 5: Nilai profetik dalam kumpulan cerpen Pelajaran Pertama ...

325

puncak karya seorang sastrawan sekaligus sejarawan yang notabenenya penggagas sastra profetik. METODE

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode analisis isi model Philipp Mayring kategori deduktif untuk mengetahui nilai-nilai profetik dalam kumpulan cerpen Pelajaran Pertama bagi Calon Politisi karya Kuntowijoyo. Objek penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah 15 cerpen Kuntowijoyo yang termuat dalam kumpulan cerpennya Pelajaran Pertama bagi Calon Politisi dengan pengambilan sampel sebanyak 15%, yaitu 2 cerpen.

Teknik pengumpulan data yang dilakukan oleh peneliti, yakni: (1) menentukan sampel 15% dari 15 cerpen dalam kumpulan cerpen Pelajaran Pertama bagi Calon Politisi karya Kuntowijoyo; (2) membaca cerpen-cerpen yang telah ditentukan menjadi sampel; (3) menganalisis nilai-nilai profetik pada sampel; (4) memasukan data kutipan ke dalam tabel analisis; (5) mengelompokkan data kutipan berdasarkan kriteria analisis; (6) mendeskripsikan data kutipan yang mengandung nilai profetik.

Setelah data terkumpul, langkah yang dilakukan dalam teknik analisis data adalah: (1) menganalisis nilai-nilai profetik yang terdapat pada sampel dengan menandai kalimat atau paragraf yang sesuai fokus penelitian; (2) memasukkan data kutipan yang telah ditemukan ke dalam tabel analisis; (3) mengelompokkan data hasil analisis sesuai dengan kriteria analisis; (4) mendeskripsikan data kutipan yang mengandung nilai profetik. HASIL DAN PEMBAHASAN Cerpen Tawanan

Cerpen Tawanan menceritakan tentang tokoh saya sebagai seorang Letnan yang ditugaskan memimpin pasukan tentara untuk membantu satuan-satuan yang lebih besar dalam operasi penumpasan G-30-S/PKI (Gerakan Tiga Puluh September/Partai Komunis Indonesia) yang membangun ruba-ruba (rumah bawah tanah) di lereng Gunung Merapi sebelah timur laut.

Sebagai seorang sastrawan yang sekaligus sejarawan, Kuntowijoyo mampu mengangkat isu yang menarik dan menantang terkait gerakan pemberontakan PKI yang dikenal sebagai peristiwa G-30-S/PKI di Yogyakarta. Pemunculan tokoh-tokoh dalam cerpen ini secara alami dikemas oleh Kuntowijoyo sebagai penggerak sejarah. Hal itu disebabkan sebagai penggagas sastra profetik, Kuntowijoyo menegaskan bahwa sastra profetik adalah sastra dialektik, yaitu sastra yang berhadapan langsung dengan realitas, melakukan penilaian dan kritik sosial budaya secara beradab.

Humanisasi

Gejala dehumanisasi yang ingin ditunjukan oleh Kuntowijoyo dalam cerpen Tawanan adalah dehumanisasi mengenai agresivitas secara kolektif yang merupakan bentuk dari manusia mesin. Perilaku manusia mesin hanya berdasarkan stimulus and response (dalam psikologi Behaviorism). Perilaku manusia tidak lagi berdasarkan akal sehat, nilai, dan norma.

Tokoh-tokoh yang mengalami dehumanisasi dalam cerpen Tawanan adalah para anggota PKI, Suro Kilat alias Bambang Suroloyo alias Sakimin, lurah dan orang-orang desa serta ibu dan ayah Letnan (tokoh saya). Dehumanisasi dalam cerpen ini terbagi menjadi dua, yaitu dehumanisasi modern oleh para anggota PKI sebagai mesin politik dan mesin partai dan dehumanisasi tradisional oleh Suro Kilat alias Bambang Suroloyo alias

Page 6: Nilai profetik dalam kumpulan cerpen Pelajaran Pertama ...

326

Sakimin yang dikenal sebagai dukun, serta ibu dan ayah Letnan (tokoh saya) yang masih percaya dengan praktek klenik dukun – yang mereka kenal Sakimin.

Dehumanisasi para anggota PKI disebabkan oleh kekejaman mereka terhadap penduduk desa. Penduduk mengeluh mereka tidak berperikemanusiaan. Dikabarkan bahwa mereka selalu berhasil menculik dan membunuh.

...Mereka selalu berhasil menculik dan membunuh. Sudah seorang kiai, dua orang aktivis eks-Masyumi, dan seorang lurah yang mereka culik dan tidak pernah kembali ke rumah. Seorang perempuan yang mereka culik pulang sebagai orang gila (hlm. 105).

Kemampuan mereka ini ternyata mendapatkan dukungan penuh oleh PKI sebagai partai mereka. Dehumaniasasi ini merupakan mobilisasi politik yang digerakan oleh PKI untuk mendukung segala tindakan kriminalitas sebagai bentuk pemberontakannya. Segala macam bantuan, baik logistik, informasi, strategi, motivasi, dan bahkan ilmu kekebalan pun mereka dapatkan.

…Dikabarkan bahwa ada heli yang mensuplai logistic mereka. Kata penduduk mereka licin bagai belut, lincah seperti kijang, dan duk-deng macam Gatotkaca. Malah kata orang, mereka dapat menghilang seperti Siluman (hlm. 105). …“Ada informan yang paham betul daerah ini. Mereka punya orang yang pandai mengatur strategi, ada guru yang membuat mereka kebal, ada intelektual yang memompakan ideologi. Pendeknya lengkap,” kata penduduk (hlm. 105).

Terbentuknya manusia sebagai mesin politik dan mesin partai pun semakin terlihat setelah tokoh saya dan pasukan tentara berhasil menawan dua orang PKI. Namun, ada perbedaan terhadap pola pikir dari dua tawanan tersebut, yang satu sangat memegang teguh ideologi PKI dan yang satunya seperti terpaksa hanya tampak berideologi PKI. Akan tetapi pada kenyataannya mereka merupakan mesin-mesin politik dan partai yang menjalankan ideologi partai walau dalam kondisi terdesak.

…Ketika kami menangkapnya, kata yang satu sambil mengepalkan tangan, “Hidup PKI”. Lalu yang lain menyambut pelan, “Hidup”. Tidak bersemangat, seperti terpaksa (hlm. 106).

Setelah Kuntowijoyo menggambarkan dehumanisasi modern dalam tokoh para anggota PKI. Selanjutnya Kuntowijoyo memfokuskan gejala dehumanisasi tradisional pada tokoh Suro Kilat alias Bambang Suroloyo alias Sakimin yang merupakan satu di antara tawanan yang berhasil ditangkap oleh tentara.

“Dialah yang melatih kanuragan para PR (Pemuda Rakyat) di ruba.” (hlm. 106).

Suro Kilat alias Bambang Suroloyo alias Sakimin sebagai pembawa dehumanisasi tradisional dalam cerpen ini dijelaskan memiliki penyimpangan sikap dan spiritual alienation (keterasingan spiritual). Dia adalah orang yang dikabarkan oleh orang desa paling suka perempuan, tapi tidak untuk diperkosa, melainkan hanya diciuminya saja, sebab gurunya memberikan pantangan tidak boleh bergaul dengan wanita.

Page 7: Nilai profetik dalam kumpulan cerpen Pelajaran Pertama ...

327

…Belakangan saya tahu bahwa menurut orang desa dialah yang paling suka perempuan, tidak untuk diperkosanya, hanya dicium-cium saja sampai terpuaskan nafsunya, sebab pantangannya ialah bergaul dengan wanita. (Gurunya membolehkannya mencium-cium perempuan sampai puas, entahlah bagaimana logikanya. Menurut para tetua desa, untuk kesenangan itu, dia akan kehilangan ilmu selama tiga hari tiga malam). Dulu kalau merampok ke desa, orang-orang lain cari padi, beras, kerbau, sapi, kambing, dia cari perempuan (hlm. 106-107).

Tokoh saya memiliki dugaan bahwa Suro Kilat alias Bambang Suroloyo adalah Kang Kimin (Sakimin) seorang dukun sakti yang dikenalnya sebagai seorang yang banyak berjasa pada perjuangan di tahun 1948-1949 dengan memberi para pemuda ilmu kekebalan. Namun, kesukaannya pada perempuanlah yang membuat dia didekati oleh PKI untuk menggembleng para PR agar memiliki kekebalan. Disinilah awal dehumanisasi tokoh Suro Kilat alias Bambang Suroloyo alias Sakimin sebagai mesin politik dan mesin partai bermula.

…Kesukaannya itu yang menyebabkan dia mudah didekati PKI, partai itu dapat menyodorkan perempuan baik-baik untuk dipakainya, dan tak usah dikawini. Maka, jadilah. Dia menjadi guru bagi mereka, menggembleng para PR. Tidak ada kartu anggota, namanya tidak terdaftar, tetapi orang tahunya bahwa dia PKI. (hlm. 110).

Suro Kilat alias Bambang Suroloyo alias Sakimin dikenal sebagai dukun sakti, guru kanuragan yang membuat orang kebal, dan mampu menyembuhkan orang pun memberi dampak dehumanisasi tradisional pada semua orang yang mempercayainya dan menggunakan jasanya, termasuk ibu dan ayah Letnan (tokoh saya).

“Tolong, Kang Kimin. Anak ini di-suwuk (dimantrai) biar selamat tidak kurang suatu apa.” (hlm. 109). “Kalau syirik anak buah Bapak kok dibiarkan berguru padanya?” “Biar, orang lain. Asal kita tidak. Asal anak kita tidak.” (hlm. 109).

Rasa dendam yang timbul dalam benak lurah dan orang-orang desa terhadap PKI pun merupakan gejala dehumanisasi sosial. Mereka ingin mengadili dua anggota PKI yang berhasil ditawan oleh tentara karena merasa menderita akibat ulah mereka. Hal ini merupakan agresivitas kolektif yang tidak berdasar akal sehat, nilai, dan norma.

“Serahkan mereka kepada kami, Bapak-bapak. Kamilah yang menderita karena ulah mereka, maka sepatutnya kami yang mengadili,” kata lurah yang memimpin orang-orang desa. Dapat dibayangkan apa yang akan mereka kerjakan. Saya tahu, ada dendam, ada gebuk, ada batu-batu. Ada linggis, ada cangkul (hlm. 107).

Namun, tokoh saya sebagai pembawa nilai profetik mampu menenangkan emosi orang-orang desa. Sikap humanisasi tampak pada tokoh saya dengan tenang dan santun memberikan jawaban sekaligus solusi yang sesuai dengan hukum dalam menghadapi aksi lurah bersama orang-orang desa tersebut.

Page 8: Nilai profetik dalam kumpulan cerpen Pelajaran Pertama ...

328

“Jangan, Bapak-bapak. Kami harus melaporkan mereka ke Markas Komando. Nanti kami dihukum, dianggap indispliner,” kata saya (hlm. 107).

Akhirnya, dengan lapang dada lurah dan orang-orang desa pun menerima keputusan tokoh saya untuk tidak menyerahkan tawanannya tersebut. Mereka pun dengan santun membubarkan diri. Dari hal ini dapatlah terlihat bahwa nilai humanisasi pada tokoh saya memberikan solusi yang baik, serta membawa penularan nilai humanisasi pula terhadap lurah dan orang-orang desa.

…Baiknya, mereka tidak memaksa. Dengan santun mereka membubarkan diri, setelah permintaan kami tolak. Tentu saja itu menggembirakan kami, selain hal itu berarti kepercayaan penuh pada tentara, juga saya tidak tahu apa jadinya kalau kami harus bertengkar dengan penduduk (hlm. 108).

Sisi humanisasi pada tokoh saya pun kembali terlihat pada saat terjadi kerusahan, saat baru terlelap tidur sebentar, dia mendengar berondongan senjata, jauh dari tenda-tenda tentara. Tokoh saya segera bangkit, menyambar pistol dan mencari arah berondongan itu. Di sinilah terlihat bahwa tokoh saya mampu mengalahkan egonya walaupun bisa mengetahui kejadian secara langsung saat jalanan kampung telah ditutupi oleh banyak orang karena menurutnya membunyikan pistol untuk meminta jalan itu sikap yang berlebihan, mungkin akan mengejutkan dan membuat takut orang-orang desa.

…Ketika saya sampai di tempat, sudah banyak orang. Mereka tumpah-ruah, menutupi jalanan kampung. Dapat saja saya membunyikan pistol untuk minta jalan, tetapi itu berlebihan. Saya tak bisa menerobos (hlm. 111).

Pemikiran dan perasaan bahwa tokoh saya mengenal Suro Kilat alias Bambang Suroloyo adalah Sakimin, orang banyak berjasa bagi perjuangan di tahun 1948-1949 dan pernah mengisi riwayat hidupnya, membawa tokoh saya pada suatu situasi yang bimbang, antara ingin membebaskannya atau tetap menjalankan tugas untuk mengirimnya ke Markas Komando. Namun, di sinilah letak nilai humanisasi tokoh saya dipertaruhkan.

Saya gagal menginterogasinya setelah dua sore berusaha, dia sama sekali bungkam. Tetapi saya berpikir keras untuk membebaskannya, sebab jangan-jangan orang itu pernah mengisi riwayat hidup saya. Pikiran itu hanya berhenti sebagai pemikiran. Saya tidak menemukan satu cara membebaskannya tanpa resiko baik untuk saya, dia, maupun pasukan saya (hlm. 110).

Ternyata, Suro Kilat alias Bambang Suroloyo alias Sakimin mampu melarikan diri dengan melepas rante dan gembok yang mengikatnya. Hal itu sengaja dilakukannya karena dia merasa memang ajalnya sudah dekat. Namun, yang mengejutkan, justru itu merupakan nilai humanisasi Suro Kilat alias Bambang Suroloyo alias Sakimin yang tak mau menyusahkan orang lain.

“Dia titip salam perpisahan untuk Letnan, dia tahu belaka siapa Letnan dan keluarga. Katanya semua dugaan itu benar. Dia tidak ingin menyusahkan siapa-

Page 9: Nilai profetik dalam kumpulan cerpen Pelajaran Pertama ...

329

siapa. Ajalnya memang sudah sampai, dia melarikan diri supaya ditembak.” (hlm. 112).

Sebelum penghujung cerpen ini, nilai dehumanisasi kembali muncul pada orang-orang desa yang melakukan tindakan anarkis dan main hakim sendiri terhadap Suro Kilat alias Bambang Suroloyo alias Sakimin. Padahal sebelum dikubur hidup-hidup oleh orang-orang desa, Suro Kilat alias Bambang Suroloyo alias Sakimin sempat mengumpat untuk PKI, entah sebagai bentuk kekecewaan, atau cara untuk melindungi diri, atau penegasan bahwa dia memang bukan PKI.

“Kemudian orang-orang desa datang, dan menghajarnya dengan apa saja. Ketika dia malah tertawa-tawa, mereka menggiringnya ke sebuah lubang pembuatan batu-bata di tengah sawah. Dia mengeluarkan sumpah serapah, ‘PKI bajingan tengik! PKI asu! PKI kolo jeplak! PKI lonte!’, dan masih banyak lagi. Tidak ada yang peduli. Mereka mendorongnya ke liang dengan ujung bamboo runcing, dan menguburnya hidup-hidup.” (hlm. 112).

Namun diakhir cerita, tokoh saya dihadapkan oleh pikiran dan perasaan bersalah karena telah gagal mempertaruhkan harga kemanusiaan dengan terbunuhnya Suro Kilat alias Bambang Suroloyo alias Sakimin di tangan orang-orang desa. Akan tetapi, peneliti tetap melihat ini sebagai upaya humanisasi yang dilakukan oleh tokoh saya dalam cerpen Tawanan karya Kuntowijoyo.

Masya Allah! Beribu pikiran menyerbu otak saya. Saya kembali ke tenda dengan lemas dan perasaan prajurit kalah perang (hlm. 112).

Liberasi

Liberasi berarti pembebasan. Adanya Liberasi disebabkan adanya penindasan. Liberasi bertujuan sebagai usaha pembebasan dari sistem pengetahuan, sistem ekonomi, sistem sosial, dan sistem politik.

Cerpen Tawanan mengungkapkan bahwa adanya penindasan politik atas rakyat yang dilakukan oleh PKI (Partai Komunis Indonesia). Liberasi politik diperlukan oleh penduduk desa atas penindasan yang dilakukan para anggota PKI. Semenjak dibuatnya ruba-ruba di lereng Gunung Merapi, penduduk desa setempat menjadi resah karena kerap menjadi bulan-bulan para anggota PKI. Segala bentuk kriminalitas dilakukan para anggota PKI terhadap penduduk. Penduduk mengeluh mereka tak berperikemanusiaan. Itu yang membuat mereka ketakutan. Namun, tokoh saya bersama para tentara pun berusaha melakukan liberasi atau pembebasan terhadap penindasan yang dilakukan PKI. Penjagaan penduduk di kampung-kampung sampai usaha penangkapan anggota PKI dilakukan.

…Jadi kami memutuskan untuk menjaga saja kampung-kampung dari gangguan mereka. Nyatanya sebelum kami datang, praktis penduduk menjadi bulan-bulanan mereka (hlm. 105). Suatu hari kami memakai jalan alternatif dengan melingkari bukit. Susah payah itu membawa hasil. Kami berhasil menawan dua orang. Keduanya tidak bersepatu, kelihatan lusuh, meskipun memperlihatkan wajah orang kalah, tapi mereka masih menyiratkan badan yang kuat. Wajahnya keras, kulitnya hitam terbakar matahari (hlm. 106).

Page 10: Nilai profetik dalam kumpulan cerpen Pelajaran Pertama ...

330

Usaha liberasi pun diperlihatkan tokoh Suro Kilat alias Bambang Suroloyo alias

Sakimin yang terlibat dalam anggota PKI. Dia dijadikan mesin PKI untuk melatih para PR (Pemuda Rakyat) ilmu kanuragan. Hal ini disebabkan Suro Kilat alias Bambang Suroloyo alias Sakimin yang dikenal sebagai dukun sakti yang mampu memberikan kekebalan kepada para pejuang di tahun 1948-1949 memiliki kesukaan pada perempuan. Kesukaannya itulah yang dimanfaatkan PKI untuk menjeratnya masuk kedalam partai terlarang ini. Namun, setelah terjadi pemberontakan di desanya, dia melarikan diri. Setelah tertangkap dalam penyergapan di bukit, dia bertemu dengan tokoh saya yang ternyata mengenalnya sebagai Kang Kimin, seorang dukun yang pernah berjasa dalam perjuangan di desanya dan pernah mengisi riwayat hidup tokoh saya. Adanya kesadaran menjadi mesin partai untuk diperalat dalam misi pemberontakan PKI itu yang membuat dia memiliki usaha liberasi atas dirinya sendiri dari belenggu PKI. Di akhir hayatnya, dia menunjukan ketidakberpihakannya terhadap PKI dengan sengaja melepaskan diri agar terbunuh dan tidak ditahan di Markas Komando sebagai anggota PKI. Dia juga sempat memberikan sumpah serapah terhadap PKI sebagai ungkapan rasa kekesalan dan kebenciannya terhadap partai terlarang itu.

“…Ajalnya memang sudah sampai, dia melarikan diri supaya ditembak.” (hlm. 112). “…Dia mengeluarkan sumpah serapah, ‘PKI bajingan tengik! PKI asu! PKI kolo jeplak! PKI lonte!’, dan masih banyak lagi (hlm. 112).

Transendensi

Kuntowijoyo dengan sastra profetiknya bermaksud melampaui keterbatasan akal-pikiran manusia dan mencapai pengetahuan yang lebih tinggi. Oleh karena itu, sastra profetik merujuk pada pemahaman dan penafsiran Kitab-kitab Suci atas realitas. Sebagai sastra yang berdasarkan Kitab-kitab Suci, sastra profetik dimaksudkan sebagai sastra bagi orang beriman.

Kesadaran ketuhanan atau transendensi dalam cerpen Tawanan ditunjukan Kuntowijoyo pada tokoh ayah Letnan (tokoh saya). Adanya kesadaran, masih ada kekuatan yang lebih besar dari kekuatan manusia tampak ketika tokoh ayah marah atas perlakuan ibu yang meminta anaknya untuk di-suwuk (dimantrai). Dia marah karena merasa perbuatan itu adalah perbuatan syirik (menyekutukan Allah). Tokoh ayah pun memberi petuah untuk bertawakal kepada Allah, hal ini berarti adanya kesadaran atas kekuasaan Allah, Yang Maha Kuasa dibandingkan kekuasaan manusia.

“Syirik! Syirik!” katanya. “Namanya juga usaha, Pak.” “Kalau orang kurang imannya, percaya jampi-jampi. Jampi-jampi itu syirik. Bertawakallah hanya pada Allah.” (hlm. 109).

Kuntowijoyo juga menyiratkan pemahaman dan penafsirannya pada Kitab Suci. Tentunya sebagai seorang muslim, Kuntowijoyo menggunakan Al-Qur’an sebagai referensi utamanya dalam karya-karya sastranya. Hal ini terlihat pada cerpen Tawanan, melalui tokoh Suro Kilat alias Bambang Suroloyo alias Sakimin yang memiliki sikap suka menolong dan tidak bisa mengatakan “tidak” kepada orang lain. Sikap itulah yang mengantarkan menjadi komplotan PKI dan hidup di ruba. Padahal padangan orang lain, dia tidaklah pantas jadi PKI karena dialah orang yang telah berjasa pada perjuangan di tahun 1948-1949 di desanya.

Page 11: Nilai profetik dalam kumpulan cerpen Pelajaran Pertama ...

331

Namun, kesukaannya terhadap perempuan dan sikapnya itulah yang dimanfaatkan PKI untuk menjadikannya sebagai bagian dari misi pemberontakan PKI. Kuntowijoyo mencoba memberikan pemahaman dan penafsiran Al-Qur’an atas realitas pada surat Al-Isra ayat 29: “Dan janganlah kamu jadikan tanganmu terbelenggu pada lehermu dan janganlah kamu terlalu mengulurkannya karena itu kamu menjadi tercela dan menyesal.” Larangan untuk tidak terlalu baik terhadap seseorang, apalagi yang memiliki maksud buruk dalam perbuatannya sudah dijelaskan lewat firman Allah di atas. Namun sikap yang ditunjukan Suro Kilat alias Bambang Suroloyo alias Sakimin telah membuatnya menjadi tercela dan menyesal karena menjadi bagian dari PKI. Hal ini sesuai dengan apa yang telah dijelaskan dalam ayat Al-Qur’an tersebut.

Dia suka menolong dan tidak bisa mengatakan “tidak”, tidak pantas dia jadi PKI. Tetapi, mungkin “suka menolong” dan “tidak bisa mengatakan “tidak”” itu pula yang mengantarkannya hidup di ruba (hlm. 110).

Kesadarannya akan kesalahan yang telah dia lakukanlah yang akhirnya membuat dia rela terbunuh dalam agresivitas orang-orang desa setelah dia melarikan diri dari tenda pengungsian tentara. Pada tokoh Suro Kilat alias Bambang Suroloyo alias Sakiminlah, Kuntowijoyo menitipkan nilai transendensi sebagai bentuk pemahaman dan penafsiran Al-Qur’an atas realitas. Cerpen Pelajaran Pertama bagi Calon Politisi

Cerpen Pelajaran Pertama bagi Calon Politisi bercerita tentang perjuangan Sutarjo, seorang pengusaha konveksi yang mencalonkan diri jadi kepala desa alias lurah di desanya. Dia memiliki pesaing kuat, mantan Kapten TNI yang baru pensiun. Sutarjo merasa yakin akan lulus ujian tertulis dan lisan karena lulusan SMA, pernah jadi mahasiswa, dan merasa camat memiliki hutang budi padanya dalam kasus korupsi. Sutarjo menggunakan tanda padi, sedang pensiunan Kapten menggunakan tanda gambar senapan. Keduanya yakin pasti lulus. Sutarjo memiliki penasehat politik, seorang tokoh mantan Ketua Masjumi di desanya dan sekarang menjadi anggota DPRD II mewakili Golkar. Beberapa saran diberikan, hingga ketika Sutarjo melihat bentuk kemusyrikan di makan kakeknya, dia diminta untuk tetap membiarkan hal itu agar membangun image-nya sebagai Muhammadiyah yang toleran. Namun, ketika saat pemilihan tiba, saat yakin dia akan menang, jutru dia mendapatkan kebalikannya, dengan kalah telak. Kekecewaan itu disampaikan pada penasehatnya, dengan ringan penasehatnya mengatakan bahwa dia kalah oleh kecurangan dan itu adalah pahlawan serta membangun perasaannya dengan bangga mengatakan, dia memburu akhirat, lawannya memburu dunia. Akhirnya dia bisa menerima dengan kekalahannya, tapi itu hanya sementara, Sutarjo kembali bertemu dengan penasehatnya dan akhirnya mereka membuat skenario untuk membalikan kekalahan menjadi kemenangan dengan membuat rujuk desa, berupa pidato dan makan-makan seadanya. Namun, sedihnya acara tersebut hanya didatangi oleh pendukungnya saja. Sutarjo kembali membicarakan ini pada penasehatnya, tetapi dengan ringan dia berkata, bahwa begitulah politik. Sutarjo pun tidak mengerti dan menggelang.

Sebagai orang yang mengetahui sejarah politik, tentunya saja Kuntowijoyo mampu menerjemahkan realitas menjadi karya-karya yang seakan nyata. Cerpen ini merupakan bukti bahwa dia menaruh perhatian penuh pada perpolitikan di Indonesia. Di awal cerpen dia mengatakan, “Kisah jang soenggoe2 soeda kedjadian di masa laloe ini berasal dari zaman pemerintahan Presiden Suharto dan Pangkopkamtib-nya dipegang Sudomo.

Page 12: Nilai profetik dalam kumpulan cerpen Pelajaran Pertama ...

332

Ceritanya ialah tentang micro-level politics, bukan national-level politics atau local-level politics yang menyangkut ideologi dan partai-partai.” Tentu ini adalah bukti kemapanannya dalam membahas segala lini perpolitikan Indonesia. Humanisasi

Gejala-gejala dehumanisasi dalam cerpen ini sangat menonjol, baik itu dehumanisasi modern maupun dehumanisasi tradisional, tapi yang pasti keseluruhan cerita ini adalah terkait dengan mobilisasi politik yang penuh kelicikan, kejahatan, pencitraan, dan kebaikan palsu. Siapapun yang terlibat dalam politik dalam cerpen ini, sudahlah pasti dia memiliki dehumanisasi dalam sisi hidupnya. Selain itu, cerpen ini juga kuat dengan unsur-unsur sejarah yang menunjukan pula adanya gejala dehumanisasi dikala itu. Dehumanisasi di awal cerpen ini ada pada diri Sutarjo yang ternyata keturanan orang yang terlibat dalam G30S/PKI. Maka dia katakan tidak “bersih lingkungan” dalam pencalonan lurah, tentu saja itu karena G30S/PKI merupakan sejarah kelam bangsa Indonesia tentang dehumanisasi dalam bentuk mesin politik, mesin partai, dan agresivitas kolektif.

…Pesaing terkuatnya adalah mantan Kapten TNI yang baru-baru ini pension, yang kabarnya akan menggunakan senjata pamungkas, yaitu asal-usul Sutarjo yang tidak “bersih lingkungan” karena almarhum bapak Sutarjo dulu terlibat G30S/PKI (hlm. 126).

Sutarjo pun memiliki keyakinan akan lulus dalam ujian tertulis dan lisan dalam pencalonan menjadi lurah, satu di antaranya karena camat memiliki hutang budi padanya pada saat mencatut uang sewa Dolog yang kebetulan tanahnya adalah miliknya. Tindakan korupsi, kolusi, dan nepotisme merupakan dehumanisasi yang jelas-jelas nyata sebagai bentuk dari manusia mesin. Tindakan yang sudah tidak berdasarkan akal sehat, nilai, dan norma adalah bentuk dari dehumanisasi.

…Ujian tertulis dan lisan sudah bisa dipastikan bahwa dia akan lulus. Sebab, ia mengantongi ijazah SMA, pernah duduk sebagai mahasiswa, dan camat yang sangat menentukan kelulusannya amat berutang budi padanya. Camat itu telah dibantunya dalam mencatut uang sewa Dolog yang kebetulan tanahnya adalah milik Sutarjo (hlm. 126.)

Dehumanisasi dalam cerpen ini juga dikait-kaitan dengan sejarah, tepatnya pada zaman pemerintahan Presiden Soeharto. Dikatakan bahwa kata “pembangunan” di waktu itu menjadi hantu politik dan hal itulah yang menyebabkan Sutarjo tak mampu menolak permintaan camat untuk menyewakan tanah dengan harga murah dan membantunya untuk menggelembungkan uang sewa atau istilahnya mark up. Maka, jelaslah adanya penindasan dari negara ini merupakan mobilasasi politik besar-besaran sebagai wabah dehumanisasi. Manusia menjadi mesin-mesin birokrasi kotor yang selalu berpikir keuntungan, bukanlah kemaslahatan bangsa.

Pada waktu itu kata “pembangunan” jadi hantu politik yang membuat Sutarjo berpikir dua kali untuk menolak permintaan camat. Maka, ia pun menyewakan tanahnya dengan harga sangat murah. Camat masih minta supaya ia menggelembungkan uang sewa (cara sekarangnya disebut mark up) (hlm. 127).

Page 13: Nilai profetik dalam kumpulan cerpen Pelajaran Pertama ...

333

Korupsi telah membudaya di Indonesia, dari mulai instansi kecil sampai dengan instansi besar. Tindak korupsi seakan menjadi lumrah, ketika melihat hampir di seluruh instansi melakukan tindakan haram itu. Tokoh camat beralasan bahwa Indonesia adalah negera kaya, justru mumpung memiliki kesempatan menjabatlah dia bisa mengambil keuntungan sebesar-besarnya dari negara, dipikirnya daripada kekayaan tersebut diberikan ke Cina. Ini adalah dehumanisasi yang terstruktur.

“Coba tanda tangani kuitansi ini,” pinta Camat. “Lha kok besar betul,” katanya. “Sst, tidak demikian. Indonesia itu kaya: punya bukit, punya hutan, punya laut, punya tambang. Apa salahnya saya ikut andarbeki? Negara membeli pegawainya dengan harga sangat murah. Saya kira cara ini sah-sah saja. Daripada diberikan cina. Kapan lagi mengambil hak kalau tidak mumpung ada kesempatan. Dan kesempatan hanya datang sekali seumur hidup. Boleh ambil asal jangan terlalu banyak. Banyak juga boleh asal bisa merahasiakan.” (hlm. 127).

Dehumanisasi korupsi, kolusi, dan nepotisme ini menjadi kolektif, ketika banyak pihak yang menjadi terlibat dalam prosesnya. Tokoh Camat sebagai dalangnya, yang lainnya juga akan mendapatkan hasil dari kerjanya. Sutarjo yang merasa mengetahui segala tindakan Camat itupun memanfaatkan sebagai jalan untuk memperlancar proses pencalonannya menjadi lurah. Begitulah mesin politik dengan mobilisasinya, selalu ada kepentingan yang berjalan di atas kepentingan.

Maka, semua permintaan Camat diturutinya. Camat juga menjadi pemborong pembangunan gudang Dolog, yang ia tahu bukannya Camat sendiri yang mengerjakan. Tentu saja harga bangunan itu juga digelembungkan. Ia tahu semuanya soal kongkalikong itu, jadi mustahil ia tidak lulus (hlm. 127).

Tentara waktu itu menjadi momok yang menakutkan di mata masyarakat. Tentunya hal itu dikait-kaitan dengan sejarah di tahun 1982/1983 pada kasus Petrus (penembakan misterius) yang diidentikan dengan tentara. Sejarah dehumanisasi itulah yang kerap menjadi bayang-bayang ketakutan masyarkat akan tentara.

…. Sutarjo sudah diketahui alasannya, sedangkan Kapten, ya, karena ia bekas tentara, dan “siapa berani tidak meluluskan tentara”? Orang mesti berpikir tiga kali menghadapi tentara (hlm. 127).

Penindasan negara pun menjadi sorotan Kuntowijoyo dalam cerpen ini. Secara terang-terangan Kuntowijoyo menuliskan dominasi Golkar dalam pemerintahan. Golkar adalah partai pro-pemerintah yang pembentukan memang sengaja untuk mendominasi negara dengan mobilitas politiknya. Bentuk dehumanisasi itu, secara jelas terlihat pada ungkapan mantan Ketua Masjumi yang menjadi anggota DPRD II mewakili Golkar yang mengatakan, “Orang itu jangan jadi pecundang terus, sekali-sekali jadilah pemenang.” Padahal, dalam pikiran masyarakat, seharusnya mantan Masjumi itu bergabung ke PPP, bukan Golkar. Tentu dalam hal itu, ada maksud dan kepentingan karena waktu itu pemerintahan otoriter membungkam semua kritik, baik secara pribadi maupun secara kolektif. Monoloyalitas berlaku bagi pegawai negeri yang wajib loyal kepada Pemerintah dengan menjadi anggota Golkar.

Page 14: Nilai profetik dalam kumpulan cerpen Pelajaran Pertama ...

334

…. Pendek kata, tidak diragukan lagi kelihaian politiknya. (“Bekas Masjumi kok tidak ke PPP, tapi ke Golkar?” “Orang itu jangan jadi pecundang terus, sekali-sekali jadilah pemenang.”) (hlm. 128).

Mobilisasi politik mengharuskan adanya pencitraan untuk mengambil simapati masyarakat. Tidak jarang pencitraan tersebut adalah sebuah rekayasa kebohongan yang besar-besaran. Pelajaran politik yang didapat Sutarjo dari penasehatnya, menyuruh dia untuk melakukan sesuatu untuk meyakinkan orang-orang desa untuk memilih dia. Secara tidak sadar, hal itu merupakan bentuk dehumanisasi struktural, politik telah menjadi manusia sebagai mesin-mesin kepentingan meraih kekuasaan.

“Gampang saja,” katanya. “Yakinkan para pemilih bahwa kau adalah cucu Lurah. Kunjungi kuburan kakekmu, buat fotonya, syukur ada video tape, sebar luaskan. Kalau ada video tape, putarlah pada semua kesempatan jagongan: bayen, midodareni, bahkan takziyah.” Kakeknya dulu adalah lurah yang terkenal pemurah, rendah hati, suka menolong, dan sakti mandaraguna. Sutarjo merasa lega (hlm. 128).

Tidak jarang politik juga tak mengindahkan nilai-nilai agama, semua alasan diprioritaskan pada tujuan politik semata. Sutarjo sebagai seorang Muhammadiyah, akhirnya harus rela meninggal nilai-nilai Kemuhammadiyahannya agar dianggap sebagai Muhammadiyah yang toleran dan turut serta dalam praktek-praktek TBC (Takhayul, Bid’ah, dan Churafat) yang jelas-jelas dilarang dalam Muhammadiyah.

Kata penasihat, “Politik itu the art of the possible. Tidak harus lurus, tapi boleh bengkok-bengkok. Jangan lugu begitu. Politik itu seperti silat, balikkan kelemahan jadi kekuatan.” Kata penasihat lagi, “Adanya kemenyan itu justru menguntungkan, untuk menunjukan bahwa sekalipun kau Muhammadiyah, tapi Muhammadiyah yang penuh toleransi. Karena itu, pergilah tiap malam ke kuburan kakekmu, bawa orang, baca surat Yasin. Kuburan kakekmu perlu direnovasi. Buatlah emper-emperan sehingga orang duduk lebih nyaman. Perkara syirik itu bisa diatur kemudian (hlm. 129).

Ketika orang-orang desa sedang demam SDSB (Sumbangan Dana Sosial berhadiah) sejenis lotere. Terjadilah dehumanisasi tradisional yang secara kolektif dilakukan orang-orang desa. Orang banyak menyepi dikuburan kakeknya yang dianggap keramat untuk mendapatkan nomor. Namun, dalam kemusyrikan itu tetap ada dominasi-dominasi politik yang dibahas dalam bentuk dehumanisasi modern.

Perlu diketahui bahwa waktu itu orang sedang demam SDSB (Sumbangan Dana Sosial Berhadiah, yang oleh masyarakat [mahasiswa, sopir taksi, pedagang, dan para jurnalis] dipelesetkan jadi Sudomo Datang Semua Beres), efemisme dari lotere. Orang menyepi di kuburan kakeknya yang dianggap keramat untuk mendapatkan nomor. Hal yang membuat dia pusing, orang-orang yang mencari nomor ke kuburan kakeknya, kabarnya, dibekingi oleh pesaingnya, kapten itu (hlm. 129).

Demi mencapai tujuannya menjadi lurah desa. Anjuran penasehatnya untuk menjadi Muhammadiyah yang toleran pada bentuk-bentuk syirik yang terjadi di makam

Page 15: Nilai profetik dalam kumpulan cerpen Pelajaran Pertama ...

335

kakeknya pun dibiarkan. Dia pun justru melakukan hal-hal tersebut dan mengundang tukang foto dan kameraman untuk di pamerkan ke orang-orang desa. Dehumanisasi tradisional dalam bentuk kekeramatan pada kuburan dan dehumanisasi modern dalam bentuk mesin politik yang melakukan segala cara untuk tujuan politiknya.

Menuruti anjuran penasihatnya, ia pergi dengan rombongan ke kuburan kakeknya tiap malam, dan merenovasi kuburan itu. Ia juga menyuruh orang untuk membakar kemenyan dan menabur bunga. Dan setelah kemenyan dan bunga menggunung lagi, ia mengundang tokong foto dan kameraman. Ia sudah bertekad: berapa pun habisnya, akan ia bayar. Tujuannya satu: menjadi lurah desa (hlm. 130).

Sebagai cara menarik simpati warga, Sutarjo menggunakan cara-cara dehumanisasi tradisional, sedangkan lawannya menggunakan cara-cara dehumanisasi modern dengan memanipulasi situasi sosial di masyarakat. Mobilisasi politik yang mengharuskan mereka bertindak demikian. Nilai-nilai keyakinan dan kebangsaan telah dikesampingkan demi tercapainya misi politik. Tidak jarang masyarakat disuguhkan dengan tontonan yang bisa menimbulkan syahwat dengan dana yang didapat dari kesepakatan-kesepakatan politik yang penuh intrik dan kepentingan personal.

Sutarjo mengadakan tahlil, yasinan, pengajian akbar, dan sarasehan tentang toleransi. (Dengan makanan kecil keluar dari kantongnya). Semuanya dimaksud untuk menunjukkan bahwa dia orang Muhammadiyah yang toleran (hlm. 130). Pesaingnya, “Senapan”, menggunakan strategi dan taktik lain yang mungkin dipelajarinya dari masa dinasnya. Satu, ia mengundang tayub dari Rembang untuk berjoget bersama penduduk. Dua wayangan dengan waranggana yang cantik-cantik untuk jadi tontonan penduduk. Tiga, apa yang kemudian disebut money politics. Ia menjanjikan sejumlah uang kepada pemilih. Uang ini didapat dari dua buah perusahaan real estate dengan janji izin mendirikan perumahan di bantaran sebuah sungai dan izin membangun perumahan di atas tanah desa dengan hak bangunan. Empat, tidak hanya itu. Tesisnya, “Aman dulu, baru membangun desa”, didukung oleh fakta. Karena, kebetulan ada dua peristiwa yang menguntungkan, yaitu tawur antarpemuda dan petrus (penembak misterius) (hlm. 131).

Kuntowijoyo kembali menukil sejarah dalam cerpennya. Dia menggambarkan situasi politik di tahun 1982/1983 yang dikenal dengan kasus Petrus yang merupakan skenario yang dibuat-buat untuk kepentingan politik semata. Penindasan negara dan agresivitas sosial merupakan persoalan dehumanisasi yang menjadi benalu dalam kehidupan masyarakat. Dalam cerpen ini dijelaskan bagaimana runut kejadian dehumanisasi itu berlangsung dan mempengaruhi opini publik.

Tawur antardesa itu berasal dari omong-omong sekenanya di warung bakmi. “Orang indekos itu tidak punya moral. Kalau tidak ndemeni teman seindekos, ya ibu kosnya,” kata penduduk asli kepada seseorang yang mondok. Kontan para mahasiswa dan pelajar yang indekos di rumah-rumah penduduk dan yang tinggal di asrama daerah di desa “Senapan” marah. Malam hari mereka mendatangi pertigaan tempat para pemuda asli berkongko-kongko dan terjadilah tawur antarpemuda asli dengan pemuda mondok. Adapun mengenai petrus itu ceritanya

Page 16: Nilai profetik dalam kumpulan cerpen Pelajaran Pertama ...

336

begini. Pemerintah Kodya Yogyakarta selama ini tidak berdaya menangani para Gali (Gabungan Anak Liar) di kota yang mengadakan pungli (pungutan liar) terhadap colt, toko, warung, pedagang di pasar, dan pedagang kaki lima. Pemerintah Kodya lalu pasrah pada Korem untuk bertindak apa saja. Dasar tentara yang punyanya cuma bendil, senapan menyalak. Mereka menembak mati Gali-Gali. Dan, banyak Gali yang melarikan diri ke desa di pinggiran kota itu yang didor. Malam hari orang akan mendengar bedil berbunyi, kemudian maobil ambulans milik tentara (hlm. 132).

Setelah mengetahui kekalahan telaknya. Sutarjo pergi ke penasehat politiknya. Namun, memang dasar politik, selalu saja ada cara untuk berkelit menghibur diri. Tuduhan-tuduhan bahwa lawannya telah berbuat curang dan dia kalah dengan kecurangan adalah pahlawan. Walaupun kalah, dia tetap bangga karena dikatakan oleh penasehatnya bahwa dia memburu akhirat, dan lawannya memburu dunia. Itulah alibi politik yang penuh trik dan intrik, bentuk dehumanisasi modern.

“Ketahuilah, tawur dan petrus itu hasil rekayasanya juga. Jadi dikalahkan oleh kecurangan itu pahlawan. Saya bangga dengan engkau. Engkau memburu akhirat, dia memburu dunia.” (hlm. 133).

Sutarjo atas saran dari penasehatnya melakukan acara rujuk desa sebagai cara untuk membalikkan sebuah kekalahan menjadi sebuah kemenangan. Langkah-langkah politis dilakukan dengan mengundang kader-kader kedua belah pihak, wakil-wakil pemuda, mahasiswa, pelajar yang tawur, dan pimpinan kecamatan Muspika. Dana yang cukup besar dikeluarkannya untuk melaksanakan kegiatan ini. Dia sudah benar-benar menjadi mesin politik yang selalu turut menjalankan mobilitas politik. Dehumanisasi ini membuat dia merugi diakhirnya.

Undangan diedarkan. Pada hari yang ditentukan, semuanya sudah lengkap: meja-kursi, mikrofon, dan hidangan. Orang-orang berdatangan. Muspika datang. Lurah baru datang meski terlambat. Tapi, lho! Yang datang hanya orang-orang “Padi”. (Sutarjo tidak tahu bahwa kubu “Senapan” mengadakan pesta kemenangan di Balai Desa). Tunggu punya tunggu tidak ada lagi yang datang. Minum teh gelas keluar. Tidak juga bertambah. Akhirnya, acara dimulai. Pidato-pidato. Sutarjo mau menangis, tapi ditahannya. Selasai. Hidangan keluar. Muspika pamit. Lurah baru pamit. Semua pulang. (Orang “Senapan” sudah menanti untuk mendaulat supaya Muspika kemudian hadir di Balai Desa) (hlm. 135).

Di akhir cerita, penasihat politik Sutarjo menjelaskan tentang perjalanan politik. Itulah pelajaran pertama bagi Sutarjo yang ingin menjadi seorang politisi. Dehumanisasi dalam bentuk mobilisasi politik dijelaskan Kuntowijoyo seperti permainan kelicikan yang tiada hentinya. Namun, walaupun sarat politik, ada nilai humanisasi yang disampaikan oleh penasihat kepada Sutarjo.

“Ya, itulah politik. Sekali menang, sekali kalah. Sekali timbul, sekali tenggelam. Sekali datang, sekali pergi. Begitu ritmenya, tanpa henti. Hadapi ritme itu dengan humor tinggi. Jangan kalau menang senang, kalau kalah susah. Jangan. Berbuatlah sesuatu hanya pada waktu yang tepat. Ketika momentumnya

Page 17: Nilai profetik dalam kumpulan cerpen Pelajaran Pertama ...

337

datang, pada sangatnya. Kalau bisa ciptakan momentum itu. Tetapi, jangan nggege mangsa (terlalu cepat), tapi juga jangan terlambat,” komentar sang penasihat enteng (hlm. 136).

Liberasi

Liberasi dibutuhkan oleh masyarakat, saat adanya penindasan-penindasan yang terjadi di sekitar. Dalam cerpen Pelajaran Pertama bagi Calon Politisi, Kuntowijoyo mengungkapkan sejarah perpolitikan Indonesia. Segala macam penindasan, baik penindasan negara, penindasan politik, dan penindasan ekonomi yang berlatar Orde Baru di tahun 1980-an.

Usaha liberasi telah dilakukan istri Sutarjo dengan menyinggung perlakuan Sutarjo yang telah menyimpang akibat menjadi mesin politik. Segala tindakan-tindakan yang melanggar nilai dan norma yang dilakukan oleh Sutarjo, mengundang kritik dari istrinya. Kritik tersebut seperti menyiratkan adanya nilai liberasi, usaha untuk menyadarkan Sutarjo akan politik yang sudah membuat membuatnya bertindak tak berdasar akal sehat, nilai, dan norma.

“Saya kira engkau dhedhel-dhuwel luar dalam, Mas. Akhirat tidak, dunia gagal. NU bukan, Muhammadiyah mboten. Politikus bengkok-bengkok meleset, orang agama jalan lurus,” komentar istrinya (hlm. 133).

Setelah kalahannya, Sutarjo menghibur diri dengan pikiran-pikiran positif. Hal tersebut bisa dikatakan sebuah liberasi karena dari kekalahannya Sutarjo berpikir bahwa dia dikalahkan dengan kecurangan dan dia bersyukur karena tidak menjadi lurah, tidak korupsi. Adanya kesadaran jika jabatan bisa dimanfaatkan untuk korupsi, maka dia bersyukur. Itulah nilai liberasi, namun nyatanya kesadaran itu hanya sebagai pengalihan perasaan sakit hatinya atas kekalahannya.

Ia yakin benar, “Saya dikalahkan oleh kecurangan.” Dan, “Alhamdulillah, tidak jadi lurah, tidak usah korupsi.” (hlm. 134).

Transendensi

Nilai transendensi yang secara langsung ada pada tokoh muncul pada Sutarjo, walaupun kesadaran ketuhanan itu dibarengi oleh kepentingan politiknya. Dia menyadari bahwa perilaku masyarakat yang mengkeramatkan kuburan kakeknya adalah perbuatan syikir, menyekutukan Allah. Ketika menyadari sebuah tindakan syirik, maka ada kesadaran bahwa ada kekuatan yang lebih besar dan lebih layak untuk meminta segala apapun kebutuhan manusia, yaitu Allah. Bukanlah hal-hal transenden kekuatan gaib yang berasal dari kuburan atau orang yang di dalamnya.

“Haram, syirik,” teriaknya. Kuburan itu penuh kemenyan dan bunga mawar. Ia menyuruh orang membersihkan kemenyan dan bunga itu. Kalau tidak, bagaimana meyakinkan para pemilih bahwa ia Muhammadiyah tulen? Setelah bersih, baru jepret-jepret dan terrr (hlm. 128).

Secara keseluruhan isi cerpen ini menjelaskan tentang politik yang penuh dengan tipu daya. Di mana untuk mendapatkan kekuasaan, para pesaing politik harus melakukan banyak trik dan intrik, lalu setelah mendapatkan kemenangan, mereka akan memanfaatkannya

Page 18: Nilai profetik dalam kumpulan cerpen Pelajaran Pertama ...

338

sebagai kesempatan untuk merauk harta sebanyak-banyaknya. Politik berawal dari asas tipu-menipu dan akhirnya adalah kesengsaraan orang-orang banyak yang terkena tipu-tipu. Kuntowijoyo memahami isi surat Al-An’am ayat 123 dan mencoba menafsirkannya lewat realitas yang ada di dalam cerpen ini.

Kisah jang soenggoe2 soeda kedjadian di masa laloe ini berasal dari zaman pemerintahan Presiden Soeharto dan Pangkopkamtib-nya dipegang Sudomo. Ceritanya ialah tentang micro-level politics, bukan national-level politics atau local-level politics yang menyangkut ideologi partai-partai. Tapi, sekedar peristiwa di tingkat desa di pinggiran Kota Yogyakarta. Namun, akan ternyata bahwa politik kecil-kecilan itu tidak kalah memusingkan daripada politik yang gede-gede. Pelakunya harus putar otak, pandai mengotak-atik kenyataan bagaimanapun kecilnya (hlm. 126).

Kutipan di awal cerpen itu sudah menegaskan bahwa politik itu mengharuskan melakukan tipu daya dengan pandai mengotak-atik kenyataan bagaimanapun kecilnya. Hal itu, digambarkan oleh tokoh-tokohnya Sutarjo dan mantan Kapten TNI yang sama-sama berusaha menarik simpati warga untuk memilih mereka menjadi kepala desa atau lurah. Segala cara dilakukan untuk membuat diri mereka masing-masing menjadi pemenang, dari mulai pencitraan, rekayasa kejadian, dan pesta hura-hura yang menipu orang-orang desa agar memilihnya. Padahal setelah terpilih, banyak niat-niat jahat yang telah mereka rencanakan. Tentu ke semua itu adalah gambaran yang diberikan Kuntowijoyo atas bunyi ayat ini: “Dan demikianlah Kami adakan pada tiap-tiap negeri penjahat-penjahat yang terbesar agar mereka melakukan tipu daya dalam negeri itu. Dan mereka tidak memperdayakan melainkan dirinya sendiri, sedang mereka tidak menyadari.” Firman Allah dalam surat Al-An’am itulah yang hendak menjadi isi dakwah Kuntowijoyo dalam cerpen Pelajaran Pertama bagi Calon Politisi. PENUTUP

Kesimpulan dari hasil penelitian dua sampel kumpulan cerpen Pelajaran Pertama bagi Calon Politisi karya Kuntowijoyo, yaitu: (1) humanisasi sebagai bentuk perlawanan dari dehumanisasi yang membentuk manusia mesin, manusia dan masyarakat massa, dan budaya massa yang berpikir dan bertindak tidak berdasarkan akal sehat, nilai dan norma; (2) liberasi sebagai bentuk perlawanan dari segala bentuk penindasan, baik penindasan politik, penindasan negara, ketidakadilan ekonomi dan ketidakadilan gender; dan (3) transendensi yang merupakan bentuk dari kesadaran ketuhanan atau sesuatu yang melampaui keterbatasan manusia serta adanya pemahaman dan penafsiran Al-Qur’an atas realitas.

Hasil tersebut membuktikan bahwa Kuntowijoyo sebagai seorang sastrawan sekaligus sejarawan telah mampu mewujudkan cita-citanya dalam sastra profetik. Sastra profetik yang bertujuan memperluas ruang batin, serta menggugah kesadaran ketuhanan dan kesadaran kemanusiaan, telah benar-benar meresap dalam cerpen-cerpen Kuntowijoyo dan mengandungi nilai-nilai yang adiluhung yang kemudian dapat terap dalam pembelajaran sebagai suatu bentuk ekspresi upaya penanaman pendidikan karakter di sekolah di masa pandemi ini. DAFTAR PUSTAKA Efendi, A. (2012). Realitas Profetik dalam Novel Ketika Cinta Bertasbih Karya

Habiburrahman El-Shirazy. LITERA, 11(1), 72–82.

Page 19: Nilai profetik dalam kumpulan cerpen Pelajaran Pertama ...

339

Fuadi, H. (2016). Aktualisasi Nilai-nilai Profetik Kuntowijoyo di dalam Pendidikan (Studi Kasus di SMP Birrul Walidain Muhammadiyah Sragen). Tajdida: Jurnal Pemikiran Dan Gerakan Muhammadiyah, 14(2), 18–30. http://journals.ums.ac.id/index.php/tajdida/article/view/5273

Hadi, A. W. M. (2004). Hermeneutika, Estetika, dan Religiusitas: Esai-esai Sastra Sufistik dan Seni Rupa. Yogyakarta: Penerbit Matahari.

Hilmy, M. (2012). Islam Profetik : Substansiasi Nilai-nilai Agama dalam Ruang Publik. Yogyakarta: Kanisius.

Imron, D. Z. (2005). Ruh Estetika Sastra Kuntowijoyo. Ibda, 3(2), 1–11. https://adoc.tips/ruh-estetika-sastra-kuntowijoyo-d-zawawi-imron-.html

Khan, A. W. (2002). Membebaskan Pendidikan Islam. Yogyakarta: Istawa. Kuntowijoyo. (2013). Maklumat Sastra Profetik: Kaidah Etika dan Struktur Sastra.

Yogyakarta: Multi Presindo. Masduki, M. (2011). Prophetic Education: Recognising the Idea of Kuntowijoyo’s

Prophetic Social Science. Madania, 1(1), 49–75. ejournal.uin-suska.ac.id Masrifatin, Y. (2012). Konsep Pendidikan Profetik sebagai Pilar Humanisasi. Lentera,

1(1), 165–174. https://www.rics.org/south-asia/upholding-professional-standards/standards-of-conduct/ethics/

Roqib, M. (2014). Pendidikan Anak Kreatif Perspektif Profetik. Tadrîs, 9(1), 17–33. Sumardi. (2012). Panduan Apresiasi Cerpen untuk Siswa dan Mahasiswa. Jakarta: Uhamka

Press. Utami, R. P., Boeriswati, E., & Zuriyati. (2018). Hegemoni Patriarki Publik terhadap Tokoh

Perempuan dalam Novel “Hanauzumi” Karya Junichi Watanabe. Indonesian Language Education and Literature, 4(1), 62–74. https://doi.org/10.24235/ileal.v4i1.2571.